BAB II KETERKAITAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
A.
Pengaturan Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam hukum pidana dikenal asas yang dirumuskan dalam bahasa latin yaitu
“nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali”. Di dalam KUHP asas ini terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi: Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan. 1 Menurut Moeljatno hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk: a.
b.
c.
Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. 2 Berkaitan dengan pendapat Moeljatno di atas menurut M.Hamdan 3 dalam
hukum pidana ada 3 masalah pokok yaitu:
1
Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang : Yayasan Sudarto, 1990), Hal. 22 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, ( Jakarta:Rineka Cipta, 2008), Hal.1, bisa juga dilihat pada Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), Hal. 7 3 M. Hamdan, Modul Kuliah Tindak Pidana Korporasi dan Penegakan Hukumnya, Program Pascasarjana Ilmu Hukum USU, 2014, Hal. 1 2
27
28
1) Tindak Pidana (Perbuatan yang dilarang/diwajibkan) Tindak Pidana 4 merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan 5 yang bisa diartikan secara yuridis atau kriminologis. Menurut Sudarto 6, perbuatan yang dapat dipidana atau disingkat perbuatan jahat yang merupakan objek ilmu pengetahuan hukum pidana adalah perbuatan jahat dalam arti hukum pidana (strafrechtelijk misdaadsbegrip), yang terwujud secara in abstracto dalam peraturan-peraturan pidana. Sedangkan perbuatan jahat sebagai gejala masyarakat yang dipandang secara concreet sebagaimana terwujud dalam masyarakat, adalah perbuatan manusia yang memperkosa/menyalahi norma-norma dasar dari masyarakat dalam konkrito. Ini adalah pengertian “perbuatan jahat” dalam arti kriminologis. Menurut Moeljatno, istilah perbuatan pidana yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. 7Jadi, suatu peristiwa itu dapat
4
Pengertian tindak pidana lebih luas dari kejahatan. Kejahatan dalam hukum pidana adalah perbuatan pidana yang pada dasarnya diatur dalam buku II KUHP dan di dalam aturan-aturan lain di luar KUHP yang di dalamnya dinyatakan perbuatan itu sebagai kejahatan. Perbuatan pidana lebih luas dari kejahatan, karena juga meliputi pelanggaran, yaitu perbuatan yang diatur dalam buku III KUHP dan di luar KUHP yang di dalamnya dinyatakan perbuatan itu sebagai pelanggaran. Pada umumnya para ahli tidak menerima pengertian kejahatan dalam kriminologi adalah sama luasnya dengan kejahatan dalam hukum pidana. Lihat Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, ( Jakarta : Aksara Baru), 1987, Hal. 17-18 5 Menurut Van Bemmelen kejahatan dalam artian kriminologis adalah tiap kelakuan yang bersifat tidak susila dan merugikan, yang menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan di dalam masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakukan itu dalam bentuk nestapa dan sengaja diberikan karena kelakukan tersebut. Lihat Ibid, Hal. 17 6 Sudarto, Op.Cit, Hal. 38 7 Moeljatno, Op.Cit, Hal. 37
29
atau tidak dapat dipidana, ditentukan oleh pembuat undang-undang bukan ditentukan oleh pendapat umum. 8 2) Subjek Hukum (Orang/tanggungjawab yang melakukan) Hukum merupakan, bahwa manusialah yang diakuinya sebagai penyandang hak dan kewajiban, tetapi segala sesuatunya hanya dipertimbangkan dari segi yang bersangku-paut atau mempunyai arti hukum. Dalam hubungan ini bisa terjadi bahwa hukum menentukan pilihannya sendiri tentang manusia-manusia mana yang hendak diberinya kedudukan sebagai pembawa hak dan kewajiban. Sekalipun mereka adalah manusia, namun hukum bisa tidak menerima dan mengakuinya sebagai orang dalam arti hukum. Bila hukum menentukan demikian, maka tertutuplah kemungkinan bagi orang-orang tersebut untuk bisa menjadi pembawa hak dan kewajiban. 9 Mengingat terjadinya perubahan sosial di berbagai bidang kehidupan manusia, maka subjek hukum 10 pidana tidak lagi dapat dibatasi hanya pada manusia alamiah (natural person) tetapi mencakup pula koperasi (legal person). a. Manusia (Natural Person) Menurut KUHP yang dapat menjadi subjek hukum pidana ialah natuurlijke persoon, atau manusia. Hal itu dapat dililihat dalam tiap-tiap pasal KUHP, buku II dan buku III. Sebagian besar kaidah-kaidah hukum pidana di dalam KUHP dimulai
8
J.E. Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, (jakarta:Bina Aksara), 1987, Hal. 135, bisa juga dilihat pada Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi ke-2, (Medan : USU Press, 2013), Hal. 77 9 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, ( Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996), Hal. 67 10 Subjek Hukum adalah segala sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban. Lihat Mudjiono, Sistem Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta:Liberty, 1997), Hal. 43
30
dengan kata barangsiapa sebagai terjemahan dari kata Belanda hij. 11 Bahwa hanya manusialah yang dianggap sebagai subjek tindak pidana, ini tersimpulkan antara lain dari: 12 1.
2.
3.
Perumusan delik yang selalu menentukan subjeknya dengan istilah: barangsiapa, warga negara Indonesia, nahkoda, pegawai negeri dan lain sebagainya. Penggunaan istilah-istilah tersebut selain daripada yang ditentukan dalam rumusan delik yang bersangkutan, dapat ditentukan dasarnya pada Pasal 2-9 KUHP. Untuk istilah barangsiapa, dalam Pasal 2,3, dan 4 KUHP digunakan istilah een ieder (dengan terjemahan “setiap orang”) Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana seperti diatur, terutama dalam Pasal 44, 45, 13, 49 KUHP, yang antara lain mensyaratkan “kejiwaan’ dari petindak/pelaku. Ketentuan mengenai pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, terutama mengenai pidana denda, hanyalah manusialah yang mengerti nilai uang.
b. Korporasi (Legal Person) Suatu perbuatan/tindakan yang dapat dipidana adalah tindakan berbuat (doen) atau tidak berbuat/membiarkannya (nalaten) yang dilakukan oleh manusia. Manusia adalah subjek tindak pidana. Hal ini juga berarti bahwa hukum pidana hanya berlaku bagi subjek hukum manusia, tidak bagi perkumpulan keperdataan (korporasi), perhimpunan manusia yang berbentuk badan hukum maupun tidak, dan yayasan atau bentuk perkumpulan lain yang mengelola kekayaan yang dipisahkan untuk tujuantujuan lain. Namun kenyataannya jauh berbeda, karena tuntutan kebutuhan sosial yang muncul tatkala stelsesl (sistem) teoritik (hukum) pidana yang masih terfokus hanya pada perilaku dan kesalahan manusia, kemudian menempatkan kita pada posisi 11
Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), Hal. 395 Mohd. Ekaputra, Op.Cit. Hal. 23 13 Dengan berlakunya Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 67, maka pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, Pasal 45, Paal 46, dan 47 KUHP dinyatakan tidak berlaku lagi. 12
31
sulit, yakni ketika dihapadapkan pada ketidakadilan yang dilakukan oleh badan hukum atau bentuk-bentuk korporasi lainnya, oleh karena itu, sejumlah Undangundang dalam bidang sosial dan ekonomi mengangkat kemungkinan dapat dipidananya korporasi lainnya. 14 Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang keuangan, ekonomi dan perdagangan, lebih-lebih di era globalisasi serta berkembangnya tindak pidana terorganisasi baik yang bersifat domestik maupun transnasional, maka subjek hukum pidana tidak dapat dibatasi hanya pada manusia alamiah tetapi mencakup pula korporasi, yaitu kumpulan terorganisasi dari orang/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum (legal person) maupun bukan badan hukum. Dalam hal ini korporasi dapat dijadikan sarana untuk melakukan tindak pidana (corporate criminal) dan dapat pula memperoleh keuntungan dari suatu tindak pidana. Dengan dianutnya paham bahwa korporasi adalah subjek tindak pidana, berarti korporasi baik sebagai badan hukum maupun non-badan hukum dianggap mampu melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. 15 Pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana, dapat dilihat di dalam ketentuan-ketentuan di luar KUHP, seperti dalam UU TIPIKOR, UU TPPU, UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU No. 15 Tahun 2003), dan UU tentang informasi dan Transaksi Elektronik (UU No. 11 Tahun 2008).
14
Jan Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2003), Hal. 93-94, bisa juga dilihat Mohd. Ekaputra, Ibid, Hal. 25 15 Penjelasan Buku kesatu angka 4 konsep KUHP Baru.
32
Menurut Muladi dalam Hamzah Hatrik, pembenaran pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana, dapat didasarkan atas hal-hal sebagai berikut: 16 1.
2. 3. 4. 5.
Atas dasar falsafah integralistik, yakni segala sesuatu hendaknya diukur atas dasar keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara kepentingan individu dan kepentingan sosial. Atas dasar asas kekeluargaan dalam Pasal 33 UUD 1945. Untuk memberantas anomie of success (sukses tanpa aturan). Untuk perlindungan konsumen. Untuk kemajuan teknologi. 3) Pemidanaan (Hukuman) Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan
sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan/dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana. Menurut Moeljatno dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, istilah hukuman yang berasal dari kata straf , merupakan suatu istilah yang konvensional. Moeljatno menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu pidana. 17 Menurut Andi Hamzah, 18 ahli hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dengan pidana, istilah hukuman 19 adalah istilah umum yang dipergunakan untuk 16
Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability), (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996), Hal. 36 17 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni, 2005), Hal. 1 18 Andi Hamzah, Azas-Azas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta, 2008), Hal 27 19 Hukuman atau pidana yang dijatuhkan dan perbuatan-perbuatan apa yang diancam pidana, harus lebih dahulu tercantum dalam undang-undang pidana. Suatu asas yang disebut dengan nullum crime sine lege, yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Letak perbedaan antara istilah hukuman dan pidana, bahwa suatu pidana harus berdasarkan kepada ketentuan undang-undang (pidana), sedangkan hukuman lebih luas pengertiannya, meliputi misalnya, guru merotan murid, orang tua yang menjewer kuping anaknya, yang semuanya didasarkan kepada kepatuhan, kesopanan, kesusialaan, dan kebiasaan. Kedua istilah ini, juga mempunyai persamaan, yaitu keduanya berlatar
33
semua jenis sanksi baik dalam ranah hukum perdata, administratif, disiplin dan pidana, sedangkan istilah pidana diartikan secara sempit yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan hukum pidana. Hukum pidana menentukan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum yang dilakukan. Sanksi itu pada prinsipnya merupakan penambahan penderitaan dengan sengaja. Penambahan penderitaan dengan sengaja ini pula yang menjadi pembeda terpenting antara hukum pidana dengan hukum yang lainnya. 20 KUHP telah menetapkan jenis-jenis pidana yang termasuk dalam Pasal 10. Diatur dua pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri atas 4 jenis pidana, dan pidana tamabahan terdiri atas tiga jenis pidana. Jenis-jenis pidana menurut Pasal 10 KUHP ialah sebagai berikut: 21 a.
Pidana pokok meliputi: 1. Pidana mati 2. Pidana penjara 3. Pidana kurungan 4. Pidana denda
b.
Pidana tambahan meliputi: 1. Pencabutan beberapa hak-hak tertentu 2. Perampasan barang-barang tertentu 3. Pengumuman putusan hakim
belakang tata nilai (value), baik dan tidak baik, sopan dan tidak sopan, diperbolehkan dan dilarang, dst. Lihat Andi Hamzah dan Siti Rahyu, suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaaan Di Indonesia, (Jakarta:Akademika Pressindo), 1983, Hal. 20, bisa juga dilihat pada Mohd. Ekaputra, Op.Cit, Hal. 136 20 J.M.Van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Material Bagian Umum, (Bandung : Binacipta, 1987), Hal. 17 21 Bambang Waluyo, Op.Cit. Hal. 10
34
Pencucian uang pada umumnya dibedakan ke dalam dua bentuk tindak pidana, yaitu: 22 1.
Tindak pidana pencucian uang aktif sebagimana yang diatur dalam Pasal 3, dan Pasal 4.
2.
Tindak pidana pencucian uang pasifsebagaimana diatur dalam Pasal 5. Untuk mengetahui 3 (tiga) masalah pokok dalam hukum pidana yaitu tentang
perbuatan yang dilarang, orang/tanggungjawab yang melakukan, dan pemidanaan (hukuman) yang terkait dalam TPPU dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:
Pasal
3
Tabel I: Tindak Pidana, Subjek dan Pemidanaan dalam TPPU Tindak Pidana Subjek Pemidanaan Keterangan Penjara Denda (tahun) (Rp) menempatkan, mentransfer, mengalihkan, kepada pelaku membelanjakan, orang membayarkan, perseorang menghibahkan, adalah menitipkan, membawa kumulatif, yaitu Paling ke luar negeri, mengubah berupa pidana bentuk, menukarkan Setiap Paling banyak penjara dan orang atau lama 20 Rp. 10 dengan mata uang atau pidana denda, surat berharga atau Korporasi tahun miliar sedangkan perbuatan lain atas Harta rupiah pelaku korporasi Kekayaan yang adalah pidana diketahuinya atau patut tunggal, yaitu diduganya merupakan berupa pidana hasil tindak pidana denda. dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul 22
Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus DI Luar KUHP (Korupsi, Money Laundering, dan Trafficking), (Jakarta : Raih Asa Sukses, 2014), Hal. 61-62
35
harta kekayaan.
