BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Pada masa Orde Baru, kesusasteraan dan kesenian di Indonesia tumbuh
secara kokoh. Bebeda dengan masa sebelumnya, pada masa ini kesusasteraan mencapai zaman keemasan hampir tanpa saingan. Hal ini disebabkan karena muncul beberapa perdebatan tantang peran sasrta terhadap perubahan masyarakat sejak awal dekade 1980-an di beberapa kota, khususnya di Jakarta. Perdebatan sastra tidak pernah terlepas dari politik pihak-pihak tertentu dalam masyarakat. Sastra dan politik bukan dua hal yang mandiri yang mempunyai persinggungan di tepi wilayah masing-masing. Namun sastra dan politik saling mempengaruhi satu sama lain. Batasan yang membedakan sastra dan yang bukan sastra terbentuk sehingga menegaskan hubungan masyarakat politis. Pada masa ini munculperdebatan antara sastra kontekstuan dan sastra univerversal atau non kontekstual. Sastra kontekstual adalah sastra pemahaman atas kesusasteraan atas konteks sosial-historis yang bersangkutan. Sastra nonkontekstual sebagai paham universal yang pada masa ini dominan dalam kesusasteraan Indonesia. Paham universal berkelindan dengan hakikat sastra yang abadi dan universal dan bukan sastra yang mengikuti perubahan zaman dan masyarakat. Paham universal menganggap paham kontekstual sebagai penjelmaan yang fana dari sumber atau induk hakikat sastra. Jadi, menurut sastra universal, sastra kontekstual seakan-akan seperti tong besar tempat jatuhnya karya-karya
sastra dari sumber hakikat sastra di awang-awang “atas” sana lewat perantaraan sastrawan (Heryanto, 1985: 333-336). Dalam sastra kontekstual, manusia bukanlah individu-individu yang hidup terpisah-pisah, tetapi manusia sebagai makhluk sosial. Dari pernyataan itu, Rendra berada pada kenyataan kebudayaan yang membuat hidupnya berkelindan di dalam aspek sosial, ekonomi, dan politik. Rendra secara terbuka menyatakan bahwa tidak dapat lepas dari aspek-aspek tersebut (Heryanto, 1985: 461). Pada masa Orde Baru konteksnya dengan pembangunan di Indonesia terdapat kenyataan bahwa sumber daya manusia dan sumber alam dicengkeram dan dikuasai oleh penguasa dan orang-orang asing, sehingga Rendra menyebut bangsanya sangat mekanis dan kesempatan berkarya sangat ditekan. Pemberontakan dan keprihatinan Rendra dalam jiwa sering terjadi apabila pikirannya tidak puas terhadap kenyataan alam (Heryanto, 1985: 462). Diskursus pembangunan di Indonesia secara dominan muncul pada pada Pemerintahan Orde Baru. Karena ‘pembangunan’ menjadi semboyan dan nama kabinet pada Pemerintahan Orba. Pembangunan dalam konteks Orde Baru, sangat erat kaitannya dengan discourse development yang dikembangkan oleh negaranegara Barat. Penyelidikan secara kritis terhadap discourse development, menjadi sumber dari diskursus ‘pembangunan’ di Indonesia. Diskursus tentang pembangunan, pada akhirnya dikaji dalam segi bahasa. Serta implikasi development yang disebar-serapkan ke dunia ketiga. Di Indonesia terjadi pada pemerintahan militer selama 32 tahun, yakni sejak militer Indonesia mengambil
alih kekuasaan Presiden Sukarno tahun 1967 hingga kejatuhan rezim militer oleh revolusi sosial tahun 1998 (Fakih, 2001: 12). Pembangunan merupakan suatu istilah yang dipakai dalam bermacammacam konteks, dan seringkali digunakan dalam konotasi politik dan ideologi tertentu. Ada banyak kata yang mempunyai persamaan makna dengan kata pembangunan,
misalnya
perubahan
sosial,
pertumbuhan,
progres,
dan
modernisasi. Dari persamaan makna tersebut hanya istilah perubahan sosial yang memberi makna perubahan ke arah lebih positif. Oleh karena itu makna pembangunan bergantung pada konteks sejarah bagaimana istilah tersebut dikembangkan (Fakih, 2001: 13). Pembangunan berada di bawah payung teori perubahan sosial. Banyak teori dan dimensi pendekatan perubahan sosial, di antaranya: dimensi evolusi dan revolusi, sosialistik dan kapitalistik, dan dimensi-dimensi lainnya. Salah satu teori perubahan sosial tersebut adalah teori pembangunan. Lambat laun pembangunan sebagai teori berubah dan menjadi suatu pendekatan dan ideologi, bahkan menjadi suatu paradigma dalam perubahan sosial. Selama orde baru, bahkan pembangunan oleh para birokrat dan akademisi diperlakukan lebih dari sekedar teori perubahan sosial. Selain berhasil menjadi ideologi orde baru, pembangunan juga dijadikan nama kabinet selama kekuasaan orde baru di bawah Presiden Soeharto (Fakih, 2001: 14). Dalam penelitian ini, peneliti mempunyai hipotesis bahwa kritik Rendra terhadap
