Siauw Giok Tjhan Abadi dalam kenangan (Memperingati 100 Tahun – Siauw Giok Tjhan) Oleh: Chan Chung Tak Sungguh sangat mengharukan dan membanggakan mengetahui Siauw Giok Tjhan dihari jadinya yang ke 100 tahun, sekalipun sudah meninggalkan kita hampir 33 tahun yang lalu, 20 Nopember 1981, tetap saja dikenang orang. Bukan hanya dikenang oleh mantan mahasiswa-mahasiswi URECA, Universitas Res Publica, yang sengaja menggabungkan Reuni ke-8 URECA di Cisarua kali ini, untuk memperingati 100 Tahun Siauw Giok Tjhan bertepatan dengan tanggal lahirnya, 23 Maret 2014. Ternyata gaung bersambut, begitu GEMA-INTI, Generasi Muda Perhimpunan Indonesia Tionghoa mengetahui URECA Memperingati 100 Tahun Siauw Giok Tjhan, juga tidak mau diam diri, menetapkan 29 Maret akan menyelenggarakan Seminar: ”100 Tahun Siauw Giok Tjhan, Pejuang Yang Dihapus Dari Sejarah”. Apa kiranya yang membuat sosok Siauw Giok Tjhan bisa bertahan dikenang banyak orang? Abadi dalam kenangan! Padahal Siauw selama belasan tahun dijebloskan dalam penjara dan dimasa kekuasaan ORBA selama lebih 32 tahun boleh dikatakan namanya dihapus dalam sejarah. Jadi, benar tema Seminar yang diajukan GEMA INTI, Pejuang yang dihapus dari Sejarah. Barangkali orang lebih mudah melihat jasa-jasa, tapak juang yang dijalani Siauw Giok Tjhan dengan BAPERKI dan URECA didalam pembangunan Bangsa Indonesia, tapi saya hendak mencoba menyoroti kehidupan, jiwa, pemikiran yang patut kita pelajari lebih lanjut dan menjadikan teladan. Sebagai wujud Mengenang Siauw Giok Tjhan kembali sekalipun sudah 33 tahun meninggalkan kita semua. Siauw Giok Tjhan dilahirkan dalam keluarga gabungan ayah yang baba dan ibu totok. Kakek garis ibu, Kwan Sin Liep seorang chauvinis, semula berkeras tidak memperbolehkan putrinya, Kwan Tjian Nio dinikahi Siauw Gwan Swie yang baba. Namun, bagaimana percintaan muda-mudi bisa dicegah? Akhirnya terjadi kompromi antara mertua dan mantu, perkawinan berlangsung dengan syarat, putra pertama harus mendapatkan didikan Sekolah Tionghoa. Begitulah Siauw Giok Tjhan, putra pertama yang dilahirkan dari perkawinan antara Siauw Gwan Swie dan Kwan Tjian Nio itu, jadi harus masuk sekolah Tionghoa, THHK. 1
Namun, saat kakek kembali pulang kampung, Swatao, ayah Siauw mencabut putranya dari sekolah Tionghoa dan dipindah masuk sekolah Belanda. Apaboleh buat, kakek Kwan marah saat kembali ke Surabaya mengetahui cucunya ternyata tidak mampu berbahasa Tionghoa, ... sebagaimana harapannya. Tentu saja kakek Kwan tidak mau kalah, sekali lagi terjadi kompromi antara mertua dan menantu yang tidak bisa tidak harus dituruti, dalam memperebutkan pengaruh pendidikan anak-cucu. Pulang sekolah Siauw diharuskan membantu jaga toko kelontong kakeknya, disanalah Siauw mendapatkan pengaruh langgam hidup yang keras, giat, ulet dan penuh kesederhanaan. Begitu tradisi budaya Tionghoa dari kakeknya ini sangat besar pengaruhnya pada diri Siauw, dan termasuk kemahiran kongfu, silat. Bagi Siauw sendiri, yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga baba dari ayah dan totok dari ibu atau lebih tepat pengaruh kakeknya itu, sangat menguntungkan dan memudahkan beliau berkiprah dikedua golongan Tionghoa, baba dan totok itu. Memudahkan anak bangsa yang satu ini mengemban tugas dan kewajiban dalam gerakan perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia. Mendapatkan simpati, dukungan dari kedua golongan yang diperlukan dari komunitas Tionghoa. Lalu, apa kiranya yang patut dan pantas dikenang dari tapak langkah perjuangan Siauw Giok Tjhan dimasa hidupnya? I.
