I Pengantar
Kau tahu seluas apa itu langit? Langit itu sangat luas, selama apapun kita memandang ke atas, langit selalu terlihat lapang. Sangat luas. Bahkan jika awan-awan menutupi warna kebiruan langit, langit tetap terlihat luas. Seolah langit memang tidak memiliki ujung, apa memang langit tidak memiliki ujung? Lalu, dimana rumah Allah yang orang-orang selalu katakan. Mereka yang terus mengatakan, “Allah ada di langit.” Atau saat seorang anak kecil bertanya kepada orang tuanya, kemana adiknya yang telah meninggal pergi. Semua orang tua akan menunjuk ke atas langit. Seolah memang, kita semua akan kembali ke langit. Memandang langit yang biru dengan beberapa awan yang bermain kejar-kejaran di sana selalu bisa membuat betah mata menatapnya. Secara cepat pula otakku akan merespon beberapa bentuk awan. Entah itu akan terlihat seperti anak kelinci dengan telinga yang pendek, atau seperti bentuk bayi kecil bersayap. Langit begitu, selalu seperti sebuah kertas putih, saat memandangnya tidak ada apa-apa disana, namun semakin lama kita memandangnya maka akan terlihat beberapa gambar
hidup yang sebenarnya tidak hidup. Namun, selalu terlihat sangat nyata. Kadang aku bertanya, apa mungkin yang ku lihat di langit itu adalah apa yang benar-benar ada di langit? Atau imajinasi-imajinasiku ini hanya khayalan tentang apa yang ada di langit? Atau bisa saja memang benar, apa yang ada di dunia pasti juga ada di langit? Selalu saja menebak-nebak, mencoba mencari tahu dengan versiku sendiri. Seperti yang sedang ku lakukan sekarang mencoba mencari tahu. Mencari tahu tentang diriku sendiri, tentang mengapa dan kenapa harus ada dunia jika langit sudah sangat begitu sempurna. Juga tentang mengapa manusia harus saling menyakiti? Aku memikirkan terlalu banyak mengapa, bahkan saat menulis pun masih saja aku berfikir, mengapa harus menulis? Sampai hatiku sadar dan logikaku mulai berkomentar, setiap manusia memiliki kisahnya masing-masing. Dan setiap kita selalu punya cara untuk menuliskan kisah kita dengan gaya bahasa masing-masing. Juga setiap kita selalu punya maksud dan tujuan kenapa kita harus menulis atau cukup menjadi pendengar saja. Sama halnya saat di tanya, kenapa kita lebih menyukai coklat di bandingkan keju? Pasti akan ada penjelasan panjang yang sebenarnya tidak masuk akal namun selalu bisa di
terima, begiu pun dengan jawaban-jawaban yang ku utarakan nanti. Mungkin aku satu dari puluhan juta manusia yang memilih menulis untuk menggambarkan tentang bagaimana dan mengapa. Teruslah membaca, sebab selembar demi selembar kita membuka sebuah buku, maka setiap lembarnya kita akan setuju dengan beberapa kata yang penulis sajikan. Pun denganku, ku harap kita bisa sependapat dalam beberapa hal. Sependapat tentang kehidupan. Kehidupan yang ada kalanya menurut kita tidak adil, namun sebenarnya hanya ego kita yang membuatnya seolah tidak adil. Sependapat tentang penilaian-penilain yang bahkan tidak mampu untuk kita koreksi, tentang mereka yang menilai, dan mereka yang gampang terpengaruh. Panggil saja aku, Arina. Satu dari sekian banyak perempuan yang terbolak-balik hatinya. Satu dari sekian banyak perempuan yang juga menganggap kehidupan sangat tidak adil. Juga satu dari banyak perempuan yang pernah patah hati. Bahkan untuk menyatukan kepingan-kepingan hati itu, aku belum mampu sebaik mereka yang terlahir kuat. Aku menyukai laut, namun terlalu takut duduk di atas perahu. Aku menyukai Biang Lala raksasa, namun lagi-lagi terlalu takut untuk duduk di ketinggiannya. Pun dengan kopi,
aku
begitu
menyukainya,
namun
kopi
selalu
berhasil
membuatku kesakitan. Sejatinya manusia, mereka selalu menyukai hal-hal yang membuat mereka takut, seolah ketakutan dalah tantangan. Takut pada laut, takut ketinggian, takut kehilangan, juga takut sendirian. Padahal saat ajal menjemput, malaikat maut tidak akan bertanya, “Kamu ingin ke akhirat dengan siapa?”. [ ]
II Awal “Saya mau pakai kerudung setelah tamat sekolah.” “Hah? Kenapa tiba-tiba?” “Saya juga gak tahu. Ingin saja.” “Kalau begitu aku juga mau pakai kerudung. Soalnya kamu pakai kerudung juga.” “Hahaha, dasar kamu!” *** Memoriku kembali terulang saat melihat dua anak kecil berebutan sebuah hijab di toko. Ku perhatikan anak-anak itu dengan seksama, melihat bagaimana mereka rebutan ingin hijab berwarna merah maron itu. Mamanya yang melihatnya hanya bisa kebingungan ditambah saat mbak-mbak yang jaga mengatakan kalau stok hijabnya hanya tinggal satu itu. “Dek, pakai yang warna lain saja yah. Biar kakak saja yang warna merah itu.” Jelas mamanya pada si kecil yang tidak mau mengalah. “Adek sukanya ini bunda. Gak mau pakai jilbab kalau bukan yang ini.” Rengek si kecil.
“Ya sudah bunda, kakak saja yang mengalah.” Suara pelan terdengar dari saudaranya. Sedikit terkesan terpaksa namun cukup membuat hati adiknya bahagia. Kejadian ini pernah kualami dulu, tapi aku tidak berdebat dengan kakakku melainkan mama. Melihat mereka berdua berebut ingin menggunakan hijab rasanya kembali rindu, masa-masa dimana aku memulai menggunakan hijab. Masa dimana hijab yang ku gunakan hanya karena alasan ikut-ikutan saja.