Ceng-ujie gesit dan lincah, sekarang dia masih begitu muda, dibelakang hari dia mesti liehay sekali, maka tak usahlah tayhiap menegur dia.” Habis berkata, In Gak lantas bekerja, menggusur mayatnya Cie-sat-sin dan Tiat-hoed kedalam rumah. sebab juga si pendeta, setelah nyender sebentar ditembok. arwahnya sudah melayang ke Dunia Barat “Tayhiap” kata In Gak kemudian, “Aku melihat tempat ini tak dapat ditinggali lebih lama pula. Baiklah tayhiap beramai 344 pindah dari sini. Apakah tayhiap mempunyai sanak atau sahabat disuatu tempat lain dimana kamu dapat menumpang bernaung?” Liok Koan berpikir. “Aku lihat aku cuma dapat pergi kerumah say-hoa-to dikota Pengciang” katanya. “Wan-jie, mari kita bersiap-sedia, kita harus segera berangkat.” Nona itu menurut, bersama kakeknya ia lantas pergi kedalam, guna menyiapkan buntalan mereka. Syukur rumah orang she Hoe ini berada diujung gang yang sunyi dan banyak juga pepohonannya, maka selama terjadi peristiwa berdarah yang hebat itu, tidak ada orang lain yang mengetahuinya, jikalau tidak. mungkin mereka menemui kesulitan lain. Liok Koan mempunyai dua ekor keledai, maka kedua binatang itu dipakai untuk mereka mengangkat kaki. In Gak tertawa ketika ia berkata: “Kamu bertiga naik atas dua ekor keledai, inilah bagus. Nah, lekaslah kamu berangkat” Ceng-jie mengawasi dengan matanya. Ia heran-“Gan Toako, bagaimana dengan kau?” ia tanya si anak muda. In Gak bersenyum. “Toakomu dapat berjalan cepat tak kalah dengan kakinya keledai kamu” ia menjawab. “Kamu harus ketahui, tidak dapat kita jalan bersama.” Ceng-jie gelisah. “Toako, secara begini saja kau mau meninggalkan aku?” dia tanya. In Gak mengusap-usap kepala anak itu. “Ceng-jie, baik-baiklah kau mendengar kakek dan kakakmu,” ia kata, “Sabar dan kau pelajarilah dengan sungguh2 ilmu silat yang toakomu ajari kau, Kau tahu, aku mempunyai urusan sangat penting. Tapi jangan kuatir, dalam tempo dua tahun, aku nanti datang kepada kamu di Pengciang.”
345 Ia merogo kesakunya, mengeluarkan sepotong emas, yang ia serahkan kepada bocah itu, sembari ia kata: Inilah untuk kau membeli bebuahan. Anak itu tahu diri, ia menampik, “Terima, Ceng-jie” kata In Gak, sungguh2. “Jikalau kau tolak. toakomu marah” Ceng-jie menerima dengan terpaksa, ia mengucapkan terima kasih. Tapi ia bersedih, air matanya lantas melele keluar. Matanya Wan-jie pun merah, sedang Liok Koan menjadi sangat terharu. “Nah, berangkatlah” In Gak mendesak. sebab ia pun berat untuk berpisah. Mau atau tidak mau, kakek dan cucu2nya itu lantas mengeprak keledai mereka. In Gak menanti sampai orang sudah pergi ujauh, ia lantas menggunai kedua tangannya menggempur ambruk sisa rumahnya Liok Koan, habis mana ia pergi meninggalkan Jie cap lie-pou, untuk diam2 menguntit tiga orang itu ia mengantar sampai dikota raja, baru ia memisahkan diri. *** Pemandangan malam dijembatan Louw Kauw Kio dikota raja adalah pemandangan alam yang indah, akan tetapi In Gak menuju kesana diwaktu fajar, setibanya disana, sudah terang tanah, ia lantas mendengar dan melihat berlalulintasnya kereta2 diatas jembatan itu. Tepat ia menginjak ujung jembatan, ia mendengar suaranya dua orang yang tertawa dan berkata: “Sungguh sha-tee seorang yang dapat dipercaya. Begini pagi kau telah sampai disini” Bukan main girangnya pemuda ini kapan ia telah mengangkat kepalanya. Kalau tadi ia baru mendengar suaranya, sekarang ia menampak wajahnya orang yang 346 menegurnya itu ialah Kian-koen-cioe Loei Siauw Thian bersama Kioe-cie sin-kay Chong Sie. Segera mereka membuat pertemuan, tetapi untuk berbicara, guna mencegah tertariknya perhatian orang lain, mereka lantas pergi kesebuah rumah penginapan kecil di Wan-peng. Disini barulah mereka dapat memasang omong, paling dulu tentang perpisahan mereka. Tiba2 In Gak tertawa dan menanya Siauw Thian: “Jieko, kebinasaannya Sam-cioe Gia-kang ditepi pengempang, bukankah itu hasil kerjamu yang gilang-gemilang?” Siauw Thian bersenyum. “Kau terkalah” sahutnya. “Jikalau bukan aku, siapa lagi? Setelah melakukan itu, aku berpikir. Aku berkuatir orang nanti menggunai nama palsu dan itu dapat merugikan kau dalam usahamu menuntut balas. Kau tahu, hiantee, setibanya dikota raja, lantas aku membikin penyelidikan. Dulu hari itu, yang mengeroyok Cia Peehoe berjumlah kira2 sembilan puluh orang, diantaranya ada tiga orang Cian san Pay dari Kwangwa.
Pemimpin dari partai itu ialah Pek san it-ho Kiong Thian Tan. Dia bukanlah seorang jahat. Baiklah, hiantee pergi ke Khouw-kee-chung di Liauwleng, untuk menyelidikinya. Bila orangorang itu dapat menyingkir jauh, kau bakal menjadi berabeh. Menurut aku, paling baik kau menuntut balas satu demi satu. Aku telah pikir, biarlah aku bersama toako menjadi si tukang mencari rahasia, lalu kaulah yang turun tangan terhadap setiap musuhmu itu. Kau akur, bukan?” In Gak setujui pikiran itu, ia girang sekali. “Bagaimana dengan urusan jieko sendiri?” tanyanya kemudian. Siauw Thian mengangguk. dia tertawa. “Itulah bukan urusan terlalu besar” sahutnya.” Aku mempunyai seorang sahabat karib yang bekerja menjadi Cong-pouw-tauw dikantor Kioe-boen Teetok. dia bernama Poei 347 Kiat. Dalam menjalankan tugasnya itu, dia bersikap bengis, maka dia dianggap sudah bersalah terhadap banyak sahabat kaum Kang-ouw. Begitulah selama pesta ulang-tahun kelimapuluh dari ia, ia telah kecurian seperangkat baju lapisnya hadiah dari sepnya. Kejadian sebenarnya biasa, pencurian itu dapat diselidiki dengan perlahan. Tapi si pencuri berguyon hebat, dia justeru mengumumkan itu. Peristiwa itu sudah berjalan hampir setengah tahun, Tahulah Peei Kiat bahwa sengaja orang hendak mencemarkan dan bukan mencuri untuk mencuri. Dia lantas menyelidikinya sambil berbareng memohon bantuanku. siapa tahu, aku pun pusing dengan penyelidikan itu. Baru lima bulan yang lalu, diwilayah sam-siang, aku endusan. Poei Kiat sendiri habis daya, hingga dia cuma dapat menarik napas panjang pendek. tubuhnya jadi rongsok. hampir dia kehilangan pangkatnya. setelah aku tiba disini..” “Lantas jieko berhasil bukankah?” In Gak memotong, tertawa. Siauw Thian pun tertawa. “Urusan tak ada sedemikian mudah” sahutnya. “Hanya setibanya aku, kebetulan aku bertemu toako, jikalau tidak. pasti aku tidak dapat bekerja licin” In Gak melirik kepada Chong sie. “Bagaimana, toako?” tanyanya. Chong sie menoleh pada Siauw Thian, dia tertawa dan berkata: “Kau bicara tidak jelas, kau dapat membuat shatee nanti menyangka aku, lantaran mengemis saja aku masih tidak cukup makan, bahwa aku pun mencuri barang orang” “Ah, toako” kata In Gak. tidak puas. “Mengapa kau menduga demikian? Apakah kau mengira aku tidak kenal baik pada toako dan jieko?”
Chong sie tertawa, begitupun siauw Thian.
348 “Shatee, aku tidak permainkan kau” katanya. “Mari aku menjelaskan. Tujuh hari lamanya sia-sia belaka aku membuat penyelidikan dikota raja ini, lalu dihari kedelapan aku bertemu toako dikuil Tang Gak Bio kemana aku pergi berjalan-jalan. Belum sempat aku melihat toako, dia sudah lantas menghampirkanku. Lantas toako memuji kau, shatee. Tidak kusangka, kau pandai ilmu pengobatan. Maka aku pikir, kalau nanti urusan shatee sudah selesai, baiklah shatee tinggal disini selaku tabib, pasti orangorang besar nanti berduyun-duyun datang padamu sambil mengangkut uang yang putih seperti salju” “Jieko” In Gak memotong pula, hanya dia berkata sambil tertawa, “Kenapa kau masih berguyon saja? Apakah jieko mau aku hajar kau dengan ilmu Hoen-kin Co-koet-cioe untuk membuatnya kau salah laku?” Katakata ini disusul dengan gerakan sebelah tangan. siauw Thian lompat mencelat. “Aku tidak berguyon, shatee” katanya. “Baiklah nanti aku menutur pula. Aku lantas bicara dengan toako Toako kata ia mempunyai jalan. ia mengajak aku kemarkas Kay Pang, disana ia minta keterangan kalau-kalau ada salah seorang anggautanya ketahui urusan pencurian itu, sudah umumnya dimana ada pesta disana mesti kedapatan pengemis. Demikian malam peristiwa itu, ada tiga anggauta Kay Pangyang mendapat lihat lima orang bagaikan bayangan melompati tembok dan rumah, bahkan mereka itu diduga mestinya Touw-shia Ngo-cie, ialah Lima Tikus Kotaraja. Bersama-sama toako, aku lantas menyelidiki Ngo-cie. Mulanya mereka itu menyangkal, saking gusar, toako meng hajar dengan pukulan Kim-kong san-ciang, sedang aku, aku menasihatinya sambil mengancam, apabila mereka tidak menyerahkan pakaian itu, Tong-nie Poo-kah, tak ada tempatnya mereka dikota raja ini. sebaliknya, aku berjanji akan tidak menarik panjang dan tidak akan mengganggu sepak-terjang mereka. Demikian baju itu dibayar pulang dan aku mengembalikannya kepada Poei Kiat.