Berani melawan arus, ikut berseru Tionghoa menjadi Indonesia! Siauw menerima seruan Kwee Hing Tjiat: “Lahir di Indonesia, Besar di Indonesia menjadi putra-putri Indonesia” dan menjadikan keyakinan tujuan hidup yang tidak tergoyahkan. Diawal tahun 1930-an, meneriakkan seruan itu betul-betul merupakan satu keberanian dan tekad yang luar biasa untuk melawan arus. Betapa sulit ketika itu meyakinkan komunitas Tionghoa untuk menjadi Indonesia. Mengapa? a. Adanya politik pecah-belah koloni Belanda, dengan pembagian klas dalam masyarakat. Yang dinamakan inlander, pribumi adalah klas-3 yang paling rendah, sedang Tionghoa digolongan orang Asia di klas-2 yang menengah sedang Belanda orang Eropah klas-1 yang berada diatas. Oleh karena itu, tidak aneh begitu seruan itu dicetuskan, banyak orang Tionghoa merasa derajatnya diturunkan. Bermunculanlah sindiran dan ejekan, seperti “baba-cao” (baba-tahu), kantor Harian Matahari dikirimi “ikat kepala-batik”, pici, blankon dll. lagi, ...
2
Tidak dapat disangkal, saat itu diawal tahun 1930an, masyarakat Tionghoa, khususnya dilapisan atas, dikalangan pengusaha dan tuantanah kaya tentu saja berkiblat pada Belanda, tidak hanya berpendidikan Belanda juga pola hidupnya ke-Belanda-Belanda-an. Tentu sangat sulit diajak memihak rakyat Indonesia, ikut serta membantu gerakan Kemerdekaan RI, sebaliknya hendak mempertahankan koloni Belanda. Selanjutnya, diawal Kemerdekaan RI, tahun 1945-1949, Koloni Belanda melancarkan perang urat-syaraf untuk menjatuhkan Pemerintah RI, berusaha kembali menjajah Indonesia, dan, ... tentunya tidak ayal komunitas Tionghoa dijadikan tumbal. Pihak Belanda menggunakan kelemahan-kelemahan pemuda Indonesia menimbulkan kepanikan luarbiasa di Tanggerang, misalnya. Menguarkan Gerakan meng-Islam-kan masyarakat Tionghoa di Tangerang. Padahal, pembauran di Tanggerang telah berlangsung sangat baik. Orang tidak lagi bisa membedakan mana yang etnis Tionghoa lagi hanya dengan melihat dari warna-kulit dan pekerjaan sehari-hari. Karena memang ciri-ciri etnis Tionghoa di Tanggerang boleh dikatakan sudah melenyap, satu-satunya yang masih bisa membedakan mereka adalah agama dan kepercayaan yang dianut, … kalau orang Betawi menganut Agama Islam, sedang Tionghoa masih tetap berkepercayaan Sam Kao, gabungan antara Budha, Konghucu dan Taoisme. Dirumah-rumah mereka masih menempelkan kertas-kuning (kertas “Hoe” hasil sembahyang di Klenteng) untuk mendapatkan rejeki dan pengusir setan. Peristiwa Tanggerang yang berbau rasialis dan religius ini berhasil membuat panik masyarakat Tionghoa, menanamkan kebencian mereka pada Republik yang baru meredeka itu. Tentunya, juga menimbulkan kesan salah pada dunia internasional, bahwa Revolusi Indonesia rasialis dan pelanggaran hak asasi manusia yang mendasar, yaitu kebebasan bagi setiap orang menganut Agama dan kepercayaan. Lagi, di Demak, diberitakan oleh Belanda, ada seorang “pribumi” meninggal-dunia karena keracunan makan tempe yang dibikin dengan air-sumur penduduk Tionghoa. Tanpa penyelidikan dan fakta-fakta yang ada, Komandan-militer memerintahkan menahan semua pemuda etnis Tionghoa diatas 16 tahun. Lagi, di Jawa-Timur front Sidoarjo, beberapa pemuda yang mencoba menyerbu melewati garis pertahanan Belanda, tertangkap. Di-interogasi
3
dengan disiksa secara kejam oleh pemuda etnis Tionghoa yang berpakaian seragam Belanda, dan sengaja menyatakan bahwa orang-tua mereka adalah korban-teror di Tanggerang. Setelah babak-belur, 2 pemuda ini dilepas kembali kedaerah Republik dan, … Jelas mempropagandakan yang dilakukan Belanda itu, bukan hanya menyatakan digebukin oleh si-anu, tapi digebuki oleh si-Cina berseragam Belanda! Di-generalisasi, bahwa Cina-Cina itulah yang berpihak pada Belanda dan menganiaya mereka. Banyak orang termakan oleh perang-urat syaraf yang dilancarkan Belanda, membuat bara menyala menjadi sentimen rasial anti-Tionghoa, ... b.
