PERGULATAN KEINDONESIAAN SIAUW
FOTO: DOK. KELUARGA PRAMONO
10 0 TA HUN SI AU W GIOK TJH A N
Bagi sebagian orang Tionghoa di Indonesia mulai akhir 1940an hingga pertengahan 1960-an, Siauw Giok Tjhan adalah tokoh yang aktif terlibat dalam gagasan mengindonesiakan orang Tionghoa. Ia percaya golongan Tionghoa yang sudah hidup bergenerasi di Indonesia berhak mendapatkan status suku setara dengan suku lain, seperti Jawa, Sunda, Melayu, Batak, dan Ambon. Untuk melebur ke dalam bangsa Indonesia sebagai suku, menurut Siauw, orang Tionghoa tak perlu menghilangkan ciri ketionghoaannya. Demi tujuan itu, ia membentuk Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) pada 13 Maret 1954. Baperki banyak membangun sekolah. Juga mendirikan perguruan tinggi swasta pertama: Universitas Baperki, yang kemudian menjadi Universitas Res Publica (Ureca). Dalam kepemimpinan Siauw, Baperki condong mendekat ke sumbu kekuasaan, yang berorientasi kiri. Akibatnya, pada 15 Oktober 1965, setelah terjadi tragedi Gerakan 30 September, kampus Ureca di Grogol dibakar massa. Tanggal 23 Maret lalu tepat 100 tahun kelahiran Siauw. Tempo ingin menyajikan kembali pergumulan hidupnya dan tulisan yang menampilkan kesaksian mengenai pembakaran Universitas Res Publica.
AUDITORIUM Hotel Seruni 3 di kawasan Cisarua, Bogor, Minggu dua pekan lalu. Santap malam 300-an peserta reuni itu baru saja usai. Suasana kangen-kangenan kemudian menjadi khidmat. Pembawa acara meminta hadirin yang rata-rata berusia di atas 60 tahun itu berdiri dari kursi-
nya. Para opa dan oma mengambil posisi siaga. Tatkala musik dari alat pemutar terdengar, mereka pun menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ada yang bersemangat, bernyanyi sambil menempelkan tangan kanan ke dada kirinya. Nuansa kebangsaan Indonesia memang kental terasa di acara Reuni Ke-8 Alumni Universitas Res Publica (Ureca) itu. Selain menampilkan tetarian kontemporer Sunda dan Bali, acara memperdengarkan lagu-lagu nasional oleh paduan suara Gerakan Pemuda Perhimpunan Indonesia Tionghoa. Peserta temu kangen ini adalah orang-orang yang pada 1959-1965 menempuh pendidikan di universitas yang didirikan organisasi kemasyarakatan Tionghoa masa itu: Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Acara reuni kali ini menjadi lebih istime-
wa karena bertepatan dengan 100 tahun kelahiran Siauw Giok Tjhan, Ketua Umum Baperki yang juga penggagas berdirinya Ureca. Siauw lahir pada 23 Maret 1914 di Kapasan, Surabaya, Jawa Timur. Baperki awalnya banyak terlibat dalam dunia pendidikan. Pada November 1957, Perdana Menteri Djuanda melarang sekolah asing menerima murid warga negara Indonesia. Akibatnya, puluhan ribu anak Tionghoa yang semula belajar di sekolah milik Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) terkatung-katung—tidak bisa meneruskan sekolah. Siauw bersama Baperki bergerak cepat. Mereka mendirikan Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan. Siauw membuka sekolah-sekolah untuk menampung anak-anak Tionghoa. Baperki juga mendirikan universitas swasta pertama di Indonesia, yaitu Universitas Baperki. Pemicunya adalah banyak anak Tionghoa tak bisa melanjutkan studi lantaran kuota bagi etnis Tionghoa masuk universitas negeri hanya 2 persen. Pada 1962, Universitas Baperki berganti nama menjadi Universita Res Publica. Yang menarik, universitas ini membuka mata kalangan Tionghoa yang saat itu masih memiliki kewarganegaraan Cina untuk memahami segi keindonesiaannya. Nancy Widjaja, 70 tahun, salah satunya. Ditemui Tempo, Nancy bercerita bahwa ia lahir di Garut, Jawa Barat, tapi orang tuanya, pasangan pedagang batik di pasar Garut, adalah warga negara Cina. Pendidikan dasar hingga menengah ia tempuh di sekolah THHK, sekolah Chung Hwa di Garut, dan dilanjutkan ke Hoa Qiao Bandung. Nancy bercerita, pada 1960-an, orang tuanya berencana pulang ke Cina. Ia sendiri saat itu ingin melanjutkan studi ke sana dan menggapai cita-cita sebagai penyiar radio Beijing. Namun cita-citanya kandas lantaran, saat pecah kerusuhan anti-Cina di Garut pada 13 Mei 1963, kobaran api membakar rumahnya. Harta benda orang tuanya musnah. Ibu Nancy meminta ia bersabar sampai uang untuk pulang ke Cina terkumpul kembali. Dia diminta membantu berdagang batik. Namun ayahnya, yang cukup berpendidikan, tidak setuju. Sang ayah ingin Nancy terus bersekolah. Akhirnya Nancy didaftarkan ke Ureca. ”Di tempat lain tak mungkin diterima karena saya WNA,” dia menambahkan. Di Ureca, Nancy benar-benar seperti 6 APRIL 2014 |
| 55
