Bung Karno Sahabatku Willem Oltmans
bron Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 2001
Zie voor verantwoording: http://www.dbnl.org/tekst/oltm003bung01_01/colofon.php
© 2015 dbnl / erven Willem Oltmans
v Untuk Putra Putri Bung Karno Guntur, Megawati, Rahmawati, Sukmawati, Guruh, Taufan, Baju dan Karina
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
vi
Kata Pengantar Ternyata bukan hanya H.J.C. Princen yang mengalami tindakan pahit dari pemerintah dan sebagai masyarakat Belanda berkenaan dengan keberpihakan kepada kemerdekaan Republik Indonesia. Aoh K. Hadimadja dalam bukunya ‘Manusia dan Tanahnya’ merangkaikan proses keberpihakan Princen, waktu itu serdadu K.L. Belanda, yang kemudian menerima Bintang Gerilya R.I. kepada bangsa Indonesia yang merebut kemerdekaanya. Pongky begitu disapa sahabat-sahabatnya, sempat dianggap pengkhianat, karena menyerang, memilih berpihak kepada yang dianggapnya benar. Ia tahu betapa beratnya dianggap sebagai disertir. Tapi seperti dikatakan dalam bukunya ‘Iedereen is vrij om te kiezen’ setiap orang berhak untuk memilih. Bayaran yang ia terima, bukan saja dirinya yang diancam, tapi juga faimilinya di negerinya. Sekarang dari buku harian yang dirawat sejak remaja, Willem Oltmans, wartawan Belanda yang semula tidak tahu apa-apa tentang negeri dan perjuangan bangsa kita, sejak
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
vii bertemu dengan Presiden Soekarno di bulan Juni 1956, secara terhitung cepat ia menjadi sahabat Presiden R.I. Pertama, dan malahan menjadi -- seperti dirasakan sendiri -- sahabat karibnya, kemudian digambarkan di dalam buku ini. Maka bayaran yang ia terima dari penguasa di tanah airnya ditutup pintu untuk bisa bekerja, dipersona-non-gratakan,terpaksa harus pindah ke negeri orang. Tidak ubahnya ia dianggap seperti berpenyakit sampar. Pada tahun 1952/1953 saya pernah menemui orang tua Princen di tempat tinggalnya di Belanda, sewaktu Pongky dalam keadaan diancam oleh pihak berkuasa di Den Haag, karena hati nuraninya berbicara. Waktu itu saya merasa tidak berbuat salah menemui orang tua Princen. Tetapi kemudian, setelah orang lain berbisik tentang bahaya yang bisa menimpa saya, barulah bulu kuduk saya berdiri. Saya bisa membayangkan betapa resah atau gemasnya perasaan Oltmans waktu ia diteror oleh para penguasa dengan aparatnya di tanah airnya sendiri semata karena ia berpihak kepada Bung Karno, pemimpin bangsa yang melawan penjajahan Belanda, yang dianggapnya patut didekati dan diajak bicara untuk mengenal yang sebenarnya, bukan diancam dan dianggap musuh bebuyutan. Kalimat pertama sebagai pembukaan bukunya yang ditujukan kepada orang-orang Belanda, Willem Oltmans menggebrak pembaca dengan, ‘Menulis buku tentang Presiden Soekarno, musuh bebuyutan kita (kita di sini adalah masyarakat Belanda) yang nomor satu, tetap merupakan petualangan yang berbahaya biar pun seratus tahun sejak kelahirannya dan seperempat abad setelah kematiannya’.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
viii Jadi, Oltmans sadar benar ia melawan arus, ingin mendobrak sesuatu yang sudah berdiri berakar kukuh. Sebab ia merasa telah menemukan yang lain yang sudah melekat di kepala banyak orang. Dan ia yakin, bahwa penemuannya itu: diri Soekarno yang sebenarnya. Benar Soekarno adalah yang melawan. Melawan imperialisme Belanda, tetapi ia bukan musuh orang Belanda. Buktinya, Bung Karno bisa menerima dirinya, Oltmans, dengan baik dan ramah, dan dapat jadi sahabat Belanda jika Belanda bersikap lain dari yang sudah dijalankannya. Kebodohan dan keangkuhan Belanda (waktu itu: sejak Proklamasi R.I. sampai dengan penyelesaian Irian Barat) dinilai Oltmans sebagai kesalahan besar Belanda dalam memasuki zaman baru sesudah Perang Dunia ke-2. *** Di Amerika, tempat ia berhijrah, Oltmans bertemu dengan Wakil tetap Indonesia di PBB Ali Sastroamidjojo, yang menceritakan bahwa ia pernah menyarankan kepada Bung Karno, agar ada orang yang menulis buku tentang dirinya (Bung Karno). Kepada Oltmans Ali Sastroamidjojo memberikan sugesti. Agar Oltmans menulis buku tentang Bung Karno bersama seorang penulis Indonesia, yang ditunjuknya Sitor Situmorang. Sitor sendiri berkata, kemungkinan besar benar Ali Sastroamidjojo menyebut dirinya untuk penulisan buku tentang Bung Karno; ia percaya. Tapi hal itu tidak sampai terlaksana disebabkan waktu saja yang jadi penghalangnnya. Cindy Adam yang kemudian menulis memoir Bung Karno.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
ix Kata-kata yang seperti anjuran Ali Sastroamidjojo kepada Oltmans ternyata jadi obsesi bagi wartawan ini, dan pada bulan Agustus 1995 rampunglah tulisan mengenai pengalamannya dengan Bung Karno itu, berupa buku yang dihidangkan sekarang di Indonesia dalam bentuk terjemahan. *** Oltmans sebenarnya mendapat didikan diplomatik dan pernah menjalankan dinas itu. Tetapi ia terpikat oleh lapangan lain, yakni dunia jurnalistik, karena faktanya sendiri wartawan termasuk jenis pengamat yang mengutamakan kebebasan berpolitik dan membawanya ke dalam praktek. Akibat alasan itulah pada tahun 1948 ia keluar dari kedinasannya sebagai diplomat. Saya tidak berbakat menjadi diplomat dengan segala pernak-pernik penipuan yang selalu menyertainya’, katanya. Oltmans mengutip pendapat diplomat Inggris Henry Watton yang mengingatkan diplomat dikirim ke luar negeri untuk berbohong demi negaranya, ia malahan dianggap sebagai pengkhianat. Dan diulangnya sendiri itu karena ia bersahabat dengan Bung Karno’. *** Sejak pertamuannya pertama kali dengan Bung Karno pada tahun 1956 dan kemudia ia merasa tertarik untuk mengenal dengan benar pemimpin Indonesia itu, sementara tulisan-tulisannya disisihkan oleh banyak pemimpin redaksi yang bekerjasama dengan pusat pemerintahan di Den Haag.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
x Oltmans mencari kesempatan dan mendapatkan sehingga ia berkali-kali meliput aktivitas Presiden Soekarno, baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Dengan begitu ia bisa menangkap kejadian-kejadian penting yang berkenaan dengan Indonesia dan buah pikiran pemimpinnya waktu itu: sengketa Irian Barat, persoalan daerah yang melahirkan PRRI, Permesta, ‘Demokrasi Terpimpin’, sampai terjadinya tragedi nasional G-30-S PKI ‘To Build The World a News’ dan meninggal sahabatnya yang amat dihargai: Bung Karno. Dengan naluri kewartawanannya ia membuat catatan-catatan, dan menuliskan laporan-laporannya. Mengetahui bahwa banyak tulisannya disisihkan dari meja-meja redaksi, tambah sengit ia bekerja melawa arus informasi yang direkayasa oleh pihak yang berkuasa di Den Haag. Mengikuti Bung Karno berulang kali berpidato, Oltmans tidak merahasiakan, ia kadang-kadang tersentuh hatinya karena kata-kata yang dipakai oleh Bung Karno waktu itu. Ia mencatat ‘Kadang-kadang Bung Karno dihanyutkan oleh gaya pidatonya sendiri dengan cara yang tidak dapat saya terima, walaupun secara garis besar ia benar. Saya mengeluhkan perasaan sesak di hati saya ini kepada Wim Latumeten, petugas di Kementerian Penerangan RI waktu itu atau Piet Van Bel yang mengerti keadaan saya dan mereka berkata: Orang tua itu memang manusia juga’. Waktu terjadi sengketa mengenai Irian Barat, di Amerika Oltmans giat membantu pihak R.I. Bukan saja karena ia bersahabat dengan Bung Karno dan mengerti jalan pikirannya, melainkan juga karena Oltmans mengharapkan hubungan In-
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
xi donesia dengan Belanda janganlah sampai patah arang seperti apa yang pernah terjadi. Ia, dalam bukunya ini, menggambarkan bagaimana langkah-langkah usahanya turut serta menyelesaikan soal sengketa Indonesia-Belanda waktu itu. Yusuf Ronodipuro, yang ada disebut di dalam buku ini, mengatakan benar Oltmans telah berjasa bagi R.I, sedikitnya ada jasanya sampai ia melakukan lobby di kongres dan ikut bergerak di sidang-sidang PBB, turut serta di pihak R.I. memperjuangkan Irian Barat. Membaca buku ini bisa-bisa kita menjadi ngeri, karena tergambar orang-orang CIA dan mereka yang dibayarnya gentayangan di mana-mana. Dan Oltmans tidak bertedeng aling-aling menyebut sejumlah nama orang yang berperan sebagai CIA dan yang bekerjasama dengannya, termasuk orang-orang Indonesia. Bisa jadi orang Indonesia yang dituduh Oltmans dan masih hidup pada waktu ini dan membaca buku ini akan bereaksi. Tetapi Oltmans mungkin tidak akan menjilat ludahnya. *** Membaca bagian-bagian ini yang tersebar di pelbagai halaman, boleh jadi kita akan dihinggapi perasaan, betapa tidak amannya di sekeliling kita karena banyaknya agen-agen dan mata-mataku. Ngeri juga kita dibuatnya. Tapi yang pasti, mereka yang dekat dengan pusat kekuasaan patut selalu waspada, sadar betapa banyaknya bahaya yang ada di seputar mereka. Maka yang dicatat oleh Oltmans hendaknya menjadi lampu kuning bagi kita, terutama bagi mereka yang tahu
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
xii banyak dan sering berhubungan dengan pusat-pusat politik, supaya bersikap hati-hati. Banyak tokoh politik dan tentara, juga pembantu-pembantu Presiden Soekarno disebut oleh Oltmans, sampai perawat pakaian Bung Karno, Tukimin waktu itu diabaikan di dalam buku ini. Barangkali sebagian besar dari mereka yang disebut Oltmans ini sudah tiada. Dan mereka yang masih ada pun mungkin masih akan mengerutkan keningnya, berpikir kembali, apa benar ia bersikap dan berkata seperti yang dituliskan Oltmans. Maklumlah jarak waktu menyebabkan kita bisa lupa akan apa yang sudah pernah kita perbuat atau ucapkan tetapi Oltmans telah bekerja untuk penulisan buku ini dengan mempergunakan 800 buah buku harian dan catatan yang sempat disimpanya di Koninklijke Bibliotheek di Den Haag, hal yang membelalakkan mata saya yang jauh dari pandai menyimpan dokumen. Ada beberapa orang yang dinilai oleh Oltmans cukup banyak mengetahui kepribadian, sikap dan kebiasaan seperti cara berpikir Bung Karno. Antara lain Zairin Zain (almarhum) yang menaruh hormat kepada Bugn Karno. Panjang keterangan dari alm. Zairin Zain tentang diri dan jalan pikiran Bung Karno yang dimuat di dalam buku ini. Sayangnya tokoh yang sudah tiada ini belum sempat meninggalkan memoimya. Yang ada buku peninggalan saudaranya, Harun Zain. Sementara itu, yang terasa agak ganjil adalah keterangan, sepertinya Zairin Zain ini berakar Batak, padahal yang benar ia keturunan tokoh Sumatera Barat.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
xiii Ada bagian-bagian yang mengherankan bagi saya, pandangannya mengenai Soebandrio yang sama sekali tidak terduga. Perkiraan saya semula, wartawan seperti Oltmans mestinya berhubungan baik dengan tokoh yang semat amat dipercaya oleh Presiden Soekarno. Tetapi catatan yang dihidangkan pada kita tentang Soebandrio adalah pahit dan getir dengan kata-kata yang jauh dari terpelihara. Dengan siapa dari pihak wartawan-wartawan Indonesia Oltmans mengadakan kontak ada disebut olehnya, antara lain Djawoto, Sukrisno, Tom Anwar, Koerwet Kartaadiredja. Tetapi tidak ada disebutnya Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, atau Aristides Katoppo. Membaca ini orang condong bisa menerka buah pikiran penulis buku ini. Namun kita boleh bertanya juga, mengapa Oltmans tidak menyebut nama Ita Samsudin misalnya, padahal wartawati kantor berita Indonesia ini kedengarannya amat disukai Presiden Soekarno dan ia biasa meliputi di istana waktu itu. Menyebut nama wartawati Ita Samsudin, jadi terpikir, mengapa ia tidak menulis buku tentang Bung Karno, seperti halnya wartawan Belanda ini, padahal ia tahu banyak tentangnnya. Semoga buku ini menjadi cambuk baginya, dan bagi sekian wartawan kita lainnya, supaya wartawan kita tidak kalah oleh wartawan negeri lain. *** Jarang saya mendapatkan buku yang berisikan kekecewaan yang amat sangat tentang negerinya sendiri seperti yang ditulis
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
xiv Oltmans ini. Dan semua itu pangkalnya disebabkan informasi yang salah yang dibentuk oleh penguasa Belanda waktu itu, dan dicoba ditutupnya dengan informasi lain yang berbeda dengan pandangan yang berkuasa setempat. Oltmans telah mencurahkan emosinya di dalam buku ini dengan tidak tanggung-tanggung. Ia membuka dadanya menghadapi sejumlah orang Belanda, baik yang bekerja di pemerintahan maupun di dunia pers di negeri itu pada masa itu, dengan melontarkan kata-kata yang lebih daripada tajam. Waktu itu Oltmans, yang biasa dipanggil Wim oleh Presiden Soekarno, melawan arus. Tapi ada kemungkinan besar, di permulaan milenium baru ini, mega gelap tentang seseorang yang bernama Soekarno itu, di Belanda telah mulai terkuak. Generasi baru di negeri kincir itu telah lahir dan mereka mendambakan informasi yang benar, seperti halnya di negara-negara lain. Lembaga seperti Yayasan Soekarno yang diketuai Prof. Bob Hering rasanya akan yang bergerak tambah giat ke arah memberi pengertian yang benar tentangnya. Bagaimanapun, kita pantas memuji keuletan penulis buku ini, atas keyakinannya bahwa pikirannya dan perasaannya benar dan tepat mengenai Bung Karno, serta tidak patut dialangi orang seperti yang pernah terjadi, baik oleh pemerintah Belanda waktu itu maupun oleh atasan-atasannya di bidang pekerjaannya sebagai wartawan. Ia juga beringasan menemukan mereka yang mengalang-alangi opininya mengenai Bung Karno.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
xv Saya tidak pernah berkenalan dengan Willem Oltmans, tapi sempat mendengar namanya disebut orang sebelum tahun 1966 dan sesudahnya. Ada yang memujinya, ada yang lebih dari pada mengejeknya. Tapi yang pasti adalah, saya selalu ingin membaca apa yang ditulisnya dengan saringan sendiri yang ada pada saya. Sementara itu saya tahu siapa yang suka kepada tulisan Oltmans dan siapa yang tidak. Dengan adanya perubahan zaman di negeri kita, tidak mustahli terjadi perubahan penilaian orang terhadap Oltmans. Disuguhkannya buku Oltmans ini sekarang -- dalam bentuk terjemahannya di negeri kita -- pada waktu peringatan ulang tahun Bung Karno yang ke-100, dan berbarengan dengan pencaharian bentuk pemerintahan kita yang diharapkan bakal menyenangkan kita, tentunya akan bermanfaat sebagai cermin apa yang telah terjadi di belakang kita sekarang. Buku ini dipersembahkan oleh penulisnya kepada putera puteri Bung Karno, dengan pertimbangan kemungkinan besar mereka tidak mengenal benar pribadi ayah mereka, karena waktu yang pernah ada pada Bung Karno kebanyakan dipergunakannya untuk kepentingan perjuangan dan pengabdian kepada bangsanya. BungKarno tidak mempergunakan banyak waktunya untuk putera-puterinya. Itu sebabnya Oltmans ceritakan pengalamannya dengan Bung Karno ini kepada mereka yang dirasakannya patut mengetahuinya, termasuk pembaca buku ini. Tinggallah kepada pembaca untuk mempertimbangkannya kembali zaman yang belum terlalu lama lewat dari kita. Mungkin ada bagian dari tulisan ini yang anggukkan, mungkin ada juga yang kita tolak, mungkin ada
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
xvi yang menjadikan kita paham mengapa kejadian itu tampil seperti apa yang pernah kita lihat dan rasakan. *** Suasana di tahun permulaan milenium ke-3 ini sungguh sudah amat berubah dalam soal kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat di negeri kita, dibandingkan dengan keadaan pada seputar tahun '60-an. Kita tahu betapa kejam hujatan yang terjadi terhadap Bung Karno pada seputar tahun 1965-1967. Sekarang, sewaktu berjalan sidang DPR pada tanggal 30 April 2001, kita telah mendengar kumandang pujian dan sanjungan terhadap kenegarawan Bung Karno di ruangan gedung penting dan terhormat itu sewaktu para politisi Indonesia membicarakan nasib Presiden Abdurrahman Wahid. Wakil Partai Persatuan Pembangunan yang mengumandangkan penghargaan tinggi kepada Presiden Soekarno di gedung DPR-MPR itu. Di antara kita yang pernah mengalami empat kali kepemimpinan negara kita, Soekarno, Soeharto, Habibie dan Gus Dur, banyak yang membanding-bandingkan presiden-presiden kita itu. Maka karena sekarang sudah ada bandingan, banyak yang berupah pikiran tentang Bung Karno. Yang tadinya pada akhir 50-an dan permulaan 60-an membencinya atau menjelek-jelekkan Presiden kita yang pertama itu banyak yang bergeser tempat, kalau tidak jadi memujinya, sedikitnya tidak lagi menjelek-jelekkannya. Apa lagi mereka yang selama periode '45-67 memujinya tentunya terus dan bertambah menghargainya.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
xvii Tidak diragukan lagi Willem Oltmans akan tambah mengumandangkan pendiriannya mengenai sahabatnya: Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia. Jakarta, 9 Mei 2001 Ramadhan K.H.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
xviii
Pengantar Menulis buku tentang Presiden Soekarno, musuh bebuyutan kita yang nomor satu, tetap merupakan petualangan yang berbahaya biarpun seratus tahun sejak kelahirannya dan seperempat abad setelah kematiannya. Orang mengira saya dapat berbicara atau berpikir tentang ia, padahal sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang pria ini. Orang tidak sadar bahwa mereka tidak memiliki ramuan informasi yang penting-penting, sehingga hanya mempunyai pendapat pedas saja yang tidak dapat dibenarkan. Emosi dapat memutarbalikkan kenyataan. Isapan jempol degil telah bertahun-tahun mengaburkan fakta tentang pendiri Republik Indonesia ini. Pada akhirnya ia adalah pemenang yang tak terbantahkan dan kita telah berulah sebagai pihak yang ogah menerima kekalahan. Tahun 1980, untuk ketiga dan terakhir kalinya saya berbicara dengan Perdana Menteri Indira Gandhi dari India. Saya bertanya apakah beliau mau menuliskan kenang-
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
xix kenangannya. Tidak ada waktu. ‘Tetapi sekarang anda, dipuja setinggi langit, atau sangat dihinakan orang-orang, yang belum pernah anda temui dan sama sekali tidak mengenal anda’. ‘Ini memang kenyataan,’ jawab beliau, ‘belum pernah ada orang yang betul-betul mengenal saya telah menulis tentang saya.’ Saya menulis tentang Soekarno setelah selama sepuluh tahun (1956-1966) saya diterima dengan ramah olehnya. Saya berkesempatan mengenalnya dengan sangat baik. Oleh sebab itu laporan ini kenangan pribadi. Tulisan ini merupakan kenang-kenangan saya tentang teman saya, meskipun ia kepala negara Indonesia. Kami berdua berbicara dengan jujur dan akrab. Para pengritik, yang suka bertahan kepada pendapatnya sendiri yang salah, akan langsung meremehkan laporan ini dengan mengatakan, ‘lagi-lagi dokumen Willem Oltmans yang semau gue saja!’ Itu tidak akan menghilangkan kenyataan bahwa sayalah satu-satunya wartawan dari angkatan saya yang benar-benar turun mendekati Bung Karno, untuk mengumpulkan informasi dari tangan pertama, dengan niat membentuk pendapat yang bermakna mengenai lawan kita yang utama di Asia. Bagi banyak orang, laporan saksi mata ini akan terdengar seperti dongeng yang penuh emosi saja. Yang lain akan memahami bahwa informasi yang digalas ke sini dengan susah payah, yang didasarkan kepada catatan buku harian, menuturkan cerita yang betul-betul tidak dipalsukan. Buku harian saya sudah tersimpan sampai tahun 1980 di Koninklijke Bibliotheek di Den Haag. Oleh sebab itu mencocokkan pengalaman yang saya tulis di sini dapat saja dilakukan.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
xx Namun, ini tidak akan menahan beberapa pengecam untuk bersikap seakan buku ini tidak ada, atau menulis resensi yang menghancurkan. Multatuli pun semula tidak dapat menghindari cercaan terhadap kisah saksi mata yang ditulisnya mengenai kenyataan di Hindia Belanda. Itulah harga yang harus dibayar orang untuk kebenaran, apalagi untuk kebenaran mengenai Bung Karno, pemenang yang dihinakan dan dicemooh. Pada tahun duapuluhan ia mulai pergulatannya untuk merebut kekuasaan orang Eropa yang bercokol tanpa diundang dan tidak sah di negeranya. Pemerintah kolonial saat itu telah cepat melihat bahwa pemuda Jawa, yang belajar untuk menjadi insinyur sipil di Bandung ini, adalah lawan yang berbahaya dan tangguh bagi wibawa Den Haag di negara koloni. Oleh sebab itu Soekarno diasingkan selama lebih dari sebelas tahun dan dipisahkan dari rakyatnya. Untuk membenarkan tindakan ini, di Belanda ia dihitamkan habis-habisan, yang sekurang-kurangnya menyiratkan bahwa ia juga ‘bangsat’ yang tidak dapat dipercaya. Bung Karno beruntung dapat dibebaskan Jepang. Semula ia mengundang saudara Asianya masuk, sebagaimana kita tahun 1945 menyambut orang Kanada. Sekutu itu membebaskan kita setelah lima tahun diduduki Jerman, sebagaimana Jepang membebaskan Indonesia setelah tiga ratus tahun dijajah Belanda. Tujuan pokok Soekarno ialah mem ‘berdikari’ kan rakyat Indonesia. Tahun 1955 pun berkali-kali ditekankan siaran dokumentasi televisi bahwa setelah Perang Dunia ke-2 Den Haag tidak lagi mau berurusan dengan Soekarno karena katanya ia
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
xxi menjadi kolaborator Jepang. Baik Mohammad Hatta maupun Sutan Sjahrir yang semasa pendudukan Jepang adalah teman sekeyakinan Soekarno yang utama, selalu membantahnya. Tahun 1952 Profesor George McTuman Kahin dari Universitas Cornell telah menyatakan dalam kajiannya Nationalism and Revolution in Indonesia (hal. 104-106), ‘bahwa Soekarno menganggap Jepang itu fasis murni. Soekarno berpendapat bahwa ia dan kawan-kawan seperjuangan harus memilih cara berperang paling “halus” untuk menghindari bentrokan dengan penguasa Jepang. Mereka sepakat untuk berpura-pura saja berkolaborasi dengan orang Jepang.’ Sama seperti saya, Profesor Kahin telah menemui Bung Karno, Hatta, dan Sjahrir dan banyak lagi di Indonesia untuk meneliti sendiri. Meskipun demikian, penonton siaran peringatan 50 tahun kemerdekaan Hindia Belanda (Indonesia) di televisi tetap saja dicekoki cerita bahwa Soekarno itu kolaborator Jepang. Kebanyakan wartawan pun tahunya cuma, bahwa ia, bersama dengan Hitler, merupakan lawan kita yang utama di abad ke-dua puluh ini. Akibatnya ialah bahwa 55 tahun setelah Soekarno membebaskan negara ke-empat terbesar di dunia dari cengkeraman imperialisme dan kolonialisme kita, kerja untuk menemukan kembali siapa dia sebenarnya -- dalam psiko-sejarah disebut to reinvent Bung Karno -- belum juga dilakukan. ‘Fakta sejarah pada hakikatnya adalah fakta psikologi,’ tulis Peter Loewenberg dalam Decoding the Past.1. Sejak dua
1.
University of California Press, Berkeley, Los Angeles, 1969.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
xxii puluh lima tahun lalu di Amerika Serikat telah dicari hubungan antara pemikiran dan tindakan politik dengan motif dan perilaku psikologi yang melatarinya. Inilah pendekatan yang sejajar dengan cara bagaimana psikoanalis mencari akar permasalahan kejiwaan pada bangun kepribadian yang menyimpang. Dahulu orang tidak mempunyai pengetahuan cukup mengenai otak untuk melibatkan peranan emosi, pertimbangan kejiwaan pada pikiran dan tindakan pemain utama di ajang politik, pada kajian sejarah. Apa yang dahulu tidak terjangkau atau tidak dapat dijelaskan, kini diteliti secara psiko-dinamika.2. Di Eropa pun mulai dipakai pendekatan psiko-sejarah untuk mempelajari tokoh-tokoh politik masa kini dan masa lalu. Di Amerika Serikat sudah sejak tahun 1961 John F. Kennedy memanfaatkan regu antardisiplin pimpinan psikiater dr. Bryant Wedge sebagai persiapan pertemuan tingkat tingginya yang pertama dengan Nikita Khrushcshev di Wina. Selama sepuluh tahun bergaul dengan Soekarno saya menjadi sangat yakin bahwa andai kata Belanda tahun 1945 memiliki informasi yang benar dan sesungguhnya mengenai Soekarno, dan kita3. saat itu berlapang hati segera mengakui kemerdekaan Indonesia, Bung Karno pasti telah datang ke Den Haag. Hubungan erat antara kedua negara tahun 1945 itu juga niscaya dapat dijalin dan tetap bertahan sampai sekarang. Yang terjadi adalah bahwa kita menjadi korban kebohongan dan penipuan diri di mata Bapak Ttanah Air Indone-
2. 3.
Gandhi's Truth, W.W. Norton & Co, New York, 1969. ‘kita’ di sini ialah Belanda
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
xxiii sia, bahkan juga dipandang dari perasaannya yang sesungguhnya terhadap Belanda dan orang-orang Belanda. Ia bukanlah musuh kita, melainkan teman kita nomor satu di Indonesia, pemimpin Indonesia yang pertama dan sekaligus juga yang terakhir, yang sesungguhnya menghargai dan lebih menyukai terjalinnya persahabatan dengan Belanda. Kita telah buta dalam menilai Bung Karno yang sesungguhnya dan dengan demikian kita telah menggali kuburan kita sendiri di Asia Tenggara. Yang mulia Ratu Belanda tahun 1995 memang mengunjungi Jakarta bersama delegasi dagang yang paling besar, tetapi nasi telah menjadi bubur. Amerika Serikat, Jepang, bahkan juga Jerman telah ‘memakan keju yang ada di atas roti kita’ di bekas koloni kita. Tidak seperti Inggris terhadap bekas jajahannya, kita tidak menata diri kembali pada waktu yang tepat. Bayangan kita yang keliru tentang Soekarno telah menjerat kita sesudah 1945. Pada saatnya nanti pasti akan dilakukan penelitian psiko-sejarah mengenai pendiri Republik Indonesia ini. Tetapi hal ini baru ada artinya apabila rejim adikara sekarang serta segenap kaki tangannya diganti oleh wakil-wakil rakyat yang benar, dan terutama apabila sisa dari sumber dan bukti otentik dapat disediakan. Bahkan di Indonesia sendiri, penerusnya telah berupaya nekad untuk menghitamkan Bung Karno, misalnya dengan ‘memperkenalkannya’ kepada rakyat pada tahun 1965 sebagai orang yang diam-diam bersekutu dengan komunis. Tahun 1989 Jenderal Suharto bahkan menulis dalam buku kenangannya bahwa ia tahu benar Soekarno tidak pemah menjadi seorang komunis, tetapi semua itu berhuruf kecil saja
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
xxiv dalam buku sejarah, yang biasanya tidak dibaca orang, juga karena kejutan pada tahun 1965 dan dusta bahwa yang terjadi adalah coup PKI, hingga kini belum reda. Namun apa hendak dikata, bila akhirnya dilakukan juga penulisan mengenai Soekarno seperti apa ia sebenarnya, kebanyakan orang Indonesia yang betul-betul mengenalnya mungkin telah lama meninggal. Kesaksian mereka, yang sampai saat ini belum dicatat, akan hilang dari sejarah. Karena itu kita kembali ke keluhan Indira Gandhi bahwa mereka yang mengenalnya tidak pernah menulis tentang dirinya. Di sini saya mencoba menulis, agar tidak terlambat, sebagai sumbangan bagi pertimbangan akhir sebuah sejarah. Mengenai judul buku ini, berikut ceritra saya: penulis Jef Last adalah teman saya selama bertahun-tahun. Pada tahun 1966 ia memberi saya satu eksemplar buku Mijn vriend Andre Gide (Temanku Andre Gide).4. Pada saat itu saya mempertanyakan mengapa ia memakai judul seperti itu untuk buku tentang seorang teman. Selain itu, Jef juga pernah tinggal lama di Indonesia5. sehingga dapat melihat negara itu dengan mata lain dari rata-rata orang Belanda. Ia diterima dengan tangan terbuka oleh Bung Karno. Kami merundingkan bersama, perihal bagaimana kita dapat menyumbang agar gambaran tentang Soekarno dapat lebih sesuai dengan kebenaran. Kata Jef, perlu waktu yang sangat lama bagi orang di Tanah Air agar bersikap ‘dewasa,’ yaitu tidak terlalu emosional dan mau
4. 5.
Penerbit Van Ditmar, Amsterdam, 1966. Ia menulis sejumlah buku mengenai Indonesia dan banyak melukis, dalam hal ini di Bali.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
xxv mengupas tokoh sejarah ini dengan lebih objektif. Teman saya Jef Last memang tidak lagi berkesempatan melihat terbitnya buku Mijn vriend Sukarno (Bung Karno Sahabatku). Sekarang saya juga berpikir bahwa mungkin Jef benar juga dengan menyebut Gide pada sampul buku sebagai ‘teman saya’. Ada anggapan bahwa wartawan profesional hendaknya tidak mempunyai ‘teman’ selama menjalankan tugasnya. Bahwa saya melanggar aturan itu ada kaitannya dengan kenyataan sebenarnya yang saya jumpai mengenai pria ini.6. Anak-anak Bung Karno, kepada siapa buku ini saya persembahkan juga, mencintai pria ini sebagai ayah mereka, tetapi mereka tidak benar-benar mengenalnya. Ia boleh dikatakan tidak punya waktu untuk memperhatikan anak-anaknya. Apalagi saat itu mereka masih duduk di bangku sekolah, dan tidak tahu apa yang terjadi di lingkungan istana. Pada tahun tujuh puluhan Sukmawati dan Guruh telah datang mengunjungi saya di Amsterdam untuk berbicara tentang ayah mereka. Guruh tinggal beberapa waktu di rumah saya, sebagaimana saya tahun 1995 tinggal selama tiga bulan di rumahnya di Jakarta. Dalam buku ini saya juga akan bercerita kepada mereka mengenai pengalaman saya bersama ayah mereka. Terutama untuk Karina, yang tahun 1967 lahir di Jepang dalam pembuangan dan tidak pernah mengenal ayahnya. Saya masih ingat, ketika masih anak-anak, ia tinggal di tepi Danau
6.
Untuk terjemahan buku ini dalam Bahasa Indonesia, saya menyarankan agar judulnya diubah, yaitu ‘Bung Karno yang saya kenal’
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
xxvi Geneva, membuat gambar-gambar untuk ayahnya dan bertanya tentang ayahnya kepada saya dalam bahasa Perancis. Karina kemudian menuntut ilmu di sekolah terbaik di Perancis, belajar Communications di Universitas Boston dan bekerja selama tiga tahun di Tokyo untuk televisi Jepang. Tahun 1995 ia pulang ke New York dan merasa senang dapat kembali ke dunia barat. Willem Oltmans
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
1
Roma (1956) Tanggal 10 Juni, pukul empat petang hari. Di Bandara Ciampino terhampar sebuah permadani merah. Presiden Italia Giovanni Gronchi, para anggota kabinet, dan korps diplomatik mengikuti gerakan pesawat DC7B yang menggelinding perlahan. Pesawat itu disewa Pemerintah Indonesia dari Pan American Airways. Hari itu cuaca cerah di musim panas. Seragam yang berwarna-warni dari barisan kehormatan caribinieri tampak menonjol di tengah jas kelepak para pejabat tinggi. Pintu pesawat terbuka. Didahului oleh juru potret istana Rochman dan juru film kepresidenan Silitonga, Presiden Soekarno keluar dari pesawat. Ia memakai seragam abu-abu, sederhana, tanpa pita-pita kehormatan atau hiasan istimewa lainnya, dan seperti biasa rapi terawat oleh Tukimin, pembantunya. Dengan demikian, untuk pertama kali dalam hidupnya, Soekarno menapakkan kakinya di daratan Eropa. Akhirnya ia dapat mengunjungi bagian dunia yang tiga abad lebih telah
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
2 menerakan cap tidak terhapuskan di negaranya. Tidak seperti Hatta, Sastroamidjojo, Sartono dan pejuang revolusi lainnya, Soekarno belum pernah mengunjungi Belanda. Di sekolah ia banyak belajar mengenai kita. Ia selalu ingin tahu tentang pemandangan alam Belanda dan orang-orangnya, tetapi Den Haag, dengan kebijaksanaan yang tak tergoyahkan, selamanya akan menolak kehadiran musuh negara nomor satu itu di bumi kita. Orang Belanda termasuk pendendam tersengit di antara bangsa-bangsa yang kalah dalam sejarah kolonial Eropa. Harus kita ketahui bahwa Inggris lebih berhasil dalam mengekang kebanggaannya yang terluka. Yomo Kenyatta, pemimpin Mau Mau yang tadinya jadi buron Inggris kabarnya akan diterima Ratu Elizabeth II di Istana Buckingham setelah negaranya merdeka. Secara sadar dan sengaja Soekarno takkan pernah diberi kesempatan, kita mengaku secara ksatria bahwa ia menang melawan penjajahan Belanda di Indonesia. Namun bertamu ke Belanda akan tetap menjadi dambaan Soekarno yang tidak pernah akan terpenuhi. Ia berharap agar suatu waktu dapat berdiri mendampingi Ratu Juliana di balkon istana di Amsterdam sebagai kepala negara yang setara. Namun, rupanya keinginan ini tidak pernah dipenuhi oleh mereka yang telah dikalahkannya. Tahun 1956, dari Italia saya menulis untuk De Telegraaf. Kala itu boleh dikata saya tidak pernah berurusan dengan Indonesia. Ayah dan kakek saya kelahiran Semarang. Kakek buyut saya, Alexander Oltmans, adalah ketua komisi Jawatan
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
3 Perkeretapian Hindia Belanda. Kakek saya dari pihak ibu adalah salah seorang pendiri pabrik kina Maarssen, sekarang perusahaan besar ACF di tempat itu. Saya berasal dari keluarga kolonial yang adati, dan lahir di Huizen, Setelah tamat dari Baarns Lyceum (sekolah menengah), saya melanjutkan studi ke Nijenrode dan Universitas Yale di Amerika Serikat. Henk Hofland, teman saya sekamar di Nijenrode, tahun 1953 menarik saya ke Algemeen Handelsblad. Maka jadilah saya wartawan. Tahun 1955 saya bertugas sebagai koresponden di Roma. Italia adalah sekutu Belanda yang penting, baik dalam kaitan dengan NATO maupun dengan MEE. Menteri Luar Negeri Belanda saat itu, Joseph Luns, minta Duta Besar Belanda untuk Italia, dr. H.N. Boon, agar pergi ke Palazzo Chigi untuk memprotes Italia karena telah mengundang mahamusuh kita untuk suatu kunjungan kenegaraan. Roma ingin memperkuat hubungan dagangnya dengan Indonesia. Industri militer Italia siap memproduksi kapal perang jenis fregat untuk Angkatan Laut Republik Indonesia. Kita dapat menduga bahwa Soekarno akan minta dukungan Italia meyakinkan PBB bahwa Irian Barat1. (Irian Jaya) adalah bagian tak terpisahkan dari bekas Hindia Belanda, sehingga dengan sendirinya harus masuk ke Republik Indonesia. Di masa itu saya menulis beberapa artikel untuk De Telegraaf. Dengan sendirinya sangatlah wajar apabila kunjungan Soekarno ke Roma dijadikan berita. Untuk maksud itu saya menemui Duta Besar (Dubes) Sutan M. Rasjid dan
1.
Irian Jaya, saat itu masih disebut Irian Barat
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
4 minta bantuannya agar saya dapat menemui presiden. Pak dubes merasa heran bahwa dari sembilan wartawan Belanda di Italia hanya sayalah yang mengajukan permohonan mewawancarai Soekarno. Yang tidak saya ketahui adalah bahwa Dubes Boon telah mencamkan kepada ke-delapan rekan saya, bahwa memberi perhatian terhadap Soekarno tidak dihargai di Den Haag. Ketika itu Luns menempatkan dua orang duta di Roma, yakni Tuan Boon tadi, dan bangsawan Marc van Weede sebagai duta di Vatikan. Dengan Marc ini saya selalu mempunyai hubungan baik sampai beliau meninggal pada usia lanjut. Pernah saya satu kali mengunjungi Boon, dan nyatalah bagi saya bahwa dia itu pendekar Luns. Makanya sejak itu dengan was-was saya menghindarinya. Keruan saja saya tidak tahu-menahu tentang keinginan Den Haag untuk mencuekkan Soekarno. Karena ketidaktahuan itu saya mengirim telegram rutin kepada J.J.F. Stokvis, pemimpin redaksi saya, bahwa saya akan mewawancarai Presiden Indonesia itu. Langsung saja tiba Italcable 666, berisi larangan dari Stokvis untuk brtemu Soekarno. Pada masa itu saya belum mengerti bahwa semua pemimpin redaksi Belanda, melalui perhimpunan Pemimpin Redaksi, terbiasa mengabulkan semua ‘permohonan pemerintah’. Saya lebih tidak tahu lagi akan adanya hubungan erat antara J.G. Heitink (dari Pemimpin Redaksi De Telegraaf) dengan dinas mata-mata. Ya sudah, saya melapor ke Agence France Presse saja di Roma, lalu menerima tugas dari AFP untuk menyusun laporan kunjungan kenegaraan dari Indonesia tersebut. Tanggal 12 Juni 1956 diadakan upacara penyambutan di
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
5 taman Kedutaan Besar Indonesia. Dubes Rasjid memegang janjinya. Ia memperkenalkan saya sebagai wartawan Belanda kepada presiden. ‘Anda orang Belanda?’ adalah pertanyaannya yang pertama, sambil mengamati saya dengan teliti, seolah-olah memeriksa saya akan kebenaran hal tersebut. ‘Anda besok ikut dengan kami ke Pompei?’ lanjutnya. Ia menoleh, memanggil Sugandhi, ajudannya, dan menyuruhnya mengatur agar saya dapat ikut dengan rombongan Presiden Soekarno dalam seluruh perjalanannya di Italia keesokan harinya. Untuk keperluan itu, pemerintah Italia telah menyediakan kereta api khusus, termasuk gerbong restorasinya. Setelah bermalam di Sorrento, tanggal 14 Juni 1956 kami memasuki Pompei. Soekarno mengenakan baju safari dan topi yang sesuai. Hari itu udara panas dan pengap. Saya memotret dari tempat yang lebih tinggi. Ia melihat saya dan memanggil saya dengan isyarat. Kami berjalan bersama di depan anggota rombongan lainnya. Ia mengatakan bahwa ia senang saya ikut dalam perjalanan itu. ‘Sayang, hubungan dengan Belanda saat ini sangat buruk. Kamu tahu, saya telah berulang-ulang mengatakan bahwa apabila masalah Nieuw-Guinea dapat diselesaikan, jalan ke arah persahabatan dapat terbuka.’ Sementara itu Menteri Luar Negeri Ruslan Abdulgani dan Joseph Borkin, pengacara Jahudi terkemuka dari Washington, yang telah bertahun-tahun menjadi penasehat Pemerintah Indonesia dan penasehat pribadi Presiden Soekarno, telah menyusul kami. Kami berempat terus berjalan. Menteri Abdulgani menambahkan: ‘Apabila Belanda mau menyerahkan kedaulatan atas Irian Barat kepada Indonesia, maka
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
6 presiden akan menjadi orang pertama yang akan pergi ke Den Haag untuk secara pribadi mengusahakan agar hubungan kedua negara dapat terjalin kembali dengan baik.’ ‘Itu benar,’ tegas Soekarno. Dengan sendirinya saya memasang telinga, tetapi saat itu saya belum sadar bahwa pemimpin Indonesia itu telah menyatakan dambaan hatinya. Sewaktu aksi polisional pertama, saya masih berada di Nijenrode. Ketika perang kedua melawan Soekarno saya tinggal di Yale, di New-Haven, Connecticut. Dengan anggapan bahwa Den Haag tentu tahu apa yang dilakukannya, sebagai pemimpin Yale International Club saya mengundang para diplomat seperti F.C.A. Baron van Pallandt, Robert Fack dan Leopold Quarles van Ufford ke Yale untuk menjelaskan kepada mahasiswa, bagaimana pendirian Belanda mengenai Indonesia. Di antara tahun 1948 dan 1950 di Amerika Serikat saya tidak bersungguh-sungguh mendalami proses dekolonisasi. Saya masih juga begitu ketika menjadi redaktur luar negeri untuk Algemeen Handelsblad di bawah dr. A.L. Constandse, tokoh yang tidak dapat saya lupakan, yang beberapa bulan sebelum kematiannya menulis surat perintah khusus kepada saya. ‘Andalah satu-satunya di negeri ini yang tahu banyak mengenai hal itu. Luns, juga di bawah pemerintahan Drees, telah menjalankan politik yang amat buruk. Jadi, jalankan tugasmu dengan baik. Salam, Anton Constandse.’2 Ketika saya bekerja padanya, saya membatasi
2
Surat tertanggal 30 Januari 1985, juga dicatat oleh Bibeb pada wawancaranya yang kedua dengan saya untuk Vrij Nederland tanggal 6 Juli 1985.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
7 diri pada berita-berita mengenai hancurnya kekuasaan Perancis di Dien Bien Phoe dan berkobarnya peperangan di Korea. Pada saat perundingan resmi terakhir antara Jakarta dan Den Haag di Jenewa pada musim dingin tahun 1955-1956, saya sudah tinggal di Roma. Kejadian itu juga lepas dari pengamatan saya. Luns, dengan keangkuhannya yang bodoh, lagi-lagi telah melecehkan kesempatan terakhir bagi pemecahan yang damai. Dengan demikian pembicaraan dengan Soekarno di Italia mengenai masalah Papua sedikit banyak telah menyerkap saya. Saya mulai sadar, bahwa Irian Barat atau Irian Jaya merupakan kunci bagi pulihnya hubungan baik. Hari-hari selanjutnya, dari Pompei kami meneruskan perjalanan ke Florence, Milan, Turin, dan Venesia. Tanggal 23 Juni 1956 saya melaporkan pengalaman saya di Elseviers Weekblad. Reaksi pembaca kebanyakan sangat luar biasa, kasar, dan menghinakan, seperti misalnya seorang ibu dari Zutphen yang menulis: ‘Orang Jawa yang sudah mati tidak dapat berbohong.’ Bagi saya, sangatlah mengejutkan bahwa di tahun 1995 di acara Brandpunt3. dari siaran televisi KRO saya masih harus mendengarkan seorang jenderal yang belum juga dapat menerima terlepasnya Hindia Belanda. Sementara saya merasa pertemuan saya dengan Soekarno sebagai peristiwa bersejarah yang amat bernilai, yang telah memperkaya saya dan memberi saya banyak gagasan dan sudut
3.
Fokus, acara televisi KRO (Katholieke Radio Omroep)
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
8 pandang baru mengenai perselisihan masalah Irian Jaya, Luns dan duta besar menganggap saya sebagai pengkhianat yang kurang ajar dan tidak taat kepada ‘instruksi’. Boon sendiri menyempatkan diri untuk menyatakan kedengkiannya dengan menulis dua pucuk surat kepada Stokvis, Pemimpin Redaksi De Telegraaf. Kata Boon, dia tidak mengerti bahwa harian pagi paling laris di Belanda masih mau berurusan dengan wartawan yang menghina dirinya lewat pergaulan dengan orang rendah seperti Soekarno. De Telegraaf lalu memutuskan hubungan kerja dengan saya. Sampai tahun 1991 saya tidak dapat membuktikan bahwa hal tadi telah terjadi. Baru kemudian, atas permohonan saya, Ratu Breatix minta agar Dewan Negara (Raad van State) bertindak atas dasar Undang-Undang Keterbukaan Negara4 dan memerintahkan Kementerian Urusan Luar Negeri menunjukkan kepada saya sekitar seratus dokumen. Barulah saya memergoki dua surat yang ditulis Boon kepada De Telegraaf. Pejabat tinggi Den Haag memang pengecut yang tidak ketolongan. Apa yang mereka ketahui dan lakukan, yang mereka anggap tidak patut atau melanggar hak asasi warga atau wartawan, enak saja mereka cap dengan kata rahasia. Empat puluh tahun yang lalu Joseph Luns dan kaum penghasut yang menghamba di kementeriannya memberi saya kartu merah, karena saya kebetulan bertemu dengan Bung Karno di Roma dan punya nyali menulis hal yang benar mengenai dirinya. Pada akhir masa jabatannya di bulan
4
Wet Openbaarheid van Bestuur. Arti Bestuur sebetulnya Pemerintah(an).
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
9 Agustus 1994, Perdana Menteri Ruud Lubbers memanggil saya ke menaranya dan menjelaskan antara lain, bahwa apa yang menimpa saya di negeri ini memang ‘tidak nyaman’. Telah empat puluh tahun saya disudutkan di tempat terkutuk tanpa pernah dapat keluar dari situ. Perkara memutar kembali empat dasawarsa perlakuan jahat dari penguasa terhadap saya sebagai warga dan wartawan sampai kini telah lima tahun dipermainkan kantor pengadilan Den Haag, sembari menguras hasil pajak dari warganya untuk mencoba menyelesaikan masalah dengan mengakali langkah sesatnya dengan sepatu dobol. Dan semua ini terjadi karena Soekarno telah menjadi teman saya.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
10
Bonn (1956) Orang yang kurang ajar memiliki separuh dunia. Cepat seperti kilat saya berangkat dengan kereta api malam dari Venesia ke Amsterdam, dan menyerahkan laporan saya tentang Soekarno kepada W.G.N. de Keizer, Peminpin Redaksi Elseviers dan tanggal 20 Juni 1956 saya kembali bergabung dengan rombongan Indonesia, kali ini ke Duisburg, Jerman Barat, tempat kunjungan rombongan ke DEMAG-Aktiengesellschaft. Di Bonn, Luns juga mengajukan protes terhadap kunjungan kenegaraan Soekarno, tanpa hasil apa pun. Presiden Heuss dan Perdana Menteri Adenauer kurang menanggapinya dan tidak mau berurusan dengan Luns yang sok pintar itu. Tanggal 18 Juni 1956 Bung Karno disambut pasukan kehormatan dengan ucapan selamat datang secara berlebihan di Bandara Wahn dekat ibu kota Jerman Barat. Presiden Indonesia yang selama bertahun-tahun dipersalahkan karena tidak memperhatikan masalah ekonomi, mengadakan kunjungan kerja berturut-turut ke Krupp, Guttehoffnungshütte, Siemens, AEG, Mercedes-Benz Daimler dan misalnya ke Pelabuhan Ham-
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
11 burg, tempat ‘pemancingan’ produk niaga Indonesia yang telah lucut dari tangan Belanda ketika masih berkuasa di Hindia Belanda dulu. Di Duisburg saya begitu saja menyelusup kembali ke dalam kereta api khusus Presiden Soekarno. Di Italia, bangsawan di San Damiano, kepala protokol, tidak terlalu mempermasalahkan kehadiran saya dalam rombongan Indonesia. Di Jerman Barat, kehadiran saya telah mengakibatkan keributan besar ketika mereka menemukan bahwa ada kelebihan satu orang di kereta api tersebut, orang Belanda pula. Masalah itu kemudian dipecahkan dengan gaya Jawa yang lembut. Pak Umargatab, kepala pasukan keamanan Bung Karno, mengundang saya ke gerbong restorasi untuk sarapan. Sepintas lalu ia menanyai saya mengenai latar belakang dan tujuan saya. Rupanya saya lulus dalam ujian ini, karena saya tetap berada di kereta dan ikut dalam perjalanan lintas Jerman. Saya juga melaporkan perjalanan ini di Elseviers Weekblad (mingguan) tanggal 30 Juni 1956. Sekali lagi terjadi kecemasan luar biasa di antara pembaca Elseviers. Juga di lingkungan keluarga dekat dan teman-teman saya, orang meraba-raba dalam gelap, mempertanyakan mengapa saya ‘tiba-tiba menyeberang ke pihak Soekarno’. Hal itu tentu saja tidak akan terjadi. Saya menganggap pemimpin Indonesia ini orang yang menyenangkan. Sebelumnya saya membayangkan ia sebagai orang yang menghina orang Belanda dan saya mengalami sendiri seperti apa orang yang sebelumnya dianggap istimewa oleh orang Belanda. Dengan perkataan lain: gambaran tentang Soekarno, seperti yang selama bertahun-tahun ini terbentuk dalam benak saya, sangat jauh berbeda dari apa yang saya alami sendiri,
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
12 mula-mula selama seminggu di Italia dan selanjutnya selama lima hari di Jerman Barat. Yang agak nakal ialah pernyataan Henk Hoflands dalam bukunya yang terkenal Tegels Lichten1., bahwa ketika saya berjalan-jalan dengan Soekarno di Pompei, saya telah ‘disihir’ oleh Presiden Indonesia itu. Mengenai pembicaraan ini saya hanya dapat mengatakan bahwa hal itu telah menjadi eye opener, pembuka mata bagi saya. Baru sekarang saya tahu, apa yang dibicarakan dan dipikirkan di tingkat tertinggi di pihak ‘lawan’ mengenai Belanda dan sengketa Irian Barat. Karena laporan saya sebagai wartawan mengenai pengalaman ini, selama empat puluh tahun berikutnya, di Den Haag saya mendapat sebutan ‘buruk laku’. Mantan Pemimpin Redaksi Algemeen Handelsblad, H.M. Planten juga memandang saya dengan ragu-ragu, sama seperti Hofland, ketika saya berceritra kepadanya tentang pengalaman saya. Ia menyimpulkan bahwa di Italia, Soekarno hanya ramah kepada saya agar saya menulis di Elseviers demi kepentingannya. Apabila saya bertemu dengan presiden di Jakarta, Bung Karno pasti akan menganggap saya angin lalu. Hal itu ternyata menimbulkan pemikiran pada diri saya untuk bepergian ke Indonesia. Setelah sepuluh tahun merdeka, Indonesia berada di persimpangan. Dengan sendirinya negara Islam terbesar di dunia ini tahun 1945 telah menerapkan model pemerintahan seperti Westminster. Sejak terbentuknya republik itu, empat puluh kelompok politik telah ikut membangun partainya masing-masing pada pengambil keputusan tertinggi di
1.
Penerbit Contact, Amsterdam 1972, hal. 55.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
13 kepulauan yang terdiri atas beribu pulau ini. Kabinet demi kabinet berjatuhan. Dengan perselisihan politik dan pengambilan keputusan yang dilakukan dengan 51 suara setuju dan 49 suara tidak setuju, bagi otak orang Indonesia yang tidak mengenal sistem demokrasi politik untuk pengambilan keputusan, ia masih dapat membentuk pemerintahan yang efisien untuk salah satu negara berkembang terbesar di dunia ini. Keputusan penting-penting selalu digeser maju, sampai terbentuk suatu koalisi baru dan segera pula mereka bertengkar. Tentang hal itu kita perlu mempertimbangkan, misalnya informasi yang ditulis profesor George McTurnan Kahin dari Universitas Cornell dalam laporan penelitiannya tentang Indonesia bahwa tahun 1940, Hindia Belanda hanya memiliki 627 tenaga bangsa Indonesia yang berpendidikan perguruan tinggi, dan kebanyakan dari mereka adalah dokter. Soekarno mulai mempertanyakan apakah sistem demokrasi Barat dapat memberi jawab bagi masalah di negerinya. Tahun 1956 ia pergi ke Amerika Serikat, Eropa Barat, Eropa Timur, Uni Sovjet dan Cina, berusaha menyelami apa yang harus dilakukannya untuk mengatasi keadaan yang genting di negerinya. Saya berupaya agar dapat menyertai perjalanan presiden Indonesia ini ke Uni Soviet bulan September 1956. Untuk itu saya terbang ke Teheran, Iran. Soekarno akan tiba di sana tanggal 27 Agustus dan selanjutnya, ia bersama para pengiringnya akan pindah ke empat pesawat Ilyusin, yang dikirim Perdana Menteri Nikita Krushchev untuk menjemputnya. Usaha saya untuk ketiga kalinya ikut dalam perjalanan Soekarno tidak berhasil, karena orang Soviet menolak memberi saya visa. Saya juga menduga bahwa di lingkungan Soekarno sendiri ada anggapan bahwa dalam
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
14 perjalanan ke blok timur ini, membawa seorang wartawan dari Barat bukanlah hal yang baik. Pada perjalanannya pulang dari Moskow, Presiden Soekarno juga singgah di Belgrado, mengunjungi Marsekal Tito, dan ini pertemuan mereka yang pertama. Lewat Triest saya masih sempat ke Yugoslavia dan ternyata Duta Besar Belanda di sana, Baron van Ittersum, sudah cukup mengenal Indonesia sehingga ia tidak sepakat dengan kebijakan Luns. Karenanya ia mengadakan jamuan bagi Soekarno dan segera pula ia dicela di De Telegraaf untuk ‘perilakunya yang tidak dapat dibenarkan’. Stokvis menyebut hal ini sebagai ‘bersekongkol dengan musuh’. Sementara itu, oleh berbagai kebetulan saya dapat bertemu dengan tokoh pelobi2. -Indonesia di Den Haag, yaitu bapak-bapak dari kelompok Rijkens. Paul Rijkens, mantan pejabat tinggi Unilever, kawan pribadi Pangeran Bernhard sejak masa peperangan di London, telah mengumpulkan sejumlah captains of industry yang mau mempertahankan Irian Barat dan menganggap masalah tadi bukan sebagai suatu hal yang penting. Di Nijenrode saya berkenalan dengan salah satu anggota pengurus, yaitu Slotemaker dari KLM3.. Saya mendekatinya untuk memperoleh fasilitas terbang ke Teheran. Ia mengirim saya ke dr. Emile van Konijnenburg, Wakil Presiden KLM dan khusus ditugasi mengurus hal-hal yang berkaitan dengan Indonesia, seperti kerja sama dengan Garuda Indonesian Airways. Ia ternyata telah bertahun-tahun menjadi sahabat pribadi Soekarno. Bersama-sama mereka membangun
2. 3.
Kelompok di luar parlemen yang mencoba mempengaruhi keputusan. Koninklijke Luchtvaartmaatschappij, perusahaan penerbangan Belanda.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
15 perusahaan penerbangan Indonesia. Kelompok Rijkens tahu akan artikel saya di Elseviers. Sejak tahun 1956 sampai 1961 saya telah sangat berhasil bekerja sama dengan kelompok ini sampai dinas penerangan dan CIA merintanginya. Untuk kunjungan saya ke Indonesia saya mendekati de Nieuwe Rotterdamse Courant, Algemeen Handelsblad dan Het Vaderland. Perlu diketahui bahwa di tahun 1956 ada seorang wartawan di Jakarta, Hans Martino, yang bekerja untuk Her Majesty 's Voice, Algemeen Nederlands Persbureau (ANP)4.. Tiga surat kabar yang disebut di atas mau menerima setiap artikel saya dengan 150 gulden dan lagi pula mereka tidak mau ikut membayar sesen pun biaya perjalanan saya. Kali ini saya mendekati paman saya, A.F. Bronsing, Direktur Maatschappij Nederland dan mendapat tiket berlayar dengan ‘Willem Ruys’ ke Indonesia. Para pemimpin industri di Belanda saling mengenal dengan sangat baik. Paman Bronsing membukakan saya pintu kepada K.E. Zeeman, direktur Nederlandse Handelsmaatschappij, yang menawari saya tinggal di sebuah flat di Jakarta ditambah mobil dengan sopirnya, Pak Hussein. Dengan demikian, saya siap berangkat tanggal 6 November 1956 dari Rotterdam lewat Tanjung Harapan ke Tanjung Priok, tempat saya pertama kali menginjakkan kaki saya di bumi Pulau Jawa. Saat yang penuh emosi: ternyata sejak pertengahan abad yang lalu telah ada tiga generasi keluarga saya yang mengenal bumi Jawa.
4.
Kantor berita Negeri Belanda.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
16
Jakarta (1956) Tanggal 31 Desember 1956, malam tahun baru. Batalion Garuda-I tegap berdiri dalam barisan rapi di lapangan rumput yang terpangkas licin di Istana Merdeka di Jakarta. Ke 600 perajurit pilihan berbaret hitam itu merupakan pasukan Indonesia yang diperbantukan ke pasukan perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa yang akan dikirim ke Terusan Suez, Mesir, dan Gaza. Terdengar aba-aba. Presiden Soekarno, didampingi Perdana Menteri dr. Ali Sastroamidjojo dan ajudannya Sugandhi, Sabur dan Sudarto, tampil keluar. Dari sebuah anjungan terdengar pidato singkat, dilanjutkan dengan inspeksi pasukan. Dengan demikian telah 26 hari saya berada di Indonesia dan saya telah menghindari kunjungan ke istana dengan alasan karena saya mengenal Soekarno. Lagi pula, saya ingin memanfaatkan beberapa minggu pertama ini untuk mengenal bumi tempat ayah dan kakek saya menikmati tahun-tahun yang
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
17 paling indah dalam hidupnya. Di atas kapal ‘Willem Ruys’ saya berkenalan dengan Boes Suwandi, yang pulang setelah menyelesaikan pendidikannya di Nijenrode. Saya menghabiskan waktu bermalam-malam dengan keluarganya di teras rumah di Jalan Tanjung. Dr. Suwandi Mangkudipuro bekerja sebagai dokter di Perusahaan Minyak Stanvac. Boes akhirnya berkarir di Pertamina, perusahaan minyak nasional Indonesia. Saya hampir tidak menyimak pembicaraan yang berlangsung di sekitar saya. Pikiran saya melayang ke para pedagang yang lewat dengan keretanya yang berisi bahan makanan. Pedagang lain membawa keranjang yang berat berisi bebuahan dan sesayuran dengan pikulan di pundaknya. Saya melaporkan kesan dan lamunan saya yang pertama mengenai Indonesia ini ke NRC. Oleh sebab itu saya masih mempunyai banyak waktu untuk menemui Soekarno di kemudian hari. Setelah selesai memeriksa pasukan Batalion Garuda-I, presiden akan kembali masuk ke istana, ketika ia melihat saya di antara rekan Indonesia saya. Saya pasti terlihat, karena tinggi badan saya jauh melebihi mereka. ‘Apa yang kamu lakukan di sini Wim?’ teriaknya memanggil saya dalam bahasa Belanda yang apa adanya. Orang menyingkir memberi jalan. ‘Kapan kamu tiba? Apa acara kamu malam ini? Tinggallah di sini, kami akan memutar film.’ Siapa yang bisa membayangkan bahwa saya pada usia saya yang ke 31, dan tiga tahun menjadi wartawan, menjadi tamu pribadi presiden pada malam pergantian tahun di istananya? Apakah ini menggambarkan kebencian Soekarno
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
18 kepada orang Belanda? Sejak masa ia berkuliah di Bandung, tempat ia menyelesaikan pendidikannya di Technische Hoge School1. tahun 1926 menjadi insinyur sipil, ia telah berjuang menentang kita. Lebih dari sebelas tahun ia diasingkan ke Bengkulu dan ke Flores. Bukankah kita, menurut sifat kita sebagai orang Belanda, menganggap bahwa pasti ia akan menghina orang Belanda? Dalam tahun-tahun ketika saya mengenalnya dengan sangat baik, semakin menjadi lebih jelaslah bagi saya bahwa kebenciannya hanyalah ditujukan kepada kolonialisme dan imperialisme dan sama sekali bukan kepada orang Belanda sebagai manusia. Dengan sendirinya malam itu saya ingat akan ramalan H.M. Planten, Peminpin Redaksi Algemeen Handelsblad, bahwa Bung Karno di Jakarta akan mengabaikan saya, seperti angin lalu saja. Yang terjadi justru sebaliknya: di tahun 1957 saya dimasukkan dalam daftar protokol istana dan sampai bulan September tahun tersebut, saya akan ikut dalam semua perjalanan yang dilakukan presiden di negerinya. Martino dari ANP, sebagai pesuruh dari Den Haag, dicoret begitu saja dari daftar tersebut. Ia akhirnya dianugerahi tanda jasa untuk pengabdiannya kepada negara. Ia sendiri belakangan menjadi kepala bagian pemberitaan dari Philips. Malam itu adalah malam yang unik. Seluruh anggota pasukan Batalion Garuda-I juga diundang. Di ruangan besar di istana diputar film mengenai kunjungan ke Amerika Serikat dan Uni Soviet yang dilakukan tahun itu.
1.
Sekarang Institut Teknologi Bandung
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
19 Saya berkenalan dengan para anggota militer, misalnya Letnan Sumarto, Letnan Machram Tjokrodimurti, Letnan Lamidjono, dan Mayor Sutikno Lukitodisastro, yang disebut terakhir ini adalah pembantu paling dekat Jenderal Soeharto dan kemudian menjadi duta besar di Selandia Baru. Ada pula beberapa wartawan yang hadir, yang telah saya kenal dalam perjalanan di Italia dan Jerman, seperti Djawoto, Sukrisno, Tom Anwar, Koerwet Kartaadiredja dan lain-lain. Beberapa di antara petinggi militer dan wartawan itu masih tetap menjadi teman pribadi saya ketika saya berkunjung ke Indonesia tahun 1995. Dengan sadar Soekarno memberi saya kesempatan untuk diterima di kalangan sahabat-sahabatnya. Sementara itu, boleh dikatakan saya tidak bisa bercerita kepada siapa pun di rumah mengenai apa yang saya alami di Indonesia. Sebagai orang Belanda saya merasa diperlakukan dengan ramah. Orang di rumah tidak akan mempercayainya. Pelajaran pertama yang saya peroleh sebagai wartawan dari pertemuan saya dengan Presiden Soekarno ialah, agar tidak pernah secara membabi buta menerima gambaran tentang pribadi orang terkenal di bagian lain dari dunia ini, seperti yang disajikan oleh media cetak,2. sebagai hal yang benar. Gambaran yang terbentuk dalam benak saya mengenai Bung Karno sebelum saya bertemu dengannya di Roma sangatlah berbeda, bak siang dengan malam, dengan kenyataannya. Saya mengamatinya di lingkungannya sendiri pada malam tahun baru itu. Putra dan putrinya juga tampak hadir. Ia bergerak ke
2.
Pada tahun lima puluhan belum ada televisi
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
20 sana kemari tanpa membedakan kedudukan tamu-tamunya dan menyapa semua militer itu, yang rendah maupun yang tinggi pangkatnya, seolah-olah mereka adalah bagian dari suatu keluarga besar. Untuk pertama kalinya saya mengetahui bagaimana rekan senegerinya, sesuai adat Jawa, memperlakukan presiden mereka sebagai Bapak negara, sebagai bapak yang tertinggi dari keluarga yang pada saat itu beranggotakan 100 juta orang.3. Dengan demikian, mereka semua memanggilnya dengan sebutan Bapak, tidak dengan sebutan Yang Mulia atau Paduka seperti di negara lain-lain. Kemudian, selama mengikuti Soekarno dalam sejumlah perjalanannya ke seluruh Nusantara, semakin dalam pemahaman dan pendapat saya tentang love affair di antara massa rakyat dengan bapak tanah airnya ini. Tanggal 1 Januari 1957, kami semua berkumpul kembali di istana untuk menghadiri jamuan tahun baru dan menyimak pidato Soekarno. Jamuan itu dihadiri seluruh anggota kabinet, demikian juga anggota Corps Diplomatique. Di sini saya melihat Duco Middelburg, yaitu diplomat yang disebutkan mewakili Belanda, ditempatkan di barisan paling belakang, di sebelah chargé d'affaires atau wakil dari Brazilia. Para duta besar dari Republik Rakyat Cina, Amerika Serikat, Uni Soviet, Italia dan Jerman Barat tampak saling mendahului maju di depan. Sangatlah memalukan bahwa kebijakan luar negeri kita setelah perang, dengan segala aturannya, telah memindahkan wakil kerajaan kita di Jakarta ke tempat pa-
3.
Pada tahun 1995 penduduk Indonesia berjumlah 200 juta orang.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
21 ling belakang. Untuk itu kita menimpakan kesalahan hanya pada Soekarno. Tetapi semua itu tidak benar. Di negeri kita ia digambarkan sebagai monster, makhluk yang menakutkan, karena kita termasuk bangsa yang paling tidak bisa menerima kekalahan di antara bangsa-bangsa dalam sejarah kolonial Eropa. Jalan paling sederhana untuk menutupi kegagalan kita ialah dengan menimpakan semua kesalahan kepada Soekarno atas segala sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan kita di Hindia Belanda dan Indonesia. Sebenarnya pagi itu saya merasa bangga karena saya, sebagai orang Belanda, berada di baris pertama di antara para wartawan, diapit oleh Bernie Kalb dari The New York Times dan Olga Chechotkina dari Pravda. Beberapa hari kemudian saya mengunjungi Middelburg di ruang kerjanya di pos diplomatik Belanda. Ia seorang diplomat yang banyak pengalamannya di Timur Jauh. Ia mengenal Asia. Ia membuka laci mejanya dan membeberkan pandangannya atas dasar catatan pribadinya mengenai hubungan Indonesia-Belanda genap sepuluh tahun setelah proklamasi kemerdekaan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Tak dapat diragukan lagi bahwa ia tidak sepakat dengan kebijaksanaan pemerintahan Drees, dan dengan Luns sebagai Menteri Luar Negeri. Saya mencatat semua pembicaraan kami. Beberapa hari kemudian saya mengirim artikel saya untuk minta pendapatnya. Saya menulis tentang buah pikirannya dengan tujuan agar dapat diketahui pembaca de Nieuwe Rotterdamse Courant. Segera sesudahnya, Middelburg mengirim sopirnya dengan
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
22 surat kepada saya, yang menyatakan ketidaksetujuannya bila pembicaraan kami itu diterbitkan. Sementara itu, diplomat Middelburg, dalam hal ini ia dibantu oleh bangsawan Mr4.. J.L.R. Huydecoper dari Nigtevecht, mencoba mengirim lewat memo internal kepada menteri di Den Haag, agar dalam politik mengenai Indonesia dapat dilaksanakan beberapa perubahan yang lunak. Tanpa banyak berpikir lagi, Luns membuang semua itu ke tong sampah. Middelburg bahkan dipanggil pulang. Pos tempat ia bekerja berikutnya ialah di Polandia. Sesungguhnyalah, sejak zaman Max Havelaar atau pelelangan kopi oleh Nederlandse Handelsmaatschappij, tidak ada hal baru yang muncul. Multatuli bahkan telah menulis bagaimana para pengawas melapor ke asisten residen, selanjutnya asisten residen ke residen dan residen ke pemerintah Hindia Belanda, yang isinya hanya berita yang menyenangkan saja. Dengan demikian, berita resmi dari para pegawai kepada gubernemen, dan dengan demikian juga laporan yang dibuat atas dasar berita itu kepada pemerintah di Belanda sebagian besar tidak benar adanya. Di mata Drees dan Luns tidak ada lagi tempat bagi Middelburg di Jakarta. Ia digantikan Hagenaar, yang sangat cocok dengan Luns. Baru tahun 1991 saya memperoleh bukti dari sejumlah berita yang memuakkan tentang saya yang ditulis Hagenaar ini, semuanya bercap rahasia. Setelah beberapa minggu berkeliling di Jakarta, saya tidak ragu lagi bahwa semua pihak, demikian juga mereka yang
4.
Mr. meester in de rechten, sarjana hukum.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
23 mengecam Soekarno, seperti mantan Wakil Presiden Hatta, dari lubuk hati mereka yang paling dalam semua sepakat dengan tuntutan kepada Den Haag agar penyelesaian penyerahan kedaulatan tahun 1949 itu juga mencakup penyerahan Irian Barat kepada Indonesia. Secara pribadi Hatta merasa diperdaya oleh Den Haag, karena kepadanya diyakinkan atas dasar keputusan Konferensi Meja Bundar bahwa dalam waktu satu tahun, jadi tahun 1950, Irian Barat akan diserahkan kepada Indonesia. Saya menulis tentang pendapat Hatta ini dalam sebuah wawancara untuk Vrij Nederland tahun 1957. Saya makan malam bersama ketua parlemen, Mr. Sartono, yang menjadi teman baik saya. Ia tamatan Leiden. Ia juga meyakinkan saya bahwa hubungan Indonesia-Belanda tidak mungkin dapat menjadi baik selama masalah Irian Barat belum terpecahkan, ini untuk menyebut beberapa contoh saja. Atas dasar berpuluh-puluh pembicaraan saya menulis artikel untuk NRC, dalam tulisan itu saya mengutip pernyataan sangat banyak pejabat tinggi Indonesia, sementara saya sendiri yakin bahwa diplomat tertinggi Belanda di Jakarta, Middelburg, juga berpendapat sama. Redaktur Indonesia pada saat itu, Hein Roethof, yang belakangan menjadi anggota dewan perwakilan rakyat untuk PvdA5. mengirim kembali artikel saya dengan surat bahwa artikel saya amat bagus, dan bercerita tentang fakta sebagaimana adanya. Tetapi, ia tidak dapat menerbitkannya karena ‘pembaca kita belum matang
5.
PvdA P arti j van de Arbeid, Partai Buruh.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
24 untuk membacanya!’ Saya bungkam karena tercengang. Bukankan saya ke Jakarta dengan tugas mengirimkan berita kepada pembaca kita dan menghubungkan mereka dengan kenyataan baru di Asia? Saya mengunjungi atase pers perwakilan NRC,R.C. Pekelharing dan mengeluarkan unek-unek saya. Pembicaraan saya dengan ketua Palang Merah, Jo Abdurachman, atau dengan Presiden Direktur Garuda Indonesian Airways, Ir. Sutoto, segera muncul di NRC. Tetapi, apakah kedatangan saya ke Indonesia ini hanya untuk menulis cerita Libelle6. saja? Hubungan di antara Jakarta dan Den Haag sudah tenggelam semakin dalam. Sebelumnya, di Roma saya disensor oleh De Telegraaf. Hal yang sama sekarang terjadi pada de Nieuwe Rotterdamse Courant. ‘Apabila seorang Belanda tidak sepakat dengan kebijakan pemerintahnya, apa yang dapat dilakukannya?’ tanya saya kepada Pekelharing. ‘Setiap warga dapat mengajukan permohonan kepada Staten-Generaal7. dan menyatakan keberatan kita kepada wakil rakyat," begitu bunyi jawabnya. Malam itu pun saya berkunjung ke rumah teman saya, Profesor Mr. Dr. P.N. Drost, dosen tamu dalam bidang ilmu hukum internasional. Ia tidak saja sepakat dengan pendapat saya, ia juga mengerti apa yang saya kehendaki, dan segera pula ia menulis naskah yang ditujukan kepada Staten-Generaal di Den Haag. Tulisan itu siap pada keesokan harinya. Di KLM, naskah itu
6. 7.
Libelle, nama majalah wanita. Dewan Perwakilan Rakyat di Belanda
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
25 saya perbanyak beberapa ratus eksemplar, dan saya telah mengambil keputusan bulat. Tanggal 27 Januari 1957, Presiden Soekarno akan berpidato di hadapan massa dalam rapat raksasa di Bandung. Ia mengajak saya ikut dengan pesawat Convair yang disewa dari perusahaan penerbangan Garuda. Berlaksa manusia datang berkumpul di suatu lapangan yang luas. Baru sekali ini saya menyaksikan tanya-jawab dalam skala besar antara sang pemimpin dan rakyatnya. Saya tidak dapat berbahasa Indonesia, dan oleh sebab itu saya tidak akan dapat memahami apa yang dikatakannya. Walaupun demikian, saya sependapat dengan apa yang pernah ditulis seorang Amerika bernama John Scott dari Time dalam bukunya berjudul Democracy is not enough. ‘Gaya bahasanya dan gerakan anggota badannya begitu sederhana dan meyakinkan, sehingga saya dapat memahami jalan seluruh pembicaraannya tanpa mengenal satu kata pun bahasa yang dipakainya.’ Scott juga menambahkan, ‘Sangatlah mengasyikkan melihat pria penting ini, dengan bakat berpidatonya yang luar biasa, berbicara dengan rakyatnya, yang sangat jelas mengaguminya.’ Saya telah menyimpulkan hal ini pada tahun 1957. Scott baru pada tahun 1960. Semua mata tertuju kepada Bung Karno. Ungkapan perasaan yang tercermin di wajah orang-orang itu berbicara banyak. Anda harus menyaksikannya dengan mata anda sendiri untuk membuktikan betapa massa menunjukkan rasa cinta mereka kepada Bapak mereka. Pada penerbangan pulang ke ibu kota, saya memohon kepada Sudarto, Ajudan Presiden, apakah saya dapat
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
26 memperlihatkan surat permohonan kami kepada Staten-Generaal, yang akan dibuka untuk diketahui umum pada keesokan harinya. Soekarno duduk di balik meja di bagian belakang pesawat. Saya menyerahkan kedua lembar surat permohonan itu. Ia mempersilakan saya duduk di hadapannya. Saya memandang ke luar, melihat bayangan bukit-bukit Jawa Barat. Ketika saya kecil, saya sering mengamati lukisan di ruang kerja ayah saya, yang menggambarkan pemandangan sawah di Jawa. Lukisan itu dibuat oleh C.L. Dake Jr. Ayah saya memperolehnya dari kakek saya, dan ia memberikannya kepada saya pada hari ulang tahun saya yang ke-40. Dengan demikian saya sekarang berada di negara yang ada dalam impian masa kecil saya. Saya duduk di hadapan presiden dari republik ini, dengan sekilas memandang matahari yang mulai terbenam di atas Jawa. Seorang pramugari datang membawakan teh. Bung Karno melanjutkan membaca dengan penuh perhatian. Diletakkannya petisi kami itu di atas meja dan sambil mencopot kacamatanya ia berkata seperti seorang nabi, ‘Wim, kamu telah menunjukkan baktimu yang bermanfaat bagi negaramu. Tetapi saya khawatir bahwa mereka di Den Haag tidak mau mengerti.’
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
27
New York (1957) Di Den Haag pembelaan kami, yang ikut ditandatangani oleh beberapa ratus orang Belanda yang tinggal di Indonesia, di antaranya ada profesor, pengusaha, pemilik perkebunan dan rohaniwan, telah mengakibatkan ledakan kemarahan yang amat sangat. Paling tidak kami menyadari tentang ketidakmungkinan kami mempertahankan Irian Barat dengan mempertaruhkan posisi kami sebagai negara dagang Eropa Barat di Asia Tenggara. Saya minta bantuan tuan-tuan di sekeliling Paul Rijkens. ‘Kita tunggu dulu komentar dari Het Parool’ teriak Emile van Konijnenburg lewat telepon yang gemerusuk. De Telegraaf memberi saya julukan ‘tikus pembuat onar’. Pengulas berita Johan Luger, alias Pasquino bahkan menulis: ‘Perselisihan politik telah membawa Johan van Oldenbarneveldt ke panggung hukuman mati. Di zaman dahulu orang tidak mudah mengampuni orang yang dituduh sebagai pengkhianat negara.’ Akhirnya, dikatakanlah apa yang sebelumnya orang tidak
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
28 mau mengatakannya, dan tentu saja di De Telegraaf, suatu wadah yang lebih sering lupa memeriksa diri dan mengakui kesalahannya sendiri. Kita ternyata lima tahun terlampau pagi dengan permohonan kita yang ditujukan kepada Staten-Generaal. Pada tahun 1962, Luns dengan amat merendahkan dirinya telah menyerahkan bagian daerah di luar negeri itu kepada Soekarno. Sementara itu Menteri Luns mengirim pejabat dinas penerangannya kepada pimpinan redaksi de Nieuwe Rotterdamse Courrant, het Algemeen Handelsblad dan het Vaderland untuk menegaskan bahwa saya adalah ‘orang yang berbahaya bagi negara’, karena saya mendukung penyerahan Irian Barat atau Irian Barat itu kepada Indonesia. Dalam waktu yang sangat singkat dan pada hari yang sama pula, di Jakarta saya menerima tiga telegram yang menyatakan saya dipecat sebagai wartawan dari ketiga surat kabar tersebut di atas. Untuk kesekian kalinya, sebagai akibat campur tangan langsung dari yang berkuasa, dalam hal ini Kementerian Luar Negeri, saya menjadi penganggur. Sementara itu parlemen sendiri bungkam seperti kuburan. Boleh dikatakan tidak ada seorang pun anggota Tweede Kamer1. yang melibatkan diri keluar dengan cri de coeui2. (jeritan hati) kami dari Indonesia. Tengku D. Hafas, Peminpin Redaksi De Nieuwsgier, surat kabar berbahasa Belanda di Jakarta, meminta saya ke New
1.
2.
Staten-Generaal atau Dewan Perwakilan Rakyat Negeri Belanda terbagi atas Eerste Kamer, dengan 75 anggota dan Tweede Kamer, dengan 150 anggota, [van Dale Handwoordenboek, 1993]. Jeritan hati.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
29 York untuk menulis laporan bagi surat kabarnya mengenai perundingan dalam Sidang Umum PBB, yang akan membahas masalah Irian Barat. Tanggal 28 Februari 1957, Komisi Politik Sidang Umum tersebut membuat resolusi rencana dengan suara 40 lawan 25, hendak membentuk komisi yang akan menolong memecahkan sengketa Indonesia-Belanda tersebut. Pada saat itulah saya memulai perjalanan keliling dunia saya yang pertama. Dari Jakarta saya ke New York lewat Manila, Hawai dan San Francisco dan kembali ke Indonesia lewat Roma, Kairo, New Delhi dan Singapura. Selama beberapa minggu saya mengunjungi Pasukan Indonesia Batalion-Garuda I, yang sebagian bertugas di Gurun Sinai dan sebagian lagi di Gaza. Komandan pasukan, Kolonel Suadi, membawa saya ke mana-mana. Saya mengenakan seragam pasukan Indonesia dengan baret hitam. De Telegraaf pasti akan membayar mahal untuk memperoleh satu dari sekian banyak foto saya bersama teman-teman pasukan Garuda saya yang dibuat di El-Kuntila, El-Nakl, dan El-Themed, untuk membuktikan bahwa saya sungguh seorang ‘pengkhianat’. Apa yang menjadi jelas bagi saya selama berada di Mesir, ialah bahwa penduduknya cenderung sangat memusuhi serdadu PBB, jadi termasuk orang Indonesia. Roda jip dilonggarkan sekrupnya agar terjadi kecelakaan. Seorang anggota pasukan Garuda tewas dalam peristiwa tembak-menembak. Saya mengirim serangkaian tulisan ke De Nieuwsgier dari Kairo, melaporkan apa yang terjadi dan kekhawatiran saya bahwa keadaan akan menjadi lebih buruk. Duta Besar Mesir di Jakarta, El Amroussi, bergegas menghadap ke Kementerian
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
30 Luar Negeri dan mengajukan nota protes menentang laporan ‘seorang wartawan Belanda’. Ia bahkan menyebut saya sebagai ‘agen zionis internasional’ untuk alasan sederhana, yaitu karena saya menulis hal yang benar. Kembali ke Indonesia, saya menerima surat ancaman baru dari Mayor Sutikno Lukitodisastro. Kelompok bandit orang Mesir melawan pasukan Garuda bertambah besar. Para perajurit jadi patah semangat karenanya. Karena tidak seorang pun, Jenderal A.H. Nasution juga tidak, melaporkan perkembangan yang gawat ini kepada Panglima Tertinggi (Pangti) Soekarno, saya memohon agar dapat beraudiensi dengan presiden. Bung Karno tidak tahu apa-apa. Lagi pula, masalah ini berarti suatu perkembangan yang tidak menguntungkan dalam hal hubungan persahabatan yang secara pribadi dijalinnya dengan Gamal Abdel Nasser. Segera pula Presiden Soekarno mengutus dua orang kapten, Sugeng Djarot dan Hardi, ke Kairo untuk melaporkan keadaan di sana. Tak lama kemudian keluar pengumuman resmi bahwa Indonesia akan menarik kembali Batalion Garuda I di Timur Dekat dari keanggotaan sebagai Pasukan Perdamaian PBB. Dalam suatu kesempatan santap malam pada hari-hari itu, Duta Besar El Amroussi duduk di dekat Ruslan Abdulgani, orang kepercayaan Soekarno saat itu. Ia mulai menjelek-jelekkan saya, yang segera pula ditepis Abdulgani dengan bijaksana. Abdulgani menjelaskan kepadanya, Presiden Soekarno telah tahu, bahwa laporan yang saya tulis di De Nieuwsgier betul-betul berdasarkan fakta. Diplomat itu
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
31 menyadari kekeliruannya. Saya diundang untuk menghadiri resepsi orang Mesir, sehingga ia dapat menunjukkan bahwa kita telah berdamai. Ini terlalu cepat bagi saya. Saya tidak datang. Sementara itu, Presiden Soekarno masih terus mencari penerapan demokrasi Barat model Westminster yang dapat diterima oleh semua partai, yaitu demokrasi yang mengakar lebih kuat pada budaya, sejarah, dan terutama psikis Asia. Tahun 1957 itu ia telah berjuang selama tiga puluh tahun untuk membangun negara yang merdeka dan sejahtera. Bagaimana caranya agar ia dapat menertibkan keadaan politik yang kacau-balau karena orang-orang politik yang selalu bertengkar itu? ‘Virus’ untuk bertindak dan mengubah keadaan ini telah merasuki benaknya. Ungkapan-ungkapan mengenai ‘demokrasi yang sesungguhnya’, seperti yang dibela oleh Thomas Jefferson, memudar di latar drama psikologi dan sosial yang teijadi di Asia setelah tahun 1945. Ia sampai pada suatu kesimpulan, bahwa pemerintahan bangsa-bangsa di dunia mungkin berubah secara teratur, kadang-kadang bahkan ideologi politik juga berubah untuk masa tertentu -- seperti adanya tiga generasi marxisme dan leninisme di Rusia -- tetapi karakter suatu bangsa tidak akan berubah. Ia menyimpulkan bahwa Indonesia harus kembali ke modus operandi dari dahulu, yaitu adat Jawa dalam bentuk musyawarah dan mufakat. Secara singkat artinya ialah bermusyawarah sampai teijadai kesepakatan (mufakat). Dalam otobiografinya yang ditulis oleh Cindy Adams dari New York, ia berbicara mengenai hal ini secara mendalam. Ia mengejek
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
32 model-Westminster, yang menyebabkan 51 orang pulang ke rumah dengan wajah berseri-seri, dan 49 orang lainnya pulang dengan wajah masam. Sejak orang mulai dapat berpikir, orang Indonesia telah mampu mencapai kompromi dalam hubungan kelompok, yang mengizinkan setiap orang ikut memasukkan air ke dalam minuman, dan tidak pernah berpikir dengan ketentuan bahwa setengah-tambah-satu yang benar dan sisanya dipersilakan tutup mulut Hal lain yang menarik perhatian saya tahun 1994 ialah terbitnya buku kenang-kenangan Nelson Mandela. Dalam buku yang berjudul Long Walk to Freedom ia juga berbicara panjang lebar mengenai jenis pengambilan keputusan secara demokratis yang lain dari model-Westminster. Ia teringat masa remajanya di Thembuland, bagaimana pemerintah setempat mengumpulkan para amaphakathi (penasihat berkedudukan tinggi). ‘Mereka adalah orang arif bijaksana yang mengenal benar sejarah dan adat suku. Pendapat mereka akan ditanggapi secara serius ... Setiap orang, yang ingin mengemukakan sesuatu, mereka beroleh kesempatan. Itulah demokrasi dalam bentuknya yang paling murni... Perundingan terus berlanjut sehingga tercapai suatu konsensus. Demokrasi berarti bahwa setiap orang berhak didengarkan pendapatnya dan bahwa akhirnya mereka bersama dapat mencapai kata sepakat, bersama-sama sebagai satu suku. Aturan siapa lebih banyak seperti setengah-tambah-satu, sangatlah asing bagi kita. Kekurangan satu orang tidak boleh dilindas oleh kelebihan satu orang.’ Soekarno dan Mandela menekankan hal yang tepat sama,
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
33 yang ditujukan bagi telinga Barat. Mereka mengungkapkan cara Asia-Afrika mengenai cara bergaul dengan sesama, dengan nada yang memberi peringatan, mohon jangan memaksa kami menerapkan model Westminster yang membahagiakan semua orang dari kalian dalam pemerintahan kami. Tahun 1957, selama setahun penuh Bung Karno mencari cara yang berterima, agar bentuk demokrasi Barat yang sampai saat itu dipakai, dapat dikembalikan selangkah demi selangkah ke rencana politik pemerintahan yang cocok bagi Asia. Dalam sebuah pidato yang disampaikannya kepada mahasiswa, misalnya, ia berkata: ‘Semalam saya bermimpi mengenai semua kelompok politik yang berjalan bersama-sama, yang sepakat untuk secara suka rela mengubur organisasi politik mereka masing-masing.’ Ia ingin agar semua memikirkan pilihan lain dari sistem banyak partai (multipartai). Apakah kita dapat memimpin negara dengan organisasi politik yang sangat terbatas jumlahnya? ‘Saya berjiwa demokratis liberalis’, katanya kepada mahasiswa, ‘tetapi saya akan menerapkan sistem “demokrasi terpimpin” bagi negara ini’. Kata yang penting itu akhirnya terucap. Banyak orang Indonesia yang belum mengerti mengapa dan bagaimana presiden sungguh-sungguh berniat akan membedah sistem pemerintahan yang sekarang tidak berfungsi bagi satu di antara negara berkembang terbesar di dunia ini. Pada kenyataannya ia telah memberi tanda mulai bagi suatu tindakan operasi yang tampaknya akan sangat menyakitkan. Keputusan telah diambil. Pembahan harus dan akan terjadi. Pertanyaan yang belum
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
34 berjawab ialah: apakah ia akan berhasil membawa semua orang kepada perubahan yang menjadi tujuannya? Banyak hal akan tergantung kepada bakatnya sendiri, bagaimana ia memasukkan gagasannya kepada rakyatnya. Bagi saya, sangatlah jelas ke mana arah yang diambilnya. Saya mendampinginya terus-menerus apabila kadang-kadang suaranya sampai benar-benar parau ketika ia menjelaskan apa yang ingin dilaksanakannya. Perlahan-lahan saya mulai mengenalnya dengan sangat baik, dan saya mengerti bahwa ia sama sekali tidak bermaksud akan membentuk kekuasaan sebagai diktator untuk memimpin negaranya, tidak pula untuk kepentingannya sendiri. Pada tahun terakhir ia menjabat sebagai presiden, ada kabinet yang beranggotakan lebih dari seratus menteri. Ia sama sekali tidak berniat memutuskan sendiri untuk segala sesuatu menurut kehendaknya sendiri. Yang menjadi persoalan ialah ada perselisihan terus menerus di antara mereka dan masing-masing bertahan bahwa merekalah yang benar, dan Bung Karno ingin bertindak membatasai hal ini. Itulah tujuannya yang paling utama pada tahun 1957-1958. Di luar negeri segera terjadi kecemasan luar biasa setelah Bung Karno mengungkapkan gagasan awalnya mengenai upayanya menumbuhkan suatu bentuk ‘demokrasi terpimpin’ atau demokrasi dengan tangan yang kuat. Dengan ini ke-40 kelompok yang ikut mengatur, misalnya, akan dikembalikan menjadi empat kelompok saja. Berni Kalb, yang selama beberapa tahun menjadi koresponden The New York Times di Jakarta, dan sebetulnya ia bisa lebih tahu masalahnya, mulai
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
35 mengoceh di surat kabar Amerika yang berwibawa itu mengenai Soekarno, yang katanya akan menempuh jalan menjadi komunis. Saya melihat bagaimana dugaan liar seperti itu dapat membuat presiden marah. Di dalam otobiografinya ia mengulas hal ini, ‘Pers Amerika segera membalikkan punggungnya menentang saya. Inilah saat yang mereka manfaatkan, untuk menempelkan cap tebal orang komunis bagi saya, yang sangat mengagungkan Allah.’ Pada setiap pembicaraannya dengan kami, setiap minggu kami menyertainya bepergian ke mana-mana, dengan sabar ia menjelaskan, misalnya, bagaimana ia menganggap ‘kepemimpinan’ sebagai unsur utama dalam melaksanakan demokrasi dengan tangan yang kuat. ‘Pemimpin, apakah ia seorang kepala desa, atau menteri, atau saya sendiri, harus menempatkan dirinya seperti semacam koki. Untuk mencapai konsensus yang berterima, kita perlu memasukkan sesendok pendapat dari Tuan A ke dalam piring Tuan B yang penuh berprasangka, lalu Tuan C juga menambah dengan pendapatnya dan akhirnya, seperti layaknya garam dan bumbu untuk sayur yang sedang dimasak, kita memperoleh campuran dan dalam campuran itu setiap orang dapat menemukan dirinya. Itulah yang saya usulkan. Kalau ini disebut komunis, maka sebutan itu tidak masuk akal. Kita hanya kembali ke sumber asal otentik dari kebudayaan kita sendiri dan pengalaman hidup kita sendiri.’
