Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>
Bab4 Kewarganegaraan dan Etnis Cina dalam Dua Film Indonesia Pasca-I998 Ariel Heryanto Tan Peng Liang: "Yang penting, kalau Indonesia nanti berdaulat, dan kamu semua punya kedudukan dalam pemerintahan, jangan lupa pada saya. Saya ingin hidup tenang, tanpa dek-dekan, bersama keluarga." (Sylado 1999: 360 )
PADA pertengahan tahun 1990-an, saya pernah membahas lenyapnya kaum peranakan Cina dalam pustaka resmi kesusastraan Indonesia, serta lenyapnya bahasan tentang ketegangan so sial akibat kedudukan bermasalah bagi etnis minoritas tersebut (Heryanto 1997). Yang saya maksud dengan 'pustaka resmi' adalah khasanah kesusastraan berusia sekitar 70 tahunan, yang secara resmi dianggap sebagai kesusastraan nasional, yang diproduksi dan diedarkan di lingkungan lembaga negara dan para cendekia serta diterima dalam pelbagai buku pelajaran di sekolah-sekolah. Menurut versi resminya, sejarah kesusastraan Indonesia dimulai pada tahun 1920-an di bawah perlindungan penerbit kolonial, yang kemudian dinasionalisasikan, Balai Pustaka. Lenyapnya fakta-fakta yang berkaitdengan peran kaum peranakan tersebut mengherankan karena bertolak-belakang dengan beberapa kenyataan. Tradisi 'sastra terlibat' dan kecenderungan mengkhotbahi 1
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> 106
BUDAYA POPULER Dl INDONESIA
telah menjadi unsuryang kuat dalam kesusastraan modern Indonesia. Persoalan kaum minoritas itu sudah lama tampil dalam kesadaran masyarakat, seiring perdebatan panjang atas status hukum, moral, dan ekonomi minoritas etnis Cina. Tidak ada pembatasan (resmi atau tidak) bagi pengungkapan tema yang terbilang sensitif dalam karya sastra. Justru selama ini seniman dan penulis Indonesia telah lama menikmati kebebasan istimewa untuk melanggar pelbagai tabu dan mendapatkan ketenaran karena berbuat demikian. Lenyapnya acuan terhadap minoritas Cina itu janggal jika dibandingkan dengan beberapa ragam tulisan lain' yang penuh dengan pembahasan tentang kelompok minoritas yang sarna. Termasuk ragam karya non-fiksi dan juga karya fiksi yang berada di luar khasanah resmi kesusastraan Indonesia. Kelompok ini terdiri dari tulisan-tulisan yang 'direndahkan' atau dianggap 'tidak bermutu' (seperti sastra 'pop' atau 'hiburan' dan ribuan judul lain yang diabaikan karena secara politik, secara kebahasaan, maupun secara estetik dianggap 'tidak pantas' oleh pemerintah resmi serta elit intelektual di akhir abad sembilan belas); karya-karya yang dilarang oleh pemerintah kolonial dan pasca-kolonial (misalnya karya penulis fiksi terkemuka Indonesia, Pramoedya Ananta Toer); serta karya-karya yang ditulis dalam pelbagai bahasa daerah lain. Sejak tahun 1998 kita menyaksikan pertumbuhan pesat karyakarya yang mengisi kekosongan dalam khasanah sastra tersebut (lihat Cohen, 2002; Samudera 2002; Allen 2003; Heryanto 2oo4a; Hoon 2004; Sen 2006). Namun, perlu segera ditambahkan, bahwa peristiwa jatuhnya kekuasaan Orde Baru pada tahun itu bukanlah satu-satunya atau penyebab paling penting yang mendorong perubahan ini. Kekerasan rasial terhadap warganegara keturunan Cina pada Mei 1998 merupakan faktor pemicu perubahan yang lebih penting ketimbang pengunduran diri Presiden Soeharto. Tampaknya sebagai arus-balik, kekerasan rasial terse but telah mendorong semangat masyarakat untuk memberikan pengakuan bagi kaum peranakan Cina di Indonesia, juga bagi sejarah panjang penderitaan mereka. Semua itu terungkap dan menjadi salah satu tema paling populer dalam dunia kesusastraan, seni rupa, dan film mutakhir. Perlu dicatat bahwa perkembangan kesenian sejak tahun 1998 bukan sekadar mengisi kekosongan dalam 'sastra resmi' yang ada
sebelumnya, melainkan jug bangunan sastra Indonesia 're kini telah beredar secara luas sebelumnya dipandang sebelal budaya pelbagai suratkabar d, dihormati. Maka perbedaan a kabur atau tak bermakna. Para karyanya dalam media pop. E diterbitkan ulang dalam bentui memberikan komentar yang sel Bab ini akan menilai pentir secara politik, serta mengana dalam dua film yakni Ca-bau· mengedepankan dua pertanya, jika ada, yang telah terjadi dala tengah masyarakat, terutama d minoritas ini? Secara lebih khl lama memasyarakat dan bers: sebagai sesuatu yang berasal d, darah' dan mengikuti garis patr sarat beban politis) masih tetap Pertanyaan kedua, perubahan a dalam wawasan dan pemahan minoritas ini di dalam kebangsa. sebagai proyek masyarakat maj tidak utuh itu lebih kuat atau I masyarakat yang menempatkan pemegang hak waris yang istime1 Dalam upayanya menjawat mengakui adanya sejumlah "k( Indonesia masa kini". Namun, ta terse but seolah menyediakan "pr baru kedudukan orang Cina di I perubahan radikal dalam hal Menurut analisisnya, prasangka I tetap bertahan dalam film Indo tulisannya, Sen mengamati sec a!
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> KEWARGANEGARAAN DAN
astraan modern Indonesia. tampil dalam kesadaran ltas status hukum, moral, k ada pembatasan (resmi g terbilang sensitif dalam m penulis Indonesia telah k melanggar pelbagai tabu luat demikian. Lenyapnya jika dibandingkan dengan luh dengan pembahasan . Termasuk ragam karya ,a di luar khasanah resmi ri dari tulisan-tulisan yang u' (seperti sastra 'pop' atau ikan karena secara politik, k dianggap 'tidak pantas' al di akhir abad sembilan pemerintah kolonial dan ksi terkemuka Indonesia, .arya yang ditulis dalam
1
ertumbuhan pesat karya;anah sastra terse but {lihat ~; Heryanto 2oo4a; Hoon nbahkan, bahwa peristiwa itu bukanlah satu-satunya ~ndorong perubahan ini. lrunan Cina pad a Mei 1998 ~ lebih penting ketimbang Jaknya sebagai arus-balik, ng semangat masyarakat tum peranakan Cina di ~ritaan mereka. Semua itu tling populer dalam dunia esenian sejak tahun 1998 n 'sastra resmi' yang ada
ETNrs
CiNA
107
sebelumnya, melainkan juga merombak secara besar-besaran bangunan sastra Indonesia 'resmi'. Karya sastra yang dulu terlarang kini telah beredar secara luas dan dicetak ulang. Karya sastra yang sebelumnya dipandang sebelah mata, yang beredar di rubrik-rubrik budaya pelbagai suratkabar dan majalah, kini lebih bergengsi dan dihormati. Maka perbedaan antara sastra populer dan 'resmi' jadi kabur atau tak bermakna. Para penulis papan atas pun menerbitkan karyanya dalam media pop. Bahkan sebagian dari karya tersebut diterbitkan ulang dalam bentuk antologi, dan kritikus yang disegani memberikan komentar yang serius terhadap karya tersebut. Bab ini akan menilai pentingnya perkembangan terbaru tersebut secara politik, serta menganalisis penggambaran etnis minoritas dalam dua film yakni Ca-bau-kan (2002) dan Gie (2005) dengan mengedepankan dua pertanyaan utama. Pertama, perubahan apa, jika ada, yang telah terjadi dalam sikap dan pandangan yang ada di tengah masyarakat, terutama di dalam budaya pop, terhadap etnis minoritas ini? Secara lebih khusus, apakah pemahaman yang telah lama memasyarakat dan bersifat fatalis dalam melihat etnisitas sebagai sesuatu yang berasal dari kelahiran, turun-temurun 'dalam darah' dan mengikuti garis patrilineal (bukan konstruksi sosial yang sarat beban politis) masih tetap bertahan atau menghadapi gugatan? Pertanyaan kedua, perubahan apa, jika ada, yang dapat ditemukan dalam wawasan dan pemahaman kebangsaan, serta posisi etnis minoritas ini di dalam kebangsaan itu? Apakah perasaan kebangsaan sebagai proyek masyarakat majemuk yang modern, beragam, dan tidak utuh itu lebih kuat atau lebih lemah ketimbang pemahaman masyarakat yang menempatkan penduduk asli atau pribumi sebagai pemegang hak waris yang istimewa dan sesuai kodrat?3 Dalam upayanya menjawab pertanyaan serupa, Krishna Sen mengakui adanya sejumlah "keterbukaan budaya dan politik di Indonesia masa kini". Namun, tambahnya lagi, kendati keterbukaan terse but seolah menyediakan "prasyarat untuk menempatkan secara baru kedudukan orang Cina di Indonesia, [hal itu] tidak menjamin perubahan radikal dalam hal politik representasi" (2006: 171). Menurut analisisnya, prasangka rasial yang dominan dan bias rasial tetap bertahan dalam film Indonesia pasca-1998. Di bagian akhir tulisannya, Sen mengamati secara lebih rind penggambaran warga
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> 108
BUDAYA POPULER DI INDONESIA
keturunan Cina di Indonesia lewat tokoh utama Ca-bau-kan yang bernama Tan Peng Liang. Hasil pengamatannya: Dalam masyarakat Indonesia pada masa pasca-Soeharto, sekalipun anak dari orangtua keturunan Cina bisa menjadi warga negara Indonesia bila beribu dan mempunyai istri pribumi, mereka tetap hanya warga negara kelas dua, yang dibungkam secara politik. (Sen 2006: 182) Sen benar ketika mengatakan bahwa "bel urn ada penelitian berbobot soal peran etnis Cina dalam perfil man Indonesia" yang telah diterbitkan (Sen 2006: 171). Menindaklanjuti temuan penting tulisan Sen ihwal "kehadiran, pengikisan serta pelupaan terhadap keberadaan minoritas etnis Cina dalam perkembangan industri film Indonesia di tahun 1930-an" (Sen 2006: 171), bahasan berikut ini akan memusatkan perhatian pada beberapa film lebih belakangan. Akan tetapi, berbeda dari tulisan Sen yang menelaah soal apa yang terjadi di dalam dan di balik layar pembuatan film, ruang lingkup bahasan saya lebih terbatas. Tulisan ini memusatkan perhatian pad a apa yang tampil di layar dengan menimbang latar belakang peraturan hukum kewarganegaraan di Indonesia sebagai konteksnya. Titik berangkat tulisan ini merupakan titik-akhir tulisan Sen. Saya akan meninjau ulang kajian Sen (2006) serta kajian lain yang pernah saya lakukan sebelumnya terhadap film yang sarna, Ca-bau-kan (Heryanto 2oo4a). Saya juga akan melihat film-film lain yang baru muncul setelah tulisan Sen diterbitkan, terutama film Gie (yang sudah ia singgung dalam catatan akhir tulisannya). Namun, sebelum itu ada baiknya kita tengok ulang konteks perubahan sosial-politik masalah ini secara lebih luas, serta bagaimana situasi sebelumnya. Sehingga kita bisa lebih memahami seberapa besar tingkat perubahan yang terjadi sejak tahunl998. Setelah Otoritarianisme
Pada Mei 1998 dunia menyaksikan keruntuhan resmi pemerintahan Orde Baru di Indonesia yang saat itu dikenal sebagai rezim otoriter terlama di dunia di luar blok sosialis. Tentu saja tidak lama sebelum
dan setelah itu muncul pelba perubahan yang membentang d terbesar keempat di dunia ini, y demokrasi terbesar ketiga di dUJ Akan tetapi tidak samF demokratisasi tampaknya suda tidak sarna lagi dan sejumlal terjadi {Iihat Heryanto 2004b; pembangunan masyarakat r mengalami keguguran dini. Para telah kembali menguasai pelba ekonomi melangkah secara ti Ketika banyak orang mengecam beberapa pemungutan suara po, meningkatnya kerinduan pada "I Baru, dengan keadaan ekonomi serta tingkat kekerasan massa pl.. Kisah sedih semacam itu m di Indonesia maupun di luar ne orang untuk memahami dan 1 terjadi. Kebangkitan politik Is perkembangan baru yang diperl umum kebangkitan ini ditatap ( was. Sementara itu, perkemb, dengan masalah yang akan kita diperhatikan, menyangkut kem wacana baru tentang etnisitas ser budaya Indonesia, termasuk rag sebagai 'budaya populer'. Pelbagai perkembangan ini b sejumlah perkembangan penting singkat tapi penuh gairah ini, j\ peran kunci dalam produksi fillT walau ini tidak serta-merta beran peran dan politik gender {Iihat I 2005 dan Sulistyani 2006 untuk b tema seksualitas dan gender dale
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> KEWARGANEGARAAN DAN
h. utama Ca-bau-kan yang mnya: sa pasca-Soeharto, sekalipun
bisa menjadi warga negara i istri pribumi, mereka tetap bungkam secara politik. (Sen 2006: 182) "belum ada penelitian )erfilman Indonesia" yang laklan;uti temuan penting 1 serta pelupaan terhadap erkembangan industri film ), bahasan berikut ini akan m lebih belakangan. Akan lelaah soal apa yang terjadi lm, ruang lingkup bahasan ill perhatian pada apa yang belakang peraturan hukum ::mteksnya. Titik berangkat , Sen. Saya akan menin;au yang pernah saya lakukan bau-kan (Heryanto 2004a ). rang baru muncul setelah ie (yang sudah ia singgung l, sebelum itu ada baiknya li-politik masalah ini secara ,umnya. Sehingga kita bisa ,erubahan yang ter;adi se;ak
ltuhan resmi pemerintahan cenal sebagai rezim otoriter ltu saja tidak lama sebelum
ETNrs CrNA 109
dan setelah itu muncul pelbagai ramalan dan harapan terhadap perubahan yang membentang di negara dengan kepadatan penduduk terbesar keempat di dunia ini, yang diharapkan akan men;adi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Akan tetapi tidak sampai lima tahun kemudian proses demokratisasi tampaknya sudah sempoyongan. Kendati Indonesia tidak sarna lagi dan sejumlah perubahan politik penting telah ter;adi (lihat Heryanto 2004b; Heryanto dan Hadiz 2005), proyek pembangunan masyarakat madani dan demokratisasi telah mengalami keguguran dini. Para mantan politisi dan kroni Orde Baru telah kembali menguasai pelbagai kedudukan strategis. Pemulihan ekonomi melangkah secara tidak menentu dan sangat lambat. Ketika banyak orang mengecam kembalinya sejumlah politisi lama, 4 beberapa pemungutan suara polling dan survei justru menunjukkan meningkatnya kerinduan pada "masa lalu yang indah" dari masa Orde Baru, dengan keadaan ekonomi yang dianggap lebih layak, lingkup serta tingkat kekerasan massa pun tampak ;auh lebih keci1. 5 Kisah sedih semacam itu memadati halaman media massa, baik di Indonesia maupun di luar negeri, sehingga sulit bagi kebanyakan orang untuk memahami dan menghargai perubahan yang sudah terjadi. Kebangkitan politik Islam hampir menjadi satu-satunya perkembangan baru yang diperhatikan pengamat, meskipun secara umum kebangkitan ini ditatap dengan penuh curiga atau rasa waswas. Sementara itu, perkembangan lainnya yang lebih reI evan dengan masalah yang akan kita bahas di sini, namun kurang sering diperhatikan, menyangkut kemerdekaan media massa, munculnya wacana baru tentang etnisitas serta penyegaran dalam bidang seni dan budaya Indonesia, termasuk ragam budaya yang dapat digolongkan sebagai 'budaya populer'. Pelbagai perkembangan ini berlangsung dalam konteks terjadinya sejumlah perkembangan penting lainnya. Pertama, sepanjang periode singkat tapi penuh gairah ini, ;umlah perempuan yang memegang peran kunci dalam produksi film dan karya sastra meningkat pesat, walau ini tidak serta-merta berarti sebuah transformasi radikal dalam peran dan politik gender (lihat Hatley 1997 untuk kasus sastra; Sen 2005 dan Sulistyani 2006 untuk bidang film). Juga melonjaknya tematema seksualitas dan gender dalam budaya pop terbaru (lihat Clark
