PENERAPAN PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF PERLINDUNGAN HAM Ismaya Salindri Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Pidana Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta E-mail: Abstract risks, but also it can damage the moral values an the future of a nation. Money laundering is a follow up crime, it means this crime must be begin with anothe crime, and one of them is corruption. Both of this crimes are white collar crime and extra ordinary crime, which is caused by complex reason, so it is not
Keywords: money laundering, corruption, reversal of burden of proof, human rights. Abstrak Tindak pidana pencucian uang merupakan kejahatan yang sangat membahayakan bagi suatu negara, karena bukan hanya dapat menimbulkan kerugian yang begitu besar jumlahnya, namun juga merusak nilai moral dan masa depan suatu bangsa. Tindak pidana pencucian uang merupakan follow up crime, artinya tindak pidana ini harus diawali terlebih dahulu dengan tindak pidana lainnya, yang salah satunya adalah tindak pidana korupsi. Kedua bentuk kejahatan ini termasuk kejahatan kerah putih dan kejahatan luar biasa yang penyebabnya pun sangat kompleks, sehingga upaya penanganannya tidaklah mudah. Penerapan pembalikan pembuktian diharapkan mampu menjadi satu cara khusus yang dapat ditempuh guna memberantas tindak pidana pencucian uang, serta untuk tujuan pengembalian aset, karena selain si pelaku harus dipidanakan, kerugian keuangan yang dialami oleh negara juga harus dikembalikan. Kata kunci: pencucian uang, korupsi, pembalikan beban pembuktian, hak asasi manusia. A.
Pendahuluan
Tuntutan hidup yang terus meningkat secara tidak langsung memaksa manusia agar memiliki kemampuan dan daya saing sehingga memiliki kualitas kehidupan yang lebih baik, atau setidak-tidaknya agar dapat tetap bertahan hidup. Kejahatan ikut berkembang seiring berkembangnya zaman. Kejahatan yang paling mudah terlihat dan mudah ditemukan misalnya seperti pencurian, perampokan, pembobolan, penganiayaan, dan sebagainya. Kejahatan itu tidak hanya terbatas pada bentuk-bentuk tindakan yang dapat merugikan orang lain secara langsung kejahatan yang tidak bisa begitu saja diketahui, dilakukan bukan dengan menggunakan kekuatan
justru bisa lebih besar, pelakunya pun biasanya berasal dari kalangan intelek. Bentuk kejahatan semacam ini disebut dengan white collar crime. Di masa sekarang, kita banyak disuguhi dengan pemberitaan di berbagai media tentang kasus-kasus kejahatan yang dilakukan oleh kaum intelek, bahkan oleh para penegak hukum Yunani yang hidup sebelum masa Socrates bernama Solon, yakni pada tahun 630-555 sebelum Masehi, yang menggambarkan suatu keadaan sebagaimana yang terjadi di masa sekarang. Ungkapan tersebut adalah: “Laws are like spider’s webs, if some poor weak creature come up againts them, it is cauhgt. But a bigger one can break through and get away (Soen’an Hadi Poernomo, 2013: 148).” Perumpaaan ini
134 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Penerapan Pembalikan Beban...
menyadarkan kita betapa pelaksanaan hukum di negara kita tidak jauh berbeda seperti sarang laba-laba. Makhluk kecil yang lemah yang naik dan masuk ke jaring laba-laba tentu akan tertangkap dan terjerat di dalamnya, namun akan berbeda apabila yang masuk ke jaring tersebut adalah suatu makhluk yang lebih besar, maka ia akan dapat melewatinya dan berlalu begitu saja. Pencucian uang merupakan salah satu bentuk white collar crime. Modus operandi dalam melakukan pencucian uang terus berkembang seiring berjalannya waktu dan menjadi semakin kompleks dengan memanfaatkan segala bentuk kemajuan teknologi yang ada, yang membuatnya menjadi semakin rumit. Hal ini terjadi pada semua tahapan-tahapan pencucian uang, yaitu placement, layering, dan integration. Penanganan tindak pidana pencucian uang akan menjadi semakin sulit dan membutuhkan peningkatan kemampuan (capacity bulding) dari aparat penegak hukum secara sistematis dan berkesinambungan (Ivan Yustivianda, 2010: 46-48). Hukum yang merupakan produk masyarakat adalah perwujudan nurani tentang apa yang menjadi kehendak, rasa, cipta, tujuan hidup di masyarakat, sehingga apabila kita berbicara mengenai hukum tidak dapat terlepas dari moralitas. Lagi pula perbuatan-perbuatan jahat seperti penyuapan, korupsi, hingga pencucian uang bukan lagi karena motivasi untuk memenuhi kebutuhan (needs) melainkan karena keserakahan (greeds) (Yovita A. Mangesti & Bernard L. Tanya, 2014 :12). Tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang sebagai tindak pidana khusus tentu memerlukan penanganan yang khusus pula. Adanya beban pembuktian yang diberikan kepada terdakwa, cenderung mengalihkan asas praduga tak bersalah (presumpsion of innocent) menjadi praduga bersalah (presumpsion of guilty), sehingga perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dari terdakwa menjadi dipertanyakan. Bahkan di dalam Pasal 69 UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang disebutkan: “Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.” Keberadaan ayat ini dimaksudkan agar penyidikan dapat segera dilakukan, serta terhadap barang-barang atau harta kekayaan yang diduga merupakan hasil dari tindak pidana (tindak pidana asal dari pencucian uang) dapat dilakukan penyitaan.
