ASAS - ASAS HUKUM PERDATA IN T E R N A S IO N A L OLEH
'
Mr W /R/ONO PRODJODiKORO
KETUA
AGUNG D / j WDONES/A
^.rfiTAKAN jiED U A
N. V. v/k G. C . ’f - VAN D o R P & Co.
3JAKARTA - B A N D U *^ -
s e m AR a n g
1954
. SURABata
A
}?er pus takaran Pakulÿas Hukum Unive r si t as Indonesia M o h o n dikembalikan Tg, Ts"b dibawah ini.
/
y f ' ao ■£ ^
^ 7Q
*1
¡ 'h
G >
|-y, K 9
!^ - 7 ;
?
f /¡ -
/ ?
2W ®
.".i'. (
A
j
‘ ^
( l7
ol 'n t
v\ x
m
f a
M
/p
A SA S - ASAS HUKUM
r
i f
. , I*
- rt*
s3
P E R D A T A IN T E R N A S IO N A L
Kp- 2 2 0 #
L i S'M Co+M lu-KW
ASAS-ASAS HUKUM PERDATA INTERNASIONAL OLEH M r W 1 R JO N O P R O D J O D 1 K O R O
KETUA MAHKAMAH AGUNG DI INDONESIA
TJ ET AK A N K ED UA
N . V . v/h G . C. T. V A N D O R P & Co.
D JAKARTA - BANDUNG - SEMARANG - SURABAJA 1954
PAK. HUKUM dan PENG. MASJ.
Tango
.... ........ *—
No. Silsilah:..,..».......... .
ISI
Halam an Kala p e n d a h u lu an .................................................................... B A G IA N
Pengertian hukum perdata
I
internasional ..........................
B A G IA N
V Ketertiba ri umum
Pelandjutan keadaan hukum
'J H a l perkawinan
80
X
Tjara melakukan perbuatan h u k u m ...................................... B A G IA N
71
IX
H ukum nasional bagi orang2 asing ..................................... B A G IA N
65
V III
Pengakuan putusan hakim a s in g ........................................... B A G IA N
61
V II
V' H al pilih hukum .................................................................... B A G IA N
52
VI
Penghindaran pelaksanaan hukum ..................................... B A G IA N
45
V
Penundjukan kembali .......'.................................................... B A G IA N
55
IV
..............................................
B A G IA N
22
III
................................................................... B A G IA N
9
II
Tempat pendiaman atau hewarganegaraati sebagai ukuran .............................................................................. B A G IA N
7
91
XI
....................... ............................................
90
Halam an B A G IA N
Kedudukan anak
.................................................................... ¡05 B A G IA N
Perbendaan
X II
X III
....... .................................................................... I ¡0 B A G IA N
H al perikatan perdata
X IV
.......................................................... /22 B A G IA N
XV
H al hukum atjara perdata ....................................................... i 52 B A G IA N
XVI
V'Badan hukum ........................................................................... B A G IA N
¡42
X V II
Hak pengarang, hak oktroi dan hak tjap dagang
....... 146
KATA
PENDAHULUAN
Sedjak Negara Republik Indonesia, sebagai negara merdeka dan berdaulat, langsung turut serta dalam pergaulan hidup ber sama-sama negara- lain, terang nampak keperluan bagi negara Indonesia dan bagi orang2 warganegara Indonesia untuk menge tahui betul2 kesulitan2 jang timbul dari pergaulan hidup itu. Sebagian dengan adanja Perserikatan Bangsa2, makin lama, ma kin eratlah hubungan jang ada antara pelbagai negara. D juga dalam hal perhubungan2 hukum perdata makin lama, makin barijak termasuknja anasir2 asing berupa warganegara2 pelbagai negara asing jang di Indonesia sini turut serta dalam hidup ditengah2 masjarakal. Sebaliknja djuga selalu tambah djumlah orang2 Indonesia jang berada diluar-negeri dan disana tentunja turut serta pula dalam pergaulan hidup di-tengah
masjarakat.
Baik di Indonesia, maupun di negara2 asing akan selalu tambah adanja perhubungan2 hukum jang sedemikian tjoraknja, hirigga hukum nasional dari Indonesia sendiri tidak mentjukupi guna mengaturnja se-baik2-nja. Maka dibutuhkan adanja hukum per data internasional jang akan memenuhi rasa keadilan, tidak hanja dari masjarakat Indonesia, melainkan djuga dari masjarakat asing jang anggota2nja berada di-tengah2 masjarakat Indonesia. Buku ini bermaksud mengutarakan setjara sederhana beberapa asas hukum perdata internasional jang sekiranja perlu diketahui oleh orang2 Indonesia jang ada minat untuk mempeladjari hal itu, terutama oleh para mahasiswa dari fakultet hukum dan fakultet ekonomi, oleh para hakim dan djaksa, oleh para pengatjara dan oleh para pegawai pelbagai kementerian, terutama Kementerian Kehakiman dan Kementerian Urusan Luar-negeri, lebih2 jang akan dan sudah ditempatkan diluar-negeri dalam kedutaan atau konsulat.
Sam a sekali bukan maksud saja akan menindjau asas2 hukum perdata internasional setjara luas dan dalam. Untuk itu pada saja tiada tjukup waktu dan ketjakapan. Buku ini harus d ip a n dang sebagai usaha sederhana untuk menggambarkan garis2 besar sadja dari hukum perdata internasional. Bahw a usaha ini sangat djauh dari sempurna adalah hal fang lajak. M u d ah2han sadja buku ini dapat sedikit bermanfaat
bagi
N usa dan Bangsa Indonesia. Djakarta, Nopember 1951.
W . P.
T JE T A K A N K E D U A D alam tjetakan ke-2, buku ini terutama ditambah dengan bahan2 jang diperoleh dari : a. rantjangan persetudjuan internasional (..ontwerp-conventie ) jang ditentukan dalam „Konpercnsi D en Haag ketudjuh menge nai H ukum Perdata Internasional b. rantjangan
undang-undang
(tanggal 9-51 Oktober 1951). seragam ( >>°ntwerp-uniforme
wet”) untuk djual-beli internasional jang dibitjarakan dalam suatu konperensi internasional jang diadakan di D en H aag pada tanggal 1-10 Nopember 1951, c. rantjangan undang-undang seragam tentang hukum perdata internasional seluruhnja bagi negara2 Benelux (Belgi, N ederland dan Luxemburg). Selandjutnja hampir tidak diadakan perubahan sama sekali dalam buku ini. Mudah-mudahan djuga tjetakan ke-2 ini dapat sekadar meme nuhi kebutuhan para pembatja. W . P.
Djakarta, D ju li 1955.
A S A S - A S A S H U K U M P E R D A T A IN T E R N A S IO N A L B A G IA N I Pengertian Iiukuin perdata internasional.
Arti kata. Tiap2 negara mempunjai hukum jang mengalur tindakanclalam masjarakat, masing2 untuk keselamatan masjarakat itu. Sebagian dari hukum ini adalah hukum perdata jang mengalur perhubungan hukum antara pelbagai orang2 perseorangan, dalammana titik berat berada pada kepentingan orang perseoranganPenambahan dengan perkataan „internasional”, sehingga terben tuk rangkaian kata2 „hukum perdata internasional”, menimbul kan pelbagai pertanjaan. Pertanjaan pertama mengenai arti kata dari perkataan „inter nasional”. Mengingat perkataan2 „inter” dan „nasional”, maka„internasional dapat diartikan sebagai „antara bangsa2 dalampelbagai negara’ , dengan akibat, bahwa hukum perdata inter nasional dianggap se-olah2 mengatur perhubungan antara pelba gai negara dan mengenai tindakan2 negara satu terhadap negara lain atau terhadap orang perseorangan. M emang biasanja dalam memakai perkataan „hukum internasional”, pada umumnja orang mengingat kepada arti kata jang sempit ini. A kan tetapi tidak mungkin perkataan „internasional” dalamrangkaian kata2 „hukum perdata internasional” mempunjai arti jang sempit ini, oleh karena hukum perdata mengatur perhu bungan hukum antara orang2 perseorangan, tidak antara pelbagai negara. M aka bagi orang jang hanja mau memakai perkataan..internasional” dalam arti jang sempit ini, tidak dapat diadakan penggabungan perkataan „internasional” dengan kata2 „hukum perdata” . T im bul pertanjaan, apakah perkataan „internasional” hanja dapat dipakai dalam arti jang sempit ini ? A pakah tidak dapat 9’
perkataan „internasional” diberi arti jang lebih luas ? D alam praktek diantara chalajak umum sudab njata, bahwa bermatjam? arti jang lebih luas diberikan kepada perkataan ,,inter nasional”. Sering tertulis dalam suratkabar2 atau m adjalah2. bahwa suatu kota, dimana ternjata dan terasa berdiam tidak sedikit golongan2 orang dari pelbagai bangsa, dinamakan kota ,,internasional”. Pakaian jang sudah lazim dipakai oleh orang2 dipelbagai tempat diseluruh dunia, sering dinamakan pakaian internasional”. Suatu pameran dari hal2 jang tidak berasal dari satu negara melainkan dari beberapa negara matjam2, atjapkali djuga d in a makan pameran „internasional”. M aka dari itu* sekiranja sama sekali tiada keberatan untuk
t- ?■ / .
menggabungkan perkataan „internasional •
dengan kata2 ,,hukum
~ perdata , asal sadja perkataan ..internasional diartikan lebih juas j ar. pac{a an[ara bangsa2”, jaitu untuk mewudjudkan suatu . hukum perdata jang. setelah dipengaruhi oleh keadaan pelbagai negara jang masing2 rnempunjai peraturan hukum sendiri2 jang berlainan satu sama lain, menjimpang dari hukum perdata jang lazim nja terlaksana dalam suatu negara. Perhubungan hukum antara orang2 perseorangan dalam suatu negara, lazimnja berada antara orang2 warganegara dari negara itu. jang pada umum nja takluk pada salu hukum perclala, jaitu jang berlaku di negara itu dan djuga lazim nja mengenai barang2 jang berada didaerah hukum negara itu. D alam hal in i tiada kesulitan untuk menentukan hukum perdata jang m ana harus dianut. Kesulitan tentang hal ini m ulai timbul, apabila misalnja salah suatu pihak atau kedua belah pihak jang bersangkutan dalam perhubungan hukum itu adalah seorang asing, jaitu seorang w ar ganegara dari suatu negara asing atau apabila Perhubungan hukum itu mengenai barang tak bergerak jang berada '-4I<JcUcUTl diri I
10
claerah hukum suatu negara asing atau apabila suatu perhubung an hukum dilahirkan didaerah hukum negara asing menurut tjara jang ditentukan disana, akan tetapi harus dilaksanakan disini atau sebaliknja dilahirkan disini dan harus dilaksanakan disana. Maka dengan pendek : adanja suatu anasir asinglah jang menim bulkan .kesulitan dalam menentukan hukum perdata jang mana harus dilakukan. Hukum perdata negara awakkah atau hukum perdata negara asingkah atau hukum perdata istimewakah jang tida k masuk salah suatu dari dua matjam hukum perdata itu ? Hukum perdata jang harus dianggap berlaku inilah jang lazimnja dinamakan hukum perdata internasional.
Tudjuan. Peraturan hukum perdata dimanapun djuga bertudjuan meme nuhi rasa keadilan dari golongan2 orang manusia jang takluk pada peraturan itu. Dengan adanja anasir asing tersebut diatas jang takluk pada suatu peraturan hukum di negeri asing, jang tidak sama dengan peraturan hukum di negeri awak, maka timbul pertanjaan, apakah rasa keadilan masih dipenuhi, djika hukum asing itu diabaikan ataukah rasa keadilan itu baru mendapat kepuasan, djika hukum asing itu dilaksanakan sepenuhnja atau sebagian ? Rasa keadilan berada dalam hati sanubari tiap2 orang manusia, maka pada pokoknja adalah hal orang perseorangan. Akan tetapi dalam tiap2 masjarakat mulai dengan masjarakat desa, sehingga masjarakat jang merupakan suatu negara, sebagai akibat pergau lan hidup bersama, ada rasa keadilan jang pada umumnja dianut oleh segenap atau sebagian besar dari anggota2 masjarakat itu. O rang2 asing jang berada di-tengah2 masjarakat suatu negara mengandung dalam hati sanubari masing2 suatu rasa keadilan, 11
jang pada um umnja dianut oleh segenap atau sebagian besar dari masjarakat, dari mana mereka berasal. Kalau dua golongan rasa keadilan ini tidak sama, maka seharusnja ada djalan untuk menemukan suatu peraturan hukum jang sedapat mungkin memuaskan ke-dua2 rasa keadilan itu. Ini berarti, bahwa masiiig2 pihak harus mengorbankan sebagian dari rasa keadilan
masing2 itu
untuk
menjelamatkan
masjarakat
masing2. Tjara jang paling radikal ialah usaha untuk menemukan s u a t u peraturan hukum perdata internasional jang tidak hanja m e m u a s kan dua masjarakat jang bersangkutan itu, melainkan jang dapat' diterima oleh seluruh dunia dan untuk selama-lamanja. Ini memang suatu tjita2 jang patut diingini oleh segenap orang manusia. A kan tetapi dapat diragu-ragukan, apakah tjita2 ini" mungkin terlaksana. Selama dunia masih terdiri dari negara2, jang masing2 berdaulat penuh, sekiranja tidak akan m ungkin mereka semuanja tunduk pada suai u peraturan hukum perdata internasional. A d a setengah orang jang pertjaja pada kemungkinan ada suatu hukum alam („natuurrecht”), jang seharusnja dianut oleh segenap orang manusia, dim anapun djuga dan untuk selama-lamanja. Kepertjajaan ini berdasar atas kenjataan, bahwa seorang manusia.
oleh Tuhan dititahkan berbeda dari hewan dengan diberikan
f f ^ T T - T e m a m p u a n berpikir. D a n pikiran inilah jang seharusnja menjebabkan adanja asas2 hukum perdata, jang sama diseluruh dunia. oran62 ini dilupakan, bahwa tjara berpihirpun
le r n ja ta
sudah berbeda dipelbagai negara. M isalnja pada um um nja di negara2 barat tjara berpikir ini bersifat sangat perseorangan ( in dividualistis”), sedang di negara2 timur pada begitu, melainkan lebih bersifat kekeluargaan.
um umnja
tiJ ak
D a n lagi kenjataannja : pun diantara negara2 barat perbe daan dalam bukum perdata rnasing2 nampak benar2. A d a satu soal jang, menurut hemat saja, seharusnja mudah diadakan kata sepakat antara semua negara2 didunia, jaitu soal wesel. Dengan wesel ini, jang merupakan suatu suruhan oleh A kepada B supaja membajar sedjumlah uang kepada C , tertjipta suatu tjara pembajaran uang jang amat praktis didalam alam para pedagang, djuga dalam perdagangan inter nasional. Tentunja sudah amat lajak, apabila perihal wesel oleh se genap pedagang diseluruh dunia dibutuhkan satu peraturan, jang berlaku di-inana-. D a n memang usaha untuk mentjapai tudjuan jang sedemikian itu telah dilakukan. D alam tahun 1950 dikota Djenewa dari negeri Swis telah tertjipta suatu perdjandjian internasional jang bermaksud mengadakan satu per aturan hukum tentang wesel. Negeri Belanda, jang turut menandatangani traktat itu, menjesuaikan undang-undangnja, jaitu Kitab Hukum Dagang, dengan penentuan2 dari traktat tersebut setjara mengubah titel V I dari Buku I jang mengatur hal wesel. Ini terdjadi dalam tahun 1932. D an pada tahun 1933 (Staatsblad Negeri Belanda 1933-224) traktat ini oleli undftng-undang negeri Belanda ditetapkan ber laku djuga Lagi Indonesia. Sudah lebih dahulu, jaitu dengan Staatsblad 1934-562, Kitab H ukum D agang di Indonesia diubah djuga, supaja sesuai dengan Kitab H ukum Dagang negeri Be landa, jaitu titel V I dari Buku I, djuga jang mengenai wesel. Perubahan ini mulai berlaku pada tanggal 1 D januari 1936. Harapan Djenewa pada 1930 akan memperoleh kesatuan dalam peraturan wesel diseluruh dunia, ternjata sia2 belaka. Inggeris dengan Commonwealth-nja dan Amerika Serikat misalnja tidak turut menandatangani perdjandjian internasional tentang wesel itu. 13
Pengalaman pahit tentang wesel ini menandakan, bahwa sekiranja sama sekali belum boleh diharapkan terbajang suatu saat, dalam mana
seluruh dunia
mempunjai satu
peraturan
hukum perdata internasional. Tetapi, kalau hal ini dipikir lebih dalam dengan mengingat keadaan2 jang njata ditiap2 negara,
maka pengalaman
jang
pahit ini sebetulnja sudah lajak, se-tidak2-nja m udah dapat dimengerti. Hukum perdata ditiap2 negara terbentuk sebagian besar oleh pembentuk undang-undang dan dilaksanakan oleh para hakim. Pembentuk undang-undang dan para hakim ini barangkali ada jang sangat internasional-minded, jaitu berhasrat untuk betul2 memperhatikan rasa keadilan, jang tidak terbatas pada lingkung an daerah hukum negaranja. Akan tetapi pada umumnja, jang dipahami betul2 oleh mereka ialah hanja hukum perdata dari negara awak. Hukum perdata dari negara asing hanja dapat diketahui setjara membatja buku2 jang mentjeriterakan hal itu atau setjara mendengarkan
orang2 ahli hukum dari negara2
asing itu. Oleh karena tjara mengetahui
ini
adalah
tidak
langsung,
dengan akibat, bahwa hal sesuatu sangat -tergantung daripada dapat atau tidaknja dipertjaja buku2 atau ahli2 itu, maka pem bentuk undang-undang dan para hakim dengan sendirinja agak ragu2 dalam hal memperhatikan segala sesuatu jang disadjikan kepada mereka sebagai hukum perdata dari negara2 asing itu. Dengan ini mudah dapat dimengerti kegagalan sampai seka rang dari segala usaha untuk mengadakan salu hukum perdata internasional bagi seluruh dunia. Sekarang ada usaha lagi untuk mengadakan suatu peraturan seragam („uniform”) bagi seluruh dunia tentang djual-beli inter nasional. 14
Pada tanggal 1-10 Nopember 1951 di Den Haag ada konperens! internasional jang berlangsung atas usul suatu lembaga internasional di Roma (Itali), bernama ”L ’ Institut International pour I’Unification du Droit Prive” ( =
„Lembaga Internasional
untuk mentjapai Kesatuan Hukum Perdata ). Konperensi inter nasional ini membitjarakan suatu rantjangan undang-undang seragam mengenai djual-beli internasional. Pembitjaraan belum selesai, jaitu baru terbentuk suatu Panitia jang akan mengubah rantjangan
semula itu dengan
memperhatikan
pembitjaraan-
jang diadakan pada konperensi tersebut. Peraturan seragam ini dimaksudkan untuk dimasukkan dalam perundang-undangan nasional dari tiap2 negara jang turut serta dalam konperensi itu. Dikemudian hari akan diadakan konpe rensi internasional lagi jang akan membitjarakan lebih Iandjut rantjangan jang sudah diperbaiki itu. Disamping usaha ini ada usaha lain untuk membentuk per aturan hukum perdata internasional mengenai djual-beli inter nasional itu, jaitu pada „Konperensi Den Haag ketudjuh ten tang Hukum Perdata Internasional”, jang
berlangsung pada
tanggal 9-51 Oktober 1951 di Den Haag
d juga. Komperensi'
sematjam ini dulu sudah enam kali diadakan, selalu di Den Haag, jaitu ber-turut2 pada tahun2 1895. 1894, 1900, 1904, 1925' dan 1928. Konperensi Den Haag ketudjuh ini merantjangkan tiga buah-, persetudjuan
internasional
(traktat)
antara
pelbagai
negara,,
diantaranja ialah suatu rantjangan persetudjuan („ontwerp-conventie”) mengenai djual-beli internasional. Tetapi jang dirantjangkan ini ialah suatu traktat, jang menentukan suatu per aturan hukum perdata internasional, djadi jang hanja memberr djalan untuk memetjahkan soal pertentangan antara pelbagai undang-undang nasional dari pelbagai negara perihal djual-belf 15
jang bersifat internasional setjara menundjukkan unclang-unclang
.nasional mana jang harus dianggap berlaku. Pada dua rantjangan tersebut tentunja harus ada persesuaian tentang beberapa hal. M isalnja lentang pengertian dan Iuasnja istilah djual-beli internasional. Rantjangan
undang-undang
seragam
menetapkan
sebagai
hakekat-pokok („hoofdbeginsel ), bahwa suatu djual-beli diang gap bersifat internasional, apabila
sipendjual
dan
sipembeli
masing2 mempunjai perusahaan atau berdiam di-Iain2 negara, dalam hal mana soal kebangsaan atau kewarganegaraan dari kedua belah pihak tidak berpengaruh. Perlu djuga dikatakan disini, bahwa djual-beli internasional jang akan diatur ini, hanja meliputi barang-barang bertubuh .serta bergerak (roerende Iichameiijke zaken). D a n lagi dari per aturan seragam ini diketjualikan : uang (geldswaarden), surat“ berharga (waardepapieren), kapal laut (zeeschepen), kapal pada umumnja (vaartuigen), kapal udara (vliegtuigen) dan hewan.hewan jang masih hidup.
Sifat. Kegagalan tersebut diatas mengakibatkan, bahwa pada waktu sekarang tiap2 negara mengatur sendiri'-
bagaimana
halnja
dengan hukum perdata, apabila dalam perhubungan hukum jang bersangkutan terselip suatu anasir asing. Dengan ini ternjata, bahwa sifat suatu peraturan hukum perdata internasional pada waktu sekarang adalah tidak berbeda dari hukum perdata biasa jang berlaku di-tiap2 negara, jaitu merupakan sebagian dari hukum perdata itu. Dengan lain perkataan hukum perdata internasional pada waktu sekarang masih bersifat nasional belaka. A p a dan sampai dimana hakim harus memperhatikan suatu kenjataan, bahwa suatu anasir asing tersangkut dalam 16
s u a tu
perhubungan hukum perdata, melulu tergantung dari apa jang ditentukan oleh pembentuk undang-undang dari negara awak. Betul ada kalanja suatu perdjandjian internasional atau suatu kesusilaan internasional harus diperhatikan sepenuhnja oleh pembentuk undang-undang atau oleh para hakim, akan tetapi ini pada pokoknja harus berdasar atas hukum nasional. Mereka baru mentjurahkan perhaliannja kepada hukum perdata jang berlaku di negara asing, apabila hukum dari negara awak menjuruhnja bertindak demikian. D a n dalam hal mentafsirkan pasal2 jang menjuruh ini, bagi pembentuk undang-undang dan para hakim tjukuplah, djika mereka melakukan tjara2 pentafsiran jang lazim terpakai dinegeri awak. Sampai disini tetaplah sifat nasional dari suatu hukum per data internasional. Baru, kalau pembentuk undang-undang dan haki m sampai kepada suatu kesimpulan, bahwa pada suatu perhubungan hukum jang tertentu berlakulah suatu peraturan hukum perdata dari suatu negara asing jang tertentu, maka tidak boleh tidak harus diperhatikan segala sesuatu jang ber laku di negara asing itu mengenai peraturan
asing tersebut.
Buku2 penting jang terbit di negara asing itu mengenai soal jang bersangkutan, sebaiknja harus dipeladjari, putusan2 prinsipil dari para hakim di negara asing itu harus diketahui, pentaf siran2 hukum jang lazim dipergunakan dinegeri asing itu, harus ditindjau seperlunja. H anja dengan bertindak demikian hakim nasional, dalam soal2 perhubungan hukum perdata jang bersifat internasional, dapat mendjatuhkan suatu putusan jang akan dirasakan adil.
Pembagian dalam dua bagian. Suatu hukum perdata internasional dapat dibagi mendjadi dua bagian, jaitu ke-1 jang merupakan suatu penundjukan kepada
peraturan
hukum
lain,
jaitu
jang
berlaku
disuatu 17
negara asing dan ke-2 jang merupakan suatu peraturan istimewa jang menjimpang dari peraturan hukum perdata biasa.
1.
Penundjukan kepada hukum negara asing.
Diatas telah disebutkan, babw a tudjuan hukum internasional ialah memenuhi rasa keadilan. M aka dalam hal penundjukan kepada hukum negara asingpun tudjuan ini harus dipertahan kan dengan mengedjar seberapa boleh suatu irama perhubungan antara hukum 2 perdata pelbagai negara („Harmony of laws’ ). H an ja dengan begini dapat tertjapai suatu keadaan jang men dekati rasa kepuasan dari para pihak jang bersangkutan. Ukuran ini jang berdasar
atas pemenuhan
rasa
keadilan,
mungkin sekali tidak dapat memuaskan semua orang jang me mikirkan hal hukum perdata internasional. K enjataannja ialah, bahwa setengah orang berusaha menemukan suatu alasan jang lebih njata, lebih konkrit untuk mengadakan suatu peraturan penundjukan kepada hukum perdata asing. M isalnja dikemukakan hal memperlindungi hak2 jang sudah tertanam menurut hukum asing
(..protection of vested rights .
„bescherming van verkregen rechten ). H ak ini dirasakan sebai nja harus diperlindungi, meskipun hukum perdata dari negara awak tidak mengenal hak2 itu. D ibaw ah akan diterangkan, b ah wa sebaiknja kini dipakai istilah pelandjutan keadaan hukum. H al
ini
memang
adalah
suatu
asas penting
dari hukum
perdata internasional jang dalam banjak soal merupakan alasan jang
djitu
untuk
m enundjuk
kepada hukum
perdata
asing,
akan tetapi ternjata, bahw a bukan hal ini sadja merupakan alasan untuk menundjuk kepada hukum perdata asing- D an lagi sebetulnja ukuran mengenai perlindungan hak2 jang sudah tertjapai ini tidak lebih konkrit
dari
pada
ukuran
mengena*
rasa keadilan, oleh karena masih mendjadi pertanjaan besar, 18
Imk2 jang mana harus diperlindungi dan apa ada kata sepakat diantara pelbagai negara tentang penentuan hak2 jang harus diperlindungi itu. A d a lain alasan jang mungkin
dapat
dikemukakan
untuk
mengadakan penundjukan kepada hukum negara asing, jaitu hal saling menghormati dari pelbagai negara jang hukum perdatanja tersangkut paut oleh suatu keadaan. Dengan tersangkutnja beberapa negara jang masing- berdaulat, maka alam pikiran kita dengan sendirinja disalurkan
kearah hukum
antarnegara
(„Volkenrechl ’) dan timbul pertanjaan, apakah barangkali da lam hukum antarnegara ada pasal2 jang menentukan perihal berlakunja hukum perdata dari suatu negara didalam wilajah negara lain. Sekiranja pasal2 seperti ini tidak ada dalam hukum antarnegara. Betul, barangkali antara beberapa negara ada perdjandjian internasional jang mengatur hal ini berhubung dengan soal jang
tertentu, akan
jang bersifat umum
suatu
tetapi tidak adalah suatu peraturan
dan jang menetapkan ukuran2 tertentu
untuk meliputi semua soal2.
2.
Peraturan istimewa.
Peraturan seperti ini, jaitu jang tidak menundjuk begitu sadja kepada suatu hukum suatu negara, paling lajak mungkin diketemukan dalam suatu traktat antara dua negara atau lebih jang mengatur hal sesuatu, misalnja perihal wesel atau perihal tu brukan antara kapal2 ditengah lautan. Tetapi mungkin ada peraturan dalam hukum perdata suatu negara jang memuat suatu peraturan istimewa itu. Sebagai tjontoh dapat disebut pasal 85 Kitab H ukum Perdata di Indonesia (Burgelijk W etboek) mengenai perkawinan warganegara Indonesia jang berbangsa Eropah dan Tionghoa, jang 19
dilakukan diluar-negeri. Perkawinan itu harus dilakukan menu rut tjara jang lazim dianut ditempat perkawinan itu, tetapi jang akan kawin harus memenuhi
sjarat2 jang
ditentukan
dalam
Burgelijk W ethoek, pasal2 27 — 49. Bagi negeri Belanda pasal 110 B .W ., jang sama bunjinja dengan pasal 83 B.YV. Indonesia, akan dihapuskan, oleh karena sudah termuat dalam suatu undang-undang seragam („eenvormige wet”) tentang hukum perdata internasional jang akan d i adakan oleh negara2 Benelux (Belgi, Nederland dan Luxemburg). Lain tjontoh ialah pasal 945 Kitab H ukum Perdata tersebut jang menentukan, bahwa, apabila seorang warganegara Indo nesia
dinegeri
asing
akan
membikin
surat
hibah
wasiat
(„testament” ), ini harus terdjadi dengan akta otentik. M enurut Kitab H ukum Perdata di Indonesia dan dinegeri Belanda, Ijara membikin surat hibah wasiat ini tidak terbatas pada akta
o te n tik
dan peraturan sematjam ini m ungkin sekali djuga berada dinegara asing. Bagi negeri Belanda baru diusulkan, supaja pasal 992 B .W . Belanda, jang sama b u n jin ja dengan pasal 945 B. W -
Indo
nesia ini, ditam bah dengan ajat ke-5 jang menentukan, bahw a ajat ke-1 jang menetapkan harus ada akta otentik itu. tidak ber lak u bagi seorang w arganegara B elanda jang berdiam atau wafat dinegeri asing, dim ana ia membikin
surat hibah
wasiat
itu.
D engan ini penetapan dari ajat ke-1 tadi ham pir sama sekali ti dak berarti lagi. L ain tjontoh lagi ialah Staatsblad 1872-11 jis 1915-299. 642 (m u lai berlaku tanggal 1 D jan u ari 1916), pengganti pasal 857 K itab H u k u m Perdata di Indonesia jang menentukan : A p ab ila ada barang2 warisan, sebagian berada di Indonesia, sebagian diIuar Indonesia dan harus dibagi2 antara warganegara Indonesia (jang berbangsa Eropah dan Tionghoa) dan orang2 asing, sedang 20
menurut hukum asing ada beberapa barang jang tidak boleh diwaris oleh warganegara Indonesia, maka untuk warganegara Indonesia, ini boleh diambilkan dulu dari barang2 Iainnja jang sepadan dengan bagiannja. Bagi negeri Belanda peraturan jang sematjam ini akan di hapuskan, oleh karena djuga sudah termuat dalam undangundang seragam tersebut diatas tentang hukum perdata inter nasional jang akan diadakan oleh negara2 Benelux. A da beberapa hal jang, untuk mendjernihkan soal pengertian hukum perdata internasional, perlu dikemukakan berhubung dengan hal, bahwa dalam hukum perdata internasional tersang kut paut pelbagai hukum perdata, jaitu : a. hukum perdata internasional hanja mengenai pelbagai hukum perdata jang pada suatu waktu bersama-sama berlaku masing- untuk daerah sendiri-. M aka harus diperbedakan dari pada jang dinamakan hukum interlemporaal, jaitu jang menge nai pelbagai hukum perdata jang ber-turul2 berlaku dan jang meliputi satu keadaan ; b. hukum perdata internasional hanja mengenai pelbagai hukum perdata dari pelbagai negara jang masing2 berdaulat, maka harus diperbedakan dari-pada jang dinamakan hukum in terlokal, jaitu jang mengenai pelbagai hukum perdata jang berla ku dalam pelbagai daerah dari satu negara ; c.
hukum perdata internasional hanja mengenai
pelbagai
hukum perdata dari pelbagai daerah hukum, maka harus di perbedakan daripada jang dinamakan hukum intergentiel, jaitu jang mengenai pelbagai hukum perdata jang ber-sama2 berlaku dalam satu daerah hukum untuk pelbagai golongan penduduk. Dengan memadjukan perbedaan2 ini harus diingati pula, bahwa dalam empat matjam hukum perdata ini ada hal2 jang sama
sifatnja, hal mana sering memperbolehkan atau mengha
ruskan melaksanakan asas2 jang sama atau jang hampir sama. 21
B A G I A N II Tempat pendiaman atau kcwargancgaraan sebagai ukuran D iatas telah diutarakan, bahw a soal hukum perdata inter nasional m untjul kemuka, apabila ada anasir asing dalam sualu perhubungan hukum perdata disuatu tempat. Anasir asing ini jang terpenting ialah mengenai
orang~ jang
tersangkut
paut
dalam perhubungan hukum itu, jaitu perihal kedudukan hukum dan kekuasaan2 hukum mereka. H a l ini sebagian besar mengenai kedudukan orang- jang belum dewasa atau jang berada dibawah sualu pengawasan .(„curateele” ). kedudukan seorang dalam perkawinan, perizinan atau kemungkinan untuk kawin atau untuk mendjadi ahli waris dan lain2 sebagainja. Perlu ditegaskan bahwa anasir asing mengenai orang2 dalam hal ini tidak hanja berarti orang2 asing , jaitu orang2 warganegara dari negara asing, melainkan djuga melipuli orang- war ganegara dari negara awak jang bertempat diam (berdomisili)
^ dinegara asing. Pentjiptaan hukum dalam suatu negara
dalam arti jang
se-Iuas2-nja, jaitu tidak hanja mengenai pembentukan undangundang, melainkan djuga meliputi pentjiptaan hukum oleh adat kebiasaan, oleh putusan hakim, oleh ilm u pengetahuan hukum dan lain2 — pada hakekatnja m e n g a n d u n g dua anasir, jaitu ke-1. bahwa hukum itu dimaksudkan untuk berlaku dalam daerah
hukum negara itu („territoir”) dan ke-2, bahwa hukum itu d i maksudkan untuk berlaku bagi para warganegara dari negara itu. Hakekatnja, ini berhubungan dengan soal kedaulatan setiap negara merdeka jang terbatas pada dua anasir itu, jaitu kedaerahan-hukum dan k e w a r g a n e g a r a a n . Ini adalah hal jang njata pada waktu sekarang dan masih dipertahankan penuh terhadap pengaruh hukum antar-negara dalam keadaan sekarang.
D u a anasir ini clapat diterobos oleh anasir asing jang termak sud diatas. Kalau penerobosan ini mengenai dua2nja anasir itu, jaitu apabila suatu soal mengenai- perhubungan hulcum antara orang2 asing jang sama berdiam dinegara asing, maka sudah barang tentu hukum negeri asing itulah jang berlaku. K ini tidak tersinggung anasir asing lain jang tidak mengenai orang2, misalnja mengenai barang 2 atau mengenai tjara melakukan tindak an hukum, hal mana akan saja bitjarakan kemudian. A pabila penerobosan ini mengenai salah suatu dari dua anasir tersebut, jaitu apabila ada suatu perhubungan hukum perdata antara dua orang asing dari suatu negara asing misalnja Negara India, jang dua2-nja berdiam di-Indonesia, atau antara dua orang warganegara Indonesia jang dua2-nja berdiam di Negara India misalnja, maka timbul pertanjaan : hukum perdata manakah jang berlaku, hukum perdata Indonesia-kah atau hu kum perdata India-kah ? D jaw aban atas pertanjaan ini dipelbagai negara didunia pada waktu sekarang adalah tidak sama, melainkan bermatjam dua. A d a suatu golongan negara jang mengambil sebagai ukuran untuk djawaban itu ialah tempat pendiaman, maka menganggap hukum perdata dari negara tempat pendiaman sebagai hukum jang berlaku, sedang golongan negara ke-2 mengambil sebagai ukuran kewarganegaraan orang2 jang bersangkutan dan meng anggap berlaku hukum perdata dari negara jang orang" itu mendjadi warganegaranja. Perlu diterangkan disini, bahwa buku2 tentang hukum per data internasional pada umumnja untuk pengertian kewarga negaraan memakai perkataan „nationality
atau ..nationaliteit ,
jang lebih mendekati pengertian kebangsaan. Menurut penjelidikan oleh Martin
W o lff
dalam
bukunja
„Private International Law , jang terbit pada tahun 1930 di 23
Oxford, negara2 jang menganut prinsip-domisili adalah A m e rika Serikat, British Commonwealth, Denmark, Iceland, Norway, Brasil, Negara2 Baltic, dari Amerika Selatan : Argentina, B oli via, Paraguai, Peru dan U ruguai, dari Amerika Tengah : N ic a ragua dan Guatemala ; sedang jang menganut prinsip-kewarganegaraan ialah dari Eropah : Perantjis, Belanda, Belgi, Luxem burg, Monaco. D om inican Republik, Junani, Itali, Rum ani, Portugal, Spanjol, Swis, Djerman, Hungaria, Liechtenstein, C ze choslovakia, Bulgaria, Yugoslavia, A lbania, Turki, F inland ia dan Swedia.dari Asia : Djepang, C h in a Iran, M u a ng Thai dan Indonesia, dari Amerika Selatan dan Tengah : Ecuador, C h ili, Salvador, Colombia, Costarica, C uba, Honduras, Panam a dan Mexico. Kemudian dalam tahun
1951
Swedia menjeberang kepada
prinsip-domisili. D i Sovjet Rusia, Austria dan Venezuela djuga dianut prinsipkewarganegaraan, tetapi tidak setjara timbal-balik, jaitu w'arganegara mereka tunduk kepada hukum perdata negara awak, mes kipun berdiam dim anapun djuga, sedang orang asing jang ber diam di-negara2 itu dianggap tunduk kepada hukum dari negara, dimana mereka berdiam. Mula-mula diseluruh Eropah dianut prinsip-domisili. Perantjis, pada waktu mengadakan kodifikasi pada permulaan abad ke-19, m ulai mengubah sikap ganti menganut prinsip-kewarganegaraan. Kemudian lain 2 negara meniru tindakan Perantjis ini. Di-Indonesia pada zaman Belanda m ula2 menurut pasal 16 (lama) A .B . („Algemeene Bepalingen van W etgeving” — „Pe nentuan2 umum perihal perundang-undangan ) dianut prinsipdomisili, dengan menjimpang dari peraturan di-negeri Belanda sendiri jang sedjak tahun 1829 telah menganut prinsip-kewar’ga-
negaraan. 24
Pasal 16 (lama) A. B. itu berbunji : ,,De wettelijke bepalingen betreflende de staat en de bevoegdheid der personen blijven verbindend voor ingezeienen van Nederlandsch-Indie, wanneer zij zicli buitcn ’s Lands bevinden”. ( = „Peraturan2 undangundang tentang kedudukan dan kekuasaan hukum bagi pendu
duk Hindia-Belanda tetap berlaku bagi mereka, apabila, mereka berada diluar-negeri"). D alam Slaalsblad 1915 ^ 299 jo 642 pasal 16 A . B. diubah, sehirrgga „ingezetenen van Nederlands ch-lnd ie diganti dengan ..Nederlandsche onderdanen” ( = „warganegara Keradjaan Be la n d a ”, jang meliputi djuga Indonesia sebagai Hindia-Belanda) dan ditambahkan 'suatu kalimat jang mengatakan, bahwa apa bila „Nederlandsch onderdaan" dari Hindia-Belanda berada di Negeri Belanda atau di-Iain tanah djadjahan dari negeri Belan da, maka mereka takluk pada bagian tersebut dari hukum per data jang berlaku ditempat beradanja itu. Dengan perubahan ini, maka sedjak tahun 1915 di Indonesia dianut prinsip-kewarganegaraan, tetapi dalam hubungan antara negeri Belanda dan tanah-tanah djadjahannja dianut prinsipdomisili. Baik pada zaman Djepang, maupun pada zaman Republik Indonesia dari tahun 1945, zaman Republik Indonesia Serikat dan zaman Negara Kesatuan lagi, tidak diadakan perubahan tentang hal ini, artinja hal pasal 16 A.B. ini sama sekali tidak di-singgung2. H anja dalam pasal 51 Konstitusi R. I. S. dan sekarang dalam pasal 52 Undang-undang Dasar Sementara R.I. jang hampir sama bunjinja ditentukan, bahwa „setiap orang jang ada didaerah Negara harus patuh kepada undang-undang, termasuk aturan2 Hukum jang tak tertulis . Penentuan dari pasal 52 U. D . Sementara ini barangkali menimbulkan kesan, bahwa tidak lagi pasal 16 A .B . diartikan bertimbal-balik. Dengan bertimbal-balik, djuga untuk orang2 asing jang bertempat tinggal di Indonesia perihal kedudukan 25
•dan kekuasaan hukum tetap berlaku hukum perdata dari negaranja sendiri. Pertimbal-balikan ini dianggap ada. oleli karena pasal 5 A . B. menentukan, bahwa, selama tidak ditentukan lain oleh undang-undang, maka hukum perdata dan hukum dagang adalah sama untuk \varganegara2 dan
orang2 asing.
