PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA Marwan Effendy'
Abstrak Reversal burden of proof is one of several developing legal doctrine's regarding criminal procedure law areas, under the law No. 31 1999 year concerning against corruption (amended by law No. 202001 year and Law No. 30 2002 year concerning Commison Against Corruption) has caracterized combination betwen balanced burden of proof and absolute burden ofproof where the burden ofproof not only applicable for corruption crime and is placed to the accused front of the court, but is ordered to attorney too beside is burdened to civil servant or state executive out of court. Kata kunci: pembalikan beban pembuktian, hukum acara pidana, tindak pidana korupsi I.
Pendahuluan
Korupsi dalam berbagai bentuk saat ini telah merajalela dan telah masuk ke hampir semua Jini kehidupan (deep-rooted), sehingga tidak berlebihan apabila ada anggapan bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia, telah dilakukan secara sistematis dan meluas (widespread) bahkan sebagian kalangan menganggapnya sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Karena tidak saja merugikan negara dan masyarakat, tetapi juga berdampak terhadap kelancaran roda pembangunan serta perkembangan pertumbuhan perekonomian nasional. Kondisi yang objektif di atas, tidak dapat dibiarkan berlarut, maka perlu diambil langkah-langkah yang tepat dan komprehensif penanggulangannya untuk menghentikan virus korupsi yang akan terus menggerogoti kehidupan berbangsa dan bernegara, serta kewibawaan
, Penulis adalah Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAMPIDSUS) Kejaksaan Rl. Dosen Program Sarjana dan Pasca Sarjana Universitas Trisakti Jakarta. Program Pasca Sarjana Unissula Semarang serta Pengajar di Pusdiklat Kejaksaan RI.
MemperoJeh gelar akadernis Doktor IImu Hukum dari Universitas Padjajaran, Sandung.
2
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.1 Januari-Maret 2009
pemerintah. Langkah-Iangkah yang diperlukan untuk menanggulangi tentunya dengan cara-cara yang luar biasa (extraordinary measures) pula, dan satu upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah dengan formula pendekatan sistem pembalikan beban pembuktian. Dimasukkannya sistem pembalikan beban pembuktian ini dalam undang-undang tindak pidana korupsi tentu bukannya tanpa alasan, meskipun mengundang pro dan kontra dalam praktek. TerJepas dari pro dan kontra penerapan. sistem tersebut dalam penanggulangan tindak pidana korupsi, permasalahan mendasar adalah sejauhmana implementasinya dalam tataran praktek, mengingat sistem ini telah diadopsi sejak diberlakukannya Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (vide pasal 17 ayat I angka 4) dan diperluas didalam Undang-Undang No.3 I Tahun 1999 jo UndangUndang No.20 Tahun 200 I tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dan sejauhmana efektivitasnya dalam tataran preventif(pencegahan) meminimalisir terjadinya korupsi.
II.
Pengertian Pembalikan Beban Pembuktian
Pembalikan be ban pembuktian seirinh juga disebut dengan beban pembuktian terbalik dalam bahasa Belanda disamakan dengan omkering van het bewijslast, dan dalam bahasa Inggris disebut reversal burden of proof Selain itu, beberapa kalangan yang menyamakan istilah pembalikan beban pembuktian dengan beban pembuktian terbalik yang dipadankan dalam bahasa Inggris dengan shifting burden of proof Menurut legal dictionary, shifting burden of proof diartikan sebagai: "The process of transferring the obligation to affirmatively prove a fact in controversy or an issue brought during a lawsuit from one party in a legal controversy to the other party".' Hakekat makna dari reversal burden ofproofdan shifting burden ofproof berbeda. Jika shifting burden of proof diartikan sebagai "pergeseran beban pembuktian"', maka reversal burden ofproofdiartikan sebagai "pembalikan beban pembuktian". Penerapan beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi berdasarkan sistem atau azas tersebut adalah untuk memberikan kesempatan kepada
2
.
3 Lihat Indriyanto Seno Adji, "Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian", diterbitkan oleh Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum "Prof. Oemar Seno Adji , SH & Rekan", Jakarta, 2006, hal. 103.