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Pencucian uang menjadi sarana bagi koruptor untuk seakan-akan melegalkan uang hasil kejahatannya dalam rangka menghilangkan jejak. Selain itu, uang hasil korupsi tersebut selanjutnya dapat diolah sedemikian rupa guna memperbesar jaringannya (Yenti Garnasih, 2013). Tindakan korupsi akan mengakibatkan kerugian yang terus bertambah besar apabila tidak dengan tepat dan cepat ditangani. Kejahatan pada waktu sekarang dan waktu yang akan datang akan semakin bervariasi dan berkembang, termasuk dengan menggunakan cara yang canggih dengan memanfaatkan segala bentuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada. Pencegahan dan pemberantasan tindak efektif apabila hanya mengandalkan pendekatan normatif hukum pidana saja, namun harus menggunakan pendekatan dengan paradigma keadi lan rest orat if da n re tri but if (Romli Atmasasmita, 2014: 72). Tindak pidana pencucian uang bukan semata-mata masalah hukum biasa, namun tindak pidana ini dapat berdampak pada keuangan negara, dan dapat mencakup hal-hal yang sangat kompleks. Salah satu contoh perkara pencucian uang dengan tindak pidana korupsi sebagai predicate offense yang kepadanya diterapkan sistem pembalikan beban pembuktian adalah yang melibatkan Inspektur Jenderal Djoko Susilo, yang pada kala itu menjabat sebagai Kepala Korps Lalu Lintas Mabes Polri. Djoko Susilo dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi dalam pengadaan simulator Surat Izin Mengemudi (SIM) di Korps Lalu Lintas Polri pada tahun 2010 hingga 2011 serta tindak pidana pencucian uang periode 20032010 dan 2010-2012. Pada tingkat kasasi, hakim menolak kasasi yang diajukan oleh Djoko Susilo dan memutus memperkuat putusan banding Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, yakni pidana penjara selama 18 (delapan belas) tahun serta pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan uang pengganti sebesar Rp 32.000.000.000,00 (tiga puluh dua miliar rupiah). Selain itu, terdakwa juga dihukum dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik (Putusan Mahkamah Agung No. 537 K/Pid. Sus/2014, diucapkan pada 4 Juni 2014, hlm. 133). Menurut pakar money laundrering, Yenti Garnasih, pemberlakuan pembalikan beban pembuktian adalah pent ing untuk upaya pencegahan atau pemberantasan tindak pidana pencucian uang, terutama bila dikaitkan dengan
Penerapan Pembalikan Beban...
135
uang (International anti money laundering legal regime) yang pada intinya adalah melacak hasil kejahatan dan merampas untuk dikembalikan pada yang berhak (termasuk negara), tentu selain itu juga memidana pelakunya (Yenti Garnasih, 2014:3). Pengaturan dan penerapan sistem pembalikan beban pembuktian pada perkara tindak pidana pencucian uang menjadi satu gebrakan baru dalam dunia hukum di Indonesia. Seorang terdakwa harus membuktikan dari mana hartaharta kekayaannya berasal. Diterapkannya sistem pembalikan beban pembuktian diharapkan mampu mewujudkan nilai keadilan dalam penegakan hukum, sehingga orang yang bersalah dapat dihukum, harta dan aset milik negara dapat kembali, sekaligus dapat menjadi pembelajaran bagi masyarakat tentang hukum itu sendiri dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. B.
2.
Tahap Layering
3.
Tah ap kedu a i al ah den gan cara pelapisan (layering). Langkah pelapisan ini dilakukan adalah untuk menyamarkan atau menghilangkan jejak asal-usul dari uang yang bersangkutan. Tahap ini dapat dilakukan dengan cara mentransfer uang hasil kejahatan (yang sebelumnya telah disimpan di bank) ke beberapa rekening yang berbeda, yang lokasinya berjauhan, bahkan dapat dilakukan antar negara. Tahap layering dapat dilakukan berkali-kali, membagi-bagi atau memecah-mecah uang hasil tindak pidana sehingga asal-usul dari uang tersebut akan semakin kabur. Tahap Integration Tahap yang ketiga adalah tahap untuk menyatukan kembali uang-uang kotor hasil tindak kejahatan, yang telah melalui dua tahapan di atas (placement dan layering), untuk selanjutnya digunakan untuk kegiatan yang legal. Dengan tindakan semacam inilah uang kotor telah berhasil “dicuci”.