kekuasaan
terartikulasikan
melalui
kumpulan
sajak
“Potret
Pembangunan dalam Puisi”. Di dalam “Potret Pembangunan dalam Puisi”
Rendra membeberkan kenyatan tentang ketimpangan sosial dalam era pembangunan yang sedang berlangsung. Pembeberan kenyatan
ketimpangan
sosial itu merupakan hasrat Rendra dalam kreativitasnya. Ketimpangan sosial merupakan ‘kekurangan’ menurut gambaran Rendra. Wacana-wacana sosial seperti kemiskinan, ketidakmerataan, ketidakadilan, korupsi, kolusi, nepotisme, senantiasa membuat Rendra gelisah. Wacana sosial tersebut yang menyebabkan Rendra merasa ‘kurang’. Menurut Lacan, kekurangan disebut dengan ‘lack’. Kekurangan dalam teori Lacanian, akan menyebabkan subjek terus mencari objek hasratnya (objek a). Rendra senantiasa mencari objek hasrat –Lacan menyebut penanda berfungsi sebagai objek hasrat - yang tidakmungkin dan termanifestasikan di dalam karya sastranya di “Potret Pembangunan dalam Puisi”. Lacan menteorikan tatanan subjektivitas manusia menjadi tiga. Pertama, adalah tatanan ‘yang real’, dimana sang bayi - antara umur enam dan delapan belas bulan- belum memiliki keterpisahan dengan ‘yang-lain’ disebut fase cermin. Kesatuan tubuh dikonfrontasikan dengan pantulan cermin hingga melalui “gambaran tubuh” di luar subjek, yaitu di dalam cermin (Bartens, 2001: 208). Keberhasilan “fase cermin” merupakan syarat supaya nanti anak mencapai identitasnya sebagai subjek dalam relasi dengan “orang lain”. Kedua, tatanan imajiner adalah fase ketika sang bayi merepresentasikan pantulan cermin sebagai ‘diri’ dan menciptakan ego. Ketiga, tatanan simbolik yaitu ketika seseorang mengenal gagasan tentang ‘yang-lain’ atau ‘liyan’ dan ditandai adanya konsep hasrat (Hill, 2002: 40 – 41).
Hasrat berada pada pusat eksistensi subjek. Hidup subjek berputar disekitar hasrat. Hasrat mampu mempermainkan perubahan sosial atau menolak suatu perubahan. Dalam konteks puisi, Potret Pembangunan dalam Puisi berperan sebagai manifestasi dalam perubahan pola pikir atau perubahan sosial politik. atau bisa disebut sebagai daya kritis terhadap situasi sosial politik pada masa kejayaan Rezim Pembangunan. Selama puisi Rendra mampu mengajak (dis)posisi subjektif tertentu, maka puisi Rendra menjanjikan dipuaskannya hasrat tertentu. Oleh sebab itu, agar kita bisa memahami bagaimana suatu gejala kebudayaan bisa mempengaruhi manusia, maka yang menjadi titik pusat perhatian dalam kritik kebudayaan adalah hasrat. 1.2.
Rumusan Masalah Realitas dan situasi pembangunan yang dihadirkan oleh kumpulan sajak
“Potret Pembangunan dalam Puisi” memunculkan tanggapan antara Rendra dengan rezim orde baru, sehingga pertanyaan yang muncul adalah a. Bagaimana subjektivitas Rendra terhadap konsep pembangunan dalam kumpulan sajak “Potret Pembangunan dalam Puisi”? b. Bagaimana hasrat Rendra dalam mengkritisi pembangunan dalam “Potret Pembangunan dalam Puisi”? 1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Teoritis Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan teoritis dari penelitian ini adalah mengidentifikasi subjektivitas dan bagaimana hasrat Rendra dalam mengkritisi pembangunan yang tercermin dalam kumpulan puisi Potret
Pembangunan dalam Puisi melalui kajian psikologi sastra yang menggunakan teori psikoanalisis Lacan. 1.3.2. Tujuan Praktis Tujuan praktis penelitian ini adalah bertujuan untuk memberikan sumbangan pemikiran mengenai psikoanalisis Lacan yang membahas tentang konstruksi subjektivitas dan hasrat dalam kumpulan puisi Potret Pembangunan dalam Puisi karya W.S Rendra. 1.4.