Prinsip
dari pasal 16 A . B. sendiri dianggap sebagai bagian dari hukum perdata, maka prinsip-kewrarganegaraan djuga berlaku bagi orang2 asing jang berada di Indonesia. Kalau pasal 5 dan 16 A .B . sekarang masih dianggap berlaku — dan menurut hemat saja memang masih berlaku —- maka sesuai dengan pasal 52 U . D . Sementara R. I. orang- asing jang berada di Indonesia, djuga patuh kepada pasal 5 dan pasal 16 A . B. itu, maka tetaplah pertimbal-balikan dari pasal 16 A . B. Uraian diatas ini hanja mengenai pasal 16 kalimat ke-1 dari A . B. Bagaimanakah halnja sekarang dengan perhubungan
Indo-
nesia-Belanda mengenai pasal 16 A .B., kalimat ke-2 7 A pakah kalimat ke-dua ini sekarang masih berlaku ? Sebetulnja
kalimat
ini
hanja
menentukan
prinsip-domisili
bagi ..Nederlandsch Onderdaan dari „Hindia-Belanda J an& berada dinegeri Belanda. D ja d i tidaklah disinggung keadaan orang2 Belanda asli jang berada di Indonesia. Tetapi jurisprudensi dizaman Belanda menganggap prinsip-domisili 1°^ ':,er’ laku djuga bagi mereka. Biasanja istilah ,,NederI andsch-Onderdaan” diperundangundangan Hindia-Belanda dulu, sekarang diartikan sebagai ..warganegara Republik Indonesia” . K alau ini djuga diperlukan terhadap pasal 16, kalimat ke-2 dari A .B . maka andaikata kali mat ini sekarang masih dianggap berlaku, sekarang masih dilandjutkan prinsip-domisili bagi jang berada dinegeri Belanda.
orang2 warganegara
Indonesia
Tetapi kalau pasal 16 A .B ., kalimat ke-2 ini, d itindjau lebih ■dalam, maka ada ke-ragu2-an, apakah kini istilah ,,Neder26
lancIsch-OnclercIaan” dapat diartikan sebagai „warganegara Indonesia begilu sadja. Sebab dalam pasal. 16, kalimat ke-2 dari A .B . ini penibentuk-undang-undang („wetgever ) dalam mema kai istilah „Nederlandsch-Onderdaan ini menitikberatkan pemandangannja pada kewarganegaraan dari ,.Negeri Belanda dan tanah-tanah djadjabannja (termasuk djuga Hindia-Be landa). M aka kesatuanlah dari negeri Belanda dan tanah- djadjahannja jang mendorong untuk mengadakan kalimat ke-2 ini. D an kesatuan ini berdasar alas anggapan, bahwa negeri Belanda dan tanah- djadjabannja (termasuk Indonesia) betul- merupakan sal u Negara K.eradjaan Belanda (,.een Ivoninkrijk der Nederlanden ) dengan satu matjam warganegara, jang dinamakan „Nederlandsch-Onderdaan . M aka dari itu. istilali „Nederlandsch-Onderdaan
dalam pasal
16. kalimat ke-2. dari A.B. ini, tidaklah dapat disalin begitu sadja dengan „warganegara Indonesia , melainkan harus disalin dengan „orang2 Belanda . Kalau demikianlah halnja, maka saja lebih suka pada penda pat. bahwa kalimat ke-2 dari pasal 16 A.B. ini pada waktu seka rang tidak lagi berlaku, oleh karena dalam perundang-undangan dari negara Indonesia jang sudah merdeka, tiada tempat untuk suatu penentuan mengenai warganegara dari suatu negara asing. D a n akibat dari pendapat ini ialah, bahwa pada waktu sekarang untuk warganegara Indonesia jang berada dinegeri Belanda berlakulah prinsip-kewarganegaraan menurut pasal 16, kalimat ke-1 A .B . A d a p u n sebagai pertimbal-balikan harus dianggap pula, bah w a bagi warganegara Belanda jang berada di-Indonesia, pada waktu sekarang berlakulah prinsip-kewarganegaraan djuga, djadi tentang kedudukan dan kekuasaan hukum, mereka tetap takluk pada B .W . Belanda dan lain-lain peraturan undang-undang jang berlaku dinegeri Belanda.
M ana
jang
baik,
prinsip-kewarganegaraan
atau
prinsip-
domisili, adalah amat sukar untuk ditetapkan. Sebetulnja, ini berhubungan erat dengan maksud orang2 asing untuk bertempat tinggal didaerah suatu negara. K alau maksud mereka itu ialah untuk melepaskan ikatan dengan
negara asli, maka
sekiranja
sesuailah dengan maksud itu, apabila mereka dalam segala~-nja takluk kepada hukum perdata seluruhnja dari negara tempat pendiaman. Tetapi sudah amat sulitlah untuk menetapkan apa maksud itu betul2 ada. Sebab Iazim nja orang asing jang memin dahkan tempat pendiam annja kesatu negara, tidak sadar atas suatu maksud melepaskan atau tidak ikatannja dengan negara asli. D a n apabila maksud itu memang dapat ditentukan, masih mendjadi pertanjaan, apa negara asli itu, mengingat kepentingan negara, memperbolehkan pelepasan ikatan dari warganegaranja itu. M aka disamping kepentingan perseorangan djuga ada ke pentingan negara jang menentukan hal ini. O le h karena ada dua negara tersangkut paut dalam soal ini, maka akan selalu ada pertentangan antara kepentingan2 dua negara masing2 itu. M isalnja sadja bagi Amerika Utara dan Amerika Selatan jang penduduknja sebagian besar terdiri dari golongan2 orang jang berasal dari amat banjak matjam negara, maka akan amat sukar untuk menentukan hukum perdata jang in
c o n c re to
ber
laku, apabila masing2 golongan orang itu tetap takluk kepada hukum perdata dari negara asli
masing2. Kepastian
hukum,
jang dalam setiap negara didjundjung tinggi, akan amat ter ganggu. M aka dari itu sudah sepatutnja, apabila di Amerika dianut prinsip-domisili. Sebaliknja, dalam suatu negara jang diantara penduduk hanja sedikit adanja orang asing, sekiranja dari sudut ini tiada kebe ratan untuk menganut prinsip-kewarganegaraan. A k a n tetapi bagaimanakah halnja dengan Inggeris ? D i Inggeris, lain dari 28
pada di Amerika, penduduknja liampir semua terdiri dari bangsa Inggeris asli. ¡Meskipun demikian, Inggeris tetap meng anut prinsip-domisili djuga. Sekiranja ini berhubungan dengan pengertian istimewa dari „domisili” di-Inggeris (djuga di-Amerika), jang mengenal pengertian „domicilie of origin” (— tempat pendiaman asli). „Domicilie of origin” ini menurut hukum Inggeris dimiliki oleh seorang pada waktu lahirnja. D an domisili ini bukanlah tempat dimana orang lahir, melainkan ditempat domisili dari ajahnja. O rang dewasa dapat mengubah domisilinja („domicilie of choice’ = ,,tempat tinggal pilihan ). U ntuk ini ada sjarat-, diantaranjn ialah maksud untuk ietcip tinggal ditempat itu sampai malinja. K alau sjarat2 ini tidak dipenuhi, maka tetaplah „domi cilie of origin” berlaku. M aka sebetulnja domisili sematjam ini mendekati soal tempat negara asli, djadi djuga mendekati soal kewarganegaraan dari negara asli itu. D apat dikatakan djuga, bahwa ukuran kewarganegaraan adalah lebih tetap, lebih stabil daripada ukuran domisili, jang pada hakekatnja lebih mudah dapat diganti atas kemauan orang jang berkepentingan. D a n djuga lebih mungkin adanja orang pura- mengubah domisili daripada kewarganegaraan, misalnja melulu supaja dapat kawin. Sebagai keberatan dari prinsip kewarganegaraan sering diadjukan, bahwa kesulitan akan muntjul, apabila seorang mempunjai clua matjam kewarganegaraan („bipatriden ) atau sama sekali tidak mempunjai kewarganegaraan (,,apatriden ). D alam hal ini terpaksalah diambil lain ukuran dan ukuran lain itu jang lepat ialah ukuran domisili. M enurut hemat saja, soal jang seharusnja diperhatikan penuh ialah bukan mana jang lebih baik dari dua prinsip tersebut, melainkan soal perlu sekali adanja satu prinsip jang dianut oleh seluruh dunia. Kesulitan2 jang sekarang didjumpai adalah akibat dari adanja bersampingan berlaku dua matjam prinsip 29
tadi. K alau kepentingan ini dapat diinsjafi benar2 oleh peme rintah2 disemua negara, maka sekiranja dapat dikelemukan suatu modus, suatu djalan jang berada di-lengah2 antara dua prinsip tadi. Selama keinsjafan ini belum ada, maka perbedaan prinsip dan kesulitan sebagai akibat dari itu akan tetap ada. Suatu tjontoh dari kesulitan ini. Seorang warganegara Inggeris jang berumur 20 tabun,
berdiam
dinegeri
Swis.
melakukan
suatu perbuatan hukum. M enurut hukum perdata internasional Swis, jang menganut prinsip kewarganegaraan dan menundjuk kepada kukum Inggeris, orang itu belum tjukup umur, oleh karena hukum Inggeris mengenal perbatasan 21 tahun untuk mendjadi orang dewasa, maka perbuatan hukum jang bersang kutan adalah batal. A kan tetapi hukum perdata internasional Inggeris menganut prinsip domisili dan menundjuk kepada hukum Swis dan menurut hukum Swis batas umur itu adalah 20, maka orang itu sudah dewasa dan dapat melakukan per buatan hukum dengari sah. D alam undang-undang seragam tentang hukum perdata in ternasional, jang akan diadakan di-negara2 Benelux (Belgi, Nederland dan Luxemburg) akan diperlakukan prinsip kewargane garaan („nationaliteitsbeginsel”) dengan beberapa keketjualian. Lazim dikatakan, bahw a pasal 16 A . B. ini mengenai ,,personeel statuut” („Statut perseorangan”), oleh karena berhubung an dengan kedudukan dan kekuasaan hukum dari orang perseo rangan. Disam ping ini ada „reeel statuut” atau „zakelijk statuut” (=
,,Statut kenjataan” atau „perbendaan”), jaitu jang termuat
dalam pasal 17 A . B. jang menentukan, bahwa tentang barang2 tak bergerak berlakulah hukum dari tempat Ietaknja barang itu. A d a lagi pasal 18 A . B. jang menentukan, bahwa tjara mela kukan suatu tindakan hukum jang sesuai dengan hukum jang berlaku ditempat, mana
tindakan
itu
dilakukan
adalah
sah.
Pasal ini, oleh karena tidak se-mata~ mengenai orang perseorang 50
an clan suatu bencla, dinamakan „gemengd statuut” ( = „statut tjf'.m p u ra n ” ).
Perka tnan
,,statuut” ini tidak mempunjai arti jang njata-
Sc-olali- tiga pasal dari A . B. ini meliputi seluruh hukum per data internasional, jaitu pasal 16 A . B. („personeel statuut” ) mengatur hal kedudukan hukum orang2, pasal 17 A . B. („reeel statuut”) mengatur hal perbendaan seluruhnja dan pasal 18 A.B. („gemengd statuut") mengatur hal2 jang mengenai dua2-nja itu. Sebetulnja tiga pasal ini hanja sedikit sekali memberi djawaban alas seribu satu pertanjaan tentang hukum perdata internasionalPemakaian perkataan „statuut” adalah sisa dari suatu teori jang dulu
pernah dianut
dibenua Eropah
pada abad
ke-14
dalam usaha mentjari djalan untuk menghindarkan kesulitan, apabila hukum perdata dari suatu tempat tidak dapat begitu sadja dilakukan, oleh karena dalam suatu perhubungan hukum tersangkut djuga orang2 asing. Untuk memetjahkan soal ini, semua peraturan hukum („statuut”) dibagi mendjadi tiga bagian, jaitu peraturan mengenai orang perseorangan („persoonlijk” ) ,. peraturan
mengenai
perbendaan
mengenai
tjampuran
dari dua
(„zakelijk ”)
dan
peraturan
anasir tersebut („gemengd”)-
Orang pada waktu itu berpendapat, bahwa tjukuplah ditentu kan, suatu perhubungan hukum tertentu masuk golongan mana dari tiga golongan peraturan hukum itu. Kemudian dianggap, bahwa dengan sendirinja orang dapat mengetahui, apakah da lam perhubungan hukum itu harus diturut hukum asing atau hukum awak. Teori ini ternjata tidak berdjalan. oleh karena orang2 sangat berlainan pendapat tentang apa jang dimaksud kan dengan tiga matjam peraturan itu dan apa jang harus di maksudkan dalam salah suatu peraturan itu. D an ternjata djuga, bahwa kalau sudah ditentukan satu sama lain, toh penjelesaian soal masih belum memuaskan, oleh karena orang kurang mem 51
perhatikan sifat masing2 perhubungan hukum jang sebenarnja <Jan banja mengumpulkan hal sesuatu clalam salah salu golong an peraturan hukum jang dianggap sudah memberi penjelesaian akan tetapi sebetulnja tidak. M aka dari itu boleh dibilang ,.slatuten-theorie” itu sekarang tidak beri aku lagi. A k an tetapi, djustru oleh karena hal hukum perdata inter nasional belum rapi teraturnja dan dalam banjak bagian masih bersifat agak kabur, maka toh ada gunanja, bahwa masih ter dengar dan terpakai perkataan2 jang mengenai tiga matjam „statuut” ini. Sebab pemakaian perkataan2 ini memperingatkan orang2 jang mempunjai minat untuk mempeladjari hal hukum perdata internasional, bahwa ada tiga pasal dari undang-undang jang setjara terang memuat peraturan dari hukum perdata inter nasional jang mengandung
penundjukan
(„verwijzingsregel”)
kepada suatu hukum jang tertentu dipakai. Asal sadja selalu di-ingat2 djuga, bahwa penundjukan ini sangat kurang daripada sempurna. Statut perseorangan dari pasal
16 A .
B. tidak meliputi
■seluruh hukum perdata jang mengenai perseorangan, melainkdn hanja sebagian sadja, jaitu hal kedudukan dan kekuasaan hu kum dari jang berkepentingan. Statut „perbendaan” dari pasal A.
B. tidak meliputi semua hukum perdata mengenai hak2
atas benda, melainkan hanja sebagian sadja, jaitu hal2 jang berhubungan dengan barang tak bergerak. Statut ..tjampuran dari pasal 18 A . B. tidak meliputi semua soal jang mengandung sifat tjampuran dari hal perseorangan dan perbendaan, melain kan hanja mengenai tjara melakukan sualu perbuatan hukum sebagai sjarat untuk sahnja perbuatan hukum itu, hal mana tidak hanja mengenai sebagian sadja dari soal2 tjampuran tadi, tetapi djuga tidak selalu mengenai sifat tjampuran dari hal per seorangan dan perbendaan, jaitu mungkin hanja bersifat perse orangan sadja, seperti tjara melakukan pengakuan seorang anak jang dilahirkan diluar perkawinan jang menurut pasal 281 Burgelijk YVetboek harus dengan akta „authentiek” . 32
B A G IA N
III
Kelertiban umum D alam pelaksanaan hukum perdata internasional oleh para hakim atau oleh pemerintah dan dalam buku- ilmu pengetahuan hukum jang meneropong pelaksanaan itu, seringkali terdengar daniatau terpakai perkataan „ketertiban umum
(=
„openbare
orde ”, „ordre public ”). Pcnjebutan ,,ketertiban umum dalam hal hukum perdata internasional hampy^selalu dilakukan untuk memberi alasan, bahwa pada halvjang pada umumnja hukum asing harus diturut dalam suatu peristiwa jang tertentu sebagai keketjualian toh hukum perdata dari negara awak harus diturut. Tjontoh ke-1 : dinegeri Belanda dalam hukum perdata dianut prinsip perkawinan monogami, jailu bahwa tidak diperbolehkan seorang laki-laki mempunjai isteri dua atau lebih dalam perka winan. Menurut pasal 6 berhubung dengan pasal 9 A . B. dari negeri Belanda (jang sama bunjinja dengan pasal 16 dan pasal 3 A . B. dari Indonesia) kedudukan hukum seorang Arab jang berada dinegeri Belanda, tetap diatur oleh hukum perdata dari negaranja jang memperbolehkan seorang laki-laki beristeri sam pai empat. Orang Arab itu, jang sudah mempunjai isteri, di negeri Belanda ingin kawin lagi. Perkawinan jang ke-2 ini oleh penguasa Belanda, jaitu Pegawai Pentjatatan D jiw a („Ambtenaar Burgelijke Stand ”) tidak akan dilaksanakan atau apabila perkawinan jang kedua kali itu toh dilaksanakan, perkawinan itu dianggap lidak sah oleh para hakim dinegeri Belanda. Tin dakan menolak dari penguasa Belanda dalam praktek sudah pernah terdjadi dan oleh para penulis Belanda ahli hukum di benarkan sepenuhnja. Alasan jang dipakai untuk menjimpang dari pasal 6 juncto pasal 9 A . B. itu ialah, bahwa ketertiban umum dinegeri Be landa menuntut penjimpangan itu. Didjelaskan lebih landjut, bahwa prinsip monogami adalah begitu meresap dalam djiwa 53
dan perasaan rakjat Belanda pada umumnja, sehingga Undakan beristeri dua atau lebih dinegeri Belanda dianggap tidak boleh dilakukan oleh siapapun djugci. Tim bul pertanjaan : A pabila seorang Arab, pada waktu mengindjak tanah Belanda, sudah beristeri dua, jaitu dua-nja per kawinan
dilakukan
dinegeri sendiri, dimana
hukum
perdata
memperbolehkan beristeri dua itu dan kemudian dinegeri Belanda isteri jang nomer dua itu melahirkan anak, dicuiggap sah-kah anak itu ? Ini tergantung dari djawaban atas pertanjaan. apa perkawinan jang ke-2 itu dianggap sah atau tidak. Saja tidak tahu, apa soal sematjam ini sudah pernah diadjukan dimuka hakim Belanda, akan tetapi sekiranja hakim Belanda akan menganggap sah anak itu. Menurut hemat saja adalah keterlaluan, apabila perkawinan ke-2 jang dilakukan dinegeri asing Asli setjara sah menurut hukum perdata jang berlaku disana
untuk
suami-isteri
jang
berkepentingan,
dianggap
tidak sah. Bagaimanapun djuga meresapnja prinsip monogami dalam perasaan rakjat Belanda, harus dihormati dan dihargai semustinja, bahwa dilain negeri ada perasaan rakjat jang lain sifatnja. Kalau seandainja hakim Belanda tidak mengakui sah perawinan ke-2 jang termasuk diatas, maka sebagai pertimbalalikan harus diperbolehkan, apabila dianlara orancj2 Belanda jnng
herndn
konsekwensi Belanda.
dinegeri ini
tidak
A rab
dilakukan
dipertanggung
poligami.
Sekiranja
djawabkan oleh rakjat
Tjontoh ke-2 : Seandainja masih ada suatu negara, dimana seorang boleh diperbudak, sedang negara Indonesia misalnja dalam pasal 10 Undang-undang Dasar Sementara melarang hal itu, dan seorang dari negara asing itu datang di Indonesia dan memperbudak seorang lain dari bangsanja sendiri, maka m udah apat 34
dimengerti,
bahwa
pemerintah
Indonesia
tidak
akan
mengakui perbudakan itu, oleh karena larangan perbudakan boleh dibilang sangat meresap dalam perasaan rakjat Indonesia. D alam hal inipun alasannja dapat dimasukkan dalam golongan ketertiban umum. Akan tetapi apabila seorang dari negara tersebut dinegaranja sendiri sudah kedjadian diperbudak, kemudian ia datang di Indonesia dan disini ia lantas menuntut hal- dari bekas madjikannja jang dinegerinja sendiri tentu tidak akan dapat dikabulkan, oleh karena ia adalah seorang budak, maka dapat lah
d fragu 2kan.
apakah
tuntutannja
di
Indonesia
ada
ke
mungkinan akan dikabulkan. Tjontoh ke-5 : D i Djerman dibawah penguasaan Pemerintah Hitler ada peraturan hukum jang menentukan, bahwa perwiraDjerman dari tentara Djerman hanja boleh kawin dengan izin pembesamja dalam ketenteraan. Hukum perdata internasional di Perantjis dan Belgi menentukan, bahwa dalam soal perizinan untuk kawin, orang asing tunduk kepada hukum perdata dari negara asli, djadi in casu dari negara Djerman. A da kedja dian beberapa perwira Djerman jang melarikan diri kedaerah negeri Perantjis atau Belgi. Disana mereka ingin berkawin, akan tetapi tidak mempunjai izin dari pembesamja dalam ketenteraan di Djerman. Penguasa di Perantjis dan di Belgi menganggap, bahwa perizinan itu tidak perlu dengan alasan berdasar atas ..ketertiban um um ”. Ini mungkin sekali, akan tetapi sangat mung kin djuga, bahwa kalau kemudian orang jang berkawin tidak de ngan izin itu kembali ke Djerman, perkawinannja oleh para
penguasa
di Djerman tidak dianggap sah, dengan akibat, bahwa anak2-nja jang lahir dari perkawinan itu, djuga tidak dianggap
sah. Tjontoh ke-4 : D i negeri Belanda pasal 115 Kitab Hukum Perdata (sama dengan pasal 58 Kitab Hukum Perdata di Indo nesia) menentukan, bahwa orang2 jang bertunangan, tidak dapat dipaksa oleh hakim untuk kawin atau untuk memberi ganti 35
kerugian. D i Djerm an ada peraturan hukum
lain
jang mem
perbolehkan paksaan itu. D alam hal inipun, jaitu apabila ada dua orang Djerman laki -perempuan berada di negeri Belanda dan bertunangan satu sama lain, para hakim dinegeri Belanda menganggap pasal 115 B .W . adalah masuk golongan ketertiban umum, maka dari itu mereka menjimpang dari ketentuan hukum perdata internasional dinegeri Belanda (pasal 6 jo pasal 0 A . B. Belanda), jang pada um um nja mengakibatkan berlakunja hukum perdata Djerman perihal kekuasaan hukum bagi orang2 Djerman jang berada dinegeri Belanda, Pendirian para hakim Belanda ini, tentunja tidak diakui kebenarannja oleh hakim Djerman. Tjonloh ke-5 : U ntuk memetjahkan suatu perkawinan, harus ada sjarat2. Peraturan tentang sjarat2 ini adalah berlainan di pelbagai negara. Biasanja hal inipun oleh para hakim dinegeri Belanda dianggap sebagai mengenai ketertiban umum, sehing ga dinegeri Belanda, misalnja suatu perkawinan antara orang2 Arab jang berdiam dinegeri Belanda hanja dapat dipeljahkan oleh hakim Belanda, apabila dipenuhi salah suatu dari empat sjarat, termuat dalam pasal '264 K.itat> Vlukum Perdana clati negeri Belanda (sama dengan pasal 209 B. W . Indonesia), jaitu ke-1, berzina dengan lain orang, ke-2, apabila satu pihak mening galkan pihak lain dengan sengadja, ke-5, apabila satu pihak selama perkawinan mendapat hukum an pendjara selama 4 tahun atau lebih, ke-4, apabila satu pihak melukai atau menganiaja berat pihak lain, sehingga membahajakan djiw anja. A d a kalanja suatu hukum perdata asing tidak mengenal sa lah suatu dari empat sjarat ini, misalnja jang mengenai huku man pendjara selama 4 tahun atau lebih. R u p a 2-nja dinegeri Belanda orang berpendapat, bahwa, meskipun demikian, pe m enuhan sjarat ini sudah tjukup bagi hakim negeri Belanda untuk memetjahkan suatu perkawinan antara dua orang asing jang dalam negeri aslinja tunduk pada hukum perdata asing 56
sematjam tersebut cliatas. Pendirian hakim Belanda ini tidak diperbolehkan oleh pasal 2 traktat multilateral jang dibentuk pada tabun 1902 di Den Haag perihal pertjeraian perkawinan. Pasal ini menentukan, bahwa pertjeraian perkawinan hanja boleh dilakukan, apabila diperbolehkan, baik oleh hukum per data nasional dari suami-isteri, maupun oleh hukum perdata dari tempat hakim jang akan memutuskan perkaranja. Tetapi traklat ini hanja berlaku bagi negara2 jang turut menandatanganinja atau jang diperbolehkan kemudian turut serta dan jang turut serta djuga. Oleh karena negeri- Arab tidak turut serta pada traklat tersebut, maka dalam tjontoh jang dikemukakan dialas, hakim negeri Belanda leluasa untuk melakukan penuh hukum perdata dari negeri Belanda. Sebaliknja, kalau pendirian para hakim negeri Belanda ini djuga dianut oleh negeri Ilali, jang hukum perdatanja sama sekali tidak mengizinkan suatu pertjeraian perkawinan, maka dua orang suami-isteri berbangsa Belanda jang berdiam dinegeri 1tali, sama sekali tidak akan mungkin mendapat pertjeraian dari hakim Itali. Maka mengingat prinsip timbal-balik, masih dapat dipersoalkan, apakah pendirian hakim Belanda dapat di pertanggung djawabkan. D ari tjontoh2 tersebut diatas ternjata, bahwa sukar sekah untuk mengadakan ukuran bagi pengertian ketertiban umum jang dipakai dalam pelaksanaan hukum perdata internasional. Penentuan suatu ukuran tertentu ini djuga amat dipersukar oleh kenjataan, bahwa pengertian ketertiban umum kini mengandung anasir2 mengenai perasaan, sedang penentuan ukuran adalah hasil pekerdjaan pikiran belaka. D alam Kitab Hukum Perdata jang berlaku di Indonesia bagi orang2 Eropah, Tionghoa dan Arab („Burgerlijk Wetboek”) ada terpakai perkataan ketertiban umum dalam pasal 1357 jang menentukan antara lain, bahwa dalam hal persetudjuan antara dua pihak tidak diperbolehkan suatu causa jang ber tentangan dengan ketertiban umum. 57
Causa dalam perhubungan hukum ialah hal jang menj ebabkan adanja perhubungan hukum, jaitu rangkaian kepentingan2 jang harus didjaga dan diperhatikan setjara jang termaktub dalam isi perhubungan hukum itu. K inipun adalah sukar untuk menetapkan, apa in concrelo ada terdjadi suatu pertentangan dengan ketertiban umum. Perlu dikemukakan, bahwa ketertiban umum, jang termaksud dalam pasal
1557 B. YV., mempunjai arti lain daripada ketertiban
umum dalam hukum perdata internasional. D alam hukum perdata internasional ketertiban umum menundjukkan suatu sifat dari hukum perdata nasional, terma suk djuga undang-undang, jang mengakibatkan, bahwa per aturan nasional itu harus tetap dilaksanakan, m eskipun ada anasir asing tertjampur dalam perhubungan hukum jang ber sangkutan. D alam pasal 1537 B. W . ketertiban umum disebut tlisamping undang-undang dan kesusilaan. Causa jang tidak diperbolehkan, ialah jang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, maka ketertiban um um disitu merupakan suatu anasir jang berada diluar suatu undang-undnng. Tetapi maknanja adalah sama, jaitu bahwa ke-dua2nja adalah terpakai dalam usaha untuk menjesuaikan hal sesuatu dengan apa jang di-tengah2 masjarakat dinegeri awak dirasakan sebagai hal jang tidak boleh diabaikan. Jang lebih mendekati pengertian ketertiban um um dalam u um perdata internasional ialah ketertiban um um jang diseut dalam pasal 25 A . B . jang menentukan, bahw a orang dengan perbuatan atau perdjandjian tidak boleh menghilangkan keku atan dari peraturan2 hukum jang mengenai ketertiban um um atau kesusilaan. D isitu ketertiban umum djuga menundjukkan suatu sifat antara lain dari beberapa peraturan hukum perdata, berlaku 58
di Indonesia jang mengakibatkan, bainva peraturan itu tidak boleh disampingkan oleh orang2 perseorangan, meskipun ada persetudjuan antara orang2 jang berkepentingan. Oleh ilmu pengetahuan hukum peraturan hukum seperti ini dinamakan dalam bahasa Belanda „dwingend recht” ( = hukum jang ber sifat memaksa). Sifat „tidak boleh disampingkan" dari sebagian hukum ini in concrelo djuga tidak selalu mudah dikenal, oleh karena sifat ini tidak selalu setjara terang dikatakan dalam isi peraturan, melainkan sering harus disimpulkan dari keadaan2 jang meliputi segala sesuatu jang berhubungan dengan peraturan itu. Perbedaan jang praktis antara ketertiban umum dari pasal 25 A . B. dan ketertiban umum dalam hukum perdata inter nasional terletak pada djumlah peraturan hukum jang dapat disampingkan. Ketertiban umum dari pasal 25 A. B. meliputi lebih banjak peraturan hukum daripada ketertiban umum dalam hukum perdata internasional.. Sebabnja demikian.
Selelah untuk lingkungan daerah hukum dari negeri awak ditetapkan, bagian mana dari peraturan hukum jang tidak boleh disampingkan, oleh karena ketertiban umum, maka ada hukum perdata internasional jang dalam beberapa hal menundjuk kepada hukum, perdata asing untuk dilaksanakan dengan nienjimpang dari hukum perdata nasional, djadi mungkin sekali djuga dari bagian hukum perdata nasional jang termasuk hukum ..memaksa” jang tidak boleh disampingkan oleh kemauan orang perseorangan. Dari hal menjampingkan hukum perdata nasional ini diketjualikan sebagian lagi dari bagian hukum perdata na sional itu jang tidak boleh disampingkan, oleh karena ketertiban umum lagi, akan tetapi ketertiban umum jang mengingat kepen tingan masjarakat nasional ter'hadap kepentingan dunia inter nasional. M enurut M artin VVolff dai am bukunja „Private International Law . halaman 176, para hakim di Inggeris agak ragu2 untuk 39
mempersoalkan, apakah sualu hukum asing ja atau tidak sesuai dengan asas2 keadilan jang dianut dinegeri Inggeris. R u p a 2-nja orang Inggeris sangat menghormati hukum negara asing jang menjimpang dari hukum negara Inggeris. Barangkali ini akibat dari dianutnja
prinsip-domisili
oleh
Inggeris dalam peraturan hukum perdata internasional mengenai penundjukan kepada hukum perdata asing. Sekiranja
ada
lebih
banjak
kemungkinan
seorang
hakim
dalam suatu negara akan menghadapi soal perhubungan hukum antara dua orang asing jang berdomisili dinegeri itu daripada menghadapi soal perhubungan hukum antara dua orang nasional jang berdomisili dinegara asing. D alam soal jang belakangan ini biasanja hakim dari negeri asing itulah jang menghadapi pernetjahan. soal. D a n oleh karena prinsip-domisililah jang dianut oleh Inggeris, maka dalam kebanjakan perkara jang mengenai hukum perdata internasional orang2 adalah berdomisili dinegeri Inggeris dan dengan sendirinja hukum Inggeris-Iah jang dilak sanakan oleh hakim2 dinegeri Inggeris. M artin W o lff menuturkan lagi dalam bukunja tersebut (ha lam an 177), bahwa hakim2 dinegeri Inggeris gemar menganggap banjak peraturan
hukum
sebagai
peraturan mengenai atjara
pemeriksaan perkara dimuka hakim. D a n Iazim nja dalam hu kum perdata internasional tentang atjara ini dianut peraturan2 jang berlaku bagi hakim jang akan memutuskan perkaranja. O leh karena tiada patokan jang tertentu bagi suatu negara untuk dengan mempergunakan pengertian ketertiban um um
menjampingkan hukum perdata asing dalam h a l2 jang menu rut hukum perdata internasional sebetulnja takluk pada hukum asing
itu,
maka
tiap2 negara praktis leluasa
mengadakan keketjualian
itu. Ini tentunja,
penuh
pada
untuk
hakekatnja,
bertentangan dengan maksud semula dalam mengadakan hukum perdata internasional, jaitu untuk seberapa boleh menghargai 40
hukum perdata asing jang tersangkut paut dalam perhubungan, lalu lintas antara pelbagai negara. Mal saling menghargai hukum perdata masing2 ini seharusnja dilakukan setjara ichlas, artinja harus diinsjafi betul2' oleh tiap2 negara, bahwa kebaikan hukum perdata masing2 tidak bersifat mutlak, kalau
dilihat
berhubungan
dari
melainkan sangat relatif, jaitu hanja.
sudut nasional belaka. Sudut nasional ini
erat dengan
keadaan alam
pikiran dan
alam
perasaan masing2 rakjat, jang mungkin sekali sangat berlainan satu sama lain. Kalau sualu negara menganut prinsip-kewarganegaraan dalam hal penundjukan kepada hukum perdata asing, pada pokoknja diakui kebaikan hukum perdata asing itu seluruhnja untuk warganegara dari negara asing itu. H anja apabila suatu negara mempunjai sualu peraturan hukum jang hampir cliseluruh dunia dianggap tidak baik,, misalnja peraturan jang masih memungkinkan ada orang budak belian („slavery”, „slavernij ), maka sekiranja tiada keberatan sedikitpun untuk mengabaikan peraturan sematjam itu. Kalau perbedaan antara pelbagai hukum perdata dari pel bagai
negara adalah akibat dari dua agama, jang masing-
amat banjak
penganutnja
didunia, jaitu
agama Islam
dan
agama Kerislen, misalnja hal monogami berhadapan dengan poligami atau hal alasan2 jang diperbolehkan untuk memetjahkan suatu perkawinan, maka orang harus sangat ber-hatidalam menentukan, bahwa suatu peraturan hukum asing ada lah bertentangan dengan ketertiban umum. Menurut pasal 18 Undang-undang Dasar Sementara R. I. se tiap orang berhak atas kebebasan agama, keinsjafan batin dan pikiran, sedang pasal 43, ajat 2 mengatakan : „Negara mendjamin kemerdekaan tiap2 penduduk untuk
memeluk agamanja
masing2 dan untuk beribadat menurut agamanja dan kepertjajaannja itu”. 41
P u n dinegeri Belanda pasal 174 „Grondwet mengatakan, bahwa orang dalam menganut suatu agama tidak boleh di halang-, ketjuali apabila orang itu melanggar hukum pidana. Keketjualian ini sudah semestinja dan sebetulnja tidak perlu ditekankan. Prinsip kebebasan agama ini disebut djuga dalam pasal 18 „Universal Declaration of H um an Rights” jang berbunji demi kian : „Everyone has the right to freedom of lhought, conscience and religion : this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom. either alone or in community witli otliers and in
public or private, to manifest his religion or belief in
'teaching. practice, worship and observance ”. Ini semua menundjukkan prinsip saling menghargai agama masing- dan tentunja djuga meliputi hal menghargai peraturan hukum jang berdasar atas agama masing2 itu. Sekiranja tidak sesuai dengan jang diuraikan diatas, apabila •dalam suatu negara A jang dalam hukum perdatanja menganut monogami, tidak memperbolehkan, bahw a seorang Arab, jang beragama
Islam,
dinegeri
A
itu,
sedang sudah
mempunjai
isteri, akan kawin lagi dengan seorang perempuan Arab. P un tidak sesuai, apabila dinegeri A tersebut seorang Arab tidak diperbolehkan memberi talak kepada istenn\a Udak dengan
«Aasan-
jnny oleli hukum perdata dari negeri A itu disebutkan
sebagai sjarat2 mutlak untuk memetjahkan perkawinan. D a n lagi harus diingat, bahwa kalau dua larangan tersebut didjalankan dinegeri A itu, maka selaku pertimbal-balikan harus diperbolehkan djuga, bahwa salah suatu negeri A rab meng izinkan orang suami vvarganegara dari negeri A itu, dinegeri A rab menikah lagi dengan lain perempuan warganegara djuga dari negeri A atau mengizinkan memberi talak kepada isterinja dengan tidak mengingati sjarat2 mutlak jang termaksud diatas. 42
Kalau konsekwensi ini diperhatikan betul2, maka sekiranja akan diperkeljil kemungkinan mengabaikan hukum perdata asing dalam hukum perdata internasional setjara memakai ketertiban umum sebagai alasan. Ranljangan undang-undang seragam tentang hukum perdata internasional jang akan diadakan dinegeri2 Benelux, memuat pasal 26 jang menentukan, bahwa peraturan2 dari undang-un dang seragam itu tidak berlaku, apabila a. Ketertiban umum menuntut tidak berlakunja undang-undang asing atau b. keter tiban umum menuntut berlakunja undang-undang awak.