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> 110
BUDAYA POPULER DI INDONESIA
2002). Kedua, terlihat proses desentralisasi dari Jakarta menyebar baik ke daerah-daerah, maupun ke arah jaringan global, dalam produksi karya-karya kreatif terkini. Ketiga, produksi dan konsumsi budaya pop dalam negeri meningkat pesat sejalan dengan popularitas karya-karya dari negara Asia lainnya. Pelbagai film dan serial televisi dari Cina, India, dan Korea Selatan digemari luar biasa, selain filmfilm Hongkong, musik Taiwan, serta komik dan seri animasi Jepang (lihat juga Bab 3 dan 5 dalam buku ini). Saya akan kembali mengulas gejala ini, khususnya pada film-film mutakhir dengan relevansi politik etnis pasca-1998. Untuk itu, pertama-tama saya akan memberikan pemaparan luas tapi singkat tentang politik etnis di Indonesia. Peranakan (ina di Indonesia pada Masa Orde Baru
Ada baiknya pembahasan kita diawali dengan pertanyaan apa artinya 'menjadi Cina' di masa Orde Baru (1966-98). Selama ini sebagian besar pembahasan menekankan pada rangkaian diskriminasi terhadap kelompok minoritas ini. Meski sebagian pengamat telah mengupas soal kekuatan ekonomi orang Cina, sedikit yang secara serius mengamati gejala yang tampak bertolak-belakang ini (represi politik dan budaya versus kekuatan ekonomi) sebagai dua hal yang sebenarnya saling bergantung dan tak terpisahkan. Diskriminasi Orde Baru terhadap etnis minoritas ini paling baik dipahami sebagai sebuah paradoks (lihat Heryanto 1998 untuk ulasan lebih rind). Secara garis besar etnisitas tidak sekadar, tetapi pada dasarnya, merupakan sebuah fiksi atau rekaan. Hal ini jelas berlaku untuk sosok yang disebut etnis Cina di Asia Tenggara. Ke-fiktif-an sosok itu sangat mudah dilupakan dalam sebuah perbincangan, baik yang sifatnya ilmiah maupun yang obrolan sehari-hari (lihat MandaI 2003). Di kalangan kelompok resmi yang di-Cina-kan terdapat beranekaragam identitas sosial. Terlepas dari keragamannya,warganegara dari kelompok ini belum, dan mungkin tidak bakal mencapai, status sebanding dengan rekan mereka yang hid up di negara tetangga. Orang Cina di Indonesia tidak mendapatkan kedudukan so sial dan budaya yang setara atau perlindungan hukum sebagaimana rekan seetnis mereka di Thailand atau Filipina (Crouch 1985), dimana asimilasi berhasil secara maksimal, walaupun masih tersisa ketegangan di
masa lalu dan masih ada kemt terhadap keberadaan mereka Cina di Indonesia juga tidak didapatkan sesamanya di n dan MandaI 2003). Menurut oleh kedudukan minoritas etj "keterasingan bergeming". G( "produk ideologis proses sosio dalam pembentukan kebangs< Sulit bagi minoritas etnis negeri dan pelayanan publik I Baru. Kesempatan untuk m~ dan perdagangan terbatas ata kebudayaan, segala yang 'kec secara politik dan moral m€ 'jatidiri Indonesia' yang dikl dicap sebagai 'keturunan Cine menjelang akhir abad kedua dengan bahan peledak, bacaa pabean yang harus dilengkap negara ini. Nama-nama Cina c perusahaan, harus 'di-Indon organisasi Cina dibasmi dan d Penindasan terhadap seg, gencarnya, sampai-sampai di dan awal tahun 1990-an sena Mandarin di pusat hiburan k perayaan tahun baru Imlek di Suryadinata 1985; Indrakusu McBeth dan Hiebert 1996). I boleh ada lagu Mandarin di] (Kedaulatan Rakyat 1990). Se Orde Baru bertekad melakuk politik Indonesia, dengan ml (dengan kata lain yang kecina 'asimilasi' sejak awal dirancan
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> KEWARGANEGARAAN DAN ETNIS CINA
sasi dari Jakarta menyebar ·ah jaringan global, dalam iga, produksi dan konsumsi x sejalan dengan popularitas bagai film dan serial televisi mari luar biasa, selain filmnil< dan seri animasi Jepang >aya akan kembali mengulas khir dengan relevansi politik Lma saya akan memberikan tik etnis di Indonesia.
'asa Orde Baru
ngan pertanyaan apa artinya >6-98). Selama ini sebagian rangkaian diskriminasi teri se bagian pengamat telah 19 Cina, sedikit yang secara =rtolak-belakang ini (represi nomi) sebagai dua hal yang c terpisahkan. Diskriminasi )aling baik dipahami sebagai ltuk ulasan lebih rinci). kadar, tetapi pada dasarnya, Hal ini jelas berlaku untuk Tenggara. Ke-fiktif-an sosok lah perbincangan, baik yang lari-hari (lihat MandaI 2003). :ina-kan terdapat beranekakeragamannya, warganegara tidak bal
III
masa lalu dan masih ada kemungkinan munculnya kembali ancaman terhadap keberadaan mereka (Hau 2003; Tejapira 2003). Peranakan Cina di Indonesia juga tidak menikmati perlindungan seperti yang didapatkan sesamanya di negara Malaysia (Tan 2001; Heryanto dan MandaI 2003). Menurut seorang pengamat, hal ini disebabkan oleh kedudukan minoritas etnis Cina di Indonesia yang mengalami "keterasingan bergeming". Gejala ini, pada gilirannya, merupakan "produk ideologis proses sosio-historis yang khas Indonesia, terutama dalam pembentukan kebangsaan" (Aguilar 2001: 505). Sulit bagi minoritas etnis Cina untuk mendapatkan pendidikan negeri dan pelayanan publik di Indonesia, khususnya di masa Orde Baru. Kesempatan untuk memiliki profesi di luar sektor industri dan perdagangan terbatas atau tidak mungkin sarna sekali. Di ranah kebudayaan, segala yang 'kecina-cinaan' dianggap asing, sementara secara politik dan moral mereka dianggap kurang sesuai dengan 'jatidiri Indonesia' yang dikonstruksi secara resmi. Mereka yang dicap sebagai 'keturunan Cina' menjadi sasaran diskriminasi. Hingga menjelang akhir abad keduapuluh, aksara Cina digolongkan sarna dengan bahan peledak, bacaan porno, dan narkotika dalam formulir pabean yang harus dilengkapi semua pengunjung ketika memasuki negara ini. Nama-nama Cina baik untuk individu, organisasi, maupun perusahaan, harus 'di-Indonesia-kan'. Bahasa, media massa, dan organisasi Cina dibasmi dan dinyatakan terlarang. Penindasan terhadap segala yang bercorak kecinaan sedemikian gencarnya, sampai-sampai di Jawa Tengah pada akhir tahun 198o-an dan awaI tahun 199o-an senam populer berasal dari Cina, lagu-Iagu Mandarin di pusat hiburan karaoke, serta penjualan kue-kue untuk perayaan tahun baru Imlek dilarang pemerintah setempat (lihat juga Suryadinata 1985; Indrakusuma 1993; Subianto 1993; TAPOL 1993; McBeth dan Hiebert 1996). Pad a tahun 1990 di Jawa Tengah tidak boleh ada lagu Mandarin diputar saat perayaan tahun baru Imlek (Kedaulatan Rakyat 1990). Semuanya dilakukan dengan dalih bahwa Orde Baru bertekad melakukan asimilasi minoritas ke dalam tubuh politik Indonesia, dengan menyingkirkan segala yang berbau asing (dengan kata lain yang kecina-cinaan). Namun sebenarnya kebijakan 'asimilasi' sejak awal dirancang sebagai proyek yang harus gagal.
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> 112
BUDAYA POPULER DI INDONESIA
Program asimilasi tidak akan mencapai tujuannya, pertama-tama karena dilaksanakan dengan cara-cara memaksa sehingga memancing antipati walau secara diam-diam. Di ibu kota dan di antara anggota komunitas etnis Cina yang punya koneksi lebih baik, beberapa orang berhasil mengabaikan aturan dan tekanan dengan mempertahankan nama Cina mereka, atau tetap melakukan kegiatan yang dianggap tradisi Cina (misalnya berbicara dalam bahasa Mandarin atau dialek Cina lainnya dan melakukan sejumlah ritual tradisional mereka). Tetapi, ada alasan kedua dan yang lebih penting, program asimilasi dirancang supaya gagal karena keberhasilannya justru akan menghancurkan kepentingan para perancangnya sendiri. Seperti yang pernah saya tulis di karangan terpisah, membaurkan warga Cina dalam sebuah program asimilasi yang efektif berarti mengancam status quo di Indonesia yang dibentuk sejak masa kolonial dalam kerangka diskriminasi sumber daya manusia berdasarkan ras (Heryanto 1998: 104).
Jadi, walau kelompok minoritas ini dihina dan disalah-salahkan (karena memiliki ciri kecina-cinaan) dan didiskriminasi (karena tidak sepenuhnya Indonesia), pemerintah Orde Baru pun sibuk memproduksi dan memelihara ke-Cina-an yang sudah dinyatakan terkutuk. Tidak peduli sejauh mana orang Cina di Indonesia (terutama lelaki) melebur menjadi 'pribumi', aparat negara akan senantiasa melacak kembali jejak masa laiu atau unsur ke-Cina-annya yang telah diasimilasikan, sehingga bisa dijadikan sasaran dalam lingkaran diskriminasi yang berkelanjutan. Dalam pelbagai dokumen hukum yang penting, seperti akta kelahiran atau pernikahan, ada nomor kode khusus bagi warga negara yang berasal dari latar belakang etnis Cina. Praktek ini masih berlangsung ketika tulisan ini dibuat (Dharmasaputra 2007), sekitar sepuluh tahun setelah Orde Baru secara resmi runtuh. Mereka yang telah patuh terhadap aturan resmi untuk mengganti nama Cinanya dengan nama baru yang lebih terdengar 'Indonesia' masih harus mencantumkan nama lama mereka ketika mengisi formulir. Mereka harus menunjukkan dokumen yang sah yang membuktikan perubahan nama itu telah terdaftar secara resmi. Pelbagai peraturan ini membuat mereka berbeda dari warga negara yang lainnya dan membebani mereka dengan sejumlah prasyarat tambahan dan ongkos,
baik resmi maupun tidak. S sistematis semacam ini men! yang amat besar, seperti yan cerita pendek berjudul "Panl Seorang lelaki keturunan Cil pribumi Indonesia dan hid mereka, dan kemungkinan diberi label 'Cina' oleh negare bersifat turun-temurun dan .: Asimilasi gaya Orde Diskriminasi terhadap oranl negatif (penindasan) di re perlakuan juga berlaku secaJ terhadap segelintir orang ter1 menghindari kemungkinan I dan mungkin akan melawan sengaja mendiskriminasi seju potensial menjadi pembang1 bekerjasama dengan tiga kelo dan militer; (b) pengusaha kl asing. Pada gilirannya, mung: kasih yang ditunjukkan sec kolusi ini mempertajam ser asing terhadap Barat yang ber Cina yang kaya ditampilkan d 'perwakilan' keseluruhan etni paling diuntungkan secara m cara-cara tidak resmi dan se pribumi. Mengingat betapa serh pelbagai wilayah penting dal, dan kesadaran masyarakat, cerita sastra atau film selarr aneh dan layak dipertanyaka dipertanyakan apa yang telah 1 dan perfilman Indonesia seja1
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> KEWARGANEGARAAN DAN
ujuannya, pertama-tama <Sa sehingga memancing
:a dan di antara anggota )ih baik, beberapa orang engan mempertahankan kegiatan yang dianggap bahasa Mandarin atau mlah ritual tradisional ; lebih penting, program erhasilannya justru akan ~ya sendiri. Seperti yang aurkan warga Cina dalam rarti mengancam status kolonial dalam kerangka ~kan ras (Heryanto 1998: ina dan disalah-salahkan didiskriminasi (karena Orde Baru pun sibuk yang sudah dinyatakan r1a di Indonesia (terutama negara akan senantiasa sur ke-Cina-annya yang I sasaran dalam lingkaran 19 penting, seperti akta :ode khusus bagi warga s Cina. Praktek ini masih :masaputra 2007), sekitar I resmi runtuh. Mereka untuk mengganti nama dengar 'Indonesia' masih ketika mengisi formulir. g sah yang membuktikan resmi. Pelbagai peraturan negara yang lainnya dan lfat tambahan dan ongkos,
ETNIS
CINA
113
baik resmi maupun tidak. Selain beban material, diskriminasi yang sistematis semacam ini mengakibatkan derita mental dan emosional yang amat besar, seperti yang tergambar dengan kuat dalam sebuah cerita pendek berjudul "Panggil Aku: Pheng Hua" (Wardhana 2002). Seorang lelaki keturunan Cina memang dapat menikahi perempuan pribumi Indonesia dan hidup seperti pribumi lainnya. Tapi anak mereka, dan kemungkinan semua keturunan mereka akan tetap diberi label'Cina' oleh negara. Singkatnya, stigma kecinaan ini dibuat bersifat turun-temurun dan abadi. Asimilasi gaya Orde Baru merupakan sebuah paradoks. Diskriminasi terhadap orang Cina bukan hanya diterapkan secara negatif (penindasan) di ranah politik dan budaya. Perbedaan perlakuan juga berlaku secara positif (kemudahan) di sektor bisnis terhadap segelintir orang tertentu dari kalangan elit etnis ini. Untuk menghindari kemungkinan lahirnya borjuasi baru yang independen dan mungkin akan melawan rezim penguasa, elit politik Orde Baru sengaja mendiskriminasi sejumlah pengusaha pribumi yang terbilang potensial menjadi pembangkang. Pemerintah Orde Baru lebih suka bekerjasama dengan tiga kelompok: (a) kerabat de kat, keluarga istana dan militer; (b) pengusaha keturunan Cina, dan (c) penanam modal asing. Pada gilirannya, mungkin dengan sengaja segala perilaku pilih kasih yang ditunjukkan secara terang-terangan, nepotisme serta kolusi ini mempertajam sentimen anti-Cina, juga semangat antiasing terhadap Barat yang berkelanjutan. Beberapa gelintir pengusaha Cina yang kaya ditampilkan di hadapan khalayak seolah-olah sebagai 'perwakilan' keseluruhan etnis. Mereka dipandang sebagai pihak yang paling diuntungkan secara materi oleh keberadaan status quo, lewat cara-cara tidak resmi dan senonoh, yang mengorbankan mayoritas pribumi. Mengingat betapa seriusnya persoalan etnis yang mendera pelbagai wilayah penting dalam adminstrasi negara, interaksi sosial, dan kesadaran masyarakat, maka lenyapnya persoalan itu dalam cerita sastra atau film selama beberapa dekade sungguh-sungguh aneh dan layak dipertanyakan. Dengan pertimbangan serupa, layak dipertanyakan apa yang telah terjadi di dalam dan di luar kesusastraan dan perfilman Indonesia sejak kejatuhan Orde Baru di tahun 1998.
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> 114
BUDAYA POPULER DI INDONESIA
Kembalinya Sang Naga?
