r
458
IPJÜI
N P R O Y E K P E N I N G K A T A N KODIFIKASI D U K U M NASIONAL LEMBAGA PEMBINAAN H U K U M NASIONAL
PENGARUH AGAMA ISLAM T E R H A D A P H U K U M PIDANA
Proyek
No.
J . H . / 827 / II.B / 73
HASIL PENELITIAN D A L A M RANGKA KERJASAMA LEMBAGA PEM BINAAN HUKUM NASIONAL - FAKULTAS HUKUM DAN PENGETAHUAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SYIAH KUALA DARUSSALAM BANDA ACEH 1972 / 1973.
P R O Y E K P E N I N G K A T A N KODIFIKASI H U K U M LEMBAGA PEMBINAAN H U K U M
NASIONAL
NASIONAL
PENGARUH AGAMA ISLAM TERHADAP H U K U M PIDANA
Proyek
No. J . H . / 827 / II.B / 73
HASIL PENELITIAN DALAM RANGKA KERJASAMA LEMBAGA PEMBINAAN H U K U M NASIONAL - FAKULTAS HUKUM DAN PENGETAHUAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SYIAH KUALA DARUSSALAM BANDA ACEH 1972 / 1973.
D A F T A R
-
IS I
Hakman P E N G A N T A R : B A B — I.
PENDAHULUAN. 1.
Masalah dan tujuan Penelitian
2.
Selayang
pandang
mengenai:
9 Peranan
Agama
dalam kehidupan Rakyat Aceh 3.
Struktur Politis dan Sosial didaerah Aceh pada zaman Pemerintahan
4.
5. 6.
12
H i n d i a Belanda
15
Sedikit tentang sejarah perkembangan peradilan pidana didaerah Aceh pada zaman H i n d i a Belanda
ij
Masalah Penentuan Sampel dan Methodologi . .
20
Garis besar tentang prosedur pelaksanaan penelitian
B A B — II.
22
HASIL-HASIL
STUDI
BIBLIOGRAFI:
Beberapa dasar pemikiran mengenai pengaruh-pengaruh Agama terhadap H u k u m Pidana. 1.
Peranan
Agama dalam
kehidupan
Kenegaraan,
Kemasyarakatan dan H u k u m
27
2.
Dasar kehidupan
36
3.
Kemerdekaan beragama dan beribadat dalam N e gara
4.
H u k u m d i Indonesia
Republik Indonesia
Pandangan
mengenai
hubungan
41 antara
Negara
dan Agama
47
5.
Unsur ke-Tuhanan/Agama dalam H u k u m Pidana
53
6.
Pandangan
56
agama
terhadap H u k u m Pidana
..
3
B A B — III.
PROSEDUR
PENELITIAN.
1. Cara penentuan
B A B — IV.
sampel
67
2.
Cara pembuatan questionaire
71
3.
Cara pengumpulan data
74
4.
Cara penyusunan
75
PENGOLAHAN
data
DATA.
1. Norma-norma Agama Islam yang masih perlu dijadikan rechtsnorm dalam H u k u m Pidana 2.
Rechtsnorm-rechtsnorm
dalam
Kitab
....
Undang
Undang H u k u m Pidana — B u k u II yang masih perlu disesuaikan dengan
norma-norma Agama
Islam 3.
4.
78
Tempat pengaturan dimana
"rechtsnorm yang baru" itu
Hubungan antara Negara dan Agama
5. Intisar pengolahan data BAB — V.
78 78 79
KESIMPULAN D A N SARAN. A.
lkhtisar
penelitian
B.
Kesimpulan-Kesimpulan
81
C.
Saran-saran
87
Daftar bibliografi
81
89
Lampiran-Lampiran : I.
II.
t
Jenis dan Jumlah respondent dalam daerah sampel
93
Peta Propinsi Daerah Istimewa Aceh
94
P E N G A N T A R
Tujuan penelitian "Pengaruh Agama terhadap H u k u m Pidana" adalah untuk memperoleh bahan2 guna melengkapi penyusunan Rancangan K U H P buku II, oleh karena dalam H u k u m Pidana yang berlaku sekarang i n i masih terdapat kekosongan pengaturan yang mengancam hukuman terhadap perbuatan2 yang tercela oleh Agama dan perlu ditindak. Masalah yang harus diteliti, pada hakekatnya adalah : 1.
Norma2 Agama manakah yang masih perlu dijadikan rechtsnorm dalam K U H P ;
2.
Rechtsnorm yang manakah didalam K U H P buku II yang masih perlu disesuaikan dengan norma2 Agama. Salah satu obyek dan lokasi penelitian dalam Tahun Anggaran 1972/73 ;.dalah: Pengaruh Agama Islam terhadap H u k u m Pidana, dilakukan di Propinsi Daerah Istimewa Aceh dimana ± 9 9 % penduduknya pemeluk Agama Islam, yang pelaksanaannya diserahkan pada Fakultas H u k u m Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh. Dalam penelitian ini akan diusahakan pemecahan persoalan2 : 1.
Sejauh manakah peranan Negara dalam mengatur hubungan antara manusia dan Tuhannya.
2.
Apakah ada pemisahan atau penyatuan antara Negara dan Agama.
3.
Apakah rechtsnorm yang baru, norma2 Agama Islam yang masih perlu dijadikan rechtsnorm dalam H u k u m Pidana; atau rechtsnorm2 dalam K U H P buku II yang disesuaikan dengan norma2 Agama Islam perlu dimasukkan dalam K U H P buku II, ataukah dituangkan dalam peraturan tersendiri, \
yang kesemuanya ditujukan untuk memperoleh bahan2 guna melengkapi penyusunan Rancangan K U H P buku II. Penelitian pengaruh Agama Kristen dan H i n d u akan segera menyusul dalam penerbitan berikutnya.
Jakarta, 22 Agustus 1974 P i m p i n a n Proyek Peningkatan Kodifikasi H u k u m Nasional t.t.d. Ibnu Susanto, S H .
i
Lampiran:
Surat
Keputusan
Lembaga
Pimpinan
Pembinaan
Hukum
Nasional Tertanggal: Nomor
24 M e i 1973.
: J.H./827/II.B/73.
Nama-nama Anggota Sub Team Penelitian tentang Pengaruh Agama terhadap H u k u m Pidana.
Nomor
N
1.
Drs. A b d u l G a n i K a r i m
2.
Abdullah Ahmad, S H .
3.
T j u : Fauziah, S H .
Bendahara
4.
T. Gazali, S H .
Anggota
5.
M . H u s i n Ahmad, S H .
—
n
—
6.
M . Dhany, S H .
_
n
_
7-
Zakaria Samin, S H
°'
D i n Muhammad,
9
-
a
m
a
J a b a t a n
K e t u! a Sekretaris/Anggota
—, SH.
—
—
Ishak, S H .
Jakarta, 24 M e i 1973. Pimpinan Lembaga
Pembinaan
Sekretaris Koordinator,
H u k u m Nasional
Caretaker Kepala,
t.t.d. (Ibnu Susanto, SH.).
t.t.d. (J.C.T.
Simorangkir,
SH.).
ii
B A B — I P E N D A H U L U A N 1.
Masaalab dan tujuan
Penelitian.
Lembaga Pembinaan H u k u m Nasional yang dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia, bertugas untuk melaksanakan pembinaan H u k u m Nasional sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan sejalan pula dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara. Dengan demikian di Indonesia akan tercipta satu tata hukum yang bersifat nasional dengan berlandaskan kepada falsafah Negara — Pancasila. Dalam melaksanakan tugasnya itu L P H N haruslah menyiapkan rancanganrancangan peraturan-perundangan dengan berpedoman kepada Ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh M P R S , kebijaksanaan politik Menteri Kehakiman mengenai Pembinaan H u k u m Nasional dan menyelenggarakan research dan dokumentasi serta segala sesuatu yang diperlukan untuk menyusun peraturanperundangan. Rancangan-rancangan peraturan-perundangan i n i dibuat oleh L P H N dalam rangka pembinaan dan pembentukan H u k u m Nasional, dengan memperhatikan kepada hukum yang hidup dalam masyarakat, dan yang sesuai dengan kemajuan pembangunan nasional khususnya dan perkembangan internasional pada umumnya. Selain dari pada itu harus pula diperhatikan dasar pandangan hidup (levensbeschowing) yang diyakini oleh orang banyak, baik atas dasar agama yang dianutnya, atas dasar prinsip-prinsip yang mereka agungkan maupun adat istiadat yang mereka hormati. Sehingga dengan demikian fungsi hukum yang sesungguhnya dapat terwujud dalam masyarakat, yaitu untuk menjamin kepastian dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat sebagai syarat mutlak untuk ke'.ancaran pembangunan, serta secara sadar mengadakan perobahan-perobahan sosial yang diperlukan bagi pembangunan nasional dengan cara yang tertib. Semenjak dibentuknya hingga sekarang L P H N telah banyak menghasilkan rancangan undang-undang. Dewasa i n i sedang diusahakan pula untuk menilai dan memperbaiki kembali K U H P Indonesia rerutama B u k u II, karena K i t a b Undang-Undang H u k u m Pidana Indonesia yang sekarang i n i adalah tiruan belaka-berdasarkan azas konkordansi - dari Wetboek van Strafrecht Belanda tahun 1881, yang tidak sesuai lagi dengan semangat dan suasana kemerdekaan. Semenjak berlakunya tahun 1915 sampai sekarang, K i t a b Undang-Undang H u k u m Pidana Indonesia itu memang telah banyak mengalami perobahan-perobahan, tetapi perobahan-perobahan itu belum dapat memenuhi kebutuhan""masyarakat Indonesia, lebih-lebih lagi dalam masa pembangunan sekarang i n i . Didalamnya masih terdapat kekosongan-kekosongan dalam pengaturan ketentuan-ketentuan pidana yang baru, yang lebih sesuai dengan tuntutan hati nurani yang hidup dan berakar dikalangan m?.syarakat serta sejalan dengan pertumbuhan cita-cita sosial dan ekonomi dalam pembangunj.n. Kesemuanya ini memerlukan penelitian secara ilmiah. Sehubungan dengan itu, L P H N telah memutuskan untuk melakukan penelitian tentang "Pengaruh-Pengaruh Agama terhadap H u k u m Pidana" dalam be9
berapa Propinsi di Indonesia, dengan tujuan untuk memperoleh bahan-bahan guna melengkapi penyusunan rancangan K U H P - B u k u I Oleh karena dalam H u k u m Pidana yang berlaku sekarang i n i masih terdapat kekosongan pengaturan yang mengancam hukuman terhadap perbuatan-perbuatan yang tercela oleh agama dan perlu ditindak". Jadi masaalah yang perlu direliti disini ialah "pengaruh Agama terhadap H u k u m Pidana", yang pada hakekatnya mengandung a r t i : 1.
Norma-norma
Agama yang manakah,
yang masih perlu
dijadikan
rechtsnorm dalam K U H P ; dan 2 Rechtsnorm-rechtsnorm yang manakah didalam K U H P - B u k u II yang masih perlu disesuaikan dengan norma-norma Agama. Betapa eratnya hubungan antara agama dengan hukum pada umumnya, tidak dapat kita ingkari. Agama menyajikan bahan-bahan id.el dalam pemben^ tukan hukum dan sebaliknya hukum mengatur, menggerakkan W pemmidupan yang lain, seperti agama, ekonomi dan sebagainya. Oleh kareS ftu hu kum tid ak sempurna kalau ia dipandang hanya sebagai stelse1 norma semata-mata dan tidak cukup d.bina dan diterapkan atas dasar dogmat k kum berdasarkan stelsel norma saja, tetapi hukum haruslah merupakan resultante kekuatan-kekuatan kemasyarakatan yang mendorong melahirkan serta menghidupkan hukum sebagai satu hasil kerja manusia yang konkru. P
y
S
h
u
Dalam Negara Republik Indonesia yang menjadi dasar kehidupan hukumnya adalah Pancasila, baik yang dituangkan dalam Pembukaan ; ^ P ™ ^ Batang Tubuh Undang-Undang Dasar (The Body of Constituuon) maka oleh sebab itu seluruh hukum yang dibuat oleh Negara atau Pem enntah dal a m a t t i yang seluas-luasnya, tidak boleh bertentangan dengan H u k u m Tuhan. Bah kan febih dari itu, segala tertib hukum yang dibuat, haruslah didasarkan atas dan ï i t u j u k a n untuk merealisasi H u k u m Tuhan. H a l i n i adalah sebaga, konsekw n d n pada Sila Ketuhan,n Y a n g Maha Esa dalam Pancasila yang secara^ ,urid s mengikat kepada rakyat dan pemenntah untuk « ^ ^ ^ J ^ ^ mikian baik negara maupun wacga negara harus mengamaUtan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Sila i n i menjadi dasar yang mem.mpin kejalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan perdamaian. Sila ini menjadi dasar moral yang memimpin cita-cita kenegaraan. Selanjutnya penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan Oleh karena itu Undang-Undang Dasar harus mengandung is. yang « ^ k a ^ P e merintah dan lain-lain penyelenggara negara, untuk memehhara budi p e k « . kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-c.ta rakyat yang; luh^r Teranglah bahwa yang berdaulat bukanlah hukum buatan manusta, oleh karena huTunf buatan m a L s l a itu dibatasi is.nya oleh hukum Tuhan, yang sebagian besar tercantum dalam agama berupa norma-norma agama. Didalam Negara Republik Indonesia sebagaimana sama-sama sudah kita ketahui agama merupakan unsur mutlak dalam nation character building, maka oleh sebab itu agama memegang peranan amat penting dan menentukan dalam segala aspek kehidupan kenegaraan, kemasyarakatan dan hukum. Mengenai peranan agama dalam kehidupan hukum antara lain dapat kita perhatikan pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan: Negara
10
berdasarkan atas ke-Tuhanan Y a n g Maha Esa" (ayat 1). "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu" (ayat 2). Ini menyatakan kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Y a n g Maha Esa, dimana pasal 29 Undang-Undang Dasar rersebut menjadi dasar kehidupan hukum dibidang keagamaan. Y a n g bagi Pemerintah berarti pengakuan adanya pengaruh Pancasila terhadap Undang-Undang Dasar, sedangkan pengaruh tersebut tidak saja mengenai Pembukaan Undang-Undang Dasar, akan tetapi juga mengenai pasal 29 Undang-Undang Dasar, pasal mana selanjutnya harus menjadi dasar kehidupan hukum dibidang keagamaan. Bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh, yang penduduknya lebih kurang 9 9 % memeluk agama Islam, yang dimaksudkan dengan agama dalam judul penelitian i n i ialah agama Islam. Norma-norma agama Islam yang manakah yang menurut rakyat d i Aceh masih perlu dijadikan rechtsnorm dalam H u k u m Pidana dan selanjutnya rechtsnorm-rechtsnorm yang manakah didalam K U H P B u k u II yang menurut rakyat d i Aceh masih perlu disesuaikan dengan normanorma agama Islam. Selain dari kedua masaalah tersebut diatas, sesuai dengan makna yang terkandung dalam judul research yang ditugaskan oleh L P H N kepada Fakultas H u k u m dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Syiah Kuala, yaitu: "Pengaruh-Pengaruh Agama terhadap H u k u m Pidana", maka dirasa perlu pula untuk melengkapi bahan-bahan laporan i n i dengan pendapat-pendapat dari sebagian respondent tentang hubungan antara Negara dan Agama. Terhadap masaalah ini perlu diadakan penelitian karena Negara sebagai suatu organisasi manusia, atau organisasi masyarakat, yang dalam hidupnya manusia itu baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat melakukan hubungan-hubungan, yaitu hubungan dengan manusia lainnya, hubungan dengan masyarakat/Negara dan hubungan dengan Tuhannya. D a l a m hal i n i Negara mempunyai tugas mengatur hubungan-hubungan itu, yang realisasi, perincian, atau pengaturan tentang segala sesuatu sehubungan dengan kehidupan masyarakat/Negara diatur oleh berbagai ketentuan hukum lainnya seperti Undang-Undang Dasar, Undang-Undang dan seterusnya. Hanya saja masih menjadi persoalan, sejauh manakah peranan yang dipunyai oleh Negara dalam mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. A p a k a h ada pemisahan atau penyatuan antara Negara dan Agama? Pengaturan hubungan-hubungan itu oleh Negara sangat tergantung kepada jawaban dari pertanyaan diatas. D e mikian pula dalam penyusunan rancangan K U H P - B u k u II, dengan memperhatikan kepada pengaruh-pengaruh agama, adalah sebagai realisasi dari pada hubungan antara Negara dan Agama. Akhirnya Team Penelitian i n i menganggap berguna pula, untuk meneliti masalah: apakah rechtsnorm yang baru itu = norma-norma agama Islam yang masih perlu dijadikan rechtsnorm dalam H u k u m Pidana atau rechtsnormrechtsnorm dalam K U H P - B u k u II yang disesuaikan dengan norma-norma agama Islam perlu dimasukkan kedalam K U H P - B u k u II, ataukah dituangkan dalam peraturan tersendiri. Itulah empat persoalan pokok yang menjadi isi masaalah dalam penelitian "Pengaruh-Pengaruh Agama terhadap H u k u m Pidana", yang dilaksanakan oleh 11
Team Penelitian Fakultas H u k u m dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Syiah Kuala didalam Propinsi Daerah Istimewa Aceh, dengan tujuan untuk "memperoleh bahan-bahan guna melengkapi penyusunan Rancangan K U H P B u k u II. Oleh karena dalam H u k u m Pidana yang berlaku sekarang masih terdapat kekosongan pengaturan yang mengancam hukuman terhadap perbuatan-perbuatan yang tercela oleh Agama dan perlu di tindak. Ini penting bagi pembinaan pertumbuhan masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila". 2.
Selayang pandang Aceh.
mengenai:
Peranan Agama
dalam kehidupan
Rakyat
Dalam bab pendahuluan i n i ada baiknya untuk mengemukakan secara sepintas lalu mengenai peranan agama dalam kehidupan takyat Aceh. H a l i n i penting kita ketahui terlebih dahulu, agar supaya pengetahuan kita tentang rakyat Aceh dan bagaimana pandangannya terhadap agama yang dianutnya, yaitu agama Islam, dapat kita rempatkan dalam suatu perspektif masa lalu, maupun perspektif masa depan. Karena keadaan faktor sosial dan agama d i Propinsi Daerah Istimewa Aceh sekarang i n i , adalah merupakan keadaan yang tidak dapat terpisahkan dari serangkaian proses dimasa yang lalu. H a l i n i dapat membantu kita untuk mempunyai pengertian yang lebih baik mengenai masalah yang sedang kita s d i d i k i . Selain dari pada itu masalah i n i masih dapat menguatkan latar be'akang teoritis, mengapa L P H N memilih Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai salah satu dari daerah penelitiannya untuk memperoleh bahan-bahan "Pengaruh-Pengaruh Agama tethadap H u k u m Pidana". Khususnya untuk meneliti pengaruh-pengaruh Agama Islam terhadap H u k u m Pidana. Propinsi Daerah Istimewa Aceh, sebagai suatu bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Republik Indonesia berdasarkan sensus penduduk tahun 1971, berpenduduk sebanyak 2.008.747 jiwa. D a r i jumlah i n i lebih kurang 9 9 % diantaranya memeluk agama Islam, yang tersebar secara merr.n discluruh daerah Aceh. Keadaan ini menunjukkan, bahwa masyarakat Aceh adalah masyarakat yang homogeen Islam dan tidak banyak bercampur baur dengan golongan yang bukan beragama Islam. Agama Islam adalah agama yang secara turun temurun semenjak berabadabad yang lalu telah dianut oleh rakyat Aceh. Oleh karena itu pula ajaranajaran dari agama Islam itu sudah bersemi sednlam-da'amnya dihati sanubari rakyat Aceh, sehingga ajaran agama Islam mempengaruhi setiap bidang penghidupan rakyat Aceh baik dibidang politik, ekonomi, sosial, maupun untuk bidang-bidang penghidupan yang lainnya. Tegasnya bagi rakyat A c e h sangat sukar untuk memisahkan antara kehidupan agnma dengan kehidupan negara. Keadaan sebagaimana yang dilukiskan terakhir i n i , dengan mudah dapat kita pahami, apabila kita menengok kembali pada sejarah masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia. Dalam hal i n i dapat dikemukakan hasil seminar sejarah masuknya agama Islam ke Indonesia, yang diadakan d i Medan dari tanggal 17 sampai dengan 20 Maret 1963 yang antara lain telah mengambil kesimpulan: "bahwa agama Islam untuk pertama kalinya masuk ke Indonesia 12
pada abad I H . (abad ke 7/8 Masehi) langsung dari Arab. Daerah pertama yang didatangi oleh orang Islam ialah pesisir utara pulau Sumatera dan setelah terbentuknya masyarakat Islam, raja Islam yang pertama berada d i Aceh". D a r i sini jelaslah, bahwa kedatangan agama Islam ke Indonesia telah disambut dengan dada terbuka oleh penduduk asli Aceh, sehingga agama Islam dalam masa yang relatif pendek telah dapat berkembang di Aceh, dimana seluruh penduduknya telah memeluk agama Islam. Karena itulah barangkali Aceh mendapat gelar kehormatan dengan sebutan „serambi Mekah". Dalam proses selanjutnya berdirilah kerajaan Islam yang pertama kali dikepulauan Nusantara yaitu kerajaan Islam Peureulak (lebih kurang tahun 840 Masehi) dan kemudian dilanjutkan oleh kerajaan Aceh Darussalam (lebih kurang tahun 1205 Masehi), yang mencapai puncak keagungannya dalam abad 16 dan 17 Masehi terutama dibawah pimpinan Sultan Iskandar Muda. Sebagai suatu negara yang berdaulat, kerajaan A c e h Darussalam telah mempunyai hubungan diplomatik dan perdagangan dengan negara-negara d i Asia, Afrika dan Eropah. Sekalian pedagang atau pelancong ke Asia T i m u r tidak boleh tidak harus singgah dipelabuhan Aceh dan tidak sedikit dari mereka yang menulis buku-buku tentang perlawatannya ke Aceh, D a r i buku-buku itulah dapat kita ketahui kejayaan kerajaan A c e h dari abad keabad. Kejayaan dan keagungan Aceh dimasa yang lampau merupakan hal yang sangat menarik bukan saja bagi rakyat Aceh khususnya, atau rakyat Indonesia umumnya, malahan juga dari dunia luar. H u k u m apakah yang berlaku dalam kerajaan Aceh pada waktu itu ? Seluruh segi penghidupan rakyat waktu itu diatur oleh H u k u m Adat dan H u k u m Agama (Islam), antara keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan. H u k u m Adat sebagai H u k u m Negara dipegang oleh Raja (Penguasa), sedangkan H u k u m Agama dipegang oleh Ulama. H a l i n i tercermin dari pepatah A c e h yang tcrkenal "Adat bak Po Teumeureuhom, H u k o m bak Syiah Kuala" ( H u k u m Adat atau H u k u m Negara di dipegang oleh Raja (Penguasa), H u k u m Agama dipegang oleh Ulama). Kemudian pepatah i n i dilanjutkan dengan: " H u k o m ngon Adat lagee zat ngon sifeut", yang maksudnya H u k u m Adat ( H u k u m N e gara) dan H u k u m Agama (Islam) adalah seperti zat dengan sifat. Inilah pegangan hidup rakyat A c e h yang pokok dari abad keabad. Persoalan Agama bagi rakyat Aceh tidak dapat dipisahkan dari peri hidup dan kehidupan mereka disemua bidang. D a n sebagaimana telah dikemukakan diatas, bagi rakyat Aceh sangat sukar untuk memisahkan antara kehidupan Agama dengan kehidupan Negara. Begitulah peranan agama dalam kehidupan rakyat Aceh sangat menentukan, sehingga seluruh perjuangan rakyat Aceh, baik sebelum maupun sesudah masuknya penjajahan Belanda dan Jepang ke Aceh, adalah merupakan perjuangan yang didasarkan kepada penegakan agama Islam. Semenjak Proklamasi Kemerdekaan Rakyat Aceh merasa gembira sekali meiihat daerah Aceh menjadi bahagian dari wilayah Negara Kesatuan R e p u b l i k Indonesia dan merasa saagdt berbahagia sekali menjadi bahagian yang cukup mendapatkan kehormatan dan penghargaan didalam persatuan bangsa Indonesia, sesuai dengan semboyan
13
"Satu Bangsa, satu Bahasa dan satu Tanah Air", dimana rakyat Aceh selaia menysdari arti kesadaran Nasional ini. Julukan yang diberikan kepada daerah Aceh seperti "daerah modal" dan "serambi Mekkah", senantiasa pula memberi dorongan dan semangar kepada rakyat Aceh untuk dapat menciptakan berlakunya Unsur-Unsur Syariat Islam didaerah Aceh. Rakyat Aceh dibawah pimpinan Ulama dan pemimpin-pemimpin Islamnya yang lain mengclain hak wewenang untuk melaksanakan UnsurUnsur Syariat Islam buat daerahnya. Tetapi rakyat Aceh yang terkenal fanatik agama itu merasa semakia dijauhkan dari cira-citanya sesudah Pemerintah Republik Indonesia secara effektif mengurus daerah Indonesia seluruhnya. Maka timbullah "Peristiwa Aceh' pada akhir tahun 1953, yang baru dapat diselesaikan dalam tahun 1959. Perasaan kecewa itu kemudian berobah setelah tuntutan untuk melaksanakan unsur-unsur syariat Islam didaerah Aceh dipenuhi oleh Pemerintah Pusat, yaitu Kabinet Juanda dengan missi Hardi yang tetkenal dengan memberikan status Daerah-Istimewa bagi Propinsi Aceh (yaitu Istimewa dalam lapangan keagamaan, pendidikan dan peradatan) melalui sutat keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia no. l/MISSI/1959 tertanggal 26 Mei 1959. Surat Keputusan Perdana Menteti Republik Indonesia ini kemudian diiringi dengan Keputusan Peperda no.: Kpts/Peperda-061/371962 tertanggal 7 April 1962 yang menyatakan bahwa di Daerah Istimewa Aceh berlaku Unsur-Unsur Syariat Islam, yang pelaksanaannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Sehubungan dengan itu D P R D - G R Daerah Istimewa Aceh tanggal 15 Agustus 1962 no. B-7/1/DPRDGR/1962 mengeluarkan suatu pernyataan bahwa Pemerintah Daerah Istimewa Aceh akan melaksanakan Unsur-Unsur Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Dan dalam rangka realisasi dari pernyataan D P R D - G R tersebut, Pemerintah Daerah telah mengeluarkan beberapa Peraturan Daerah antara lain Peraturan Daerah no. 1 tahun 1963 tentang Syiar Agama Islam, Surat Keputusan Gubernur/Kepala Daerah Istimewa Aceh no. 170/1963 tentang Pembentukan Badan Penyelenggara Hari-Hari Besar Islam, Surat Keputusan Gubernur/Kepala Daerah Istimewa Aceh no. 171/1963 ten tang Pembentukan Badan Harta Agama dan lain-lain sebagainya. Usaha terakhir dari Pemerintah Daerah dalam mewujudkan secara nyata pelaksanaan Unsur-Unsur Syariat Islam itu didalam Propinsi Daerah Istimewa Aceh, terjadi pada pertengahan tahun 1967, yaitu dengan dibentuknya pada Kantor Gubernur/Kepala Daerah Istimewa Aceh suatu Biro yang khusus mengurus soal-soal keagamaan, yaitu Biro I X (Biro Unsur-Unsur Syariat Islam), dimana Biro ini hanya khusus terdapat pada Kantor Gubernur/Kepala Daerah Istimewa Aceh dan tidak terdapat pada Kantor-Kantor Gubernur lainnya di Indonesia. Tetapi sungguhpun Pemerintah Pusat telah menerima runtutan rakyat Aceh melalui Surat Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia no. 1/ MISSI/1959 dengan memberikan status Daerah Istimewa-istimewa dalam lapangan keagamaan, pendidikan dan peradatan-dan usaha-usaha kearah itupun telah dirintis oleh D P R Daerah dan Pemerintah Daerah namun pelaksanaan unsur-unsur Syariat Islam sampai sekarang belum dapat direalisir di Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Hal ini disebabkan karena disamping sangat sulitnya ;
14
untuk menuangkan masaalah tersebut kedalam undang-undang dan peraturanperaturan lainnya, harus pula memperhatikan kepada peraturan perundangan negara yang ada, apalagi kalau kita ingat sejarah Penyusunan Piagam Jakarta dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dimana mengenai masaalah ini telah menimbulkan perdebatan yang sengit sekali. Rakyat Aceh dari golongan awam yang terkenal fanatik itu yang kepadanya oleh Pemimpin mereka diyakinkan akan berlakunya unsur-unsur syariat Islam, tetap menunggu adanya perobahan i n i dengan penuh harapan. Akhirnya sehubungan dengan penelitian i n i kiranya adalah tepat sekali apabila L P H N memilih Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai satu daetah penelitiannya untuk memperoleh bahan-bahan mengenai Pengaruh-Pengaruh Agama Islam terhadap H u k u m Pidana. Dengan demikian, dalam penyusunan Rancangan K U H P - B u k u II nanti, realita yang hidup ditengah-tengah kehidupan rakyat Aceh i n i sepanjang yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan yang tercela oleh agama Islam dan perlu ditindak, dapat ditampung dan dituangkan kedalam bentuk norma-norma hukum dalam H u k u m Pidana positif. 3.
Struktur Politis dan Hindia Belanda.
Sosial di daerah Aceh
pada zaman
Pernerintahan
Adalah kurang lengkap kiranya laporan i n i apabila dalam bab pendahuluan i n i tidak diuraikan secara singkat mengenai struktur politis dan sosial d i daerah Aceh pada zaman Pemerintahan H i n d i a Belanda. Walaupun Pemerintah H i n d i a Belanda tidak begita banyak dapat berbuat untuk Aceh, antara lain disebabkan situasi dan sifat perang Aceh melawan penjajahan Belanda, namun dalam masa hampir 69 tahun bertempur di Aceh, Pemerintah H i n d i a Belanda telah pula metobah struktur politis dan sosial d i daerah Aceh demi untuk kepentingan politik pemerintah jajahannya. Peperangan Aceh adalah peperangan rakyat (volkoolog) melawan penjajahan Belanda, sehingga daerah Aceh lah dikepulauan Indonesia yang terakhir dapat dikuasai oleh Pemerintahan H i n d i a Belanda dan daerah Aceh pulalah yang pertama kali menarik diri dari penjajahan Belanda dalam tahun 1942 sebelum Jepang masuk. Perang Aceh dimulai pada tanggal 1 A p r i l 1873 dan semenjak tahun 1874 daetah Aceh secara berangsur-angsur jatub ketangan Pemerintahan H i n d i a Belanda. N a m u n secara de Facto seluruh daerah Aceh baru dapat dikuasainya sekitar tahun 1910, yakni sesudah daerah Tanah Gayo Luas dapat ditaklukkan oleh ekspedisi yang d i p i m p i n oleh Jenderal V a n Daalen yang dimulai pada tahun 1902. Mengenai organisasi pemerintahan H i n d i a Belanda d i daerah Aceh, antara tahun 1874 sampai tahun 1881 belum menunjukkan kemajuan sama sekali tetapi dalam perkembangan selanjutnya dapat dicatat: a.
