BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN MADRASAH DI INDONESIA Sebelum membahas sejarah perkembangan madrasah bagian ini akan diawali dengan pembicaraan mengenai sumber informasi pembentuk persepsi termasuk di dalamnya definisi persepsi dari berbagai ahli dan bagaimana proses pembentukan persepsi itu. A. Pengertian, Proses dan Sumber Informasi Pembentuk Persepsi Kata persepsi berasal dari bahasa Inggris “perception” yang berarti tanggapan. Para ahli mendefinisikannya sebagai berikut : 1. Slameto Persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia.1 2. Jalaluddin Rahmat Persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa, atau hubunganhubungan
yang
menafsirkan pesan.
diperoleh
dengan
menyimpulkan
informasi
dan
2
3. Irwanto Persepsi adalah proses diterimanya rangsang (obyek, identitas, hubungan antar gejala, maupun peristiwa) sampai rangsang itu disadari dan dimengerti.3 Dari ketiga definisi tersebut, dapat ditarik intisari kesimpulan bahwa : 1. Persepsi adalah proses mental 2. Persepsi didahului dengan pengamatan atau sensasi 3. Terdapat obyek atau stimulus yang diambil
1
Slameto, Belajar dan Faktor – Faktor Yang Mempengaruhinya, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), hlm. 102. 2 Jalaludin Rahmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991) hlm. 51. 3 Irwanto, Psikologi Umum, (Gramedia Pustaka Utama, 1989) hlm. 71.
9
10 Persepsi seorang terhadap suatu obyek dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Sondang P. Siagian faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi terdiri dari : 4 1. Faktor dari yang bersangkutan sendiri Faktor ini timbul dalam diri orang yang berpersepsi, yang berbentuk ; sikap, motif, kepentingan, minat pengalaman dan harapan. 2. Faktor Sasaran Persepsi Yang dimaksud dengan faktor sasaran persepsi di sini adalah faktor yang muncul dari apa yang akan dipersepsi, misalnya hal-hal yang baru seperti gerakan, ukuran tindak tanduk dan ciri-ciri yang tidak bisa akan turut juga dalam menentukan persepsi orang yang melihatnya. 3. Faktor situasi. Yang dimaksud adalah faktor yang sehubungan karena situasi pada waktu mempersepsi, contohnya, kehadiran orang dengan pakaian renang di tepi pantai tidak akan mengherankan karena persepsi orang tentang orang yang berada di tepi pantai adalah untuk berenang. Akan tetapi jika orang yang mengenakan pakaian renang itu di tempat yang tidak ada hubungan dengan olah raga renang, tentunya akan menarik perhatian yang luar biasa karena kehadirannya dengan cara demikian bukanlah hal yang lumrah. Dari beberapa faktor di atas yang mempengaruhi persepsi, dapat disimpulkan bahwa faktor situasi dan sasaran sifatnya lebih obyektif, artinya; masing-masing individu mempunyai kecenderungan yang sama terhadap obyek yang dipersepsi,. Sedangkan faktor pelaku tersebut bersifat subyektif artinya individu lebih banyak dipengaruhi oleh keadaan psikis masing-masing. Sedangkan dalam terminologi buku ilmu jiwa lama, persepsi disebut sebagai tanggapan. Tanggapan ialah kenangan kepada pengamatan. Yang sifatnya tidak terikat kepada waktu, tanpa rangsangan dan biasanya lebih
4
Sondang P. Siagian, Teori Motivasi dan Implikasinya, Jakarta; Bina Aksara, 1989), hlm. 101-105.
11 kabur daripada pengamatan. Tanggapan itu bersifat perseorangan dan berlangsung selama seseorang perhatiannya tertuju kepada suatu benda.5 B. Latar Belakang Kelahiran Madrasah 6 Sejarah madrasah sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia dimulai pada awal abad ke-20 Masehi. Keberadaannya tergolong sebagai fenomena modern yang dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama, ialah adanya gerakan pembaharuan Islam, kedua merupakan respon pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia Belanda. Pendidikan oleh kalangan pergerakan pembaharuan Islam dipandang sebagai aspek strategis dalam membentuk pandangan keislaman masyarakat. Oleh karena itu agar cita-cita pembangunan dapat diwujudkan, maka harus ditempuh langkah untuk memperbaharui sistem pendidikan Islam. Usaha-usaha
pembaharuan
Islam
yang
pada
dasarnya
ingin
mengembalikan pemahaman dan praktek pengamalan ajaran Islam ke sumber aslinya yaitu al-Qur'an dan al-Hadist dalam kenyataannya menimbulkan ketegangan dan bahkan gejolak sosial. Konflik itu terjadi antara kalangan pembaharu dan golongan konservatif yang tetap mempertahankan status quo. Selanjutnya untuk kepentingan mempertahankan pendirian masingmasing kelompok, mereka menjadikan lembaga-lembaga pendidikan sebagai sarana sosialisasi ide dan bahkan mobilisasi masa. Kalangan pembaharu yang nota bene golongan muda menjadikan madrasah sebagai pusat konsolidasi ide dan mobilisasi masa, sedangkan kalangan konservatif (golongan tua) menjadikan surau sebagai pusat yang sama. Pilihan pembenahan lembaga pendidikan sebagai sarana mewujudkan cita-cita pembaharuan Islam juga dipengaruhi secara kuat oleh pemikiran dan usaha tokoh-tokoh pembaharu timur tengah pada akhir abad ke-19. Diantara mereka dapat disebut dua yang sangat berpengaruh yaitu Jamal al-Din al5
A. Gazali, Ilmu Jiwa, (Bandung : Ganaco NV, 1981), hlm. 36. Bahan-bahan kajian ini sebagian besar disadur dari sumber rujukan utama, Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos, 2001) hlm. 81-87, kecuali disebutkan lain. 6
12 Afghani dan Muhammad Abduh. Hal ini sesuai yang ditulis Adams “The Indonesian Muslim organizations known as the Muhammadiyah and al Irsyad were also both heavily influenced by the thought of Abduh7 (Organisasiorganisasi muslim Indonesia yang dikenal sebagai Muhammadiyah dan Al Irsyad keduanya sangat kuat dipengaruhi oleh Abduh). Mereka berdua mendukung umat Islam untuk mempelajari ilmu pengetahuan yang lebih luas sebagaimana dilakukan oleh sebagian besar negara barat. Untuk itu, perlu dilakukan penataan kelembagaan sosial, politik, ekonomi termasuk pendidikan yang memungkinkan berkembangnya semangat umat Islam yang lebih progresif. Pengaruh para pemikir pembaharu Islam di Timur Tengah terhadap gerakan pembaharuan Islam di Indonesia dimungkinkan karena pada masa itu sudah cukup banyak mahasiswa Indonesia yang memperdalam Islam di beberapa pusat pendidikan Arab, khususnya Kairo, Madinah dan Makkah. Pada tahun 1920-an di Universitas al-Azhar saja tercatat ada 200 mahasiswa Indonesia. Disamping itu penerbitan juga ikut memainkan peranan, misalnya majalah al-Manar. Gagasan-gagasan dalam al-Manar dapat dijadikan pusat untuk mencontoh pembaharuan pendidikan Islam dalam bentuk madrasah modern. Dalam sebuah tulisan tentang murid Abduh yaitu Rasyid Rida dinyatakan: Like his master, Abduh, Rida exhorts Muslims to devote themselves financially to the establishment of schools, he called this the most excellent all good works. He considered the founding of schools to be better than the founding of mosques, for the prayer of ignorant man in a mosque has no value, while education in schools can eradicate ignorance. He criticized the prevalent governmental system of education for failing to provide adequate religious training.
