Kolom Budaya Malang Post Minggu, 26-1-2014
BUNG KARNO DAN ANG HIEN HOO Oleh Abdul Malik Twitter @ kurakurabiru
PERJALANAN INI DITUNTUN OLEH SELEMBAR FOTO. Hitam putih seukuran kertas folio. Warnanya sudah mulai buram. Namun masih jelas di foto tersebut sosok Bung Karno, Presiden pertama Republik ini didampingi Hartini bersama pemain wayang orang Ang Hien Hoo dari Malang. Foto kenang-kenangan saat mereka pentas di Istana Merdeka, Jakarta, tahun 1957. Pertama kali aku melihat foto itu di rumah Ibu Rudy (Shinta Dewi Kusuma), Taman Dieng Gang V no.11 Malang. Aku sedang menulis tentang wayang orang Ang Hien Hoo untuk Media Budaya PASAR SENGGOL. Ibu Rudy mendapatkan foto tersebut dari putra salah satu pemeran wayang orang Ang Hien Hoo yang juga ada di foto
tersebut. Untuk mendapatkan cerita langsung mengenai foto tersebut, Bu Rudy merekomendasi satu nama: Pak Atim yang pernah menjadi salah satu pemain karawitan dalam wayang orang Ang Hien Hoo. Salah satu putra Pak Atim ikut bekerja di rumah Bu Rudy, namanya Joko Pramono. Diantar Joko, aku bertemu Pak Atim di rumahnya. Siang itu, Pak Atim mengenakan baju koko warna maroon dan bersarung. Agak kurus dan nafas tersengal. Aku mulai menyodorkan selembar foto itu. Sejenak pandangannya menerawang jauh. Tercenung. “Ya, ini pas wayang orang Ang Hien Hoo pentas di Istana Negara. Yang jadi gareng namanya Caetsu (almarhum), yang jadi Arjuna namanya Nelly Ie. Yang ini adiknya namanya Melly Oei. Pak Onggo jadi Semar, Pak Samsu jadi Petruk. Masing-masing dapat hadiah selendang dari Bung Karno”, kata Pak Atim (8/7/2013). Selarik senyum mengembang dari bibirnya. Wajahnya mulai berbinar. Pak Atim bersuka cita melanjutkan kisahnya. Pak Atim mulai bergabung dengan wayang orang Ang Hien Hoo tahun 1954 saat usianya dua puluh satu tahun. Di kisaran tahun itu hanya ada tiga orang jawa, yaitu Atim (pemukul gong), Miskar (kendang) dan Mul Saliman (dalang). Yang lain dominan warga tionghoa. Jumlah pemain delapan puluh orang, ditambah pemain karawitan delapan belas orang.Atim sering melihat latihan wayang orang Ang Hien Hoo karena rumahnya di Kotalama tak jauh dari tempat latihan Ang Hien Hoo di Laksamana Martadinata 70 (kini Perkumpulan Sosial Panca Budhi). Antara tahun 1954 hingga 1965, Atim bersama Ang Hien Hoo tampil di berbagai kota, Madiun, Nganjuk, Rogojampi, Bali, Surabaya, alun-alun Malang (Agustus 1965). “Tanggal 30 September 1965 malam saya dan wayang orang Ang Hien Hoo pentas di gedung kesenian di jalan Diponegoro Blitar. Ditengah permainan tiba-tiba lampu padam. Namun kami tetap main terus. Lakonnya Anoman Obong. Setelah pentas kami kembali ke Malang. Sampai di Gedung Ang Hien Hoo di jalan Martadinata 70 jam satu dini hari. Saya kaget, kok gamelan morat marit. Tembok dicorat coret. Untungnya kelir wayang orang kami bawa pentas ke Blitar,” kenang Pak Atim. Popularitas Ang Hien Hoo semakin naik. Tahun 1957, wayang orang ini diundang oleh Presiden Soekarno untuk tampil di Istana Negara di Jakarta. Dengan menumpangi bus, rombongan ini berangkat dari Malang membawa 32 anggotanya.
Pak Atim didapuk sebagai penabuh gong. Ia tak bisa melupakan kegembiraannya pada saat itu. Bung Karno menyatakan senang akan penampilan wayang orang Ang Hien Hoo yang saat itu menampilkan lakon Ajuna Wiwaha. Bahkan pemainnya yang menjadi primadona rombongan yakni Nelly Ie sempat membuat Bung Karno ‘kepincut’. Bung Karno memberi hadiah nama Ratna Juwita kepada Nelly Ie. Saat tampil di Istana Negara, Nelly Ie tampil berpasangan dengan sang adik, Melly Oei (Ratnawati).
Siauw Giok Bie sebagai Ketua Ang Hien Hoo tahun 1959 memberikan piala kepada Ratnawati. Dialah partner dari Ratna Juwita sewaktu menari di Istana Negara pada tanggal 17 Agustus 1962.
Saat bertemu Pak Atim usianya 77 tahun. Namun beliau masih ingat suasana saat tampil di Istana Negara. “Kemana-mana dikawal Cakrabirawa, dari makan sampai ke kamar mandi”, katanya. Tim kesenian wayang orang Ang Hien Hoo pentas di Istana Negara selama seminggu. Lawatan pun dilanjutkan ke Istana Bogor selama seminggu, meski tidak pentas.