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
36
Surabaya (1957) Hal yang paling mencelakakan, dan sebagai sesuatu yang sangat menguntungkan bagi kampanye anti-Soekarno yang dilancarkan orang Barat mengenai konsep ‘demokrasi terpimpin’, Marsekal Kliment E. Voroshilov, kepala negara Uni Soviet yang saat itu berusia 74 tahun tiba di Kemayoran untuk kunjungan kenegaraan ke Indonesia. Bung Karno bertindak hati-hati mengingat bahwa ia dipersalahkan untuk hal yang sama sekali tidak benar, yaitu bahwa ia akan berbelok ke arah marxisme-leninisme. Hanya orang-orang gila di CIA-nya Amerika yang dapat menarik kesimpulan mengenai perkembangan di Indonesia, bahwa pria yang memimpin negara yang berpenduduk Islam terbesar dan terpenting di dunia ini bermaksud akan bersekutu dengan masyarakat komunis internasional. Tanggal 6 Mei 1957, dengan mobil Lincoln-Zephyr yang terbuka, Voroshilov dan Soekarno berdiri dalam kendaraan yang membawa mereka dari lapangan terbang ke Istana
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
37 Merdeka. Marsekal Rusia itu datang untuk kunjungan balasan. Soekarno juga mengundang Presiden Dwight Eisenhower, tetapi ia tidak datang dan ia tidak punya waktu. Setelah beberapa hari di Jakarta, meletakkan karangan bunga dan menghadiri jamuan makan, rombongan beristirahat di Puncak. Di sini, Presiden Indonesia juga memperkenalkan Marsekal Rusia tersebut kepada wartawan. Sesudah itu mereka melanjutkan perjalanan ke Bandung, Yogyakarta, Candi Borobudur, Bali, Surabaya dan beberapa tempat di Sumatera. Soekarno dan Voroshilov terbang dengan pesawat Ilyushin buatan Rusia, Dolok Martimbang, yang merupakan hadiah Uni Soviet kepada kepala negara Indonesia dan dikemudikan oleh pilot yang simpatik, Sri Muljono Herlambang. Anggota rombongan Uni Soviet yang lain terbang dengan tiga pesawat Ilyushin lainnya, yang didatangkan khusus dari Uni Soviet untuk maksud ini. Untuk para pembantu Bung Karno serta pers, tersedia empat pesawat Convair dari Garuda Indonesian Airways. Bagasi diangkut oleh dua pesawat Dakota milik AURI. Agak berlebihan kiranya, apabila kunjungan kenegaraan itu diceriterakan kembali secara rinci di sini.1. Tetapi ada kejadian luar biasa yang perlu diceritakan karena menggambarkan betapa dalamnya hubungan batin yang ada di antara massa rakyat dengan Bapaknya yang menjadi kepala negara. Kardinal De Retz pernah menulis bahwa sangatlah meng-
1.
Tulisan mengenai kunjungan ini telah diterbitkan di De Verraders, di Den Vaderland getrouwe dan di Memoires: 1953-1957.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
38 harukan melihat ia di tengah rakyat yang mengelilinginya. Apa yang terjadi tanggal 16 Mei 1957 di lapangan olah raga raksasa di Surabaya, lebih menggetarkan hati daripada yang diceriterakan tadi. Terdapat keharuan yang timbal balik di antara presiden pertama Indonesia itu dan rakyat negerinya. Marsekal Rusia itu akan berpidato di hadapan setengah juta rakyat Indonesia dengan tersendat dan terbata-bata, lewat penerjemah orang Rusia. Setelah setiap dua kalimat, pidatonya terhenti. Sungguh tidak enak mendengarkannya. Orang-orang tampaknya tidak tertarik pada apa yang diceriterakan Voroshilov. Mereka datang untuk Bung Karno. Publik jadi semakin resah dan tidak sabar, Bila Soekarno berbicara, anda masih bisa mendengar bila ada jarum yang dijatuhkan. Keadaan menjadi semakin kacau. Beberapa pramuka ditugasi untuk menguasai kelompok orang yang mengelilingi panggung tempat kedua presiden serta pengikutnya itu. Tiba-tiba terjadi kegaduhan luar biasa. Beberapa orang terhimpit karena desakan, beberapa yang lain jatuh pingsan. Kekacauan segera semakin parah. Presiden Voroshilov berhenti berpidato karena kaget. Merasa tak berdaya, ia berpaling dan menatap Bung Karno dengan wajah yang menyiratkan pertanyaan, apa yang akan terjadi sekarang? Lamartine pernah menggambarkan pemimpin berkharisma sebagai panglima yang ‘dapat menyentuh sampai ke sumsum tulang’. Inilah yang terjadi apabila Soekarno berbicara di depan rakyatnya. Itu juga yang dilakukannya hari itu di Surabaya. Ia maju mendekati mikrofon yang didayai baterai
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
39 dan hanya tiga kali mengucapkan Diam! Diam! Diam!, dengan nada perintah yang tegas. Suaranya bergema sampai ke sudut lapangan yang paling jauh. Ketika mendengar suaranya yang meyakinkan, beribu-ribu kepala segera berpaling ke arah mimbar, seakan-akan kena sengatan aliran listrik. Sungguh sangat menakjubkan melihat betapa kata-kata Soekarno dapat cepat menenangkan keadaan yang kacau itu. Kemudian Soekarno mulai bernyanyi dan dalam waktu singkat beribu-ribu orang ikut bernyanyi bersamanya. Akhirnya suasana kembali menjadi tenang dalam waktu yang sangat singkat. Pada saat seluruh peristiwa itu berlangsung, saya duduk dekat di belakang kedua presiden itu di panggung kehormatan. Saya mengikuti seluruh peristiwa itu. Voroshilov tampak sangat terpana dan tidak dapat menyembunyikan kekagumannya melihat cara rekannya orang Indonesia mengatasi hal tersebut. Setelah itu setiap orang merasa tenang kembali, karena Bung Karno mulai berpidato. Dalam lingkup internasional banyak komentator seperti misalnya Arnold Brackman, yang menulis bahwa perjalanan Voroshilov mengelilingi Indonesia telah sangat berpengaruh dan menguntungkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Pemilihan Umum tahun 1957. Perkembangan selanjutnya ialah bahwa Bung Karno sengaja mengatur perjalanan orang Rusia itu untuk membantu kaum komunis Indonesia. Saya telah mengenal Brackman ketika ia masih bekerja untuk The New York Times, tetapi setelah bertahun-tahun ia semakin mengembangkan diri sebagai ahli yang khusus memperhatikan
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
40 masalah komunis di Asia Tenggara, dari Pakistan sampai dengan Indonesia. Di dalam buku Indonesian Communism2. misalnya, ia menulis bahwa Soekarno dan Voroshilov tampil bersama dan masyarakat bersorak sorai menyambutnya, ‘terutama kaum komunis’. Jelaslah bahwa Soekarno sedang berusaha memutuskan hubungannya dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI)3. dan bergabung dengan PKL’ Belakangan terbukti bahwa penerbitan tulisan Brackman diam-diam didukung dan didanai oleh CIA, tetapi sementara itu salah seorang dari ahli paling terkemuka yang menelaah masalah Indonesia mengungkapkan kebohongan seperti diceritakan di sini. Dengan cara itu para pejabat pemerintah Washington jadi semakin yakin bahwa Bung Karno sedang berupaya mengubah dirinya menjadi komunis. Tanggal 24 Mei 1957 sekali lagi saya memohon audiensi kepada presiden. Saya tiba tepat waktu di istana, tetapi beberapa tamu yang datang sebelumnya, telah pergi meninggalkan istana. Profesor Muhammad Yamin serta istri akhirnya ikut ke luar. Saya memasuki sebuah mangan tempat Bung Karno menunggu. Excusez-moi que je suis un peu en retard (maaf, saya agak terlambat), katanya sebagai pembuka dalam Bahasa Perancis. Saya selalu merasa enak berada di dekatnya. Berkunjung kepadanya mengingatkan saya seolah-olah saya berkunjung ke keluarga.
2. 3.
Frederick A. Praeger, New York, 1963, hal. 238. Perhatikan bahwa PNI didirikan pada tanggal 4 Juli 1927 oleh Bung Karno sendiri.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
41 Saya ingin berbicara mengenai Irian Barat. Saya bercerita, ketika saya berjumpa dengannya setahun lalu di Roma, dan sama seperti kebanyakan orang Belanda lainnya, saya meragukan maksudnya. ‘Anda tahu betapa memuakkannya cerita yang ditulis orang tentang anda di media kita selama bertahun-tahun ini. Hal itu ada pengaruhnya, betapa pun tidak benarnya. Oleh sebab itu banyak orang di Belanda sampai sekarang masih berpendapat bahwa bila Irian Barat pada akhirnya kembali ke tangan Indonesia, Anda benar-benar akan melempar semua Belanda keluar dari negeri ini.’ Mula-mula ia tampak jengkel. ‘Kamu tahu benar Wim, dan saya sering mengatakan hal yang sama kepada Van Konijnenburg, bahwa tanpa penyelesaian masalah Irian, hubungan dengan Belanda tidak dapat diperbaiki kembali. Bila masalah itu telah terpecahkan, saya akan ke Den Haag.’ ‘Saya tidak ingin Anda mengira bahwa saya menyetujui penyerahan Irian Barat ke Indonesia dengan cepat untuk mencoba mengambil hati Anda,’ kata saya lebih lanjut. ‘Saya menganggap penyerahan itu adil, karena Irian Barat memang selalu menjadi bagian dari Hindia dan Hindia Belanda akan menjadi Indonesia. Oleh sebab itu, hal ini merupakan upaya mementingkan diri sendiri, seperti yang kami cantumkan dengan jelas dalam surat kepada Staten-Generaal.’ ‘Itu sebabnya kamu bekerja keras menangani hal ini,’ demikian kata presiden. ‘Ya, tetapi demi negara dan ratu saya sendiri,’ jawab saya. Ketika saya mohon diri, ia mengundang saya agar hadir
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
42 pada hari ulang tahunnya, 6 Juni 1957, pukul 06:00 untuk merayakannya bersama keluarga. Saya penuhi undangan ini dan kami semua berpotret bersama di tangga istana. Tanggal 9 Juni 1957 presiden akan berpidato di depan 600 pejabat pemerintahan dan militer di Serang, di pantai barat Pulau Jawa. Di tempat inilah, Cornelis de Houtman menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Pulau Jawa tahun 1596. Kami meninggalkan ibukota dalam iring-iringan mobil yang panjang. Beberapa orang menteri, yaitu Chaerul Saleh, Hanafi dan Sudibjo juga ikut, demikian pula beberapa duta besar dan anggota Corps Diplomatique. Pidato itu akan disiarkan langsung oleh Radio Republik Indonesia. Tanpa diduga, Soekarno menunjuk saya. ‘Di situ ada seorang Belanda, ia wartawan,’ katanya. ‘Ia benar-benar orang Belanda. Saya ingin berterima kasih kepadanya untuk dukungan yang diberikannya bagi tuntutan kami atas Irian Barat, Saya bertanya kepada tuan Willem Oltmans ini, mengapa ia mendukung perjuangan kami. Ia menjawab demikian.’ Presiden kemudian berbicara kepada saya dalam bahasa Belanda dan mengulang dua kali apa yang telah saya katakan kepadanya, ‘Saya melalukannya untuk negara dan ratu saya.’ Semua orang bertepuk tangan. Saya sebenarnya merasa sangat tidak senang. Saya juga bertanya kepada diri saya sendiri apakah keyakinan saya mengenai sengketa Irian Barat ini layak mendapat pujian presiden. Sukarno melanjutkan pidatonya, ‘Saya menganggap itu sungguh jawaban yang tepat. Saya menganggapnya benar justru karena Willem Oltmans ini tidak menjual kepribadiannya dan
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
43 kedaulatannya sendiri. Ia tahu apa kepentingan negaranya. Sebab, bila pada akhirnya Belanda melepas Irian Barat, bukankah hal ini merugikan Belanda? Setelah itu ia berseru dua kali, ‘terima kasih Willem Oltmans!’ Surat kabar-surat kabar Indonesia melaporkan pujian bagi saya ini secara panjang lebar. Times of Indonesia terbitan 11 Juni 1957 memuatnya di halaman depan di tengah-tengah dengan judul Soekarno Juli of praise for newsman. Tanggal 4 Juli 1957, PNI yang didirikan Bung Karno telah berusia tiga puluh tahun. Kami terbang dengan pesawat Garuda ke Bandung untuk merayakan peristiwa itu. Ia berpidato selama dua jam. Negara saat ini telah hampir dua belas tahun merdeka. Ia beijuang untuk mengembalikan semangat revolusi, untuk membangun kehidupan yang adil dan makmur bagi setiap orang, seperti yang menjadi visi PNI tahun 1927. Ia juga berbicara mengenai kuda tunggangnya yang mutakhir, bagaimana ia dapat berbalik dari model Westminster ke bentuk demokrasi yang benar-benar berasal dari Indonesia, yaitu gotong royong, yang telah dikenal rakyat Indonesia selama berabad-abad. Ia memperjuangkan berdirinya suatu Dewan Nasional, tempat semua kelompok fungsional terkemuka berunding bersama-sama. Ruslan Abdulgani ditunjuk menjadi ketua lembaga penasihat negara yang tertinggi itu. Presiden Soekarno masih terus berjuang mencari jalan keluar bagi masalah dalam kepemimpinannya ini, dan dapat diterima. Tanggal 9 Juli 1957 kami pergi bersama presiden ke Jawa Timur. Di Bojonegoro, di samping mengunjungi keluarga, presiden juga akan berpidato. Inilah pertama kalinya seorang
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
44 profesor Amerika bernama Guy Pauker, bergabung dengan rombongan kami. Orang ini selalu berada di dekat saya dan saya bertanya-tanya mengenai apa yang sebenarnya dikehendakinya. Kami membicarakan sengketa antara Indonesia dan Belanda karena masalah Irian Barat, dan tampaknya ia setuju apabila Indonesia menuntut secara resmi bagian tanah air ini. Keesokan harinya, kebetulan kami berdua bangun pagi-pagi sekali. Ia minta saya memperkenalkannya kepada presiden. Kami menjumpai presiden pukul 06:15 ketika ia sedang duduk sendirian di beranda rumah pejabat setempat. Bung Karno bertanya kepadanya dengan berolok-olok, Kamu tentunya bukan kerabat Anna Paukar ‘kan?’4. ‘Saya pernah ditanyai mengenai hal itu, tetapi belum pernah oleh seorang kepala negara,’ jawab orang Amerika ini. Presiden berbicara mengenai masalah yang ringan-ringan saja pagi itu, ia memperbincangkan film Tea and Sympathy, yang ditontonnya belum lama ini. Cerita itu mengingatkannya akan perjalanannya ke Kalifornia. Beberapa tahun kemudian baru saya menyadari bahwa saya telah dimanfaatkan oleh profesor yang ramah itu. Ia ternyata mempunyai hubungan dengan Rand Corporation, yaitu think tank-nya CIA. Selama beberapa tahun ia selalu muncul sebagai penganut yang bersemangat dari kaum militer Indonesia yang pro-Amerika, dan ia sangat erat terlibat dalam persekongkolan untuk menggulingkan Soekarno. Tahun 1957 itu saya masih
4.
Menteri luar negeri Rumania yang terbunuh saat itu.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
45 sangat naif dalam masalah seperti ini. Di Bojonegoro itu, sama sekali tidak terlintas dalam benak saya akan kemungkinan kegiatan spionase seperti itu, yang secara cerdik dapat mengakibatkan penelanjangan diri seorang presiden. Bagaimana caranya sehingga orang itu bisa masuk ke dalam rombongan perjalanan kepala negara ini? Tentunya tahun 1957 itu sudah ada pengkhianat yang berkolaborasi dengan CIA, yang bekerja di lingkungan yang paling dekat dengan Soekarno. Mungkin presiden juga sudah menyadari hal ini karena tampaknya ia secara sadar selalu menjaga jarak dengan Pauker. Belakangan, dalam perjalanan ke aula tempat Bung Karno akan berpidato, tiba-tiba saja iring-iringan mobil tersebut berhenti di suatu jalan yang panjang dan lurus. Seperti yang biasa saya lakukan, saya duduk bersama rekan wartawan dari Indonesia di atas atap bus yang disediakan untuk pers. Kendaraan pada tahun 1957 itu belum berpendingan, belum air-conditioned. Kami dapat melihat dari kejauhan, bagaimana kepala negara itu keluar dari Cadillac-nya dan berjalan melintasi parit ke arah sebuah pohon yang besar dan dengan seenaknya ia buang air di situ. Para menteri, duta besar, pejabat tinggi, semuanya menunggu dengan tidak sabar dalam mobil mereka masing-masing, yang panas menyesakkan. Sementara itu, sejumlah perempuan yang sedang bekerja di sawah telah mengenali ‘Bapak’. Mereka segera menghampirinya. Terjadi pembicaraan yang ramai antara presiden dan rakyatnya, yang memang selalu menjadi perhatiannya. Ajudan presiden Mayor Sudarto keluar dari mobilnya dengan
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
46 membawa payung hitam, payung biasa untuk di rumah, untuk berkebun atau bekerja di dapur, yang biasa dibawa Bung Karno untuk melindungi dirinya dari sengatan matahari. Sementara itu kawan-kawan seperjalanannya duduk di dalam rangkaian panjang mesin pemanas dengan perasaan sangat jengkel. Begitulah Soekarno. Perasaan yang sekonyong-konyong timbul tidaklah ditekannya, tetapi justru dijalaninya, dan dengan itu ia sangat sering memberikan tambahan ‘peluru’ percuma secara kepada lawan-lawannya untuk mencela tingkah lakunya.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
47
Samarinda (1957) Apabila Bung Karno telah jemu dengan berbagai intrik dan persekongkolan di antara para politisi dan pejabat pemerintahan yang saling tidak mau mengalah, maka ia merencanakan perjalanan ke daerah-daerah terpencil di negerinya. Seperti layaknya suatu upaya untuk meringankan tekanan psikisnya, ia selalu mencari hubungan dengan mereka yang memang menjadi perhatiannya yaitu; orang-orang, massa, rakyat Indonesia. Di antara merekalah ia betul-betul merasakan betah. Ia mempercayai rakyatnya. Dan rakyatnya percaya kepadanya. Niels Mulder menulis buku yang sangat bagus mengenai latar belakang budaya dan psikologi masyarakat Jawa.5. Di dalam bab berjudul ‘Hubungan Vertikal’ ia menekankan hal yang sangat penting bagi seorang pemimpin bangsa menurut
5.
Individual and Society in Java, A Cultural Analysis, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
48 pola pikir orang Jawa. ‘To motivate inferiors or followers positively a leader should be a “bapak”, aprotecting father-like figure who stimulates afeeling oftrust and dependence. He should make his followers feel that he cares and that he is superior indeed, making his “kebapakan”, his being a true “bapak”, felt.’ Untuk memotivasi rakyat, bawahan atau pengikutnya secara positif, seorang pemimpin haruslah seorang ‘bapak’, tokoh seperti ayah yang melindungi, yang merangsang timbulnya rasa percaya dan dapat diandalkan. Ia harus dapat membuat pengikutnya merasa bahwa ia memperhatikan mereka dan bahwa ia memang hebat, sehingga sifat kebapakannya, bapak yang sesungguhnya, dapat terasakan, (hal. 49) Soekarno memang sungguh-sungguh menyatu dengan perjuangan kemerdekaan bangsanya, ia terlibat dan ia tumbuh bersamanya. ‘Bapak’, bapak tanah air seluruh bangsa Indonesia, yang dipercayai oleh setiap orang di negeri ini, tetapi tidak termasuk kelompok para penipu dan pesekongkol di ibu kota. Perasaan ini timbal balik: dengan selalu bergerak di antara rakyatnya, presiden menggali kekuatan baru bagi kepemimpinannya karena ia sadar bahwa massa sangat mengandalkannya. Apabila Bung Karno kembali bepergian, tahulah orang-orang di dekatnya dan orang kepercayaannya, bahwa ‘bapak’, demikianlah semua orang di istana menyebutnya, memerlukan ‘suntikan vitamin’, yang diberikan oleh massa dan rakyatnya, khusus untuk kebapakannya. Tanggal 14 Juli 1957, saya tiba dengan presiden dan para pengikutnya di Banjarmasin di Pulau Kalimantan. Soekarno
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
49 kembali berpidato di depan massa rapat raksasa. Seperti biasa, saya duduk di antara kerabat kerja istana, ajudan presiden, Sabur dan Sudarto, pembantu presiden, Tukimin, juru kamera, Silitonga, juru potret, Rochman dan penata suara, si indo Piet van Bel. Piet telah lama bekerja untuk presiden dan ia tahu dengan tepat cara mengatur kerasnya perlengkapan suara seperti yang dikehendaki. Ia mengenal Bapak luar dalam, dan sangat berbakti kepada tuannya. Bahkan putri Piet yang bernama Peggy selalu terlihat bermain-main di istana. Pada saat-saat itu Piet adalah orang Belanda satu-satunya yang dapat saya ajak berbicara dengan akrab mengenai hal-hal yang kami kagumi dari Bung Karno. Kami terus membicarakannya, berhari-hari, kadang-kadang berminggu-minggu. Di Banjarmasin presiden kembali berbicara mengenai pekerjaan saya sebagai wartawan. Van Bel menambah dengan berkata kepada saya ‘Pada saat ini Bapak sedang menggelitik bokong Anda dan Anda tidak mengerti.’ Tak lama kemudian saya dipanggil untuk naik ke mimbar. Saya ragu-ragu. Menteri Sudibjo memberi tanda bahwa saya boleh maju. Bapak meletakkan tangannya pada pundak saya dan memperkenalkan saya kepada ribuan massa rakyat dan berkata ‘Nih, saya menyalami kamu sebagai orang Belanda dan dengan ini saya juga bersalaman dengan Belanda.’ Tak lama kemudian terdengar rakyat bersorak-sorai penuh semangat. Presiden berbicara panjang lebar mengenai sengketa masalah Irian Barat dan mengakui betapa pentingnya mengakhiri permusuhan yang sia-sia di antara kedua negara kami ini, yang sebenarnya dapat diselesaikan dengan mudah.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
50 Jelaslah bahwa sekarang presiden memanfaatkan kehadiran saya untuk berkali-kali memberi tanda yang diarahkan ke Den Haag akan niatnya berdamai. Tetapi, orang-orang lamban di Den Haag itu tidak mengerti bahwa ia adalah orang yang terakhir dan satu-satunya Bapak dari Indonesia yang menganggap penting adanya pemulihan hubungan yang baik dengan bekas penguasa tanah air, dan dapat membawa seluruh bangsanya untuk keberhasilan pemulihan hubungan baik itu. Para penggantinya tidak akan ada yang peduli apakah Belanda masih dapat memainkan peranan yang penting di Indonesia. Sepanjang hidupnya Soekarno dikutuk oleh Belanda. Soeharto bahkan tidak mempedulikannya dengan sama sekali tidak berbahasa Belanda. Di lingkungan Staten-Generaal di Den Haag orang masih tetap salah mengerti. Mereka mengira bahwa mereka tahu orang seperti apa Soekarno itu. Pada kenyataannya, mereka sama sekali tidak mendapat gambaran, yang mirip pun tidak, mengenai siapa pria itu sebenarnya, dan bagaimana perasaan atau harapannya terhadap negeri kita. Bukankah atasan saya, pimpinan redaksi De Telegraaf di Roma bahkan telah melarang saya berbicara dengan Soekarno? Tindakan saya telah menyebabkan saya berkali-kali kehilangan pekerjaan. Bahkan sejak tahun 1956 sampai 1996 saya mendapat kartu merah dari Den Haag dengan cap persona non grata (orang yang tidak disukai), Jadi, selama empat puluh tahun saya diteror oleh penguasa yang menghalangi saya untuk terus melaksanakan pekerjaan saya. Malam hari tanggal 14 Juli Gubernur Kalimantan Barat
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
51 berkenan menyelenggarakan acara santap malam. Karena saya tidak suka akan peristiwa semacam itu, malam itu saya pergi bersama teman saya, Wim Latumeten dari Kementerian Penerangan, makan di warung bami kuah di tepi Sungai Barito. Melihat perahu dan kapal yang hilir mudik, kelap-kelip lampu minyak di mana-mana, warung-warung terapung, kapal penuh bebuahan dan sesayuran, serta semua orang yang ada di sana, membentuk pemandangan yang tidak dapat saya* lupakan seumur hidup saya. Di tempat yang berjarak kurang dari satu kilometer dari tempat acara santap malam yang diselenggarakan gubernur, saya menyaksikan Indonesia seperti apa adanya. Ketika saya kembali ke penginapan, presiden mendekati saya dan ia ingin tahu apa saja yang telah saya lakukan. ‘Tahukah kamu bahwa Gubernur Milono di sini adalah teman sekelas ayahmu di HBS Semarang?’, katanya. Tak lama kemudian saya sudah berdiri di hadapan teman masa muda ayah saya. Ia bercerita bahwa ia pernah berbagi kamar dengan ayah saya ketika mereka berdua tinggal pada keluarga Tielenius Kruythoff di Semarang. Mereka berolahraga bersama-sama. Membuat pekeijaan rumah bersama-sama. Apa yang diceritakannya sangat menggugah perasaan saya. Belakangan, ketika saya kembali ke Huis terHeide6., saya menceritakan hal ini kepada orang tua saya. Ayah memberi tahu saya bahwa ayahnya Milono adalah bupati di Jawa Tengah pada awal abad ini. Ia mengundang teman anaknya itu untuk
6.
Rumah keluarga saya
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
52 berlibur ke rumahnya. Kakek saya mengizinkan ayah saya menginap di rumah keluarga Milono. Pada saat mereka akan kembali ke sekolah, pak bupati memanggil kedua anak laki-laki itu dan memberkati mereka. Masing-masing dihadiahi sebilah keris terbuat dari emas sebagai jimat orang Jawa. Setelah menceritakan kenangan masa kecilnya, ayah saya berdiri dan mengajak saya ke ruang kerjanya. Di laci meja tulisnya yang paling atas tersimpan keris Jawa itu, yang diterimanya sebagai hadiah dari ayah kawan sekamarnya saat menjadi siswa HBS7.. Kata ayah, ‘Wim, saya selalu membawa keris ini ke mana pun saya pergi. Ketika saya bersekolah di Delft untuk menjadi insinyur kimia, dan selanjutnya di Utrecht mengambil gelar sarjana hukum, saya selalu membawa jimat ini setiap saat ujian.’ Saya tidak pernah melihat keris hadiah dari Pak Milono itu lagi. Dugaan saya, ibu saya memasukkan keris itu ke dalam peti mati saat ayah saya meninggal. Tanggal 16 Juli 1957 kami tiba di Kuala Kapuas dengan kapal air. Laki-laki CIA yang suka mencampuri urusan orang lain itu, Profesor Guy Pauker, ikut lagi dalam perjalanan dengan presiden ini. Saya mulai jengkel terhadapnya. Ia mengoceh terus. ‘Bila Bung Karno tidak berhati-hati, kaum komunis akan menang mutlak dalam pemilihan umum yang akan datang,’ katanya. ‘Teman Anda, ajudan Sudarto dianggap sebagai penghubung antara kekuatan kiri di negeri ini dengan istana. Hal ini tentu saja masih demikian, bahwa
7.
Hogereburgerschool, sekolah menengah
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
53 pasukan tentara dengan tegas mengatakan agar kaum komunis tidak berbuat yang aneh-aneh, karena pasukan tentara akan bertindak.’ Saat itu saya belum sadar bahwa saya berhadapan langsung dengan mata-mata CIA. Saya bercerita kepada Pauker akan kesan saya bahwa sebenarnyalah secara bersistem semakin banyak yang terjadi di lingkungan yang paling dekat dengan presiden. Hal yang menarik perhatian saya ialah para pejabat pembantu presiden yang mengabdi presiden, satu demi satu telah digantikan oleh orang lain. Misalnya kepala kabinet presidensial di istana, A.K. Pringgodigdo yang tidak diragukan lagi kesetiaannya, digantikan oleh Tamzil, pria yang saya beri tanda tanya. Apa yang saya amati merupakan peringatan, seperti yang pernah dikatakan Profesor Drost sebelumnya kepada saya pada awal tahun, bahwa ia khawatir presiden akan semakin diasingkan oleh musuh-musuhnya, sampai akhirnya ia hanya menjadi kepala negara yang resmi saja di ‘istana tanpa saluran telepon’. Pauker berkata lebih lanjut, ‘Sebetulnya Anda harus bertanya kepada diri Anda sendiri apakah Anda masih dapat dianggap sebagai wartawan yang profesional. Pada saat Anda secara terbuka menyatakan pendapat Anda mengenai masalah Irian Barat, bagaimanapun juga, rekan-rekan Anda mulai bertanya-tanya apakah mereka masih dapat mempercayai Anda.’ Yang dimaksudkannya ialah surat kepada Staten-Generaal yang ditulis berdasar atas prakarsa saya, yang berisi imbauan agar Irian Barat diserahkan kembali secara damai. Saya jelaskan kepadanya bahwa baru setelah saya dihalang-
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
54 halangi oleh media seperti De Telegraaf, Nieuwe Rotterdamse Courant, Algemeen Handelsblad dan Vaderland untuk menulis tentang fakta yang sebenarnya agar diketahui pembaca Belanda, saya memanfaatkan hak saya sebagai warga agar informasi tersebut dapat tersaji saat itu juga. Hanya itu. Profesor Pauker menegaskan pendapatnya bahwa saya harus ke Den Haag dan mendirikan partai politik, pokoknya saya harus berkecimpung dalam masalah politik. Itulah guetapens8. (perangkap) yang paling akhir dapat menjebak saya. Pada usia ke-70 ini, saya masih dapat menyatakan secara jujur bahwa saya tidak pernah akan menyetujui, atau merasa terikat baik secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi dengan kelompok politik mana pun. Wartawan termasuk jenis pengamat yang mengutamakan kebebasan berpolitik dan membawanya ke dalam praktek. Karena alasan itulah pada tahun 1948 saya telah melepaskan keinginan saya untuk memasuki dinas kediplomatan meskipun saya dididik di Nijenrode untuk bidang itu. Sebagai diplomat profesional Anda akan berjumpa dengan orang yang mutlak gila seperti menteri urusan luar negeri, lagi pula ia adalah eksponen dari salah satu partai politik. Gambaran masa depan seperti itu bukan untuk saya. Henk Hofland sangat memahami saya dan oleh karenanya ia membawa saya ke redaksi bidang luar negeri surat kabar Algemeen Handelsblad agar saya bisa masuk ke dalam kelompok knights ofthe plume (pendekar pena). Tanggal 19 Juli, dengan pesawat Catalina yang terbang di
8.
Kata Perancis untuk perangkap, penghadang
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
55 atas Sungai Kutai, Bung Karno dan saya tiba di Samarinda, tempat yang indah dekat pantai timur Kalimantan. Sekali lagi presiden memanggil saya naik ke mimbar pada saat ia berpidato di depan massa. ‘Ketika saya bertemu dengan Willem Oltman,’ katanya, ‘saya kira, orang Belanda ini ingin bergurau dengan saya. Belakangan saya mengerti bahwa is bersungguh-sungguh.’ Sorak sorai dan tepuk tangan. Kadang-kadang saya berbagi kamar dengan ajudan Bung Karno. Malam itu saya tidur sekamar dengan Wim Latumeten. ‘Jelaslah bahwa dalam perjalanan ini, presiden juga memanfaatkan kehadiran anda untuk menenangkan perasaan anti Belanda di negeri ini’, katanya. ‘Andai saja orang di Den Haag menyadari apa yang dilakukan Bung Karno!’ Ia menasihati saya, ‘Jalanilah jalanmu sendiri, seperti apa yang anda lakukan sekarang. Itu yang di sini kita sebut pukul terus.’
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
56
Di Kapal Djadajat1. Setelah perjalanan lintas Kalimantan ini saya memutuskan akan menemui Bapak Hagenaar di perwakilan diplomat Belanda untuk menceritakan pengalaman saya. Ia menerima saya dengan wajah tidak senang. Di situ hadir pula Pekelharing, tenaga ahli yang diperbantukan di kedutaan. Saya mencoba mencari tahu apakah mereka mungkin sudah menangkap isyarat Bung Karno yang ditujukannya kepada negeri kita2.. ‘Mengenai apa yang Anda lakukan dengan kehadiran Anda di Kalimantan hendaknya Anda berdamai dengan perasaan hati Anda sendiri,’ demikian kata wakil ratu tahun 1957 di Jakarta. ‘Di samping itu saya tidak berharap bahwa Anda datang kepada kami untuk membicarakan urusan Anda sendiri. Berita apa yang akan Anda sampaikan kepada kami?’ ‘Bukankah kita semua, sebagai warga Belanda, hanya
1. 2.
Ejaan baru: Jadayat Negeri Belanda
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
57 punya satu urusan di sini, dan itu adalah untuk mencoba membalikkan hubungan antara Indonesia dan Belanda yang makin jauh dan semakin tegang? Saya kemari dengan pikiran bahwa Anda mungkin ingin tahu akan tindakan Soekarno yang ditujukannya ke Belanda untuk berdamai,’ jelas saya. Hagenaar, ‘Seperti yang Anda tulis, Anda berpendapat bahwa kita tidak mau mengadakan pembicaraan yang jujur dan dilandasi kepercayaan dengan Indonesia.’ Saya berkata, ‘Anda tentu tidak akan mengatakan, bahwa Anda, atau pembantu Anda, bertukar pikiran dengan jujur dan terbuka dengan orang-orang yang pada akhirnya berkuasa di sini bukan? Itulah yang saya lakukan.’ Saya tidak mau bersikap keterlaluan dan melukai hati mereka dengan menyebut nama Soekarno, tetapi Hagenaar dan Pekelharing pasti mengetahui apa yang saya maksudkan. Tenaga ahli yang diperbantukan di kedutaan itu menengahi pembicaraan kami dan berkata bahwa misi menaruh perhatian kepada informasi yang dapat dimanfaatkan orang di Den Haag. Itulah untuk terakhir kalinya saya melangkahkan kaki ke arah yang ditempuh misi Belanda di Indonesia. Saya tidak mungkin lagi dapat bekerja sama dengan kacung-kacungnya si Luns. Pada saat itu Emile van Konijnenburg dari kelompok Rijkens muncul kembali di Jakarta. Kali ini bicaranya lain dan mengejutkan. ‘Indonesia hendaknya berhenti dengan meminta dunia internasional menyelesaikan masalah Irian Barat. Secara ekonomi negara ini tidak baik,’ katanya. ‘Pengaruh PKI berkembang amat pesat. Kalau saya bertemu
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
58 dengan Bung Karno nanti, saya akan mencoba menjual gagasan saya kepada Bung Karno bahwa the New Life Movement, seperti yang belum lama ini dikemukakannya, harus punya tujuan yang pasti.’ Saya tidak dapat mempercayai telinga saya. Di sini ada seorang pengusaha terkemuka dari Den Haag, yang telah mengenal Soekarno selama bertahun-tahun dan cukup tahu tentang perkembangan di Indonesia. Apakah ia, seperti halnya Guy Pauker, juga melihat kaum komunis naik panggung? Demi Tuhan, apa yang mendorongnya sehingga ia menganggap presiden ini tidak sadar akan apa yang dilakukannya agar dapat memimpin proses revolusi tetap di jalurnya yang benar? Saya mencoba menjelaskan Pak Kelinci3., begitu ia disebut di istana bahwa saya lebih khawatir akan adanya ancaman langsung terhadap presiden, yang muncul dari lingkungan pejabat resmi yang paling dekat Bung Karno. Di samping itu saya menganggap pembelaan Belanda agar Indonesia tidak lagi mengajukan tuntutan yang tinggi, agak menggelikan, mengingat apa yang telah terjadi, dua peperangan dan termasuk juga satu tindakan khianat yang berkaitan dengan Irian Barat. Van Konijnenburg juga tidak mau mengerti bahwa tumbuhnya PKI disebabkan pula oleh sikap kepala batunya orang Den Haag dalam berpolitik, dilihat dari segi masalah Papua. Akhirnya ‘Pak Kelinci’ masih mengatakan, ‘Apabila nanti Anda mewawancarai Bapak, Anda harus mencoba menyuruh-
3.
Konijn artinya kelinci
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
59 nya mengatakan bahwa kaum komunis dan kaum Islam tidak pernah dapat berjalan bersama-sama. Apabila ia mengatakan itu, maka bereslah semua. Pertumbuhan PKI telah mengejutkan dunia. Anda harus menjelaskan presiden, pernyataan seperti itu tidak dapat tidak harus keluar dari presiden, paling tidak untuk sedikit meredam kekhawatiran dunia akan tumbuhnya kekuatan komunis di Indonesia.’ Saya mendengarkan nada perkataan ‘Pak Kelinci’ ini dengan satu kecemasan. Van Konijnenberg tidak tahu apa-apa tentang cara seorang wartawan mewawancarai seseorang. Tidak dapat diragukan lagi maksudnya memang baik, tetapi bagaimana pendapatnya yang sebenarnya tentang presiden? Apakah sekarang ini ‘Pak Kelinci’ menganggap Bung Karno begitu bodohnya dan bisa dipermainkan begitu saja? Di samping itu, presiden memang seorang nation builder, seorang pendiri negara yang utama. Seluruh jiwa raganya diberikannya untuk mendamaikan dan menyatukan berbagai kekuatan yang saling bertentangan di dalam batas-batas kepulauan Indonesia. Apakah, hanya demi menyenangkan masyarakat luar negeri, ia harus menyiramkan minyak ke dalam api yang berkobar di dalam negeri? Tanggal 18 Agustus 1957 saya berangkat dari Tanjung Priok, naik kapal ‘Djadajat’ milik pemerintah dengan tujuan Surabaya. Di sana, sejumlah besar pengikut presiden akan bergabung untuk memulai perjalanan rombongan presiden ke Indonesia Timur lewat laut. Kepala negara bersama beberapa orang menteri dan duta besar akan berlayar dengan kapal torpedo bekas milik Belanda, yang sekarang diberi nama ‘Gadjah
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
60 Mada.’ Kedua kapal itu akan berlayar berdampingan selama sepuluh hari. Profesor Guy Pauker juga ikut lagi. Setiap kali saya bertemu dengannya, pandangannya mengenai Bung Karno, dalam artian negatif, semakin meningkat. ‘Ia terlalu tinggi menilai kepopulerannya,’ begitu celotehnya kali ini. ‘Ia bermain-main dengan dinamit. Ia terlalu yakin akan dirinya sendiri. Orang-orang di negerinya bukan lagi massa yang dulu, yang tidak tahu apa-apa. Soekarno tidak lagi penguasa absolut di Indonesia. Semakin banyak tokoh lain muncul ke depan. Ia harus memikirkan bahwa apabila Moskow dan kaum PKI sudah menginjakkan satu kakinya di ambang pintu, maka sangatlah sukar mengeluarkan mereka kembali.’ Pria ini sudah seperti orang gila mengkhawatirkan bahaya merah4. bagi Indonesia. Saya menghindarinya sebanyak mungkin, menganggapnya tidak ada. Saya tidak suka mendengarkan ocehannya. Juga di Ambon, Ternate dan Tidore, Bung Karno menarik saya ke mimbar dan menunjuk saya sebagai ‘wartawan dari Belanda: orang yang baik’. Saya selalu merasa tidak enak akan hal ini. Untung saja bahwa ia juga berbuat sama terhadap Olga Chechotkina dari Pravda, yang juga ikut dalam perjalanan ini. Bagi saya, pendapat saya mengenai masalah Irian Barat tidak perlu mendapat imbalan jasa. Saya hanya mengerjakan pekerjaan rumah saya lebih baik daripada kebanyakan rekan senegara saya. Dan saya tidak berdinas di kantor Joseph Luns, seperti halnya anggota staf diplomatik di Jakarta, yang berupaya agar menteri itu serta komplotannya
4.
komunis
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
61 di Den Haag mendengar apa yang ingin mereka dengar. Memang benar, saya telah mencabut ‘kartu merah’ sebagai wakil dari ‘mimbar bebas’ dalam demokrasi tanah air yang bebas, tetapi ini untuk menutup mulut saya rapat-rapat bila saya tidak mau mati terbunuh oleh mereka. Hal itu sebenarnya tidak perlu, karena sensor pemerintah penguasa terhadap apa yang mungkin akan saya ceriterakan, bagaimanapun juga ceritera itu tidak akan muncul, karena ada sistem yang ‘cerdik’, untuk mengekang setiap perbedaan pendapat, yaitu pendapat yang berbeda dengan yang ‘ingin’ didengar oleh penguasa di Belanda. Dalam hal ini Den Haag berhak menerima Hadiah Nobel untuk keberhasilannya membungkam semangat yang terlalu bebas, sehingga menjadi semangat yang ‘tidak berguna’. Dalam perjalanan ini kadang-kadang Presiden Soekarno menggerutu mengenai Belanda dan bekas kolonialisme sampai sedemikian rupa sehingga darah saya mulai mendidih. Kadang-kadang ia membiarkan dirinya dihanyutkan gaya pidatonya sendiri dengan cara yang tidak dapat saya terima, walaupun secara garis besar ia benar. Saya mengeluhkan perasaan sesak di hati saya ini pada Wim Latumeten atau Piet van Bel, yang mengerti keadaan saya dan mereka berkata, ‘Orang tua itu memang manusia juga.’ Pada kesempatan yang lain Menteri Chaerul Saleh misalnya berkata kepada saya, ‘Bung Karno telah selama berminggu-minggu ini memanfaatkan Anda untuk mengirim isyarat mau berdamai dengan Belanda. Bukankah ia sebenarnya tidak ingin berhadapan langsung dengan kalian mengenai Irian Barat? Dan apa yang dilakukan pemerintah
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
62 Anda?’ Setelah pernyataan tentang pengamatan semacam itu saya betul-betul tak tahu lagi apa yang akan saya kerjakan. Saya tidak berdaya. Di Pulau Morotai rakyat Papua menari di hadapan presiden. Saya berkenalan dengan Zainal Abidin Sjah, gubernur yang diangkat pemerintah Indonesia untuk Irian Barat. Den Haag selalu menginformasikan bahwa rakyat Papua tidak mungkin jadi bangsa Indonesia, karena mereka berambut keriting halus dan mempunyai raut wajah yang sama sekali berbeda. Sementara itu saya melihat, bahwa di semua tempat di Indonesia timur yang kita singgahi dalam peijalanan ini, penduduk setempatnya lebih mirip orang Papua dibandingkan dengan orang Jawa atau Sumatra. Alasan bawa orang Papua itu bertipe negroid dan ‘oleh sebab itu’ daerahnya tidak dapat diserahkan kepada Indonesia, merupakan pernyataan yang tampaknya berarti tetapi sebenarnya kosong. Alasan itu dibuat, hanya untuk dapat mengganggu Soekarno agak lebih lama lagi, karena belum dapat menerima kekalahan kita sehingga kehilangan Hindia Belanda, dan kita menimpakan kebencian kita kepadanya meskipun tidak secara terang-terangan. Pada malam hari kunjungan ke Samarinda, diselenggarakan malam kesenian untuk menghibur presiden dan rombongannya. Dalam kesempatan seperti ini, presiden selalu mengajak tamunya menari. Raja dari Yogyakarta, Paku Alam, ikut dalam rombongan kita. Soekarno memintanya sebagai pasangan yang pertama menemaninya menari. Menteri Chaerul Saleh melihat raja tersebut berkenan memenuhi ajakan
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
63 presiden dan berkata kepada saya, ‘Lihatlah, demokrasi telah sangat maju di negeri kami.’ Saya sendiri mengajak seorang gadis cantik setempat berdansa. Soekarno menari dengan wanita setengah tua yang gemuk, istri pejabat (bupati) setempat. Pada suatu saat saya merasakan sebuah tangan menekan pundak saya. Bung Karno ingin bertukar pasangan dengan saya. Ketika pada keesokan harinya kita berlayar di laut luas, saya melihat gadis cantik itu berjalan-jalan di geladak kapal ‘Gadjah Mada.’ Kepala negara ini rupanya telah mengajaknya ikut dalam perjalanan ini begitu saja. Ia memang sukar meninggalkan kebiasaannya. John Lie, kapten kapal dan komandan kapal perang, berceritera bahwa sebagai orang kristen, ia mengundang para tamunya di malam hari ke kamarnya untuk berbincang-bincang dengan Bung Karno dan beberapa menteri serta diplomat luar negeri, mengenai kitab suci. Ia bercerita kepada saya bahwa terjadi perbincangan yang hidup, ‘dan tahukah Anda apa yang menarik’ katanya, ‘ialah bahwa pada saat berpisah, presiden adalah orang satu-satunya yang menyalami saya dan berterima kasih untuk acara malam itu.’ Saya mengenal egard-nya itu dengan baik. Kadang-kadang kami pindah dari kapal ‘Djadajat’ ke kapal ‘Gadjah Mada’ dan kami duduk dalam lingkaran di geladak kapal, di kursi santai yang terbuat dari rotan. Suatu petang, saya sedang mengobrol dengan Olga dan dengan Presiden, ketika dubes Uni Sovjet, Iran, dan kuasa usaha dari Irak ikut bergabung dengan kami. Tiba-tiba saja Bung Karno mengusulkan agar kami menyanyikan lagu daerah kita masing-
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
64 masing. Ia sendiri mulai menyanyikan bait-bait awal lagu Wilhelmus.5. Saya menyesal karena tidak membawa alat perekam saya. Dubes Zukov dan Olga Chechotkina menyanyikan Internationale dengan suara keras dan untunglah Presiden melompati giliran saya. Pada pendaratan di Djalolo, sebuah pulau kecil, penduduk pulau itu telah menyiapkan joli yang akan menandu Bapak seolah-olah seorang raja. Untuk penghormatan semacam ini, ia menyampaikan terima kasih dengan senang. Ia tidak mau menerima penghormatan yang diberikan panitia penyambut itu dan berkata, ‘Sini, kalian harus menghormati sang Merah Putih, dan bukan saya.’ Maka, dengan gembira berbarislah rombongan dengan ‘singgasana’ yang sedianya disiapkan untuk Bapak, yang diisi dengan bendera dwiwarna. Tanggal 30 Agustus 1957. Perjalanan saya ke Indonesia ini sudah hampir berakhir. Kami terbang kembali ke Makasar, di sana Presiden akan bertemu dengan Ventje Samual, perwira yang memberontak. Di dalam pesawat juga ada Kolonel Pieters, orang Ambon yang menjadi komandan militer di Indonesia Timur. Katanya kepada saya, ‘Dengan kehadiran Anda di sini, Anda telah beijasa bagi negara Anda.’ ‘Saya khawatir bahwa orang di Den Haag menafsirkannya lain’, jawab saya sambil mengingat wajah tidak puas yang diperlihatkan diplomat Hagenaar dan Pekelharing di Jakarta. Saya mengaduk-aduk berkas saya. Kolonel Pieters melihat foto kenegaraan presiden di antara berkas saya. ‘Anda harus
5.
Lagu kebangsaan Belanda
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
65 memintanya menandatangani foto itu,’ katanya. Pikiran itu tak pernah terlintas dalam benak saya. Saya selalu ingat dan amat berterima kasih kepada Pieters karena telah mendorong dan mengingatkan saya. Saya segera berjalan ke bagian paling belakang pesawat Convair ini, yang dilengkapi dengan kursi malas dan sebuah meja untuk Presiden. ‘Oke,’ katanya segera. Ia pun menambah dengan tulisan, ‘Untuk Willem Oltmans, banyak terima kasih, 4 September 19-57.’ Saya menduga bahwa saya adalah orang Belanda satu-satunya, yang mendapat kehormatan menerima ucapan terima kasih pribadi dari Presiden Pertama Indonesia. Tidak ada harganya, demikian kata seorang rekan, ketika ia melihat potret tersebut di rumah saya, dan yang sudah saya beri pigura perak.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
66
Den Haag (1957) Dalam perjalanan pulang ke Belanda saya singgah di S'uez untuk menyalami teman-teman saya dari batalion Garuda I di PBB. Mereka akan pulang ke negerinya dengan kapal ‘Talisse,’ sebuah kapal Belanda. Paling tidak saya telah melakukan sesuatu yang berkaitan dengan kepulangan mereka. Selama berada di Indonesia tahun 1956-1957, semakin jelaslah bagi saya bahwa pemerintah dan parlemen telah sia-sia dalam bersikeras melawan jalannya sejarah pasca 1945 di Asia Tenggara, dan bukannya menapaki langkah sejarah itu. Saya menjadi saksi mata dari apa yang ingin dijelaskan oleh Jaques de Kadt (PvdA1.) dalam bukunya Het treurspel der gemiste kansen2.. Yang sangat menjengkelkan saya adalah betapa setiap orang di Belanda dengan sengaja berbohong mengenai teman saya Soekarno. Lagi pula semua kebohongan itu ternyata merugikan diri sendiri. Bukannya secara ksatria
1. 2.
PvdA: Partij van de Arbeid (Partai Buruh) Sandiwara sedih dari kesempatan yang hilang
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
67 mengakui bahwa pria itu telah memenangkan perjuangan kemerdekaannya -- dengan memanfaatkan serangan dari pihak Jepang -- Den Haag berbicara yang bukan-bukan mengenai Bung Karno, dan muncul dengan daftar panjang tentang segala hal yang menjelekkan pribadinya. Multatuli barangkali akan setuju dengan saya: boleh dikatakan semua hal yang diperbincangkan mengenai Soekarno di Belanda tidak benar. Walaupun demikian, tidak mungkin untuk menjelaskannya di depan umum, seperti halnya seratus tahun lalu pada masanya Max Havelaar, apakah pengungkapan masalah pelelangan kopi Perusahaan Dagang Belanda (VOC) masih merupakan usaha yang belum dimulai, menyampaikan kebenaran mengenai Hindia Belanda. Informasi disampaikan dari asisten residen ke residen, selanjutnya ke gubernur jenderal atau ke kabinet di Den Haag. Tahun 1957 Bung Karno masih tetap menjadi musuh bebuyutan pemerintah Den Haag dan tidak ada yang mempertanyakan hal itu. Lagipula, tidak ada yang peduli, apakah yang diceritakan orang tentang Bung Karno itu benar atau salah. Baru tanggal 13 Januari 1995, jadi setengah abad kemudian, kita baca tentang hal ini secara terinci mula-mula di majalah De Journalist,3. bagaimana kebohongan itu berkembang. ‘Wartawan Belanda, yang boleh masuk ke Indonesia tahun 1945-1950,’ demikian tulis profesor J.A.A. van Doorn, ‘semuanya disaring dengan ketat dan mereka dilatih dahulu oleh pejabat penerangan militer. Para wartawan
3.
Majalah profesi wartawan di Belanda
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
68 itu selalu berperilaku sebagai orang yang “cinta tanah air”. Mereka tidak perlu petunjuk lagi. Mereka sadar akan tugas mereka, dan mereka menyesuaikan diri, dan barangkali tanpa sadar sepenuhnya, mereka menyensor dirinya sendiri. Mereka tahu berita apa yang ingin didengar di tanah air, dan mereka menyajikannya dengan penuh rasa dan warna.’ Max Havelaar ternyata berkunjung kembali setelah seratus tahun. John Jansen van Galen menambah di De Journalist, ‘Saya masih mengingat masa-masa itu. Kami, anak sekolah menyanyikan lagu. En wat doen we met Soekarno als-ie komt? We maken er kachelhoutjes van.’4. Jansen van Galen telah dicuci otaknya sejak ia masih kanak-kanak: Hidup Wilhelmina dan gantung Soekarno! Dalam tahun-tahun belakangan ini makin jelas adanya penyandian otak. Bagaimana cara kita menga-wasandikan segala omong kosong yang disensor itu dari otak orang dewasa, merupakan masalah neuro-fisiologi yang masih harus dipecahkan. Rimbaud pernah mengatakan, ‘Love has to be re-invented.’ Cinta harus diciptakan kembali. Di dalam buku Decoding thepasi5., Peter Loewenberg menghunjamkan tombak bagi pendekatan psiko-sejarah atas masa lalu. Yang dimaksudkannya ialah penemuan ulang mengenai kebenaran pada masa lalu, juga atas dasar analisis psikologi modern. Bahkan usaha yang paling kecil ke arah ini, seperti misalnya artikel utama yang terbit di HP de Tijd tanggal 30 Juni 1995, ‘Merunut jejak Soekarno,’ telah menyebabkan gempa bumi
4. 5.
Dan apa yang akan kita lakukan terhadap Soekarno apabila ia datang? Kami akan menjadikannya potongan kayu bakar untuk perapian. University of California Press, Berkeley, 1984.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
69 kecil yang bersifat psikis di benak mereka yang berurusan dengan Indonesia. Di satu pihak para uskup Katolik Roma muncul dengan surat mea culpa (saya berdosa) dan di lain pihak juru film Frans Glissenaar menulis di De Volkskrant terbitan 12 Juli 1995 bahwa saya, dengan visi saya mau mencoba membuat Bung Karno tampak sebagai ‘orang suci’. Pada hakikatnya saya hanyalah seorang wartawan yang belum ‘disaring’, yang lolos dari siratan jejaring Den Haag, Luns, Dubes Boon dan Peminpin Redaksi Stokvis, sehingga tak terkendali dan dapat mengejar Soekarno di Italia. Di atas semua itu, perjalanan saya ke Indonesia juga menambah keyakinan Den Haag bahwa saya seorang pengkhianat, sehingga bagi sensor kalangan dalam, tanpa saya sadari, saya seolah-olah bom yang harus terus diwaspadai. Oleh sebab itu, ketika di bulan September 1957 saya kembali ke tanah air setelah petualangan saya di Indonesia dengan Bung Karno, rekan saya Henk Hofland memberi tahu saya, bahwa dinas rahasialah yang menjadi penyebab saya dipecat begitu saja oleh tiga surat kabar yang mempekerjakan saya di Jakarta. Para Peminpin Redaksi seperti A. Stempels (NRC), H.M. Planten (Algemeen Handelsblad) dan W. van Wijk (Het Vaderland) sebetulnya sangat tahu bahwa saya benar, tetapi mereka lebih mementingkan keselamatan perusahaan mereka sendiri. Bukankah Luns lebih populer dibandingkan Pangeran Bernhard? Siapa yang berani mengusik kemarahan menteri itu? Saat ini, terutama di lingkung wartawan muda, beredar desas-desus seakan pengaruh dari kalangan mapan di Den Haag tahun 1995 akan
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
70 sangat berkurang apabila dibandingkan dengan lima puluh tahun yang lalu. Siapa yang berpendapat demikian, hendaknya memeriksakan dirinya sendiri dahulu. Dengan demikian, saya kembali dari Indonesia di musim gugur tahun 1957 dan tiba di wilayah kerajaan yang dapat saya persamakan dengan sebuah gua tempat tinggal seekor singa kolonial yang sekarat. Karena negara telah menutup pintu bagi saya untuk memasuki media, tidak ada jalan lain bagi saya kecuali mencoba mengadakan pembicaraan empat mata dengan sejumlah tuan dan nyonya yang bertanggung jawab atas masalah politik, untuk bercerita tentang pengalaman dan pembicaraan saya dengan Soekarno. Selama berminggu-minggu saya sibuk dengan hal ini. Saya berkunjung ke berbagai kota dan negeri (tentu saja atas biaya sendiri) untuk mengerjakan hal yang saya anggap penting bagi negara, yaitu mencoba dengan sabar, memberi gambaran lain tentang Soekarno kepada para politisi dan wakil rakyat. Beberapa di antara mereka cenderung mempersamakan orang lain seperti diri mereka sendiri, dan mengira bahwa tour d'horizon atau perjalanan yang saya lakukan itu adalah atas permintaan dan dibiayai penuh oleh Bung Karno. Bung Karno tidak tahu apa-apa. Rupanya masyarakat tidak dapat mengerti bahwa bagi saya, sebagai wartawan, penyampaian fakta dan informasi yang telah diselidiki kebenarannya dalam keadaan apa pun harus didahulukan, biarpun tindakan itu akan mengakibatkan saya menjadi person non g rata. Antara lain saya mengunjungi mantan Perdana Menteri Profesor Gerbrandy, yang dengan suaranya di Radio Oranje
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
71 yang terkenal itu, berpendapat saya telah dihinggapi ‘rasa optimis yang membahayakan bahwa kita dapat bersantap bersama dengan Soekarno dengan aman.’ Mantan Perdana Menteri Profesor Beel bahkan berceritera dengan bangga -- sambil memasang wajah yang menjijikkan -- bahwa dialah yang memberi saran kepada Ratu Juliana untuk menyetujui aksi polisionil yang kedua melawan Soekarno. ‘Itu adalah keputusan saya,’ katanya, dengan tekanan pada kata ‘saya’. ‘Keputusan ini tidak dapat dihindari, baik oleh kita maupun Indonesia. Sudah tiba saatnya kita harus menerapkan disiplin kepada Indonesia ...’ demikian katanya. ‘Tetapi, mereka berjuang untuk kemerdekaannya, sama seperti kita pada tahun 1940-1945 itu,’ jawab saya dan dalam hati saya berpikir, ‘oh tuan, andaikata saja anda mau berusaha duduk bersantap semeja dengan Bung Karno, maka perang tidak akan terjadi’. Orang ini tidak ingin mendengar sepatah kata pun yang baik mengenai Soekarno. ‘Apakah anda pernah berjumpa dengannya?’ ‘Tidak, ketika saya berada di Jakarta, Soekarno ada di Yogyakarta. Kami tidak mempunyai hubungan dengan apa yang disebut republik yang telah berkedudukan di Yogyakarta.’ Pikir saya, ‘Andaikan saja Anda membawa sepeda!’ Semuanya menjadi jelas bagi saya: tidak seorang pun di Den Haag yang sebenarnya menyadari apa yang mereka katakan, kecuali mungkin mantan Letnan Gubernur Jenderal H.J. van Mook. Ia sudah menyadari sejak awal, bahwa hanya Soekarnolah yang memegang kunci untuk penyelesaian masalah secara damai. Untuk alasan itulah ia berbicara dengan
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
72 Bung Karno, yang berakibat ia mendapat caci-maki keras dari Den Haag. Ia dipanggil pulang dan belakangan di-‘singkirkan’ oleh Willem Drees menjadi dosen di New York. ‘Itulah jabatan yang paling sesuai bagi anda,’ kata Drees ketika melantik Van Mook. Tanggal 11 November 1957 saya bersantap siang dengan Van Mook di New York. ‘Drees bahkan tidak berusaha menutup-nutupi kegembiraannya karena berhasil menyingkirkan saya. Apakah anda juga memperhatikan bahwa pemimpin masyarakat selalu dari kalangan menengah?’ Dosa Van Mook karena dua kali berbicara dengan Soekarno rupanya tidak dapat dimaafkan. Saya menjumpai anggota Raad van State6. seperti Joekes dan Meijer Ranneft, Profesor Oud, Tuan Jonkman, Jenderal Calmeijer, tuan-tuan Burger, Idenburgh, Vos, De Graaf, nona Wttewaal van Stoetwegen dan banyak lainnya.7. Demikian pula wartawan terkemuka yang saya temui pada masa itu, seperti P.J. Koets dari Het Parool, yang menunjukkan emosi berapi-api terhadap Soekarno, tetapi sebenarnya hanya mempunyai pengetahuan sebanyak nol koma nol mengenai hal ini. Kecuali dr. M. van Blankenstein, komentator dari Het Parool, yang telah mengunjungi Indonesia tahun 1952 dan menulis buku Indonesie Nu (Indonesia masa kini). Ia juga berhubungan akrab dengan Paul Rijkens. Ia ber-‘engkau-dan-aku’ saja dengan boleh dikatakan semua pejabat di Den Haag. Ia pernah bertemu dengan Soekarno, dan ini cukup baginya
6. 7.
Dewan penasihat kepala negara di Belanda Semua rincian disajikan dalam Memoires: 1957-1959, Torenboeken, Baam, 1987.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
73 untuk memperoleh gambaran untuk menetapkan apa yang harus kita lakukan di Asia Tenggara. Selama bertahun-tahun saya terus berhubungan erat dengannya. Karena kenyataannya hanya tokoh-tokoh di dunia usahalah yang bisa berpikir jernih mengenai masalah Indonesia dan dapat mendekati persoalan Irian Barat yang sangat rumit itu, saya memutuskan akan mengatur pembicaraan di antara para wirausahawan ini dengan suatu choix atau pilihan politik. Tanggal 17 Oktober 1957 di Hotel de Witteburg diadakan pertemuan membicarakan langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk membantu mencegah makin parahnya permasalahan Irian Barat. Pertemuan ini dihadiri oleh para ketua dari Kamers van Koophandel8. dari Amsterdam dan Rotterdam, Delprat dan Van der Mandele, yang didampingi Emile van Konijnenburg dari KLM yang sudah mengenal Soekarno di satu pihak, dan tuan-tuan Joekes, Meijer Ranneft, dan Idenburgh dari kemampuan politik di lain pihak. ‘Tampaknya politik Belanda tidak akan memberikan titik balik yang baru, yang segar, mengenai hubungan yang baik,’ begitu tulis Hofland berkenaan dengan informasi yang saya berikan kepadanya mengenai hal ini, karena ia sendiri berusaha agar selalu ‘bertabiat baik’ dan tidak melakukan apa-apa yang tidak berkenan bagi Den Haag.9. Barangkali hal ini harus ditekankan lagi. Menurut aturan, seorang wartawan tidak akan maju dengan ‘diplomasi diam’.
8. 9.
Kamar Dagang Tegels Lichten, idem, hal. 57-58
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
74 Tetapi saya tidak mempunyai pilihan lain. Negara telah berhasil membungkam mulut saya secara efektif lewat para pimpinan redaksi yang loyo. Sebenarnya saya sangat marah, sehingga, kalau tidak ada cara lain, saya akan minta pengakuan dari kelompok sandiwara penguasa politik di negara ini. ‘Dengan kewaspadaan semacam itu, yang dikenal sebagai adat budaya dan sopan santun, maka praktis seluruh jajaran pers Belanda ambruk oleh Oltmans,’ demikian tulis Hofland lima belas tahun kemudian di dalam buku yang disebut di atas. ‘Oltmans langsung masuk tepat ke penggilingan belanda model kuno, tempat nama baiknya dihancurkan sampai lumat, dan segera pula ia dikenal sebagai pengkhianat negara,’ demikian tulis teman sekamar saya di Nijenrode di antara tahun 1946-1948 itu. ‘Ah,’ demikian keluh Perdana Menteri Ruud Lubbers tanggal 8 Agustus 1994, empat puluh tahun kemudian, dalam suatu kesempatan berbicara di kantornya yang termasyur itu. ‘Reputasi sebagai pengkhianat negara itu telah Anda sandang selama empat puluh tahun, dan anda tidak pernah akan lepas darinya,’ dan kata-katanya tepat menggambarkan cara berpikir orang Belanda. Karena pertemanan saya dengan Soekarno, kami jadi bernasib sama, dimusuhi sampai mati.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
75
Perserikatan Bangsa-Bangsa (1958) Untuk kesekian kalinya terjadi percobaan pembunuhan terhadap Soekarno di Indonesia, kali ini di sebuah sekolah di Cikini, Jakarta Pusat yang menewaskan sejumlah anak dan ibu mereka. Mayor Sudarto, aide-de-camp1., yang menjatuhkan dirinya di atas presiden, juga terluka, tetapi kepala negara ini selamat dan tidak mengalami cedera apa-apa. Tahun 1995 saya menanyai seorang mantan jenderal dari dinas penerangan militer di Jakarta mengapa sampai terjadi lima kali percobaan pembunuhan terhadap Bung Karno, tetapi tidak pernah sekali pun terhadap Soeharto? ‘Jadi Anda tidak mengerti? Soeharto sendiri kan orang CIA,’ demikian jawabnya jengkel. Bulan Desember 1957 Pemerintah Indonesia memutuskan akan mengusir 44.000 sisa warga Belanda yang masih berada
1.
Ajudan, pembantu khusus
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
76 di Indonesia, dan menasionalisasi semua sisa milik Belanda di kepulauan Indonesia. Dengan keputusan itu maka dua belas tahun sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia, hubungan antara Jakarta dan Den Haag kembali memburuk. Di Washington, laporan Profesor Guy Pauker juga mulai membuahkan hasil. Soekarno sedang sibuk meyakinkan pihak kiri, dan untuk itu ia perlu dilenyapkan segera. CIA kemudian akan menjadi satu-satunya yang berhasil memancing di air Indonesia yang keruh pada tahun 1958. Tanggal 10 Februari 1958 diumumkanlah Pemerintahan Revolusi Republik Indonesia (PRRI) yang berkedudukan di Bukittinggi, Sumatra Barat. Amir Sjafruddin menjadi perdana menteri, Burhanuddin Harahap di bagian Hukum dan Pertahanan, Sumitro Djojohadikusumo2. bertugas di bidang Perdagangan dan Komunikasi dan Kolonel Simbolon menjadi Menteri Urusan Luar Negeri. Itulah, yang paling tidak, diyakini mereka sendiri. Dalam waktu singkat pasukan Soekarno tiba di Sumatra dan menggulung seluruh komplotan orang Indonesia yang fanatik memuja Amerika itu. Hal yang sama terjadi juga dengan komplotan pemberontak yang menamakan dirinya Permesta di Sulawesi Utara. Duta besar Amerika Serikat saat itu, John M. Allison, yang oleh Eisenhower dan Dulles sepenuhnya dibiarkan dalam ketidaktahuan mengenai sejumlah gerakan CIA yang sah di Indonesia, memprotes hal ini dan akibatnya ia dikirim ke
2.
Belakangan sudah sewajarnya bila ia mengejawantahkan dirinya sebagai pengikut Presiden Soeharto yang bersemangat
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
77 Polandia. Ia menulis buku yang mengasyikkan mengenai pengalamannya sebagai duta besar di Jakarta. Tanggal 18 Mei 1958 meriam pertahanan antiserangan udara Indonesia menembak jatuh pesawat pembom Amerika yang terbang di atas Ambon, yang sebelumnya telah membunuh dan menghancurkan banyak orang. Pilot pesawat itu, Allan Pope dari CIA, dapat menyelamatkan diri dengan parasut. Kolonel Pieters, yang sudah disebutkan di bagian terdahulu, membawa Allan Pope sendiri ke Jakarta. Sebagai serdadu bayaran, pilot itu diadili dan dihukum mati. Tetapi Soekarno pastilah bukan Soekarno apabila akhirnya ia tidak mengasihaninya. Di dalam Otobiografinya, Bung Karno bercerita kepada Cindy Adams, isteri Pope telah datang kepadanya dengan menangis. ‘Ia mengangis terisak-isak dan memohon agar suaminya diberi grasi. Saya menjadi lemah apabila berurusan dengan wanita. Setelah itu ibu dan saudara perempuannya Pope juga datang berkunjung. Dan air mata kedua wanita itu terlalu banyak bagi saya.’ Pope mendapat ampunan.3. Juru film Frans Glissenaar pasti akan menguraikan anekdot ini dengan jelas sebagai usaha Bung Karno untuk menjadikannya seolah-olah ‘orang suci’. Saya hanya ingin menggambarkan ia sebagaimana ia adanya, manusia yang terbuat dari darah dan daging, dan pada waktunya berhati kecil. Yang lain justru akan mengatakan bahwa ia berhati besar. Setelah saya menarik kartu merah di Den Haag, saya
3.
Soekarno, an Autobiography, Bobbs-Merrill Company, New York, 1965, hal. 271.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
78 bermigrasi ke New York tanggal 10 Juni 1958. Tetapi ternyata negara saya, yaitu dinas penerangan dan urusan luar negeri, masih terus memburu saya. Saya sebutkan satu contoh. Karena pers di Belanda tertutup bagi saya, saya menandatangani kontrak dengan W. Colston Leigh, sebuah kantor penceramah yang beralamat di 521 Fifth Avenue, untuk berceramah di Amerika Serikat masalah politik luar negeri. Den Haag sangat takut saya akan berbicara tentang Irian Barat atau tentang musuh negara nomor satu, Soekarno, sehingga dubes di Washington mendapat tugas dari Luns agar berusaha sekuat tenaga membatalkan kontrak saya. Setelah sebelumnya mengirim baron van Voorst tot Voorst ke ‘medan perang’, tibalah yang mulia duta besar dr. J.H. van Roijen sendiri ke kantor Colston Leigh di New York. Sambil lalu ia mengajukan dirinya sendiri en passant untuk berceramah mengenai Papua dan untuk itu ia membawa film tentang usaha pascakolonial dengan mission sacree4. menyejahterakan masyarakat di Biak. Manajer urusan ceramah, Bill Leigh, tidak tertarik mengontrak Van Roijen. Sementara itu, terlihat betapa dalam dan jauhnya jangkauan dendam kesumat orang di Den Haag terhadap pendirian saya yang ‘menyimpang’ dalam masalah Irian Barat atau pertemanan saya dengan Bung Karno.5. Sementara itu, di markas besar PBB saya mengikuti celoteh diplomatik tanpa keputusan yang terus berlangsung di antara
4. 5.
Mission sacree - tugas suci Rinciannya terekam dalam Den Vaderland Getrouwe, Bruna, Utrecht, 1973,700 hal.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
79 Indonesia dan Nederland tentang Papua. Orang yang sungguh mengenal latar belakang persengketaan ini, baik di Den Haag maupun di Jakarta, seperti saya, kadang-kadang mempertanyakan apakah orang-orang di Algemene Vergadering (Sidang Umum) bersikap seperti di kelas taman kanak-kanak. Apabila wakil tetap Indonesia, dr. Ali Sastroamidjojo berbicara, maka Luns dengan sengaja akan pergi, dan begitu pula sebaliknya. Saya masih memiliki satu saluran ke Belanda lewat korespondensi di PBB untuk Vrij Nederland. Hal ini menjengkelkan Cari Schurmann, wakil tetap Belanda di PBB, sedemikian sehingga ia mengirimi Luns telegram rahasia dengan tulisan, ‘Sekarang ini sudah keterlaluan dan Vrij Nederland hendaknya diminta dengan sangat agar surat kuasanya diperbarui, dan mencabut sebutan wartawan bonafide (yang dapat dipercayai) dari Oltman.’6. Bukti tentang hal ini baru saya peroleh tahun 1991 lewat ketua Raad van State, Ratu Beatrix. Baru tahun 1991 itu pula saya mengetahui bahwa Duta Besar Van Roijen atas dasar perundingan dengan Luns telah menyewa jasa biro penyidik di New York untuk menyelidiki bagaimana ‘Soekarno mendanai Oltmans’. Tentu saja saya tidak pernah menerima satu sen pun dari Bung Karno, tidak pula meminta. Tak heran apabila Luns dan Van Roijen telah memboroskan uang pembayar pajak hanya untuk mencari bukti untuk membenarkan dugaan mereka yang tolol itu, yang sebenarnya tidak benar dan tidak pernah benar.
6.
Rinciannya, ditambah dengan puluhan telegram rahasia direkam di Vogelvrij, Penerbit Jan Mets 1972.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
80 Tekanan Luns bahkan telah berhasil memasang sejumlah besar rekan wartawan di depan kereta negara. Tentu saja saya mempercayai P.M. Smedts, Peminpin Redaksi Vrij Nederland secara membabi buta, karena ia satu-satunya orang yang bersedia menjadikan saya wakil resmi PBB di New York. Saya juga memberitahukan segala sesuatu yang saya ketahui kepadanya dengan teratur, juga tentang apa yang saya dengar dari kawan-kawan saya di kedutaan Indonesia. Smedts langsung meneruskan surat-surat saya kepada Luns, yang kemudian mengirimkannya dengan sandi telegram ke New York dan ke Washington. Bukti mengenai hal ini juga baru saya peroleh tahun 1991. Pengertian solidaritas di antara sesama wartawan rupanya tidak terdapat di dalam ‘buku pintar’ wartawan tanah air. Untuk menyebutkan satu contoh saillant (mencolok), ialah yang terdapat di lingkungan majalah Trouw, sebuah majalah kristen yang bagus. Di New York majalah Trouw ini diwakili oleh sebuah potret, yang bernama Floris Cante. Pada saat itu saya tidak tahu bahwa orang itu ada. Tahun 1991 saya mendapat bukti dari intrik berikutnya, rahasia yang disimpan dengan baik di Kementerian Luar Negeri, semacam Orts Commandatur dari kegiatan ilegal terhadap warga yang jujur yang tidak ikut berkorupsi. BuZa telah mendengar adanya kemungkinan saya akan menulis untuk Christian Science Monitor di Boston. Cante langsung menerima surat permohonan resmi lewat komplotannya Luns agar ia menyurati Peminpin Redaksi Monitor memberitahukan bahwa Willem Oltmans adalah bajingan pinter,
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
81 pengkhianat negara dan teman Soekarno. Dalam tempo 24 jam, orang-orang Trouw memenuhi permohonan ala mafia itu. Edwin Canham, Peminpin Redaksi majalah tersebut, bahkan berterima kasih lewat surat karena telah diingatkan oleh Cante terhadap seorang penipu seperti Oltmans. Ia berjanji kepada Cante, tidak sehuruf pun tulisan Oltmans akan muncul di halaman majalah Monitor. Cante telah mengibarkan benderanya. Den Haag mengiriminya pita tanda jasa pada hari ulang tahun ratu. Saya menunggu dengan sia-sia surat permohonan maaf dari Peminpin Redaksi Trouw yang keren, itu Jan Greven. Tanggal 24 April 1959, Bung Karno mendarat di bandar udara di Ankara, dengan kawalan pesawat Angkatan Udara Turki. Tanggal 25 April diselenggarakan sebuah perjamuan resmi untuk menyambut Soekarno di Hotel Ankara Palas, yang diikuti dengan undangan santap siang Perdana Menteri Adnan Menderes dan Menteri Luar Negeri Fatin Rustu Zorlu. Tiba-tiba saja ajudan presiden yang orang Ambon, Mayor Nanlohy, berdiri di dekat saya. ‘Bapak ingin bertemu dengan Anda,’ katanya. Saya dibawa ke tempat ketinggian, dan di sana, selain Presiden Celal Bayar dan Menderes serta Zorlu, terlihat Bung Karno dan Menlu dr. Subandrio. Kami berbicara sebentar. Saya senang bertemu kembali dengan Bung Karno setelah satu setengah tahun berpisah. Kami berjanji akan bertemu dan melanjutkan pembicaraan kami pada bulan Mei yang akan datang di Kopenhagen. Belakangan saya paham, di antara para tamu juga terdapat
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
82 Duta Besar Hagenaar, si ‘buah masam’ yang saya kenal di Jakarta tahun 1957. Ia pasti sangat jengkel, karena Presiden Soekarno tidak mempedulikannya dan secara khusus hanya berbicara dengan saya. Adalah Willem, bangsawan dari Rappard, dan anggota Dewan Pimpinan dari Nederlands Opleidings Instituut voor het Buitenland (lembaga pendidikan Belanda untuk urusan luar negeri), yang menyarankan saya mengikuti kursus bagi diplomat di Nijenrode. Saya menyadari benar seusai menuntut ilmu di Yale tahun 1950, bahwa saya tidaklah berbakat menjadi diplomat dengan segala pernak-pemik penipuan yang selalu menyertainya. Sejak abad ke-16, diplomat Inggris Henry Wotton telah mengingatkan bahwa diplomat dikirim keluar negeri untuk berbohong demi negaranya. Mereka yang setelah berdinas di luar negeri kembali ke ‘Bukit Monyet’ di Den Haag tentu sangat tahu akan hal ini. Di Denmark, Soekarno menginap di Hotel Angleterre di Kopenhagen. Di Ankara, secara khusus ia telah meminta agar saya membawa istri saya pada saat itu, Frieda Westerman. Kami harus menemuinya pukul 07:00. Presiden mengutus ajudannya, Kolonel Rachman Mashur, menjemput kami. Saat memasuki ruang tamu, Bung Karno menyapa istri saya, ‘Nah, sayalah yang bernama Suki.’ Rupanya ia teringat apa yang pernah saya ceritakan kepadanya bahwa isteri saya menjulukinya demikian. ‘Duduklah, Wim,’ sebab ia telah menyilakan Frieda duduk di sebelahnya pada sebuah bangku. ‘Mengapa kalian belum dikaruniai anak?’ begitu bunyi pertanyaannya yang pertama. Ia telah memilih topik yang sangat tepat untuk membuka pembicaraan dengan isteri saya.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
83 Saya telah menyusun sebuah album berisi foto yang saya ambil pada saat kunjungan kenegaraan Indonesia ke Ankara. Ia membolak-balik album tersebut. Pertanyaannya yang pertama ialah, ‘Mengapa kamu tidak mengambil foto masyarakat Turki?’ ‘Itu sudah saya lakukan. Lihatlah di bagian selanjutnya, saya mengambilnya ketika Anda berkunjung ke mausoleum7. Kemal Ataturk.’ Soekarno memang people oriented, ia selalu memikirkan rakyat, dan hal ini sangat jelas bagi saya. Psikosejarawan masa mendatang tidak boleh melupakan salah satu sisi kepribadiannya itu. Kami mengobrol tentang perkembangan yang terjadi sekitar masalah Irian Barat. Saya bertanya kepadanya, apakah kepala-pembantu-presiden, Pak Tamzil, telah menyampaikan buku yang membahas masalah ini, yang saya berikan kepadanya di Ankara. Ternyata ia tidak tahu apa-apa. Kecurigaan saya terhadap Tamzil meningkat. Saat kami pamit, Bung Karno berkata kepada Frieda, ‘Wim itu orang baik. Apakah ia juga suami yang baik?’ Jawab Frieda, ‘Kadang-kadang saja, yaitu apabila ia tinggal di rumah dan tidak selalu bepergian.’ Sementara itu, Menteri Chaerul Saleh memasuki ruangan dan pintu apartemen itu tertutup lagi. Saya bertanya, apakah ada yang mau menolong saya membukakan pintu, sehingga kami benar-benar dapat pergi. Presiden agaknya mendengar ucapan saya dan berkata, ‘Wim, kamu tahukan, cara membuka semua pintu.’
7.
mausoleum = makam
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
84 Tanggal 7 Mei 1958, kami sarapan bersama dengan Tuan dan Nyonya Van Konijnenburg yang baru tiba. Pengawal Presiden, Kolonel Sabur, datang mendekati kami. Ia sedang tidak berdinas dan hanya ingin bertemu kawan lama. Ketika kami tiba di lantai ruangan tempat Bung Karno menginap, kami melihat di sana sudah ada dr. Soebandrio, Perdana Menteri Denmark H.C. Hansen dan yang agak mengejutkan saya, Ir. Frits Philips dari Eindhoven. Kolonel Mashur keluar dan mengundang suami-isteri Van Konijnenburg, Frieda dan saya sebagai orang-orang pertama yang memasuki ruangan. Pernyataan Soekarno yang pertama-tama ketika menyapa nyonya Van Konijnenburg adalah, ‘Apakah Anda selalu pergi ke salon untuk merawat kecantikan anda?’ Sekali lagi Bung Karno meminta Frieda duduk di bangku di sebelahnya. Van Konijnenburg tiba-tiba saja mulai bercerita bahwa suasana di Belanda sekarang ini cenderung mendukung penyerahan Irian Barat kembali ke Indonesia. ‘Itulah yang saya tunggu,’ kata Bung Karno. ‘Kita tidak dapat terus bicara, bicara, bicara ins blauen hinein’8., lanjutnya. ‘Anda tahu syaratnya, yaitu penyerahan tanpa syarat kepada kami.’ Pak Kelinci mengatakan sesuatu yang menggambarkan sifat kepala batu yang khas Belanda. ‘Saya juga bisa berkepala batu,’ demikian presiden. ‘Tetapi sesudahnya, apabila masalah ini sudah terselesaikan maka sayalah yang pertama yang akan berkunjung ke Belanda.’ Seorang pejabat Denmark datang melapor, bahwa Ir. Frits
8.
omong kosong tanpa keputusan
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
85 Phillips menunngu di luar. Pemerintah Denmark-lah yang mengatur pertemuannya dengan Soekarno. Tetapi pembicaraan akrab kita terus berlangsung. Van Konijnenburg membujuk presiden agar mau diwawancarai oleh G.B.J. Hiltermann, ‘Karena sesudah wawancara itu, ia dapat menyiarkan pandangan yang lain mengenai Irian Barat lewat obrolan radionya.’ Jawab Soekarno, ‘Bila saya mendengar kata interview, saya sudah tidak bergairah lagi.’ Van Konijnenburg tidak putus asa dan menyarankan akan membawa Hiltermann bersamanya ke Roma, pada saat presiden berada di Italia untuk kunjungan ke Vatikan. ‘Tuan Van Konijnenburg, lebih baik anda datang sendirian ke Roma,’ kata Bung Karno dengan tegas. ‘Saya pun bepergian tidak dengan istri.’ ‘Saya telah menikah, dan perkawinan kami sangat membahagiakan,’ kata Pak Kelinci untuk mengalihkan pembicaraan. ‘Ya, hal itu tampak dari sinar wajah istri Anda,’ demikian Soekarno. Van Konijnenburg berkeras dengan keinginannya. Ia membawa Hiltermann bersamanya ke Roma, dan wartawan radio itu terpaksa tinggal di kamar hotelnya dengan sia-sia, menunggu telepon persetujuan Bung Karno yang tidak pernah ada. Peristiwa di Roma ini akan berdampak negatif terhadap obrolan radionya Hiltermann. Di tangga, saya bertanya kepada presiden, apakah saluran telepon saya lewat kepala rumah tangga istana, Jenderal Suhardjo Hardjowardojo, masih tetap terbuka. ‘Tentu saja,’ jawabnya. ‘Saya membaca surat-suratmu di tempat tidur pada malam hari, saat saya dapat memusatkan perhatian saya tanpa terganggu.’ Sebagai penutup yang mengejutkan, ia masih
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
86 berkata kepada Frieda, ‘Cepat-cepatlah punya anak.’ Setelah kami, masuklah Ir. Frits Philips. Kami masih berada di gang, bercakap-cakap dengan dr. Soebandrio, ketika Philips keluar dari ruangan Bung Karno. Ia tampak gugup dan melihat ke sekelilingnya dengan agak takut-takut. Ia mengajukan usulan agar empat orang Belanda dan empat orang Indonesia secara terbuka berunding mengenai cara yang terbaik dan tercepat yang dapat diambil untuk menyelesaikan masalah Papua ini. ‘Rundingkanlah hal itu dengan Van Konijnenburg saja,’ kata Bung Karno. Belakangan saya mendengar dari Jenderal Suhardjo Hardjowardojo, bahwa presiden jengkel karena salah satu pernyataan Philips, yaitu, bila masalahnya berkait dengan dunia usaha di Belanda, besok pun Irian Barat sudah dapat diserahkan kepada Indonesia. ‘Hal itu tak usah Anda ceritakan kepada saya,’ demikian presiden, ‘tetapi lebih baik Anda mengatakannya kepada Perdana Menteri Jan de Quay’. Demikian akhir audiensi seorang industriawan besar. Sesudah itu Philips mencoba menutupi tindakannya. Ia sama sekali tidak ingin pertemuannya dengan Soekarno diketahui umum. Bukankah di tahun 1959 itu, berbicara dengan Soekarno masih dianggap sama dengan berkhianat terhadap negara? Saya mengupayakan agar kunjungan rahasia tuan ini ke Kopenhagen tanggal 8 Mei 1959 muncul di halaman depan De Volkskrant.9. Telah berbilang tahun saya tidak dapat lagi bekerja sebagai wartawan, karena saya
9.