7
Sri Mulyati, The Concept Of Good And Evil In The Risalat Al-Tawhid Of Muhammad Abduh, Dalam Indonesian Of Academic Society XXI, The Qur'an And Philosophical Reflections (Yogyakarta : Titian Ilahi, 1997), hlm. 82. Muhammadiyah dan al-Irsyad adalah organisasi yang didirikan oleh kalangan pembaharuan Islam.
13 Like Abduh, Rida believed that education was amongst the most important tools for social change.8 “Seperti gurunya, Abduh, Rida mendesak orang-orang Islam untuk mencurahkan uang mereka sendiri untuk mendirikan sekolah-sekolah, beliau menyebut hal ini sesuatu yang terbaik dari semua pekerjaanpekerjaan(amal-amal) yang baik. Beliau menganggap bahwa mendirikan madrasah lebih baik daripada mendirikan masjid, karena shalatnya orang yang lalai di suatu masjid tidak mempunyai nilai, sedang pendidikan dapat membasmi kelalaian. Beliau mengkritik sistem pendidikan pemerintah yang sudah umum, karena gagal memberikan latihan keagamaan yang memadai. Seperti Abduh, Rida mempercayai pendidikan termasuk diantara alatalat penting untuk perubahan sosial”. Kemudian tentang faktor respon pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia Belanda dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Van Heustz, sistem pendidikan sekolah mulai diselenggarakan untuk masyarakat luas. Pada mulanya sistem persekolahan hanya untuk kalangan bangsawan. Sekolah yang mempunyai tingkatan sebagai sekolah kelas satu (HIS) dan dua (Standard School) bertujuan mencetak pegawai pemerintah, perdagangan dan perusahaan. Perkembangan lebih lanjut sekolah-sekolah desa makin terbuka untuk masyarakat atau rakyat luas. Kehadiran sekolah-sekolah desa ini yang menawarkan biaya-biaya murah, pelajaran-pelajaran praktis dan juga menjanjikan pekerjaan, menjadi saingan langsung lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren dan surau. Sehingga upaya adaptasi dipandang perlu agar pendidikan Islam mampu tetap bertahan dalam persaingan. Proses adaptasi seperti ini memang sudah sering terjadi dalam sejarah pendidikan Islam. Ruswan menulis: The history of Islamic civilization illustrates the variety of educational models employed from time to time and also from region to region. The muslim landscape proffers for the observer a variety of centers of
8
Iftitah JA’far, Muhammad Rasyid Ridho The Political Thought, dalam Islam dan Development, (Yogyakarta : Titian Ilahi Press, 2001), hlm. 82.
14 learning, such as kuttab, mosques, hospitals ,observatories, libraries, madrasa, khanqa, pesantren, ‘modern’ schools and universities.9 “Sejarah
pendidikan
Islam
melukiskan
variasi
model-model
pendidikan Islam yang digunakan dari waktu ke waktu dan juga dari suatu kawasan ke kawasan lain. Lanskap muslim menunjukkan kepada pengamat suatu variasi pusat-pusat belajar, semacam kuttab, masjid, rumah sakit, observatorium, perpustakaan, madrasah, khanqa, pesantren, sekolah-sekolah ‘modern’ dan universitas-universitas.” Selanjutnya, meskipun sekolah-sekolah dengan berbagai tingkat dan jenis mulai dari HIS, MULO dan AMS, AMS bagian ilmu kealaman dan ilmu kebudayaan telah semakin merakyat, namun dipandang diskriminasi untuk mendapatkan pendidikan seluas-luasnya masih tampak dalam politik dan kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Kondisi demikian itu mendorong didirikannya lembaga pendidikan sekolah ala Belanda yang dikombinasikan dengan pendidikan keagamaan. Lembaga ini kemudian lebih dikenal dengan nama madrasah. C. Madrasah Pada Masa Awal Pertumbuhan10 Kata madrasah sebagai istilah untuk menyebut nama lembaga pendidikan Islam di Indonesia, tidak diketahui pasti sejak kapan digunakan. Sedangkan madrasah sebagai sebutan sistem pendidikan Islam ber-kelas dan mengajarkan baik ilmu keagamaan maupun non keagamaan sudah dijumpai pada permulaan abad ke-20 Masehi. Kemudian penetapan madrasah yang pertama berdiri juga merupakan suatu yang masih didiskusikan. Departemen Agama RI menetapkan bahwa madrasah yang pertama didirikan adalah Madrasah Adabiyah di Padang (Sumatra Barat). Nama resminya adalah Madrasah Adabiyah School yang
9
Ruswan Thoyib, “Development of Muslim Educational System in the Classical Period (600-1000AD) an Overview; dalam The Dynamics of Islamic Civilization, (Yogyakarta : Titian Ilahi Press, 1998), hlm. 53. 10 Ibid., hlm. 97-111.
