Kendala-kendala Sejarah dalam Penerimaan Etnis Cina di Indonesia yang Multikultural1 Charles A. Coppel (The University of Melbourne)
Abstract Indonesia’s motto (Bhinneka Tunggal Ika), like that of the United States (E pluribus unum), suggests a multicultural unity in diversity appropriate to such a large nation comprising hundreds of ethnic groups (sukubangsa). Not every ethnic group has been treated in the same way, however. Ethnic Chinese Indonesians have been classified as people of foreign descent ( keturunan asing) rather than as a sukubangsa, although many peranakan Chinese families have been settled in Indonesia for centuries and have indigenous as well as Chinese ancestry. Why was it so difficult for peranakan Chinese to gain acceptance as Indonesians? Why were their counterparts, the mestizo Chinese, accepted so readily as Filipinos? The paper will consider the timing of the rise of the relevant national consciousnesses (Chinese, Filipino, Indonesian) and their interactions, as well as the policies of the relevant governments (colonial and Chinese) toward the ethnic Chinese population in the two countries. Partha Chatterjee has written about nationalist thought in the Third World as a derivative discourse. It will be argued that Indonesian nationalist thought, in its attitudes to the ethnic Chinese, has been heavily influenced by the policies and mentality of the Dutch colonial government. Pada kesan pertama, tampak sesuatu yang aneh tentang simposium Indonesia dengan subjudul ‘Menuju Masyarakat Multikultural’. Dalam pengertian tertentu, Indonesia selalu 1
Tulisan ini merupakan versi bahasa Indonesia yang disempurnakan dari makalah berbahasa Inggris dengan judul Historical Impediments to the Acceptance of ethnic Chinese in a Multicultural Indonesia. Makalah ini dipresentasikan dalam panel ‘Ethnic Chinese and Multicultural Society’, pada Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIAke-3:‘Membangun Kembali Indonesia yang “Bhinneka Tunggal Ika”: Menuju Masyarakat Multikultural’ , Kampus Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 16–19 Juli 2002.
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
merupakan masyarakat multikultural. Telah menjadi suatu klise dalam tulisan-tulisan tentang Indonesia untuk menunjukkan ratusan kelompok etnis dan bahasa yang digunakan di negara kepulauan terbesar dan negara terbesar ke empat di dunia. Sebagaimana ditekankan oleh Mark Lopez dalam kaitannya dengan Australia, salah satu penggunaan istilah ‘multikulturalisme’ adalah ‘acuan terhadap fakta demografik dan sosiologis empiris’; hal ini berarti, dalam kasus ini, Indonesia merupakan ‘masyarakat multibahasa yang beraneka ragam dilihat dari sudut pandang etnis dan budaya’
13
(Lopez 2000:3). Namun demikian, ia mengatakan lebih lanjut, istilah tersebut ‘digunakan juga untuk menunjukkan sebuah konsep ideologi/ normatif tentang cara masyarakat Australia telah atau seharusnya ditata’ dan bahwa ‘[istilah tersebut] seringkali digunakan untuk menunjukkan keduanya, apabila tujuannya adalah untuk mengilhami konsep ideologi/ normatif dengan bobot fakta yang obyektif’ (Lopez 2000:3). Dengan menggunakan subjudul ‘Menuju Masyarakat Multikultural’, agaknya penyelenggara simposium ini menggunakan pengertian ke dua, atau gabungan dari keduanya. Hal ini menyiratkan bahwa masyarakat multikultural adalah suatu keadaan yang diinginkan, dan bahwa hal ini adalah sesuatu yang belum berhasil diciptakan. Dalam artikel ini, saya akan membatasi diri pada kasus etnik Cina. Saya berpikir bahwa sedikit orang yang tidak setuju apabila dikatakan bahwa etnis Cina di Indonesia tidak—atau setidak-tidaknya belum (perkenankanlah saya untuk menjadi cukup ‘Indonesia’ untuk mengatakan ‘belum’ dan bukan ‘tidak’)— selalu sepenuhnya diterima sebagai orang Indonesia (Aguilar 2001). Meskipun sebagian besar di antara mereka kini menjadi warga negara Indonesia, status hukum tersebut bersifat ambigu. Tidak seperti halnya dengan pribumi Indonesia, mereka adalah warga negara Indonesia keturunan asing. Hal ini tampak aneh bagi kami—orang Australia—ketika penduduk Australia asli saat ini 2,4% dari jumlah penduduk. Seandainya pembedaan Indonesia diterapkan di Australia, hal ini mungkin berarti bahwa sisanya, yaitu 97,6% dari jumlah penduduk Australia adalah ‘keturunan asing’! Label ‘asing’ berlaku bagi etnik Cina di Indonesia, meskipun keluarga mereka menetap di Indonesia selama berabad-abad, meskipun budaya mereka dipengaruhi kuat oleh budayabudaya setempat Indonesia, dan keturunan genetik mereka sebagian Indonesia.
