perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN ASAS NON SELF INCRIMINATION
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh : ADITYA NOR PRATAMA NIM. E 0006052
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id PERSETUJUAN PEMBIMBING Penulisan Hukum (Skripsi)
PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN ASAS NON SELF INCRIMINATION
Oleh : ADITYA NOR PRATAMA E0006052
Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Dosen Pembimbing
Kristiyadi, S.H., M.Hum NIP. 195812251986011001
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum ( Skripsi )
PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN ASAS NON SELF INCRIMINATION
Oleh : ADITYA NOR PRATAMA E0006052 Telah disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada : Hari
: Selasa
Tanggal
: 25 Januari 2011
DEWAN PENGUJI
1. Edy Herdyanto, S.H., M.H. Ketua
: ………….…………..
2. Bambang Santoso, S.H., M.Hum. Sekertaris
:………………………
3. Kristiyadi, S.H., M.Hum Anggota
:………………………
Mengetahui : Dekan
(Mohammad Jamin, S.H., M.Hum) NIP. 19610930198601100
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HALAMAN PERNYATAAN
Nama : Aditya Nor Pratama NIM : E 0006052
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul : PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PIDANA KORUPSI
DIKAITKAN DENGAN
PADA TINDAK
ASAS NON SELF
INCRIMINATION adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pancabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 17 Januari 2011 Yang menyatakan
(Aditya Nor Pratama) NIM. E 0006052
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id ABSTRAK
Aditya Nor Pratama, 2011, PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN ASAS NON SELF INCRIMINATION. Penelitian ini mengkaji mengenai keberlakuan sistem pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi berkait potensi penyalahgunaan asas non self incrimination. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif, karena penelitian ini adalah suatu penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan dari sisi hukum. Dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang undangan. Jenis bahan hukum yang penulis gunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang penulis gunakan adalah Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan bahan hukum sekunder yang penulis gunakan adalah bahan kepustakaan, dokumen, arsip, artikel, makalah, literatur yang sesuai dengan obyek penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara identifikasi isi bahan hukum primer dan sekunder dari studi kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, kesatu untuk memudahkan penanganan perkara korupsi digunakan sistem pembuktian terbalik berdasarkan UU No.31 tahun 1999 jo UU No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang – Undang tersebut menerapkan 2 (dua) sistem pembuktian, yaitu pembuktian terbalik terbatas (pasal 37 dan 37A) dan pembuktian terbalik penuh/murni (pasal 12B ayat 1a). Tetapi Indonesia sampai saat ini belum menerapkan pembalikan beban pembuktian seperti yang diatur dalam Undang Undang tersebut, baik pembuktian terbalik terbatas maupun pembuktian terbalik penuh/murni . Pembuktian yang diterapkan di Indonesia terhadap kasus korupsi adalah bersifat negatif atau berdasarkan pada asas beyond reasonable doubt yang berorientasi pada ketentuan Pasal 183 KUHP. Kedua, Pada Pasal 37 dan 37 A Undang-Undang 20 Tahun 2001 tersebut tampak jelas bahwa Tedakwa dibebani kewajiban pembuktian. Tedakwa diwajibkan untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan korupsi dan memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. Pada dasarnya, apabila dijabarkan lebih terperinci, dengan dianutnya pembalikan beban pembuktian menyebabkan beralihnya asas “praduga tidak bersalah’ (Presumption of innonccen) menjadi asas “praduga bersalah” (presumption of Guilt). Konsekuensi logis dimensi demikian maka “praduga bersalah” relatif cenderung dianggap sebagai penggingkaran asas yang bersifat universal khususnya terhadap asas ‘praduga tak bersalah” dan asas “tidak mempersalahkan diri sendiri (non self incrimination). Kata Kunci : Pembuktian terbalik, korupsi, non self incrimination
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id ABSTRAK
Aditya Nor Pratama, 2011, PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN ASAS NON SELF INCRIMINATION. Fakultas Hukum UNS. Penelitian ini mengkaji mengenai keberlakuan sistem pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi berkait potensi penyalahgunaan asas non self incrimination. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif, karena penelitian ini adalah suatu penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan dari sisi hukum. Dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang undangan. Jenis bahan hukum yang penulis gunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang penulis gunakan adalah Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan bahan hukum sekunder yang penulis gunakan adalah bahan kepustakaan, dokumen, arsip, artikel, makalah, literatur yang sesuai dengan obyek penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara identifikasi isi bahan hukum primer dan sekunder dari studi kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, kesatu untuk memudahkan penanganan perkara korupsi digunakan sistem pembuktian terbalik berdasarkan UU No.31 tahun 1999 jo UU No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang – Undang tersebut menerapkan 2 (dua) sistem pembuktian, yaitu pembuktian terbalik terbatas (pasal 37 dan 37A) dan pembuktian terbalik penuh/murni (pasal 12B ayat 1a). Tetapi Indonesia sampai saat ini belum menerapkan pembalikan beban pembuktian seperti yang diatur dalam Undang Undang tersebut, baik pembuktian terbalik terbatas maupun pembuktian terbalik penuh/murni . Pembuktian yang diterapkan di Indonesia terhadap kasus korupsi adalah bersifat negatif atau berdasarkan pada asas beyond reasonable doubt yang berorientasi pada ketentuan Pasal 183 KUHP. Kedua, Pada Pasal 37 dan 37 A Undang-Undang 20 Tahun 2001 tersebut tampak jelas bahwa Tedakwa dibebani kewajiban pembuktian. Tedakwa diwajibkan untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan korupsi dan memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. Pada dasarnya, apabila dijabarkan lebih terperinci, dengan dianutnya pembalikan beban pembuktian menyebabkan beralihnya asas “praduga tidak bersalah’ (Presumption of innonccen) menjadi asas “praduga bersalah” (presumption of Guilt). Konsekuensi logis dimensi demikian maka “praduga bersalah” relatif cenderung dianggap sebagai penggingkaran asas yang bersifat universal khususnya terhadap asas ‘praduga tak bersalah” dan asas “tidak mempersalahkan diri sendiri (non self incrimination). Kata Kunci : Pembuktian terbalik, korupsi, non self incrimination
commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id MOTTO
Kemungkinan terbesar adalah berusaha membuat kemungkinan pada ruang ketidakmungkinan
Kebenaran dan keadilan tak pernah bisa ditegakkan dengan kebencian. Kebenaran dan keadilan bagi kebahagiaan kehidupan hanya dapat ditegakkan dengan kasih sayang. Karna kasih sayang, seperti kemerdekaan, berasal dari Tuhan, dan kebencian, seperti belenggu, berasal dari setan. (A. Mustofa Bisri) Kebahagiaan diri kita tidak tergantung pada apa yang orang lain pikirkan dan cara mereka bertindak, tetapi sangat tergantung kepada apa yang kita pikirkan dan cara kita bertindak. Sesungguhnya kita masing-masing bisa memerankan peranan penting dalam menentukan masa depan kita sendiri. (Daug Hooper)
Hadapilah problem hidup diri kamu dan akuilah keberadaannya, tetapi jangan biarkan diri kamu dikuasainya. Biarkanlah diri kamu menyadari adanya pendidikan situasi berupa kesabaran, kebahagiaan, dan pemahaman makna (Hellen Keller).
Memecahkan masalah itu mengenal masalah lebih sulit, tetapi menemukan masalah jauh lebih sulit (Albert Einstein).
commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id PERSEMBAHAN
Karya kecil ini penulis persembahkan kepada :
Bapak Ibuku Tercinta Terima kasih ya Allah, aku telah diberi orang tua seperti mereka.... Terima kasih atas segala ketulusan dan kasih sayangmu........ Terima kasih atas semua do’a dan kesabaranmu.......... Semoga aku dapat membahagiakan kalian.........
Teman Teman & Sahabatku Without you I’m Nobody, with you I’m Somebody.....
Almamaterku
commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang melimpahkan segala rahmad dan hidayah-Nya. Yang selalu memberikan jalan dan kemudahan kepada penulis sehingga Penulisan Hukum (Skripsi) yang berjudul, “PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN
ASAS NON SELF INCRIMINATION” dapat
terselesaikan tepat waktu. Banyak hambatan dan permasalahan yang dihadapi penulis dalam menyelesaikan Penulisan Hukum ini. Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam menyelesaikan Penulisan Hukum ini tidak bisa terlepas dari bantuan semua pihak yang telah memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung, secara materiil maupun non materiil. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya, terutama kepada : 1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan ijin dan kesempatan kepada penulis untuk dapat melaksanakan Penulisan Hukum ini. 2. Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II dan Pembantu Dekan III yang telah membantu dalam pemberian ijin dilakukannya penulisan ini. 3. Bapak Edy Herdyanto S.H. M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum UNS. 4. Bapak Bambang Santoso, S.H.,M.Hum., selaku Ketua Laboratorium Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNS. 5. Bapak Kristiyadi, S.H, M.Hum selaku Dosen Pembimbing Penulisan Hukum ini, yang telah memberikan masukan serta bimbingannya. Terima kasih atas segala kemudahan dan bantuan yang sangat penulis butuhkan 6. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H, M.H selaku Dosen Acara Pidana dan Pembimbing Proposal Skripsi ini. 7. Bapak Dr.Hari Purwadi,S.H, M.Hum. selaku Pembimbing Akademik penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, atas semua ilmu pengetahuan yang tiada terkira berharganya bagi hidup dan kehidupan penilis.
commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9. Seluruh Pimpinan dan Staf Administrasi Fakultas Hukun Universitas Sebelas
Maret,
atas
semua
kemudahan,
fasilitas
serta
kesempatankesempatan yang telah diberikan. 10. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) Fakultas Hukum UNS 11. Seluruh keluarga, terima kasih untuk semua doa, perhatian, kasih sayang yang diberikan. 12. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas semua bantuan baik materiil maupun imateriil. Penulis menyadari bahwa Penulisan Hukum ini sangat jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan dari para pembaca yang budiman. Akhir kata, semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Surakarta, 17 Januari 2011
Aditya Nor Pratama NIM. E 0006052
commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................
iii
HALAMAN PERNYATAN ..........................................................................
iv
ABSTRAK ......................................................................................................
v
HALAMAN MOTTO.....................................................................................
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................................
viii
KATA PENGANTAR ....................................................................................
ix
DAFTAR ISI ...................................................................................................
xi
BAB I
1
PENDAHULUAN...................................................................
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................
1
B. Perumusan Masalah .............................................................................
4
C. Tujuan Penelitian .................................................................................
5
D. Manfaat Penelitian ...............................................................................
5
E. Metode Penelitian ................................................................................
6
F. Sistematika Penulisan Hukum .............................................................
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................
11
A. Kerangka Teori......................................................................................
11
1. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Korupsi..........................
11
a) Pengertian Korupsi....................................................................
11
b) Pengertian Tindak Pidana Korupsi............................................
12
2. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian............................................. 14 a) Pengertian Pembuktian............................................................... 14 b) Teori – Teori Pembuktian.......................................................... 16 c) Sistem Pembuktian Yang Dianut KUHAP...............................
18
d) Sistem Pembalikan Beban Pembuktian.....................................
19
e) Sistem Pembuktian Tindak Pidana Korupsi..............................
20
3. Tinjauan Umum Tentang Asas Pembuktian Terbalik.....................
21
a) Pengertian Asas Pembuktian Terbalik.....................................
21
b) Pengaturan Asas Pembuktian Terbalik....................................... 22 4. Tinjauan Umum Tentang Asas Non Self Incrimination................... 24 a) Pengertian Asas Non Self Incrimination.................................... 24
commit to user xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran............................................................................... BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……………
26 28
A. Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Korupsi di Indonesia...........................................................................……………
28
B. Sistem Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Korupsi terkait Asas Non Self Incrimination…………….............................................
BAB IV
44
PENUTUP...............................................................................
54
SIMPULAN .............................................................................
54
SARAN ....................................................................................