4
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.
5
menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana. Ketentuan ini tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana yang diatur dalam UU PPTPPU.
6–9
Sebagimana perbuatan yang diatur dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5
Setiap orang atau Korporasi
Paling lama 20 tahun
Paling banyak Rp. 5 miliar rupiah
kepada pelaku orang perseorang adalah kumulatif, yaitu berupa pidana penjara dan pidana denda, sedangkan pelaku korporasi adalah pidana tunggal, yaitu berupa pidana denda.
1. Bersifat kumulatif bagi pelaku perseorangan Setiap orang atau Korporasi
Paling lama 5 tahun
Paling banyak Rp. 1 miliar rupiah
2. Pidana denda hanya berlaku bagi korporasi 3. Dalam hal ini tidak berlaku bagi pihak pelapor
Korporasi
-
Paling banyak 100 miliar rupiah
Adanya pidana tambahan berupa: 1. pengumuman putusan hakim; 2. pembekuan sebagian atau seluruh
36
3. 4.
5.
6.
kegiatan usaha korporasi; pencabutan izin usaha; pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi; perampasan aset Korporasi untuk negara; pengambilali han Korporasi oleh negara.
Adanya pidana pengganti berupa: 1. Diganti dengan perampasan harta korporasi atau Personil Pengendali Korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan. 2. Apabila penjualan harta milik Korporasi yang dirampas tidak mencukupi,
37
pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap Personil Pengendali Korporasi dengan memperhitung kan denda yang telah dibayar.
11
12
14
1. Pejabat atau Pegawai PPATK, Penjara 2. Penyidik, Kewajiban Merahasikan paling 3. Penuntut Dokumen/Keterangan lama 4 Umum, tahun 4. Hakim, dan 5. Setiap Orang 1. Direksi, 2. Komisaris, 3. Pengurus, 4. Pegawai Pihak Pelapor, Larangan Penjara 5. Pejabat memberitahukan adanya paling 5 atau “SuspiciousTransaction” tahun Pegawai PPATK 6. Lembaga Pengawas atau Pengatur Campur tangan terhadap Penjara pelaksanaan tugas & Setiap Orang paling Kewenangan PPATK lama 2
-
-
Denda paling banyak 1 miliar rupiah
-
Denda paling banyak
-
38
tahun
15
Kewajiban pejabat/pegawai ppatk Pejabat atau untuk menolak campur pegawai PPATK tangan pihak lain
Penjara paling lama 2 tahun
500 juta rupiah Denda paling banyak 500 juta rupiah
-
1. Pejabat/Pe gawai Penjara PPATK Kewajiban merahasiakan paling 16 2. Penyidik identitas pelapor lama 10 3. Penuntut tahun Umum 4. Hakim Sumber: Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang Secara umum unsur-unsur tindak pidana terdiri dari 2 (dua) unsur, yaitu: 1.
Unsur objektif. 23
2.
Unsur subjektif 24. Untuk mengetahui unsur-unsur dalam Undang-undang tindak pidana
pencucian uang (UU TPPU), maka dapat dijabarkan sebagai berikut:
23
Unsur objektif adalah sifat melawan hukum yang terletak pada keadaan objektif, yang merujuk kepada keadaan lahiriah yang menyertai perbuatan, yang biasanya berupa perbuatan tertentu yang dilarang dilakukan, yang tidak perlu dirumuskan lagi sebagai unsur atau elemen tersendiri (yang menunjukkan bahwa perbuatan itu bertentangan dengan hukum), lihat pada Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, ( Jakarta : Rineka Cipta), 1982, Hal. 42, bisa juga dilihat pada Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi ke-2, (Medan : USU Press, 2013), Hal. 110 24 Unsur Subjektif adalah sifat melawan hukumnya suatu perbuatan tidak terletak pada keadaan objektif, tetapi terletak pada keadaan subjektif, yaitu terletak dalam hati sanubari terdakwa, atau dapat dikatakan bahwa sifat melawan hukumnya perbuatan tergantung kepada bagaimana sikap batinnya terdakwa. Misalnya: dalam Pasal 362 KUHP, dirumuskan sebagai pencurian adalah pengambilan barang orang lain, dengan maksud untuk memiliki barang tersebut melawan hukum. Sifat melawan hukumnya perbuatan tidak dinyatakan dari hal-hal yang lahiriah, tetapi digantungkan kepada niat orang yang mengambil barang tadi. Kalau niat hatinya itu baik, misalnya barang diambil untuk diberikan kepada pemiliknya maka perbuatan ini tidak dilarang, karena bukan pencurian, sebaliknya kalau niat hatinya jelek, yaitu barang itu akan dimiliki sendiri tanpa mengacuhkan pemiliknya menurut hukum, maka hal ini dilarang dan masuk rumusan pencurian, lihat Mohammad Ekaputra, Ibid, Hal. 111
39
1. Pasal 3 a.
Unsur Objektif, terdiri dari: 1) Menempatkan Untuk kata “menempatkan” dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, Sutan Remi
Sjahdeini 25 menjelaskan kata “menempatkan” merupakan terjemahan dari kata bahasa Inggris “to Place”. Ketentuan ini lebih ditujukan kepada perbuatan menempatkan uang tunai pada bank. Simpanan di bank tersebut dapat berupa giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. 2) Mentransfer Mengenai apa yang dimaksud dengan “Mentransfer” dalam UU No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana di dalam Pasal 1 angka 1 dari UU tersebut bahwa yang dimaksud dengan transfer dana adalah rangkaian kegiatan yang dinilai dengan perintah dari pengirim asal 26 yang bertujuan memindahkan sejumlah dana kepada penerima 27 yang disebutkan dalam perintah transfer dana 28 sampai dengan diterimanya dana oleh penerima.Jadi,mengenai apa yang dimaksud dengan “menstransfer”, dapat dikemukakan bahwa istilah transfer selalu terkait dengan dana. 25
Sutan Remy Sjahdeini, Seluk-Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, (Jakarta : Pustaka Utama Grafitri, 2004), Hal. 187 26 Pasal 1 angka 7 UU No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana, menyebutkan Pengirim Asal (Originator) adalah pihak yang pertama kali mengeluarkan perintah transfer dana 27 Pasal 1 angka 13 UU No. 3 tahun 2011 tentang Transfer Dana, menyebutkan Penerima (Beneficiary) adalah pihak yang disebut dalam perintah transfer dana untuk menerima dana hasil transfer 28 Pasal 1 angka 5 UU No. 3 tahun 2011 tentang Transfer Dana, menyebutkan Perintah Transfer Dana adalah perintah tidak bersyarat dari pengirim kepada penyelenggara penerima untuk membayarkan sejumlah dana tertentu kepada penerima
40
Untuk dapat mentransfer dana tersebut, maka dana tersebut harus terlebih dahulu telah berada simpanan di bank yang disimpan dalam suatu rekening yang dimana dana tersebut digunakan untuk mentrasfer ke rekening bank yang lainnya. 3) Mengalihkan kata “mengalihkan” berasal dari kata dasar “alih” yang artinya pindah, ganti, tukar, dan ubah. Dengan demikian “mengalihkan” artinya adalah memindahkan, mengganti, menukar atau mengubah. Sehubungan dengan arti kata “mengalihkan” diatas, maka yang dimaksud dengan “mengalihkan atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)” dalam Pasal 3 adalah memindahkan, mengganti, menukar atau mengubah harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut. 29 4) Membelanjakan Menjelaskan pengertian “membelanjakan” adalah dalam rangka membeli barang atau jasa, yang padanya dalam bahasa Inggris adalah to spend. Oleh karena untuk membeli barang atau jasa harus dengan uang, maka dengan mengikuti pendapat dari Sutan Remy Sjahdeini yang dimaksud dengan “membelanjakan” dalam Pasal 3 adalah membeli barang atau jasa dengan harta kekayaan yang berupa uang yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). 30
29 30
R.Wiyono, Op.Cit.,Hal. 61 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit.,Hal. 189
41
5) Membayarkan Mengenai apa yang dimaksud dengan “membayarkan” mengandung arti menggunakan harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana tersebut bukan hanya dalam rangka pembayaran harga barang dan jasa saja, tetapi juga dalam rangka membayar atau melunasi kewajiban, misalnya kewajiban membayar (melunasi) utang. Dengan demikian harta kekayaan (yang merupakan hasil tindak pidana) yang dipakai untuk membayar kewajiban tersebut tidak selalu harus berupa uang, tetapi dapat pula berupa benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud selain uang. Misalnya berupa saham, obligasi, deposito, surat utang, bangunan perhiasan dan lain-lain. 31 6) Menghibahkan Dimaksud dengan hibah sebagaimana dalam Pasal 1666 KUHPerdata adalah suatu persetujuan dengan mana si penghibah di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Mengenai apa yang dimaksud dengan “menghibahkan” dalam Pasal 3 adalah memberikan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) secara cuma-cuma atau tanpa syarat dan tidak dapat ditarik kembali. 32
31
Ibid, Hal. 190 Ibid
32
42
7) Menitipkan Pasal 1694 KUHPerdata menyebutkan bahwa penitipan adalah terjadi apabila seseorang menerima sesuatu barang dari orang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam wujud asalnya. Sutan Remy Sjahdeni kemudian menjelaskan kata “menitipkan” sama dengan “to bail” dalam pengertian lembaga “Bailment” dalam hukum perdata atau sama dengan “to deposit”. cara menitipkan misalnya dengan menyewa safe deposit box dari bank dimana pelaku menitipkan barang perhiasan, surat utang negara, bahkan berupa uang tunai di dalam safety deposit box tersebut. 33 8) Membawa Menjelaskan bahwa kata “membawa” dalam Pasal 3 adalah mengangkut, memuat, memindahkan atau mengirim harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) secara fisik keluar batas Negara Kesatuan Republik Indonesia. 9) Mengubah Diartikan dengan “mengubah” dalam Pasal 3 adalah menjadikan lain dari semula atau menukar bentuk dari harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), misalnya rumah yang merupakan hasil tindak pidana yang semula warnanya biru
33
Ibid
43
muda dijadikan warna kuning atau rumah tersebut yang semula tidak bertingkat dijadikan bertingkat. 34 10) Menukarkan Mengenai apa yang dimaksud dengan “menukarkan” dalam bahasa Inggris “to swap”. Jadi penjelasan arti dari “menukarkan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dalam Pasal 3 adalah memberikan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) kepada orang perseorangan atau korporasi untuk diganti dengan uang atau surat berharga. 35 11) Perbuatan lain Dalam Pasal 3 yang dimaksud dengan “perbuatan lain” adalah perbuatan selain
perbuatan
yang
berupa
menempatkan,
menstransfer,
mengalihkan,
membelanjakan, menghibahkan, membayarkan, menitipkan, membawa keluar negeri, mengubah bentuk, atau menukarkan dengan uang atau surat berharga. 36 12) Menyembunyikan Diartikan dengan “menyembunyikan” dalam Pasal 3 adalah menyimpan (menutup dan sebagainya) supaya jangan (tidak) terlihat atau sengaja tidak memperlihatkan (memberitahukan). 37Diartikan dengan “menyamarkan” dalam Pasal
34
Ibid Ibid 36 R.Wiyono, Op.Cit.,Hal. 66 37 Ibid 35
44
3 adalah menjadikan (menyebabkan dan sebagainya) samaratau mengelirukan, menyesatkan. 38 b. Unsur Subjektif Unsur pokok subjektif tercemin dalam asas pokok hukum pidana, yaitu “tiada pidana tanpa kesalahan. Kesalahan yang dimaksud pada konteks ini adalah: 39 1.
Kesengajaan, terdiri dari tiga bentuk, yakni: a. Sengaja sebagai maksud b. Sengaja sebagai kepastian c. Sengaja sebagai kemungkinan
2.
Kealpaan, adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan daripada kesengajaan. Ada dua bentuk kealpaa, yaitu: 40 a. Tidak berhati-hati, dan b. Tidak menduga-duga akibat perbuatan itu. Unsur subjektif berupa “yang diketahuinya” dalam Pasal 3 menunjuk adanya
bentuk kesalahan yang berupa “sengaja” atau “dolus”, sedang unsur subjektif berupa “patut diduganya” dalam Pasal 3 menunjuk adanya bentuk kesalahan yang berupa “tidak sengaja” atau “alpa”. Dari Memorie van Tulichting (MvT) bahwa “sengaja” (opzettelijk) adalah sama dengan “dikehendaki dan diketahui” (willens en wettens). 41 Satochid Kartanegara dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan “dikehendaki dan 38
Ibid, Hal. 67 Mohd Ekaputra, Op.Cit, Hal. 111 40 Ibid 41 E. Utrecht, Hukum Pidana I, (Surabaya : Pustaka Tirta Mas, 1987), Hal. 301. Bisa juga dilihat pada R.Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, (Jakarta : Sinar Grafika, 2014), Hal. 57 39
45
diketahui” adalah seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan dengan sengaja, harus menghendaki perbuatan itu serta harus menginsafi, mengerti akan akibat dari perbuatan itu. Sedang yang dimaksud dengan “tidak sengaja” atau “alpa”, oleh Van Hamel dikemukakan bahwa kealpaan itu mengandung dua syarat yaitu: 42 1) Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum. 2) Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum. 2. Pasal 4 a.