14
Keganjilan-keganjilan status hukum etnik Cina di Indonesia berawal lebih dari satu abad yang lalu, dan kedudukan khusus mereka berlaku sampai saat ini. Saya telah membahas di kesempatan lain tentang sejarah kategorikategori hukum ‘Orang Asia Asing’ dan orang asing ‘warga negara Belanda’ semasa penjajahan yang bukan orang Belanda (Netherlander) serta implikasinya terhadap Indonesia pascapenjajahan (Coppel 1999 dan 2002). UndangUndang Dasar 1945 Indonesia sendiri memperkokoh diskriminasi, meskipun ketentuanketentuan pasal 27 menyatakan bahwa ‘tanpa kecuali, semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan dan harus menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tersebut’. Namun dalam pasal 26, kita menemukan bahwa ‘warga negara adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan berdasarkan undang-undang sebagai warganegara’. Oleh karena itu, hal ini membedakan kategori ‘orang-orang bangsa Indonesia’ dan ‘orang-orang bangsa lain’. Sama halnya dengan pasal 6, sebelum perubahan baru-baru ini, ditetapkan bahwa presiden Indonesia harus orang Indonesia asli. Sebagaimana halnya dengan UndangUndang Dasar 1945, dalam kebijakan-kebijakan dan undang-undang Orde Baru dalam kaitannya dengan etnik Cina pun ‘pemerintah berbicara dengan suara-suara yang bertentangan, bahkan dengan lidah yang bercabang’ (Coppel 2001:30). Meskipun pemerintahan Soeharto mendengung-dengungkan prinsip kesamaan hak untuk semua warga negara, dengan mengutuk diskriminasi terhadap warga negara Indonesia ‘keturunan asing’, etnik Cina diberikan perlakuan istimewa dengan berbagai cara (Coppel 2001:30–36). Meskipun ada jaminan berulangkali oleh presiden-presiden Indonesia dan menteri-menteri kabinet secara berturut-turut akhir-akhir ini bahwa semua
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
peraturan perundang-undangan yang bersifat diskriminatif terhadap mereka akan dicabut, tidak banyak kemajuan yang dicapai. Misalnya, Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia— Yusril Ihza Mahendra—belum lama ini mengatakan bahwa ‘meskipun peraturan yang mewajibkan orang nonpenduduk asli untuk memperoleh Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia telah lama dicabut, kantornya tidak dapat menolak permohonan untuk surat tersebut karena masih banyak instansi pemerintah yang selalu meminta SBKRI apabila berurusan dengan orang nonpenduduk asli’. Pernyataan beliau disebabkan oleh kasus juara bulutangkis Indonesia bernama Hendrawan yang menunggu selama enam bulan untuk memperoleh dokumen tersebut sebelum pada akhirnya berhasil memperolehnya, setelah melalui intervensi Presiden Megawati Soekarnoputri. Klasifikasi-klasifikasi hukum dan administratif yang ditentukan baik oleh pemerintah Hindia Belanda maupun pemerintah Indonesia berperan besar dalam pembentukan persepsi dan sikap masyarakat. Tidak dapat diragukan bahwa persyaratan yang berlaku hingga akhir pemerintahan penjajah, yaitu bahwa gubernur jenderal harus seorang Belanda (Netherlander) menjadikan pembatasan jabatan presiden Indonesia hanya pada ‘orang-orang bangsa Indonesia asli’ terdengar seolah-olah lebih lazim. Demikian pula halnya menjelang akhir masa penjajahan, terdapat asumsi umum— meskipun salah—bahwa hanya orang ‘nonbelanda’ yang merupakan ‘warga negara Belanda’, seperti halnya dalam masa pascapenjajahan, singkatan WNI biasanya— meskipun secara salah—diartikan hanya berlaku bagi ‘warga negara Indonesia keturunan bangsa lain’ (Coppel 2002). Meskipun percobaan untuk mengamendemen semua pasal yang relevan dalam Undang-Undang Dasar berikut peraturan perundang-undangan
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
