29
BAB II PENGATURAN HUKUM KEPAILITAN TERHADAP PENJAMIN
A. Sejarah, Pengertian dan Asas – Asas Hukum Kepailitan 1.
Sejarah Kepailitan
a.
Sejarah Kepailitan di Belanda Pada mulanya dalam hukum Belanda tidak dikenal perbedaan antara
kooplieden (pedagang) dengan niet kooplieden (bukan pedagang) dalam kepailitan. Namun, pada permulaan abad ke 19, yaitu ketika Negeri Belanda dijajah Perancis yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte berlakulah Code du Commerce (sejak 1 Januari 1814 s/d 30 September 1838). Pada masa Code du Commerce itu juga dikenal adanya perbedaan antara kooplieden dengan niet kooplieden, dan Code du Commerce hanya berlaku bagi kooplieden. Kemudian sesudah Belanda merdeka, Belanda membuat sendiri Wetboek van Koophandel (WvK) yang mulai berlaku pada 1 Oktober 1838. WvK ini dibagi dalam 3 (tiga) buku dan buku III adalah Van de Voorzieningen in geval van onvermogen ven kooplieden, yang diatur dalam Pasal 764 – Pasal 943 dan dibagi dalam 2 (dua) titel yaitu: 29 1.
Van Faillisement, dan
2.
Van Surseance van Betaling.
29
Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Medan: USU Press, 2009), hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
30
Sedangkan Wetboek van Burgerlijke Rechtsvordering buku III titel 8 mengatur tentang Van de toestand van kennelijk onvermogen, yang diatur dalam Pasal 882-Pasal 899 yang hanya berlaku bagi niet kooplieden. Adanya dua peraturan diatas yang membedakan antara kooplieden dan niet kooplieden ternyata banyak menimbulkan kesulitan dan tidak disukai oleh para sarjana hukum waktu itu antara lain Prof. Mollengraf. Pemerintah Belanda bermaksud untuk meniadakan pemisahan hukum tersebut dengan menciptakan satu hukum bagi seluruh rakyat Belanda. Akhirnya Prof. Mollengraaf ditugaskan oleh pemerintah untuk menyusun Rancangan Undang-Undang Kepailitan dan berhasil pada tahun 1887. Rancangan tersebut kemudian disahkan menjadi Undang-Undang dengan nama Faillisementwet dan mulai berlaku pada 1 September 1896 (Lembaran Negara Tahun 1893 No.140). Faillisementwet ini sekaligus mencabut Buku III WvK dan Buku III titel 8 Wetboek van Rechtsvordering dan berati juga tidak dapat lagi perbedaan antara hukum yang berlaku bagi kooplieden dan niet kooplieden. 30 b.
Sejarah Kepailitan di Indonesia Dalam sejarah berlakunya kepailitan di Indonesia, maka dapat dibagi
menjadi tiga masa, yakni: 1.
Masa sebelum Faillisements Verordening berlaku Sebelum Faillisements Verordening berlaku, dulu hukum Kepailitan itu diatur dalam dua tempat yaitu dalam:
30
Sunarmi, Ibid., hal. 6-7.
Universitas Sumatera Utara
31
a. Wet Book Van Koophandel atau WvK buku ketiga yang berjudul Van de voorzieningen in geval van onvormogen van kooplieden atau peraturan tentang ketidakmampuan pedagang. Peraturan ini adalah peraturan kepailitan untuk pedagang. b. Reglement op de Rechtvoordering (RV) Stb 1847-52 jo 1849-63, buku ketiga bab ketujuh dengan judul Van de staat van kenneljk onvermogen atau tentang keadaan nyata-nyata tidak mampu. Peraturan ini adalah Peraturan Kepailitan bagi orang-orang bukan pedagang. Akan tetapi ternyata dalam pelaksanaanya, kedua aturan tersebut justru menimbulkan banyak kesulitan antara lain adalah: 1) Banyaknya formalitas sehingga sulit dalam pelaksanaannya, 2) Biaya tinggi, 3) Pengaruh kreditur terlalu sedikit terhadap jalannya kepailitan 4) Perlu waktu yang cukup lama. Oleh karena itu maka dibuatlah aturan baru, yang sederhana dan tidak perlu banyak biaya, maka lahirlah Faillisements Verordening (Stb. 1905-217) untuk menggantikan 2 (dua) Peraturan Kepailitan tersebut. 2.
Masa berlakunya Faillisements Verordening Selanjutnya mengenai kepailitan diatur dalam Faillisements Verordening
(Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-348). Peraturan kepailitan ini sebenarnya hanya berlaku bagi golongan Eropah, golongan Cina, dan golongan Timur Asing (Stb.1924-556).
Universitas Sumatera Utara
32
Bagi golongan Indonesia Asli (pribumi) dapat saja menggunakan Faillisements Verordening ini dengan cara melakukan penundukan diri. Dalam masa ini untuk kepalitan berlaku Faillisements Verordening 1905-217 yang berlaku bagi semua orang yaitu bagi pedagang maupun bukan pedagang, baik perseorangan maupun badan hukum. Jalannya sejarah peraturan kepailitan di Indonesia ini adalah sejalan dengan apa yang terjadi di negara Belanda melalui asas konkordansi (Pasal 131 IS), yakni dimulai dengan berlakunya Code du Commerce (tahun 1811-1838) kemudian pada tahun 1893 diganti dengan Faillisementswet 1893 yang berlaku pada 1 Spetember 1896. 3.
Masa Berlakunya Undang-Undang Kepailitan Produk Hukum Nasional Pada akhirnya setelah berlakunya Faillisements Verordening Stb. 1905-217 jo
Stb. 1906-348, Republik Indonesia mampu membuat sendiri peraturan kepailitan, yakni sudah ada 3 (tiga) peraturan perundangan yang merupakan produk hukum nasional, dimulai dari terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU tentang Kepailitan yang kemudian diubah menjadi UU No.4 Tahun 1998 dan terakhir pada tanggal 18 November 2004 disempurnakan lagi dengan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. a.
Masa Berlakunya Perpu No. 1 Tahun 1998 dan UU Kepailitan No. 4 Tahun 1998 Pengaruh gejolak moneter yang terjadi beberapa negara di Asia termasuk di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan
Universitas Sumatera Utara
33
kesulitan yang sangat besar terhadap perekonomian Nasional terutama kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya. Terlebih lagi dalam rangka untuk memenuhi kewajiban pembayaran mereka pada para kreditur. Keadaan ini pada gilirannya telah melahirkan akibat yang berantai dan apabila tidak segera diselesaikan akan menimbulkan dampak yang lebih luas lagi. Penyelesaian masalah utang haruslah dilakukan secara cepat dan efektif. Selama ini masalah kepailitan dan penundaan kewajiban diatur dalam Faillisements Verordening Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-348. Secara umum prosedur yang diatur dalam Faillisements Verordening masih baik. Namum sementara seiring dengan berjalannya waktu, kehidupan perekonomian berlangsung pesat maka wajarlah bahkan sudah semakin mendesak untuk menyediakan sarana hukum yang memadai yakni yang cepat, adil, terbuka dan efektif guna menyelesaikan utang piutang perusahaan yang besar penyelesaiannya terhadap kehidupan perekonomian Nasional. Kemudian dilaksanakanlah penyempurnaan atas peraturan kepailitan atau Faillisements Verordening melalui Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan UU tentang kepailitan pada tanggal 22 April 1998 Perpu ini diubah menjadi UU No. 4 Tahun 1998 yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 September 1998 yang tertuang dalam Lembaran Negara (LNRI) tahun 1998 No. 135. 31
31
Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, (Malang: UMM Press, 2008), hal. 9-12.
Universitas Sumatera Utara
34
b.
