SEJARAH PERKEMBANGAN IPS DI INDONESIA Muhammad Iqbal Birsyada
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejarah perkembangan IPS di Indonesia. Metode penelitian yang dipakai adalah dengan metode sejarah. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa secara historis, perkembangan IPS di Indonesia belum menunjukkan kemajuan secara signifikan. IPS yang dikembangkan di Indonesia banyak yang melenceng dari konsepsi teoretis seperti yang telah dikembangkan di Amerika Serikat. IPS di Indonesia secara empirik belum mampu memecahkan masalah sosial dalam masyarakat. Hal tersebut karena kerangka kerja IPS di sekolah dan perguruan tinggi masih bersifat teoretis. Pemahaman IPS di masa mendatang harus dimaknai sebagai studi yang bertujuan membina peserta didik agar mampu bearadaptasi dengan lingkunganya berdasarkan potensi potensi fisik maupun sosial untuk memecahkan masalah sosial (intellegence social actor). Jadi, materi IPS yang diajarkan dari tingkat dasar hingga Perguruan Tinggi seharusnya diarahkan untuk dapat menganalisis dan memecahkan persoalan sosial masyarakat sesuai dengan misi yang diembannya. Kata Kunci: sejarah, perkembangan IPS, Indonesia.
The purpose of this study is to determine the history of the development of IPS in Indonesia. The research method using historical method. The conclusion of this study is that historically, the development of IPS in Indonesia has not shown significant progress. The development of IPS in Indonesia has deviated theoretically from the early concepts from the United States. Empirically, IPS in Indonesia cannot be able to solve social problems in society. That is because the framework of the IPS in schools and colleges is still theoretical. In the future, IPS should be interpreted as a study that aims to foster students are able adapted with their environment based on the physical and social potential in the context of solving social problems (Intellegence social actor). So, IPS should be taught from elementary to university level for analyzing and solving social problems of society in accordance with his mission. Keywords: history, social development, Indonesia.
PENDAHULUAN Secara historis, bidang studi IPS berasal dari Amerika Serikat yang di negara asalnya disebut social studies. Bidang studi social studies pertama kali
Muhammad Iqbal Birsyada adalah adalah mahasiswa Program Doktor di Pascasarjana Universitas Negeri Semarang dan pengajar Program Pascasarjana Universitas PGRI Yogyakarta.
232
Jurnal Sosialita, Vol. 1, No. 2, November 2014
Birsyada, Sejarah Perkembangan IPS
masuk dalam kurikulum sekolah di Rugby (Inggris) pada tahun 1827, sekitar setengah abad setelah Revolusi Industri (abad ke-18), yang ditandai dengan perubahan penggunaan tenaga manusia menjadi tenaga mesin. Revolusi Industri membawa perubahan yang mendatangkan kemakmuran bagi sebagian masyarakat Inggris. Pada tahun-tahun tersebut juga tumbuh subur aliran paradigma pemikiran filsafat rasionalisme yang merupakan perubahan cara berpikir masyarakat Eropa dari teologi menjadi rasional yang memosisikan gagasan atau ide manjadi suatu hal yang utama untuk mengembangakan ilmu pengetahuan (Birsyada, 2014). Sejarah revolusi industri secara positif sangat berpengaruh pada kemajuan dan perkembangan IPTEK di negara-negara Eropa khususnya. Penemuanpenemuan baru atas mesin produksi massal secara singkat berdampak signifikan terhadap para buruh yang tentunya tidak memiliki modal. Seiring perjalanan waktu, Revolusi Industri ternyata lebih banyak mudhorot atau negatif daripada khoirotnya atau kemanfaatanya. Kemudian, Revolusi Industri justru memunculkan paham kapitalis, kolonialis, dan dehumanis yang memosisikan manusia tidak lagi dihargai sebagai manusia atau tidak memanusiakan manusia. Hal ini terjadi karena para industrialis lebih menghargai faktor produksi, modal, dan uang daripada tenaga manusia (Marx and Engels, 1989; Sayers, 2003; Creaven, 2001; Weber, 1978; dan Weber, 2005). Para buruh terpaksa mengalah dengan kekuatan hegemoni para pemilik modal (capitalist). Berdasarkan situasi tersebut, Thomas Arnold bermaksud menanggulangi proses dehumanisasi dengan cara memasukkan social studies ke dalam kurikulum di sekolahnya. Ini dimaksudkan agar siswa mempelajari masalah interaksi manusia serta ikut berperan aktif dalam kehidupan masyarakat, (Poerwito, 1992: 7). Secara historis, gagasan dari Thomas Arnold tersebut merupakan sintesa pemikiranya setelah melihat dampak revolusi industri secara besar-besaran di Inggris yang justru menyebabkan masyarakat semakin tertindas dan miskin. Kurikulum social studies di Inggris lahir karena desakan dari kelemahan sosial akibat Revolusi industri, sementara di Amerika Serikat perosalan-persoalan sosialnya lebih cenderung pada permasalahan ras antara kulit hitam dan kulit putih. Ras asli Amerika, Negro yang berkulit hitam merasa dalam posisi termarginalkan dengan kedatangan orang kulit putih dari Eropa. Mereka hanya menjadi pekerja kasar sehingga terjadi perbudakan oleh para pendatang kulit putih. Bangsa