BAB II SEJARAH ETNIS CINA DI INDONESIA DAN PEMBUKTIAN KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
A. Sejarah Etnis Cina di Indonesia Menurut Onghokham,16 salah satu sejarahwan terkemuka Indonesia, masyarakat Tionghoa bukanlah kelompok yang homogen; mereka begitu beragam hampir seperti kepulauan Indonesia. Masyarakat etnis Cina di Jawa datang sebagai perorangan, atau dalam kelompok kecil, mereka tiba di sini sebalum kedatangan bangsa Eropah. Sebagian besar kaum migran ini menyatu dengan masyarakat lokal sehingga masyarakat etnis Cina di Jawa sekarang ini tidak lagi bisa berbicara bahasa Mandarin. Sedangkan, di Kalimantan Barat, di Pulau Kalimantan, dan Pesisir Timur Sumatera, masyarakat etnis Cina bermigrasi dalam kelompok besar untuk bekerja di perkebunan dan di tambang timah. Masyarakat etnis Cina di daerah ini tetap mempertahankan bahasa mereka. Di Sulawesi Utara n dan di pulau Maluku mereka dengan sendirinya berasimilasi dengan masyarakat likal. Selain berasal dari daerah yang berbeda, masyarakat etnis Cina menganut beragam agama di Indonesia, Kristen, Kataolik, Buddha, Kong Hu Cu, dan Islam. Asal muasal kaum minoritas etnis Cina dimulai jauh sebelum masa pemerintahan kolonial Belanda. Bangsa Belanda dan Cina adalah bangsa pedagang dan datang kepulauan Indonesia untuk satu tujuan, yaitu berdagang. 16
Justian Suhandinata, WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal. 10.
32 Universitas Sumatera Utara
Bangsa Cina adalah mitra dagang bangsa Belanda sejak pertama berdirinya Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) dan keduanya tidak pernah kehilangan posisi perantara tersebut. Walaupun begitu, bukan berarti bahwa hubungan keduanya selalu mulus. Sejatinya, pembunuhan massal pertama terhadap warga etnis Cina terjadi di Batavia (sebutan untuk Jakarta di masa kolonial) pada tahun 1970, yang dilakukan oleh beberapa orang Belanda yang tinggal di kota. Setelah peristiwa itu, Belanda memberlakukan kebijakan pemisahan ras yang resmi. Warga etnis Cina harus tinggal di pemukiman yang diperuntukan bagi ras mereka, yang dapat ditemukan di semua kota, dan mereka diwajibkan mempunyai serat izin untuk melakukan perjalanan ke pemukiman etnis Cina di kota yang berbeda. Sistem ghetto yang membatasi mobilitas fisik keturunan etnis Cina ini baru dicabut tahun 1905. VOC memilah penduduk di kepulauan Indonesia menjadi tiga kelompok untuk tujuan administrasi yaitu golongan Eropah, golongan Timur Asing, dan golongan bumiputera. Sistem tersebut merupakan embrio dari apa yang dikenal sebagai sisten apartheid di Afrika Selatan. Dan sekarang ini dianggap kelas terendah di dunia kita sekarang. Dengan demikian, suatu kekeliruan jika ada pendapat yang mengatakan bahwa sikap pilih kasih Belanda membantu warga etnis Cina terangkat keposisi ekonomi yang kuat seperti sekarang. Sentimen anti etnis Cina yang kuat muncul di antara para pejabat kolonial Belanda. Hal itu sangat kentara di bawah kebijakan etnis tahun 1900 yang dibuat untuk mendorong kepentingan penduduk pribumi. Para pejabat kolonial Belanda
33 Universitas Sumatera Utara
