BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Menurut Sejarah, pendidikan perdamaian sesungguhnya pertama kali muncul pada abad 17 yang dicetuskan pertama kali oleh seorang akademisi Ceko, Comenius, yang secara universal menyebarluaskan paham bahwa dengan pengetahuan, akan memberikan jalan kepada perdamaian1. Di masa sekarang, pendidikan perdamaian telah menjadi gerakan global dengan melihat terlibatnya ratusan organisasi yang diwakili oleh ribuan orang dalam acara International Peace Conference di The Hague, Belanda2. Dalam acara yang bernama The Hague Appeal for Peace yang mengusung tema perdamaian dunia tersebut, para peserta mencetuskan untuk mempromosikan penghentian segala peperangan dan menyebarluaskan budaya perdamaian. Konferensi internasioal ini mengusung beberapa aspek dari olah raga hingga pendidikan sebagai salah satu upaya untuk mempromosikan budaya perdamaian. Dalam kaitannya dengan pendidikan The Hague telah membentuk Global Peace Education Network serta menggalakan Global Campaign for Peace education guna mendukung aplikasi pendidikan perdamaian di seluruh dunia3. Bahkan pada peringatan Hari Perdamaian Internasional yang diperingati pada tanggal 21 September 2013 PBB secara khusus mengusung tema pendidikan
1
Ian Harris (2008) Encyclopedia of Peace Education: history of Peace Education. Columbia University. <www.tc.edu/centers/epe/> 2 Gouri Sadhwani (2000) The Hague Appeal for Peace Conference, <www.mediate.com> 3 ibid
1
perdamaian. Sekretaris Jendral Ban Ki-Moon melalui pesan perdamaiannya menyerukan untuk merupakan tugas seluruh lapisan masyarakat untuk mengajarkan generasi – generasi muda nilai – nilai toleransi dan menanamkan perilaku yang saling menghormati4. Selain itu pada pidatonya, Sekretaris Jendral Ban Ki-Moon mengajak peran serta seluruh warga internasional untuk berinveastasi di sekolah–sekolah dan pengajar untuk membangun dunia yang adil dan inklusif yang merengkuh keragaman sehingga tercapai perdamaian dunia. Dengan melihat perhatian yang tertuju kepada pentingnya pendidikan yang mengusung tema perdamaian, menjadikan pendidikan perdamaian sebagai aspek yang sangat penting dan harus segera dilaksanakan dalam mencapai perdamaian secara menyeluruh. Dalam level internasional, pendidikan sebagai pendekatan untuk mengurangi konflik sesungguhnya sudah menjadi wacana terutama pendidikan perdamaian. PBB melalui badan–badannya seperti UNESCO dan UNICEF sudah menggunakan pedidikan perdamaian sebagai respon kemanusiaan paska konflik untuk mengembalikan kondisi masyarakat paska konflik lebih berperilaku lebih kepada perdamaian. Pendidikan terutama pendidikan perdamaian juga dipercaya mempunyai kekuatan untuk mengikis dan menimalisir gerakan ekstrimisme yang sekarang ini merambah ke kaum pemuda dan pemudi yang tidak memiliki pendidikan yang cukup tentang toleransi dan saling menghormati. Hal ini telah disampaikan oleh Tony Blair Perdana Mentri Inggris dalam pidatonya di Dewan Keamanan PBB pada November 2013 yang mengatakan 4
Rhesa Ivan Lorca (2013) Hari Perdamaian Internasional, PBB Serukan Investasi dalam Pendidikan Perdamaian, <www.pedomannews.com>.
2
bahwa pendidikan sangatlah penting dalam menjaga perdamaian dunia 5. Perdana Mentri Blair juga mengungkapan dengan melihat konflik-konflik jaman sekarang yang sangat berbeda dari sebelumnyal, beliau juga menyatakan bahwa “education is a security issue” sehingga sudah seharusnya seluruh masyarakat di dunia memberikan perhatian yang lebih kepada pendidikan perdamaian. Berangkat dari hal tersebut, dapat dikatakan bahwa pendidikan perdamaian merupakan gerakan internasional yang sungguh sangatlah penting dalam mewujudkan perdamaian dunia secara internasional walaupun pelaksanaannya ada di aerah terpencil di suatu Negara sekalipun sehingga apabila gerakan ini dilakukan secara bersamasama oleh semua Negara, tentunya membawa kesempatan untuk mencapai perdamaian dunia lebih besar untuk terwujud6. UNICEF dan UNESCO selaku badan-badan PBB pun sesungguhnya sudah meletakan pendidikan perdamaian sebagai sebuah perhatian dalam membina perdamaian terutama dalam membina perdamaian di daerah konflik. UNICEF sendiri mempunyai program-program yang dikhususkan baik untuk pendidikan perdamaian dalam bentuk informal dan formal. Pendidikan formal dimkasudkan disini merupakan pendidikan perdamaian di sekolah – sekolah berbasis perdamaian atau sekolah-sekolah yang sedang dalam tahap memasukan unsur-unsur perdamaian dengan pengembangan sistem pendidikan, meningkatkan kondisi lingkungan sekolah dan mutu pengajarannya7. PBB melalui kedua badannya tersebut juga menekankan bahwa pendidikan perdamaian berbeda
5
Tony Blair (2014 ) “Education is a Security Issue”,The Jakarta Post. Jumat, 17 Januari 2014. Hal 7 6 ibid 7 Susan Fountain (1999) Peace Education in UNICEF, UNICEF, <www.unicef.org>.
