Jurnal KOMUniKASI PENELITIAN
Ria Manurung Lina Sudarwati
Volume 17 ( 1) 2005
REALITAS PEMBAURAN ETNIS CINA DI KOTA MEDAN Ria Manurung Lina Sudarwati Staf Pengajar FISIPOL Universitas Sumatera Utara
Abstract Chinese is one of the ethnic groups who has lived in Indonesia for a long time and has strong economic position. In reality, the Chinese is always the object and victime of ethnic conflict. The government tried to solve this problem by establishing a concept called assimilation. The data for this study were collected through questionnaires distributed to the respondents. Then; they were tabulated, grouped according to the variable and analyzed. The finding of this study reveals that social process works very slowlybecause of the constraints coming from the government, and indigenous ethnic groups in term of their communication, perception and class stratification. Keywords: Acculturation, Integration, Streotype, Prejudice
A. Pendahuluan Tidak dapat dipungkiri kenyataan yang ada di dalam kehidupan di dalam negara maupun antara negara, etnis Cina telah diakui sebagai kelompok yang mengambil peran yang besar terutama di bidang ekonomi. Fakta ini dapat dilihat di Indonesia bahwa golongan pengusaha nonpribumi menguasai 60%-70% kegiatan dunia usaha (Niti Saputra, 2002). Ironisnya, setiap kali terjadi konflik yang menyangkut masalah sosial di dalam masyarakat, kelompok ini selalu menjadi sasaran di antaranya kerusuhan rasial di Semarang dan Solo. Tahun 1995, pengalaman peneliti sendiri di kota Medan, ketika aksi buruh terjadi adalah perusahaan yang dikelola etnis Cina. Ketika terjadi pertukaran kepemimpinan di Indonesia tahun 1998, etnis Cina ini kembali menjadi sasaran kemarahan dan tindak kekerasan di antaranya terjadi di kota Medan. Bila kita kelompok Indonesia persoalan bukan
25
melihat perjalanan sejarah etnis Cina ini telah berada di beberapa generasi. Tentunya adaptasi dan interaksi sosial menjadi masalah namun
kenyataannya dapat dilihat tidak demikian. Rekayasa sosial telah dilakukan melalui pembauran namun kenyataannya menurut Dhana (Madjid,dkk,1998) kegiatan ini juga tidak dapat berjalan dengan baik. Hal ini tentunya menarik sekali untuk mengkaji apa sebenarnya yang menjadi hambatan pembauran antara etnis Cina ini dengan etnis Pribumi dan peluang apa yang dapat diperoleh agar proses pembauran ini terjadi dengan cepat. Tinjauan Kepustakaan Secara proses sosiologis menurut (Suyanto dan Sudarso, 2004) ada dua hal yang mempengaruhi perilaku kelompok secara mendalam yaitu integrasi sosial dan diferensi sosial. Integrasi sosial senantiasa menciptakan proses saling mempengaruhi, yakni kecenderungan untuk saling menarik, tergantung dan menyesuaikan diri. Diferensi sosial cenderung menunjukkan sikap penolakan total, ada yang menerima dengan perubahan-perubahan tertentu. Ini sejalan dengan masyarakat manusia pada dasarnya terdiferensiasi menurut berbagai kriteria di antaranya adalah perbedaan etnik. Diferensi sosial ini di satu sisi dapat menjadi pemicu konflik namun juga dapat dihindari konflik. Perbedaan ini tak pelak
Jurnal KOMUniKASI PENELITIAN
Ria Manurung Lina Sudarwati konflik dilatar-belakangi oleh ekonomi, politik dan sosial budaya.