Pembalikan Beban Pemhuktian dan Implementasinya, Effendy
3
seseorang atau terdakwa membuktikan dirinya tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi, dan jika keterangan seseorang atau terdakwa ini benar, maka pihak yang berwenang atau hakim dapat mempertimbangkan keterangan terse hut sebagai hal yang setidak-tidaknya dapat menguntungkan bagi diri seseorang atau terdakwa, atau sebaliknya dapat merugikan diri seseorang atau terdakwa apabila keterangan tersebut temyata tidak benar. Namun demikian, walaupun seseorang atau terdakwa telah membuktikan dirinya tidak bersalah, dalam kondisi tertentu didepan pengadilan Penuntut Umum tetap berkewajiban untuk membuktikan kesalahan dari terdakwa sebagaimana yang didakwakan, dan ini memang merupakan tugas dan kewenangan penuntut umum sebagaimana digariskan oleh undang-undang. Perbedaan dari kedua pengertian terebut, jika pada shifting burden of proofbiasanya diterapkan sebagai pembalikan beban pembuktian secara terbatas atau tidak mumi, dimana khusus apabila terdakwa di depan persidangan memiliki hak Wltuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah melakukan (indak pidana sebagaimana yang didakwakan, dan jika terdakwa tidak dapat membuktikan hal itu, maka hakim dapat menjatuhkan hukuman kepada dirinya, sedangkan pada reversol burden ofprooftidak demikian dan pembalikan beban pembu1.1ian secara mumi atau mntlak yang mennrut istilah Indriyanto Seno Adji "pembalikan beban pembuktian yang total atau absoluf~ oleh undang-undang Indonesia terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi dikhususkan untuk gratifikasi dan pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara Mengapa demikian? Menurut Simon Cooper, seorang dosen hukum senior dari University of Sutherland Inggris,' reversal burden ofproof adalah "Where a defendan! is obliged to prove an elemenl ofhis defenee (or disprove at least one elemenl ofthe offinee." lebili Ianjut dikatakan bahwa: "Ifthe defendanl has such a
burden and fails to persuade the jwy (or magistrates) that his defence is more probably true than not, he will stand convicted'. Di samping itu berdasarkan teori tentang beban pembuktian, 6 bahwa pada shifting burden of proof terdakwa berperan aktif menyatakan dirinya
4
Ibid., hal. 138.
, Simon Cooper, "Human Rights and Legal Burdens of Proof", First published in Web Journal of Current Legal [ssues, 2003, [email protected]. 6 Dikaji dari perspektif Brnu pengetahuan hukum pidana, dikenal ada 3 (tiga) teori tentang beban pembuktian, yaitu : a) Behan pernbul..1:ian pada Penuntut Umum; b) Behan pembuktian pada Terdakwa; c) Beban pernbuktian berimbang. Untuk sistem pembalikan beban pembuktian terrnasuk dalam teori beban pembuktian pada Terdakwa. Lihat : Lilik Mulyadi, "Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidan. Korupsi", (Bandung: Alumni, 2007), hal. 10 1- 103.