Daerah Tamiang — sekarang sebahagian dari Kabupaten Aceh T i m u r — yang tadinya masuk daetah Residentie Sumatera T i m u r , pada tahun 1908 (Staatblad 1908 no. 112) dimasukkan kedalam daerah Aceh (Residentie Atjeh Onderhorigheden). 15
b.
Daerah Singkel — sekarang sebahagian dari Kabupaten Aceh Selatan — yang pada mulanya masuk daerah Residentie Sumatera Vestkust, pada tahun 1905 (Staatblad 1905 no. 449} dimasukkan kedalam daerah Residenrie Atjeh Onderhorigheden.
Maka semenjak Pemerintahan Hindia Belanda dapat menguasai daerah Aceh, baik secara de facto maupun secara de jure, "staatkundig", daerah Aceh terbagi atas dua daerah: a.
Daerah Rechtstreeks Bestuurd, yaitu Afdeling Groot Atjeh (Kabupaten Aceh Besat), daerah Tamiang dan Onderafdeling Singkel, dengan ketentuan bahwa para penduduk aslinya dibiarkan tunduk kepada hukumnya sendiri, baik dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana. Mereka diadiii oleh Pengadilan Musapat (Inheemse Rechtspraak).
b.
Daerah Onderhorigheden (Zelfbestuur Landschappen), yaitu daerah Zelfbestuur yang secara langsung diperintah oleh Pemerintah Hindia Belanda (Daerah niet Rechtstreeks Bestuurd Gebied, daerah dari Korte Verklaring yang terdiri dari lebih kurang 110 zelfbestuutder). Daerah Rechtstreeks Bestuurd Gebied yang terbagi atas puluhan daerah Oeleebalang (districtshoofd selaku bestuursambtenaar), sedangkan daerah Onderhorigheden terbagi atas puluhan Landschappen (zelfbestuursgebeid niet Korte Verklaring) yang masing-masing daerah dipimpin oleh seorang Oeleebalang (zelfbestuurder, satu dan lain garis besarnya diatur menurut Zelfbestuursregelen 1919 jo Zelfbestuursregelen 1938).
c.
Disamping itu perlu pula dikemukakan siapa-siapakah yang termasuk Korp Europees Bestuur didaerah Aceh pada waktu Pemerintahan Hindia Belanda dahulu. Korp. Europees Bestuur pada waktu itu terdiri dari: 1.
Resident/Gubernur, Kepala Daerah selalu Bestuursambtenaar yang mewakili Pemerintahan Hindia Belanda.
2.
Assistent Resident, yang memimpin tiap daerah afdeling (Kabupaten).
3.
Kontroleur (Wedana), yang memimpin daerah onderafdeling.
Secara hierarchies, daerah Rechtsreeks Bestuurd Gebied Oeleebalang (Districrhoof) berada dibawah pimpinan Kontroleur, dan daerah Zelfbestuurder Landschappen, Resident/Gubernur lah yang langsung memimpin/membantu serta mengawasi Oeleebalang (Zelfbesruurders). Kalau Controleur merupakan seorang pegawai pemerintah (bestuursambtenaar) yang terendah dari Korp Europees Bestuur, maka Oeleebalang (Districthoofd) itu merupakan pegawai negeri yang tertinggi dari Korps Inlands Bestuur. Oeleebalang selain berstatus sebagai pegawai negeri, juga mempunyai status sebagai Adathoofd (Kepala Adat), yang membawahi kepala-kepala Mukim (Imeum Mukim) dan Keuchi-keuchik (Kepala Kampung) selaku wakil dan selaku Kepala Adat didalam daerah (kampung, gampong) masing-masing. Dari struktuur politis sebagaimana yang digambarkan diatas, tercermin pula suatu struktur sosial dalam masyarakat Aceh pada waktu itu. Sehubungan dengan itu perlu pula dikemukakan adanya politik kolonial Pemerintah Belanda untuk Aceh, yang pada hakekatnya hendak mengadakan dan mengatur adanya keseim16
bangan (balans politiek) dalam hubungan kekuatan atau pengaruh untuk golongan Oeleebalang dan golongan Ulama. Keadaan i n i masih dapat dipertahankan dan dipelihara selama d i daerah Aceh masih ada kekuatan pemerintahan jajahan yang kuat. D a n politik semacam inipun tetap dipertahankan oleh Pemerintah Jepang, sungguhpun pada permulaan Pemerintahan Jepang f'ihak golongan Ulama sudah sempat menunjukkan supremasinya. M a k a dari itu tidaklah mengherankan, jika pada permulaan kemerdekaan tahun 1945 — zaman peralihan pemerintahan/kekuasaan — melalui proses revolusi sosial, pihak golongan Ulama berhasil untuk mempetlihatkan supremasinya yang mengakibatkan "habisnya" go'ongan feodal (Oeleebalang). D a n masyarakat Aceh berada dibawah pimpinan Ulama yang sebahagian besar menduduki kursi pemerintahan. 4.
Sedikit
tentang
pada Zaman
Stjarah
Hindia
perkembangan
peradilan
pidana
didaerah
Aceh
Belanda.
Sejalan dengan perkembangan organisasi pemerintahan H i n d i a Belanda, didaerah Aceh semenjak tahun 1881 telah diadakan pengadilan Landraad untuk penduduk daerah Aceh yang bukan B u m i Putera (Aceh Reglement, Staatblad 1881 no. 82). Tetapi bagi penduduk B u m i Putta Aceh diadakan pengadilan Musapar dan Districtgerecht didalam daerah Rechtstteeks Bestuurd Gebied ( M u sapat Ordonnantie Staatblad 1881 no. 83), dan didaerah Zelfbestuur Landschappen juga diadakan pengadilan Musapat dan Landschapsgerecht, sesuai dengan ketentuan yang tercanrum dalam Staatblad 1904 no. 473 dan Zelfbestuursregelen 1919, serta Musapat Ordonnantie Staatblad 1916 no. 432. Pengadilan Musapat dan Districtgerecht/Landschapsgerecht memeriksa dan memutuskan perkara pidana dan perkara perdara, dimana orang B u m i Putra A c e h tersangkut sebagai tertuduh atau tergugatnya. Kalau Pengadilan Musapat dan Districtsgerecht didalam Rechtstreeks Bestuurd Gebied itu, peraturannya yang tetakhir sekali tercantum dalam Ordonnantie Inheemse Rechtspraak (Staatb'ad 1932 no. 80), maka Musapat dan Landschapsgerecht didaerah Zelfbestuur diatur dengan Zelfsbestuursverordening, dengan mendapat pengesahan dari Resident. Mengenai hakimnya, Pengadilan Musapat — baik didalam daerah Rechtstreeks Bestuurd Gebied maupun didaerah Zelfsbestuursgebied — menganut prinsip kollegial, terdiri atas beberapa anggota hakim (oeleebalang) dengan Ketuanya seorang Assistent Resident (ataupun kontroleur) yang bertindak sebagai penasehat. Keputusan dari Musapat dapat dibanding kepada G u b e r n u r / Resident daerah Aceh. Selain dari pada itu perlu pula diketengahkan, bahwa pada Pengadilan Musapat terdapat peradilan Agama sebagai bahagiannya, tetapi peradilan Agama ini tidak pernah memutuskan perkara pidana. Apakah yang menjadi hukum materiel dan hukum formil bagi pengadilanpengadilan tersebur diatas ? H u k u m Formil (Procesrecht) bagi Musapat dan Districtsgetecht didalam daerah Rechtstreeks Bestuurd Gebied — afdeling Aceh Besar Onderafdeling 17
Tamiang dan Singkel — diatur didalam beberapa Ordonnantie, yaitu: Staatblad 1881 no. 83, Staatblad 1904 no. 472, Staatblad 1917 no. 497, dan terakhir dalam Ordonnantie Inheemse Rechtspraak — b ü k a n Rechtsreglement Buitenge vvesten — dan didalam Zelfsbestuurs Landschappen dipakai sebagai pedoman ketenruanketentuan pada Ordonnantie Inheemse Rechtspraak. H u k u m formil i n i dipakai dalam urusan perkara perdata dan perkara p i dana sehingga secara juridisnya H u k u m Pro-ces Adat hanya masih dapat dipergunakan secara langsung didalam daerah zelfsbestuurs landschappen. Sedangkan hukum materiel bagi pemeriksaan di Musapat dan Distr.'ctgerecht/Landschapsgerecht dalam perkara perdata, pada azasnya adalah hukum adat, yang pada banyak hal sudah dipengaruhi oleh unsur-unsur H u k u m Islam dan H u k u m Kodifikasi. H u k u m materiel dalam perkara pidana, ada'ah H u k u m Pidana Adat, baik pada peradilan didalam daerah Rechtstreeks Bestuurd Gebied maupun didalam daerah Zelfsbestuurs Landschappen. D a l a m penetrapan H u k u m Pidana Adat i n i , perlu dicatat adanya pengekang (beperking), yaitu pengekangan yang bersifat wettelijk dan yang tidak wettelijk, jelasnya demikian : a.
H u k u m Pidana Adat diper'akukan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang tersebut didalam perundang-undangan tertentu;
b.
Banyak ketentuan kejahatan dan pelanggaran, yang tersebut dalam K U H P ( W v S) diper'akukan terhadap orang-orang B u m i Putra Aceh (art. 3 Staatblad 1932 no. 80);
c.
Banyak Ordonnantie diperlakukan juga bagi orang-orang B u m i Putra Aceh;
18
d.
Pengaruh Ketua/penasehat dari sidang Musapat — seorang Kontroleur atau Assistent Resident, dengan pendidikan dan pemikiran secara Barat — tidak dapar diabaikan terhadap perkembangan H u k u m Pidana Adat (Adat delicten recht). Perkembangan H u k u m Pidana Adat ini menjurus pada hilangnya kesadaran H u k u m Adat yang dalam menuju kejurusan kesadaran H u k u m tertulis atau H u k u m Kodifikasi, baik mengenai norma-normanya, maupun sanksinya;
e.
Schubungan dengan perkembangan H u k u m Adat i n i , maka banyak keputusan-keputusan pidana dari Musapat mendasarkan keputusannya kepada norma-norma yang disebut didalam K U H P , sambil menunjuk pada pasal-pasalnya juga — biarpun pasal-pasal dari K U H P itu tidak berlaku bagi B u m i Putra Aceh — misalnya pencurian, penganiayaan, penggelapan, pembunuhan, pengrusakan harta benda, petzinaan dan sebagainya dan jenis serta besarnya hukuman (strafschuldigheid) pun disesuaikan dengan ketentuan dida'am K U H P , wa'aupun terhadap sesuatu Adat delict masih di bolehkan diadakan tindakan adat dan hukuman badanpun masih dapat melebihi ketentuan yang tersebut dalam KUHP;
f.
Banding (revisie) atau examinatie diputuskan oleh Kepala Daerah — Gubernur, Resident — yang pada umumnya mempunyai pandangan hidup/kesadaran hukum dan politik peradilan menurut prinsip-prinsip
dunia Barat dan ditambah lagi dengan pandangan dalam politik peradilan tanah jajahan (koloniaal politiek); g.
Keputusan-keputusan Musapat tidak banyak yang diplubisir, hingga banyak yang terlepas dari sorotan dunia ahli hukum.
Proses perkembangan peradilan didaerah Aceh sebagaimana yang dikemukakan diatas, istimewa da'am peradilan pidana, membawa akibat-akibat antara lain sebagai berikut: a.
Norma-norma afgezoegd);
adatrechtsdelict
menjadi
semakin
kabur
(verwaterd,
b.
Kesadaran hukum bagi rakyat semakin menjurus kepada norma-norma di dalam K U H P ;
c.
Rakyat Aceh semakin merasa asing terhadap hukum adatnya, didalam prakteknya tidak diberi kesempatan untuk berkembang secara yang wajar;
d
Para Kepala Adat pun menjadi berkurang minatnya untuk mengembangkan hukum Pidana Adat secara yang wajar dan tidak mempunyai daya kesanggupan untuk membendung anasir-anasir pidana yang datang dari dunia luar -yang pada sebahagian besar tidak sesuai dengan ajaran Islam;
e.
Para Ulama pun, sebagai akibat dari struktur kolonial bestuur, tidak memberi partisipasi dalam perkembangan hukum Pidana Adat, karena mereka hanya bersikap stationnair dan tidak mau mengetahui perlunya "vermachtschappelijking" dari H u k u m Islam.
Demikianlah perkembangan peradilan pidana didaerah Aceh, selama daerah Aceh berada dibawah kekuasaan Pemerintah koloniaal Belanda. Perkembangan selanjutnya ialah selama Aceh mengalami revolusi sosial pada zaman permulaan kemerdekaan tahun 1945. Dalam revolusi sosial i n i , peranan dipegang oleh golongan agama beserta dengan pemudanya. Sedangkan para Oeleebalang (terutama zelfsbestuurders) yang dianggap sebagai penunjang Pemerintah Belanda dan juga sebagai pembuat dan penegak hukum adat yang bersifat feodalistis, dan yang tidak sesuai dengan hukum Islam, disingkirkan dari masyarakat. Semua hal dan peristiwa yang dianggap tidak baik bagi rakyat dipertanggung jawabkan pada Oeleebalang selaku kepala Adat; dan kepada rakyat digambarkan bahwa adanya H u k u m Adat dan adat istiadat yang tidak baik itu disebabkan karena kemauan atau tindakan dari pada Oeleebalang. Dengan demikian rakyat menjadi banci terhadap sesuatu yang berbau adat, dan sesuai dengan keinginan dari golongan Agama — UlamaUlama yang memegang peranan revolusi dan yang kemudian menduduki kursi pemerintahan — maka rakyatpun menghendaki hapusnya H u k u m Adat dan berlakunya H u k u m Islam. Sebagai contoh bagaimana caranya untuk menjelekjelekkan H u k u m Adat itu dikemukakan sebagai berikut: Perkataan "musapat" (Pengadilan) diberi arti "meusapeu" yang berarti "musyawarah, berkompromi dengan pihak Belanda", sekolah desa (Volkschool) diberi arti "sekolah desa" (tempat membuat dosa) dan lain-lain sebagainya.
<
Jelaslah dalam fase i n i kedudukan H u k u m Adat — termasuk H u k u m dana Adat — sangat dikesampirgkan dan rakyat Aceh dibawah pimpinan [ Ulama mengumandangkan "berlakunya H u k u m Islam". Dalam tingkatan selanjutnya, sebagaimana sudah dikemukakan dalam hagian terdahulu, ialah timbulnya "peristiwa Aceh" tahun 1953 dan bera: tahun 1959, beriringan dengan keiuarnya Surat Keputusan Perdana M e r Republik Indonesia N o . I/MISSI 1959 dengan pemberian status "Daerah mewa" kepada Propinsi Aceh. /
Rakyat Aceh menyambut baik untuk memperlakukan Unsur-Unsur Sy£ Islam d i Daerah Aceh, tetapi pada umumnya mereka tidak mempunyai gamb; yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan "berlakunya Unsur-Unsur SyE Islam didalam Negara Kesaruan Republik Indonesia", sebagaimana yang maksud dalam Piagam Jakarta tertanggal 22 Juli 1945. Disamping itu ral Aceh tidak mendapat penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan kali penutup yang betbunyi: "sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang". Bahkan rakyat melihat dengan mata sendiri dan ikut mengalami perk bangan keadaan dengan peristiwa-perisciwa yang bertentangan dengan U n Unsur Syariat Islam. Rakyat bersama para pemimpinnya tidak mampu dan ti berkesanggupan untuk membendung masuknya unsur-unsur baru kedalam pi hidupan masyarakat, walaupun mereka tahu benar-benar bahwa unsur-ui baru itu banyak yang bertentangan dengan syariat-syariat Islam, seperti pergai yang sumbang anrara pemuda dan pemudi, cara-cara berpakaian sehari-1 perjudian dalam segala bentuknya, minuman keras dan lain-lain sebagainya. Rakyat Aceh menjadi bingung dan bimbang, kehilangan kepercayaan j diri sendiri. Tiap hari menghadapi kontradiksi dari nilai-nilai penghidu didalam masyarakat, sendi-sendi sosial dan kebudayaan menjadi goyang, k< dayaan rakyat Aceh mengalami masa transisi. Kalau sebelum perang D u n i a II rakyat Aceh mengalami masa "spier isolation", maka semenjak kemerdekaan rakyat Aceh setapak demi setapaic su mulai menjelajah seluruh daerah Indonesia, bahkan negara-negara luar Indon Berkat terlahirnya komunikasi yang nasional dan internasional, maka ra; Aceh sudah mulai mengalami perobahan-perobahan dalam cara berpikir, lepaskan diri dari status "splended isolation", tetapi masih belum mendapat gangan yang kuat dan tegas mengenai nilai-nilai sosial dalam masyarakat, 1 untuk masa sekarang, maupun untuk masa yang akan datang. D a l a m suasana proses perkembangan sosial sebagaimana yang diurai diatas, didaerah Aceh dilakukan penelitian (research) dengan j u d u l : "Pei ruh-Pengaruh Agama (Islam) terhadap H u k u m Pidana", research mana dilaku oleh Fakultas H u k u m dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Syiah K pada pertengahan tahun 1973. 5.
Masalah Penentuan
Sampel dan
Metbodologi.
Propinsi Daerah Istimewa Aceh, daerahnya terbagi atas 8 buah Kabup; dan 2 buah K o t a Madya, yaitu : Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Aceh B ; 20
Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh T i m u r , Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Aceh Tenggara, K o t a Madya Banda Aceh dan K o t a Madya Sabang di Pulau W e h . Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 1971 didalamnya berdiam sebanyak 2.008.747 jiwa penduduk, dimana lebih kurang 9 9 % diantaranya adalah penduduk asli suku Aceh yang memeluk agama Islam. Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa masyarakatnya homogeen Islam dan keadaan yang demikian sangat menguntungkan bagi kepentingan penelitian i n i , yaitu khusus menyelidiki sejauh mana pengaruh-pengaruh agama Islam rerhadap H u k u m Pidana. Daerah penelitian ditetapkan dengan methode "area sampling with four stages cluster" dan penarikan sampelnya dipergunakan systimatic random, yang pelaksanaannya adalah sebagai berikut: Stage I
:
Stage II :
D a r i sepuluh buah Kabupaten/Kota Madya yang ada dalam Ptopinsi Daerah Istimewa Aceh ditarik 7 buah kabupaten sampel. Dari masing-masing daerah sampel diatas dipilih secara random pula tiga buah Kecamatan sampel.
Stage I I I :
D a r i masing-masing kecamatan sa sampel.
sampel dipilih tiga buah de-
Stage I V :
D a r i masing-masing desa sampel akan diinterview lima kepala keluarga.
Sebagai sampel untuk stage I dan stage II telah terpilih : 1.
Kabupaten Aceh Besar, dengan Kecamatan-Kecamatan : a. Seulineum; b. Peukan Bada; c. Parui Imarah,
2.
Kabupaten Aceh Barat, dengan Kecamatan-Kecamatan: a. K a w a i X V I ; b. Samatiga; c. Johan Pah'awan.
3.
Kabupaten Aceh Selatan, dengan Kecamatan-Kecamatan : a. Tapak Tuan; b. Labuhan H a j i ; c. Blangpidie.
4.
K a b upaten Pidie, dengan Kecamatan-Kecamatan ; a. Simpang Tiga; b. Mutiara; c. Meureudu.
5.
Kabupaten Aceh T i m u r , dengan Kecamatan-Kecamatan: a. Simpang U ü m ; b. Manyak Payed; c. Karang Baru.
6.
Kabupaten Aceh Tengah, dengan Kecamatan-Kecamatan : a. Kota; b. Bebasan; c. Pagasing.
7.
Kabupaten Aceh Tenggata, dengan Kecamatan-Kecamatan : a. Bambel; b. Babussalam; c. Lawe Sigala-gala.
Selanjutnya pemilihan sampel Stage III dan Stage I V dilakukan dilapangan setelah diadakan konsultasi seperlunya dengan Camat/Kepala Desa masing-masing Kecamatan sampel/desa sampel. Sebagai hasil dari penarikan sampel Stage III dan Stage I V , telah terpilih tiga desa sampel dalam tiap-tiap Kecamatansampel dan lima orang kepala keluarga dalam tiap-tiap desa sampel. Data-data yang dipergunakan dalam penelitian/research ini adalah data primair dan data sekundair. A d a p u n data primair dikumpulkan dari daerah 21
kecamatan sampai kedesa-desa, sedangkan data sekundair dikumpulkan didaerah tingkat I dan tingkat II dalam Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Sesuai dengan tujuannya pene'itian i n i mempergunakan methode deskriptif dan untuk mendapatkan data-data yang diperlukan itu, Team penelitian mempergunakan tehnik komunikasi langsung, yaitu dengan melakukan interview (wawancara) pribadi. Oleh karena itu diperlukan beberapa orang renaga (dosen dari mahasiswa Fakultas H u k u m dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Syiah Kuala), yang akan bertindak sebagai interviewer, masing-masing sebagai supervisor dan enumerator. Mengenai respondent yang akan diinterview didaerah sampel ia'ah: Bupati, Ketua Pengadilan Negeri, Kepala Kejaksaan Negeri, Kepala Kepolisian Resort, Kepala Perwakilan Departemen Agama Kabupaten, Ketua Mahkamah Syariah, Camat, Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, K e u c h i k / K e p a l a Kampung dan Kepala-kepala keluarga (rakyat umum). Adapun jumlah respondent pada setiap daerah sampel dapat dilihat dalam lampiran I. 6.
Garis besar tentang prosedur pelaksanaan
penelitian.
Penelitian i n i dilakukan oleh suatu team penelitian yang terdiri dari Dosen tetap/tidak tetap pada Fakultas H u k u m dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh, yang susunan personalianya adalah sebagai berikut: Penasehat:
Dekan Fakultas H u k u m dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Syiah Kuala.
Ketua
Drs. A b d . G a n i K a r i m .
Sekretaris : Bendahara:
Abdullah Ahmad, S H . Tjut Fauziah Djum'at, S H .
Anggota-anggota:
1.
T. Gaza'i, S H .
2.
M . H u s i n Ahmad, S H .
3
M . Dhany, S H .
4.
Zakaria Samin, S H .
5.
D i n Muhammad, S H
6.
Ishak, S H .
dan dibantu oleh S (de'apan) orang mahasiswa tingkat I V dan tingkat V Fakultas H u k u m dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Syiah Kuala, sebagai enumerator. Menurut rencana penelitian (research-design) yang telah disusun untuk pertama kalinya, tahap I penelitian seyogyanya dimulai pada tanggal 1 Januari 1973 tetapi oleh karena satu dan lain hal, tahap I (persiapan) penelitian i n i baru dimulai pada tanggal 1 M e i 1973. Tahap persiapan i n i memakan waktu selama 2 (dua) bulan, dari tanggal 1 M e i 1973 sampai dengan 30 J u n i 1973. Dalam tahap i n i telah dilakukan penelitian-penelitian dalam bidang literatur, untuk menemukan keterangan-keterangan mengenai segala sesuatu yang relevant 22
dengan masalah yang hendak diteliti, yaitu Pengaruh-Pengaruh Agama terhadap H u k u m Pidana. Selanjutnya disusun questionaire dan meng up-grade para enumerator dan supervisor serta menentukan jadwal pelaksanaan penelitian dilapangan Tahap berikutnya sebagai tahap kedua, para supervisor/enumerator di drop kedaerah-daerah sampel untuk mengumpulkan data-data ptimair dan sekundair yang ada didaerah Tingkat II. Tahap i n i memakan waktu selama 2 (dua) minggu (termasuk waktu perjalanan pulang pergi) dan berlangsung dari tanggal 1 Juli 1973 sampai dengan 15 Juli 1973. Dalam tugas mengumpulkan data-data i n i , para anggota team dibagi menjadi 8 (delapan) kelompok, yang masing-masing kelompok d i p i m p i n oleh satu orang supervisor dan dibantu oleh satu orang enumerator. Tiap-tiap kelompok mengunjungi satu daerah sampel kabupaten, kecuali untuk sampel Kabupaten Aceh Besar yang dikunjungi oleh dua kelompok, yang masing-masing kelompok terdiri dari dua orang supervisor dan satu orang enumerator.
Kelompok-kelompok itu ialah: Kelompok I
Kelompok II
:
:
1.
T. Gazali, S H .
2.
Tjut Fauziah Djum'at, S H .
3.
Ali
1.
D i n Muhammad, S H .
2.
I s h a k,
Sulaiman.
SH.
3. Yusniran Yunus. Kelompok I dan Kelompok II mengumpulkan data-data dalam sampel Kabupaten Aceh Besar (termasuk K o t a Madya Banda Aceh, ibukota Kabupaten Aceh Besar berada di Banda Aceh). Kelompok III
:
1. 2.
daerah karena
Thaib Husein, S H . M . Dahlan, mengumpulkan data-data dalam daerah sampel Kabupaten Aceh Barat.
Kelompok I V
:
1.
Drs. A b d . G a n i
2.
H a l i m Tosa, mengumpulkan data-data dalam dae-
Karim
rah sampel Kabupaten Aceh Kelompok V
Kelompok V I
:
:
Selatan.
1.
M . H u s i n Ahmad, S H .
2.
A b d u l Muis, mengumpulkan data-data dalam daerah sampel Kabupaten Pidie.
1.
Abdullah
Ahmad, S H .
Sudirman
Basri,
2.
mengumpulkan
data-data
dalam
daerah sampel Kabupaten A c e h T i m u r . 23
Kelompok V I I :
1.
Zakaria Samin, S H .
2.
R i d w a n Rani, mengumpulkan data-data dalam daerah Sampel Kabupaten Aceh Tengah.
Kelompok V I I I :
L M . Dhany, S H . 2. Hasballah Hamzah, mengumpulkan data-data dalam daerah sampel Kabupaten Aceh Tenggara.
Dalam mengunjungi daerah-daerah sampel yang relah ditentukan itu. kelompok-kelompok terlebih dahulu menghubungi B u p a t i / K e p a l a Daerah T i n g kat II yang bersangkutan, yang merupakan pejabat yang tertinggi didalam daerahnya, dan selain dari pada itu sebagai atasan langsung dari para Camat/ sampel kecamatan. Setelah selesai mengadakan interview dengan pejabat-pejabat/respondentrespondent yang telah ditentukan yang berdomicili diibukota Kabupaten, yaitu Bupati, Kepala Kejaksaan Negeri, Ketua Pengadilan Negeri, Resort K e polisian, Kepala Perwakilan Departemen Agama Tingkat II, Ketua Mahkamah Syariah, maka supervisor dan enumerator mendata^gi kecarmtan-kecmatan yang telah ditentukan sebagai sampel. Atau kadang-kadang ada juga sebelum seluruh respondent dalam ibukota Kabupaten selesai diinterview, interviewer terjun kekecamatan terlebih dahulu dan kemudian baru diu'angi kembali untuk mengumpulkan data-data dari respondent yang berdiam dalam kota Kabupaten H a l ini diserahkan kepada kebijaksanaan supervisor dari masing masing kelompok. Sewaktu mengunjungi kecamatan-kecamatan yang telah dipilih sebagai sampel, biasanya disertai dengan rekomondasi dari B u p a t i / K e p a l a Daerah T i n g kat II yang bersangkutan, dan oleh sebab itu respons yang baik se'alu dipero'eh dari sampel yang didatangi. Supervisor mengada':an konsu'tasi seperlunya dengan Camat dan pemuka-pemuka lainnya dalam Kecamatan mengenai desa-desa (kampung, gampong) mana yang akan dipilih sebagai desa sampel. Sehabis mengadakan interview dengan Camat dan Kepala Kantor Urusan Agama K e camatan, interviewer mendatangi kampung-kampung yang telah ditetapkan sebagai desa sampel, desa-desa yang dipilih itu pada umumnya adalah desa-desa yang mempunyai ciri-ciri istimewa dalam bidang-bidang seperti historis, keagamaan, adat istiadat dan bidang-bidang sosial lainnya. Dalam tiap-tiap desa (gampong), diinterview kepala kampung (Keuchik) dan 5 orang kepala keluarga. Kepala-kepala keluarga yang diinterview adalah yang dianggap mempunyai pengertian yang baik terhadap masalah yang sedang diteliti. Sesudah data-data i n i terkumpul semuanya ke'ompok-ke'ompok kembali ke Banda Aceh dan dimulailah tahap ke-III dari kegiatan penelitian i n i , yaitu tahap pengolahan data dan penulisan laporan. Kegiatan dalam tahap ini dibagi menjadi dua bahagian yaitu tahap pengo'ahan data dan tahap penulisan laporan. Tahap pengo'ahan data memakan waktu 1'/, bulan, yaitu dari tanggal 16 J u ' i 1973 sampai dengan 31 Agustus 1973. 2-1
Bahan-bahan/data dari tiap-tiap kelompok telah terlebih dahulu disiapkan oleh masing-masing kelompok dengan jalan membuat daftar-daftar data/laporan sementara. Berdasarkan hasil laporan sementara dari kelompok-kelompok i n i , team penelitian menyusun data dalam satu organisasi dan mengolahnya menurut suatu sistimatik yang baik. Kemudian team penelitian membahas dan mendiskusikannya, sehingga diperoleh suatu ikhtisar kesimpulan sebagai hasil dari pengujian atau penilaian terhadap apa yang diselidiki. Selesai tahap pengolahan data tersebut, barulah dimulai tahap penulisan laporan i n i , yang direrxanakan memakan waktu selama dua bulan, yaitu dari tanggal 1 September 1973 sampai dengan 31 Oktober 1973. Tetapi selagi laporan i n i sedang ditulis, beberapa anggota inti dari team penelitian i n i terpaksa meninggalkan Banda Aceh, dimana Saudara T. Gazali, S H . berangkat ke A m e r i k a Serikat untuk keperluan tugas belajar selama 14 bulan, Saudara M . H u s i n Ahmad, S H . selaku Dekan Fakultas H u k u m dan Pengetahuan M a syarakar Universitas Syiah Kuala, ke Jakarta dalam rangka up-grading Ilmu K r i m i n o l o g i dan rapar^kerja Dekan-Dekan Fakultas H u k u m Universitas Negeri se Indonesia, Saudai ^BVbdullah Ahmad, S H . mengikuti kursus Perencanaan Sosial Pembangunan ^Tierah di Bali, Saudara D i n Muhammad, S H . , Saudara Ishak, S H . masing-masing sebagai K e t u a / H a k i m Pengadilan Negeri Banda Aceh merangkap sebagai Dosen tidak tetap pada Fakultas H u k u m dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Syiah Kuala, telah pula diselingi dengan tugas-tugas lain dalam lingkungan Departemen Kehakiman, dan sebagainya. Sungguhpun demikian, laporan i n i terus dilanjutkan oleh anggota-anggota team yang tinggal sementara itu juga mengadakan diskusi-diskusi sampai akhirnya diperoleh suatu final draf. D a n laporan lengkap i n i — yang selesai ditulis setelah melampaui waktu hampir 2 bulan dari rencana semula — merupakan pertanggungan jawab terakhir dari team penelitian i n i mengenai prosedur yang telah ditempuh selama melaksanakan penelitian i n i .
