Megawati Institute
Bung Karno dan Sosiodemokrasi di Indonesia Pengantar Tumbangnya kekuasaan Orde Baru (Orba) oleh kekuatan berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa pada 21 Mei 1998 memberikan kita harapan untuk memiliki sebuah sistem kenegaraan demokratis seutuhnya. Momentum krisis keuangan 1997 yang melanda Asia turut menjadikan kondisi ekonomi Indonesia memburuk. Ditambah dengan kegiatan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang gencar dan masalah kemiskinan yang semakin akut, kondisi ekonomi yang buruk telah memunculkan demonstrasi besar yang digerakkan oleh para mahasiswa. Demonstrasi tersebut pun berhasil mengakhiri kekuasaan Orde Baru dan menandai lahirnya Orde Reformasi. Suatu hal paling menarik dari Orde Reformasi adalah masalah kebebasan berpendapat dan berserikat. Keadaan ini pula yang memicu kebebasan pers sebagai perbedaan mendasar dari Orde Baru. Selain itu, masalah rotasi kekuasaan serta kualitas pemilu yang dianggap lebih mendekati demokrasi dinilai sebagai kunci kesuksesan demokrasi. Harus diakui bahwa kesuksesan reformasi mengubah rezim otoriter menjadi lebih demokratis (demokrasi politik an sich) sangat berhasil dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sayangnya, jargon demokratis ini masih jauh dari menjadikan masyarakat sebagai penggerak utama kehidupan berbangsa dan bernegara, baik dalam kehidupan berpolitik, ekonomi, atau budaya. Demokrasi adalah langkah awal menuju sebuah negara ideal. Tetapi, apa arti demokrasi? Bila demokrasi disalahartikan, maka langkah-langkah berikutnya adalah langkah menuju kehancuran. Dengan kondisi sosial masyarakat seperti saat ini, jangan bermimpi bila demokrasi kita sementara ini bisa persis seperti negara-negara maju. Kita harus ingat bahwa ada gap yang luar biasa lebar antara yang kaya dan yang miskin, terdidik dan tidak terdidik. Pemilihan umum secara langsung menjadi sebuah kemajuan demokrasi luar biasa setelah reformasi, tetapi demokrasi ini baru sebatas demokrasi politik (kebangsaan). Masih ada beberapa rintangan yang masih mengganjal agar demokrasi kita menjadi demokrasi ekonomi (rakyat). Beberapa rintangan yang belum bisa dijawab oleh reformasi adalah: (1) kegiatan KKN yang masih merebak; (2) ketimpangan yang besar antara wilayah dan pusat, pemilik modal dan buruh, dan sebagainya; (3) kepastian dan juga jaminan hukum bagi seluruh warga negara. Berbagai rintangan tersebut dan hal lainnya mengganjal rakyat dalam mengakses kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar menjadi suatu hal yang penting untuk dipenuhi dan dijamin dalam pencapaian sosiodemokrasi. Jika tidak, siapa pun yang mampu menguasai hal ini akan memiliki kekuatan lebih dalam mobilisasi massa. Secara sederhana, rakyat akan sulit memikirkan kepentingan umum dan berpikir objektif dalam demokrasi selama urusan perutnya (pangan dan gizi) belum terpenuhi. Hal inilah yang mendasari pemikiran bahwa perlu ada suatu sistem yang menjamin tersebarnya akses masyarakat terhadap hal-hal mendasar.