Ada kecenderungan kuat di antara sejumlah pengamat yang melihat jatuhnya Presiden Soeharto pemerintahan Orde Baru di tahun 1998 sebagai sebuah kejutan besar. Salah satu perkecualian yang langka bisa ditemukan dalam pandangan Sen (2006: 172}.6 Sejak saat itu pula muncul kecenderungan untuk melebih-Iebihkan perubahan di ranah politik etnis. Banyak pengamat secara umum begitu terkesima oleh kebangkitan dan penampilan mencolok kegiatan budaya maupun politik dari kelompok etnis Cina. Padahal, sesungguhnya perubahan ini telah dimulai sejak beberapa tahun sebelum kemunduran Soeharto. Dan makna penting perubahan ini lebih rumit daripada yang dipahami secara umum. Salah satu contohnya adalah perayaan tahun baru Imlek, dimana tarian barongsai menjadi bagian yang menonjol. Pernah saya sampaikan dalam karangan lain (Heryanto 1998, 1999), perayaan tahun baru dan tarian barongsai sesungguhnya sudah muncul kembali di awal tahun 1990-an, jauh sebelum Presiden Abdurahman Wahid secara resmi mencabut larangan yang ada, serta sebelum kemudian Presiden Megawati Soekarno Putri pada tahun 2002 mengatakan bahwa mulai tahun 2003 tahun baru Imlek akan menjadi hari libur nasional. Pada pertengahan tahun 1990-an, saat larangan resmi masih berlaku, perayaan semacam itu merupakan sebuah pembangkangan secara terang-terangan. Di awal tahun 1990-an, ketika pemerintah mencoba mempertegas larangan resmi atas perayaan semacam itu, muncul penolakan keras dari masyarakat, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Orde Baru. Kebanyakan kajian tentang kaum peranakan Cina di Indonesia menekankan aspek penindasannya (dan bukan paradoks seperti yang saya sebutkan di atas). Akibatnya, harapan umum setelah tahun 1998 dibingkai secara sempit dalam pengertian pembebasan, pengakuan, penempatan kembali, pemberdayaan, dan kebangkitan. Pemahaman konsep etnisitas, khususnya kecinaan, yang sangat bermasalah itu justru diabaikan, dan tidak sedikit pun dipertanyakan. Memang tak bisa dibantah pembebasan, pengakuan umum, perayaan, dan rekonsiliasi telah terjadi di beberapa wilayah untuk beberapa waktu.
Tetapi hal itu bukan cerita seleng berlaku bagi pelbagai komunita dasarnya beraneka ragam. Pert, kapan, bagaimana dan mengapa Cina' merupakan pertanyaan y, oleh sebagian besar masyarak identitas ini sendiri tidak jelas, 1 'kebebasan' untuk mereka. KebE Bahkan di kalangan yang t Cina Indonesia (biasanya dari ge kelas-atas) mereka tidak dapat s, yang mereka bayangkan pernah an}, sebelum Orde Baru berku~ mungkin diulang kembali, teru muda dari kelompok ini telah d sebagaimana juga dialami kaum Ketika Orde Baru runtuh, nege: dari sosoknya di tahun 1960-a1 dijadikan rujukan kembali sepe] minoritas yang seolah-olah b masa sebelumnya. Pada saat ya perubahan besar-besaran. Ken awet ketimbang usia pemerinta formal yang sangat anti-Komur periode awal kekuasaan Orde I Banyak pribumi kaya baru yan~ ke tempat-tempat wisata di Cir dua setengah dekade sebelumny dinistakan. Setelah Soeharto mundur d politik dan perkumpulan sosial t Cina-Indonesia. Gejala ini me ilmuwan dan wartawan (lihat S satu pun partai atau perkumpt pengaruh penting secara politik. mengangkat sejumlah nilai yar Kemunculannya seolah merupaJ
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> KEWARGANEGARAAN DAN
Jah pengamat yang melihat n Orde Baru di tahun 1998 1 perkecualian yang langka .06: 172).6 Sejak saat itu pula ~bihkan perubahan di ranah num begitu terkesima oleh kegiatan budaya maupun I, sesungguhnya perubahan un sebelum kemunduran n ini lebih rumit daripada lyaan tahun baru Imlek, rang menonjol. Pernah saya mto 1998, 1999), perayaan 1nya sudah muncul kembali ~siden Abdurahman Wahid a, serta sebelum kemudian 1 tahun 2002 mengatakan ek akan menjadi hari libur I, saat larangan resmi masih m sebuah pembangkangan 990-an, ketika pemerintah tas perayaan semacam itu, sesuatu yang tidak pernah ru. ranakan Cina di Indonesia ukan paradoks seperti yang 1 umum setelah tahun 1998 1 pembebasan, pengakuan, I kebangkitan. Pemahaman mg sangat bermasalah itu I dipertanyakan. Memang Ian umum, perayaan, dan :ah untuk beberapa waktu.
ETNIS
CINA
115
Tetapi hal itu bukan cerita selengkapnya, dan perubahan terse but tidak berlaku bagi pelbagai komunitas orang Cina di Indonesia yang pada dasarnya beraneka ragam. Pertanyaan dasar tentang siapa, di mana, kapan, bagaimana dan mengapa seseorang menjadi 'Cina' dan 'bukanCina' merupakan pertanyaan yang sangat sulit dan sering dihindari oleh sebagian besar masyarakat. Bila batas-batas kelompok dan identitas ini sendiri tidak jelas, lalu apa sesungguhnya yang dianggap 'kebebasan' untuk mereka. Kebebasan bagi siapa sesungguhnya ini? Bahkan di kalangan yang telah menganggap-diri sebagai orang Cina Indonesia (biasanya dari generasi tua, dan kelompok masyarakat kelas-atas) mereka tidak dapat serta-merta berbalik 'kembali' ke masa yang mereka bayangkan pernah terjadi (mungkin di awal tahun 1960an), sebelum Orde Baru berkuasa. Segalanya telah berubah dan tidak mungkin diulang kembali, terutama sejak tahun 1960-an. Generasi muda dari kelompok ini telah di-Indonesia-kan dan menjadi hibrid, sebagaimana juga dialami kaum muda segenerasi di belahanAsia lain. Ketika Orde Baru runtuh, negeri RRC sendiri sudah sangat berbeda dari sosoknya di tahun 1960-an. Tanah leluhur itu tidak mungkin dijadikan rujukan kembali seperti di awal abad dua puluh oleh kaum minoritas yang seolah-olah baru 'dibebaskan' dan merindukan masa sebelumnya. Pada saat yang sarna, Indonesia juga mengalami perubahan besar-besaran. Kendati paham anti-Komunisme lebih awet ketimbang usia pemerintahan Orde Baru, kekuatan elit politik formal yang sangat anti-Komunis dan anti-Cina-seperti terlihat di periode awal kekuasaan Orde Baru- sesungguhya telah memudar. Banyak pribumi kaya baru yang memamerkan foto-foto kunjungan ke tempat-tempat wisata di Cina. Hal seperti ini tak terbayangkan dua setengah dekade sebelumnya ketika segala yang berbau kecinaan dinistakan. Setelah Soeharto mundur di tahun 1998, muncul banyak partai politik dan perkumpulan sosial berbasis-etnis di kalangan masyarakat Cina-Indonesia. Gejala ini menuai perhatian besar-besaran para ilmuwan dan wartawan (lihat Suryadinata 2001). Namun, tidak ada satu pun partai atau perkumpulan yang baru berdiri itu memiliki pengaruh penting secara politik. Kebanyakan berumur pendek, hanya mengangkat sejumlah nilai yang bersifat simbolik dan emosional. Kemunculannya seolah merupakan pelampiasan hasrat sesaat karena
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> 116
BUDAYA POPULER DI INDONESIA
dikekang terlampau lama serta sebagai tanggapan emosional terhadap kekerasan rasial yang terjadi di tahun 1998. Baik partai, perkumpulan, atau pun pengamat mereka tidak mempertanyakan secara tajam apa sumbangan semua perkembangan ini bagi upaya rekonstruksi politik etnis. Tidak ada yang mempertanyakan apa makna 'ke-Cinaan' di saat yang genting itu. Kepentingan bersama mereka sebatas meningkatkan pemenuhan hak, pengakuan, dan perhatian terhadap 'kelompok' yang bayangan identitasnya masih remang-remang di sana-sini, yang unsur intinya masih berupa fiksi. Meningkatnya penggunaan serta pengajaran bahasa dan aksara Mandarin menjadi gejala umum di seluruh penjuru negeri. Sekarang ada lima suratkabar harian yang menggunakan aksara Cina. Beberapa jaringan televisi nasional dan stasiun radio swasta pun secara rutin menayangkan program berbahasa Mandarin (Samudera 2002). Namun, dalam kebanyakan kasus, pelbagai kegiatan itu lebih banyak didorong oleh niat mencari keuntungan ekonomi ketimbang motivasi ideologis atau budaya (lihat Hoon 2004). Seperti telah dikemukakan sebelumnya, tahun baru Imlek telah menjadi hari libur nasional. Kesempatan melakukan perayaan secara besar-besaran memberikan kegembiraan yang menarik perhatian orang-orang di luar etnis minoritas terse but. Akan tetapi, seperti perayaan Natal di tengah masyarakat industrial bermayoritas agama Nasrani, industri hiburan komersil memainkan peranan lebih penting dalam perayaan Imlekketimbang makna ibadah bagi kelompok orang yang percaya terhadap 'tradisi', agama, atau lainnya. Kendati tampak terjadi perubahan dramatis status etnis minoritas dalam periode singkat, ada beberapa masalah lama serta sejumlah tantangan baru. Kedudukan kelompok etnis yang telah lama mengalami stigmatisasi ini tidak sepenuhnya terbalik. Prasangka rasial di antara kelompok yang disebut sebagai orang Cina dan warga kelompok lain sebangsanya (terutama di kepulauan Nusantara bagian barat dan tengah) masih membara. Lewat sebuah anal isis yang gamblang, Indarwati Aminuddin (2002) membahas nuansa rasisme yang terdapat dalam laporan jurnalistik pasca-1998 di dua media cetak kenamaan (majalah mingguan Tempo dan harian Koran Tempo). Kedua perusahaan media ini mendapatkan penghormatan yang tinggi karena komitmen mereka bagi kinerja profesional. Bahkan dengan
menggunakan kriteria yang IT Cina diterima sebagai sesuat sangat memprihatinkan. Kajian berikut ini beranja yang menonjolkan keturunan Ca-bau-kan (2002) dan Gie (20 rasisme pada lingkup lebih lUi orang Cina sebagai tokoh ut berbeda dari kebanyakan film dibilang berani mengambil risi historis, keduanya pun layak besar-besaran dan biaya raksas Hal ini amat langka di Indones Ada alasan lain yang m Kebanyakan orang di balik p belakang keturunan Cina. Dali cerita rakyat Cina yang terker oleh Teater Koma di Indone menyatakan rasa simpati yang Ia juga menyesalkan tidak ada menyajikan karya soal kehidu bisa menjernihkan apa-apa yal oleh masyarakat umum. Tamt rekan penulis di Indonesia in di banyak negara Barat dise b ia menyatakan bahwa keban~ sosok etnis minoritas ini se( bukan sebagai manusia. Semel di Indonesia dituduh cederuI kebanyakan penulis Indonesia karena telah menghindar dari I mengangkat masalah ini seba lampau yang berjarak dari kl umum (Faruk 2004). Dengan r pandangan Faruk ini bermasala tanpa sengaja, ia mengandaik. sendirinya memberinya sepera
I
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> KEWARGANEGARAAN DAN
tanggapan emosional terhadap ~98. Baik partai, perkumpulan, iempertanyakan secara tajam n ini bagi upaya rekonstruksi canyakan apa makna 'ke-Cina19an bersama mereka sebatas tkuan, dan perhatian terhadap iya masih remang-remang di rupa fiksi. pengajaran bahasa dan aksara uruh penjuru negeri. Sekarang ~nakan aksara Cina. Beberapa radio swasta pun secara rutin Mandarin (Samudera 2002). )agai kegiatan itu lebih banyak n ekonomi ketimbang motivasi 14). Seperti telah dikemukakan . menjadi hari libur nasional. ll"a besar-besaran memberikan ill orang-orang di luar etnis erti perayaan Natal di tengah ~ama Nasrani, industri hiburan ~nting dalam perayaan Imlekok orang yang percaya terhadap
lahan dramatis status etnis l beberapa masalah lama serta kelompok etnis yang telah lama penuhnya terbalik. Prasangka t sebagai orang Cina dan warga lma di kepulauan Nusantara lara. Lewat sebuah analisis yang :)2) membahas nuansa rasisme ,stik pasca-1998 di dua media empo dan harian Koran Tempo). tkan penghormatan yang tinggi ia profesional. Bahkan dengan
ETNIS
CINA
117
menggunakan kriteria yang minimal (pemahaman umum soal etnis Cina diterima sebagai sesuatu yang kodrati), temuan Aminuddin sangat memprihatinkan. Kajian berikut ini beranjak dari dua film terbaru dan terpopuler yang menonjolkan keturunan Cina sebagai tokoh utamanya, yakni Ca-bau-kan (2002) dan Gie (2005), mempertegas gejala bergemingnya rasisme pada lingkup lebih luas. Perlu diakui, dengan menampilkan orang Cina sebagai tokoh utamanya kedua film ini telah tampil berbeda dari kebanyakan film Indonesia lainnya. Kedua film ini bisa dibilang berani mengambil risiko politik dan bisnis. Sebagai film semihistoris, keduanya pun layak dihargai khusus atas upaya penelitian besar-besaran dan biaya raksasa yang ditanggung untuk produksinya. Hal ini amat langka di Indonesia. Ada alasan lain yang membuat kedua film ini tidak biasa. Kebanyakan orang di balik produksi kedua film itu tidak berlatar belakang keturunan Cina. Dalam sebuah esai pengantar pementasan cerita rakyat Cina yang terkenal, yakni kisah cinta Sampek Engtay, oleh Teater Koma di Indonesia (2004), kritikus sastra Faruk HT menyatakan rasa simpati yang mendalam bagi minoritas orang Cina. Ia juga menyesalkan tidak adanya sastrawan dari kelompok ini yang menyajikan karya soal kehidupan etnis mereka di masa kini untuk bisa menjernihkan apa-apa yang menurutnya banyak disalahpahami oleh masyarakat umum. Tampaknya ia sangat ingin melihat rekanrekan penulis di Indonesia ini tampil seperti kelompok etnis yang di banyak negara Barat disebut "hyphenated" Asians. Dengan jitu ia menyatakan bahwa kebanyakan televisi saat ini menampilkan sosok etnis minoritas ini secara karikatural dan serba stereotip, bukan sebagai manusia. Sementara itu, para penulis peranakan Cina di Indonesia dituduh cede rung bersembunyi, atau tampil seperti kebanyakan penulis Indonesia tanpa etnisitas. Ia menggugat mereka karena telah menghindar dari pokok persoalan yang sensitif ini, atau mengangkat masalah ini sebatas kurun waktu dan ruang di masa lampau yang berjarak dari kenyataan yang dipahami masyarakat umum (Faruk 2004). Dengan rasa hormat terhadapnya, saya melihat pandangan Faruk ini bermasalah. Secara tidak langsung dan mungkin tanpa sengaja, ia mengandaikan bahwa etnisitas seseorang dengan sendirinya memberinya seperangkat pengetahuan dan pemahaman
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> 118
BUDAYA POPULER DI INDONESIA
istimewa tentang kehidupan kelompok mereka secara keseluruhan. Seperti Pamela Allen (2003: 69), saya tidak yakin bahwa seorang penulis punya kewajiban merenungkan etnisitasnya sendiri, menulis semata tentang dan untuk kelompok etnisnya sendiri. Masyarakat umum telah menyadari bahwa komunitas peranakan Cina di Indonesia-seperti halnya kelompok etnis lain-bersifat majemuk. Tidak sedikit dari mereka yang telah cukup berakulturasi dengan tradisi kehidupan masyarakat setempat dan/atau dengan budaya global. Namun sayangnya, kesadaran ini tidak diikuti langkah selanjutnya dengan mempertanyakan dualisme yang memisahkan pribumi/non-pribumi, sehingga belum terkuak bagaimana konsep etnisitas itu sesungguhnya tidak lebih dari pepes kosong. Sangat sedikit kalangan yang secara serius mempertimbangkan etnisitas sebagai fiksi modern, sebagai sesuatu yang bersifat eksternal bagi kehadiran dan kehidupan seseorang sehari-hari. Istilah 'darah Cina'yang kadang kala tidak murni-yang mengalir dalam 'tubuh' orang Cina masih dipakai luas padahal menyesatkan dan berbahaya. Bahkan mereka yang galak mengkritik kebijakan rasis Orde Baru dan para pejuang penguatan hak sipil etnis minoritas ini cenderung menganut dan memproduksi fiksi tersebut. Mereka menyamakan etnisitas dengan keturunan serta melihat 'Cina' dan 'pribumi' pada dasarnya sebagai dua mahluk yang berbeda, dan hubungan di antara mereka bisa bersifat rukun atau bersengketa.