Masa Berlakunya UU Kepailitan No. 37 Tahun 2004 Pada 18 Oktober 2004 UU No. 4 Tahun 1998 diganti dengan disahkannya UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU No.37 Tahun 2004 ini mempunyai cakupan yang luas karena adanya perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat untuk menyelesaikan utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Adapun pokok materi baru dalam UU Kepailitan ini antara lain: 1. Agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran dalam UU ini pengertian utang diberikan batasan secara tegas. Demikian juga pengertian jatuh waktu. 2. Mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang termasuk di dalamnya pemberian kerangka waktu secara pasti bagi pengambilan putusan pernyataan pailit dan/atau penundaan kewajiban pembayaran utang. 32
2.
Pengertian Kepailitan Kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberi suatu
solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar utang kepada kreditur. Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai 2 (dua) fungsi sekaligus, yakni:
32
Ibid. hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
35
1. Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua utangutangnya kepada semua kreditur. 2. Kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya. 33 Dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris istilah pailit dapat ditemukan. Dalam bahasa Perancis, istilah faillite artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar utangnya disebut dengan Le Faille. Di dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah faillit yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Sedangkan dalam bahasa Inggris digunakan istilah to fail dan kata di dalam bahasa Latin digunakan istilah failire. 34 Di negara-negara yang berbahasa Inggris, untuk pengertian pailit dan kepailitan dipergunakan istilah “bankrupt” dan “bankruptcy”. Terhadap perusahaan-perusahaan debitur yang berada dalam keadaan tidak membayar utang-utangnya disebut dengan “insolvensi”. Sedangkan pengertian kepailitan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang peristiwa kepailitan. Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitur tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para krediturnya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari usaha debitur yang telah mengalami 33
http://www.hukumonline.com/klinik/hukum-kepailitan-modern, diakses tgl 5 Januari
2010 34
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1991), hal.26-27.
Universitas Sumatera Utara
36
kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitur pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitur pailit tersebut secara proporsional (prorate parte) dan sesuai dengan struktur kreditur.35 Dalam Black’s Law Dictionary pailit atau Bankrupt adalah “the state or conditional of a person (individual, partnership, corporation, municipality who is unable to pay its debt as they are, or became due. The term includes a person against whom am involuntary petition has been field, or who has field a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt.”36 Dari pengertian bankrupt yang diberikan oleh Black’s Law Dictionary di atas diketahui bahwa pengertian pailit adalah ketidakmampuan untuk membayar dari
seorang
debitur
atas
utang-utangnya
yang
telah
jatuh
tempo.
Ketidakmampuan untuk membayar tersebut diwujudkan dalam bentuk tidak dibayarannya utang meskipun telah ditagih dan ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan pengajuan ke pengadilan, baik atas permintaan debitur sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya. Selanjutnya pengadilan akan memeriksa dan memutuskan tentang ketidakmampuan seorang debitur. Keputusan tentang pailitnya debitur haruslah berdasarkan keputusan pengadilan,
35
Hadi Subhan, Op.Cit.,hal 1. Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis, Kepailitan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hal.11. 36
Universitas Sumatera Utara
37
dalam hal ini adalah Pengadilan Niaga yang diberikan kewenangan untuk menolak atau menerima permohonan tentang ketidakmampua debitur. Keputusan pengadilan ini diperlukan untuk memenuhi asas publisitas, sehingga perihal ketidakmampuan seorang debitur itu dapat diketahui oleh umum. Seorang debitur tidak dapat dinyatakan pailit sebelum ada putusan pailit dari pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Jadi kepailitan merupakan eksekusi massal yang ditetapkan dengan keputusan hakim, yang berlaku serta merta, dengan melakukan penyitaan umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung untuk kepentingan semua kreditur, yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwenang, sehingga sesungguhnya kepailitan bertujuan untuk: a.
Mencegah penyitaan dan eksekusi yang dimintakan oleh kreditur secara perorangan.
b.
Ditujukan hanya mengenai harta benda debitur, bukan pribadinya. Jadi debitur tetap cakap untuk melakukan perbuatan hukum. 37 Hakikat sitaan umum terhadap harta kekayaan debitur adalah bahwa
dengan adanya kepailitan dapat menghentikan aksi terhadap perebutan harta pailit oleh para krediturnya serta untuk menghentikan lalu lintas transaksi terhadap harta pailit oleh debitur yang kemungkinan akan merugikan para krediturnya. Dengan adanya sitaan umum tersebut, maka harta pailit dalam status dihentikan dari
37
Bernadette Waluyo, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Mandar Maju, 1999), hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
38
segala macam transaksi dan perbuatan hukum lainnya sampai harta pailit tersebut diurus oleh kurator. Pengertian kepailitan sering dipahami secara tidak tepat oleh kalangan umum. Sebagian mereka menganggap kepailitan sebagai vonis yang berbau tindakan kriminal serta merupakan suatu cacat hukum atas subyek hukum, karena itu kepailitan harus dijauhkan serta dihindari sebisa mungkin. Kepailitan secara apriori dianggap sebagai kegagalan yang disebabkan karena kesalahan dari debitur dalam menjalankan usahanya sehingga menyebabkan utang tidak mampu dibayar. Oleh karena itu, kepailitan sering diidentikkan sebagai penggelapan terhadap hakhak yang seharusnya dibayarkan kepada kreditur. Mengenai definisi kepailitan itu sendiri tidak ditemukan dalam Faillisement Verordening maupun dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Namun dalam rangka untuk memperoleh pengetahuan yang lebih luas ada baiknya diketahui pendapat dari beberapa sarjana tentang pengertian pailit tersebut: 1.
R. Soekardono menyebutkan kepailitan adalah penyitaan umum atas harta kekayaan si pailit bagi kepentingan semua penagihnya, sehingga Balai Harta Peninggalanlah yang ditugaskan dengan pemeliharaan dan pemberesan boedel dari orang yang pailit. 38
2.
Siti Soemarti Hartono mengatakan bahwa kepailitan adalah suatu lembaga hukum dalam hukum perdata Eropa sebagai realisasi dari dua asas pokok
38
http://mkn-unsri.blogspot.com/2009/10/kepailitan.html, diakses tgl. 9 Februari 2010.
Universitas Sumatera Utara
39
dalam hukum perdata Eropa yang tercantum dalam Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 39 3.
Menurut Memorie Van Toelichting (Penjelasan Umum) Kepailitan adalah kekayaan
suatu pensitaan berdasarkan hukum atas seluruh harta
siberutang
guna
kepentingannya
bersama
para
yang
mengutangkan. 40 4.
Mohammad Chaidir Ali berpendapat bahwa: Kepailitan adalah pembeslahan massal dan pembayaran yang merata serta pembagian yang seadil-adilnya diantara para kreditur dengan dibawah pengawasan pemerintah. 41
Dalam pengertian kepailitan menurut Mohammad Chaidir Ali maka unsur-unsur kepailitan, yaitu: 1.
Pembeslahan massal, mempunyai pengertian bahwa dengan adanya vonis kepailitan, maka semua harta pailit kecuali yang tercantum dalam Pasal 20 Faillissement Verordening, dibeslag untuk menjamin semua hak-hak kreditur si pailit.
2.
Pembayaran yang merata serta pembagian yang seadil-adilnya menurut posisi piutang dari para kreditur yaitu: a. Golongan kreditur separatis. b. Golongan kreditur preferen. c. Golongan kreditur konkuren. 39
Victor M. Situmorang, Loc.Cit. R. Suryatin, Hukum Dagang I dan II, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hal.264. 41 Mohammad Chaidir Ali, et al, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hal. 10. 40
Universitas Sumatera Utara
40
3.