55
DAFTAR PUSTAKA
commit to user xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Perkembangan kearah kemajuan di Indonesia dapat dilihat dari berbagai sektor kehidupan seperti, sektor sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan, budaya, teknologi dll, namun disamping adanya perkembangan yang cukup baik tersebut, ternyata Indonesia mengalami perkembangan lain yang cukup memprihatinkan. Akibat dari kemajuan tersebut ternyata membawa pengaruh terhadap pola perilaku masyarakat yang negatif antara lain adanya kemajuan itu adalah tindak kejahatan. Kejahatan tidak terlepas dari proses-proses dan strukturstruktur sosial ekonomi yang tengah berlangsung Salah satu jenis/bentuk kejahatan yang ada adalah korupsi. Korupsi merupakan bentuk kejahatan yang sulit untuk diberantas. Korupsi merupakan kejahatan yang termasuk dalam kategori kejahatan luar biasa / Extraordinary Crime. Kejahatan ini telah menggerogoti hampir semua sendi sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga Usaha penanggulangan bentuk kejahatan tersebut sangat diprioritaskan karena korupsi dipandang dapat mengganggu dan menghambat pembangunan nasional, merintangi tercapainya tujuan nasional, mengancam keseluruhan sosial, merusak citra aparatur yang bersih dan berwibawa yang pada akhirnya akan merusak kualitas manusia dan lingkungannya (Widodo T Novianto, 2007:1). Korupsi itu sendiri merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis, dan berkesinambungan baik pada tingkat nasional maupun
tingkat
internasional.
Dalam
melaksanakan
pencegahan
dan
pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan dukungan manajemen tata laksanan pemerintahan yang baik dan kerja sama internasional, termasuk pengambalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi. Korupsi dan kekuasaan, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan “pintu
commit to user xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masuk” bagi tindak korupsi. Inilah hakikat dari pernyataan Lord Acton dalam H.M. Arsyad Sanusi, guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris, yang hidup di abad ke-19. Dengan adagium-nya yang terkenal ia menyatakan: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely” (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut) (H.M. Arsyad Sanusi. 2009:83). Lahirnya UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1971. Terdapat banyak ketentuan baru mengenai korupsi, baik hukum materiil maupun hukum formalnya semangat bangsa Indonesia untuk memberantas korupsi dapat dilihat juga dari sebagian program kerja 100 hari tahun 2009 dari Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, tekad Pemerintah SBY guna memberantas korupsi di Indonesia sampai keakar-akarnya. Harapan kedepan pembuktian perkara korupsi akan lebih baik dan dapat menjunjung nilai keadilan. Strategi penegakkan hukum tersebut menjadi semakin relevan berhubung dengan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tertanggal 9 Desember 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Perkembangan praktik korupsi yang semakin menyulitkan ini dalam proses penyidikannya, kini disikapi serius oleh beberapa negara. Penelitian oleh negara maju memunculkan alternatif asas pembuktian baru yang dipandang tidak bertentangan dengan perlindungan hak asasi tersangka maupun konstitusi. Strategi hukum ini dinilai sangat efektif dalam menguak asal usul harta kekayaan yang diduga diperoleh karena korupsi. Teori pembuktian korupsi dan tindak kriminal lain yang selama ini digunakan di Indonesia adalah asas pembuktian ‘beyond reasonable doubt’. Teori ini digunakan karena dinilai tidak bertentangan dengan prinsip ‘praduga tak bersalah’ (presumption of innocence). Namun penggunaan teori ini dalam regulasi hukum untuk tindak pidana korupsi sering kali menyulitkan proses pembuktian kasus-kasus korupsi Salah satu kendala utama dalam upaya pengungkapan perkara korupsi secara tuntas, adalah berkaitan dengan masalah pembuktian di pengadilan. Pelaksanaan pembuktian yang dilakukan oleh Penuntut Umum dalam perkara korupsi, bukanlah pekerjaan yang mudah dan ringan. Tindak Pidana korupsi adalah tindak pidana yang mempunyai karakteristik tertentu, yang menyulitkan bagi penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Banyaknya perkara korupsi yang gagal dibuktikan di pengadilan, yang ditandai dengan dijatuhkannya putusan
commit to user xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bebas bagi terdakwa, menunjukkan bahwa perkara korupsi memang mengandung tingkat kesulitan yang sangat tinggi dalam masalah pembuktian Di tengah kebuntuan proses hukum pembuktian untuk menghadapkan para pelaku korupsi kehadapan proses peradilan pidana, penerapan sistem pembalikan beban pembuktian oleh sementara ahli hukum diyakini mampu mengeliminasi tingkat kesulitan pembuktian. Terlebih lagi, sampai detik ini kita semua menyadari akan lemahnya pemberantasan korupsi di Indonesia Dalam sistem pembuktian terbalik, tesangka atau terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atas apa yang disangkakan atau dituduhkan kepadanya. Oleh karena itu pembuktian terbalik merupakan pengingkaran, penyimpangan, pengecualian terhadap "presumption of innocence" dan "non self incrimination" dan ataupun bertentangan dengan asas yang berlaku. Salah satu indikator fair trial adalah asas Non Self Incrimination. Dalam menentukan atas setiap dakwaan yang ditujukan padanya, setiap orang berhak “untuk tidak dipaksa untuk memberikan keterangan yang memberatkan dirinya atau dipaksa mengaku bersalah” Prinsip ini dalam KUHAP tercermin secara parsial melalui beberapa pasal yaitu Pasal 66 KUHAP bahwa tidak ada beban kewajiban pembuktian bagi Tersangka. Beban pembuktian menjadi kewajiban Jaksa Penuntut Umum, Pasal 189 ayat (3) bahwa keterangan Terdakwa hanya dapat dipergunakan bagi dirinya sendiri. Penulisan hukum ini hendak membicarakan salah satu asas yang aktual dan relevan dalam penuntasan korupsi, kolusi, dan nepotisme dewasa ini, yakni asas non-self incrimination. Asas ini sangat penting karena proses penegakan hukum di satu sisi harus dihindari dari kemungkinan kesewenang-wenangan dan karena itu harus menghormati asas praduga tak bersalah. Asas non-self incrimination itu sendiri adalah suatu hal yang tidak diperbolehkan dilakukan dalam suatu proses peradilan pidana. Hal itu dapat berupa tindakan atau pernyataan yang diambil atau berasal dari seseorang sehingga dengan tindakan atau pernyataan itu dirinya menjadi in a crime. Larangan ini berangkat dari beban negara untuk menuduh dan membawa seseorang ke pengadilan, untuk membuktikan kesalahannya itu. Seseorang yang menjadi tertuduh tidak dapat dipaksa membantu kewajiban negara itu. Tetapi disisi lain dalam memberlakukan pembuktian terbalik terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
commit to user xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk mengkaji kembali mengenai sistem pembuktian terbalik dengan asas non self incrimination, oleh karena itu peneliti ingin menuangkan hasil penelitian tersebut dalam penulisan hukum yang berjudul
“PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA
TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN ASAS NON SELF INCRIMINATION”.
B. Rumusan Masalah Dalam suatu penelitian diperlukan adanya perumusan masalah untuk mengidentifikasi persoalan yang diteliti, sehingga penelitian akan lebih terarah pada tujuan yang ingin dicapai. Perumusan masalah digunakan untuk mengetahui dan menegaskan masalah-masalah apa yang hendak diteliti, yang dapat
memudahkan
peneliti
dalam
mengumpulkan,
menyusun,
dan
menganalisa data. Untuk mempermudah dalam pembahasan permasalahan yang akan diteliti maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah penerapan sistem pembuktian terbalik di Indonesia dalam perkara tindak pidana korupsi? 2. Bagaimana pelaksanaan sistem pembuktian terbalik dalam proses pembuktian tindak pidana korupsi dikaitkan dengan asas non self incrimination ?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian diperlukan karena terkait erat dengan perumusan masalah dari judul penelitian itu sendiri untuk memberikan arah yang tepat dalam proses penelitian agar penelitian berjalan sesuai dengan apa yang dikehendaki. Oleh karena itu peneliti mempunyai tujuan atau hal-hal yang ingin dicapai melalui penelitian ini .Adapun tujuan obyektif dan subyektif yang hendak dicapai peneliti adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Obyektif Untuk mengetahui bagaimana penerapan sistem pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi di Indonesia dan bagaimana sistem pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi bila dikaitkan dengan asas non self incrimination.
commit to user xvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Tujuan Subyektif a) Untuk menambah wawasan dan pengetahuan peneliti di bidang Hukum Acara Pidana khususnya mengenai penerapan sistem pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi di Indonesia dan bila dikaitkan dengan asas non self incrimination. b) Untuk memperoleh data sebagai bahan utama dalam penyusunan skripsi dalam rangka memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar SI dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian Peneliti berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini akan bermanfaat bagi peneliti maupun orang lain. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain: 1. Manfaat Teoritis a)
Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran di bidang Hukum Acara Pidana secara teoritis khususnya mengenai penerapan pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi dikaitkan dengan asas non self incrimination, guna pengembangan ilmu pengetahuan.
b)
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk mengetahui lebih jauh mengenai penerapan sistem pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi dikaitkan dengan asas non self incrimination, dalam bentuk konsep maupun teori hukumnya.
2. Manfaat Praktis a)
Menambah ilmu dan pengalaman peneliti di bidang penelitian karya ilmiah khususnya karya penelitian ilmu hukum.
b)
Hasil penelitian dapat memberikan jawaban atas permasalahanpermasalahan yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini.
c)
Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini, bagi masyarakat pada umumnya dan mahasiswa fakultas hukum terkhususnya dalam menyikapi keberlakuan system pembuktian
commit to user xvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terbalik pada tindak pidana korupsi terkait dengan asas non self incrimination.
E. Metode Penelitian Metode penelitian dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian antara lain sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum. Menurut Peter Mahmud Marzuki, Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi” (Peter Mahmud Marzuki, 2007: 35). Penelitian hukum menurut Hutchison dibedakan menjadi 4 tipe yaitu: a. Doctrinal Research; b. Reform-Oriented Research; c. Theoretical Research; d. Fundamental Research (Hutchison dalam Peter Mahmud Marzuki, 2007: 32 33). Ketiga tipe penelitian hukum yang dikemukakan Hutchinson yaitu Doctrinal Research, Reform-Oriented Research, dan Reform-Oriented Research menurut Peter Mahmud Marzuki merupakan penelitian doctrinal sedangkan penelitian sosiolegal termasuk dalam tipe keempat yaitu Fundamental Research (Peter Mahmud Marzuki, 2007: 33). Penelitian hukum ini masuk kedalam penelitian doktrinal karena keilmuan hukum memang bersifat preskriptif yaitu melihat hukum sebagai norma sosial bukan gejala sosial. 2. Sifat Penelitian Penelitian yang dilakukan ini dalah penelitian yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai suatu ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep konsep hukum dan norma norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu rambu dalam melaksanakan aturan hukum (Peter Mahmud Marzuki. 2005:22)
commit to user xviii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Oleh sebab itu, dalam penelitian ini peneliti akan memberikan preskripsi mengenai keberlakuan sistem pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi yang dapat menimbulkan potensi penyalahgunaan asas non self incrimination. 3. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang dipakai dalam penelitian hukum diantaranya: a. Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach). b. Pendekatan kasus (Case Approach). c. Pendekatan historis (Historical Approach). d. Pendekatan perbandingan (Comparative Approach). e. Pendekatan konseptual (Conseptual Approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2007:93-94). Peneliti dalam hal ini menggunakan pendekatan perundang - undangan (Statute Approach) yaitu pendekatan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. dan Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 4. Jenis Dan Sumber Bahan Hukum Dalam buku Penelitian Hukum karangan Peter Mahmud Marzuki, mengatakan bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal adanya data, sehingga yang digunakan adalah bahan hukum dalam hal ini bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif , artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah di dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah: a. Batang Tubuh UUD RI tahun 1945 b. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana c. Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi d. Undang-Undang 20 tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
commit to user xix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Bahan Hukum sekunder Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki, 2005:141) Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dari data yang digunakan dalam penelitian ini ini yaitu buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Setelah isu hukum ditetapkan, peneliti melakukan penelusuran mencari bahan-bahan hukum yang relevan terhadap isu hukum yang dihadapi. Dalam hal penelitian menggunakan pendekatan perundang undangan (statute approach), yang dilakukan adalah mencari peraturan perundang-undangan mengenai atau berkaitan dengan isu tersebut yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari suatu masalah yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi (Johnny Ibrahim, 2006:393) 6. Teknik Analisis Bahan Hukum Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan tema dan dapat ditemukan hipotesis kerja yang disarankan oleh data (Lexi J. Moleong, 2009:103). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis
data
kualitatif
yaitu
dengan
mengumpulkan
data,
mengkualifikasikan kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan menarik kesimpulan untuk menentukan hasil.