Rincian berita ini dapat dibaca dalam: Memoires: 1957-1959, Torenboeken, Baam 1987.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
87 mendekati Soekarno. Bagi Philips, sebagai pengusaha yang tidak usah menggantungkan diri pada orang lain dalam masalah keuangan, hal itu bukanlah menjadi masalah. Bersikap berani untuk bebas menyatakan pendapat bukanlah sifat yang menonjol pada para pengusaha di tanah air, paling tidak seperti saya amati dari dekat selama bertahun-tahun di lingkungan sekitar dr. Paul Rijkens. Tahun 1976 Ir. Philips mengungkapkan di dalam buku kenang-kenangannya 45 tahun bersama Philips, bahwa kunjungannya kepada Soekarno di Kopen-hagen telah menyebabkannya mendapat teguran keras dari JosephLuns.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
88
New York (1959) Kembali ke tempat pelarian saya menghindar dari Luns dan komplotannya di Kew Gardens, Long Island, saya mulai lagi dengan kesibukan saya di markas besar PBB. Saya melapor kepada wakil tetap Indonesia di PBB saat itu, dr. Ali S astroamidjojo.1. Kami berbicara lama dan terbuka, ‘Saya termasuk orang Indonesia yang paling awal dan paling mengenal Presiden Soekarno dari dekat, dan yang tahu betapa ia seorang manusia luar biasa. Saya juga mengenal ayah beliau, orang Jawa asli yang masih kuno. Barangkali Bung Karno mewarisi kegemarannya yang mendalam akan filsafat dari ayahnya. Ibunya seorang wanita Bali yang berseni. Sukarno sangat mengagumi ibunya. Saya sering menyarankan kepadanya, agar ada orang yang menulis buku tentang dirinya. Ia menyatakan bahwa ia bersedia, dan akan menyediakan waktunya satu jam per hari untuk berbicara dan merekam
1.
Perdana menteri tahun 1956-1957
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
89 kenang-kenangannya dengan pita perekam. Tetapi saat itu saya berada di New York dan bertugas di PBB dan sejauh yang saya ketahui, belum ada yang menulis buku tersebut.’ Pak duta besar termenung. ‘Akan ada buku mengenai Bung Karno, yang ditulis oleh Anda bekerja sama dengan wartawan Indonesia, misalnya Sitor Situmorang.’ Persoalan apakah akan ada buku yang ditulis mengenai Soekarno, terus berkecamuk dalam pikiran saya sejak saya menemukan sendiri orang macam apa ia itu, dan cerita yang beredar di dunia, yang sedikit atau bahkan sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan. Tanggal 27 Mei 1959 malam, saya berkunjung ke tempat mantan perdana menteri itu untuk bercerita kepadanya mengenai pembicaraan di Kopenhagen. Pak Ali menekankan bahwa presiden, setelah dalam waktu yang cukup singkat melewati 16 kali pergantian kabinet, mencermati dan menganalisis situasi politik di Indonesia, dan karena alasan itulah ia mencari-cari penerapan model-Westminster yang sesuai dengan kenyataan di Indonesia. Kata Dr. Sastroamidjojo, ‘Ia melakukan hal ini, sama sekali bukan atas pertimbangan utama bahwa ia seorang pemimpin revolusi atau sebagai politikus, tetapi lebih sebagai dokter yang sedang mencari ‘pengobatan kejut.’ Pemecahannya akan terutama didasarkan atas sejarah revolusi dan budaya rakyat kami. Ia tidak mau meniru atau menyalin sistem politik barat atau yang bersifat sosialis. Ia kembali ke falsafah gotong royong, yaitu demokrasi yang merakyat dan berdasarkan kebersamaan yang digali dari sejarah kami. Lagi pula hal ini juga sudah tercantum dalam banyak kata di dalam Undang-Undang Dasar 1945,
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
90 dan kami percaya akan demokrasi kami sendiri ‘dengan cara musyawarah dan mufakat’. Mantan perdana menteri itu selanjutnya mengatakan, ‘Buku kenang-kenangan Bung Karno hendaknya bersifat murni, didasarkan atas sejarah kehidupan yang nyata dan benar-benar dialami pemimpin kami. Ada buku yang ditulis orang tentang Nehru dan Nasser, yang kadang-kadang juga memuat kritik yang jelas terhadap tokoh tersebut. Misalnya, kita tidak dapat menggambarkan atau menulis tentang manusia yang bernama Soekarno itu tanpa benar-benar memahami kehidupan cintanya, meskipun sisi ini ditonjolkan untuk menunjukkan bahwa ia pun manusia biasa.’ Berikutnya ia menceritakan sebuah anekdot. ‘Ketika tahun 1927, saya bersama Sartono2. menjemputnya keluar dari penjara Belanda, ada peristiwa yang menggambarkan sifat-sifat dasarnya sebagai manusia yang baik. Kami memasang bendera merah putih pada mobil kami, dan karena itu kami berurusan lagi dengan polisi kolonial. Pada saat akan berangkat, Bung Karno melihat seorang Belanda, yang juga baru dilepas dari penjara, tetapi tidak ada yang menjemput sehingga ia harus berjalan kaki. Bung Karno segera menyuruh kami berhenti dan katanya, ‘Kasihan orang itu. Marilah kita ajak dia ikut mobil kita.’ Begitulah reaksi yang ditunjukkannya, meskipun ia sendiri baru saja dipenjarakan Belanda. Pada hari-hari itu, lewat saluran rahasia saya menulis surat
2.
Ketua parlemen Indonesia, yang belakangan menjadi teman baik saya, dan dari padanyalah saya banyak mendengar tentang Soekarno
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
91 kepada presiden di Jakarta, menanyainya apakah ia setuju dan mau bekerja sama dalam penulisan biografinya, yang akan saya tulis bersama wartawan Indonesia Situmorang. Ia tidak pernah menjawab usulan saya. Dubes Indonesia di Washington, dr. Zairin Zain, bersama Pak Ali Sastroamidjojo juga berulang kali menyampaikan hal ini kepada Soekarno. Akhirnya, Dubes Amerika di Jakarta, Howard Jones, yang berhasil membujuk Bung Karno agar menuliskan kenang-kenangannya bersama Cindy Adams, kolumnis dari New York. Tanggal 8 Juni 1959, Presiden Soekarno mengumumkan pembentukan kabinet baru, yang ke-18 sejak Indonesia merdeka tahun 1945. Dalam kabinet itu, selain menjadi presiden, ia juga menjadi Perdana Menterinya. Ir. Djuanda beralih posisi dari Perdana Menteri menjadi Menteri Utama dan juga merangkap Menteri Keuangan. Dr. Soebandrio tetap menjadi Menteri Luar Negeri. Chaerul Saleh untuk pembangunan dan perkembangan. Risiko untuk susunan kabinet baru seperti ini adalah, bila tidak terjadi perbaikan dalam situasi ekonomi dan politik di negerinya, maka Bung Karno sendirilah yang harus bertanggung jawab. Saat itu usianya telah 58 tahun. Selama dua puluh tahun ia telah memimpin rakyatnya dalam perjuangan kemerdekaan. Ia pun telah menjadi Presiden Republik Indonesia selama empat belas tahun. Tanggung jawabnya makin bertumpuk. Pada saat-saat itu Emile van Konijnenburg bertemu dengan mantan Wakil Presiden dr. Mohamad Hatta, yang mengatakan, ‘Celakanya, Soekarno sekarang tidak bisa bicara banyak. Lingkaran yang mengungkungnya pada hari-hari ini sangatlah kedap.’
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
92 Apa arti jabatan rangkap presiden-perdana menteri itu sebenarnya? Apakah ini berarti bahwa dunia politik yang baru di Indonesia saat ini, dengan nama Bung Karno masih tercantum sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di negara ini, tetapi pada kenyataannya kekuasaan berada di tangan ‘orang lain’, dan bila memang benar, di tangan siapa? Apakah jalan masuk ke istana, terutama bagi teman-teman dan orang kepercayaannya, akan dipersulit? Bila demikian, maka segala informasi yang sampai kepadanya akan sudah disaring, sehingga pada akhirnya ia mungkin akan kehilangan informasi yang penting-penting yang diperlukannya untuk mengambil keputusan. Sementara itu saya menerima informasi dari teman-teman yang bekeija di Konsul Jenderal di New York, nama saya tercantum dalam daftar orang asing yang tidak diharapkan kehadirannya di Indonesia. Dalam surat saya kepada presiden hari-hari itu, saya menulis, ‘Saya sadar bahwa banyak orang memusuhi saya, tidak saja di Belanda, tetapi juga di Indonesia. Saya memang bisa bertahan terhadap sodokan demikian. Tetapi, apa yang telah saya lakukan, sehingga saya tidak dikehendaki di Indonesia?’ Siapa tahu bahwa ia juga tidak menerima surat apa pun juga yang masuk lewat Jenderal Suhardjo Hardjowardojo. Untuk surat saya tadi, saya tidak mendapat balasan apa pun sebab itu saya memutuskan akan pergi ke Wina, tempat yang akan dikunjungi Bung Karno dalam bulan April mendatang. Mula-mula saya singgah di Bad Godesberg di tempat Dubes Indonesia untuk Jerman Barat, dr. Zairin Zain. Ia
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
93 membenarkan kekhawatiran saya, tampaknya kita akan semakin sukar mendekati Bung Karno. Pertemuan ramah tamah yang santai di antara sahabat seperti yang kami alami tahun 1958 di Kopenhagen, tampaknya tidak mungkin dapat terjadi lagi. Jadi memang benar ada perubahan yang mencengkam. Bahkan semua saluran resmi ke kepala negara telah digrendel dan diawasi. ‘Anda dapat bekerja sama dengan Nahar, seorang wartawan, untuk dapat mendekati presiden. Ia ikut dalam rombongan presiden dan Anda telah mengenalnya dengan baik. Kemungkinan lain ialah melalui Ibu Hartini.3. Ia berangkat sendiri ke Eropa dan pada saat ini ia menjadi tamu Nyonya Tito di Yugoslavia. Rencananya Bung Karno dan Hartini akan seolah-olah kebetulan bertemu di Wina. Presiden menginap di Hotel Ambassador. Hartini di Hotel Imperial, demikian kata dubes tersebut, dan ia pun akan hadir di Wina. Wina, 19 April 1960. Saya menelepon ajudan presiden, Kolonel Sugandhi, di kamarnya di Hotel Ambassador. Segera pula ia mengundang saya ke kamarnya. Di bawah empat mata saya jelaskan kepadanya, perihal informasi yang saya terima, bahwa nama saya sekarang sudah tercantum dalam daftar hitam, dan hal ini sudah diberlakukan oleh diplomat Indonesia di Den Haag, Max Maramis dan Sudjoko Hudyonoto. Terutama yang disebut terakhir ini, ia menaruh dendam karena saya langsung berkomunikasi dengan Menteri Soebandrio dan telah menga-
3.
Istri kedua Soekarno
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
94 cuhkannya. Tidak ada kemungkinan lain, karena Sudjoko mempunyai hubungan yang erat dengan pers Belanda. Saya kurang suka mendengar bocoran yang mengganggu ini. Karena Sudjoko-lah hal ini teijadi melalui Het Parool. ‘Saya ingin bertemu dengan Sudjoko Hudyonoto dan menghajarnya,’ demikian kata kolonel yang menjadi ajudan Bung Karno, sambil memasangkan pin yang bergambarkan lambang negara Republik Indonesia di baju saya. Sementara Sugandhi berjalan ke kamar presiden sambil membawa berbagai surat khabar dan bahan yang saya bawakan kepadanya, masuklah Kolonel Kretarto, Sekretaris Militer Presiden. Ketika saya juga berkeluh kepadanya akan ketidakmengertian saya mengapa saya ‘tidak dikehendaki’ di Indonesia, kalimat pertama yang dikeluarkannya ialah, ‘Si busuk Soebandrio...’ Hal ini menyebabkan saya berpikir keras. Jadi rupanya Soebandrio-lah yang sedang berulah mengungkung presiden dan menahan segala informasi yang tidak berkenan menurut menlu itu. Sugandhi kembali sambil berkata ‘Presiden menunggu.’ Kolonel Kretarto menyela, ‘Saya dapat merasakan betapa senangnya Anda.’ Memang demikianlah keadaannya. Bapak telah sampai ke suatu tahapan kepemimpinan, yang menyebabkannya sangat memerlukan bantuan sahabat-sahabatnya yang sejati. Bung Karno duduk di bangku. Ia mengenakan pakaian berwarna gelap dan ia tidak mengenakan peci seperti biasanya. Kami hanya berdua dan dapat bercakap-cakap dengan bebas. Pembantu pribadi presiden, Tukimin, ada di sana andaikata
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
95 presiden memerlukannya. Maka saya katakan kepadanya akan kecurigaan saya terhadap dr. Soebandrio sebagai orang yang telah memasukkan nama saya ke dalam daftar hitam. ‘Tidak,’ demikian presiden, ‘hal itu mungkin dilakukan oleh pejabat-pejabat lain yang lebih rendah, bukan Pak Bandrio.’ Jawaban ini memperkuat kesan saya, yang sudah ada pada saya sejak tahun 1957 di Indonesia bahwa Soebandrio-lah orang yang berada di balik semua ini. Kala itu saya sudah memperoleh bukti dan saya juga sudah mengatakannya kepada presiden.4. Oleh satu dan lain sebab, presiden telah memiliki blind spot untuk dapat melihat apa yang dimainkan oleh monyet tampan Soebandrio itu. Soekarno memang ahli dalam mengikuti intuisinya. Tetapi bertindak berdasar intuisi itu sangatlah berbahaya, karena ia mengandung suatu pendapat tanpa penelitian atau pertimbangan lebih dahulu. Pada awal tahun enam puluhan orang tidak akan dapat diyakinkan bahwa Soebandrio merupakan salah satu faktor utama yang akan menjadi penyebab kejatuhan Soekarno. ‘Tunggulah sampai saya kembali ke Jakarta,’ demikian kata presiden hari itu di Wina, ‘dan tulislah surat langsung kepada saya. Kamu tinggal mengalamatkannya kepada Presiden Republik Indonesia.’ Dengan Tamzil sebagai direktur kepala rumah tangga istana, maka akan lebih tidak menyakinkan lagi Bapak akan menerima surat dari saya. Atas pertanyaan saya apakah ia menerima surat-surat yang saya
4.
Untuk rinciannya, silakan baca: Memoires: 1953-1957, Torenboeken, Baam, 1986.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
96 sampaikan lewat Jenderal Suhardjo Hardjowardojo akhir-akhir ini, presiden menjawab ragu-ragu, ‘Dua atau tiga, kukira’. Tarikan napas sekarat terdengar lagi hari-hari itu di Den Haag akibat suatu pemikiran tolol, yaitu ketika diumumkan bahwa kapal induk ‘Karel Doorman’ akan dikirim ke Irian Barat untuk pamer kekuasaan. ‘Di Nederland sekarang ini rupanya mereka takut bahwa kita akan menyerang,’ begitu tanggapan Soekarno. Ia juga mengulang kata-katanya, ‘Wim, kamu pernah mengatakan bahwa kamu setuju dengan penyerahan Irian Barat kepada Indonesia, karena menurut kamu tindakan itu akan menguntungkan negaramu. Saya sangat menghargai pendapatmu itu.’ Dan ini memang ternyata benar. Saya juga ikut membela Daniel Maukar, pilot Indonesia, yang telah menembaki Istana Merdeka ketika ia terbang menukik dengan pesawat MIG, dan karena itu ia diancam hukuman mati. ‘Maksudmu, kami tidak boleh menghukum mati ia?’ demikian Bung Karno. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, sebagai isyarat untuk menyatakan bahwa hal itu tidak akan terjadi, dan Maukar memang akhirnya beroleh grasi. Sesudah pertemuan itu, saya minum teh bersama kedua kolonel, Sugandhi dan Kretarto. Kami berfoto bersama. Saya bertanya mengenai kunjungan Perdana Menteri Soviet Nikita Krushchev ke Indonesia. Presiden sangat marah, demikian kata Soegandhi, ketika orang Soviet itu mulai berbicara tentang marxisme dan leninisme di depan massa rakyat di Surabaya. Bapak berdiri, mendekati mikropon dan berkata, ‘Saudara,
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
97 saudara, Bapak Nikita Krushchev ini pahlawan kaum komunis. Sistem komunis itu bagus, tetapi tidak cocok untuk kita, tidak! Kita di Indonesia ingin bertahan kepada kepribadian kita sendiri dan cara kita sendiri dalam bergaul. Coba bayangkan bila kita berkata kepada orang Soviet, agar mereka lebih baik menerapkan sistem “gotong-royong” Indonesia di negaranya!’ Sementara itu media Barat, dengan The New York Times di depan, tetap mempersalahkan Soekarno yang dikatakan akan menyeberang ke pihak komunis. Saya ceritakan kepada Bung Karno bahwa De Volkskrant hari-hari itu juga menulis, bahwa ia membenci Nederland. ‘Ah, mereka cuma omong kosong,’ jawabnya dengan prihatin. Sementara itu, lewat saluran resmi saya minta agar dapat berbicara dengan dr. Soebandrio. ‘Ia sudah mau menerima Anda,’ demikian kata Dubes Zain belakangan kepada saya, ‘tetapi ia mendengar bahwa Anda telah bertemu presiden sebelumnya’. ‘Lalu, mengapa?’ tanya saya. ‘Hanyaorang yang tidak bersih hati nuraninya, yang mengambil sikap demikian dan tidak mau bertemu dengan saya.’ Zain, ‘Anda selalu berpikir dengan cara Barat. Anda tidak memahami perasaan orang Indonesia untuk tidak melangkahi tokoh-tokoh tertentu secara itu.’ ‘Soekarno adalah teman saya, saya tidak mempercayai Soebandrio, jadi saya tidak merasa rugi.’
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
98
New York (1960) Tanggal 24 Juni 1960 saya bertemu dengan pengganti dr. Ali Sastroamidjojo, Sukardjo Wirjopranoto, mantan dubes Indonesia di Peking yang sangat dekat dan sahabat pribadi presiden. Saya minta pendapatnya apakah gagasan saya untuk sekali waktu bertemu dan berbincang-bincang dengan Dubes Cari Schurmann di PBB, merupakan tindakan yang baik. ‘Itu gagasan yang baik,’ jawabnya segera. ‘Baik Bung Karno maupun Mas Bandrio telah mengatakan kepada saya bahwa kita harus berbicara untuk mencari jalan keluar bagi Irian Barat, tanpa harus saling menembak. Tetapi ulah Den Haag di masa lalu juga telah selalu menjadikan kita lebih kuat, sebagai akibat kesalahan yang dibuat orang Belanda sendiri. Sekarang peristiwanya juga seperti itu.’ Pukul 14:15 saya -- yang dicap sebagai pengkhianat negara di De Telegraaf -mengatur pertemuan dengan atase pers perwakilan tetap dari Belanda, Sjef van den Bogaert, di ruang pertemuan diplomat di gedung PBB. Saya sampaikan naskah
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
99 saya yang berisi empat pokok, yang disusun atas dasar pembicaraan saya dengan Dubes Sukardjo Wirjopranoto. 1) Saya jelaskan lebih jauh ihwal selisih pendapat, seperti yang terjadi di Jakarta antara pemerintah dan Kementerian Luar Negeri mengenai masalah Irian Barat. 2) Jelaslah sudah bahwa Indonesia, dengan atau tanpa konflik militer di Irian Barat, akan kembali mengangkat masalah ini di agenda Sidang Umum PBB. 3) Di Jakarta, Soekarno dan Soebandrio masih tetap memilih diadakannya pembicaraan langsung antara Belanda dan Indonesia, misalnya antara Sukardjo dengan Schurmann. 4) Keuntungan dari pourparler atau perundingan ini ialah agar perumusan resolusi Indonesia yang akan datang di PBB akan sedekat mungkin dengan yang dapat diterima Den Haag, sehingga dapat dibuat dan dirumuskan lebih jelas. Ketika saya meninggalkan kantornya, Dubes Indonesia itu mengatakan, ‘Ingat Wim, wartawan itu dapat membuat perang tetapi mereka juga dapat membantu menciptakan perdamaian.’ Memorandum saya diterima Van den Bogaert dengan wajah masam, sementara itu saya sudah makin terbiasa melihat wajah masam para keroconya Luns, lalu bergegas menghilang ke tempat misi Belanda di Third Avenue. Dua belas hari kemudian, tanggal 5 Juli 1960 saya bertemu lagi dengan Van den Bogaert. Ia telah dicaci maki oleh Luns terutama sekali karena telah berbicara dengan saya. Karenanya ia memberitahu saya bahwa ia sama sekali tidak mau bertindak
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
100 sebagai trait d'union untuk pertemuan antara Dubes Schurmann dan Sukardjo. ‘Wartawan tidak layak bertindak sebagai pelobi,’ katanya. ‘Memang tidak,’ jawab saya, ‘dan para menteri dan diplomat itu lebih tidak layak lagi membungkam mulut wartawan, dan mencegahnya menulis untuk satu surat kabar mana pun. Saya tidak mau menjadi saksi mata akan cara konyol orang-orang pintar di Den Haag itu mempermalukan diri sendiri dan bahkan dengan selalu mencurigai saya. Saya akan terus mengupayakan apa yang Anda sebut sebagai kegiatan melobi, meskipun menteri-menteri Anda telah menutup pintunya rapat-rapat.’ Tahun 1991, berkat ketua Raad van State pula saya menemukan berpuluh-puluh telegram dan surat dinas rahasia yang berasal dari Van den Bogaert ini, yang selama bertahun-tahun di New York telah memata-matai saya untuk Luns, dan mengirimkan berita yang tidak senonoh tentang saya ke segala penjuru. Sementara itu, di Indonesia Presiden Soekarno sibuk sendiri dengan usahanya mewujudkan sistem politik yang lentur yang disebut ‘demokrasi terpimpin’. Dubes Sukardjo Wirjopranoto menyatakannya demikian, ‘Bila Bapak terlalu banyak berbelok ke arah Barat atau Amerika, maka kita akan menghadapi pemberontakan PKI. Apabila Bapak terlalu berpaling ke arah negara-negara sosialis, maka akan pecah pemberontakan di bawah pimpinan kaum Islam Masyumi. Betapa pun, kami akan teguh berpegang pada asas Pancasila.1.’
1.
Pancasila dirancang oleh Presiden Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Bahkan rezim Soeharto pun tetap memegang teguh asas Pancasila sebagai dasar negara.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
101 Sebelumnya, Jenderal Nasution mencoba mencegah presiden berpidato di sebuah kongres PKI. Bung Karno tentu saja tetap pergi dan menekankan bahwa rakyat yang mendukung PKI juga rakyat Indonesia yang berkehendak mendapat pengakuan sebagai orang Indonesia dari presidennya, ‘PKI juga telah ikut memperjuangkan kemerdekaan kita,’ serunya. De Telegraaf menginformasikan pembacanya bahwa pidato Soekarno tadi sama artinya dengan ‘ungkapan cinta’ kepada kaum komunis Indonesia. Tanggal 12 Juli 1960 saya bersantap malam di Dobbs Ferry dengan pakar the New York Times yang pernah bertugas di Indonesia, Amold Brackman. Ia juga melihat berkembangnya ‘bahaya merah’ di Indonesia sebagai akibat pendapat Bung Karno bahwa dalam setiap penerapan demokrasi di mana pun, harus ada tempat bagi mereka yang menganut paham marxisme-leninisme. ‘Saya hanya berharap,’ kata Brackman, ‘bahwa apa yang dilakukan Mao di China, juga akan dilakukan D.N. Aidit di Indonesia, yaitu berupaya meraih kekuasaan. Dengan demikian, seperti peristiwa di Madiun tahun 1948, PKI akan menunjukkan wajahnya yang asli dan pemerintah paling tidak beroleh kesempatan untuk kembali menghancurkan kaum komunis.’ Dari kata-katanya itu saya menyimpulkan bahwa di lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa ada keyakinan bahwa betapa pun, PKI akan hancur. Tetapi, sepanjang yang saya ketahui tentang pimpinan PKI, saya amat yakin bahwa Aidit, Lukman, Nyoto, Sudisman dan Sakirman sangat cerdas dan sadar politik sehingga mereka tidak akan mengulang peristiwa seperti di Madiun itu.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
102 Pertumpahan darah yang terjadi tahun 1965 dan pada tahun-tahun berikutnya sebenarnya terjadi akibat ketidaksabaran pemerintah sehingga tergoda untuk bertindak, dan dikobarkan semangatnya oleh CIA. Itulah yang saya amati. Tanggal 30 September 1960, Presiden Soekarno menyampaikan pidatonya yang terkenal, To Build the World Anew di depan Sidang Umum PBB. Saya hadir dan duduk di tribun pers, dan delegasi Indonesia juga di tempat yang sama. Di antara mereka terdapat D.N. Aidit, Sekretaris Jenderal PKI dan Jenderal Nasution.2. Ini tidak ada kaitannya dengan hal yang menjadi pilihan utama presiden secara pribadi, karena hatinya ada pada Partai Nasional Indonesia. Nikita Khrushchev segera berdiri dan menyalami delegasi Indonesia. Ia mulai dengan Jenderal Nasution, yang dikenalnya sangat baik. Tak heran, karena Nasution telah berkali-kali mengunjungi Kremlin untuk menangani masalah pengiriman senjata dari Uni Soviet bagi pembebasan Irian Barat. Tidak ada orang penting yang hadir di antara delegasi Amerika. Luns hadir sebentar, dan hanya meninggalkan satu orang sebagai wakil Belanda ketika Soekarno menyampaikan pidatonya yang bersejarah itu. Bung Karno berbicara pada rapat tersebut dengan mengenakan seragam putih bersih. Di belakangnya berdiri Kolonel Sabur, yang menerima setiap lembar pidato yang telah selesai
2.
Begitulah Soekarno: memberi tempat bagi PKI untuk berdampingan dengan pemerintah; sebaliknya Soeharto dan CIA berkehendak akan menghancurkan dan memusnahkan PKI
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
103 dibacanya. Barang siapa yang ingin mengetahui jalan pikiran presiden pertama Indonesia ini, hendaknya mencermati benar-benar isi pidato tersebut.3. Siang hari di New York itu membuat saya sadar bahwa saya telah makin banyak memahami pemikiran politiknya. Ia mengutip kalimat-kalimat dari Alquran dan dari Injil. Ia berbicara mengenai ‘perhatian luar biasa’ yang ditunjukkan Indonesia bagi PBB. Ia memperjuangkan masuknya Peking ke PBB. Ia menunjukkan beberapa kenyataan baru sejak organisasi antarbangsa itu didirikan pada tahun 1945, seperti munculnya banyak negara baru dari Asia dan Afrika, yang pada tahun 1945 itu masih merupakan jajahan. Untuk alasan itulah, Piagam PBB hendaknya disesuaikan. Imperialisme disebutnya sebagai the greatest evil, setan terbesar di dunia kita ini. Masalah pelucutan senjata nuklir merupakan urusan kepercayaan yang timbal balik di antara negara-negara superpower. Ia menjelaskan dengan panjang lebar mengenai falsafah Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia. Akhirnya, dan juga atas nama Ghana, India, Republik Persatuan Arab dan Jugoslavia, ia menyampaikan rencana resolusi yang berbunyi: Deeply concerned with the recent deterioration in International relations which threatens the world with grave con-sequences: Aware of the great expectancy ofthis world that this As-
3.
Toward Freedom and Dignity o f Man, Five Speeches by President Soekarno of Indonesia. Departemen Luar Negeri, April 1961.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
104 sembly will assist in helping to prepare the way for the easing of world tension: Conscious ofthe grave and urgent responsibility that rests on the United Nations to initiate helpful efforts: Requests, as a first urgent step, the president ofthe United States of America, and the Chairman ofthe Council of Ministers of the Union of Soviet Socialist Republics to renew their contacts interrupted recently4. so that their declared willingness tofind solutions ofthe outstanding problems by negotiations may be progressively implemented. Tak dapat diragukan lagi, Bung Karno-lah di sini yang menjadi pemrakarsa utama bagi negara-negara Non-Blok, yang ia (dan bukan oleh orang lain siapa pun) gerakkan tahun 1955 pada penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika di Bandung. Apa yang sebenarnya ingin disampaikannya di Sidang Umum PBB ini ialah: tuan-tuan di Barat dan di Uni Soviet, belajarlah dari kami mengenai cara kami menyelesaikan perselisihan di antara kami di Asia dan Afrika, yaitu dengan musyawarah dan mufakat. Penjelasan dan pembicaraan yang dilakukan dengan sabar adalah satu-satunya jalan keluar. Bukan dengan menciptakan pesawat pembom jarak jauh atau silo dengan roket jarak jauh atau peluru kendali, tetapi dengan perundingan dan penjelasan, seperti yang kami lakukan di Indonesia. Suatu siang saya berpapasan dengan D.N. Aidit di Hotel
4.
Rencana pertemuan tingkat tinggi di antara Eisenhower dan Khrushchev dibatalkan setelah sebuah pesawat U-2 ditembak jatuh di atas daerah Uni Soviet.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
105 Waldorf Astoria. ‘Apakah Anda sibuk?’ demikian ia menyapa saya dalam bahasa Belanda. Ia ingin saya mengantarnya ke toko buku. Kami pergi bersama mencari buku di Manhattan. Ia juga menuliskan lima judul buku, yang harus saya belikan untuknya di Amsterdam.5. Dari obrolan saya siang itu dengan Sekretaris Jenderal PKI ini sambil berjalan-jalan menyusuri New York, saya menyimpulkan bahwa Aidit sangat setuju dengan isi pidato yang disampaikan Bung Karno di PBB. Ia bercerita tentang kunjungannya ke Peking baru-baru ini dan pertemuannya dengan Perdana Menteri Chou En-lai. Makna utama dari kesaksiannya ialah bahwa Indonesia akan mencari dan menemukan jalan keluar bagi masalahnya sendiri, tanpa harus mencari jalan keluar cara Cina atau cara Uni Soviet. Ia berbicara tentang ‘sosialisme a la Indonesia’. Saya tidak memperoleh indikasi sedikit pun bahwa ia meragukan atau mencela kepemimpinan Bung Karno, dengan cara apa pun. Terhadap saya ia menunjukkan sikap sebagai pengikut Bapak. Kami pun kembali bersama-sama ke Hotel Waldorf Astoria. Setibanya di hotel, saya menuju ke kamar Ajudan Presiden, Kolonel Sugandhi. Kami sedang menonton televisi bersama, ketika presiden masuk ke kamar. Ia didampingi seorang tuan yang tampak berotot kuat, yang ternyata seorang body-guard dari Secret Service atau Dinas Rahasia Amerika. Ia memperkenalkan saya kepada orang itu sambil berkata, Ia
5.
Judul buku-buku itu, yang ditulis dengan tangan oleh Aidit pada kertas hotel, hari-hari itu saya selipkan di buku harian saya dan sekarang tersimpan di Koninklijke Bibliotheek di Den Haag.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
106 adalah seorang wartawan Belanda yang mendukung Indonesia dalam masalah Irian Barat. Setelah beberapa tahun memberikan ceramah di Amerika, saya tahu bahwa sangat banyak orang Amerika yang tidak tahu tentang negara Indonesia, atau letaknya, apalagi ‘gorila’ ini pastilah tidak tahu mengenai keberadaan Papua. Letnan Kolonel Sabur dan ajudan presiden dari Angkatan Laut, Kolonel Bambang Widjanarko, juga ikut bergabung dengan kami. Presiden segera pula duduk di depan noise box (televisi), yang pada saat itu menayangkan sebuah drama percintaan yang seru. Ceritera cowboy. ‘Guntur6. pasti suka film ini,’ kata saya. ‘Tidak, ia tidak lagi tertarik akan koboi,’ jawab presiden. Sementara itu Kolonel Sugandhi, yang pangkatnya paling tinggi di antara ajudan presiden, mengingatkan presiden bahwa ia harus bersiap-siap untuk pertemuan pribadi dengan Jawaharlal Nehru dari India. ‘Sudah jam berapa sekarang?’ tanya Bung Karno kepada Sugandhi. Dan kemudian terjadilah sesuatu yang saya anggap tidak mungkin teijadi di lingkungan sekitar presiden, seperti yang saya lihat sekarang setelah saya mengenalnya selama empat tahun. Jawab Sugandhi, ‘Anda sendirikan pakai arloji!’ Presiden sendiri tampaknya tidak merasakan kekurangajaran ajudannya ini. Apakah ini pertanda sesuatu yang gawat? Peristiwa itu mengingatkan saya akan pengamatan Emile van Konijnenburg belum lama ini di Den Haag, ‘Teman kita ini semakin pikun dan harus diawasi terusmenerus.’
6.
Putra sulung presiden.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
107 Peristiwa yang saya saksikan itu menyusup jauh ke dalam tulang sumsum saya. Bapak jelas ingin mengetahui bagaimana akhir drama percintaan di televisi itu. Terlihat pasangan dalam drama itu akan berpelukan. Tangan-tangan saling merangkul. Wajah-wajah itu bergerak perlahan-lahan akan berciuman. ‘Ya, ya...’ teriak Bung Karno dan berakhir sampai di situ. Presiden berdiri untuk menjumpai Perdana Menteri Nehru. Di gang menuju ke lift kami bertemu dengan Menteri Soebandrio dan Dubes Sukardjo Wirjopranoto. Pak Sukardjo menyalami saya dengan ramah. Soebandrio bersikap seolah-olah saya angin. Ia pasti sangat jengkel, karena saya berhasil masuk lagi tanpa sepengetahuannya. Para ajudan militer presiden akhirnya tahu bahwa saya berteman dengan Bung Karno. Bandrio tidak dapat menerima hal itu, karena ia sadar, bahwa saya telah mencurigainya sebagai pembohong yang kronis. Saya tidak pernah dapat mengerti, bagaimana mungkin presiden terus-menerus sejak 1957 sampai 1967 memberi kesempatan kepada pembohong ini untuk menipunya. Presiden benar-benar buta akan keberadaan pria tak jujur ini di lingkungan resminya, yang manis seperti seekor kucing yang menjilat-jilat di dekat Soekarno dan di balik punggung ia akan mengancam jiwa Bung Karno, dan saya memiliki bukti kuat akan hal ini. Tanggal 3 November 1960 saya berbincang-bincang secara mendalam dengan dr. Zairin Zain, yang ditemani perwira yang setia kepada Soekarno, yaitu Kolonel Latif.7. Kolonel itu
7.
Pada tahun 1995 ia menjadi tahanan Soeharto
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
108 berjanji akan menyampaikan surat saya kepada Bung Karno. Zain datang dari Bonn ke PBB untuk berdebat masalah Irian Barat. Pak dubes ini bercerita panjang lebar mengenai apa yang sedang dilakukan presiden. ‘Ia mencoba membebaskan kita dari mati lemas. Dalam kurun 1945-1960 kami telah menerapkan model Westminster dan gagal total. Adalah salah menerapkan sistem pemerintahan suatu negara seperti kalian begitu saja. Bukankah kita ini negara Asia yang sedang berkembang? Apa yang sebenarnya dikatakan Bung Karno saat ini ialah bahwa kita harus mencari dan menemukan kembali diri kita sendiri sebelum kita dapat memulai hal yang lain-lain. Negara-negara Asia-Afrika mengalami dan menyaksikan kebangkitan dan perkembangan yang luar biasa. Adat kita memang lain dan berbeda dari kalian di Barat. Anda tidak dapat mengalihkan cara hidup dan tingkah laku Amerika atau Eropa begitu saja ke Asia dan Afrika. Bangun sosial kita memang berbeda. Orang Australia atau Amerika akan menganggap biasa mengangkat kakinya ke atas meja, seperti yang dilakukan seorang dubes yang sowan di kantor saya di Bonn. Saya menganggap perbuatannya itu kurang ajar.’ Dr. Zain melanjutkan, ‘Pengaruh kebudayaan Asia kita membuat kita berbeda dalam pandangan dan tingkah laku dengan orang dari Barat. Kalian orang Belanda sebenarnya hanya berhasil mempengamhi sekelompok kecil rakyat Indonesia. Massa rakyat yang besar masih tetap menggali kekuatannya dari kebudayaan kita sendiri. Ada sangat banyak perbedaan yang halus di antara kita, bahkan dalam penggunaan
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
109 kata-kata tertentu, yang dapat menyebabkan penafsiran makna yang berbeda. Kami mencoba merumuskan perbedaan-perbedaan itu secara lebih baik, khusus agar dapat diterima telinga Barat. Soekarno adalah ‘nabi’-nya, pejuang perang suci. Ia menggugah gagasan-gagasan baru dan menguarkannya ke mana-mana. Seperti yang selalu dikemukakannya kepada kami, ‘Kalianlah orang muda-muda yang harus melaksanakan dan mengembangkan lebih lanjut semua gagasan dan usulan saya.’ Dr. Zain, ‘Sayalah orang pertama di lingkungannya -- tetapi tolong rahasiakan hal ini -- yang mengingatkannya bahwa demokrasi Barat imporan itu tidak akan berhasil diterapkan di negeri kita. Sistem setengah-plus-satu tidak akan berfungsi di negara berkembang. Kita tidak suka membuat orang lain malu. Kita cukup beradab untuk mengambil suatu pendirian, yang dapat disepakati kedua belah pihak. Bung Karno ingin kembali ke sistem yang asli berasal dari kita sendiri, yaitu berunding bersama untuk pemecahan masalah. Tampaknya cara demikian memang memerlukan waktu lebih lama, tetapi sebenarnya kita dapat bekerja sama lebih cepat dan mencapai hasil. Cara Barat untuk bekerja sama dengan sesama, bila diterapkan di Indonesia, hanya akan selalu berakibat banyak orang kehilangan muka. Keberhasilan Bung Karno, meskipun hal itu dilakukannya tanpa sadar, ialah membawa D.N. Aidit dan PKI untuk memikirkan Indonesia first, jadi mengutamakan nasionalisme.’ Pak dubes melanjutkan, ‘Orang-orang tolol di Washington itu tidak dapat memahami bahwa kita kadang-kadang
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
110 setuju dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kadang-kadang dengan Uni Soviet, karena kita kadang-kadang menemukan gagasan kita sendiri pada pihak Amerika, dan kadang-kadang di pihak Uni Soviet. Sebagai langkah awal, kita tidak berpikir dengan konsep pro atau kontra. Kami yakin akan diri kami sendiri. Inilah yang sering tidak ada, terutama dalam cara berpikir orang Amerika. Padahal, inilah senjata kami yang paling kuat yang ada pada kami, atau pada kepemimpinan yang lahir dari gagasan Bandung mengenai kebebasan berpolitik di panggung dunia.’
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
111
Washington (1961) Tanggal 20 Januari 1961 John F. Kennedy (43) diambil sumpahnya di tangga gedung Capital dengan kata-kata I do soletnnly swear. Robert Frost (86) mendeklamasikan The Gift Outright. Marian Anderson menyanyikan lagu Star Spangled Banner. Seperti halnya Soekarno, seluruh dunia sangat tegang dan banyak berharap kepada Presiden Amerika Serikat yang ke-35 ini. Soekarno membuat serangan diplomatik baru untuk menyelesaikan masalah Irian Barat sesegera mungkin dengan bantuan dunia. Sejak Sukardjo Wirjopranoto tahun 1960 mewakili Indonesia di PBB, saya berusaha keras memikirkan suatu cara untuk melupakan ‘pemikiran lama’ Den Haag dan menggantinya dengan ‘pemikiran baru’. Di samping Emile van Konijnenburg (KLM) sekarang si ‘doyen’ dari pers Belanda, dr. M. van Blankenstein, secara intensif juga mulai mencari pemecahan yang dapat diterima semua pihak. Diberitakan bahwa Menteri Luns akan mengadakan
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
112 kunjungan perkenalan kepada JFK tanggal 16 April 1961, sedangkan tanggal 24 April Presiden Soekarno akan mengadakan kunjungan kehormatan dan sekaligus kunjungan resmi kepada JFK. Tidaklah sukar untuk menyusun pergelaran dengan partitur-partitur yang akan dimainkan oleh Luns dan Soekarno. Saya memutuskan akan bertindak. Presiden Kennedy telah menunjuk Profesor Walt Rostow sebagai penasihat pribadinya. Kebetulan saya mengenal pria ini. Tanggal 23 Juli 1960 saya berceramah di suatu pertemuan musim semi bagi mahasiswa Institute for World Affairs di Twin Lake, Salisbury, Connecticut. Sebelumnya, hari itu juga, Profesor Rostow telah berceramah di hadapan anak-anak muda tersebut. Agaknya mereka lebih sepakat dengan saya, dibandingkan cara pendekatan masalah dunia yang dikemuka-kan Rostow. Atas desakan para mahasiswa, malam itu diselenggarakan debat terbuka di antara Rostow dengan saya. Debatnya berjalan panas. Saya puas karena remaja Amerika ada di belakang saya. Oleh satu dan lain hal, dengan demikian saya mengenal pengikut dekat JFK (Jhon F. Kennedy) yang baru ditunjuk itu. Saya meneleponnya dan saya katakan bahwa ada hal yang sangat penting yang ingin saya bicarakan dengannya. Dalam hal ini orang Amerika bersikap sportif. Kalah dalam debat tidak berbuntut dendam seumur hidup, seperti di Den Haag. Ia bersedia menemui saya untuk berbicara empat mata tanggal 5 April 1961 di ruang kerjanya di salah satu bagian Gedung Putih. Pada saat itu, telah tiga tahun lamanya saya menjadi
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
113 pelarian politik dari rezim Drees-Luns dengan pendapat yang sangat berlawanan mengenai masalah Irian Barat. Saya tinggal di Long Island, dan untuk hal yang menyangkut Belanda, saya telah dibungkam oleh negara untuk selamanya, sementara saya sangat yakin bahwa lambat laun masalahnya perlu ditangani segera. Kekuatan militer di Indonesia terus mendesak, terutama karena ada bantuan dari Kremlin. Di Jakarta telah mulai muncul berbagai pendapat masyarakat, yang cepat atau lambat akan berbalik menjadi perang peluru panas. Jelaslah sudah bahwa hanya Washingtonlah yang mampu memaksa pihak-pihak yang bersengketa itu untuk duduk satu meja, dan sudah tiba saatnya untuk segera mengakhiri permainan tunggal yang tak terkendali dari si Luns di kalangan dalam. Bahwa Drees dan teman-temannya selama bertahun-tahun telah terperangkap dalam kebohongan si Menteri Urusan Luar Negeri itu sampai saat itu pun keadaannya masih demikian, namun waktunya tidak akan lama lagi bahwa akan banyak korban yang jatuh dan mati sia-sia. Menurut saya, segala pendapat hanya berharga apabila mereka dibangun dari ramuan informasi yang objektif dengan rentang yang sangat luas. Washington memiliki tim penyusun kebijakan yang segar. Selama ini mereka telah dibisiki oleh dubes dr. J.H. van Roijen, yang selama bertahun-tahun menjadi juru bicara si Luns. Pak dubes ini akhirnya tidak sepakat dengan menterinya, tetapi ia tidak berani membuka mulutnya demi kepentingan negerinya. Bukankah semboyan yang dipegang di ‘Bukit Monyet’ di Den Haag adalah Right or wrong my country? Jadi yang penting adalah menjelaskan
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
114 kepada Washington berbagai hal yang benar-benar berlangsung sekitar masalah Irian Barat Pukul 10:00 pagi itu saya menyerahkan memorandum 12 halaman kepada Profesor Rostow. Saya juga menggambarkan perkembangan yang paling mutakhir dilihat dari sudut semakin berkembangnya pengaruh komunis di Indonesia akibat kengototan kabinet De-Quay, dengan Luns sebagai Menlu, yang menolak memecahkan masalah dan konflik yang berkepanjangan ini. Saya berupaya menjelaskan sejelas mungkin, bahwa masalah Papua ini sudah akan meledak. Selanjutnya saya juga bercerita mengenai keberadaan kelompok dr. Paul Rijkens. Saya menyarankan agar Gedung Putih berkenan mengundang Pangeran Bemhard yang menjadi pelindung kelompok tersebut untuk menjelaskan lebih lanjut bahwa Belanda harus menyingkir dari Biak, dan sesegera mungkin pula. Bila tanggal 16 April tuan Luns datang untuk kunjungan perkenalan, maka JFK harus menegaskan bahwa ia harus melepaskan kendalinya atas Irian Barat. Tahun 1949, tekanan Amerika yang mengancam akan menarik kembali bantuan Marshall ke Belanda telah berhasil mencegah pecahnya perang di Indonesia. Jadi, masalahnya ialah meyakinkan Presiden Kennedy, dan siapa lagi orang yang paling tepat kalau bukan Pangeran Bernhard? Bahwa Amerika Serikat untuk kedua kalinya melepaskan Belanda dari kesulitan besar, ini terjadi akibat perbuatan Den Haag sendiri. Tanggal 16 April Luns tiba di Gedung Putih tanpa prasangka sedikit pun. Ia pun kemudian berhadapan dengan Presiden Amerika yang sudah mendapat banyak informasi,
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
115 yang diberikan oleh Walt Rostow setelah kunjungan saya. Tak lama kemudian Pangeran Bemhard datang bertamu juga untuk menjual habis semua kebijakan bobrok si Luns dan konco-konconya yang membuat negerinya bangkrut. Bukan Den Haag namanya kalau informasi mengenai peristiwa di ibu kota Amerika ini sebagian besar masih tersimpan sebagai rahasia sampai 34 tahun sesudahnya. Tanggal 10 November 1992 Harry van Wijnen membuka tabir itu sedikit dengan menampilkan sebuah telegram rahasia dari Presiden Kennedy kepada Ratu Juliana di halaman sampul depan NRC Handelsblad. Kennedy mengakhiri pesannya kepada Yang Mulia dengan: with warm personal regards to you and to prince Bernhard whose thoughtful comments on this difficult issue (Nieuw-Guinea) w e re helpful to me at an impor-tant moment. GEHEIM1., tertanggal 14 September 1962. Saya merasa ini kewajiban saya untuk menjelaskan lebih lanjut latar belakang kalimat terakhir dari telegram JFK kepada Juliana dengan menulis di de Groene Amsterdammer terbitan 18 November 1992 tentang peran penting Pangeran Bernhard dalam mencegah Perang Dunia Ketiga dengan Soekarno secara singkat. Saya kirimkan naskah saya kepada Pangeran Bemhard, dan dalam waktu 48 jam saya sudah menerima ucapan terima kasih dari Istana Soestdijk. Tetapi saya tidak mau melompat terlalu jauh ke depan dan marilah kita kembali ke apa yang terjadi setelah 5 April 1960 itu. Saya naik taksi dari Gedung Putih ke Kedutaan Indone-
1.
RAHASIA
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
116 sia. Presiden Soekarno telah memindahkan dr. Zairin Zain ke Washington terutama untuk menempatkan salah satu dari diplomatnya yang unggul2. di ibu kota Amerika Serikat untuk menangani hal yang menjadi masalah Indonesia ini. Zain adalah senjata rahasia Bung Karno, senjata pamungkas dalam serangan diplomatiknya yang terakhir untuk menyelesaikan masalah Papua secara damai senyampang (kebetulan) ada seorang presiden baru bercokol di Washington. Zairin Zain datang lambat dari Jerman Barat, rupanya ia menggunakan kapal laut, yaitu tanggal 27 Maret 1960. Ia sedang sibuk bersowan ke pemerintah, ke kongres, dan ke corps diplomatique. Saya ceritakan kepadanya ihwal kunjungan saya kepada Rostow dan saran saya agar tidak mendengarkan si Luns, tetapi Pangeran Bernhard. Komentarnya yang pertama ialah ‘Public relationsfirst class, Wim.’ Ia membawa saya ke tempat kediamannya di Tilden Street agar kami bisa bercakap-cakap dengan tenang. ‘Den Haag tidak saja telah berjuang dengan sia-sia,’ katanya, tetapi juga telah menipu rakyat Belanda selain Papua sendiri. Kebijakannya mengenai Irian adalah kemunafikan besar. Di sini Anda bisa melihat bahwa suatu negara kecil dapat menjadi benar-benar kecil. Di Den Haag orang tidak boleh menganggap bahwa segala sesuatu di antara kedua negara kita telah hancur. Belanda telah menerakan capnya di dalam sejarah Indonesia. Bukankah cap itu yang menjadi inti
2.
Zairin Zain juga pernah belajar di Leiden dan sebagai diplomat muda ia pernah bekerja selama beberapa waktu pada dr. J.H. van Roijen
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
117 hubungan di antara kedua negara kita? Kita, orang Indonesia, sangat merasakan hal ini. Apa yang terjadi saat ini adalah keadaan yang menyakitkan. Saya merasakan tenggorokan saya tersekat apabila memikirkan segala sesuatu yang terjadi sekarang. Belanda sangat sibuk dengan upayanya menghapuskan perasaan yang ada di pihaknya secara bersistem. Ingat saja betapa dalamnya rasa haru yang ada pada Bung Karno, keinginannya yang dalam untuk dapat berkunjung ke Belanda. Baik disadari maupun tidak, kita juga berkeinginan sama. Dikatakan bahwa orang Belanda tidak dapat atau muak melihat Soekarno. Tetapi Soekarno dalam hal ini bukanlah hal yang penting. Bagi mereka hal ini berkisar kepada lambang. Apa yang kita perbincangkan adalah kepentingan dari hubungan di antara kedua negara.’ Pak dubes melanjutkan, ‘Indonesia berada dalam proses perbaikan moral. Kami berupaya mencapai keseimbangan. Seperti orang buta, kami mencari-cari jalan, tetapi kami telah dihakimi sebelumnya. Di mana orang-orang di Den Haag itu, yang katanya beretika dan bermotif menjunjung nilai kekristenan? Bahkan penjahat dan orang tahanan mendapat perlakuan lebih baik daripada kita.’ Dengan pandangan ke masa depan, tiga puluh lima tahun yang lalu, ia berkata, ‘Suatu hari nanti akan ada orang yang menulis hal yang benar tentang Bung Karno, jadi, sebagai pribadi yang cerdas, dinamis, seperti yang dibicarakan orang sekarang di sini mengenai John F. Kennedy. Bung Karno mencari jalan agar kita, dengan kekuatan kita sendiri dapat mencapai jalan yang lurus ke arah yang kita inginkan. Hal ini
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
118 seperti yang telah dilakukannya dalam bidang seni, atau dengan upayanya mengasrikan kebun raya di Bogor, dengan bangunan baru dan arsitekturnya, atau seperti anjurannya menghidupkan kembali budaya dasar kita, bahkan juga dalam bidang olah raga dengan prakarsanya menyelenggarakan Asian Games. Ia ada di depan kita dalam mengembalikan rasa percaya diri kita, suatu perasaan yang masih harus kita menangkan. Semua itu adalah aspek pada dirinya yang tidak semua orang bisa melihatnya, alih-alih mengakuinya. Media Barat hanya melihat semua yang dilakukan Bung Karno itu sebagai hal yang negatif dan merusak. Unsur-unsur yang kuat, yang membangun kepribadiannya, tidak dikenal orang dan orang juga tidak mau tahu. Baru di belakang hari, dari sejarah orang akan dapat menghargai Soekarno dan dapat memahaminya lebih baik. Pihak Barat bahkan tidak mau menerima ia sebagai nation builder3.. Kami bersantap siang di tempat kediamannya itu, yang juga dihadiri oleh Profesor Zain, ayah pak dubes yang sudah lanjut usianya. Orang tua ini bercerita tentang masa kanak-kanaknya di Hindia Belanda bahwa ia pernah bersekolah di sekolah-picisan Zaman kolonial. Dalam perjalanan kembali ke kedutaan di Massachusetts Avenue, dr. Zain masih mengemukakan ramalannya, yang ternyata terjadi kemudian. ‘Anda sama sekali tidak boleh berharap akan mendapat ucapan terima kasih dari Indonesia untuk
3.
Untuk informasi lebih lanjut, baca Memoires: 1961, Trouwboeken, Baam, 1989.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
119 semua yang telah Anda lakukan. Di antara kita akan ada sejumlah orang, seperti halnya dengan presiden, yang tahu dan sadar akan peranan Anda bagi pemulihan hubungan dan pencegahan peperangan baru. Tetapi lihat saja nanti, justru orang-orang yang salah yang akan berkuasa dan Anda terlewatkan begitu saja.’
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
120
Los Angeles (1961) Tanggal 21 April 1961, Hotel Beverly Hilis. Presiden Soekarno melihat saya ada di lobi dan berteriak ‘Wim, Wim’ lalu ia memperkenalkan saya dengan Dubes Amerika di Jakarta, Howard Jones. ’Willem Oltmans ini teman saya,’ katanya kepada pria Amerika itu. ‘Ia orang Belanda, tetapi ia mau agar Irian Barat kembali kepada kita.’ Saya jelaskan bahwa apa yang saya lakukan itu tidak saja demi kepentingan Belanda, tetapi juga karena pemecahan masalah Irian Barat akan mengurangi kesempatan kaum komunis untuk melompati pagar pembatas dan berperang untuk menghapuskan sisa terakhir kolonialisme Belanda di daerah bekas Hindia Belanda. Keputusan saya untuk membuat kelompok Rijkens, dengan Pangeran Bernhard sebagai pimpinan, menonjol di mata Gedung Putih sebagai kelompok pelobi Belanda yang andal, telah membuat tuan-tuan di dalam kelompok itu bersemangat lagi mencari jalan bagi penyelesaian sengketa Irian Barat.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
121 Rekan saya Henk Hofland belakangan menulis, ‘Tanpa memperhatikan apa akhirnya tujuan mulia mereka, tuan-tuan dalam kelompok Rijkens dan pemimpin mereka -ini tentu Pangeran Bernhard -- sama sekali tidak terbukti telah membantu dalam pemecahan masalah Irian Barat.’1. Itulah akibatnya bila orang hanya mendengar bunyi bel dan tidak tahu di mana pemukul lonceng itu berada. Sampai sejauh ini Hofland benar, sampai saat itu, ketika tanggal 5 April 1960, tanpa dipikirkan terlebih dahulu saya sendirian pergi ke Gedung Putih, maka kelompok Rijkens masih dianggap orang di luar persoalan. Usul saya agar meminta pendapat sang pangeran, seperti yang saya sampaikan kepada Profesor Rostow, justru telah membawa pemimpin kelompok Rijkens dengan segera kepada JFK. Pendapat di atas harus diubah, orang yang akhirnya berhasil menyelesaikan sengketa Irian Barat hanyalah Pangeran Bernhard. Dan Pangeran ini justru adalah ‘pemimpin diam’ dari kelompok pelobi itu, yang karena tidak tahu, Hofland telah mengurangi jasanya. Kekeliruan itu juga tercantum dalam Tegels Lichten.2. Setelah kunjungan Pangeran Bernhard ke JFK maka kelompok Rijkens dapat bernapas kembali. Setidak-tidaknya orang telah meminta saya agar segera berangkat ke Los An-
1. 2.
Tegels Lichten, idem, hal. 62. Hofland benar dalam hal ini, bahwa saya tidak memberi tahu kelompok Rijkens mengenai langkah saya mendekati JFK adalah karena saya sadar bahwa mereka pasti akan ketakutan, karena kekhawatiran mereka akan tindak balasan, seperti terjadi pada peluncuran surat permohonan kami kepada Staten-Generaal di Jakarta.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
122 geles untuk memastikan bahwa dr. Emile van Konijnenburg (KLM) dan dr. Koos Scholtens (Shell) dapat diterima oleh Presiden Soekarno di Washington sebagai duta dari Rijkens. Sebenarnya, saya kembali menemui banyak kesulitan untuk menembus masuk menemui Bung Karno di Los Angeles. Suatu kali saya telah berada di lantai apartemen tempat presiden menginap, ketika musuh bebuyutan saya, Max Maramis, muncul di depan pintu dan berteriak, ‘Apa yang kau lakukan di sini? Tunggu di bawah!’ Jawab saya, ‘Baik,’ dan saya berjalan kembali ke arah lift. Saya tekan tombol lift dan keretanya sampai. Pintunya terbuka dan siapa yang tampak di hadapan saya? Soekarno, beserta ajudannya, Sabur dan Bambang Widjanarko. Segera saya bergabung dengan mereka ke apartemen presiden. Sudah ada banyak orang di ruang tamu. Kunjungan duta-duta dari kelompok Rijkens pada hakekatnya bersifat rahasia. Akhirnya Bung Karno menghilang ke kamar tidurnya tanpa saya berkesempatan membisikinya perihal misi Washington ini. Baiklah, risiko memang harus diambil untuk menghadirkan kedua tuan itu secara untung-untungan dan tinggal berharap saja bahwa semuanya akan berjalan lancar. Saya terbang dengan penerbangan malam ke Baltimore agar dapat tepat waktu menjemput Scholtens dan Van Konijnenburg tanggal 23 April 1961 di Hotel Manger di Washington dan membawa mereka ke tempat kediaman dubes dr. Zairin Zain. Ia memperingatkan saya bahwa menteri Soebandrio bersikap skeptis terhadap ‘diplomat-diplomat amatiran’ di lingkung Rijkens. Soebandrio selalu berkata, ‘Kita sekarang tahu bahwa kelompok Rijkens ingin berbicara
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
123 dengan kita, tetapi yang menjadi masalah kita sekarang ini ialah politik Den Haag dan para politisinya,’ demikian ia mengutip kata-kata menteri itu. ‘Oleh sebab itu’, demikian lanjut dubes itu, ‘kini tiba saatnya yang baik bagi kita. Kita dapat memanfaatkan krisis Kuba dan invasi yang gagal di Teluk Babi. Kita menarik kesamaannya dengan Irian Barat yang dipersenjatai Belanda, dan sebagai orang Indonesia kita masih punya truf atau bukti andal yang akan kita sampaikan kepada JFK agar membantu melancarkan penyerahan Irian Barat ke Indonesia.’ ‘Kami datang untuk membantu menyusun prosedurnya,’ demikian Koos Scholtens, ‘yang dapat kami jual kepada pemerintah kami, kaum politisi di Den Haag. Kami juga memerlukan wibawa lebih banyak, dan itu hanya dapat kita peroleh apabila kita berhasil berbicara dengan Presiden Soekarno di Washington ini.’ Untuk itu Dubes Zain menyampaikan usul yang menarik. ‘Menurut pendapat saya kita memerlukan pihak ketiga.’ Jadi, ini adalah untuk pertama kalinya kita berbicara tentang pihak ketiga. Lanjutnya, ‘Sayang, Belanda tidak lagi memanfaatkan pengetahuan kita akan masalah ini. Hal ini juga menyakitkan saya. Sebetulnya kita harus dapat memecahkan masalah ini secara bersama-sama. Bung Karno akan sangat terharu apabila akhirnya ia dapat melihat Belanda dan mengenali berbagai tempat yang dipelajarinya dari buku ilmu bumi semasa ia masih kecil. Jadi sama sekali tidak benar bahwa ia ingin membuat Belanda bertekuk lutut. Seperti yang berulang-ulang dikatakan Sukardjo Wirjopranoto, yang telah mengenalnya paling lama
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
124 di antara kita semua di sini, Soekarno ialah produk kolonialisme. Soekarno sangat romantis dan sangat memperhatikan sejarah untuk tidak menyelami apa yang dilakukan dan dialaminya. Ia bukan orang yang hanya mendambakan cinta, seperti yang sering digambarkan orang Barat tentang dirinya. Kebesarannya sebenarnya belum diketahui orang sampai sekarang. Kebanyakan orang Indonesia pun bahkan belum mengenal wajah aslinya. Bung Karno betul-betul Indonesia. Saya semakin yakin akan hal ini setelah baru-baru ini saya datang dari Hawaii bersamanya, juga selama beberapa hari saya terus menerus bersamanya di Kalifornia. Oleh sebab itu saya sekarang berkata sebagai ahli sejarah, karena untuk itu saya telah dididik dengan sangat baik di Leiden.’ ‘Saya senang bahwa Anda berkata demikian,’ demikian Scholtens dari Shell. ‘Saya dididik pada saat Belanda diduduki Jerman,’ demikian pak dubes melanjutkan. ‘Saya ikut dalam bahasan mengenai perlawanan terhadap penjajah. Saat itulah saya belajar cara orang Belanda berunding untuk memecahkan masalah.’ Sementara itu kita sepakat bahwa kita akan berupaya sekuat-kuatnya, dengan dukungan kerja sama dr. Zain, bahwa meskipun mungkin ada perlawanan dari dr. Soebandrio, Van Konijnenburg dan Scholtens harus dapat berbicara dengan presiden. Kepada saya dr. Zain berkata, ‘Sebaiknya Anda di belakang layar saja hari-hari ini,’ yang dimaksudkannya ialah menghindari musuh-musuh seperti Maramis dan Soebandrio,
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
125 yang ikut dalam perjalanan Soekarno. ‘Nadanya seperti saya ini ditinggalkan begitu saja di tepi jalan, setelah apa yang saya lakukan di Gedung Putih untuk meniupkan napas segar dalam perkembangan ini,’ kata saya dengan kecewa. ‘Anda adalah orang kesayangan presiden, Tuan,’ demikian dr. Zain. Di mobil, dalam perjalanan kembali ke hotel, tuan-tuan dari kelompok Rijkens ini menghujani saya dengan puji-pujian bagi apa yang telah saya lakukan dalam mempersiapkan misi Washington mereka. ‘Tetapi apa yang kita lakukan sekarang,’ demikian Scholtens mengingatkan, ‘jarang dihargai orang’. ‘Penghargaan biasanya datang setelah Anda meninggal,’ timpal Van Konijnenburg. ‘Tetapi kita tidak boleh melupakan jasa Anda dalam hal ini,’ demikian Scholtens. Van Konijnenburg menghadiahi saya dua tiket keliling dunia dengan KLM setelah penyerahan kembali Irian Barat, namun diberikan di muka. Kita memang tidak memerlukan bukti bahwa setiap unjuk kesanggupan kita akan dihargai. Kedua tuan itu sudah mapan hidupnya. Usia saya baru 36 tahun. Saya masih harus menjalani kehidupan yang panjang sebagai wartawan. Van Konijnenburg memang memberi saya tiket untuk terbang ke Los Angeles dan mengunjungi Bung Karno untuk mempersiapkan kunjungan Washington ini, tetapi semua biaya yang terkait lainnya, termasuk hotel, saya bayar dengan uang saya sendiri yang saya peroleh dari kegiatan saya berceramah. Tujuan mulia dari kegiatan kita ini adalah untuk menjaga agar Luns dan konco-konconya tidak membawa kerajaan Belanda jatuh terperosok untuk ketiga kalinya karena perang dengan Indonesia.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
126 Van Konijnenburg terus menerus menceriterakan berbagai anekdot tentang Soekarno. Pada suatu hari di Bali, presiden akan berkunjung ke teman yang kita kenal bersama. Orang itu memiliki sebuang patung Bali yang sangat berharga. Untuk menjauhkan benda seni itu dari julat pandang Bung Karno, ia menyimpan patung itu di kamar mandi. ‘Dan yang terjadi adalah, Bapak ingin ke kamar mandi,’ demikian cerita Pak Kelinci, dan ia keluar dengan patung itu di tangannya dan berkata, ‘Orang yang menyimpan benda seindah ini di kamar mandi tidak layak memilikinya’ dan presiden pun membawa patung itu. Pada kesempatan lain Van Konijnenburg menanyai presiden tentang apa yang dapat dilakukannya untuk menyenangkan presiden. Jawabnya ialah, ‘Pergilah ke pelukis anu dan mintalah ia melukis untuk saya.’ Van Konijnenburg memesan sebuah lukisan yang besar. Lukisan itu menggambarkan suatu acara pemakaman dengan banyak orang, dan si pelukis juga menggambarkan Soekarno di tengah orang-orang tersebut. Ketika KLM kemudian menyerahkan lukisan itu ke istana sebagai hadiah, maka segera reaksi presiden adalah, ‘Saya tidak mau ada dalam lukisan itu, pelukisnya harus mengeluarkan saya.’ Tetapi Van Konijnenburg meyakinkan Soekarno bahwa ia tidak dapat berbuat seperti itu terhadap seniman besar ini, yang sangat bangga akan lukisannya, dan ia menghormati seniman itu. Tanggal 25 April 1961 kedua tuan itu berjumpa dengan presiden di kamarnya di Hotel Mayflower, dan seperti telah diduga sebelumnya, pertemuan itu juga dihadiri oleh
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
127 Soebandrio dan Duta Besar Zain. Belakangan, dengan agak malu-malu, Wakil Perdana Menteri Johannes Leimena memasuki ruangan. Menurut Koos Scholtens, Bung Karno berbicara dengan nada menyenangkan dan presiden juga mendesak agar hubungan dengan Belanda dinormalkan seperti halnya dengan negara lain-lain. Ia tidak saja mengulang bicaranya akan kemungkinan dirinya,berkunjung ke Belanda, tetapi juga tentang kemungkinan kunjungan Pangeran Bernhard ke Indonesia. Presiden Indonesia ini tahu dengan pasti peranan penting yang telah dimainkan pangeran ini dalam meyakinkan JFK, yang berakibat tibanya marching orders bagi Luns untuk angkat kaki dari Irian Barat. Sebenarnyalah, ada beberapa petunjuk bahwa Pangeran Bernhard, yang berangkat ke Amerika Serikat untuk membicarakan hak mendarat bagi KLM di Kalifomia, secara sangat rahasia telah bertemu dengan Bung Karno.3. Hasil terpenting yang diperoleh dari pertemuan itu ialah presiden sekali lagi menyetujui usaha untuk mengatur perundingan resmi di antara dua negera ini. Untuk itu Dubes Zain ditunjuk sebagai penghubung utama. Semalam sebelumnya Scholtens masih percaya akan ocehan yang beredar di Belanda bahwa ‘Soekarno merupakan bencana ekonomi bagi negerinya’ dan ia juga menyatakan keyakinannya bahwa berbicara dengan Soekarno merupakan usaha yang sia-sia, tetapi setelah pertemuan tanggal 25 April itu, Scholten yang orang Shell itu sangat lain bicaranya.
3.
Hal-hal khusus lainnya di Memoires: 1961, Torenboeken, Baam, 1989.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
128 Sebelum meninggalkan Washington kami masih berbicara dengan Dubes Zain. ‘Sayalah yang menjadi penghubung sekarang,’ demikian diplomat itu. ‘Seperti yang anda buktikan sendiri, saya tidak membual. Sekarang Anda harus berusaha meyakinkan pemerintah Anda di Belanda, bila tidak, orang di Jakarta pun tidak akan mempercayai saya. Sekarang Anda harus menunjukkan pada presiden bahwa Anda dapat mempengaruhi politik. Dalam hal ini Anda dapat meyakinkan sendiri perihal kejujuran Bung Karno. Bukankah ia segera menyetujui usulan Anda tanpa prasyarat? Ia orang yang paling mudah di antara yang lain-lain. Saya bisa berbicara dengannya dengan sangat baik, bahkan lebih baik bila dibandingkan dengan Bandrio. Dalam hal ini Leimena juga bagus. Soebandrio, sebagai Menlu, juga telah memainkan peranannya dengan sangat baik. Ia menguasai bidangnya. Ia dapat mengemukakannya dalam bahasa Inggris dengan amat baik. Ia selalu memanggil saya ‘dikke’ (si gendut). Seusai pertemuan tadi, ia menanyai saya, ‘Apakah mereka masih marah kepada saya?’ karena rupanya ia selalu menentang untuk berunding dengan kelompok Rijkens. Apa yang dibicarakan dengan Soekarno pagi tadi bukan saja hal yang penting, tetapi juga perkembangan yang menggembirakan.’ Saya melambaikan tangan saya ketika Scholtens dan Van Konijnenburg berangkat ke Belanda. Pak Kelinci menggunakan nama Frijthof dalam penerbangan ini, untuk menghindari paparazzi yang mungkin menunggunya di Schiphol.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
129
Den Haag (1961) Memang terjadi serangkaian pembicaraan antara Paul Rijkens, dan anggota kelompoknya, baik dengan Perdana Menteri Jan de Quay maupun dengan Menteri Luns. Tetapi tanggal 24 Mei 1961 Pater Beaufort, yaitu Godfather-nya Luns dan KVP1. menjelaskan di parlemen bahwa pemerintah tidak dapat atau tidak akan pernah dapat memberikan mandat kepada kelompok swasta, seperti kelompok Rijkens, untuk menangani masalah mengenai bagian kerajaan Belanda, Irian Barat, dengan negara lain. Inti pembicaraan di Washington yang sebenarnya ialah, Bung Karno ingin tahu keadaan yang sebenarnya, apakah tuan-tuan dari kelompok Rijkens dapat berperan di meja perundingan. Bila tidak, maka percuma saja berbicara dengan Rijkens, Van Konijnenburg dan Scholtens. Dari New York saya terbang ke rumah untuk mencari tahu mengenai hal ini.
1.
KVP: Katholieke Volkspartij, Partai Rakyat Katolik
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
130 Tidak perlu lagi bantuan orang tua-tua yang baik, peranan mereka rupanya sudah tamat, jadi inilah manfaat lobi kelompok Rijkens. Yang lain dari itu adalah tipuan, tidak saja terhadap para pelobi itu sendiri, tetapi juga terhadap Indonesia dan Soekarno. Saya memutuskan akan bertindak lagi, tetapi kali ini dengan cara yang lebih lunak, selangkah demi selangkah. Saya jelaskan strategi saya kepada rekan Joris van den Berg dari Vrij Nederland. Akhirnya Machiavelli pun tidak menuliskan aksiomanya bagi orang amatiran. Tanggal 3 Juni 1961, Joris menerbitkan pembicaraannya dengan saya di Vrij Nederland, di sana saya dengan hati-hati sedikit menyingkap tabir pertemuan di Washington. Sudah dapat saya duga sebelumnya, tuan-tuan dari kelompok Rijkens akan segera menyangkal semuanya, baru kemudian pintu gerbangnya akan terbuka lebar untuk menampilkan semua cerita yang sebenarnya. Tanggal 3 Juni, dengan tiket hadiah dari kelompok Rijkens, saya bergegas ke Washington untuk mengabari Dubes Zain akan hal ini. Saya tegaskan kepadanya bahwa lobi Rijkens di Jakarta boleh saja dianggap mati, karena Luns dan kaki tangan politiknya tidak akan membiarkan hal ini. Sementara itu, pemerintah Belanda sampai Juni 1961 pun belum juga mengambil keputusan, apakah perundingan seperti yang didesakkan oleh JFK itu benar-benar akan dapat terselenggara. ‘Tetapi’, kata saya lebih lanjut, ‘Scholtens dan Van Konijnenburg masih meminta saya menanyakan apakah mereka dapat menemui Presiden Soekarno lagi di Roma nanti.’ ‘Di sana nanti, pembicaraannya tentulah masih di sekitar
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
131 penyerahan Irian Barat,’ jawab duta besar itu. ‘Kami tidak dapat bersitawar lagi. Pada akhirnya mereka harus datang melompati jembatan dengan membawa barangnya.’ ‘Anda sekalian selalu mengharapkan bahwa kita melangkah lebih dahulu. (Dengan nada yang meninggi) De Quay dan Luns harus digiring masuk jebakan. Kelompok Rijkens, dengan dukungan pemerintah, sekarang harus muncul dengan surat yang menyatakan bahwa semuanya beres,’ demikian kata dr. Zain. ‘Maka semua pendapat akan tercatat dalam sejarah dan kita akan tahu pihak mana yang berbohong. Sejarah ada di pihak kita. Luns tidak dapat lagi menentang penyerahan kembali Irian Barat kepada Indonesia. Bung Karno sendiri juga tidak pernah menginginkan situasinya berkembang seperti ini. Kekuasaan sejarah memainkan permainan mereka sendiri. Soekarno tidak pernah menginginkan kabinet presidensiil, tetapi tekanan berbagai peristiwa telah mendorongnya ke arah itu.’ ‘Politik,’ kata pak dubes selanjutnya, ‘sama seperti ilmu pasti. Politik tampak sama masuk akalnya seperti halnya dengan aljabar dan ilmu ukur. Bila Anda telah menguasai matematika politik, maka Anda berkuasa. Politik ialah pembagian kekuasaan, yang harus Anda telaah dengan nalar secara cermat. Kelemahan kebanyakan orang adalah, dan ini sebenarnya berlaku bagi ayah saya sendiri dan juga bagi Anda, orang menilai fakta politik dari kulitnya saja. Kenyataannya tidak begitu. Di dalam politik Anda harus selalu mempertanyakan, apa pola pikirnya, apa yang diingini lawan Anda, apa logika yang melatarinya, mengapa ia mengubah haluan
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
132 politiknya, alasan penting apa yang mendorongnya? Tidak ada filantropi atau cinta kepada sesama dalam berpolitik. Yang berperan ialah kepentingan pribadi yang mumi dan amat keras. Hanya dengan kepercayaan dan keyakinan akan umsan Anda, maka Anda akan memenangkan permainan. Bahwa Anda memiliki kemampuan itu, telah anda buktikan. Kita akan berhasil, barangkali tidak dalam seminggu atau sebulan, tetapi kita harus mengupayakan suatu terobosan, sampai urusan ini terpecahkan. Luns mundur selangkah demi selangkah. Pertanyaannya adalah, Apakah Belanda akan benar-benar kehilangan segala-galanya? Den Haag saat ini berisiko ke arah itu.’ Dr. Zain berkata bahwa apabila saya ‘mencecarnya dengan pertanyaan yang bertubi-tubi, maka Anda memaksa saya menjadi pintar dan saya berikan gagasan saya yang paling cemerlang kepada Anda.’ ‘Anda tahu bahwa saya adalah pendengar yang baik dan saya datang ke sini untuk belajar,’ jawab saya. ‘Di samping itu, suatu hari nanti saya akan menerbitkan kata-kata yang Anda sampaikan sekarang.’ ‘Oleh sebab itu saya mencoba menjelaskan bagi Anda keadaan apa yang terjadi sekarang,’ kata dr. Zain. ‘Kita harus bermain melawan mitra kita di kelompok Rijkens. Dan kita bermain melawan pers yang katanya bebas, belum lagi bicara tentang bajingan-bajingan di parlemen Anda, yang semuanya makan dari Luns.’ Saya katakan kepadanya, ‘Saya merasa perjalanan pulang ke Amsterdam nanti seakan pergi ke bagian Nederland yang diduduki Nazi, dengan masyarakat yang sangat benci dan anti-
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
133 Soekarno di sekeliling saya, sementara saya tahu bahwa mereka tidak sadar akan apa yang mereka katakan.’ ‘Oleh sebab itulah saya menghargai Anda,’ demikian pak dubes. ‘Anda selalu bersedia untuk kembali masuk ke sarang singa di Belanda. Dan saya juga tahu bahwa Anda melakukannya bukan demi uang dan bukan pula demi kepentingan Indonesia sebagai tujuan utama.’2. Apa yang dikatakannya memang benar dan apa yang keluar dari mulutnya tidak pernah akan saya lupakan. Tanggal 6 Juni saya kembali ke Amsterdam. Presiden Soekarno hari ini, hari ulang tahunnya yang ke-60, berada di Moskow, tempat Nikita Krushchev menyelenggarakan jamuan baginya. Saya ingin ke Moskow, tetapi kedutaan Uni Soviet tidak mau memberi saya visa. Henk Hofland juga bercerita bahwa kalangan pemerintah di Den Haag sedang berupaya mengeluarkan pernyataan yang akan merintangi gerakan saya di Belanda. Ia menyebutkan tiga hal: 1) Semua kegiatan saya ditujukan untuk menentang kepentingan negara. 2) Reputasi saya buruk dalam hal seks karena saya tidur baik dengan laki-laki maupun dengan perempuan, dan 3) Betapapun caranya, saya harus dijauhkan dari Putri Beatrix. Yang membacanya akan mempertimbangkan sendiri tentang hal yang berkaitan dengan ‘pernyataan pemerintah’ itu mengenai diri saya. Apakah saya harus dijauhkan dari Beatrix, hanya karena kebetulan kami dibimbing oleh wanita yang sama, Nona G. Buringh
2.
Lihat juga: Memoires, 1961, In den Toren, Baarn, 1989, hal. 189.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
134 Boekhoudt, ketika kami masih bersekolah di Lyceum di Baarn? Tanggal 8 Juni 1961 Van Konijnenburg menelepon saya. Ia berteriak, ‘Kebakaran! Tanggal 3 Juni Anda menulis tentang Pangeran Bernhard dan kelompok Bilderberg-nya di Vrij Nederland dan sesudah itu Anda telah menyebut Scholtens dan saya sebagai anggota kelompok Rijkens, bahwa kami telah mengadakan perundingan tidak resmi dengan Indonesia. Anda telah mencampuradukkan semuanya dan membuat jalur telepon di Den Haag saat ini merah membara. Urusannya jadi terbalik semua.’ Saya tahu benar bahwa secara resmi ada dua kelompok yang terpisah: Bernhard dan Paul Rijkens di Bildenberg, dan Rijkens, Scholtens dan Van Konijnenburg di kelompok pelobi Rijkens dalam kaitan dengan masalah Irian Barat. Tetapi akhirnya saya berhasil meminjam Pangeran Bemhard dari kelompok Bilderberg dan membawanya secara terbuka untuk berhubungan dengan kelompok Rijkens, dengan menyarankan agar Gedung Putih hanya mendengarkan Pangeran Bemhard dalam hal yang berkaitan dengan masalah Papua. Kegaduhan di Den Haag mengenai peranan pangeran ini sangat tidak disukai, karena langkah Bemhard ke JFK mengenai Irian Barat pada hakekatnya berarti bahwa pangeran itu telah menduduki kursinya si Luns. Hubungan ketatanegaraan dengan orang yang jadi pangeran karena perkawinan, karena ia suami Ratu Juliana, tidak mengizinkannya bertindak sebagai Yang Mulia Pangeran di hadapan Kennedy, seperti yang saya usulkan. Namun ia berani melakukannya. Tujuannya semata-mata hendak mencegah
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
135 pecahnya konflik militer antara Indonesia dan Belanda Bernhard telah bertindak benar. Hal ini adalah demi kerajaan, bukan demi karirnya Luns. Pangeran ini mendirikan organisasi Bilderberg yang jadi terkenal itu tahun 1954 di Hotel Bilderberg dekat Arnhem.3. Dalam biografinya Alden Hatch Yang Mulia Pangeran ini mengutarakan bahwa gagasannya untuk mendirikan think tank atau pabrik gagasan yang berorientasi ke kawasan Atlantik ini berasal dari dr. Joseph H. Retinger. Pria ini berasal dari Krakow, bagian Polandia bekas Austria. Ia menjadi pejuang gigih dalam Perang Dingin anti-komunis dan bertemu pangeran ini, yang bersedia mengetuai sekelompok orang terpilih dari Eropa Barat dan Amerika Serikat untuk menjaga suhu perasaan anti-Soviet yang berlebihan. Dalam biografi pangeran ini tercantum bahwa Retinger tadi sering berhasil mencapai keinginannya lewat cara yang amat licik. Voila! Pangeran Bernhard telah berhasil menjadi murid Retinger yang cemerlang yang tidak pernah akan mundur ketakutan, dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan atas dasar Borgian aptitude for intrique (hal 237). Andai saja Luns bukan orang loyo yang suka berbohong, maka Anda akan bersimpati kepada pejabat pemerintah ini, yang dengan segala daya yang dimilikinya berusaha menentang penjelajahan terhadap kebijakan luar negeri pemerintah oleh suami dari kepala negara ini. Tetapi
3.
Hal yang tidak lazim untuk menamai suatu ‘pabrik gagasan’ yang baru didirikan menurut nama hotel berbintang lima.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
136 sebaliknya, Menteri Luns selama bertahun-tahun tidak melihat manfaatnya membohongi ratu, kabinet dan parlemen tentang apa yang disebut kesanggupan Amerika untuk tidak membiarkan terjadinya sengketa baru di antara Belanda dan Indonesia, kali ini tentang Irian Barat. Pangeran Bernhard tahu bahwa Luns banyak berbohong, karena ia sangat bersahabat dengan Dubes dr. J.H. van Roijen, yang telah mendengarkan pembicaraan menterinya tentang masalah ini di Washington selama bertahun-tahun. Van Roijen tahu bahwa cerita Luns mengenai janji militer Amerika untuk Belanda hanyalah isapan jempolnya saja. Pengetahuan inilah yang mendorong Pangeran Bernhard memutuskan akan menerima undangan JFK dan membuka kartu tentang masalah Irian Barat di atas meja, di hadapan JFK yang bingung oleh kebohongan si Luns. Rakyat Belanda patut berterima kasih kepada pangeran ini. Maka, sesuai benar dengan tujuan dan harapan saya, Paul Rijkens membuat sanggahan di Vrij Nederland. Saya dapat memahami bahwa tahun 1961 itu, baik Pangeran Bemhard maupun Paul Rijkens, tidak mungkin dapat menyingkap peranan yang sebenarnya mereka mainkan di Washington. Setiap tindakan Pangeran Bemhard, terutama menyangkut masalah Irian Barat, haruslah disembunyikan, dan sedikit banyak saya telah menyindir hal itu. Oleh satu dan lain hal, terbuka jalan bagi saya menulis Surat Terbuka di Vrij Nederland terbitan 17 Juni 1961 yang ditujukan kepada tuan-tuan di kelompok Rijkens. Informasi yang saya sampaikan dalam Surat Terbuka itu agak menimbulkan onar di Den Haag. Konco lawas saya
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
137 sesama wartawan, Henk Hofland, dalam Tegels Lichten mempersamakan ulah saya dengan pertunjukan sirkus. Saya sendiri merasa, bahkan juga di tahun 1995, bahwa saya bersungguh-sungguh berusaha hendak menyelamatkan apa yang masih terselamatkan, tentu saja dengan peluang yang sangat terbatas, karena sabotase penguasa saya dihalangi untuk mengemukakan pendapat saya di tanah air.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
138
Belgrado (1961) Tanggal 14 Juni 1961 di Amsterdam untuk pertama kalinya saya bertemu dengan Pak Ujeng1. Suwargana, teman dekat Jenderal Nasution. Saya telah banyak mendengar desas-desus tentang dirinya bahwa ia bepergian ke Eropa Barat dan ke Amerika Serikat untuk menggulingkan kekuasaan di Jakarta. Menurut saya militer Indonesia itu tunduk di bawah pemerintahan yang sah dan karena itu pada hakikatnya mereka bukan lawan bicara yang cocok. Saya menapaki jalur yang diambil Soekarno, Soebandrio, Zain (Washington) dan Sukardjo Wirjopranoto (PBB). Tidak sulit menemui orang Indonesia yang bernama Ujeng ini, dan pertemuan ini menarik, karena ia adalah pengikut Jenderal Nasution. Sampai di sini saja cerita saya mengenai Ujeng Suwargana. Orang Belanda yang lain, seperti penerbit Geert Lubberhuizen atau rekan Hofland memperlakukan seolah-
1.
Dibaca Uyeng
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
139 olah ia duta istimewa dari pihak yang melawan pemerintah Indonesia.2. Tanggal 15 Juni 1961 saya mengunjungi Duta Besar Zairin Zain di Hotel Metropole di Brussel. Ia bergegas terbang ke Belgia karena mencemaskan keonaran di kelompok Rijkens, yang disebabkan oleh saya. Ialah orangnya yang mendorong saya ketika di Washington ia mengatakan bahwa harus ada ‘letupan’ untuk berhasil menyelesaikan masalah Irian Barat. Ketika saya berusaha mengatur letupan itu, ia menilai yang saya lakukan itu terlalu cepat. Gaduhnya luar biasa. ‘Saya berbicara dengan Anda sebagai abang dengan adik,’ demikian dr. Zain. ‘Kita telah menyulut permainan ini bersama-sama. Saya selalu melatih Anda. Saya ingin agar Anda punya karir yang bagus di bidang jurnalistik, tetapi dengan tindakan anda sekarang, Anda telah melewatkan kesempatan itu. Sebagai langkah awal, berdamailah dengan Emile van Konijnenburg.’ Saya sama sekali tidak mau berhubungan lagi dengan kelompok Rijkens. Mereka perlu ditangani secara psikologis dan dibedah agar sadar bahwa mereka tidak dapat berperanan penting lagi. Pater Beaufort telah menyatakan hal itu dengan gamblang. ‘Wim’, kata pak dubes malam itu, ‘Anda harus jadi orang Minangkabau. Anda harus bermain pencak. Si pesilat memukul balik, melompat ke samping, sedemikian sehingga lawannya payah. Apakah Anda tidak takut andaikata Philips
2.