Tinjauan Pustaka Rendra sebagai seorang sastrawan dikenal sebagai “Si Burung Merak”
yang juga berkelindan sebagai teaterawan. Penyair tidak bisa dilepaskan dari hubungan utuh antara puisi-puisinya, karena penyair adalah seseorang yang membuka rahasia kehidupannya kepada orang lain melalui puisi. Rahasia dimaksudkan pada pengalaman individual dan sosial dalam kehidupan manusia, dari adanya saling interaksi, kemudian diekspresikan penyair lewat puisi. Puisi merupakan sarana untuk penyair dalam membangun komunikasi. Rendra pada kumpulan pada puisinya Potret Pembangunan dalam Puisi lekat dengan berbagai protes dan kritik terhadap pemerintah dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi. Puisi-puisinya yang seperti propaganda mampu mengungkap fenomena sosial. Kumpulan puisi W.S. Rendra yang berjudul “ Potret Pembangunan dalam Puisi “ judul aslinya adalah “Pamplet Penyair”, pertama diterbitkan di Belanda karena penerbit di Indonesia takut berspekulasi dengan pengaruh situasi politik terhadap kesusastraan di Indonesia, hingga akhirnya sebuah
Lembaga Studi
Pembangunan bersedia menerbitkan, namun sebagai makalah. Rendra selalu berorientasi pada fakta dalam proses kreatifnya yang kemudian memecut kesimpulan dan penghayatan. Di dalam penelitian Prima Yulita Nugraha1, kumpulan sajak Potret Pembangunan dalam Puisi hanya diambil beberapa judul puisi yaitu Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon, Sajak Sebotol, Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon dan Sajak Sebotol Bir karena sebagai bentuk kritik sosial sebenarnya mengandung ajaran-ajaran yang bersifat etis atau moral yang berfungsi sebagai refleksi atas kesadaran dan kenyataan yang memang memerlukan suatu jembatan yang mengedepankan akal sehat. Kumpulan sajak Potret Pembangunan dalam Puisi juga pernah diteliti dalam bentuk skripsi dengan judul “Tema Cinta pada Potret Pembangunan dalam Puisi dan Empat Kumpulan Sajak” oleh Surya Kurniawan, Universitas Indonesia. Pada Potret Pembangunan dalam Puisi peneliti menemukan sajak-sajak yang bertemakan cinta yaitu pada Sajak Joki Tobing untuk Widuri, Sajak Widuri untuk Joki Tobing, Notabene : Aku Kangen dan Sajak Ibunda. Novi Siti Kussuji Indrastuti dalam tesisnya berjudul “Orang-orang Rangkasbitung Karya Rendra: Konkretisasi Semiotik” meneliti tentang pusat pemaknaan atau kata kunci dari kumpulan sajak Orang-orang Rangkasbitung yang terletak pada penderitaan (penindasan) rakyat. Penelitian ini menggunakan metode semiotik yang berupa pencarian tanda-tanda yang penting dalam karya
1
Prima Yulita Nugraha. 2012. Kritik sosial dengan pendekatan mimetik pada kumpulan pusisi potret pembangunan dalam puisi karya W.S Rendra. Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah
sastra. Kumpulan sajak Rendra berjudul Orang-orang Rangkasbitung ini masih melanjutkan kritik-kritik sosial Rendra yang dikemukakan dalam beberapa kumpulan sajak terdahulu, termasuk Potret Pembangunan dalam Puisi. Tema dalam Potret Pembangunan dalam Puisi kemudian dikembangkan dan disesuaikan sehingga melahirkan kumpulan sajak Orang-orang Rangkasbitung yang diteliti oleh Novi Siti Kussuji Indrastuti. Pemaparan di atas menunjukkan bahwa penelitian mengenai subjektivitas Rendra dalam mengkritisi pembangunan melalui Potret Pembangunan dalam Puisi belum pernah diteliti oleh pihak manapun. Dari segi teori dan analisis, penelitian yang diusulkan oleh peneliti ini berbeda dengan penelitian terdahulu. 1.5.
Kerangka Teori Psikoanalisis merupakan suatu disiplin ilmu dan metode perawatan yang
dijalankan dengan pasien-pasien yang mengalami berbagai masalah termasuk fobia, obsesi, impotensi, kegelisahan dan halusinasi. Pada linimasa 1893 – 1938, Sigmund Freud mendirikannya dan Jacques Lacan selalu mengatakan bahwa ia sedang mengembangkan dan memformalkan gagasan-gagasan yang telah digarap oleh Freud (Hill, 2002: 01). Lacan selalu membahas ketidaksadaran dalam konteks percakapan psikoanalitisnya. Bagi Lacan, adanya ketidaksadaran membuktikan bahwa ‘manusia telah tergeser dari pusatnya’.