secara keliru merasa bahwa mereka harus melindungi penduduk pribumi terhadap warga etnis Cina yang licik. Namun, hal ini dan praktek-praktek diskriminatif lainnya tidak berarti bahwa warga ernis Cina hidup makmur dibawah sistem kolonial. Kekayaan secara tradisional dikumpulkan melalui pemerintah di kepulauan Indonesia. Pada abad ke-19, warga etnis Cina diberi keistimewaan untuk menanam dan memperdagangkan candu (opium) dan menjalankan usaha rumah gadai sebagai imbalan atas pembayaran pajak yang besar yang harus pribumi. Perkebunan umumnya dikuasai oleh para kepala desa yang sebagian diwariskan pemiliknya biasanya. Pedagang besar karena status kedekatannya dengan pemerintah berarti bahwa mereka beserta agennya dapat pengecualian dari pembatasan perjalanan yang dikenakan kepada anggota masyarakat etnis Cina. Sistem ini mendorong perkembangan kapitalisme etnis Cina. Warga etnis Cina sebagai mitra dagang Belanda terkena Undang-Undang kepemilikan dan usaha Belanda. Dari awal abad ke-20 mereka juga terkena Undang-undang keluarga Belanda. Undang-undang ini memberi warga etnic Cina keamanan pada transaksi dagang mereka yang mana hal ini tidak didapat di bawah undang-undang adat yang diterapkan oleh para petinggi dan pengusaha Indonesia saat itu. Perlindungan yang diberikan oleh Undang-undang Barat dan posisi mereka sebagai padagang menempatkan kelompok etnis Cina jauh dari jangkauan sentimen keji dari para pejabat Belanda yang konon lebih buruk daripada antietnis Cina yang dilakukan oleh pemerintah kolonial lain di zaman itu seperti
34 Universitas Sumatera Utara
Inggris dan Prancis. Sering dikatakan bahwa negara-negara yang baru merdeka menceminkan masa lalu penjajah terakhir mereka, yang agaknya cukup menjelaskan sentimen anti-etnis Cina yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah Indonesia sekarang ini. Kebijakan anti-etnis Cina dari penjajah membangkitkan apa yang dinamai “gerakan etnis Cina“ di Jawa yang bertujuan mambebaskan masyarakat etnis Cina dengan tuntutan bahwa pembatasan terhadap gerakan anggota komunitas mereka dihapuskan, kesetaraan penuh di hadapan hukum dan pembentukan sekolah untuk etnis Cina.Gerakan tersebut merupakan gerakan emansipasi pertama yang dihadapi oleh Belanda dari subjek jajahannya. Gerakan tersebut tidak bersifat anti-penjajahan. Gerakan tersebut hanya mencari hak-hak bagi kelompok etnis Cina di Hindia Belanda dan bukan berbicara atas nama kelompok Bumiputera atau kelompok etnis lainnya dimana pun, gerakan politik dan sosial cenderung untuk mempertahankan sifat segregasi dari masyarakat penjajah yang menciptakan mereka, menyeruakan satu kelompok etnis saja sampai tahun 1900, sebagaian besar tuntutan warga etnis Cina dipenuhi dan sekolah Tionghoa – Belanda (HFC) diluncurkan oleh pemerintah kolonial Belanda, bahkan beselum sekolah Bumiputera- Belanda (HIS) diluncurkan. Ketika pemerintah mencabut larangan perjalanan yang membatasi warga etnis Cina pada 1905, masyarakat usaha etnis Cina keluar dari ghetto mereka dan semakin berkompetisi dengan kelompok wirausaha dari etnis Jawa. Serikat Dagang Islam (1909) dibentuk sebagai tanggapan tantangan terhadap perkembangan ini, dan berlanjut menjadi
35 Universitas Sumatera Utara
gerakan massa sosial dan politik pertama di Hindia Belanda. Kerusuhan anti-etnis Cina yang terjadi pada tahun 1918 di Kudus, Jawa Tengah, mendapat dukungan penuh dari kaum borjuis Jawa dan Islam. Pemicunya adalah arak-arakan warga ernis Cina yang menyinggung kaum Muslim, namun peristiwa tersebut terjadi berlatar persaingan kelas menengah yang sedang terjadi. Semua partai politik Indonesia juga eksklusif hanya mengakui warga Indonesia. Bahkan, Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Soekarno pada tahun 1926 mengakui warga etnis Cina hanya sebagai pengamat. Pengecualian