Volume 17 ( 1) 2005
faktor
Bila dikaji dari pandangan masyarakat merupakan sebuah sistem sosial, maka sebenarnya dua kelompok etnik yang berbeda dapat hidup berdampingan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Talcott Parsons (Irewati, dkk, 2001) masyarakat harus dipandang secara integratif dan perilaku sosial suatu kelompok sangat dipengaruhi oleh nilai dan kebudayaannya. Di mana setiap konflik yang terjadi akan segera dinetralisir oleh anggota kelompok yang mempunyai loyalitas ganda. Selain itu juga penekanan terhadap perbedaan kelompok etnik juga mempengaruhi interaksi diantara etnik. Menurut Kinloch (Sunarto,2004) kelompok yang mayoritas sering menganggap kelompoknya lebih normal dari kelompok lain. Sehingga acapkali kelompok mayoritas dianggap lebih berkuasa dari kelompok minoritas. Ignas Kleden (Sa’dun, 1999) menggambarkan hubungan yang berbentuk dominasi akan menyebabkan permusuhan dan kekerasan. Dalam kaitan ini ada beberapa proses yang dapat dilalui agar tercapai integrasi yaitu melalui proses akulturasi, integrasi dan pluralisme. Sejalan dengan itu Horton Cooley (Poloma, 2002) melihat bahwa kelompok memberikan sosialisasi yang dalam kepada hubungan pribadi individu dengan kelompok. Di mana proses interaksi yang terjadi seseorang akan dapat menyerasikan pikirannya sehingga kehidupannya terarah. Namun demikian hal ini ini tergantung juga kepada adanya prasangka sosial, stereotip dari kelompok terhadap kelompok di luarnya.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana sebenarnya realisasi pembauran antar etnis keturunan di dalam masyarakat dan melihat hambatan apa sajakah yang membuat kegiatan pembauran ini kurang dinamis serta melihat peluang apakah yang dapat diperoleh untuk mempercepat kegiatan pembauran ini. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran mengatasi permasalahan yang sering timbul di dalam interaksi antara etnis keturunan dengan etnis pribumi. B. Metodologi Penelitian Penelitian ini dilakukan di kota Medan, merupakan studi kasus yang dilaksanakan dengan pendekatan kualitatif didukung oleh pendekatan kuantitatif. Objek penelitian ini adalah seluruh masyarakat kota Medan mempunyai peluang sebagai objek penelitian. Sementara itu informan penelitian adalah anggota masyarakat yang dianggap dapat mewakili kelompok masyarakat yang ada di kota Medan yang meliputi mewakili etnis, yang bergerak di bidang pembauran, tokoh masyarakat, kelompok pengusaha, aktivis dan pemerintahan. Untuk mendapatkan data yang dapat menjawab pertanyaan penelitian dilakukan melalui pengumpulan dokumentasi, penyebaran angket yang dipergunakan untuk mendapatkan persepsi masyarakat mengenai pembauran serta wawancara yang mendalam kepada informan dan tokoh kunci yang ada di masyarakat. Data ini akan dianalisis melalui tabel frekuensi sesuai dengan variabel masing –masing. C. Hasil dan Pembahasan
Oleh karena itu untuk mengintegrasikan orang yang mengelompok secara longgar ke dalam suatu kelompok solidaritas, memerlukan waktu berinteraksi yang cukup panjang. Sebab menurut Talcott Parsons (Misztal, 1996) integrasi mempunyai konsekuensi terhadap pembagian nilai, norma dan kohesi sosial.
