ya yang bisa membereskan masalah ini.” kata Kok Hu-jin. “Benar! Sekalipun Siauw Hong bersaah kepadanya, namun kau tetap masih calon ibu mertuanya. Maka cara satu-satunya kita harus cari dia sampai ketemu. Kau harus memohon agar dia membantumu mengurus masalah ini.” kata kakaknya. Kok Hu-jin tersenyum getir. “Mana kita tahu sekarang dia ada di mana? Jika berhasil mencarinya pun. lalu aku harus bilang apa? Sedang aku belum tahu Siauw Hong dan Ci Giok Hian sudah menikah atau belum? Jika Siauw Hong tak mau nona itu kubawa ke mari. bukankah aku jadi mencelakakan nona itu?” kata Kok Hu-jin bingung bukan main. “Ibu Siauw Hong seorang wanita yang tahu aturan.” pikir Han Pwee Eng dipersembunyiannya. “Dia masih memikirkan diriku. Dia tak tahu sekarang aku ada di rumahnya?” Tak lama nona Han berpikir lagi. “dalam keadaan begini mana mungkin aku jadi menantunya?” pikir nona Han Pwee Eng. Tak lama Han Pwee Eng mendengar kakak nyonya itu bicara lagi.
153 “Jangan pedulikan keadaan Siauw Hong. yang utama bereskan dulu masalah itu! Jika kau tulus hati. aku akan membantumu berusaha mencari Nona Han. Aku juga akan minta bantuan para sahabat kaum Rimba Persilatan mencari jejaknya.” kata Jen Thian Ngo. “Apa maksudmu aku harus tulus hati?” “Minta maaf kepadanya dan jamin puteramu mau menikah dengannya.” kata sang kakak. Kok Hu-jin mengelah napas panjang. “Aku khawatir Siauw Hong tidak mau!” katanya. Jen Thian Ngo tertawa. “Kau ibunya, tegas sedikit dan tekan dia. pasti ia akan menurut!” kata Jen Thian Ngo. “Sifat anak itu mirip ayahnya, keras kepala dan tak bisa dipaksa. Jika dia mencintai Nona Ci. dia tak akan menikahi gadis lain! Mana berani aku menjamin pada Nona Han.” Mendadak wajah Jen Thian Ngo berubah jadi tidak sedap dipandang. “Mau tak mau dia harus menurut kehendakmu! Ini bukan masalah sederhana. Kau pernah melakukan kesalahan sekali, sekarang jangan biarkan anakmu melakukan kesalahan lagi!” kata Jen Thian Ngo tegas. “Apa gunanya kau menekan dia. dulu kau pun menekan aku harus menikah dengan keluarga Ci. Akhirnya aku malah kabur dan menikah dengan Kok Ju Sih.” kata Kok Hu-jin dingin. Kemudian ia tatap kakaknya ini lalu berkata dengan nyaring. “Aku menikah dengan Kok Ju Sih. dan tak pernah menyesal! Jika aku dikatakan salah juga boleh, tidak salah ya boleh! Aku tak ingin memaksa puteraku. Titik!” Kakaknya menggelengkan kepala “Kalau begitu tak ada jalan lagi.” katanya.
154 Nona Han bimbang dan ia anggap ucapan ibu Siauw Hong sangat menyinggung hatinya, tetapi ia tetap berterima kasih pada ucapannya yang jujur itu. “Dia benar.” pikir nona Han. “Jodoh memang tidak bisa dipaksakan. Mengapa aku harus kukuh tentang hal ini? Perjodohan yang hanya disetujui kedua orang tua. jika sampai Siauw Hong jadi suamiku, aku juga tak tahu apa aku menyukainya atau tidak?” Setelah itu hati nona Han puas sekali. “Aku pasti tidak akan menjadi menantu keluarga Kok. mana boleh aku masih menganggap dia calon mertuaku?” pikir si nona. Di dalam kamar jadi hening seketika. Beberapa saat kemudian Jen Thian Ngo bicara lagi. “Masih ada satu cara yang boleh kita coba!” katanya. Jen Thian Ngo berbisik ke telinga adiknya Nona Han mencoba untuk ikut dengar omongan mereka, tapi ia tak mendengar suara apa-apa. “Si Tua-bangka itu kasak-kusuk, entah apa yang dia bicarakan dengan adiknya? Siapa tahu ia akan menggunakan cara kurang baik. Di kamar hanya mereka berdua, kenapa harus kasak-kusuk? Apa dia sudah tahu aku ada di sini?” pikir nona Han Pwee Eng curiga sekali. Mendadak Kok Hu-jin bicara dengan lantang. “Apa? Kau suruh aku membohongi Nona Han?” katanya. Jen Thian Ngo wajahnya tampak berubah. “Jangan bicara begitu, itu tak sedap didengar. Ini hanya sebuah siasat saja!” kata Jen Thian Ngo.
155 “Aku tidak bisa berbuat begitu.” kata Kok Hu-jin tegas. “Jika kau bisa menemukan Nona Han dan membawanya ke mari. aku akan berterima kasih kepadamu. Namun aku akan bicara sejujurnya kepadanya. Dia mau membantu atau tidak, biar dia yang menentukannya sendiri. Aku tak mau membohonginya!” Begitu Kok Hu-jin memutuskan. Jen Thian Ngo tersenyum ia menunjuk ke arah jendela. “Kau sangat ceroboh!” kata Jen Thian Ngo. Kok Hu-jin tertegun. “Apa? Di luar…” Kok Hu-jin ingin bilang di luar ada orang, tetapi pada saat yang sama terdengar suara benda jatuh. “Gedubrak!” Kok Hu-jin menoleh ke arah jendela. Terlihat sesosok bayangan hitam pergi melompati tembok. Rupanya nona Han pergi dengan agak terburu-buru. sehingga ia kurang hati-hati dan menjatuhkan sebuah pot bunga. Kok Hu-jin akan mengejar bayangan itu. tetapi Jen Thian Ngo mencegahnya. “Sam-moay. jangan dikejar!” kata dia. Kok Hu-jin tak melihat jelas bayangan itu tapi dari bagian belakang bayangan itu ia tahu itu sosok seorang perempuan. Dia tersentak. “Dia pasti Nona Han!” katanya. Jen Thian Ngo manggut. “Benar dia nona Han. calon menantumu, saat aku ke mari aku sudah tahu dia bersembunyi di balik gununggunungan batu.” kata Jen Thian Ngo. Alis Kok Hu-jin berkerut.
156 “Mengapa kau tidak bilang dari tadi?” ia menyesali kakaknya. Jen Thian Ngo menghela napas. “Kau memang sudah pikun. Dia adalah menantumu yang belum masuk pintu. Jika kau kuberitahu, mukanya akan dia taruh di mana?” kata Jen Thian Ngo. Kok Hu-jin tersenyum. “Jika demikian dia belum tahu masalah Siauw Hong dengan Nona Ci. Kedatangannya itu untuk mencari tahu. Oh celaka! Dia pasti sudah mendengar pembicaraan kita tadi.” “Aku memang sengaja bicara keras-keras supaya dia mendengar.” kata Jen Thian Ngo. “Bahkan aku sudah memberi isyarat, tetapi kau tak mengerti. Jika kau tadi mendukung dia. pasti dia amat berterima kasih kepadamu. Sudah pasti dia akan membantu membereskan masalah itu. Tetapi kau berkata begitu tegas, dia pergi dengan gusar. Kemungkinan dia tak akan lagi mau menjadi menantumu!” kata Jen Thian Ngo. “Justru karena aku tahu ia di luar. maka aku sengaja berkata begitu.” kata Kok Hu-jin tidak senang. “Aku tidak seperti kau ingin menggunakan siasat busuk. Aku juga tidak mau membohonginya.” “Sam-moay sifatmu seperti dulu ketika kau masih remaja.” kata Jen Thian Ngo. “Sekarang aku tak bisa bicara apa-apa lagi.” “Hm! Kau sudah tahu ia ada di tuar. mengapa kau malah memburuk-burukkan nama ayahnya?” kata Kok Hu-jin. “Apa kau tak takut dia mendengar kata-katamu?”
157 “Itu soal lain. aku yang menjelekkan ayahnya bukan kau! Jika dia sakit hati pasti kepadaku, bukan pada kau. Aku sengaja bicara begitu pasti ada sebabnya. Sekarang dia sudah pergi gara-gara kau, maka aku tak perlu menjelaskan lagi sebabnya padamu.” kata Jen Thian Ngo. Di antara Jen Thian Ngo dan Han Tay Hiong memang punya masalah. sebenarnya dia tak setuju Siauw Hong menikah dengan puteri dari Han Tay Hiong. Dia tidak rela ilmu Siauw-yang-sin-kang diajarkan pada keluarga Han. Itu sebabnya dengan sengaja ia berkata begitu agar puterinya menyampaikan pada ayahnya. oleh karena Han Tay Hiong lebih mengutamakan kehormatan, maka ia yakin pasti Han Tay Hiong akan membatalkan perjodohan anaknya itu. Ditambah lagi pasti ia tidak akan bersedia diobati dengan ilmu dari pihak keluarga Kok. Kok Hu-jin hanya mengelah napas ketika tahu sebenarnya apa yang dikehendaki kakaknya itu. “Sebenarnya aku ingin tahu apakah Nona Han bersedia menjernihkan suasana di Pek-hoa-kok atau tidak? Jika tidak yah terserah dia saja.” begitu Kok Hu-jin berpikir. Nona Han bingung dia tak tahu apa yang harus ia lakukan. -o0(DewiKZ~Aditya~Aaa)~0o— Bab 6 Han Pwee Eng berlari terus sampai sejauh belasan lie, meninggalkan rumah keluarga Kok. Setelah jauh baru hatinya merasa tenang. Ketika itu fajar pun telah menyingsing di ufuk Timur, cahayanya yang merah keemasan sangat indah sekali.