Ketidaksadaran manusia hadir secara
terstruktur, seperti bahasa. Menurut Freud, didalam ketaksadaran – alam bawah sadar – disebut “id” terdapat keinginan-keinginan yang tak disadari. Kesadaran – menurut Freud disebut “ego”- adalah bagian dari alam pikiran yang dapat
didekati, antara lain gambaran-gambaran, perasaan-perasaan, dan gagasangagasan. Menurut Lacan fungsi utama ego atau kesadaran adalah penipuan. Ego bekerja sebagai penegoisasi antara kenyataan dan keinginan yang tak disadari dengan menutup-nutupi konflik-konflik yang terkandung dalam kehidupan (Sarup, 2011: 16). Dalam konsep ketidaksadaran, Freud menganggap bahwa ketidaksadaran memiliki aspek yang mengancam. Sedangkan Lacan melihat ketidaksadaran merupakan locus “kebenaran”, autentisitas. Lacan yakin ketidaksadaran tidak dapat menjadi objek pengetahuan; ego memproyeksikan dirinya sendiri dan gagal menyadari dirinya sendiri (Sarup, 2011: 15). Menurut Lacan otonomi ego adalah ilusi, karena ego tidak akan dapat mengendalikan, menggantikan ketidaksadaran. Sesungguhnya ego merupakan produk dari ketidaksadaran (Lacan, 1977: 6). Lacan juga memperbaiki pemikiran Descartes tentang ‘cogito ergo sum’ yang
artinya
‘saya
berfikir
maka
saya
ada’.
Lacan
dengan
konsep
ketidaksadarannya beranggapan bahwa ‘saya tidak berfikir maka saya ada’ (Sarup, 2011: 8). Karena ketika berfikir maka telah dikonstruksi oleh kesadarankesadaran. Sedangkan konsep Lacan tentang subjek dapat ditelusuri melalui ketidaksadaran.
Menurut
Lacan,
kesadaran
itu
adalah
kumpulan
dari
ketidaksadaran-ketidaksadaran yang telah melalui proses kondensasi dan pemindahan. 1.5.1. Subjektivitas Konsep subjektivitas dibangun atau dibentuk dari dialektika aku kamu (IThou) yang mendefinisikan subjek melalui oposisi satu sama lain. Sedangkan
oposisi antara aku-kamu dikondisikan oleh bahasa dan bahasa merupakan pembawa yang terberi secara sosial, kebudayaan, larangan, dan hukum. Yang menjadi keyakinan teori psikoanalisis Lacan adalah ketidaksadaran telah dibentuk oleh bahasa (Sarup, 2011: 5). Subjektivitas dijelaskan secara mendalam oleh Lacan lewat tahapan pemikirannya. 1.5.1.1 Nyata dan Real Yang Real atau yang nyata merupakan realitas yang tidak pernah dapat diketahui. Yang Real berada di luar bahasa Yang Real bukanlah suatu realitas sebagaimana yang dipahami, tetapi adalah suatu gagasan realitas yang terbentuk dari konstruksi sosial (Sarup, 2011: 33). Karena pada tatanan ini sang bayi belum memiliki rasa keterpisahan dengan ‘yang lain’. Sang bayi tidak mengenal konsep identitas yang terpisah. Pada tatanan ini tidak ada subjektivitas karena tidak adanya konsep tentang diri sebagai individu. Pada tatananan ini Lacan memandang sang bayi menyatu dengan ibu. Tidak ada keterpisahan dan kekurangan, segalanya terpenuhi (Bracher, 2009: xvi). This event can take place, as we have known since Baldwin, from the age of six months, and its repetition has often made me reflect upon the startling spectacle of the infant in front of the mirror. Unable as yet to walk, or even to stand up, and held tightly as he is by some support, human or artificial (what, in France, we call a ‘trotte-bébé’), he nevertheless overcomes, in a flutter of jubilant activity, the obstructions of his support and, fixing his attitude in a slightly leaning-forward position, in order to hold it in his gaze, brings back an instantaneous aspect of the image.2
2
J. Lacan, Ecrits : A Selection, London : Tavistock, 1977, hlm. 1
Sebelum bayi berusia enam bulan, ia bergantung dan tak terpisah dengan orang disekitarnya, yaitu ibunya. Bayi merasa tidak berkekurangan dan merasa cukup. Tahapan ini merupakan suatu tempat psikis di mana terdapat suatu keadaan asli. Dalam tatanan Yang Real bahasa tidak bekerja karena tidak adanya kekurangan dan kehilangan. Bahasa tidak diperlukan pada tatananan Yang Real karena segala sesuatunya terpuaskan atau terpenuhi. Yang real berada di luar bahasa dan tidak dapat direpresentasikan ke dalam bahasa. Tatananan Yang Real terhenti ketika sang bayi mulai bisa membedakan antara dirinya dengan suatu yang berasal dari luar dirinya. Pada titik inilah kebutuhan sang bayi berubah menjadi permintaan atau tuntutan (Bracher, 2009: xvi). Tuntutan ini merupakan tuntutan permintaan pengakuan dari orang lain. Proses ini terjadi ketika sang bayi mulai menyadari bahwa sebenarnya ia terpisah dari sang ibu. Maka terciptalah suatu konsep tentang ‘yang lain’ pada tataran ketidaksadaran sang bayi. Konsepsi tentang ‘yang lain’ merupakan suatu keadaan ketika sang bayi akan menjadi ‘diri’ atau subjek yang berfungsi secara cultural (Bracher, 2009). 1.5.1.2 Imajiner Tahapan imajiner merupakan tahap atau fase permintaan. Ide mengenai diri diciptakan melalui suatu identifikasi imajiner dengan citra cermin. Tahapan imajiner merupakan tempat relasi teralienasi dari diri ke citraannya sendiri, diciptakan, dan dipertahankan. Tatananan imajiner merupakan konsep tentang ‘diri’ yang terbentuk atas gambaran pantulan ‘diri’ di cermin. Sang bayi mendapati pantulan bayangannya
