Masa Depan Siauw Giok Tjhan1 Bonnie Triyana2 Demokrasi di Indonesia sedang dipertaruhkan. Persoalannya bukan terletak pada prosedur demokrasi, misalnya penyelenggaraan pemilihan umum secara rutin, melainkan esensi dari demokrasi itu sendiri yakni kesetaraan, keadilan dan kebebasan. Baru-baru ini, atas nama penghematan biaya dan menghindari intervensi asing (sic!), DPR mengesahkan Undang-Undang Pilkada yang menghapus pemilihan kepala daerah secara langsung. Setelah mendapat banyak kritik, Presiden SBY buru-buru menerbitkan Peraturan Perundang-Undangan (Perppu No 1/2014) yang membatalkan Undang-Undang Pilkada. Sehingga pemilihan kepala daerah bisa dilakukan secara langsung seperti sediakala. Namun, penerbitan Perppu itu pun masih berada di ujung tanduk. Mengingat bisa saja DPR periode 2014-2019, yang dikuasai koalisi pembela Prabowo menolak pemberlakuan Perppu. Ketika makalah ini ditulis, komposisi DPR (2014-2019) yang baru saja dilantik merupakan “kelanjutan” dari DPR Koalisi Merah Putih periode 2009-2014. Ada potensi untuk membatalkan pemberlakuan Perppu Presiden tersebut. Sehingga pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung kembali terancam tak bisa dilanjutkan pada periode mendatang. Padahal pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan wujud pelaksanaan demokrasi di Indonesia 15 tahun belakangan ini. Hal yang sama merupakan buah dari pembaruan politik yang dilakukan semenjak kejatuhan rezim kediktatoran Soeharto pada 21 Mei 1998. Sebagai buah manis reformasi politik, pemilihan kepala daerah secara langsung ternyata melahirkan sosok-sosok pemimpin yang memberikan harapan baru bagi masyarakat Indonesia. Hal lain yang juga penting untuk dicatat adalah kesempatan yang setara bagi setiap orang untuk mencalonkan dirinya sebagai pemimpin, tanpa memandang suku, agama dan rasnya. Salah satu contoh sosok terbaik dari hasil pemilihan langsung itu adalah Basuki Tjahja Purnama alias Ahok. Lelaki kelahiran Belitung keturunan Tionghoa itu kini sedang mendapat banyak perhatian. Bukan karena ketionghaannya, tapi juga karena gaya kepemimipinan dan prestasinya yang mengundang banyak pujian (juga cercaaan). Tanpa pemilihan langsung, kecil kemungkinan orang seperti Ahok bakal terpilih sebagai kepala daerah. Dia minoritas: seorang keturunan Tionghoa dan nonmuslim, namun memimpin DKI Jakarta yang mayoritas muslim. Ahok menjadi contoh bahwa kualitas kepemimpinan tak ada hubungannya dengan latar belakang agama dan rasnya. 1 2
Dibawakan dalam seminar tentang Siauw Giok Tjhan di Hongkong, 22 November 2014. Pemimpin redaksi Majalah Historia, Jakarta.
