HUKUM PIDANA ADAT DALAM PEMBENTUKAN HUKUM PIDANA NASIONAL Dr. I GUSTI KETUT ARIAWAN, S.H., M.H. (FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA)1
1. PENGANTAR Dampak globalisasi dan reformasi yang semakin tajam berakibat makin sulitnya menentukan arah tatanan dunia baru yang akan terbentuk. Di beberapa belahan dunia, telah terjadi transformasi budaya yang semakin kompleks, tetapi di beberapa tempat justru telah terjadi kesenjangan budaya (cultural lag). Pada akhirnya, hampir semua negara menyadari bahwa jika hanyut pada arus yang demikian, suatu bangsa niscaya akan hidup tanpa arah dan tujuan yang pasti. Dari kenyataan ini, muncul dan mulailah dikembangkan konsep „back to basic‟ atau menggali dan mengenal kembali identitas budaya sendiri 2 Dalam rangka pembangunan hukum di Indonesia, nampaknya konsep „back to basic‟ tidaklah dapat dikesampingkan karena antara
hukum dan budaya merupakan dua
variabel yang mempunyai hubungan korelatif, dalam artian antara hukum dan budaya merupakan dua variabel yang saling pengaruh mempengaruhi. Mencari hubungan di antara keduanya, akan melahirkan dua perspektif kajian. Dalam perspektif pertama, dapat ditempatkan hukum mempengaruhi budaya. Lewat kajian ini, budaya ditempatkan sebagai variabel terikat, di mana hukum dapat memberikan arah dalam perkembangan budaya sehingga budaya terikat pada 1Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional “Sanksi Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional”, Fakultas Dharma Duta Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar”, tanggal 9 Oktober 2015. 2 Lihat Soedjatmoko 1986. Pembangunan Sebagai Proses Belajar dalam Masalah Sosial Budaya Tahun 2000,Yogyakarta : Tiara Wacana, hal. 4 - 7
1
pola yang digariskan oleh hukum. Sebaliknya, dalam perspektif yang kedua, hukum ditempatkan pada posisi variabel yang tidak terikat. Dalam kajian yang demikian budaya menentukan arah kebijakan hukum. Hukum di sini terikat pada format yang telah digariskan oleh budaya. Oleh karena itu, jelas bahwa hukum yang dihasilkan adalah hukum yang lahir dari jelmaan budayanya. Pola pengembangan budaya dan hukum untuk menghindarkan adanya dekulturasi ataupun dehumanisasi serta terciptanya produk hukum yang sesuai dengan sistem nilai budaya, strateginya telah digariskan secara konseptual dalam GBHN tahun 1993, yaitu Tap MPR No. II/MPR/1993. Dalam kebijakan pembangunan lima tahun keenam, khususnya bidang hukum yang dalam garis besarnya dapat dijabarkan ke dalam 6 pokok pikiran sebagai berikut : 1. Materi hukum meliputi aturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang berlaku
dalam
penyelenggaraan
segenap
dimensi
kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bersifat mengikat bagi semua penduduk. 2. Pembangunan materi hukum diarahkan pada terwujudnya sistem hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional, yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 3. Pembangunan materi hukum dilaksanakan melalui penataan pola pikir yang mendasari sistem hukum nasional, penyusunan kerangka sistem hukum nasional, serta penginventarisasian dan penyusunan unsur-unsur tatanan hukum yang berlaku dengan sistem hukum nasional. 4. Perencanaan hukum harus dilaksanakan secara terpadu dan meliputi semua bidang pembangunan agar produk hukum yang dihasilkan dapat memenuhi kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara dalam segala aspeknya. 5. Dalam pembentukan hukum perlu diindahkan : 2
a. ketentuan yang memenuhi nilai filosofis yang berintikan rasa keadilan dan kebenaran, nilai sosiologis yang sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di dalam masyarakat, dan nilai yuridis yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. produk hukum kolonial harus diganti dengan produk hukum yang dijiwai dan bersumber pada Pancasila dan UUD 1945; dan c. pembentukan hukum pada umumnya perlu didukung oleh penelitian dan pengembangan hukum, serta ditunjang oleh sistem jaringan dokumentasi dan informasi hukum yang mantap. 6. Penelitian dan pengembangan hukum serta ilmu hukum dilaksanakan secara terpadu yang meliputi semua aspek kehidupan dan terus ditingkatkan agar hukum nasional senentiasa dapat menunjang dan mengikuti dinamika pembangunan sesuai dengan perkembangan aspirasi masyarakat, serta kebutuhan masa kini dan masa depan. Strategi yang digariskan secara konseptual dalam GBHN tersebut di atas, merupakan kelanjutan strategi pembangunan hukum yang telah pula digariskan dalam GBHN sebelumnya.
2. KONSEP PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA Pembaharuan hukum pidana di Indonesia, telah dirasakan sebagai suatu kebutuhan yang mendesak, sebagai akibat KUHP yang selama ini diberlakukan merupakan produk hukum peninggalan kolonial (WvS/Wetboek van Strafrecht) yang dinyatakan berlaku sebagai hukum positif di Indonesia berdasarkan UU No.1/1946 jo. UU No.73/1958.Oleh karenanya, pembaharuan hukum pidana tidak saja meliputi alasan yang bersifat politis (kebanggaan nasional untuk memiliki KUHP sendiri), alasan sosiologis (merupakan tuntutan sosial untuk memiliki KUHP yang bersendikan sistem nilai nasional) dan alasan praktis 3
(adanya KUHP yang asli berbahasa Indonesia). Selain ketiga alasan tersebut di atas, masih terdapat pula alasan yang tidak kalah pentingnya, yaitu alasan adaptif, yakni KUHP nasional mendatang hendaknya dapat menyesuaikan diri dengan
perkembangan-perkembangan
baru,
khususnya
perkembangan
internasional yang telah disepakai oleh masyarakat beradab.3 Pertimbangan lain, sebagai persoalan yang bersifat mendasar adalah hal-hal menyangkut heterogenitas kultur serta pluralisme hukum dalam masyarakat Indonesia baik yang bersifat hukum adat maupun yang bersifat religius yang mempunyai pengaruh terhadap hukum pidana. Pembentukan hukum pidana nasional, persoalannya tidak hanya terletak pada tiga substansi pokok hukum pidana, yakni yang menyangkut masalah : (1) masalah „tindak pidana‟ ; (2) masalah „kesalahan‟ ; dan (3) masalah „pidana‟. Di dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru besar Ilmu Hukum Pidana Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa dilihat dari sudut kebijakan hukum pidana, dalam arti kebijakan menggunakan/ mengoperasionalisasikan / memfungsionalisasikan hukum pidana, masalah sentral atau masalah pokok sebenarnya terletak pada masalah seberapa jauh kewenangan/kekuasaan mengatur dan membatasi tingkah laku manusia (warga masyarakat/pejabat) dengan hukum pidana. Ini berarti bahwa masalah dasarnya terletak di luar bidang hukum pidana itu sendiri, yaitu pada masalah hubungan kekuasaan/hak antara negara dan warga masyarakat. Jadi berhubungan dengan konsep nilai (pandangan/ ideologi) sosio-filosofik, sosio-politik dan sosio-kultural dari suatu masyarakat, bangsa/negara.4
Muladi.,”Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia Dimasa Datang” Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana, (Semarang: Universitas Diponegoro, 1990), hlm. 3. 4 Lihat Barda Nawawi Arief., “Beberapa Aspek...., hlm. 16. 3
4
Dari apa yang dikemukakan di atas, nampak bahwa makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana, berkaitan erat dengan aspek sosio-politik, aspek sosio-filosofis dan aspek sosio-kultural ataupun dari berbagai aspek kebijakan, baik kebijakan sosial, kebijakan kriminal maupun kebijakan penegakan hukum. Dengan demikian pembaharuan hukum pidana merupakan perwujudan dari perubahan
dan
pembaharuan
berbagai
aspek
dan
kebijakan
yang
melatarbelakangi perlunya pembaharuan hukum pidana. Dari kenyataan ini pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan re-orientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofis, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pembaharuan hukum pidana haruslah dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (“policy-oriented approach”)dan pendekatan yang berorientasi pada nilai(“value-oriented approach”).Pembaharuan dilakukan dengan pendekatan
kebijakan,
merupakan
bagian
karena
dari
pada
langkah
hakikatnya
kebijakan,
pembaharuan
yaitu
bagian
dari
tersebut politik
hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal dan politik sosial. Dalam setiap langkah kebijakan (policy), terkandung pula pertimbangan nilai. Dari kenyataan inilah pembaharuan hukum pidana, di samping harus mempertimbangkan
pendekatan
nilai,
juga
harus
mempertimbangkan
pendekatan yang berorientasi pada pendekatan kebijakan.5 Secara umum, hukum nasional yang hendak kita wujudkan harus memperhatikan perbedaan latar belakang sosial budaya dan perbedaan
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 30-31. 5