Tindak Pidana Korupsi Sebagai Salah Satu Core Crime dari Tindak Pidana Pencucian Uang
Secara sederhana, pencucian uang diartikan sebagai suatu proses yang menjadikan hasil kejahatan (proceed of crimes) atau disebut sebagai uang kotor (dirty money) yang dikonversi atau diubah ke bentuk uang nampak sah agar dapat digunakan dengan aman (Yenti Garnasih, 2009: 1). Sebagaimana diatur di dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang dapat diperoleh antara lain dari tindak pidana korupsi, penyuapan, narkotika, penyelundupan, kepabeanan, perdagangan orang, terorisme, dan tindak pidana lainnya. Ada tiga tahapan yang dilakukan dalam praktek pencucian uang, (http://acch.kpk.go.id/ money-laundering-dan-kejahatan-perbankan diakses pada tanggal 16 November 2014, jam 19:53WIB): 1. Tahap Placement Tahap ini merupakan langkah awal yang dilakukan untuk menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kriminal, misalnya menempatkan uang hasil kejahatan dalam suatu bank. Tahap ini dapat pula dilakukan dalam bentuk lain misalnya dengan menempatkan uang giral ke dalam deposito bank, saham, mengkonversi ke dalam valuta asing.
Kriminalisasi terhadap suatu bentuk tindak kejahatan tentu disertai dengan disusunnya suatu aturan perundang-undangan, dan di Indonesia undang-undang yang mengatur tetang TPPU adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Money laundering adalah “dampak” dari suatu kejahatan, supaya uang hasil kejahatan itu tidak memicu munculnya kecurigaan dari aparat penegak hukum. Ada berbagai macam bentuk kejahatan yang bisa menjadi predicate offense atau core crime dari pencucian uang. Hal ini diatur di dalam Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Diantara 25 bidang yang bisa menjadi core crime TPPU menurut Pasal tersebut, beberapa diantaranya ialah korupsi, penyuapan, narkotika, terorisme, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, prostitusi. Terkait dengan tindak pidana korupsi sebagai predicate offense, korupsi itu sendiri dalam pandangan mainstream dianggap merupakan penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi. Korupsi adalah pengalihan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi. Korupsi terjadi di sektor publik dan dilakukan oleh pejabat nakal yang melanggar hukum (J. Danang Widoyoko, 2013:115). Tindak pidana korupsi merupakan suatu bent uk kejahatan yang m embawa
136 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Penerapan Pembalikan Beban...
kerugian besar bagi keuangan negara, bahkan dapat mengganggu stabilitas perekonomian negara. Resiko dari perbuatan korup ini begitu besar, sehingga menyebabkan para koruptor berupaya sedemikian rupa untuk menyamarkan perbuatannya. Tujuan perbuatan mencuci uang adalah untuk menyembunyikan atau menyamarkan hasil predicate offense agar tidak diketahui asalusulnya untuk selanjutya digunakan, jadi bukan untuk tujuan menyembunyikan saja tapi merubah performance atau asal-usul hasil kejahatan untuk tujuan selanjutnya dan menghilangkan hubungan langsung dengan kejahatan asalnya. Berbagai kejahatan keuangan (interprise crimes), dapat dikatakan hampir pasti akan dilanjutkan dengan pencucian uang untuk menyembunyikan hasil kejahatan itu agar terhindar dari penuntutan petugas (Yenti Garnasih, 2013:2). Sulit untuk menyebut tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang tidak diikuti dengan perbuatan mencuci hasil kejahatan korupsi tersebut, kecuali dalam hal seorang koruptor tertangkap tangan ketika melakukan perbuatan korup. C. Alasan Pembalikan Beban Pembuktian Perlu Diterapkan Pada Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Korupsi Proses pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat sekaligus menjadi alternatif dalam memecahkan permasalahan korupsi. Lain halnya dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, proses pemberantasan tindak pidana pencucian uang fokus pada penelusuran terhadap uang atau hasil dari kejahatan (follow the money), bukan follow the suspect. Upaya mendeteksi aliran atau keberadaan dari uang atau hasil kejahatan korupsi (proceeds of crime) diharapkan dapat menjadi cara tepat untuk memberantas tindak pidana pencucian uang sekaligus tindak pidana korupsi yang menjadi predicate offensenya (sebagaimana diatur di dalam Pasal 2 ayat 1 huruf (a) Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang) dapat lebih mudah untuk dilakukan. Diperlukan suatu aturan khusus sebagai upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana korupsi. Agar dapat diterapkan dengan baik pada berbagai bentuk kasus, kurang tepat apabila suatu aturan itu bersifat kaku. Menurut Ronald Dworkin, hukum bukan hanya sekedar sistem aturan-aturan saja, namun hukum juga memuat standar-standar yang tidak bersifat aturan, yakni prinsip-prinsip Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