3
dengan pendidikan pada umumnya dimana fokusnya bukan hanya belajar dan menghapalkan untuk menyenangkan guru semata seperti halnya di konteks Aceh namun lebih dari itu bahwa pendidikan perdamaian menekankan kepada bagaimana seorang generasi muda mampu membangun masa depan dan membuat dunia sekitarnya menjadi tempat yang lebih damai untuk ditinggali8. Walaupun pendidikan perdamaian bermula dari gerakan komunitas intenasional namun praktisi perdamaian di bidang pendidikan pada dewasa ini meluaskan jangkauan praktek pengajarannya melewati batasan-batasan wilayah serta tidak hanya fokus pada isu – isu perdamaian internasional namun mencoba merengkuh subyeksubyek yang signifikan di dalam dimensi -dimensi domestik seperti pendidikan demokrasi, Hak Asasi Manusia dan kewarganegaraan9. Dengan begitu walaupun pendidikan perdamaian merupakan gerakan di level nternasional namun pengaplikasiannya berada di level daerah – daerah konflik yang lebih kecil melihat perang yang ada di saat ini lebih banyak merupakan perang komunal yang berada di dalam Negara. Dalam konteks Indonesia yang merupakan Negara berkembang yang masih bergulat untuk kemajuan ekonomi nasional yang merupakan fokus dari pembangunan negara, seolah – olah melupakan kondisi sosial Indonesia yang rawan muncul konflik komunal baik vertikal dan horizontal dikarenakan terdapat keanekaragaman cara pandang yang tidak dapat dikelola dengan baik. Baik cara pandang yang berbeda antar kelompok atau cara pandang yang berbeda antara masyarakat dan pemerintah yang mampu menyebabkan konflik terbuka yang menghasilkan 8 9
United Nations, United Nations Cyberschoolbuss, <www.un.org>. Mari Fitzduff dan Isabella Jean (2011) hal 8.
4
kekerasan. Dengan melihat hubungan konflik yang membawa kepada kekerasan, serta kekerasan akhirnya membawa masalah kepada generasi_generasi muda sebagai korban, lalu generasi muda tersebut yang akhirnya terbiasa akan hidup dengan kekerasan sehingga akan membentuk karakter yang penuh dengan kekerasan dan tidak dapat menerima keanekaragaman yang kemudian contoh karakter seperti itulah yang akan membawa masyarakat kembali kepada konflik. Disinilah peran pendidikan yang mengusung tema perdamaian seharusnya masuk dan memotong rantai tersebut dengan upaya – upaya pengajaran ketrampilan seperti negosiaisi dan mediasi serta pendidikan nilai_nilai perdamaian yang mencakup penghormatan HAM dan sebagainya. Sehingga akan membawa Negara Indonesia kepada situasi yang lebih baik lagi. Sekolah Sukma Bangsa yang menjadi obyek penelitian penulis ini dibangun atas respon kemanusiaan yang merupakan sekolah MKBS yaitu sekolah dengan Manajemen Konflik Berbasis Sekolah yang mengusung kurikulum perdamaian seperti peaceable classroom, peaceable school dan peer mediation. Selain MKBS, tentunya terdapat hidden kurikulum yang tertuang di upaya – upaya aplikasi pendidikan perdamaian di sekolah yang melengkapi satu sama lain. Sekolah Sukma Bangsa sendiri berdiri di tiga kabupaten di Aceh salah satunya adalah Kabupaten Pidie yang merupakan salah satu Kabupaten dimana konflik pecah. Didalam praktek pengajarannya, Sekolah Sukma Bangsa di Kabupaten Pidie menggunakan kurikulum pendidikan perdamaian yang merupakan aspek yang menarik untuk diteliti terutama Sekolah Sukma Bangsa tersebut dibangun di daerah paska konflik Aceh melihat pendidikan di Indonesia
5
yang masih berfokus kepada ujian nasional dan bukan kepada pendidikan yang mengandung unsur character building. Di samping itu, pendidikan formal yang menggunakan kurikulum pendidikan perdamaian masih sedikit diaplikasikan di Indonesia sehingga penelitian tentang Sekolah Sukma Bangsa menjadi menarik untuk diangkat dikarenakan sekolah MKBS yang memiliki kurikulum perdamaian dianggap mampu membina perdamaian sejak dini di dalam lingkungan sekolah. Untuk mendapatkan data yang akurat dalam penulisan tesis ini, penulis melakukan studi independen di Sekolah Sukma Bangsa Kabupaten Pidie selama satu bulan dimana penulis ditempatkan langsung di lapangan sehingga penulis mampu melihat secara langsung bagaimana kurikulum pendidikan perdamaian dan implementasi kurikulum pendidikan perdamaian yang dimiliki sekolah tersebut. Dalam masa penempatan penulis, penulis menjalankan beberapa kegiatan yang meliputi observasi kelas dan sekolah; wawancara; dan implementasi kuesioner di kelas-kelas.
I.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka dirumuskan pertanyaan penelitian: 1.
Kurikulum pendidikan perdamaian seperti apa yang dimiliki oleh Sekolah Sukma bangsa?