*** BETULKAH Ureca berpihak pada gagasan kiri? Apa gagasan Siauw Giok Tjhan yang membuatnya ditangkap dan dipenjara tanpa proses pengadilan selama 12 tahun? Siauw Tiong Djin mengaku tidak mengenal dekat ayahnya. Sebab, ketika sang ayah ditangkap pada 4 November 1965, ia masih berusia 9 tahun. Pertemuan dengan ayahnya hanya terjadi di ruangan besuk di Rumah Tahanan Salemba, Kamp Satuan Tugas Kebayoran Baru, Rumah Tahanan Militer Lapangan Banteng, dan Penjara Nirbaya (Interniran dalam Keadaan Bahaya) Jakarta Timur. ”Awalnya saya penasaran ingin bertanya. Di sekolah, saya sering mendengar bahwa Baperki sebagai organisasi komunis harus diganyang dan orang-orang komunis pengkhianat bangsa harus dipenjara selama-lamanya,” kata Tiong Djin. Jawaban panjang-lebar yang disampaikan Siauw Giok Tjhan menambah rasa ingin tahu Tiong Djin. Sepulang dari penjara, ia membaca pidato dan tulisan Siauw yang disimpan rapi oleh ibunya, Tan Gien Hwa. Tiong Djin juga bertanya kepada teman-teman seangkatan ayahnya tentang apa yang dilakukan dan tujuan perjuangan 56 |
| 6 APRIL 2014
politik Siauw. Aktivitas itu terhenti saat ia harus ke Australia untuk kuliah pada 1973. Pertemuan Tiong Djin dengan Daniel S. Lev, guru besar Washington University yang tengah merampungkan biografi pejuang hak asasi manusia Yap Thiam Hien pada 1988, menguatkan niatnya menulis riwayat hidup sang ayah. Dengan bimbingan Herbert Feith dan Barbara Hatley dari Monash University dalam melakukan penelitian obyektif dan penulisan akademis, Tiong Djin menyusun disertasi berjudul Siauw Giok Tjhan: Bicultural Leaders in Emerging Indonesia, yang rampung pada 1998. Pada 1999, ia meraih gelar PhD dalam ilmu politik di Monash University. Melalui disertasi yang kemudian diterbitkan Penerbit Hasta Mitra menjadi buku berjudul Siauw Giok Tjhan: Perjuangan Seorang Patriot Membangun Nasion Indonesia dan Masyarakat Bhineka Tunggal Ika ini, Tiong Djin ingin meluruskan sejarah yang telah memojokkan sang ayah. Menurut Tiong Djin, ayahnya bukan anggota atau anggota rahasia Partai Komunis Indonesia sebagaimana dituduhkan. ”Ayah saya tidak pernah masuk PKI. Dari proses pemeriksaan pun tidak didapatkan pengakuan satu tokoh PKI yang pernah menyumpah Siauw masuk menjadi anggota PKI,” kata Tiong Djin, yang datang ke Jakarta dari kediamannya di Melbourne, Australia, untuk reuni Universitas Res Publica, dua pekan lalu. ”Tidak terbukti juga kalau Baperki onderbouw PKI.”
Anak-anak Siauw Giok Tjhan: Siauw May Lan (kiri), Siauw May Lie, Siauw Tiong Tjing, Siauw Tiong Ho, Siauw Tiong Djin, dan Siauw Lee Ming saat acara 100 tahun Siauw Giok Tjhan di Cisarua, Bogor, 23 Maret lalu.
Menurut Tiong Djin, berdasarkan penelusurannya terhadap beragam naskah pidato, risalah, dan tulisan Siauw, juga dokumen Baperki, komunisme tidak pernah dicanangkan sebagai obyek perjuangan politik organisasi itu. ”Yang didambakan Siauw adalah perwujudan masyarakat sosialisme ala Indonesia seperti yang diformulasikan Presiden Sukarno dan yang sesuai dengan UUD 1945,” ucap Tiong Djin. Lebih lanjut, Tiong Djin mengatakan Baperki merupakan organisasi kemasyarakatan yang terbuka. Adanya orang-orang PKI di Baperki karena organisasi itu menganut asas Nasionalis-Agama-Komunis (Nasakom). Kebijakan Baperki, kata Tiong Djin, juga tidak 100 persen seirama dengan PKI. Konsep ekonomi yang menjadi sumbangsih Siauw, yang kemudian masuk ke Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (Garis-garis Besar Haluan Negara) pada 1963, adalah konsep modal domestik yang bertolak belakang dengan konsep PKI bahwa semua harus diambil alih negara. ”Konsep Siauw itu mengawinkan sosialisme dan kapitalisme. Ekonomi Indo-
TEMPO/DIAN TRIYULI HANDOKO
anak yang baru belajar bahasa Indonesia. ”Di sekolah Chung Hwa, pengantarnya bahasa Mandarin. Bahasa Indonesia itu bahasa asing yang diajarkan hanya dua kali dalam seminggu.” Tidak hanya mengajarkan bahasa Indonesia, bagi Nancy, Ureca juga mengindonesiakan dirinya. ”Pikiran saya jadi berubah 180 derajat. Buat apa lagi pulang ke Tiongkok, yang asing sama sekali? Saya mulai sadar bahwa saya lahir dan besar di Indonesia. Akar saya di sini.” Keputusan Nancy itu membuat ayahnya marah. ”Bahkan saya akan diputuskan hubungan keluarga. Lebih-lebih ketika pecah peristiwa Oktober 1965 karena di seluruh Garut hanya ada tiga perempuan yang masuk Ureca, jadi sangat dikenal,” kata Nancy, yang pada 2003-2013 menjadi Ketua Perempuan Inti. Peristiwa 1965 itu juga yang mengakhiri kuliah Nancy di Fakultas Sastra Ureca di Kampus A Grogol. Pada 15 Oktober 1965, kampus itu diserbu massa dan dibakar karena dianggap berkaitan dengan kaum kiri. Ureca di Jakarta dan cabang-cabangnya di Surabaya, Semarang, Yogyakarta, dan Medan serta sekolah-sekolah yang didirikan Baperki ditutup.