asli Amerika rupanya telah tersubordinasisasikan oleh hegemoni orang kulit putih. Dalam kondisi awal penduduk Amerika Serikat yang multiras itu tidak menimbulkan masalah. Akan tetapi, setelah perang saudara antara wilayah Utara dan Selatan atau yang dikenal dengan Perang Budak yang berlangsung tahun l861-1865. Saat itu, Amerika Serikat yang siap menjadi kekuatan dunia, mulai merasa kesulitan untuk menjadi satu bangsa karena penduduk yang multiras. Kesulitan-kesulitan di atas, rupanya juga dijumpai oleh Winerburg sebagai ahli pendidikan sejarah di Amerika. Dalam hasil penelitianya, Wineburg menemukan persoalan yang paling mendasar pada anak-anak usia sekolah di Amerika Serikat. Persoalan tersebut adalah mengenai pola berpikir peserta didik yang masih parsial yang cenderung tidak terpadu dalam memahami teks-teks
233
Jurnal Sosialita, Vol. 1, No. 2, November 2014
Birsyada, Sejarah Perkembangan IPS
sejarah perkembangan Amerika Serikat. Winerburg (2006) mencontohkan penelitianya perihal bagaimana mengajarkan sejarah sosial Amerika Serikat secara mendalam dan kritis. Wineburg menyodorkan dokumen sejarah primer tentang pidato Lincoln dan Douglas secara menyeluruh. Siswa kemudian diarahkan untuk menganalisis isi pidato dari dua calon Senat tersebut. Simpulan dari pembelajaran tersebut adalah jawaban anak-anak yang diteliti Wineburg sangat berbeda antara satu dan yang lain. Persoalan masalah sosial di Amerika juga menjadi perhatian Wineburg untuk melihat sejauh mana dampaknya bagi peserta didik di sekolah. Wineburg (2006) melaporkan bahwa di sekolah dasar Amerika masih banyak terjadi perbedaan atau bias jender saat pembelajaran Studi Sosial. Siswa SD diarahkan untuk menggambar warga Amerika pada masa kolonial, mereka siswa putri cenderung menggambar perempuan dengan pakaian yang mereka lihat selama ini. Sementara itu, siswa putra cenderung menggambar laki-laki dengan imajinasi pikiran mereka. Ini membuktikan bahwa dalam pembelajaran social study, khususnya sejarah selama ini masih bias gender. Posisi perempuan masih kurang dianggap sebagai aktor atau pelaku sejarah dan laki-laki sering mendominasi setiap cerita sejarah. Persoalan sosial yang sering menimpa perempuan ini merupakan bukti diskriminasi sosial masih sering nampak di permukaan kehidupan masyarakat. Perempuan dianggap lemah secara fisik dan pikir sehingga tidak layak menjadi seorang pimpinan di posisi apapun, apalagi pejabat tinggi Negara. Wineburg menyatakan bahwa peserta didik yang larut dalam bias gender disebabkan karena budaya dan kebiasaan yang mereka lihat dan alami di lingkungan sosial mereka sehari-hari. Dengan demikian, siswa perempuan banyak mereka yang menggambar perempuan sedang memasak, pergi ke pasar, mencuci, dan lain-lain. Siswa laki-laki menggambar laki-laki dengan gambar pak Tani yang sedang mencangkul, pergi ke kantor, berpidato, dan lain-lain. Temuan-temuan dari Wineburg ini menjadi bahan kajian bersama bagi pengembangan IPS di Indonesia untuk mengatasi persoalan diskriminasi sosial terhadap wanita maupun kelas sosial bawah yang termarginalkan akibat desakan ekonomi yang menghimpit mereka. Kesenjangan sosial yang begitu tajam dan multietnik melahirkan persoalan yang kompleks sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian sebelumnya menjadikan para pakar ilmu sosial di Amerika berusaha keras untuk mempersatukan masyakarat Amerika. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan memasukkan social studies ke dalam kurikulum sekolah di negara bagian Wisconsin pada tahun 1892. Setelah dilakukan penelitian, maka pada awal abad 20, sebuah Komisi Nasional dari TheNational Education Association memberikan rekomendasi tentang perlunya social studies dimasukkan ke dalam kurikulum semua sekolah dasar hingga sekolah menengah Amerika Serikat. Adapun wujud social studies ketika lahir merupakan semacam ramuan dari mata pelajaran sejarah, geografi dan civics. Di samping sebagai reaksi para pakar Ilmu Sosial terhadap situasi sosial di Inggris dan Amerika Serikat, pemasukan Social Studies ke dalam kurikulum sekolah juga dilatarbelakangi oleh keinginan para pakar pendidikan. Hal ini
234
Jurnal Sosialita, Vol. 1, No. 2, November 2014
Birsyada, Sejarah Perkembangan IPS
disebabkan mereka ingin agar setelah meninggalkan sekolah dasar dan menengah, para siswa: (1) menjadi warga negara yang baik, dalam artimengetahui dan menjalankan hak-hak dan kewajibannya; (2) dapat hidup bermasyarakat secara seimbang, dalam arti memperhatikan kepentingan pribadi dan masyarakat. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, peserta didik tidak harus menunggu belajar Ilmu-ilmu Sosial di perguruan tinggi, tetapi sebenarnya mereka sudah mendapat bekal pelajaran IPS di sekolah dasar dan menengah. Dalam perkembangan IPS di Indonesia, latar belakang dimasukkannya bidang studi IPS ke dalam kurikulum sekolah sangat berbeda dengan di Inggris dan Amerika Serikat (Somantri, 2001; Suud, 2008; Pramono, 2013). Oleh karena itu, studi ini dilakukan untuk melacak sejarah perkembangan IPS di Indonesia.