2. Bagaimana implementasi kurikulum pendidikan perdamaian yang dimiliki oleh Sekolah Sukma Bangsa?
6
3. Kesenjangan – kesenjangan apa saja yang terjadi antara kurikulum pendidikan perdamaian dan implementasi?
I.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yakni untuk menganalisa kurikulum apa yang digunakan oleh Sekolah Sukma Bangsa serta bagaimana pendidikan perdamaian yang diimplementasikan dan kesenjangan yang terjadi dalam implementasi kurikulum yang digunakan Sekolah Sukma bangsa. Selain itu penelitian ini diharapkan untuk memberikan gambaran baik bagi pemerintah maupun aktor nonpemerintah untuk lebih memperhatikan pendidikan perdamaian yang dibutuhkan oleh anak-anak Indonesia terutama di daerah konflik. Sehingga pemerintah dan organisasi yang terkait tidak hanya berfokus kepada pembangunan infrastruktur paska konflik saja namun juga menitik beratkan kepada rekonsiliasi yang lebih membina perdamaian yang berkelanjutan.
I.4 Tinjauan Pustaka Isu pendidikan perdamaian merupakan hal yang dapat dikatakan baru di level nasional terutama di Negara-Negara berkembang seperti Indonesia yang masih menitikberatkan kepada perkembangan ekonomi sebagai prioritas. Begitupun juga penelitian tentang pendidikan perdamaian yang ada di Aceh khususnya setelah konflik dan bencana dimana pendidikan di Aceh sendiri sangat tertinggal dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Namun penelitian tentang perndidikan perdamaian sudah mulai menarik perhatian seiring dengan kesadaran
7
akan pentingnya pendidikan perdamaian baik untuk alat pengikis generasi yang penuh kekerasan di daerah konflik maupun bukan daerah konflik. Meski Yogyakarta merupakan daerah konflik namun menurut tesis yang dilakukan oleh Natalina Sangapta Peranginangin yang berjudul “Pendidikan Perdamaian untuk Membentuk Perilaku Non Agresif pada Remaja” membahas secara mendetail tentang pentingnya pendidikan perdamaian dalam proses tumbuh kembang anak di sekolah yang sayangnya tidak dimasukan ke dalam kurikulum di sekolah-sekolah formal. Apabila di bukan daerah konflik ternyata pendidikan perdamaian sangatlah
penting, dapat
dibayangkan betapa penting dan
mendesaknya kebutuhan pendidikan perdamaian untuk merekonsiliasi konflik di daerah konflik yang menjadikan masyarakat yang ada di daerah konflik tersebut terbiasa terhadap kekerasan terutama pada anak-anak dan remaja usia sekolah. Seperti halnya tesis milik Arlen Florencia Hehakaya yang berjudul “Program Pendidikan Damai” yang membahas secara rinci tentang permasalahan – permasalahan yang menghambat implementasi program pendidikan damai secara optimal di Lombok. Di dalam tesisnya Arlen menemukan fakta bahwa pendidikan damai yang merupakan sebuah bentuk pencegahan konflik yang berupaya untuk menanamkan nilai – nilai perdamaian di generasi – generasi muda sehingga proses rekonsiliasi dapat berjalan dengan lancar. Penelitian Arlen sesungguhnya menekankan kepada masih banyaknya kendala – kendala yang dihadapi serta rekomendasirekomendasi untuk program pendidikan damai di Ambon yang dinilai kurang dijadikan prioritas oleh pemerintah walaupun sesungguhnya pendidikan
8
perdamaian merupakan sebuah kebutuhan yang mendesak melihat kondisi Ambon yang belum dapat dikatakan mencapai kondisi perdamaian menurut Galtung10. Dalam tesis Arlen, sesungguhnya Ambon sudah memenuhi tiga hal dasar yang dibutuhkan dalam menjalankan pendidikan perdamaian menurut Candice C. Carter yakni training guru, kebijakan dan kurikulum. Dalam bidang kebijakan, Ambon memiliki kebijakan yang sangat kuat di dalam pengimplementasian kurikulum pendidikan perdamaian yang tertuang pada Peraturan Walikota No.2 Tahun 2010 mengenai penerapan Muatan Lokal Kurikulum Pendidikan Dasar dan menengah. Dalam bidang Training guru, Ambon pun sudah melaksanakan banyak sekali training bagi para guru untuk mengajarkan pendidikan damai dan yang terakhir Ambon pun sudah memiliki kurikulum yang didesain untuk mengajarkan pendidikan damai tersebut. Namun dalam prakteknya, setelah ketiga hal tersebut sudah dijalankan, konflik yang melahirkan kekerasan masih terjadi pada 11 September 2011 yang telah menjadi pukulan keras bagi pemerintah serta seluruh stakeholder yang telah menjalankan program tersebut di Ambon. Hal yang problematis ini akhirnya membuat Arlen tergelitik untuk mengidentifikasi dan menganalisa permasalahan yang menghambat pengembangan program pendidikan damai di Aceh sehingga lahirlah rekomendasi – rekomendasi bagi pembangunan program tersebut untuk mencapai perdamaian berkelanjutan di Maluku. Arlen menggunakan konsep pendidikan perdamaian dari UNESCO yang menekankan tentang langkah-langkah untuk membangun budaya damai seperti memberikan pelatihan perdamaian pagi pembuat keputusan dan pendidik; 10
Arlen Florencia Hehakaya (2012) Program Pendidikan Damai di Ambon, Tesis Mahasiswa Strata-2 Universitas Gadjah Mada.