Ca-bau-kan {2002} Ca-bau-kan diangkat dari novel berjudul sarna. Ceritanya tentang Tan Peng Liang dan seorang selirnya bernama Tinung, seorang pribumi. Tan seorang peranakan Cina, anak pengusaha Cina yang kaya raya. Ibunya anak seorang bangsawan Jawa. Tidak seperti kebanyakan kisah cinta antar-suku yang beredar di Indonesia masa Orde Baru, Ca-baukan kaya akan detail etnografi dan sejarah (tingkat akurasinya tidak dipersoalkan dalam teks ini). Percakapan dalam bahasa Cina, bahasa Belanda, Melayu, Jepang, dan Arab, bertebaran dalam kisah ini. Novel tersebut bahkan menampilkan tulisan tangan dari beberapa tokoh cerita dalam ortografi Cina dan Belanda, seolah-olah ini merupakan kisah nyata dan catatan tulisan tangannya asli. Dalam tahap tertentu,
penggambaran tokoh utama me saat yang sarna ia manusia biasa d muncul di hadapan penonton ' pahlawan maupun penjahat. ;\ resmi dari pemerintahan Orde Bi minoritas (ina dan kelompok Kil peranan keturunan Cina dan pric bahasan kita kali ini. Kisah ini pertama kali ditE di harian Republika, harian Isle ini semenjak Orde Baru berkua kemudian terbit sebagai novel, c muncul versi layar lebarnya den~ penghubung, kisah ini pun jadi 1 Setahun kemudian, salinan filr dijual dalam bentuk VCD. Para I beragam tentang film ini, pada tidak memenuhi harapan orangNamun, upaya serius dari su pertamanya ini dalam menggarr sulit, menuai banyak pujian. Pal penghargaan dalam Festival Fill 2003 film ini lolos seleksi putar di Amerika Serikat untuk kateg( Tadi saya telah mengutip K lenyapnya tokoh-tokoh peranal Pandangan Sen tentang Ca-bau Ia menyatakan bahwa film ters dengan menyorot warga perana negatif, dengan mempertentan Menurut pandangan Sen, dalan Kelompok pengusaha Cir kaya, dan kurang beremt miskin rasa nasionalisme. kepentingan pribadi. Pena tidak beranjak dari stereot
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> KEWARGANEGARAAN DAN ETNIS CINA
)k mereka secara keseluruhan. ,·a tidak yakin bahwa seorang ,n etnisitasnya sendiri, menulis ~tnisnya sendiri. LIi. bahwa komunitas peranakan kelompok etnis lain-bersifat )·ang telah cukup berakulturasi at setempat dan/atau dengan adaran ini tidak diikuti langkah n dualisme yang memisahkan 1m terkuak bagaimana konsep )ih dari pepes kosong. Sangat mempertimbangkan etnisitas :u yang bersifat eksternal bagi =hari-hari. Istilah 'darah Cina': mengalir dalam 'tubuh' orang ·esatkan dan berbahaya. Bahkan akan rasis Orde Baru dan para 10ritas ini cenderung menganut 1.,1ereka menyamakan etnisitas laO dan 'pribumi' pada dasarnya .an hubungan di antara mereka
dul sarna. Ceritanya tentang Tan nama Tinung, seorang pribumi. )engusaha Cina yang kaya raya. . Tidak seperti kebanyakan kisah onesia masa Orde Baru, Ca-bauejarah (tingkat akurasinya tidak :tpan dalam bahasa Cina, bahasa ertebaran dalam kisah inL Novel ~n tangan dari beberapa tokoh nda, seolah-olah ini merupakan mnya asli. Dalam tahap tertentu,
119
penggambaran tokoh utama menyimpang stereotip yang lazim;? di saat yang sarna ia manusia biasa dan 'orang Indonesia'. Tan Peng Liang muncul di hadapan penonton Indonesia mutakhir bukan sebagai pahlawan maupun penjahat. Namun, karena menantang sejarah resmi dari pemerintahan Orde Baru-yang menghapus peranan etnis minoritas Cina dan kelompok Kiri, serta hubungan yang rumit antara peranan keturunan Cina dan pribumi-novel tersebut relevan dengan bahasan kita kali ini. Kisah ini pertama kali diterbitkan sebagai cerita bersambung di harian Republika, harian Islam pertama dan terbesar di negara ini semenjak Orde Baru berkuasa pada tahun 1966 (lihat Bab 1). Ia kemudian terbit sebagai novel, berjudul Ca-bau-kan. 8 Di tahun 2002, muncul versi layar lebarnya dengan judul yang sarna tapi tanpa tanda penghubung, kisah ini pun jadi lebih mudah dicerna khalayak ramai. Setahun kemudian, salinan film itu diproduksi secara massal dan dijual dalam bentuk VCD. Para kritikus film memberikan tanggapan beragam tentang film ini, pada umumnya mereka menilai film ini tidak memenuhi harapan orang-orang yang telah membaca novelnya. Namun, upaya serius dari sutradara muda Nia Dinata di film pertamanya ini dalam menggambarkan beberapa ad egan kolosal dan sulit, menuai banyak pujian. Pada Oktober 2002, film ini meraih dua penghargaan dalam Festival Film Asia Pasifik di Seoul. Pada Januari 2003 film ini lolos seleksi putaran pertama penghargaan Piala Oscar di Amerika Serikat untuk kategori film asing. Tadi saya telah mengutip Krishna Sen, yang merintis kajian soal lenyapnya tokoh-tokoh peranakan Cina dalam perfilman Indonesia. Pandangan Sen tentang Ca-bau-kan secara keseluruhan sangat kritis. Ia menyatakan bahwa film terse but melanjutkan rasisme Orde Baru dengan menyorot warga peranakan Cina di Indonesia melulu dari sisi negatif, dengan mempertentangkan mereka dengan kaum pribumi. Menurut pandangan Sen, dalam Ca-bau-kan: Kelompok pengusaha Gna ... secara menyeluruh korup, kejam, kaya, dan kurang berempati kepada penduduk Indonesia, serta miskin rasa nasionalisme. Mereka menjilat penjajah Jepang untuk kepentingan pribadi. Penampilan mereka dalam film ini sarna sekali tidak beranjak dari stereotip umum atas komunitas peranakan Gna
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> 120
BUDAYA POPULER OJ INDONESIA
yang terpisah dari kehidupan penduduk pribumi. Seeara ekonomi dan seksual pun mereka berlaku eksploitatif terhadap kebanyakan pribumi. Tidak ada seorang pun warga peranakan Gna dalam film ini (bahkan sang pahlawan, tokoh utama) yang tidak korup, kejam, dan kaya. Sebaliknya, kaum pribumi ditampilkan seeara seragam sebagai: orang miskin, pelaeur, tapi juga jurnalis yang berkomitmen menolak suap, pemuda pejuang kemerdekaan yang tidak kenaI takut, dan aristokrat Jawa. Kejanggalan lain yang khas merupakan stereo tip umum Orde Baru yakni orang Gna di satu sisi merupakan kapitalis yang kejam, namun di sisi lain menjadi sekutu berbahaya bagi kaum komunis. (Sen 2006: 181). Agak berbeda dari Sen, menurut hemat saya Ca-bau-kan merupakan upaya yang penuh ketulusan, meskipun memang ada sejumlah adegan yang janggal dan sebagian keeil saja yang bisa dibilang berhasil dalam upaya melawan pembentukan stereotip orang Cina di Indonesia yang telah berlangsung selama beberapa dekade. Bila ternyata pemberontakan film ini muneul setengah hati, mungkin ini membuktikan betapa sulitnya, mungkin mustahil, melepaskan diri secara menyeluruh dari rasisme yang sudah bertahun-tahun dianggap normal serta mendapat dukungan negara. Memang benar bahwa dunia Ca-bau-kan bukan dunia serba merata atau bebas dari rasisme. Kita tidak menemukan sosok tokoh Cina yang lugu dan layak dicintai di dalam film ini. Namun, mengingat latar belakang sejarahnya, Cabau-kan bisa dibilang menyajikan beberapa penyimpangan dari dunia perfilman Indonesia beberapa dekade terakhir. Berikut ini beberapa alasannya. Lewat film ini, untuk pertama kalinya dalam puluhan tahun, kita bisa menyaksikan seorang lelaki Cina menjadi tokoh uta rna film layar lebar. Ia ditampilkan sedemikian rupa sehingga memikat perasaan penonton. Meski sifat dan perilakunya layak digugat secara moral, Tan Peng Liang secara ajek ditampilkan sebagai sosok yang setengahpahlawan. Para penonton diharapkan berpihak padanya. Seberapa jauh penulis berhasil mencapai tujuan tersebut merupakan persoalan lain. Yang jelas perlu diingat, tingkat penyelewengan dan merebaknya
kekerasan yang telah diwajarkan d menjadikan pelbagai perilaku sel biasa, dan harapan itu masih terbi Kisah cinta antar-etnis di ten rasial cenderung menampilkan t, sarna dengan pihak produser dan serupa berlaku di Indonesia. 9 Pac memiliki posisi yang istimewa sec kebebasan politik, segelintir kis. kerap menyajikan hubungan leI. {lihat Sen 2006: 174-75}. Keadaa: etnis Cina dijadikan kelompok ) budaya di bawah rezim Orde Ba yang mempropagandakan progra tahun 1980 (lihat Sen 2006: 177) pola demikian. Tokoh utama lela sarna dengan penulis novel, sutra< Dari sedikit kebajikan Tan P diragukan lagi bisa menyentuh p jasanya untukgerilyawan nasional Indonesia. Yang lebih penting permintaannya sebagai imbalal perlakuan khusus dalam hubung pengakuan agar diterima sebagai merdeka: "Yang penting, kalau Ir semua punya kedudukan dalam p Saya ingin hidup tenang, tanpa de 1999: 360 }. Kutipan terse but dapat dipc Salah satu resensi (Suyono dan ( pernyataan tersebut dengan hI perwira militer di tahun 194o-ar Orde Baru selama enam periode kroninya yang menjadi salah satl 199o-an. Sementara pihak lain r siapa pun yang memiliki pem, Indonesia sebelum dan setelah 1
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> KEWARGANEGARAAN DAN ETNIS CINA
duduk pribumi. Seeara ekonomi ksploitatif terhadap kebanyakan 1 warga peranakan Gna dalam tokoh utama} yang tidak korup, um pribumi ditampilkan seeara pelacur, tapi juga jurnalis yang lUda pejuang kemerdekaan yang awa. ,akan stereotip umum Orde Baru erupakan kapitalis yang kejam, 1 berbahaya bagi kaum komunis. (Sen 2006: 181).
lat saya Ca-bau-kan merupakan kipun memang ada sejumlah keeil saja yang bisa dibilang bentukan stereo tip orang Cina . selama beberapa dekade. Bila leul setengah hati, mungkin ini ~n mustahil, melepaskan diri ;udah bertahun-tahun dianggap negara. Memang benar bahwa merata atau bebas dari rasisme. ina yang lugu dan layak dicintai t latar belakang sejarahnya, Ca)erapa penyimpangan dari dunia e terakhir. Berikut ini beberapa linya dalam puluhan tahun, kita I menjadi tokoh utama film layar lpa sehingga memikat perasaan nya layak digugat seeara moral, ~an sebagai sosok yang setengahan berpihak padanya. Seberapa m terse but merupakan persoalan penyelewengan dan merebaknya
121
kekerasan yang telah diwajarkan di dunia-nyata keseharian penonton, menjadikan pelbagai perilaku serupa di film sebagai sesuatu yang biasa, dan harapan itu masih terbilang wajar. Kisah cinta antar-etnis di tengah masyarakat yang sarat konflikrasial cenderung menampilkan tokoh utama lelaki dari etnis yang sarna dengan pihak produser dan pangsa penonton yang dibidik. Hal serupa berlaku di Indonesia. 9 Pada tahun 1930-an, ketika etnis Cina memiliki posisi yang istimewa secara ekonomi dan masih menikmati kebebasan politik, segelintir kisah dnta antar-etnis yang muncul kerap menyajikan hubungan lelaki Cina dan perempuan pribumi (lihat Sen 2006: 174-75). Keadaan mulai berbalik ketika kelompok etnis Cina dijadikan kelompok yang dinistakan secara politik dan budaya di bawah rezim Orde Baru, seperti digambarkan oleh film yang mempropagandakan program asimilasi berjudul Putri Giok di tahun 1980 (lihat Sen 2006: 177). Ca-bau-kan jelas tidak mengikuti pola demikian. Tokoh utama lelakinya tidak berasal dari etnis yang sarna dengan penulis novel, sutradara film, atau produsernya. Dari sedikit kebajikan Tan Peng Liang yang ada, satu hal tidak diragukan lagi bisa menyentuh perasaan penonton Indonesia, yakni jasanya untuk gerilyawan nasionalisyang berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Yang lebih penting dan mengundang simpati adalah permintaannya sebagai imbalan atas semua jasanya. Bukannya perlakuan khusus dalam hubungan bisnis, tapi yang ia minta hanya pengakuan agar diterima sebagai bagian yang sah dari Indonesia yang merdeka: "Yang penting, kalau Indonesia nanti berdaulat, dan kamu semua punya kedudukan dalam pemerintahan, jangan lupa pada saya. Saya ingin hidup tenang, tanpa dek-dekan, bersama keluarga". (Sylado 1999: 360 ). Kutipan terse but dapat dipahami dengan lebih dari satu cara. Salah satu resensi (Suyono dan Chudori 2002) misalnya mengaitkan pernyataan terse but dengan hubungan intim Soeharto (seorang perwira mil iter di tahun 1940-an yang kemudian menjadi presiden Orde Baru selama enam periode berturut-turut) dan Lim Sioe Liong, kroninya yang menjadi salah satu taipan terkaya di Asia sejak tahun 199o-an. Sementara pihak lain melihatnya secara berbeda. Namun, siapa pun yang memiliki pemahaman mendasar tentang sejarah Indonesia sebelum dan setelah kemerdekaan, serta paham peranan
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> 122
BUDAYA POPULER DI INDONESIA
etnis Cina dalam sejarah tersebut, tidak akan melewatkan ironi yang tersirat dalam permohonan yang sederhana dan terdengar-polos itu. Sesungguhnya, permohonan serupa dari kelompok so sial yang amat berjasa dalam membantu mengubah Indonesia menjadi bangsa yang modern dan merdeka telah diabaikan dan dikhianati sepenuhnya. Sayangnya, pengarang cerita tidak mengembangkan lebih lanjut ironi itu di dalam keseluruhan cerita. Alih-alih menggugat rasisme Orde Baru, Ca-bau-kan malah menampilkan etnisitas, secara inheren dan kodrati, sebagai sesuatu yang bersifat biologis. Seolah-olah tunduk pada propaganda Orde Baru, Tan hanya setengah-baik, dan ini karena ia hanya setengah-pribumi. Sebagian besar orang Cina yang lain dalam film ini pun memiliki sifat tercela, tidak seperti rata-rata penduduk pribumi. Saya katakan "sebagian besar" karena memang ada perkecualian kedl di antara kontras penggambaran kedua komunitas itu, tidak seperti yang diamati Sen. Di antara para tokoh Cina, terdapat seseorang bernama Njoo Tek Hong, guru musik dan tari (Sylado 1999: 14, 46-52), yang tampak membantu orang-orang yang tidak beruntung semacam Tinung meski tingkah polahnya tidak menyenangkan. Sementara itu, di antara tokoh pribumi, di awal cerita terdapat beberapa perempuan berperangai "buruk" yang menyerang Tinung karena cemburu (Sylado 1999: 8-11). Ada pula kepala penjara korup yang membantu Tan Peng Liang melarikan diri dengan mudah (SyladoI999: 216-18). Pada satu bagian, melalui suara seorang pribumi lain yang bernama Max Awuy, kita dapat melihat sebentuk penilaian terhadap Tan Peng Liang, yang tidak bersifat karikatural hitam-dan-putih: Dalam terdiam, Max Awuy mencoba memahami diri Tan Peng Liang dari ukuran dirinya, dan baru besok ia sadar, bahwa itu pelik dan mustahil. ... ia semakin mengerti bahwa dunia tempatnya berdiri tidak hanya hitam dan putih. Ada banyak warna di atasnya. Sementara warna-warna pun bisa berubah nama, bergantung pad a kekuatan di luarnya yang memegang pengesahan. (Sylado 1999: 361).