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang dipergunakan dalam studi ini menggunakan metode sejarah. Prosedur penelitian dalam metode sejarah dilakukan melalui tahapan. Tahap awal adalah pengumpulan sumber yang sesuai dengan permasalahan penelitian baik itu sumber primer maupun sekunder hal itu yang kemudian dinamakan heuristik. Pada tahap ini kegiatan mencari serta menghimpun data dan sumber-sumber sejarah atau bahan untuk bukti sejarah seperti buku referensi lain yang mempunyai keterkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Pada tahap ini peneliti mencari literatur kepustakaan, yaitu buku yang berhubungan dengan masalah yang menjadi bahan penelitian. Sumber yang digunakan dalam riset kepustakaan berguna sebagai bahan pembanding, pelengkap, dan penganalisa untuk memperdalam permasalahan yang dibahas. Tahap berikutnya adalah kritik sumber, yaitu menilai keadaan dan keautentikan sumber yang ditemukan baik secara eksternal maupun internal. Kritik sumber dapat dijadikan pembuktian jika sumber tersebut benar merupakan fakta historis. Kritik ekstern digunakan untuk menentukan keaslian dan keautentikan sumber sejarah. Hal itu untuk menentukan apakah sumber itu merupakan sumber sejati yang dibutuhkan atau tidak. Kritik ekstern digunakan untuk menjawab tiga hal pokok: (a) keaslian sumber yang kita kehendaki; (b) apakah sumber itu sesuai dengan aslinya atau tiruan; dan (c) apakah sumber itu utuh atau telah di ubah-ubah (Wasino, 2007; Garaghan, S.J., Gilbert J.A, 1957; Gottsschalk, 1986). Sementara itu, kritik intern dilakukan setelah penulis selesai membuat kritik ekstern, setelah diketahui otentitas sumber, maka dilakukan kritik intern. Kritik intern digunakan untuk melakukan pembuktian apakah sumber tersebut benar merupakan fakta historis. Kemudian, melakukan kritik intern dangan membandingkan antara data yang satu dan data yang lain melalui studi kepustakan. Langkah ketiga adalah tahap interpretasi atau penafsiran sejarah yang sudah diseleksi sebelumnya. Interprestasi merupakan cara untuk menentukan maksud saling berhubungan antara fakta yang diperoleh setelah terkumpul sejumlah informasi mengenai peristiwa sejarah yang sedang diteliti. Suatu
235
Jurnal Sosialita, Vol. 1, No. 2, November 2014
Birsyada, Sejarah Perkembangan IPS
peristiwa agar menjadi cerita sejarah yang baik maka perlu diinterpretasikan berbagai fakta yang lepas satu dengan lainya harus dirangkaikan serta dihubungkan sehingga membentuk kesatuan yang bermakna. Dalam proses interprestasi tidak semua fakta dapat dimasukkan tetapi harus dipilih mana yang relevan dengan gambaran cerita yang akan disusun. Tahap terakhir adalah penyusunan atau penulisan sejarah yaitu penyusunan fakta-fakta dalam suatu sintesis yang utuh sebagai suatu kesatuan dalam bentuk historiografi. Historiografi adalah sebuah cerita sejarah dari fakta-fakta hasil interprestasi diatas.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Perkembangan IPS di Indonesia sampai tahun 1950-an nyaris tidak pernah terdengar keluh kesah dari kalangan guru IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) maupun para siswa jurusan IPS di SMA (Sekolah Menengah Atas) mengenai betapa tersudutnya posisi mereka dalam dunia pengajaran. Sebaliknya para guru IPS cukup leluasa melakukan pengajaran IPS di sekolah dasar dalam kedudukan sebagai guru kelas. Pada waktu itu benar IPS diajarkan di SR (Sekolah Rakyat) atau SD (Sekolah Dasar) secara integratif. Guru kelas memperkenalkan pengetahuan sejarah, ilmu bumi maupun etnologi dalam rangkaian pelajaran yang disebut Pengetahuan Umum. Hebatnya guru yang sama juga mengajar kami mata pelajaran Berhitung, Bahasa maupun Budi Pekerti (Abu Su’ud, 2008). Selanjutnya di SMP (Sekolah Menengah Pertama) ilmu bidang studi Sejarah, Ilmu Bumi maupun Ekonomi dibberikan kepada semua siswa SMP sampai dengan kelas II, seimbang dengan bidang