terhadap eksklusivitas ini adalah Perhimpunan Hindia yang diprakarsai oleh Tjipto Mangunkusumo, Douwes Dekker, dan Ki Hajar Dewantara yang menerima kelompok etnis lainnya sebagai anggota. Sebagai anggapan atas tidak diikutsertakan dalam percaturan kekuatan politik, para profesional etnis Cina yang mendukung Indonesia membentuk partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada tahun 1930. Dalam arti yang luas, itulah situasi ketika pasukan Kekaisaran Jepang menginvasi Indonesia pada tahun 1942 dalam Perang Dunia ke II. Baru setelah invasi Jepang kekerasan massa anti-etnis Cina meletus untuk kedua kalinya. Daerah yang paling terkena adalah pesisir utara Jawa dimana sasarannya terutama rumah dan toko milik warga etnis Cina kaya. Sejarah Indonesia sejak Perang Dunia ke II penuh dengan kekerasan debandingkan dengan negara-negara tetangga dekatnya seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Tetapi, selama masa revolusi menentang Belanda, tidak semua kekerasan ditujukan
36 Universitas Sumatera Utara
kepada warga etnis Cina. Sasarannya mencakup ras Eurosia, Maluku, dan elit tradisional. Satu-satunya abti etnis Cina yang mencolok selama masa revolusi terjadi di Tangerang, barat Jakarta. Tahun 1950-an menyaksikan diperkenalkan kebijakan yang diskriminatif terhadap warga etnis Cina, termasuk “kebijakan benteng” yang mencoba mendorong naiknya kelas usaha Indonesia, yang kemudian melarang perdagangan dan pemukiman etnis Cina asing di pedesaan. Selama awal tahun 1960-an, keadaan ekonomi negeri sangat memburuk dan warga etnis Cina menjadi pion dalam permainan catur politik Perang Dingin. Beberapa kerusuhan di kota dengan sasaran warga etnis Cina terjadi pada masa ketidakpastian tahun 1965/1966, meskipun kebanyakan kekerasan tersebut ditujukan kepada para tersangka anggota komunis. Serangan dan serangan balasan dari pasukan pro dan antikomunis menimbulkan pergolakan sosialdan politik yang serius di Indonesia, yang oleh banyak ahli dari luar negeri disalahtafsirkan sebagai pembantaian sebagai warga etnis Cina. Kesalahpahaman ini mungkin muncul sebagai akibat pengenaan larangan terhadap banyak aspek kehidupan dan budaya warga etnis Cina yang dikeluarkan oleh pemerintah pada waktu yang hampir bersamaan. Di antara aspek budaya etnis Cina yang dinyatakan ilegal adalah drama (bukan film), perayaan umum, dan memperlihatkan huruf Tionghoa. Gerakan mendorong warga etnis Cina untuk menggunakan nama lokal juga diluncurkan bersamaan dengan pengekangan kebudayaan etnis Cina.
37 Universitas Sumatera Utara
Di bawah pemerintahan rezim Orde Baru, ketegangan antara warga etnis Cina dan wargan Indonesia asli tumbuh akibat jurang yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin di Indonesia, birokrat pemerintah, militer dan polisi bergaji rendah. Selain itu, di saat masyarakat Indonesia semakin dekat ke agama Islam, warga etnis Cina mencari ketenangan spritual ke agama Kristen dan Buddha. Peristiwa kekerasan selama pemerintahan Orde Baru bersifat rasial dan agama. Onghokham juga mengatakan bahwa kerusuhan anti-etnis Cina baru-baru ini di Jakarta terjadi akibat kecemburuan dan sentiment ras. Masyarakat etnis Cina menunjukan kreatifitas mereka dan mencapai kebehasilan ekonomi, meskipun posisi mereka di masyarakat kurang populer. Fakta keunggulan di bidang ekonomi ini adalah menjamurnya toko-toko milik warga etnis Cina di sepanjang jalan-jalan utama di semua kota di Indonesia.