25
B A B
—
II
HASIL-HASIL STUDI BIBLIOGRAFI: BEBERAPA DASAR PEMIKIRAN MENGENAI PENGARUHPENGARUH AGAMA TERHADAP H U K U M PIDANA
1.
Peranan Aga?na dalam kehidupan
Kenegaraan, Kemasyarakatan
dan
Hukum.
a. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, memberikan kesempatan yang baik bagi bangsa Indonesia, untuk m-megang kekuasaan Negara dan mengatur pemerintahan sendiri bagi keperiuan hajat hidup rakyat banyak yaitu bangsa Indonesia. Negara yang berazaskan kerakyatan yaitu dari rakyat oleh rakyat, dan untuk rakyat, ada'ah menunjukkan bahwa negara yang diproklamirkan itu adalah sebuah negara demokrasi. Proklamasi tersebut hanya merupakan momentum yang datangnya tidaklah dengan tiba-tiba, tetapi adalah hasil perjuangan yang berabad-abad dengan penderitaan dan pengorbanan yang tidak sedikit. M u l a i saat Proklamasi sampai Indonesia sangat peka dan sensitif lakan politik yang timbul dinegara memperjuangkan maksud dan tujuan politik.
sekarang terlihar bahwa masalah agama d i sekali sifatnya. K i t a melihat bahwa pergokita, agama selalu dijadikan alasan dalam tertentu bagi kemenangan sesuatu golongan
Sebab itu Pemerintah sela'.u menghadapi masaalah yang amat peka i n i . Dalam hal ini pula kita melihat bahwa Pemerintah kadang-kadang terpaksa bertindak keras dalam mempertahankan kewibawaan Pemerintah dan kelangsungan hidup negara. Betapapun Pemerintah telah mengambil tindakan-tindakan dan menempuh kebijaksanaan-kebijaksanaan tapi keadaan bukan bertambah baik tetapi bertambah ruwet dan sulit menemukan penyelesaian. Seperti api dalam sekam, sekali-sekali menghembus bunga api yang jauh memanaskan apa yang ada disekelilingnya, begitu pu\a keadaan masaalah agama dalam tata kehidupan bangsa Indonesia sampai sekarang i n i seperti duri da'am daging yang memerlukan penyelesaian dengan segera. Dalam keadaan b?.gaimanapun agama harus mendapat tempat yang wajar dalam kehidupan bernegara, baik dalam kehidupan po'itik dan kemasyarakatan maupun da'am bidang sosial, ekonomi dan hukum. b. Sejarah membuktikan bahwa semenjak dahulu, baik pada zaman prae historie maupun sesudahnya, bangsa Indonesia sudah hidup secara berkelompok dalam tata susunan desa dan peradatan atas dasar musyawarah dan gotong royong. Keadaan i n i membcri dasar bagi tata sasunan kehidupan seterusnya secara tertib dan teratur. Dalam hidup beragama pada mulanya mereka menyembah arwah arwah kekuatan alam dan benda-benda dalam keyakinan yang berbentuk animisme dan dinamisme. Mereka sadar dan yakin adanya kekuatan gaib yang dapat menentukan dan memp;ngaruhi kehidupan mereka. Mereka mmyembah dan memujanya dan menyampai27
kan keinginan dan harapan bagi kesejahteraan mereka.
dan kelangsungan hidup
Dengan datangnya agama H i n d u beserta ajaran tentang dewa-dewa, menyebabkan mereka lebih yakin akan adanya kekuatan gaib sebagai T u h a n yang patut disembah walaupun dalam bentuk polytheisme. Mereka dapat menerima agama ini dan mematuhi ajaran-ajarannya. Selanjutnya pada zaman berikutnya datang pula agama Budha membawa ajaran yang agak berbeda dengan ajaran agama H i n d u tentang Ketuhanan. Rakyat Indonesia juga dapat menerima agama ini dan antara penganut agama Budha dan penganut agama H i n d u dapat hidup berdampingan secara damai s;bagai sikap to'eransi yang dipusakai bangsa Indonesia turun temurun. Pada masa tersebut timbullah kerajaan-kerajaan seperti kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan antara abad ke-VII dan ke-XII yang merupakan pusat perkembangan agama di Asia Tenggara. Unsur-unsur Ketuhanan, kebudayaan, politik, sosial dan ekonomi berkembang dengan baik. Jatuhnya kerajaan Sriwijaya pada lebih kurang abad ke-XIII, timbullah kemudian kerajaan Majapahit di Jawa T i m u r yang dapat mempersatukan seluruh nusantara dan daerah-daerah sekelilingnya sebagai wilayah negara. Keadaan inipun dapat memberikan kehidupan yang rukun antara penganut-penganut agama H i n d u dan penganut agama Budha; dimana sebagaimana kita ketahui antara penganut-penganut agama tersebut ditempat asalnya (India) saling bermusuhan. Iklim dan lingkungan yang sangat strategis dan romantis memberikan (cepada bangsa Indonesia kesadaran reügious yang mendalam. Justru kesadaran religious yang mendalam i n ü a h sebagai modal utama bagi terbentuknya bangsa Indonesia yang bersatu meliputi wilayah yang sangat luas dari Sabang sampai ke Merauke. Akhirnya datanglah agama Islam dan agama Kristen yang memberikan dasar-dasar ke-Tuhanan lebih jelas dan mantap dalam bentuk monotheisme dengan ajaran "Ke-Tuhanan Y a n g Maha Esa". W a l a u p u n dasar ajaran tentang Ke-Tuhanan antara agama Islam dan agama Kristen agak berbeda tetapi kedua agama ini termasuk agama-agama samawi yang pada asalnya mempunyai kepercayaan yang sama tentang adanya A l l a h sebagai Tuhan dan adanya Rasul-Rasul, Malaikat dan H a r i Kiamat, sorga dan neraka dengan berpedoman kepada KitabK i t a b Suci yang turun dari Allah dengan perantaraan para Rasul. Jadi sepanjang sejarah kehidupan bangsa Indonesia mereka hidup dengan tata kehidupan yang berazaskan kepercayaan kepada T u h a n Y a n g Maha Esa memelalui proses zamannya yaitu mulai dari bentuk-bentuk Animisme, Dinarnism Polytheisme dan Monotheisme. Memang secara socio-kulturil kehidupan yang demikian i n i dapat menjamin kelangsungan bangsa Indonesia dalam corak/type atau wajah tersendiri dan membentuk nilai-nilai-hidup yang khusus sebagai m i l i k bangsa. Dalam sejarah kita melihat bahwa pahlawan-pahlawan bangsa yang juang bagi kemerdekaan, mereka disamping sebagai p e m i m p i n bangsa, mereka ada'ah pemuka-pemuka agama yang taat. Dengan keyakinan dan keagamaan inilah mendorong mereka b,erjuang untuk kemerdekaan nusa 28
berjuga rasa dan
bangsa. tanpa mengharapkan balas jasa tetapi semata-mata menjalankan kewaji ban agama yang mereka anut. Justru dalam masyarakat pun kita lihat disamping adanya formil leadej terdapat pula charismatis leader, yang besar pengaruhnya terhadap kepemim pinan didalam tata kehidupan kemasyarakatan, yang memegang posisi tertent dalam bidang keagamaan dan adat. c.
Kebutuhan
agama bagi kehidupan
bermasyarakat
dan
bernegara.
K i t a menyadari sepenuhnya bahwa kehidupan jasmaniah saja, belum mc rupakan kehidupan yang sesuai dengan naluri kemanusiaan, dimana manusi sebagai insan yang diritahkan oleh Maha Pencipta menyelesaikan problemf problema yang timbul dalam lingkungannya. Tata kehidupan yang sangat komplek memerlukan tata tertib dimana tin^ kah laku manusia diatur didalam norma-norma yang positif dan konkrit, met cakup segala macam bidang kehidupan masyarakat itu. Tegasnya suatu komple norma-norma yang sesuai dengan kenyataan dalam kehidupan dan lingkunga hidup manusia. Dalam lingkungan masyarakat itu timbul pula segolongan kecil yang b a usaha supaya norma-norma tersebut dapat berlalu dalam lingkungan hidup m; syarakar tadi. Golongan kecil i n i apakah yang disebut pemimpin ataukah yan disebut penguasa, yang bertindak atas dasar kekuatan/kekuasaan yang ada pi danya. D a r i mana asal kekuatan/kekuasaan itu didapat dan atas dasar apa pi laksanaan rugas dan wewenang i n i dilakukan tidaklah perlu dibicarakan disin Tetapi yang jelas dalam tata kehidupan manusia dilingkungan masyarakat, bahw segolongan berkuasa atas segolongan lainnya. Penguasa menghendaki dan berdaya upaya agar supaya norma-norma tac dipatuhi oleh seluruh anggota masyarakat yang berada dilingkungannya tanp kecuali, dan bagi yang tidak mematuhi akan dikenakan sanksi yang setimpa Berjalan atau tidak norma-norma tadi sebagai peraturan hukum yang vali adalah bergantung kepada suasana, situasi serta kondisi masyarakat; apakah norma norma tersebut dipatuhi karena takut kepada penguasa, atauka karena kesadaran sendiri bahwa sebagai anggota masyarakat sudah semestin) mematuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam lingkungannya, ataupun m; syarakat sudah cukup matang guna menyadari akan kegunaan dari pada ketentt an-ketentuan tersebut. H a l i n i tidak saja yang berhubungan
dengan
perintah-perintah.
A p a b i l a kita telah membicarakan soal tersebut diatas berarti kita tela membicarakan rentang nilai-nilai manusia, baik dalam hidup secara individu maupun dalam tata kehidupan pribadi tiap-tiap individu sebagai anggoi masyarakat. Berarti kita berbicara tentang tingkah laku, moral, alam pikira: pandangan hidup, kegemaran dan sebagainya yang berhubungan dengan keh dupan rohaniah dari pada tiap-tiap individu. Dasar negara kira Pancasila disamping memberikan daya hidup yang be sifat jasmaniah (materiil), juga mendorong mewujudkan tata kehidupan rohania 2
(spirituel). Kedua sifat dari pada tata kehidupan i n i demikian erat hubungannya satu sama lainnya. Kehidupan rohaniah adalah bersendikan kepercayaan dan keyakinan terhadap sesuatu yang serba luhur dan suci dan serba gaib. Inilah rasa keagamaan. Rasa keagamaan muncul bersama-sama dengan munculnya manusia sebagai individu individu yang kemudian mewujudkan kelompok-kelompok; yang dimulai dari ke'ompok kecil keluarga dan kelompok terbesar yang dinamakan bangsa. Memang ada yang mengatakan bahwa agama adalah merupakan hasil perkembangn dari sumber kerohanian dimana adanya karsa (kehendak) pada manusia maka merindukan hal-hal yang baik, mencari dan berusaha mendapatkan cara bagaimana sebaik-baiknya manusia harus berbuat. Manusia pada mulanya mempunyai kebebasan-kebebasan mutlak, bebas berbuat sekehèndaknya, tetapi sumber-sumber kerohanian memberikan jaluranjaluran yang wajar yang berdasarkan alasan dan tujuan. Dalam tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara diperlukan keadaan atau kondisi seperti i n i , supaya tiap-tiap individu baik sebagai anggota masyarakat maupun sebagai warga negara menyadari akan segala macam tugas dan haknya masing-masing tanpa menimbulkan ketegangan-ketegangan yang dapat mengganggu tata kehidupan bersama. d.
Funk si dan Peranan
Agama
bagi Pembangunan
Bangsa
dan
pembinaan
karakter. Dalam suatu negata dimana penduduk warga negara yang merupakan subyek negara, menyerahkan kekuasaan/kedaulatan kepada penguasa untuk menyelenggarakan pemerintahan negara, berkewajiban mengatur tingkah laku warga negaranya yang berbentuk atau berwujud nilai-nilai kehidupan yang mencerminkan jiwa dari pada bangsa. Sifat-sifat kejiwaan memancarkan corak atau type sebagai wayah dari pada suatu bangsa untuk mendapatkan suatu negara yang kuat maka diperlukan bangsa yang kuat sebagai pendukungnya. Kekuatan bangsa tidak hanya diukur pada keadaan jasmaniahnya saja tetapi juga harus dilihat pada mental atau rohaninya. Pembangunan dan pembinaan bangsa mencakup bidang jasmaniah dan rohaniah materiil dan spirituel. Suatu tingkah laku jasmaniah dipengaruhi oleh fakror rohaniah yang memberi daya dan kekuatan bagi terlaksananya pekerjaan jasmaniah dengan baik. Tak dapat dimungkiri lagi bahwa faktor mental i n i merupakan faktor yang menentukan bagi terwujudnya sepak terjang dari pada jasmaniah itu sendiri. Manusia secara biologis mempunyai keinginan atau nafsu-nafsu sebagaimana juga terdapat pada hewan. A k a n tetapi Tuhan memberikan kelebihankelebihan pada manusia, disamping bentuknya yang baik, juga diberikan akal pikiran. Dengan akal pikiran inilah manusia dapat menguasai alam sekeliling dan mengatur hidup mereka. Seperti juga hewan, maka secara instinctief manusia juga mempunyai nafsunafsu seperti yang tetdapat pada hewan. Nafsu-nafsu pokok yang bersifat biologis itu adalah: d—1. nafsu mementingkan diri sendiri; d—2. d—3. 30
nafsu berkembang biak; nafsu sosial/nafsu memperjuangkan
hidup.
Andaikata pada manusia hanya terdapat 3 macam nafsu-nafsu tersebut, maka tentu saja tata kehidupan manusia adalah seperti kehidupan binatang. Ketiga-tiga nafsu-nafsu tadi tak terbatas keadaannya dan tidak dapat diduga cara bekerjanya, tegasnya daya gerak nafsu-nafsu tadi adalah tanpa batas sama sekali. A k a n tetapi masih ada kelebihan pada manusia, yaitu rasa religious atau rasa keagamaan yang merupakan tali kendali terhadap nafsu-nafsu yang lain yang tiga tadi. Rasa keagamaan tertanam dilubuk hati tiap-tiap manusia. N a m u n demikian tidaklah setiap orang iru rasa keagamaannya dapat hidup dan berkembang dengan baik secara otomatis dan wajar. Tetapi ada juga diantara manusia yang rasa keagamaannya beku dan tidak dapat tumbuh dengan baik disebabkan oleh karena ditutupi oleh nafsu-nafsu yang bergerak dan kerkembang dengan cepat dan tak dapat dikendalikan oleh rasa religious tadi. Kendatipun demikian rasa keagamaan yang ada pada diri tiap-tiap manusia itu, tidaklah mati atau padam sama sekali, tetapi dia tetap ada dan hidup sebagai benih yang menantikan tempat persemaian yang cocok atau tanah yang subur menantikan hilangnya tutup yang menghalangi pertumbuhannya. Oleh karena rasa keagamaan itu universil sifatnya maka tidaklah begitu sukar untuk menghindarkan manusia terhadap adanya rasa keagamaan i n i . Seperti juga apa yang telah kami utarakan dalam pembahasan sebelumnya bahwa pada manusia itu ada kebebasan-kebebasan sebagai hak azasi manusia yang fundamentil. Disamping itu pula manusia mempunyai kekuasaan yang bersifat otonomi purbadiri. Sebab itu pula dalam segala macam kegiatan dan aktifitas manusia hatus dibatasi. Manusia juga menyadari akan keadaan i n i seperti didalam filsafat hukum dikatakan bahwa didalam diri manusia itu ada micronegara, yang maksudnya bahwa didalam tiap-tiap diri manusia itu ada kekuasaan yang melarang, menganjurkan dan mewajibkan. Dengan adanya sumber-sumbei kerohanian ini maka terdapat pernilaian pada diri sendiri, yakni mengenai baik dan buruk dalam tingkah laku dan perbuatan. Perkembangan dari pada keinginan dan kehendak menghasilkan ketentuan-ketentuan dan norma-norma tata susila dan kesadaran akan menginsafinya. Agama merupakan tempat timbunan norma-norma agama dan ketentuan kesusilaan.
ketentuan-
Seperti telah kita ketahui bahwa ajaran agama adalah percikan dari Tuhan yang memancarkan humaniteit, kebaikan dan moral. Rasa keagamaan merupakan hasil perkembangan kersa/kehendak yang cinta akan tujuan yang baik, Ajaran agama memerintahkan penganut-penganutnya supaya berbuat yang baik dan supaya menjauhkan diri dari segala macam perbuatan dan tingkah laku yang buruk. Oleh karena itulah rasa keagamaan dapat mencegah manusia berbuat yang tidak baik dan selalu bekerja serta berusaha mendaparkan nilai-nilai kebajikan dalam bentuk amaliah bagi kepentingan nusa bangsa serta kemanusiaan. e. Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah sebuah negara yang berdasarkan Pancasila. Pancasila tidak hanya sebagai dasar filsafat negara, tetapi juga merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia atau juga disebut jiwa atau kepribadian bangsa Indonesia. D i a juga merupakan sumber dari segala sumber hukum, atau juga sebagai ideologi negara. 31
Sebagai dasar filsafat negara, ia telah menjadi suatu landasan bangunan negara Indonesia yang kuat; sebagai filsafat hidup bangsa ia telah merupakan rumusan yang pokok dari tata kehidupan bangsa Indonesia; sebagai sumber dari segala sumber hukum dia telah meletakkan garis yang tegas, bahwa peraturan tata tettib kehidupan bangsa harus bersumber kepadanya dan sebagai ideologi negara ia merupakan ideologi nasional yang mengatasi paham golongan dan perseorangan. Pancasila sebagai jiwa bangsa adalah pemancaran dari jiwa religious dari bangsa Indonesia; dimana Pancasila telah meletakkan Dasar Ke-Tuhanan sebagai sila yang pertama, yaitu: Ke-Tuhanan Y a n g Masa Esa. Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa : "1. 2.
Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan Y a n g Maha Esa. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu".
Garis-Garis Besar Haluan N e g a r a : Bab II Pola Dasar Pembangunan Nasional. huruf C angka 5 menyatakan: "Azas Peri kehidupan dalam keseimbangan, ialah keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yaitu antara kepentingan-kepentingan keduniaan dan akhirat, antara kepentingan materiel dan spiritueel, anrara kepentingan jiwa dan raga, antara kepentingan individu dan masyarakat, antara kepentingan peri kehidupan darat, laut dan udara, serta antara kepentingan nasional dan internasional". Bab II Modal dasar dan faktor-faktor dominan angka 1 (satu) Modal Dasar huruf e menyebutkan bahwa: "Modal rohaniah dan Mental, yaitu kepercayaan dan ketaqwaan kepada Tuhan Y a n g Maha Esa merupakan tenaga yang tak ternilai harganya bagi pengisian aspirasi-aspirasi bangsa. Juga kepercayaan dan keyakinan bangsa atas kebenaran fa'safah Pancasila yang dapat membawa bangsa menuju cita-citanya". Bab III Pola Pembangunan Jangka Panjang huruf B , angka 15 b, Bidang Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Y a n g Maha Esa, Sosial Budaya, juga disebutkan: "Atas dasar kepercayaan Bangsa Indonesia terhadap Tuhan Y a n g Maha Esa maka kehidupan manusia dan masyarakat Indonesia harus benar-benar selaras dalam hubungannya dengan Tuhan Y a n g Maha Esa, dengan sesama dan alam sekitarnya serta memiliki kemantapan, keseimbangan dalam kehidupan lahiriah dan batiniah serta mempunyai jiwa yang dinamis dan semangat gotong royong yang berkembang, sehingga sanggup serta mampu untuk melanjutkan perjuangan bangsa dan mencapai tujuan nasional dengan memanfaatkan landasan ekonomi yang seimbang. Bentuk-bentuk kebudayaan sebagai pengejawantahan Pribadi manusia Indonesia, harus benar-benar menunjukkan nilai hidup dan makna kesusilaan sedangkan kebudayaan itu sendiri harus merupakan penghayatan nilai-nilai yang luhur sehingga ridak dipisahkan dari Manusia Budaya Indonesia sebagai pendukungnya". 52
Bab I V Pola U m u m Pelita Kedua, huruf D , A r a h dan Kebijaksanaan Pembangunan, b (kecil) Bidang Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yan^ Maha Esa, Sosial Budaya, mengenai agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhar Yang Maha Esa, dijelaskan sebagai berikut: "1
Atas dasar Kepercayaan Bangsa Indonesia terhadap Tuhan Y a n g M a h ; Esa maka peri kehidupan berkepercayaan rerhadap Tuhan Y a n g Mate Esa didasarkan atas kebebasan menghayati dan mengamalkan KeTuhanan Y a n g Maha Esa sesuai dengan falsafah Pencasila.
2.
Pembangunan Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Y a n g Mahs Esa ditujukan untuk pembinaan suasana hidup rukun dia:it.ira sesam; ummat beragama sesama penganut Kepercayaan terhadap Tuhan YantMaha Esa dan antara semua ummat yang beragama dan semua penga nut kepercayaan terhadap Tuhan Y a n g Maha Esa serta meningkatkar amal dalam bersama-sama membangun masyarakat.
3.
Diusahakan bertambahnya sarana-sarana yang diperlukan bagi pengem bangan penghidupan keagamaan dan ke-hidupan kepercayaan terhadat Tuhan Y a n g Maha Esa, termasuk pendidikan agama yang dimasukkar kedalam kurikulum disekolah-sekolah mulai dari Sekolah Dasar sam pai dengan Universitas-Universitas Negeri.
4.
Me'anjutkan usaha-usaha untuk meningkatkan pelayanan dan kelan caran penunaian ibadah haji bagi umat Islam sesuai dengan ajarar agama Islam, dan sesuai pula dengan kemampuan masyarakat".
Dengan berdasarkan ketentuan-ketentuan diatas, d i d a h m Negara R e p u b l i l indonesia memungkinkan pelaksanaan agama dalam tata kehidupan kemasya rakatan dan tata kehidupan kenegaraan. H a l i n i sesuai dengan dasar negara Pan casila dan Undang-Undang Dasar 1945, seperti yang telah dicantumkan diatas Problem yang harus dipecahkan sekarang adalah bagaimana melaksanakar terhadap apa yang telah digariskan didalam dasar negara, Undang-Undang Dasaj dan Garis-Garis Besar Haluan Negara serta ketentuan-ketentuan lain dan pe netapan menurut bidangnya masing-masing. Seperti kita ketahui bahwa rakyat Indonesia terdiri dari bermacam-macan suku dan berbeda-beda dalam bidang keyakinan dan kepercayaan satu sama lain juga adat istiadatnya. Perbedaan-perbedaan i n i menyebabkan agak sulit bagi Pemerintah dalan membuat aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang uniform sifatnya sehinggi dapat diperlakukan secara keseluruhan bagi masalah-masalah yang prinsip. N a m u n demikian apa yang telah digariskan oleh hikmat kebijaksanaan da lam permusyawaratan perwakilan, kiranya dapat memecahkan, mempersatukar dan merumuskan hal-hal yang prinsip berbeda-beda itu dengan baik. f. Jatuhnya kerajaan-kerajaan absolut d i Eropah pada abad terakhir diikut dengan hilangnya pengaruh agama terhadap Pemerintahan Negara sangat me nenrukan, malahan penobatan Raja harus direstui oleh Paus sendiri. Keadaar ini dimulai dengan timbulnya pemikiran baru supaya agama dipisahkan dar negara. Sebenarnya tidak d i Eropah saja keadaan i n i berlaku, tetapi juga benua
3:
benua lain. Lahirnya T u r k i Baru di bawah pimpinan K e m a l Attaturk adalah merupakan kenyataan ini. D i Indonesia pun pikiran-pikiran seperti i n i timbul dimana-mana sedikit banyaknya dapat mempengaruhi dalam pikiran sarjana kita. Lebih-lebih dizaman orde lama terhadap perkembangan hukum di Indonesia i n i sangat terasa. Lahirnya orde baru sebagai akibat dari pada jatuhnya orde lama bersamasama P K I , terlihat sikap loyal Pemerintah Orde Baru rerhadap perkembangan agama d i Indonesia yang memandang bahwa agama diperlukan dan dibutuhkan dalam tata kehidupan masyarakat Indonesia yang religious. Salah satu faktor yang memperkuat ketahanan nasional peranan agama sangat menentukan, lebihk b i h setelah G . 30. S . / P K I gagal merebut kekuasaan negara. Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila bukanlah sebuah negara Thcokrasi, tetapi juga agama merupakan salah satu faktor yang harus mendapat pcrhatian bagi tata kehidupan masyarakat Indonesia, baik untuk masa sekarang maupun untuk masa yang akan datang. Dasar Negara Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara memberikan kedudukan yang lebih luas bagi kehidupan dan perkembangan agama di Indonesia. Ternyata pula bahwa bangsa Indonesia menganut bermacam-macam agama dan negara mengakui agama-agama yang dianut oleh penduduk negara seperti yang telah dirumuskan dalam pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945. Rakyat Indonesia sebagai rakyat yang beragama menghendaki supaya beberapa unsur-unsur pokok yang secara umum terdapar dalam ajaran agama dapat diterapkan dalam peraturan-peraruran hukum positif yang diperlakukan bagi bangsa Indonesia sebagai Undang-Undang Nasional. K i t a menyadari dan mengakui bahwa hukum positif yang betlaku sekarang ini terutama dalam bidang H u k u m Pidana masih merupakan warisan kolonial yang tidak cocok dengan suasana kemerdekaan yang ada sekarang. Oleh karena bangsa Indonesia sudah lepas dari ikatan tatanan hukum kolonial, sudah semestinya pcraturan-peraturan hukum yang dibuat sendiri sesuai dengan hasrat hati nurani dari pada rakyat Indonesia yang berjiwa religious demi pertanggungan jawab kepada Tuhan Y a n g Maha Esa kelak. Memang secara juridis dan psychologis hal i n i dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan apa yang telah diutarakan sebelumnya. Tidaklah dimaksudkan supaya K i t a b - K i t a b Suci dari masing-masing agama yang diakui negara dijadikan K i t a b Undang-Undang, tetapi cukup kalau makna dan maksud yang tersirat didalamnya dirumuskan dengan kalimat dan kata-kata lain yang terdiri sesuai dengan dasar falsafah negara Pancasila. Sejalan dengan apa yang telah kami uraikan maka antara penguasa dan rakyat harus ada kontak dan pendekatan paham dan pandangan terhadap maksud dan tujuan tersebut. Proses pendekaran i n i dapat betjalan lancar sekiranya kedua belah pihak mau berkonsultasi melalui wakil-wakilnya yang ada d i D P R , sehingga semua 34
Disamping itu pula kita menyadari sepenuhnya bahwa kehidupan masyarakat tidaklah stads, tetapi dinamis sifatnya. Begitu pula peraturan-peraturan hukum yang hendak dibuat itu harus dapat mengikuti perkembangan dan kemajuan yang dicapai masyarakat agar supaya peraturan-peraturan hukum itu tidaklah ketinggalan zaman. Banyak orang mengira bahwa peraturan-peraturan hukum yang bersumber ajaran agama itu tidak dapat mengikuti perkembangan/kemajuan zaman. Tetapi sebenarnya tidak demikian, karena ajaran agama tidak memberi ketentuan-ketentuan yang mendetail kecuali dalam bidang peribadatan, tetapi hanya merumuskan hal-hal yang pokok saja secara konkrir. Dengan demikian mudah diikuti dan disesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang selalu bergerak dan berubah-ubah. Sebagaimana pula kita ketahui bahwa negara Republik Indonesia tidak secara tegas memisahkan agama dari negara sebagaimana agama sendiri tidak menghendaki yang demikian; agama tidak hanya mencakup peribadatan saja, tetapi juga mencakup semua bidang penghidupan. g. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang selalu hidup didalam rasa keagamaan yang kuat, yang memberikan corak/type sebagai wajah dari pada bangsa Indonesia. Dalam keadaan-keadaan bagaimanapun kedudukan bangsa Indonesia dalam bidang agama tetap kuat. Sepanjang sejarah kehidupan bangsa Indonesia mereka hidup dengan tata kehidupan yang berazaskan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui proses zamannya yaitu animisme, dynamisme polytheisme dan monotheisme. Nilai-nilai Nasional sebagai milik bangsa dengan organisasinya yaitu negara. Nilai-nilai ini terwujud didalam dasar negara Pancasila yang juga merupakan jiwa bangsa atau ideologi bangsa. Memang kita akui bahwa tiap-tiap bangsa adalah pengabdi yang loyal terhadap ideologi mereka sampai kadang-kadang dapat menimbulkan unsur-unsur fanatisme dimana kadang-kadang dapat pula menimbulkan konflik politik dan militer seperti Naziisme, Sionisme dan sebagainya. Bagi bangsa Indonesia ideologi negara yaitu Pancasila telah memberikan kemantapan bagi kondisi alamiah didalam tata kehidupan Nasional yang perlu dikembangkan dengan memberikan kedudukan yang wajar bagi agama-agama yang dianut oleh bangsa Indonesia dalam tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Agama menyingkap tabir kehidupan dunia dan akhirat dan memberikan kepada penganut-penganutnya janji yang merupakan balasan yang setimpal bagi tiap-tiap perbuatan yang telah mereka lakukan. Sebab itu setiap orang yang taat kepada agamanya berusaha mencapai kebahagiaan hidup didunia dan diakhirat dan berusaha mendekatkan diri dengan Maha Pencipta dan menghendaki keridhoannya. Agama juga membentuk manusia susila dan berbudi pekerti yang luhur serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Manusia yang sehat jasmaniahnya dan sehat pula rohaniahnya, berpikiran maju, berpandangan luas dan obyektif, optimis dalam menjalani hidup serta mempunyai daya pikir kreatif, cinta kepada nusa dan bangsa, juga bersedia 35
berkorban untuknya. Pada umumnya kita melihat diabad-abad sebelum masehi dan sesudahnya banyak negara-negara yang mencantumkan dalam UndangUndang Dasar pengakuan rerhadap adanya Tuhan Y a n g Maha Esa dan memberikan kedudukan yang lebih tinggi bagi agama dalam tata kehidupan bernegara. Tentu saja penguasa negara berkewajiban menjaga dan memelihara keyakinan dan perasaan keagamaan warga negara pada khususnya dan penduduk pada umumnya, sehingga semua penduduk negara dapat melaksanakan tugas agamanya dengan baik dengan memberikan bantuan moril dan materiel bagi kehidupan agama-agama yang diakui oleh negara. Memang adalah peradaban yang tinggi dan mulia bila sesuatu bangsa selalu berada dalam tata kehidupan agama yang kuat. Kelalaian dan kealpaan terhadap agama dapat menjatuhkan tingkat kesusilaan dari penduduk dan dapat merendahkan martabat bangsa. Oleh karena itu kehidupan beragama harus dipelihara dan dibina terusmenerus dari satu generasi kegenerasi kemudian dalam rangka pembangunan bangsa dan pembinaan karakter bangsa secara merata tanpa putus-putus dengan penuh kesungguhan dan itikad baik. 2.
Dasar kehidupan
Hukum
di
Indonesia.