4
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No. J Januari-Maret 2009
bukan sebagai pelaku tindak pidana. Oleh karena itu, terdakwa yang akan menyiapkan segala beban pembuktian di depan persidangan, dan bila tidak dapat membuktikan dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Sebenarnya, sistem pembalikan beban pembuktian merupakan suatu sistem yang posisinya berada di luar kelaziman teoritis tentang pembuktian dalam hukum pidana formil yang universal, baik sistem kontinental maupun Anglo-Saxon, hanya mengenal pembuktian yang membebankan kewajiban itu kepada laksa Penuntut Umum. Hanya saja dalam beberapa kasus tertentu, antara lain dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, diperkenankan penerapan dengan mekanisme yang diferensial, yaitu sistem pembalikan beban pembuktian yang disebut sebagai reversal burden of proof atau omkering van het bewijslast. Pelaksanan penerapan sistem pembalikan beban pembuktian ini pun dalam beberapa kasus tertentu tersebut tidak dilakukan secara overall, melainkan memiliki batas-batas yang seminimal mungkin tidak melakukan suatu pelanggaran terhadap perlindungan dan penghargaan Hak Asasi Manusia, khususnya Hak Tersangka/Terdakwa.' Salah satu pertimbangan menerapkan sistem pembalikan beban pembuktian pada perkara tindak pidana korupsi tersebut, dikarenakan memberantas tindak pi dana korupsi ini tidaklah mudah, karena memiliki kualitas pembuktian yang sangat sulit. Hal ini disebabkan para pelakunya memiliki tingkat pendidikan yang memadai, sangat professional dibidangnya, memegang jabatan dan kekuasaan serta umumnya para pelaku telah sangat memahami lingkungan kerja dan memiliki formula guna menghindari terjadinya pelacakan terhadap adanya tindak pidana korupsi dan mereka sangat rapih menyembunyikan bukti-bukti kejahatannya. Oleh karena itu, dapat dipahami mengapa tindak pi dana korupsi oleh sebagian kalangan dipandang sebagai kejahatan yang sangat luar biasa atau extraordinary crime, sehingga memerlukan penanganan yang sangat luar biasa pula (extraordinary measures), dengan cara pergeseran komprehensif sistem pembuktian yang secara umum ada,' yaitu melalui penerapan sistem pembalikan beban dan mutatis mutandis azas yang diberlakukan dalam tindak pi dana korupsi ini pun juga turut beralih dari "presumption of
7
Indriyanto Seno Adji, Op. Cil, hal. 132 - 133.
8 Sebagaimana tercantum dalam KUHAP. dimana sistem pembuktian berdasarkan hukum acara pidana formil ini, menempatkan Jaksa Penuntut Umum sebagai pihak yang wajib membuktikan suatu perbuatan yang termasuk dalam kategori tindak pidana atau sebagai single prosecutor.
Pembalikan Beban Pembuktian dan impiementasinya, Effendy
5
innocence" (praduga tidak bersalah), menjadi "presumption of corruption" (praduga korupsi) atau ''presumption ofguilt" (praduga bersalah).
III.
Irnplernentasi Sis tern Pembalikan Beban Pernbnktian Dalam Pernberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia
Masalah pembuktian dalam tindak pidana korupsi terhadap berbagai kasus cukup complicated. Sulitnya pembuktian ini berimplikasi pada terhambatnya upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum secara optimal, terkait dengan keinginan untuk rnewujudkan speedy investigation dan speedy processcution mengacu kepada speedy trial, yaitu peradilan cepat, murah dan sederhana yang disyaratkan oleh Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sejak diberlakukannya KUHAP melalui Undang-Undang No.8 Tahun 1981, masalah pembuktian diatur secara tegas dalam kelompok Sistem Hukum Pidana Formi! (Hukum Acara). Sistem (hukum) pembuktian dan alat bukti menu rut KUHAP ini diatur dalam Pasal 183 sampai dengan Pasal 232. KUHAP menganut pendekatan yang dikenal dengan Negatief Wettelijk Stelsel atau Negatiej- Wellelijk System, yaitu keyakinan hakim terhadap minimal 2 (dua) alat bukti yang sah seperti digariskan oleh pasal 183. Dalam sistem ini ada 2 (dua) hal yang merupakan syarat, yaitu: 1.
welle/ijk, yaitu alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang; 2. ' negatiej, maksudnya dengan alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang saja, belum cukup untuk memaksa hakim pidana menganggap bukti sudah diberikan, tapi masih dibutuhkan adanya keyakinan hakim. Minimal 2 (dua) alat bukti tersebut dpat diperoleh dari alat bukti yang sah sebagaimana telah ditentukan secara limitatif dan restrisif dalam Pasal 184 KUHAP, yang terdiri: 1. 2. 3. 4. 5.
Keterangan Saksi; Keterangan Ahli; Surat; Petunjuk; Keterangan Terdakwa.
Selain Negatief Wellelijk Stelsel, Pasal 189 ayat (4) KUHAP menyatakan, bahwa "Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain".