moral dan kebijaksanaan (Yovita A. Mangesti & Bernard L. Tanya, 2014:54). Hukum juga harus mengandung prinsip-prinsip moral dan kebijaksaan, karena apabila hukum hanya terdiri dari sekedar aturan-aturan saja, maka hukum itu akan bersifat kaku, sehingga akan sulit untuk diterapkan. Romli Atmasasmita, melalui bukunya yang berjudul “Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional” mengungkapkan hubungan antara korupsi dengan kekuasaan. Ia mengatakan korupsi berkaitan dengan kekuasan karena dengan kekuasaan itu penguasa dapat menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau kroninya. Perkembangan korupsi juga merupakan akibat dari sistem penyelenggaraan pemerintahan yang tidak tertata secara tertib dan tidak terawasi secara baik karena landasan hukum yang digunakan pun memiliki banyak kelemahan dalam implementasinya. Tidak hanya dari internal di dalam pemerintahan saja, namun masyarakat juga turut memiliki peran dalam “praktek korupsi” ini. Di katakan di dalam bukunya, hampir semua anggota masyarakat tidak bisa menghindarkan diri dari “kewajiban” memberi upeti ketika berhadapan dengan pejabat pemerintahan, khususnya bidang pelayanan publik (Romli Atmasasmita, 2004:1). Perbuatan korupsi dan pencucian uang bukanlah sekedar pelanggaran biasa, namun sebuah kejahatan yang merugikan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas. Oleh sebab itulah korupsi dan pencucian uang digolongkan sebagai extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa. Karena statusnya sebagai kejahatan luar biasa, maka upaya penegakan hukum terhadap kejahatan tersebut juga tidak boleh biasa-biasa saja sebagaimana penanganan terhadap bentuk kejahatan yang lainnya. Keunikan di dalam upaya penegakan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang dapat ditemukan pada sistem pembuktiannya. Secara khusus undang-undang pencegahan tindak pidana korupsi mengatur tentang sistem pembuktiannya. Di dalam Pasal 37 UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 disebutkan bahwa: “(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. (2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.”
Penerapan Pembalikan Beban...
137
Dijelaskan secara lebih lanjut di dalam bagian Penjelasan Pasal 37 yang menyebutkan: ayat (1) Pasal ini sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan pembuktian terbalik terhadap terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan menyalahkan diri sendiri (non self-incrimination). Di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 77 menyebutkan bahwa: “Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.” Sistem pembalikan beban pembuktian yang berlaku di Indonesia bukanlah sistem pembalikan beban pembuktian murni, artinya beban pembuktian bukan semata-mata hanya berada pada terdakwa saja, namun penuntut umum juga tetap memiliki kewajiban untuk melakukan pembuktian, sehingga sistem pembalikan beban pembuktian yang berlaku di Indonesia adalah sistem pembalikan beban pembuktian berimbang. Perbuatan korupsi dan pencucian uang yang terjadi secara sistematis dan meluas bukan hanya merugikan keuangan negara, namun juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Dampak yang dapat ditimbulkan tindak kejahatan ini sangat merugikan, sehingga diperlukan penanggulangan dari aspek yuridis yang luar biasa (extra ordinary enforcement) dan perangkat hukum yang luar biasa pula (extra ordinary measure). Salah satu langkah komprehensif yang dapat dilakukan dalam sistem peradilan pidana adalah dengan adanya sistem pembuktian terbalik atau sistem pembalikan beban pembuktian (reversal burden of proof/omkering van het bewijslast) (Carli Caniago, 2010:163). Seorang terdakwa dalam perkara tindak pidana pencucian uang, harus melakukan pembuktian terhadap harta kekayaan miliknya di muka persidangan, bahwa harta kekayaannya tersebut bukan merupakan hasil tindak pidana. Dalam hal terdakwa mampu membuktikan bahwa harta kekayaan miliknya benar berasal dari kausa yang halal, maka tidak serta merta ia bebas dari dakwaan, karena itu masih menjadi pertimbangan bagi majelis hakim, dan penuntut umum juga masih memiliki kewajiban untuk melakukan pembuktian. Namun apabila yang terjadi sebaliknya, yakni dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana korupsi, maka ini akan menguatkan dakwaan penuntut umum
yakni bahwa harta kekayaannya adalah hasil dari tindak pidana. Pembalikan beban pembuktian akan sangat berdampak pada proses persidangan, karena tentu akan berpengaruh pada pertimbangan majelis hakim, yang selanjutnya akan menjatuhkan putusan. Assets recovery menjadi salah satu tujuan utama penanganan tindak pidana pencucian uang dengan penerapan pembalikan beban pembuktian, karena apabila terdakwa tidak mampu membuktikan bahwa harta kekayaannya tersebut bukan berasal dari tindak kejahatan, maka terhadap harta tersebut dapat dilakukan penyitaan dan perampasan untuk selanjutnya diserahkan kepada negara. D. P e l a k s a n a a n P e m b a l i k a n B e b a n Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Perlindungan HAM Tindak pidana pencucian uang sebagai salah satu bentuk white collar crime atau kejahatan kerah putih, merupakan suatu kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki status sosial terhormat dan terpandang dalam kaitannya dengan pekerjaannya, yang berkaitan dengan kejahatan keuangan. Kejahatan ini dapat menyebabkan kerugian finansial yang besar jumlahnya, hak-hak masyarakat ikut dirugikan, bahkan mengganggu aktivitas perekonomian (Ivan Yustivianda, 2010:31-34). Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjadi salah satu bentuk perwujudan politik hukum nasional, yakni untuk menciptakan dan membentuk hukum baru yang sejalan dengan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Pokok pikiran yang melatarbelakangi penyusunan ini ialah: 1. Bahwa kejahatan yang menghasilkan atau melibatkan dana dalam jumlah yang besar, baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun korporasi cenderung semakin meningkat dan menimbulkan kerugian bagi masyarakat; 2. B a h w a u n t u k m e n i n g k a t k a n u p a y a pemberantasan tindak pidana pencucian uang yanng telah menimbulkan kerugian bagi negara atau perekonomian negara dan masyarakat, perlu suatu undang-undang yang dapat memberikan landasan hukum yang kuat bagi penegak hukum untuk melakukan penegakan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Selain itu dengan adanya
138 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Penerapan Pembalikan Beban...
3.
4.
5.
undang-undang tersebut juga diharapkan dapat memberikan perlindungan terhadap hak sosial dan ekonomi masyarakat; Bahwa upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, telah menjadi kesepakatan bersama antar berbagai negara untuk mengambil langkah-langkah yang riil, antara lain dengan membentuk undangundang nasional bagi masing-masing negara; Bahwa undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana pencucian uang berkaitan dengan berbagai undangundang yang mungkin pengaturannya akan saling berkaitan, yaitu antara lain dengan undang-undang tentang perbankan, undang-undang tentang pasar modal, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sehingga perlu adanya kekhususan yang perlu ditegaskan agar undang-undang dapat dilaksanakan sesuai yang diharapkan; dan Bahwa pemberantasan tindak pidana pencucian uang memerlukan penanganan khusus dan profesional dari penegak hukum, sehingga perlu adanya lembaga yang independen, yang bebas dari campur tangan lembaga negara, penyelenggara negara dan pihak manapun (Pathorang Halim, 2013:3031).
Hukum yang bermoral adalah kebutuhan umat manusia. Masyarakat tidak akan mampu bertahan dalam kedamaian dan keadilan apabila penegakan hukum tidak disertai dengan moral. Kehidupan bersama yang manusiawi akan tercipta dengan adanya hukum yang bermartabat. Hukum dan moral tentu sulit untuk dipisahkan. Eksistensi hukum muncul pada awalnya tentu karena manusia menyadari bahwa dirinya adalah makhluk yang memiliki akal pemikiran, memiliki kebutuhan yang mungkin saling tumpang tindih satu dengan yang lainnya, sehingga diperlukan moral dalam melangsungkan kehidupan. Berawal dari nilai-nilai moral inilah, manusia memikirkan apa yang harus dilakukan untuk menciptakan suatu kehidupan sosial yang baik. Dengan adanya dorongan keinginan atas keselarasan dalam bermasyarakat, maka muncullah aturan demi aturan yang dibuat demi kebaikan bersama. Perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak asasi manusia merupakan hak fundamental yang dimiliki oleh setiap orang dan warga negara yang dijamin secara konstitusional oleh setiap pemerintah dan negara. Penegakan hukum (law
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
enforcement) merupakan pondasi utama dalam kehidupan bernegara guna terciptanya ketertiban dan ketentraman, sehingga penegakan hukum yang kredibel menjadi prioritas kebijakan dan pembaharuan setiap negara. Karena idenya adalah untuk menjamin HAM, maka penegakan hukum sangat membutuhkan pengintegrasian nilai serta standar HAM. Penerapan sistem peradilan yang melanggar HAM dan tidak sensitif terhadap nilai-nilai kemanusiaan tidak akan dapat bersumbangsih positif terhadap usaha penyelenggaraan tata kelola pemerintah yang memenuhi rasa keadilan. Guna mewujudkan hal ini, diperlukan suatu proses peradilan yang adil yang dalam kinerjanya menegakkan, menghormati, memajukan, dan melindungi HAM pada keseluruhan proses peradilan (Yustina Trihoni Nalesti Dewi, 2013:257-258). Hak asasi manusia merupakan hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia, sematamata karena ia adalah manusia. Umat manusia mendapatkan hak asasi bukan karena hak tersebut diberikan kepadanya oleh pihak-pihak tertentu atau berdasarkan hukum positif karena alasan-alasan apapun, namun semata-mata ia memperoleh hak asasi tersebut berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Sebagai negara hukum yang mengakui dan menjunjung tinggi, negara juga mengatur hak-hak bagi tersangka atau terdakwa, salah satunya ialah bahwa dirinya tidak akan dianggap bersalah sebelum ia terbukti demikian dan telah diputus dalam persidangan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Inilah yang disebut sebagai asas praduga tak bersalah. Seorang tersangka atau terdakwa memiliki hak untuk tidak dianggap bersalah sebelum ia dinyatakan bersalah berdasarkan putusan yang sudah dijatuhkan terhadap dirinya. Pada perkara pencucian uang asas ini dianggap dikesampingkan, karena terhadap tersangka dapat dilakukan penyidikan, penuntutan,dan pemeriksaan di sidang pengadilan. sekalipun tindak pidana asalnya belum dibuktikan Tujuan utama adanya hak-hak tersangka/ terdakwa adalah untuk mengakui dan menjamin h a r k a t d a n ma r t a b a t m a n u s i a ( h u m a n dignity), baik selaku individu maupun sebagai anggota masyarakat. Pengakuan dan jaminan terhadap harkat dan martabat manusia yang suatu pengakuan baik bersifat universal atau internasional. Secara konstitusional adanya pengakuan bersifat nasional dapat ditemukan dalam UUD NRI 1945, yang secara formal diatur dan ditindaklanjuti dengan berbagai peraturan perundang-undangan (Elwi Danil, 2012:195-196) Penerapan Pembalikan Beban...