Sekretariat: Jalan Proklamasi No. 53, Jakarta Pusat. Telp.: (021) 3921691; Faks.: (021) 3921710
Megawati Institute Sosiodemokrasi Bung Karno Beberapa kali dalam pidatonya, Bung Karno menyebut dan menjabarkan konsep “sosiodemokrasi”, termasuk pendapatnya bahwa Pancasila bisa diperas menjadi Trisila: sosionasionalisme, sosiodemokrasi, dan Ketuhanan yang berkebudayaan. Bahkan, bila Pancasila diperas lagi, ia menjadi Ekasila: “gotong royong”. Karena itu, penting untuk merenungkan kembali gagasan ini dan kemudian mewujudkannya menjadi sebuah alat canggih dalam mencapai keadilan sosial. Bagi Bung Karno, esensi paham sosiodemokrasi adalah semangat dan tekad “semua buat semua”. Sosiodemokrasi adalah demokrasi politik (politieke democratie) dengan keadilan sosial (sociale rechtvaardigheid). Dengan demikian, sosiodemokrasi tidak hanya mengandaikan persamaan politik, tapi juga kesejahteraan bersama dengan sebaik-baiknya. 1 Sosiodemokrasi mungkin merupakan istilah yang tidak akan kita temukan di mana pun. Ia merupakan gagasan dari Bung Karno. Bagi Bung Karno, sosiodemokrasi adalah demokrasimasyarakat. Ia muncul karena sosionasionalisme. Ia adalah demokrasi yang mengakar di dalam masyarakat. Sosiodemokrasi mengandaikan partisipasi masyarakat dalam bidang ekonomi dan politik. Ia tidak akan mengabdikan dirinya kepada kepentingan kelompok tertentu, tetapi ia akan mengabdikan dirinya kepada kepentingan masyarakat. Sosiodemokrasi bukanlah demokrasi Barat. Ia adalah demokrasi sejati yang mencari keberesan politik dan ekonomi. Sosiodemokrasi adalah demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Sosionasionalisme adalah nasionalisme-masyarakat, nasionalisme yang tumbuh tidak hanya karena “rasa” saja, tidak hanya “gevoel” saja, tidak hanya “lyriek” saja, tetapi juga karena keadaan-keadaan yang nyata di dalam masyarakat. Sosionasionalisme adalah nasionalisme yang mengakar di dalam masyarakat. Maksud dari sosionasionalisme adalah memperbaiki keadaan-keadaan di dalam masyarakat, sehingga keadaan yang kini “pincang” menjadi keadaan yang sempurna. Tidak ada kaum yang tertindas, tidak ada kaum yang celaka, dan tidak ada kaum yang sengsara. Sosionasionalisme adalah nasionalisme politik dan ekonomi—suatu nasionalisme yang bermaksud mencari keberesan politik dan ekonomi. 2 Sosiodemokrasi juga merupakan sebuah pola demokrasi yang tidak “pincang” untuk membela kepentingan kelompok atau individu, apalagi kekuasaan perorangan. Tetapi, kepentingan rakyatlah yang diperjuangkan. Rakyat benar-benar menjadi subjek sejati dari demokrasi ini. Sayangnya, para elit negara ini sering terjebak ke dalam demokrasi Barat yang justru membuka peluang bagi kapitalisme untuk berkuasa, dan kata “rakyat” hanya dijadikan hewan ternak untuk kepentingan elektabilitas semata. Memurnikan kata “rakyat” memang menjadi pekerjaan besar bagi para sosiodemokrat sejati agar tidak dipermainkan oleh liarnya kekuatan liberalisme. Tetapi, sistem demokrasi yang ada saat ini bergerak ke arah sana dan semakin jauh dari nilai-nilai sosiodemokrasi. Contohnya, 1
Bung Karno menjelaskan dengan detail filosofi dari Pancasila, dari Trisila menjadi Ekasila. Lihat Pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. 2 Sukarno, Di Bawah Bendera Revolusi, jilid I, Jakarta: Yayasan Bung Karno, 2005, hlm. 172-173. Buku tersebut merupakan sebuah karya yang memuat gagasan-gagasan Bung Karno seutuhnya. Secara umum, hampir seluruh gagasan kebangsaannya tertuang di dalamnya.