1. Gambaran Daerah Penelitian Menurut Tengku Lukman Sinar (1971), awalnya Kampung Medan didirikan Raja Guru Patimpus, merupakan Kepala Suku Kesultanan Deli. Tahun 1826, John Anderson, menemukan kampong kecil awalnya penduduknya 200 orang. Saat ini
26
Jurnal KOMUniKASI PENELITIAN
Ria Manurung Lina Sudarwati Kota Medan jumlah penduduk 1.963.855 orang (BPS, 2004) yang tersebar di seluruh Kelurahan dengan komposisi laki-laki 979.106 orang dan perempuan 984.749 orang. Jumlah penduduk di kecamatan Medan Petisah tahun 2002 sebanyak 70.364 orang. Dari jumlah tersebut sebanyak 18.190 orang etnis Cina (Statistik Kecamatan Medan Petisah: 2004). Luas daerah sekitar 265,10 km2 merupakan pusat pemerintahan Daerah Tingkat I Sumatera Utara. Sementara itu luas daerah Medan Petisah 493 ha. Kelurahan Medan Petisah ini letaknya di sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Medan Barat, sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Medan Baru/kecamatan Medan Polonia. Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Medan Sunggal dan Medan Helvetia, di sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Medan Barat. Dari seluruh jenis pekerjaan di Kecamatan Petisah, masyarakat lebih banyak bekerja di sektor swasta dan berwiraswasta (Statistik, 2004). Sementara itu agama yang dianut masyarakat juga beragam, seperti agama Islam, Kristen, Budha dan Hindu. Sarana ibadah yang ada di kota Medan Mesjid 22 buah, Langgar 18 buah, Gereja 18 buah, Kuil 4 buah dan kelenteng 7 buah. Secara historis keturunan Cina telah mempunyai peran dominan dalam perdagangan. Pada masa pemerintah kolonial Belanda telah menerapkan kebijakan yang memperkuat posisi orang Cina. Etnis ini telah menjadi perantara yang menguasai perdagangan dan dunia usaha. Pada umumnya orang keturunan Cina di Medan tidak bisa berbicara bahasa Indonesia, sebab dari kecil mereka juga hidup di lingkungan etnisnya dan bersekolah di lingkungannya juga. Khusus untuk kecamatan Medan Petisah, etnis Cina ini di dalam kehidupan sehari-harinya banyak bergaul dengan etnis lain. Walaupun mereka mempunyai sekolahsekolah yang didirikan oleh etnis Cina namun murid-murid dan guru banyak merupakan pribumi.
27
Volume 17 ( 1) 2005
2. Gambaran Responden Dari 92 angket yang memenuhi kriteria sebagai responden. Maka responden lakilaki yang memberi jawaban sebanyak 48 orang (52,17%) dan responden perempuan sebanyak 44 orang (47,83%). Dari sisi usia yang terjaring umur responden yang berusia 20 tahun sebanyak 16 orang (17,39 %), 21–30 tahun 48 orang (52,17%), 31-40 tahun 16 orang (17,39%), 41–50 tahun 8 orang (8,7%), lebih dari 50 tahun 4 orang (4,34%). Sementara dari sisi pendidikan para responden yang terjaring di dalam penelitian ini beraneka ragam SLTP sebanyak 16 orang (17,34%), SLTA 30 orang (52,17%), dan PT 36 orang (39,13%). Pekerjaan responden juga beraneka ragam. Gambaran ini dapat dilihat dari hasil penelitian, sebanyak 16 orang (17,40%) merupakan pelajar, 20 orang (21,74%) mahasiswa, 52 orang (56,52%) bekerja di bidang wiraswasta, dan 4 orang (4,34%) orang tidak bekerja. 3.
Pandangan Responden Terhadap Lingkungannya Sebagaimana kebiasaan masyarakat berkelompok selalu memilih tempat tinggal di lingkungan kelompoknya. Responden ini juga dominan tinggal di lingkungan etnisnya. Gambaran jawaban yang diberikan responden mempunyai di mana 76,10% bertetangga di sebelah kanan etnis Cina juga dan 78,3% bertetangga di sebelah kiri etnis Cina juga. Fakta ini juga yang dapat menjawab semakin banyaknya tumbuh permukiman yang dihuni oleh kelompok etnis Cina. Tentunya kondisi ini pada gilirannya memperlambat interaksi antara etnis Cina dengan etnis lainnya dan kemungkinan akan semakin sulit terjadi. Latar belakang seseorang memutuskan bertempat tinggal di lingkungannya yaitu adanya jaminan perasaan nyaman dan aman. Jawaban ini juga dapat dilihat dari data yang ada yaitu: 76 orang responden (84,61%) mengatakan lingkungan tempat tinggalnya menyenangkan dan 10 orang (10,87%) mengatakan sangat menyenangkan. Sementara itu sebanyak 16 orang (6,52%) mengatakan tidak menyenangkan.