10 0 TA HUN SI AU W GIOK TJH A N
Siauw Giok Tjhan (ketiga dari kanan) bersama pimpinan Baperki Aceh, 1955.
nesia harus dibangun atas dasar pengembangan modal yang dimiliki para pedagang Indonesia, siapa pun pedagang itu, tanpa mempedulikan latar belakang rasnya,” ujar Tiong Djin.
DOK. KELUARGA
*** SALAH satu sumbangan besar Siauw Giok Tjhan adalah pemikiran dalam debat isu kewarganegaraan. Siauw adalah salah seorang pelopor konsep integrasi. Menurut keyakinan Siauw dan kelompok integrasionis, masalah diskriminasi rasial terhadap orang Tionghoa hanya bisa hilang jika terwujud Nasion Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Semua suku, termasuk suku Tionghoa, harus mengintegrasikan diri ke tubuh Nasion Indonesia melalui kegiatan politik, sosial, dan ekonomi. Suku Tionghoa merupakan tuntutan Baperki. Alasannya, pada 1950, golongan Tionghoa sudah hidup bergenerasi di Indonesia sehingga berhak mendapatkan status
suku setara dengan suku lain, seperti Jawa, Sunda, Melayu, Batak, dan Ambon. Sebagai satu suku, orang Tionghoa tak perlu menghilangkan ciri ketionghoaannya. Untuk tujuan menjadikan sebanyak-banyaknya suku Tionghoa yang menyeberangi jembatan menjadi bangsa Indonesia yang utuh, Baperki dibentuk pada 13 Maret 1954. Konsep integrasi ini ditentang kubu pendukung konsep asimilasi. Menurut konsep ini, pembauran dalam segala lapangan secara aktif dan bebas merupakan terapi yang tepat untuk menyelesaikan persoalan yang dialami golongan Tionghoa. Sepuluh tokoh mencanangkan konsep asimilasi ini pada 26 Maret 1960. Salah satu tokoh kelompok ini adalah Junus Jahja, pentolan Chung Hua Hui, perkumpulan Tionghoa di Belanda, yang justru membubarkan perkumpulan eksklusif itu. Kelompok asimilasionis ini kemudian melahirkan Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB) pada 12 Maret 1963 saat digelar Musyawarah Asimilasi di Jakarta. Dalam buku Catatan Orang Indonesia, Junus menyebutkan Sukarno membenarkan konsep asimilasi alias pembauran ini. Perkataan Bung Karno yang dikutip Junus ada-
lah, ”Saya membenarkan usaha pemudapemuda untuk memecahkan masalah minoritas dengan jalan asimilasi dan menghilangkan eksklusivisme dalam tubuh bangsa Indonesia.” Harry Tjan Silalahi, 80 tahun, anggota LPKB yang masih tersisa, menyebutkan tuntutan Baperki agar masyarakat Tionghoa tetap menjadi suku merupakan kemunduran. ”Itu berarti mereka masih ingin menjadi minoritas,” ucap Harry di kantornya di Centre for Strategic and International Studies, Jakarta Pusat. Konflik antara pro-integrasi dan pro-asimilasi terus berlanjut. Presiden Sukarno hadir dalam Kongres Ke-8 Baperki di Istora Senayan pada 14 Maret 1963. Dalam sambutannya, Sukarno mengatakan, ”Baperki itu satu perkumpulan yang baik; tegas berdiri di atas Pancasila; tegas membantu terlaksananya Amanat Penderitaan Rakyat; tegas berdiri di atas Manipol-Usdek. Baperki adalah salah satu dari Revolusi Indonesia. Oleh karena itu saya datang.” Harry mengatakan memang tidak terbukti Siauw anggota PKI. ”Tapi Siauw itu pasti orang kiri, jalan pikirannya Marxisme,” ujarnya. Lagi pula, kata Harry, hanya 6 APRIL 2014 |
| 57
Marxisme yang mau menerima orang Tionghoa waktu itu. Kenyataannya, Siauw masuk Partai Sosialis pada Desember 1945 dan ia berada di kelompok Amir Sjarifuddin. Sebagai pendukung Amir, otomatis Siauw termasuk kelompok sayap kiri, yang kemudian berganti nama menjadi Front Demokrasi Rakyat (FDR). Ketika PKI meleburkan Partai Sosialis dan Partai Buruh Indonesia ke dalam PKI, Siauw termasuk yang tidak bergabung. Dalam buku yang ditulis Tiong Djin, alasan Siauw: karena fungsinya sebagai wakil golongan minoritas lebih baik dilakukan di luar PKI. Sementara Partai Sosialis dan FDR bubar, Siauw memilih tetap berada di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat sebagai wakil golongan minoritas tak berpartai. Setelah Peristiwa Madiun, Siauw ditangkap karena pernah menjadi anggota FDR. Dia ditahan di penjara Wirogunan, Yogyakarta. Harry Tjan melihat kepemimpinan Siauw saat menjabat Ketua Baperki cenderung ke kiri. Apalagi ketika Baperki turun ke politik praktis dengan ikut Pemilihan Umum 1955, yang ditentang banyak pendiri Baperki yang berorientasi kanan, seperti P.K. Ojong. Menurut Harry, alasan Baperki ikut pemilu agar perwakilan golongan minoritas Tionghoa di Dewan Perwakilan 58 |