Apabila kita hendak meninjau dasar kehidupan H u k u m di Indonesia, maka uraiannya haruslah bertitik tolak dati dasar Negara Pancasila, Pembukaan dan Batang T u b u h Undang-Undang Dasar 1945. Karena Pancasila adalah Dasar Negara Republik Indonesia sejak didirikan hingga sekarang, dan sejak itu pula Undang-Undang Dasar 1945 disahkan, dimana Pancasila dituangkan dalam Pembukaan dan menjiwai Undang-Undang Dasar 1945. Sesuai dengan sejarah kelahirannya, maka Pancasila sebagai dasar negara dimaksudkan sebagai prinsip-prinsip yang menjadi "fundamen, filsafat, fikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat, yang sedalam-dalamnya untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi". Kalau Pancasila adalah dasar negara atau landasan konsepsionil, maka U n dang-Undang Dasar adalah H u k u m Dasar adalah H u k u m Dasar tertulis yang memuat aturan-aturan pokok yang mengenai berbagai masalah kenegaraan dan merupakan pula landasan strukturil unruk terwujudnya cita-cita yang terkandung dalam dasar negara Pancasila. Aturan-aturan pokok yang dimuat dalam UndangUndang Dasar ini tidak boleh bertentangan dan bahkan harus merupakan realisasi, perincian dari prinsip-prinsip yang terkandung dalam dasar negara Pancasila. Dipandang dari segi tatanegara, maka Pancasila dalam Pembukaan UndangUndang Dasar 1945 adalah hasil terakhir "kompromi" dan "penyempurnaan" Pancasila sejak dicetuskan sampai terbentuknya negara Republik Indonesia, sejak berkedudukan sebagai "usul" atau "calon" dasar negara sampai benar-benar menjadi "dasar negara". Oleh karena Pancasila tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, maka Pancasila merupakan bahagian dari Pembukaan dan kedudukannyapun tergantung pada Pembukaan Undang-Undang D a sar 1945. 36
Mengenai kedudukan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 i n i , baiklah kira tinjau pendapat Prof. M r . Drs. Notonegoro, G u r u Besar Filsafat Universitas Gajah Mada Yogyakatta, yang telah berhasil membahas secara "ilmiah" sehubungan dengan kedudukan Pancasila sebagai dasar Negara dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Prof. Notonegoro, setiap tertib hukum itu adalah merupakan suatu sistim yang tersusun secara bertingkat-tingkat (hierarchies). Peraturan-peraturan hukum yang tingkatnya lebih rendah dalam hal berlaku dan isinya, tergantung dari dan dibatasi oleh peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi. Oleh karena itu H u k u m Dasar, baik yang tertulis (Undang-Undang Dasar), maupun yang tidak tertulis (kebiasaan, convention), tidaklah merupakan peraturan hukum yang tertinggi Diatas H u k u m Dasar itu masih ada dasar-dasar pokok bagi hukum dasar itu, yang dalam hakekatnya terpisah dari H u k u m Dasar. Dasar-dasar pokok yang dimaksudkan dinamakan pokok kaedah negara yang fundamentil (staatsfundamentalnorm). Kaidah negara yang fundamentil i n i , da'am hukum mempunyai hakekat dan kedudukan yang tetap, kuat dan tak berubah bagi negara yang dibentuk dan tidak dapat dihapuskan atau dirubah d:ngan jalan hukum. Selanjutnya menurut Prof. Notonegoro sesuatu kaidah untuk dapat disebut staatsfundamentalnorm, haruslah memenuhi syarat-syarat baik dalam hal terjadinya maupun mengenai isinya. Dalam hal terjadinya suatu kaidah untuk dapat disebut pokok kaidah negara yang fundamentil haruslah ditentukan oleh pembentuk negara dan terjelma dalam suatu bentuk pernyataan lahir (ijab kabul) sebagai penjelmaan kehendak pembentuk negara untuk menjadikan hal-hal tertentu sebagai dasar negara yang dibentuk. Mengenai isinya, staatsfundamentalnorm, bentuk, yaitu:
memuat dasar negara yang d i -
a.
atas dasar cita-cita kerohanian (azas kerohanian
negara),
b.
atas dasar cita-cita negara (azas politik negata), dan
c. atas dasar tujuan negara, dan disamping ketiga hal i n i isi suatu staatsfundamentalnorm menurut Prof. Notonegoro, harus pula memuat ketentuan-ketentuan tentang akan diadakannya Undang-Undang Dasar negara. Ketentuan yang terakhir i n i merupakan sumber hukum dari pada Undang-Undang Dasar Negara. Kesimpulannya menurut Prof. Notonegoro, suatu staatsfundamentalnorm isinya selain memuat tentang azas-azas kerohanian, politik dan tujuan negara, harus pula memuat ketentuan diadakannya Undang-Undang Dasar negara. Sebagaimana telah dikemukakan diatas, Undang-Undang Dasar adalah landasan strukturil dari pada negara dan pemerintahan yang dijiwai oleh pokokpokok pikiran yang terkandung dalam staatsfundamentalnorm. Berdasarkan staatsfundamentalnorm yang menjiwainya itulah maka dibentuk Undang-Undang Dasar. Jadi staatsfundamentalnorm merupakan pula sumber hukum dari pada Undang-Undang Dasar. 37
Bagaimana halnya dengan tertib hukum negara Indonesia? Apakah yang menjadi staatsfundamentalnorm dalam rertib hukum d i Indonesia, atau yang menjadi dasar pokok bagi Undang-Undang Dasar khususnya, hukum dasar pada umumnya? U n t u k menjawab pertanyaan i n i Prof. Notonegoro menyatakan: "Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menurut sejarah terjadinya ditentukan oleh Pembentuk Negara sebagai penjelmaan kehendaknya, yang dalam hakekatnya terpisah dari Undang-Undang Dasar, dan menurut isinya memuat azas kerohanian negara yaitu Pancasila, azas politik negara (Republik yang berkedaulatan rakyat), tujuan negara (melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan mewujudkan kesejahreraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan keterriban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial), lagi pula menetapkan adanya suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Jadi dalam semua hal memenuhi syarat-syarat mutlak bagi suatu pokok kaidah negara yang fundamenril menurut pengertian ilmiah sebagaimana tersebut diatas. Walaupun jauh berbeda dalam wujudnya, pendapat Prof. Notonegoro diatas mempunyai titik persamaan dengan pendapat Prof. M r . Muhammad Y a m i n seperti yang dikemukakan dalam bukunya "Proklamasi dan Konstitusi" yang menyatakan, bahwa Proklamasi Kemerdekaan adalah menjadi sumber dari segala sumber (source of the sources) dari tata hukum yang akan dibentuk didalam negara Republik Indonesia. Kalau menurut Prof. Notonegoro, staatsfundamentalnorm itu ialah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sedang menurut Prof. Muhammad Y a m i n Proklamasi Kemerdekaanlah yang menjadi dasar dari pembentukan Undang-Undang Dasar, karena penetapan Undang-Undang Dasar merupakan "fol!ow-up" saja dari Proklamasi Kemerdekaan. Baik Prof. Notonegoro, maupun Prof. Muhammad Y a m i n sama-sama berpendapat, bahwa diatas hukum dasar masih ada kaidah negara yang tertinggi, tempat bergantungnya H u k u m Dasar itu. Pendapat Prof. Notonegoro dalam hal ini lebih dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, dimana dalam syaratsyarat yang harus dipenuhi oleh staatsfundamentalnorm, Proklamasi Kemerdekaan termasuk salah satu diantara syara-syarar lain yaitu dalam hal terjadinya ditenrukan oleh pembentuk negara, yaitu orang atau badan yang menyatakan terbentuknya negara melalui Proklamasi Kemerdekaan. Adanya peranan pembentuk negara berupa Proklamasi Kemerdekaan belum tentu negara tersebut m e m i l i k i staatsfundamentalrnorm. H a l i n i oleh karena harus pula dipenuhi syarat-syarat lainnya. Tidak selamanya pembentuk negara menjelmakan kehendaknya dalam suatu pernyataan lahir (ijab kabul) untuk menjadikan hal-hal tertentu sebagai dasar negara yang dibentuk dan juga tidak selamanya pernyataan lahir yang dibuat oleh pembentuk negara berisi sekaligus tentang : azas kerohanian negara, azas politik negara, azas tujuan negara serta memuat ketentuan diadakannya U n dang-Undang Dasar Negara. Jadi tegasnya Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menurut Prof. N o tonegoro isinya memuat ketiga azas tersebut diatas dan disamping itu menjadi dasar hukum dari pada Undang-Undang Dasar. H a l i n i bisa kita lihat dalam alinia keempat dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang antara lain berbunyi: " untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan 38
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketettiban dunia yang berdasarkan kemetdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial — azas tujuan negara— disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia —• dasar hukum adanya U U D — , yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat — azas politik negara — dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Y a n g Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang d i p i m p i n oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (azas kerohanian negara). Pancasila adalah sebagian dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu yang menjadi azas dari kerohanian negara. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan staatsfundamentalnorm yang kesemuanya mempunyai sifat tidak dapat dirubah dengan jalan hukum, tetapi dapat dirubah dengan jalan diluar hukum, seperti revolusi misalnya. D e m i k i a n juga halnya dengan Pancasila hanya dapat dirobah dengan jalan diluar hukum. Tetapi akibatnya adalah melahirkan negara baru, yaitu negara yang bukan berdasarkan Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Setelah diatas kita meninjau sekedarnya tentang Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, selanjutnya petlu pula kita lihat bagaimana hutungan antara Pembukaan dan Batang T u b u h Undang-Undang Dasar 1945. Pada umumnya suatu Konstitusi terdiri dari dua bagian, yaitu Pembukaan , Mukaddimah, Preamble) dan Batang T u b u h Undang-Undang Dasar (The Body of Constinition). Khusus mengenai Undang-Undang Dasar 1945, sesuai dengan pendapat Prof. Notonegoro seperti tetsebut diatas, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terpisah atau berada diluar lingkungan Undang-Undang Dasar 1945. H a l ini tidak terjadi dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 dan dalam Undang-Undang Dasar Sementata 1950. Sungguhpun begitu tidaklah berarti bahwa antara Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 tidak ada hubungannya. Betapa erat hubungannya antara Pembukaan dan Batang T u b u h Undang-Undang Dasar 1945, oleh Penjelasan Undang-Undang Dasar diterangkan sebagai berikut: "Pokok-pokok pikiran tersebut, meliputi suasana kebatinan dari UndangUndang Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran i n i mewujudkan citacita hukum (Rechtsidee) yang menguasai H u k u m Dasar Negara, baik H u k u m yang tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis. U n dang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran i n i dalam pasal-pasalnya". Pembukaan Undang-Undang Dasar memuar pokok-pokok pikiran mengenai berbagai masaalah dasar kenegaraan, sedang Undang-Undang Dasar memerinci, merealisir pokok-pokok pikiran itu dalam pasal-pasalnya. Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana yang disebutkan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, y a i t u : a.
Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasarkan atas persatuan dengan mewujud-
39
kan keadilan sosial bagi seluruh rakyar Indonesia. b.
Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
c.
Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan dalam permusyawaratan perwakilan.
d.
Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan Y a n g Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Sebagai negara yang berdasarkan atas Ke-Tuhanan Y a n g Maha Esa, U n dang-Undang Dasar-nya "harus mengandung isi yang mewajibkan Pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk m e m e ü h a r a budi-pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur". Sehubungan dengan pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan i n i Pengurus Senat dan Senat Universitas Gajah Mada mempersembahkan "Hasil Pembahasan Ilmiah mengenai susunan Pemerintahan Negara Republik Indonesia", dimana didalamnya dikemukakan: "Bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 memuat tiga buah pokok pikiran yaitu: 1.
Azas kerohanian negara, Pancasila. " , maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara R e p u b l i k Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada : ke-Tuhanan Y a n g Maha Esa, K e manusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang d i p i m p i n oleh hikman kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyar Indonesia".
2.
Azas Politik Negara, Kedaulatan rakyat. " , maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk da'am suatu susunan negara R e p u b l i k Indonesia yang berkedaulatan rakyat ".
3.
Tujuan Negara. " ., melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan Untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa ".
Pokok-pokok pikiran inilah yang terkandung dalam pembukaan dan menjtwai Undang-Undang Dasar. Dan Undang-Undang Dasar itulah kemudian yang memerinci, merealisir cita-cita hukum yang diwujudkan dalam Pembukaan itu, dalam bentuk pasal-pasalnya. Dengan demikian pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan itu, tidak hanya tinggal kosong, melainkan menuntut untuk dilaksanakan dalam hidup bernegara. Setelah ditinjau sekedarnya mengenai Pancasila dan hubungannya dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar dan Batang T u b u h Undang-Undang Dasar 1945, maka tibalah gilirannya pula untuk meninjau dasar kehidupan hukum d i negara Republik Indonesia i n i . A p a k a h yang menjadi dasar dari hidupnya tertib hukum d i Indonesia ? 40
Berdasarkan uraian-uraian diatas dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa Pancasila adalah azas kerohanian negara. Sebagai azas kerohanian negara maka Pancasila menjadi dasar, tujuan dari kehidupan kenegaraan dan tertib hukum di Indonesia. Pancasila menjelma dalam landasan pokok hukum positif UndangUndang Dasar, dan selanjutnya Undang-Undang Dasar menjadi pula dasar tertib hukum seluruhnya secara bertingkat-tingkat. Keseluruh tertib hukum itu dibuat untuk mencapai tujuan, cita-cita seluruh rakyat, yaitu cita-cita yang terkandung dalam dasar negara Pancasila, kehidupan bahagia lahir-bathin, nasional dan internasional (bangsa Indonesia khususnya dan ummat manusia umumnya). Sebagai realisasi dari azas kerohanian negara atau Pancasila itu dalam Batang T u b u h Undang-Undang Dasar 1945 dapar kita baca dalam pasal 29 ayat l Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan: "Negara berdasarkan atas Ketuhanan Y a n g Maha Esa". D a r i pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 ini dapat disimpulkan, bahwa sila ke-Tuhanan Y a n g Masa Esa — sila pertama dari Pancasila — direalisir dalam pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 dan dijadikan dasar negara Republik Indonesia. Sebagai dasar negara, ia harus mengikat Negara dan Pemerintah dalam arti yang seluas-luasnya, antara lain untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. H a l i n i sejalan pula dengan kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa negata Republik Indonesia lahir atau merdeka atas berkat dan Rakhmat Tuhan Y a n g Maha Esa; yang menjadikan pula Negara Indonesia berdasarkan atas ke-Tuhanan Y a n g Maha Esa, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Kesemuanya i n i mengandung arti, bahwa Negata Republik Indonesia harus menjunjung tinggi moral agama. Menjunjung tinggi moral agama berdasarkan Pancasila, antara lain harus dilandasi oleh pengakuan adanya H u k u m Tuhan. H u k u m Tuhan merupakan sumber materi dan sumber nilai bagi Pancasila dan negara serta hukum positif di Indonesia. M a k a oleh sebab itu seluruh tertib hukum yang dibuat oleh negara atau Pemerinrah dalam arti yang seluas-luasnya tidak boleh bertentangan dengan H u k u m Tuhan, bahkan segala tertib hukum yang dibuat harus'ah berdasarkan atau ditujukan untuk merealisasi H u k u m Tuhan itu. D e m i k i a n pulalah halnya dengan H u k u m Pidana sebagai bagiaa dari tertib hukum positif di Indonesia, ketentuan-ketentuannya harus'ah berlandaskan kepada H u k u m Tuhan sebagaimana yang dicerminkan dalam Pancasila, baik yang dituangkan da'am Pembukaan, maupun dalam Batang T u b u h Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu apabila dalam H u k u m Pidana yang berlaku sekarang masih terdapat kekosongan-kekosongan pengaturan yang mengancam hukuman terhadap perbuatan-perbuatan yang tercela oleh agama dan perlu ditindak, penting sekali diteliti dan se'aniutnya untuk disesuaikan dengan dasar kehidupan hukum dalam negara Republik Indonesia yaitu Pancasila, yang menje'ma dalam landasan pokok hukum Positif Undang-Undang Dasar 1945 dan selanjutnya Undang-Undang Dasar 1945 menjadi pula dasar tertib hukum seluruhnya secara bertingkat- ti ngkat. 3.
Kemerdekaan
beragama dan beribadat
dalam Negara
Republik
Indonesia.
Sewaktu membicarakan Dasar kehidupan H u k u m di Indonesia telah kita
ketahui bahwa antara Pancasila, Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 sangat erat hubungannya, bahkan Pancasila dituangkan dalam Pembukaan dan menjiwai Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya sila ke-Tuhanan Yang M a h a Esa sebagai sila pertama dari Pancasila yang dituangkan dalam Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, khususnya dalam pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, menjadi dasar Negara Republik Indonesia dan seterusnya juga menjadi dasar kehidupan hukum dibidang keagamaan. Mukaddimala atau Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 — tempat dimana Pancasila dituangkan — merupakan Geistliche Hintetgrund dari Batang Tubuh Undang-Undang Dasar (The Body of Constitution) tersebut, selain memuat Pancasila, juga mengandung suatu pernyataan cira-cita (statement of idealis), yang menjadi dasar pemikiran mengenai cita-cita kenegaraan dalam Negara Republik Indonesia, yang berpokok pangkal pada pandangan hidup (levensbes-beschouwing) tentang adanya kekuasaan Tuhan Y a n g Maha Esa. Dalam alinia ketiga Mukaddimah Undang-Undang Dasar 1945 dirumuskan sebagai berikut: "Atas berkat rakhmat A l l a h dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan i n i kemerdekaannya". Rumusan dalam alinia ketiga ini menunjukkan, bahwa pernyataan kemerdekaan disasarkan atas dasar pikiran religious. Segala jerih payah, segala perjuangan yang didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas itu, hasilnya dikembalikan kepada Allah. D a n sebagai negara yang lahir atau merdeka atas berkat rakhmat Tuhan Y a n g M a h a Kuasa, maka Negara Republik Indonesia menjadikan ke-Tuhanan Y a n g Maha Esa sebagai dasar N e garanya. W a l a u p u n demikian, Negara Republik Indonesia bukanlah Negara, Agama, tetapi Negara Republik Indonesia adalah suatu negara yang menjunjung tinggi moral agama. Negara secara positif harus mengembangkan agama-agama yang berdasarkan Ke-Tuhanan Y a n g Maha Esa, dan sebaliknya harus memberantas setiap kepercayaan yang bertentangan dengan dasar Ke-Tuhanan Y a n g Maha Esa, teilebih-lebih paham atheis. Dasar Ke-Tuhanan Y a n g Maha Esa sebagai dasar negara dilaksanakan d i Indonesia menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, dimana negara mengatasi segala paham golongan dan paham perseorangan. Dengan demikian negara tidak diwarnai oleh suatu agama, tidak hanya menjamin sesuatu agama, tetapi melindungi dan mengembangkan setiap agama yang berdasarkan K e Tuhanan Y a n g M a h a Esa secara adil, secara kemanusiaan dan peradaban. Dasar ini mengikat negara dan Pemerintah dalam arti yang seluas-luasnya, untuk memelihara budi-pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan: "Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan Y a n g M a h a Esa". (ayat 1). "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu". (ayat 2). Penjelasan pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Dasat 1945 selanjutnya mengatakan, bahwa "ayar 1 i n i menyatakan kepeicayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Y a n g M a h a Esa", sedang penjelasan ayat 2 nya menyebutkan : "pasal 28, 29 ayat 2, 3 4 : pasal i n i mengenai kedudukan penduduk. Pasal-pasal, 12
baik yang hanya mengenai warga negara maupun yang mengenai seluruh penduduk memuat hasrat bangsa Indonesia untük membangun negara yang bersifat demokratis dan yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan perikemanusiaan". Demikianlah bunyi pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 beserta penjelasannya, dimana dalam menyusun rumusan pasal yang menyangkut agama ini dalam sejarah pembentukan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hal yang paling sulit, paling ramai dibicarakan, paling tegang dan paling banyak memakan waktu. Karena sejak permulaan penyusunan Undang-Undang Dasar sudah nampak adanya dua aliran didalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), yaitu aliran kebangsaan dan aliran Islam, yang masing-masing aliran hendak memaksakan keinginannya dalam menyusun Undang-Undang Dasar bagi Negara Indonesia. Tetapi pada akhirnya antara kedua aliran itu terdapat suatu kompromi, yang dimanifestasikan dalam suatu "Gentlemen Agreement", suatu "perjanjian moral yang amar luhur", dalam bentuk suatu piagam yang kemudian terkenal dengan nama "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter". Piagam itu ditanda tangani oleh sembilan tokoh dan wakil rakyat Indonesia di Jakarta. Dan selanjutnya jiwa Piagam Jakarta itu sampai disahkan Undang-Undang Dasar 1945 menjadi pedoman dalam penyusun Undang-Undang Dasar, khususnya dalam ketentuan-ketentuan yang menyangkut agama. Undang-Undang Dasar 1945 disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam tapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) — yang dibentuk tanggal 8 Agustus 1945 dan mengambil over tugas-tugas B P U P K — dimana untuk menjaga persatuan, ketentuan-ketentuan yang dianggap mengandung "diskriminasi dan menusuk perasaan" dihilangkan. Dan khususnya yang menyangkut pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang sewaktu dirumuskan mengalami perdebatan yang sengit, pada tanggal 18 Agustus 1945 seluruh anggota telah memperlihatkan rasa persatuan, dengan disertai pengorbanan keyakinan, sehingga disahkan Undang-Undang Dasar 1945, seperti yang kita saksikan sekarang ini. Demikianlah pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang memuat dasar negata Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, dan juga sebagai azas kerohanian negara, telah membetikan prinsip/pedoman, bahwa negara, bangsa dan manusia Indonesia baik secara sendiri-sendiri maupun secara keseluruhannya adalah berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, jadi harus ber-Tuhan atau beragama. Negara menjamin kemerdekaan riap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Susunan Negara Indonesia tidak terpisah dari susunan masyarakarnya. Kebebasan setiap warga negara memang sangat luas, tetapi tidak boleh menyimpang dari dasar yang telah ditetapkan, yaitu berke-Tuhanan Yang Maha Esa. Kebebasan warga negara untuk tidak ber-Tuhan adalah menyimpang dan bahkan bertentangan dengan Pancasila/ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Sehubungan dengan apa yang dikemukakan diatas, Ir Sukarno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 antara lain mengemukakan : "Bukan saja bangsa Indonesia yang ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang indonesia hendaknya ber-Tuhan, Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah 43
Tuhan menurut petunjuk Isa Almasih, yang Is'.am ber-Tuhan menurut petunjuk N a b i Muhamad s.a.w., orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya, tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudyaan, yakni dengan egoisme agama. D a n hendaknya Indonesia saru negara yang berTuhan". Jadi menurut Ir. Sukarno, sila ke-Tuhanan Y a n g Maha Esa mengandung arti: 1.
Menghendaki agar supaya baik bangsa maupun orang-orang Indonesia seluruhnya ber-Tuhan, yakni ber-Tuhan menurut agamanya masingmasing.
2.
Sila ke-Tuhanan Y a n g Maha Esa diartikan sebagai toleransi agama.
Selanjutnya M r . Muhammad Y a m i n dalam bukunya "Pembahasan UndangUndang Dasar Republik Indonesia" halaman 461 menulis: "Adapun keesaan Tuhan Y a n g Maha Kuasa itu adalah sesuai dengan ajaran monotheisme (ajaran ber-Tuhan satu). Menurut Agama Is'am ssp:rti tenvujud dalam ka'.imat syahadat, bahwa A l l a h itu Esa, sesuai dengan ajaran agama Kristen dan Katholik, yang ber-Tuhan Y a n g Maha Esa dengan ajaran Trinitas, sesuai dengan ajaran agama H i n d u — Bali yang mengakui kekuasaan Tuhan Y a n g Maha Esa dengan Sang Hiyang W i d h i dengan kepercayaan kepada T r i m u r t i (Brahma, W i s n u dan Syiwa), sudah sejak semula sebelum agama yang besar berkembang ketanah Indonesia, dan sesuai dengan kepribadian orang Indonesia memeluk kepercayaan dan agama yang ber-Tuhan Y a n g Maha Esa, walaupun bagaimana juga namanya dengan pelbagai perkataan". Apabila pendapat M r . Muhammad Y a m i n sebagaimana yang dikutip diatas dibandingkan dengan pendapatnya yang ditulisnya dalam bukunya "Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia" maka kesimpulannya sangat membingungkan karena da'am bukunya yang disebut terakhir i n i pada halaman 110, beliau menulis sebagai berikut: "Tidaklah ditegaskan dalam ajaran Pancasila itu bagaimana perhubungan antara pengakuan negara kepada Tuhan dengan pengakuan masing-masing warga negara terhadap Ke-Tuhanan atau tidak ber-Tuhan, jika diartikan lebih tegas (agi maka ajaran Pancasila terhadap soal i n i adalah semata-mata urusan negara dan tentang itu maka masing-masing warga negara mempunyai kebebasan luas dan tidak terbatas selama susunan negara itu masih terpisah dari susunan masyarakat, maka pendapat yang tersebut mungkin boleh disandarkan kepadanya". Tegasnya menurut pendapat M r . Muhammad Y a m i n sebagaimana yang dikemukakannya dalam bukunya "Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia" tersebut diatas, Pancasila adalah semata-mata urusan negara. W a r g a negara mempunyai kebebasan luas dan tidak terbatas. D a n susunan negara terpisah dari pada susunan masyarakat. Kemudian kita tinjau pula bagaimana pendapat D r . Mohammad Hatta tentang Ke-Tuhar.an Y a n g M a h a Esa i n i . Beliau berpendapat bahwa dengan dijadikannya sila i n i sebagai sila yang pertama, maka negara mendapat dasar
moral yang kuat. Ke-Tuhanan Y a n g Maha Esa tidak lagi hanya dasar hormatrnenghormati agama masing-masing. Sila i n i menjadi dasar yang memimpin kejalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan. Toleransi agama adalah sekundair, yang primair adalah bahwa sila i n i menjadi dasar moral yang m e m i m p i n cita-cita kenegaraan. Apabila kita banding-bandingkan ketiga pendapat diatas jelaslah, bahwa mengenai sila ke-Tuhanan Y a n g Maha Esa ini masih terdapar kesimpang siuran pendapat, belum ada kesatuan pendapat yang prinsipil. Untuk mendapat suatu gambaran yang jelas mengenai sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa i n i , ada baiknya kita tinjau kembali Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. 1.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 "Ke-Tuhanan Y a n g Maha Esa".
menyebutkan:
2.
Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: "Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan Y a n g Maha Esa".
3.
Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu".
4.
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan: "Negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi Negara mengarasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan".
5.
Penjelasan Undang-Urdang Dasar 1945 selanjutnya menjelaskan: "Pokok pikiran yang kcempar yang terkandung dalam "Pembukaan" ialah Negara berdasarkan atas ke-Tuhanan Y a n g Maha Esa menurut dasar kemanusiaan adil dan beradab".
Disamping itu kita dapat pula membagi konsepsi ke-Tuhanan atas: monotheisme dan polytheisme, sehingga dasar Negara Indonesia termasuk kedalam kategori monotheisme. A d a p u n agama yang mempunyai konsep monotheisme itu banyak, seperti Ktisten, Katholik, Islam, H i n d u Bali, Budha dan lain-lain. Pancasila dalam hal i n i tidak berdiri pada sesuatu agama dan tidak menyebutkan Tuhan Y a n g Maha Esa itu yang mana, Tuhan orang Kristen atau Katholik adalah yang disebut Yesus Kristus, Tuhan Bapa atau R o h Kudus atau tersimpul dalam ajaran Trinitas, Tuhan orang Islam adalah yang disebut A l l a h , Tuhan Tuhan orang H i n d u adalah Sang H i y a n g W i d h i dan seterusnya. H i n g g a disini Pancasila mengatasi "segala paham golongan", mengatasi "segala paham perorangan", berdasarkan atas ke-Tuhanan Y a n g Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Jadi Negara berdiri diatas semua agama yang berke-Tuhanan Y a n g Maha Esa. Selanjutnya Negara berlaku aktif dan positif terhadap semua agama yang berke-Tuhanan Y a n g Maha Esa, dimana negara wajib menegakkan, melindungi dan mengamankan agama yang berkeTuhanan Y a n g Maha Esa, sebagai akibatnya, secara prinsipil negara harus melenyapkan agama/kepercayaan yang berdasarkan polytheisme, Negara harus membina warga negaranya sehingga memeluk agama yang ber-Ketuhanan Y a n g Maha Esa, dan terhadap agama yang 45
berdasarkan Ketuhanan Y a n g Maha Esa inilah negata harus "Menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadar menurut agamanya dan kepercayaan itu", (pasal 29 ayat 2 UndangUndang Dasar 1945). Menurut bunyi pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 i n i , seolah-olah timbul kesan bahwa kewajiban untuk menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, hanya dipikulkan kepada Negara, sedangkan pada pihak warga negara semata-mata mempunyai hak untuk mendapat perlindungan dan pengamanan dari Negara dalam memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Memang pada Negara terletak kewajiban untuk menjamin dan melindungi kemerdekaan beragama dan beribadat, tetapi sebaliknya setiap warga negara yang memeluk agama yang mengakui ke-Tuhanan Y a n g Maha Esa, dipikulkan pula suatu kewajiban untuk dapat menempatkan dirinya dalam proporsi yang sewajarnya, baik terhadap sesama seagama, maupun terhadap orang yang berlainan agama, yaitu bahwa mereka sama-sama makhluk yang dijadikan oleh Tuhan Y a n g Maha Esa, dan segala apa yang disediakan d i alam ini adalah diperunrukkan bagi segenap makhluk N y a untuk digunakan bagi mereka bersama. Ini adalah sebagai konsekwensi bagi orang yang beragama, yang mengakui bahwa kekuasaan yang tertinggi adalah ditangan Tuhan Y a n g Maha Kuasa dan konsekwensi i n i merupakan sendi dalam ajaran agama, yang berdasarkan keTuhanan Y a n g Maha Esa, yang disebut keimanan. Dengan adanya keimanan atau sikap bathin dalam setiap pribadi manusia Indonesia, akan rumbuhlah nilai dan martabat kemanusiaan (human worth and dignity), yang tidak mengenai pengkotakan suku dan daerah, derajat dan kedudukan dan sebagainya, yang selanjutnya merupakan dasar dalam meletakkan hubungan antara pribadi, antara rakyat dengan pemerintah dan antara bangsa dengan bangsa. Selain dari pada itu, keimanan kepada Tuhan Y a n g Maha Esa akan menumbuhkan kesadaran bermasyarakat yang tinggi, karena masing-masing walaupun mereka berlainan agama, merasa sebagai sama-sama hamba Tuhan yang mempunyai kedudukan, hak serta kewajiban yang sama sehingga hak yang melekat pada masing-masing pihak, karena hendak diterapkan dalam hubungannya dengan yang lain, harus dibarengi dengan kewajiban azasi yang harus d i penuhi untuk dapat tegaknya hak azasi pihak lain. Dengan demikian tumbuhlah perikemanusiaan dan perikeadilan dalam pergaulan hidup i n i , yang merupakan titik tolak dari perjuangan kemerdekaan Indonesia, sebagai dinyatakan dalam alinea pertama dalam Pembukaan UndangUndang Dasar 1945 dan yang dalam kehidupan manusia merupakan faktor yang sangat penting, bahkan menentukan dalam mewujudkan masyarakat yang aman, damai dan sejahtera. Jelaslah bahwa kemerdekaan beragama dan beribadat dalam Negara Republik Indonesia sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 29 ayat 2 dan dihubungkan dengan pasal 29 ayat 1, bukanlah kebebasan beragama dan beribadat yang tidak terbatas, tetapi adalah kemerdekaan beragama dan beribadat yang ada batasnya, yang menuju kepada masyarakat yang dihayati oleh Pancasila. Antara pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama yang lainnya, harus 46
dapat hidup berdampingan secara damai. Tidak diperkenankan adanya pengembangan/penyiaran agama yang melanggar norma-norma hidup bermasyarakat, sehingga dengan demikian merugikan agama lain. Kampanye dan penyiaran agama haruslah secara rertib dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan agama-agama lainnya. Akhirnya sehubungan dengan Pengaruh-Pengaruh Agama terhadap H u k u m Pidana apabila dikaitkan dengan kebebasan beragama dan beribadat sebagaimana yang diuraikan diatas, tidak boleh tidak pengaruh-pengaruh itu adalah sangat menentukan. Karena sebagaimana yang dikemukakan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia Prof. Umar Seno adji, S H dalam tulisannya "Delik Agama, beberapa problema dalam pembinaan H u k u m Nasional", berpendapar bahwa apa yang dikemukakan oleh Sir Alfred Dending, Lord Justice of court of Appeal di Inggeris, yaitu "Without religion there can be no morality and without morality they can be no law", (tanpa agama tak akan ada moral dan tanpa moral tak akan ada hukum) dapat dipergunakan sebagai titik tolak bagi pembinaan hukum dalam negara Pancasila dengan sila ke-Tuhanan Y a n g Maha Esa sebagai cauca prima. Memang jika ditinjau dari keharusan serta kepentingannya kepercayaan kepada Tuhan Y a n g Maha Esa i n i bagi bangsa Indonesia maupun dari fcenyataan dimana sebahagian besar bangsa Indonesia mempunyai kesadaran beragama yang berarti percaya, berbakti dan taat kepada Tuhan Y a n g Maha Esa sehingga kesadaran hukumnya juga dijiwai dengan rasa kepercayaan kepada T u h a n Y a n g Maha Esa, maka kepercayaan kepada Tuhan Y a n g Maha Esa i n i perlu dipupuk dan lebih diresapkan dengan menuangkan "rhe supremacy of G o d " pada tiap-tiap perundang-undangan nasional; termasuk perundang-undangan Pidana yang akan dibentuk. 4.
