PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Oleh Ayu Komang Sari Merta Dewi I Gusti Ayu Puspawati Bagian Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Corruption is an extraordinary crime that require exceptional legal instrument to combat its existence anyway. Of proof systems are specific rules established by the government through the issuance of the provisions of Act No. 31 of 1999 which, as amended in Act No. 20 of 2001 on Eradication of Corruption. Because of the system of proof applied in criminal acts of corruption is different from the one employed in the procedural law in general, this paper will explain how the application system in the process of evidence of proof at court. In addition, this paper also explains how systematically the role of proof against the imposition of the ruling by Judge. Key words: Reversal Burden Of Proof, Corruption , Eradication ABSTRAK Tindak pidana korupsi adalah suatu kejahatan luar biasa yang memerlukan instrument hukum yang luar biasa pula untuk memberantas keberadaannya. Sistem pembuktian terbalik adalah aturan khusus yang dibentuk pemerintah melalui dikeluarkannya ketentuan UU No. 31 Tahun 1999 yang sebagaimana dirubah dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena sistem pembuktian yang diberlakukan dalam tindak pidana korupsi ini berbeda dengan yang diberlakukan pada hukum acara pada umumnya, tulisan ini akan menjelaskan bagaimana penerapan sistem pembuktian terbalik dalam proses pembuktian di pengadilan. selain itu tulisan ini juga menjelaskan mengenai bagaimana peranan sistem pembuktian terbalik terhadap penjatuhan putusan oleh Hakim. Kata Kunci: Sistem Pembuktian Terbalik, Korupsi, Pemberantasan
I.
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Sistem berasal dari bahasa Yunani yakni systema yang berarti sesuatu yang terorganisasi, suatu keseluruhan kompleks.1 Apabila KUHAP yang dipergunakan
1
Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999),Cetakan Pertama, CV. Mandar Maju, Bandung, 2001, h. 98
1
sebagai hukum acara pidana dalam pemeriksaan perkara delik korupsi sebagai suatu sistem, maka pembuktian adalah bagian dari sistem tersebut. Setelah
diundangkannya
Undang-Undang
No.
31
Tahun
1999
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 yang dianggap sudah tidak relevan lagi, Martiman Prodjohamidjojo, S.H.M.H. menyatakan “UU No. 31 Tahun 1999 terdapat beberapa hal baru yang ditambahkan atau diperluas pengertiannya,2 salah satunya mengenai penerangan sistem pembuktian terbalik dalam pembuktian di persidangan. Pemberlakuan sistem pembuktian terbalik, adalah sangat penting mengingat pemberlakuannya dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini berbeda dengan sistem pembuktian di dalam hukum acara pidana di Indonesia. 1.2 TUJUAN Adapun tujuan dari penulisan jurnal ini adalah untuk memenuhi kewajiban sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S1) serta untuk mengetahui bagaimana penerapan sistem pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi, juga untuk mengetahui peranan sistem pembuktian terbalik dalam penjatuhan putusan oleh hakim dalam tindak pidana korupsi. II ISI MAKALAH 2.1 METODE PENELITIAN Metode yang digunakan untuk membahas masalah dalam tulisan ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang menguaraikan terhadap permasalahanpermasalahan yang ada, untuk selanjutnya dibahas dengan kajian teori-teori hukum kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek hukum.3 Karena menggunakan penelitian normatif maka sumber datanya adalah sumber data sekunder yang berupa bahan hukum baik bahan hukum primer maupun sekunder.4 2
ibid, h 5-6
3
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Huum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,edisi I Cetakan V, PT Raja Grafindo Persada Jakarta, , h 13-14. 4
Amirudin dan H Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Radja Grafindo Persada, Jakarta, h 118
2
Jenis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sejarah, pendekatan perundangundangan dan pendekatan konsep. Analisis terhadap bahan hukum yang diperoleh adalah secara deskriptif, analisis dan argumentatif.5 2.2 HASIL DAN PEMBAHASAN 2.2.1 Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Korupsi Korupsi berasal dari bahasa Latin “coruptio atau corruptus, yang berarti kerusakan atau kebobrokan.”6 Mengingat korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime) yang dilakukan oleh kejahatan kerah putih (white coral crime)sehingga untuk memberantasnya diperlukan instrument-instrumen hukum yang luar biasa pula (extraordinary legal instruments). 7Sistem pembuktian terbalik adalah salah satu bentuk extraordinary legal instrument yang dibentuk unutk menangani masalah korupsi yang merajalela di Indonesia. Dalam penjelasan UU No. 31 Tahun 1999 menjelaskan bahwa sistem pembuktian terbalik yang digunakan adalah bersifat terbatas dan berimbang yakni, terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentan seluruh harta bendanya, harta benda istrinya, atau suami, anak, dan harta benda setipa orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan. Martiman Prodjohamidjojo menyatakan “Perkara berimbang dikatakan lebih tepat sebagai sebanding, dilukiskan sebagai/berupa penghasilan terdakwa ataupun sumber penambahan harta benda terdakwa, sebagai income terdakwa dan perolehan harat
