BAB II PENGATURAN ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DI INDONESIA A. Sejarah Lahirnya Asas Pembuktian Terbalik Pembuktian terbalik secara kronologis bermula dari sistem pembuktian yang dikenal dari negara yang menganut rumpun Anglo-Saxon dan hanya terbatas pada “certain cases” khususnya terhadap tindak pidana “gratification”
atau
pemberian yang berkorelasi dengan “bribery” (suap). 23 Hal ini dimungkinkan karena hampir tidak mungkin kejahatan tersebut dibuktikan dengan sistem pembuktian biasa. Perkembanganyang ada di beberapa negara telah menerapkan sistem pembuktian terbalik ini seperti di United Kingdom of Great Britain, Republik Singapura, Malaysia, Hongkong, Pakistan, India, dan lain sebagainya. Di United Kingdom of Great Britain atas dasar “Prevention of corruption Act 1916” terdapat pengaturan apa yang dinamakan “Praduga korupsi untuk kasus-kasus tertentu” (Presumption of corruption in certain cases). 24 Di Hongkong misalnya, pembuktian terbalik ini diatur dalam Pasal 10 (1b) Prevention of Corruption Ordonance 1970, Added 1974: Pasal 11 ayat (1) Hong Kong Bill of Right Ordonance 1991. Di India pembalikan beban pembuktian diatur berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) of The Prevention of Corruption Art (II of 1947). 25 Di Malaysia, atas dasar Pasal 42 Akta Pencegahan Rasuah 1997 (“Anti Corruption 23
Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT. Alumni, Bandung, 2007, halaman 11. 24 Ibid. 25 Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 8. No. 2-Juni 2011. http://www.djpp.depkumham.go.id/arsip/artikel/jurnal/jli8n2.pdf, diakses pada tanggal 7 Maret 2012, pukul 15:14 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Act 1997 (Act 575)”) yang mulai berlaku sejak tanggal 8 Januari 1998, dan di Singapura atas dasar “Prevention of Corruption Act (Chapter 241)”.26 Praktek di beberapa negara di atas, penggunaan pembuktian terbalik tersebut dilakukan secara seimbang, hal ini terjadi karena pembuktian terbalik tidak boleh melanggar hak terdakwa sehingga dalam prakteknya beban pembuktian yang digunakan menjadi beban pembuktian yang seimbang. Pembuktian terbalik untuk menetapkan perampasan aset tindak pidana di Amerika sejak tahun 2000, telah dipraktikkan dalam sistem hukum perampasan aset tindak pidana melalui sarana hukum keperdataan (civil based forfeiture atau non-conviction based forfeiture / NCB). Sebagaimana diketahui,
sejak lama
diakui sistem hukum perampasan aset tindak pidana melalui sarana hukum pidana (criminal based forfeiture/CB) yang dilaksanakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 27 Perampasan aset tindak pidana melalui sarana hukum pidana yang dilaksanakan dalam sistem hukum di Indonesia memerlukan waktu yang relatif lama untuk sampai pada putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Berbeda dengan perampasan aset melalui sarana hukum pidana yang memerlukan waktu yang lama, perampasan aset tindak pidana melalui sarana hukum keperdataan yang relatif lebih cepat karena penuntut umun dapat segara membawa terdakwa ke pengadilan dengan cara pembuktian terbalik atas aset terdakwa yag diduga berasal dari tindak pidana.
26 27
Lilik Mulyadi, Op. Cit., halaman 12. Jurnal Legislasi Indonesia, Op. Cit.
Universitas Sumatera Utara
Praktik NCB di Amerika Serikat dan Inggris, juga di beberapa negara Uni Eropa, berhasil mengembalikan keuangan secara signifikan dari organisasi kejahatan, terutama yang berasal dari kejahatan narkotika dan pencucian uang. 28 Model perampasan aset NCB dengan pembuktian terbalik tidak melanggar HAM karena didasarkan pada teori balanced probability principle, yang memisahkan antara aset tindak pidana dan pemiliknya. Hal itu didasarkan premis bahwa perlindungan hak terdakwa untuk dianggap tidak bersalah (praduga tak bersalah) dan prinsip non-self incrimination harus diimbangi kewajiban terdakwa membuktikan asal-usul aset yang dimilikinya. Teori ini masih memberikan jaminan perlindungan hak asasi tersangka untuk dianggap tidak bersalah, sebaliknya tidak memberikan jaminan perlindungan hak kepemilikan terdakwa atas aset yang diduga berasal dari tindak pidana, kecuali yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Lahirnya konsep NCB disebabkan perkembangan organisasi kejahatan transnasional pasca perang dingin telah meningkatkan aset organisasi kejahatan tiga kali APBN negara berkembang, terutama diperoleh dari kejahatan narkotika dan pencucian uang. Perkembangan itu dipandang sebagai ancaman terhadap ketenteraman dan ketertiban dunia. Fakta tersebut membuktikan bahwa efek jera penghukuman tidak cukup dan tidak berhasil secara tuntas memerangi kejahatan transnasional. Bahkan, di dalam penjara sekalipun, organisasi kejahatan dapat mengendalikan aktivitas kejahatannya, sedangkan ancaman hukuman mati dalam sistem hukum negara maju telanjur tidak diakui. 28
http://nasional.kompas.com/read/2011/02/04/03061882/Dilema.Pembuktian.Terbalik, diakses pada tanggal 7 Maret 2012, pukul 15.20 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Beranjak dari kenyataan tersebut, terjadi perubahan drastis dalam kebijakan kriminal, khususnya di negara maju, yaitu strategi perampasan aset organisasi kejahatan atau yang diduga berasal dari kejahatan terbukti lebih ampuh sehingga dapat ”mematikan” kehidupan organisasi kejahatan. Pengalaman Drug Enforcement Admistration (DEA) menggunakan cara perampasan melalui sarana hukum perdata (civil based forfeiture) berhasil secara signifikan membekukan dan merampas aset organisasi kejahatan. Langkah hukum pembuktian terbalik dengan NCB, di Amerika Serikat berdasarkan UU Pembaruan tentang Perampasan Aset melalui Keperdataan (Civil Asset Forfeiture Reform Act/ CAFRA) Tahun 2000 dan di Inggris dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (Proceed of Crime Act) Tahun 2002. 29 Dasar lahirnya konstruksi beban pembuktian terbalik dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia pada awalnya dilatarbelakangi dari problem penegakan hukum dalam kasus korupsi. Korupsi kerap dilakukan secara sistematis, terencana oleh oknum yang berpendidikan, birokrat dan pengusaha yang secara politis dan ekonomi amat kuat, sehingga gampang mempengaruhi jalannya proses peradilan. Akibatnya, pembuktian kasus tindak pidana korupsi di Indonesia sulit dilakukan. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, salah satu upayanya adalah memformulasikan ulang pemenuhan beban pembuktian dalam proses peradilan yang dilakukan aparat penegak hukum, yakni dengan mengenalkan sistem beban pembuktian terbalik yang seimbang.