untuk menghapus semua diskriminasi yang disahkan oleh parlemen dan menjadi berlaku demi hukum, tentu saja masih diperlukan waktu hingga semua itu tercermin dalam sikap masyarakat atau bahkan—sebagaimana bisa dilihat dari kasus Hendrawan—dilaksanakan oleh instansi-instansi pemerintah. Meskipun keluarga mereka menetap di Indonesia selama beberapa generasi, meskipun mereka telah menyesuaikan diri dengan budaya setempat sedemikian rupa sehingga mereka sendiri telah kehilangan hampir semua ciri ‘Cina’ yang dapat dikenali, dan meskipun mereka memiliki leluhur pribumi maupun leluhur Cina, etnik Cina di Indonesia masih dicap sebagai ‘asing’. Kategori ini, yang biasanya disebut peranakan, secara tipikal menggunakan bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia, atau salah satu bahasa daerah Indonesia di rumah dan biasanya tidak menguasai bahasa Cina. Sungguh ironis bahwa di sebuah negara yang menjunjung tinggi bahasa nasional sebagai lambang penting dari bangsa, kelompok etnis yang mempunyai kemungkinan lebih besar menggunakan bahasa Indonesia ketimbang kelompok etnis yang lainnya justru masih dianggap ‘asing’ dalam pengertian tertentu. Bahkan istilah Indonesia untuk kelompok etnis (sukubangsa—yang secara harafiah berarti bagian, atau kaki, dari bangsa) seringkali tidak diberikan kepada sukubangsa Cina, meskipun banyak di antara mereka ingin memperolehnya (Coppel 1976:54 dan Wang 1976:209). Menurut dugaan, pembenaran (atau rasionalisasi) atas pengecualian tersebut dikarenakan etnik Cina tidak memiliki tanah kelahiran dalam wilayah kepulauan Indonesia. Tampaknya, fakta bahwa mereka menetap di negara kepulauan ini selama berabad-abad tidaklah cukup memberikan dalih bagi etnik Cina untuk menyebut Indonesia sebagai ‘rumah’ mereka. Kecil kemungkinan bahwa keturunan imigran Iban dari Sarawak atau keturunan imigran Melayu dari semenan-
15
jung Melayu mempunyai noda ‘asing’ yang tidak terhapuskan seperti itu. Apakah hal ini memang harus berkembang seperti demikian? Peranakan Tionghoa Jawa 2 bukanlah satu-satunya ‘masyarakat Cina yang disatukan dengan masyarakat setempat’ (creolized Chinese societies) di Asia Tenggara, akan tetapi rekan-rekan mereka dari Asia Tenggara berkembang dengan cara yang berbeda dan memiliki hubungan yang berbeda dengan bangsa dan negara (Skinner 1996). Salah satu perbandingan yang menarik di sini adalah kasus orang Cina mestizo di Filipina (Wickberg 1964 dan 1965). Pemerintah penjajah Spanyol mengklasifikasikan penduduk ke dalam empat kategori, yaitu: (1) orang Spanyol dan mestizo Spanyol; (2) orang indios (orang Filipina asli); (3) orang Cina; dan (4) orang Cina mestizo (Wickberg 1964:63). Meskipun mestizo Cina tetap terpisah dari orang Cina dan indios untuk tujuan kewajiban perpajakan, mereka memperoleh sebagian besar dari hakhak indios (misalnya kebebasan untuk berpindah tempat, kepemilikan harta kekayaan, pemerintah setempat) yang tidak diberikan kepada orang-orang Cina (Wickberg 1964:64– 65). Jadi, pada abad ke-19 ketika tidak banyak imigran dari Cina, mereka yang dikelompokkan sebagai mestizos Cina—berbeda dengan mereka yang dikelompokkan sebagai orang Cina—dapat memiliki tanah dan dapat berpindah tempat dengan bebas seolah-olah mereka adalah indios. Pada pertengahan abad tersebut, pemerintah Spanyol mengubah kebijakannya secara radikal, sehingga jumlah penduduk Cina menjadi dua kali lipat dalam kurun waktu kurang dari setengah abad dan banyak pembatasan tempat tinggal dan
2 Meskipun terdapat kelompok-kelompok serupa di Indonesia, jumlah orang Cina peranakan di Jawalah yang paling besar (Coppel 1973).