B A G IA N
IV
Pelandjutan keadaan hukum Dengan istilah „pelandjutan keadaan hukum” saja maksud kan apa jang pada hukum perdata internasional dalam bahasa asing dinamakan „verkregen rechten” atau „vested rights” atau „droits acquis”. Dalam
perkataan2 ini „recht
„right” atau
„droit” tidak berarti seperti biasa, jaitu hak-hukum, melainkan keadaan hukum atau perhubungan hukum. D an „bescherming van verkregen rechten., atau „protection of vested rights” atau „protection des droits acquis
lindungi
hak2 atau
sebetulnja tidak berarti memper-
kekuasaan2 hukum,
melainkan
berarti
melandjuikan suatu keadaan hukum. Tudjitan
dari
pelandjutan keadaan hukum dalam hukum
perdata internasional adalah lain, bahkan sebaliknja daripada tudjuan pemakaian ketertiban umum dalam hukum perdata internasional. Seperti telah dikatakan dibagian III, pemakaian ketertiban umum dalam hukum perdata internasional ialah untuk menjebutkan suatu alasan guna melakukan hukum perdata nasional dalam hal jang sebetulnja hukum perdata asing harus dilak sanakan. 43
Sebaliknja, pelancljutan keadaan hukum dalam hukum per data internasional merupakan alasan untuk melaksanakan
hukum perdata asing. Diatas
dalam
bagian I sudah
pernah saja
singgung
hal
pelandjutan keadaan hukum ini sebagai suatu hal. jang menurut setengah orang, merupakan satu~-nja alasan untuk m enundjuk kepada hukum perdata asing. D an
memang dalam
banjak peristiwa, untuk mana hukum
perdata asing harus diturut, dapat dikatakan, bahwa alasannja diketemukan pada suatu pelandjutan keadaan hukum. ¡Malahan peraturan penundjukan seperti termaktub dalam pasal 16 A . B., jang berhubung dengan pasal 3 A . B., m enundjuk kepada hukum perdata asing bagi orang- asing jang berada di Indonesia, me makai perkataan ,.blijven verbindend” , hal mana m engandung anasir pelandjutan keadaan. D ju g a tentang pasal 1/ A . B. jang, perihal barang- tak ber gerak, menundjuk kepada hukum perdata dari negara atau tempat, dimana terletak barang2 itu, menurut Mr. V an Brakel dalam bukunja „Grondslagen en beginselen van Nederlandsch Internationaal P rivaatrecW , Viaiaman 95 <—96, dapat dikatakan, bahw a pasal itu berdasar atas prinsip pelandjutan keadaan, hukum, tetapi M r. M ulder dalam bukunja „Inleiding tot het Nederlandsch Internationaal Privaatrecht” , tjetakan ke II tahun 1947, halaman 12—■15, mengemukakan, bahw a menurut pendapatnja alasan itu harus diketemukan pada kenjataan, bahw a dilihat dari sudut perekonomian suatu peraturan dalam suatu negara tentang barang2 tak bergerak adalah begitu penting, sehingga
tiada
suatu
negarapun
akan
mengizinkan,
bahw'a
peraturan itu disampingkan dengan alasan, bahw a ada orang2 asing berkepentingan dalam hal barang2 tak bergerak itu. Sifat tetap dari suatu barang tak bergerak sifat m ana sesuai dengan anasir pelandjutan keadaan, memperkuat pendapat M r. van Brakel, akan tetapi terhadap Mr. M ulder djuga harus d i 44
akui, balnva dalam setiap negara barang tak bergerak merupa kan barang penting, kalau dilihat dari sudut perekonomian. Bagaimanapun djuga, adanja dua matjam pendapat ini sadja sudah menandakan, bahwa tidak dapal dipertahankan, bahwa pelandjutan keadaan hukum adalah salu--nja alasan untuk menundjuk kepada suatu hukum perdata asing. Pun
dalam
hal
pasal
18 A . B. jang menentukan, bahwa
segala perbuatan hukum dapat dilakukan menurut tjarci jang diatur dalam hukum dari negara, dimana perbuatan hukum itu dilakukan, M r van Brakel, dalam bukunja tersebut, berpen dapat djuga, bahwa alasan untuk mengadakan pasal sematjam itu dinegeri Belanda ialah suatu pelandjutan keadaan hukum. ¡Menurut hemat saja dapat diragu-ragukan ketetapan pendapat Mr. van Brakel tentang hal ini, oleh karena pasal ini sela ranja tidak berhubungan dengan suatu pelandjutan keadaan hukum, melainkan berdasar atas pertimbangan, bahwa suatu perbuatan hukum ada paling banjak berkemungkinan akan bermanfaat, apabila dilakukan menurut tjara jang biasa diturut ditempat perbuatan itu dilakukan, oleh karena tentunja peraturan tentang tjara itu boleh dianggap sesuai dengan keadaan dan segala2nja ditempat itu. Diatas saja katakan, bahwa dalam hukum perdata interna sional tudjuan dari prinsip pelandjutan keadaan hukum ada lah sebaliknja daripada tudjuan prinsip ketertiban umum. Dengan suatu tjontoh jang pernah saja kemukakan, perbedaan ini dapat digambarkan. A d a orang Arab, beragama Islam, disalah suatu negara Arab, mempunjai dua isteri dengan perkawinan sah. Kemudian ia ber-sama2 dua isterinja pergi ke negeri Perantjis dan disana mendapat anak dari dua2 isteri itu. Menurut peraturan penundjuk,
pada um umnja hukum
berlaku
dan
jang
perdata negeri Arab-Iah jang
memperbolehkan poligami
sampai empat
isteri, akan tetapi pada umumnja dinegeri Perantjis peraturan 45
tentang monogami dianggap sebagai peraturan mengenai keler tiban um um dalam pelaksanaan hukum perdata internasiona maka konsekwensinja ialah, bahwa perkawinan jang ke-2 harus dianggap tidak sah. A kan tetapi ini dianggap akan keterlaluan, oleh karena perkawinan terdjadi dinegeri A rab pada suatu waktu jang perkawinan itu adalah sah sama sekali. M aka sebagai keketjualian dari keketjualian oleh penguasa di Perantjis pun perkawinan jang ke-2 itu dianggap sah djuga, dengan akibat, bahwa anak2 jang lahir dari perkawinan itu, sah djuga dan dapat dimasukkan dalam daftar pentjalatan djiwa. Keketjualian jang ke-2 ini jang menganggap tolap sah perkaw'inan jang ke-2 itu adalah tak lain tak bukan beralasan pada pelandjutan keadaan hukum belaka. Lain tjontoh : Batas umur untuk mendjadi dewasa adalah berlainan dipelbagai negara. M isalnja dinegeri Swis 20 tahun, dinegeri Belanda 21 tahun, dinegeri H ungaria 24 tahun. Seorang Swis berumur 20 tahun berdiam di D en H aag meng adakan suatu perdjandjian
perdata, misalnja djual-beli, dua
tahun kemudian, djadi waktu ia sudah berumur 22 tahun, ia setjara naturalisasi mendjadi warganegara Hungaria. Pada waktu membikin kontrak di D en Haag, menurut peraturan penundjukan jang berlaku dinegeri Belanda, seorang Swis itu harus dianggap sudah dewasa, jaitu menurut hukum nasionalnja maka perdjandjian jang ia adakan, adalah sah. Setelah ia mendjadi orang Hungaria, ia mendapat perkara dim uka hakim mengenai perdjandjian djual-beli itu. O leh karena ia adalah seorang Hungaria, maka ia, jang berumur 22 tahun, menurut hukum Hungaria adalah belum dewasa, ini menurut peraturan penundjukan jang berlaku dinegeri Belanda. M aka dalam perkara dimuka hakim Belanda ia harus diw'akili oleh w'alinja. Bagaimana tentang perdjandjian djual-beli tadi ? K alau djuga tentang hal ini diturut hukum H ungaria, jang pada um um nja harus berlaku, maka perdjandjian djual-beli 46
ilu diadakan pada waktu orang itu masih belum dewasa djuga, dengan akibat, balnva seorang jang belum dewasa itu, dapat menuntut, supaja perdjandjian djual-beli itu dianggap tidak sah. Kalau dalam hal ini prinsip pelandjutan keadaan hukum diturut, maka harus dianggap, bahwa perdjandjian itu letap sah. Dari dua tjontoh ini ternjata, bahwa prinsip pelandjutan 'keadaan hukum dipakai untuk memperbaiki pelaksanaan prin sip ketertiban umum. Untuk apa ? 1 ak lain tak bukan untuk
lebih memenuhi rasa keadilan dari orang2 jang bersangkutan. Mungkin setengah orang tidak merasa puas dengan suatu* cdasan berdasar atas rasa keadilan, oleh karena terlalu kabur, kurang terang benderang guna mendjadi pegangan dalam pe laksanaan hukum. Memang,
kalau
diinginkan,
dapatlah
diketemukan
lain2
alasan, seperti misalnja kepastian hukum bagi orang jang me rupakan pihak lawan dalam perdjandjian djual-beli jang dia dakan oleh seorang Swis (kemudian mendjadi orang Hongaria) tadi. Kepastian hukum memang menghendaki, supaja kedudukan hukum
pihak
lawan
tadi
tidak
diumbang-ambingkan
oleh
tindakan pihak lain, in casu mendapatkan suatu naturalisasi. Akan tetapi apakah alasan kepastian hukum ini dapat dipakai untuk segala peristiwa jang mungkin terdjadi sematjam ini ? D alam
hukum
nasional soal pelandjutan keadaan hukum-
jang betul2 merupakan perlindungan hak- hukum jang sudah terdapat („bescherming van verkregen rechten ), sering digabung kan dengan suatu sjarat, jaitu kedjudjuran (,,goede trouw ), jang pada um um nja mengenai hak2 hukum dari orang ketiga („derden”). M isalnja pasal 1541 ..Burgerlijk Wetboek , ajat 2 berbunji : „Rechten, door derden te goeder trouw verkregen, op ■ de goederen, die het voorwerp waren van de nietige handeling, worden geeerbiedigd” ( = H ak2 hukum jang diperoleh pihak ke-
47
'
tiga setjara djucljur terhadap barang2 jang mendjadi pokok soal dari suatu perbuatan hukum jang dibatalkan, adalah dihormati). Pasal 1541 B AV. ini mengenai suatu penuntutan dimuka hakim jang dalam bahasa Latin dinamakan ..aclio pauliana . "Seorang A mempunjai hutang uang kepada seorang B. Sebelum hutang itu dilunasi, si A dengan tidak ada sebab apa- mengha diahkan barang2-nja jang berharga kepada seorang C
sehingga
B dirugikan, oleh karena kalau A kemudian tidak membajar hutangnja, tiada barang2 tjukup untuk menutupi hutang ilu. Pemberian hadiah kepada C dapat dibatalkan atas penuntutan B, apabila, baik A , m aupun C tabu, bahwa pemberian hadiah itu merugikan B. Kalau sebelum perkara ini dimadjukan, sebagian dari barangjang dihadiahkan itu, oleh C lelah didjual kepada D dan L) ini sama sekali tidak tahu menahu perihal perhubungan hukum antara A , B. dan C, maka disinilah ada hak2 hukum jang diperoleh D setjara djudjur terhadap barang2 jang ia beli dari C itu. D a n pembelian ini menurut pasal 1541. ajat 2 B. W . tidak dapat diutik-utik. Bagaimanakah halnja
dengan
soal
pelandjutan
hukum dalam Im kum pcrdalu internasional.
keadaan
1 entunja anasir
kedjudjuran dapat terselip didalam nja, artinja kalau ternjala tidak ada kedjudjuran dari salah suatu pihak, maka ada ke mungkinan besar soal pelandjutan keadaan hukum tidak akan dilaksanakan, akan tetapi harus diingati, bahwa hal kedjudjuran ini dalam hukum perdata internasional tidak digabungkan dengan soal pelandjutan keadaan hukum. Ini berakibat, bahwa, kalau tiada suatu pihak jang mengutarakan hal kedjudjuran itu, maka soal kedjudjuran
ini
tidak
akan
disinggung.
Lain
halnja dengan pasal 1541 B. W . , ajat 2. D isitu harus semula diutarakan dan diperbintjangkan hal kedjudjuran. In ilah per bedaan lain antara prinsip pelandjutan keadaan hukum dilapangan hukum perdata internasional dan prinsip itu dilapangan hukum nasional. -48
Seperti jang telah saja katakan dalam bagian mengenai ketertiban umum, pun dalam hal pelandjutan keadaan hukum adalah penting soal pertimbal-balikan „reciprociteit”. Bahkan dapat dikatakan, bahwa seluruh hukum perdata internasional pa da pokoknja harus berdasar atas prinsip pertimbal-balikan, oleh karena hanja dengan memperhatikan prinsip inilah akan terlak sana penuntutan saling harga-menghargai diantara pelbagai negara diantero dunia ini. H anja sadja udjud dari pertimbal-balikan ini adalah ber lainan dalam hal ketertiban umum dan dalam hal pelandjutan keadaan hukum. Dalam hal ketertiban umum pertimbal-balikan mengakibatkan orang mendjaga, supaja orang ber-hati2 dalam mempergunakan ketertiban umum sebagai alasan untuk meng utamakan hukum nasional, sedang dalam hal pelandjutan keadaan hukum pertimbal-balikan adalah mendorong seorang sapaja seberapa boleh memperhatikan pelandjutan keadaan hukum itu. Kalau suatu negara kurang memperhatikan hal pelandjutan keadaan hukum ini terhadap lain negara, maka tidak boleh diharapkan,bahwa negara lain itu akan memperhatikan hal pelandjutan keadaan hukum itu sepatutnja terhadap negara jang tersebut pertama tadi. Tim bul pertanjaan, sampai dimanakah negara2 masing2 akan memperhatikan prinsip pelandjutan keadaan hukum itu ? Sekiranja amat sukar untuk menetapkan batas jang tertentu tentang
hal
ini.
Paling tegas saja hanja dapat mengatakan,
bahwa suatu negara akan mungkin menghentikan perhatian prinsip pelandjutan keadaan hukum, apabila ternjata, bahwa dengan suatu pelandjutan keadaan hukum rasa keadilan dari rakjat akan tersinggung sedemikian rupa, sehingga pelandjutan keadaan hukum itu tidak dapat dipertanggung djawabkan. Saja mengerti betul, bahwa ukuran batas seperti jang saja katakan tadi adalah sangat kabur. D a n kalau seorang mengatakan, bah wa penjebutan ukuran batas seperti ini adalah sama dengan 49
tidak mengadakan ukuran, saja tidak dapat menjalahkan seorang itu seratus prosen. M aka sebetulnja keadaan- jang bersangkutan harus ditindjau satu persatu, sampai dimana pelandjutan ke adaan Iiukum itu sebaiknja akan diperhatikan. D a n kalau in concreto harus disebutkan suatu alasan tertentu untuk membatasi pelandjutan keadaan hukum itu. maka orang tidak boleh tidak akan kembali lagi kepada suatu alasan ber dasar atas ketertiban umum dari negara awak. Diatas saja mengemukakan, bahwa pemakaian alasan keter tiban umum diperbaiki oleh alasan pelandjutan keadaan hukum, tetapi sekarang ternjata, bahwa sebaliknja, kalau orang mulai menerdjunkan diri dalam kantjah pelandjutan keadaan hukum, hal ini, supaja memuaskan, pada suatu saat harus kembali ditjampuri lagi dengan alasan ketertiban umum. M aka akan selalu ada „wisselwerking
antara dua prinsip ini.
Dengan mengemukakan alasan pelandjutan keadaan hukum orang bertudjuan untuk menundjuk kepada suatu peraturan hukum asing. Masih mendjadi pertanjaan, hukum asing jang mana harus dilaksanakan. Peraturan2 penundjukan ja.ng ada, jaitu pasal 16, 17 dan 18 A . B., hanja mengenai bagian sedikit dari perhubungan2 hukum jang dapat diketemukan dalam per gaulan hidup dimasjarakat internasional. Pasal 16 A. B. Vianja mengenai
ketUuluknn ilan
kekuasaan
hukum
seorang
pada
umumnja untuk melakukan suatu perbuatan hukum, maka tidak mengenai isi suatu perhubungan hukum sebagai akibat dari per buatan hukum itu. Pasal 17 A .B . hanja mengenai barang2 tak bergerak, tidak mengenai barang2 bergerak. Pasal 18 A . B. hanja mengenai tjara melakukan suatu perbuatan hukum, tidak mengenai udjud dan isi perbuatan hukum itu. M aka untuk lapangan hukum jang tidak diliputi oleh tiga pasal tersebut orang masih
membutuhkan penegasan
tentang hukum
asing
jang mana harus dilaksanakan dalam hal pelandjutan keadaan hukum. 50
M elihat perkataan ..pelandjutan”, maka dengan sendirinja timbul pertanjaan, dimana mulai adanja keadaan hukum itu. D jaw abnja ialah : dimana keadaan hukum itu dilahirkan. Oleh karena keadaan hukum dilahirkan oleh suatu perbuatan hukum, maka pandangan orang harus diarahkan ketempat, dimana dilak nkan perbuatan hukum itu. Maka hukum dari tempat itulah (,,Iex ioci actus”). jang per-tama2 setjara tepat seharusnja diperhatikan. Tempat melakukan perbuatan hukum ini seringkali lain dari pada tempat pendiaman seorang jang melakukan perbuatan itu (prinsip-domisili). lain djuga dari pada tempat negara nasional asal dari seorang itu (prinsip-kewarganegaraan), lain djuga dari pada tempat Ietaknja suatu barang. Suatu tjontoh : D u a orang laki2 Perantjis jang sudah berumur lebih dari 30 tahun, djadi menurut hukum apapun djuga sudah dewasa, jang berdiam dinegeri Inggeris, pada waktu bepergian beristirahat berada dinegeri Swis, dimana mereka saling me lahirkan suatu perdjandjian djual-beli perihal barang 2 bergerak. Dalam hal ini menurut uraian dialas, hukum perdata dari negeri Swis jang harus dilaksanakan perihal isi dari perhubungan hu kum antara dua orang tersebut. Kalau perdjandjian djual-beli itu dilaksanakan dinegeri Swis djuga, maka tiada kesulitan. Lain halnja, apabila misalnja ba rang jang dibeli itu, belum diserahkan, kemudian orang- itu pergi kenegeri Belanda, dimana sipembeli menagih sipendjual untuk menjerahkan barang itu, penagihan mana diadjukan dimuka hakim Belanda. Timbul pertanjaan : tetapkah berlaku hukum Swis atau berlakulah sekarang hukum Belanda ? Seandainja di Swis peraturan tentang djual-beli adalah lain dari pada dinegeri Belanda, misalnja di Swis seorang pembeli sudah mendjadi pemilik barang pada waktu perdjandjian djual-beli disetudjui oleh kedua belah pihak, sedang dinegeri Belanda orang pembeli barang baru mendjadi pemilik barang itu setelah 51
barang itu diserahkan kepaclanja, maka tim bullah kesulitan tentang hukum jang mana harus dilaksanakan, hukum Negeri Swis atau hukum Negeri Belanda. Berhubung dengan kesulitan sematjam
ini
ada
pendapat
setengah orang jang lebih mengutamakan hukum dari negara d.'mana suatu perdjandjian dilaksanakan, daripada hukum dari negara, dimana perdjandjian itu dilahirkan. A da
suatu
perdjandjian
internasional
jang
setjara
terang
mendasarkan suatu peraturan pada suatu pelandjutan keadaan hukum, jaitu 1 raklat D en H aag dari tahun 1905 mengenai hu kum harta benda dalam perkawinan (..huwelijksgoedercnrecht ), Pasal 2 dari „Verdrag
itu berbunji :
A ja t 1 : Kalau dai a'm suatu perkawinan tiada perdjandjianperkawinan, maka akibat 2 dari perkawinan mengenai harta benda suami-isteri, baik barang 2 bergerak, m aupun barang 2 tak bergerak, tunduk kepada hukum nasional dari suaminja pada waktu perkawinan dilakukan. A ja t 2 : Perubahan kewarganegaraan dari suami-isteri atau salah seorang dari mereka dikemudian hari, liclcik dapat mem pengaruhi berlakunja hukum tentang harta benda dalam perka w inan, seperti tersebut dalam ajat 1 . K ini dengan terang dilandjutkan keadaan hukum pada waktu perkawinan dilakukan, meskipun kemudian barangkali ada perubahan atau kedudukan hukum suami-isleri berhubung dengan hal mendapat kewarganegaraan lain. B A G IA N
V
Penundjukan kembali („lerugwijzing” , „rcnvoi” ) Suatu peraturan penundjukan seperti pasal 16 A . B., setelah dilaksanakan pada suatu peristiwa tertentu dapat berakibat, bahw a seorang hakim menurut pasal tersebut berhubung dengan pasal 5 A. B. harus melaksanakan hukum
dari suatu negara
asing. M isalnja seorang A . bervvarganegara H ungaria, jang ber 52
umur 22 tahun dan berdiam di Djakarta, membikin suatu perdjandjian perdata dengan seorang Indonesia B. Menurut pasal 16 A . B. jo pasal 5 A . B. kedudukan hukum si A ikut pada hukum Hungaria jang menentukan, bahwa orang diang g a p dewasa baru pada umur 24 tahun. Maka A menurut hukum itu adalah belum dewasa. Ia digugat oleh B dimuka hakim di Djakarla. dimana A mengemukakan, bahwa perdjandjian antara A dan B adalah batal, oleh karena A belum dewasa pada waktu membikin perdjandjian itu. O leh karena menurut pasal 16 A. B. hukum Hungarialah jang berlaku, maka A harus dibenarkan. Kini sama sekali tiada kesulitan, oleh karena Hungaria djuga mempunjai suatu pera turan penundjukan serupa dengan pasal 16 A . B., jang menundjuk kepada hukum nasional dari seorang jang berkepentingan, i» casu hukum Hungaria djuga. Lain halnja apabila si A itu bukan seorang Hungaria, melain kan seorang Argentina. Hukum Argentina menentukan sebagai balas umur untuk orang dewasa ialah 24 tahun, maka A adalah bel um dewasa pula menurut hukum Argentina. Akan tetapi hukum Argentina memuat suatu peraturan penundjukan, jang tidak menundjuk kepada hukum nasional dari orang jang ber kepentingan, melainkan kepada hukum dari negara, dimana orang itu berdiam. Maka menurut peraturan penundjukan itu hukum Indonesialah jar(g in casu berlaku. D a n menurut hukum Indonesia A sudah dewasa, oleh karena batas umur untuk orang dewasa menurut ..Burgelijk W etboek’ adalah 21 tahun dan menurut hukum adat malahan lebih rendah lagi, jaitu disekitar atau 19 tahun. K ini timbul bentrokan antara dua matjam peraturan penun djukan. Penundjukan kembali dari hukum Argentina ini oleh ahli 2 hukum asing dinamakan „renvoi , oleh ahli hukum bangsa 18
Belanda djuga dinamakan „terugwijzing . Bagaimanakah seharusnja sikap hakim Indonesia dalam hal penundjukan kembali ini ? 53
Kemungkinan ke- 1 : Hakim dapat menolak penundjukan kembali ilu dengan beralasan seperli berikut : Penundjukan oleli pasal 16 A . B. bermaksud menundjuk kepada isi suatu liukum asing, jailu hukum nasional dari orang jting berkepentingan, bersandar atas kejakinan, bahwa sebaliknja isi liukum asing itulah jang harus berlaku dalam hal kedudukan Imkum seorang. Bukan maksud pasal 16 A . B. untuk menundjuk djuga kepada suatu peraturan penundjuk dari Imkum asing itu. sebab tidak lajak, apabila arti peraturan
penundjukan
dari
negara
nwnk
dikalahkan terhadap arti peraturan penundjukan dari negara asing. M aka dari itu peraturan penundjukan dari Argentina tersebut tidak diturut dan hakim tetap melakukan hukum Argentina dengan akibat, bahwa si A tersebut dianggap belum dewasa pada waktu membikin perdjandjian dan ia dapat me nuntut supaja perdjandjian itu dianggap batal.
Kemungkinan ke-2 : Hakim dapat
penundjukan
menerima kembali tersebut, oleh karena hakim berpendapat, bahwa jang ditundjuk oleh pasal 16 A.B. ialah hukum asing seluruhnja, termasuk djuga suatu peraturan penundjukan dari negara asing itu. Kalau hakim mengambil sikap seperti belakangan ini, maka selandjutnja ada dua kemungkinan lagi jaitu : Kemungkinan ke-2 a : Hakim menganggap, bahw a peraturan penundjukan asing itu bermaksud djuga m enundjuk kepada peraturan penundjukan dari negara awak, jaitu pasal 16 A . B. juncto pasal 5 A . B., dan pasal ini m enundjuk lagi kepada hukum asing, begitu seterusnja. M u d ah dapat dimengerti, bahwa tjara berpikir seperti ini tidak bermanfaat, oleh karena tidak menghasilkan suatu penjelesaian. Kemungkinan ke-2 b : H akim , setelah menerima penundjukan kembali dari peraturan penundjukan asing, tidak lagi melihat kepada peraturan penundjukan dari negara awak (pasal
16
A . B.), melainkan melakukan hukum Indonesia jang ditundjuk 54
oleh peraturan penundjukan asing itu. D an menurut hukum Indonesia seorang berumur 22 tahun adalah sudah dewasa, maka tiada alasan bagi A untuk menuntut pembatalan perdjandjian jang ia bikin dengan B dan ia harus dikalahkan oleh hakim. Baik Mr. van Brakel, maupun Mr. Mulder dalam buku2-nja masin g- tersebut diatas, berpendapat, bahwa soalnja harus diselesaikan menurut kemungkinan ke-1, jaitu bahwa peraturan penundjukan asing harus disampingkan. Van Brakel menekan kan, bahwa maksud peraturan penundjukan dari pasal 16 A . B. ialah untuk mengganti isi suatu peraturan hukum nasional (..materieel recht") dengan isi suatu peraturan hukum asing dan maksud itu tidak boleh dibelokkan oleh suatu peraturan asing. D an
lagi
oleh
menganggap
Brakel ditolak
Van
berlakunja peraturan
suatu pandangan jang
hukum asing itu sebagai
keketjualian daripada berlakunja peraturan hukum nasional. Kalau sifat keketjualian ini dianggap benar, maka dengan per aturan
penundjukan
asing jang menundjuk kembali kepada
peraturan hukum nasional itu, soalnja dikembalikan kepada hal jang biasa, jaitu berlakunja hukum nasional, maka kea daan biasa dianggap berlaku lagi. Menurut V an Brakel tidak begitulah halnja, bahkan ia ber pendapat. bahwa penundjukan kepada hukum asing ini tidak mengandung suatu kehormatan atau kebidjaksanaan ter hadap
hukum
asing
itu,
melainkan
mengandung
suatu
kejakinan, bahwa dalam hal ini dianggap lebih patut dan lebih tepat, apabila in casu bukan hukum nasional, melainkan hukum asing harus diturut. (lihat buku V an Brakel. halaman 60 — 6 l). M r. van Brakel, pada halaman 61 dari bukunja, menuturkan, bahwa di negeri Belanda para penulis hampir semua berpen dapat demikian djuga dan bahwa para hakim dinegeri Be landa hampir selalu menolak penundjukan kembali ini, akan tetapi, bahwa sebaliknja para hakim dinegeri Perantjis semua 55
menerima penundjukan kembali ini, sesuai dengan kemungkinan
2 b, jaitu lantas melakukan bukum Perantjis. M artin W o lff, dalam bukunja tersebut diatas, mentjeriterakan praktek dari para hakim dinegeri Inggeris sebagai berikut (halaman 195 dan seterusnja): D u lu , sebelum tahun
1926, para hakim dinegeri Inggeris
bersikap seperti para hakim dinegeri Perantjis, jailu menerima penundjukan kembali dan melakukan hukum Inggeris. M ulai dari tahun 1926 para hakim di Inggeris, dengan masih menerima penundjukan kembali itu, selandjutnja berpendirian, bahwa dalam mengambil suatu keputusan, hakim Inggeris harus „consi der himself sitting in the foreign country” ( = menganggap dirinja se-olah2 bersidang sebagai hakim dinegeri asing jang bersangkutan). W o lff menuturkan lagi, bahwa sebagai hasil dari tjara berpikir ini ialah, bahwa hakim Inggeris mela kukan peraturan penundjukan asing seperti jang dilakukan oleh hakim dinegeri asing itu. Hakim Inggeris bersikap demikian dalam suatu perkara sebagai berikut : Seorang warganegara Inggeris berdiam (domisili) dinegeri Perantjis, membikin suatu surat hibah wasiat „testament , dalam mana ia memberikan semua harta bendanja kepada orang- jang bukan keluarganja dan dengan ini anaknja sendiri tidak men dapat apa2. M enurut hukum Inggeris hibah wasiat seperti ini adalah sah, diperbolehkan, sedang menurut hukum Perantjis hibah wasiat ini hanja sah mengenai dua pertiga dari cljumlah harta bendanja. D alam hal ini hakim Inggeris berpikir demikian : M enurut peraturan penundjukan Inggeris, hukum jang dianggap berlaku ialah hukum dari negara, dim ana orang tersebut ber diam, djadi hukum Perantjis, hukum Perantjis clalam peraturan penundjukannja m enundjuk kepada hukum nasional dari orang itu, jaitu hukum Inggeris. A kan telapi hakim Perantjis mentafsirkan soal peraturan penundjukan ini sedemikian rupa, 56
bahwa, apabila hukum Inggeris menundjuk kepada hukum Perantjis. penundjukan kembali ini akan diterima dan hukum Perantjislah jang dilakukan. Maka dari itu hakim Inggeris menjesuaikan diri dengan pendirian hakim Perantjis itu. dan dalam hal ini toh melakukan hul
Pemerintah
dan
Djawatan
Pentjatatan
Djiw a
dua2-nja
menerima penundjukan kembali, b.
„Raad van Indie” dan „Hooggerechtshof
dua--nja pernah
menasihatkan kepada pemerintah untuk menolak penun c.
djukan kembali itu ; tetapi para hakim, termasuk „Hooggerechtshof sendiri pada suatu waktu, memperlihatkan kesan, bahwa mereka menerima penundjukan kembali itu. Perlu ditjatat disini, bahwa menurut penjelidikan Mr. Lemaire
itu, hanja ada satu putusan „Hooggerechtshof” dari tahun 1956, satu putusan dari „Raad van Justitie” di Medan dalam tahun 1925, satu „beschikking” dari „Raad van Justitie ’ di Djakarta 57
dalam tahun 1934 dan suatu pulusan dalam ,.l
untuk menerima penundjukan kembali itu.
• Selandjutnja M r . Lemaire mengemukakan pendapatnja ten tang pertanjaan : Bagaimanakah sikap jang seharusnja diambil di Indonesia peiilnaJ penundjukan kembali ini ? Setelah mengutarakan, bahwa hal sesuatu tentang hal ini harus disandarkan tidak pada suatu prinsip umum, melainkan pada suatu peraturan hukum jang tertentu berlaku di Indonesia „positief recht , Mr. Lemaire menindjau salah suatu dari per aturan
penundjukan, jaitu
pasal 16 A . B. dan pada arhirnja
ia sampai kepada suatu „rechtsverfijning
dari pasal tersebut.
Sebagai diketahui ,,rechtsverfijning adalah sebaliknja dari pada penafsiran hukum setjara „analogi”. „A na lo g i” terdjadi, apa ila suatu peraturan hukum menjebut dengan tegas suatu edjadian jang diatur, akan tetapi peraturan itu dipergunakan
3 bagi kedjadian lain jang terang tidak disebut dalam peraturan itu, sedang „rechtsverfijning ( = pelembutan hukum) ter ja i, apabila suatu kedjadian pada um um nja terang masuk ise ut dalam suatu peraturan hukum, akan tetapi karena beerapa hal dianggap, bahwa kedjadian ini toh diketjualikan dari berlakunja peraturan itu. Pasal 16 A . B. menentukan, bahwa peraturan 2 hukum nasiona mengenai kedudukan dan kekuasaan hukum tetap berlaku bagi para warganegara Indonesia (dulu : „Nederlandsch onderaan ), apabila mereka berada diluar-negeri. Setjara analogi ' pasal ini dianggap djuga, bahwa setiap orang asing jang iam i Indonesia, tetap takluk pada peraturan 2 hukum nasionalnja mengenai kedudukan dan kekuasaan hukum. •58
asal 16 A. B. ini, selelah seljara analogi dilebarkan sajapnja, menurut Mr. Leniaire. Iiarus diperlembutkan („verfijnd”) lagi seljara demikian, bahwa pelebaran sajap (analogi) ini tidak dilakukan lagi, apabila dalam Indonesia berdiam orang2 asing berasal dari suatu negara, jang mendasarkan peraturan penundjukannja pada prinsip-domisili, seperti negeri Inggeris, Ame rika Serikat dan lain 2 sebagainja. Inilali kesimpulan dari Mr. Lemaire, jang didasarkan pada alasan- jang dikemukakan setjara pandjang lebar.
