Bung Karno dan Nasakom http://www.bergelora.com/opini-wawancara/artikel/2118-bung-karno-dan-nasakom.html
Sabtu, 20 Juni 2015 Lily Chodidjah Wahid (Ist) Ditengah Penjajahan Kolonialisme Belanda pada 6 Juni 1900, seorang perempuan, Ida Ayu Nyoman Rai, yang sehari-hari dipanggil Nyoman, melahirkan seorang putra bernama Soekarno. Pada 1 Juni 1945, dihadapan
Badan
kemerdekaan
Penyelidik
Indonesia
Usaha
(BPUPKI)
Persiapan Soekarno,
pertama kali berpidato tentang Pancasila yang selanjutnya
menjadi
dasar
Ideologi
Negara
Republik Indonesia. Sehingga Setiap 1 Juni dikenal sebagai Hari Kelahiran Pancasila. Ia menjadi menjadi Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia yang berdiri pada 17 Agustus 1945. Pada 22 Juni 1966 Soekarno dipaksa meletakkan jabatan lewat penolakan oleh MPRS atas Pidato Pertanggung Jawaban Presiden Soekarno,--setelah sebuah kudeta militer yang didukung Amerika Serikat pada 30 September 1965. Presiden Soekarno meninggal dunia di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta pada 21 Juni 1970. Sebagai penghormatan terhadap Bulan Bung Karno, selama sebulan Bergelora.com akan menurunkan berbagai tulisan tentang Bung Karno.
Oleh: Lily Chodidjah Wahid Salah satu kebijakan politik Presiden Soekarno yang jarang mendapat sorotan orang adalah kebijakan pembangunan sebuah Front Nasional, Nasakom,--yang merupakan sebuah upaya persatuan nasional antara tiga kekuatan politik ideologis besar di Indonesia,-- Nasionalisme, Agama dan Komunisme. Pada tahun 1960-an Presiden Soekarno sangat terobsesi dengan wacana nasional religius. Situasi politik dunia saat itu terbelah antara kutub Uni Soviet dan negara-negara sosialis berhadapan dengan Amerika Serikat dan negara-negara kapitalis. Perang dingin antara kedua kutub itu mempengaruhi politik dunia. Bung Karno yang secara historis mementang kolonialisme dan imperialisme tentu saja tidak bisa sejalan dengan kepentingan Blok Amerika Serikat. Banyak yang mencurigai Bung Karno cenderung lebih dekat ke negara-negara sosialis. Tentu saja Bung Karno juga menghitung kekuatan penetrasi kepentingan Blok Amerika Serikat dan negera-negara kapitalis lainnya ke Indonesia. Maka Bung Karno 1
mengupayakan membangun sebuah front nasional yang menyatukan tiga kekuatan ideologi besar,--Nasionalis, Agama dan Komunis (Nasakom) yang telah memiliki rekam sejarah perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia. Memang sejak awal karir politiknya jauh sebelum kemerdekaan RI, Bung Karno telah sadar akan pentingnya persatuan dari tiga kekuatan ideologi besar itu. Pemikiran Bung Karno dapat ditelusuri sejak zaman pergerakan. Pada 1926, Bung Karno menulis artikel “Nasionalisme, Islam, dan Marxisme” dalam Soeloeh Indonesia Moeda. Di zaman itu, perjuangan rakyat Indonesia sangat lekat dengan fikiran-fikiran tiga aliran besar diatas. Pada bulan November 1926 terjadi pemberontakan nasional pertama melawan Belanda terjadi hampir disetiap pelosok Indonesia,--namun gagal karena kurang pengalaman. Dalam perjalanan kenegaraan sejak 17 Agustus 1945, Indonesia terus diganggu oleh kekuatan Imperialis. Berbagai perjanjian Internasional terus menerus memojokkan posisi Republik Indonesia. Di dalam negeri, partai-partai politik berdiri sebagai hasil dari Maklumat X yang dikeluarkan pada 3 November 1945 oleh Wakil Presiden Muhammad Hatta. Pada Pemilu 1955, peta kekuatan politik menunjukkan kekuatan nyata dari ketiga ideologi di atas,--Partai Nasional Indonesia (PNI) mendapatkan 57 kursi di parlemen dengan dukungan 8.434.653 suara (22,32 persen), Masyumi mendapatkan 57 kursi dengan dukungan 7.903.886 suara (20,92 persen), Nahdlatul Ulama (NU) mendapat 45 kursi dengan dukungan 7.903.886 suara (20,92 persen) dan Partai Komunis Indonesia mendapat 39 kursi dengan dukungan 6.179.914 suara (16,36 persen). Namun demokrasi liberal yang menghasilkan kabinet parlementer dipimpin oleh seorang Perdana Menteri, terus berganti dan tidak stabil. Keadaan ini menyebabkan TNI mendorong Presiden Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang membubarkan parlemen. Dekrit