F. Sistematika Penelitian Hukum Untuk
mempermudah
pemahaman
mengenai
pembahasan
dan
memberikan gambaran mengenai sistematika penelitian hukum yang sesuai
commit to user xx
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan aturan dalam penelitian hukum, maka penulis menjabarkannya dalam bentuk sistematika penelitian hukum yang terdiri dari 4 (empat) bab dimana tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian. Adapun penulis menyususn sistematika penelitian hukum sebagai berikut:
BAB I
: PENDAHULUAN Pada bab ini diuraikan mengenai pendahuluan yang terdiri dari : Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan Hukum.
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini diuraikan mengenai tinjauan pustaka yang terdiri dari kerangka teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori berisi tentang tinjauan umum tentang tindak
pidana
korupsi,
tinjauan
umum
tentang
pembuktian, tinjauan umum tentang asas pembuktian terbalik serta tinjauan tentang asas non self incrimination. Sedangkan
kerangka
pemikiran
berisi
pemikiran
mengenai bagaimana keberlakuan sistem pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi berkait potensi penyalahgunaan asas non self incrimination. BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini merupakan penjelasan dari hasil penelitian dan pembahasan mengenai penerapan sistem pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi dikaitkan dengan asas non self incrimination.
BAB IV
: PENUTUP Merupakan bagian akhir dari penulisan hukum yang berisikan beberapa kesimpulan dan saran berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
commit to user xxi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi a.
Pengertian Korupsi Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap negara dihadapkan pada masalah korupsi. Tidak berlebihan jika pengertian korupsi selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan zaman. Istilah korupsi berasal dari bahasa latin Corruptie atau Corruptus. Selanjutnya, disebutkan bahwa Corruptio itu berasal dari kata Corrumpore, suatu kata latin kuno. Dari bahasa latin inilah, istilah Corruptio turun kebanyak bahasa Eropa, seperti inggris: Corruption, Corrupt; Prancis: Corruption; dan Belanda: Corruptie (korruptie. (Lilik Mulyadi:2000:16) Menurut Black’s Law Dictionary, pengertian korupsi adalah: “The act of doing something with an intent to give some advantage in consistent with official duty and the rights of others; a fiduciary’s of official’s use of a station or office to procure some benefit either personally of for someone else, contrary to the rights of others” (Bryan Garner, 1999). Arti harfiah dari kata Corrupt ialah kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidak
jujuran,
dapat
disuap,
tidak
bermoral,
penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah (Andi Hamzah, 1984: 9), sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 1990: 462). Andi Hamzah (2005:13) menyebutkan ada beberapa faktor yang menyebabkan tumbuh suburnya korupsi: 1. Kurangnya gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) jika dibandinkan dengan kebutuhan sehari hari yang semakin meningkat. 2. Kultur kebudayaan Indonesia yang merupakan sumber meluasnya korupsi.
commit to user xxii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Manajemen yang kurang baik serta komunikasi yang tidak efektif dan efisien. 4. Modernisasi. b. Pengertian Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana Korupsi merupakan salah satu satu bagian dari hukum pidana khusus disamping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, sepeerti adanya penyimpangan pada hukum acara serta apabila ditinjau dari materi yang diatur maka secara langsung atau tidak langsung dimaksudkan untuk menekan seminimal mungkin kebocoran dan penyimpangan keuangan dan perekonomian
negara.
Dengan
penyimpangan
tersebut,
diantisipasi
diharapkan
roda
sedini
mungkin
perekonomian
dan
pembangunan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, sehingga lambat
laun
akan
membawa
dampak
adanya
peningkatan
pembangunan dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Secara Yuridis Formal pengertian Tindak Pidana Korupsi terdapat dalam Bab II tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 sampai dengan Pasal 20 serta Bab III tentang Tindak Pidana Lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi Pasal 21 sampai dengan 24 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Suatu perbuatan atau tindakan untuk dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana mempunyai unsur-unsur tindak pidana yang harus dipenuhi. Demikian halnya suatu tindak pidana untuk dikatakan sebagai suatu tindak pidana korupsi terdapat unsur-unsur yang harus dipenuhi. Berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah: 1) Pasal 2 ayat (1) : “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.” 2) Pasal 3 : “Setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan diri
sendiri
atau
orang
commit to user xxiii
lain
atau
suatu
korporasi,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.” Mengacu kepada definisi dari masing-masing Pasal maka
dapat diuraikan unsur-unsur dari Tindak Pidana Korupsi, yaitu: •
Setiap orang termasuk pegawai negeri, orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, orang yang menerima
gaji
atau
upah
dari
korporasi
lain
yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Selain pengertian sebagaimana tersebut di atas termasuk setiap orang adalah orang perorangan atau termasuk korporasi. •
Secara melawan hukum adalah melawan hukum atau tidak, sesuai dengan ketentuan-ketentuan baik secara formal maupun material, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan-peraturan maupun perundang-undangan. Selain dari itu juga termasuk tindakan-tindakan yang melawan prosedur dan ketentuan dalam sebuah instansi, perusahaan yang telah ditetapkan oleh yang berkompeten dalam organisasi tersebut.
•
Melakukan perbuatan adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 15 Undang-undang No. 31 tahun 1999, yaitu berupa upaya percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi. Jadi walaupun belum terbukti telah melakukan suatu tindakan pidana korupsi, namun jika dapat dibuktikan telah ada upaya percobaan, maka juga telah memenuhi unsur dari melakukan perbuatan.
•
Memperkaya diri, atau orang lain atau suatu korporasi adalah memberikan manfaat kepada pelaku tindak pidana korupsi, baik berupa pribadi, atau orang lain atau suatu korporasi. Bentuk manfaat yang diperoleh karena meperkaya diri adalah, terutama berupa uang atau bentuk-bentuk harta
commit to user xxiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id lainnya seperti surat-surat berharga atau bentuk-bentuk asset berharga
lainnya,
termasuk
di
dalamnya
memberikan
keuntungan kepada suatu korporasi yang diperoleh dengan cara melawan hukum. Dalam hal yang berkaitan dengan korporasi, juga termasuk memperkaya diri dari pengurus-pengurus atau orang-orang yang memiliki hubungan kerja atau hubunganhubungan lainnya. •
Dapat merugikan keuangan negara adalah sesuai dengan peletakan kata dapat sebelum kata-kata merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi adalah cukup dengan adanya unsur-unsur perbuatan yang telah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat dari sebuah perbuatan, dalam hal ini adalah kerugian negara.
2. Tinjauan Umum tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian. Dalam pemeriksaan perkara pidana di pengadilan tugas hakim adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran yaitu bahwa tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa benar-benar telah terjadi dan ia dapat dipersalahkan melakukan perbuatan itu. Oleh karena itu di depan persidangan hakim berupaya merekonstruksi kebenaran peristiwa yang ada. Merekonstruksi peristiwa adalah membuktikan kebenaran peristiwa tersebut. Masalah pembuktian ini merupakan masalah yang pelik (ingewikkeld) dan justru masalah pembuktian menempati titik sentral dalam hukum acara pidana. Pembuktian menurut Yahya Harahap adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undangundang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa (Yahya Harahap:1986:36). Menurut Bambang Poernomo pembuktian adalah keseluruhan aturan hukum atau aturan undang-undang mengenai kegunaan untuk merekonstruksi suatu kenyataan yang benar dari setiap kejadian masa
commit to user xxv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang lain yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana (Bambang Poernomo: 1985 :38) Dari pengertian pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan inti dari hukum pembuktian adalah : 1. Hukum
pembuktian
merupakan
ketentuan-ketentuan
yang
memberikan pedoman mengenai cara-cara untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa yang dibenarkan oleh undang-undang 2. Hukum pembuktian mengatur mengenai jenis-jenis alat bukti yang boleh digunakan hakim dan diakui undangundang yang digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa 3. Hukum pembuktian merupakan ketentuan yang mengatur cara menggunakan maupun menilai kekuatan pembuktian dari masingmasing alat bukti.
b. Teori Teori Pembuktian Secara teoritis teori tentang pembuktian ada 4 (empat) macam, yaitu : 1) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijke bewijs theorie). Dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian berdasar undangundang secara positif. Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada Undang - Undang. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut undangundang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formele bewijstheori). Menurut D. Simons sebagaimana dikutip Andi hamzah, bahwa system atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (positief wettelijke) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara
commit to user xxvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ketat menurut peraturan pembuktian yang keras (Andi Hamzah :1996:269). 2) Sistem atau teori Pembuktian Negatif. Dalam sistem ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah yang berdasarkan pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh Undang-undang sehingga hakim memperoleh keyakinan akan hal itu (Andi Hamzah, 1996: 247253). Perkataan negatif dipakai untuk menunjukkan bahwa adanya bukti bukti yang disebutkan dalam undang-undang yang dengan cara mempergunakannya yang disebut juga dalam undang-undang itu, belum berarti hakim harus menjatuhkan hukuman. Hal tersebut masih tergantung dengan keyakinan hakim atas kebenarannya. 3) Sistem atau teori Pembuktian Bebas. Menurut sistem ini, hakim tidak terikat pada alat-alat bukti yang sah dimana bila ada keyakinan pada hakim tentang kesalahan terdakwa yang didasarkan pada alasan yang dapat dimengerti dan dibenarkan oleh pengalaman. Teori yang disebut juga Confiction intime ini merupakan suatu pembuktian yang walaupun tidak cukup bukti, asalkan hakim yakin maka hakim dapat menjalankan dan memidana terdakwa. 4) Sistem atau teori pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (La Confiction Raisonnee) Menurut teori ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah atas dasar keyakinannya. Yang mana keyakinan itu harus berpijak pada dasar dasar pembuktian disertai suatu kesimpulan (conclusie)
yang
berlandaskan
kepada
peraturan-peraturan
pembuktian tertulis tertentu. Sistem atau teori pembuktian jalan tengah atau yang berdasar pada keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terpecah ke dua jurusan. Yang pertama tersebut diatas yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (Confiction Raisonnee) dan yang kedua ialah teori pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie).
commit to user xxvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id Persamaan diantara keduanya ialah keduanya berdasar atas
keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah. Perbedaannya ialah bahwa yang tersebut pertama berpangkal tolakpada keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan pada suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan
kepada
undangundang
tetapi
ketentuan-ketentuan
menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia pergunakan. Sedangkan yang kedua berpangkal tolak pada aturanaturan
pembuktian
yang
ditetapkan
secara
limitatif
oleh
undangundang tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim (Andi Hamzah, 1996:262). c. Sistem Pembuktian yang dianut KUHAP Berdasarkan teori dan alat bukti menurut Hukum Pidana Formal diatur pada Bab XVI bagian keempat Pasal 183 sampai Pasal 232 KUHAP. Pada KUHAP, sistem pembuktian hukum pidana menganut pendekatan Pembuktian Negatif berdasarkan Undang-Undang atau Negatief Wettelijk Overtuiging. Dengan dasar teori Negatief Wettelijk Overtuiging ini, hakim dapat menjatuhkan suatu pidana kepada terdakwa berdasarkan keyakinan (Hakim) dengan alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang dengan didasari minimum 2 (dua) alat bukti sebagaimana disebutkan dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu :“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila ia dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. (Andi Hamzah, 1991: 102) Sedang yang dimaksud dengan 2 (dua) alat bukti yang sah haruslah memperhatikan tata urutan alat bukti menurut Pasal 184 KUHAP, yaitu : a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat
commit to user xxviii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa Dalam sistem Hukum Pidana Formil Indonesia, khususnya
KUHAP, sudah dimaklumi bahwa beban pembuktian ada atau tidaknya pidana yang dilakukan terletak pada Jaksa Penuntut Umum. Pasal 137 KUHAP menyebutkan : “Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadilinya.” Apabila ketentuan ini dihubungkan dengan Pasal 183 KUHAP maka penuntutan suatu perkara pidana tetap memiliki limitasi minimum dua alat bukti untuk menentukan apakah seorang terdakwa ini bersalah atau tidak bersalah. Jadi sebagai suatu lex generalis, sistem beban pembuktian (umum) dalam perkara tindak pidana diletakan pada beban Jaksa Penuntut Umum. d. Sistem Pembalikan Beban Pembuktian Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa secara teoitis Ilmu Pengetahuan Hukum Acara Pidana asasnya mengenal 4 (empat) teori hukum pembuktian,yaitu: Pertama, Teori Hukum Pembuktian menurut Undang – Undang secara Positif. Kedua, Teori hukum pembuktian menurut Undang – undang secara negative. Ketiga,Teori system atau pembuktian bebas. Keempat, Teori hukum pembuktian menurut keyakinan hakim. Konsekuensi logis teori hukum pembuktian tersebut berkorelasi dengan eksistensi terhadap asas beban pembuktian. Dikaji dari prespektif ilmu pengetahuan hukum pidana dikenal ada 3 (tiga) teori tentang beban pembuktian, yaitu : 1) Beban Pembuktian pada Penuntut Umum Konsekuensi logis teori beban pembuktian ini, bahwa Penuntut Umum harus mempersiapkan alat – alat bukti dan barang bukti secara akurat, sebab jikalau tidak demikian akan susah meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa. Konsekuensi logis beban pembuktian ada pada penuntut umum ini berkorelasi asas praduga tak bersalah dan aktualisasi asas tidak mempersalahkan diri sendiri (non self incrimination).
commit to user xxix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id Pasal 66 KUHAP dengan tegas menyebutkan bahwa
“tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Pembuktian seperti ini merupakan pembuktian biasa atau konvensional.