15 didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. Pada tahun 1915, nama itu berubah menjadi HIS Adabiyah.11 Terlepas dari diskusi tentang madrasah yang pertama berdiri pada masa-masa pertumbuhan ini dapat disebutkan beberapa nama madrasah baik yang ada di Minangkabau maupun Jawa. Di Minangkabau selain Madrasah Adabiyah, terdapat Madrasah Diniyah Labai Al-Yunusiah dan Madrasah Diniyah Putri yang didirikan oleh Rangkayo Rahmah al-Yunusiah. Dia adalah saudara putri Zainuddin Labay. Di Jawa Timur ada Madrasah Nahdlatul Ulama, Madrasah Muhammadiyah di Yogyakarta, Madrasah Taswiq Thullab di Jawa Tengah, madrasah persatuan umat Islam di Jawa Barat dan Madrasah Jam’iyat Khair di Jakarta. Adapun di Sulawesi dapat disebutkan madrasah Amiriyah Islamiyah dan Madrasah Ash-Shultoniyah di Kalimantan. Pada periode pertumbuhan, keberadaan madrasah satu sama lain saling lepas. Tidak ada hubungan langsung antara madrasah yang ada di Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Tidak ada aturan umum yang mengikat semua madrasah di semua daerah di atas sehingga ada kesamaan kurikulum, bentuk kelembagaan dan struktur manajemennya. Kesamaan diantara mereka terletak pada sistem pengajarannya yang ber-kelas dan muatan kurikulum yang memperhatikan ilmu-ilmu agama. Akhirnya, perlu disampaikan bahwa madrasah-madrasah yang berdiri pada masa awal pertumbuhan itu jika dilihat muatan kurikulumnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu : 1. Madrasah yang mirip dengan sekolah Belanda. 2. Madrasah yang muatan kurikulum keagamaan dan non keagamaannya seimbang. Dengan kata lain ada kombinasi antara materi pelajaran agama dan umum. 3. Madrasah diniyah yang tekanan utamanya pada bidang studi agama dengan sedikit tambahan muatan bidang studi umum tetapi sangat terbatas.
11
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos, 2001), hlm. 193.
16 Ketiga jenis madrasah itu sampai hari ini masih tetap eksis di Indonesia tentu dengan dinamika yang berbeda-beda.
D. Madrasah Pada Masa Penjajahan Belanda Seperti sudah diketahui bahwa madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia lahir pada awal abad ke-20 M. Dengan kata lain, lembaga ini muncul ketika Indonesia masih dijajah Belanda. Konsekuensinya keberadaan madrasah tidak dapat lepas dan luput sama sekali dari pengaruh kebijakan pendidikan pemerintah kolonial. Pemerintah kolonial Hindia Belanda menyelenggarakan pendidikan yang tujuan utamanya adalah memenuhi kepentingan mereka. Sistem dan metode pendidikan baru mereka perkenalkan. Tetapi, pendidikan ditujukan untuk menghasilkan tenaga yang dapat membantu kepentingan mereka dengan upah yang murah dibandingkan dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat.12 Dalam konteks ini, pendidikan madrasah tidak sepenuhnya, kalau tidak sama sekali, sejalan dengan kebijakan penjajah. Pada gilirannya hal ini akan mengurangi perhatian mereka terhadap madrasah. Dalam hal ini yang dimaksud adalah perhatian yang bersifat positif. Kenyataan yang terjadi justru kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap pendidikan Islam bersifat menekan. Kekhawatiran akan timbulnya militansi kaum muslimin terpelajar menjadi alasan mereka. Penjajah melakukan pengawasan berlebihan terhadap lembaga pendidikan Islam, seperti madrasah. Bentuk peraturan yang mencerminkan kekhawatiran mereka adalah ordonansi guru. Peraturan ini bersifat politis untuk menekan sedemikian rupa sehingga pendidikan agama tidak menjadi pemicu perlawanan rakyat terhadap pemerintah. Ordonansi ini mengharuskan seorang guru agama untuk mempunyai surat izin. Dalam perkembangannya, aturan melunak menjadi keharusan bagi seorang guru agama untuk melapor atau memberitahu saja.13 12 13
Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2004), hlm. 146. Maksum, op.cit., hlm. 115.
17 Disamping itu pemerintah kolonial Belanda juga membentuk suatu badan khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang disebut priesterranden. Keluarnya aturan mengenai keharusan memiliki izin, bagi guru mengaji merupakan nasehat dari badan ini.14 Peraturan yang lebih ketat dikeluarkan lagi oleh pemerintah kolonial pada tahun 1925. Isinya tentang tidak semua orang (kyai) itu boleh memberikan pelajaran mengaji. Pada tahun 1932 dikeluarkan peraturan lagi yang memungkinkan diberantas dan ditutupnya madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberi pelajaran yang tidak disukai pemerintah kolonial. Peraturan ini disebut ordonansi sekolah liar (wilde school ordonantie). Peraturan-peraturan di atas menggambarkan demikian ketat dan kerasnya pengawasan dan tekanan dan pemberantasan aktivitas madrasah dan pondok pesantren di Indonesia. Diharapkan dalam waktu yang tidak lama pendidikan Islam akan menjadi lumpuh dan porak poranda, walaupun kenyataan yang ada justru menunjukkan sebaliknya.15 Ulama yang bersikap non kooperatif dengan Belanda menyingkir dari tempat yang dekat dengan Belanda. Kebudayaan Belanda diharamkan. Di tempat yang jauh dari pantauan Belanda inilah para ulama mengembangkan pendidikan Islam sambil tetap bertahan pada kebudayaan yang Islami.
E. Madrasah Pada Masa Penjajahan Jepang Di awal kehadirannya pada tahun 1942, Jepang bersikap seolah-olah membela kepentingan Islam. Kebijakan yang ditempuh adalah : 1. Menempatkan umat Islam sendiri sebagai pemimpin Kantor Urusan Agama. Pada masa Belanda, kantor ini dipimpin oleh orientalisten Belanda. 2. Melakukan kunjungan ke pondok pesantren yang besar-besar dan memberikan bantuan kepadanya. 3. Pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran agama diberikan di sekolah negeri.
