BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya diatur dalam 4 (empat) peraturan perundang-undangan secara berurutan. Pertama kali, hukum kepailitan diatur dalam Undang-Undang
tentang
Kepailitan
(Faillisement
Verordening) Stb. 1905 No. 217 jo. Stb. 1906 No. 348 yang merupakan
produk
perundang-undangan
Belanda
seringkali juga disebut sebagai Hukum Kepailitan Lama23. Sehubungan dengan goncangnya perekonomian Indonesia di tahun 199824, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 (selanjutnya disebut Perpu No. 1 Tahun 1998) yang selanjutnya dikuatkan menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 (selanjutnya disebut UU No. 4 Tahun 1998). Apabila diperhatikan lebih jauh, UU No. 4 Tahun 1998 ini hanya
mengubah,
menambah
dan
memperjelas
Faillisement Verordening, sehingga secara yuridis formal,
Sunarmi, Hukum Kepailitan, 2010, Jakarta: PT. Softmedia, hal. 1 Pada masa itu, John T. Dori menyebutkan bahwa IMF beranggapan kesuksesan pemulihan ekonomi dan reformasi di Indonesia tergantung sepenuhnya pada reformasi sistem hukum. Karena itu, IMF mensyaratkan adanya reformasi hukum sebagai syarat pemberian pinjamannya yang tertuang dalam Memorandum Tambahan (Appendix VII) dalam Letter of Intent tertanggal 15 Januari 1998 yang dengan jelas mencantumkan keinginan IMF untuk memberlakukan hukum kepailitan yang baru dalam bentuk Peraturan Pemerintah (Perpu) serta membentuk Pengadilan Khusus Niaga. Lihat John T. Dori, Indonesia’s Economic and Political Crisis: A challenge for U.S Leadership in Asia. Lihat: Sunarmi, Op.cit., hal. 3 23 24
27
peraturan kepailitan yang lama masih berlaku25. UU No. 4 Tahun 1998 tersebut disempurnakan dengan UndangUndang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU No. 37 Tahun 2004) yang berlaku hingga saat ini.
Bagan 1. Sejarah Hukum Kepailitan dalam 4 (empat) peraturan perundang-undangan
Dalam Ketentuan Peralihan Pasal 305 UU No. 37 Tahun 2004 dinyatakan bahwa “semua peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang tentang Kepailitan (Faillisement Verordening) yang diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 1998 yang ditetapkan menjadi undang-undang berdasarkan UU No. 4 Tahun 1998, pada saat ini (UU No. 37 Tahun 2004 – catatan penulis) diundangkan, masih tetap berlaku sejauh tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan undangundang ini (No. 37 Tahun 2004 – catatan penulis).
Dari
pasal
tersebut,
penulis
pengaturan
kepailitan
dalam
menyimpulkan peraturan
bahwa
perundang-
undangan sebelum UU No. 37 Tahun 2004 diundangkan,
25
Ibid., hal. 14
28
masih tetap berlaku sejauh tidak bertentangan dan/atau belum diganti oleh UU No. 37 Tahun 2004. Pengaturan tentang kepailitan diatur dalam 5 (lima) peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang tentang Kepailitan (Faillisement Verordening), Perpu No. 1 Tahun 1998 yang ditetapkan menjadi undang-undang berdasarkan UU No. 4 Tahun 1998, UU No. 37 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007. UU No. 37 Tahun 2004 terdiri dari 7 (tujuh) Bab dan 308 Pasal. Berikut isi dari setiap Bab dalam UU No. 37 Tahun 2004: BAB I
: Ketentuan Umum
BAB II
: Kepailitan
BAB III
: Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
BAB IV
: Permohonan Peninjauan Kembali
BAB V
: Ketentuan lain-lain
BAB VI
: Ketentuan Peralihan
BAB VII
: Ketentuan Penutup
Selain diatur di dalam UU No. 37 Tahun 2004, Kepailitan juga diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas khususnya tentang Tanggung Jawab Pribadi Pemegang Saham, Anggota Direksi dan Anggota Dewan
Komisaris
jika
terjadi
kepailitan
terkait
kesalahan/kelalaian Anggota Organ tersebut (Pasal 104 ayat (2), Pasal 115 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007) serta
29
mengenai tanggung jawab terbatas Pemegang Saham (Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU No. 40 Tahun 2007).
Bagan 2. Pengaturan Hukum Kepailitan dalam 5 (lima) peraturan perundang-undangan
2. Perkembangan Konsep Kepailitan Istilah “pailit” dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris. Dalam bahasa Perancis, istilah ‘failite’ artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Sedangkan dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah to fail, dan di dalam bahasa Latin dipergunakan istilah failure26.
26
Sunarmi, Op. cit., hal. 23
30
Di
negara-negara
yang
pengertian pailit dan
berbahasa
kepailitan
Inggris,
untuk
dipergunakan istilah
“bankrupt” dan “bankruptcy”. Terhadap debitor Perseroan yang berada dalam keadaan tidak mampu membayar hutang-hutangnya disebut “insolvency”27. Dalam Black Law Dictionary diketahui bahwa “bankrupt” adalah: “the state or conditional of a person (individual, partnership, corporation, multicipality who is unable to pay its debt as they are, or became due’. The term includes a person against whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt”. Dari pengertian “bankrupt” yang diberikan oleh Black’s Law Dictionary di atas, diketahui bahwa pengertian ‘pailit’ dihubungkan
dengan
ketidakmampuan
membayar
(insolvency) dari debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh
tempo.
Ketidakmampuan
untuk
membayar
(insolvency) tersebut diwujudkan dalam bentuk tidak dibayarnya utang meskipun telah ditagih dan telah jatuh tempo. Konsep
kepailitan
tersebut
senada
dengan
Pasal
1
Faillisement Verordening (Peraturan Kepailitan Lama) yang menyatakan bahwa: “Setiap pihak yang berutang (debitor) yang berada dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya, dengan Putusan Hakim, baik atas permintaan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih pihak berutangnya (kreditornya), dinyatakan dalam keadaan pailit.”
27
Loc.cit
31
Parafrase “yang berada dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya” menunjukkan bahwa konsep yang dianut oleh Failisement Verordening mengandung persyaratan insolvency untuk dapat memailitkan debitor. Definisi untuk mengukur bahwa seorang debitor secara teknis
telah
berada
dalam
keadaan
insolvent
pada
dasarnya telah diatur dalam Pasal 47 KUH Dagang yang menyatakan sebagai berikut: “Apabila bagi para pengurus ternyata bahwa Perseroan menderita kerugian sebesar lima puluh persen dari modalnya, maka hal ini harus mereka umumkan dalam register-register yang diselenggarakan untuk itu di kepaniteraan Pengadilan Negeri, dan dalam Berita Acara. Jika kerugian tadi sebesar tujuh puluh lima persen, maka Perseroan tersebut demi hukum bubar.”
Maksud dari Pasal 47 KUH Dagang adalah apabila Perseroan modalnya,
mengalami maka
kerugian
Direksi
harus
lebih
dari
50%
dari
mengumumkan
hal
tersebut dalam register pada Pengadilan Negeri. Jika maksud Pasal tersebut dihubungan dengan maksud dari Pasal 1 ayat (1) Failisement Verordening maka akan terlihat korelasi yang menggambarkan pentingnya pembuktian secara teknis oleh pemohon pailit dengan cara insolvency test bahwa debitor berada dalam keadaan insolvency. Korelasi tersebut adalah apabila Direksi Perseroan yang mengalami kerugian 50% tersebut tidak mengumumkan kondisi keuangannya tersebut maka apabila Perseroan tersebut dipailitkan, maka Pemohon Pailit (dalam hal ini Pemohon Pailit yang dimaksud adalah kreditor sebagai pihak ketiga – involuntary petition) harus membuktikan
32
bahwa
Perseroan
tersebut
berada
dalam
keadaan
insolvency dengan cara melakukan insolvency test. Menurut Ricardo Simanjuntak, seorang praktisi hukum kepailitan, insolvency test hampir mustahil dilakukan, mengingat alat pembuktian keadaan insolvent dari debitor Perseroan adalah berdasarkan laporan keuangannya28, maka dalam hal Perseroan tersebut adalah Perseroan tertutup maka secara teknis hukum akan sangat sulit memastikan
kreditor
dapat
menggunakan
laporan
keuangan tersebut, karena sifatnya rahasia (confidential). Kalaupun kreditor mendapatkannya dari pihak lain secara diam-diam, sifat tertutup dari Perseroan tersebut akan menimbulkan terjadinya permasalahan hukum dari sisi kerahasiaan dokumen, apabila bukti laporan keuangan yang diperoleh secara diam-diam tersebut dihadirkan sebagai bukti di Pengadilan. Hal tersebut menjadi salah satu alasan yang menurut beliau, menjadikan Failisement Verordening tidak efektif. Ketidakefektifan Failisement Verordening juga, menurut beliau, terletak pada penggunaan waktu yang diukur dengan parafrase “selekas-lekasnya” yang menyebabkan pemeriksaan permohonan pailit tidak ada bedanya dengan jangka waktu yang digunakan untuk mengadili kasus perdata.
Berdasarkan Pasal 1866 KUH Perdata, tata cara pembuktian salah satunya melalui surat (dokumen), dan bukti surat tersebut harus asli, berdasarkan Pasal 1888 KUH Perdata. Lihat: Ricardo Simanjuntak SH, LLM, ANZIIF, CIP, Hukum Kontrak: Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, 2011, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal. 292 28
33
Kedua alasan tersebut yang menjadi dasar pertimbangan pentingnya reformasi UU Kepailitan agar UU tersebut dapat mencerminkan perwujudan asas peradilan yang cepat,
sederhana,
berkepastian dilakukan
efisien,
hukum.
terutama
dipailitkannya
Perubahan
pada
seorang
transparan,
adil
dan
substansial
pun
persyaratan
debitur
dengan
untuk tidak
dapat adanya
keharusan untuk terlebih dahulu membuktikan bahwa debitur berada dalam keadaan insolvent. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 1 ayat (1) Failisement Verordening yang mensyaratkan debitor harus berada “dalam keadaan telah berhenti
membayar
utang-utangnya”,
diubah
menjadi
”debitor yang terbukti memiliki minimum dua kreditur dimana tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih” dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 4 Tahun 199829. Selain mengenai definisi kepailitan, hal penting yang diatur secara tegas dalam UU No 4 Tahun 1998 adalah mengenai jangka waktu pembacaan putusan kepailitan diukur dari waktu pengajuan permohonan pailit. Sebelumnya, dalam Failisement
Verordening,
hanya
diukur
dengan
kata
“selekas-lekasnya”.
Perubahan Failisement Verordening tersebut merupakan suatu konsekuensi dari reformasi hukum dalam mengembalikan kepercayaan pelaku usaha domestik maupun asing terhadap hukum bisnis dan kredibilitas peradilan di Indonesia. Perubahan tersebut merupakan perubahan yang bersifat mendesak (vide penjelasan dalam Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia – poin A.1.) sehingga perubahan tersebut tidak langsung dengan UU No. 4 Tahun 1998, tetapi didahului dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 1998. Lihat Ricardo Simanjuntak, Op.cit., hal.292 29
34
Beberapa pokok perubahan yang dilakukan dalam UU No. 40 Tahun 2007 adalah terhadapa UU No. 4 Tahun 1998 adalah mengenai30: a. Pengertian “utang” diberikan batasan secara tegas, agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran dalam undangundang ini. Demikian juga mengenai pengertian “jatuh waktu” (vide Sub Bab Syarat-Syarat Agar Permohonan Pernyataan Pailit Dapat Diterima) b. Mengenai
syarat-syarat dan
pernyataan
pailit
dan
prosedur permohonan
permohonan
penundaan
kewajiban pembayaran utang termasuk di dalamnya pemberian
kerangka
pengambilan
waktu
putusan
secara
pernyataan
pasti
pailit
bagi
dan/atau
penundaan pembayaran utang (vide Sub Bab Prosedur dan Time-Frame Pengajuan Permohonan Pailit Per Tingkat Peradilan)
Matriks 3. Perbandingan Konsep Kepailitan
Indikator
Failisement
UU No. 4 Tahun
UU No. 37 Tahun
Verordening
1998
2004
Syarat
Mensyaratkan
Tidak
Tidak
mengajukan
debitor dalam
mensyaratan
mensyaratkan
permohonan
keadaan
debitor dalam
debitor dalam
pailit
insolvent melalui
keadaan
keadaan insolvent
Penjelasan Umum UU No. 40 Tahun 2007 dalam Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia: Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga dan Lembaga Arbitrase, Jakarta: Kencana, 2009, hal.70 30
35
Indikator
Failisement
UU No. 4 Tahun
UU No. 37 Tahun
Verordening
1998
2004
pernyataan “Debitor berada dalam keadaan
insolvent karena
karena hanya
hanya
mensyaratkan
mensyaratkan
debitor:
debitor:
telah berhenti
mempunyai dua
membayar
“terbukti
atau lebih kreditor
utang-utangnya”
memiliki
dan tidak
minimum dua
membayar lunas
kreditur dan
sedikitnya satu
tidak membayar
utang yang telah
lunas sedikitnya
jatuh waktu dan
satu utang yang
dapat ditagih”
telah jatuh tempo dan dapat ditagih” Waktu
Tidak diatur
Diatur
pengajuan
dengan jelas
jelas
permohonan
karena hanya
pailit
berpedoman
dengan
Diatur
dengan
jelas
pada kata “selekaslekasnya”
3. Definisi Kepailitan Definisi kepailitan tertulis dalam Pasal 1 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004 sebagai berikut: “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim Pengawas
36
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini (UU No. 37 Tahun 2004 – catatan penulis)”
Berikut ini penjelasan mengenai unsur-unsur dari definisi kepailitan. a.
Sita umum atas semua kekayaan debitor pailit Sita
umum
atas
semua
kekayaan
debitor
pailit
merupakan pengejawantahan dari Pasal 1131 KUH Perdata yaitu: “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perorangan.”
