Mengenang Bung Karno Bung Karno Selundupkan Senjata dari Soviet
Banyak
cerita mengenai Bung Karno (6 Juni 1901-21 Juni 1970) di luar yang tertulis di sejarah. Harian detik menurunkannya secara berseri untuk Anda: Saat Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika akan digelar di Bandung pada 1955, Presiden Sukarno sengaja mengundang delegasi Aljazair, yang masih berperang melawan kolonial Prancis. Berkat forum internasional yang digagas Sukarno itulah nama Aljazair pertama kali dikenal dunia internasional. Hingga akhirnya pada 5 November 1962 para pejuang memproklamasikan kemerdekaan Aljazair. Tapi peran Sukarno bagi Aljazair tak berhenti di situ. Pada 1957, ia menyelundupkan senapan mesin bagi Front Nasional Pembebasan Aljazair untuk melawan Prancis. Misi rahasia ini melibatkan dua kapal selam yang dipesan Indonesia dari Uni Soviet. Setelah berlayar dari Moskow menuju Aljazair, barulah kapal selam itu melanjutkan perjalanan ke Tanah Air. Pada 1949 hingga 1958, Uni Soviet memang memproduksi 236 kapal selam kelas Whiskey, yang 12 di antaranya dibuat untuk Indonesia. Bahkan, menurut Abdelhamid Mehri, pejuang Aljazair yang meninggal pada 30 Januari 2012, Sukarno tak cuma menyuplai senjata dari Moskow, tapi juga mengirimkan perwira-perwira TNI dari berbagai angkatan untuk melatih pejuang Aljazair. Ketika Guntur bertanya apakah Bung Karno tidak takut pada sanksi Perserikatan BangsaBangsa karena melanggar hukum internasional, dia membalas dengan suara kentut yang besar! Ya, dia bilang kalau PBB berani menghukumnya karena membantu negara lain lepas dari penjajahan, dia akan mengentuti badan internasional itu. “Soal kemerdekaan, soal menghancurkan imperialisme, itu buatku nomor satu,” ujarnya seperti dikutip Guntur dalam buku Bung Karno, Bapakku Kawanku, Guruku. Tapi Sukarno tak hanya nekat. “Kita itu harus pakai otak,” kata Bung Karno menjelaskan alasannya mengirim senjata ke Aljazair. Buat Sukarno, membantu Aljazair merdeka merupakan taktik diplomasi menikung buat merebut Irian Barat. Menyerang langsung ke Papua hanya akan membuat Belanda diuntungkan dengan bantuan dari pasukan Sekutu, yang bermarkas di Samudra Pasifik. Apalagi jalan diplomatik pun mentok di PBB. Sukarno mengharapkan efek domino dari sukses pejuang Aljazair memukul Prancis di negerinya. Merdekanya Aljazair akan menambah daftar negara yang mendukung perjuangan melawan kolonialisme. “Di sini beratnya perjuangan melawan kolonialisme,” kata Sukarno.
“Yang mau kita serang adalah Belanda di Irian Barat, tapi kita juga harus menggempur benteng-benteng mereka di semua tempat.” Atas jasa-jasanya itu, tak mengherankan bila nama Sukarno begitu beken di Aljazair, belahan utara Afrika. Begitu juga di negara-negara Timur Tengah. Cuma, di sana nama Sukarno lebih populer dengan sebutan Ahmed Zukarna. Adalah Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser yang mengenalkan Sukarno sebagai Ahmad Sukarno atau yang dilafalkan dengan lidah lokal jadi Ahmed Zukarna.
Taktik Barter Sukarno Melawan CIA
Sukarno tergopoh-gopoh keluar dari kamarnya. Pagi itu perutnya melilit dan terburu-buru hendak masuk toilet Istana. Sesaat sebelum masuk, ia menunjuk ke arah tumpukan koran, yang setiap pagi ditaruh di muka kamarnya. “Heh, ayo cepat, itu koran semua aku mau baca di kakus,” kata Sukarno. Namun orang yang dimintai tolong malah menyandera harian Suluh Indonesia, corong Partai Nasional Indonesia. “Apa benar ini berita Bapak menukar Pope dengan jalan bypass?” tanya Guntur Soekarno. Pope yang dimaksud adalah Allen Lawrence Pope, pilot asal Amerika Serikat yang pesawatnya, B-26 Invader, ditembak jatuh TNI di Maluku pada 1958. Saat itu Pope, yang pensiunan militer Amerika, tengah menjalani misi pengeboman CIA buat menyokong pemberontakan Perdjuangan Rakjat Semesta alias Permesta. Pope awalnya disebut Amerika sebagai tentara bayaran. Nahas bagi Pope. Saat dibekuk, dia membawa banyak dokumen yang mengindikasikan dia memang bekerja buat CIA lewat Civil Air Transport, maskapai yang dipakai dinas rahasia Amerika itu buat operasinya di Timur Jauh. Pope setidaknya 12 kali membombardir lapangan udara TNI dan pelabuhan sipil di Maluku dan Sulawesi. Pria asal Miami itu hanya mengakui dua misi penerbangan saja, tapi pengadilan Indonesia pada 1960 memvonisnya hukuman mati. Pada 1961, Presiden Dwight D. Eisenhower diganti John F. Kennedy. Gaya politik luar negeri Amerika pun berubah dan lebih bersahabat terhadap Indonesia. Sukarno, yang sebelumnya akan digergaji kursi presidennya, malah diundang ke Gedung Putih. Diduga saat itulah masalah Pope dibahas. Setahun setelah pertemuan itu, Pope diam-diam diantar pesawat Negeri Abang Sam di bandara Jakarta. Sebelum dia dipulangkan, Sukarno berpesan, ”Jangan muncul ke publik, jangan membuat cerita aneh-aneh. Pulang dan menghilanglah dan kami akan melupakan