5
kebutuhan hukum yang dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu, oleh karenanya dimensi pembangunan hukum nasional menuju sistem hukum nasional yang kita cita-citakan yaitu dimensi pemeliharaan, pembaharuan dan penciptaan sedapat mungkin menggunakan wawasan pembangunan hukum nasional. Dengan demikian, cita-cita unifikasi hukum dalam bidang-bidang hukum tertentu yang kita usahakan akan sekaligus mampu menjamin tertuangnya aspirasi, nilai-nilai maupun kebutuhan hukum dari berbagai ragam kelompok masyarakat ke dalam sistem hukum nasional. Apabila persoalan ini kita kembalikan pada pemahaman tentang istilah „hukum pidana nasional‟, maka istilah nasional harus diartikan secara relatif, karena muatannya mau tidak mau harus mencakup 1) aspirasi ideologi nasional; 2) aspirasi kondisi manusia, alam dan tradisi bangsa; dan 3) kecenderungan internasional yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab. Ketiga cakupan muatan tersebut, terutama cakupan kedua, yakni aspirasi kondisi manusia, alam dan tradisi bangsa, merupakan satu fenomena
tersendiri,
lebih-lebih
dalam
hubungannya
dengan
realitas
masyarakat Indonesia yang bersifat multikultural, yang masing-masing punya konsepsi tentang apa itu perbuatan jahat. Nampaknya penyusun rancangan KUHP menyadari betul
fenomena
tersebut, sehingga dalam menetapkan sumber hukum atau dasar patut dipidananya suatu perbuatan, rancangan KUHP bertolak dari pendirian bahwa sumber hukum yang utama adalah undang-undang (hukum tertulis). Jadi bertolak dari asas legalitas dalam pengertian formal. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) rancangan KUHP Tahun 2012 (RKUHP terakhir yang telah disampaikan ke DPR, RKUUHP Tahun 2014). Berbeda halnya dengan asas legalitas yang dirumuskan di dalam KUHP (WvS) selama ini, konsep KUHP memperluas perumusannya secara materiil dengan menegaskan bahwa ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) itu tidak mengurangi berlakunya “hukum yang 6
hidup” di dalam masyarakat. Dengan demikian, di samping sumber hukum tertulis
(undang-undang)
sebagai
kriteria/patokan formal yang
utama,
rancangan KUHP juga masih memberikan tempat kepada sumber hukum tidak tertulis yang ada dan hidup dalam kenyataan masyarakat sebagai dasar untuk menetapkan patut dipidananya suatu perbuatan. Berlakunya hukum yang ada dan hidup dalam kenyataan masyarakat, terbatas untuk delik-delik yang tidak diatur dan tidak mempunyai bandingannya dalam undang-undang. Terhadap permasalahan ini, Muladi pernah mengemukakan bahwa jembatan yuridis untuk aktualisasi atau rekriminalisasi hukum
adat pidana
dalam kerangka hukum pidana nasional, sudah jelas, yaitu Pasal 5 ayat (3) sub. b UU No.1 Drt Tahun 1951 dan UU tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Jembatan teoritiknya adalah ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya baik positif maupun negatif. Di samping itu, perlu dicatat pula beberapa yurisprudensi yang memberikan kedudukan hukum adat pidana sebagai sumber hukum tidak tertulis dalam memeriksa dan memutus suatu kasus adat. Di sisi lain, secara sosiologis hal-hal di atas telah memperoleh dukungan dari „legal community‟ dalam bentuk rancangan KUHP, yang secara jelas mengakui eksistensi hukum adat pidana, mengakui sifat ajaran melawan hukum materiil, mengakui jenis pidana tambahan „pemenuhan kewajiban adat‟, mengakui penyelesaian konflik sebagai salah satu tujuan pemidanaan. Apabila persoalan ini kita kembalikan pada pemahaman tentang istilah „hukum pidana nasional‟, maka istilah nasional harus diartikan secara relatif, karena muatannya mau tidak mau harus mencakup 1) aspirasi ideologi nasional; 2) aspirasi kondisi manusia, alam dan tradisi bangsa; dan 3) kecenderungan internasional yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab. Mengkaitkan asas legalitas dengan hukum pidana adat, jelas tidak akan memperoleh titik temu, karena di satu sisi hukum pidana adat dilandasi oleh 7
falsafah harmoni dan „communal morality‟. Sedangkan di sisi lain, asas legalitas (principle of legality) berporos pada 1) legal difinition of crime; 2) punishment should fit the crime; 3) doctrine of free will; 4) death penalty for some offences; 5) no empirical research; dan 6) definite sentence, yang kesemuanya ini merupakan karakteristik daripada aliran klasik. Mencermati semua permasalahan ini, maka asas legalitas yang mempunyai elemen utama jaminan kepastian hukum terhadap keberadaan tindak pidana dan sanksi pidana (maupun tindakan) haruslah ditafsirkan dalam kerangka pemikiran neo-klasik, yang memandang pula betapa pentingnya tindak pidana natural (natural crime) atas dasar konsep „Dader-daadstrafrecht‟. Dalam hal ini terkandung pula apa yang dinamakan „demokratisasi‟ perumusan tindak pidana, dalam artian apa yang dinamakan tindak pidana mutlak dilandasi oleh persepsi yang sama antara penguasa dengan rakyat. Asas legalitas harus diartikan secara kontemporer dengan „spirit‟ yang berbeda dari aslinya dan lebih demokratis, spirit tersebut antara lain : a) Forward looking; b) Restoratif justice; c) Natural crime; dand)Integratif Atas dasar keempat tolok ukur tersebut di atas, akan dapat dilakukan suatu seleksi untuk dapat memahami, apakah delik adat dapat disejajarkan dengan hukum pidana tertulis (proses rekriminalisasi dan aktualisasi). Persoalan ini menjadi sangat penting, karena sampai saat ini masih banyaknya orang mengartikan hukum adat dan asas legalitas secara „bebas nilai‟ (value free). Keempat
tolok
ukur
sebagaimana
dikemukakan
di
atas,
memperoleh
pembenarannya dari segi konseptual, yang untuk masing-masing tolok ukur tersebut dapat diberikan penjelasan sebagai berikut : a) Spirit “forward looking” didukung oleh nilai bahwa penggunaan hukum pidana hendaknya jangan semata-mata sebagai sarana balas dendam;
8
b) Spirit “Restoratif justice” didukung oleh sistem nilai yang menegaskan bahwa kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat penggunaan hukum pidana haruslah lebih kecil dari akibat tindak pidana; c) Spirit “natural crime” dibenarkan sistem nilai bahwa, baik „law making‟ maupun „law enforcement‟ harus didukung oleh masyarakat; dan d) Spirit “integratif” didukung oleh fungsi hukum pidana yang harus mencakup pengaturan yang serasi tentang perbuatan yang bersifat melawan hukum, pertanggungjawaban pidana pelaku, pidana dan tindakan serta perhatian terhadap korban tindak pidana. Jika direduksi, maka tujuan utama hukum adalah untuk mewujudkan adanya ketertiban.Tujuan ini tentunya sejalan dengan fungsi utama hukum yaitu, mengatur. Ketertiban merupakan syarat dasar bagi adanya suatu masyarakat. Kebutuhan akan ketertiban merupakan fakta dan kebutuhan obyektif bagi setiap masyarakat manusia. Para penganut teori hukum positif menyatakan bahwa „kepastian hukum‟ sebagai tujuan hukum. Kerangka pikir positivisme hukum beranjak dari, ketertiban ataupun keteratutan tidaklah mungkin dapat terwujud tanpa adanya garis-garis prilaku kehidupan yang pasti. Keteraturan akan ada jika ada kepastian, dan untuk adanya kepastian hukum haruslah dibuat dalam bentuk tertulis. Anggapan ini dibenarkan oleh banyak kalangan akhli hukum, karena faktanya memang demikian. Tetapi sangatlah penting untuk diingat kembali, berbagai kritik yang dilontarkan terhadap bentuk hukum tertulis, karena dalam bentuknya yang demikian,hukum dapat terjebak oleh sifatnya yang kaku (rigid) sehingga sulit mengantisipasi kebutuhan hukum masyarakat. Bertolak
dari pemikiran tersebut, kepastian hendaknya
jangan ditafsirkan secara kaku, tetapi kepastian yang fleksibel, bukan dalam arti dapat ditafsirkan secara luas, melainkan bersifat lengkap, konkrit, prediktif dan antisipatif. 9
Bertolak
dari apa yang dikemukakan
tersebut di atas serta dengan
mencermati tolok ukur yang telah pula dikemukakan , maka usaha rekriminalisasi (mencakup „law making‟ dan „law enforcement‟ harus dapat merumuskan secara jelas keempat hal di atas, yang apabila dijabarkan akan menyangkut persyaratan sebagai berikut : 1) tidak semata-mata bertujuan pembalasan, dalam arti bersifat ad hoc; 2) harus menimbulkan kerugian atau korban yang jelas (bisa aktual dalam delik materiil dan bisa potensial dalam delik formil); 3) apabila ada cara lain yang lebih baik dan efektif, hendaknya hukum pidana tidak dipergunakan; 4) kerugian yang ditimbulkan akibat pemidanaan, harus lebih kecil apabila dibandingkan dengan akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan; 5) memperoleh dukungan masyarakat; dan 6) dapat diterapkan secara efektif Apabila disepakati, bahwa asas legalitas dalam pengertian kontemporer harus mencakup legalitas atas : 1) tindak pidana; 2) sanksi pidana dan tindakan; 3) pelaku, yang dalam hal ini orang atau badan hukum; dan 4) korban, maka akan sangat menarik apabila hal ini digunakan untuk mengevaluasi karakteristik hukum pidana adat. Di dalam melakukan evaluasi terhadap karakteristik hukum adat pidana, Muladi mengemukakan asumsi-asumsinya sebagai berikut : a. Tidak adanya pemisahan antara hukum pidana dengan hukum privat secara dikhotomi relatif dapat dibenarkan. Hal ini antara lain dicerminkan oleh “ultima ratio principles” atau “principles of restraint”, sanksi yang saling menunjang (ganti rugi dalam hukum pidana), adanya hukum pidana administratif dan tindakan tata tertib. b. Penonjolan