B. Pembuktian Kewarganegaraan Republik Indonesia Salah satu permasalahan klasik dalam penyelengaraaan Republik Indonesia adalah bukti kewarganegaraan Republik Indonesia yang dalam pemahaman umum disebut dengan surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia yang disingkat SBKRI.. Dalam implementasinya SBKRI sebagian besar hanya ditujukan terhadap warga negara Republik Indonesia etnis Tionghoa. Dalam beberapa kasus ditemukan juga diterapkan kepada sebagian warga negara Republik Indonesia etnis India di Yogyakarta. Dalam peraturan pemerintah No. 5 Tahun 1947 yang merupakan peraturan
38 Universitas Sumatera Utara
pelaksanaan dari UU No. 3 Tahun1946 tentang penduduk dan warga negara ditegaskan bahwa ”dalam sistem undang undang warga negara Indonmesia suatu bukti kewarganegaraan Indonesia Tidak Diperlukan untuk orang-orang yang tentu dan diharapkan tentu menjadi warga negara Indonesia, yaitu untuk orang Indonesia asli dan untuk orang peranakan. Maka, bukti kewarganegaraan Indonesia hanya diberikan kepada orang yang pada umumnya bukan warga negara Indonesia yaitu, kepada orang asing yang menjadi warga negara Indonesia dengan naturalisasi”. Ketentuan tersebut dapat diartikan bahwa kewarganegaraan Republik Indonesia tidaklah perlu dibuktikan dalam suatu bukti khusus, dalam pengertian bahwa pembuktian kewarganegaraan Republik Indonesia dapat ditunjukkan dalam berbagai dokumen catatan sipil dan kependudukan yang sudah ada, seperti kartu tanda penduduk (KTP), akta kelahiran, kartu keluarga, dan surat perjalanan ke luar negeri atau yang dikenal dengan paspor bagi mereka yang sudah menjadi warga negara Indonesia (WNI) by operation of law (baik karena prinsip ius sanguinis maupun ius soli). Warga negara by operation of law ini pada hakikatnya tidak memerlukan surat bukti kewarganegaraan, sehingga sesungguhnya sangat jelas bahwa surat bukti kewarganegaraan hanya diberikan kepada orang asing yang menjadi warga negara Indonesia karena naturalisasi (by registration). Menurut UU No. 3 Tahun 1946 tentang Penduduk dan Warga Negara, yang merupakan UU Kewarganegaraan Republik Indonesia pertama sejak kemerdekaan RI, mereka yang termasuk sebagai warga negara by operation of law
39 Universitas Sumatera Utara
sebagai berikut : 1. Orang yang asli dalam wilayah negara Indonesia 2. Orang yang bukan asli, tetapi keturunan dari seseorang yang asli dan lahir, bertempat kedudukan dan kediaman dalam wilayah negara Indonesia; serta orang bukan turunan seorang yang asli yang lahir, bertempat kedudukan dan kediaman selama sedikitnya lima tahun berturut-turut yang paling akhir di dalam wilayah negara Indonesia, yang telah berumur 21 tahun atau telah kawin. Dalam pengertian ini tentu saja pengaturan tersebut bukan dalam pengertian rasialis, tetapi dalam pengertian etis konstitusional. Namun, dalam perkembangannya
permasalahan
pembuktian
kewarganegaraan
Republik
Indonesia ini kemudian mengalami pasang surut sejalan dengan sejarah perjalanan konsepsi dan implementasi hukum kewarganegaraan Republik Indonesia Sebut saja dari munculnya Piagam Persetujuan Pembagian Warga Negara (PPPWN) sebagaiakibat dari Konferensi Meja Bundar (KMB) sebagai bentuk ”penyerahan kedaulatan” pada tanggal 27 Desember 1949, yang diusul terjadinya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan RI-RRT pada tahun 1955, terbitnya UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI, hiruk pikuk Peraturan Presiden No. 10 Tahun 1959, Peraturan Menteri No. 3/4/12 Tahun 1978 tentang SBKRI, Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1996, hingga lahirnya UU No. 12 Tahun 2006 sebagai UU Kewarganegaraan ketiga RI. Pasang surut konsepsi kewarganegaraan RI tersebut, secara
tidak
langsung
mengakibtkan
berkembangnya
persoalan
bukti
kewarganegaraan Republik Indonesia dengan berbagai variannya.