studi Ilmu Hayat, Ilmu Alam, Ilmu Ukur, Aljabar, maupun Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Masingmasing diampu oleh guru bidang studi. Dan para siswa kelas III SMP sudah merasa mantap memilih bagian A kalau menyenangi pelajaran ilmu-ilmu sosial dan budaya. Demikian juga yang menyenangi ilmu-ilmu pasti telah memilih jurusan ilmu pasti alam. Selanjutnya pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) tersedia SMA bagian A bagi mereka yang ingin mendalami ilmu-ilmu sosial dan budaya yang telah dipilih sejak dari SMP. Sementara itu tersedia pula SMA bagian B bagi mereka yang menyenangi ilmu-ilmu pasti alam. Tersedia pula SMA bagian C bagi mereka yang menyenangi ilmu-ilmu hukum. Tidak ada perasaan rendah diri kalau menjadi siswa bagian A maupun C. Dan perasaan tinggi hati menjadi siswa bagian B. Masing-masing merasa bangga telah memilih jurusan yang terbaik bagi masing-masing. Masing-masing sekolah dengan jurusan yang khas itu menempati sekolah yang terpisah (Suud, 2008). Sejak tahun 1970 an ketika setiap SMA atau SMU (Sekolah Menengah Umum) harus memiliki semua jurusan yang ada, yaitu Bahasa, IPS, Biologi dan IPA, muncul perasaan rendah diri, pada mereka yang “terpaksa” menjadi siswa jurusan Bahasa maupun IPS. Hampir-hampir tidak ada perasaan bangga menjadi siswa jurusan Bahasa maupun IPS, kalau melihat kenyataan bahwa siswa dari jurusan Biologi maupun IPA bisa meneruskan belajar di perguruan tinggi pada fakultas manapun, sementara siswa Bahasa maupun IPS tidak bisa meneruskan
236
Jurnal Sosialita, Vol. 1, No. 2, November 2014
Birsyada, Sejarah Perkembangan IPS
belajar pada fakultas-fakultas teknik maupun kedokteran yang berbasis ilmu-ilmu pasti alam. Perasaan rendah diri maupun frustrasi nampaknya menghinggapi pula para guru IPS. Mereka merasakan betapa rendahnya minat siswa untuk belajar IPS. Kebanyakan para siswa beranggapan belajar IPS hanya penuh dengan hapalan, dan nyaris tidak ada daya pikat untuk belajar. Belum lagi kalau dilihat bidang studi IPS terdiri dari banyak komponen, yang meliputi sejarah, geografi, dan ekonomi. Para guru IPS juga mengeluh karena tidak mungkin ada siswa yang berhasrat untuk mengikuti belajar tambahan berupa les IPS. Ini berarrti tertutup kemungkinan guru IPS untuk mendapatkan tambahan penghasilan, meskipun pada saat-saat menghadapi masa ujian akhir, lebih-lebih ketika menghadapi masa ujian masuk Perguruan Tinggi. Pertumbuhan IPS di Indonesia selanjutnya tidak terlepas dari situasi kacau, termasuk dalam bidang pendidikan, sebagai akibat peristiwa G30S/PKI, yang akhirnya dapat di atasi dan kemudian lahirlah sebuah rezim dari Orde Lama yang sebelumnya di perintah Presiden Soekarno beralih kepada Presiden Soeharto yang pada awalnya atas mandat Surat Perintah 1 Maret (Supersemar). Sampai sekarang surat Supersemar tersebut masih menjadi polemik dan perdebatan dalam kajian para sejarawan Indonesia. Setelah keadaan tenang pemerintah Orde Baru mulai merencanakan Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pada masa Repelita I (1969-1974) Tim Peneliti Nasional di bidang pendidikan menemukan lima masalah nasional dalam bidang pendidikan. Kelima masalah tersebut antaralain: 1. Kuantitas, berkenaan dengan perluasan dan pemerataan kesempatan belajar. 2. Kualitas, menyangkut peningkatan mutu lulusan 3. Relevansi, berkaitan dengan kesesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan pembangunan. 