16
pekerjaan dicabut. Orang Cina mestizo tergeser dari posisi mereka yang dominan sebagai perantara oleh pendatang-pendatang baru, yang menguasai pertanian candu yang menggiurkan dari awal. Pertumbuhan jumlah dan penetrasi ekonomi yang pesat oleh Chinos tersebut menimbulkan kebencian baik di antara orang Cina mestizo maupun indios (Skinner 1996:83– 85; Wickberg 1965). Sebagai akibat dari persaingan ekonomi Cina, mestizos pindah ke bidang pertanian dan menjadi bagian dari kalangan elite pemilik tanah. Mestizos yang cukup berada, bergabung dengan indios memasuki perguruan tinggi di Manila dan Spanyol. Kelak, mereka menjadi kalangan elite profesional dan intelektual kelas menengah ‘Filipino’ yang baru dengan tuntutan persamaan hak dengan orang Spanyol dan mencetuskan perjuangan kemerdekaan pada tahun 1890-an (Wickberg 1997:160–162). Pada tahun 1900, ‘kata mestizo itu sendiri berarti hanya orang keturunan campuran Spanyol-penduduk asli, dan istilah baru, filipino, mencakup baik indios maupun orang Cina mestizos sebelumnya’ (Heidhues 1974:33–34, setelah Wickberg 1965). Selain itu, proses ini terkonsolidasi sebelum dampak nasionalisme Pan-Cina dirasakan sepenuhnya di antara orang Cina yang tinggal di luar negeri. Sejarah tersebut sangat bertolak belakang dengan keadaan etnis Cina di bawah Belanda yang menyatukan orang Cina peranakan dengan orang Cina totok untuk berbagai tujuan. Meskipun semua orang Cina (kemudian disebut ‘orang asing Asia’) ‘disetarakan’ (gelijkgestelde) dengan ‘pribumi’ (Inlanders) berdasarkan Peraturan Konstitusi (Regeerings Reglement) tahun 1854, pada akhirnya mereka diperlakukan secara berbeda dengan penduduk asli karena berbagai alasan. Salah satu kasus tersebut adalah Undang-Undang Agraria tahun 1870 yang melarang penjualan atau pengalihan tetap atas tanah dari ‘pribumi’ kepada orang
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
Eropa atau kepada ‘orang asing’ lainnya seperti orang Cina. Larangan tersebut berlaku sama baik terhadap orang Cina peranakan maupun orang Cina totok. Hal yang sama terjadi dalam hal membatasi perjalanan (passenstelsel) dan tempat tinggal (wijkenstelsel). Di Jawa, elite peranakan Tionghoalah yang menguasai pertanian candu dan perdagangan menengah, bukan pendatang baru. Seperti halnya di tempat-tempat lain di kawasan ini, sentimen anticina mulai timbul di Jawa pada tahun 1880an dan 1890-an, akan tetapi sentimen tersebut di sini terarah baik pada peranakan maupun pendatang baru. Kepedulian pemerintah penjajah yang baru timbul untuk kesejahteraan penduduk asli—yang terungkap dengan seutuh-utuhnya dalam ‘Program Etis’ pada pergantian abad—membawa efek mempersatukan orang Belanda dan orang pribumi Indonesia dalam prasangka anticina yang tidak membedakan antara Cina peranakan dan Cina totok (Skinner 1996:80–81, 84–85; Rush 1990). Sistem pertanian candu diganti dengan monopoli pemerintah dan pada saat yang sama pembatasan tempat tinggal dan perjalanan untuk orang Cina diperketat. Tidak seperti halnya di Filipina, tidak terdapat banyak kesempatan bagi orang Cina peranakan (ataupun sesungguhnya untuk orang pribumi Indonesia) untuk memperoleh pendidikan di perguruan tinggi sebelum abad ke-20. Masalahmasalah tersebut dan masalah-masalah lain— seperti pemberian status Eropa kepada Jepang (dan warga negara Cina mereka) pada tahun 1899—serta gerakan reformis Konghucu Kang Youwei dan aliran-aliran lain dari gerakan PanCina mendorong timbulnya nasionalisme Cina yang mempersatukan orang Cina peranakan dan orang Cina totok. Penyebaran besarbesaran sekolah-sekolah Cina pada tahun 1900, yang dipelopori oleh Tiong Hoa Hwee Koan di Jakarta, mendorong pemerintah penjajah untuk mendirikan sekolah dasar Belanda
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
khusus untuk orang Cina dalam upaya untuk membujuk orang Cina peranakan menjauhi nasionalisme Cina dan menjadi warga negara Belanda yang setia. Sementara itu, pada tahun 1906 parlemen Belanda mengambil sebuah keputusan—meskipun perubahan tersebut baru dilaksanakan pada tahun 1920—untuk menggolongkan orang asing Asia sebagai kategori terpisah, menengah dan bukan sebagai kelompok yang ‘disetarakan’ dengan penduduk pribumi Indonesia. Di hari-hari sebelum keruntuhannya, pemerintah kekaisaran Qing meminta bantuan orang Cina di Indonesia, mengirimkan kapal-kapal perang ke Jawa, dan mengesahkan undang-undang pada tahun 1909 yang menyatakan semua etnik Cina sebagai warga negara Cina. Revolusi yang menyebabkan tumbangnya dinasti Qing dan pembentukan Republik Cina pada tahun 1911 juga mengundang simpati dan dukungan di antara orang Cina di