Nasion Indonesia dan Kewarganegaraan Indonesia Oleh: Siauw Tiong Djin Sebelum kemerdekaan diproklamasikan, Liem Koen Hian, Tan Ling Djie, Tjoa Sik Ien dan Siauw Giok Tjhan berkali-kali bertemu untuk merumuskan aspirasi komunitas Tionghoa yang harus diikut sertakan dalam UU dan bentuk negara Indonesia merdeka yang sedang diperjuangkan. Liem Koen Hian kebetulan masuk dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dipimpin oleh Sukarno. Diskusi bersejarah ke-empat tokoh peranakan Tionghoa yang memainkan peran penting dalam sejarah Indonesia itu dituturkan secara panjang lebar oleh Siauw dalam memoar-nya 1. Masalah nasion Indonesia dan kewarganegaraan Indonesia didiskusikan dalam pertemuan-pertemuan tersebut. Menurut mereka: "Rumusan keberadaan sebuah bangsa (nasion) yang bersatu tanpa mengindahkan latar belakang asal keturunan dan prinsip bahwa semua yang berada dalam kesatuan tersebut memiliki hak dan kewajiban yang sama, lahir pada tahun 1912 dengan berdirinya Indische partij pada tahu 1912 yang dipimpin oleh Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara". Selanjutnya diskusi itu juga mempertegas: "perlunya diciptakan Undang-Undang yang melarang praktek-praktek diskriminasi rasial dan adanya ketentuan hukum yang menjamin adanya persamaan hak dan kewajiban" 2. Diskusi panjang lebar itu akhirnya merumuskan beberapa hal yang menjadi dasar perjuangan Siauw Giok Tjhan di zaman-zaman mendatang: "1. nasionalisme tidak boleh meluncur menjadi chauvinisme; 2. hanya ada satu macam kewarganegaraan dengan hak dan kewajiban yang sama; 3. memperjuangkan sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat; 4. mewujudkan demokrasi materiil, bukannya demokrasi formil, sehingga kepentingan rakyat terbanyak selalu didahulukan; 5. UUD harus tegas dalam ketentuan yang menjamin didahulukannya kepentingan rakyat terbanyak daripada kepentingan golongan apa-pun" 3. Seruan dan harapan ke-empat orang ini terpenuhi. Tidak lama setelah kemerdekaan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, tepatnya pada tanggal 1 November 1945, dikeluarkanlah Maklumat Politik (Manifesto Politik) yang dengan tegas mengikutsertakan janji para pendiri Republik Indonesia, yaitu "menjadikan semua orang Indo-Asia dan Indo-Eropa, warga negara, patriot dan demokrat Indonesia, dalam waktu sesingkat mungkin".
Siauw Giok Tjhan, "Renungan Seorang patriot Indonesia", Siauw Tiong Djin (Ed), Lembaga kajian Sinergi Indonesia, pp114-118 2 Sama seperti di atas, pp 114-115 3 sama seperti di atas, p 118 1
1
Pengertian Siauw tentang nasion dan kewarganegaraan Indonesia lebih terbentuk setelah kemerdekaan di mana ia sangat berperan dalam bidang itu. Sejak tahun 1946 hingga 1966, Siauw duduk sebagai wakil peranakan Tionghoa di dalam berbagai lembaga legislatif tertinggi, KNIP, BP KNIP, DPR, Konstituante, DPR-GR dan MPR. Ia sempat pula menjadi menteri untuk urusan minoritas di kabinet Amir Sjarifuddin di zaman revolusi (1947-1948) dan menjadi anggota DPA di zaman Demokrasi terpimpin (1959-1965). Sesuai dengan keinginan yang dirumuskan oleh ke empat tokoh Tionghoa digambarkan di atas, Tan Ling Djie dan Siauw turut merumuskan UU Kewarganegaraan Indonesia yang disahkan pada tahun 1946 oleh BP KNIP. UU ini menjadikan semua penduduk yang lahir di Indonesia, pada waktu bersamaan, warga Negara Indonesia. Warga keturunan asing diberi waktu dua tahun untuk menolak kewarganegaraan Indonesia. UU ini, menurut Siauw memenuhi janji yang tercantum dalam Maklumat Politik 1 November 1945, yaitu menjadikan sebanyak mungkin warga keturunan asing di Indonesia, warga negara Indonesia. Pergolakan politik di dalam dan luar negeri ternyata menimbulkan berbagai kompromi politik yang sempat merugikan