Ria Manurung Lina Sudarwati Perbedaan jawaban seperti ini dapat terjadi karena adanya perbedaan kemampuan beradaptasi di masyarakat. Dari sisi proses adaptasi, tidak dapat dipungkiri kelompok masyarakat yang mempunyai pendidikan tinggi tentunya lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggalnya. Sebab mereka mempunyai tingkat keahlian yang dapat menjawab setiap perubahan yang terjadi di lingkungannya. Sementara kelompok masyarakat yang berpendidikan rendah akan mendapat kesulitan dalam proses adaptasi terhadap perubahan yang ada. Gambaran ini dapat dilihat responden yang tamat SLTP (50%) menyatakan lingkungan tempat tinggalnya tidak menyenangkan dan 8 orang (50%) mengatakan menyenangkan. Untuk responden yang mempunyai pendidikan tingkat SLTA dan Perguruan Tinggi melihat tempat tinggal mereka menyenangkan. Sebanyak 34 orang (85%) responden yang menduduki pendidikan SLTA menyatakan menyenangkan. Demikian halnya kelompok responden yang menduduki tingkat Perguruan tinggi di mana sebanyak 2 orang (72,22%) memberi jawaban menyenangkan. Tingkat frekuensi interaksi sosial di dalam masyarakat dapat mempengaruhi pandangan negatif atau positif terhadap orang lain. Hal yang sama juga dapat terjadi pada responden di mana pandangan mereka terhadap kelompok lainnya juga akan mempengaruhi hubungannya dengan kelompok lainnya. Dari data yang ada sebanyak 12 orang (13,04%) memilih jawaban etnis lainnya tidak menyenangkan dan sebanyak 68 orang (73,92%) mengatakan menyenangkan dan sebanyak 12 orang (13,04%) memilih jawaban sangat menyenangkan. Dilihat dari sisi jenis kelamin, responden perempuan 36 orang (81,82%) memberi jawaban bahwa kelompok lainnya menyenangkan dan 4 orang (9,09%), mengatakan sangat menyenangkan. Hanya 4 orang (9,09%) yang mengatakan tidak menyenangkan. Sementara itu 32 orang (66,66%) responden laki-laki menjawab
Jurnal KOMUniKASI PENELITIAN Volume 17 ( 1) 2005
menyenangkan, 8 orang (16,67%) responden laki-laki mengatakan sangat menyenangkan dan 8 orang (16,67%) memilih tidak menyenangkan. Bila dikaji dari analisis gender sensitif perbedaan ini dapat terjadi karena pada umumnya perempuan lebih banyak menerima keadaan tanpa komentar, karena perempuan telah dididik untuk menerima segalanya dengan rela. Sementara itu lakilaki mampu mengeluarkan pendapatnya secara terbuka sebab sejak dari lahir lakilaki memang diberi ruang yang besar untuk mengeluarkan pendapatnya. Dilihat dari latar belakang pendidikan, data yang ada menunjukkan sebanyak 17 orang (18,48%) responden melihat etnis lain tidak menyenangkan, 62 orang (67,39%) melihat menyenangkan dan 13 orang (14,13%) memberikan jawaban sangat menyenangkan. Jawaban tidak menyenangkan ini lebih banyak dijawab kelompok responden yang menduduki tingkat pendidikan SLTP dan SLTP. Untuk tingkat Perguruan Tinggi responden lebih banyak memilih jawaban menyenangkan sebanyak 72,22% dan sebanyak 19,45% memilih jawaban sangat menyenangkan dan hanya 8,33 % memilih tidak menyenangkan. 4. Persamaan Hak sebagai Warga Negara Perlakuan yang tidak adil dialami seseorang tentunya juga membuat keengganannya untuk berbaur dengan kelompok lainnya. Hasil data yang ada menunjukkan bahwa 62 orang (67,40%) responden memilih jawaban setuju bahwa masyarakat tidak adil terhadap kelompok etnis Cina. Sebanyak 18 orang (19,57%) menyatakan sangat setuju dan hanya 12 orang (13,03%) mengatakan tidak setuju. Ketidakadilan ini dirasakan kelompok di antaranya adalah ini selalu dianggap bukan kelompok masyarakat yang asli di lingkungannya. Seperti yang diutarakan oleh seorang responden yang bekerja sebagai wiraswasta (pr,26 tahun) sebagai berikut: Kami sering diperlakukan tidak adil karena masyarakat etnis Cina bukan suku asli.