349 Besoknya toako menjamu Touw-shia Ngo-cie didalam markasnya, disana secara kebetulan kita membicarakan hal ayahmu, shatee. Menurut Ngo-cie, jumlah pengeroyok ayahmu itu berjumlah lebih dari sembilanpuluh orang, diantaranya ada tiga anggauta Cian san Pay, hanya mereka tidak tahu siapa orang itu.” In Gak menjura kepada kakak-angkat nomor dua itu, berulang kali ia menghaturkan terima kasih. “Diantara saudara sendiri, mana dapat ada ucapan terima kasih?” Siauw Thian tertawa. “Ooh, hiantee, aku lupa menghaturkan selamat kepada kau.” Muka In Gak menjadi merah. “Sebelum sakit hatiku terbalas, tak dapat aku membangun rumah-tangga” ia berkata. “Jieko, toako, sekarang juga aku hendak berangkat, setelah menemui mentuaku, baru aku mau pergi ke Khouw-keetoen.” “Apakah hiantee tidak hendak menikmati dulu keindahan kota Pak-khia?” Chong sie tertawa ia mendahului si anak muda berkata: “Orang lagi kegirangan, mana dia mempunyai minat untuk pesiar? sudahlah, mari kita berangkat” Kembali mukanya In Gak menjadi merah. Tak berdaya ia untuk godaan dua kakak-angkat itu. Dengan lantas katiganya berangkat ke Chong-cioe, kerumah Keluarga Tio, dimana mereka berkumpul dengan gembira sebab dua hari sebelum mereka, To Ciok sam bersama Gouw Hong Pioe, The Kim Go, Hauw Lie Peng, Tio Lian Coe dan Cioe Goat Go telah tiba terlebih dulu. Tio Kong Kioe belum pernah bertemu dengan bakal menantunya, kapan ia sudah melihat roman, dan potongannya Cia In Gak. la girang bukan main. ia lantas saja penuju dan menyukai menantu itu dan ia bersyukur untuk peruntungan bagus dari puterinya. Tapi ia tengah sakit mengi, tidak dapat 350 ia turun dari pembaringan untuk menyambut sekalian tetamunya itu. “Tua-bangka she Tio, kau belum ketahui bahwa menantumu ini ahli ilmu pengobatan” kata Chong sie sambil tertawa. “Aku tanggung tidak sampai lewat tiga hari, kau akan sudah segar-bugar seperti naga dan harimau dahulu hari” Kong Kioe heran, ia mengawasi menantunya itu. Muka In Gak merah, ia likat, tetapi ia menghampirkan mentuanya itu, untuk ia periksa nadinya, sembari memeriksa ia menanyakan tentang keadaan penyakit sukar menyalurkan napas itu, setelah mana ia membuat dua macam resep. satu untuk dimakan, satu lagi obat luar. Dilain pihak segera ia mengobati dengan tusukan jarum hingga sembilan kali, yang mana dilakukan saling-susul dikedua jam ngo-sie dan jie-sie, tengah-hari dan lohor. Benarlah seperti katanya Chong sie si Naga sakti Sembilan Jeriji, lewat tiga hari, Tio Kong Kioe telah sembuh dari sakitnya yang bandel itu, hingga ia menjadi girang sekali, sedang Lian Coe dan Goat Go
girang dan bangga untuk tunangannya itu. Akan tetapi In Gak sendiri tidak berdiam lama dirumah mentuanya, selang dua hari, ia meminta diri, berpisahan dari rombongan, untuk berangkat ke Tiang Pek san, gunung yang disebut juga Cian san. XI Pada suatu hari maka didusun Khouw-kee-toen di Liauwleng, Kwangwa, telah datang seorang pelajar usia pertengahan, yang lantas meminta kamar dalam sebuah hotel kecil. Dia bicara dengan lagusuaranya orang Kang lam. Besoknya dia memasang merek dipintu hotel, memberitahukan bahwa dia mengerti ilmu ketabiban serta bersedia juga menolongi orang menulis surat dan lainnya.
351 Untuk itu dia katanya bersedia menerima uang sekedarnya. Dia memakai nama Jie In. Ketika orang melihat mereknya itu, rata-rata orang memuji tak perduli mereka yang terpelajar, sebab huruf-hurufnya bagus sekali. Khouw-kee-toen mempunyai cuma dua jalan besar tetapi karena letaknya dipesisir dan juga mulut gunung Cian san, ramai keadaannya. Kaum saudagar, yang mengusahakan kulit dan bulu ternak. juga obat-obatan jinsom dan yosom, berpusat disitu. Karena ini, setiap rumah memakai layar yang tebal didepan rumahnya, guna menjaga sampokan angin yang keras serta serangan debu disebabkan ramainya lalulintas kendaraan dan kuda. Angin pun menerbangkan pasir kuning yang halus, yang tak hentinya selama empat musim. Justeru itu waktu bulan ketujuh, musim panas akan tetapi untuk wilajah Kwangwa orang tak terganggu teriknya sang surya, maka juga seperti biasanya setiap magrib semenjak kedatangannya, Jie In si tabib merangkap pelajar, telah pergi kesamping kiri hotelnya dimana ada rimba pohon cemara, dimana pun ada kali kecil beserta jembatannya, jembatan batu. Dibawah jembatan itu, dimana air berwarna hijau, dia berdiri menikmati keindahan alam. Disitu segala apa tenang dan tenteram. Angin bertiup halus. Matahari sore mengasi lihat cahajanya yang permai. Jie In menggendong kedua tangannya, dia memandang kelangit, mulutnya bersenandung. Atau dilain saat dia bercokol dijembatan, mengawasi air jernih yang mengalir tak hentinya. Dihotelnya, Jie In dikenal sebagai seorang yang manisbudi. Ada yang memanggilnya sie-seng atau tayhoe (tabib), Ada yang membahasakan sinshe (bapak guru). semua itu ia terima dengan senang. saban ketemu orang tak ketinggalan anggukannya yang halus senyumannya yang manis.
352 Pada dua hari pertama, orangorang yang datang berobat tidak banyak jumlahnya, setelah itu mulailah datang perubahan. Inilah disebabkan dia tidak memandang uang. Terhadap orang miskin, ia tidak minta bayaran, ia menolongnya sama seperti mereka yang dapat membayar. Terutama ialah resepnya, atau lebih benar obatnya, manjur setiap bungkus, karena sangat tepat pemeriksaannya. Maka itu ditempat sekitarnya sepuluh lie lantaslah terkenal Jie leseng atau Jie sinshe. Dengan lekas, dua bulan telah lewat. Pada suatu hari selagi senggang, Jie In duduk bersantap bersama tuan rumah yang usianya sudah lanjut. Tiba-tiba diluar hotel terdengar berisiknya ringkikan kuda disusul dengan disingkapnya gorden serta munculnya tiga orang dengan tubuh mereka besar dan keren dan kepalanya ditutup tudung rumput yang lebar. Seorang diantaranya, yang usianya paling tua, lantas berkata dengan suara nyaring: “Loociangkoei, apa benar disini ada berdiam Jie Tayhoe?” Loo ciangkoei ialah panggilan untuk pemilik hotel dan tayhoe, tabib. Tuan rumah itu segera berbangkit. “Oh, kiranya Soen Tongkee” dia berkata, tertawa. “Inilah Jie Tayhoe” la lantas menunjuki teman bersantapnya itu. Jie In segera berbangkit. “Ada urusan apa tuan mencari aku?” ia menanya dengan hormat. Dengan aku ia menjebut hak-seng murid, suatu katakata yang merendah. Orang she soen itu mengawasi, lantas dia tertawa berkakak. “Jie sinshe, kau beruntung sekali” katanya, tertawa pula. “Cucu perempuan dari majjkan kami mendapat sakit, kau diundang untuk tolong mengobati dia, asal kau benar pandai dan berhasil menjembuhkannya, pastilah majikan kami bakal 353 jadi sangat girang, kau tentulah akan peroleh hadiah perak yang putih-gemilang, hingga akan cukuplah hidupmu seumurmu” Habis berkata, lagi dia tertawa. Tapi Jie In menerimanya sebaliknya. Ia kata sungguhsungguh: “Tabib itu ada kewajibannya sendirisendiri. Tabib menolong si sakit, dia miskin, dia kaya, sama saja. Jikalau aku mesti menolong untuk uang, terima kasih, tidak sanggup aku. Dimanakah tinggal majikan tuan itu? Nanti aku pergi sendiri kesana” Orang she Soen itu tidak jadi gusar. Kembali dia tertawa.
“Jie sinshe, aku tidak sangka kau bertabiat begini macam” katanya. “Majikanku itu Kiong Thian Tan, dan julukannya Pek san it-ho si Burung Jenjang dari gunung Pek san, dia tinggal dipuncak Pit-kee-hong diatas gunung Tiang Pek san. Manusia itu diketahui , pohon itu dikenal dari bayangannya, maka kau niscayalah pernah mendengarnya. Dan aku si tongkee Soen Kay Teng bertiga, kami sengaja datang kemari untuk memapak kau mendaki gunung, maka juga, jikalau sinshe mau menyusul belakangan, bagaimana dapat kau mendaki puncak itu?” Jie In agaknya baru tersadar. “Oh, kiranya Kiong sancoe” katanya separuh berseru. “Benar-benar aku beruntung sekali, Soen Tongkee, sudikah menanti sebentar, aku hendak berkemas dulu” Lantas ia masuk kedalam kamarnya. Tempo ia keluar pula, ia mengenakan baju luar dari kulit dantangannya mencekal beberapa jilid buku ketabiban yang sudah tua dan robek disana-sini “Benar-benar aku tidak menyangka Jie sinshe seorang Kang-ouw sejati” kata Soen Kay Teng tertawa.