6
Jurnai Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.1 Januari-Maret 2009
Penuntut Umum sebagai single of prosecution, oleh KUHAP ditugaskan untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah atau tidak, telah melakukan tindak pidana sesuai dengan perbuatan yang didakwakan kepadanya berdasarkan alat bukti yang diaj ukan ke depan persidangan, mengingat Pasal 66 KUHAP menegaskan:' "Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pernbuktian." mengacu kepada azas "praduga tak bersalah" atau presumption of innocence. Ketentuan yang ada dalam KUHAP tersebut, bersifat umum atau lex generalis, tetapi sifat umum dari beban pembuktian tersebut secara eksepsional dikesampingkan oleh undang-undang, hal itu sudah diberlakukan sejak Undang-Undang No. 3 Tahun 197 I tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maupun Undang-Undang NO.3 I Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terhadap perkara tindak pidana korupsi, beban pembuktian telah mengalami perubahan paradigma, karena secara khusus diberikan kepada terdakwa lO • Hanya saja dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 penerapan sistem pembalikan be ban pembuktian tidak dilakukan secara murni atau
, Liha' penjelasan Pasal 66 KUHAP dan penjelasan umum butir 3 c KUHAP. 10 Pasal 17 UU No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyatakan bahwa:
(I)
Hakim dopat memperkenankan terdakwa un/uk kepenlingan pemeriksaan memherikan keterangan tentang pembuktian bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi. (2) Keterangan tentang pembuktian yang dikemukakan oleh terdahva bahwa ia lidak bersalah seper!i dimaksud da/am aya/ (1) hanya dopat dikerkenankan dalam hal: Q, apabila terdakwa menerangkan da/am perneriksaan, bahwa perbuatannya itu menurut keinsya/an yang wajar /idak merugikan keuangan a/au perekonomian negara, atau h. apabi/a terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya ilu dilakukan demi kepentingan umum. (3) Dalam hal terdakwa dapat memberi keterangan ten tang pembuktian seperti dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipergunakan sebagoi hal yang setidak-tidaknya menguntungkan baginya. Dalam hal Jemikian Penuntut Umum tetap mempunyai kewenangan untuk memberikan pembuktian yang berlawanan. (4) Apabila terdakwa tidak dapat memberikan keterangan ten/ang pembuklian seperti dimaksud dalam aya/ (1) maka keterangan tersebul Jipandang sebagai hal yang setidak-tidaknya merugikan baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum te/ap diwajibkan memberi pembuktian bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
Pembalikan Behan Pembuklian dan impiementasinya, EfJendy
7
mutlak (reversal burden of proof), tetapi hanya berupa pergeseran beban pembuktian (shifting burden ofprooj)". Berbeda dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 200 I, penerapan sistem pembalikan beban pembuktian menggunakan standar ganda, memadukan pembalikan beban pembuktian bersifat terbatas atau berimbang karena di samping terdakwa diberi hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pi dana korupsi, tetapi Jaksa Penuntut Umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaal1nya dengan pembalikan beban pembuktian yang murni atau mutlak yang diberikan di luar pengadilan. 12 Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dinyatakan penambahan ketentuan mengenai "pembuktian terbalik" terse but bersifat "premium remidium" dan sekal igus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri dan penyelenggara negara, agar bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jadi dapat disimpulkan bahwa sistem pembalikan beban pembuktian memang tidak diterapkan secara murni terhadap semua jenis tindak pidana korupsi, tetapi hanya terbatas dan berimbang diterapkan terhadap tindak pidana yang terkait dengan gratifikasi Pasal 12 B Undang-Undang No.20 Tahun 2001 yang mengabaikan Pasal 12 C ayat 1 dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal daTi salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal3, Pasal4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal ]5, dan Pasal 16 Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 dan penyuapan dalam Pasal 5, Pasal II dan Pasal 12 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Penerapan secara murni atau mutlak pembalikan bebau pembuktian hanya diterapkan khusus dalam hal
11
Penjelasan umum Pasal 17 ayat 1 UU No.3 Tahun 1971 menyatakan bahwa:
Aturan mengenai pembebanan pembuktian tidak diikuti sepenuhnya meskipun hal ini tidak berarti bahwa pasa! ini menghendaki suatu pembuktian yang terbalik. Pembuk-tian yang terbalik akan mengakibatkan Penuntut Umum dibebaskan dari kewajiban untuk membuktikan terhadap salah atau lidaknya seorang terdakwa, dan terdakwa sebaliknya dibebani pembuktian tentang salah atau tidaknya. Dalam pasal ini Hakim memperkenankan terdakwa memberi keterangan tentang pembuktian yang tidak merupakan alat bukti menurut hukum, tetapi segala sesuatu yang dapat lebih memberikan kejeJasan memhuat terang tentang duduknya suatu perkara. 12 Penjeiasan Umum Undang-Undang No. 31 Tabun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu; "Di samping ilu, undang-undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik yang bersi/at terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa fa lidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajtb memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri a/au suami, anak, dan harIa benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntul umum letap berkewajiban membukiikan dakwaannya. "
8
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun 1re-39 No.1 Januari-Maret 2009
gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara terkait dengan Pasal 12 B ayat I huruf a jo. Pasal 12 C ayat I, j ika pemberian tersebut tidak berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewaj iban atau tugasnya serta laporan harta kekayaan penyelenggara negara, dimana penyelenggara negara harus membuktikan bahwa kekayaannya itu diperoleh secara sah sebagaimana diatur di dalam pasal 13 huruf a UndangUndang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), sistem ini yang dianut di Malaysia. Latar belakang diterapkannya sistem pembalikan be ban pembuktian terhadap tindak pidana korupsi karen a terkait ada anggapan dalam masyarakat bahwa dengan gratifikasi dan suap sulit pembuktiannya, sehingga diperlukan eksepsionalitas enforcement melalui penerapan sistem pembalikan beban pembuktian, agar para pelaku gratifikasi dan suap ini tidak lolos dari jerat hukum. Dalam hal gratifikasi sesuai dengan Pasal 12 B ayat (I) huruf a Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 yang nilainya RpJO.OOO.OOO,OO (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi terse but bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi (pegawai negeri dan penyelenggara negara). Beban pembuktian di letakan kepada si penerima untuk membuktikan bahwa gratifikasi yang diterimanya tidak berkaitan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban, j ika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pi dana Korupsi (pasal 12 C ayat I). Lebih lanjut, penerapan sistem pembalikan beban pembuktian dalam ketentuan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diu bah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, juga terdapat dalam Pasa137, dimana disebutkan bahwa: (1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. (2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian terse but dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.
Penjelasan dari Pasal 37 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 terse but di atas, adalah :
Pembalikan Beban Pembuktian dan imp/emenlasinya, Effendy
9
Ayat (1) : Pasal ini sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan pembuktian terbalik terhadap terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkoitan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan menyalahkan diri sendiri (non self-incrimination). Ayat (2): Kelentuan ini tidak menganut sistem pembuktian secara negalif menurut undang-undang (negatief weltelijk).
Penerapan sistem pembalikan beban pembuktian terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana korupsi, diatur dalam Pasal 37 A Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diu bah dengan Un dang-Un dang No. 20 Tahun 2001, dimana disebutkan : (1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tenlang seluruh harIa bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda se{iap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. (2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka kelerangan sebagaimana dimaksud dalam ayal (1) digunakan untuk memperkual alaI bukti yang sudah ada bahwa lerdakwa lelah melakukan tindak pidana korupsi.
(3) Kelentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana alau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 lenlang Tindak Pidana Korupsi dan Pasal5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntul umum letap berkewajiban unluk membuklikann dakwaannya.