1
Terpilihnya Ahok adalah langkah awal dari sebuah lompatan besar dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Namun belakangan ini muncul gugatan dari sebagian kecil kelompok anti-demokrasi agar dia mundur dari jabatannya sebagai gubernur. Alasannya tentu saja sudah bisa diduga: dia “Cina-Kafir” yang tak diperkenankan memimpin. Dan tuntutan-tuntutan tersebut, bukan kebetulan, mencuat seiring dengan munculnya gagasan usang agar pemilihan kepala daerah dilakukan kembali oleh DPRD. Pemilihan lewat DPRD dikhawatirkan bakal menutup kemungkinan terpilihnya pemimpin-pemimpin yang berkualitas. Lebih jauh lagi, menutup peluang bagi orang seperti Ahok (dan mereka yang memiliki latar belakang minoritas) untuk bisa bertarung secara setara di dalam sebuah pemilihan langsung yang demokratis. Kekhawatiran pun mulai merebak: apakah ini akhir dari masa reformasi yang berhasil menghantar rakyat Indonesia ke alam demokrasi? Apakah ini kabar suram bagi upaya penghapusan diskriminasi dalam politik dan ganjalan untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang pluralis serta multikultural? Masih mungkinkah gagasan-gagasan Siauw Giok Tjhan tentang “integrasi wajar” (baca: multikulturalisme) yang dikemukakan sejak awal 1960-an bisa diterapkan? Strategi apa yang musti diterapkan agar bangsa Indonesia bisa melepaskan warga Tionghoa? Melacak Jejak Sejarah Problem Rasialisme di Indonesia Dari sejarah kita bisa melihat beberapa peristiwa rasialisme yang terjadi pada warga Tionghoa. Mereka selalu jadi sasaran amuk massa dan tindak kekerasan dengan berbagai alasan di baliknya. Sejak zaman kolonial, etnis Tionghoa dipisahkan dari kehidupan warga pribumi melalui politik segregasi sosial pemerintah kolonial. Berdasarkan Regering Reglements 1854, masyarakat jajahan digolongkan menurut ras dan kebangsaannya. Warga Tionghoa menjadi warga kelas kedua di atas warga pribumi (Inlanders) dan di bawah warga kulit putih (Europeesch). Jauh sebelum pemberlakuan peraturan tersebut, warga Tionghoa pun telah mengalami tindak kekerasan dalam peristiwa di Batavia 1740 dan pembatasan aktivitasnya melalui peraturan wijkenstelsel 1816. Pemberlakuan berbagai peraturan yang membatasi hak warga Tionghoa itu pada kenyataannya semakin menjadikan mereka teralienasi dari kehidupan masyarakat jajahan. Ia seakan menjadi komunitas “sang liyan” yang didesain untuk tetap berjarak dengan warga pribumi. Kendati ada interaksi kultural (melalui kesenian dan kebudayaan), warga Tionghoa diperlakukan melulu sebagai “mahluk ekonomi” penghasil duit bagi penguasa. Menurut sejarawan Didi Kwartanada dalam makalahnya “Tionghoa dalam Dinamika Sejarah Indonesia Modern: Refleksi Seorang Sejarawan Peranakan” mengatakan bahwa golongan Tionghoa dimanfaatkan sebagai perantara atau ‘mesin pencetak uang’ baik oleh raja maupun penguasa kolonial. Keadaan demikian semakin memperumit hubungan masyarakat karena ditandai oleh 2
berbagai pandangan minor (stereotype) dari warga pribumi terhadap warga Tionghoa yang dianggap hidup ekslusif dan bergelimang kekayaan. Padahal kondisi yang dialami warga Tionghoa bukan semata datang dari dalam dirinya, melainkan hasil dari kebijakan pemerintah kolonial. Kelak kebijakan tersebut turut membentuk pola hubungan kekuasaan dengan warga Tionghoa.3 Maka saat terjadi perubahan politik dan transisi kekuasaan, komunitas Tionghoa selalu terseret ke dalam peristiwa yang tak pernah mereka harapkan: tindak kekerasan. Pada 1946 misalnya, setahun berselang setelah proklamasi kemerdekaan, sejumlah warga Tionghoa di Surabaya tewas dalam kerusuhan rasialisme. Pada 1965, dalam proses transisi kekuasaan (baca: perebutan kekuasaan) dari Presiden Sukarno ke Soeharto, warga Tionghoa menjadi sasaran kekerasan massa anti PKI. Lantas pada 13-14 Mei 1998, beberapa hari menjelang mundurnya Soeharto, warga Tionghoa kembali jadi korban kekerasan. Tionghoa Masa Awal Kemerdekaan dan Era Sukarno Kemerdekaan Indonesia memberi harapan baru bagi seluruh rakyat