pengukuhan Indonesia sebagai negara kesatuan. Pada tahun 1949 pemerintah RI dan Belanda bersepakat membentuk Republik Indonesia Serikat yang terdiri atas RI dan negaranegara boneka buatan Belanda. Perjanjian yang dinamakan perjanjian Konperensi Meja Bundar, walaupun berisi berbagai hal yang merugikan Indonesia, tetapi ternyata mempertahankan UU kewarganegaraan Indonesia 1946. Pada tahun 1949, waktu untuk menolak kewarganegaraan Indonesia ditunda hingga 1951. RIS berumur pendek dan pada tahun 1950 Republik Indonesia pulih berdiri sebagai sebuah negara kesatuan mencakup semua wilayah yang dijajah Belanda. Dimulai-lah masa yang dikenal sebagai zaman Demokrasi Parlementer (1950-1959) di mana pemerintah bersilih ganti dan sepenuhnya tergantung atas dukungan suara mayoritas DPR. Siauw Giok Tjhan meneruskan karier politiknya di DPR sebagai wakil golongan Tionghoa tidak berpartai. Ia berkembang sebagai seorang anggota parlemen yang ulung di masa ini. Walaupun ia berada di parlemen sebagai wakil golongan minoritas, ruang lingkup perdebatannya di parlemen bersifat nasional. Ia membentuk dan menjadi ketua Fraksi Nasional Progresif yang cukup berpengaruh. Di lembaga inilah Siauw dengan gigih melawan berbagai kebijakan rasis, yang pada saat itu dikenal sebagai kebijakan "asli-asli-an". Berbagai tokoh politik pribumi menginginkan peran Tionghoa dalam bidang ekonomi dibatasi bahkan dihilangkan, demi memberi peluang untuk pedagangpedagang “pribumi”. Kebijakan-kebijakan ini memilah komunitas pedagang 2
dalam dua kategori, "asli" dan "tidak asli". Komunitas Tionghoa masuk dalam kategori "tidak asli" sehingga harus disisihkan. Argumentasi Siauw dalam menentang berbagai RUU mengandung kebijakan rasis tersebut bersandar atas dua hal utama.
yang
Pertama nasion Indonesia tidak mengenal apa yang dinamakan "asli" atau "tidak asli". Nasion Indonesia bukan Indonesian race seperti bangsa Aria untuk wilayah Jerman. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari banyak suku dan golongan keturunan asing. Kedua, UUD yang berlaku di Indonesia menjamin adanya persamaan hak dan kewajiban untuk semua warga negara Indonesia, tanpa membedakan asal usul keturunan atau ras 4. Argumentasi Siauw selalu didukung oleh Fraksi Nasional Progresif dan beberapa partai politik lainnya, sehingga banyak kebijakan rasis tersebut batal disahkan sebagai Undang-Undang. Ada juga RUU yang tidak berhasil dibatalkan, akan tetapi Siauw dengan dukungan parlemen berhasil membatasi dampak negatif terhadap para pedagang Tionghoa 5. Ironis-nya, keberhasilan Siauw untuk membendung kebijakankebijakan rasis ini membangkitkan keinginan para politikus senior "pribumi" untuk membatalkan UU Kewarganegaraan Indonesia 1946 yang sudah berlaku sejak tahun 1946. Argumentasi mereka, bilamana pedagangpedagang Tionghoa yang ingin disingkirkan ini menjadi warga negara asing, UUD yang menjamin persamaan hak untuk semua warga negara tidak lagi bisa "melindungi" posisi para pedagang Tionghoa. Keluarlah Rancangan Undang-Undang (RUU) Kewarganegaraan pada tahun 1953 yang didesain untuk membatalkan UU kewarganegaraan 1946. Bilamana ini diresmikan, semua orang keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia yang karena UU tahun 1946 itu telah menjadi WNI akan kehilangan kewarganegaraan Indonesia-nya dan harus mengajukan permohonan untuk menjadi WNI dengan surat-surat bukti. Syarat untuk menjadi warga negara pun diperberat. Bukan saja si pemohon harus lahir di Indonesia, ayah-nya pun harus lahir di Indonesia. RUU ini segera ditentang oleh Siauw di dalam maupun di luar DPR. Siauw memobilisasi gerakan anti RUU tersebut. Di dalam DPR ia memperoleh dukungan Fraksi Nasional Progresif. Di luar DPR ia memimpin sebuah panitia Kewarganegaraan Indonesia yang terdiri dari para anggora DPR Tionghoa,