354 “Diatas gunung, angin besar dan hawa dingin, untuk kami penggemar ilmu silat, itulah tidak berarti, tidak demikian dengan sinshe yang tubuhnya lemah, maka jikalau sinshe tidak memakai baju lapis, ada kemungkinan sebelum sinshe memeriksa orang sakit, sinshe sendiri yang nanti roboh karenanya. Jikalau itu sampai terjadi, bukankah menggelikan?” Tuan rumah dan dua kawannya Kay Teng ini tertawa. Jie In pun turut tertawa. Ia kata: “Untuk kami tabib pengumbara dan sebangsanya, seperti tukang tenung, empat penjuru lautan ialah rumah kami, jikalau hal ini aku tidak ketahui, tak dapat aku dipanggil tabib yang biasa merantau.Benar bukan, soe Tongkee?” Tanpa menanti jawaban, ia melanjuti kepada tuan rumah: “Loociangkoei, tolonglah kunci kamarku, sebentar setelah kembali kita nanti berkumpul pula” “Baik sinshe” sahut tuan rumah. Soen Kay Teng lantas mengajak si tabib keluar dimana sudah menantikan sebuah tandu yang dipikul empat orang. Itulah tandu istimewa untuk Kwangwa, tandu mana mirip joli tapi tanpa penutup, disitu orang dapat rebah menyender, tatakannya ialah rumput yang lunak dan hangat. Melihat tandu itu, Jie sinshe agaknya jeri. “Aku mendaki gunung naik ini?” katanya. Kay Teng tertawa. “Jikalau sinshe takut, meramlah, tidak apa” katanya. Jie In menggeleng kepala, tetapi ia toh naik ditandu dengan roman terpaksa. Begitu ia menaruh tubuhnya, begitu empat tukang gotongnya berseru dan bergerak. mengangkatnya dan berjalan, cepat seperti lari. Diatas tandu, Jie In merasai tubuhnya terumbang-ambing, didalam hatinya ia kata: Liehay empat tukang gotong ini, 355 disebelahnya biasa, kuat kaki mereka Ia diam saja. Inilah yang pertama kali ia naik kendaraan istimewa itu. Soen Kay Teng bertiga menunggang kuda, mereka jalan didepan. Belum lima lie, tiba sudah mereka dimulut gunung Cian san dimana segera muncul seorang dengan sapanya: “Soen Tongkee, apakah Jie sinshe sudah sampai?” Sudah” sahut Kay Teng cepat. “Lekas wartakan ke Congtong”
“Ya” menyahut orang itu, yang segera berlalu dengan cepat. Kay Teng bertiga lompat turun dari kuda mereka, mereka lompat maju kedepan. Ketika tandu Jie sinshe tiba didekatnya, dari mulut pos jagaan terdengar mengaungnya tiga batang anak panah nyaring,yang lantas disambut di empat penjuru hingga suaranya menjadi ramai sekali. Jalanan mendaki sulit, Kay Teng bertiga sering berlompatan. Tinggal si tukangtukang gotong. Dengan lekas pakaian mereka kujup dengan peluh. susah atau tidak, mereka maju terus. Diatas tandu, Jie sinshe tak hentinya mengasi dengar suara kagetnya. Sampai ditengah jalan, disana kedapatan pepohonan yang lebat, dimana pun terlihat adanya ular dan lain-lain binatang alas. Disini angin meniup keras, membuat rimba berisik sekali. saban-saban terdengar mengaungnya panah-nyaring tetapi pelepasnya, atau lain orang tak nampak satu jua. Sekira perjalanan tiga jam barulah Jie In tiba diatas gunung. Melihat jauh kedepannya, ia menampak puncak gunung terselimutkan salju putih. Angin dingin menyampok muka tak sudahnya. “Soen Tongkee” si tabib memanggil, tangannya memegang keras kedua pinggiran tandu, “Apakah masih belum sampai? Aku bisa mati bekuh ni”
356 Kay Teng, yang berjalan didepan, menoleh sambil tertawa. “Jie sinshe, bukankah kita telah tiba?” dia menyahut. “Kau lihatlah kebawah sana” Jie In memang menanya sambil dongak, mendengar demikian, ia tunduk. maka ia melihatlah diba wah, didalam lembah, berderet-deretnya rumahrumah, cuma sebab kealingan pepohonan, tidak dapat ia melihat tegas. Lembah itu mirip paso yang lebar. Rumah itu hitung ratus atau mungkin ribuan. Maka hebatlah Congtong, pusat atau markas besar dari Cian san Pay, berada didalam situ. Memang sukar mencarinya. Jilid 4.4. Musuh yang sembunyi di Cian San Pay Sekarang orang mulai jalan mudun.. Kalau mendaki lambat, turun cepat. Maka Jie In merasa ia seperti terbang terbawa angin. Mukanya menjadi pucat. syukur lekaslah mereka sampai dibawah, ditanah rata. Maka dia mengeluarkan napas lega, mukanya nampak tenang. Kay Teng tertawa mengawasi tabib itu. Sekarang orang berjalan berliku-liku dijalanan didalam pohon-pohon lebat. Jie In melihat jalanan, anehnya orang tidak ambil itu, orang bertindak disampingnya. Maka teranglah, orang lagi melewati tempat menurut garis-garis pat-kwa, segi delapan. Sekeluarnya dari dalam rimba barulah orang melihat tempat yang kosong dan luas. Dis itulah nampak rumahrumah yang tadi terlihat samar-samar. segera terdengar anjing menggonggong dan ayam berkokok. Dari setiap rumah terlihat asap mengepul naik, Agaknya orang berhadapan dengan rumahrumah kampungan, maka siapa sangka itulah pusat dari sebuah partai kaum Kang-ouw.
357 Kay Teng bertiga tepat jalan dimuka. Tujuh atau delapan kali mereka main mengkol-mengkol, baru mereka itu tiba didepan sebuah rumah besar dan keren, yang terkurung tembok. Pintu pekarangan, yang besar dan lebar, berdaun dua, disitu tercantel gelang pegangannya yang merupakan kepala harimau. Pintu itu ditutup rapat, untuk masuk. orang mengambil pintu kecil dipinggirannya. Didepan rumah terlihat empat orang dengan golok ditangan. satu diantaranya segera lari kedalam begitu lekas mereka itu melihat Soen Kay Teng. Tiga kali terdengar suara gembreng, yang menyusuli dipentangnya pintu tengah. Jie In menduga tuan rumah menyambut ia dengan cara hormat. Lantas ia melihat munculnya seorang tua usia tujuhpuluh kira-kira, diikut beberapa pengiring. Mereka itu bertindak dengan cepat. Mengawasi si orang tua, Jie In melihat sebuah muka yang merah, sepasang alis putih yang panjang, yang ujungnya nempel kerambut didekat telinga, dan sepasang mata yang tajam. Dilihat sekelebatan, dia mirip dewa panjang umur. ia menduga kepada Pek san It-ho Kiong Thian Tan, maka ia lantas memberi hormat sambil menjura seraya berkata: “Aku Jie I n memohon maaf telah terlambat mengunjungi sancoe, hingga sancoe sendiri yang keluar menyambut. Aku berdosa harus mati” Kiong Thian Tan tertawa lebar, matanya bersinar bagaikan kilat menatap si tabib. “Jie sinshe, bagus kata-katamu” ujarnya. “Cucuku sakit berat, terpaksa aku mengundangmu. Tentulah sinshe menderita disepanjang jalan.” “Tidak. tidak.” kata Jie In menjura pula. “Orang sakit perlu diobati, maka itu, tolong sancoe lekas mengajak aku melihat cucumu yang terhormat itu.” Thian Tan tertawa sambil mengurut kumisnya. “Silakan,” ia mengundang, terus ia bertindak.
358 Jie In mengikuti tuan rumahnya. Ia melihat sebuah rumah yang besar dengan pekarangan dalam yang luas. Didalam pekarangan itu ada ditanam pohon-pohon cemara dan pek, juga pohon koei-hoa yang bunganya berbau harum, sedang jalannya ditaburi batu putih terbariskan pohonan tanhong. Dibulan sembilan, daun pohon itu merah indah seperti api marong. Jie In langsung dipimpin kedalam sebuah kamar tulis. Ia kagum. Tak surup kamar semacam itu dipunyai oleh orang Kang-ouw kepala suatu perkumpulan besar. Mestinya itulah rumahnya seorang sasterawan-Ditembok tergantung banyak pigura gambar dan tulisan. sesudah kacung menjuguhkan teh, tuan rumah mengundangnya masuk keperdalaman, melintasi lorong berliku-liku, ranggon berkaca dan lainnya. Disitu kedapatan banyak pegawai, pria dan wanita. Akhirnya tibalah mereka dalam sebuah kamar dimana ada seorang anak perempuan umur enam atau tujuh tahun lagi tidur nyenyak. tubuhnya dikerebongi selimut, hingga terlihat mukanya saja yang pucat-pias tak cahayanya. Didalam kamar itu masih ada tiga orang lain lagi.Yang seorang ialah satu nyonya tua dengan sepasang mata celi dan tajam tetapi tangannya mencekal sebatang tongkat hitammengkilap yang gagangnya berkepala burung-burungan. Yang kedua jalah seorang njonya usia tigapuluh kira-kira, yang romannya cantik, dan yang ketiga seorang budak umur tiga belas tahun, yang duduk numprah diatas pembaringan. Atas datangnya tuan rumah dan si tabib, mereka berbangkit menyambut. “Inilah isteriku” Thian Tan mengasi kenal. Ia menunjuk si njonya tua. Jie In memberi hormat sambil menjura seraya memperkenalkan diri.