Pandangan a.
mengenai hubungan
antara Negara dan
Pemisahan antara Negara dan
Agama.
Agama.
D a l a m sejatah pertumbuhan negara dari abad keempat sesudah masehi sampai pertengahan abad ke-15, berlangsung pertikaian antara negara dan gereja (Gereja Katholik Roma) atau antara kekuasaan sekuler (imperium) dan kekuasaan spiritueel (secerdatum) yang menimbulkan dualisme, gereja dan negara. Pertikaian i n i didasarkan atas anggapan bahwa manusia menghadapi dua tujuan yaitu tujuan duniawi (temporal ends) yang merupakan urusan negara dan tujuan yang abadi (eternal ends) yang merupakan prerogatif gereja. Karena adanya doktrin dua tujuan i n i timbul pula ajaran dua kekuasaan. Antara kedua tujuan dan kekuasaan i n i terdapat hubungan yang erat yang mengharuskan kerja sama antara kedua kekuasaan itu. Salah seorang Paus kemudian meletakkan dasar filsafat dari kedua doktrin itu. Paus Gelacius I (192 — 496 M.) mendalilkan bahwa sejak manusia diperlengkapi dengan sifat-sifat dapat mati (mortal dan sifat abadinya, sifat manusia (immortality of the saul), maka organisasi masyarakat manusia didasarkan juga aras kedua sifat itu. Gereja diserahi tugas mengurus aspek keabadian jiwa manusia dan negara sebagai kekuasaan duniawi diserahi tugas mengurus masalah-masalah keduniawian. 47
Kekuasaan negara berlangsung dalam bidang hukum (regalis potestas). Diluar bidang hukum terletak kekuasaan gereja yang berangkap tiga. Kekuasaan mengenai masaalah-masaalah sakramen (Potestas ordenis), kekuasaan moral dari kaum padri (potestas jurisdictionis) dan kekuasaan dalam bidang pengajaran dan pendidikan (potestas decondi). D o k t r i n dua kekuasaan dari paus Gelacius i n i lazim disebut dengan ajaran dua bilah pedang (do-rtrine of the two swords). Dalam uraian diatas itu menggambarkan perkembangan kedudukan negara dan gereja pada mara berkembangnya agama Kristen di Eropah dan sudah barang tentu bahwa pandangan tersebut erat sekali hubungannya dengan pandangan Kristen sendiri rerhadap persoalan negara dan agama tersebut. H a l demikian itu dapat dibenarkan oleh karena ajaran agama itu sendiri yang tidak serba meliputi. D a r i itu maka dapatlah dimengerti mengapa misalnya di Amerika Serikat dan negara-negara Eropah lainnya, maupun di negara-negara sosialis paham mengenai pemisahan agama dan negara itu pada prinsipnya adalah hampir bersamaan yaitu adanya separation antara Negara dan Gereja.
Amerika Serikat. Persoalan separation of state and church di Amerika Serikar dapat kita lihat da'am perkembangan sejarah pengalaman Nasionalnya sendiri. Pertama kali persoalan tersebut timbul dalam First Amandement Konstitusi Amerika yang menyatakan : "Congress shall make no Iaw respecting of establishment of religion or prohebiting the excrcise there of ". Pada mulanya menggambarkan suatu keinginan untuk mencegah suatu varitas yang besar dalam intetconnection yang m u n g k i n timbul antara Pemerintah dan Gereja. Thomas Jefferson yang bahkan berkata tentang "a wall of separation between church and state" tidak menyetujui pendirian-pendirian gereja oleh Pemerintah, bahkan adanya preferential treatment dari organisasi keagamaan, dalam bentuk apapun tidak dibenarkan oleh doktrin tersebut. D o k t r i n separation of state and church di A m e r i k a itu mengalami perkembangan dan perobahan baik sekarang maupun untuk kemudian hari. Oleh karena itu jika dahulu terdapat pernyataan-pernyataan separationist yang sangat ketat sifatnya da'am hal-hal tertentu maka kemudian disusul dengan kesimpulan bahwa pada hakekatnya separation tersebut tidak total sifatnya. Dalam hal i n i kiranya, perlu dikemukakan satu kasus yaitu kasus M . L . Colleman vs. Board of Education. Sehubungan dengan kasus tersebut maka Justice Frankfurter dari U.S. S u p r è m e Court berkata: " K a m i memperbaharui keyakinan kami bahwa kami telah menyusun kedudukan negeri kami atas suatu keyakinan bahwa pemisahan yang mutlak antara negara dan gereja adalah baik untuk negara dan baik pula untuk agama". 48
Menyinggung Pernyataan Thomas Jefferson mengenai "wall of separation" Justice Frankfurter selanjutnya mengkwalifikasikan sebagai bukan suatu garis final yang mudah dilangkahi. Kepercayaannya kepada doktrin separation ini dituangkan dalam kata-kata "The Great American prinsiple of eternal separation". Disamping itu Justice William Douglas (U.S. Suprème Court) memperlunak pendapat yang sangat ketat itu dengan menyatakan dalam perkara Zarach vs Clausen (tahun 1952) : "The First Amandement, how ever does not say that i every and all respect there shall be a separation of church and state. Rather, it studiously defines the manner in which there shall be no censort or union or dependency on the other". n
Oleh karena itu suatu pemisahan total yang absolut sifatnya dalam arti bahwa suatu kemungkinan konflik harus dikesampingkan/dihindarkan secara mutlak adalah tidak mungkin dan sukar dapat digambarkan. Suatu pertentangan antara nilai-nilai yang menjunjung tinggi Agama dan perasaan had nurani (conscience) disatu pihak dan yang mewajibkan kita untuk mematuhi hukum dipihak lain adalah selalu mungkin. Hal itu merupakan suatu penerobosan terhadap pandangan, seolah-olah masing-masing bergerak dalam bidangnya yang bersangkutan tanpa menunjukkan titik pertemuan. Doktrin tersebut menghendaki bahwa keyakinan-keyakinan moral yang melekat pada Agama tidak boleh dipaksakan terhadap masyarakat umum melalui hukum. Ini berarti bahwa golongan-golongan agama dengan mempergunakan hukum sebagai alat tida-k akan berusaha untuk memperoleh preferential treatment bagi golongannya sendiri. Namun demikian tidaklah dapat dimungkiri bahwa kesimpulan tentang keyakinan-keyakinan moral yang melekat pada agama tidak dapat dipaksakan terhadap masyarakat melalui hukum, kadang-kadang menimbulkan suatu contra verte dan antagonisme umum mengenai suatu petsoalan agama. Putusan U.S. Suprème Court dalam perkara yang terkenal dengan nama "Regent Prayer" dimana Suprème Court menyatakan tidak konstitusionilnya suatu syarat dalam sekolah-sekolah umum, yang ditetapkan oleh negara bagian New York dan yang disusun oleh "Board of Regent" sebuah doa yang terdiri atas 22 kata-kata. Dalam perkara tersebut Justice Black berkata: It is not part of the bussiness of government to compose official prayers for any groups of the American People to recire as a part of a religious program on by the Government". Persoalan prayer, Bible reading dan religious practices disekolah-sekolah negara akan merupakan persoalan-persoalan hukum yang meliputi doktrin separation of state and church di Amerika Serikat, ia mempersoalkan peranan agama disekolah-sekolah sebagai suatu pelanggaran dari doktrin, pemisahan dan berpendapat bahwa hal demikian harus dinyatakan in-constitutionil, sedangkan pihak lain berusaha keras tegas untuk menambah pengaruh Agama disekolah. 49
Berbeda halnya dengan Suprème Court Fiorida yang menentang interpretasi yang ketat tersebut terhadap The First Amandement. Suprème Court of Fiorida membenarkan adanya regular reading of The Bible, regular recitation of the lard's prayer, singing ofreligious hymnes, religious observence of the Christmas dan upacara lain-lainnya yang bersifat keagamaan disekolah-sekolah umum. Suatu corak dari paham liberalisme bahwa mereka selalu memperkembangkan suatu sikap sekuler terhadap agama, dimana agama itu harus dipandang sebagai suatu pandangan yang harus ditolerir, sebagai halnya dengan pendapat lain. K a u m liberal akan advocate separation of state and church dan hal demikian itu memang merupakan suatu corak khusus dari paham tersebut. Negara-Negara
Sosialis.
Dinegara-negara Sosialis pandangan terhadap hubungan antara negara dan gereja lebih ditonjolkan dalam pengucapannya. Suatu sikap yang tidak saja d i tujukan dalam hukum ketata negaraan, dimana terdapat jaminan konstitusionil, mengenai kebebasan ibadah keagamaan disamping propaganda anti agama yang diperkenankan, jaminan pula tentang pemisahan negara dan agama serta sekolah dan gereja. Sedangkan pelanggaran terhadap idee "separation" tersebut adalah dapat dipidana dan akan dihadapkan dengan sanksi-sanksi pidana. Kebebasan untuk beribadat disamping kebebasan untuk melakukan propaganda anti agama dikembalikan pada suatu sumber yaitu kebebasan dalam hati nurani "freedom of conscience". A m e r i k a Serikat yang menjunjung tinggi hati nurani "Conscience" yang dalam negara tersebut juga membuka jalan bagi pandangan-pandangan Atheis. Dalam negara i n i petnyataan-pernyataan atheis tidak akan mendapat rintangan-rinrangan hukum dan tidak akan mendapat resiko menghadapi pernyataan inconstitutionil. Hanya jikalau di A m e r i k a hak kebebasan beragama prinsip "separation of state and church" tidak boleh menjadi rintangan bagi pandangan atheis, atau anti agama, maka di U.S.S.R. ditegaskan dalam konstitusi mereka, bahwa dalam rangka ajaran M a r x mengenai agama ini ia dipandang sebagai suatu kebanggaan. Far the first time i n the world, the basic law of astate confirmed freedom of anti religious propaganda without which genuine freedom of conscience is impossible (Andrei Vyshinky — The Law of Sovjet State). b.
Kesatuan
antara Negara
dan
Agama,
Ketentuan mengenai persoalan penyatuan Agama dengan Negara misalnya terdapat di Inggeris dimana raja dipandang sebagai Kepala Gereja Negara (Anglikan) dan berlaku dogma kedaulatan Parlemen yang mempunyai kekuasaan terhadap gereja. Dinegara-negara Skandinavia seperti N o r w e g i a dan Denmark mensyaratkan bahwa Kepala Negara harus beragama Luther (Evangelis-Luther). Syria, yang dalam konstitusinya antara lain menyatakan, bahwa "the religion of Syria" dan bahwa "the religion of the President is Muhammadanism". 50
Saudi Arabia yang menghendaki dalam Konstitusinya bahwa: "The Arabic State of Hejaz is a Moslem State " Yordania yang menyatakan : "lts religion is Islam, dan kemudian mensyaratkan: " N o person ascent to the throne unless he is a Moslem ". Y a m a n dalam Konstitusinya mengatakan: "Yemen is a democratie K i n g d o m based on the principles of the Mohammadan religion, which recognize the devine comandment, and on the Qur'an". Afganistan dalam Undang-Undang Dasarnya antara lain mengatakan bahwa Agama Afganistan adalah agama Islam. Iran juga mengakui agama resmi adalah agama Islam. Semua negara-negara rersebur diatas memberikan suatu posisi yang mendahulukan terhadap agama tertentu dalam Undang-Undang Dasar Negara yang bersangkutan. D a n dari conroh-contoh yang diajukan pada negara-negara tersebut diatas menunjukkan adanya persatuan (Einheit) Agama dan Negara. D a n disini nampak pula kepada kita bahwa penentuan di'.am konstitusinya syaratsyarat Agama negara adalah agama tertentu dan begitu pula misalnya Kepala Negara harus menganur agama tertentu. c.
Pandangan
Agama.
Islam tidak mengenai adanya pemisahan antara Negara dan Agama. Ibnu Chaldun dalam bukunya "Filsafat Islam tentang — Sejarah", yang disadur oleh D r . A . M u k t i A l i , halaman 186 mengatakan bahwa Kekalifahan adalah memerintah rakyat sesuai dengan petunjuk-petunjuk Agama baik untuk soal-soal keduniawian yang bersumber dari soal-soal keakhiratan, sebab dalam pandangan pembuat Undang-Undang semua soal-soal keduniawian i n i harus dihukum dari segi kepentingan hidup keakhiratan. Oleh karena iru maka K h a lifah adalah pengganti pembuat undang-undang sebagai penegak agama dan sebagai pengatur soal-soal duniawi dipandang dari segi agama. Selanjutnya dalam halaman 188 ia mengambil suatu kesimpulan bahwa dalam Islam kedudukan Khalifah dan kedudukan Raja disatukan, agar supaya segala daya upaya dapat disatukan kearah satu tujuan. Sebaliknya ajakan agama lain yang bukan Islam tidak serba meliputi juga perang suci tidak diizinkan buat pengikut-pengikut agama bukan Islam, melainkan untuk mempertahankan diri sendiri. Karena itu pemimpin-pemimpin agama mereka tidak berkepentingan dengan soal politik melainkan membiarkan kekuasaan duniawi terletak ditangan orang-orang yang merebut kekuasaan itu, dengan kebetulan atau dengan alasan-alasan lain yang tidak berhubungan sama sekali dengan agama. Muhammad Asad dalam The Principles of State and Government i n Islam (di Indonesia-kan oleh Drs. M o h . Rajab), mengatakan tentang persoalan agama dan Negara i n i sebagai berikut: "Siapa saja yang sudah mengenai ajaran-ajaran Islam walaupun dangkal akan mengetahui bahwa ajaran-ajaran itu bukan saja melukiskan hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga meletakkan satu rangka dasar rertentu bagi kelakuan sosial yang harus diterima dan dijalankan sebagai akibat dari hubungan itu.
51
A b d u l Qadir Audah dalam bukunya: Islam between follower and incaple scholara, meninjau persoalan agama dan negara itu dari sudut perundangan yang ada dalam Islam. Peraturan-peraturan
dan hukum Islam menurut beliau mempunyai dua ka-
tegori: a.
tetdiri dari ayat-ayat (commandements) yang ditujukan untuk sud-maksud agama dan spirituil.
mak-
b.
kategori kedua rerdiri dari aturan-aturan dan hukum-hukum untuk mengendalikan dan mengorganisir Negara, Pemerintah dan Masyarakat, juga mengatur tentang hubungan individu dan masyarakat. Sub. a, termasuk peraturan-peraturan mengenai akhlak manusia, hukum pidana, hukum sipil, hukum Konstituti, hukum internasional dan lainlain.
Setelah mengajukan bentuk peraturan dan hukum dalam Islam maka oleh sebab itu beliau mengambil kesimpulan bahwa "Islam mengkombinasikan persoalan-persoalan sekuler dan spiritueel dan menyatukan Negara dengan Agama. Islam is a religio that embraces spiritual and secular life simulraneously. Sebagaimana telah digariskan dalam agama Islam bahwa kepercayaan dan keimanan adalah satu bagian dari Islam, maka Pemerintahan adalah bagian integtal dari padanya. Sebagai bukti, lebih lanjut bahwa Islam tidak mengenai sepatation of state and church, dikemukakan lagi oleh beliau dalam salah satu uraiannya: "There are spesified crime prehibited and penalized by explicit prorition in the Qur'an". Presiden Sukarno dalam kuliahnya di Universitas Indonesia 7 M e i 1959 mengatakan: "Islam tidak mengenai theokrasi, walaupun Islam adalah suatu agama. Y a n g biasa diartikan dengan perkataan theokrasi, ialah Pemerintahan Kepadrian. Dalam Islam tidak ada hal itu. Islam menghendaki hubungan langsung antata manusia dengan Tuhan sonder atau tanpa perantaraan padri atau meester, M a k a oleh karena itu Theokrasi tidak dikenal oleh Islam. Oleh karena itu pula scheiding van kerk en staat tidak ada dalam Islam". D r . Muhammad Hatta dalam sebuah pidato yang diucapkan di Universitas Aligarh 29 Oktober 1955 mengatakan: "Islam adalah buat dunia dan akhirat. Islam ridak saja menyuruh orang beribadat, menyembah Tuhan semata-mata, akan tetapi mewajibkan juga orang mengatur penghidupan dunia sebaik-baiknya. Dalam hubungan i n i D r . Hatta mengemukakan sebuah ayat Al-Qur'an : Tunrutlah akhiratmu pada tiap-tiap kesempatan yang dibukakan A l l a h , dan jangan lupa apa yang menjadi bagianmu mengenai urusan dunia dan berbuar kebajikan kepada N y a . Dalam ayat i n i jelas menggambarkan tak ada pemisahan yang jelas antara persoalan dunia dan keagamaan. Apabila Islam tidak menyatukan Negara dan Agama maka Qur'an rentu tidak akan menggambarkan hal-hal yang telah diterangkan diatas. 52
D a n apabila Qur'an mewajibkan kepada muslim untuk mengambil dan menjalankan prosedur-prosedur tersebut, maka itu berarti pula mewajibkan mereka mendirikan suatu pemerintahan dan negara yang akan menjalankan dan mengaplikasikan ketentuan ketentuan tetsebut diatas. D a r i pendapat-pendapat para sarjana tersebut diatas jelaslah bahwa Islam tidak menyetujui adanya pemisahan antara Negara dan Agama. Sebaliknya Islam mempunyai konsepsi sendiri mengenai masaalah hubungan negara dengan agama. d.
Sikap Republik
Indonesia terhadap pandangan hubungan Negara dan Agama.
Republik Indonesia sudah terang tidak dapat mentolerir sikap separation of state and church, sebab hal i n i akan bertentangan dengan paham yang dianut oleh bangsa Indonesia sendiri. Pengakuan Ke-Tuhanan Y a n g Maha Esa sebagai sila pertama "causa prima" dan pencantuman dalam body Undang-Undang Dasar, Ketetapan M P R S / 1 9 7 0 Bab II membuktikan apa yang telah dikemukakan diatas. Ketentuan umum pasal 2, (3, 4) T A P M P R S / 1 9 7 0 Bab II antara lain menyatakan: "Menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran disekolah mulai dari sekolah rakyat sampai dengan Universitas-Universitas Negeri dengan pengertian bahwa murid-murid berhak tidak ikut serta apabila w a l i / m u rid dewasa menyatakan keberatannya. (Lihar juga T A P M P R 1973). "Membina sebaik-baiknya pembangunan rumah ibadah dan lembaga keagamaan". Dibentuknya Departemen Agama yang menetapkan pejabat-pejabat keagamaan penggunaan-penggunaan sekolah-sekolah untuk tempat ibadah dan tempat upacara-upacara keagamaan lainnya, perayaan Isra' Mi'raj, M a u l i d N a b i kesemuanya itu memberikan bukti suatu pemisahan antara negara dan agama tidak pernah diikuti di Indonesia. Preamble, ketentuan dalam Undang-Undang Dasar, bahwa negara kita berdasarkan ke-Tuhanan Y a n g Maha Esa yang diakui sebagai sila pertama menunjukkan tidak diakuinya separation between state and church. D a n ketentuan itu menunjukkan adanya kewajiban hukum bagi Pemerintah mengatur soal-soal keagamaan. 5.
Unsur ke-Tuhanan/'Agama
dalam Hukum
Pidana.
Dalam Kitab Undang-Undang H u k u m Pidana terdapat beberapa pasal yang menganut tentang tindak pidana yang ada hubungannya dengan agama dan kehidupan agama. Pengaturan beberapa pasal tersebut terdorong oleh karena agama itu diyakini dan diamalkan oleh hampir semua warga Negara Indonesia. M o t i f yang utama adalah oleh karena pertimbangan ketertiban umum. Jadi bukan oleh karena adanya pandangan objectivitas agama itu sendiri. Beberapa pasal yang akan disebutkan dibawah pada hakekatnya merupakan tindak pidana yang menyangkut kehidupan agama. Seperti pasal 156 K U H P , pasal 156 a, pasal 175 K U H P tentang merintangi pertemuan agama atau upacara agama, Pasal 176 K U H P , mengganggu pertemuan agama atau upacara aga53
ma dengan cara mengadakan huru hara, Pasal 177 K U H P tentang menertawakan pegawai agama dalam menjalankan jabatannya dan menghina barang untuk menjalankan ibadat. Pasal 279 K U H P dan pasal 280 tentang pelanggaran ketentuanketentuan dalam perkawinan. Pasal 503 K U H P , membuat riuh didekat tempat yang digunakan untuk melakukan ibadat. D i Indonesia prae-merdeka untuk memberantas gerakan kebangsaan dan kemerdekaan kita disisipkanlah pasal-pasal haatzaai-artikelen, misalnya pasal 156 K U H P , dimana obyek perbuatan yang dipidana adalah golongan penduduk, yang antara lain berbeda karena Agama, yang dinegeri Belanda sendiri tidak diterima dan disalurkan melalui pasal lain. Menurut Menteri Kehakiman Belanda pasal tersebut tidak saja mengandung kemungkinan adanya suatu penghinaan materiil, melainkan juga penghinaan formil, sedangkan Pemerintah Belanda dahulu hendak membatasi diri pada pemidanaan penghinaan formil tanpa maksud memperluas pemidanaannya terhadap penghinaan materiel. Demikianlah alasannya pada waktu menolak pasal-pasal seperti pasal 156 dimasukkan dalam W.v.S. Baru kemudian dalam zaman merdeka dan dalam Negara Pancasila dimana sila Ketuhanan Y a n g Maha Esa tidak dapat dipisah-pisahkan dengan agama. maka ditetapkanlah Penetapan Presiden R.I. N o . 1 tahun 1965 yang dalam pasal 4 berbunyi: "Pada K i t a b Undang-Undang H u k u m Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 156 a : Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barangsiapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan-petbuatan : a.
yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut d i Indonesia,
b.
dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Y a n g Maha Esa".
Kalau kita membaca penjelasan pasal demi pasal maka mengenai pasal 4 dinyatakan: Maksud ketentuan i n i sudah cukup dijelaskan dalam penjelasan umum diatas. Cara mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan dapat dilakukan dengan lisan, tulisan ataupun perbuatan lain. H u r u f a. Tindak pidana yang dimaksud disini, ialah semata-mata (pada pokoknya) ditujukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina. Dengan demikian maka uraian-uraian tertulis maupun lisan yang dilakukan secara obyektif, zakelijk dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat bermusuhan atau penghinaan, bukanlah tindak pidana menurut pasal i n i . H u r u f b. Orang yang melakukan tindak pidana tersebut disamping mengganggu ketenteraman orang beragama, pada dasarnya mengkhianati sila pettama Negara secara fatal, dan oleh karenanya adalah pada tempatnya, bahwa perbuatannya itu dipidana sepantasnya. Kalau kita melihat kepada penjelasan umum maka disitu dinyatakan bahwa aturan i n i (Penpres no. 1/1965) melindungi ketenteraman beragama dari penodaan, penghinaan serta ajaran-ajaran untuk tindak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Y a n g Maha Esa. 54
Baik penjelasan umum maupun penjelasan pasal demi pasal, memusatkan perhatiannya pada maksud pasal tadi, yaitu hendak melindungi ketenteraman orang beragama terhadap penodaan/penghinaan Agama atau ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama. Dalam hubungan penempatan delik tersebut dalam Bab V B u k u II K U H P , Prof. Oemar Seno A d j i ( H u k u m Acara Pidana dalam prespeksi) menyatakan : "Jikalau ketenteraman orang-orang beragama dipandang sebagai suatu kepentingan hukum yang harus dilindungi maka dapatlah dipahami bahwa delik baru i n i yang termuat dalam pasal 156 a K U H P dimasukkan dalam Bab V Buku II mengenai kejahatan terhadap ketettiban umum. Selanjutnya beliau mengatakan: dalam kerangka tiga teori tentang delik agama, maka ia merupakan suatu perwujudan dari "Gefuhlsschutz — theorie" yang hendak melindungi rasa keagamaan. Apabila ketenteraman orang-orang yang beragama yang hendak dilindungi oleh pasal 156 a K U H P maka dasar-dasar "Friedensschutz — theorie" merupakan fundamen pasal tersebut. Oleh karena itu bagaimanapun juga, apakah kita hendak melindungi rasa ketenteraman orang-orang yang beragama, araukah ketenteramannya yang hendak dilindungi, ia akan merupakan suatu delik terhadap ketertiban umum. Pasal 156 a K U H P memperluas pemidanaannya pada pernyataan-pernyataan terhadap agama. Pasal tersebut membatasi d i r i pada pemidanaan pernyataanpernyataan terhadap agama, dengan tidak melanjutkan pemidanaannya secara langsung pada pernyataan-pernyataan terhadap N a b i , Kitab Suci, Pemuka-pemuka Agama, Lembaga Agama dan sebagainya. Juga pasal 156 a tidak sedikitpun menyinggung ucapan-ucapan ataupun perbuatan yang mengejek, menghina Tuhan. Dus pasal tersebut tidak mengandung suatu peraturan pidana semacam "Godslastetingswet" seperti di Terman ataupun d i N e g e r i Belanda. Jadi oleh karena itu seharusnya pasal 156 a itu perlu didampingi dengan suatu ketentuan yang memidanakan secara langsung ejekan, penghinaan terhadap Tuhan. Prof. Duynstee berpendapat bahwa perlu adanya suatu bab baru (di N e geri Belanda) dan tersendiri mengenai kejahatan terhadap Agama. Pendapatnya itu didasarkan pada suatu pendirian bahwa negara memandang agama sebagai suatu faktor yang sangat penting, sebagai suaru soko guru dari gedung masyarakat. Dikatakan oleh Prof. Oemar Seno A d j i , S . H . : Dalam kehidupan hukum dan keagamaan kita dimana sila Ke-Tuhanan merupakan causa prima dalam negara Pancasila dan dimana dalam Body U n dang-Undang Dasar pasal 29 ditegaskan bahwa negara berdasarkan atas K e Tuhanan Y a n g Maha Esa, maka ejekan penghinaan, penodaan Tuhan yang kita puja dan sembah tidak dapat dibiarkan tanpa pemidanaan. Selanjutnya beliau menegaskan, penodaan agama yang dipidanakan dalam penpres N o . 1 tahun 1965 kurang mencakup pernyataan-pernyataan ejekan, mengotori, meajelekkan nama Tuhan. Suatu konstruksi hukum yang akan mengidentikkan T u h a n dengan Agama, seperti halnya dengan pandangan yang melihat adanya titik-titik persamaan an55
tara agama dengan Nabi, Kitab Suci, pemuka-pemuka Agama, penganut agama, dan lain-Iain, merupakan suatu "interpretatieve tour de force" yang berlebihlebihan. Melihat kepada sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai titik dasar kehidupan bernegara dalam Negara Republik Indonesia maka delik-delik semacam Godslastering atau blasphemy seharusnya diprioritaskan dari Delik Agama seperti dinyatakan dalam Penpres No. 1 tahun 1965. Didalam K U H P Indonesia yang baru nanti, perlu kiranya dipikirkan penciptaan delik-delik agama yang bukan saja mengingat akan ketertiban umum ataupun motif dan cara sebagai dasar pemidanaan sebagaimana yang terlihat dikebanyakan perundang-undangan barat, akan tetapi perlu didasarkan atas "Religionsschut-theorie". Teori ini berpendapat Agama adalah suatu kepentingan hukum yang harus dilindungi oleh negara. Oleh karena itu pemidanaannya harus didasarkan oleh karena Tuhan itu sendiri, jadi bukan karena rasa keagamaan itu tersinggung. Dalam negara dimana ke-Tuhanan dan Agama memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat maka apa yang dikemukakan diatas itu cukup beralasan. Dikatakan oleh Prof. Oemar Seno Adji, S.H. : Dan jikalau kita hendak melahirkan delik "blasphemy" delik Godslastering, maka ia harus didasarkan atas keyakinan kita bahwa Tuhan adalah Tuhan, bahwa kita mengagungkan Nama dan sifat Tuhan, kita menyembah kepada Nya, bukan karena pernyataan demikian akan melukai rasa keagamaan dari rakyat yang bersangkutan ataupun karena caranya dapat membahayakan ketertiban dan keamanan umum, Suatu pemidanaan atas blasphemy harus didasarkan atas hakiki dari Godslastering itu sendiri Dalam penyusunan K U H P Nasional nanti, sangat berguna jika kita mengoper apa yang diusulkan oleh Ilmiah Islamiah seksi Pidana yang menghendaki penambahan pasal-pasal tentang delik-delik mengenai Agama yaitu : a. b.
pengakuan Nabi palsu dan Kitab Suci palsu; penganutan dan penyebaran atheisme (tidak ber-Tuhan dan anti Tuhan);
c. d.
penghinaan terhadap Allih. Nabi dan Kirab Suci; penghalangan dan penggangguan terhadap orang beribadat secara upacara keagamaan.
6.
Pandangan Agama terhadap Hukum Pidana.
A.
Pengertian Pidana menurut Agama Islam.