29
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Diharapkan dengan menggunakan beban pembuktian terbalik (omkering van het bewijslat atau reversal burden of proof/onus of proof) yang berasumsi dengan pembuktian terbalik maka diharapkan sebuah kasus dapat diberantas dengan maksimal. Pembalikan beban pembuktian dalam peraturan perundangundangan korupsi pada awalnya tidak ada diatur karena perspektif kebijakan legislasi
memandang
perbuatan
korupsi
sebagai
delik
biasa
sehingga
penanggulangan korupsi cukup dilakukan secara konvensional dan tidak memerlukan perangkat hukum yang luar biasa (extra ordinary measures). Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, secara eksplisit telah diatur mengenai pembalikan beban pembuktian. Peraturan selanjutnya, pembalikan beban pembuktian juga tetap diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Kemudian beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang memiliki kelemahan selanjutnya telah diperbaiki dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. 30 Secara eksplisit ketentuan Pasal 12 B UU Nomor 20 Tahun 2001 selengkapnya berbunyi: 31 (1)
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggaraan negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Yang bernilai Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakuakn oleh penerima gratifikasi; b. Yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
30
Jurnal Legislasi Indonesia, Op. Cit. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 31
Universitas Sumatera Utara
(2)
Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Penerapan sistem pembalikan beban pembuktian secara terbatas di dalam pasal 12 B ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dianggap sebagai instrument luar biasa disebabkan karena cara ini menyimpang dari prinsip umum hukum pidana yang dirumuskan dalam KUHAP. 32 Selanjutnya, melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, sebagai instrument hukum ratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi 2003, Pemerintah Indonesia telah melakukan perubahan-perubahan penting yaitu: 33 Pertama,
Penyusunan
Rancangan
Undang-Undang
Tipikor
yang
mencantumkan kriminalisasi atas perbuatan (baru) tertentu ke dalam lingkup tindak pidana korupsi yaitu antara lain, perbuatan memperkaya diri sendiri secara ilegal (illicit enrichment); suap terhadap pejabat publik asing atau pejabat organisasi internasional (Bribery of Foreign Public Officials and Officials of Public International Organization), dan suap dikalangan sektor swasta (Bribery in the Private Sector); penyalahgunaan wewenang (Abuse of Function). Langkah kriminalisasi dalam naskah Rancangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU TIPIKOR) dipersiapkan untuk mengganti dan mencabut pemberlakuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. 32
H. Elwi Danil, Korupsi, Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, halaman 78. 33 Jurnal Legislasi Indonesia, Op. Cit.
Universitas Sumatera Utara
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut memuat ketentuan mengenai pembuktian perkara korupsi terdapat dalam pasal 12B ayat (1) huruf a dan b, Pasal 37 34, Pasal 37A 35 dan Pasal 38B 36. Kedua, pasca ratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003, adalah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang untuk mengganti Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang sebelumnya. Di dalam undang-undang tersebut
34
Pasal 37: (1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. (2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. 35 Pasal 37 A: (1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. (2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. 36 Pasal 38 B (1) Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi. (2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara. (3) Tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok. (4) Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi. (5) Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4). (6) Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim.
Universitas Sumatera Utara
telah dicantumkan ketentuan pembuktian terbalik dalam beberapa pasal yaitu pasal 77 37, pasal 78 38, dan pasal 81 39.
