PENGARUH KONVENSI INTERNASIONAL TERHADAP PERKEMBANGAN ASAS-ASAS HUKUM PIDANA NASIONAL 1 Oleh : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H, . LL.M. 2
PENGANTAR Perkembangan kejahatan transnasionae dan kejahatan intemasional merupakan karakteristik perkembangan hukum pidana abad 21 karena perkembangan kejahatan tersebut telah memberikan dampak luas dan
1 Makalah pada seminar asas-asas hukum pidana nasional. Ketjasama UNDIP dan BPHN DEPKEH HAM RI tanggal26 April 2004 2
Gtllllbesar hukum pidana internasional UNPAD
3
Pengertian istilah "Transnational" dalam hukum internasional pertama kali diperkenalkan oleh Phillip C. Jessup (1968): dan pengertian istilah "transnational crime" diakui sebagai nomenklatur baru dalam hukum internasional yaitu dalarn Konvensi Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi (Convention Against Transnational Organized Crime): Konvensi Palermo. 2000. Karakteristik "transnational crimes" diatur dalarn Konvensi Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi (Convention Against Transnational Organized Crimes) atau dikenal dengan Konvensi Palermo (2000). Dalarn Pasal 3 ayat 2 menegaskan sbb: "An otTence is transnational in nature if: (a) It is committed in more than one State; (b) It is committed in one State but a substantial part of its preparation. planning, direction or control takes place in another State; (c) It is committed in one State but involves an organized criminal group that engages in criminal activities in mor ethan one State; or (d) It is committed in one State but has substantial effects in another State. Bassiouni mencoba memasukkan 22 (duapuluh dua) jenis kejahatan sebagai kejahatan internasional, dan dipastikan oleh Bassiouni bahwa karakteristik transnasional tsb merupakan salah satu unsur penting dalarn kejahatan internasional . Pengertian istilah "International crime" dikemukakan oleh Ch.Bassiouni (1996 ), dan kemudian secara resmi diakui secara eksplisit dalam Statuta Roma (ICC) sebagaimana tercantum dalam Mukadimah Statuta Roma (ICC) alinea keenam: "... that it is a duty of every State to exercise its criminal jurisdiction over those responsible for international crime". Pengertian kejahatan internasional (international crime) sebelum diadopsi dalam Statuta Roma (ICC) pada tahun 1998. dalam hukum kebiasaan internasional atau dalam praktik hukum internasional merujuk kepada beberapa jenis kejahatan tertentu seperti piracy, counterfeiting currency, terrorism, money laundering dll. Pengertian kejahatan internasional (International Crimes) di uraikan Bassiouni sebagai kejahatan yang merniliki unsur internasional sekaligus memenuhi unsur transnasional. dan memang diperlukan unsur ketjasama internasional untuk mencegah dan memberantasnya (unsure necessity) [lihat Romli Atrnasasmita. Pengantar Hukum Pidana Internasional, halaman 46-49]
mendasar selain terhadap kehidupan umat manusia, juga terhadap asas-asas hukum, norma dan lembaga (institutions) yang berkaitan dengan penerapan hukum pidana dalam menghadapi kejahatan tersebut. Di sisi lain, perkembangan hukum pidana termasuk asas-asas hukum dan norma-norma serta lembaga-lembaga pranata yang mendukungnya masih bersifat konservatit sehingga dalam konteks perkembangan kejahatan transnasional dan internasional tersebut diperlukan kajian khusus karena berdampak atas tatanan sosial bangsa Indonesia. Makalah ini menitikberatkan pada pembahasan yuridis normatif dalam kerangka pemikiran hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) yang dapat dijadikan alat analisis dalam rangka pencegahan dan pemberantasan kejahatan transnasional dan kejahatan internasional. Perkembangan kejahatan memasuki abad 21 sudah sangat meningkat dan tidak lagi sebatas wilayah territorial suatu Negara, melainkan sudah melampaui batas satu atau dua N egara atau lebih (transcend beyond territorial borders) atau sering disebut dengan istilah "transborders crimes" 5 atau popular disebut dengan istilah "transnational crimes". Pengertian serta karakteristik kejahatan transnasional memberikan makna bahwa kejahatan bukan lagi "hak eksklusif' suatu Negara melainkan ia menjadi "hak relatif' dari satu atau lebih dari satu Negara untuk melakukan penyidikan dan penuntutan atas kejahatan transnasional yang sama. Dengan perkembangan kejahatan transnasional yang semakin meningkat dan tidak sedikit jumlahnya itu telah memberikan dampak hukum yang mendasar terhadap perkembangan pemahaman mengenai asas-asas · ' herlakunya hukum pidana nasional, norma-norma hukum nasional yang berkarakter transnasional dan intemasional, serta penataan kelembagaan barn dalam sistem hukum pidana nasional.