semuanya,” ujarnya seperti ditulis dalam buku Subversion as Foreign Policy The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia. Pemulangan Pope itu tidaklah gratis. Kennedy mesti membarternya dengan pesawat angkut Hercules dan dana pembangunan jalan bypass dari Cawang ke Tanjung Priok. Lain lagi cerita Bambang Avianto, putra sulung Marsekal Pertama Joko Nurtanio. Anak penggagas industri penerbangan Indonesia itu menunjuk pada bangkai helikopter Bell-47 J2A Roger, yang 30 tahun teronggok di ujung landas pacu Husein Sastranegara. Bambang mengatakan helikopter kepresidenan era Sukarno itu merupakan hadiah Presiden Kennedy. Helikopter berjulukan si Walet itu status resminya hadiah, tapi sejatinya bagian dari barter dengan Pope. “Itulah salah satu kelebihan diplomasi Bung Karno,” ujarnya. Kennedy memang ingin menjauhkan Sukarno dari Cina dan Uni Soviet. Taktik yang dipakai adalah memberi bantuan nonmiliter. Namun bernarkah Sukarno menukar Pope dengan pesawat dan sejumlah proyek pembangunan? Ketika Guntur Soekarno mendesak soal itu, ayahnya cuma tertawa. Usai urusannya di toilet istana pada 1960-an itu, Sukarno cuma berujar, “Mudah-mudahan Amerika kirim Pope yang lain. Kalau tertangkap nanti, aku minta tukar dengan Ava Gardner dan Yvonne de Carlo!”
Inspeksi Tari Perut di Mesir
Hei, Bur, ada apa malam-malam begini!” hardik Bung
“
Karno. “Aku kan sudah bilang aku mau istirahat!” Sukarno memang malam itu baru tiba di Kairo. Karena tak ada acara, ia memilih langsung tidur agar esok tampil segar saat bertemu dengan Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser. Tergagap, Sabur menyampaikan bahwa Nasser mengirim utusan. Kemarahan Sukarno mereda dan dia meminta Marsekal Abdul Hakim Amir itu masuk ke kamarnya. Mengenakan kaus oblong dan celana piyama, Sukarno menerima Marsekal Amir. “Presiden Nasser mengutus saya menjemput Paduka Yang Mulia untuk inspeksi,” kata Amir. Sukarno langsung memotong Amir dan minta agar disampaikan kepada Nasser bahwa ia terlalu lelah buat inspeksi pasukan ataupun persenjataan Mesir di larut malam. Tapi Amir terus meminta Sukarno ikut dengannya. “Begini, presiden kami mengundang sahabat beliau, Presiden Indonesia, untuk menginspeksi penari-penari perut di Kairo ini." Mendengar itu, Sukarno mendadak sontak bersemangat.
“Kenapa tidak bilang dari tadi!” kata Sukarno. “Sampaikan kepada saudaraku, Nasser, Sukarno dari Indonesia akan siap dalam sepuluh menit!” Inspeksi penari perut yang diceritakan ulang oleh Guntur Soekarno ini hanya salah satu agenda tak resmi Bung Karno bersama pemimpin negara sahabat. Dalam buku Bung Karno, Bapakku, Kawanku, dan Guruku, Guntur bercerita Sukarno di sela-sela pertemuan Gerakan Nonblok pernah diajak menonton kabaret oleh Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito. “Wah, Bapak senangnya bukan main diajak Pak Tito nonton kabaret yang pamer paha,” tulis Guntur. “Waktu Pak Tito ke Indonesia dibalas dengan mengajak nonton tari Bali yang megalmegol mengasyikkan.” Peneliti sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, melihat undangan menonton tari perut dan kabaret itu menunjukkan Sukarno memang akrab betul dengan pemimpin negara lain. “Sukarno bisa akrab karena dia sendiri memang supel,” kata Asvi. Namun keakraban itu bukan sekadar hura-hura karena, Asvi melihat, Sukarno memanfaatkan itu buat mengegolkan kepentingan Indonesia dan negara dunia ketiga lainnya. Kedekatan itu, kata Asvi, membantu memuluskan misi diplomatiknya mendirikan Gerakan Nonblok demi menandingi Blok Amerika Serikat dan Blok Uni Soviet. Tak cuma dengan kawan, Sukarno juga bisa berkarib dengan lawan. Asvi mencontohkan Sukarno, yang meski kerap diganjal Amerika Serikat, bisa melenggang dan berbincang hangat dengan Presiden John F. Kennedy. Meski banyak mengkritik Amerika, kata Asvi, Sukarno datang ke sana karena perlu dukungan Amerika buat menekan Belanda keluar dari Papua. “Dia berprinsip hubungan antarnegara kan tidak melulu bertengkar meskipun Indonesia sering mengkritik Amerika,” kata Asvi.