Pidato-pidato Siauw yang menentang berbagai kebijakan rasis di dalam parlemen bisa diikuti di Risalah-risalah Parlemen 1950 - 1959. 5 Contohnya UU Pedoman dan UU Penggilingan Padi yang hendak membatasi keterlibatan Tionghoa dalam usaha bis dan penggilingan padi 4
3
beberapa akhli hukum Tionghoa dan para tokoh PDTI - Partai Demokrat Tionghoa Indonesia. Pidato-pidato dan tulisan-tulisan Siauw di berbagai surat kabar menekankan beberapa hal yang sulit untuk dibantah oleh pemerintah, antara lain: RUU ini bertentangan dengan janji para pendiri RI yang tertuang dalam Maklumat Politik 1 November 1945 tentang keinginan menjadikan sebanyak mungkin warga keturunan asing warga negara dan patriot sejati; Indonesia sebagai negara hukum yang menjadi anggota dunia internasional tidak bisa membatalkan kewarganegaraan jutaan penduduknya, apalagi mengingat ada di antaranya para anggota parlemen dan menteri; sebagian terbesar komunitas Tionghoa sebagai rakyat jelata tidak memiliki surat-surat bukti kelahiran dirinya dan orang tuanya; Catatan Sipil baru didirikan pada tahun 1918 di Jawa dan 1926 di luar Jawa, sehingga banyak surat bukti kelahiran orang tua pemohon tidak ada; seandainya mereka pernah memiliki surat-surat bukti tersebut, banyak yang hilang akibat pertempuran dan pengungsian. Didukung oleh Fraksi Nasional Progresif dan para menteri yang dekat dengan Siauw, ia berhasil meyakinkan pemerintah menarik kembali RUU tersebut. Keberhasilan ini mendorong para tokoh PDTI untuk meyakinkan Siauw masuk ke dalam dan memimpin organisasi massa baru yang ingin dibentuk PDTI untuk melawan rasisme dan memperjuangkan kewarganegaraan Indonesia komunitas Tionghoa. Pada tahun 1954, Siauw diangkat sebagai ketua umum Baperki - Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia. Walaupun Siauw berkeinginan menjadikan Baperki sebuah organisasi nasional di mana para anggota "pribumi" dan keturunan asing lainnya aktif berpartisipasi, Baperki tercatat dalam sejarah sebagai organisasi Tionghoa. Alasan utamanya adalah sebagian terbesar anggota dan massa pendukung Baperki berasal dari komunitas Tionghoa; dan yang menjadi dasar banyak program politiknya berkaitan dengan tindakan melawan rasisme terhadap Tionghoa, termasuk dalam bidang pendidikan dan kewarganegaraan Indonesia untuk komunitas Tionghoa. Dengan adanya Baperki, Siauw dan para kawan seperjuangannya memiliki sarana efektif untuk menjangkau komunitas Tionghoa, meyakinkan mereka untuk menerima Indonesia sebagai tanah airnya dan untuk menjadi warga negara Indonesia. Para politikus yang menginginkan sebanyak mungkin WNI Tionghoa kehilangan kewarganegaraan Indonesia-nya ternyata tidak menerima kekalahan dalam kancah demokrasi. Pada waktu penyelesaian dwi kewarganegaraan RI-RRT dibicarakan dengan Chou En Lai ketika ia berkunjung ke Indonesia untuk Konperensi Asia Afrika pertama pada tahun 1955, Sunaryo, pada waktu itu menteri luar negeri, mendesak kebijakan yang 4
terkandung dalam RUU Kewarganegaraan 1953 yang sudah dibatalkan untuk masuk di dalam Perjanjian Penyelesaian Dwi Kewarganegaraan. UU kewarganegaraan RRT pada waktu itu berdasarkan Jus Sanguinis, artinya setiap keturunan Tionghoa di luar Tiongkok diakui sebagai warganegara Tiongkok. Dengan demikian banyak orang Tionghoa di Indonesia, berdasarkan UU ini memiliki kewarganegaraan rangkap – Tiongkok dan Indonesia. Ini menimbulkan konflik, karena Indonesia hanya mengakui kewarganegaraan tunggal, artinya setiap WNI hanya bisa memiliki kewarganegaraan Indonesia. Akan tetapi menurut hukum Internasional, Indonesia tidak bisa secara sepihak membatalkan kewarganegaraan Tiongkok yang