Unsur Objektif, dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Menyembunyikan Diartikan dengan “menyembunyikan” dalam Pasal 4 adalah menyimpan
(menutup dan sebagainya) supaya jangan (tidak) terlihat atau sengaja tidak memperlihatkan (memberitahukan). 43 2) Menyamarkan Diartikan dengan “menyamarkan” dalam Pasal 4 adalah menjadikan (menyebabkan dan sebagainya) samar atau mengelirukan, menyesatkan. 3) Asal-usul, Sumber, lokasi, peruntukan, dan pengalihan hak-hak atau kepemilikan sebenarnya. Dikaitkan dengan menyembunyikan dan menyamarkan seperti termuat di atas, maka yang dimaksud dengan adanya unsur asal-usul, sumber, lokasi, peruntukan, dan pengalihan hak-hak atau kepemilikan yang sebenarnya adalah menyimpan (menutup
42 43
R.Wiyono, Ibid, Hal. 57 R.Wiyono, Op.Cit.,Hal. 69
46
dan sebagainya) supaya jangan (tidak) terlihat atau sengaja tidak memperlihatkan (memberitahukan) atau menjadikan (menyebabkan dan sebagainya) samar atau mengelirukan atau menyesatkan terhadap adanya harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). 44 b. Unsur Subjektif Mengenai unsur subjektif berupa “mengetahui atau patut menduga” dalam Pasal 4 dapat dilihat seperti pada pembahasan terhadap Pasal 3 yaitu sebagai berikut: Unsur subjektif berupa “yang diketahuinya” dalam menunjuk adanya bentuk kesalahan yang berupa “sengaja” atau “dolus”, sedang unsur subjektif berupa “patut diduganya” menunjuk adanya bentuk kesalahan yang berupa “tidak sengaja” atau “alpa”. 3.
Pasal 5 a. Unsur Objektif, diuraikan sebagai berikut: 1) Menerima Diartikan dengan kata “menerima” dalam Pasal 5 adalah mendapat atau
menampung dan sebagainya dari sesuatu yang diberikan atau dikirimkan. 2) Menguasai Diartikan dengan kata “menguasai” dalam Pasal 5 adalah berkuasa atas, memegang kekuasaan atas (sesuatu) atau mengendalikan. 45
44
Ibid, Hal. 70 Ibid, Hal. 73
45
47
3) Penempatan, Penstransferan, Hibah, Penitipan, dan Penukaran Mengenai unsur ini yaitu penempatan, penstransferan, hibah, penitipan, dan penukaran memiliki keterkaitan dengan pembahasan pada Pasal 3. 4) Sumbangan Diartikan dengan “sumbangan” dalam Pasal 5 ayat (1) adalah pemberian sebagai bantuan. Adapun penulis berpendapat yang di maksud dengan “sumbangan” adalah suatu pemberian yang di berikan kepada seseorang atau badan hukum yang dimana pemberian tersebut berasal dari hasil tindak pidana. 5) Menggunakan Dimaksud dengan “menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)” adalah kegiatan atau perbuatan selain dari kegiatan atau perbuatan yang berupa penempatan, penstransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran dalam Pasal 2 ayat (1). Pasal 5 ayat (2) ditentukan bahwa tidak berlakunya Pasal 5 ayat (1) bagi pihak pelapor hanya terbatas bagi pihak pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam UU N0. 8 tahun 2010 yaitu: a.
Pasal 23 ayat (1) menentukan bahwa penyedia jasa keuangan wajib menyampaikan laporan kepada PPATK yang meliputi: 1. Transaksi keuangan mencurigakan.
48
2. Transaksi keuangan tunai dalam jumlah paling sedikit Rp 500.000.000,- atau dengan mata uang asing yang nilainya setara yang dilakukan, baik dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja. 3. Transaksi keuangan transfer dana dari dan keluar negeri. b.
Pasal 27 ayat (1) menentukan bahwa penyedia barang dan/atau jasa lain wajib menyampaikan laporan transaksi yang dilakukan oleh pengguna jasa dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp 500.000.000,- kepada PPATK. Setiap orang tidak mempunyai kewajiban menyampaikan laporan kepada
PPATK, yaitu yang tidak mempunyai kewajiban menyampaikan laporan seperti diatas, tetapi apabila melakukan perbuatan yang berupa “menerima, atau menguasai penempatan, penstransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)”, setiap orang tersebut tetap dapat dikenakan Pasal 5 ayat (1). Sebenarnya ketentuan seperti yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (2) adalah wajar, karena jika tidak ada ketentuan seperti ini sudah tentu adanya Pasal 5 ayat (1) akan menghambat pihak pelapor yang dalam hal ini penyedia jasa keuangan dalam melaksanakan operasionalnya. 46
46
Ibid, Hal. 75
49
b. Unsur subjektif Mengenai unsur subjektif berupa “mengetahui atau patut menduga” di dalam Pasal 5. Dapat ditambahkan bahwa penjelasan Pasal 5 ayat (1) menyebutkan yang dimaksud dengan “patut diduganya” adalah suatu kondisi yang memenuhi setidaktidaknya pengetahuan, keinginan, atau tujuan pada saat terjadinya transaksi yang diketahuinya yang mengisyaratkan adanya pelanggaran hukum. Adapun Pasal 6 sampai Pasal 9 dalam UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menerangkan tentang korporasi sebagai subjek tindak pidana pencucian uang, sebagaimana pengaturannya dijelaskan sebagai berikut: 1.
Pasal 6 Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 6 ayat (1) menegaskan bahwa tindak
pidana yang dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh orang perseorangan dan dapat pula dilakukan oleh korporasi. Dengan dipergunakan kata “dan/atau” dalam perumusan Pasal 6 ayat (1), maka jika tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal, 3, Pasal 4, dan Pasal 5, pidana dapat dijatuhkan terhadap: a. Korporasi dan personil pengendali korporasi b. Korporasi saja c. Personil pengendali korporasi saja
50
Pasal 6 ayat (2) bahwa pidana dijatuhkan terhadap korporasi apabila tindak pidana pencucian uang: 47 a. Dilakukan atau diperintahkan oleh personil pengendali korporasi menurut ketentuan ini tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh personil pengendali korporasi sendiri atau dilakukan oleh orang lain, tetapi harus atas perintah dari personil pengendali korporasi. b. Dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi. Untuk korporasi yang berbentuk badan hukum, maksud dan tujuan dari korporasi dapat diketahui dari anggaran dasar dari korporasi, sedang untuk korporasi yang tidak berbentuk badan hukum, maksud dari korporasi dapat diketahui dari perjanjian, baik lisan maupun tertulis pada waktu dibentuknya korporasi tersebut. c. Dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah. Yang di maksud di sini adalah personil pengendali korporasi yang melakukan atau memerintahkan orang lain melakukan tindak pidana pencucian uang dilakukan dalam atau kedudukan yang dipangkunya, personil pengendali korporasi tersebut tidak dapat melakukan atau memerintahkan orang lain melakukan tindak pidana pencucian uang. d. Dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi. Yang menjadi ukuran disini adalah maksud dari pelaku pada waktu melakukan tindak pidana pencucian uang dan bukan manfaat yang dihasilkan dari tindak pidana pencucian uang. 2.
Pasal 7 Dalam hal tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh korporasi, oleh Pasal
7 ayat (1) ditentukan bahwa pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp 100.000.000.000,-(seratus miliar rupiah). Jika korporasi yang melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, atau Pasal 5, hendak dijatuhi pidana tambahan, maka pidana tambahan tersebut harus pidana tambahan seperti yang ditentukan oleh Pasal 7 ayat(2) saja. Untuk jelasnya dapat dikemukakan sebagai berikut:
47
Ibid, Hal. 78-79
51
a) Pengumuman putusan hakim Pasal 43 KUHP yang menentukan: “di dalam hal dimana hakim berdasarkan kitab Undang-undang ini atau sesuatu peraturan umum yang lain, memerintahkan pengumuman dari putusannya, haruslah ia menentukan pengumuman atas biaya terhukum”. 48 Dengan demikian, salah satu bentuk sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada korporasi adalah diumumkannya putusan hakim melalui media cetak dan/atau elektronik. Pengumuman ini bertujuan untuk mempermalukan pengurus dan/atau korporasi. Korporasi yang sebelumnya telah memiliki reputasi yang sangat baik akan betul-betul dipermalukan bila sampai terjadi hal yang demikian itu. Bentuk sanksi pidana ini, merupakan sanksi tambahan akan sangat efektif guna mencapai tujuan pencegahan (deterrence). 49 b) Pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi Pidana tambahan ini dapat diperinci menjadi: 1.
Pembekuan sebagian usaha korporasi untuk jangka waktu tertentu.
2.
Pembekuan sebagian kegiatan usaha korporasi untuk jangka waktu selamanya.
3.
Pembekuan seluruh kegiatan usaha korporasi untuk jangka waktu tertentu.
4.
Pembekuan seluruh kegiatan usaha korporasi untuk jangka waktu selamanya. Pidana tambahan yang akan dijatuhkan oleh hakim adalah berupa pembekuan
seluruh kegiatan usaha korporasi untuk waktu selamanya, maka pada hakikatnya
48
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Bandung : Karya Nusantara, 1983),
Hal. 60 49
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,cetakan ke-II (Jakarta : Grafitri Pers, 2007), Hal. 209
52
pidana tambahan yang dijatuhkan kepada korporasi adalah pidana tambahan berupa pencabutan usaha atau pembubaran korporasi. 50 c)
Pencabutan izin usaha Sebagai pidana tambahan, pidana berupa pencabutan izin usaha termasuk
dalam sanksi administratif. Untuk dapat menjatuhkan sanksi berupa pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud oleh Pasal 7 ayat (2) huruf c, harus melalui pemeriksaan sidang pengadilan, sedang untuk menjatuhkan sanksi administratif yang dimaksud tidak harus melalui pemeriksaan sidang pengadilan, tetapi sudah cukup oleh Pejabat PenerbitSIUP (Surat izin Usaha Perdagangan)sebagaimana dimaksud oleh Pasal 21 ayat (2) Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 36/MDAG/PER/9/2007. d) Pembubaran dan/atau pelanggaran korporasi UU No. 8 Tahun 2010, mengenai pidana tambahan ini disebut dengan "pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi" (Pasal 7 ayat (2) huruf d), di dalam UU No. 15 Tahun 2002 Jo. UU No. 25 Tahun 2003 disebut dengan "pembubaran Korporasi yang diikuti dengan likuidasi (Pasal 3 ayat (2))". Berkenaan dengan itu apabila suatu korporasi dibubarkan sebagai akibat dijatuhkannya sanksi pidana, maka konsekuensinya perdatanya adalah “likuidasi” atas aset korporasi yang bubar itu. Dalam Pasal 5 ayat (2) UU No 25 tahun 2003 ditentukan suatu korporasi dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa “pencabutan ijin usaha dan atau pembubaran korporasi yang diikuti dengan likuidasi”. Dilihat dari kaca mata hukum perdata, 50
R.Wiyono, Op.Cit.,Hal. 84
53
pembubaran suatu korporasi harus diikuti dengan likuidasi atas aset korporasi itu dalam rangka perlindungan terhadap kreditor korporasi itu. Dengan demikian ditentukan bahwa pembubaran itu harus diikuti dengan likuidasi, namun hukum perdata mengharuskan pembubaran tersebut diikuti dengan likuidasi atas aset korporasi yang bersangkutan. 51 e)
Perampasan aset korporasi untuk negara Mengenai pidana tambahan ini, Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan bahwa
perampasan dapat dilakukan, baik terhadap sebagian atau seluruh aset, baik aset tersebut secara langsung digunakan atau tidak digunakan dalam tindak pidana yang dilakukan.Aset yang dirampas tersebut kemudian dapat dilelang kepada umum, atau diserahkan menjadi milik salah satu BUMN tertentu yang memerlukan aset tersebut untuk kegiatan usahanya. 52 f)
Pengambilalihan Korporasi oleh negara Perbedaan antara pidana tambahan berupa perampasan aset korporasi untuk
negara dengan pengambilalihan korporasi oleh negara adalah jika perampasan aset korporasi untuk negara, Korporasi masih tetap menjadi milik pemegang saham, tetapi jika pengambilalihan korporasi oleh negara, Korporasi sudah tidak lagi menjadi milik pemegang saham dan beralih menjadi milik negara. 53
51
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit.,Hal. 211 Ibid, Hal. 212 53 Ibid 52
54
3.
Pasal 8 Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 8 tersebut, maka untuk penjatuhan
pidana denda dalam perkara tindak pidana pencucian uang, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 30 ayat (3) Jo. ayat (5) KUHP tidak diberlakukan. Pidana pengganti seperti yang ditentukan dalam Pasal 8 berbeda dengan yang ditentukan dalam Pasal 11 UU No. 15 Tahun 2002 Jo. UU No. 25 Tahun 2003. Jika oleh Pasal 8 ditentukan bahwa pidana pengganti tersebut berupa pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan, oleh Pasal 11 UU No. 15 Tahun 2002 Jo. UU No. 25 Tahun 2003 ditentukan bahwa pengganti berupa pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. 54 4.