dicermin dan berpikir bahwa citra itu yang disebut sebagai ‘aku’. Identifikasi menurut Lacan adalah suatu transformasi yang terjadi pada benak subjek saat ia membayangkan suatu citra. Seperti penjelasan pemikiran Lacan dibawah ini: We have only to understand the mirror stage as an identification, in the full sense that analysis gives to the term: namely, the transformation that takes place in the subject when he assumes an image – whose predestination to this phaseeffect is sufficiently indicated by the use, in analytic theory, of the ancient term imago.3
Namun sebenarnya hal tersebut bukanlah dirinya, yang terlihat pada cermin hanyalah gambaran pantulan dirinya. Sang bayi mereprsentasikan pantulan bayangan sebagai suatu ‘diri’ dan proses ini menciptakan ego. Konsep diri yang terbentuk dari tatanan imajiner atau cermin tidak akan benar-benar sesuai diri yang sebenarnya. Gambaran pantulan pada cermin selalu akan menjadi ‘yang lain’ dan berada di luar diri kita. Konsep tentang diri selalu berasal dari yang lain. Maka, pandangan Lacan menganai tatanan imajiner yaitu
diri adalah
“liyan”, ide tentang diri yaitu wujud batin yang kita tandai dengan aku, berdasarkan pada suatu citraan, suatu “liyan”. Konsep tentang diri mengandalkan pada miss-identifikasi seseorang dengan citraan akan “liyan”. Artinya pemahaman akan “liyan” atau diri, dimana “liyan” bukan aku, tetapi sebagaimana “liyan” menjadi aku pada fase cermin. Permintaan merupakan sarana mengungkap hasrat. Manusia terus-menerus membuat permintaan meskipun tidak menyadarinya. Hasrat muncul ketika pemenuhan kebutuhan tidak memuaskan. Hasrat muncul dari ketidakpuasan dan dorongan diri untuk memunculkan permintaan lain. Dengan kata lain kekecewaan
3
J. Lacan, Ecrits : A Selection, London : Tavistock, 1977, hlm.2
permintaanlah yang menjadi dasar perkembangan hasrat (Sarup, 2011: 24). Permintaan yang tidak diluluskan akan melahirkan keinginan. 1.5.1.3 Simbolik Tatanan simbolik ditandai dengan konsep hasrat. Tatanan simbolik merupakan struktur bahasa yang harus dimasuki manusia agar menjadi subjek yang berbicara, untuk mengatakan ‘aku’ dan memiliki ‘aku’ yang menandakan sesuatu tampak menjadi stabil. Seseorang masuk ke dalam tatanan simbolik pada saat mengenal gagasan tentang ‘yang lain’ dan dirinya yang teridentifikasi dari gambar pantulan pada cermin (Adian, 2009: xliii). Dalam tatanan simbolik segala hal dapat diterima dengan masuk akal. Hubungan hierarkis dan pemaknaan ditetapkan pada tatanan ini. di sini masyarakat berfungsi sebagai tekanan yang tepat karena segala identitas, sistemsistem, dan prioritas dihubungkan dengan rasionalitas. Yang merupakan nilai esensial dari tatanan simbolik adalah bahasa dapat diterima dengan akal sehat. Bahasa yang mengkostuitusi tatanan simbolik merupakan cara subjek agar dapat diterima ke dalam realitas kebudayaan. Bahasa dijadikan penyaringan oleh subjek adalah keinginan untuk dipahami oleh yang lain, agar dirinya menjadi ada. Subjek akan ada ketika ia harus menjaga dan menyesuaikan diri berdasarkan arahan yang simbolik. Artinya bahwa subjek ditanggap dan disiksa oleh bahasa (Lacan, 1993:224). Subjek merasakan suatu perasaan kesatuan yang utuh seperti yang ditemukan pada tatanan imajiner, ketika subjek masuk ke dalam tatanan simbolik. Namun sebenarnya di sinilah letak perasaan kekurangan berada, oleh karena itu
subjek selalu mencari cara untuk mengatasi perasaan kekurangannya. Hal tersebut merupakan perasaan kerinduan akan kepenuhan diri. Tidak ada satu pun kepuasan yang bersifat tetap. Manusia berusaha memuaskan diri dengan beberapa hal dalam hidupnya, tetapi ketika sudah terpuaskan manusia masih merasakan kekurangan. Hal tersebut terjadi berangsur-angsur, karena kepuasan
akan pemenuhan
permintaan bersifat sementara (Sarup, 2011: 28). Tatanan simbolik merupakan perubahan yang radikal sebagai ‘yang lain’. Ketidaksadaran merupakan diskursus atas ‘yang lain’. Selain itu tatanan simbolik juga merupakan ranah yang mengatur keinginan atau hasrat, serta kebudayaan yang bertentangan dengan tatanan imajiner yang alamiah. Lacan meminjam konsep Freud tentang ‘sang ayah’ yang menjadi the Name of the Father. Yaitu suatu tatanan yang berisikan aturan di dalam ranah bahasa. Apabila seseorang ingin menjadi subjek yang berbicara, ia harus tunduk pada peraturan yang berlaku di dalam bahasa. Gagasan ini bersifat patrernal (Hill, 2002: 60). Subjek atas diri didapat dengan preferensi dari gambaran yang ada di luar dirinya. Gambaran ‘diri’ memberikan rasa kesatuan yang penuh. Namun gambaran ini berasal dari luar subjek. Subjek selalu merupakan diskursus dari ‘yang lain’ karena subjek tidak menetapkan dirinya sendiri. Pemikiran Lacan yang penting adalah mengenai dialektika pengakuan. Dialektika pengakuan merujuk pada gagasan bahwa kita mendapatkan pengetahuan tentang siapa diri kita dari bagaimana orang lain bersikap pada kita
(Sarup,
2011:12).