Baca Tegels Lichten, bagaimana Ujeng Suwargana dibicarakan sebagai mitra bicara yang serius.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
140 menyuruh beberapa orangnya meninju Anda?’ ‘Tidak, saya tidak takut. Kalau mereka mau mengambil haluan lain, silakan saja,’ kata saya. Pak dubes mengeluh, bahwa karena tindakan yang saya lakukan sendiri itu -seperti layaknya orang yang turut ambil bagian dalam proses ini -- telah menempatkannya pada posisi yang sulit, apakah ia harus memilih kelompok Rijkens atau saya. ‘Dilema yang Anda hadapi itu tampak sederhana bagi saya,’ kata saya. ‘Anda hanya perlu sependapat dengan pihak yang ingin mencegah kepura-puraan di masa yang genting ini. Waktu yang tersisa bagi kelompok Rijkens sudah dapat dibilang. Mereka sebaiknya kembali berurusan dengan Unilever, Shell dan KLM saja. Jalan keluarnya, berkat Pangeran Bernhard, terletak pada kedua negara, dengan kemungkinan melibatkan negara ketiga, yaitu Amerika Serikat, sebagai penengah.’ Jenderal Nasution bertindak di pinggir pemerintahan Indonesia untuk atas nama angkatan bersenjata dan konco Amerikanya di CIA, mencari tahu perkembangan yang sedang berlangsung. Hari-hari itu ia tiba-tiba muncul di Paris dan sempat tampil di televisi Belanda. ‘Tidak saja pertanyaan tetapi juga jawaban (dari Nasution) semuanya ditulis oleh seorang wartawan Belanda, dengan pertimbangan dapat sebanyak mungkin mempengaruhi penonton televisi (Belanda).’3. Siapa ghost writer untuk jenderal itu tidak diungkap oleh Hofland. Pada masa itu orang berkeyakinan
3.
Tegels Lichten, idem, hal. 64-65.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
141 bahwa ia-lah ‘penulis siluman’ itu. Sangatlah tidak mungkin apabila Bung Karno, Soebandrio, Zain atau Sukardjo Wirjopranoto membolehkan seorang wartawan dari Belanda menuliskan naskah sandiwara baginya. Angkatan bersenjata di Jakarta sudah tegang dan ingin memainkan peranannya sendiri, padahal anak kecil pun dapat menghitung dengan jarinya bahwa sekarang kita tinggal menunggu pencapaian suatu kesepakatan dari diplomasi yang profesional kedua negara. Tanggal 27 Juni 1961 Jenderal Nasution akan menyelenggarakan konferensi pers di Hotel Koningshof di Bonn. Saya ke sana bersama mantan Peminpin Redaksi Elseviers Weekblad, H.A. Lunshof, dan sekretarisnya, J.H. Barkey Wolff. Nasution didampingi Kolonel Pandjaitan, yang belakangan mati terbunuh, dan saat itu menjadi atase militer di Jerman Barat. Jenderal itu menyebut pentingnya menetapkan pendapat yang mengharuskan Belanda menarik diri dari Irian Barat, baik di Den Haag maupun di Biak. Tekanan dari massa Indonesia sudah makin kuat sehingga konflik bersenjata dapat segera terjadi. Sofar, so good. Selama Nasution berpidato di ruangan yang terutama dipenuhi oleh wartawan yang datang dari Belanda, tidak sekali pun ia merujuk pemerintah atau presiden Republik Indonesia. Ia berbicara seakan ialah orang yang paling menentukan di Jakarta. Ini memang demikian, bila menyangkut angkatan bersenjata. Selebihnya, ia berdinas kepada pemerintah. Oleh sebab itu saya bertanya kepadanya, apakah benar presiden sudah memastikan tidak menginginkan sengketa masalah Papua ini berlangsung berlama-lama.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
142 Nasution membenarkannya tanpa ragu-ragu. Tanggal 1 September 1961 saya ada di Belgrado, Jugoslavia, untuk menghadiri KTT Negara-Negara Non-blok yang kedua, yang mendukung gagasan Soekarno tahun 1955 di Bandung. Dengan kehadiran begitu banyak kepala negara, maka keamanan dijaga ketat. Sangatlah sukar untuk menemui anggota delegasi, meskipun Kolonel Sabur telah membawakan saya surat bagi presiden. Dari tribun pers di ruang sidang saya mengamati perilaku Bung Karno dan Jawaharlal Nehru yang duduk berdampingan di meja konferensi. Bapak selalu mengenakan seragam panglima besarnya yang berwarna putih, Nehru selalu menyematkan bunga mawar pada baju seragamnya. Mereka berdua sangat berbeda, seperti dikatakan orang banyak. Nehru menggambarkan pengalamannya di penjara Inggris dengan ‘saya selalu bermimpi dalam bahasa Inggris’. Bung Karno berkata lain, ‘Saya menyumpah dalam bahasa Belanda’. Kadang-kadang Nehru dan Soekarno merokok bersama, yang disodorkan Presiden Indonesia ini dari tempat rokok yang terbuat dari emas. Soebandrio dan Chaerul Saleh duduk tepat di belakang Bapak. Dr. Ali Sastroamidjojo dan Ruslan Abdulgani duduk di belakang mereka. Di Belgrado diputuskan, Perdana Menteri Nehru dan Presiden Kwame Nkrumah dari Ghana akan pergi ke Moskow, Presiden Soekarno bersama presiden Modibo Keita dari Mali ke Washington untuk mengimbau Nikita Krushchev dan John F. Kennedy dengan sangat agar mengurangi ketegangan di dunia ini lewat perundingan tingkat tinggi. Kelompok Asia-
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
143 Afrika kembali akan menunjukkan negara-negara Barat dan sosialis di Eropa Timur, cara satu-satunya mengatasi masalah yang juga diterapkan di lingkungan internasional, yaitu dengan musyawarah dan mufakat. Dalam komentarnya, The New York Times memberitakan bahwa JFK segera menyatakan keengganannya untuk berunding dengan Krushchev, tanpa melihat manfaatnya terlebih dahulu. Menurut Gedung Putih, masih cukup banyak saluran diplomatik yang dapat dipakai untuk membicarakan masalah yang masih menggantung di antara kedua negara. Timur adalah Timur dan Barat adalah Barat. Kita tidak dapat berharap bahwa JFK, putra pedagang wiski yang sukses dari Boston, dan para penasihatnya di Gedung Putih, benar-benar dapat memahami latar psikologi dan budaya yang mendorong negara-negara Asia dan Afrika merumuskan imbauannya kepada Moskow dan Washington di Belgrado. Seperti ular ia mengelakkan permohonan tersebut bahkan sebelum menyimak pesan yang disampaikan Soekarno dan Keita. Peserta KTT Negara Non-Blok di Belgrado dibiarkan berteriak-teriak di ajang Perang Dingin yang semakin parah antara kedua negara adikuasa itu. Sementara itu Soekarno memanfaatkan kunjungannya yang kedua ke Gedung Putih ini untuk membicarakan masalah Irian Barat dengan JFK. Tanggal 16 September 1961 Dubes Zain mengabari saya akan hal ini di kamarnya di ‘Hotel Waldorf Astoria’. Katanya, ‘Kennedy benar-benar memahami Bung Karno. Dengan tegas dan tanpa basa-basi, ia menyatakan pendapatnya tentang permohonan yang dirumuskan di
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
144 Belgrado. Ia mau berunding dengan Krushchev, tetapi ia tidak mau gagal dalam perundingan tingkat tinggi itu. Jadi, keadaan diplomatik di garis depan perlu diteliti dahulu. Ini dapat dipahami, mengingat pertemuan tingkat tinggi tahun 1961 di Wina yang gagal. Didirikannya tembok Berlin memang berkaitan langsung dengan the non meeting ofminds di Wina.’ Saya ceritakan pada dr. Zain bahwa JFK telah mempersiapkan perundingan dengan Nikita tahun 1961 itu dengan segala daya, hal yang belum pernah dilakukan dalam sejarah, ia membentuk regu yang terdiri atas pakar-pakar psikologi, sosiologi, antropologi, dan psikiatri menyusun tampang pemimpin Soviet itu. Regu ini diketuai oleh Profesor Bryant Wedge dari Universitas Tuft dekat Boston, seorang psikiater. ‘Kita mengingatkan JFK misalnya,’ demikian cerita Profesor Wedge belakangan kepada saya, ‘untuk tidak bersilat lidah atas dasar demokrasi, karena Krushchev buta huruf tentang tata laksana demokrasi Barat’. Profesor Wedge dari School for Law and Diplomacy di Tufts ini meyakinkan saya lebih lanjut bahwa setelah diteliti dengan cermat, Nikita Krushchev tampil dengan tampang simpatik. Saya tanyakan kepadanya, mengapa pertemuan Wina gagal, meskipun Presiden Amerika itu mempunyai buku pintar berisi cara beradu pikir dengan Krushchev. ‘Kegagalan itu disebabkan karena Kennedy kurang berpengalaman. JFK terlalu berhati-hati sehingga keliru mengesankan Krushchev sebagai Presiden Amerika yang lemah dan peragu,’ demikian Profesor Wedge. ‘Bayangkan,’ kata saya kepada dr. Zain, ‘andaikata Schermerhorn, Beel, Drees, Luns dan de Quay sejak 1945
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
145 sampai sekarang punya informasi yang dapat dipercaya tentang siapa Bung Karno sebenarnya, alangkah berbedanya jalan sejarah! Paling tidak ada hubungan yang baik antara Den Haag dengan Jakarta dan Bung Karno sudah berdiri mendampingi Juliana di balkon istana Soestdijk di Amsterdam. Dengan anggapan dasarnya yang hitam-putih, kaum politisi kristen Den Haag tidak mawas diri untuk memahami gawatnya perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kesalahan diri sendiri ditutup-tupi dengan menghitam-legamkan satu Soekarno. ‘Kami bersedia berunding dengan siapa saja,’ kata Drees dan Luns selalu di Tweede Kamer4. , tetapi tidak dengan Soekarno. ‘Mereka tidak sadar tengah menggali kuburan raksasa untuk Belanda di bekas Hindia Belanda.’ Dubes Zain menjawab, ‘Oleh sebab itu bangsa Amrika dapat memainkan peranan perantara yang bermanfaat bagi Belanda dan Indonesia. Mereka juga tidak memahami Asia, tetapi saat ini paling tidak mereka tidak punya beban berat masa lampau kolonial secara langsung. Presiden Kennedy jelas tidak melihat untungnya bertanya kepada Bung Karno, ‘Apa saran Anda dalam hal ini?’ ‘Justru itulah kalimat yang tidak pernah akan terucapkan oleh Schermerhorn, Beel, Drees, Luns dan De Quay. Itulah sebabnya hubungan di antara negara kita benar-benar hancur’, kata saya. Dr. Zain, ‘Suatu saat Bung Karno menarik tangan Presiden Kennedy dan mereka memisahkan diri untuk berbicara empat mata. Mungkin Bapak mau menjelaskan masalah Irian Barat
4.
Bagian dari Perwakilan Rakyat Belanda
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
146 dengannya dan mengatakan andaikata masalah ini terpecahkan maka hubungan dengan dunia Barat akan pulih kembali.’5. Tanggal 17 September 1961. Hotel Waldorf Astoria, New York. Waktu menunjukkan pukul 06:55. Dubes Zain menyelundupkan saya lewat gang ke apartemen presiden. Dr. Soebandrio sama sekali tidak boleh tahu bahwa saya dipertemukan dengan Soekarno. Ajudan Sabur dan Bambang Widjanarko telah siap berangkat dan keduanya menunggu dekat lift. Dubes Sukardjo Wirjopranoto meninggalkan ruangan tempat presiden dan berkata kepada saya, ‘Cepatlah ke sana, Anda akan berdua saja dengan Bapak.’ Soekarno sedang di kamar mandi. Saya menunggu. Ia mulai dengan berkata, ‘Saya berterima kasih untuk segala sesuatu yang telah anda lakukan, juga artikel dan surat-surat yang Anda kirim lewat Sabur’. Kami bicara singkat tentang Belgrado, kunjungannya baru-baru ini ke Gedung Putih dan kerusuhan di Belanda tentang Irian Barat. Saya perlihatkan juga kepadanya daftar ceramah saya yang akan saya sampaikan di Amerika Serikat. Pukul 07:15 Soekarno dan Sukardjo Wirjopranoto berangkat naik Cadillac, duduk di kursi belakang dan dr. Zain pada strapontin6.. Saya kembali ke studio saya di Long Island lalu saya tidur. Saya bermimpi mendengar Luns berkata, ‘Teleponlah saya’. Saya jawab, ‘Anda sudah dapat teman baru’. Traumdeutung7. saya serahkan
5. 6. 7.
Belakangan, di tahun 1966, Bung Karno menceriterakan rincian peristiwa itu kepada saya. Mereka berbicara di kamar tidur JFK. Strapontin (Perancis): kursi jeplak, bangku cadang di mobil. Traumdeutung (Jerman): tafsir mimpi.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
147 saja pada psikolog penganut Freud. Siang harinya saya kembali ke ruang diplomat di PBB dan mendapati Dubes Sukardjo Wirjopranoto, dr. Ali Sastroamidjojo dan diplomat Masfar dan Yusuf Ronodipuro dalam ruang tertutup. ‘Tahukah Anda apa yang dikatakan Bung Karno tadi pagi dalam mobil?’ demikian Pak Kardjo. ‘Sayang, masih ada orang Indonesia yang tidak mempercayai si Wim.’ Terdapat kecemasan ui gedung PBB, karena berita kecelakaan Sekretaris Jenderal Dag Hammerskjold saat bertugas di Kongo. Teman saya, diplomat Soviet Mike Polonik mengatakan kepada saya, ‘Kami menggerutui Hammerskjold. Kalian membunuh dia.’8. Saat meninggalkan gedung saya berpapasan lagi dengan Dubes Sukardjo di tempat menitipkan mantel. Bergandengan kami mondar-mandir di ruangan besar gedung itu. ‘Nanti akan saya ceritakan lebih banyak, tetapi Anda tetap dengan Bung Karno.’ Pulang ke rumah saya segera membuka Kamus Inggris susunan E. Pino dan T. Wittermans.9. Tetap dalam bahasa Indonesia berarti konstan, kuat, berani, pasti, permanen, tahan (lama), berakar, kekal, tidak berubah dan lestari. Perasaan itu timbal balik dan tumbuh makin mendalam selama lima tahun saya mengenalnya. Saya tahu akan hal ini. Perasaan itu tetap ada, meskipun teman saya telah meninggal dua puluh lima tahun yang lalu.
8. 9.
Belakangan memang diumumkan kecurigaan Hammerskjold dicelakai dengan sengaja. J.B. Wolters, Jakarta, Groningen, 1955.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
148
Perserikatan Bangsa-Bangsa (1961) Tanggal 26 September 1961 Luns membacakan pidato dua belas halaman di Sidang Umum PBB, delapan halaman berkaitan dengan masalah Irian Barat. Inti ceritanya ialah ia bermaksud hendak menitipkan masalah itu selanjutnya di tangan PBB. Enam belas tahun sejak diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia, politik Den Haag masih selalu merasa ‘tertusuk duri ikan di kerongkongan’ dan tidak mampu mengatakan ‘sorry’ kepada Soekarno. Anda menang. Mereka masih selalu mencari cara yang tidak jujur, jalan elak untuk menghindar dari keharusan mengakui kekalahan mereka. Memang pada hakikatnya kita adalah jenis manusia angkuh dari Uber Germanen, merasa dirinya unggul sebagai orang Eropa dan boleh membenci yang lebih rendah, apa lagi bila menyangkut ‘pribumi’ dari dunia Timur. Inilah yang mengingatkan kita akan kata-kata Multatuli bahwa orang cukup melihat Bupati Lebak untuk segera yakin bahwa
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
149 kebanyakan orang Eropa yang berhubungan dengan dia lebih banyak belajar dari dia daripada sebaliknya. Luns, dengan mulut besarnya terhadap orang Indonesia, tidak mengenal Max Havelaar-nya, tidak satu suku kata pun dipahaminya. Namun tahun 1961 ia masih juga berbicara lantang atas nama kerajaan, juga di gedung PBB. ‘Luns boleh saja bicara semaunya,’ tukas Dubes Sukardjo setelah pidato itu selesai dibacakan. ‘Akhirnya akan segera ada perundingan bilateral antara Belanda dan Indonesia dan Tuan Luns Anda akan terampok habis-habisan.’ Dan demikianlah yang terjadi. Kesibukan di New York bergema. Bung Karno mengirim orang kelas berat, seperti Sudjarwo Tjondronegoro ke Amerika Serikat memperkuat regu Indonesia. Profesor Muhammad Yamin yang paling jagoan itu membuat markas besarnya di Hotel Plaza. Dubes Zain pun selalu ada di sana. Mereka menyatukan semua pikiran mereka. Paul Rijkens sendiri dan dr. Emile van Konijnenburg juga muncul lagi di New York, ikut-ikutan tegang. Profesor Yamin minta saya segera membawa Pak Kelinci kepadanya, karena ingin tahu lebih banyak tentang pendapat orang di Den Haag dan apa yang dimainkan orang di balik layar. Dubes Sudjarwo berkata kepada saya, ‘Kami sungguh-sungguh mengira Luns akan mencari jalan keluar bagi sengketa kita. Tetapi rupanya tidak demikian. Nah, bila Belanda tetap menolak, kita akan berbuat sama, juga di Irian Barat. Maka kita akan menyelesaikan masalah ini tanpa bantuan Belanda.’ Dubes Indonesia untuk Kanada, Lambertus Palar, yang juga
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
150 berada di New York, berkata kepada saya, ‘Luns membuat kebijakan putus asa’. Dubes Sukardjo, ‘Saya kasihan kepada orang Belanda’. Diplomat Yusuf Ronodipuro, ‘Pidato Luns dan informasi dari Rijkens dan Van Konijnenburg mendesak kita untuk menulis ulang pidato yang akan dibawakan dr. Soebandrio. Kita perlu kerja keras sepanjang malam, ‘bongkar terus.’ Dubes Zain menceritakan saya pembicaraannya dengan Menlu Amerika, Dean Rusk. Saya mengingatkan dia akan pembicaraan Bung Karno dengan JFK (Jhon F. Kennedy) di Gedung Putih, yang juga dihadiri Rusk. ‘Pada kesempatan itu Anda berkata agar lewat kontak tak resmi, harus terselenggara perundingan resmi antara Den Haag dan Jakarta, Kita selalu berharap, Mr. Secretary, barangkali Amerika Serikat mau berinisiatif membereskannya.’ Dr. Zain berkata bahwa Rusk tampak terkejut mendengar pernyataan ini, seakan ia tiba-tiba sadar telah melupakan suatu masalah yang genting. ‘Saya jelaskan kepadanya,’ lanjut Pak Dubes, ‘bahwa situasinya jadi makin gawat, Indonesia sekarang tidak sama dengan Indonesia dua puluh tahun yang lalu bukan? Dulu mungkin kita bodoh dan naif. Sekarang kita tidak mau dihina. Jenderal Nasution juga telah menegaskan hal ini pada hari angkatan perang. Persoalannya hanya apakah Washington masih mau direpotkan dengan masalah baru di Irian Barat, di samping kekacauan di Laos dan Vietnam.’ Diplomat Indonesia ini menjelaskan adanya perpecahan di Departemen Luar Negeri di Washington. ‘Ada kelompok yang memihak Chester Bowles. Kelompok lain memihak Chip
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
151 Bohlen. Keputusan terakhir memang ada di tangan JFK. Tetapi rupanya ia tidak berhasil menyatukan aparatnya.’ Sementara itu Zain bertemu dengan diplomat Belanda C.D. Barkman. ‘Mana idealisme yang kalian pakai ketika berperang melawan Jerman?’ katanya kepada diplomat Belanda itu. Apa yang kita sepakati waktu itu? Ketika Barkman kemudian berdalih munafik yang didasarkan atas perintah Luns, maka saya jawab, ‘Sekarang ini Anda cuma jadi kawulanya si Luns.’ Dalam buku kenang-kenangannya yang terbit tahun 1993, Barkman menggambarkan Zain sebagai ‘orang Batak yang sangat cerdas, galak dan tidak sabaran, tetapi halus perasaannya tentang politik dan sangat paham hukum tata negara’.1. Yang saya herankan ialah penegasan Dubes Zain bahwa sekarang, Profesor Muhammad Yamin-lah yang langsung bertanggung jawab kepada Bung Karno sebagai penasihat utama dalam masalah Irian Barat, dan bukan lagi yang saya duga sebelumnya, dr. Ruslan Abdulgani. Sementara itu pembicaraan Rijkens dan Emile van Konijnenburg dengan petinggi diplomasi Indonesia di New York itu bocor juga ke Belanda. Dengan sikap pengecutnya yang sudah saya kenal itu, Paul Rijkens berkilah bahwa ia ‘kebetulan saja’ ada di New York. ‘Kebetulan’ ia bertemu dengan para pembantu utama Soekarno, tetapi ‘kebetulan’ pula mereka tidak membincangkan masalah Irian Barat. Di parlemen Den Haag sebenarnya ada suara-suara yang menyarankan agar menarik
1.
Bestemming Jakarta, Van Soeren & Co, Amsterdam, 1993.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
152 paspor Rijkens dan Van Konijnenburg! Kedua orang itu kembali terkencing-kencing, takut ancaman itu akan terlaksana, sehingga bohongnya berlebihan. Rasa hormat saya akan tuan-tuan kelompok Rijkens saat itu anjlok sampai di bawah ukuran Amsterdam. Maka saya menulis surat kepada Rijkens bahwa saya akan membuka kebohongannya di ANP2. dan berupaya meralatnya dengan berbagai cara. Tahun 1965 Paul Rijkens menulis kenangannya dalam buku peringatan Handel en Wandel.3. Di situ ia menulis, bahwa ia menelepon dr. Zain di ‘Hotel Plaza’. Maka ia diundang pak dubes dan Profesor Yamin. Mereka mengatur pertemuan bersama dengan Soebandrio, dan di sini Rijkens bersumpah di depan petinggi Indonesia itu, dengan tidak terlalu mencolok ia akan menanggapi dendam kesumat Luns sehingga sengketa Papua tidak jadi makin parah. Di tahun 1965 memang semua orang sudah lupa bahwa dia, pada tahun 1961 ‘kebetulan’ berada di New York. Andaikata para wirausahawan kelompok Rijkens, atau anggota parlemen dan wartawan di tanah air lebih punya nyali memutar haluan sikapnya terhadap Indonesia segera setelah penyerahan kedaulatan, maka negara kita di tahun 1995 tidak akan ditempatkan di deretan paling belakang di negeri ‘macan baru’ yang terkuat dari Asia Tenggara ini, seperti yang telah terjadi. Ketika itu Dubes Zain menceritakan kepada saya jalannya pertemuan yang tujuannya akan berdamai di antara Luns dan
2. 3.
Algemeen Nederlandsch Persbureau, Kantor Berita Belanda Ad. Donker, Rotterdam, 1965, hal. 180.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
153 Profesor Yamin serta dirinya. ‘Sepuluh menit pertama Luns bersikap marah dan tampak gugup. Yamin dan saya memahami hal itu dan menenangkannya. Ia mulai menjelaskan bahwa di tahun 1955 ia ditugasi berkunjung ke Indonesia tetapi Presiden Soekarno menolak menerimanya secara khusus. Goblok benar,’ demikian dr. Zain, ‘hanya karena membesarkan soal sepele itu ia telah menghinakan dirinya sendiri. Dengan kulit badaknya Luns bahkan tidak menyadari hal ini. Maka ia pun memberitahu bahwa orang Papua bukan orang Indonesia dan Irian Barat sama sekali bukan milik Indonesia. Waktu itu saya katakan kepadanya: ‘Kalau begitu kita dapat membagi-bagi Indonesia menurut suku bangsa, itukah yang Anda maksudkan?’ Apabila ia sudah merasa berdiri di bara panas, maka ia menoleh kepada Schuurtje, dan berkata: ‘Betul ‘kan begitu, Pak Dubes?’4. Maka Schurmann mulai mengocehkan pendapatnya sendiri sebagai dubes betulan di depan menterinya. Saya sendiri menukasnya dengan suara lantang: ‘Nah sekarang Schurmann mulai berputar-putar.’ Saya tidak berniat mencemburui Schurmann ini, di tempat kami, negara muda di Asia, duta adalah penyusun kebijakan juga. Saya tidak akan berbicara begitu terbuka di depan Profesor Yamin.’ Zairin Zain melanjutkan, ‘Lagi pula, suatu saat Profesor Yamin berkata kepada Luns,’ Anda juga berpendapat bahwa kedua negara kita bisa bersepakat lebih baik bukan?’ Tetapi Luns kemudian mulai melantur lagi dengan mengatakan betapa
4.
Yang disebut Schuurtje ialah tuan Cari Schurmann, wakil tetap Belanda di PBB, yang hadir dalam pertemuan itu.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
154 jeleknya kita, orang Indonesia, karena telah melanggar kesepakatan Unie dan karena itu tidak punya dasar untuk membicarakan masalah Irian Barat. Apa yang selalu dilewatkan ialah bahwa Unie Indonesia-Belanda justru dilanggar karena Den Haag secara psikologi tidak dapat menerima kehilangan Hindia Belanda. Pihak Indonesia menanyai Luns apakah setelah ia menjelaskan resolusinya tentang masalah Irian Barat di Sidang Umum PBB, ia dapat mencapai dua per tiga suara lebih, seperti yang diharapkannya? ‘Apa yang kita lakukan sesudah itu,’ demikian Profesor Yamin, ‘terutama bila rakyat Indonesia tidak menyetujui resolusi Anda? Dan apa yang akan terjadi, apabila kita dapat menyepakati resolusi Anda? Maka keadaan genting ini akan terus berlanjut. Masalahnya hanya bisa selesai bila ada perundingan bilateral di antara kita.’ Luns tetap berputar-putar dari inti masalah. ‘Saya katakan terus terang kepadanya,’ demikian Dubes Zain, ‘itu tidak benar, Yang Mulia, kita bisa berunding dengan baik’. Tetapi Luns bersikukuh bahwa titik tolak berpikir kita memang berbeda, karena Belanda tetap akan memegang teguh haknya sendiri atas Papua. Ia sama sekali tidak dapat menjawab mengapa kita tidak segera saja membuka hubungan tak resmi dan mulai berunding. Profesor Yamin adalah orang satu-satunya yang dapat mempertanggungjawabkan hubungan langsung dengan Belanda ini kepada Bung Karno. Saat itu saya langsung berkata kepada Luns, ‘Anda tidak akan dapat mencapai dua pertiga lebih di Sidang Umum PBB,’ suatu hal yang sebetulnya ingin dikatakan Profesor Yamin secara tidak
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
155 langsung. Inilah titik lemah Luns, sebab ketika saya tanyakan kepadanya apa yang akan dilakukannya bila hal itu terjadi, ia menjawab, ‘Saya tidak bisa mengatakannya kepada Anda. Saya tidak mau menyulitkan diri saya sendiri.’ Suasana pembicaraan diplomatik yang sangat penting ini cukup menyenangkan, dibumbui dengan guyonan khas Belanda. ‘Sesudahnya kami pergi ke hotel tempat Menlu Luns menginap,’ demikian Pak Dubes, ‘dengan itu kita tunjukkan bahwa kita selalu bersedia menempatkan diri. Menlu Soebandrio juga sadar, pertemuan dengan Luns agak berisiko bagi wibawa kita, tetapi kita tetap menunjukkan kesediaan kita. Kita tidak takut, Luns takut. Kita yakin akan posisi kita dan karena menyangkut urusan genting, kita bersedia menerjang bahaya.’ Dr. Zain juga menyadari betapa Schurmann terlihat enggan mengikuti permainan menterinya. ‘Untung saya tidak berada dalam posisi demikian,’ katanya. ‘Kadang-kadang saya merasa sangat senang. Para Dubes Belanda sama sekali tidak dapat memberikan saran positifnya kepada menteri ini. Saya tidak mau berbicara banyak, tetapi di new emerging nations kita ini, dengan munculnya angkatan muda yang cerdas, kita telah bertugas dengan baik sebagai dubes.’5. Sampai Oktober 1961.
5.
Atas dasar pembicaraan ini saya menulis memorandum dan mengirimkannya ke Ratu Juliana, perdana menteri Jan de Quay, Paul Rijkens dan dr. M. van Blankenstein, sang wartawan, di Konijnenlaan 3, Wassenaar.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
156
Perserikatan Bangsa-Bangsa (1962) Sementara itu perundingan-perundingan mengenai Irian Barat dimulai di Middleburg, Virginia. Sampai saat itu Jhr. Mr. J.L.R. Huydecoper van Nigtevecht tanpa diragukan telah menerbitkan laporan yang paling berharga mengenai pelaksanaannya, berkat dukungan dana dari Pangeran Bernhard..1 Saya mengenal Huydecoper tahun 1957 sebagai seorang diplomat muda di Jakarta. Dia berada di sana dari tahun 1956 sampai 1959. Karena pada masa itu hubungan resmi tidak ada, yang jelas tidak dengan Presiden Soekarno sendiri, dia tidak pernah mendapat kesempatan untuk bertemu secara akrab dengan pemegang kekuasaan yang tertinggi di Indonesia. Akibatnya tentulah dalam retrospeksi mengenai studi ini, ia mengemukakan hal-hal yang sama sekali
.1
Niewe-Guinea: Het einde van een koloniaal beleid, SDU Uitgeverij, 's-Gravenhage 1990.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
157 tidak benar mengenai Presiden pertama Republik Indonesia itu. Huydecoper misalnya mengatakan, Bung Karno adalah ‘seorang pribadi yang wataknya tak dapat diperhitungkan’, ini menurut contoh yang diambilnya secara acak. Diplomat Belanda itu berusia empat tahun ketika Bung Karno lulus sebagai insinyur-sipil di Bandung dan memulai peijalanan suci untuk membebaskan negerinya dari kolonialisme. Saya kira, Soekarno tidak akan bisa menjadi bapak suatu bangsa apabila ia tidak memiliki karakter yang amat teguh dan ketabahan besi untuk melaksanakan perjuangannya melawan imperialisme sampai titik terakhir. Bila Huydecoper berulang kali mengatakan Bung Karno yang pemah mengatakan bahwa dia adalah seorang ”fanatikus Irian Barat”, maka itu menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak tahu dan tidak memahami siapa sebenarnya pemimpin Revolusi Indonesia itu. Kalaupun ia pernah mengatakannya, maka itu dimaksudkan sebagai suatu ejekan. Seorang fanati-kus tidak akan mempertimbangkan dengan masak-masak dari Tahun 1945 sampai 1962, bagaimana dapat membebaskan bagian daerah Irian Barat dari cengkeraman Den Haag tanpa peperangan. Bung Karno, si fanatikus itu adalah pemimpin pertama dan terakhir Indonesia baru ini yang benar-benar peduli untuk mengakhiri masa lalu dan pada tahap pertama mengadakan awal bara justru dengan Belanda. Segi inilah dari alam pikiran Bung Karno yang juga tidak diketahui mantan Dubes Huydecoper. Sebaliknya saya mengetahui betul, seperti juga Paul Rijkeus, Koos Scholtens, Emile van
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
158 Konijnenburg, Cornelis Velorme, Diamantair Asscher dan teman-teman sebangsaku yang lain, yang pada tahun-tahun yang sulit itu bisa berhubungan dengan dia, sependapat dengan saya. Tetapi peribahasa yang mengatakan bahwa lebih mudah membelah atom daripada praduga,2. bagi Huydecoper tentu berlaku. Zairin Zain juga berpendapat sama mengenai analisis karakter yang selanjutnya tentunya juga keliru seperti Hyudecoper mengenai pendapatnya tentang Soekarno. Zein dikenalinya karena duta besar di Washington erat hubungannya dengan perundingan-perundingan yang diadakan di Middelburg itu. ‘Tntervensi Zain’, demikian kata Huydecoper, ‘karakter lain sama sekali’. Selalu menonjol dalam ketajaman malah kadang-kadang dalam kekasaran berbahasa. Sering penuh dengan tuduhan kepada Belanda berhubung dengan kejahatan-kejahatan yang riil dan kejahatan yang tidak benar yang telah dilakukan pada masa lalu. Akibatnya, hampir selalu perundingan-perundingan kemudian bersuasana canggung dan melenceng dari tujuan konstruktif. ‘Saya kira’, demikian Huydecoper, ‘ada dua penjelasan mengenai tindakannya itu. Pertama, Zain takut dituduh terlalu pro-Belanda oleh teman-teman sebangsanya karena telah lama dan banyak berhubungan dengan negeri saya. Kadang-kadang ketakutannya itu disampaikan juga kepada kami. Nada agresif itu tak pernah ia perdengarkan kepada kami bila tak
2.
The Nature of Prejudice, Gordon Allport. Harvard University Doubleday Anchor, New York, 1958 hal. XI.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
159 ada orang Indonesia di sekitar kita’. Huydecoper menggambar sebuah karikatur Zairin Zain, yang sama sekali bertolak belakang dengan gambaran saya tentang orang Batak yang saya kenal lebih dari dua puluh tahun itu. Berulang kali ia menandaskan bahwa pendirian-pendirian Belanda dan Indonesia yang ditujukan bagi telinga Barat harus diuraikan dengan jelas. Dibandingkan dengan perunding-perunding lain masa itu, seperti Sudjarwo, Malik atau Sukardjo Wirjopranoto, di masa Huydecoper, Zain memang berbahasa kasar3.. Tetapi praduga bahwa Dubes Zain ketakutan akan dituduh pro Belanda, adalah pendapat yang tidak masuk akal, yang sama sekali tidak beralasan. Zain adalah orang yang jujur dan langsung akan mengatakan maksud dan tujuannya dan bukan ‘pintar-busuk’4. seperti yang digambarkan oleh Huydecoper. Diplomat Belanda dan psikolog amatiran ini menyiapkan ‘makanan yang tak dapat dicerna’, tentang teman sejawatnya. Tanggal 15 Agustus 1962 persetujuan mengenai Irian Barat ditandatangani di ruang Dewan Keamanan PBB di New York. Luns menyerahkan urusan kapitulasi kepada duta besarnya di Washington, dr. JH van Royen. Dari tribun yang disediakan bagi pers, saya menyaksikan berakhirnya drama Irian Barat ini dan menyadari bahwa tujuh belas tahun yang diperlukan Den Haag untuk menyadari realitas-realitas baru di Asia, dan menghadapi kenyataan itu, ditambah dengan sebuah tendangan pada bagian belakang Tuan Luns dari JFK, sebab kalau tidak,
3. 4.
ruw achter de mouw
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
160 pada 15 Agustus 1962 itu akan terjadi pertumpahan darah secara besar-besaran. Mula-mula PBB akan melaksanakan mandat dalam waktu yang tidak terlalu lama, tetapi kemudian merah-putih akan dikibarkan secara permanen di sana. Tahun 1962, di samping menyelesaikan urusan Papua, Soekarno masih harus menghadapi hambatan lain. Tangan kanannya, teknokrat Ir. Djuanda, meninggal secara mendadak. Mereka berdua justru baru saja menyusun rencana-sekian tahun (DEKON) untuk perubahan ekonomi-finansial. Setelah meninggalnya Djuanda, atas kedudukannya sebagai Menteri Pertama, Bung Karno membentuk trio, yang terdiri dari Subandrio, Chaerul Saleh dan Johannes Leimena. Sejak bertahun-tahun presiden mengira bahwa lingkungannya yang terdekat terdiri dari para pejuang yang bermotivasi tinggi dan mempunyai keterikatan yang kuat kepada bangsa seperti dirinya. Dalam prakteknya, ketiga pejabat yang disebut tadi saling membenci dan saling tidak menyukai. Tambahan pula Subandrio dan Saleh saling berebut untuk mengganti Soekarno. Di samping itu keresahan makin menjadi-jadi dalam tentara Indonesia, yang bukti-buktinya selalu disampaikan kepada saya oleh kurir khusus Jenderal Nasution, Ujeng Suwargana, tanpa saya minta. Saya bawa dia ke restoran favoritku di Greenwich Village, ‘Finale’ yang mempunyai taman di dalam, penuh meja kursi untuk makan malam. Dari pertemuan itu jelas bagi saya bahwa telah dibentuk ‘Dewan Jenderal’5. dengan tujuan khusus untuk
5.
Raad van Generaals
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
161 menjatuhkan Bung Karno. Jenderal Nasution akan menjadi Presiden Republik. Atas pertanyaan saya kapan coup-tentara itu akan dilaksanakan di Jakarta, jawabnya hanyalah: ‘Wait and see!’. Informasi itu segera saya sampaikan kepada Duta Besar Sukardjo Wirjopranoto, yang sangat terkejut ketika mendengarnya. Tahukah dia siapa Ujeng itu? ‘Ya’, jawabnya, ‘seorang yang terlalu banyak bicara’. Sukardjo menyarankan agar saya jangan mempedulikannya. ‘Apakah Bung Karno tidak perlu diberitahu?’ tanyaku. ‘Presiden mengetahui semua,’ jawab duta besar. Tetapi soal itu tidak lepas dari pikiran saya. Beberapa minggu kemudian datang seorang teman lain ke New York, Kolonel Sriamin, yang berkecimpung dalam industri kina di Indonesia. Saya bawa dia ke restoran yang sama. Dugaan bahwa perwira-perwira tinggi Indonesia berniat untuk menggulingkan negara, sesuatu yang amat menggelikan. ‘Tidak mungkin! Dari mana Anda dapat berita tak benar itu?’ Tetapi Sriamin tidak mengenal Ujeng Suwargana, apalagi mengetahui bahwa orang tersebut adalah tangan kanan Nasution. Soal itu tetap mengusik saya. Lagi-lagi saya ke duta besar Sukardjo Wirjopranoto, yang sekarang baru mau mengirimkan suratku untuk presiden lewat kurir diplomatik. Tanggal 28 Juni 1962 saya memberikan ceramah di Universitas Wisconsin di Madison. Saya bercerita kepada para mahasiswa bahwa menurut keterangan yang berasal dari lingkungan Nasution, di Jakarta sedang dipersiapkan suatu coup oleh tentara. Associatied Press menyebarluaskan
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
162 intisari ceramah saya itu. Jakarta menyangkal dengan sengit6.. Seorang juru bicara tentara juga ikut dalam ‘kegegeran’ ini. Yang mencolok beberapa minggu kemudian Nasution dipindahkan ke tugas yang lebih bersifat seremonial dan Jenderal Yani ditugaskan memimpin Angkata Darat. Selama tahun 1962-1963 Soekarno mencari keseimbangan antara demokrasi banyak bicara dan konsep ‘demokrasi terpimpin’ yang mengandalkan pemerintahan dengan tangan besi. Sebenarnya yang berdinas penuh dalam negara adalah kabinet presidentil dan Dewan Pertimbangan Agung. Presiden sibuk mengurusi tuan-tuan yang saling bertengkar dan selalu mengingatkan mereka, seperti yang ditulisnya dalam Otobiografinya, ‘Saya tidak mau ada rame-rame di sini. Cobalah sekali-sekali buka baju partaimu dan tinggalkan di rumah’, begitu kata-katanya. ‘Yang penting di sini ialah membangun negara ini. Masukkanlah baju partai kalian dalam air pemutih’. Hambatan yang tak terelakkan terjadi tahun 1963, yakni terbunuhnya Kennedy di Dallas. Bung Karno berinvestasi besar-besaran pada Presiden Amerika yang muda ini. Dua kali dia berkunjung ke Washington. Robert Kennedy dua kali juga berkunjung ke Indonesia. Ini tidak berarti bahwa persekongkolan CIA di Indonesia berhenti, tetapi hubungan dengan Amerika Serikat mengalami fase yang relatif tenang, juga dengan adanya Howard Jones sebagai duta besar di Indonesia.
6.
lihat: Indonesian Observer, 27 Juli 1962.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
163 Wafatnya Kennedy membawa perubahan-perubahan yang amat cepat. Masa penuh damai antara Washington dan Jakarta berubah dari hari ke hari. Segera setelah Gedung Putih ditimpa kemalangan, Lyndon B. Johnson menandatangani sebuah dekrit yang memenuhi permohonan yang amat didambakan CIA, yakni menahan komunisme yang muncul dari Cina di daratan Vietnam seperti yang terjadi di tahun lima-puluhan di Korea. Keputusan itu mengakibatkan bekerjanya mesin militer Amerika dengan penuh tenaga, yang oleh Bung Karno dianggap sebagai Lebensraum Indonesia yang langsung. Akhirnya sekarang orang-orang Belanda itu pergi dari daerah yang secara strategis amat penting -- termasuk kapal induk ‘Karel Doorman’-- dan sesegera itu pula para Yan-kee masuk untuk menyebar maut dan kesengsaraan. Operasi LBJ di Asia Tenggara amat dikutuk oleh Soekarno. Begitu juga Malaysia yang atas pilihannya sendiri tetap menjadi semi-koloni, yang pasti selama tentara bersenjata Inggris dan maskas-markasnya berada di daerah Malaysia. Sementara itu sebagai tetangganya, saya kemudian bersahabat dengan ‘Profesor’ Verrips. Awalnya ialah karena saya merasa bertanggung jawab atas orangtua saya yang waktu itu sudah berusia lanjut dan saya tidak akan mempertaruhkan hidup mereka terhadap bahaya apa pun karena perang gerilya dari pihakku terhadap mata-mata CIA itu. Dia menyampaikan kepadaku analisis yang terperinci tentang perkembangan di Indonesaia, yang secara mengejutkan menunjukkan bahwa dia amat banyak mendapatkan informasi. Menteri Subandrio digambarkan sebagai seorang yang licik dan sangat berbahaya
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
164 -- yang bagi saya merupakan berita basi -- karena tindakannya membahayakan usaha Bung Karno, yang sesuai cara tradisional mencari jalan tengah untuk mengendalikan tentara dan PKI dalam koeksistensi yang bermanfaat. Keseimbangan politik antara tentara7. dan Partai Komunis Indonesia malah telah terputus. Karenanya, pemerintah Soekarno yang dalam laporan Verrips dilukiskan sebagai diktatur, dalam bahaya. Sejak September 1962, hal itu telah beredar sebagai rahasia. Masih harus berlangsung sampai 1965, jadi sampai keempat puluh tahun kepemimpinan Soekarno maka rumah kartu politik yang dirancangnya akan ambruk. Laporan CIA8. yang diberikan ‘Profesor’ Verrips kepadaku, benar-benar merupakan perpanjangan percakapan-percakapan saya dengan Ujeng Suwargana, wakil Nasution. Tahun 1962, Kepala Negara Malaka, Filipina dan Indonesia bertemu di Manila untuk membicarakan perkembangan di Asia Tenggara saat itu. JFK masih jadi presiden dan perang Amerika besar-besaran di wilayah ini tidak diduga. Saat itu perhatian lebih besar pada terlaksananya Federasi Malaysia yang akan datang, yang terjadi dari sisa-sisa kolonialisme Inggris di wilayah itu. Telah disepakati bahwa koloni-koloni kerajaan Sabah dan Serawak, begitu juga protektorat Brunei dalam suatu referendum bebas menentukan hari depan mereka. PBB akan mengorganisasi referendumnya dan mengawasi pelaksanaannya. Jakarta dan Manila akan mengirimkan peninjau.
7. 8.
leger Lihat teks lengkap: Den Vaderland Getrouwe, Bruna, 1973.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
165 Melanggar kesepakatan-kesepakatan itu serta dengan dukungan Washington dan London, Malaka melaksanakan niatnya, dan tanggal 16 Agustus 1963, Federasi Malaysia diumumkan tanpa diikuti Brunei. Soekarno sangat marah. Dengan fait accompli, Barat telah bertindak semaunya dan seenaknya sendiri melanggar kesepakatan yang telah dilakukan penguasa-penguasa Asia Tenggara secara bersama. Dengan tindakan itu Barat telah menekan Kuala Lumpur dengan tangan yang kuat, yang amat membantu rencana perang besar-besaran melawan komunisme di Vietnam. Bila mereka inginkan, Inggris bisa mempertahankan basis-basis militernya di Malaysia, seperti halnya Amerika yang memiliki basis-basis kekuatan udara dan armada yang kuat di Philipina. Menurut Soekarno bangsa-bangsa serumpun yang berada di Filipina dan semenanjung Malaysia belum bebas dan merdeka. Presiden Indonesia memanggil Howard Jones dan menandaskan kepadanya dengan kata-kata pedas bahwa mereka tidak sabar menunggu hasil referendum dan secara unilateral memproklamirkan sebuah negara bani di daerahnya, bertentangan dengan persetujuan yang telah disepakati bersama. Bukankah Indonesia merupakan faktor yang dominan di Selat Malaka? Bung Karno menganggap seluruh affair (urusan) itu sebagai suatu ‘persoalan prinsip’, seperti yang diungkapkan dalam Otobiografinya. Masa sudah lama lewat di mana penguasa-penguasa Barat, antara lain Amerika Serikat, bisa berbuat semaunya dan seenaknya di wilayahnya, apalagi masih tetap berkuasa di Kuala Lumpur lewat antek-anteknya.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
166 Tanggal 16 September 1963, Indonesia dan Filipina secara bersama mengumumkan bahwa mereka tidak akan mengakui Federasi Malaysia secara diplomatik. Akibatnya, kaum remaja melempari Kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur. Tentu saja kaum muda Indonesia juga dengan segera menyerbu Kedutaan Malaysia dan Inggris. Duta besar Inggris Sir Andrew Gilchrist kemudian menyuruh atase militernya menaiki atap rumah untuk secara provokatif menyajikan sebuan konser doedelzak (alat musik tradisional). Tindakan tersebut menyulut kemarahan para penyerbu. Mereka mendobrak pagar dan membakar Rolls Roys duta besar. Ttanggal 17 September 1963, Malaysia memutuskan hubungan diplomatik dengan Indonesia. Tanggal 18 September 1963 suasana memuncak kembali dan kali ini kaum muda membakar Kedutaan Inggris. Itulah permulaan politik konfrontasi antaranegara tetangga Malaysia dan Indonesia, yang selama bertahun-tahun diberitakan dalam media Barat sebagai hasil pemikiran seorang Soekarno yang megalomanis. Juga dalam konfrontasi dengan Kuala Lumpur, secara prinsipiil dan fundamental Bung Karno benar. Tanggal 5 Oktober 1964, dalam perjalanan ke medan perang di Vietnam, saya mendarat di Kuala Lumpur. Suasana pada masa itu memang seolah negara ini masih diperintah oleh London. Saya mengunjungi Menteri Penerangan, Bin Abdul Rahman, seorang teman Duta Besar Zein yang sudah saya kenal sebelumnya di New York. Dengan sangat mengejutkan dia mengatakan kepada saya bahwa pemerintah Malaysia benar-benar takut, jangan-jangan Soekarno akan memperguna-
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
167 kan argumen-argumen yang sama seperti yang diajukan saat pembebasan Irian Barat. ‘Kalian benar-benar tidak mengenal Bung Karno’, jawabku. ‘Bukan itu persoalannya. Persoalan dengan Irian Barat adalah bahwa Indonesia berjuang untuk kebebasan Irian Barat demi keutuhan Hindia-Belanda. Dia bukan seorang imperialis yang berwarna kulit sawo matang, yang bermaksud untuk menindas bangsa-bangsa serumpun. Yang dimaksudkan adalah kebebasan Malaysia. Kebebasan dari pengaruh-pengaruh Inggris dan Amerika di sini, apalagi dari basis-basis militer Barat. Tambahan pula negara Anda tidak menepati kesepakatan yang telah dibuat di Manila. Berdirinya Federasi Malaysia dirasakan sebagai serangan Barat terhadap negara-negara tetangga’. ‘Ya, tetapi duta besar Indonesia, Gusti Djatikusumo melakukan suatu operasi subversif yang sangat rahasia dengan nama sandi Zeus. Sudah berpuluh-puluh agen rahasia Indonesia yang masuk negara kami lewat Singapura. Apalagi Peking terang-terangan berpihak pada Soekarno yang menyebabkan bertambahnya rasa tak menentu di pihak kami’, jawab Menteri Rahman. ‘Tentu saja Cina mendukung tiap aksi yang bertujuan untuk mengakhiri kehadiran militer super power Barat dan mitra Inggrisnya di dalam lingkungan terdekat Cina dan Indonesia. Mengapa Malaysia tidak benar-benar berdiri sendiri dan masih terus berlindung di bawah payung Barat? Soekarno menginterpretasikan sikap itu sebagai suatu bentuk pengkhianatan terhadap Asia yang otonom dan bebas’.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
168
New York (1964) New York mempunyai daya tarik yang amat disukai orang-orang Indonesia. Banyak mahasiswa yang tinggal di sana, beberapa di antaranya tinggal bersamaku untuk waktu yang lama. Dengan cara begitulah saya mengenal penyair Rendra. Teman-teman dari Jakarta juga sering mampir1.. Wakil Nasution, Ujeng Suwargana menjadi tamu yang sering datang. Dalam suatu pertemuan yang tak sengaja di toko ‘Macy's’, terbukti bahwa dia juga memiliki laporan ‘Profesor’ Verrips. Bagaimana tidak? Kedua orang itu berorientasi CIA. Pada kesempatan lain saya melihat dia di kantor atase militer di kedutaan di Washington, sedang sibuk bekerja di belakang mesin ketik. Pada waktu itu atase militernya adalah Jenderal Surjo Sularso. Pak Ujeng mempergunakan fasilitas pemerintah Soekarno untuk bersama dengan CIA melawan penguasa yang resmi di Jakarta. Aku
1.
langskomen.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
169 malah dua kali makan malam dengan orang tersebut di ‘Finale’. Pada waktu itu ia mengatakan sesuatu yang antara 1967 dan wafatnya Soekarno pada 20 Juni 1967, benar-benar terjadi. Ujeng berkata, ‘Kami akan mengisolasi Soekarno dan membiarkannya mati seperti sekuntum bunga yang tidak diberi air’. Dan memang perlakuan-perlakuan itulah yang dilaksanakan rezim Soeharto kepada Soekarno. Sementara itu, seorang kawan lama, Kolonel Sutikno Lukitodisastro dipindahkan ke biro atase militer di Washington2.. Tanggal 18 Oktober 1964, dia meneleponku di Long Island dan memberitahukan bahwa ada seorang jenderal dari Jakarta yang menginap di kamar 1040 Hotel Hilton New York di Sixth Avenue dan ingin berbicara dengan saya. Dia bekerja untuk dinas penerangan militer dan kabarnya menjadi orang kepercayaan Bung Karno. Saya justru ingin mengetahui bagaimana perkembangan di Jakarta, karena Presiden berpegang teguh pada nasionalis, religius dan komunis dalam suatu negara, yang saya ketahui bahwa justru karena itu makin banyak orang Indonesia meninggalkannya dan mempertanyakan kepemimpinan Soekarno. Saya diterima oleh seorang bapak yang ramah dengan pakaian yang sesuai ukuran badannya, yang ternyata adalah Jenderal S. Parman. Dia bercerita bahwa ia harus memberi laporan 3 kali seminggu secara pribadi kepada presiden. Tidak ada satu alasan pun untuk mencemaskan kesehatan dan kepribadiannya. ‘Dia dalam keadaan yang sangat baik’ cerita
2.
Saya kenal dia sejak tahun 1957 melalui Yon Garuda I di Mesir.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
170 Parman. ‘Saya mengenal Bapak sudah sejak saya baru berusia 16 tahun. Setelah peristiwa Oktober dalam tentara3., mula-mula Kolonel Lubis adalah pilihannya. Tetapi setelah Lubis kemudian melangkah ke jalan yang salah, yakni dengan melibatkan diri dengan pemberontakan (CIA) di Padang pada tahun 1958, hubungan antara Bapak dan saya baik kembali. Sebelum itu saya sama sekali tidak dikenal atau ditegur oleh Bapak. Dia membiarkan dua kubu itu saling berkelahi. Pada pertikaian untuk menang seperti itu ia tidak akan memberikan dukungan kepada kedua belah pihak. Ia tinggal memilih pemenangnya’ Jenderal Parman melanjutkan, ‘Bung menyuruh tiap orang berpikir seolah “dia adalah pangeran pewaris tahtanya”. Dia amat ahli dalam mengumpulkan bakat di sekitarnya. Kadang-kadang Subandrio sampai tercengang, bila dalam rapat presiden memberikan pendapatnya’. Dia (Parman) menandaskan bahwa ia termasuk penasihat dekat Jenderal Yani. Sambil mendengarkan percakapannya saya mencoba menemukan latar belakang yang sebenarnya di antara kata-katanya. Kolonel Sutikno pernah meyakinkan saya bahwa dia (Parman) juga mengenal Verrips. Dialah perwira Indonesia yang menangkap orang CIA itu ketika tertangkap basah membongkar Javasche Bank tahun 1950 di Surabaya dan karenanya dipenjara selama beberapa tahun di Indonesia. Saya benar-benar heran mengetahui bahwa ternyata Jenderal Parman
3.
Di tahun 1952 untuk pertama kalinya terjadi kerusuhan di Indonesia.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
171 merupakan teman pribadi Yerrips. Orang itu memang mengatakan kepada saya mengenai kontrak-kontraknya dengan Jenderal Nasution dan Yani serta Kolonel Panjaitan di Bonn, dan sekarang sekali lagi terbukti kebenaran informasi-informasi Verrips. Pembicaraan mengenai Verrips rupanya membuat dia emosional. Pertama dia berdiri dan kemudian berjalan mondar-mandir. ‘Jadi, Anda bersahabat dengan Verrips seperti yang dia katakan!’ tanyaku. ‘Memang saya mengenalnya sudah bertahun-tahun. Juga sejak dia berada di Indonesia. Dan dia orang hebat! Ketika terjadi krisis Irian Barat, ia berhasil mengantarkan beberapa politisi Belanda ke Belgia secara amat rahasia’, jawabnya. ‘Tahukan Anda bahwa Verrips mempunyai hubungan dengan Suurhoff dan Goedhart dari Partai v.d. Arbeid,’ ‘Tentu, saja, mereka berada di antaranya!’ Jenderal Parman menanyakan di mana dia bisa berhubungan dengan ‘Profesor’ Verrips, karena dia mau bepergian lewat Nederland. Saya angkat telepon dalam kamar hotel itu dan berhasil melokalisirnya. Dia sedang berkunjung ke Reindert Zwolsman di Wassenaar. Parman dan Verrips kemudian berbicara seperti teman lama dan membuat janji untuk bertemu minggu berikutnya di Belanda4.. Dalam buku Tegels Lichten, Henk Hofland menggambarkan Verrips sebagai seorang tokoh dunia hitam yang selalu menceritakan fabel-fabel, selalu menyangkal dirinya sendiri
4.
Die ontmoeting zou voor zover ik heb na kunnen gaati nooit plaats hebben.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
172 dan kata-katanya tak pernah dapat dipahami dan yang selalu dibicarakan oleh Frans Goedhait dan saya dengan ‘rasa sayang yang romantis’. Fenomena Verrips ini digambarkan oleh Hofland dengan terlalu ringan dan mudah. Saya mengenalnya sudah sangat lama dan mengetahui benar bahwa ia terlalu malas untuk menyelidiki sesuatu sampai ke akar-akarnya. Sebagian besar masa kerja jurnalistiknya dihabiskan di sekitar Nieuwezijds. Dalam Tegels Lichten, Hofland menggambarkan Ujeng Suwargana sebagai ‘seorang yang ramah, banyak tersenyum, seorang pendengar yang baik serta menguasai bahasa Belanda dengan sangat baik’. Tujuh tahun setelah coup-CIA di Indonesia, Hofland mempublikasikan bukunya itu, rupanya tanpa pernah menyadari bahwa Pak Ujeng yang ramah itu adalah pengkhianat nomor satu, yang menjadi kurir Jenderal Nasution pada CIA di Washington. Hofland sama sekali tidak menyebut-nyebut CIA dalam hubungannya dengan Indonesia, Soekarno, Nasution dan kelompok Rijkens dan apa yang diperdebatkannya dengan saya sama sekali tidak disinggung. Hal ini dapat disamakan seperti coup di Chili tahun 1973 terhadap Presiden Salvador Allende Gossens yang menggambarkan seolah CIA, Richard Nixon dan Henry Kissinger sama sekali tidak tahu-menahu mengenai hal itu. Sementara itu pada waktu memberikan ceramah-ceramah di universitas-universitas di sini, saya mendapat kesan bahwa para dosen amat menganjurkan dibacanya yang saya terbitkan setahun setelah terbitnya Tegels Lichten, tidak dikenal sama sekali. Hofland dan saya bersama-sama mulai bekerja pada koran
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
173 yang sama, yakni tahun 1953. Dia tidak menarik kartu merahnya Luns dan Dinas Penerangan. Saya melakukannya. Bagaimana bisa terjadi? Sore itu di Hotel Hilton di New York saya bertanya kepada Jenderal Parman, apakah dr. Subandrio masih berhasil menghalangi Presiden Soekarno memperoleh penerangan dan berita-berita penting, karena rupanya ia makin lama makin ‘dilindungi’ pada tahun-tahun terakhir ini. ‘Bapak setiap minggu bertemu dengan kepala-kepala staf’, jawab Jenderal Parman. ‘Saya berusaha supaya tidak terjadi hal-hal yang Anda sugestikan’. Nama Duta Besar Sukardjo Wirjopranoto disebut-sebut, yang sementara itu sekonyong-konyong meninggal karena serangan jantung. ‘Tahukah Anda bagaimana terjadinya itu?’ tanya Pak Jenderal. ‘Anda tentu kenal Ibu Supeni, Duta Besar Keliling yang ditunjuk Bung Karno? Dia ditugaskan ke PBB yang sebenarnya merupakan ‘daerah’5. Pak Kardjo. Dalam hal seperti ini, kami orang Indonesia, sangat formal. Semua partai berpendapat yang sama.’ ‘Terjadilah perselisihan paham antara duta besar dan duta besar yang berkunjung mengenai soal protokoler yang sederhana,’ kata Jenderal Parman selanjutnya, ‘Ibu Supeni menyusun sebuah telegram yang ditujukan kepada Presiden Soekarno, untuk melaporkan perlakuan Pak Kardjo. Tetapi seorang perwira-sandi yang loyal terhadap Sukardjo dan ditempatkan secara permanen pada delegasi Indonesia di PBB, meletakkan pesan itu di meja
5.
Provinsi, daerah kekuasaan sendiri.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
174 kerja duta besar untuk disetujui. Pulang makan siang Pak Kardjo menemukan telegram-sandi yang ditujukan kepada presiden itu, yang membuatnya demikian marah, sehingga ia meninggal mendadak. Maka tidak ada pilihan lain lagi bagi Bung Karno kecuali memilih Ibu Supeni’. Jenderal Parman rupanya menyampaikan argumentasi dari laporan CIA kepada Verrips dan Ujeng Suwargana dengan menekankan bahwa dr. Subandrio ‘memberi pengaruh yang merusak pada Presiden Soekarno’. Jenderal melanjutkan, ‘Saya akan ceritakan kepada Anda, bagaimana Bandrio ini melaksanakan intrik-intrik istananya. Anda tentu masih ingat konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia yang terjadi pada tahun 1963 itu. Untuk mencegah keadaan menjadi lebih memburuk Duta Besar Malaysia untuk Indonesia berhasil membujuk Tunku Abdul Rahman mendesak raja Malaka untuk menulis surat pribadi kepada Bung Karno dan untuk mengundangnya mengunjungi Malaysia dalam suatu kunjungan negara. Dengan perasaan lega dan gembira duta besar kembali ke Jakarta. Merasa amat gembira dengan hasil yang diperolehnya, duta besar ini langsung ke istana untuk menyampaikan undangan resmi raja kepada sekretariat presiden. Anda pasti mengenal orang itu, yaitu Djamin. Tetapi secara protokoler duta besar tadi telah membuat kesalahan. Surat tadi seharusnya disampaikan kepada presiden lewat Menteri Luar Negeri. Ditambah lagi Subandrio telah menempatkan mata-matanya di mana-mana. Surat dari raja Malaka itu segera digelapkannya sebelum dapat disampaikan kepada Presiden. Akibatnya, Bapak tidak pernah tahu
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
175 tentang undangan resmi dari kepala negara Malaysia itu’. Dia melanjutkan, ‘Anda tentu mengetahui bagaimana Bapak menyukai dan mementingkan hal-hal protokoler seperti pertukaran resmi seperti ini, juga karena Bapak ingin memperkenalkan negara kita kepada dunia luar. Saat itu hal tersebut belum terlambat untuk dilakukan. Bila Presiden saat itu jadi pergi ke Kuala Lumpur, kita tidak bakal mengenal kampanye ‘Ganyang Malaysia’6.. Saya bertanya kepada Jenderal apakah Bung Karno pernah mengetahui tentang intrik-intrik yang dilakukan Subandrio seperti yang telah digambarkan ini. ‘Ya, tetapi Anda juga harus tahu bagaimana Presiden mengetahuinya!’ lanjut Jenderal Parman. ‘Ibu Supeni, duta besar keliling mengetahui benar tentang adanya surat undangan Raja kepada Bapak tersebut, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa pada presiden. Tak seorang pun berani mengadukan Subandrio kepada Bung Karno. Sementara itu Duta Besar Malaysia mulai mengadakan tekanan, sebab dia juga harus bertanggung jawab terhadap rajanya. Baru setelah Ibu Supeni berbeda pendapat dan berselisih dengan dr. Subandrio, Ibu Supeni memberitahukan kepada Bung Karno tentang adanya undangan resmi raja kepada presiden. Tetapi saat itu tentunya sudah terlambat’. Beberapa hari setelah percakapan saya dengan Jenderal Parman saya ditelepon Werner Verrips dari Belanda. ‘Mengapa kamu menghubungkan aku dengan Parman?’, katanya
6.
Ganyang Malaysia.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
176 dengan marah. ‘Sebabnya sederhana sekali. Bukankah kalian berdua berteman?’, jawabku. ‘Terus terang sajalah! Apa yang kau sembunyikan dariku? Aku di sini diancam’, teriaknya dari seberang sana. Buat saya ini agak keterlaluan, sebab sejak saya mengenal orang ini, dia selalu mengancam dan menakuti saya, misalnya dengan mengatakan bahwa saya akan dihilangkan dari jalanan oleh sebuah truk barang bila saya masih tetap mengganggu kelompok Rijkers. Rupanya sekarang sebaliknya yang terjadi. Agak sukar bagi saya di Long Island untuk membayangkan apa yang sebenarnya terjadi di sana. Sementara itu, ia menelepon Hofland dengan berita bahwa ‘ada orang-orang yang ingin membunuhnya’. Menurut Hofland,Verrips hari-hari itu mengalami kesukaran finansial yang cukup parah7.. Pengadilan sedang mencarinya, sebab sang ‘profesor’ telah berselisih berat dengan para tokoh sekitar Paul Rijkers yang juga tidak menepati janji-janji pemberian uang kepadanya. Dia juga telah mengancam Pak Kelinci, yang pada gilirannya telah melaporkannya kepada Pengadilan Tinggi di Utrecht8.. Hofland menggambarkan seolah-olah Verrips sudah berada pada akhir riwayatnya. Dugaan itu ternyata benar. Tanggal 4 Desember 1964, pagi sekali ia telah pergi dari bungalownya di Huis ter Heide menuju Amsterdam dalam
7. 8.
Tegels Lichten, hal. 60-62 Persoalan pengadilan dengan Van Konijnenburg tidak membicarakan Hofland dalam Tegels Lichten.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
177 mobil mercedesnya. Kepada istrinya ia mengatakan bahwa ia akan datang tepat waktu untuk merayakan pesta St. Nicolaas bersamanya dan anak-anak. Pada pukul 14:15 seorang polisi memberitahukannya bahwa Web Verrips mendapatkan kecelakaan fatal dengan mobil sport SL 180-nya di suatu viaduk. Beralasanlah bila Hofland mengeluhkan bahwa Rijkers dalam kenang-kenangannya sama sekali tidak menyinggung keterlibatannya dengan Werner Verrips9.. Saya, sebagai seseorang yang telah lama dan secara luas dan mendalam berhubungan dengan orang-orang di sekitar Rijkers, tidak merasa heran. Saya mengenal pengikut-pengikutnya sebagai manusia-masnusia yang tidak memiliki keberanian murni dalam kelakuannya, terkecuali Koos Scholtens (Shell) dan Van Konijnenburg (KLM). Kelompok Rijkers mempunyai sifat Belanda asli yang selalu ingin duduk di baris terdepan dengan uang sesedikit mungkin. Verrips mengancam kelompok itu dengan alasan tersebut. Saya membungkam, tetapi mempunyai pendapatku sendiri. Filsuf Kant berpendapat bahwa kebanyakan manusia tidak dipahat dari kayu yang baik; tidak berperangai baik. Van Konijnenburg sajalah yang rupanya dipahat dari kayu jati10., tetapi dia lupa untuk mengusahakan agar arsip Soekarno-Irian Barat yang mempunyai nilai historis yang amat berharga itu tersimpan dengan baik. Ahli-ahli warisnya telah memusnahkannya. Rupanya sepak terjang Pak Kelinci juga tidak sepenuhnya baik11..
9. 10. 11.
Disebut dalam Tegels Lichten, hal. 61 Keihard recht hout uit Indonesie. Handel en Wandel, hal. 174
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
178 Paul Rijkens dalam kenang-kenangannya menyebut saya sebagai ‘sumber keruh yang tak dapat dianggap serius’. Dia bersembunyi di belakang teman sejawatnya Mr.G.B.J. Hilterman, orang yang selama seminggu menunggu telepon dengan sia-sia dalam sebuah kamar hotel di Roma, yang akan mengizinkannya menemui kepala negara Indonesia. Rijkens menyuruh Hilterman mengatakan, bahwa saya sebagai perantara dalam ‘kasus Irian Barat’ sama sekali tidak berperan apa pun. Jadi Hilterman juga tidak mengetahui bagaimana duduk perkara kunjungan Pangeran Bernhard kepada JFK tahun 1961. Maka Paul Rijkers hendak membalas dendam kepada Hiltermann dkk. lewat tulisan-tulisan yang tanpa dasar kebenaran dan tanpa kendali: itu pun dalam kenang-kenangannya yang resmi, karena saya acapkali membuka kedoknya sebagai seorang yang tidak memiliki kejujuran, keberanian dan kekuatan. Orang sebetulnya jangan menyuguhkan suatu kenang-kenangan, daripada membebani ahli warisnya dengan kebenaran-kebenaran yang masih diragukan. Paul Rijkers menyuguhkan sesuatu yang gagal yang kemudian hancur berkeping-keping. Kedelapan ratus buku harian saya dari 1940 sampai 1980 tanpa disensor telah tersimpan dengan baik di Koninklijke Bibliotheek di Den Haag. Dengan mudah Luns menyuruh melenyapkan sejumlah peti yang berisi dokumen yang tak dapat dirinci, ketika akhirnya ia dipecat sepuluh tahun kemudian. Lagi pula ia bercerita kepada Michiel van der Pias bahwa ia telah membakar juga secepatnya sejumlah dokumen yang
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
179 diperlukan. Rijkers sebetulnya tidak perlu buka mulut sama sekali. Mereka semua ‘tuan-tuan dari Den Haag’ yang berperangai dan bertingkah laku sama.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
180
New York (1965) Hari-hari pertama tahun baru itu saya telah kembali ke studio saya di Long Island dari bungalow orang tua saya di Huis ter Heide. Pada salah satu percakapan saya yang pertama dengan Duta Besar Zairin Zain, dia mengemukakan kepadaku secara rahasia bahwa saya dalam episode sekitar Jenderal S. Parman itu sebenarnya lolos dari bahaya. Misi awal para perwira penerangan militer dari Jakarta itu adalah untuk menamatkan riwayat Verrips dan Oltmans. Verrips mengetahui terlalu banyak dan selalu ingin buka mulut kepada siapa saja. Dan Oltmans selalu ingin memuat segala yang ia ketahui dalam koran. Saya mengakui terheran-heran dan belum berpikir tentang hubungan antara matinya Verrips dengan jenderal-jenderal Indonesia yang berhubungan dengan CIA. Memang ada kemungkinan, ‘Profesor’ Verrips mengetahui adanya suatu coup yang akan dilancarkan di Jakarta dengan segala seluk-
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
181 beluknya. Duta Besar bercerita, percakapannya dengan S. Parman di Hotel Hilton menyebabkannya melaporkan ke Jakarta bahwa jenderal tidak menganggap perlu lagi melaksanakan rencana likuidasi tentara Indonesia terhadap saya. Saya malah berpikir, Duta Besar Zain dan mantan Atase Militernya, Sutikno Lukitodisastro1. bersama-sama telah mendesak dengan sangat kepada Parman agar setidak-tidaknya menangguhkan eksekusi terhadapku. Saya benar-benar tidak mengetahui persiapan-persiapan coup CIA di Indonesia ini, sekalipun saya bertemu Ujeng Suwargana secara teratur. Februari 1965, saya membaca sebuah reportase Gordian Troeller dalam Der Spiegel yang menulis setelah membuat perjalanan ke Indonesia bahwa akan terjadi perebutan kekuasaan. ‘Dinas rahasia Amerika mencari tokoh-tokoh yang tepat yang nantinya akan mengganti Soekarno. Perundingan dilakukan dengan gencar, baik di Tokyo, Hongkong maupun Jakarta. Banyak uang yang akan disediakan bagi para perwira, tetapi juga bermiliar-miliar untuk perlengkapan dan pengembangan Angkatan Bersenjata Indonesia. Demikianlah argumen-argumen yang diajukan kepada kaum pemuja pangkat dan kedudukan.’ Troeller memperkirakan coup itu akan segera terjadi. Sungguh menarik perbandingan yang diajukan wartawan Jerman Barat itu yang menyamakannya dengan perebutan kekuasaan melawan Syah Iran tahun 1953 yang dilakukan Perdana Menteri Mohammad Mossadegh. Syah melarikan
1.
Sesudah tahun 1965 tangan kanan dari jenderal kup Suharto.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
182 diri ke Roma dan melalui coup militer yang dilakukan CIA dikembalikan lagi ke tahta meraknya. Mayor Jenderal Fazlollah Zahedi yang telah ditunjuk oleh Reza Pahlevi sebagai Perdana Menteri, membentuk pemerintahan baru. Washington untuk sementara bermitra dengan Iran - dan pasokan minyak ke Barat - terselamatkan. Saudara kembar Syah yang cantik jelita, putri Aschraf, telah mamainkan peran yang menentukan lewat pertemuan-pertemuan rahasia dengan Allan Dulles dari CIA di Swiss dan Riviera-Perancis. Wartawan Troeller saat itu menulis dalam Der Stern, tahun 1965 di Jakarta ada pula seorang wanita cantik jelita yang menjadi pusat perhatian. Tetapi disana keadaannya lain. Dewi Soekarno yang orang Jepang itu tidak berhubungan dengan CIA, tetapi justru dibayang-bayangi dengan seksama oleh dinas rahasia Amerika itu. Sementara sekelompok jenderal Indonesia di Amerika Serikat berburu kekuasaan dan dolar, Presiden Soekarno justru mengirim Dewi ke Perancis dan Jepang untuk melancarkan serangan balik diplomatik. Tuduhan-tuduhan yang selalu ditujukan kepada Soekarno oleh musuh-musuhnya di dalam dan di luar negeri adalah bahwa dia cenderung bersimpati pada PKI daripada partainya sendiri PNI. Nikita Krushchev pernah berkata, ‘Saya akan tetap menjadi komunis sampai udang bisa bersiul.’ Saya yakin betul bahwa Bung Karno sampai saat meninggalnya tahun 1970 masih tetap seorang Pancasilais dan nasionalis, dan bahwa semua tuduhan bahwa ia telah menjadi komunis, merupakan fitnah yang paling keji. Dalam otobiografinya yang terbit tahun 1965, Bung Karno
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
183 berulang kali mengungkap persoalan itu dengan penuh keheranan. ‘Pada dasarnya aku ini seorang yang ramah,’ katanya kepada Cindy Adams, penulis biografinya. ‘Saya menyukai orang Timur dan orang Barat, malah Tunku Abdul Rahman dan orang-rang Inggris sekalipun. Saya juga menyukai orang-orang yang membenciku. Saya bukan pendendam, juga tidak terhadap mereka yang memfitnah saya. Bila mereka masih mau bersahabat dengan saya, saya bersedia.’2. Ia menambahkan, ‘Saya pernah dengar bahwa Charles de Gaulle tidak menyukai saya. Namun saya bertemu dengannya di Wina. Setelah pertemuan itu kami saling cocok’. Situasi Jakarta sukar saya amati dari New York. Orang-orang Amerika yang lebih berpengalaman pasti membela Bung Karno. Dalam buku To Move a Nation3. ia ingat saat seorang dari televisi Amerika mewawancarai wakil menteri untuk Far Easter Affairs, Averall Harriman, dan wartawan itu menyebut Soekarno sebagai ‘seorang komunis’. Dengan sengit Harriman menegurnya: ‘Ta bukan seorang komunis, dia seorang nasionalis!’. Selama tiga puluh tahun saya tinggal di Amerika Serikat dan sebagian besar waktu saya dipergunakan untuk mengikuti kejadian-kejadian di markas besar PBB, menjadi jelaslah bagi saya bahwa dalam banyak kejadian bukan departemen luar negeri yang menanganinya, tetapi CIA. Pada waktu Adlai
2. 3.
Sukarno: An Autobiography, hal. 14. The Politics ofForeign Policy in the Administration of John F. Ketmedy, Doubleday & Company, 1967, hal. 378.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
184 Stevenson menjadi Dubes di PBB untuk JFK, dan CIA mengadakan pendaratan rahasia di Teluk Babi di Kuba, saya mendengar Stevenson menyangkal bahwa Amerika Serikat terlibat dalam invasi di Kuba itu. Duta Besar JFK sama sekali tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tetapi dia berbohong demi kesetiaannya. Begitu pula ketika terjadi krisis di Kongo-Belgia, Menteri Luar Negeri masa JFK, Dean Rusk, menyangkal dengan gigih bahwa pilot-pilot CIA terlibat di dalamnya. Rusk sendiri ketika itu sama sekali tidak tahu apa yang dilakukan CIA di Afrika. Baru akhir-akhir ini saja Profesor George McTuman Kahin dan istrinya mempublikasikan suatu studi yang rinci mengenai keterlibatan CIA pada pemberontakan Sumatra tahun 1958 terhadap Soekarno, di mana secara lengkap dia mendokumentasikannya dalam suatu kerangka CIA. Suatu ketika kelak akan terungkap pula studi mengenai apa yang sebenarnya terjadi tahun 1965 di Jakarta. Selama bertahun-tahun di New York saya selalu jengkel membaca hal-hal yang tak benar dan sindiran serta hujatan palsu terhadap Soekarno yang disuguhkan media Amerika. Robert Ruark misalnya pernah menulis, ‘Orang kecil yang licik ini, mencapai kekuasaan dengan cara licik pula, yang diterima penuh upacara kehormatan di Gedung Putih, seperti yang selalu kita lakukan bagi sopir bus4. yang mendapat kekuasaan dalam suatu dorongan yang tak masuk akal, yang disebut hak untuk menentukan sendiri’. Duta Besar Zain pernah sangat marah kepada para
4.
Memaksudkan pemimpin seperti Soekarno di sini.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
185 wartawan di Washington dan diplomat kita sendiri, Huydecoper tentu tidak akan setuju, ketika Duta Besar Zain berkata, ‘Kalian bisa berlainan pendapat dengan kami, tetapi kalian tidak punya hak untuk menghujat kepala negara kami dan menghinanya dengan hal-hal yang tak benar’. Bung Karno tahun 1956 pernah mengadukan hal ini kepada penulis Louis Fisher. Lagi-lagi dimuat berita yang menghujat Presiden Indonesia di TIME. ‘Saya tak akan memberi komentar, kata Bapak,’ tetapi katakan kepadaku Louis, mengapa mereka menggambarkan saya sebagai monster?’5. Saya mengenal Louis Fisher dengan sangat baik. Dia juga telah berusaha tinggal bersama Bung Karno selama beberapa bulan. Pendapat kami mengenai Bung Karno sama. Politisi Amerika kadang-kadang malah lebih kejam dibandingkan wartawan Amerika. Senator Wayne Morse dari Oregon misalnya, yang saya kenal baik dan pernah berhubungan mengenai perkembangan-perkembangan di Kuba6., pernah secara gampang menggambarkan Soekarno sebagai ‘seekor bunglon politik’. Saya membicarakan hal ini dengan Senator itu dan terbukti bahwa dia tak tahu apa pun mengenai Soekarno atau Indonesia. Saya cenderung menambahkan: seperti juga Lubbers, Kooijmans, Kok dan van Mierlo tahun 1994-1995 ketika mereka berpendapat bahwa saatnya telah tiba untuk Ratu Beatrix berkunjung ke Indone-
5. 6.
The Story of Indonesia, Harper & Row, New York, 1959. Senator Morse adalah ketua komisi Latin-Amerika di Senat. Hari-hari itu saya sering membicarakan perjalanan-perjalanan saya ke Havana dengan dia.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
186 sia pada tanggal yang keliru. Mengenai hal ini lain kali lebih banyak. Tokoh Republiken William Broomfield, pada tahun enam-puluhan di Kongres Amerika lebih banyak berbicara mengenai Soekarno dan menggambarkannya sebagai ‘seorang despoot, orang yang gila kekuasaan, seorang Adolf Hitler dan penjahat muda internasional’. Perhatikan, ucapan itu dilontarkannya di depan komisi luar negeri Kongres Amerika. Senator Peter Dominick yang Republiken melaporkan Bung Karno sebagai seorang ‘bandit.’ Untuk menyelesaikan kalimat Senator Wayne Morse, ‘Soekarno adalah seorang koruptor, yang sudi tidur bersama orang-orang komunis, bila dolar Amerika tak dapat mencegahnya melakukan itu’. Teks-teks seperti itulah yang kadang dilihat Presiden Indonesia. Dia paham bagaimana cara kerja ‘sistem demokrasi.’ Dia juga paham sekali bagaimana cara ‘pers bebas’ bekerja, tetapi dia bisa benar-benar marah mendengar ucapan-ucapan yang justru datang dari orang yang seolah berkuasa di Washington. Saya ingat misalnya reaksinya ketika Juni 1956 saya bersamanya duduk dalam kereta api kepresidenan dalam perjalanan dari Milan ke Turin di Italia, ketika tersiar berita terjadinya suatu skandal internasional mengenai paranormal Greet Hofmans yang mempermalukan Ratu Yuliana dan Keluarga Kerajaan. Soekarno dan Menteri Luar Negeri dr. Ruslan Abdulgani memutuskan, di dalam kereta api juga, untuk mengirimkan instruksi ke Jakarta, untuk membujuk pers Indonesia dengan ramah agar menangani keributan sekitar
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
187 keluarga kerajaan Belanda sesopan mungkin, atau tidak memberitakannya sama sekali. Isi dari suasana-anti-Soekarno (di tingkat) internasional menurut propaganda Barat adalah, bahwa ia telah tidur bersama PKI. Seperti biasa TIME memeloporinya. Opini umum harus dipersiapkan bahwa kaum komunis sedang berusaha merebut Indonesia dengan dukungan penuh dari Bung Karno. Tahun 1976 mingguan tersebut juga menyediakan diri untuk memberitakan bahwa Beatrix itu kiri dan Claus seorang ‘sersan merah.’ Saya diberitakan juga sebagai seorang jurnalis yang bersama KGB berusaha menghancurkan keluarga kerajaan.7. TIME disusul oleh De Telegraaf, menganggap tidak ada untungnya untuk menjelek-jelekkan keluarga kerajaan Belanda, maka lalu Soekarno-lah yang dijadikan bulan-bulanan sebagai folkwar leader/ pemimpin perang bangsanya dari suatu negara berkembang yang nun jauh di sana dan penduduknya sebagian besar berkulit sawo matang. Profesor Noam Chomsky dari Massachusetss Institute of Technology menulis dalam Knowledge and Freedom.8. Dalam buku itu ia membahas, apa yang dia sebut ‘sikap memalukan klub negara-negara kaya terhadap pemimpin-pemimpin negara berkembang, seperti Indonesia pada tahun 1965’. Tanggal 15 Juli 1965, TIME menulis bahwa sepuluh minggu sebelum coup yang dilancarkan Soeharto, berkat bantuan Bung Karno PKI beranggotakan tiga juta orang,
7. 8.
Selama 8 tahun saya menuntut Time di pengadilan Dallas, sampai uangku habis dan saya menyerah. Fontana-Collins, New York, 1972, hal. 55
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
188 sedangkan masih ada 14 juta buruh dan organisasi pemuda merah yang mendukungnya. Empat tahun kemudian, tahun 1969, jadi setelah terjadinya banjir darah massal yang dilancarkan Soeharto terhadap pengikut-pengikut Soekarno dan para komunis, 13 Juni TIME mempublikasikan pandangan umum mengenai ‘bahaya merah’ di dunia. Menurutnya di planit ini ada 45.200.000 komunis yang terbagi dalam 88 partai. Menurut TIME pula, pengikut komunis di Indonesia sudah merosot dari 17 juta sampai 5000. Dalam 5000 yang tersisa itu termasuk tokoh-tokoh partai yang dulu. Saya kemudian menulis surat kepada redaksi TIME untuk menanyakan apa yang terjadi dengan 16.950.000 PKI Indonesia yang hilang itu. Tanggal 27 Agustus 1969 redaksi TIME mengirimkan jawabannya, ‘Pembaca TIME mendapat informasi lengkap tentang pembantaian ratusan ribu orang yang komunis atau yang dianggap komunis. Sebagai majalah berita, kolom kami terbatas untuk... dan sebagainya.’ Rupanya, Soeharto sebagai penyebab banjir darah itu tidak disebut. Dialah rupanya jenderal Indonesia -pilihan CIA- dan Washington, untuk menghabiskan kaum kiri di Indonesia. Tidak hanya di Amerika dan dunia, Soekarno melawan gambaran palsu yang sengaja dilancarkan terhadapnya bahwa dia telah menjadi komunis. Di Indonesia pun lambat-laun makin banyak orang yang merasakan ketakutan Barat pada PKI. Di lingkungan resminya yang terdekat pun ia sering tidak dipahami. Bung Karno adalah seorang pemimpin yang ingin memberikan perhatian dan hak yang sama pada semua kelompok politik di Indonesia, tanpa menghiraukan
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
189 kecenderungan pribadi. Sikap itu dianggap sebagai pendirian kurang murni terhadap dasar-dasar demokrasi, oleh kebanyakan orang. Dalam hubungan ini Ruslan Abdulgani pernah bercerita padaku yang berikut ini. Bertahun-tahun dia berada di lingkungan Bapak. Dia adalah salah satu penasihat utamanya. Antara lain dia adalah Ketua Dewan Nasional9. yang demi dasar-dasar ‘demokrasi terpimpin’, harus mengindonesiakan demokrasi parlementer. Abdulgani menamakan presidennya un pere terrible. Mengapa? Saya akan beri contoh. Suatu ketika di istana, Soekarno mengobrol dengan Wilopo (PNI), Idham Chalid (Nahdatul Ulama), Arudji (PSSI) dan Pak Ruslan sendiri. Wilopo, dan PNI Soekarno mengajukan perubahan-perubahan dalam pembentukan front-bersama politik nasional yang akan merugikan PKI. Bung Karno menebak isi hati Wilopo dan melemparkan senyum padanya. ‘Saya mengenal kamu’, kata presiden. ‘Kamu akan menambah kursi untuk PNI 'kan? Kamu seperti Ruslan yang juga berpendapat bahwa semua yang saya lakukan menguntungkan PKI dan merugikan PNI. Kemudian Bapak berpaling pada Sakirman (PKI). ‘Tuan-tuan ini’, kata Bung Karno, ‘berpendapat bahwa karena PKI adalah anak pungutku, partai ini lebih saya sayangi dibandingkan anakku sendiri, PNI’. Ruslan menceritakan hal itu bertahun-tahun kemudian di rumah -drive-in ku di Amsterdam Utara. Celakanya, dia sama sekali tidak menangkap inti ucapan Presiden Soekarno. Sebab
9.
Nationale Raad.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
190 apa tindakan dan komentar dr. Abdulgani? ‘Kamu bisa bayangkan rasa malu kami, Wim. Mengapa ucapannya melawan PNI disampaikan di hadapan pemimpin politik lainnya? Terutama di hadapan PKI’. Bung Karno telah mempergunakan ungkapan kata yang gemilang untuk memperbaiki rasa cintanya pada PNI-nya, dan mitra kerjanya yang terdekat telah menginterpretasikannya sebagai ungkapan rasa sayang kepada PKI. Apa yang sebenarnya hendak diungkapkan presiden pada tokoh-tokoh partai tadi adalah, ‘Saya bersikap jujur. Saya berada di Istana Merdeka ini untuk semua warga Indonesia, juga untuk PKI. Saya ingin bertindak adil. Saya di sini tidak untuk memanjakan anakku sendiri atau anak-tiriku.’ Dalam pandangan kilas-balik tentang presiden pertama Indonesia itu, yang terutama hendak saya tandaskan adalah bahwa tragis kepemimpinannya ditandai oleh fakta bahwa ia memiliki kemampuan rohani yang jauh melebihi orang-orang yang bekerja sama dengannya. Jangan lagi bicara mengenai sersan-sersan yang berhasil mengangkat dirinya menjadi jenderal. Lebih dari sebelas tahun ditahan dan diasingkan pada tahun-tahun akhir kolonialisme memberinya kesempatan untuk membaca, membaca dan membaca lagi dan ada waktu untuk mencerna pengetahuan yang diperolehnya dengan penuh ketenangan. Dia mampu mengangkat otaknya ke tingkat intelektual yang tinggi dan latihan internasional yang belum dikenal Indonesia sebenarnya. Dengan latar belakang seperti itu banyak teman senegaranya tidak dapat mengikutinya. Ketika kegembiraan kebebasan dari
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
191 kolonialisme dan imperialisme telah mereda, orang-orang Indonesia secara keseluruhan tidak berbeda dari negara-negara Afro-Asia yang baru lahir lainnya, tarik tambang untuk memperoleh keuntungan dan kekuasaan pribadi mulai dari awal lagi. Indonesia sudah matang untuk mengalami coup.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
192
Amsterdam (1965) Soekarno adalah ahli dalam sepi ing pamrih1.-nya Jawa, yang berarti bahwa pertama-tama dia tidak didorong oleh motif-egonya. Perjuangannya untuk pembebasan Hindia-Belanda, sudah lewat 20 tahun. Namun bagi presiden, Indonesia First, merupakan penggerak kelakuannya yang tetap tidak berubah, walaupun setelah coup tahun 1965 ada tokoh presiden lain yang mungkin karena kepentingan pribadinya mengaburkan pendirian itu demi mempertahankan kedudukannya sebagai kepala negara. Selama masa tahanannya yang cukup lama, di satu pihak, Bapak dibanjiri informasi dan cara berpikir Barat, tetapi di lain pihak dia amat terikat pada elemen-elemen unik kebudayaan dan mitologi Indonesia, mungkin karena rasa takut kehilangan jati diri Jawanya. Dia betul-betul dan benar-benar Indonesia, seperti yang diungkapkan Duta Besar Zain.