Indonesia akan terbentuknya suatu masyarakat yang berkeadilan dan setara. Dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, Sukarno telah mengemukakan bahwa nasion Indonesia berdasar kepada prinsip-prinsip nasionalisme modern yang tak memandang pada kesukuan, ras, warna kulit dan agama.4 Dengan mengutip Ernest Renan, Sukarno dalam pidatonya itu mengatakan bahwa sebuah bangsa bersatu mendirikan negara atas dasar hasrat untuk hidup bersama. Hal itu semakin mengukuhkan kontrak sosial pertama 28 Oktober 1928 bahwa bangsa Indonesia diikat oleh bahasa (mindscape) dan tanah air (landscape) yang satu. Liem Koen Hian 5 yang turut dalam sidang BPUPK (Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan) pun bersetuju dengan usulan Sukarno. Warga Tionghoa menyatakan diri bagian yang satu dengan suku bangsa lainnya untuk sama-sama meleburkan diri menjadi sebuah bangsa yang baru: bangsa Indonesia. Bersamasama menyelenggarakan sebuah negara yang dilandasi semangat persatuan dan kesetaraan. Pada masa kolonial, warga Tionghoa diposisikan sebagai middle man atau perantara khususnya dalam urusan ekonomi. Desain masyarakat jajahan yang timpang, rasis dan diskriminatif tersebut turut pula membentuk citra warga Tionghoa sebagai kelas ekslusif yang teralienasi dari masyarakat di sekitarnya. 3
Pada pidato 1 Juni 1945, Sukarno sempat bertanya mengenai posisi warga Tionghoa yang disebutnya kosmopolitan, tak mengakui eksistensi nasion-state. Namun Liem Koen Hian menyatakan bahwa warga Tionghoa turut setuju dengan apa yang disampaikan Sukarno mengenai konsep nasionalisme modern yang menjadi dasar berdirinya Indonesia. 4
Liem Koen Hian adalah tokoh Tionghoa terdepan yang berada di gerakan nasionalisme Indonesia. Penulis di koran Mata Hari dan pendiri Partai Tionghoa Indonesia (PTI) di mana Siauw Giok Tjhan menjadi anggotanya sejak muda belia. 5
3
Persoalan kewarganegaraan Tionghoa memang sudah menjadi bahan perdebatan di dalam Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP). Siauw Giok Tjhan, sebagaimana pula Tang Ling Djie, mengusulkan sistem pasif berdasarkan prinsip ius soli. Dengan sistem ini, semua orang Tionghoa yang lahir di Indonesia secara otomatis menjadi warga negara Indonesia. Namun Sunario dari PNI, kelak menjadi menteri luar negeri, menentang ide tersebut. Dia mengusulkan sistem aktif: setiap warga Tionghoa wajib mengajukan permohonan sebagai warga negara Indonesia dan menyatakan tak lagi jadi warga Tionghoa. Usulan ini menjadi perdebatan panjang sampai berujung ke perjanjian dwikewarganegaraan antara pemerintah Tiongkok dengan Indonesia. Isinya antara lain tetap berlaku dengan sistem aktif. Peraturan yang berbau rasialis belum berhenti di sana. Pada 1950, hanya berselang lima tahun sejak pidato Sukarno 1 Juni 1945 yang terkenal itu, Kabinet Djuanda atas usul Sumitro Djojohadikusumo, meluncurkan program Ekonomi Benteng. Program ini bermaksud mengubah struktur ekonomi kolonial yang memberi porsi peran besar kepada warga Tionghoa. Saat itu pemerintah hanya memberikan izin impor kepada pengusaha pribumi demi meningkatkan peran mereka di lapangan ekonomi. Pada kenyataanya, pengusaha pribumi tak memiliki pengalaman berbisnis dan jaringan internasional sebagaimana rekan-rekan Tionghoa mereka. Alih-alih bisnis importir murni berbekal izin resmi pemerintah, pemilik izin diam-diam menjual izinnya kepada pengusaha Tionghoa. Sehingga sudah rahasia umum kalau hubungan yang terjalin kerap diolok sebagai “Baba-Ali”, Ali (pribumi) punya lisensi, Baba yang jalankan kongsi. Program ekonomi ini pun tak berhasil sepenuhnya mengubah struktur ekonomi warisan kolonial. 