40 Universitas Sumatera Utara
Menurut Dr. B. P. Paulus, SH17 atau yang juga diinventarisir oleh Koerniatmanto Soetoprawiro, SH,18 surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia dalam pengertian umum, selanjutnya dalam buku ini akan disebut dengan bukti kewarganegaraan RI, sebenarnya terdiri dari bermacam-macam bentuk yang formatnya disesuaikan, dari yang disebut dengan surat bukti kewarganegaraan RI karena pernyataan memilih sampai bukti petikan keputusan presiden karena pewarganegaraan sebagai berikut : 1. Undang-Undang tentang Pewarganegaraan yang diberikan kepada 9 WNA pada tahun 1947 dan 1948 berdasarkan UU No. 3 tahun 1946. 2. Formulir Model A yang dikeluarkan pengadilan negeri, bupati, atau perwakilan Republik Indonesia di luar negeri (berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1/1950). 3. Surat opsi (verwerpingsverklaring) yang dikeluarkan oleh Komisariat Belanda di Indonesia, atau pejabat opsi Kerajaan Belanda di Suriname/Antillen, atau Arrondisementsrechtbank di negeri Belanda. 4. Surat kawin yang sah berlaku pula sebagai bukti kewarganegaraan bagi istri pemegang formulir model A atau surat opsi/ verwerpingsverklaring (berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1/1950). 5. Surat kelahiran atau surat Pengakuan anak oleh bapak yang memegang formulir model A atau surat opsi/ verwerpingsverklaring (berdasarkan 17
Paulus BP, Kewaranegaraan Republik Indonesia Ditinjau dari UUD 1945, Jakarta, Pradnya Paramita, 1993, hal.19 18 Soetoprawiro Koerniatmanto, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1996, hal.19
41 Universitas Sumatera Utara
Peraturan Pemerintah No. 1/1950). 6. Surat Penetapan Kewarganegaraan Indonesia oleh pengadilan negeri bagi mereka yang diharuskan oleh instansi resmi untuk membuktikan bahwa ia warga negara Indonesia (berdasarkan Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/09/1957
jo
Peraturan
Penguasa
Perang
Pusat
No.
Prt/Peperpu/014/1958). 7. Surat Penetapan Menteri Kehakiman RI untuk seorang wanita asing yang kawin dengan seorang warga negara Indonesia setelah 27 Desember 1949 (Berdasarkan Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/09/1957 jo Peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/Peperpu/014/1958. 8. Formulir I/IA untuk orang laki-laki yang mempunyai anak belum dewasa yang sah, disahkan, diakui, atau diangkat dengan sah (berdasarkan Peraturan pemerintah No. 20/1959). 9. Formulir II/IIA untuk orang perempuan yang mempunyai anak belum dewasa yang tidak mempunyai bapak yang sah, tidak diketahui kewarganegaraan bapaknya, atau bapaknya meninggal dunia sebelum menyatakan keterangan melepaskan kewarganegaraan RRC (berdasarkan Peraturan pemerintah No. 20/1959). 10. Formulir III/IIIA untuk orang yang tidak mempunyai anak yang belum dewasa, dan untuk perempuan yang anak-anaknya semuanya mempunyai bapak yang sah yang masih hidup, atau sudah meninggal dunia setelah menyatakan keterangan melepaskan kewarganegaraan RRC (berdasarkan
42 Universitas Sumatera Utara
Peraturan pemerintah No. 20/1959). 11. Formulir IV/IVA untuk orang yang telah menjadi dewasa dan selama belum dewasa
mengikuti
kewarganegaraan
bapak/ibunya
yang
memilih
kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam hal ini pemegang formulir ini sebenarnya adalah warga negara Indonesia, yang setelah dewasa berstatus dwi kewarganegaraan
dan
diberi
waktu
satu
tahun
untuk
memilih