Indonesia. Lenyaplah potensi pembauran orang Cina peranakan dan orang Indonesia asli dalam gerakan nasionalis seperti model Filipina (Shiraishi 1997). Jumlah etnis Cina yang berusaha bergabung dengan organisasi-organisasi nasionalis Indonesia sangat sedikit, dan hanya sedikit di antara organisasi tersebut yang bersedia menerima etnis Cina sebagai anggota penuh. Pandangan terhadap masyarakat bangsa Indonesia pada dasarnya terbatas hanya pada apa yang disebut oleh Belanda sebagai ‘inlanders’ (Anderson 1991). Terdapat satu perbedaan penting lainnya di antara keadaaan orang Cina peranakan di Jawa dan orang Cina mestizo di Filipina. Hal ini berkaitan dengan agama dan budaya. Pada umumnya, penjajah Belanda tidak memandang mereka mempunyai misi untuk membuat penduduk asli maupun yang etnik Cina masuk agama Kristen, sedangkan kebijakan Spanyol di Filipina mendukung perpindahan ke agama Katolik. Upaya misionaris di Jawa baru dimulai
17
pada paruh ke dua abad ke-19, kendati ada perlawanan tertentu dari pihak pemerintah, dan para misionaris lebih berhasil di antara etnis Cina dibanding penduduk pribumi Indonesia. Meskipun ada juga di antara orang Cina peranakan yang pindah ke agama Islam pada saat itu, masalah status dan kesadaran etnis yang semakin bertumbuh di antara orang Cina menghambat proses tersebut. Implikasinya, terjadi perpindahan ke agama Kristen atau kembali ke agama Cina berdasarkan ajaran Confucius (Coppel 1986; Salmon 1996). Demikian pula halnya, sebelum abad ke-20, Belanda tidak mendorong penggunaan bahasa tertentu bagi warga negara yang penduduk asli dan etnis Cina. Akhirnya Belanda memilih untuk memerintah dengan menggunakan bahasa Melayu, lingua franca setempat. Sebaliknya, Spanyol mendorong secara aktif penggunaan bahasa Spanyol di antara semua kelompok etnis. Oleh karena itu, meskipun ada persamaan di antara mereka sebagai ‘masyarakat Cina yang disatukan dengan masyarakat setempat’ (creolized Chinese societies), pada masa di ambang timbulnya kesadaran nasional, orang Cina peranakan di Hindia Belanda lebih ‘terjepit di tengah’ dibanding orang Cina mestizo di Filipina. Kecil kemungkinan bahwa mereka berbagi agama yang sama dengan penduduk asli Indonesia yang beragama Islam. Sebagaimana halnya dengan penduduk asli Indonesia yang beragama Islam, mereka pun berkemungkinan kecil berbagi bahasa penjajah Belanda, setidaktidaknya sampai pemisahan etnis menjadi berakar di awal abad ke-20. Kemungkinannya lebih besar bahwa orang Cina mestizo dan indios berbagi agama Katolik yang dipeluk oleh Spanyol, dan setidak-tidaknya di antara kelaskelas yang terpelajar, berbagi bahasanya juga. Seperti yang dikatakan Wickberg: ‘Yang sangat menyolok tentang (orang Cina mestizos) adalah perasaan mereka yang tidak mendua tentang
18
diri mereka; bukan sebagai orang Cina yang khusus, tetapi sebagai orang Filipina yang khusus’ (Wickberg 1997:160). Mengacu pada Suryadinata (1993), ia membandingkan hal ini dengan ‘perasaan agoni pribadi sehubungan dengan identitas dan perkawinan campur yang dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan peranakan Indonesia pada awal abad ke-20’ (Wickberg 1997:160). Debat panjang yang melelahkan tentang adat-istiadat Cina dan ketionghoaan di antara orang Cina peranakan masa dekade awal abad ke-20 mencerminkan ‘kegelisahan keberadaan’ yang pada akarnya mengandung ‘ketakutan yang sangat mendalam akan pemusnahan etnis’ (Coppel 1996: 130).3 P. Chatterjee (1986) telah menunjukkan sejauh mana para nasionalis di negara-negara Dunia Ketiga, sewaktu menegaskan kemerdekaan mereka dari pemerintahan penjajah Eropa, tetap terbelenggu wacana rasionalis pasca pencerahan Eropa. Wacana penjajah ataupun kebijakan dan praktik-praktik penjajahan membentuk kesadaran di antara orang Indonesia di kemudian hari—baik Cina peranakan maupun pribumi—tentang kedudukan etnik Cina dalam masyarakat Indonesia. Penulis telah mempertimbangkan akibat-akibat dari hal tersebut pada kesempatan yang lain sehubungan dengan sastra Cina-Melayu dan status hukum mereka (Coppel 1995, 2002). Gagasan-gagasan tertentu yang terkristalisasi di akhir masa penjajahan hingga saat ini masih berurat-akar. Pada awal artikel ini saya mengatakan bahwa—setidaknya pada pandangan pertama—ada sesuatu yang aneh tentang simposium Indonesia dengan subjudul 3
Sesungguhnya, ketakutan seperti itu—khususnya sebagai akibat dari perpindahan ke agama Islam—telah dialami oleh beberapa orang Cina peranakan pada pertengahan abad ke-19, dan oleh karena itu pada tahun 1860-an didirikanlah kuil-kuil leluhur bersama di tempattempat tertentu di Jawa dan Makassar (Salmon 1996).