6 Malah kembali melanggengkan apa yang terjadi di masa kolonial dengan menjadikan warga Tionghoa sebagai “mesin penghasil uang” bagi kekuasaan dan kroni-kroninya. Tekanan terhadap warga Tionghoa semakin menguat saat Mr. Asaat Datuk Mudo, mantan pejabat Presiden RIS berpidato pada kongres Importir Nasional Seluruh Indonesia di Surabaya, 19 Maret 1956. Dalam kesempatan itu dia menuduh warga Tionghoa bersikap ekslusif dan monopolistis dalam berdagang. Sehingga tak memberikan celah sedikit pun bagi warga pribumi untuk berdagang. Pidato tersebut mendorong lahirnya “Gerakan Assaat” yang menghendaki “pribumiisasi” di dalam bidang ekonomi. Pada 14 Mei 1959 pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No 10 yang melarang warga Tionghoa berdagang di wilayah pedesaan. Di sejumlah daerah, terutama di wilayah Jawa Barat, peraturan tersebut diterapkan dengan paksaan. Salah satu peristiwa yang cukup terkenal adalah peristiwa Cibadak, di mana ratusan warga Tionghoa diusir paksa di bawah todongan senjata. Bahkan di Studi tentang program ekonomi Benteng telah dilakukan oleh Yahya Muhamin dalam Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980 (Jakarta, LP3ES). 6
4
Cimahi, Jawa Barat, tentara dilaporkan menembak mati dua perempuan warga Tionghoa. PP 10/1959 tersebut lagi-lagi bukan solusi ampuh untuk mengatai problem ekonomi dalam negeri Indonesia. Bahkan, senada dengan Leo Suryadinata, kebijakan tersebut lebih terlihat sebagai produk hukum yang rasis ketimbang regulasi yang hendak menata bidang ekonomi secara berkeadilan. Dari beberapa kebijakan tersebut kentara sekali kalau pemerintah Indonesia di bawah Sukarno tak sempat melakukan telaah mendalam atas keberadaan warga Tionghoa di Indonesia. Sehingga, mengutip Charles Coppel dalam Tionghoa Indonesia dalam Krisis, sebelum 1960 pemerintah Indonesia tak pernah berkesempatan untuk merumuskan suatu kebijakan menyeluruh berkenaan dengan minoritas Tionghoa. Dalam soal regulasi kewarganegaraan misalnya, Coppel berpendapat peraturan yang dihasilkan “bersifat sementara, dan tidak merupakan bagian dari suatu kebijakan mengenai masalah Tionghoa secara terkoordinasi.” Menjadi Indonesia ala Siauw Giok Tjhan Menariknya, pada zaman di mana peraturan yang bernuansa rasis itu silih berganti diterbitkan, dialog mengenai kewarganegaraan etnis Tionghoa bisa dilakukan secara bebas. Organisasi seperti Baperki dan LPKB bisa berdiri dan mengambil peran aktif di dalam masyarakat dalam rangka mengupayakan munculkan kesepahaman mengenai hubungan antar etnis di tengah masyarakat Indonesia. Tokoh-tokoh Tionghoa seperti Ong Eng Die, Tan Po Goan, Yap Thiam Hien, Oei Tjoe Tat, dan Siauw Giok Tjhan mengambil peran aktif di bidang politik untuk memperjuangkan gagasannya. Secara garis besar ada dua konsep kewarganegaraan yang diperdebatkan saat itu, yakni asimilasi total versus integrasi wajar. Konsep asmilasi total digagas oleh kelompok LPKB di bawah Kristoforus Sindhunata (Ong Tjong Hay). Konsep ini berangkat dari ide Onghokham dalam tulisannya di mingguan Star Weekly yang menghendaki agar golongan minoritas melebur ke dalam golongan mayoritas dengan jalan menghilangkan berbagai identitas kultural yang melekat pada diri warga Tionghoa, mengubah nama salah satunya. Asimilasi mendorong dilakukannya perkawinan campur antara suku-suku bangsa di Indonesia. Asimilasi total juga harus diiringi oleh integrasi di bidang ekonomi dan politik.7 Ong mengambil contoh apa yang terjadi di Filipina, di mana orang-orang Cina di sana telah sejak lama kawin mawin dengan penduduk lokal dan berhasil menghapus batas-batas etnisitas yang ada. Agaknya, lahirnya gagasan asimilasi total itu berkaitan erat dengan berbagai peristiwa yang dialami warga Tionghoa pada periode 1950-an. Ditambah lagi dengan peraturan-peraturan berbau rasial yang dikeluarkan pemerintah pada Siauw Tiong Djin, Siauw Giok Tjhan: Dalam Pembangunan Nasion Indonesia (Lembaga Kajian Sinergi Indonesia: Jakarta, 2010) Hlm. 343 7
5