Musuh Amerika Itu Kepincut Sukarno
Hendri Saragih tak menyangka pembesar yang ditemuinya bakal menyapa hangat. Semua itu terjadi karena Koordinator Organisasi Petani Sedunia itu mengatakan kepada Presiden Venezuela Hugo Chavez bahwa ia dari Indonesia. Chavez meraih bahu Hendri dan mengguncang-guncangnya. “Oh, Bandung, Bandung, Bandung,” katanya seperti ditirukan Hendri. Chavez lantas menjelaskan, ia teringat akan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955. Ia juga menyatakan mengagumi penggagas konferensi itu, Presiden Sukarno.
Kebijakan nasionalisme perusahaan asing oleh Sukarno, kata Hendri, juga dijadikan contoh oleh Chavez. Nasionalisme perusahaan itu pula yang membuat Chavez dimusuhi Amerika Serikat, yang beberapa perusahaannya dicaplok Venezuela. Pesona Sukarno memang menyihir Amerika Latin, terutama setelah ia mengunjungi Fidel Castro dan sekondannya, Ernesto “Che” Guevara, di Havana pada 1960. Kunjungan itu pada 2008 diabadikan di Kuba dalam prangko, yang menampilkan foto pertemuan tersebut. Prangko itu hanyalah satu dari banyak jejak sepak terjang Sukarno di dunia, yang hingga kini masih terserak di banyak negara. Filipina, misalnya, punya prangko bergambar Sukarno. Mesir juga menamai satu ruas jalannya Ahmed Soekarno. Adapun di ibu kota Maroko, Rabat, ada Jalan Rue Soekarno. Di Arab Saudi, ada pohon mimba, yang di sana dijuluki Syajarah Sukarno atau Pohon Sukarno. Sekadar menyebut Indonesia saja, penduduk di beberapa negara Afrika dan Asia spontan menyahut, “Sukarno.” Backpacker Agustinus Wibowo mengingat pengalaman itu saat berusaha masuk Afganistan lewat Pakistan. "Orang-orang di sana, terutama dari generasi tua, tahu Bung Karno yang pernah pidato di sana,” kata Agustinus. Ia juga menemukan Soekarno Square di daerah Peshawar dan Soekarno Bazar di Lahore. Peneliti sejarah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, mengatakan Sukarno dikenang banyak negara karena piawai membina hubungan baik. “Dia secara konsisten membantu negara-negara itu memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan mereka,” ujarnya
Melirik Istri Raja Kamboja hingga Marilyn Monroe
Api
cemburu membakar hati Yurike Sanger saat
terbaring di salah satu kamar Rumah Sakit Jang Seng Le (sekarang Sarihusada) pada suatu hari pada 1965. Setelah menjalani operasi terkait dengan kehamilannya yang tak normal, sang suami hanya membesuknya sekelebat. Dalihnya, kesibukan tugas negara yang mustahil dikesampingkan. Sang suami tak lain adalah Bung Karno. Ia, yang belum genap 20 tahun, menjadi perempuan kedelapan yang dinikahi si Bung, sekaligus dijanjikan bakal menjadi istrinya yang terakhir. Sebagai presiden, suaminya memang baru saja menunaikan tugas kenegaraan ke Eropa. Tapi juga menyalurkan hasrat kelelakiannya, yang amat mengagumi wanita cantik.
Buktinya, seorang dokter muda nan tampan menyodorkan majalah yang di sampul mukanya menampilkan Bung Karno sedang bermesraan dengan bintang film Italia, Gina Lollobrigida, saat berkunjung ke Roma. Api cemburu ia tumpahkan begitu Bung Karno kembali datang membesuk. “Saya marah kepada Bapak dan membanting tumpukan majalah tadi,” tuturnya dalam buku Cinta dan Hati Istri-istri Sukarno karya Reny Nuryanti dan kawan-kawan. Selain dengan Gina, kebersamaan dengan aktris Hollywood, Marilyn Monroe, merupakan kabar yang paling luas diberitakan media internasional beberapa tahun sebelumnya. Menurut penuturan Iwan Satyanegara Kamah di Koran Tempo edisi Minggu, 3 Juni 2001, perjumpaan Sukarno dan Marilyn terwujud berkat jasa Joshua Logan, sutradara film Bus Stop. Seusai syuting, Logan mengajak Marilyn menghadiri pesta penyambutan Bung Karno. "Saya ingin kau datang menemui sahabat saya nanti malam," kata Logan. Setelah berbincang hangat selama 45 menit, kepada Marilyn, yang mengenakan gaun hitam, Bung Karno berucap, "Anda seorang yang sangat penting dan sangat terkenal di Indonesia." Tak cuma para aktris film dunia, Bung Karno pun dikabarkan sempat tergoda oleh kecantikan Putri Monique, istri bekas Raja Kamboja Norodom Sihanouk, yang berasal dari Prancis. Sihanouk mengungkapkan hal itu dalam buku Norodom Sihanouk: Pemimpin Dunia yang Saya Kenal yang diterbitkan Gaffiti Press, 1991. "Monique, tanpa sadar, telah mempesona Sukarno dan menimbulkan api di hatinya yang mudah terbakar," tulis Sihanouk. Toh, dia masih menganggap Bung Karno sebagai laki-laki sopan yang sempurna karena tak pernah berusaha menaklukkan satu pun wanita Kamboja "secara nyata" betapapun cantiknya.