Presiden 1959 dilatarbelakangi oleh kegagalan Badan Konstituante untuk menetapkan Undang-undang Dasar sebagai pengganti Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 yang berlaku sejak 17 Agustus 1950 sampai dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan demikian Dekrit Presiden menetapkan kembali ke Undang-undang Dasar 1945. Pada tahun 60’an pertentangan Blok Soviet dan Blok Amerika semakin menajam. Di dalam politik Indonesia, Posisi Presiden Soekarno yang sangat anti terhadap Imperialisme, di dukung oleh PKI, mendorong penyatuan ketiga idelologi besar itu di dalam kebijakan Nasakom bersatu. Tujuan Soekarno waktu itu adalah mengajak seluruh rakyat untuk
2
mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia yang terus menerus diganggu oleh kekuatan Imperialisme. Yang paling menonjol adalah pemberontakan PRRI dan Permesta pada tahun 1958. Di Indonesia Imperialisme menjadi musuh bersama. Waktu itu juga PKI adalah partai yang sangat aktif membangun kekuatan massa dan politiknya lewat organisasi-organisasi massa di buruh, tani, mahasiswa, pemuda sarjana dan Perempuan. PKI sangat ambisius pengaruhi Presiden Soekarno yang sangat memperhatikan perang dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat. PKI dicurigai ingin berkuasa dengan memanfaatkan Presiden Soekarno. Imperialisme di Indonesia menjadi musuh bersama kala itu. Semua kekuatan mendukung Soekarno menolak Indonesia untuk dijajah lagi oleh kekuatan manapun. Situasinya sama seperti jaman rezim Soesilo Bambang Yudhoyono dalam politik kontemporer yang mengatakan anti demokrasi adalah musuh bersama. ‘Perang dingin’ yang berlangsung hangat ditahun-tahun 50-an sampai 80-an, antara blok Sovyet-Uni dan blok Amerika Serikat,-- sekarang bisa dikatakan telah berakhir dengan bubarnya Uni-Sovyet dan negara-negara Eropah-timur. Tidak ada lagi pertarungan sengit antara blok kiri dan blok kanan, keadaan telah berubah dan beralih menjadi kontradiksi antara Amerika Serikat sebagai polisi dunia dengan Islam radikal-ekstrimis terutama dibeberapa negeri Timur-tengah. Pelajaran dari pengalaman ‘perang-dingin’, posisi Indonesia yang ngeblok-kiri, nampaknya tidak menguntungkan bagi Indonesia akan lebih bijaksana kalau Indonesia yang lemah itu justru mengambil keuntungan dari pertarungan dua raksasa negara super-power. Yang pasti tidak ngeblok ke satu pihak. Begitu juga dengan peralihan pertarungan menjadi blok Amerika dan blok Islam, hendaknya Indonesia tidak ngeblok kesatu pihak. Disatu pihak, sekalipun mayoritas rakyat beragama Islam, hendaknya Indonesia tidak ngeblok pada Islam radikal-ekstrimis. Sebaliknya juga harus dengan tegas melawan terosis. Dipihak lain juga tidak ngeblok pada Amerika Serikat dalam melawan Islam-radikal. Begitu Indonesia ngeblok pada pihak Amerika Serikat, Islam radikal akan lebih merajalela menggunakan sementara kekuatan Islam di Indonesia untuk menjalankan teror. Berbaliknya Keadaan Keadaan berbalik pada waktu 7 jenderal TNI Angkatan Darat diculik pada 1 Oktober 1965. Pada waktu Jenderal Soeharto mengambil kekuasaan pada tahun 1965 atas Presien Soekarno. Rakyat mendukung TNI untuk membasmi PKI dan melakukan desukarnoisasi. Beberapa dokumen Central Intelegence America (CIA) yang belakangan dibuka 3
menunjukkan keterlibatan badan intelejen Amerika ini dalam peristiwa 1965 dan pembasmian PKI selanjutnya. Memang sebelum peristiwa 1965 sering diberitakan media tentang benturan-benturan fisik antara Pemuda Rakyat (PR) dengan Ansor di beberapa daerah. Diberitakan juga pengambil alihan lahan secara sepihak oleh rakyat yang dipimpin oleh Barisan Tani Indonesia (BTI). Mungkin itulah yang membuat masyarakat terutama golongan agama mendukung TNI merebut kekuasaan dari Soekarno dan membasmi PKI. Sejak Soeharto dilantik oleh MPRS yang dipimpin Jenderal Nasution sampai seterusnya kita melihat satu proses yang wajar. Sampai Soeharto memegang kekuasaan tidak terbatas,-- masyarakat mulai sadar bahwa Soeharto ternyata adalah pintu masuk bagi Nekolim (Neo-kolonialisme-imperialisme) yang dulu sering