1.
Niels Mulder, Individual and Society, hal 4.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
193 Baginya ilmu itu subjektif dan rahasia. Simbolik dan ilmu diam, di Jawa menstimulir perenungan dan fantasi. Kesatuan kehidupan ini secara esensi dilihat sebagai misterius. Karena satu dan lain sebab selalu harus ada pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab, segala sesuatu itu tidak menarik dan tidak menyenangkan bila itu biasa dan jelas2.. Otak Soekarno sebenarnya tempat pertemuan antara yang terbaik dari Barat dan Timur. Hasil dari dunia pikir dan dunia pengalamannya adalah campuran dari Barat yang ia kenal saat menjadi tahanan dan jati dirinya yang secara fundamental murni Jawa. Wayang3. dihayatinya sampai sumsum tulangnya. Penulis Jef Last menyaksikannya sendiri. Ia menulis mendapat undangan untuk pertunjukan malam di istana. ‘Saya telah membaca komentar Frans Goedhart yang setengah mengejek terhadap Soekarno’, ‘si pemimpin di istana’, yang sepanjang malam/menyaksikan sandiwara boneka itu. Dari pukul 19:00 sampai pukul 07:00 duduk di kursi yang bersandaran lurus di istana yang temaram gelap, digambarkan Last sebagai suatu siksaan. ‘Selama itu presiden mendengarkan dalam sikap diam absolut, mendengarkan seorang dalang4. Sunda yang tidak saya pahami5.. Soekarno sampai jiwa yang sedalam-dalamnya kejawen, artinya, ia tertambat secara fundamental dalam mistik dan kebudayaan Indonesia. Genarasi yang lebih muda di se-
2. 3. 4. 5.
Niels Mulder, Individual and Society, hal. 4 Sandiwara boneka Jawa Pemain boneka De Niewse Stem, Maret/April, hal. 143
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
194 kitarnya, Subandrio, Abdulgani, Malik, Nasution apalagi Soeharto tidak memiliki akar-akar yang kuat6. yang benar-benar mengikatnya pada tanah Jawa. Untuk generasi yang mengganti Soekarno, intensitas dan arti dasar kebudayaan Indonesia, sudah banyak yang hilang. Untuk Ruslan Abdulgani misalnya, wayang merupakan abacadabra (sesuatu yang tidak dimengerti). Dia sendirilah yang pernah mengatakannya kepada saya. Pada pertunjukan wayang, ‘tokoh-tokoh baik’ ditempatkan di sebelah kanan dan ‘tokoh-tokoh jahat’ di sebelah kiri layar. Sudahlah jelas bahwa Presiden Soekarno telah meningkat pada tingkat kepemimpinan, yang tanpa memperdulikan kecenderungan pribadinya, memberikan kesempatan yang sama pada ‘kanan’ dan ‘kiri.’ Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, pada tahun 1960 Jenderal Nasution dan Sekretaris Jenderal PKI DN Aidit mengantarkan presiden ke rapat puncak PBB di New York. Itulah kilasan yang sebenarnya dari cara berpikir Bung Karno. Pada Ruslan Abdulgani faktor-faktor lain yang bekerja. Pada awal tahun 1960-an Bung Karno didekati pemimpin-pemimpin Islam dari negaranya. Mereka mengingatkan bahwa di wayang pun para penjahat ditempatkan di sebelah kiri, sedangkan para pahlawan di sebelah kanan pemain boneka. Justru karena di pertunjukan wayang para pahlawan selalu menang, Pak Ruslan diminta agar perbedaan ini diberitahukan kepada Soekarno dengan cara Jawa yang halus.
6.
Sesudah sekolah desa, Soeharto tidak menamatkan Mulo dan melaporkan diri untuk sersan pribumi.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
195 Abdulgani, ‘Bung Karno memerintahkan saya ikut ke Bali untuk kepentingan pendidikanku. Pada hari-hari itu presiden menganggap wayang Bali telah mengalami kemunduran, karena pertunjukan hanya berlangsung tiga jam. Sebenarnya pertunjukan wayang harus berlangsung dari awal malam sampai dini hari. Abdulgani, ‘Presiden telah mengajak dalang kesayangannya dari Yogyakarta ikut terbang ke Bali dengan seperangkat gamelan yang lengkap, para penabuhnya wayangnya. Ia akan menunjukkan kepada para dalang di Bali bagaimana seharusnya mendalang dan telah mengundang seratus dalang pulau itu untuk datang ke Tampaksiring. Untuk mencegah saya meninggalkan pertunjukan, ia menyuruh saya duduk di sebelahnya.’ Untuk ketiga kalinya dalam hidupnya, Ruslan Abdulgani menyaksikan pertunjukan wayang. Presiden sadar betul bahwa jarak antara dia dan mitra kerja terdekatnya tetap akan renggang bila Pak Ruslan tetap ignoramus et ignorabimus7. mengenai apa yang sebenarnya menyentuh pemimpinnya dan atas dasar nilai-nilai Indonesia murni mana kepemimpinannya itu bertumpu. Pada malam di Bali itu Bung Karno juga menjadi super-dalang. Dari waktu ke waktu dia menyuruh ajudannya ke belakang layar untuk menambah instruksi, selain itu presiden rupanya menikmati benar melihat saya tidak dapat berbuat apa-apa kecuali duduk diam dan menonton pertunjukan sampai
7.
Kami tidak mengetahui dan tidak akan pernah mengetahui.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
196 akhir. Setiap kali ia menanyakan apakah saya memahami apa yang saya lihat di layar, saya mengangguk dengan sopan dan menjawab ‘ya’, begitu Abdulgani. Ketika Pak Ruslan menceritakan itu bertahun-tahun kemudian di kamar kerja saya di Amsterdam, saya merasa iba kepada Soekarno. Bertahun-tahun setelah wafatnya, Abdulgani menggambarkan dengan kata-kata sendiri bahwa dia pun termasuk kelompok ‘penjawab-ya’ (yesman) dalam lingkungan terdekat presiden. Malam itu di Bali ketika klimaks pertarungan terakhir antara baik dan jahat mendekati akhir, Abdulgani membisikkan pertanyaan yang dipesan kaum Islam kepada Bung Karno. ‘Mengapa kaum yang jahat ditempatkan di sebelah kiri dan pahlawan-pahlawan yang baik di sebelah kanan dalang?’ Ruslan melanjutkan, ‘Jadi pertunjukan wayang itu saya hubungkan dengan ajaran-ajaran politiknya, tampak jelas bahwa pertanyaan saya itu mengejutkannya. Melihat itu dengan sopan saya memalingkan kepala saya. Sekarang giliran saya menikmati reaksi pertanyaanku.’ Kedua orang itu saling memasang perangkap. Ditinjau dari sudut psikoanalitik perbedaannya mencolok sekali. Presiden menangkap mitra kerjanya yang paling dekat dengan menempatkannya pada tempat di mana ia tidak bisa menghilang. Maksudnya adalah untuk memperkaya otak Abdulgani. Ia berharap bahwa arti yang lebih dalam mengenai wayang akan mendekatkan mereka dengan lebih erat. Sebaliknya, Abdulgani dalam perangkap yang telah dipasang untuknya, mencoba mengingatkan Bung Karno pada
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
197 kecenderungannya yang pro-PKI, jadi lebih mengutamakan anak tiri ketimbang anak kandung. Pak Ruslan mengarah kepada karangan otak yang sebenarnya sama sekali tidak ada. Tentu saja presiden terheran-heran dan kecewa sekali, saya pikir. ‘Saya menyaksikan pertarungan batin yang terjadi padanya,’ kata dr. Abdulgani. ‘Nasionalis Soekarno yang berkebudayaan Jawa yang sedang bimbang dengan dua Soekarno lainnya, yakni yang Islam modem dan yang marxis’. Menurut saya, yang dipikirkan Bung Karno saat itu adalah, ‘Juga engkau, Brutus?’ Mudah-mudahan generasi yang akan datang tidak akan mengambil kesimpulan yang keliru dari analisis saya mengenai Pak Ruslan, seolah Soekarno memiliki kepribadian ganda. Sebagai dalang super Indonesia ia menganggap tugas utamanya untuk menciptakan ko-eksistensi yang damai antara kaum kiri dan kaum kanan atas dasar ketidakberpihakan yang ketat. Karena sikapnya itu, di mata mereka yang berorientasi kiri keras, ia dianggap bermitra secara rahasia dengan kaum kanan, dan bagi mereka yang berorientasi kanan dan kaum fundamentalis, ia dianggap tidur bersama kaum kiri. Sebenarnya Bung Karno tidur dengan dirinya sendiri di tempat tidur. Presiden pertama Indonesia itu tidak datang dari desa8. seperti penggantinya. Soekarno adalah seorang yang berpendidikan dan banyak membaca yang membacakan pidatonya untuk para mahasiswa di Muenchen dalam bahasa
8.
Desa
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
198 Jerman dan pidato untuk Kongres Amerika dalam bahasa Inggris ketika ia membeberkan gagasan-gagasannya mengenai hubungan Indonesia-Amerika. Penggantinya, setelah masa kepemimpinan 27 tahun pada tahun 1995, masih mempergunakan penerjemah. Soekarno, misalnya, membaca dan mencerna karya-karya Gladstone, Mazzini, Cavour, Garibaldi, Otto Bauer, Alfred Adler, Kari Marx, Engels dan Lenin, Danton, Rouseau dan Jaures. ‘Sementara itu wartawan tetap menulis bahwa saya adalah budak Moskow’, katanya pada Cindy Adams. ‘Let's get this straight once and for all, I'am not, have never been, and could never be a communist’9.. Dalam sejarah Indonesia, 1965 tercatat sebagai annus horribilis tahun mengerikan dalam hidupnya Soekarno. Rupanya ia telah mendapatkan tekanan psikologis yang amat berat. Dia tahu betul tentang adanya Dewan Jenderal10. yang kali ini benar-benar berniat untuk menghancurkan konsep Nasakom presiden dalam waktu secepat-cepatnya serta membinasakan PKI serta segala sesuatu yang kiri secara radikal. Bila Bung Karno setuju dengan rencana itu, lebih baik, dan oleh para jenderal dan CIA ia diperbolehkan menduduki jabatannya. Bila ia tidak setuju, maka hari-harinya bisa dihitung, sebab ia akan diperlakukan sesuai dengan resep yang telah dibeberkan Ujeng Suwargana, yakni disiksa sampai mati. Itulah realitas yang terjadi tahun 1965. Setelah diadakan di Bandung (1955) dan di Belgrado
9. 10.
Sukarno: An autobiography, hal. 5. Dewan dengan para jenderal yang bekerja sama dengan CIA.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
199 (1961) maka Juni 1965 akan diadakan Konferensi Asia-Afrika III yaitu negara-negara yang tidak terikat (Non Blok). Tetapi sekonyong-konyong terjadi suatu halangan. Ben Belia telah diturunkan oleh Houri Boumidienne seorang kolonel angkatan darat dan dikenakan tahanan rumah dalam sebuah villa dengan kolam renang. Jadi, konferensi Bandung ketiga yang sudah direncanakan itu gagal berlangsung karena ada coup. Presiden Soekarno, Perdana Menteri Chou En-Lai dari Cina dan Gamal Abdel Nasser mengadakan rapat puncak-mini di Cairo sebagai gantinya. Hadir pula mantan Menteri Luar Negeri Pakistan, teman pribadi Bung Karno11.. Tahun 1966 Bapak menceritakan suatu kejadian yang aneh di ibu kota Mesir itu. Ini untuk menunjukkan bahwa ia benar-benar sadar akan intrik-intrik CIA terhadapnya dan terhadap Indonesia. Presiden sedang duduk di lobi hotel berbicara sejenak dengan Ali Bhutto, ketika seorang wanita muda Amerika menghampirinya, memperkenalkan diri sebagai Pat Price dan ingin membuat studi tentang Indonesia untuk menyusun sebuah buku. Soekarno, ‘Saya berjanji untuk membantunya’. Ali Bhutto setelah itu mengatakan, ‘Bung Karno, waspadalah!’ dan yang dimaksudkan adalah aktivitas-aktivitas mata-mata seperti yang telah saya gambarkan sebelumnya sekitar Profesor Guy Parker dari Rand Corporation.
11.
Anak-anak Soekarno, dan juga Dewi Soekarno masih sering pergi ke keluarga presiden Ali Bhutto yang kemudian dihukum gantung.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
200 Soekarno, ‘Saya mengatur agar dia bisa datang ke Jakarta. Dia juga mengunjungi saya di istana. Saya menunjuk seorang asisten untuk membantunya. Beberapa bulan kemudian dinas penerangan menyampaikan sebuah laporan kepadaku Pat Price yang genit dan cantik itu rupanya seorang agen CIA. Dia selalu kami bayangi. Namaku selalu dipakainya di mana-mana sebagai introduksi khusus. Dia menikmati bantuan dan keramahanku tetapi sebenarnya seorang mata-mata biasa’. Saya bertanya padanya apakah dia yakin akan hal itu. ‘Wim, dia mengadakan pertemuan-pertemuan malam dengan agen-agen Amerika. Dia bertemu dengan fungsionaris-fungsionaris Kedutaan Amerika di tempat-tempat yang tidak biasa pada waktu-waktu yang tidak biasa pula. Yang mencolok adalah kontak-kontaknya dengan atase militer Amerika. Dia berhasil mamasuki lingkungan-lingkungan tertentu, di antaranya golongan militer kita yang tertinggi’. Dia melanjutkannya tahun 1966, ‘Kamu tahukan, apa yang selalu dilakukan CIA di sini? Presiden Kennedy telah meminta maaf kepadaku mengenai hal itu tahun 1961 di Gedung Putih. Saya percaya padanya. Kedua Kennedy, John dan Bobby, orang-orang jujur. JFK adalah Presiden Amerika pertama yang saya percaya’.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
201
Jakarta (1) Tahun 1965 Republik Indonesia telah dua puluh tahun berdiri sendiri. Sebagai bangsa, negara ini telah mulai menjadi dewasa. Tahun 1925, ketika dia memulai revolusinya sebagai rising expectations (harapan-harapan yang mulai timbul), dia merasa kuat karena dukungan sebagian besar rakyat Indonesia, yang memberikan dan mempercayakan padanya kepemimpinan perjuangannya untuk meraih kemerdekaan. Tahun 1945 ketika bendera merah putih dikibarkan, ia mencapai puncak kepopulerannya. Tahun 1965, banyak alasan baginya untuk meragukan kepopulerannya itu. Massa memang tetap setia padanya, tetapi untuk pertama kali timbul aliran-aliran kuat, terutama pada bagian-bagian di angkatan bersenjata1. yang mempertanyakan kepemimpinannya. Angkatan Udara, Angkatan Laut dan Korps Marinir (KKO) jelas-jelas masih pro-Bung Karno.
1.
Paling tidak pimpinan dari angkatan bersenjata itu, sebagian subversif dengan dukungan dari luar negeri.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
202 Mengingat usaha-usaha pembunuhan yang berulang kali terjadi terhadap presiden, dibentuklah Resimen Cakrabirawa, yang terdiri dari 3000 orang pasukan elite di bawah pimpinan Jenderal Sabur. Mereka terutama terdiri dari anggota Pasukan Para yang khusus dididik untuk perang gerilya. Tiga ratus di antaranya bertugas sebagai pengawal pribadi tetap dan memiliki golongan darah yang sama dengan presiden. Tameng pelindung yang dianggap perlu di sekitar presiden tidak hanya membatasi kebebasannya bergerak seperti semula, tetapi mengubah istana lebih dari semula, menjadi sebuah benteng bersenjata. Saya masih ingat situasi tahun 1956-1957, ketika kami bisa masuk ke dalamnya tanpa banyak diperiksa. Tahun 1965 keadaan itu sudah berubah sekali. Setelah problema-problema yang terjadi pada angkatan bersenjata tahun 1950, 1952, 1955, 1957 dan coup CIA tahun 1958, tahun 1965 itu berarti bahwa harapan-harapan akan terjadinya Putsch baru oleh militer menyebabkan penjagaan terhadap Bung Karno diperketat secara maksimal. Sementara itu Jakarta telah menjadi semacam sarang lebah desas-desus coup yang paling menggelikan. Dalam visi para sekongkolan anti-Soekarno, saat itu paling ideal untuk menggulingkan status quo Soekarnois. Sampai ujung jarinya Bung Karno tahu betul apa yang terjadi. Malah beberapa minggu sebelum terjadinya coup di hadapan Dewi, dia bertanya kepada Kepala Staf Angkatan Bersenjata Yani, apa yang sedang dikerjakan Dewan Jenderal saat itu, demikian cerita Dewi padaku. Jenderal Yani menjawab bahwa Soekarno sebagai Panglima Tertinggi tidak
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
203 perlu memikirkan hal itu, ‘sebab kelompok jenderal itu berada di bawah saya.’ Agar perebutan kekuasaan para jenderal bisa berhasil, maka antara Soeharto dan Soekarno hanya terhalang oleh Jenderal Yani dan Nasution. Pada malam 30 September dan 1 Oktober 1965, Yani dibunuh bersama lima jenderal lainnya, ajudan, Letnan Tendean dan anak gadis Jenderal Nasution. Nasution sendiri bisa melarikan diri lewat dinding belakang sebelum ditembak, sehingga jalan Soeharto menuju istana terbuka lebar. Tinggal Bung Karno-lah yang harus diperhitungkan, sebab Nasution terkilir kakinya sehingga secara praktis tidak bisa bertempur lagi. Beberapa minggu sebelum coup 1965, mantan ajudan Soekarno yang paling setia, Jenderal Sugandhi2., juga datang ke istana untuk memberitahukan presiden demi kebaikannya bahwa akan terjadi coup PKI. Sugandhi telah lebih dulu bergabung dengan persekongkolan CIA. Bung Karno memberitahukan padanya bahwa dia tahu benar apa yang sedang terjadi. Bukan PKI, tetapi Dewan Jenderal yang mempunyai niat busuk. Bukan tanpa alasan bila Thomas Mann menyebutkan bahwa anti-bolsjewisme sebagai dasar kegilaan suatu kurun waktu. ‘Dengan berjalannya waktu, Sugandhi telah berubah dari seorang ajudan Presiden yang loyal menjadi seorang anti-komunis yang terobsesi. Sebaliknya, teman sejawatnya Jenderal Sabur, tetap setia pada Bung Karno sampai akhir dan mengomandani tentara Cakrabirawa.’ Ancang-ancang coup 1965 itu telah mengubah Jakarta
2.
Saya mengenal dia sejak pertemuanku dengan Soekarno di Roma.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
204 menjadi satu kota besar penuh omong-kosong3.. Subandrio pun tahun 1966 menjelaskan di depan hakim bahwa pada hari-hari itu begitu banyak berita palsu yang beredar sehigga dia tidak percaya kepada apa pun dan siapa pun. Saat itu Menteri Subandrio masih mengepalai CIA Indonesia. Tahun 1965 hanya Amerika dan CIA yang mempunyai motif untuk menghendaki perubahan di Indonesia. Perang di Vietnam oleh LBJ (Lindon B. Johnson) ditingkatkan. Tentara Indonesia sebanyak 500.000 orang di punggung orang-orang Amerika, berjuang dan berkelahi untuk hidupnya di delta Mekong, dan dipimpin oleh Soekarno yang bersikap bermusuhan, merupakan bahaya yang sangat besar. Sementara itu dokumen-dokumen yang berhasil lolos dari Washington membuktikan tanpa meragukan bahwa CIA sejak gagalnya coup yang telah direncanakan tahun 1958 terus-menerus berusaha mencari ‘para perwira Indonesia yang bisa dipakai.’ Baru-baru ini di Jakarta Jenderal Suhario Padmodiwirjo menjelaskan kepadaku bagaimana cara kerja mereka. Sejak bertahun-tahun ada perjanjian antara Washington dan Angkatan Bersenjata Indonesia, bahwa para perwira akan dididik di pusat-pusat latihan Amerika. ‘Dalam prakteknya ini berarti’, demikian Jenderal Suhario ‘bahwa CIA meneliti dan menyeleksi siapa-siapa yang “bisa dipakai” untuk melancarkan coup terhadap Soekarno. Bila tawaran semacam itu diajukan padaku, maka orang itu akan saya tembak kepalanya.’ Jenderal Suhario yang waktu itu menjabat
3.
gosip
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
205 komandan pasukan di Kalimantan dan orang kepercayaan Bung Karno, juga dikirim ke sekolah tinggi perwira di Moskow oleh presiden sesuai dengan titik pandang Bapak yang tidak pernah berubah, yakni mendekati kekuatan-kekuatan mahabesar (adidaya) dengan hak yang sama. Soekarno benar-benar tidak terikat. Tetapi sikapnya itu sama sekali tidak bisa diterima di Washington. Jalan yang paling mudah agar dunia dan para kolaborator Indonesia tidak menyukai pemimpinnya adalah menyebutnya sebagai komunis. Orang yang kurang pandai seperti Jenderal Sugandhi tentu terkecoh oleh karenanya. Dan dia bukan satu-satunya orang. Pada malam menjelang coup tahun 1965 beredar cerita yang menggelikan bahwa para dokter yang dikirim Perdana Menteri Chou En-Lai untuk membantu menangani penyakit ginjalnya, telah kehilangan harapan. Soekarno akan meninggal dalam waktu yang dekat. Kenyataannnya dia masih hidup sampai tahun 1970. Juga diberitakan bahwa presiden jatuh sakit ketika mengucapkan pidato di Stadion Senayan pada malam 30 September 1965. Dewi Soekarno mengingat kembali kejadian malam itu sebagai berikut. Untuk santap malam bersama Duta Besar Iran dan istrinya, malam itu ia berada di ‘Nirwana Club’ Hotel Indonesia. Setelah memberi pidato, Presiden kembali ke istana berganti baju untuk kemudian menjemput istrinya di hotel. Seorang ajudan naik ke tempat bersantap dan menjemputnya. Cadillac presiden diparkir secara tersembunyi dan beberapa bodyguard (pengawal) yang berpakaian preman duduk dalam mobil mereka pergi ke Wisma Yaso, di mana seperti biasa
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
206 menjelang tengah malam disediakan makan malam (koud buffet). Setelah itu mereka masih tampak berdua di kebun. Keesokan harinya, pagi sekali, presiden dibangunkan oleh seorang ajudan. Soekarno membiarkan Dewi tidur dengan tenang. Mereka menuju istana, tetapi di tengah jalan diputuskan untuk pergi ke rumah seorang teman wanita presiden, karena, demikian disebutkan, di sekitar istana merdeka tampak gerakan-gerakan tentara yang tak jelas. Setelah itu baru ketahuan bahwa mereka adalah tentara yang pro-Soekarno. Kemudian Soekarno pergi ke Pangkalan Udara Halim. Tahun 1970 Dewi bercerita padaku di Paris. ‘Bapak sama sekali tidak sakit apa-apa malam menjelang 30 September itu.’ Dari mana datangnya berita bahwa dia jatuh sakit di Senayan? tanyaku. Dewi, ‘Beberapa minggu sebelumnya presiden memang kena serangan jantung ringan saat sarapan. Dia terjatuh lemas ke bawah. Hal itu terjadi dalam sekejap dan insiden itu berlalu tanpa diketahui orang. Tetapi berita-berita yang beredar menyebutkan bahwa dia sakit parah. Pada pagi terjadinya serangan jantung Bung Karno itu, Perdana Menteri dr. Subandrio langsung pergi ke Wisma Yaso, menyuruh membangunkanku dan menangis secara histeris di samping tempat tidurku. Dia berkata bahwa dia tidak tahu apa yang harus dilakukan bila presiden benar-benar meninggal. Subandrio sungguh sudah bisa menilai dirinya, sebab tanpa Soekarno dia bukan apa-apa. Baru tahun 1995 Jenderal Soeharto membebaskannya.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
207 Emile van Konijnenburg kemudian juga bertanya kepada presiden mengenai kejadian ketika sarapan di istana itu. Soekarno mengiakan bahwa ia memang terjatuh akibat serangan jantung. Dia juga bercerita bahwa ketika ia sadar kembali, dia mengingat sebuah pantun dalam bahasa Belanda yang dia kenal dan mengucapkannya kembali untuk mengetahui apakah ingatannya masih berfungsi secara normal. Tanggal 2 Oktober 1965, setelah Bung Karno tinggal satu hari di Pangkalan Udara Halim, dia menulis surat sebagai berikut kepada Dewi.
Dear darling Dewi, Saya dalam keadaan sehat dan sedang sangat sibuk dengan suatu konferensi dengan para perwira tinggi militer untuk memecahkan konflik militer ini. Jangan cemaskan aku darling. Sayang dan 1000 kecup, Soekarno 2-10-65
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
208 Para perwira tinggi militer Presiden menunjukkan di situ bahwa persoalannya adalah konflik antarmiliter, yakni pro dan kontra PKI. Ruslan Abdulgani kemudian juga mengatakan kepada saya tentang adanya kortsluiting antara Dewan Jenderal di satu pihak dan Dewan Revolusi di pihak lainnya, yang terdiri dari para prajurit progresif yang berpangkat rendah dari angkatan bersenjata yang berhaluan kiri termasuk para perwira mudanya di satu pihak dan elemen-elemen dari PKI di pihak lain. Menurut interpretasi coup 1965 ini, kemudian Dewan Revolusi bertindak sesuai pedoman, ‘siapa yang duluan, dia yang menang’, maka pada malam tanggal 30 September 1965 dilancarkanlah aksi membunuh jenderal-jenderal terpenting yang dianggap ada hubungannya dengan Dewan Jenderal. Memanfaatkan kekacauan yang kemudian terjadi, Soeharto menemukan kesempatan untuk kepentingannya sendiri bak anjing ketiga yang membawa lari tulang yang diperebutkan. Spekulasi-spekulasi mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada malam naas itu pada sejarah Republik yang masih muda ini, tetap beredar. Cerita yang sebenarnya mengenai coup 1965 ini rupanya masih harus ditulis. Selama para pemenang di Jakarta masih berkuasa dan membuat negara ini suatu negara polisional yang fantastis, tak akan ada sedikit pun kemungkinan bahwa kebenaran tentang kejadian tahun 1965 akan disusun, demikian keyakinan para wartawan yang disampaikan kepadaku tahun ini di Jakarta. Voltaire pernah berkata bahwa bila ada dua laporan yang berbeda mengenai suatu peristiwa, banyak kemungkinan kedua laporan itu tidak berdasarkan kenyataan. Presiden Soekarno
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
209 bercerita padaku tahun 1966 bahwa dia telah menerima dua laporan rahasia mengenai coup itu, tetapi tidak satu pun yang ia percayai. Tanggal 3 Oktober 1965, presiden menulis lagi pada Dewi. =========================3/10/'65=========
Dear darling Dewi, Dua suratmu sudah saya terima. Saya senang bahwa kamu telah mendengarkan pidato saya, dan terima kasih bahwa kamu telah menghargainya. Pranoto agak lemah, ia adalah anggota staf Markas Besar Angkatan Darat, tetapi dialah satu-satunya orang di MBAD yang bisa berhubungan dengan kiri dan kanan. Saya menunjuk dia sebagai care taker harian untuk manajemen harian Angkatan Darat untuk sementara. Komando Angkatan Darat saya pegang sendiri. Segera setelah keadaan reda kembali, saya akan menunjuk komandan Angkatan Darat yang definitif. Saya belum tahu di mana Yani berada, atau mengapa dia sebenarnya. Segera setelah semuanya aman, saya akan kembali ke Jakarta. Informasi hari ini adalah, ‘belum’. Saya selalu ingat padamu. Kamu tahu betapa cintanya aku padamu. 1000 cium Soekarno
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
210 Aspek yang terpenting dari surat yang ditulis pada hari ketiga coup itu adalah, bahwa Bung Karno tidak mengetahui bahwa Yani telah dibunuh 30 September malam. Aspek kedua yang tampak kembali ialah bahwa Presiden yang tahun 1965 memperingati 40 tahun kepemimpinannya atas revolusi Indonesia, cukup berpengalaman untuk mengetahui bahwa bila terjadi bentrokan antara perwira-perwira yang berhaluan kanan dengan perwira-perwira yang berhaluan kiri, ia membutuhkan komandan angkatan bersenjata yang secara pribadi tidak berhubungan dengan PKI, atau seperti Soeharto telah dengan satu kaki bergabung dengan CIA. Tetapi Soeharto mempunyai rencana lain sama sekali daripada panglima tertingginya Bung Karno. Ketika presiden memanggil Jenderal Pranoto untuk datang ke Halim untuk membicarakan penggantian sementara Jenderal Yani, jenderal itu kebetulan berada di Markas Besar Kostrad, Soeharto, yang segera melarangnya menuruti perintah presiden. Di ‘Den Vaderland Getrouwe’, saya melukiskan perbuatan Soeharto sebagai tindakan yang nyata-nyata suatu pengkhianatan. Jenderal Mursid pernah mengunjungi saya di Amsterdam Utara dan mengatakan, ‘Wim, kamu telah menulis buku yang bagus sekali mengenai Bung Karno bagi kami di Indonesia. Tetapi ingatlah lain kali bahwa Soeharto itu tidak hanya melakukan pengkhianatan tetapi pengkhianatan tinggi.’ Di dalam otobiografinya Soeharto menulis tentang peristiwa ini sebagai berikut, Setelah perundingan yang masak, presiden pergi ke Istana Bogor. Soeharto dipanggil ke sana dan diberitahu oleh presiden bahwa beliau sendiri telah
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
211 mengambil alih pimpinan sehari-hari dan Pranoto ditunjuk sebagai pelaksananya. ‘Saya berdiam dan mampu manahan diri’ tulis Soeharto tahun 1989. ‘Saya ingin melaporkan’ demikian tulis jenderal Soeharto. ‘bahwa saya atas inisiatif sendiri telah mengambil alih pimpinan angkatan darat. Saya mengambil inisiatif ini karena itu yang biasa dilakukan bahwa apabila Jenderal Yani berhalangan, sayalah yang ditunjuk untuk menggantikannya’4.. Setelah berbicara beberapa lama, Soekarno sekali lagi sampai pada suatu keputusan yang khas Indonesia, yaitu suatu kompromi di mana ia akan mengumumkan lewat pidato radio bahwa Soeharto menjadi orang yang bertanggung jawab untuk menjaga keamanan dan ketertiban di negara ini, sedangkan Pranoto masih menjadi pelaksana harian seperti yang sebelumnya telah ditetapkan secara tertulis. ‘Pengangkatan Jenderal Pranoto sebagai pelaksana harian tidak saya sukai sama sekali. Saya tidak begitu mempercayainya. Tetapi saya berdiam diri saja,’ demikian tulis Soeharto dalam otobiografinya. Saya tidak mempercayainya. Soeharto hanya dapat menghargai perwira yang pro-Amerika, jadi Pranoto yang tidak terikat pada kiri maupun kanan merupakan buah busuk dalam keranjang, yang sedang sibuk dia isi dengan perwira-perwira pro CIA yang bisa ‘dipakai’. Megawati, putri Soekarno yang paling tua bertanya pada ayahnya pada hari-hari itu, mengapa ia menuruti keinginan
4.
Mijn gedachten, woorden en daden, autobiografie. Uitgerij van Wijnen, Franeker, 1994 hal. 109-110.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
212 Soeharto. ‘Ah, dia begitu menginginkannya’ adalah jawaban mengejutkan yang diberikan ayahnya padanya, seperti yang ia ingat kembali tahun 1995 itu.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
213
Jakarta (2) Wartawan Gordian Troeller dari Der Stern memang benar, Dewi lebih banyak melibatkan diri secara intensif dengan peristiwa yang terjadi daripada Ny. Hartini Soekarno. Tanggal 1 Oktober 1965 itu, ia baru dibangunkan pukul 10:00 pagi dan mendengar dari Michel Le Tac dari Paris Match yang sedang menyusun reportase foto mengenai Bung Karno dan Dewi, bahwa ada problem. Tanggal 2 Oktober Kapten Suparto datang membawa surat pertama dari presiden1.. Surat itu segera dijawab Dewi, mengatakan bahwa ia segera ingin bertemu Bapak. Dia menawarkan jasanya padanya. Malam itu juga kapten kembali untuk menjemputnya. Dalam sebuah jip militer yang tertutup dia dibawa ke Pangkalan Udara Halim, di mana ia berkesempatan berbicara dengan Bung Karno selama dua puluh menit. Bung Karno sedang sangat resah mengenai nasib
1.
Lihat fotokopi Den Vaderland Getrouwe, Birma, 1973.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
214 Jenderal Yani, yang merupakan ‘anak emas’2. nya. Profesor Peter Dale Scott dari Kalifornia kemudian menunjukkan dalam suatu analisis, bahwa justru dengan dibunuhnya Yani perebutan kekuasaan oleh Soeharto dan kroni-kroninya itu dipermudah. Tahun 1970 di Paris, Dewi bercerita padaku bahwa pada malam tanggal 2 Oktober itu ia menyarankan kepada presiden untuk sesegera mungkin membuat suatu pidato radio, karena massa sedang sangat kebingunan dan mengkhawatirkan nasibnya. Karena telah diputuskan tidak pergi ke Bogor tetapi terbang saja ke Madiun, Dewi berusaha sekuat tenaga agar Bung Karno membatalkan niat itu. Dia memeperingatkan Bapak bahwa tahun 1948 telah terjadi pemberontakan PKI di Madiun. Mengingat kejadian yang sangat menyedihkan itu, kedatangannya ke sana justru akan disalahartikan orang. Dewi berkata, ‘Saya merasa bahwa apabila dia menyingkir ke Jawa Tengah, dia akan kehilangan pengawasan pada kekuasaan di Jakarta. Saya memintanya dengan sangat agar jangan pergi ke mana-mana, tetapi apabila ia memutuskan untuk pergi juga agar membawa serta aku, karena jiwaku adalah miliknya. Di saat-saat yang berat ini saya ingin berguna baginya’. ‘Bila ditinjau kembali,’ lanjutnya, ‘seharusnya saya melakukan apa yang semula ingin saya lakukan yakni memakai setelan celana saat pergi ke Halim, juga karena saya pergi naik jip. Tetapi karena saya tahu bahwa Bapak tidak menyukainya, saya mengenakan gaun. Dia berterima
2.
Seperti anak kesayangan sendiri.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
215 kasih atas loyalitas dan dedikasi saya, tetapi sambil melihat pakaianku ia berkata bahwa saya sebagai wanita tidak bisa ikut. Pada saat itu saya merasa sebagai seorang istri samurai yang harus menerima kenyataan bahwa ia hidup di dunia laki-laki. Saya menyadari bahwa saya akan menyukarkan dia bila saya bersikeras untuk ikut’. Segera setelah pertemuan itu Bung Karno memasuki mobil. Dewi bertanya pada diri sendiri apakah ia masih akan bertemu atau melihatnya lagi. Pintu mobil ditutup. Aba-aba diteriakkan. Tak lama kemudian dia melihat Perdana Menteri Johannes Leimena. Dia berlari menghampirinya dan memohonnya dengan sangat agar mengimbau presiden mengurungkan niatnya untuk pergi ke Madiun. Presiden harus memperlihatkan diri kepada rakyat untuk membantu memulihkan ketenteraman dan untuk mengembalikan kepercayaan rakyat akan kepemimpinannya. Tanggal 3 Oktober dia menerima surat ketiga dari presiden lewat seorang kurir, yang memberitahukan bahwa dia bersama Johannes Leimena telah pergi ke istana Bogor. Dalam suratnya Bung Karno menulis bahwa dia belum mengetahui sama sekali nasib Jenderal Yani. Tanggal 5 Oktober 1965 ditemukan keenam jenazah yang rusak berat dari jenderal-jenderal yang terbunuh dan Letnan Pierre Tendean dekat Lapangan Udara Halim di Lubang Buaya3.. Para komando marinir mempergunakan tabung zat asam ketika mengeluarkannya dari lubang. Jenazah Jenderal
3.
Lubang buaya
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
216 Yani, Harjono, Sutojo Siswomihardjo, Suprapto dan Jenderal S. Parman, para perwira tinggi dari dinas penerangan, yang setahun sebelumnya menemui saya di New York dengan tugas menghabisi Wemer Verrips dan saya, telah ditemukan. Jenderal Soeharto menyaksikan penggalian itu dan tahun 1989 menulis, ‘Saya bergidig ketika melihat jenazah-jenazah itu dan menggigit bibirku. Saya tak akan pernah melupakannya, kataku pada diri sendiri4.. Akhirnya ditemukan juga jenazah Jenderal D,I. Panjaitan, salah seorang sahabat baik agen CIA Verrips yang terbunuh tahun 1964. Ketika pembunuhan-pembunuhan terhadap para jenderal diumumkan, tidak hanya Soeharto yang bergidig tetapi seluruh rakyat Indonesia merasakannya sebagai pukulan psikis dan emosional yang sangat dalam. Trauma tragis yang dialami bangsa tahun 1965 itu, baru tercerna oleh rakyat Indonesia tahun 1995. Penemuan di Lubang Buaya mempunyai efek seperti bom atom pada benak rakyat Indonesia. Biasanya dibutuhkan satu generasi untuk dapat mengampuni kejadian-kejadian di masa lalu, dan secara berangsur menyembuhkan tekanan psikis yang menimpa jiwa mereka. Baru akhir-akhir ini saja Amerika Serikat untuk pertama kali sejak perang di Indo-China, yang pecah pada tahun enampuluhan, memperbaiki kembali hubungan diplomatiknya dengan Vietnam. Menteri Pertahanan Kabinet JFK dan LBJ baru tahun 1995 akan menulis buku mea-culpa,5. dengan hak pembahasan
4. 5.
Soeharto, Autobiografi, hal. 111-112. Robert S. McNamara, In Retrospect, The tragedy and lessons of Vietnam, Times Books, Random House, New York, 1995.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
217 utama, bahwa perang itu salah dan sebaiknya tidak pernah dilakukan. Kejujuran mengenai perebutan kekuasaan dan pertumpahan darah yang terjadi kemudian di Indonesia di bawah tanggung jawab Jenderal Soeharto, tidak dapat diharapkan terungkap, setidaknya tidak selama rezimnya masih berlangsung. Di dalam otobiografinya pun yang dipublikasikan tahun 1989, jenderal ini masih tetap mengelabui dirinya sendiri dan rakyat Indonesia. Bila seseorang dengan inteligensi tinggi seperti Mc. Namara tahun 1995 mengakui secara umum, apa yang dapat diharapkan dari seseorang yang berasal dari desa Kemusu, yang letaknya sama jauh dari Yogyakarta seperti Lage Vuursche dari Amsterdam, yang hanya lulus SD di desanya, kemudian masuk MULO (SMP) dan tersendat sampai usia 15 tahun untuk kemudian menjadi pesuruh pertama di Bank Rakyat di Wuryantoro? Suatu pengakuan berbuat salah tidak akan bisa diharapkan dari Soeharto selama hidupnya. Sejarahlah yang dalam hal ini harus meluruskannya. Jose Ortega y Gasset berpendapat, pada saat-saat terjadi gejolak emosi dan perkosaan terhadap kebenaran, kaum intelektual sebaiknya berdiam diri, kalau tidak mereka terpaksa harus berbohong. Jadi, baru di Bogor Soekarno mendengar tentang nasib yang menimpa para jenderal. Barang siapa telah mengikuti riwayat hidupnya, akan memahami bagaimana jutru orang ini sangat terpukul dengan kejadian itu. Selama 40 tahun kepemimpinannya di Indonesia hanya satu kali dia menjatuhkan hukuman mati. Yakni pada S.M. Kartosuwirjo, pemimpin teroris Darul Islam yang telah
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
218 menyebabkan tewasnya ribuan orang, di antaranya wanita dan anak-anak. Sukmawati Soekarnoputri, putrinya, kemudian bercerita kepadaku, bagaimana Bung Karno selama seminggu amat tertekan dan tidak berbicara sama sekali, hanya duduk di teras istana sambil menatap hampa ke depan sebelum menandatangani keputusan itu. Pada minggu-minggu pertama bulan Oktober 1965 itu, Soekarno tidak berbicara sama sekali sebagai reaksi terhadap penemuan jenazah para jenderal yang mengerikan itu. Pada tanggal 5 Oktober ia menulis kepada Dewi, antara lain, ‘Hari ini keenam jenderal dan seorang ajudan salah satu jenderal akan dimakamkan. Dinas keamanan dan Subandrio, begitu pula Leimana melarangku menghadiri pemakaman dengan alasan keamanan negara. Mereka mengatakan bahwa tak seorang pun tahu apa yang bisa terjadi pada kejadian yang emosional seperti ini.’ Sebagai penutup ditulisnya, ‘Mengenai para jenderal yang dibunuh, kita tunggu saja dulu hasil dari penyelidikan kita. Betulkah mereka mempunyai niat melancarkan coup terhadap saya? Beritanya saling bertentangan. Yang jelas dan nyata adalah bahwa mereka semua menderita ‘fobi-komunis’, begitu kata presiden pada istri yang orang Jepang itu. Dewi bercerita bahwa ketika melihat tayangan televisi mengenai jenderal-jenderal yang terbunuh itu, yang dia kenal semua, ia menjadi bingung. Berhari-hari ia menangis karena menyadari bahwa kejadian-kejadian yang tragis itu bisa berdampak dalam dan jauh bagi hidupnya maupun hidup presiden. Tanggal 6 Oktober 1965, untuk pertama kali setelah coup
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
219 kabinet berkumpul secara lengkap di istana Bogor. Pers diizinkan masuk untuk waktu terbatas. John Hughes dari Chistian Science Monitor menanyakan komentar Bung Karno mengenai kejadian. ‘Saya mempunyai senyum untuk pers’, begitu jawab presiden. ‘Senyum itu kami lihat, tetapi apa yang bisa Anda katakan kepada kami’ tanya Hughes. ‘Sudah berapa lama Anda berada di Indonesia?’. ‘Satu minggu’. ‘Hanya di Jakarta, atau apakah Anda sudah keliling negeri ini untuk melihat-lihat?’ Hughes bertanya kapan presiden akan kembali ke Jakarta. ‘Para wartawan ini mempunyai berbagai cara dan siasat untuk mengajukan pertanyaan yang sukar-sukar’, lanjut presiden. Hughes, ‘Anda bertanya mengenai rencana perjalanan saya, jadi saya kira saya juga perlu bertanya mengenai rencana Anda’6.. Perundingan kabinet pada tanggal 6 Oktober 1965 itu sampai pada kesimpulan sementara, bahwa coup yang terjadi itu akibat adanya perselisihan di dalam jajaran Angkatan Bersenjata, di mana beberapa perwira progresif ingin menyingkirkan jenderal-jenderal anti komunis yang penting, jenderal-jenderal yang juga mempunyai hubungan erat dengan CIA. Aksi itu dilancarkan atas perintah Kolonel Untung untuk
6.
Dia kemudian menulis buku yang anti-Soekarno dan pro-Soeharto: Indonesian Upheaval, David Mac. Kay, New York, 1967.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
220 mencegah terjadinya perebutan kekuasaan dari para jenderal yang berhaluan kanan tanggal 5 Oktober 1965 itu. Satu-satunya kali Bung Karno pada hari-hari kritis itu tidak berdiam diri dan menyebut kejadian itu sebagai ‘riak di samudera revolusi’, musuh-musuh presiden memanfaatkan kata-kata itu secara terus-menerus untuk menggambarkan seolah dia adalah seorang pemimpin yang tidak berperasaan dan tidak punyak hati nurani, yang menganggap pembunuhan di Lubang Buaya itu hal yang remeh. Mengenai hal ini, Jenderal Soeharto menulis dalam otobiografinya, ‘Sementara itu Presiden Soekarno mengambil sikap yang bertolak belakang dengan langkah dan aksi yang saya ambil. Perbedaan dalam titik pandang ini makin tampak setelah Bung Karno menyebut insiden tanggal 30 September itu sebagai ‘riak di samudera revolusi.’ Tidak hanya langkah dan aksi kedua orang laki-laki itu yang bertolak belakang, otak Soekarno dan Soeharto juga berjauhan seperti jauhnya Mars dari Venus. Soekarno adalah seorang revolusioner intelektual yang sangat berpengalaman, pemimpin politik dan merupakan pendiri yang sebenarnya dari negara kesatuan ini, Soeharto adalah seorang sersan yang jatuh ke atas dari tentara kolonial dulu, yang berhasil mendapatkan penghargaan dari angkatan perang berkat jasanya sebagai ahli berkelahi yang efektif dan walaupun mendapatkan halangan yang berat7. ambisinya yang besar yang berhasil mendorongnya sampai puncak komando militer. Karena itu dalam autobiografi Bung Karno yang dipubli-
7.
Pada tahun 1958 Jenderal Nasution memindahkan kolonel Soeharto dari divisi Diponegoro karena telah melakukan penggelapan uang.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
221 kasikan tahun 1965, Soeharto tidak ada. Sebaliknya Soeharto, baik dalam The Smiling General8.8. yang dipublikasikan tahun 1969, maupun dalam otobiografinya dari tahun 1989, membuka secara terang-terangan sikapnya yang merendahkan terhadap Soekarno. Ditambah pula bahwa presiden yang kedua itu adalah hasil dari generasi yang baru, yang tidak mengenal Soekarno yang sebenarnya, jarang bertemu dengannya dan tidak dekat dengan Bapak karena ia agak mencurigainya. Tahun 1969 Soeharto menyuruh orang Jerman Barat O.G. Roeder melukiskan situasi itu sebagai suatu tragedi seorang orang tua, yang tidak memahami bahwa gagasan-gagasannya yang muluk-muluk yang telah berhasil di masa lalu, tidak bisa dipertahankan terus-menerus. Dia makin lama makin bertingkah laku seperti anak, dan bertindak seolah ‘saya lebih tahu’ salah satu slogan saya lebih tahu favoritnya. Diucapkannya kata-kata itu mengenai presiden kepada seorang jenderal bawahannya untuk menggambarkan dilema yang dihadapi kepala negara tahun 1965 itu. Mantan Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta telah mensinyalir gejala-gejala itu ketika ia tahun 1966 dengan cemas menyampaikan padaku bahwa ia melihat dengan jelas bagaimana generasi muda makin terasing dengan salah satu nilai fundamental dari pendidikan Jawa yang amat bagus, yakni ditumbuhkannya rasa segan ‘dan malu9.’ terhadap orang yang lebih tua. Dia menyimpulkannya, misalnya dari kelakuan beberapa
8. 8. 9.
idem, Jakarta 1969. idem, Jakarta 1969. verlegen
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
222 kelompok mahasiswa yang meneriakkan kebohongan-kebohongan dan penghinaan-penghinaan terhadap Soekarno di jalan-jalan untuk menyulut rakyat agar melawan presiden yang resmi negara ini. Kelompok Soeharto menyediakan kendaraan tentara untuk keperluan ini dan lewat Australia mereka muda mendapatkan seragam kamuflase Amerika. Anak-anak muda pun disalahgunakan para perwira yang pro-Amerika ini untuk kepentingan mereka. Di dalam The Smiling General, Soeharto menjelaskan mengenai apa yang ia sebut sebagai slogan-slogan yang telah dipahami. Yang dia maksudkan dengan itu adalah misalnya konsep Nasakom Bung Karno dan fakta bahwa gambaran masa depan negaranya bagi Soekarno adalah tetap mempertahankan politik kenetralannya dalam Perang Dingin antara Amerika dan Uni Sovyet, sedangkan Soeharto dan kelompoknya jelas-jelas memihak kepada Amerika Serikat. Bila kemudian Soeharto yang menganggap dirinya lebih mengetahui, maka itu hanya menunjukkan orang seperti apa dia pada dasarnya. Sampai sekarang sudah tiga puluh tahun Indonesia mengalami praktek-praktek pembunuhan dan kematian paksaan dari jenderal. Rakyat tidak berdaya untuk melepaskan diri dari tekanan teror militer ini, jadi juga dari rezim yang didukung Amerika Serikat, Belanda, Jepang dan negara-negara kaya lainnya dengan biaya bermilyar sebagai imbalan diserahkannya ekonomi pada negara-negara imperialis ini. Tahun 1989, Soeharto menulis dalam biografinya bahwa setelah coup ia menekankan kepada Bung Karno, ‘Saya masih menghormati Anda seperti saya menghormati dan menjunjung
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
223 tinggi orang tua saya. Bagi saya Anda tidak hanya pemimpin rakyat. Saya menganggap Anda sebagai ayahku. Saya ingin menghormati Anda’10.. Kata-kata dan ungkapan seperti itu menunjukkan gangguan psikis, apalagi bila di samping penjelasan itu kita tempatkan tindakan-tindakannya yang penuh pengkhianatan dan insubordinasi, dengan mengabaikan semua perintah Bung Karno secara katagoris. Sambil merongrong presiden dengan segala cara yang tidak jujur dan licik, ia akan melancarkan pernyataan-pernyataan kedekatan dan keterikatannya. Soekarno hampir tidak bisa mempercayai telinganya, karena dia lebih dari tahu mengenai niat busuk Soeharto. Jadi Bapak berkata ‘Betul, Harto?’ dan Jenderal menulis dalam biografinya (halaman 120) ‘Betul Pak. Bila Tuhan menghendaki....’ Mendengar kata-kata tidak benar itu, presiden tentu kemudian mengetuk keningnya. Jadi Soeharto akan menganggap Soekarno sebagai ayahnya. Tahun 1995 kami mendengar bahwa ia telah meminta Profesor Emil Salim yang menjadi pelaksana protokol bagi kunjungan kenegaraan pada keluarga kerajaan Belanda agar memberitahukan kepada wartawan NRC Handels Blad11. bahwa dia menganggap Pangeran Bernhard sebagai ‘seorang kakak’ dan Ratu Beatrix sebagai ‘seorang anak’. Dengan cara seperti itu kepala negara Indonesia saat ini mempunyai keluarga yang istimewa besarnya, sebab Pangeran Claus menjadi menantunya dan pangeran Willem-Alexander adalah cucunya.
10. 11.
Soeharto: Autobiografie, hal. 120 NRC Handelsblad, 22 Juli 1995
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
224
Jakarta (3) Pada pekan-pekan awal bulan Oktober 1965 itu Dewi Soekarno memusatkan perhatian pada pengumpulan sebanyak mungkin informasi dari seluas mungkin sumber yang telah terseleksi dengan teliti. Semua masukan itu diketik pada lembaran kertas yang panjang yang dikirimnya kepada Bapak di Istana Bogor. Dia tidak akan mempengaruhi ataupun memberi nasihat pada presiden, katanya padaku. Tetapi dia mau memberikan informasi yang sebanyak dan seluas mungkin tentang kejadian-kejadian di Ibu Kota selama ia tidak berada di sana. Tanggal 6 Oktober 1965 dia memang mengirim surat kepadanya untuk mengatakan betapa terkejutnya ia melihat tayangan televisi yang menayangkan rapat kabinet pertama di Bogor, yang memperlihatkan Bung Karno, seolah-olah tidak terjadi apa-apa di negara ini. Presiden tampak bergurau, tenang dan tersenyum lebar. Kekejian di Lubang Buaya baru terungkap dan Bapak bertindak acuh tak acuh.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
225 Saya yakin, tayangan televisi yang memperlihatkan tingkah laku presiden itu tidak diterima semestinya. Motivasinya tentu adalah bahwa dengan sikap untuk ‘segera kembali ke keadaan normal sehari-hari,’ ia hendak menenteramkan keadaan. Tetapi dalam kenyataannya dia tidak menyadari bahwa dengan sikap yang sepertinya acuh tak acuh pada saat kritis dan sensitif ini ia justru menginjak-injak hati rakyatnya yang masih dalam keadaan terkejut, terutama kalangan militer Indonesia. Ada satu faktor yang menyebabkan ia bertindak demikian, yakni keyakinan Soekarno, bahwa memang ada Dewan Jenderal yang hendak mengantarkan negara ini langsung ke tangan negara-negara kaya. Dia tahu, bahwa beberapa dari jenderal-jenderalnya yang terpenting sudah bertahun-tahun berhubungan dengan CIA. Jadi, dua hari setelah ditemukannya jenazah-jenazah para jenderal, dia sendiri menghadapi suatu konflik batin yang tak terbayangkan. Kekejaman yang terjadi di Lubang Buaya, seperti yang diperlihatkan di televisi, tak dapat dipahami seorang pun. Jenderal Soeharto mengantarkan jenazah-jenazah ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat dan menulis, ‘Saya berjaga semalam suntuk di samping teman-teman sejawat yang terbunuh’ (halaman 113). Jenderal Nasution menjelaskan, ‘orang-orang yang tak bermoral telah menuduh jenderal-jenderal yang terbunuh itu sebagai pengkhianat’ dan menambahkan. ‘Fitnah lebih kejam dari pembunuhan’. Tetapi saya sendiri menjadi saksi bahwa Jenderal Nasution yang harus disebut sebagai pengkhianat, karena dia dengan kerja sama Ujeng Suwargana sudah sejak tahun enam puluhan
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
226 di Washington bersekongkol dengan CIA untuk melawan Soekarno dan menciptakan politik yang netral. Jadi ketika Bung Karno tanggal 6 Oktober itu dilihat Dewi di layar televisi, ia menyaksikan seorang presiden yang selama belum tahu dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi pada malam 30 September menjelang 1 Oktober, dan mengapa hal itu terjadi, belum menentukan sikap pribadinya terhadap kejadian itu. Ia berkata kepada Abdulgani, ‘Saya adalah sebuah buku terbuka. Aku bukan seorang hipokrit’. Yang menyebabkan mitra kerjanya yang terdekat menjawab bahwa presiden bagi dirinya pun merupakan sebuah buku yang banyak isinya belum jelas baginya. Tanggal 6 Oktober 1965 itu Soekarno tidak mampu mencucurkan air mata buaya yang tidak dihayatinya. Mengenai keterbukaan, Dewi merupakan angin segar dalam hidupnya. Dewi selalu mengatakan dengan langsung apa pendapatnya dan apa yang dipikirkannya, tanpa mempertimbangkan apakah pendapat itu benar. Di dalam istana yang selama bertahun-tahun selalu penuh dengan orang-orang yang selalu mengatakan. ‘Ya, Bapak’, Soekarno merasa hidup bila didatangi orang-orang yang selalu jujur dan terbuka terhadapnya. Dewi benar-benar merupakan angin segar baginya. Tanggal 8 Oktober 1965 Bung Karno menyuratinya, antara lain, ‘Kamu jangan salah memahami saya. Pada rapat kabinet itu saya tersenyum untuk menunjukkan kepada dunia bahwa saya aman dan bahwa situasi sudah kukendalikan. Kamu tentu tahu bahwa pers1. -NECOLIM menyakatan bahwa saya kalah
1.
Istilahnya untuk pers neo-kolonialis/pers imperialis.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
227 atau setidak-tidaknya hampir kalah. Saya juga tertawa untuk memberi kepercayaan dan kekuatan kepada rakyat saya.’ Dan ia melanjutkan, ‘Tahukan kamu bahwa para jenderal yang terbunuh itu segera saya nobatkan sebagai pahlawan2. revolusi dan bahwa mereka semua saya naikkan pangkatnya satu tingkat?’ Saya berpendapat sama dengan Dewi bahwa Bung Karno 6 Oktober 1965 itu pertama-tama tidak harus mengingat kesan apa yang harus dia perlihatkan pada pers dunia, tetapi terutama harus memberikan reaksi pada pertanyaan-pertanyaan yang pada saat-saat itu hidup dalam hati rakyatnya yang sedang mengalami trauma mendalam dan ingin mendengar dari mulutnya apa yang sebenarnya terjadi. Dengan beberapa kata menyatakan ikut berduka atau kalau perlu dengan penjelasan sedikit mengenai tragedi yang terjadi, ia sebenarnya dapat mengurangi dan menghilangkan rasa sedih dan sakit dari rakyatnya3. yang sangat membutuhkan informasi. Tetapi dia memilih mengikuti resep Ortega y. Gaset, yakni membungkam. Pekan-pekan pertama setelah perebutan kekuasaan digunakan Soekarno untuk menemukan jalan keluar politik lewat resep lama yang dikenal dan dipercayainya, yang membuatnya melanjutkan kebijakannya, yakni melibatkan PKI seperti biasa dalam rapat-rapat. Soeharto dengan antek-anteknya justru sesuai dengan pertemuan dan perjanjian-perjanjian rahasia yang telah dilakukan dengan CIA, mulai
2. 3.
pahlawan. rakyat.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
228 memburu orang-orang komunis dan semua serta segala yang dipradugakan beraliran kiri. Presiden sebagai Bapak dari semua warganya, tetap melindungi PKI. Soeharto mengarang bahwa PKI pada 30 September melakukan coup dan karenanya harus ditumpas. Kedua orang itu memang sangat berlainan. ‘Saya yakin betul bahwa Soekarno itu bukan orang PKI’, tulis Soeharto dalam otobiografinya tahun 1989 (halaman 143). Melalui kebijaksanaanyalah PKI mendapat kesempatan untuk mengembangkan sayapnya, itu memang benar. Tetapi dia tidak pernah bermaksud untuk memberikan ruang gerak yang begitu besar kepada PKI, sehingga bisa mencapai tujuannya. Lepas dari pertanyaan apakah PKI akhirnya pada tahun 1965 bermaksud untuk di kemudian hari merebut seluruh kekuasaan, pada hari-hari perebutan kekuasaan itu hal itu tidak terjadi. Lagi pula saya yakin seyakin-yakinnya, setelah berhubungan dengan Bung Karno sendiri selama sepuluh tahun secara terus-menerus bahwa dia akan menolak sekuat tenaga untuk memberikan seluruh kekuasaan kepada kaum kiri, yakni PKI, seperti yang dilakukan pada tahun 1965 menolak sekuat kemampuannya agar pendulum politik tidak bergerak ke kanan, tentara dan Soeharto. Tanggal 10 Oktober 1965 ia melayangkan lagi sepucuk surat dari Bogor untuk Dewi.
‘Dear darling Dewi, my darling: Pertama-tama saya memberitahukan bahwa saya hari ini tidak dapat ke Jakarta, karena saya harus membicarakan sesuatu yang amat penting dengan staf Divisi Siliwangi di
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
229 Bogor. Pembicaraan ini tidak dapat dilakukan di Jakarta. Pertemuan harus berlangsung di sini secara rahasia. Bila dilakukan di Jakarta, orang-orang, terutama beberapa tentara akan segera menciumnya. Staf Siliwangi sendiri amat takut, kalau-kalau beberapa kalangan militer akan mengetahuinya. Kepadamu, sebagai istriku yang tercinta, yang bisa saya percayai, dapat saya beritahukan, dengan sangat rahasia bahwa staf Siliwangi sangat tidak setuju bila Jenderal Ibrahim Adjie, Panglima4. Siliwangi dijadikan Panglima Kostrad di Jakarta dan menggantinya dengan Jenderal Umar ‘panglima’ saat ini di Jakarta5.. Staf Siliwangi menghendaki Ibrahim Adjie tetap menjadi komandan mereka karena divisi ini merupakan benteng saya yang terkuat. Problem ini harus saya pecahkan hari ini. Karena itulah, sayangku, hari ini saya tidak bisa ke Jakarta. Benar, Siliwangi adalah benteng saya yang paling kuat. Saya harus dekat dengannya dan sangat penting bagiku’. Dalam kenyataannya, Soeharto mengganti Jenderal Ibrahim Adjie dengan Jenderal HR. Dharsono, yang mengubah Divisi Siliwangi menjadi kesatuan militer anti-Soekarno dan anti-PKI yang paling menyedihkan. Jenderal Adjie dikirim ke London sebagai duta besar, di mana saya kemudian menemuinya dan berbicara panjang lebar dengannya. Baru-
4. 5.
komandan Jadi sebenarnya Soekarno ingin mengganti Soeharto dengan Adji. saya kira bahwa pemimpin Siliwangi lebih mengetahui dari dia, bahwa hal ini tidak mungkin lagi dilakukan.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
230 baru ini Soeharto menganugerahkan gelar ‘Tahlawan Revolusi’ kepadanya, di mana Jenderal Ibrahim Adjie yang sudah lanjut usia itu hadir dalam kursi roda. Dalam konteks Indonesia kawan menjadi lawan dan lawan menjadi kawan semudah ‘Timur itu menjadi Timur’ dan ‘Barat menjadi Barat’. Dalam undangan makan siang dengan Ny. Hartini Soekarno tahun 1994, ibu ini memberitahukan kepadaku bahwa ‘Pak Harto itu sebenarnya orang yang baik yang dibimbing oleh mistik Jawa tradisional’. Bertahun-tahun aku berkorespondensi dengannya. Tahun 1972 saya bersamanya selama beberapa hari di Mandarin Hotel Singapura, untuk merekam kenang-kenangannya tentang berbagai peristiwa yang relatif masih baru terjadi6.. Dan benarlah, seperempat abad kemudian, setelah Soeharto yang sama itu membunuh suaminya secara perlahan-lahan, pendapatnya mengenai orang itu berbalik 180o, yakni jalan pikiran aneh yang tak dapat saya ikuti dan tidak dapat saya terima. Dewi, sebaliknya, dengan cara berpikir yang lebih berorientasi ke Barat, tetap mempertahankan pendapatnya yang negatif mengenai Soeharto, sampai tahun sembilan puluhan. Pada bulan Oktober 1965 itu Dewi mengadakan hubungan intensif dengan golongan atas di Jakarta saat itu, agar dengan demikian bisa membantu Bung Karno. Antara dia dan Bapak dan Ny. Nasution telah terjadi sejumlah pertukaran berita dan pesan secara tertulis. Akibatnya ialah bahwa melalui sejumlah laporan dia mencoba meyakinkan
6.
Sampai saat ini belum dipublikasikan.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
231 presiden bahwa presiden tak perlu takut kepada ‘Pak Nas’ dan bisa mempercayainya, tetapi Soekarno saat itu sudah mengetahui, yang kemudian pada tahun delapanpuluhan dibuktikan oleh dokumen-dokumen CIA yang bisa beredar secara bebas bahwa Nasution sejak semula sudah dipilih oleh orang-orang Amerika untuk menggulingkan Soekarno melalui suatu coup. Presiden mengetahui misi-misi Ujeng Suwargana dan rencana untuk mengisolir dia dan untuk membiarkannya layu dan mati seperti bunga. Sayalah yang telah berusaha agar Bung Karno mengetahui misi-misi rahasia Ujeng ke Den Haag, New York dan Washington, jadi mengenai hal itu tidak ada keragu-raguan. Sebagai jawaban atas informasi Dewi, bahwa presiden bisa mempercayai Nasution, dan kemudian menulis pada 10 Oktober, misalnya, ‘mengenai Nasution, saya sampai pada kesimpulan bahwa saya bisa mempercayainya. Dia hanya belum dewasa dalam berpolitik’. Bila Nasution pada Oktober 1965 itu dianggap belum dewasa dalam berpolitik, maka dibandingkan dengannya Soeharto adalah tuna aksara dalam berpolitik. Reaksi Bapak yang lunak mengenai Nasution di dalam suratnya kepada Dewi, di satu pihak merupakan pernyataan apresiasinya mengenai keterlibatannya yang tekun untuk membantu, tetapi di lain pihak saya menginterpretasikannya sebagai kebingungan psikis yang dialaminya pada Oktober 1965 itu. Sejumlah perwira telah menempatkan sebuah mercon di bawah kursi kepresidenannya. Dia berada dalam keraguan yang amat sangat mengenai bagaimana coup itu telah berlangsung. Yang menarik, Ny. Nasution pada hari-hari itu menulis kepada Dewi
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
232 bahwa suaminya tidak pemah berniat untuk merebut kekuasaan Soekarno, tidak pernah bekerja sama untuk merencanakan pembunuhan terhadapnya, seperti yang didesas-desuskan dan bahwa Nasution acapkali memperingatkan Soekarno terhadap intrik-intrik dari Subandrio. Ny. Nasution menulis, ‘Kami sangat berterima kasih atas bantuan dan pengertian Anda, yang begitu berharga agar suami Anda dapat menerimanya lewat Anda’. Dewi memang menyampaikan semuanya ke Bogor. Dengan maksud yang terbaik di dunia, pada pekan-pekan itu Ny. Dewi Soekarno membuka suatu inisiatif untuk mendamaikan presiden dengan kedua jenderal terpenting yang bersekongkol terhadapnya. Di samping fakta bahwa dia tidak memiliki sejumlah informasi yang sangat besar, yang dimiliki suaminya, dia rupanya tidak menyadari bahwa dia telah dilayangkan dari Jepang dan terdampar di suatu negara tempat sandiwara wayang. Tanggal 29 November dia berhasil mengadakan jamuan makan malam di istana di Jakarta, yang dihadiri di samping Bung Karno dan dia sendiri: oleh Bapak Dan Ny. Nasution, Bapak dan Ny. Soeharto, Wakil Presiden dan Ny. Johannes Leimena, Duta Besar Ismail Thayeb dan isterinya serta duta besar Jepang beserta istrinya. Dewi mengenang malam yang istimewa itu sebagai ‘suatu kebersamaan yang intim antara Bapak dan putra-putranya’. Tidak satu pun kata yang tidak mengenakkan yang terucap. Baginya malah terkesan adanya suasana kerukunan antara para undangan. Dia mendapat perasaan yang tak dapat diketahui asalnya, seolah telah terbentuk basis untuk perdamaian antara Soekarno, Nasution
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
233 dan Soeharto. Tetapi dia lupa bahwa dia berada di Jakarta dan tidak di Tokyo, New York atau Paris. Dewi kurang memperhitungkan sentimen Jawa asli yakni ngabekti, yang dilukiskan Niels Mulder sebagai suatu pemberian penghormatan dari pihak anak, sering dari anak laki-laki kepada ayahnya, sebagai suatu perbuatan semi religius untuk menyatakan penghormatan. Tahun 1965 Bung Karno masih menjadi Bapak Bangsa Indonesia secara keseluruhan. Rupanya Soeharto juga bingung dengan ke-Jawa-annya dan perasaan pemberontakannya terhadap Bung Karno. Mengenai presidennya, Soeharto menulis tahun 1989 dalam otobiografinya: ‘Saya adalah anak petani melarat. Tetapi ayahku selalu berkata kepadaku bahwa saya harus selalu menghormati orang-orang yang lebih tua’ (halaman 119). Kepada Soekarno ia masih berkata, ‘Saya menjunjung tinggi Anda, seperti saya selalu menjunjung tinggi orangtuaku. Bagiku Anda bukan saja pemimpin bangsa. Saya menganggap Anda sebagai ayahku. Saya akan menghormati dan menjunjung tinggi Anda’. Jenderal (Soeharto) tidak pernah melaksanakan kata-katanya itu. Sejak 1965 Soeharto sudah lama mengidap penyakit menganggap dirinya lebih, dan mengira bahwa dirinya lebih baik daripada Bung Karno menyangkut kepentingan negara. Dia tidak menyetujui kepemimpinan Bung Karno, karena presiden ingin agar Indonesia tidak terlibat dalam Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet agar tidak terjebak dalam cengkeraman negara adidaya yang satu maupun yang lain. Dan berkatalah sang jenderal dalam otobiografinya,
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
234 ‘Saya tidak dapat begitu saja loyal (kepada Soekarno), sebab bila saya menuruti permintaan-permintaannya maka itu berarti, bahwa saya akan berbuat sesuatu yang tidak benar’, (hal. 121). Inilah yang ditulis Pol Pot tentang Indonesia: seperempat abad setelah dilancarkannya banjir darah terbesar dalam sejarah Indonesia untuk memaksakan kehendaknya, dan dengan bantuan CIA dan kumpulan negara-negara kaya, dipelopori oleh Belanda, menumpas segala perlawanan dari orang-orang Indonesia yang sebagai patriot setia kepada Bung Karno dan tidak setia pada Soeharto. Soeharto tidak hanya pengkhianat rakyat Indonesia, tetapi juga berkali-kali berkesempatan untuk menyatakan kecintaan dan penghormatan pribadinya kepada presiden dan panglima tertingginya, untuk lima menit kemudian meninggalkan istana dan menulis dalam kenang-kenangannnya, ‘Akhirnya dia (Soekarno) mengetahui juga bahwa saya tidak mudah diperintah bahwa saya mempunyai pendapatku sendiri’, (hal. 122).
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
235
Jakarta (4) Jam-jam, hari-hari, bulan-bulan dan tahun-tahun setelah perebutan kekuasaan oleh Soeharto tahun 1965 merupakan hari-hari yang paling gelap dalam sejarah Indonesia. Tidak satu pun dari perang-perang kolonial, juga tidak pertempuran di Aceh yang dipimpin Jenderal Van Heutz, maupun pembantaian yang dilakukan Jepang atau kapten Belanda ‘Turco’ Westerling bisa dibandingkan dengan pertumpahan darah yang dilancarkan Soeharto bersama kroni-kroninya untuk menumpas Indonesia yang ‘berpikiran kiri’. Di Asia Modern, pembantaian manusia hanya diungguli oleh Mao-Tse-tung di Cina dan Pol Pot di Kamboja. Kesempatan untuk melakukan genocide/pembunuhan massal pada rakyat sendiri disuguhkan padanya di nampan emas oleh Washington, dan dari sanalah pula datangnya senjata dan keuangan untuk melaksanakan coup itu. Hitler memiliki seorang jago bertempur, yakni Marsekal Erwin Rommel; George Bush, Presiden Amerika pertama yang
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
236 dipilih dari jajaran CIA, mengirim Jenderal Norman Schwarzkopf ke Irak. Soeharto juga mempunyai, sebetulnya secara kebetulan, seorang pengayau (pembunuh dengan cara memenggal kepala) yang amat mahir dan istimewa yang bernama Jenderal Sarwo Edhie. Tanggal 1 Oktober 1965, Edhie melaporkan diri pada Soeharto yang sedang berjalan mondar-mandir kebingungan di markas besarnya, di hadapan Jenderal Nasution yang meletakkan kakinya yang luka di atas meja. Jenderal Edhie menyarankan agar mereka malam itu juga menyerang Pangkalan Udara Halim. ‘Rupanya kamu orang yang tidak senang menunda sesuatu’, begitulah komentar Jenderal Nasution. Soeharto, ‘Saya membalikkan badanku, menunjukkan jari telunjukku pada Edhie dan berkata, ‘Lakukan segera’1. Kemudian Soeharto menggambarkan, bagaimana Jenderal Edhie di tengah malam buta berangkat menuju Halim bersama 600 anggotanya. Itulah awal kerja sama antara Jenderal: (yang melakukan) coup dan algojo PKI nya yang terpenting. Sebab penumpasan kaum kiri merupakan tujuan utama Soeharto. Soeharto bercerita bagaimana ia membayangkan jalan keluar politik dari coup itu. Hal itu dibicarakannya dengan Bung Karno di Istana Merdeka. ‘Bila Bapak Presiden sekarang secara resmi mengumumkan bahwa PKI dibubarkan dan akan dilarang, saya kira, bahwa para mahasiswa akan menghentikan aksinya kepada Bapak’2.. Bagian pembicaraan ini merupakan pemerasan (penekanan) langsung. Tentara
1. 2.
Soeharto, Autobiografi, hal. 108. idem, hal. 120
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
237 mengorganisasi dan membiayai kegiatan yang seolah-olah merupakan protes mahasiswa dengan teriakan-teriakan ‘Gantung Soekarno’, tetapi kepada presiden ia menggambarkannya seolah-olah demonstrasi-demonstrasi yang penuh penghinaan itu spontan datang dari rakyat dan akan berhenti dengan sendirinya bila kepala negara mau menuruti tuntutan yakni melumpuhkan PKI. Dia tahu betul bahwa Bung Karno dalam seribu tahun pun tidak akan menerima usul-usulnya. Sebagai kepala negara Bung Karno bertanggung jawab atas semua warga negara di negara ini, termasuk PKI dan mereka yang berorientasi kiri. Sebenarnya Nasution dan Soeharto melalui koneksi-koneksinya dengan CIA yang sudah terbukti, merupakan pembunuh bayaran orang-orang Amerika. Kesulitan yang seolah-olah tidak terpecahkan inilah yang dihadapi tahun 1965 itu. Soekarno mengatakan kepada Jenderal, ‘Sekarang kamu mulai lagi tentang jalan keluar politik. Sedangkan baru kali ini kamu mengatakan bahwa kamu menghormati kepemimpinanku’. ‘Tanpa ragu, Pak’ jawab jenderal. ‘Kalau begitu, lakukanlah perintah-perintahku!’ demikianlah yang diungkap Soeharto mengenai presidennya dalam kenangannya (hal. 120). ‘Saya tidak menjawab. Bung Karno juga diam,’ sambung Jenderal coup. Presiden berdiam karena dia tahu betul dengan siapa dia bicara. Soeharto terdiam karena panglimanya telah mengalahkannya, skakmat. Kebanyakan pasukan di dunia memiliki disiplin dan hierarki militer; kebiasaannya ialah dari serdadu sampai dengan jenderal harus segera menjalankan perintah yang
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
238 datang dari atas. Dengan berhasilnya Soeharto ini memperoleh kekuasaan, terjadilah, setidaknya di Indonesia, suatu situasi yang tidak biasa, yakni seorang jenderal bawahan Soekarno pura-pura tidak mendengar semua perintah yang diberikan panglima tertingginya kepadanya sampai tahun 1967, yang dianggap Soeharto, saat yang tepat untuk mengisolasi panglima tertingginya langsung sama sekali dan untuk menyiksanya secara perlahan sehingga ‘bapaknya yang tercinta’ itu mati. Sementara Soeharto dan Bung Karno sedang saling berdebat mengenai perlu tidaknya keberadaan PKI, Jenderal Sarwo Edhie dan teman-teman sekelompoknya mendapat hak penuh untuk berburu penganut Soekarno dan orang-orang komunis. Tugas ini pun segera dilaksanakan Edhie. Sekretaris Jenderal PKI, DN Aidit yang terbang dari Halim ke Jawa Tengah dengan Dakota Angkatan Udara dikhianati dan secara hukum militer yang cepat, ditembak mati. Menurut berita, Aidit masih menuntut untuk dipertemukan dengan Bung Karno3.. Dia diperkirakan telah menandatangani suatu keterangan setebal 50 halaman, di mana dia, menurut Brackman, mengakui, ‘Pertanggungjawaban yang paling tinggi pada peristiwa 30 September, adalah saya, Aidit4.. Rasanya tidak mungkin Aidit menandatangani dokumen semacam itu secara sukarela. Dan kalaupun hal ini terjadi, maka seharusnya Soeharto-lah orang pertama yang
3. 4.
The Communist Collapse in Indonesia. A. Brackman, W.W. Norton, New York, 1969, hal. 110-111. idem, hal. 111.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
239 mengumumkan dokumen itu pada dunia, karena dengan demikian perburuannya terhadap orang-orang PKI lebih bisa dimengerti. Sekarang sudah diketahui bahwa Aidit tanggal 1 Oktober segera pergi ke Halim untuk menjelaskan kepada presiden bahwa PKI tidak ada sangkut pautnya dengan aksi yang dilakukan Untung. Rezim militer dalam tempo yang sangat cepat melikuidasi sejumlah pimpinan atas PKI, seperti Njoto, Lukman, Sukirman dan banyak lagi yang lain. Kolonel dari Pasukan Pengawal Istana Cakrabirawa, Untung, yang bertugas memimpin penangkapan perwira-perwira tinggi pada malam 30 September 1965 itu, telah diseret keluar dari sebuah bus di antara Surakarta dan Semarang, untuk kemudian tentunya juga dieksekusi. Kata-kata terakhirnya bukan ‘Hidup PKI’ tetapi ‘Hidup5. Bung Karno’, dengan demikian menyatakan sekali lagi bahwa ada sebuah aksi yang harus melindungi presiden dari pengkhianatan j enderal-jendereal Indonesia yang pro CIA yang telah disuap. Di Kamboja kejadiannya malah sebaliknya. Setelah kekalahan Amerika di Asia Tenggara, di Phom Penh tidak ada lagi tempat buat ‘Soeharto lokal’, yakni Lon Nol. Karena itu, ia menghabiskan tahun-tahun terakhirnya di Hawaii. Ferdinand Marcos dari Filipina yang dibandingkan dengan Soeharto merupakan mini koruptor, juga menyingkir ke Hawaii setelah coup yang terjadi di Manila dan meninggal di sana. Tanggal 6 Juni 1970, pada ulang tahunnya yang ke 69
5.
hidup.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
240 dan hanya beberapa minggu sebelum wafatnya, Soekarno berkata kepada Rachmawati Soekarnoputri bahwa di matanya, Soeharto adalah Lon Nol Indonesia. Itulah tebakan jitu terakhir yang pernah dikatakan Presiden Pertama Indonesia yang kita ketahui sampai sekarang. Tanggal 11 Maret 1966, setelah dipertimbangkan secara masak-masak, Presiden Soekarno menandatangani yang disebut Super Semar, surat kepresidenan yang menyatakan bahwa kekuasaaan pelaksana dengan syarat-syarat yang diuraikan secara rinci, akan diserahkan oleh Presiden kepada Soeharto. Dalam otobiografinya, Jenderal ini menulis bahwa tugas presiden itu berbunyi bahwa dia boleh melakukan usaha apa saja agar keamanan dan ketenteraman beserta stabilitas pemerintah dan jalannya revolusi teijamin. Dan Soeharto juga harus bertanggung jawab atas keamanan dan kesejahteraan serta kekuasaan kepala negara yang sah, yakni Bung Karno, Soeharto juga berjanji, ‘akan melaksanakan semua gagasan Pemimpin Besar Revolusi’6.. Jenderal Basuki Rachmat, M. Jusuf dan Amir Machmud telah mempersiapkan Super Semar ini dengan cermat lewat pembicaraan-pembicaraan yang penuh kesabaran kepada Bung Karno. Soeharto meminta agar menyampaikan salamnya kepada Bung Karno, dan bila presiden mau menandatanganinya dan memberikan kepercayaan kepadanya untuk mengakhiri keadaan yang tidak menentu di negeri ini, maka dia meyakinkan bahwa perintahnya akan dilaksanakan sesuai
6.
Soeharto: Autobiografi. Hoofdstuk 23: Super Semar.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
241 dengan apa yang tertulis. Dan apa yang dilakukan Soeharto sebenarnya? Sementara tinta tandatangan presiden belum mengering ia mengumumkan: - perhatikan atas nama presiden yang sah - pada 12 Maret 1966, dikeluarkan Keputusan Presiden No.1/3/1966 yang melarang dan membubarkan Partai Komunis Indonesia, keputusan yang bertolak belakang dengan instruksi dan kemauan Bung Karno. Dalam otobiografinya Soeharto mencatat, ‘Keinginan rakyat untuk membubarkan PKI telah terlaksana’7.. Dalam kenyataannya dia telah mematuhi semua perintah Washington dan CIA, dan pengkhianatannya yang paling tinggi terhadap Bung Karno dan bangsa dalam sejarah Indonesia, lengkaplah sudah. Ernst Utrecht menunjukkan suatu aspek untuk melengkapi cara presiden dijebak untuk menandatanganinya. Dalam pembicaraan mengenai teks Super Semar, diperingatkan bahwa telah terjadi situasi membahayakan dalam tubuh angkatan bersenjata, Tentara yang berpihak ke kanan dan tentara yang berpihak ke kiri sudah bersiap-siap untuk saling menyerang, kali ini dalam bentuk Perang Saudara8. Sejak awal coup tahun 1965, sejumlah jenderal dan laksamana yang setia pada Soekarno, menyatakan siap membantu dan sering bertanya kepadanya, ‘Berilah komando maka kami akan memusnahkan para pengkhianat’. Lak-
7. 8.
Soeharto, Autobiografi, hal. 123-125 Soekarno/Soeharto - Prof. dr. E. Utrecht. hal. 47.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
242 samana Muljadi berterus terang pada Soeharto, ‘Bila Bung Karno memutuskan untuk mengundurkan diri, itu oke. Tetapi bila ia harus mempertanggungjawabkan di depan mahkamah militer, seperti didesas-desuskan, maka Angkatan Laut akan bertindak dan mengumumkan perang’. Komandan polisi, Jenderal Sutjipto Judodihardjo juga bertanya langsung kepada Soeharto, ‘Mengapa Anda telah menyuruh menyusun buku porno itu?’ Yang dimaksudkan adalah sebuah laporan yang disusun rezim Soeharto mengenai pelanggaran undang-undang politik, ekonomi dan moriel yang katanya telah dilakukan Presiden Soekarno’9.. Pada hari-hari itu Bapak berkata kepada Ny. Dewi Soekarno, ‘Saya sekarang berada pada titik yang sama seperti tahun 1945, ketika negara ini didirikan. Saya harus mulai lagi dari awal’. Emile van Konijnenburg kembali dari Jakarta dan bercerita, ‘Di Jakarta sekarang mereka sedang berkelahi dengan revolver di atas meja. Dulu permainan demikian dimainkan dengan lebih halus, dengan kehadiran wanita-wanita cantik, hidangan makan yang lezat dan pesta’. Dia melanjutkan, ‘Presiden masih tetap tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada malam 30 September itu dan mercon peledak mana yang pertama meletus. Soeharto tetap melanjutkan menangkapi teman-teman Bapak, seperti sekarang Jenderal Djamin Ginting, Jenderal Mursid dan
9.
Indonesia since Soekarno, Peter Polomka, Penguin (1971), hal. 91.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
243 Letnan Kolonel Sudarmo, yang telah mencoba menggerakkan para mahasiswa yang setia pada Soekarno untuk turun ke jalan. Presiden berkata bahwa Nabi Muhammad juga telah menerima banyak penghinaan dan baru kemudian memutuskan untuk mengadakan aksi balasan. Pak Kelinci berpendapat, kesempatan untuk berhasil melawan kelompok Soeharto, makin hari makin kecil. Tanggal 17 Agustus 1966, Presiden Soekarno akan mengucapkan pidato besarnya untuk terakhir kalinya dalam peristiwa peringatan diproklamasikannya kemerdekaan. Untuk mereka yang setia padanya, ini merupakan peristiwa yang menyedihkan. ‘Akhirnya, akhirnya, akhirnya - demikian orang berkata - terjadi juga perebutan kekuasaan dan Soekarno. Presiden Soekarno telah dirampas kekuasaannya. Tangannya terikat oleh kelompok-tiga-orang yang terdiri dari Soeharto, Hamengku Buwono IX dan Adam Malik’, katanya. Dan dalam kenyataannya, memang ini merupakan keduapuluh satu kali dan terakhir kalinya ia akan mengucapkan pidato tahunannya sebagai presiden. Dia menunjuk pada Super Semar 11 Maret 1966, yang oleh Soeharto secara sepihak diartikan sebagai pengalihan kekuasaan. ‘Itu bukan pengalihan kekuasaan”, demikian presiden. ‘ttu adalah perintah keamanan, itu garis-garis arahan untuk menjamin berfungsinya pemerintahan. Itulah kata-kata yang kuucapkan ketika saya melantik Kabinet Dwikora yang baru. Lagi pula itu merupakan garis petunjuk untuk menjamin keamanan pribadi presiden. Garis petunjuk untuk mengamankan sejumlah persoalan dan Soeharto telah melaksanakan
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
244 garis-garis petunjuk ini dengan baik.10. Tetapi itu bukan merupakan pengalihan kekuasaan!’ ‘Kalian semua keliru,’ lanjut Bung Karno, ‘sekarang pun pada peringatan kemerdekaan kita, mereka itu keliru. Soekarno masih tetap presiden. Soekarno masih tetap Pemimpin Besar Revolusi. Soekarno masih tetap presiden menteri. Soekarno masih tetap berdiri di mimbar’. Dia berusaha sekuat tenaga untuk memberi kesan, seolah-olah situasi masih seperti sediakala, tetapi hampir semua yang hadir menyadari bahwa dalam kenyataan keadaan telah berubah secara radikal. Tanggal 17 Agustus 1966 itu Bung Karno hanya namanya saja presiden. Hanya soal waktu, peralihan resmi dan peralihan administrasi kekuasaan pun akan menjadi kenyataan. Untuk terakhir kali Bapak berbicara kepada rakyatnya untuk menyampaikan gagasan-gagasannya mengenai hari depan negara. Soeharto ada di situ dan berpikir ‘bicara sajalah di situ.’ ‘Betapa kejamnya imperialisme di Vietnam,’ kata Soekarno. ‘Dengan hak apa imperialisme melakukan hal-hal ini di Vietnam? Dengan hak apa imperialisme membunuh, membakar, mengebom dan menyebar napalm, dengan hak apa segala yang bagus itu dihancurkan? Sederetan jenderal, yang sudah lama sampai pada kesimpulan bahwa Washington benar dan bahwa komunisme di Vientam harus dibendung dengan
10.