Aneka Hadiah untuk Para Istri
Sekitar
dua
bulan
pascakejadian
Gerakan
30
September 1965, Bung Karno yang letih fisik dan mental justru meminta Heldy Djafar, perempuan kesembilan yang dinikahinya, berlibur ke luar negeri. Rupanya ia merasa tak enak hati melihat sang istri harus turut menanggung beban politik yang tengah dihadapinya. "Pergilah engkau liburan ke Hong Kong dan ke Jepang bersama kakak-kakakmu. Nanti semua akan diatur oleh kedutaan di negara masing-masing," tutur Bung Karno seperti diungkap dalam buku Heldy, Cinta Terakhir Bung Karno karya Ully Hermono dan Peter Kasenda. Kepada kedua penulis, Heldy mengaku melakukan perjalanan dengan layanan serba istimewa, layaknya tamu negara.
Di kesempatan lain, Heldy menerima uang untuk membeli mobil yang disukainya, berhelaihelai kain batik, parfum, dan berbagai benda berharga lainnya. Lain lagi kepada Haryatie. Kepada mantan penari Istana itu, Bung Karno pernah sengaja mengajaknya berbelanja di sela kunjungan kenegaraan ke Italia. Saat berada di sebuah toko di Roma, Haryatie ditawari memilih jam tangan warna hitam atau merah.
*Senajan karo-karone kok senengi, aku ya seneng wae (meski kamu mau dua-duanya, ya saya senang saja),” ucap Bung Karno seperti ditulis Reny Nuryanti dalam Cinta dan Hati Istri-istri Bung Karno. Tak cuma itu. Haryatie, yang telah ditempatkan di sebuah rumah di Jalan Madiun, Menteng, Jakarta Pusat, masih dibuatkan rumah di kawasan Slipi, Jakarta Pusat. Rumah sengaja dibangun di dekat daerah persawahan. “Kangmas remen sing cedak sawah (Mas senang yang dekat sawah),” ujar si Bung. Lantas dari mana Bung Karno membiayai dan memberikan hadiah-hadiah kepada para istrinya? Kepada Haryatie, si Bung mengaku memperolehnya dari royalti otobiografinya, Sukarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams, yang terbit di New York pada 1965. Meski kerap memberi hadiah, budayawan Sujiwo Tejo menilai, daya tarik utama Bung Karno tetap pada pesona dan karismanya. Materi bukan hal pokok bagi Bung Karno dalam menaklukkan setiap perempuan. Hal itu berbeda dengan lelaki lain sekelas Presiden Prancis Nicolas Sarkozy atau lelaki yang saat ini tengah berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi dan dikabarkan menjalin hubungan dengan puluhan perempuan. “Kalau saya menduga, dia hanya mengandalkan uang, uang, dan uangnya, karena tidak ada sisi romantis yang ditonjolkan. Beda banget dengan Bung Karno,” kata Sujiwo.
Karma Istri-istri Sukarno
Andai ajal tak menjemput, bagi Bung Karno, seolah tak pernah ada wanita terakhir untuk diperistri. Di hadapan wanita sepuh itu, Fatmawati Sukarno bersimpuh. Sambil berurai air mata, dia bersujud menciumi kedua kakinya. Dengan terbatabata, Fatmawati meminta maaf karena telah menjalin tali kasih dan menikah dengan Sukarno. “Indung mah lautan hampura (seorang ibu adalah lautan maaf),” si perempuan sepuh itu membalas sambil memeluk dan mengelus kepala Fatmawati. Hanya, ke depan, dia melanjutkan, jangan mencubit orang lain kalau tak ingin dicubit, karena dicubit itu rasanya sakit.