“communal
morality”
hendaknya
diimbangi
dengan
“institusional morality” dan “civil morality”. Contohnya adalah dengan 10
adanya “collective responbility” tanpa landasan ajaran kesalahan sama sekali. c. Hukum adat
pidana hendaknya didudukkan secara komplementer
(ingat peranannya sebagai environmental input) terhadap asas „prae existence regels‟. d. Penyelesaian lewat perdamaian dalam delik-delik perseorangan yang tidak menyangkut persekutuan dalam hukum adat pidana, hendaknya dibatasi untuk tindak-tindak pidana ringan dan dalam kaitannya dengan hukum pidana nasional dapat dihubungkan dengan „alternative sanction‟. e. Dalam beberapa delik adat, masalah kemampuan bertanggungjawab atas (orang gila, anak) dikesampingkan. Hal ini tidak mungkin diterima atas dasar doktrin „daad-daderstrafrecht‟. Secara universal, setiap tindak pidana harus mencakup dua elemen. Elemen pertama adalah elemen material yakni adanya perbuatan yang memenuhi rumusan undangundang, dan elemen kedua adalah elemen mental dalam bentuk kesengajaan termasuk „dolus eventualis‟ dan kealpaan. f. Dalam hal-hal tertentu dalam hukum adat pidana „individualisasi pidana‟ didasarkan atas stratifikasi sosial. Prinsip „equality before the law‟ harus dikembangkan pada alasan-alasan universal dan obyektif. g. Dalam hukum adat pidana, perbuatan main hakim sendiri dalam hal-hal tertentu dapat dibenarkan. Hal ini perlu ditinjau, karena secara universal main hakim sendiri hanya dimungkinkan dalam „self defence‟ yang bersifat darurat. h. Pedoman pemidanaan seringkali berorientasi pada prinsip „daadstrafrecht‟. Masalah kerugian atau korban, perlu dipertimbangkan untuk menentukan berat ringannya pidana seperti konsep KUHP. 11
3. PENGAKUAN KEBERADAAN HUKUM PIDANA ADAT DI BALI Di dalam kehidupan masyarakat adat di Bali, masyarakatnya
hidup
dalam suatu himpunan organisasi kemasyarakatan dengan sistem budaya yang berkaitan erat dengan nilai-nilai yang bersifat religius. Demikianlah, hukum adat yang ada yang hidup dan diakui dalam kenyataan masyarakat banyak berbaur dengan nilai-nilai keagamaan. Eratnya kaitan antara hukum adat dan agama, sebenarnya telah pernah dikemukakan oleh Van Vollenhoven, di mana dikemukakan bahwa hukum adat dan agama Hindu di Bali merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai akibat pengaruh agama Hindu demikian kuatnya ke dalam adat istiadat6 . Keterkaitan tersebut berakibat dalam beberapa hal, ketaatan terhadap hukum adat, juga berhubungan dengan adat dan agama
karena hukum adat tidak hanya dikokohkan oleh sanksi yang
bersifat lahiriah, tetapi juga sanksi yang bersifat batiniah. Salah satu contoh konkrit keterkaitan yang erat antara hukum adat dan agama, adalah tata cara penjatuhan “sanksi adat” untuk delik-delik adat tertentu yang pelaksanaannya banyak berupa kewajiban untuk melaksanakan ritual adat keagamaan tertentu. Semua ini tentunya dilandasi dan
berhubungan pula
dengan nilai dasar
filosofis reaksi adat, yakni untuk mengembalikan keseimbangan masyarakat karena perasaan kotor (“leteh”).7 Dengan demikian, dalam masyarakat adat di Bali, di samping dikenal sanksi yang bersifat materiil juga sanksi yang bersifat immateriil. Dalam pola pikir masyarakat adat di Bali hampir semua kejadian dapat dilihat sebagai suatu „pertanda‟ akan terjadinya sesuatu kejadian yang bersifat 6 Van Vollenhoven., Penemuan Hukum Adat (De Ontdekking van Het Adatrecht), terj. Koninklijk Instituut voor Tall, Lan-en Volkenkunde bekerjasama dengan LIPI, (Jakarta : Djambatan, 1981), hal.131 7 I Gusti Ketut Ariawan 1992. “Eksistensi Delik Hukum Adart Bali Dalam Rangka Pembentukan Hukum Pidana nasional” , Tesis, Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum, Jakarta, hal.10
12
positif ataupun negatif. Pola pikir ini telah mengakar bahkan „mengkultur‟ dengan kuatnya serta melandasi hidup dan kehidupan masyarakat adat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila pelaksanaan pemenuhan kewajiban adat sampai dewasa ini masih tetap dilaksanakan, walaupun kasus tersebut telah diselesaikan lewat mekanisme peradilan pidana. Dijatuhkannya sanksi adat, sangatlah tergantung pada sensitif atau tidaknya pelanggaran yang dilakukan. Memang, dalam praktek peradilan di Bali tidak banyak ditemukan putusan hakim yang menjatuhkan pidana pemenuhan kewajiban adat, padahal di satu sisi masyarakat adat menghendaki dijatuhkannya pidana pemenuhan kewajiban
adat.
Dalam
kasus-kasus
pemenuhan kewajiban adat tentunya
yang
menghendaki
dijatuhkannya
hakim akan terbentur pada ketentuan
Pasal 10 KUHP, yang tidak menyebutkan pemenuhan kewajiban adat sebagai salah satu jenis pidana. Secara normatif, Pasal 5 ayat (3) sub b UU
No.1 Drt/ 1951
memungkinkan hakim untuk menjatuhkan sanksi adat, namun dalam praktek hal tersebut sangat jarang dilakukan. Untuk jelasnya berikut dikutip Pasal 5 ayat (3) sub.b UU No.1 Drt/1951 sebagai berikut : Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktupun hukum materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh pengadilan adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan pengertian : bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukum adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan dasar kesalahan terhukum. bahwa bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksudkan di atas , maka atas kesalahan terdakwa dapat 13
dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut paham hakim tidak selaras lagi dengan jaman senantiasa diganti seperti tersebut di atas. bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana tersebut” Kesimpulan yang dapat dikemukakan dengan melihat
rumusan pasal
tersebut di atas adalah : 1. Delik adat yang tidak ada bandingannya dalam KUHP dan tergolong tindak pidana ringan, maka ancaman pidananya adalah pidana penjara selama 3 bulan dan atau pidana denda lima ratus rupiah. Sedangkan untuk delik hukum adat yang sifatnya berat, ancaman pidananya adalah sepuluh tahun, sebagai perngganti hukuman adat yang tidak dijalani oleh terhukum. 2. Delik adat yang mempunyai bandingan dengan KUHP, maka ancaman pidananya sama dengan ancaman pidana yang tercantum dalam KUHP. 3. Menurut UU No.1 Drt Tahun 1951, sanksi adat dapat pula dijadikan pidana pokok oleh hakim yang memeriksa dan memutus perkara adat, yang menurut hukum yang hidup dianggap sebagai tindak pidana yang tidak mempunyai bandingan dalam KUHP. Dengan demikian, sebenarnya ada kewajiban bagi hakim untuk menggali, mengikuti serta memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Apabila persoalan ini dikembalikan pada sanksi adat, maka ketentuan tersebut di atas merupakan landasan yang mewajibkan serta memberikan kewenangan kepada hakim untuk menjatuhkan sanksi adat. Hanya saja persoalannya, penjatuhan sanksi adat (di luar ketentuan Pasal 10 KUHP) hanya bisa dijatuhkan terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai bandingannya dalam 14
KUHP. Sedangkan dalam kenyataannya, ada beberapa perbuatan yang dilarang dan diancam pidana menurut ketentuan KUHP, tetapi menurut pandangan masyarakat juga merupakan delik adat yang terhadap pelanggarnya dituntut untuk melakukan upaya adat. Dilihat dari ketentuan Pasal 3 ayat (3) sub b UU No. 1 Drt Tahun 1951, sebenarnya hakim dapat saja mejatuhkan pidana pemenuhan kewajiban adat. Persoalannya, adalah dalam KUHP maupun UU No. 1 Drt Tahun 1951 tidak menyebutkan pemenuhan kewajiban adat sebagai salah satu jenis pidana. Hal ini tentunya mempersulit posisi seorang hakim, karena di satu sisi ada kewajiban untuk menggali hukum dan mengikuti perasaan keadilan masyarakat, namun di lain sisi, tidak ada ketentuan yang dapat dijadikan pedoman. Disini sebenarnya ditunut keberanian hakim untuk menemukan hukum, namun hal tersebut tidak dilakukan. Terobosan yang cukup menarik yang dilakukan oleh hakim Pengadilan Negeri di Bali adalah
Putusan Pengadilan Negeri Gianyar No.