158 Angin berhembus sejuk sekali, sedang pemandangan di sekitarnya sangat indah. Di sana-sini terdengar suara kicau burung yang riang sekali berlompatan di atas dahan-dahan. Saat itu nona Han Pwee Eng yang cantik ini sedang mandi sinar sang surya pagi yang hangat dan lembut. Perlahan-lahan kabut di dalam hatinya mulai buyar, seolah sudah lenyap terkena cahaya sang matahari yang mulai naik perlahan-lahan. “Hati Kok Hu-jin sangat lapang dan jujur.” pikir si nona. “mengapa hatiku tak bisa seperti hatinya? Ci Giok Hian telah mengobaliku sehingga aku sekarang sembuh, Padahal ini suatu kesempatan yang baik untukku membalas budinya itu. Aku tidak ingin berebut lelaki dengannya, lalu mengapa aku tidak ke sana saja membantu membereskan masalahnya?” Kemudian wajahnya tampak ceria. Dia telah mengambil keputusan untuk membantu keluarga Ci yang sedang dalam kesulitan itu. Maka ia tak kembali ke penginapan, tapi langsung ke Pek-hoa-kok. Setelah lewat tiga hari menempuh perjalanan. ia menggunakan gin-kang saat tak ada orang untuk mengejar waktu. Keesokan hanya Han Pwee Eng sudah tiba di tebing Bansong-teng. Tebing itu berhadap-hadapan dengan lembah Pekhoa-kok. tapi masih berjarak seratus lie lagi untuk bisa sampai ke lembah itu. “Jika aku bisa lebih cepat lagi. mungkin malam ini aku sudah sampai di lembah itu. Jika Ci Giok Hian melihat kedatanganku, pasti ia kaget karena tak menyangka sama sekali. Apa perlu aku menemui Kok Siauw Hong?” pikir nona Han Pwee Eng bimbang
159 Ia berlari kencang, tak lama ia sudah tiba di sebuah tegalan yang datar. Dari jauh ia sudah melihat orang berkumpul di padang rumput. Saat Han Pwee Eng memasuki mulut lembah ia mendengar suara beradunya senjata tajam. “Oh celaka! Mereka sudah mulai bertarung!” pikir nona Han kaget bukan main. “Hm! Sungguh hebat jurus Lian-hoan-beng-kiam-hoat (Ilmu Pedang Berantai Pencabut Nyawa)!” kata sebuah suara yang terdengar oleh nona Han Nona Han terus berlari menuju ke padang rumput itu. “Sungguh sayang sabetan goloknya tidak tepat sasaran!” kata suara yang lain. Sekalipun Nona Han belum melihat orang yang bicara itu. tetapi ia sudah mengenali siapa yang sedang bertarung itu. Ia mulai tak tenang, segera ia berlari ke sana. Sesudah dekat ia lihat bayangan pedang dan golok saling menyambar. Orang yang bertarung itu ialah Lui Piauw dan Kok Siauw Hong. Penonton tampak tegang dan penuh perhatian. Terkadang mereka bersorak riuh. Nona Han menyaksikan pertarungan itu dengan penuh perhatian. Pedang Kok Siauw Hong menyambar-nyambar gesit sekali. Golok Lui Piauw sekalipun gerakannya lambat, tapi kelihatan mantap sekali, suaranya menderu-deru. Kiranya dia bisa mengimbangi serangan pedang Kok Siauw Hong. Ketika menyaksikan pertarungan seru itu Han Pwee Eng agak cemas juga.
160 “Keduanya bertarung dengan sengit sekali, pasti salah satu akan terluka parah. Yang manapun yang terluka pasti ini tidak baik. Bagaimana caranya aku memisahkan mereka?” pikir nona Han Pwee Eng bingung bukan main. Sebagai seorang gadis ia merasa tak enak jika harus berteriak-teriak, apalagi memanggil nama Siauw Hong. Ditambah lagi pertarungan itu sedang seru-serunya, pasti suaranya tak akan terdengar oleh orang yang sedang bertarung dengan hebat itu. Ia juga sulit mendekati gelanggang karena terhalang oleh para penonton yang berjubelan. Apa boleh buat ia tepuk bahu seseorang sambil berkata. “Maaf. numpang lewat!” kata si nona. Orang itu segera memberi jalan. saat itu lelaki tua bernama Liok Hong melihat nona Han sudah ada di situ. “Oh. Nona! Kau sudah kembali!” kata Liok Hong. Tak lama muncullah Ci Giok Phang. Dia mengawasi nona Han Pwee Eng dalam-dalam. Han Pwee Eng segera menoleh ke tempat lain. “Ah aku kira Kuan Kun Oh bicara sembarangan. tak tahunya memang Nonaku ada bersama bocah ini! Sekarang bagaimana baiknya?” kata Liok Hong bingung. Han Pwee Eng tidak tahu apa maksud ucapan pengawalnya itu. “Biar aku ke dalam dulu!” kata nona Han. Tak lama Chan It Hoan pun sudah melihat nona Han berada di situ. “Nona kami sudah kembali. harap beri jalan!” kata mereka.
161 Seruan itu mengejutkan semua orang, mereka langsung mengawasi ke arah Han Pwee Eng. Orang ingin melihat sang calon pengantin, sehingga suasana tiba-tiba jadi hening. Mereka memberi jalan dan membiarkan nona Han Pwee Eng memasuki gelanggang pertarungan. Pertarungan antara Lui Piauw dan Kok Siauw Hong masih berlangsung. Mereka sama sekali tak mengetahui kedatangan si nona Han ke gelanggang. Saat nona Han sampai Kok Siauw Hong sedang menggunakan jurus “Tay-mok-hu-in” (Bayangan Rase di Gurun Pasir) ia menyerang Lui Piauw. Ujung pedang Siauw Hong mengarah ke jalan darah Hian-kie-hiat dan Pauw-khiehiat di tubuh Lui Piauw. “Sebuah serangan yang bagus!” seru Lui Piauw. Tubuh Lui Piauw menggetar, ia menggunakan jurus “Bengsiauw-toh-wa” (Binatang Liar Berebut Sarang) ia tangkis serangan dari Siauw Hong. dan…. “Traang!” Suara benturan senjata tajam itu terdengar nyaring sekali. Lui Piauw berhasil menangkis serangan Siauw Hong dengan tepat. Kemudian Lui Piauw pun meluncurkan seranganserangan beruntun untuk membalas. Han Pwee Eng kaget hingga ia berteriak. “Lui Siok-siok (Paman Lui) aku ada di sini!” teriak nona Han. “Sudah jangan bertarung terus!” Ketika itu nona Han Pwee Eng memanggil Lui Piauw dan tidak mau memanggil nama Kok Siauw Hong. Kelihatan keduanya melompat mundur.
162 “Tit-Jie (Keponakan perempuan, red). jangan cemas! Aku akan membereskan urusanmu.” kata Lui Piauw yang memang sahabat baik ayah nona Han. “Kok Siauw Hong lihat keadaan dirimu! Sekarang kau mau bilang apa?” kata Lui Hong sengit. “Apa yang harus kukatakan sudah kukatakan padamu!” kata Kok Siauw Hong. “Kau mau apa?” Memang sebelum bertarung ia sudah berjanji, jika ia kalah ia akan membuang pedangnya dan ikut dengan Lui Piauw ke Lokyang menemui ayah nona Han. Tetapi jika ia yang menang, maka Lui Piauw dan kawankawannya tidak boleh ikut campur urusan dia. Saat itu Kok Siauw Hong tak menghiraukan kedatangan nona Han. malah ia tak acuh saja. Mendengar jawaban Kok Siauw Hong bukan main marahnya Lui Piauw. “Nona Han telah datang, mungkin ia tidak ingin pertunangannya dibatalkan? Aku harus mengurus urusan puteri sahabatku itu!” pikir Lui Piauw. Akhirnya dia bicara. “Kok Siauw Hong hanya ada dua pilihan bagimu, kau pikir masak-masak!” kata Lui Piauw. “Dua pilihan bagaimana?” bentak Kok Siauw Hong. “Yang pertama, kau dan Nona Han harus menikah di sini. biarlah aku yang menjadi walinya.” kata Lui Piauw. Wajah nona Han langsung merah. “Lui Siok-siok. kedatanganku kali ini bukan untuk memohon……….”
163 Tetapi suara nona Han terhenti. Saking malunya nona Han tak bisa melanjutkan kata-katanya itu. Saat itu Kok Siauw Hong telah membentak. “Aku tidak mau!” kata Siauw Hong. Sekalipun katakata nona Han belum selesai, tapi sudah bisa diduga bahwa dia pun tak bersedia menikah dengan Kok Siauw Hong sang calon suami itu. Sebaliknya Lui Piauw salah mengerti, Ia mengira nona Han malu. Malah ia marah pada pemuda she Kok itu. “Baik jika kau menolak jalan yang pertama, yang kedua. Aku dan Nona Han akan membawamu ke Lokyang untuk menemui ayahnya. Di sana aku tidak akan ikut campur!” kata Lui Piauw. “Mengapa kau bawa-bawa Nona Han segala?” kata Kok Siauw Hong. “Tadi sudah aku katakan kepadamu, jika aku kalah aku akan menuruti perintahmu. Seorang laki-laki sejati tak akan menarik lagi janjinya! Kau jangan banyak bicara lagi!” Bukan main marahnya Lui Piauw. Ia membentak. “Hai bocah angkuh!” bentak Lui Piauw. “Jika kau tak kuberi pelajaran maka kau anggap aku takut padamu! Lihat golokku!” Lui Piauw mengayunkan goloknya ia menyerang ke arah Kok Siauw Hong. sedang yang diserang segera menangkis serangan itu dengan pedangnya, dan Kok Siauw Hong pun membalas menyerang. Pertarungan kali ini lebih hebat dari yang tadi. karena keduanya mengeluarkan jurus yang mematikan. Dilihat dari seranganserangan yang dilakukan Lui Piauw. jelas sudah kung-fu Lui Piauw lebih tinggi 164 dibanding dengan kepandaian Siauw Hong. sedangkan ilmu pedang Kok Siauw Hong pun tak kalah hebatnya. Tak heran pertarungan itu jadi seimbang sekali. Han Pwee Eng cemas, ia ingin mencoba melerai pertarungan mati-matian itu. Tetapi usahanya ternyata tak mudah, sehingga ia jadi bingung bukan main. Ditambah lagi kedatangan dia ke tempat itu sebenarnya untuk mendamaikan kekacauan. Karena ia sadar pertarungan itu justru gara-gara dia sehingga dia sangat malu sekali. Bagaimana ia masih punya muka untuk melerai kedua orang yang sedang bertarung itu? Sedang yang bertarung itu justru calon suaminya yang tak mau menikah dengannya. Ketika nona Han sedang gelisah tiba-tiba ia merasakan tangannya ada yang menggenggam. Orang itu
ternyata Ci Giok Phang. Pemuda itu terlalu tegang, sehingga tanpa disadarinya tangannya justru menggenggam tangan nona Han. Saat ia sadar ia sedang memegang tangan nona itu. wajahnya langsung berubah jadi merah. Buru-buru ia lepaskan cekalan tangannya itu. Agar pemuda itu tidak jadi kikuk, nona Han Pwee Eng berkata sendiri. “Dua ekor harimau sedang bertarung, pasti salah satu ada yang akan terluka. Kita harus bagaimana?” kata si nona. Ci Giok Phang menyahut perlahan. “Kita lihat saja sebentar lagi. Pada saat mereka mengubah jurus, kita maju serentak untuk memisahkannya!” kata Giok Phang mantap. Han Pwee Eng mengerutkan dahinya. “Lweekang Lui Siok-siok sangat tinggi, kita belum tentu bisa memisahkan mereka! Ditambah lagi ini bukan cara yang terbaik, sedang mereka berdua sama-sama keras 165 kepala. Sekalipun sudah kita pisahkan, mereka pasti akan bertarung kembali!” Ci Giok Phang terus memperhatikan pertarungan yang hebat itu. tanpa terasa tangannya mengeluarkan keringat dingin. Lui Piauw seorang jago tua yang berpengalaman. saat ini dia sedang mencurahkan perhatian ke pertempuran itu. pasti dia tidak akan memperhatikan yang lainnya, begitu dugaan Giok Phang. Padahal semua kejadian yang terjadi di sekitar arena pertarungan itu justru mendapat perhatian Lui Piauw. Ketika itu Han Pwee Eng dan Giok Phang berdiri paling depan di arena pertarungan itu. Tak heran Lui Piauw bisa menyaksikan dan mendengar dengan jelas apa yang ditakukan kedua muda-mudi itu “Ah. rupanya puteri Han Tay Hiong lebih menyukai pemuda ini.” pikir Lui Piauw Ditambah lagi Koan Kuil Oh pernah memberi tahu Lui Piauw bahwa Han Pwee Eng, Sekalipun calon pengantin di tengah malam ketika di rumah keluarga Ci malah bersedia menemani Ci Giok Phang bicara. Semula Lui Piauw tidak yakin pada keterangan Koan Kun Oh itu. karena ia tahu puteri Han Tay Hiong dididik keras oleh ayahnya. Tetapi sekarang setelah dia melihat sendiri kejadian di siang hari itu sebagai bukti, maka tak heran jika Lui Piauw pun mulai percaya pada keterangan orang she Koan itu. “Jika itu benar bukankah aku malah mengacaukan keadaan ini. Jika mereka sudah suka sama suka. mengapa aku harus ikut campur tagi?” begitu pikir Lui Piauw yang bijaksana ini. “Sekalipun aku tahu sifat Han Tay Hiong 166 yang tak akan mau kehilangan muka. tapi apa yang bisa aku lakukan?” Saat pesilat tangguh sedang bertarung pikirannya tidak boleh terbagi dan tak konsentrasi ke
