Efektifitas Pembalikan Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Gratifikasi
EFEKTIFITAS PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA GRATIFIKASI Anatomi Muliawan1, Carli Caniago1 Bagian Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi Jln. HR Rasuna Said Kav C-1 Jakarta 12920
[email protected]
1
Abstract The criminal act gratuity provided for in article 12 paragraph B (1) letter a reversal of the burden of proof be the basis, but in the formulation of the core offense listed in full implications of mandatory prosecution to prove the offense formulation. This study aims to determine whether the reversal of the burden of proof is the obligation or right of the receiving gratuities. In addition, research was done in order to determine the effectiveness of the application of Article gratification of article 12 paragraph B (1) letter a of Law Number 20 Year 2001 regarding Amendment to Law Number 31 Year 1999 on Eradication of Corruption Criminal Acts. The method I use in this study is to perform normative and empirical legal research. Where the nature of this paper is descriptive. The author uses primary data, secondary data and tertiary data to complement those of the authors. Then from the existing data in the end the authors analyzed the data qualitatively. The conclusions of this study is the first reversal of the burden of proof is the right of receiving gratification as the core offenses in the formulation of article 12 paragraph B (1) of Law 20/2001 included the element "associated with the position and contrary to the obligation or duty". Given these elements it is the duty of prosecutors to prove the elements, but as stipulated in article 37 paragraph (1) Act 20/2001 defendant has the right to prove that he is not committing corruption. second, Article 12 B (1) letter a of Law 20/2001 was never used by prosecutors in the prosecution because the formulation of the Article imprecise and vague that the prosecutor demanded the matter of gratification to use other passive bribery article because gratuities included type of passive bribery is accepted bribes Keywords: Gratification, Criminal Act, Proofing
artinya dalam keberlakuan norma yang berkenaan
Pendahuluan korupsi merupakan bagian
dengan tindak pidana korupsi “berbanding terbalik”
yang tak terpisahkan dalam sejarah perkembangan
dengan wilayah penerapannya. “Semakin banyak
manusia dan termasuk jenis kejahatan yang tertua
unsur-unsur atau kriterianya, maka semakin sempit
serta merupakan salah satu penyakit masyarakat, sa-
wilayah penerapannya, sebaliknya semakin sedikit
ma dengan jenis kejahatan lain seperti pencurian
unsur-unsur atau kriterianya, maka semakin luas wi-
yang sudah ada sejak manusia ada di atas bumi ini.
layah penerapannya” (Djoko S, 2009).
Dewasa ini
Masalah utama yang dihadapi adalah korupsi me-
Perbuatan korupsi dilakukan mulai dari
ningkat seiring dengan kemajuan teknologi. Penga-
„mark up‟ pengadaan barang dan jasa, pengadaan
laman memperlihatkan bahwa semakin maju pem-
barang dan jasa yang menyalahi prosedur, penyalah-
bangunan suatu bangsa semakin meningkat pula ke-
gunaan wewenang, suap, pemberian atau penerima-
butuhan hidup dan salah satu dampaknya dapat
an gratifikasi, penyalahgunaan dana yang tidak se-
mendorong orang untuk melakukan kejahatan, ter-
suai dengan „posting‟ anggaran dan lain-lain yang
masuk korupsi (Djoko S, 2009). Perkembangan dari
semuanya itu mempunyai potensi merugikan ke-
pada unsur tindak pidana korupsi sejak tahun 1957
uangan negara dan perekonomian negara (Djoko S,
sampai dengan tahun 2006 mengalami pasang surut,
2009). Korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crimes)
162
Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010
Efektifitas Pembalikan Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Gratifikasi
karena terjadi secara sistematis dan meluas sehingga
atau memproduksi barang yang tidak sesuai brosur
tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga
dan pasal 33 Undang-Undang Nomor 15 Tahun
telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masya-
2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Mo-
rakat luas, oleh sebab itu diperlukan penanggu-
ney Loundering) menetapkan bahwa: “… terdakwa
langan dari aspek yuridis yang luar biasa (extra or-
wajib membuktikan bahwa harta ke-kayaannya
dinary enforcement) dan perangkat hukum yang
bukan merupakan hasil tindak pidana”
luar biasa pula (extra ordinary measures). Salah
Dalam tindak pidana korupsi pembalikan
satu langkah komprehensif yang dapat dilakukan
beban pembuktian ini diberlakukan pada tindak
dalam sistem peradilan pidana adalah melalui sis-
pidana baru tentang gratifikasi. Definisi gratifikasi
tem pembuktian yang lebih memadai yaitu diper-
dalam penjelasan pasal 12 B ayat (1) UU 20/2001
lukan adanya pembuktian terbalik atau pembalikan
adalah sebagai berikut: Gratifikasi adalah pemberian
beban pembuktian (reversal burden of proof/ om-
dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, ba-
kering van het bewijslast) (Lilik M, 2007)
rang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bu-
Mekanisme pembalikan beban pembuktian
nga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perja-
melalui proses kepidanaan telah dilaksanakan di
lanan wisata dan fasilitas lainnya. Gratifikasi terse-
Singapura (Section 4 Singapore Confiscation of
but baik diterima di dalam negeri maupun di luar ne-
Benefit Act) dan Hongkong (Section 12 A Hongkong
geri dan yang dilakukan dengan menggunakan sara-
Prevention Bribery Ordonance 1991). Penerapan
na elektronik atau tanpa sarana elektronik (Prinst,
pembalikan beban pembuktian atau yang lebih dike-
2002)
nal dengan pembuktian terbalik sebenarnya meru-
Black‟s Law Dictionary memberikan pe-
pakan penyimpangan asas umum hukum pidana
ngertian gratifikasi sebagai “a voluntarily given re-
yang menyatakan bahwa siapa yang menuntut, dia-
ward or recompense for a service or benefit” yang
lah yang harus membuktikan kebenaran tuntutannya
dapat diartikan gratifikasi adalah “sebuah pemberian
(Mochtar K, 2003)
yang diberikan atas diperolehnya suatu bantuan atau
Apabila dikaji lebih detail teori pembalikan
keuntungan”
baban pembuktian akan bersinggungan dengan Hak
Gratifikasi berbeda dengan hadiah dan se-
Asasi Manusia (HAM) khususnya implementasi ter-
dekah. Hadiah dan sedekah tidak terkait dengan ke-
hadap ketentuan pasal 66 Kitab Undang-Undang
pentingan untuk memperoleh keputusan tertentu,
Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP)
tetapi motifnya lebih didasarkan pada keikhlasan
menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa tidak
semata. Gratifikasi adalah pemberian untuk mem-
dibebani kewajiban pembuktian. Disamping tindak
peroleh keuntungan tertentu lewat keputusan yang
pidana korupsi, terdapat peraturan perundang-un-
dikeluarkan oleh penerima gratifikasi. Pemikiran
dangan di Indonesia yang mengatur tentang pem-
inilah yang menjadi landasan pasal pemidanaan gra-
balikan beban pembuktian antara lain pasal 22 Un-
tifikasi.
dang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlin-
Dikisahkan pada zaman Nabi Muhammad
dungan Konsumen, dimana pelaku usaha wajib
terdapat seorang pejabat penarik zakat di distrik bani
membuktikan bahwa dia tidak melakukan perbuatan
sulaim yang bernama Ibn al-Lutbiyyah. Pada prak-
Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010
163
Efektifitas Pembalikan Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Gratifikasi
teknya ia mengambil sedikit harta zakat yang di-
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) (Prinst,
kumpulkannya yang ia klaim sebagai hadiah. Men-
2002:57)
dengar hal itu, Nabi memberi reaksi sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud, bahwa orang yang
Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 31
telah diangkatnya sebagai pejabat maka jika ia me-
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
nerima sesuatu yang di luar gajinya adalah tindakan
Korupsi (selanjutnya disebut UU 31/1999) menerap-
korupsi. Dalam masa modern ini pemberian kepada
kan “pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan
suatu pihak yang memiliki kekuasaan atau wewe-
berimbang” yakni terdakwa mempunyai hak untuk
nang tertentu dapat menjadi hal yang terlarang.
membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak
Gratifikasi pada awalnya tidak menimbul-
pidana korupsi dan penuntut umum tetap berkewa-
kan masalah, namun setelah dikriminalisasi maka
jiban untuk membuktikan dakwaannya, akan tetapi
gratifikasi menjadi suatu tindak pidana korupsi.
dalam perkembangannya UU 31/1999 kemudian di-
Delik baru ini diperkenalkan dalam pasal 12 B
ubah dengan UU 20/2001. Salah satu aspek menarik
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
dalam UU 20/2001 adalah dianutnya sistem peru-
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
bahan pembalikan beban pembuktian sehingga me-
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
nurut penjelasan umumnya secara tegas disebutkan
(selanjutnya disebut UU 20/2001) sebagai berikut:
bahwa:
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau
“… mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematis dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuanggan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara yang luar biasa. Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan pada terdakwa”
penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap
Selanjutnya dalam penjelasan UU 20/2001
dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. (2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta 164
rupiah)
dan
paling
banyak
lebih lanjut juga dijelaskan pula tentang dimensi, bahwa: “Ketentuan mengenai “pembuktian terbalik” perlu ditambahkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang bersifat “premium remedium” dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi”.