11/Pid/1972, tanggal 13 Maret 1972 dalam kasus delik adat lokika sanggraha, antara terdakwa I Gusti Ngurah Raka dengan saksi korban Ni Nyoman Kenyod yang
menjatuhkan
pidana
dengan
syarat
khusus.
Dalam
bagian
pertimbangannya secara jelas disebutkan Menimbang bahwa saksi I Nyoman kenyod menerangkan bahwa ia telah dihukum oleh masyarakat desanya karena telah dianggap mengotori desanya, dengan dikenai denda dan harus melakukan upacara pembersihan desanya dengan mengadakan upacara “widi-widana”, maka menurut hemat hakim, sudah sepatutnya apabila hukuman yang dibebankan kepada saksi I Nyoman Kenyod itu dibebankan kepada terdakwa. Putusan Pengadilan Negeri Klungkung No. 18/Pid/S./1986/PN-KLK, dalam kasus delik adat lokika sanggraha antara terdakwa I Ketut Suparta. dengan saksi korban Ni Ketut Werni. Di dalam bagian pertimbangannya, secara jelas dapat dibaca bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa adalah merupakan tindak 15
pidana adat yang dapat mengganggu keseimbangan riil maupun immateriil, mengganggu keseimbangan lahir maupun magis bagi masyarakat setempat. Di samping itu juga,
terutama terhadap si anak yang lahir sebagai akibat
perbuatan terdakwa, jangan sampai mengalami tekanan bathin, serta tersisih dari pergaulan masyarakat, di samping juga karena kelahirannya tersebut desa adat tidak memberikan ijin kepadanya dan juga kepada keluarganya untuk melaksanakan upacara keagamaan di pura-pura di wilayah desa adat. Dengan dasar pertimbangan tersebut
maka tidaklah bertentangan dengan hukum
apabila terhadap terdakwa juga diterapkan Pasal 14 c KUHP yaitu dengan membebani suatu syarat khusus yang akan disebutkan dalam amar putusan. Dari beberapa kasus delik adat yang telah diputus oleh hakim pengadilan negeri yang dikemukakan di atas, sangat menarik untuk dikemukakan, bagimanakah tindakan-tindakan yang diambil oleh “krama” desa adat, sebagai berikut : 1. Dalam kasus pencurian benda-benda suci untuk melakukan upacara keagamaan, dalam bentuk pretima di Pura Agung Jagatnata, di desa adat Denpasar, Pengadilan Negeri Denpasar No. 88/P.N. Dps/K.S./1981, tanggal 8 Juni 1981 telah diputus berdasarkan ketentuan Pasal 363 ayat (1) angka 3 KUHP dan pelakunya (Jumadi ) dijatuhi pidana penjara selama 4 tahun, namun krama desa adat Denpasar beranggapan pidana penjara tersebut belumlah sepadan dengankerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku. Perbuatan pelaku telah mengakibatkan bukan saja
kerugian
materiil,
tetapi
juga
kerugian
immateriil.
Untuk
memulihkan kerugian immateriil, krama adat Denpasar melakukan upacara prascita, dengan maksud untuk mengembalikan kesucian pretima dan juga penyucian kembali tempat kejadian.
16
2. Dalam kasus pencurian sarana upacara keagamaan dalam bentuk “Pependeman”
yang terjadi di Banjar Manukaya Anyar, Kecamatan
Tampaksiring, Kabupaten daerah Tingkat II Gianyar yang telah diputus oleh
Pengadilan
Negeri
Gianyar
dengan
putusannya
No.
5/Pid/S/1987/PN.Gir., tanggal 26 Februari 1987. Krama desa adat tetap membebankan kewajiban adat untuk melakukan upacara “mecaru manca sata” kepada pelakunya (I Nengah Serinu dan I Made Rateng). 3. Dalam kasus pencurian sarana upacara keagamaan dalam bentuk “pretima” yang terjadi yang terjadi di Pura Desa Sulang , Kecamatan Dawan, Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung. yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Klungkung No. 10 /PN.KLK / PID ./ TOL / ‟79, tanggal 29 Januari 1980. Krama desa adat membebankan upacara “pecaruan desa” dengan maksud untuk mengembalikan kesucian desa adat. 4. Dalam kasus delik adat lokika sanggraha yang telah diputus oleh Pengadilan
Negeri
Denpasar
dengan
putusannya
No.
89/Pid/B/1997/PN.Dps, tanggal 8 Mei 1997. Krama desa adat Pering, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar juga membebankan kewajiban adat untuk melakukan upacara pecaruan desa kepada saksi korban Ni Gusti Ayu Nilawati, dan sebelum upacara tersebut dilakukan maka saksi korban beserta keluarganya dilarang untuk mengikuti upacara keagamaan di pura desa setempat. Kewajiban untuk
melakukan
ritual
pecaruan
tersebut
dimaksudkan
untuk
menyucikan desa, karena saksi korban telah melahirkan seorang anak tanpa ikatan perkawinan. Dalam kasus delik adat ini menarik untuk dikemukakan, bahwa beban yang diwajibkan krama desa adat justru kepada saksi korban sendiri. Permasalahannya, mengapa bukan kepada 17
pelakunya, yang dalam hal ini Nyoman Armaya. Menurut bendesa adat Pering, putusan krama desa adat lebih banyak menyoroti kelahiran anak dari saksi korban yang menurut kepercayaan krama adat setempat telah menimbulkan adanya perasaan “leteh”.
Permasalahan ini kemudian
berlanjut dengan digugatnya pelaku (Nyoman Armaya) oleh saksi korban di Pengadilan Negeri Gianyar. Di dalam putusan No. 1/Pdt.G/1998/PN.Gir.
dalam
salah
satu
petitum
gugatan
yang
dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Gianyar menyebutkan pembebanan kepada tergugat I Nyoman Armaya untuk membayar upacara pecaruan yang dikeluarkan oleh saksi korban sebesar Rp.350.000,5. Dalam kasus delik adat lokika sanggraha yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Gianyar No. 4/Pid.B./1997/PN.GIR, tanggal 29 Maret 1997. Krama Banjar Adat Kecagan, Desa Adat Ketewel, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar, membebankan kewajiban untuk melakukan upacara “meprascita”, karena kehamilan saksi korban (Ni Ketut Koti) dianggap telah menodai desa adat. 6. Dalam kasus delik adat Gamia-gamana yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Denpasar, No. 161/KS/Pid/1974, tanggal 30 Agustus 1974, dan dalam tingkat banding dengan putusan Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara dengan putusan No.15/PTD/1975/Pid, tanggal 16 Juli 1975. Krama desa adat Carangsari telah menjatuhkan hukuman berupa kewajiban untuk melakukan ritual “pecaruan desa” kepada pelaku (I Nyoman Gatra alias Pan Limur alias Pan Malen) 7. Dalam kasus delik adat Gamia-gamana yang telah diputus oleh Pengadilan
Negeri
Amlapura
dengan
putusannya
No.