periode yang sama. Sehingga ide asimilasi total lebih terlihat sebagai solusi instan untuk mengatasi problem hubungan warga Tionghoa dengan pribumi ketimbang satu konsep ideal tentang sebuah masyarakat multikultural yang berdiri di atas prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan. Sementara itu Siauw Giok Tjhan, tokoh yang menjadi tema pembahasan seminar ini, datang dengan gagasan “integrasi wajar”. Sebuah konsep yang memandang bahwa seorang Tionghoa tak perlu menghilangkan identitas kultural yang dibawanya dan tak perlu merisaukan ciri-ciri etnis yang tampak pada fisiknya. Karena ukuran kesetiaan seseorang pada negerinya tak bisa diukur dari ciri-ciri fisik yang dibawa sejak lahir. Giok Tjhan masuk akal ketika mengatakan bahwa Indonesia lebih menyerupai sebuah nasion ketimbang bangsa. Karena bangsa seringkali diasosiasikan kepada ras, yang berpotensi ditafsirkan kepada penghuni asli kepulauan Nusantara yang justru bakal merusak pengertian nasion itu sendiri. Menurut Giok Tjhan, ras mengacu pada definisi biologis sementara nasion merujuk pada satu kelompok manusia yang merupakan kesatuan karena ciri-ciri politik.8 Pemikiran tersebut senada dengan gagasan Sukarno yang disampaikannya pada 1 Juni 1945. Sukarno mengatakan bahwa Indonesia adalah negeri “semua untuk semua”, yang tidak membatasi diri pada satu agama, golongan dan kelompok etnis tertentu. Dalam pidatonya di Kongres Baperki, Maret 1963, Sukarno mengatakan “Saya sendiri menanya diri saya kadang-kadang. He Sukarno, apa kowe iki bener-bener asli? Ya engkau itu dianggap asli Indonesia. Tetapi apakah saya betul-betul asli itu? Mboten sumerep. Saya tidak tahu, saudara-saudara.” Sukarno lantas menyarankan kepada peserta kongres “berjuanglah agar supaya hilang perkataan ini,” katanya mengacu pada wacana asli dan asing. Persoalan yang membuat ide integrasi wajar ini tak kunjung bisa direalisasikan adalah suasana politik yang diwarnai pertikaian antara kelompok kiri (baca: PKI) dengan kelompok anti-komunis. Dalam domain perdebatan kewarganegaraan Tionghoa ini, Baperki sering disebut-sebut sebagai kelompok kiri yang berafiliasi pada PKI. Sementara itu pengusung asimilasi total, yakni LPKB, diasosiasikan sebagai kelompok kanan anti-komunis. Diskusi yang jernih mengenai sejauh mana kedua konsep tersebut bisa lebih realistis diberlakukan di tengah masyarakat tertutup oleh kontestasi politik yang mengiringinya. Maka ketika peristiwa G30S 1965 meletus, tamat sudah riwayat perdebatan dan diskusi ihwal kedudukan warga Tionghoa di dalam masyarakat Indonesia. Warga Tionghoa kembali menjadi sasaran tindak diskriminasi dan target kekerasan bernuansa rasial sepanjang tahun 1965-1969. Tuduhan Tiongkok ada di belakang peristiwa pembunuhan enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat itu semakin memperburuk perlakuan terhadap warga Tionghoa. Ribuan orang 8
Ibid Hlm 351
6
harus eksodus dan mereka yang tergabung di dalam organisas-organisasi kiri dibunuh dan ditahan tanpa pernah diadili, sebagaimana yang menimpa Siauw Giok Tjhan. Boleh dikatakan berakhirnya kekuasaan Sukarno sekaligus mengakhiri polemik gagasan yang memperjuangkan terbentuknya masyarakat multikultural. Organisasi seperti Baperki dilarang dan ide-idenya dianggap berbahaya dan diidentikan dengan komunisme. Warga Tionghoa di Zaman Orde Baru dan Masa Reformasi Studi tentang keberadaan warga Tionghoa semasa Orde Baru sudah banyak dilakukan. 9 Pada masa Soeharto ini, warga Tionghoa tidak diperkenankan menunjukkan identitas dan tradisi kulturalnya. Pertunjukan barongsai yang biasa dimainkan pada saat hari besar warga Tionghoa dilarang oleh pemerintah. Peraturan diskriminasi yang berdasar pada UU No. 62/1958, seperti Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dilanggengkan praktiknya. Keterlibatan warga Tionghoa ke dalam politik pun sangat terbatas. Tak seperti di masa sebelumnya, di mana berbagai kelompok Tionghoa bisa terlibat aktif di dalam politik untuk membicarakan nasib dan kedudukannya di tengah masyarakat Indonesia, pemerintah Orde Baru tak memperkenankan secara terbuka peran Tionghoa di dalam politik. Yang menarik kendati berbagai peraturan yang diskriminatif tetap ada, pemerintah Orde Baru mempromosikan modal Tionghoa dalam banyak industri: perbankan, asuransi, real estate, perkebunan, dan