pertarungan. oleh karena Lui Piauw sedang tidak berkonsentrasi hampir saja dia terserang hebat oleh Kok Siauw Hong. Untung dia masih bisa terhindar dari bahaya itu. Kok Siauw Hong memang angkuh sekali, ditambah lagi ia harus bisa mengalahkan orang she Lui ini kalau ingin bebas dari tekanan untuk memilih jodoh sesukanya. Pada saat Kok Siauw Hong hampir berhasil melukai Lui Piauw. ia girang sekali, ia terus melancarkan serangan bertubitubi karena ia ingin segera keluar sebagai pemenang. Sayang Lui Piauw bisa menghindar bahaya serangannya. malah berbalik menyerang dia dengan hebat pula. “Hm! Kau masih tidak mau menyerah? Baik akan kupotong sebelah tanganmu!” bentak Lui Piauw dengan sengit. Golok Lui Piauw berkelebat. tahu-tahu sudah ada di atas bahu Kok Siauw Hong. Ci Giok Phang dan nona Han kaget bukan kepalang. Pada saat keduanya hendak melompat ke dalam gelanggang. tiba-tiba terdengar suara benturan senjata tajam. Terdengar ada orang yang berkata. “Lui Toa-ko. hentikan!” “Kok Siauw-hiap. jangan teruskan pertarungan ini!” Siauw Hong maupun Lui Piauw tanpa terasa berseru. “Sungguh berbahaya!” kata mereka. Keduanya telah mengeluarkan jurus maut mereka, jika tak ada kedua telaki yang segera muncul, mungkin golok dan pedang akan mengenai sasaran dengan tepat. Mungkin juga golok Lui Piauw berhasil memotong tangan Siauw Hong. tetapi Lui 167 Piauw pun tak luput akan terluka parah oleh pedang Kok Siauw Hong. Kejadian itu mengejutkan semua penonton yang menyaksikan kejadian itu. Mereka mulai kasak-kusuk tentang kedua lelaki yang berhasil memisahkan petarungan hebat itu. Sedang yang mengenali mereka langsung berseru. “Hai! Mengapa pemimpin Kim Kee Leng (Bukit Ayam Emas) ada di sini? Apa masalah kecil ini telah mengejutkan dia?” kata mereka. Nona Han terkejut bercampur girang. Rupanya nona Han Pwee Eng telah bertemu dengan kedua orang itu. “Untung mereka berdua segera datang, dengan demikian keruwetan ini bisa segera diselesaikan. Tetapi mengapa mereka baru muncul sekarang?” pikir nona Han. Lui Piauw melompat mundur sejauh tiga tangkah sambil menarik kembali golok emasnya, lalu memberi hormat kepada kedua lelaki itu.
“Yo Si-koh (Kakak Yo yang ke-empat). Tu Pat-ko (Saudara Tu ke-delapan). angin apa yang telah membawa kalian berdua ke mari? kalian punya pesan apa untukku?” kata Lui Piauw sambil memberi hormat. Orang she Yo itu tertawa. “Mengapa hari ini Lui Toa-ko begitu gembira dan bertarung dengan Kok Siauw-hiap di tempat ini? Bukankah ia calon menantu Han Tay Hiong dari Lokyang?” kata Yo. Lui Piauw menjawab sengit. “Justru pertarungan ini karena urusan mereka!” kata Lui Piauw. “Padahal Nona Han cantik dan bisa silat serta mengerti sastra, kenapa dia anggap tak serasi dengannya?
168 Tapi bocah ini malah membatalkan pertunangannya. Sekarang yang mewakili Han Tay Hiong melampiaskan kedongkolannya! Pertarungan kami ini ditentukan oleh yang menang dan yang kaiah! Aku ingin membawa dia ke Lokyang agar menemui calon mertuanya. Aku ucapkan banyak terima kasih kepada kaiian berdua. Tetapi aku minta kalian jangan memisahkan pertarungan ini!” Lui Piauw seorang yang jujur dan bicaranya blak-blakan. Mendengar Lui Piauw membuka rahasianya. Kok Siauw Hong menunduk karena malu. Demikian juga nona Han. Untung nona Han seorang yang keras hatinya, jika tidak demikian, mungkin ia sudah menangis. Sepasang matanya berkaca-kaca. Ci Giok Phang berdiri di samping si nona. hatinya jadi tak enak. Segera ia menghalangi si nona. berdiri di depan nona Han agar tak terlihat sedang berduka. Orang she Yo itu tertawa. “Mengurus masalah seperti ini tidak mudah. Lui Toako.” kata orang she Yo itu. “Biarkan saja Han Tay Hiong yang memutar otaknya menyelesaikan masalahnya. Kau tak perlu repot dan ikut campur, ditambah lagi kau tak punya waktu untuk ke Lokyang!” Lui Piauw tertegun. “Memang kenapa?” tanyanya. “Terus terang, kedatangan kami bukan untuk mengurus masalah ini.” kata orang she Yo itu. “Kedatangan kami ini atas perintah Beng-cu (Ketua) untuk mengundangmu. Lihat ini Liok-tim-ciam (Panah Rimba Persilatan)!” Yo si-ko menyerahkan sebatang anak panah pada Lui. Kedua lelaki itu anak buah Hong Lai Mo Li. yaitu Lioklim Beng-cu (Ketua Rimba Hijau) bagian Utara.
169 Orang she Yo itu bernama Kuang. Sedangkan orang she Tu bernama Tu Hok. Ketika masih muda Lui Piauw bersahabat baik dengan mereka berdua. Mereka datang ke tempat itu untuk memberi tahu tentang khabar buruk, yaitu mengenai keadaan di Tionggoan (Tiongkok). Kedudukan Beng-cu kedua lelaki itu jelasnya demikian: Kota Yang-cou sangat berdekatan dengan kota Hu-cou. dulu di sini Han Sie Tiong pernah mengalahkan pasukan Kim (Tartar). Yang-cou termasuk wilayah Kang-lam. namun kota tersebut terletak di Utara sungai Tiang-kang. Tetapi kaum Rimba Persilatan tetap menganggap kota itu sebagai daerah Utara di bawah perintah Pak Hong Bu Lim Beng Cu (Ketua Rimba Persilatan Bagian Utara), yaitu Hong Lai Mo Li. Liok-tim-ciam Hong Lai Mo Li menyebar sampai ke kota Yang-cou. hal ini dulu belum pernah terjadi.tni tentu saja sangat mengejutkan Lui Piauw. Dia menerima anak panah itu dengan sikap hormat sekali. “Ada perintah apa dari Liu Beng-cu?” tanya Lui Piauw. “Liu Beng-cu mengundang Toa-ko agar kau datang ke Kimkee-teng. di sana akan dibicarakan masalah besar.” kata Yo Kuang. “Selain kau dia juga mengundang Koan Kun Oh dan Lu serta Ong Han Cu. Kebetulan semua ada di sini!” Keterangan itu menarik perhatian semua orang. kelihatan Toan Cin. Koan Kun Oh. Lu Tay Ceng dan Bong Sian segera menghampiri mereka. “Rencana besar bagaimana?” tanya mereka. “Sebenarnya ada apa?” tanya yang lain. Setelah batuk Yo Kuang mulai menjelaskan.
170 “Pasukan besar bangsa Mongol sudah mulai memasuki wilayah Tionggoan (Tiongkok). oleh karena itu Liu Bengcu mengundang kalian untuk diajak berunding mengenai masalah ini.” kata Yo Kuang. Mengenai akan datangnya serbuan dari pasukan Mongol memang sudah diduga sebelumnya oleh para orang gagah. Setelah mendengar khabar tersebut, seketika itu juga para orang gagah jadi emosi, darah mereka bergejolak. “Pasukan Mongol sangat kuat.” melanjutkan Yo Kuang. “tampaknya suku Kim (Tartar) pasti akan kalah dalam peperangan kali ini. Kita bangsa Han akan apa yang akan kita lakukan? Ini bukan masalah sederhana. Oleh sebab itu Liu Beng-cu ingin mengambil langkah, pertama ia ingin menahan serbuan pasukan Mongol. sekaligus menggulingkan pemerintahan bangsa Kim!” “Karena kita tak ingin dijajah oleh bangsa asing, ide itu sungguh bagus sekali!” kata orang-orang gagah itu. “Tetapi masih banyak yang harus kita rundingkan dulu.” kata Yo Kuang. “Misalnya. pada saat pasukan Kim dan Mongol sedang bertempur, haruskah kita menyerang kedua pasukan asing itu atau bergabung dulu untuk sementara dengan salah satu pasukan asing itu? Atau mungkin, kita diam saja menonton mereka bertarung dulu. Tunggu sampai kedua pasukan asing itu hancur-lebur. baru kita serang mereka. Atau pilihan lain. kita tunggu sampai salah satu dari mereka menang perang, kemudian baru kita serang yang menang itu! Nah. itulah yang akan kita bicarakan di sana dan melihat situasi di lapangan dulu.” “Ketika kami ke mari.” kata Tu Hok. “kami sudah mendapat khabar, bahwa pasukan Mongol sudah mulai memasuki daerah Ho-lam. Tampaknya tentara Mongol ingin menguasai daerah Tong-ceng dulu. baru menyerang 171 bagian utara. Kami juga sudah mengutus orang untuk menghubungi Han Tay Hiong. Mungkin sekarang kota Lokyang sudah jadi ajang pertempuran. Jadi Lui Toa-ko tak perlu ke sana lagi.” “Musuh sudah ada di depan mata kita. urusan pribadi harus kita kesampingkan.” kata Lui Piauw. “Aku patuh pada perintah Beng-cu!” “Bagi semua orang gagah yang belum diundang segera ke tempatnya masing-masing dulu. untuk bersiap menghadapi musuh yang tangguh.” kata Tu Hok. Saat semua orang gagah sedang berunding terdengar derap kaki kuda yang dilarikan dengan kencang meninggalkan kerumunan orang banyak. Ternyata penunggang kuda itu adalah Kok Siauw Hong
Ketika sedang bertarung dengan Lui Piauw. dia menjadi peranan penting dan perhatian orang. Saat muncul utusan dari Hong Lai Mo Li membawa khabar penting itu. seluruh perhatian tertuju ke masalah itu. sehingga dia terabaikan. Tak heran kalau dia jadi tersinggung dan langsung menunggang kuda pergi meninggalkan mereka. Hal ini baru diketahui setelah orang mendengar langkah kaki kuda yang dipacunya. “Kok Siauw-hipp (Pendekar muda Kok), kau mau ke mana?” teriak Yo Kuang. Tapi pemuda itu sudah jauh dan mungkin tak mendengar seruan itu. “Seorang lelaki sejati jika sudah bicara kata-katanya harus dilaksanakan. Tak peduli kalah atau menang, aku akan ke Lokyang untuk menjelaskan pada Han Lo-cianpwee. Sekalipun belum kalah, aku tak ingin merepotkan Lui Piauw untuk membawaku ke sana!” kata Siauw Hong.