14 15
Zuhairini, dkk., op.cit., hlm. 149. Ibid., hlm. 151.
18 4. Mengizinkan berdirinya sekolah tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim, Kahar Mudzakar dan Bung Hatta. 16 Kebijakan yang tampaknya memihak umat Islam itu, sesungguhnya demi kepentingan Jepang sendiri dalam rangka perang Asia Timur Raya. Kekuatan Islam dan nasionalis harus dibina untuk mendukung suksesnya prang itu. Ketika perang telah berkobar dan berkembang menjadi perang dunia ke II, secara umum urusan pendidikan menjadi terbengkalai. Beruntunglah madrasah-madrasah di lingkungan pesantren yang bebas dari pengawasan langsung pemerintah Jepang masih dapat berjalan dengan agak wajar.
F. Masa Pemerintahan Orde Lama Dalam perjalanan sejarahnya, madrasah banyak melakukan peran penting dalam kehidupan berbangsa. Disamping sebagai lembaga pendidikan, madrasah juga merupakan basis perjuangan menentang penjajah yang secara langsung telah ikut mencerdaskan rakyat Indonesia. Oleh karena itu, ketika bangsa ini telah merdeka menjadi wajar jika pemerintah menunjukkan perhatian yang besar terhadap kehidupan madrasah. Secara eksplisit dinyatakan dalam pengumuman BP KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) tanggal 22 Desember 1945. badan itu menganjurkan agar dalam memajukan pendidikan dan pengajaran sekurang-kurangnya pengajaran di langgar-langgar dan madrasah berjalan terus dan diperpesat. Kemudian pada tanggal 2 Juli 1946, komisi yang dikenal sebagai Panitia Penyelidik Pengajaran RI dan diketuai oleh Ki Hajar Dewantara membuat beberapa usulan antara lain : Para guru agama diharuskan juga cakap dalam pendidikan umum, diadakan latihan bagi para guru agama, kualitas pesantren dan madrasah harus diperbaiki. Tampaknya usulan ini merupakan saran bagi perbaikan pendidikan di madrasah dan pesantren.17
16 17
52.
Ibid., hlm. 152. Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Logos, 2001), hlm.
19 Disamping perhatian, pada tanggal 27 Desember 1946, BP KNIP juga menyarankan pemerintah agar memberikan bantuan materiil kepada pesantren dan madrasah. Kedua lembaga pendidikan itu pada hakekatnya merupakan alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan bagi rakyat jelata.18 Demikian besar perhatian pemerintah terhadap agama dan pendidikan agama, sehingga dipandang perlu mendirikan Kementerian Agama pada tanggal 3 Januari 1946. Tanggal ini sekarang ditetapkan sebagai hari jadi Departemen
Agama
Republik
Indonesia.
Dalam
struktur
organisasi
Kementerian tersebut terdapat bagian pendidikan yang mempunyai tugas pokok mengurusi masalah-masalah pendidikan agama di sekolah umum dan pendidikan di sekolah agama yang dalam hal ini adalah madrasah dan pesantren. Bagian ini disebut bagian C. Secara terinci tugas bagian C adalah: 1. Memberi pengajaran agama di sekolah negeri dan partikelir. 2. Memberi pengetahuan umum di madrasah, dan 3. Mengadakan Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri(PHIN).19 Keberadaan Kementerian Agama dengan peran-peran di atas dapat dikatakan mewakili umat Islam Indonesia dalam menyelenggarakan pendidikan Islam dalam cakupan yang lebih luas di Indonesia. Kementerian ini yang di kemudian hari berubah menjadi Departemen Agama merupakan sandaran politis bagi umat Islam dalam rangka agar pendidikan madrasah dan pesantren kebijakan.
mendapat perhatian yang terus-menerus dari pengambil 20
Upaya-upaya yang telah dilakukan dalam rangka memperkuat keberadaan madrasah sebagai komponen pendidikan nasional yang diakui sebagai penyelenggara kewajiban belajar adalah pencatumannya dalam Undang-undang nomor 4 tahun 1950 tentang Pokok Pendidikan dan Pengajaran. Pasal 10 ayat (2) undang-undang tersebut menyatakan bahwa 18
Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama Dan Keagamaan (Jakarta : Gema Windu Panca Perkasa, 2000, Cet. 1, hlm. 112. 19 Maksum, op.cit., hlm. 123. 20 Ibid
20 belajar di sekolah-sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar. Madrasah yang berhak menyelenggarakan kewajiban belajar harus memenuhi syarat yaitu terdaftar pada Kementerian Agama dan memberikan pelajaran agama sebagai materi pelajaran pokok, minimal 6 jam seminggu secara teratur disamping mata pelajaran umum. Sebagai realisasi dari amanat Undang-undang itu pada tahun 1958 berdiri Madrasah Wajib Belajar(MWB) di beberapa tempat.21 MWB adalah madrasah yang mempunyai lama belajar 8 tahun, usia muridnya antara 6 sampai dengan 14 tahun. Madrasah ini memberikan pelajaran agama, pengetahuan umum, ketrampilan dan kerajinan tangan dengan alokasi waktu 25% pelajaran agama dan 75% pengetahuan umum. Guru-guru, alat-alat maupun buku-buku pelajaran menjadi tanggungjawab pemerintah.22 Gambaran yang menonjol dalam sejarah perkembangan madrasah pada masa Orde Lama adalah pendirian Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN). Kedua madrasah ini dimaksudkan untuk
mencetak
mempersiapkan
tenaga-tenaga
tenaga-tenaga
profesional
yang
siap
keagamaan,
mengembangkan
disamping madrasah.