4
Sifat kon§ervatif dari hukum pidana dalam asas-asas hukumnya tampak dari masih dipertahankan tanpa kecuali asas legalitas, asas ne bis in idem. ass non-retroaktif, dan asas kesalahan. Dalam hukum materiel masih dianut rumusan delik yang bertumpu pada unsur dolus dan culpa yang sering menimbulkan kesulitan penerapannya dalam praktik khususnya terhadap kejahatan transnasional/ internasional dengan berbagai modus operandi yang bertumpu pada teknologi canggih. Dalam huk."Um pembuktian, masih dirujuk sistem pembuktian negatif (negative wettelijke beginsel) untuk hakim majelis menilai tindak pidana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum Pemberlakuan secara ketat terhadap asas-asas hukum tersebut di atas akan menghambat pencegahan dan pemberantasan kejahatan transnasional atau kejahatan internasional seperti, cyber crime; money laundering; terorisme; genocida, crimes against humanity, war crimes.
2
Sub-judul tersebut di atas mengandung makna tentang proses legislasi nasional dalam mengantisipasi implementasi konvensi intemasional. Dalam kaitan proses legislasi nasional (National Legislation) ini secara komparatif dapat dijadikan rujukan bagaimana Negara-negara penganut Common Law System dan Civil Law System mengantisipasi berlakunya Statuta Roma (ICC, 1998) ke dalam sistem hukum nasionalnya. Swiss menekankan suatu pendekatan yang disebut "Comprehensive approach"; "the mirror approach"; "the elaborated approach"; dan "the Combined approach". 6 Pendekatan komprehensif dilakukan dengan menggunakan semua konvensi intemasional yang mengenai kejahatan intemasional seperti war crimes sebagai "blanket rule" untuk semua kejahatan intemasional baik yang telah diatur dalam konvensi intemasional maupun dalam hukum kebiasaan intemasional (customary international law). Pendekatan "Mirror" merupakan pendekatan kedua, adalah hanya meniru formulasi ketentuan mengenai tindak pidana yang diatur dalam Statuta Roma (ICC); pendekatan "elaborated" merupakan pendekatan ketiga yaitu tidak berbeda dengan pendekatan kedua akan tetapi juga memasukkan bahasa hukum nasional Negara ybs antara lain dengan merumuskan unsur-unsur tindak pidana yang diakui dalam sistem hukum nasional Negara ybs. Pendekatan Gabungan (Combined approach) dengan menggunakan kebaikan-kebaikan dari ketiga pendekatan terdahulu dan merumuskannya dalam rancangan Undang-undang Hukum Pidana Nasional. Selandia Barn7 semula mempertimbangkan 3 (tiga) pendekatan dalam proses legislasi nasional untuk implementasi Statuta Roma(ICC) yaitu, pertama, yaitu dengan sarna sekali tidak menyusun suatu UU khusus yang menjadi yurisdiksi ICC dengan konsekuensi jika terjadi kejahatan tersebut, pemerintah Selandia Barn berkewajiban menyerahkan pelakunya kepada ICC; kedua, melakukan kriminalisasi dan membentuk kejahatan barn dengan memasukkan pengertian yang sarna yang digunakan dalam Pasal 6-8 Statuta ICC; dan ketiga, melakukan kriminalisasi dengan menyesuaikannya 6
dikutip dari, "National Legislation Incorporating International Crimes" : Approach of Civil and Common Law Countries: Matthias Neuner(ed.); BWV. Gennany; p. 204 - 208;2003. Swiss telah meratifikasi Statuta ICC sebagai Negara Pihak ke 43 pada tanggal 12 Oktober 2001. 7 Selandia Baru merupakan Negara peratifikasi ke 17 dari Statuta ICC dan sudah memberlakukan Undang-undang, International Crimes and International Criminal Court Act 2000
3