28
Ria Manurung Lina Sudarwati
Hal yang sama juga diutarakan oleh seorang responden yang masih mengikuti pendidikan di Perguruan Tinggi, L (pr, 20 thn) seperti yang diutarakan di bawah ini: Perbedaan perlakuan hukum tidak sama, kalau bus kota atau semacamnya melanggar tata tertib tidak dikenakan sanksi tetapi untuk etnis Cina akan dipermasalahkan. 5. Faktor Kekuasaan Worsley (1992) mengatakan pembauran juga ditentukan oleh kekuasaan. Di mana kekuasaan yang ada juga merugikan para etnis Cina yang sungguh-sungguh hendak menjadi warga negara Indonesia. Praktek yang terus terjadi di antaranya dinamai “percukongan” menimbulkan kebencian dari pihak masyarakat kepada etnis Cina yang diuntungkan itu. Akibatnya tidak jarang rasa kebencian itu menjadi tertuju juga kepada semua etnis Cina tanpa terkecuali sehingga acap kali mereka merasakan kesulitan untuk menjadi warga negara Indonesia seperti yang diutarakan oleh E (pr, 30 thn) mengurus Surat Keterangan Warga Negara Indonesia dipersulit pengurusannya. 6. Pandangan Tentang Stereotip Etnis Cina Stereotip merupakan salah satu penghalang proses asimilasi di masyarakat. Dari data yang ada interaksi responden dengan etnis lainnya sebanyak 66 orang (71,74%) menyatakan baik dan 10 orang (10,86%) menyatakan sangat baik dan hanya 16 orang (17,40%) menyatakan tidak baik. Bila dilihat jawaban ini tentunya proses asimilasi di dalam masyarakat dapat terjadi dengan baik. Namun kenyataan yang ada di masyarakat hal ini ternyata sulit terjadi. Hal ini juga tidak dapat dipungkiri karena adanya stereotip etnis Cina dianggap masyarakat yang suka berkelompokkelompok, mereka menjauhkan diri dari pergaulan sosial dan lebih suka tinggal di kawasan tersendiri sering digambarkan. Menurut salah seorang J (lk, 24 thn) menjawab tidak setuju karena melihat dirinya banyak bergaul dengan etnis lain, sebagai berikut:
29
Jurnal KOMUniKASI PENELITIAN Volume 17 ( 1) 2005
Sampai sekarang saya masih bergaul dengan etnis lainnya.
banyak
Alasan responden lainnya mengatakan tidak setuju A (lk, 27 thn) seorang marketing sebagai berikut: Masyarakat Cina tetap mau bergaul dengan suku manapun mungkin kadang-kadang kendala di bahasa jadi agak menyulitkan komunikasi yang lancar. Sterotip etnis Cina merupakan masyarakat pekerja keras juga membuat masyarakat melihat mereka cenderung menghalalkan segalanya. Tidak dapat dipungkiri kelompok ini memang ulet dan hemat dalam bisnis, dan mereka merasa bahwa hidup sengsara demi pemupukan modal adalah way of life. Di samping itu, menurut berbagai pengkajian memberikan kesimpulan yang patut diakui bahwa memang secara alamiah rata-rata etos kerja orang-orang Cina pendatang, lazimnya cukup tinggi. Gambaran ini juga ternyata mulai ada perubahan di dalam masyarakat ini tidak semua responden setuju dengan apa yang diutarakan bahwa etnis ini pekerja keras. Ada sebanyak 14 orang (15,22%) melihat etnisnya bukan kelompok yang bekerja keras. Tentunya gambaran bahwa masyarakat ini melihat etnisnya lebih unggul dari masyarakat lainnya mulai cenderung bergeser. Namun tidak dapat juga dipungkiri walaupun masih banyak memberi jawaban melihat etnisnya pekerja keras yaitu sebanyak 54 orang (58,70 %) menjawab setuju dan 24 orang (26,08%) memilih jawaban sangat setuju. 7. Hambatan Poses Pembauran Sebagaimana penjelasan terdahulu hubungan antar-etnis akan terjadi kekerasan dan permusuhan bila disertai dominasi etnis yang satu terhadap etnis yang lain entah dalam bidang ekonomi ataupun di dalam bidang politik. Sebanyak 18,48% melihat pemerintah sebagai faktor penghambat. Hal ini dapat dilihat secara tertulis atau tidak, dalam kebijaksanaan pemerintah seharihari pada setiap tingkat, pribumi dan nonpribumi dibedakan.