| 6 APRIL 2014
Rakyat yang mendapat jatah delapan kursi dipilih, bukan ditunjuk. ”Ini memang masih bisa diterima karena ada logikanya.” Namun, begitu kebijakan Baperki lebih condong ke kiri, banyak kalangan Tionghoa gelisah, takut menjadi kambing hitam. Pasalnya, ada anggapan Baperki sama dengan Tionghoa karena anggota Baperki pada 1963 mencapai lebih dari 250 ribu (sekitar 10 persen dari total jumlah orang Tionghoa), sebanyak 99 persen adalah orang Tionghoa. Harry menyebut hubungan Baperki-PKI sebagai simbiosis dalam politik. Dia memberi contoh Baperki kerap ikut acara PKI. Jumlah pelajar sekolah Baperki yang puluhan ribu menjadi andalan PKI untuk menunjukkan kekuatannya. ”Kampus Baperki itu menjadi asrama CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) dan Perhimi (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia). Tak mengherankan kalau diserbu oleh kesatuan aksi mahasiswa,” ucap Harry. Bekas Ketua Dewan Mahasiswa Ureca Sie Ban Hauw kepada Tempo mengatakan ia menolak anggapan bahwa kampusnya memobilisasi massa untuk kegiatan politik. Menurut dia, Dewan Mahasiswa merupakan organisasi intra-universitas. Kalaupun ada pengerahan massa, kata Sie, hanya untuk kegiatan budaya, seperti ketika ada Asian Games, Ganefo, atau Kongres Baperki. ”Sedangkan untuk demonstrasi politik dikoordinasi mahasiswa yang menjadi anggota organisasi ekstra-universitas, seperti
● DODY HIDAYAT, LEA PAMUNGKAS (AMSTERDAM), DIAN YULIASTUTI
FOTO: DOK. KELUARGA
Siauw (tengah, membelakangi) bersama mahasiswa Ureca di kampus Grogol, Jakarta, 1964.
CGMI, Perhimi, dan PMKRI, tanpa permisi kepada pihak universitas,” ujar Sie, yang masuk Ureca pada 1959 di Fakultas Teknik karena ditolak masuk Institut Teknologi Bandung. Sahabat dekat Siauw, Go Gien Tjwan, 94 tahun, yang kini tinggal di Amsterdam, Belanda, menepis keras tuduhan orang seperti Harry Tjan, yang menganggap Siauw sebagai komunis. ”Jelas tidak mungkin Siauw komunis! Mana mungkin seorang komunis bisa memimpin Baperki begitu lama, sementara isi Baperki itu sebagian besar adalah para kapitalis kecil,” katanya sambil tertawa saat ditemui Tempo di kediamannya di kawasan Max Havelaarlaan, Amstelveen. Menurut Go, Baperki bukan partai politik ataupun organisasi kemasyarakatan. ”Baperki adalah sebuah badan musyawarah untuk mencapai mufakat, antara lain dengan cara groot gemengde deal, jalan tengah kebijaksanaan politik. Dan itu adalah jalan tengah yang menjadi nilai kebudayaan Tionghoa,” kata Go. Lelaki yang menjadi dosen senior sejarah Asia modern di Universiteit van Amsterdam ini menambahkan, ”Anggota Baperki adalah siapa saja, tanpa memperhitungkan latar belakang ras, ideologi, dan politik. Adam Malik dari Murba, K. Woedojo anggota PKI dan tokoh SOBSI, atau Winoto dari Partindo adalah anggota dewan penasihat Baperki. Ini jelas menggambarkan bagaimana karakter dan visi Baperki yang tidak eksklusif.” Tapi baik Go maupun Harry Tjan sepakat satu hal mengenai Siauw: kesederhanaannya. Go ingat, pada 1946, ia bersama Siauw pergi ke Yogyakarta bertemu dengan Sukarno. Bung Karno melihat Siauw memakai kemeja dengan kerah yang robek di sanasini. ”Sukarno bilang Siauw tidak pantas memakai baju robek demikian. Ia kemudian memberi dua bungkusan kemeja.” Harry Tjan juga mengakui kesederhanaan lelaki asal Kapasan itu. ”Saya tidak mengenal Pak Siauw secara personal karena kami berbeda usia 20-an tahun.” Namun, berdasarkan observasi Harry, Siauw adalah pemimpin yang baik dan ikhlas berjuang supaya orang keturunan Tionghoa yang telah memilih ikut Indonesia terlindungi haknya. ”Semoga dia beristirahat dengan tenang,” kata Harry.