4. Efektifitas sistem pendidikan dan efisiensi penggunaan sumber daya dan dana. 5. Pembinaan generasi muda dalam rangka menyiapkan tenaga produktif bagi kepentingan pembangunan nasional. Setelah mengalami rancangan pembaharuan pembangungan dibidang pemerataan pendidikan juga pengembangan kurikulum di sekolah. Dalam lingkup yang lebih luas, kemudian pemerintah Orde Baru memberlakukan kurikulum 1975 bagi semua sekolah dasar dan sekolah menengah. Dalam kurikulum ini tercantum bidang studi IPS, mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA). Secara singkat IPS diartikan sebagai bidang studi kemasyarakatan secara terpadu (integrasi). Untuk SD, IPS merupakan perpaduan mata pelajaran sejarah, geografi dan ekonomi, untuk Sekolah Menengah Pertama sejarah, ekonomi, geografi ditambah kependudukan dan koperasi, sedangkan untuk SMA sejarah, geografi dan ekonomi, kependudukan, koperasi ditambah tata buku dan hitung dagang. Setelah kurikulum 1975 dilaksanakan selama hampir sepuluh tahun, pemerintah memberlakukan kurikulum baru yaitu kurikulum l984 (Somantri, 2001; Suud, 2008, Pramono, 2013). Belajar dari pengalaman implementasi kurikulum 1975 yang tidak memungkinkan penggunaan IPS terpadu untuk semua jenjang sekolah, maka
237
Jurnal Sosialita, Vol. 1, No. 2, November 2014
Birsyada, Sejarah Perkembangan IPS
dilakukan modifikasi kurikulum. Pada kurikulum 1984, pengajaran IPS terpadu hanya dilaksanakan di SD, sedangkan di Sekolan Menengah Pertama (SMP) digunakan pendekatan IPS Terkait (korelasi), dan untuk SMA Atas tidak lagi dikenal IPS terpadu,melainkan diajarkan secara terpisah. Maka muncullah mata pelajaran sejarah, geografi, ekonomi, antropologi-sosiologi, dan tata negara yang berdiri sendiri. Merasa perlu pengembangan kurikulum yang lebih baik dari sebelumnya maka pada periode berikutnya, pemerintah memberlakukan kurikulum baru lagi yaitu kurikulum l994. Dalam kurikulum 1994, program pengajaran IPS di sekolah dasar terdiri dari IPS terpadu dan sejarah nasional. Pengembanga kurikulum IPS terpadu adalah pengetahuan yang bersumber dari geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, dan ilmu politik yang mengupas tentang berbagai kenyataan dan gejala dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan sejarah nasional adalah pengetahuan mengenai proses perkembangan masyarakat Indonesia dari masa lampau sampai dengan masa kini. Untuk tingkat SMP, IPS hanya mencakup bahan kajian geografi, ekonomi, dan sejarah. Khusus mata pelajaran sejarah mencakup materi yang lebih luas yaitu mengenai proses perkembangan masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia sejak masa lampau hingga sekarang. Sedangkan untuk SMA, IPS tetap diajarkan secara terpisah atau berdiri sendiri. Somantri (2001) melaporkan hasil konvensi NCSS beserta para inovator di Amerika Serikat mencoba melakukan pembaharuan IPS yang puncaknya pada pertemuan tahunan NCSS ke-72 di Detroit, Michigan, pada tanggal 18-24 Nopember 1992 yang disimpulkan sebagai berikut. 1. Baik pendidikan IPS (Social Science Education) maupun Studi Sosial (Social Studies) tetap hendaknya diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan. Faculty culture ini hendaknya menjadi landasan setiap lembaga pendidikan guru dalam mengembangkan kurikulum, sistem penyampaian dan evaluasinya. 2. Pengorganisasian bahan pendidikan IPS jangan terlalu mempertentangkan mono dengan cross serta trans-disipliner, melainkan bisa digunakan secara bergantian menurut pertimbangan ilmiah dan psikologis. Syaratnya adalah semua masuk dalam arus integrative thinking yang terfokus pada pengembangan ketrampilan warga negara dalam kegiatan dasar manusia pada tingkat lokal, nasional danb internasional. 3. Setiap basic concept yang akan disajikan hendaknya bertitik tolak dari teori, minimal generalisasi yang diperkaya dengan “non-functional knowledge” dan masalah, sehingga akan terjadi seutau proses pengambilan keputusan serta pendekatan pemecahan masalah. 4. Social mathematics dan recreational methematics hendaknya ikut memperkuat pendidikan IPS yang sering dianggap sebagai mata pelajaran yang lunak. 5. Body of knowledge pendidikan IPS perlu didukung oleh hasil penelitian baik lewat conceptual stucture maupun syntactical structure, sehingga basic stucture pendidikan IPS makin jelas dalam lalu lintasnya dengan masyarakat ilmiah lainya.