B. Perbedaan Asas Pembuktian Terbalik dengan Asas Pembuktian di Indonesia Perbedaan asas pembuktian terbalik dengan asas pembuktian yang dalam KUHAP di Indonesia adalah dengan mengetahui tentang beban pembuktian. Beban pembuktian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada salah satu pihak untuk memberikan suatu fakta di depan sidang pengadilan untuk membuktikan kebenaran atas suatu tuduhan atau pernyataan. Untuk dapat menbedakan pembuktian biasa dengan pembuktian terbalik dapat dilihat dari macam-macam pembuktian yang ada, yaitu: 1. Beban Pembuktian Biasa. Pembuktian dalam hukum pidana pada hakikatnya merupakan sesuatu yang sangat penting, hal ini dikarenakan pembuktian merupakan suatu proses dalam menentukan dan menyatakan tentang kesalahan seseorang. Proses pembuktian harus dilakukan melalui proses peradilan sehingga akan menentukan apakah seseorang dapat dijatuhi pidana yang dalam hal ini melalui hasil 37
Pasal 77: Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. 38 Pasal 78 ayat (1): Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Ayat (2): Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup. 39 Pasal 81: Dalam hal diperoleh bukti cukup bahwa masih ada Harta Kekayaan yang belum disita, hakim memerintahkan jaksa penuntut umum untuk melakukan penyitaan harta kekayaan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
pemeriksaan dalam persidangan terbukti secara sah dan menyakinkan pelaku melakukan tindak pidana, selain itu pelaku dapat juga dibebaskan dari segala tuntutan hukum apabila apa yang didakwakan terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana. Dikaji secara umum, kata pembuktian berasal dari kata “bukti” yang berarti suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa tersebut).40 Pembuktian adalah perbuatan membuktikan. Membuktikan sama dengan memberi (memperhatikan) bukti, melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan dan meyakinkan. 41 Menurut M. Yahya Harahap, memberikan pengertian pembuktian adalah: 42 Ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang caracara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kasalahan yang didakwakan. Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa. Sedangkan membuktikan itu sendiri mengandung pengertian: “memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.” 43
40
Lilik Mulyadi, Op. Cit., halaman 84. Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik, dan Masalahnya, PT. Alumni, Bandung, 2007, halaman 207. 42 M. Yahya Harahap, Op. Cit., halaman 273. 43 Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, halaman 2. 41
Universitas Sumatera Utara
Proses pelaksanaan pembuktian pada dasarnya sudah dapat dilaksanakan sejak proses penyidikan terhadap suatu perkara pidana dilakukan. Tindakan penyidikan yang dilakukan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan, dalam hal ini telah dilakukan suatu tahap pembuktian. Sama halnya dengan proses penyidikan, dalam melakukan penyidikan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti tersebut membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Proses pembuktian pada dasarnya memang lebih dominan pada sidang pengadilan guna menemukan kebenaran materiil akan peristiwa yang terjadi dan memberi keyakinan kepada hakim tentang kejadian tersebut sehingga hakim dapat memberikan putusan seadil mungkin. Proses pembukt ian harus ada hubungan yang saling terkait mengenai apa yang akan diterapkan oleh hakim dalam menentukan kebenaran materiil melalui tahap pembuktian, alat-alat bukti dan proses pembuktian terhadap aspek-aspek sebagai berikut: 44 a. Perbuatan-perbuatan manakah yang dapat dianggap terbukti. b. Apakah telah terbukti, bahwa terdakwa bersalah atas perbuatanperbuatan yang didakwakan kepadanya. c. Delik apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan-perbuatan itu. d. Pidana apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa. Berhubungan dengan yang telah diuraikan di atas, dalam proses pembuktian merupakan interaksi antara pemeriksa yang dilakukan oleh majelis hakim dalam menangani perkara tersebut, kemudian ada penuntut umum yang 44
Lilik Mulyadi, Op. Cit., halaman 86.
Universitas Sumatera Utara
melakukan penuntutan dan terdakwa beserta penasehat hukumnya. Pada majelis hakim melalui kegiatan memeriksa perkara melakukan kegiatan pembuktian dengan memeriksa fakta dan sekaligus menilai menyatakan kesalahan atau ketidaksalahan terdakwa tersebut dalam vonisnya. Penuntut umum maupun terdakwa dan penasehat hukum melakukan kegiatan pembuktian juga, hanya saja perspektif penuntut umum membuktikan keterlibatan dan kesalahan terdakwa dalam melakukan suatu tindak pidana, tetapi dari pihak terdakwa dan penasehat hukumnya melakukan suatu pembuktian yang berbanding terbalik dengan yang dilakukan oleh penuntut umum. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diketahui apa yang menjadi tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan persidangan, yaitu: 45 1. Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan dakwaan. Dalam hal ini pandangan penuntut umum adalah pandangan subjektif dari posisi yang objektif. 2. Bagi terdakwa atau penasehat hukum, pembuktian merupakan usaha sebaliknya, untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa atau penasehat hukum jika mungkin harus mengajukan alat-alat bukti yang 45
http://www.scribd.com/doc/11654767/Tinjauan-Yuridis-Pembuktian-Cyber-CrimeDalam-Perspektif-Hukum-Positif-Indonesia. diakses pada tanggal 8 Maret 2012, pukul 09.15 WIB.
Universitas Sumatera Utara
menguntungkan atau meringankan pihaknya. Biasanya bukti tersebut disebut bukti kebalikan. Dalam hal ini pandangan terdakwa adalah pandangan subjektif dari posisi yang objektif. 3. Bagi hakim, atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alatalat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasihat hukum / terdakwa dibuat dasar untuk membuat keputusan. Dalam hal ini pandangan hakim dinyatakan sebagai pandangan objektif dari sisi yang objektif pula. Penjatuhan pidana oleh hakim melalui proses hukum pembuktian ini secara umum berorientasi kepada ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menentukan: 46 “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Pada hakikatnya hukum pembuktian dapat dikategorikan kedalam hukum pembuktian yang bersifat umum/konvensional dan khusus. Proses dari hukum pembuktian yang bersifat umum/konvensional, termasuk dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam hal ini, hukum pembuktian yang dilaksanakan dalam proses persidangan dilakukan secara aktif oleh jaksa penuntut umum untuk menyatakan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan dalam surat 46
Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Universitas Sumatera Utara
dakwaan. Demikian juga yang dilakukan oleh terdakwa dan penasehat hukumnya dalam proses persidangan untuk membuktikan bakwa apa yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum tentang tindak pidananya tidak terbukti. Pasal 66 KUHAP dinyatakan bahwa: 47 “ tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.” Begitu juga yang diatur dalam beberapa ketentuan peraturan perundangundangan yaitu: Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 pasal 8 yang menyatakan: 48 “setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan Pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya
putusan
Pengadilan
yang
menyatakan
kesalahannya
dan
mempeloleh hukum yang tetap.” Penjelasan pasal 66 KUHAP dinyatakan bahwa: ketentuan ini adalah penjelasan dari asas “praduga tak bersalah”. 49 Dalam hal ini berarti bahwa yang berhak dalam melakukan pembuktian adalah jaksa penuntut umum. Penuntut umum harus mempersiapkan alat-alat bukti dan barang bukti secara akurat, sebab jika tidak demikian akan susah menyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa.