Pasal 9 Korporasi sebagai terpidana yang telah dijatuhi pidana denda, tetapi
ternyata kemudian Korporasi tidak mampu membayar pidana denda tersebut, oleh Pasal 9 ayat (1) ditentukan bahwa pidana denda yang dimaksud diganti dengan: a. Perampasan harta kekayaan milik korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan, atau b. Perampasan harta kekayaan milik personil pengendali korporasi yang nilainya sama dengan putusan denda yang dijatuhkan. Perlu dibahas lebih lanjut adalah siapakah yang mempunyai wewenang untuk melakukan "perampasan harta kekayaan milik korporasi atau personil pengendali korporasi" sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).Oleh 54
Ibid, Hal. 86
55
karena "perampasan Harta Kekayaan milik Korporasi atau Personil Pengendali Korporasi" tersebut adalah dalam rangka pelaksanaan putusan pengadilan yang berupa pidana denda, maka atas dasar Pasal 270 KUHAP yang mempunyai wewenang untuk melakukan "perampasan harta kekayaan milik korporasi atau personil pengendali korporasi" adalah Jaksa. Sudah tentu sebelum Jaksa melakukan perampasan harta kekayaan korporasi atau personil pengendali korporasi dengan jalan menjual harta kekayaan tersebut, terlebih dahulu Jaksa harus melakukan penyitaan terhadap Harta Kekayaan yang dimaksud.Dalam melakukan penyitaan harta kekayaan korporasi atau personil pengendali korporasi, Jaksa tidak perlu meminta izin atau persetujuan dari Ketua Pengadilan setempat (Pasal 38 ayat (1) Jo. ayat (2) KUHP), karena yang dilakukan oleh Jaksa bukan dalam rangka penyidikan, tetapi dalam rangka pelaksanaan putusan pengadilan.Penyitaan harta kekayaan yang dilakukan oleh Jaksa dalam rangka pembayaran denda tersebut sama dengan atau sejalan dengan penyitaan harta kekayaan yang dilakukan oleh Jaksa dalam rangka pembayaran pidana tambahan berupa uang pengganti sebagaimana dimaksud oleh Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 4 Tahun 1988 tentang Eksekusi Terhadap Hukuman Pembayaran Uang Pengganti. 55 Adapun Pasal 10 mengatur tentang setiap orang berada di dalam atau di luar wilayah Negara kesatuan RI yang turut serta melakukan percobaan, pembantuan, atau
55
Ibid.,Hal. 88-89
56
permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5. Ketentuan dalam pengaturan yamg terdapat dalam Pasal 10 tersebut, terdiri dari 3 (tiga) ketentuan sebagai berikut: 56 1.
Setiap orang yang berada di dalam atau di luar wilayah Negara Kesatuan RI yang turut serta melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5. Turut serta melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana Pencucian Uang menunjuk pada Pasal 53 ayat (1) KUHP. Menurut arti kata sehari-hari yang diartikan percobaan yaitu menuju kesesuatu
hal. Akan tetapi tidak sampai hal yang dituju itu, atau hendak berbuat sesuatu, sudah dimulai, akan tetapi tidak selesai. Maka supaya percobaan pada kejahatan pencucian uang dapat di hukum, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a.
Niat sudah ada untuk berbuat kejatahan itu.
b.
Orang sudah memulai berbuat kejahatan itu, dan
c.
Perbuatan kejatahan itu tidak jadi sampai selesai, oleh karena terhalang oleh sebab-sebab yang timbul kemudian, tidak terletak dalam kemauan penjahat itu sendiri.57
2.
Setiap orang yang berada di dalam atau di luar wilayah Negara Kesatuan RI yang turut serta melakukan pembantuan untuk melakukan tindak pidana pencucian
56
Ibid R. Soesilo, Op.Cit.,Hal. 69
57
57
uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5. Turut serta melakukan pembantuan untuk melakukan pembantuan untuk melakukan tindak pidana Pencucian Uang menunjuk pada Pasal 56 KUHP. Orang yang “membantu melakukan (medeplichtig)”, jika ia sengaja memberikan bantuan tersebut, pada waktu atau sebelum (jadi tidak sesudahnya) kejahatan itu dilakukan. Bila bantuan itu diberikan sesudah kejahatan itu dilakukan, maka orang salah melakukan perbuatan sekongkol atau tadah (heiling) melanggar Pasal 480 tentang pertolongan jahat atau peristiwa pidana yang tersebut dalam Pasal 221. Niat untuk melakukan untuk melakukan kejahatannya harus timbul dari orang yang diberi bantuan kesempatan, daya upaya, atau keterangan itu, jika niatnya itu timbul dari orang yang member bantuan sendiri, maka orang itu salah berbuat “membujuk melakukan (uitlokking)”. 58 3.
Setiap orang yang berada di dalam atau di luar wilayah Negara Kesatuan RI yang turut serta melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5. Turut serta melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang menunjuk pada Pasal 88 KUHP. Adapun pengaturan tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak
pidana pencucian uang diatur dalam Pasal 11-Pasal 16 UU No 8 Tahun 2010, sebagaimanapenjelasannya dijelaskan sebagai berikut:
58
Ibid, Hal. 76
58
1. Pasal 11 (1) Pejabat atau pegawai PPATK, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan setiap orang yang memperoleh dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-undang ini wajib merahasiakan dokumen atau keterangan tersebut, kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut Undang-undang ini. (2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. (3)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, dan hakim jika dilakukan dalam rangka memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 59 Penjelasan Pasal 11 ayat (1) menyebutkan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) adalah termasuk sebagai ketentuan mengenai rahasia jabatan.Di samping rahasia jabatan (ambtsgeheim), juga ada rahasia pekerjaan (beroepsgeheim).Antara rahasia jabatan dengan rahasia pekerjaan tersebut harus diadakan perbedaan. 60Yang dimaksud dengan rahasia jabatan adalah rahasia yang harus dipegang teguh oleh orang karena jabatannya.Jabatan adalah suatu lingkungan pekerjaan tetap (kring van vaste werkzaanheden) yang diadakan dan dilakukan guna kepentingan negara (kepentingan umum). 61 Dimaksud dengan "lingkungan pekerjaan tetap" adalah suatu lingkungan pekerjaan yang sebanyak-banyaknya dapat dinyatakan dengan tepat-teliti (zoveel mogelijk nauweurig omsehreveri) yang bersifat duurzaam. 62Pada umumnya dapat dikatakan bahwa wajib penyimpan rahasia jabatan dianggap tidak mempunyai hak 59
Isi Pasal 11 ayat 1-3 UU No 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Ko Tjay Sing, Rahasia Pekerjaan Dokter dan Advokat, (Jakarta : Gramedia , 1978), Hal. 11 61 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Cetakan ke-1,( Jakarta : Sinar Grafika, 2008), 60
Hal. 128 62
E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, cetakan ke IX, ( Jakarta : Ichtiar Baru,1990), Hal. 144
59
tolak, yaitu hak untuk menolak memberi kesaksian atau hak untuk menolak memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tertentu dari hakim. Mereka hanya diberikan hak tolak kalau dikehendaki oleh karena sifat jabatannya atas dasar yang sama seperti wajib penyimpan rahasia pekerjaan.63 Pasal 11 ayat (1) menentukan bahwa pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim dan setiap orang yang memperoleh dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya berdasarkan UU No. 8 tahun 2010 diwajibkan untuk merahasiakan dokumen atau keterangan tersebut. Pasal 11 ayat (2) menentukan bahwa yang diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun adalah hanya pelanggaran untuk merahasiakan terhadap setiap orang yang memperoleh dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya berdasarkan UU No. 8 tahun 2010 saja. Ancaman pidana sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 11 ayat (2) tidak dapat diterapkan terhadap "pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum dan hakim yang memperoleh dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya berdasarkan UU No. 8 Tahun 2010" dan hanya dapat diterapkan terhadap "Setiap Orang yang memperoleh Dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya berdasarkan UU No. 8 Tahun 2010". Sebenarnya pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) adalah termasuk pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 322 ayat (1) KUHP yang menerangkan tentang
63
Ko Tjay Sing, Op.Cit.,Hal. 7
60
membuka rahasia. Supaya dapat di hukum menurut pasal ini, maka elemenelemen yang harus di buktikan adalah: 64 a. Yang diberitahukan (dibuka) itu harus suatu rahasia. b. Bahwa orang itu diwajibkan untuk menyimpan rahasia tersebut dan ia harus betul-betul mengetahui, bahwa ia wajib menyimpan rahasia itu. c. Bahwa kewajiban untuk menyimpan rahasia itu adalah akibat dari suatu jabatan atau pekerjaan yang sekarang, maupun yang dahulu pernah ia jabat. d. Membuka rahasia itu dilakukan dengan sengaja. Karena ketentuan yang terdapat dalam Pasal 11 ayat (2) adalah merupakan lex spesialis dari lex generalis dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 322 ayat (1) KUHP, maka atas dasar Pasal 63 ayat (2) KUHP yang mengatur jika bagi perbuatan yang terancam oleh ketentuan pidana umum pada ketentuan pidana yang istimewa, maka ketentuan pidana istimewa itu saja yang akan digunakan. Jadi, dalam hal ini yang harus diterapkan adalah ketentuan yang terdapat dalam Pasal 11 ayat (2). Sebagai akibat lebih lanjut terhadap pelanggaran untuk merahasiakan yang dilakukan oleh "pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memperoleh dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut UU No. 8 Tahun 2010" dapat diterapkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 322 ayat (1) KUHP. Oleh karena itu, agar setiap orang yang memperoleh dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut UU No. 8 Tahun
64
Lihat di Penjelasan Pasal 322 ayat 1 KUHP, R. Soesilo, Op.Cit.,Hal. 232
61
2010 dapat dinyatakan salah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), maka harus dapat dibuktikan:65 a. Setiap orang tersebut mengetahui bahwa mempunyai kewajiban untuk merahasiakan dokumen atau keterangan yang diperoleh dalam rangka melaksanakan tugasnya berdasarkan UU No. 8 Tahun 2010. b. Setiap orang tersebut memang menghendaki melanggar kewajiban untuk merahasiakan dokumen atau keterangan yang diperoleh dalam rangka melaksanakan tugasnya menurut UU No. 8 Tahun 2010. Dengan adanya kalimat "kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut Undangundang ini" dalam Pasal 11 ayat (1), maka dapat ditentukan tidak merupakan kewajiban untuk merahasiakan dokumen atau keterangan yang diperoleh setiap orang dalam rangka pelaksanaan UU No. 8 Tahun 2010, jika dokumen atau keterangan tersebut dipergunakan untuk memenuhi kewajiban berdasarkan UU No. 8 Tahun 2010". Kewajiban untuk tidak merahasiakan dokumen atau keterangan menurut Pasal 11 ayat (1) sebenarnya tidak hanya diberikan kepada setiap orang yang memperoleh dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan UU No. 8 Tahun 2010, tetapi juga diberikan kepada pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum dan hakim yang memperoleh dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan UU No. 8 Tahun 2010. Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum dan hakim yang memperoleh dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan UU No. 8 Tahun 2010, tidak mempunyai kewajiban merahasiakan dokumen atau keterangan tersebut, di samping karena untuk memenuhi kewajiban berdasarkan UU No. 8 Tahun 2010,
65
R.Wiyono, Op.Cit.,Hal. 95
62
menurut Pasal 11 ayat (3), juga karena dalam rangka memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2. Pasal 12 (1) Direksi, komisaris, pengurus atau pegawai pihak pelapor dilarang memberitahukan kepada pengguna jasa atau pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara apapun mengenai laporan transaksi keuangan mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK. (2) Ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pemberian informasi kepada Lembaga Pengawas dan Pengatur. (3) Pejabat atau pegawai PPATK atau Lembaga Pengawas dan Pengatur dilarang memberitahukan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang akan atau telah dilaporkan kepada PPATK secara langsung atau tidak langsung dengan cara apa pun kepada Pengguna jasa atau pihak lain. (4) Ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku dalam rangka pemenuhan kewajiban menurut Undang-undang ini. (5) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana dendapaling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). 66 Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 12 tersebut, perlu diberikan beberapa penjelasan sebagai berikut: a. Yang dimaksud dengan "Pihak Pelapor" dalam Pasal 12 ayat (1) adalah Pihak Pelapor sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1 angka 11, yaitu Setiap Orang yang menurut UU No. 8 Tahun 2010 wajib menyampaikan laporan kepada PPAT. Sesuai dengan apa yang dimaksud dengan Pihak Pelapor sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 ayat (1) tersebut, maka dapat diketahui kalau Pihak Pelapor yang dimaksud dapat berupa orang perseorangan atau Korporasi, baik yang merupakan badan hukum maupun yang bukan merupakan badan hukum.Perincian dari apa yang dimaksud dengan Pihak Pelapor tersebut, 66
Isi Pasal 12 ayat 1-5 UU No 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
63
disebutkan lebih lanjut dalam Pasal 17 ayat (1) yaitu meliputi: 1. Penyedia jasa keuangan terdiri dari: a. Bank; b. Perusahaan pembiayaan; c. Perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi; d. Dana pensiun lembaga keuangan; e. Perusahaan efek; f. Manajer investasi; g. Kustodian; h. Wali amanat; i. Perposan sebagai penyedia jasa giro; j. Pedagang valuta asing; k. Penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu; l. Penyelenggara e-money dan/atau e-wallet; m. Koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam; n. Pegadaian; o. Perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan berjangka komoditi; atau p. Penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang. 2. Penyedia barang dan/atau jasa lain: a. Perusahaan properti/agen properti; b. Pedagang kendaraan bermotor; c. Pedagang permata dan perhiasan/logam mulia; d. Pedagang barang seni dan antik; atau e. Balai lelang. b. Yang dimaksud dengan "Pengguna Jasa" dalam Pasal 12 ayat (1) adalah pihak yang menggunakan jasa pihak pelapor sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1 angka 12, Sedangkan yang dimaksud dengan "pihak lain" dalam Pasal 12 ayat (1) adalah pihak selain pihak dalam rangka pemenuhan kewajiban menurut UU No. 8 Tahun 2010. c. Yang dimaksud dengan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah laporan Transaksi Keuangan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1 angka 5, yaitu
64
laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang terdiri dari atau berupa laporan sebagai berikut: 67 1) Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karateristik atau kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yamg bersangkutan. 2) Transaksi keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh pihak pelapor sesuai dengan ketentuan UU No. 8 Tahun 2010. 3) Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana. 4) Transaksi Keuangan yang diminta PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor, karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana d. Yang dimaksud dengan "Lembaga Pengawas dan Pengatur" dalam Pasal 12 ayat (2) adalah Lembaga Pengawas dan Pengatur sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1 angka 17, yaitu lembaga yang memiliki kewenangan pengawasan, pengaturan dan/atau pengenaan sanksi terhadap Pihak pelapor. Dalam hal Pengawasan Kepatuhan atau kewajiban pelaporan sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 31 ayat (1) tidak dilakukan atau belum terdapat Lembaga Pengawas dan Pengatur, Pasal 31 ayat (2) menentukan bahwa Pengawasan Kepatuhan atas kewajiban pelaporan dilakukan oleh PPATK. Terdapat perbedaan antara ketentuan yanmg terdapat dalam Pasal 12 ayat (2) dengan yang terdapat dalam Pasal 12 ayat (4). Pasal 12 ayat (2) menentukan bahwa larangan memberitahukan mengenai laporan transaksi keuangan mencurigakan tidak berlaku untuk pemberian informasi kepada lembaga pengawas dan pengatur, sedang
67
Lihat Pasal 1 angka 5 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemeberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
65
Pasal 12 ayat (4) menentukan bahwa larangan memberitahukan mengenai laporan transaksi keuangan mencurigakan tidak berlaku dalam rangka kewajiban menurut UU No. 8 Tahun 2010. Pasal 12 ayat (5) dapat diketahui adanya 2 (dua) tindak pidana yang diatur, yaitu: 68 1.