238
Jurnal Sosialita, Vol. 1, No. 2, November 2014
Birsyada, Sejarah Perkembangan IPS
6. Program evaluasi pendidikan IPS pada tataran mikro, sekolah, wilayah, nasional perlu dilakukan secara berkala melalui mekanisme A-D-S (AfektorDetektor-Selektor) dalam sibernetika. Berbagai upaya untuk mengubah kurikulum IPS supaya mata pelajaran IPS menjadi menarik dan berhasil guna, namun dari beberapa studi seringkalai kita mendapati selalu saja IPS diajarkan dengan cara yang tidak menarik. Konsep baru dalam pengembangan pelajaran IPS dalam konsep baru yang bernama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) telah disusun dengan maksud untuk membuat IPS lebih menarik dan berdaya guna, namun di lapangan justru KBK itu telah menimbulkan keluhan sementara guru yang menilai KBK telah memnbuat pelaksanaannya menjadi amat rumit dan memerlukan proses administrasi yang tidak sederhana. Dalam pengembangan KBK Pada tahun 2004, pemerintah melakukan perubahan kurikulum SD, IPS berganti nama menjadi Pengetahuan Sosial. Pengembangan kurikulum Pengetahuan Sosial merespon secara positif berbagai perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan relevansi program pembelajaran Pengetahuan Sosial dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Kompetensi Pengetahuan Sosial menjamin pertumbuhan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, penguasaan kecakapan hidup, penguasaan prinsip-prinsip sosial, ekonomi, budaya, dan kewarganegaraan sehingga tumbuh generasi yang kuat dan berakhlak mulia. Belum genap 5 tahun KBK diganti dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada tahun 2006 dimana masing-masing sekolah diberikan hak prerogratif untuk merancang dan mengembangkan kurikulumnya sendiri sesuai kondisi sosial dan keadaan lokal setempat dilingkungan sekolah tersebut. Sekolah-sekolah dengan keunggulan lokal pada masa KTSP ini mulai tumbuh berkembang seperti kurikulum lokal membatik di sekolah-sekolah di Pekalongan dan Solo begitu tumbuh subur. Begitu juga di Jepara yang mengembangkan keunggulan lokal pembuatan kain batik Troso menjadi andalan di sekolah-sekolah Jepara. KTSP pada masa itu sangat semarak dimana masing-masing sekolah mmampu menunjukkan keunggulanya masing-masing. Pada masa ini muncul 3 katagori sekolah. Sekolah Standar Nasional (SSN), Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Seiring waktu berjalan, katagorisasi sekolah sebagaimana di jelaskan di atas dianggap banyak kalangan jika sekolah mengkomersilkan pendidikan. Oleh karena itu akhirnya kurikulum RSBI dan SBI di bubarkan oleh pemerintah. Waktu terus berjalan secara progresif Kemendikbud dibawah M. Nuh merancang dan membuat Kurikulum 2013 (K13) yang dinilai sebagai penyempurnaan dari KTSP. Kurikulum 2013 telah banyak menghabiskan dana pemerintah baik segi pelatihan guru-guru maupun pengadaan percetakan buku. Sampai pada saat itu banyak keterlambatan pengiriman buku panduan K13 ke sekolah-sekolah menuai protes para kalangan terutama guru. K13 dinilai oleh beberapa kalangan sebagai kebijakan yang terlalu terburu-buru. Buku dan sosialisasi perihal penerapan K13 dianggap belum siap membuat kurikulum ini banyak menuai polemik. Pada akhirnya kurikulum IPS dikembalikan kepada kurikulum KTSP 2006.
239
Jurnal Sosialita, Vol. 1, No. 2, November 2014
Birsyada, Sejarah Perkembangan IPS
Secara historis, konsep pendidikan IPS di Indonesia telah beberapa kali mengalami pembaharuan. Bila ditinjau dari sejarah, mata pelajaran IPS dalam Pendidikan Dasar dan Menengah di Indonesia pertama kali muncul dalam kurikulum 1975 pada tingkatan SD, SMP dan SMA. Realitas historis menunjukkan bahwasanya perkembangan pendidikan IPS pada waktu itu masih dianggap relatif baru. Oleh kerena masih dalam tatanan pengembangan awal maka materi pelajaran IPS pada awalnya bersifat terpadu. Keterpaduan disini dimaknai bahwa materi pembelajaran IPS masih memperpadukan materi-materi seperti georgrafi, sejarah, PKn, Ekonomi, hukum, antropologi dan sosiologi. Beberapa definisi istilah IPS-pun telah dirumuskan bersama oleh para pakar pendidikan ilmu sosial. Beberapa istilah IPS tersebut meliputi adalah: Ilmu Sosial yang kemudian sering disebut dengan (Social Sciences), Studi Sosial (Social Studies) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Masing-masing definisi telah banyak dipergunakan baik di berbagai negara barat maupun di Indonesia sendiri yang selanjutnya dimaknai sebagai mata pelajaran IPS. Definisi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Ilmu Sosial (Social Science) Ilmu sosial dimaknai sebagai disiplin ilmu pengetahuan sosial yang dalam pengkajianya dilaksanakan secara ilmiah. Achmad Sanusi (dalam Saidihardjo, 1996:2) memberikan batasan tentang Ilmu Sosial sebagai berikut: “Ilmu Sosial terdiri disiplin-disiplin ilmu pengetahuan sosial yang bertarap akademis dan biasanya dipelajari pada tingkat perguruan tinggi, makin lanjut makin ilmiah”. Ilmu Sosial lebih spesifik memandang bahwa ilmu sosial adalah disiplin ilmu yang mempelajari manusia sebagai makhluk sosial yang akan selalu berinteraksi dengan masyarakat baik itu secara kelompok maupun secara individual yang bersama-sama membentuk masyarakat. Ilmu Sosial adalah cabang ilmu pengetahuan yang fokus mempelajari tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat. Tingkah laku manusia dalam masyarakat itu banyak sekali aspeknya seperti aspek ekonomi, aspek sikap, aspek mental, aspek budaya, aspek hubungan sosial, dan sebagainya. Studi khusus tentang aspek-aspek tingkah laku manusia inilah yang menghasilkan Ilmu Sosial seperti ekonomi, ilmu hukum, ilmu politik, sosiologi, sejarah, geografi, PKn, antropologi, dan sebagainya (Sanusi, 1971; Pramono, 2013).