dengan "gaya hukum Selandia Barn", tidak sekedar mcnjadi replika dari Statuta ICC melainkan melaksanakan perumusan kembali (redrafting). Pada akhimya pemerintah Selandia Barn menggunakan pendekatan kedua. Karakteristik dan makna pengertian kejahatan transnasional dan kejahatan intemasional sebagaimana diuraikan di atas menimbulkan pertanyaan sejauh manakah asas-asas berlakunya hukum pidana nasional atau jurisdiksi hukum suatu Negara dapat dipertahankan seutuhnya dan merupakan "hak eksklusif' dari setiap Negara? Pertanyaan di atas ditujukan terhadap efektivitas empat asas hukum pidana yang sudah diakui secara universal, yaitu: asas territorial, asas nasional pasip, asas nasional aktif, dan asas asas universal. Keempat asas hukum pidana ini merupakan pencerminan dari prinsip kedaulatan Negara (State' souvererignty) baik kedaulatan atas wilayah territorial maupun kedaulatan yang berkaitan dengan masalah kewarganegaraan. Dalam konteks kedaulatan atas wilayah territorial maka asas territorial merupakan landasan hukum suatu Negara untuk melaksanakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan serta peradilan atas kejahatan yang dilakukan terlepas dari asal kewarganegaraan pelakunya. Kedaulatan N egara atas wilayah territorial Negara ybs ipso facto inherent pada setiap Negara (merdeka). Sedangkan dalam konteks kedaulatan yang berkaitan dengan kewarganegaraan pelaku kejahatan transnasional atau intemasional maka asas nasionalitas merupakan landasan hukum suatu Negara untuk melaksanakan penyidikan, penuntutan, dan peradilan atas warganegaranya yang melakukan kejahatan terlepas di mana locus delicti itu terjadi. 8 Asas territorial yang telah diakui dalam sistem hukum pidana Belanda melalui Putusan HR 6 April tahun 1954, NJ 1954, 368; telah diperluas, tidak lagi semata-mata ditujukan terhadap tempat di mana pelaku melakukan kejahatan melainkan juga tempat di mana akibat dari
8
Pasal 2 - 8 KUHP dibatasi berlakunya oleh hukwn internasional yang sudah menjadi bagian
dari hukwn pidana nasional. Kasus yang cocok untuk menerangkan hal ini adalah Kasus Lotus (1927) di mana Putusan PICJ menegaskan bahwa," in all system of law the tenitorial character of criminal is fundamental". Putusan tsb dimaksudkan bahwa sangat logis jika Negara di mana kejahatan dilakukm sangat dirasakan langsung akibat-akibat yang timbul dari kejahatan tsb. Namun demikian dalam aplikasi asas territorial tsb terhadap kejahatan yang bersifat transnasional atau internasional masih perlu dipertimbangkan ketentuan hukum intemasional yang sudah diakui oleh Pemerintah Indonesia,
4
kejahatan itu dilakukan atau di mana korban kejahatan itu berada (Custodial State). 9 Asas universal 10 dalam perkembangan hukum intemasional memiliki peranan yang sangat strategis sebagai bentuk solidaritas masyarakat intemasional sekaligus sebagai pertanggungjawaban masyarakat intemasional atas terjadinya kejahatan intemasional. Namun demikian masih banyak Negara meragukan penerapan asas ini jika tidak dilandaskan kepada standar tertentu maka dikhawatirkan akan terjadi "intervensi" terhadap kedaulatan suatu Negara. Sehingga tantangan yang hams dihadapi dalam penerapan asas ini adalah bagaimana mendefinisikan peranan asas dimaskud dan melakukan klarifikasi kapan dan bagaimana asas ini dapat diterapkan secara benar dan pada tempat yang selayaknya. 11 Penerapan asas universal mewajibkan setiap Negara untuk menuntut dan menghukum terhadap setiap kejahatan di manapun kejahatan itu dilakukan dan terlepas dari kewarganegaraan pelaku ybs. Hai ini dengan jelas diuraikan oleh Macedo 12 dalam pengantarnya sebagai berikut:
9
Bert Swart & Andre Klip, "International Criminal Law in the Netherlands": 1997; hlm. 5253. Putusan HR. tsb mengenai kasus penipuan yang dilakukan o1eh seorang pengusaha di Singapura terhadap seorang pengusaha yang bertempat tinggal di Amsterdam: HR. berpendapat bahwa. Amsterdam dapat juga merupakan salah satu tempat akibat dari peristiwa penipuan tersebut. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia seperti UU nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 16); UU nomor 15 tahun 2002 juncto UU nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Pasal 7 juncto Pasal 44 dan Pasal 44 A); UU nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Pasal 16). telah menganut asas "extraterritorial jurisdiction" yang lebih bertumpu pada asas nasionalitas (aktip dan pasip). 