Mengapa Pilkada Jakarta Kali Ini Penting? Penulis Abdillah Toha Jumat, 14 April 2017 http://geotimes.co.id/mengapa-pilkada-jakarta-kali-ini-penting/
Dua pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno seusai Debat Publik Pilkada DKI Jakarta putaran kedua di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (12/4). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Setiap pemilihan umum itu penting. Baik pemilu nasional maupun lokal. Karena berdasarkan sistem yang telah kita sepakati bersama, pemilu menentukan siapa yang akan diberi mandat untuk mengelola urusan negara dan merancang undang-undang untuk jangka waktu lima tahun sampai pemilu berikutnya. Nasib dan perjalanan warga akan banyak bergantung kepada kepiawaian dan integritas pemimpin yang terpilih. Namun demikian, derajat pentingnya Pilkada DKI Jakarta kali ini jauh di atas pilkada -pilkada sebelum ini. Mengapa? Di bawah ini akan diberikan argumentasi yang mendukung premis di atas. Sepanjang ingatan saya, sejak demokrasi parlementer 1955 dan demokrasi presidensial tahun 1973 serta reformasi 1998, rasanya belum pernah terjadi hiruk pikuk dan gonjang ganjing yang panas seperti pada Pilkada Jakarta kali ini. Bahkan boleh dibilang, karena semangat yang berlebihan, dalam prosesnya akal sehat nyaris hilang pada banyak pendukung masing-masing calon. Yang muncul lebih ke depan adalah emosi, kemarahan, fitnah, kebohongan, hoax, sentimen primordial, dan sejenisnya. Yang juga menarik sekaligus memprihatinkan adalah perhatian, sentimen, dan emosi pada Pilkada Jakarta kali ini tidak terbatas hanya pada warga Jakarta yang memang punya hak
1
pilih. Tetapi meluas sampai ke seluruh tanah air dari Aceh sampai ke ujung Papua. Bahkan dunia luar pun ikut menyoroti perkembangan Pilkada DKI karena salah satu calon gubernur dalam pilkada kali ini sedang menjalani proses pengadilan dengan dakwaan sebagai penista agama. Suatu pasal hukum yang sudah dihapus di banyak negara. Pilkada Jakarta kali ini sangat penting karena beberapa hal. Pertama, bukan sekadar pertandingan antara dua pasangan calon yang pada dasarnya cukup cakap dan rasional, tetapi yang lebih menonjol adalah “pertarungan” antara dua kelompok pendukung dan pengikut masing-masing pasangan calon yang secara umum dapat digambarkan sangat kontras sebagai berikut. Kelompok multikultural lawan monokultural, kelompok inklusif lawan eksklusif, kelompok pluralis lawan singularis, kelompok nasionalis lawan agamis, dan seterusnya. Akibatnya, warga bangsa ini, baik yang punya hak pilih maupun tidak, telah terbelah dan terancam perpecahan cukup mengkhawatirkan kelangsungan hidup berbangsa. Masing-masing kelompok khawatir bahwa bila lawan yang menang, kebijakan-kebijakan sang terpilih akan mencerminkan dan dikendalikan oleh kelompok pendukungnya dengan menyingkirkan kepentingan kelompok lain. Kekhawatiran yang barangkali agak berlebihan karena setelah 70 tahun merdeka, kita telah mengalami berbagai gejolak yang jauh lebih berat dan alhamdulillah semuanya dapat teratasi. Kedua, Pilkada Jakarta kali ini sarat konten ideologi, termasuk agama. Seakan menang-kalahnya pasangan calon yang didukung akan menentukan menang-kalahnya sebuah ideologi atau agama. Padahal, tiga dari empat nama yang ikut dalam kontes ini adalah penganut agama yang sama. Seakan-akan masing-masing kelompok punya Tuhan yang berbeda, sehingga jika pasangan calonnya menang, maka Tuhannyalah yang menang atau sebaliknya. Ketiga, ada semacam sindrom mayoritas minoritas dalam pilkada kali ini. Pemimpin harus datang dari kelompok yang ideologi atau agamanya dianut oleh mayoritas. Padahal, dalam sistem demokrasi yang kita anut, setiap warga negara tidak peduli darimana asalnya dan apa keyakinannya, hak dan kewajibannya untuk memilih dan dipilih dijamin oleh konstitusi. Lagi pula, bila mayoritas agama berhak mengklaim demikian, maka mayoritas perempuan juga berhak mengklaim pemimpin harus dari golongan perempuan. Begitu pula mayoritas yang berpenghasilan rendah, mayoritas yang berpendidikan rendah, mayoritas yang tinggal di Pulau Jawa, masing-masing jadinya berhak mengklaim pemimpin harus berasal dari mereka yang masuk dalam kategori kelompoknya. Bila kita mengikuti
2