Studi Sosial (Social Studies) Bila cabang ilmu sosial mempelajari secara akademis tentang cabangcabang keilmuanya maka Studi Sosial bukan merupakan suatu bidang keilmuan atau disiplin akademis, melainkan lebih merupakan suatu bidang pengkajian tentang gejala dan masalah sosial. Dalam kerangka kerja pengkajiannya, Studi Sosial menggunakan bidang-bidang keilmuan yang termasuk Ilmu Sosial. Problem-problem sosial adalah sebagai penopang materi dari kajian Studi Sosial. Dalam perspektif definisi Studi Sosial ini, Sanusi (1971:18) memberi penjelasan bahwasanya Sudi Sosial tidak selalu bertaraf akademis-universitas, namun lebih
240
Jurnal Sosialita, Vol. 1, No. 2, November 2014
Birsyada, Sejarah Perkembangan IPS
merupakan bahan-bahan pelajaran bagi siswa sejak pendidikan dasar. Selanjutnya dapat berfungsi sebagai pengantar bagi lanjutan atau jenjang berikutnya kepada disiplin Ilmu Sosial. Studi Sosial lebih bersifat interdisipliner dengan menetapkan pilihan masalah-masalah tertentu berdasarkan suatu kerangka referensi dan meninjaunya dari beberapa sudut sambil mencari logika dari hubungan-hubungan yang ada satu dengan lainnya. Bertolak pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa Studi Sosial bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah sosial dalam masyarakat secara praktis. Kerangka kerja Studi Sosial dalam mengkaji atau mempelajari gejala dan masalah sosial di masyarakat tidak menekankan pada bidang teoretis secara an sich semata, melainkan lebih kepada bidang praktis, tidak terlalu bersifat akademis teoretis, melainkan merupakan pengetahuan praktis yang dapat diajarkan mulai dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Berdasarkan pandangan Achmad Sanusi di atas secara praktis pendekatan Studi Sosial lebih menitik beratkan pada interdisipliner atau multidisipliner dengan menggunakan berbagai bidang keilmuan. Artinya masalah-masalah sosial yang ada didalam masyarakat dapat dipecahkan secara pendekatan berbagai ilmu sosial. Hal tersebut mengandung arti bahwa Studi Sosial dalam meninjau suatu gejala sosial atau masalah sosial dilihat dari berbagai dimensi (sudut, segi, aspek) kehidupan. Sedangkan Ilmu Sosial pendekatannya bersifat disipliner dari bidang ilmunya masing-masing. Bersarkan pandangan di atas dapat dijelaskan bahwassanya Studi Sosial lebih mengarah pada pendekatan gabungan Ilmu Sosial. Pemahaman tentang Studi Sosial harus dimaknai sebagai sebuah studi yang bertujuan membina masyarakat agar mampu beardaptasi dengan lingkunganya berdasarkan potensi-potensi fisik maupun sosial dalam rangka pemecahan masalah-masalah sosial. Jadi materi Studi Sosial yang diajarkan dari tingkat dasar hingga Perguruan Tinggi diarahkan untuk dapat menganalisis dan memecahkan persoalan sosial masyarakat sesuai dengan misi yang diembannya.
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Ilmu Pengetahuan Sosial di Indonesia mulai di gagas dan dipergunakan dalam kurikulum 1975 dan dibakukan menjadi nama IPS. Studi IPS di Amerika Serikat dinamai dengan “Social Studies” dimana istilah tersebut pertama kali dipergunakan sebagai nama sebuah komite yaitu “Committee ofSocial Studies” yang didirikan pada tahun 1913. Tujuan awal dari pendirian lembaga itu adalah sebagai wadah himpunan tenaga ahli yang berminat pada kurikulum Ilmu-ilmu Sosial di tingkat sekolah dan ahli-ahli Ilmu-ilmu Sosial yang mempunyai minat sama. Nama komite itulah yang kemudian digunakan sebagai nama kurikulum yang mereka hasilkan. Berbagai persoalan sosial yang semakin kompleks melanda Amerika Serikat waktu itu menjadikan para ilmuan dan akademisi sosial berkumpul membentuk asosiasi sehingga lahirlah bidang studi Social Studies. Meskipun demikian nama “Social Studies” menjadi semakin terkenal pada tahun l960-an, ketika pemerintah mulai memberikan dana untuk mengembangkan kurikulum tersebut (Somantri, 2001; Abu Su’ud, 2008; Pramono, 2013).