10 0 TA HUN SI AU W GIOK TJH A N
SIAPA MEMBAKAR KAMPUS RES PUBLICA? ATU-BATU melayang menghujani kampus Universitas Res Publica yang terletak tak jauh dari Rumah Sakit Sin Ming Hui, Grogol. Mahasiswa di dalam kampus pun membalas lemparan itu. Perang batu antara mahasiswa Universitas Res Publica (Ureca) dan massa liar yang tak diketahui asalnya itu tak terelakkan di pagi menjelang siang pada 15 Oktober 1965. Peristiwa itu masih membekas dalam memori Khouw Thian Hong atau Benny G. Setiono, 71 tahun. Siang itu, sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Res Publica, ia turut mempertahankan kampus. Umurnya masih 22 tahun saat itu. Benny ingat ia menggenggam rantai sepeda di tangan. Sedangkan mahasiswa Ureca yang lain membawa apa pun. Seingat Benny, di antara massa yang datang, ada beberapa yang mengenakan atribut organisasi ekstrakampus, Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), telanjur merangsek, melompati gerbang setinggi dada orang dewasa. Benny dan kawan-kawannya tak kuasa melawan mereka. Pintu gerbang besi itu bisa didobrak dengan ditarik truk. ”Apalagi setelah terdengar tembakan oleh tentara, terpaksa kami mundur,” ujar Benny kepada Tempo. Massa penyerbu semakin beringas. Mereka membakar gedung Kampus A yang dibangun sendiri oleh tangan para mahasiswa dan dosen universitas yang semula bernama Universitas Baperki itu. Setelah puas meluluhlantakkan Kampus A, massa menjarah Kampus B, yang berada di kawasan Slipi. Perlawanan juga dikisahkan oleh Tan Ping Ien, Wakil Ketua Dewan Mahasiswa saat itu. Ia mengkoordinasi puluhan mahasiswa untuk ”ronda” mengamankan kampusnya. Dalam buku Ureca Berperan dalam Pembangunan Bangsa, Tan bercerita mahasiswa sudah mendapat informasi tentang rencana penyerbuan kampus mereka. Beberapa aktivis mahasiswa dari PMKRI, Himpunan Mahasiswa Islam, dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia datang dan meminta mahasiswa lain membubarkan diri demi keselamatan mereka. ”Pada pukul 14.00, mereka datang tergopoh-gopoh menemui saya dan memberi tahu akan ada aksi besar menghancurkan Ureca,” tulis Tan Ping Ien. Informasi ini disampaikan kepada mahasiswa yang lain. Mereka pun menutup kampus. ”Kami tidur bergilir dan minum banyak kopi.” Keesokan paginya, dengan mata yang masih ”pedas” karena kurang tidur, Tan berkeliling memeriksa. Ternyata rombongan wartawan sudah datang lebih dulu. Mereka tiba mendahului massa yang akan segera datang. Dua aktivis mahasiswa, Tjio Keng Liong dari PMKRI dan Ayub Sani dari HMI, dengan berlinang air mata meminta Tan Ping Ien dan kawan-kawannya se-
BUKU URECA, BERPERAN DALAM PEMBANGUNAN BANGSA
B
gera pergi daripada mati konyol. Tak berapa lama, beberapa jip dan truk militer datang. Tak kurang dari 20 tentara masuk ke kampus. Melihat itu, Keng Ling dan Ayub pergi. Mayor CI Santoso, yang mengomandani para tentara, meminta Tan Ping Ien mundur, tapi diabaikan. Tak berapa lama, suara gemuruh datang mengiringi bus-truk yang mengangkut massa berjaket kuning, biru, dan hijau. Dengan penuh amarah, mereka meneriakkan yel-yel untuk membakar Ureca. Saat itulah batu mulai berhamburan. Tan tetap bertahan hingga Mayor Santoso marah dan menodongkan pistolnya. ”Perintahkan semua temanmu mundur. Tak ada gunanya melawan. Mereka bukan mahasiswa. Rekan-rekanmu bukan tandingan.” Laboratorium di beberapa fakultas meledak dan hangus terbakar. Menurut Tan, ada kelompok massa yang naik ke lantai 2 dan membakar secara serentak gedung yang mereka bangun.
Perusakan kampus Ureca, 15 Oktober 1965.