Kehadiran PGA adalah jaminan strategis bagi kelangsungan hidup madrasah, mengingat
dari
PGA
diharapkan
lahir
motor-motor
penggerak
penyelenggaraan madrasah sekaligus pemasok tenaga-tenaga guru bagi madrasah.23 Jumlah madrasah sampai dengan pertengahan dasawarsa 60-an yang menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia tercatat : madrasah tingkat rendah sebanyak 13.057 buah, dengan jumlah murid 1. 927. 777 murid, madrasah tingkat pertama(tsanawiyah) sebanyak 776 buah dengan jumlah murid sebanyak 87.932. Sementara itu diperkirakan ada 16 buah madrasah tingkat atas (aliyah) dengan murid sebanyak 1.881, sehingga secara
21
Asrohah Hanun, op.cit., hlm. 195. Ibid., hlm. 196. 23 Maksum, op.cit., hlm. 124. 22
21 keseluruhan jumlah madrasah tersebut ada 13.849 dengan total murid sebanyak 2.017.590 orang.24
G. Masa Pemerintahan Orde Baru sampai dengan 1989 Kebijakan orde baru yang menyangkut madrasah antara lain ditandai dengan melanjutkan penegerian madrasah-madrasah ibtidiyah. Kesempatan penegerian yang berdasarkan penetapan Menteri Agama Nomor 80 tahun 1967 dihentikan pada tahun 1970 berdasarkan keputusan Menteri Agama nomor 813/1970. Pada saat itu madrasah ibtidaiyah negeri sudah berjumlah 358 buah. Pada tahun 1967, pemerintah juga mulai mendirikan madrasah tsanawiyah negeri. Madrasah yang mempunyai nama resmi Madrasah Tsanawiyah Agama Islam Negeri, pada tahun 1970 jumlahnya sudah mencapai 182 buah tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Demikian juga untuk madrasah aliyah, pada tahun yang sama dilakukan penegerian terhadap sejumlah madrasah aliyah seperti Madrasah Aliyah Al Islam Surakarta, Madrasah Aliyah di Magetan Jawa Timur dan Madrasah Aliyah Palangkin Sumatera Barat. Proses Penegerian terus berlangsung hingga terbitnya keputusan Menteri Agama nomor 213 yang dikeluarkan pada tahun 1970 tentang penghentian penegerian madrasah.25 Lima tahun berikutnya, tepatnya tahun 1975 tercatat peristiwa penting dalam perjalanan sejarah madrasah. Surat Keputusan Bersama 3 Menteri dikeluarkan yang isinya antara lain: komposisi pelajaran madrasah terdiri 30% agama dan 70% umum, status madrasah diakui sama sederajat dengan sekolah umum setingkat, dan ijazah madrasah diakui sama dengan sekolah umum setingkat. SKB itu juga menyatakan bahwa lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah yang setingkat lebih atas dan murid madrasah boleh pindah ke sekolah yang setingkat.
24 25
Ibid., hlm. 126. Husni Rahim, op.cit., hlm. 55.
22 Konsekuensi diterbitkannya SKB itu, madrasah harus melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan sekolah umum dalam berbagai hal. Oleh karena itu Departemen Agama yang bertanggungjawab atas pembinaan dan pengembangan madrasah pada tahun 1976 menyusun kurikulum madrasah yang diberlakukan secara intensif pada tahun 1978. Pada tahun 1984 dilakukan lagi penyempurnaan kurikulum madrasah seiring dengan perubahan kurikulum sekolah di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.26 SKB 3 Menteri yang tidak lain adalah upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan madrasah dan salah satu langkah dalam rangka mengintegrasikan pendidikan madrasah dalam sistem pendidikan nasional mempunyai dampak positif, yaitu menjadikan gengsi madrasah naik dan perkembangan madrasah makin menggembirakan.27 Disamping dampak positif, keluarnya SKB itu menurut KH Sahal Mahfudh sebagaimana dikutip Fatah Syukur telah mempengaruhi wawasan madrasah. Nilai-nilai belajar li wajhillah lama-lama meredup digantikan oleh nilai lil ijazah.28 Kondisi demikian tentu sangat berlawanan dengan nilai-nilai belajar sebagian madrasah yang bersumber pada kitab Ta’lim al Muta’allim. Dalam kitab itu dinyatakan:
وﻳﻨﺒﻐﻰ ان ﻳﻨﻮي اﻟﻤﺘﻌﻠﻢ ﺑﻄﻠﺐ اﻟﻌﻠﻢ رﺿﺎ اﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ واﻟﺪاراﻻﺧﺮة وازاﻟﺔ اﻟﺠﻬﺎ ﻟﺔ ﻋﻦ ﻧﻔﺴﻪ وﻋﻦ ﺳﺎﺋﺮ اﻟﺠﻬﺎل واﺣﻴﺎءاﻟﺪﻳﻦ وﺑﻘﺎء 29 اﻻﺳﻼم ﻓﺎن ﺑﻘﺎء اﻻﺳﻼم ﺑﺎ ﻟﻌﻠﻢ “Selayaknya agar seorang pelajar berniat dalam mencari ilmu(untuk mendapatkan) keridoan Allah dan negeri akhirat, menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri dan orang-orang lain yang bodoh, menghidupkan agama dan melanggengkan Islam. Karena sesungguhnya kelanggengan Islam bergantung pada ilmu”.
26
Fatah Syukur, Dinamika Madrasah Dalam Masyarakat Industri, (Semarang : PKPI2 – PMDC, 2004), hlm. 41-45. 27 Ibid., hlm. 46. 28 Ibid 29 Azzarnuzi, Ta’limul Muta’allim, (Semarang : Pustaka Alawiyah, t.th), hlm. 13.