Nalar
Lacanian
potensial
untuk
membaca
“Potret
Pembangunan dalam Puisi” sebagai hasrat subjektivitas Rendra Hasrat adalah sesuatu yang melampaui biologi, ia bekerja saat kekurangan. Hasrat dipacu oleh kodrat manusia sebagai makhluk yang berkekurangan secara ekstensial. Kekurangan ekstensial itu memicu dua jenis hasrat, yaitu hasrat memiliki dan hasrat menjadi. Hasrat memiliki, bekerja pada ranah pengalaman Imajiner dan Simbolik. Ranah dimana pengalaman yang memberi rasa keutuhan pada kekurangan primodial yang selalu membayangi subjek. Hasrat menjadi, bekerja pada ranah pengalaman Yang Real, pra-ideologis, dan non-makna (Bacher, 2009: xiii). 1.5.1.4 Subjek dan Hasrat Hasrat Lacanian adalah letupan ketidaksadaran yang mengeksternalisasi dirinya pada kesadaran. Hasrat adalah ketidaksadaran yang mempresentasikan diri pada kesadaran. Bagi Lacan, hasrat diserap kesadaran sampai menjadi inheren pada diri Ego. Kemudia proses pemanipulasian harat pada kesadaran Ego terjadi berlapis-lapis dalam level pembetukan subjek. Pada tahap pra-Imajiner, tubuh dan hasrat anak masih terpecah dari proses deferensiasi yang dilakuakan oleh ibu atau perawat dengan membatasi tubuh dan hasrat anak lewat alat-alat kultural. Pada akhirnya anak tunduk pada dominasi penggunaan alat-alat cultural dan kehilangan aliran hasrat yang tidak termediasi. Pada tahap Imajiner, anak menglami alienasi terhadap cermin yang masih memfragmenter hasratnya dengan hasrat ibu. Hasrat anak merujuk pada hasrat ibu. Lacan mengatakan bahwa hasrat pertama anak pada ibu menandakan
keinginan untuk memenuhi hasrat ibu. Anak ingin melengkapi apa yang tidak dimiliki ibu, yaitu phallus. 4 Oleh Lacan, tahap Simbolik menggambarkan manipulasi dan dominasi simdol atas subjek. Subjek memiliki kebutuhan akan citra atau identitas. Kebutuhan akan citra adalah kebutuhan dasar dalam diri manusia setelah kehilangan relasi dengan hasrat dan objek hasratnya. Citra atau identitas diinfiltrasi subjek dari domain sosial dengan menggunakan proses “dialektika pengakuan”. Dialektika pengakuan merujuk pada gagasan bahwa identitas kita, pengetahuan kita tentang diri sendiri, diperoleh dari sikap orang lain kepada kita (Hartono, 2007: 24). Hidup manusia digerakkan oleh hasrat, menurut Lacan. Sejak dilahirkan hingga melepaskan diri secara eksistensial dalam dunia Real selalu mengalami kekurangan-kekurangan (lack). Rasa kekurangan selamanya mengikuti kehidupan manusia. Padahal pelepasan diri secara eksistensial dalam dunia Real tidak akan pernah didapat kembali. Perasaan dalam ketidaksadaran melahirkan hasrat yang tak pernah terpuaskan. Hasrat terdapat dua bentuk, yaitu hasrat ingin memiliki dan hasrat ingin menjadi. Hasrat ingin memiliki terdapat pada ranah pengalaman Imajiner dan Simbolik, ranah yang selalu ingin member keutuhan pada kekurangan yang selalu membayangi subjek. Hasrat ingin menjadi bekerja pada
4
Phallus dalam istilah Lacan merupakan penanda organik, hasrat orisinal dan hal-hal yang dilepaskan subjek untuk mendapatkan makna. Phallus juga merupakan penanda kultural yang mendefenisikan subjektivitas dalam masyarakat patriarkal, penanda yang tetap mengisolasi perempuan. Lihat J. Mitchell dan J. Rose, Feminine Sexuality: Jacques Lacan and the—cole Freudianne (London: Macmillan, 1982), hh. 189-193.