Kampus Ureca dicap sebagai kampus ”kiri” yang terafiliasi dengan komunis dan Cina. Benny mengakui Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) memang berkembang pesat di kampus itu, tapi dia menampik jika Ureca disebut sarang CGMI. Kabar soal banyaknya anggota CGMI di kampus itu dibenarkan Go Gien Tjwan, Sekretaris Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki, yang saat kejadian itu berada di sana. Menurut Go dalam buku Ureca Berperan dalam Pembangunan Bangsa, kampus memang menjadi tempat menginap para peserta pertemuan akbar CGMI yang berasal dari luar Jawa. ”Mereka terpaksa karena diusir dari stadion olahraga Senayan,” tulis Go. Harry Tjan Silalahi, yang menjadi Sekretaris Jenderal Front Pancasila waktu itu, kepada Tempo mengatakan tidak mengenal siapa yang menyerbu Ureca. Yang pasti, kata Harry, para penyerbu adalah aktivis kesatuan mahasiswa yang antikomunis. ”Mereka tersinggung oleh pernyataan Aidit, ’Kalau CGMI tidak mau membubarkan HMI, pakai sarung saja’,” ucap Harry di kantornya di Centre for Strategic and International Studies, Selasa pekan lalu. ● DIAN YULIASTUTI
6 APRIL 2014 |
| 59
Siauw Giok Tjhan tumbuh dalam keluarga yang menggabungkan norma Barat, Tionghoa peranakan, dan totok. Dia menjadi wartawan sampai anggota parlemen. Ia adalah pendiri Harian Rakjat. WA Sioe Ing, 64 tahun, menunjuk rumah berpagar besi hitam kecokelatan yang berkarat di Gang Kapasan Dalam 2 Nomor 18, Kapasan, Simokerto, Surabaya. Menurut sesepuh Kapasan itu, rumah yang tepat berada di seberang rumahnya tersebut tak berpenghuni. Rumah itu
K 60 |
| 6 APRIL 2014
tampak tidak terawat. Permukaan jendela dan lantai terasnya dipenuhi debu. Plafonnya juga sudah jebol. Seingat Kwa Sioe Ing, rumah itu sudah berulang kali direnovasi. ”Kalau tidak salah, dulu memang ditempati orang Baperki,” ujarnya. Anak keenam Siauw Giok Tjhan, Siauw Tiong Djin, membenarkan bahwa kakeknya pernah menempati rumah di ujung
gang di Kapasan itu. Rumah itu dekat Boen Bio, klenteng terbesar di Jawa Timur. Oei Hiem Hwie, 72 tahun, yang mengaku masih kerabat Siauw, membenarkan bahwa rumah keluarga Siauw dekat dengan Boen Bio. Tapi itu bukan milik ayah Siauw, melainkan milik Kwan Sin Liep, mertuanya. Kwan adalah pengusaha totok serta ahli kungfu dan astrologi Cina. ”Itu lingkungan elite di pinggiran jalan raya,” kata bekas wartawan Terompet Masyarakat yang kini menjadi Pembina Yayasan Medayu Agung itu saat ditemui di kediamannya di Jalan Medayu, Rungkut, Surabaya. Dalam memoarnya yang terbit sepekan sebelum ia wafat, Lima Zaman: Perwujudan Integrasi Wajar, Siauw bercerita tentang masa kecilnya di Kapasan. Ia lahir dalam keluarga campuran, baba-totok. Ayahnya, Gwan Swie, juga lahir di sana dan menjadi yatim-piatu pada usia 11 tahun. Sang ayah tak masuk sekolah milik Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK), tapi memilih kursus bahasa Inggris karena lebih gampang mendapat pekerjaan. Selain bergaul dengan orangorang Belanda, Gwan Swie, yang mengagumi Sun Yat Sen, berkawan dengan tokoh
KOLEKSI PERPUSNAS
KISAH SANG PENDIRI HARIAN RAKJAT
Harian Rakjat.
10 0 TA HUN SI AU W GIOK TJH A N
Tionghoa peranakan yang berkiblat pada nasionalisme Cina. Salah satunya The Ping Oen, Direktur Koran Pewarta Soerabaia. Gwan Swie kerap berjumpa dengan putri pertama Kwan Sin Liep. Perempuan itu bernama Kwan Tjian Nio. Gwan Swie jatuh hati. Mulanya lamarannya ditolak mentah-mentah oleh Kwan karena latar belakang Gwan Swie yang peranakan. Tapi kekerasan hati Kwan luruh juga. Ia menerima Gwan Swie menikahi putrinya, dengan syarat anak mereka harus bersekolah di THHK. Pada 23 Maret 1914, lahirlah Siauw Giok Tjhan.
*** SIAUW tumbuh dalam keluarga yang menggabungkan norma Barat, Tionghoa peranakan, dan totok. Saat usia Siauw empat tahun, sang kakek memasukkan cucu pertamanya itu ke sekolah THHK di belakang Boen Bio. Pada umur lima tahun, Siauw terserang sakit keras. Kwan pun menyerahkan cucunya kepada Toapekong di Klenteng Kampung Dukuh. Saat Kwan pulang ke Cina, Gwan Swie memindahkan Siauw ke sekolah ELS. Tatkala kembali, Kwan kaget mengetahui sang cucu tidak bisa berbahasa Cina. Ia kemudian mengharuskan Siauw mengurus toko sepulang sekolah di Hogere Burgerschool (HBS). Krisis ekonomi di Surabaya memaksa Kwan memilih menutup toko, menjual
asetnya, melunasi semua utangnya, dan pulang ke Cina. Tekanan ekonomi itu membuat kesehatan Tjian Nio menurun. Ia pun wafat karena perdarahan pada 1932. Enam bulan kemudian, Gwan Swie, yang mengidap darah tinggi, menyusul istrinya. Jadilah Siauw dan adiknya, Siauw Giok Bie, yatim-piatu pada usia 18 dan 14 tahun. Agar tak menyusahkan kehidupan kerabat dan keluarganya, Siauw menjual perabot rumahnya untuk membeli dua sepeda motor roda tiga Relieg. Dari penyewaan angkutan yang dikenal sebagai Atax itu, Siauw bertahan hidup. Dalam kondisi itulah ia berkenalan dengan Liem Koen Hian, yang 30 tahun berselisih usia dengannya Liem Koen Hian adalah Pemimpin Redaksi Sin Tit Po. Liem pula yang memperkenalkan Siauw dengan Dr Soetomo, yang mendirikan Indonesian Study Club. Dari kedua orang inilah Siauw pertama belajar tentang nasionalisme Indonesia dan menyadari Indonesia tanah airnya. Ia juga tertarik pada program Partai Bangsa Indonesia yang dipimpin Soetomo, yang menganjurkan semua golongan minoritas menyelesaikan masalahnya. Siauw lantas bergabung dengan partai
Rumah kelahiran Siauw Giok Tjhan yang terletak di Kapasan Dalam Gang 2 Nomor 18, Simokerto, Surabaya.