Pendapat sendiri. (.■ Pada permulaan buku ini saja sudah mengemukakan, bahwa"/ tudjuan dari hukum perdata internasional ialah untuk meme nuhi rasa keadilan, baik dari masjarakat nasional, maupun dari masjarakal negeri lain jang bersangkut paut dalam suatu per istiwa jang mengandung anasir2 asing. Sesuai dengan ini. maka suatu peraturan penundjukan kepada suatu hukum asing berludjuan untuk memenuhi rasa keadilan golongan manusia jang biasanja tunduk pada hukum asing itu. Kalau menurut pasal 16 A. B. ditundjuk in casu kepada hukum Inggeris bagi orang2 Inggeris jang berdiam di Indonesia, maka dengan penundjukan ini diusahakan memenuhi rasa ke adilan masjarakat Inggeris, termasuk anggota2-nja berupa orang2 Inggeris jang berdiam di Indonesia. Bahwa berlakunja hukum Indonesia bagi orang2 warganegara Indonesia jang berdiam di Indonesia, adalah memenuhi rasa keadilan masjarakat Indonesia, boleh dikatakan sudah selajaknja. Kalau sebaliknja ada peraturan Inggeris menundjuk kepada hukum dari negara, dimana orang2 Inggeris berdiam, maka boleh dikatakan, bahwa rasa keadilan masjarakat Inggeris dipe nuhi dengan berlakunja hukum dari tempat pendiaman itu bagi orang2 Inggeris, in casu hukum Indonesia. Dengan ini ada pentjotjokan pendapat antara pendirian Indonesia dan pendirian Inggeris dalam suatu hal jang tertentu perihal memenuhi rasa 59
keadilan ke-dua2 golongan manusia, jaitu masjarakat Indonesia dan masjarakat Inggeris. Kalau dilihat dari sudut ini, maka tudjuan adanja peraturan penundjukan dari pasa I 16 A . B. tertjapai penuh, apabila dalam hal orang 2 Inggeris jang berdiam di Indonesia, berlakulah hukum Indonesia tentang kedudukan dan kekuasaan hukum. Tidak perlu dihiraukan lagi, apakah dalam hukum Indonesia ini termasuk djuga peraturan penundjukan kepada hukum asing tadi. O leh orang 2 jang menolak penundjukan kembali dikemukakan, bahwa konsekwensi dari penerimaan penundjuk an kembali ialah, bahwa setelah diterima penundjukan kem bali itu, maka menurut peraturan penundjukan nasional harus ditundjuk kembali lagi kepada hukum asing, begitu seterusnja dengan tiada habisnja. Konsekwensi ini menurut hemat saja sama sekali tidak tepat dikemukakan sebagai barang jang njata. T udjuan hukum per data internasional jang saja kemukakan, lelah terljapai, maka tidak perlu lagi dipikirkan, apakah harus ditundjuk kembali lagi kepada hukum asing. Maka saja setudju dengan pendapat jang sesuai dengan ke mungkinan 2 b tersebut d ia la s .__ t Pendapat saja ini ternjata sesuai dengan jang dianut dalam undang-undang seragam tentang hukum perdata internasional, jang akan diadakan di negeri2 Benelux (Belgi, Nederland dan Luxemburg). D alam Konperensi Den H aag ketudjuh tentang hukum per data internasional, jang diadakan pada tgl. 9-51 Oktober 1951, dibentuk suatu rantjangan persetudjuan („ontwerp-conventie”) diantara beberapa negara untuk memetjahkan soal2 hukum perdata internasional mengenai bentrokan antara undangundang nasional dari seorang jang berdiam di negeri asing, disatu pihak dan undang-undang dari negeri asing itu dilain pihak, hal mana meliputi soal ,,renvoi” . 60
B A G IA N
VI
Pcifil) indaran pelaksanaan liukmu („wetsontduiking”) Saja mulai dengan mengemukakan beberapa tjontoh. Tjontoli ke- 1 : D i negeri Itali suami-isteri tidak diperboleh kan bertjerai. A d a suami-isteri berwarganegara Itali pergi kenegeri Belanda dan disana dinasionalisir mendjadi warganegara (bangsa) Belanda dan disana bertjerai. Hakim di negeri Itali mungkin sekali akan menganggap pertjeraian itu tidak sah. Tjontoh ke-2 : Seorang Belanda di Indonesia jang ingin memberikan suatu hibah („sehenking ) kepada lain orang me nurut pasal 1682 B. W . harus melakukannja dimuka notaris. Mereka pergi ke negeri Swis, dimana untuk pemberian hibah tidak diperlukan suatu akta notaris dan disana melakukan pem berian dan penerimaan hibah. Menurut pasal 18 A.B. tjara melakukan suatu perbuatan hukum adalah sah, apabila tentang hal itu diturut hukum dari negara, dimana perbuatan itu dila kukan. M aka pemberian hibah jang dilakukan di negeri Swis itu adalah sah. A kan tetapi mungkin sekali seorang hakim Indo nesia akan tidak menganggap sah pemberian hibah itu. Tjontoh ke-5 : Seorang Belanda A di Indonesia mempunjai seorang anak, jang tidak disenangi olehnja dan ia ingin mem bikin suatu hibah wasiat jang menjampingkan anak itu sama sekali sebagai ahli waris. Menurut pasal 915 juneto .pasal 914 B. W . si A tidak dapat mengutik-utik separo dari barang2 warisan jang merupakan „Iegitieme portie ( = bagian jang ditetapkan oleh undang-undang) dari seorang anak itu. Kemu dian A pergi ke negeri Inggeris, dimana tidak ada peraturan tentang „Iegitieme portie” itu dan disana ia seljara naturalisasi mendjadi w'arganegara Inggeris. Kemudian ia bikin hibah wasiat menurut tjara jang lazim diturut di negeri Inggeris jang berbunji, bahw'a ia memberikan semua barang 2 peninggalannja kepada orang 2 lain dari pada anaknja sendiri. Kalau di Inggeris, seperti 61
lazimnja dianggap, bahwa dalam hal mewaris hukum nasional dari jang meninggal dunia adalah berlaku, maka hibah wasiat ini adalah sah. A kan tetapi dapat di-ragu-kan, apakah hakim Indonesia djuga akan menganggap sah hibah wasiat itu. Tjontoh 2 tersebut diatas adalah mengenai penghindaran pelaksanaan suatu peraturan hukum. Mula- peraturan hukum itu merupakan suatu peraturan nasional bagi seorang dan berlaku djuga baginja, akan tetapi kemudian sebagai akibat dari suatu perbuatan seorang itu tidak berlaku lagi menurut suatu pera turan hukum perdata internasional dari negara nasional seorang itu sendiri. D alam hal ini rasa keadilan menuntut, bahwa hukum nasional dianggap tetap berlaku dalam peristiwa2 jang bersangkutan. Sekedar mengenai
tetap berlakunja
hukum
nasional,
soal
penghindaran pelaksanaan hukum ini, tentang tuAfuannja men dekati pada soal ketertiban umum dalam hukum perdata internasional. Seperti diatas sudah diutarakan, dalam hal 2 jang menurut hukum perdata internasional harus dilaksanakan suatu hukum asing, toh kadang 2 harus tetap dilaksanakan hukum nasional, apabila ini dituntut oleh ketertiban umum. Maka dua2-nja bertudjuan untuk m endjundjung tinggi suatu peraturan hukum nasional. Perbedaannja ialah, bahwa dalam hal ketertiban umum pada um umnja suatu hukum nasional dianggap tetap berlaku, sedang dalam hal penghindaran pelak sanaan hukum, tetap berlakunja hukum nasional itu dianggap tepat pada suatu peristiwa jang tertentu, oleh karena kini ada seorang jang, untuk mendapat berlakunja suatu hukum asing, melakukan suatu tindakan, jang bersifat menghindarkan pelak sanaan hukum nasional itu. Soal
penghindaran
pelaksanaan hukum
adalah
tentangan
belaka dari soal pelandjutan keadaan hukum. D alam hal pelandjutan keadaan hukum dipertahankan ber lakunja hukum asing, meskipun kemudian dengan suatu tin.62
elakan, misalnja kepindahan tempat pendiaman kenegara awak„ tertjipta suatu perhubungan hukum jang erat antara orang2 asing dan negara awak ini. D ai am hal penghindaran pelaksanaan hukum seorang nasio nal dengan suatu perbuatan menempatkan diri dalam suatu keadaan hukum, dimana hukum asing pada umumnja berlaku„ akan tetapi, meskipun demikian, dianggap tetap berlaku hukum nasional seorang itu. m
Sifat soal. Melihat arti kata biasa dari perkataan „penghindaran”, makasoal
penghindaran
pelaksanaan
hukum
mengandung
anasir
perseorangan, anasir subjektif, jaitu suatu maksud seorang untuk terluput dari berlakunja hukum nasional. D an memang biasanja dalam keadaan 2 jang konkrit selalu ada maksud seorang itu. A kan tetapi ada kalanja kedjadian dalam tjontoh ke-3 seorang jang membikin suatu hibah wasiat, sesudah mendjadi warganegara asing, adalah sangat kebetulan ia terhindar dari ber lakunja hukum nasional asli tentang „legitieme portie . djadi sama sekali tidak dengan maksud untuk menghindarkan diri, tegasnja ia tidak tahu adanja peraturan dinegeri nasional asli perihal „legitieme portie” itu. Dalam hal ini ternjata tidak ada anasir subjektif. Nah, pun dalam peristiwa jang belakangan ini dirasakan djuga, bahwa hukum nasional asli seharusnja
tetap berlaku. M aka
pada pokoknja
adalah tidak diperdulikan ada atau'
tiadanja maksud seorang jang berkepentingan untuk menghin darkan hal sesuatu. K alau memang soal penghindaran
pelaksanaan hukum
ini
dianggap bersifat objektif, maka dirasakan perlu adanja sjarat objektif bagi hukum nasional jang harus dipertahankan terus. 63
meskipun pada um um nja menurut Iiukum perclala internasional dari negara jang bersangkutan itu sendiri seharusnja Iiukum asinglah jang berlaku. Sjarat objektif itu harus ditjari dalam isi peraturan hukum itu, jaitu kalau menurut maksud dan tudjuannja peraturan hu kum itu adalah sedemikian pentingnja, sehingga dirasakan ber tentangan dengan rasa keadilan, apabila dengan sualu tindakan jang m udah sadja berlakunja peraturan hukum itu dapat di hindarkan. Dengan ini saja sampai pada suatu soal jang mendekati soal pentafsiran suatu peraturan hukum. Seperti halnja dengan soal melebarkan sajap hukum (analogi) dan soal pelembutan hukum („rechtsverfijning ), kinipun orang berusaha, supaja tertjapai maksud dan tudjuan jang sebenarnja dari suatu peraturan hukum. K alau tidak demikian, kalau dibiarkan sadja seorang setjara m udah dengan suatu perbuatan dapat begitu sadja menghin darkan diri dari pelaksanaan
suatu
peraturan
hukum,
maka
pembentuk undang-undang pada chususnja danpentjipta hukum pada umumnja akan selalu ditertawakan sadja oleh orang 2 jang bertabiat kurang baik. D alam hal ini harus diperhatikan, bahwa tiada buah per buatan orang2 manusia jang sempurna. O le h karena pembentuk suatu undang-undang adalah orang 2 manusia belaka, maka tidak dapat setjara sempurna suatu undang-undang dengan kala2 jang dipakai akan memenuhi maksud dan tudjuannja. M aka dari itu sering kedjadian dalam suatu undang-undang ada termuat pasal2 jang melulu bermaksud untuk mendjaga, djangan sampai orang dapat menghindarkan diri dari pelaksana an undang-undang atau diusahakan mentjapai ini setjara mem beri pendjelasan resmi kepada suatu undang-undang. 64
M alai ian menurut Martin W o lff dalam bukunja, halaman 142 pernah terdjadi di Amerika Serekat suatu Panitia merantjangkan suatu „Marriage Evasion A ct” ( = peraturan perihal penghin daran pelaksanaan hukum tentang perkawinan) jang mengatur hal perkawinan, jang dilakukan dalam suatu negara tetangga melulu untuk menghindarkan diri dari atau memperkosa pe laksanaan
hukum
jang berlaku ditempat pendiaman orang2
jang bersangkutan. Mr. van Brakel dalam bukunja tersebut diatas halaman 90 tjatatan kc-4, mentjeriterakan, bahwa para hakim di negeri Perantjis semua mengutamakan anasir „subjektif” dari seorang jang berkepentingan dan menganggap perbuatan seorang jang memperoleh nasionalisasi dinegeri asing untuk menghindarkan diri dari pelaksanaan suatu peraturan hukum nasional, sebagai suatu perbuatan jang bersifat pura- („défaut de sincérité” — ketiadaan kemauan jang benar), artinja dianggap, bahwa seorang itu sebelulnja sama sekali tidak gemar kepada kebangsaan dari negeri asing itu. Dengan sikap demikian dari para hakim di negeri Peranljis dapat dimengerti, bahwa hakim Perantjis akan mudah menganggap adanja penghindaran pelak sanaan hukum nasional dan akan mudah tetap melakukan hu kum nasional dengan tidak memperdulikan apa jang terdjadi dinegeri asing. D i negeri Inggeris rupa’--nja sikap para hakim adalah sebaliknja, jailu mudah mengakui berlakunja hukum asing, meskipun tertjapainja maksud akan mendapat berlakunja hukum asing itu, adalah se-mata2 bersifat menghindarkan diri dari pelaksana an hukum nasional. Terkenallah peristiwa, bahwa seorang laki2 dan seorang perempuan Inggeris jang mau berkawin, akan tetapi ada halangan berdasar atas suatu peraturan hukum Inggeris, tjukup pergi ke Gretna Green didaerah Scotland, dimana segaia perkawinan dapat dilakukan dan perkaw'inan itu selalu diakui sah di negeri Inggeris. 65
B A G IA N
V II
H a l pilih hukum (rcchtskcuze) D ari segala uraian dialas dapat disimpulkan, balnva dalam hal hukum perdata internasional soal penting jang meliputi matjam 2 persoalan
ialah
soal hukum
mana
jang dianggap
berlaku dalam suatu perhubungan hukum perdata dalam suatu negara, jang didalamnja terkandung anasir2 asing. O leh karena hukum pada umumnja mengatur tingkah laku orang 2 manusia dan dalam soal hukum perdata internasionalpun selalu tersang kut paut kepentingan orang2 manusia jang berdaulat dalam mempunjai keinginan2, maka timbullah perlanjaan, sampai dimanakah pihak 2 jang berkepentingan itu dapat meunuljudkan keinginannja dalam suatu perhubungan hukum perdata inter nasional. Dengan lain perkataan : sampai dimanakah ada ..partij-autonomie ( = kedaulatan pihak jang berkepentingan) dalam hal hukum perdata internasional. D alam uraian 2 diatas perihal pelbagai asas dalam hukum perdata internasional selalu m untjul soal memilih hukum mana jang berlaku diantara pelbagai golongan hukum. Jang penting ialah pemilihan : (a) antara hukum nasional dari hakim jang akan memutus (,,Iex fori”) dan hukum asing, ©
antara hukum nasional dari orang2 jang berkepentingan dan hukum dari negara, dimana orang 2 itu berdiam,
©
antara hukum nasional dari orang2 jang berkepentingan dan hukum dari negara, dimana terletak barang 2 jang mendjadi objekt perhubungan hukum,
©
antara hukum nasional dari orang2 jang berkepentingan dan
hukum
dari negara,
dimana dilakukan
perbuatan 2
hukum jang bersangkutan (perihal tjara melakukan per buatan hukum). 66
©
antara hukum dari negara» dimana suatu perdjandjian perdata dilahirkan dan hukum dari negara, dimana per djandjian itu dilaksanakan.
Sebagai diketahui, bagi Indonesia ada tiga peraturan hukum termuat dalam undang-undang jang mengandung penundjukan kepada suatu golongan hukum tertentu, jaitu : ke-1 : pasal 16 A . B . jang perihal kedudukan dan kekuasaan /hukum mcnundjuk kepada hukum nasional dari orang2 jang berkepentingan. ke-2 : pasal 17 A . B. jang perihal barang- tak bergerak menundjuk kepada hukum dari negara, dimana terletak barang- itu. ke-5 : pasal 18 A.B. jang perihal tjara melakukan suatu perbuatan hukum menundjuk kepada hukum dari negara, dimana perbuatan hukum itu dilakukan. Menurut kala- dari tiga pasal tersebut dalam tiga matjam soal ini tiada tempat bagi „partij-autonomie”. Disitu tidak ada suatu ketentuan, bahwa pihak 2 jang berkepentingan, kalau perlu, dapat menjimpang dari jang ditetapkan dalam undangundang itu sebagai golongan hukum jang harus dianut. A kan tetapi saja rasa masih dapat di-ragu--kan, apakah da lam melaksanakan liga pasal tersebut dalam praktek tiada ke mungkinan untuk memberikan sekedar pengaruh kepada kemauan pihak 2 jang berkepentingan. D a n lagi djuga dapat dikatakan : oleh karena dalam tiga pasal tersebut liclak disebutkan suatu larangan tertentu untuk menjimpang dari peraturan itu dalam keadaan bagaimanapun d juga, maka orang harus dianggap boleh menjimpang dalam keadaan 2 istimew'a^ D ialas sudah diterangkan, bahwa pelaksanaan pasal 16 A . B. dapat
dibelokkan
dari
djurusan
jang dimaksudkan
dengan
alasan 2 berdasar atas ketertiban umum dari negara awak. Djuga terlihat diatas
ada pelbagai pendapat tentang kemungkinan 67
menundjuk kembali kepada hukum suatu negara jang semula mengadakan penundjukan kepada hukum negara asing. Lagi pula terlihat hal saling mempengaruhi dari prinsip kelerliban um um dan prinsip pelandjutan keadaan hukum. D alam in concreto memilih golongan hukum jang mana harus dilaksanakan, para hakim dari suatu negara tertentu sekiranja kadang 2 terpaksa menengok djuga
kepada
kemauan
p ihak-
j ang berkepentingan. G u n a a p a ? l a k lain tak bukan guna_ memenuhi rasa keadilan berhubung dengan suatu kedjadian tertentu in concreto. Pada pokoknja rasa keadilan inilah jang tidak boleh diperkosa. Jang saja katakan ini, lebih 2 berlaku untuk lapangan lain dalam hukum perdata internasional jang tidak diliputi oleh pasal2 16, 17 dan 18 A . B. dan terutama jang mengenai soal hukum perdjandjian perdata. D alam hal hukum kekeluargaan dan hukum warisan sekiranja pengaruh kemauan sendiri dari pihak jang berkepentingan adalah kurang. Ini m udah dapat dimengerti berhubung dengan sifat bagian 2 hukum itu, jang me nempatkan seorang manusia dalam suatu gerombolan tertentu jang dengan suatu peraturan tatatertib ada daja mengikat ter hadap anggota2-nja masing 2 P okok sifat dari hukum perdata pada um um nja ialah, bahwa titik berat berada dalam kepentingan orang 2 perseorangan, hal mana baru mengandung arti jang njata, apabila pengaruh ke mauan orang2 perseorangan tidak diabaikan, bahkan diutam akin sepatutnja. Betul hukum mengatur tingkah laku orang 2 manusia untuk keselamatan masjarakat, akan tetapi pada achirnja orang 2 per seoranganlah jang merasakan benar 2 pahit-getir dari pelaksanaan hukum pada badan dan sanubari masing2. M engingat hal ini, pun dalam hukum perdata internasional pada hakekatnja harus didjundjung tinggi kedaulatan pihak 2 j ang berkepentingan untuk menentukan, golongan hukum jang m ana dalam suatu perhubungan hukum tertentu harus diturut.
68
Terutama ~ sekali lagi — dalam hal hukum perdjandjian per data. climana banjak hal sesualu berdasar atas sualu perseludjuan antara dua pihak atau lebih. Ini pokoknja. Tenlunja ada batas2 dari kedaulatan pihak 2 jang berkepentingan itu. Batas2 ini terutama terletak pada soal2 kepentingan negara dan kepentingan masjarakat berupa kesu silaan dan sopan sanlun (..moraal" dan ..fatsoen”). D alam hukum nasional ada batas jang tertentu berupa per aturan- hukum jang, berdasar atas kepentingan ketertiban ^limiiri- usti diturut oleh para pihak („dwingend recht”, lihat pasal 2 o A . B.). M artin W o lff dalam bukunja tersebut diatas, halaman 418 menuturkan, bahwa hukum Inggeris berpokok-pangknl pada kedaulatan lak terbatas dari para pihak jang mengadakan per djandjian. Sekiranja ini hanja penjebutan suatu hahehat sadja seperli halnja dengan jang saja katakan diatas dan tentunja ada batas2. H u k u m 2 manakah dapat ditundjuk oleh para pihak jang berkepentingan sebagai hukum jang berlaku bagi suatu per hubungan
Iiukum ? Ini
adalah
mungkin hukum dari tempat
dimnna suatu perdjandjian dilahirkan atau dari tempat, dimana perdjandjian harus dilaksanakan atau dari tempat pendiaman kedua belah pihak atau salah suatu dari mereka atau dari tem pat dimana terletak barang 2 jang mendjadi objekt suatu persetudjuan atau hukum nasional dari salah suatu pihak. L ain soal ialah bagaimana orang dapat mengetahui betul2 kemauan pihak 2 jang berkepentingan untuk menundjuk kepada suatu golongan hukum. K alau dalam surat persetudjuan ditetapkan terus terang, hukum mana jang dimaksudkan harus diturut, maka kesulitan tidak ada. Tetapi sering, malahan barangkali biasanja terdjadi
tidak disebutkan dengan kata 2 jang terang hal hukum jang ditundjuk itu. D isinilah mulai adanja kesulitan untuk mengeta hui maksud 2 jang sebenarnja dari para pihak. 69
O le h karena lidak mengetahui betul-, orang hanja clapat me-raba2, apa jang barangkali dimaksudkan oleh para pihak. M ungkin sekali adanja suatu maksud dapat disimpulkan dari pemakaian suatu perkataan atau suatu pengertian jang menan dakan, bahwa para pihak mengingat pada suatu golongan hu kum tertentu.
'f
a
>f
----- -
'
Kalau misalnja dalam suatu perdjandjian antara seorang Indonesia dan seorang Turki ada pemberian uang lebih dulu dengan memakai perkataan ..pandjer’ , jang hanja terkenal dalam hukum adat di Indonesia, maka dapat diambil kesim pulan, bahwa djalan pikiran para pihak mengalir kearah beri akunja hukum adat Indonesia dalam perhubungan hukum jang mereka tjiptakan.
•_
Djustru dengan adanja kesulitan ini, maka disamping anasir subjektif ini harus ditjarikan anasir objektif dari persetudjuan antara kedua belah pihak, jaitu sifat dari persetudjuan itu. Dengan lain perkataan, harus d itja ri^u k u m jang mana adalah sesuai dengan atau mendekati pada isi, maksud dan tudjuan dari, persetudjuan itu. U ntuk ini tidak tjukup orang melihat pada kata 2 jang dipakai dalam persetudjuan, melainkan harus diperhatikan d(uga keadaan 2 jang terlihat clisekitar persetudjuan itu. : ' ‘ D alam hal ini adalah penting diketahui adat kebiasaan jang perihal persetudjuan jang bersangkutan
dianut
dalam
dunia
masjarakat internasional. Sekiranja dalam perdagangan inter nasional ada banjak hal 2 jang boleh dianggap diketahui betul 2 oleh pihak 2 jang berkepentingan. Konperensi Den Haag ketudjuh tentang hukum perdata internasional, jang berlangsung pada tanggal 9-51 Oktober 1951, membentuk rantjangan persetudjuan („ontwerp-convenlie ) diantara beberapa
negara mengenai djual-beli barang 2 bergerak
serta bertubuh, jang bersifat internasional, dalam rantjangan mana tentang ..partij-autonomie’’ ditetapkan, bahw a dalam hal 70
djual-beli internasional berlakulah undang-undang nasional jang dipilih oleh kedua belah pihak, sedang kalau pemi Ilhan hukum ini tidak diadakan, maka barulah berlaku pelbagai per aturan dalam rantjangan persetudjuan itu jang menentukan dalam beberapa hal tertent^ undang-undang nasional mana jang harus dianggap berlaku. B A G IA N
V III
Pengakuan putusan hakim asing Diatas selalu diperbintjangkan keadaan- jang meliputi sedikit banjak anasir- asing, untuk mengetahui hukum jang mana ha rus dianggap berlaku dalam suatu perhubungan hukum tertentu, jaitu hukum nasional atau hukum asing, hukum nasional orangjang berkepentingan atau hukum dari negara, dimana orangitu berdiam, hukum nasional orang2 jang berkepentingan atau hukum dari negara, dimana terletak barang2 jang bersangkutan, hukum dari negara, dimana perdjandjian dilahirkan atau hu kum dari negara, dimana perdjandjian itu dilaksanakan dan lain 2. Terutama hakimlah jang harus memikirkan hal ini pada achirnja, oleh karena, kalau orang2 jang berkepentingan tidak dapat menjesuaikan diri satu sama lain, tidak dapat berdamai, maka djalan jang amat penting untuk mendapat suatu kepastian ialah memadjukan soal perselisihannja dimuka hakim. K alau seorang hakim, sesudah menindjau beberapa asas dari hukum perdata internasional, telah mendjatuhkan suatu putusan, maka timbul pertanjaan, sampai dimana putusan itu mempunjai kekuatan diluar lingkungan daerah hukum negara awak dari ha kim jang memutuskan itu. Kekuatan putusan hakim dapat bertjorak matjarn-, ini ter gantung dari isi putusan itu. A da putusan jang mengandung suatu
hukuman
kepada
seorang,
supaja
melakukan
suatu
perbuatan atau supaja tidak melakukan suatu matjam perbuatan. Putusan sematjam ini hanja mempunjai arti jang njata, apabila 71
pulusan itu dapat didjalankan (dieksekutir). Tjontoli- ialah : putusan, jang menghukum seorang untuk memhajnr secljumlah uang atau memberikan suatu barang kepada lain orang atau untuk meninggalkan suatu pekarangan atau rumah. A d a putusan hakim jang mentjiptakan suatu keadaan hukum (konstitutif)
seperti
putusan
jang
mengandung
pembatalan
suatu persetudjuan perdata atau pemetjahan suatu perkawinan atau pengangkatan seorang wali (,,voogd ) atau seorang penga was („curator”). Putusan 2 sematjam ini tidak membutuhkan suatu tindakan mendjalankan putusan itu, melainkan menetap kan suatu keadaan sebagai hal jang melimpahkan hak 2 dan kewadjiban 2 hukum kepada jang berkepentingan. Ada
putusan hakim
jang mengandung pernjataan
belaka
dari adanja suatu peristiwa hukum (..declaratoir’ ), misalnja suatu putusan tentang sah atau tidaknja suatu perkawinan, ten tang ada berdirinja suatu perseroan tertentu jang sah, tentang siapa jang mempunjai hak milik terhadap suatu barang. P u tu san2 sematjam inipun tidak membutuhkan suatu tindakan men djalankan putusan itu. P u n putusan sematjam ini tidak melim pahkan setjara langsung hak 2 dan kewadjiban 2 hukum kepada orang2 jang bersangkutan, melainkan dapat mendjadi dasar dari tindakan orang2 jang bersangkutan dikem udian hari.
Semua putusan tersebut diatas dapat mempunjai kekuatan lain matjam, jaitu kekuatan pembuktian dimuka hakim dalam pemeriksaan suatu perkara perdata. A da golongan putusan lagi jang djuga tidak membutuhkan didjalankan, jaitu putusan hakim jang m engandung suatu
penolakan dari gugat. Putusan
sematjam
ini
sangat
berarti
djuga, terutama bagi pihak jang digugat, oleh karena diputuskan
tidak adanja atau tidak terbuktinja suatu peristiwa. Dengan putusan sematjam ini, tergugat dapat menangkis beberapa tin dakan dari orang lain, terutama penggugat.
Kalau seorang hakim dalam suatu negara telah mengambil
72
suatu putusan, malea sudah terang putusan itu mempunjai matjam- I<e)
kan isi dari hukum perdata internasional. D an teranglah bahwa, bukan inilah soalnja. Pekerdjaan hakim pada pokoknja malahan melaksanakan H ukum pada umumnja, termasuk djuga hukum perdata internasional, tidak sebaliknja. Betul acia kalanja
suatu
peraturan
hukum
adalah
begitu
kabur, sehingga hakim dalam mentafsirkan isi dari hukum itu, mendekati pada mentjiptakan suatu hukum, akan tetapi ini ada•Iah hal jang istimewa, jang luar biasa. M aka dari itu, dalam hukum perdata internasoinal masih dibutuhkan pula suatu peraturan jang menentukan kekuatan suatu putusan hakim diluar lingkungan daerah hukum negaranja. Pasal 22 a A . B. mengadakan perbatasan dari kekuatan putu san 2 hakim dalam daerah nasionalnja, berdasar atas hukum
internasional antara negara („Volkenrecht”), djadi tidak menge nai soal jang kini dibitjarakan. Bagi Indonesia sekiranja
hanja ada
suatu
pasal
undang73
undang jang mengenai kekuatan putusan hakim dari negara asing, jailu pasal 456 „Reglement Burgelijke Reclil svordering • Betul undang-undang ini pada umumnja sekarang tidak berlaku, oleh karena sekarang hanja ada satu matjam pengadilan untuk pemeriksaan perkara tingkatan pertama, jailu pengadilan negeri dan untuk pengadilan negeri ini pada pokoknja lianja berlaku H. I. R. (..Herziene Inlandsch Reglement ). Akan tetapi pasal 456 B. Rv. sebetulnja bukan sualu pasal jang diadakan untuk ,,Raad van Justitie dulu oleh karena mengenai putusan hakim asing. Maka pasal itu dapat dianggap terus berlaku, berdasar alas pasal 142 Undang-undang Dasar Sementara R.I. juncto pasal 192 Konstitusi R. I. S. juncto pasal II Aturan peralihan Undang-undang Dasar R. I. dari 1945. Pasal 456 B. Rv. berbunji clemil
dibebankan dan dipertanggung djawabkan pada kapal, upah 2 pengangkutan dan barang 2 muatan selurulinja. Tentangan dari averij-grosse ialah ..averij’ sederhana jang diperintji dalam pasal 701 Kitab Hukum Dagang dan jang dibebankan dan dipertanggung djawabkan pada kapalnja sadja atau pada suatu barang tertentu sadja jang mendapat rugi atau jang mengakibatkan pengeluaran biaja. Putusan
penguasa
diluar-negeri.
jang
memuat
penentuan
djum lah biaja dan kerugian jang merupakan ,,averij-grosse” itu dan jang memuat djuga bagaimana pembebanan biaja dan kerugian kepada kapal, upah pengangkutan dan barang2 muatan menurut pasal -136 B. Rv.. dapat didjalankan di Indonesia, ka lau perlu. M isalnja berhubung dengan tempat pendiaman orang atau badan jang mempunjai kapal atau barang 2 muatan di In donesia. Pasal 456 B. Rv. menundjuk kepada peraturan2 dalam undangundang lain, akan tetapi setahu saja sampai sekarang tidak ada undang-undang lain itu, maka praktis menurut pasal ini tidak ada putusan hakim negeri asing suatupun jang dapat didjalan kan di Indonesia. D alam tahun 1925 ada perdjandjian internasional antara negeri Belanda dan negeri Belgi jang antara lain mengenai hal m endjalankan putusan hakim dari negeri rnasing^- didaerah negeri peserta jang lain. Perdjandjian ini menurut pasal 27 ajat 1 , hanja berlaku bagi daerah negeri Belanda dibenua Eropah, maka lidah pernah berlaku di Indonesia. Bagaim anakah halnja dengan pasal 159 „Indische StaatsregeIing jang menentukan, bahwa putusan hakim jang didjatuhkan di negeri Belanda dapat didjalankan di „H i ndia-Belanda” dan sebaliknja putusan hakim jang didjatuhkan di „Hindia-Belanda dapat didjalankan djuga dinegeri Belanda. Masih berlakukah peraturan ini ?
-~
!
Pasal 142 Undang-undang Dasar Sementara R. I. menundjuk '75
kepada keadaan pada tanggal i/ Agustus 1950 (zaman R.I.S.) dan pasal 192 Konstitusi R.I.S. menundjuk kepada keadaan pada waktu penjerahan kedaulatan tanggal 27 Desember 19-19. M enu rut peraturan 2 peralihan itu, peraturan 2 undang-undang jang ada pada waktu itu, tetap berlaku, asal sadja antara lain tidak bertentangan dengan Charter Penjerahan Kedaulatan. Ini saja tafsirkan demikian, bahwa peraturan2 itu tidak boleh berten tangan dengan ucljud kedaulatan sebagai jang diserahkan pada tanggal 2!7 Desember 1949 itu. D a n lagi penjerahan kedaulatan itu sebetulnja hanja berarti suatu pengakuan de jure dari kedaulatan Republik Indonesia, jang sudah berdiri mulai tanggal 17 Agustus 1945. Undang-undang Dasar R. I. dari tahun 19-15 memuat djuga suatu pasal peralihan jang menentukan, bahwa peraturan 2 hu kum dari zaman Belanda dan zaman Djepang hanja dianggap berlaku sekadar tidak bertentangan dengan Undang-undang D a sar tersebut (pasal l Peraturan Presiden Republik Indonesia no. 2 tanggal 10 Oktober 1945, jang berlaku surut ketanggal 17 Agustus 1945). Harus ditjamkan, bahwa peraturan seperti pasal I 59 ..Indische Staatsregeling
adalah
akibat belaka
dari keadaan
kolonial,
dimana daerah Indonesia dianggap sebagai m ilik negeri Be landa, hal mana melajakkan adanja pasal tersebut. Perundang-undangan negeri Belanda pada pasal 451 B. Rv. dari negeri Belanda dan perundang-undangan Indonesia (Hindia-Belanda) pada pasal 456 B. Rv. Indonesia mengambil suatu sikap tertentu terhadap putusan 2 hakim negara asing, jaitu pada hakekatnja menolak dapat didjalankannja putusan 2 itu dinegeri Belanda dan di Indonesia. Kedaulatan jang diperoleh Indonesia pada tanggal 17 A gus tus 1945 dan de jure diakui oleh negeri Belanda pada tanggal 27 Desember 1949 adalah sempurna dan tidak bersjarat. M aka dengan sendirinja sedjak langgal 17 Agustus 1945 bagi daerah 76
de faclo Republik Indonesia dan sedjak tanggal 27 Desember 19-19 bagi seluruh daerah negara Indonesia prinsip dari pasal 4 5 6 B . Rv. harus berlaku djuga terhadap putusan 2 hakim dinegeri Belanda, oleh karena sedjak tanggal2 tersebut negeri Belanda adalah negeri asing bagi Indonesia. M aka tidak berlakulah pasal 159 „Indische Staatsregeling”, dan selama tiada perdjandjian internasional antara negeri Indo nesia dan negeri Belanda mengenai soal ini, maka putusan 2 ha kim clinegeri Belanda ticlak dapat didjalankan di Indonesia. Pasal 4 5 6 B. Rv. hanja mengenai hal mendjalankan putusan hakim asing, maka jang disinggung oleh pasal tersebut ialah hanja satu matjam kekuatan dari putusan hakim jang mengan dung sualu hukuman seorang untuk melakukan suatu perbuatan. M aka oleh pasal tersebut sama sekali tidak disinggung kekuatan lain dari putusan sematjam ilu dan kekuatan dari putusan lain matjam. jailu putusan menolak gugatan, putusan mentjiptakan suatu keadaan hukum, putusan memberikan suatu hak hukum. Kekuatan 2 lain ini ialah, seperti jang pernah saja kemukakan diatas, kekuatan tentang pemberian suatu hak kepada seorang a( 'U pernjataan adanja suatu perhubungan hukum tertentu jang sah dan kekuatan pembuktian. Tentang kekuatan 2 jang lain ini, oleh karena tiada pasal undang-undang jang menentukan hal sesuatu perihal itu, dapat dikatakan, bahwa pada hakekatnja kekuatan putusan hakim negara asing, bagi negara awak tidak ada, akan tetapi ini tidak dapat meng-halang2-i bahwa hakim Indonesia toh memperhati kan sedikit banjak adanja putusan hakim asing itu. D an perihal ini hakim Indonesia sama sekali tidak terikat oleh suatu peratuan. M ak a hakim Indonesia dapat bertindak seperti halnja pada um um nja dalam hal hukum perdata internasional, jaitu menen tukan bagaim ana kekuatan putusan hakim asing harus dilihat dan diperhatikan dari sudut tudjuan hukum perdata internasional untuk memenuhi rasa keadilan.