Yang dimaksud dengan Pidana atau Jarimah ialah: larangan-larangan agama yang diancam hukuman-hukuman — had (yang telah ditentukan hukumannya) atau ta'zir (yang belum ditentukan hukumannya). Adapun larangan-larangan tersebut adakalanya berupa mengerj akan sesuatu perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan oleh Agama. Sesuatu perbuatan baru dianggap tindakan Pidana ialah apabila diancam dengan suatu hukuman yang telah ditentukan terhadap pelakunya. 56
Pengertian Jarimah menurut Agama Islam tidaklah berbeda dengan pengertian tindak pidana (peristiwa pidana, delik) pada Hukum Pidana Positif. Para ahli Hukum Islam sering kali memakai perkataan Jinayah bagi Hukum Pidana (Jarimah). Pada mulanya pengertian Jinayah dimaksudkan ialah hasil perbuatan seseorang dan biasanya dibatasi kepada perbuatan yang dilarang saja. Akan tetapi pengettian tersebut oleh para ahli Hukum Islam dimaksudkan dengan jinayah itu ialah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Agama, baik perbuatan itu merugikan jiwa atau harta benda maupun yang lain-lain. Akan tetapi kebanyakan para ahli Hukum Islam mempergunakan istilah Jinayah itu hanya untuk perbuatan yang merugikan jiwa orang atau anggota badan seperti membunuh, melukai, memukul, menggugurkan kandungan dan lain-lain sebagainya. B.
Dasar larangan dan hukuman menurut Agama.
Hal yang mendorong Agama untuk menganggap sesuatu perbuatan sebagai jarimah (tindak pidana) ialah karena perbuatan tersebut dapat merugikan kepada rata atutan masyarakat atau kepercayaan-kepercayaan arau merugikan kehidupan anggota-anggota masyarakat atau harta bendanya atau nama baiknya atau perasaan-perasaannya atau pertimbangan-pertimbangan lain yang harus didihormati dan dipelihara. Sesuatu hukuman yang diancam kepada seorang pembuat (dader) ialah agar orang banyak tidak melakukan sesuatu jarimah, sebab larangan atau perintah semata-mata tidak akan cukup. Meskipun hukuman itu sendiri bukanlah merupakan sesuatu kebaikan, bahkan suatu pengrusakan bagi sipembuat pidana itu sendiri, akan tetapi meskipun demikian hukuman tersebut sangat diperlukan oleh karena hal itu dapat membawa keuntungan yang nyata terhadap masyarakat. Akan tetapi sebaliknya bahwa sesuatu krimah (perbuatan pidana) kemungkinan dapat membawa keuntungan, namun demikian keuntungannya bagi sipembuatnya itu sama sekali tidak menjadi pertimbangan Agama (Syara') dan oleh karena itu agama melarang perbuatan pidana tersebut oleh karena segi kerugiannya itulah yang diutamakan sebagai bahan pertimbangan Agama. Umpamanya perbuatan-buatan zina, menyerobot hak milik orang lain, tidak mengeluarkan zakat dan lain-lain, mungkin dapat membawa keuntungan bagi pribadi-pribadi tertentu, akan tetapi keuntungan-keuntungan tersebut tidak menjadi pertimbangan agama. Perbuatan-perbuatan tersebut dilarang oleh agama, bukanlah oleh karena segi keuntungan perseorangan, melainkan karena perbuatan-perbuatan tersebut akan membawa kerugian bagi masyarakat, Hampir-hampir tidak kita ketemukan bahwa suatu perbuatan itu hanya membawa keuntungan semata-mata atau menimbulkan kerugian semata-mata akan tetapi kebanyakan perbuatan itu mengandung campuran antara keuntungan dan kerugian. Sesuai dengan tabiatnya, bahwa manusia itu selalu memilih perbuatan-perbuatan yang akan lebih banyak membawa keuntungan bagi dirinya dari pada kerugian, meskipun dia mengetahui perbuatannya itu akan merugikan masyarakatnya. Petbuatan yang akan lebih banyak membawa kerugian bagi dirinya dari pada keuntungannya akan dihindarinya meskipun dia ketahui perbuatannya tersebut menguntungkan masyarakat. Maka hukuman itulah yang menjadi imbang57
an bagi tabiar yang demikian itu, sebab hukuman tersebut dapat mendorong manusia untuk mengerjakan apa yang tidak disukainya selama dapat menjauhkan mereka dari apa yang disukainya selama akan membawa kerugian bagi masyarakar. Memang ada orang-orang yang suka mengerjakan kebaikan atau meninggalkan sesuatu perbuatan pidana bukan karena takut akan hukuman melainkan karena kesadaran diri, akan tetapi namun jumlah mereka itu adalah sedikit sekali, sedangkan undang-undang itu diadakan untuk sebagian besat masyarakat manusia bukan untuk segolongan kecil dari mereka. Ringkasnya dasar pelanggaran dari suatu perbuatan ialah pemeliharaan kepentingan masyarakat itu sendiri Tuhan sendiri yang mengadakan laranganlarangan (hukum-hukum) tidak akan mendapatkan keuntungan karena ketaatan manusia, sebagaimana juga halnya tidak akan menderita kerugian karena penourhakaan mereka. Dalam hal i n i Agama Islam sama pendiriannya dengan hukum positif (hukum umum) didalam menetapkan perbuatan-perbuatan pidana beserta hukumanhukumannya yaitu sama berprinsip memelihara kepentingan dan ketenteraman masyarakat serta menjamin kelangsungan hidupnya. Meskipun demikian tetdapat juga perbedaan-perbedaan yang jauh antara keduanya yaitu antara lain bahwa Syariat Islam itu menganggap akhlak yang tinggi metupakan salah satu sendi masyarakat. Oleh karena itu Agama Islam sangat mempethatikan soal akhlak dimana setiap perbuatan yang bettentangan dengan akhlak yang tinggi sudah tentu diancamkan dengan hukuman. A k a n tetapi tidak demikian halnya dengan hukum positif yang dapat dikatakan telah mengabaikan soal-soal akhlak sama sekali dan barulah mengambil tindakan apabila perbuatan-perbuatan tetsebut membawa kerugian langsung bagi perseorangan atau ketenteraman masyarakat. Sebagai contoh ialah perbuatan zina. H u k u m positif tidak menghukum perbuatan tersebut, terkecuali apabila terjadi perkosaan terhadap salah satu pihak, atau tanpa kerelaan dari salah satunya, katena dalam hal demikian perbuatan tersebut merugikan perseorangan maupun ketenteraman umum. A k a n tetapi Agama Islam menghukum perbuatan zina dalam keadaan dan bentuk bagaimatiapun juga, karena zina itu dianggapnya bertentangan dengan akhlak, dan apabila akhlak rusak maka rusaklah masyarakat. D e m i k i a n pula minuman-minuman keras. Kebanyakan hukum positif tidak menjatuhkan hukuman atas perbuatan tersebut karena perbuatan itu sendiri, melainkan apabila sipeminumnya berada dijalan umum dalam keadaan mabuk, karena dalam keadaan itu akan mengganggu orang ramai. Jadi hukuman itu dijatuhkan bukan karena anggapan bahwa m i n u m itu suatu perbuatan keji atau perbuatan yang merusak akhlak. A k a n tetapi syatiat Islam menghukum perbuatan m i n u m itu sendiri meskipun sipeminumnya tidak mabuk, karena yang menjadi perhatian agama ialah segi akhlak yang apabila sudah dapat dipelihara maka akan terpelihara pula kesehatan badan, nama baik, harta, jiwa, dan ketenteraman masyarakat, sehingga dengan demikian pula sudah tercapailah tujuan utama dari A g a m a Islam, yaitu memerintahkan ummatnya untuk melakukan akhlak yang baik serta menganjurkan keutamaan, dan bertujuan pula membentuk masyarakat yang baik. 58
C.
Tujuan
Agama
Islam dalam menetapkan suatu
hukuman,
Sebagaimana kita ketahui bahwa Agama Islam mencegah dilakukannya sesuatu yang terlarang dengan cata mempetingatkan akan hukuman (pidana) yang akan dijatuhkan oleh A l l a h diakhitat kelak dalam bentuk dan versi yang dapat membangkitkan rasa takut yang cukup besar didalam jiwa seorang •— mukmin untuk melakukan sesuatu perbuatan yang terlarang itu sekaligus menghindarkan masyarakat dari akibar buruk yang mungkin terjadi. Disamping itu Agama Islam menentukan pula bagi perbuatan-perbuatan pidana suatu hukuman dunia sehingga oleh karenanya diharapkan oleh Agama Islam bahwa kedua macam hukuman itu dapatlah hendaknya saling bekerja sama dalam menumpas dan mencegah terjadinya sesuatu kejahatan/pelanggatan, dengan cara menggunakan pencegahan secara Agama dan secara kekuasaan yakni dengan ancaman hukuman. Diantara kejahatan-kejahatan dalam pandangan Agama Islam memang ada kejahatan yang tidak mungkin dapat dibuktikan secara feiten (nyata) seperti mengupat, memfitnah, dengki, bohong dan lain-lain, yang mana perbuatanperbuatan i n i lebih erat hubungannya dengan masaalah moral dari pada dengan perbuatan-perbuatan yang nyata atau kejahatan-kejahatan tersebut lebih dekat hubungannya dengan pebuatan nyata, akan tetapi tidak sampai ketaraf kejahatan k r i m i n i l seperti mengambil harta orang lain. Maka dalam hal-hal yang kira sebutkan diatas i n i ancaman hukumannya hanyalah dengan hukuman diakhirat kelak, yang selanjutnya terserah kepada Tuhan Y a n g Maha Esa yang mengetahui segala yang terkandung dalam hati seseorang yang tersembunyi dalam dadanya. Diantata kejahatan-kejahatan menurut peadapatan Agama Islam itu ada yang bethubungan erat dengan kehidupan masyarakat yang besar sekali pengaruh buruknya terhadap hak perseorangan dan masyarakat. M a k a oleh sebab itu dalam hal i n i Agama Islam telah menentukan hukuman duniawinya dan dalam hal i n i Penguasa (Pemerintah) harus melakukan dan melaksanakannya. Kalau kita teliti dengan cerrhat, bahwa Agama Islam telah menentukan cara-cara melaksanakan hukuman itu dengan dua jalan yaitu: a.
hukuman-hukuman yang telah dijelaskan oleh A l l a h Suci A l - Q u r ' a n secara terperinci dan mendetail;
b.
hukuman-hukuman yang sama sekali tidak ditentukan dalam Al-Qur'an, akan tetapi dengan penuh wewenang diserahkan kepada para hakim untuk menentukan hukumannya, dan inilah yang dinamakan Ta'zir.
A d . a.
Didalam K i t a b Suci A l - Q u r ' a n dan Sunnah N a b i Muhammad telah dijelaskan secara pasti hukuman-hukuman dari berbagai kejahatan tertentu yakni kejahatan-kejahatan yang pada umumnya, dapat dianggap sebagai induk kejahatan, mengingat bahwa kejahatan itu telah berurat berakar dalam jiwa sipenjahat dan juga bahayanya sangat besar bagi masyarakat. Adapun kejahatan a tersebut adalah: 1,
dalam
Kitab
H u k u m pelanggatan terhadap agama dengan cara mengingkari Agama itu sendiri. 59
Suatu tindakan permusuhan terhadap agama ialah dengan cara mengingkari agama/mengingkari pokok-pokok ajaran agama yang seharusnya mudah diketahui oleh pemeluk-pemeluknya atau melakukan sesuatu yang sifatnya merendahkan dan mendustakan Agama. Mengenai kejahatan i n i disebutkan oleh A l l a h Qur'an II ayat 217 yang maksudnya:
dalam A l -
"Siapa-siapa yang murtad dari agamanya lalu ia meninggal dalam kekafiran, maka amalan-amalannya menjadi hapus didunia dan akhirat dan mereka inilah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal didalamnya". Kalau kita melihat dalam ayat i n i hukumnya tidak lebih dari penghapusan amalan dan pembalasan akhirat berupa kekal dalam neraka. Adapun hukuman dunia bagi kejahatan i n i adalah hukum bunuh yang ditetapkan oleh para ahli hukum Islam berdasarkan suatu hadist N a b i yang d i riwayatkan oleh Ibnu Abbas yang maksudnya : "Barangsiapa yang menukar agamanya, maka bunuhlah dia". 2.
H u k u m a n terhadap pelanggaran kehormatan dengan zina dan tuduhan berzina, dan hal i n i disebutkan oleh A l l a h dalam Surat I V ayat 15 dan 16 dan dalam Surat A n - N u r ayat 2 dan 3. Adapun hukuman pidana terhadap pelaku-pelaku zina didera 80 kali.
3.
H u k u m a n terhadap pelaku pencurian atau mengganggu ketenteraman umum dengan peperangan dan berbuat keonaran diatas dunia i n i . A d a p u n mengenai pencurian itu disebut oleh A l l a h dalam AI-Qur'at Surat A l - M a i d a h ayat 38, 39 yang maksudnya: "Pencuri laki-laki dan pencuri wanita hendaklah dipotong tangan mereka, sebagai pembalasan terhadap perbuatan mereka dan sebagai siksaan dari A l l a h , dan A l l a h Maha perkasa dan Maha bijaksana. Barangsiapa yang berraubat serelah berbuat aniaya, dan memperbaiki dirinya maka A l l a h menerima taubatnya. Sesungguhnya A l l a h Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Mengenai tindakan mengacau keamanan dengan peperangan dan berbuat kerusakan disebutkan oleh A l l a h dalam surat A l - M a i d a h ayar 33 yang maksudnya: "sesungguhnya pembalasan bagi orang-orang yang memerangi A l l a h dan Rasulnya dan membuat kerusakan diatas bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka timbal balik atau mereka dibuang dari negerinya. Semua pembalasan i n i adalah sebagai penghinaan bagi mereka diatas dunia".
4.
H u k u m a n merusak akal dengan meminum minuman keras. Didalam Al-Qur'an sama sekali tidak disebutkan suatu hukuman duniawi mengenai hal i n i , akan tetapi yang dise-
60
butkan mengenai minuman keras itu hanyalah dalam A l Qur'an Surat A l - M a i d a h ayat 90 dan 91 yang maksudnya: " W a h a i orang-orang yang beriman sesungguhnya minuman keras (khamar), berjudi, mengadu nasib dengan panah, adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan Syethan, maka oleh sebab itu hindarkanlah perbuatan-perbuatan tersebut agar kamu berbahagia. Sesungguhnya syaitan menghendaki terjadinya permusuhan serta kebencian antara kamu disebabkan minuman keras dan perjudian itu serta mencegah kamu dari mengingati A l l a h dan dari sembahyang. Maka maukah berhenti dari pada yang demikian itu ? A d a p u n mengenai hukuman duniawi, ada hadist yang menyatakan bahwa N a b i Muhammad pernah memukul orang yang m i n u m minuman keras dengan pelepah kurma sebanyak 40 kali, juga A b u Bakar berbuat demikian, kemudian Umar memukulnya 80 kali. 5.
H u k u m a n membunuh, memotong atau melukai. Inilah semua hukuman-hukuman yang telah dijelaskan oleh A l l a h didalam Al-Qur'an dan As-Sunnah yaitu tentang kejahatan-kejahatan yang telah disebutkan. D a l a m semua kejahatan-kejahatan i n i terdapat padanya hak A l l a h dan hak hambanya. M a k a oleh sebab itu perlu dicatat disini bahwa kejahatan-kejahatan yang oleh agama Islam telah dinyatakan hakekat dan hukumannya, ada yang oleh sementara pendapat para ahli hukum Islam dianggap sebagai pelanggaran tethadap hak A l l a h semata-mata yaitu mengenai hal-hal yang menyangkut kehormatan Agama, ketertiban dan ketenteraman umum. A d a pula perbuatan-perbuatan yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak A l l a h dan hak hambanya, akan tetapi yang lebih dititik beratkan dalam hal i n i ialah hak hamba, yaitu mengenai kejahatan-kejahatan yang berhubungan erat dengan kehormatan jiwa dan anggota-anggota tubuh manusia. A d a pula kejahatan yang dianggap melanggar hak A l l a h dan hak manusia akan tetapi hak A l l a h lebih besar yakni mengenai kejahatan yang menyangkut kehormatan dari segi sexuil.
.Adapun perbedaan hak itu ialah: bahwa hak A l l a h menyangkut hal-hal yang manfaatnya adalah untuk semua ummat manusia tidak khusus bagi pribadipribadi seseorang dan dihubungkan masaalah itu kepada A l l a h meskipun beliau suci dari semua kepentingan itu, hanyalah sebagai membesarkan hak itu dan peringatan bahwa hal itu adalah penting artinya bagi masyarakat. Adapun hak manusia (hamba) ialah hal-hal, yang menyangkut kemanfaatan bagi seseorang dan dihubungkan hak itu kepada hamba, karena memang hak iru khusus berhubungan erat dengan dia. H u k u m a n atas perbuatan yang melanggar hak A l l a h semata-mata atau sebahagian besar adalah bersangkutan dengan hak A l l a h semata-mata atau sebahagian besar adalah bersangkutan dengan hak 61
Allah dinamakan H a d . Adapun hukuman atas pelanggaran hak hamba diberi nama dengan qishas. Mengenai perbedaan antara H a d dan Qishas, ialah bahwasanya kejahatan kejahatan itu berlainan sifatnya, maka oleh sebab itu berlainan pulalah hukum had dan qishas itu sehingga keduanya terdapat perbedaan. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa sebagai jaminan atas terlaksananya keadilan untuk semua fihak, maka sangatlah diperlukan penelitian yang cermat tentang terjadi atau tidaknya sesuatu pelanggaran, penjatuhan hukuman serta pelaksanaannya. Mengenai hal i n i dalam ajaran Islam sudah tetdapat pedoman yang telah dikemukakan oleh N a b i Muhammad dalam salah satu Hadistnya yang maksudnya : "Hindarilah hukuman had yang didasarkan atas keraguan dan hindarkanlah sedapat mungkin pembunuhan atas seseorang muslim". D a n dalam Hadist lain N a b i Muhammad menegaskan lagi yang artinya: "Hindarkanlah sedapat mungkin hukuman had atas seseorang muslim, dan jika kamu lihat ada jalan kebebasan bagi si muslim itu, bebaskanlah dia, sesungguhnya orang-orang yang beriman atau pemimpin lebih baik ia salah dalam memberikan maaf dari pada salah dalam menjatuhkan hukuman". Perbedaan antara had dan qishas ialah terletak pada hal-hal yang pada hakekatnya disebabkan karena perbedaan sifat atau apa yang dilanggar itu antara lain ialah : 1.
qishas boleh dijatuhkan hukuman oleh hakim atas dasar pengetahuannya sendiri, sedangkan had i n i tidak dibenarkan;
2.
qishas dapat diwarisi, sedangkan had sama sekali tidak dapat diwarisi;
3.
had tidak boleh dimaafkan meskipun had terhadap tuduhan berzina, sedangkan qishas boleh dimaafkan;
4.
qishas dapat diperbolehkan adanya ayafaat orang lain, sedangkan had sama sekali tak diperbolehkan;
5.
selain had terhadap tuduhan berzina dan mencuri tidak tergantung pada ada tidaknya tuntutan dari fihak-fihak yang dirugikan, sedangkan qishas baru dapat dilaksanakan haruslah terlebih dahulu ada tuntutan dari fihak-fihak yang dirugikan;
6
yang melaksanakan had itu haruslah pemerintah sendiri dan tidak diperbolehkan orang lain, sedangkan mengenai qishas boleh saja oleh orang lain.
Berdasarkan ketentuan yang kita kemukakan dalam punt 6 diatas dapat kita jelaskan bahwa: apabila seseorang di bunuh dengan sengaja dan dia mempunyai hanya satu orang wali, maka wali itu boleh membunuh sipembunuh sebagai qishas (pembalasan baik berdasarkan keputusan hakim ataupun tidak). A d . b.
62
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa syariat Islam telah menetapkan perumusan secasa tegas tentang hukuman tethadap beberapa kejahatan tertentu. Disamping itu syariat Islam menempuh jalan lain dalam menetapkan hukuman terhadap kejahatan-kejahatan yang sama sekali ridak ada ketentuan yang positif dalam ajaran Islam, akan tetapi kejahatankejahatan tersebut diserahkan kepada kebijaksanaan Hakim/penguasa,
untuk menjatuhkan hukumannya, kepada para pelaku pidana dengan hukuman yang dianggap cukup. I n ü a h yang dinamakan dengan ta'zir. H u k u m a n ta'zir ini dilakukan pada kejahatan-kejahatan yang oleh syari'at Islam tidak dirumuskan hukumannya secara pasti, demikian juga halnya, kejahatan-kejahatan yang hukumannya sudah pasti, akan tetapi ternyata syarat-syatat berlakunya pelaksanaan hukuman itu tidak cukup, seperti tidak cukupnya jumlah saksi 4 orang terhadap terjadinya suatu perzinaan atau qishas atau adanya rencana pembunuhan akan tetapi tidak sampai terlaksana dan sebagainya. Bagi hukuman ta'zir i n i syariat Islam sama-sekali tidak menentukan jenisjenis hukuman (pidana) oleh agama Islam, akan tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman dati yang seringan-ringannya sampai seberat-betatnya. Maka dalam hal i n i hakim dibeti kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman manakah yang sesuai dengan jenis pidana ta'zir serta mempertimbangkan keadaan sipembuatnya (dader). Jadi dengan demikian sudah mempunyai suatu batas tertentu. D e m i k i a n juga jenis-jenis pidana ta'zir tidaklah ditentukan banyaknya oleh syariat Islam, dan memang pidana ta'zir tidak mungkin ditentukan jumlahnya, akan tetapi syariat Islam hanya menentukan beberapa pidana ta'zir yaitu perbuatan yang selamanya akan tetap dianggap sebagai suatu perbuatan pidana seperti riba, menggelapkan titipan, memaki orang, suapan dan sebagainya, sedangkan sebagian besar dari tindak-tindak ta'zir itu diserahkan kepada penguasa untuk menentukannya, dengan syarar, harus sesuai dengan kepentingan-kepentingan masyarakat dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang telah digariskan oleh agama dan prinsip-prinsip yang umum. A d a p u n maksud pemberian hak penentuan pidana-pidana ta'zir kepada para penguasa ialah agar supaya mereka dapat mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya serta dapat menghadapi dengan sebaik-baiknya terhadap keadaan yang mendadak. Perbedaan antara pidana ta'zit yang telah ditetapkan oleh agama dengan pidana ta'zir yang direntukan oleh penguasa ialah, pidana ta'zir yang telah ditentukan oleh agama sama sekali tidak m u n g k i n akan menjadi perbuatan yang tidak dilatang pada saat apapun juga. A k a n tetapi berlainan halnya dengan p i dana ta'zir yang ditentukan oleh Pemerintah dapat menjadi suatu perbuatan yang tidak dilarang apabila kepentingan masyarakat memang menghendaki demikian itu. D.
Urgensinya
pembahagian
Pidana Islam kepada tiga
bahagian.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa dalam H u k u m Pidana Islam terdapat tiga macam perbuaran pidana, dan hal i n i adalah sangat berbeda dengan hukum-hukum pidana lainnya. Menurur pandangan agama Islam pembahagian kepada tiga kategori pidana ialah sebagai berikut: 1.
Segi pengampunan, yaitu pada pidana hudud sama sekali tidak ada pengampunan baik dari sikorban maupun dari penguasa. Pengampunan dari salah satu pihak sama sekali tidak mempengaruhi perbuatan p i dana yang dilakukan ataupun hukumannya. A k a n tetapi berlainan hal-
63
nya pada qishas dyat, yaitu pengampunan dapat diberikan oleh sikorban. Pengampunan yang diberikan mempunyai pengaruh dan oleh karena itu sikorban dapat memaafkan hukuman qishas, untuk diganti dengan hukuman diyat dan juga i n i biasa membebaskan sipembuat pidana (dader) dari hukuman diyat itu. Penguasa (Kepala Negara) dalam kedudukannya sebagai penguasa tertinggi tidak dibenarkan memberikan pengampunan, oleh karena pengampunan dalam pidana qishas diyat itu hanya d i m i l i k i oleh sikorban, atau walinya, terkecuali apabila sikorban tidak cakap (masih dibawah umur atau gila) sedang ia tidak mempunyai wali, maka daiam hal i n i Kepala Negara (penguasa) menjadi walinya dan memberikan pengampunan. jadi dalam hal i n i penguasa, kedudukannya sebagai wali itulah yang memberikan kemungkinan baginya untuk mengampuni bukan sebagai kwalifikasinya sebagai penguasa tertinggi, sesuai dengan suatu ketentuan dalam agama Islam dimana dikatakan bahwa penguasa dapat menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali. Adapun dalam pidana ta'zir penguasa diberi hak untuk membebaskan dader dari hukumnya dengan syarat tidak menganggap hak pribadi sikorban juga bisa memberikan pengampunan dalam batas-batas yang bethubungan dengan hak pribadinya. 2.
Dalam pidana hudud apabila sudah dibuktikan, maka hakim bertugas semata-mata melaksanakan hukuman yang telah ditentukan saja tanpa dikurangi atau dilebihkan atau menggantikan dengan hukuman lain ataupun menunda pelaksanaannya. A d a p u n pada pidana qishas, kekuasaan hakim hanya terbatas pada penjatuhan hukuman yang telah ditetapkan, apabila perbuatan yang dituduhkan kepada sipembuat pidana telah dapat dibuktikan. Kalau hukuman berupa qishas, sedang sikorban memaafkan dader dari qishas; atau qishas tetsebut tidak dapat dilaksanakan karena alasan yang sah maka hakim harus menjatuhkan hukuman diyat atas sidader, selama sikorban tidak memaafkannya dari diyat. Apabila hukuman diyat i n i juga dibebaskan oleh sikorban, maka dalam hal i n i hakim dapat menjatuhkan hukuman ta'zir. A k a n retapi pada pidana ta'zir hakim mempunyai wewenang yang lebih luas yakni dari memilih macamnya hukuman yang sesuai, sampai kepada memberatkan atau meringankan hukuman dan juga dapat menyelenggarakan pelaksanaan hukuman ataupun menundanya.
3.
Segi keadaan
yang meringankan
H u k u m a n pidana hudud dan qishas diyat bagaimanapun juga keadaan si dader, tetap dilaksanakan, tanpa dikurangi atau diperingan. A k a n tetapi pidana ta'zir keadaan sikorban atau suasana ketika pidana itu dilakukan dapat mempengaruhi berat/ringannya hukuman. 4.
Alat-alat pembuktian. Untuk pidana-pidana hudud dan qishas, Agama Islam menetapkan jumlah saksi tertentu, apabila alat pembuktian hanyalah berupa saksi saja. A d a p u n dalam pidana zina dibutuhkan 4 orang saksi, yang menyaksikan sendiri terjadinya perbuatan tersebut. U n t u k pidana hudud
64
lainnya dan pidana qishas diyat dibutuhkan 2 orang saksi sedikit-dikitnya, sedang pada pidana ta'zir hanya dibutuhkan satu orang saksi saja. Jadi dengan demikian jelaslah bahwa keempat faktor yang kita sebutkan diatas i n i penting sekali artinya dalam hukum pidana Islam adalah berlainan sekali dengan apa yang berlaku di Indonesia sekarang maupun dengan H u k u m Pidana kebanyakan negara didunia i n i .
65
B A B
PROSEDUR 1.
III
PENELITIAN
Cara penentuan sampel. Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang terdiri dari 8 Kabupaten lan 2 Kotamadya, didalamnya terdapat 129 Kecamatan dan 5.480 Desa dengan luas daerah 5.539.000 ha. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 1971, jum'ah penduduk lam Propinsi Daerah Istimewa Aceh ada sebanyak 2.008.747 jiwa, dan bagi atas 422.339 Rumah Tangga/Keluarga. Sedangkan sensus penduduk hun 1961, penduduk Aceh ada sebanyak 1.628.938 jiwa. Oleh karena terdapat angka kenaikan penduduk sebesar 2,3% per tahun.
datertaitu
Untuk mendapat gambaran yang jelas tentang situasi daerah Aceh — yang menjadi objek penelitian i n i — dirasa perlu menyajikan dalam laporan i n i dara-data mengenai jumlah kecamatan, desa, R u m a h T a n g g a / K e luarga dan penduduk dalam tiap-tiap Kabupaten/Kotamadya. Data-data ini telah dipergunakan dalam pembuaran sampel yang dipandang representatif terhadap populasi secara keseluruhannya. Adapun jumlah kecamatan, desa, Rumah Tangga dan penduduk masing-masing kabupaten/kotamadya adalah sebagai berikut *) :
J N O
-
Kabupaten/ Kotamadya
1. K o d y a B . Aceh 2. ! Aceh Besar 3 Aceh Barat 4 Aceh Selatan pidie 6 Aceh Utara 7 Aceh Timur 8 A c e h Tengah 9 Aceh Tenggara 10. Kodya Sabang 5
JUMLAH *)
jumlah K e camatan 2 12 19 18 23 23 16 6 9 1 129
Jumlah Desa ) )
fa
P e n d u
duk ^
J
* 762 401 948 1.422 741 182 232 10
9.044 40.782 45.886 45.169 70.603 102.990 61.490 20.012 22,665 3.698
53.620 181.339 223.839 233.692 291.026 471.589 303.632 10875z 124.051 17.201
5.480
422.339
2.008.747
M
R
M
dan
Jumlah R u m a h Tangga dan Penduduk berdasarkan hasil sensus Penduduk
tahun 1971. Sebagaimana sudah dikemukakan dalam bagian 5 Bab I (Pendahuluan), bahwa daerah penelitian ditetapkan dengan methode "area sampling with four stages cluster", dan untuk penarikan sampelnya dipergunakan systimatic random. 67
Methode dan systimatis random i n i dapat dilakukan dalam penelitian i n i , mengingat dalam Propinsi Daerah Istimewa Aceh masyarakatnya boleh dikatakan homogeen beragama Islam, kecuali Kabupaten Aceh Tenggara yang ada sedikit bercampur dengan golongan yang beragama Krisren. Dalam stage I dari sepuluh buah K a b u p a t e n / K o t a Madya yang ada d i Propinsi Daerah Istimewa Aceh ditarik 7 buah K a b u p a r e n / K o t a Madya sebagai daerah sampel. Sebagai hasil penarikan itu telah terpilih : 1.
Kabupaten Aceh Besar yang didalamnya juga terletak Kota Banda Aceh;
2. 3.
Kabupaten Aceh Barat; Kabupaten Aceh Selatan;
4.
Kabupaten
Madya
Pidie;
5.
Kabupaten Aceh T i m u r ;
6.
Kabupaten A c e h Tengah; dan
7.
Kabupaten Aceh Tenggara.