Kita tidak tahu pasti adakah pengarang cerita atau tidak. S€ gambarkan persona tokoh utan Menurut pengamatan saya para pedagang senjata dan pemt Jepang juga lebih kaya nuans kelam (Sen 2006; 81). Walau pe memicu reaksi negatif dari kh, lebih saksama akan tersingkaJ jauh berbeda. Saat ditanya aI berhubungan dengan komunis pedagang,' jawab Tan Peng Lia kesan ketegasan. 'Komunis ata dari perhitungan dagangnya, sa Kebetulan, persekutuan c juga bermakna anti-kolonialisr manfaat bagi kemerdekaan Ind dalam pidato upacara yang ( pejuang pro-kemerdekaan, yar dalam pemerintahan yang 1 prihumi yang juga saudara sepu Saudara Tan Peng Liang sangat berjasa bagi angkat itu, sebelum saya berpanja saya mengucapkan selama
Pernyataan macam ini tidak publik Soeharto menyangkut kE kroninya. Bertentangan denga menyediakan tempat yang sah yang seorang Cina, melainkan sejarah perjuangan kemerdekaa Yang jelas pernyataan te bagaimana kaitan cerita terseb kebangsaan dan tempat yang s
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> KEWARGANEGARAAN DAN ETNIS CINA
123
idak akan rnelewatkan ironi yang derhana dan terdengar-polos itu. 1 dari kelornpok sosial yang arnat h Indonesia rnenjadi bangsa yang ill dan dikhianati sepenuhnya. :iak rnengernbangkan lebih lanjut ita. Alih-alih rnenggugat rasisrne llTlpilkan etnisitas, secara inheren 19 bersifat biologis. Seolah-olah :u, Tan hanya setengah-baik, dan 1i. Sebagian besar orang Cina yang ifat tercela, tidak seperti rata-rata ·sebagian besar" karena rnernang 1 kontras penggarnbaran kedua liarnati Sen. Di antara para tokoh Njoo Tek Hong, guru rnusik dan tarnpak rnernbantu orang-orang .ung me ski tingkah polahnya tidak ntara tokoh priburni, di awal cerita Jerangai "buruk" yang rnenyerang 199: 8-11). Ada pula kepala penjara ang rnelarikan diri dengan rnudah
Kita tidak tahu pasti adakah pandangan ini rnewakili pandangan pengarang cerita atau tidak. Seberapa jauh ia berhasil dalarn rnenggarnbarkan persona tokoh utarna rnerupakan rnasalah terpisah. Menurut pengarnatan saya persekutuan Tan Peng Liang dengan para pedagang senjata dan pernberontak kornunis selarna pendudukan Jepang juga lebih kaya nuansa ketirnbang yang dinilai Sen serba kelarn (Sen 2006: 81). Walau persekutuan sernacarn itu rnungkin saja rnernicu reaksi negatif dari khalayak Indonesia, bila disirnak secara lebih saksarna akan tersingkap sebuah kernungkinan rnakna yang jauh berbeda. Saat ditanya apakah dirinya rnerniliki urusan yang berhubungan dengan kornunis, jawaban Tan tegas dan pasti: "'Saya pedagang,' jawab Tan Peng Liang, tidak segera tapi cukup rnernberi kesan ketegasan. 'Kornunis atau kapitalis, sarna. Kalau ada untung dari perhitungan dagangnya, saya jalan.'" (Sylado 1999: 271). Kebetulan, persekutuan dengan kornunisrne ini sejak awal juga berrnakna anti-kolonialisrne, dan kernudian terbukti rnernberi rnanfaat bagi kernerdekaan Indonesia. Hal ini direkarn dengan baik dalarn pidato upacara yang diucapkan salah seorang pernirnpin pejuang pro-kernerdekaan, yang kernudian rnenjadi pejabat tinggi dalarn pernerintahan yang baru, Soetardjo Rahardjo-seorang priburni yang juga saudara sepupu Tan:
uara seorang priburni lain yang ~lihat sebentuk penilaian terhadap : karikatural hitarn-dan-putih:
Saudara Tan Peng Liang adalah aset nasional. Saudara kita ini sangat berjasa bagi angkatan perang, melawan penjajahan. Untuk itu, sebelurn saya berpanjang-panjang, atas nama pejuang bangsa, saya mengucapkan selamat dan terima kasih. (Sylado 1999: 381)
nencoba memahami diri Tan Peng baru besok ia sadar, bahwa itu pelik mengerti bahwa dunia tempatnya putih. Ada banyak warna di atasnya. )isa berubah nama, bergantung pada negang pengesahan. (Sylado 1999: 361 ). l
Pernyataan rnacarn ini tidak pernah keluar dalarn pidato-pidato publik Soeharto rnenyangkut keberadaan orang Cina yang jadi kronikroninya. Bertentangan dengan pendapat Sen, adegan ini justru rnenyediakan temp at yang sah, bukan hanya bagi Tan Peng Liang yang seorang Cina, rnelainkan juga bagi kelornpok kornunis, dalarn sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa. Yang jelas pernyataan terse but rnernbantu kita rnernaharni bagaimana kaitan cerita terse but terbuka bagi aneka tafsir tentang kebangsaan dan tempat yang sah bagi etnis Cina. Dengan canggih
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> 124
BUDAYA POPULER
or
INDONESIA
Sen menggambarkan keadaan orang (ina di Indonesia pasca-1998 dalam sebuah kalimat yang mengesankan: Tan Peng Liang memang "dipulihkan menjadi warga negara Indonesia", berkat pertalian darah ibunya dan selirnya, namun ia tetap saja hanya merupakan warga negara kelas-dua, yang dibungkam secara politik (Sen 2006: 182). Dalam ucapan terima kasih yang dikutip di atas, Soetardjo Rahardjo bertindak sebagai seseorang yang mewakili pewaris resmi negara ini (pribumi), yang mengakui jasa Tan Peng Liang layaknya sebuah bantuan pihak dari luar bangsa. Dengan kata lain, jasa Tan ditampilkan seperti sebuah 'harta' nasional yang berharga, tapi tidak pernah bisa menjadi bagian yang sejati dan setara dari sebuah proyek pembangunan bangsa yang kolektif dan masih berlangsung. Ia tetap ditempatkan di luar bangsa itu sendiri. Kenyataan ini mengantarkan kita menuju titik penting lain dalam pembahasan ini, yakni gagasan etnisitas: apakah Ca-bau-kan menegaskan atau justru melawan pemahaman arus dominan soal etnisitas sebagai sesuatu yang secara alamiah mengalir dalam darah dan bukan konstruksi sosial yang menyejarah. Jawabnya telah tersirat dalam alinea-alinea terdahulu. Pernyataan yang lebih tegas tentang pemahaman etnisitas yang serba esensialis dan biologis ditemukan di awal cerita. Berikut ini adalah tuturan Tan Giok Lan atau Nyonya G.P.A Dijkhoff (anak perempuan Tinung dan Tan Peng Liang) yang secara naratif membingkai kisah seorang dari rantau yang kembali ke tanah airnya setelah dewasa untuk mencari tahu tentang jati diri orangtuanya di tahun 1990-an: Mau tak mau saya dihadapkan pada persoalan itu, sebab saya tidak mungkin menghapus garis keturunan saya. Bahwa sebagian darah saya Tionghoa, dan sebagian lainnya Indonesia. Sementara itu saya istri seorang-Belanda totok yang ayahnya dulu pernah menindas bangsa Indonesia. (Sylado 1999: 2) Perhatikan bagaimana G.PA Dijkhoff mempertentangkan identitas ayah dan ibunya: 'orang Cina' versus 'orang Indonesia', bukannya 'orang (ina' versus salah satu, atau lebih, etnis pribumi. Artinya, secara umum, 'pribumi' dianggap sarna dengan bangsa Indonesia, lO
sementara etnis Cina dian~ atau lebih buruk lagi sebagc kehadirannya. Salah satu j Indonesia adalah 'WNI ketufl populer ini tidak menunjukkc bisa menjadi 'warga negara' , kritis berpendapat, sebutan y. bawah-sadar masyarakat un 'pribumi' bisa langsung me menjadi WNI lewat pembul 2001: 517-519). Tidak seperti n dianggap secara alamiah dan Indonesia' karena faktor ke Indonesia yang lahir dan tuml tidak berbahasa Indonesia, b bangsa' atau 'pribumi' ketik Indonesia sebagai turis, jika c moyang leluhurnya, merupak Secara tidak langsung pan 'Indonesia' adalah sejenis har dimiliki pribumi. Orang-oranJ harus merasa bersyukur atas 5 kan: bila kalangan pribumi, : atas Indonesia, menganggap persyaratan, dan tentu saja t itu sifatnya tidak wajar, upa) menjamin menciptakan 'ke-I: tidak kalah pentingnya adalah Giok Lan yang akan kita baha.< Walaupun sebagian bes. produksi gagasan esensialis s cerita ini yang saling bertenta Ca-bau-kan ada dua tokoh be Peng Liang), sehingga menin jalannya cerita. Ketika mempt kedua, pengarang memperkel Jembatan Lima, pengelola keb
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> KEWARGANEGARAAN DAN ETNIS CINA
:ina di Indonesia pasca-199 8 :an: Tan Peng Liang memang [ndonesia", berkat pertalian tetap saja hanya merupakan am secara politik (Sen 2006: 19 dikutip di atas, Soetardjo yang mewakili pewaris resmi ,asa Tan Peng Liang layaknya a. Dengan kata lain, jasa Tan onal yang berharga, tapi tidak dan setara dari sebuah proyek n masih berlangsung. Ia tetap . Kenyataan ini mengantarkan embahasan ini, yakni gagasan ~askan atau justru melawan as sebagai sesuatu yang secara bukan konstruksi sosial yang :a-alinea terdahulu. Pernyataan etnisitas yang serba esensialis Berikut ini adalah tuturan Tan (anak perempuan Tinung dan nembingkai kisah seorang dari setelah dewasa untuk mencari ahun 199o-an: da persoalan itu, sebab saya tidak unan saya. Bahwa sebagian darah Ilya Indonesia. Sementara itu saya : ayahnya dulu pernah menindas (Sylado 1999: 2) ff mempertentangkan identitas us 'orang Indonesia', bukannya lebih, etnis pribumi. Artinya, ama dengan bangsa Indonesia, lO
125
sementara etnis Cina dianggap warga sebangsa 'tetapi tidak asli: atau lebih buruk lagi sebagai orang asing yang tidak dikehendaki kehadirannya. Salah satu julukan populer bagi orang Cina di Indonesia adalah 'WNI keturunan'. Walaupun, singkatan yang begitu populer ini tidak menunjukkan bahwa hanya minoritas Cinalah yang bisa menjadi 'warga negara' di Indonesia, sejumlah pengamat yang kritis berpendapat, sebutan yang lazim ini boleh jadi menyingkapkan bawah-sadar masyarakat umum yang beranggapan bahwa kaum 'pribumi' bisa langsung menjadi bangsa 'Indonesia' tanpa perlu menjadi WNI lewat pembuktian atau pengesahan resmi (Aguilar 2001: 517-519). Tidak seperti minoritas orang Cina, kalangan pribumi dianggap secara alamiah dan dengan sendirinya merupakan 'orang Indonesia' karena faktor kelahiran atau keturunan. Maka orang Indonesia yang lahir dan tumbuh dewasa di luar negeri, dan mungkin tidak berbahasa Indonesia, bisa mendadak menjadi 'putra-putri asli bangsa' atau 'pribumi' ketika pertama kali menginjakkan kaki di Indonesia sebagai turis, jika orangtua mereka, atau salah satu nenek moyang leluhurnya, merupakan orang 'pribumi'. Secara tidak langsung pandangan seperti ini menunjukkan bahwa 'Indonesia' adalah sejenis harta benda, sebuah warisan yang khusus dimiliki pribumi. Orang-orang Cina yang lahir dan besar di Indonesia harus merasa bersyukur atas segala kesempatan untuk 'di-Indonesiakan', bila kalangan pribumi, sebagai pemegang hak waris yang sah atas Indonesia, menganggap perlu. Ini pun memerlukan sejumlah persyaratan, dan tentu saja biaya yang cukup besar. Karena proses itu sifatnya tidak wajar, upaya terbaik sekalipun tidak serta-merta menjamin menciptakan 'ke-Indonesia-an' yang asli dan utuh. Yang tidak kalah pentingnya adalah sentimen nasionalis dalam pernyataan Giok Lan yang akan kita bahas lebih jauh di bawah nanti. Walaupun sebagian besar kisah Ca-bau-kan merupakan reproduksi gagasan esensialis soal etnisitas, ada banyak unsur dalam cerita ini yang saling bertentangan, sehingga kelihatan ganjil. Dalam Ca-bau-kan ada dua tokoh berbeda yang memiliki nama sama (Tan Peng Liang), sehingga menimbulkan kekeliruan identifikasi dalam jalannya cerita. Ketika memperkenalkan tokoh Tan Peng Liang yang kedua, pengarang memperkenalkannya sebagai "seorang penduduk Jembatan Lima, pengelola kebun pisang di Sewan Tangerang, daerah
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> 126
BUDAYA POPULER DI INDONESIA