10 Asas ini merupakan prinsip kesatu dari "Princeton Project on Universal Jurisdiction". yang sudah diakui sebagai dokumen resmi PBB. Princeton Project mendefmisikan asas ini : "Criminal jurisdiction based solely on the nature of crime, nithout regard to where the crime was committed, the nationality of the alleged or convicted petpetrator, the nationality of the victim or any other conviction to the State exercising such jurisdiction" (dikutip dari. Macedo, Universal Jurisdiction; p.41-42). Penerapan asas ini Secara mutlak dapat menimbulkan konflik yurisdiksi antar Negara yang berkepentingan, dan asas ini sangat potensial dapat merugikan tersangkalterdakwa karena terjadi pelanggaran terhadap prinsip "double jeopardy" If Penempan asas universal dalam pmktik hukum internasional sudah sering dilakukan terutama untuk kasus Piracy dan Pemalsuan mata uang; dan mernasuki abad 21. desakan untuk menerapkan asas ini semakin kuat terutama terhadap kejahatan genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang. 12 Stephen Macedo (ed.). "Universal Jurisdiction: National Courts and the Prosecution of Serious Crimes under International Law''; Uni of Pennsylvania Press, p.4. 2004.
5
"Universal jurisdiction is the principle that certain crimes are so heinous, and so universally ecognized and abhorred, that a state is entitled or even obliged to undertake legal proceedings without regard to where the crime was committed or the nationality of the perpetrators or the victims" .13 Keberatan banyak Negara dan kehati-hatian dalam penerapan asas universal juga disebabkan kehendak Negara-negara tersebut untuk menyerahkan sepenuhnya wewenang menuntut dan menghukum kepada Negara yang memiliki yurisdiksi yang kuat atas kejahatan internasional. Oleh karena itu sebagai jalan keluar yang ditawarkan dalam hukum intemasional dikenal, "representation principle"; yang berarti bahwa, penerapan yurisdiksi ekstrateritorial suatu Negara atas kejahatan internasional adalah untuk kepentingan pihak ketiga yang secara langsung berkepentingan atas kejahatan intemasional dimaksud. Asas ini dimasukkan ke dalam Pasal 4a KUHP Belanda tahun 1985 berkaitan dengan ratifikasi 4 (empat) konvensi Intemasional antara lain Konvensi Eropa mengenai Transfer of Proceedings in Criminal Matters (1972), dan Konvensi Eropa tentang Pemberantasan Terorisme (1977). 14 Di dalam Sidang Preparatory Committee yang mempersiapkan penyusunan Draft Konvensi mengenai "UNCITRAL MODEL LAW ON CONTRACT ELECTRONIC", bulan Maret tahun 2004 yang lalu, telah diterima ketentuan mengenai yurisdiksi yang menegaskan bahwa tempat di mana seseorang melakukan transaksi/melakukan kontrak tidak serta merta dianggap sebagai "lex locus in contracto" dan menentukan yurisdiksi dari suatu perbuatan hukum tertentu karena dapat saja terjadi perbuatan tsb dapat dilakukan di atas sebuah kapal tanpa berbendera atau di mana saja termasuk di laut lepas (High Seas), apalagi kemudian sarana yang digunakan memiliki mobilitas yang sangat tinggi untuk melakukan perpindahan tempat melaksanakan perbuatan hukum tertentu. Draft Konvensi tampaknya memilih menggunakan "Asas Representasi" dalam menetapkan masalah yurisdiksi hukum N egara mana yang paling kuat untuk dapat menyelesaikan sengketa dalam kasus kontrak-kontrak yang dilaksanakan melalui sarana elektronik. 13 Penelitian mengenai asas universal telah d.ilaksanakan oleh Princeton University, dikenal dengan nama, Princeton Project on Universal Jurisdiction yang dibangun sejak tahun 2000 14 Bert Swart dan Andre Klip, ibid.. Alternatif asas "Resepresentation" ini dalam hukum pidana internasional dikembangkan menjadi asas "au dedere au judicare" (either to prosecute or to extradite).