9
merevisi
materi-materi
menghilangkan
kurikulum,
prasangka;
khusunya
menciptkana
buku-buku
materi
sejarah
kurikulum
untuk
perdamaian;
memproduksi dan menyebarluaskan materi pendidikan yang mencakup budaya damai damai dan hak asasi manusia; mendorong kemampuan multibahasa; meningkatkan jaringan diantara institusi nasional, organisasi non pemerintah serta pakar pendidikan kewarganegaraan dan mengembangkan metode – metode baru bagi resolusi konflik. Dengan menggunakan konsep-konsep yang telah disebutkan diatas, Arlen menemukan bahwa terrdapat dua hal yang membuat pendidikan damai di Ambon tidak dapat berjalan dengan baik yaitu pertama bahwa pemerintah menganggap program pendidikan damai tersebut tidak merupakan sebuah kebutuhan yang mendasar sehingga pemerintah hanya akan serius apabila keadaan Ambon berkonflik kembali sehingga perdamaian yang terus berkelanjutan tidak dapat dicapai di Ambon. Hal tersebut dikarenakan pemerintah lokal tidak pernah serius dalam komitmennya mewujudkan perdamaian yang berkelanjutan. Meskipun pendidikan perdamaian merupakan sebuah kebutuhan yang mendesak bagi masyarakat paska konflik, tidak berarti daerah-daerah tak berkonflik tidak membutuhkan pendidikan perdamaian. Ini disebabkan dalam mewujudkan perdamaian Indonesia yang berkelanjutan pergerakan pendidikan perdamaian juga harus dilaksanakan di seluruh daerah yang tidak berkonflik namun memiliki intensitas kekerasan yang cenderung tinggi. Seperti halnya penelitian milik Natalina Sangapta Perangin-angin yang ingin menekankan bahwa dengan melihat perilaku kekerasan oleh pelajar atau remaja merupakan masalah
10
sosial ternyata semakin meningkat setiap tahunnya dan membutuhkan strategi ekologi hak dan kewajiban melalui pendidikan perdamaian. Hal tersebut dikarenakan bahwa pendidikan perdamaian dipercaya mampu mengubah paradigma dan cara berpikir remaja pada masa sekarang untuk lebih memilih tindakan nir kekerasan dalam kehidupan sehari-harinya11. Berbeda dengan penelitian milik Arlen yang berfokus kepada sekolah – sekolah formal dalam penelitian Natalina, Natalina berfokus kepada pendidikan non-formal yang dijalankan oleh actor non-Negara. Dalam penelitian yang dilakukan di dua lembaga non pemerintah yaitu Sahabat Gloria dan Anak Wayang Indonesia dalam pengimplementasian pendidikan perdamaian yang tercermin pada visi dan misi kedua lembaga tersebut yaitu menjunjung tinggi perbedaan budaya serta mengampanyekan hak-hak anak yang sering terlupakan oleh sekolah-sekolah formal. Kedua lembaga pendidikan tersebut juga menekankan kepada pendidikan karakter, life skill dan pendidikan keberagaman yang dipercaya mampu menekan agresi anak-anak di Yogyakarta apabila ketiga aspek yang tersebut mampu diimplementasi dengan baik dan sejalan. Dengan melihat pendidikan perdamaian yang sudah dijalankan di berbagai tempat di Indonesia, Aceh merupakan obyek yang sangat menarik untuk diteliti dalam aspek pendidikan dikarenakan konflik Aceh yang sangat berlarut-larut yang akhirnya membawa Aceh kepada peringkat terbawah di bidang pendidikan ditambah trauma kekerasan dan bencana yang bersamaan membawa kekacauan di bidang pendidikan baik pendidikan akademik dan karakter yang saat ini 11
Natalina Sangapta Perangin – angin, Pendidikan Perdamaian untuk Membentuk Perilaku NonAgresif Pada Remaja (Studi Kasus di Lembaga Sahabat Gloria dan Anak Wayang di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta), Tesis Mahasiswa Strata-2 Universitas Gadjah Mada.
11
merupakan perkerjaan rumah yang sulit bagi pemerintah daerah. Di dalam penelitian ini, penulis merasa tertarik dengan suatu sekolah yang dibangun sebagai respon kemanusiaan yang memiliki kurikulum pendidikan perdamaian yang secara khusus dimasukan kedalam statuta dan blue print sekolah di Kabupaten Pidie, Aceh. Hal tersebut dikarenakan Sekolah Sukma Bangsa atau yang biasa disingkat sebagai SSB ini merupakan sekolah formal yang memiliki basis kurikulum pendidikan perdamaian yang kuat tentunya berbeda dengan lembaga pendidikan yang diteliti oleh Natalina yang merupakan pendidikan non formal. SSB juga berbeda dengan sekolah – sekolah di Ambon yang diteliti oleh Arlen yang merupakan sebuah program pemerintah daerah bersama organisasi – organisasi kemanusiaan dikarenakan SSB merupakan sekolah yang dibangun oleh yayasan Sukma yang didalam proses pembangunannya melibatkan kaum akademisi dan praktisi perdamaian. Yang menjadikan penelitian ini berbeda yakni jenis konflik; konteks daerah dan jenis sekolah yang berbeda dengan sekolah-sekolah yang diteliti sebelumnya dan peneliti merasa tertarik dengan orang -orang yang berada di balik pembangunan sekolah yang melibatkan para akademisi dan praktisi perdamaian. Kenapa hal ini menjadi sesuatu yang menarik, ini dikarenakan dibandingkan dengan sekolah-sekolah sebelumnya yang pertama dimana dibangun murni dari pemerintah dan lembaga pendidikan yang dibangun oleh komunitas masyarakat, SSB dibangun dengan campur tangan ahli-ahli dibidangnya baik akademisi maupun praktisi perdamaian. Sehingga dengan melakukan penelitian ini, dapat diketahui bagaimana kurikulum pendidikan perdamaian yang diusung oleh kaum
12
akademisi dan praktisi perdamaian serta bagaimana implementasi kurikulum tersebut dan kesenjangan apa saja yang terjadi di SSB.
