PENERAPAN ASAS PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM KASUS PENCEMARAN LINGKUNGAN (Dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah ”Dinamika Hukum”, FH Unisma Malang, ISSN: 0854-7254, Vol. VII No. 14, Agustus 2001, h. 44-51) Abdul Rokhim1 Abstrak Setiap orang menurut undang-undang hanya berhak atas lingkungan yang baik dan sehat, dalam arti bebas dari pencemaran lingkungan. Mengingat kasus pencemaran lingkungan merupakan perkara yang sangat sulit pembuktiannya, sementara pihak korban biasanya massal dan menanggung beban risiko yang serius, maka untuk memudahkan penyelesaiannya secara hukum perlu adanya pengaturan yang secara khusus (lex specialis) mengatur tentang asas pembalikan beban pembuktian (omkering van bewijslast) yang merupakan konsekuensi dari penerapan asas tanggung jawab mutlak (strict liability). Kata kunci: Pembalikan; Beban Pembuktian; Pencemaran Lingkungan
1. Pendahuluan Pada hakikatnya lingkungan (hidup) Indonesia itu, di samping merupakan karunia dan rahmat juga merupakan amanat Allah kepada seluruh rakyat dan bangsa Indonesia. Sebagai suatu karunia atau rahmat Allah, setiap orang berhak untuk memanfaatkan dan menikmati sumber-sumber daya alam (lingkungan) yang ada untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan hidup mereka. Sebaliknya, sebagai suatu amanat Allah setiap orang yang pada hakikatnya merupakan “khalifah fil ard” berkewajiban untuk menjaga dan melestarikan lingkungan alamnya agar fungsi lingkungan tetap terjaga dan lestari sesuai dengan peruntukannya. Dengan perkataan lain, setiap orang (termasuk badan hukum, baik publik maupun privat) yang merupakan subyek hukum, disamping berhak atas lingkungan yang baik dan sehat (pasal 5 ayat (1) UUPLH), juga berkewajiban untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan (pasal 6 ayat (1) UUPLH). Atau paling tidak, jika upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan itu ternyata tidak berhasil, dan pencemaran lingkungan tidak dapat dielakkan (inevitable), maka ia harus berupaya dengan cara melokalisasi korbannya dan meminimalisasi akibatnya. Secara yuridis-normatif, pencemaran lingkungan yang membawa efek negatif kepada korban, maka pihak yang dirugikannya berhak untuk menuntut dan/atau menggugat kepada pencemar (polluter), baik berupa tuntutan pidana (misalnya penjara atau denda), gugatan administrasi (misalnya tuntutan penutupan usaha, relokasi, biaya 1
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang.
1
pemulihan lingkungan, dsb.), gugatan perdata dalam bentuk ganti rugi, atau bahkan akumulasi dari berbagai jenis tuntutan dan gugatan itu sekaligus. Hak dari pihak korban untuk menggugat dan atau menuntut ini, menurut Heinhard Steiger (1980: 3), terkait dengan hak: (1) untuk membela diri (the function of defense) terhadap gangguan dari luar yang menimbulkan kerugian pada lingkungannya; dan (2) hak menuntut dilakukannya sesuatu tindakan (the function of performance) agar lingkungannya dapat dilestarikan, dipulihkan atau diperbaiki. Terkait dengan dengan hak bagi setiap orang, yang lingkungannya tercemar, untuk menggugat atau menuntut (ius standi; standing to sue atau legal standing) kepada pihak yang diduga sebagai pencemar (polluter) ternyata bukanlah merupakan hal yang amat mudah dilakukan. Ada banyak faktor yang menyebabkan gugatan atau tuntutan pihak korban pencemaran kepada pihak yang diduga melakukan pencemaran itu sulit untuk menghasilkan suatu penyelesaian yang memuaskan semua pihak. Salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya penyelesaian kasus-kasus pencemaran lingkungan adalah karena sulitnya membuktikan hubungan kausalitas antara fakta telah terjadinya pencemaran lingkungan dengan aktivitas seseorang atau pihak yang diperkirakan menjadi sebab terjadinya pencemaran itu (cf. Rangkuti, 1996: 308). Persoalan yang muncul dalam hubungan ini adalah dalam kasus-kasus pencemaran