172 Kuda yang dilarikan oleh Kok Siauw Hong cepat sekali tak lama ia sudah tak kelihatan lagi. Tetapi suara jawaban Siauw Hong karena menggunakan ilmu Coan-im-jip-pek (Ilmu menyampaikan suara) tetap bisa didengar. Itu tandanya lweekang Siauw Hong sudah sempurna. Hal itu membuat semua orang kagum kepadanya. Tadi mereka mengira Siauw Hong mampu mengatasi Lui Piauw dengan mengandalkan ilmu pedangnya saja. setelah tahu ia bisa ilmu itu mereka jadi kaget. Usia Siauw Hong masih muda. tetapi tenaga dalamnya sudah tinggi. Kelak pasti dia punya harapan besar di masa yang akan datang. “Bicara soal lweekang pasti lwe-kangku lebih tinggi. Tetapi mengenai kemurnian lwee-kangnya aku kalah darinya. Jika penarungan diteruskan, belum tentu aku bisa tahan lebih lama seperti dia.” kata Lui Piauw sambil menghela napas. “Sungguh aku tak tahu diri. berani mencampuri urusan orang lain!” Yo Kuang menggeleng-gelengkan kepalanya. “Dia angkuh dan keras kepala.” kata Yo Kuang. “Pada saat segenting ini dia akan pergi ke Lokyang. Sebenarnya aku ingin bicara dengannya, sekarang ya. sudahlah.” Lui Piauw menghampiri nona Han. “Keponakanku, tadinya aku ingin melampiaskan rasa penasaranmu itu. Tetapi keadaan sudah jadi begini. Aku harus segera pergi menemui Beng-cu. Mengenai perjodohan itu. lebih baik kau bereskan saja sendiri, tak perlu kau membuat Siok-siokmu cemas. Sampai jumpa!” kata Lui Piauw. Rupanya ia kurang senang nona Han bergaul dengan Giok Phang. maka saat bicara ia sedikit menegur nona itu.
173 “Terima kasih atas perhatianmu. Siok-siok!” kata nona Han Pwee Eng lesu. “Ternyata Nona adalah puteri kesayangan Han Tay Hiong.” kata Tu Hok. “Pantas kau berilmu tinggi. Liu Bengcu memang sangat suka pada wanita gagah. Dia juga pernah mendengar namamu disebutsebut. belum lama ini ia membicarakan masalah ini denganku. Mungkin sekarang kau sudah tak bisa pulang ke Lokyang. Jika kau mau, mari ikut kami ke Kim-keeteng!’ “Terima kasih.” sahut nona Han Setelah berpikir sejenak. “Aku memang ingin menemui Liu Beng-cu. tetapi sekarang aku masih banyak urusan. Lain kali saja. aku pasti akan mengunjunginya.” Ketika itu ia lihat Ci Giok Hian berjalan keluar. dia berdiri tampaknya sedang menunggui dia. Sekalipun ia tak menyalahkan Ci Giok Hian dalam masalah merebut tunangannya, tetapi batinnya tetap terpukul. melihat Ci Giok Hian keluar menyambutnya, ia teringat hubungannya dulu. dan nona ini lah yang mengobati penyakitnya hingga sembuh. “Walau sebentar aku harus menemuinya.” pikir nona Han. “Aku yakin dia tak akan memaksaku untuk tinggal di rumahnya?” Semua orang sudah mulai bubar. Yo Kuang menghampiri nona Han. “Jika Nona masih ada urusan lain. kami mau segera berangkat. Kapan saja Nona ke Kim-keeteng pasti kami akan menyambutmu dengan gembira.” kata Yo Kuang. Sesudah mereka semua pergi, dua pelayan tua nona Han muncul menemui majikannya.
174 “Kami berdua sangat ceroboh.” kata Chan It Hoan. “Kami telah membuat masalah jadi begini, kami jadi tak enak pada Nona.” Han Pwee Eng menghela napas. “Aku tak menyalahkan kalian. masalah sudah lewat kau jangan ungkit kembali!” kata nona Han. “Baik. Nona.” Setelah nona Han menatap mereka baru ia bicara lagi. “Aku lihat kau ingin bicara denganku?” “Nona…Nona mau ke mana?” tanya Liok Hong. Kedua pelayan itu mendapat tugas dari ayah nona Han. mereka diminta melindungi nona Han yang akan menikah di Yang-cou. Tetapi sekarang sudah jadi berantakan begini, sungguh itu di luar dugaan mereka. Rumah keluarga Kok apalagi rumah keluarga Ci sudah bukan tempat yang nyaman bagi nona Han. Jika mau kembali ke Lokyang pun. mungkin di tengah jalan akan menghadapi peperangan hebat. Sudah jelas kedua lelaki tua itu mencemaskan keadaan nona majikannya. Nona Han sudah mengambil keputusan. hanya ia tak ingin membicarakannya dengan mereka berdua. Saat ia akan pamit. Ci Giok Hian menghampirinya sambil tersenyum. “Nona Han kau sudah ada di sini. kalian adalah tamu kami. Sekalipun tempatku ini tak begitu bagus, tapi kalian bisa tinggal bersama kami di sini. Jika kalian tak keberatan, silakan.” kata Ci Giok Hian ramah sekali. Jelas nona Han tidak akan bersedia tinggal di situ. Lalu ia bertanya pada Chan It Hoan.
175 “Apa kalian punya tempat yang lebih baik?” tanya nona Han Pwee Eng. “Justru kami ingin mendapat petunjuk dari Nona.” kata Chan It Hoan. Nona Han memang cerdas, ketika ia mendengar jawaban itu. ia langsung tahu maksudnya. “Padahal mereka harus melapor pada Ayahku, tetapi dia bilang begitu, seolah tak ingin pulang.” pikir nona Han. “Ditambah lagi peperangan sudah berkobar pasti sangat berbahaya dibanding ketika mereka datang ke sini.” Setelah Han Pwee Eng berpikir sejenak baru ia bicara lagi pada kedua pelayannya itu. “Ayahku tidak menganggap kalian sebagai budak atau pelayan. kalian telah mengawalku dengan baik. tugasmu sudah selesai. Selanjutnya akulah yang akan menjelaskan kepada Ayah. sekarang terserah pada kalian mau ke mana kalian? Seandainya aku akan pulang pun kalian tak perlu mengawalku lagi.” kata nona Han dengan terharu. “Terima kasih atas kebaikan Nona Han.” kata Liok Hong. “Sebenarnya kami bukan tidak mau melayani Lo-ya (Tuan Besar) dan Nona Han. tetapi kawankawan kami di Cengtiong-kang sangat mengharapkan bantuan kami berdua. Theng Si Ya. pemimpin mereka sangat baik pada kami. Kami pun pernah berhutang budi kepadanya. Cengtiong-kang berada dekat Lu-tam dan Lu-pak. itu adalah daerah keluarga Gak yang diperebutkan. Mereka khawatir mereka tidak dapat membendung serangan musuh, itu sebabnya mereka mohon kita datang membantunya.” Han Pwee Eng manggut.
176 “Kiranya mereka tak mau pulang.” pikir nona Han “Tadinya aku kira mereka takut bahaya perang, kalau begitu aku salah menilai mereka?” Nona Han tersenyum. “Kalian mau ke sana untuk membantu Theng Han Cu di Ceng-liong-kang untuk membela negara dan rakyat, itu perbuatan yang mulia. Silakan kalian berangkat!” kata nona Han Chan It Hoan dan Liok Hong memberi hormat. “Kalau begitu, kami harap Nona bisa menjaga diri baikbaik, hamba berdua mohon diri.” kata Chan lt Hoan. Namun nona Han tahu keduanya ragu-ragu meninggalkan dia. mungkin mereka takut dia akan tinggal bersama keluarga Ci. Tetapi karena keadaan sangat gawat mereka terpaksa berangkat juga. Ci Giok Hian tersenyum. “Kedua orangmu itu sangat setia kepadamu.” kata nona Ci Giok Hian sambil tersenyum. Ketika itu nona Ci memegang tangan Han Pwee Eng dan menggandengnya untuk diajak ke rumah. Kali ini perasaan nona Han agak lapang, Ia ingat saat pertama kali ia datang. Nona Ci begitu baik kepadanya. Tetapi setelah ada ganjalan, mereka jadi agak kikuk juga. Kali ini mereka telah kembali seperti dulu bersahabat. Tetapi itu tidak semurni dulu. Setelah ada badai di hati mereka masing-masing, pasti masih ada yang retak. Tentu tidak mudah untuk normal kembali. Begitu memasuki halaman rumah itu nona Han melihat kereta yang ia naiki dulu. ketika datang ke tempat itu.
177 Malah kereta itu kelihatan sudah disiapkan, sudah diisi bekal untuk suatu perjalanan jauh. “Mereka mau ke mana? Mengapa mereka menggunakan keretaku?” pikir nona Han bingung. Nona Ci tahu apa yang sedang dipikirkan nona itu karena nona Han sedang memperhatikan kereta itu. Tetapi dia belum menjelaskannya. Padahal nona Han ingin tahu apa maksud mereka. Untuk tak lamalama membuat nona Han penasaran nona Ci mulai bicara. “Adik Eng. maafkan aku karena telah membuatmu tersinggung, aku jadi tak enak sekali.” kata Ci Giok Hian. Wajah nona Han berubah kemerah-merahan. “Semua sudah berlalu. jangan diungkit lagi! Kau telah mengobaliku. malah belum kuucapkan terima kasih kepada kalian. Kau jangan resah kita tetap kakak beradik seperti dulu.” kata Han Pwee Eng. Ci Giok Hian tersenyum. “Semoga kau dan aku bisa berkumpul selamanya dan hubungan kita akan jadi lebih erat ” kata Ci Giok Hian. Ucapan nona Ci yang sangat berarti, ini membuat wajah nona Han berubah merah, ia khawatir nona Ci akan bicara sesuatu yang tak berkenan di hatinya, maka itu ia pun segera bicara mendahuluinya. “Di kolong langit tak ada pertemuan yang tanpa perpisahan.” kata nona Han.. “Pek-hoa-kok sudah aman kembali. Rasanya sudah saatnya aku pergi!” Ci Giok Hian tersenyum “Aku tak bisa menahanmu terus di sini. lalu kau mau ke mana?” tanya nona Ci.