Yang Real yang berpotensi menjadi ketahanan dalam menunaikan keinginannya (Bracher, 2009: xxxiv). Dalam tatanan Real, ditandai dengan kebutuhan. Kebutuhan bersifat fisiologis yang dapat dipuaskan sepenuhnya dan sifatnya berdiri sendiri. Misalnya, si anak membutuhkan makanan atau kehangatan yang kebutuhannya dapat dipenuhi dengan memberi makan dan pakaian hangat. Kebutuhan si anak dipenuhi oleh pengasuhnya –pengasuh biasa siapa saja yang memenuhi kebutuhan anak. Ketika anak mulai mengenal bahasa, anak mulai melakukan tawar-menawar dengan the name of father. Berangsur-angsur muncul permintaan dan menempuh trajektori di tatanan imajiner (Sarup, 2011: 18). Permintaan adalah gagasan yang rumit untuk dijelaskan dibanding kebutuhan. Namun permintaan bersifat spesifik walaupun objek pemenuhan permintaan tidak ada. Karena permintaan sebagian ditentukan oleh tanggapan orang lain pada permintaan tersebut, atau terjadi tawar menawar dengan the name of father dan liyan. Sementara kita tidak pernah dapat memastikan tanggapan orang lain kepada kita. Fase simbolik merupakan fase dimana sang bayi kehilangan otoritasnya untuk menentukan dirinya, karena ia harus “kalah” oleh otoritas the name of father yang “mengancam akan mengebirinya”. “Sang ayah” merupakan metafora bagi “yang-Lain” (the Other) yang merupakan pusat dari sistem yang mengatur struktur bahasa. Sementara “ancaman pengebirian” merupakan metafora bagi seluruh ide tentang kekurangan (lack) sebagai suatu konsep struktural. Bahasa, yang mengkonstitusi seluruh ranah Simbolik, merupakan satu-satunya cara agar sang diri dapat masuk ke dalam
realitas kebudayaan; bahasa merupakan filter bagi diri—atau apa yang disebut Frederic Jameson sebagai “biological namelessness”—agar ia dapat dipahami oleh yang lain, agar ia menjadi “ada”. Karena determinasi bahasa yang sangat menonjol, ranah ini disebut juga “penjara bahasa” (prison-house of language) di mana terjadi suatu proses “penerjemahan kultural” (cultural translation) yang melaluinya sang diri dibubuhi identitas gramatikal “aku” oleh “struktur penandaan” (structure of signification) . Ranah Simbolik ini menempati posisi penting dalam struktur psike, karena hanya dengan menjaga dan menyesuaikan diri berdasar arahan yang-Simbolik inilah subyek bisa menjadi “ada” ( Adlin, 2006). Dalam trajektori, Lacan membicarakan tentang: kebutuhan (need), permintaan (demand), dan hasrat (desire). Ketiga konsep tersebut –secara sederhana- berhubungan dengan tiga fase perkembangan yaitu: Yang Real, Imajiner, dan Simbolik. Dalam tatanan Real, ditandai dengan kebutuhan. Kebutuhan bersifat fisiologis yang dapat dipuaskan sepenuhnya dan sifatnya berdiri sendiri. Misalnya, si anak membutuhkan makanan atau kehangatan yang kebutuhannya dapat dipenuhi dengan memberi makan dan pakaian hangat. Kebutuhan si anak dipenuhi oleh pengasuhnya –pengasuh biasa siapa saja yang memenuhi kebutuhan anak. Ketika anak mulai mengenal bahasa, anak mulai melakukan tawar-menawar dengan the name of father. Berangsur-angsur muncul permintaan dan menempuh trajektori di tatanan imajiner. Permintaan adalah gagasan yang rumit untuk dijelaskan dibanding kebutuhan. Namun permintaan bersifat spesifik walaupun objek pemenuhan permintaan tidak ada. Karena
permintaan sebagian ditentukan oleh tanggapan orang lain pada permintaan tersebut, atau terjadi tawar menawar dengan the name of father dan liyan. Sementara kita tidak pernah dapat memastikan tanggapan orang lain kepada kita (Adlin, 2006). Hasrat atau keinginan (desire) terdapat dalam trajektori tatanan simbolik. Hasrat adalah gagasan lain yang rumit dan milik bahasa. Sementara pada posisi ini Lacan mengatakan bahwa tidak ada subjek, yang ada adalah representasi. Hal ini berkaitan dengan permintaan yang merupakan sarana mengungkapkan hasrat. Ketika permintaan yang sebagian ditentukan oleh orang lain, maka hasrat adalah hasrat pada orang lain yang harus ditafsirkan. Hasrat muncul ketika terdapat keraguan dan ketiadaan sehingga mendorong untuk memunculkan permintaan lain.