Dengan dibawah pengawasan pemerintah, artinya bahwa Pemerintah ikut campur dalam pengertian mengawasi dan mengatur penyelenggaraan penyelesaian
boedel
si
pailit,
dengan
mengerahkan
alat-alat
perlengkapannya yaitu: a. Hakim Pengadilan Niaga b. Hakim Komisaris c. Kurator Dalam khasanah ilmu pengetahuan hukum, pailit diartikan sebagai debitur (yang berutang) yang berarti membayar utang-utangnya. Hal ini tercermin dalam Pasal 1 Faillissement Verordening (Peraturan Kepailitan) yang menentukan: “Setiap pihak yang berutang (debitur) yang berada dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya, dengan putusan hakim, baik atas permintaan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih pihak berutangnya (krediturnya), dinyatakan dalam keadaan pailit.” 42 Dari rumusan Pasal 1 Faillissement Verordening di atas dapat diketahui bahwa agar debitur dapat dinyatakan pailit, maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1.
Terdapat keadaan berhenti membayar, yakni bila seorang debitur sudah tidak mampu lagi membayar utang-utangnya.
2.
Harus terdapat lebih dari seorang kreditur, dan salah seorang dari mereka itu piutangnya sudah dapat ditagih.
42
Rahayu Hartini, Op.Cit., hal.4.
Universitas Sumatera Utara
41
“Istilah berhenti membayar tidak mutlak diartikan debitur sama sekali berhenti membayar, apabila ketika diajukan permohonan pailit ke Pengadilan, debitur berada dalam keadaan tidak dapat membayar utangnya.” 43 Perihal “keadaan berhenti membayar” tidak dijumpai perumusannya baik di dalam Undang-Undang, Yurisprudensi, maupun pendapat para sarjana. Hanya pedoman umum yang disetujui, yaitu untuk pernyataan kepailitan tidak perlu ditujukan bahwa debitur tidak mampu untuk membayar utangnya, dan tidak diperdulikan, apakah berhenti membayar itu sebagai akibat dari tidak dapat atau tidak mau membayar. 44 Dalam Undang-Undang Kepailitan No.4 Tahun 1998, pengertian pailit tercermin dalam Pasal 1 angka (1) yang menyatakan: “Debitur pailit mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonan pailit sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya.” 45 Setelah keluarnya Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pengertian pailit dapat dilihat dalam Pasal 1 angka (1) yang menyebutkan: “Kepailitan adalah sita umum atas semua harta kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.” 46
43
Mohammad Chaidir Ali, Yurisprudensi Hukum Dagang, (Bandung: Alumni, 1982), hal.
475. 44
Siti Soemarti Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hal. 8. 45 Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. 46 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Universitas Sumatera Utara
42
Pasal 1 angka (1) ini menyebutkan bahwa kepailitan adalah sita umum, bukan sita individual, oleh karena itu diisyaratkan dalam Undang-Undang Kepailitan bahwa untuk mengajukan permohonan pailit harus memiliki 2 (dua) atau lebih kreditur. Seorang debitur yang hanya memiliki 1 (satu) kreditur tidak dapat dinyatakan pailit. Hal ini bertentangan dengan prinsip sita umum. Bila hanya satu kreditur maka yang berlaku adalah sita individual. Sita individual bukanlah sita dalam kepailitan. Dalam sita umum maka seluruh harta kekayaan debitur akan berada di bawah penguasaan dan pengurusan Kurator. Debitur tidak memiliki hak untuk mengurus dan menguasai harta kekayaannya. Pernyataan pailit ini tidak boleh diputuskan begitu saja, melainkan harus didahului dengan pernyataan pailit oleh Pengadilan, baik atas permohonan sendiri secara sukarela maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya. Selama debitur belum dinyatakan pailit oleh Pengadilan, selama itu pula yang bersangkutan masih dianggap mampu membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Pernyataan pailit ini dimaksudkan untuk menghindari penyitaan dan eksekusi perseorangan atas harta kekayaan debitur yang tidak mampu melunasi utang-utangnya lagi. Dengan adanya pernyataan pailit disini, penyitaan dan eksekusi harta kekayaan debitur dilakukan secara umum untuk kepentingan kreditur-krediturnya. Semua kreditur mempunyai hak yang sama terhadap pelunasan utang-utang debitur, harta kekayaan yang telah disita dan dieksekusi tersebut harus dibagi-bagi secara seimbang, sesuai dengan besar kecilnya piutang
Universitas Sumatera Utara
43
masing-masing. Dengan demikian pernyataan pailit hanya menyangkut harta kekayaan milik debitur saja, tidak termasuk status dirinya. 47
3. Asas-asas Hukum Kepailitan Lembaga kepailitan merupakan lembaga hukum yang mempunyai fungsi penting, sebagai realisasi dari dua pasal penting dalam KUH Perdata yakni Pasal 1131 dan 1132 mengenai tanggung jawab debitur terhadap utang-utangnya. Dalam kedua pasal ini memberikan jaminan kepastian kepada kreditur bahwa kewajiban debitur akan tetap dipenuhi/lunas dengan jaminan dari kekayaan debitur baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari. Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata ini merupakan perwujudan adanya asas jaminan kepastian pembayaran atas transaksi- transaksi yang telah diadakan. Adapun hubungan kedua pasal tersebut adalah bahwa kekayaan debitur (Pasal 1131 KUH Perdata) merupakan jaminan bersama bagi semua krediturnya (Pasal 1132 KUH Perdata) secara proporsional, kecuali bagi kreditur dengan hak mendahului (hak preferen). Jadi pada dasarnya asas yang terkandung di dalam Pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal 1132 KUH Perdata ini adalah bahwa undang-undang mengatur tentang hak menagih bagi kreditur atau kreditur-kreditur terhadap transaksinya dengan debitur. Bertolak dari asas tersebut diatas sebagai lex generalis, maka ketentuan kepailitan mengaturnya dalam urutan yang lebih rinci dan operasional.
47
Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal. 12.
Universitas Sumatera Utara
44
Menurut Sri Redjeki Hartono, lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus yaitu: 1.
Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada krediturnya bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab atas semua utang-utangnya kepada semua krediturnya.
2.
Juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya. Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga
atau sebagai upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1132 KUH Perdata. Sistem pengaturan yang taat asas inilah yang mempunyai nilai utama dalam rangka memberikan kepastian hukum. Dari situlah kemudian timbul lembaga kepailitan yang berusaha untuk mengadakan tata yang adil mengenai pembayaran utang terhadap semua kreditur dengan cara seperti yang diperintahkan oleh Pasal 1132 KUH Perdata. Jadi Pasal 1131 KUH Perdata merupakan dasar hukum dari kepailitan. Dalam peraturan perundangan yang lama yakni dalam Faillisement Verordening maupun UU No.4 Tahun 1998 tentang Kepailitan tidak diatur secara khusus, namun pada UU No. 37 Tahun 2004 yaitu tentang Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa keberadaan Undang-Undang ini berdasarkan pada sejumlah asas-asas kepailitan yakni: 1.
Asas Keseimbangan
Universitas Sumatera Utara
45
Undang-Undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari keseimbangan, yaitu disatu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oeh kreditur yang tidak beritikad baik. 2.
Asas Kelangsungan Usaha Dalam Undang-Undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitur yang prospektif tetap dilangsungkan.
3.
Asas Keadilan Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenangwenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitur, dengan tidak mempedulikan kreditur lainnya.
4.
Asas Integrasi Asas integrasi dalam Undang-Undang ini mengandung pengertian bahwa sisitem hukum materilnya merupakan suatu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional. 48
48
Rahayu Hartini, Op.Cit.,hal. 14-17.
Universitas Sumatera Utara
46
B.
Tentang Penjamin Pengertian penjamin atau penanggung dalam Pasal 1820 KUH Perdata
yang menyebutkan bahwa: “Penanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.” 49 Penjamin berasal dari kata “jamin” yang berarti “tanggung”. Kata “jaminan” dalam peraturan perundang-undangan dapat dilihat dalam Pasal 1131 KUH Perdata dan penjelasan Pasal 8 UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan. Akan tetapi dalam kedua peraturan tersebut tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan jaminan. Meskipun demikian dari kedua ketentuan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa jaminan erat hubungannya dengan masalah utang. Biasanya dalam perjanjian pinjam meminjam uang, pihak kreditur meminta kepada debitur agar menyediakan jaminan berupa sejumlah harta kekayaannya atau perorangan yang merupakan pihak ketiga yang disepakati dalam perjanjian untuk kepentingan pelunasan utang, apabila setelah jangka waktu yang diperjanjikan ternyata debitur tidak melunasi. Sesuai dengan tujuannya, barang jaminan bukan untuk dimiliki oleh kreditur, karena perjanjian utang piutang bukan perjanjian jual beli yang mengakibatkan perpindahan hak milik atas sesuatu barang. Barang jaminan dipergunakan untuk melunasi utang, dengan cara sebagaimana peraturan yang
49
Pasal 1820 KUH Perdata.