diwanti-wanti oleh Bung Karno. Kekuatan imperialisme ini dilanjutkan sampai pasca reformasi, bahkan lewat amandemeen Undang-undang dasar 1945 sampai era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono setiap rezim membela demokrasi liberal tanpa batas. Pada hari ini sebagian dari kita telah mulai sadar,-- melihat kewajaran politik Nasakom Bung Karno dalam menghadapi Imperialisme. Tidak bisa ditutupi lagi kenyataan sejarah bahwa Presiden Soekarno dikudeta oleh Soeharto diikuti dengan penghancuran PKI dan desukarnoisasi. Semua orang mencari selamat meninggalkan Bung Karno dan mendukung TNI dan Soeharto. Karena kendali kekuasaan sudah ditangan Soeharto dan TNI. Operasi intelejen telah berhasil selama puluhan tahun menyampaikan kejelekan Bung Karno. Orde Baru dan Soeharto dianggap sebagai penyelamat Pancasila dari kehancuran politik Nasakom Bung Karno. Pelaksanaan Pancasila Dibulan Juni ini kita juga merayakan kembali lahirnya Pancasila falsafah bangsa yang pasca reformasi diabaikan oleh sebagian besar penguasa. Pancasila saat ini disebut-sebut hanya sebagai pemanis bibir dan belum pernah menjadi landasan teknis kita berbangsa. Kalau kita betul-betul mengejawantahkan sila-sila dalam Pancasila dalam kehidupan kita sehari-hari tentu tak perlu ada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi); tak perlu ada perseteruan yang ditutup-tutupi antara KPK dan Mabes Polri; tak perlu ada nyawa-nyawa yang harus melayang dalam tawuran antar kampung atau antar etnis; tak perlu ada saling hujat antar aktivis dan penguasa.
4
Saat ini, kita betul-betul mundur sangat jauh dari cita-cita Bung Karno dalam memproklamirkan diri kita sebagai sebuah bangsa yang merdeka dan mendiri. Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi “semua buat semua”. Kutipan di atas adalah kata-kata Bung Karno Kata-kata Bung Karno diutarakan dalam rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI),-- masih dalam persiapan kemerdekaan, tapi gagasan sebuah bangsa bermartabat sudah jelas tergambar dalam cita-cita Bung Karno. Hari ini setiap golongan, kelompok, komunitas cenderung berupaya untuk menang sendiri, memperjuangkan kepentingan masing-masing, tanpa memikirkan baik buruknya bagi bangsa dan negara, Kita harus malu kepada para founding fathers karena kita telah berkhianat dengan tidak pernah menjalankan Pancasila sebagai way of life kita. Sesungguhnya sila-sila Pancasila bukan sekedar way of life dan landasan hukum bagi kita, tapi juga mengajarkan kepada kita secara tidak langsung untuk mematuhi hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM). Dari dulu sampai sekarang, yang menjadi masalah adalah Bangsa Indonesia melaksanakan Pancasila tidak pernah utuh. Ada yang melaksanakan sila kedua untuk urusan Hak Azasi Manusia tapi melupakan musyawarah mufakat, sehingga yang terjadi terjadi saling tarik urat, mau menang sendiri. Silaturahmi Anak Bangsa Saat ini dibentuk sebuah Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) yang bertujuan menjahit kembali persatuan anak-anak bangsa yang orang tuanya pernah bertikai dimasa lalu. Di dalam FSAB bergabung Ilham, anak dari DN Aidit, Amelia anak dari Jenderal Ahmad Yani, Nani dan Agus Widjojo, Anak dari Jenderal Soetojo, juga anak dari Kartosuwiryo dan lain-lain, anak para pejuang yang sempat bertikai dalam sejarah politik masa lalu. Memang sudah waktunya upaya persatuan mulai digalang untuk merebut kembali kedaulatan dan martabat yang diwarisi oleh para pendahulu kita. Caranya hanya satu, berhenti berseteru antara anak bangsa Indonesia. Musuh kita adalah Imperialisme atau Nekolim yang saat ini dikenal Neoliberalisme. Kita harus bisa membangun kembali Indonesia baru untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
5
Semoga revolusi mental yang dicanangkan Presiden Joko Widodo bisa dijadikan langkah awal bangsa Indonesia untuk mengamalkan kembali Pancasila dalam kehidupannya sehari-hari. *Penulis adalah Anggota Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Mantan Anggota DPR 2009-2014, Adik dari Presiden RI, KH Abdurrachman Wahid
6