Rp
Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010
Efektifitas Pembalikan Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Gratifikasi
Oleh karena itu, dengan ditetapkannya pem-
bukan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi. Hal
balikan beban pembuktian ini, bergeserlah beban
mengenai pembalikan beban pembuktian tersebut
pembuktian (shifting of burden proof) dari jaksa pe-
ditegaskan juga dalam penjelasan UU 20/2001 yang
nuntut umum kepada terdakwa. Pada hakikatnya
menyatakan pembuktian terbalik diberlakukan pada
apabila
31/1999,
tindak pidana baru tentang gratifikasi. Disisi lain
ketentuan UU 20/2001 tidak menyebabkan terjadi-
dalam pasal 37 ayat (1) UU 20/2001 menyatakan
nya penerapan pembalikan beban pembuktian, te-
terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bah-
tapi hanya perubahan terhadap beban pembuktian
wa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Pasal
dalam aspek gratifikasi yang berhubungan dengan
37 ayat (1) UU 20/2001 tidak memberikan penge-
suap, harta benda yang belum didakwakan serta har-
cualian terhadap tindak pidana gratifikasi seba-
ta benda milik terpidana yang diduga atau patut di-
gaimana dimaksud dalam pasal 12 B ayat (1) huruf a
duga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum
UU 20/2001 yang mengatur pembuktian gratifikasi
dikenakan perampasan untuk negara yang perkara
bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima
pokoknya telah memperoleh putusan berkekuatan
gratifikasi. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, ma-
hukum tetap.
ka penulis merumuskan permasalahan sebagai be-
dibandingkan
dengan
UU
Pasal 12 B ayat (1) huruf a UU 20/2001
rikut:
mengatur …pembuktian gratifikasi bukan merupa-
1. Apakah pembalikan beban pembuktian meru-
kan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi. Pada
pakan kewajiban atau hak bagi penerima gra-
dimensi ini maka terdakwa harus membuktian tidak
tifikasi?
menerima sesuatu gratifikasi. Tegasnya, terdakwa
2. Apakah tindak pidana gratifikasi yang diatur
membuktikan tentang objek apa yang telah diteri-
dalam pasal 12 B ayat (1) huruf a UU 20/2001
manya. Kemudian, terdakwa juga harus dapat mem-
efektif diterapkan oleh penegak hukum?
buktikan bahwa apabila menerima sesuatu, aspek ini bukanlah merupakan suatu gratifikasi atau dapat
Harapan yang ingin dicapai dari penulisan
juga terdakwa membuktikan objek yang didakwa-
ini adalah untuk mengetahui apakah pembalikan be-
kan bukan terdakwa yang menerimanya, melainkan
ban pembuktian merupakan kewajiban atau hak bagi
orang lain. Selanjutnya, apabila terdakwa menerima
penerima gratifikasi. Serta untuk mengetahui apakah
sesuatu sebagai gratifikasi, objek yang diterima
tindak pidana gratifikasi yang diatur dalam pasal 12
tersebut harus bukan pemberian yang berhubungan
B ayat (1) huruf a UU 20/2001 efektif diterapkan
dengan jabatan (in zijn bedizening) dan bukan pula
oleh penegak hukum.
pemberian tersebut berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya
(in
strijd
met
zijn
plicht)
(Sumaryanto, 2009)
Bentuk penelitian yang penulis gunakan adalah bentuk penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Penelitian hukum normatif
Ketentuan pasal 12 B ayat (1) huruf a UU
(Library Research) adalah penelitian yang dilakukan
20/2001 dipandang sebagai pembalikan beban pem-
dengan cara menelusuri atau menelaah dan meng-
buktian, karena dicantumkan dalam pasal 12 B ayat
analisis bahan pustaka dan dokumen siap pakai. Pe-
(1) huruf a UU 20/2001 pembuktian gratifikasi
nelitian hukum empiris (Field Research) adalah pe-
Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010
165
Efektifitas Pembalikan Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Gratifikasi
ngumpulan materi atau bahan penelitian yang harus
Dalam Black‟s Law Dictionary korupsi me-
diupayakan atau dicari sendiri oleh karena belum
rupakan suatu perbuatan yang dilakukan dengan
tersedia. Penulis secara langsung melakukan ob-
maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang
servasi ke Kejaksaan Agung dan Komisi Pem-
tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara
berantasan Korupsi (KPK). Sifat penelitian yang di-
salah menggunakan jabatannya atau karakternya un-
gunakan dalam ini adalah sifat penelitian deskriptif
tuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya
yuridis, yang berusaha memberikan gambaran yang
sendiri atau orang lain (Rohim, 2008). Robert
jelas mengenai efektifitas pembalikan beban pem-
Klitgaard merumuskan tindak pidana korupsi dalam
buktian dalam tindak pidana gratifikasi.
sebuah proposisi matematis, yaitu dengan rumusan sebagai berikut: (C=M+D–A)
Pembahasan Korupsi berasal dari bahasa latin yakni corruptio, dari kata kerja corrumpere yang bermakna
Corruption = Monopoly Power + Discretion by Official – Accountability
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pe-
Korupsi terjadi dimana terdapat monopoli
jabat publik, baik politikus atau politisi maupun
atas kekuasaan dan diskresi (hak untuk melakukan
pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan ilegal
penyimpangan kepada suatu kebijakan), tetapi da-
memperkaya diri atau memperkaya mereka yang
am kondisi tidak adanya akuntabilitas (Rohim,
dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekua-
2008). Secara hukum pengertian korupsi merupakan
saan publik yang dipercayakan kepada mereka
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ke-
(Krishna, 2006). Sedangkan masyarakat umum me-
tentuan peraturan perundang-undangan yang meng-
ngartikan tindak pidana korupsi adalah berkenaan
atur tentang tindak pidana korupsi. Pengertian ko-
dengan keuangan negara yang dimiliki secara tidak
rupsi lebih ditekankan pada perbuatan yang me-
sah (haram). Istilah korupsi disimpulkan oleh
rugikan kepentingan publik atau masyarakat luas
Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa
untuk keuntungan pribadi atau golongan. Menurut
Indonesia ialah “perbuatan yang buruk seperti peng-
Andi Hamzah pengertian korupsi secara harfiah itu
gelapan uang, penerimaan uang sogok dan se-
dapat ditarik kesimpulan bahwa korupsi sebagai
bagainya” Pengertian korupsi menurut Kamus Hu-
suatu istilah yang sangat luas artinya (A.Hamzah,
kum adalah:
2006). Menurut perspektif hukum, pengertian tindak
“suatu bentuk tindak pidana dengan memperkaya diri sendiri dengan melakukan penggelapan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan perekonomian negara; perbuatan melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan orang lain atau negara” (Marwan, 2009)
pidana korupsi secara gamblang dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001. Menurut Krisna Harahap tindak pidana korupsi bisa datang dari dalam maupun dari luar diri si pelaku, secara internal dorongan melakukan tindak pidana korupsi salah satunya adalah muncul karena keserakahan. Orang yang korupsi karena serakah
166
Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010
Efektifitas Pembalikan Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Gratifikasi
tentu saja tidak didorong oleh kebutuhan yang
3. Kepolisian
sudah tercukupi, korupsi dilakukan agar dapat hidup
b. Orang yang menerima Gaji atau Upah dari Ke-
lebih mewah dapat memiliki barang-barang yang
uangan Negara. Yang dimaksud keuangan ne-
tidak dapat terbeli dengan gaji, oleh karena tingkat
gara adalah seluruh kekayaan negara dalam
ke-puasan itu tidak ada batasnya maka sepanjang
bentuk apapun.
ada
peluang
mereka
yang
korupsi
karena
c. Orang yang menerima Gaji dari Korporasi yang
keserakahan akan mengulangi perbuatan itu hingga
Menerima Bantuan dari Keuangan Negara atau
pada suatu saat ia harus berhadapan dengan hukum.