Jika dilihat dari beberapa ketentuan dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 yang menerapkan
10
Jurna[ Hu!cum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.1 Januari-Maret 2009
sistem pembalikan beban pembuktian tersebut di atas, maka pemberlakukan bersifat "terbatas" pada jenis tertentu dari tindak pi dana korupsi. Pendekatan"terbatas" sistem pembalikan beban pembuktian dalam implementasi belum terlihat efek prevensinya, hal itu dikarenakan: 1)
2)
3)
4)
Undang-Undang Tindak Pidana Kompsi atau undang-undang tentang KPK masih menerapkan standar ganda terhadap pembalikan beban pembuktian. Ruang gerak pembalikan beban pembuktian yang terbatas dan seimbang, masib terbatas terbadap jenis tindak pidana tertentu, sedangkan pembalikan beban pembuktian yang mumi atau mutlak hanya diberlakukan terhadap gratifikasi dan terhadap laporan barta kekayaan masib terbatas juga banya terbadap jumlah atau penyelenggara negara tertentu. Keengganan melaporkan harta kekayaan bagi penyelenggara negara, sanksinya baru sebatas sanksi moral, bukan bempa sanksi pidana. Kasus-kasus gratifikasi atau suap yang berbasil diproses ke depan persidangan, masih terbatas terbadap kasus-kasus tertangkap tangan, karena adanya dukungan alat penyadap yang dimiliki oleh instansi penegak hukum tertentu atau karena berasal dari laporan korban yang merasa dikecewakan pamrihnya tidak dipenubi oleh penerima suap, sehingga pembuktiannya sangat sederhana.
Penerapan sistem pembalikan beban pembuktian secara terbatas dan seimbang pada kasus-kasus tertentu dalam tindak pidana kompsi dan secara mumi atau mutlak merupakan upaya meminimalisir adanya pelanggaran terhadap bak-hak terdakwa terkait dengan adanya asas presumption of innocence (praduga tidak bersalab). Alasan itu berdasarkan pandangan dari beberapa kalangan yang menyatakan bahwa dengan disertakannya be ban pembuktian kepada terdakwa, maka hal ini bertentangan dengan Hak Asasi Manusia sebagaimana tercantum dalam Human Right Act 1988 atau dalam the European Convention on Human Rights (ECHR). Pasal 6 ayat (2) ECHR menyatakan : "Everyone charged with a criminal offence shall be presumed innocent until proven guilty according to law"." Jadi setiap orang yang dituntut dengan pelanggaran pidana akan disangka bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menumt hukum. Pengakuan atas asas presumption of innocence (praduga tak bersalah) ini juga diatur dalam Pasal 14 ayat (3)
13
Simon Cooper. Op. Cit.
Pemhalikan Behan Pembuktian dan impiementasinya, EfJendy
Jl
huruf g International Covenant on Civil and Political RightsfICCPR (Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights, yang menyebutkan bahwa "Dalam penentuan tuduhan pelanggaran pidana terhadapnya, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian terhadap diri sendiri atau mengaku bersalah." Ada pula kalangan yang berpendapat bahwa penyimpangan dari hukum acara pidana yang berlaku (KUHAP) melalui penerapan sistem pembalikan beban pembuktian,14 tidak sampai jatuh kepada "abrogation" dari hak-hak asasi dari seorang terdakwa, melainkan hanya pengurangan hakhak asasi, dan "diminution" (pengurangan) ini diperkenankan dalam penanganan beberapa delik dalam tindak pidana korupsi dengan alasan demi menyelamatkan bahaya yang dapat ditimbulkan karena korupsi.IS Tetapi harus diingat bahwa secara universal tidak dikenal pembalikan beban pembuktian yang bersifat umum, sehingga penerapannya hendaknya di lakukan secara hati-hati dan selektif karena sangat rawan terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia dan dilakukan dalam kerangka "proceeding" kasus atau tindak pidana tertentu yang sedang diadili berdasarkan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berlaku (presumption of corruption in certain cases). Tanpa adanya pembatasan seperti demikian, maka sistern pernbalikan beban pembuktian pasti akan menimbulkan apa yang dinamakan "miscarriage ofjustice" yang bersifat kriminogen.16 Walaupun peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pldana korupsi ini selalu dilakukan peru bahan, termasuk memberikan tambahan pasal delik barn antara lain tentang delik gratifikasi dengan penerapan sistem pembalikan beban pembuktian (omkering van het bewijslost atau reversal burden of prooflshifting burden of proof), tetapi sampai saat ini dirasakan tindak pidana korupsi' masih saja bermunculan. Setidaknya perlu diperhatikan pendapat Stallybras yang mengatakan,17 bahwa
14 Sebagaimana dianut dalam ketentuan Undang-Undang No. 31 Tabun 1999 tentang Pembernntasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telab diubab dengan UndangUndang No. 20 Tabun 2001. " Sudarto, "Hukum dan Hukum Pidana", 1986, hal. 141 - 142. 16 Muladi, "Sistem Pembuktian Terbalik (Omkering van Bewijslast a/au Reverse Burden of Proof atau Shifting Burden oj Prooj)", Maja/ah Varia Peradilan. Vol. 2, No. I, Desember 2002, hal. 121 - 122.