178 Pertanyaan itu pernah diajukan oleh Chan It Hoan dan Liok Hong tadi. kepada kedua pelayannya itu ia bisa tak menjawab pertanyaan itu. tetapi kepada nona Ci justru tak boleh tidak ia harus menjawabnya. “Jika aku jawab dengan jujur, pasti dia akan curiga padaku?” pikir nona Han. Rupanya nona Han ingin buru-buru pulang ke Lokyang. Ia dan ayahnya siap untuk menghadapi bahaya peperangan. Ia sadar sekalipun ayahnya pandai ilmu sitat. Setelah terluka ia jadi agak lumpuh. gerakannya kurang leluasa. Nona Han juga sadar pasukan besar Mongol akan menyerang ke Lokyang. hal itu mencemaskan hatinya. Jika ia terus terang mengatakan akan pulang. ia risau dan takut nona Ci akan curiga dan menyangka ia akan menyusul Kok Siauw Hong. Sedangkan Kok Siauw Hong sudah lebih dulu ke rumahnya akan memberi penjelasan kepada ayahnya. Sekalipun tadi Kok Siauw Hong tak bicara soal membatalkan pernikahan mereka, nona Han pun tetap tidak ingin menikah dengannya. “Bagaimanapun aku harus pulang, aku khawatir pada keadaan Ayah.” pikir nona Han. Ia tak ingin orang tahu mengenai kerisauan hatinya itu. juga keputusannya. Terutama pada nona Ci agar tak mengira, ia pulang karena akan mengejar Kok Siauw Hong. Lama nona Han termenung, baru ia bicara lagi. “Apa kalian ingin berpergian jauh?” kata nona Han. “Kalian mau pergi ke mana?” Sengaja nona Han tidak menjawab pertanyaan nona Ci. tapi ia malah balik bertanya kepada mereka, karena ia ingin 179 tahu ke mana tujuan mereka. Baru sesudah itu ia akan menjawab ke mana ia mau pergi. Nona Ci tertawa. “Justru kami ingin ke rumahmu di Lokyang!” kata Ci Giok Hian. Jawaban itu sedikit mengejutkan nona Han Pwee Eng. Tapi segera dijelaskan oleh nona Ci maksud kepergian mereka ke Lokyang itu. “Begini.” kata nona Ci. “Sebenarnya kami ingin minta Kok Siauw Hong agar mengantarkan arak obat
ini ke rumah ayahmu. Tetapi tidak kami duga. ia telah pergi dengan sangat terburu-buru. oleh karena itu terpaksa kami yang harus pergi ke sana mengantarkan obat ini. Mungkin tadi ia lupa?” Tak lama kelihatan Ciu Tiong Gak membawa seguci arak obat yang ia naikkan ke atas kereta. “Kau datang dengan kereta ini. bagaimana kalau kau pun pulang dengan kereta ini juga?” kata nona Ci sambil tersenyum. Recana nona Ci lebih matang. Dia telah mengatur akan mengantar nona Han pulang sambil membawa obat untuk ayahnya. Mungkin dengan arak obat ini mereka bisa meredakan kejengkelan ayah nona Han. Jika mereka datang bersama nona Han. dan ayah nona Han gusar, pasti nona Han bisa meredakan kemarahan ayahnya. Di balik itu nona Ci ingin memanfaatkan perjalanan yang ribuan lie itu agar kakaknya bisa semakin dekat dengan nona Han. Rencana itu memang sangat baik. tetapi nona Han bukan gadis yang bodoh. Jelas ia tidak mau pulang bersama mereka. Hal itu bukan karena ia benci kepada Ci Giok Phang. tapi sesudah ‘kejadian’ itu. ia ingin menenangkan 180 hatinya. Sebelum luka hatinya sembuh mana mungkin mereka bisa berjalan bersama-sama. “Kakak Ci bolehkah aku meminjam salah seekor kudamu?” kata nona Han Setelah berpikir agak lama. Ci Giok Hian tertegun. “Bukankah kau mau pulang bersama kami? Mengapa tidak pulang bersama kami saja naik kereta?” kata nona Ci. “Aku memang mau pulang. tapi karena punya sedikit urusan aku akan mengambil jalan agak memutar ke kota lain dulu.” jawab nona Han. Nona Ci tersenyum ia tak banyak bertanya lagi. “Baik. akan kupinjami kau kuda jempolan!” kata nona Ci Giok Hian. “Terima kasih Kak!” kata nona Han. “Memang pantas.” kata nona Ci. “seekor kuda ditukar dengan sebuah kereta bagus, tapi kalau dihitung-hitung aku masih untung. Tapi aku kira kau masih butuh semacam barang lain.” Nona Han tertegun. “Barang apa?” tanya dia. “Seperangkat pakaian pria!” kata nona Ci sambil tersenyum. Saat itu nona Han masih mengenakan pakaian pengantin yang dikenakan saat baru tiba di situ. “Ah. rupanya nona Ci sangat teliti, aku seorang nona dan berkelana di kalangan Kang-ouw. mana
boleh aku berpakaian seperti ini?” pikir nona Han.
181 “Jangan cemas, aku sudah menyiapkan beberapa pakaian lelaki untukmu, mari ikut denganku.” Ci Giok Hian mengajak nona Han Pwee Eng ke kamar yang pernah ditempati oleh nona Han tempo hari. Di atas tempat tidur itu telah tersedia pakaian pria yang dikatakan oleh nona Ci Giok Hian. “Telah aku siapkan tiga perangkat pakaian pria. dengan demikian di tengah jalan kau bisa ganti pakaian. Kau boleh mencobanya, apa pas atau tidak di tubuhmu!” kata nona Ci. Nona Han tersenyum ia puas sekali. “Jika kau berangkat bersama kami. kau tidak perlu memakai pakaian pria.” kata nona Ci. “Tetapi sudah aku duga. belum tentu kau bersedia berangkat bersama-sama dengan kami. Maka itu aku telah menyiapkan semuanya untukmu. Baik. kau boleh berganti pakaian dulu. aku akan keluar sebentar! Akan kukatakan ini pada Kakakku.” Nona Ci tahu nona Han tidak bersedia berangkat bersama mereka, tapi ia masih bicara soal kakaknya, ia berharap nona Han mengubah niatnya. Sekalipun nona Han sangat berterima kasih pada nona Ci. tapi ia tak senang pada rencana nona itu. Ternyata pakaian itu memang pas di tubuhnya, seolah tubuh nona Han itu sudah diukur sebelumnya. Selesai berpakaian, ia keluar dari kamar sambil menenteng sebuah buntalan berisi pakaian yang lain. Saat nona Ci melihat ia keluar. nona ini langsung tertawa. “Wah kau mirip seorang pria yang tampan!” kata nona Ci. “Jika kau berdandan seperti ini di tengah jalan tak akan ada yang berani mengganggumu!” Wajah nona Han berubah merah.
182 “Huss! Kau bicara sembarangan saja! Aku tak mau adu mutut denganmu.” kata nona Han. Nona Han sudah melihat seekor kuda jempolan ada di halaman rumah itu. Ia berjalan menghampirinya, tiba-tiba ia melompat ke atas kuda itu. lalu dipegangnya tali kendalinya. Dia lambaikan tangannya ke arah Ci Giok Hian. lalu kuda itu sudah lari meninggalkan halaman rumah itu dengan cepat. Ci Giok Phang berdiri termangu saja di depan pagar rumahnya, wajahnya muram sekali. melihat kakaknya muram, nona Ci tertawa. “Sudah jauh. dia sudah tak kelihatan lagi. Aku jamin setiba di Lokyang. pasti kau akan bertemu lagi dengannya!” kata Ci Giok Hian menggoda. Ci Giok Phang menghela napas panjang. “Bukankah dia bilang dia akan ke kota lain?” “Itu cuma alasan dia saja! Jangan percaya. Coba kau pikir peperangan sedang berkecamuk dan akan melanda kota Lokyang. bagaimana ia tak segera pulang menemui ayahnya?” kata nona Ci. Ci Giok Phang diam. “Bisa bertemu lagi. lalu apa yang bisa kulakukan? Sikapnya tadi kelihatan ia masih kesal kepada adikku, di benaknya juga ia masih memikirkan Kok Siauw Hong.” pikir Giok Phang. “Aku tahu kau gelisah. Baik. mari kita berangkat!” kata nona Ci. “Bukan aku saja. kau pun tak tenang!” kata sang kakak sambil tersenyum. “Kau mgin segera bertemu dengan Siauw Hong!”
183 Wajah nona Ci jadi merah. Sementara itu Han Pwee Eng sedang melarikan kudanya dengan cepat, ia kelihatan tidak tenang karena memikirkan Kok Siauw Hong. Hanya bedanya nona Ci ingin menemuinya, sedang nona Han justru ingin menghindarinya. Han Pwee Eng bisa memaafkan nona Ci. tetapi ia tak bisa memaafkan Kok Siauw Hong. Ia merasa sangat terhina habishabisan oleh pria itu. Ia jadi merasa kehilangan muka dan malu sekali. “Kau mencintai Kakak Ci. aku tak menyalahkanmu. Tetapi di matamu tak seharusnya sama sekali tak ada aku?” pikir nona Han. Tanpa sepengetahuan nona Han. sebenarnya Kok Siauw Hong pun merasa tak enak hati terhadapnya. malah dia sangat bersimpati. Ia juga tahu. seorang nona yang sudah siap akan menikah, bahkan datang dari jarak ribuan lie jauhnya, tapi setelah sampai di tempat calon suaminya, ia baru tahu pria yang bakal jadi suaminya itu mencintai gadis lain. Mana mungkin dia tak berduka dan marah? Jika bukan Han Pwee Eng orangnya, barangkah nona itu sudah bunuh diri? Begitu Kok Siauw Hong berpikir di sepanjang jalan. “Dia tabah dan tak menghiraukan cemoohan orang, aku bersalah besar kepadanya.” begitu Kok Siauw Hong berpikir. “Dia pun masih berani datang ke Pek-hoa-kok untuk menenangkan kekacauan di sana. Aku tak bisa membalas budinya itu!” Tetapi Kok Siauw Hong tak menyesal atas pilihannya. karena perjodohannya dengan nona Han atas prakarsa atau kehendak kedua orang tua mereka, bukan berdasarkan cinta sejati pilihan mereka sendiri. Sayang Kok Siauw Hong mengenai sifat nona Han setelah ada gejolak itu. Sedang 184 dengan Ci Giok Hian ia sudah kenal lama. malah saling mencintai satu sama lain. “Hubungan cintaku dengan Ci Giok Hian sulit dipisahkan lagi.” pikir Kok Siauw Hong. “apalagi kecantikan nona Ci tak kalah oleh kecantikan nona Han. Sekalipun nona Han lebih cantik, aku tak bisa melanggar janji kami untuk hidup bersama. Di dunia banyak wanita yang cantik dan baik. apa setelah bertemu satu aku harus mencintai yang lain satu persatu? Kali ini aku berdosa dan telah membuat dia sangat terhina dan menderita. Aku sangat bersalah kepadanya. Aku tak mampu menebus dosaku itu. hanya berharap ia mau memaafkan aku. Tapi…Aaah. harapanku sangat tipis!”
Saat Kok Siauw Hong sedang melamun. mendadak terdengar derap kaki kuda mengejarnya. “Apa yang berada di depan itu Kok Siauw Hong!” teriak penunggang kuda yang sedang mengejarnya….. -o0(DewiKZ~Aditya~Aaa)~0o— Bab 7 Kok Siauw Hong menoleh ke belakang. Ia melihat seorang lelaki tua menunggang kuda sedang mendatangi ke arahnya, Ia lihat lelaki tua itu berumur sekitar 60 tahun, ia kelihatan sangat berwibawa dan masih gagah. Anehnya Kok Siauw Hong tidak kenal pria yang memanggil-manggil namanya itu. Segera Kok Siauw Hong menghentikan kudanya. “Benar, akulah Kok Siauw Hong. maaf Lo-cian-pwee. aku tak kenal denganmu. Ada apa Anda mencariku?”