77
K alau rriisalnja untuk seorang F ilipina A , jang belum tjukup umur, di Indonesia berlindak seorang Filipina Inin B, jang oleb hakim F ilipina dianggap sebagai wali dari A itu dan B, dimuka hakim Indonesia untuk membuktikan Iial ilu. memper lihatkan suatu turunan sah dari putusan hakim asing ilu, maka sekiranja sama sekali tiada keberatan bagi hakim Indonesia unluk mengakui kekuatan pembuktian dari putusan hakim asing ilu. Lain tjontoh : Perkawinan seorang Inggeris A dengan seorang perempuan Inggeris di negeri Inggeris dipetjahkan dengan suatu putusan hakim di Inggeris. Kemudian A pergi ke Indonesia dan disim berkawin lagi. Selandjulnja ia dituduh melakukan kedjahatan bigami (beristeri dua) menurut pasal 279, ajat t ke-1 Kitab H ukum Pidana dan ia untuk membela diri memperlihat kan turunan putusan hakim Inggeris tersebut. K in ip u n sekiranja tiada keberatan bagi hakim Indonesia untuk mengakui kekuatan dari putusan hakim Inggeris itu. Tjontoh lain lagi : Seorang India A
di negerinja pernah
digugat dimuka hakim perihal mempunjai suatu hutang kepada seorang Ind ia B dan gugatnja ditolak. K em udian ia datang di Indonesia dan disini ia dimintakan, supaja ia oleh hakim Indok ‘nj a*a^
mendjadi
soal
pertanjaan,
bagaim ana
sjarat“
itu
Iiarus cliukur. jailu dengan mempergunakan peraturan2 hukum dari negara hakim asing itu atau peraturan hukum jang berlaku dinegeri Indonesia. Menurut liemat saja pada umumnja ukuran ini harus dida sarkan pada hukum negara asing jang bersangkutan. Kekua saan seorang hakim dalam suatu negara berhubungan erat de ngan peraturan- tentang susunan dan kekuasaan pengadilan2. Kalau peraturan- ini dinegara asing itu sangat berbeda dengan peraturan 2 dinegeri awak, maka sekiranja sangat sukar un luk mengukur kekuasaan hakim asing itu dengan mempergunakan peraturan hukum di negeri awak. M isalnja negeri Belanda me ngenal beberapa matjam pengadilan untuk mengadili perkara dalam tingkatan pertama, sedang di Indonesia hanja ada satu matjam pengadilan untuk pemeriksaan tingkatan pertama. D a i am teori tentunja ada kemungkinan suatu negara mempunjai peraturan tentang susunan dan kekuasaan pengadilan jang oleh negara lain dianggap demikian djeleknja sehingga dianggap bertentangan dengan ketertiban umum di negara lain itu, dengan akibat, bahwa putusan hakim asing itu sama sekali tidak akan diakui. A kan tetapi dapat diragukan, apakah mungkin demikian itu terdjadi dalam praktek. Lain halnja tentang isi putusan hakim asing. Mungkin suatu putusan hakim asing berdasar atas suatu perdjandjian perdata jang menurut hukum asing adalah sah, akan tetapi menurut hukum nasional adalah tidak sah. Misalnja suatu pemberian hibah antara suami-isteri tidak diperbolehkan dinegeri Belanda dan telah terdjadi diadakan dalam suatu negara, jang hukumnja menganggap pemberian hibah sematjam itu adalah sah antara suami dan isteri warganegara dari negara itu. Sikap hakim Be landa terhadap perdjandjian seperti ini adalah tergantung dari pada anggapan, apa peraturan hukum jang melarang pemberian hibah antara suami dan isteri itu masuk pengertian ketertiban um um dinegeri Belanda atau tidak. 79
B A G IA N
IX
H ukum nasional bayi orang 2 asing
Hukum perclata aclalali peraturan untuk matjam- t i n g k a h - laku orang2 perseorangan sebagai anggota masjarakat. P e l a k s a n a a n liukum perdata dalam praktek berada dalam tingkatan pertama pada sikap orang2 jang berkepentingan sendiri dan pada ting katan Iandjutnja pada tingkatan badan2 pemerintali seperti pegawai2 pelbagai kementerian, pamong pradja. polisi dan kedjaksaan, sedang dalam tingkatan terachir pada para hakimUntuk mudahnja saja sebut hakim sadja sebagai satu-nja p e n g u ■asa terpenting jang berwadjib melaksanakan hukum perdata, djuga lain2 hukum. Jang saja maksudkan dengan hukum nasional sebagai isi Bagian IX ini ialah hukum nasional dari seorang hakim jang harus memutuskan suatu perkara. Dalam bagian2 jang dulu2 sering dibiljarakan hal hukum nasional disamping hukum asing atau disamping hukum negara domisili atau disamping hukum negara, tempat terletak barang sesuatu. Dalam hal ini semua pengertian hukum nasional ter pakai sebagai hukum nasional dari orang 2 jang berkepentingan dalam suatu perhubungan hukum. Hanja sepintas lalu sadja kadang2 tersinggung hal hukum nasional dari hakim jang berwadjib memutuskan suatu perkara perdata, dalam mana terlibat suatu anasir asing. Adapun soal jang sekarang akan saja tindjau ialah sampai imana hukum nasional dari seorang hakim berlaku bagi orang 2 -asing. Bagi Indonesia ada dua pasal dari Undang-undang
D asar
Sementara jang mungkin dapat mendjadi dasar penin.djauan ini, jaitu pasal 8 dan pasal 9 jang berbunji demikian : •80
Pasal 8. Sekalian
orang
jang
ada
didaerah
Negara
sama berhak
m e nuntut perlindungan untuk diri dan hartabendanja. Pasal 9. 1.
Setiap orang berhak dengan b,ebas bergerak dan tinggal
d alam perbatasan Negara.
2.
Setiap orang berhak meninggalkan negeri dan ■ —' djika
ia warganegara atau penduduk — kembali kesitu. D u a pasal ini m endjam in keselamatan bagi setiap orang jang berada didaerah negeri Indonesia, tidak perduli apa ia adalah warganegara Indonesia atau orang asing. D ju g a dapat dikata kan, ba/nva pasai 2 ini adalah pelaksanaan ciari suatu politik p in tu terbuka jang dianut oleh negara Indonesia terViac\ap golongan- lain jang bukan warganegara Indonesia. Politik sematjam ini sudah lajak dalam zaman sekarang, di-mana- diselu ru h d u n ia memperlihatkan usaha kearah suatu kekeluargaan d iantara segenap bangsa 2 didunia. A d a la h suatu konsekwensi
dari
politik
pintu
terbuka
ini.
a p ab ila kepada setiap orang jang berada didaerah negara Indonesia dinjatakan, bahw’a diri dan harta-bendanja dalam prinsip ber-sama2 mendapat perlindungan dari alat2 negara. Ini d ju g a hal jang sesuai dengan kedaulatan suatu negara. Kedau latan ini tidak hanja m engandung hak 2 kekuasaan sadja terha dap setiap orang jang berada didaerah negara, melainkan djuga ke w a d iiba n 2 terhadap mereka. Ini sudah seimbang. D a ri pasal 2 ini djuga dapat disimpulkan, bahwa pada pri« sip orang 2 asing dalam hal keselamatan diri dan harta-bendanja
tidak boleh diperhelakan gkan daripada orang2 warganegara. Persam aan dalam mendapat perlindungan ini tidak berarti, b a h w a hukum jang berlaku adalah sama djuga bagi warga negara
dan
orang
asing. Pasal 5 A . B. hanja menentukan 81
balrwa, selama oleh undang-undang tidak diketemukan lain, maka hukum perdata dan hukum dagang adalah sama bagi warganegara dan orang asing. M aka persamaan hanja diutjapkan tentang hukum perdata dan hukum dagang. Perihal hukum pidana pasal 2 Kitab undang-undang Hukum P idana (K. U . H . P., „Strafwetboek”) menentukan, bahwa per aturan 2 hukum pidana dari negara Indonesia berlaku bagi setiap orang jang didaerah negara Indonesia melakukan suatu perbu atan jang dapat dikenakan suatu hukum an pidana. Perihal hukum ketatanegaraan tiada suatu pasal seperti dua pasal tersebut diatas. Ini tidak berarti, bahwa hukum talanegara sama sekali tidak berlaku bagi orang2 asing. 1 entunja ada jang berlaku djuga, misalnja peraturan tentang ber-matjam2 padjak. Ketiadaan pasal2 seperti pasal 3 A . B. dan pasal 2 K. U . H . P. untuk hukum tatanegara hanja berarti, bahwa peri hal peraturan 2 tatanegara harus ditindjau satu persatu, apakah peraturan itu berlaku hanja bagi warganegara atau djuga bagi orang asing. Ketentuan tentang berlakunja peraturan 2 ini mung kin dikatakan setjara terang dalam peraturan itu sendiri, mung kin diperoleh setjara pentafsiran peraturan itu dengan mengingat sifat, maksud dan tudjuan masing 2 peraturan. Undang-undang Dasar Sementara sendiri memuat beberapa pasal jang menjatakan perbedaan hukum bagi warganegara dan orang asing. M isalnja pasal 23 ajat 1 menentukan, bahw'a setiap warganegara berhak turut serta dalam pemilihan dengan lang sung atau dengan perantaraan w akil 2 jang dipilih dengan be bas, A jat 2 dari pasal tersebut menjatakan kemungkinan keangkatan setiap warganegara dalam
tiap 2 djabalan
pemerintah,
sedang bagi orang2 asing hal ini tergantung dari aturan 2 tertentu dalam undang-undang. Pasal 24 U . D .
menentukan,
bahwa
setiap warganegara berhak dan berkewadjiban turut serta de ngan sungguh dalam pertahanan negara. 82
Dengan adanja perbedaan hukum antara warganegara dan orang asing ini tidak dapat dikatakan, bahwa dalam hal- itu orang
asing
diperbelakangkan, maka
adanja
perbedaan ini
tidak menjalahi prinsip tidak-boleh diperbelakangkan dari pasal
8 U. D . Perbedaan hukum ini berdasar atas kenjataan, bahwa kedudukan hukum mereka memang adalah berbeda. Dalam hal ini sama sekali tiada pikiran tentang membelakangkan orang2 asing. M alahan dalam hal 2 jang konkrit orang2 asing itu ba rang kali ,merasa untung dengan adanja perbedaan hukum itu, misalnja
hal
ketiadaan kewadjiban mereka untuk turut serta
dalam mempertahankan negara terhadap serangan musuh. Kembali kepada pasal 5 A . B. Jang
dimaksudkan
oleh pasal ini ialah pemjataan pada
prinsip suatu persamaan hukum bagi warganegara dan orang asing, jaitu hukum nasional dari negara Indonesia dinjatakan berlaku djuga bagi orang2 asing. Perlu diterangkan disini, bahwa pasal 5 A.B. sama sekali tidak
bermaksud untuk mengatur hal jang berhubungan dengan hukum
perdata internasional. Sebagai telah ber-ulang2 dikatakan, hukum perdata internasional soalnju itllflli untuk memilih
dalam antara
hukum nasional atau hukum asing atau hukum istimewa. Dan dalam hal itu jang penting ialah ada atau tidaknja suatu pera turan
penundjukan
kepada suatu golongan hukum tertentu,
misalnja penundjukan kepada hukum nasional dari orang2 jang berkepentingan atau kepada hukum dari negara, tempat tinggal orang 2 itu atau kepada hukum tempat letak barang2 atau kepada hukum dari negara, dimana dilakukan perbuatan hukum jang bersangkutan. Pasal 3 A . B. tidak merupakan suatu peraturan penundjukan itu. M aka dari itu pasal ini tidak berarti, bahwa kelcetjualian2 jang menurut pasal itu mungkin diadakan dalam suatu undang83
undang, akan mengandung suatu penundjukan kepada hukum asing bagi orang'2 asing. Keketjualian 2 jang dimaksudkan ialah kekeljualian pada prin sip, bahwa hukum nasional dari negeri Indonesia perihal hukum perdata dan
hukum dagang berlaku djuga bagi orang- asing.
M aka keketjualian itu hanja merupakan penjebulan bagian 2 dari hukum perdata dan hukum dagang dari negeri Indonesia, jang lidak berlaku pula bagi orang2 asing jang
berada di
Indonesia.
m
Meskipun demikian halnja, pasal 5 A. B. dipergunakan dalam pentafsiran hal hukum perdata internasional. Sebagai dialas telah pernah dikatakan, berhubung dengan adanja pasal 5 A . B. itu, pasal 16 A . B. jang menurut kata2-nja hanja mengatakan beriak u hukum nasional dari warganegara Indonesia mengenai kedudukan dan kekuasaan hukum djuga bagi mereka, apabila berada
dinegeri
asing,
diperluaskan
setjara
analogi,
bahwa
bukum nasional dari orang2 asing jang berada di Indonesia, perihal bagian 2 hukum tersebut, lelap berlaku djuga bagi mereka. Pasal 3 A .B. diambil sebagai dasar untuk analogi ini, oleh karena pasal ) A. B,
menghendaki,
bahwa prinsip dari pasal 16 A .
B.
sebagai bagian dari hukum nasional dari negara Indonesia me ngenai hukum perdata, berlaku djuga bagi orang 2 asing. Tetapi, sekali lagi, tidak berarti, bahw a pasal 3 A . B. lantas mendjadi suatu peraturan tentang hukum perdata internasional. Perlu diterangkan pula, bahwa jang dimaksudkan oleh pasal 3 A . B. den gan hukum perdata dan hukum dagang itu adalah jang termual dalam undang-undang, djadi jang sebagian besar termuat dalam „Burgelijk W etboek” dan „W etboek van Koophandel
dan dua undang-undang ini seperti diketahui, hanja
berlaku bagi orang 2 Eropah, Tionghoa, A rab dan lain 2 Timur Asing. H a l berlakunja hukum adat tidak disinggung oleh pasal 84
5 A. B., se-tidak2-nja pasal 3 A . B. ticlak bermaksud menjinggung hal liul
ngan dari hukum perdata dan
hukum
dagang jang berlaku
bagi orang 2 Eropali dan jang disamakan dengan mereka. D a n memang sudah selajaknja, bahwa hal hukum adat tidak masuk dalam penentuan pasal 3 A. B. Sebagai diketahui, bagi orang 2 Indonesia sendiri tiada hukum adat jang satu dan jang dalam hakekatnja berlaku bagi segenap orang Indonesia, mela inkan ada pelbagai peraturan hukum adat jang masing2 hanja berlaku
bagi
daerah
hukum
masing2 sendiri. Maka tiadalah
mungkin ada suatu pernjataan, bahwa hukum adat adalah sama bagi orang asing seperti bagi orang Indonesia. Keketjualian 2 manakah jang dimaksudkan oleh pasal 3 A . B. jaitu bahwa suatu peraturan hukum perdata dan dagang dari negara Indonesia tidak berlaku bagi orang asing jang berada di Indonesia ? S atu diatas,
golongan jaitu
keketjualian sudah didjumpai dalam uraian
dimana
menurut
hukum
perdata internasional
untuk suatu perhubungan hukum oleh satu peraturan penundjukan
ditundjuk
kepada hukum
nasional orang2 asing itu
(pasal 16 A . B.). L a in 2 keketjualian
terhadap dalam
bagian
hukum
atjara
perdata. Tjontoh ke-1 ialah pasal 128 „Reglement Burgerlijke Rechtsvordering” . Seperti halnja dengan pasal 436 B. Rv., jang telah dibitjarakan diatas, meskipun pada umumnja B. Rv. hanja ber laku untuk „R aad van Justitie” dan „Residentiegerecht
dulu, 85
sama sekali tiada keberatan untuk menganggap pada waktu sekarang pasal 128 B. Rv. berlaku djuga bagi Pengadilan Negeri Pasal 128 B. Rv. mengenai hal jang dalam bahasa Latin dimanakah „cautio iudicatum solvi (= djaminan hal pcmbajaran ongkos perkara perdata dimuka hakim) dan mengatakan, bahwa orang2 asing jang bukan penduduk Indonesia, jang bertindak sebagai penggugat dalam perkara perdata atau jang sebagai pihak ketiga menempatkan diri diantara atau disamping pihak2 berperkara, diharuskan, apabila diminta oleh pihak lawan, sebelum pihak lawan mengadakan perlawanan, untuk mengadakan tanggungan, bahwa benar2 akan dihajar ongkos2 perkara dan ganti kerugian jang mungkin akan dibebankan ke pada mereka. Udjud dari tanggungan ini menurut pasal 129 B. Rv. akan ditetapkan oleh hakim jang memerintahkan diadakannja tanggungan itu. Hakim mana djuga harus menetapkan djumlah nilai uang, sampai mana tanggungan itu berlaku. T ang gungan ini dapat berupa suatu djumlah uang alau barang perhiasan jang dititipkan dikepaniteraan atau penundjukan suatu barang tak bergerak milik penggugat, jang dapat diperuntukkan guna tanggungan ini atau penundjukan seorang lain jang dapat dipertjaja oleh hakim dan jang sanggup untuk memikul segala tanggungan djawab atas pembajaran ongkos perkara dan lain2 itu. Alasan untuk mengadakan keketjualian ini, seperti telah dikatakan diatas, tidak berarti membelakangkan kepentingan orang2 asing terhadap kepentingan orang2 warganegara Indo nesia, melainkan berdasar atas kenjataan, bahw a ada kechawatiran besar seorang asing jang bukan penduduk Indonesia akan setjara mudah menghindarkan diri dari pembajaran ongkos dan lain2 itu melulu oleh karena mudah memindahkan tempat tinggal keluar-negeri dengan tidak meninggalkan alamat jang terang dan jang benar. Maka pertimbangan ,,utiliteit”-lah jang mempengaruhi adanja peraturan ini. 86
Tentang lial ini ada suatu perdjandjian internasional antara beberapa negara, termasuk djuga negeri Belanda. Perdjandjian ini ditandatangani di Den Haag tanggal 17 D juli 1905 dan menentukan dalam pasal 17, bahwa prinsip „cautio iudicatum solvi ini tidak berlaku bagi orang2 asing dari negara jang turut menandatangani perdjandjian itu, kalau orang itu mendjadi penggugat dimuka hakim dari negara lain jang djuga ikut menandatangani. Disamping pasal 17 ini pasal 18 meng atur hal mendjalankan putusan hakim mengenai pembajaran ongkos perkara dan ganti kerugian dinegeri nasional dari orang 2 asing itu. Menurut pasal 26 perdjandjian ini hanja berlaku bagi daerah negara2 dibenua Eropah, sedang kepada masing2 negara diberi kesempatan untuk kemudian menjatakan berlakunja perdjantljian itu djuga bagi daerah2 djadjahannja. Setahu saja, negara Belanda tidak pernah mengeluarkan pernjataan itu, maka Indonesia tidak terikat pada perdjandjian itu. Pasal 128 B. Rv. mula 2 tidak mengenai orang2 Belanda jang berada
di
Indonesia, oleh karena menurut hukum kolonial
Belanda, orang2 Belanda di Indonesia tidak dianggap sebagai orang asing. Mereka dengan sendirinja adalah „Nederlandsch •onderdaan’ . Dengan
berdirinja Republik Indonesia* sebagai
negara jang merdeka dan berdaulat, orang2 Belanda jang bukan warganegara Indonesia adalah orang asing, maka mulai tanggal 27 Desember 1949 untuk seluruh Indonesia peraturan „cautio iudicatum solvi” berlaku djuga bagi orang Belanda jang bukan warganegara Indonesia dan jang bukan penduduk Indonesia. Menurut Martin W o lff dalam bukunja tersebut diatas, halaman 54. prinsip „cautio iudicatum solvi bagi orang asing
tidali dianut di negeri Inggeris, sedang hampir semua negara2 lain dibenua Eropah menganut prinsip ini. Tjontoh ke-2 : Menurut pasal 872. ajat 2 B. Rv. orang asing jang bukan penduduk Indonesia, tidak boleh dibebaskan dari 87
pembajaran ongkos perkara, meskipun mereka miskin. D apat di-ragu2kan, apakah pasal ini berlaku djuga bagi Pengadilan Negeri, oleh karena pasal 237 H . I. R. sama sekali tidak menjinggung hal itu dan pasal 872 ajat 2 tersebut tidak berlaku bagi „Residentie-gerecht” dulu. Barangkali oleh pembajaran undangundang dianggap tidak perlu untuk mengadakan peraturan itu djuga bagi „Residentie-gerecht dan Pengadilan Negeri, oleh karena ongkos perkara dari dua pengadilan tersebut sangat ren dah, kalau dibandingkan dengan ongkos perkara dimuka „Raad van Justitie” dulu, maka dari itu dianggap, bahwa setiap orang asing jang bukan penduduk tentu mampu membajar ongkos itu. D an lagi tidak begitu terang alasan apakah jang dipergunakan oleh pembentuk undang-undang untuk mengadakan peraturan seperti pasal 872, ajat 2 B.
Rv.
Kalau seorang asing, jang berada
di Indonesia dan bukan penduduk Indonesia, kebetulan dari beberapa sebab, djatuh miskin sangat, sehingga ia betul 2 tidak dapat membajar ongkos jang diperlukan untuk melakukan suatu gugatan atau suatu perlawanan dimuka hakim, dan seorang asing sematjam ini tidak boleh dibebaskan
dari
pembajaran
ongkos perkara, maka ini mendekati sekali pada membelakang kan kepentingan mereka terhadap kepentingan warnegara dan pendudtfk Indonesia. A pakah dalam hal ini masih dapat di katakan, bahwa orang asing itu dapat perlindungan seperti jang dimaksudkan oleh pasal 8 Undang-undang Dasar Sementara ?
Maka daripada itu, oleh karena ratio dari pasal 872, ajat 2 B. Rv. tidak terang atas ketepatannja, menurut hemat saja sebaiknja ketentuan itu dianggap tidak berlaku bagi Pengadilan Negeri di Indonesia pada w’aktu sekarang. Tjontoh ke-3 : Pasal 580 ke-9 dan pasal 761 B. Rv. memuat peraturan tentang pemaksaan badan „Iijfsdwang terhadap orang asing jang bukan penduduk Indonesia. U ntuk warganegara dan penduduk Indonesia pemaksaan badan sebagai tjara mendjalankan suatu putusan hakim hanja dapat dilakukan
perihal lintang- jang tertentu clan jang disebutkan dalam pasal 5S0 ke-1 sampai ke-S, sedang bagi orang asing jang bukan penduduk Indonesia pemaksaan badan ini dapat diperintahkan untuk segala maljam hutang. Dan lagi menurut pasal 761 bagi orang asing jang bukan penduduk Indonesia dapat dipe rintahkan pemaksaan badan sebelum ada putusan hakim tentang keharusan membajar hutang.
Dua pasal ini sudah terang tidak berlaku bagi Pengadilan Negeri. oleh karena mulai semula hukum atjara perdata dari Pengadilan Negeri liclak mengenal pemaksaan badan seperti jang berlaku bagi ..Raad van Justitie” dulu. Bagi Pengadilan Negeri sualu pemaksaan badan sebagai tjara mendjalankan putusan hakim tidak terbatas pada beberapa matjam hutang, melainkan dapat dilaksanakan untuk segala matjam hutang dan lagi baru dapat diperintahkan, apabila tiada barang2 milik tergugat jang dapat disita dan didjual lelang untuk membajar hutang jang sudah ditetapkan oleh hakim. Exleriloricdilet.
Ada h al ja n g tidak seljara langsung mengenai tidak berlakunja hukum nasional bagi orang2 asing akan tetapi sef/ara tidak langsung berakibat tidak berlakunja itu, jaitu hal exteritorialitet ( = dianggap diluar daerah suatu negara). Menurut prinsip ini jang diacui dalam hukum antara negara „Volkenrecht beberapa orang asing jang berada didalam daerah suatu negara, dianggap se-olah2 berada diluar negara itu mengenai kekuasaan pemerintah negara itu pada umumnja. termasuk djuga berlakunja hukum nasional bagi mereka. Diatas telah dikatakan, bahwa jang dimaksudkan dalamBagian IX ini dengan hukum nasional ialah hukum dari hakim jang harus memutuskan hal sesuatu. Salah suatu udjud jang terpenting dari exteritorialitet ialah, hal bahwa orang" asing jang dimaksudkan itu, sama sekali tidak dapat ditarik dimuka 89
pengadilan sebagai tergugat dalam perkara perdata atau sebagai terdakwa dalam perkara pidana. Sebagai akibat dari peraturan ini dengan sendirinja hukum nasional dari hakim tidak berlaku bagi mereka. Mereka ini antara lain ialah : a. Kepala negara asing serta pengikut2-nja. Menurut Mr. J. P. A. Francois dalam bukunja „Handboek van het Volkenrecht” bagian I tahun 1949, tjelakan ke II, halaman 529, para hakim di Perantjis dan Itali menganggap berlakunja exteritoriaIitet terbatas pada perbuatan Kepala negara asing dalam hal mereka bertindak setjara resmi dan tidak berlaku, apabila mereka bertindak sebagai seorang partikelir, seperti misalnja membeli barang sesuatu dalam toko. Negeri2 lain seperti Inggeris dan Belgi tidak meng adakan perbatasan ini. Kalau kedatangan seorang Kepala negara asing adalah ,,incognito , jaitu sebagai seorang jang tidak dikenal oleh siapapun djuga, ada kebulatan pendapat, bahwa seorang itu tidak dikenai prinsip exteritorialitet. t . Duta2 negara asing dengan pegawai resmi dan keluarga mereka. c. Penguasa- lain dari negara asing jang disamakan dengan duta negara. Hal ini harus dinjatakcin dalam suatu surat penetapan dari Kepala negara masing2. D juga hal ini dapat ditentukan dalam suatu persetudjuan antara dua negara atau lebih mengenai beberapa pendjabat jang ter tentu. . d. Para hakim dari suatu pengadilan internasional, ketjuali berhubung dengan negara nasional dari seorang hakim itu sendiri. Keketjualian ini adalah perlu, karena, kalau tidak begitu, seorang hakim sematjam ini sama sekali tidak tunduk pada hukum manapun djuga. 90
B A G IA N
X
I jara melakukan perbuatan hukum Dari liga pasal A. B., jang mengandung peraturan penundjukan kepada suatu golongan liukum jang berlaku, pasal 18 A. B., jang mengenai tjara melakukan perbuatan hukum, patut dibitjarakan tersendiri, oleh karena mungkin ada hubungan dengan segala keadaan hukum perdala dengan tiada keketjuaIian. Sedang pasal 16 dan pasal 1/ A. B., oleh karena hanja mengenai bagian tertenlu dari hukum perdata, dapat ditindjau dimana perlu berhubung dengan suatu perhubungan hukum jang membutuhkan penaruhan perhatian pada dua pasal itu. Pasal 18 ajat 1 A. B. berbunji : Tjara tiap2 perbuatan hukum dilindjau menurut peraturan undang-undang (hukum) dari ne gara atau tempat, dimana perbuatan itu dilakukan. Penentuan ini adalah amat lajak. Kalau seorang pada suatu tempat berniat akan melakukan suatu perbuatan hukum dan ingin mempergunakan suatu tjara tertentu, maka ia hanja dapat m entjapai tudjuan ilu, apa bila tjara jang ia maksudkan tadi, in concrelo ciapat dilakukan ditempa t itu. Kalau tjara jang dimak sudkan membutuhkan mempergunakan alat2 jang tertentu dan alat~ itu tidak terdapat ditempat tersebut, maka sudah barang tentu orang itu tidak mungkin akan mentjapai tudjuannja. Terpaksalah ia mempergunakan tjara jang lazim dipakai ditempat itu dimana dengan sendirinja lengkaplah adanja alat- untuk melakukan tjara jang lazim tadi. Lebih2 kalau orang jang ingin melakukan perbuatan hukum dalam hal itu membutuhkan pertolongan dari seorang penguasa, misalnja seorang notaris atau seorang pegawai pentjatatan djiwa. Penguasa ini tentunja terikat pada peraturan2 dari negaranja, jang barangkali tidak memungkinkan penguasa itu akan menganut tjara istimewa, jang diingini oleh orang tadi. D an lagi mungkin sekali penguasa tersebut tidak tahu sama 91
sekali udjud tjara jang dimaksudkan, kalau misalnja seorang itu lianja menundjukkan sadja kepada tjara jang berlaku dalam suatu negara asing jang tertentu. Maka penentuan dari pasal 18 A. B. adalah amat 'praktis. Sebab, kalau sebaliknja tidak diperbolehkan menurut tjara jang lazim dipakai disuatu negara atau tempat, dalam hal2 jang menurut suatu golongan hukum jang pada umumnja dianggap berlaku, memerlukan suatu tjara istimewa jang tidak dapat dilaksanakan disuatu tempat, orang2 jang berkepentingan akan mendapat kesulitan jang tidak terhingga. Mereka lantas terpaksa tidak melakukan perbuatan hukum jang amal perlu, misalnja ia akan segera meninggal dunia dan ingin membikin suatu hibah wasiat, dengan akibat bahwa hal sesuatu akan terdjadi setjara jang tidak sesuai dengan kemauannja. A tau mereka terpaksa melakukan perbuatan itu menurut tjara jang lazim dianut ditempat itu, akan tetapi dengan kepastian, bahwa perbuatan hukum itu akan tidak dianggap sah dikemudian hari. Mengingat alasan untuk mengadakan peraturan seperti pasal 18 A. B., jaitu guna menghindarkan pelbagai kesulitan bagi orang2 jang berkepentingan, maka boleh dikatakan, bahwa maksud pasal itu ialah tidak untuk mengikat orang2 pada suatu tjara melakukan perbuatan, jaitu tjara ditempat perbuatan dilakukan. Pengikatan sematjam ini sama sekali lidak dibu tuhkan oleh masjarakat. Maka dari itu dapat dikatakan, balrwa sifat dari pasal 18 A. B. ialah hanja untuk memperbolehkan orang2 dalam melaku kan perbuatan hukum menurut tjara jang lazim berlaku ditempat itu. Ini berarti, bahwa apabila suatu tjara istimewa jang diingini dan jang tidak lazim diturut ditempat perbuatan akan dilakukan toh dapat diturut djuga berhubung kebetulan ditempat itu ada alat2 penuh jang diperlukan untuk menurut tjara jang istimewa itu, maka diperbolehkan djuga orang mempergunakan tjara istimewa ini. 92
Tegasnja dalam Iial tersebut belakangan ini orang dapal memilih salab suatu dari dua tjara tersebut dan perbuatan hukum jang dilakukan akan tetap dianggap sah. Perdjandjian internasional antara beberapa negara mengenai perkawinan jang ditandatangani di Den Haag pada tanggal
12 D juni 1902 memuat suatu pasal, jaitu pasal 7 jang berbunji ■demikian : „Suatu perkawinan jang bcital menurut hukum dinegara. dimana perkawinan itu dilakukan, mengenai tjara melakukannja. dapat dianggap sah dalam negara2 peserta lain, apa bila diturut suatu tjara perkawinan, jang ditentukan oleh hukum nasional dari suami-isteri ’.
Pentafsiran pasal 1S A. B., seperti jang diuraikan diatas, ada lah sesuai den gan prinsip jang terkandung dalam pasal 7 perdjandjian internasional ini, hal mana menebalkan kejakinan atas kebenaran pentafsiran tersebut. Setjara pendek, maka dapat dikatakan, bahwa pasal 18 A. B. tidak bersifat mutlak „imperatief”, melainkan „facultatief”. Dari hal adanja keleluasaan untuk memilih salah satu dari pelbagai tjara melakukan perbuatan hukum ini, ada suatu keketjualiun, jang dapal disimpulkan ciari pasal 17 A. B. jang menentukan, bahwa perihal barang tak bergerak berlaku hukum dari tempat, dimana terletak barang2 itu. Pasal ini meliputi djuga tjara melakukan perbuatan hukum mengenai barang tak bergerak. M aka dari itu, kalau suatu perbuatan hukum adalah mengenai barang tak bergerak, maka orang tidak dapat memilih lagi tjara mana jang harus diturut, melainkan harus diturut tjara menurut hukum dari negara, dimana terletak barang tak bergerak jang bersangkutan. Lain keketjualian dapat didasarkan pada alasan mengenai ketertiban umum suatu negara A. dari mana orang2 jang akan melakukan perbuatan hukum dinegeri asing itu, adalah war■ganegaranja. Keketjualian ini mungkin ada, apabila hukum nasional dari negara A menetapkan suatu tjara istimewa untuk 95
melakukan suatu perbuatan hukum sedemikian rupa, sehingga dianggap bertentangan dengan ketertiban umum dinegeri itu, apabila jang diturut bukan tjara itu, melainkan tjara jang ber laku ditempat perbuatan hukum dilakukan. Misalnja perihal p asal'1682 B. YV. jang menentukan, bahwa pemberian hibah hanja dianggap sah, apabila dilakukan dimuka notaris. Pasal ini bertudjuan untuk mendjaga djangan sampai seorang setjara sembarangan memberikan hibah kepada lain orang. Oleh karena pemberian hibah adalah suatu perdjandjian jang hanja tergantung dari pada satu pihak sadja dan jang hanja memberatkan satu pihak itu sadja pula, hal mana berarti, bahwa djumlah milik orang akan dikurangi setjara berat sebelah tidak dengan menerima gantinja, maka orang harus ber-hati2 dalam hal melakukan pemberian hibah. Mungkin se kali ia pada suatu waktu dalam suasana gembira dan semangat jang me-Iuap2, merasa senang dalam memberikan suatu hibah kepada orang lain, akan tetapi kemudian ia. setelah memikirkan hal sesuatu setjara tenang, merasa ketjewa (..gelo” dalam bahasa L)jawa) atas perbuatan itu, Sekiranja untuk menghindarkan hal keketjewaan ini, maka oleh pasal 1682 B. W . ditentukan, bahw'a pemberian hibah, supaja mendjadi suatu perdjandjian jang sah, harus dilakukan dengan akta dimuka notaris. Kalau orang sudah berada dimuka notaris, maka dapat diharapkan bahwa ia adalah tenang dan tenteram dan dapat memikirkan segala akibat jang mungkin akan disebabkan oleh pemberian hibah itu. Melihat uraian diatas dapat dimengerti, apabila setengah orang berpendapat, bahwa pemilihan tjara akta notaris ini di anggap begitu penting berdasar atas ketertiban umum sehingga seorang warganegara Indonesia jang berbangsa Belanda atau Tionghoa djuga dinegeri, asing, diharuskan melakukan suatu pemberian hibah dengan akta dimuka notaris, meskipun hukum jang berlaku dinegeri asing itu memperbolehkan pem 94
berian liibali dilakukan clengan akla dibawah tangan atau setjara lisan sadja. Dalam lial ini harus diingat, bahwa mungkin sekali dalam negara, dimana suatu perbuatan hukum akan dilakukan, tidak terdapat alat- jang mentjukupi untuk menetapi tjara istimewa tersebut diatas. Maka ini dapat menimbulkan kesulitan, jang menjebabkan, bahwa achirnja orang toh harus menjimpang dari tjnra istimewa ini. Sekiranja adalah baik, apabila sebelum uraian tentang tjara melakukan perbuatan hukum ini dilandjutkan, diterangkan dulu, apa jang setjara tetap dinamakan tjara itu. Tjara adalah mengenai itcljud dari tindakan seorang sebagai jang dapat diketahui oleh orang ketiga dengan mempergunakan pantjaindera. Udjud ini dapat ber-matjam2 tjoraknja dan mengenai djuga peristiwa2 jang diharuskan menjekitari per buatan hukum sebagai gerak-gerik badan seorang. Berhadapan dengan tjara melakukan perbuatan hukum adalah sifat, isi, makna, maksud, tudjuan dan akibat dari suatu perbuatan hukum. Ini semua tidak dikenakan oleh pasal 18 A. B., maka tidak merupakan hal jang oleh pasal ini ditundjuk kepada hukum dari tempat perbuatan hukum dilakukan. Kelihatannja adalah mudah orang memperfcec/alran tjara dari pada jang bukan tjara ini. Akan tetapi dalam praktek seringkali amat sukar untuk menentukan batas2 jang tertentu antara tjara dan jang bukan tjara itu. Maka tidak aneh, bahwa dalam praktelc kemungkinan besar timbulnja perselisihan paham tentang batas2 itu. Sebetulnja hal mengadakan batas jang tepat ini adalah amat penting. Kalau seandainja suatu peraturan hukum dinegara Indonesia jang mengenai sifat dan isi suatu perbuatan hukum setjara salah dianggap sebagai peraturan hukum menge nal tjara, maka seorang Indonesia dapat menjampingkan peraturan itu dengan melakukannja disuatu negara jang 93
mengatur perbuatan liukum jang besangkutan itu setjara lain sekali, dengan akibat, bahwa hukum nasional diperkosa oleh orang itu. Sebaliknja orang dapat menjampingkan pasal 18 A. B. setjara se-wenang2, asal sadja ia dapat mengatakan, bahwa hukum nasional jang bersangkutan tidak mengenai tjara atau dapat menganggap suatu peraturan hukum nasional jang betul menge nai tjara sebagai terbentuk untuk ketertiban umum. Pengadilan Tertinggi dinegeri Belanda ,,Hoge Raad dalam tahun 1935 pernah memutuskan, bahwa soal penjumpahan saksi adalah bukan hal mengenai tjara melakukan perbuatan, in casu pendengaran saksi oleh hakim. Kalau dilihat sepintas lalu, memang dapat dikatakan, bahwa penjumpahan saksi adalah mengenai tjara pendengaran saksi itu. Akan tetapi, kalau di pikirkan bahwa penjumpahan saksi itu berakibat penting, jaitu bahwa dengan adanja sumpah, keterangan2 saksi dapat dipakai sebagai bukti jang sah dan jang amat lebih kuat daripada keterangan saksi diluar sumpah, maka dapat dimengerti, bahwa sudah tetaplah putusan ,.Hoge Raad” dinegeri Belanda tersebut, Ada hal lagi jang harus ditindjau dari pasal 18 A. B., jnitu soal tempat, dimana suatu perbuatan hukum harus dianggap dilakukan. Apakah jang dimaksudkan dengan tempat itu ? Kalau dua orang Indonesia, jang satu di Djakarta, jang lain ■di Singapura, berbitjara satu sama lain dengan tilpun. dalam pembitjaraan mana timbul suatu persetudjuan antara mereka, jang menurut hukum dapat diadakan setjara lisan, tempat manakah jang dianggap sebagai tempat perbuatan hukum di lakukan, Singapura atau Djakarta. Pertanjaan seperti ini timbul djuga dalam hal orang di Djakarta menulis surat kepada orang lain di Singapura. Dapat dipersoalkan, apakah jang disebut tempat melakukan perbuatan hukum itu ialah tempat orang menggerakan badan sebagai permulaan perbuatan hukum ataukah tempat dimana
96
akibat perbuatan Imkum tertjipla. Djuga dapat dipersoalkan, apakah mesti lianja ada satu tempat sadja, iang dapat ditentukan sebagai tempat melakukan perbuatan ataukah dimungkinkan ada lebih dari satu tempat itu. Ini semua pertanjaan2 jang tidak dapat didjawab setjara integral, jang meliputi semua peristiwa jang mungkin akan terdjadi. melainkan harus ditindjau satu persatu. Dan djawabannja tergantung antara lain dari sifat, maksud dan tudjuan dari perhubungan hukum jang bersangkutan. Sering dikatakan, bahwa suatu persetudjuan adalah terdjadi pada waktu dan tempat pengabulan dari suatu tawaran diterima oleh jang menawarkan. Ajal 2 dari pasal IS A . B. menentukan, bahwa dalam melak sanakan pasal 18 ajat 1 A. B. selalu harus diperhatikan per bedaan, jajig oleh undang-undang diadakan antara orang Eropah dan orang Indonesia asli. Ajat ini hanja merupakan suatu peri ngatan kepada para hakim dan para penguasa dalam badan2 pemerintahan, bahwa perihal orang2 Indonesia asli ada berlaku hukum adat jang tidak termuat dalam undang-undang dan jang ber-Iain2 dipelbagai daerah, mungkin sekali djuga mengenai tjara melakukan perbualan hiiklUll. Solciranfa peringatan sematjam ini tidak begitu perlu, oleh karena A. B. sendiri dalam pasal I I sudah menekankan tetap berlakunja hukum adat itu bagi orang2 Indonesia. Pasal 19 A. B. djuga mengatakan hal sesuatu tentang tjara dari suatu golongan perbuatan hukum, akan tetapi tidak ber hubungan dengan soal hukum perdata internasional. Dalam pasal tersebut dikatakan, bahwa akta otentik (resmi) jang dibikin dimuka seorang pegaw'ai Eropah, perihal tjara membikinnja, hanja tunduk kepada peraturan jang diadakan oleh pemerintah Belanda. Pasal ini dianggap perlu berhubung dengan kenjataan, bahwa pada zaman Belanda ada beberapa daerah swapradja jang mempunjai peraturan2 jang tidak ditetapkan 97
oleh pemerintah Belanda. Untuk mendjamin, bahwa akta2 otentik jang dibikin dimuka pegawai Belanda penuh ber laku djuga bagi daerah- swapradja itu, maka ditekankan bahwa perihal tjara membikin akta2 itu tidak perlu diindahkan peraturan2 jang mungkin diadakan oleh pemerintah swapradja dan jang menjimpang dari peraturan2 pemerintah Belanda. Pada waktu sekarang, oleh karena kepala swapradja hanja merupakan kepala daerah belaka, pasal ini tidak ada perlunja lagi. Pada tahun
1909 beberapa guru-besar di Leiden
(negeri
Belanda), antara lain Mr. V an VoIIenhoven dan M r. Carpentier Alting, mengumumkan 24 buah rantjangan untuk mengubah pelbagai undang-undang bagi Indonesia, antara lain djuga A .B . Tentang pasal2 16, 17 dan 18 A .