Si perempuan sepuh itu tak lain adalah Inggit Garnasih. Dia perempuan kedua, setelah Oetari Tjokroaminoto, yang dinikahi Bung Karno. Istri yang cuma bisa memberi tanpa mau meminta kepada suaminya. Sayang, setelah 20 tahun berumah tangga, bahkan dengan setia nunut Bung Karno hingga ke Ende dan Bengkulu, Inggit harus rela berpisah. Karena si Bung terpikat pada Fatmawati, yang pernah ikut mondok dalam rumah tangga mereka saat di Bengkulu. Kehendak Fatmawati menemui Inggit di Jalan Ciateul Nomor 8, Bandung, seperti tertulis dalam buku Fatmawati Sukarno: The First Lady karya Arifin Suryo Nugroho, terwujud berkat bujuk rayu mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Ali menemui Inggit pada 7 Februari 1980 untuk menjajaki kemungkinan menerima kehadiran Fatmawati, yang telah 38 tahun tak lagi berkomunikasi. Bagi Fatmawati, kehendaknya menemui mantan ibu angkatnya itu seolah menjadi penyuci diri. Sebab, pada 14 Mei 1980, Fatmawati berpulang setelah menunaikan umrah. *** Kehadiran anak kandung sangat diidamkan Bung Karno, dan Fatmawati memberinya lima putra-putri. Tapi kebahagiaannya sebagai pendamping Bung Karno harus terkoyak pada tahun ke-12. Sebab, belum genap dua hari ia melahirkan Guruh, Sukarno mendekat sambil berkata lirih, “Fat, aku minta izinmu, aku akan kawin dengan Hartini.” Tak terbayangkan betapa sakitnya hati Fatmawati kala itu. Tapi bisa jadi itulah karma yang harus diterimanya setelah Bung Karno terpaksa menceraikan Inggit, yang tak memberinya keturunan. Kepada Tempo edisi 22 september 1999, Hartini menepis tudingan publik bahwa dirinya telah merebut Bung Karno dari Fatmawati. Untuk bersedia menerima pinangan Bung Karno yang bertubi-tubi, dia harus membayarnya dengan amat mahal. Sebab, hampir semua media dan aktivis perempuan kala itu menyudutkan dirinya, dan lebih membela Fatmawati. “Benar, sudah ada Ibu Fatmawati, sang first lady, ketika saya menikah dengan Bung Karno. Tapi, setelah saya, juga ada Dewi,” ujar Hartini. Dan, kalau dirinya dikatakan merebut Bung Karno dari Ibu Fat, ia melanjutkan, bukankah Ibu Fat juga merebut Bung Karno dari Ibu Inggit, dan Ibu Inggit merebutnya dari Ibu Tari (Oetari)? Lalu, setelah Dewi, bukankah masih ada lagi Haryatie, Yurike, dan belum pacar-pacar yang lain? Jadi semuanya sama. Yang membedakan, hanya ada satu first lady. “Saya tidak merebut Bung Karno. Saya menjalani takdir yang digariskan hidup,” Hartini menegaskan. Total, Bung Karno sembilan kali resmi menikah. Andai ajal tak menjemput, bagi si Bung, seolah tak pernah ada wanita terakhir untuk diperistri. Seorang wanita yang dilimpahi aliran cinta yang bergelora harus tabah menyaksikan padamnya api asmara tatkala Sukarno terpikat pada wanita lain.
Tutur Kata yang Membuai Wanita
Sang
penakluk wanita alias Don Juan. Raja Kamboja Pangeran
Norodom Sihanouk pernah melontarkan julukan ini kepada Bung Karno. Julukan yang lebih didasari rasa kagum Sihanouk terhadap penampilan si Bung, yang kerap dikelilingi banyak wanita cantik. Bung Karno memang mempunyai aneka cara dan trik untuk menaklukkan wanita. Bila ada yang nekat melontarkan isyarat penolakan, rayuan maut segera ditebar buat menjerat agar bertekuk lutut. Begitulah antara lain yang dihadapi Heldy Djafar. Ketika pertama kali pelajar kelas II sekolah menengah atas itu menolak lamaran dan menyarankan agar mencari wanita lain yang lebih dewasa, Bung Karno tak mutung. Malah cuma tersenyum dan kembali berkunjung di kesempatan lain. "Dik, kau tahu. Kau tidak pernah mencari aku, aku juga tidak mencari kau. Tapi Allah sudah mempertemukan kita.” Kali ini, seperti terungkap dalam buku Heldy, Cinta Terakhir Bung Karno, si Bung menebar rayuan dalam mobil ketika hendak membeli sate ayam di kawasan Sampur, Jakarta. Giliran Heldy yang tercenung dan akhirnya tak kuasa berkata tidak kepada lelaki yang usianya telah menginjak 64 tahun itu. Adalah keliru bila kita menyebut Bung Karno mudah memikat dan menaklukkan wanita karena jabatannya sebagai presiden. Tidak. Selain memiliki paras tampan, tubuh tegap, dan suara berat penuh karisma, kelebihan lain Bung Karno adalah tutur katanya yang bisa membuai para wanita. Pengakuan beberapa perempuan yang pernah diperistri Bung Karno mempertegas hal itu. Saat pertama kali terpikat pada Hartini, yang telah punya lima anak, misalnya, Bung Karno tak surut. Dia malah memuji perempuan yang mahir membuat sayur lodeh itu dengan kalimat, “Sudah punya lima anak tapi masih secantik ini?” Atau terhadap Kartini Manoppo, pramugari Garuda, yang melahirkan Totok Suryawan dari Bung Karno. “Kamu Kartini Manoppo? Wah, ternyata aslinya lebih cantik dari lukisannya.” Setelah berumah tangga, di tengah kesibukannya mengurus negara, Bung Karno tak pernah lupa terhadap keluarga. Bila ada janji yang tak mungkin dipenuhi, dia akan secepatnya memberi kabar dengan selalu mencantumkan kata “loves”. Sikap dan tindakan Bung Karno terhadap wanita juga selaras dengan tutur katanya yang puitis-romantis. Bambang Widjanarko dalam buku Sewindu Dekat Bung Karno malah mengisahkan betapa lelaki berbintang Gemini itu amat gallant dan selalu hangat kepada setiap wanita. Bung Karno tak segan-segan mengambilkan minum untuk tamu wanitanya. Bahkan mengoreksi pakaian yang dikenakan sekaligus menyarankan penampilan terbaik yang seharusnya. "Terhadap setiap wanita yang sedang dihadapinya, dia selalu dapat mencurahkan perhatiannya kepada wanita itu, sehingga wanita tersebut merasa dia satu-satunya wanita yang paling dicintai atau dihargai BK," tulis mantan ajudan Bung Karno itu.