185 “Jika mau diceritakan kisahnya panjang sekali.” kata orang tua itu. “Bagaimana kalau kita bercakapcakap sebentar di sana. Di tempat ini banyak orang yang lalulalang. kurang leluasa!” Lelaki tua itu menunjuk ke suatu tempat yang agak sepi. “Baiklah.” kata Kok Siauw Hong yang ingin tahu apa yang akan dibicarakannya itu. Dia turun dari kudanya diikuti oleh orang tua itu. lalu mereka berjalan ke bawah sebuah pohon. “Di sini lebih tenang.” kata lelaki tua itu. “Mari kita bicara di sini!” Kok Siauw Hong memberi hormat. “Mohon bertanya, siapa nama besar Lo-cian-pwee? Ada petunjuk apa untukku?” kata Kok Siauw Hong. Sebelum bicara lelaki tua itu tertawa. “Namaku Jen Thian Ngo.” katanya. “Ibumu itu adik kandungku. Jadi kau keponakanku.” Kok Siauw Hong tertegun sejenak, ia kaget karena menurut ibunya bilang semua saudara ibunya sudah meninggal. Tapi mengapa sekarang ada yang mengaku sebagai pamannya. melihat anak muda itu agak kebingungan. Jen Thian Ngo mulai bicara. “Sifat Ibumu sangat keras.” kata Jen Thian Ngo. “kami dengan ibumu pernah ribut kecil. Ibumu sangat marah padaku, dia kabur dari rumah. Sejak saat itu dia tak pernah pulang lagi. Pasti dia tak cerita padamu tentang aku. Tetapi sekarang kesalah pahaman itu sudah kami selesaikan berdua. Tadi aku baru saja dari rumahmu!” Kok Siauw Hong setengah percaya setengah curiga.
186 “Kelihatan dia tak berdusta.” pikir Kok Siauw Hong. “tetapi menilai orang tak bisa dilihat hanya dari wajahnya saja. Di Dunia Persilatan banyak orang berwajah penuh kasih, justru dia orang jahat. Bagaimana aku bisa percaya pada orang ini? Aku baru pertama kali bertemu dengannya, jika aku salah mengakuinya apa tak akan ditertawakan orang? Sayang aku harus segera ke Lokyang. aku tak bisa bertanya pada Ibuku.” Saat sedang bicara orang itu mematahkan cabang pohon. “Bagaimana ilmu pedang Cit-siu-kiam-hoatmu (Ilmu Pedang Tujuh Langkah), apa kau sudah mahir?” kata lelaki tua she Jen itu. Kok Siauw Hong kaget. Ia melompat mundur saat itu ujung ranting pohon sudah menusuk ke arahnya. “Kau tak segera menghunus pedangmu?” kata Jen Thian Ngo sambil tersenyum. Sekalipun ranting pohon itu lunak tetapi di tangan lelaki tua itu menjadi senjata ampuh. Saat serangan itu dilakukan terdengar deru suara ranting itu. ia telah mengeluarkan jurus Cit-siu-kiam-hoat yang lihay. Semula ia akan merebut senjata lawan yang aneh itu dengan tangan kosong, namun menyaksikan serangannya yang hebat itu. terpaksa ia menghunus pedangnya. Tubuh Siauw Hong berkelebat sedang kakinya melangkah sesuai jurus dari Cit-seng-pouw (Langkah Tujuh Bintang). Kemudian ia balas menyerang lelaki tua itu. Saat menghunus pedang maupun saat bergerak, ia lakukan dengan cepat dan indah sekali tak heran kalau lawannya jadi kagum. “Bagus!” kata Jen Thian Ngo.
187 Jen Thian Ngo menggerakkan ranting di tangannya menyerang lagi ke arah pedang Kok Siauw>>> Hong. Cabang pohon itu berhasil menepis serangan pedang Kok Siauw Hong. Hati Kok Siauw Hong tersentak kaget. Tubuhnya berputar ia memutarkan pedangnya membentuk lingkaran untuk menjaga totokan dari lawan. Ia gunakan jurus menjaga diri. “Hm! Jurus Menjaga Dirimu itu jika kau sedang menghadapi musuh tangguh, tidak menguntungkanmu. Menggunakan jurus itu harus dengan tenaga lunak, sekaligus berbalik menyerang dengan cepat. Itu baru benar!” kata Jen Thian Ngo. Yang dikatakan oleh Jen Thian Ngo adalah Kouw-koat (Teori ilmu silat) Cit-siu-kiam-hoat. Ini membuat Kok Siauw Hong mulai percaya kalau lelaki tua itu mungkin pamannya. Tapi Kok Siauw Hong seorang pemarah, ia tak mudah menyerah begitu saja. Ditambah lagi ia belum mengeluarkan seluruh kemampuannya. Tetapi ia sadar orang tua ini lihay. Maka sekarang ia tak segan-segan lagi. Ia serang lelaki tua itu dengan jurus “Hun-hoa-soh-liu” (Memisahkan Bunga Menyapu Pohon Liu). jurus kebanggaannya. Saat Kok Siauw Hong bertarung melawan Lui Piauw. ia menggunakan jurus ini untuk menandingi serangan Lui Piauw. Sekarang serangan yang ia lakukan lebih dasyat dari yang ia lakukan kemarin. Orang tua itu tertawa sambil menggerakkan ranting pohon, tubuhnya berkelebat di empat penjuru. Ia kenal jurus yang digunakan lawannya itu. yaitu jurus Cit-siukiam-hoat keluarga ibunya yang paling Iihay. Jurus ini bisa menusuk ke tujuh jalan darah dengan bersamaan. Kok Siauw Hong mempelajari jurus tersebut sudah beberapa tahun, tapi belum mahir-mahir. Maka ia pun jadi mengeluh.
188 “Celaka, aku pasti kalah!” keluhnya. Bersamaan dengan itu terdengar suara. “Krak!” dan suara “Trang!” Ujung ranting patah tetebas pedang Kok Siauw Hong. tapi ia sendiri merasakan telapak tangannya sakit bukan main. tanpa terasa pedangnya terpental dan terlepas. Jen Thian Ngo tertawa. “Kau berhasil memotong ujung ranting ini. berarti kau sudah cukup terlatih!” kata Jen Thian Ngo sambil tertawa girang. Ilmu silat itu milik keluarga Jen, jika seseorang mahir menggunakannya, itu berarti ia masih punya hubungan famili dengan keluarga Jen. Ilmu itu merupakan rahasia keluarga Jen dan tidak pernah diturunkan pada keluarga lain marga. Kok Siauw Hong lalu memungut pedangnya dan ia masukkan ke dalam sarangnya. Kemudian ia memberi hormat. “Maafkan kecerobohan keponakanmu. Paman.” kata Kok Siauw Hong. Jen Thian Ngo tertawa. “Sekarang baru kau percaya aku ini Pamanmu, kan?” katanya. “Terima kasih atas petunjuk Paman tadi.” kata Kok Siauw Hong. “Masa lalu kami jangan kau ungkit lagi. kau kaum muda tak perlu mengetahuinya.” kata Jen Thian Ngo. Orang tua ini tak mau cerita ia putus hubungan karena melarang ibu Siauw Hong menikah dengan Kok Ju Sih.
189 Malah hal ini membuat Kok Siauw Hong jadi sedikit curiga. “Jika cuma masalah kecil, kenapa Ibu tak mau mengakui Pamanku ini? Mungkin dia bukan orang baik? Aku ingin tahu apa yang akan dikatakannya padaku.” pikir Kok Siauw Hong yang tetap waspada. “Apa kau mau ke Lokyang?” tanya pamannya. “Benar. Paman, kau punya petunjuk apa?” “Aku ingin melarangmu ke sana. maka aku mencarimu. Masalahmu dengan keluarga Han sudah kuketahui.” kata Jen Thian Ngo. Mendengar katakata ini Kok Siauw Hong tak enak hati. tapi ia menahan marah di depan pamannya ini. “Paman bilang Paman telah menemui Ibuku, apa ini kehendak Ibuku?” “Bukan, ini kehendakku sendiri.” kata Jen Thian Ngo “Kenapa?” tanya Siauw Hong sambil mengerutkan dahinya. Ia heran mendengar cegahan itu. Lalu ia pun berpikir. “Sekalipun kau Pamanku aku tak mau menurut. Sedang Ibuku pun tak ikut campur dalam masalahku itu.” pikir Kok Siauw Hong. Jen Thian Ngo seperti tahu apa yang ada dalam benak keponakannya itu. “Kau jangan salah paham, aku tak ingin mencampuri urusanmu. Terus terang ibumu malah tak setuju kau batalkan pernikahanmu dengan nona Han. tapi aku yang menasihati Ibumu.” kata Jen Thian Ngo.
190 “Oh kalau begitu aku harus berterima kasih pada Paman.” kata Kok Siauw Hong. “Walau aku dengan ayahmu tak pernah berhubungan, namun Ibumu itu adik kandungku satu-satunya, jadi aku menaruh perhatian pada kalian. Sejujurnya ketika Ayahmu yang menjodohkan kau dengan nona Han. malah aku yang tak setuju. Jika aku disuruh memilih antara keluarga Han dan Ci. aku memilih Ci Giok Hian!” kata Jen Thian Ngo lagi. “Ini urusan masa depanku, mau setuju atau tidak, itu urusanku.” pikir Kok Siauw Hong. “Kalau begitu mengapa Paman melarang aku ke Lokyang?” tanya Siauw Hong. “Kau sudah memutuskan tidak akan menikah dengan nona Han. untuk apa kau menemui ayahnya?” kata Jen Thian Ngo. “Seorang pria sejati harus jujur. Sekalipun aku tak setuju perjodohan itu. tapi aku harus ke sana menjelaskannya. Aku tak boleh memutuskan seenakku.” kata Kok Siauw Hong. Jen Thian Ngo menatap keponakannya. “Kau sudah tahu sifat Han Tay Hiong?” “Yang aku tahu apa yang harus aku lakukan, aku tak peduli masalah lainnya,” kata Kok Siauw Hong. “Hm! Sifat bocah ini seperti sifat ayah dan ibunya.” pikir Jen Thian Ngo. “Aku tak peduli kau akan menemui Han Tay Hiong. tapi aku ingin tanya satu hal.” “Katakan saja!”
191 “Aku dengar Ibumu telah mengajarimu Siauw-yang-sin kang. apa kitab pusaka itu ada padamu atau tidak?” “Kalau ada bagaimana dan kalau tak ada bagaimana?” kata Kok Siauw Hong. “Jika kitab itu ada padamu, aku larang kau pergi ke Lok yang!” kata Jen Titian Ngo. Kok Siauw Hong tercengang. “Kenapa?” ia tanya. “Apa kau belum tahu ilmu itu bukan warisan keluarga Kok. tapi milik keluarga Jen. Jadi aku tak ingin kitab itu jatuh ke tangan Han Tay Hiong!” kata Jen Thian Ngo. Mendengar ucapan itu timbul kemarahan Siauw Hong. “Belum tentu Han Tay Hiong menginginkan kitab keluarga Jen itu,” kata Siauw Hong. “Itu menurut dugaanmu! Baik mau atau tidak dia pada kitab itu. aku hanya bertanya, apa kitab itu ada padamu atau tidak?” kata Jen Thian Ngo mulai sengit. “Tidak ada!” kata Siauw Hong singkat. Ia membalikkan tubuhnya akan segera naik ke atas kudanya. “Tunggu! Aku masih mau bicara denganmu!” kata Jen Thian Ngo. “Paman masih mau bicara apa lagi?” “Sekalipun kitab itu tidak ada padamu, tapi kau sudah paham isinya, kan?”