47
Pasal 66 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 48 Pasal 8 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1870 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. 49 Penjelasan pasal 66 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana.
Universitas Sumatera Utara
2. Beban Pembuktian Terbalik (Omkering van het Bewijslast atau Shifting of Burden of Proof / Onus of Proof). Proses pembuktian dalam hal ini terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana. Oleh karena itu, terdakwalah yang akan menyiapkan segala beban pembuktian di depan sidang pengadilan, dan apabila terdakwa tidak dapat membuktikan maka terdakwa dinyatakan bersalah melakukan suatu tindak pidana. Dengan kata lain bahwa penuntut umum dalam hal ini bersifat pasif sedangkan terdakwa bersifat aktif. Pada asasya beban pembuktian jenis ini dinamakan teori “Beban Pembuktian Terbalik (Omkering van het Bewijslast atau Shifting of Burden of Proof / Onus of Proof). 50 Dalam prakteknya teori beban pembuktian ini dapat dibagi lagi menjadi pembuktian terbalik yang bersifat murni maupun bersifat terbatas. Dengan demikian dapat terlihat bahwa pembuktian terbalik merupakan suatu penyimpangan dari hukum pembuktian yang diterapkan terhadap tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. 3. Teori Pembalikan Beban Pembuktian Keseimbangan Kemungkinan (Balanced Probability of Principles) Teori pembalikan beban pembuktian relatif pada dasarnya tidak dapat dilaksanakan terhadap suatu kesalahan yang telah dilakukan oleh sesorang karena dapat mengakibatkan adanya pergeseran asas praduga tak bersalah menjadi asas praduga bersalah. Namun, dalam hal-hal tertentu hal tersebut dapat dilaksanakan seperti dalam tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang, yang
50
Lilik Mulyadi, Op. Cit., halaman 103.
Universitas Sumatera Utara
dalam hal ini asas praduga tak bersalah dapat dikesampingkan dengan adanya asas praduga bersalah dimana terdakwa harus membuktikan bahwa apa yang didakwakan tersebut tidak benar. Pembuktian terbalik ini juga harus bersifat beban pembuktian berimbang. Proses pembuktian akan dilakukan oleh penuntut umum dan juga terdakwa dalam proses persidangan. Sebagaimana tugas dari penuntut umum akan membuktikan tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa sesuai dengan isi dakwaan, sedangkan terdakwa akan berusaha untuk membuktikan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya. Upaya untuk mengurangi dampak negatif dari teori pembalikan beban pembuktian maka harus dilakukan dengan menerapkan suatu teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan. Teori ini mengedepankan keseimbangan secara proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaan milik pelaku yang diduga kuat berasal dari tindak pidana khusus seperti korupsi dan pencucian uang di sisi lain. 51 Dalam hal penanganan kasus tindak pidana korupsi misalnya kedudukan hak asasi pelaku tindak pidana korusi merupakan suatu perhatian yang serius dengan mempergunakan teori probabilitas berimbang yang paling tinggi dengan menggunakan sistem pembuktian menurut undangundang secara negatif. Sedangkan dalam hal lain penggunaan asas pembuktian
51
Ibid, halaman 110.
Universitas Sumatera Utara
terbalik dapat dilakukan terhadap kepemilikan harta kekayaan pelaku tindak pidana korupsi sehingga tidak berdasarkan asas pembuktian negatif. Penerapan asas pembuktian terbalik pada tindak pidana pencucian uang maka terdakwa akan membuktikan tentang asal asul harta kekayaannya yang diduga terkait dengan hasil kejahatan. Sedangkan penuntut umum juga akan tetap melakukan pembuktian terhadap tindak pidana yang diduga dilakukan terdakwa sesuai dengan surat dakwaan. Dalam hal tingkat penyidikan berlaku asas praduga bersalah dimana dengan adanya bukti hukum awal yang kuat maka penyidik akan menduga bahwa terdakwa benar telah melakukan tindak pidana pencucian uang. Namun ketika perkara tersebut telah diproses di pengadilan maka penerapan asas praduga bersalah harus dikesampingkan untuk mencapai suatu putusan yang adil. Salah satu bentuk penerapan asas praduga tak bersalah adalah pembuktian yang dilakukan oleh penuntut umum bukan terletak pada terdakwa. Namum karena sulitnya untuk membuktikan pada kasus-kasus korupsi dan pencucian uang, maka timbulah suatu upaya luar biasa, yaitu sistem pembuktian terbalik, dengan demikian maka beban pembuktian bukan lagi pada penuntut umum melainkan kepada terdakwa. C. Pererapan Asas Pembuktian Terbalik Di Beberapa Negara. Tindak pidana pencucian uang merupakan suatu masalah yang sangat berbahaya bukan saja hanya pada negara pelaku tindak pidana tetapi jika pada dunia internasional. Hal ini dikarenakan dengan danya pencucian uang yang berasal dari hasil korupsi maupun narkotika pada akhirnya akan membuat tingkat pertumbuhan tindak pidana lain semakin pesat. Tindakan inilah yang pada
Universitas Sumatera Utara
akhirnya akan mengakibatkan keamanan internasional akan terancam. Untuk mencegah hal tersebut beberapa negara telah membuat suatu aturan yang mengatur tentang tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana korupsi. Sulitnya untuk mengungkap tindak pidana tersebut beberapa negara telah menerapkan asas pembuktian terbalik khususnya dalam tindak pidana korupsi, diantaranya adalah: a. Negara Malaysia Aturan yang ada di negara Malaysia, pasal yang mengatur mengenai pembuktian terbalik secara tegas dimuat dalam Pasal 42 yang menyangkut masalah pemberian (gratification). Pasal tersebut berbunyi: 52 “Where in any proceedings against any person for an offence under section 10, 11, 13, 14, or 15 it is proved that any gratification has beenaccepted or agreed to be accepted, obtained, or attemped to beabtained, solicited, given or agreed to be given, promised or offered byor to the accused, the gratification shall be presumed to have beencorruptly accepted or agreed to be accepted, obtained or attempted tobe obtained, solicited, given or agreed to be given, promised, or offered as an inducement or a reward for or on account of the mattersset out in the particulars of the offence, unless the contrary is proved.” Pengertian pada setiap proses terhadap setiap orang yang didakwa melanggar Pasal 10, 11, 13, 14, atau 15, telah dibuktikan bahwa suatu pemberian (gratification) telah diterima atau setuju untuk diterima, diperoleh, atau dicoba untuk diperoleh, didapatkan, diberikan atau setuju untuk diberikan, dijanjikan, atau ditawarkan oleh atau kepada terdakwa maka pemberian itu dianggap secara korup telah diterima atau setuju untuk diterima, diperoleh atau dicoba untuk diperoleh, didapat, diberikan, atau setuju untuk diberikan, dijanjikan, atau
52
Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, halaman 53.