I.5. Kerangka Pemikiran Konflik Aceh sendiri merupakan konflik komunal yang sifatnya vertikal dimana pihak-pihak yang berkonflik merupakan pemerintah dan kelompok separatis GAM yang mempunyai keinginan untuk lepas dari NKRI dikarenakan ketidakpuasan rakyat Aceh terhadap pemerintah Indonesia. Konflik vertikal ini telah menghasilkan kekerasan yang tidak hanya dilakukan oleh GAM namun juga dilakukan oleh Militer Indonesia12. Pada masa konflik rakyat Aceh tidak dapat menikmati kehidupan normal seperti menempuh perjalanan di malam hari baik dipedesaan dan perkotaan, anak-anak tidak berani datang ke sekolah. Padahal pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam pembentukan karakter anak serta tempat dimana mereka berkumpul bersama teman – teman bermain bersama dan belajar. Ditambah lagi bencana tsunami yang meghancurkan infrastruktur bangunan-bangunan sekolah sehingga konflik dan bencana telah memberikan dmpak buruk secara fisik maupun mental anak-anak di Aceh. Dengan adanya 30 tahun darurat militer, segala akses seperti kesehatan dan pendidikan seolah-olah berhenti dan menurut Dra. Nur Jannah Nitura13 mengatakan bahwa bertahun-tahun anak-anak Aceh melihat, mendengar, merasakan dan mengalami berbagai kejadian pahit selama konflik, dan seeara tidak sadar pengalaman itu telah diinternalisasikan dalam diri anak-anak yang 12
Bank Dunia/DSF (2007) Laporan Pemantauan Konflik di Aceh. <www-wds.worldbank.org> Dra. Nur Jannah nitura adalah dosen fakultas psikologis Universiats Syiah Kuala Darusaalam dan direktur eksekutif Yayasan Psikodista NAD. 13
13
membawa pengaruh kondisi psikologis secara menyeluruh baik kognitif, efektif dan prilaku14. Ditambah lagi bencana alam tsunami yang menghantam Aceh pada tahun 2004 yang akhirnya memperparah kondisi anak-anak yang sebelumnya telah hidup dalam bayang-bayang kekerasan. Anak-anak di Aceh paska konflik dan tsunami sering sekali mengalami rasa cemas yang berlebihan, rasa bersalah dan ketakutan sehingga dibutuhkannya peran banyak golongan dalam mengatasi hal tersebut termasuk pemerintah dan kalangan masyarakat itu sendiri. Dikarenakan bentuk – bentuk trauma yang membayangi orang – orang terutama anak-anak di Aceh paska konflik dan bencana alam tidak tertangani dengan serius maka akan melahirkan generasi pendendam15. Hal tersebut tentunya merupakan sebuah pengaruh yang sangat buruk bagi pembentukan karakter generasi muda yang tentunya akan melahirkan karakter yang toleran terhadap kekerasan. Walaupun pada tanggal 15 Agustus 2005 merupakan momentum perdamaian yang ditunggu-tunggu rakyat Aceh dimana telah ditandatanganinya perjanjian Helsink namun penandatanganan Helsinki Accord yang menandakan berakhirnya konflik dan kekerasan di Aceh ternyata menyisakan pekerjaan rumah bagi seluruh pihak terutama pemerintah dalam membangun kembali infrastruktur juga mental anak-anak Aceh sebagai generasi penerus bangsa yang harus dilindungi dikarenakan hal tersebut tidak dapat dianggap sebagai hal yang biasa. Seperti
yang
sudah
dipaparkan
sebelumnya
bahwa
pendidikan
memerankan peranan yang sangat penting dalam aspek bina damai. Salah satu alat untuk menciptakan generasi-generasi yang cinta damai; merekonsiliasi konflik 14
Nur Jannah Nitura (2013) “Anak Korban Koflik Aceh Perlu Penanganan Khusus”, antaranews, <www.antaranews.com> 15 Ibid
14
serta penyembuhan trauma paska konflik dapat melalui salah satunya adalah pendidikan perdamaian. Pendidikan perdamaian yang menjadi fokus dari tulisan ini merupakan pendidikan perdamaian yang dapat berupa sekolah-sekolah yang dibangun sebagai respon kemanusiaan setelah terjadinya konflik yang memiliki nilai-nilai perdamaian. Pendidikan perdamaian sangatlah penting untuk digalakan setelah konflik berakhir dimana disaat itulah pendidikan harus dibangun kembali disaat kehidupan sosial, ekonomi dan politik di daerah konflik tersebut melemah. Dalam konteks Aceh, terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam membangun kembali pendidikan di Aceh. Yang pertama adalah aspek kemampuan akademik yang telah tertinggal dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia serta yang kedua yakni pendidikan perdamaian yang sangat penting dan mendesak untuk membuat anak-anak Aceh belajar untuk hidup lebih berdamai. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam dalam konteks Aceh menggalakan kedua aspek tersebut harus berjalan secara beriringan. Pada dasarnya pendidikan perdamaian menurut UNICEF merupakan sebuah komponen yang esensial. Pendidikan perdamaian mengacu kepada proses untuk menggalakan pengetahuan, keahlian, sikap dan nilai-nilai yang dibutuhkan untuk mengubah sifat yang tentunya mampu membuat anak, anak, remaja serta orang dewasa untuk mencegah terjadinya konflik dan kekerasan baik terbuka maupun struktural; mampu menyelesaikan konflik secara damai serta mampu menciptakan kondisi yang kondusif untuk mencapai perdamaian baik dalam level intrapersonal, interpersonal, antar kelompok, nasional maupun internasional16.