Untuk memperoleh gambaran tethadap sampel-sampel yang terpilih i n i , dapat dikemukakan bahwa Kabupaten Aceh Besar terletak disekitar Kota Madya Banda Aceh, namun ibu kota Aceh Besar, tetap berada didalam K o t a Madya Banda Aceh (juga sebagai ibu kota Propinsi Daerah Istimewa Aceh). Kabupaten Aceh Besar, jauh sebelum zaman kejayaan kerajaan Aceh Darussalam telah dikenal sebagai tempat pusat Pemerintahan kerajaan Aceh dan oleh sebab itu apa yang dilukiskan dalam pepatah orang Aceh : ' A d a t bak potoumeureuhom, H u k u m bak Syiah Kuala, adat ngon hukom lagee zat ngon sifeut", sampai' sekarang masih tetap bersemi didalam penghidupan penduduk dalam Kabupaten Aceh Besar. Kabupaten Aceh Barat dengan ibu kotanya Meulaboh, terletak dipesisir Barat daerah Aceh dan jarak antara Banda-Aceh-Meulaboh adalah 245 k m . Penduduk seluruhnya beragama Islam dan dalam adat istiadatnya nampak adanya sedikit pengaruh adat Minangkabau, yang disini terkenal dengan istilah adat-jamee, sedang penduduk yang memegang adat-jamee ini, disebut penduduk jamee (ureueng-jamee). Kabupaten Aceh Selatan terletak dipesisir Selatan daerah Aceh sampai keperbatasan Tapanuli, dengan ibu kotanya Tapakruan yang terletak sejauh 449 km. dari Banda Aceh. Penduduknya pada umumnya beragama Islam, hanya terdapat sedikit yang bukan beragama Islam, yaitu yang berdiam didekat petbatasan dengan Tapanuli (Kawedanaan Singkil). Kalau dibandingkan dengan penduduk dalam Kabupaten Aceh Barat, penduduk dalam Kabupaten ini lebih besar mendapat pengaruh dari Minangkabau. Baik bahasa maupun adat istiadatnya jelas menunjukkan adanya persamaan dengan Minangkabau, bahkan dalam kota Tapaktuan hampir seluruh penduduknya berbahasa aneuk jamee (orang pendatang). D a r i pesisir Barat—Selatan, kita beralih ke Kabupaten-Kabupaten di pesisir Utara dan T i m u r yang menjadi daerah sampel dalam penelitian i n i . Y a n g pertama adalah Kabupaten P i d i e , dengan ibu kotanya terletak 112 k m dari Banda Aceh. Penduduknya seluruhnya beragama
68
Sigli, Islam
dan penduduk dalam kabupaten ini tidak setuju kalau mereka dikatakan orang Aceh, tetapi lebih suka kalau dipanggil orang Pidie saja. Hal ini juga nampak dalam pemberian nama Daerah Tingkat II nya, dimana bukan Kabupaten Aceh Pidie, tetapi adalah Kabupaten Pidie. Kalau dibandingkan dengan Kabupaten Aceh Barat/Selatan, Kebupaten Pidie penduduknya boleh dikatakan lebih "terbuka" terhadap pengaruh-pengaruh luar, hal mana disebabkan karena semenjak zaman pemerintahan Belanda dahulu daerah Pidie telah "terbuka", berkat adanya lalu lintas kereta-api Medan — Kutaraja (sekarang Banda Aceh) pulang pergi. Dari Kabupaten Pidie kita terus kepesisir Utara daerah Aceh. Oleh karena Kabupaten Aceh Utara tidak terpilih sebagai daerah sampel, kita terus kepesisir Timur daerah Aceh yaitu Kabupaten Aceh Timur. Kabupaten Aceh Timur ibukoranya Langsa, yang berjarak 436 km dari Banda Aceh. Penduduknya boleh dikatakan hampir seluruhnya beragama Islam dan daerah ini semenjak zaman pemerintahan Belanda tempo hari sudah "terbuka" dengan adanya lalu lintas kereta-api Medan — Banda Aceh dan jaraknya pun boleh dikatakan tidak begitu jauh dari Medan (Sumatera Utara). Akhirnya daerah sampel kabupaten yang tidak terletak dipesisit daerah Aceh ialah Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Aceh Tenggara, kedua-duanya daerah sampel ini terletak didaerah pegunungan Bukit Barisan. Kabupaten Aceh Tengah, ibu-kotanya Takengon yang terkenal dengan Danau Laut Tawarnya. Jarak antara Takengon — Banda Aceh adalah 321 km, dan penduduk dalam Kabuparen Aceh Tengah hampir seluruhnya beragama Islam. Kabupaten Aceh Tenggara, terletak disebelah Tenggara daerah Aceh, berbatasan dengan Propinsi Sumatera Utara. Ibu-kotanya Kotacane dan penduduknya sebagaimana sudah dikemukakan terdapat sedikit campuran dengan golongan yang beragama Kristen. Suatu keistimewaan terhadap kabupaten ini ialah, bahwa komunikasinya lebih lancar ke Medan dari pada ke ibukota Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Banda Aceh), hal mana disebabkan jalan raya dari Takengon — Kutacane belum baik keadaannya dan untuk bepergian dari Banda Aceh ke Kutacane terpaksa via Medan (jarak Banda Aceh — Medan 608 km). Apabila jalan Takengon —• Kutacane sudah baik keadaannya, jarak Banda Aceh —• Kutacane (via Takengon) hanya 544 km. Penarikan ketujuh buah kabupaten tersebut diatas sebagai daerah sampel dapat dianggap cukup representatif terhadap populasi, karena sebagaimana sudah dikemukakan, penduduk Propinsi Daerah Istimewa Aceh menurut kenyataannya homogeen beragama Islam. Adapun pelaksanaan selanjutnya dalam stage II, dari masing-masing daerah sampel kabupaten dipilih secara random tiga buah kecamatan sampel. Penarikan sampel stage II ini dilakukan sesudah penarikan sampel stage I dan hasilnya ialah sebagaimana yang telah dicantumkan dalam bagian 5 Bab Pendahuluan yang lalu. Kalau dibandingkan dengan banyaknya kecamatan dalam tiap-tiap daerah kabupaten sampel, penarikan tiga buah kecamatan, adalah relatif kecil. Tetapi mengingat populasi yang pada umumnya dapat dianggap homogeen, maka data-data atau kesimpulan yang akan diperoleh dari sampel yang terbatas ini, juga dapat dipandang cukup representatif, terhadap populasi pada umumnya. Selain dari pada itu penarikan sampel yang demikian, akan dapat menekan ong69
kos-ongkos penelitian, mempercepat waktu penelitian, sambil tetap mempextahankan kecermatan penelitian. Penarikan sampel stage III dan stage I V dilakukan di lapangan, dengan tujuan supaya sampel yang akan ditarik itu benar-benar berfungsi sebagaimana yang diharapkan, yakni dapat merumuskan dengan teliti sifat-sifat populasi. Lagi pula dalam stage I V itu penarikan sampelnya semata-mata terhadap populasi manusia, dimana nama, umur, pendidikan, pekerjaannya belum kita ketahui selagi masih berada di Banda Aceh. Itulah sebabnya sebelum diadakan penarikan sampel stage III terlebih dahulu supervisor mengadakan konsultasi dengan Camat dati kecamatan sampel. H a l i n i bukan berarti bahwa supervisor akan mengadakan penelitian terhadap sesuatu sampel yang dipandangnya baik, tetapi konsultasi itu berrujuan untuk lebih dahulu menyelidiki beberapa sifat sampel itu. N a m u n pemilihan sampel dalam stage III dan stage I V i n i , semata-mata bertujuan untuk mendapatkan sampel yang dapat dianggap mewakili populasi. Kemungkinan untuk berat sebelah karena adanya pengaruh-pengaruh selera dan motif-motif pribadi dan peneliti dalam penarikan sampel i n i , selalu dihirdarkan, karena sampel yang bersifat random tidak ditetapkan secara pribadi. Setelah sifat sampel itu dise'idiki, dilakukan penarikan tiga desa sampel dalam setiap kecamatan sampel dan berikutnya dalam setiap desa sampel diinterview lima orang Kepala keluarga. Selain dari lima orang kepala keluarga, da'am desa sampel diinterview pula Kepala Desanya (keuchik). Pada tingkat sampel kecamatan telah diinterview Camar dan Kepala K a n tor Urusan Agama Kecamatan. Data-data yang diperoleh dari keempat jenis respondent i n i , merupakan data-data primer, yaitu data-data yang datang atau asalnya dari tangan peitama. Sedangkan pada tingkat sampel kabupaten telah diinterview Bupati, Ketua Pengadilan Negeri, Kepala Kejaksaan Negeri, Kepala Resort Kepolisian. Ketua Mahkamah Syariah, dan Kepala Perwakilan Departemen Agama Kabupaten. Data-data yang diperoleh dari sampel i n i , sebagian besar merupakan data sekunder, karena kebanyakannya mengurip dari sumber-sumber lain, sehubungan dengan lapangan pekerjaannya masing-masing. Selebihnya dapat pula dianggap bahwa data-data yang diberikannya itu adalah data-data primer, karena dalam beberapa hal kepada mereka sengaja disajikan beberapa questionaire, yang tidak diberikan kepada respondent-respondent dalam sampel-sampel kecamatan/ desa dan kepala-kepa'a keluarga. Jalan i n i terpaksa ditempuh, mengingat terdapatnya heterogenitas da'am hal inrellegensia antara respondent-respDndent d i daerah sampel dikecamatan/desa dengan respondent-respondent didaerah sampel kabupaten. Data-data yang sama pula dikumpulkan dari Daerah Tingkat I (Propinsi Daerah Istimewa Aceh), terutama yang diinterview ialah Kepala Perwakilan Departemen Agama Propinsi Daerah Isrimewa Aceh, Kepala Pengadilan A g a m a / Mahkamah Syariah Tingkat I dan beberapa Pejabat lainnya, yang dipandang qualified untuk memberikan bahan-bahan sehubungan dengan penelitian i n i . 70
2.
Cara pembuatan
questionaire.
Sebagaimana sudah dikemukakan, bahwa untuk pengumpulan data-data datam penelitian i n i dipergunakan tehnik komunikasi langsung dengan melakukan interview (wawancara) pribadi karena cara yang paling lazim dan paling effektif dalam interview ialah jenis "interview pribadi". Oleh karena itu sangat diperlukan "kontak" yang Iancar antara interviewer dengan subyek yang diinterview. Dalam rencana pendahuluan dari interview yang akan dilakukan itu, telah dipersiapkan langkah-langkah yang hendak ditempuh, agar supaya dapat mempertinggi hasil pengumpulan data-data/bahan-bahan yang diperlukan itu. Persiapan-persiapan itu antara l a i n : a.
Menetapkan sampel yang akan diinterview. Terhadap sampel yang akan diinrerview (respondent) i n i terdapat heterogenitas dalam hal intellegensia, pendidikan dan bidang pekerjaannya, tetapi homogeen dalam hal agamanya yaitu agama Islam. Keadaan yang demikian i n i sedikit banyaknya akan mempengaruhi kwalitas i n formasi yang d i m i l i k i mereka, pada hal informasi itu sangat kita perlukan sehubungan dengan rujuan penelitian i n i . Berdasarkan heterogenitas tersebut diatas, para Respondent i n i secara garis besarnya dapat kita golongkan menjadi: golongan rakyat biasa dan golongan Pegawai Negeri. Golongan Pegawai Negeri dapat dibagi lagi atas : golongan pamong praja (keuchik, camat dan bupati), golongan pegawai dalam lingkungan Departemen Agama (Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, Kepala Perwakilan Departemen Agama K a bupaten dan Ketua Mahkamah Syariah Kabupaten), aparat Penegak H u k u m (Polisi, Jaksa dan H a k i m ) . M a k a untuk dapat menerima pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dan membantu seperlunya dalam jawaban-jawaban yang mereka berikan, pertanyaan-pertanyaan tethadap mereka disajikan secara tidak seragam. Pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan itu pada pokoknya dirumuskan terlebih dahulu dengan lingkup dan terdiri atas beberapa jenis pertanyaan, hal mana sesuai dengan adanya heterogenitas antara beberapa jenis respondenr. Pertanyaan (questionaite) untuk rakyat biasa adalah berbeda dengan pertanyaan untuk para H a k i m dan berbeda pula dengan pertanyaan bagi Jaksa/Polisi. Jalan i n i terpaksa ditempuh, karena berbedanya intelligensia, pendidikan dan bidang pekerjaan dari jenis-jenis respondenr. Sedangkan data-data i n i seluruhnya sangat d i perlukan, dan data-data dari kepala keluarga, keuchik dan camat saja, dipandang belum memadai dan harus dilengkapi dengan data dari Polisi/Jaksa dan H a k i m serta dari Pejabat-pejabat dalam lingkungan Perwakilan Departemen Agama, sehingga secara keseluruhannya merupakan bahan-bahan mengenai pengaruh-pengaruh agama terhadap H u k u m Pidana. Berdasarkan apa yang dikemukakan diatas, pertanyaanpertanyaan itu dapat dibagi dalam beberapa jenis, yaitu: 71
b.1. Pertanyaan-pertanyaan untuk kepala-kepala keluarga, keuchik/kepala desa, Kepala Kantor Urusan A g a m t Kecamatan, Camat -dan Bupati. b.2. Pertanyaan-perranyaan untuk Kepala Resort Kepolisian dan Jaksa. Kepada kedua jenis respondent i n i diajukan pertanyaan-perranyaan yang sama, mengingar Polisi adalah pejabat yang berwenang untuk pemeriksaan pendahuluan dalam setiap delik agama yang dipandang sebagai peristiwa pidana, dan Jaksa adalah pejabat yang melakukan pemeriksaan lanj utan/penuntutan. b.3. Perranyaan-pertanyaan untuk H a k i m / K e t u a Pengadilan N e geri. H a l mana harus disajikan rersendiri pula, karena mengingat pada akhirnya hakimlah yang menilai dan memutuskan setiap delik agama yang disampaikan ke Pengadilan. Putusan terakhir rerletak ditangan H a k i m , apakah suatu delik agama dapat dihukum atau tidak. Oleh karena itu putusanputusan H a k i m mengenai delik-delik agama i n i penting sekali untuk diteliti, sehubungan dengan pengaruh-pongaruh agama terhadap H u k u m Pidana. b.4. Pertanyaan-pertanyaan untuk para pejabat dalam lingkungan Perwakilan Departemen Agama (Kepala Perwakilan Deparremen Agama Kabupaten dan Ketua Mahkamah Syariah K a bupaten) dan Bupati. Jadi untuk Bupati terdapat dua daftar/ jenis pertanyaan, selain pertanyaan-pertanyaan ad. b.1. diatas, juga diajukan pertanyaan-pertanyaan yang disajikan untuk pejabat-pejabat dalam lingkungan Perwakilan Departemen Agama. Demikianlah dalam garis besarnya ada empat daftar/jenis tionaire untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini.
ques-
Setiap pengertian atau susunan-susunan pengertian yang dipakai didalam perranyaan telah dirumuskan sedemikian rupa, sehingga tidak mudah menimbulkan tafsiran yang lain dari pada apa yang dimaksudkan oleh peneliri. c.
Sebelum para peneliti turun kelapangan, terlebih dahulu sudah diadakan percobaan-percobaan pada beberapa orang sebagai subyek interview dalam K o t a Banda Aceh dan sekitarnya yang mempunyai sifat-sifat hampir bersamaan dengan siiat-sifat sampel, tetapi yang tidak termasuk dalam sampel. Maksudnya ialah untuk menguji apakah pertanyaanpertanyaan itu sudah cukup efektif atau tidak. Dari percobaan i n i diharapkan sudah dapat diketahui berapa lama wawancara dapat berjalan, perkataan-perkataan apa yang menimbulkan keragu-raguan pengertian, serta jenis kesulitan-kesulitan yang perlu diatasi. Selanjutnya mengenai pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan itu perlu dijelaskan lebih lanjut, bahwa pertanyaan-pertanyaan itu telah dirumuskan secara netral dalam kalimat yang pendek dan tegas. D a n bila oleh subyek yang diinterview masih dirasakan kurang jelas, in-
72
terviewer diberi kebebasan untuk menambah beberapa keterangan mengenai pertanyaan-pertanyaan telah disusun sed:mikian rupa, sehingga pertanyaan-pertanyaan yang menyenangkan dan lebih ringan didahulukan dan diakhiri dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih pelik. Terhadap materi yang ditanyakan (diteliti) dapat dikemukakan sebagai berikut: Sesuai dengan tugas yang diberikan kepada ream penelitian i n i , yaitu untuk memperoleh bahan-bahan mengenai pengaruh-pengaruh agama (Islam) terhadap H u k u m Pidana, maka penelitian i n i berritik tolak dari pendapar, bahwa adanya pengaruh-pengaruh agama (Is'am) terhadap H u k u m Pidana itu terutama mengenai: 2.1.
Penghinaan terhadap agama, seperti menghina Tuhan, R a s u l / N a b i , Kitab Suci dan sebagainya.
2.2. _ Pencurian terhadap sebagainya.
harta-harta
agama,
seperti
zakat, baital mal
dan
2.3.
Merusak bangunan-bangunan keagamaan, seperti mesjid, langgar, madrasah dan sebagainya.
2.4.
Perjudian dan sejenisnya.
2.5.
P e r z i n a a n .
2.6.
H o m o
S e x.
2.7.
Lokalisasi pelacuran.
2.8.
Keluarga Berencana.
2.9.
M i n u m a n keras dan makanan haram.
D i samping masalah-masalah tersebut diatas, dibuat pula questionaire, yang menyangkut masalah : 2.10. Kebebasan beragama (Religious Freedom). 2.11. Pemisahan/penyatuan antara Negara — Agama. 2.12. Rechtsnorm dalam K U H P - B u k u II yang perlu disesuaikan dengan normanorma agama Islam. 2.13. Tempat pengaturan diluar K U H P .
"Rechtsnorm yang baru" itu dimana, didalam atau
Demikianlah dalam garis besarnya ada 13 masalah yang menjadi materi dari keseluruhan pertanyaan-pertanyaan (questionaire) itu, yang dalam penyusunannya dimuat dalam empat daftat questionaire, karena para respondent digolongkan kedalam empat jenis pula. H a l yang terakhir i n i telah diuraikan dalam ad. b. diatas (b.1 s/d b.4.), Respondent golongan b.1. materinya meliputi ad. 2.1. s/d ad. 2.9., respondent golongan b.2. materinya meliputi ad. 2.10, s/d ad. 2.11., respondent golongan b.3, materinya pada umumnya meliputi ad. 2.1. s/d ad. 2.9., sepanjang yang berhubungan dengan hal-hal yang t-'lah diperiksa/dituntut oleh mereka, dengan penambahan materi ad. 2.12. dan ad. 2.13. bagi Jaksa (ad. 2.12. dan ad. 2.13. tidak ditanyakan terhadap Kepolisian), Terakhir respondent golongan b.4., materinya juga pada umumnya meliputi 73
ad. 2.1. s/d ad. 2.9., sepanjang yang berhubungan dengan Putusan-putusan yang telah dijatuhkan oleh Pengadilan dan ditambah dengan materi yang tersebut dalam ad. 2.12. clan ad. 2.13.
3.
Cara pengumpulan
data.
Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa untuk pengumpulan dalam penelitian i n i dipakai tehnik interview (wawancara) pribadi. Untuk itu sangat diperlukan komunikasi yang lancar antara interviewer dengan subyek yang diinterview, agar supaya data yang diperoleh benar-benar dapat dipertanggung jawabkan dipandang dati sudut penelitian secara keseluruhannya. Setelah interviewer selesai dengan segala persiapannya, selanjutnya petlu pula diadakan persiapan dipihak sampel. Respondent dihubungi dan kepadanya dijelaskan dengan singkat tetapi jelas, apa maksud peneliti serta mengapa memilihnya sebagai sampel. Biasanya para respondent yang terdiri dari pejabatpejabat, seperti Bupati, Kepala Kepolisian Resort, Kepala Kejaksaan dan sebagainya itu akan menyediakan waktu te-tentu untuk berwawancara dengannya, dan pertemuan peneliti untuk yang pertama kali hanya bersifat memberitahukan saja apa maksudnya peneliti mendatangi mereka. Tetapi untuk respondentrespondent yang terdiri dari Camat, Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, Keuchik dan kepala-kepala keluarga, biasanya dalam pertemuan yang pertama kali saja sudah dapat melakukan interview, hal mana disebabkan karena selagi peneliti masih melakukan kegiatan diibu-kota Kabupaten, maksud kedatangan peneliti telah disampaikan oleh petugas Kantor Bupati kepada Kantor-kantor Camat yang menjadi daerah sampel. Itulah sebabnya kedatangan peneliti yang pettama kali saja sudah bisa mengadakan interview. Dalam melakukan interview itu, peneliti selalu berusaha, supaya kesan pertama harus menyenangkan subyek yang diinterview, dan terdapat kebebasan serta saling pengertian antara kedua belah pihak. Pembicaraan dan pertanyaanpertanyaan diusahakan supaya dapat berjalan secara kontinu. Sesudah pertanyaan diiawab oleh respondent, jawabannya segera dicatat aitempat >arg relah disediakan. Terhadap jawaban-jawaban yang dirasa kurang tepat o'eh pene'iti, perlu pula diberi komenrar sedikit-sedikit, untuk mencek apakah yang dimaksudkan oleh respondent itu memang demikian. Disamping itu peneliti senantiasa berusaha agar supaya respondent tidak terpengaruh oleh perkataan dan sikap peneliti. "Pertolongan" hanya dapat dibetikan oleh peneliti, bilamana nampaknya pertanyaan yang diajukan itu kurang jelas bagi respondent, sehingga perlu dilengkapi dengan penjelasan-penjelasan. Begitu pula apabila jawaban dicampur baurkan oleh respondent antara fakta dengan kesan-kesan atau interpretasinya sendiri, peneliti segera memisahkannya, dan mencatat keterangan yang sesuai dengan sifat pertanyaan saja. Jawaban-jawaban respondent itu dicatat dalam tempat yang telah di sediakan, dimana untuk satu orang respondent disediakan satu tempat jawaban, yang pada bagian atasnya telah terlebih dahulu diisi dengan nama, umur, pendidikan, pekerjaan dan alamat dari respondent yang betsangkutan. 74
Mencatat jawaban itu segera sesudah respons diberikan; untuk menjaga agar supaya jangan ada jawaban yang tidak tertulis seluruhnya. Untuk keperluan mencatat ini supervisor dibantu oleh satu orang enumerator. Sesudah pertanyaan yang diajukan oleh supetvisor dijawab oleh respondent, enumerator segera mencatatnya. Agar supaya jangan bersalahan untuk nomor pertanyaan dengan nomor jawaban, maka baik supervisor maupun enumerator masingmasing memegang satu daftar pertanyaan yang sama, yang sedang diajukan kepada respondent yang bersangkutan. Demikian proses itu berlangsung, sehingga pada akhirnya seluruh pertanyaan untuk respondent yang bersangkutan selesai dijawab dan dicatat. Selanjutnya didatangi respondent berikurnya, yang telah dicatat dalam daftar respondent dan berulang lagi proses yang sama, sehingga seluruh respondent selesai diintetview. Kini seluruh jawaban dari masing-masing daerah sampel Kebupaten telah berada diatas kertas jawaban, yang untuk selanjutnya perlu disusun kedalam suatu organisasi dan sistimatik yang baik. 4.
Cara penyusunan data.
Data yang terkumpul dalam tahap diatas, lebih lanjut perlu pula disusun kedalam suatu organisasi dan sisrimatik yang baik, agar supaya dapat diolah pada tahap betikutnya. Oleh karena itu kepada tiap-tiap kelompok yang bertugas dalam satu daerah sampel Kabupaten-kecuali dalam Kabupaten Aceh Besar terdapat dua kelompok — diwajibkan untuk menyusun respondens-respons (jawaban para respondent) iru kedalam empat buah daftar yaitu: Daftar Pertama: berisi respons-respons yang diberikan oleh Bupati, Camat, Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, Keuchik dan kepala-keluarga. Jadi satu orang Bupati, tiga orang Camat, tiga orang Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, sembilan orang Keuchik dan empat puluh lima kepala-keluarga. Daftar Kedua: berisi respons-respons yang diberikan oleh Kepala Kepolisian Resort/Kabupaten dan Kepala Kejaksaan Negeri (masing-masing satu orang). Daftar Ketiga: berisi respons yang diberikan oleh Hakim/Ketua Pengadilan Negeri. Daftar Keempat: berisi respons-respons yang diberikan oleh Kepala Perwakilan Departemen Agama Kabupaten, Ketua Mahkamah Syariah Kabupaten dan Bupati (masing-masing satu orang). Masing-masing kelompok menyerahkan empat buah daftar jawaban tetsebut diatas. Oleh karena itu untuk seluruh daerah sampel kabupaten didalam Ptopinsi Daerah Istimewa Aceh terkumpul sebanyak 7 x 4 buah daftar = 28 buah daftar jawaban. Dari ke-28 buah daftar jawaban ini kemudian diklasifikasi menjadi empat buah daftar besar (yang selanjutnya disebut: Daftar A , Daftar B, Daftar C dan Daftar D), masing-masing sesuai dengan jenis questionaire-nya. Caranya ialah dengan menggabunr/kan daftar pertama dengan daftar pertama, daftar ke75
dua dengan daftar kedua dan seterusnya dari masing-masing Kabupaten sampel, sehingga pada akhirnya hanya terdapat empat buah daftar yang siap untuk d i olah dalam fase berikutnya. Dapat ditambahkan, bahwa penyusunan data-data menjadi empat kategori tersebut diatas — disesuaikan dengan jenis questionaire — semata-mata dimaksudkan untuk menyederhanakan klasifikasi data, dengan tidak mengabaikan persamaan-persamaan data dalam kategori, serta perbedaanperbedaan data antara dua karegori arau lebih. Klasifikasi tersebut sudah sewajarnya ditempuh, mengingat permasalahan yang akan dipecahkan.
76
B A B
— IV.
PENGOLAHAN
I.
DATA.
Norma-norma Agama Islam yang masih perlu dijadikan Rechtsnorm dalam Hukum Pidana.
D i m u k a telah dijelaskan, bahwa 7 buah daftar pertama (dari masing-masing Kabupaten sampel satu buah daftar), diklasifikasi kedalam satu daftar, yaitu daftar A , berikutnya 7 buah daftar kedua diklasifikasi kedalam daftar B , lebih lanjut 7 buah daftar ketiga diklasifikasi kedalam daftar C dan akhirnya 7 buah daftar keempat diklasifikasi menjadi daftar D . Adapun daftar A memuat respons-respons yang diberikan oleh para Bupati (7 orang), para Camat (21 orang), para Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan (21 orang), para K e u c h i k / K e p a l a Desa (63 orang) dan para kepala keluarga (315 orang) dari 7 buah daerah sampel Kabupaten dalam Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Respons-respons itu diberikan oleh para respondent tetsebut diatas, adalah sesuai dengan jenis questionaire yang diajukan, yaitu mengenai masalah-masalah : 1.1. Penghinaan terhadap agama. 1.2. Pencurian tethadap harta-harta 1.3. Merusak bangunan-bangunan
agama. keagamaan.
1.4. Perjudian dan sejenisnya. 1.5. Perzinaan. 1.6. H o m o Sexuil. 1.7. Lokalisasi pelacuran. 1.8. Keluarga berencana dan peragaan alat-alatnya. 1.9. M i n u m a n keras dan makanan haram. Masalah-masalah tersebut merupakan perbuatan-perbuatan yang tercela oleh agama Islam, yang dalam K U H P - B u k u II masih belum ada pengaturannya secara tegas. Oleh karena itu dalam H u k u m Pidana yang berlaku sekarang masih terdapat kekosongan pengaturan yang mengancam hukuman terhadap perbuatanperbuatan yang tercela oleh agama dan perlu ditindak. M a k a jawaban-jawaban (respons-respons) yang diberikan oleh jenis respondent-respondent tersebut diatas dapat ditetapkan kategorinya menjadi: "Norma-norma agama Islam yang masih perlu dijadikan rechtsnorm dalam H u kum Pidana". Selain dari daftar A tersebut, sebahagian besar dari daftar-daftar B dan C, yaitu respons-respons yang diberikan oleh para Kepala Kepolisian R e s o r t / K a bupaten, para Kepala Kejaksaan Negeri dan para Ketua Pengadilan Negeri, juga dimaksudkan untuk menguji pendapat mengenai norma-norma Agama Islam yang masih perlu dijadikan rechtsnorm dalam H u k u m Pidana. Karena dalam dafrar B , yang memuat respons-respons dari Kepala Kepolisian Resort/Kabupaten dan para Kepala Kejaksaan Negeri, sebahagian besar 77
berisi jawaban-jawaban mengenai penghinaan rerhadap agama, perzinaan dan deiik-delik agama lainnya, terutama yang ditekankan ia:ah segi prakteknya; artinya yang sudah pernah diusut dan dituntutnya. Dalam daftar C, yang memuat respons dari para Ketua Pengadilan Negeri dari 7 buah daerah sampel Kabupaten dalam Propinsi Daerah Istimewa Aceh, sebahagian besar juga berisi jawaban-jawaban mengenai penghinaan terhadap Agama, masalah zina dan delik-delik agama lainnya, tetapi yang diutamakan ialah dalam hal keputusan yang sudah pernah dijatuhkan oleh mereka, baik terhadap alasan hukumnya, maupun kesulitan-kesulitan lainnya dalam penjatuhan keputusan itu; karena masih adanya kekurangan-kekurangan dari peraturannya. 2.
Rechtsnorm-rechtsnorm dalem KUHP-Buku kan dengan norma-norma Agama Islam.
II yang masih perlu
disesuai-
Daftar B memuat respons-respons yang diberikan oleh para Kepala K e polisian Resort/Kabupaten dan para Kepala Kejaksaan Negeri dari 7 buah daerah sampel Kabupaten, selain memuat persoalan-persoalan mengenai "Norma-norma Agama Islam yang masih perlu dijadikan rechtsnorm dalam H u k u m Pidana", juga berisi jawaban-jawaban sehubungan dengan: "Rechtsnorm yang manakah dalam K U H P - B u k u II yang masih perlu disesuaikan dengan norma-norma agama Islam". Disamping daftar B itu, daftar C sebahagian juga memuat respons dari para Kerua Pengadilan Negeri (dari 7 buah sampel Kabupaten) mengenai hal ini. Oleh karena itu kategori kedua dari data yang telah dikumpulkan itu lapat ditetapkan menjadi: "Rechtsnorm-rechtsnorm yang manakah dalam K U H P - B u k u II, yang masih perlu disesuaikan dengan norma-norma Agama Islam" 3.
Tempat pengaturan
"rechatsnorm
yang baru" itu
dimana.
Dalam daftar B dan C juga terdapat jawaban-jawaban mengenai "rechrsnorm yang baru" — yaitu rechtsnorm yang berasal dari Norma-norma Agama Islam yang dijadikan rechtsnorm dalam H u k u m Pidana Positif — vang tempat pengaturannya menjadi masalah pula. Apakah "rechtsnorm yang baru" ini — perlu dimasukkan kedalam K U H P - B u k u II, ataukan dituangkan dalam peraturan terserdiri, jadi tetap berada diluar K U H P . Sehubungan dengan itu, terhadap data yang telah dikumpulkan itu dapat ditetapkan kategori ketiga, y a i t u : "Tempat KUHP'. 4.
Hubungan
pengaturan
"rechtsnorm
antara Negara
dan
yang baru"
itu didalam atau
diluar
Agama.