Direksi,
komisaris,
pengurus
atau
pegawai
pihak
pelapor
dilarang
memberitahukan kepada pengguna jasa atau pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun mengenai laporan transaksi keuangan mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK (Pasal 12 ayat (1)). 2.
Pejabat atau pegawai PPATK atau Lembaga Pengawas dan pengatur dilarang memberitahukan laporan transaksi keuangan mencurigakan yang akan atau telah dilaporkan kepada PPATK secara langsung atau tidak langsung dengan cara apa pun kepada pengguna jasa atau pihak lain (Pasal 12 ayat (3)). Perumusan Pasal 12 ayat (1) dan ayat (3) tidak terdapat kata "sengaja", tetapi
oleh karena perbuatan yang melarang untuk memberitahukan laporan transaksi keuangan mencurigakan kepada pengguna jasa atau pihak lain selalu dilakukan dengan sengaja, maka dapat ditentukan bahwa perumusan dari tindak pidana sebagaimana dimaksud butir I dan butir II tersebut adalah perumusan dari tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja.Oleh karena itu, agar direksi, komisaris, pengurus atau pegawai Pihak Pelapor, pejabat atau pegawai PPATK atau Lembaga 68
Ibid, Hal. 100
66
Pengawas dan Pengatur dapat dinyatakan salah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 ayat (5), maka harus dapat dibuktikan: 69 1. Untuk Pasal 12 ayat (1) Jo. ayat (5) a. Direksi, komisaris, pengurus atau pegawai pihak pelapor mengetahui bahwa mempunyai kewajiban yang melarang memberitahukan kepada pengguna jasa atau pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun mengenai laporan transaksi keuangan mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK. b. Direksi, komisaris, pengurus atau pegawai pihak pelapor memang menghendaki untuk memberitahukan kepada pengguna jasa atau pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara apapun mengenai laporan Transaksi keuangan mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK. Dengan adanya kalimat "tidak berlaku" untuk pemberian informasi kepada Lembaga Pengawas dan Pengatur dalam Pasal 12 ayat (2), maka dapat ditentukan bahwa tidak merupakan larangan untuk memberitahu kepada Lembaga Pengawas dan Pengatur, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan cara apa pun mengenai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK. 70
69
Ibid, Hal. 101 IBid
70
67
2. Untuk Pasal 12 ayat (3) jo ayat (5) a. Pejabat atau pegawai PPATK atau Lembaga Pengawas dan Pengatur mengetahui bahwa mempunyai kewajiban yang melarang memberitahukan kepada Pengguna Jasa atau pihak lain, baik secara langsung atau tidak langsung dengan cara apapun mengenai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang akan atau telah dilaporkan kepada PPATK. b. Pejabat atau pegawai PPATK atau Lembaga Pengawas dan Pengatur memang menghendaki untuk memberitahukan kepada Pengguna Jasa atau pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun mengenai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang akan atau telah dilaporkan kepada PPATK. Dengan adanya kalimat "tidak berlaku dalam rangka pemenuhan kewajiban menurut Undang-undang ini" dalam Pasal 12 ayat (4), maka dapat ditentukan bahwa ketentuan mengenai larangan yang ditujukan kepada pejabat atau pegawai PPATK atau Lembaga Pengawas atau Pengatur untuk memberitahukan kepada Pengguna Jasa atau pihak lain sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 ayat (3) tidak berlaku jika pemberitahuan tersebut dilakukan dalam rangka pemenuhan kewajiban menurut UU No. 8 Tahun 2010. Oleh karena itu, Pasal 12 ayat (5) ditentukan bahwa pidana yang diancamkan, baik terhadap Direksi, Komisaris, pengurus atau pegawai Pihak Pelapor maupun terhadap pejabat atau pegawai PPATK atau Lembaga Pengawas dan Pengatur adalah sama dan bersifat kumulatif, yaitu:pidana penjara paling lama
68
5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp l.000.000.000,-(satu miliar rupiah). Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda bisa lihatpembahasan Pasal 13. 3. Pasal 13 Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5), pidana denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan. Bisa dilihat, Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 8 adalah sejalan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 13. Hanya saja bedanya jika Pasal 8 memberi petunjuk tentang pelaksanaan pidana denda yang tidak cukup dibayar oleh terpidana yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud oleh Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5, sedang Pasal 13 memberi petunjuk tentang pelaksanaan pidana denda yang tidak mampu dibayar oleh terpidana yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 ayat (5).Mengenai ancaman pidana kurungan yang disebutkan dalam Pasal 13 sama dengan yang disebutkan dalam Pasal 8, yaitu 1 (satu) tahun 4 empat) bulan. Dalam hal terpidana sudah membayar sebagian dari denda yang dijatuhkan kepadanya, tetapi kemudian ternyata tidak mampu membayar sisa pidana dendanya, maka di berlakukanlah ketentuan yang terdapat dalam Pasal 31 ayat(3)KUHP. 71
71
Ibid, 103
69
4. Pasal 14 Setiap orang yang melakukan campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dengan denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratusjuta rupiah) Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 14 perlu diperhatikan beberapa penjelasan sebagai berikut: a. b.
Yang dimaksud dengan "Setiap Orang" dalam Pasal 14, sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 9 adalah orang perseorangan atau Korporasi. Dengan berpedoman pada penjelasan Pasal 37 ayat (3), yang dimaksud dengan" melakukan campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3)" dalam Pasal 14 adalah perbuatan atau tindakan dari pihak manapun yang mengakibatkan berkurangnya kebebasan PPATK untuk dapat melaksanakan tugas dan kewenangannya. Oleh karena itu, Pasal 14 ditentukan bahwa pidana yang diancamkan
setiap orang yang melakukan campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) adalah bersifat kumulatif, yaitu:pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun danpidana denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). 5. Pasal 15 Pejabat atau pegawai PPATK yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).Jika Pasal 14 ditujukan kepada Setiap Orang yang melakukan campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39
70
sampai dengan Pasal 45, Pasal 15 ditujukan kepada pejabat atau pegawai PPATK yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4). Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 37 ayat (4) dapat diketahui adanya ketentuan bahwa PPATK mempunyai kewajiban sebagai berikut: 72 a. Kewajiban untuk menolak segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam rangka pelaksanaan tugas dan kewenangan dari PPATK; dan/atau b. kewajiban untuk mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam rangka pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK. Segala campur tangan tersebut baik sudah berhasil maupun belum berhasil mempengaruhi pelaksanaan tugas.Oleh karena itu, Pasal 15 ditentukan bahwa pidana yang diancamkan terhadap pejabat atau pegawai PPATK yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) adalah sama dengan pidana yangdiancamkan dalam Pasal 14, yaitu: pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun danpidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). 6. Pasal 16 Dalam hal pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum atau hakim yang menangani perkara tindak pidana Pencucian Uang yang sedangdiperiksa, melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) dan/atau Pasal 85 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama10 (sepuluh) tahun. ketentuan yang terdapat dalam Pasal 16 tersebut, terdapat adanya 2 (dua) tindak pidana yaitu: 72
Ibid. Hal. 105
71
a.
b.
Pelanggaran Pasal 83 ayat (1) yang menentukan bahwa pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum atau hakim wajib merahasiakan Pihak Pelapor dan Pelapor. pelanggaran Pasal 85 ayat (1) yang menentukan bahwa di sidang pengadilan, saksi, penuntut umum dan orang lain yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan dilarang menyebutkan nama atau alamat Pelapor atau hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas Pelapor. Pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai PPATK, penyidik,
penuntut umum atau hakim sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) atau Pasal 85 ayat (1) harus dilakukan dalam rangka menangani perkara tindak pidana Pencucian Uang yang sedang disidik, dituntut atau diperiksa di sidang pengadilan. Oleh karena itu, Pasal 16 ditentukan bahwa pidana yang diancamkan terhadap pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum atau hakim adalah pidana yang bersifat tunggal, yaitu pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. 73
B. Hubungan Tindak Pidana Korupsi dengan Tindak Pidana Pencucian Uang Tindak Pidana Korupsi dengan Tindak Pidana Pencucian uang memiliki hubungan yang sangat erat. Hal tersebut secara jelas dapat dilihat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Hasil tindak pidana itu diklasifikasikan dalam 25 (dua puluh lima) kelompok kejahatan (predicate crime)sebagaimana diuraikan di bawah ini: a. korupsi; b. penyuapan; c. narkotika; d.psikotropika; 73
Ibid,Hal. 106
72
e.penyelundupan tenaga kerja; f.penyelundupan migran; g.di bidang perbankan; h.di bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan; k. cukai; I. perdagangan orang; m. perdagangan senjata gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q. penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi; v. di bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan hidup; y. di bidang kelautan dan perikanan; atau z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. 74 Rumusan delik dalam UU TPPU dan pembuktian tindak pidana asal diatur dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 sebagai berikut: Pasal 3 Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). 74
Pasal 2 ayat 1 Undang-undang RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
73
Pasal 4 Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 5 (1) Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan dendapaling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam UndangUndang ini. Darirumusanpasalpasaltersebutdiatasnampakbahwatindakpidanapencucianuang terdapat
karakteristik
khusus yang berbeda dengan tindak pidana yang lain yaitu bahwatindak pidana pencucian uang merupakan follow up crime, sedangkan hasil kejahatan yang diproses pencucianuangdisebutsebagaicorecrimesataupredicate
crime.