Sita umum yang dimaksud meliputi seluruh kekayaan debitor (Pasal 21 UU No. 37 Tahun 2004) sehingga semua kekayaan debitor menjadi boedel pailit, kecuali benda dan jasa yang diatur dalam Pasal 22 UU No. 37 Tahun 2004. Jika debitor hanya berutang kepada seorang kreditor saja,
maka
seluruh
harta
kekayaannya
menjadi
jaminan bagi pelunasan hutang tersebut, sehingga dalam hukum
pelaksanaannya kepailitan.
tidak
Namun,
diperlukan jika
ternyata
pranata debitor
memiliki lebih dari 1 (satu) orang kreditor maka harta kekayaan debitor haruslah dibagi menurut prinsip di bawah ini31, sehingga untuk itu diperlukan pranata hukum kepailitan:
31
Jono, Op.cit, hal. 3
37
Pari passu, yaitu kreditor secara bersama-sama memperoleh
pelunasan,
tanpa
ada
yang
didahulukan; dan Pro
rata
atau
proporsional,
yaitu
dihitung
berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing kreditor dibandingkan dengan piutang para kreditor secara
keseluruhan
sehingga
memperoleh
prosentase tertentu, prosentase itulah yang menjadi bagiannya dari jumlah seluruh harta kekayaan debitor tersebut. Prinsip pari passu dan pro rata tercantum dalam Pasal 1132 KUH Perdata, yaitu: “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.”
Oleh karena harta kekayaan debitor pailit harus dibagi secara pari passu dan pro rata kepada masing-masing kreditor (dalam hal ini kreditor konkuren) kecuali para kreditor tersebut mempunyai alasan-alasan yang sah untuk didahulukan (dalam hal ini kreditor preferen dan kreditor separatis32), maka kekayaan debitor harus diletakkan di bawah sita umum.
32 Penggolongan kreditor dibahas dalam syarat-syarat agar permohonan pailit dapat diterima khususnya mengenai syarat adanya debitor
38
Golongan kreditor ada 3 (tiga) yaitu kreditor konkuren, kreditor preferen dan kreditor separatis33 yaitu sebagai berikut: 1) Kreditor konkuren Kreditor konkuren ini diatur dalam Pasal 1132 KUH Perdata. Kreditor konkuren adalah para kreditor yang mendapatkan pelunasan setelah hak dari kreditor separatis dan kreditor preferen telah terpenuhi.
Kreditor
konkuren
mendapatkan
pelunasan berdasarkan prinsip pari passu dan pro rata, artinya para kreditor secara bersama-sama memperoleh
pelunasan
(tanpa
ada
yang
didahulukan) yang dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara keseluruhan, terhadap
seluruh
kekayaan
Dengan
demikian,
para
debitur
tersebut.
kreditor
konkuren
mempunyai kedudukan yang sama atas pelunasan utang
dari
harta
debitur
tanpa
ada
yang
diistimewakan),
yaitu
didahulukan. 2) Kreditor preferen Kreditor
preferen
(yang
kreditor yang oleh undang-undang, semata-mata karena sifat piutangnya, mendapatkan pelunasan terlebih
dahulu.
Kreditor
preferen
merupakan
kreditor yang mempunyai hak istimewa, yaitu suatu hak yang oleh undang-undang diberikan 33
Sunarmi, Hukum Kepailitan, 2010, Jakarta: PT. Softmedia, hal. 42
39
kepada
seorang
yang
berpiutang
sehingga
tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya,
semata-mata
berdasarkan
sifat
piutangnya (Pasal 1134 KUH Perdata). Kreditor preferen terdiri atas kreditor preferen umum dan kreditor preferen khusus. a) Kreditor preferen khusus Kreditor preferen khusus adalah kreditor yang piutang-piutangnya preferensi
diistimewakan
khusus
(Pasal
1139).
menurut Preferensi
khusus tersebut antara lain: (1) Biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu
benda
bergerak
maupun
tidak
bergerak. Biaya ini dibayar dari pendapatan penjualan benda tersebut terlebih dahulu dari
semua
piutang
lainnya
yang
diistimewakan, bahkan lebih dahulu pula daripada gadai dan hipotik; (2) Uang sewa dari benda-benda tidak bergerak, biaya-biaya
perbaikan
yang
menjadi
kewajiban si penyewa, beserta segala apa yang
mengenai
kewajiban
memenuhi
persetujuan sewa; (3) Harta pembelian benda-benda bergerak yang belum dibayar; (4) Biaya
yang
telah
dikeluarkan
menyelamatkan suatu barang;
40
untuk
(5) Biaya untuk melakukan pekerjaan suatu barang, yang masih harus dibayar kepada tukang; (6) Apa yang telah diserahkan oleh seorang pengusaha
rumah
penginapan
sebagai
demikian sebagai seorang tamu; (7) Upah-upah pengangkutan dan biaya-biaya tambahan; (8) Apa yang harus dibayar kepada tukang batu, tukang kayu dan lain-lain tukang untuk
pembangunan,
penambahan
dan
perbaikan benda-benda tidak bergerak, asal saja piutangnya tidak lebih tua dari tiga tahun
dan hak milik atas
persil yang
bersangkutan masih tetap pada si berutang; (9) Penggantian serta pembayaran yang harus dipikul oleh pegawai yang memangku suatu jabatan umum, karena segala kelalaian, kesalahan, pelanggaran, dan kejahatan yang dilakukan dalam jabatannya. b) Kreditor preferen umum Kreditor preferen umum adalah kreditor yang piutang-piutangnya diistimewakan atas semua benda bergerak dan tidak bergerak yang disebut preferensi umum (Pasal 1149 KUH Perdata). Adapun
preferensi
umum
didasarkan
pada
urutan sebagai berikut: (1) Biaya-biaya disebabkan
41
perkara, oleh
yang
semata-mata
pelelangan
dan
penyelesaian suatu warisan; biaya-biaya ini didahulukan daripada gadai dan hipotek; (2) Biaya-biaya mengurangi
penguburan, kekuasaan
dengan hakim
tidak untuk
menguranginya, jika biaya itu terlampau tinggi; (3) Semua biaya perawatan dan pengobatan dari sakit yang penghabisan; (4) Upah para buruh selama tahun yang lalu dan upah yang sudah dibayar dalam tahun yang sedang berjalan, beserta jumlah uang kenaikan upah menurut Pasal 1602 q34; (5) Piutang karena penyerahan bahan-bahan makanan
yang
dilakukan
kepada
si
berutang beserta keluarganya, selama waktu enam bulan yang terakhir; (6) Piutang-piutang para pengusaha sekolah berasrama, untuk tahun yang penghabisan; (7) Piutang anak-anak yang belum dewasa dan orang-orang yang terampu terhadap sekalian wali dan pengampu mereka. 3) Kreditor separatis (secured creditor) Kreditor separatis (secured creditor) yaitu kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yaitu gadai, hipotek,
hak
tanggungan
dan
fidusia35.
Hak
Telah diatur kemudian dalam Pasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 35 Ibid., hal. 7. Pengaturan tentang hak jaminan kebendaan tersebut adalah sebagai berikut: a. Gadai diatur dalam Pasal 1150 s.d. 1160 Bab XX KUH Perdata yang diberlakukan terhadap benda-benda bergerak. Dalam sistem jaminan gadai, 34
42
penting yang dipunyai kreditor separatis adalah hak
untuk
dengan
menjual/mengeksekusi
kewenangan objek
sendiri
agunan,
tanpa
putusan pengadilan (parate eksekusi). Golongan kreditor tersebut mendapat pembagian hasil penjualan boedel pailit menurut urutan haknya. Menurut Ricardo Simanjuntak36 hak para kreditor untuk mendapatkan pembagian dari hasil penjualan boedel pailit, dapat dibagi dalam 7 (tujuh) tingkat mulai dari hak yang paling tinggi hingga hak yang paling rendah sebagai berikut: 1) Hak retensi (retain) merupakan hak yang dimiliki oleh kreditor atas kewenangan yang diberikan kepadanya untuk melakukan perbaikan ataupun penambahan nilai dari boedel pailit. Kreditur pemilik tagihan ini berhak untuk menahan (retain) benda
(boedel
pailit)
yang
berada
di
bawah
kekuasaannya sebelum biaya perbaikan terhadap
seorang pemberi gadai (debitur) wajib melepaskan penguasaan atas benda yang akan dijaminkan tersebut kepada penerima gadai (kreditor). b. Hipotek diatur dalam Pasal 1162 s.d 1232 Bab XXI KUH Perdata, yang pada saat ini hanya diberlakukan untuk kapal laut yang berukuran minimal 20 m3 dan sudah terdaftar di Syahbandar serta pesawat terbang. c. Hak Tanggungan diatur dalam UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, yang merupakan jaminan atas hak-hak atas tanah tertentu berikut kebendaan yang melekat di atas tanah. d. Fidusia yang diatur dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang objek jaminannya berupa benda-benda yang tidak dapat dijaminkan dengan gadai, hipotek dan hak tanggungan. 36 Ricardo Simanjuntak SH, LLM, ANZIIF, CIP, Hukum Kontrak: Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, 2011, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal. 301-302
43
boedel pailit tersebut terlebih dahulu dilunasi37, serta
biaya
perkara
yang
dikeluarkan
untuk
pelelangan dan penyelesaian warisan38; 2) Hak istimewa atas tagihan negara merupakan hak
yang
dimiliki
kantor
pajak
untuk
mendapatkan pembayaran dari boedel pailit lebih dahulu dari kreditur lainnya39; 3) Hak preferensi separatis bagi kreditor separatis (secured creditor) merupakan hak yang dimiliki oleh kreditur-kreditur yang memegang jaminan dalam bentuk hak tanggungan, hipotek, gadai dan fidusia (tersebut di atas); 4) Hak istimewa buruh40; 5) Hak preferensi khusus bagi kreditor preferen khusus berdasarkan Pasal 1139 KUH Perdata (tersebut di atas); 6) Hak preferensi umum bagi kreditor preferen umum berdasarkan Pasal 1149 KUH Perdata (tersebut di atas);
Pasal 61 UU No. 37 Tahun 2004 bandingkan dengan Pasal 21 ayat (3)b UU No. 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang; selanjutnya disebut UU No. 16 Tahun 2009), 38 Pasal 21 ayat (3)c UU No. 16 Tahun 2009 jo. Pasal 1139 ayat (1) dan Pasal 1149 ayat (1) 39 Pasal 21 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2009 jo Pasal 21 ayat (3a) UU No. 16 Tahun 2009 jo. Pasal 1134 KUH Perdata jo. Pasal 1137 KUH Perdata. Dalam kacamata pajak, hak istimewa ini bahkan lebih tinggi (mendahului) daripada hak yang dimiliki oleh kreditur separatis. 40 Berdasarkan Pasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sebelumnya hak buruh untuk mendapatkan pembayaran berada pada kedudukan kreditor preferen umum berdasarkan Pasal 1149 KUH Perdata, akan tetapi kemudian diberikan hak istimewa oleh UU No 13 Tahun 2003. 37
44
7) Hak
umum
bagi
kreditor
konkuren
untuk
dibayarkan secara pro rata berdasarkan Pasal 1132 KUH Perdata (tersebut di atas). b. Pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator Pengurusan dan pemberesan dalam kepailitan berbeda dengan pengurusan dan pemberesan dalam likuidasi. Mekanisme kepailitan pada intinya sama dengan mekanisme likuidasi yaitu adanya verifikasi utang dan verifikasi
debitor.
Namun
dalam
pelaksanaannya
likuidasi dilakukan oleh likuidator dimana direksi dapat menjadi likuidator apabila disepakati dalam RUPS. Sedangkan dalam kepailitan, pengurusan dan pemberesan hanya bisa dilakukan oleh kurator. c.
Di bawah pengawasan hakim pengawas Hakim Pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh pengadilan
dalam
putusan
pailit
atau
putusan
penundaan kewajiban pembayaran utang41. Fungsinya adalah untuk mengawasi jalannya pengurusan dan pemberesan oleh kurator. 4. Syarat-Syarat
Agar
Permohonan
Pernyataan
Pailit
Dapat Diterima Ada 4 (empat) syarat agar pengajuan permohonan pailit dapat diterima yaitu:
41
Pasal 1 angka 8 UU No. 37 Tahun 2004
45
a.
Adanya debitor Syarat “adanya debitor” merupakan syarat materil terkait Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004: “Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan satu atau lebih kreditornya.”
Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan42. Debitor bisa berupa perorangan (natuurlijk persoon; human being) atau badan hukum (rechts persoon; artificial person). Perseroan Terbatas termasuk dalam kategori badan hukum. b. Adanya
dua
kreditor
atau
lebih
(concursus
creditorum) Syarat “adanya dua kreditor atau lebih” merupakan syarat materil terkait Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan43. “Adanya dua kreditor atau lebih” memiliki makna bahwa untuk dapat mengajukan permohonan pailit kepada seorang kreditor, maka kreditor tersebut harus mempunyai minimal 2 (dua) kreditor.
42 43
Pasal 1 angka 3 UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 1 angka 2 UU No. 37 Tahun 2004
46
c.
Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih Syarat “tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih” merupakan syarat materiil, sebagai lanjutan dari syarat kedua, terkait Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Syarat “tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih” memiliki makna bahwa
agar
dapat
mengajukan
permohonan
permohonan pailit, maka dari dua kreditor atau lebih, minimal ada satu hutang kepada salah satu kreditor yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Yang dimaksud dengan “sudah jatuh waktu dan dapat ditagih” adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh
instansi
yang
berwenang,
maupun
karena
putusan pengadilan, arbiter atau majelis arbitrase44. Definisi “utang” tercantum dalam Pasal 1 butir 6 UU No. 37 Tahun 2004 sebagai berikut: “Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor 44Penjelasan
Pasal 2 UU No. 37 Tahun 2004
47
untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.”
Dari definisi utang tersebut di atas terutama dari parafrase
“kewajiban yang dinyatakan atau dapat
dinyatakan dalam jumlah uang”, maka secara jelas definisi utang harus ditafsirkan secara luas, bahwa utang bukan hanya meliputi “utang yang timbul dari perjanjian
utang-piutang
atau
pinjam-meminjam”
tetapi juga “utang yang timbul karena undang-undang atau perjanjian yang dapat dinilai dengan sejumlah uang”. d. Pembuktian sederhana (summarily proving) Syarat ini merupakan syarat formil terkait Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa: “Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta dan kenyataan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.”