Juga tidak terhindar adanya pandangan “revolusi” kebablasan, diawal Kemerdekaan, sementara Laskar bersenjata ketika itu menjadikan pengusaha, pedagang Tionghoa sebagai sasaran yang boleh saja dirampok hartanya bahkan dibantai begitu saja. Pada saat orang harus mengungsi, atau dengan dalih “bumi-hangus”, sebelum menyingkir dari serangan agresi Belanda, merampok habis harta milik komunitas Tionghoa, ... menghadapi kenyataan pahit-getir begitu, bagaimana komunitas Tionghoa yang jadi korban “revolusi” bisa disuruh bersatu dan menerima Indonesia sebagai tanah airnya? Tapi, itulah pekerjaan yang ditekuni Siauw dengan ulet dan tak kenal lelah, dengan keyakinan penuh bahwa peristiwa-peristiwa negatif itu hanyalah kesalahan yang terjadi pada sementara kelompok, yang tidak mewakili Rakyat Indonesia.
c.
Menghadapi sementara pejabat Pemerintah yang berpandangan rasialis. Yang selalu berusaha menyisihkan, menekan dan menyingkirkan komunitas Tionghoa. Dibidang Ekonomi, Siauw dengan tegas menentang “Pribumisasi” Nampak sangat jelas, sejak awal kemerdekaan RI ada saja pejabat rasialis yang selalu hendak menyisihkan Tionghoa. Di tahun 1950 Kabinet Natsir dengan Menteri Ekonomi, Prof.Dr.Soemitro, mengeluarkan instruksi pada bank-bank negara untuk memberi kelonggaran syarat-syarat kredit pada pengusaha-pengusaha yang dinamakan "pribumi", dengan demikian mengurangi bahkan menyetop pemberian kredit pada pengusaha "non-pribumi"(baca etnis Tionghoa). Maret 1956, dimulailah gerakan Assaat untuk “pribumisasi” distribusi. Menteri Asaat mengeluarkan ketentuan yang lebih kejam lagi, yang
4
menuntut "pribumisasi" perdagangan dan distribusi, adanya importir “benteng” yang memperoleh fasilitas import macam-macam barang. Importir “benteng” yang dimaksud adalah, perusahaan yang 70% saham milik “pribumi”. Pengalaman demikian membuktikan, adanya kebijakan diskriminasi rasial berusaha menyisihkan yang Tionghoa, sangat merugikan perkembangan ekonomi secara sehat. Pengusaha etnis Tionghoa terpaksa harus “meminjam” nama pejabat-tinggi atau jenderal yang dinamakan “pribumi” untuk duduk sebagai direktur yang “memiliki” 70% saham perusahaan. Dengan demikian tumbuh parasit-parasit yang menambah besar pengeluaran perusahaan dan akhirnya beban dijatuhkan pada rakyat banyak sebagai konsumen. Satu pemborosan yang tidak seharusnya terjadi! Kemudian 14 Mei 1956, penguasa perang Jawa Barat lebih lanjut mengeluarkan peraturan melarang orang Tionghoa asing berdagang di desa-desa dan akhirnya berkembang menjadi yang kita kenal dengan PP-10/1959. Dimana terjadi penggusuran Tionghoa dari desa-desa dan merupakan “mini exodus” Huakiao yang sangat memalukan Indonesia. Etnis Tionghoa asing yang seharusnya menurut PP-10/1959 hanya dilarang menjalankan usaha dagang didesa, kota dibawah Kabupaten, dalam pelaksanaan berubah menjadi tinggal menetap didesa-desa pun tidak boleh. Penggusuran terjadi khususnya di Jawa Barat dan Aceh, Tionghoa harus keluar meninggalkan desa-desa, dikumpulkan di kota-kota kabupaten tanpa ada pengurusan yang baik dari Pemerintah. Sebagian besar dari mereka dengan bantuan