kewarganegaraannya. Apabila kemudian tidak menggunakan kesempatan tersebut, yang bersangkutan akan tetap berkewarganegaraan Republik Indonesia (berdasarkan Peraturan pemerintah No. 20/1959). Catatan : Sejak tanggal 10 April 1960 (UU NO. 4/1969), formulir ini tidak diterbitkan lagi dan digantikan oleh SKKRI. Dan untuk formulir IV (khusus perempuan RRC) menggunakan formulir I AS. 12. Formulir V/VA untuk orang yang telah menjadi dewasa selama belum menjadi dewasa dianggap hanya berkewarganegaraan RRC, karena mengikuti bapak/ibunya. Pada masa opsi (27 Desember 1949 – 27 Desember 1951) orang tersebut berkewarganegaraan Indonesia dan berkewarganegaraan RRC pada waktu berlakunya UU No. 2Tahun 1958 disebabkan ikut bapak/ibunya. Apabila dalam jangka waktu satu tahun sejak menginjak usia dewasa tidak menyatakan pilihannya, orang tersebut akan tetap berkewarganegaraan RRC (berdasarkan Peraturan pemerintah No. 20/1959). Catatan : Sejak tanggal 10 April 1969 (UU No.4/1969), formulir ini tidak diterbitkan lagi dan berlaku pasal 4 dan 5 UU No. 62/1958.
43 Universitas Sumatera Utara
13. Formulir VI/VIA untuk orang yang telah dewasa dan sebelum itu hanya berkewarganegaraan RRC, karena mengikuti penolakan bapak/ibunya terhadap kewarganegaraan Republik Indonesia atau karena kewarganegaraan Republik Indonesia ditolak oleh bapak/ibunya. Orang tersebut pada masa opsi (27 Desember 1949 – 27 Desember 1951) masih belum dewasa dan ikut dalam penolakan
tersebut,
sehingga
pada
masa
sebelum
perjanjian
dwi
kewarganegaraan adalah berstatus asing. Apabila dalam jangka waktu satu tahun menginjak usia dewasa tidak menyatakan pilihannya, orang tersebut akan tetap berkewarganegaraan RRC. Formullir ini harus dilampirkan bersama surat keterangan dari perwakilan RRC dan surat keterangan daari kantor imigrasi (berdasarkan Peraturan pemerintah No. 5/1961 tentang Tambahan Peraturan Pemerinttah No. 20/1959). Catatan : untuk formulir A apabila pernyataan lisan diisikan oleg petugas yang menerima pernyataan itu ke dalam formulir. 14. Formulir C untuk orang yang karena kedudukan sosial politiknya telah menunjukkan dengan tegas bahwa mereka secara diam-diam telah melepaskan kewarganegaraan RRC mereka (Berdasarkan Pasal 12 Peraturan Pemerintah No. 20/1959). 15. Formulir D untuk orang yang dianggap telah melepaskan kewarganegaraan RRC karena telah membuktikan tururt dengan sah dalam pemilihan umum untuk Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (berdasarkan Peraturan pemerintah No. 5/1961 tentang Tambahan Peraturan
44 Universitas Sumatera Utara
Pemerinttah No. 20/1959). 16. Kutipan Pernyataan Sah Buku Catatn Pengangkatan Anak Asing (contoh A) untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia karena pengangkatan (berdasarkan Peraturab Pemerintah No.67/1958, SE Menteri Kehakiman No. JB.3/2/25 butir 6 tanggal 5 Januari 1959). 17. Petikan Keputusan Presiden tentang Permohonan Pewarganegaraan RI (tanpa pengucapan sumpah atau janji setia) untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan
Indonesia
kerena
dikabulkannya
permohonan