B.
disusulkan, supaja diadakan
pasal baru, jaitu pasal 18a jang mengatakan, bahwa orang dapat menjimpang dari ketentuan tiga pasal tersebut, berdasar atas suatu pendapat internasional jang sudah lazim
diturut oleh
chalajak ramai.
Oleh para pengusul dichawatirkan, bahwa dalam melaksana kan pasal2 tersebut orang barangkali akan bertindak kaku, jaitu melulu melihat pada kata2 jang dipakai sadja, dengan ada kemungkinan besar, bahwa pelaksanaan pasal2 itu menghasilkan hal2 jang tidak memuaskan, oleh karena bertentangan dengan rasa keadilan pada umumnja didunia internasional dalam pergaulan dengan negara2 lain. M aka diusulkan, supaja dibuka suatu pintu, agar berhubung dengan rasa keadilan itu, orang dapat menjimpang dari ketentuan pasal2 tersebut. Kechawatiran ini dalam praktek ternjata sudah dapat d ihin darkan, oleh karena orang
praktis
sudah dapat m enjimpang
dengan alasan2 berdasar atas ketertiban um um dan pelandjutan keadaan hukum, jang diatas telah dikupas seperlunja. 98
BAGIAN XI I"IaI perkawinan Penjelenggaraan perkawinan.
Perkawinan antara clua orang Indonesia diluar-negeri menurut pasal 18 A. B. clapat diselenggarakan menurut tjara jang lazim dipakai ditempai. Sebaliknja perkawinan antara dua orang asing di Djakarta dapat pula menurut tjara jang lazim dianut di Djakarta. Maka menurut pasal 18 A. B. orang2 asing di Djakarla berhak pula untuk menjelenggarakan perkawinan me nurut tjara dari hukum jang mengatur hal perkawinan antara mereka, jaitu hukum nasional dari negaranja. Penjelenggaraan perkawinan berhubungan erat dengan per aturan tentang pentjalatan djiwa („Burgerlijke Stand”) perihal perkawinan. Di Indonesia pentjatatan djiwa perihal perkawinan teratur bagi orang- Eropah dalam Staatsblad 1849 —25 pasal 54 — 65 bagi orang2 Tionghoa dalam Staatshlad 1917 — 150 juneto staatsblad 1919 — 81 pasal 67 — 71, bagi perkawinan ..tjampuran (,,gemengde huwelijken”), jaitu antara dua orang jang masing2 takluk pada peraturan hukum tersendiri, dalam Staatsblad 1904 — 279 seluruhnja, bagi orang2 Indonesia jang beragama Keristcn di Djawa, Minahasa dan Ambon dalam Staatsblad 1935 — 75 juneto Staatsblad 1936 — 607 pasa/ 48 — 58. Bagi orang2 jang beragama Islam ada peraturan pemasukan per kawinan didalam suatu daftar („register”) seperti halnja dengan „Burgerlijke Stand”, tetapi tidak dinamakan demikian. Peraturan ini bagi D jaw a dan Madura termuat dalam Staatsblad 1929 — 348 („Huwelijks-ordonnantie Java en Madura ) dan bagi luar Djawa dan M adura dalam Staatsblad 1932-482 („Huwelijksordonnantie Buitengewesten”). Ada lagi „Vorstenlandsche Huwelijksordonnantie” dalam Staatsblad 1935 — 98 juneto Staatsblad 1941 - 520, jang berlaku bagi daerah Jogjakarta dan Surakarta, tetapi sekiranja ini tidak berlaku lagi, oleh karena sekarang hal 99
ketatanegaraan didua daerah tersebut sudah teratur seperti di-Iain2 daerah di Djawa. Menurut peraturan2 tersebut per kawinan antara orang2 jang beragama Islam harus dilakukan dibawah pengawasan seorang pendjabat jang harus memasukkan perkaw'inan itu dalam suatu daftar (,,register ). Berhubung dengan adanja ber-matjam2 aturan untuk pel bagai golongan penduduk di Indonesia tersebut diatas, m aka bagi orang2 asing jang akan kawin di Indonesia, tjara menjelenggarakan perkawinan itu tergantung dari golongan mana mereka masuk. Perihal sjarat2 untuk berkawin, oleh karena mengenai kedu dukan dan kekuasaan hukum, jaitu in casu kekuasaan un tuk berkawin, menurut pasal 16 A. B. juncto pasal 5 A. B. harus berlaku hukum nasional dari orang2 asing jang akan berkaw'in di Indonesia sini. Djustru oleh karena di Indonesia ada peraturan2 tersendiri bagi pelbagai golongan penduduk tersebut diatas, maka pelak sanaan pasal 16 A. B. itu tidak menimbulkan kesulitan. Lain halnja di-negara2 jang dalam hukum perdalanja hanja mengenal satu sistim perkawinan, jaitu perkawinan monogam jang tidak memperbolehkan orang beristeri dua, seperti dinegeri Amerika Serikat, Inggeris, Belanda, Perantjis dan lain2. Dine geri tersebut dianggap sebagai tuntutan dari ketertiban umum”ja, bahwa dalam negeri2 itu hanja dapat diselenggarakan perkawinan monogam, artinja kalau bakalsuami sudah beristeri, perkawinan tidak dapat diselenggarakan. D an kalau perkawinan ke- 2 ini toh diteruskan, maka perkawinan itu dapat dibatal kan oleh hakim. Kedudukan suami-isteri selama perkawinan.
Pun. dalam hal ini menurut pasal 16 A. B. jo pasal 5 A. B. berlaku hukum nasional dari suami-isteri. Bagaimanakah hal100
nja, apabila mereka masing2 tetap berlainan agama atau ber lainan kewarganegaraan ? Tentang Iial ini pasal 2 Jari perdjandjian internasional antara beberapa negara tentang hukum perbendaan dalam perkawinan (..huwelijksgoederenrecht”), jang ditandatangani pada tanggal 1'7 Djuli 1505 (tidak berlaku bagi Indonesia) menetapkan, bahwa, djika tidak ada perdjandjian perkawinan, maka akibat2 perkawin an mengenai harla-benda suami-isteri, baik barang bergerak mau pun barang (ak bergerak, takluk pada hukum nasional dari suami pacla u>akiu perkawinan diselenggarakan.
Barangkali prinsip ini dapat dianut di Indonesia djuga untuk segala hal mengenai kedudukan suami-isteri dalam perkawinan, berhubung pula dengan pasal 2 Peraturan Perkawinan Ijampuran (Staatsblad 1898 !—• 158), jang menentukan, bahwa seorang perempuan jang melakukan perkawinan tjampuran (= perka winan dengan seorang laki2 jang tunduk pada hukum lain dari pada siperempuan), mengikuti, selama berlangsungnja perka winan. kedudukan suaminja, baik dilapangan hukum publik maupun dilapangan hukum perdata. Perlu sekiranja diperingatkan adanja perbedaan besar perihal kedudukan isteri selama perkawinan antara hukum adat dan hukum ,.barat” ( = jang berlaku unluf< orang EropaJi dan Tiong hoa ), jaitu : ke-1. Menurut pasal 108 B. W . isteri, untuk melakukan suatu perbuatan hukum,harus dibantu oleh suaminja atau men dapat izin dari suami dan menurut pasal 110 B. W . isteri tidak boleh menghadap dimuka hakim dengan tidak di bantu oleh suami.
Menurut
hukum
adat dua hal
ini,
bantuan dan izin suami, sama sekali tidak perlu. ke-2 M enurut pasal 119 B .W . barang2 milik suami-isteri ter gabung mendjadi satu dibawah pengurusan suami, ketjuali ada perdjandjian . perkawinan antara mereka jang menga 101
kibatkan barang2 milik masing2 tetap terpisali dan cliurus oleh masing2. Hukum adat pada umumnja tidak mengenal perdjandjian perkawinan seperti ini dan barang2 milik suami dan isteri masing2 tetap terpisali dan berada dibawah pengurusan mereka masing2. Dalam hal suami-isteri adalah orang2 asing dari negeri2 barat, misalnja orang2 Perantjis atau Inggeris, jang berada di Indonesia, tidak ada kesulitan, jaitu bagi mereka tetap berlaku hukum nasional mereka menurut pasal 16
' A.
A. B.
jo pasal 5
B., dan di Indonesia bagi orang2 Eropah tetap berlaku „Burgerlijk W etboek” jang dalam hal itu sama dengan hukum nasional mereka. Lain halnja, kalau suami-isteri adalah orang2 Indonesia dan berada di Perantjis. Menurut hukum perdata internasional jang berlaku disana, hukum adat Indonesia harus dianut, akan tetapi mungkin sekali oleh hakim dan penguasa lain disana peraturan hukum dinegeri
Perantjis
jang
sama
den gan pasal 108 dan pasal 110 B. W . tadi, dianggap masuk golongan ketertiban umum, sehingga jang dianut bukan hukum adat Indonesia, melainkan hukum perdata Perantjis. Pemetjahan perkawinan.
Hukum perihal ini, sekadar mengenai hak untuk minta tjerai atau keleluasaan suami menurut hukum Islam untuk memberi talak Icepada islerinja, adalah hukum perihal kekuasaan hukum, maka menurut pasal 16 A . B. jo pasal 5 A. B. berlakulah lagi hukum nasional dari suami-isteri. A kan tetapi, misalnja di negeri Belanda, menurut Mr. van Brakel dalam bukunja ter sebut diatas halaman 154, para hakim disana menganggap peraturan hukum perdata Belanda perihal pemetjahan perka winan ini bersifat ketertiban umum, maka dalam hal orang2 suami-isteri asing beragama Islam jang berada disana, dianggap berlakulah peraturan B. W . Belanda mengenai alasan2 jang hanja dapat dipakai untuk meminta pertjeraian, dan mengenai
102
prinsip, bahwa pemetjahan perkawinan hanja dapat dilakukan dengan putusan hakim, maka dengan ini tidak diakuilah ke mungkinan seorang suami memberi talak kepada isteri, untuk mana tidak perlu ada sualu putusan hakim, melainkan hanja diperlukan suatu pemberitahuan kepada seorang penguasa. Dalam
praktek perbedaan hukum antara pelbagai negara
perihal pemetjahan perkawinan ini dapat menimbulkan banjak kesulitan. M alahan ada suatu negara, jaitu negara Itali, jang hukumnja sama sekali tidak memperbolehkan suatu pemetjahan perkawinan. Suatu tjontoh, jang saja ambil dari buku Martin W o lff ter sebut diatas halaman 579 : Suami-isteri dari bangsa Itali ber domisili di Inggeris dan disana mendapat pertjeraian oleh hakim Inggeris. Bekas suami memindahkan domisilinja ke Itali dan disananja ingin berkawin lagi dengan seorang perempuan lain. H ukum Itali tidak memperbolehkannja. oleh karena pertjeraian jang dilakukan oleh hakim Inggeris, tidak dianggap sah, se a^ mengenai warganegara Itali. Pun djika ia pergi lagi keneg Inggeris, ia disana tidak dapat berkawin lagi, oleh karena menu rut hukum Inggeris jang berlaku hukum domisili, in casu hu 'um
Itali. Dinegeri lain seperti di Perantjis, pun ia tidak dap kawin lagi, oleh karena menurut hukum Perantjis berlaku a
hukum nasional dari seorang itu. djadi hukum Itali djuga. Baru kalau ia berdomisili lagi di Inggeris. ia dapat ber'av\in ag‘. tetapi pengertian domisili di Inggeris bersifat istime\\ p ^ pernah dikatakan diatas. dengan adanja „domici i o o ‘g' dan „domicili of choice”, jang menjulitkan hal pemindahan do misili ke Inggeris. M enurut praktek dinegeri Belanda orang2 asing tidak dapat mendapat pertjeraian perkawinan dari ha im, apa i a tia salah suatu dari 4 alasan, jang ditetapkan dalam pasal 264 B. W . Belanda, meskipun hukum n a s io n a l mereka meng.z.nkan pertjeraian dengan alasan lain
dan sebali nja
orang
asing 103
sudah dapat mendapat pertjeraian, apabila salah satu dari 4 alasan tersebut ada, meskipun menurut hukum nasional me reka pertjeraian dengan alasan itu tidak diperbolehkan. Salah suatu dari 4 alasan itu ialah berzinah dengan orang ke-5. Dinegeri Belgi alasan ini diperbatasi, jaitu hanja dapat diperguna kan, apabila perzinahan itu dilakukan dalam rumah pcndiaman suami-isteri, djadi hanja kalau setjara menjolok mala. Kalau ada dua orang suami-isteri Belgi jang berada dinegeri Belanda akan bertjerai, oleh karena salah suatu pihak berzinah didalam rumah pendiaman orang ketiga, maka hakim Belanda akan ' memperbolehkan pertjeraian. Akan tetapi dinegeri Belgi per tjeraian ini dianggap tidak sah dan perkawinan dianggap masih terus berlangsung. Kesulitan akan terasa betul, apabila kemudian salah suatu pihak berkawin lagi. Perkawinan jang ke-2 ini dinegeri Belgi dianggap tidak sah, demikian djuga anak2 jang lahir dari perkawinan itu. Perdjandjian internasional antara beberapa negara tentang pertjeraian perkawinan jang ditandatangani di Den H aag pada tanggal 12 D ju li 1902, antara lain djuga oleh Nederland dan Belgi (tidak berlaku bagi Indonesia) mengambil sikap tengah2 dengan menentukan dalam pasal 2, bahwa perljeraian hanja dapat diperbolehkan, apabila diperbolehkan, baik menurut hu kum nasional dari suami-isteri, maupun menurut hukum dari negaranja hakim jang akan mengambil putusan. Dalam hal perbedaan antara dua hukum itu perihal alasan2 jang mem perbolehkan pertjeraian, harus ada dua alasan, satu jang diper bolehkan oleh hukum nasional suami-isteri dan ke-2 jang d i perbolehkan oleh hukum negara hakim. Dalam tjontoh tersebut diatas, pertjeraian hanja dapat dilak sanakan, apabila selain dari pada perzinahan didalam rumah pendiaman orang ketiga itu, masih ada alasan lain, jang menu rut hukum Belgi diakui dan dinegeri Belanda tidak, jaitu kemau-
an kedua belah pihak untuk bertjerai.
104
B A G IA N
XII
Kedudukan anak Kedudukan seorang sebagai anak seorang lain ditetapkan oleh peraturan hukum kekeluargaan mengenai sjarat2 untuk menen tukan, apiikah seorang adalah emak sah. Peraturan2 ini tidak selalu sama dalam pelbagai negara. Bagi orang2 asing jang berada dinegeri Indonesia menurut pasal 16 A. B. adalah ber laku hukum nasional mereka. Dilain negara, misalnja dinegeri Inggeris. berlaku hukum dari negara, dimana berdomisili orang2 jang berkepentingan. Seperti dalam hal perkawinan, di Indonesia tentang hal ini tidak akan ada kesulitan, oleh karena bagi orang Eropah, orang asing lain jang beragama Keristen dan orang asing jang beraga ma Islam masing2 ada peraturan tersendiri di Indonesia, jang' sudah sesuai dengan hukum nasional atau hukum dari domisili mereka, maka tidak perlu menjimpang dari ketentuan pasal 16 A . B. berdasar atas ketertiban umum. Sekiranja dapat dikatakan, bahwa seorang adalah anak sah dari orang lain, apabila lahir dari perkawinan sah orang lain itu, baik lahir pada waktu ajahnja masih hidup, maupun lahir sesudah ajahnja meninggal dunia. Disam ping ini hukum Eropah mengenal djuga pengakuan anak jang lahir diluar perkawinan (,,erkenning van natuurlijke kinderen ) dan pengesahan anak sematjam itu (..wettiging ). Pengakuan anak oleh ajah menurut pasal 287 B. YV. berdasar atas kesukarelaan dari pihak ajah, sebab pasal tersebut mela rang pemeriksaan resmi dari soal apakah seorang adalah betul ajah seorang lain, ketjuali apabila jang dituntut sebagai ajah itu, melakukan kedjahatan2 tersebut dalam pasal 285 — 288, 294 atau 352 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan lagi apabila waktu melakukan kedjahatan itu adalah tjotjok dengan waktu hamil ibu seorang anak itu. Pasal2 tersebut mengenai ke djahatan melanggar kesusilaan seperti perkosaan untuk berse-
105
tubuh („verkrachting”) atau bersetubuh dengan seorang perempuan jang umurnja kurang dari 15 tahun dan lain-. Pasal 541 B. W . Belanda, jang sama bunjinja dengan pasal 287 B .W . Indonesia, oleh para hakim dinegeri Belanda diang gap sebagai bersifat ketertiban umum, maka oleh mereka tidak diperbolehkan pemaksaan seorang asing akan mengakui seorang lain sebagai anaknja, meskipun hukum nasionalnja mengenal pemaksaan ini. Pengakuan anak jang lahir diluar perkawinan dan pengesahan anak ini tidak dikenal oleh hukum adat jang tentang hal ini sesuai dengan hukum Islam. Dapat di-ragu‘~-kan, apakah dine geri Belanda seorang Indonesia Islam oleh para hakim disana diperbolehkan melakukan pengakuan anak jang lahir diluar per kawinan atau mengusahakan pengesahan anak. Untuk menentukan hukum mana berlaku bagi soal sah atau tidaknja seorang anak, perlu diketahui, waktu mana harus diambil sebagai dasar, waktu lahirnja sianak itu atau waktu lain misalnja waktu ibunja mulai hamil. Pengambilan waktu lahir sebagai dasar adalah lebih praktis, oleh karena mudah ditetapkan setjara terang, sedang waktu mulai hamil siibu adalah hal jang tidak mudah setjara tepat dapat ditetapkan. Meskipun demikian, pendirian jang belakangan ini, menurut Martin W o lff dalam bukunja halaman 581, dianut oleh para hakim dinegeri Denmark. Memang kalau dilihat dari sudut prinsipil, maka pendirian hakim2 di Denmark dapat dipertahan kan. Kalau dilihat dari sudut kepastian hukum, maka pendirian jang lain adalah lebih memuaskan. Perbedaan pendirian ini dapat berakibat setjara njata, apabila antara dua waktu, jaitu waktu mulai hamil dan waktu melahir kan anak, ajah dan/atau ibu mengubah kewarganegaraannja atau memindahkan domisilinja kenegeri asing. D alam hal ini harus terang pendirian mana jang dianut oleh jang berkuasa. 106
untuk menetapkan hukum mana jang harus diperhatikan guna menentukan' sah atau tidaknja seorang anak itu. Pendirian jang memilih waktu lahirnja anak sebagai dasar, menganggap adanja suatu keketjualian, jaitu apabila ajah me ninggal dunia sebelum anak lahir. Dalam hal ini diambil sebagai dasar ialali waktu meninggalnja siajah. Mungkin sekali sesudah ajah
meninggal
dunia, ibu mendapat kewarganegaraan lain
atau memindahkan tempat kediaman kenegeri lain. Lain daripada ini. ada dua matjam ukuran lagi untuk me nentukan hukum mana jang harus berlaku, jaitu hukum nasional (domisili) siajah atau hukum nasional (domisili) sianak. Ini misalnja harus dipilih, apabila ajah
meninggal dunia sebelum
anak lahir dan diantara dua waktu itu sidjanda mendapat ke warganegaraan lain atau memindahkan domisilinja kelain negeri. Tentang hal ini djuga ada dua pendirian. Mereka jang me milih hukum nasional (domisili) sianak, mendasarkan pendiriannja atas pertimbangan, bahwa hal sah atau tidaknja seorang anak adalah melulu kepentingan sianak belaka. Pendirian jang
memilih hukum nas/onal (domisili) siajah, berdasar atas per limbangan, bahwa dengan atianja
seorang anak,
kedudukan
hukum siajahpun berubah, oleh karena ia mendapat beban ma tjam 2 menurut hukum, antara lain untuk memelihara anak sam pai sianak dewasa. D jadi soal sah atau tidaknja seorang ana adalah penting djuga bagi siajah. Kalau dari seorang A sudah ditetapkan, bahwa ia adalah anak sah dari seorang
B,
maka
d a ta n g la h
giliran untuk menin-
djau perhubungan hukum kekeluargaan antara ajah dan anak. H ukum kekeluargaan ini menentukan,
bahwa
seorang anak,
selama belum dewasa, berada dibawah kekuasaan ajah. Ke kuasaan
ini
mengenai orang dan harta-benda sianak. D a n
djuga kekuasaan ajah ini
m
e n g a n d u n g
kewadjiban untuk men
107
didik sianak, supaja mendjadi anggota masjarakat jang berguna dan kewadjiban pula untuk mengurus harla-benda sianak sebaik2-nja. Kekuasaan ajah mengandung djuga bak- antara lain hak atas buah penghasilan dari harta-benda sianak. Ini semua diatur dalam hukum perdata dan menurut pasal 16 A . B. jo pasal 3 A . B. bagi orang2 asing jang berada dinegeri Indonesia berlakulah hukum nasional dari merekii. Kinipun
timbul
kesulitan,
apabila
kewarganegaraan
atau
domisili siajah berlainan daripada kewarganegaraan atau domi sili sianak. Hukum manakah jang berlaku, hukum nasional atau domisili siajah atau hukum nasional atau domisili sianak. Kekuasaan ajah berhenti pada waktu sianak mendjadi dewasa» jaitu mentjapai suatu umur tertentu atau berkawin. U m ur de wasa ini menurut hukum adat di Indonesia tidak tertentu, me lainkan berada diantara 15 dan 18 tahun menurut hukum Sw’is 20 tahun, menurut B. W . dan hukum Belanda, Perantjis. Inggeris dan lain2 21 tahun, menurut hukum
Hungaria 24 tahun,
menurut hukum Argentina 23 tahun. Hukum Belanda, Perantjis dan Swis menentukan seorang dewasa, apabila sudah kaw’in ; menurut hukum Inggeris perkawinan tidak mengakibatkan orang mendjadi dewasa, sedang hukum adat antara lain di D jaw a Tengah rupa2-nja menganggap seorang jang kawin, baru penuh dewasa, apabila tidak turut lagi serumah dengan orang tua. Dengan adanja matjam2 perbedaan ini, adalah penting untuk memilih, hukum mana jang harus dianggap berlaku bagi perhu bungan hukum kekeluargaan antara ajah dan anak, hukum na sional atau domisili siajah atau hukum nasional atau domisili sianak. Persoalan2 seperti jang diuraikan diatas, diketemukan djuga dalam hal sianak tidak berada dibawah kekuasaan ajah melain kan dibawah perwalian („voogdij”) atau dalam
108
hal seorang
jang sudah dewasa, berhubung dengan beberapa hal, ditempat kan dibawah pengawasan seorang lain (..curateele"). M irip dengan kedudukan anak sah adalah kedudukan anak angkat. Jang tidak mengenal anak angkat ialah hukum Islam dan hukum Belanda, sedang jang mengenal ialah hukum adat dibeberapa daerah di Indonesia, hukum Tionghoa, hukum dari pelbagai negara Eropah, seperti Inggeris, Itali. Sepanjol, Swis, Swedia. Norwegia. Djerman. Austria. Perantjis dan lain2. O leh karena hal pengangkatan anak („adoptie’ ) ini mengenai kedudukan hukum seorang, maka berlakulah djuga
pasal
16
A . B. jo pasal 5 A. B., dan berlakulah hukum nasional (domisili) orang- jang berkepentingan. Kinipun. apabila orang jang meng ambil anak dan orang diangkat sebagai anak, adalah berlainan kewarganegaraannja atau domisilinja. harus dipilih antara hu kum nasional (domisili) masing2 pihak. M enurut M artin VVolff dai am bukunja halaman 399 —-400, di Djerman. hukum
Swis.
Austria,
Poland ia dan Denmark diturut
nasional (domisili) dari orang jang mengambil anak,
di Perantjis kebanjakan orang menghendaki ber-sama2 berlakunja dua matjam hukum dari kedua belah pihak, telapi tidak diterangkan tjara menggabungkan ini. D i Inggeris adopsi dite tapkan oleh hakim Inggeris bagi orang2 jang berdiam dinegeri Inggeris, tentang orang2 jang diambiTanak tidak perduli, apakah mereka itu adalah warganegara Inggeris atau tidak, sedang jang berlaku ialah hukum Inggeris. Penetapan adopsi oleh penguasa asing tidak diakui oleh hakim Inggeris, apabila menetapkannja itu masuk kekuasaan hakim Inggeris. Kalau tidak, penetapan adopsi dari hakim atau penguasa asing diakui sah oleh hakim Inggeris.
109
B A G IA N
X III
Perbendaan Hukum perdata internasional perihal perbendaan memperli hatkan dua matjam perbedaan, jaitu : ke-1 perbedaan antara barang lak bergerak dan barang bergerak. ke-2 perbedaan antara hak2 jang setjara mullak, absolut dan langsung melekat pada suatu barang („zakelijke rechten ). jaitu berlaku terhadap segenap orang dan hak2 jang me lekat pada suatu barang setjara relatif dan tidak langsung jaitu hanja berlaku terhadap orang2 tertentu dan beradanja adalah melalui suatu perdjandjian antara dua orang (,,persoonlijke rechten”). Hak2 relatif ini sebagian akan ditindjau dalam bagian X IV jang akan datang. Penindjauan hal perbendaan sematjam ini adalah tidak sesuai sepenuhnja dengan hukum adat Indonesia pada umumnja. Per batasan antara barang tak bergerak dan barang bergeraV. tidak sama, misalnja. basil tanaman, selama masih melekat pada poon, oleh hukum barat dianggap sebagai barang tak bergerak an oleh hukum adat sebagai barang bergerak. Hukum adat pada hakekatnja tidak mengenal perbedaan dalam hal hak tera ap barang2, antara jang mutlak dan langsung disatu pihak an jang relatif dan tidak langsung dilain pihak. Dengan selalu mengingat keadaan hukum adat Indonesia ini, maka sekiranja tiada keberatan untuk mengikuti dunia ilmu pengetahuan hukum barat dalam menindjau soal2 hukum per ata internasional setjara mengadakan dua matjam perbedaan tersebut diatas. Seperti diatas telah pernah disinggung, maka dalam hal ini lanja ada satu peraturan penundjukan jang termuat dalam undang-undang di Indonesia, jaitu pasal 17 A . B., jang mengataan, bahwa perihal mengenai barang2 tak bergerak berlakulah hukum negara atau tempat, dimana terletak barang2 itu.
110
Kini sudah mulai nampak perbedaan ke-1, jaitu antara barang tak bergerak dan barang bergerak. Alasan untuk mengadakan peraturan pasal 17 A. B. sekiranja mudah clapat diduga. Barang jang terutama tak bergerak ialah tanah dan lain- barang tak bergerak seperti bangunan- dan pohon- mendapat sifat tak bergerak dari melekatnja pada tanah. Sebagai diketahui, lazimnja dianggap sebagai anasir2 terpen ting dari adanja suatu negara ialah, ke-1 ada daerah („territoir”) jang pada dasarnja berupa tanah, ke-2 orang2 penduduk jang merupakan suatu masjarakat tertentu dan ke-5 ada pemerintah jang memegang kekuasaan. Mengingat pentingnja tanah sebagai anasir dari suatu negara dan mengingat pula, bahwa tanah adalah barang jang bersifat tetap, tidak mudah berubah, maka sudah selajaknja timbul suatu pikiran jang menghendaki, supaja hukum jang mengatur hal sesuatu mengenai tanah bersifat tetap djuga dan diserahkan kepada penguasa nasional untuk mengaturnja. M aka dari itu mudah dapat dimengerti, bahwa sebagai hakekat dinjatakan suatu pentakiukan barang2 tak ber gerak pada hukum dari negara atau tempat, dimana terletak barang2 itu. Akan tetapi adalah mendjadi soal, pengertian „mengenai barang2 tak bergerak”. Apakah ini berarti, bahwa semua per hubungan hukum, dengan tiada keketjualian, jang ada hubungan dengan tanah dan barang2 tak bergerak Iainnja, harus tunduk pada hukum ditempat ? Ataukah ada batas dan kalau ada dimana letak batas itu ? Seringkah sajap suatu peraturan hukum meluas sampai men ju m p a i bentrokan dengan peraturan hukum lain. Kinipun demikian dan pasal peraturan hukum jang mendjadi sebab ben trokan, djustru berada amat dekat pada pasal 17 A. B., jaitu pasal 16 A . B. Pasal 16^A. B. ini, jang menundjuk kepada hukum nasional dari orang2 jang berkepentingan, meliputi antara lain ke-1
111
hukum harta-benda perkawinan dan ke-2 liukuni_warisan. Dua Celornpokan hukum ini seringkali meliputi djuga kekuasaan2 hukum terhadap barang tak bergerak. 1 inibul pertanjaan, apa bila bentrokan ini terdjadi. jaitu apabila suami-isteri atau orang jang meninggalkan barang warisan adalah orang asing, hukum manakah jang berlaku ? Hukum nasional orang- itu atau hukum negara, ditempai mana terletak barang- tak bergerak ? Tjontoh dari
hal
hukum
harta perkawinan : Suami-isteri
Indonesia asli tidak memerlukan membikin perdjandjian per kawinan tentang harta-benda untuk memisahkan harta-benda masing2. Sisuami dinegeri Perantjis membeli suatu rumah. Menurut hukum Perantjis, kalau tiada perdjandjian perkawinan, harta-benda suami dan isteri tergabung mendjadi satu milik orang dua, termasuk djuga rumah di Perantjis itu, sedang me nurut hukum adat Indonesia rumah itu hanja milik suami sadja. Tjontoh dari hal hukum warisan : Seorang Indonesia asli dinegeri Perantjis membeli rumah, kemudian meninggal dunia. Hak para ahli-waris atas rumah itu menurut hukum mana ? Hukum Perantjis atau hukum adat Indonesia perihal w arisan? Mr. Van Brakel menurut bukunja, halaman 16S
170, ber
pendapat, bahwa pasal 7 A. B. Belanda (sama dengan pasal 17 A . B. Indonesia) hanja berlaku untuk ,,het eigenlijke zakenrecht ( = hukum harta-benda jang sebenarnja) dan tidak ber laku untuk hukum harta-benda perkawinan (..huwelijksgoederenrecht ), hukum warisan (,,erfrecht ), hukum perdjandjian perdata (..verbintenissenrecht”). Alasan Mr. V an Brakel berdasar atas pertimbangan, jang menurut Mr. Van Brakel menjebabkan adanja pasal 7 A . B. Belanda itu, jaitu, bahwa sifat tetap dari barang^ tak bergerak menghendaki, bahwa hak2 seseorang diatas barang2 itu tetap djuga dalam peraturannja perihal mulai Iahirnja, isi dan Ienjapnja hak itu. Djustru oleh karena hak2 itu bersifat mutlak, jaitu
112
berlaku bagi tiap2 orang ke-5, sebaiknja bagi umum ada kepas tian tcnlang peraturan hukum apa jang berlaku tentang lahir, isi dan Ienjapnja hak2 itu. Maka dianggap tidak sesuai dengan kepastian hukum ini, apabila peraturan hukum jang berlaku akan berubah tiap- kali apabila barang tak bergerak itu djatuh dilangan orang- jang hukum nasionalnja adalah lain daripada hukum nasional pemilik jang dulu. Oleh karena alasan untuk mengadakan pasal 7 A. B. Be landa adalah mengenai langsung hal lahir, isi dan pelenjapan hak- atas harta-benda, maka berlakunja djuga terbatas pada itu sadja dan terhenti, dimana suatu peraturan hukum tidak langsung mengenai soal2 tersebut. Inilah alasan Mr. V an Brakel
untuk
mengutarakan suatu
perbatasan umum bagi berlakunja pasal 7 A. B. Belanda. Mr. M ulder dalam bukunja, halaman 155 — 154, berpendapat, bahwa tidak mungkin orang mengadakan perbatasan umum, melainkan tiap- peristiwa jang bersangkutan dengan bentrokan berlakunja pasal 6 dan pasal 7 A. B. Beianda itu harus ditindjau satu persatu tentang prioritet berlakunja salah satu dari dua pasal tersebut dan dalam hal ini
harus diperlihatkan
semua
hal- jang dapat mempengaruhi tertjiptanja suatu kesimpulan jang boleh dianggap tepat. M enurut hemat saja Mr. Mulder tentang hal ini adalah lebih bidjaksana daripada Mr. Van Brakel, maka dari itu dapat saja ikuti. * Djustru oleh karena hukum perdata internasional pada waktu sekarang masih berada dalam tingkat me-raba2 dan selalu mentjari djalan jang belum sadja diketemukan untuk mentjapai suatu penjelesaian dalam hal bentrokan antara pelbagai hukum nasio nal pada pergaulan hidup internasional, maka sekiranja adalah terlalu berani untuk sekarang sudah menentukan suatu perba tasan umum diantara berlakunja dua matjam kelompokan hukum tadi.
113
D a n njatanja memang dinegeri Belandapun belum ada kebu latan pendapat tentang hal ini dalam dunia ilmu pengetahuan hukum dan dalam jurisprudensi. Kembali kepada dua tjontoh tersebut dialas. Kalau dalam hal ini pasal 17 A . B. lebih diutamakan dari pada pasal 16 A . B., jaitu mendapat prioritet, maka mungkin sekali kesatuan dalam hukum
harta-benda perkawinan
dan
dalam hukum warisan akan di-petjah2 sedemikian rupa, bahwa untuk barang tak bergerak dianut hukum lain daripada untuk barang bergerak. Ini dapat dirasakan betul, apabila dalam hal hukum harta-benda perkawinan suami-isteri dua2nja
adalah
berbangsa asing jang sama, maka alam pikiran mereka sama sekali tidak pernah meliputi kemungkinan penjelesaian perhu bungan mereka dalam perkawinan mengenai harta-benda setjara jang berlaku dalam suatu negara, dimana kebetulan mereka me miliki sebidang tanah. Sedang oleh orang ketiga mungkin in concreto tidak diperdulikan, apakah harus diturut hukum nasio nal suami-isteri atau bukum dari negara, dimana letak tanah itu. Kesatuan dalam mengatur perhubungan hukum nampak djuga dalam hal hukum w’arisan, terutama kalau jang meninggal dunia itu membikin suatu'hibah wasiat. Hakekat dari hibah wasiat ialah untuk menghormati penuh pada kemauan terachir sialmarhum. D an sudah selajaknja seorang ini pada waktu membikin hibah wasiat per-tama2 tentunja menganggap berlaku hukum nasionalnja untuk semua harta-benda peninggalannja, djuga bagi sebidang tanah jang berada dinegeri asing. Alasan2 tersebut, jang menguatkan pendirian, bahwa kini pasal 16 A . B.-Iah jang harus mendapat prioritet, memang pen ting, akan tetapi apakah alasan2 itu selalu tjukup untuk
in
concreto memberikan prioritet kepada pasal 16 A . B., adalah masih mendjadi soal pertanjaan.