Parafrase
“fakta
dan
kenyataan
terbukti
secara
sederhana” (summarily proving) dalam Pasal 8 ayat 4 UU No. 37 Tahun 2004 tersebut di atas berarti bahwa keberadaan utang yang dimaksudkan oleh pemohon pailit tidak dipersengketakan lagi. Dengan kalimat lain, keberadaan utang yang secara pembuktian telah sangat
kuat
dan
jelas
keberadaannya
tersebut
membuat langkah pembuktian terhadapnya – dalam hal
debitur
mencoba
mengingkarinya
–
cukup
dilakukan secara sederhana (summarily proving). Jika utang
tersebut
masih
48
dipersengketakan,
sehingga
pembuktian terhadap utang tersebut tidak dapat dilakukan
secara
sederhana,
maka
penyelesaian
sengketa utang-piutang tersebut bukan kewenangan Pengadilan Niaga. Sengketa utang-piutang tersebut diselesaikan
melalui
jalur
gugatan
perdata
pada
pengadilan negeri. Selain itu, menurut penulis perlu ditambahkan, dalam hal subjek hukum yang dipailitkan adalah Perseroan, syarat mengenai siapa debitor harus dapat dibuktikan secara sederhana. Syarat mengenai siapa debitor adalah mengenai apakah subjek hukum yang berutang adalah
Perseroan
atau
pribadi
anggota
Organ
Perseroan.
Bagan 3. Empat Syarat agar Permohonan Pernyataan Pailit dapat Diterima
Keempat syarat tersebut harus dipenuhi agar permohonan pailit dapat diterima.
49
5. Pemohon Pailit Pemohon
pailit
permohonan
adalah
pernyataan
pihak pailit
yang
ke
mengajukan
Pengadilan
Niaga.
Permohonan pernyataan pailit bisa diajukan oleh debitor sendiri
(voluntary
petition)
atau
oleh
pihak
ketiga
(involuntary petition), Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas
Pasar
Modal,
maupun
Menteri
Keuangan,
sebagai berikut: a. Atas
Permohonan
Debitor
Sendiri
(Voluntary
Petition) UU
No. 37 Tahun 2004 memungkinkan
seorang
kreditor untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit atas dirinya sendiri45. Tujuannya agar masalah kesulitan keuangan yang dihadapinya dapat segera diselesaikan oleh pengadilan melalui kurator kepada para kreditor. b. Atas
Permohonan
Pihak
Ketiga
(Involuntary
Petition) Permohonan pernyataan pailit dapat juga diajukan oleh seorang kreditor atau lebih, termasuk di dalamnya kreditor konkuren, kreditor preferen maupun kreditor separatis46.
Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitor yang masih terikat dalam pernikahan yang sah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istrinya. Lihat Pasal 4 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 46 Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 dan penjelasannya. 45
50
c. Kejaksaan Permohonan pernyataan pailit terhadap debitur juga dapat
diajukan
oleh
kejaksaan
demi
kepentingan
umum47. d. Bank Indonesia Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Bank Indonesia dalam hal debitornya adalah bank.48 e. Pengawas Pasar Modal Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dalam hal debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan
Penjaminan,
Lembaga
Penyimpanan
dan
Penyelesaian.49 f. Menteri Keuangan Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Menteri Keuangan
dalam
hal
debitor
adalah
Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik.50
Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004. Pengertian kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas, misalnya: a. Debitor melarikan diri; b. Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan; c. Debitur mempunyai utang kepada BUMN atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat; d. Debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas; e. Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu; atau f. Dalam hal lainnya yang menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum 48 Pasal 2 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004 49 Pasal 2 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004 50 Pasal 2 ayat (5) UU No. 37 Tahun 2004 47
51
6. Prosedur dan Time-Frame Pengajuan Permohonan Pailit per Tingkat Peradilan Prosedur dan Time-Frame Pengajuan Permohonan Pailit terdiri atas Prosedur dan Time-Frame Pengajuan Permohonan Pailit pada tingkat pertama, tingkat kasasi dan Peninjauan Kembali. a. Prosedur dan Time-Frame Pengajuan Permohonan Pailit pada Tingkat Pertama Permohonan
pernyataan
pailit
pada
tingkat
pertama
diajukan melalui Pengadilan Niaga di wilayah hukum debitor Termohon Pailit (Pasal 3 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Prosedur pengajuan permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga dari proses pendaftaran permohonan sampai putusan dibacakan memerlukan waktu 60 (enam puluh) hari (Pasal 6-9 UU No. 37 Tahun 2004).
Bagan 4 Time-frame Pengajuan Permohonan Pernyataan Pailit di Pengadilan Niaga (Pasal 6-9 UU No. 37 Tahun 2004)
52
b. Prosedur dan Time-Frame Kasasi Perkara Kepailitan Permohonan kasasi perkara kepailitan diajukan melalui Pengadilan Niaga. Prosedur pengajuan permohonan kasasi proses pendaftaran permohonan kasasi di Pengadilan Niaga sampai putusan dibacakan oleh hakim Mahkamah Agung (Pasal 10-12 UU No. 37 Tahun 2004) memerlukan waktu sekitar 74 (tujuh puluh empat hari. Berikut ini time-frame pengajuan
permohonan
kasasi
Perkara
Kepailitan
Pengadilan Niaga:
Bagan 5 Time-frame Pengajuan Permohonan Kasasi Perkara Kepailitan ke Mahkamah Agung (Pasal 10-12 UU No. 37 Tahun 2004)
53
di
c.
Prosedur dan Time-Frame Peninjauan Kembali Perkara Kepailitan Permohonan Peninjauan Kembali (PK) perkara kepailitan diajukan melalui Pengadilan Niaga. Menurut Pasal 195 UU No. 37
Tahun
2004,
terdapat
2
(dua)
alasan
Permohonan
peninjauan kembali yaitu: 1) setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan
yang
pada
waktu
perkara
diperiksa
di
Pengadilan sudah ada, tetapi belum ditemukan; atau 2) dalam
putusan
hakim
yang
bersangkutan
terdapat
kekeliruan yang nyata. Tenggang
waktu
untuk
pengajuan
PK
dengan
alasan
“ditemukannya bukti baru” adalah 180 (seratus delapan puluh hari) sejak putusan atas permohonan kasasi memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan tenggang waktu pengajuan PK dengan alasan “terdapat kekeliruan yang nyata” adalah 30 (tiga puluh hari). Prosedur pengajuan permohonan kasasi proses pendaftaran permohonan kasasi di Pengadilan Niaga sampai putusan dibacakan oleh hakim Mahkamah Agung memerlukan waktu sekitar 30 (tiga puluh) hari (Pasal 295-298 UU No. 37 Tahun 2004). Berikut ini time-frame pengajuan permohonan PK Perkara Kepailitan di Pengadilan Niaga:
54
Bagan 6. Time-frame Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Perkara Kepailitan ke Mahkamah Agung (Pasal 295-298 UU No. 37 Tahun 2004)
55
Dari
ketiga bagan jangka waktu
permohonan
pernyataan
pailit,
(time-frame) pengajuan pengajuan
kasasi
dan
pengajuan permohonan peninjauan kembali kasus kepailitan yang telah dijelaskan di atas, perkiraan jangka waktu (timeframe) penyelesaian perkara kepailitan adalah 212 hari (diperhitungkan dengan perkiraan jangka waktu pembacaan putusan per tingkat peradilan sampai dengan pengajuan permohonan per tingkat peradilan). Jangka waktu ini jauh lebih singkat dari pada jangka waktu (time-frame) pengajuan perkara perdata yang memakan waktu 4-6 tahun dari tingkat pertama pada Pengadilan Negeri sampai dengan tingkat Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Dengan demikian, pilihan untuk menyelesaikan sengketa hutang-piutang dengan menggunakan pranata hukum kepailitan melalui Pengadilan Niaga
lebih
mudah
dan
lebih
sederhana
dibanding
menggunakan pranata hukum perdata melalui Pengadilan Negeri.
(60) + (8+74) + (30 + 30) = 212 h
56
B.
Pelaksanaan Prinsip Tata Kelola Perseroan yang Baik (Good Corporate Governance) Sebagai Suatu Keniscayaan Dalam Mencegah Terjadinya Kepailitan Pelaksanaan Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) merupakan keniscayaan dalam suatu Perseroan. Amartya Sen51, mengibaratkan keberadaan Tata Kelola Perseroan yang Baik (Good Corporate Governance) tersebut sebagai “oksigen” bagi “kehidupan” Perseroan, dimana manfaat kehadirannya lebih dipahami ketika ia tidak hadir: A basic code of good business behavior (Good Corporate Governance - penulis) is a bit like oxygen: we take an interest in its presence when it is absent!
Sebuah penelitian terkait Good Corpororate Governance yang dilakukan oleh Duff and Phelps menyatakan bahwa para responden baik di AS maupun di Eropa, pada umumnya sependapat bahwa tuntutan tata kelola Perseroan (Good Corpororate Governance) yang baik merupakan dampak dari berbagai skandal korporasi: WorldCom, Enron, Adelphia dan Parmalat. Survey membuktikan 72% responden berpendapat bahwa tuntutan pelaksanaan tata kelola Perseroan yang baik (Good Corpororate Governance) tersebut bahkan menjadi salah satu
faktor
pendorong
kenaikan
permintaan
pendapat
kewajaran (fairness opinion)52 oleh Perseroan. Amartya Sen, The 1998 Nobel laureate in Economic Science dalam Saiful M. Ruky, Fairness Opinion: Pendapat Kewajaran Transaksi Korporasi, Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama, 2010, hal. 17 52 Pendapat kewajaran (fairness opinion) adalah pendapat yang diberikan oleh seorang penasihat keuangan independen yang berkaitan dengan kewajaran atas transaksi korporasi yang terjadi pada pasar corporate control tersebut yang terdiri 51
57
Dari hal tersebut di atas, penulis mengasumsikan Pelaksanaan Prinsip Tata Kelola Perseroan yang Baik (Good Corporate Governance) merupakan suatu keniscayaan dalam pengelolaan Perseroan. 1.
Pelaksanaan Prinsip Tata Kelola Perseroan (Corporate Governance)
Sebagai
Suatu
Keniscayaan
dalam
Mencegah Terjadinya Kepailitan Pelaksanaan prinsip Tata Kelola Perseroan
(Corporate
Governance) yaitu Prinsip Transparansi (Transparency), Akuntabilitas
(Accountability),
(Responsibility),
Prinsip
Prinsip Kewajaran
dan
Prinsip
Responsibilitas
Independensi
(Independency),
Kesetaraan
(Fairness)
harus
tercermin dalam pengelolaan Perseroan agar kepailitan dapat tercegah. Tata Kelola Perseroan (Corporate Governance) berkaitan dengan pengambilan keputusan efektif yang bersumber pada etika bisnis, budaya Perseroan, etika, nilai, sistem, proses bisnis, kebijakan dan struktur organisasi yang bertujuan
untuk
mendorong
dan
mendukung:
perkembangan Perseroan; pengelolaan sumber daya dan risiko
secara
lebih
efisien
serta
efektif;
dari: 1) uji kewajaran kesepakatan (fair dealing) atau disebut juga dengan kewajaran prosedur (procedure fairness) dan 2) uji kewajaran harga (fair price). Lihat: Saiful M. Ruky, Op. Cit, hal. 2-5
58
pertanggungjawaban
Perseroan
terhadap
pemegang
saham dan stakeholders lainnya53. Menurut Price Waterhouse Coopers, Tata Kelola Perseroan adalah sebagai berikut: Corporate Governance is about effective decision making. It is founded upon organizational culture, ethics, value, system, processes, policies and structures which are aimed at fostering and promoting: business prosperity; efficient and effective management of resources and risk; corporate accountability and the stakeholders. 54
Menurut Parijs55, ditinjau dari sisi badan kepengurusan Perseroan, dalam hal Tata Kelola Perseroan (Corporate Governance) (governing
dikenal body)
2
yaitu:
sistem 1)
badan
sistem
kepengurusan
yang
menganut
kepengurusan dengan 1 (satu) lapis dewan pimpinan (one tier board system), sistem ini diterapkan di negara-negara yang menganut tradisi hukum Anglo Saxon, 2) sistem dengan 2 (dua) lapis dewan pimpinan (two tier board system), sistem ini banyak diterapkan di negara-negara yang
menganut
tradisi
hukum
Eropa
Kontinental
termasuk Indonesia. Perseroan dengan 1 lapis sistem badan kepengurusan (one governing body); the board of director (BOD) terdiri dari Eksekutif dan Non-Eksekutif Direktur atau biasa disebut dengan Inside dan Outside Director. Mereka dipilih oleh pemegang saham dan Kemal Azis Stamboel, Good Corporate Governance: Menyeimbangkan Antara Kinerja Perusahaan dengan ketaatan, Makalah, Jakarta: The Indonesian Instritute for Corporate Governance, 2000 54 Price Waterhouse Coopers, Conceptual Model for Corporate Governance Definition, Makalah, Jakarta: BPPN Workshop for Recapitalized, 2000 dalam Misahardi Wilamarta, Hak Pemegang Saham Minoritas Dalam Rangka Good Corporate Governance, Jakarta: Program Pasca Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002, hal.37 55 Sergei Parijs dalam Saiful M. Ruky, Op. Cit, hal. 17 53
59
membuat keputusan serta mengendalikan perusahaan. Direktur Non-Eksekutif biasanya merupakan Direktur paruh waktu dan tugas utamanya melakukan supervise kepada Direktur Eksekutif. Perseroan dengan 2 sistem badan kepengurusan, terdiri atas Dewan Manajemen/Eksekutif (Management Board, Indonesia: Direksi) dan Dewan Pengawas (Supervisory Board, Indonesia: Dewan Komisaris). Direksi bertugas atas
pengelolaan
Perseroan
sehari-hari,
sedangkan
Dewan Komisaris mengawasi dan memonitor Direksi dalam
melaksanakan
tugas
pengelolaan
sehari-hari,
termasuk memberikan nasihat dan ratifikasi terhadap keputusan Direksi yang bersifat strategis, sebagaimana diatur dalam anggaran dasar Perseroan56. Keputusan untuk meminjam sejumlah uang terhadap pihak ketiga (debitor) merupakan keputusan yang bersifat strategis, sehingga dalam membuat keputusan tersebut, Direksi harus terlebih dahulu meminta nasihat dan ratifikasi dari Dewan Komisaris. Dalam beberapa kasus yang akan diulas dalam Bab III, kepaillitan seringkali disebabkan karena adanya utang yang telah jatuh tempo, yang setelah ditelusuri ternyata perjanjian
hutang-piutangnya
tidak
diratifikasi
oleh
Dewan Komisaris. Dalam hal ini terjadi pelampauan wewenang dalam proses perjanjian dengan pihak ketiga menyangkut keputusan strategis yaitu Direksi tidak 56
Loc. cit.