6
Solusi atas keberatan-keberatan terhadap penerapan asas universal dengan menawarkan asas representasi tersebut merupakan langkah yang dapat diterima semua N egara karena asas tersebut masih mencerminkan prinsip "State-souvereignty", dan kehendak banyak Negara untuk tetap menerapkan prinsip "limited-territorial principle". Keunggulan-keunggulan penerapan asas universal yang pernah dilakukan dalam menghadapi kejahatan internasional seperti kasus genocide di Rwanda dan Kejahatan kemanusiaan di Negara bekas Jajahan Yugoslavia, masili tetap diiringi oleh resistensi yang sangat kuat dari parlemen di kedua Negara tersebut karena penerapan asas tersebut dipandang bertentangan dengan prinsip "State souvereignty"; prinsip mana sampai kini masih tetap dihormati dan diakui secara eksplisit dalam beberapa perjanjian internasional. 15 Namun demikian dalam praktik hukum internasional telah- -muncul sikap Negara yang bertentangan dengan jiwa dan prinsip-prinsip serta konsep yang telah diakui mengenai asas universal ini. Dalam kasus Pinochet di mana pemerintah Inggeris telah menolak permintaan Sepanyol untuk mengekstradisi ybs ke Sepanyol akan tetapi dikembalikan ke Chile, asal negaranya; menunjukkan bahwa dalam hal-hal tertentu Negara maju seperti Inggeris yang merupakan Negara peratifikasi Statuta Roma (ICC) juga dapat mengambil sikap yang berlawanan dengan semangat dan substansi Statuta Roma tsb. Pemerintah Amerika Serikat Negara superpower yang paling sering menekan Negara lain dengan instrument HAM juga menolak meratifikasi Statuta Roma (ICC) yang lebih menganut penerapan asas universal terbatas (limited application of universality principle). 16
15 Di dalam Statuta Roma (ICC.1998) sekalipun dalam mukadimah Statuta ICC. alinea ke sepuluh, di tegaskan :" ... that the International Criminal Court establishc!(J,-under this Statute shall be complementary to national jurisdictions"; namun demikian ·tidak bersifat absolute karena masih diperbolehkan yurisdiksi ICC memasuki Yuri.sdikSi nasional suatu Negara dengan alasan-alasan "admissibility principles"(Pasal 17) dipenuhi dalam proses peradilan nasional atas kejahatan yang menjadi Yurisdiksi ICC (Pasal5,6,7,8 Statuta ICC). 16 -
Disebut asas universal terbatas karena Statuta Roma (ICC) masih mendahulukan prinsip Komplentaritas (Complementarity Principle) daripada prinsip Universal seutuhnya dengan kekecualian jika ada "unwillingness atau unable" dari Negara ybs (Custodial State). Negara yang menolak ratifikasi Statuta ICC adalah, Amerika Serikat, Cina dan Israel. 120 (seratus dua puluh ) negara menyetujui Adopsi Statuta ICC, 21 ( duapuluh satu) negara abstain, dan 7 (tujuh) negara menolak mengadopsi.