Makabiladilihatdarikronologiperbuatanmakatidakmungkinterjadi pencucianuangtanpaterjadi
predicate
crime
(nomoneylaunderingwithoutcorecrimes)terlebih dahulu.75 Predicate
75
Yenti Ginarsih, Tindak Pidana Pencucian Uang: Dalam Teori dan Praktek, makalah pada seminar dalam rangka Munas dan Seminar Mahupiki, diselenggarakan Mahupiki dan Universitas Sebelas Maret, Solo Pada tanggal 8 s/d 10 September 2013, Hal. 6
74
crimeadalahkejahatanyanghasilnyadilakukanataudiprosespencucianuang, yangdalamUU TPPUdiaturdalamPasal2yaituterdiridari26jeniskejahatandanditambahsemua kejahatanyangancamanpidananya4tahunkeatas.Selainituperlupuladipahamibahwapenc ucian
uangadalahkejahatanlanjutan(followupcrime)yang
terjadinyasangattergantungpadaadanya kejahatanasal,meskipunantarakeduanyamasing-masing dikualifikasikansebagaikejahatanyang berdirisendiri(asseparatecrime)sehinggaolehkarenanyadalammemeriksasebaiknyabers amaan dandibuatdalamsatuberkasdengansusunansecarakomulatif.Pemahamaniniakanberimpl ikasi
langsungpadapembuktianyaitubahwamasing-masingkejahatanbaik
crime
predicate maupun
followupcrimeharusdibuktikankarenamengacupadakeharusandakwaan komulatifyaituharus digabungkandalampendekatanconcoursusrealis.Keharusanpenggabungandakwaan juganampak pada ketentuan Pasal 74 dan Pasal75UUTPPU. 76 Darisudut pandang teori semua unsur inti delik(bestandelen)harus dibuktikan, berkaitandenganmasalahperlutidaknyadibuktikankejahatanasaldapatdalamketentuanP asal3, Pasal4danPasal5yaitupadaunsurhartakekayaanmerupakanhasiltindakpidanasebagaima 76
Ibid
75
na dimaksuddalamPasal2ayat(1),makaharusjelasdarihasilkejahatanyangmanadariyangtert era
dalam
pasaltersebut.
adalahkewajibanmencaribuktidan
Keterkaitandenganunsurini membuktikan
kejahatanasal,karenakalausampaitidakterbuktimakasecarateoridakwaandinyatakantakt erbuktidanputusanbebas. 77 Dari ketentuan pasal tersebut di atas, bahwa tindak pidana korupsi merupakan salah satu dari jenis tindak pidana asal yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang.Tindak Pidana asal (predicate crime) adalah tindak pidana yang memicu (sumber) terjadinya tindak pidana pencucian uang. 78 Jika dikaitkan kedalam kasus penelitian ini (Putusan Mahkamah Agung No. 1605 K/Pid.Sus/2014) bahwa jelas tindak pidana asal yang dilakukan oleh Ir. Azzam Rizal (terdakwa) adalah korupsi yaitu dengan cara memperkaya dirinya sendiri yang berasal dari keuangan negara yang disalurkan kedalam PDAM Tirtanadi, selanjutnya kejahatan lanjutan (Follow up crime) yang dilakukan oleh terdakwa adalah dengan cara membelanjakan dan menghibahkan sebagaimana perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010. Terdakwa melakukan pencucian uang dari hasil tindak pidana asalnya yaitu korupsi dengan cara membelajakan 1 unit mobil pajero, 2 unit mobil avanza dan kemudian dihibahkan kepada orang tua terdakwa
77
Ibid, Hal. 6-7 Muhammad Yusuf, dkk (Editor), Ikhtisar Ketentuan Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, (Bandung : The Indonesia Netherland National Legal Reform Program, 2011), Hal. 97 78
76
dan mertuanya, dan membelanjakan sebidang tanah di daerah Marelan yang mengatasnamakan Indar Muda Dongoran. Sehingga dalam kasus ini jaksa mendakwa Ir. Azzam Rizal. M.Eng dengan berpedoman pada Pasal 74 dan 75 UU TPPU yang mengatur bagaimana cara menyidik antara predicate crime dan money launderingnya. C. Korupsi Sebagai Tindak Pidana Asal dalam Kegiatan Pencucian Uang Undang-undang No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 korupsi sebagai predicate crime atautindak pidana asal pada kejahatan pencucian uang (money laundering) diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis kejahatan yaitu: 1) Penyuapan atau ( Bribery ) Istilah “suap” ini tidak ada suatu defenisi yang limitatif maupun ketentuan yang berlaku bahwa perbuatan yang manakah yang dimaksud perbuatan suap, baik di dalam pasal-pasal KUHP maupun di dalam Undang-undang No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap sendiri tidak memberikan suatu defenisi yang jelas dan pasti. 79 Secara konseptual suap diartikan sebagai pemberian hadiah atau janji kepada seseorang penyelenggara negara atau pegawai negeri yang berhubungan dengan jabatannya. Dengan konsep itu, maka suap disepadankan dengan tindak pidana jabatan karena pemberian hadiah atau janji pasti berhubungan dengan jabatan seseorang. Secara normatif tindak pidana suap dalam UU No. 31 tahun 1999 Jo UU
79
M. Hamdan, Tindak Pidana Suap & Money Politics, ( Medan : Pustaka Bangsa Press, 2005), Hal. 30
77
No. 20 Tahun 2001 diatur dalam ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, Pasal 12 huruf a,b,c, dan huruf d serta Pasal 13. 80 Jika dilihat pada buku saku untuk memahami tindak pidana korupsi yang diterbitkan oleh KPK, suap diklasifikasikan ke dalam 2 jenis yaitu: 1.
Suap aktif (yang menyuap) Konstruksi tindak pidana suap yang termuat dalam KUHP kemudian diadopsi
dalam UU No. 31 tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001, menjadikan suap sebagai salah satu bentuk dari tindak pidana korupsi. Dimana bentuk umum dari penyuapan yang termasuk korupsi adalah: 81 a)
Menyuap pegawai negeri atau penyelenggara negara dalam bentuk: 1. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (1) huruf a) 2. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 ayat (1) huruf b). Terhadap perbuatan yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Huruf a dan Huruf b
tersebut dipidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
80
Mahrus Ali, Asas, Teori, & Praktek Hukum Pidana Korupsi, (Yogyakarta : UII Press, 2013), Hal. 125 81 Guse Prayudi, Tindak Pidana Korupsi dipandang Dalam Berbagai Aspek, ( Yogyakarta : Pustaka Pena, 2010), Hal 100.
78
dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- dan paling banyak Rp. 250.000.000.,3. Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewengan yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut hal ini diatur dalam Pasal 13, dan sanksi pidana yang diberikan dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah). b) Menyuap hakim dan advokat, dalam bentuk: 1. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili, hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a. 2. Memberi atau menjanjikan advokat dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili, hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b. Terhadap sanksi sanksi pidana yang diberikan pada Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Huruf b adalah pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,-(seratus lima puluh juta rupiah), dan paling banyak Rp. 750.000.000,- ( tujuh ratus lima puluh juta rupiah). 2.
Suap Pasif (yang menerima suap)
79
Tindak pidana korupsi jenis ini diatur dalam beberapa pasal, antara lain Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 huruf a dan huruf b, dan Pasal 11 dalam UU No. 20 tahun 2001. Dimana bentuk umum dari penyuapan pasif ini adalah: a)
Pegawai negeri menerima suap, dalam bentuk: 82 1. Menerima pemberian atau janji agar berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya, atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya [Pasal 5 ayat (2)] 2. Menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya (Pasal 11) Terhadap ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 11 tersebut dipidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- dan paling banyak Rp. 250.000.000.,3. Menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 12 huruf a)
82
Ibid, Hal. 102
80
4. Menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 12 Huruf b). Terhadap ketentuan dalam Pasal 12 Huruf a dan huruf b tersebut dipidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). b) Hakim dan advokat yang menerima suap, dalam bentuk: 83 (1)Hakim yang menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili, atau advokat yang menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili, hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (2). (2)Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 12 huruf c) (3)Advokat menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 12 huruf d). 83
Ibid
81
Terhadap ketentuan dalam Pasal 12 Huruf c dan huruf d tersebut dipidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). 2) Penggelapan Dalam Jabatan Mengikuti penggolongan atau klasifikasi yang dipergunakan oleh KPK, maka dalam tindak pidana korupsi penggelapan dalam jabatan ini diatur dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, huruf b, dan huruf c. Di sini dikelompokkan secara lebih spesifik tentang rumusan dalam kelompok penggelapan dalam jabatan: 84 a)
Jenis tindak pidana korupsi penggelapan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatan. Definisinya adalah pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut. Dalam hal ini pelaku dipidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). 85
84
Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Pidana Korupsi, (Yogyakarta : Indonesia Lawyer Club, 2010), Hal. 130 85 Lihat pada Pasal 8 UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
82
b) Jenis tindak pidana korupsi memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi. Definisinya adalah pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi. Dalam hal ini pelaku dipidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah). 86 c)
Jenis tindak pidana korupsi penggelapan atau merusak alat bukti. Dalam hal ini terdapat 3 pengaturan tentang tindak pidana korupsi
penggelapan atau merusak alat bukti, ketentuannya diatur dalam Pasal 10 Huruf a, huruf b, dan huruf c. Dapat dilihat penjelasannya sebagai berikut: a. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya. b. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya. c. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau 86
Lihat pada Pasal 9 UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
83
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya. Ketentuan pidana dalam pelaku pada Pasal 10 huruf a, huruf b, dan huruf c UU No. 31 tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 adalah dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah). 3) Pemerasan Tindak pidana korupsi pemerasan ini diatur dalam tiga ketentuan dan masingmasing dapat dibedakan sebagai jenis tersendiri. Tindak pidana korupsi pemerasan ini diatur dalam Pasal 12 huruf e, huruf f, dan huruf g UU TIPIKOR. Tiga jenis tersebut masing-masing dapat disebut: a)
Jenis tindak pidana korupsi memaksa orang lain menyerahkan atau mengerjakan sesuatu.
b) Jenis tindak pidana korupsi membuat pegawai negeri atau penyelenggara negara lain seolah-olah mempunyai utang pada pelaku. c)
Jenis tindak pidana korupsi membuat orang lain seolah-olah memiliki utang. Ketiga jenis tindak pidana korupsi membuat pemerasan ini pada dasarnya
sama-sama bersifat memaksa. Hanya saja, pada jenis pertama terdapat unsur “memaksa” sebagai perbuatan materiil, sedangkan pada jenis kedua dan ketiga meskipun sama-sama bersifat memeras, namun perbuatan materilnya bukan
84
“memaksa”. 87 Ketentuan pidana pada Pasal 12 Huruf e, huruf f, dan huruf g adalah dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) 4) Perbuatan Curang Perbuatan curang adalah tipu daya, memakai nama palsu, atau keadaan tertentu yang tidak sesuai dengan kondisi sesungguhnya. Perbuatan-perbuatan tersebut dapat berupa distorasi publik, harga atau jumlah yang ditinggikan dan diturunkan sehingga terjadi data yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. 88 Tindak pidana korupsi perbuatan curang ini diatur dalam enam ketentuan, yaitu Pasal 7 ayat (1) huruf a, b, c, dan, d, Pasal 7 ayat (2), dan Pasal 12 huruf h. dapat dilihat penjelasannya sebagai berikut: 89 a. b. c. d. e.
Tindak pidana korupsi pemborong, ahli bangunan, penjual ahli bangunan melakukan perbuatan curang (Pasal 7 ayat (1) huruf a) Tindak pidana korupsi pegawai bangunan membiarkan perbuatan curang (Pasal 7 ayat (1) huruf b) Tindak pidana korupsi menyerahkan barang keperluan TNI dan kepolisian Negara RI dengan perbuatan curang (Pasal 7 ayat (1) huruf c) Tindak pidana korupsi pengawas dalam hal penyerahan barang keperluan TNI dan kepolisan Negara RI membiarkan perbuatan curang (Pasal 7 ayat (1) huruf d) Tindak pidana korupsi membiarkan perbuatan curang pada saat menerima penyerahan barang keperluan TNI dan kepolisian Negara RI [Pasal 7 ayat (2)]. Dalam ketentuan Pasal 7 ayat 1 huruf a,b,c, dan d dipidana penjara paling singkat 87
Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Op.Cit, Hal. 135 Darwan Prinst,Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung : Citra Aditya bakti, 2002), Hal. 42 89 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia,(Jakarta : Bayumedia Publishing, 2005), Hal. 92 88
85
2 tahun dan paling lama 7 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,- dan paling banyak Rp 350.000.000,-. f. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menggunakan tanah negara sehingga merugikan orang lain (Pasal 12 huruf h). dalam hal ini pelaku dipidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,- dan paling banyak Rp 1.000.000.000,5) Benturan Kepentingan Dalam Pengadaan. Hanya terdapat satu rumusan dalam benturan kepentingan dalam pengadaan, yang terdapat dalam UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu pada Pasal 12 huruf i. Definisinya adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya. 90 Dalam UU korupsi tidak dijelaskan pengertian dari “turut serta, pemborong, pengadaan dan persewaan”. Mengenai makna “turut serta” dapat dikembalikan pada ketentuan Pasal 55 KUHP. 91 6) Gratifikasi Tindak pidana korupsi jenis gratifikasi sebenarnya dapat dikategorikan sebagai jenis penyuapan pasif atau menerima gratifikasi. Dalam penjelasan Pasal 12 B ayat (1) ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan “gratifikasi” adalah pemberian dalam arti luas, yaitu meliputi pemberian uang, barang, rabat atau discount, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalan, fasilitas, penginapan, perjalanan wisata,
90
Pasal 12 huruf i UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 91 Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Op.Cit.,Hal. 144
86
pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. 92 Sebagai bentuk penyupan pasif, tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 12 B objeknya “gratifikasi”, sedangkan korupsi Pasal 5 ayat (2), Pasal 11, dan Pasal 12 huruf a, huruf b, dan huruf c, objeknya “hadiah atau janji”, kecuali dalam Pasal 12 huruf c, subjeknya juga berbeda, yaitu hakim. 93 Tindak pidana korupsi jenis gratifikasi seperti diatur dalam Pasal 12 B tersebut, dilihat dari besar gratifikasinya, dapat dibedakan antara”menerima gratifikasi bernilai sepuluh juta rupiah atau lebih” dan “menerima gratifikasi kurang dari sepuluh juta rupaih”. Pembedaan tersebut memiliki konsekuensi hukum pidana formalnya dan hukum acaranya, khususnya soal beban pembuktian, maksudnya dalam hal ini soal pembuktian yang di atas 10 juta pembuktiannya dilakukan oleh si penerima gratifikasi, sedangkan pembuktian yang di bawah 10 juta pembuktiannya oleh jaksa penuntut umum. 94 Ketentuan Pasal 12 c ayat (1) tersebut di atas merupakan dasar alasan pemaaf atau alasan pembenar akibat pemberian gratifikasi. Apabila hal tersebut dianggap sebagai alasan pemaaf akibatnya menghilangkan pertanggungjawaban atau kesalahan. Apabila dianggap sebagai alasan pembenar, maka menghilangkan sifat melawan
92
Doni Muhardiansyah, dkk, Buku Saku Memahami Gratifikasi, (Jakarta: KPK, 2010), Hal. 3 Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Op.Cit.,Hal. 146 94 Hasil wawancara dengan Ketua Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Pada tanggal 28Maret 93
2014
87
hukumnya perbuatan. Dengan demikian, terpenuhinya ketentuan Pasal 12 c ayat (1) mengakibatkan putusan yang dijatuhkan berupa “lepas dari segala tuntutan hukum”. 95Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Ontslag van recht vervolging) diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP. Kriteria untuk di putus antara lain: 96 a.
Apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan.
b.
Tetapi sekalipun terbukti, hakim dapat berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana.
7) Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Tindak Pidana Korupsi Jenis tindak pidana ini meskipun tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi itu sendiri, namun kata “berkaitan” dalam penyebutan menunjukkan tidak ada tindak pidana ini tanpa ada tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, dapat dikatakan sebagai jenis tindak pidana “turunan” yang sekaligus menggambarkan kriminalisasi perbuatan atau tindakan tertentu, utamanya terkait dengan keberhasilan penanganan perkara korupsi. Mengikuti pengategorian tersebut di atas, jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi dapat diuraikan sebagai berikut: a)
Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001:
95
Hari Sasangka, Komentar Korupsi¸(Bandung : Mandar Maju), 2007, Hal. 36, Bisa juga dilihat pada Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Pidana Korupsi, (Yogyakarta : Indonesia Lawyer Club, 2010), Hal. 147 96 M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), Hal. 352
88
“Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilanterhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidanadengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas), tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”. Berdasarkan perbuatan materil yang diatur dalam pasal tersebut yaitu “mencegah, merintangi, menggagalkan”, menurut Ermansjah Djaja mengandung antara lain: 97 1.
2.
3.
b)
Dengan sengaja “mencegah” secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara tindak pidana korupsi. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar penyidikan, penuntutan, dam pemeriksaan di siding pengadilan tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU Tindak Pidana korupsi. Dengan sengaja “merintangi” secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara tindak pidana korupsi. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar penyidikan, peununtutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan yang sedang berlangsung terhalang untuk dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan UU Tindak Pidana korupsi. Dengan sengaja “menggagalkan” secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan oemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara tindak pidana korupsi. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ditur dalam UU Tindak Pidana korupsi. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar (Pasal 22 Jo Pasal 28 UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001) Pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001: "Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi 97
Hal. 92.
Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009),
89
keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,-(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,-(enam ratus juta rupiah)" Pasal 28 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:"Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberi keterangan terhadap seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka" c)
Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka (Pasal 22 Jo Pasal 29 UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001) Pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001: "Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000.00 (enam ratus juta rupiah)" Pasal 29 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001: (1) Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa. (2) Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada Gubernur Bank Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Gubernur Bank Indonesia berkewajiban untuk memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, terhitung sejak dokumen permintaan diterima secara lengkap. (4) Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil dari korupsi.
90
(5) Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti yang cukup, atas permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim, bank pada hari itu juga mencabut pemblokiran. d.
Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu (Pasal 22 Jo Pasal 35 UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001) Pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001: "Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35 atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)" Pasal 35 UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001: (1) Setiap orang wajib memberikan keterangan sebagai saksi atau ahli, kecuali ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, istri atau suami, anak dan cucu dari terdakwa. (2) Orang yang dibebaskan sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diperiksa sebagai saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui secara tegas oleh terdakwa. (3) Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), mereka dapat memberikan keterangan sebagai saksi tanpa disumpah.
e.
Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu (Pasal 22 Jo Pasal 36 UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001) Pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001: "Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,-(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah)"
91
Pasal 36 UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001: "Kewajiban memberikan kesaksian sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 35 berlaku jugaterhadap mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannyadiwajibkan menyimpan rahasia, kecuali petugas agama yang menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia" f.
Saksi yang membuka identitas pelapor (Pasal 24 Jo Pasal 31 UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001) Pasal 24 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:"Saksi yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (Seratus lima puluh juta rupiah)” Pasal 31 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001: (1) Dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor. (2) Sebelum pemeriksaan dilakukan, larangan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) diberitahukan kepada saksi dan atau orang lain tersebut. Pola kejahatan korupsi sebagai tindak pidana asal (predicate crime) dalam tindak pidana pencucian uang masih menempati urutan pertama berdasarkan hasil analisis PPATK. Berdasarkan laporan data sepanjang tahun 2011, ketua PPATK Muhammad Yusuf mengungkapkan bahwa sebesar 43,4 persen hasil analisis
92
mengindifikasikan adanya tindak pidana korupsi. 98 Korupsi masih menjadi tindak pidana urutan pertama berdasarkan analisis di PPATK dengan persentase 43,4%. Peningkatannya pun sangat signifikan dari 2010, kini mencapai 71%. Secara persentase, uang hasil tindak pidana korupsi menempati peringkat pertama dalamkasus pencucian uang sepanjang tahun 2011, selebihnya baru dari tindak pidana lain. 99
D. Tahap-Tahap Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa tujuan seseorang atau organisasi kejahatan melakukan pencucian uang adalah agar asal-usul uang tersebut tidak dapat diketahui atau tidak dapat dilacak oleh penegak hukum. Agar tujuan tersebut dapat tercapai, para pelakunya biasanya melakukan tahapan-tahapan yang panjang. Terdapat 3 (tiga) tahapan dalam praktik pencucian uang, yaitu: 100 1) Penempatan (Placement) Tahap pertama dari pencucian uang adalah penempatan (placement) merupakan upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana kedalam sistem keuangan (financial sistem) atau upaya menempatkan uang giral (cheque, wesel bank, sertifikat deposito, dan lain-lain) kembali kedalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan. Dalam proses penempatan uang tunai kedalam sistem 98
Koran kota, korupsi Masih Nomor Satu, dapat dilihat dalam: http://korankota.co.id/profil/ketua-ppatk-muhammad-yusuf-korupsi-masih-nomor-satu/up, akses pada tanggal 28 November 2012. 99 Ibid. 100 Alfitra, Op.Cit. Hal. 57
93
keuangan ini, terdapat pergerakan fisik uang tunai baik melalui penyeludupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain, penggabungan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah, atau caracara lain seperti pembukaan deposito, pembelian saham-saham atau juga mengkonversikannya ke dalam mata uang negara lain. 101 2) Transfer (Layering) Tahap kedua dari pencucian uang adalah transfer (layering) merupakan upaya untuk menstransfer harta kekayaan, berupa benda bergerak atau tidak bergerak berwujud maupun tidak berwujud, yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk kedalam sistem keuangan melalui penepatan (placement). Dalam proses ini terdapat rekayasa untuk memisahkan uang hasil Placement ke beberapa rekening atau lokasi tertentu lainnya dengan serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan atau mengelabui sumber dana “haram“ tersebut. Layering dapat pula dilakukan dengan transaksi jaringan Internasional baik melalui bisnis yang sah atau perusahaan-perusahaan “shell”(perusahaan mempunyai nama dan badan hukum namun tidak melakukan kegiatan usaha apapun). 102 Teknik lain dari layering ialah memberi efek (saham dan obligasi), kendaraan, dan pesawat terbang atas nama orang lain. Kasino sering juga digunakan karena kasino menerima uang tunai. Sekali uang tunai tersebut dikonversikan kedalam chips dari kasino tersebut, maka dana yang telah dibelikan chips tersebut dapat ditarik 101
Bismar Nasution, Rejim Anti-Money Laundering Di Indonesia, (Bandung :Books Terrace & Library, 2005), hal 19 102 Bismar Nasution, ibid, hal 19
94
kembali dengan menukarkan chips tadi dengan cek yang dikeluarkan oleh kasino tersebut. 103 3) Menggunakan Harta Kekayaan (Integartion) Tahap ketiga dari pencucian uang adalah menggunakan harta kekayaan (integartion), suatu upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk kedalam sistem keuangan melalui placement ataulayering sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang “halal”. Proses ini merupakan upaya untuk mengembalikan uang yang telah dikaburkan jejaknya sehingga pemilik semula dapat menggunakan dengan aman. Disini uang yang di “cuci” melalui placement maupun layering dialihkan kedalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak seperti tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan yang menjadi sumber dari uang tersebut. 104 Dalam Makalah Yunus Husein yang berjudul “Kegiatan Money Laundering” adapun integration yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai “legitimate Explanation” bagi hasil kejahatan. Disini uang yang diputihkan melalui Placement maupun layering dialihkan kedalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang diputihkan. 105
103
Sutan Remy Sjahdeni, op. cit. , hal 36 Bismar Nasution, op. cit, hal 20 105 Yunus Husein, “Money laundering: Sampai Langkah Negara Kita?”, dimuat dalam bulletin Pengembangan Perbankan Mei-Juni No. 89 Tahun 2001, Hal. 3-4 Bisa juga dilihat pada https://yunushusein.files.wordpress.com/2007/07/2_moneylaundering_-langkah-negara-kita_x.pdf diakses pada tanggal 19 April 2015 Pukul 2.59 Wib 104
95
Pada tahap ketiga ini menurut Yunus Husein bagi hasil kejahatan dipraktekkan melalui bisnis atau kegiatan usaha yang sah sebagai sarana untuk memindahkan dan memanfaatkan hasil kejahatan. Dalam hal ini hasil kejahatan dinkonversikan melalui transfer, cek, atau instrument pembayaran lainnya yang kemudian disimpan direkening bank atau ditarik atau ditransfer lebih lanjut ke rekening bank lainnya. Metode ini memungkinkan pelaku kejahatan menjalankan usaha atau bekerjasama dengan mitra bisnisnya dan menggunakan rekening perusahaan yang bersangkutan sebagai tempat penampungan untuk hasil kejahatan yang dilakukan. 106
E. Tipologi Modus Operandi Pencucian Uang Sejarah perjalanan para pelaku tindak pidana pencucian uang, yang baru-baru ini terjadi, baik yang sudah diputuskan oleh Pengadilan Tipikor maupun yang masih dalam proses penyidikan, kasus-kasus tersebut antara lain kasus Irjen Djoko Susilo, Melinda Dee, Ahmad Fatonah, Tubagus Chaeri Wardana, Gubernur Banten Ratu Atut Choisiyah, dan Akil Muhtar, selain itu, kemenag Surya Darma Ali dalam Pengadaan sarana dan Prasarana Haji 107, dan di Medan kasus pencucian uang yang dilakukan oleh
Ir.
Azzam
dalam
kasusPenagihanRekeningAirPDAM
TirtanadiProvinsiSumateraUtara.
106
Ibid. Hal. 4 Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus DI Luar KUHP (Korupsi, Money Laundering, dan Trafficking), (Jakarta : Raih Asa Sukses, 2014), Hal. 54 107
96
Dalam buku Tb. Irman praktik perbuatan tindak pidana pencucian uang terdapat beberapa pembagian atau pengkategorian perbuatan-perbuatan tindak pidana pencucian uang. Pada tulisan ini modus pencucian uang di bagi dalam beberapa tipe yaitu: 1.
Tipologi Dasar Tipologi dasar adalah didasarkan kepada tingkat kesulitan pembuktiannya
hanya satu tahap atau dua tahap pembuktian saja, tipologi dasar ini kebanyakan tindak pidana pencucian uang yang kejahatan asalnya atau kejahatan awal atau semula (Predicate crime) berasal dari tindak pidana yang tertera dalam KUHP. 108 Adapun pembagian modus dalam tipologi dasar adalah: a) Modus Orang ketiga Modus orang ketiga adalah dengan menggunakan seseorang untuk menjalankan sesuatu perbuatan tertentu yang diinginkan oleh pelaku pencucian uang. Perbuatan tersebut dapat dengan menggunakan atau mengatasnamakan orang ketiga atau orang lain lagi yang bisa menjadi orang ketiga yang berlainan atau tidak sama. 109Dapat dikemukakan tujuan utama dalam menggunakan orang ketiga adalah agar pelaku sebenarnya tidak diketahui dan tidak tertera namanya, yang ada namanya adalah orang ketiga tersebut tetapi yang menjalankan sesuatu perbuatan tersebut adalah pelaku asli pencucian uang.