Sebagai kepala rumah tangga, Bung Karno tak cuma memperhatikan dan pandai menyenangkan para istrinya. Dia juga telaten memperhatikan pendidikan dan bakat anakanaknya. Untuk urusan sekolah anak-anak, Bung Karno selalu turun tangan. “Semua rapor anak-anak, Bapak sendiri yang neken,” kata Hartini. Bukan hanya itu, jika ada pelajaran yang nilainya jelek, Bung Karno turun tangan memberikan penjelasan langsung. Yurike Sanger, salah satu istri Bung Karno, mengaku sempat kesal karena, bila menginap, si Bung pagi-pagi sekali sudah bergegas kembali ke Istana Negara tempat putra-putrinya dari Fatmawati tinggal. “Bung Karno harus mencium anak-anaknya satu per satu sebelum mereka berangkat ke sekolah,” tuturnya.
Misteri Lingga-Yoni di Tugu Monas
Juni sering disebut sebagai bulan Bung Karno. Di bulan Juni-lah Bung Karno lahir, memperkenalkan rumusan Pancasila dan wafat. Harian Detik menurunkan serial Mengenang Bung Karno untuk Anda: Pada 17 Februari 1955, Presiden Sukarno menggelar sebuah sayembara terbuka tentang desain sebuah tugu yang akan dibangun di Jakarta. Sayembara ditutup pada Mei 1956. Ada 51 arsitek yang mengajukan rancangan, dan hanya satu yang dipilih, yakni karya Frederich Silaban, meski sebenarnya desainnya dinilai tak memenuhi syarat bangunan tugu. Sayembara kembali dibuka pada 10-15 Mei 1960. Kali ini pesertanya mencapai 222 orang dengan 136 desain bangunan. Sayang, tak ada satu pun yang memenuhi keinginan Sukarno. Waktu itu arsitek lulusan Technische Hogeschool―kini Institut Teknologi Bandung―itu menginginkan bangunan tugu yang mencerminkan revolusi serta kepribadian dan cita-cita rakyat Indonesia. "(Bangunan) yang mencerminkan hal yang bergerak, yang dinamis dalam satu bentuk daripada materi yang mati,” kata Sukarno waktu itu, seperti dikutip dalam buku Bung Karno Sang Arsitek karya Yuke Ardhiati. Di hadapan peserta sayembara, Sukarno mengakui sulitnya mewujudkan ide itu dalam bentuk desain bangunan. Akhirnya, rancangan yang pernah diajukan Silaban diambil alih oleh Sukarno dan Raden Mas Soedarsono untuk dimodifikasi. Hasilnya, jadilah Tugu Monumen Nasional atau Monas seperti yang sekarang ini.
Tugu Monas mulai dibangun pada 17 Agustus 1961. Bangunan itu memiliki ketinggian 132 meter dengan bentuk menyerupai modifikasi artefak Lingga dan Yoni. Lingga merupakan
simbol kejantanan seorang pria (phallus), dan Yoni sebagai simbol perempuan atau kesuburan. Sukarno mendapat inspirasi tersebut dari artefak yang ada di Candi Sukuh di Karanganyar, Jawa Tengah. Dia menyebut Candi Sukuh merupakan salah satu monumen yang dibangun pada zaman Hindu. “Pada waktu itu, monumen-monumen itu pencerminan dari jiwa besar Indonesia,” ujar Sukarno dalam pidato saat peletakan batu pertama pembangunan Masjid Istiqlal, 24 Agustus 1961. Arsitek Yuke Ardhiati menyebut karya-karya arsitektur Sukarno banyak menonjolkan sisi keindonesiaan. “Tentunya keindonesiaan pada zamannya,” ucapnya kepada Harian Detik, Senin pekan lalu. Di Tugu Monas, misalnya, semangat perjuangan Indonesia yang tak pernah padam dilambangkan dalam simbol api di puncaknya.