sanak-keluarga dan sahabat-sahabat bisa memulai dengan usaha baru di kota-kabupaten, tapi sebagian lainnya? Hanya leb ih 120 ribu saja yang bisa diangkut dengan kapal yang dikirim pemerintah RRT, kembali ke Tiongkok. Ketentuan-ketentuuan dan tindakan-tindakan pihak penguasa yang berbau rasialis itu, sangat TIDAK MANUSIAWI! Dan sangat merugikan perkembangan ekonomi Indonesia, sangat merugikan proses peralihan ekonomi Indonesia yang masih bersifat kolonial ke ekonomi nasional. Disatu pihak jutaan komunitas Tionghoa jadi korban penggusuran PP-10/1959, harus hidup menderita, kehilangan mata-pencaharian, anak-anak terlantar tidak bisa meneruskan sekolah, sedang lebih 120 ribu diantara mereka,
5
Huakiao yang diangkut pulang ke Tiongkok daratan, harus masuk ke perkebunan Huakiao juga mengalami tekanan kehidupan menderita. Disamping menghadapi kehidupan yang berbeda, juga penderitaan menghadapi kehidupan miskin, serba kekurangan akibat bencana alam berat yang diderita. Dipihak lain, rakyat Indonesia sendiri secara langsung juga sangat dirugikan, karena harus membeli barang-barang dengan harga lebih mahal sedang hasil-bumi rakyat yang biasa dikumpulkan oleh orang-orang Tionghoa juga jadi macet, tidak mendapatkan saluran yang semestinya, hasil-bumi rusak-membusuk tertumpuk. Peredaran barang-barang dari kota ke desa dan sebaliknya, jadi kacau-balau beberapa bulan. Mengapa harus begitu? Bukankah jauh akan lebih baik seandainya Pemerintah bisa memusatkan dan menggunakan segenap kekuatan yang ada untuk mendorong perputaran ekonomi lebih cepat, meningkatkan kehidupan masyarakat lebih makmur dengan cepat. Menggunakan sebaik-baiknya setiap potensi yang benar-benar berkemampuan dan jujur dalam berusaha, tanpa mempedulikan perbedaan ras, etnis, Agama yang ada. Untuk maju bersama, makmur bersama! Sebenarnya pemikiran Siauw dibidang Ekonomi cukup sederhana, daripada mengembangkan dan bersandar pada modal-asing, jauh lebih baik dan menguntungkan seandainya Pemerintah mengembangkan modal-domestik, termasuk Tionghoa asing. Karena jelas bagi modal-asing, keuntungan yang didapat ditransfer keluarnegeri, kenegara asal mereka, sedang modal-domestik, keuntungan yang didapat digunakan dan akan berputar didalam negeri, di Indonesia. Jadi, jangan diganggu apalagi hendak dimatikan dengan dalih “pribumisasi”. Sudah barang tentu, juga jangan menutup kemungkinan yang dinamakan pribumi, warga dari suku-suku lain untuk muncul dan maju dibidang usaha. Perlakukan saja setiap warga sama dengan memberikan kesempatan untuk juga terlibat dan maju dibidang ekonomi. Tapi tidak menarik mundur yang sudah maju, ... Dibidang Pendidikan, Siauw juga melawan diskriminasi yang terjadi. Dalam kenyataan terjadi pembatasan anak Tionghoa dengan adanya kuota tidak lebih dari 5% bisa diterima disekolah-sekolah Negeri. Pada saat sekolah negeri belum sanggup menampung semua anak, dan
6