Sekretariat: Jalan Proklamasi No. 53, Jakarta Pusat. Telp.: (021) 3921691; Faks.: (021) 3921710
Megawati Institute bagaimana visi dan misi presiden yang disampaikan di kampanyenya memiliki kekuatan dahsyat dalam menentukan arah pembangunan, sementara rakyat tidak memahami hal itu dan cenderung tertutupi oleh kegiatan politik transaksional yang ada. Kekuatan kapital ini pula yang sering membenturkan rakyat dan demokrasi menjadi benar-benar liar mengikuti permainan elit-elit negeri. Dalam hal ini, kita juga harus membaca kembali gagasan-gagasan Bung Hatta. Bung Hatta berbicara banyak soal demokrasi dan kedaulatan rakyat. Tentang hal itu, ia tidak pernah menafikan bahwa demokrasi berasal dari Barat. Baginya, mengakui bahwa gagasan-gagasan besar soal kenegaraan dan sistem pemerintahan berasal dari Barat bukanlah hal yang tabu. Meski demikian, kita harus menerjemahkan nilai-nilainya ke dalam semangat kebangsaan kita. Ada satu hal menarik dari gagasan-gagasan Bung Hatta. Ia sesungguhnya mengritik demokrasi yang berkembang di Barat. Pada awalnya, demokrasi yang berkembang di Barat adalah demokrasi yang kapitalistik (kapitalistiche democratie), sehingga cita-cita mewujudkan demokrasi modern (moderne democratie) yang begitu bagus pada dasarnya tidak pernah tercapai. Sebab, demokrasi modern menghendaki rakyat untuk menentukan nasib mereka sendiri dalam hal politik maupun ekonomi. Tentunya, demokrasi modern yang ideal itu tidak pernah terdapat di dalam demokrasi yang kapitalistik.3 Dalam pandangan Bung Hatta, demokrasi pada hakikatnya adalah pemerintahan rakyat. Rakyat diberikan hak untuk mengatur hidup mereka sendiri melalui cara-cara yang konstitusional. Rakyat berhak untuk menentukan nasib mereka sendiri di berbagai tempat: di kota, di desa, dan di daerah. Sebab, demokrasi adalah sebuah sistem yang mengakui kemerdekaan rakyat seutuhnya, dan demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Di sini, Bung Hatta membedakan demokrasi Barat dari demokrasi kita. Untuk itu, ia menulis: Dengan demikian, Demokrasi Barat yang dilahirkan oleh Revolusi Perancis, tidak membawa kemerdekaan rakyat yang sebenarnya, melainkan menimbulkan kekuasaan kapitalisme. Sebab itu, demokrasi politik saja tidak cukup untuk mencapai demokrasi yang sebenarnya, yaitu Kedaulatan Rakyat. Haruslah ada pula demokrasi ekonomi, yang memakai dasar, bahwa segala penghasilan yang mengenai penghidupan orang banyak berlaku di bawah tanggungan orang banyak juga.4 Bila kita bandingkan, gagasan-gagasan Bunga Karno dan Bung Hatta tentang demokrasi ekonomi tidak memiliki perbedaan. Bung Karno lebih menekankan istilah “sosiodemokrasi”, sedangkan Bung Hatta lebih menekankan istilah “demokrasi ekonomi” itu sendiri. Meski demikian, Bung Karno dan Bung Hatta memiliki gagasan yang sama tentang demokrasi dan kedaulatan rakyat. Dalam sejarah pemikiran bangsa, salah satu kecerdasan pemikiran politik Bung Karno adalah kemampuannya memahami fenomena sosial dan aspirasi politik yang ada. Pada masa mudanya, Bung Karno telah membahas pokok-pokok pikiran, dinamika, dan interaksi antara paham kebangsaan (nasionalisme), keagamaan (Islamisme), dan Marxisme. Analisisnya tentang 3 4
Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, Bandung: Sega Arsy, 2008, hlm. 28-29. Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, hlm. 37.