2) Beban Pembuktian pada Terdakwa Dalam konteks ini , terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana. Oleh karena itu terdakwalah di depan sidang pengadilan yang akan menyiapkan segala beban pembuktian dan bila tidak dapat membuktikan maka terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Pada dasarnya teori pembuktian jenis ini dinamakan teori “pembalikan beban pembuktian” (Omkering van het Bewijslast atau reversal of Burden of Proof). Dikaji dari prespektif teoritik dan praktik teori beban pembuktian ini dapat diklasifikasikan lagi menjadi pembalikan beban pembuktian yang bersifat murni. 3) Beban Pembuktian Terbatas dan Berimbang Konkretisasi asas ini baik Penuntut Umum maupun terdakwa dan/atau Penasehat hukumnya saling membuktikan di depan persidangan. Lazimnya Penuntut Umum akan membuktikan kesalahan terdakwa sebaliknya terdakwa beserta Penasehat Hukumnya akan membuktikan sebaliknya bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang di dakwakan. (Djoko Sumaryanto, 2009 : 88). e. Sistem Pembuktian Tindak Pidana Korupsi.. Berpijak
dari
pengertian
sistem
pembuktian
dan
sistem
pembebanan pembuktian tersebut diatas, maka kekhususan dalam hukum acara pidana korupsi lebih mengacu pada sistem pembebanan pembuktian (burden of proof). Hukum pidana korupsi tentang pembuktian membedakan antara 3 (tiga) sistem pembuktian, yaitu: 1. Pembuktian terbalik penuh/murni
commit to user xxx
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dimana beban pembuktian dibebankan kepada terdakwa untuk membuktikan dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi. Pembalikan beban pembuktian ini berlaku untuk tindak pidana suap menerima gratifikasi yang nilainya sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta) rupiah atau lebih (Pasal 12B ayat (1) huruf a) dan terhadap harta benda yang belum didakwakan yang ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi (Pasal 38B). 2. Pembuktian terbalik terbatas atau berimbang terbalik Dimana beban pembuktian diletakkan baik terhadap terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum secara berimbang terhadap obyek pembuktian yang berbeda secara berlawanan (Pasal 37A) 3. Sistem konvensional Dimana pembuktian tindak pidana korupsi dan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana korupsi dibebankan sepenuhnya kepada Jaksa Penuntut Umum. Aspek ini dilakukan terhadap tindak pidana suap menerima gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta) rupiah (Pasal 12B ayat (1) huruf b) dan tindak pidana korupsi pokok. 3. Tinjauan tentang Asas Pembuktian Terbalik a. Pengertian Asas Pembuktian Terbalik Dalam sistem pembuktian terbalik, tesangka atau terdakwa harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atas apa yang disangkakan atau dituduhkan kepadanya. Oleh karena itu pembuktian terbalik ini merupakan pengingkaran, penyimpangan, pengecualian terhadap "presumption of innocence" dan "non self incrimination" dan ataupun bertentangan dengan asas yang berlaku. Dalam delik korupsi di Indonesia diterapkan dua sistem sekaligus, yakni Sistem Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2001 dan sekaligus dengan sistem KUHAP. Kedua teori itu ialah penerapan hukum pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, dan yang mengunakan sistem pembuktian negatif menurut undang-undang. Jadi tidak menerapkan teori pembuktian terbalik murni, (zuivere omskering bewijstlast), tetapi teori pembuktian terbalik terbatas dan berimbang.
commit to user xxxi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam penjelasan
atas Undang - Undang no. 31 tahun 1999
dikatakan pengertian “pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang”,
yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan
bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benada istrinya atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan
dan
Penuntut
umum
tetap
berkewajiban
untuk
membuktikan dakwaaannya. Kata-kata “bersifat terbatas” di dalam memori atas Pasal 37 dikatakan, bahwa apabila terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa “terdakwa tidak melakukan tindak pidana korpsi”, Hal itu tidak berarti terdakwa tidak terbukti melakukan korupsi sebab Penuntut Umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaaanya. (Martiman Prodjomidjojo, 2001 : 107).
b. Pengaturan Asas Pembuktian Terbalik Polemik penerapan pembuktian terbalik yang sudah lama terjadi dan argumentasi hukum yang diungkapkan para pakar hukum di negeri ini tidak dapat dijadikan alasan penghambat penerapan pembuktian terbalik
diatur
dalam
sebuah
peraturan
perundang-undangan.
Pemikiran-pemikiran yang hanya disandarkan pada pandangan positivisme hukum tidak bisa dijadikan sebagai tameng penghambat pengaturan asas pembuktian terbalik dituangkan dalam UU yang baru. Apalagi menjustifikasi (membenarkan) pembuktian terbalik dianggap bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), dan asas non self incrimination (sesuatu hal yang tidak diperbolehkan dilakukan dalam suatu proses peradilan pidana). Asas pembuktian terbalik terbatas, meski tidak secara utuh, namun ruang permberlakuan asas tersebut cukup jelas disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tidak secara utuh disini, dimaksudkan bahwa, meski seseorang telah gagal membuktikan asal-usul harta kekayaannya yang patut dicurigai dari
commit to user xxxii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hasil tindak pidana, jaksa sebagai penuntut umum tetap memiliki kewajiban untuk membuktikan dakwaannya diproses pengadilan. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 37 ayat (1), dikatakan bahwa, “terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi”. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Pada Pasal 37A ayat (1) dan (2), lebih menguatkan posisi beban pembuktian terbalik tersebut, dengan menegaskan bahwa, “Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan”. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Meski memiliki ruang dalam memberlakukan beban pembuktian terbalik, namun ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut, tetap dibatasi ketentuan lain di dalamnya. Beban pembuktian terbalik tetap membebankan pembuktian kepada jaksa penuntut umum, meski si terdakwa gagal membuktikan asal-usul kekayaannya. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 37A ayat (3), yang menyebutkan bahwa, “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikann dakwaannya”. Selain ketentuan tersebut, di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas
commit to user xxxiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, secara jelas juga telah memberikan amanat agar penyelenggara negara menjelaskan asal-usul kekayaannya apabila dimintai keterangan oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Disamping itu, dalam Pasal 17 ayat (2) huruf e, disebutkan bahwa, “Jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan sebagian atau Seluruh harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga diperoleh dari Korupsi, kolusi, atau nepotisme selama menjabat sebagai Penyelenggara Negara, juga meminta pejabat yang berwenang membuktikan dugaan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. 4. Tinjauan Asas Non Self Incrimination. a. Pengertian Asas Non Self Incrimination. Di dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system/cjs) berdasarkan sistem hukum Common Law ( sistem adversarial/sistem kontest), asas hukum ini merupakan prasyarat utama untuk menetapkan bahwa suatu proses telah berlangsung jujur, adil, dan tidak memihak (due process of law). Asas praduga tak bersalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari prinsip due process tersebut. Konsekuensi logis dari asas praduga tak bersalah ini maka kepada tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk tidak memberikan keterangan yang akan memberatkan/merugikan dirinya di muka persidangan (the right of non-self incrimination), dan untuk tidak memberikan jawaban baik dalam proses penyidikan maupun dalam proses persidangan ( the right to remain silent) (http://www.pnbanjarmasin.go.id). Tafsir hukum atas Asas Praduga tak bersalah ialah hak seseorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya (praduga tak bersalah) sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi formil maupun sisi materiel, karena hak ini tidak termasuk ”nonderogable rights” seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut (non-retroaktif). Bahkan UUD 1945 dan Perubahannya, sama sekali tidak memuat hak praduga tak bersalah ,asas ini hanya dimuat dalam Pasal 8 UU
commit to user xxxiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan di dalam Penjelasan Umum UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP. Rumusan kalimat dalam Pasal 8 UU Kekuasaan Kehakiman (2004), dan Penjelasan Umum KUHAP,adalah: ”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Dalam kovenan internasional, hal tersebut juga telah dinyatakan dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang telah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005. Dalam arti, ICCPR tersebut menjamin sepenuhnya hak seseorang untuk tidak dinyatakan bersalah sebelum terbukti secara hukum. Pasal 14 Ayat (3) huruf g ICCPR menyebutkan bahwa, “Dalam penentuan tuduhan pelanggaran pidana terhadapnya, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian terhadap diri sendiri atau mengaku bersalah (non self incrimination)”.
B. Kerangka Pemikiran
Tindak Pidana Korupsi
KUHAP
Akusator
Proses Pembuktian
LEX SPECIALIS
Inkuisitor
Penunutut Umum
UU TIPIKOR
Terdakwa
Pelanggaran Asas Non Self Incrimination Potensi Penyalahgunaan Asas Non Self Incrimination
commit to user xxxv
PT
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bagaimana Penerapannya di Indonesia ? Gambar.1: Skematik kerangka pemikiran
Penjelasan : Tindak pidana korupsi merupakan salah satu extra ordinary crime, dan sesuai dengan sifatnya yang extra ordinary penanganan tindak pidana inipun sepertinya layak jika sedikit berbeda dengan penanganan tindak pidana pada umumnya yang bersifat ordinary crime. Salah satu kekhususan dalam penanganan tindak pidana korupsi terletak pada sistem pembuktiannya di pengadilan yang mengenal sistem pembuktian terbalik terbatas. Sistem pembalikan pembuktian ini dapat dikatakan telah melanggar hak terdakwa dalam kaitannya dengan Asas non-self incrimination yang seharusnya menjadi suatu hal yang tidak diperbolehkan dilakukan dalam suatu proses peradilan pidana. Hal itu dapat berupa tindakan atau pernyataan yang diambil atau berasal dari seseorang sehingga dengan tindakan atau pernyataan itu seseorang menjadi in a crime. Sistem ini lebih memudahkan Penuntut Umum, namun jelas membebani seseorang terdakwa untuk menyangkal kesalahannya itu, mestinya Seseorang yang menjadi tertuduh tidak dapat dipaksa membantu kewajiban negara untuk membuktikan kesalahan itu. Tetapi hal ini yang terjadi pada proses pembuktian tindak pidana korupsi, asas akusatorial yang dianut KUHAP sepertinya melunak dan kembali menganut asas inkuisatorial, karena memaksa terdakwa untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, jika demikian apakah dalam proses penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia sudah menerapkan
sistem
pembuktian
terbalik?