359 “Inilah menantuku” kata pula Thian Tan menunjuk si njonya muda. Lagi sekali Jie In memberi hormat sambil menjebut. “Sudah, sinshe, jangan pakai banyak adat-peradatan” kata si nyonya tua tertawa. “Tolong lihatlah cucuku ini.” Jie In menyahuti sambil ia duduk ditepi pembaringan, selagi memeriksa nadi, beberapa kali ia menggeleng kepala. sekian lama barulah ia berbangkit, untuk terus berkata: “Inilah bukan penyakit berbahaya, cuma panas-dingin terkena angin jahat. Mungkin thaythay semua menyayangi cucu, dia dikasi makan obat kuat sebab disangka tubuhnya lemah, karena mana angin terdesak kedalam dan menyebabkan keadaannya parah. Coba dia dikasi obat mengusir panas, dengan lantas dia akan sembuh cukup dengan sebungkus obat. Mungkin dia diperbahayakan oleh tabib tolol” Thian Tan masgul karena sakitnya sang cucu, mendengar suaranya Jie sinshe, hatinya lega, tetapi mendengar pula katakata hal si tabib tolol, alisnya mengkerut. “Sinshe, apakah dia dapat ditolong?” ia tanya. “Bisa, bisa” menyahut si tabib. “Dalam tempo tiga hari, anak ini akan sembuh.” Mendengar itu, senang hatinya tuan rumah. Setelah memeriksa, Jie In meminta diri untuk pergi keluar. ia diantar kembali kekamar tulis. Ia cuma berpikir sebentar untuk menulis surat obatnya. “Aha, sinshe” berseru tuan rumah ketika ia menyambuti resep dan melihat tulisannya. “Tulisanmu indah sekali, jarang aku melihat tulisan semacam ini” “Tulisanku justeru buruk sancoe” Jie In merendah. Ketika itu bersama tuan rumah dan tetamunya itu ada dua orang lain lagi, yang menemani, satu diantaranya, seorang tua, yang turut melihat resep itu, berkata: “Benar, tulisan ini 360 sangat bagus. Tidak sembarang ahli dapat menulis seindah ini” Thian Tan menatap tabib didepannya, matanya bersinar. ia sudah lantas dapat sebuah pikiran. Dengan tertawa manis, ia kata: “Kalau anakku dapat disembuhkan, aku pasti akan menghadiahkan kau, sinshe?” Lantas ia menjuruh bujangnya pergi membeli obat. Perkataannya Jie In benar. Lewat tiga hari, sembuh sudah si nona cilik, Ia dibawa engkongnya
kekamar tulis, untuk menghaturkan terima kasih pada penolongnya. “Terima kasih kembali?” berkata Jie In, seraya ia pondong anak itu untuk dicium, kemudian ia menurunkannya dan kata sambil tertawa: “Selesai sudah tugasku disini, aku memohon diri.” Tuan rumah tertawa. “Masih ada sesuatu untuk mana aku mau minta tolong pula” ia kata. “Aku harap sinshe jangan lekas pulang dulu. sinshe pandai surat, aku ingin sinshe suka tolong mengajari surat pada cucuku ini. suka aku membayar gaji dua ribu tail setahunnya. sinshe tidak menampik, bukan?” Jie In lantas melengak sebentar, lantas ia menggeyang kepala. “Aku beruntung dan girang atas penghargaan sancoe ini” katanya, “Hanya sayang aku sudah terlalu biasa merantau hingga tak dapat aku menetap lama disuatu tempat. Justeru semasa hidupku ini, ingin aku pesiar keseluruh negara, untuk menikmati keindahannya. Dalam hal ini maaf, aku jadi berlaku kurang hormat” Thian Tan mengerutkan alis. “Jie sinshe, aku sangat menyukai orang pintar, maka itu harap kau jangan menampik” ia membujuk. “Sinshe masih muda, masih banyak tempomu untuk pesiar. Biarlah aku memberi tempo tiga tahun. Kau bukan kaum persilatan, kau 361 juga bukan orang partaiku, selama tiga tahun itu suka aku memberi kebebasan terhadapmu untuk keluar-masuk disini. Disinipun banyak orang yang sakit, sinshe dapat sekalian menunjuki kepandaianmu menolongi mereka, hingga kau jadi dapat sekalian melakukan perbuatan baik dan mulia.” Selagi berkata begitu, tuan rumah mcngasi lihat sorot mata meminta sangat. Jie In berpikir. “Sancoe begini baik hati, jikalau aku menolak terus, aku jadi tak berbudi”katanya. “Melainkan ada satu permintaanku, yaitu aku biasa tidur tengah hari, selama itu tidak dapat orang mengganggunya. Dapatkah sancoe menerima baik permintaanku ini?” Mendengar begitu, Thian Tan girang bukan main. “Itulah perkara sangat kecil” katanya girang. “Baiklah, kamar tulis ini dan sekitarnya sampai kebelakang aku jadikan daerah terlarang, tanpa urusan penting siapapun tidak dapat mengganggu sinshe” Jie In girang. ia lantas minta ijin buat pulang dulu ke Khouw-kee-toen, untuk mengambil semua barangnya serta mengurus lainnya, sebab disana masih ada beberapa pasien yang membutuhkan
pertolongannya lebih jauh. Thian Tan terima baik permintaan itu, bahkan ia memberikan uang lima-ratus tail perak guna si tabib membeli pakaian dan lainnya. keperluan. Jie In pulang kehotel dimana sampai lima hari lamanya ia bergaul erat dengan pemilik hotel, baru ia kembali kegunung, kemarkasnya Cian san Pay yang diberi nama dusun Hoan-pek san chung. Maka semenjak itu, kecuali diwaktu mengajar surat kepada si nona cilik, la luang sekali temponya, yang mana ia gunai untuk menulis dan menggambar, atau minum arak atau jalan-jalan diluar sanchung.
362 Pek san It-ho menghargai tabib itu, ia memberikan sehelai leng-kie atau bendera-titah yang memakai buku merah dengan apa ia dapat keluar-masuk dengan merdeka. sebagai orang pelajar yang lemah, ia dianggap tidak nanti pergi menghilang dari gunung itu. Ia pun dapat seorang kacung umur dua belas tahun, untuk mengurus segala kebutuhannya. Pada suatu hari Nona sioe, cucunya Thian Tan itu, lari berlompatan masuk kekamar gurunya. Ia berkuncir dua buah yang ngacir tinggi. Begitu melihat gurunya, ia berseru: “Sinshe, ayahku sudah pulang Dia membawa banyak kembang gula untukku. Ayah mendengar sinshe telah menyembuhkan aku, ia ingin sangat menemui, maka itu marilah sinshe turut aku” Habis berkata, ia samber baju gurunya, terus ia menariknya. Ia gembira sekali. sambil tertawa, Jie In mengikuti masuk keperdalaman. Jauh-jauh telah terdengar suaranya tuan rumah, yang berbicara sambil tertawa-tertawa, ketika ia melihat guru cucunya, ia berbangkit menyambut dengan manis, katanya: “Anakku, Leng Hoei, baru pulang dari Tionggoan, ketika ia mendengar kepandaian sinshe, yang pun telah menolongi anaknya, ingin ia menghaturkan terima kasih sendiri pada kau, sinshe. Ini dia anakku, itu” Memang Jie In telah melihatnya disamping Thian Tan seorang prja usia pertengahan, yang mukanya lebar dan telinganya besar, yang romannya gagah, dan tadi dia bicara riang dengan si nyonya tua dan nona menantunya, maka itu ia lantas memberi hormat pada orang yang ditunjuk itu. Kiong Leng Hoei tertawa, ia membalas hormat dan kata: “Jie sinshe, kami kaum Rimba Persilatan, kami tidak kenal banyak adat-peradatan- sinshe, banyak-banyak terima kasih”
363 Jie sinshe merendah. Ia pun menanyakan kesehatannya si nyonya tua dan si nyonya muda, setelah mana ia meminta ijin mengundurkan diri “Tunggu dulu, sinshe” kata tuan rumah tertawa. “Mari kita dahar disini” Lantas ia menjuruh budak. menyajikan barang makanan. Jie In tidak dapat menampik, ia mengucap terima kasih. Demikian mereka bersantap sambil memasang omong. “Dalam perjalanan pulang dari Kanglam” berkata Leng Hoei, “Aku mendengar kabar bahwa musuh kita dulu hari, Hok-san Jin-sioe, telah mengundang kawan-kawan yang katanya liehay niat datang kemari untuk mencari balas” Tertawa Thian Tan mendengar kabar itu: “Tidak apalah jikalau Hok-san Jiesioe tidak datang kemari” katanya, “Tetapi apabila benar mereka datang, tidak nanti aku beri hati kepada mereka. Kami dari pihak Cian san Pay, meskipun kami tergolong penjahat, kami tidak menghiraukan harta tak keruan asal-usulnya dan kami tak melakukan sesuatu yang tak lurus. Lain adalah Hok-san Jiesioe, merekalah penjahat biasa, yang tak ada kejahatan yang tak dilakukannya. Dulu hari itupun mereka sendiri yang mengganggu kami maka aku telah menghajar dengan Tay-lek Koen-goan-ciang pada si tertua Wie Lin soei. Aku masih menyayangi dia mendapat nama tak gampang, aku menghajar dia dengan tenaga lima bagian, jikalau tidak. tidak nanti dia dapat pulang hidup-hidup” “Kabarnya Hok-san Jiesioe telah meyakinkan ilmu silat yang baru, dari itu tak dapat kita lengah” kata Leng Hoei tertawa. “Biarlah mereka dating” Leng Hoei berkata. Si nyonya tua tertawa. “Kau nanti lihat berapa jauh sudah aku telah mendapat kemajuan dengan tongkatku sian-tian Thung-hoat yang terdiri dari duapuluhdelapan jurus”
364 Selagi berkata begitu, bangun rambut ubanan dari si njonya tua, suatu tanda dia sangat kegirangan dan bernapsu. “Aku tidak sangka, ibu, kau demikian bersemangat” kata Leng Hoei girang. Selama itu, Jie In dahar dan minum dengan anteng, ia tidak mengambil mumat pembicaraan diantara itu anak dan ayah-ibunya. “Sekarang ini di Tionggoan telah terjadi dua peristiwa menggemparkan,” kemudian Leng Hoei berkata pula “Yang pertama halnya seorang pelajar muda yang aneh, yang tak ketahuan she dan namanya. Katanya dia telah merobohkan Chong-sie Koay-sioe, ketua dari sip-sam-sia, si Tigabelas sesat, si jago tua patah dua tangannya dan tertotok musna ilmu kepandaiannya. Berbareng dengan itu runtuh juga Hoasan im-yang siang-kiam, karena mana Oe-boen Loei, ketua dari Oey Kie Pay, telah mendapat malu besar, yaitu dia kena dibekuk si pelajar aneh, hingga dia mesti membubarkan pengaruhnya di Kangsouw Utara. Pula sipelajar aneh, dengan bersendirian saja, sudah mengalahkan sembilanbelas ketua cabang dari Ceng Hong Pay di Cio-kee-chung, sedang besokannya Kioe-sin Soh Cian Lie terbinasakan ditangannya. semua peristiwa itu sangat menggemparkan wilayah selatan dan Utara sungai besar. Kabarnya lagi pelajar aneh itu berusia masih sangat muda, romannya tampan dan gagah. sayang aku tidak berkesempatan bertemu dengannya, jikalau tidak. suka sekali aku belajar kenal dan bersahabat padanya.” “Kalau begitu bukan kau, aku pun ingin sekali berkenalan dengannya” kata Thian Tan tertawa. “Nah, apakah itu peristiwa yang kedua?” “Itulah hal yang telah menggemparkan sangat kaum Rimba Persilatan” sahut Leng Hoei, yang kembali tertawa. “Itulah halnya Twie-hoen-poan Cia Boen jago Hoo-lok yang katanya sudah terbinasa digunung Boe Kong san tetapi dia sekarang muncul pula dalam dunia Kang-ouw”