23
H. Madrasah Pada Era UU Nomor 2/1989 Catatan penting dalam sejarah pendidikan nasional Indonesia pada tahun 1989 adalah lahirnya undang-undang nomor 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang itu dalam pasal-pasal tertentu membicarakan madrasah sebagai bagian dari lembaga pendidikan yang hidup di negeri ini. Madrasah dalam undang-undang ini terdiri dari dua macam yaitu madrasah yang dikategorikan sebagai lembaga pendidikan formal dan madrasah yang digolongkan sebagai lembaga pendidikan luar sekolah. Termasuk jenis pertama adalah Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah sedangkan Madrasah Diniyah termasuk kategori kedua.30 Dalam konteks undang-undang ini MI, MTs dan MA diperlakukan sebagai sekolah umum yang berciri khas agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama dengan kewajiban memberikan kajian sekurangkurangnya sama dengan sekolah umum setingkat. Madrasah Ibtidaiyah (selanjutnya disingkat dengan MI) itu setingkat SD, Madrasah Tsanawiyah itu setingkat SLTP, Madrasah Aliyah setingkat SMU. Dengan kondisi demikian maka madrasah tidak terlalu jauh berbeda dengan sekolah umum dilihat dari segi muatan pelajaran (kurikulum)nya.31 Menghadapi kenyataan diatas, undang-undang tersebut juga memberi ruang bagi Departemen Agama maupun masyarakat luas untuk mendirikan lembaga pendidikan keagamaan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 29/1990 Pasal 3 (3) Pendidikan Keagamaan mengutamakan penyiapan siswa dalam pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan. Selanjutnya pasal 4 memberi kewenangan kepada Menteri Agama untuk memberi
nama
Sekolah
Menengah
Keagamaan
setelah
mendengar
pertimbangan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Maka dalam rangka menyikapi PP ini Departemen Agama mendirikan Madrasah Aliyah Program Khusus(MAPK) yang jam pelajarannya terdiri dari 65% bidang studi umum, 30
M. Chabib Toha dan Abdul Mu’ti, PBM PAI, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 18-19. 31 Ibid
24 sisanya 35% adalah bidang studi agama. Ditinjau dari penguasaan pelajaran agama ternyata memang lulusan MAPK lebih baik daripada MA biasa.32 Alasan lain didirikannya MAPK yang di kemudian hari berubah menjadi MAK(Madrasah Aliyah Keagamaan) adalah sebagai respon terhadap ketidakpuasan masyarakat kepada MA biasa yang tidak lagi mempunyai bobot pelajaran
agama
seperti
pada
masa-masa
sebelumnya.
Kenyataan
menunjukkan bahwa tamatan madrasah menjadi serba tanggung, tidak matang dalam bidang studi umum, masih mengambang dalam penguasaan bidang studi agama. MAK yang secara kurikuler pada hakekatnya dimaksudkan untuk program pembibitan ulama, pada masa Menteri Agama dijabat oleh Prof. Dr. Munawir Syadzali dilaksanakan sebagai program intensifikasi pendidikan melalui sistem asrama (program tutorial) dan pengembangan kemahiran berbahasa Arab dan Inggris. Komposisi kurikulumnya dari waktu ke waktu selalu memberikan porsi pelajaran agama yang lebih besar. Tabel di bawah ini menunjukkan kenyataan di atas. 33 Tabel 1 Komposisi kurikulum MAK Porsi mata pelajaran (%) Kurikulum
Agama
Umum
1968
80
20
1973
68
32
1975
68
32
MAPK
70
30
1994
70
30
Untuk pelajaran agama kurikulum 1994 mengalokasikan waktu untuk MI adalah 4 sampai dengan 7 jam, M Ts dan MA masing-masing 9 jam. 32 33
Ibid., hlm. 20. Abdurrahman Saleh, op.cit., hlm. 120.
25 Alokasi waktu sebanyak itu dirasakan kurang sehingga menimbulkan suara bahwa kurikulum 1994 dipandang mendangkalkan agama. Maka dilakukan berbagai upaya untuk mempertahankan citra madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang ciri khas Islamnya kuat. Upaya-upaya tersebut berupa program MAFIKIBB (matematika, fisika, kimia, biologi, bahasa Inggris) yang ‘bernuansa agama” dan “IPTEK”. Upaya lain adalah penciptaan suasana keagamaan di lingkungan madrasah baik yang meliputi fisik dan sarana maupun suasana pergaulan dan pakaian.34 I. Madrasah Pasca UU SISDIKNAS 2003 Pada tahun 2003 lahir undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional yang baru. Dalam undang-undang bernomor 20 itu, kedudukan madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam formal diakui sama dengan lembaga sekolah. Berikut ini dipetik beberapa pasal yang menyebut madrasah. Pasal 17(2) : Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar(SD) dan Madrasah Ibtidaiyah(MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah(M Ts) atau bentuk lain yang sederajat. Pasal 18(3) : Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas(SMA), Madrasah Aliyah(MA), Sekolah Menengah Kejuruan(SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan(MAK) atau bentuk lain yang sederajat.
Dari kutipan pasal tersebut, tampak jelas bahwa kedudukan madrasah sama dengan sekolah. Oleh karena itu pasal-pasal tersebut dipandang sebagai jaminan kelangsungan keberadaan madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Pengakuan akan eksistensi madrasah
makin kukuh
secara legal formal. Dengan jaminan undang-undang itu, seharusnya seluruh pihak yang terkait dengan kehadiran madrasah terus berupaya melakukan pembenahan terhadap madrasah sehingga dari waktu ke waktu madrasah dapat terus tumbuh dan berkembang baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Apalagi, di era reformasi ini telah dianjurkan menerapkan konsep Manajemen Berbasis Sekolah/Madrasah yang memberikan kelonggaran bagi pengelola lembaga
34
Husni Rahim, op.cit., hlm. 96.
26 pendidikan formal untuk berimprovisasi secara manajerial tanpa terlalu terkungkung dengan regulasi birokrasi pemerintah. Secara kuantitatif pertumbuhan madrasah memang selalu meningkat. Hasil pendataan tahun pelajaran 2004/2005 menunjukkan bahwa jumlah Mts secara nasional mencapai 12.054 yang terdiri dari 1.260 M Ts negeri dan 10.794 swasta. Untuk tingkat madrasah aliyah tercatat seluruhnya ada 4.687 MA, negeri sebanyak 634 dan swasta sebanyak 4.033. J. Peran dan Pembinaan Madrasah Secara historis dapat ditarik kesimpulan bahwa madrasah bersama lembaga pendidikan Islam yang lain telah memainkan peranan penting sebagai benteng untuk mempertahankan pendidikan Islam dari segi-segi negatif pendidikan sekuler yang diselenggarakan oleh penjajah Belanda. Dengan demikian madrasah telah ikut berjasa dalam melestarikan ajaran-ajaran Islam di bumi Indonesia. Pada masa yang sama, bahkan sesudah Indonesia merdeka madrasah juga telah secara aktif turut serta dalam upaya pemerataan memperoleh kesempatan belajar bagi banyak lapisan masyarakat atau rakyat Indonesia. Sesudah kemerdekaan Indonesia madrasah tetap diberi ruang untuk tetap eksis dan berpartisipasi aktif untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Di awal masa kemerdekaan madrasah mengambil bagian dalam pelaksanaan wajib belajar, demikian pula ketika di atas tahun 1960-an dicanangkan wajib belajar 9 tahun madrasah tidak ketinggalan untuk ikut mensukseskannya. Adapun peran madrasah sebagai lembaga yang berfungsi tafaqquh fiddin sampai saat ini masih tetap dijalankan. Dilihat dari bobot kajian teoritiknya peran ini banyak atau secara intensif dimainkan oleh Madrasah Aliyah Keagamaan dan Diniyyah. Sedangkan MA Umum telah diarahkan untuk mendalami bidang-bidang studi yang selama ini dikenal sebagai mata pelajaran umum. Dengan kata lain lebih ditujukan ke arah ilmu pengetahuan dan teknologi dengan sedapat-dapatnya tetap diwarnai oleh nilai-nilai agama Islam.