Dan
apakah
dengan
di
berlakukannya sistem pembuktian terbalik ini dapat menimbulkan potensi penyalahgunaan asas non self incrimination? Hal inilah yang akan dikaji lebih lanjut dalam penulisan hukum ini untuk memecahkan masalah mengenai polemik penerapan sistem pembuktian terbalik di Indonesia.
commit to user xxxvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
C. Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Dalam mengemukakan mengenai keberlakuan sistem pembuktian terbalik dalam upaya penyelesaian perkara tindak pidana korupsi, maka penulis mengetengahkan pemikiran dengan tata urutan sebagai berikut : I. Sejarah Asas Pembalikan Beban Pembuktian Istilah pembuktian terbalik telah dikenal luas oleh masyarakat sebagai bahasa yang dengan mudah dapat dicerna pada masalah dan salah satu solusi pemberantasan korupsi. Istilah ini sebenarnya kurang tepat, dari sisi bahasa dikenal sebagai omkering van het bewijslat atau reversal burden of proof yang bila diterjemahkan secara bebas menjadi “pembalikan beban pembuktian. Sebagai asas universal, memang akan menjadi pengertian yang bias apabila diterjemahkan sebagai pembuktian terbalik. Tetapi menurut Oemar SenoAdji adalah pergeseran (Shifting of burden proof) bukan pembalikan beban pembuktian (Reversal of burden of proof). Makna Shifting of burden proof adalah suatu “pergeseran beban pembuktian” yang dianut oleh Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Menurut Oemar SenoAdji pada periode Undang - Undang ini belum terjadi suatu pembalikan beban pembuktian karena asas ini berpotensi bertentangan dan melanggar HAM, khususnya terhadap perlindungan hak – hak Terdakwa. Beban pembuktian pada periode ini tetap diberikan pada Jaksa Penuntut Umum. Ide untuk memberlakukan Asas Pembuktian Terbalik secara total dan absolut telah diterima sebagai realitas hukum berdasarkan alasan alasan tersebut di atas. Karenanya meskipun dalam Undang - Undang Nomor 3 Tahun 1971 terdapat perumusan bahwa Terdakwa dapat membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi , namun kewajiban pembuktian ada atau tidaknya dugaan tindak pidan korupsi adalah di
commit to user xxxvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tangan Jaksa Penuntut Umum. Disini yang terjadi adalah pergeseran (Shifting of burden proof) bukanya suatu pembalikan beban pembuktian (Reversal of burden of proof). Begitu pula halnya yang terjadi pada periode Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kedua produk perundang-undangan ini tetap hanya menempatkan pembuktian sebagai suatu pergeseran saja, bukan pembalikan beban pembuktian sehingga istilah yang populer dalam Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah Sistem Pembalikan Beban Pembuktian Yang Terbatas atau Berimbang. “Terbatas” karena memang pembalikan beban pembuktian tidak dapat dilakukan secara total dan absolut terhadap semua delik yang ada pada Undang - Undang Nomor 3 Tahun 1999 . Sedangkan “berimbang” artinya beban pembuktian terhadap dugaan adanya tindak pidana korupsi tetap dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Karena Banyak pendapat bahwa implementasi asas pembalikan beban pembuktian pada kedua produk perundang – undangan itu hanyalah gerakan
simbolis
yang
tidak
memiliki
daya
represi
terhadap
pemberantasan tindak pidana korupsi.
II. Peraturan PerUndang-Undangan yang Mengatur Sistem Pembuktian Terbalik. a. Pengaturan
Sistem
Pembuktian
Terbalik
dalam
Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003 (KAK 2003). Pembalikan beban pembuktian diatur juga dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003 (KAK 2003) khususnya terdapat dalam ketentuan Pasal 31 ayat (8) dan Pasal 53 huruf (b) KAK 2003. Ketentuan pembalikan beban pembuktian dalam Pasal 31 ayat (8) ditujukan terhadap pembekuan (freezing), perampasan (seizure) dan penyitaan (confiscation) dari pelaku tindak pidana korupsi yang menyebutkan, bahwa: “States Parties may consider the possibility of requiring that an offender demonstrate the lawful origin of alleged proceeds of crime or other property liable to confiscation, to the extent that such a requirement is consistent with fundamental principles of their domestic law and with the nature of judicial and other proceedings.”
commit to user xxxviii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ketentuan di atas menentukan negara-negara peserta konvensi dapat mempertimbangkan kemungkinan untuk mewajibkan seorang pelanggar menerangkan tentang sumber yang sah atas hasil-hasil yang diduga berasal dari tindak pidana atau kekayaan lainnya yang dapat dikenakan penyitaan, sejauh syarat tersebut konsisten dengan prinsipprinsip dasar hukum nasional, dan konsisten pula dengan sifat dari proses yudisial dan proses peradilan lainnya. Dari ketentuan KAK 2003 maka pembalikan beban pembuktian diperkenankan melalui jalur keperdataan (civil procedure) ini juga telah dipergunakan di beberapa negara seperti di Italia, Irlandia, Amerika Serikat dan sebagainya. Selain ketentuan Pasal 31 ayat (8) KAK 2003 maka pembalikan beban pembuktian juga diatur dalam ketentuan Pasal 53 huruf b yang secara tegas menentukan, bahwa: ”Mengambil tindakan-tindakan yang mungkin diperlukan untuk mengizinkan pengadilan-pengadilan memerintahkan orang-orang yang telah melakukan kejahatan-kejahatan yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini untuk membayar kompensasi atau ganti rugi kepada negara peserta yang lain yang telah dirugikan oleh kejahatan-kejahatan tersebut” Pada dasarnya, ketentuan konteks di atas merupakan pembalikan beban pembuktian terhadap pengembalian aset (asset recovery) secara langsung dengan memberikan izin kepada pengadilan Negara setempat atau ketempatan (custodial state) memerintahkan kepada pelaku tindak pidana korupsi untuk membayar kompensasi atau ganti rugi kepada Negara lain yang dirugikan akibat dari tindak pidana korupsi tersebut. Prinsipnya, apabila dicermati lebih intens hakikatnya ketentuan
pembalikan
permasalahan
krusial
beban
pembuktian
bagaimana
mungkin
ini
menimbulkan
akan
diterapkan
pembayaran sejumlah kompensasi atau ganti rugi kepada Negara lain akibat dari tindak pidana korupsi tersebut jikalau pelaku (offender) tidak mengakui melakukan perbuatan korupsi yang ditujukan kepadanya. Eksistensi tentang strategi pengembalian aset ini secara eksplisit telah diatur dalam mukadimah KAK 2003 para 8 yang menentukan,
commit to user xxxix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bahwa “Bertekad untuk mencegah, melacak dan menghalangi dengan cara yang lebih efektif transfer-transfer internasional atas aset-aset yang diperoleh secara tidak sah, dan untuk memperkuat kerjasama internasional dalam pengembalian aset.” Apabila dianalisis ternyata ketentuan tersebut di atas berkaitan dengan landasan filosofis dalam mukadimah, para 3 KAK 2003 tentang keterkaitan antara perbuatan korupsi dengan pembangunan berkelanjutan. Ketentuan Para 3 KAK 2003 secara eksplisit menentukan bahwa: “Prihatin atas keseriusan masalah-masalah dan ancamanancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat, yang melemahkan lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum”. Ketentuan di atas apabila diperhatikan secara lebih seksama maka pada KAK 2003 pembalikan beban pembuktian sebenarnya dapat dipergunakan melalui 2 (dua) jalur yaitu jalur kepidanaan (criminal procedure) maupun jalur keperdataan (civil procedure) khususnya terhadap sumber harta kekayaan yang didapat oleh pelaku tindak pidana korupsi. Hakikat dan dimensi gabungan criminal procedure dan civil procedure telah banyak diterapkan beberapa negara. Redaksional kata “mewajibkan seorang pelanggar menerangkan sumber yang sah dari tindak pidana”, maka prosedur yang dipakai adalah jalur kepidanaan (criminal procedure). Begitupun sebaliknya redaksional kata, “..atau kekayaan lainnya yang dapat dikenakan penyitaan,” maka mensiratkan dimensi konteks tersebut di atas dapat dipergunakan jalur keperdataan (civil procedure). Pemakaian jalur kepidanaan
dan
keperdataan
secara
bersama-sama
terhadap
kepemilikan harta kekayaan pelaku tindak pidana korupsi dengan melalui mekanisme pembalikan beban pembuktian pada hakikatnya tetap diperkenankan dan telah ada pula justifikasi teori yang mendukungnya. KAK 2003 dalam pengembalian aset hasil korupsi melalui prosedural pembekuan (freezing), perampasan (seizure) dan penyitaan
commit to user xl
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(confiscation) dari pelaku
tindak pidana korupsi sebagaimana
ketentuan Pasal 31 ayat (8) maupun ketentuan Pasal 53 huruf b telah dapat
dipergunakan
teori
pembalikan
beban
pembuktian
keseimbangan kemungkinan (Balanced Probability Principles) dari Oliver yaitu adanya keseimbangan teori probabilitas berimbang yang diturunkan (lowest balanced probability principles) dalam hal kepemilikan harta kekayaan yang merupakan aset hasil korupsi akan tetapi tetap mempertahankan teori tersebut dalam posisi yang sangat tinggi (highest balanced probability principles) dalam hal perampasan kemerdekaan seseorang tersangka. Dimensi ini dalam praktiknya untuk pembalikan beban pembuktian melalui mekanisme keperdataan (civil procedure) telah dilakukan di Italia, Irlandia dan Amerika Serikat sedangkan pembalikan beban pembuktian melalui mekanisme kepidanaan (criminal procedure) telah dilaksanakan oleh Negara Singapura berdasarkan Section 4 Singapore Confiscation of Benefits Act serta Negara Hong Kong berdasarkan Section 12 A Hong Kong Prevention Bribery Ordinance. Selanjutnya, penggunaan kedua teori balanced probability tersebut dalam Pasal 31 ayat (8) KAK 2003 khususnya dalam kalimat, “may”, yang bersifat non-mandatory obligation serta kalimat, “demonstrate” maupun kalimat, “consistent with the prinsiples of ...domestic law”, yang menunjukkan bahwa ketentuan pasal tersebut relatif tetap mempertimbangkan ICCPR yang menegaskan hak-hak sipil seseorang yang seharusnya dilindungi secara penuh. Dimensi dan asumsi konteks tersebut di atas maka jelaslah sudah ketentuan Pasal 31 ayat (8) dan Pasal 53 huruf b KAK 2003 telah mempunyai justifikasi teoretis untuk menerapkan pembalikan beban pembuktian khususnya ditujukan terhadap pembekuan, perampasan dan penyitaan terhadap aset harta kekayaan dari pelaku maupun pengembalian aset tindak pidana korupsi secara langsung.
b. Pengaturan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960.
commit to user xli
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id Dikaji dari aspek kebijakan legislasi dalam Undang-Undang
pemberantasan tindak pidana korupsi Indonesia terhadap pembalikan beban pembuktian sampai dengan sebelum tahun 1960 tidak mengatur pembalikan beban pembuktian dalam peraturan perUndang-Undangan korupsi disebabkan perspektif kebijakan legislasi memandang perbuatan korupsi sebagai delik biasa sehingga penanggulangan korupsi cukup dilakukan secara konvensional dan tidak memerlukan perangkat hukum yang luar biasa (extra ordinary measures). Selanjutnya kebijakan legislasi pembalikan beban pembuktian mulai terdapat dalam UU Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 1960 menyebutkan, “Setiap tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri/suami dan anak dan harta benda sesuatu badan hukum yang diurusnya, apabila diminta oleh Jaksa”. Substansi
pasal
ini
mewajibkan
tersangka
memberikan
keterangan tentang seluruh harta bendanya apabila diminta oleh Jaksa. Konsekuensinya, tanpa ada permintaan dari Jaksa maka tersangka tidak mempunyai kesempatan untuk memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya.
c. Pengaturan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. Kebijakan legislasi dalam UU Nomor 3 Tahun 1971 secara eksplisit telah mengatur pembalikan beban pembuktian. Ketentuan Pasal 17 UU Nomor 3 Tahun 1971, selengkapnya berbunyi sebagai berikut: (1) Hakim dapat memperkenankan Terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan memberikan keterangan tentang pembuktian bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi (2) Keterangan tentang pembuktian yang dikemukakan oleh Terdakwa bahwa ia tidak bersalah seperti dimaksud dalam ayat (1) hanya diperkenankan dalam hal: a. apabila Terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu dilakukan demi kepentingan umum.