139
Adanya penerapan pembalikan beban pembuktian terhadap perkara pencucian uang dan korupsi, walaupun telah diatur di dalam aturan perundang-undangan dengan maksud membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang serta tindak pidana korupsi, seringkali masih dipermasalahkan dengan mengaitkannya dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), serta dianggap melanggar asas dalam sistem peradilan pidana yaitu asas praduga tak bersalah atau presumption of innocense. Seiring dengan bertambahnya waktu, pencucian uang dilakukan dengan cara-cara yang semakin berkembang, semakin rumit, sehingga semakin sulit ditelusuri asal-usulnya. Alasan ini membuat tindak pidana pencucian uang dianggap pula sebagai kejahatan luar biasa, sama seperti tindak pidana korupsi. Sebagai suatu kejahatan luar biasa, penanganan terhadap tindak pidana pencucian uang juga harus berbeda, salah satunya dengan pembalikan beban pembuktian. Kejahatan kerah putih semacam ini memang dilakukan tanpa kekerasan, namun dengan kecurangan, penyesatan, penyembunyian kenyataan, akal-akalan, atau pengelakan terhadap peraturan. Karena tidak ada unsur kekerasan dalam tindak pidana ini, maka korban tidak merasakan dampaknya secara langsung, dan tidak muncul perasaan takut terhadap tindak pidana tersebut. Bahkan korban, yaitu masyarakat seringkali tidak menyadari bahwa dirinya sudah menjadi korban kejahatan. Terlebih lagi, pelaku tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian adalah orang-orang yang berpenampilan santun dan terpelajar, namun demikian kerugian yang dapat ditimbulkan dari kejahatan ini bisa sangat besar dan menimbulkan kerugian bagi negara dan masyarakatnya. Money laundering has two inter-related processes. Firstly anyone who hides the existence of money for improper or illegal reasons is engaged in money laundering; illicit income in an offshore bank, the tax evader who hides earnings in a secret investment, and the corrupt employee who conceals bribes in a property transactions. Secondly, money is “cleaned” or sanitised whenever its true nature, source or use is concealed. Creating a seemingly legitimate owning funds and assets is the essence of money laundering (David Chaikin, 2008: 273). Menurut penjelasan di atas, pencucian uang terdiri atas dua proses yang saling terkait satu sama lain. Proses pertama adalah siapa saja yang
turut “menyembunyikan” sejumlah uang untuk alasan yang tidak benar atau ilegal, misalnya uang hasil perdagangan narkoba, pengelakan pajak, hingga tindakan korup. Sedangkan yang kedua adalah uang yang “dibersihkan” atau “dicuci” sehingga seakan-akan nampak legal. Uang tersebut dibuat sedemikian rupa agar terlihat sah sehingga dapat tetap dikontrol dan dikendalikan. Itulah esensi dari money laundering. Berlangsungnya proses pembuktian di muka persidangan adalah sebuah bagian yang sangat penting dalam acara pidana. Bagaimana tahapan ini berlangsung akan menjadi dasar yang nantinya akan menentukan bagaiamana status seseorang di kemudian hari. Seseorang yang didakwakan telah melakukan suatu perbuatan pidana, terhadap dirinya perlu dilakukan suatu upaya untuk membuktikan apakah benar ia telah melakukan apa yang didakwakan, atau apakah dakwaan tersebut ternyata salah. Proses pembuktian yang gagal, atau tidak dilakukan secara benar, tentu nantinya akan sangat merugikan pihak terdakwa, mengingat proses pembuktian inilah yang akan menjadi dasar pertimbangan bagi majelis hakim untuk menjatuhkan putusan. Penerapan pembalikan beban pembuktian bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 66 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi: “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.” Selanjutnya, Penjelasan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa pembuktian terbalik yang diterapkan di dalam undang-undang ini sifatnya terbatas dan berimbang, artinya terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, namun bagi penuntut umum tetap dibebankan kewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Artinya, walaupun terdakwa melakukan pembuktian, bukan berarti penuntut umum lepas dari tugasnya untuk membuktikan apa yang telah ia dakwakan terhadap terdakwa. Menurut Martiman Prodjohamidjojo, dalam pembuktian delik korupsi, ada teori bebas yang dianut oleh terdakwa, sebagaimana tercermin dan tersirat dalam penjelasan umum, serta berwujud dalam hal-hal sebagaimana tercantum dalam pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yaitu (Martiman Prodjohamidjojo, 2009: 88-89):
140 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Penerapan Pembalikan Beban...