lingkungan, siapa yang secara hukum bertanggungjawab untuk membuktikan terjadinya pencemaran itu, pihak korban (penggugat) ataukah pencemar (tergugat)? Secara konvensional, masalah pembuktian menurut Hukum Acara Pidana (ex. KUHAP) maupun Hukum Acara Perdata (ex. HIR/RBg; BW) yang hingga sekarang masih berlaku dan menjadi hukum positif kita, merupakan beban atau kewajiban dari pihak penggugat (dalam hal ini korban selaku pihak yang berkepentingan). Hal ini berarti jika ia mendalihkan sesuatu atau merasa haknya atas lingkungan yang baik dan sehat, terganggu atau tercemar oleh aktivitas pihak lain, maka ia harus bisa membuktikan bahwa lingkungannya itu tercemar sebagai akibat dari aktivitas pihak lain itu. Ketentuan seperti ini tentu saja dirasakan sangat menyulitkan pihak korban, karena dalam perkara pencemaran lingkungan pihak korban umumnya tidak menguasai teknologi maupun finansial. Untuk itulah, dalam rangka membantu kesulitan pihak korban pencemaran itu, maka perlu difikirkan untuk segera menerapkan prinsip atau asas pembalikan beban pembuktian atau yang lebih dikenal dengan prinsip “omkering van bewijslast atau shifting of burden of proofs”. Untuk menerapkan prinsip ini, persoalan berikutnya adalah apakah prinsip tersebut sudah terumuskan dalam undang-undang lingkungan kita, sehingga setiap saat siap untuk bisa diterapkan oleh penegak hukum (hakim). Inilah beberapa inti persoalan yang hendak dianalisis dalam tulisan ini. Analisis hukum terhadap persoalan ini dilakukan dengan melihat pada perkembangan dan dinamika hukum yang ada saat ini, baik secara teoritis maupun praktis, dengan tetap mengacu pada ketentuan Undangundang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat: UUPLH). 2. Pencemaran Lingkungan Masalah lingkungan erat sekali hubungannya dengan masalah pembangunan, karena dalam proses pembangunan selalu terkait dengan usaha untuk mengelola dan mendayagunakan sumber-sumber daya lingkungan, baik sumber daya manusia (human
2
resource) maupun sumber daya alam (natural resource). Seringkali orang sungguh terpesona oleh tujuan yang dicapai dalam pembangunan, hingga ia tidak menyadari bahwa aktivitasnya dalam mengeksploitasi dan mendayagunakan sumber-sumber daya lingkungan demi kepentingan pembangunan itu justru dapat menimbulkan ekses atau dampak negatif yang semula kurang atau tidak diperhitungkan sama sekali. Dampak negatif dari pembangunan itu antara lain berupa pencemaran lingkungan. Pencemaran lingkungan hidup, menurut pasal 1 angka 12 UUPLH, adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Berdasarkan ketentuan ini, pencemaran lingkungan itu bisa terjadi karena aktivitas manusia yang dengan sengaja “memasukkan” komponen tertentu ke dalam lingkungan baik berupa makhluk hidup, zat, energi, dsb., yang menyebabkan kualitas lingkungan turun hingga tak berfungsi. Di samping itu, pencemaran lingkungan juga bisa terjadi karena kecerobohan atau kurang cermatnya orang dalam beraktivitas hingga mengakibatkan “masuknya” komponen-komponen tertentu yang menyebabkan turunnya kualitas lingkungan. Menurut hukum pidana, pencemaran lingkungan kategori pertama dikualifikasi sebagai kejahatan lingkungan, sedang kategori yang kedua dikualifikasi sebagai pelanggaran lingkungan. Pencemaran lingkungan itu bisa berbentuk pencemaran air (water pollution), pencemaran tanah (soil pollution), pencemaran udara (air pollution), dan/atau pencemaran suara (noise pollution). Walaupun secara teoritis bentuk pencemaran lingkungan itu dapat diindividualisir dan dibedakan (diklasifikasi) menurut jenisjenisnya, namun dalam realitas di lapangan seringkali berbagai jenis pencemaran lingkungan itu terjadi secara simultan dan bersamaan (akumulatif) Misalnya, pencemaran air yang terjadi di Kali Brantas yang ditengarahi akibat dari pembuangan limbah industri dan sampah domistik itu pada kenyataannya juga telah merusak struktur dan kesuburan tanah, baik yang ada di