Karena itu diucapkan Soekarno pada saat itu, maka merupakan suatu izin yang maha dahsyat, sebab Soeharto telah merusak konsep Nasakom dan bersama itu PKI, menentang kemauan dan instruksi presiden.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
245 penuh kekuatan, duduk di atas tangga istana dan mendengarkan kata-kata panglima tertingginya, juga berpikiran, ‘bicara sajalah disitu.’ Para jenderal yang sependapat dengan Bung Karno berdiam diri, yang lain telah ditangkap atau dibunuh. Berulang kali mereka memohon kepada presiden agar memberi perintah untuk membinasakan kelompok pro Amerika sekitar Soeharto. Berulang kali pula Bung Karno berpendapat, dengan musyawarah dan mufakat, revolusi dapat diarahkan lagi ke jalur-jalur yang bisa diterima, tetapi dia sekarang berhadapan dengan generasi baru perwira-perwira berani yang tidak mau lagi menuruti kehendak ‘bapak tua’. ‘Apa gunanya proklamasi kemerdekaan kita, apa gunanya kata-kata indah dalam preambul dari falsafah dasar kita, bila kita diam terhadap kekejaman-kekejaman yang teijadi di Vietnam dan tanpa tedeng aling-aling serta tanpa ragu akan memprotes perang Amerika di Vietnam dan mengutuknya?’ demikian Bung Karno. ‘Saya mohon Amerika! Tinggalkanlah Vietnam. Aku mohon, pergi, pergilah dari Vietnam. Anda tidak akan mungkin memecahkan soal Vietnam dengan cara yang dilakukan sekarang. Anda akhirnya pasti akan kalah!’ begitulah kata-kata ramalan Presiden Soekarno tahun 1966. Sekelompok jenderal-jenderalnya sendiri sedang sibuk untuk bersama Washington dan CIA menggulingkannya sebagai kepala negara Indonesia demi kepentingan militer perang Vietnam, yang memang terbukti delapan tahun kemudian dan tambahan jutaan korban, berakhir dengan kegagalan total bagi Washington dan CIA. ‘Saya adalah pemimpin besarmu! Ikutilah aku dan
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
246 tepatilah garis arah saya. Saya tidak ambisius. Saya tidak menghendaki keuntungan pribadi. Saya tidak didorong oleh kepentingan pribadi. Saya hanya mau menunjukkan jalan, selalu bersama dengan Anda, tidak pernah tanpa Anda. Bersama kalian saya berdiri tegak. Tanpa Anda aku bukan siapa-siapa’. Banyak di antara pendengar pasti tak kuasa menahan air mata mendengar kata-kata itu, kendatipun negara sudah mengalami banyak dalam setahun. Mereka rupanya sudah menyadari bahwa presiden mereka dalam waktu dua belas bulan telah menempuh sebagian besar jalan buntu. Dia benar, dan sejarah juga akan membenarkannya bahwa Amerika akan mengalami kekalahan. Banjir darah massal terhadap kaum kiri, pemenggalan kepala para komunis dan melemparkan potongan-potongannya ke dalam sungai-sungai di Indonesia oleh Sarwo Edhie dan komando serta para-nya Soeharto, akan terungkap dua puluh lima tahun kemudian akibat berbagai perkembangan yang terjadi di dunia dan di Asia, dan sekali lagi akan terbukti bahwa itu adalah pekerjaan orang-orang jahat. Bung Karno memperjuangkan kerja sama dalam hak yang sama dengan kaum kiri dan PKI, itulah maksud konsep Nasakom-nya. Soeharto dan kelompoknya memutuskan untuk memusnahkan kaum kiri dan PKI. Koran Inggris The Econo-mist memperkirakan satu juta orang yang mati akibat kebijaksanaan Soeharto di Indonesia. Pol Pot di Kamboja, yang sesungguhnya melawan kaum kanan, telah melebihi Soeharto, dengan menyembelih dua juta penduduk. Sekarang, tiga puluh
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
247 tahun kemudian, Washington mengatakan bahwa Pol Pot harus dibawa ke pengadilan internasional di Den Haag karena melanggar hak asasi manusia dan pembunuhan massal, seperti juga pemimpin Bosnia-Serbia Radovan Karadzic dan Jenderal Radko Mladic. Lalu bagaimana dengan Soeharto? Kepada Soeharto-lah keluarga kerajaan Belanda tahun 1995 berkunjung dalam suatu kunjungan kenegaraan, seolah-olah dia bukan pembunuh massal yang paling besar dalam sejarah Indonesia11.. Jalan yang ditempuh Soekarno adalah melanjutkan bekeija sama dengan PKI, bukan memenggal kepala mereka secara massal, karena mereka mengejar tujuan yang lain. Koeksistensi penuh damai dalam jangka panjang akan menunjukkan, rute mana yang harus ditempuh Indonesia dan kawasan Asia Tenggara untuk memperbaiki nasib semua orang. Pada tahun 1967 itu Soeharto keluar sebagai pemenang dalam perebutan kekuasaan antara kedua orang itu. Tetapi sejarah akan membenarkan Soekarno.
11.
Willem Oltmans, Zie brochure: Bon Voyage Majesteit, De Papieren Tijger, Breda, 1995.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
248
Jakarta (5) Sebagai reaksi atas pidato kepresidenannya yang terakhir tahun 1966 itu, pecah lagi ‘penyakit flu Asia’ di Jakarta, demikian ringkasan Time magazine. Segera setelah itu jenderal-jenderal yang pro CIA melancarkan kampanye baru ‘Ganyang Soekarno’1.. Para mahasiswa dan pengikut-pengikut lain dari militer dimobilisasi seperti dulu, sebab pengecut-pengecut itu tidak mau ambil risiko, jangan-jangan Bapak telah membuat massa berpikir. Bertentangan dengan adat2. Jawa, anak-anak muda disuruh turun ke jalan dengan spanduk-spanduk bertuliskan ‘Stop impor istri-istri’, yang ditujukan kepada Dewi yang orang Jepang. Memang, para Soekarnois telah menimba keberanian baru dari pidato pemimpinnya. Mereka mendirikan Front Soekarno. Tetapi musuh-musuh presiden sudah mengincar inisiatif ini untuk segera ditindas. Jenderal Soeharto sendiri
1. 2.
Ganyang Soekarno tradisi, kebiasaan-kebiasaan
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
249 menulis dalam Otobiografinya, ‘Saya melihat bahwa hal ini dapat membahayakan dan karena itu saya harus segera bertindak agar tidak berkembang’. Di satu pihak, Soeharto tahun 1966 itu berusaha keras untuk merebut kekuasaan Bung Karno setapak demi setapak, misalnya sengaja memberi interpretasi pada Super Semar, yang hanya ada dalam otaknya sebagai pelengkap tugas kepresidenannya. Di pihak lain, dia umumkan secara luas bahwa dia di kemudian hari tidak mau dipersalahkan telah ‘melakukan hal-hal yang tak pantas terhadap pemimpin rakyat kita yang patriotik’. Dalam Otobiografinya dia menulis bahwa dia tidak pernah berniat untuk menyingkirkan Bung Karno sebagai presiden. Dalam kenyataannya Soeharto sedang ‘bergerilya’, berselang-seling ‘menyerang’ dan ‘mundur’ agar Bung Karno akhirnya dengan perlawanan minim bisa digulingkan. Sementara ini terjadi di Jakarta, di rumah persembunyian (rumah orang tua) saya menerima sepucuk surat dari sahabat lamaku Kolonel Sutikno Lukitodisastro yang menanyakan apakah saya ada minat untuk datang ke Indonesia pada 1 Oktober 1966 untuk menghadiri proses terhadap mantan Menteri Luar Negeri, dr. Subandrio. Tentu saja saya berminat, tetapi sudah sejak tahun 1962, atas permintaan Den Haag, saya sudah terdaftar sebagai orang Belanda yang oleh pemerintah dianggap tidak dikehendaki3.. Sudah beberapa tahun terdaftar sebagai orang Belanda, yang oleh pemerintah
3.
lihat juga: Persona Non Grata, Di Papieren Tijger, Breda, 1994.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
250 dianggap tidak dikehendaki. Sudah beberapa tahun saya tidak bisa lagi mendapat visa untuk Indonesia dan pada waktu itu saya memahami bahwa Menteri Subandrio dengan jalan begitu hendak memisahkan saya dari Bung Karno. Itu satu sisi dari ceritanya. Tahun 1991 saya mendapatkan dokumen-dokumen rahasia yang menyatakan bahwa saya dan juga Tuan Luns dijadikan persona non grata untuk seumur hidup4.. Saya menulis pada Pak Tikno bahwa saya pasti mau datang, asal surat-surat perjalanan saya bisa disediakan, sehingga saya bisa lagi memasuki Indonesia sejak 1957. Apa yang saya tulis mengenai perkembangan-perkem-bangan di negara ini dalam bab-bab terdahulu tahun 1966 itu, sebagian besar tidak saya ketahui. Mengenai pertumpahan darah yang dilakukan Soeharto dengan pembantu-pembantu-nya hampir tidak diketahui sama sekali oleh dunia. Saya masih ingat bahwa dari media kami sendiri hanya Hans Beynon dari Volkskrant yang meminta perhatian pada kejadian-kejadian mengerikan yang terutama terjadi di Jawa. Majalah Life dan beberapa terbitan opini internasional juga memuat berita, tetapi sering dengan nada, bahwa orang-orang Indonesia saling baku hantam dengan klewang5.. Pada tahun 1995, di sekitar kunjungan kenegaraan Beatrix ke Indonesia, fabel-fabel seperti itu masih tetap masuk dalam bentuk reportase-reportase dan surat-surat pembaca ke media kita. Sebenarnya para tentara yang melakukan coup telah berusaha benar agar kejadian-kejadian tahun 1965 disuguhkan sebagai pengkhianatan baru
4. 5.
Lihat juga: Vogelvrij. Penerbit Jan Mets, Amsterdam, 1992. dolk, pedang
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
251 para komunis, untuk menjamin agar dalam negara yang 95 persen penduduknya beragama Islam, serentak atas kemauan sendiri menyerang ‘kaum merah yang tidak ber-Tuhan’. Skenario Soeharto, CIA dan pengikut-pengikutnya juga telah mengatur untuk menggambarkan Soekarno sebagai antek rahasia para ‘pengkhianat’ dari Moskow dan Peking, karena memang tidak ada cara lain untuk menuduh dan menjelekkan Bapak di mata rakyatnya. Taktik yang menjijikkan ini berakibat sebagai taplak merah pada ‘banteng’6. Indonesia dan memang pada banyak tempat massa menjadi ‘mata gelap’7.. Tetapi orkestrasi dari kegilaan dan nafsu membunuh itu dikobarkan oleh ribuan ahli-ahli kelahi rimba dalam pakaian kamuflase dan bersenjatakan pisau dan golok yang disuruh Soeharto berburu ‘gerombolan merah’ dan membunuh mereka. Saat menerima undangan yang simpatik dari Kolonel Sutikno, saya seperti juga kebanyakan orang Belanda tidak mengetahui pengkhianatan terbuka Bung Karno dan aktivitas-aktivitas berdarah yang tak dapat dibayangkan sebagai akibatnya. Saya juga tidak tahu bahwa Tikno telah dipanggil kembali dari Washington oleh Soeharto untuk menjadi tangan kanannya dan salah satu penasihatnya yang paling dekat. Atase-atase militer di Washington karena jabatannya menjalin hubungan antara lain dengan CIA. Karena itu dapat diduga bahwa Soeharto melihat dalam diri Sutikno seorang perwira yang sangat mahir yang telah ditariknya dalam
6. 7.
banteng lepas kendali
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
252 komediputar dinas spionase di ibu kota Amerika. Saya mengenal Pak Tikno sudah sejak 1957 dan menganggap dia sebagai teman pribadi. Tanggal 10 Agustus 1966, Neue Zuricher Zeitung, melaporkan bahwa pembunuhan massal masih terus berlangsung di Indonesia. ‘Di bagian tengah Jawa saja setelah coup itu telah terbunuh 100.000 orang tanpa proses apa pun’ demikian tulis koran yang berpengaruh di Eropa itu. Dilaporkannya kemudian ‘bahwa di Magelang, Yogya dan Solo tiap malam dibunuh dua puluh sampai tiga puluh orang, karena menolak memberi keterangan atau tidak dapat membuktikan bahwa mereka pernah bergabung dengan PKI. Lebih dari 75.000 orang menunggu pengadilan di penjara-penjara’. Sebagai persiapan untuk perjalanan reportase yang akan datang ke Indonesia, sebagai anggota tim televisi NTS, saya mendalami kejadian-kejadian di Jakarta tahun 1965 dan 1966. Yang menarik ialah betapa sedikitnya informasi yang ada dan dapat dipercaya yang tersedia. Tanggal 1 Oktober 1966, tepat satu tahun setelah Soeharto bertentangan dengan perintah Bung Karno merebut kekuasaan militer, saya tiba di Indonesia bersama tiga mitra kerja NTS8.. Tahun 1957 saya terakhir berada di Kemayoran setelah selama sembilan bulan berkeliling di negeri ini bersama Bung Karno. Sekarang, kata-kata pertama yang saya dengar diucapkan oleh orang Indonesia adalah dari seorang sopir taksi yang meng-
8.
Mitra kerja saya adalah J.B. van der Kolk, Loed Hentze dan Fred Romeyn.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
253 antarkan saya ke Hotel Indonesia. ‘Soekarno lebih buruk dari Subandrio. Bung Karno harus ditembak mati!’. Saya tidak tahu apakah kata-kata ‘selamat datang’ ini telah diatur oleh tuan rumah saya Kolonel Sutikno. Tetapi saya tahu betul, kata-kata ini sungguh menggoncangkan saya. Tahun 1956 dan 1957 itu sama sekali tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa perubahan sentimen umum semacam itu terhadap Bapak suatu bangsa mungkin terjadi. Di mana-mana saya baca slogan anti Bung Karno dicoret-coret pada dinding-dinding. Siapakah pemicu utama kebencian dan penghinaan ini? Soeharto. Pertemuan pertama saya adalah dengan Kolonel Sutikno Lukitodisastro. Dia menunggu saya di depan markas besar Soeharto. Dia menjelaskan kepada saya bahwa dia bekerja untuk Soeharto maupun untuk Jenderal Sudirgo dari dinas penerangan militer. Dia telah menggantikan kedudukan Jenderal S. Parman yang terbunuh itu. Saya sadar bahwa saya telah memasuki kandang singa. Sekali lagi: apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia dan bagaimana mereka merongrong Bung Karno untuk akhirnya merebut kekuasaan negara, sama sekali belum saya ketahui. Jadi saya langsung menanyakan mengenai kesehatan teman saya. Sutikno mencoba menjelaskan kepadaku situasi di sekitar Soekarno dan mengatakan misalnya, ‘Bila seseorang mempunyai bisul di atas hidungnya, maka tidak perlu seluruh hidungnya dipotong. Lebih baik wajah yang cacat daripada wajah tanpa hidung’. Saya menyadari bahwa saya sudah kembali ke Jawa. Dengan banyak kata Sutikno menjelaskan
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
254 bahwa Bung Karno telah mendapatkan lekuk karena benturan, tetapi ‘lekuk’ itu bisa diperbaiki dan ‘mobil’ akan bisa berjalan lagi. Walaupun saya tidak biasa mendengar bahasa seperti itu darinya, pada hari pertama saya kembali di Indonesia, saya sama sekali tidak tahu betapa dalam artinya itu semua. Perhatian terbesar kami tujukan kepada tiga pekan yang dialokasikan Carel Enkelaar dan NTS bagiku untuk membuat suatu dokumentasi mengenai Orde Baru9., dan tayangan-tayangan mana yang paling tepat bisa menunjukkan perubahan-perubahan yang terjadi dengan cepat. Tentu saja saya segera menyarankan agar mengadakan wawancara khusus dengan Jenderal Soeharto. Pak Tikno menyangsikan apakah saya dapat melakukannya, karena bapak jenderal amat membenci wawancara. Belum satu pun perusahaan televisi luar negeri yang pernah diizinkannya untuk mewawancarainya. Tanggal 3 Oktober 1966, sekali lagi saya berada di markas besar Soeharto, kali ini untuk bertemu dengan Jenderal Na-wawi Alif. Tepat hari itu dia dinaikkan pangkatnya menjadi jenderal. Kami membicarakan rancangan skenario, yang sementara itu telah saya susun dalam garis besar bersama mitra kerja NTS. Jenderal menunjuk Kapten Dipa untuk mengantar kami ke mana-mana, agar tidak menemui kesukaran dengan para pejabat militer. Dia menjadi pelindung kami. Jenderal Nawawi menyediakan sebuah jip tentara bagi kami untuk pergi menemui kepala bagian penerangan Departemen Luar Negeri, Ali Alatas, yang sekarang menjabat Menteri Luar Negeri Presiden Soeharto.
9.
Nieuwe Orde tegenover Soekarno's ‘Orde Lama’, Oude Orde’.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
255 Ketika bersantap siang di hotel, saya bertemu dengan mitra kerja NBC, Ed van Kan. Dia bercerita bahwa pagi itu ia telah berhasil menangkap dalam filmnya, bagaimana seorang serdadu Soeharto menusuk seorang mahasiswa yang pro-Soekarno saat berdemonstrasi. Menurut dia, para militer itu telah memperlakukan para demonstran yang pro Bung Karno dengan amat kasar. Keesokan harinya, 4 Oktober 1966, saya mengunjungi mantan Wakil Presiden, Mohammad Hatta, yang tahun 1945 bersama dengan Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan negeri ini dan pada tahun lima puluhan secara sukarela mengundurkan diri dari pemerintahan, karena waktu itu ia telah berada pada jalur yang lebih pro Barat daripada Soekarno. Tahun 1957 saya pernah mewawancarai Hatta untuk Vrij Nederland. Pada saat itu ia menyatakan solider dengan Bung Karno mengenai konflik Irian Barat. Hatta yang menandatangani penyerahan kedaulatan di Istana op de Dam bersama Ratu Yuliana, mengatakan kepada saya tahun 1957 itu bahwa ia merasa ditipu oleh perunding-perunding Belanda itu. Menteri Van Maarseveen sendiri secara rahasia berjanji kepada Hatta, bahwa daerah seberang lautan Irian Barat dalam waktu satu tahun setelah penyerahan Hindia Belanda, akan diserahkan pula. Tetapi yang terjadi adalah bahwa Den Haag memulai suatu kampanye untuk melanjutkan ‘misi sucinya’ mempertahankan Irian Jaya. Soekarno, yang seorang Jawa dan Hatta yang seorang Sumatra, dalam banyak hal berbeda. Soekarno kuliah di Bandung dan tidak akan diperbolehkan menginjakkan sebelah
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
256 kakinya pun di Belanda. Hatta kuliah ekonomi di Rotterdam dan merupakan seorang pragmatis yang agak berpikiran Belanda dan tambahan pula sebenarnya seorang yang dikuasai istrinya. Di daerah tempat asalnya berlaku hukum matriarkhal. Karena itu Ny Hatta yang berkuasa di rumah. Kamar kerja Hatta yang diisi dengan kusi-kursi dengan sandaran tangan dan punggung serta ditutupi dengan taplak-taplak pada sandaran punggungnya, lebih mengingatkan kita pada Schiedam daripada Jakarta. Bila pada akhir pekan saya berkunjung ke Bung Karno dan Ny Hartini di bungalownya yang terletak di pelataran istana Bogor untuk ikut makan, maka Bapak paling senang menyantap nasinya dengan jari-jarinya seperti lazim dilakukan orang Jawa. Pada saat bersejarah, 17 Agustus 1945 kemerdekaan akan diproklamasikan, drs. Hatta tidak ada. ‘Saya tidak akan membacakan Proklamasi tanpa Hatta’, kata Soekarno10.. Bagi Bung Karno, rasa simpati atau antipati mendapatkan tempat kedua. Kesatuan negara, ‘satu bangsa, satu negara’11. yang berulang-ulang diteriakkannya pada massa yang mendengarkannya di seluruh negeri untuk menanamkan persatuan dan kesatuan; itulah yang merupakan misi yang suci baginya. Peresmian baru bisa dilaksanakan bila Hatta telah datang. Di Den Haag Hatta justru tidak begitu disukai, sedangkan bukan dia tetapi Soekarno yang menjadi pahlawan nasional massa di Indonesia. Saya memahami, Hatta harus hadir dalam dokumenter yang akan dibuat, walaupun itu
10. 11.
Soekarno: An Autobiography, idem, hal. 219. Satu bangsa, satu negara
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
257 hanya untuk menenteramkan perasaan pro-Hatta di tanah air. ‘Anda terlambat’, adalah kata sambutan yang diucapkan Hatta padaku setelah lama tidak bertemu. Sikapnya melebihi sikap orang Belanda. Di dalam becak aku terjebak lalu lintas. Percakapan empat mata itu tak akan pernah saya lupakan, ketika membuat persiapan untuk siaran televisi. Percakapan itu menggambarkan sikap Hatta yang sebenarnya, penuh dengan rasa dendam terhadap Bung Karno. Ia berpendapat bahwa perlakuan Jenderal Soeharto terhadap Soekarno ‘terlalu lemah’. Dengan demikian presiden akan mempunyai waktu untuk merekayasa kedudukannya sebagai penguasa yang sudah mulai surut. Hatta menganggapnya berbahaya, dari 60 tokoh penting PKI, paling tidak 35 yang bersembunyi. Ia menyebut antara lain, Nyoto, Sudisman, Sakirman dan Anwar Sanusi. Tokoh-tokoh komunis yang bersembunyi itu, bagaimanapun masih tetap mengadakan hubungan rahasia dengan Bung Karno, yang menurut mantan Wakil Presiden merupakan suatu ‘situasi yang tak boleh terjadi’. ‘Kabinet Ampera Soeharto membuat kesalahan besar,’ katanya. ‘Soeharto seharusnya memberikan ultimatum langsung. Walaupun Soeharto telah menjadikannya semacam boneka, ini berisiko tinggi, sekalipun ia melaksanakan rencananya dengan tenang. Juga Nasution, yang di belakang layar tidak begitu banyak menunjukkan kekuasaannya seperti yang diharapkan daripadanya, rupanya masih berpendapat bahwa sebaiknya Soekarno untuk sementara dibiarkan saja dalam istananya’. Hatta, ‘Presiden bukan lagi Bung Karno yang dahulu’.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
258 Sudah sejak 1959, Menteri Luar Negeri Austria dr. Bruno Kreisky12. mengatakan kepada saya bahwa ‘sangat disayangkan saat berkunjung ke Wina, Bung Karno telah berkelakuan kurang baik’13.. Lambat laun Presiden kita lebih menyerupai Herman Goring. Seharusnya Soeharto lebih tegas dan mengatakan kepada Soekarno, ‘Sekarang Anda harus memilih, mengikuti kami atau berlibur panjang di luar negeri’. Justru disamakannya dengan marsekal udara-nazinya Adolf Hitler, itulah yang menunjukkan ciri khasnya -- dan sesungguhnya tidak masuk akal -- sampai di mana titik terendah pandangan Hatta terhadap realita-realita baru yang terjadi di Indonesia. Sebaliknya dia melukiskan Soeharto pada tahun 1966 itu malah sebagai ‘penyelamat tanah air.’14. Hatta, ‘Soekarno masih saja merendahkan Soeharto. Memang masih terlalu banyak orang-orang yang belum dibersihkan di sekitar Soeharto. Kabinet Dwikora saat itu masih saja beranggotakan 75 orang. Bila saya membentuk kabinet, saya hanya akan menempatkan delapan belas menteri. Sultan Yogya akan saya minta memegang Departemen Luar Negeri, bukan Adam Malik yang membuka rahasia buruk tentang Indonesia seperti yang pernah dilakukannya15.. Tahukah Anda bahwa maksud PKI adalah untuk membantai
12. 13. 14. 15.
yang kemudian menjadi Bondskanselier Austria Seperti kepergiannya dengan pramugari-pramugari PANAM yang telah disinggung sebelumnya. Catatan-catatanku dalam buku harianku mengenai kejadian hari itu sungguh jujur. Lupa mencatat kelakukan-kelakuan buruk apa saja yang telah dilakukan Malik.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
259 juga tokoh-tokoh politik penting pada hari kedua setelah revolusi itu? Namaku juga tercantum pada daftar itu. Dengan tindakan itu kebencian anti Soekarno sekarang benar-benar tersulut. Di Makassar semua orang anti Soekarno. Di Medan foto-foto Soekarno dibakar. Dalam pidato-pidato yang saya adakan akhir-akhir ini berulang kali ditanyakan, ‘Apakah kita masih bisa mempertahankan seorang presiden yang mengaku dirinya seorang marxis?’ Jawab saya waktu itu adalah, ‘Saudara sekalian j angan menganggap marxisme-nya Bung Karno terlalu ketat. Kenyataan adalah bahwa seseorang itu tidak bisa sekaligus seorang muslim dan sorang marxis, seperti juga selalu ditekankan Bung Karno selama hidupnya. Bacalah saja surat dari Marx kepada Schmid tahun-tahun 1860-1870’. Dan suatu kenyataan pula bahwa bila kita menganalisis sejarah, tentu kita akan bersikap dialektis. Jadi ketika saya memberikan ceramah di Makassar kepada para mahasiswa, dan mereka berkeluh kesah bahwa Bung Karno telah menyatakan dirinya sebagai seorang marxis, maka tak lain yang dapat saya lakukan kecuali mengakui bahwa saya juga menerima metode berpikir marxis untuk menguraikan problema-problema ekonomi modern’. Jelaslah sudah bahwa pada tahun 1966 itu Hatta seratus persen berdiri di belakang grup CIA dan Soeharto. Pada tahun tujuh puluhan, jadi pada tahapan berikutnya dalam rezim Soeharto, dia kembali pada pendapatnya itu dan ia menjadi kritis terhadap presiden kedua negaranya. Dia meninggal tahun 1980 sebagai seorang yang amat kecewa.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
260
Jakarta (6) Tanggal 5 Oktober 1966 untuk memperingati hari ABRI, diadakan parade militer di parkir timur Senayan. Bersama tim NTS saya telah hadir sejak pukul 07:30. Tribune berangsur dipenuhi orang. Jenderal Nasution datang dalam seragam lengkap. Dia duduk sendiri dan tamu-tamu lain menghindarinya. Ambasador Belanda, mr.E.L.C. Schiff datang juga dan yang mengherankan, saya melihat juga dr. Emile van Konijnenburg dari KLM mengambil tempat di tribun. Setelah tingkah polah kelompok Paul Rijkens dengan agen CIA Werner Verrips, dan kejadian-kejadian yang menghebohkan sebagai akibatnya, selama beberapa tahun saya mengabaikan Pak Kelinci dan tidak lagi bertemu dengannya. Maka saya memutuskan untuk mengabaikannya dan menganggapnya sebagai angin. Tetapi tidak demikian jalan pikiran Bung Karno. Presiden mengusahakan agar kami dapat bertemu kembali sebagai tamunya dan melanjutkan tali persahabatan kami. Hal itu saya pelajari sebagai suatu pelajaran Jawa yang menganggap bergaul dan saling
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
261 berhubungan yang didasarkan atas rasa saling memaafkan, memegang peranan penting dalam jiwa Indonesia. Menjelang pukul 09:00 Jenderal Soeharto beserta petinggi staf siap menerima kedatangan kepala negara. Bung Karno datang dengan helikopter militer, pindah memasuki sebuah Cadillac yang mengantarkannya ke depan tribun penghormatan. Ia mengambil tempat dibawah tenda, diapit oleh Soeharto dan para komandan Angkatan Udara, Laut dan Polisi. Saya perhatikan secara khusus tingkah laku Soeharto terhadap panglima tertingginya, karena saya mendengar banyak pada hari-hari itu. Ketika presiden akan menghisap rokok, Soeharto dengan cepat menyulutnya. Tidak ada satu pun tanda yang menunjukkan bahwa ada sesuatu diantara mereka. Ketika presiden mengenaliku di antara tim televisiku, dia melambaikan tangan isyarat untuk mendekat, seperti yang selalu dilakukannya selama itu. Saya salah tingkah terutama karena saya telah bertahun-tahun tidak berada di negeri ini - ketika saya melewati garis pemisah dan menaiki semua anak tangga podium itu. Semua mata memandangi si ‘Belanda’1. yang disalami dengan ramah oleh presiden. Bung Karno mem-perkenalkanku dengan Soeharto dan rekan-rekan sejawatnya. Presiden Soekarno mengundang saya ke istana malam itu karena akan diadakan resepsi. Ketika saya berbalik, saya dengar Bung Karno berkata kepada Soeharto, ‘amat menyedihkan bahwa orang itu selama bertahun-tahun tidak boleh memasuki negeri ini. Dia seorang
1.
orang Belanda.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
262 wartawan yang baik2.. Kolonel Sutikno kemudian berkata, ‘Seharusnya kamu langsung berkata kepada Bapak, bahwa tentara-lah yang memanggilmu kembali ke Indonesia’. Pertemuan kembali dengan Bung Karno ditayangkan live (langsung) pada televisi di Indonesia. Kamera menyoroti presiden yang melambaikan tangan padaku. Boes Suwandi bercerita, ‘Kami semua mengira, yang akan muncul adalah seorang gadis jelita, yang tampak malah kamu!’. Dr. Mohammad Hatta juga mengikuti tayangan itu dan tentu mempunyai pendapatnya sendiri tentang hal itu, sekalipun film dari NTS mengenai dirinya tetap terlaksana. Seperti biasa, Presiden Soekarno mengucapkan pidato yang berlangsung selama 45 menit. Usianya 65 tahun saat itu, tetapi hal itu sama sekali tidak tampak dari penampilannya ketika menyampaikan pidatonya yang berapi-api penuh semangat itu. Barisan pasukan di lapangan, para undangan di tribun kehormatan dan terutama para jenderal dan laksamana tidak menunjukkan emosi apa pun pada wajahnya. Sementara itu Bapak membeberkan gagasan-gagasannya yang lambat laun tampak bertolak belakang sekali dengan gagasan-gagasan yang dicanangkan ‘Orde Baru’ bagi negeri ini. Tetapi semua orang mendengarkan pidatonya penuh hormat seperti layaknya yang dilakukan terhadap ‘bapak rakyat’ selama ini. Rupanya Bung Karno belum menyadari benar, betapa besar dampak racun yang telah ditanamkan klik Soeharto selama setahun ini dalam otak dan benak orang Indonesia. Secara kasat mata
2.
wartawan yang jujur.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
263 hal ini tidak tampak, tetapi di dalam hati sebagian besar orang penting yang hadir pada pagi itu telah terjadi Umver-tungaller Werte (perubahan radikal) mengenai pendapat mereka terhadap kepala negaranya. Tentu saja Bung Karno tidak menyadari bahayanya. Setelah empat puluh tahun menjalani secara cermat jalan politik bebas, baik nasional antara anak sendiri (PNI) dan anak tiri (PKI), maupun internasional antara Moskow, Washington dan Peking, dia sama sekali tidak bisa membayangkan bahwa sekarang amat sangat banyak orang Indonesia menuduhnya memihak PKI. Sebab itulah pesan utama yang ditekankan para jenderal yang melaksanakan coup itu. Kebohongan itulah yang hendak ditanamkan CIA pada rakyat Indonesia dan permintaan CIA itulah yang ditaati Soeharto dan para pengkhianat yang terkumpul di sekitarnya. Orang bisa mengatur bahwa pada tahun-tahun 1966-1967 sebagian besar rakyat Indonesia -secara tidak benar-untuk pertama kalinya mempertanyakan kepemimpinan Bung Karno. Secara menyindir Bung Karno berbicara tentang teman-teman senegaranya yang menderita komunisto-fobi, suatu kenyataan yang lebih merisaukan para hadirin. Malam harinya, saya bersama tim NTS sudah lebih awal menuju Istana Merdeka. Penjagaannya masih tetap terdiri dari orang-orang yang sama seperti tahun 1957, ketika saya terakhir kali berada di sana. Jenderal Suhardjo Hardjowardojo yang telah tua rupanya berhasil mengatasi tahun-tahun 1965-1966 yang begolak itu. Peraturan-peraturan pada acara resmipun masih sama. Begitu Bung Karno menampakkan diri,
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
264 lagu kebangsaan diperdengarkan. Kemudian presiden bergabung dengan para undangan di halaman istana. Saya bertemu kembali dengan banyak kenalan lama. Jenderal Soeharto yang sebenarnya sudah memegang tampuk pemerintahan, walaupun saya saat itu belum memahami benar secara keseluruhan, dengan sengaja tidak menampakkan diri. Saya melihat dia berbicara lama sekali dan secara pribadi dengan sahabat khusus Bapak, Johannes Leimena. Seperti Subandrio, Leimina juga seorang dokter. Tidak seperti Soeharto yang sebenarnya tidak mengenal presiden, Leimena mengenal Soekarno selama bertahun-tahun, dan sejak kemerdekaan dia hampir selalu menjadi bagian dari pemerintahan. Seperti setiap pesta yang diadakan di istana, kali ini pun diadakan acara dansa. Selama bertahun-tahun Duta Besar Amerika Serikat Howard Jones selalu menjadi orang pertama yang mulai dansa karena presiden memintanya berdansa dengan isterinya. L.B.J. telah mengganti Jones dengan Marshall Green, yang setelah terjadinya coup menjauhi istana karena sebab-sebab yang mudah ditebak. Malam ini duta besar kami, Schiff yang menjadi pilihan presiden untuk memulai acara dansa itu. Saya menganggapnya tepat untuk segera mengikutinya sehingga saya mendekati seorang wartawati koran Amerika Esguire untuk mengajaknya dansa. Untuk beberapa saat Schiff dan saya berputar-putar untuk memancing yang lain ikut berdansa dipandangi oleh semua tamu undangan. Walau suasana di istana saat itu menegangkan saya yang di tahun lima puluhan mengalami masa-masa yang menyenang-
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
265 kan, merasakan situasi ini sungguh tidak menyenangkan. Sahabat lama saya Jenderal Sugandhi ada juga di pesta itu. Dia telah memilih berpihak pada kelompok Soeharto3.. Dia bercerita bahwa dia sudah menerbitkan sebuah koran dengan oplag 1 juta eksemplar sehari. Dia mengatakan bahwa dia menyediakan 24 jam sehari untuk melayani saya, baik di kantor maupun di rumah bila saya membutuhkan pandangannya mengenai perkembangan-perkembangan. Saya tidak sampai memanfaatkan kesempatan itu, suatu hal yang sekarang saya sayangkan. Saat itu saya tidak punya cukup waktu untuk menghasilkan dua dokumenter, sebab dari materi yang kami hasilkan telah disusun dua program NTS, Orde Baru I dan II, yang masing-masing berdurasi lima puluh menit. Saya mau dengar bahwa Mohammad Hatta bukan satu-satunya orang yang membujuk Bung Karno untuk sementara waktu tinggal di Riviera Perancis, seperti mantan kaisar China, Bao Dai. Menteri Luar Negeri Adam Malik telah meminta hampir semua orang di sekitar Bung Karno untuk membujuk Bung Karno pergi ke luar negeri. Orang-orang Indonesia itu sungguh belum mengenal pemimpin mereka! Bapak adalah orang terakhir yang akan menghindari musuh-musuhnya dalam jebakan seperti ini. Yang aku kesalkan adalah bahwa setelah membuat dokumentasi mengenai pesta di istana itu, rekan-rekan kerabat kerja NTS menganggap tugasnya selesai. Mereka ingin kem-
3.
Setelah Sugandhi meninggal, Soeharto mengangkat isterinya menjadi menteri sebagai ‘tanda terima kasih’ atas jasa-jasanya.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
266 bali ke hotel. Saya bimbang: tinggal dan berbincang-bincang dengan teman-teman atau sebagai rasa solidaritas ikut kembali bersama teman-teman. Saya ikut pulang, tetapi sebenarnya saya harus tetap tinggal. Bukankah saya baru saja menemukan kembali apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini? Tanggal 6 Oktober 1966, pagi-pagi sekali kami sudah berada di Tanjung Priok dengan kamera kami. Bung Karno akan mengadakan inspeksi armada. Kali ini dia juga berangkat dari istana dengan helikopter dan disambut oleh Jenderal Soeharto dan sejumlah laksamana dan jenderal. Di atas geladak sebuah kapal selam, di dadanya disematkan sebuah peniti emas untuk jasa-jasanya bagi revolusi dan negara. Ada suatu demonstrasi dari pasukan katak dan sepuluh buah kapal perang lewat beriringan. Presiden memberi sambutan pada para marinir dan dia berada dalam kondisi top, seperti yang saya kenal darinya. Malamnya di hotel saya ditelepon Emile van Konijnenburg yang memberitahukan bahwa kami berdua ditunggu makan pagi di istana keesokan harinya. Presiden tahu bahwa saya selama beberapa waktu sudah tidak akur dengan Pak Kelinci, sebab pada malam pesta itu dia sudah menyinggung-nyinggung tentang akan mengadakan sebuah pertemuan ramah-tamah yang menimbulkan reaksi padaku akan menyambut pertemuan ini dengan gembira agar bisa bertemu muka dengan tuan ini setelah kejadian-kejadian pada tahun-tahun sebelumnya di sekitar kelompok Rijkers dan rekan CIA mereka Werner Verrips.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
267 Tanggal 7 Oktober 1966. Pagi-pagi sekali ajudan Bam-bang Widjanarko mengingatkan saya kembali bahwa presiden menunggu saya di teras belakang istana pukul 07:00 tepat untuk bersantap pagi bersama. Bersama Van Konijnenburg kami menuju ke istana dalam sebuah mobil KLM. Pak Kelinci membagi-bagi rokok ber-slof-slof kepada penjaga istana, suatu tindakan yang cocok benar dengan pribadinya. Bung Karno mengenakan kemeja longgar, bersandal dan tanpa pici4. menunggu kami. Pagi itu baru saja ada berita bahwa temannya, Laksamana Martadinata mendapat kecelakaan di Puncak Bogor dengan sebuah helikopter-Alouette Perancis. Seorang asisten membawakannya sehelai kertas. Ia langsung ingin menulis surat kepada jandanya. Laksamana Martadinata masih mengikuti semua acara dalam rangka hari Angkatan Bersenjata. Ia berhenti di Puncak untuk istirahat dan minum. ‘Memang sukar bagi sebuah pesawat seperti itu untuk lepas landas pada ketinggian 2200 meter’ kata presiden yang menyamakannya dengan Mexico City. Ia ingin tahu apakah Martadinata duduk di sebelah kiri atau sebelah kanan di dalam pesawat itu. Presiden menandatangani suratnya dan mengatakan kepada ajudannya, ‘Bung, kirimkan surat ini secara pribadi kepada Nyonya Martadinata’. Untuk sarapan pagi disuguhkan teh, kopi, roti bakar yang kadang hitam terbakar dan isi roti yang tidak banyak jenisnya. Suguhan yang disajikan pagi itu sebagai sarapan sungguh sangat sederhana. Kebiasaan Bung Karno ialah untuk
4.
suatu fez hitam
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
268 menjamu segala jenis tamu pada pagi hari antara lain saya bertemu dengan Pendeta Visser't Hooft dari Dewan Gereja Dunia. Tapi yang sering saya temui adalah kenalan-kenalan dan sahabat-sahabat presiden, para diplomat, jenderal, wartawan, selalu suatu kumpulan orang yang sangat berbeda tugas dan pekerjaannya, karena itulah yang disukainya. Dengan demikian topik pembicaraan sangat bervariasi. Soekarno adalah seorang yang selalu bertanya dan selalu ingin tahu apa yang dilakukan dan dipikirkan orang dan mengapa mereka melakukannya. Dan sementara tanya jawab berlangsung saya mendengarkan dengan cermat terutama untuk menangkap ucapan-ucapan jawaban presiden sendiri, sebab bagiku dialah satu-satunya tokoh yang penting di antara tamu-tamunya, yang saling berebut dan berusaha untuk menyenangkan hatinya dan menyampaikan kata-kata yang sekiranya ingin dia dengar. Seorang anggota pasukan para datang membawa dokumen-dokumen untuk ditandatangani. Sambil menandatangani, Presiden berkata kepada kami, ‘Presiden Lyndon Johnson menandatangani surat-surat negara di belakang sebuah meja besar didampingi seorang sekretaris yang buruk rupa’. Ini mengingatkannya kepada Kennedy/JFK, dan kedua kunjungannya ke Gedung Putih ketika Kennedy masih menjadi presiden. Dalam pembicaraan-pembicaraan di dalam Oval Office yang termasyur itu, posisi Indonesia dalam kontroversi Barat-Timur terangkat. Dengan acuh presiden menceritakan suatu detail, yang selama bertahun-tahun saya cari artinya. Duta Besar Indonesia di Washington, dr. Zairin Zain pernah
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
269 bercerita kepadaku bahwa pada pertemuan itu Bung Karno dan JFK ‘berbicara di bawah empat mata’ (lihat halaman 109). ‘Saya dengan senang hati mau mengatakan di mana kedudukan kami,’ begitu kata presiden Soekarno, ‘tetapi di dalam kamar tidur Anda’. Presiden tahu betul bahwa kamar kerja JFK dilengkapi dengan aparat pendengar yang sangat canggih. Kedua pemimpin itu kemudian benar-benar pergi berdua dengan akrab. Soekarno membeberkan dengan panjang lebar mengenai arti sikap non alignment (non blok) bagi Indonesia, dan kepada saya dia berkata, ‘Bayangkan Wim, kami berdua duduk di pinggir sebuah ranjang, kamu tahu kan, sebuah ranjang tanggung yang berkaki tinggi’. Dari percakapan dengan Bung Karno itu, JFK5. mengambil kesimpulan bahwa dari pihak Indonesia dan Soekarno tak perlu ada yang ditakutkan dalam hubungannya dengan kemungkinan beraliansinya dengan Cina komunis. Pembicaraan di Gedung Putih itu menjadi penyebab renggangnya hubungan selama beberapa tahun antara Washington dan Jakarta. Pemerintahan Eisenhouwer-Dulles telah berusaha habis-habisan pada tahun 1958 untuk menjatuhkan Soekarno dengan mengadakan intervensi CIA di Sumatera dan Indonesia Timur. Dengan terpilihnya presiden Kennedy terjadi periode ketenteraman sementara. Pembunuhan di Dallas sekali lagi mengacaukan ketenteraman itu. Kebalikan dari JFK, LB J kembali mengikuti tuntunan CIA. Pada pagi itu Presiden bertanya kepada kami, ‘Mengapa
5.
Lihat cerita halaman utama HP de Tijd, 30 Juni 1995
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
270 Marshall Green belum juga kembali dari Washington? Apa sebenarnya hubungan orang itu dengan CIA?’ Saya bercerita pada presiden bahwa saya telah berbicara dengan Marshall Green di State Department di Washington sejak tahun 19586.. Karena dia menjadi dutabesar di Seoul saat terjadi coup terhadap Synghman Rhee, maka mungkin dengan cepat Green mendapat reputasi untuk muncul sebagai duta besar di suatu negara dimana telah diadakan persiapan-persiapan untuk mengadakan perebutan kekuasaan oleh elemen-elemen yang pro Amerika di koran-koran dan publikasi lainnya. ‘CIA itu telah mengambil keuntungan dari kekacauan yang terjadi di delapan negara’, lanjut presiden. ‘Presiden Gamal Abdel Nasser juga telah memperingatkan saya. Dia telah mengirimkan seorang jenderal yang mendapat tugas untuk menemui dan berbicara dengan saya pribadi, dan bukan dengan orang lain. Di beberapa negara Arab telah ditemukan dokumen-dokumen tertentu. Sehari kemudian Duta Besar Siria juga menemui saya untuk memperingatkan saya tentang adanya kemungkinan aktivitas-aktivitas CIA di Indonesia. Kamu harus melanjutkan penyelidikanmu, Wim. Tahukah kamu, misalnya, siapa yang berada di belakang mahasiswa-mahasiswa KAMI7. itu? Mereka anak-anak yang kurang ajar’ kata Bung Karno. Pemuda-pemuda itu kemudian memang saya temui dan membuat film dokumenter mengenai mereka.
6. 7.
Lihat Memoirs: 1959-1061, Torenboehen, Baam, 1988. Tentara yang telah mengorganisir KAPPI, terdiri dari murid-murid sekolah menengah yang memprotes. KAMI terdiri dari para mahasiswa dan KASSI, terdiri dari para lulusan/alumni.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
271 Pada pagi itu ada lagi seorang Belanda yang hadir, seorang kenalan lama Bung Karno, yang namanya Jaap Kruisweg. Ketika dia muncul, presiden memperkenalkannya sebagai seorang ‘penyamun’. Mereka saling mengenal sejak tahun 1938, ketika Soekarno dibuang ke Bengkulu. Jaap adalah seorang yang sudah lebih tua, berbadan besar, yang dalam jip terbukanya membahayakan lalu lintas di Jakarta. Saya pernah diantarkan ke Hotel Indonesia, yang merupakan pertama dan terakhir kali saya ikut menumpang mobilnya. Jaap adalah seorang ‘totok’8. tulen. Rupanya menurut perasaannya pada hari-hari itu Presiden sudah sampai pada ‘pointofno return’ dalam hidupnya. Dia dikonfrontasikan dengan sebuah negara keempat terbesar di dunia, yang berada dalam suatu fase perubahan yang menentukan dari sebuah jajahan Belanda sampai tahun 1945, ke negara harimau Asia yang ultramodern pada tahun 1995 saat Republik berusia lima puluh tahun. Dari pemimpin dunia negara-negara non-Blok saat Perang Dingin antara negara-negara adikuasa Amerika dan Uni Soviet, Soeharto dan antek-anteknya yang didukung dan didorong Washington dan CIA telah mengubah haluan secara definitif, sehingga Indonesia untuk selanjutnya bisa dimasukkan ke dalam kubu Barat. Soeharto dan antek-anteknya tidak merasa bersalah telah mengorbankan satu juta manusia dan mungkin lebih dalam melaksanakan perubahan itu. Bung Karno melawan sekuat tenaga, tetapi Soeharto bertindak dengan dukungan senapan-
8.
Orang Belanda yang dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
272 senapan otomatis dan peluru bagi regu-regu penyerangnya. Ketika drama ini berlangsung, presiden mengundang teman-teman dan kenalan-kenalan lamanya, seperti Jaap Kruisweg, untuk makan pagi bersama dan mengungkap kembali kenangan-kenangan lama yang dekat di hatinya.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
273
Jakarta (7) Setelah semua undangan, termasuk van Konijnenburg tanggal 7 Oktober 1966 pagi itu pergi, akhirnya saya bisa berbicara dengan presiden dengan tenang. Yang sangat menyakitkan hatinya adalah sikap yang memuakkan gerombolan-gerombolan pemuda tertentu yang direkrut dan dibiayai tentara, dan yang tidak sadar bahwa mereka diperalat dan sewaktu-waktu membantu ‘mengacau’1. di ibu kota Indonesia itu. Dia telah mengundang 120 orang pemuda itu ke istana dan mencoba berdialog dengan mereka. Tetapi mereka tidak bisa diatur dan diajak bicara. Seperti juga Drs. Mohammad Hatta, proklamator Republik yang satunya, Bung Karno terutama juga terkejut tidak hanya karena kelakuan tidak beradab anak-anak muda itu di hadapan umum, tetapi karena diinjak-injaknya nilai-nilai tradisional
1.
‘Dolle-dinsdag-toestanden’. Kegembiraan semu pada tahun 1944 ketika rakyat mengira bahwa ‘kebebasan’ sudah hampir ada.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
274 Indonesia. Moh. Hatta mengatakan kepadaku dia sangat risau karena rasa ‘malu’2. yang khas Jawa sama sekali tidak ada pada generasi muda ini. Hatta menganggap trend dalam sikap dan tingkah laku modern ini sebagai sesuatu yang sangat negatif, berbahaya dan bisa merusak. Niels Mulder menguraikan perasaan Jawa dalam bentuk rasa malu terhadap orang lain, sangat hebat. Menurut dia, ‘malu’ lebih dalam dari perasaan malu biasa bila terungkap hal-hal yang tidak diketahui orang. ‘Malu’ (yang lebih dalam ini) harus dipelajari dan berulang-ulang dilatih sehingga berkembang menjadi perasaan murni yang sangat halus sehingga di dalam pergaulan tidak akan menyakiti hati orang lain atau membuat orang lain malu3. Walaupun saya produk dari sebuah keluarga Indo yang khas, dan walaupun ayah dan kakek saya dilahirkan di Semarang, saya masih ingat bahwa tahun 1957, pada perjalanan saya yang pertama ke Soekarno, sahabat lama saya Wim Latumeten kadang-kadang memperingatkan saya, ‘Willem, buka/tanggalkan kelom-mu’. Dia benar. Di dunia Barat rasa ‘malu’ Indonesia itu tidak ada. Sebaliknya, terutama setelah 1945 mentalitas cow boy yang gemar menembak dari dunia baru juga melanda dunia Barat lama. Keberanian Barat berarti langsung bertindak. Alam berfikir Bung Karno dan Hatta dalam hal ini terutama setelah 1965, sangat terpukul sehingga kedua tokoh itu amat sedih dan prihatin. ‘Anak-anak muda itu tidak menyadari apa yang
2. 3.
rasa malu, alim, tidak menonjolkan diri tentang ilmu atau perasaan yang dimilikinya. Individual and Society in Java, idem, hal. 56.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
275 mereka lakukan. Mereka sengaja dibimbing ke arah yang salah’, demikianlah Bung Hatta menyimpulkan kelakuan KAMI pada pagi itu. Sejak itu dunia pengetahuan banyak menyoroti demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan terhadap Soekarno. Stephen Douglas, seorang peneliti Amerika dari University of Illinois, pada tahun 1970 melemparkan bukunya berjudul: Political Socialization and Student Activism in Indonesia, ke pasar Barat. Dalam penelitiannya, Douglas bertanya-tanya bagaimana mungkin bahwa Soekarno bertahun-tahun lamanya memusatkan perhatiannya untuk menanamkan nilai-nilai Indonesia murni pada generasi muda dan remaja-remajanya justru kaum muda ini, pada tahun 1966 ketika cita-cita dan loyalitas mereka diuji, justru berbalik melawan Bung Karno. Douglas membayangkan seolah di media dan televisi ‘para mahasiswa yang sebelumnya sudah dipilih oleh tentara untuk berdemonstrasi’ menceritakan seluruh kejadian setelah 1966 di Indonesia. Demonstrasi balik tak dapat dilakukan karena tentara melarangnya. Ed van Kan malah memfilmkan pembunuhan terhadap seorang mahasiswa yang pro Soekarno untuk NBC. ‘Dunia’ hampir tidak mendapatkan informasi mengenai apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia. Presiden meminta saya untuk menemaninya berjalan menuju seorang dokter gigi di salah satu gedung di belakang istana. Kami berjalan bersama melintasi kebun diikuti oleh ajudan Bambang Widjanarko dan anggota-anggota lainnya. Kamu sudah membaca buku Wilfred Burchett War against Trees?, tanyanya kepadaku. Saya belum baca buku itu, tetapi
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
276 saya bercerita tentang perjalanan-perjalananku tahun 1964 ke Saigon dan penerbangan-penerbangan helikopter tentara Amerika di atas Delta Mekong. Dia menandaskan bahwa orang-orang Amerika di Vietnam dan orang-orang Inggris di Malaysia seharusnya pergi dari Asia Tenggara. Dia sekonyong-konyong berhenti dan berkata, ‘Kepalkan tanganmu. Kepalan tanganmu itu adalah Vietnam, di mana orang-orang Amerika itu berada. Ini adalah Cina (dan menunjuk tangan kirinya) dan ini adalah Indonesia (tangan kanannya).’ Sementara kedua belah tangannya menutupi kepalan tanganku, ia berkata dengan geram, ‘Bersama sama kami akan hancurkan orang-orang Amerika itu.’ Saya sadar betul bahwa yang dimaksudkan bukanlah mengirimkan pasukan-pasukan tentara ke Hanoi, dia hanya berkata dalam istilah-istilah simbolik. Tetapi sementara itu saya juga sadar dan memahami bahwa musuh-musuhnya akan memutarbalikkan ucapan-ucapan itu agar dengan demikian bisa mendemonstrasikan kecenderungan Bung Karno yang pro komunis. Lagi pula bukan dia saja yang berpendirian demikian di Asia Tenggara ini. Pangeran Norodom Sihanouk dari Kamboja berpendapat yang sama, walaupun baru pada 18 Maret 1970 sebelum Washington dan CIA mengadakan perebutan kekuasaan terhadapnya di Pnom Penh. Tanggal 1 Mei 1965 untuk pertama kali pesawat-pesawat Amerika mengebom dari desa-desa Vietnam di kerajaan Kamboja. Pada 3 Mei 1965, karena alasan itu Sihanouk memutuskan hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat. Sejauh itu belum pernah dilakukan Bung Karno. Richard Nixon dan
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
277 Henry Kissinger menganggap Sihanouk sebagai penghalang, seperti halnya Lyndon Johnson yang pada tahun 1965 memberi jalan lapang kepada CIA untuk melenyapkan Soekarno untuk selama-lamanya. Seperti Bung Karno, Sihanouk juga bukan seorang komunis. Pangeran beserta keluarganya berangkat ke Peking dan selama bertahun-tahun menikmati pintu terbuka Mao Tse-Tung. Chou En-lai juga merupakan teman pribadi. Dalam bukunya My War with the CIA Pangeran Sihanouk mengenang kembali Ketua Mao yang pernah berkata kepadanya bahwa sebenarnya (pleinponvoir) dia bisa menjadi seorang komunis yang ulung. Sihanouk memprotes dengan mengatakan bahwa ia kurang cocok untuk menjadi seorang komunis. Tetapi Mao berkeras pendapat, ‘Saya terlalu malas untuk mempelajari Marx, Lenin dan yang lain-lain,’ demikian kepala negara Kamboja itu. Bung Karno mempelajari dan menelaah Marx dan Lenin, tetapi dalam darah dagingnya ia tetap menjadi seorang Marhaenis dan memilih sistem banyak partai4.. Seperti halnya dengan Soekarno, Pangeran Norodom Sihanouk dilengserkan oleh seorang militer yang telah diseleksi Washington, yakni ‘Marsekal’ Lon Nol. Pada hari-hari itu Dewi Soekarno berkata kepada saya di Paris bahwa ia tidak dapat mengerti mengapa Sihanouk tidak lebih berhati-hati setelah mengetahui apa yang terjadi dengan Soekarno,
4.
Marhaenisme: Sosialisme Indonesia yang dipraktekkan sesuai dengan nilai-nilai Indonesia kuno yang sudah berabad abad dan diberi nama seorang petani Marhaen, yang secara kebetulan pernah dijumpai Sukarno di Bandung, ketika masih menjadi mahasiswa.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
278 sahabatnya. Dia tahu betul skenario yang dijalankan CIA di Jakarta. Di dalam bukunya My War with the CIA Sihanouk juga menulis, ‘Dengan bantuan spesialis-spesialis dalam pelaksanaan perang psikologis di Indonesia, dan melancarkan kampanye menjelekkan nama presiden Soekarno, hal yang sama dilakukan juga disini, di Kamboja. Antara lain disebarluaskan ‘slogan-slogan’ yang berbunyi ‘raja-raja kami dari dulu adalah pengkhianat’ (halaman 216). Menurut Dewi seharusnya Sihanouk tahu jenis manusia apa mereka itu. Dan dalam salah satu perjalanannya ke luar negeri masih saja ia dikejutkan oleh Lon Nol dan Sarik Matak yang secara diam-diam bersekongkol untuk merebut kekuasaannya. ‘Saya sudah sakit hati5. mengenai Amerika’, sambung Bung Karno pagi itu di kebun istana menuju ke dokter gigi. ‘Kadang-kadang saya betul-betul mengharap agar Amerika sendiri terlindas habis. Ini sebagai balas dendam atas segala sesuatu yang telah mereka lakukan di Asia ini. Mereka6. sekarang ingin agar saya berinisiatif mengadakan aksi perdamaian di Vietnam. Itu sebenarnya adalah keinginan Washington. Tetapi siapakah sebenarnya mereka, yang membujuk Jepang untuk meminjamkan uang kepada kami, berjuta-juta dolar jumlahnya, untuk membohongi dan merampas habis kita. Orang-orang Amerika yang sama itu pula! Siapa yang berada di belakang Ferdinand Marcos di Philipina. Apakah saya harus membantu orang-orang Amerika itu untuk mengeluarkan mereka dari rawa-rawa Vietnam itu?’
5. 6.
sakit hati Rezim militer
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
279 Sejenak kemudian dia mengambil tempat di kursi dokter gigi yang sudah tersedia. Pengikut-pengikutnya telah mengambil tempat pula di kursi-kursi yang tersedia berjejer di sepanjang tembok. Sementara dokter gigi Cina mem-pesiapkan alat-alat, presiden bertanya kepadaku apakah saya sudah membaca Otobiografinya yang dicatat Cindy Adams. Tanpa tedeng aling-aling saya menjawab bahwa buku itu tidak baik, apa lagi kurang baik untuk pendiri Republik Indonesia. Sebab 263 halaman dari keseluruhan 312 halaman menguraikan apa saja yang terjadi sampai penyerahan kekuasaan tahun 1949 dan bagian terpenting dari sejarah Modern Indonesia tidak selayaknya dibicarakan dalam 50 halaman. Orang-orang Indonesia yang hadir di kamar dokter gigi itu terkejut dan terheran-heran akan keberanian saya menyampaikan kritik secara terbuka. Presiden juga menunjukkan keheranannya dan menjawab, ‘Tetapi saya dengar, buku itu di Amerika justru terjual dengan sangat laris.’ ‘Itulah celakanya, karena terlewat suatu kesempatan! Apa yang ditulis Ny. Adams adalah hanya sebagian dari cerita Bapak. Masih sangat banyak yang tidak tercatat.’ Saya mengingatkan dia kembali, baik mantan Perdana Menteri Sastroamidjojo maupun Duta Besar Zairin Zain telah meminta dengan sangat untuk menulis buku yang serius, bekerja sama misalnya dengan seorang wartawan Indonesia dan saya. Presiden mengubah tajuk pembicaraan, menunjuk pada dokter giginya dan berkata, ‘Dialah satu-satunya orang yang bisa membungkam saya’, sementara dokter giginya memasang sebuah penjepit di mulutnya. Sementara giginya dibor, saya
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
280 bertanya kepadanya apakah bagian-bagian yang membeberkan masa sekolah menengah ketika ia jatuh cinta kepada gadis-gadis, patut ditulis dalam sejarah hidupnya, bila dibandingkan dengan begitu banyak informasi lain yang lebih penting. Ya, misalnya dia punya dua orang teman gadis yang masih dipertukarkan dalam cerita itu, katanya, ‘Kasihan Mientje Hessels, saya sebetulnya tidak mau mempermalukannya.’ Bertahun-tahun kemudian dia bertemu dengannya dan melihat bahwa selama itu temannya telah berubah menjadi seorang ‘patapouf’7.. Tetapi sebenarnya bukan Mientje Hessels yang dimaksud, tetapi Laura Fikerscher, tambah Bung Karno. Dia minta tolong kepada Emile van Konijnenburg untuk memperbaikinya dalam buku Cindy Adams. Saya bertanya kepadanya bagaimana kelanjutan kunjungan Joseph Luns ke Jakarta tahun 1964 itu. Presiden mengganggap menteri itu jenaka. Mereka bertukar lelucon. Ketika bersantap siang di Istana Bogor, Luns bercerita tentang pamannya, Jenderal Van Voorst tot Voorst, ketika mengispeksi serdadunya. Ia bertanya kepada salah seorang anggota pasukannya, ‘Bagaimana makannya disini, soldat?’, maka jawabnya adalah ‘Buruk’. ‘Tidak bisakah kau berbicara dengan lebih sopan dan menjawab dengan dua kata?’ lanjut jenderal Van Voorst. ‘Sangat buruk’ jawabnya lagi. Bung Karno menunjuk kijang-kijang yang berada di taman istana sambil berkata, ‘Pada zaman kolonial, jumlahnya 50. Setelah proklamasi
7.
Seorang yang gemuk
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
281 kemerdekaan, jumlahnya meningkat menjadi 750! Hewan-hewan itu rupanya tidak pernah diam,’ demikian komentar menteri luar negeri kami. Sebagai hadiah Luns memberikan sebuah jambangan bunga bermotif rusa dan sebuah burung hantu perak, yang menurutnya adalah simbol kepandaian. Pagi hari tanggal 7 Oktober 1966 itu, kontak antara kami sudah kembali pulih seperti sepuluh tahun yang lalu. Tanggal 8 Oktober, saya menghadap Duta Besar E.L.C Schiff. Mula-mula kami berbicara empat mata. Baru kemudian saya membuat film mengenai wawancara dengan beliau untuk dokumenter NTS. Schiff mendapat kesan bahwa Soekarno entah dengan sengaja atau tidak menghindar untuk menghadapi keadaan politik yang berubah. ‘Rupanya dia tidak mau memahami, atau dia tidak mau menerima bahwa Soeharto dengan antek-anteknya menginginkan dia pergi. Dalam hal ini ia agak gila. Tidak hanya kekuasaan presidennya yang hilang, tetapi mikrofon-mikorfonnya pun sudah diambil’, demikian diplomat Belanda itu. Yang terakhir itu tidak seluruhnya benar. Dalam satu minggu saya kembali ke Jakarta ini, saya mendengarkan dua pidato presiden yang masing-masing 45 menit lamanya. Tetapi menurut pendapat Tuan Schiff, Bung Karno hidup ‘in denial’8. dan buta terhadap realita-realita baru di sekitarnya. Di sini barangkali ada inti kebenaran. Tetapi hal ini sama sekali tidak saya sadari pada hari-hari
8.
menolak menyadari kenyataan yang baru secara psikologis.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
282 pertama saya kembali ke Indonesia. Selama sepuluh tahun saya mengenal Soekarno sebagai pemimpin yang tak diragukan. Pada awalnya saya sungguh tidak melihat betapa besar dampak yang merusak dari kampanye-kampanye fitnah yang dilancarkan Orde Baru pada rakyat. Tangan kanan Soeharto, Kolonel Sutikno mungkin sadar bahwa saya sangat sedikit mengetahui apa yang terjadi di negeri ini sejak 1 Oktober 1965. Pada hari-hari pertama itu saya melihat fungsinya tidak sebagai kolaborator pelaksana coup, tetapi sebagai rekan Jenderal Soeharto yang berdinas pada Bung Karno. Pada saat itu menurut saya, situasi tampak berfungsi cukup normal sesuai dengan urutan hierarkis yang saya kenal. Pak Tikno dan saya hampir tiap hari bertemu dan berbincang. Baru setelah cukup lama saya menyadari - dan sungguh tidak disangka - bahwa dia secara langsung mempekerjakan saya agar sebisa mungkin membantu Soeharto dan militer yang melakukan coupnya, dalam kedudukan saya sebagai teman yang dipercaya presiden. Inti dari penjelasannya adalah sebagai berikut, ‘Saat ini Bung Karno sudah harus sanggup mengadakan suatu pengorbanan bagi negara’, demikian kata kolonel Sutikno Lukitodisastro. ‘Dia harus menunjukkan kebesaran hatinya dan mau mundur selangkah, walaupun dengan hati yang berdarah.’ Tentu saja saya ingat kepada ramalan-ramalan Ujeng Suwargana dan rencana-rencana untuk mengisolir Bapak, sehingga para militer bisa bertindak seenaknya. Sebab itu, saya lambat laun menjadi curiga ketika orang itu yang selama ini saya
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
283 anggap sebagai perwira yang setia kepada Soekarno mulai melancarkan tindakan-tindakan subversif sesuai kehendak Soeharto. ‘Dulu rakyat Indonesia bersikap, seolah-olah Bapak itu orang yang sempurna’, lanjutnya. ‘Sekarang rasa kasih sayang untuk Bapak bangsa itu masih sama, tetapi mata rakyat sudah terbuka.’ Rupanya Sutikno mudah sekali mengatasnamakan tindak-tanduk para militer pelaksana coup dan CIA dengan ‘Rakyat Indonesia’. Negara dan bangsa telah menjadi korban dari sekelompok kecil militer yang telah dipengaruhi Washington dan memperoleh kekuasaan lewat pengkhianatan. Sutikno melanjutkan, ‘Misalnya, kepada presiden telah dilaporkan bahwa Jenderal Nasution berniat mendirikan negara Islam. Dia mengetahui bahwa ini tidak benar, tetapi walaupun demikian Bung Karno telah menyingkirkan Jenderal Nasution tanggal 11 Maret 1966. Ini suatu hal yang sangat buruk.’ Sebenarnya sudah sejak Republik Indonesia berdiri Soekarno berulang kali bertentangan dengan Nasution. Tetapi berulang kali pula Bung Karno menempatkannya pada kedudukan yang tinggi, karena seumur hidupnya ia dijiwai oleh pendapat bahwa memelihara kesatuan nasional harus mendapat prioritas utama. Dalam Otobiografinya Soekarno menyinggung sifat pemaafnya yang sudah terkenal itu. ‘Saya tidak ingin terjadi perpecahan antara saya dengan Angkatan Darat, jadi Nasution saya angkat lagi. Soekarno bukan anak kecil, begitu pula Nasution. Kami akan tetap bersatu, sebab bila
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
284 musuh kita berhasil memecah belah kita, maka republik akan hancur.’9. Saya berpendapat, Bung Karno yang pada tahun enam puluhan cukup lama berkecimpung dalam politik, tidak lagi bisa berharap akan mendapatkan keheranan dari orang-orang di sekelilingnya. Dia menyadari bahwa kebanyakan orang mengatakan apa yang senang didengarnya dan bahwa situasi ini dalam kedudukannya sukar dihindari. Dalam prinsipnya dia tidak mencurigai siapa-siapa, tetapi sekaligus juga mencurigai semua orang. Kelemahan masa kepresidenannya ialah bahwa ia dikelilingi oleh terlalu banyak yesmen. Mungkin juga karena dia terlalu lama menduduki kedudukan tinggi di istana itu. Sering kali pula orang-orang yang mengadu ini tidak tahu lagi apa yang sebenarnya terjadi di negara ini. Selangkah demi selangkah pemimpin negara kehilangan kontak yang nyata dengan rakyatnya. Tidak seorang pun lagi yang berani menyampaikan berita-berita buruk kepadanya. Sang pemimpin membohongi diri sendiri dan dibohongi. Kadang-kadang Soekarno menjadi sangat marah dan memecat Jenderal Nasution, misalnya tetapi dia juga mudah memaafkan, kadang-kadang terlalu mudah. Saya bertanya-tanya apakah ia tidak pernah mengindahkan peringatan Napoleon bahwa maaf diberikan untuk jasa yang telah diberikan, bukan untuk intrik-intrik. Sejak awal tahun lima puluhan, Nasution sering terlibat dalam berbagai intrik terhadap kedudukan kepresidenan dan
9.
Soekarno: An Autobiography, idem, pagina 267
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
285 kekuasaan Bung Karno. Tetapi berulang kali pula dia dimaafkan oleh presiden, dan barangkali tepat juga, sebab akhirnya CIA pun sadar bahwa Nasution ‘tidak bisa dipakai’, karena sering pada saat-saat terakhir sumpah perwiranya (Sapta Marga) mencegahnya melakukan pengkhianatan terhadap panglima tertingginya. Ketika pada tahun 1965 ia akhirnya bersedia melakukan pengkhianatan, hampir saja ia tertembak peluru-peluru para patriot, yang hendak melindungi Indonesia dan presiden dari pengkhianatan ini. Para pelindung Bung Karno dikalahkan oleh Soeharto dan CIA, dan walaupun Nasution dapat menyelematkan diri, secara lambat-laun dia menghilang dari panggung politik untuk selanjutnya dilupakan orang.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
286
Jakarta (8) Dari percakapan-percakapan yang saya lakukan dengan Kolonel Sutikno Lukitodisastro secara berangsur menjadi jelas bagi saya apa yang dia kehendaki. Karena campur tangan saya pada tahun 1957 dalam pengunduran Batalyon I Garuda dari Sinai, dia (Sutikno) tahu bahwa antara Bung Karno dan saya telah terjalin hubungan saling mempercayai karena alasan yang sederhana saja, yaitu bahwa Bung Karno sebagai teman saya beritahu semua yang saya pikirkan, atau yang saya ketahui sebagai wartawan yang mungkin mempunyai arti penting baginya. Saya tidak mempunyai kepentingan pribadi di Indonesia dan saya berada dalam suatu posisi dapat berbicara dengan terus terang dengannya. Saya tidak mempunyai kepentingan Unilever (Paul Rijkens), kepentingan Shell (Koos Scholtens) atau kepentingan KLM (Emile van Konijnenburg). Saya berkenalan dengannya, mendalami kebijaksanannya dan beruntung
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
287 menjadi sahabatnya1.. Salah satu aspek yang paling penting dalam uraian-uraian panjang lebar yang disampaikan kolonel Sutikno kepadaku barangkali adalah bahwa berulang-ulang ia menekankan pada saya bahwa kebijaksanaan Soeharto dan Orde Baru tidak khusus bertujuan untuk menurunkan atau memindahkan presiden dari istana. Baik Soeharto maupun Sutikno menganggap diri mereka mengabdi Republik. Mereka setia kepada Panglima Tertinggi Bung Karno. Sementara Pak Tikno berulang kali menyatakan hal ini kepadaku, pada Oktober 1966 itu saya tidak tahu menahu mengenai kejadian yang sebenarnya pada Oktober 1965 itu; saya juga tidak tahu bahwa Soeharto telah mencegah Jenderal Pranoto Reksosamudro yang dipanggil presiden untuk menghadap panglima tertingginya. Mendengar perkataan-perkataan sahabatku Soekarno, saya masih berpendapat bahwa Soeharto dan dia (Sutikno) adalah perwira-perwira yang setia kepada Soekarno. Yang senantiasa ditandaskan dalam desakannya adalah bahwa Bung Karno harus diturunkan karena menolak mengutuk PKI. Walaupun Soeharto lewat Super Semar tanggal 11 Maret 1966 memperoleh kekuasaan dengan cara yang tidak sah untuk selanjutnya melarang dan membubarkan PKI - dan menggencarkan perburuan terbuka terhadap orang-orang yang diperkirakan anggota PKI - salah satu syarat dari rezim yang melakukan coup adalah, bahwa presiden harus mengutuk para
1.
Walaupun (dalam teori) para wartawan tidak boleh mempunyai ‘sahabat’ untuk menjamin obyektivitas pendapatnya
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
288 komunis agar dapat tetap berfungsi sebagai kepala negara simbolis di bawah kekuasaan para jenderal. Tuntutan para pelaku coup bisa disamakan dengan menuntut agar Soekarno pada usianya yang ke 65 melepas agama Islamnya. Di dalam Otobiografinya Soeharto menulis bahwa Bung Karno dalam pidato-pidatonya tidak mau menyerah sedikit pun. ‘Dia memperolok-olok larangan terhadap marxime dan komunisme’ begitu tulis Soeharto. ‘Dengan teguh dia mempertahankan pendiriannya mengenai bersatunya kelompok-kelompok nasionalis, agama dan para komunis’ (Nasakom). Berulang kali pidato-pidato Bung Karno itu menimbulkan reaksi dan demonstrasi-demonstrasi (halaman 133). Ungkapan terakhir itu adalah khas ucapan buatan Soeharto, sebab justru dia sendiri dan rezim militernyalah yang mendalangi protes-protes terhadap Presiden Soekarno itu dan yang selalu terjadi kembali secara teratur. Bapak jenderal memberi contoh betapa ‘berbahayanya’ Bung Karno bagi Indonesia. Dalam suatu pidatonya ia berkata, ‘Saya akan bersabar, sesabar Nabi Muhammad. Ketika nabi Ta'if dihina, disumpahi, difitnah dan malah dilempari kotoran, dia tetap bersabar. Tetapi setelah itu dia mengambil langkah-langkah dan malah berangkat berperang’2.. Di dalam buku memoimya Presiden Soeharto bercerita bahwa ucapan itu sengaja dia pancing dari presiden dengan menantangnya dan melawannya dalam pekeijaan. Bung Karno sebenarnya ingin menghadiri peringatan Hari Pahlawan di
2.
Soeharto: Autobiografi hal. 133-134
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
289 Surabaya. ‘Saya menganggap berbahaya bila ia akan terbang ke sana. Bukankah saya harus menjaga kesejahteraan dan kesatuan rakyat’, demikian kata Soeharto (hal. 134). Betapa beraninya dia menuliskan di dalam Otobiografi yang resmi contoh penilaian diri yang begitu berlebihan. Mantan pesuruh kelas satu Bank Rakyat di Wuryantoro itu benar-benar menganggap dirinya lebih mampu mengendalikan kesejahteraan dan kesatuan Indonesia daripada Bung Karno, yang selama empat puluh tahun mengusahakannya tanpa lebih dahulu harus membunuh sejuta atau lebih orang yang berpendirian lain dari rakyatnya sendiri. Atau memasukkan ratusan ribu orang tanpa proses apa pun ke dalam kamp-kamp tahanan (penjara). Karena pada hari-hari itu saya belum mencurigai maksud-maksud Kolonel Sutikno saya menyetujui untuk berusaha membicarakan syarat yang tak terelakkan (conditio sine quanon) dari Soeharto dengan presiden. Jadi saya berbicara berputar-putar3. dengan uraian-uraian panjang agar dengan kata-kata yang sangat hati-hati mencoba mendekatinya untuk menyampaikan sugesti Kolonel Sutikno: suatu bentuk reculer pour mieux sauter. Jadi saya mulai mengobrol tentang tokoh besar Lenin yang berhasil memperoleh perdamaian di Brest Litovsk (1918), di mana dia mundur selangkah untuk dapat maju. Saya mengingatkan juga kepadanya menyerahkan Nikita Khruschev kepada JFK saat terjadinya krisis-raket ketika kapal-kapal Sovyet bermuatan roket untuk Fidel Castro
3.
dengan berputar-putar, tidak langsung menuju sasaran.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
290 langsung balik kanan di tengah lautan. Yang membuat saya tercengang, setelah mendengar argumentasi-argumentasi saya yang telah saya susun dengan teliti, dengan ketus Bung Karno menjawab, ‘Khrushev adalah Khruschev. Dan saya adalah Soekarno’, dan dengan demikian topik pembicaraan ditutup. Sebetulnya saya membenarkan tindakannya. Tetapi saya menyadari bahwa dengan lima belas orang menteri yang terpentingnya dipenjara dan tentara di tangan lawan-lawannya, yang dengan mulutnya menyatakan hormatnya kepada kepala negara, tetapi sebenarnya sangat menghinanya - dan iri padanya, ia berada dalam situasi yang sangat lemah dan sukar. Duta Besar Schiff menginterpretasikannya seolah presiden tetap tidak mengakui musibah yang sedang ditimpakan terhadapnya. Saya kira Bung Karno tahu benar apa yang sedang terjadi dengan negaranya, tugas suci hidupnya dan dirinya, tetapi karena ia seperti kayu jati yang kokoh dan kuat, ia tidak bisa digoyahkan oleh pengkhianat dan sejenisnya. Dia tidak ragu sedetik pun. Dia tidak akan pernah dan tidak akan mau mengkhianati anak tirinya PKI, seperti yang diharapkan oleh para militer pelaku coup dan CIA. Apabila hal itu bisa menyebabkan hilangnya kedudukannya sebagai presiden, biarlah itu terjadi. Menyerah kepada pengkhianat, tidak akan pernah dilakukan. Tetapi sekali lagi saya menyingung topik ini. Saya ingatkan dia bagaimana keluarga kerajaan Belanda dengan sabar menghadapi reaksi awal yang disebabkan oleh pilihan Beatrix untuk sekali lagi memilih sebagai suami seorang pangeran dari Jerman, seperti yang dilakukan ibunya dengan
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
291 Pangeran Bernhard von Lippe Biesterfeld dan Wilhelmina dengan Pangeran Hendrik von Mecklenburg Schwerin. Kemarahan rakyat dengan ucapan-ucapan seperti ‘Claus, 'raus!’ (Claus, pergilah) lambat laun di Belanda berubah menjadi kesadaran yang telah dipikirkan secara tenang mengenai pangeran yang baru. Pada saat itu Laksamana Mulyadi ikut bergabung dengan kami dan Bung Karno berkata kepadanya, ‘Wim ini mau menghibur saya’. Dalam pembicaraan yang kesekian kalinya dengan Kolonel Sutikno sambil makan siang di Hotel Indonesia, dia berkata, ‘PKI telah mencuci otaknya’. Karena itu Pak Harto dengan kesopanan timur memberikan sedikit tekanan kepadanya. Bahwa sekarang kami melarang PKI, adalah kesalahan PKI sendiri. Mereka terlalu banyak menyerang dari belakang. Wim, kamu sekarang harus melihat Bung Karno lewat kacamata posisinya saat ini. Jenderal Soeharto sekarang adalah ketua presidium. Kecuali itu kami harus menenangkan luar negeri bahwa di Indonesia sini komunisme tidak mungkin hidup kembali’. Sambil mendengarkan kata-kata kolonel itu saya menyadari bahwa dia pada tahun-tahun belakangan berada di Washington, dia sebenarnya sama sekali tidak mengenal presidennya dan rupanya tidak memahami pula cara berpikir politiknya. Dugaannya seolah Presiden Soekarno telah dicuci otaknya oleh anak tirinya dengan mengorbankan anaknya sendiri, menunjukkan bahwa Sutikno tidak tahu apa yang dia katakan. ‘Tekanan yang disampaikan dengan kesopanan timur’ dari Soeharto, buktinya merupakan perebutan
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
292 kekuasaan militer kejam dengan kedok ketimuran. ‘Kesalahan ’PKI dalam kenyataannya adalah komplotan CIA agar dapat menyalahkan PKI melakukan coup yang tidak dapat dipertanggungjawabkan partai. Dan dengan ‘menenangkan luar negeri’, yang dimaksud kolonel adalah Washington dan CIA. Aku mulai menyadari bahwa sahabatku Pak Tikno termasuk pembantu-pembantu Indonesia baru yang bersedia dipakai Amerika Serikat untuk memanuver Republik Indonesia yang secara strategis penting karena terletak di persimpangan hubungan antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik ke jalur pelayaran Amerika untuk selama-lamanya. Sutikno melanjutkan, ‘Persoalannya sekarang adalah untuk mendesak presiden sampai dia berkata, ‘Jangan berkelahi demi saya!’ atau ‘Jangan mempertengkarkan diri saya!’. Ini adalah pendirian Jenderal Nasution, ketika ia dikeluarkan dari kabinet oleh presiden. Jangan lupa bahwa Pak Nasution pada tanggal 20 Juni 1966 terpilih sebagai Ketua MPRS karena merasa kesal telah dipecat kembali oleh Bung Karno’. Saya mendengarkan penjelasan Sutikno dengan rasa heran dan rasa tidak senang yang mendalam. Selain itu makin jelas bagiku bahwa tangan kanan Soeharto ini mempengaruhi saya, atau mencoba melakukannya, agar mau berfungsi sebagai penghubung antara presiden dan kelompok pengkhianat. Pesannya, yang dicoba dimasukkannya ke dalam tembok istana lewat orang yang dipercaya Bung Karno, bertentangan dengan fakta-fakta dan dari A sampai Z tidak benar, terutama hal-hal yang berhubungan dengan presiden. Saya makin yakin
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
293 lagi untuk dijadikan sebagai penghubung, apalagi setelah makin jelas bagiku tujuan-tujuan apa yang hendak dicapai Sutikno dengan sejumlah undangan makan siang itu. Malam 7 Oktober 1966 itu, bersama Emile van Konijnen-burg untuk pertama kali aku bertamu di bungalow yang berada di kebun Istana Bogor, di mana Bapak menghabiskan akhir pekannya bersama Ibu Hartini Soekarno. Untuk itu dia datang dari Jakarta, naik helikopter buatan Amerika. Pak Kelinci juga mengajak Dries Ekker, yang selama bertahun-tahun bekerja keras untuk memperkenalkan pendirian Luns mengenai soal Irian Barat. Lama setelah itu, ketika Ekker dikeluarkan dari pekerjaannya, Luns mengangkatnya bekerja di Departemen Luar Negeri, dan ditempatkan sebagai atase pers di negara asing. Terakhir datang juga Jaap Kruisweg. Van Konijnenburg membawakan buku Watzien ik karya Albert Mol untuk presiden, yang sekarang terletak di meja dekat tempat tidurnya dan sering dibaca. Sebelum makan malam kami pergi ke istana untuk menonton film Errol Flynn. Polisi-polisi militer dan anggota para memberi hormat pada presiden saat memasuki ruangan film, yang telah terisi oleh personel, para tukang kebun dan dua orang anak laki Bung Karno, Bayu dan Taufan, anak dari Hartini. Taufan bertahun-tahun kemudian meninggal di California karena kanker. Tahun 1994 saya bertemu lagi dengan Bayu di rumah Hartini. Sejak beberapa lama ia bekeija di Sekretariat Negara di bawah Presiden Soeharto. Bisa terjadi juga! Selama pertunjukan film, Bung Karno meletakkan kakinya di atas meja rendah di depannya, karena kakinya sering
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
294 bengkak. Ibu Hartini mengelilinginya penuh kasih sayang. Dia masih kelihatan muda dan menarik seperti tahun 1957 ketika saya pertama kali bertemu dengannya dengan Bapak di Bojonegoro Jawa Timur. Selama itu saya selalu berkorespondensi dengannya, sampai tahun 1994 hubungan itu putus sebagai akibat dari sikapnya yang berubah terhadap orang yang sebenarnya bertanggung jawab atas perlakuannya menyiksa sampai mati terhadap Bung Karno. Setelah film usai, acara dilanjutkan dengan makan malam. Walaupun politik tabu dibicarakan saat santap malam, presiden sedikit menyinggung proses terorganisir terhadap dr. Subandrio yang terjadi di Jakarta saat itu yang dianggapnya sebagai proses semu. Dia juga bertanya-tanya bagaimana mungkin rezim militer menyebar kebohongan seolah Ny. Hartini menyumbang 200 juta rupiah kepada PKI. Sampai di situ pembicaraan tentang politik. Konijnenburg menghibur para hadirin dengan menceritakan sejumlah lelucon Amsterdam yang sering amat menggelikan. Sebenarnya saya lebih senang bila semua yang hadir cepat pulang, karena saya sudah tidak sabar untuk menanyakan seribu satu pertanyaan kepada presiden. Tetapi akhir pekan khusus diperuntukkan untuk beristirahat, tandas Ibu Hartini. Dia bercerita bahwa Bapak akhir-akhir ini sering diserang sakit kepala yang amat sangat karena banyak berpikir. Dan dia telah menentukan agar kunjungan-kunjungan pendek ke Bogor yang lebih sejuk ini dalam situasi apa pun harus diusahakan menjadi kunjungan yang nyaman dan menyenangkan.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
295
Jakarta (9) Tanggal 8 Oktober 1966, sekali lagi saya ke Bogor bersama Emile van Konijnenburg dalam sebuah mercedes KLM. Kali ini Duta Besar Schiff dan istrinya ikut pula. Keluarga Schiff telah mengelilingi Bogor beberapa kali agar tidak datang terlalu dini di istana. Duta Besar Schiff membawa hadiah untuk Bung Karno; yakni dua buah kotak kulit Dunhill yang amat mahal berisi cips ‘een-en-twintigen’, suatu permainan yang sering dimainkan presiden pada malam hari. Presiden melihat kedua kotak itu, mengernyitkan alisnya dan berkata, ‘Saya lebih senang bermain dengan korek api’, yang langsung dijawab oleh Schiff, ‘Kalau begitu saya bawa kembali saja lagi,Yang Mulia!’. Atas tindakannya itu aku berkomentar, ‘Khas reaksi orang Belanda’. Sebenarnya yang saya pikirkan adalah: Schiff bertindak tidak sopan dan sama sekali tidak lucu. Malam kedua di Istana Bogor itu ditandai oleh sikap untuk membuat malam yang menyenangkan bagi presiden. Tetapi
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
296 malam itu saya rasakan sebagai sangat menyedihkan, karena jelas tampak bahwa Bung Karno merasa dikhianati oleh orang-orangnya sendiri, sehingga ia malah mencoba mencari hiburan dengan teman-teman Belandanya. Schiff sebenarnya bukan teman, karena ia menganggap Soekarno sebagai seseorang yang ‘agak gila’, saya melihat bahwa duta besar dan juga istrinya menunjukkan dengan jelas rasa sayangnya terhadap presiden, setelah mereka mengenalnya secara pribadi dengan lebih dekat. Bung Karno mengeluh bahwa gajinya sebagai presiden hanya Rp 20.000,00 per tahun, bebas bayar rumah, air dan listrik. Dia pernah membaca dalam sebuah majalah bahwa gaji ratu Juliana enam seperempat juta gulden per tahun. Kadang-kadang berita-berita dan pandangan-pandangan mengenai politik negeri terdengar juga. Dan Bapak berkata, ‘Apa yang terjadi di negeri ini adalah bahwa kita menyaksikan kecenderungan ke kanan dari revolusi ini. Proses revolusiner bukanlah jalan raya/bulevar yang lurus, seperti yang saya lihat di Leningrad. Jean Jaures telah memformulasikannya dengan jernih. Revolusi itu bukan Champs Elyssees, tidak tegak lurus.1. Namun arah lurus itu tidak boleh hilang dari pandangan kita, agar revolusi tidak tergelincir’. Dia tahu benar bahwa saya mempunyai buku harian yang saya isi dengan setia. Selama bertahun-tahun kemana pun aku pergi buku itu selalu ada di hadapanku di atas meja. Kadang-kadang, saat mengadakan pembicaraan yang
1.
lurus
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
297 bernostalgia di istana Jakarta atau di bungalow di Bogor, Bapak bercerita tentang kenang-kenangannya, yang secara teratur langsung saya catat di tempat, walaupun setelah saya kilas balik, saya kurang melakukan hal ini. Sebenarnya kita ini tidak pernah memperhitungkan bahwa suatu pertemuan bisa menjadi pertemuan yang terakhir. Bung Karno secara tidak sengaja mengatakan, ‘Setelah meninggalnya Sutan Sjahrir, janda dan kakaknya menemuiku di istana. Mereka bercerita bahwa salah satu ucapannya ketika dia masih terbaring sakit adalah, “Bung Karno benar!” Presiden melanjutkan, “Syahrir meninggal sebagai seorang yang sangat religius. Dia minta kepada yang dekat padanya agar menyampaikan salamnya padaku. Pernah, di rumah seorang kenalan kami, yakni penjahit Saddak, Syahrir berkata padaku,” Demi Tuhan, Bung Karno, saya lebih cocok dengan kamu, daripada dengan Hatta’. Pada kesempatan-kesempatan lain, ia menyinggung topik-topik internasional yang penting. Ini sering terjadi bila kami sudah tinggal berdua, setelah semua orang yang diundang sarapan pagi di istana pergi. Ia selalu meminta agar saya tinggal lebih lama. Ia misalnya ingin tahu lebih banyak mengenai pembunuhan JFK di Dallas. Apakah peran sebenarnya Lee Harvey Oswald? Dia mendengarkan dengan penuh perhatian ketika saya bercerita bagaimana saya sepuluhan tahun yang lalu menekuni persoalan itu lewat Godfather -nya Oswald, yakni graaf George de Mohrenschildt, sampai orang tersebut diculik di Brussel di depan mata saya untuk dibunuh di Florida. Bagi Bung Karno yang merupakan teka-teki yang tidak dapat
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
298 dimengerti adalah bahwa JFK dalam waktu yang relatif singkat kalah dan menyerah kepada musuh-musuhnya dan CIA dan dilikuidasi2.. Berulang kali dia mengatakan telah menjalin hubungan yang amat bagus dengan Kennedy bersaudara itu. Presiden Soekarno juga mengagumi Jacqueline Kennedy. Dahulu, di Peking pernah diterbitkan dalam lima jilid, gambar-gambar lukisan yang telah dikumpulkan Bung Karno selama bertahun-tahun. Duta Besar Zain begitu cerdik untuk mengirimkan seri lima jilid yang berukuran raksasa dan dicetak dalam warna indah itu ke Gedung Putih sebelum Presiden Indonesia datang mengunjunginya secara resmi tanggal 24 April 1961. Pada acara minum teh, Ny. Kennedy membawa buku-buku tersebut dan berlutut di lantai dekat presiden ketika meletakkan salah satu buku tebal itu di pangkuannya. Bung Karno heran dan kagum kepada pertanyaan-pertanyaan artistik yang diajukan ‘Jackie’ kepadanya. ‘Mengapa Presiden Johnson mempertahankan orang semacam Dean Rusk sebagai Menteri Luar Negeri?’ tanya presiden padaku. ‘Bukankah Rush penganut politik agresif yang sama dengan John Foster Dulles?’ Dia selalu bisa mengajukan topik-topik mengenai politik luar negeri secara rinci - yang merupakan terra incognito’ (daerah yang tidak diketahui) bagi penggantinya. Bagi saya, yang pada tahun 1966 itu telah dua puluh tahun tinggal di Amerika Serikat, merupakan hal yang menyenangkan untuk bisa bertukar pikiran
2.