365 Thian Tan heran“Dia?” tanyanya. “Ah, inilah sukar dipercaya” “Memang, aku pun sukar mempercayainya” kata si anak. “Lim-chong siang-sat, NgoTok Cinjin dari Tong Pek san, serta sam-cioe Gia-kang Hok Leng Tok katanya telah terbinasakan ditangannya, tetapi tidak satu orang pernah melihat dia, cuma tersiar beritanya bahwa Cia Boen lagi mencari tahu orangorang yang dulu hari mengeroyok dia, untuk satu demi satu dibalasnya” Jago tua itu mengerutkan dahlnya, tetapi dia kata tertawa: “Kalau hal ini dapat didengar Hoan-thiancioe Ang Ban Thong beramai, mungkin terjadi mereka tidak dapat tidur nyenyak tiga hari tiga malam” Tanpa merasa Leng Hoei melirik keluar jendela. “Apakah Ang Toasiok masih ada di Kioe-kiongkok?” ia tanya. Kiong Thian Tan mengangguk. “Ia masih ada disana” sahutnya. “Setengah tindak juga dia tidak berani meninggalkan gunung ini. semenjak beberapa musuhnya hendak membinasakannya, dia lari kemari untuk bersembunyi, sampai sekarang sudah sepuluh tahun, dia terus mengeram diri sekarang terdengar halnya Cia Boen itu, apabila ia mendapat tahu, pasti untuk selamanya dia tidak bakal mau berlalu dari sini. Benar dulu orang mengepung Cia Boen secara menyamarkan diri tetapi Cia Boen itu cerdik, pasti tak sukar untuknya membikin penyelidikan-sebenarnya kelirulah Ang Ban Thong. Urusan bukan urus annya sendiri, kenapa dia mencampur tangan?” “Tentang adik seperguruannya itu, Kiang Hiong yang jahat, yang berdosa tak berampun, bukan saja Cia Boen, apabila ia bertemu dengan orangorang sebangsaku, tak nanti ia dapat lolos Kenapa dia mau menuntut balas untuk adik seperguruannya itu? Dasar dia usilan, suka mencampuri urusan tidak keruan, sekarang dia mencari susahnya sendiri”
366 “Tetapi, ayah, tentang Ang Toasiok, tidak dapat kau mengatakan demikian. Adik seperguruannya terbinasakan orang, mana dapat dia tidak menuntut balas? Kalau orang dengar halnya, dimana dia mau menaruh mukanya?” “Kau ngaco” kata ayah itu. “Kalau dia benar mau mencari balas untuk adik seperguruannya, dia boleh bertindak terusterang, secara laki-laki Kenapa dia main kerojok? Kenapa dia main bokong? Itulah perbuatan paling hina” Mukanya si anak muda merah. Ayahnya itu memang benar. “Sudah, sudah” Njonya Kiong datang sama tengah. “Kamu ayah dan anak baiklah jangan duduk berkumpul, begitu berkumpul lantas bentrok. Kamu membikin Jie sinshe jadi kesepian, tahu?” Jie In lagi bicara getol dengan Sioe In, tapi ia lekas berkata: “Tidak apa, tidak apa Tentang Rimba Persilatan, aku tak tahu suatu apa. Chungcoe muda baru pulang, sudah selayaklah ia anak dan ayah memasang omong. Tidak demikian dengan aku si orang perantauan, aku hidup sebatang kara, aku tidak berdaya” Jie In mengatakan tepat rasa hatinya. Ia memang bersendirian saja. Thian Tan kuatir membuat si guru sekolah kesepian, ia lantas menukar haluan bicara, saban-saban ia mencari jalan untuk beromong-omong dengan tetamunya ini, syukur ia luas pengetahuannya, sebagai orang Rimba Persilatan, dapat ia menemani si guru, bahkan ia berbicara dengan riang hingga beberapa kali mereka tertawa dan bertepuk tangan, sampai akhirnya tibalah saatnya Jie In minta mengundurkan diri. Malam itu Jie In tak tenteram hatinya, hingga tak dapat ia tidur. Ia turun dari pembaringan, mengenakan bajunya, lalu duduk dikursi diluar kamarnya. Hawa udara dingin sekali. Ketika itu pun bulan kesepuluh. Apapula orang berada diatas 367 gunung. Bintang-bintang jarang tetapi sang Puteri Malam jernih dan permai sekali, hingga didalam lembah itu, rumahrumah dan pepohonan memain dengan bayangannya masingmasing. semua pohon, kecuali cemara dan pek. sudah mulai gundul, ada yang tinggal cabang-cabangnya saja. Dalam suasana itu, Jie In terus duduk terpekur, dia bagaikan lagi berpikir keras. Rupanya ada sesuatu yang memegang pikirannya. sampai lewat jam empat baru ia masuk kekamarnya, naik kepembaringannya dan tidur dengan perlahan-lahan. Besoknya pagi, kesulitan pikirannya Jie In seperti telah lenyap semuanya. seperti biasa, ia mengajari surat kepada Sioe In, habis mana ia minum teh wangi yang disuguhkan kacungnya. seperti biasa, ia pun bersendirian saja. Hanya hari ini mendadak ia melihat datangnya sancoe Kiong Thian Tan dengan romannya yang rada muram. Dengan tergesa-gesa ia berbangkit menyambut. “Duduklah sinshe” kata Thian Tan seraya mengulapkan tangan dan bersenyum. “Dalam dua hari ini
mungkin Hok-san Jiesioe datang untuk mencari balas, maka itu apabila tak ada perlunya, aku minta sukalah sinshe jangan meninggalkan kamar tulis ini, supaja bila ada sesuatu taklah sampai kami tak dapat melindunginya. Umpamakata ada orang yang tidak dikenal, atau ada terdengar sesuatu, diangan sekali sinshe memperlihatkan diri, jangan melakukan sesuatu” Ia menunjuk pada si kacung: “Ini si Pin-jie mengerti juga sedikit ilmu silat untuk menjaga diri, dia bolehlah diminta melindungi sinshe.” Muka Jie In menjadipucat. “Nanti, nanti aku berlaku hati-hati” katanya gugup. “Tentang diriku, harap loosancoe jangan menguatirkan apaapa”
368 “Kalau begitu, baiklah,” kata tuan rumah, yang lantas berlalu. Jie In melepaskan napas lega. Ia menoleh kepada Pin-jie, yang berada dipinggir pintu, yang mengawasi ia dengan roman jenaka. Lantas ia mengasi lihat roman sungguhsungguh. “Kunyuk cilik, kau berani kurang ajar terhadap bapak guru ya,” katanya, membentak tetapi perlahan“Awas, satu hari kau bakal tahu rasa” Tapi kacung itu tertawa. “Sinhe, mana berani Pin-jie kurang ajar,” katanya.“Aku cuma tertawa sebab barusan waktu loosancoe mengatakan bakal ada orang datang, muka sinshe menjadi sangat pucat.” “Kunyuk cilik” Jie In membentak pula, romannya gusar. “Barusan loosancoe bilang kau mengerti ilmu silat, coba kau pertunjuki beberapa jurus. Aku tidak mengerti silat tetapi dapat aku melihat kepandaianmu dapat dipakai atau tidak seandaikata kau tak sanggup melindung aku, nanti aku bersembunyi dikolong ranjang. Mau atau tidak?” Kacung itu tertawa terkikik, hingga dia tampak jenaka. “Sinshe,” katanya, perlahan, “Baru saja aku peroleh semacam permainan, tetapi tentang ini aku minta janganlah sinshe memberitahukan loosancoe, apabila dia mendapat tahu, aku bisa didamprat hebat” Habis berkata, dia mengeluarkan dari tangan bajunya tiga panah-tangan panjang masingmasing lima dim, sembari tertawa dia menambahkan- “Sinshe telah melihatnya, bukan?” Sembari berkata, kacung itu lantas memasang kudakudanya, tangan kanannya diluncurkan rata, terus mendadak ia memutarnya. Dan “ser..” maka ketiga batang panah tangan itu melesat menyamber boneka malaikat yang terbuat dari kayu cendana diatas meja.
369 Jie In terlihat kaget, tetapi ia terus mengambil patung itu, hingga ia melihat ketiga panah nancap masingmasing didada dan kedua mata, nancapnya tiga coen kira-kira. Maka heranlah la yang bocah itu, yang telah mempunyai tenaga cukup besar itu. “Bagus” si sinshe memuji. “Siapakah mengajarkan kau ini?” Pin-jie mencabut ketiga panahnya. “Inilah pengajarannya loohoejin diluar tahunya loosancoe,” sahutnya tertawa. “Kau maksudkan loothaythay?” tanya si sinshe heran“Loothaythay demikian liehay?” Pin-jie tertawa terkikik pula. Pasti sinshe tidak ketahui katanya, lucu. “Keluarga loosancoe semuanya liehay. Umpama loohoejin, dialah Pek hoat Kioe-tiang-po Yap Han song yang kesohor di Kwangwa. sinshe bukan orang Rimba Persilatan, tapi sinshe tentu telah mendengarnya” Setelah berkata begitu, seperti dia mendengar suara apaapa, si kacung lantas memasang telinganya, terus dia lari keluar. Sendirinya, Jie In tersenyum. Sang siang lewat dengan cepat, sang malam sebera menggantikan tugasnya. Dan malam itu, dibawah sinar rembulan, segera terlihat berkelebatnya bayangan dua orang, bagaikan burung garuda menyambar, lewat didepan kamarnya Jie sinshe. Menyusul itu terdengarlah bentakan beberapa kali, disusul lebih jauh dengan berisiknya bentrokan pelbagai senjata tajam. Kembali terdengar suara orang. Lalu sang malam sunyi seperti semula, kecuali suaranya angin Sebaliknya, Pin Jie terlihat lari bergegas-gegas masuk kedalam kamar tulis, terus kekamar tidurnya Jie sinshe, dimana ia dapatkan keadaan sangat sepi. Untuk kagetnya, ia tidak melihat si guru sekolah, hingga ia berdiri melengak.
370 Tidak lama ia tercengang itu, lantas ia lari keluar. Tapi tidak lama, ia telah kembali bersama-sama tuan rumah yang tua danyang muda. “Jie sinshe” ia memanggil setelah mereka memasuki kamar tulis. “Ya” terdengar jawaban perlahan dan menggetar, suara mana datangnya dari kolong pembaringan, menjusul mana lalu tertampak munculnya kepala si guru sekolah, yang merayap keluar dengan tubuh bergemetar. Hampir ThianTan dan Leng Hoei tertawa, syukur mereka dapat mencegahnya. Mereka melihat Jie sinshe bermuka hitam dan bajunya penuh debu. “Barusan datang dua sahabat yang membawa berita,” berkata tuan rumah yang tua. “Diantara kita telah terbit salah paham, kita telah bentrok sebentar karena kami merintanginya. Mereka itu mengabarkan bahwa Hok-san Jiesioe beramai bakal tiba malam ini. Aku tidak sangka sinshe kena dibikin kaget karenanya.” Jie sinshe tersenyum terpaksa. “Aku mendengar bentrokan senjata, aku kaget, lantas aku menyembunyikan diri,” katanya. Mendengar itu, Pin-jie tertawa. “Hus” Leng Hoei membentak kacung itu “Lekas ambil air untuk sinshe mencuci muka” Pin-jie menurut, ia lantas pergi dan kembali dengan cepat dengan air yang diminta, tetapi dia lucu, dia masih tertawa sendirinya. ” Anak nakal” Leng Hoei membentak. Jie In sudah lantas membersihkan muka dan pakaiannya, setelah mana, kedua tuan rumah mengajaknya bicara. Tapi tak lama, ayah dan anaknya itu mengundurkan diri pula.