114
Keadaan suatu perhubungan hukum, dalam mana ada terselip sualu ..anasir asing” jang dapat berupa seribu satu matjam, seti ranja adalah sukar untuk menentukan setjara hakekat umum, kelompokan hukum jang mana harus didahulukan untuk diang gap berlaku. Maka dari itu orang harus sangat ber-hati2 dalam hal ini, djustru oleh karena orang menghadapi kemungkinan tindakan tim bal-bali k, jang akan dilakukan oleh negara asing terhadap suatu negara jang kurang mementingkan dan kurang meng hargai hukum asing dalam hal bentrokan pelbagai kelompokan hukum. Bentrokan dari pasal 17 A . B. dengan lain pasal undangundang djuga mungkin, jaitu dengan pasal 18 A. B., jang me nentukan. bahwa perihal tjara melakukan suatu perbuatan hu kum berlakulah peraturan negara atau tempat, dimana perbuatan hukum itu dilakukan. Kalau di Djakarta seorang Indonesia ber sepakat dengan seorang India akan membeli sebidang tanah jang terletak di India, maka timbullah pertanjaan, pasal mana dari dua pasal tersebut harus dianut mengenai tjara membikin perdjandjian djual-beli. Dengan lain perkataan : tjara manakah jang diturut, tjara menurut hukum Indonesia atau tjara menurut hukum India. D alam tjontoh ini pasal 18 A . B., dapat dianggap sebagai suatu peraturan istimewa (,,Iex specialis ) terhadap pasal 17 A . B. sebagai suatu peraturan umum (,,Iex generalis )., oleh ka rena pasal 17 A . B. mengenai hal2, tidak disebutkan apa, jang berhubungan dengan suatu barang tak bergerak, sedang pasal 18 A . B. mengenai sebagian dari hal2 itu, jaitu hanja mengenai tjara melakukan perbuatan hukum sadja. Maka pada umumnja dapat dikatakan, bahwa pasal 18 A . B-Iah jang mendapat prioritet. A kan tetapi, seperti halnja dengan hukum perdata interna sional seluruhnja, harus diperhatikan, bahwa prioritet ini hanja pada um um nja sadja. Mungkin sekali keadaan suatu perhu 115
bungan hukum in concreto adalah sedemikian rupa, sehingga sebagai keketjualian pasal 17 A . B.-Iah jang didahulukan ber laku. Mr. Mulder dalam bukunja halaman 154 mengemukakan sualu tjontoh dari keketjualian ini. jailu perihal peraturan hukum dinegeri Belanda, jang menentukan, baliwa semua perdjandjian mengenai tanah liarus dimasukkan dalam sualu daftar tanah. Peraturan ini dianggap begitu penling untuk keperluan clialajak ramai, supaja mereka tahu betul perihal keadaan bidang- tanah dinegeri Belanda, sehingga suatu perdjandjian tentang tanah jang berada dinegeri Belanda, harus dimasukkan daftar tanah itu, meskipun perdjandjiannja sendiri diadakan disualu negara asing, jang tidak mengenal pemasukan dalam daftar tanah itu.
Perihal barang2 bergerak. Oleh karena tentang barang2 ini tiada sualu peraturan hukum tertentu seperti pasal 17 A . B. mengenai barang2 lak bergerak, maka mudah dapat dimengerti, bahwa kini lebih terasa ketia daan kepastian tentang hukum mana jang berlaku dalam hal perhubungan hukum jang mengandung anasir2 asing. A da suatu pendapat jang menhendaki, bahwa perihal barang2 bergerak berlaku hukum dari negara dimana seorang pemilik barang2 itu berdomisili. Pendapat ini berdasar atas pertimbang an, bahwa barang2 bergerak dapat mengikuti pemiliknja kemana2. Ini memang betul, akan tetapi tidak boleh dikatakan, bahwa seorang jang memindahkan domisilinja kenegeri lain, selalu membawa semua barang2 bergerak jang mendjadi miliknja. Ini hanja dapat dikatakan dari barang2 jang biasanja orang bawa ke-mana2 atau jang dibutuhkan untuk keperluan pemilik se hari2. M aka dari ilu kemungkinan adalah banjak, bahw a misalnja seorang India, sedang berdomisili di Indonesia, mendjual ke pada seorang Belanda barang2 bergerak m iliknja jang berada
116
dinegeri Peranljis. Kalau dalam hal ini dianggap berlaku hukum Indonesia, maka dapat dichawatirkan, bahwa barang2 sematjam jang dicljual itu dan orang jang harus menjerahkan barang2 jang berada di Peranljis ilu hanja kenal pada hukum jang berlaku di Peranljis,
hukum
mana barangkali berbeda sekali daripada
hukum Indonesia. Kesulitan sematjam ini dapat mendorongkan seorang menga nut pendapat lain, jaitu bahwa sebaiknja djuga perihal barang2 bergerak
dianggap berlaku hukum dinegara atau tempat, di-
mana terletak barang2 ilu, in casu hukum Peranljis. D alam Ijontoh tersebut, perbedaan dua pendapat ini dapat berakibat penting. Menurut hukum
perdata jang berlaku di
Indonesia bagi orang India dan orang Belanda, barang2 jang didjual, baru mendjadi milik sipembeli, apabila sudah diserah kan kepadanja, sedang menurut hukum Perantjis pembeli sudah mendjadi pemilik pada waktu perdjandjian djual-beli dibikin. M aka menurut hukum Indonesia seorang Belanda-pembeli pada waktu djual-beli
belum
dan menurut hukum Perantjis sudah
mendjadi pemilik barang2 jang berada di Perantjis itu. Ini dapat berakibat penting djuga, oleh karena dengan berlakunja hukum Perantjis, barang2-nja seketika itu djuga dapat dibeslah atas permintaan seorang piutang („crediteur ) dari pembeli guna membajar hutangnja, sedang dengan berlakunja hukum Indo nesia pembeslahan ini tidak mungkin didjalankan. A d a alasan lain djuga
jang
mendorong
orang menganut
pendapat jang menundjuk kepada hukum dari tempat terletak barang2, jaitu berdasar atas pertimbangan, bahwa barang2 ber gerak tidak kurang penting bagi negara daripada barang tak bergerak maka, kedaulatan negara itu menuntut, supaja hukumnja berlaku bagi semua barang2, baik bergerak, maupun tak bergerak, jang berada dalam daerahnja. 117
Pendapat ini menurut Martin YVoIff dalam bukunja halaman 511 — 512 dianut oleh para penguasa diliampir semua negaradibenua EropaK, jaitu Inggeris, Perantjis, Belgi, Belanda, Rum a nia, Itali, Djerman, Swis, Austria, Hungaria, Polandia dan Junani. Dengan menganut pendapat ini orang belum boleh dikatakan terhindar dari kesulitan. Djustru oleh karena barang2 bergerak mudah di-pindah2-kan kelain negara atau tempat, maka suatu perdjandjian tentang barang2 bergerak itu mungkin sekali ber maksud untuk mengangkut barang2 itu dari suatu negara meliwati beberapa negara lain sampai negara jang teracliir dimana barang2-nja harus diserahkan kepada jang berhak. D alam hal ini orang dapat memilih hukum mana jang berlaku, jaitu hukum dari negara, dimana barang2 itu berada pada waktu perdjandjiannja dibikin atau hukum dari negara, dimana barang2 ilu ber ada selama perdjanjiannja dilaksanakan atau hukum dari negara, dimana barang2 itu pada achirnja akan berada sebelum diserah kan kepada jang berhak. Djawaban atas pertanjaan ini tergantung dari sifat, isi, mak sud dan tudjuan dari perdjandjian jang bersangkutan, maka sukajL-dapat diberikan sebagai djaw'aban umum.
P erihal kapal. Kapal, terutama kapal lautan, adalah barang jang bersifat bergerak, akan tetapi sedemikian rupa pentingnja, sehingga oleh pelbagai peraturan hukum dipandang se-olah2 suatu barang tak bergerak atau se-olah2 suatu bidang tanah, bagian dari „territoir suatu negara, jang dapat berlajar ke-mana2. Pandangan ini sudah amat tua umurnja dan berhubungan erat dengan kenjataan, bahwa kapal2 ini sering berada ditengah lautan samudera jang tidak masuk „territoir suatu negara (diluar jang dinamakan lautan „territoriaal” didekat pantai sampai 5 mil Inggeris) dan jang dari itu tidak dapat tun duk kepada kekuasaan suatu negara tertentu. M aka, kalau tiada 118
peraturan hukum tertentu, keadaan dalam suatu kapal jang Jjerada di-tengah2 lautan itu, akan merupakan suatu masjarakat keljil jang katjau-balau, oleh sehab tiada peraturan hukum sedikilpun, jang mengatur setjara resmi tingkah-Iaku anggota ma sjarakat itu. Betul, tentunja selalu ada pemimpin dan pengurus kapal jang mengatur tata-tertib dalam kapal, akan tetapi, kalau tiada aturan, setiap kapal akan merupakan kapal badjak laut belaka. M aka dari itu. sudah sedjak dahulukala sebuah kapal jang berada di-tengah2 lautan, oleh hukum antar negara dianggap sebagai bagian dari daerah negara asli dari kapal itu. Oleh ka rena tanda negara asli terlihat dari bendera jang dikibarkan diatas kapal itu, maka lazimnja dikatakan, bahwa hukum diatas kapal itu menurut hukum dari bendera masing2. Ukuran sampai dimana suatu kapal dianggap sebagai „territoir suatu negara, tergantung dari peraturan masing2 negara itu sendiri. Bagi Indonesia ada pasal 511 Kitab Hukum Dagang, jang tentang hal ini menundjuk kepada suatu undangundang tertentu, jaitu undang-undang mengenai „zeebrieven en scheepspassen” ( = surat2 resmi jang harus dibawa oleh tiap2 kapal. Staatsblad 1934 - 78 jo 1955 - 565).
D i alas dikatakan, bahwa kapal oleh hukum dianggap se-olah2 merupakan suatu barang tak bergerak. Ini mengenai hukum nasional. Pasal 514 Kitab Hukum Dagang mulai dengan me ngatakan, bahwa kapal2 Indonesia, jang besarnja se-kurang-nja 20 meter kubik bruto, dapat („kunnen”) didaftarkan dalam suatu „register dan menundjuk selandjutnja kepada undangundang jang mengatur pendaftaran kapal2 itu (Peraturan „Teboekstelling van schepen , Staatsblad 1 9 j j 48 jo 1 9 j8 •— > 2). Bagi kapal2 jang telah didaftarkan itu, hal2 memindahkan hak atas kapal itu diatur setjara sama dengan jang berlaku bagi tanah. Pasal 514 Kitab Hukum Dagang, ajat 5 dan 4, meneniukan kemungkinan adanja „hypotheek” jang dibebankan pada 119
kapal2 jang didaftarkan dan sebaliknja tidak adanja kemung kinan kapal2 itu digadaikan („pandrecht ). D ju ga ditegaskan, bahwa perihal kapal2 ini tidak berlaku pasal 197/ B. \V., jang menentukan, bahwa tentang barang2 bergerak orang pemegang barang pada hakekatnja dianggap sebagai pemilik barang itu. Bagaimanakah halnja dalam hukum perdala internasional ? Tentunja prinsip persamaan
dengan
barang
lak
bergerak
tetap berlaku bagi kapal2 jang berada diluar daerah negara asli. Kalau sebagai analogi dipergunakan pasal 17 A .B ., jang-menundjuk kepada hukum dari negara dan tempat, dim ana terle tak barang2 tak bergerak. Kalau dipandang sepintas lalu, maka pelaksanaan pasal 17 A.B. bagi kapal2 akan mengakibatkan, bahwa kapal2 jang berada dipelabuhan negara asing, harus tunduk pada hukum dinegara asing itu. Dengan ini maka per aturan hukum jang berlaku bagi kapal2 akan selalu berubah, oleh karena sifat kapal ialah berlajar ke-mana2. Akan tetapi, kalau dipikir lebih dalam, jailu bahwa dengan memakai suatu bendera nasional suatu kapal dapat dikatakan mempunjai kebangsaan jang menutut kedudukan hukum dari kapal dimanapun kapal itu berada, maka dapat dikemukakan, bahwa sebaiknja bagi kapal2 itu berlakulah hukum nasional dari negara, jang mempunjai bendera jang dipakai oleh kapal itu. Dengan ini kepastian hukum akan lebih mungkin tertjapai. Hukum nasional dari bendera kapal ini dapat mengenai pendjualan dan penjerahan kapal itu. Kalau hukum nasional ini berlaku di-mana2, maka penjerahan kapal Indonesia, mes kipun pendjualannja dilakukan diluar negeri, harus diseleng garakan setjara pemasukan dalam daftar jang diadakan di Indo nesia (pasal 318 ajat 2 Kitab H ukum Dagang). D ju g a kalau diluar negeri orang asing akan mendapat hipotik diatas kapal2 Indonesia, maka hipotik itu harus didaftarkan pula dalam daftarkapal di Indonesia. Ini sangat penting bagi para tukang uang, jang
120
memindjamkan
uangnja kepada
pemilik kapal,
supaja
mereka tahu. sampai dimana kapal itu dibebani dengan matjam2 perdjandjian mempertanggungkan kapal2 itu. Tentang bal ini pasal 515 e Kitab Hukum Dagang menentu kan, baliwa, apabila suatu kapal jang didaftarkan di Indonesiadiluar negeri disita dan dilelang untuk membajar hutang pe milik kapal, maka kapal itu tetap dibebani dengan hipotik jang dimasukkan daftar kapal di Indonesia, ketjuali djika para piutang jang mempunjai hipotik itu, dipanggil oleh penguasa dinegeri asing dan diberi kesempatan untuk melaksanakan haknja atas uang harga pendjualan kapal itu. Selain dari hipo tik Icntunja dalam hal ini djuga harus mendapat perhatian suatu prioritet jang oleh pasal 516 Kitab Hukum Dagang diberikan kepada beberapa beban jang berada diatas kapal itu berupa hutang2 jang harus dibajar djuga dari uang pendjualan kapal. Kinipun, seperti halnja pada umuinnja dalam hukum perdata internasional, harus dilakukan pertimbal-balik. Maka djuga dalam hal sualu kapal asing disita dan didjual lelang di Indo nesia, harus diperhatikan sepenuhnja peraturan2 hukum bendera nasional dari kapal itu. Dengan tiadanja peraturan hukum tertentu tentang hal ini„ maka hakim leluasa untuk mengambil suatu putusan, jang" memenuhi rasa keadilan tidak hanja
dari
masjarakat negara
awak, melainkan djuga dari masjarakat negara asing jang ber sangkutan, dengan mempergunakan apa jang diuraikan diatas. sebagai pedoman. Segala apa jang dikemukakan diatas tentang kapal, dapat mutatis mutandis diperhatikan perihal kapal terbang. Perihal kapal dan kapal terbang ada beberapa perdjandjian internasional antara beberapa negara mengenai l) kedudukan kapal2 negara (1926), 2) pengangkutan dengan kapal terbang (1929), 5) soal tubrukan antara pelbagai kapal lautan „aanvaring” (1910), 4) pemberian pertolongan kepada kapal dan pengambilan keatas dari kapal2 jang tenggelam dilautan (1910).
121
B A G IA N
XIV
H a l perikatan pcrdala
Persetudjuan.
A.
Bagian besar dari perikatan perdata berdcisar alas perseludjuan antara dua pihak. Perihal kekuasaan hukum kedua belah pihak untuk mengadakan persetudjuan pada uinumnja, pasal 16 A . B. menundjuk kepada hukum nasional dari masin«- pihak. Perihal tjara melakukan perbuatan hukum jang menghasilkan suatu perdjandjian, pasal 18 A . B. menundjuk kepada hukum dari negara atau tempat, dimana perbuatan hukum dilakukan. Perihal persetudjuan jang mengenai barang2 tak bergerak, pasal 17 A . B. menundjuk kepada hukum dari negara atau tempat, dimana terletak barang tak bergerak itu. Diatas sudah beberapa kali dikemukakan. betapa orang masih mendjumpai pelbagai kesulitan, meskipun telah ada tiga pasal tersebut. Ternjata, bahwa tiga pasal itu sadja sama sekali tidak tjukup untuk mentjapai suatu penjelesaian dalam hal hukum perdata internasional jang memuaskan dan jang memenuhi rasa keadilan dari semua pihak atau gerombolan orang2 jang ber kepentingan. Terutama prinsip ketertiban umum dan pelandjutan keadaan hukum selalu dipergunakan, untuk dapat menjimpang dari pelaksanaan setjara kaku dari pasal2 tersebut. Ternjata djuga, bahwa dalam mentjari penjelesaian sematjam tersebut diatas, dunia masih djauh sekali dari mentjapai kata sepakat. Berlainan pendapat tidak hanja ada dalam pelbagai negara masing2, pun dalam suatu negara tertentu orang2 berpendapat berlainan satu sama lain Kalau diingat, bahwa di-Iapangan2 jang dimaksudkan oleh pembuat undang-undang untuk diliputi oleh tiga pasal A . B. tersebut, masih terdapat begitu banjak perselisihan pendapat, maka mudah dapat dimengerti, bahwa perselisihan pendapat itu tentunja terdapat lebih banjak dalam hal2 jang tidak diliputi
122
oleh tiga pasal tersebut dan jang seluruhnja diserahkan kepada i mu pengetahuan hukum dan para hakim untuk dibereskan. Lebih hal ini dapat dikatakan tentang soal persetudjuan perdata antara dua pihak atau lebih, oleh karena kini ada faktor jang mengakibatkan kurang adanja kepastian hukum, jaitu kemauan pihak2 jang berkepentingan, jang pada pokoknja mendjadi dasar dari persetudjuan sebagai sumber dari suatu perhubungan hukum. Maka salah suatu hal jang sangat dipersoalkan tentang per setudjuan dalam hukum perdata internasional ialah sampai dimana para pihak jang berkepentingan dapat memilih sendiri kelompokan hukum jang mana harus dianggap berlaku bagi perhubungan hukum jang bersangkutan. Perihal memilih hukum ini diatas sudah sekadar diuraikan (bagian VII). Lapangan dari hal persetudjuan jang tidak diliputi oleh tiga pasal dari A .B . tersebut ialah jang mengenai isi dan akibat hukum dari suatu persetudjuan. D aiam ha/ ini, perihal hukum jang berlaku, orang dapat memilih antara 4 matjam hukum, jaitu ke-1 hukum nasional dari para pihak atau salah satu dari mereka, ke-2 hukum dari negara, dimana berdomisili para pihak atau salah suatu dari mereka, ke-5 hukum jang berlaku ditempai persetudjuan lahir, ke-4 hukum jang berlaku ditempat persetudjuan harus dilak sanakan. Perdjandjian2 dalam suatu persetudjuan selalu menge nai dua pihak, ke-I pihak jang dibebankan memenuhi suatu perdjandjian („debiteur”) dan ke-2 pihak, untuk keperluan siapa perdjandjian itu harus dilaksanakan („crediteur ). Kalau dua pihak ini masing2 pada umumnja tunduk pada peraturan2 hu kum jang berbeda satu sama lain, maka harus dipilih djuga diantara dua hukum tadi. D an kalau sudah dipilih, bahwa misalnja hukum debiturlah jang harus berlaku, masih akan ada kesulitan, apabila dalam suatu persetudjuan kedua belah pihak masing2 mempunjai beban menurut perdjandjian, hal
123
mana menjebabkan, bahwa akan ada benlrokan lagi anlara dua kelompokan hukum. A pabila salah satu dari • 4 matjam hukum tersebut diatas telah dipilih, djanganlah dikira, bahwa akan tiada kesulitan lagi. Kalau misalnja
seorang hakim
Indonesia
berpendapat,
bahwa dalam suatu persetudjuan harus dianggap "berlaku hukum dari suatu negara asing, misalnja dari negara Inggeris, masih ada kalanja hakim mendjumpai beberapa pasal dari hukum Inggeris, jang dianggap olehnja bertentangan dengan ketertiban umum. Misalnja seorang laki2 Inggeris A dan seorang perem puan Inggeris B, semula bertunangan dan kemudian A tidak memenuhi djandji dan achirnja tidak mau kawin dengan B. Kedua belah pihak berada di Djakarta dan B menggugat A untuk mendapat ganti kerugian sebagai akibat dari tidak me menuhi djandji itu. Menurut hukum Inggeris ganti kerugian ini dapat diputuskan, supaja dibajar. Akan tetapi menurut pasal 58 B. W . dan menurut hukum adat Indonesia pada um um nja tidak dapat. Mungkin sekali, meskipun hakim m ula2 mengang gap hukum Inggeris berlaku, achirnja ia toh berpendapat, bahwa hukum Indonesia harus dilaksanakan berdasar atas ketertiban umum. B Perikatan berdasar atas hukum.
Perikatan sematjam ini jang terpenting ialah jang berdasar atas suatu kedjadian hukum („rechtsfeit”), jang dalam pasal 1565 B. W . dinamakan „onrechtmatige daad” ( = perbuatan jang bertentangan dengan hukum atau perbuatan jang orang tidak berhak melakukan). Pengertian ini sedjak pentafsiran jang pada tahun 1919 diberikan oleh pengadilan tertinggi dinegeri Be landa („Hoge Raad”) adalah sangat luas dan meliputi djuga perbuatan jang bertentangan
dengan
dalam pergaulan hidup dimasjarakat.
124
jang dianggap
pantas
Sebagai dikelabui akibal, perbuatan menjalahi hukum ini ialah, bahwa seorang, jang bersalah atas perbuatan itu, harus memberi ganti kerugian jang diderita oleh lain orang sebagai akibat perbuatan itu. Hukum manakah jang berlaku, apabila misalnja seorang Filipina di Djakarta melakukan perbuatan menjalahi hukum itu dengan berakibat, bahwa seorang Inggeris menderita kerugian. Pasal 16 A . B. kini tidak berlaku, oleh karena dalam suatu perbuatan menjalahi hukum, tiada tempat bagi suatu kekuasaan hukum untuk berbuat sesuatu, sebab bertentangan satu sama lain. Kekuasaan hukum adalah mengenai hak untuk berbuat, sedang kini soalnja ialah suatu perbuatan jang dilarang oleh hukum. Pasal 18 A . B.
tentang tjara melakukan
perbuatan
hukum, pun mengenai perbuatan hukum jang diizinkan
oleh
hukum, sedang kini malahan ada larangan oleh hukum. Pasal 17 A . B. jang
mengenai
hal
sesuatu berhubungan
dengan barang2 tak bergerak, sangat djauh kemungkinan ada hubungan dengan suatu perbuatan menjalahi hukum. M aka perihal perbuatan menjalahi hukum sama sekali tiada pegangan tertentu berupa suatu pasal undang-undang. Akan 'tetapi sekiranja kini, lain daripada dalam hal persetudjuan per data, lebih mudah adanja kata sepakat dalam dunia ilmu penge tahuan hukum dan dalam praktek pengadilan tentang hukum mana jang dianggap berlaku, kalau ada anasir asing terselip ■dalam kedjadian hukum ini. K alau seorang pada suatu waktu melakukan suatu perbuatan menjalahi hukum, jang seperti telah dikatakan diatas, djuga meliputi perbuatan jang oleh masjarakat dianggap tidak patut, maka hampir dengan sendirinja alam pikiran dan alam perasaan •orang terdorong kepada masjarakat, ditempat mana perbuatan itu dilakukan dan/atau mengakibatkan kerugian. 125
M aka mudah dapat dimengerti, bahwa ternjata ada pendapat umum, bahwa pada hakekatnja jang dianggap berlaku dalam hal perbuatan menjalahi hukum ialah hukum dari tempat, dimana terdjadi kedjadian hukum itu. Menurut Mr. Van Brakel dalam bukunja halaman 187, jurisprudensi dinegeri Belanda, dipelopori oleh ,,Hoge Raad disana, hanja melihat pada tempat dimana perbuatan itu meng akibatkan suatu kerugian. Saja sependapat dengan Mr. van Brakel, bahwa sebaiknja tidak diadakan pemilihan antara dua tempat itu. melainkan dibuka kesempatan untuk memperhatikan sepenuhnja keadaan didua tempat itu. Keadaan in concrelo tidak dapat diduga terlebih dahulu bagaimana akan udjudnja. M ungkin sekali keadaan itu demikian rupa, bahwa rasa keadilan tidak dapat dipenuhi, apabila hanja salah satu dari dua tempat itu dipilih untuk menentukan hukum jang mana berlaku. Kalau demikian keadaannja, maka orang harus menetapkan diri dialas dua matjam hukum itu dan berpikir se-olah2 suatu pembentuk undang-undang dalam menjelesaikan hal sesuatu. Kalau kini dikatakan, bahwa dalam hal perbuatan menjalahi hukum harus dianggap berlaku hukum dari tempat, dim ana perbuatan itu dilakukan dan/atau suatu kerugian diakibatkan, maka — seperti halnja dalam segala lapangan hukum perdata internasional — ini tidak berarti, bahwa orang selalu tidak boleh menjimpang daripada sikap ini. D jau h dari itu. K inipun tentu ada keketjualian. Selalu mungkin, seperti pada um umnja, suatu ketertiban umum dari negara hakim, jang akan memutuskan perkara, menghendaki penjimpangan itu dan penaruhan lebih perhatian pada hukum dari negara hakim itu (,,lex fori”). M a lahan mungkin djuga s.eorang hakim terpaksa berbuat begitu berhubung dengan adanja
suatu pasal
istimewa dari
hukum
negaranja jang tidak boleh tidak harus dilaksanakan, misalnja sadja
126
pasal
mengenai
atjara
pemeriksaan
perkara.
Sebagai
pernah dikatakan diatas, peraturan atjara pemeriksaan perkara ini termasuk suatu peraturan jang pada hakekatnja harus selalu dianut oleh seorang haki m. Lain daripada peraturan mengenai atjara pemeriksaan perkara ini. Kitab Undang-undang hukum Pidana dalam pasal 3. 4, 5. 7 dan 8 menentukan, bahwa dalam hal2 tersebut disitu, peraturan hukum pidana dari negara Indonesia berlaku djuga bagi kedjahatan2 jang dilakukan diluar negeri. Ketentuan2 ini djuga tidak dapat diabaikan begitu sadja oleh hakim perdata. Bagaimanakah halnja dengan perikatan perdata lain jang berdasar atas hukum, jaitu ke-1 hal orang mengurus kepentingan orang lain den gan tidak diminta (pasal 1354 — 1358 B. W .) dan ke-2 hal orang melakukan suatu pembajaran jang tidak diwadjibkan (pasal 1360 — 1364 B. W .). D alam dua hal ini, lain daripada hal perbuatan menjalahi hu kum, tidak begitu nampak kemuka soal kemasjarakatan, melain kan sebaiiknja ierlibat didalamnja banjak soa/ perseorangan belaka, jailu dari orang jang Jcepenlingannja diurus oleh orang ketiga dan dari orang jang setjara keliru belaka melakukan pembajaran jang sama sekali tidak diwadjibkan. M aka dari itu kini tidak dapat dikatakan, bahwa pada hake katnja jang dianggap berlaku ialah hukum dari tempat, dimana perbuatan jang bersangkutan dilakukan. Orang2 jang berkepen tingan tersebut diatas, mungkin sekali membutuhkan berlakunja hukum dari tempat lain, misalnja dimana terletak barang2 jang masuk perbuatan pengurusan orang ketiga itu atau dimana berdiam orang2 jang dengan menerima pembajaran jang keliru itu lantas mendapat untung jang tidak pada tempatnja. O leh karena bagi segala hal ini tidak ada peraturan tertentu, maka penguasa, terutama hakim, leluasa untuk memperhatikan segala hal guna memenuhi
rasa keadilan dalam arti jang se-
Iuas2-nja. 127
'C.
Pembajaran uang.
D alam tingkatan perhubungan lalu lintas internasional jang sekarang ada didunia adalah suatu hal biasa, apabila seorang Indonesia harus membajar sedjumlah uang kepada seorang asing di Indonesia atau diluarnegeri. O leh karena orang asing itu dalam negerinja terikat pada peredaran mata uang jang berlaku disana, maka sering kedjadian, misalnja seorang M alaja A berdjandji membajar sedjumlah uang sebesar 1000 ..Slraitsdollar” kepada seorang Indonesia B. Timbul pertanjaan. bagai mana pembajaran in concreto harus berlaku. Ini tergantung dari isi dan maksud perdjandjian jang ber sangkutan. Mungkin A harus menjerahkan 1000 „Straits dollar" kepada B. Mungkin djuga terserah kepacla B, apa ia minta pembajaran berupa dolar atau berupa uang rupiah sedjumlah jang bernilai sama. Atau lagi mungkin A musti membajar berupa uang rupiah, tidak tergantung dari permintaan B. Untuk dapat menetapkan salah suatu dari 3 matjam isi dan maksud perdjandjian itu, perlu ditetapkan dulu, hukum mana jang dianggap mengatur perdjandjian itu, hukum M alajakah atau hukum Indonesiakah ? Ini dapat ditentukan dengan mengingat apa jang telah diuraikan diatas perihal berlakunja hukum perdata internasional. Dalam keadaan biasa hal ini tidak akan menimbulkan kesulit an. Dalam semua 3 tjara pembajaTan tersebut diatas si B tidak akan mendapat rugi. Lain halnja, apabila dalam suatu negara sebagai akibat dari suatu bentjana, kekuatan pembelian dari uangnja begitu sangat merosot, sehingga dianggap perlu untuk mengganti matjam uang peredaran dengan uang lain, dengan menetapkan ukuran peng•gantian, seperti telah kedjadian dinegeri Djerman pada tahun 1924, jaitu „Mark” diganti dengan „Reichmark” dan ditentukan, bahwa satu „Reichsmark” adalah sama dengan m iliun ,,Mark . 128
Berhubung dengan kemungkinan sematjam ini, maka sering kedjadian dalam suat« perdjandjian ditetapkan, bahwa pembajaran harus dilakukan dalam sedjumlah uang jang sarna liarganja dengan emas jang beratnja ditetapkan semula („gold value clause ). Perdjandjian sematjam ini pada umumnja di perbolehkan. akan tetapi mungkin sekali suatu negara menetap kan sualu undang-undang istimewa jang melarang perdjandjian sematjam ini. Djerman pada lahun 1959, dekat sebelum petjah perang* dunia ke II. mengadakan peraturan untuk membatasi pembajaran uang kepada orang asing sedemikian rupa, sehingga seorang Djerman jang menurut suatu perdjandjian apapun djuga berw adjib membajar uang kepada orang asing, hanja diperboleh kan membajar dalam negeri Djerman dengan uang „Reichsmark” Djerman dan hanja sampai suatu maximum tertentu. Tindakan Djerman ini ditentang hebat oleh negara2 lain, jang warganegaranja menderita kerugian amat besar sebagai akibat dari tindakan Djerman itu. Kedjelekan dari tindakan Djerman ini terletak pada kenjalaan, bahwa tindakan ini berat sebelah, hanja menguntungkan suatu pihak, jaitu negeri Djerman. Kesukaran Djerman janfi mendorong melakukan tindakan itu tidak dapat disangkal. Hanja djalannja jang dilalui adalah amat kasar. O le h karena kesukaran seperti ini dirasakan djuga oleh lain2 negara jang ingin pula menjehatkan kedudukan keuangannja, maka pada tahun
1945 diadakan perdjandjian internasional
antara beberapa negara jang dinamakan ..Bretton Woods Agreement” dan jang mengatur hal tindakan menjehatkan keuangan itu, jang dapat dilakukan oleh negara2 peserta dengan akibat, bahwa persetudjuan2 jang bertentangan dengan tinda kan2 itu, tidak dapat dilaksanakan. D alam
persetudjuan
keuangan
dan
perekonomian
antara
Indonesia dan Belanda sebagai, bagian dari Persetudjuan Kon129
perensi M edja Bundar (K. M . B.) pasal 14 menentukan, bahwa Republik Indonesia dan Keradjaan Belanda masin g- akan mengichtiarkan tata keuangan („monetair systeem ) jang seliat sambil berdasarkan asas2 jang termaktub pada perseludjuan Bretton W oods. D. W esel dan tjek Sebagai diketahui, wesel adalah suatu penjuruhan oleh seorang A kepada orang lain B untuk mengadakan pembajaran uang kepada orang ketiga C., sedang antara A dan B sudah ada perhubungan hukum jang mengakibatkan pembajaran pleh B kepada A . Maka wesel adalah satu2nja tjara pembajaran jang praktis antara orang2 jang masing2 berdiam dilain tempat, oleh karena dengan demikian dihindarkan suatu pengiriman uang dari suatu tempat kelain tempat, dengan risiko, bahwa uang itu ditengah djalan akan hilang. Ter-Iebih2 dalam perda gangan internasional pemakaian wesel adalah amat praktis. Mengingat ini, maka sudah selajaknja, apabila didunia inter nasional ditjarikan djalan untuk mengadakan suatu peraturan perihal w'esel jang meliputi semua negara didunia. M u la 2 usaha itu diselenggarakan pada suatu konperensi internasional di Den Haag pada tahun 1911 dan 1912, akan tetapi usaha itu gagal. Baru pada tahun 1950 tertjipta suatu perdjandjian internasional mengenai wesel dan pada tahun 1951 mengenai tjek. Berhubung dengan ini, Kitab Hukum Dagang, baik di negeri Belanda, m au pun di Indonesia perihal wesel dan tjek diubah dan disesuaikan dengan traktat2 tersebut. Sajangnja ialah, bahwa belum semua negara masuk traktat2 itu. British Commonweallh dan Amerika Serikat misalnja sampai sekarang tidak menggabungkan diri pada dua traktat itu. M aka belumlah tertjapai tjita2 untuk mengadakan peraturan hukum perdata internasional tentang w'esel dan tjek, jang meli puti seluruh dunia.
150
H al jang terutama menjebabkan Inggeris clan Amerika Serikat tidak mau turut menandatangani dua traktat tadi ialah, bahwa didalamnja sebagai dasar daripada peraturan penundjukan hukum jang harus berlaku, ditetapkan hukum nasional dari orang2 jang menandatangani wesel, sedang di Inggeris dan Amerika Serikat, seperti halnja dalam hukum perdata interna sional pada umumnja, pun dalam hal wesel dan tjek hukum domisili dari orang2 itu dipakai sebagai dasar. Sebagai diketahui, perdjandjian-wesel lertjipta dengan pe nandatanganan wesel itu, dalam mana tidak disebut causa dari perdjandjian, dan sebetulnja disamping perdjandjian wesel ini selalu ada perdjandjian lain jang memungkinkan ada pembajaran jang diselenggarakan oleh wesel itu. Perdjandjian jang lain ini mungkin sekali tidak diperbolehkan dalam suatu negara, jaitu misalnja perdjandjian membajar sedjumlah uang sebagai akibat dari suatu pendjudian. Bagi Indonesia perdjandjian sematjam
ini dilarang oleh pasa! 1788 B. W . Kalau inilah halnja, maka orang jang digugat dimuka hakim perihal wesel ini. dapat me
nangkis gugatan itu, berdasar atas pasal 1788 B .W . Tetapi di Djerman suatu perdjandjian wesel dianggap masuk golongan ..abstraete verbinlenis”, hal mana mengakibatkan, bahwa, kalau weselnja ditandatangani dinegeri Djerman oleh orang Djerman
dengan akibat, bahwa hukum Djerman adalah berlaku, orang tidak dnpnt menangkis gugat-wesel setjara mengemukakan per djandjian jang mendjadi dasar dari penandatanganan wfesel. M aka dengan adanja traktat tentang wesel, pun diantara negara2 peserta belum ada kesatuan dalam melaksanakan per djandjian-wesel. Perlu dikemukakan disini, bahwa baik hukum Inggeris dan Amerika, maupun traktat tentang wesel menundjuk bagi setiap penmid/iliingaium
dalam saiu w’esel kepada hukum
domisili
nasional dari orang- juitff mennndnlnngani. ini mengakibatkan bahwa, oleh karena wesel itu ditandatangani oleh beberapa
151
orang, jaitu oleli jang mengeluarkan wesel („trekkcr '). oleli jang harus membajar dan bersedia untuk membajar („belrokkene. acceptant”) dan kalau ada. orang2 jang mengoperkan hak atas wesel itu kepada orang lain (,,endossant”), maka perihal satu wesel dapat berlaku lebih dari satu kelompokan Iiukuni. Segala sesuatu jang diuraikan diatas perihal wesel, berlaku djuga bagi tjek, jang berbeda dari wesel terutama hanja tentang jang ditundjuk harus membajar, jaitu kini tentu harus suatu bang jang tidak diwadjibkan menjediakan diri untuk memba jar („accepteeren”).