Sekretariat: Jalan Proklamasi No. 53, Jakarta Pusat. Telp.: (021) 3921691; Faks.: (021) 3921710
Megawati Institute kolonialisme dan imperialisme muncul sebelum berkembangnya paradigma pembangunan Dependensia seperti yang dirumuskan oleh Paul Baran, Andre Gunder Frank, dan Theotonio Dos Santos. Kemampuannya berpikir eklektik inilah yang membuatnya tidak terjebak ke dalam ekstrimitas persaingan ideologi, dan ia juga mampu mewadahi berbagai aspirasi politik yang hidup. Bung Karno telah merintis apa yang sekarang kita sebut sebagai konsep “Jalan Ketiga” (The Third Way) dari Anthony Giddens, neososialisme, ekonomi pasar sosialisme, dan Sistem Kapitalisme Negara. Meski begitu, dalam pandangan Bung Karno, sistem kapitalisme liberal tidak akan pernah cocok dan sejalan dengan sosiodemokrasi. Sosiodemokrasi dan Demokrasi Liberal Saat ini, ada beberapa hasil studi yang berpendapat bahwa Indonesia sekarang secara perlahan-lahan sedang menuju ke arah demokrasi liberal. Hal itu terlihat dari salah satu hasil studi yang dilakukan oleh Luthfi Assyaukanie. Luthfi mengungkapkan bahwa ada tiga model demokrasi yang berkembang dalam sejarah Indonesia: (1) Negara Demokrasi Islam; (2) Negara Demokrasi Agama; (3) Negara Demokrasi Liberal. Negara Demokrasi Islam muncul pada awal-awal perjalanan menuju kemerdekaan dengan hasrat mendirikan negara merdeka berdasarkan Islam dan demokrasi yang telah bergema sejak masa sebelum kemerdekaan. Negara Demokrasi Agama adalah tanggapan langsung terhadap model pertama yang gagal. Sedangkan, Negara Demokrasi Liberal, adalah respons terhadap berbagai masalah hubungan antara agama dan negara yang muncul dalam model kedua.5 Meski beberapa hasil studi tersebut terkait agama dan negara dalam demokrasi politik, kita bisa mengambil pelajaran bahwa demokrasi liberal mulai memiliki pengaruh di Indonesia. Demokrasi ekonomi (atau sosiodemokrasi) pun tidak pernah mendapatkan perhatian. Hal ini menandakan adanya keberpihakan terhadap demokrasi yang kapitalistik. Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, demokrasi liberal sebenarnya tidak pernah mendapatkan tempat. Hal itu disebabkan oleh trauma penjajahan panjang bangsa kita. Entah di masa Orde Lama maupun Orde Baru, demokrasi liberal juga tidak pernah mendapatkan tempat. Bahkan, Orde Baru pun lebih alergi dengan sistem demokrasi tersebut, sehingga mereka terus mempromosikan “demokrasi Pancasila”. Terlepas dari berbagai motif di belakangnya, sebelum Orde Baru paham demokrasi liberal juga mendapatkan delegitimasi dengan tekun dari seluruh spektrum aliran kiri seperti Partai Komunis Indonesia dan lain sebagainya.6 Kita harus mengakui bahwa demokrasi liberal sebenarnya tidak akan pernah cocok dengan sistem bernegara kita. Sebab, demokrasi liberal dianggap sebagai demokrasi murni yang memang berlaku di Barat. Demokrasi liberal mengandaikan setiap individu untuk “bertarung”
5
Tentang arah perjalanan demokrasi di Indonesia menuju ke arah demokrasi liberal, lihat Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia, Jakarta: Freedom Institute, 2011 dan Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik Pasca-Orde Baru, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007. 6 Lihat catatan editor dalam Hamid Basyaib (Ed.), Membela Kebebasan: Percakapan tentang Demokrasi Liberal, Jakarta: Pustaka Alvabet dan Freedom Institute, 2006.