adanya kuota tidak lebih dari 5% bagi anak-anak Tionghoa, dengan sendirinya tidak sedikit anak-anak Tionghoa dari orang tua WNI, Warga Negara Indonesia, terpaksa harus masuk Sekolah Tionghoa. Kalau tidak masuk sekolah Tionghoa, mau sekolah dimana? Tapi, Pemerintah tanpa lebih dahulu mempersiapkan bangku sekolah nasional yang cukup, ditahun 1958 sudah mengeluarkan larangan anak-anak WNI masuk sekolah Tionghoa. Begitulah Siauw dengan BAPERKI, diawal tahun 1958 membentuk Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki untuk memikul tugas mengusahakan dan membimbing sekolah-sekolah untuk menampung anak-anak Tionghoa WNI yang tidak lagi boleh sekolah disekolah Tionghoa. Beruntung, Siauw berhasil mendapatkan dukungan kuat dari Chiao Chung dalam mendirikan bangunan sekolah maupun guru-guru yang diperlukan. Dibidang perguruan tinggi kenyataan juga terjadi kuota tidak lebih 5% penerimaan bagi mahasiswa etnis Tionghoa di Universitas negeri. Bahkan terjadi seorang Bintang Pelajar Tionghoa tidak bisa diterima di Univ. Indonesia hanya karena anak Tionghoa. Satu ketentuan yang berbau rasialis yang tidak seharusnya terjadi di negeri berasaskan Pancasila. Siauw dengan BAPERKI bertekad untuk membantu memecahkan masalah pendidikan anak bangsa, dengan “modal-dengkul” BAPERKI menggerakkan para sarjana untuk mendirikan fakultas yang pertama kedokteran gigi. Dengan kesigapan dr. gigi Be Wie Tjoen yang sangat aktif dan kesediaan Prof. Dr. gigi Mustopo, jenderal purnawirawan, terbentuklah Fakultas Kedokteran Gigi BAPERKI di tahun 1959. Kemudian menyusul Fakultas Teknik yang dipelopori oleh Ir. Pudjono Hardjo Prakoso dan Ir. Tan Heng Gwan, dan Fakultas Ekonomi yang dibantu oleh Prof. drs. E. Utrech, Mr. Lie Oen Hok. Dan resmilah pembentukan Universitas Baperki yang kemudian berubah ganti nama jadi Universitas Res Publica, dengan rektor pertama-nya Dr. F.L. Tobing. Setelah Dr. F. L. Tobing tutup-usia di tahun 1963, BAPERKI memutuskan pengangkatan Nyonya Utami Suryadarma sebagai gantinya. Dengan demikian Universitas Res Publica menjadi universitas pertama di Indonesia yang dipimpin oleh seorang wanita. Melalui Pendidikan Siauw selalu berusaha mendidik, menghimbau murid, mahasiswa etnis Tionghoa menjadi INDONESIA! Tidak jemu-jemunya
7
menganjurkan anak-didiknya untuk ikut terjun dalam kegiatan organisasi pemuda, pelajar, mahasiswa yang ada dalam masyarakat. Menyerukan semboyan: “Ahli sekaligus Manipolis”, dengan Panca cinta yang diajukan: Cinta tanah air dan bangsa Indonesia Cinta kemanusiaan dan perdamaian Cinta pengetahuan dan kebudayaan Cinta bekerja Cinta orang tua II.
Tetap bisa menerima dan menghormati seseorang yang beda pendapat. Sekalipun beda pendapat bisa tetap mempertahankan PERSAHABATAN! Inilah salah satu jiwa LUHUR Siauw yang patut dijadikan teladan, khususnya bagi generasi muda. Disini bisa diajukan beberapa contoh gerak perjuangan yang dilakukan Siauw: misalnya, saat PKI menjalankan fusi ditahun 1948, menggabungkan Partai Sosialis dimana beliau tergabung, Partai Buruh, PKI-Illegal dan PKI menjadi satu Partai Komunis Indonesia, sekalipun Siauw mengambil sikap tidak tergabung dalam Partai Politik lagi, tapi hubungan pribadi dengan tokoh-tokoh PKI tetap baik-baik saja. Begitu juga hubungan pribadi dengan tokoh-tokoh Murba, seperti Soekarni, Adam Malik, Chairul Saleh