Artinya,
ketidakterpenuhannya
permintaanlah
yang
menjadi
dasar
berkembangnya hasrat (Sarup, 2011: 25). Teori Lacan tentang subjek adalah bahwa manusia itu diwakili oleh bahasa, oleh objek-objek khusus yang disebut “kata-kata”. Istilah teknis Lacan untuk “kata” adalah “penanda”. Bilamana seseorang berbicara atau menulis, ia selalu mewujudkan diri dengan bahasa, dengan penanda-penanda. Penandapenanda adalah satu-satunya cara subjek itu dapat mewujudkan dirinya (Hill, 2002: 29-30). Jika manusia digerakkan oleh hasrat, maka tindakan yang mengasilkan karya sastra –dalam konteks penelitian ini adalah Rendra – merupakan manifestasi dari hasratnya.
1.5.1.5 Subjek dan Bahasa Menurut konsep bahasa Lacaninan, penanda mewakili subjek bagi penanda lain, tidak ada kata yang bebas dari metaforisitas (metafora adalah penanda yang menandakan penanda lain). Lacan juga berbicara tentang glissment (ketergelinciran) dalam mata rantai penandaan, dari penanda satu ke penanda. Karena setiap penanda dapat menerima pemaknan, maka tidak pernah ada makna yang tertutup makna yang memuaskan. Setiap kata hanya dapat dipahami melalui kata lain (Sarup, 2011: 9). Metaforisitas
muncul
ketika
berpijak
pada
pemikiran
bahwa
ketidaksadaran muncul karena bahasa. Bahasa merupakan kondisi bagi ketaksadaran, bahwa bahasa menciptakan dan memunculkan ketaksadaran itu. Seperti wacana sadar, formasi ketaksadaran (mimpi dsb.) mengatakan sesuatu yang sangat berbeda dari apa yang tampaknya ia katakan, formasi-formasi yang demikian diatur oleh mekanisme yang sama dengan bahasa, yaitu metafora dan metonimi. Menurut Lacan tidak ada diri subjek kecuali dalam representasi dan tidak ada representasi yang dapat merangkum diri secara utuh. Subjek tidak dapat didefinisikan secara utuh, dan subjek juga tidak dapat melepaskan diri dari semua definisi yang ada. Menurut Lacan cara menampilkan diri selalu menjadi subjek penafsiran orang lain. Karena identitas tergantung pada pengakuan orang lain (Sarup, 2011: 13). Maka identitas subjek dan pengakuan terhadap diri tergantung pada pengakuan orang lain. Pangakuan diri ini merupakan proses penaklukan diri. Kita akan mereduksi orang lain menjadi cermin.
1.6 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian pustaka, sehingga penelitian ini dapat disebut sebagai penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah tradisi penelitian dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dal am peristilahannya ( Kirk dan Miller dalam Lexy Moleong, 1989 : 3). Metode yang digunakan untuk meneliti subjektifitas dalam Potret Pembangunan Dalam Puisi ini menggunakan metode Psikoanalisis Lacan. Metode ini berangkat dari teori Lacan bahwa identitas subyek dalam masyarakat terbentuk dari adanya subyek lain. Dimana subjek dibangun atas hasrat. Pola pada konsep hasrat sama dengan identifikasi subjek. Di persoalan makna, Lacan menyatakan bahwa sebuah makna terikat dengan makna lain. Begitu juga dengan subjek, dan terjadi juga pada hasrat. Mengkaji karya sastra dengan perspektif Lacanian merupakan usaha untuk menemukan kondisi bawah sadar yang dipenuhi rasa kurang dan kehilangan yang menyertai hasrat untuk kesatuan diri. Metode ini digunakan kepada apa yang terjadi pada bahasa karya sastra sejauh bahasa sastra bergerak keluar dari diri pengarang, melalui fenomena metafora dan metonimi yang berada di dalamnya. Subjek selalu berada di luar dirinya, yaitu suatu pikiran atau prinsip atau masyarakat dari subjek lain. Seperti halnya seorang penyair yang selalu berhubungan dengan sesuatu di luar dirinya. Penyair dalam penelitian ini adalah Rendra yang melahirkan karya sastra melalui fenomena metafora dan metonimi.
Karya sastra yang diproduksi Rendra merupakan produk hasrat sebagai subjek. Di mana subjek manusia menempuh tiga fase yang saling berhubungan dengan tiga tatanan psikisnya. 1.7 Sitematika Penyajian Sistematika penyajian penelitian ini terdiri dari lima Bab. Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab dua berisi tentang hasrat Rendra yang terekspresikan dalam “Potret Pembangunan Dalam Puisi”. Bab tiga berisi tentang identifikasi subjektivitas Rendra menghadapi konsep pembangunan dalam “Potret Pembangunan Dalam Puisi”. Bab empat berisi tentang hasrat ingin menjadi dan hasrat ingin memiliki Rendra dalam diskursus pembangunan pada “Potret Pembangunan Dalam Puisi”. Bab lima berisi kesimpulan hasil penelitian.