108
Tb.Irman, Hukum Pembuktian Pencucian Uang (Money Laundering), Hal. 90 Ibid,Hal. 92
109
97
Dalam modus orang ketiga memiliki beberapa ciri-ciri yaitu: 110 1. Orang ketiga hampir selalu nyata dan bukan hanya suatu alias atau nama palsu dalam dokumennya. 2. Orang ketiga biasanya menyadari bahwa sedang dipergunakan dalam perbuatan ini, sehingga orang ketiga mengetahuinya atau patut menduga adanya suatu perbuatan menyamarkan atau menyembunyikan asal-usul uang atau aset si pelaku. 3. Kebanyakan orang yang ketiga adalah orang kepercayaan yang bisa dikendalikan. 4. Hubungan orang ketiga sangat dekat dengan pelaku sehingga dapat berkomunikasi untuk dapat menerima perintah-perintah. b. Modus Topeng Usaha Sederhana Modus topeng usaha sederhana adalah kelanjutan dari modus orang ketiga, setelah pelaku pencucian uang menunjuk dan mengendalikan orang ketiga maka di perlukan suatu bidang usaha untuk menjalankan hasil uang yang didapatnya secara ilegal dari hasil narkotika, modus topeng usaha sederhana ini dibuat dengan maksud dan tujuan: 111 1. Adanya suatu usaha yang diharapkan untuk menghasilkan suatu penerimaan sehingga uang yang di peroleh dari hasil kejahatan atau uang illegal menjadi bercampur dengan uang yang biasa atau uang bersih yang dialam bank. 2. Adanya suatu kendali atas suatu usaha baik secara langsung atau pun tidak langsung, biasa saja pelaku pencucian uamg masuk dalam usaha tersebut dan menjadi pemegang saham dalam usaha itu. 3. Adanya suatu usaha dimana kepentingan utama dari pemilik tidak dapat terlihat dan tidak ada namanya. Topeng usaha bisa berbentuk, restoran, bar dan klub malam, bioskop, dan lain-lain. c.
Modus Perbankan Sederhana Modus perbankan sederhana adalah merupakan suatu kelanjutan juga dari
kedua modus terdahulu yaitu modus orang ketiga dan modus topeng usaha sederhana, tetapi dapat juga bukan merupakan kelanjutannya dan berdiri sendiri sebagai modus
110
Ibid, Hal. 93 Ibid, Hal. 94
111
98
perbankan sederhana.bank adalah salah satu cara terbaik dalam memindahkan uang hasil kejahatan. Disinilah terdapat suatu perpindahan sistem transaksi tunai dapat berubah dalam bentuk yang lain bisa cek kontan, cek perjalanan, atau bentuk lain dalam deposito, tabungan yang dapat ditransfer dengan cepat dan digunakan lagi dalam pembelian aset-aset.
d.
Modus Kombinasi Perbankan atau Usaha Modus kombinasi perbankan atau usaha adalah melengkapi semua modus
terdahulu dimana proses pencucian uang dari mulai tahap penempatan, pelapisan, dan penggabungan dilakukan secara beruntun, modus ini akan menjadi modus lain bila bank atau penyedia jasa keuangan atau pun perusahaannya terdapat di luar negeri, uang hasil kejahatan dimasukkan oleh orang ketiga yang menguasai suatu usaha tertentu kedalam bank kemudian ditukar menjadi cek yang selanjutnya digunakan untuk pembelian aset atau usaha-usaha lain yang keliatannya legal dan bersih. 2.
Tipologi Ekonomi Tipologi ekonomi adalah didasarkan kepada tingkat pembuktiannya lebih dari
dua tahap pembuktian rumusan delik, pembuktian bisa tiga tahap atau lebih, tindak pidana asal atau semula (Predicate Crime) bisa lebih dari satu dan bercampuran antara pidana yang terdaapat dalam KUHP dengan tindak pidana di luar KUHP serta motif kejahatan berdasarkan pada bidang ekonomi dan perdagangan serta kadangkadang memakai cara pemasaran menyerupai Multi Level Marketing (MLM). 112 Pembagian modus dalam tipologi ekonomi adalah sebagai berikut:
112
Ibid, Hal. 90
99
a) Modus Perusahaan Rangka Perusahaan rangka dinamakan demikian karena rangka terlihat bagus dari luarnya, tetapi kosong didalamnya, rangka dibentuk untuk menjalankan fungsi, tetapi tidak menjalankan normal sebuah perusahaan. Perusahaan rangka umumnya hanya dipakai rekening perusahaannya saja untuk memindahkan sesuatu atau ruang kedalam rekeningnya, nama perusahaan digunakan untuk menutupi asal muasal dan pengendalian atas transaksi. Sebagai contoh misalnya PT. A adalah perusahaan rangka disuatu daerah atau suatu negara, saham-saham PT.A dimiliki oleh PT.B yang berada di daerah lain atau di negara lain, sedangkan saham-saham PT. B dimiliki oleh PT.A lagi oleh PT.C yang berada didaerah atau negara lain. 113 b) Modus Pinjaman Kembali. Modus pinjaman kembali sebenarnya adalah suatu variasi dari kombinasi modus perbankan dan modus usaha, pinjaman memiliki keuntungan yang berkaitan dengan pajak, pinjaman tidak kena pajak seperti pendapatan, tetapi bunga yang dibayarkan atas pinjaman adalah dipotong pajak. Dalam modus pinjaman kembali uang yang dipinjam adalah milik sendiri yang dipinjam dan dibayar pada diri sendiri. Pinjaman ini dapat dari perseorangan, perusahaan ataupun bank. 114 c)
Modus Menyerupai Multi Level Marketing (MLM) Modus ini dalam sistem kerjanya tidak menyamarkan identitas maupun
sumber dana yang didapat, melainkan sistem kerjanya lebih terbuka dan
113
Ibid, Hal. 98 Ibid, Hal. 101
114
100
mengumumkan cara kerja dengan melalui brosur dan selembaran, modus menyerupai MLM (Multi level marketing). Dalam pembuktian sangat sulit karena dihadapkan dengan suatu kesepakatan pihak-pihak terlibat yang dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis sehingga ada diantara ambang perdata dan pidana. 115
d) Modus Under Invoicing dan Over Invoicing Modus ini adalah dengan memasukkan uang hasil kejahatan atau illegal kedalam pembelian suatu barang. Dalam hal ini dapat diambil contoh: Si A ingin membeli batu cincin yang harganya sangat tinggi. Maka si A mendekati pengusaha batu cincin dan menawarkan untuk membayar penuh Rp 1 miliar rupiah, tetapi di bayar dengan Rp 500 juta dengan cek dan Rp 500 juta dengan tunai dan diminta di tuliskan dalam pembukuan yang Rp 500 juta dengan cek dan dalam fakturnya ditulis Rp 500 juta. Pengusaha bila diperiksa untuk pajak maka dalam pembukuan menerima hasil penjualan Rp 500 juta dan dibuktikan dengan adanya faktur Rp 500 juta dan cek Rp 500 juta, tetapi disisi lain pengusaha batu cincin memiliki uang Rp 500 Juta tunai bebas pajak. Dan dalam modus over invoicing adalah kebalikan dari modus over invoicing. e)
Modus Pembelian Kembali Modus pembelian kembali hampir sama dengan pinjaman kembali, pada
modus pembelian kembali pelaku menggunakan dana yang dicuci untuk membeli sesuatu yang telah ia miliki, apabila dalam modus pinjaman kembali tidak kena pajak, 115
Ibid, Hal. 102
101
maka pada modus pembelian kembali akan kena pajak, tetapi dari segi perubahan proses dari semula uang hasil kejahatan untuk membeli sesuatu menjadi berubah legal hasil dari pembelian itu. 116
3.
Tipologi IT
Tipologi IT (informasi teknologi dan komputer) adalah didasarkan pada tipologi ekonomi tetapi dengan menggunakan sarana teknologi informasi dan teknologi komputer. Pembagian dalam modus dalam tipe IT adalah sebagai berikut: 117 a)
Modus E-Bisnis Metode E-Bisnis adalah tipologi ekonomi tetapi digabungkan baik dengan
teknologi informasi, ataupun teknologi komputer, ataupun sarana untuk melakukan tindak pidana adalah dengan memakai komputer atau internet. Modus ini juga memanfaatkan lembaga perbankan sebagai mesin pemutihan dengan cara mendepositokansecara
nama
palsu,
menggunakan
safe
deposit
box,untuk
menyembunyikan hasil kejahatan, menyediakan fasilitas transfer supaya dengan mudah ditransfer ke tempat yang dikehendaki, atau menggunakan electronic transfer
116
Ibid, Hal. 106 Ibid
117
102
untuk melunasi kewajiban transaksi gelap, menyimpan, atau mendistribusikan hasil transaksi gelap itu. 118 b)
Modus Scanner Scanner adalah sesuatu alat kelengkapan komputer yang dapat mengcopy
surat atau dokumen sesuai dengan aslinya, baik warna tulisan atau gambar, cap, dan apa saja yang tertera dalam surat atau dokumen dapat dicopy sesuai dengan aslinya sama dan serupa. Teknik penggunaan scanner ini bila dipergunakan oleh orang yang pandai bersiasat bisa berbahaya karena akan menimbulkan suatu pengertian, pengetahuan atau pemahaman yang salah dari orang yang sedang dihadapinya seolaholah adalah benar. 119 Jika dikaitkan kedalam teori yang digunakan dalam penulisan ini yang menggunakan teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman, dalam struktur atau susunan kepengurusan PDAM Tirtanandi terjadinya kesalahan pada prosedur penjaringan calon direksiPDAM Tirtanadi yang dilaksanakanoleh DewanPengawas Tirtanadi yaitu melanggar Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 2Tahun 2007 Tentang Organ Dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum dan PeraturanDaerah (Perda) Provinsi Sumatera Utara No. 10 tahun 2009 tentang Perusahaan DaerahAir Minum Provinsi Sumatera Utara. Hal ini terbukti dengan membuat kriteria yang bisa maju mencalonkan diri harus memiliki jabatan setingkat Kepala Divisi, sementara dalam Permendagri 118
N.H.T Siahaan, Money Laundering Kejahatan Perbankan, (Jakarta:Jala Permata, 2008),
Hal. 14 119
Ibid, Hal. 110
103
No 2 tahun 2007 Pasal 4 huruf b mempunyai pengalaman kerja 10 tahun bagi yang berasal dari PDAM atau mempunyai pengalaman kerja minimal 15 tahun mengelola perusahaan bagi yang bukan berasal dari PDAM yang dibuktikan dengan surat keterangan (referensi) dari perusahaan sebelumnya dengan penilaian baik.Sesuai dengan Perda No. 10 Tahun 2009 Provinsi Sumatera Utara Pasal 11 ayat 2 bahwa lulus uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh tim ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. Untuk menentukan layak tidaknya para calon direksi itu mengikuti kejenjang yang lebih maju lagi di lakukan oleh tim ahli yang ditunjuk oleh kepala daerah yakni Gubernur Sumatera Utara. 120 Adapun susunan pengurus PDAM Tirtanadi adalah sebagai berikut: 1. Dewan Pengawas terdiri dari ketua, sekretaris, dan anggota 2. Direksi terdiri dari Direktur Utama, Direktur Keuangan dan Administrasi, Direktur perencana dan produksi, dan Direktur Operasional. Menyangkut substansi hukum atau produk hukum yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu bisa dilihat telah terjadi pertentangan dalam SK Direksi PDAM Tirtanadi No. 81/KPTS/2007 tahun 2007 tentang pedoman pengadaan / jasa di lingkungan PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara dalam Pasal 6 ayat (2) yang isinya, penggolongan penyedia barang/jasa lainnya: a.
Usaha kecil dan koperasi kecil untuk pengadaan sampai dengan nilai Rp. 500.000.000,-(lima ratus juta rupiah)
120
http://www.suaranasionalnews.com/?p=63097 diakses pada tanggal 13 April 2015 Pukul
17.56 WIB
104
b.
Usaha Non kecil dan koperasi untuk pengadaan sampai dengan nilai di atas Rp. 500.000.000, -(lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp. 3.000.000.000,-(tiga miliar rupiah). Pasal 8 Huruf B angka 5, yang berbunyi: pejabat yang berwenang menetapkan
penyedia barang/ jasa untuk pekerjaan barang/jasa pemborongan non konstruksi / jasa lainnya dengan nilai pengadaan di atas Rp. 4 miliar adalah direktur utama dengan persetujuan Gubernur. Dalam kasus ini adanya kerjasama yang dilakukan dengan ketua koperasi Tirtanadi dalam hal penagihan rekening air PDAM Tirtanadi tanpa persetujuan dari pengawas dan juga tanpa pengesahan dari Gubernur Sumatera Utara. Pada komponen ketiga yaitu budaya hukum, yaitu sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum dengan kata lain, budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Dari hasil wawancara 121 dengan salah satu Pegawai PDAM Tirtanadi Cabang Medan Sunggal, bahwa masih adanya petugas yang melakukan pelanggaran terkait dengan ketentuan dan aturan perusahaan seperti dalam penagihan rekening air secara door to door banyak menimbulkan masalah,ditemukannya rekening ganda, uang terpakai petugas penagih dan sebagainya.
121
2015
HasilWawancara dengan Budi S. Barus,SH, Pegawai PDAM Tirtanadi pada tgl 11 April