dasar sungai maupun tanah-tanah yang ada di bibir dan sekitar sungai. Begitu pula pencemaran lingkungan yang terjadi di kawasan industri (industrial estate) pada kenyataannya bukan hanya merusak sumber air dan struktur tanah, melainkan juga mencemari udara dan membuat bisingnya suara. Timbulnya pencemaran lingkungan itu, selain dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat, pemerintah atau negara, juga dapat merugikan atau merusak alam sekitar (ekosistem). Oleh karena itu setiap orang sedapat mungkin harus berupaya agar aktivitasnya dalam memanfaatkan lingkungan untuk kepentingan pembangunan itu tetap memperhatikan dan mempertimbangkan kelestarian lingkungannya, sehingga pembangunan yang dilaksanakan tetap berkelanjutan (sustainable) bukan hanya untuk kepentingan generasi masa kini juga untuk generasi masa mendatang. Persoalannya adalah meskipun undang-undang mengharuskan agar setiap orang berusaha untuk melestarikan lingkungan dan menjaga agar lingkungannya tidak tercemar (pasal 6 ayat (1) UUPLH), namun dalam praktek masih seringkali terjadi bencana pencemaran lingkungan akibat dari aktivitas manusia yang dilakukan secara sadar (sengaja) atau karena kecerobohan atau kealpaannya dengan dalih untuk kepentingan pembangunan (proyek) atau memenuhi kebutuhan hidup. Sebagai negara hukum, terjadinya kasus-kasus pencemaran lingkungan yang seringkali dan setiap saat bisa mengakibatkan jatuhnya
3
korban (manusia maupun lingkungan) secara massal dan massif seperti tersebut di atas sepatutnya dapat segera diselesaikan melalui instrumen hukum lingkungan, baik secara administratif, keperdataan, maupun kepidanaan. Persoalannya, mengapa perkara-perkara pencemaran lingkungan di negeri ini termasuk salah satu jenis perkara (di samping korupsi) yang tergolong sulit diatasi secara hukum? Dengan perkataan lain, mengapa penegakan hukum lingkungan terhadap tindakan pencemaran lingkungan dirasakan sangat sulit di negeri ini? Menurut beberapa pengamat dan kalangan praktisi hukum, hal itu disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah karena faktor undang-undang. Undang-undang lingkungan yang kita miliki dikatakan belum secara tuntas mengatur tentang pemberlakuan asas pembalikan beban pembuktian. Padahal penerapan asas itu merupakan conditio sine qua non, atau paling tidak, dapat menjadi instrumen hukum yang semakin mempermudah penegakan hukum lingkungan atas kasus-kasus pencemaran lingkungan, khususnya dilihat dari aspek pembuktiannya. 3. Asas Pembalikan Beban Pembuktian Dalam persoalan beban pembuktian, pada prinsipnya barangsiapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana ia mendasarkan sesuatu hak, maka secara hukum ia diwajibkan membuktikan peristiwa-peristiwa itu; sebaliknya barangsiapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembatahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu (Pasal 1865 BW). Berdasarkan ketentuan ini berarti penggugat yang merasa dirugikan haknya oleh tergugat, harus bisa membuktikan bahwa peristiwa yang menjadi dasar gugatannya itu terjadi akibat dari kesalahan tergugat. Dengan perkataan lain, kalau anda selaku korban dan hendak menggugat orang lain yang merugikan anda, maka anda harus bisa membuktikan kesalahan tergugat. Jika tidak, jangan harap gugatan anda akan berhasil! Hal ini merupakan prinsip umum yang berlaku secara konvensional dalam hukum acara (perdata dan pidana) kita yang berpegang pada prinsip “liability based on fault” dengan pembuktian yang memberatkan penderita. Tentu saja, bila prinsip ini tetap diterapkan dalam kasus pencemaran lingkungan, maka korban pencemaran lingkungan sulit untuk memperoleh keadilan, karena umumnya mereka awam terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi serta rendahnya derajat ekonomi mereka (paling tidak jika dibandingkan dengan pencemar lingkungan yang umumnya para industriawan). Dalam hubungan ini, Rudiger Lummert mengemukakan