Universitas Sumatera Utara
ditawarkan sebagai suatu bujukan atau hadiah untuk suatu atau karena hal yang dinyatakan khusus dalam delik itu, kecuali dibuktikan sebaliknya. Rumusan ini ternyata bahwa pembuktian terbalik berlaku bagi penerima (passieveomkoping) dan pemberi (actieve omkoping). Pada ayat (2) Pasal 42 ACA dinyatakan, bahwa ketentuan tentang pembuktian terbalik berlaku juga bagi delik suap di dalam Penal Code (KUHP). Lengkapnya berbunyi: 53 “Where in any proceedings against any person for an offence under section 161, 163, or 164 of the Penal Code, it is proved that such person has accepted or agreed to accept, or obtained or attempted toobtain any gratification, such person shall be presumed to have doneso as motive or reward for the matters set out in the particulars of theoffence, unless the contraty is proved.” Pengertian pada semua proses terhadap semua orang yang didakwa melanggar Pasal 161, 162, atau 164 KUHP, telah dibuktikan bahwa orang itu telah menerima atau setuju menerima atau memperoleh atau mencoba untuk memperoleh suatu pemberian (gratification), maka orang itu dianggap telah melakukan perbuatan demikian sebagai motif atau hadiah atas hal-hal yang dinyatakan secara khusus dalam delik itu, kecuali dibuktikan sebaliknya. Berdasarkan ketentian pasal tersebut menyatakan bagian dari inti delik (bestanddelen) yang harus dibuktikan oleh penuntut umum, menjadi tidak usah dibuktikan tetapi terdakwalah yang membuktikan. Jika dibandingakn dengan ketentuan hukum yang mengatur hal yang sama di Indonesia, terdapat suatu perbedaan dimana dalam hal gratifikasi diterapkan dengan pembuktian terbalik yang berimbang, dimana gratifikasi dengan jumlah uang lebih dari Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) harus dibuktikan oleh terdakwa sendiri sebagai 53
Ibid, halaman 54.
Universitas Sumatera Utara
penerima gratifikasi, sedangkan untuk gratifikasi dengan jumlah dibawah Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) maka harus dibuktikan oleh penuntut umum. Proses pembuktian terhadap
kasus-kasus korupsi dalam konteks
pembuktian terbalik di negara Malaysia adalah sebagai berikut: 54 1. Harus dibuktikan terlebih dahulu oleh penuntut umum adanya sebuah keputusan yang “aneh”, dimana keputusan itu telah dipengaruhi oleh adanya pemberian hadiah; 2. Harus dibuktikan bahwa pada hari dan tanggal tertentu si pejabat telah menerima hadiah dari seseorang; 3. Polisi dan jaksa menyusun Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan dakwaan yang menerangkan, bahwa keputusan pejabat itu telah dipengaruhi oleh pemberian hadiah dari seseorang; 4. Di muka pengadilan harus dibuktikan oleh terdakwa bahwa hadiah yang ia terima itu tidak mempengaruhi keputusannya, sehingga dengan demikian ia akan membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
b. Negara Singapura Singapura tergolong negara kecil dan paling kecil kasus korupsinya namun tetap
menciptakan
badan
anti
korupsi
yang
disebut
CPIB
(Corrupt
Practices Investigation Bureau). Undang-undang anti korupsinya pun sudah ada sejak tahun 1960. Undang-undang ini telah berkali-kali diamandemen (tahun 1963, 1966,1972, 1981, 1989, dan 1991). Nama resmi undang-undangnya adalah Preventionof Corruption Act disebut PCA. Undang-undang tersebut memuat hukum pidana materil dan hukum acara pidana. Adapun rumusan delik umumnya diambil dari KUHP-nya tanpa diubah sanksinya menjadi lebih berat seperti halnya Indonesia. Dibentuknya komisi pemberantasan korupsi oleh negara Singapura hal ini berhubungan erat dengan keadaan salah satu priotitas dari kegiatan 54