Ria Manurung Lina Sudarwati Sementara itu sebanyak 15,22% responden melihat faktor kesulitan berkomunikasi karena perbedaan bahasa 17,39% melihat adanya perbedaan pandangan. Hasil penelitian menunjukan faktor kesenjangan sosial hanya 10,87%. Tentunya gambaran ini menujukkan adanya perbedaan pendapat yang dianggap oleh masyarakat D. Kesimpulan Istilah tentang pri dan non-pribumi menurut responden merupakan faktor penghambat utama di dalam proses pembauran yang terjadi di masyarakat. Dengan adanya perbedaan ini menujukkan bahwa masyarakat ini bukan merupakan kelompok masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Untuk itu agar hubungan antara masyarakat berjalan cair maka istilah ini harus ditinggalkan. Selain itu juga sikap toleransi yang telah ada di dalam masyarakat menurut responden harus lebih banyak dikembangkan. Sehingga setiap masyarakat memberikan pandangan dan sikap yang sama terhadap satu sama lainnya tentang hak dan kewajiban kelompok lain di luar dirinya. Sikap keterbukaan di antara masyarakat menurut responden juga merupakan faktor pendukung untuk terjadinya pembauran. Demikian juga dengan memberikan perlakuan yang sama, hak dan kewajiban menjadi faktor pendukung berjalannya suatu pembauran di dalam masyarakat. meningkatkan kegiatan silaturrahmi antar-suku. Pemanggilan maupun penyebut terhadap etnis ini, ternyata juga membuat etnis ini tidak mau
Jurnal KOMUniKASI PENELITIAN Volume 17 ( 1) 2005
pada umumnya faktor kesenjangan sosial menjadi faktor utama. Gambaran ini dapat membuat tidak pekanya masyarakat etnik Cina bahwa kondisi ekonomi mereka yang mencolok akan menyebabkan kecemburuan sosial. Tentunya ini merupakan salah satu faktor pemicu penghambat adanya pengakuan pembauran dari etnis pribumi. bergaul dengan masyarakat lainnya. Di mana kelompok ini melihat penyebutan etnis Cina seharusnya etnis Tionghoa. E. Daftar Pustaka Irewati, Awani dkk. 2001. Kerusuhan Sosial di Indonesia. Studi Kasus, Kupang, Mataram, dan Sambas. Editor Riza dan Moch. Nurhasim.Jakarta: Grasindo. Lohanda, Mona dkk. 2002. Antara Prasangka dan Realita. Telaah Kritis Wacana Anti Cina di Indonesia. Jakarta: Pustaka Inspirasi. Narwoko dan Bagong Suyanto. 2004. Sosiologi. Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Prenada Media. Madjid, Nurcholish dkk. 1998. Kapok Jadi Nonpri. Warga Tionghoa Mencari keadilan. Bandung: Zaman. Misztal, Barbara A., 1996. Trust in Modern Societies. USA : Polity Press. Sa’dun M, Moch. 1999. Pri non Pri. Mencari Format Baru Pembauran. Jakarta: CIDES Spencer, Metta dan Alex Inkeles. Foundation of Modern Socilogy. New Yersey: Prentice Hall, Inc. Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Indonesia.
30