Sekretariat: Jalan Proklamasi No. 53, Jakarta Pusat. Telp.: (021) 3921691; Faks.: (021) 3921710
Megawati Institute dengan bebas dalam hal politik maupun ekonomi. Tentunya, pandangan tersebut tidak akan pernah sejalan dengan sosiodemokrasi kita. Sosiodemokrasi atau demokrasi ekonomi pada dasarnya adalah usaha untuk mewujudkan pembangunan nasional. Dengan demikian, sosiodemokrasi atau demokrasi ekonomi adalah sebuah proses pembangunan yang berkelanjutan. Sebab, demokratisasi sistem ekonomi merupakan bagian tak terpisahkan dari demokratisasi berbagai kehidupan sosial bangsa kita.7 Demokrasi ekonomi juga tak terpisahkan dari demokrasi politik. Terkait dengan demokrasi politik dan ekonomi, beberapa negara di bagian Afrika Utara dan Timur Tengah telah digoncangkan oleh “Arab Spring”. Sebuah hasil studi yang dilakukan Daron Acemoglu dan James A. Robinson berpendapat bahwa hal tersebut disebabkan oleh pendapatan ekonomi yang tidak merata di antara rakyatnya. Dengan kata lain, kemiskinan adalah pemicunya. Mesir dan Tunisia adalah dua negara yang paling disorot media dalam hal ini. Dua negara tersebut melihat permasalahan ekonomi secara mendasar disebabkan oleh persoalan hak dalam politik (political right). Karena itu, mereka berdemonstrasi dan menuntut perubahan sistem politik. Di samping itu, mereka juga ingin keluar dari kekuasaan yang korup, tekanan politik penguasa, pendidikan yang buruk. Belajar dari Mesir, ada beberapa akademisi yang mengutarakan sebab-sebab kemiskinan di sana. Pertama, ada yang menganggap bahwa faktor rendahnya kesejahteraan di sana disebabkan posisi geografis. Kedua, ada yang menganggap faktor kebudayaan Islam sebagai agama yang tidak mungkin sejalan dengan kemajuan ekonomi di sana. Ketiga, adanya kesalahan dalam pengambilan kebijakan ekonomi di antara para penguasa sehingga mereka tidak tahu dengan baik apa yang dibutuhkan untuk meningkatan perekonomian mereka. 8 Daron Acemoglu dan James A. Robinson juga berpendapat bahwa pembeda utama dalam kemajuan negara-negara adalah “institusi”. Sebuah bangsa bisa berkembang dengan baik jika mereka mengembangkan politik “inklusif” dan ekonomi “lembaga”, tetapi mereka bisa gagal ketika lembaga-lembaga tersebut menjadi “ekstraktif” dan memusatkan kekuasaan dan kesempatan di tangan kelompok-kelompok tertentu. Menurut mereka, lembaga ekonomi “inklusif” yang menegakkan hak kepemilikan, mendorong investasi dalam teknologi baru dan keterampilan dari masyarakat lebih kondusif bagi pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan lembaga ekonomi ekstraktif yang disusun untuk mengekstrak sumber daya alam yang ada. Lembaga ekonomi yang inklusif, yang pada gilirannya didukung institusi politik, dapat mendistribusikan kekuasaan ekonomi-politik secara luas dengan cara yang pluralistik untuk membangun perekonomian pasar inklusif. Sebaliknya, lembaga-lembaga politik ekstraktif yang memusatkan kekuasaan di tangan kelompok7
Anwar Nasution, “Pembangunan dan Demokratisasi Sistem Ekonomi Indonesia”, dalam Elza Peldi Taher (Ed.), Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi: Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1994, hlm. 59. 8 Daron Acemoglu & James A. Robinson, Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty, New York: Crown Publisher, 2012, hlm. 2-3.
Sekretariat: Jalan Proklamasi No. 53, Jakarta Pusat. Telp.: (021) 3921691; Faks.: (021) 3921710