192 “Jadi Paman tidak percaya padaku, kau khawatir aku mengajari Han Tay Hiong. Baik aku akan bersumpah di hadapanmu. Tetapi jika Paman masih tak percaya aku tak tahu harus bagaimana lagi?” kata Kok Siauw Hong. “Kau tidak perlu bersumpah!” kata Jen Thian Ngo sambil tersenyum. “Aku hanya ingin kau bicara jujur!” “Selama ini aku tidak pernah berbohong. Baik. Paman ingin aku bilang apa cepat katakan!” kata Siauw Hong. “Han Tay Hiong terkena pukulan Siu-lo-im-sat-kang dari Chu Kiu Sek. Apa kau sudah tahu hal itu?” “Aku tahu.” kata Siauw Hong.: “Kau ke Lokyang akan mengobati Han Tay Hiong dengan jurus pusaka itu?” kata Jen Thian Ngo. “Kalau ya kenapa dan kalau tidak kenapa?” tanya Siauw Hong. “Aku akan melarang kau mengobatinya dengan ilmu itu!” kata Jen Thian Ngo. Kok Siauw Hong memang tak berniat mengobati Han Tay Hiong dengan ilmu Siauw-yang-sin-kang. Lweekang Han Tay Hiong tinggi, karena itu ia akan mampu bertahan. Dengan minum arak obat milik Ci Giok Hian. ia pasti sembuh. Tapi karena hati Kok Siauw Hong keras, maka ia bertanya begitu. “Sungguh aneh. kenapa di dunia ini masih ada orang seperti Pamanku ini? Sekalipun kau Pamanku, aku tak akan menuruti keinginannya itu!” pikir Kok Siauw Hong. “Paman, aku kira kau tak akan ikut campur sampai sejauh itu, kan?” kata Kok Siauw Hong. Mata Jen Thian Ngo melotot.
193 “Jadi kau anggap aku ini usil?” katanya. “Aku tak berani menuduh, tapi jika katakata Paman itu benar, aku tak berani tidak menurut!” kata Siauw Hong. “Mengapa kau tak mencaci aku orang tidak benar?” Kok Siauw Hong diam saja. “Apa sebabnya kau ingin mengobati Han Tay Hiong? Aku ingin dengar alasanmu!” kata Jen Thian Ngo sambil menatapnya tajam. Kok Siauw Hong mengira Jen Thian Ngo akan marah sekali, sebaliknya ia malah bertanya begitu. “Aku ke sana untuk menjelaskan pembatalan perjodohan kami. mengobati dia itu masalah lain. Paman Han itu Bulim Cianpwee (Tokoh Dunia Persilatan) yang sangat dihormati. Sekarang dia terluka oleh si Iblis golongan sesat. Kami kaum muda wajib menolong dan mengobatinya. Apalagi dia sahabat Ayahku.” kata Siauw Hong. “Jadi kau tidak bermaksud bermuka-muka agar perjodohanmu dengan nona Ci jadi lancar? Bukan begitu?” kata Jen Thian Ngo. “Paman jangan mencampur-adukan masalah itu!” kata Kok Siauw Hong. Tapi ia berpikir. “Hm! Hatimu benar-benar picik!” pikir Siauw Hong. “Oh kalau begitu jadi gampang diatur.” kata Jen Thian Ngo sambil tertawa terbahak-bahak. Kok Siauw Hong terengang. “Maksud Paman?” “Kau tak perlu mengobati dia!” kata Jen Thian Ngo sambil tersenyum.
194 Kok Siauw Hong jadi bingung karena pada dasarnya Jen Thian Ngo tak setuju dia pergi ke Lokyang. “Kenapa?” kata Siauw Hong yang mulai marah. “Seperti alasanmu tadi. kau mengobatinya karena kau hormat kepadanya, iya kan?” “Ya karena ia orang baik.” “Bagaimana kalau ternyata ia orang jahat?” “Apa Paman punya bukti kalau ia itu orang jahat?” “Memang aku tidak punya bukti, tapi aku tahu dia bukan orang baik seperti yang kau bayangkan. Memang benar dia itu orang jahat!” kata Jen Thian Ngo. Kok Siauw Hong tidak yakin pada ucapan pamanya itu. Dia tertawa dingin. “Sekalipun Paman tak punya bukti, tuduhan Paman itu ada dasarnya kan? Aku tak bisa hanya percaya pada katakata Paman, maafkan aku!” kata Siauw Hong. Jen Thian Ngo diam. “Semula aku akan menjelaskannya, tapi aku yakin kau tak akan mempercayai kata-kataku. Kau boleh pulang tanyakan saja pada Ibumu! Sekalipun Ibumu itu tidak pernah akur denganku, tetapi ia akan mengakui bahwa aku orang jujur. Ia tak akan sembarangan menjelekkan aku.” kata Jen Thian Ngo. “Memang aku harus menanyakannya pada Ibuku.” kata Siauw Hong. “tapi tidak sekarang. Sekarang aku harus mengejar waktu, lain kali saja. Aku tak bisa ayal karena pasukan Mongol sudah maju. Aku harus ke Lokyang secepatnya!” Jen Thian Ngo menghadang di depan kuda Siauw Hong 195 Kok Siauw Hong gusar bukan main. “Mengobati Paman Han atau tidak, itu urusanku. Bagaimanapun aku harus berangkat ke Lokyang!” kata Siauw Hong. Jen Thian Ngo kurang senang lalu ia awasi Siauw Hong dengan tajam. Tak lama lagi mereka akan segera bertarung. Namun, tiba-tiba dari jauh terlihat mendatangi seorang penunggang kuda dengan cepat. Begitu dekat penunggang kuda itu berteriak dengan nyaring.
“Anak Hong dia Pamanmu! Apa yang kalian ributkan?” teriak penunggang kuda itu ternyata ibu Siauw Hong. “Oh syukurlah Ibu datang. Paman melarangku ke Lokyang!” kata Siauw Hong. Tak lama Kok Hu-jin sudah sampai di depan mereka, ia tatap anaknya. “Kau sangat keterlaluan anak Hong,” kata sang ibu. “Kau mengambil putusan sendiri hingga keadaan jadi kacau-balau, hal itu hampir saja kau membuat Ibumu pingsan! Tapi semua sudah terjadi, sudahlah. Kau mau ke Lokyang. aku setuju dan berangkatlah. Kau harus berani mengakui kesalahan di depan Paman Han!” Semula Kok Siauw Hong takut ibunya tak setuju atas keputusannya itu dan memarahinya, tak tahunya malah sang ibu mufakat sekali. Ia girang bukan main. “Jika tahu Ibu sangat pengertian, aku tak perlu kabur dari rumah.” pikir Kok Siauw Hong.. Sementara itu Jen Thian Ngo kelihatan bingung, ia jadi salah tingkah dan tak enak hati. “Sam-moay. kau…kau tak mengetahui sesuatu….”
196 Tetapi sebelum Jen Thian Ngo bicara habis sudah dipotong oleh Kok Hu-jin. ia mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. Ternyata itu sebuah kitab tipis dan langsung kitab itu dilemparkan ke arah Jen Thian Ngo yang sedikit kaget. “Terima ini!” kata Kok Hu-jin. Jen Thian Ngo langsung tahu itu benda apa. “Sam-moay. apa maksudmu?” kata Jen Thian Ngo purapura heran dan kaget. Kok Hu-jin menyahut dengan dingin. “Seorang lelaki sebaiknya tidak menginginkan sawah dan ladang milik orang tuanya, seorang wanita sebaiknya tidak mengharapkan hadiah pernikahan dari orang tuanya. Ayah memberikan kitab itu kepadaku sebagai hadiah pernikahanku. Sekarang aku kembalikan kepadamu agar hatimu lega. dan jangan terus-menerus menekan keponakanmu ini!” kata Kok Hu-jin dengan dingin sekali. Wajah Jen Thian Ngo berubah merah. Sebenarnya ia malu sekali untuk menerima kitab itu. tetapi kitab itu justru telah menjadi impiannya sejak dia masih muda. Maka dengan terpaksa ia menebalkan mukanya menerima juga kitab itu. Rupanya Jen Thian Ngo pernah belajar ilmu Siauw-yangsin-kang itu. tetapi sebelum ia berhasil ayahnya telah menghadiahkan kitab itu kepada adiknya, la ingin memiliki dan menguasai ilmu itu. tetapi ilmu itu sulit dipelajari. Saat masih muda dia pernah belajar, tapi setelah sekian lama ia jadi lupa lagi. Jen Thian Ngo orang yang lebih menghargai kehormatannya, sekalipun adiknya mengembalikan kitab itu dengan baikbaik. tapi ia tetap berkata begini.
197 “Sam-moay. aku harap kau tidak salah mengerti.” kata Jen Thian Ngo. “Aku tidak meminta kitab Ini. tetapi aku khawatir kitab ini jatuh ke tangan Han Tay Hiong….” “Sudah jangan banyak bicara!” kata Kok Hu-jin. “Baik supaya hatimu lega aku akan berpesan pada anakku.” Dia tatap anaknya. “Anakku, dengar pesanku. Kau tak boleh menggunakan Siauw-yang-sin-kang untuk mengobati Han lay Hiong. jika kau melanggar pesanku, kau jangan mengaku lagi sebagai anakku!” kata Kok Hu-jin tegas. “Baik, Bu. Aku berjanji tidak akan menggunakan ilmu itu.” jawab Kok Siauw Hong. Kok Hu-jin tertawa. “Sekarang Toa-ko bisa berlega hati! Sebenarnya mengobati Han Tay Hiong tidak perlu ilmu itu!” kata Kok Hu-jin dengan tetap dingin. Jen Thian Ngo menghela napas panjang. “Sebenarnya aku ingin bicara lebih jauh pada kalian, tetapi kalian terlampau banyak curiga dan salah paham pada diriku.” kata Jen Thian Ngo. “Aku ingin bilang, mengapa aku melarang Siauw Hong mengobati Han Tay Hiong. itu bukan karena aku takut ilmu kalian diketahui olehnya….” Kok Hu-jin mengerutkan dahinya. “Lalu karena apa?” tanya Kok Hu-jin. Kok Siauw Hong tak sabaran ia menyela. “Paman bilang Paman Han Tay Hiong itu orang jahat.” kata Kok Siauw Hong.