Reportage over de Kennedy-moordenaars, Bruna, 1977.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
299 dengannya mengenai hal tersebut. Berkali-kali pula Bung Karno mengingatkan kembali bahaya yang akan menimpa dunia, bila Amerika Serikat sebagai adikuasa Barat, cenderung lebih condong ke Barat3.. Dia juga membicarakan tokoh-tokoh Amerika konservatif seperti Senator Barry Goldwater dari Arizona, sementara akhirnya tiap pembicaraan lambat laun selalu berakhir pada praktek-praktek mafia yang dilakukan CIA, dan menyebut Cuba dan Fidel Castro4.. Makan malam 8 Oktober 1966 itu di bawah pengawasan Ny. Hartini, disajikan dengan sempurna. Saat makan malam, presiden merasa kepanasan dan membuka kemeja batiknya. Kemudian ia melanjutkan makan malamnya dalam pakaian baju dalamnya bersama dutabesar ratu dan kami. ‘Kali ini baju dalamnya tanpa lubang’, komentar Emile van Konijnenburg, yang saya ketahui selalu mempergunakan setiap kesempatan untuk menunjukkan bahwa dia adalah orang yang paling lucu. Ny. Hartini menyambung, ‘Apakah Bapak akan mulai ber ‘striptease?’ Yang dilanjutkan pula oleh Bapak Presiden dengan mengatakan kepada Ny. Schiff agar mengikuti contohnya. Tetapi nyonya yang cerdik ini menjawab, ‘Saya bersedia melakukan permintaan Anda, kalau Ny. Hartini ikut juga!’ Gelak tawa mengakhiri kata-kata canda itu. Demikianlah malam di Istana Bogor berlangsung pada tahun
3. 4.
Dalam hal ini ia ingat akan peringatan-peringatan yang disampaikan oleh senator J. William Fulbright. Soekarno adalah kepala negara pertama dari kelompok non-blok yang mengunjungi Kuba pada tahun 1961.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
300 1966 yang amat menyedihkan bagi Bung Karno itu. Setelah makan malam sampai tengah malam mereka main ‘een en twintig’ dengan batang korek api. Kami berangkat dalam gelap gulita ke Jakarta. Duta Besar Schiff dengan bendera tri-warna di spatbornya di depan. Saya mengikuti dari belakang dengan Konijnenburg dalam Mercedes milik KLM. Atas perintah presiden, kami dikawal dua jip polisi militer, karena j am malam telah lama lewat. Kami melintasi beberapa rintangan jalan yang dijaga tentara bersenjata lengkap. Tanggal 9 Oktober 1966, di Hotel Indonesia saya bertemu dengan usahawan Louis Worms yang sedang berjuang untuk pembuat kapal Cornelis Velorme. Mereka dibawa menghadap kepada Presiden oleh Pak Kelinci. Di Tanjung Priok akan dibangun galangan kapal ‘Karya Putra’. Sebelumnya telah diperlukan empat kali kunjungan Velorme sendiri untuk dapat meloloskan proyek itu dari birokrasi, sekalipun Bung Karno telah memberikan bantuan pribadinya. Peristiwa pertemuan dengan mantan pedagang besi Belanda di Jakarta ini memungkinkan saya menemukan jejak suatu transaksi korupsi senilai 320 juta gulden, yang pada saat itu siap dipertanggungjawabkan pemerintah Belanda. Kunci dari rencana yang busuk ini dipegang oleh tokoh paling korup, yakni Ibnu Sutowo, presiden direktur perusahaan minyak Indonesia ‘Pertamina’. Dengan dimuatnya seluruh kejadian ini di mingguan kristen Die Spiegel yang terbit masa itu, bisa dicegah bahwa beberapa pengusaha yang tidak jujur merugikan pembayar pajak sebanyak ratusan juta. Di Den Vaderland
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
301 Getrouwe5. saya memperinci kejadian itu dan menyebutkan nama seseorang yang kemudian terbukti melakukan praktek korupsi, yakni Menteri Luar Negeri pada masa periode Soeharto, Adam Malik. Tanggal 10 Oktober 1966, saya bertemu dengan Presiden Soekarno, sendiri dari pukul 07:00 sampai kira-kira 08:40 di Istana Merdeka. Saya sengaja minta menghadap sendiri agar dapat bertemu empat mata dengan beliau6. tanpa kehadiran tamu-tamu lain untuk sarapan pagi, karena sekali lagi aku ingin mencoba apakah benar-benar tidak ada lagi kesempatan untuk mengadakan kompromi yang bisa diterima antara istana dan markas besar Soeharto. Saya sampai pada kesimpulan bahwa Kolonel Sutikno Lukitodisastro mengharapkan dari saya, sebagai sahabat lamanya, bahwa saya akan berhasil membujuk Bung Karno. Tetapi sejak awal misi itu merupakan a mission imposible, karena presiden tidak bisa dibujuk seperti diharapkan orang-orang lain yang tidak mengenalnya. Yang juga berperan adalah bahwa karena saya mengetahui betul pendirian presiden mengenai sikapnya terhadap PKI, tetapi juga memahaminya, saya harus mempengaruhi Bung Karno untuk mengubah pendiriannya, yang sebenarnya saya pun tidak menyetujuinya. Dengan sangat hati-hati, permohonan Soeharto dan Sutikno itu saya sampaikan kepada kepala negara, di mana sangat
5. 6.
Bruna, Utrecht, 1973, 700 hal. Di Istana Bogor, kepada Ibu Hartini saya titipkan sepucuk surat untuk presiden agar dapat bertemu empat mata dengannya. Pada hari-hari itu saya kira saya berhutang budi pada Soeharto dan Sutikno.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
302 diharapkan agar dia secara umum mau mundur selangkah dan paling tidak menjauhkan diri dari PKI, yang dalam pandangan pemikirannya (mind scape) merupakan anak tirinya. Bagaimanapun aku mencoba, semua usaha saya sia-sia. Dengan pendek ia menjawab, ‘Wim, jempol dan kelingking kakiku pun tahu itu’. Yang bila dipanjangkan berarti, ‘Percumalah usahamu!’ Selama pembicaraan ini, Bapak berulang kali membicarakan peranan CIA di Indonesia. ‘Kami telah pernah membicarakannya’, katanya. ‘Sudah berapa tahun lamanya mereka di sini untuk mengerjai saya?’ Dengan tegas dia mengajak untuk membicarakan hal lain saja. Jadi saya bercerita, saya akan membuat film komplex Velorme di Tanjung Priok dan bahwa Jenderal Herman Budojo dari marinir (KKO) akan memberi penjelasan lebih lanjut mengenai rencana-rencana Velorme berdasarkan sebuah maket. Saya juga akan membuat film tentang Laksamana Mardanus, yang disela oleh Bapak dengan mengatakan, ‘Karena Mardanus adalah orang yang berhasrat maju, maka ia dicap “kiri”, padahal Mardanus adalah seorang patriot sejati’. Saat aku mau pergi, saya tanyakan kepada presiden apakah ia bersedia bertemu dengan Kolonel Sutikno. ‘Sebaiknya dia sendiri mengatakan kepada Bapak apa yang sebenarnya hendak dia katakan,’ kataku. ‘Hanya saja dia tidak bisa mengambil inisiatif untuk mengunjungi Anda. Anda yang harus memanggilnya untuk mengadakan pembicaraan atau Soeharto yang harus mengirimnya untuk mengunjungi Anda. Apakah Anda mau memanggilnya?’ Dengan segera Bapak
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
303 menjawab, ‘Oke, bawalah dia besok pagi ke sini’. Malam harinya saya mengunjungi Bapak Sartono, sahabat Soekarno pada hari-hari pertama mereka mengorganisasikan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial. Sartono juga adalah mantan ketua parlemen Indonesia yang mendapatkan pendidikan sebagai ahli hukum di Leiden. Selama sepuluh tahun saya mengenalnya dengan baik. ‘Pandangan (visi) politik Bung Karno itu benar. Intuisinya tidak ada tandingannya. Dia sangat banyak membaca dan amat pandai. Hanya dalam materi faktanyalah ia lemah. Dia harus sering minta bantuan para menterinya. Tetapi tuan-tuan itu justru meniru dia. Bung Karno-lah yang memberikan garis-garis besarnya, tetapi selalu terhambat dalam segala hal dalam tindak lanjutnya. Dia menempatkan Subandrio, Leimena dan Saleh dalam presidium dan mengatakan, ‘Nah, sekarang kalian bertiga bersama-sama yang membuat segala keputusan’. Dalam prakteknya hal ini tidak beijalan. Hanya yang berjalan lancarlah yang dilaporkan kepada presiden. Dia selalu percaya apa saja yang dikatakan kepadanya. Akibatnya dia sering tertipu. Oom Sartono, demikian dia sering disebut7., mengatakan yang sama dengan yang dikatakan Mohammad Hatta, yang menganggap Soeharto sebagai penyelamat bangsa. Soeharto melakukan segala sesuatu secara terbuka. Subandrio melakukan segala sesuatunya secara rahasia. Masa lalu Soeharto bersih. Pernyataan itu tidak benar, karena Jenderal
7.
Demikian juga saya menyebutnya.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
304 Nasution memecatnya dari Divisi Diponegoro tahun 1958, karena memergokinya melakukan hal-hal yang tidak benar. Tambahan pula, Soeharto akan beroperasi di latar depan sedangkan Subandrio di latar belakang juga tidak benar. Pertunjukan wayang dari Jenderal Soeharto sebagai Presiden Kedua Indonesia akan dicatat di dalam sejarah republik sebagai operasi politik paling licik dalam sejarah Nusantara. Orang itu barangkali menokohkan diri sebagai The Smiling General, tetapi dalam keadaan sebenarnya Soeharto adalah si pengkhianat menteri Durno, dari kerajaan Hastinapura, yang mengkhianati raja dan rakyatnya untuk kepentingannya sendiri. Dalam buku O.G. Roeder, Soeharto menyamakan dirinya dengan cucu pahlawan Arjuna dari alam pewayangan. Pahlawannya Bung Karno (Arjuna) mengundurkan diri ke dalam hutan, dan menurut legendanya cucunya, yakni Parikesit (Soeharto) menjadi raja (hal. 29)8.. Sementara itu, Oom Sartono juga mengeluhkan kelakuan mahasiswa KAMI yang dipanas-panasi kaum militer untuk berdemonstrasi. Menurut Mr. Sartono, ‘Bahwa sekarang pemuda-pemuda bertindak melampaui batas, adalah hasil dari didikan Bung Karno. Pemuda-pemuda dididik secara politik. Mereka sudah menjadi sadar politik. Sebetulnya presiden harus memuji dirinya sendiri. Dahulu kaum muda tidak berani membuka mulut, tetapi sekarang mereka sudah melampaui
8.
Didalam buku O.G. Roeder, Soeharto menokohkan Subandrio sebagai Durno. Itu tidak benar. Soeharto-lah pengkhianatnya. Subandrio, seperti dilakukannya dengan mencuri surat raja Malakka, adalah seorang pencuri picisan.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
305 batas. Pemuda-pemuda KAMI juga telah memasuki rumahnya tanpa permisi dan telah menghabiskan semua makanan yang ada di dapur. ‘Anda kan tidak setuju bahwa kelakuan seperti itu adalah hasil dari kepemimpinan Bung Karno? Apa yang dilakukan KAMI mencerminkan kepemimpinan Soeharto, Nasution dan CIA dan adalah hasil dari kebohongan. Pemuda-pemuda KAMI dengan sengaja dibawa ke jalan yang salah’. ‘Betul, tetapi kekacauan pertama mengenai KAMI, sekarang sudah lewat,’ jawabnya.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
306
Jakarta (10) Tanggal 11 Oktober 1966, pagi-pagi sekali Kolonel Sutikno Lukitodisastro menjemputku di Hotel Indonesia untuk bertemu dengan Presiden Soekarno, yang kemudian akan menjadi pertemuan dan pembicaraan bersejarah1.. Yang juga ikut adalah Kolonel Lamidjono, teman bersama kami dari Batalyon I-Garuda di Mesir dan Sinai. Pukul 07:00 kami bergabung dengan tamu-tamu Bapak yang lainnya. Menjelang pukul 08:00 Bung Karno berkata, ‘Wim, Tikno, ikut aku’. Lewat teras belakang kami memasuki istana dan duduk di perangkat kursi rotan dengan meja di tengahnya. Pertemuan itu berlangsung 45 menit dan akan saya kenang sepanjang hidup saya. Isi dari penjelasan Kolonel Sutikno ialah sebagai berikut,
1.
Hari itu, saya catat dengan rinci dan teliti segala sesuatu dalam buku harianku.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
307 ‘Anda adalah Bapak kami. Anda adalah presiden kami. Anda telah mengajarkan kami, anak-anak2. Anda, untuk bisa berdiri diatas kaki sendiri. Kami selalu mendengarkan Anda. Dan sekarang kami, anak-anak Anda, berpendirian teguh untuk mengambil jalan lain’. Jadi Pak Tikno mengikuti cara Jawa klasik dalam mendekati seorang Bapak yang dihormati, yang dimohon dengan sangat untuk mendengarkan anaknya yang berbakti padanya. De la Rouchefoucauld menulis dalam kenangan pemikirannya: ‘L' hyprocisie est un homage que la vive rend a la vertu’3.. Sang kolonel sungguh ahli dalam hal ini. Saya duduk menyaksikan, mendengarkan sambil menahan nafas suatu pembicaraan yang sebagian dilakukan dalam bahasa Indonesia dan sebagian dalam bahasa Belanda. Memahami benar sifat presiden, saya melihat bahwa dia mendengarkan dengan amat sabar segala sesuatu yang disampaikan utusan Jenderal Soeharto ini. Saya tahu benar apa yang dipikirkan Bung Karno, karena saya sendiri sudah menjalani rute yang sama mengenai tajuk pembicaraan yang sama secara berulang-ulang. Setelah membiarkan Sutikno berbicara beberapa lama, presiden mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tajam mengenai peranan CIA di Indonesia, sejak tahun lima puluhan sampai dengan 1965. Yang mengherankan saya dia sama sekali tidak menyinggung mengenai lima kali percobaan pembunuhan terhadapnya. Tampak dengan jelas bahwa sang
2. 3.
anak-anak; di sini lebih berarti: anak laki-laki. Kepura-puraan adalah penghormatan yang ditunjukkan kebobrokan moral kepada kebaikan.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
308 kolonel tidak mau menanggapi pertanyaan-pertanyaan tajam presiden mengenai peranan subversif Amerika Serikat, yang pada hakikatnya sudah menunjukkan dengan jelas posisinya yang sebenarnya. Juga karena saya tidak mau membiarkan Sutikno sendirian melawan arus, saya memutuskan untuk membantunya kali ini. Pembicaraan sementara itu sudah sampai pada insiden yang menghebohkan sekitar Duta Besar Inggris, Sir Andrew Gilchrist. Ada sepucuk telegram rahasia dari diplomat ini yang bocor yang berisi suatu percakapan antara dirinya dan Duta Besar Amerika Serikat Howard Jones tentang kemungkinan akan adanya perebutan kekuasaan terhadap Soekarno dengan pertolongan ‘sahabat-sahabat lokal kami dari kalangan tentara’. Subandrio telah menjamin kdasliannya dan menyampaikannya kepada Bung Karno 26 Mei 1965. Howard Jones kemudian menyebutnya sebagai ‘pemalsuan yang licik, yang bertujuan agar kecurigaan terhadap Amerika Serikat, Inggris dan pimpinan Angkatan Bersenjata makin dipertajam’4.. Karena akhirnya sudah diketahui semua orang bahwa KGB juga mengedarkan dokumen-dokumen lengkap dengan kepala surat dan nomor kode, saya memutuskan untuk membantu Tikno dengan nyata. ‘Tetapi, Bapak’, kataku, ‘bukankah tidak mungkin Sovyet dengan KGB-nya memalsukan tele-gram-Gilchrist ini untuk mempermalukan orang-orang Amerika Serikat dan Inggris di Jakarta ini?’
4.
Indonesia; The possible dream, oleh Howard P. Jones, Hartcourt Brace Jovanovich, N ew York, 1978 hal. 377.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
309 Mendengar kata-kata ini, Bung Karno menjadi benar-benar marah, hanya satu kali itu saya melihat dia marah didalam sepuluh tahun saya mengenalnya. Dia pegang lenganku dan sambil menggoyang-goyangkannya ia berkata, ‘Bung, kau kira aku tidak mengetahui hal itu?’ Pada saat yang kritis itu saya teringat apa yang pernah dikatakan Duta Besar Zairin Zain di Washington dalam suatu insiden yang serupa. Karena itu Bung Karno saya jawab, ‘Duta Besar Zain pernah menjelaskan kepadaku bahwa selama dia masih bisa marah padaku, saya masih menjadi temannya dan masih masuk dalam hitungannya’. Presiden melunak dan tersenyum. Lambat-laun pembicaraan antara Kolonel Sutikno dan presiden memuncak menuju klimaks yang sangat menyakitkan. Daerah pemikiran Bung Karno telah cukup saya selidiki untuk mengetahui bahwa akhirnya Pak Tikno akan ditolak. Makin ia mendesak sampai inti pesanan Soeharto dan tentara, makin bungkam Bung Karno. Sebenarnya Tikno makin teijerat untuk bisa mencoba membujuk melakukan sesuatu yang bertolak belakang dengan kepemimpinannya selama empat puluh tahun yang lalu. Bapak lebih baik menghilang dari panggung politik, mati sekalipun, daripada menuduh anak tirinya (PKI) melakukan sesuatu yang dia tahu benar tidak dilakukan anak itu. Respek dan hormat saya kepada Bapak bangsa Indonesia ini, berdasarkan pengalaman-pengalamanku bersamanya dan percakapan-percakapan diantara kami tahun 1966, makin mantap dan akan terus berlangsung. Akhirnya Sutikno menyerah, setelah meyakinkan Bung
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
310 Karno bahwa tidak seorang pun di negeri ini, Jenderal Soeharto juga tidak, yang ingin kehilangannya sebagai kepala negara. Kolonel kemudian menundukkan kepalanya dan air matanya menetesi pipinya. Presiden juga tampak terharu. Sebagai pengambil inisiatif utama dalam pertemuan yang tak terlupakan ini, saya memahami lebih dari sebelumnya bahwa Bung Karno dan tentara, selama masih di bawah pimpinan Soeharto, telah sampai pada point ofno return. Saya menyaksikan esensi dari drama Indonesia ini, yang akan berlangsung antara 1965 dan 1967 di Jakarta dan yang kemudian akan berakhir dengan penangkapan Bapak dan diisolasikannya secara total dari rakyatnya, dari teman-temannya dan sering dari keluarga terdekatnya agar dia meninggal karena kesepian dan kesedihan yang mendalam. Saya mendengar dia menegur Sutikno, ‘PKI tidak melakukan makar terhadap pemerintahanku’, sedang yang dimaksud adalah, ‘yang melakukan adalah kalian, tentara, yang didukung oleh CIA’. Dengan perasaan halusnya sebagai orang Jawa, dia menghindari mengucapkannya pada kolonel. Tetapi yang langsung dikatakan pada utusan Soeharto ialah ‘Karena itu saya tidak dapat meninggalkannya’. Dia mengatakan ini dengan pasrah, yang mengejutkanku, seolah dia memahami benar bahwa dia berbicara pada seseorang yang tidak mendengar. Walaupun kata-kata Sutikno dibungkus dengan kata-kata yang terselubung, cara Jawa yang terkenal untuk menutupi perasaan-perasaan dan emosi-emosi yang sebenarnya, Bung Karno pasti sudah menyadari bahwa
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
311 kunjungan tangan kanan Soeharto dalam instansi yang terakhir merupakan ultimatum yang ke sekian, tanpa memberikan sedikit pun ruang gerak melakukan sesuatu. Dengan cara-cara yang amat jelas Presiden Soekarno menambahkan bahwa ia sama sekali tidak berniat untuk mempertahankan kedudukan kepresidenannya dengan cara apa pun. Kepada Pak Tikno dikatakannya, ‘Apakah kalian mengira bahwa saya masih tetap ingin sekali menjadi presiden?’ Saya ikut dalam jip kolonel ketika ke Hotel Indonesia. ‘Wim’, katanya, ‘itu tadi adalah pembicaraan yang baik. Bapak tua itu nanti malam akan memikirkannya’. Saya sama sekali tidak setuju dengan pendapatnya. Bagi Bung Karno sudah amat jelas duduk perkaranya. Aidit, Nyoto, Lukman dan pemimpin-pemimpin PKI lainnya telah memberitahukan dengan sangat rinci posisi PKI pada 30 September dan 1 Oktober 1965 itu. Tanggal 12 Oktober 1966 seorang mitra kerja menelepon dari istana. Pukul 09:00 Bung Karno akan mengadakan wawancara khusus untuk dokumenter NTS kami. Ketika bersantap pagi, presiden mendapat kunjungan sahabat lamanya A.M. Dasaad dan Pemimpin Redakasi koran Merdeka, B.M. Diah. Di sini saya akan menambahkan beberapa ciri khas Oom Dasaad. Soekarno muda pada tahun 1931 keluar dari penjara dan disambut oleh teman-temannya, di antaranya Dasaad yang belum dia kenal. Orang yang belum dikenal ini memasukkan empat ratus gulden Hindia Belanda dalam kepalan tangannya hanya dengan alasan bahwa ia mengetahui bahwa saya tidak mempunyai uang .... Dan saya
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
312 masih tetap meminjam dari padanya5.. Dan ini adalah kejadian yang sebenarnya. Bung Karno tidak pernah mempunyai uang. Bila dana pribadinya habis, dia minta tolong Dasaad, yang dengan berjalannya waktu telah melejit menjadi seorang usahawan Indonesia yang penting, dan yang kemudian datang membawa koper atase penuh berisi dolar. Saya pernah mengalami bahwa Emile van Konijnenburg diminta membawa setumpuk kemeja dan kaos kaki dari Saks Avenue New York untuk presiden. Barang-barang itu dibawanya sebagai hadiah. Tetapi Soekarno tidak mau menerimanya. ‘Masuklah ke kamar tidurku dan ambil yang kaubutuhkan’ kata Bung Karno. Di kamar tidur Istana Merdeka masih berdiri lemari pakaian kuno milik mantan Gubernur Jenderal H.J. van Mook. Koper-atase Oom Dasaad ada pula di situ. Van Konijnenburg menemukan di dalamnya uang pecahan senilai sepuluh, dua puluh dan seratus dolar yang masih dilingkari bandrol di mana tertulis jumlah tumpukan uang kertas itu. Tetapi oleh karena presiden rupanya juga memberi instruksi kepada orang-orang lain untuk mengambil sendiri uang dari ‘kotak uangnya’, tulisan pada bandrol itu tidak benar. Tidak satu pun bandrol itu menunjukkan jumlah yang sebenarnya. ‘Saya ambil saja beberapa lembar uang kertas, untuk memberinya perasaan telah membayar notanya’. Dengan cara demikianlah dilakukan transaksi-transaksi pribadi Bung Karno pada tahun 1966 itu. Saya tidak bermaksud untuk menceritakan dalam buku yang saya tulis untuk menghormati
5.
Soekarno: An autobigraphy, idem, hal. 120.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
313 Bung Karno ini, secara rinci praktek-praktek korupsi berjumlah milyaran dari Soeharto, Nyonya Soeharto dan seluruh keluarga Soeharto, kecuali untuk menggarisbawahi, lewat pengalaman-pengalaman, bagaimana presiden pertama Indonesia membereskan urusan keuangan semacam itu. Untuk wawancara televisi, presiden telah mengenakan seragam dan pada pagi itu rupanya berada dalam suasana hati yang menyenangkan. Tim NTS bersiap memasang lampu-lampu dan peralatan lainnya, tetapi presiden menghentikan mereka dengan mengatakan, ‘Duduklah dulu, apakah kalian sudah minum teh atau mencicipi buah-buahan’. Dan berpiring-piring mangga dihidangkan. Secara sambil lalu presiden mengajukan suatu pertanyaan yang menyudutkan pada Bapak Diah. Pagi itu pada halaman utama korannya terpampang. dengan huruf-huruf tebal, sebuah berita bahwa Menteri Luar Negeri Adam Malik di Tokyo menyalahkan dan menuduh Presiden Soekarno bahwa di Indonesia telah terjadi pembunuhan massal di bawah komunis dan antek-anteknya. Tidak ada yang lebih tidak masuk akal. Menurut pendapat Malik, jatuhnya banyak korban itu justru karena Bung Karno menolak mengutuk PKI. Bila presiden, seperti yang dikehendaki Soeharto dan kawan-kawannya, pada tahun 1965 itu mau mengutuk PKI, maka korban yang jatuh tidak satu tetapi tiga juta orang. Satu-satunya tangkisan lemah yang dapat diajukan Diah terhadap pertanyaan presiden adalah, reaksi pura-pura malu dengan kata-kata, ‘Ya, susah Bapak’6..
6.
pura-pura malu, ya susah, Pak.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
314 ‘Bagaimana kamu dapat memuat berita itu begitu saja, tanpa menilainya lebih dahulu’, lanjut presiden. ‘Apa yang sebenarnya terjadi pada kalian?’ Pak Diah tidak menjawab dan menundukkan kepalanya dalam sikap seolah-olah malu yang khas Indonesia. Betul-betul munafik. Kami merekam sebuah percakapan selama satu jam dengan Presiden Soekarno. Di dalam tubuh NTS timbul reaksi mengapa Carel Enkelaar mengirim saya yang free lancer ke Indonesia dan bukan seorang mitra kerja tetap7.. Akibatnya saat kedua dokumenter tersebut disusun, hanya beberapa menit dari materi historis dengan Bung Karno ini yang akan dipakai, sedangkan sisanya dibuang ke tempat sampah. Saya tidak membuat catatan-catatan dengan perkiraan bahwa saya akan dapat memperoleh teks film tersebut di kemudian hari. Ini adalah dugaan yang sangat keliru dan fatal. Justru karena kontak-kontak saya di Jakarta, baik dengan Soekarno, maupun dengan lawannya Soeharto, maka Enkelaar mengutus saya membuat reportase itu. Maka saya sebagai wartawan Belanda pertama, akhirnya akan kembali ke Hilversum membawa materi film baik tentang Soekarno maupun tentang Soeharto. Masih ada satu aspek dari wawancara dengan Bung Karno ini yang ingin saya kemukakan, juga karena telah menimbulkan banyak pembicaraan baik di koran-koran Indonesia maupun di koran-koran Belanda. Via Sutikno saya telah mencari tahu apakah di pihak tentara ada keinginan untuk mengundang Puteri Beatrix danPangeran Claus ke In-
7.
karena saya sebagai chef d'equipe memimpin tim.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
315 donesia. Dalam film itu Presiden Soekarno dengan ramah mengundang pasangan kerajaan itu ke Indonesia. ‘Saya selalu mengatakan bahwa saya selalu akan berusaha untuk memperbaiki persahabatan dengan Belanda’, tambahnya. Siapa yang akan mengira bahwa sejak 1966 itu baru lahir 1995 Beatrix, Claus dan Willem-Alexander datang dalam suatu kunjungan kerajaan8.. Bagian ini dalam wawancara dengan Bung Karno tersebut saya kirimkan secara terpisah ke Hilversum, dengan tujuan agar jurnal akan menayangkannya. Tetapi dalam staf penyiaran duduk seorang D.G. Simmons sebagai kepala, yang tidak saya kenal, yang rupanya sangat membenci saya, dan tidak ‘sudi’ menyiarkan berita itu. Informasi tersebut adalah sebuah film NOS, sehingga karenanya tidak ditayangkan di televisi mana pun. Saya menelepon Duta Besar Schiff, yang menganggap undangan kepada Beatrix dan Claus itu sebagai suatu ‘gagasan yang ramah’.
8.
Pada tahun 1995 saya menulis sebuah brosure berjudul ‘Bon Voyage Majesteit’, yang saya tulis sebagai suatu protes terhadap kunjungan kerajaan kepada Soeharto. Alasan saya akan menjadi jelas setelah membaca reportase ini.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
316
Jakarta (11) Kami makin didesak waktu untuk mengumpulkan materi bagi dokumenter kami agar dapat dijadikan film tepat waktu. Menurut pendapatku Jenderal Nasution juga tak boleh kami lewatkan. Dia tahu bagaimana pendapatku mengenai dirinya. Sejak 1961 saya tahu betul mengenai hubungannya dengan CIA lewat Ujeng Suwargana dalam persiapannya mengadakan perebutan kekuasaan terhadap Bung Karno. Lewat campur tangan Kolonel Sutikno disarankan untuk mengirimkan pertanyaan-pertanyaan secara tertulis agar jenderal Nas bisa mempersiapkan diri untuk pengambilan gambar televisi. Rupanya ia takut dihadapkan kepada pertanyaan menjebak seperti, ‘Apa yang Anda lakukan dengan Ujeng dan presiden di Washington?’ Malam sebelum pengambilan gambar, saya ditelepon oleh ajudan Pak Nas, memberitakan bahwa Pak Jenderal sekonyong-konyong dapat serangan angin. Dia tergeletak di tempat tidur karena demam. Saya mengomentari berita itu
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
317 dengan mengatakan, ‘Rupanya ini merupakan penyakit diplomatik, karena dia tidak mau mengambil risiko untuk dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang sukar dijawab’. Pak Tikno menjadi marah. ‘Wim, kamu terlalu curiga. Saya sendiri dan ajudannya telah mengatur wawancara ini. Saya yakin benar bahwa Pak Nas sakit, kalau tidak tentu berita itu tidak akan disampaikan’. Kebohongan yang kesekian dari Pak Nas akan terbukti. Pada pagi itu saya juga sudah merencanakan suatu wawancara televisi dengan Jenderal Amir Machmud, Pangdam Jaya Jakarta. Sambil lalu saya katakan kepadanya bahwa Nasution sakit. ‘Apa?’, kata Amir Machmud. ‘Tadi pagi saya masih ke rumahnya. Dia dalam keadaan sehat walafiat!’ Ketika kejadian ini saya ceritakan kembali dengan hati-hati kepada Kolonel Sutikno, nampak betul bahwa dia kurang senang mendengarnya. Nasution sudah saya kenal sampai tulang sumsumnya sejak bertahun-tahun. Soeharto belum cukup saya kenal bulan Oktober itu, untuk dapat menggolongkannya dalam kelompok musuh bebuyutan Soekarno atau untuk dapat menebak dengan sekejap permainan kekuasaannya yang sangat licik. Dibawah tekanan Pak Tikno dan markas besar Soeharto, akhirnya Jenderal Nasution menjawab pertanyaan-pertanyaan saya secara tertulis dan terurai. Jawaban-jawabannya tidak akan saya utarakan disini, karena sebagian besar jawabannya tidak benar1.. Contohnya, Nasution menganggap mahasiswa KAMI yang diperalat tentara
1.
Jawaban yang lengkap tertulis dalam buku harianku.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
318 sebagai ‘pembuka jalan’. Ini sudah cukup untuk membuka mata saya. Hampir tiap hari saya meluangkan waktu agar dapat menghadiri pertemuan-pertemuan saat makan pagi di Istana Merdeka. Mengingat kembali konfrontasi antara presiden, kolonel dan saya sendiri, saat itu presiden masih mendesak saya dengan ucapan, ‘Saya minta tolong padamu untuk menjelaskan kepada Angkatan Bersenjata, bahwa CIA aktif di sini dan menjadi biang keladi semua kejadian yang terjadi disini, terutama setelah yang terjadi tahun 1965’2.. Bapak tahu bahwa saluran saya ke Soeharto adalah lewat Kolonel Sutikno. Mengapa dia mengatakan ini? Apakah dia tidak yakin bahwa Soeharto sendiri adalah bagian dari persekongkolan CIA terhadapnya? Atau apakah Soeharto pada malam 30 September - 1 Oktober 1965, malam musibah itu, dipaksa hadir? Pada malam naas itu Jenderal Soeharto dikunjungi Kolonel Latief, yang termasuk kelompok pembela Bung Karno dan pemerintahan yang sah republik ini. Saat itu Soeharto berada di rumah sakit, karena putranya menderita luka bakar. Kemudian terbukti tanpa ragu, bahwa Latief telah memberitahukan Soeharto tentang apa yang akan terjadi malam itu untuk mencegah bahwa Dewan Jenderal akan merebut kekuasaan. Seperti juga yang disimpulkan oleh Profesor Wim Wertheim dalam menganalisis berlangsungnya perebutan kekuasaan pada tahun 1965, bila Jenderal Soeharto tidak
2.
Semua catatan saya sudah berada di Koninklijke Bibliotheek sejak 1980. Sisanya akan menyusul.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
319 setuju dengan aksi tersebut, secara normal seharusnya dia memberitahukan atau menelepon Jenderal Yani atau Jenderal Nasution. Tetapi dia tidak berbuat apa pun. Tambahan pula, Kolonel Untung yang memimpin penangkapan jenderal-jenderal yang dicurigai, adalah sahabat sangat pribadi Soeharto. Apakah Latief, dari pihak pembela republik dan presiden, mengunjungi jenderal Soeharto pada malam serangan preventif itu sebagai usaha pencegahan untuk sekali lagi membuktikan kebenaran di pihak mana sebenarnya Panglima KOSTRAD ini berdiri? Karena alasan inilah beberapa analis mengenai coup 1965, menyamakan peran Soeharto dengan peribahasa; ‘bila dua ekor anjing memperebutkan sepotong tulang, maka anjing ketiga-lah yang mendapatkannya’. Soeharto baru akan bergabung dengan angkatan bersenjata yang berpihak pada CIA sebagai reaksi dari pembunuhan pada para jenderal. Sebaliknya penyelidik-penyelidik lainnya sudah menetapkan bahwa Jenderal Soeharto sebelum coup juga sudah punya hubungan dengan Washington dan CIA. Yang terakhir ini kemudian dibuktikan pula oleh dokumen-dokumen yang berhasil lolos. Tahun 1966 itu saya bertanya-tanya pada diri sendiri, mengapa Presiden Soekarno minta tolong secara pribadi kepadaku untuk mendekati teman-temanku di Angkatan Bersenjata seperti Sutikno, Lamidjono - atau yang lain-lain yang tidak saya sebut disini - dan memberitahukan kepada mereka tentang campur tangan CIA di Jakarta3.. Presiden
3.
Untuk rincian yang akan melengkapi, lihat Den Vaderland Getrouwe, Bruna, 1973.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
320 tahu, sejak 1961 dari New York, saya telah memberitahukan kepadanya tentang adanya kelompok-kelompok yang saling menyerang dan mengacau untuk mengadakan perebutan kekuasaan baru. Dinas intelejennya, dan juga Kolonel Magenda, umpamanya yang khusus dikirim ke Washington dan New York untuk tujuan ini, membenarkan informasi saya. Barangkali maksud Bung Karno adalah secara khusus menyoroti detail yang merupakan awal terjadinya coup 1965, yang saya saksikan sendiri di New York. Kolonel Sutikno yang pada tahun-tahun itu menjabat atase militer di Washington, tahu benar apa yang dilakukan Ujeng untuk Nasution di sana. Waktu itu di Washington saya sering membicarakannya dengannya. Pada suatu pagi, untuk kedua kalinya Bung Karno meminta saya menemaninya ke dokter gigi di gedung bagian belakang istana. Ketika melintasi kebun, dia bersenandung. Saya bertanya kepada Pak Suhardjo Hardjowardojo apakah dia tahu musik apa yang sedang berada di benaknya. ‘Beliau menyanyikan nyanyian dari Ramayana mengenai Ratu Sinta, yang menerima pesan dari suaminya’, jenderal itu menerangkan. ‘Sinta diculik oleh raja raksasa. Si monyet Hanoman bertengger di atas pohon. Hanoman adalah seorang jagoan dan kurang ajar pula. Sinta menyapanya dan mengatakan: ‘Apakah benar kau utusan suamiku?’ Hanoman menunjukkan sebentuk cincin dan mengatakan, ‘Bila cincin ini kebesaran, itu artinya Sinta telah menjadi kurus tanda setia kepada suaminya’. Pagi di tahun 1966 itu Kepala Negara Indonesia berjalan-
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
321 jalan di kebun istananya. Sementara dia dikhianati dari segala penjuru dan dikucilkan, Bung Karno melantunkan kesetiaan sejati Sinta dari Ramayana. Saya berdiam diri dan mendengarkan. Tetapi perhatiannya teralihkan oleh suara-suara anak yang mendapatkan pelajaran di tenda musik di kebun istana. Dia berhenti dan berbicara dengan anak-anak dan ibu gurunya. Sekali lagi saya perhatikan betul orang yang dihina dan dicemoohkan di Belanda ini dan untuk kesekian kalinya, sejak saya mengenalnya tahun 1956 bahwa ‘hanya kalau kami mengenalnya dan mengalaminya secara pribadi, maka segala sesuatu yang saya ceritakan tentang Bung Karno ini bisa dipercaya orang Belanda. Maka karena ketidaktahuan mereka inilah, sampai akhir zaman mereka akan tetap membencinya dan memperlakukannya dengan tidak adil’. Sementara itu saya mengunjungi Duta Besar Amerika Serikat, Marshall Green, yang akhirnya kembali lagi ke ibu kota Indonesia. Dia menjelaskan bahwa pada tahun 1965 pada waktu dia menyerahkan surat-surat kuasanya kepada Bung Karno, dia digambarkan sebagai agen kolonialisme dan imperialisme. ‘Segera setelah itu beribu-ribu pemuda komunis berdemonstrasi terhadap saya. Dia tidak pernah memberikan kesempatan yang adil kepada saya’. Rupanya dia telah mendapat pengalaman banyak dari imperialis, Amerika Serikat dan CIA, jawabku. ‘Pernah saya berbicara panjang lebar dengan presiden selama satu jam dan itu merupakan pembicaraan yang menyenangkan’, demikian Green. ‘Dia malah mengantar saya ke mobilku. Tetapi ketika saya sampai
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
322 kembali di kedutaan, jendelanya dilempari batu.’ Selanjutnya, yang sangat mengherankan saya, duta besar mengakui bahwa Bung Karno ‘barangkali benar juga’ untuk mencurigai orang-orang Amerika dan CIA. Setelah kejadian-kejadian yang terjadi pada tahun-tahun yang lalu’. Dia melanjutkan bahwa para militer pelaksana coup diberi semangat oleh kehadiran kekuatan bersenjata Amerika yang penting di Vietnam, untuk mengakhiri ‘hubungan cinta antara Soekarno dan Republik Rakyat Cina’. Saya mengingatkan Bapak duta besar bahwa Roosevelt dan Churchill pada Perang Dunia Kedua mengadakan aliansi dengan Joseph Stalin bukan karena mereka adalah komunis, oleh karena mereka hendak mencapai tujuan yang sama, yakni menumpas Hitler. ‘Memang benar Bung Karno tidak setuju dengan adanya perang yang Anda lakukan di Vietnam. Karena alasan inilah maka Bung Karno, seperti juga Pangeran Norodom Sihanouk di Kamboja, merasa menjadi mitra Ho Chi-Minh dan Mao Tse-Tung, karena semua orang Asia menghendaki agar Amerika pergi dari tanah Asia. Tetapi ini kan tidak membuat Soekarno maupun Sihanouk komunis’. Lambat laun saya benar-benar merasa jengkel terhadap tuan yang berpura-pura dan seolah-olah tidak tahu menahu mengenai seluruh kejadian itu. Dengan terus terang saya katakan kepadanya, bahwa dia dibenci dan dicemoohkan di kalangan luas, juga di kalangan Angkatan Bersenjata4.. Green
4.
Kecuali ucapan-ucapan kesombongan dari kolonel Sutikno, kolonel Sriamin menyatakan juga padaku bahwa ‘Green itu adalah orang yang bodoh. Dia harus pergi dari negeri ini’.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
323 menjadi marah, sangat marah. Dia ingin mengetahui nama-nama. Dan saat itulah yang saya anggap paling tepat untuk pamitan. Keesokan harinya saya bertemu dengan atase pers Belanda di Hotel Indonesia, Tuan Schaap bercerita bahwa dari sumber yang dapat dipercaya ia mendengar bahwa Duta Besar Green segera setelah kunjunganku langsung pergi ke rumah Menteri Luar Negeri Ad interim5. BM Diah untuk mendapatkan penjelasan-penjelasan. Saya sedang menuju ke istana dan bercerita kepada presiden mengenai pertemuan saya dengan Marshall Green, termasuk kunjungannya kepada Pak Diah. Dengan segera Bung Karno memberi tugas kepada ajudannya Kolonel B ambang Widjanarko untuk memanggil Pak Diah ke istana. Jawab yang diberikan adalah bahwa dia tidak dapat datang, karena Menteri ad interim sedang menerima kunjungan dari Duta Besar Argentina. ‘Saya tidak peduli,’ kata presiden, ‘dia harus datang ke sini’. Widjanarko sekali lagi pergi dan dalam waktu yang tak lama nampak mobil Pak Diah di bagian belakang istana. Sekali lagi saya merasa bahwa inilah saat yang tepat untuk pergi. Apa pun yang telah terjadi, pada Duta Besar Green saya tanyakan, mengapa ia tidak pernah lagi menghadiri pertemuan makan pagi di istana, sebab ketidakhadirannya sungguh menarik perhatian, berlainan sekali dengan duta besar-duta besar lainnya, di antaranya Duta Besar Schiff. Ia bersedia bertemu kembali dengan Bung Karno, ‘Tetapi saya harus
5.
Menteri Adam Malik saat itu berada di Jepang.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
324 yakin bahwa kedatangan saya diharapkan’. Hal itu saya bicarakan dengan presiden. ‘Apakah akan ada gunanya untuk bertemu kembali dengan Duta Besar dan LBJ?’, tanyaku. ‘Orang itu memang di sini sebagai duta besar Amerika Serikat’. Presiden akan memikirkan hal itu. Dua hari kemudian saya berada di Istana Bogor pada malam hari. Kami naik mobil Lincoln Continental dari bun-galow ke ruang film di Istana. Bung Karno dan Ny. Hartini duduk di belakang. Saya di depan. Sekonyong-konyong presiden membicarakan kembali persoalan Marshall Green. ‘Wim, apa maksud Green dengan mengatakan bahwa dalam tingkat tertentu kecurigaan Soekarno pada Amerika Serikat dan CIA itu benar?’ tanya presiden. ‘Dia mengakui bahwa Anda mempunyai alasan yang berdasar untuk menuduh Amerika dan CIA’. ‘Jadi apalah gunanya bila aku bertemu kembali dengannya? Green sudah subversif!’ Persoalan selesai dan ditutup. Malam itu hadir pula seorang teman lama presiden di Istana Bogor, Pak Mohammad Said Reksohadiprodjo, wakil menteri dari pendidikan dasar. Dia orang yang sangat sederhana tetapi menarik. Menurut Hatta revolusi telah selesai. Menurut Bung Karno, revolusi masih akan berlangsung terus dan sama sekali belum selesai. Sebaliknya Pak Said berpendapat bahwa revolusi mental yang sebenarnya di Indonesia masih harus mulai. Saya mengunjunginya kemudian di rumahnya yang sederhana dekat Kemayoran.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
325 ‘Tiang penyangga awal Bung Karno, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI) hancur bercabang-cabang akibat kobohongan-kebohongan dan tuduhan-tuduhan palsu yang sengaja dilancarkan pihak tentara terhadap mereka. Lebih tepat dikatakan bahwa PNI telah dipukul hancur. Dasar politiknya hilang, yang tinggal ialah pasukannya beserta pengikut-pengikutnya. Sekarang ia adalah Pemimpin Besar Revolusi6. di satu pihak, ada rakyat dan di pihak lainnya, tentara. Kedua kelompok itu seharusnya menjadi satu, tetapi segala sesuatu yang terjadi sejak 1965, menyebabkan kesatuan itu pecah. Polisi, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan terutama para marinir (KKO) masih setia dan pro Bung Karno. Kekacauan yang sekarang terjadi terutama disebabkan oleh Angkatan Darat. Disamping rakyat dan tentara masih ada pula kelompok-kelompok beragama tertentu, yang beroparasi ‘between de devil and the deep sea’ (beroperasi antara dua api). ‘Sungguh disayangkan’, sambung Pak Said, ‘bahwa PKI tanggal 30 September 1965 terjebak ke dalamnya’. Ucapannya itu mengejutkan saya. ‘Bila PKI telah melakukan coup, maka Bung Karno akan melarang partai itu seperti yang dikehendaki tentara daripadanya’ kataku. ‘Itu memang benar’, begitu penjelasan Pak Said. ‘Bung Karno memang tidak bersedia untuk melarang PKI, karena dia tidak yakin bahwa PKI sendiri yang melakukannya 30 September 1965 itu’. Lewat kontak-kontak yang saya adakan selama berada tiga bulan di Jakarta tahun 1995, saya mendapat
6.
Pemimpin Besar Revolusi
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
326 informasi bahwa tahanan-tahanan komunis dalam ‘kamp konsentrasi’ Soeharto di Pulau Buru waktu itu mengaku kepada tahanan-tahanan non komunis bahwa ada ‘elemen-elemen dari PKI” ikut serta dalam aksi Kolonel Untung untuk melindungi Bung Karno dan republik dari coup yang diprakirakan datang dari CIA dan golongan kanan. Hanya dalam kerangka demikianlah dapat dilihat bahwa di antara pelindung dan penyelamat presiden dan republik terdapat orang-orang komunis, yang memberikan gambar lain sama sekali daripada gambaran bahwa PKI sebagai partai melakukan coup terhadap pemerintahan Soekarno. Pemimpin dari aksi 30 September 1965, Kolonel Untung, ketika dieksekusi atas perintah Soeharto, mengucapkan sebagai kata terakhir ‘Hidup Bung Karno!’7. dan bukan ‘Hidup PKI’ Tidak pernah ada coup PKI di Indonesia8.. Omar Dhani, di mata saya salah satu pahlawan dari perlawanan perwira tinggi terhadap CIA, Soeharto dan Nasution, membungkam ketika dibebaskan dan ketika buku ini dicetak, begitu pula Raden Sugeng Sutarto. Tetapi Subandrio langsung menunjukkan dirinya, seperti seekor serigala yang banyak kehilangan bulunya, tetapi bukan tipu muslihatnya. Dia menerangkan di depan televisi dengan
7. 8.
Hidup Bung Karno Ketika Soeharto pada tgl. 16 Agustus 1995 memberikan grasi kepada tahanan-tahanan politik: Subandrio (81'), Marsekal Omar Dhani (71) dan seorang anggota dinas keamanan negara Raden Sugeng Sutarto (77), joumal NOS dan semua media di Nederland mengomentari kejadian 1965 itu masih saja sebagai coup PKI.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
327 sangat yakin bahwa coup CIA tahun 1965 itu adalah coup PKI. Bila hal itu dikatakannya pada tahun 1966, ketika saya mendengar bagaimana dia dengan gemetar mengatakan yang sebaliknya, di bawah sumpah di dalam pengadilan, maka Soeharto tidak akan menyuruh mengadilinya dalam suatu proses pura-pura dan dia tidak akan mendekam selama tiga puluh tahun di dalam penjara. Sekarang dia menyebut dirinya bukan sebagai seorang komunis, tetapi seorang sosialis dan menjadi anggota Partai Sutan Sjahrir. Pada tahun 1995 ini ia lupa bahwa tahun lima puluhan ia sudah pindah dari Partai Sosialis Indonesia ke PNI nya Soekarno, agar dapat memperoleh karier sebagai diplomat dan menteri luar negeri dan menggantikan Ruslan Abdulgani. Pada usianya yang ke-81, bagaimana tidak, Subandrio masih tetap merupakan hipokrit yang penuh senyum seperti sediakala. Maartje van Weegen, yang mewawancarainya untuk NOS, percaya pada jawaban Subandrio bahwa yang terjadi tahun 1965 adalah coup PKI, dengan alasan sederhana saja, bahwa dia tidak mengetahui sama sekali mengenai sejarah dan pengetahuan politik Indonesia yang paling elementer. Dia dikirim untuk waktu yang sangat pendek ke Indonesia untuk meliput perjalanan Beatrix dan menyuguhkan di televisi NOS jurnalistik ‘Zo de wind waait, waait mijn jasje’. Sebenarnya ini dilakukan juga oleh kebanyakan wartawan yang mengantarkan Beatrix, dengan konsekwensi bahwa yang disajikan adalah omong kosong dan publik serta pemirsa di Belanda tidak tambah pengetahuannya sedikit pun tentang kunjungan yang menelan biaya tidak sedikit ini. Artikel utama
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
328 dalam NRC Handelsblad mengakui ‘dalam kenyataannya sehari-hari Indonesia bagi kebanyakan orang Belanda merupakan negara yang jauh dan asing’9.. Hal itu memang tak perlu diragukan, tetapi koran tersebut sebenarnya juga bersalah karena tidak pernah berterus terang. Dulu Henk Hofland pernah berbicara tentang ketakutan dari pihak redaksi mengenai ‘pelanggan yang paling menjengkelkan’, yakni pelanggan yang menghentikan abonemennya sebagai protes. Tahun 1995 seluruh dunia -media terpengaruh untuk melaporkan hal yang sama10.. Memberikan informasi biasanya diturunkan derajatnya menjadi ‘memberi hiburan’ dalam jenisnya yang paling buruk. Subandrio mengatakan sesuatu yang tidak benar dan tidak masuk akal kepada Maartje, yang tidak dibantahnya, karena ia tidak memiliki referensi tentang apa yang terjadi di Indonesia sebelum dan sesudah 1965. Tahun 1966, di bawah Carel Enkelaar, NOS mengirim saya ke Jakarta, kendati diprotes oleh para reporter dari staf yang tidak memiliki informasi lengkap. Tetapi tahun 1995 penyakit Amerika tentang ‘reporter-reporter terkenal’ telah menjalar ke mana-mana, sehingga mereka lebih senang mengirimkan Maartje untuk meliput kunjungan Beatrix ke Jakarta, daripada saya, misalnya, yang segera akan membantah jawaban
9. 10.
NRC Handelsblad, 16 Agustus 1995. Diambil dari nama Endemol, yang mempunyai posisi memonopolisir tayangan layar kaca dalam dunia tabung kaca Nederland, meniru contoh buruk Amerika Serikat.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
329 Subandrio dengan tajam, karena saya mengetahui benar sejarah dan fakta-fakta negara ini. Yang lebih parah lagi: saya yang semula akan diikutsertakan untuk meliput perjalanan ratu, oleh Den Haag ditahan di tempat, persis dengan cara yang melawan hukum yang sama yang dilakukan kepada saya tahun 1992, tidak oleh Afrika Selatan tetapi oleh permintaan Den Haag dan dinas penerangannya sehingga saya hari itu berada di Johannesburg dan pada hari berikutnya sudah dimasukkan ke pesawat terbang lagi untuk kembali - dengan meninggalkan semua yang saya miliki.11. Bukan Jakarta yang berkeberatan atas kehadiran saya pada kunjungan kerajaan, tetapi Wim Kok yang tersinggung karena saya telah mengatakan dengan terus terang kepada ratu tentang fakta-fakta, yang tidak diberitahukan kepadanya hanya karena dia tidak mengetahuinya. Mengenai Indonesia, perdana menteri yang sekarang sefaham dengan Maartje van Weegen, begitu pula Hans van Mierlo. Berbahagialah mereka yang tidak mengetahui apa-apa.
11.
Lihat juga: ‘Notities uit apartheidsland,’ Penerbit Jan Mets, Amsterdam, 1993.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
330
Jakarta (12) Pada suatu pagi yang lain di bulan Oktober 1966, saya berniat memberikan sebuah lukisan kepada Bung Karno sebagai kejutan. Di Hotel Indonesia seorang pelukis muda Perancis Rogeon, sedang mengadakan pameran. Saya ajak dia ke pertemuan makan pagi di istana, di mana saya bertemu antara lain, dengan pendeta Visser't Hooft dari Dewan Gereja Sedunia. ‘Gereja-gereja di Indonesia selalu saya lindungi, kata presiden kepadanya.’ Vatikan memberiku penghargaan yang tinggi. Tetapi sekarang orang-orang Indonesia malah menyerang para pendeta’. Pagi hari itu hadir pula Jenderal Amir Machmud, Wakil Perdana Menteri Johannes Leimena dan Emile van Konijnenburg. Dua orang pembantu rumah tangga datang membawa tiang penyangga tempat bersandar lukisan pelukis Perancis Daumerge. Lukisan seorang wanita yang tak berbusana sampai pusarnya. Van Koijnenburg memperkirakan bahwa nilainya tidak lebih dari lima ribu gulden. Bung Karno mengatakan
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
331 pada yang hadir - jadi di antaranya juga Pendeta Visser't Hooft - ‘Apakah kalian tidak melihat payudaranya yang sebelah kiri?’ Dia berdiri dan menunjukkan yang dimaksud. ‘Semula bentuknya begini. Saya menandainya dengan coretan kapur dan menyuruh mengulanginya’. ‘Untung tidak menjadi sebesar mata sapi’, tambah Pak Kelinci. Jenderal Amir Machmud duduk di sebelah saya dan saya katakan kepadanya, ‘Apa pendapat Pendeta Visser't Hooft dan yang lain yang menyertainya sekarang tentang Bapak? Dan yang lebih celaka lagi gambaran tentang Bapak ini akan lama berada dalam pikiran mereka. Sebenarnya hal itu adalah satu sisi saja dari kepribadiannya’. Bapak Jenderal menjawab, ‘Saya sudah mengatakan kepada Bung Karno: Bapak sudah dilempari batu, tetapi Bapak selalu saja membawa batu-batu yang baru’. Setelah semua tamu pulang dan hanya Rogeon dan saya yang tinggal, presiden memilih diantara dua lukisan yang dibawa pelukis Perancis itu. Bung Karno menanyakan pelukis muda itu apakah sudah menikah. ‘Ya,’ jawabnya. ‘Dengan seorang wanita Perancis?’ ‘Tidak, dengan seorang wanita Laos’. Mendengar jawaban itu Presiden tampak terheran-heran. ‘Sekarang kamu harus katakan padaku apakah yang dikatakan Pangeran Norodom Sihanouk itu benar ketika dia berkunjung ke sini. Menurutnya wanita-wanita Laos tidak berambut di bagian itu. Kamu tentu tahu yang saya maksud'. Rogeon agak malu mendapat pertanyaan itu, tetapi dia mengiakannya.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
332 Pada pagi yang lain, ketika saya tinggal sendiri setelah tamu-tamu pulang dan duduk di teras belakang bersama presiden, ia mengejutkan saya dengan kata-kata, ‘Wim, telan pil ini. Baik untukmu’. Saya menjawab bahwa kepalaku tidak sakit dan pencernaanku baik sehingga tak memerlukan obat. Dengan suara memerintah dia berkata, ‘Telan pil itu!’ Saya masih ragu, tetapi biarlah aku melakukannya, mengangkat pil itu tinggi-tinggi dan berseru, ‘Untuk ratu dan tanah air!’ Rupanya presiden senang melihat saya melakukannya. Sore harinya kami sedang membuat film dengan Pak Said Reksohadiprodjo. Sekonyong-konyong saya merasa menjadi sangat demam dan amat sakit. Semuanya segera dihentikan. Saya langsung pulang ke Hotel Indonesia, menelepon dr. Suwandi Mangkudipuro untuk segera datang dan memeriksa saya. Saya masih melihat dia memasuki kamar sambil membawa kopernya1.. Dia menemukan suhu badan yang sangat tinggi. Kami telusuri secara rinci apa yang menjadi penyebabnya. Sampai saya teringat bahwa presiden telah memberikan pil itu untuk ditelan. Mendengar itu Dr. Suwandi tertawa terbahak-bahak. ‘Wim’, katanya, ‘itu tadi pasti pil hormon. Karena itu kamu menjadi sangat sakit’. Dia memberikan injeksi dan setelah menderita semalaman, keesokan harinya aku sudah sehat kembali. Saya tidak merasakannya sebagai selingan yang menyenangkan. Kelakar
1.
Dia adalah ayah Boes Suwandi, teman Nijenrode yang sebelumnya pernah saya sebut, yang orang tuanya saya sebut dengan panggilan oom dan tante, seperti yang lazim dilakukan di Indonesia diantara teman.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
333 semacam itu bisa juga dilakukan presiden. Sebelum meninggalkan Indonesia, satu kali lagi saya ke Istana Bogor untuk menghadiri malam keroncong. Ketiga orang mitra NTS saya ikut pula. Tanpa sepatu, sambil berdiri dekat sebuah papan tulis, Bung Karno memberikan penjelasan terurai kepada seluruh yang hadir, di antaranya teman-teman khusus dan selanjutnya personel istana dan militer dari bagian penjagaan. Siapa saja boleh masuk. Dia bercerita tentang berbagai hal yang khusus: kebudayaan Jawa, sejarah dan musik. Pada saat seperti itu saya sungguh menyayangkan tidak memahami bahasa Indonesia. Intensitas dan vitalitas yang tampak dari penampilannya, ditambah dengan pengetahuan yang mendalam tentang berbagai hal, selalu mengejutkanku kembali. Setiap nada yang sumbang segera terdengar olehnya dan orkesnya langsung mendapat teguran keras. Putranya yang bungsu, Guruh Soekarnoputra, mewarisi bakat seninya. Guruh berkembang menjadi seorang seniman dan berusaha benar untuk menciptakan musik dan tarian asli Indonesia. Namun suatu ketika saya melihat di televisi di Jakarta suatu tayangan pertunjukan pop pimpinan Mas Guruh, yang menunjukkan jenis seni yang demikian ringan, yang membuat saya bertanya-tanya apakah masih ada hubungannya dengan seni dan kebudayaan Jawa yang asli. Kadang-kadang, bila presiden sedang mandi2., saya berbicara berdua dengan Ibu Hartini yang saya sayangi. ‘Bapak tidak mempunyai siapa-siapa, yang benar-benar
2.
mandi
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
334 mengatakan apa adanya kepadanya,’ adalah kata-kata yang pernah dengan tak sengaja diucapkannya. ‘Dan van Konijnenburg?’ tanyaku. ‘Tidak seluruhnya benar’, jawabnya. ‘Saya pun tidak selalu membantahnya. Pada akhir pekan dia hanya sebentar di sini. Dia telah banyak berubah, sejak saya mengenalnya pada tahun 1957’. ‘Memang, dia telah mengalami begitu banyak. Tidak seorang pun yang tidak akan terpengaruh karenanya’, jawabku. ‘Tetapi saya tetap takut kalau akan jatuh lagi banyak korban pada Pemilu 1968 nanti3.. Bapak bisa juga sangat keras kepala. Saya mencoba mengatakan banyak hal kepadanya, tetapi kalau tidak bisa, saya berdiam diri saja untuk menghindari pertengkaran. Dia hanya sebentar berada di Bogor. Saya sangat menyayangi Pak Kelinci, tetapi mengapa dia juga tidak memberikan fakta-fakta yang sebenarnya kepada Bapak?’ Pada tahun tujuh puluhan ketika saya mengenal Dewi Soekarno di Paris, saya menyadari apa yang menyebabkan Bung Karno begitu tertarik kepadanya di samping wajahnya yang menarik. Dewi adalah salah satu dari sedikit orang di sekeliling mantan Presiden Indonesia itu, yang tanpa ragu mengatakan apa yang ada dalam pikirannya. Mungkin dia tidak memiliki kebijaksanaan untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini. Contohnya dia yakin betul
3.
rezim militer menyelenggarakan pemilihan umum bohong-bohongan.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
335 bahwa dengan mengadakan jamuan makan antara Bung Karno dan Nasution dan Soeharto 29 November 1965 itu akan mengakibatkan adanya pendobrakan. Setelah itu hubungan antara ketiga orang itu akan aman dan damai kembali. Dewi masih tetap tidak memperhitungkan sikap ‘tertutup’4. nya orang Jawa. ‘Kami orang Jawa adalah orang tertutup. Kami memperlihatkan dan mengatakan padamu satu hal dan berharap Anda menyukainya, tetapi tak akan pernah menunjukkan apa yang ada di dalam diri kami. Impresi, kesan dan intepretasi yang Anda dapat hanya berdasarkan pada apa yang Anda lihat dan Anda dengar, tetapi Anda tidak bisa melihat apa yang ada di belakang sikap kami. Kami hanya membuka diri sampai di mana kami menghendakinya, dan Anda tidak akan pernah tahu apa yang ada di dalam diri kami’.Pada malam di istana itu Dewi benar-benar mengabaikan untuk mengamati dengan cermat dan tuntas apa yang terjadi di belakang kedok kedua jenderal itu. Dewi hanya memproyeksikan dan tidak mampu membayangkan apa yang sebenarnya terjadi dalam pikiran Nasution dan Soeharto. Niat yang bermaksud baik itu berakhir dengan kegagalan. Tetapi pada tahun-tahun dia mendampingi Bung Karno, Dewi adalah satu-satunya wanita yang yang tidak gentar untuk menghadapi percekcokan bila dia mengatakan kata-kata yang tidak disensor dan menyampaikan pendapatnya terus terang. Tidak mengherankan bahwa sekalipun
4.
ketertutupan: lihat juga Individual and Society in Java, idem dari Niels Mulder, hal. 58.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
336 selalu terjadi adu mulut yang hingar-bingar antara pasangan itu, Dewi merupakan orang yang memberinya kesejukan dan hiburan di dalam iklim psikologis Jakarta saat itu. Pada hari-hari itu kami juga membuat film di markas besar para marinir (KKO) di Cilandak Pasar Minggu, pemuda-pemuda kekar yang di Indonesia memakai baret merah muda. Kemudian juga mengabadikan dalam film manuver-manuver yang dilakukan kelompok elite ini, yang dengan kecepatan 40 km meloncat dari truk dan berlatih dengan tank yang dilengkapi perlengkapan roket. Tanggal 21 Oktober 1966, sahabatku yang setia, Mas Diarto dari Solo5. membawa saya ke Jl. Sam Ratulangi No.l, alamat markas besar mahasiswa-KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Saya membuat film saat berbicara dengan ketuanya Cosmas Batubara; dengan seorang mahasiswa hukum, Ojong; dengan seorang mahasiswa pedagogi M. Zamroin, seorang mahasiswa hukum lagi, Arif Pohan dan akhirnya seorang mahasiswa Sastra Inggris, Leo Batubara. Kemudian bergabung pula Leo Sun dari kelompok mahasiswa Katolik. Salah satu dari tugas pemuda-pemuda ini adalah menginfiltrasi bekas-bekas organisasi PKI, terutama saat berlangsungnya demonstrasi-demonstrasi. Untuk keperluan ini telah dibentuk sebuah resimen KAMI khusus yang terdiri dari 2.000
5.
Pada tahun 1957 Diarto sudah menjadi fungsionaris tinggi di Kementerian Penerangan: pada tahun 1994 itu kami bertemu kembali setelah 28 tahun.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
337 orang. Mereka membual tentang pengaruh [...]ka pada para menteri, yang mereka kirimi memo. Bila mereka tidak didengarkan, maka mereka akan menuju gudang-gudang untuk membagikan bensin dan beras kepada rakyat miskin. Saya bertanya kepada mereka apakah perbuatan aksi-aksi mereka yang seperti itu tidak lebih cocok untuk organisasi-organisasi komunis, ‘rancangan tujuan-tujuan kalian lebih dekat dengan PKI daripada pada para jenderal’. Ucapanku ini menimbulkan bisik-bisik di antara mereka tetapi mereka tidak memberi jawaban. Mereka menganggap diri mereka sebagai ‘pahlawan revolusi’ yang akan mengawasi agar negara di bawah Soeharto akan mulai dengan lembaran yang bersih dan yang pertama-tama harus mereka lakukan adalah menghapuskan korupsi. Kelompok ini memberi kesan ‘akan berjuang terus’ dengan gejala-gejala sampingan yang cenderung jahat. Cosmas Batubara yang bicara paling banyak dan barangkali memiliki otak yang paling tidak terprogram dari seluruh kelompok ini. Dibawah Soeharto akhirnya dia dijadikan menteri sebagai imbalan untuk jasa-jasanya. Setelah mereka pergi mas Diarto mengingatkanku, ‘Wim, seharusnya kamu tadi bertanya kapan mereka akan kembali ke sekolah untuk menyelesaikan studi mereka.’
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
338
Tanggal 22 Oktober 1966 adalah terakhir kami berkumpul bersama di Istana Bogor dengan Ibu Hartini. Emile van Konijnenburg memberikan laporan tentang pertukaran hewan antara Belanda dan Indonesia yang terselenggara berkat usahanya. Pak Kelinci sungguh merupakan orang yang serba bisa, bila itu menyangkut transaksi antara kedua negara tersebut, dari pesawat-pesawat Fokker sampai kera. ‘Saya mau menukarkan kalian berdua dengan seekor orang utan!’, reaksi Bung Karno atas kesukaran-kesukaran yang dialami Pak Kelinci dengan penghambat-penghambat birokrasi. Presiden sedang membangun sebuah bungalow di Batutulis di luar Bogor. Rancangan gambarnya dibuat sendiri. Rupanya
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
339 dia sudah memperhitungkan bahwa pada tahun 1966 dia harus keluar dari rumah dekat Istana Bogor setelah meninggalkan jabatannya sebagai kepala negara. Dan memang, pada tahun kedua penangkapannya, yakni pada tahun 1968, Bung Karno akan menghabiskan sebagian besar waktunya di Batu tulis. Putri ketiganya, Sukmawati Soekarnoputri, telah berbaik hati untuk mengantarkan saya ke sana, suatu hari pada tahun 1995. Sebuah villa sederhana yang sangat asri, diatas sebuah bukit dengan pemandangan yang menakjubkan dari gunung-gunung di Jawa Barat. Di bawah mengalir sebuah sungai yang alirannya cukup deras. Tetapi cuacanya terlalu lembab dan kadang-kadang terlalu dingin bagi mantan presiden yang telah berusia 67 tahun. Karena itu secara tertulis ia telah meminta kepada Presiden Soeharto - bayangkan! - dan dengan sangat sopan apakah dia boleh pindah ke Wisma Yaso milik Dewi di Jakarta. Persetujuannya kemudian memang diberikan Soeharto atas dasar kemurahan hatinya. Sambil berjalan-jalan dengan putrinya Sukma di rumah kesayangan Bapak ini, terbayang di hadapanku Bapak berjalan mondar-mandir dengan kaki telanjang, yang membuatku penuh emosi. Pemerintah hanya mengirimkan seorang pembantu dan seorang penjaga6. untuk malam hari. Tirai jendela pemberian Pak Kelinci-pun masih tergantung7.. Di beberapa kamar masih terletak berlusin-lusin lukisan koleksi Bung Karno. ‘Kadang-
6. 7.
penjaga malam Waktu itu (1966) saya hadir juga ketika Van Konijnenburg membawa contoh-contoh tirai ke istana Bogor. Presiden memilih dua warna dan berkata: ‘Minta Hartini memilih antara dua warna ini’.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
340 kadang kami duduk main kartu di sudut kamar itu’ kata Sukma, sambil terisak mengingat kejadian itu. Kami saling merangkul sambil meneteskan air mata. Tahun 1967 Soeharto menyuruh menyita rumah di Batutulis itu, sebab rumah itu diperoleh berkat korupsi, demikian pendapatnya. Maling teriak maling! Memang tidak masuk akal untuk membayangkan bahwa di dalam tas atase yang tersimpan dalam lemari pakaian Van Mook di Istana Merdeka, tersimpan cukup banyak dolar Oom Dasaad, untuk dapat membiayai pembangunan rumah ini. Tetapi presiden punya banyak teman. Secara gotong-royong mereka mengumpulkan uang untuk membangun sebuah rumah sederhana tetapi menyenangkan tempat menghabiskan hari tuanya. Tahun 1995 pun Soeharto masih menolak memberikan vila Bung Karno itu kepada anak-anaknya, yang menjadi ahli warisnya yang sah. Tanggal 22 Oktober 1966 itu, Van Konijnenburg dan saya untuk terakhir kalinya melewati jalan lurus keluar dari Istana Bogor, menjelang tengah malam. Bung Karno dan Hartini berdiri di bawah lampu di teras rumah melambaikan tangan sampai kami hilang dari pandangan mereka. Gambaran terakhir dari Bung Karno dan Hartini yang tak akan terlupakan, karena terukir ke dalam neuron-neuron otak saya.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
341
Jakarta (13) Kolonel Sutikno Lukitodisastro mengatakan kepadaku dengan terpaksa dan dengan sangat menyesal bahwa saya jangan berharap agar Jenderal Soeharto masih mau memberikan wawancara untuk dokumenter NTS kami. Dia menolak mentah-mentah. Tetapi saya tidak putus asa. Tanggal 24 Oktober 1966 sekali lagi saya berada di Jakarta. Baik ajudan Bambang Widjanarko maupun asisten Bapak, Rochmuljati rupanya mengetahui tentang yang disebut ‘affair Marshall Green.’ Kali ini pun Rochmuljati berkomentar, ‘Orang itu gila!’ BM Diah juga ada di sana. Kali ini pun ia mendapat teguran lagi dari presiden, ‘Apa sebenarnya kode-etik kalian para jurnalis?’ Tanyanya kepada Pemimpin Redaksi Harian Merdeka itu, ‘Kalian sudah menulis bahwa Bandrio bersalah tetapi keputusan hakim masih harus dijatuhkan. Bagaimana kalian bisa menulis bahwa Subandrio harus dihukum mati? Orang-orang Belanda dulu jauh lebih baik. Ketika saya pada
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
342 tahun 1927 dipenjara, Harian Preanger Bode menulis, ‘Soekarno harus digantung pada pohon yang paling tinggi!’ Tetapi Profesor De Schepper dari Belanda ikut campur dalam diskusi itu dan mengatakan, ‘Diam kalian! Kalian masih harus menunggu keputusan pengadilan!’ BM Diah bersikap pura-pura malu dengan memandang lurus ke depan. Pada saat lain Bung Karno ingat kembali kunjungan Perdana Menteri Nikita Kruschev dari Uni Sovyet. ‘Saya dituduh anti Amerika dan pro Sovyet. Ketika Kruschev ke sini, kami katakan kepadanya bahwa kami membutuhkan pinjaman sebesar 100 juta dolar. Kruschev memandang menteri luar negerinya, Andrei Gromyko, yang mengangguk menyetujui. Oke, semua beres! Kami langsung menerima uang yang kami butuhkan. Apakah saya sekarang harus membenci orang itu, karena Washington menghendakinya?’ ‘Yang Bapak minta itu tidak cukup’, komentar BM Diah. Sementara itu, saya berhasil memiliki lima buku ukuran besar berisi koleksi lukisan Bung Karno yang dicetak di Peking1.. Saya meminta Presiden agar sudi menuliskan tanda tangannya. Bukan tanda tangan saja, yang dituliskan adalah: Untuk Wim,
1.
Lima set buku yang sama yang diberikan Duta Besar Zain kepada keluarga Kennedy di Gedung Putih.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
343
Tanggal 25 Oktober 1966, dalam sebuah peresmian di istana, Bung Karno akan memberikan sebuah bintang keempat kepada Laksamana Muljadi. Semua, yang termasuk orang penting di Jakarta, pergi ke istana untuk, seperti kali ini, mengucapkan selamat atas kenaikan pangkatnya menjadi Laksamana. Jenderal Soeharto hadir pula.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
344 Sebelumnya, pada pagi itu saya telah membeberkan problem saya kepada presiden: kami akan pulang ke Belanda tanggal 27 Oktober. Apakah Bapak bersedia mengimbau Soeharto agar masih mau memberikan wawancara televisi bagi kami? ‘Saya tidak pernah bisa menolak permintaanmu!’ kata presiden. Setelah upacara di istana, saya melihat presiden memanggil Soeharto. Soeharto memberi hormat kepada Panglima tertingginya dengan sikap berdiri tegak. Tak lama kemudian saya diberi tahu bahwa saya bisa menghadap jenderal untuk membuat janji untuk pembuatan film 25 Oktober 1966, sehari sebelum saya berpamitan untuk terakhir kalinya dari Bung Karno2.. Dia masih membantuku untuk ke sekian kalinya, agar tim NTS dan saya tidak kembali ke Hilversum dengan tangan kosong dan berhasil mewawancarai tokoh yang sedang berusaha menggulingkan presidennya agar dalam tiga puluh tahun yang akan datang dapat menduduki jabatannya. Saya segera menghampiri Soeharto. Apakah dia mau memberikan wawancara untuk NTS? Dia tidak menjawab: ‘Oke, akan saya lakukan’, memang dia tidak bisa berbahasa Belanda seperti Bung Karno, tetapi dia melihat jam tangannya, memegangnya dengan tangan yang satunya dan berkata, ‘Besok, jam sembilan, di rumahku Jalan Cendana 8’3.. Pendek dan tegas jawabannya. Saya serasa bisa meloncat kegirangan, karena dia sebelumnya belum pernah memberikan wawancara
2. 3.
Pada hari itu saya belum tahu bahwa itu akan menjadi perpisahan yang terakhir. Besok, jam sembilan, di rumahku Jalan Cendana 8.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
345 untuk televisi, dan saya berhasil mendapatkannya. ‘Anda adalah seorang bidadari,’ kataku kepada Jenderal Soeharto dalam bahasa Belanda. Dia menjawab dalam bahasa Indonesia yang tentunya tidak saya pahami. Orang yang berdiri di dekatnya menerjemahkannya untukku, ‘Kata jenderal, ya, bidadari laki-laki tentunya’. Begitulah berlangsung ‘adu kata’ pertamaku dengan orang yang antara 1967 dan 1970 akan memperlakukan Bung Karno sedemikian menyakitkan sampai akhir hayatnya. Tanggal 26 Oktober 1966, sebelum pukul sembilan saya bersama tim NTS sudah ada di rumah Jenderal Soeharto. Kami disambut oleh Kolonel Sutikno Lukitodisastro, yang terheran-heran bagaimana akhirnya kami berhasil mendapatkan persetujuan majikannya untuk memberikan wawancara, walaupun itu berkat bantuan dorongan dari Bung Karno. Tahun 1995 Soeharto masih mendiami rumah itu, walaupun sudah tampak diperbaiki dan diperluas. Rumahnya yang ‘diberikan’ kepadanya oleh seorang mitra usahanya yang berbangsa Cina, saat itu sudah luas dan modem dan mempunyai halaman dalam di mana ditempatkan sebuah kurungan berisi seekor orang utan yang sangat besar. Melihat itu, terlintas dalam pikiranku, ‘Soekarno tak akan melakukan hal itu’. Sepanjang ruang tamu rumah itu terletak sebuah taman yang tersusun dengan rapi. Di ruangan ada dua ekor harimau yang diawetkan dan ada satu helai kulit harimau di lantai. Juga sesuatu yang tak akan kita temukan di istana Bung Karno. Ada pula sebuah akuarium dengan ukuran yang amat besar dan mencolok mata. Dua kali sebesar akuarium yang ada di istana. Tetapi tempat
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
346 menyimpan ikan-ikan milik Soeharto bercirikan suatu emblem yang mengkilat, emblem Mercedes Benz. Jenderal Soeharto bersikap ramah, tetapi terlihat gugup. Bagiku Soeharto kelihatan sebagai seorang Jawa tulen dan itu membuatku merasa tenteram. Dia berusia 45 tahun dan tampak muda dan energik. Dia satu generasi lebih muda dari presidennya. Ketika Soekarno berusia 45 tahun dia sudah dua puluh tahun memimpin revolusi antiimperialis untuk membebaskan negerinya dari kolonialisme. Tahun 1946, ketika puluhan ribu militer Belanda mendarat membawa tank dan meriam, Soeharto berusia 25 tahun dan masih harus menunjukkan kemampuan dan jasa-jasanya dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia melawan Belanda. Tahun 1965, politik dalam negeri bagi Soeharto sebagian besar masih merupakan terra incognita (tanah/daerah yang belum diketahui), dan politik luar negeri atau hubungan-hubungan internasional umumnya sama sekali tidak diketahuinya. Karena itu, nada yang amat arogan yang dia pergunakan dalam memoar (kenang-kenangannya), seolah-olah dia lebih berkualifikasi untuk memegang kemudi negara daripada Bung Karno, merupakan gambaran yang menyedihkan betapa tidak inteligennya jenderal yang ‘jatuh ke atas’ ini sebenarnya. Berulang kali dia demonstrasikan dalam kenang-kenangannya pandangannya yang terbatas dan picik serta kebodohannya dengan nada yang tidak menyenangkan, yang sama sekali tidak kena. Bukan keahliannya dan bukan pengetahuannya mengenai banyak hal yang menyebabkannya bisa bertahan sampai tiga puluh tahun di puncak pimpinan Indonesia,
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
347 tetapi kelicikannya yang dalam bahasa Indonesia disebut ‘pintar busuk’4.. Juga kesediaannya untuk melenyapkan lawan-lawannya atau mereka yang tidak bersahabat dan yang dicurigainya, menyebabkan ia berkuasa tunggal bagi rakyat yang digambarkan Multatuli sebagai ‘rakyat yang paling berperasaan halus di dunia’. Tanggal 26 Oktober 1966 itu, dia menjawab semua pertanyaan-pertanyaanku tanpa memandangku sekalipun dan dengan suara hampir berbisik menjawab semua pertanyaanku. Loed Hentze, yang menangani alat instalasi suara NTS, dengan susah payah mengusahakan agar dapat menangkap kata-kata yang hampir tidak terdengar itu. Tambah celaka lagi karena sebentar-sebentar kedengaran kokok ayam di halaman dalam dan pada pukul 10 terdengar sepuluh kali bunyi lonceng yang menggelegar, sehingga beberapa kutipan harus digunting dan dihilangkan. Soeharto juga berbicara dalam Bahasa Indonesia, yang merupakan hambatan tambahan, karena saya tidak dapat menyusun pertanyaan berdasarkan jawaban-jawabannya sebab Sutikno tidak diberi waktu untuk menerjemahkan pokok-pokok penting pembicaraannya. ‘Kami kurang waspada dalam politik’, kata Soeharto, jenderal yang tidak tahu apa pun mengenai soal-soal politik di depan kamera NTS. ‘Dulu kami benar-benar percaya bahwa PKI berjuang untuk kepentingan rakyat, bersama kelompok-kelompok sosial lainnya. Hal ini jelas tidak terjadi. Dua kali kita telah dihadapkan pada kejadian-kejadian yang tak terduga
4.
pintar busuk
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
348 oleh PKI, yakni tahun 1948 dan 1965. Kita harus mencegah agar hal ini tidak terjadi untuk ketiga kalinya. Karena itu kita akan melakukan apa saja untuk mencegah PKI bangkit lagi di Indonesia’. Di sini dia mengeja kata demi kata raison d'etre (alasannya) untuk mengadakan pembunuhan massal terbesar dalam sejarah Indonesia secara terbuka untuk para pemirsa televisi di Belanda. Berulang kali dalam pidato-pidatonya setelah 1965, Bung Karno mempertanyakan apakah pembunuhan terhadap enam jenderal, seorang letnan, dan putri Jenderal Nasution mensahkan pembunuhan satu juta orang warga negara. Dan Soeharto selalu menjawab tanpa ragu, ‘Apakah terlintas dalam pikiran Bapak, apa yang akan dilakukan orang-orang komunis itu terhadap kita bila bukan tentara tetapi PKI yang memenangkan coup 1965 itu?’ Dalam benak Soeharto, kejadian-kejadian tahun 1965 sangat sederhana. Bagaimanapun ia mencoba menjelaskan kepadaku bahwa persoalannya adalah antara ‘mereka dan kami’, dan untuk gampangnya ia membisu mengenai realitas sederhana yang lainnya, bahwa Washington dan CIA menginginkan agar Partai Komunis Indonesia dilikuidasi, karena Indonesia di bawah Soekarno yang bersikap bermusuhan, bisa membahayakan mereka, karena berada dekat dengan kancah pertempuran di Vietnam. Dengan percakapan terakhir di Jakarta tahun 1966 ini, saya anggap misi NTS sudah selesai. Tanggal 27 Oktober 1966, diantar dan dengan lambaian Sutikno di Kemayoran, kami terbang kembali dengan KLM ke Amsterdam.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
349 Dalam Sidang MPR Sementara, yang diadakan 8 Maret 1967, Soeharto diangkat menjadi Wakil Presiden Indonesia. Tanggal 27 Maret 1968 secara resmi dia diangkat menjadi Presiden Kedua Republik Indonesia. Pada hari-hari itu saya sedang terbang bersama calon presiden dalam Pemilihan 1968, Richard Nixon, dalam pesawatnya melewati negara bagian New Hampshire. Tahun 1969, Nixon adalah presiden pertama Amerika Serikat yang datang ke Jakarta dalam suatu kunjungan negara. Antara tahun 1945 sampai 1969 Washington sudah menunggu dengan penuh harapan agar dapat mengadakan kunjungan kepresidenan ke Indonesia. Tetapi Soekarno harus dilenyapkan dulu dari panggung politik dan CIA sudah harus mengamankan daerah untuk mempermudah melangkah ke dunia Barat. Baru pada awal 1970, dunia luar menerima berita bahwa keadaan kesehatan Bung Karno memburuk. Saya pergi ke Paris dan menelepon di Avenue Montaigne 12 untuk mengunjungi Nyonya Dewi Soekarno dan anak gadisnya Karina5.. Sebelumnya saya belum pernah menemuinya. Dalam waktu singkat terbukti bahwa sebagai awal kami berada pada satu garis mengenai kejadian-kejadian yang menegangkan tahun 1965, yang dia alami sendiri dari sangat dekat. Dan juga pandangan kami tentang peran Washington dan CIA dalam perubahan yang terjadi di Indonesia, berjalan paralel. Pendeknya, terbukti kami menjadi mitra, terutama mengenai niat untuk menarik perhatian media internasional pada perlakuan jahat terhadap suaminya, yang di bawah tanggung
5.
Tahun 1995, dia berusia 28 tahun dan tinggal di Amerika Serikat
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
350 jawab penggantinya, benar-benar dikucilkan dari dunia luar, dari keluarga terdekatnya sekalipun, tepat seperti yang diduga Nasution dan Ujeng Suwargana pada awal tahun enam puluhan, ‘Membiarkan Soekarno mati seperti setangkai bunga yang tidak lagi diberi air’. Dewi mengetahui amat sangat banyak detail bagaimana penjaga-penjaga Bung Karno memperlakukannya dengan sangat kejam. Berjam-jam dia diinterogasi oleh para militer, mengenai perannya tahun 1965, sebelum dan sesudah perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Soeharto. Beberapa waktu kemudian, aku hadir saat penerbit Masagung dari Jakarta datang ke Paris membawa rekaman interogasi itu. Maksudnya ialah agar Dewi menukarkan rekaman-rekaman yang menyayat6. hati ini dengan surat-surat vital yang amat penting yang ditulis presiden pada hari-hari terjadinya coup, mula-mula dari Pangkalan Udara Halim dan kemudian dari istana Bogor untuk diserahkan kepada rezim Soeharto. Dewi tidak hanya mendapat kunjungan dari anak-anak Bung Karno, tetapi sahabat-sahabat setia Bung Karno juga sering berkunjung. Dengan demikian dia mengetahui misalnya bahwa Jenderal Alamsyah, orang yang untuk Soeharto menyalurkan dana dari Amerika Serikat kepada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia7. telah mencuri tiga mobil
6. 7.