manufaktur. Sejumlah pengusaha bermunculan, sebagian karena kedekatannya dengan Presiden Soeharto. Yang ternama adalah Liem Sioe Liong, atau yang juga dikenal dengan nama Sudono Salim.10 Beberapa taipan kelas atas yang dekat dengan kekuasaan mendapatkan banyak fasilitasn untuk membesarkan usahanya. Bukan rahasia lagi jika Presiden Soeharto dikelilingi banyak konglongmerat yang memegang banyak porsi kegiatan ekonomi di Indonesia. Kedekatan ini tak serta merta dibarengi dengan upaya untuk menghapus praduga rasial di kalangan masyarakat. Ada anggapan pula kalau pemerintah Orde Baru semata menempatkan kelompok Tionghoa sebagai “economic animal” yang bisa sewaktu-waktu diperas. Corak pemerintahan yang anti demokrasi serta otoritarian tak memberikan banyak kesempatan bagi terciptanya ruang-ruang dialog dan diskusi menyoal posisi warga Tionghoa di tengah masyarakat. 9
Beberapa studi tentang kaum Tionghoa semasa Orde Baru antara lain dilakukan oleh Valina Singka dalam Hubungan bisnis Cina dan politik di Indonesia pada masa orde baru : studi kasus Summa-Astra dan Barito Pacific Group (Tesis FISIP UI). Karya Benny G Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik (Elkasa, Jakarta:2003) juga membahas hubungan penguasa dengan kaum minoritas Tionghoa di masa Orde Baru. 10
Budi Setiyono, Majalah Historia edisi Jejak Naga di Nusantara.
7
Pada masa Orde Baru pula tercatat ada sekitar delapan produk perundang– undangan yang sangat diskriminatif secara rasial terhadap etnis Tionghoa, yakni:11 1. Instruksi Presidium Kabinet RI No. 37/U/IN/6/1967 tentang Kebijaksanaan Pokok Penyelesaian Masalah Cina 2. Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-36/Pres/Kab/6/1967 tentang Masalah Cina 3. Instruksi Presiden No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat istiadat Cina 4. Instruksi Presiden No.15/1967 tentang Pembentukan Staf Khusus Urusan Cina 5. Instruksi Mendagri No. 455.2-360 tentang Penataan Klenteng 6. Keputusan Kepala Bakin No. 031/1973 tetang Badan Koordinasi Masalah Cina 7. SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 286/1978 tentang Pelarangan Impor, Penjualan, dan Pengedaran Terbitan dalam Bahasa dan Aksara Cina 8. Surat Edaran Menteri Penerangan No. 02/SE/Di tentang Larangan Penerbitan dan Pencetakan Tulisan/Iklan Beraksara dan Berbahasa Cina Selain peraturan yang sifatnya diskriminatif, pada masa Orde Baru juga terjadi beberapa kali kerusuhan berlatarbelakang rasial. Sejak 1967, warga Tionghoa selalu jadi korban kekerasan. Pada 1974, ketika Peristiwa Malari terjadi, ribuan warga Tionghoa di Jakarta jadi korban. Pada 1980 juga terjadi kerusuhan rasial di Solo dan Semarang. Puncaknya adalah peristiwa 13-14 Mei 1998 di Jakarta, di mana ribuan warga Tionghoa jadi korbannya. Kasus kerusuhan terakhir terjadi menjelang kejatuhan Soeharto. Sampai saat ini masih begitu banyak versi yang beredar menyoal siapa orang yang ada di belakang kerusuhan tersebut. Namun satu yang pasti, korbannya adalah warga Tionghoa. Peristiwa tersebut menyisakan luka yang dalam di kalangan warga Tionghoa sekaligus memunculkan sejumlah persoalan yang ternyata tak kunjung terselesaikan sejak lama. Beruntung pada zaman Gus Dur berkuasa sebagai presiden, dia melakukan berbagai terobosan menyangkut keberadaan warga Tionghoa di Indonesia. Gus Dur membuka keran kebebasan bagi warga Tionghoa untuk mengeskpresikan identitas kultural mereka melalui kegiatan seni dan budaya yang selama masa Orde Baru dilarang. Tak lama ini, Presiden SBY baru saja menerbitkan sebuah keputusan tentang penggunaan istilah Tionghoa untuk mengacu kepada masyarakat Cina di Indonesia dan Tiongkok untuk merujuk kepada negeri Cina. Ini salah satu tonggak penting yang perlu diapresiasi karena selama berpuluh-puluh tahun sebutan “Cina” pada masyarakat Tionghoa bermakna peyoratif dan menunjukkan penghinaan rasialis.
http://www.tionghoa.info/diskriminasi-etnis-tionghoa-di-indonesia-pada-masa-orde-lama-dan-ordebaru. Diakses, 29 September 2014.