pewarganegaraan RI (berdasarkan UU NO. 62 Tahun 1958). 18. Petikan Keputusan Presiden tentang Pewarganegaraan RI dan Berita Acara Sumpah atau Janji Setia kepada negara RI untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena pewarganegaraan RI ( berdasarkan UU No. 62 Tahun 1958). 19. Formulir I : Surat catatan pernyataan keterangan untuk perempuan WNA yang kawin dengan seorang warga negara Indonesia eks Pasal 7 ayat (1) UU No. 62/1958 jo. Pasal II Peraturan Peralihan dan Pasal V Peraturan Penutup (berdasarkan SE Menteri Kehakiman No. JB. 3/166/22 tanggal 30 September 1958). 20. Formulir II: Surat catatan pernyataan keterangan untuk mereka yang berkehendak melepaskan/memperoleh kembali kewarganegaraan RI eks pasal 7 ayat (2), 8, 9 ayat (2), 11, 12 dan 18 UU No. 62/1958 jo. Pasal III Peraturan Peralihan dan Psal V Peraturan Penutup (berdasarkan SE Menteri Kehakiman
45 Universitas Sumatera Utara
No. JB. 3/166/22 tanggal 30 September 1958). 21. Formulir III: Surat pernyataan keterangan untuk mereka yang berkehendak melepaskan/memperoleh kembali kewarganegaraan RI yang barkaitan dengan urusan kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesianya karena turut orangtua eks pasal 14 jo. Pasal 2 atau 13 dan 16 UU No. 62.1958 jo. Pasal IV Peraturan Penutup (Menteri Kehakiman No. JB. 3/166/22 tanggal 30 September 1958). 22. Petikan Keputusan Menteri Kehakiman untuk mereka yang memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia disebabkan kehilangan kewarganegaraannya yang karena hal-hal yang di luar kesalahannya, sebagaimana diatur dalam pasal 17k UU No. 62/1958 (berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 13/1976). Bukti-bukti kewarnageraan RI tersebut, dikeluarkan secara ”khusus” sejalan dengan prinsip yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1947 bahwa ”..........Maka bukti kewargaan negara Indonesia hanya diberikan kepada orang yang pada umumnya bukan warga negara Indonesia, yaitu kepada orang asing yang menjadi warga negara Indonesia dengan naturalisasi”. Hal ini juga sesuai dengan apa yanng disebut oleh Dr. B.P.Paulus, SH bahwa suatu bukti kewarganegaraan RI (yang khusus) hanya dibutuhkan bagi warga negara yang by registration Dengan kata lain, bahwa suatu bukti kewarganegaraan RI yang ”khusus” dibutuhkan ketika terjadi peristiwa penting yang dalam istilah catatn sipil
46 Universitas Sumatera Utara
disebut sebagai perubahan kewarnageraaan. Dalam proses catatan sipil, perubahan kewarnageraan selanjutnya akan dicatat dalam register orang yang bersangkutan sebagai catatan pinggir. Setelah keluar UU No. 4 Tahun 1969 yang mencabut UU No. 2 Tahun 1958 tentang perjanjian dwi kewarnegaraan RI – RRT yang seharusnya menyelesaikan segala kerumitan proses dwi-kewarganegaraan orang-orang Tionghoa, tetapi kemudian berdasarkan Surat Edaran Menteri Kehakiman No. DTC/9/11 tanggal 1 Juli 1969 justru terbit salah satu buku kewarganegaraan RI yang dikenal dengan: 23. Surat Keterangan Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKKRI) oleh pengdailan negeri untuk orang yang mempunyai kewarganegaraan Republik indonesia menurut Pasal 7 ayat (2), pasal 9, dan Pasal 13 UU No. 62/1958, serta untuk anak warga negara Indonesia yang orangtuanya memiliki salah satu formulir yang tersebut dalam Peraturan Pemerintah No. 20/1959 dan Peraturan Pemerintah No. 5/1961 (berdasarkan SE Menteri Kehakiman No. DTC/9/11 tanggal 1 Juli 1969). Catatan : Dengan keluaranya Peraturan Menteri Kehakiman No. JB.3/12 tentang SBKRI tanggal 14 Maret 1978, SKKRI dinyatakan tidak berlaku. Berbeda dengan 22 bukti kewarganegaraan RI sebelumnya, SKKRI ini juga diterapkan kepada anak-anak dari orangtua yang sudah berkewarnegaraab Republik Indonesoa, padahal dalam akta catatan sipil mereka sudah dinyatakan sebagai warga negara Indonesia.