B A G IA N
XV
H a l hukum atjara perdata Dalam bagian IX mengenai hukum nasional bagi orang2 asing sudah disinggung beberapa peraturan dari hukum atjara perdata. Pada umumnja dapat dikatakan, bahwa oleh karena perihal hukum atjara perdata tidak ada suatu peraturan penundjukan kepada suatu golongan hukum jang harus dianggap berlaku, apabila ada suatu anasir asing, maka terserahlah kepada hakim pada achirnja untuk menentukan sendiri sikapnja. H akim dalam hal ini dapat berusaha akan mengetahui hasil2 penjelidikan jang mungkin telah diadakan dalam dunia ilm u pengetahuan hukum. Sekiranja dapat dikemukakan sebagai pendapat umum, bahwa pada hakekatnja perihal hukum atjara perdata oleh hakim harus diturut hukum nasional sang hakim itu (Iex fori). Ini sudah selajaknja. oleh karena sifat hukum atjara perdata ialah hanja untuk merundjukkan suatu djalan, jang harus dilalui oleh hakim untuk melaksanakan hukum perdata. Peraturan hukum atjara perdata ada berhubungan erat dengan soal susunan dan kekuasaan pengadilan2 suatu negara. 132
Terang pula, bahwa, oleh karena pengadilan adalah suatu alat negara tertenlu. maka tiap2 negara dapat dikatakan ber kepentingan penuh untuk mengatur hal itu setjara jang sesuai dengan keadaan negara pada umumnja. Kedaulatan negara tentang hal ini tidak dapat dibelakangkan, oleh karena suatu alat pada umumnja harus bermanfaat. Dan ini, jaitu sampai dimana suatu alat adalah bermanfaat, hanja dapat ditentukan oleh mereka jang mempunjai alat itu dan jang akan merasakan akibat pemakaian alat2 itu. Den gan ini sudah tepat, apabila dianggap sebagai hakekat bahwa hakim dalam melakukan peradilan, djuga dalam hal hukum perdata internasional, hanja dan harus tunduk pada hukum atjara perdata jang ditetapkan oleh negaranja. Tidak ada suatu ketentuan dengan tiada keketjualian. Djustru dalam hal hukum perdata internasional, dimana pelbagai kepentingan asing minta perhatian, hakim tiap negara harus insaf, bahwa kini tidak hanja rasa keadilan dari masjarakat negaranja sadja jang harus dipenuhi, melainkan djuga seberapa boleh rasa keadilan dari masjarakat asing, jan« mempunjai kepentingan. H anja dengan djalan demikian, tiap2 negara da pat mengharapkan, bahwa l<epentingiUU\ja djlipn akan diperha tikan seperlunja diluarnegeri. Jang mendjadi soal ialah sampai dimana keketjualian itu diadakan. Harus dikemukakan, bahwa keketjualian harus tetap bersifat keketjualian, maka kalau memang dianggap perlu betul suatu Pengadilan melakukan suatu keketjualian, soal jang ter tentu ini tidak boleh dilebarkan sajapnja sampai meliputi soal2 lain tidak dengan semeslinja. Seperti dalam ilmu pengetahuan hukum pada umumnja, kini pun orang menljari suatu pormula umum untuk menentukan batas mengadakan keketjualian itu. D a la m hal ini setengah orang membagi hukum atjara per data mendjadi dua bagian besar, jaitu ke-1 peraturan jang 155
betul2 mengenai atjara \,,formeeI procesreclit’ ), Ke-2 peraturan jang bersifat tengab2 dan jang memuat anasirJ jang mendekati sifat hukum perdata („materieel procesreclit ). D a n sebagai tjontob jang terpenting dari hukum atjara „materieel ini disebutkan bukum mengenai pembuktian. Perlu diterangkan, disini, bahwa pada um um nja para hakim di
Inggeris
tidak suka mengakui
perbedaan
ini,
melainkan
misalnja menganggap peraturan pembuktian seluruhnja masuk golongan atjara belaka dan maka dari itu djuga perihal pem buktian ini tidak mau menjimpang dari hukum Inggeris tentang hal ini. Sebaliknja'dibagian lain dari benua Eropali ada aliran kuat jang menghendaki perbedaan tersebut. Saja dapat menjetudjui pendapat Mr. M ulder dalam bukunja halaman 220, bahw'a sebaiknja pada hakekatnja tidak diadakan perbedaan antara jang dinamakan hukum atjara „formil
dan
hukum atjara „rnateriil ’ dan pada um um nja harus dipegang teguh, bahwa dalam hal hukum atjara perdata seluruhnja hakim harus tunduk pada hukum negaranja sendiri. Rangkaian perkataan „hukum atjara materiil” ini sadja sudah mengandung tentangan didalamnja, oleh karena atjara adalah tentangan dari hal „materiil . M engapa tidak disebutkan terus terang, bahwa hukum pembuktian adalah bukan hukum atjara, seperti pendapat pembentuk B .W . jang memuatkan peraturan pembuktian dalam B. W . Mereka, jang menjetudjui pembagian prinsipiil hukum atjara perdata mendjadi dua bagian, terang tidak berani menjatakan, bahwa hukum pembuktian adalah bukan hukum atjara. Ini sudah melemahkan pendiriannja. Lain daripada ini,
menurut hemat
saja, peraturan
hukum
pembuktian pada pokoknja tidak berbeda sifatnja daripada bagian hukum atjara Iainnja, sekadar menundjukkan suatu djalan jang harus dilalui oleh pengadilan sebagai alat suatu negara untuk dapat mengatakan,
154
apakah
dan
bagaimanakah
sualu hukum harus dilaksanakan. D an mengingat sifat "ini harus dikatakan, bahwa djuga perihal pembuktian pada pokoknja hakim adalah tunduk pada hukum negaranja sendiri. Seperti dikatakan diatas, tentunja sebagai keketjualian hakim dapat memperhatikan seperlunja hukum asing tentang hal ini jang berbeda dari hukum nasoinal sang hakim, akan tetapi ada alnu tidaknja keketjualian ini harus ditindjau dalam keadaan in concreto satu persatu. Tidak mungkin diadakan sualu pormula umum jang semula sudah dapat dikatakan meli puti beberapa maljam soal. D alam undang-undang seragam tentang hukum perdata inter nasional. jang akan diada kan dinegara2 Benelux pada pasal 24 ditentukan, bahwa : a kekuatan dari persangkaan jang berdasar atas undangundang seria hal kewadjiban membuktikan („bewijslast ’) adalah takluk pada undang-undang jang berlaku bagi perbuatan hukum atau persetudjuan jartg bersangkutan („lex causae”).
h pembuktian dengan saksi dan tulisan diperbolehkan, ka C&US8K? atau oleh undangdari tempat lerbentuknja persetudjuan (..lex loci actus )
lau ini dimungkinkan oleh undang
atau oleh undang-undang nasional dari hakim, jang akan me mutuskan perkaranja (,,Iex fori”). c tenlang bagian selandjutnja dari hal pembuktian berlaku lah undang-undang nasional dari hakim jang akan memutus kan perkaranja (,,lex fori”), seperti jang saja setudjui diatas. Sekarang sebaiknja ditindjau beberapa soal tersendiri dari lapangan hukum atjara perdata, dilihat dari sudut hukum perdata internasional.
Kekuasaan menghadap dimuka hakim. Ini mefigenai kekuasaan hukum seorang, maka dari itu menu rut pasal 16 A .B . hukum nasional seorang pihak itu menentukannja, pun perihal seorang pihak diwakili oleh lain orang 155
H anja kalau dalam suatu negara ditentukan peraturan, istimewa tentang perwakilan, misalnja diperbolehkan menghadap sebagai wakil hanja seorang pengatjara jang diangkat dan disumpali, maka peraturan inilah harus diturut, meskipun hukum nasional dari seorang asing tidak kenal peraturan seperti itu. Ini ber hubung dengan keistimewaan peraturan jang betul- bersifat atjara. Perihal badan hukum, kalau mengenai perwakilan belaka, tiada perbedaan daripada dalam hal perseorangan. Mengenai pengakuan sebagai badan hukum, masuk lagi lapangan hukum nasional dari badan hukum itu. Ini kalau sudah ternjata suatu perseroan harus dianggap masuk peraturan hukum asing ter tentu. Tentang kemungkinan segerombolan orang jang tidak merupakan badan hukum dapat atau tidak menghadap sebagai satu pihak dimuka hakim, patut di-ragu2-kan, apakah perihal ini djuga hukum asing gerombolan itu harus menentukannja, oleh karena ternjata sukar diketahui oleh hakim, apa jang berlaku tentang hal itu dalam suatu negara asing tertentu. D i Indonesiapun tiada peraturan tertentu tentang hal ini dan pendapat juridisprudensi djuga belum terang.
Tjara memadjukan perkara adalah sangat bersifat atjara. maka dari itu harus tunduk kepada peraturan hukum dari negara hakim sendiri. Misalnja dinegeri Belanda harus ada ..dagvaarding jaitu memanggil pihak lain langsung dengan perantaraan d j urusi ta untuk menghadap dimuka hakim, sedang di Indonesia dianut tjara memasukkan permohonan gugat, seljara lisan atau tertulis, kepada hakim, jang kemudian akan memanggil kedua belah pihak untuk datang menghadap pada sidang hakim. Surat resmi (otentik). Dari suatu surat resmi asing terpenting sudah diljitjarakan diatas kekuatannja pembuktian, jaitu dari suatu putusan hakim asing (Bagian VIII). D isitu dinjatakan, bahwa pada hakekatnja
156
kekuatan pembuktian dari putusan hakim asing tidak ada, akan tetapi ini tidak meng-halang2-i hakim Indonesia memper hatikan seperlunja adanja putusan hakim asing itu. Kinipun harus dikatakan, bahwa perihal akta otentik sebagai alat pembuktian pada pokoknja hakim Indonesia terikat pada peraturan 'Indonesia jang mengenai itu. Pasal 1868 B. W . dan pasal 165 H. I. R. menentukan, bahwa akta otentik adalah suatu surat jang dibikin menurut tjara jang ditentukan dalam undang-undang oleh atau dimuka seorang pegawai umum, jang berkuasa ditempat pembikinannja Sjarat2 ini harus dipergunakan untuk menentukan, apa suatu surat resmi jang dibikin dinegeri asing, dapat dinamakan akta otentik. Begitupun perihal kekuatan pembuktian dari akta asing itu, hakim Indonesia pada pokoknja tunduk pada peraturan Indonesia. Pendapat ini berdasar atas pertimbangan, bahwa peraturan pembuktian antara iain bermaksud untuk seberapa boleh mem pertinggi nilai putusan hakim dan oleh karena itu seberapa boleh harus diturut. Keketjualian tentunja ada, terutama perihal suatu akta jang oleh pihak2 jang berkepentingan sengadja dibikin dengan maksud untuk mendapat surat bukti dari suatu peristiwa. Misalnja dua orang M alaja di Singapura membikin surat perdjandjian menurut tjara jang disana diperlukan untuk mendapat surat bukti jang kuat. Mereka pada waktu membikin itu, tidak mengira, bahwa mereka kemudian akan berada di Indonesia dan disini timbul perselisihan jang dimadjukan dimuka hakim Indonesia. Kalau akta itu tidak memenuhi sjarat bagi akta otentik menurut hukum Indonesia dan hakim dengan begitu sadja menjampingkan surat bukti itu, maka mudah dapat di mengerti, bahwa tindakan sematjam ini tidak memuaskan. D a la m hal ini, sebaliknja hakim djuga memperhatikan seper lunja surat bukti itu. 137
Tentang surat bukti lain jang bukan otentik, seperti akta clibavvab tangan, surat2 korespondensi, tjatatan2 dan lain", tidak perlu dibitjarakan disini, oleb karena djuga menurut hukum Indonesia, hakim amat merdeka bagaimana ia akan mempcrgunakan pelbagai tulisan itu sebagai surat pembuktian.
Pengakuan seluruhnja dari suatu pihak dim uka liciki m cli Indonesia pada umumnja mempunjai kekuatan jang sebetulnja melebihi kekuatan pembuktian, oleh karena hakim lerikat kepada pengakuan itu. Artinja. meskipun orang jang mengakui itu bohong. haki m tidak perlu menghiraukan hal itu dan mesti mengalahkan pihak jang mel akukan pengakuan itu (pasal 171 H . I. R. dan pasal 1925 B. W .). Perihal ini dapat dikemukakan suatu peraturan di Indonesia, jang menjimpang dari peraturan tentang pengakuan tersebut, jaitu menurut pasal 57 dari Peraturan Perkawinan bagi Orang Keristen di Djaw a, Minahasa dan Ambon (Staatsblad 1955 — 74 jo 1956 — 607), Pengadilan negeri harus setjara merdeka („zelfstandig ) menjelidiki kebenaran alasan2 jang dikemuka kan, untuk mendapat pertjeraian. Ini diartikan, bahwa hakim tidak tjukup memperhatikan suatu pengakuan dari satu pihak sadja tentang kebenaran alasan jang diadjukan oleh pihak lawan. Dengan adanja peraturan menjimpang ini di Indonesia, maka kalau orang2 asing beperkara di Indonesia tentang hal jang dalam negara aslinja diatur seperti dalam pasal 57 tersebut, maka sekiranja hakim Indonesia harus melakukan hukum asing itu.
peraturan
H al pembuktian dengan saksi sekiranja tidak akan m enimbul kan kesulitan dalam hal orang2 asing beperkara di Indonesia, oleh karena hakim Indonesia sangat merdeka tentang pemberian kekuatan pembuktian kepada keterangan seorang saksi. Ini djuga dapat dikatakan bagi alat bukti jang dinamakan
persangkaan („vermoedens”), oleh karena ini sebetulnja bukan
158
alat bukti, melainkan kesimpulan belaka dari jang sampai dike labui oleli bakim dengan mempergunakan alat2 bukti lain. Sebaliknja peraturan tentang menjumpali salah suatu pihak sebagai alat bukti, bersifat mengikat hakim, maka sekiranja ha kim tid ak boleh menjimpang, meskipun jang beperkara adalah orang2 asing jang hukum nasionalnja memuat peraturan lain tentang hal ini. ..Rogatoire commissie” Ini berarti suatu permintaan oleh seorang hakim disampaikan kepada hakim dilain tempat, supaja hakim belakangan ini mem beri pertolongan melakukan suatu tindakan dalam suatu peme riksaan perkara, jang sebetulnja harus dilakukan oleh hakim pertama tadi, akan tetapi tidak dilakukan oleh karena beberapa hal. M isalnja harus diadakan suatu pendengaran seorang saksi jang berdiam dilain 'tempat dan jang menurut peraturan tidak boleh dipaksa untuk datang menghadap disidang hakim jang pertama itu. Pasal 175 B. Rv. mengatur hal ini, jaitu ajal I dan 2 untuk daerah Indonesia dan ajal 5 untuk tindakan jang harus dila kukan oleh hakim dinegeri asing. Disebutkan, bahwa hakim Indonesia dap"it minta pertolongan kepada penguasa dinegeri asing atau kepada seorang konsul dari negeri Indonesia jang berada dinegeri asing itu. Dengan adanja pasal 175 B. Rv. ajal 5 itu, selaku timbalbalik dapat dikatakan, bahwa seorang hakim Indonesia, kalau menerima pemintaan seperti itu dari seorang hakim dari negeri asing, pada umumnja berwadjib untuk memenuhi permintaan itu. Keketjualian hanja
dapat
diperbolehkan,
apabila
dalam
suatu hal jang konkrit kepentingan negara, terutama jang me ngenai pertahanan negara, menghendaki keketjualian itu.
159
Seringkali permintaan „rogatoire commissie
ini disampaikan
lewat Kementerian Luar-Negeri masing2 negara jang bersang kutan. Ini perlu berhubung dengan keketjualian tersebut dialas, hal mana setjara paling tepat akan dapat diketahui oleh Kementerian Luar-Negeri. Diantara beberapa
negara ada perdjandjian
internasional
tentang hukum atjara perdata pada tahun 1005 di Den Haag, jang mengatur hal „rogatoire commissie” pada pasal 8 —- 16. Pada pokoknja „rogatoire commissie” diperbolehkan dengan be berapa keketjualian, antara lain apabila memenuhi „rogatoire commissie” in concreto akan bertentangan dengan kedaulatan dari negara jang diminta pertolongan (pasal 11, 5 ke-5). Indo nesia tidak turut serta pada traktat ini. A d a hal jang mirip dengan hal „rogatoire commissie,
jaitu
pemberitahuan hal sesuatu oleh seorang penguasa dalam suatu negeri kepada orang jang berada dinegeri asing. Traktat terse but dialas tentang hukum atjara perdata djuga mengatur hal pemberitahuan ini dalam pasal 1 — 7. Indonesia jang tidak turut serta pada traktat ini, dapat memakainja sebagai pedoman. Pada pokoknja kemungkinan pemberitahuan kepada orang jang berada diluarnegeri, tergantung dari kemauan negeri asing jang bersangkutan untuk memenuhi permintaan memberi tahukan itu dan kinipun berlaku prinsip pertimbal-balik. Tentunja adalah paling baik, apabila hal sesuatu diatur dalam suatu perdjandjian internasional'.
H al pailit atau bangkrut. Kalau dilihat sifat dari suatu putusan hakim jang menjatakan seorang djatuh pailit, jaitu, bahwa keadaan pailit merupakan pensitaan (,,beslag") umum atas semua harta-benda dari seorang jang berhenti dalam membajar hutangnja, maka sekeadaan pailit ini meliputi djuga barang2-nja sipailit, jang berada diluar negeri.
140
AI
seorang
hakim
berpendapat,
bahwa putusannja perihal pailit berlaku djuga bagi barang2 milik sipailit jang berada diluarnegeri, maka hakim itu sebagai prinsip timbal-balik^ harus menganggap djuga, bahwa putusan hakim asing tentang pailit berlaku bagi barang2 si-pailit jang berada dinegeri awak sihakim. D jug a dikatakan, bahwa ada dua sistim dalam hai pailit ini, jaitu ke-1 sistim teritorialitet, jang membatasi berlakunja pu tusan pailit pada daerah negara, dan ke-2 sistim universalitet, jang menganggap suatu putusan pailit berlaku diseluruh dunia. M enurut Martin W o lff dalam bukunja halaman 360, sistim teritorialitet dianut di Amerika Serikat, sistim universalitet di Itali dan Perantjis, sedang sistim tengah2 dianut di Djerman, Swis dan Belanda. Sistim tengah2 ini antara lain mengang gap putusan hakim negara awak dalam beberapa hal berlaku universil dan sebaliknja putusan hakim asing dalam beberapa hal berlaku setjara terbatas pada daerah („territoir ). Tentang Inggeris dikatakan, bahwa prinsip universalitet dianut, ketjuali hal berlakunja putusan hakim asing terhadap barang2 tak ber gerak jang terletak dinegeri Inggeris.
14
»
Dengan aclanja pelbagai sistiin ini, maka dalam praktek akan masih ada banjak kesulitan. M aka bukan barang aneh, apabila seorang jang dalam suatu negara sudah diputuskan pailit, ke m udian dinegara lain didjatuhkan pailit lagi oleh penguasa disana. Kedjadian sematjam ini malahan dapat menghilangkan banjak kesulitan, sebab dengan demikian sudah terang barang2 milik sipailit didalam dua negara itu masuk pensilaan umum, dan pengawas („curator”) dapat bertindak dalam dua negara itu dengan leluasa untuk keperluan para piutang. H anja sadja Tiarus diperhatikan, bahwa pada hakekatnja akibat2 dari masing2 putusan mendjatuhkan pailit ditetapkan menurut peraturan negara masing2. Sekiranja hal ini dalam praktek tidak akan me nimbulkan banjak kesulitan. B A G IA N
XVI
Badan hukum Ternjata masjarakat di-tiap2 negara membutuhkan suatu pengertian hukum jang memungkinkan, bahwa dalam perhu bungan2 hukum dimasjarakat tidak hanja orang perseorangan („individu ) sadja mempunjai hak2, kekuasaan2 dan kewadjiban" hukum, melainkan djuga suatu badan, jang tidak bersifat dan berkepentingan perseorangan. Perwudjudan pemisahan ke pentingan badan ini dari kepentingan perseorangan, terutama terdapat dalam adanja suatu kekajaan harta-benda dari badan jang
terpisah dari
kekajaan
harta-benda dari
orang2 perse
orangan dan jang merupakan satu-2nja tanggungan bagi segala tindakan badan itu terhadap orang ketiga („derden ). O leh karena badan hukum ini adalah tjiptaan hukum suatu negara dan tiap2 negara tentulah berdaulat untuk mewudjudkan bukum itu, maka tidaklah aneh, apabila ada perbedaan antara peraturan2 perihal badan hukum dipelbagai negara. Tidak akan saja bitjarakan badan2 hukum dalam ketatanega142
raan, seperti suatu negara alau bagian berotonomi dari suatu negara, oleh karena buku ini hanja mengenai hukum perdata. Badan hukum dalam hukum perdata di Indonesia dapat berupa suatu perkumpulan orang2 (korporasi) atau suatu hartabenda atau perusahaan jang tertentu (jajasan. „stichting”). Per bedaan jang agak nampak antara dua matjam badan hukum ini ialah, balm ’a dalam korporasi biasanja jang mempunjai kepentingan adalah orang2 manusia jang merupakan anggota dari korporasi itu, anggota2 mana djuga mempunjai kekuasaan dalam peraturan korporasi berupa rapat para anggota, sedang dalam peraturan jajasan tilik berat terletak pada suatu kekajaan jang ditudjukan untuk mentjapai suatu maksud dengan diurus oleh suatu pengurus, jang peraturannja sudah ditetapkan semula oleh jang mendirikan jajasan itu. D i Inggeris misalnja, menurut Martin YVoIff dalam bukunja halaman 294, badan hukum berupa jajasan ini tidak ada. Sebaliknja disana ads. suatu badan hukum jang tidak dikenal di-Iain2 negara, jaitu „corporation sole”, suatu badan terdiri dari seorang saclja, jang setjara turun-temurun memegang suatu djabatan tertentu. O leh karena badan- hukum ini melakukan pelbagai perbuatan hukum seperti orang manusia, maka dapatlah tertjipta perhu bungan hukum antara badan hukum dari suatu negara dan badan hukum negara lain, maka timbullah hukum negara jang mana
pula
harus berlaku bagi
pertanjaan, perhubungan
hukum itu. K alau pasal 16 A . B„ jang perihal kedudukan dan kekuasaan hukum seorang menundjuk kepada hukum nasional seorang itu, diturut djuga bagi badan hukum, maka harus dianggap, bahwa badan hukumpun. seperti orang manusia, mempunjai kebangsaan atau kewarganegaraan. Selandjutnja harus ada penentuan, hal apa jang menentukan kebangsaan atau kewarganegaraan suatu badan hukum.
143
Perihal ini ada pelbagai pendapat. ISIenurut pendapat ke-1 hal kewarganegaraan suatu badan hukum tergantung dari negara dimana badan hukum itu didirikan dan mungkin disahkan oleh penguasa dalam negara itu. Pendapat ke-2 menghendaki ke warganegaraan badan hukum tergantung dari negara, jang dite tapkan sebagai tempat kedudukan badan hukum atau pengurusnja. Pendapat ke-5 memakai sebagai ukuran : Negara, dimana badan hukum itu mengerdjakan perusahaannja. A da lagi penda pat ke-4 jang melihat pada kewarganegaraan kebanjal
kebanjakan
jang
digantungkan
pada
orang2 anggota atau pemegang
saham, mungkin sekali akan ber-ganti2 djuga. hal mana me nimbulkan banjak kesulitan djuga dalam melaksanakan pasal 16 A . B. D i Indonesia ada undang-undang, berasal dari pemerintah Belanda dulu, jang memakai sualu pengertian istimewa dari kewarganegaraan suatu badan hukum, jaitu ..Besluit vijandelijk vermögen (Undang-undang tentang kekajaan musuh, Staatsblad 1946 — 104), jang pada pasal 2 menentukan, bahwa oleh un dang-undang itu dianggap sebagai musuh antara lain badan hukum, jang : a.
didirikan atau berdiri menurut dan diliputi oleh hukum negara musuh (Djerman dan Djepang terutama).
b.
tempat kedudukannja atau kantor pusatnja pada waktu sekarang atau pada suatu waktu sesudah tanggal 10 Mei 1940 terletak dalam daerah negara musuh.
c.
tempat perusahaannja jang terpenting pada waktu tersebut terletak dalam daerah negara musuh,
d.
menurut
keputusan
Direktur Djustisi
sekarang Menteri
Kehakiman, di Indonesia dinjatakan sebagai musuh, e.
menurut keputusan Menteri Djustisi dinegeri Belanda dinja takan sebagai musuh (ini tentunja sekarang tidak dapat lagi). Pasal ini
meluaskan
sangat
pengertian
musuh dari badan hukum. Dinegeri- jang tentang kedudukan
dan
kewarganegaraan kekuasaan hukum
tidak menundjuk kepada hukum nasional, melainkan kepada hukum dari negara, dimana orang mempunjai domisili, seperti Inggeris dan Amerika Serikat, adalah penting apa jang dina makan dengan domisili suatu badan hukum. Sudah barang tentu pengertian tempat pendiaman, jang oleh hukum dipakai bagi orang2 perseorangan, tidak dapat begitu sadja dipergunakan djuga dalam menentukan tempat pendiaman suatu badan hukum.
145
Pasal 17 B. W . misalnja menganggap sebagai domisili seorang ialah tempat tinggal jang terpenting („hoofdverblijf ’) dan kalau tempat tinggal sematjam itu tidak ada tempat, dimana orang benar2 bertinggal. Penentuan sematjam ini hanja dapat dilaku kan bagi orang2 manusia. Lazim nja jang dianggap sebagai tempat pendiaman
suatu
badan hukum ialah tempat, dimana pengurusnja berkantor. A kan tetapi dalam setiap keadaan in concrelo hakim senanliasa leluasa untuk menentukan lain tempat sebagai tempat pendia man suatu badan hukum. Ini dapat digantungkan pada sifat, maksud dan tudjuan dari berdirinja suatu badan hukum atau \ dan dari hukum bersangkutan.
jang
mengatur perhubungan
hukum
jang
Pada menentukan pendapat saja, bahwa kew'arganegaraan suatu badan hukum tergantung dari negara, dimana badan hukum itu didirikan dan mungkin djuga disahkan oleh penguasa dinegara itu, dengan sendirinja ditentukan pendapat selandjutnja, bahwa soal sjarat2 pengakuan sebagai badan hukum, soal kekuasaan badan hukum untuk melakukan suatu perbuatan hukum, soal perwakilan badan hukum dimuka atau diluar penga dilan dan soal2 lain sebagainja pada hakekatnja tunduk pada hukum dari negara tersèbut. D alam Konperensi Den H aag ke-tudjuh tentang hukum per data internasional, jang berlangsung pada tanggal 9 — 51 O k tober 1931, dibentuk suatu rantjangan persetudjuan („ontwerpconventie ) untuk memetjahkan soal hukum perdata internasio nal mengenai perseroan, perhimpunan dan jajasan, jang diusul kan, supaja termuat dalam suatu traktat antara pelbagai negara, jang sudah dan/atau jang akan
turut-serta
pada
Konperensi
D en H aag tersebut („Projet de Convention concernant la recon naissance de la personnalité juridique des sociétés, associations et fondations étrangères”).
146
B A G IA N XVII Ila k pengarang', Iiak oktroi dan Iiak tjap dagang H ak pengarang.
Hal ini bagi Indonesia diatur dalam Undang-undang Hak: Pengarang (..Auteurswet , Staatsblad 1912 — 600), jang dibikin untuk negeri Belanda, tetapi menurut pasal 45 berlaku djuga. untuk Indonesia, ketjuali 4 pasal, jaitu pasal 50a. 35a, 43 dan 44. Hak pengarang menurut pasal 1 adalah hak sendiri dari, seorang pembikin suatu karangan perihal kesusasteraan, ilmu pengetahuan atau kesenian, untuk m engum um kan dan memperbanjak karangan itu dengan batas- jang ditentukan oleh undangundang. Hak pengarang ini menurut pasal 2 ajat 2 dapat turun-temu run kepada ahli-waris pengarang dan dapat djuga diserahkan, kepada lain orang, baik seluruhnja, maupun sebagian sadja, penjerahan mana harus dilakukan dengan akta otentik atau de n g a n akta dibawah tangan. Maksud undang-undang hak pengarang ialah untuk memperIindungi kepentingan seorang pengarang, djangan sampai orang, lain memungut hasil dari suatu karangan dengan merugikan sipengarang setjara se-wenang2. Perlindungan ini perlu tidak hanja sebagai tanda penghargaan kehormatan bagi sipengarang, me lainkan djuga sebagai pendorong bagi orang2 jang mempunjai ketjakapan dan minat untuk membikin karangan2 jang berguna bagi masjarakat. Pasal 10 undang-undang tersebut menjebutkan beberapa buah karangan jang diperlindungi, antara lain : buku, suratkabar, madjalah, tjerita sandiwara, pidato, lagu, gambar, lukisan, pi g u r a , patung, bangunan, peta ilmu bumi, potret dan pada umumnja tiap2 buah karangan dilapangan kesusasteraan, ilmu pengetahuan dan kesenian, setjara dan berwudjud apapun djuga. M aka amat luaslah penjebutan ini. 147
'
Menurut pasal 15 pengertian memperbanjak Ipuah karangan meliputi cljuga membuat penterdjemahan dari suatu karangan asli. Jang penting dari sudut hukum perdata internasional ialah pasal 47, jang mengatakan, bahwa undang-undang bak penga rang berlaku bagi semua karangan, jang dikeluarkan dinegeri Belanda dan di Indonesia dan bagi karangan dikeluarkan diluar dua negeri itu, jang dibikin oleh orang Belanda atau orang Indonesia. Dengan ini tidaklah diperlindungi oleh undangundang ini karangan dari orang asing, jang diterbitkan diluarnegeri. Sedjak Indonesia oleh negeri Belanda diakui sebagai negara merdeka dan berdaulat, maka dapatlah dikatakan, bahwa ke daulatan Indonesia mengakibatkan mengartikan pasal 47 terse but 'sedemikian rupa, bahwa undang-undang tersebut, sekedar mengenai Indonesia, hanja berlaku bagi karangan jang dikeluar kan di Indonesia oleh setiap orang dan diluar Indonesia oleh w'arganegara Indonesia. Praktis, dengan adanja „Conventie-Bern” dari tahun 1908 seperti diubah pada tahun 1928, jang merupakan suatu gabung an (uni) antara beberapa negara mengenai hak pengarang dan dalam mana negeri Indonesia dan negeri Belanda sama mendjadi peserta djuga, keadaan akan tetap sama oleh karena pada umumnja perlindungan hak pengarang di-tiap2 negara peserta diperluaskan sampai dari peserta jang lain. W 'a r g a n e g a r a
n e g a ra ”
Hak oktroi.
Oktroi adalah mengenai hal seorang menemukan suatu hasil perniagaan baru atau tjara baru untuk menghasilkan hal sesuatu atau menentukan suatu alat baru guna memperbaiki hasil atau tjara menghasilkan itu. 148
Sifal peraturan hak oktroi adalah sama dengan sifat peraturan liak pengarang, sekedar ke-d ua^-nja bermaksud untuk memperlindungi kepentingan seorang jang mentjiptakan hal sesuatu, agar supaja buah pikiran dan pekerdjaannja tidak dipergunakan begitu sadja oleh lain orang dengan merugikan kepentingan seorang pentjipta. Tetapi iidjucl dari hak oktroi menurut peraturan hukum jang berlaku (..positief recht’ ) adalah berlainan daripada udjud hak pengarang. Hak pengarang oleh hukum dalam prinsip diakui mulai semula dan hukum hanja mengatur hal memperlindungi hak itu. sedang hak oktroi adalah hak jang diberikan oleh peme rintah kepada seorang, jang menemukan hasil perniagaan baru dan lain2 sebagainja, untuk sebagai satu2-nja orang memper gunakan buah pikiran atau buah pekerdjaan ilu, sedang lain orang dilarang mempergunakannja („uitsluilend recht”). Maka. menurut udjud hak oktroi itu. Iahirnja hak oktroi ter gantung dari Pemerir.tah dan perkataan oktroi berarti djuga suatu ..privilege”. suatu pemberian istimewa, se-olah2 hak jang diberikan itu bukan hak asasi, sedang sebetulnja hak ini adalah hak asasi, tidak berbeda dari hak pengarang. D alam hal jang berhubungan dengan hukum perdata inter nasional, jaitu dalam hal orang2 asing bersangkut paut, maka djuga ada perbedaan dengan peraturan tentang hak pengarang. Tentang bak oktroi, jang diambil sebagai ukuran, hanja pema kaian buah pikiran seorang dalam suatu negara dan hak untuk memakai ini akan diberikan oleh pemerintah, dengan tidak me mandang, apa jang meminta hak itu adalah warganegara atau orang asing. M aka kini tiada diskriminasi terhadap orang asing. Malahan
undang-undang
jang bersangkutan, jaitu ,,Oktrooi-wet” 1910
(Staatsblad 1911 - 136) menjesuaikan diri dengan keadaan inter nasional. misalnja pasal 7 menerangkan, bahwa seorang jang dinegeri lain sudah memadjukan permohonan untuk mendapat hak 149
oktroi disana, mempunjai prioritet selama 12 bulan sesudah itu. dalam permohonannja dinegeri awak. Arlinja, segala apa jang terdjadi antara waktu pemasukan permohonan dinegeri asing dan waktu pemasukan permohonan dinegeri awak, tidak akan mempengaruhi akan mendapatnja hak oktroi atau tidak. Seba gai tjontoh dari hal jang mungkin terdjadi antara dua waktu itu, disebutkan hal pemasukan permohonan untuk
mendapat hak
oktroi perihal jang sama oleh lain orang lebih dulu dnripadanja. Seperti halnja dengan hak pengarang jang mengenal
sualu
Konpensi-Bern, maka bagi hak oktroi ada Konpensi-Paris dari tahun 1883, jang ber-ulang2 diubah, jang terbelakang kali pada tahun 1954. Perbedaan daripada Konpensi-Bern ialah, bahwa segala sesuatu jang termuat dalam Konpensi-Paris, sudah ter muat djuga dalam „Octrooi-wet” 1910 tersebut diatas. Diatas dikatakan, bahwa hak pengarang dapat diserahkan kepada lain orang. Perihal oktroi ada lain aturan, jaitu bahwa pemegang oktroi dapat memberi lisensi kepada lain orang untuk memakai buah pikiran jang termasuk oktroi, seluruhnja atau sebagian. Peraturan „Octrooi-wet” 1910 berdasar atas perhubungan kolo nial antara negeri Belanda dan Indonesia sedemikian rupa, bah wa hak oktroi bagi Indonesia diberikan oleh penguasa clinegeri Belanda („Octrooi-Raad ). D i Indonesia hanja ada Kantor pem bantu („H ulpbureau Industrieele Eigendom”), jang meneruskan segala permohonan oktroi ke „Octrooi-Raad” dinegeri BelandaDengan berdirinja Republik Indonesia sebagai negara tner deka dan berdaulat, maka hal sesuatu jang termuat dalam „Octrooi-wet
itu, seharusnja disesuaikan dengan keadaan. jan„
tidak mengizinkan lagi, bahwa pemberian hak oktroi Indonesia masuk kekuasaan penguasa („Octrooi-Raad”) dinegeri Belan^3' 150
Hak Ijap dagang dan tjap pabrik („merkenrecht").
Hak ini berlainan lagi daripada hak pengarang dan hak ok troi. Perbedaannja ialah, bahwa hak tjap ini tidak mengandung suatu penghargaan dari suatu kepandaian seorang, melainkan hanja bermaksud untuk mendjernihkan suasana perdagangan dan perindustrian dalam hal memakai tjap bagi barang2-nja, djangan sampai ada kekatjauan sebagai akibat dari pemakaian salu Ijap ber-sama- untuk beberapa barang jang ternjata lain pembikinannja, udjud dan nilainja. Maka sifat dari hak Ijap ini ialah, bahwa pemilik hak tjap •berhak memakai suatu tjap, sedang lain orang tidak dan perla kuan istimewa ini melulu berdasar atas kenjataan. bahwa orang itulah jang per-lama2 memakai tjap itu pada waktu tiada se orang lainpun memakainja. Hak tjap ini, lain daripada hak oktroi, tidak diberikan oleh pemerintah, melainkan lahir sebagai akibat suatu tindakan pe merintah berupa pen^asukan tjap itu dalam suatu daftar (..inschrijving ”). Dan dalam memasukkan tjap dalam daftar ini, pemerintah pada pokoknja hanja memeriksa, apa tjap jang di mintakan supaja dimasukkan daftar itu, sudah terpakai lebih dulu oleh lain orang atau tidak dan apakah udjud tjap itu tidak bertentangan dengan ketertiban umum atau dengan kesusilaan. Kalau pemerintah menolak pemasukan tjap dalam daftar maka jang berkepentingan dapat mohon putusan hakim untuk menetapkan, apa penolakan itu sudah tepat. Apabila suatu tjap sudah dimasukkan daftar, tjap itu lazim disebutkan „gedeponeerd”, jang berakibat, bahwa pemilik hak tjap diperlindungi oleh hukum sedemikian rupa, arwa g lain jang toh memakai tjap itu, dapat dihukum pidana menurut pasal 395 K.U.H.P. , Dalam hubungan dengan hukum perdata internasional dapa dikatakan, bahwa pada pokoknja tiap2 negara mengatur hal memasukkan tjap2 dalam daftar setjara merdeka dengan t.dak 151
melihat pada kevvarganegaraan orang jang berkepentingan dan dengan tidak memikirkan, apa tjap ilu diluar negeri sudab di masukkan dalam daftar disana Hanja ada keketjualian ba«i negara- jang mendjadi pesertu dalam Konpensi-Paris peribal „Industriele Eigendom
tersebut
diatas, jaitu babwa seorang jang tjapnja sudab dimasukkan daftar dalam suatu negara peserta, mempunjai prioritet selama 4 bulan dalam negara peserta lain, artinja ia dianggap se-olab2 sudab mulai memakai tjap dinegara lain itu sedjak tjapnja d i masukkan daftar dinegeri jang pertama disebutkan tadi (pasal 4). Bagi Indonesia hal memasukkan tjap dalam daftar ini teratur’ dalam undang-undang lama jang dinamakan „Reglement Industrieele Eigendom Kolonien 1912”.
Menurut pasal 7 dari peraturan ini, orang jang tjapnja dima sukkan dalam daftar di Indonesia, dapat minta, supaja tjapnja itu dimasukkan djuga dalam sualu daftar internasional jang di adakan di Bern.
152