1. 2.
3.
4.
5.
Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi; Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebt dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan bagi dirinya; Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan; Dalam hal terdakwa tidak bisa membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada, yaitu bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan terhadap dirinya; dan Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Penerapan sistem pembalikan beban pe m b ukt i an n amp akn ya p an ta s ap ab il a dilaksanakan dalam perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang, mengingat kedua tindak pidana ini adalah tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crime) yang membutuhkan penanganan khusus pula. Pelaku korupsi dan pencucian juga membutuhkan suatu aturan yang berbeda juga, yaitu dengan diberikan beban untuk melakukan pembuktian di muka persidangan. Apa yang sudah dilakukan oleh pelaku korupsi dan pencucian uang ini sudah merugikan negara beserta rakyatnya, sehingga tidaklah berlebihan apabila pembalikan beban pembuktian ini diterapkan, yakni sebagai upaya memberikan efek jera bagi pelaku tersebut, dan untuk “menakuti” orang lain agar tidak melakukan kejahatan korupsi dan pencucian uang. Penerapan pembalikan beban pembuktian dalam perkara tindak pidana pencucian uang dengan core crime tindak pidana korupsi sangat besar peranannya. Penerapan aturan hukum yang dijalankan dengan sungguh-sungguh dan sebagaimana mestinya dapat membantu aparat penegak hukum terkait assets recovery. Besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku kejahatan tentu tidak dapat direspon hanya
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
dengan hukuman penjara saja, namun pelaku harus mengembalikan apa yang sudah ia rampas dari negara. Diterapkannya kedua bentuk sanksi pidana tersebut akan lebih bermanfaat dan dirasa lebih adil, yakni si pelaku di penjara dan aset negara dapat kembali. E.
Penutup
Tindak pidana pencucian uang memang memiliki modus dan karakteristik yang berbeda dengan tindak pidana lainnya. Karakteristik tersebut antara lain ialah bahwa kejahatan pencucian uang terdiri dari kejahatan utama (predicate offense) dan pencucian uang itu sendiri sebagai follow up crime. Adanya dua kejahatan dalam tindak pidana pencucian uang berarti kedua kejahatan tersebut haruslah diungkap dan dibuktikan. Terlebih lagi kedua bentuk kejahatan ini merupakan kejahatan kerah putih (white collar crime) serta bersifat extra ordinary, mengingat orang-orang yang melakukan tindak kejahatan ini adalah mereka-mereka yang memiliki status sosial dan pendidikan yang tinggi, jabatan yang tinggi, serta kewenangan yang besar, akan tetapi segala kelebian tersebut tidak diikuti pula dengan moral yang baik. Tindak pidana korupsi yang tidak dicegah dan diberantas, akan menyulitkan suatu negara untuk dapat maju dan berkembang. Hal ini dapat terjadi karena dampak dari tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang sangat besar bagi suatu negara, dan baik secara langsung atau tidak langsung akan berdampak pula pada kehidupan rakyatnya. Sifatnya sebagai extra ordinary crime, membuat kedua kejahatan ini memerlukan penanganan yang khusus pula, salah satunya dengan diterapkannya sistem pembalikan beban pembuktian. Walaupun tidak sesuai dengan yang diatur dalam KUHP, namun sistem pembuktian ini perlu diterapkan karena akan sangat membantu jalannnya proses penegakan hukum. Tindak pindana pencucian uang adalah tindak pidana yang sangat rumit, karena keberadaannya sebagai follow up crime. Karena sifatnya yang rumit dan kompleks, maka proses pembuktiannya pun akan lebih sulit. Selain untuk membantu jalannya proses pembuktian di muka persidangan, penerapan pembalikan beban pembuktian juga dapat membantu mengembalikan kerugian negara, karena apabila seorang terdakwa tidak mampu membuktikan bahwa harta kekayaan yang dimilikinya berasal dari kausa yang halal, maka harta kekayaannya tersebut dapat disita dan selanjutnya diserahkan kepada negara. Sebagaimana kita ketahui, tindak pidana Penerapan Pembalikan Beban...