61/Pid.B./94/PN.AP., tanggal 15 Desember 1994. Krama desa adat Abang, Kecamatan Abang, Kabupaten Daerah Tingkat II Karangasem 18
menjatuhkan hukuman berupa kewajiban untuk melakukan upacara adat “pemayuh jagat” karena perbuatan pelaku dianggap menodai kesucian desa adat.8 Dengan pemaparan tersebut jelas menunjukkan bahwa penyelesaian kasus-kasus delik adat lewat mekanisme proses peradilan pidana, menurut pandangan masyarakat (“krama”) desa adat di Bali, belum menyelesaikan permasalahannya secara tuntas. Pemidanaan yang didasarkan atas ketentuan Pasal 10 KUHP bukan sarana yang dapat mengembalikan keseimbangan sebagai akibat adanya pelanggaran norma adat.
4. HUKUM PIDANA ADAT DI BEBERAPA DAERAH Di beberapa daerah lain di Indonesia, realitas menunjukkan masih eksisnya penyelesaian tindak pidana di luar peradilan, bahkan pola tersebut telah melembaga dengan kokohnya. Dari beberapa hasil-hasil penelitian yang dilakukan, antara lain dapat diidentifikasi beberapa daerah yang masih mengakui keberadaan pola penyelesaian delik adat sebagai berikut : 1. Dalam kalangan masyarakat Aceh, juga dikenal cara-cara penyelesaian konflik lewat ritual ”peusejeuk”. Hal ini terungkap dari penelitian tentang pengendalian sosial di desa-desa tertentu di Aceh yang dilakukan oleh Alpian. 2. Terhadap delik adat Sasak yang tetap eksis di kalangan masyarakat adat Sasak (lombok), seperti : ”Bekekaruh”, ”Bero dait sesato”, ”Ngeregah”, ”Ngampahang” atau ”Ngamburayang” juga dikenal cara-cara penyelesaiannya dengan memerankan tokoh-tokoh adat sasak yang terhimpun dalam suatu lembaga yang bernama ”krama desa” di tingkat desa dan ”krama gubuk” di tingkat dusun., dimana lembaga ini seringkali bertindak sebagai hakim perdamaian desa khususnya
8Untuk
penyelesaian kasus-kasus delik adat oleh desa adat di Bali seperti tersebut nomor 1 sampai nomor 7, lebih jauh lihat I Gusti ketut Ariawan 1992.“Eksistensi …” hal. 150 - 256
19
dalam menyelesaikan delik adat sasak yang sifatnya ringan atas dasar musyawarah atau ”begundem” 3. Dalam kalangan masyarakat hukum adat Lamaholot Kabupaten Flores Timur juga dikenal cara-cara penyelesaian delik adat yang disebut : ”lewak tapo”, ”mao” atau ” manuk telun”. Ritual dimaksud telah mengakar dengan kuat dan bahkan telah menjadi budaya masyarakat setempat, dalam upaya untuk mencari kausa kejahatan baru (balas dendam) karena belum dilakukannya ritual adat sebagai upaya untuk menetralisasi keseimbangan yang terganggu. 4. Di kalangan masyarakat adat Kabupaten Biak Numfor Provinsi Papua dikenal beberapa jenis delik adat yang sebagian besar juga termasuk delik umum dalam KUHP. Apabila delik tersebut dilanggar maka terhadap si pelanggar dapat diminta pertanggungjawabannya oleh ”mananwir” selaku hakim adat melalui Dewan Adat Kainkain Karkara Biak, sebagai lembaga peradilan perdamaian lingkungan masyarakat hukum adat Biak Numfor. Delik adat mamun/aipyokem (pembunuhan), wos bin (perzinahan) dan sasmer bin (membawa lari seorang anak perempuan gadis atau istri orang) dikategorikan sebagai delik adat berat, namun pemahaman orang Biak selama ini menganggap delik pembunuhan, perzinahan dan membawa lari anak gadis atau istri orang disebut sebagai ”mambri” (orang kuat/hebat) dan sikap yang ditunjukkan itu dianggap mengangkat martabat dari klen/keretnya, sehingga yang bersangkutan disegani, dan dihormati sebagai pahlawan. Berbeda halnya dengan delik pencurian, karena dianggap tabu maka pelakunya dapat dikenakan sanksi diusir dari kampungnya. Setiap pelangaran adat yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan masyarakat adat, harus segera dipulihkan. Pengembalian atau pemulihan keseimbangan ini, biasanya selalu disertai dengan suatu kejadian atau perbuatan yang harus dipertanggungjawabkan kepada si pelanggar adat. Perbuatan atau kejadian ini, tidak selalu dalam bentuk tindakan yang bersifat jasmaniah, bahkan tindakan-tindakan itu sebagian besar merupakan tindakan yang bersifat rokhaniah, dalam bentuk kewajiban untuk melakukan ritual-ritual adat tertentu yang dapat diyakini untuk memulihkan keseimbangan yang terganggu. Ritual 20
adat merupakan salah satu upaya pemulihan keseimbangan yang terganggu dalam masyarakat, masyarakat hukum adat Biak Numfor biasanya menggelar upacara pemulihan keseimbangan hanya dikhususkan untuk delik adat mamun/aipyokem (pembunuhan). Istilah yang dipergunakan, yaitu ”wafwuf afer” (tiup kapur) atau ”owapuk ambober” (potong bambu) sebagai simbol yang memiliki nilai kerelegiusan dan kesakralan dalam mendamaikan si pelaku dengan pihak keluarga korban.
5. Di kalangan masyarakat Kampung Kabupaten Waropen9 Provinsi Papua, delik adat lebih variatif. Dalam masyarakat hukum adat di kampung-kampung
kabupaten Waropen, ada berbagai perbuatan yang dianggap sebagai pelanggaran adat di samping ada pula pelanggaran-pelanggaran yang sifatnya ringan. Klasifikasi perbuatan sebagai delik di kampung-kampung di 4 distrik, yaitu : distrik Maserei, Urei Faisei, Waropen Bawah dan Oadate apabila diklasifikasikan termasuk ke dalam: 1) delik terhadap badan dan nyawa ; 2) delik harta benda ; 3) delik terhadap kehormatan seseorang ; 4) delik terhadap kesusilaan ; dan 5) pelanggaran lainnya. Hanya saja, di masing-masing kampung / distrik, penyebutan nama delik tersebut berbeda sesuai dengan bahasa daerah masing-masing. Berikut nama-nama perbuatan yang diklasifikasikan sebagai pelanggaran adat di masing-masing distrik : A. Distrik Maseirei : Distrik Maseirei terdiri dari 9 kampung dengan jumlah penduduk kurang lebih 3.159 jiwa, terdiri dari 14 suku10, yaitu : 1) Suku Mambai; 2)
9 I Gusti Ketut Ariawan dan Daniel Tanati “Delik Adat di Kampung-Kampung Kabupaten Waropen Papua” Penelitian kerjasama Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana dengan BAPEDA Kabupaten Waropen, Provinsi Papua, Tahun 2008 10 Jumlah suku yang teridentifikasi. Banyaknya jumlah suku karena patokan bahasa yang dipakai sebagai pedoman.
21
Suku Papado; 3) Suku Risei; 4) Suku Sewobari; 5) Suku Bokadaro; 6) Suku Oadate; 7) Suku Papai; 8) Suku Aniboi; 9) Suku Mayawahedo; 10) Suku Urato; 11) Suku Sinonnde; 12) Suku Koweda; 13) Suku Sauri Sirame; dan Suku Rowiare Perbuatan-perbuatan yang dapat diidentifikasi sebagai pelanggaran adat, yaitu : No
1.
Klasifikasi
Delik terhadap badan dan nyawa
Nama/sebutan dalam bahasa setempat 1. Munio (penganiayaan) 2. Famunio (penganiayaan dengan menggunakan alat)
3. Munifero (penganiayaan yang berakibat mati)
Sanksi
Keterangan
Denda Denda
Besar dan bentuk denda ditentukan oleh lembaga adat, kepala kampung dan keamanan
Diserahkan ke kepolisian
2.
Delik terhadap harta benda
Humamana (pencurian)
Denda
sda
3.
Delik terhadap kehormatan seseorang
Ghadadumana (pelecehan bagi sebutan nama kepala kampung)
Denda
sda
4.
Delik terhadap kesusilaan
1. Wererai (menceraikan suami/istri tanpa alasan yang sah) Delik ini dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
Denda
sda
a. Ri Bingga : apabila suami menceraikan istri tanpa alasan yang sah. b. Ri Mangga : apabila istri menceraikan suaminya tanpa alasan yang sah.
22
2. Omamana (Zinah)
5.