60
meminta nasihat dan ratifikasi dari Dewan Komisaris. Pelampauan
wewenang
ini
merupakan
pelanggaran
terhadap prinsip Tata Kelola Perseroan yang baik, dimana Direksi tidak menyertakan fungsi dari Dewan Komisaris untuk memberikan nasihat dan melakukan ratifikasi terhadap keputusan Perseroan yang sifatnya strategis. Kepailitan
seharusnya
bisa
dicegah
apabila
Direksi
menyertakan fungsi Dewan Komisaris pada saat hendak memutuskan hal-hal yang bersifat strategis. Penyertaan fungsi tersebut merupakan salah satu upaya Direksi untuk
mengelola
Perseroan
(termasuk
di
dalamnya
keuangan Perseroan) secara hati-hati (duty of care).
2. Lima Prinsip Good Corporate Governance yang harus dilaksanakan
dalam
Pengelolaan
Perseroan
untuk
mencegah terjadinya Kepailitan Untuk mencegah terjadinya kepailitan, ada 5 (lima) prinsip yang harus dilaksanakan dalam pengelolaan Perseroan.
Menurut
Organization
For
Economic
Cooperation and Development (OECD) prinsip-prinsip Tata Kelola Perseroan (Good Corporate Governance) tersebut adalah sebagai berikut: a. Prinsip Transparansi (Transparency) b. Prinsip Akuntabilitas (Accountability) c. Prinsip Responsibilitas (Responsibility) d. Prinsip Independensi (Independency) e. Prinsip Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness) 61
Berikut uraian dari masing-masing prinsip tersebut: a. Prinsip Transparansi (Transparency) Prinsip Transparansi (Transparency) mengandung unsur keterbukaan yang harus diterapkan dalam setiap aspek di perusahaan yang berkaitan dengan kepentingan publik atau pemegang saham. Transparansi dalam GCG adalah wujud
pengelolaan
Perseroan
secara
terbuka
dan
pengungkapan fakta yang aktual secara tepat waktu kepada para pemangku kepentingan. Menurut
Komite
Nasional
Kebijakan
Governance57,
Prinsip Dasar Transparansi (Transparency) adalah untuk menjaga
obyektivitas
dalam
menjalankan
bisnis,
perseroan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perseroan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundangundangan,
tetapi
juga
hal
yang
penting
untuk
pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya. Pedoman Pokok Pengelolaan Perseroan berdasarkan Prinsip Transparansi (Transparency): 1)
Perseroan harus menyediakan informasi secara tepat waktu,
memadai,
jelas,
akurat
dan
dapat
Komite Nasional Kebijakan Governance, Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia, 2006, hal. 5
57
62
diperbandingkan
serta
mudah
diakses
oleh
pemangku kepentingan sesuai dengan haknya. 2)
Informasi yang harus diungkapkan meliputi, tetapi tidak terbatas pada, visi, misi, sasaran usaha dan strategi perseroan, kondisi keuangan, susunan dan kompensasi pengurus, pemegang saham pengendali, kepemilikan saham oleh anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris beserta anggota keluarganya dalam perseroan dan perseroan lainnya, sistem manajemen risiko, sistem pengawasan dan pengendalian internal, sistem
dan
pelaksanaan
GCG
serta
tingkat
kepatuhannya, dan kejadian penting yang dapat mempengaruhi kondisi perseroan. 3)
Prinsip keterbukaan yang dianut oleh perseroan tidak mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan
perseroan
sesuai
dengan
peraturan
perundang-undangan, rahasia jabatan, dan hak-hak pribadi. 4)
Kebijakan
perseroan
proporsional
harus
dikomunikasikan
tertulis kepada
dan
secara
pemangku
kepentingan. b. Prinsip Akuntabilitas (Accountability) Prinsip Akuntabilitas (Accountability) merupakan suatu perwujudan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan visi dan misi perusahaan, untuk mencapai tujuan-tujuan dan sasaran yang telah diterapkan58.
58
Misahardi Wilamarta, Op.cit., hal. 67
63
Prinsip Dasar Akuntabilitas (Accountability)59: Perseroan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perseroan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perseroan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang
saham
Akuntabilitas
dan
pemangku
merupakan
prasyarat
kepentingan yang
lain.
diperlukan
untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan. Pedoman
Pokok
Pengelolaan
Perseroan
menurut
Prinsip Akuntabilitas (Accountability): 1)
Perseroan harus menetapkan rincian tugas dan tanggung jawab masing-masing organ perseroan dan semua karyawan secara jelas dan selaras dengan visi, misi, nilai-nilai perseroan (corporate values), dan strategi perseroan.
2)
Perseroan
harus
perseroan
dan
meyakini semua
bahwa
semua
karyawan
organ
mempunyai
kemampuan sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan perannya dalam pelaksanaan GCG. 3)
Perseroan
harus
memastikan
adanya
sistem
pengendalian internal yang efektif dalam pengelolaan perseroan. 4)
Perseroan harus memiliki ukuran kinerja untuk semua jajaran perseroan yang konsisten dengan sasaran usaha perseroan, serta memiliki sistem penghargaan dan sanksi (reward and punishment system).
59
Komite Kebijakan Nasional Governance, Op.cit., hal. 5
64
5)
Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, setiap organ perseroan dan semua karyawan harus berpegang pada etika bisnis dan pedoman perilaku (code of conduct) yang telah disepakati.
c. Prinsip Responsibilitas (Responsibility) Prinsip Responsibilitas (Responsibility) mencakup hal-hal yang terkait dengan pertanggungjawaban yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan kepada para pemegang saham maupun para pemangku kepentingan serta pemenuhan kewajiban sosial perusahaan60. Prinsip Dasar Akuntabilitas (Accountability)61: Perseroan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen. Pedoman
Pokok
Pengelolaan
Perseroan
menurut
Prinsip Responsibilitas (Responsibility): 1)
Organ
perseroan
harus
berpegang
pada prinsip
kehati-hatian dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan peraturan perseroan (by-laws). 2)
Perseroan harus melaksanakan tanggung jawab sosial dengan antara lain peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perseroan
60 60 61
Misahardi Wilamarta, Op.cit., hal. 70 Komite Kebijakan Nasional Governance, Op.cit., hal. 5 Komite Kebijakan Nasional Governance, Op.cit., hal. 6
65
dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang memadai. d. Prinsip Independensi (Independency) Prinsip Dasar: untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG,
perseroan
harus
dikelola
secara
independen
sehingga masing-masing organ perseroan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. Pedoman
Pokok
Pengelolaan
Perseroan
menurut
Prinsip Independensi (Independency): 1)
Masing-masing organ perseroan harus menghindari terjadinya dominasi oleh pihak manapun, tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu, bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dan dari segala pengaruh atau tekanan, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara obyektif.
2)
Masing-masing organ perseroan harus melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan, tidak saling mendominasi dan atau melempar tanggung jawab antara satu dengan yang lain.
e. Prinsip Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness) Prinsip
Dasar:
Dalam
melaksanakan
kegiatannya,
perseroan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. 66
Pedoman
Pokok
Pengelolaan
Perseroan
menurut
Prinsip Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness): 1)
Perseroan harus memberikan kesempatan kepada pemangku kepentingan untuk memberikan masukan dan
menyampaikan
pendapat
bagi
kepentingan
perseroan serta membuka akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip transparansi dalam lingkup kedudukan masing-masing. 2)
Perseroan harus memberikan perlakuan yang setara dan wajar kepada pemangku kepentingan sesuai dengan
manfaat
dan
kontribusi
yang
diberikan
kepada perseroan. 3)
Perseroan harus memberikan kesempatan yang sama dalam
penerimaan
karyawan,
berkarir
dan
melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, gender dan kondisi fisik. Dengan melaksanakan kelima prinsip Tata Kelola Perseroan yang Baik (Good Corporate Governance) tersebut di atas, maka diharapkan, kepailitan dapat tercegah.
67
C.
Kepailitan Perseroan Terbatas Salah satu subjek hukum yang dapat dipailitkan adalah Perseroan Terbatas62. Untuk dapat memahami kepailitan Perseroan Terbatas, penulis membuat perbandingan antara Kepailitan
Perseroan
Terbatas
dengan
kebangkrutan
Perseroan, pembubaran Perseroan dan likuidasi Perseroan. 1. Perbandingan Antara Kepailitan Perseroan Terbatas dengan
Kebangkrutan
Perseroan,
Pembubaran
Perseroan Dan Likuidasi Perseroan Kepailitan Perseroan Terbatas adalah keadaan hukum yang ditetapkan oleh Pengadilan Niaga63 dimana sebuah Perseroan yang memiliki minimal dua kreditor dan terbukti tidak membayar paling sedikit satu hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Sebagai konsekuensi hukum dari kepailitan tersebut semua aset Perseroan sebagai debitor pailit tersebut berada dalam sita umum (public
attachment)
yang
dilakukan
pengurusan
dan
pemberesannya oleh seorang atau lebih kurator yang berada di bawah pengawasan hakim pengawas yang diangkat bersama kurator oleh Pengadilan Niaga.
Subjek hukum yang dapat dipailitkan selain Perseroan Terbatas yaitu subjek hukum perorangan, bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Re-asuransi, Dana Pensiun atau Badan Usaha Milik Negara. Lihat Pasal 2 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004. 63 Dalam konteks Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal UU No. 37 Tahun 2004 62
68
Kata “tidak membayar” yang ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) memberikan pengertian bahwa UU No. 37 Tahun 2004 tidak mempertimbangkan apakah tidak dibayarnya utang yang terbukti secara sederhana telah jatuh tempo dan dapat
ditagih
tersebut
disebabkan
karena
Perseroan
sebagai debitor pailit tersebut tidak mau membayar (unwilling to pay debt) atau tidak mampu membayar utang (unable
to
pay
debt/insolvent)tersebut
kepada
kreditornya64. Artinya, tidak dibedakan apakah keuangan Perseroan sebagai debitor pailit tersebut masih dalam keadaan sehat atau tidak, asalkan syarat dalam Pasal 2 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004 tersebut terpenuhi, maka debitor tersebut akan dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Oleh karena itu, status pailit belum secara otomatis menyatakan
bahwa
Perseroan
sebagai
debitor
pailit
tersebut berada dalam keadaan tidak mampu untuk membayar utang-utangnya (unable to pay debt/insolvent). Dapat saja Perseroan sebagai debitor pailit merupakan Perseroan besar dan memiliki keuangan yang sehat, namun dipailitkan karena tidak membayar utangnya (walaupun jumlah utangnya lebih kecil daripada jumlah asetnya ketika dipailitkan) yang telah terbukti jatuh tempo dan dapat ditagih. Ketika Perseroan sebagai debitor pailit tersebut sebenarnya masih cukup mampu untuk melunasi utang-utangnya Ricardo Simanjuntak SH, LLM, ANZIIF, CIP, Hukum Kontrak: Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, 2011, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal. 294 64
69
kepada kreditornya, maka debitor pailit tersebut dapat mengajukan usulan perdamaian berdasarkan Pasal 144 UU No. 37 Tahun 2004) dimana bila usulan perdamaian yang diajukan oleh debitor pailit disetujui oleh seluruh kreditornya,
maka
apabila
perdamaian
tersebut
diwujudkan, akan mengakibatkan berakhirnya status pailit dari debitor seperti yang diatur dalam Pasal 156 UU No. 37 Tahun 2004 dengan dilakukannya rehabilitasi berdasarkan Pasal 205 UUK65. Akan tetapi sebaliknya, bila usulan perdamaian tersebut ditolak oleh para kreditornya, atau Perseroan sebagai debitor
pailit
tersebut
tidak
mengajukan
usulan
perdamaian, maka berdasarkan Pasal 178 UU No. 37 Tahun 2004 barulah debitor tersebut dinyatakan insolvent. Sejak Perseroan sebagai debitor pailit dinyatakan insolvent, kurator mulai melakukan pemberesan terhadap aset-aset debitor agar dapat digunakan untuk membayar seluruh kewajiban dari debitor pailit baik dalam bentuk biaya kepailitan
ataupun
kewajiban-kewajiban
kepada
kreditornya66. Kebangkrutan Perseroan
Perseroan
mengalami
krisis
adalah
keadaan
keuangan
dimana
sehingga total
kewajiban (liability) melebihi total aktiva (asset)67. Krisis
Valerie Selvie Sinaga, Analisa Putusan Kepailitan pada Pengadilan Niaga Jakarta: Kumpulan Makalah Seri Workshop Kepailitan I-IV, 2005, hal. 184 66 Loc.cit. 67 Lihat: Dr. Mamduh M. Hanafi, MBA, Manajemen Keuangan, 2004, Yogyakarta: BPFE UGM, hal. 638 65
70
keuangan dapat terlihat melalui insolcency test yang terdiri dari cashflow test dan balance sheet test68. Pada beberapa pembuktian ketidakmampuan membayar utang, “balance sheet test” disamakan dengan “cashflow test” karena sama-sama menggambarkan laporan kondisi keuangan Perseroan seperti dinyatakan oleh Ian Fletcher69 berikut ini: “Balance sheet” insolvency sometimes referred to as a “cash flow” crisis, where the sum total of debt-present, future and contingent- exceeds the total value of all assets.