Daerah. Maksudnya korporasi yang menerima
Sebaliknya faktor dari luar yang menyebabkan
bantuan keuangan secara langsung maupun
tindak pidana korupsi salah satunya adalah aspek
tidak langsung dari negara.
peraturan perundang-undangan. Kelemahan yang ada
pada
pe-raturan
d. Orang yang menerima Gaji dari Korporasi yang
perundang-undangan
mempergunakan Modal atau Fasilitas Negara
merupakan celah ber-kembangnya tindak pidana
atau Masyarakat Korporasi yang mendapat
korupsi. Misalnya sanksi yang terlalu ringan dan
modal atau fasilitas negara, contohnya Badan
lemahnya bidang evaluasi dan revisi.
Usaha Milik Negara atau fasilitas masyarakat adalah Koperasi. e. Penyelenggara Negara, adalah pejabat negara
Subyek Tindak Pidana Korupsi Prosodjohamidjojo
yang menjalankan fungsi Eksekutif, Legislatif
dalam UU 31/1999, subyek tindak pidana korupsi
atau Yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan
terbagi dalam dua kelompok, yaitu orang-per-
tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggara
seorangan dan korporasi. Kedua-duanya jika mela-
negara sesuai dengan ketentuan perundang-un-
kukan perbuatan pidana diancam sanksi. Subyek
dangan yang berlaku.
Menurut
Martiman
tindak pidana korupsi orang-perseorangan menurut
f. `Pemborong, adalah setiap orang yang peker-
UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU
jaannya mengerjakan sesuatu pekerjaan dengan
20/2001 adalah:
borongan, misalnya membangun jalan, mem-
a. Pegawai Negeri (Undang-Undang Nomor 8
bangun gedung, mengadakan sesuatu barang
Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepegawaian) menurut pasal 2 UU 8/1974,
keperluan seperti persenjataan TNI dan POLRI. g. Ahli Bangunan, adalah seseorang yang karena
pegawai negeri terdiri dari:
pendidikan atau pengalamannya mempunyai ke-
1. Pegawai Negeri Sipil
mampuan untuk membuat bangunan. h. Orang yang menjalankan Jabatan Umum, adalah
a. Pegawai Negeri Sipil Pusat; b. Pegawai Negeri Sipil Daerah, dan
seseorang yang bukan pegawai negeri atau pe-
c. Pegawai Negeri Sipil, lain yang ditetapkan
nyelenggara negara, tetapi diberi kuasa atau
dengan Peraturan Pemerintah seperti pegawai
mandat menjalankan jabatan umum, misalnya
Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha
penarik iuran listrik, telepon dan sebagainya.
Milik Daerah. 2. Tentara Nasional Indonesia Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010
167
Efektifitas Pembalikan Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Gratifikasi
i.
Hakim, adalah pejabat yang masing-masing me-
keuntungan tertentu, yang telah atau dapat di-
laksanakan kekuasaan kehakiman pada penga-
berikan oleh pemerintah kepada terpidana.
dilan, misalnya hakim pada Pengadilan Negeri. j.
Advokat, adalah orang yang berprofesi memberi
Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi
jasa hukum, baik didalam maupun diluar pe-
Bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang
ngadilan yang memenuhi persyaratan sesuai ke-
terdapat dalam UU 31/1999 sebagaimana telah diu-
tentuan perundang-undangan yang berlaku.
bah dengan UU 20/2001 adalah: a. Tindak Pidana Korupsi dengan Memperkaya
Yang dimaksud dengan subyek tindak pi-
Diri Sendiri, Orang Lain atau Korporasi (pasal
dana korupsi korporasi dalam UU 31/1999 adalah
2).
kumpulan orang dan atau kekayaan yang ter-
b. Tindak Pidana Korupsi dengan Menyalahguna-
organisir, baik berupa badan hukum maupun tidak.
kan Kewenangan, Kesempatan, Sarana Jabatan
Badan hukum di Indonesia terdiri dari Perseroan
atau Kedudukan (pasal 3).
Terbatas (PT), Yayasan dan Koperasi. Sementara
c. Tindak Pidana Korupsi Suap dengan Memberi-
perkumpulan orang dapat berupa Firma dan Commanditaire Vennootschap (CV). Selain sanksi pi-
kan atau Menjanjikan Sesuatu (pasal 5). d. Tindak Pidana Korupsi Suap pada Hakim dan
dana penjara subyek tindak pidana korupsi yang telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi baik
Advokat (pasal 6). e. Korupsi dalam hal Membuat Bangunan dan
perseorangan maupun badan hukum juga dapat di-
Menjual Bahan Bangunan dan Korupsi
jatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud da-
dalam hal Menyerahkan Alat Keperluan TNI
lam pasal 18 UU 31/1999 berupa:
dan POLRI (pasal 7).
a. Perampasan barang bergerak yang berwujud
f.
atau yang tidak berwujud atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang
Korupsi Pegawai Negeri Menggelapkan Uang dan Surat Berharga (pasal 8).
g. Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri Me-
diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk
malsu Buku-Buku dan Daftar-Daftar (pasal 9).
perusahaan milik terpidana dimana tindak pi-
h. Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri Me-
dana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari
rusakkan Barang, Akta, Surat atau Daftar (pasal
barang yang menggantikan barang-barang ter-
10).
sebut;
i.
b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya
Janji yang Berhubungan dengan Kewenangan
sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
Korupsi Pegawai Negeri Menerima Hadiah atau
Jabatan (pasal 11). j.
Korupsi Pegawai Negeri atau Penyelenggara atau Hakim dan Advokat Menerima Hadiah atau Janji; Pegawai Negeri Memaksa Membayar,
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak ter-
Memotong Pembayaran, Meminta Pekerjaan,
tentu atau penghapusan seluruh atau sebagian
Menggunakan Tanah Negara dan Turut Serta dalam Pemborongan (pasal 12).
168
Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010
Efektifitas Pembalikan Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Gratifikasi
k. Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri atau Penyelenggara
l.
Negara
Menerima
Gratifikasi
menguntungkan dirinya ataupun orang lain yang dekat dengan dirinya. Yang lebih berba-haya
(pasal 12 B).
lagi, jika tindakan korupsi ini ditiru atau
Korupsi Suap pada Pegawai Negeri dengan Me-
dicontoh oleh generasi muda Indonesia, maka
ngingat Kekuasaan Jabatan (pasal 13).
cita-cita bangsa untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur semakit sulit untuk di-
Dari uraian pengertian dan penyebab tindak
capai.
pidana korupsi diatas, dapat disimpulkan timbulnya
4. Hukum tidak lagi dihormati Negara Indonesia
beberapa akibat dari tindak pidana korupsi. Evi
merupakan negara hukum dimana segala sesua-
Hartanti menguraikan diantaranya adalah sebagai
tu harus didasarkan pada hukum. Tanggung-
berikut (Evi H, 2009):
jawab dalam hal ini bukan hanya terletak pada
1. Berkurangnya kepercayaan terhadap pemerin-
penegak hukum saja, namun juga seluruh warga
tah. Apabila pejabat pemerintah melakukan tin-
Indonesia. Cita-cita untuk menggapai tertib hu-
dak pidana korupsi akan mengakibatkan ku-
kum tidak akan terwujud apabila aparat penegak
rangnya kepercayaan terhadap pemerintah terse-
hukum melakukan tindakan korupsi sehingga
but. Disamping itu, negara lain juga lebih mem-
hukum tidak dapat ditegakkan, ditaati serta ti-
percayai negara yang pejabatnya bersih dari
dak diindahkan oleh masyarakat. Dalam kon-
korupsi, baik dalam kerjasama di bidang politik,
sideran UU 31/1999 disebutkan alasan diben-
ekonomi ataupun dalam bidang lainnya. Hal ini
tuknya undang-undang tentang tindak pidana
akan mengakibatkan pembangunan disegala
korupsi karena tindak pidana korupsi sangat
bidang akan terhambat khususnya pembangu-
merugikan keuangan negara atau perekonomian
nan ekonomi serta mengganggu stabilitas per-
negara dan menghambat pembangunan nasional.
ekonomian negara dan stabilitas politik.