diakui oleh RRT. Siauw bergerak cepat dan berhasil me-negasi Perjanjian tersebut. Ia berhasil meyakinkan Chou En Lai dan Ali Sastroamidjojo untuk mengeluarkan Pertukaran Nota (Exchange of Notes), yang seluruh isinya disiapkan oleh Siauw, membatasi jumlah orang yang harus memilih ulang. Tionghoa yang berada dalam kategori petani, buruh dan mereka yang sudah ikut dalam pemilu 1955, yang menjadi pegawai negeri, militer dan anggota DPR tidak diharuskan memilih kewarganegaraan. Mereka dinyatakan sudah menjadi WNI. Sebagai seorang yang terlibat dalam perjuangan mencapai kemerdekaan; ikut merumuskan UU Kewarganegaraan; dan memimpin upaya melawan RUU Kewarganegaraan 1953; Dan memimpin Baperki dari tahun 1954 hingga ia dibubarkan, Siauw memiliki pengetahuan yang sangat mendalam tentang kewarganegaraan dan pembangunan nasion Indonesia. Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Liem Koen Seng dan Phoa Thoan Hian -- semua sarjana hukum kenamaan -- mengakui keahlian dan penguasaan Siauw tentang hukum-hukum kewarganegaraan yang seharusnya diterapkan di Indonesia 6. Hampir semua dokumentasi Baperki tentang hal ini disiapkan oleh Siauw atau didasari tulisan-tulisan dan pidato-pidato Siauw. Ia-pun kerap memberi ceramah di berbagai acara Baperki tentang Kewarganegaraan dan Nasion Indonesia. Dalam ceramah untuk para kader Baperki pada tahun 1958, Siauw dengan panjang lebar menuturkan berbagai perumusan nasion, dimulai dari John Stuart Mill pada tahun 1861, Ernest Renan pada tahun 1882, Otto Bauer di awal abad ke 20, JV Stalin, pada tahun 1913, Charles Winnick yang menerbitkan Dictionary of Anthropology dan Sukarno. Ia menggambarkan pula pembentukan nasion-nasion Eropa Barat atas dasar peleburan 6
Kesemua tokoh hukum ini menyatakan hal ini kepada penulis ketika mereka diwawancarai tentang Siauw Giok Tjhan
5
berbagai nasion - contohnya Inggris, Perancis, Jerman dan Italia - dan bagaimana nasion-nasion Eropa Timur terbentuk sebagai multi-racial nations, sehingga terdapat golongan-golongan minoritas. Ia menekankan pula bahwa setelah Perang Dunia ke I, telah tercantum sebuah kesepakatan banyak negara tentang perlindungan kewarganegaraan golongan minoritas, yaitu mencegah tindakan semena-mena mayoritas untuk mencabut kewarganegaraan golongan minoritas, seperti yang dituturkan oleh Lucia P Muir dalam bukunya The Protection of Minorities 7. Siauw cenderung menerima teori bahwa nasion Indonesia sudah terbentuk pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 di waktu mana pengaruh feodalisme berkurang dan kapitalisme menanjak. Ia mengaitkannya dengan keberadaan sebuah kesatuan politik dan ekonomi yang diciptakan oleh Belanda. Dan ini, menurutnya, diperkokoh oleh Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Dengan demikian Ia dengan tegas menyatakan bahwa Nasion Indonesia lahir sebelum negara Republik Indonesia terbentuk pada tahun 1945. Menurutnya, keberadaan sebuah nasion tidak tergantung atas keberadaan sebuah negara, dan sangat berkaitan dengan perkembangan sejarah dan kurun zaman tertentu 8. Dalam konteks ini, Siauw membedakan proses pembentukan nasion Indonesia dengan nasion yang ingin diciptakan oleh Van Mook dalam rangka pembentukan Republik Indonesia Serikat di zaman revolusi. Di lain pihak, Siauw tegas menyatakan bahwa berbeda dengan nasion, kewarganegaraan berkaitan dengan kehadiran negara. Seseorang bisa saja kehilangan kewarganegaraan sebuah negara, tetapi ia tetap bisa menyatakan dirinya sebagai bagian dari sebuah nasion. Seperti dinyatakan di atas, Siauw berpendapat nasion Indonesia sudah terbentuk sebelum Negara Republik Indonesia lahir. Upaya membangun nasion yang ber-Bhinneka Tunggal Ika merupakan salah satu dasar perjuangan