yang merupakan lawan PKI, juga tetap baik-baik saja. Selama jaman Demokrasi Parlementer, 1949-1959, Siauw tergabung dan menjadi ketua Fraksi Nasional Progresif yang terdiri dari partai-partai kecil, seperti Murba, PIR, PRN, Akoma, SKI dan tokoh-tokoh non-partai lainnya seperti, Iwa Kusuma Sumantri dan Mohamad Yamin. Dengan pengalaman menjadi ketua Fraksi gado-gado, beraneka ragam pandangan politik inilah Siauw menjadi mahir berdebat dengan adu argumentasi, ... akhirnya disegani tidak hanya oleh kawan, tapi juga oleh lawan-lawannya. Dan dengan pengalaman memimpin Fraksi Nasional Progresif di Parlemen inilah, saat mendirikan BAPERKI yang juga merupakan gado-gado, menyatukan tokoh-tokoh Tionghoa dari berbagai aliran politik dan Agama, Siauw juga berhasil menunjukkan kewibawaannya dan diterima menjadi Ketua BAPERKI. Saat pembentukan BAPERKI, juga terjadi perdebatan sengit, nama
8
organisasi menggunakan “Keturunan Tionghoa” atau tidak? Salah seorang yang berkeras menggunakan “Keturunan Tionghoa”, adalah Kwee Hway Gwan yang kemudian justru mendukung Piagam Asimilasi total. Perdebatan berlanjut lebih sengit dalam menghadapi Pemilu 1955, BAPERKI sebagai organisasi massa ikut serta PEMILU atau tidak? Perdebatan sengit terutama menghadapi Tjoa Sik Ien yang ketika itu berkeras menentang BAPERKI ikut serta dalam PEMILU 1955. Sekalipun perdebatan berakhir dimenangkan Siauw, namun mengakibatkan Tjoa Sik Ien terpental keluar dari pengurus BAPERKI, tidak lagi ikut aktive dalam segala kegiatan BAPERKI. Hanya saja, hubungan pribadi antara Siauw dan Tjoa tetap baik-baik, tidak sedikitpun terganggu. Perdebatan sengit berikut adalah dengan Yap Thiam Hien, sehubungan dengan BAPERKI menyetujui Dekrit Presiden Soekarno, kembali ke UUD45, 5 Juli 1959 atau tidak. Lagi-lagi perdebatan sengit terjadi mengakibatkan Yap terpental keluar dari pimpinan Baperki pusat, ... tapi hubungan pribadi Siauw dengan Yap tetap baik-baik saja. Kedua belah pihak bisa saling menerima dan menghormati pendapat yang berbeda. III.
Integrasi wajar, pluralisme dan multikulturalisme jalan pemecahan masalah Tionghoa yang baik. Kalau kita perhatikan, Siauw sejak muda sudah berpendirian untuk memecahkan masalah etnis Tionghoa, jalan terbaik adalah menyatukan diri dengan rakyat Indonesia, dan menjadikan aspirasi rakyat Indonesia sebagai aspirasi dirinya sendiri. Menunggal dengan rakyat. Dan itulah yang dikonsekwenkan dalam kehidupan dan perjuangannya untuk bersama-sama tokoh-tokoh gerakan-rakyat memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia, dan kemudian dalam usaha membangun masyarakat adil dan makmur setelah mencapai kemerdekaan. Menjadi satu dengan rakyat Indonesia, berjuang bersama-sama untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur dalam kenyataan! Tanpa mempersoalkan perbedaan etnis-keturunan yang ada, tanpa mempersoalkan perbedaan agama yang dianut dan tanpa mempersoalkan perbedaan adat-istiadat setiap suku yang ada. Inilah yang dimaksud oleh BAPERKI "Integrasi Wajar" sesuai dengan makna yang diajukan oleh Liem Koen Hian dan Kwik Hing Tjiat di tahun-tahun 30-an.