orang-orang Tionghoa yang telah menjadi pribumi sejak nenek moyang mereka lari ke sana akibat pembunuhan besar-besaran yang dilakukan Belanda di Jakarta pada 1740" (Sylado 1999: 17). Oalam bagian ini, status pribumi dan etnisitas secara lebih luas, tidak dipahami sebagai sesuatu yang beku dan melekat dari kelahiran, melainkan sesuatu yang tumbuh bersama proses pertumbuhan anak menjadi dewasa, yang dapat diserap oleh siapa pun termasuk 'orang asing'. Artinya orang Cina di Tangerang pada zaman itu dapat 'dinaturalisasi' sebagai 'orang Indonesia' bukan oleh departemen imigrasi pemerintah, melainkan sebagai 'pribumi' berkat proses akulturasi lintas-generasi. Oalam konteks tahun 2000-an, kisah ini sesuai dengan gagasan 'asimilasi' seperti yang dipropagandakan Orde Baru. Sayangnya, pandangan yang bisa dibilang non-esensialis dan non-biologis ini tidak bergema atau berkembang lebih lanjut di sisa cerita. Pandangan ini hanya melintas sekilas sebelum kemudian menghilang tanpa jejak, seakan-akan sesuatu yang muncul karena kebetulan atau kekeliruan. Semangat nasionalis merambah seluruh bagian kisah ini, baik dalam bentuk novel yang tebalnya 400 halaman lebih, maupun versi filmnya yang berdurasi dua jam. Hal ini bisa dipahami, mengingat sebagian besar cerita berlangsung dalam masa perjuangan kemerdekaan dan tahun-tahun awal kemerdekaan sebuah negara. Namun, yang lebih ganjil, semangat nasionalis juga menonjol dalam pikiran Giok Lan ketika dia berbicara kepada dirinya sendiri dan kepada penonton Indonesia di tahun 1990-an, ketika ideologi nasionalisme secara serius mengalami pengikisan di seluruh belahan dunia. Bagi mereka yang dibesarkan dalam masyarakat liberal Barat, orang Indonesia masa kini tampak dirasuki ideologi nasionalis agak berlebihan, terutama bila membicarakan 'Barat' atau 'minoritas Cina'. Oalam konteks ini, menampilkan secara konservatif seorang tokoh Cina tanpa kejahatan serius (Tan Peng Liang) tampak sebagai sebuah tindakan berani dan luar biasa. Apalagi pernyataan yang terkutip sebelumnya bahwa beberapa anggota kelompok etnis ini dapat berasimilasi karena mereka "melarikan diri dari pembunuhan besarbesaran yang dilakukan Belanda di Jakarta pada tahun 1740" (Sylado 1999: 17)·"
Gie (2005)
Semangat Nasionalis lebih mel selanjutnya. Film berjudul Gie duaalasan penting. Pertama, ka tokoh yang sedang naik daun ! Mira Lesmana, dan aktor utama ini dibuat berdasarkan catatan mahasiswa legendaris tahun 19t saat mendaki gunung. Kenang, penerbitan sebagian catatan : Harian Seorang Demonstran,
kakaknya (Arief Budiman) da lembaga non-pemerintah setelc Seperti halnya Ca-bau-kal menyimpang dari kecenderung konservatif di negeri ini. Oibar sulit diproduksi. Bukan hanya kisah nyata dari seorang figu! melainkan juga karena banyak masih hidup saat film terser film (bukan novelnya) Ca-bal mengecewakan, sebagai sebuah Berbeda dari tokoh utama yang disebut Sen (2006) berm< campur-aduk, tokoh utama So~ sebagai sosok yang sangat me seorang idola politik, dan war~ ini tidak ditampilkan dalam fil sudah lama dilekatkan kepad masa Orde Baru. Karena Soe SE lebih menarik. Secara paradok Indonesia' dan 'terlalu Indone jauh lebih Indonesia dibanding itu. Oi lingkungan sekitarnya ya
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> KEWARGANEGARAAN DAN ETNIS CINA
njadi pribumi sejak nenek bunuhan besar-besaran yang (Sylado 1999: 17)· in etnisitas secara lebih luas, u dan melekat dari kelahiran, 'sama proses pertumbuhan 'ap oleh siapa pun termasuk ~erang pada zaman itu dapat ia' bukan oleh departemen ~ai 'pribumi' berkat proses ks tahun 2000-an, kisah ini erti yang dipropagandakan bisa dibilang non-esensialis I berkembang lebih lanjut di is sekilas sebelum kemudian esuatu yang muncul karena luruh bagian kisah ini, baik )0 halaman lebih, maupun n. Hal ini bisa dipahami, rung dalam masa perjuangan emerdekaan sebuah negara. nasionalis juga menonjol ,icara kepada dirinya sendiri lUn 1990-an, ketika ideologi engikisan di seluruh belahan am masyarakat liberal Barat, ruki ideologi nasionalis agak 1 'Barat' atau 'minoritas Cina'. a konservatif seorang tokoh iang) tampak sebagai sebuah ~i pernyataan yang terkutip kelompok etnis ini dapat :liri dari pembunuhan besarrta pada tahun 1740" (Sylado
127
Gie (200S)
Semangat Nasionalis lebih menggebu dalam film yang akan dibahas selanjutnya. Film berjudul Gie (2005) memperoleh ketenaran karena duaalasan penting. Pertama, karena film ini diproduksi dan dibintangi tokoh yang sedang naik daun saat itu (sutradara Riri Riza, prod user Mira Lesmana, dan aktor utama Nicholas Saputra). Kedua, karena film ini dibuat berdasarkan catatan harian Soe Hok Gie, seorang aktivis mahasiswa legendaris tahun 1960-an, yang meninggal di usia 27 tahun saat mendaki gunung. Kenangan tentang Soe bertahan awet seiring penerbitan sebagian catatan hariannya setelah ia wafat (Catatan Harian Seorang Demonstran, 1983), dan juga berkat keterlibatan kakaknya (Arief Budiman) dalam gerakan aktivis mahasiswa dan lembaga non-pemerintah setelah Soe meninggal. Seperti halnya Ca-bau-kan, Gie patut dihargai sebagai upaya menyimpang dari kecenderungan produksi film-film arus utama dan konservatif di negeri ini. Dibanding Ca-bau-kan, tentu saja Gie lebih sulit diproduksi. Bukan hanya karena film ini dibuat berdasarkan kisah nyata dari seorang figur yang sangat dihormati masyarakat, melainkan juga karena banyak orang yang diceritakan di dalamnya masih hidup saat film tersebut diluncurkan. Sayangnya, seperti film (bukan novelnya) Ca-bau-kan, secara keseluruhan Gie agak mengecewakan, sebagai sebuah cerita maupun karya seni. Berbeda dari tokoh utama Tan Peng Liang dalam Ca-bau-kan, yang disebut Sen (2006) bermoral korup dan saya anggap berwatak campur-aduk, tokoh utama Soe Hok Gie dalam film Gie ditampilkan sebagai sosok yang sangat moralis, unggul secara intelektual, dan seorang idola politik, dan warga negara teladan. Predikat semacam ini tidak ditampilkan dalam film-film Indonesia sebelumnya, tetapi sudah lama dilekatkan kepada tokoh-tokoh aktivis legendaris di masa Orde Baru. Karena Soe seorang peranakan Cina, kasusnya jadi lebih menarik. Secara paradoks ia sekaligus menjadi 'belum cukup Indonesia' dan 'terlalu Indonesia'. Bahkan ia 'luar biasa Indonesia', jauh lebih Indonesia dibanding rekan sebangsa yang ada dalam film itu. Di lingkungan sekitarnya yang rasis (Riza 2005: 65, 107), Soe tidak
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> 128
BUDAYA POPULER DI INDONESIA
memiliki prasangka rasial atau ambil peduli ketika dijadikan sasaran perilaku rasis. Ironisnya, inilah salah satu sumber utama masalah film tersebut. Pertama-tama, Gie tampaknya telah kehilangan momentum untuk memikat generasi muda Indonesia seperti yang diniatkan oleh pembuat-film (niat itu dinyatakan secara terbuka dalam promosi film). Seperti ditunjukkan sebelumnya, pada saat film itu dibuat, banyak orang Indonesia tengah kehilangan semangat, kegiatan para aktivis jauh tersisih, dan masyarakat mengalami kekecewaan berat karena pudarnya gerakan reformasi politik tahun 1998. Dengan memproduksi Gie, dan dengan cara promosi seperti yang telah dilakukan, para pembuat-film tampaknya berupaya menghidupkan kembali optimisme reformasi politik Indonesia dengan bernostalgia tentang aktivisme tahun 1960-an yang romantis. Namun, usaha itu dilakukan ketika masyarakat justru sedang merindukan kembalinya pemerintahan Orde Baru atau sangat apatis pada dunia politik. Sulit mengharapkan kaum muda Indonesia yang hidup di dekade pertama abad 21 ini akan lebih tertarik pada sosok Soe ketimbang pada rekan sepergaulan yang 'biasa-biasa saja'. Bertolak belakang dengan karakter anak-anak muda lain yang santai dan gaul, Soe tampil di film ini sebagai sosok penyendiri yang aneh, kutu buku yang membosankan, kikuk dan memalukan dalam hubungan percintaan, nasionalis yang menggebu-gebu, serta serba moralis.'3 Semasa penindasan Orde Baru, akan jauh lebih mudah meromantisasi aktivisme mahasiswa dan mengidolakan sosok yang tak kenai kompromi seperti Soe. Akan tetapi, di tahun 2005 adegan berikut tampak ketinggalan zaman, jika bukan menggelikan. Konon ketika tiba di puneak sebuah gunung, Gie bergumam: "Inilah Indonesia tercinta ... (Gie melepaskan pandangannya penuh cinta) Lu baru bisa bilang gitu dengan bangga kalau lu bisa liat dan ngerasain langsung ... Itu sebabnya kita naik gunung" (Riza 2005: 26). Pada kesempatan berbeda, saat tiba di puneak Gunung Salak, Gie dan kawan-kawannya menyanyikan sebuah lagu patriotik berjudul "Padamu Negeri" (Riza 12
200 5: 91). Kemudian, masalah mendasar yang kedua, Soe Hok Gie justru tampak begitu asing bagi kebanyakan orang Indonesia karena
ditampilkan sebagai 'orang akan makhluk dari planet lail kehidupan sehari-hari di Ind biasa yang sering kita jumpai, pembahasan umum soal orang sosok semacam Soe Hok Gie gampang dijadikan rujukan), dimitoskan di awang-awang. D teladan warga negara Indone orang Cina yang biasa-biasa. idola orang Indonesia seeara pun. Selain masalah muatan sudut pandang politik Gie jl Pertama, dalam hal etnisitas penyimpangan yang berarti c walau menunjukkan rasa sim utama berlatar belakang etnis ( mengeeewakan dalam mengg. 196o-an yang amat peka dan malah menguatkan propaganc telah ramai ditolak oleh masya Perkenankan saya mengulas Ie Sesuai dengan kehidup< menampilkan sejumlah toko berbeda di Indonesia. Namun nya, Riri Riza, sutradara dan p berasal dari etnis Cina denE mereka. Tokoh-tokoh lainnya individu tanpa menyinggung I
1
Seorang keturunan Cina J Dua orang keturunan CiJ keeil. Seorang pria 50 tahun ket sebuah meja makan merr
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> KEWARGANEGARAAN DAN ETNIS CINA
Ii ketika dijadikan sasaran 1mber utama masalah film
l kehilangan momentum eperti yang diniatkan oleh 3. terbuka dalam promosi )ada saat film itu dibuat, n semangat, kegiatan para 19a1ami kekeeewaan berat itik tahun 1998. Dengan Jmosi seperti yang telah . berupaya menghidupkan nesia dengan bernostalgia mantis. Namun, usaha itu g merindukan kembalinya is pada dunia politik. Sulit g hidup di dekade pertama Soe ketimbang pada rekan ( belakang dengan karakter LUI, Soe tampil di film ini buku yang membosankan, )ercintaan, nasionalis yang luh lebih mudah meromanakan sosok yang tak kenaI ahun 2005 ad egan berikut nenggelikan. Konon ketika gumam: "Inilah Indonesia I penuh cinta) Lu baru bisa iat dan ngerasain langsung 005: 26). Pada kesempatan (, Gie dan kawan-kawannya dul "Padamu Negeri" (Riza kedua, Soe Hok Gie justru , orang Indonesia karena
129
ditampilkan sebagai 'orang Indonesia sangat ideal'. Ia seakanakan makhluk dari planet lain yang tidak bisa kita temukan dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia. la bukanlah orang Indonesia biasa yang sering kita jumpai, kenali, atau tiru. Di masa Orde Baru, pembahasan umum soal orang Cina di Indonesia kerap merujuk pada sosok semaeam Soe Hok Gie, bukan karena ia terkenal (sehingga gampang dijadikan rujukan), melainkan karena sifat baiknya yang dimitoskan di awang-awang. Di mana-mana namanya disebut sebagai teladan warga negara Indonesia yang 'baik' dan menjadi panutan orang Cina yang biasa-biasa. Masalahnya, jangan-jangan ia bukan idola orang Indonesia seeara umum dari latar-balakang etnis mana pun. Selain masalah muatan nasionalisme yang berlebihan, dari sudut pandang politik Gie juga mengandung dua persoalan lain. Pertama, dalam hal etnisitas ke-Cina-an, film ini tidak melakukan penyimpangan yang berarti dari tuturan dan stereo tip Orde Baru, walau menunjukkan rasa simpati yang luar biasa besar bagi tokoh utama berlatar belakang etnis Cina. Kedua, film ini seeara politik amat mengeeewakan dalam menggambarkan periode pertengahan tahun 196o-an yang amat peka dan kontroversial. Bisa dikatakan film ini malah menguatkan propaganda Orde Baru pada saat propaganda itu telah ramai ditolak oleh masyarakat yang ada di luar gedung bioskop. Perkenankan saya mengulas lebih lanjut kedua soal ini. Sesuai dengan kehidupan-nyata dan peristiwa sejarah, Gie menampilkan sejumlah tokoh dari pelbagai latar belakang etnis berbeda di Indonesia. Namun anehnya, dalam terbitan naskah filmnya, Riri Riza, sutradara dan penulis cerita, menampilkan sosok yang berasal dari etnis Cina dengan mencantumkan keterangan etnis mereka. Tokoh-tokoh lainnya, yang non-Cina, ditampilkan sebagai individu tanpa menyinggung latar etnisnya. Ini contohnya: Seorang keturunan Cina menyapanya, ia adalah TAN KOEN Dua orang keturunan Cina saling berpandangan dengan senyum keeil. Seorang pria 50 tahun keturunan Cina, SURYA WINATA, duduk di sebuah meja makan membaea koran.