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
‘Menuju Masyarakat Multikultural’. Saya telah menyinggung tentang acuan-acuan klise tentang ratusan kelompok etnis dan bahasa yang digunakan di Indonesia. Motto nasional Indonesia Bhinneka Tunggal Ika merupakan satu klise lagi. Seperti halnya semboyan nasional Amerika Serikat (E pluribus unum), semboyan ini menunjukkan persatuan multibudaya dalam keanekaragaman sesuai dengan bangsa begitu besar yang terdiri dari ratusan kelompok etnis (sukubangsa). Namun demikian, apakah ini merupakan uraian empiris dari persatuan dalam keanekaragaman tersebut, atau apakah hal ini mengekspresikan aspirasi bahwa persatuan seharusnya diciptakan dari keanekaragaman? Pada tahun 1963, ketika politik Indonesia menjadi semakin terpolarisasi di antara ‘kekuatan-kekuatan revolusioner progresif’ yang dinyatakan oleh kekuatan-kekuatan berhaluan kiri dan kekuatan-kekuatan antikomunis—yang berlindung di bawah perlindungan angkatan bersenjata, Presiden Soekarno menanggapi masalah ini secara tidak berpihak, dengan mengacu secara khusus pada etnis Cina. Dalam sebuah pernyataan yang ditanggapi dengan antusias oleh kubu pendukung asimilasi, ia berbicara tentang bhinneka sebagai ‘das Sein’ (yang ada) dan tunggal sebagai ‘das Solen’ (yang akan ada). Namun demikian, dalam pidatonya di hadapan Kongres Baperki pada bulan Maret tahun 1963 ia berbicara tentang peranakan Tionghoa sebagai salah satu dari banyak suku bangsa Indonesia. Kepada kedua kubu, ia mengekspresikan keyakinannya bahwa ‘sebuah bangsa yang memiliki minoritas bukanlah sebuah bangsa’, dan dalam pidatonya pada perayaaan hari kemerdekaan pada tahun 1964, ia mengatakan bahwa ‘impiannya tentang sebuah bangsa ketika semua suku bangsa, termasuk peranakan dan keturunan asing dipersatukan, seharusnya diwujudkan baik dengan cara
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
integrasi maupun asimilasi’ (Coppel 1976:59). Rumusan ini dapat dibaca sebagai program asimilasi ketika semua orang Indonesia (termasuk etnis Cina) pada akhirnya bersatupadu menjadi kesatuan budaya Indonesia yang tunggal. Hal ini juga merupakan penegasan terhadap pidatonya di hadapan Baperki pada bulan Maret tahun 1963, bahwa suku bangsa peranakan Tionghoa hanya salah satu kaki dari badan Indonesia (Somers 1965:272–273). Penafsiran pertama adalah antitesis dari masyarakat multikultural, sedangkan yang ke dua adalah penegasannya. Apapun kebijakan kebudayaan pemerintah Orde Baru, kebijakan tersebut tidak bersifat multikultural dalam kaitannya dengan etnik Cina. Kebijakan tersebut mengadopsi program asimilasi dengan hanya menujukannya terhadap etnik Cina saja. Ungkapan sifat ketionghoaan pada umumnya ditekan, sedangkan ungkapan nilai-nilai budaya penduduk asli dijunjung tinggi—hingga titik tertentu—di Taman Mini Indonesia Indah. Publikasi bahasa Cina tidak diperkenankan, impornya dilarang bersamaan dengan senjata yang berbahaya, obat-obat terlarang dan pornografi. Perayaan hari raya keagamaan dan adat-istiadat juga dilarang di tempat umum berdasarkan Keputusan Presiden (Coppel 2001). Setelah jatuhnya Presiden Suharto pada bulan Mei tahun 1998 menyusul tuntutan reformasi dan tindak kekerasan massal terhadap etnik Cina, di Jakarta, Solo, dan tempat-tempat lain, hampir semua larangan Orde Baru untuk mengekspresikan ketionghoaan kini telah dicabut4 . Publikasi-publikasi berbahasa Cina 4
Meskipun pengunjung yang memasuki wilayah Indonesia masih harus mengisi pernyataan untuk beacukai dengan menjawab apakah mereka membawa ‘narkotika, obat-obatan, senjata api, senjata, amunisi, senjata laser, bahan peledak, pornografi, cetakan berbahasa Cina, obat-obatan Cina, dan pemancar-penerima radio atau pesawat telpon tanpa kawat (cordless telephone).