logika ini, yang berhak jadi gubernur adalah perempuan, muslimah, berpenghasilan dan berpendidikan rendah, dan berasal dari suku Jawa. Keempat, konten politik nasional dalam pilkada saat ini sangat tinggi. Pilkada ini banyak dihubungkan oleh pegiat yang beroposisi dengan wibawa Jokowi dan kinerjanya sebagi presiden. Jokowi yang kebetulan punya hubungan dekat dengan salah satu calon gubernur diidentifikasi sebagai pendukungnya. Demo-demo oposan yang terjadi tidak jarang juga dikaitkan dengan protes tentang ketidak-adilan, hegemoni asing, dan sebagainya. Kerasnya suara-suara oposisi jalanan sampai ada beberapa orang saat ini sedang diperiksa sebagai tersangka percobaan makar. Begitu pula ada yang melihat pilkada kali ini sebagai kelanjutan dari persaingan Pemilihan Presiden 2014 antara Prabowo dan Jokowi dan sekaligus sebagai persiapan kontes presiden 2019 karena Prabowo sudah menyatakan akan maju lagi. Gubernur DKI diperebutkan karena gubernur yang bersahabat dianggap akan menguntungkan kontestan dan membuka peluang bagi kemenangan di pilpres. Kelima, ada sejenis fantasi baru dalam perpolitikan Jakarta bahwa menang dalam Pilkada DKI berarti peluang besar untuk menjadi presiden atau setidaknya wakil presiden RI. Karenanya, lawan dengan “ideologi yang berbahaya” tidak boleh dibiarkan menang, sebab berpotensi bisa meraih kekuasaan yang jauh lebih besar. Fantasi jenis ini dipicu oleh Jokowi yang sebelumnya menang dalam pemilihan gubernur DKI kemudian naik kelas menjadi presiden RI pada 2014. Padahal, dari tujuh presiden RI selama ini, enam presiden berasal dari profesi yang berbeda-beda namun tidak satu pun yang beranjak dari posisi kepala daerah. Keenam, Jakarta adalah garis depan kehidupan politik dan demokrasi di tanah air. Karenanya, Jakarta harus memberi contoh terbaik dalam penyelenggaraan pilkada, baik dari sisi prosesnya, hasilnya, maupun keamanan sebelum dan sesudah hari pemilihan. Apa yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta kali ini yang cenderung emosional dan gaduh bukan merupakan contoh yang ideal dalam demokrasi. Sangatlah penting bagi semua pihak untuk membawa proses pilkada ini dengan selamat dan damai sampai kepada hasil akhirnya. Ketujuh, gaduhnya perjalanan Pilkada DKI Jakarta yang berlarut-larut sejak hampir tujuh bulan ini telah menguras energi, perhatian, dan waktu pihak pemerintah, aparat keamanan, politisi, media, dan masyarakat luas sehingga fokus kepada hal-hal yang jauh lebih penting dan utama bagi pembangunan dan kehidupan rakyat banyak menjadi terganggu dan agak tercecer. Belum lagi semua ketidakpastian ini telah sedikit banyak
3
menjadikan investor dan pengusaha berpikir ulang dan menunda pengambilan keputusan mereka sebelum mereka yakin akan prospek keamanan investasi mereka. Tidaklah berlebihan kiranya bahwa dari uraian di atas kita menyimpulkan bahwa Pilkda DKI Jakarta kali ini bukan pilkada biasa. Ini adalah pilkada yang ikut menentukan arah kehidupan berbangsa dan berdemokrasi bagi bukan saja warga Jakarta tetapi juga seluruh bangsa. Apakah kita akan menuju ke arah yang menjaga keutuhan bangsa ataukah bangsa ini akan tercabik-cabik seterusnya. Apakah Pancasila sebagai warisan berharga dari para pendiri bangsa ini akan terus kita pegang erat-erat atau kita campakkan sebagai barang bekas yang tidak berharga. Apakah hasil akhir Pilkada Jakarta nanti akan mampu memberikan inspirasi bagi daerah-daerah lain sebagai hasil pemilihan yang rasional atau sebaliknya emosional dan primordial. Kita semua tentu sudah lelah dengan segala kebisingan Pilkada DKI saat ini yang terpaksa menjadi dua putaran karena tiadanya pasangan calon yang meraih suara diatas 50 % pada putaran pertama. Kita ingin seluruh kegaduhan ini segera selesai dan hidup kembali normal pasca hari pencoblosan. Kita juga berharap siapa pun yang akhirnya unggul dalam perhitungan akhir nanti akan menciptakan suasana persatuan dengan merangkul seluruh warga Jakarta, baik yang memilihnya atau tidak, sebagai warga yang berhak untuk diperhatikan nasibnya. Yang kalah, termasuk pendukungnya, juga akan legowo menerima apa pun hasil akhir itu. Benar bahwa kita berharap agar yang terpilih nanti adalah yang terbaik dari yang baik sehingga Jakarta dengan segala permasalahannya akan diurus oleh gubernur yang cakap, jujur, berintegritas, dan memilik visi dan pandangan jauh ke depan, tetapi tidak berhenti hanya sampai di situ. Yang dipertaruhkan dalam pemilihan gubernur DKI ini jauh kebih besar. Bukan sekadar pemilihan figur pemimpin pengelola Jakarta tetapi hasil akhir pemilihan nanti harus memancarkan kearifan pemilih ibukota sebagai warga yang berketetapan hati untuk merawat bangsa ini dalam kebhinekaan dan kemakmuran bersama sesuai sila-sila dalam Pancasila. Sekaligus memberikan teladan dan inspirasi kepada seluruh daerah bagaimana seharusnya menentukan pilihan yang rasional dan bertanggung jawab. Jangan ada dari kita warga Jakarta yang tidak mencoblos dan melewatkan peluang untuk ikut menentukan karakter dan arah kehidupan bangsa ini ke depan melalui Pilkada DKI Jakarta pada Rabu, 19 April ini.
4
Semoga Tuhan melindungi dan memberkati kita semua. Baca juga: Harga Sebuah Integritas: Surat Terbuka untuk Anies Baswedan Ph.D Surat Kedua untuk Anies Baswedan: Meniti Jejak Langkah Pendahulu Kita
5