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> 130
BUDAYA POPULER DI INDONESIA
DI SEBUAH WARUNG BAKMI. Dua orang tua keturunan Cina dengan sangat intens berbagi baca sebuah koran. (Riza 2005: 30, 47, 95, 144) Di dalam film orang-orang ini tidak terlihat khas 'Cina', mungkin karena memang dikehendaki demikian oleh si pembuat film. Masalah pencitraan kaum peranakan Cina dalam perfilman Indonesia pasca-1998 memerlukan pembahasan khusus di luar lingkup kajian ini.'4 Cukup untuk dicatat di sini bahwa tokoh utama dalam kedua film terse but tidak memiliki wajah seseorang yang biasa dikenali masyarakat Indonesia sebagai 'khas' tampang orang Cina di Indonesia. Malahan, dalam Gie, Soe Hok Gie muncul dengan wajah sangat Indo - citra baku pahlawan laki-Iaki di dunia perfilman Indonesia dan negara-negara bekas jajahan Eropa lainnya. Nicholas Saputra, yang memainkan peran sebagai Soe Hok Gie bertampang blasteran Eropa, berayah Jerman. Selama beberapa dekade di pertengahan abad keduapuluh, banyak kalangan di Indonesia memperdebatkan apakah warganegara dari etnis Cina harus menghapuskan ke-Cina-an mereka untuk menjadi Indonesia, atau mempertahankan warisan budaya mereka secara setara dengan kelompok etnis lain. Gagasan 'asimilasi' yang menganggap orang Cina harus menghapuskan ke-Cina-an mereka didukung oleh kelompok masyarakat sayap kanan termasuk militer. Sementara pandangan 'integrasi' yang berpendapat orang Cina boleh mempertahankan warisan budaya mereka didukung oleh kubu yang condong ke kiri-kirian.'5 Bangkitnya rezim Orde Baru yang militeristik mengakhiri perdebatan ini dengan mewajibkan 'asimilasi' sebagai satu-satunya modus yang sahih bagi orang Cina yang ingin menjadi Indonesia. Namun, seperti dipaparkan sebelumnya, program asimilasi Orde Baru sengaja dirancang untuk gagal. Sebab, bila tidak gagaJ, justru akan merusak kepentingan para penggagas program asimilasi itu sendiri. Jika ditengok kembali pada tahun 2ooo-an, masa di mana segala sesuatu yang berbau propaganda Orde Baru dicurigai, tokoh pahlawan kita Soe Hok Gie muncul sebagai pendukung militer (asimilasionis) dalam film terse but (Riza 2005: 44). Sesungguhnya, dukungan bagi kepentingan militer tidak hanya ditunjukkan oleh
tokoh Soe Hok Gie. Seluruh berpihak pada militer, teruta sejarah yang kelam dan penuh Padahal Gie dibikin ketik. pembongkaran pelbagai mito5 1965, menolak keabsahan rez merehabilitasi stigma berkep, yang bersimpati kepada komI terangan masyarakat menuntu kekuasaan militer, kendati upa Pelbagai mitos yang berkemb, promosi komersial film ini me masyarakat tentang sebuah fill politik yang tak kenaI kompl Apa yang kita dapati dari film dengan kalimat-kalimat juru dengan semangat anti-Soekarr Kepada salah seorang kawan "Sederhananya, gue cuma ing: Iebih baik. '" satu-satunya car 2005: 67). Gie pun bergabung d disponsori militer dan menun Komunis (Riza 2005: 79,92,114 Dengan demikian, Gie tid, penonton untuk berpihak pac kisah kegiatan Soe dalam film i mahasiswa yang dianjurkan n nasionaIis, menjauh dari 'politi moral atas nama rakyat. Kecual pemerintahan dengan kecarr: pahlawan apolitis yang berper barang yang paling kotor, lum] saat di mana kita tak dapat m 2005: 53). Satu-satunya bentul ditunjukkan tokoh utama dala jalan, yang pada gilirannya mel tampuk kekuasaan negara. Na
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> KEWARGANEGARAAN DAN ETNIS CINA
la orang tua keturunan Cina ~buah koran. (Riza 2005: 30, 47, 95,144) rlihat khas 'Cina', mungkin III oleh si pembuat film. a dalam perfil man Indonesia lUSUS di luar lingkup kajian l tokoh utama dalam kedua eo rang yang biasa dikenali ang orang Cina di Indonesia. II dengan wajah sangat Indo ja perfil man Indonesia dan lya. Nicholas Saputra, yang lertampang blasteran Eropa, ngahan abad keduapuluh, ·batkan apakah warganegara ke-Cina-an mereka untuk ~an warisan budaya mereka in. Gagasan 'asimilasi' yang puskan ke-Cina-an mereka ,'ap kanan termasuk militer. rpendapat orang Cina boleh reka didukung oleh kubu lya rezim Orde Baru yang ngan mewajibkan 'asimilasi' bagi orang Cina yang ingin ,arkan sebelumnya, program ltuk gaga!. Sebab, bila tidak n para penggagas program Ii pada tahun 2000-an, masa aganda Orde Baru dicurigai, I sebagai pendukung mil iter a 2005: 44). Sesungguhnya, ak hanya ditunjukkan oleh
131
tokoh Soe Hok Gie. Seluruh perspektif dalam film ini condong berpihak pada militer, terutama yang berkaitan dengan peristiwa sejarah yang kelam dan penuh darah di tahun 1965-66.,6 Padahal Gie dibikin ketika rakyat Indonesia tengah melakukan pembongkaran pelbagai mitos dalam sejarah resmi peristiwa tahun 1965, menolak keabsahan rezim militer Orde Baru, dan berusaha merehabilitasi stigma berkepanjangan yang diderita oleh mereka yang bersimpati kepada komunisme dan Soekarno. Secara terangterangan masyarakat menuntut keadilan atas segala penyalahgunaan kekuasaan militer, kendati upaya ini sering tidak membuahkan hasil. Pelbagai mitos yang berkembang tentang sosok Soe Hok Gie, serta promosi komersial film ini melambungkan harapan tinggi di tengah masyarakat tentang sebuah film yang berkisah tentang sosok aktivis politik yang tak kenaI kompromi dalam melawan represi negara. Apa yang kita dapati dari film justru sebaliknya. Nyaris sarna persis dengan kalimat-kalimat juru bicara Orde Baru, Gie ditampilkan dengan semangat anti-Soekarno dan anti-Komunis, serta pro-mil iter. Kepada salah seorang kawan baiknya, Herman, Gie mengatakan: "Sederhananya, gue cuma ingin perubahan, supaya kita bisa hidup lebih baik. ... satu-satunya cara adalah Soekarno harus jatuh" (Riza 2005: 67). Gie pun bergabung dengan demonstrasi anti-Komunisyang disponsori militer dan menuntut pelarangan resmi terhadap Partai Komunis (Riza 2005: 79, 92, 114)· Dengan demikian, Gie tidak sekadar berupaya menyeret simpati penonton untuk berpihak pada militer. Secara garis besar, seluruh kisah kegiatan Soe dalam film ini merupakan percontohan gaya hidup mahasiswa yang dianjurkan rezim Orde Baru: rajin belajar, berjiwa nasionalis, menjauh dari 'politik yang kotor', dan menjadi juru bicara moral atas nama rakyat. Kecuali kecenderungannya mengusik pejabat pemerintahan dengan kecaman moral, Gie menampilkan sosok pahlawan apolitis yang berpendapat: "Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor, lumpur-lumpur yang kotor ... Tetapi suatu saat di mana kita tak dapat menghindari lagi maka terjunlah" (Riza 2005: 53). Satu-satunya bentuk aktivitas politik yang secara terbuka ditunjukkan tokoh utama dalam film adalah ikut berdemonstrasi di jalan, yang pada gilirannya melapangkan jalan mil iter untuk merebut tamp uk kekuasaan negara. Namun, dia dan ternan-ternan dekatnya
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> : :: :3 _:-,',V',
FOPULER DI INDONESIA
punyd. kepentingan yang berbeda: "Ntar kita isi senat dengan kegiatan
)ang kita suka saja ... Naik gunung, musik, nonton film ... Tapi sekalisekali kita tetap harus hantam pemerintah tentunya!" (Riza 2005: 6061).
Film ini juga menampilkan sosok yang berseberang ideologi dengan tokoh Gie, yakni Tan Tjin Han, sahabat Gie ketika masih anakanak, yang kemudian bergabung dengan Partai Komunis Indonesia. Kita ingat kegelisahan Sen yang disampaikan di awal pembahasan mengenai adegan dalam Ca-bau-kan yang menggambarkan Tan Peng Liang membuat kontrak jual beli senjata ilegal dengan gerilyawan komunis anti-kolonial. Sen khawatir penggambaran ini jangan-jangan akan menguatkan propaganda Orde Baru yang tidak bisa dipertanggungjawabkan ihwal keterlib~tan Republik Rakyat Cina dan orang Cina di Indonesia secara umum dalam apa yang dituduhkan sebagai upaya kudeta kelompok komunis tahun 1965 di Indonesia. Berbeda dari Tan Peng Liang yang tampak lebih cerdas dan semata berkiblat bisnis ketika berurusan dengan Komunis, Tan Tjin Han secara resmi bergabung dengan Partai Komunis Indonesia berdasarkan keyakinan ideologis. Dengan kata lain, bila berpijak pada kekhawatiran Sen, film Gie bisa dibilang memberi pengaruh yang jauh lebih berbahaya ketimbang segala penggambaran yang ada dalam Cabau-kan. 17 Tan Peng Liang, tokoh setengah-pahlawan dalam Ca-bau-kan, berhasil selamat dari kecamuk perang di negeri ini hingga merdeka. Jasanya kemudian diakui secara resmi oleh wakil pemerintah dari negara yang masih seumur jagung itu. Sebaliknya, Tan Tjin Han dalam Gie ditampilkan sebagai orang yang salah langkah, sehingga harus dihukum kejam oleh militer yang dalam sebagian besar cerita mendapat dukungan Gie. Ciri lrnas kebanyakan karya fiksi yang muncul di masa Orde Baru juga muncul dalam film Gie yakni adanya adegan seorang bijaksana (Gie) yang menasehati dan menentang keterlibatan politik seorang anak muda yang naif, terutama terkait dengan posisi politiknya yang berlawanan dengan militer. 18 Adegan ini menjadi semacam pengantar, dan sekaligus nyaris membenarkan pembunuhan besar-besaran yang akan menimpa mereka yang bergeming dari kebodohan menolak nasihat yang sudah diberikan sebelumnya (Riza 2005: 31).
Menjelang akhir cerita fil militer dan gerakan politik me sarna sekali tidak disebutkan militer dalam pembantaian se~ 1965-66. Juga tidak ada pemy bagian dari Perang Dingin y dimana blok Barat bekerja s memusnahkan partai komuni dan Republik Rakyat Cina. F disinggung di bagian awal fi menjadi bagian rangkaian per sendiri. Kelihatannya faktor i Gie, kendati ia seharusnya n intelektual. Dikisahkan dari su membebaskan diri dari tuduh, dalam kejahatan nasional palil menimpa Tan Tjin Han (dan latar belakang etnis berbeda Iai seakan-akan sebuah nasib bun Penutup
Ada dua catatan singkat pen! ini. Pertama, seperti halnya menyimpang dan menantang di Indonesia, terutama mengt saat yang sarna kedua film mt niat tersebut. Nuansa stereoti{: masih kental dalam kedua filr Gie, sudah berusaha ditampm di Indonesia, namun tidak d yang progresif atau subversif etnisitas yang dominan. Dalal punya beberapa nilai baik, h, dan selir yang pribumi. Seme berbeda secara ganda: 'tidal Indonesia, sehingga sulit menj
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> KEWARGANEGARAAN DAN ETNIS CINA
kita isi senat dengan kegiatan ik, nonton film ... Tapi sekali:ah tentunya!" (Riza 2005: 60( yang berseberang ideologi iliabat Gie ketika masih anakm Partai Komunis Indonesia. lpaikan di awal pembahasan yang menggambarkan Tan beli senjata ilegal dengan khawatir penggambaran ini 19anda ,Orde Baru yang tidak eterlibatan Republik Rakyat cara umum dalam apa yang mpok komunis tahun 1965 di 19 yang tampak lebih cerdas 1rusan dengan Komunis, Tan an Partai Komunis Indonesia in kata lain, bila berpijak pada memberi pengaruh yang jauh ~ambaran yang ada dalam Ca-
)ahlawan dalam Ca-bau-kan, :Ii negeri ini hingga merdeka, oleh wakil pemerintah dari 1. Sebaliknya, Tan Tjin Han ~'ang salah langkah, sehingga ~ dalam sebagian besar cerita (e banyakan karya fiksi yang 1 dalam film Gie yakni adanya menasehati dan menentang a yang naif, terutama terkait nan dengan militer.'8 Adegan ~kaligus nyaris membenarkan :an menimpa mereka yang lasihat yang sudah diberikan
133
Menjelang akhir cerita film, Gie tampak kecewa dengan rezim militer dan gerakan politik mahasiswa yang muncul kemudian. Tapi sarna sekali tidak disebutkan dalam cerita itu adanya keterlibatan militer dalam pembantaian sekitar satu juta orang penduduk di tahun 1965-66. Juga tidak ada pernyataan bahwa peristiwa ini merupakan bagian dari Perang Dingin yang tengah melanda dunia saat itu, dimana blok Barat bekerja sarna dengan kalangan militer untuk memusnahkan partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina. Faktor internasional demikian sempat disinggung di bagian awal film dalam bentuk teks, namun tidak menjadi bagian rangkaian peristiwa yang terhampar dalam film itu sendiri. Kelihatannya faktor ini luput dari perhatian tokoh utama Gie, kendati ia seharusnya merupakan sosok yang unggul secara intelektual. Dikisahkan dari sudut pandang seorang penyendiri, yang membebaskan diri dari tuduhan mendukung kelompok yang terlibat dalam kejahatan nasional paling genting, tragedi tahun 1965-66 yang menimpa Tan Tjin Han (dan jutaan rakyat Indonesia dari pelbagai latar belakang etnis berbeda lainnya) digambarkan dan diu las berjarak seakan-akan sebuah nasib buruk. Penutup
Ada dua catatan singkat penutup bisa dikemukakan dari bahasan ini. Pertama, seperti halnya Cau-bau-kan, Gie merupakan upaya menyimpang dan menantang gagasan dominan dan stereotip etnis di Indonesia, terutama mengenai minoritas etnis Cina. Namun, di saat yang sarna kedua film menunjukkan betapa sulitnya mencapai niat terse but. Nuansa stereotip etnis pada derajat yang berbeda-beda masih kental dalam kedua film ini. Para tokoh utamanya, terutama Gie, sudah berusaha ditampilkan berbeda dengan tipikal orang Cina di Indonesia, namun tidak disertai sikap dan kerangka pemikiran yang progresif atau subversif terhadap pemahaman mendasar soal etnisitas yang dominan. Dalam Ca-bau-kan, tokoh Tan Peng Liang punya beberapa nilai baik, hanya karena ia memiliki seorang ibu dan selir yang pribumi. Sementara dalam Gie, tokoh utama tampil berbeda secara ganda: 'tidak khas' Cina sekaligus 'tidak khas' Indonesia, sehingga sulit menjadi teladan yang bisa dikenali generasi
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> 134
BUDAYA POPULER Dl INDONESIA
muda Indonesia masa kini. Kedua, dari sisi kebangsaan Indonesia dan status kelompok etnis Cina, Gie lebih progresif ketimbang Ca-baukan. Gie lebih banyak menampung aspek-aspek yang majemuk dalam proyek pembangunan-bangsa, tanpa pandang bulu terhadap latar belakang etnis warga negaranya. Bertentangan dengan pandangan politiknya mengenai kedudukan orang Cina di Indonesia (yakni asimilasi), dan berlawanan dengan kebijakan politik Orde Baru yang lebih keras, Soe mempertahankan nama Cinanya sepanjang hayat. Ia terlibat aktif dalam proyek pembangunan-bangsa bersama anggota masyarakat lain yang berasal dari etnis berbeda. Namun, yang tidak disampakan Gie pada penontonnya adalah bahwa tindakan semacam itu hanya mungkin dilakukan segelintir orang di wilayah tertentu yang sangat terbatas seperti di ibu kota, Jakarta. Kebanyakan orang Cina di Indonesia pada tahun 1960-an-juga di Jakarta, tapi terutama di luar ibu kota-tidak punya pilihan kecuaH menyerah pada tekanan pemerintah Orde Baru yang memaksa mereka melepaskan nama pribadi dan menggantinya dengan nama yang lebih 'Indonesia', seperti yang dilakukan oleh kakak Soe sendiri, yakni Arief Budiman. Pelbagai kalangan masyarakat telah mengakui bahwa komunitas peranakan Cina di Indonesia-seperti halnya kelompok etnis lainpada dasarnya majemuk, dan tidak sedikit dari mereka yang sudah berakulturasi dengan tradisi kehidupan lokal dan/atau kebudayaan global. Tapi, seperti yang digambarkan dalam dua film di atas, kesadaran ini biasanya tidak disertai langkah selanjutnya dengan mempertanyakan dualisme pemisah pribumi/non-pribumi, sehingga etnisitas sebagai sesuatu yang 'mengada-ada' tidak tergugat. Seiring dengan pesatnya ketenaran yang diraih sosok-sosok berwajahoriental dalam sinetron televisi impor di awal tahun 2000-an (dengan kesuksesan sinetron buatan-Taiwan berjudul Meteor Garden) (lihat Bab 5), kita menyaksikan pertumbuhan pesat film-film serupa tentang dunia remaja dan yang membidik penonton remaja. Yang menarik, walau pelbagai film tersebut tidak menonjol di pasaran, namun kehadiran sosok etnis Cina di dalamnya jauh lebih realis ketimbang dalam Ca-bau-kan atau Gie, misalnya penampilan tokoh yang sangat 'Cina' di Indonesia (]o Hari Mencari Cinta, 2004) atau orang Cina dari bangsa lain (Brownies, 2005). Pelbagai tokoh dalam film-film ini terlepas dari beban stereotip umum dan mereka lebih terlihat sebagai