19
kini tersedia secara luas, dan program berbahasa Cina juga dapat diikuti di radio dan televisi. Pengajaran bahasa Cina tersedia secara cukup luas, dan sebagai salah satu contoh, telah didirikan sebuah Pusat Studi Bahasa Cina yang berkembang pesat di Universitas Muhammadiyah di Yogyakarta. Nara sumber etnis Cina di Jawa pada pertengahan tahun 2002 menggambarkan penghapusan larangan untuk mengekspresikan budaya Cina sebagai pengalaman ‘euforia’. Tarian liong dan barongsai Cina menjadi begitu populer sehingga partai-partai politik Indonesia menggunakannya saat peluncuran kampanye pemilihan mereka. Perayaan keagamaan atau tradisional Cina di tempat-tempat umum, termasuk tahun baru Imlek, tidak menjadi masalah lagi. Presiden Megawati bahkan mengumumkan pada tahun 2002 bahwa tahun baru Imlek akan menjadi hari libur nasional mulai tahun 2003. Alumni sekolah-sekolah Cina dan perhimpunan siswa yang ditutup lebih dari tiga dekade yang lalu kini menyelenggarakan reunireuni besar dan mengukuhkan kembali diri mereka dalam kehidupan publik. Secara paradoks, tampaknya kekerasan bulan Mei tahun 1998 telah membebaskan etnik Cina untuk menuntut penghapusan peraturan perundangundangan yang bersifat diskriminatif dan untuk memainkan kembali peranan dalam politik setelah penekanan selama lebih dari tiga puluh tahun. Meskipun ada banyak pernyataan di tingkat tertinggi bahwa semua diskriminasi hukum akan dihapuskan, namun masih sedikit
yang telah dicapai. Sulit untuk menghilangkan kebiasaan lama, dan peraturan perundangundangan yang bersifat diskriminatif masih merupakan lahan yang subur untuk tumbuhnya praktik-praktik korupsi. Beban masa lalu masih memberatkan keadaan etnik Cina di Indonesia. Sebagaimana dikatakan Aguilar (2001:527) dengan nada suram: ‘Untuk mengatakan yang terburuk, perasaan anti-Cina melayang-layang sebagai unsur pokok dalam identitas nasional Indonesia. Kehadiran orang Cina memperkuat pengakuan pribumi atas keaslian, mengaburkan struktur kelas membingungkan, dan menopang citra diri pribumi’.
Dengan mengisyaratkan bahwa orang Cina Indonesia secara ideologis dikonsepsikan sebagai ‘orang tanpa sejarah’, ia mengajukan argumentasi bahwa mereka ‘harus dipandang sebagai orang yang mempunyai sejarah dan sebagai orang yang bergerak sepanjang sejarah. Sejarah yang terikat pada dan tidak dapat melepaskan diri dari sejarah Indonesia’ apabila mereka mau diterima sebagai bagian terpadu dari bangsa. Dengan segala hormat, saya setuju bahwa diperlukan pemahaman atas pasang-surut orang Cina Indonesia sepanjang sejarah mereka di Indonesia apabila mereka mau diterima dalam masyarakat multikultural tempat mereka menjadi bagian yang sama seperti orang Indonesia atau kelompok-kelompok etnis yang lainnya.
Referensi Aguilar, F.V. Jr., 2001 ‘Citizenship, Inheritance, and the Indigenizing of “Orang Chinese” in Indonesia’, Posisi 9:501–33. Anderson, B. 1991 Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London & New York: Verso (edisi kedua).