Kemudian dalam perkembangannya diadakan
2. Menyusutnya pendapatan negara Penerimaan
perubahan atas UU 31/1999 menjadi UU
negara untuk pembangunan didapatkan dari dua
20/2001 dengan pertimbangan tindak pidana ko-
sektor, yaitu dari pungutan bea dan penerimaan
rupsi tidak hanya merugikan keuangan negara,
pajak Pendapatan negara dapat berkurang apa-
tetapi juga telah merupakan pelanggaran ter-
bila tidak diselamatkan dari penyelundupan dan
hadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat
penyelewengan oleh oknum pejabat pemerintah
luas sehingga digolongkan sebagai kejahatan
pada sektor-sektor penerimaan negara tersebut.
yang pemberantasannya harus dilakukan secara
3. Perusakan mental pribadi. Seseorang yang se-
luar biasa. Sesuai dengan ketentuan pasal 43 UU
ring melakukan penyelewengan dan penyalah-
31/1999 dibentuklah Komisi Pemberantasan
gunaan wewenang mentalnya akan menjadi ru-
Korupsi sesuai sebagaimana dimaksud dalam
sak. Hal ini mengakibatkan segala sesuatu dihi-
UU 31/2002 menimbang bahwa lembaga peme-
tung dengan materi dan akan melupakan segala
rintah yang menangani perkara tindak pidana
yang menjadi tugasnya serta hanya melakukan
korupsi belum berfungsi secara efektif dan efi-
tindakan atau perbuatan yang bertujuan untuk
sien dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010
169
Efektifitas Pembalikan Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Gratifikasi
tifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
Kriminalisasi Gratifikasi Gratifikasi adalah perbuatan dimana satu pi-
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00
hak memberikan sesuatu kepada pihak lain, dalam
(sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa
hal ini pihak yang menerima pemberian tersebut
gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh pe-
adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara.
nuntut umum.
Tindakan memberi sesuatu kepada pihak lain se-
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara
benarnya merupakan tindakan yang wajar untuk
negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan, seperti layaknya memberikan hadiah ke-
adalah pidana seumur hidup atau pidana paling
pada teman atau sanak saudara sebagai bentuk ke-
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
pedulian dan penghargaan, namun yang menjadi
puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
masalah dalam gratifikasi ini adalah ketika pem-
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
berian tersebut tidak memiliki hubungan kedekatan,
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
selain hubungan formal seperti jabatan. Pemberian
rupiah).
tersebut dianggap memiliki tujuan-tujuan tertentu
Contoh kasus yang dapat digolongkan sebagai
berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki pe-
gratifikasi diantaranya adalah sebagai berikut:
nerima.
a. Pembiayaan kunjungan kerja lembaga le-
Gratifikasi adalah bentuk tindak pidana korupsi ba-
gislatif, karena hal ini dapat mempengaruhi
ru yang diatur dalam pasal 12 B UU 20/2001.
legislasi
Pengertian gratifikasi adalah pemberian dalam arti
eksekutif.
dan
implementasinya
oleh
luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat
b. Pungutan liar di jalan raya dan tidak disertai
(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket per-
tanda bukti dengan tujuan sumbangan tidak
jalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pe-
jelas, oknum yang terlibat bisa jadi dari pe-
ngobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Gra-
tugas kepolisian (Polisi Lalu Lintas), retri-
tifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri
busi (Dinas Pendapatan Daerah), LLAJR
maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan
dan masyarakat (preman).
sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Rumusan tindak pidana gratifikasi menurut pasal 12 B
c. Penyediaan biaya tambahan (fee) 10-20 persen dari nilai proyek. d. Uang retribusi untuk masuk pelabuhan tan-
UU 20/2001 sebagai berikut: (1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau
pa tiket yang dilakukan oleh Instansi Pela-
penyelenggara negara dianggap pemberian su-
buhan, Dinas Perhubungan, dan Dinas Pen-
ap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan
dapatan Daerah.
yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih pembuktian bahwa gra-
170
e. Parsel ponsel canggih keluaran terbaru dari pengusaha ke pejabat. f. Perjalanan wisata bagi bupati menjelang akhir jabatan.
Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010
Efektifitas Pembalikan Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Gratifikasi
g. Pembangunan tempat ibadah di kantor pemerintah (karena biasanya sudah tersedia
menjadi milik negara. (pasal 12 C ayat (1) UU 20/2001).
anggaran untuk pembangunan tempat iba-
Gratifikasi dikriminalisasi sebagai salah sa-
dah dimana anggaran tersebut harus diper-
tu bentuk korupsi sebagaimana diatur dalam pasal
gunakan sesuai dengan pos anggaran dan
12 B UU 20/2001. Secara etimologis kriminalisasi
keperluan tambahan dana dapat mengguna-
berasal dari kata dalam bahasa inggris, yaitu crimi-
kan kotak amal).
nalization. Kriminalisasi (criminalization) adalah
h. Hadiah pernikahan untuk keluarga PNS yang melewati batas kewajaran.
bagian dari upaya pencegahan kejahatan dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal). Kri-
i. Pengurusan KTP/SIM/Paspor yang "dipercepat" dengan uang tambahan.
minalisasi adalah suatu proses untuk menjadikan suatu perbuatan sabagai kejahatan, sehingga bisa
j. Mensponsori konferensi internasional tanpa
dituntut dan kemudian bagaimana sanksinya (Yenti,
menyebutkan biaya perjalanan yang trans-
2003). Menurut Andi Hamzah kriminalisasi adalah
paran dan kegunaannya, adanya penerimaan
menjadikan sesuatu perbuatan menjadi dapat di
ganda, dengan jumlah tidak masuk akal.
pidana (yang sebelumnya tidak demikian) (Andi Hamzah, 1986). Kriminalisasi dapat pula diartikan
Menurut UU 20/2001, sesungguhnya pene-
sebagai proses penetapan suatu perbuatan seseorang
rimaan gratifikasi tidak otomatis menjadi perbuatan
sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses ini
yang terkualifisir sebagai tindak pidana. Hal ini bisa
diakhiri dengan terbentuknya undang-undang dima-
dilihat dari rumusan pasal 12 C ayat (1) UU
na perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi beru-
20/2001 yang berbunyi; ketentuan sebagaimana
pa pidana (Sudarto, 1981). Kriminalisasi bertujuan
dimaksud pasal 12 B ayat (1) UU 20/2001 tidak
agar perbuatan yang dicegah atau ditanggulangi
berlaku, jika penerima gratifikasi melaporkan
dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan
gratifikasi
Komisi
yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang
gratifikasi
mendatangkan kerugian bagi masyarakat (Yenti,
masih memiliki waktu 30 hari untuk melaporkan
2003). Tujuan kriminalisasi suatu perbuatan sebagai
kepada Komisi Pemberan-tasan Korupsi (Pasal 12 C
tindak pidana korupsi adalah untuk menciptakan
ayat (2) UU 20/2001). Pasal 12 C ayat (1) dan ayat
sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa
(2) UU 20/2001 meng-hapus ketentuan pemidanaan
serta mengeliminasi penyalahgunaan jabatan dan
gratifikasi sebagai-mana dimaksud dalam pasal 12
wewenang yang dilakukan oleh aparatur negara
B ayat (1) UU 20/ 2001. Ini berarti, penerimaan
(Salman, 1998).
yang
Pemberantasan
diterimanya Korup-si.
kepada
Penerima
gratifikasi tidak oto-matis menjadi tindak pidana
Yang menjadi dasar pembenaran untuk
karena UU 20/2001 masih memberikan kesempatan
melakukan kriminalisasi suatu perbuatan menurut
untuk melaporkan kepada Komisi Pemberantasan
perspektif moral adalah perbuatan tersebut berten-
Korupsi. Lalu, Ko-misi Pemberantasan Korupsi
tangan dengan nilai-nilai moral dan mengganggu
dalam waktu 30 hari sejak menerima laporan
perasaan moral yang hidup dalam masyarakat
gratifikasi wajib menetap-kan gratifikasi dapat
(Salman, 1998). Tindakan kriminalisasi terhadap
Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010
171
Efektifitas Pembalikan Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Gratifikasi
suatu perbuatan perlu mempertimbangkan sembilan
menjalankan tugas yang berkaitan dengan kepen-
aspek:
tingan masyarakat banyak. Penindakan terhadap kri-
1. Perbuatan yang akan dikriminalisasi adalah per-
minalisasi gratifikasi dan memperdagangkan penga-
buatan yang tidak disukai, perbuatan yang di-
ruh tidak hanya dapat dilihat sebagai langkah hu-
benci dan perbuatan tercela dalam masyarakat
kum, tetapi juga sebagai usaha perubahan radikal
yang bersangkutan.
terhadap kebiasaan dan moralitas dari hal yang se-
2. Penetapan kriminalisasi harus
mempertim-
mula dianggap halal dan wajar kearah suatu sikap
bangkan kemampuan sumber daya manusia,
sebagai perbuatan yang tercela dan melanggar
khususnya sumber daya manusia penegak hu-
hukum.
kum yang menjalankan sistem peradilan pidana. 3. Dalam melakukan kriminalisasi harus didasarkan kalkulasi biaya dan hasil yang akan dicapai.