Universitas Sumatera Utara
47
berlaku, yaitu barang jaminan dijual dengan cara dilelang. Hasilnya untuk melunasi utang dan apabila masih ada sisanya dikembalikan kepada debitur. Barang jaminan juga tidak selalu milik debitur, Undang-Undang memperbolehkan barang milik pihak ketiga asalkan pihak yang bersangkutan merelakan barangnya dipergunakan sebagai jaminan utang debitur. Dari penjelasan diatas, dapat diberikan pengertian bahwa jaminan adalah suatu perikatan antara kreditur dengan debitur, dimana debitur memperjanjikan sejumlah hartanya untuk pelunasan utang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, apabila dalam waktu yang ditentukan terjadi kemacetan pembayaran utang si debitur. 50 Yang menjadi fungsi utama jaminan adalah untuk meyakinkan bank atau kreditur bahwa debitur mempunyai kemampuan untuk melunasi kredit yang diberikan kepadanya sesuai dengan perjanjian kredit yang telah disepakati bersama. Setiap ada perjanjian jaminan pasti ada perjanjian yang mendahuluinya, yaitu perjanjian utang piutang yang disebut perjanjian pokok karena tidak mungkin ada perjanjian jaminan tanpa ada perjanjian pokoknya. Hal ini disebabkan karena tidak mungkin ada perjanjian jaminan yang dapat berdiri sendiri, melainkan selalu mengikuti perjanjian pokoknya. Apabila perjanjian pokoknya telah selesai, maka perjanjian jaminannya juga selesai. Sifat perjanjian seperti ini disebut dengan accessoir.
50
Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit, Suatu Tinjauan Yuridis, (Jakarta: Djambatan, 1995), hal. 56.
Universitas Sumatera Utara
48
Kedudukan perjanjian jaminan sebagai perjanjian yang bersifat accessoir (tambahan) mempunyai ciri-ciri: 1.
Lahir dan hapusnya tergantung kepada perjanjian pokok;
2.
Ikut batal dengan batalnya perjanjian pokok;
3.
Ikut beralih dengan berlihnya perjanjian pokok.51 Karena
lembaga
jaminan
mempunyai
tugas
melancarkan
dan
mengamankan kredit, jaminan yang ideal (baik) itu adalah: 1.
Dapat secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang memerlukannya;
2.
Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si penerima kredit untuk melakukan (meneruskan) usahanya;
3.
Memberikan kepastian kepada kreditur dalam arti bahwa yaitu bila perlu mudah diuangkan untuk melunasi utangnya si debitur. 52 Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1131 KUH Perdata dan Pasal 1132
KUH Perdata, dapat diketahui pembedaan (lembaga hak) jaminan berdasarkan sifatnya, yaitu: 1.
Hak jaminan yang bersifat umum Yaitu jaminan yang bersifat umum ditujukan kepada seluruh kreditur dan mengenai segala kebendaan debitur. Hak jaminan yang bersifat umum ini dilahirkan atau timbul karena undang-undang, sehingga hak jaminan yang bersifat umum tidak perlu diperjanjikan sebelumnya. 51
Edy Putra Tje ‘Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, (Yogyakarta: Liberti, 1985), hal. 41. 52 Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 70.
Universitas Sumatera Utara
49
2.
Hak jaminan bersifat khusus Hak jaminan khusus ini timbul karena diperjanjikan secara khusus antara debitur dengan kreditur. Hak jaminan khusus dapat dibedakan menjadi: a. Hak jaminan yang bersifat kebendaan (zakelijke zekerheidsrechten), yaitu adanya suatu kebendaan tertentu yang dibebani dengan utang. Diatur dalam Pasal 1150 KUHPerdata, Pasal 1162 KUHPerdata, Pasal 314 KUHD, UU No. 4 Tahun 1996, UU No. 42 Tahun 1999. Jaminan ini dapat berupa gadai, hipotek, hak tanggungan, jaminan fidusia. b. Hak
jaminan
yang
bersifat
perseorangan
(persoonlijke
zekerheidsrechten), yaitu adanya seseorang yang bersedia menjamin pelunasan utang tertentu bila debitur wanprestasi. Diatur dalam Pasal 1820 KUH Perdata, Pasal 1278 KUH Perdata, Pasal 1316 KUH Perdata. 53 KUH Perdata menggunakan istilah pertanggungan, namun selain dari istilah tersebut terdapat istilah lain yang sama artinya dengan penanggungan yang digunakan oleh beberapa sarjana yaitu penanggungan utang dan risiko penanggungan. Selain itu penanggungan dalam bahasa Belanda disebut “borgtocht” dan dalam bahasa Inggris disebut “guaranty”. Dan orang yang melakukan penanggungan itu disebut
penanggung, penjamin, borg, atau
guarantor. 54
53
Rachmadi Usman, Op.Cit., hal.76. J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Pribadi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 5. 54
Universitas Sumatera Utara
50
Adapun penanggung ini adalah bersifat accesoir, yang berarti bahwa perjanjian penanggungan ini dapat terjadi atau terbentuk karena adanya perjanjian pendahuluan atau perjanjian pokok. Perjanjian pokok ini dapat diartikan dengan adanya perjanjian penanggungan yang akan lahir kemudian. Dalam hal ini jelas bahwa harus tetap ada perjanjian pendahuluan atau perjanjian pokok yang menjadi landasan atau dasar terbetuknya perjanjian penanggungan ini. Karena bila tidak maka perjanjian penanggungan ini akan menjadi sebuah perjanjian yang tanpa sebab dan akibatnya dapat batal. Kemudian dapat kita lihat adanya kemungkinan yang berarti diperbolehkannya diadakan suatu perjanjian penanggungan atau perjanjian penjaminan terhadap suatu perjanjian pokok yang dapat dimintakan pembatalannya, misalnya suatu perjanjian pokok yang diadakan oleh seorang yang menurut hukum tidak cakap. Dalam hal ini jelas apabila perjanjian pokok batal maka secara otomatis perjanjian penjaminan itu juga dapat ikut batal. Namun seorang penjamin/penanggung tidak dapat mengikatkan untuk syarat
yang
lebih berat
daripada perjanjian pokok, artinya perjanjian
penanggungan ini hanya dapat dibentuk dan sebagai suatu keseluruhan syarat dalam perjanjian pokok. Namun tidak boleh melebihi dari perjanjian pokok, seperti yang disebutkan bahwa tidak mungkin ada borgtocht untuk kewajiban perikatan yang isinya lain daripada menyerahkan sejumlah uang atau melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Orang hanya menjamin perikatan sekunder yang muncul dari perikatan bersangkutan. 55
55
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
51
Hal ini tidak akan mengakibatkan batal secara langsung terhadap perjanjian penjaminan atau perjanjian pertanggungan itu, melainkan perjanjian pertanggungan itu hanya sah sebatas apa yang diliputi atas syarat dari perjanjian pokok, selain itu tidak sah. Hal ini logis bila kita dilihat dari sifat perjanjian penanggung itu sendiri, juga didukung oleh dasar bahwa suatu perikatan dalam suatu perjanjian yang sifatnya tunduk kepada suatu perjanjian pokok, tidak bisa melebihi perikatan-perikatan yang diterbitkan oleh perjanjian pokok itu. Sesuai dengan sifat accesoir dari perjanjian penanggungan/penjaminan ini, maka jaminan ini turut beralih apabila pokoknya beralih. Masalah peralihan ini baru berarti apabila disertai dengan diberikan kepada orang lain yang juga mengalihkan perjanjian pokoknya. Dalam hal ini hak kreditur tidak mengalami perubahan yang berarti sepanjang tidak ditentukan lain. Dalam rumusan yang diberikan oleh Pasal 1820 KUH Perdata mengenai borgtocht/ personal guarantee mengandung empat unsur, yaitu: 1.