H. Elwi Danil, Korupsi, Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, halaman 215.
Universitas Sumatera Utara
ekonominya yang berhubungan dengan perdagangan antar negara. Di dalam PCA diatur
pembalikan
beban pembukt ian
tetapi
lain
dari
Malaysia
yang
mencantumkannya pada bagian acara (pembuktian). Singapura menjadikannya bagian dari rumusan delik, yang tercantum di dalam Pasal 8 PCA yang berbunyi: 55 Where in any proceedings against a person for an offence under section 5 or 6 it is proved that any gratification has been paid or givento or received by a person in the employment of the Government or any department there of or any public body, that gratification shall bedeemed to have been paid or given and received corruptly as an inducement or reward as here in before mentioned unless the contraryis proved. Pengertian yang berkaitan dengan pemerintah, yang berarti pemberian oleh seseorang kepada pejabat pemerintah yang mencari kontak dengan pemerintah atau departemen atau badan publik, dianggap suap sampai dibuktikan sebaliknya. Apabila dikaji, terdapat kebijakan formulasi dalam undang-undang negara Singapura hampir sama dengan kebijakan formulasi yang dirumuskan di Indonesia. Setiap pemberian akan dianggap sebagai suap apabila terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa pemberian tersebut bukan suap. c. Negara Hongkong Pengaturan mengenai pembuktian terbalik yang dilaksanakan di Hongkong tertera dalam Prevention of Bribery Ordinance 1970 Pasal 10 (1b) yang berbunyi: 56 “or is in control of pecuniary resources of property disproportionate to his present or past official emoluments, shall, unless he gives satisfactory explanation to the court as to how he was able to maintain such a 55
Ibid, halaman 65. http://usupress.usu.ac.id/files/Pembalikan%20Beban%20Pembuktian%20dalam%20Pe mberantasan%20Korupsi_Final_bab%201.pdf, diakses pada tanggal 9 Maret 2012, pukul 10.00 WIB. 56
Universitas Sumatera Utara
standard of living or how such pecuniary resources of property came under his control, be guilty of an offence.” Pengertian pengaturan mengenai sumber-sumber pendapatan atau harta yang tidak seimbang dengan gajinya pada saat ini atau pendapatan resmi pada masa lalu, akan dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran kecuali kalau ia dapat memberikan suatu penjelasan yang memuaskan kepada pengadilan mengenai bagaimana ia mampu memperoleh standar hidup yang demikian itu dapat ia dikuasai. Ketentuan ini jelas menganut pembuktian terbalik, karena seseorang yang berada dalam posisi demikian dinyatakan bersalah melakukan korupsi, kecuali diadapat membuktikan sebaliknya, yaitu membuktikan kekayaan yang dimilikinya diperoleh secara sah. Kalau ia tidak dapat membuktikan, ia dinyatakan terbukti melakukan korupsi. Penerapan pembukt ian terbalik yang telah dilaksanakan di Hongkong dapat terlihat dari Putusan Pengadilan Tinggi Hong Kong antara The Attorney General of Hong Kong v Hui Kin Hong. 57 Berdasarkan putusan tersebut Pengadilan Tinggi Hong Kong menyatakan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf a Ordonansi Pencegahan Penyuapan Bab 201 meletakkan beban pembuktian kepada terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana korupsi. Dalam persidangan sebelum terdakwa melakukan pembuktian atas apa yang di dakwakan kepadanya maka penuntut umum terlebih dahulu harus melakukan pembuktian tentang standar hidup terdakwa yang disesuaikan dengan penghasilannya, yang dalam hal ini penuntut umum harus 57
Lilik Mulyadi, Op.cit., Halaman 145.
Universitas Sumatera Utara
dapat membuktikan bahwa kehidupan terdakwa pada dasarnya tidak dapat terpenuhi dengan penghasilan yang diperolehnya. Setelah penuntut umum melakukan pembuktian barulah terdakwa harus membuktikan harta kekayaannya tersebut bukan merupakan hasil suatu tindak pidana korupsi. Pelaksanaan proses pembuktian yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Hong Kong pada dasarnya tidak sesuai dengan asas pembuktian yang telah berlaku selama ini di Hongkong, hal ini dikarenakan sistem pembuktian yang berlaku adalah prinsip pembuktian “Due Procees of law”, namun terdapat pengecualian terhadap tindak pidana tertentu seperti terhadap harta kepemilikan terdakwa dapat dipergunakan pembuktian terbalik yang bersifat berimbang atau “balance probabilities”. Teori ini secara imperatif adanya kewajiban penuntut umum untuk membuktikan secara negatif tentang aspek yang bersifat menyangkut status sosial terdakwa, sehingga apabila hal ini dapat dibuktikan, maka selanjutnya terdakwalah yang berkewajiban untuk melakukan pembuktian terhadap harta kekayaan tersebut. d. India Penerapan pembuktian terbalik telah dilaksanakan dalam proses peradilan di India dapat terlihat dari Putusan Mahkamah Agung India antara State of West Bengal v The Attorney General for India (AIR 1963 SC 255). 58 Putusan mahkamah agung India ini membawa suatu perubahan terhadap pelaksanaan pembuktian di negara tersebut. Ketentuan pembuktian untuk tindak pidana umum pelaksanaan pembuktiannya dilaksanakan oleh penuntut umum
58
Ibid. halaman 156.
Universitas Sumatera Utara
untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Akan tetapi terhadap perkara korupsi pelaksanaan pembuktian tersebut tidak berlaku mutlak dan dapat dikesampingkan apabila berdasarkan fakta-fakta tertentu dapat dibuktikan adanya kesalahan terdakwa, sehingga beban pembuktian berada pada terdakwa bahwa walaupun harta kepemiikannya tidak sebanding dengan sumber pemasukannya, terdakwa harus dapat membuktikan bahwa harta tersebut bukan merupakan hasil tindak pidana. Putusan mahkamah agung tersebut menyatakan bahwa adanya pembuktian yang bersifat berimbang atau “balance probabilities’ dapat diterapkan dalam kasus-kasus
korupsi
bahwa
adanya
kewajiban
penuntut
umum
untuk
membuktikan kesalahan terdakwa sedangkan terdakwa sendiri juga harus berusaha untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana korupsi.
D. Asas Pembuktian Terbalik Sebelum Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang Pengaturan mengenai pembuktian terbalik di Indonesia telah dilaksanakan untuk pertama kalinya untuk menangani masalah tindak pidana korupsi. Pengaturan mengenai tindak pidana yang dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi pada awalnya telah termuat dalam Bab XXVIII Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) yaitu khususnya terhadap perbuatan penggelapan oleh pegawai negeri (Pasal 415 KUHP), membuat palsu akta memalsukan (Pasal 416 KUHP), menerima pemberian atau janji (Pasal 418, 419 dan 420 KUHP) serta
Universitas Sumatera Utara
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum (Pasal 423, 425 dan 435 KUHP). Pada hakikatnya, ketentuan-ketentuan Tindak Pidana Korupsi itu ternyata ternyata kurang efektif dalam menanggulangi Korupsi seperti yang dikatakan oleh Soedjono Dirdjosisworo yang dikutip oleh Lilik Mulyadi sebagai berikut: “Tindak Pidana Korupsi yang dapat dikenakan dalam pasal-pasal KUHP saat itu dirasakan kurang bahkan tidak efektif menghadapi gejala-gejala korupsi saat ini. Maka, dirasakan perlu adanya peraturan yang dapat lebih memberi keleluasaan kepada penguasa untuk bertindak terhadap pelaku-pelakunya.”