371 “Sinshe,” kata Pin-jie kemudian, “Besok bakal ada keramaian dipuncak Pit-kee-hong dibelakang sanchung ini. Apakah sinshe mau melihatnya? Kalau mau, aku dapat mengajak kau kesebuah tempat dari mana dapat kita mengintai.” “Kunyuk” guru sekolah itu membentak. Kenapa kau ajak sancoe datang kemari? Apa sengaja kau hendak membuat aku malu? Kau mau pergi, pergilah. Aku sendiri tidak. Apakah yang bagus dilihat?” Pin-jie tertawa pula, ia lantas ngelojor keluar. “Dasar bocah” kata si guru, yang mengawasi orang berlalu. Selanjutnya, malam itu dilewatkan dengan sunyi. Tapi besoknya, malam jam tiga, ramailah dipuncak Pit-kee-hong. Disana golok dan pedang berkelebatan, beradu satu dengan lain, ditambah berisiknya teguran dan dampratan, hingga umpama kata lembah menggetar. Lalu mendekati fajar, loosancoe pulang dengan mandi darah, lengan kirinya dipegangi. Dia memasuki kamar tulis. Terang dia telah terluka. Ketika itu Jie In duduk dikursi, rupanya satu malam suntuk ia tidak tidur. Pin-jie menggeros dengan kepalanya terletakkan diatas meja. Melihat tuan rumah, guru sekolah ini sebera berbangkit. “Oh, loosancoe terluka” katanya kaget. Ia lantas menepuk bangun pada Pin-jie. “Inilah luka tak berarti” menyahut tuan rumah tertawa. “Coba sinshe tolong periksa, apa terluka juga otot-otot dan tulangnya. Mungkin aku telah mengeluarkan terlalu banyak darah. Akupercaya, setelah makan obat, dalam waktu tiga hari aku akan sudah sembuh. Hanya tadi, apabila tidak ada orang membantu aku, mungkin aku roboh diujung pedangnya Hoksan Jiesioe, orang itu membantu secara diam-diam, tadi tak diketahui siapa dianya”
372 Jie In segera memeriksa luka. Dia tertawa. “Loosancoe berejeki besar dan berumur panjang, pastilah dibantu Thian” katanya. “Luka ini tidak parah, nanti aku memberikan obat untuk menambah tenaga dan obat luar, tidak sampai dua hari, sancoe akan sudah sembuh” Dan ia lantas membuat resepnya dan menitahkan Pin-jie mengurus obatnya. setelah itu Thian Tan menuturkan jalannya pertempuran. Kira2 jam tiga malam, rembulan terang dan permai. Bintang-bintang sedikit dan bergemerlapan. Diwaktu begitu, ThianTan sudah siap. menantikan dipuncak. Ia ada bersama Leng Hoei serta orangorangnya, berjumlah duapuluh lebih. Tak lama terdengarlah siulan nyaring, yang berkumandang didalam lembah, disusul sama datangnya beberapa puluh bayangan orang. sangat cepat datangnya mereka, dengan lantas mereka telah tiba dipuncak. Melihat datangnya musuh dalam jumlah besar itu, Thian Tan terperanjat. la kata dalam hatinya: “Terang sudah Hoksan Jiesioe ingin membumi-ratakan Hoan-pek sanchung, Heran orang ku yang dipasang disebelas tempat jaga kenapa tidak satu diantaranya yang memberi pertanda? Mungkinkah mereka telah bercelaka semua?” Baru ia berpikir begitu atau Hok-san Jiesioe sudah berdiri didepannya. Dibelakang kedua musuh itu Dua orang tua dari Gunung Hok san berbaris kawan-kawan mereka. Kumis mereka yang putih dan panjang memain antara sampokan angin, tangan baju mereka juga berkibaran-Lao-toa, yang tua, Wie Lin soei, lantas tertawa dingin“Kiong Thian Tan, kembali kita bertemu” katanya, suaranya jumawa. “Ketika dulu hari kita berpisah, aku telah meninggalkan katakata. Kau masih ingat itu, bukan? Kata kata itu ialah, kapan nanti persaudaraan gunung Hok san 373 munculpula dalam dunia Kang-ouw, itu artinya runtuhnya Hoan-pek san chung” Thian Tan tertawa berlenggak. “Wie Lin soei, kata-katamu itu masih terdengar ditelingaku” sahutnya, berani. “Mana dapat aku melupakan itu? Aku hanya mengira katakata itu untuk menutupi malu saja, tak tahunya benar-benar kamu telah mewujudkan sumpah mengunjungi rumahku ini .Tapi mungkin kau lupa bahwa kau menghendaki jiwaku seorang” “Tutup mulut” Lin Soei membentak. “Dalam sarang yang jatuh mana ada telur yang utuh? Jikalau malam ini kau mengharap jiwamu lolos, itu cuma dapat terjadi seperti mencari jarum didalam laut” Disamping tertua Hok san Jiesioe berdiri yang kedua, Souw Lin siang. Dia turut bicara dengan
berkata nyaring: “Lao-toa, mana ada begitu banyak waktu untuk mengadu mulut dengannya? Bereskan dulu mereka, baru kita bicara” Lalu tanpa menanti jawaban lagi, dia mengulapkan tangannya, atas mana sekalian kambratnya lantas bergerak menyerang orang2nya Thian Tan-Diantaranya ada belasan yang menerjang kearah sanchung. Melihat demikian, Thian Tan terkejut. Itulah cara membokong. Tapi, belum ia sempat mengambil tindakan, ia pun segera diserang Hok san Jie-sloe, yang telah menghunus pedangnya masingmasing dan maju dikiri dan kanan, pedang mereka menikam iga kiri dan lengan kanan. Thian Tan tertawa berkakak. sambil tertawa ia berlompat mundur, untuk berkelit. Begitu lekas ia menggeraki sepasang tongkat peraknya, ia pun maju guna membalas menyerang. Hok san Jiesioe memisah diri, lalu merapat pula. Itulah permulaan mereka mengepung. Tak mau mereka bertempur 374 satu lawan satu. Bahkan beramai bersama semua kawan mereka. Thian Tan heran dan berkuatir. “Entah dari mana, Hokssan Jiesioe mempelajari ilmu pedangnya ini,” pikirnya. “Mereka rjerdik, mereka merasa pasti dengan tangan kosong sulit mereka menempur aku, sekarang mereka menggunai senjata. Kelihatannya mereka telah mencapai puncak kemahirannya.” Dengan sebenarnya, pedang dua musuh itu digunai rapat dan dahsyat sekali. Selagi pertempuran ramai itu berjalan, di Hoan-pek sanchung nampak berkelebatnya satu bayangan, yang mencelat naik keatas puncak dimana bayangan itu lantas bersembunyi diatas sebuah pohon cemara yang tua. Kiong Thian Tan dapat melayani kedua musuhnya dengan seimbang, hanya ruginya untuknya ia harus memikiri juga rumahnya karena ada musuh yang menyerbu kesana. Ia tahu isterinya liehay tetapi si isteri pun pasti repot melayani banyak musuh. Nona mantunya mengerti silat tetapi nona mantu itu tidak dapat diandalkan, lantaran dia lagi hamil tiga bulan-Kalau menantu itu turun tangan-bagaimana nanti dengan kandungannya itu? Karena ini ia menjadi bingung, hingga tanpa merasa pedangnya Lin soei mampir dipundak kirinya, hingga darahnya lantas mengucur keluar. ia mengertak gigi, untuk menahan sakit. Ia lantas berkelit sambil tangan kanannya menyerang, niatnya berlompat keluar dari kalangan-Tapi ia kena dibarengi Lin siang, maka sikut kirinya kena tertikam hingga ia terhuyung dua tindak. Girang Hok-san Jiesioe, keduanya maju berbareng membacok musuhnya. Dalam saat terancam itu, Kiong Thian Tan menggunai pukulannya yang istimewa, yaitu Tay-lek Koen-goan-ciang, 375 untuk menyapu kedua lawannya. Celakalah siapa kena terhajar pukulan itu. Hok-san Jiesioe celi matanya dan sebat gerakannya.
Kedua-duanya berkelit dengan cepat dengan berkelit mendak. Maka juga terus saja mereka dapat menyerang pula kekaki musuh. Thian Tan terancam hebat. Tak dapat ia menangkis, tak keburu ia berkelit. Untuk menarik pulang tangannya saja sudah sukar. Maka ia menutup kedua matanya, untuk menantikan kebinasaannya. Akan tetapi ia tidak merasakan tertusuk atau tertabas, sebaliknya telinganya mendengar kedua lawannya menjerit kaget. Dengan lekas ia membuka matanya. Ia melihat Hok san Jiesioe menutupi matanya sendiri, masingmasing yang kiri dan kanan, kedua mata itu mengeluarkan darah, seperti bekas kena senjata rahasia, terus mereka berlompat mundur, untuk lari kabur. Ketua Cian san Pay itu menjadi heran, ia menenangkan diri. Ketika ia melihat musuh sudah lenyap. ia mengeluarkan napas. Benar ia telah bebas dari bahaya tetapi dengan musuhmusuhnya masih hidup, sampai kapan permusuhan itu dapat dihabiskan? Segera Thian Tan menyaksikan satu kejadian lain. satu bayangan orang berkelebat didekatnya, diantara cahaja rembulan ia melihat bayangan itu memegang sesuatuyang hitam dengan apa dia menyerang kalang-kabutan kepada kawan-kawannya Hok san Jiesioe, hingga mereka itu pada menjerit kesakitan, lantas semua lari serabutan untuk menghilang. Heran Thian Tan untuk menyaksikan, antara orangorangnya sendiri, tidak ada satu yang kena terserang senjatanya bayangan itu sebaliknya musuh, kebanyakan dari mereka terhajar matanya
376 Hebat orang itu, pikirnya mengenai bayangan. Dapatkah senjata rahasia membedakan musuh dan kawan? siapakah dia? Dia mestinya sahabat, Ah, bagaimanakah dengan isteriku? Segera Thian Tan menjuruh Leng Hoei memeriksa pos penjagaan, ia sendiri mengajak beberapa orang lari pulang. Ia merasakan sangat sakit pada kedua lukanya,yang masih mengeluarkan darah, sedang angin keras menyampok giris. Dengan tangan kanannya ia memegangi tangan kirinya. Ditengah jalan pulang, ia melihat beberapa musuh roboh diselokan, dipinggiran pohon, diatas genteng juga. semuanya kurban-kurban totokan, ia heran dan kagum, ia bingung. siapa itu penolong yang liehay? “Bawalah mereka pulang” ia memerintahkan orangorangnya, untuk mengangkut semua musuh yang tak berdaya itu. Ia sendiri terus lari kedalam rumah. Tiba didalam, ia heran hingga ia tercengang. Isteri dan nona mantunya lagi duduk memasang omong sambil tertawa-tertawa, seperti juga dirumahnya itu tidak terjadi sesuatu. Tapi Yap Han song kaget melihat suaminya pulang dengan mandi darah, ia lantas berbangkit menyambut. ” Ah, kau terluka?” tanyanya. “Ya, tetapi tidak apa” jawab suami itu tertawa. ia lega hati. “Semua musuh sudah dipukul mundur sekarang aku mau menemui dulu Jie sinshe” Dan ia lantas bertindak kekamar tulis. Kapan Jie In telah mendengar habis ceritanya tuan rumah, ia mengatakan berulang-ulang: “Benarbenar, naga sakti itu terlihat kepalanya tidak ekornya Inilah mesti dipercaya” Habis diobati, Thian Tan mengucap terima kasih, lantas ia kembali kedalam.