Tetapi sejatinya “balance sheet” dan “cashflow” merupakan laporan keuangan yang berbeda. Menurut Professor Goode70, cash flow test relatif lebih mudah
untuk
diaplikasikan
dalam
praktek,
agar
pengadilan dapat melihat kegiatan aktual Perseroan, namun sebenarnya cash flow bukanlah fakta pembayaran utang yang telah jatuh tempo sebagai prasyarat untuk menyatakan Perseroan tersebut dalam keadaan insolvent: “The cashflow test is relatively easy to apply in practice, for the court looks at what the company is actually doing; if it is not in fact paying its debts as they fall due it is assumed to be insolvent”
Berdasarkan pendapat Professor Goode tersebut, penulis menyimpulkan bahwa krisis keuangan yang menunjukkan keadaan bankrutnya Perseroan bukanlah krisis cashflow R. M Goode, Principle of Corporate Insolvency Law, London: Sweet and Maxwell, 1990, hal. 26 69 Ian F. Fletcher, The Insolvency Law, London: Sweet and Maxwell, 1990, hal 5 70 Loc. cit. hal. 27 68
71
(pengeluaran melainkan
lebih merujuk
banyak pada
daripada
pemasukan)
ketidakseimbangan
posisi
balance sheet. dimana total kewajiban (liability) melebihi total aktiva (asset). Pentingnya
membedakan
antara
krisis
cashflow dan
ketidakseimbangan posisi balance sheet adalah karena bisa jadi, cashflow Perseroan berada dalam kondisi tidak minus (pemasukan lebih besar daripada pengeluaran) tetapi ternyata sumber pemasukan tersebut berasal dari utang
yang
sebenarnya
berposisi
sebagai
kewajiban
(liability). Untuk mempermudah memahami posisi balance sheet, perhatikan contoh balance sheet berikut: Gambar 3. Neraca (balance sheet)71 Aset Lancar
Kewajiban Lancar
Kas dan Sekuritas
Utang
Piutang
Utang jangka panjang
Persediaan
=
+ Aset Tetap
+ Kewajiban Jangka Panjang
Aset berwujud
+
Aset tidak berwujud
Ekuitas Pemegang Saham
Dalam neraca (Balance Sheet) tersebut, utang Perseroan terhadap pihak ketiga tercakup dalam kewajiban (liabilities) pada bagian kanan. Dalam pembuktian keadaan insolvent dari suatu Perseroan dapat dianalisis dari balance sheet tersebut,
yaitu
dengan
melihat
perbandingan
antara
Brealey Myers Marcus, Dasar-dasar Manajemen Keuangan Perusahaan, 2008, Jakarta: Erlangga, hal.58
71
72
kewajiban (liabilities) dan modal (equity)72. Jika liabilities > equity (jumlah utang lebih besar daripada modal), maka Perseroan tersebut dikategorikan memiliki kemampuan yang rendah dalam membayar utang. Apalagi jika equity = 0, atau liabilities = 100%, maka Perseroan tersebut dikategorikan memiliki risiko tinggi (high risk), karena jika kreditor meminta pelunasan utang, maka jalan keluar satu-satunya adalah dengan mencairkan aset yang dimiliki oleh Perseroan tersebut. Inilah salah satu73 asal-muasal keadaan insolvent debitor dalam membayar hutangnya. Kebangkrutan
(bankruptcy)
memiliki
persamaan
arti
dengan keadaan ketidakmampuan membayar hutanghutangnya (insolvency). Kebangkrutan (bankruptcy) dan ketidakmampuan mempunyai
membayar
persamaan
utang
arti,
(insolvency)
yaitu
keadaan
ketidakmampuan membayar utang karena krisis keuangan dalam Perseroan. Perbedaannya dikemukakan oleh Ian Fletcher74,
bahwa
insolvency
adalah
kondisi
faktual,
sedangkan bankruptcy adalah status hukum: Distinction between “insolvency” and “bankruptcy”, “insolvency” as a factual condition and “bankruptcy” as a legal condition status.
Liabilities dan equity sama-sama merupakan sumber modal Perseroan. Bedanya, liabilities merupakan modal yang bersumber kreditor dalam bentuk pinjaman/utang (payable), sedangkan equity merupakan modal yang bersumber dari investor berupa saham (stock). Wawancara dengan Marwata, SE, MSi. Ph.D, Dosen Akuntansi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2 Mei 2012 73 Selain ketidakmampuan untuk membayar utang (unable to pay), kepailitan bisa juga terjadi karena ketidakmauan debitor untuk utang (unwilling to pay) 74 Ian F. Fletcher, The Insolvency Law, London: Sweet and Maxwell, 1990, hal 4 72
73
Menurut
penulis,
dalam
pranata
hukum
kepailitan
Indonesia, fungsi balance sheet test dalam pranata hukum kepailitan di Indonesia, bukan sebagai pembuktian untuk memperkuat argumen mengenai utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, melainkan untuk pembuktian dalam
usulan
perdamaian
bahwa
Perseroan
sebagai
debitor pailit berada dalam keadaan mampu membayar utang-utangnya (able to pay/solvent).
Pembubaran penghentian
Perseroan kegiatan
(dissolution)
usaha
perseroan
merupakan yang
tidak
mengakibatkan Perseroan kehilangan status badan hukum sampai
dengan
selesainya
likuidasi
dan
pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS atau pengadilan75 atau pertanggungjawaban kurator diterima oleh hakim pengawas76. Dengan demikian, kepailitan merupakan salah satu penyebab bubarnya Perseroan77. Likuidasi
(liquidation)
merupakan
pemberesan
penyelesaian dan pengakhiran urusan Perseroan setelah bubarnya
Perseroan,
apakah
bubarnya
Perseroan
disebabkan karena jangka waktu yang diatur dalam Anggaran Dasar telah berakhir, atau karena adanya keputusan baik keputusan RUPS maupun penetapan
Pasal 143 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007) Pasal 142 ayat (2) huruf a UU No. 37 Tahun 2004. Likuidasi dilakukan oleh kurator dalam hal Pembubaran terjadi karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi. Lihat: Pasal 142 ayat (1) huruf e UU No. 37 Tahun 2004 77 Penyebab bubarnya Perseroan ada 6 (enam) hal yang diatur dalam Pasal 142 ayat (1) huruf a-f UU No. 37 Tahun 2004 75 76
74
pengadilan.78 Dalam hal pembubaran disebabkan oleh karena Perseroan telah dinyatakan pailit maka kuratorlah yang
melakukan
likuidasi.
Pemberesan
oleh
kurator
disebut likuidasi khusus79.
2. Tujuan Hukum Kepailitan Perseroan Perbandingan
dengan
Hukum
di Indonesia:
Kepailitan
Amerika
Serikat Menurut David Milman dan Christopher Durrant80, tujuan utama
(basic
aims)
Hukum
Kepailitan
Perseroan
di
Amerika Serikat: a. b. c.
To protect creditors – e.g., by providing facilities and procedures designed to allow them to enforce their claims against the company; To balance the interests of competing groups on corporate insolvency; To control or punish directors responsible for the financial collapse of the company.
Jika dibuat perbandingan dengan tujuan hukum di Amerika Serikat, maka tujuan hukum kepailitan Perseroan di Indonesia: a. Dalam
tujuan
pertama,
tujuan
hukum
kepailitan
Indonesia dan AS cenderung sama yaitu bertujuan untuk melindungi kepentingan kreditor. Hal ini terlihat dari syarat untuk mengajukan permohonan pailit (Pasal 2 ayat 1) yang sederhana sehingga memudahkan
Bandingkan dengan Tri Budiyono, Hukum Perusahaan, 2011, Griya Media, Salatiga, hal. 236 79 Lihat Penjelasan Pasal 142 ayat (2) huruf a. 80David Milman dan Christopher Durrant, Corporate Insolvency:Law and Practice, London: Sweet and Maxwell, 1987, hal. 1 78
75
kreditor
untuk
mempailitkan
debitor
demi
mendapatkan pelunasan atas piutangnya; b. Dalam
tujuan
Indonesia
kedua,
dan
AS
menyeimbangkan
tujuan
hukum
cenderung
pembagian
sama hasil
kepailitan
yaitu
untuk
boedel
pailit
diantara para kreditor, dalam hal ini kreditor konkuren, setelah
kreditor
mendapatkan
separatis
pemenuhan
dan
kreditor
haknya
preferen
terlebih
dahulu
(Pasal 1132); c. Dalam
tujuan
ketiga,
tujuan
hukum
kepailitan
Indonesia dan AS berbeda. Tujuan hukum kepailitan AS adalah untuk mengontrol atau menghukum Direksi atas jatuhnya kondisi keuangan Perseroan, sedangkan di Indonesia, pranata hukum kepailitan tidak sampai menghukum Direksi atas kepailitan Perseroan. Hal ini terbukti dari isi putusan Pengadilan Niaga yang tidak pernah menghukum anggota Direksi Perseroan atas kepailitan Perseroan tersebut. Anggota Direksi hanya diminta
pertanggungjawabannya
apabila
kepailitan
terjadi karena perbuatan ultra vires Direksi. Perbandingan selanjutnya adalah mengenai tujuan adanya pranata
hukum
mereorganisasi
kepailitan
Perseroan,
di
AS
sebagaimana
adalah diatur
untuk dalam
Chapter 11 Bankruptcy Code USA. Berikut ini laporan legislatif USA mengenai tujuan Bankruptcy Code (the goal of Bankruptcy Code according to legislative report that accompanied the Bankruptcy Code)81:
Rees W. Morrison, Business Opportunities from the Corporate Bankruptcies, USA: John Wiley & Sons, Inc, hal. 44
81
76
“The purpose of a business reorganization case, unlike a bankruptcy liquidation case, is to restructure a business finance so that it may continue to operate, provide its employees with jobs, pay its creditors and produce a return for its stockholders. The premise of a business reorganization is that assets that are used for production in the industry for which they were designed are more valuable than those same assets sold for scrap.”
Menurut
penulis,
tujuan
utama
hukum
kepailitan
bukanlah untuk reorganisasi Perseroan karena Perseroan yang telah dipailitkan pada akhirnya akan dibubarkan secara hukum (dissolution), sehingga eksistensinya sebagai badan hukum berakhir. Tujuan utama adanya pranata hukum kepailitan adalah seperti yang telah diuraikan dalam 3 (tiga) tujuan diatas. 3. Perbedaan
Kepailitan
Perorangan
dan
Kepailitan
Perseroan Terbatas Kepailitan perorangan dan kepailitan Perseroan Terbatas sama-sama merupakan sita umum atas kekayaan debitor pailit, namun hal yang menjadikan kepailitan Perseroan lebih menarik untuk ditelaah adalah implikasi dari sifat Perseroan sebagai badan hukum (rechts persoon) yaitu adanya
keterpisahan
entitas
(separate
entity)
antara
Perseroan dan pemegang saham82, serta adanya tanggung jawab terbatas; sesuai kewenangan dari Direksi dan Dewan Komisaris sesuai kewenangan atau tanggung jawab yang didelegasikan oleh RUPS83. Pasal 3 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 Kewenangan diperoleh berdasarkan Residual Theory. Lihat: Tri Budiyono, Op. cit, hal.149
82 83
77
Matriks 4. Perbandingan antara Kepailitan Perorangan dan Kepailitan Perseroan Terbatas
Indikator
Pihak yang memohonkan pailit
Kepailitan
Kepailitan
Perorangan
Perseroan Terbatas
Badan hukum atau perorangan
Badan Hukum atau Perorangan
Pihak yang dipailitkan
Perseorangan
Perseroan
Sifat Termohon Pailit
Natuurlijk persoon
Recht persoon
(Perorangan)/
(badan hukum)/
Human being (manusia)
Artificial person
Seluruh kekayaan debitor pailit (Pasal 1131)
-Perseroan
(kreditor)
Sumber dana pembayaran piutang kepada debitor
(manusia buatan)
-Organ Perseroan (dalam konteks tertentu yang melibatkan pertanggungjawaban pribadi organ).
“Konteks tertentu yang melibatkan pertanggungjawaban pribadi organ” dalam sumber dana pembayaran piutang kepada debitur yang tercantum dalam matriks 4 di atas adalah hal yang menjadi fokus penelitian ini.
78
D.
Organ Perseroan Terbatas sebagai Perantara (Agent) bagi Perseroan untuk Melakukan Tindakan Hukum Dengan Pihak Ketiga. Walter Woon84 pernah mengungkapkan: “A company has no body to be kicked, and no soul to be damned, no hands with which to work and no mind with which to think… It cannot act by itself. It must work through the medium of some human being…”
Berdasarkan
ungkapan
Walter
Woon
di
atas,
sejatinya
Perseroan sebagai subjek hukum buatan (artificial person) tidak bisa berbuat apa-apa tanpa keberadaan Organ Perseroan sebagai Organ Perseron sebagai manusia (human being). Perseroan memerlukan Organ Perseroan untuk melakukan tindakan mewakili Perseroan tersebut. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui tanggung jawab organ yang menjadi perantara (agent) bagi Perseroan untuk melakukan tindakan hukum dengan pihak ketiga. Organ Perseroan Terbatas terdiri dari:
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Dewan Komisaris
Direksi
Berikut ini adalah definisi masing-masing Organ Perseroan: 1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) RUPS merupakan Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi atau 84
Walter Woon dalam Yahya Harahap, Op.cit. hal. 59
79
Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam UU ini dan/atau Anggaran Dasar (Pasal 1 angka 4 UU No.40 Tahun 2007). Anggota dari RUPS adalah Pemegang Saham; 2. Dewan Komisaris Dewan Komisaris adalah organ Perseroan yang bertugas untuk melakukan pengawasan secara umum dan/atau secara khusus sesuai dengan AD serta memberikan nasehat kepada Direksi (Pasal 1 angka 6 UU No. 40 Tahun 2007). Dewan Komisaris adalah sebuah badan yang berisikan Anggota Dewan Komisaris. 3. Direksi Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas Pengurusan Perseroan sesuai
dengan
maksud
dan
tujuan
Perseroan
serta
mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan AD (Pasal 1 angka 5 UU No. 40 Tahun 2007). Direksi adalah sebuah badan yang berisikan Anggota Direksi. Fokus dari penelitian ini adalah tanggung jawab dari Anggota Organ Perseroan: Pemegang saham, Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris. E.
Tanggung Jawab Organ Perseroan dalam 5 (lima) Doktrin Tertransplantasi Ada beberapa doktrin terkait tanggung jawab Organ Perseroan dalam kasus-kasus kepailitan yang telah tertranplantasi dalam 80
UU No. 40 Tahun 2007. Transplantasi doktrin ke dalam Undang-undang
merupakan
salah
satu
bentuk
dari
transplantasi hukum (legal transplant) yang merupakan suatu keniscayaan dalam pergaulan hukum antar bangsa maupun antar tradisi hukum. Alan Watson85 mengemukakan definisi mengenai transplantasi hukum (legal transplant) sebagai berikut: “Legal transplant is the moving of a rule or a system of law from one country to another, or from one people to another.”
Definisi transplantasi hukum (legal transplant) tersebut hanya mencakup transplantasi suatu aturan (rule) atau suatu sistem (system)
hukum.
Definisi
transplantasi
hukum
(legal
transplant) yang lebih komprehensif dikemukakan oleh Tri Budiyono86: “Transplantasi hukum adalah pengambilalihan aturan hukum (legal rule), ajaran hukum (doctrine), struktur (structure), atau institusi hukum (legal institution) dari suatu sistem hukum ke sistem hukum yang lain atau dari wilayah hukum ke wilayah hukum yang lain.”