9
Begitulah tokoh-tokoh Nasional seperti Dr. Wahidin, Dr. Sutomo pendiri Budi Utomo; Dr. Douwers Dekker, Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantoro yang kita kenal sebagai tiga serangkai pendiri Indische Partij, begitu juga dengan mantan Presiden pertama Republik Indonesia - Soekarno, tidak mempersoalkan setiap warganya beradasarkan suku dan keturunan, juga tidak mempersoalkan adanya perbedaan Agama. Yang menjadi persoalan hanyalah mempersatukan semua kekuatan rakyat yang ada dalam perjuangan melawan penjajah Belanda, perjuangan untuk mencapai Kemerdekaan dan kemudian pembangunan ekonomi nasional setelah Kemerdekaan! Sesuai dengan lambang Negera yang harus dijunjung tinggi, Bhineka Tunggal Ika, bisa menerima dan menghormati segala perbedaan antara suku yang ada, tidak mempersoalankan perbedaan agama yang ada dan tidak mempersoalkan perbedaan adat-istiadat juga perbedaan pandangan ideologi/politik yang ada. Semua bersatu teguh dalam kesatuan Nasion Indonesia, bangsa Indonesia yang majemuk itu. Gagasan lain adalah “Asimilasi total” yang diajukan oleh LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa), dan yang kemudian diambil oper menjadi kebijakan pemerintah oleh Jenderal Soeharto setelah berhasil merebut kekuasaan Oktober 1965. Jadi semboyan "asimilasi total", berusaha menghilangkan ciri-ciri etnis Tionghoa, dimulai dengan gerakan ganti-nama, kawin campur bahkan menjadi Islam, inilah yang telah berlangsung selama lebih 32 tahun Soeharto berkuasa. Sedang pendapat yang diwakili oleh Baperki, "Integrasi Wajar", dicampakan dengan tuduhan "komunis", di”komunis”kan. Yang harus dibasmi! Bagaimana Siauw membantah tuduhan sementara orang bahwa Siauw dan BAPERKI menggantungkan penyelesaian masalah Tionghoa pada Soekarno seorang? Siauw secara tegas menyatakan: "Selanjutnya juga telah cukup jelas, bahwa menggantungkan nasib golongan peranakan Tionghoa sebagai keseluruhan pada tetap berkuasanya orang atau orang-orang tertentu, tidak bisa tidak bersifat sementara saja. Orang bisa mati, atau segolongan orang bisa diganti karena prubahan perkembangan. Tetapi berhasil menyatukan diri dengan rakyat dalam rangka pelaksanaan proses integrasi wajar dengan rakyat sebagai pewujudan BHINEKA TUNGGAL IKA, merupakan jalan selamat lebih kekal." (Lihat Siauw Giok Tjhan: "Lima Jaman", edisi bahasa Indonesia, halaman 429) Lebih lanjut Siauw menjelaskan keharusan menyatukan diri dengan rakyat:
10
"Ada yang bahkan mengatakan: Politik bersatu dengan rakyat yang diajukan oleh BAPERKI adalah politik PKI. ……… Kalau ada orang mengatakan bahwa Soekarno juga telah melaksanakan politik PKI, itu berarti terlalu membesarkan peranan PKI. Dulu, penjajah Belanda juga terlalu melebih-lebihkan kegiatan PKI, mereka menganggap bahwa perjuangan kemerdekaan nasional juga sebagai kegiatan PKI, sedangkan kenyataannya gerakan kemerdekaan nasional bukanlah monopoli orang-orang komunis." Ada juga orang yang mengatakan BAPERKI sejalan dengan PKI, karena Baperki menyetujui terlaksananya persatuan nasional "NASAKOM". Yang patut diajukan adalah: "Konsep kerjasama NASAKOM bukanlah diajukan oleh PKI, melainkan dikemukakan oleh presiden Soekarno dalam suatu sidang DPA. ……. Jika kita mengambil sikap menentang atau tidak acuh terhadap konsep NASAKOM, justru akan menempatkan diri kita sendiri berada dalam kedudukan terpencil dan patut dikutuk sebagai golongan yang bersikap "sektaris."…. Menghadapi situasi semacam ini, sebagai suatu organisasi massa yang tidak terlalu besar, bila BAPERKI berusaha merintangi pelaksanaan konsep NASAKOM, pasti akan digilas babak belur oleh partai-partai politik besar, sehingga tak punya tempat berdiri lagi. BAPERKI menganjurkan integrasi berarti harus mendukung "NASAKOM", harus ada kesesuaian kata-kata dengan tindakan, tidak boleh plintat-plintut. " (Lihat : "Bhineka Tunggal Ika", edisi bahasa Tionghoa hal. 173 dan hal.159-161) Lalu apa yang terjadi setelah “Asimilasi total” dilaksanakan selama lebih 32 tahun itu? Keadaan masalah Tionghoa jadi