47 Universitas Sumatera Utara
Namun, pada tanggal 14 Maret 1978, Menteri Kehakiman mengeluarkan Peraturan Menteri Kehakiman No. JB. 3/4/12, yang mengakhiri berlakunya SKKRI, yang kemudian diganti dengan suatu bukti kewarganegaraan RI, yang kemudian sering dikenal dengan : 24. Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) untuk warga negara Indonesia keturunan asing yang telah dewasa, tetapi memiliki bukti kewarganegaraan.
Sepertinya
halnya
SKKRI,
SBKRI
ini
dalam
pelaksanaannya juga diterapkan kepada orang-orang yang sudah menjadi WNI sejak kelahiran (Pasal IV Peraturan Penutup UU No. 62/1958 jo. Peraturan Menteri Kehakiman No. JB.3/4/12). Dalam buku ini selanjutnya akan dibedakan antara bukti kewarganegaraan RI seperti yang disebut dari no 1 – 22 dan suatu jenis dokumen kewarganegaraan RI yang disebut dengan Surat Bukti Kewarganegaraan RI atau SBKRI (no 24) yang dikritik sebagai dokumen yang diskriminatif dan ”rasis”. Mereka yang sudah menjadi WNI sejak kelahiran, seperti prinsip yang ditegaskan oleh Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1947, tidak membutuhkan bukti kewarganegaraan yang khusus untuk itu. Apabila kemudian dalam keadaan yang membutuhkan pembuktian, dapat digunakan dokumen-dokumen otentik lainnya yang sudah ada. Surat Keputusan Menteri Kehakiman tangal 10 Juli 1992 No. M.02-HL.04.10 mengatur bahwa anak warga negara Indonesia keturunan asing yang orangtuanya memegang bukti kewarganegaraan Indonesia tidak diwajibkan
48 Universitas Sumatera Utara
lagi memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Mereka dapat membuktikan kewarganegaraan Indonesia dengan : 25. Petikan akta kelahiran untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena kelahiran atau anak yang orantuanya memegang SBKRI (berdasarkan UU No. 62/1958, Surat Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 10 Juli 1992 No. M.02-HL.04.10). 26. Kartu
tanda
penduduk
(KTP)
untuk
mereka
yang
memperoleh
kewarganegaraan Indonesia karena kelahiran atau anak yang orangtuanya memegang SBKRI (berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 10 Juli 1992 No. M.02-HL.04.10). Meskipun disebut hanya berlaku untuk warga negara keturunan asing, secara prinsip kedua dokumen tersebut juga valid digunakan oleh setiap warga negara Indonesia sebagai bukti kewarganegaraan RI apabila dibutuhkan. Dan, meskipun KTP dipertanyakan legalitasnya sebagai dokumen pembuktian kewarganegaraan RI disebabkan dikeluarkan oleh camat yang secara institusi tidak mempunyai kewenangan menentukan kewarganegaraan (Koerniatmanto, 1996 – 126), pemprosesan suatu KTP tentunya harus didasarkan kepada sumber dari suatu bukti kewarganegaraan RI yang valid.
49 Universitas Sumatera Utara