Siauw. Ajakan Siauw lebih berkaitan dengan penerimaan Indonesia sebagai tanah air. Dalam konteks ini Siauw menitik beratkan keberadaan komunitas Tionghoa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Nasion Indonesia. Siauw percaya bahwa kesetiaan terhadap sebuah nasion sangat tergantung atas komitmen, lingkungan dan koneksi psikologis seseorang dengan nasion tersebut. Akan tetapi, untuk mengukuhkan hak dan kewajiban hukum, ia mendorong sebanyak mungkin Tionghoa untuk menjadi warganegara Indonesia. Dalam ceramah yang sama, Siauw menyatakan: "Nationality, Nationaliteit, Kebangsaan atau Kewarganegaraan adalah persoalan politik 7Ceramah
Siauw Giok Tjhan, Dokumen Baperki nomor 53/Stn/58 (Stensilan Baperki nomor 53 tahun 1958). Bahan yang tertuang dalam dokumen ini didasari berbagai pidato Siauw di parlemen, lihat risalah-risalah parlemen, 1950 - 1958. Dokumen ini dicetak ulang pada tahun 1961, dengan berbagai tambahan - 065/Stn/61 (Stensilan Baperki no 65 tahun 1961) 8 Seperti di atas
6
dan tidak dapat dicampur adukkan dengan persoalan etnis dan persoalan ras. Siapa yang tergolong dalam nationality ditentukan oleh syarat-syarat politik, tidak ditentukan oleh syarat-syarat biologis atau syarat-syarat kebudayaan". Sebagai contoh kongkrit, menurut Siauw adalah UU Kewarganegaraan 1946 yang menentukan semua orang yang lahir di Indonesia sebagai warga negara Indonesia dengan stelsel pasif, yang berarti mereka otomatis menjadi WNI kecuali menyatakan penolakan dalam waktu 2 tahun. UU ini dikeluarkan, menurutnya karena Indonesia sebagai negara muda terancam Belanda yang sering menggunakan alasan melindungi orang asing di Indonesia untuk melancarkan tindakan militer. Di samping itu, UU ini dikeluarkan untuk memenuhi janji yang tertuang di dalam Maklumat Politik 1 November 1945 9. Ia lalu menambahkan bahwa perwujudan UU Kewarganegaraan yang progresif merupakan sebuah proses perjuangan 10. Tentunya dalam hal ini yang disitir oleh Siauw adalah perjuangan melawan arus yang ingin membatalkan UU Kewarganegaraan 1946. Komitmen dalam bidang kewarganegaraan ini menyebabkan Baperki berkembang sebagai organisasi yang sangat berperan dalam bidang kewarganegaraan, terutama dalam zaman Demokrasi Terpimpin, membantu komunitas Tionghoa di seluruh Indonesia memenuhi persyaratan yang berkaitan dengan pelaksanaan penyelesaian dwi kewarganegaraan. Suku Tionghoa, Peranakan Tionghoa dan Integrasi Wajar Istilah Suku Tionghoa, mulai dipergunakan Siauw di berbagai acara Baperki pada tahun 1957-1958. Banyak pidato-pidato tidak tertulisnya menyinggung istilah suku 11. Secara tertulis, ia mulai gunakan pada tahun 1958. Memang penggunaannya menimbulkan perdebatan pro dan kontra. Secara ilmiah sulit menyatakan komunitas Tionghoa yang tidak homogen sebagai salah satu suku bangsa Indonesia. Rupanya Siauw sendiri menghindari perdebatan ilmiah tentang istilah ini, sehingga tidak memberi penekanan khusus dalam berbagai tulisannya. Akan tetapi, ia gunakan istilah suku sebagai dasar argumentasi simbolik untuk melawan arus “asli” dan arus yang menuntut dihilangkannya ciri-ciri etnisitas Tionghoa dari nasion Indonesia. Siauw sangat dekat dengan ketua Parlemen, Sartono. Oleh Sartono, ia selalu diikutsertakan dalam delegasi parlemen keliling Indonesia dan luar negeri. Oleh karena itu Siauw berkesempatan mengunjungi berbagai pelosok Indonesia dan menemui beberapa komunitas Tionghoa yang bukan saja menjadi mayoritas penduduk tetapi juga sudah ber-ratus tahun Seperti di atas Seperti di atas 11 Disampaikan kepada penulis oleh Oei Tjoe Tat, Phoa Thoan Hian dan Yap Thiam Hien 9
10
7
menetap di daerah-daerah tersebut, di antaranya Singkawang, Bangka, Belitung, Binjai dan Tanggerang 12.