lebih baik-kah? Tentu saja tidak! Setelah mayoritas mutlak golongan etnis Tionghoa secara terpaksa mengganti nama, akhirnya tetap saja di KTP harus diberi tanda “O” untuk menandakan sepemegang KTP adalah Tionghoa. Juga sudah lebih banyak yang melangsungkan kawin campur dan bahkan juga tidak sedikit yang ganti agama, jadi Islam, tapi keadaan Tionghoa bertambah jelek, masalah Tionghoa tetap saja tidak selesai! Bukan hanya Ketentuan-ketentuan yang berbau rasialis muncul satu persatu, dari mengganti istilah Tionghoa-Tiongkok menjadi Cina yang berkonotasi penghinaan, pelarangan menggunakan huruf-Tionghoa, sampai pada pelarangan merayakan Imlek dan beribadah didepan umum. Kerusuhan SARA
11
anti-Tionghoa terjadi lebih kerap kali, lebih luas skalanya dengan korban lebih berat lagi, dengan puncaknya tragedi Mei-1998. Gerak-gerik mereka yang Tionghoa selalu diawasi oleh Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC). Sedang Siauw setelah dijebloskan dalam penjara, dan BAPERKI dibubarkan, tidak ada lagi kekuatan yang bisa tampil membela kepentingan etnis Tionghoa. Sebagai anak bangsa, Siauw disaat Presiden Soeharto masih jaya-jayanya, diakhir tahun 79, didalam karyanya “The Brighter Future” tetap optimis dengan menyatakan: "Apabila rakyat telah sadar, mereka pasti bertekad untuk mengubah situasi politik yang penuh dengan pertentangan ini menjadi situasi politik yang mendorong terjadinya kedamaian bangsa, yang positif, konstruktif dan harmonis. Prinsip demokratis yang sejati akan unggul, segala diskriminasi rasial akan lenyap oleh hukum, dan segala kebobrokan korupsi akan berakhir, setiap warganegera akan memperoleh perlakuan yang sama. Dengan demikian dapat ditegakkan semangat patriot sejati dan tanggung jawab atas kesejahteraan sosial, sehingga menjamin seluruh rakyat dapat mengecap kehidupan yang bebas dari rasa takut dan kemiskinan. Hari depan pasti cemerlang." Apa yang diramalkan Siauw 35 tahun yl, setelah Soeharto lengser, 21 Mei 1998, dan Indonesia memasuki era reformasi-demokrasi, makin kuat kesadaran Rakyat untuk menentukan hak dan nasibnya sendiri, ... menuntut pemerintah yang berkuasa, mencabut satu-persatu ketentuan UU yang berbau rasialis. Dari Presiden Habibie mencabut peenggunaan sebutan “Pribumi”, saat Gus Dur jadi Presiden mencabut Instruksi Presiden N0.14/1967, satu Instruksi Presiden yang berusaha menghilangkan segala yang berbau Tionghoa. Dilanjutkan oleh Presiden Megawati Tahun Baru Imlek diangkat jadi hari libur nasional. Sedang Presiden SBY juga tidak mau ketinggalan, tidak hanya Konghucu kembali dinyatakan sebagai salah satu Agama sah di Indonesia, tapi juga mensahkan UU Kewarganegaraan No.12/2006 yang secara resmi mencabut UU No.62/1958 yang menimbulkan banyak masalah dengan adanya SBKRI. Dan, kemarin tgl. 12 Maret 2014, SBY dipenghujung jabatan Presiden sekali lagi membuat kejutan, mengeluarkan Kepres No-12/2014 yang mencabut Surat Edaran Presidium Kabinet AMPERA No-6/1967, yang menetapkan perubahan sebutan Tiongkok/Tionghoa menjadi CINA. Jadi, Presiden SBY, menetapkan kembali
12
memulihkan sebutan Tiongkok untuk negara dan Tionghoa untuk sebuatan bangsa dan orang. Tidak lagi menggunakan sebutan Cina, maupun China. Boleh dikatakan Kepres No.12/2014 merupakan satu HADIAH BESAR dalam memperingati 100 Tahun Siauw Giok Tjhan! Secara HUKUM pada pokoknya sudah tiada diskriminasi terhadap Tionghoa Indonesia lagi. (Ooouh, tidak masih ada satu lagi, belum pernah terdengar adanya pembubaran BKMC-BAKIN, badan yang sengaja dibentuk BAKIN untuk mengamati setiap gerak gerik Tionghoa.) Apa yang diperjuangkan Siauw selama hidupnya, apa yang dicita-citakan dan diramalkan diakhir hayatnya berangsur-angsur terwujud menjadi kenyataan. Keadaan Tionghoa di Indonesia makin membaik dari hari kehari, HUKUM telah menunjang, memberikan syarat yang lebih baik bagi setiap warga di Nusantara ini diperlakukan sama hak dan kewajibannya, sedang setiap keturunan asing, termasuk Tionghoa juga sudah bisa diperlakukan sebagai Bangsa Indonesia asli!
13