commit to user xlii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. apabila Terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu menurut keinsyafan yang wajar tidak merugikan keuangan atau perekonomian negara atau (3) Dalam hal Terdakwa dapat memberikan keterangan tentang pembuktian seperti dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang setidak-tidaknya menguntungkan baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum tetap mempunyai kewenangan untuk memberikan pembuktian yang berlawanan (4) Apabila Terdakwa tidak dapat memberi keterangan tentang pembuktian seperti dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipandang sebagai hal yang setidak-tidaknya merugikan baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum tetap diwajibkan memberi pembuktian bahwa Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi Selanjutnya ketentuan Pasal 18 UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang kepemilikan harta benda pelaku selengkapnya berbunyi sebagai berikut: (1) Setiap Terdakwa wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri/suami, anak dan setiap orang, serta badan yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan apabila diminta oleh hakim. (2) Bila Terdakwa tidak dapat memberi keterangan yang memuaskan disidang pengadilan tentang sumber kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi bahwa Terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. d. Pengaturan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, secara jelas juga telah memberikan amanat agar penyelenggara negara menjelaskan asal-usul kekayaannya apabila dimintai keterangan oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Disamping itu, dalam pasal 17 ayat (2) huruf e, disebutkan bahwa, “Jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan sebagian atau Seluruh harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga diperoleh dari Korupsi, kolusi, atau nepotisme selama menjabat sebagai Penyelenggara Negara, juga meminta pejabat
commit to user xliii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id yang berwenang membuktikan dugaan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
e. Pengaturan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, pasal 37 ayat (1), dikatakan bahwa, “Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi”. Dalam hal Terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Pada Pasal 37A ayat (1) dan (2), lebih menguatkan posisi beban pembuktian terbalik tersebut, dengan menegaskan bahwa, “Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan”. Dalam hal Terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa Terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
f. Pengaturan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Ketentuan hukum positif Indonesia tentang tindak pidana korupsi diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Tegasnya, dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 dikenal adanya 5 (lima) tipe korupsi. Pada hakikatnya ada 5 (lima) pengertian tipe tindak pidana korupsi yaitu tipe pertama sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 UU 31/1999, Tipe Kedua dalam Pasal 3 UU 31/1999, Tipe Ketiga diatur dalam Pasal 5, 6, 7, 10, 11, 12, 13 UU 31/1999, Tipe keempat dalam Pasal 15 dan 16 UU 31/1999, dan Tipe Kelima diatur dalam Pasal 21-24 UU 31/1999.
commit to user xliv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id Pada UU tersebut maka ketentuan mengenai pembuktian perkara
korupsi terdapat dalam Pasal 12B ayat (1) huruf a dan b, Pasal 37, Pasal 37 A dan Pasal 38B. Apabila dicermati maka UU tindak pidana korupsi mengklasifikasikan pembuktian menjadi 3 (tiga) sistem. Pertama,
pembalikan
beban
pembuktian
dibebankan
kepada
Terdakwa untuk membuktikan dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi. Pembalikan beban pembuktian ini berlaku untuk tindak pidana suap menerima gratifikasi yang nilainya sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta) rupiah atau lebih (Pasal 12B ayat (1) huruf a) dan terhadap harta benda yang belum didakwakan yang ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi (Pasal 38B). Apabila mengikuti polarisasi pemikiran pembentuk UU sebagai kebijakan legislasi, ada beberapa pembatasan yang ketat terhadap penerapan pembalikan beban pembuktian dikaitkan dengan hadiah yang wajar bagi pejabat. Pembatasan tersebut berorientasi kepada aspek hanya diterapkan kepada pemberian (gratifikasi) dalam delik suap, pemberian tersebut dalam jumlah Rp. 10.000.000,00 atau lebih, berhubungan dengan jabatannya (in zijn bediening) dan yang melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan kewajiban (in strijd met zijn plicht) dan harus melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kedua, pembalikan beban pembuktian yang bersifat semi terbalik atau berimbang terbalik dimana beban pembuktian diletakkan baik terhadap Terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum secara berimbang terhadap obyek pembuktian yang berbeda secara berlawanan (Pasal 37A). Ketiga, sistem konvensional dimana pembuktian tindak pidana korupsi dan kesalahan Terdakwa melakukan tindak pidana korupsi dibebankan sepenuhnya kepada Jaksa Penuntut Umum. Aspek ini dilakukan terhadap tindak pidana suap menerima gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta) rupiah (Pasal 12B ayat (1) huruf b) dan tindak pidana korupsi pokok. Sistem Hukum Pidana Indonesia khususnya terhadap beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi secara normatif mengenal asas pembalikan beban pembuktian yang ditujukan terhadap
commit to user xlv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kesalahan orang (Pasal 12 B ayat (1), Pasal 37 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001) dan kepemilikan harta kekayaan pelaku tindak pidana korupsi (Pasal 37A, Pasal 38 B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001). Secara kronologis pembalikan beban pembuktian bermula dari sistem pembuktian yang dikenal dari negara penganut rumpun Anglo-Saxon terbatas pada “certain cases” khususnya terhadap tindak pidana “gratification” atau pemberian yang berkorelasi dengan “bribery” (suap), misalnya seperti di United Kingdom of Great Britain, Republik Singapura dan Malaysia. Di United Kingdom of Great Britain atas dasar “Prevention of Corruption Act 1916” terdapat pengaturan apa yang dinamakan
“Praduga
korupsi
untuk
kasus-kasus
tertentu”
(Presumption of corruption in certain cases).
III. Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Pembalikan beban pembuktian atau “omkering van de bewijslast” (“the reversal of the burden of proof”), yang sering juga disebut sistem pembuktian terbalik, secara umum dapat dipahami sebagai suatu sistem yang meletakkan beban pembuktian di tangan Terdakwa untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Pengaturan pembuktian terbalik terdapat di dalam Pasal 37 ayat (1) dan (2) Undang-Undang 20 Tahun 2001 yang menyebutkan bahwa : (1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. (2) Dalam hal Terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Selanjutnya Pasal 37 A ayat (1) , (2) , (3) menyebutkan bahwa : (1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan.
commit to user xlvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(2) Dalam hal Terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa Terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Berdasar penjelasan atas Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 Pasal 37 dan 37 A tersebut, dikenal adanya sistem pembuktian terbalik terbatas dan berimbang, yaitu Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isterinya atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya Konstruksi hukum seperti itu, oleh pembuat undang-undang disebut sebagai pembuktian berimbang, yang mencakup pula pembuktian terbalik terbatas, namun dengan tetap menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah. Kata-kata bersifat ”terbatas” didalam memori atas Pasal 37 dikatakan, bahwa apabila Terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa ”Terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi”, hal ini tidak berarti Terdakwa tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih tetap
berkewajiban
untuk
membuktikan
dakwaannya.
Kata-kata
”berimbang” mungkin lebih tepat ”sebanding”, dilukiskan sebagai/berupa penghasilan Terdakwa atau sumber penambahan harta benda terdakwa, sebagai income terdakwa dan perolehan harta benda, sebagai out put (Martiman Prodjomidjojo, 2001 : 107). Disamping itu dianut pula sistem pembuktian terbalik “murni” namun khusus “gratifikasi” (penyuapan) kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dalam kaitannya dengan jabatannya dan yang
commit to user xlvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya dalam Pasal 12 B ayat 1 huruf a UU No. 20 tahun 2001 Pasal 12B ayat 1huruf a menyebutkan: (1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; Bertolak dari pemahaman konseptual terhadap sistem pembalikan beban pembuktian, maka ketentuan Pasal 37 dan Pasal 37A UndangUndang
Nomor
20 Tahun
2001
belum dapat
dikatakan
telah
mengintroduksi sistem pembalikan beban pembuktian. Paling tidak ada dua hal yang dapat di kemukakan untuk mengatakan demikian, yaitu : Pertama,ketentuan itu belum meletakkan sama sekali kewajiban pembuktian pada Terdakwa; dan penuntut umum tidak dibebaskan dari kewajiban pembuktian tentang kesalahan Terdakwa; Kedua, dalam hal Terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, itu belum dapat digunakan sepenuhnya untuk membebaskannya dari dakwaan. Atau sebaliknya, dalam hal ia tidak dapat membuktikan, maka dengan demikian belum dapat digunakan untuk mengatakan bahwa ia telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Dalam hubungan itu masih diperlukan alat-alat bukti yang lain. Meskipun demikian, undang-undang korupsi itu ternyata tidak pula sepenuhnya mengikuti tata cara pembuktian biasa seperti yang dikenal dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ketentuan Pasal 37 dan 37A Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 dapat dikatakan sebagai pengembangan dari ketentuan yang terdapat di dalam KUHAP. Dalam sistem KUHAP ditentukan, bahwa “penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap seorang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana, dengan konsekuensi harus membuktikan apa yang didakwakannya”. Sedangkan “Terdakwa sama sekali tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Didalam penjelasan Pasal 37 dan 37A Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak
commit to user xlviii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isterinya atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Jadi Terdakwa dibebani kewajiban pembuktian seperti halnya Penuntut Umum. Bila diperhatikan secara keseluruhan, tidak ada yang khusus dari ketentuan pembuktian yang terdapat di dalam Pasal 37 dan 37A Undangundang Nomor 20 tahun 2001 itu, terutama sekali menyangkut ketentuan pada Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2). Seharusnya, dalam hal Terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka ia harus dibebaskan. Meskipun demikian, ketentuan pada Pasal 37A ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Pasal itu cukup menarik untuk didiskusikan lebih lanjut, yaitu menyangkut adanya kewajiban Terdakwa untuk memberikan keterangan tentang harta benda keluarga dan seterusnya. Kewajiban pembuktian seperti itu memang bukan merupakan sesuatu yang lumrah dalam suatu proses peradilan pidana. Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan sebuah contoh sederhana dalam kasus pencurian. Seorang didakwa oleh penuntut umum melakukan pencurian, maka dalam hal seperti itu tidak ada aturan yang mewajibkannya untuk memberikan keterangan tentang harta kekayaan keluarganya.