198 Mendengar ucapan anaknya Kok Hu-jin menatap ke arah Jen Thian Ngo dengan penuh kecurigaan. Jen Thian Ngo sedikit gelagapan. “Sam-moay. tak heran jika kau tidak percaya kepadaku.” kata Jen Thian Ngo. “Han Tay Hiong itu orangnya sangat licik. Jika aku tidak tahu tentang dia. bagaimana aku bisa bilang dia orang jahat?” Kok Hu-jin menatap kakaknya dengan tajam. “Kau tahu jelas mengenai apa?” tanya Kok Hu-jin. “Aku tahu dia bersekongkol dengan bangsa Mongol!” kata Jen Thian Ngo. Mendengar jawaban kakaknya itu Kok Hu-jin terperanjat sekali. “Kau punya buktinya?” kata Nyonya Kok. Bukan menjawab tapi Jen Thian Ngo balik bertanya. “Kau kenal pada orang yang bernama Siangkoan Hok?” kata Jen Thian Ngo. Kok Hu-jin berpikir sejenak. “Bukankah dia Lo-cian-pwee yang sudah mengasingkan diri sudah lama sekali? Aku masih ingat Ayah kita pernah cerita tentang dia. Dia dan Ceng Leng Su-thay pernah menjalin hubungan cinta, sehingga ia pergi ke seberang lautan. Itu sudah terjadi puluhan tahun yang lalu. kenapa kau ungkitungkit lagi?” kata Kok Hu-jin. “Sekarang orang itu telah menjadi wakil Hoat Ong (Kepala Paderi) Mongol. malah ia sangat dipercaya oleh raja Mongol,” kata Jen Thian Ngo. “Lalu apa hubungannya dengan Han Tay Hiong?” tanya Kok Hu-jin penasaran.
199 “Tentu saja ada hubungannya, mereka itu sudah lama bersahabat dan berhubungan.” kata Jen Thian Ngo. “Apa kau lupa. Ayah kita pun punya hubungan dengan Siangkoan Hok?” kata Kok Hu-jin. Jen Thian Ngo manggut-manggut. “Benar. Tetapi pada waktu itu Siangkoan Hok belum bergabung dengan bangsa Mongol. Sedangkan Han Tay Hiong berhubungan dengan dia, justru saat dia sudah menjadi wakil Kok-su (Guru Kerajaan) Mongol.” kata kakaknya. Kening Kok Hu-jin berkerut. “Bagaimana kau bisa mengetahui soal itu?” “Ketika itu aku pergi ke Lokyang. tetapi Han Tay Hiong tidak berani mengundangku ke rumahnya. Tahukah kau apa sebabnya? Kiranya di rumah dia sedang kedatangan seorang tamu agung.” kata Jen Thian Ngo. “Apakah tamu agung itu Siangkoan Hok?” tanya adiknya. Jen Thian Ngo tertawa dingin. “Jika bukan dia mengapa aku memberitahu kalian?” kata Jen Thian Ngo. “Pepatah tua mengatakan, “Jika tak ingin orang tahu. jangan berbuat”. Han Tay Hiong tidak bisa menutupi rahasia itu untuk semua penduduk Lokyang. sekalipun ia sudah berhati-hati sekali!” “Kau tahu dari siapa?” tanya Kok Hu-jin. “Siapa yang memberitahumu?” “Salah seorang Hiang-cu (Pemimpin-cabang) perkumpulan Kay-pang (Partai Pengemis) di Lokyang.” kata Jen Thian Ngo.
200 “Apa dia yang bernama Lauw Kun?” “Ya, benar.” kata Jen Thian Ngo. “Hm! Kay-pang memang sangat cepat mendapatkan informasi. Ditambah lagi Lauw Hiang-cu itu seorang yang jujur. Aku juga tidak pernah mendengar dia bentrok dengan Han Tay Hiong. Jadi informasi itu bisa dipercaya, karena tak mungkin pihak Kay-pang ingin membuat kekacauan antara mereka dengan Han Tay Hiong?” pikir Kok Hu-jin. Tetapi dalam keheningan itu Kok Siauw Hong berkata. “Paman, pepatah mengatakan “Omongan orang belum tentu benar, tetapi melihat sendiri itu baru benar!” Apa Paman menyaksikan keluarga Han bersekongkol dengan Siangkoan Hok?” kata Siauw Hong. “Tentu aku menyaksikannya sendiri, baik akan kuberitahu kau.” kata Jen Thian Ngo. Setelah menatap ke arah Kok Hu-jin baru Jen Thian Ngo mulai bercerita. “Pada malam Lauw Kun memberi tahu aku tentang rahasia itu.” kata Jen Thian Ngo memulai ceritanya, “seketika itu aku gusar sekali. Lalu aku bersama Lauw Kun pergi ke rumah Han Tay Hiong. Maksud kami untuk membuka kedoknya. Sayang rupanya mereka sudah tahu niat kami itu. Ternyata Siangkoan Hok sudah pergi dari rumah Han Tay Hiong. Sebelum kami tiba di rumah Han Tay Hiong, justru di tengah jalan kami bertemu dengan Siangkoan Hok yang baru keluar dari rumah Han Tay Hiong. Kami bertengkar dan aku terhajar oleh pukulannya, sedangkan Lauw Kun tak berhasil mengejar orang itu…..” Sebelum pamannya selesai bicara Kok Siauw Hong memotong.
201 “Bagaimana Paman bisa tahu dia baru keluar dari rumah Paman Han Tay Hiong?” kata Siauw Hong. “Rumah Han Tay Hiong ada di jalan Po-kee. aku dan Lauw Kun bertemu dengan Siangkoan Hok dijalan itu.” jawab Jen Thian Ngo. “Di sekitar jalan itu tidak ada rumah kaum Rimba Persilatan. Jika dia bukan dari rumah Han Tay Hiong. apa dia keluar dari rumah orang lain?” Jen Thian Ngo menghela napas panjang, baru kemudian ia melanjutkan ceritanya. “Pertanyaanmu sangat beralasan, ketika itu memang aku tidak berpikir sampai ke situ.” kata Jen Thian Ngo memulai lagi ceritanya. “Sekalipun aku yakin Siangkoan Hok keluar dari rumah Han Tay Hiong. tetapi kami tak bisa menangkap basah mereka. Sudah pasti Han Tay Hiong tidak akan mau mengakui dosanya!” Saat itu Kok Hu-jin pun bingung. “Semula aku kira Kakakku kurang puas terhadap Han Tay Hiong karena ia tak diundang, kiranya ada masalah pengkhianatan ini?” pikir Kok Hu-jin. “Sekalipun pengkhianatanya belum terungkap.” kata Jen. “tetapi berhubung kedudukannya di Dunia Persilatan, untuk sementara ini lebih baik kita jangan bentrok dulu dengannya. Maka tadi aku bilang belum waktunya kubentahu kalian tapi aku ingin agar keponakanku ini mengetahuinya. Ini terpaksa saja kuberitahukan pada kalian karena kalian mendesakku. Selanjutnya hal ini kalian rahasiakan saja dulu. jika sampai bocor kalian bisa celaka di tangan Han Tay Hiong. Maka menurut pendapatku kau batalkan saja pergi ke Lokyang!” Setelah mendengar hal itu Kok Siauw Hong makin bingung, ia awasi ibunya.
202 “Toa-ko. terima kasih atas perhatianmu.” kata Kok Hujin kepada kakaknya. “Masalah ini akan kupikirkan dengan seksama, tetapi untuk anakku ini aku sudah mengambil keputusan yang pasti.” Jen Thian Ngo tertawa dingin. “Dia anakmu, aku tidak berhak ikut campur urusanmu.” kata Jen Thian Ngo. “Aku mencegah dia pergi mengobati Han Tay Hiong bukan karena aku egois. Sudahlah, aku mau pergi!” Sesudah kakaknya pergi Kok Siauw Hong berkata pada ibunya. “Apa Ibu percaya pada katakata Paman Jen Thian Ngo tadi?” kata Kok Siauw Hong. Kok Hu-jin diam tak menjawab, keningnya berkerut-kerut. Kok Siauw Hong terus mengawasinya. “Kenapa dulu Ibu dan Paman bisa putus hubungan?” kata Siauw Hong mulai tak sabar. “Pamanmu itu tidak setuju Ibu menikah dengan Ayahmu….” kata Kok Hu-jin sambil tersenyum. “Jika kau ingin tahu masalah itu. baik akan Ibu beritahukan. Perjodohan kami atas kemauan kami berdua. Oleh karena itu Ibu juga tak ingin ikut campur masalah perjodohanmu berdua, aku ingin agar kelak kau tidak membenci pada Ibumu, seperti Ibu membenci pada Pamanmu itu. Tetapi Ibu yakin Han Pwee Eng itu gadis yang baik.” Wajah Siauw Hong jadi cerah. “Ibu sangat baik dan penuh pengertian. Terus-terang saja. wajah Paman Jen Thian Ngo itu sungguh tidak sedap dipandang.” kata Kok Siauw Hong.
203 Kok Hu-jin tertawa geli mendengar katakata anaknya yang polos itu. “Kau keponakannya kau tidak boleh mencemoohkan Pamanmu itu.” kata sang ibu. “Ada masalah apa antara Paman Jen dan Paman Han itu? Aku yakin tadi Paman Jen menyembunyikan sesuatu.” kata Kok Siauw Hong. “Ceritanya begini,” kata Kok Hu-j in. “Tahun itu Pamanmu pergi ke Lokyang. kebetulan kaum Rimba Persilatan dari tiga Kabupaten akan berkumpul untuk mengangkat Han Tay Hiong menjadi pemimpin mereka. Tetapi Han Tay Hiong tidak mengundang Paman Jen Thian Ngo ke tempatnya.” “Kapan terjadinya itu. Bu?” tanya Kok Siauw Hong. Kok Hu-jin tersenyum. “Setahun setelah Ayahmu menjodohkan kau dengan Han Pwee Eng. Ibu kira mengapa Han Tay Hiong tidak mengundang Pamanmu itu karena Han Tay Hiong tahu Ibu tidak cocok dengan Paman Jen. Tak tahunya kata Pamanmu tadi, Han Tay Hiong punya rahasia seperti itu?!” “Ibu percaya pada keterangan Paman Jen? Apa Ibu tak berpikir, barangkali Paman Jen sangat benci kepada Paman Han. lalu memfitnahnya? Dia jengkel karena tidak diundang ke pertemuan para pendekar itu di rumah Paman Han?” Kok Hu-jin menggelengkan kepalanya. “Tidak! Pamanmu itu bukan orang seperti itu! Sekalipun Ibu tidak cocok dengan dia. tetapi Ibu tahu sifatnya.” Kok Siauw Hong mengerutkan dahinya.
204 “Kalau begitu Paman Han itu orang jahat?” Kok Hu-jin menggelengkan kepalanya. “Paman Han sahabat Ayahmu dia bisa memilih kawankawannya. Jika Paman Han itu orang jahat. Ayahmu tidak akan menjodohkan kau dengan puteri Paman Han itu. Jika Ayahmu masih hidup, pasti kau akan dicegah memutuskan jodoh dengan nona Han.” “Kalau begitu Ibu lebih percaya kepada Ayah atau kepada Paman Jen?” “Sudah tentu Ibu lebih percaya kepada Ayahmu!” kata Kok Hu-jin. “Tapi Ibu yakin Pamanmu itu tidak berdusta, barangkali ada masalah lain. Sekalipun Paman Han dan Siangkoan Hok punya hubungan, belum tentu Paman Han bergabung dengan bangsa Mongol. Ayahmu sangat percaya kepada Paman Han. Ibu dan Ayah banyak menerima bantuannya. Tapi heran jika ia tahu kedudukan Siangkoan Hok sekarang, mengapa ia masih berhubungan denganny