Dafrar D memuat respons-respons yang diberikan oleh para Kepala Perwakilan Deparremen A g a m a Kabuparen, para Kerua Mahkamah Syariah K a buparen dan para Bupati dari 7 buah sampel Kabupaten dalam Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Respons-respons itu mengenai masalah :
78
4.1. Kebebasan beragama, dan 4.2. Pemisahan/penyatuan antara Negara — Agama. Baik masalah kebebasan beragama, maupun masalah pemisahan/penyatuan antara Negara — Agama, dalam kwalitasnya satu sama lain dapat dikategorikan kedalam persoalan: ' H u b u n g a n antara Negara dan Agama". Oleh karena itu terhadap dara yang telah dikumpulkan itu dapat ditetapkan kategori keempat, yaitu : "Hubungan antara Negara dan Agama". Respons-respons yang berkenaan dengan masalah hubungan antara Negara — Agama perlu diteliti, karena hal itu akan mencerminkan pula sampai seberapa jauh pengaruh-pengaruh agama terhadap pembentukan hukum, khususnya H u kum Pidana. Dalam Negara yang kehidupan agamanya dipisahkan sama sekali dan negara, pengaruh-pengaruh agama terhadap pembentukan hukum jauh lebih kecil, apabila dibandingkan dengan negara yang menganut azas penyatuan antara Negara dan Agama. Begitu pula respons-respons mengenai pengertian kebebasan beragama (religious freedom) dapat pula membantu kita untuk menjelaskan tentang dasar-dasar strukturil dan pengaruh serta gerak yang ada pada data itu, sesuai dengan masalah yang akan dipecahkan, yakni "Pengaruh-Pengaruh Agama terhadap H u k u m Pidana". 5.
lkhtisar pengolahan
data.
Berdasarkan kriteria yang timbul secara logis dari masalah yang akan dipecahkan dalam penelitian "Pengaruh-Pengaruh Agama (Islam) terhadap H u kum Pidana", maka seluruh data yang terkumpul, baik yang bersifat positif maupun negatif, diklasifikasi menjadi empat kategori, yaitu : Pertama, data yang berhubungan dengan norma-norma agama Islam yang manakah yang masih perlu dijadikan rechtsnorm dalam H u k u m Pidana. Kedua,
data yang berkenaan dengan rechtsnorm yang manakah dalam K U H P - B u k u II yang masih perlu disesuaikan dengan norma-norma agama Islam.
Ketiga,
data yang berhubungan dengan pengaturan baru" itu, diluar atau didalam K U H P .
"rechtsnorm
yang
Keempat, data yang berkenaan dengan masalah hubungan antara Negara dan Agama. Masing-masing jenis data tersebut diatas mempunyai faktor-faktor yang sebanding dengan masa'ahnya, yaitu jenis data pertama mempunyai persamaanpersamaan data dalam kategori pertama, jenis data kedua mempunyai persamaanpersamaan data dalam kategori kedua, dan seterusnya. Selanjutnya data-data kategori pertama, kedua, ketiga dan keempat itu diperhitungkan persamaan-persamaannya secara menyeluruh kedalam satu klasifikasi yang lebih umum, sehingga didapat satu kebulatan dalam hubungannya dengan masalah yang akan dipecahkan, yaitu "Pengaruh-Pengaruh Agama (Islam) terhadap H u k u m Pidana". Demikianlah pada akhirnya diperoleh suaru kesimpulan yang didasarkan atas semua data yang sudah terkumpul dan terolah itu.
79
B A B — V. KESIMPULAN D A N SARAN A.
Ikhtisar Penelitian.
Dalam Bab Pendahuluan laporan ini telah dijelaskan, bahwa pelaksanaan penelitian ini dibagi dalam tiga tahap, yang berturut-turut rerdiri dari: Tahan II : Tahap Persiapan, dimana dalam tahap ini telah dilakukan kegiatan-kegiatan yang berupa : 1.
Penyusunan Project-statement.
2.
Penelitian dalam bidang literatur.
3.
Penyusunan questionaire.
4.
Up-Grading para enumerator dan supervisor.
Tahap Persiapan ini memakan waktu selama dua bulan, dari tanggal 1 Mei 1973 sampai dengan 30 Juni 1973. Project-statement telah disusun jauh sebelum tanggal 1 Mei 1973, karena menurut rencana semula (research design), penelitian ini dimulai pada tanggal 1 Januari 1973, tetapi karena beberapa hal,' tahap persiapan ini baru dapat dimulai pada tanggal 1 Mei 1973. Tahap II: Tahap Penelitian Lapangan, dimana dalam tahap ini para enumerator/supervisor yang telah di up-grade, di drop kedaeiah-daerah sampel, guna mengumpulkan data untuk keperluan penelitian ini. Tahap ini memakan waktu selama dua minggu, dari tanggal 1 Juli 1973 sampai dengan 13 Juli 1973 (termasuk pula waktu dalam perjalanan pulang pergi). Tahap III: Tahap pengolahan data dan penulisan laporan. Kegiatan dalam tahap ini terbagi atas 2 bagian, yaitu : a.
Tahap pengolahan data, memakan waktu selama 1'/ (satu setengah) bulan, dari tanggal 16 Juli 1973 sampai dengan 31 Agustus 1973. Dalam tahap ini seluruh data yang telah terkumpul, disusun kedalam satu organisasi dan selanjutnya diolah menurut sistimatik yang baik; sehingga didapat empat kategori data, sebagaimana telah diuraikan dalam Bab IV bagian 5 (Ikhtisar Pengolahan Data).
b.
Tahap penulisan laporan, yang direncanakan memakan waktu dua bulan, yaitu dari tanggal 1 September 1973 sampai dengan 31 Oktober 1973. Tetapi oleh karena adanya beberapa halangan yang tidak dapat dielakkan, laporan ini baru selesai ditulis pada akhir bulan Desember 1973, jadi terlambat hampir dua bulan dari rencana semula.
2
Kegiatan lisan laporan, team, sampai laian terakhir B.
yang termasuk didalam tahap ini, selain berupa penujuga mengadakan diskusi-diskusi antara sesama anggota pada akhirnya diperoleh suatu final-draft, sebagai peniterhadap masalah yang diteliti.
Kesimpulan — Kesimpulan. Sebelum sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang berdasarkan kepada 81
data yang telah terkumpul dan terolah itu, perlu terlebih dahulu dikemukakan bebetapa kesan umum yang dialami oleh para supervisor selama mengadakan penelitian dilapangan. Kesan-kesan umum itu ialah : 1.
Adanya heterogenitas diantara para respondenr, terutama disebabkan oleh faktor pendidikan dan bidang pekerjaan yang berbeda dari para respondent itu.
2.
Pada umumnya para respondent dapat digolongkan kedalam dua golongan, yaitu golongan pegawai negeri dan golongan swasra.
3.
Golongan "intelligensia" sebahagian besar terdiri dari pegawai-pegawai negeri dan sebahagian kecil dari golongan swasta (rakyat biasa).
4.
Sebahagian besar respondent, pada mulanya memperlihatkan sikap segan-segan untuk mengeluarkan pendapatnya secara bebas, tetapi kemudian setelah diberi pengertian seperlunya, mereka memberikan responsnya sebagaimana yang diharapkan.
5.
Sebahagian besar respondent menerima para supervisor dengan cukup h< rmat dan penuh penghargaan, tetapi respons yang mereka berikan itu kebanyakan sangat sederhana.
6.
Pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendalam pada umumnya dijawab dengan: " H a l itu terserah kepada Pemerintah".
7.
Respons yang diberikan oleh go'ongan swasta yang betpendidikan rendah, pada umumnya lebih berorientasi kepada H u k u m Agama Islam dan kebanyakan dari mereka belum dapat membedakan antara H u k u m Negara (termasuk H u k u m Pidana) dengan H u k u m Agama.
selalu
Adapun kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditarik dari data yang sudah terkumpul dan terolah itu ialah sebagai berikut:
B.1.
Norma-norma lam Hukum
«2
Aga?na Islam yang masih perlu dijadikan
rechtsnorm
da-
Pidana.
a.
Respons dari rakyat umum (kepala-kepala
keluarga).
1.
Golongan rakyat umum mengakui, bahwa perbuatan-perbuatan seperti mencuri, zina, judi dan minuman keras serta makanan haram, adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang Agama Islam. Apabila perbuatan-perbuatan tersebut dilakukan, pelakunya telah melanggar perintah Tuhan dan sebagai hukumannya adalah "berdosa". Oleh karena itu di harapkan oleh golongan rakyat i n i , supaya perbuatanperbuatan yang dilarang oleh agama Islam i n i , juga ditindak oleh Pemerintah, tetapi bagaimana hukuman dan sebagainya itu, terserah kepada kebijaksanaan Pemerintah. N a m u n menurur mereka mencuri harta-harta agama, merusak bangunan-bangunan keagamaan, hukumannya harus lebih berar dari pada mencuri dan merusak barang-barang/bangunan-bangunan yang bukan kepunyaan agama.
2.
3
4.
Disamping itu mereka juga berpendapat, bahwa sebaiknya perundang-undangan pidana yang akan disusun oleh Pemerintah itu harus sesuai dan sekurang-kurangnya dijiwai oleh prinsip-prinsip agama Islam. Sebab menurut mereka adalah juga "berdosa" apa bila tidak mentaati H u k u m Negara yang mengandung prinsip-prinsip keagamaan (dalam hal i n i agama Islam). Perbuatan-perbuatan lain seperti penghinaan tethadap agama — menghina R a s u l / N a b i , K i t a b Suci A l Qur'an dan sebagainya — homo sexuil, lokalisasi pelacuran, keluarga berencana, menurut golongan rakyat i n i adalah juga perbuatan-perbuatan yang tidak dapat dibenarkan oleh agama Islam. Oleh karena itu tethadap pelakupelakunya harus juga diambil tindakan tegas oleh Pemerintah. H o m o Sexuil, lokalisasi pelacuran, keluarga berencana adalah istilah-istilah yang masih sangat baru bagi golongan rakyat ini, tetapi meskipun demikian, menurut mereka perbuatan-perbuatan itu sangat dilarang oleh Agama. Bahkan keluarga berencana pun menurut mereka tidak dapat dibenarkan, apa lagi memperagakan alat-alat kontraseptis. Karena menurut mereka, kelahiran anak itu adalah suatu kurnia Tuhan yang tidak dapat ditolak. Diharapkan oleh golongan rakyat i n i , agar supaya homo-sexuil ditindak tegas oleh Pemerintah dan lokalisasi pelacuran serta peragaan alat-alat kontraseptis harus dilarang pula oleh Pemerintah.
5.
Akhirnya golongan rakyat i n i berpendapat pula, bahwa pemberian hukuman yang selama i n i dijatuhkan oleh Pengadilan N e g e t i terhadap perbuatan-perbuatan zina, judi, minuman keras dan lain-lain perbuatan yang dilarang oleh agama Islam, masih jauh dari yang dikehendaki oleh mereka. Keadaan yang demikian menyebabkan mereka tidak begitu yakin terhadap penyelesaian melalui Pengadilan, dan oleh karena itu dalam prakrek selama ini setiap ada kejahatankejahatan tersebut dalam masyarakat, lebih baik diselesaikan melalui masyarakat desa itu sendiri, dari pada membawanya kepada Polisi, Jaksa dan H a k i m .
b.
Respons dari Ulama golongan
6.
Ulama dari golongan swasta, yaitu dati kepala-kepala keluatga (rakyat umum) berpendapat, bahwa terhadap orang-orang yang menghina agama, merusak bangunan-bangunan agama, melanggar perintah-perintah agama dan sebagainya yang sehubungan dengan norma-norma agama Islam, Pemerintah harus mengambil tindakan tegas. H a l i n i disebabkan karena Negara Republik Indonesia berdasarkan kepada Pancasila dan menjunjung tinggi sila Ke-Tuhanan Y a n g M a h a Esa.
7.
D i s a m p i n g itu golongan i n i juga berpendapat, bahwa Negara harus diatur menurut ajaran agama Islam dan H u k u m Islam harus diperlakukan, karena rakyat Indonesia sebahagian terbesar memeluk agama Islam.
swasta.
83
Ini adalah perintah agama Islam dan perintah ini mewajibkan kepada kita untuk berjuang menyusun masyarakat yang adil dan makmur, suatu masyarakat yang disebut: "Baldatun Thayibatun warabbun ghafur". c.
Respons Agama
Kecamatan,
Keuchik/Kepala Camat dan
Desa, Kepala Kantor
Urusan
Bupati.
8.
Pada umumnya para respondenr i n i memberikan pendapat para ulama seperri yang tersebut dalam ad. b. diatas, tetapi itu semua pelaksanaannya terserah pada kebijaksanaan Pemerintah.
9.
Pemerintah harus mengambil tindakan (menghukum) orang-orang yang sengaja melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela oleh agama, sepanjang perbuatan itu berada diluar bidang ibadat. Sebahagian dari mereka ada juga yang berpendapat, bahwa dalam bidang ibadatpun perlu diambil tindakan, oleh karena ibadat adalah hubungan antara individu dengan Tuhan, yang kalau tidak ditertibkan dapat pula menimbulkan kekacauan dalam masyarakat.
10.
Norma-norma agama Islam yang mana yang perlu dijadikan rechtsnorm dalam H u k u m Pidana Positif, terserah kepada Pemerintah. Hanya saja mereka minta perhatian dari Pemerintah agar supaya benar-benar mengambil tindakan yang tegas terhadap orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merusak agama dan masyarakat, seperti, judi, zina, minuman keras dan sebagainya.
11.
Golongan i n i berpendapat, bahwa homo-sexuil yang dilakukan oleh sesama orang dewasa (laki-laki atau perempuan), merupakan perbuatan yang lebih keji dari zina dan oleh sebab itu hukumannya harus lebih berat dari hukuman zina.
12.
Pada umumnya mereka berpendapat, bahwa lokalisasi pelacuran dan keluarga berencana secara juridis dapar dibenarkan, tetapi keduaduanya adalah perbuatan yang tercela oleh agama. Oleh karena itu, menurut mereka, sangat diharapkan kebijaksanaan dari Pemerintah untuk mengaturnya. Disamping itu mereka juga berpendapat, bahwa memperagakan alat-alat kontra-septis adalah lebih tercela oleh agama dari pada keluarga berencana itu sendiri.
d.
34
dari para
Respons dari Kepolisian,
Kejaksaan
dan
Hakim.
13.
Pada umumnya sebahagian besar dari mereka tidak sanggup untuk meiepaskan diri/pribadinya dari status mereka sebagai pegawai negeri, sehingga respons mereka lebih banyak berbau pendapat seorang pegawai negeri dalam jabatan tertentu.
14.
Respondent dari Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan N e g e r i mengakui, bahwa ada beberapa perbuatan yang menurut pandangan rakyat tidak di benarkan oleh agama Islam, retapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa karena tidak terdapat pengaturannya didalam KUHP.
15.
Pelanggaran terhadap norma Agama Islam dibidang ibadat, menurut golongan i n i tidak perlu dijadikan rechtsnorm dalam H u k u m Pidana.
16.
Dalam beberapa hal ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam K U H P - B u k u II sudah memadai. Hanya terhadap perbuatan zina (pasal 284 K U H P ) masih perlu mendapat perobahan sedemikian rupa, sehingga :
17.
B.1I.
a.
Z i n a (persetubuhan diluar perkawinan) merupakan tindak pidana, baik bagi orang yang sudah kawin maupun yang tidak kawin.
b.
Para pelakunya (dader atau mededader) harus dapat d i tahan dan ancaman hukuman perlu diperberat.
c.
Tindak pidana tetap merupakan delik aduan (klachtdelict) dan yang berhak mengadu ialah suami/isteri yang dirugikan, ataupun walinya bagi orang yang tidak kawin, walaupun orang itu sudah dewasa.
Terhadap perbuatan-perbuatan yang tercela oleh agama, pada umumnya mereka berpendapat, sebaiknya juga dijadikan rechtsnorm dalam H u k u m Pidana. Tetapi perbuatan-perbuatan tercela yang mana yang masih perlu dijadikan rechtsnorm itu, mereka menyerahkan kepada Pemerintah untuk mengaturnya.
Rechtsnorm norma-norma
dalam KUHP-Buku Agama
II yang masih perlu disesuaikan
dengan
Islam,
Respons dari Kepolisian,
Kejaksaan
dan
Pengadilan,
18.
Terhadap masalah i n i tidak dapat diharapkan dari semua golongan Respondent untuk memberikan responsnya, karena bagi rakyat umum masalah i n i terlampau sukar untuk ditanggapinya.
19.
Pada umumnya bagi para respondent yang tidak bekerja dibidang penegakan hukum, yang selalu menarik perhatian mereka hanyalah persoalan zina, judi, minuman keras, menghina terhadap Tuhan, R a s u l / N a b i , K i t a b Suci Al-Qur'an, merusak bangunan keagamaan dan sebagainya. Terhadap perbuatan-perbuatan tetsebut mereka mengharapkan agar supaya benar-benar ditindak dengan tegas tanpa p i l i h bulu, dan diselesaikan oleh Pengadilan dengan memberi hukuman yang setimpal.
20.
Para respondent dari golongan rakyat umum tetap berpendapat, bahwa semua perbuatan yang dilarang oleh Agama Islam, adalah merupakan perbuatan yang "tidak baik", dan barang siapa yang melakukan perbuatan itu adalah "berdosa", karena tidak mentaati perintah/larangan dari A l l a h .
21.
Pada umumnya, kebanyakan rakyat mengetahui/menyadari, bahwa perintah dan larangan dalam Agama Islam adalah juga demi untuk kepentingan/keselamatan masyarakat, akan tetapi mereka tidak dapat membedakan antara norma-norma Agama dan norma-norma hukum. 85
22
Statistik perbuatan zina yang terdapar pada Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan pada umumnya tidak menggambarkan kebenaran yang nyata; karena jumlah perdamaian dalam persoalan inipun tidak sedikir, bahkan sering kali juga dengan sponsor atau anjuran dari orang-orang/petugas/petugas tertentu, sehingga masalahnya terlepas dari pendaftaran.
23.
Mengenai statistik kejahatan/pelanggaran lainnya yang diumumkan oleh Kepolisian/Kejaksaan, tidak menunjukkan keadaan yang sebenarnya, karena: a.
tidak adanya penindakan, disebabkan karena telah tetjadi "damai";
b.
tidak adanya penindakan, disebabkan karena secara sadar atau tidak sadar "tidak diketahui" oleh petugas hukum;
c.
tidak adanya penindakan, oleh karena yang dirugikan berpendapat lebih baik atau lebih untung diam saja dari pada melapor;
d.
adanya penyelesaian tindak pidana tersebut melalui jalan
e.
tindak pidana yang dilakukan oleh anggota angkatan bersenjata, tidak masuk wewenang Kepolisian/Kejaksaan.
administratief;
24.
Bagi para respondent yang bekerja diluar bidang penegakan hukum, pada umumnya menganggap, bahwa hukuman yang paling berat adalah hukuman terhadap kejahatan (misdrijf) yang ditentukan oleh Negara dalam Undang-Undang Pidana. D i s a m p i n g itu hati nurani mereka menginssafi juga, bahwa melakukan kejahatan adalah juga larangan dari agama, dan oleh karena itu dalam kenyataannya apabila hukuman dari negara itu dicoba penyelesaiannya dengan jalan "damai", pada umumnya juga berhasil dengan baik.
25.
Pada umumnya respondent dari Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan mengakui, bahwa ketentuan-ketentuan didalam K U H P - B U K U II, sudah boleh disebut memadai, karena disamping itu Pemerintah juga sudah menciptakan ketentuan-ketentuan pidana yang terletak diluar K U H P , yang melarang orang untuk melakukan perbuatanperbuatan yang tercela oleh Agama Islam ataupun yang melanggar kepentingan,- ketertiban masyarakar.
26.
Kalaulah pada masa sekarang i n i ada orang-orang yang merasa belum puas terhadap peraturan-peraturan yang sudah d i m i l i k i oleh Pemerintah guna memberantas petbuatan-perbuatan yang dapat merugikan Agama dan masyarakat, karena masih dianggap kekurangan peraturan, maka anggapan yang semacam itu pada hakekatnya bukan karena adanya "kekosongan" (vacuüm, leemte didalam perundang-undangan), melainkan justru karena pelaksanaannya itu sering kali tidak benar ataupun tidak tepat. Misalnya karena faktorfaktor "pilih bulu", baik dalam penindakannya, maupun dalam pelaksanaannya.
B.III.
27.
Menurut para respondent dari Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan, norma-norma H u k u m Pidana yang terdapat dalam K U H P , memang tidak selamanya justru cocok sekali dengan norma-norma yang ada dalam Agama Islam. Tetapi menurut mereka, setidak-tidaknya tidak ada yang bertentangan dengan tujuan hakiki dari Agama Islam, karena norma-norma yang terdapat didalam K U H P itu adakaianya dengan maksud untuk memperlindungi perorangan, golongan masyarakat tertenru, masyarakat seluruhnya ataupun kepercayaan yang dianut oleh golongan-golongan masyarakat.
28.
Mengenai sanksi yang terdapat didalam K U H P pada pokoknya sudah memadai, karena Pengadilan dalam menjalankan tugasnya disertai dengan rasa tanggung jawab yang penuh. A k a n tetapi beberapa perbuatan tertentu seperti tersebut diatas perlu diperberat dan dipertegas sanksinya.
Tempat pengaturan
"rechtsnorm
Respons dari Kejaksaan dan 29.
B. IV.
yang baru" itu
dimana.
Pengadilan.
Terhadap masalah dimana tempat pengaturan "rechtsnorm yang baru" itu — yaitu norma-norma Agama Islam yang dijadikan rechtsnorm dalam H u k u m Pidana — pada umumnya mereka berpendapat, bahwa "norma-norma hukum yang baru" itu perlu diatur dalam Bab Tersendiri dalam K U H P - B u k u II.
Pandangan
terhadap
hubungan antara Negara —
Agama.
Respons dari Bupati, pejabat-pejabat dalam lingkungan Perwakilan Departemen Agama dan Ulama dari golongan swasta.
C.
30.
Respons dari para Bupati, pada umumnya menyerahkan kepada kebijaksanaan Pemerintah Pusat.
hal itu
31.
Respons dari para pejabat dalam lingkungan Perwakilan Departemen Agama, pada umumnya berpendapat adalah benar sekali bahwa Agama Islam tidak mengenai adanya pemisahan antara Negara dan Agama. Tetapi Undang-Undang Dasar 1945 p u n tidak mengatakan ada atau tidak adanya pemisahan antara Negara dan Agama. Oleh sebab itu, bagaimana yang baik terserah kepada Pemerintah.
32.
Respons dari ulama golongan swasta pada umumnya menanggapi secara lebih positif, bahwa dalam ajaran Agama Islam tidak dikenal adanya pemisahan antara Negara dan Agama.
S a r a n — S a r a n.
Dengan memperhatikan kepada kesimpulan-kesimpulan yang telah diperoleh sebagaimana yang dikemukakan diatas, akhirnya dirasa perlu pula untuk menyampaikan saran-saran sebagai berikut: 1.
Dalam penyusunan rancangan perundang-undangan pidana yang baru nanti oleh I P H N , hendaknya beberapa perbuatan yang tercela
87
oleh Agama Islam dan belum ada pengacurannya dalam K U H P - B u k u II, dapat dijadikan rechtsnorm yang baru dalam H u k u m Pidana, Agar supaya dapat menampung aspirasi rakyat yang beragama Islam.
SS
2.
Unruk menentukan norma-norma Agama Islam yang mana yang seharusnya dapat dijadikan rechtsnorm dalam perundang-undangan pidana yang akan disusun itu, hendaknya didasarkan kepada kepentingan masyarakat secara keseluruhannya, jadi bukan hanya memperhatikan kepentingan golongan yang beragama Islam saja, karena Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan kepada falsafah Pancasila, dimana masyarakat mempunyai sifat: "Bhimieka Tunggal Ika" (perbedaan dalam kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan).
3.
Oleh karena sampai sekarang belum adanya pengertian dan keinsyafan yang merata terutama dari golongan rakyat umum, bahwa tindakan Pemerintah melalui perundang-undangan pidana terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarangnya itu adalah tetutama unruk memper!indungi masyarakat secara keseluruhannya dan juga unruk kepentingan anggota-anggota masyarakat, maka hendaknya perundang-undangan pidana yang akan disusun itu haruslah berlandaskan kepada kesadaran rakyat, baik atas dasar norma-norma agama yang dianutnya maupun atas dasar adat istiadat yang mereka agungkan dan sebagainya.
4.
Dalam kenyataannya, tingkat pengetahuan rakyat umum dalam b i dang hukum (baik H u k u m Pidana maupun H u k u m Perdara) masih sangat rendah, bahkan ada diantaranya tidak memahami apa yang di maksud dengan H u k u m Pidana. Oleh sebab itu, sejalan dengan penyusunan perundang-undangan pidana yang baru itu, Pemerintah harus pula berusaha untuk membina pertumbuhan kesadaran hukum rakyar i n i .
5.
Adanya sikap pasif dari rakyat umum sekarang i n i terhadap usahausaha Pemerintah dalam bidang pembinaan hukum, selain disebabkan kurangnya pengetahuan mereka dalam bidang hukum, juga disebabkan karena rakyat melihat dan merasa sendiri dalam kenyataan hidup sehari-hari, bahwa rerhadap perbuaran-perbuatan yang tercela oleh agama itu Pemerintah sangat kurang menaruh perhatiannya, terutama mengenai rindakan preventif. Ternyata dalam jawaban-jawaban yang mereka berikan dimana mereka hanya bersikap pasif saja dan kebanyakannya hanya menyerahkan hal itu kepada kebijaksanaan pemerintah. Oleh karena itu mulai sekarang Pemerintah sudah waktunya untuk menaruh perhatian yang lebih besar terhadap masalah ini.
6.
Sungguhpun kesadaran hukum rakyat sangat penting artinya dalam pembentukan hukum nasional, tetapi mengingat sangat rendahnya pengetahuan rakyat dalam bidang hukum i n i , maka sudah seyogyanyalah apabila dalam penyusunan perundang-undangan pidana yang baru itu, peranan yang lebih besar dipegang oleh pihak Pemerintah.
DAFTAR
BIBLIOGRAFI
1. Audah, Abdul Kadir
:
"Islam between ignorai t Followers and Incapable scularn", International Islamic Federation of Student Organization (serie: 6).
2. Asad, Mohammad
:
3. Adam Malik
:
"The principle of State and Government in Islam", terjemahan Drs. Muhammad Rajab, Jakarta, Bhatara. \ ^ "Riwayat Proklamasi Agustus 1945", Jakarta, Wijaya, 1970.
4. Ali, Syed Ameer
:
"The Spirit of Islam", terjemahan Djamadi, Jakarta, P T . Pembangunan, 1966.
5. As Shiddiqy, Hasbi, Prof.
:
"Al-Islam", Takatta, Penerbit Bulan Bintang, 1969.
6. Dewanrara, K i Hajar
:
"Pancasila", Jogya, Usaha Indonesia, 1950.
7. Gazalba, H.S., B A ,
:
"Pancasila dalam Persoalan", Jakarta, Penerbit Tinta Mas 1957.
8. Hashem, O
:
"Marxisme dan Agama", Surabaya, Yapi, 1963.
9. Hatta, Muhammad
:
"Lampau dan Datang", pidato pada waktu penerimaan gelar doktor honoris causa dari Universitas Gajah Mada pada tanggal 27 Nopember 1956, Jakarta, Penerbit Djambaran.
10. Hatta, Muhammad
:
"Sekitar Proklamasi", Penerbit Tinta Mas, 1961.
11. Hourgronye, Snouck
:
"De Atjehers".
12. Hourgronye, Snouck 13. Hanafi, A, M A .
Penerbit
"Het Gajoland en zijn bewoners". :
"Azas-Azas Hukum Pidana Islam", Jakarta, Penerbit Bulan Bintang, 1969. 89
14. Ibnu Chaldun
:
"Filsafat Islam Tentang Sejarah (beberapa Pilihan)", terjemahan Charles Issawi, M . A . disalin K e m b a l i oleh Prof. D r . M u k t i A l i , Jakarta, Penerbit T i n t a Mas, 1962.
15. Yuyntoll, T h . W .
:
"Handleiding tot de kennis van de Mohammedannschewet", 1930.
16. Mahmoud Wyaltout, Prof.
:
"Islam sebagai A q i d a h dan Syariah" (terjemahan), Jakarta, Penerbit Bulan Bintang 1969.
17. Mahadi, Prof., S.H.
:
"Beberapa kehampaan dalam perundang-undang kita", Medan, 1968.
18. Mulyatno
:
" K i t a b Undang-Undang H u k u m P i dana", Jogyakarta, 1970.
19. Muhammad Said
:
' A c e h Sepanjang Waspada, 1960.
20. Notonagoro, Prof. M r . Drs.
:
"Pancasila secara Ilmiah Popuier", Jakarta, Pancuran Tujuh, 1971.
21.
:
"Organisasi dan Yurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia", Jogyakarta, 1963.
:
"Islamic Faith and Practice" Lucknow, Academy of Islamic Research Publication Nadwatul Ulama.
73. Prins, J .
:
"Adat en Islamictische 1950.
24. Pound, Roscoe
:
" A n Introduction of Law", 1959.
:
" H a k - H a k Dasar Manusia dan Pancasila Negara Republik Indonesia", Jakarta, P . N . Penerbitan Paramita, 1960.
26. Soewandi
:
"Sekitar Kodifikasi H u k u m Nasional di Indonesia", 1955.
27. Soesilo, R .
:
" K i t a b Undang-Undang H u k u m P i dana", Bogor, Politeia, 1960.
Notosusanto
22. Naemain, Muhammad
25. Purbopranoto,
90
Manzoo
M r . Kuncoro
Abad",
Medan,
Plichtenleer",
to the Philosophy
28 Sunaryati Hartono, Ny.
:
"Menuju Hukum dan Pancasila".
29. Senoaji, Oemar, Prof., S.H.
:
"Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi", Jakarta, Erlangga.
Masyarakat
30. Salayan, Abdul Wahid
"Ikhtisar Hukum Islam", Mimbar, 1964.
31. Yamin, Muhammad, Prof. Dr. H . :
"Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945", Jakarta, Prapanca, 1959.
32. Yamin, Muhammad, Prof. Dr. H . :
"Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia", Jakarta, Prapanca (tanpa tahun).
Padang,
91
Lampiran I: Jenis dan
No. Tj
r
u
t
Jenis Respondent
i
D A E R A H Kabupaten A. Besar
Kabupaten (Kabupaten Pidie A. Timur 1
1
Kabupaten I A Tengah t
1.
B u p a t i
2.
Ketua Pengadilan Negeri
1
1
1
1
3.
Kepala Kejaksaan Negeri
1
1
1
1
4.
Kepala Resort Kepolisian
1
1
1
1
5.
Ketua Mahkamah Syariyah
1
1
1
1
6.
Kep. Perwakilan Dep. Agama
i
1
1
1
7.
Kep. Kantor Urusan Agama Kecamatan
3
3
3
3
8.
C a m a t
3
3
3
3
9.
Keuchik
9
9
9
9
Kep. Keluarga
45
45
' ' Tot a1
66
10.
1
SA
4
ffj~
5
1
45
-ff—ZL