377 Di kanan dari rumahnya Kiong Thian Tan ada sebuah tangga batu yang berliku-liku, undakannya mungkin beberapa ribu tindak. naik hingga dipinggang gunung. Di situ tumbuh banyak pohon tua dan besar. Di situ pun ada bangunan lauwteng atau ranggonyang berwarna merah tua, yang diberi nama Kioe-kiong-kok. Dan malam itu, pintnnya yang timur terlihat terbuka, dari situ keluar seorang tua dengan rambut dan alisnnya putih semua, dengan mukanya kisutan dan kucal. Rupanya dia telah lama sangat menderita. Dengan tangan dipunggung, dia berdiri didepan loneng, kepalanya diangkat, matanya mengawasi langit. sinar matanya itu guram. Di terangnya rembulan, makin nyata nampak kucalnya itu “Sudah sepuluh tahun” katanya seorang diri, menghela napas panjang. “Inilah bulan dan tahun yang tidak pendek. Kapankah aku akan melihat pula kampung halamanku? Aku telah berbuat salah, aku terpaksa menyingkir ke Kwangwa ini dimana aku mesti menumpang pada orang lain sekarang aku menyesal, apa gunanya? sudah kasip” Orang tua ini ialah Hoan-thian-cioe Ang Ban Thong si Tangan Membalik Langit. Dia tinggal menyendiri dilauwteng Kioe-kiong-kok ini sudah sebuluh tahun. Dia tinggal tanpa berdaya, bisanya cuma tidur dan bangun dan dahar dan ngelamun. Tidak berani dia berlalu dari tempat sembunyinya ini. Telah lenyap tulang-tulang kejumawaannya dulu hari. Dia telah menjadi putus asa meskipun benar kadang-kadang dia memikir untuk hidup pula. setiap malam dia berpikir tak keruan junterungannya. Demikian malam ini dia menggadangi si Puteri Malam, sampai dia ingat kampung halamannya, hingga dia mengenangkan segala lelakon hidupnya yang sudah-sudah. Tengah jago tua ini menjublak itu, tiba-tiba ada suara halus berkerosek dibelakangnya. Biar bagaimana, dia ialah seorang yang mengerti ilmu silat, telinganya masih terang, matanya 378 masih tajam. Dia tahu bahwa ada orang telah menyerangnya. Tak kecewa dia menjadi si Tangan Membalik Langit. Tangannya liehay sekali. Begitu memutar tubuh, begitu dia menyerang. “Brak” demikian suara nyaring terdengar. Celaka kedua daun pintu lauwteng, yang terhajar roboh pukulannya itu, hingga seluruh lauwteng turut menggetar. Tapi, dia tidak melihat setengah manusia juga. Maka dia berdiri melengak. “Tangan yang liehay” mendadak telinganya mendengar suara pujian yang disusuli tertawa dinginsuara itu mirip suara nyamuk tetapi dia dapat mendengarnya tegas sekali. Maka kagetlah dia. Dengan sebat dia lompat kedepan, setelah mana dengan sebat dia memutar tubuh. Maka kagetlah dia, tubuhnya menggigil. Di depannya berdiri satu tubuh mirip bayangan hitam, sebab orang itu tertutup kepala dan seluruh tubuhnya, sampai dikakinya. Cuma sepasang mata yang tajam molos mencilak, membikin siapa yang melihatnya ciut hatinya. “Siapa kau?” dia menanya, suaranya menyatakan kagetnya.
Orang itu tertawa dingin pula. “Ang Ban Thong” sahutnya. “Mimpi pun, kau tak akan menyangka aku siapa” Katakata itu belum diucapkan habis, atau tangannya orang itu bergerak. Jilid 5.1 : Empat Mestika Raja Naga Ang Ban Thong sendiri pun bergerak untuk menyerang. Hanya untuk kagetnya dia mendapat kenyataan tubuh orang maju dan kedua lengannya segera tercekal keras, akibatnya yang mana dia merasakan sakit dan gatal sekali pada seluruh tubuhnya! Celakanya terus dia tidak berdaya, hingga tinggal air matanya yang menetes turun ke lantai lauwteng.
379 Orang tidak dikenal itu memegang dengan tiga jari dari masingmasing tangannya, semua jari tangannya itu dipencet dan dikendorkan bergantian. “Sekarang kau dengar, aku akan memberitahukan kau!” berkata pula orang itu. “Kau perlu diberitahu supaya kau mati puas! Hendak aku Tanya kau: Dulu hari ketika orang mengeroyok Cia Bun, kau ada satu diantaranya atau tidak? Kau mesti omong terus terang, dengan jujur, supaya dapat aku memberi kepuasan kepadamu!” Mendengar pertanyaan itu, Ban Thong merasa dia seperti mendengar Guntur. Dia lantas merasakan matanya berkunang-kunang. ,,Apa ?” tanyanya, suaranya menggetar. “Kau…..kau pernah apa dengan Cia Bun?” “Aku?” orang itu menyawab. “Si wilayah Sam siang pernah kita bertemu muka! Kau pasti tidak pernah melupakannya! Aku ialah itu bocah yang digendong di punggungnya Cia Bun!” Bukan kepalang kagetnya Ang Ban Thong. ,,Apt ?” katanya,, “Kamu jadinya tidak mati? Habis mayat kecil di gunung Bu Kong San mayat siapa ?” Seperti melupakan sakitnya, Ban Thong lantas berpikir. Orang itu tertawa dingin berulang-ulang. Tak sedap tertawa itu masuk kedalam telinga si orang she Ang. ,,Benar, tuan kecil kau masih belum mati!” berkata orang itu, bengis. “Kau tidak menyangkanya bukan? Sekarang tuan kecil kau dating kemari untuk menagih hutang lama! Sekarang aku Tanya lagi padamu! Di rumah ini masih ada dua orang lain yang pernah mengeroyok ayahku! Mereka itu tinggal di bagian mana dari Hoan Pek San Chung ini? Disamping mereka itu, siapa-siapa lagi yang telah turut mengepung ayahku itu? Kau bicaralah!”
380 Pertanyaan itu hebat tetapi itu seperti juga suatu keringanan untuk Ban Thong. ,,Bencana itu tidak ada pintunya seperti juga rejeki,” dia mengoceh seorang diri, ,,Bencana itu dicari oleh orang yang bersangkutan sendiri…malam ini aku menemui saatku ini, aku cuma harus menyesalkan diriku sendiri…” Lantas dia tertawa sedih, dia menyebutkan tentang dua orang yang ditanyakan itu. Dia menuturkan roman, usia dan tempat sembunyi mereka. Tentang yang lainnya, ia menunjuk lima orang Ceng Hong Pay. ,,Lainnya aku tidak tahu,” katanya akhirnya, terus ia meram, untuk menyambut kematiannya. Orang itu menghela napas. ,,Baiklah, aku menyempurnakan kau!” katanya seraya terus ia menotok didada, maka robohlah tubuh Ang Ban Thong, menyusul mana orang itu seperti bayangan seperti munculnya tadi, Iantas menghilang dari lauwteng Kioe Kiong Kok itu, lenyap diantara pepohonan yang lebat. Besok pagi, gemparlah Hoan Pek Sanchung. Telah didapat tahu bahwa tiga orang yang menumpangi diri, telah meninggal dunia tidak keruan paran. Merekalah Ang Ban Thong, Ong Soei dan Lee Siang. Lo-sancoe Kiong Thian Tan kaget dan heran, dia sendiri Iantas pergi melihat, untuk. memeriksa. Semua mayat tidak ada tanda lukanya, cuma ada tanda bekas totokan. Dan kecuali pintu lauwteng Kioe Kiong Kok yang gempur, dua kamar yang lainnya tak rusak sama sekali, dan tak ada juga tanda-tandanya bekas orang bertarung, sedang ketiga orang itu dikenal liehay, yang tak gampanggampang orang merobohkannya. Maka diakhirnya tuan rumah ini ingat akan warta yang dibawa Leng Hoei, puteranya, hal dua peristiwa yang menggemparkan di Tionggoan.