baru yang didirikan Liem, Partai Tionghoa Indonesia (PTI), pada 1932. Ia tercatat sebagai pendiri termuda partai itu. Masuknya Siauw ke PTI berarti ia meninggalkan sebagian besar peranakan Tionghoa yang ketika itu berkiblat ke Belanda, kelompok Chung Hua Hui, dan kelompok Sin Po, yang berkiblat ke Cina. Setamat HBS pada 1933, Siauw tidak melanjutkan sekolah. Ia menjadi wartawan Mata Hari, yang didirikan Kwee Hing Tjiat di Semarang pada 1934. Mata Hari menjadi trompet PTI. Siauw ditugasi sebagai penghubung dengan tokoh yang diasingkan Belanda, seperti Tjipto Mangunkusumo dan Sukarno. Siauw menghormati kedua tokoh itu dan menganggap mereka gurunya. Pada 1937 itu, pemimpin PTI berganti. Liem, yang pindah ke Batavia, melepaskan jabatan Ketua PTI kepada Tjoa Sik Ien. Sedangkan jabatan pemimpin redaksi di Sin Tit Po diberikan kepada Tan Ling Djie. Adapun Siauw menjadi kepala cabang Mata Hari di Surabaya. Dipengaruhi Tan dan Tjoa, Siauw menjadi pendukung Marxisme dan mengagumi Mao Tse Tung. Kembali ke Semarang, Siauw tinggal di rumah ahli ekonomi teman baik Mohammad Hatta, Khouw Bian Tie. Di situ ia bertemu dengan Tan Gien Hwa, anak kedua Tan Peng Hoat, pedagang dari Pemalang. Siauw dan Tan, yang saat itu berumur 18 tahun, pun menjalin hubungan. Mereka menikah pada 1940, lalu pindah ke rumah yang tak jauh dari kantor Mata Hari. Ketika Kwee mendadak meninggal, jabatan pemimpin redaksi diambil alih Siauw. Di bawah Siauw, Mata Hari jadi lebih radikal. Selain mendukung nasionalis Cina, Siauw memasukkan tulisan yang mendukung Indonesia merdeka.
TEMPO/DEWI SUCI RAHAYU
*** SAAT Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diketuai Sukarno terbentuk, Liem Koen Hian menjadi salah satu dari 63 anggotanya. Liem menghubungi Siauw, Tan, dan Tjoa untuk membuat formulasi yang mewakili kepentingan golongan Tionghoa. Liem menyampaikan pendapatnya dalam rapat PPKI pada 1 Juni 1945, hari yang dikenal sebagai hari lahir Pancasila. Butir-butir yang diusulkan Liem diserap ke Undang-Undang Dasar 1945. Tatkala Proklamasi dibacakan Sukarno-Hatta, Siauw memobilisasi dukungan golongan Tionghoa bagi Negara Repub6 APRIL 2014 |
| 61
lik Indonesia. Pasca-kemerdekaan, mulai berlaku sistem multipartai. Siauw, yang sudah dekat dengan golongan Marxis, masuk ke Partai Sosialis. Ia pun menjadi dekat dengan Amir Sjarifuddin. Siauw diminta Amir aktif di seksi penerangan, yang sebenarnya dipenuhi orang Sjahrir di Partai Sosialis yang beraliran kanan. Aktivitas politik Siauw makin dalam. Pada 3 Maret 1947, ia diangkat menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), sebagai satu-satunya wakil Tionghoa. Ia juga menjadi delegasi Indonesia dalam Inter Asia Conference di New Delhi, India, bahkan menjabat sekretaris delegasi. Dalam konferensi itu, Indonesia dikecam delegasi Cina yang menyebut Indonesia negara kejam yang melakukan penindasan terhadap warga Cina. Siauw, yang berbicara di forum itu, membela posisi Indonesia. Ia mengatakan kekecewaannya terhadap Cina yang tidak menjalankan prinsip San Min Chu I, yang menjunjung solidaritas tinggi sesama negara baru. Pada 3 Juli 1947, terbentuk Kabinet Amir Sjarifuddin. Amir mengangkat Siauw menjadi Menteri Urusan Minoritas. Siauw ikut ditangkap setelah meletusnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia di Madiun pada 1948. Padahal ia tidak ikut gerbong Amir, yang menyatakan diri bergabung dengan PKI. Siauw memilih menjadi anggota BP KNIP wakil nonpartai. Setelah Konferensi Meja Bundar, Siauw kembali ke Jakarta. Ia memulai lagi kegiatan jurnalistiknya. Ia bertemu dengan Oei Tiang Tjoei, pemilik percetakan Hong Po. Oei dendam kepada pesaingnya, Injo Beng Goat, Direktur Ken Po dan Star Weekly. Ia bersedia menjual percetakan Hong Po kepada Siauw dengan harga murah, tapi syaratnya koran Siauw harus mengalahkan Ken Po dan Star Weekly. Pada Januari 1950, Siauw menerbitkan mingguan Sunday Courier untuk menyaingi Star Weekly. Siauw dengan keluarga tinggal di percetakan itu. Ia dan istri serta lima anak-anaknya harus tidur di meja-meja kantor. Siauw May Lie, 71 tahun, anak kedua Siauw, mengenang pengalaman itu. ”Adik saya yang masih kecil sering terguling jatuh dari meja,” kata May Lie kepada Tempo. Pada Januari 1951, Siauw menerbitkan mingguan Soeara Rakyat. Enam bulan kemudian, ia mengubah mingguan itu menja62 |
| 6 APRIL 2014
Rumah Siauw di Egidiusstraat 121, Bos en Lommer, Amsterdam.