8
Dalam masa reformasi ada banyak kemajuan, namun pula masih ada beberapa kelompok yang menggunakan isu rasialis sebagai komoditi politik. Contoh paling terbaru adalah isu sentimen rasial yang diembuskan kepada pihak Jokowi sebagai calon presiden dalam Pemilu 2014 yang baru saja berlangsung di Indonesia. Dengan menggunakan media sosial dan cetak12, kelompok anti-Jokowi menyebut kalau calon presiden itu keturunan Tionghoa yang beragama Kristen. Dalam masyarakat yang demokratis dan menghargai keberagaman, tentulah isu tersebut dianggap angin lalu. Namun penggunaan isu itu oleh lawan politik Jokowi menujukkan fenomena bahwa sentimen anti-cina masih begitu kuat di kalangan masyarakat. Beberapa lembaga survey 13 mengatakan bahwa kampanye hitam tersebut berhasil menurunkan tingkat keterpilihan (elektabilitas) Jokowi di beberapa daerah, khususnya di Jawa Barat dan Timur. Agar Siauw Giok Tjhan Tetap Relevan David Hollinger (1995) membedakan multikulturalisme dalam dua jenis, pertama: “model pluralis” yang memperlakukan kelompok sebagai sesuatu yang permanen dan sebagai subyek dari hak-hak kelompok (groups right). Kedua, “model kosmopolitan” yang mengidealkan peleburan batas-batas kelompok, afiliasi ganda dan identitas hibrida; yang menekankan hak-hak individu (Individual rights).14 Mengacu pada pengalaman di Amerika Serikat dengan “melting pot”-nya, Hollinger lebih mengidealkan model kosmopolitan. Menurutnya, model ini memberi fleksibilitas kepada individu untuk menentukan seberapa ketat atau seberapa cair ikatannya dengan salah satu atau pelbagai komunitas. Dengan demikian identitas bukanlah suatu hal yang fixed, melainkan senantiasa dalam proses menjadi.15 Berbagai pemikiran tentang masyarakat multikultural itu bisa berkembang dalam kondisi di mana masyarakat telah memiliki kesepahaman yang tinggi dan negara menjalankan hukum secara tegas dan konsisten. John Rawls (1980) mengatakan sumber persatuan negeri multikultural adalah apa yang disebutnya sebagai suatu konsepsi bersama tentang keadilan.16 Maka iklim demokratis menjadi syarat penting bagi terciptanya masyarakat multikultural yang dalam istilah Giok Tjhan disebut integrasi wajar itu. Dalam iklim Dua orang wartawan, Setiyardi dan Dharmawan Sepriyosa dinyatakan sebagai tersangka oleh kepolisian karena melanggar Undang-Undang Pokok Pers No 40/1999. Pengacara Tim Jokowi mengatakan semestinya dua orang wartawan ini dikenakan pelanggaran pasal 16 UU No 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial dan Etnis. Tempo.co, 16 Juni 2014 13 Lembaga Survey Indonesia (LSI) menyebutkan serangan kampanye hitam bernada rasialis menurunkan suara Jokowi. Sumber: tribunnews.com, 26 Juni 2014. 14 Bonnie Triyana, Eddie Lembong: Mencintai Tanah Air Sepenuh Hati (Penerbit Buku Kompas: Jakarta, 2011) Hlm. 26-27 15 Ibid 16 Ibid 12
9
demokratis yang terjaga dengan baik, ruang-ruang publik untuk mendiskusikan wacana multikulturalisme semakin terbuka. Masyarakat sipil yang kuat dan kebebasan pers diharapkan mampu secara terus menerus merawat hubungan antar etnis dari sebuah negeri yang multikultural seperti di Indonesia. Sudah saatnya pula para tokoh muda Tionghoa ambil peran aktif di dalam kegiatan politik sehingga bisa turut mewarnai jalannya arena politik di republik serta turut dalam pengambilan keputusan penting. Pendidikan sejarah pun menjadi penting untuk mengatasi problem diskriminasi yang kerap mendera warga Tionghoa. Lewat pengajaran sejarah, generasi muda bisa belajar mengenai