381 “Benarkah ini perbuatannya Twie Hun Poan Cia Bun?” ia tanya dirinya sendiri, “Rupanya dialah yang itu malam membantui aku secara diam-diam. Sungguh hebat sepak terjangnya!” Thian Tan menjadi masgul. Ban Thong bertiga menumpang padanya, sekarang mereka itu terbinasa diluar tahunya, sebagai tuan rumah, ia harus bertanggung jawab, menurut aturan kaum Kang Ouw, tidak dapat ia melepaskan diri. Tapi, bagaimana ia harus bekerja ? Siapa si pembunuh gelap ? Bagaimana kalau dia benarlah Cia Boen, yang pernah menolongnya dari ancaman Hok San Jie Sioe ? Pasti ia tidak dapat turun tangan terhadap Cia Boen. Perdamaian lantas diadakan diantara ayah dan anaknya. Masih mereka tidak berdaya. Apa yang mereka bisa lakukan ialah mengirim beberapa orang untuk membuat penyelidikan. Sang hari berjalan terus, cepat lewatnya. Satu bulan telah berselang semenjak peristiwa aneh dan hebat itu atas diri Ang Ban Thong bertiga. Sekarang ini gunung Tiang Pek San seperti ditutupi salju, yang terbang turun berhamburan. Seluruh gunung, seantero lembah, putih mengkilap dengan sinarnya benda dingin itu. Kapan hawa udara telah menjadi sangat dingin, berhenti!ah turunnya salju yang membeku. Malam itu pun angin keras. Salju tebalnya sampai satu kaki. Sampai matahari muncul, salju itu tak dapat lantas tersinarkan lumer. Hawa udara jadi semakin dingin. Baru belakangan terlihat jatuhnya tetesan-tetesan air. Jie In dengan mengenakan baju kulitnya yang gerombongan pergi keluar kamarnya, ia berdiri diam dengan kedua tangannya dimasuki kedalam tangan baju. Ia melihat jauh ke sekitarnyarnya. Ia menikmati keindahannya musim dingin itu. Lama juga ia berdiam diluar itu, ia seperti memikir 382 sesuatu, setelah batuk-batuk dua kali, ia bertindak masuk kekamar tulis. ,,Pin Jie !” ia memanggil. Kacung itu berada disamping rumah, sambil jongkok ia tengah memasak teh, sekalian menghangatkan dirinya. Ketika mendengar panggilan, ia lantas menyahuti, panjang suaranya. ,,Bukankah sinshe memanggil aku ? Baik, aku lantas datang…” Dan ia masuk sambil membawa poci teh. ,,Pin Jie,” berkata si guru sekolah, “coba kau pergi melihat loosancoe, ia sedang luang temponya atau tidak, jikalau dia lagi senggang, kau undanglah ia datang kemari sebentar. Kau bilang saja bahwa aku ada satu urusan yang hendak dibicarakan dengannya.” Pin Jie terima titah itu, ia menyahuti dan lantas pergi keluar. Tidak selang lama, muncullah Thian Tan bersama kacungnya . Ia tertawa
Ketika ia melihat guru cucunya. ,,Jie Sinshe,” katanya riang, “Pin Jie membilangi aku bahwa shinse mempunyai urusan yang hendak dibicarakan, benarkah ? Urusan apakah itu ?” ,,Sabenarnya aku kangen pada kampong halamanku, ” ia menyahut, ,,Aku hendak minta cuti supaya aku dapat pulang menyambangi kuburan leluhurku. Lain tahun bulan tiga pasti aku akan kembali kemari. Bagaimana pikiran loo sancoe?” Kiong Thian Tan pun tertawa. “Aku kira urusan penting apa” katanya, “Biasanya saja kalau orang kangen dengan kampong halamannya. Cuma sekarang ini hawa udara sedang buruknya, tidak lama lagi akan tiba saatnya salju besar menutupi gunung, jalanan menjadi sukar dilalui. Untuk kami kaum rimba persilatan masih tidak apa, tidak demikian dengan sinshe seorang anak 383 sekolahan…Apakah tidak lebih baik sinshe menunggu sampai musim semi lain tahun..?” Tanpa menanti tuan rumah berhenti bicara, Jie In berkata: “Terima kasih untuk kebaikan loosancoe, aku bersyukur sekali, hanya apa mau dikata, keras sekali niatku pulang, jikalau mesti menunggu sampai lain tahun, tak sanggup aku. Perihal jalanan sukar, itu tak menjadi halangan untukku, itulah sudah biasa untuk kaum perantau.” Melihat orang demikian mendesak, Thian Tan tidak mau mencegah lagi. “Jikalau demikian aku tidak bisa bilang apa-apa lagi” katanya, “Cuma aku minta sukalah sinshe menanti sampai tiga hari lagi, supaya cucuku dapat memberi selamat jalan” “Oh loo sancoe, tak usahlah demikian berabeh!” kata Jie In mencegah, “Aku toh akan kembali dalam bulan ketiga lain tahun? Toh ini bukannya perpisahan untuk selama-lamanya? Aku anggap tak usahlah loo sancoe mengadakan perpisahan secara demikian” Thian Tan berbangkit, ia tertawa. “Putusan sudah tetap, tak usah sinshe pakai banyak aturan lagi” ia kata, lalu dengan perlahan-lahan ia bertindak keluar. Jie In terpaksa menerima, dengan hormat ia mengantarkan majikannya pergi. Syukur ada kelambatan tiga hari itu maka terjadilah Jie In dapat menolongi Kiong Thian Tan dari ancaman bahaya maut. Beruntun dua hari telah diadakan perjamuan perpisahan, oleh loosancoe, oleh nyonya ru mah,, lalu oleh Leng Hoei, oleh isterinya tuan muda ini.
Selagi menghadiri pesta, Nyonya Leng Hoei, Jie In melihat perut si nyonya telah menjadi besar, ia agaknya terperanjat.
384 Leng Hoei tajam matanya, ia melihat itu, hingga ia jadi heran. la lantas tanya kenapa si sinshe kaget. Jie In bersenyum, ia bersuara perlahan, entah apa ia bilang. la tidak menjawab. Tentu sekali tuan muda itu jadi semakin heran dan penasaran juga. “Sinshe, ada apakah?” ia Tanya, suaranya keras, “Omonglah, sinshe, kami kaum Rimba Persilatan, kami tidak mengenal pantangan!” Jie In tertawa. “Siauw sancoe, kau dengar” ia menyahut akhirnya, “Suatu soal, apabila ia tidak diperhatikan, tidak ada soalnya, tetapi sekali diperhatikan, dia dapat mengacaukan pikiran. Sebelumnya aku bicara, ingin aku memberi selamat kepada loosancoe, bahwa pada tahun yang mendatang kau bakal memperoleh cucu!” Katakata itu menggirangkan Leng Hoei suami isteri begitupun Thian Tan dan Yap Han Song Sioe In pun girang, dia mengawasi gurunya. ,,Anak, lain tahun kau bakal mendapat adik laki-laki!” kata Jie In ,,Tidakkah kau akan girang sekali?” ,,Tentu, tentu!” kata anak itu, yang terus menghampirkan ibunya, sambil menunjuk perut ibunya yang besar ia tanya, Ibu, apakah adikku didalam situ?” Nyonya Leng Hoei likat tetapi ia girang, ia tertawa seperti kedua mentuanya dan suaminya itu. Jie In tidak menghiraukan orang tertawa riang. Ia mengawasi Nyonya Leng Hoei dan nanya ,,Siauw-hoejin, didalam bulan ini kau pernah melakukan pertempuran atau tidak?” Nyonya itu heran hingga tercengang. la menggeleng kepala.
385 ,,Tidak,” sahutnya. ,,.Ah, pada sepuluh hari dimuka, pernah aku berlatih dengan suamiku. Apakah kandunganku tergerak?“i “Kandungan tidak tergerak hanya kedudukannya tergeser” kata si tabib tertawa, “Kandungan bergeser artinya melahirkan sedikit sukar. Syukur aku melihatnya, menjadi masih ada daya memperbaikinya. Siauw sancoe, sebentar malam sukalah kau datang kekamarku, nanti aku mengajari kau ilmu memulihkan kandungan, setelah itu dengan makan beberapa bungkus obat saja, siauw hujien tak usah menguatirkan apa-apa lagi” Leng Hoei girang, “Budimu besar sekali, sinshe,” ia kata, ,,Aku tak dapat balas budimu ini. Kalau nanti anakku terlahir, biarlah dia mengangkat kau sebagai ayah pungutnya.” Jie In tertawa. ,,Aku tidak mempunyai rejeki itu, siauw-sancoe,” ia kata. ,,Untukku cukup asal aku dapat dahar beberapa telurmerahnya .” Belum berhenti suara guru sekolah ini atau Thian Tan mendadak menjerit dan tubuhnya terguling kebelakang bersama kursinya. Jie In terkejut, mukanya pucat, tetapi segera dia melesat ke cim chee dimana dia berlompat naik, Ketika Kiong Leng Hoei lompat menyusul, guru sekolah itu sudah berada jauh beberapa puluh tombak dan didepan si guru ada tiga orang lagi berlari-lari. Mereka terlihat tegas sebab salju terang sekali. Heran dan kaget menjadi satu dalam hati Leng Hoei. Selama beberapa bulan ia tinggal sama guru sekolah merangkap tabib itu, tidak ia ketahui orang sebenarnya liehay ilmu silatnya, baru sekarang ia mengetahuinya. Ia hanya heran kenapa guru itu menyimpan diri demikian rupa.
386 Bukankah dia tidak mengandung maksud busuk apa-apa terhadap Hoan Pek San Chung? Sembari berpikir, tak berhenti tuan muda ini dari larinya, bahkan ia lari sekeras bisa untuk menyusul. Ia mendapatkan Jie In sudah mendahului dua diantara tiga orang, dia memutar tubuhnya untuk memegat. Ia tidak lihat bagaimana orang turun tangan, ketika ia menyandak, dua orang itu sudah roboh tidak berkutik, demikian juga orang yang ketiga, yang dapat dicandak si guru sekolah. Melihat tibanya Leng Hoei, Jie In berkata, “Aku mau lantas pulang menolongi loosancoe, tolong siauw sancoe membawa pulang mereka ini untuk mengompes keterangannya” Habis berkata dia lantas lompat. Sekali saja dia sudah pergi tujuh atau delapan tombak, maka dilain saat tubuhnya segera lenyap didalam sanchung. Kembali Leng Hoei kaget dan heran. itulah ilmu ringan tubuh yang sangat mahir. Yang ia tahu, orang cuma dapat lompat lima tombak. Tapi ia tidak sempat berpikir, ia lantas bekerja. Jie In sendiri, setibanya ia didalam rumah, ia melihat semua orang bergelisah. Loosancoe telah ditotok untuk tutup jalan darahnya oleh isterinya, dia telah dibawa masuk kedalam kamarnya dimana dia direbahkan diatas pembaringan. Disitu pun berkurnpul banyak anggauta Cian San Pay, yang mendapat kabar sancoe mereka terluka, tapi ketika mereka mau pergi menyusul si orang jahat, si guru mencegah. “Ketiga penjahat itu sudah dapat ditotok siauw sancoe, sebentar mereka dibawa pulang” katanya. Ia sendiri menghampirkan Thian Tan yang rebah dengan gigi terkancing, matanya mendelik, tubuhnya menggigil tak hentinya. Nyonya sancoe tua nampak sangat berduka.
387 ,,Jie Sinshe,” kata nyonya itu, “Tidak aku melihat bahwa kau sebenarnya seorang luar biasa. Loo sancoe telah terkena pukulan tang pek koet Han Hong Ciang, kabarnya pukulan itu tidak ada obatnya, benar aku telah menotok menutup jalan darah suamiku, mungkin dia tak akan bertahan lama …… .” Habis berkata, tak dapat dicegah lagi, airmatanya si nyonya tua bercucuran. ,,Aku bukan orang luar biasa, loohoejin,” kata Jie In merendah. ,,Tentang sedikit luka dari loosancoe, janganlah dibuat kuatir, dapat aku mengobatinya.” Ketika itu Leng Hoei sudah kembaIi, sembari tertawa, tabib ini berkata: ,,Siauw-sancoe, hebat tanganmu, tak sampai sepuluh jurus telah berhasil kau membekuk mereka bertiga! Sungguh aku kagum!” Leng Hoei melengak, tetapi lantas ia mengerti. ,,Tahulah ia guru sekolah ini tetap tak ingin orang mengetahui dia pandai silat, maka terpaksa ia berdiam, cuma ia bersenyum. Melihat keadaan ayahnya, sebaliknya ia berduka dan berkuatir. ,,Bagaimana lukanya ayahku?” ia tanya. Jie In mengangguk, terus ia berbisik,,Siauw-sancoe, tolong ajak semua orang keruangan depan, dan jagalah agar mereka tak mengetahui aku mengerti silat.” “Aku mengerti” sahut Leng Hoei. “Hanya kenapa aku tidak dapat membebaskan totokan tiga orang itu?” “Sebentar, sehabis menolongi loosancoe kita nanti bicara pula” kata si guru, tetap berbisik. “Baiklah, tentang ayahku, aku mengandal pada sinshe” kata Leng Hoei, yang lantas mengajak semua orang keluar, hingga didalam kamar tinggal Jie In bersama kedua nyonya serta Sioe 388 In. Diluar pintu berdiri satu