Jadi kewajiban
pembuktian seperti itu dapat dikatakan sebagai sesuatu yang spesial sifatnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Lalu bagaimana dan apa sanksinya jika yang bersangkutan tidak bersedia memberikan keterangan tentang harta benda keluarganya?. Untuk mengatasi hal tersebut, seharusnya ayat (1) Pasal 37A UndangUndang Nomor 20 tahun 2001 dilanjutkan dengan kalimat,
“jika
Terdakwa tidak mau memberikan keterangan tentang harta benda keluarganya, maka dengan demikian dapat menimbulkan dugaan bahwa hasil korupsinya telah disalurkan kepada keluarganya”. Sistem pembalikan beban pembuktian seperti itu telah sejak lama diterapkan di berbagai negara sebagai “lex specialis” seperti di Singapura dan Malaysia. Di Singapura terdapat di dalam The Prevention of Corruption Act. Sedangkan di Malaysia, ketentuan pembalikan beban
commit to user xlix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pembuktian (presumption of corruption in certain cases) dirumuskan di dalam “The Prevention of Corruption Act 1961” (Act 57). Tetapi Indonesia sampai saat ini belum menerapkan pembalikan beban pembuktian, pembuktian yang diterapkan adalah bersifat negatif atau berdasarkan pada asas beyond reasonable doubt yang berorientasi pada ketentuan Pasal 183 KUHAP. Pasal 183 KUHAP menyebutkan : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila ia dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya” Yang dimaksud dengan 2 (dua) alat bukti yang sah haruslah memperhatikan tata urutan alat bukti menurut Pasal 184 KUHAP, yaitu : a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan Terdakwa Sesuai kepustakaan ilmu hukum, ketentuan normatif Pasal 183 KUHAP tersebut merupakan asas pembuktian negatif. Akan tetapi asas ini berbanding
terbalik
jikalau
dilakukan
oleh
Terdakwa
yang
dikategorisasikan terhadap perkara – perkara tertentu seperti tindak pidana korupsi khususnya terhadap delik ”gratification” (pemberian) yang berkaitan dengan ”bribery” (penyuapan) sebagaimana ketentuan Pasal 12 B UU 31/1999 jo UU 20/2001 yaitu dalam melakukan asas pembalikan beban pembuktian yang murni sifatnya, dalam Pasal 183 KUHAP dipergunakan adanya dua alat bukti untuk membuktikan tentang keyakinan tidak terjadinya tindak pidana korupsi dan ketidakbersalahan dari Terdakwa. Praktik perkara korupsi di indonesia pada tataran aplikasinya tidak mempergunakan pembalikan beban pembuktian, padahal perangkat hukum memberikan hak kepada Terdakwa dan penasehat hukumnya, Jaksa Penuntut Umum maupun majelis hakim untuk menerapkan pembalikan
commit to user l
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
beban pembuktian baik terhadap kesalahan Terdakwa maupun tentang kepemilikan harta benda Terdakwa yang di duga kuat melakukan tindak pidana korupsi. Adapun alasan – alasan tidak di pergunakan pembuktian terbalik adalah: 1. Ditemukan
adanya
ketidakjelasan
dan
ketidaksinkronan
perumusan norma pembalikan beban pembuktian dalam kebijakan legislasi tindak pidana korupsi di Indonesia disebabkan ketentuan tersebut salah susun, karena seluruh bagian inti delik disebutkan sehingga yang tersisa untuk dibuktikan sebaliknya tidak ada. Konsekuensi logis dimensi demikian menimbulkan asumsi bahwa pembalikan beban pembuktian relatif ada dalam kebijakan formulasi, tetapi tiada dan tidak dapat di terapkan dalam kebijakan aplikatif 2. Apabila Terdakwa dan atau penasehat hukumnya akan menggunakan
haknya
melakukan
pembalikan
beban
pembuktian, relatif akan sulit untuk membuktikan secara negatif ketidakbersalahannya melakukan tindak pidana korupsi dikarenakan adanya kelemahan dalam mengumpulkan alat bukti karena aspek administrasi yang kurang tertata rapi. Disamping itu juga, korelasi dengan aspek korupsi yang tidak bersifat sendirian, tetapi dilakukan beberapa orang, realtif tidak mungkin untuk mendapatkan bukti- bukti guna dapat mendukung ketidakbersalahan seorang pelaku melakukan tindak pidana korupsi. Dimensi substansial demikian kiranya yang menjadi kendala mengapa ”hak” untuk melakukan pembalikan beban pembuktian tindak pidana korupsi di Indonesia pada praktiknya tidak pernah dilakukan.
D. Sistem Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan Asas Non Self Incrimination Mengkaji dari isi Pasal-Pasal yang mengatur mengenai pembuktian terbalik. Didalam Pasal 37 ayat (1) dan (2) Undang-Undang 20 Tahun 2001 yang menyebutkan bahwa :
commit to user li
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. (2) Dalam hal Terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Selanjutnya Pasal 37 A ayat (1) , (2) , menyebutkan bahwa : (1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. (2) Dalam hal Terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa Terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Pada Pasal 37 dan 37 A Undang-Undang 20 Tahun 2001 tersebut tampak jelas bahwa Tedakwa dibebani kewajiban pembuktian. Tedakwa diwajibkan untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan korupsi dan memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. Pada dasarnya,
apabila
dijabarkan
lebih
terperinci,
dengan
dianutnya
pembalikan beban pembuktian menyebabkan beralihnya asas “praduga tidak bersalah’ (Presumption of innonccen) menjadi asas “praduga bersalah” (presumption of Guilt). Konsekuensi logis dimensi demikian maka
“praduga
bersalah”
relatif
cenderung
dianggap
sebagai
penggingkaran asas yang bersifat universal khususnya terhadap asas ‘praduga tak bersalah” . Pada asasnya, praduga tak bersalah merupakan asas fundamental dalam negara hukum. Asas yang mendasar dan universal ini secara operasional terelaborasi dalam Pasal-Pasal KUHAP. 1. Tersangka/Terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Bahkan, ia tidak boleh menjawab dalam proses pemeriksaan, hanya diingatkan kalau hal itu terjadi, lalu pemeriksaan diteruskan (Pasal 66 jo 175). 2. Tersangka/Terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas.
commit to user lii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan. Hal ini dilarang dengan tujuan agar pemeriksaan itu mencapai hasil yang tidak
menyimpang
dari
apa
yang
sebenarnya,
sekaligus
menjauhkan dari rasa takut. Karena itu, wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangka/Terdakwa (Pasal 52 jo 166). 3. Pengakuan tersangka/Terdakwa bukanlah merupakan alat bukti (Pasal 184). Konsekuensinya , maka setiap orang yang didakwa melakukan tindak pidana mendapatkan hak untuk tidak dianggap bersalah hingga terbukti
kesalahannya
dengan
tetap
berlandaskan
kepada
beban
pembuktian pada jaksa penuntut umum, norma pembuktian yang cukup dan metode pembuktian harus mengikuti cara – cara yang adil. Dalam kovenan internasional, hal tersebut juga telah dinyatakan dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang telah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005. Dalam arti, ICCPR tersebut menjamin sepenuhnya hak seseorang untuk tidak dinyatakan bersalah sebelum terbukti secara hukum. Pasal 14 Ayat (3) huruf g ICCPR menyebutkan bahwa, “Dalam penentuan tuduhan pelanggaran pidana terhadapnya, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian terhadap diri sendiri atau mengaku bersalah (non self incrimination)”. Lebih lanjut , teori pembalikan beban pembuktian yang meletakkan pembuktian pada Terdakwa untuk membuktikan bahwa tidak bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya merupakan penyimpangan asas umum hukum Pidana yang menyatakan : “siapa yang menuntut, dialah yang harus membuktikan tuntutannya” (Indriyanto Seno Adji : 2006: 46) . Selain itu teori pembalikan beban pembuktian akan bersinggungan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) khusunya implementasi terhadap ketentuan hukum acara pidana. Pada ketentuan hukum acara pidana sebagaimana ketentuan Pasal 66 KUHAP , maka Terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Terdakwa tidak pernah dibebankan untuk membuktikan kesalahannya, bahkan tidak pernah diwajibkan untuk
commit to user liii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mempersalahkan diri sendiri (non self incrimintion), lebih jauh lagi Terdakwa memiliki hak untuk diam (The Right to Remain silent), kesemua ini merupakan bagian dari prinsip perlindungan dan penghargaan HAM (Hak Asasi Manusia) yang tidak dapat dikurangi sedikitpun dan dengan alasan apapun juga. (Non Derogable Right). (Indriyanto Seno Adji : 2006: 46) Menurut Pasal 37 dan 37 A Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Ini sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan pembuktian terbalik terhadap Terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dan menyalahkan diri sendiri (non self incrimination). Dalam hal Terdakwa dapat membuktikan, bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka
pembuktian tersebut dipergunakan
pengadilan sebagai dasar menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti Asas non-self incrimination itu sendiri adalah suatu hal yang sebenarnya tidak diperbolehkan dilakukan dalam suatu proses peradilan pidana. Hal itu dapat berupa tindakan atau pernyataan yang diambil atau berasal dari seseorang sehingga dengan tindakan atau pernyataan itu dirinya menjadi in a crime. Larangan ini berangkat dari beban negara untuk menuduh dan membawa seseorang ke pengadilan, untuk membuktikan kesalahannya itu. Seseorang yang menjadi tertuduh tidak dapat dipaksa membantu kewajiban negara itu. Karena peradilan pidana Indonesia menganut sistem akusatorial, bukan lagi inkuisitorial, suatu pemaksaan atau compulsory self-incrimination adalah hal yang bertentangan dengan prinsip yang paling dasar dari peradilan pidana itu. Bahkan, sesuatu yang lebih lunak dari itu pun tidak diperbolehkan, seperti meminta satu jawaban yang akan dikait-kaitkan dengan bukti lain, link-in-chain, karena bertentangan dengan asas non-self incrimination itu. Meski celah untuk memberlakukan asas pembuktian terbalik, terdapat pada sejumlah klausul Undang-undang kita, namun secara universal berlaku asas hukum “lex superior derogat legi inferiori” atau
commit to user liv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
peraturan hukum yang tingkatannya lebih rendah, harus tunduk kepada peraturan hukum yang lebih tinggi. Atau dengan kata lain, peraturan tersebut tidak boleh melanggar ketentuan yang berada diatasnya. Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 7 ayat (1), menyebutkan bahwa, jenis dan hierarki perundang-undangan terdiri dari : UUD 45, UU/Perpu, PP, Perpres dan Peraturan Daerah. Dengan
demikian,
aturan
dalam
bentuk
apapun
untuk
mengakomodasi asas pembuktian terbalik, akan dipersoalkan sebab melanggar
ketentuan
UUD
45
sebagai
dasar
tertinggi
dalam
penyelenggaraan hukum Negara kita Indiyanto Seno Adji lebih detail menyebutkan, bahwa : ”Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas dan tidak diperkenankan menyimpang dari asas-asas ”Daad-daderstrafrecht”. KUHAP yang direncanakan bertolak dari pokok pemikiran keseimbangan monodualistik, dalam arti memperhatikan keseimbangan dua kepentingan, antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu. Artinya, Hukum Pidana yang memperhatikan segi-segi obyek dari perbuatan (daad) dan segi-segi subyektif dari orang/pembuat (dader). Dari pendekatan ini, sistem pembalikan beban pembuktian sangat tidak diperkenankan melanggar kepentingan dan hak-hak prinsipal dari pembuat/pelaku (Tersangka/Terdakwa). Bahwa penerapan sistem pembalikan beban pembuktian ini sebagai realitas yang tak dapat dihindari, khususnya terjadinya minimalisasi hakhak dari ”dader” yang berkaitan dengan asas ”non self-incrimination” dan ”presumption of innocence”. Namun demkian, adanya suatu minimalisasi hak-hak tersebut sangat dihindari akan terjadinya eliminasi hak-hak tersebut. Apabila terjadi, inilah yang dikatakan bahwa sistem pembalikan beban pembuktian berpotensi untuk terjadinya pelanggaran HAM khususnya penyalahgunaan asas non self incrimination. Berdasarkan uraian tersebut diatas menurut hemat penulis potensi penyalahgunaan asas non self incrimination dalam pembuktian terbalik terdapat pada:
commit to user lv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 37 ayat (1), dikatakan bahwa, “Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi”. Dalam hal Terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Padahal di sisi lain Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kita pada Pasal 66 KUHAP ditegaskan bahwa, “tersangka atau Terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Dengan demikian, seseorang yang telah disangkakan telah melakukan tindak pidana, tidak memiliki kewajiban untuk melakukan beban pembuktian terbalik. Terdakwa tidak pernah dibebankan untuk membuktikan kesalahannya , bahkan tidak pernah diwajibkan untuk mempersalahkan dirinya sendiri (non self incrimination), lebih jauh lagi bahwa Terdakwa memiliki hak yang dinamakan “the right to remain silent” (hak untuk diam), kesemua ini merupakan bagian dari prinsip perlindungan dan penghargaan HAM (Hak Asasi Manusia) yang tidak dapat dikurangi sedikitpun dan dengan alasan apapun juga. Apabila pembuktian terbalik ini di terapkan maka, inilah yang dikatakan bahwa sistem pembalikan beban pembuktian berpotensi untuk terjadinya pelanggaran HAM khususnya penyalahgunaan asas non self incrimination. 2. Dalam hal seseorang Terdakwa yang memang memiliki kekayaan secara sah, namun karena keterbatasan pengetahuan hukum yang dimiliki menyebabkan ia tidak mampu menjelaskan sumber kekayaannya secara sempurna, sehingga oleh karena itu ia dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Jadi keterbatasan kemampuan untuk membuktikan itu pulalah yang mengakibatkan seseorang yang semestinya secara faktual tidak bersalah (factual guilt) mesti berhadapan dengan pemidanaan. 3. Dalam hal Tindak Pidana Korupsi dilakukan secara bersama sama dan Terdakwanya lebih dari satu maka dapat juga terjadi potensi penyalahgunaan asas non self incrimination, yaitu jika salah satu Terdakwa mempersalahkan dirinya sendiri (non self incrimination)
commit to user lvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
telah melakukan korupsi dan menyatakan Terdakwa yang lainnya tidak melakukan korupsi. Dengan kata lain Terdakwa I melindungi Terdakwa II dengan cara Terdakwa I mempersalahkan dirinya sendiri telah melakukan korupsi dengan maksud agar Terdakwa II di bebaskan dari tuntutan ataupun dengan maksud agar dapat meringankan hukuman Terdakwa II. 4. Timbulnya potensi penyalahgunaan asas non self incrimination yang lain ialah terletak pada proses penahanan. Tersangka/ Terdakwa tidak akan dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atau ia tidak dapat membuktikan darimana asal harta kekayaan yang diperolehnya selama ia dalam penahanan. Selama penahanan tersangka/Terdakwa, ia dibatasi kebebasannya sehingga ia tidak dapat leluasa untuk bergerak mencari bukti-bukti yang dapat membebaskannya dari kesalahan.