Ciri sukarela Seorang pihak ketiga yang sama sekali tidak mempunyai urusan dan kepentingan apa-apa dalam suatu persetujuan yang dibuat antara debitur dan kreditur, dengan sukarela membuat “pernyataan mengikatkan diri” akan menyanggupi pelaksanaan perjanjian, apabila nanti si debitur tidak melaksanakan pemenuhan kewajiban terhadap kreditur.
2.
Ciri subsidair Yakni dengan adanya pernyataan mengikatkan diri memenuhi perjanjian dari borg/ penjamin, seolah-olah konstruksi perjanjian dalam hal ini menjadi
Universitas Sumatera Utara
52
dua, tanpa saling bertindih. Yang pertama ialah perjanjian pokok itu sendiri antara kreditur dan debitur. Perjanjian yang kedua, yang kita anggap perjanjian subsidair ialah perjanjian jaminan/ borg tersebut antara si penjamin dengan pihak kreditur. 3.
Ciri accesoir Sebenarnya dengan memperhatikan ciri subsidair diatas, sudah jelas terlihat accesoir yang melekat atau menempel pada perjanjian pokok yang dibuat oleh debitur dan kreditur. Apabila debitur sendiri telah melaksanakan kewajibannya kepada debitur, hapuslah kewajiban penjamin.
4.
Borgtocht/ penjamin secara resmi hapus apabila perjanjian pokok telah hapus. 56
1.
Lahirnya Penjaminan/Penanggungan Lahirnya suatu penjaminan dapat juga dikatakan sebagai terbentuknya atau
telah dilakukan atas dibuatnya suatu penjaminan baik oleh perseorangan (personal guarantee) maupun suatu badan usaha (corporate guarantee). Seperti yang telah disebutkan lahirnya penanggungan ini harus diikuti dengan perjanjian pokok terlebih dahulu, baik itu perjanjian kredi bank maupun perjanjian lainnya. Sesuai dengan sifat dari perjanjian penanggungan itu sendiri yang senantiasa diikuti dan didahului oleh perjanjian pokok. Jadi jelas bahwa perjanjian penanggungan timbul sebagai adanya akibat perjanjian pokok yang menyebutkan secara khusus adanya penanggungan tersebut karena dalam banyak hal bukan tidak mungkin seorang kreditur baru mau mengadakan perjanjian kredit apabila 56
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Jakarta: Alumni, 2002), hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
53
pihak lawan itu dapat mengajukan pertanggungan atau borg yang akan menanggung pemenuhan utang apabila debitur wanprestasi. Perjanjian penanggungan ini tidak harus dibuat pada saat yang sama dengan perjanjian pokok untuk diberikan penanggungan. Dan tidak tertutup kemungkinan bahwa penanggungan baru diberikan lama sesudah perjanjian pokok ada. Bisa saja merupakan perjanjian yang ditambahkan kemudian. Akan tetapi dalam praktek sering ditemui perjanjian penanggungan ini lebih dulu ada daripada perjanjian pokok. Yang demikian sering diisyaratkan oleh krediturnya, sebab khawatir akan timbul sengketa atau wanprestasi yang mana setelah perjanjian kredit ditandatangani dan debitur utama telah menerima fasilitas pinjaman/ pembiayaan kredit, penjamin ingkar janji untuk memberikan penanggungannya. Dalam hal perjanjian penjamin itu lahir lebih dahulu daripada perjanjian penjamin, maka perjanjian itu telah lahir, maka sesuai dengan sifat accesoirnya perjanjian ini belum mempunyai daya kerja. Dengan begitu perjanjian pokoknya lahir, maka perjanjian penjamin ini langsung berlaku. Walaupun secara teoritis perjanjian penjamin merupakan perjanjian yang berlaku, berakhir dan berpindahnya bergantung kepada perjanjian pokok, sehingga menimbulkan kesan mempunyai kedudukan yang kurang penting, namun dalam praktek penjaminan ini justru mempunyai kedudukan yang penting dan mempunyai peranan yang sangat besar. Bahkan sering sekali perjanjian pokok baru disetujui apabila jaminannya cukup. Secara umum perjanjian penjaminan/ penanggungan ini dapat timbul dari hal-hal sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
54
1.
Penjaminan yang lahir dari undang-undang Penjamin yang lahir dari undang-undang ini maksudnya adalah penjamin yang timbulnya berdasarkan penetapan undang-undang, karena dalam beberapa hal undang-undang mewajibkan adanya seorang penjamin untuk memenuhi kewajiban-kewajiban tertentu. Misalnya pewarisan.
2.
Penjaminan yang lahir dari perjanjian Pada umumnya perjanjian ini lahir sebagai akibat adanya perjanjian pokok yang menyebutkan secara khusus adanya suatu penanggungan. Hal ini dapat terjadi karena kreditur kadangkala baru mau mengadakan suatu hubungan perhutangan jika pihak lawan ini dapat mengajukan penjamin. Penjamin ini dapat ditunjuk oleh kreditur ataupun debitur.
3.
Penjaminan yang lahir secara sukarela Dalam penjaminan ini, orang yang menjamin bisa disebut sebagai borg sukarela atau biasanya juga hanya dikatakan sebagai borg. Ini gunanya untuk membedakan dari borg wajib. Borg sukarela ini juga dapat diartikan sebagai orang yang dengan sukarela atau asas keinginannya sendiri untuk menjadi penjamin/penanggung (borg). Dalam hal ini berati bukan atas penetapan hakim atau telh ditetapkan oleh undang-undang.
4.
Penjaminan yang lahir karena adanya penetapan hakim. Penjaminan ini timbul karena adanya putusan hakim atau ketetapan hakim (beschiking)
yang
memutuskan
adanya
penjamin
yang
menjamin
dipenuhinya perutangan. Dalam hal ini menetapkan debitur diwajibkan
Universitas Sumatera Utara
55
memberi borg, maka borg yang diajukan tersebut haruslah memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Harus mempunyai kecakapan bertindak untuk menguatkan diri; 2. Cukup mampu (kemampuan ekonomi) untuk dapat memenuhi peraturan yang bersangkutan. Kemampuan ini harus ditinjau secara khusus menurut keadaannya dimana hakim bebas untuk menentukan penilaian. 3. Harus berada di wilayah RI. Dalam melakukan penjaminan, undang-undang tidak menentukan bentuk perjanjian penjaminan/penanggungan tertentu. Berarti perjanjian penjaminan ini sesuai dengan asas umum yaitu bentuknya bebas, tidak harus dituangkan dalam bentuk tertulis ataupun lisan. Akan tetapi demi kepentingan pembuktian sebaiknya dilakukan secara tertulis. Dan sehubungan dengan itu berati perjanjian penjamin juga dapat dibuat dalam bentuk akta dibawah tangan namun dalam hal ini kita harus memperhatikan Pasal 1818 KUH Perdata yang menyatakan bahwa parikatan-perikatan utang sepihak dibawah tangan yang berisi kewajiban. Untuk membayar sejumlah uang secara tunai atau menyerahkan barangbarang tertentu yang dapat dinilai dengan uang, harus seluruhnya ditulis dengan tangan oleh orang yang menandatanganinya atau paling tidak dibawahnya, kecuali tanda tangannya, juga dituliskan oleh si penandatangan, suatu pernyataan setuju dengan kata-kata secara penuh memuat jumlah atau besarnya atau banyaknya
Universitas Sumatera Utara
56
barang terutang. Adanya ketentuan keras seperti ini adalah bertujuan melindungi karena kecerobohan sendiri. 57
2.