Megawati Institute kelompok tertentu hanya akan memperkuat lembaga ekonomi ekstraktif itu sendiri untuk memegang kekuasaan. Acemoglu menjelaskan, bahwa titik inti mereka adalah bahwa negara-negara dapat berkembang dengan baik jika mereka membangun lembaga-lembaga politik dan ekonomi yang “melepaskan”, memberdayakan, dan melindungi potensi penuh dari setiap warga negara untuk berinovasi, berinvestasi, dan berkembang. Sebab, negara tidak bisa maju bila yang terjadi sebaliknya, dan “nations fail economically because of extractive institutions”.9 Paham sosiodemokrasi yang menekankan partisipasi publik dan keadilan sosial mengejawantah pada berkembangnya kelembagaan politik dan ekonomi yang inklusif. Penelitian ekstensif yang dilakukan Acemoglu dan Robinson menemukan bukti empiris dari kaitan kuat antara kelembagaan politik dan ekonomi inklusif dengan kesejahteraan. Sekali lagi, mereka menegaskan bahwa sumber utama keterbelakangan suatu negara-bangsa adalah menjamurnya kelembagaan politik dan ekonomi yang bersifat ekstraktif, yang menghalangi partisipasi masyarakat dan distribusi manfaat dari pembangunan. Indonesia tentunya tidak pernah diharapkan untuk mengulang kembali tragedi 1998. Dalam hal pencapaian politik, Indonesia relatif telah mengalami kemajuan. Selain itu, Indonesia memiliki sumber daya alam yang kaya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi meski itu terbatas. Yang perlu mendapatkan perhatian lebih adalah pencapaian berdemokrasi dalam ekonomi. Sebab, kemajuan demokrasi politik di Indonesia tidak sejalan dengan sosiodemokrasi atau demokrasi ekonomi. Hambatan Reformasi: Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Sama halnya dengan harapan kemerdekaan yang tidak muncul ketika kemerdekaan terjadi pada 17 Agustus 1945 karena belum hilangnya hambatan-hambatan yang ada sebelumnya. Seperti masih adanya fasisme di Indonesia ketika itu, feodalisme yang disadari atau tidak masih tetap ada dan berkembang, serta hambatan dari luar berupa pengakuan dari dunia yang belum sepenuhnya diperoleh. Demikian juga dengan harapan reformasi yang semakin terpendam dan “mengecewakan” hingga hari ini. Harus disadari oleh banyak pihak bahwa reformasi hanyalah langkah awal dan semua pihak tidak boleh puas dan lengah dari jatuhnya Orde Baru. Karena kejatuhan Orde Baru tidak berarti secara otomatis bahwa seluruh hambatan mencapai sosiodemokrasi dapat hilang dengan sendirinya. Bahkan, hingga hari ini hambatan itu justru semakin nyata dan jelas. Bagaimana setiap hari kasus KKN diungkapkan dan diperdebatkan di berbagai media, dan setiap hari pula KKN itu tetap dilakukan baik secara sadar atau tidak. KKN yang seolah-olah “dibiarkan” akan memiliki dampak yang kompleks terhadap keberlangsungan demokrasi di Indonesia, baik demokrasi politik maupun demokrasi ekonomi. Keberadaan KKN akan menimbulkan kecurigaan-kecurigaan stakeholders di negeri ini. Jika itu yang terjadi, maka secara tidak langsung ia akan memengaruhi etos kerja masyarakatnya dan pada akhirnya roda perekonomian akan terhambat. Pemberantasan KKN memang menjadi 9
Daren Acemoglu & James A. Robinson, Why Nations Fail, hlm. 398-399.
Sekretariat: Jalan Proklamasi No. 53, Jakarta Pusat. Telp.: (021) 3921691; Faks.: (021) 3921710
Megawati Institute pekerjaan seluruh warga negara, tetapi itu tidak bisa dikesampingkan. Pemerintahlah yang seharusnya memiliki andil yang sangat besar dalam melakukannya, karena Pemerintah sebenarnya punya kekuatan untuk menerjemahkannya ke dalam berbagai bentuk peraturan. Ketimpangan dan Kemiskinan Selain KKN yang masih tumbuh dengan subur, ketimpangan juga masih terjadi dalam banyak hal di Indonesia mulai dari pembangunan di berbagai wilayah yang menyebabkan Jawa, khususnya Jakarta, berkembang jauh meninggalkan daerah-daerah lain. Hasilnya, berbagai permasalahan justru timbul karenanya, mulai dari masalah kependudukan, kriminalitas, hingga tuntutan kemerdekaan dari beberapa daerah yang merasa diabaikan. Ketimpangan yang sangat kontras juga terlihat dari gini rasio Indonesia yang cenderung meningkat dalam beberapa tahun belakangan ini. Data gini rasio. Bukti lainnya adalah pengumuman sebuah majalah beberapa bulan yang lalu yang mengungkapkan fakta adanya ketimpangan ekonomi dalam masyarakat