Berdasarkan tolok ukur tersebut diatas, khususnya terkait adanya benturan antara Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 37 ayat (1) dengan Pasal 66 KUHAP ,yaitu tentang pelanggaran HAM terkait asas the right to remain silent dan non self incrimination dalam skripsi ini penulis mempunyai alternatif penerapan pembalikan beban pembuktian dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasca ratifikasi KAK 2003. Di satu sisi maka pembalikan beban pembuktian tidak dapat diterapkan terhadap kesalahan pelaku dalam tindak pidana korupsi pokok, kecuali terhadap gratifikasi. Oleh karena ini maka terhadap kesalahan pelaku tetap mempergunakan sistem pembuktian negatif. Konsekuensi logis dimensi demikian
maka
pembalikan
beban
pembuktian
ini
tidak
akan
bersinggungan dengan HAM, ketentuan hukum acara pidana khususnya tentang asas praduga tidak bersalah, asas tidak mempersalahkan diri sendiri (non-self incrimination), hak untuk diam (right to remain silent), hukum pidana materiil serta instrumen hukum Internasional. Di sisi lainnya, pembalikan beban pembuktian dapat dilakukan terhadap harta kepemilikan pelaku tindak pidana korupsi sehingga titik beratnya pada pengembalian harta negara yang dikorupsi oleh pelaku tindak pidana korupsi. Tegasnya, dari dimensi konteks di atas terhadap
commit to user lvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pelaku yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi tetap mempergunakan jalur pidana dengan pembuktian negatif terhadap kesalahan pelaku sedangkan terhadap pengembalian harta kepemilikan pelaku tindak pidana korupsi dapat dipergunakan pembalikan beban pembuktian oleh karena dimensi ini relatif tidak bersinggungan dengan aspek HAM, tidak melanggar hukum acara pidana, hukum pidana materiil maupun instrumen hukum internasional. Jika beban pembuktian terbalik diberlakukan pada kasus penyalahgunaan uang/harta kekayaan Negara (penggelapan, korupsi, pencucian uang), maka tidak ada alasan untuk menolak pemberlakukan beban pembuktian terbalik ini. Hal tersebut dapat dikuatkan dalam bebarapa alasan, antara lain : Pertama,
bahwa
pejabat
penyelenggara
Negara
memiliki
kewajiban dan tanggung jawab dalam membuktikan kekayaan yang dimilikinya baik sebelum, sementara dan sesudah menjabat. Hal ini diatur dalam ketentuan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, pasal 5 ayat (3), yang menyebutkan bahwa, “setiap penyelenggara
Negara
berkewajiban
untuk
melaporkan
dan
mengumumkan kekayaan sebelum dan sesudah menjabat”. Dengan demikian, beban pembuktian terbalik dapat diberlakukan sebagai upaya pencegahan tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan uang Negara lainnya. Perlu diingat bahwa, beban pembuktian terbalik ini disyaratkan bagi seseorang yang melekat pada dirinya kewajiban sebagai pejabat penyelenggara Negara, bukan dirinya sebagai personal. Kedua, jika kita memaknai tindakan penyalahgunaan uang Negara, sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), maka sepatutnya pulalah asas pembuktian terbalik diberlakukan sebagai cara yang luar biasa pula, meski bertentangan dengan prinsip-prinsip praduga tak bersalah. Logika hukum (logic of law), adalah prinsip yang penting untuk menguatkan
posisi
ini.
Dimana
kita
dapat
belajar
dari
upaya
pemberantasan korupsi dengan membangun suatu komisi pemberantasan korupsi (KPK), dengan sejumlah kewenangan yang bersifat diluar kaedahkaedah hukum pada umumnya. Misalnya kewenangan penuntutan, yang
commit to user lviii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sebelumnya hanya menjadi beban jaksa penuntut, namun melalui UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, maka KPK diberikan kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, sebagai upaya hukum luar biasa untuk menutup kelemahan.lembaga penuntut kita yang cenderung mandul dalam menyelesaikan perkara korupsi (Pasal 6 huruf c). Dengan demikian, upaya pemberlakukan beban pembuktian terbalik, juga harus kita maknai sebagai upaya hukum luar biasa dalam membangun system penyelenggaraan Negara yang bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme. Ketiga, filosofi dan sifat dasar hukum adalah bahwa ia ada bukan untuk dirinya sendiri, namun hukum ada untuk memberikan rasa nyaman dan keadilan bagi manusia. Persoalan korupsi, penggelapan dan pencucian uang Negara yang dilakukan oleh penyelenggara Negara, merupakan tindakan kejahatan yang telah menyerang rasa keadilan masyarakat. Untuk itu, aturan hukum yang bersifat status quois, perlu untuk ditinjau ulang dengan tidak hanya terpatok kepada aturan-aturan teks semata. Jika system aturan hukum telah menghalang-halangi proses pencarian keadilan masyarakat, maka adalah keharusan kita untuk mencari jalan keluar dengan memberlakukan asas pembuktian terbalik sebagai wujud keberhipakan hukum di Negara kita. Progresifitas hukum harus kita pandang sebagai proses pengembangan dan pembangunan hukum yang tidak sekedar sebagai wujud pelaksanaan aturan, namun sebagai perwujudan esensi dasar hukum sebagai sarana manusia untuk memperoleh kebahagiaan dan keadilan secara utuh. Tegasnya, di satu sisi maka untuk membuktikan kesalahan pelaku tindak pidana korupsi tetap berpegangan pada ketentuan teori hukum pembuktian yang tetap mengkedepankan asas pembuktian negatif sedangkan di sisi lainnya untuk mengembalikan aset hasil dari tindak pidana korupsi, pembuktian terhadap kepemilikan harta kekayaan pelaku maka dipergunakan teori pembalikan beban pembuktian oleh karena teori pembuktian demikian relatif tetap menjungjung tinggi ketentuan hukum acara pidana, hukum pidana dan instrumen internasional. Aspek positif tolok ukur demikian yaitu di satu sisi pembalikan beban pembuktian tidak dapat diterapkan terhadap kesalahan pelaku tindak pidana korupsi pokok
commit to user lix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sedangkan di sisi lain lebih dikedepankan pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi maka menurut polarisasi penulis alternatif pembuktian korupsi yang relatif memadai adalah dipergunakan teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan pembuktian. Pada dasarnya, teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan mengkedepankan keseimbangan dari Oliver Stolpe secara proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu bersangkutan atas asal usul harta kekayaan milik pelaku yang diduga kuat berasal dari korupsi di sisi lainnya. Asumsi dasar teori ini menempatkan pelaku tindak pidana korupsi terhadap perbuatan atau kesalahan orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi pokok tidak boleh dipergunakan asas pembalikan beban pembuktian melainkan tetap berdasarkan asas pembuktian negatif oleh karena perlindungan terhadap hak individu ditempatkan paling tinggi terhadap perampasan kemerdekaan seseorang. Dalam konteks ini, kedudukan hak asasi pelaku tindak pidana korupsi ditempatkan dalam kedudukan (level) yang paling tinggi dengan mempergunakan teori probabilitas berimbang yang sangat tinggi yang tetap mempergunakan pembuktian negatif. Kemudian secara bersamaan di satu sisi maka khusus terhadap pembalikan beban pembuktian dapat dilakukan terhadap asal usul mengenai kepemilikan harta kekayaan pelaku yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi sehingga tidak berdasarkan pembuktian negatif.
commit to user lx
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan 1. Sistem pembuktian terbalik di Indonesia diatur berdasarkan UU No.31 tahun 1999 jo UU No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU tersebut menerapkan 2 (dua) sistem pembuktian, yaitu pembuktian terbalik terbatas (pasal 37 dan 37A) dan pembuktian terbalik penuh/murni (pasal 12B ayat 1a). Tetapi Indonesia sampai saat ini belum menerapkan pembalikan beban pembuktian seperti yang diatur dalam UU tersebut, Pembuktian yang diterapkan di Indonesia terhadap kasus korupsi adalah bersifat negatif atau berdasarkan pada asas beyond reasonable doubt yang berorientasi pada ketentuan Pasal 183 KUHAP. Adapun alasan – alasan indonesia belum menerapkan pembuktian terbalik adalah karena ditemukan adanya ketidakjelasan dan ketidaksinkronan perumusan norma pembalikan beban pembuktian dalam kebijakan legislasi tindak pidana korupsi di Indonesia, karena seluruh bagian inti delik disebutkan sehingga yang tersisa untuk dibuktikan sebaliknya tidak ada. Selain itu apabila Terdakwa akan menggunakan haknya melakukan pembalikan beban pembuktian, relatif akan sulit untuk membuktikan secara negatif ketidakbersalahannya melakukan tindak pidana korupsi dikarenakan adanya kelemahan dalam mengumpulkan alat bukti karena aspek administrasi yang kurang tertata rapi. 2. Pembuktian terbalik dapat menimbulkan berbagai potensi penyalahgunaan asas non self incrimination, salah satunya terjadi benturan antara UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 37 ayat (1) dengan Pasal 66 KUHAP ,yaitu tentang pelanggaran HAM terkait asas the right to remain silent dan non self incrimination . Berdasarkan tolok ukur tersebut, dalam skripsi ini penulis mempunyai alternatif penerapan pembalikan beban pembuktian dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasca ratifikasi KAK 2003. Di satu sisi maka pembalikan beban pembuktian tidak dapat diterapkan terhadap kesalahan pelaku dalam tindak pidana korupsi pokok, kecuali terhadap gratifikasi. Oleh karena ini maka terhadap kesalahan
commit to user lxi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pelaku tetap mempergunakan sistem pembuktian negatif. Konsekuensi logis dimensi demikian maka pembalikan beban pembuktian ini tidak akan bersinggungan dengan HAM, ketentuan hukum acara pidana khususnya tentang asas praduga tidak bersalah, asas tidak mempersalahkan diri sendiri (non-self incrimination) dan hak untuk diam (right to remain silent).. Di sisi lainnya, pembalikan beban pembuktian dapat dilakukan terhadap harta kepemilikan pelaku tindak pidana korupsi sehingga titik beratnya pada pengembalian harta negara yang dikorupsi oleh pelaku tindak pidana korupsi. Tegasnya, dari dimensi konteks di atas terhadap pelaku yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi tetap mempergunakan jalur pidana dengan pembuktian negatif terhadap kesalahan pelaku sedangkan terhadap pengembalian harta kepemilikan pelaku tindak pidana korupsi dapat dipergunakan pembalikan beban pembuktian oleh karena dimensi ini relatif tidak bersinggungan dengan aspek HAM, tidak melanggar hukum acara pidana, hukum pidana materiil maupun instrumen hukum internasional. B. Saran 1. Perlu adanya penyempurnaan pada KUHAP yang mengakomodir mengenai pembuktian terbalik. Mengingat, seiring dengan kemajuan zaman dan teknologi yang membawa dampak pada perkembangan Tindak Pidana Korupsi yang semakin rumit dan beragam. 2. Mengingat dampak dari adanya tindak pidana korupsi yang sangat merugikan negara dan masyarakat, maka perlu diadakan suatu forum aparat dan praktisi penegak hukum yang khusus membahas penanganan dan pemberantasan korupsi sampai tuntas dalam menangani tindak pidana korupsi.
commit to user lxii