Pembuktian Menurut Kuhap Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, meru-
4. Penetapan suatu perbuatan sebagai perbuatan
pakan bagian terpenting acara pidana. Dalam hal ini
pidana harus sesuai dengan perasaan hukum
pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana
yang hidup dimasyarakat.
akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan
5. Upaya kriminalisasi harus sesuai dengan fungsi
terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan
hukum pidana sebagai senjata pamungkas (ulti-
berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan
mum remedium).
hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah maka hu-
6. Kriminalisasi harus menunjang pencapaian citacita masyarakat dalam pembangunan nasional. 7. Kriminalisasi harus mempertimbangkan sikap moral masyarakat.
kum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formal (Andi, 2008)
8. Kriminalisasi harus mempertimbangkan efek
Pembuktian berasal dari kata “bukti” yang
yang akan timbul, baik terhadap pelaku, korban
berarti suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang
dan akibatnya terhadap masyarakat jika perbua-
cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal
tan itu tidak di kriminalisasikan.
(peristiwa tersebut). Pembuktian adalah perbuatan
9. Perbuatan yang dikriminalisasikan adalah perbua-
membuktikan. Membuktikan sama dengan memberi
tan yang dapat diproses oleh peradilan pidana
(memperlihatkan) bukti, melakukan sesuatu sebagai
(Salman, 1998).
kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan dan meyakinkan (Lilik, 2007). Menurut M.
Gratifikasi dikriminalisasi menjadi tindak
Yahya Harahap pembuktian adalah ketentuan-keten-
pidana karena pemberian tersebut dapat mempe-
tuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang
ngaruhi orang-orang yang bertugas sebagai pelayan
cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk
publik (pegawai negeri dan penyelenggara negara).
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada
Sehingga suatu pemberian yang tidak sepatutnya
terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan
diterima dapat mempengaruhi perbuatannya dalam
yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan un-
172
Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010
Efektifitas Pembalikan Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Gratifikasi
dang-undang dan mengatur mengenai alat bukti
dengan memeriksa fakta dan sekaligus menilai fak-
yang boleh digunakan hakim guna membuktikan
ta-fakta yang terungkap dalam persidangan dan
kesalahan terdakwa. Pengadilan tidak boleh sesuka
akhirnya menyatakan kesalahan atau ketidaksalahan
hati dan semena-mena membuktikan kesalahan
terdakwa tersebut dalam vonisnya. Penuntut umum
terdakwa.
maupun terdakwa atau penasehat hukum melakukan
Proses pembuktian hakikatnya memang le-
kegiatan pembuktian juga hanya saja perspektif
bih dominan pada sidang pengadilan guna mene-
penuntut umum membuktikan keterlibatan dan ke-
mukan kebenaran materil akan peristiwa yang ter-
salahan terdakwa dalam melakukan suatu tindak
jadi dan memberi keyakinan kepada hakim tentang
pidana akan tetapi dari perspektif terdakwa atau pe-
kejadian tersebut sehingga hakim dapat memberikan
nasehat hukum berbanding tebalik dengan apa yang
putusan seadil mungkin. Pada proses pembuktian
dilakukan jaksa penuntut umum.
ini, adanya korelasi dan interaksi mengenai apa
Pada dasarnya, apabila dianalisis, mengapa
yang akan diterapkan hakim dalam menemukan
perbedaan penafsiran dan sudut pandang tersebut
kebenaran materiil melalui tahap pembuktian, alat-
dapat terjadi padahal kasus dan fakta yang dihadapi
alat bukti dan proses pembuktian terhadap aspek-
sama. Karena itu menurut Mr. Trapmann aspek ini
aspek sebagai berikut:
bergantung pada sikap, titik tolak dan pandangan
1. Perbuatan-perbuatan manakah yang dianggap ter-
para pihak dalam perkara pidana yaitu:
bukti.
1. Pandangan terdakwa atau penasehat hukum ter-
2. Apakah telah terbukti, bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan-perbuatan yang didakwakan kepadanya.
dakwa sebagai pandangan subyektif dari posisi yang subyektif. 2. Pandangan jaksa penuntut umum dalah pan-
3. Delik apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan-perbuatan itu.
dangan subyektif dari posisi yang obyektif; dan. 3. Pandangan
4. Pidana apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa (Lilik, 2007).
hakim
dinyatakan
sebagai
pandangan obyektif dari sisi obyektif pula (Lilik, 2007).
Pembuktian merupakan interaksi antara pe-
Pada hakikatnya secara teoritis dikenal de-
meriksaan yang dilakukan oleh majelis hakim da-
ngan adanya 3 (tiga) teori tentang sistem pem-
lam menangani perkara tersebut dengan dibantu
buktian. Pertama yaitu sistem pembuktian menurut
oleh seorang panitera pengganti, kemudian jaksa
undang-undang secara positif (positief wettelijke
penuntut umum yang melakukan penuntutan dan
bewijs theorie) menurut teori ini, pembuktian ber-
adanya terdakwa atau beserta penasehat hukumnya.
gantung kepada alat-alat bukti sebagaimana disebut
Ketiga komponen tersebut saling berinteraksi dalam
secara limitatif dalam undang-undang. Dalam aspek
melakukan pembuktian, hanya saja segmen dan de-
ini hakim terikat pada adagium kalau alat-alat bukti
rajat pembuktian yang dilakukan sedikit ada per-
tersebut telah dipakai sesuai ketentuan undang-
bedaan. Pada majelis hakim melalui kegiatan me-
undang, hakim mesti menentukan terdakwa ber-
meriksa perkara melakukan kegiatan pembuktian
salah, walaupun hakim berkeyakinan bahwa sebe-
Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010
173
Efektifitas Pembalikan Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Gratifikasi
narnya terdakwa tidak bersalah dan begitu juga se-
Terhadap hal ini dalam pandangan para praktisi,
baliknya. Kedua yaitu sistem pembuktian berdasar-
lazim disebut dengan terminologi asas mini-
kan keyakinan hakim (conviction intime / conviction
mum pembuktian. Asas minimum pembuktian
raisonnee)
dapat
ini lahir dari acuan kalimat sekurang-kurangnya
menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan belaka
dua alat bukti yang sah haruslah berorientasi
dengan tidak terikat oleh suatu peraturan (bloot
kepada 2 (dua) alat bukti sebagaimana ditentu-
gemoedelijke overtuiging, conviction intime), tetapi
kan limitatif oleh pasal 184 ayat (1) KUHAP
penerapan keyakinan hakim tersebut dilakukan
yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
secara selektif dalam arti keyakinan hakim dibatasi
petunjuk dan keterangan terdakwa. Apabila ha-
dengan harus didukung oleh alasan-alasan jelas dan
nya ada 1 (satu) alat bukti saja, dengan demi-
rasional dalam mengambil keputusan. Ketiga yaitu
kian asas minimum pembuktian tidak tercapai
sistem pembuktian menurut undang-undang secara
sehingga terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana.
pada
sistem
ini
hakim
negatif (negatief wetteljike bewijs theorie). Sistem
2. Bahwa atas “dua alat bukti yang sah” tersebut
pembuk-tian ini menentukan bahwa hakim boleh
hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pi-
menja-tuhkan pidana terhadap terdakwa apabila alat
dana tersebut memang benar-benar terjadi dan
bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh
terdakwalah pelakunya.
undang-undang dan didukung pula oleh adanya
Dari aspek ini dapat disimpulkan bahwa
keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat
adanya dua alat bukti yang sah tersebut adalah be-
bukti
pembuktian
lum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana
menurut un-dang-undang secara negatif merupakan
terhadap terdakwa apabila hakim tidak memperoleh
gabungan antara pembuktian menurut undang-
keyakinan bahwa tindak pidana tersebut memang
undang secara positif dan sistem pembuktian
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa telah ber-
menurut keyakinan hakim. Sistem pembuktian
salah melakukan tindak pidana tersebut. Sebaliknya,
menurut KUHAP menganut sistem pembuktian
apabila keyakinan hakim saja adalah tidak cukup
secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie).
jikalau keyakinan itu tidak ditimbulkan oleh se-
Hal ini tampak pada pasal 183 KUHAP yang
kurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
ter-sebut.