59
Kebijakan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sampai dengan sebelum tahun 1960 tidak mengatur tentang pembuktian terbalik dalam peraturan perundang-undangan korupsi hal ini dikarenakan sampa dengan sebelum tahun 1960 tindak pidana korupsi masih dipandang sebagai delik biasa sehingga penanggulangan korupsi cukup dilakukan secara konvensional dan tidak memerlukan perangkat hukum yang luar biasa. Kebijakan legislasi pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi mulai diterapkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 menyebutkan:
59
Lilik Mulyadi, Op. Cit., halaman 5.
Universitas Sumatera Utara
“Setiap tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta benda dan harta benda isteri/suami dan anak dan harta benda sesuatu badan hukum yang diurusnya, apabila diminta oleh jaksa.” 60 Berdasarkan pasal tersebut dapat diketahui bahwa tersangka juga dapat memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya namun hal itu hanya dapat dilaksanakan jika diminta oleh hakim. Tanpa adanya permintaan dari hakim dalam hal pembuktian maka terdakwa tidak memiliki hak untuk memberikan keterangan atas harta bendanya. Secara implisit dapat ditarik suatu asumsi bahwa telah ada pada tataran kebijakan formulasi suatu upaya untuk mempermudah pembuktian dalam tindak pidana korupsi. Seiring dengan masih kurangnya pengaturan dalam pemberantasan korupsi maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, dicabut dan diganti dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Keluarnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 inilah yang secara luas telah mengatur mengenai pembuktian terbalik dalam menangani masalah korupsi. Pada ketentuan Pasal 17 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 mengatur tentang pembuktian tindak pidana korupsi di depan persidangan, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: 61
60
Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun
61
Pasal 17 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
1960. Korupsi.
Universitas Sumatera Utara
1. Hakim dapat memperkenankan terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan memberikan keterangan tentang pembuktian bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi. 2. Keterangan tentang pembuktian yang dikemukakan oleh terdakwa bahwa ia tidak bersalah seperti yang dimaksud dalam ayat (1) hanya diperkenankan dalam hal: a. Apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatan itu menurut keinsyafan yang wajar tidak merugikan keuangan atau perekonomian Negara, atau b. Apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu dilakukan demi kepentingan umum. 3. Dalam hal bahwa terdakwa dapat memberikan keterangan tentang pembuktian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang setidak-tidaknya menguntungkan baginya. Dalam hal demikian, Penuntut Umum tetap mempunyai kewenangan untuk memberikan pembuktian yang berlawanan. 4. Apabila terdakwa tidak dapat memberikan keterangan tentang pembuktian seperti dimaksudkan dalam ayat (1), keterangan tersebut dipandang sebagai hal yang setidak-tidaknya merugikan baginya. Dalam hal demikian, Penuntut Umum tetap diwajibkan memberi pembuktian bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Sistem pembuktian dalam ketentuan pasal 17 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 ini dikenal dengan sistem pembagian pembuktian, yaitu merupakan suatu asas yang mewajibkan terdakwa untuk membuktikan ketidaksalahannya, tanpa menutup kemungkinan jaksa melakukan hal yang sama untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Tegasnya, dari ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tidak menganut sistem pembuktian terbalik secara absolut karena terdakwa dan Penuntut Umum dapat saling membuktikan. 62 Kemudian pada pasal 18 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, tentang kepemilikan harta benda pelaku diatur sebagai berikut:63
62 63
Lilik Mulyadi, Op.Cit., halaman 258. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak PIdana
Korupsi.
Universitas Sumatera Utara
1. Setiap terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri/suami, anak dan setiap orang serta benda yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan apabila diminta oleh hakim. 2. Bila terdakwa tidak dapat memberi keterangan yang memuaskan disidang pengadilan tentang sumber kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Ketentuan pasal 17 dan pasal 18, disatu sisi menggambarkan penerapan pembuktian terbalik untuk membuktikan apakah si pelaku memiliki unsur kesalahan atau tidak dalam melakukan tindak pidana korupsi, dan juga bertujuan untuk pembuktian kepemiliakan harta kekayaan terdakwa tetapi penerapan pembuktian terbaliknya hanya diperkenankan sepanjang hakim memandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan. Berdasarkan hal tersebut maka terdakwa tidak dapat memiliki hak secara utuh dalam hal pembuktian terbalik, karena terdakwa hanya dapat mempergunakan pembuktian terbalik didalam persidangan sepanjang hakim memperkenankan untuk kepentingan pemeriksaan. 64 Pembuktian terbalik juga sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan tersebut diatur pada pasal 37 yang berbunyi sebagai berikut: 65 1. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. 2. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. 64
Lilik Mulyadi, Op. Cit., halaman 195. Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 65
Universitas Sumatera Utara
Kemudian penjelasan otentik ketentuan Pasal 37 tersebut menentukan, bahwa: 66 1. Ayat (1), pasal ini sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan pembuktian terbalik terhadap terdakwa. Tersangka tetap memerlukan perlindungan hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan menyalahkan diri sendiri (non selfincrimination). 2. Ayat (2), ketentuan ini tidak menganut sistem pembuktian secara negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk). Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat diketahui bahwa pada pasal 37 tersebut menganut adanya dua sistem beban pembuktian yaitu: “sistem pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang” dan “sistem negatif yang terdapat dalam KUHAP” sehingga jika dijelaskan maka sistem pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang, diartikan bahwa terdakwa berhak untuk memberikan pembuktian bahwa ia tidak melakukan tidak pidana korupsi. Sedangkan
sistem
pembuktian
negatif
berarti
bahwa
penuntut
umum
membuktikan unsur-unsur kesalahan terdakwa. Analisis hukum terhadap ketentuan pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menunjukkan bahwa terhadap pembalikan beban pembuktian terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, apabila didalam persidangan terdakwa dapat membuktikan tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.