Bagan Siapi api,
Ia kerap menyatakan bahwa bilamana yang dijadikan ukuran dasar terbentuknya sebuah suku adalah beradanya sebuah kelompok etnis di sebuah lokasi di atas tiga atau empat generasi, komunitas-komunitas Tionghoa di berbagai lokasi tersebut bisa dinyatakan sebagai suku, karena memiliki corak hidup dan kebudayaan, termasuk bahasa, yang unik berkaitan dengan lokasi-lokasi yang dihuninya. Siauw menegaskan pula bahwa karena banyak orang Tionghoa di Indonesia sudah menetap di berbagai daerah Indonesia bergenerasi, bahkan tidak pernah meninggalkan kampung halamannya, dan kalau ke tempat lain di luar Indonesia akan merasa asing, mereka tidak berbeda dengan apa yang dinamakan penduduk "asli" 13. Pada tahun 1950-an, Siauw gigih melawan arus "asli-asli-an" yang menurutnya, dalam konteks Indonesia, tidak memiliki legitimasi Hukum dan sejarah pembentukan nasion Indonesia. Seperti yang digambarkan di atas, argumentasinya adalah: nasion Indonesia adalah a multi-race nation - nasion yang terdiri dari berbagai suku bangsa, nasion yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Untuk memperkuat argumentasi inilah Siauw menyamakan keberadaan komunitas peranakan Tionghoa sebagai suku. Ia menyatakan: "Wilayah Republik Indonesia terdiri dari 4,000 pulau besar dan kecil dan antara pulau ini tersebar hidup lebih dari 100 suku bangsa. Di antara 100 suku bangsa adalah suku bangsa Jawa, Sunda, Madura, Aceh, Minangkabau, Batak, Dayak, Bugis, Toraja, Bali, sasak, Melayu, Tionghoa, Arab dll. Jadi bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari banyak suku bangsa, banyak bahasa dan berbagai tingkat kebudayaan, tetapi mereka berasal dari satu rumpun bangsa, bahasa dan kebudayaan". Siauw mendukung argumentasi kesamaan rumpun ini dengan menyatakan bahwa terdapat penemuan tengkorak manusia yang berusia ratusan tahun di Trinil, Solo yang serupa dengan tengkorak manusia yang ditemui di Beijing. Demikian pula dengan tengkorak-tengkorak ratusan tahun yang ditemui di Jawa Timur serupa dengan yang ditemukan di Tiongkok Selatan dan daerah Asia lainnya 14. Akan tetapi Siauw sendiri tidak pernah mengklaim bahwa istilah suku itu datang darinya atau Baperki. Bahkan Ia cenderung menyatakannya sebagai istilah yang dipergunakan Sukarno, yang di hadapan massa Baperki pada bulan Maret 1963 dengan gamblang menyatakan bahwa peranakan
Siauw Giok Tjhan, Renungan pp 263-265 Seperti di atas 14 Renungan, pp. Siauw Giok Tjhan, Menuju Indonesia yang Baik, Ceramah untuk PPI Belanda, Amsterdam, 1981 12 13
8
Tionghoa adalah salah satu suku yang tidak terpisahkan dari nasion Indonesia 15. Tokoh-tokoh Baperki, Oei Tjoe Tat dan Phoa Thoan Hian menyatakan kepada penulis bahwa Siauw yang dekat dengan Sukarno menyampaikan kepadanya pokok-pokok sambutan yang ia harapkan Sukarno utarakan di acara Baperki tersebut. Ini tidak mengherankan. Beberapa isi pidato resmi Sukarno mengikutsertakan pula beberapa konsep Siauw tentang pembangunan ekonomi Indonesia yang berkaitan dengan pengembangan modal domestik. Bahkan rumusan Siauw masuk dalam GBHN MPRS 1964. Siauw berpendapat bahwa apa yang disabdakan oleh Sukarno pada zaman Demokrasi terpimpin tentu jauh lebih berpengaruh dari apa-pun yang dinyatakan atau dihimbau oleh Siauw atau Baperki. Pada tahun 1981, walaupun istilah suku sudah dipergunakannya sejak tahun 1958, ia menyatakan:" Saya gembira karena salah satu hasil perjuangan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia, yang lebih dikenal sebagai Baperki, ternyata diakui dan dikokohkan. Baik