Pelanggaran lain
Yai Iningga (Khewan peliharaan/sapi pelihara- an yang lepas, kemudian memakan tanaman orang lain sehingga menimbulkan kerugian)
Denda
sda
B. Distrik Ureifaisei : Distrik Ureifaisei terdiri dari 7 kampung dengan jumlah penduduk kurang lebih
4.387 jiwa, terdiri dari
suku, yaitu : 1) Suku Faisei
Saubowoa; 2) Suku Nubuai; 3) Suku Mambui; dan Suku Woyui Perbuatan-perbuatan yang dapat diidentifikasi sebagai pelanggaran adat, yaitu : No
Klasifikasi
Nama/sebutan dalam bahasa setempat 1. Fameio (penganiayaan), disebutkan juga dalam istilah lain, seperti : Kifamei, Kifaniu, Kimonio
Sanksi
Keterangan
Denda Piring atau uang
Penjatuhan denda dilaksanaka n oleh Sera dibantu sera titibi dan Eso
1.
Delik terhadap badan dan nyawa
2.
(pencurian Delik terhadap 1. Bumemana yang dilakukan secara harta benda bersama-sama / lebih dari 1 orang) 2. Humamana (pencurian yang pelakunya hanya 1 orang)
Denda
Pada masa lalu, apabila denda dijatuhkan biasanya dalam bentuk kewajiban menyerahka n atap/gabok
3.
Delik terhadap kehormatan
Tidak ada istilah, tetapi sebutan bagi orang yang
Denda
-
23
seseorang
melakukan pelecehan, disebut ”Swanggi” dan apabila pelecehan dilakukan terhadap wanita,sebutannya ”Onaruruwaei”
4.
Delik terhadap kesusilaan
1. Minarei (perzinahan)apabila dilakukan oleh orang yang belum dalam status pernika- han, sebutannya Wimabo-Waribo.
Dinikahkan
5.
Pelanggaran lain
Raika Rongu : mengakui hak orang lain
Denda
Bila tidak mau menikah, oleh putusan adat akan dijatuhkan denda barang dan uang -
C. Distrik Waropen Bawah : Distrik Waropen Bawah terdiri dari 12 kampung dengan jumlah penduduk kurang lebih 4. 721 jiwa, terdiri dari 5 keret besar, yaitu : 1) Keret Sawai; 2) Keret Wairo; 3) Keret Saimua; 4) Keret Imbiri; dan 5) Keret Watofa Di distrik Waropen Bawah tidak banyak dapat diidentifikasi namanama delik/pelanggaran adat, namun dalam bahasa yang telah umum diterima oleh masyarakat kampung-kampung di distrik waropen bawah dikenal suatu istilah atau sebutan nigogoko atau niyaro yang artinya anggota masyarakat yang tidak tahu adat. Namun demikian, dalam penelitian ini, dapat pula diidentifikasi (nama-nama) beberapa jenis pelanggaran adat, yang apabila diklasifikasi termasuk juga dalam tindak pidana terhadap badan dan nyawa, tindak pidana yang tertuju pada harta benda, tindak pidana terhadap kehormatan, tindak pidana terhadap kesusilaan dan jenis pelanggaran lain, seperti nampak dalam tabel berikut : 24
No
Klasifikasi
Nama/sebutan dalam bahasa setempat 1. Munggaiwara (penganiayaan)
Sanksi
Keterangan
Sanksi adat denda Piring atau uang
Bagi orang luar kampung, sanksinya bisa diusir
Sanksi adat denda Piring atau uang
-
1.
Delik terhadap badan dan nyawa
2.
Delik terhadap 1. Humamana (pencurian) 2. Yokoharo (penipuan) harta benda
3.
Delik terhadap kehormatan seseorang
-
-
-
4.
Delik terhadap kesusilaan
1. Youmamana (Zinah) 2. Pelanggaran adat yang melarang melakukan perkawinan bagi mereka yang mempunyai hubungan darah dekat
Sanksi adat denda Piring atau uang
-
5.
Pelanggaran lain
1. Nigogoko atau Niyaro (sebutan yang umum dipakai untuk menunjukkan bahwa orang tersebut tidak tahu aturan adat)
denda
-
Dari beberapa jenis pelanggaran adat tersebut dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana tersebut telah diatur dalam KUHP sebagai delik pidana umum. Namun menurut pandangan masyarakat adat
setempat,
jenis-jenis
pelanggaran
pelanggaran adat/delik adat.
25
tersebut
termasuk
juga
Terhadap jenis pelanggaran adat tersebut, penyelesaiannya dilakukan di hadapan kepala kampung dan kepala adat. Putusan yang diambil, semuanya didasarkan pada musyawarah mufakat, dalam suatu ritual adat yang disebut ‟Waisowosiyo‟ yang artinya mari duduk secara bersama-sama untuk
menyelesaikan masalah11. Lebih-lebih dalam
pelanggaran adat ”perkelahian” atau penganiayaan, ritual Waisowosiyo sangat mempunyai arti/makna. Dalam pandangan masyarakat adat di kampung-kampung distrik Waropen Bawah, proses peradilan formal kasus-kasus adat hanya menyelesaikan masalah di permukaan, dan belum menyelesaikan masalahnya secara tuntas. Ritual ini dimaksudkan pula untuk menghindarkan adanya balas dendam yang tidak saja dapat dilakukan oleh keluarga dekat korban, tetapi kemungkinan pula dilakukan oleh keturunan korban. D. Distrik Oadate : Oadate berasal dan kata : ”Owa furu” dan ”Date” Owa furu berarti orang yang tidak tahu apa-apa / pengembara. Sedangkan ”date” berarti sekelompok orang di darat. Secara harfiah, Oadate berarti ikatan orangorang darat. Sebutan orang darat lebih berkonotasi pada pembedaan orang-orang waropen pesisir dengan orang-orang yang mendiami daerah dataran di daratan waropen. Namun perlu dicatat bahwa dalam pandangan masyarakat adat oadate, prinsipnya semua orang berasal dari darat yang kemudian sebagian dari mereka pergi ke pesisir. Distrik Oadate terdiri dari 5 kampung dengan jumlah penduduk kurang lebih 1984 jiwa. Di distrik Oadate terdapat kurang lebih 18 suku, namun dalam penelitian ini hanya diwakili oleh 4 suku, yaitu : 1) Suku
Hasil wawancara dengan Gharak Rumabin Anthonius Rumboisano (Kepala Suku Besar Sawai) 11
26
Demisa; 2) Suku Choria/Oa; 3) Suku Sapuni/Kuriye; dan Suku Nubuai (suku Kai Barat) Di kalangan masyarakat adat suku Demisa, otoritas Dewan Adat dipimpin oleh seorang kepala adat suku besar yang disebut ”Date Teadiya” Kepala suku besar dibantu oleh panglima tertinggi adat, mahkamah tinggi adat dan komandan perang lapangan. Di kalangan suku Demisa, berlaku suatu ketentuan bahwa seorang anak laki-laki, sebelum melangsungkan perkawinan, ia wajib untuk menuntut ilmu dalam sekolah adat. Sekolah adat dapat pada masa lalu, lamanya sampai 12 tahun dan kemudian berubah menjadi 6 tahun, kemudian berubah menjadi 3 tahun, berubah lagi menjadi 1 tahun. Sekarang sekolah adat hanya berlangsung selama 3 bulan, karena di kalangan suku demisa ada kekhawatiran aktivitas sekolah adat ini bisa dicurigai sebagai kegiatan yang melanggar aturan. Selesainya yang bersangkutan menjalankan kewajiban belajar di sekolah adat menjadi tolok ukur bahwa seseorang telah dewasa (”basire”). Bagi mereka yang belum mengenyam pendidikan sekolah adat disebut ”boose”. Sekolah adat di kalangan suku demisa, mengajarkan berbagai keterampilan seperti : ilmu perang/strategi taktik serang, mengenali musuh12, adaptasi dengan alam/lingkungan sampai kemampuan untuk berubah wujud menjadi binatang seperti : tikus, buaya ataupun burung kaswari dan juga kemampuan untuk
memanggil
binatang-binatang
tertentu13 Apabila dikaji dari penjelasan tersebut di atas, sebenarnya dapat disimpulkan bahwa sekolah adat tersebut sebenarnya berkaitan erat Strategi perang yang dipergunakan oleh suku Demisa adalah menyerang pada waktu malam hari. Untuk mengenal lawan dan kawan, ”bokoraho” (memasang jamur pada jidat yang menyala di malam hari) merupakan sarana yang ampuh untuk mengenal kawan. 13 Rangkuman wawancara dengan Simon Didam dan Saul Didat sebagai kepala suku Demisa. 12
27
dengan situasi dan kondisi pada saat itu, dimana seseorang anggota suku harus dapat mempertahankan hidup dan kehidupannya, baik bertahan dari
serangan
lawan
maupun
upaya
bagaimana
mereka
dapat
mempertahankan hidup dengan memiliki keterampilan berburu dengan cara memanggil binatang yang akan menjadi sasaran bidikannya. Di kalangan suku-suku di distrik Oadate, tidak dikenal istilahistilah untuk menyebutkan suatu perbuatan sebagai delik/pelanggaran adat. Hanya saja dalam sebutan yang telah umum diterima, istilah ”Kaowamero” dipakai sebagai sebutan bagi pelanggaran-pelanggaran norma adat, baik itu untuk pelanggaran berupa pencurian, penganiayaan maupun pembunuhan. Di kalangan suku Oa/Choria pelanggaran norma adat disebut ”Birimdate” atau ”Datefiyae” yang berarti orang tidak baik. Pada masa lalu, pelanggaran-pelanggaran adat selalu diancam dengan hukuman mati sebagai putusan dari kepala suku yang sifatnya mutlak. Kepala suku (”Oa”) dalam melaksanakan kewenangannya dibantu oleh ”Oedate” atau ”Oweidate” sebagai wakil dan juga ”Kumambe” (masyarakat perang) dan ”Oboadamo” (masyarakat umum). Suku ini juga mengenal sekolah adat, hanya saja berbeda dalam kurun waktu pelaksanaannya dibandingkan dengan suku Demisa. Sekolah adat di kalangan suku Oa/Choria hanya berlangsung 1 tahun, kemudian dirubah menjadi 6 bulan. Dan setelah masuknya agama dan pemerintahan, sekolah adat hanya berlangsung selama 7 hari (1 minggu). Namun yang sama adalah materi yang diajarkan di sekolah adat, sama dengan apa yang diajarkan dalam sekolah adat suku Demisa. Orang-orang yang termasuk dalam suku Oa/Choria, menyebut pelanggaran adat sebagai ”Dilimdamo” yang berarti salahi aturan adat.