141
pencucian uang merupakan follow up crime. Kriminalisasi terhadap praktik pencucian uang diharapkan juga mampu untuk menanggulangi tidak hanya kejahatan pencucian itu sendiri, namun juga menanggulangi kejahataan utamanya (core crimes), dalam hal ini tindak pidana korupsi. Kedua tindak pidana kerah putih ini telah banyak menimbulkan kerugian bagi negara dan masyarakat luas. Bukan suatu hal yang berlebihan apabila menerapkan sistem pembalikan beban pembuktian, mengingat kejahatan ini adalah kejahatan yang sangat komplek, dengan dampak yang bisa sangat besar jumlahnya. Tidak hanya
merugikan negara secara materi, namun bentuk kejahatan ini juga dapat merusak nama dan merusak moral bangsa. Pelaku tindak pidana korupsi dan pencucian uang harus dihukum, sekaligus dilakukan penyitaan terhadap hartaharta kekayaan miliknya yang berasal dari tindak kejahatan tersebut. Adanya pembalikan beban pembuktian akan membantu jalannya proses persidangan. Terungkapnya perkara pencucian uang sebagai follow up crime diharapkan juga dapat mengungkapkan tindak kejahatan yang menjadi core crime, dalam hal ini tindak pidana korupsi.
Daftar Pustaka Carli Caniago. 2010. Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi. Lex Jurnalica Vil. 7 No. 2.
. Bagian
David Chaikin. 2008. “Commercial Corruption and Money Laundering: A Preliminary Analysis”. Sidney: Journal of Financial Crime, Emerald Insight, Faculty of Economics and Business, University of Sidney. Elwi Danil. 2012. Korupsi, Konsep, Tindak Pidana an Pemberantasannya. Jakarta: Rajawali Pers. Ivan Yustivianda, dkk. 2010. Tindak Pidana Pencucian Uang di Pasar Modal. Bogor: Ghalia Indonesia. J. Danang Widoyoko. 2013. Oligarki dan Korupsi Politik Indonesia (Strategi Memutus Oligarki dan Reproduksi Korupsi Politik). Malang: Intrans Publishing. Lilik Mulyadi. 2007. “Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Huukum Pidana Indonesia Dihubungkan Dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003”. Artikel ringkasan disertasi UNPAD 19 September 2007. Martiman Prodjohamidjojo. 2009. Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No. 20 Tahun 2001). Bandung: Mandar Maju. Pathorang Halim. 2013. Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Pencucian Uang. Jakarta: Total Media. Romli Atmasasmita. 2014. Buku 1 Kapita Selekta Kejahatan Bisnis dan Hukum Pidana. Jakarta: PT. Fikahati Aneska. Romli Atmasasmita. 2004. Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional. Bandung: Mandar Maju. Satjipto Rahardjo. 2009. Hukum dan Perilaku: Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Soen’an Hadi Poernomo. 2013. Negeri Kelautan dan Upaya Pemberantasan Korupsi). Bandung: Imania. Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penlitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia – Press. Yenti Garnasih. 2009. Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering). Jakarta: UI Press. Yenti Garnasih, 2103. “Tindak Pidana Pencucian Uang: Dalam Teori dan Praktik”. Makalah disampaikan pada Seminar dalam Rangka Munas dan Seminar Mahupiki, Kerjasama Mahupiki dan Universitas Sebelas Maret, Solo 8-10 September 2013 Yenti Garnasih. 2014. “Penerapan Pembalikan Beban Pembuktian Dalam Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang”. Pelatihan Tematik Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang
142 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Penerapan Pembalikan Beban...
Bagi Hakim dan Jaksa, diselenggarakan Komisi Yudisial Indonesia di Kuta, Bali, tanggal 25-29 Pebruari 2014. Yovita A. Mangesti & Bernard L. Tanya. 2014. Moralitas Hukum. Yogyakarta: Genta Publishing. Yustina Trihoni Nalesti Dewi. 2013. Hak Konstitusional Korban Atas Pengadilan HAM yang Kompeten, Independen, dan Imparsial, Jurnal Konstitusi Vol. 11 No. 2 Juni 2013, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. http://acch.kpk.go.id/money-laundering-dan-kejahatan-perbankan, diakses pada 16 November 2014, jam 19:53WIB. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Putusan Mahakamah Agung No. 537 K/Pid.Sus/2014
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Penerapan Pembalikan Beban...
143