dikemukakan, bahwa istilah “suku” bagi peranakan Tionghoa untuk pertama kali digunakan oleh Presiden Sukarno, dalam pidato sambutannya pada pembukaan Kongres Baperki di Jakarta, tanggal 13 Maret 1963. Bung Karno sebagai Presiden RI pertama, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia dan diakui sebagai Penggali Pancasila, tentu adalah orang yang paling competent untuk memberi penjelasan kedudukan golongan peranakan Tionghoa di Indonesia sebagai salah satu suku dari banyak suku yang hidup di Indonesia. Golongan peranakan Tionghoa sebagai salah satu suku dari masyarakat Indonesia, merupakan satu kesatuan tubuh masyarakat Indonesia yang tidak bisa dipisahkan"16. Tulisan-tulisan dan pidato-pidato Siauw pada tahun 60-an, terutama setelah tahun 1963, di waktu mana kebijakan ‘asli-asllian’ sudah berkurang, tidak lagi menekankan istilah suku Tionghoa. Apalagi setelah paham asimilasi dicanangkan. Ketepatan paham integrasi; penyelesaian masalah kewarganegaraan dan dwi-kewarganegaraan; pengembangan modal domestik dalam mewujudkan sosialisme ala Indonesia; pengembangan program pendidikan Baperki lebih diutamakan. Siauw menganggap semua orang Tionghoa yang lahir di Indonesia sebagai peranakan Tionghoa. Ia kerap pula meng-kategorikan Tionghoa yang lahir di Indonesia sebagai "golongan keturunan Tionghoa". Dalam konteks ini, ia memang sengaja tidak membedakan golongan totok (mereka yang masih Sambutan Sukarno di kongres nasional Baperki ke 8, Jakarta, 14 Maret 1963. Siauw Giok Tjhan, Menuju Indonesia yang Baik, ceramah untuk PPI Belanda, Amsterdam, September 1981 15 16
9
ber-orientasi ke Tiongkok, menggunakan dialek Tionghoa dalam pembicaraan sehari-hari dan masih mempertahankan kebudayaan Tionghoa) dengan mereka yang dikatakan "baba" atau peranakan (golongan yang sudah berakulturasi dengan Indonesia). Rupanya pertimbangan ini berdasarkan pengamatannya bahwa sebagian terbesar Tionghoa yang lahir di luar pulau Jawa adalah komunitas yang memiliki atribut totok. Ini tentunya sesuai dengan dasar perjuangannya yang bersandar atas janji para pendiri RI yang tertuang dalam Maklumat Politik 1 November 1945. Semua yang lahir di Indonesia ingin diajaknya untuk menjadi WNI dan menerima Indonesia sebagai tanah air. Berdasarkan uraian di atas, penulis yakin bahwa rumusan Sukarno tentang peranakan Tionghoa, yang dituturkan dalam sambutannya di Kongres Baperki pada tahun 1963, pun sama dengan apa yang dikehendaki oleh Siauw. Berkaitan dengan argumentasi bahwa Nasion Indonesia adalah nasion yang ber-Bhinneka Tunggal Ika; nasion yang terdiri dari banyak suku bangsa, termasuk suku Tionghoa; nasion yang mengenal dan menghargai adanya perbedaan etnisitas suku dan kebudayaan yang berkembang di Indonesia, Siauw dan Baperki mendasari perjuangan pembangunan nasion Indonesia atas paham integrasi wajar. Banyak orang menganggap istilah Integrasi baru dipergunakan setelah paham asimilasi lahir dan dikembangkan oleh LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa) yang resmi didirikan atas dukungan Angkatan Darat pada tahun 1961. Akan tetapi istilah ini sudah dipergunakan oleh Baperki dan Siauw pada tahun 1958-an. Pada tahun ini, Sukarno memberi sambutan tertulis pada kongres ke Baperki. Sambutan tertulis yang sebenarnya disiapkan oleh Siauw ini menyatakan: "bangsa Indonesia menurut kenyataan terdiri dari berbagai macam suku dan keturunan, di samping mengenal ratusan bahasa daerah. Usaha mempercepat proses integrasi bangsa untuk mencapai satu "nation" yang bebas dari prasangka keturunan (racial prejudice) dan bebas dari rasa takut akan dianak tirikan, memerlukan waktu dan keuletan berjuang.... Dalam hubungan ini patut sekali diperhatikan bahwa ditinjau dari sudut ekonomi, masalah golongan kecil (minority problem) bagi negara seperti Indonesia kita ini, sesungguhnya adalah satu masalah menghapuskan sifat-sifat "underdeveloped" dan mencapai "full employment". Dengan demikian penyelesaian bukanlah dengan jalan