Kajian beliau terutama mengenai pengambilalihan ajaran hukum (doctrine) dari common law system ke subsistem hukum Indonesia, dalam hal ini UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas menjadi batu pijakan (stepping stone) bagi penulis
untuk
mengkaji
doktrin-doktrin
tersebut
terkait
Alan Watson, Legal Transplants: An Approach to Comparative Law, 1993, Georgia: University of Georgia Press, hal. 21 86 Tri Budiyono, Transplantasi Hukum: Harmonisasi dan Potensi Benturan, Studi Transplantasi Doktrin yang Dikembangkan dari Tradisi Common Law pada UU PT, 2009, Salatiga: Griya Media, hal. 11 85
81
tanggung
jawab
Organ
Perseroan
dalam
kasus-kasus
kepailitan. Berdasarkan uraian di atas, penulis mendefinisikan “doktrin tertransplantasi”
sebagai
“doktrin
yang
diambilalih
dari
common law system ke subsistem hukum Indonesia, dalam hal ini UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas”. Ada 5 (lima) doktrin tertransplantasi yang akan menjadi batu pijakan (stepping stone) dalam menganalisis 6 (enam) kasus kepailitan
pada
Bab
III.
Berikut
uraian
setiap
doktrin
tertransplantasi: 1. Doktrin Fiduciary Duty a.
Definisi Fiduciary Duty Definisi
Fiduciary
Duty
menurut
Black’s
Law
Dictionary87 adalah: “Fiduciary duty is a duty to act for someone else’s benefit, while subordinating one’s personal interests to that of the other person. It is the highest standard of duty implied by law (e.g., trustee, guardian).”
Kewajiban fidusia (fiduciary duty) merupakan tugas untuk bertindak atas kepentingan orang lain, dengan cara
men-subordinasi-kan
terhadap merupakan
kepentingan tugas
kepentingan
orang
dengan
lain
standar
seseorang
tersebut. tertinggi
Ini yang
diterapkan dalam hukum. Standar tertinggi yang Lihat: Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co., St. Paul, 1990, hal. 625 87
82
dimaksud adalah “amanah”. Fiduciary duty merupakan sebuah amanah di pundak Anggota Organ Perseroan88. Titik tolak lahirnya fiduciary duty adalah adanya kepercayaan (trust) dari pemberi kuasa (principal) kepada penerima kuasa (agent). Teori pemberian kuasa dari agent kepada principal ini disebut sebagai Teori Keagenan.
Trust
menimbulkan
hubungan
fidusia
(fiduciary relationship) antara principal dan agent. Dalam hal ini, Perseroan (pemegang saham) bertindak sebagai principal dan Anggota Organ Perseroan sebagai agent. Fiduciary duty dijabarkan dalam kewajiban untuk bertindak dengan itikad baik (duty of good faith), kewajiban untuk melakukan negosiasi secara wajar (duty of fair dealing), kewajiban untuk memberikan keterawangan secara penuh (duty of full disclosure),89 dan
kewajiban
kepentingan
untuk
Perseroan
bertindak dan
untuk
sesuai
dengan
mendahulukan
kepentingan Perseroan daripada kepentingan pribadi (duty of loyalty)90.
Menurut penulis, fiduciary duty bukan hanya amanah bagi Direksi, melainkan juga Organ Perseroan yang lain: RUPS dan Dewan Komisaris. Hal ini didasarkan pada tertransplantasinya doktrin ini, bukan hanya untuk mengatur tanggung jawab Direksi melainkan juga Dewan Komisaris; lihat penjelasan selanjutnya. Bandingkan dengan Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, 2010, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 30 89 Tri Budiyono, Op.cit, 2011, Salatiga: Griya Media, hal. 39 90 Henry R. Cheeseman, Contemporary Business Law, 2000, Prentice Hall: New Jersey, hal. 659 88
83
b. Fiduciary Duty sebagai Doktrin Tertransplantasi Bagi Organ Perseroan 1) Fiduciary duty bagi Anggota RUPS Fiduciary duty bagi Anggota RUPS tertransplantasi dalam Pasal 75 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007: “RUPS
mempunyai
wewenang
yang
tidak
diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris, dalam batas yang ditentukan dalam UndangUndang ini (UU No. 40 Tahun 2007 – catatan penulis) dan/atau Anggaran Dasar.” Berdasarkan pasal tersebut, amanah bagi RUPS adalah
menjalankan
“wewenang
yang
tidak
diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris”. Wewenang
tersebut
berupa
pengambilan
keputusan dalam forum Rapat Umum Pemegang Saham. 2) Fiduciary duty bagi Anggota Direksi Fiduciary
duty
bagi
Anggota
Direksi
tertransplantasi dalam Pasal 92 ayat (1) jo. Pasal 97 ayat (2) dan Pasal 98 (1) UU No. 40 Tahun 2007: “Setiap
Anggota
Direksi
wajib
melaksanakan
pengurusan Perseroan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab” 84
“Direksi
mewakili
Perseroan
baik
di
dalam
maupun di luar Pengadilan” Berdasarkan pasal-pasal tersebut, amanah bagi Direksi ada 2 (dua): 1)
menjalankan fungsi pengurusan (management) Perseroan;
2)
menjalankan fungsi perwakilan (representative) baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Kedua amanah bagi Direksi tersebut dilaksanakan dengan itikad baik (good faith) dan penuh tanggung jawab (full of responsibility), sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan (Pasal 92 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007). Melakukan negosiasi secara wajar (fair
dealing),
dan
memberikan
keterawangan
secara penuh (full disclosure) merupakan bentukbentuk dari responsibility Direksi. 3) Fiduciary duty bagi Anggota Dewan Komisaris Fiduciary duty bagi Anggota Dewan Komisaris tertransplantasi dalam Pasal 108 ayat (1) jo. Pasal 114 (2) UU No. 40 Tahun 2007: “Setiap anggota Dewan Komisaris bertanggung jawab wajib dengan itikad baik, kehati-hatian, dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas pengawasan
dan 85
pemberian
nasihat
kepada
Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.” Berdasarkan pasal tersebut, amanah bagi Dewan Komisaris ada 2 (dua) yaitu: a) Menjalankan tugas pengawasan b) Memberikan nasihat kepada Direksi berkaitan dengan pengurusan Perseroan. Amanah tersebut harus dijalankan dengan itikad baik (good faith), kehati-hatian (prudential), dan bertanggung jawab (responsible). Doktrin
fiduciary
duty
sebagai
amanah
tertransplantasi dengan baik (well transplanted) dalam pengaturan mengenai tanggung jawab RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris. Doktrin fiduciary duty merupakan titik tolak dari doktrin-doktrin wewenangan
berikutnya
(ultra
vires)
terutama dan
pelampauan
penyibakan
tabir
perseroan (piercing the corporate veil). 2. Doktrin Ultra Vires a) Definisi Doktrin Ultra Vires Definisi Ultra vires menurut Black’s Law Dictionary
91
adalah: 91 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co., St. Paul, 1990, hal.1522
86
“an act performed without any authority to act on subject.”
Ultra
Vires
didefinisikan
sebagai
“tindakan
yang
dilakukan tanpa otoritas untuk bertindak sebagai subjek”. Dalam Bahasa Latin, ultra vires berarti “di luar” atau “melebihi” kekuasaan (outside the power) yaitu kekuasaan yang diberikan hukum terhadap suatu badan hukum (dalam hal ini badan hukum Perseroan
diwakili
oleh
Organ
Perseroan
dalam
melakukan tindakan hukumnya). Istilah lain yang seringkali digunakan untuk mendefinisikan ultra vires adalah “pelampauan wewenang”92. Ultra vires diterapkan dalam arti luas yakni tidak hanya kegiatan yang dilarang oleh Anggaran Dasarnya, tetapi termasuk juga tindakan yang tidak dilarang, tetapi melampaui kewenangan yang diberikan93. Doktrin ultra vires memiliki mempunyai basis teori keagenan. Konstruksi hubungan hukum terjadi antara pihak principal pada satu sisi dan agent pada sisi yang
Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, 2010, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 102 93 Loc. cit., Untuk lebih memahami definisi ultra vires, bandingkan antara tindakan ultra vires dengan Perbuatan Melawan Hukum (PMH), Pasal 1365 KUH Per. Ultra vires dan PMH sama-sama merupakan tindakan yang menimbulkan kerugian. Perbedaannya yaitu tindakan ultra vires merupakan tindakan di luar kewenangan, kewenangan mana telah diatur dalam peraturan perundangundangan maupun Anggaran Dasar, sedangkan PMH merupakan perbuatan yang menimbulkan kerugian, perbuatan mana tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. 92
87
lain94. Dalam hal ini Organ Perseroan merupakan agent dan Perseroan merupakan principal. Agent harus melakukan tindakan dalam batas kewenangannya (intra vires). Apabila ia bertindak di luar batas kewenangannya
maka
Organ
Perseroan
tersebut
melakukan tindakan ultra vires. Bagan 7. Tindakan ultra vires
Akibat
hukum
dari
: pelampauan wewenang
tindakan
ultra
vires
adalah
tindakan tersebut batal demi hukum (null and void), karena tindakan tersebut tidak memenuhi salah satu syarat objektif sahnya perjanjian yaitu “kausa yang halal.”
94
Tri Budiyono, Op. Cit., hal. 161
88
b) Ultra Vires sebagai Doktrin Tertransplantasi bagi Organ Perseroan a.
Ultra vires RUPS Ultra
vires
RUPS
(Pemegang
Saham)
tertransplantasi dalam Pasal 75 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007: “Dalam forum RUPS, pemegang saham berhak memperoleh keterangan yang berkaitan dengan Perseroan dari Direksi dan/atau Dewan Komisaris, sepanjang berhubungan dengan mata acara rapat dan tidak bertentangan dengan kepentingan Perseroan.”
Parafrase “tidak bertentangan dengan kepentingan Perseroan”
menunjukkan
bahwa
forum
RUPS
dalam memperoleh keterangan yang berkaitan Perseroan harus untuk dalam rangka kepentingan Perseroan (intra vires). Jika bertentangan dengan kepentingan Perseroan, maka tindakan tersebut tergolong ultra vires. b. Ultra vires Direksi Ultra vires Direksi tertransplantasi dalam Pasal 92 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007: “Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini (UU No. 40 Tahun 2007 – catatan penulis) dan/atau Anggaran Dasar.”
Parafrase “dalam batas yang ditentukan dalam UU ini dan/atau Anggaran Dasar” tersirat adanya larangan untuk melakukan tindakan di luar batas
89
yang ditentukan dalam UU No. 40 Tahun 2007 dan/atau Anggaran Dasar; ultra vires. c.
Ultra vires Dewan Komisaris Ultra vires Direksi tertransplantasi dalam Pasal 114 (2) UU No. 40 Tahun 2007: “Setiap anggota Dewan Komisaris bertanggung jawab wajib dengan itikad baik, kehati-hatian, dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.”
Parafrase
“untuk
kepentingan
Perseroan
dan
sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan”, menunjukkan
bahwa
Dewan
Komisaris
harus
bertindak intravires dalam melaksanakan tugas pengawasan
dan
pemberian
nasihat
kepada
Direksi. Dari uraian di atas, penulis mengidentifikasi bahwa indikator tertransplantasinya doktrin ultra vires dalam UU No. 40 Tahun 2007 adalah “sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan”. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana definisi konkrit dari “maksud dan tujuan Perseroan”? Maksud dan tujuan Perseroan terjabarkan dalam Anggaran Dasar
Perseroan,
sehingga
Anggaran
Dasar
merupakan sumber sekaligus batas kewenangan 90
yang paling utama untuk mengukur terlampauinya kewenangan atau tidak. c) Batas Tanggung Jawab Organ Perseroan: Penanda Terlampauinya Kewenangan Organ Perseroan Batas tanggung jawab Organ Perseroan tercantum dalam
beberapa
sumber
kewenangan.
Sumber
kewenangan organ Perseroan diatur dalam UndangUndang, Anggaran Dasar, Putusan RUPS dan Best Practises yang diilustrasikan dengan bagan berikut95: Bagan 8. Sumber Kewenangan Organ Perseroan UU AD Putusan RUPS
Best Practises
Dari bagan tersebut, hendak diilustrasikan bahwa sumber kewenangan
95
Organ
Perseroan
Ibid., hal. 145
91
adalah
berdasarkan
Undang-Undang (UU), Anggaran Dasar (AD), putusan RUPS dan Best Practises. Urutan ini didasarkan pada daya mengikatnya peraturan yang menjadi sumber kewenangan Organ Perseroan; semakin ke dalam, daya mengikatnya semakin kuat. Tanggung jawab masing-masing Organ Perseroan sejatinya memiliki batas-batas tertentu. Batas mana yang oleh tindakan ultra vires dapat tersibak/terterobos (pierced) dan menyebabkan Organ Perseroan bertanggung jawab sampai ke ranah tanggung jawab pribadi (Pasal 1131 KUHPer). Bagan 9. Batas tanggung jawab Organ Perseroan
Berdasarkan
bagan
tersebut,
tabir
Perseroan
yang
dimaksud adalah batas kewenangan atau tanggung jawab Organ Perseroan. Batas tersebut adalah “tanggung jawab
92
terbatas” bagi pemegang saham dan “tanggung jawab sesuai kewenangan” bagi direksi dan dewan komisaris. Selama Organ Perseroan bertindak dalam kewenangannya (intravires) maka Organ tersebut bertanggungjawab sesuai kapasitasnya sebagai Organ (Ranah Tanggung Jawab sebagai Organ Perseroan). Namun apabila Organ tersebut bertindak di luar kewenangan (ultravires), maka Organ tersebut
bertanggungjawab
secara
pribadi
(Ranah
Tanggung Jawab Pribadi). Berikut ini adalah uraian mengenai batas tanggung jawab Organ Perseroan, batas mana yang jika dilanggar akan mengakibatkan Organ bertanggung jawab secara pribadi. (1) Batas Tanggung Jawab Anggota Rapat Umum Pemegang Saham: Tanggung Jawab Terbatas (limited liability) Anggota Rapat Umum Pemegang Saham adalah pemegang saham yang pada dasarnya memiliki tanggung jawab terbatas (limited liability) yakni sebatas jumlah saham yang dimilikinya; tidak meliputi harta kekayaan pribadinya. Pemegang saham dan Perseroan merupakan entitas yang terpisah (separated entity). Hal ini diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007: “Pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.”