Bung Karno 'Terpikat' oleh Lenin
Presiden Sukarno terpikat oleh kemegahan bangunan Stadion Pusat Lenin di Moskow, Uni Soviet. Dalam kunjungannya ke negara tersebut pada 1956, Bung Karno menantang semua arsitek di Uni Soviet merancang sebuah stadion olahraga yang dapat melindungi semua penontonnya dari hujan dan panas matahari. Hampir semua arsitek yang ditemui Sukarno mengatakan ide itu tak lazim. Menurut mereka, umumnya stadion hanya bisa dirancang dengan atap sebagian. Namun Sukarno keukeuh ingin membangun sebuah gelanggang olahraga di Jakarta yang lebih megah daripada Stadion Pusat Lenin. Hal itu terkait dengan mimpi Indonesia menjadi tuan rumah ASEAN Games IV. “Tidak, saya katakan sekali lagi, tidak. Atap stadion kami harus temu gelang,” kata insinyur lulusan Technische Hogeschool te Bandoeng--sekarang Institut Teknologi Bandung--pada 25 Mei 1926 itu. “Tidak lain, tidak bukan, saya ingin Indonesia bisa tampil secara luar biasa,” dia menambahkan, seperti dikutip dalam buku Bung Karno Sang Arsitek karya Yuke Ardhiati. Temu gelang adalah sebuah atap yang menyambung secara melingkar mengikuti lintasan olahraga. Desain atap inilah yang kemudian digunakan saat membangun Gelora Bung Karno. Stadion dengan kapasitas 110 ribu tempat duduk itu bisa dipakai sebagai ajang ASEAN Games V pada 1962. Yuke menyebut desain atap temu gelang tak hanya unik, tapi seluruh penampilannya juga terbentuk secara ritmis dan harmonis dalam kesatuan yang padat. Keunikan atap terletak pada pertemuan pilar-pilar tipis penyangga konstruksi. Menurut dia, Sukarno telah mengguratkan gaya arsitektur baru pada zamannya. Hampir semua rancangan Sukarno dikerjakan dengan teknologi modern. Namun aspek utilitas (fungsi
atau kegunaan), firmitas (konstruksi atau kekokohan), dan venustas (estetika atau keindahan) tetap diperhatikan. Bagi Bung Karno, sebuah karya arsitektur bisa dipakai untuk membangun karakter bangsa. Maka, dalam setiap bangunan, meski desainnya modern, Sukarno selalu menambahkan ornamen yang merupakan ciri bangsa Indonesia. Bangunan Hotel Indonesia, misalnya, meski desainnya modern, di bagian dalamnya ada ornamen batik tradisional. “Budaya Bali dan Jawa banyak mempengaruhi karya (arsitektur) Bung Karno,” kata Bambang Eryudhawan, arsitek dari ITB, kepada Detik kemarin. Menurut Yudha, setelah menjadi presiden, Sukarno tak pernah mengeksekusi langsung desain sebuah bangunan. Dia selalu dibantu oleh arsitek Istana, Raden Mas Soedarsono, F. Silaban, dan Insinyur Soetami. Profesor Eko Budihardjo, mantan Ketua Dewan Pembina Persatuan Sarjana Arsitektur Indonesia, dalam harian Kompas terbitan 1 Juni 2001, mengatakan banyak karya arsitektur di Jakarta yang sekarang menjadi kebanggaan bangsa. Eko mengakui sentuhan Bung Karno dalam bangunan tersebut sebatas ide, bukan dia sendiri yang mengerjakan. “Namun ide yang orisinal dan otentik itulah yang menjadi jiwa atau semangat dari karya-karya arsitektur yang bermunculan,” ujarnya.
Jacky Kennedy dan Katalog Lukisan Bugil
Menjelang
kunjungan kenegaraan Presiden Sukarno ke
Washington, DC, pada April 1961, Jacqueline “Jacky” Kennedy meminta Departemen Luar Negeri mencari buku koleksi lukisan Sukarno. Sebagai ibu negara, ia ingin mencitrakan diri sebagai tuan rumah yang baik saat suaminya, Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy, menyambut sang tamu. Permintaan itu dilontarkan Jacky karena ia mendengar Sukarno sedang gembira luar biasa karena pemimpin besar Cina, Mao Zedong, akan menerbitkan katalog koleksi lukisannya. Jacky ingin membuat tamunya terkesan karena di Gedung Putih ada buku itu. Jacky meminta buku itu ditaruh di meja yang diapit dua sofa. Satu tempat suaminya duduk dan di seberangnya disiapkan buat Sukarno. Namun Jacky terkejut melihat koleksi lukisan di buku itu. “Semua perempuan bertelanjang dada dengan kembang sepatu besar di rambutnya,” tutur Jacky dalam buku Jacqueline Kennedy: Historic Conversations on Life with John F. Kennedy. Ia langsung tak menyukai tamunya itu. Sebaliknya, Sukarno gembira bukan kepalang melihat buku itu. “Ini lukisan istri kedua saya,” kata Jacky menirukan tamunya ketika itu.
Sukarno memang dikenal sebagai pengagum seni lukis yang luar biasa. Kebanyakan lukisan yang dia koleksi berobyek wanita molek tanpa busana. Saat masih tinggal di Istana Negara, lukisan-lukisan itu terpajang hampir di setiap ruangan. Tak terkecuali ruang makan. Sesekali, karena Bung Karno juga bisa melukis, ia memperbaiki dan membersihkan sendiri lukisan-lukisan yang rusak atau kotor. Si Bung juga biasa mengajak dialog Guntur, putra sulungnya, tentang cantik-tidaknya wanita yang menjadi obyek lukisan. Ada kalanya Guntur mengakui kemolekan para wanita dalam lukisan, tapi dia juga bisa menggoda sang ayah bahwa penampilan wanita dalam lukisan biasa saja. Ketika dimintai pendapat tentang lukisan telanjang yang mirip Hartini, perempuan keempat yang diperistri Bung Karno, Guntur menyebutkan, “Enggak cantik, ah. Masih lebih cantik pacar aku, dong.” Bung Karno tentu menyergah. Ia memuji lukisan karya Basuki Abdullah itu 99 persen mirip sosok perempuan Solo, baik sorot mata, hidung, maupun bentuk bibirnya. “Kalau kau lihat dia bugil di atas kasur, baru kau tahu betapa cantik dan mulusnya dia,” ujar Bung Karno seperti ditulis Guntur dalam buku Bung Karno: Bapakku, Kawanku, Guruku. “Lo, Bapak tahunya dari mana?” Guntur menyelidik. Kali ini sang ayah cuma tertawa terbahak-bahak sebagai jawaban. Di kesempatan lain, Bung Karno menerangkan ihwal lukisan bapak-anak yang menjadi pengemis. Ia sengaja memasang lukisan tersebut di ruang makan, “Supaya Bapak, sewaktu makan, selalu ingat kepada Tuhan yang memberi rezeki dan selalu ingat rakyat Indonesia yang masih melarat karena neokolonialisme!” Menurut sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Dr Asvi Warman Adam, sebagai pengagum seni lukis, Bung Karno memiliki pelukis istana, mulai Dullah, Lee Man-Fong, sampai Lim Wasim. Ketika wafat, ia meninggalkan 2.300 bingkai lukisan. “Mungkin ini koleksi lukisan presiden terbanyak di dunia,” ujarnya. Sebagian lukisan itu kini masih menghiasi Istana Negara, Istana Merdeka, Tampak Siring, Bogor, dan lainnya.