Tahun 1965 Ang Hien Hoo vakum. Pak Atim bekerja sebagai sopir becak untuk menyambung hidup. Pekerjaan ‘mbecak’ dijalaninya selama 32 tahun. Pak Atim berhenti ‘mbecak’ setelah anak-anaknya menjual becak nya. Ini satu upaya akhir untuk menghentikan aktivitasnya. Rasa cinta anak-anaknya yang kini sudah mulai berkeluarga pada Atim. Aktivitasnya dalam kesenian masih dijalaninya dengan ikhlas. Pak Atim masih sering pentas bersama sanggar wayang kulit di Malang antara lain tampil bersama Kwartet S. Atim pun tak hanya piawai memainkan gong. Pak Atim tinggal bersama istri, Maryatun asal Blitar, dan Joko Purnomo, anak kelima. Mereka menetap di Dusun Krojen Desa Pandanlandung Kecamatan Wagir Kabupaten Malang. Memiliki sepuluh anak, satu meninggal. Darah seni mengalir kepada dua anaknya, Joko Purnomo yang aktif sebagai pemain wayang orang dan Priyo, putra ketujuh yang menekuni dunia musik. Joko Purnomo setia ‘nyantrik’ ke Bu Rudy, panggilan akrab Shinta Dewi Kusuma, selama tiga puluh tahun. Joko membantu Bu Rudy mengelola sewa kostum wayang orang, catering dan kue kering. Juga membantu Bu Rudy melatih wayang orang Bara Pratama dan Ang Hien Hoo Junior. Di ruang tamu Pak Atim, terpasang satu foto saat beliau berpose di depan pesawat terbang. Ada senyum bahagia, bisa melanglang kota lewat uri-uri seni tradisi. Sekitar satu bulan setelah wawancara, aku mendapat kabar dari Bu Rudy bahwa Pak Atim wafat pada Rabu, 7 Agustus 2013 sekitar pukul 09.00 wib. Jenazah dikebumikan di TPU Kutobedah Malang. Salah satu saksi sejarah Ang hien Hoo telah berpulang namun data dan informasi dari Pak Atim tetap bermanfaat. Kisah Pak Atim “mengapresiasi” foto Bung Karno dan Ang Hien Hoo, kami sandingkan dengan informasi lain mengenai kapan tepatnya Ang Hien Hoo pentas di Istana. Pertama: tahun 1961 berdasarkan buku Peringatan Satu Abad Perkumpulan Sosial Panca Budhi (d/h Ang Hien Hoo), 11 September 2011. Kedua: tahun 1957 berdasarkan info dari Pak Atim, yang turut menjadi anggota karawitan Ang Hien Hoo saat itu. Ketiga: 17 Agustus 1962 berdasarkan informasi dari Ibu Siauw Ting Soan (Bali) dan Ibu Ratnawati (Surabaya). Didukung Nelly Ie (Ratna Juwita ) sebagai primadona Ang Hien Hoo tampil dihadapan Bung Karno dan Ibu Fatmawati.Berdasarkan info dari Ibu Ratnawati (Melly Oei) yang tampil dihadapan Bung Karno dan Ibu Fatmawati hanya Ratna Juwita (Nelly Ie). Berdasarkan info dari Pak Atim, Ratna Juwita dan Ratnawati tampil bersama. Lewat email, (28/7/2013) Ibu Siauw Ting Soan mengabarkan info dari Ibu Ratnawati “Tapi sewaktu cuma berduaan, Ratnawati & Ratnajuwita, mereka naik pesawat. Mungkin yg kedua kalinya ini yg menari Menakjinggo Dayun Th 1962”.
Saat aku bertemu Ibu Ratnawati di Malang, Agustus tahun lalu, beliau menyatakan bahwa dia dan Ratna Juwita tampil di Istana Bogor, 19 Agustus 1959 dengan lakon Menakjinggo Dayun. Ratnawati juga menjelaskan bahwa dia dan Ratna Juwita tak ada hubungan saudara seperti yang banyak dibicarakan publik. “Saya tinggal di Jalan Tanggamus Malang, sementara Ratna Juwita di Jalan Ambengan Surabaya.“ Ratna Juwita, Ratnawati dan Shierly Hiang adalah primadona wayang orang Ang Hien Hoo saat itu. Ratnawati (Surabaya), Ratna Juwita (Solo, telah berpulang), sementara Shierly Hiang keberadaannya belum diketahui. “Kami dulu bertiga sering latihan nari di Ang Hien Hoo. Terakhir dia tinggal di Jalan Buru 1 Malang. Tapi rumah itu sudah dijual,” kata Ratnawati yang berharap dapat bertemu sahabatnya semasa di Ang Hien Hoo. Perjalanan ini dituntun oleh selembar foto. Selembar foto yang menuntunku memasuki seabad kota Malang lewat wayang orang Ang Hien Hoo yang telah berdiri 103 tahun lalu. (*)