7
Penerapan asas universal terbatas ini atau dapat disebut "quasi universality principle", yaitu di satu sisi asas territorial masih diutamakan akan tetapi pada saat yang sama, juga masih dianut asas universal. 17 Disamping dua Mahkamah Militer yang pemah dibentuk untuk kasus kejahatan dalam Perang Dunia Kedua, pembentukan Mahkamah serupa yang paling baru adalah Mahkamah Adhoc untuk Rwanda dan daerah bekas jajahan Yugoslavia. Dalam kaitan ini kelemahan yang menonjol dari penerapan asas universal ada1ah dalam praktik hukum intemasional, dan sebagaimana di atur dalam Pasai 16 juncto Pasal 15 Statuta Roma (ICC, 1998) 18 ada1ah memberikan peran sangat menentukan kepada Dewan Keamanan. dalam kasus-kasus yang termasuk yurisdiksi ICC (Pasa1 5 juncto Pasa1 6 s/d Pasal 8). Peranan Dewan Keamanan dalam Statuta ICC telah membuka kemungkinan terjadinya politisasi kasus pelanggaran HAM berat dalam konteks globalisasi Hak Asasi Manusia, apalagi penafsiran atas rumusan kalimat, "Threaten to the Peace and Security of Mankind" sangat tergantung dari subjektivitas Negara yang menjadi anggota tetap DK yang memiliki Hak Veto. Bertitiktolak dari uraian di atas, sekalipun dalam praktik hukum internasional, asas universal dipandang lebih efektif dalam menuntut dan mengadili kejahatan-kejahatan yang sangat kejam dan bertentangan dengan kemanusiaan akan tetapi pada saat yang sama pemberlakuan asas territorial
17
Kekhawatiran atas penerapan asas universal terutama bagi Negara-negara yang lemah daya "bargaining powemya" dalam fora intemasional, dapat dijelaskan dari dua pandangan yaitu, pertama. "Normative Univesalist position", dan pandangan kedua, "Pragmatic Policy Oriented". Pandangan pertama, masih mengakui keberadaan nilai-nilai dasar tertentu yang disepakati oleli masyarakat intemasional yang dipandang sangat penting untuk membenarkan tidak digunakannya asas territorial. Pandangan kedua, yang mengakui sewaktu-waktu muncul kepentingan masyarakat intemasional yang sama yang menghendaki mekanisme penegakan asas-asas tersebut tidak di batasi pada kedaulatan Negara saja (dikutip dari Macedo, ibid). 18 Pasal 16 "Deferral of investigation or prosecution" : "No investigation or prosecution may be commenced or proceeded with under this Statute for a period of 12 monhs after the Security Council, in a resolution adopted under Chapter VII of the Charter of the United Nations, has request ned the Court (ICC,sic) to that effect; that request may be renewed by the Council under the same conditions". Pasal 16 secara eksplisit menegaskan kewenangan Jaksa Penuntut Umum ICC untuk melaksanakan penyidikan atau penuntutan. Pasal 15 berbunyi: "The Prosecutor may initiate investigations proprio motu on the basis of information on crimes within the jurisdiction of the Court".
8
dan asas nasionalitas tetap relevan untuk dipertimbangkan pemberlakuannya. Pemberlakuan efektif Statuta ICC (1998) secara implicit dapat mengurangi prinsip kedaulatan Negara, dengan diadopsinya asas komplementa.ritas (Mukadimah Statuta ICC, alinea I 0), ketentuan yang secara tegas melarang Negara peratifikasi untuk tidak melakukan reservasi (Pasal 120), dan ketentuan mengenai "issue admissibility" (Pasal 17), serta kewajiban lainnya yang diatur dalam Statuta Roma (ICC) tanpa kekecualian, seperti telah diatur dalam Part 9 mengenai International Cooperation and Judicial Assistance. Kekuatan suatu Negara dalam menghadapi kejahatan transnasional dan intervensi dari Negara lain yang memiliki kepentingan yang sama (concurrent jurisdiction) adalah dengan menegaskan dianutnya asas territorial sebagaimana telah dicantumkan dalam Konvensi Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi (2000) dan Konvensi Menentang Korupsi (2003) sebagaimana diatur dalam Pasal 4 kedua Konvensi tersebut di bawah judul: "Protection of Souvereignty"; yang ditegaskan sebagai berikut:
1.
"State Parties shall carry out their obligations under this Convention in a manner consistent with the principles of souvereign equality and territorial integrity of Slates and that of non-intervention in the domestic affairs of other States"
2.
"Nothing in this Convention entitles a State Party to undertake in the territory of another State the exercise of jurisdiction and performance of functions that are reserved exclusively for the authorities of that other State by its domestic law".