Pemegang saham sebagai pemilik memiliki hak kontrol tidak langsung terhadap kegiatan Perseroan dan atas 93
segala kebijaksanaan Direksi. Semakin banyak saham yang dimiliki seorang pemegang saham, semakin besar pula
kekuasaan
kontrol
yang
dimilikinya.
Namun,
pemegang saham tidak memikul tanggung jawab atas pelaksanaan fungsi Direksi96. Dalam Pasal 3 ayat (1) mengenai tanggung jawab terbatas (limited
liability)
pemegang
saham,
pada
hakikatnya
pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki. Hal ini mempertegas ciri perseroan bahwa pemegang saham hanya bertanggung jawab sebesar saham yang dimilikinya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya. (2) Batas Tanggung Jawab Anggota Direksi: Kewenangan Sesuai Anggaran Dasar, Peraturan Perundang-Undangan dan Keputusan RUPS Batas
tanggung
jawab
Anggota
Direksi
adalah
menjalankan fungsi pengurusan (management) dan fungsi perwakilan (representative) “sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan” (Pasal 92 ayat (1) dan “dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 dan Anggaran Dasar (Pasal 92 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007). Selain
itu,
batas
tanggung
jawab
Direksi
adalah
berdasarkan keputusan RUPS.
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, 2009, Jakarta: Sinar Grafika, hal 73
96
94
(3) Batas
Tanggung Jawab Anggota Dewan Komisaris:
Kewenangan
Sesuai
Anggaran
Dasar,
Peraturan
Perundang-Undangan dan Hasil Keputusan RUPS Batas tanggung jawab Anggota Dewan Komisaris adalah menjalankan fungsi pengawasan (controlling) dan fungsi pemberian nasihat (giving advice) kepada Direksi “sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan” (Pasal 114 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007). Batas tanggung jawab Direksi sesuai “maksud dan tujuan Perseroan” adalah kewenangan sesuai anggaran dasar, peraturan perundang-undangan dan keputusan RUPS.
3. Doktrin Piercing The Corporate Veil a. Definisi piercing the corporate veil Definisi piercing the corporate veil dalam Black’s Law Dictionary adalah sebagai berikut: “the judicial act of imposing personal liability on otherwise immune corporate officer, directors and shareholders for the corporation’s wrongful act.”
Dalam terjemahan bebas, piercing the corporate veil merupakan tindakan hukum untuk memberlakukan tanggung
pribadi
pada
Organ
Perseroan
sebagai
kebalikan dari imunitas sebagai Organ Perseroan atas kesalahan Perseroan." Doktrin piercing the corporate veil (lifting the corporate veil, going behind the corporate veil) berarti menyingkap atau menerobos tabir Perseroan. Doktrin ini sering 95
diartikan sebagai suatu proses pembebanan tanggung jawab ke pundak orang atau perusahaan lain atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh suatu Perseroan pelaku (badan hukum), tanpa melihat pada fakta bahwa perbuatan
tersebut
sebenarnya
dilakukan
oleh
Perseroan pelaku tersebut. Dalam hal ini pengadilan akan mengabaikan status badan hukum dari Perseroan tersebut serta membebankan tanggung jawab kepada pihak “pribadi” atau “pelaku” dari Perseroan tersebut dengan mengabaikan prinsip tanggung jawab terbatas dari Perseroan sebagai badan hukum.97 Penerapan doktrin piercing the corporate veil secara umum dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut98: 1) Penerapan Doktrin piercing the corporate veil karena Perseroan tidak mengikuti formalitas tertentu 2) Penerapan
Doktrin
piercing
the
corporate
veil
terhadap badan-badan hukum yang hanya terpisah secara artifisial 3) Penerapan
Doktrin
piercing
the
corporate
veil
berdasarkan hubungan kontraktual 4) Penerapan Doktrin piercing the corporate veil dalam hubungan
dengan
perseroan
induk
(holding
company) dan anak Perseroan (subsidiary company. Penerapan doktrin piercing the corporate veil secara khusus adalah bertanggung jawabnya Organ Perseroan secara pribadi akibat dari tindakan ultra vires Organ Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, 2010, Bandung: Citra Aditya Bakti 98 Loc. cit. 97
96
Perseroan
tersebut.
Terterobosnya
tabir
Perseroan
diakibatkan karena adanya pelampauan wewenang dari Organ Perseroan, sehingga ultra vires dan piercing the corporate
veil
merupakan
rangkaian
yang
saling
berhubungan. Akibat hukum dari terterobosnya tabir Perseroan adalah Organ Perseroan harus bertanggung jawab
secara
pribadi
(Pasal
1131
KUH
Perdata).
Perhatikan bagan berikut: Bagan 10. Penerobosan Tabir Perseroan (piercing the corporate veil) sebagai akibat dari tindakan ultra vires
b. Piercing the Corporate Veil Anggota RUPS (Pemegang Saham): Terterobosnya Tanggung Jawab Terbatas (Limited Liability) Terterobosnya tanggung jawab terbatas (limited liability) Pemegang Saham terlihat dalam Pasal 3 ayat (2) dan
97
Pasal 7 ayat (5) dan (6) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. Ada 5 (lima) kondisi maupun tindakan ultra vires yang menyebabkan limited liability (Pasal 3 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007) Pemegang Saham tidak berlaku apabila: 1) Persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; 2) Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun
tidak
langsung
dengan
itikad
buruk
memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi; 3) Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau 4) Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan
kekayaan
Perseroan,
yang
mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan. 5) Pemegang saham kurang dari dua orang dan dalam jangka
waktu
6
(enam)
bulan
terhitung
sejak
pemegang saham menjadi kurang dari 2 (dua) orang, pemegang mengalihkan
saham
yang
sebagian
bersangkutan
sahamnya
kepada
tidak orang
lain99.”
99
Ketentuan pada ayat (5) dan (6) tidak berlaku bagi: a. Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara; atau b. Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan,lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lain sebagaimana diatur dalam UU tentang Pasar Modal. Lihat: Pasal 7 ayat (7) UU No. 40 Tahun 2007
98
c. Piercing
the
Corporate
Veil
Anggota
Direksi:
Terterobosnya Tanggung Jawab sesuai Kewenangan Ada 2 (dua) tindakan ultra vires yang menyebabkan terterobosnya tanggung Jawab sesuai kewenangan dari Direksi, yaitu: 1) Terjadinya
kerugian
karena
kesalahan
atau
kelalaian Anggota Direksi (Pasal 97 ayat (3), (4), dan (5) UU No. 40 Tahun 2007); 2) Terjadinya
kepailitan
karena
kesalahan
atau
kelalaian Anggota Direksi (Pasal 104 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU No. 40 Tahun 2007). d. Piercing
the
Corporate
Veil
Anggota
Dewan
Komisaris: Terterobosnya Tanggung Jawab sesuai Kewenangan Ada 2 (dua) tindakan ultra vires yang menyebabkan terterobosnya tanggung Jawab sesuai kewenangan dari Anggota Dewan Komisaris, yaitu: 1)
Terjadinya
kerugian
karena
kesalahan
atau
kelalaian Anggota Dewan Komisaris (Pasal 114 ayat (3), (4), dan (5) UU No. 40 Tahun 2007); 2)
Terjadinya
kepailitan
karena
kesalahan
atau
kelalaian Anggota Dewan Komisaris (Pasal 115 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 40 Tahun 2007)
99
4. Doktrin Business Judgement Rule a. Definisi business judgement rule Definisi doktrin putusan bisnis (business judgement rule) menurut Black’s Law Dictionary100: “This rule immunize management from liability in corporate transaction undertaken within both power of corporation and authority of management where there is reasonable basis to indicate that transaction was made with due care and in good faith.”
Dalam
terjemahan
(business
bebas,
judgement
rule)
doktrin
putusan
bisnis
aturan
yang
berarti
memberikan imunitas bagi yang menjalankan fungsi pengurusan
(Direksi)
dari
tanggung
jawab
dalam
transaksi perusahaan yang dilakukan dalam kekuatan korporasi dan kewenangan pengurusan di mana ada dasar memadai untuk menunjukkan transaksi yang dibuat dengan hati-hati dan dengan itikad baik." b. Business
judgement
rule
sebagai
doktrin
tertranplantasi Berbeda
dengan
doktrin-doktrin
lainnya,
business
judgement rule merupakan doktrin yang menguatkan posisi Direksi. Doktrin ini tertransplantasi dalam Pasal 92 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007: “Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini (UU No. 40 Tahun 2007 – catatan penulis) dan/atau Anggaran Dasar”
Lihat: Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co., St. Paul, 1990, hal. 200 100
100
Parafrase “sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat” mengandung doktrin business judgement rule. Doktrin ini digunakan untuk melindungi kepentingan Direksi
dari
keputusan
pertanggungjawaban
usaha
tertentu
yang
diambilnya
mengakibatkan
kerugian bagi perseroan.101 5. Doktrin Self Dealing a. Definisi Self Dealing Robert W. Hamilton menulis102: “the danger of self dealing transactions between a corporation and one or more of its director is the risk that the corporation and one or more of its director is the risk that the corporation may be treated unfairly in such transactions.”
Permasalahannya adalah, apakah seorang Anggota Direksi dapat melakukan transaksi untuk dirinya sendiri
dengan
Perseroan
dimana
dia
menjadi
representatornya? Jawaban terhadap permasalahan inilah yang pada akhirnya melahirkan doktrin self dealing103. Transaksi untuk diri sendiri (self dealing)104 yang merupakan perwujudan dari transaksi yang melekat kepentingan (interest transaction) oleh Anggota Direksi suatu Perseroan merupakan suatu transaksi yang dilakukan oleh Anggota Direksi (langsung atau tidak langsung) dengan Perseroan itu sendiri. Transaksi self dealing yang tidak langsung misalnya: Gunawan Widjaya, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 37 102 Robert Hamilton dalam Tri Budiyono, Op. Cit, hal. 195 103 Ibid., hal. 96 104 Munir Fuady, Op.cit. hal. 196 101
101
a)
Transaksi antara anggota keluarga dari Anggota Direksi dan Perseroan;
b)
Transaksi antara dua perseroan dengan Anggota Direksi yang sama;
c)
Transaksi antara Perseroan dan Perseroan lain dalam perusahaan mana pihak Anggota Direksi mempunyai kepentingan finansial tertentu105;
d)
Transaksi
antara
company)
dan
perseroan anak
induk
Perseroan
(holding
(subsidiary
company. b. Self Dealing sebagai doktrin tertransplantasi Doktrin self dealing tertransplantasi UU No. 40 Tahun 2007, salah satunya dalam Pasal 92 ayat (1) UndangUndang No. 40 Tahun 2007: “Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan”
Parafrase “untuk kepentingan perseroan” mengandung doktrin self dealing. Akibat hukum dari transaksi self dealing adalah voidable (dapat dibatalkan) karena transaksi ini dilakukan oleh pihak yang tidak cakap sebagai subjek; Anggota Direksi sebagai representator dari Perseroan melakukan transaksi dengan Perseroan. Berdasarkan
penjelasan
di
atas,
kelima
doktrin
tersebut tertransplantasi dalam pasal-pasal UU No. 40 Misalnya Anggota Direksi terlibat dalam penentuan keputusan Perseroan mengenai jumlah gaji dan komponen penghasilan lain yang akan diterima oleh Direksi. Loc. cit.
105
102
Tahun 2007. Berikut rekapitulasi mengenai kelima doktrin tertransplantasi terkait tanggung jawab Organ Perseroan: Tabel 5 Rekapitulasi Doktrin Tertransplantasi terkait Tanggung Jawab Organ Perseroan
No.
Doktrin
Organ Perseroan terkait Anggota RUPS
Anggota Direksi
Anggota Dewan Komisaris
(4)
(5)
(1)
(2)
(3)
1.
Fiduciary Duty
√
Tertransplantasi pada Pasal .... UU No. 40 Tahun 2007 (6)
75 (1) √
92 (1) 97 (2) 98 (1) √
108 (1) 114 (2)
2.
Ultra Vires
√
75 (2) √
92 (2) √
3.
Piercing The Corporate Veil
√
114 (2) 3 (2)
√
97 (3), (4), (5) 104 (2), (3), (4), (5) √
114 (3), (4), (5) 115 (1), (2), (3)
4.
Business Judgement Rule
5.
Self Dealing
√
92 (2)
√
72 (2) √
92 (1) √
103
108 (2)
F.
Pengaturan mengenai Tanggung Jawab Organ Perseroan dalam Kepailitan Tanggung jawab Organ Perseroan dalam kasus kepailitan secara khusus tertransplantasi dalam UU No. 40 Tahun 2007 (vide Matriks 5). Berikut ini, tanggung jawab masing-masing Organ Perseroan dalam kepailitan. 1. Tanggung Jawab Pemegan Saham Dalam Kepailitan Perseroan a.
Tanggung Jawab Terbatas Pemegang Saham dalam Kepailitan Pada dasarnya tanggung jawab Anggota Rapat Umum Pemegang Saham yaitu Pemegang Saham adalah tanggung
jawab
sebatas
jumlah
meliputi
harta
saham
dan
terbatas saham
(limited yang
kekayaan
Perseroan
liability)
yakni
dimilikinya;
tidak
pribadinya.
merupakan
Pemegang
entitas
yang
terpisah (separated entity). Hal ini diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007: “Pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.”
Pemegang
saham
sebagai
pemilik
memiliki
hak
kontrol tidak langsung terhadap kegiatan Perseroan dan atas segala kebijaksanaan Direksi. Semakin banyak
saham
yang
dimiliki
seorang
pemegang
saham, semakin besar pula kekuasaan kontrol yang
104
dimilikinya. Namun, pemegang saham tidak memikul tanggung jawab atas pelaksanaan fungsi Direksi106. Begitu pula halnya dengan kepailitan Perseroan. Jika ternyata
kepailitan
Persersoan
tersebut
terbukti
disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian Direksi maka pemegang saham tidak ikut memikul tanggung jawab atas kesalahan atau kelalaian tersebut. b. Hal-hal yang menghapus tanggung jawab terbatas Pada keadaan dan peristiwa tertentu, tanggung jawab terbatas (limited liability), secara kasuistis dihapus dengan cara menembus atau menyibak tembok atau tabir Perseroan atas tanggung jawab terbatas (limited liability) sampai ke ranah tanggung jawab pribadi. Doktrin yang memberlakukan tanggung jawab pribadi Organ Perseroan yaitu doktrin piercing the corporate veil. Konsekuensi hukum dari penerobosan tabir Perseroan (piercing the corporate veil) tersebut107: 1)
hilang atau hapusnya tabir tanggung jawab terbatas pemegang saham yang digariskan Pasal 3 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007;
2)
dengan
sendirinya
pemegang
saham
ikut
memikul risiko bersama-sama dengan Perseroan membayar utang Perseroan dari harta pribadi pemegang saham yang bersangkutan.