10
mengadakan diskriminasi rasial atau main asli-asli-an... Soalnya yalah: bagaimana meratakan kesejahteraan" 17. Istilah Integrasi secara tertulis kembali dipergunakan oleh Siauw pada tahun 1960, pada Kongres Baperki ke delapan di Semarang, Desember 1960, dalam membeberkan beberapa tugas pokok Baperki, diantaranya: "memperlancar proses integrasi nasional dengan membiasakan massa pendukung Baperki bekerja sama untuk berjuang bersama massa tani, massa buruh dan massa rakyat lainnya guna mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi untuk menyelamatkan dan memperkokoh kehidupan sebagai bangsa (nation) yang merdeka dan berdaulat penuh dengan mencerminkan perwujudan jiwa Bhinneka Tunggal Ika" 18. Beberapa tokoh Tionghoa yang pernah berada dalam barisan Baperki, Kwee Hwat Djien, Kwik Hay Gwan dan Auwyang Peng Koen dan juga beberapa peranakan Tionghoa lainnya, seperti Lauw Chuan To dan Ong Hok Ham mulai memformulasi konsepsi asimilasi pada tahun 1960. Konsepsi ini menganjurkan bahwa jalan keluar yang terbaik untuk memecahkan masalah minoritas Tionghoa adalah dengan meleburnya komunitas Tionghoa ini dengan komunitas mayoritas sehingga ciri-ciri ke-Tionghoaan komunitas itu hilang. Proses ini dimulai dengan mengganti nama-nama Tionghoa menjadi nama-nama non Tionghoa, melakukan kawin campuran untuk menghilangkan ciri-ciri ke-Tionghoa-an dan menanggalkan kebudayaan Tionghoa. Formulasi ini kemudian diresmikan sebagai program politik organisasi yang dinamakan LPKB - Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa, yang disponsori Angkatan Darat. Latar belakang perjuangan Siauw dan Baperki yang dituturkan di atas tentunya bertentangan dengan konsepsi asimilasi. Istilah integrasi kemudian dikembangkan oleh Siauw dan Baperki sebagai jalan keluar yang jauh lebih efektif dalam penyelesaian masalah minoritas Tionghoa. Sesuai dengan pengertian bahwa nasion Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang tidak harus dilebur atau dibaur sehingga ciri-ciri biologis maupun etnisitas para suku itu hilang, Siauw berargumentasi bahwa yang harus diupayakan adalah komunitas Tionghoa mengintegrasikan dirinya bersama suku bangsa lainnya membangun nasion Indonesia. Ia memberi contoh kegagalan Amerika Serikat yang melaksanakan konsep Melting Pot untuk menyelesaikan masalah komunitas African Americans dan menyitir keberhasilan integrasi di Soviet Uni dan RRT. Perbedaan hakiki di antara dua paham ini berdasar atas pengertian apakah Indonesia adalah sebuah nasion atau sebuah race dan apakah Sambutan Tertulis Sukarno pada Kongres Baperki, Solo, Maret 1958. Penulis memiliki naskah asli yang diketik oleh Siauw dengan mesin tik-nya. Seluruh naskah tersebut, tanpa perubahan keluar sebagai sambutan tertulis Sukarno. 18 laporan Ketua Umum Baperki: Menyelesaikan Segala Persoalan Kewarganegaraan dalam rangka Membantu Pergerakan Funds and Forces Progresif untuk Melaksanakan Manipol, Semarang, 25-28 Desember 1960 17
11
hilangnya ciri-ciri biologis Tionghoa memegang peranan dalam kesetiaan atau ke-patriotik-kan seseorang terhadap Indonesia.
12