28
Yang menarik, adalah ditemukan 2 cara perdamaian adat dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran adat, yang disebut ”Sarohe” atau pisang perdamaian adat. Dalam ritual ini, pisang sarohe dibakar beramairamai (antara mereka yang terlibat konflik). Setelah pisang matang, semua mengambil posisi berdiri dan kepala suku mulai berbicara, kemudian disusul dengan pengucapan sumpah bersama untuk tidak melakukan konflik. Kemudian, pisang dipatahkan dan sisanya dibagikan kepada masing-masing warga. Di kalangan suku Oa/Choria, juga dikenal cara perdamaian yang disebut dengan istilah ”Atayumero” (penukaran perdamaian). Pola penyelesaian ini biasanya dilakukan terhadap kasus-kasus perkawinan ataupun perkelahian. Caranya adalah dengan cara penukaran saranasarana tertentu, yang pada masa lalu biasanya dalam bentuk ”wemo” (anjing), ”jubi” (anak panah).
6. DELIK ADAT DAN PERADILAN DI DAERAH OTONOMI KHUSUS Pada masa kolonial ada dua bentuk peradilan untuk orang pribumi yaitu ”Peradilan Adat” dan ”Peradilan Desa”. Antara kedua badan peradilan ini, sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsipiil. Peradilan Desa umumnya terdapat hampir di seluruh Nusantara pada masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial. Namum peradilan adat ditemukan pada masyarakat yang bersifat teritorial maupun geneologis. Akan tetapi yang jelas kedua peradilan dimaksud terkait
dengan fungsi dari suatu masyarakat hukum adat
(adatrechtgemeenschap) yang ditemukan
diberbagai masyarakat adat di
Nusantara. Namun tidak semua masyarakat adat mengenal adanya peradilan adat atau peradilan desa, karena mereka hanya mengenal adanya suatu mekanisme penyelesaian sengketa menurut hukum adat setempat. 29
Ketika pemerintah menetapkan Undang-undang Darurat No. 1 Drt Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan, Pengadilan Sipil (LN. 1951 No. 9) pada tanggal 13 Januari 1951 pemerintah secara tegas sudah menentukan sikap mengenai keberadaan peradilan adat dan kedudukan peradilan desa. Pada pokoknya Undang-undang Darurat No. 1 Drt Tahun 1951 berisi 4 hal yaitu : 1. Penghapusan beberapa pengadilan yang tidak lagi sesuai dengan suasana negara kesatuan. 2. Penghapusan secara berangsur-angsur pengadilan swapraja di beberapa daerah tertentu dan semua pengadilan adat. 3. Pelanjutan peradilan agama dan peradilan desa; serta 4. Pembentukan pengadilan negeri dan kejaksaan di tempat-tempat di mana dihapuskan Landgerecht atau Pengadilan Negara serta pembentukan Pengadilan Tinggi di Makassar dan pemindahan tempat kedudukan Pengadilan Tinggi Yogya dan Bukit Tinggi masing-masing ke Surabaya dan Medan. Pasal 1 ayat (1) sub b Undang-undang No. 1 Drt Tahun 1951 menyatakan pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman, dihapus segala Peradilan Adat (Inheemse Rechtspraak in rechtsreeks bestuurd gebied), kecuali Pengadilan Agama jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari Peradilan Adat. Kemudian dalam ayat (3) disebutkan bahwa ketentuan yang tersebut dalam ayat (1) tidak sedikitpun mengurangi kekuasaan yang sampai saat ini diberikan kepada hakim-hakim perdamaian di desa-desa sebagaimana di maksud dalam Pasal 3a Rechterlijk Organisatie. Penghapusan Peradilan Adat dimaksud untuk menciptakan adanya kesatuan sistem peradilan melalui suatu Pengadilan Negara. Penghapusan 30
peradilan swapraja dan peradilan adat tak memungkinkan dijalankan pada saat peraturan ini diundangkan, karena konsekuensinya bagi hakim pada Pengadilan Negeri diperluaskan beban tugasnya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penghapusan peradilan adat dilakukan secara
berangsur-angsur menurut
kebutuhan dengan memperhatikan kesiapan tenaga-tenaga hakim di pengadilan negeri. Untuk itu, penghapusan peradilan adat dilakukan melalui beberapa ketentuan seperti: 1. Peraturan Menteri Kehakiman tanggal 21 Agustus 1952 No. J.B.4/3/17 (TLN 276) tentang Penghapusan Pengadilan-pengadilan Swapraja dan Pengadilan Adat di seluruh Sulawesi; 2. Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 30 September 1953 No. J.B.4/4/7 (TLN. 462) tentang Penghapusan Pengadilan-pengadilan Adat di seluruh Lombok; 3. Peraturan Menteri Kehakiman tanggal 21 Juni 1954 No. J.B.4/3/2 TLN. 461) jo. Surat Penetapan Menteri Kehakiman tanggal 18 Agustus 1954 No.
J.B.A./4/20
(TLN.
642)
tentang
penghapusan-penghapusan
pengadilan-pengadilan swapraja dan Pengadilan Adat di seluruh Propinsi Kalimantan; 4. Peraturan Presiden No. 6 Tahun 1966 tentang Penghapusan Pengadilan Adat/Swapraja dan Pembentukan Pengadilan Negeri di Irian Jaya Barat. (Peraturan Presiden ini dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1969 ditetapkan
menjadi Undang-undang). Sebagai
pelaksanaan
dikeluarkan Keputusan Bersama Gubemur Kepala Daerah Propinsi Irian Barat dan Ketua Pengadilan Tinggi Jayapura No. 11/GIB/1970/BO11/TV/1970 tentang Penghapusan Pengadilan Adat/Swapraja di daerah Propinsi Irian Barat 31
Pada zaman orde lama telah dikeluarkan Undang-undang No. 19 Tahun 1964 (LN. 1964 No. 107) tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Undang-undang ini tidak ada pernyataan yang tegas tentang penghapusan peradilan adat. Di dalamnya hanya ada Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan “semua peradilan di selurh wilayah Republik Indonesia adalah peradilan negara yang ditetapkan dengan Undang-undang”. Penjelasan Pasal tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Ada dua Pasal yang secara khusus menyangkut peradilan adat yaitu : 1. Pasal 3 ayat (1) menyatakan “semua peradilan di seluruh wilayah Republik Indonesia adalah Peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Penjelasan Pasal ini (TLN. 2951) menyatakan pasal ini mengandung arti bahwa di samping peradilan negara, tidak diperkenankan lagi adanya peradilan-peradilan yang dilakukan oleh bukan peradilan negara. 2. Pasal 39 menyebutkan Penghapusan Pengadilan Adat dan Swapraja dilakukan oleh Pemerintah. Sebagian penjelasan pasal mi menyatakan bahwa berdasarkan Undang-Undang No. 1 Drt Tahun 1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan, susunan kekuasaan dan acara pengadilan sipil Pasal 1 ayat (2) oleh Menteri Kehakiman secara berangsur-angsur telah dilakukan penghapusan pengadilan adat/ swapraja. di seluruh Bali, Propinsi Sulawesi, Lombok, Sumbawa, Timor, Kalimantan, Jambi dan Maluku. Di daerah-daerah (Provinsi) dengan otonomi khusus, persoalan delik adat dan lembaga penyelesaian delik adat, tidaklah menjadi persoalan, sebagai akibat di daerah dengan otonomi khusus, diakui adanya lembaga peradilan di luar peradilan formal, seperti Aceh dan Papua. A. Peradilan Syari’at di Aceh : Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan subnasional yang setingkat dengan pemerintahan provinsi lainnya di Indonesia. Pemerintahan Aceh adalah kelanjutan dari Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pengakuan Negara atas 32
keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir diberikan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No 62, TLN 4633). UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan14. Syari‟at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi bidang aqidah, syar‟iyah, dan akhlak. Syari‟at Islam tersebut meliputi ibadah, ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha‟ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam. Ketentuan pelaksanaan syari‟at Islam diatur dengan Qanun Aceh. Peradilan syari‟at Islam di Aceh adalah bagian dari sistem peradilan nasional dalam lingkungan peradilan agama yang dilakukan oleh Mahkamah Syar‟iyah yang bebas dari pengaruh pihak mana pun. Mahkamah Syar‟iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh.Mahkamah
Syar‟iyah
terdiri
atas
Mahkamah
Syar‟iyah
Kabupaten/Kota sebagai pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah Syar‟iyah Aceh sebagai pengadilan tingkat banding. Hakim Mahkamah Syar‟iyah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung15.