20
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
Chatterjee, P. 1986 Nationalist Thought and the Colonial World: A Derivative Discourse?. Tokyo: Zed Books untuk The United Nations University. Coppel, C.A. 1973 ‘Mapping the Peranakan Chinese in Indonesia’, Papers on Far Eastern History 8:143– 67. 1976 ‘Patterns of Chinese Political Activity in Indonesia’, dalam J.A.C.Mackie (peny.) The Chinese in Indonesia: Five Esays. Melbourne: Nelson bekerjasama dengan The Australian Institute of International Affairs. Hlm.19–76. 1986 ‘From Christian Mission to Confucian Religion: The Nederlandsche Zendingsvereeniging and the Chinese of West Java, 1870–1910’, dalam Nineteenth and Twentieth Century Indonesia: Essays in honour of Professor J.D. Legge. Clayton: Monash University Centre of Southeast Asian Studies. Hlm.15–39. 1995 ‘Remembering, Distorting, Forgetting: Sino-Malay Literature in Independent Indonesia’, Asian Culture 19:14–28. 1996 ‘Peranakan Construction of Chinese Customs in late Colonial Java’, dalam L.M. Douw dan P.Post et al (peny.) South China: State, Culture and Social Change during the 20th Century. Amsterdam: Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen. Hlm.119–130. 1999 ‘The Indonesian Chinese as Foreign Orientals in the Netherlands Indies’, dalam T. Lindsey (peny.) Indonesia: Law and Society. Sydney: The Federation Press. Hlm.33– 41. 2001 ‘Chinese Indonesians in Crisis: 1960s and 1990s’ dan ‘Appendix 1: Anti-Chinese Actions of the New Order Government’, dalam M.R. Godley dan G.J. Lloyd (peny.) Perspectives on the Chinese Indonesians. Hindmarsh, S.A.: Crawford House. Hlm.20– 40, 301–29. 2002 ‘The Indonesian Chinese: “Foreign Orientals”, Netherlands Subjects, and Indonesian Citizens’, dalam M.B. Hooker (peny.) Law and the Chinese in Southeast Asia. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies. Hlm.131–149. Heidhues, M.F.S 1974 Southeast Asia’s Chinese Minorities. Hawthron, Vic.: Longman. Lopez, M. 2000 The Origins of Multiculturalism in Australian Politics 1945–1975. Carlton: Melbourne University Press. Rush, J.R. 1990 Opium to Java: Revenue Farming and Chinese Enterprise in Colonial Indonesia 1860–1910. Ithaca & London: Cornell University Press. Salmon, C. 1996 ‘Ancestral Halls, Funeral Associations, and Attempts at Resinicization in NineteenthCentury Netherlands India’, dalam A. Reid (peny.) Sojourners and Settlers: Histories of Southeast Asia and the Chinese. St. Leonards, NSW: Allen dan Unwin. Hlm.183–214.
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
21
Shiraishi, T. 1997 ‘Anti-Sinicism in Java’s New Order’, dalam D. Chirot dan A. Reid (peny.) Essential Outsiders: Chinese and Jews in the Modern Transfromation of Southeast Asia and Central Europe. Settle dan London: University of Washington Press. Hlm.187–207. Skinner, G.W. 1996 ‘Creolized Chinese Societies in Southeast Asia’, dalam A.Reid (peny.) Sojourners and Settlers: Histories of Southeast Asia and the Chinese. St. Leonards, NSW: Allen dan Unwin. Hlm.51–93. Somers, M.F. 1965 Peranakan Chinese Politics in Indonesia. Disertasi Ph.D tidak diterbitkan. Cornell University. Suryadinata, L. 1993 ‘The State and Chinese Minority in Indonesia’ dan ‘From Peranakan Chinese Literature to Indonesian Literature: A Preliminary Study’, dalam Chinese Adaptation and Diversity: Essays on Society and Literature in Indonesia, Malaysia and Singapore. Singapura: Singapore University Press. Hlm.79–86 dan 101–119. Wang Gungwu 1976 ‘Are Indonesian Chinese Unique?: Some Observations’, dalam J.A.C. Mackie (peny.) The Chinese in Indonesia: Five Essays. Melbourne: Nelson bekerjasama dengan The Australian Institute of International Affairs. Hlm.199–210. Wickberg, E. 1964 ‘The Chinese Mestizo in Philippine History’, Journal of Southeast Asian History 5:62–100. 1965 The Chinese in Philippine Life 1850–1898. New Haven dan London: Yale University Press. 1997 ‘Anti-Sinicism and Chinese Identity Options in the Philippines’, dalam D. Chirot dan A. Reid (peny.) Essential Outsiders: Chinese and Jews in the Modern Transformation of Southeast Asia and Central Europe. Seattle dan London: University of Washington Press. Hlm.153–83.
22
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003