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, 2009, Jakarta: Sinar Grafika, hal 73 107 Ibid., hal. 76 106
105
Hal-hal yang menghapus tanggung jawab terbatas (limited liability) pemegang saham108; piercing the corporate veil dapat diterapkan dalam hal-hal sebagai berikut, berdasarkan Pasal 3 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007: 1) Persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi Apabila Perseroan belum atau tidak memenuhi syarat dan prosedur sebagai badan hukum maka akibat hukumnya, semua pendiri dan pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi (personal liability)
terhadap
segala
tindakan
Perseroan.
Mengenai tanggung jawab atas perbuatan atas nama Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum, merujuk pada ketentuan Pasal 14 UU No. 40 Tahun 2007 yaitu apabila perbuatan tersebut dilakukan oleh semua pendiri, semua anggota
direksi
dan
semua
anggota
dewan
komisaris maka mereka bertanggung jawab secara tanggung renteng (jointly and severally liable), namun
apabila
perbuatan
hukum
tersebut
dilakukan oleh pendiri atas nama Perseroan maka perbuatan hukum itu menjadi tanggung jawab pribadi (personal liability).
108
Loc. cit.
106
2) Pemegang
saham
yang
langsung
maupun
melawan
hukum
bersangkutan
tidak
langsung
menggunakan
baik secara
kekayaan
Perseroan untuk kepentingan pribadi Dalam teori dan praktik diketegorikan sebagai dominasi
yakni
pemegang
saham
tersebut
dominasi
atau
berkuasa
mengatur
atau
mengontrol Perseroan, dimana dominasi tersebut digunakan oleh pemegang saham untuk tujuan yang tidak wajar (improper purpose). Dominasi pemegang saham dianggap terjadi dalam suatu perbuatan hukum yang dilakukan Perseroan, apabila Perseroan tersebut diperalat atau menjadi wakil (agent) dari individu pemegang saham, biasanya terjadi apabila pemegang saham juga menjabat sebagai anggota direksi. Dominasi pemegang saham saja tidak cukup untuk menjadi dasar penerapan
piercing the
corporate veil. Unsur lain yang perlu dibuktikan adalah adanya “itikad buruk” (bad faith) atau dominasi
“tidak
wajar”
(improper
use)
atas
Perseroan. Itikad buruk atau penggunaan tidak wajar tersebut dianggap terjadi apabila terdapat indikasi berikut109:
109 Metzger, et.al., Business Law and The Regulatory Environment, Concepts and Cases, dalam Yahya Harahap, Op.cit, hal 76-78
107
a) Menipu kreditor (defrauding creditor) Dengan
cara
mentransfer
asset
Perseroan
kepada diri pemegang saham atau afiliasinya di luar dasar dan pertimbangan yang tepat b) Kapital tipis (thin capitalization) Perseroan
mengalami
kapital
tipis
(thin
capitalization) apabila Perseroan mengalami kekurangan modal (under capitalization). Untuk menipu kreditor, Perseroan atas kendali atau bekerja dominan,
sama
dengan
kekurangan
pemegang modal
saham
itu
diubah
dengan cara meninggikan atau meningkatkan debt to equity ratio (DER). Jadi rasio utang terhadap ekuitas ditinggikan. c) Perampokan (looting) Mentransfer aset Perseroan kepada pemegang saham, transfer mana merupakan perjanjian transaksi yang berlawanan dengan hukum antara Perseroan dengan pemegang saham, sehingga
merugikan
pemegang
saham
kreditor.
yang
sekaligus
Misalnya anggota
direksi melakukan pembayaran atas utang pribadi
pemegang
menggunakan mengakibatkan
aset
saham Perseroan,
Perseroan
dengan sehingga
tidak
mampu
membayar utang kepada kreditor. Dalam kasus seperti ini, tanggung jawab terbatas (limited liability)
pemegang 108
saham
tersebut
patut
dihapus dan oleh karena itu secara pribadi ikut memikul
tanggung
jawab
utang
terhadap
kreditor. d) Mengakali
peraturan
perundang-undangan
(circumventing statute) Perseroan tidak boleh melanggar peraturan perundang-undangan dan tidak boleh terlibat melakukan tindakan yang dilarang. Untuk menghindari mengakali
larangan larangan
tersebut
Perseroan
tersebut.
Misalnya
Perseroan dilarang melakukan usaha retail di suatu tempat. Untuk mengakali larangan itu, Perseroan
mendirikan
Perseroan
Anak
(subsidiary) yang dapat melakukan usaha retail di tempat itu, dimana seluruh asetnya dimiliki oleh Perseroan tersebut. Dalam kasus ini, hapus tanggung jawab terbatas (limited liability) Perseroan tersebut sebagai pemegang saham terhadap
subsidiary
tersebut;
Perseroan
tersebut bukan lagi entitas yang terpisah (separated entity) dengan subsidiary tersebut. e) Menghindari kewajiban yang ada (avoiding an existing obligation) Perseroan
seringkali
mencoba
menghindari
kewajiban yang telah ada (existing obligation). Misalnya
untuk
menghindari
memenuhi
tanggung jawabnya atas perjanjian yang dibuat 109
dengan pihak ketiga (kreditor). Cara yang sering dilakukan adalah dengan mendirikan Perseroan
baru
atau
Perseroan
Anak
(subsidiary). Subsidiary tersebut menyatakan tidak punya sangkut-paut dengan Perseroan lama atau Perseroan Induk (Parent Company). Dalam
kasus
Perseroan Perseroan
demikian,
lama Baru
meskipun
(Perseroan (Perseroan
antara
Induk) Anak)
dan
berlaku
prinsip keterpisahan entitas (separate entity), akan tetapi karena dalam kasus tersebut jelas ada indikasi unsur itikad buruk (bad faith) dan penggunaan tidak wajar (improper use) atas Perseroan baru, maka hapus tanggung jawab terbatas (limited liability) dan kepada Perseroan baru dapat diterapkan doktrin piercing the corporate veil terhadap utang Perseroan lama. 3) Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam
perbuatan
melawan
hukum
yang
dilakukan oleh Perseroan Dasar yang ketiga untuk menyibak tabir tanggung jawab terbatas (limited liability) pemegang saham adalah apabila pemegang saham terlibat atau bersekongkol
dengan
Perseroan
melakukan
perbuatan melawan hukum, yang menimbulkan kerugian
kepada
dibuktikan menunjukkan
adalah
pihak
adanya
keterlibatan 110
lain.
Yang fakta
pemegang
perlu yang saham
dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan Perseroan 4) Pemegang
saham
yang
bersangkutan
langsung
maupun
melawan
hukum
menggunakan
kekayaan
yang
mengakibatkan
kekayaan
Perseroan,
tidak
langsung
baik secara
Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi hutang Perseroan Dasar alasan ini termasuk perampokan atau perampasan
(looting)
harta
kekayaan
yang
dijelaskan di atas. Berdasarkan penjelasan di atas tanggung jawab Pemegang Saham dalam kepailitan dapat disimpulkan dalam bagan berikut. Bagan 11. Tanggung Jawab Pemegang Saham dalam Kepailitan
111
2. Tanggung Jawab Anggota Direksi Dalam Kepailitan Perseroan a. Direksi bertanggung jawab Secara Tanggung Renteng terhadap Seluruh Kewajiban yang Tidak Terlunasi dari Harta Pailit Dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitor sendiri (voluntary petition) atau diajukan oleh pihak ketiga (involuntary petition), tanggung jawab Anggota Direksi Perseroan adalah sebagai berikut, sebagaimana diatur dalam Pasal 104 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007: “Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut.”
Dari Pasal tersebut terdapat 2 (dua) syarat, agar Anggota Direksi dapat dimintai pertanggungjawaban secara tanggung renteng dalam kepailitan Perseroan yaitu apabila: 1) Kepailitan
itu
terjadi
karena
kesalahan
atau
kelalaian anggota Direksi; 2) Harta pailit (boedel pailit) tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban utang kepada para kreditor. Dalam hal kedua syarat tersebut di atas terpenuhi maka setiap Anggota Direksi bertanggung jawab secara
112
tanggung renteng (jointly and severally liable) terhadap kewajiban pembayaran utang yang tidak terlunasi dari harta Perseroan yang dipailitkan tersebut. Tanggung jawab secara tanggung renteng tersebut, berlaku juga terhadap Anggota Direksi yang salah atau lalai yang pernah menjabat sebagai anggota Direksi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum penetapan pernyataan pailit diucapkan. b. Hal
yang
Membebaskan
Anggota
Direksi
dari
Tanggung Jawab Secara Tanggung Renteng Atas Kepailitan Perseroan Anggota Direksi dapat terbebas dari tanggung jawab secara tanggung renteng (jointly and severally liable) dengan syarat, apabila anggota Direksi tersebut dapat membuktikan hal-hal berikut: 1) Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya 2) Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; 3) Tidak mempunyai benturan kepentingan (conflict of interest) baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan; 4) Telah
mengambil
terjadinya kepailitan. 113
tindakan
untuk
mencegah
Hal-hal tersebut secara kumulatif harus dibuktikan oleh Anggota Direksi agar Anggota Direksi tersebut dapat terbebas dari tanggung jawab secara tanggung renteng (jointly and severally) tersebut. Pembuktian bahwa “kepailitan bukan karena kesalahan atau
kelalaian-nya
merupakan
(anggota
pembuktian
Direksi
dengan
–penulis)”
prinsip
“siapa
mendalilkan, dia yang membuktikan” (he who asser, must proof) sesuai dengan prinsip hukum pembebanan pembuktian (burden of proof) pada Pasal 163 HIR dan 1865 KUH Perdata. Apabila permohonan diajukan terhadap Anggota Direksi atas dalil telah salah atau lalai
mengurus
Perseroan
yang
mengakibatkan
Perseroan pailit, maka sesuai dengan prinsip he who asser, must proof maka pemohon harus membuktikan dalil tentang kesalahan atau kelalaian Direksi tersebut. Sebaliknya, jika anggota Direksi mengajukan dalil bantahan bahwa ia beritikad baik (duty of good faith), berhati-hati (duty of care), penuh tanggung jawab dengan cara seksama (duty of diligence), serta sesuai dengan
maksud
dan
tujuan
Perseroan,
maka
kepadanya dipikulkan beban untuk membuktikan dalil bantahannya tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka tanggung jawab Anggota Direksi dalam kepailitan dapat disimpulkan melalui bagan berikut:
114
Bagan 12. Tanggung Jawab Anggota Direksi dalam Kepailitan
3. Tanggung Jawab Anggota Dewan Komisaris Dalam Kepailitan Perseroan a. Faktor yang Menyebabkan Anggota Dewan Komisaris Bertanggung Jawab Atas Kepailitan Perseroan Dalam Pasal 115 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 disebutkan bahwa: “Dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan atau kelalaian Dewan Komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh Direksi dan kekayaan Perseroan tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan akibat kepailitan tersebut, setiap anggota Dewan Komisaris secara tanggung renteng ikut bertanggung jawab dengan anggota Direksi atas kewajiban yang belum dilunasi.”
115
Dari
Pasal
tersebut
terdapat
dua
faktor
yang
menyebabkan anggota Dewan Komisaris bertanggung jawab atas kepailitan Perseroan: 1) Kepailitan
terjadi
karena
kesalahan
atau
kelalaian pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Komisaris Faktor pertama yang dapat menyeret anggota Dewan Komisaris
untuk
ikut
kewajiban
Perseroan,
bertanggung apabila
jawab
kepailitan
atas
terjadi
akibat kesalahan atau kelalaian Dewan Komisaris melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian nasihat
kepada
pengurusan
yang
dijalankan
Direksi. 2) Harta
kekayaan
Perseroan
tidak
mencukupi
membayar seluruh kewajiban Syarat kedua adalah jika ternyata harta kekayaan Perseroan setelah dinyatakan pailit (boedel pailit) tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban atau dengan kata lain hutang lebih tinggi daripada asset. Dalam hal demikian, setiap anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab secara tanggung renteng untuk membayar kewajiban yang belum terlunasi dari harta kekayaan Perseroan. Tanggung jawab secara tanggung renteng yang dijelaskan di atas berlaku juga bagi anggota Dewan 116
Komisaris yang sudah tidak menjabat selama 5 (lima) tahun sebelum
putusan pailit diucapkan,
asalkan kedua syarat di atas terpenuhi. b. Faktor
yang
Menyebabkan
Gugurnya
Tanggung
Jawab Anggota Dewan Komisaris Dalam Kepailitan Perseroan Pasal 115 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007 memberi kemungkinan kepada anggota Dewan Komisaris untuk membebaskan diri dari keikutsertaan bertanggung jawab secara tanggung renteng (jointly and severally liable) atas kepailitan Perseroan. Syarat yang dapat membebaskannya, tergantung pada kemampuannya untuk membuktikan hal-hal sebagai berikut: 1) Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; 2) Telah melakukan tugas pengawasan dengan itikad baik
dan
kehati-hatian
untuk
kepentingan
Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; 3) Tidak
mempunyai
kepentingan
pribadi,
baik
langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan
oleh
Direksi
yang
mengakibatkan
kepailitan; 4) Telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah terjadinya kepailitan.
117
Syarat pembebasan tanggung jawab secara tanggung renteng tersebut bersifat kumulatif bukan alternatif. Oleh karena itu, supaya dapat bebas dari tanggung jawab atas secara tanggung renteng tersebut, anggota Dewan
Komisaris
Perseroan
harus
mampu
membuktikan keempat hal tersebut di atas. Berdasarkan penjelasan di atas, maka tanggung jawab Anggota Dewan Komisaris dalam Kepailitan adalah sebagai berikut: Bagan 13. Tanggung Jawab Anggota Dewan Komisaris dalam Kepailitan
Demikian Tinjauan Pustaka yang akan digunakan untuk menganalisis tanggung jawab Organ Perseroan dalam kasuskasus kepailitan dalam Bab selanjutnya.
118