16
Susan Fountain (1999) hal. 1
15
Definisi pendidikan perdamaian diatas merupakan ide – ide yang dikembangkan melalui pengalaman-pengalaman praktikal dari UNICEF dalam program – program pendidikan perdamaian di Negara – Negara berkembang17. Salah satu fokus dari pendidikan perdamaian adalah berubahnya sikap serta bergesernya cara pandang yang lebih kepada hidup yang cenderung tidak ingin berkonflik dimana sifat-sifat yang dimiliki oleh generasi muda seperti ini dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, kelompok masayarakat, serta lingkungan sosial masyarakat yang skalanya lebih besar. Pendidikan perdamaian yang diusung UNICEF juga berupaya mendorong perkembangan nilai-nilai perdamaian sebagai landasan dari perubahan sikap dan pandangan generasi muda. Selain upaya mengubah perilaku dan cara pandang generasi muda, UNICEF juga menekankan bahwa program-program rehabilitasi psikososial dalam pendidikan perdamaian yang merupakan aspek yang sangat penting bagi generasi-generasi muda korban konflik dan kekerasan yang memberikan trauma tersendiri bagi mereka. Walaupun sesungguhnya pendidikan perdamaian bukan merupakan sebuah “terapi” untuk generasi muda yang terkena trauma dikarenakan konflik, namun program rehabilitasi melengkapi dan membantu pendidikan perdamaian dikarenakan dengan adanya rehabilitasi trauma akan konflik tentunya akan membantu generasi muda dalam mempelajari pengetahuan dan informasi – informasi yang baru18. Hal yang tersebut tentunya merupakan aspek yang sangat penting dalam pemulihan korban-korban konflik. Ini dikarenakan kekerasan yang terjadi secara otomatis akan terekam didalam pikirannya dan akan terus 17 18
Ibid ibid hal 13 – 14.
16
membayanginya. Apabila hal tersebut tidak ditangani dengan baik tentunya akan membawa kepada karakter generasi muda yang kebal terhadap kekerasan. Sedangkan tujuan dari pendidikan perdamaian terbagi menjadi tiga tujuan yaitu pengetahuan, keterampilan dan perilaku dimana ketiga aspek tersebut saling berhubungan19. Tujuan pendidikan perdamaian dalam tujuan pengetahuan meliputi: kesadaran diri; mengerti sifat dasar konflik dan perdamaian; mampu mengidentifikasi sebab konflik dan gerakan nir kekerasan untuk resolusi; analisa konflik; meningkatkan pengetahuan mekanisme komunitas untuk membina perdamaian dan menyelesaikan konflik; proses mediasi; memahami hak dan kewajiban; memahami
ketergantungan dan keterkaitan individu dengan
masyarakat; dan kesadaran akan peninggalan sejarah20. Tujuan dalam bidang keterampilan meliputi: komunikasi (aktif mendengar dan pengekpresian diri); berpikir kritis (terutama dalam prasangka); kemampuan untuk menghadapi stereotype; keahlian mengontrol emosi; kemampuan menyelesaikan masalah; kemampuan untuk menghadapi perubahan; partisipasi masyarakat dalam perdamaian; kemampuan untuk menghasilkan solusi alternatif; mencegah konflik; kemampuan berkerja sama; pengakuan keberadaan orang lain; dan tegas Tujuan dalam bidang perilaku meliputi: penghormatan pada diri sendiri; toleransi; menerima orang lain; penghormatan terhadap perbedaan; menghormati hak dan kewajiban anak dan orang tua; kepekaan gender; rekonsliliasi; empati solidaritas; tanggung jawab sosial; mempunyai rasa keadilan dan persamaan; 19 20
ibid Ibid
17
menghargai kehidupan; cinta damai dan kesadaran akan prasangka 21. Dalam prakteknya ketiga tujuan dari pendidikan perdamaian tersebut ternyata berhubungan satu sama lain. Dimana dengan adannya pemberian pengetahuan – pengetahuan tentang mencegah konflik tentunya generasi muda akan terasah kemampuannya untuk berpikir dan menyelesaikan masalah sehingga tentunya akan berdampak pada perilaku yang cenderung tidak ingin berkonflik dan cinta damai. Tujuan – tujuan dari pendidikan perdamaian yang disebutkan diatas diperlukan didalam penelitian ini untuk dijadikan acuan kurikulum perdamaian apa yang dimiliki oleh Sekolah Sukma Bangsa, nilai – nilai apa saja yang diajarkan dan dipraktekan serta bagaimana implementasi kurikulum perdamaian diajarkan di sekolah tersebut. Disamping itu, keterampilan apa saja yang akhirnya dimiliki oleh murid – murid Sekolah Sukma Bangsa setelah implementasi kurikulum perdamaian dan sikap – sikap apa saja yang akhirnya ditunjukan murid-murid apabila dihadapkan dengan sebuah masalah. Sehingga dapat dikatakan
tujuan-tujuan
pendidikan
perdamaian
yang
disebutkan
diatas
mempunyai keterkaitan satu sama lain. Hubungan tujuan-tujuan tersebut dapat dilihat dari segitiga hubungan anyata pengetahuan, ketrampilan dan perilaku berikut:
Gambar 1.1. Segitiga Hubungan Antara Pengetahuan, Ketrampilan dan Perilaku
21
ibid
18
(http://www.un.org/cyberschoolbus/peace/frame.htm)