Pada
hakikatnya
menyatakan bahwa:
Selain itu pula, eksistensi keyakinan hakim
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Dengan titik tolak pasal 183 KUHAP ini, untuk menentukan bersalah tidaknya seorang terdakwa, hakim harus memperhatikan aspek-aspek: 1. Kesalahan terdakwa haruslah terbukti dengan sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah. 174
tentang kesalahan terdakwa baru baru timbul setelah adanya alat-alat bukti yang sah menurut undangundang. Hal ini ditegaskan oleh M. Yahya Harahap sebagai berikut: “pada lazimnya, jika kesalahan telah benar-benar terbukti menurut ketentuan cara lewat alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, keterbuktian kesalahan tersebut akan membantu dan mendorong hati nurani hakim untuk meyakini kesalahan terdakwa. Apalagi bagi seorang hakim yang memiliki sikap hati-hati dan bermoral baik, tidak mungkin keyakinan yang muncul ke permukaan mendahului keterbuktian kesalahan terdakwa. Mungkin pada
Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010
Efektifitas Pembalikan Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Gratifikasi
tahap pertama sang hakim sebagai manusia biasa, bisa saja terpengaruh oleh sifat prasangka. Akan tetapi, bagi seorang hakim yang jujur dan waspada, prasangkanya baru semakin membentuk suatu keyakinan, apabila hal yang diprasangkainya itu benar-benar terbukti di persidangan berdasarkan ketentuan, cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang” (Lilik, 2007). Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie) yang dianut KUHAP sebaiknya dipertahankan ber-
tikan dirinya tidak bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan, melainkan terdakwa atau penasehat hukum justru mempunyai hak untuk membuktikan sebaliknya, atau menolak dengan membuktikan sebaliknya. Bagaimana cara jaksa penuntut umum membuktikan apa yang harus dibuktikan, standar bukti apa yang harus dipenuhi untuk menyatakan terbukti, semuanya telah diatur secara sempurna dalam KUHAP.
dasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang ke-
Efektifitas Pembalikan Beban Pembuktian
salahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu
Dalam Tindak Pidana Gratifikasi
hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa me-
Perkara tindak pidana korupsi selalu men-
midana orang sedangkan hakim tidak yakin atas ke-
jadi sorotan masyarakat luas, terutama pada kasus
salahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah jika ada
kasus gratifikasi dan penyuapan kepada pegawai
aturan yang mengikat hakim dalam menyusun ke-
negeri maupun penyelenggara negara. Salah satu
yakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang
dari permasalahan yang sulit dihadapi oleh penuntut
harus
umum adalah membuktikan ketika melakukan pe-
diturut
oleh
hakim
dalam
melakukan
nuntutan kepada para pelaku tindak pidana korupsi.
peradilan (A.Hamzah, 2006).
Oleh karena itu diberlakukan sistem pembalikan beban pembuktian agar dapat menuntut para pelaku
Beban Pembuktian Menurut Kuhap Dasar pijakan sistem beban pembuktian bia-
tindak pidana korupsi.
sa atau menurut KUHAP ialah pada prinsip “siapa yang mendakwakan maka dialah yang dibebani untuk membuktikan
apayang didakwakan
itu
benar”. Prinsip ini timbul akibat dari berlakunya
Kewajiban Pembalikan Beban Pembuktian Penerima Gratifikasi
asas presumption of innocence yang dijunjung
Tindak pidana gratifikasi diperkenalkan da-
tinggi dalam hukum acara pidana. Asas ini tertuang
lam UU 20/2001 beserta dengan pembuktiannya,
dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun
yaitu pembuktian terbalik atau pembalikan beban
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Setiap orang
pembuktian. Hal ini dapat dilihat pada penjelasan
dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya itu
UU 20/2001 yang menyatakan bahwa pembuktian
dibuktikan dengan suatu putusan pengadilan yang
terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru
telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam
tentang gratifikasi.
pelaksanaan kewajiban negara membuktikan kesa-
Alasan pemberlakuan pembalikan beban
lahan terdakwa, negara diwakili oleh jaksa penuntut
pembuktian menurut mantan Menteri Kehakiman
umum. Dalam sistem ini, terdakwa atau penasehat
dan Hak Asasi Manusia, Baharuddin Lopa karena
hukum tidak dibebani kewajiban untuk membuk-
sistem pembuktian biasa dirasakan tidak efektif dan
Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010
175
Efektifitas Pembalikan Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Gratifikasi
sangat memberatkan aparatur penyidik, khususnya
wa wajib membuktikan dirinya tidak bersalah. Sis-
jaksa penuntut umum yang harus membuktikan
tem ini adalah kebalikan dari asas presumption of
kesalahan terdakwa. Dirasa memberatkan karena
innocence. Sedangkan dalam pasal 12 B ayat (1)
terdakwa sudah sangat cerdik dalam menyem-
huruf b UU 20/2001 menerapkan sistem pembuktian
bunyikan kekayaan yang dikorupsinya (Seno Adji,
biasa (KUHAP), maksudnya untuk membuktikan
2006). Menurut Indriyanto Seno Adji korupsi meru-
tindak pidana dan kesalahan terdakwa melakukan-
pakan perkara yang sangat sulit, karena melibatkan
nya, sepenuhnya ada pada jaksa penuntut umum.
pelaku kejahatan ekonomi kelas atas dan birokrasi
Pembalikan beban pembuktian pada tindak
kalangan atas yang sangat memahami lingkungan
pidana gratifikasi sebagaimana diatur dalam pasal
kerja dan format untuk menghindari terjadinya pela-
12 B ayat (1) huruf a UU 20/2001, seharusnya ter-
cakan terhadap kejahatan korupsi (Seno Adji,
dakwa dibebani kewajiban (bukan hak) untuk mem-
2006). Rumusan tindak pidana gratifikasi menurut
buktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
pasal 12 B ayat (1) UU 20/2001 adalah sebagai
korupsi menerima gratifikasi, hal ini dapat disebut
berikut:
dengan sistem pembalikan beban pembuktian.
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau
Akibat hukum dari pembalikan beban pembuktian
penyelenggara
pemberian
berakibat langsung pada amar pembebasan atau se-
suap, apabila berhubungan dengan jabatannya
baliknya pemidanaan terdakwa atau pelepasan dari
dan yang berlawanan dengan kewajiban atau
tuntutan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 37
tugas-nya, dengan ketentuan sebagai berikut:
ayat (2) UU 20/2001 yang menyatakan bahwa dalam
a. Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh
hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak
juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa
melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian
gratifikasi tersebut bukan merupakan suap
tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar
dilakukan oleh penerima gratifikasi;
untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.
b. Yang
negara
nilainya
dianggap
kurang
dari
Rp
Dalam pembalikan beban pembuktian kedu-
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pem-
dukan jaksa bukanlah sekedar bertugas mengusung
buktian bahwa gratifikasi tersebut suap
perkara korupsi ke sidang pengadilan saja, tetapi ju-
dilakukan penuntut umum.
ga harus mendapatkan fakta-fakta awal dari sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang telah
Dapat
disimpulkan
bahwa
pembalikan
dicatat dalam berita acara penyidikan (BAP). Dari
beban pembuktian diatur dalam pasal 12 B ayat (1)
fakta-fakta itu kemudian disusunlah surat dakwaan
huruf a UU 20/2001, pasal 12 B UU 20/2001 mem-
dan disodorkan kepada terdakwa. Dalam sidang
bedakan antara dua sistem yaitu dalam pasal 12 B
kewajiban terdakwa untuk membuktikan ketidak-
ayat (1) huruf a UU 20/2001 menerapkan sistem
benaran dakwaan itu. Inilah dasar pijakan dari sis-
pembuktian terbalik atau pembalikan beban pem-
tem pembalikan beban pembuktian.