Bentuk–bentuk khusus penjaminan/penangggungan Undang-undang dalam prakteknya mengenal beberapa macam bentuk
khusus dari penjaminan/penanggungan yang terdiri dari: a.
Penjaminan belakang yaitu sipenjamin menjanjikan kepada kreditur dari kewajiban-kewajiban penjamin atau penjamin utama. Jadi penjamin belakangan ini tidak menjaminkan diri terhadap debitur utama, karena penjamin belakangan ini merupakan suatu yang lain daripada penjaminan bersama.
b.
Penjaminan bersama ini dapat terjadi bila 2 (dua) orang atau lebih menjaminkan diri secara bersamaan untuk utang yang sama. Penjamin bersama ini bertanggung jawab atas bagian yang sama kecuali jika penjaminan dari seorang atau lebih diantara mereka mempunyai sifat subsidair sedemikian rupa, sehingga mereka menjadi bagian dari debitur utama hanya apabila penjamin utama atau pertama ternyata tidak mampu membayar utangnya ( in sulken).
c.
Penjaminan yang mempunyai hak regres yaitu seseorang yang menyediakan diri untuk menjadi borg bagi debitur terhadap penjaminan yang sudah ada yang hanya mempunyai hak regres. Dalam hal ini hak regresnya adalah hak regres borg terhadap debitur utama. Secara lebih jelas juga dapat dikatakan
57
J. Satrio, Op.Cit., hal. 87.
Universitas Sumatera Utara
57
bahwa penjaminan jenis ini adalah penjaminan yang krediturnya hanya mendapatkan pelunasan dari debitur utama. d.
Penjaminan tidak terbatas atau tertentu yaitu penjaminan yang tidak meliputi banyak penjamin pokok tetapi juga meliputi segala akibat utangnya, bahkan terhitung biaya-biaya gugatan, biaya peringatan dan biaya lainnya. Apabila sampai ke pengadilan, meliputi segala akibat utang disini bukan berarti meliputi utang yang akan muncul kemudian, tetapi yang didasarkan pada perikatan pokok tertentu saja yang sudah ada pada saat penjaminan diberikan yang telah disebutkan secara tegas dalam perjanjian penjaminan, seperti yang diatur dalam Pasal 1825 KUH Perdata.
e.
Penjaminan bangunan (bowborgtocht) lebih banyak ditemui pada zaman dahulu daripada sekarang, terdapat pada pemborong pekerja bangunan. Yaitu penjamin mengikat diri untuk mengurus dan menanggung/menjamin prestasi yang masih terutang oleh pemborong dalam hal pemborong yang lalai, sehingga si borg wajib untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum rampung atau dengan kata lain ada seseorang yang mengikatkan diri sehingga borg terhadap pemberi proyek untuk pelaksanaan bangunan. 58
Bentuk khusus penjaminan selain yang disebutkan diatas, dalam praktek baik didalam maupun diluar negeri dapat dijumpai jenis lainnya yang terdiri dari: a.
Penjaminan kredit (crediet borgtocht) ini terjadi bila seseorang atau borg yang mengikatkan dirinya untuk menjamin semua utang debitur utama yang
58
F. N Follmar, Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 99.
Universitas Sumatera Utara
58
muncul sehubungan kredit antara bank sebagai kreditur dengan pribadi sebagai debitur utama. Berarti tidak tertutup kemungkinan bagi pribadi untuk menjadi kreditur bukan hanya bank sebagai kreditur dalam penjaminan kredit. Dalam hal ini sumber utangnya disebut kredit. Jika demikian sejak awal bisa diketahui oleh karenanya bisa diperrhitungkan pokok utangnya, namun besar jaminannya dikemudian hari tidak dapat diduga terlebih dahulu, dapat meliputi utang, bunga, provisi, denda, biaya dan lain-lain yang akan muncul dikemudian hari atas kredit tersebut. Oleh karena itu pada penjaminan kredit ini borg tidak bisa memperkirakan di awal, berapa jaminan akhir yang menjadi tanggungan. Maka bukan tidak mungkin bila borg menentukan batas maksimum yang akan menjadi tanggungannya. b.
Penjaminan bank (bank borgtocht) ini terjadi bila seorang borg yang menjamin semua dan atas dasar apa saja, yang pada saat itu atau dikemudian hari akan terutang oleh debitur utama kepada kreditur. Kreditur dalam hal ini merupakan bank. Dalam penjaminan bank ini sumber utang tidak disebut, terbukti dengan kalimat apa saja dan atas dasar apa saja dan pada saat itu merupakan kemudian hari, tetapi biasanya meliputi kredit yang baru diberikan di kemudian hari dan semua yang atas kredit terutang oleh debitur utama. Adapun perbedaannya dengan penjamin kredit adalah dalam penjaminan kredit, bank serikat untuk memberikan kredit, sedangkan dalam penjaminan bank, bank bebas untuk memberikan kredit atau tidak nantinya.
Universitas Sumatera Utara
59
c.
Penjaminan saldo (saldo borgtocht), penjamin dalam hal ini menanggung saldo yang akan dapat ditagih oleh kreditur pada saat penutupan rekening.
d.
Penjaminan atau jaminan oleh lembaga pemerintah (staatsborgtocht atau staatsgaransi) ini sudah lazim terdapat diluar negeri seperti di Belanda, dimana pemberian kredit dengan jaminan pemerintah ini diberikan oleh gemeenten yaitu pemerintah Tingkat II yang berbentuk Kota Madya. Dalam hal ini akta penjaminan ditandatangani oleh walikota. Dengan demikian walikota bertindak selaku penjamin untuk memenuh prestasi debitur, manakala debitur wanprestasi. 59
3.
Berakhirnya perjanjian penjamin/personal gurantee Hal-hal yang menyebabkan berakhirnya suatu personal guarantee adalah
sebagai berikut: a.
Hapusnya atau berakhirnya perjanjian pokok Sebagaimana telah dijelaskan bahwa personal guarantee itu adalah perjanjian accesoir yaitu perjanjian yang mengikuti perjanjian pokoknya. Jika perjanjian pokok itu batal atau berakhir maka dengan sendirinya menurut hukum perjanjian penjamin/personal guarantee itupun berakhir. Perjanjian pokok itu dapat berakhir disebabkan beberapa hal, yaitu: 1. Perjanjian pokok telah dilunasi oleh debitur; 2. Perjanjian pokok dinyatakan batal (nietig verklaard) atas alasan si debitur tidak berwenang melakukan perjanjian. Ini sesuai dengan 59
Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberty, 1982), hal. 114.
Universitas Sumatera Utara
60
ketentuan Pasal 1821 KUH Perdata yang menyebutkan tiada suatu perjanjian penanggungan jika tidak ada suatu perikatan yang sah, 3. Adanya homologasi accord antara kreditur dan debitur apabila debitur dinyatakan pailit. Dengan adanya persetujuan resmi (homologasi accord) dalam pembayaran utang dalam kepailitan, berarti terjadi pengakhiran perjanjian pokok dan dengan sendirinya menghapuskan penjaminan yang diberikan oleh penjamin. 60 b.