bahwa dengan berkembangnya industrialisasi yang menghasilkan risiko yang bertambah besar serta makin rumitnya hubungan sebab-akibat, maka teori hukum telah meninggalkan konsep “kesalahan” dan berpaling ke konsep “risiko”. Perkembangan industri modern telah membawa serta sejumlah risiko (pencemaran) yang terjadi setiap hari, yang tidak dapat dihindari dari sudut ekonomi. Ia telah menimbulkan derita dan kerugian bagi si penderita, hal tersebut tidak dapat ditanggungnya tanpa suatu ganti kerugian. Atas dasar realitas ini, sejak pertengahan abad ke-19, asas tanggung jawab mutlak (strict liability) telah diperkenalkan, sekurang-kurangnya untuk beberapa macam kasus, yang sebagian besar adalah berkaitan dengan risiko lingkungan (Hardjasoemantri, 1989: 358-359). Konsep tanggung jawab mutlak diartikan sebagai kewajiban mutlak yang berhubungan dengan timbulnya kerusakan lingkungan. Salah satu ciri utama tanggung
4
jawab mutlak adalah tidak adanya persyaratan tentang perlu adanya kesalahan. Konsep ini, menurut James E. Krier merupakan bantuan yang sangat besar dalam peradilan mengenai kasus-kasus lingkungan, karena banyak kegiatan yang menurut pengalaman menimbulkan kerugian terhadap lingkungan merupakan tindakan-tindakan yang berbahaya, namun hal itu sulit sekali dibuktikan kesalahannya. Oleh karenanya, dalam kasus seperti itu seyogyanya dapat diberlakukan ketentuan tanggung jawab tanpa kesalahan (strict liability) yang merupakan penyimpangan dari asas “tanggung jawab penuh” (absolute liability) yang umumnya dianut dalam hukum acara perdata atau pidana kita. Berdasarkan konsep “tanggung jawab mutlak”, yang menurut Munadjat Danusaputra disebut asas “tanggung jawab langsung dan seketika”, yakni kewajiban membayar kerugian timbul segera (seketika) setelah terjadinya kerugian, dengan tidak mempersoalkan salah tidaknya penyebab kerugian tersebut (Abdurrahman, 1986: 103), maka dikembangkanlah di dalam ilmu hukum prosedur tentang pembalikan beban pembuktian (omkering van bewijslast; shifting or alleviating of burden of proofs). Dengan adanya pembalikan beban pembuktian ini, maka masalah beban pembuktian tidak merupakan halangan bagi korban pencemaran lingkungan atau bagi pecinta “lingkungan baik dan sehat” untuk berperkara di depan pengadilan sebagai penggugat, karena adalah tanggungjawab dari tergugat untuk membuktikan bahwa aktivitasnya tidak menimbulkan gangguan berupa pencemaran lingkungan. Dengan demikian, maka dalam perkara lingkungan seseorang bertanggung jawab atas akibat kerugian yang ditimbulkannya, kecuali ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Hal ini berarti bahwa prinsip atau asas pembalikan pembuktian sesungguhnya merupakan perwujudan dari “asas praduga bersalah” (presumption of guilt) yang merupakan penyimpangan dari “asas praduga tak bersalah” (presumption of innocence). Dalam penerapan asas parduga tak bersalah, yang berkewajiban membuktikan adanya unsur kesalahan bagi seorang tergugat (tersangka) adalah dilakukan oleh penggugat (yang dalam perkara pidana dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum). Sebaliknya, dalam asas “praduga bersalah” yang dibebani keharusan untuk membuktikan bahwa seorang tergugat atau tersangka tidak bersalah adalah diri tergugat atau tersangka itu sendiri. Prinsip pembalikan beban pembuktian yang merujuk pada “asas praduga bersalah” ini di Indonesia telah digunakan dalam kasus-kasus yang menyangkut perusakan dan pencemaran lingkungan (Zaidun, 2001: 3). Asas pembalikan pembuktian ini sebenarnya bukan merupakan hal yang baru di Indonesia, bahkan asas ini lebih dulu dikenal dalam perundang-undangan kita sebelum kita mempunyai UUPLH, yakni sejak diratifikasinya International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969 atau yang lebih dikenal dengan sebutan Civil Liability Convention (CLC) 1969 dengan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1978. Persoalannya adalah bagaimana UUPLH mengatur tentang hal ini? UUPLH tidak secara tegas mengatur tentang asas pembalikan beban pembuktian dalam kasus-kasus lingkungan. Padahal ketentuan ini merupakan prasyarat agar tanggung jawab mutlak dalam kasus pencemaran lingkungan dapat diterapkan. Pasal 35 UUPLH secara limitatif mengatur mengenai asas tanggungjawab mutlak, yaitu dalam hal: (1) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan
5
berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. (2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini: a. adanya bencana alam atau peperangan; atau b. adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau c. adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Pada hakikatnya asas pembalikan beban pembuktian yang secara implisit diatur dalam Pasal 35 ayat (2) UUPLH merupakan konsekuensi logis dari asas tanggung jawab mutlak yang diatur dalam ayat (1) pasal tersebut. Hal ini sejalan dengan doktrin tanggung jawab mutlak yang mengatakan bahwa beban pembuktian seyogyanya diberikan kepada pihak yang mempunyai kemampuan terbesar untuk memberikan bukti tentang sesuatu hal (Krier, 1970: 117-120). Dalam hubungannya dengan pencemaran lingkungan oleh industri, sudah barang tentu si pencemarlah (polluter) yang dipandang mempunyai kemampuan terbesar untuk memberikan pembuktian, bukan pihak korban yang umumnya masyarakat biasa. Berdasarkan pada asas “pembalikan beban pembuktian” ini berarti bahwa seorang tergugat akan diwajibkan membayar kerugian apabila ia tidak dapat membuktikan bahwa kerugian itu bukan berasal atau sebagai akibat dari aktivitas yang dilakukannya. Dengan demikian, kesalahan dianggap ada, kecuali tergugat atau terdakwa dapat membuktikan sebaliknya (cf. Mertokusumo, 1982: 109). 4. Kesimpulan Dengan bertitik tolak pada uraian di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa: a. Setiap orang menurut undang-undang bukan hanya berhak atas lingkungan yang baik dan sehat, tetapi juga berkewajiban untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan serta mencegah dan menanggulangi terjadinya pencemaran lingkungan; b. Mengingat kasus pencemaran lingkungan itu merupakan salah satu jenis perkara yang sangat sulit pembuktiannya, sementara pihak korban biasanya massal dan menanggung beban risiko yang serius, maka untuk memudahkan penyelesaiannya secara hukum perlu adanya pengaturan yang secara khusus (lex speciali) tentang asas pembalikan beban pembuktian (shifting of burden of proofs atau omkering van bewijslast) yang merupakan konsekuensi dari penerapan asas tanggung jawab mutlak (strict liability); c. Diterapkannya asas pembalikan beban pembuktian dalam pencemaran lingkungan dimaksudkan untuk meringankan penggugat (korban) yang umumnya adalah pihak yang lemah, baik secara ekonomi, ilmu pengetahuan maupun teknologi. Dengan dianutnya asas pembalikan beban pembuktian berarti beban pembuktian yang berkenaan dengan terjadinya peristiwa pencemaran lingkungan diletakkan di pihak tergugat (pencemar), sedang pihak penggugat (korban) cukup menunjukkan faktanya saja.
6
7
REFERENSI
Abdurrahman, 1986, Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni, Bandung. Hardjasoemantri, Koesnadi, 1989, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Krier, James E., 1970, “Environmental Litigation and the Burden of Proof” dalam Law and the Environment, Walker Publishing Co., New York. Mertokusumo, Sudikno, 1982, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta. Rangkuti, Siti Sundari, 1996, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga University Press, Surabaya. Steiger, Heinhard, et al., 1980, “The Fundamental Right to a Decent Environment” dalam Trends in Environmental Policy and Law, IUCN, Gland, Switzerland. Zaidun, Muchammad, 2001, “Pembuktian Terbalik, Dikotomi antara Kepastian dan Keadilan”, Makalah Seminar, Kerjasama ISES Indonesia dengan Unisma Malang, 12 Mei 2001.
8
9
10