buktian, maksudnya beban pembuktian sepenuhnya
Namun terdapat kontradiksi antara pasal 12
berada dipihak terdakwa, untuk membuktikan diri-
B ayat (1) huruf a UU 20/2001 dengan pasal 37 ayat
nya tidak melakukan tindak pidana korupsi. Terdak-
(1) UU 20/2001, pasal 12 B ayat (1) huruf a UU
176
Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010
Efektifitas Pembalikan Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Gratifikasi
20/2001 menyatakan pembuktian bahwa gratifikasi
“yang berhubungan dengan jabatannya dan yang
tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya”, maka
penerima gratifikasi. Ketentuan pasal 12 B ayat (1)
kewajiban pembuktian adalah imperatif pada jaksa
huruf a UU 20/2001 dipandang sebagai pembalikan
penuntut umum untuk membuktikannya, bukan pada
beban pembuktian, hal tersebut ditegaskan juga
diri terdakwa lagi karena secara tegas dan jelas ru-
dalam penjelasan UU 20/2001 yang menyatakan
musan delik inti disebutkan dalam rumusan ter-
pembuktian terbalik diberlakukan pada tindak pi-
sebut54. dengan hilangnya makna pembalikan be-
dana baru tentang gratifikasi. Disisi lain dalam pasal
ban pembuktian atau kewajiban pembuktian pada
37 ayat (1) UU 20/2001 menyatakan terdakwa
terdakwa dalam tindak pidana gratifikasi, maka me-
mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak
kanisme pembuktian tindak pidana korupsi maupun
melakukan tindak pidana korupsi.
gratifikasi dipersidangan mengikuti KUHAP. Tetapi
Jika dipandang semata-mata hak maka pem-
terdakwa tetap mempunyai hak untuk membuktikan
balikan beban pembuktian dipandang bukan meru-
bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi
pakan kewajiban melainkan hanya sebuah hak yang
menerima gratifikasi.
dapat digunakan maupun tidak digunakan oleh ter-
Dari analisa tersebut diatas dapat disim-
dakwa dalam hal ini penerima gratifikasi. Pasal 37
pulkan bahwa pembalikan beban pembuktian me-
ayat (1) UU 20/2001 jelas bertentangan dengan ha-
rupakan hak penerima gratifikasi sebagaimana
kikat pembalikan beban pembuktian yang dalam hal
diatur dalam pasal 37 ayat (1) UU 20/2001 dan pe-
ini terdapat dalam pasal 12 B ayat (1) huruf a UU
nuntut umum tetap berkewajiban membuktikan
20/2001, karena pasal 37 ayat (1) UU 20/2001 tidak
dakwaannya sebagaimana dijelaskan dalam penjela-
memberikan pengecualian terhadap pasal 54 grati-
san UU 31/1999. Pada subbab berikutnya penulis
fikasi sebagaimana yang diatur dalam pasal 12 B
akan membahas efektifitas penerapan pasal 12 B
ayat (1) huruf a UU 20/2001, sehingga pasal 37 ayat
ayat (1) huruf a UU 20/2001 dengan cara meng-
(1) UU 20/2001 dapat digunakan terdakwa atau
analisis rumusan pasal 12 B UU 20/2001 dan mewa-
penerima gratifikasi untuk tidak melakukan kewa-
wancarai pihak-pihak yang terlibat dalam penun-
jiban membuktikan bahwa yang diterimanya bukan
tutan seperti jaksa penuntut umum dari Kejaksaan
merupakan suap.
maupun dari Komisi Pemberantasan Korupsi.
Selain itu, permasalahan juga terdapat dalam rumusan pasal 12 B ayat (1) UU 20/2001 yang
Efektifitas Penerapan Pasal Gratifikasi
menyatakan setiap gratifikasi kepada pegawai ne-
Sistem pembalikan beban pembuktian da-
geri atau penyelenggara negara dianggap pemberian
lam hukum pidana Indonesia, diadopsi dari hukum
suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan
pembuktian perkara korupsi dari negara anglo
yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
saxon, seperti Inggris, Singapura dan Malaysia. Sis-
Menurut Andi Hamzah dan Indriyanto Seno Adji,
tem pembalikan beban pembuktian atau yang lebih
redaksional dari pasal 12 B ayat (1) UU 20/2001
dikenal dengan pembuktian terbalik pada tindak pi-
justru meniadakan sistem pembalikan beban pem-
dana korupsi diatur dalam pasal 37 ayat (2) UU
buktian. Karena dengan dicantumkannya unsur
20/2001. Pasal tersebut merupakan dasar pem-
Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010
177
Efektifitas Pembalikan Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Gratifikasi
balikan beban pembuktian hukum acara pidana tin-
buatan tertentu tersebut adalah memberikan grati-
dak pidana korupsi. Pada pasal 37 ayat (2) UU 20/
fikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara
2001 disebutkan akibat hukumnya apabila terdakwa
negara apabila berhubungan dengan jabatannya dan
berhasil membuktikan maka pembuktian tersebut
berlawanan kewajiban atau tugasnya. Dalam hubu-
dipergunakan oleh pengadilan untuk menyatakan
ngannya dengan selesainya tindak pidana, maka jika
bahwa dakwaan tidak terbukti. Unsur-Unsur pasal
perbuatan yang menjadi larangan itu selesai di-
12 B ayat (1) huruf a UU 20/2001 adalah sebagai
lakukan, maka tindak pidana itu selesai pula, tanpa
berikut:
tergantung pada akibat yang timbul dari perbuatan
1. Gratifikasi kepada pegawai negeri atau pe-
(Adam, 2002)
nyelenggara negara
Pengertian tindak pidana gratifikasi ini me-
2. Yang berhubungan dengan jabatannya
miliki kesamaan dengan pengertian suap pasif. Ke-
3. Yang berlawanan dengan kewajiban atau tugas-
lompok tindak pidana suap terdiri dari suap aktif
nya
(actieve omkoping) yaitu tindak pidana memberi
4. Nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih.
suap, subyek hukumnya adalah pemberi suap dan suap pasif (passive omkoping) yaitu tindak pidana menerima suap, subyek hukumnya adalah penerima
Berdasarkan unsur-unsur inti delik tersebut
suap, khususnya pegawai negeri atau penyelenggara
dapat dilihat bahwa tindak pidana gratifikasi adalah
yang menerima suap berupa penerimaan dari pem-
tindak pidana formil. Tekanan perumusan pada de-
berian-pemberian dalam arti luas yang terdiri atas
lik formil adalah sikap tindak atau perikelakuan
benda, jasa, fasilitas dan sebagainya. Karena ber-
yang dilarang tanpa merumuskan akibatnya, mi-
bentuk penyuapan pasif, berarti yang dipersalahkan
salnya dalam pasal 297 KUHP menyatakan “Perda-
dan dipertanggungjawabkan secara pidana adalah
gangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang
penerima gratifikasi, bukan pemberinya (Adam,
belum dewasa, diancam dengan pidana penjara pa-
2005).
ling lama enam tahun”.