Perjanjian penjaminan dapat juga hapus sekalipun perjanjian pokok masih tetap ada, yaitu: 1. Karena kreditur sendiri yang menghapuskan kewajiban penjamin, kreditur dengan sukarela membebaskan penjamin dari beban sebagai penjamin. 2. Jika terjadi suatu keadaan yang mengakibatkan bersatunya kedudukan penjamin dan debitur dalam satu pribadi yang sama. Hal ini terjadi karena adanya percampuran utang pada diri seseorang (schuld vermeging). Misalnya: A menjamin utang orang tuanya terhadap kreditur. Kemudian orang tua dari si A meninggal dunia, maka A sebagai ahli waris dengan sendirinya
menggantikan
kedudukan
orang
tuannya,
yang
mengakibatkan bersatunya kedudukan debitur dan penjamin pada diri si A. tetapi pencampuran ini tidak dengan sendirinya menghapuskan
.60 Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan, Penanggungan Utang dan Perikatan Tanggung Menanggung, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 169), hal. 169
Universitas Sumatera Utara
61
penjamin yang lain (dalam hal lebih dari seorang penjamin) dan penjamin subsidair. 3. Perjanjian penjamin/personal guarantee ini berakhir jika telah membayar kepada kreditur sekalipun benda yang dibayarkan itu bukan milik debitur dan disita kembali oleh pihak ketiga (Pasal 1849 KUH Perdata). 4. Penjamin dapat menuntut supaya debitur melaksanakan pembayaran utang dan menuntut pembebasan penjamin dari perjanjian personal guarantee. Penuntutan ini diajukan oleh penjamin jika kreditur memberikan izin kepada debitur untuk mengundurkan pembayaran utang (Pasal 1850 KUH Perdata). Pemberian izin oleh kreditur kepada debitur untuk pembayaran utang tidak berarti bahwa perjanjian personal guarantee itu hapus sama sekali. Kreditur hanya memberikan hak kepada si penjamin untuk menuntut pembebasan diri dari perjanjian personal guarantee atau untuk menuntut debitur melaksanakan pemenuhan prestasi.
C. Ketentuan Hukum yang Mengatur Tentang Kepailitan dan Penjamin dalam Perseroan Terbatas (PT) 1. Ketentuan Hukum yang Mengatur Tentang Kepailitan Kepailitan merupakan suatu lembaga hukum perdata sebagai realisasi dari dua asas pokok yang terdapat dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.
Universitas Sumatera Utara
62
Pasal 1131 KUH Perdata menentukan bahwa semua benda bergerak dan tidak bergerak dari seorang debitur, baik yang sekarang ada, maupun yang akan diperolehnya (yang masih akan ada), menjadi tanggungan atas perikatan-perikatan pribadinya. Pasal
1132
KUH
Perdata
menentukan
bahwa
benda-benda
itu
dimaksudkan sebagai jaminan bagi para krediturnya bersama-sama dan hasil penjualan atas benda-benda itu akan dibagi diantara mereka secara seimbang, menurut imbangan/perbandingan tagihan-tagihan mereka kecuali bilamana diantara mereka atau para kreditur terdapat alasan-alasan pendahuluan yang sah. 61 Selain daripada itu pada mulanya pengaturan kepailitan terdapat pada 2 (dua) tempat, yaitu: 1.
Buku ke III Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dengan judul tentang peraturan-peraturan dalam hal ketidakmampuan pedagang, termuat dalam Pasal 749-910.
2.
Titel VII dari buku III Burgerlijk Recht Verordening dengan judul tentang keadaan tidak mampu yang nyata, berlaku bukan pedagang. Kemudian kedua peraturan diatas dirasakan tidak praktis sebab peraturannya
terlalu banyak dan rumit dan penyelesaian suatu kepailitan akan memakan waktu yang terlalu lama. 62 Tahun 1983 di Nederland dikeluarkan peratura baru yang menggantikan kedua peraturan diatas dalam bentuk Faillisment Wet (Undang-Undang Kepailitan) yang tidak membedakan lagi antara pedagang dan bukan pedagang. 61 62
Sunarmi, Op.Cit, hal.17-18. Victor M. Situmorang & Hendri Soekarso, Op.Cit.,hal. 33.
Universitas Sumatera Utara
63
Faillisements Verordening Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-348 memiliki 279 Pasal, terdiri dari 2 (dua) bab, yaitu: 1.
Bab I tentang kepailitan (Van Faillisement) Pasal 1 sampai 211.
2.
Bab II Penundaan Pembayaran (Surseance Van Betaling) Pasal 212 sampai 279.
Selain daripada itu yang menjadi dasar hukum atau ketentuan yang mengatur kepailitan adalah sebagai berikut: 1.
Undang-Undang No.4 Tahun 1998 jo Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang.
2.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, misalnya dalam Pasal 1131, Pasal 1132, Pasal 1134, Pasal 1139, Pasal 1149.
3.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, misalnya dalam Pasal 396, Pasal 397, Pasal 398, Pasal 399, Pasal 400, Pasal 520, dan lain-lain.
4.
Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007, misalnya Pasal 142 ayat (1) huruf d.
5.
Undang-Undang tentang Hak tanggungan (UUHT) No. 4 Tahun 1996, misalnya Pasal 21.
2. Ketentuan Hukum yang Mengatur Tentang Penjamin Dalam KUH Perdata, penjaminan atau penanggungan diatur dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850. Dari ketentuan-ketentuan dalam KUH perdata tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang penjamin atau penanggung adalah
Universitas Sumatera Utara
64
seorang debitur. 63 Mengenai penanggungan ditegaskan dalam Pasal 1820 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa: “Penanggungan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.” Dalam Pasal 1823 ayat (1) KUH Perdata dinyatakan bahwa: “Seorang dapat memajukan diri sebagai penanggung dengan tidak telah diminta untuk itu oleh orang untuk siapa ia mengikatkan dirinya, bahkan diluar pengetahuan orang itu.” Walaupun hal ini jarang ditemui dalam praktek. Sedangkan dalam ayat (2) Pasal 1823 menyebutkan bahwa diperbolehkan juga untuk menjadi penanggung tidak saja untuk si berutang utama, tetapi juga untuk seseorang penanggung orang itu. Menurut ketentuan pasal ini bahwa seseorang diperbolehkan untuk menanggung pemenuhan kewajiban oleh seseorang penanggung yang telah ada sebelumnya atau penanggung pertama, dalam praktek disebut sub penanggung atau sub penanggung atau sub borg atau sub guarantor. Seperti disebutkan diatas debitur bisa tidak mengetahui bahwa telah dibentuknya perjanjian penanggungan atas utangnya sepanjang hal tersebut diwajibkan. Namun dalam hal debitur diwajibkan untuk mempunyai penanggung seperti yang disebutkan dalam Pasal 1827 KUH Perdata, maka debitur harus mengajukan orang yang cakap menurut hukum sebagai penanggung atau penanggung dan hendaknya berdiam di wilayah Indonesia.
63
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hal. 84.
Universitas Sumatera Utara
65
Dalam Pasal 1825 KUH Perdata juga disebutkan bahwa kewajiban yang maksimal dapat dipikulkan kepada seorang penanggung yaitu pembayaran seluruh jumlah utangnya ditambah dengan biaya perkara dan biaya peringatan dan biaya lainnya sampai saat penanggungan memenuhi segala kewajibannya, apabila perkara itu sampai ke pengadilan. 64 Pasal 1826 KUH Perdata menetapkan bahwa-bahwa perikatan-perikatan si penanggung ini dapat beralih kepada ahli warisnya, hal ini wajar karena menurut asas hukum pewarisan bila seorang meninggal dunia maka segala aktiva dan pasiva menjadi milik ahli warisnya, begitu juga dalam hal ini, maka si ahli waris wajib membayar utang yang ditinggalkan oleh penanggung bilamana penanggung meninggal dunia dimana utang itu termasuk pasiva dari si pewaris. Dan untuk itu selanjutnya si ahli waris inilah yang menjadi penanggung yang akan melaksanakan segala hak dan kewajiban dari pewaris sebagai penanggung. Selain daripada ketentuan hukum yang diatur dalam KUH Perdata yang mengatur tentang penjamin, ada ketentuan hukum lain yang mengatur tentang penjamin, yaitu: 1.
Peraturan Menteri Keuangan No.128/PMK.06/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No. 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara, misalnya dalam Pasal 1 angka (12) dan Pasal 102 ayat (2).
2.
Dan perundang-undangan lain yang mengatur tentang penjamin.
64
Subekti, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 24.
Universitas Sumatera Utara
66
D.