Indonesia. Dalam publikasi tersebut, dikatakan bahwa 40 orang terkaya di Indonesia menguasai 10 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang jumlahnya ketika itu Rp 7.396 triliun. Dan bukan berarti sisanya yang 90 persen PDB itu terbagi secara rata kepada seluruh masyarakat. Sebab, jika itu terbagi rata, maka tidak ada lagi orang yang masuk ke dalam kategori miskin menurut BPS (memiliki penghasilan kurang dari rata-rata Rp 243.729 per orang per bulan). Pada kenyataannya, kemerataan itu tidak terjadi sehingga hampir 30 juta masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan, dan sekitar 27 juta masyarakat hanya hidup sedikit di atas garis kemiskinan. Hal ini selalu menjadi diskursus yang tidak pernah sepi sepanjang perjalanan bangsa Indonesia, entah karena memang kemiskinan menjadi musuh bersama dari pembangunan ekonomi atau hanya sebatas menjadi bahan tawar-menawar untuk mendapat dukungan dalam pemilihan umum mengingat jumlah rakyat miskin yang begitu besar. Lemahnya Penegakan Hukum Hambatan Reformasi lainnya yang belum tuntas hingga hari ini adalah hukum yang belum berdiri tegak dan objektif dalam melindungi hak-hak warga negara. Hal ini semakin mengkhawatirkan bahkan dapat menimbulkan gesekan-gesekan di tengah kehidupan masyarakat. Beberapa kali terjadi pembubaran kegiatan oleh kelompok masyarakat tertentu terhadap diskusi di Salihara. Kemudian, pihak yang merasa dirugikan justru mengadukannya kepada ormas atau laskar lainnya bukan kepada para penegak hukum. Hal ini merupakan sebuah kemunduran serius bagi penegakan hukum di Indonesia. Kejadian tersebut seolah-olah mencerminkan bahwa orang tidak lagi percaya kepada penegak hukum sehingga memilih menyelesaikan masalah dan perbedaan dengan caranya sendiri. Kemunduran dalam penegakan hukum berarti kemunduran juga bagi demokrasi. Sebab, masyarakat akan menjadi apatis dan memilih menghindar dari hal-hal yang sesungguhnya memerlukan partisipasinya hanya karena tidak adanya jaminan hukum atas pendapat atau pandangannya. Jika ini dibiarkan terjadi, ke depan demokrasi kita akan kembali dikebiri, bukan lagi oleh penguasa negara atau presiden ala Orde Baru, tetapi justru oleh kelompok-kelompok
Sekretariat: Jalan Proklamasi No. 53, Jakarta Pusat. Telp.: (021) 3921691; Faks.: (021) 3921710
Megawati Institute masyarakat yang sesungguhnya merupakan minoritas. Mereka “berkuasa” karena kesalahan Pemerintah yang lemah dalam menegakkan hukum di negaranya. Gangguan Eksternal Pengakuan kedaulatan dari luar negeri yang membuat kemerdekaan menjadi kalimat semu ketika itu adalah yang juga terjadi setelah reformasi. Besarnya penguasaan asing pada sumbersumber ekonomi kita serta utang luar negeri yang telah melekat dan semakin erat membuat Pemerintah “bak kerbau yang dicocok hidungnya”. Maka tidak heran, dalam beberapa hal Pemerintah terkesan lebih melayani kepentingan asing dibandingkan rakyatnya sendiri, padahal rakyat yang memilihnya, rakyat yang menaruh harapan padanya, dan rakyat yang sesungguhnya menjadi tuan di negerinya sendiri. Bahkan, pelayanan kepada asing dan penganut ekonomi pasar ini pun telah masuk ke dalam urat nadi perundang-undangan, termasuk dalam hal yang berkaitan dengan kesejahteraan. Contohnya, perubahan bab “Kesejahteraan Sosial” yang setelah amandemen keempat menjadi “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial”. Tidak berhenti sampai di sana, dalam pasal 33 pun terdapat penambahan pasal yang jika diartikan dengan lebih teliti justru mengarah kepada liberalisasi ekonomi meski terdapat kata demokrasi ekonomi tetapi juga dilengkapi dengan bahasa efisiensi berkeadilan. Efisien menjadi kalimat “khas” liberalisme untuk meyakinkan pasar sehingga patut diduga bahwa berkeadilan yang dimaksud juga berarti keadilan dalam sudut pandang liberal yang sesuai dengan kontribusi masing-masing yang pada akhirnya bermuara pada keberpihakan pada pemilik modal. Kepemimpinan: Menembus Tembok Penghambat Reformasi dan Sosiodemokrasi Sosiodemokrasi terdengar sebagai kalimat penghibur bagi sebuah negara yang berada dalam genggaman negara lain. Ia menjadi lelucon di tengah ketimpangan dan kemiskinan yang demikian besar. Ia menjadi mustahil di tengah KKN yang meraja lela, dan ia menjadi kontraproduktif ketika penegakan hukum sangat lemah. Namun, hingga hari ini kita masih yakin bahwa sosiodemokrasi adalah jawaban kegundahan rakyat selama ini meskipun dalam mencapai atau melaksanakannya masih demikian banyak halangan dan rintangan. Hanya orang lemah yang menyerah pada keadaan dan berpangku tangan menghadapi rintangan atau bahkan berbalik badan ketika mendapat hambatan. Kita harus belajar dari semut yang menjadikan tembok bukan sebagai rintangan tetapi justru jalan untuk naik. Mengelola konflik dalam politik untuk melanggengkan kekuasaan memang penting untuk dilakukan, tetapi hal itu tidak akan membuat segala konflik dan masalah yang sesungguhnya dihadapi selesai. Ia hanya akan menjadi “bom waktu” yang akan meledak. Sayangnya, hal ini cenderung dilakukan oleh pemerintah. Padahal, permasalah itu harus berani diakui dan kemudian diselesaikan. Tanpa itu, kemajuan bangsa ini hanya sebatas pencitraan. Pemimpin bangsa ini harus berani berdiri di depan untuk mengakui dan mengubah segala hambatan reformasi. Harus diakui bahwa jalan ini punya risiko besar, sehingga apa yang disampaikan oleh pemimpin kepada rakyatnya harus dipertanggungjawabkan. Sekali saja pemimpin berani bermain-main dengan rakyatnya, maka selamanya ia akan dianggap sebagai “pecundang” oleh rakyatnya.
Sekretariat: Jalan Proklamasi No. 53, Jakarta Pusat. Telp.: (021) 3921691; Faks.: (021) 3921710
Megawati Institute Pada tingkat mengeluarkan pernyataan dalam pidato-pidatonya, kekuatan untuk melawan rintangan terlihat besar. Oleh karena itu, tindakan dan perilaku serta kebijakan harus sejalan dalam mendukung kekuatan tersebut. Selanjutnya, berikan rakyat kesempatan untuk bekerja dan berusaha serta mendapatkan penghidupan yang layak. Akses rakyat terhadap sumbersumber kemajuan ekonomi yang selama ini terbatas kepada para pemilik modal harus benarbenar dibuka, sehingga rakyat dapat bekerja dan berusaha untuk dapat meningkatkan kehidupannya. Di sisi lain, kinerja pemerintah dalam pemungutan pajak harus ditingkatkan agar ketimpangan-ketimpangan ekonomi dapat diminimalisir. Terkait hambatan dari luar melalui penguasaan-penguasaan ekonomi khas neo-imperialisme harus diselesaikan dengan ketegasan. Kemerdekaan yang diraih dan diakui sejak tanggal 17 Agustus 1945 harus menjadi kekuatan tersendiri dalam menjaga kedaulatan nasional termasuk kedaulatan ekonomi. Dalam hal ini, nasionalisme memiliki peran besar dalam mewujudkannya. Nasionalisme yang kita anut berbeda dengan nasionalisme yang ada di Barat. Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang menghendaki kemerdekaan bagi seluruh bangsa. Ia bukan nasionalisme Barat yang menghendaki kemerdekaannya serta penguasaan terhadap bangsa lain. Nasionalisme menjadi syarat agar sosiodemokrasi yang akan kita jalankan sesuai dengan tujuan kita dalam bernegara, sehingga semangat demokrasi yang dijalankan tidak bias kepentingan. Pemimpin negara dalam hal ini harus pandai membedakan siapa-siapa saja “komprador” atau agen-agen asing yang ada di negeri ini agar pergerakannya dapat dibatasi dan bukan justru difasilitasi, apalagi memasukannya ke dalam struktur pemerintahan. Di sini, dibutuhkan keberanian karena neo-imperialisme tak akan henti-hentinya berusaha menancapkan pengaruhnya di seluruh negara, apalagi Indonesia yang kaya akan sumber daya alamnya.
Sekretariat: Jalan Proklamasi No. 53, Jakarta Pusat. Telp.: (021) 3921691; Faks.: (021) 3921710