peran penting warga Tionghoa di masa lalu. Sumbangan warga Tionghoa bagi pembangunan nasion-state Indonesia melalui sastra, bahasa dan pers harus disampaikan agar timbul pemahaman bahwa saudara Tionghoa mereka bukanlah datang untuk bertamu, melainkan ada di negeri ini untuk bersama-sama mencapai tujuan bersama sebagai orang Indonesia. Media Sosial dan Penyebarluasan Gagasan Multikulturalisme Perkembangan dalam teknologi informasi yang semakin pesat, seperti merebaknya penggunaan media sosial akhir-akhir ini, menjadi peluang untuk terus menyuarakan gagasan-gagasan masyarakat yang multikultural berbasiskan keadilan dan kesetaraan. Indonesia adalah pengguna facebook dan twitter terbesar ketiga di dunia. Jutaan orang terhubung melalui media sosial. Tak jarang pula media sosial digunakan justru sebagai alat penebar sentimen rasialisme seperti yang pernah terjadi pada masa kampanye pemilihan presiden yang lalu.17 Lemahnya pemberlakuan hukum18 bagi para penebar kebencian itu mau tak mau harus dilawan lewat media serupa. Twitter, misalnya, telah berhasil digunakan untuk menggalang aksi demonstrasi menentang rezim Hosni Mubarak di Mesir. Oleh karena itu media sosial menjadi media alternatif untuk membagi gagasan dan menjalin komunikasi dengan pengguna media sosial lainnya yang datang dari berbagai latar belakang etnis. Media sosial kini menjadi semacam ruang publik alternatif untuk membawa (dan mendiskusikan) problem-problem sosial di alam nyata ke dunia maya. Beberapa waktu terakhir ini, pengguna media sosial di Indonesia aktif menggalang aksi untuk mencegah agar para legislator di parlemen tidak mengesahkan UU Pilkada melalui DPRD. Setelah gagal mencegah, gerakan pun berubah dengan menuntut SBY untuk segera membatalkan UU tersebut melalui Perppu. Untuk sementara berhasil, karena sebagaimana telah disebutkan di atas, Presiden SBY menerbitkan Perppu No 1/2014 yang membatalkan UU Pilkada. Akun-akun anonim seperti @TrioMacan2000 atau @Ronin memiliki jumlah follower mencapai ribuan dan kerapkali menebarkan kampanye sentimen rasialisme lewat twitter. 18 Kendati ada UU ITE, namun seringkali pelaku penyebaran sentimen rasialis di media sosial jarang bisa diseret ke pengadilan. Seringkali penyebarluasan kebencian itu dilakukan atas nama kebebasan menyampaikan pendapat, kendati tentu saja hal itu adalah salah kaprah. 17
10
Media sosial menjadi penting sebagai medium kritik yang pada tahap tertentu diharapkan bisa merawat demokrasi yang kini sedang berjalan di Indonesia. Tanpa adanya demokrasi yang memberikan kesempatan yang setara kepada setiap individu untuk dipilih dan memilih, maka pemimpin seperti Ahok kecil kemungkinan bakal terpilih, betapapun integritas pribadinya dan kualitas kepemimpinannya di atas rata-rata. Organisasi-organisasi seperti INTI, Gema INTI atau organisasi lain yang memiliki perhatian pada isu multikulturalisme seyogianya menggunakan media sosial untuk membagi ide, menjalin interaksi dan membuka ruang diskusi lebih luas kepada publik. Inilah revolusi teknologi informasi yang belum hadir semasa Siauw Giok Tjhan hidup. Dan inilah masa depan Siauw Giok Tjhan: saat di mana gagasan integrasi wajar bisa diuji dan disebarluaskan melalui media sosial untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang bisa saling menghargai terhadap keunikan dari masing-masing kelompok etnis yang ada di dalamnya. Saat di mana setiap tindakan diskriminasi bisa segera diresponse melalui gerakan sosial yang berawal di dunia maya.
11