Kaitan Antara Kepailitan dengan Penjamin dalam Perseroan Terbatas (PT) Perseron Terbatas (PT) merupakan bentuk usaha kegiatan ekonomi yang
paling disukai saat ini, disamping karena pertanggungjawabannya yang bersifat terbatas, PT juga memberikan kemudahan bagi pemilik atau pemegang sahamnya untuk mengalihkan perusahaannya kepada setiap orang dengan menjual seluruh saham yang dimilikinya pada perusahaan tersebut. 65 Kemudahan untuk menarik dana dari masyarakat dengan jalan penjualan saham merupakan alasan untuk mendirikan suatu badan usaha berbentuk PT. PT adalah kegiatan bisnis yang penting dan banyak terdapat di dunia ini, termasuk di Indonesia. Kehadiran PT sebagai salah satu kendaraan bisnis memberikan kontribusi pada hampir semua bidang kehidupan manusia. PT telah menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memberikan kontribusi yang tidak sedikit untuk pembangunan ekonomi dan sosial. 66 Sebagai salah satu badan hukum, pada prinsipnya PT dapat memiliki segala hak dan kewajiban yang dapat dimiliki oleh setiap orang perorangan dengan pengecualian hal-hal yang bersifat pribadi, dan hanya mungkin dilaksanakan oleh orang perorangan, seperti yang diatur dalam Buku Pertama KUH Perdata, dan sebagian dari buku kedua KUH Perdata tentang kewarisan. Guna melaksanakan segala hak dan kewajiban yang dimilikinya tersebut, ilmu
65 66
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Op.Cit., hal.1. Indra Surya & Ivan Yustiavananda, Loc.Cit.
Universitas Sumatera Utara
67
hukum telah merumuskan fungsi dan tugas dari masing-masing organ perseroan tersebut, yang berbeda satu dengan yang lainnya. Organ-organ tersebut dikenal dengan sebutan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Dewan Komisaris dan Direksi. 67 Salah satu organ yang cukup penting dalam menjalankan kegiatan perseroan adalah direksi. Disebut cukup penting, karena direksilah yang mengendalikan perusahaan dan kegiatan sehari-hari. Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika masyarakat awam berpandangan posisi direksi dalam suatu perusahaan acap kali diidentikkan dengan pemilik perusahaan. Pandangan yang demikian tidaklah sepenuhnya dapat disalahkan, terlebih lagi dalam perseroan tertutup dimana pemegang sahamnya didominasi oleh kalangan keluarga, hampir dapat dipastikan yang duduk diposisi direksi pun juga adalah dari kalangan perusahaan sendiri. Akan tetapi dalam peta bisnis modern posisi direksi tidak selamanya dipegang oleh pemilik perusahaan, melainkan dipegang oleh para profesional di bidangnya. Dengan dikelolanya suatu badan usaha secara profesional, kemungkinan terjadinya konflik kepentingan dalam perusahaan dapat dicegah sedini mungkin. Dalam organ perseroan tersebut direksi bertugas menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan tujuan dan maksud perseroan68. Sedangkan dewan komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan pada umumnya, baik mengenai perseroan maupun perseroan dan 67 68
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Op.Cit., hal.77. Pasal 92 angka (1) UUPT No. 40 Tahun 2007.
Universitas Sumatera Utara
68
memberi nasihat kepada direksi. 69 RUPS merupakan organ perseroan yang memiliki wewenang yang tidak diberikan kepada direksi atau dewan komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan anggaran dasar. Karena
adanya
organ-organ
tersebut
dalam
perseroan
dan
pertanggungjawaban yang terbatas maka banyak pelaku usaha yang membuat badan usaha berbentuk Perseroan Terbatas. Walaupun dalam mendirikan sebuah perseroan harus memiliki modal dasar dan memiliki modal disetor dan ditempatkan akan tetapi dalam perjalanannya untuk mengembangkan usahanya perseroan membutuhkan pinjaman berupa kredit dari bank ataupun fasilitas pinjaman dari kreditur. Namun bagi para kreditur khususnya bank, setiap pemberian kredit atau pinjaman mengandung risiko. Oleh karena itu perlu pengamanan dalam pengembaliannya. Bentuk pengamanan ini dalam prakteknya dilakukan dalam pengikatan jaminan. Fungsi utama dari jaminan adalah untuk meyakinkan bank atau kreditur bahwa debitur mempunyai kemampuan untuk melunasi kredit yang diberikan kepadanya sesuai dengan perjanjian kredit yang telah disepakati bersama. Selain untuk mengantisipasi risiko maka adapun kegunaan lain dari jaminan dalam perbankan adalah: 1.
Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dari hasil
penjualan barang-barang jaminan tersebut, apabila nasabah
melakukan cidera janji, yaitu tidak membayar kembali utangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
69
Pasal 108 angka (1) UUPT No. 40 Tahun 2007.
Universitas Sumatera Utara
69
2.
Menjamin agar nasabah berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau sekurang-kurangnya kemungkinan untuk dapat berbuat demikian diperkecil terjadinya.
3.
Memberi dorongan kepada debitur (tertagih) untuk memenuhi perjanjian kredit, khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syaratsyarat yang telah disetujui agar ia tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank. 70 Adapun orang yang melakukan jaminan kepada kreditur disebut penjamin.
Jadi penjamin atau penanggung atau orang (pihak ketiga) yang memberikan jaminan terhadap debitur kepada kreditur untuk melaksanakan prestasi debitur kepada kreditur. Perseroan sebagai badan usaha yang senantiasa berupaya mencapai keberhasilan secara maksimal dalam bidang usahanya dan tidak ingin terhambat oleh berbagai kendala yang sebelumnya tidak terduga, termasuk dalam masalah kesulitan finansial sering melakukan perjanjian penjaminan/ borgtocht dengan kreditur atau bank untuk mendapatkan pinjaman. Pada umumnya tidak ada satupun perseroan yang menginginkan terjadinya ketidakmampuan membayar utang, apalagi hingga terjadi kebangkrutan, termasuk bagi sebuah PT yang sudah mempunyai sejumlah modal, pemegang saham dan lingkup usaha yang sudah demikian kompleks dari segi kuantitas dan kualitas.
70
Rachmadi Usman, Op.Cit., hal.71.
Universitas Sumatera Utara
70
Akan tetapi perseroan tidak terlepas dari kemungkinan ketidakmampuan membayar utang-utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih oleh krediturnya, maka dengan adanya keadaan seperti ini perseroan dapat diajukan pailit. Berkaitan dengan pemberian jaminan dalam perseroan yang biasanya dilakukan oleh penjamin dalam perjanjian pemberian kredit, maka dengan adanya perjanjian jaminan, penjamin dapat melakukan kewajiban debitur apabila debitur dalam hal ini tidak dapat melakukan kewajibannya terhadap kreditur. Dan apabila penjamin tidak dapat melakukan kewajibannya maka penjamin dapat digugat pailit oleh kreditor. Jadi kepailitan PT sangat berpengaruh kepada penjamin. Karena apabila PT tidak melakukan kewajibannya dalam hal ini telah lalai melakukan kewajibannya kepada kreditur maka PT tersebut dapat diajukan pailit, akibatnya penjamin juga dapat diajukan pailit oleh kreditur. Karena penjamin merupakan pihak ketiga yang memberikan jaminan kepada kreditur terhadap debitur untuk melaksanakan kewajiban debitur apabila debitur lalai melakukan kewajibannya. Akan tetapi penjamin tidak begitu saja langsung di pailitkan akibat dari PT tidak melakukan kewajibannya. Apabila PT tidak dapat membayar utangnya atau melakukan kewajibannya maka penjamin dapat dituntut pertanggungjawabannya untuk melakukan kewajiban PT. Tetapi apabila penjamin tidak dapat melakukan kewajibannya atau tidak mampu melakukan kewajibannya maka penjamin dapat diajukan pailit oleh kreditur.
Universitas Sumatera Utara