orang Indonesia 'biasa' ketimh Gie. Namun, bukan berarti fiIn sinematik. Seperti telah dipap< film yang ada di bab ini tidak c Persis ketika tulisan ini te yang mendapat sambutan leb dan membaca berita peluncUl film tentang dunia remaja lai sebagai sesuatu yang bermasa sejumlah penghargaan berge Photographs. Sayangnya, kedu penelitian saya sudah mencaF bisa dimasukkan dalam kajian Sangat jarang orang Inc timbangkan gagasan etnisitas khusus dibangun secara sosial dan rentan terhadap analisis del 'darah Cina'-yang kadang dalam 'tubuh' seseorang masi berbahaya dalam percakapan 5 mengkritik kebijakan rasis Ore hak sipil etnis minoritas ini ce fiksi terse but. Mereka menyam melihat 'Cina' dan 'pribumi' p2 berbeda, hidup berdampingan Karena komunitas peran.: diri mereka sendiri dan dian~ tertindas dan dinistakan di me sebagai mahluk rekaan-mak utama kelompok sosial ini d atau kebangkitan kembali apa kebenaran dan keadilan. M yang sah dan diakui dalam I mempertanyakan secara radikc gagasan soal etnisitas, ke-Cinc resmi kebangsaan. []
i sisi kebangsaan Indonesia dan
progresif ketimbang Ca-bau>ek-aspek yang majemuk dalam pandang bulu terhadap latar :tentangan dengan pandangan mg Cina di Indonesia (yakni bijakan politik Orde Baru yang na Cinanya sepanjang hayat. Ia unan-bangsa bersama anggota is berbeda. Namun, yang tidak lalah bahwa tindakan semacam ntir orang di wilayah tertentu )ta, Jakarta. Kebanyakan orang -juga di Jakarta, tapi terutama kecuali menyerah pada tekanan csa mereka melepaskan nama nama yang lebih 'Indonesia', ~ sendiri, yakni Arief Budiman. ah mengakui bahwa komunitas i halnya kelompok etnis lainedikit dari mereka yang sudah an lokal dan/atau kebudayaan 'kan dalam dua film di atas, ~ langkah selanjutnya dengan )ribumi/non-pribumi, sehingga Ida-ada' tidak tergugat. Seiring diraih sosok-sosok berwajahdi awal tahun 2000-an (dengan )erjudul Meteor Garden) (lihat n pesat film-film serupa tentang nonton remaja. Yang menarik, menonjol di pasaran, namun lya jauh lebih realis ketimbang penampilan tokoh yang sangat Cinta, 2004) atau orang Cina bagai tokoh dalam film-film ini m mereka lebih terlihat sebagai
1
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> KEWARGANEGARAAN DAN ETNrs CrNA
135
orang Indonesia 'biasa' ketimbang tokoh utama dalam Ca-bau-kan dan Gie. Namun, bukan berarti film-film ini lebih unggul dari segi kualitas sinematik. Seperti telah dipaparkan di bagian awal, pembahasan filmfilm yang ada di bab ini tidak diukur dari segi kualitas seninya. 19 Persis ketika tulisan ini telah tuntas, saya sempat menonton film yang mendapat sambutan lebih hangat, yakni Berbagi Suami (2006) dan membaca berita peluncuran Photographs (2007). Seperti dalam film tentang dunia remaja lainnya di atas, etnis Cina tidak muncul sebagai sesuatu yang bermasalah dalam Berbagi Suami yang meraih sejumlah penghargaan bergengsi. Demikian juga halnya dengan Photographs. Sayangnya, kedua film ini diluncurkan pada saat jadwal penelitian saya sudah mencapai batas akhir, sehingga mereka tidak bisa dimasukkan dalam kajian ini. Sangat jarang orang Indonesia yang secara serius mempertimbangkan gagasan etnisitas sebagai fiksi modern, sesuatu yang khusus dibangun secara sosial dan terikat peristiwa sejarah tertentu, dan rentan terhadap analisis dekonstruksi dan rekonstruksi. Ungkapan 'darah Cina'-yang kadang kala tidak murni -yang mengalir dalam 'tubuh' seseorang masih menjadi bagian dalam bahasa yang berbahaya dalam percakapan sehari-hari. Bahkan mereka yang tegas mengkritik kebijakan rasis Orde Baru dan para penggagas penguatan hak sipil etnis minoritas ini cenderung menganut dan memproduksi fiksi terse but. Mereka menyamakan etnisitas dengan keturunan serta melihat 'Cina' dan 'pribumi' pada dasarnya sebagai dua mahluk yang berbeda, hidup berdampingan dalam keselarasan atau perseteruan. Karena komunitas peranakan Cina di Indonesia menganggap diri mereka sendiri dan dianggap orang lain sebagai kelompok yang tertindas dan dinistakan di masa Orde Baru-ketimbang diciptakan sebagai mahluk rekaan-maka ketika Orde Baru tumbang, agenda utama kelompok so sial ini disusun dalam kerangka pembebasan atau kebangkitan kembali apa yang telah 'hilang'. Mereka menuntut kebenaran dan keadilan. Mereka lebih sibuk mencari ruang yang sah dan diakui dalam pemerintahan yang baru, ketimbang mempertanyakan secara radikal atau 'mendekonstruksi' keseluruhan gagasan soal etnisitas, ke-Cina-an, kepribumian, serta pamahaman resmi kebangsaan. []
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> 136
BUDAYA POPULER DI INDONESIA
6.
CATATAN Penulis berterima kasih atas masukan yang diberikan Joel Kahn, Miriam Lang, Webb Keane, Nancy Florida, Andy Fuller, Bethany Fellows, dan Max Richter atas naskah awal tulisan ini. Terima kasih juga kepada peserta seminar 'Identities, Nations and Cosmopolitan Practice: Interrogating the Work of Pnina and Richard Werbner', Asia Research Institute (National University of Singapore), 29 April 2004; peserta ceramah yang saya berikan di Michigan University (9 April 2007) sebagai bagian dari seri kajian universitas bertajuk 'Citizenship at Risk: International Perspectives'. Segala kekurangan yang ada dalam tulisan ini tetap menjadi tanggung jawab penulis. Satu-satunya perkecualian (adanya tokoh penting berlatar belakang peranakan Cina dalam cerita, atau adanya ketegangan etnis sebagai persoalan utama dalam cerita) yang saya temukan saat itu adalah novel Orang Buangan karya Harijadi S. Hartowardojo (1971). Saya pernah melewatkan perkecualian lain, yakni karya Bagin (1981), sebelum novelnya diangkat menjadi sinetron pada tahun 2002 (Pareanom dan Setiyardi 2002). 1.
2. Beberapa kategorisasi ini merupakan rancangan saya sendiri untuk keperluan analisis (lihat Heryanto 1988). Sen dan Hill (2000: 23-24) mengembangkan lebih jauh kerangka tersebut dalam melakukan analisis media Indonesia mutakhir.
3. Untuk pembahasan lebih lanjut tentang masalah ini lihat Anderson (1999)· 4. Pemilu legislatif pada April 2004 yang dirayakan secara luas sebagai pemilu paling demokratis di negeri ini mengantarkan Golkar sebagai pemenang pertama. Pada bulan yang sarna, rapat Golkar memilih pensiunan Jenderal Wiranto (Panglima Besar Angkatan Bersenjata dari rezim Soeharto, yang jejak rekamnya dalam bidang pelanggaran hak asasi manusia mendapat kecaman di tingkat nasional dan internasional) sebagai calon partai untuk pemilu presiden di bulan Juli 2004. Pesaing utamanya dalam pemilihan presiden adalah mantan jenderal dari masa Soeharto lainnya, Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden Indonesia, dari 2004-9). 5. Dari salah satu survei, disimpulkan sebanyak 60.3 persen dari 2,160 responden (di 372 desa dan kota di 32 provinsi) lebih menyukai sistem politik Orde Baru masa Soeharto ketimbang keadaan di tahun 2003. Dalam survei lain, sebanyak 53 persen pemilih yang memenuhi syarat dalam pemilu tahun 2004 "lebih menyukai pemimpin yang kuat seperti mantan presiden Soeharto, walau di situ pelbagai hak dan kebebasan akan dikekang" (lihat Kurniawan 2003).
Lihat ulasan singkat saya di H
7. Penyimpangan ini hanya SE stereotip peranakan Cina di Ind, maupun profesinya (pengusaha). 8.
Acuan kutipan dalam bab ini
9. Kecenderungan serupa bisa di dalam film-film dari negara-negarc Tinung, sang ibu, kemudial Betawi dan Bali. (Sylado 1999:3).
10.
Baik dalam novel maupun film historis pembantaian tahun 1740. P, peristiwa ini juga banyak mengab. Ricklefs menilai penyebab peristi'v dan 'perlawanan' migran Cina di d 90-91). Seandainya aksi itu dilakuk. akan tercatat dalam sejarah nasion 11.
12. Acuan untuk Gie bersumber ( dengan judul yang sarna. 13. Bandingkan hal ini dengan up menulis tetralogi dari kamp penal awal pengasingan (1965-1979), T( beberapa majalah remaja yang dii. bahasa dan pandangan-dunia dar: novelnya dalam bahasa yang akar saya tidak mempersoalkan sejaul dicatat, berbedadengan tokoh utaJ novel Toer-jauh lebih berani mer dan intelektual. Minke berkawan ( beragam ras dan kelas sosial. Ia me yang berasal dari suku yang berbe< 14. Saya berterima kasih kepad, komentar mereka ketika menangg pendek dari tulisan ini di Michigar 15.
Untuk memahami lebih lanju
16. Menjelang akhir cerita Gie bel terhadap pemerintah militer. Mun! diri para pembuat film. Namun, p' sangat sedikit, sehingga hampir t keseluruhan konteks cerita.
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> KEWARGANEGARAAN DAN ETNrs CrNA
6.
137
Lihat ulasan singkat saya di Heryanto (2006: 216, n.s).
7. Penyimpangan ini hanya sebagian, karena Tan masih merupakan stereotip peranakan Cina di Indonesia, baik dalam hal oportunismenya maupun profesinya (pengusaha).
diberikan Joel Kahn, Miriam er, Bethany Fellows, dan Max h juga kepada peserta seminar e: Interrogating the Work of ;titute (National University of mg saya berikan di Michigan eri kajian universitas bertajuk '. Segala kekurangan yang ada b penulis.
h penting berlatar belakang ;angan etnis sebagai persoalan I adalah novel Orang Buangan nah melewatkan perkecualian ya diangkat menjadi sinetron ~ ).
Lncangan saya sendiri untuk )en dan Hill (2000: 23-24) Jt dalam melakukan analisis masalah ini lihat Anderson
lirayakan secara luas sebagai engantarkan Golkar sebagai ,at Golkar memilih pensiunan ~rsenjata dari rezim Soeharto, 1 hak asasi manusia mendapat 1) sebagai calon partai untuk utamanya dalam pemilihan larto lainnya, Susilo Bambang
myak 60.3 persen dari 2,160 insi) lebih menyukai sistem eadaan di tahun 2003. Dalam emenuhi syarat dalam pemilu mat seperti mantan presiden ebasan akan dikekang" (lihat
8.
Acuan kutipan dalam bab ini bersumber dari novelnya.
9. Kecenderungan serupa bisa dijumpai dalam kesusastraan Indonesia dan dalam film-film dari negara-negara lain seperti India. Tinung, sang ibu, kemudian diketahui berasal dari campuran etnis Betawi dan Bali. (Sylado 1999:3).
10.
Baik dalam novel maupun filmnya, Ca-bau-kan tidak menyajikan konteks historis pembantaian tahun 1740. Pembahasan secara umum di Indonesia soal peristiwa ini juga banyak mengabaikan peristiwa tersebut. Sejarawan Merle Ricklefs menilai penyebab peristiwa kekerasan ini adalah aksi anti-Belanda dan 'perlawanan' migran Cina di dalam dan di sekitar Batavia (Ricklefs 1993: 90-91). Seandainya aksi itu dilakukan kaum 'pribumi', mungkin sekali mereka akan tercatat dalam sejarah nasional sebagai pejuang kemerdekaan bangsa. 11.
12. Acuan untuk Gie bersumber dari naskah skenario film yang diterbitkan dengan judul yang sarna. 13. Bandingkan hal ini dengan upaya sadar PramoedyaAnanta Toer ketika ia menulis tetralogi dari kamp penahanan di Pulau Buru. Selama tahun-tahun awal pengasingan (1965-1979), Toer hanya memiliki akses terbatas pada beberapa majalah remaja yang diizinkan pemerintah. Konon ia mempelajari bahasa dan pandangan-dunia dari majalah tersebut, dan bertekad menulis novelnya dalam bahasa yang akan menarik perhatian kaum muda. Di sini saya tidak mempersoalkan sejauhmana upayanya itu berhasil. Yang layak dicatat, berbeda dengan tokoh utama dalam Gie, Minke-tokoh utama dalam novel Toer-jauh lebih berani menjelajahi dunia politik, romantika, seksual, dan intelektual. Minke berkawan dan bermusuhan dengan orang-orang dari beragam ras dan kelas sosial. Ia menikah lebih dari sekali dengan perempuan yang berasal dari suku yang berbeda-beda. 14. Saya berterima kasih kepada Nancy Florida dan Webb Keane untuk komentar mereka ketika menanggapi presentasi saya dalam versi yang lebih pendek dari tulisan ini di Michigan University (April 2007). 15.
Untuk memahami lebih lanjut perdebatan tersebut, lihat Purdey (2003).
16. Menjelang akhir cerita Gie berubah sikap politiknya, menjadi lebih kritis terhadap pemerintah militer. Mungkin perubahan sikap ini juga terjadi dalam diri para pembuat film. Namun, perubahan ini terjadi sangat terlambat, dan sangat sedikit, sehingga hampir tidak membuat perbedaan penting dalam keseluruhan konteks cerita.
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> 138
BUDAYA
Po PULER DI
INDONESIA
17. Ironisnya Partai Komunis Indonesia praktis tidak melakukan apa pun untuk meredam diskriminasi anti-Cina, baik yang terjadi di dalam kehidupan bernegara maupun di dalam tubuh partai itu sendiri. 18. Dave McRae (2002: 47) membahas tema serupa dalam analisisnya soal wacana dominan dalam Orde Baru terhadap gerakan separatis. Menurut wacana itu, hanya mereka yang keblinger atau sesat pemikirannya berniat memisahkan diri dari negara kesatuan Indonesia.
Film-film remaja Indonesia selama periode ini pernah dikritik habishabisan oleh seorang penulis terpandang yang memuji-muji film Gie bahkan sejak saat film itu belum selesai dibuat (Chudori 2004). Gie memenangkan tiga penghargaan dalam Festival Film Indonesia (2005), dan sejumlah penghargaan lain dari luar negeri.
19.
Mengor Rem
Menonton f\1 Perempuan I
SEJUMLAH film Asia Timu: tayang di Indonesia sejak a\'. menorehkan dengan jelas ac Cina dengan apa yang disebul barat negara ini, terutama di ini dilakukan selama awal-aw televisi swasta nasional men, dan film Asia Mandarin ser harian mereka. Setelah ke! program drama televisi prod terakhir abad keduapuluh, s berlomba-Iomba memburu I Timur lainnya seperti Korea, Di awal tahun 2ooo-an dan Taiwan seperti Meteor Story digemari banyak oran saya bukan semata hendak merupakan tren baru di Indc baru itu adalah cakupan dar yang besar terhadap pel bag yang bukan-Barat. Popularit Indonesia saat ini bisa dilil