Mengelola konflik di dalam sekolah sesungguhnya sebuah tantangan lama bagi kaum pendidik dan melihat bahwa konflik dan kekerasan semakin meningkat, inilah saatnya bagi kaum pemerhati pendidikan untuk sudah memulai untuk tidak hanya fokus kepada kemampuan akademik semata namun bagaimana caranya sekolah mampu mengurangi interaksi yang negatif seperti perkelahian dan perseteruan tanpa upaya penyelesaian dengan damai, dan meningkatkan interaksi yang positif seperti upaya–upaya penyeleasaian konflik di dalam sekolah. Konsep Manajemen Konflik Berbasis Sekolah sesungguhnya sudah
19
populer di Negara – Negara Barat seperti Kanada dan terbukti telah mengurangi kecenderungan siswa – siswanya untuk berkonflik satu sama lain22. Students need to know how to manage and resolve conflicts if they are to become responsible members of schools and of society. Some educators believe competence in conflict resolution skills can lead to increased social and academic achievement in the short run and a more harmonious world in the long run (Van Slyck & Stern, 1991). Diperlukannya pengetahuan tentang pengelolaan konflik sungguh dirasa sangat dibutuhkan di waktu sekarang ini dikarenakan dunia membutuhkan generasi – generasi muda yang mampu mengelola konflik di masa yang akan datang sehingga menciptakan manusia-manusia yang cenderung tidak ingin berkonflik di masyarakat nantinya. Berbicara tentang pendidikan resolusi konflik yang terkandung di MKBS yang merupakan turunan dari pendidikan perdamaian, terdapat pendekatan – pendekatan dalam mengimplementasiannya menurut Donna Crawford dan Richard Bodine yakni: 1. Process Curriculum Sebuah pendekatan dalam pendidikan resolusi konflik yang dikarakterisasi dengan dengan mencurahkan waktu khusus untuk mengajarkan dasar-dasar kemampuan, prinsip dan proses pemecahan masalah yang merupakan kursus yang terpisah dan mempunyai kurikulum tersendiri terpisah dengan kurikulum akademik. Terdapat program process curriculum yang di desain oleh Jared Curhan yang di beri nama The Program for Young Negotiators mempunyai tujuan utama untuk mengajarkan setiap individu untuk mampu mencapai keinginannya tanpa menggunakan kekerasa beberapa komponen yang harus diperhatikan dalam 22
Mahduri Pendharkar, 1995, School-Based Conflict Management. [pdf] dalam http://www.saskschoolboards.ca/old/ResearchAndDevelopment/ResearchReports/SchoolImprove ment/95-02.htm diakses pada 13 Januari 2014.
20
progam tersebut yakni training guru dan keterlibatan komunitas, kurikulum mengenai
negosiasi,
followup
opportinites
dan
tentunya
inovasi
dan
perkembangan kurikulum yang sedang berjalan. 2. Mediation Program Di dalam sekolah terdapat mediator- mediator baik dari guru, karyawan maupun siswa dan siswi itu sendiri yang dilatih untuk mengerti prinsip dan kemampuan dasar resolusi konflik yang nantinya akan menjadi pihak ketiga yang netral di dalam proses mediasi untuk membantu siapa pun yang berkonflik untuk mencapai resolusi. Melalui mediasi, dipercaya mampu mengurangi hukuman disipliner seperti destensi dikarenakan setiap masalah diberlakukan upaya mediasi. Selain itu program mediasi juga mapu meningkatkan pemecahan masalah yang efektif, dan menyediakan siswa-siswi dan karyawan forum alternatif untuk memecahkan masalah. Dalam aspek ini, komponen mediator sejawat sangat penting agar siswa-siswi terbiasa untuk memecahkan masalah dengan teman-teman sebayanya. 3. Peaceable Classroom Metodologi
secara
keseluruhan
yang
meliputi
pengajaran
dasar
kemampuan, prinsip dan proses pemecahan masalah terhadap siswa dalam konflik resolusi. Pendidikan resolusi konflik juga harus dimasukan kedalam inti pokok kurikulum dan strategi manajemen kelas serta kelas yang damai merupakan aspek yang berpengaruh dalam membangun sekolah yang damai. Dalam peaceable classroom siswa – siswi harus belajar bertanggungjawab atas apa yang telah
21
mereka lakukan, membangun rasa keterikatan dan ketergantunga positif dengan orang sekitar dan lingkungan. 4. Peaceable School Pendekatan sekolah yang damai merupakan metodologi sekolah secara keseluruhan yang dibangun di oleh kelas-kelas yang damai yang dengan menggunakan resolusi konflik sebagai sistem operasi untuk mengelola sekolah begitu juga kelas. Prinsip dan proses konflik resolusi harus dipelajari serta dimanfaatkan oleh seluru komunitas di sekolah baik di kalangan guru, karyawan dan guru23. Keempat pendekatan tersebut dinilai tepat untuk digunakan dalam melihat pendidikan perdamaian yang dimiliki Sekolah Sukma Bangsa yang tertuang di dalam MKBS yang dimiliki sekolah tersebut. Dengan pendekatan-pendekatan tersebut penulis akan meneliti bagaimana proses kurikulum, proses mediasi, kelas dan sekolah yang damai dalam.