Tindak pidana gratifikasi sebagaimana di-
Sedangkan tekanan pada delik materiil
atur dalam pasal 12 B UU 20/2001 adalah suatu je-
adalah akibat dari suatu sikap tindak atau peri-
nis tindak pidana suap pasif atau menerima suap.
kelakuan, misalnya dalam pasal 359 KUHP menya-
Cara merumuskan tindak pidana gratifikasi ini
takan “Barang siapa karena kelalaiannya, menye-
tergolong aneh dan tidak lazim karena (Adam,
babkan matinya orang lain, diancam dengan pidana
2005)
penjara paling lama lima tahun atau kurungan pa-
1. Dalam rumusan tindak pidana gratifikasi tam-
ling lama satu tahun”. Dalam rumusan pasal 12 B
pak seolah-olah subyek hukumnya adalah si
ayat (1) UU 20/2001 tersebut dicantumkan secara
pemberi gratifikasi, tetapi sesungguhnya bukan,
tegas mengenai larangan melakukan perbuatan ter-
melainkan pegawai negeri atau penyelenggara
tentu. Yang menjadi pokok larangan dalam rumusan
negara yang menerima gratifikasi, karena anca-
pasal gratifikasi dalam pasal 12 B ayat (1) UU 20/
man pidananya jelas ditujukan kepada pegawai
2001 adalah melakukan perbuatan tertentu. Per178
Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010
Efektifitas Pembalikan Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Gratifikasi
negeri
atau
penyelenggara
negara
yang
menerima gratifikasi.
tindak
pidana
korupsi
atas
nama
terdakwa
Widjanarko Puspoyo, S.H., M.H. Mantan Direktur
2. Rumusan tindak pidana gratifikasi dianggap
Utama BULOG. Dalam surat dakwaan jaksa
tidak sempurna, karena rumusan tindak pidana
menuntut Widjanarko Puspoyo menggunakan pasal
yang sempurna ialah mencantumkan subyek hu-
11 UU 31/1999 jo UU 20/2001 karena telah mene-
kumnya, unsur-unsurnya (unsur perbuatan, ob-
rima hadiah berupa uang sejumlah kurang lebih Rp
jek tindak pidana, unsur-unsur lain sekitar atau
16 miliar yang ditransfer dari Vietnam Southern
yang melekat pada perbuatan dan atau melekat
Food Coorporation (Vina Food) melalui rekening
pada objek tindak pidana), dan unsur mengenai
PT. Tugu Dana Utama (Laksmi Setyanti Karmahadi/
batin dan mencantumkan pula unsur pidana,
Cheong Karm Choy) di HSBC Hongkong Bank
tetapi tidak demikian halnya dengan tindak
yang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta
pidana gratifikasi dalam pasal 12 B UU
Selatan.
20/2001. Rumusan pasal 12 B ayat (1) huruf a
Hendro Dewanto, mengatakan perangkat
UU 20/2001 adalah:
hukum yang mengatur pembalikan beban pembuk-
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri
tian dalam UU 20/2001 belum lengkap, menurutnya
atau penyelenggara negara dianggap pemberian
harus ada regulasi yang mengatur khusus mengenai
suap, apabila berhubungan dengan jabatannya
pembalikan beban pembuktian atau merevisi UU
dan yang berlawanan dengan kewajiban atau
20/2001 agar pembalikan beban pembuktian efektif
tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
dilaksanakan58. Pendapat yang sama juga dikemu-
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh
kakan oleh Natabaya. Menurut H.A.S Natabaya
juta rupiah) atau lebih, pembuktian gratifi-
pembuktian terbalik atau pembalikan beban pem-
kasi tersebut bukan merupakan suap dilaku-
buktian tidak pernah digunakan dalam tindak pidana
kan oleh penerima gratifikasi. ancaman
korupsi oleh sebab itu harus diatur dalam undang-
pidananya terdapat dalam pasal 12 B ayat
undang yang tersendiri agar penerapan pembalikan
(2) UU 20/2001 yang menyatakan “Pidana
beban pembuktian tersebut efektif terutama terhadap
bagi pegawai negeri atau penyelenggara
tindak pidana korupsi dan hanya dapat dilakukan
negara sebagaimana dimaksud dalam ayat
Dipersidangan (Natabaya, 2010)
(1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (em-
Kesimpulan
pat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
Berdasarkan pembahasan mengenai efek-
tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp
tifitas pembalikan beban pembuktian dalam tindak
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
pidana gratifikasi, maka dapat ditarik kesimpulan,
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu
diantaranya sebagai berikut: Pasal 12 B UU 20/2001
miliar rupiah)”.
tidak pernah digunakan oleh jaksa penuntut umum dalam perkara tindak pidana gratifikasi karena ru-
Salah satu contoh perkara tindak pidana gratifikasi yang penulis dapatkan adalah perkara
musan pasal tersebut dianggap kurang tepat, sehingga sulit untuk membuktikan unsur-unsur yang
Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010
179
Efektifitas Pembalikan Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Gratifikasi
ada dalam pasal tersebut, karena tindak pidana gra-
Hukum
Pidana)”,
PT.
tifikasi termasuk jenis suap pasif yaitu tindak pidana
Persada, Jakarta, 2002.
RajaGrafindo
menerima suap maka jaksa penuntut umum meng-
_____________, “Hukum Pidana Materiil dan
gunakan pasal suap pasif lainnya seperti pasal 5
Formil Korupsi di Indonesia”, Bayumedia
ayat (2) UU 20/2001, pasal 11 UU 20/2001, pasal
Publishing, Malang, 2005.
12 huruf a dan pasal 12 huruf b UU 20/2001.Karena
_____________.,
“Hukum
Pembuktian
Tindak
pasal 12 B UU 20/2001 tidak pernah digunakan
Pidana Korupsi”, PT. Alumni, Bandung,
oleh jaksa penuntut umum maka pembuktian meru-
2008.
pakan hak bagi penerima gratifikasi. Hal ini dapat
Andi Hamzah, “Kamus Hukum”, Ghalia, Jakarta,
dilihat pada pasal 37 ayat (1) UU 20/2001 yang me-
1986.
nyatakan bahwa terdakwa mempunyai hak untuk
___________, “Pemberantasan Korupsi Melalui
membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pi-
Hukum Nasional dan Internasional”, PT.
dana korupsi, maka pembalikan beban pembuktian
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.
pada tahap persidangan di pengadilan tidak di-
___________, “Hukum Acara Pidana Indonesia”,
pandang sebagai kewajiban, melainkan sebagai hak
Sinar Grafika, Jakarta, 2008. Darwan Prints, “Pemberantasan Tindak Pidana
terdakwa. Mekanisme pembuktian dalam tindak pi-
Korupsi”, Citra Aditya Bakti, Bandung,
dana gratifikasi dilaksanakan berdasarkan ketentuan KUHAP. Beban untuk melakukan pembuktian me-
2002. Djoko
nurut KUHAP ada pada jaksa penuntut umum dan
Pembuktian”,
terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.
Jakarta, 2009.
Melainkan hanya hak. Seharusnya pembuktian pada tindak pidana gratifikasi itu ada pada penerima gratifikasi atau terdakwa, bukan jaksa penuntut umum.
“Pembalikan
Sumaryanto,
Beban
PT. Prestasi Pustakaraya,
Evi Hartanti, “Tindak Pidana Korupsi”, edisi ke 2. Sinar Grafika, Jakarta, 2009. Indriyanto Seno Adji, “Korupsi dan Pembalikan
Penerima gratifikasi tidak dipidana sebagaimana
Beban
diatur dalam pasal 12 B ayat (2) UU 20/2001 jika
Indriayanto Seno Adji & Rekan, Jakarta,
penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya
2006.
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, laporan wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
Pembuktian”,
Kantor
Hukum
Krisna Harahap, “Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung”, PT. Grafiti, Bandung, 2006. Lilik Mulyadi, “Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
tanggal gratifikasi itu diterima sebagaimana diatur
(Normatif,
Praktis
dan
dalam Pasal 12 C UU 20/2001.
Alumni, Bandung, 2007.
Masalahnya)”,
Mochtar Kusumaadmadja dan Eti R. Agoes,
Daftar Pustaka
“Pengantar Hukum Internasional”, Alumni,
Adami Chazawi, “Pelajaran Hukum Pidana Bagian
Bandung, 2003.
1 (Stelsel Pidana, Tindak Pidana, TeoriTeori Pemidanaan dan Batas Berlakunya 180
Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010
Efektifitas Pembalikan Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Gratifikasi
M. Marwan dan Jimmy P, “Kamus Hukum
Indonesia. Undang-Undang tentang Hukum Acara
(Dictionary Of Law Complete Edition)”,
Pidana. UU No. 8 Tahun 1981, LN No. 76,
Reality Publisher, Surabaya, 2009.
TLN No. 3209.
M. Yahya Harahap, “Pembahasan Permasalahan
_______. Undang-Undang tentang Pemberantasan
dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Si-
Tindak Pidana Korupsi. UU No. 31 Tahun
dang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Pe-
1999, LN No. 140, TLN No. 3874.
ninjauan Kembali”, Sinar Grafika, Jakarta, 2002.
_______. Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Rohim, “Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi”, Pena Multi Media, Depok, 2008. Yenti Garnasih, “Kriminalisasi Tindak Pidana
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 20 Tahun 2001, LN No. 134, TLN No. 4150.
Pencucian Uang”, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum UI, Jakarta, 2003.
Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010
181