J2
Jurnai Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No. J Januari-Maret 2009
orang-orang Inggris kurang mempercayai huruf undang-undang. Mereka lebih menitikberatkan praktek peradilan dan mereka selalu cenderung untuk berkata : "Show me the law in action, show over the prison". Mereka tidak menyukai teori-teori, yang dipentingkan ialah polisi, jaksa, dan hakim yang jujur, berdisiplin dan cakap, serta the practical common sense of citizen, who serve upon the juries. Oleh karena itu, penegakan hukum harus dilaksanakan secara konsekuen oleh seluruh aparat penegak hukum dengan menghindari adanya sikap-sikap diskriminasi, sewenangwenang, penyimpangan dan melanggar hak asasi manusia. Hal ini perlu diwujudkan secara nyata agar tidak terjadi krisis kepercayaan masyarakat terhadap kedaulatan hukum, karena apabila terjadi krisis kepercayaan terhadap kedaulatan hukum, maka hal terse but akan menjadi salah satu faktor penghalang bagi upaya pemberantasan tindak pidana korupsi secara komprehensif dan optimal.
IV.
Penutup
Peraturan-peraturan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi telah berkali-kali diubah dan disempurnakan, termasuk memasukan sistem pembalikan beban pembuktian (omkering van hel bewijslast atau reversal burden of prooj7shijiing burden of proof) untuk dapat menjerat para pelaku tindak pidana korupsi, khususnya terhadap kasus-kasus tertentu (certain cases) seperti gratifikasi, suap, tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana dan laporan harta kekayaan penyelenggara negara. Implementasi sistem pembalikan beban pembuktian (omkering van het bewijslast atau reversal burden ofprooflshijiing burden of proof) dalam ketentuan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dan Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) bersifat kombinasi antara pembalikan beban pembuktian terbatas atau berimbang dengan pembalikan beban pembuktian yang murni atau mutlak dimana beban pembuktian tidak hanya diterapkan pada jenis tindak pidana korupsi tertentu dan diletakan semata-mata kepada terdakwa didepan pengadilan, tetapi juga kepada J aksa Penuntut Umum tetap mempunyai kewaj iban untuk membuktikan kesalahan terdakwa sebagaimana yang didakwakan dalam surat dakwaan, di samping dibebankan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara di luar pengadilan . 17 Andi Harnzah. "Pemberantasan Korupsi Ditinjau Dari Hukum Pidana". Pusat Studi Hukum Pidana Universitas Trisakti. Jakarta, 2002, hal. 36.
Pembalikan Beban Pet!1buktian dan Implementasinya, Effendy
13
Daftar Pustaka Cooper, Simon, Human Rights and Legal Burdens of Proof, First published in Web Journal of Current Legal Issues, 2003, Simon. [email protected]. Hamzah, Andi, Pemberantasan Korupsi Ditinjau Dari Hukum Pidana, Pusat Studi Hukum Pidana Universitas Trisakti, Jakarta, 2002. Muladi, Sistem Pembuktian Terbalik (Omkering van Bewijslast atau Reverse Burden of Proof atau Shifting Burden of Proof), Majalah Varia Peradilan, Vol. 2, No. I, Desember 2002. Mulyadi, Lilik, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung, 2007. Seno Adj i, Indriyanto, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, diterbitkan oleh Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum "Prof. Oemar Seno Adji, SH & Rekan", Jakarta, 2006. Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986. Undang-Undang No.3 Tahun 1971. Undang-Undang No.3 I Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Undang-Undang No.30 Tahun 2002 . http.legal-dictionary.thefreedictionary.com.