27 Dapat dikatakan bahwa berdasarkan peran-peran di atas, madrasah mengemban tugas yang sangat mulia dalam rangka membentuk peserta didik menjadi manusia seutuhnya, manusia yang sejahtera lahir batin. Manusia yang demikian itu tentu manusia yang bercitra Islami sebagaimana digambarkan oleh Sayyid Quthub:
ﺑﺨﻼﻓﺘﻪ,ﻓﺎﻻﻧﺴﺎن – ﻓﻰ اﻟﺘﺼﻮراﻻﺳﻼﻣﻰ – هﻮ ﺳﻴﺪ هﺬﻩ اﻻرض وﻗﺪ أو ﺗﻰ, ﺑﻘﺪرة اﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ, وآﻞ ﻣﺎ ﻓﻴﻬﺎ ﻣﺴﺨﺮ ﻟﻪ,ﻓﻴﻬﺎ ﻋﻦ اﷲ واﻻﺳﺘﻤﺘﺎع ﺑﻄﻴﺒﺘﻬﺎ,اﻣﻜﺎن اﻟﻌﻠﻢ ﺑﺸﺆوﻧﻬﺎ هﺒﺔ ﻣﻦ اﷲ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ وﻟﻴﺴﺖ اﻻرض وﺣﺪهﺎ وآﻞ ﻣﺎﻓﻴﻬﺎ, وﺟﻤﺎﻟﻬﺎ ﻧﻌﻤﺔ ﻣﻦ اﷲ ﺧﺎﻟﺼﺔ وﻟﻜﻦ آﺬاﻟﻚ اﻟﺴﻤﻮات ﻣﻬﻴﺎﺋﺔ ﻟﻤﺴﺎﻋﺪة اﻻﻧﺴﺎن... ﻣﻦ اﺣﻴﺎء واﺷﻴﺎء ﻓﻰ ﺧﻼﻓﺘﻪ ﻓﻰ اﻻرض وﻣﺮاﻋﻰ ﻓﻰ ﺑﻨﺎﺋﻬﺎ دوراﻻﻧﺴﺎن ﻓﻰ هﺬﻩ 35 وﻟﻜﻨﻪ آﺬاﻟﻚ... اﻟﺨﻼﻓﺔ اﻧﻪ اﻣﺮ ﻋﻈﻴﻢ هﺎﺋﻞ “Maka manusia – dalam gambaran yang Islami adalah tuan bagi bumi sebab kekhilafahannya di bumi dari Allah, dan segala apa yang ada di bumi tunduk kepada manusia dengan kekuasaanNya, dan manusia telah sungguh-sungguh diberi kemungkinan ilmu mengenai urusan bumi sebagai pemberian Allah SWT, dan bersenang-senang dengan hal-hal yang baik dan indah di bumi, sebagai kenikmatan yang murni dariNya. Tidak hanya bumi dan segala apa yang terdapat di dalamnya baik berupa benda hidup atau apapun. Tetapi begitu juga langit disediakan bagi manusia untuk membantu kekhilafahannya di bumi. Dalam “pembinaan langit” tetap dipelihara peranan manusia dalam kekhilafahannya. Sesungguhnya ini adalah perkara besar yang menakutkan … tetapi memang demikianlah”. Peran lain madrasah yang tidak dapat dianggap remeh adalah sebagai pemompa dan pengobar semangat generasi muda dalam menjalani kehidupan. Salah satu indikatornya adalah dijadikannya kitab Idhatun Nasyiin sebagai buku pelajaran untuk mata pelajaran akhlaq di Madrasah Aliyah Tambakberas Jombang Jawa Timur dan madrasah-madrasah yang didirikan para alumninya. Kitab yang terdiri dari 46 bab termasuk pendahuluan dan penutupnya, memang sangat provokatif dan mempunyai daya sentuh yang mampu 35
hlm. 24.
Sayid Quthub, Al Islam wa al Musykilaat Alhadloroh, (Cairo : Dar al Syuruq, 1992),
28 membangkitkan gairah generasi muda untuk menapaki kehidupan berdasarkan keluhuran budi pekerti dan kecerdasan berpikir. Alinea pertama bab Tarbiyah pada kitab itu berbunyi:
ان هﺆﻻء اﻷ ﻃﻔﺎل ﺳﻴﻜﻮن ﻓﻰ اﻟﻤﺴﺘﻘﺒﻞ رﺟﺎﻻ ﻓﺎذا ﺗﻌﻮدوا اﻻ وﺣﺼﻠﻮا ﻓﻰ اﻟﻌﻠﻮم ﻣﺎ ﻳﻨﻔﻌﻮن,ﺧﻼق اﻟﺼﺎﻟﺤﺔ اﻟﺘﻰ ﺗﻌﻠﻰ ﺷﺄﻧﻬﻢ آﺎﻧﻮا اﺳﺎﺳﺎ ﻣﻜﻴﻨﺎ ﻟﻨﻬﻀﺔ اﻻﻣﺔ وهﺬا اﻣﺮ ﻻ ﻳﺨﺘﻠﻒ ﻓﻴﻪ,ﺑﻪ وﻃﻨﻬﻢ اﺛﻨﺎن وان ﺳﺘﻌﺎدوا ﺳﺎﻓﻞ اﻻﺧﻼق وهﺠﺮوا اﻟﻌﻠﻢ اﻟﺬى هﻮ ﺳﺒﺐ وﺷﺮا ﻋﻠﻰ اﻟﺒﻼ د اﻟﺘﻰ ﻳﻘﻄﻨﻮ,ﻟﺤﻴﺎ ة اﻷﻣﻢ آﺎﻧﻮا وﻳﻼ ﻋﻠﻰ اﻻﻣﺔ 36 ﻧﻬﺎ “Sesungguhnya anak–anak itu akan menjadi tokoh di masa mendatang. Apabila mereka dibiasakan dengan akhlak yang baik yang akan mempertinggi derajat mereka, dan menghasilkan ilmu yang bermanfaat bagi tanah air mereka. Mereka adalah modal yang kuat bagi kebangkitan bangsa. Dan ini bukan perkara yang diperselisihkan. Dan apabila mereka dibiasakan dengan akhlak yang rendah dan menjauh dari ilmu – yang menjadi sebab kebangkitan bangsa – maka mereka akan menjadi bencana bagi bangsa, dan keburukan bagi negara yang ditinggali” Dengan memperhatikan peran historis dan ideal di atas maka selayaknya perlu terus dilakukan pembinaan terhadap madrasah yang mengacu ke beberapa hal yang menjadi dasar strategi pengembangan madrasah, yaitu :37 Pertama, menjadikan ajaran agama Islam sebagai basic reference seluruh kegiatan pengembangan pendidikan di madrasah. Kedua, madrasah sebagai lembaga pendidikan umum yang berciri khas agama Islam, berfungsi sebagai pengembang dasar-dasar ketrampilan multi dimensi. Ketiga, pengembangan secara bertahap. Keempat, tahapan-tahapan pengembangan madrasah.