14
https://saripedia.wordpress.com/tag/syariat-islam-di-aceh/
15Ibid
33
Mahkamah Syar‟iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang Ahwal Al-Syakhsiyah (hukum keluarga), Muamalah (hukum perdata), dan Jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari‟at Islam. Ketentuan mengenai bidang Ahwal AlSyakhsiyah (hukum keluarga), Muamalah (hukum perdata), dan Jinayah (hukum pidana) diatur dengan Qanun Aceh. Putusan Mahkamah Syar‟iyah Aceh dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung. Hukum acara yang berlaku pada Mahkamah Syar‟iyah adalah hukum acara yang diatur dalam Qanun Aceh. Sengketa wewenang antara Mahkamah Syar‟iyah dan pengadilan dalam lingkungan peradilan lain menjadi wewenang Mahkamah Agung untuk tingkat pertama dan tingkat terakhir. Dalam hal terjadi perbuatan jinayah yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama yang di antaranya beragama bukan Islam, pelaku yang beragama bukan Islam dapat memilih dan menundukkan diri secara sukarela pada hukum jinayah. Setiap orang yang beragama bukan Islam melakukan perbuatan jinayah yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau ketentuan pidana di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana berlaku hukum jinayah.
B. Peradilan Adat di Provinsi Papua dan Papua Barat Undang-Undang No. 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang merupakan instrumen kebijakan publik, pemerintah Indonesia yang bertujuan untuk memberikan solusi atas permasalahan krusial yang terjadi di Papua. Masalah tersebut meliputi: 1) 34
konflik politik, berfokus pada isu tuntutan Papua merdeka yang dipandang oleh pemerintah Indonesia sebagai gerakan separatis. 2) konflik sosial antara warga, sebagai akibat tidak adanya solusi yang memadai atas menguaknya konflik politik yang muncul lebih dahulu, serta 3) ketertinggalan pembangunan ekonomi masyarakat, terutama masyarakat Papua, dibanding sebagian besar provinsi lain di Indonesia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa secara politik Otsus memuat pembagian kewenangan antara pusat dan daerah, melalui kebijakan desentralisasi yang lebih memadai, secara sosial memuat pengakuan dan penghormatan terhadap indentitas sosial budaya dan hak-hak dasar masyarakat asli Papua dalam kerangka Kebhinekaan Indonesia. Pengakuan dan penghormatan terhadap indentitas sosial budaya dan hak-hak dasar masyarakat untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 B ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Repubhik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Berkenaan dengan pelaksanaan peradilan adat dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 menentukan : ”Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Hukum Repubhik Indonesia”, kemudian Pasal 2 menentukan ”Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer. 35
lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Lebih jauh, dalam Pasal l3 ayat (1) ditentukan bahwa semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan Undang-undang. Ketentuan di atas secara jelas menyatakan bahwa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan Mahkmah Agung dan semua peradilan di seluruh wilayah negara Indonesia adalah peradilan negara, namun UndangUndang No. 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dalam BAB XIV tentang kekuasaan peradilan. Pasal 50 ayat (2) dan Pasal 51 ayat (1) sampai dengan ayat (8) menentukan : Pasal 50: (1)
Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
(2)
Disamping kekuasaan kehakiman sebagaimana di masksud pada ayat (1), diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat.
Pasal 51 (1) Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa adat dalam perkara pidana diantara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. (2) Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
36
(3) Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. (4) Dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau yang berperkara berkeberatan atas putusan yang telah diambil oleh pengadilan adat yang memeriksanya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pihak yang berkeberatan tersebut berhak meminta kepada pengadilan tingkat pertama di lingkungan badan peradilan yang berwenang untuk memeriksa
dan
mengadili
ulang
sengketa
atau
perkara
yang
bersangkutan. (5) Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara dan kurungan. (6) Putusan pengadilan mengenai delik pidana yang perkaranya tidak dimintakan pemeriksaan ulang sebagaimana dimasud pada ayat (4), menjadi putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap. (7) Untuk membebaskan pelaku pidana dari tuntutan pidana menurut ketentuan
hukum
pidana
yang
berlaku,
diperlukan
pernyataan
persetujuan untuk dilaksanakan dari ketua pengadilan negeri yang mewilayahinya, yang diperoleh melalui kepala kejaksaan negeri yang bersangkutan dengan tempat terjadinya peristiwa pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (8) Dalam hal permintaan pemyataan persetujuan untuk dilaksanakan bagi putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditolak oleh Pengadilan Negeri, maka putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi bahan pertimbangan hukum Pengadilan Negeri dalam memutuskan perkara yang bersangkutan.
37
Makna dari Pasal 50 dan Pasal 51 ayat (1) sampai dengan ayat (8) Undang-Undang
No.
35
Tahun
2008
tentang
Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Papua,
mengatur
adanya
Badan
Peradilan
Adat
untuk
menyelesaikan kasus-kasus perdata dan pidana adat. Intinya bahwa Peradilan Adat menyelesaikan kasus-kasus yang putusan hukumnya adalah “perdamaian” antara para pihak, tetapi apabila para pencari keadilan itu menghendaki putusan hukum untuk “menang dan kalah”, maka tempatnya adalah di Pengadilan Negeri dan tingkatan selanjutnya. 7. P E N U T U P a. Pembentukan hukum pidana nasional tidak dapat dilepaskan dengan latar belakang sosial budaya dan perbedaan kebutuhan hukum yang dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu, oleh karenanya dimensi pembangunan hukum nasional menuju sistem hukum nasional yang kita cita-citakan yaitu dimensi pemeliharaan, pembaharuan dan penciptaan sedapat
mungkin
menggunakan
wawasan
pembangunan
hukum
nasional, sehingga cita-cita unifikasi hukum dalam bidang hukum mampu menjamin tertuangnya aspirasi, nilai-nilai maupun kebutuhan hukum dari berbagai ragam kelompok masyarakat ke dalam sistem hukum nasional. b. Pengakuan akan keberadaan hukum pidana adat, tidak hanya ada di Bali, tetapi juga di daerah-daerah lain. c. Di daerah-daerah (Provinsi) dengan otonomi khusus, persoalan delik adat dan lembaga penyelesaian delik adat, tidaklah menjadi persoalan, sebagai
38
akibat di daerah dengan otonomi khusus, diakui adanya lembaga peradilan di luar peradilan formal, seperti Aceh dan Papua.
39
DAFTAR BACAAN Ariawan, I Gusti Ketut 1992. “Eksistensi Delik Hukum Adart Bali Dalam Rangka Pembentukan Hukum Pidana nasional” , Tesis, Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum, Jakarta ------------dan Daniel Tanati “Delik Adat di Kampung-Kampung Kabupaten Waropen Papua” Penelitian kerjasama Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana dengan BAPEDA Kabupaten Waropen, Provinsi Papua, Tahun 2008 Arief, Barda Nawawi Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996) Muladi.,”Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia Dimasa Datang” Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana, (Semarang: Universitas Diponegoro, 1990) Soedjatmoko 1986.Pembangunan Sebagai Proses Belajar dalam Masalah Sosial Budaya Tahun 2000,Yogyakarta : Tiara Wacana Vollenhoven., Van Penemuan Hukum Adat (De Ontdekking van Het Adatrecht), terj. Koninklijk Instituut voor Tall, Lan-en Volkenkunde bekerjasama dengan LIPI, (Jakarta : Djambatan, 1981) https://saripedia.wordpress.com/tag/syariat-islam-di-aceh/
40