di harian sehingga bernama Harian Rakjat. Kebanyakan wartawan Harian Rakjat juga bekerja untuk Sunday Courier. Salah satunya Njoto, pemimpin penting CC PKI. Usaha komersial Harian Rakjat yang ternyata kurang berhasil membuat Siauw melepaskannya. Njoto, yang terlibat dari awal, bersedia mengambil alih. Terhitung 31 Oktober 1953, Siauw tidak lagi menjadi Pemimpin Redaksi Harian Rakyat. Saat menjadi anggota parlemen, ia menyewa rumah milik B.R. Motik, pedagang kaya yang aktivis PSI, di Jalan Tosari 70, Jakarta Pusat. Keluarga ini tinggal di sana ketika Siauw ditangkap pada 4 November 1965 dan diusir Angkatan Darat pada 1966. Siauw ditahan tanpa proses pengadilan selama 12 tahun. Mulai 1966 hingga 1975, ia ditahan berpindah-pindah rumah tahanan. Pada September 1975, Siauw dipulangkan ke rumahnya dan menjadi tahanan kota. Pada Agustus 1978, Siauw resmi dibebaskan. Di kartu tanda penduduknya tercantum kode eks-tapol. Atas izin Wakil Presiden Adam Malik, yang juga temannya, Siauw berangkat ke Belanda untuk menjalani operasi mata yang terserang glaukoma.
***
MAY LIE, lulusan Kedokteran Universitas Beijing yang tinggal di Belanda sejak 1978, mengingat kedatangan ayah dan ibunya di Amsterdam, Belanda. Saat itu, ia baru dua bulan datang dari Cina dan membuka klinik akupunktur di Egidiusstraat 121, Bos en Lommer, Amsterdam. Terletak di pinggiran Amsterdam yang dihuni imigran Turki dan Maroko, rumah sederhana ini kini ditempati Siauw Tiong Hian, anak keempat Siauw yang meneruskan praktek May Lie. May Lie ingat, di Belanda, tempat seharusnya Siauw berobat, sang ayah malah disibukkan oleh banyak acara. Ia mendatangi semua undangan dan memenuhi permintaan Amnesty International, yang ikut mendorong pembebasannya, tur keliling Eropa untuk memperkenalkan demokrasi. ”Dia seperti mengejar waktu yang hilang selama di penjara,” katanya. Selain memenuhi undangan, Siauw menulis buku, yang tak bisa dilakukan di penjara. ”Saya sering dibangunkan oleh suara mesin ketik. Biasanya Ayah mulai mengetik sebelum pukul 6 dan baru berhenti pada pukul 23. ” May Lie sendiri meraih gelar dokter pada 1966 di Beijing. Ia kemudian melanjutkan ke sekolah spesialis akupunktur. Dia tinggal di Beijing sampai Revolusi Kebudayaan berakhir pada 1977. May ingat, di malam sebelum keberangkatannya ke Cina, sang ayah meninggalkan pesan agar May kembali lagi ke Indonesia. ”Saya bertanya kepada Ayah mengapa kita harus bertahan di Indonesia kalau tidak diterima di sini?” ujarnya. Seingat May, sang ayah menjawab, ”Justru kita harus memperjuangkan hak yang adil untuk menjadi bagian masyarakat Indonesia ini.” Mendengar penjelasan itu, May Lie berjanji kepada ayahnya untuk pulang ke Indonesia. Janji itu ditunaikan May. Sejak November tahun lalu, ia pindah ke Indonesia. May Lie masih ingat detik kematian ayahnya. ”Pada 20 November 1981 malam, saat Belanda dilanda angin topan, ayah saya memenuhi undangan makan malam di rumah guru besar politik Vrije Universitiet. Ayah juga akan memberikan ceramah di depan para mahasiswa sejarah dan ahli Indonesia di Universitas Leiden. Tapi, 30 menit sebelum ceramah tentang kegagalan pemerintah Indonesia dalam demokrasi, Ayah meninggal karena serangan jantung.” ● DODY HIDAYAT, LEA PAMUNGKAS (AMSTERDAM), DIAN YULIASTUTI, DEWI SUCI RAHAYU (SURABAYA)
TEMPO/LEA PAMUNGKAS
10 0 TA HUN SI AU W GIOK TJH A N