66
Lilik Mulyadi, Op. Cit., halaman 196.
Universitas Sumatera Utara
Sistem pembuktian terbalik dalam pasal 37 berlaku sepenuhnya pada tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi, khususnya yang nilainya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) atau lebih (pasal 12 B ayat (1) huruf a) 67, merupakan kewajiban terdakwa untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka berdasarkan pasal 37 ayat (2) yakni hasil pembuktian bahwa terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Ketentuan pasal 37 ayat (1) pada dasarnya merupakan penegasan terhadap hak terdakwa dalam hal pembuktian yang memang sudah ada sejak pelaku diangkat statusnya menjadi tersangka atau terdakwa. Sedangkan pasal 37 ayat (2) memiliki arti penting dalam hukum pembuktian terbalik, meskipun bersifat terbatas. Karena pada ayat (2) dicantumkan akibat hukumnya bila terdakwa berhasil membuktikan, ialah hasil pembuktian terdakwa tersebut dipergunakan oleh pengadilan untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Ketentuan pasal 37 ayat (2) ini sebagai dasar hukum pembuktian terbalik hukum acara pidana korupsi yang dalam penjelasan dikatakan sebagai sistem pembuktian terbalik yang terbatas. Pasal tersebut dikatakan terbatas karana sistem pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahan 1999 jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 hanya diterapkan dalam tindak pidana gratifikasi yang terdapat dalam pasal 12 B dan terhadap tuntutan perampasan benda terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 67
Pasal 12 B ayat (1) huruf a: “yang nilainya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.”
Universitas Sumatera Utara
2, pasal 3, pasal 4, pasal 13, pasal 14, pasal 15 dan pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. E. Asas Pembuktian Terbalik Dengan Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang Penggunaan asas pembuktian terbalik ternyata tidak hanya digunakan dalam menangani masalah tindak pidana korupsi saja, karena dalam menangani masalah tindak pidana pencucian uang sistem pembuktian terbalik juga di atur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang diatur dalam pasal 35 yang menyatakan bahwa: 68 “Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.” Berdasarkan ketentuan pasal 35 tersebut memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002. Penerapan pembuktian terbalik dalam Undang-Undang ini dapat dikatakan masih bersifat terbatas, yaitu berlaku pada sidang pengadilan bukan pada tahap penyidikan. Terbatasnya penerapan pembuktian terbalik dalam Undang-Undang ini menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Dian Adriawan, berpendapat pembuktian terbalik yang diatur dalam pasal 35 dapat diberlakukan
68
Pasal 35 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang.
Universitas Sumatera Utara
setelah jaksa bisa membuktikan kejahatan asal usul harta kekayaan. Jika jaksa tak bisa membuktikan, majelis dapat membebaskan terdakwa. 69 Berdasarkan penjelasan tersebut memberikan penjelasan bahwa terdakwa tidak dapat melakukan pembuktian secara penuh karena pembuktian tersebut sangat tergantung dengan upaya pembuktian yang dilakukan oleh penuntut umum. Hal tersebut juga dipertegas oleh Dian yang menyatakan bahwa: “Apabila jaksa tidak bisa membuktikan predicate crime maka dakwaan tidak terbukti dan beban pembuktian terbalik tidak bisa ke terdakwa dan hakim harus membebaskan. Kalau jaksa bisa membuktikan, baru pembuktian terbalik diberlakukan ke terdakwa,”70 Keluarnya Undang-Undang tersebut ternyata tidak dapat memberikan dampak yang begitu pesat dalam menangani masalah pencucian uang yang ada di Indonesia, sehingga peraturan mengenai tindak pidana pencucian uang tersebut di ganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003. Namun perubahan tersebut ternyata tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan penegakan hukum, praktik, dan standar internasional, sehingga Undang-Undang tersebut diganti dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Mengenai pembuktian terbalik diatur dalam pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yang berbunyi: 71
69
http://hukumonline.com/berita/baca/lt4d079e0a56641/pembuktian-terbalik-berlakujika-ipredicate-crimei-bisa-dibuktikan, diakses pada tanggal 10 Maret 2012, pukul 20.15 WIB. 70 Ibid. 71 Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Universitas Sumatera Utara
“Untuk kepentingan pemeriksaan di persidangan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.” Pengaturan mengenai pembuktian terbalik ini juga diatur dalam pasal 78, yang berbunyi: 72 1. Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksudkan delam pasal 2 ayat (1). 2. Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut maka dapat diketahui bahwa terdakwa diberikan hak dalam melakukan pembuktian, yang berarti bahwa tersangka diberi kesempatan untuk membuktikan harta kekayaannya bukan dari tindak pidana. Namun pembuktian terbalik tersebut masih bersifat terbatas karena hanya berlaku pada sidang di pengadilan, tidak pada tahap penyidikan. Dan yang dibuktikan oleh terdakwa adalah harta kekayaannya bukan berasal dari tindak kejahatan. Selain itu tidak pada semua tindak pidana, hanya dapat diterapkan pembuktian terhadap tindak pidana serious crimeI atau tindak pidana berat seperti korupsi, penyelundupan, narkotika, psikotropika atau tindak pidana perbankan
72
Pasal 78 Undang-Undang Nomor 8 Than 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Universitas Sumatera Utara