36
Mushthafa al Ghalayaini, Idhatun Nasyiin, (Berrut : Maktabah Al Ahliah,m 1953),
hlm. 186.
37
Husni Rahim, op.cit., hlm. 128-131.
29 K. Pandangan Masyarakat Tentang Madrasah Berbagai pandangan tentang madrasah dapat dipaparkan alam uraian di bawah ini. Madrasah dipandang sebagai lembaga pendidikan yang peserta didik atau lulusannya berkualitas rendah. Hal ini terjadi akibat kualitas gurunya yang rendah pula. Tercatat 60 % guru madrasah tergolong pada kriteria tidak layak. Selain itu, minat murid madrasah terhadap bidang studi umum, khususnya matematika, fisika, kimia, biologi dan bahasa inggris, kecil sekali. Kelima bidang studi ini “belum menarik” perhatian serta dianggap “berat” oleh para siswa.38 Anggapan lain mengenai madrasah adalah tekanan atau titik beratnya pada soal kepribadian. Ini berarti bahwa madrasah lebih memfokuskan diri pada pendidikan yang diarahkan untuk membentuk kepribadian siswa sehingga siswa memiliki religiositas dan moral (akhlaq) yang baik. Madrasah adalah lembaga yang berfungsi sebagai “benteng moral”, namun kurang berhasil dalam meningkatkan kecerdasan, ketrampilan dan profesionalisme.39 Akibat selanjutnya dari anggapan di atas, madrasah dipandang tidak menjanjikan. Artinya madrasah tidak dapat menjadikan andalan bagi lulusannya untuk dapat bersaing memperoleh pekerjaan. Dengan kata lain lulusan madrasah tidak memiliki masa depan yang jelas karena kurangnya bekal ilmu pengetahuan, ketrampilan dan penggunaan terhadap teknologi. Kepedulian madrasah terhadap lingkungan fisik juga dipandang rendah. Misalnya soal kebersihan hanya berhenti pada sekedar slogan yang terpampang dengan tulisan kaligrafi indah pada dinding-dinding kelas. Slogan kebersihan adalah setengah dari iman bertolak dengan kenyataan lingkungan madrasah yang “yang terkesan kumuh, jorok, bangku tidak terawat, banyak peralatan sekolah yang rusak dan sebagainya”. 40
38
Ibid., hlm. 129-135. Ibid., 40 Departemen Agama RI, Profil Madrasah Tsanawiyah, (Jakarta : Depag RI, 2005), 39
hlm. 24.
30 Madrasah dalam pandangan sementara mempunyai
“kebiasaan-
kebiasaan kurang baik yang memprihatinkan seperti kurang disiplin, etos kerja (belajar) agak lemah, persaingan tidak tumbuh secara baik, budaya patriarki seperti di pesantren masih terlihat dan lain sebagainya”.41 Madrasah dipandang pula sebagai sekolah kelas dua atau bahkan sekolah buangan yang dipilih oleh masyarakat setelah tidak dapat diterima di sekolah-sekolah umum. Dengan demikian dapat dimaklumi kalau kualitas masukan murid madrasah dari segi inteligensi itu rendah.42 Demikian beberapa pandangan masyarakat terhadap madrasah. Jika diragukan pandangan-pandangan itu terkait dengan kualitas, orientasi lebih berat ke bidang pembinaan moral religius, tidak menjamin masa depan duniawi, rendah kepeduliannya terhadap lingkungan fisik, kinerja yang rendah dan derajatnya dibawah sekolah umum. L. Perkembangan dan Pertumbuhan Madrasah Diniyah di Indonesia Dalam UU Sisdiknas yang terbaru, keberadaan madrasah diniyah bersama-sama dengan pesantren tetap diakui sebagai salah satu jalur pendidikan di Indonesia. Madrasah diniyah termasuk dalam jalur pendidikan luar sekolah atau non formal. Sampai dengan tahun 2003 di Indonesia sudah terdapat madrasah diniyah sebanyak 1.9014 yang tersebar di 30 propinsi mulai dari Nangroe Aceh Darussalam sampai Papua. Guru yang terlibat sebanyak 71714 orang sedangkan murid yang diserap sebanyak 2.376.910, terdiri dari 1.183.952 siswa laki-lai dan 1.102.230 siswa perempuan. Data di atas menunjukkan bahwa madrasah diniyah tetap tumbuh berkembang di bumi Indonesia sejak awal sejarahnya hingga sekarang ini.43
41
Ibid, hlm. 125. Mulyasa dkk, Manajemen Berbasis Madrasah, (Jakarta : Depag Ri, 2001), hlm. 91. 43 Depag RI, Pedoman Administrasi Madrasah Diniyah, (Jakarta : Depag Ri, 2003), hlm. 42
50.