Para perwira yang menginterogasi Bung Karno, bersikap sangat kurang ajar. Jenderal Alamsyah akan mendapat imbalan jabatan duta besar di Den Haag, di mana pemerintahnya pura-pura tidak tahu bahwa dia adalah kasir Soeharto ketika dia diterima di kerajaan Belanda.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
351 Soekarno yang tertinggal. Selanjutnya, untuk membuat hidup Bapak lebih menderita dan lebih kesepian, pada suatu hari Jenderal Alamsyah datang ke Wisma Yaso untuk mengambil juga pesawat televisi Bung Karno. Dengan demikian kontak terakhir dengan dunia luar pun benar-benar terputus. Kami bersepakat untuk bertindak. Bersama-sama kami menulis sepucuk surat terbuka kepada Jenderal Soeharto yang tanggal 16 April 1970 dimuat di halaman depan mingguan Vrij Nederland. Itu terjadi dua puluh lima tahun yang lalu. Teks surat itu, pada tahun 1995 masih mempunyai nilai sejarah, pada waktu peringatan lima puluh tahun Republik Indonesia, dan dimuat secara keseluruhan pada akhir buku ini. Beberapa bulan kemudian, setelah imbauan kami kepada Soeharto untuk memperlakukan mantan presiden dengan lebih baik, dan lebih manusiawi, Bung Karno dilarikan ke rumah sakit di mana dia meninggal tanggal 21 Juni 1970. Pada hari itu aku berada di Tokyo dan pergi ke Duta Besar Jenderal Ashari untuk menandatangani buku daftar belasungkawa. Tentu saja Soeharto tidak mempedulikan himbauan yang menyayat hati yang dikirimkan Dewi dari Paris untuk sudi membiarkan mantan presiden menghabiskan tahun-tahun akhir hidupnya dengan lebih manusiawi. Selama hidupnya, juga ketika dipenjarakan oleh Belanda, Bung Karno selalu dikelilingi orang untuk berdiskusi. Interaksi dengan orang-orang lain membuatnya ‘hidup’. Keramahan dan suasana bersahabat yang menyenangkan merupakan kebutuhan utama baginya. Di negaranya sendiri dia dipenjarakan oleh Belanda. Tetapi lebih dari sekali ia mengatakan kepada orang-orang
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
352 yang dekat dengannya bahwa perlakuan orang-orang Belanda terhadapnya lebih manusiawi daripada perlakuan dari Soeharto, orang yang bertanggung jawab agar Soekarno dikucilkan secara total sesuai dengan resep yang telah bertahun-tahun sebelumnya diberitakan Nasution, yakni untuk membiarkannya mati seperti setangkai bunga yang tidak lagi diberi air. Selain itu, rezim militer menyebarkan desas-desus bahwa Soekarno tidak lagi waras otaknya. Untuk perbuatan curang yang terakhir dari Soeharto terhadap ayahnya ini, pada hari-hari itu putrinya, Rachmawati, menulis sebuah artikel. Untung saja artikel itu dimuat juga di Vrij Nederland, setelah diterjemahkan oleh Profesor Utrecht. Tetapi siapa di sini yang peduli terhadap nasib Bung Karno? Atau apa yang dikatakannya 6 Juni 1970, hari ulang tahunnya yang ke-69? Dari tempat tidurnya di mana ia terbaring sakit dia membandingkan perebutan kekuasaan yuang terjadi pada 18 Maret 1970 di Kamboja dan sikap Jenderal Lon Nol terhadap Pangeran Norodom Sihanouk, sebagai suatu tindakan pengkhianatan Soeharto terhadapnya 1 Oktober 1965. Ucapan inilah yang kemudian akan menjadi ucapan politik terakhir yang tersiar daripadanya, suatu tembakan akhir ke arah Soeharto yang diucapkan oleh Presiden Pertama Indonesia. Berita-berita mengenai kesehatan Soekarno yang dengan cepat mundur, makin santer. Dewi menelepon, mengatakan, Jenderal Amir Machmud memberitakan bahwa Bung Karno menanyakan dirinya dan putrinya Karina. Malam 17 April 1970 itu Dewi menelepon kembali menanyakan apakah saya
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
353 mau datang ke Paris malam itu juga untuk terbang ke Jakarta bersamanya, Karina dan perawat Jepangnya Ny. Azuma, mengunjungi Soekarno yang sakit. Ketika di Bangkok pindah pesawat ke pesawat Japan Airlines ke Jakarta, atas perintah atase militer Soeharto, saya dilarang turun. Saya langsung terbang ke Jepang untuk menunggu Dewi di sana. Permintaan terakhir dari yang meninggal adalah agar dimakamkan di bawah pohon di kebun rumahnya di Batu tulis. Keluarganya memohon dengan sangat kepada presiden yang baru untuk mengabulkan permintaannya yang terakhir. Tetapi Soeharto yang telah dirasuki rasa dendam terhadap presiden yang terdahulu tidak mengabulkannya. Dia memutuskan, dan menutupi seolah keputusannya itu juga atas persetujuan Mohammad Hatta8., agar Soekarno dimakamkan di Blitar. Oleh Soeharto, ‘bapak rakyat’ ini harus ditempatkan sejauh mungkin dari pusat negara, untuk mencegah agar makamnya lama-kelamaan dijadikan tempat ibadah yang mudah dijangkau. Ketika saya pada tahun 1994, dengan campur tangan Perdana Menteri Lubbers, akhirnya bisa lagi mengunjungi Jakarta, maka kunjungan pertama saya adalah ke makam sahabatku di Blitar. Akan datang suatu saat di Indonesia bahwa anak-anaknya akan mengabulkan permintaan terakhir ayahnya bahwa rumah ayah mereka di Batutulis (Bogor) yang sampai saat ini belum dikembalikan kepada keluarganya oleh Soeharto, akan
8.
Tentang perasaannya terhadap Bung Karno telah pernah saya tulis. Hatta membandingkan Soekarno pada tahun 1966 dengan Hermann Goering.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
354 dikembalikan kepada pemiliknya yang sah, dan bahwa ‘bapak rakyat’, pendiri Indonesia yang sebenarnya, akhirnya akan mendapat tempat istirahatnya yang layak, yang diinginkannya dan yang sebenarnya patut diperolehnya. Maka pada batu nisannya akan tertulis, seperti yang juga sudah tercatat dalam otobiografinya, ‘Di sini terbaring Bung Karno, penyambung lidah rakyat Indonesia!’
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
355
Penutup: Amsterdam (1995) Selesai menghadiri pemakaman Bung Karno, Dewi kembali ke Paris membawa berita-berita yang sangat mengejutkan mengenai penghinaan-penghinaan yang dilakukan oleh Soeharto beserta anak buahnya terhadap mantan presiden. Dia meninggal dalam keadaan yang sangat menyedihkan di Wisma Yaso yang sangat kotor, dalam kesepian dan keterasingan yang sangat mencekam. Yang dilakukan mantan perwira-perwira tingginya terhadap Soekarno dapat disamakan dengan perlakuan Rudolf Hess di penjara Spandau di Berlin oleh tentara Sekutu pada akhir Perang Dunia Kedua1.
1.
Soeharto, Nasution, Amir Mahmud, Alamsyah dan Sarwo Edhie adalah perwira-perwira yang pertama-tama bertanggung jawab atas terjadinya pembunuhan massal di Indonesia dan karenanya harus diadili. Pada tahun 1995 Washington ingin membawa Pol Pot ke Pengadilan Internasional di Den Haag, tetapi mengenai Soeharto dan algojoalgojonya yang terpenting kita tidak dengar apa-apa (Jenderal Sarwo Edhie telah meninggal).
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
356 Dewi sendiri meninggalkan Indonesia tahun 1966, pergi ke Tokyo untuk melahirkan seorang putri. Ketika kembali ke Jakarta tahun 1970 pada hari-hari sekitar pemakaman, baru disadarinya apa yang sebenarnya terjadi terhadap suaminya. Pada malam 19 Juni dia menelepon saya dari Paris apakah saya mau terbang bersamanya ke Indonesia, dengan putrinya Karina yang saat itu berusia tiga tahun dan perawatnya dari Jepang, Ny. Azuma, untuk mengunjungi Soekarno yang sakit. Ketika di Bangkok saya pindah pesawat ke pesawat Japan Airlines ke Jakarta, atas perintah atase militer setempat, saya tidak diizinkan masuk. Dewi melanjutkan perjalanannya. Saya langsung terbang ke Tokyo untuk menunggunya di sana. Soeharto mencegah agar saya tak bisa bertemu dengan sahabatku untuk minta diri. Itulah balas dendamnya terhadap Dewi dan saya yang telah menulis Surat Terbuka kepadanya dalam usaha untuk memperbaiki nasib Bapak. Setelah pengkhianatannya tahun 1965, hidup Soeharto diisi oleh rasa dendam kepada segala sesuatu dan semua orang yang mengetahui rahasianya. Negarawan dan ilmuwan Inggris Francis B acon pernah berkata, ‘Revenge, is a kind ofjustice, which the more man's nature runs to, the more ought law to weed it’. Sampai tahun 1970 saya juga tidak menyadari betapa jahatnya otak yang tersimpan dalam kepala Soeharto yang disembunyikan di belakang senyum Jawanya yang ramah itu. Baru setelah Dewi kembali ke Paris dan memberikan gambaran lengkap yang dapat dipercaya mengenai apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia setelah 1965, jelaslah bahwa
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
357 Indonesia telah jatuh ke dalam tangan yang salah, yang sangat membahayakan. Bagi Den Haag inilah saat yang paling tepat untuk mengatur kunjungan negara bagi Ratu Yuliana dan Pangeran Bernhard untuk memperkuat legitimasi kepada jahanam-jahanam yang berniat untuk menjual kekayaan Nusantara kepada negara-negara kaya dengan sangat murah. Bersama dua puluh orang sebangsaku aku menulis surat kepada Ratu untuk membatalkan perjalanan yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri W.K.N. Schmelzer2. ‘Pembunuhan massal pada ratusan ribu rakyat, perkosaan terhadap hak asasi manusia, razia-razia, pemilihan umum semu, kamp-kamp tahanan, peleton penembak menjadi ciri dari tirani yang dilakukan rezim jenderal yang akan Anda temui, dan tirani seperti itu tidak dapat dibiarkan oleh setiap insan Belanda’, demikianlah isi surat yang kami kirimkan3.. Dalam hal ini sama sekali tidak ada yang berubah dalam kunjungan negara Beatrix, Claus dan Willem-Alexander tahun 1995. Dan sekarang kabinet ungu malah mengirim keluarga kerajaan ke gerombolan pembunuh di Jakarta itu. Tahun 1994, setelah meninggalkannya selama 28 tahun, saya kembali ke Indonesia bersama Perdana Menteri Lubbers, istrinya dan keluarga Kooijmans. Tak perlu dijelaskan bahwa keadaan rezim Soeharto antara 1965 dan 1995 telah berkembang menjadi lebih buruk. Orang-orang yang membela jenderal pembunuh itu menunjukkan perkembangan ekonomi
2. 3.
Schmelzer adalah juga orang yang menemukan Hans van den Broek. Lihat lampiran 2 untuk teks yang lengkap.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
358 yang telah berkembang lebih dari 7 persen per tahun dan pemunculan spektakuler Indonesia sebagai ‘Harimau Asia’. Perkembangan spektakuler ini terutama berlangsung di Jakarta, dimana elit militer dan orang-orang kaya baru serta konco-konconya memamerkan kekayaannya di hotel-hotel dan restoran-restoran termahal di dunia. Seperti yang diringkaskan desainer Iwan Tirta kepadaku, ‘Nyonya-nyonya kalau datang tidak mencari kain4. yang bagus, tetapi mencari kain yang mahal.’ Untuk massa Indonesia yang tinggal di desa,5. kehidupan dalam lima puluh tahun terakhir ini tidak banyak berubah. Utang nasional Indonesia selama pimpinan Bung Karno, antara 1945 dan 1965, tidak sampai tiga miliar dolar, terutama disebabkan untuk pembelian persenjataan untuk pembebasan Irian Barat. Antara tahun 1965 dan 1995 di bawah Soeharto, utang nasional meningkat menjadi 100 miliar dolar. Menurut para pengamat, jumlah itu malah sudah lebih naik, yang bisa menyebabkan timbulnya problema-problema finansial bagi Indonesia, seperti halnya yang terjadi di Mexico6.. Soekarno menolak dengan sekuat tenaga, gelombang ‘investor’ yang datang dengan dolar dan yen, karena dalam praktek, ini berarti kembalinya imperialisme, walaupun dengan ‘baju’ lain. Sebaliknya, Soeharto memenuhi keinginan Washington, CIA dan Tokyo. Dibukanya lebar-lebar
4. 5. 6.
sarung desa Suatu rencana yang telah disusun negara-negara kaya untuk sementara waktu telah menyelamatkan peso pada saat terakhir.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
359 pintu bagi ‘peminat asing’. Misalnya lewat seorang tokoh dunia hitam lokal dan sahabat presiden, Bob Hasan, sebagian besar Pulau Kalimantan (Borneo) hancur lebur. Hutan-hutan hujan tropis yang sangat diperlukan untuk keseimbangan lingkungan Indonesia maupun untuk lingkungan dunia, telah ditebangi untuk sepuluh miliar dolar setahun, pertama-tama untuk memenuhi permintaan Jepang akan kayu kualitas terbaik se Asia. Usahawan-usahawan Indonesia saat ini telah mengembangkan metode merampok kayu mereka sampai ke Suriname. Setelah pengkhianatan Soeharto, negara-negara kaya Barat dan Jepang membentuk IGGI Club, yang ironis sekali diketuai oleh Belanda, untuk dapat melanjutkan eksploitasi imperialis di kepulauan Indonesia dengan kerja sama maksimum dan halangan minimum dari para jenderal. Dalam dua puluh tahun yang lalu ini telah bermiliar-miliar dolar telah dipompakan ke dalam rezim jenderal yang fantastis ini termasuk di dalamnya ratusan juta dari para pembayar pajak Belanda. Saat ini di Jakarta terdapat lebih banyak gedung bank yang menjulang tinggi daripada di Singapura dan Hong Kong bersama-sama. Petunjuk jalan di ibu kota Indonesia mencantumkan dalam edisi 1995, di bawah huruf B untuk bank, dicetak dengan huruf kecil nomor-nomor telepon bank dari hal. 119 sampai dengan 181. Lambat-laun rakyat Indonesia menyadari juga apa yang terjadi di Jakarta, bagaimana para jenderal, petualang dan sekelompok usahawan Cina yang dilindungi Soeharto sebagai imperialis-imperialis Asia baru telah menggantikan penguasa-
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
360 penguasa dan si muka pucat Belanda. Eksploitasi Indonesia berlanjut terus dengan bantuan dari luar dan lindungan pejabat-pejabat Soeharto dari dalam, seperti yang terjadi tahun 1940. Hampir semua informasi mengenai Indonesia dikombinasikan dengan yang berkepentingan untuk disiarkan ke seluruh dunia. Teror militer, metoda polisi dan sensor menjamin pengawasan pemerintah tentang apa yang akhirnya diberitakan ke luar. Baru-baru ini misalnya, terbit buku A Nation in Waiting oleh Adam Schwarz7., suatu analisis yang relatif aktual mengenai Indonesia saat ini, tetapi ditulis oleh seorang mitra kerja Far Eastern Economic Review. Kami ingin bertanya berapa anggota Tweede Kamer yang pernah membaca buku seperti ini sebelum membentuk opini perlu tidaknya Ratu Belanda mengunjungi Soeharto. Di Indonesia sendiri terbit Indonesia Business Weekly, Economic & Business Review Indonesia dan Jakarta Post, media yang seharusnya dibaca secara konsekuen di Den Haag, apabila kita ingin mengetahui keadaan. Rupanya redaksi terbitan-terbitan itu juga harus sangat berhati-hati agar tidak berurusan dengan Herr Goebbels-nya Soeharto, yakni Harmoko, yang bertanggung jawab untuk menjaga temperatur sensor pada para jurnalis Indonesia, lewat penangkapan, pembrangusan dan pem-breidelan pada media yang melewati batas.8. Media kami hanya mempunyai satu orang koresponden
7. 8.
Allen & Unwin, Sidney-Singapore, '1994, 370 hal. Saya tidak dapat memberikan data lebih banyak untuk tidak membahayakan mitra kerja Indonesia saya. Harmoko adalah Menteri Penerangan.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
361 di Jakarta, yakni Dirk Vlasblom yang bekerja untuk NRC Handelsblad. Problema-problemanya masih sama seperti pada tahun 19579. saat saya mewakili koran yang waktu itu masih merupakan terbitan-terbitan terpisah. Den Haag waktu itu mencegah saya menulis keadaan sebenarnya. Sekarang Vlasblom dari Jakarta dipaksa memperhitungkan keinginan dan harapan Soeharto dan Harmoko. NRC Handelsblad menyajikan sejumlah artikel kepada pembacanya dalam rangka pesta 50 tahun Republik Indonesia, bervariasi antara informasi mengenai penerangan pesta di Jakarta sampai dengan ucapan Jenderal Nasution yang tidak benar (76). Menurut militer ini, kesatuan Indonesia terlaksana berkat orang-orang Belanda. Itu benar, dalam hal koleksi geografis pulau-pulaunya, termasuk Irian Barat, yang pernah merupakan bagian dari Hindia Belanda. Tetapi kesatuan politik negara ini tidak didirikan oleh orang-orang Belanda, seperti yang dikatakan Nasution - dan yang disampaikan Vlasblom tanpa bantahan - tetapi secara khusus dan hanya pekerjaan Bung Karno sebagai nation builder. Dan bila Vlasblom masih juga memuji Nasution sebagai ‘sumber yang bisa dipercaya’, maka itu menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak tahu duduk persoalannya. Dalam reportase yang terdahulu saya telah menulis tentang pengkhianatan Nasution dan CIA - serta perjalanan-peijalanan Ujeng Suwargana yang menimbulkan banyak pertanyaan- yang memberikan bukti cukup untuk menyangkal ucapan Vlasblom
9.
NRC dan bet Algemeen Handelsblad pada tahun 1957 belum berfusi.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
362 yang menyebutkan bahwa beritanya itu dari ‘sumber yang bisa dipercaya’. Saya tahu betul bahwa wartawan ini baru tiba di Jakarta setelah 1990, tetapi membuktikan bahwa dia tidak mengetahui dan tidak memahami sejarah Indonesia dan aspek-aspeknya yang terpenting. Nasution akan tercatat dalam sejarah negaranya sebagai salah satu pengomplot licik yang paling penting dalam pengkhianat tahun 1965. Pertanyaanku kepada Paul Brouwer, duta besar negaraku saat ini di Jakarta, apakah ia berpendapat bahwa media di negaraku menyampaikan situasi seperti apa adanya, dengan spontan dia menjawab, ‘Sama sekali tidak’. Kalau begitu, berdasarkan informasi mana maka parlemen menyetujui perjalanan kerajaan ke Indonesia, mengingat keadaan negara saat ini? Mengenai penerangan, kami hampir tidak menunjukkan kemajuan sejak hari-hari pelelangan kopi dari Nederlandse Handels maat schappij? Satu-satunya perbedaan adalah bahwa sebuah berita dalam masa hidup Multatuli, yang dikirim dengan kapal paket membutuhkan beberapa bulan untuk sampai di karesidenan, sedangkan dengan teknik komunikasi saat ini suatu peristiwa dapat kita saksikan pada waktu yang hampir bersamaan dengan tempat kejadiannya. Walaupun demikian realitas-realitas yang terjadi waktu ini di Indonesia dan gambaran yang benar mengenai negara dan pemimpin-pemimpinnya sebagian besar masih tersembunyi bagi kami. Jenderal Pamu Rahardjo, anggota dari organisasi mantan pejuang PETA, tahun 1994 menyampaikan sepucuk surat kepadaku yang isinya ditujukan kepada Ratu dan Perdana
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
363 Menteri Lubberr10.. Presiden Soeharto adalah pelindung PETA. Antara lain disarankan agar Ratu Beatrix meletakkan karangan bunga di makam Bung Karno di Blitar, Jawa Timur. Tetapi tentu saja kebenciannya kepada Soekarno yang tetap membara dalam dirinya dan sikap Den Haag lagi-lagi menghalangi. Yang Mulia Ratu hanya boleh meletakkan karangan bunga di Taman Pahlawan Indonesia dan makam orang-orang Belanda yang menjadi korban perang. Anggota parlemen Jan Marijnissen dari Partai Sosial (SP) memutuskan untuk menanyakan secara tertulis apakah Yang Mulia Ratu barangkali boleh meletakkan karangan bunga ketiga di monumen kemerdekaan, di mana berdiri patung Soekarno dan Hatta setinggi manusia. Tetapi apa jawab Wim Kok (Perdana Menteri) dan Hans van Mierlo (Menteri Luar Negeri)? ‘Pada kunjungan-kunjungan negara, program yang disusun adalah hasil pembicaraan yang cermat antara kedua negara. Ini berlaku khusus untuk acara-acara yang bersifat serimonial. Alasan-alasan yang bisa mempengaruhi keputusan, amat sangat dirahasiakan’. Sekali lagi pemerintah (Belanda) menyelesaikan suatu problem yang pelik dengan memberikan jawaban yang meremehkan kepada seorang anggota parlemen yang dengan serius mencoba menyelamatkan kehormatan negaranya. Sementara itu Beatrix menjadi korban dari sikap cari gampangnya petinggi-petinggi pemerintah ungu saat
10.
Lihat lampiran 3 untuk teks, yang sampai ke tangan ratu dan perdana menteri pada 16 Mei 1994.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
364 itu (pemerintah ungu: pemerintah yang terdiri dari gabungan partai-partai yang ada di Belanda). Pendapat bahwa rakyat mendapatkan pemimpin-pemimpin yang pantas diperolehnya, benar-benar terjadi. Problema pelik lain yang membingungkan otak para pejabat Belanda itu ialah, apakah Yang Mulia Ratu harus datang pada hari kemerdekaan, 17 Agustus, di Jakarta seperti yang dikatakan Profesor Emil Salim, Ketua Panitia Peringatan, sebagai permohonan khusus dari Indonesia. Tetapi karena kemenangan Soekarno lima puluh tahun kemudian belum juga dicerna oleh kalangan luas, maka tidak diperlukan diskusi khusus di parlemen untuk memutuskan agar Ratu akan muncul di Jakarta lima hari kemudian. Tanggal 21 Agustus 1995 Ratu akan sampai di Pangkalan Udara Halim bersama Pangeran Claus dan putra pewaris tahta. Hanya mantan menteri Sicco Mansholt yang berani mengatakan bahwa dengan demikian ‘Yang Mulia Ratu akan dipermalukan’. Segala sesuatu yang saya lihat dan dengar sejak kedatangan saya di Indonesia dari Januari sampai April 1995 memberi gambaran yang jelas -seperti halnya perjalanan Yuliana dan Bernhard tahun 1971- bahwa suatu kunjungan negara tahun 1995 dalam fase perkembangan-perkembangan intern di Indonesia saat ini, lagi-lagi akan memberikan legitimasi khusus kepada rezim Soeharto yang tidak diharapkan. Jenderal-jenderal purnawirawan, duta besar dan beberapa mantan menteri Indonesia, baik dari pemerintahan Soekarno maupun dari pemerintahan Soeharto memberikan kesempatan kepada saya untuk meneliti dokumen-dokumen dan laporan-laporan,
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
365 yang baru akan dipublikasikan setelah pemerintahan diktatur militer Soeharto lenyap dan baru setelah itulah akan dipublikasikan secara luas di Indonesia11.. Begitu pula wartawan-wartawan terkemuka yang selama bermalam-malam di rumah Guruh Soekarnoputra di komplek DPR, dekat Makam Pahlawan Kalibata, menekankan kepadaku, ‘Wim, bagi orang luar, negara kami nampaknya normal saja, tetapi sebenarnya kami sedang berada dalam keadaan negara polisi fasis yang amat sangat berbahaya’. Yang dimaksudkan itu tidak hanya dilecehkannya hak-hak asasi manusia dan penembakan-penembakan yang terus menerus di Timor Timur atau Irian Barat. Tetapi juga, seperti yang saya tulis dalam Volkskrant 29 Juli 1995 bahwa rezim Soeharto tidak membagikan bintang kuning kepada Ex-Tapol/eks tahanan politik yang baru dikeluarkan dari kamp-kamp konsentrasi dan penjara-penjara, tetapi sebagai gantinya mendapatkan cap ET dalam kartu identitasnya. Secara menyeluruh ada 1.352.896 warga negara Indonesia yang dicap seumur hidup seperti itu.12. Bentuk-bentuk teror semacam ini bertahun-tahun ditutup-tutupi untuk media Barat, apalagi dibicarakan dalam parlemen kita yang selalu waspada terhadap hak-hak asasi manusia di negara-negara lain.
11.
12.
Salah seorang mantan duta besar memberikan padaku The US and the Overthrow of Soekarno karangan Prof. Peter Dale Scott dari Berkeley, California. Berapa orang anggota parlemen yang telah membacanya? Jenderal Susilo Sudarman kemudian memberitahukan bahwa huruf-huruf ET secara mendadak dihapus dari kartu-kartu identitas, karena kesamaannya dengan Hitler dan orang-orang Yahudi, membuat Soeharto takut.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
366 Sudah sejak di Jakarta saya melayangkan sebuah surat kepada Ratu dan Perdana Menteri Kok bahwa apabila fungsi simbolik keluarga Oranye masih mau dihormati secara serius, maka sejak saat ini kami tidak perlu lagi mencampuri sejarah Indonesia dengan membatalkan pertemuan antara Beatrix dan Soeharto yang telah direncanakan. Ketika saya kembali ke Yordania, penerbit Paul de Ridder dari Papieren Tijger di Breda, mengusulkan agar kesimpulan itu dipertanggungjawabkan dalam sebuah brosur. Dengan demikian terbitlah Bon Voyage Majesteit 24 Mei 1995, yang terkecuali koran Elzevier, tidak dibicarakan dalam satu pun media populer. Beberapa anggota parlemen memberikan reaksi secara tertutup. Paul Rosenmoller13., misalnya, menulis bahwa Groen Links juga tidak mempunyai keberatan prinsipiil terhadap perjalanan Ratu, ‘karena kami berpendapat bahwa kami tidak perlu memutuskan hubungan dengan Indonesia, justru juga agar hak asasi manusia masih dapat menjadi pembicaraan’. Rosenmoller juga tidak menangkap inti dari pleidooi (pembelaan) saya, yang sekali lagi saya garis bawahi sebagai berikut pada tanggal 29 Juli 1995 di Volkskrant, ‘Perdana Menteri Lubbers, Perdana Menteri Kok, siapa saja bisa mengunjungi kepala negara Indonesia selama ia menjabat. Tetapi jangan simbol Oranye’. Tambahan pula, 5 Mei 1995, Ratu telah mengucapkan sebuah pidato yang menarik perhatian pada peringatan lima
13.
Surat dari 27 Juli 1995.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
367 puluh tahun kemenangan fasisme di Eropa. ‘Bila kami menyadari terjadinya pembunuhan bangsa yang teramat keji dalam sejarah, kami akan dicekam oleh rasa malu yang mendalam’, demikian kata Ratu dengan jujur. Tetapi beliau tidak menyadari bahwa justru kata-kata ini diucapkan di malam menjelang kunjungan ratu ke rezim jenderal di Indonesia. Bolehkah kami membedakan pembunuhan massal di Eropa oleh Hitler atau Stalin dan pembunuhan massal di Asia oleh Soeharto atau Pol Pot? Dalam brosurku saya membandingkan Soeharto dengan Pol Pot. Saskia Wieringa, dosen pada Institute of Social Studies di Den Haag, meyakinkan bahwa justru harus dibuat perbandingan antara Soeharto dengan Hitler dan Mussolini, karena Presiden Indonesia saat ini telah membuktikan diri sebagai diktator yang paling kejam dalam abad ini.14. Tanggal 5 Mei Beatrix melanjutkan, ‘Noda Aib15. pada dunia yang beradab ini tidak bisa dimaafkan, di mana hak sesama manusia diinjak-injak, begitu pula yang bisa terjadi pada kita’. Tetapi di manakah rasa malu itu berhenti? Di batas-batas Eropa? Apakah orang-orang Indonesia hanya merupakan Untermenschen (manusia-manusia rendah) yang tak perlu dipedulikan apakah Soeharto menyuruh membunuh 500.000, satu juta atau dua juta jiwa manusia di antaranya? Malah mengenai tindak-tanduk kita di Hindia Belanda, di desa Rawagedeh, di mana lebih dari 400 orang dibunuh dengan
14. 15.
de Volkskrant 1995 Yang dimaksudkan ialah rezim nazi di Jerman.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
368 persetujuan penuh, sampai tahun 1995 ini belum juga terungkap. Dengan cara yang sama orang-orang Amerika merusak hak-hak asasi manusia di Vietnam, seperti yang sekarang terjadi di Bosnia atau Yugoslavia yang dulu, bedanya ialah bahwa orang-orang Amerika melakukannya secara besar-besaran, sehingga penderitaan dan jumlah korban rakyat Asia berjumlah beberapa juta jiwa. Tetapi pembantaian yang terjadi di Desa My Lai, misalnya, langsung diselidiki secara resmi oleh pihak Amerika. Letnan William Calley dianggap sebagai perwira yang bertanggung jawab atas pembantian itu.16. Presiden Nixon memberikan grasi kepadanya. Mahkamah Agung Belanda, dulu dan sekarang, telah memiliki kebiasaan yang aneh, yakni melenyapkan secara diam-diam kasus yang harus disembunyikan atas nama hukum. Karena wakil-wakil rakyat lebih suka menyuguhkan ‘persoalan-persoalan yang aman’ untuk angket-angket parlemen, maka kebanyakan Calley Belanda bisa dengan aman melewati jaringan tatanan hukum tanah airnya. Tentu saja termasuk juga mahkamah agung yang tanpa diragukan juga bersalah. Undang-undang Openbaar Bestuur yang memberikan hak kepada warga negara untuk menyelidiki berkas proses, dalam bentuknya saat ini sunggguh sesuatu yang menggelikan dan dalam pelaksanaannya membuat orang tertawa. Sebagai sahabat Soekarno tahun 1962 saya ikut dihukum dengan cara
16.
Lihat Crimes of War, Richard Falk, Gabriel Kolko, Robert Jay Lifton. A Vintage Book, New York, 1971.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
369 dibatasi gerak gerik saya, dan sejak bertahun-tahun berusaha menyelidiki berkas-berkas proses negara sendiri untuk menunjukkan bahwa yang memerintah di Den Haag adalah penjahat-penjahat. Di Departemen Luar Negeri, seorang ahli hukum yang menentukan berkas-berkas mana yang boleh dan tidak boleh diselidiki oleh seseorang. Dalam periode 1956-1962 awalnya saya menerima sejumlah telegram rahasia, juga oleh karena ahli hukum itu berpendapat bahwa dokumen-dokumen tersebut sudah kadaluwarsa. Ketika hakim Den Haag memutuskan bahwa di dalam kasus saya tidak satu pun dokumen boleh dianggap kadaluwarsa, setelah 1962 itu sekonyong-konyong tidak bisa ditemukan telegram rahasia. Karena itu, seorang teman anggota parlemen, Piet Schoffelen (Pvd A) yang bertanggung jawab atas pengawasan parlementer terhadap dinas-dinas penerangan, mengunjungi mantan direktur BVD, dr. Arthur Docters van Leeuwen, anggota D'66. Maksudnya ialah agar dapat melihat dan meneliti berkas sidang saya. Menurut Docters van Leeuwen tidak ada berkas sidang Oltmans pada BVD. Orang tersebut berbohong. Sudah sejak 1957 Hofland memperingatkan saya bahwa dinas-dinas penerangan mendatangi pemimpin-pemimpin redaksi saya untuk mendesak pemecatan saya sebagai wartawan di Jakarta, yang berhasil dilakukan dalam 24 jam, sementara saya dalam perjalanan karier saya dari 1971 sampai 1987 mondar-mandir ke Moskow bersama tokoh-tokoh penghubung sampai ke puncak pimpinan di Kremlin dahulu. Setiap penjual bunga tulip dari Hillegom, yang pada waktu Perang Dingin bepergian ke Uni Sovyet,
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
370 pada waktu itu mempunyai berkas BVD. Tambahan pula, bukankah saya pada tahun 1962 mendapat ‘sertifikat’ persona non grata dari Luns, sehingga saya sebagai sahabat Soekarno selama hidup dianggap tabu oleh pemerintah? Mitraku Hofland pada tahun 1961 di Den Haag menemukan bahwa ada perintah untuk bagaimanapun menjauhkan saya sebagai wartawan, dari anggota-anggota keluarga kerajaan. Jadi ketika tahun 1995 untuk pertama kali sebagai peliput berita untuk Story saya mengikuti perjalanan Putri Margriet dan Peter van Vollenhoven ke Kanada, hal ini menyebabkan Putri mengatakan sesuatu yang menarik perhatian, yang sekarang harus dibuktikan secara hukum untuk menunjukkan sekali lagi bahwa pemerintah Belanda sejak 1956 telah menginjak-injak hakku sebagai warga negara dan wartawan, telah melakukan kejahatan dengan merampas sumber kehidupan saya17.. Sementara itu Docters van Leeuwen telah digeser dengan cara mempromosikannya menurut Peter Principe dan menjadikannya ketua dari kolese mahkamah agung. Baru-baru ini Elsevier menyatakan bahwa dia harus dianggap sebagai petugas penasihat yang paling berkuasa di Den Haag18.. Sekarang tergantung sayalah untuk menunjukkan berdasarkan pengalaman selama empat puluh tahun dengan penjahat-penjahat di Den Haag, bahwa orang ini pun apabila
17. 18.
Dalam putaran pertama sidang pengadilan bulan September 1995 akan didatangkan para tuan-tuan: Lubbers, Kooymans, Kok, Van der Voet, Stoffelen dan Putri Margaret. Elsevier, Wie telt echt mee in Den Haag?, 5 Agustus 1995
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
371 akan menguntungkannya, tidak akan ragu untuk menyampaikan ketidak jujuran terhadap anggota parlemen yang terhormat. Celakanya Docters van Leeuwen juga menjabat sebagai tangan kanan Menteri Kehakiman yang menjabat sekarang, Winnie Sorgdrager, yang juga anggota D'66. Kongsi kehakiman saat ini tidak terbentuk karena kebetulan. Dibentuk untuk mencegah Gertjan Wolffensperger (D'66) menjadi Menteri Kehakiman, sebab itu akan menghambat kelangsungan kasak-kusuk yang dilakukan Doctors van Leeuwen dan orang-orang sejenisnya. Keributan yang dilakukan penduduk kota yang terjadi di Den Haag sebagai reaksi terhadap tulisan sindiran saya Bon Voyage Majesteit tetap berlangsung. Sudah pada 13 Juni Direktur RVD Hans van der Voet memanggil saya untuk mengatakan bahwa tidak hanya nyonya di Noordeinde tetapi juga Perdana Menteri Kok sangat terkejut. Mulai dari Luns sampai dengan Kok, pengertian kebebasan menyampaikan pendapat merupakan sesuatu yang pelik. Bila Charles Krauthammer dalam majalah Time magazine (31 Juli 1995) menyuguhkan suatu pleidooi untuk mencegah Hillary Clinton menghadiri konferensi wanita di Peking pada bulan September, karena pelanggaran hak-hak asasi manusia di negara itu, maka mengapa saya setelah empat puluh tahun pengalaman saya di Indonesia, tidak diperbolehkan menulis brosur untuk menyarankan agar sebaiknya Yang Mulia Ratu jangan mengunjungi Pol Pot Indonesia? Ketika seorang teman wartawan akan menyampaikan brosur itu kepada Perdana Menteri Kok pada suatu konferensi
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
372 pers, dengan sangat marah buku itu disingkirkannya dari meja. Kemudian Van der Voet menyarankan kepada teman wartawan itu agar memutuskan hubungan dengan saya. Begitukah kelakuan Den Haag tahun 1995 terhadap mahluk-mahluk yang memiliki pendapat yang tidak sesuai dengan yang berwenang. Sudah sejak 13 Juli Van der Voet mengumumkan bahwa akan muncul problema-problema, bila saya sebagai wartawan Story dan HP de Tijd mengikuti perjalanan Beatrix ke Indonesia. Ini mengherankan saya, sebab setelah saya mengirimkan brosur saya kepada Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas, lewat Duta Besar JBS Kadarisman di Den Haag dia mengucapkan terima kasih lewat telepon atas kiriman brosur itu. Selama tiga puluh tahun saya menyatakan dalam buku-buku dan tulisan-tulisan bagaimana pendapat saya tentang Presiden Soeharto. Tahun yang lalu telah terbit Persona Non Grata, di mana pada halaman 11 saya menulis, ‘Menurut ukuran yang dipakai terhadap Nazi di Neurenbuerg, Soeharto seharusnya ditembak’. Setelah buku itu diterbitkan dan juga beredar di Jakarta, saya tinggal di Indonesia dari Januari sampai April 1995. Setelah waktu itu, visaku harus diperpanjang. Bagian protokol dari Dinas Luar Negeri mengirim surat kepada Dinas Imigrasi Jakarta, meminta untuk memperpanjang masa tinggal saya, ‘karena Willem Oltmans adalah sahabat pribadi Menteri Alatas’. Tentu saja Van der Voet dari RVD pada 13 Juni sudah tahu apa yang diberitakan Jakarta pada saya pada 19 Juli, yakni bahwa visaku untuk mengikuti perjalanan Beatrix akan ditolak. Beatrix, Kok dan Van Mierlo masih memikirkan
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
373 brosur itu - katanya sendiri kepada mitra separtainya Gertjan Wolffensperger. Memang benar, sebab Jakarta sama sekali tidak peduli tentang apa yang kemudian terbukti pada tahun 1994 tentang pendapat saya perihal Soeharto yang berulang-ulang saya sampaikan. Dengan sangat licik Departemen Luar Negeri mencantumkan nama saya dalam berkas-berkas resmi sebagai wartawan yang memiliki surat-surat, untuk kunjungan negara Yang Mulia Ratu ke Indonesia. Sejarah saya yang berlarut-larut dengan para penguasa Belanda berulang lagi. Tahun 1964 pihak Luns memberitahukan serikat kerja wartawan, NVJ, bahwa hak-hak saya sebagai wartawan telah dikembalikan berkat anugerah Tuhan, dan di pihak lain dua minggu kemudian Luns menyusulkan sebuah telegram rahasia bahwa sabotase terhadapku harus tetap dilaksanakan. Saya dapat memiliki telegram-telegram itu karena seorang ahli hukum Departemen Luar Negeri secara tidak sengaja menganggapnya kadaluwarsa. Bila berkas-berkas kotor yang dilakukan Den Haag terhadapku untuk mencegahku melakukan pekerjaanku, suatu ketika muncul di permukaan, mungkin saya sudah tidak ada. Sementara itu kebencian pemerintah masih terus berlangsung dan penjahat-penjahat ini, bagiku seorang diri, hampir tak mungkin saya pegang. Permohonan-permohonan saya yang sangat mendesak kepada Sri Ratu dan kepada Perdana Menteri Van Mierlo agar mengikuti contoh Lubbers dan menyuruh Duta Besar Indonesia menelepon dengan pemberitahuan bahwa saya akan ikut kunjungan tanpa visa, tidak diindahkan. Secara sekilas terlintas di benakku untuk pergi juga ke Indonesia sebagai
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
374 turis, karena untuk kunjungan turis tidak dibutuhkan visa. Tetapi ketika buku ini dicetak, pada tanggal 15 Agustus 1995, Duta Besar Kadarisman menelpon saya untuk mencegah saya pergi ke Jakarta sekalipun sebagai turis.19. Kalau saja Ruud Lubbers tidak pernah pergi, maka saat ‘kunjungan kenegaraan yang historis’ ke Indonesia ini, saya bisa melakukan pekerjaanku secara normal. Semua kasak kusuk itu adalah hasil langsung dari fakta bahwa antara Roma (1956) dan Jakarta (1966) saya telah menganggap Bung Karno sebagai sahabat. Karena itulah saya menjadi persona non grata dan dianggap sebagai musuh negara nomor satu. Tanggal 8 Agustus 1994, di menara yang terkenal itu, Perdana Menteri Lubbers mengatakan kepadaku bahwa dia tidak mengira bahwa kartu merah yang diberikan Luns kepadaku pada tahun 1962, tidak akan pernah bisa hilang. Tetapi rupanya fakta membuktikan bahwa saya tahun 1995 dapat menulis buku ini tanpa disensor dan mempublikasikannya, barangkali ini merupakan langkah pertama ke arah pengembalian hak saya sebagai warga negara dan sebagai wartawan, walaupun bulan Agustus 1995 Beatrix, Kok dan Van Mierloo tidak mau membantu melaksanakannya. Willem Oltmans, 15 Agustus 1995
19.
Lihat lampiran 4.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
375
Lampiran I Surat terbuka dari Dewi Soekarno kepada Jenderal Soeharto Yang Mulia, Presiden Soeharto, Sekali-kali bukanlah maksud saya untuk mengingatkan Anda akan hal-hal yang rupanya ingin Anda lupakan. Tetapi karena saya mengikuti kejadian-kejadian di Indonesia dari dekat, saya anggap tugaskulah untuk berbicara. Mungkin akan lebih bijaksana untuk tetap membisu seperti sphinx. Pertanggungjawaban untuk melanggar tabu biasanya amat berat, karena itu saya juga sadar bahwa saya akan dikucilkan. Barangkali lebih berat daripada yang saya perkirakan. Baik di dunia maupun di Indonesia lambat laun beredar cerita-cerita yang dipalsukan bahwa saatnya sudah tiba saya membeberkan kejadian-kejadian dari sudut pandang saya. Saya telah memutuskan untuk menyampaikan surat kepada Anda sebagai warga negara Indonesia. Selain
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
376 itu saya mengharapkan agar tidak timbul keragu-raguan bahwa keputusan saya untuk mengirimkan surat terbuka kepada Anda, maupun isinya, sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya dan tidak ada sangkut pautnya dengan Soekarno, mantan Presiden Indonesia. Sekarang sudah terlambat untuk membicarakan para perwira yang telah dihukum mati sebagai ‘kontra-revolusioner’ dan sebagai ‘pelaku makar terhadap negara’. Sudah sejak dahulu, sejak hari-hari Soekarno masih berkuasa, saya tidak setuju dengan pendapat bahwa ‘kekuasaan selalu menang’. Saya juga tidak setuju bila kepala negara mengelilingi dirinya dengan yes-man. Saya masih saja berpendapat bahwa di sekitar Anda masih terlalu banyak orang berkumpul, yang selalu bungkam, yang pura-pura setuju dan menaati Anda, agar mendapatkan lebih banyak kekuasaan untuk dirinya. Yang pertama-tama saya kutuk ialah yang disebut proses-proses, di mana orang dihukum mati untuk ‘kejahatan-kejahatan yang dilakukan terhadap negara’ tanpa mengindahkan norma-norma yang lazim dilakukan dalam suatu proses di pengadilan. Proses-proses itu berlangsung dalam suasana kekerasan dan teror. Mereka, yang di bawah pimpinan Soekarno hampir tidak punya suara, kemudian melampiaskan diri dengan sangat tidak bertanggung jawab dan membunuh dan menteror dari posisi kekuasaan yang baru mereka peroleh. Bila suatu waktu nanti tempat Anda akan kosong untuk diisi oleh orang lain, bisa saja terjadi, bahwa mereka yang menonjol
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
377 dalam rezim Anda, termasuk di dalamnya tentu Anda sendiri dan sejumlah mitra militer Anda, akan dihukum mati karena pengkhianatan terhadap negara dan kejahatan-kejahatan lain, misalnya korupsi yang telah menyebar luas kemana-mana. Mengapa Anda memberikan contoh seburuk itu kepada negara semuda Indonesia? Dalam hal ini yang saya maksud tidak hanya proses-proses politik yang telah Anda selenggarakan. Tetapi yang teringat olehku adalah orang-orang yang terbunuh oleh yang dinamakan ‘pembersihan merah’ menyusul peristiwa 30 September 1965. Berapa dari orang-orang ini hanyalah pengikut-pengikut Soekarno? Berita yang merebak menyebutkan bahwa tidak kurang dari 800.000 orang Indonesia, termasuk perempuan dan anak-anak, telah dibunuh karena mereka merupakan pengikut PKI (Partai Komunis Indonesia). Januari 1966, London Times menulis, ‘Setelah kejadian-kejadian di Indonesia, tiga bulan yang lalu, telah dibunuh seratus ribu komunis, angka itu menurut diplomat-diplomat Barat amat rendah. Laporan itu selanjutnya menyebutkan ‘Para usahawan dan turis Eropa, yang baru kembali dari Indonesia mengabarkan bahwa mereka melihat sebuah sungai penuh dengan mayat tanpa kepala, sedangkan di desa-desa anak-anak bermain sepakbola dengan kepala korban’. Tiga bulan setelah peristiwa 30 September merupakan mimpi buruk dengan kekejaman-kekejaman yang tak terlukiskan yang diwarnai darah - tanpa tandingan dalam sejarah Indonesia. Seorang koresponden ‘Washing-
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
378 ton Post’ menulis dari Jakarta, bahwa di Jawa Timur saja telah dibunuh 250.000 orang menurut juru bicara pihak Islam. Koran itu kemudian memberitahukan bahwa ‘pembunuhan mencapai puncaknya pada bulan November. Kepala orang dipakai sebagai dekorasi di atas jembatan. Di tempat lain orang melihat jenazah-jenazah tanpa kepala berjajar di atas perahu-perahu di sungai. Apa yang terjadi di sini sungguh tak bisa dibayangkan. Rupanya seperti di neraka. ‘Bengawan Solo yang didendangkan dengan begitu indah telah memuat demikian banyaknya jenazah, sehingga airnya pun kadang-kadang tidak tampak. Beberapa pengamat berbicara tentang dasar sungai yang berwarna merah karena darah’, demikian Washington Post. Koran Inggris ‘The Economist’ memperkirakan korban pembunuhan massal berjumlah satu juta. Mengapa harus terjadi pertumpahan darah besar-besaran terhadap orang-orang yang tak bersalah? Dan mengapa masyarakat dunia membisu seribu bahasa? Bila satu orang saja meninggal di sepanjang tembok Berlin, seluruh dunia gegap gempita. Tetapi bila 800.000 orang Asia dalam masa damai dibunuh secara terencana, adem-ayem saja di Barat. Tentu, di antara yang terbunuh itu pasti ada yang komunis. Tetapi apa yang terjadi dengan kebebasan serta hak asasi manusia, bila mereka bekerja dengan mempergunakan cara-cara tertentu terhadap suatu gerakan di bawah tanah, yang tidak berkenan di hati pemerintah. Akan lebih bisa diterima bila cara-cara tertentu itu diambil,
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
379 setelah PKI dilarang secara undang-undang dasar. Tetapi justru karena kebebasan manusia harus dihormati ditinjau dari sudut kemanusiaan, tidaklah dapat dibenarkan mengadakan pembantaian di antara pemberontak. Lepas dari persoalan ideologi, yang terjadi itu merupakan kejahatan nasional. Tuan Soeharto, ke mana pun Anda berpaling untuk mengesahkan kejahatan ini, suatu kejahatan di mana orang yang tidak berdaya dan yang tak terlindung dibunuh dan sebagian lain seolah-olah dibebaskan, terus terang, saya tidak menyetujui apa yang telah terjadi. Bukankah suatu fakta bahwa pemerintah baru di bawah bendera Orde Baru mempergunakan slogan ‘menumpas PKI?’ Apakah Anda begitu ketakutan bahwa kekuasaan Soekarno akan kembali dan bahwa pengikut-pengikutnya akan muncul kembali, karena Anda tahu benar bahwa lebih dari separo orang Indonesia setia padanya? Hal ini tentu belum Anda lupakan, bukan? Barangkali Anda telah berpendapat bahwa 30 September telah merupakan masa lalu. Menurut saya tidaklah demikian halnya karena sangat banyak pertanyaan yang belum jelas dan disembunyikan. Saya bersyukur bahwa saya mengalami kejadian-kejadian itu dari dekat dan mengambil hikmah darinya, bahwa kejadian-kejadian sebenarnya dalam sejarah selalu diinterpretasikan ulang oleh mereka yang sedang berkuasa, agar dapat memanfaatkannya untuk tujuan-tujuan politik mereka. Saya juga menyadari pengaruh yang amat besar dari media publisitas. Betapa mudahnya
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
380 bagi pemimpin-pemimpin politik tergiur menerima propaganda yang akan menunjang tujuan-tujuan mereka. Marilah kita berhenti pada peristiwa 30 September, atau menurut fakta, pada dini hari 1 Oktober 1965. Inti dari insiden ini adalah kesimpulan, diperkuat oleh Dewan Revolusioner yang dipimpin oleh salah seorang anggota pengawal pribadi Soekarno, Letnan Kolonel Untung. ‘Sekelompok tertentu dari para jenderal berencana untuk menggulingkan pemerintah dan membunuh Presiden Soekarno. Mereka telah membentuk Dewan Jenderal yang dibentuk dengan tujuan membentuk kekuasaan militer. Lagipula coup itu akan dilaksanakan pada hari Angkatan Bersenjata yang akan diadakan pada 5 Oktober’. Untuk mencegahnya, enam jenderal dibunuh, satu diantaranya menteri pertahanan, yakni Jenderal Yani, demikian Dewan Revolusi. Anda telah membuat umat manusia percaya, bahwa komplotan yang melakukan peristiwa 30 September adalah anggota PKI. Bukankah pembunuh-pembunuh sebenarnya dari keenam jenderal itu adalah perwira-perwira Angkatan Bersenjata, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan polisi nasional? Saya meragukan apakah pembunuh-pembunuhnya khusus orang-orang komunis. Dan siapa sebenarnya orang yang mengobarkan perasaan dendam rakyat Indonesia dan menyulut api dengan menyatakan: ‘Itu adalah persekongkolah komunis!’. Dan ini malah terjadi sebelum ditemukan suatu bukti mengenai persengkongkolan komunis. Menteri Pertahanan, Jenderal Nasution, yang sebenarnya juga harus dibunuh oleh ‘Dewan Jenderal’, mengucapkan
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
381 pidato yang mengharukan saat keenam jenderal dimakamkan pada Hari Angkatan Bersenjata, 5 Oktober 1965. Dikatakannya, ‘Sampai hari ini Hari Angkatan Bersenjata selalu merupakan peristiwa yang penuh rahmat, yang menyinarkan kemenangan. Tetapi hari ini dinodai oleh pengkhianatan dan penyiksaan ... Walaupun difitnah oleh para pengkhianat, di dalam hati kami percaya bahwa Anda sekalian termasuk pahlawan dan bahwa akhirnya kebenaran akan menang. Kami difitnah, tetapi kami tidak akan melakukannya terhadap musuh-musuh kami’. Di dalam pidato Nasution, tidak ditemukan petunjuk sekecil apa pun, bahwa pembunuhan terhadap keenam jenderal telah dilakukan oleh para komunis. Sebaliknya, segala sesuatu yang diucapkannya menunjukkan bahwa peristiwa itu terjadi karena adanya persengketaan di dalam kekuatan-kekuatan Angkatan Bersenjata sendiri. Dan bolehkah saya bertanya, apa yang dimaksudkan Jenderal Nasution, dengan ucapannya ‘fitnah dari para pengkhianat’ dan ‘kami tidak akan melakukannya terhadap musuh-musuh kami?’ Tujuan utama lima puluh orang yang berseragam pasukan pengawal Presiden Soekarno ‘dan pembunuh-pembunuh yang Bersenjata berat dari PKI yang bergerak menuju rumah dinas Jenderal Nasution adalah untuk membunuhnya karena dia seorang antikomunis yang terkenal. Atau bukankah begitu? Tetapi sebagai gantinya mereka melihat ajudannya jenderal, yakni Letnan Tendean sebagai Jenderal Nasution. Saya yakin bahwa tiap anggota pasukan pengawal Presiden Soekarno dengan segera akan
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
382 mengenali Jenderal Nasution. Teori yang mengatakan bahwa para anggota PKI yang katanya mendapat tugas penting untuk membunuh jenderal, tidak mengenali wajahnya, rasanya tidak masuk akal. Sadarkah Anda bahwa masyarakat di Indonesia mempersoalkan dan curiga bahwa Anda sebagai satu-satunya anggota staf tertinggi dari Angkatan Bersenjata pada malam naas itu tidak diserang, karena para pembunuh dalam perjalanan ke rumah Anda tidak dapat menemukan alamatnya yang tepat? Dan lebih hebat lagi. Dini hari tanggal 1 Oktober 1965 itu Anda mengambil alih komando Angkatan Bersenjata dan dengan kecepatan yang hampir tidak manusiawi Anda bisa membungkam Dewan Revolusi. Setelah Soekarno kehilangan Menteri Pertahanannya, Jenderal Yani, beliau mengangkat Anda, yang pada saat itu masih berpangkat mayor jenderal, sebagai Menteri Pertahanan, sekaligus pimpinan tertinggi Angkatan Bersenjata. Itu terjadi tanggal 14 Oktober 1965. Pada kesempatan itu Soekarno berkata, ‘Tidak bisa dihindarkan ketertiban dan keamanan harus dikembalikan untuk menciptakan suasana damai, agar emosi baik dari pihak kiri maupun dari pihak kanan bisa mereda... dan untuk menemukan jalan keluar politik dari peristiwa 30 September ini sangat perlu untuk mengetahui dan mengenali fakta-fakta umum dan fakta-fakta yang menyangkut berbagai hal mengenai peristiwa itu. Fakta-fakta itu tidak akan meresahkan saya, dengan warna politik mana pun mereka menampakkan diri, merah hijau atau pun kuning.’
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
383 Menurut instruksinya, Presiden Soekarno memerintahkan agar Anda mengumpulkan ‘fakta-fakta’ dan menyerahkannya kepadanya secara pribadi. Jadi, seharusnya Anda segera mulai mengadakan penyelidikan. Akan tetapi perintah Soekarno itu Anda interpretasikan sendiri dan Anda malah mengatakan, ‘Sekarang saya telah mendapatkan kepercayaan presiden. Sekarang saya akan melanjutkan mengenyahkan kekuatan-kekuatan yang masih tersisa dari insiden itu’. Ini semua mempunyai arti. Presiden Soekarno menghendaki dan mengharapkan dari Anda bahwa Anda akan setia dan akan loyal menaati perintahnya. Presiden telah bertekad untuk menemukan hukuman yang adil bagi pelaku-pelaku makar, siapa pun pelakunya, PKI atau militer. Anda tidak menyampaikan fakta-faktanya kepada presiden dan Anda juga tidak mendapatkan persetujuannya untuk menggerakkan Angkatan Bersenjata, dengan jenderal-jenderal seperti Sarwo Edhie. Dan segera setelah itu mulailah pembunuhan terhadap orang-orang yang tak bersalah, yakni yang disebut para komunis. Sudah menjadi fakta yang diketahui secara umum bahwa Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atas perintah khusus dari Anda mulai dengan menyiksa, membakar, merampok dan memperkosa di seluruh negeri. Angkatan Bersenjata melakukan teror yang Anda lindungi. Dengan publikasi besar-besaran mengenai pembunuhan terhadap para jenderal, rakyat yang cinta damai terpicu sampai titik kemarahan yang memuncak. Rakyat mulai membenci PKI karena melakukan kekejian-kekejian tersebut dan sering
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
384 Cina dianggap sebagai biang keladi peristiwa ini. Sebagian besar rakyat Indonesia tidak percaya bahwa pernah ada ‘Dewan Jenderal’. Selanjutnya Soekarno dipaksa menempatkan PKI di luar hukum dan menyatakan bahwa PKI-lah yang bertanggung jawab atas peristiwa 30 September. Selama satu tahun penuh para mahasiswa dan kelompok-kelompok lain yang tidak puas berdemonstrasi dengan cara melakukan kekerasan-kekerasan terhadap Soekarno, justru karena ia menolak untuk menyatakan PKI sebagai partai yang ilegal tanpa adanya bukti bahwa PKI adalah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas insiden itu. Para pemimpin demonstrasi itu yang disebut para ‘mahasiswa’, yang usianya jauh di atas 30 tahun, yang menghadiahkan pada para pengikutnya perlengkapan-perlengkapan parasut yang bagus yang entah dari mana asalnya. Dan dari mana datangnya dana yang sungguh tidak sedikit untuk menyelenggarakan aksi-aksi para mahasiswa yang berdemonstrasi itu yang jelas-jelas dibiayai. Dan mengapa para ‘pemimpin’, para pembuat kerusuhan itu sekarang menduduki jabatan-jabatan yang penting dalam pemerintahan Anda? Kerusuhan yang dengan sengaja dikobarkan ini berlangsung selama kira-kira setahun. Sementara itu dilakukan serangan propaganda terhadap PKI, yang digambarkan sebagai biang keladi semua kerusuhan yang terjadi. Saya ingin bertanya kepada Anda, berapa banyak kejahatan dan kecurangan yang telah dilakukan atas nama PKI? Dan ini masih tetap berlangsung, sampai sekarang, empat tahun setelah gerakan 30 Septem-
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
385 ber. Bisa dimengerti dan merupakan realitas politik, bahwa warga negara yang ramah, yang selalu hidup dalam ketakutan dan ketidak amanan, harus bersahabat dengan mereka yang memegang kekuasaan. Tetapi 2 Januari 1966, pada suatu rapat kabinet di Bogor, Soekarno telah memperingatkan Anda, ‘Situasi yang tidak menentu ini harus diakhiri tanpa saudara-saudara sebangsa saling membunuh. Bila pembunuhan massal terhadap sesama warga negara tetap berlangsung, akan timbul kekuatan-kekuatan balik yang buruk’. Tetapi dengan cara yang ‘menakjubkan ’ Anda memecahkan persoalan situasi yang tidak aman ini dengan cara Anda sendiri. Saya sama sekali tidak membenarkan aksi 30 September 1965 itu. Saya tidak menyalahkan siapa pun, dan saya tidak mengadili. Apalagi bila saya seorang komunis. Saya sama sekali tidak berharap seolah-olah saya seorang ‘simpatisan komunis’, yang secara pribadi menarik perhatian saya adalah apa yang sebenarnya terjadi. Bila memang terbukti bahwa penyulut gerakan 30 September adalah mereka yang termasuk PKI, kita hanya bisa bertanya-tanya mengapa partai berkuasa yang terorganisasikan dengan ketat ini melakukan langkah-langkah yang tak berguna dan kurang terarah seperti itu dan untuk tujuan apa? Mengapa tentara mengabaikan kebakaran besar yang terjadi di markas besar PKI, yang disulut oleh pembuat onar itu. Bukankah yang bisa terjadi adalah bahwa di markas besar tersebut Anda bisa menemukan bukti-bukti campur tangan tentara yang bila ditemukan tidak akan menyenang-
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
386 kan pihak tentara? Bila biang keladi pencetus gerakan 30 September benar-benar anggota PKI, sudah sepantasnya bila pelaku-pelakunya diadili secara terbuka di depan seluruh rakyat Indonesia. Tetapi mengapa tentara menghilangkan nyawa Ketua PKI, DN Aidit, secara rahasia? (Baru berbulan-bulan kemudian pembunuhan ini Anda laporkan kepada Soekarno). Dan mengapa wakil ketua pertama dan kedua PKI, Njoto dan Lukman, juga dibunuh dengan cara yang sama? Orang mengatakan bahwa Partai Nahdatul Ulama beranggotakan 6.000.000 orang. Tetapi mengapa di lingkungan ini orang begitu takut terhadap PKI, yang hanya beranggotakan 3.000.000 orang. Terlalu banyak hal yang tetap tidak dapat dijelaskan. Komunisme, yang sangat Anda takuti itu, akan hilang dengan sendirinya, bila kemiskinan teratasi. Teror dari ideologi PKI di bawah pimpinan Aidit (ketua kongres partai) didasarkan atas Pancasila (Soekarnoisme). PKI memegang peranan penting saat bangsa ini dilahirkan dan mereka memperjuangkan sosialisme Indonesia. Nasution, Ketua MPR-Sementara, menuduh PKI melakukan aksi-aksi yang telah merugikan negara, terutama di bidang ekonomi. Penyebab utama inflasi saat ini adalah hutang kepada luar negeri sebesar 2,5 miliar dolar AS. Diantaranya adalah utang kepada Uni Sovyet untuk impor senjata seharga satu miliar dolar. Orang yang menandatangani kontrak-kontrak itu adalah Jenderal Nasution sendiri, yang untuk tujuan itu dua kali pergi ke Moskow. Dan sekarang dia mengatakan bahwa dia tidak bertanggung jawab?
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
387 Bapak Soeharto, saya ingin melihat sejumlah fakta yang Anda sendiri laksanakan sebagai barang bukti untuk menuduh PKI. Mengapa Anda tidak membuka kembali penyelidikan tentang kejadian-kejadian pada 30 September 1965 dengan mengumpulkan fakta-fakta yang sebenarnya dan bukan kesaksian-kesaksian dan barang-barang bukti sepihak. Seluruh negeri mempunyai hak untuk mengetahui. Juga pemberitahuan mengenai pengalaman-pengalaman Anda sendiri. Cerita yang beredar malah mengatakan bahwa PKI tidak bekerja sendiri, tetapi bahwa Soekarno sendiri telah dicurigai bersekongkol dengan Dewan Revolusioner sebelum dipanggil. Ada pula dikatakan bahwa beberapa ribu anggota PKI menjelang gerakan 30 September mendapatkan pendidikan militer di suatu daerah sekitar Halim, di mana Soekarno pada pagi insiden itu terjadi, diselamatkan. Orang hanya bisa bertanya-tanya, bagaimana mungkin ribuan orang mendapatkan latihan militer secara rahasia tanpa diketahui orang. Dan mengapa Soekarno mencari perlindungan di tempat yang akan melibatkan dirinya? Berita-berita yang kami terima pada hari itu di Halim, bisa disimpulkan sebagai berikut, ‘Telah timbul konflik dalam tubuh tentara. Pribadi presiden tidak boleh dibahayakan oleh suatu kecelakan mendadak’. Saya sendiri secara rahasia pergi ke Halim untuk berada di samping suamiku pada saat-saat keresahan dan ketakutan yang mencekam itu. Kami tidak menyadari bahwa Jenderal Yani telah dibunuh. Kami tidak yakin apakah Bapak termasuk kawan atau lawan kita. Tetapi saya masih tetap berpendapat
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
388 bahwa bila Jenderal Yani tidak meninggal dalam insiden ini, keadaan di Indonesia akan lain sama sekali saat itu. Soekarno sangat mengkhawatirkan keberadaan Yani. Bapak Soeharto, untuk pertanyaan yang berikut ini saya mohon perhatian khusus Anda. Keberadaan ‘Dewan Jenderal’ yang Anda sangkal dengan sengit, diketahui Jenderal Yani (lepas dari fakta bahwa orang mengatakan Dewan ini dibentuk oleh jenderal-jenderal yang terbunuh). Hanya dua minggu sebelum insiden ini presiden menanyakan padanya berita-berita yang lebih lanjut mengenai hal itu. Yani menjawab, ‘Biarkanlah saya bertanggung jawab mengenai bawahan saya. Janganlah Anda memikirkan hal ini lagi’. Bagi saya beum dapat dipercaya bahwa juga Jenderal Yani pada hari naas itu terbunuh juga. Apabila Anda, yang mendapat tugas untuk menyelidiki gerakan 30 September, tidak mengadakan penyelidikan sepihak, maka Anda juga akan mengetahui bahwa sebenarnya Soekarno tidak terlibat perkara itu. Bapak Soeharto, bolehkan saya mengajukan pertanyaan berikut: Jawaban apa yang akan Anda berikan kepada rakyat Indonesia yang menduga bahwa Anda sendiri yang melaksanakan rencana-rencana busuk ‘Dewan Jenderal’ setelah melihat betapa lihainya Anda mengembalikan ketertiban dari suatu situasi yang amat membingungkan (segera setelah insiden itu terjadi). Kekacauan yang amat sempurna yang terjadi di Indonesia saat itu, dimanfaatkan oleh Angkatan Bersenjata yang berorientasi kanan, bersama para mahasiswa yang pada gilirannya juga didorong
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
389 pemimpin-pemimpin Islam dan politisi beraliran kanan, untuk menindas PKI. Untuk tujuan itu dibuat suatu skema yang jelas tentang pembunuhan dan pertumpahan darah. Mungkinkah wajah Angkatan Bersenjata yang sebenarnya berpaling ke Pentagon, Kementerian Pertahanan Amerika yang jadi pusat militer dari persekongkolan militer di dunia. Bukankah mereka menginginkan agar di sudut (dunia) ini PKI ditumpas dan hubungan dengan Cina diputuskan? Berulang kali Soekarno memperingatkan bahwa menuduh PKI bertentangan dengan kebenaran. Soekarno mengatakan, ‘Jangan meletakkan seluruh tanggung jawab itu pada PKI. Kebenarannya ada di tempat lain’. Saya akan selalu menghormati dan respek pada Soekarno, yang menjalani nasibnya. Yang menolak tunduk pada tekanan Angkatan Bersenjata, yang melakukan segala upaya untuk menyatakan PKI tidak layak hukum. Dia tidak goyah dalam kepercayaan dan cita-citanya di bawah tekanan seberat apa pun. Bila saat itu ia menyerah dan mengadakan kompromi, maka posisi Soekarno saat ini akan lain sama sekali. Tetapi Soekarno melambangkan keadilan. Menteri Luar Negeri Adam Malik, pada tahun 1966 memberikan pidato penjelasan yang amat bodoh pada para mahasiswa Indonesia di Tokyo. Dia menjelaskan bahwa Soekarno yang bertanggung jawab atas pembunuhan ‘massal’ terhadap anggota-anggota ‘komunis’, yang menurutnya tidak akan terjadi bila saja Soekarno segera mengadili PKI. Kita hanya bisa bergidik bila membayangkan apa yang akan terjadi di Indonesia, bila Soekarno juga
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
390 muncul di depan umum untuk menghujat PKI. Itu akan berarti bahwa presiden melegalisasi pengejaran terhadap para komunis yang memang telah dimulai dan akan berakibat pembantaian yang lebih hebat. Ungkapan Latin berbunyi ‘cui bono’ (siapa yang beruntung?). Dalam penyelidikan mencari fakta-fakta yang sebenarnya, yang penting tidak hanya apa yang sebenarnya terjadi. Yang tidak kalah penting adalah mencari fakta, siapa yang paling beruntung dalam kejadian ini. Bukankah Amerika Serikat yang jelas memperolah kemenangan dalam insiden 30 September ini? Jakarta yang sekarang dibanjiri oleh orang-orang Amerika yang akan ber-‘investasi’. Sebetulnya hal itu tidak akan menyebabkan keberatan, bila ini berarti bahwa aktivitas ekonomi ini terutama akan mendorong kesejahteraan rakyat Indonesia. Selama hidupnya Soekarno selalu menolak bila ada yang ingin membuat patung dirinya. Setelah 22 tahun memimpin revolusi Indonesia, dengan amat segan ia menyetujui untuk mempublikasikan otobiografinya. Tetapi Anda, Bapak Soeharto, baru saja Anda memperoleh kekuasaan dan Anda telah mengeluarkan buku yang berjudul ‘The Smiling General’. Setelah itu, telah menjadi rahasia umum bahwa Anda berkeinginan untuk mencetak potret Anda pada uang kertas, yang berhasil dicegah oleh para penasihat Anda. Pada umumnya, di kedutaan-kedutaan di luar negeri dipasang potret-potret dari tokoh-tokoh sejarah negara yang bersangkutan. Soekarno adalah Bapak Indonesia. Tetapi mengapa di kedutaan-kedutaan Indonesia di luar negeri
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
391 tidak ada sama sekali potret Soekarno sekecil apa pun? Anda, yang mengkritik diktator Soekarno, dengan khidmat berjanji untuk membimbing Indonesia ke arah demokrasi yang mewakili suara dan hati nurani rakyat. Sementara itu Anda telah merenggut hak-hak yang lebih besar daripada Soekarno. Langkah pertama ke arah demokrasi, yakni pemilihan presiden, selalu ditunda-tunda. Anda malah mengizinkan diadakannya diskusi-diskusi menggelikan apakah nama Soekarno layak ditulis di dalam buku-buku sejarah negara ini. Sementara Anda menjelaskan secara umum bahwa Anda melindungi Soekarno, Anda malah mengisolasinya dari dunia luar. Pengasingan yang tidak adil ini dengan dalih bahwa dia sedang sakit, justru akan membuatnya sakit. Bila ia membutuhkan perawatan medis, Anda malah menolak untuk memberikannya. Aparat-aparat medis yang tak dapat digunakan menghiasi kamar-kamarnya. Perawatan gigi yang dibutuhkannya, tidak diberikan. Orang telah menganjurkan agar tidak memberikan lagi suntikan-suntikan, karena tidak diketahui lagi, apakah ia menerima obat-obatan yang benar-benar dibutuhkannya. Saya hanya bisa berharap agar makanan yang disiapkan anak-anaknya, benar-benar sampai ke tangannya. Soekarno sekarang menjalani hidup yang amat sulit. Hak-hak manusia yang paling minim pun tidak diberikan kepadanya. Satu-satunya saat ia bisa meninggalkan pengasingannya ialah untuk menghadiri upacara perkawinan anak-anaknya. Mobilnya kemudian dikawal oleh
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
392 kendaraan panser dan siapa pun dicegah untuk mendekatinya. Ketika Soekarno pada upacara seperti itu, berdiri untuk mencium mempelai, yakni puterinya, dengan kasar ia ditarik kembali duduk di sofa oleh polisi militer yang mengawalnya, sementara matanya ditutup agar orang tidak bisa membuat foto. Bila saya mengalami perlakuan seperti itu, saya sudah lama akan musnah. Tetapi justru, oleh karena Soekarno memiliki kekuatan rohani yang amat dalam dan kemauan yang amat kuat, siksaan semacam ini masih bisa ditanggulanginya. Saya hanya sangat khawatir: bila di depan umum saja ia telah diperlakukan seperti itu, bagaimana dia diperlakukan bila dia sendiri? Secara fisik ia bisa dihancurkan, tetapi mereka tidak akan bisa memusnahkan jiwanya. Dalam hal ini ia tetap hidup. Soekarno telah membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda selama 350 tahun. Dia adalah Bapak bangsa. Setelah menderita selama tiga belas tahun dalam tahanan dan penjara oleh orang Belanda, dia berhasil membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan setelah perang kemerdekaan tahun 1945 sampai 1949. Tanpa pimpinan dan bimbingan Soekarno, pada saat ini Anda tidak akan berada pada posisi Anda sekarang. Soekarno menciptakan undang-undang dasar yang demokratis dan mendirikan suatu lingua franka bagi Indonesia. Dia menjadi promotor seni dan kebudayaan Indonesia. Orang yang mengorbankan jiwa raganya untuk bangsanya, tidak layak diperlakukan seperti itu. Dia pantas dihormati sesuai dengan jasa-jasanya.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
393 Soekarno tidak akan pernah mengizinkan dilakukan pengkhianatan, atau direncanakannya pembunuhan sesama saudara secara besar-besaran. Saya tidak bisa bungkam dan membisu, sementara suami saya menjadi pelampiasan kekerasan. Bagi saya nilai yang tertinggi adalah: kesucian. Saya sangat yakin bahwa tindakan yang paling rendah yang dilakukan seseorang terhadap sesamanya adalah membiarkan korbannya itu mati tersiksa. Kami ingat kepada pepatah Jepang yang bunyinya, ‘Mencekik seseorang dengan kaos sutera’. Dan Anda, Tuan Soeharto, membiarkan Soekarno disiksa secara rohani dan jasmani. Tidak pernah saya memperdengarkan suara saya, baik langsung maupun tidak langsung, karena saya sadar betul betapa banyak dan beratnya problema yang harus Anda tangani. Tetapi sekarang saya berbicara secara umum dan terbuka, pertama-tama demi keselamatan jiwa Soekarno. Ketika Soekarno meng-alih-tugaskan jabatannya dan mengangkat Anda sebagai penggantinya 7 Maret 1967, dia melakukannya dengan tiga syarat. Salah satunya adalah agar Anda melindunginya dan keluarganya. Anda tidak menepati syarat itu dan mengingkari janji Anda. Dalam suatu wawancara dengan pers Jepang mengenai korupsi di Indonesia, Anda antara lain mengatakan, ‘Mengenai pertanyaan tentang korupsi, orang mengatakan bahwa itu masih tetap terjadi. Tetapi itu adalah akibat dari sisa-sisa rezim Soekarno. Dan untuk sementara masih tetap akan berlangsung, karena hal itu sejak dulu sudah
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
394 terjadi’. Apabila kata-kata yang Anda ucapkan itu benar-benar datang dari lubuk hati Anda, maka itu merupakan suatu pembelaan. Hanya seorang pengecut dan seorang yang berjiwa rendah yang berlindung di belakang Soekarno saat menjelaskan korupsi yang terjadi sekarang. Ketika Anda melakukan ini, hilanglah sudah rasa hormat saya yang terakhir kepada Anda. Selama ada manusia, wajar bahwa mereka yang menang otomatis berada di pihak yang benar dan mereka yang kalah bisa dituduh melakukan apa saja. Apabila Anda secara jujur benar-benar mau menyelidiki korupsi, sebagai warga negara Indonesia, saya bersedia dengan sungguh-sungguh untuk membantu Anda dalam tugas itu. Saya bersedia menghadiri pengadilan terbuka, apalagi saya bisa bertindak sebagai penuntut. Tetapi proses seperti ini harus disalurkan lewat undang-undang dan norma-norma yang berlaku dan tidak diatur secara tertutup dalam suasana ketakutan, kekerasan dan penyalahgunaan wewenang. Itu akan menjadi syarat mutlak bagiku. Soekarno adalah pahlawan Revolusi Indonesia. Tetapi menurut pendapatku yang sederhana, hal ini tidak perlu berarti bahwa orang ini juga akan menjadi pemimpin nasional yang baik dalam waktu damai. Saya kira, bila Soekarno melewatkan masa remaja dan masa mahasiswanya di luar negeri, dia pasti akan lebih berhasil mendapatkan perasaan dan kesadaran ekonomi dan menambahkannya pada kapasitas kepemimpinannya yang istimewa itu. Menurutku rupanya suatu kesalahan bahwa dia menyuruh
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
395 menasionalisasikan sarana produksi. Tambahan pula, Soekarno tidak pernah merasakan mempunyai ‘rumah’ dalam arti yang sebenarnya. Andaikata dia pernah mengalami kehidupan berkeluarga dalam arti moral dan etis yang sebenarnya, seperti yang lazimnya dianggap masyarakat, maka ia barangkali akan menjadi seorang presiden yang lebih baik dari sebuah negara yang dipimpin secara sosialis. Tetapi keadaanlah yang mengubahnya menjadi seorang figur kaisar. Dan dengan demikian dia akan menjadi korban dari kekuasannya sendiri yang mahadahsyat itu. Soekarno selalu saya kagumi dan hormati sebagai seorang tokoh yang besar, tetapi seperti juga Anda ketahui benar, Bapak Soeharto, saya tidak selalu setuju dengan pendapatnya. Misalnya saja pendapat saya bahwa Pancasila, ciptaan Soekarno (agama, kemanusiaan, demokrasi, nasionalisme dan keadilan sosial) adalah suatu bentuk idealisme murni. Walaupun idealisme barangkali sangat diharapkan, namun belum tentu dapat dipraktekkan dalam abad kedua puluh ini. Indonesia jelas belum matang untuk bentuk demokrasi Barat. Dengan alasan itulah Soekarno menganjurkan ‘demokrasi terpimpin’, terutama juga karena sebagian besar penduduk belum mencapai tingkat pendidikan dan tingkat sosial yang sama. Dalam hal ini saya setuju dengan pendapatnya. Tetapi di pihak lain, Soekarno mengarahkan politiknya ke cita-cita yang lebih tinggi. Maka tak dapat dihindarkan bahwa dia kemudian mendapatkan kritik tajam, terutama mengenai pandangannya dalam memperbaiki nasib masyarakat secara
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
396 keseluruhan. Soekarno seharusnya berpikir lebih realistis. Di dalam suatu kurun waktu, di mana dia bisa menjadi penguasa tunggal dia tentu bisa memaksa orang untuk menuruti cita-citanya. Tetapi sebagian besar rakyat lebih peduli untuk memperbaiki kehidupan sehari-hari daripada mengikuti idealismenya. Orang haus akan kenikmatan-kenikmatan materialistis dan orang makin tidak tertarik untuk mendengarkan pidato-pidato, yang tidak mengisi perut. Soekarno berpendapat bahwa dunia dikuasai oleh dua blok kekuasaan besar. Dia mencoba menghidupkan kekuatan ketiga yang akan memperbaiki keseimbangan. Di dalam pertikaian ini Indonesia mempengaruhi Dunia Ketiga: Asia, Afrika dan Amerika Latin. Sementara itu permainan diplomatik ini berarti bahwa Indonesia lambat laun dikucilkan. Dan itu sama sekali tidak dimaksudkannya. Dia berpendapat bahwa perdamaian dunia baru bisa dicapai bila kebebasan yang mutlak telah dicapai oleh tiap ras dan tiap bangsa. Tetapi keadaan terisolasi dari negara ini menyebabkannya mundur dari Perseriktatan Bangsa-Bangsa, Bank Dunia dan misalnya ketidakhadiran kita di Olimpiade di Tokyo. Indonesia meninggalkan PBB setelah terjadinya konflik mengenai pembebasan Iran Barat dan konfrontasi dengan Malaysia. Soekarno berpendapat bahwa PBB tidak bertindak adil terhadap tiap-tiap negara anggotanya. Karena Indonesia tidak akan pernah mendapatkan pinjaman dari Bank Dunia tanpa tunduk terhadap syarat-syarat tertentu dan tekanan politik, Indonesia kehilangan perhatian terhadap pemberian bantuan
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
397 secara itu. Sudah sebelum kegiatan Olimpiade di Tokyo saat berlangsungnya Asian Games di Jakarta, Indonesia dituduh dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan politik di bidang olahraga. Karenanya Indonesia tidak diperbolehkan mengikutinya. Terhadap perlakuan ini Soekarno menandaskan bahwa Olimpiade sendiri tidak luput dari pengaruh politik, karena buktinya negara-negara komunis tertentu tidak diizinkan mengikutinya. Bapak Soeharto, bila Anda pada hari-hari itu sungguh-sungguh berpikir secara mendalam mengenai hari depan negara ini, Anda pasti mempunyai pendapat lain daripada cita-cita Soekarno, yang akhirnya sering mempunyai dampak seperti angin puyuh. Saya sendiri, setidaknya, menyaksikan dengan hati berdebar bagaimana diplomasi Indonesia makin mengarah ke kiri. Tidak ada seorang pun yang sempurna. Tanpa kecuali Soekarno. Namun saya berpendapat bahwa Soekarno tidak pernah melakukan sesuatu untuk memperbaiki dirinya, tetapi selalu melakukan sesuatu dengan jujur dengan keyakinan penuh itu semua untuk kepentingan cinta tunggalnya, yakni Indonesia. Selama hidupnya ia sedapat mungkin mencegah rekan-rekan senegaranya saling membunuh. Dibandingkan dengan Soekarno, Anda dan sejumlah rekan kerja Anda memerintah negara dengan jalan membakar emosi dan pertumpahan darah. Anda dan antek-antek Anda yang seharusnya dituntut atas tuduhan membunuh orang-orang yang tak bersalah dalam jumlah yang tak terhitung banyaknya atas nama perburuan PKI.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
398 Siapa lagi yang masih percaya kepada Tuhan? Dalam hal ini, Indonesia seharusnya tidak layak memiliki seorang presiden yang tangannya berlumuran darah. Bapak Soeharto, Soekarno sungguh-sungguh mencintai negara dan rakyatnya. Termasuk pula mereka, yang berniat untuk membunuhnya, bisa dia dekati dengan lembut bila mereka minta maaf. Dibandingkan dengan beliau, Anda menyimpan hati yang kejam di balik senyum Anda. Anda telah menyuruh membunuh ratusan ribu orang. Bolehkah saya bertanya sekali lagi, ‘Apakah Anda tidak mampu mempertahankan posisi dan kekuasaan Anda kecuali dengan kelicikan dan pertumpahan darah?’ Barangkali kesalahan Anda terbesar adalah, tidak segera menyuruh membunuh Soekarno tahun 1965 itu. Dengan mudah Anda bisa menuduh para komunis melakukan pembunuhan itu. Bila Anda mau, dengan cara itu Anda bisa mencegah dilakukannya pembunuhan massal pada rakyat. Dan sementara itu pula, Anda bisa mempertahankan kedamaian jiwa jutaan pengagum Soekarno. Para pengagum yang sekarang hanya bisa memandang tanpa daya nasib yang menimpa pemimpin mereka. Selanjutnya akan sia-sia saja melampiaskan rasa rendah diri Anda terhadap Soekarno. Itu akan merupakan kematian yang lebih terhormat bagi Pemimpin Besar Revolusi, daripada seperti sekarang disiksa sampai dijemput maut. Merupakan aib nasional untuk Indonesia bahwa Soekarno tidak diperlakukan dengan lebih terhormat yang patut diterimanya setelah mengabdikan seluruh hidupnya bagi
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
399 nusa dan bangsanya. Izinkanlah saya mengakhiri surat ini dengan menyatakan sekali lagi kesetiaan saya yang mendalam untuk Bapak kita. Hidup Bung Karno! Ratna Sari Dewi Soekarno Paris, April 1970
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
400
Lampiran 2 Surat Kepada Ratu Juliana Kepada Sri Baginda Ratu Soestdijk Amsterdam, 22 Juni 1971 Nyonya, Saat ini Anda sedang bersiap-siap untuk mengadakan kunjungan negara ke Indonesia, karena itu kami merasa perlu menyampaikan ketidaksetujuan kami terhadap kunjungan itu. Posisi Anda sebagai kepala negara kita yang berdiri di atas semua partai, melarang Anda, sesuai juga dengan pendapat kami, hadir di Indonesia karena itu berarti bahwa Anda berpihak kepada penguasa di sana. Pembunuhan massal terhadap ratusan ribu warga negara, pelecehan hak asasi manusia, razia, pemilihan semu, kamp-kamp konsentrasi dan regu-regu tembak menjadi ciri-ciri tirani rezim jenderal yang akan menyambut Anda dan
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
401 tirani seperti itu tidak akan dibiarkan oleh orang Belanda mana pun. Apabila kunjungan yang sudah direncanakan itu bertujuan untuk memberi pujian atas terjalinnya hubungan ekonomi yang membaik dan berkembang luas sejak September 1965, maka izinkanlah kami memberitahukan bahwa politik investasi yang dianut sampai sekarang, juga dari pemerintahan Anda, ditambah injeksi-injeksi finansial dari yang disebut negara-negara donor, memang rupanya menyebabkan kesibukan ekonomi yang lebih besar di Indonesia, tetapi dengan demikian secara praktis telah melumpuhkan bagian rakyatnya sendiri, dan bersamaan dengan itu menumbuhkan korupsi oleh pimpinan tentara yang sedang berkuasa dalam jumlah yang tak diketahui besarnya. Hal ini telah menyebabkan terjadinya pengangguran massal dan kekurangan bahan kebutuhan hidup primer. Dalam keadaan yang tidak menghargai hak azasi manusia seperti sekarang di Indonesia, kunjungan resmi seperti yang Anda rencanakan atas nama rakyat Belanda tidak bisa dilakukan dengan alasan murahan seolah itu hanya merupakan suatu formalitas diplomatik. Sebaliknya: Kedatangan dan kunjungan Anda di Indonesia akan merupakan tamparan pada wajah jutaan orang Indonesia yang membela kebebasan, demokrasi dan kemanusiaan terhadap rezim ini. Lagi pula kunjungan Anda akan menimbulkan pendapat lain mengenai kedudukan raja, selain yang sampai sekarang tampak pada tingkah laku Anda.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
402 Bukan karena jumlah anggota kami, pamrih pribadi, maupun kepentingan politik atau sosial yang membuat surat ini berarti. Tetapi kepedulian kami terhadap tindakan Anda yang mengatasnamakan rakyat, yang menyebabkan kami menulis surat ini. Kami sungguh yakin, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang kami kemukakan ini, Anda akan membatalkan perjalanan Anda. Dengan segala hormat, Joris van den Berg, Amsterdam Harry van den Bergh, Amstelveen Dr. M.H. Bolkenstein, Zeist Rob van Gennep, Amsterdam Jaap Jansen, Amsterdam Prof. dr. Fr. de Jong Eiz., Amsterdam Dr. A. van Kammen, Vageningen Jan Kassies, Amsterdam Pater J. van Kilsdonk SJ, Amsterdanm Wim Klinkenberg, Amsterdam Hans Kombrink, Amsterdam De H. Kroon, Amsterdam Constant Nieuwenhuys, Amsterdam Willem L. Oltmans, Amsterdam Miklos Raoz, Zaandam Dr. A. Romein-Verschoor, Laren Dr. K. Roskam, Roelofarendsveen Prof. dr. K. Strijd, Amsterdam
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
403 Dr. V.E. van Vriesland, Amsterdam Edo de Waard, Amsterdam Prof. dr. W.F. Wertheim
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
404
Lampiran 3 Surat Pamoe Rahardjo Kepada Willem Oltmans YAYASAN Pembela Tanah Air Gedung Perintis Kemerdekaan JL Proklamasi No... Jakarta 10220 Telp:....Faz.... Nomor: 087/SBU-066/IV/1994 Yang terhormat Willem Oltmans, Yayasan Pembela Tanah Air, disingkat YAPETA, adalah sebuah yayasan untuk pemeliharaan Tentara Patriot, yang menjadi cikal bakal Tentara Nasional Republik Indonesia saat ini. Presiden Soeharto sebagai salah satu perwira ‘Tentara Pembela Tanah Air’ adalah pelindung YAPETA. Sehubungan dengan rencana kunjungan Sri Baginda Ratu Beatrix ke Indonesia, kami ingin menyampaikan yang berikut
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
405 ini, untuk diperhatikan. I. Akan merupakan langkah historis yang utama, bila Ratu mau mengunjungi makam Presiden Soekarno di Blitar. Presiden Soekarno tidak pernah menjadi pembenci Belanda. Yang dilawan adalah kolonialisme, bukan orang-orang Belanda sebagai individu. II. Menjadi kebiasaan orang Indonesia, agar sebagai tamu membawa ‘oleh-oleh’, suatu cindera mata. Kami mengusulkan agar ‘oleh-oleh’ yang dibawa Ratu berupa sebuah rumah sakit. Panitia yang akan mempersiapkan berdirinya rumah sakit itu dan kemudian akan mengelolanya, terdiri dari YAPETA dan mantan KL di Belanda, yang akan melambangkan bahwa kedua tentara yang dulu menjadi lawan sekarang sudah menjadi kawan. Dengan demikian luka lama akan terobati, dan ikatan-ikatan baru yang lebih realistis akan terjalin. Kunjungan ini harus merupakan kunjungan bersejarah. Dan jangan menjadi, ‘Ships that pass in the night. A voice, an echo, a signal-light and than darkness again’. Dengan penuh harapan, Pamoe Rahardjo
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
406
Lampiran 4 Surat Mengenai Visa Willem Oltmans No. : 180/Pen/Db/VIII/95 Hal : Permohonan visa untuk kunjungan jurnalistik Den Haag, 1 Agustus 1995 Tuan Willem Oltmans Westerkade 30 1015 XA Amsterdam Yth. Bapak Oltmans, Sebagai jawaban atas surat Anda mengenai permohonan visa untuk kunjungan ke Indonesia, kami beritahukan bahwa instansi yang berwenang di Jakarta melalui Fax Tertanggal 19 Juli 1995, menolak permohonan Anda.
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku
407 Dengan ini kami berharap telah memberi informasi yang cukup Hormat kami, J.B. Soedarmanto Kadarisman
Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku