Bung Karno dan Komando Trisakti http://www.bergelora.com/opini-wawancara/artikel/2111-bung-karno-dan-komando-trisakti.html
Kamis, 18 Juni 2015 Bung Karno pada Pidato Pertama setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 (Ist)Ditengah Penjajahan Kolonialisme Belanda pada 6 Juni 1900, seorang perempuan, Ida Ayu Nyoman Rai, yang sehari-hari dipanggil Nyoman, melahirkan seorang putra bernama Soekarno. Pada 1 Juni 1945, dihadapan Badan Penyelidik Usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Soekarno, pertama kali berpidato tentang Pancasila yang selanjutnya menjadi dasar Ideologi Negara Republik Indonesia. Sehingga Setiap 1 Juni dikenal sebagai Hari Kelahiran Pancasila. Ia menjadi menjadi Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia yang berdiri pada 17 Agustus 1945. Pada 22 Juni 1966 Soekarno dipaksa meletakkan jabatan lewat penolakan oleh MPRS atas Pidato Pertanggung Jawaban Presiden Soekarno,--setelah sebuah kudeta militer yang didukung Amerika Serikat pada 30 September 1965. Presiden Soekarno meninggal dunia di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta pada 21 Juni 1970. Sebagai penghormatan terhadap Bulan Bung Karno, selama sebulan Bergelora.com akan menurunkan berbagai tulisan tentang Bung Karno. Oleh : Oliver Supit Bagi penerima ajaran-ajaran Soekarno atau pengikut setia Bung Karno dan para pendukungnya, di bulan Juni setidaknya terdapat tiga hari yang patut diperingati, adalah hari Lahirnya Pancasila, Trisakti, dan hari lahir serta wafatnya Bung Karno. Tentu kita bukan bermaksud mengkultuskan seorang tokoh seperti Bung Karno. Namun sangat keliru bila melupakan sumbangsih Bung Karno terhadap perjalanan bangsa Indonesia, baik pada masa-masa merintis kemerdekaan melawan kolonialisme dan Proklamasi Kemerdekaan RI. Terlebih pula atas sikap Bung Karno terhadap berbagai peristiwa yang dihadapi kaum revolusioner, maupun perjuangannya dalam membangun kekuatan The New Emerging Forces yang anti imperialis. Akhirnya, kita juga diingatkan oleh kematian tragis yang menimpa seorang Presiden Pertama RI, yang hampir seluruh masa hidupnya diabdikan kepada bangsa dan tanah air yang dicintainya,-- tetapi harus wafat dalam posisi sebagai seorang tahanan politik yang 1
tidak diperlakukan sepantasnya sebagai seorang Proklamator dan pendiri Negara RI oleh rezim yang merebut kekuasaan negara yang selama ini beliau berjuang untuk menegakkan dan mempertahankan kedaulatannya. Sejarah Mulai Terungkap Akhirnya kabut hitam sejarah mulai terungkap, setelah berbagai fakta berani bermunculan. Setelah Kudeta militer yang mengorbankan 7 orang Jenderal,-- Soeharto menggunakan ‘Pancasila’ dan berhasil merebut kekuasaan dari pemerintahan Presiden Soekarno. Bagaikan Ken Arok yang mengambil keris dari tangan pembuatnya, Empu Gandring, tetapi kemudian keris itu digunakan untuk membunuh Empu Gandring itu sendiri. Peristiwa penculikan dan pembunuhan para Jenderal Angkatan Darat oleh pasukan Angkatan Darat yang tergabung dalam Gerakan 30 September (G-30S), sebagaimana yang dilaporkan oleh Kolonel Latief ketika menghadap Jenderal Soeharto di Rumah Sakit Gatot Subroto sesungguhnya sudah jatuh pada tanggal 1 Oktober dini hari 1965. Sehingga Bung Karno menyebutnya dengan Gerakan Satu Oktober (Gestok). Tetapi setelah penculikan dan pembunuhan para jenderal, ternyata kemudian dengan serta merta Soeharto bergerak menumpas G-30S itu sendiri. dan melemparkan tuduhan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk mendapatkan legitimasi dalam pembasmian dan pembantaian terhadap kaum komunis dan kaum nasionalis. Dalam merealisasi perebutan kekuasaannya dari tangan Bung Karno, Soeharto menggunakan slogan 'melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekwen'. Maka ketika rezim fasis militer Soeharto berkuasa, dijadikanlah tanggal 1 Oktober sebagai Hari 'Kesaktian' Pancasila. Soeharto merasa telah berhasil menjadikan Pancasila sebagai senjata sakti bagi diri dan kelompoknya, tidak hanya untuk mendiskreditkan dan membunuh penggalinya,-- Soekarno, tapi juga sekaligus untuk merebut kekuasaannya. Selanjutnya, Pancasila dijadikan senjata, untuk menghancurkan dan membasmi semua kekuatan, orang-orang yang dianggap menentang Orde Baru Soeharto dengan tuduhan anti Pancasila. Kemudian rezim orba Soeharto ingin menghilangkan peran Bung Karno sebagai Penggali Pancasila. Menteri Pendidikan 1983-1985, Bridjen (Purn.) Dr.Nugroho Notosusanto yang sebelumnya adalah rektor Universitas Indonesia memanipulasi sejarah kelahiran Pancasila menjadi tanggal 18 Agustus 1945 dengan Mohammad Yamin sebagai pencetusnya. Pancasila Pemersatu Bangsa
2
Dalam Kursus Kader Revolusi di Gelora Bung Karno tahun 1964, DN Aidit, Ketua Comite Central (CC) PKI dalam menjawab Pojok Harian Berita Indonesia tanggal 17 Oktober 1964 menegaskan sebagai berikut: “….. Tapi ketahuilah bahwa Pantjasila menurut fikiran saja adalah filsafat pemersatu, tetapi bukan satu² nja filsafat. Dus, Pantjasila adalah filsafat di Indonesia. Ada filsafat kaum Katholik di Indonesia, ada filsafat umat Islam di Indonesia, ada filsafat umat Budha di Indonesia, ada filsafat kaum Protestan di Indonesia, ada filsafat kaum Komunis di Indonesia, ada filsafat kaum Ilmu Klenik di Indonesia, ada filsafat kaum Mistik di Indonesia. Matjam² filsafat. Dus Pantjasila adalah filsafat pemersatu, tapi bukan satu² nja filsafat. Dus, dengan demikian tidak berarti bahwa dengan menerima Pantjasila lantas tidak boleh lagi ada filsafat Katholik, tidak boleh lagi filsafat Budha, tidak boleh lagi filsafat Ilmu Klenik, tidak boleh lagi filsafat Komunis. Bukan demikian, menurut penangkapan saja. Dan kalau dibatja, djuga tulisan Bung Karno, saja persilahkan membatjanja dalam buku “Tjamkan Pantjasila” misalnja, terang sekali waktu beliau menerangkan tentang “grootste gemene deler” dan “kleinste gemene veelvoud”. Beliau mempersatukan jang bisa dipersatukan, sehingga pada umumnya, inilah, Pantjasila, ini, sebagai “grootste gemene deler dan kleinste gemene veelvoud”. (“Tjamkan Pantjasila” halaman 81 dan halaman 91). Pancasila yang oleh Bung Karno diperas menjadi Tri Sila (Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan Ketuhanan Yang Maha Esa), kemudian diperas lagi menjadi Eka Sila yang berarti Gotong-royong. Menurut Bung Karno, dikutip dalam pidatonya pada 1 Juni 1945,-- lahirnya Pancasila: “Gotong Royong adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari ‘kekeluargaan’ saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama. Itulah Gotong-royong!.” Gotong-royong seharusnya menjadi semangat kebersamaan dan kekuatan untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga hak-hak kedaulatan Rakyat sebagai pemilik sah atas seluruh tanah air berikut semua sumber daya alam di Republik ini berupa hak atas ekonomi, politik dan sosial budaya, yang berarti harus dihapuskannya segala bentuk diskriminasi. 3
Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Dasar 1945, penyelenggara negara harus mampu menjamin hak-hak rakyat untuk mendapatkan lapangan pekerjaan sehingga bebas dari pengangguran. Hak mendapatkan upah layak bagi penghidupan keluarga rakyat, sehingga tidak ada lagi yang kelaparan bahkan mati. Hak rakyat di lapangan pendidikan, sehingga tidak ada lagi anak-anak bangsa yang tidak dapat mengenyam pendidikan hingga ke jenjang yang sesuai dengan kemampuan belajarnya. Hak Rakyat yang dijamin mendapatkan rumah tempat tinggal yang layak, sehingga tak ada lagi yang keleleran di kolong-kolong jembatan dan tempat kumuh atau yang terpaksa harus keluar dari tempat tinggalnya karena tidak mampu membayar kontrakan. Amandemen yang Mematikan Amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945, pada awal reformasi adalah pengkhianatan yang bukan hanya tidak memberi jalan keluar untuk merealisasi pelaksanaan Pancasila,-- melainkan justru memberi peluang untuk mematikan Pancasila itu sendiri. Kini Pancasila ‘seperti’ kehilangan nafas! Para elit politik dan penguasa, hanya menjadikan Pancasila slogan untuk diakui sebagai Pancasilais. Sedangkan pada kenyataannya, kedaulatan wilayah RI sudah dikapling-kapling, sebagian lagi sudah hilang dijual. Bangsa Indonesia sedang dirobek-robek perpecahan antar golongan, agama (SARA) kian meluas. Nasionalisme-patriotisme di kalangan anak-anak bangsa telah menguap. Nilai-nilai peradaban dan budaya produktif digantikan oleh budaya konsumtif agar menjadi masyarakat yang bergantung pada produksi dan peradaban asing yang masuk secara sistematis melalui infiltrasi budaya atas nama globalisasi. Pertarungan politik yang tiada hentinya sampai saat ini, saling rebutan, saling jegal untuk menjadi pengabdi setia, penjaga modal asing. Nasionalisme dan patriotisme seakan-akan telah dibunuh dari kehidupan bangsa Indonesia. Untuk itu pentinglah kiranya bangsa dan rakyat Indonesia, khususnya penyelenggara negara yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo segera ‘banting stir’ dan ‘balik arah’ untuk menyelamatkan rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia. Komando Nasional Dibutuhkan satu komando politik nasional untuk bergerak, melepaskan diri dari ketergantungan pada modal dan produksi kapitalis asing. Negara dengan pemerintahnya
4
harus memimpin rakyat dan bangsa Indonesia, berganti haluan kembali melaksanakan ajaran Bung Karno secara konsisten, Tri Sakti, yaitu : Berdaulat di bidang politik sebagai bangsa yang merdeka di tingkat internasional dan dilaksanakannya hak-hak kedaulatan Rakyat di tingkat nasional. Kemandirian (berdikari) di bidang ekonomi dengan menjadikan seluruh kekayaan alam untuk kesejahteraan Rakyat, sehingga Rakyat Inonesia menjadi tuan di tanah air dan negerinya sendiri, dan mengembangkan kebudayaan yang bersumber dari kebudayaan Rakyat sebagai kepribadian bangsa Indonesia. Sehingga, Pancasila menjadi nyata di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketuhanan di dalam Pancasila harus menjamin kebebasan dalam menjalankan keyakinan agama masing-masing yang terdapat dalam kebhinnekaan bangsa Indonesia, yang mencerminkan ahklak dan peradaban yang tidak menindas, sebagai wujud partisipasi dalam menciptakan perdamaian dunia. Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Trisakti merupakan satu kesatuan dalam pandangan, pemikiran dan perbuatan dalam membangun Indonesia yang bersandar pada kekuatan rakyat, terutama rakyat pekerja dan sumber kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, sehingga menjadikan rakyat sebagai tuan di negeri dan buminya sendiri. Tentu, komando nasional menjalankan Trisakti di atas akan mengganggu kepentingan imperialisme dan kaki tangannya yang sudah puluhan tahun berkuasa secara politik, ekonomi dan budaya di Indonesia. Namun rakyat dan bangsa Indonesia saat ini tidak punya pilihan lain,--selain bersatu mendorongnya menjadi nyata. *Penulis adalah Pendiri dan Pimpinan Gerakan Rakyat Indonesia (GRI)
5