I.6 Metodologi Penelitian I.6.1 Tipe Penelitian Penelitian ini merupakan tipe penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang memaparkan gambaran tentang situasi sebuah sekolah yang mempunyai kurikulum pendidikan perdamaian yang dibangun sebagai respon kemanusiaan untuk korban-korban konflik dan bencana yang paling rentan, yaitu teman –
23
Donna Crawford dan Richard Bodine (1996) Conflict Resolution Education: A Guide to Implementing Programs in Schools, Youth- Serving Organizations, and Community and Juvenile Justice settings. Office of elementary and secondary Education U.S Department of Education, hal 12.
22
teman kecil dan remaja di Aceh. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk menggambarkan secara tepat dan akurat dari sebuah proses membina perdamaian melalui pendidikan yang tujuannya untuk memberikan lingkungan yang positif bagi – bagi teman – teman kecil dan remaja di Aceh yang selama 30 tahun darurat militer hidup di sebuah lingkungan yang negatif baik untuk perkembangan akademik maupun karakter.
I.6.2 Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, penulis menggunakan empat metode penelitian yaitu penulis menggunakan metode studi pustaka, observasi lapangan, wawancara dan kuesioner. Studi pustaka dilakukan oleh penulis dengan melalui pengumpulan data – data yang diambil dari literature berupa buku, jurnal, publikasi, serta sumber – sumber yang dapat dipertanggungjawabkan dari internet. Selain itu penulis juga terjun langsung ke sekolah untuk mendapatkan pengetahuan yang akurat melaui observasi yang dibagi menjadi tiga bagian yaitu observasi mediasi, kelas yang damai dan sekolah yang damai. Setelah melakukan observasi, penulis mewawancari Kepala Yayasan Sukma, Direktur Sekolah Sukma Bangsa Pidie, Kepala sekolah setiap level (SD, SMP, dan SMA), karyawan, guru- guru, dan siswa pindahan dari sekolah lain. Untuk mengetahui apa yang dirasakan oleh siswa-siswi di sekolah tersebut, penulis menggunakan kuesioner. Koresponden kuesioner merupakan seluruh siswa-siswi SSB di level SMA dan SMP serta kelas VI dan V Sekolah Dasar.
23
Dari tiga sekolah yang dibangun oleh Yayasan Sukma Bangsa, penulis memilih Sekolah Sukma Bangsa Kabupaten Pidie dikarenakan siswa-siswi Pidie berasal dari keluarga korban konflik dan bencana serta merupakan siswa-siswi beasiswa yang berasal dari seluruh Aceh.
I.6.3 Teknik Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif. Dalam analisa data, penulis menggunakan kuesioner untuk menemukan kumlah persentase atau angka melalui mengelompokan data berdasarkan variable dan jenis responden, mentabulasi data berdasarkan variabel dan jenis responden, lalu menyajikan data atau angka persentase yang sudah dihitung untuk menjawab pertanyaan. Kuesioner dilakukan di seluruh kelas di level SMA yang berjumlah 79 siswa; SMP yang berjumlah 99 siswa serta dua kelas di SD yakni kelas VI dan kelas V SD yang berjumlah 37 siswa. Dalam analisa data kualitatif penulis menggunakan metode wawancara, studi pustaka dan observasi dimana penulis menyusun dan mengorganisir datadata tersebut lalu penulis memilah-milah data mana yang paling relevan untuk menjawab pertanyaan. Dengan menggunakan kedua teknik analisa data tersebut, akhirnya penulis menarik kesimpulan. Penulis melakukakan wawancara kepada 16 narasumber yakni Kepala Yayasan Sukma Bangsa; Direktur Sekolah Sukma Bangsa Pidie; Kepala sekolah setiap level (SD, SMP dan SMA); wakasek kesiswaan setiap level (SD, SMP dan SMA); tiga guru yang sering dipercaya untuk melakukan mediasi; tiga siswa pindahan; serta dua karyawan SSB Pidie.
24
Untuk pengambilan data, penulis melakukan penelitian di lapangan selama satu bulan dan observasi dilakukan selama dua minggu pertama; wawancara dilakukan pada minggu ketiga dan minggu terakhir untuk melaksanakan kuesioner.
1.6.4 Sistematika Penulisan Laporan penelitian sebagai hasil dari proses pengumpulan data dan analisis ini disusun sebagai berikut: Bab I, secara umum mengantar pada awal munculnya pertanyaan dan latar belakang, tinjauan pustaka yang berfungsi sebagai mengenai pendidikan perdamaian di Sekolah Sukma Bangsa. Bab II, berisi pembahasan kurikulum perdamaian seperti apa yang dimiliki oleh Sekolah Sukma bangsa. Bab III, berisi pembahasan bagaimana implementasi kurikulum yang dimiliki oleh Sekolah Sukma Bangsa. Bab IV, merupakan pembahasan tentang tantangan – tantangan apa saja yang dihadapi dalam pengimplementasian kurikulum perdamaian. Bab
V,
berisi
kesimpulan
dan
saran
dari
penelitian
ini
25