Titiek Jadi Penyanyi Istana, Koes Bersaudara Dipenjara
Mengenakan kebaya rapi, lengkap dengan kain yang dibebat kencang dan selendang di sisi pinggul, tak membuat Titiek Puspa berani melangkah dengan percaya diri saat memasuki beranda Istana Negara.
Kehadiran Gordon Tobing, yang mendampinginya, pun tak bisa mencegah bulu kuduknya merinding. Sekujur tubuhnya kian bergetar hebat saat langkah kaki Bung Karno terdengar menghampiri ruang tamu Istana. “Ini yang namanya Titiek Puspa?” sapa Bung Karno ramah sambil menjulurkan tangan. Titiek cuma bisa mengangguk pelan. Kepalanya tertunduk kian dalam. Ia grogi luar biasa. Bagi Titiek kala itu, Bung Karno bukan cuma seorang presiden. Dia juga ibarat orang sakti yang punya inner power yang membuat siapa pun yang bertemu. “Rasanya seperti berhadapan dengan orang sakti. Seperti bertemu dewa!” tutur Titiek dalam buku Titiek Puspa: A Legendary Diva karya Alberthiene Endah. Ia antara lain melantunkan Oh Angin dan Kasih di Antara Remaja, yang kala itu sedang jadi lagu hit. Bung Karno senang dan bertepuk tangan. Titiek pun langsung ditetapkan sebagai penyanyi Istana. Tak cuma itu. Bung Karno juga amat terkesan oleh cara Titiek berkebaya. Ketika pada 1964 Indonesia akan mengirimkan tim seni budaya ke Floating Fair di sejumlah negara, Bung Karno meminta Titiek sebagai role model. “Lihat itu Titiek Puspa. Cara pakai kainnya tak membuat dia kesulitan berjalan,” ujar Bung Karno. Lain lagi nasib yang dialami para putra Koeswoyo yang tergabung dalam grup musik Koes Bersaudara. Gara-gara kerap menyanyikan lagu-lagu Barat, mereka harus mendekam di penjara selama tiga bulan. Maklum, kala itu Bung Karno tengah gencar-gencarnya melawan kolonialisme, kapitalisme, dan neokolonialisme. Penampilan Tonny Koeswoyo bak John Lennon tak mampu mengambil hati Bung Karno kala itu. "Musik kami dibilang musik ngak-ngik-ngok," kata Yon Koeswoyo saat berbincang dengan Detik di kediamannya di Pamulang, Tangerang Selatan, Jumat dua pekan lalu. Merek diciduk aparat sehari setelah manggung di rumah Kolonel Koesno di Petamburan, Jakarta. Rupanya seorang anggota staf dari Kedutaan Besar Amerika Serikat turut hadir dalam acara itu. Saat Koes bersaudara manggung, rumah sang kolonel dilempari batu oleh Pemuda Rakyat. Mereka tidak suka saat mendengar Koes menyanyikan lagu-lagu The Beatles karena dianggap menentang perintah Bung Karno yang anti-Barat. “Untung Mas Tonny segera keluar dari rumah dan minta maaf serta berjanji tidak akan mengulanginya," ujar Yon. Para jaksa yang menginterogasi mendesak para personel Koes Bersaudara menyebutkan aktor intelektual di belakang mereka. Mereka dituding melakukan subversi dan diisukan sebagai agen intelijen untuk kepentingan Barat. “Wah, ngeri banget tuduhannya," kata Yon diiringi tawa. Namun pemenjaraan itu justru menjadikan Koes Bersaudara kian kreatif. Jiwa seni mereka kian terasah dan tak cuma bisa menirukan The Beatles. Selama di bui, Tonny berhasil menciptakan beberapa lagu, baik dalam bahasa Indonesia maupun Inggris. Sebut saja Balada Kamar Lima Belas, To the so Called the Guilties, Jadikan Aku Dombamu dan Di dalam Bui.
Semua lagu itu direkam dalam piringan hitam dengan menggandeng perusahaan Dimita Moulding Company dengan label Mesra. “Dan lagu itu meledak di pasar," ujar Yon. Karena itu, ia dan saudara-saudaranya tetap menghormati dan mengagumi Bung Karno. “Bung Karno itu presiden paling dahsyat,” ujar Yon.
Disadur dari “Mengenang Bung Karno” Dirilis Oleh Detik.com