Kajian mengenai implikasi hukum yang nyata terhadap asas-asas hukum pidana nasional dari Konvensi intemasional mengenai kejahatan transnasional/intemasional tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sistem hukum Civil Law dan sistem hukum Common Law. Dalam praktik hukum intemasional telah terbukti masalah "Legal System" masih menjadi hambatan-hambatan hukum (legal constraints) dalam menerapkan peijanjian internasiona (atau bilateral dalam masalah pidana, seperti dalam kasus ekstradisi. Hambatan hukum ini pemah di alami pemerintah Indonesia dalam proses ekstradisi atas Hendra Rahardja dengan pemerintah Australia; dalam pengembalian asset hasil korupsi dan tindak pidana pencucian uang dengan
9
Singapura; dan proses penyidikan Hambali (WNI) dengan pemerintah Thailand dan Amerika Serikat; dalam proses penyidikan Alghozi di Filipina. Proses peradilan atas kasus Oki, yang telah melakukan pembunuhan di wilayah yurisdiksi Amerika Serikat termasuk yang berhasil sekalipun antara Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat tidak terikat pada perjanjian ekstradisi. Ada pandangan yang berbeda terhadap proses penyelesaian atas permintaan ekstradisi yaitu, pandangan pertama dilandaskan kepada "Civil Law System" yang memandang bahwa proses penyelesaian permintaan ektradisi merupakan proses administratif dan wewenang untuk memutuskan pada tingkat terakhir berada pada Presiden sehingga cara pandang ini dapat disebut sebagai "administrative process". Pandangan kedua dilandaskan kepada "Common Law System", yang memandang bahwa proses penyelesaian permintaan esktradisi merupakan proses judicial, dan wewenang untuk memutuskan pada tingkat terakhir berada pada Pengadilan. Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa dalam praktik hukum intemasional masalah sistem hukum ini memang tidak dapat diabaikan begitu saja dalam konteks perkembangan asas-asas hukum pidana nasional di masa yang akan datang karena semakin meningkatnya kejahatan transnasionallintemasional akan dirasakan penting dan sangat relevan peranan harmonisasi hukum di antara kedua sistem hukum dimaksud; hal ini dirasakan tidak berbeda dengan sistem hukum Islam yang pada umumnya dianut oleh Negara-negara Islam. Apalagi diketahui bahwa banyak tenaga kerja Indonesia yang bermukim di N egara tersebut. Bagi Indonesia yang masih menggunakan asas hukum nasional dengan berlakunya konvensi-konvensi intemasional khususnya mengenai kejahatan transnasional, maka perlu dilakukan pengkajian yang komprehensif terutama terhadap asas nasional dan asas territorial yang berkaitan dengan kejahatan transnasional dengan locus delicti di lebih dari satu Negara dan pelaku yang berasal dari berbagai kewarganegaraan. 19
19 Kasus Hendra Rahardja, Liem Soei Liong, dan Maria Pauline dan kasus narkotika oleh beberapa orang warga Nigeria merupakan contoh nyata pentingnya penempan asas-asas
hukum tersebut.
10
Dalam kaitan dengan kejahatan internasional maka ketentuan mengenai asas universal perlu dilengkapi dengan ketentuan mengenai kerjasama hukum antara Negara-negara yang berkaitan dan berkepentingan atas kejahatan intemasional tersebut yaitu dengan memasukkan secara khusus dalam bab 20 tersendiri tentang kerjasama hukum. Berkaitan dengan upaya tersebut maka menghadapi penerapan asas universal sudah tentu peranan jalur diplomatik sangat penting dan ikut menentukan keberhasilan atas penerapan asas dimaksud atau untuk menghadang/menahan pemberlakuan asas dimaksud.
20
Paywtg Kerjasama hulaun dalam hal penyerahan tersangka ke Negara lain atau ke Indonesia sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi. PerjlliYian ekstradisi yang sudah dilaksanakan adalah antara Indonesia dan Negara-negara ASEAN kecuali Singapura; dan juga dengan Australia, Korea Selatan, dan Hongkong. Bentuk kerjasama hulaun yang lain adalah perjanjian mengenai "transfer of sentenced persons"; "transfer of proceedings", dan juga "perjlliYian mengenai "Joint Investigation" sebagaimana telah diatur dalam Konvensi TOC (2000) dan Konvensi (Statuta) ICC (1998).
11