benda
sebagai
output.”8Dengan
demikian
berimbang
dapat
diartikan
kesebandingan antara penghasilan dengan harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Kata berimbang juga dapat diartikan sebagai pembagian beban pembuktian antara Jaksa Penuntut Umum dengan pembuktian oleh terdakwa. Kata 5
Ibid h. 131
6
Martiman Prodjohamidjojo, op. cit. h.7
7
Muladi, 2001, Sistem Pembuktian Terbalik, Varia Peradlian Jakarta, h. 121
8
Martiman Prodjohamidjojo, op. cit. h.108
3
terbatas berarti apabila terdakwa dapat membuktikn dalilnya bahwa ia tidak melakukan tindak tindak pidana korupsi, maka penuntut umum tetap mempunyai kewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Sistem pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang disempurnakan dengan dikeluarkannya UU No. 21 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999. Dalam UU ini ketentuan Pasal 37 UU No 31 Tahun 1999 dirubah rumusannya menjadi dua pasal yakni Pasal 37 dan Pasal 37 A UU No. 21 Tahun 2001. Tidak terdapat banyak perubahan dalam perubahan Pasal 37 ini. Dalam penjelasan pasal 37 dikatakan bahwa pasal ini sebagai konsekuensi berimbang diterapkannya pembuktian terbalik terhadap terdakwa.Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) dan menyalahkan diri sendiri ( non self incrimination). Berdasarkan isi pasal 37 dan pasal 37 A serta penjelasannya maka sistem pembuktian terbalik secara murni dapat diterapkan. Namun menurut Pasal 37 A ayat (2), apabila terdakwa tidak mampu membuktikan asal kekayaannya maka Jaksa Penuntut Umum tetap memiliki kewajiban untuk membuktikan dakwaannya.Sehingga disini sistem pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbanglah yang kembali digunakan. 2.2 Peranan Sistem Pembuktian Terbalik dalam Pejatuhan Putusan oleh Hakim dalam Tindak Pidana Korupsi Dalam sistem pembuktian terbalik yang terbatas dan berimbang, keterangan yang diberikan terdakwa untuk membuktikan dirinya tidak bersalah tidak dapat dijadikan bukti keterangan terdakwa, sedangkan dalam pembuktian terbalik murni dalam pasal 37 UU No. 21 Tahun 2001, keterangan terdakwa dapat dijadikan dasar pengambilan putusan oleh Hakim. Akan tetapi mengingat ketentuan pasal 189 ayat (1) KUHAP, maka keterangan yang diberikan dimuka persidangan tersebut adalah sebagai alat bukti keterangan terdakwa. Walaupun dalam ketentuan pasal 189 ayat (4) menyatakan bahwa keterangan terdakwa saja tidak cukup.
4
Dalam menjatuhkan putusannya Hakim selain menggunakan dasar-dasar hukum, dan landasan filosofis, maka nilai-nilai yang ada di masyarakat juga dapat dijadikan dasar hukum. Mengingat dalam ketentuan pasal 27 UU No. 4 Tahun 1970 jo UU No. 4 Tahun 2004 yang menyatakan “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib mengali, mengikuti dan memahami nilai hukum yang berlaku di masyrakat. Peranan sistem pembuktian terbalik dalam penjatuhan putusan hakim dalam tindak pidana korupsi akan semakin berpengaruh karena sesuai dengan pendapat Evi Hartati SH yang mengatakan “dalam pemeriksaan tindak pidana khusus korupsi digunakan aturan khusus dan serta lembaga yang khusus pula.”9 III KESIMPULAN 1. Berdasarkan ketentuan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang disempurnakan dalam UU No. 20 Tahun 2001 maka sistem pembuktian terbalik yang diterapkan di Indonesia adalah bersifat terbatas dan berimbang. 2. Dalam sistem pembuktian terbalik yang terbatas dan berimbang pembuktian terdakwa tidak dapat dijadikan dasar penghukuman, karena JPU masih wajib membuktikan dakwaannya, namun sistem pembuktian terbalik sebagai suatu aturan khusus akan semakin berpengaruh dalam penjatuhan putusan oleh hakim. DAFTAR PUSTAKA Amirudin, dan H Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum,PT Radja Grafindo Persada Jakarta Hartanti, Evi, 2007, Tindak Pidana Korupsi, Cetakan: Pertama, Edisi: Kedua, Sinar Grafika, Jakarta Prodjohamidjojo, Martiman, 2001, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999) Cetakan Pertama, CV Mandar Maju, Bandung. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Edisi I, Cetakan V, PT Radja Grafindo Persada, Jakarta.
9
Evi Hartanti, 2007, Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Pertama, Edisi Keda, Sinar Grafika, Jakarta, h. 70.
5