241
Jurnal Sosialita, Vol. 1, No. 2, November 2014
Birsyada, Sejarah Perkembangan IPS
Pertama kali bidang Studi IPS di garap di Indonesia semakin lama semakin berkembang pemikiran sehingga nampaknya pemaknaan IPS di Amerika sedikit berbeda dengan apa yang dimaknai di Indonesia. Perbedaan makna tersebut bukan berarti IPS di Indonesia telah melenceng dari garis-garis sebagaimana yang telah di tetapkan pada lembaga asosiasi National Council for Social Studies (NCSS) di Amerika namun memang pada waktu Indonesia memperkenalkan konsep IPS, pengertian dan tujuannya tidaklah persis sama dengan social studies yang ada di Amerika Serikat. Pengertian-pengertian tersebut kemudian diselaraskan dengan kondisi lingkungan masayarakat Indonesia. Artinya setiap ilmu sosial bahkan teori-teori sosialpun lahir dipengaruhi oleh konteks sosialnya. Begitu juga Pendidikan IPS di Indonesia telah mengalami Indonesiasi. Bidang Studi IPS dikemudian hari dikembangkan yang lebih mempergunakan corak interdisipliner.Somantri (2001)memberikan batasan fokus bidang studi IPS adalah merupakan suatu bidang studi dengan pendekatan interdsipliner (Inter-disciplinary Approach) dari pelajaran Ilmu-ilmu Sosial untuk kepentingan pendidikan. Bidang kajian IPS merupakan integrasi dari berbagai cabang ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi budaya, psikologi sosial, sejarah, geografi, ekonomi, ilmu politik, dan sebagainya. Hal ini lebih ditegaskan lagi oleh Saidiharjo (1996:4 )bahwa IPS merupakan hasil kombinasi atau hasil pemfusian atau perpaduan dari sejumlah mata pelajaran seperti: geografi, ekonomi, sejarah, sosiologi, antropologi, politik. Mata pelajaran tersebut mempunyai ciri-ciri yang sama, sehingga dipadukan menjadi satu bidang studi yaitu Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Jadi dapat dikatakan juga bahwa IPS adalah pengembangan Studi Sosial dalam kerangka untuk tujuan pendidikan. Oleh karena itu bidang garapan IPS adalah mempergunakan pendekatan gabungan ilmu-ilmu sosial untuk memecahkan persoalan-persoalan sosial untuk tujuan pendidikan. Bertolak dari konsepsi IPS di atas telah cukup jelas, bahwasanya bidang IPS merupakan keterpaduan dari disiplin-disiplin Ilmu-ilmu Sosial untuk tujuan pendidikan. Pengertian keterpaduan disini adalah bahwa IPS merupakan bidang studi utuh yang tidak terpisah-pisah dalam kotak-kotak disiplin ilmu yang ada. Artinya bahwa bidang studi IPS tidak lagi mengenal adanya pelajaran geografi, ekonomi, sejarah secara terpisah, melainkan semua disiplin tersebut diajarkan secara terpadu. Dengan pendekatan tersebut batas disiplin ilmu sosial menjadi lebur dalam satu kesatuan, artinya terjadi sintesis antara beberapa disiplin ilmu. Dengan demikian sebenarnya IPS itu berinduk kepada Ilmu-ilmu Sosial, dengan pengertian bahwa teori, konsep, prinsip yang diterapkan pada IPS adalah teori, konsep, dan prinsip yang ada dan berlaku pada Ilmu-ilmu Sosial. Ilmu Sosial dipergunakan untuk melakukan pendekatan, analisis, dan menyusun alternatif pemecahan masalah sosial yang dilaksanakan pada pengajaran IPS. Perkembangan historis perjalanan kurikulum IPS sebagaimana dijelaskan di atas pada akhirnya perlu secara terus menerus untuk dikembangkan. Jika tujuan dari pendidikan IPS adalah menjadikan peserta didik menjadi warga negara yang baik serta mampu bersosialisasi dan beradaptasi dengan masyarakat maka materimateri IPS mau tidak mau haruslah menyentuh lingkungan sosial peserta didik. Dan bidang garapan IPS adalah merujuk pada konsepsi-konsepsi yang ada pada
242
Jurnal Sosialita, Vol. 1, No. 2, November 2014
Birsyada, Sejarah Perkembangan IPS
bidang social study. Dimana materi-materi yang menjadi bahan kajian adalah masalah-masalah sosial ditinjau dari ilmu-ilmu sosial secara terpadu. Maka materi kurikulum pendidikan IPS seharusnya juga bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah sosial dalam kerangka perspekti ilmu-ilmu sosial secara terpadu untuk tujuan pendidikan. Materi kurikulum yang berbasis pada studi masalahmasalah sosial tersebut bertujuan untuk mendekatkan peserta didik dengan persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakat.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan studi historis di atas disimpulkan bahwasanya IPS telah mengalami banyak perkembangan dan perubahan dari waktu kewaktu disesuaikan dengan perkembangan sosial masyarakat Indonesia. IPS yang pada awalnya merujuk pada konsepsi barat pada akhirnya telah disesuaikan dengan kondisi sosial masyakat di Indonesia. Secara teoretik studi ini menemukan beberapa konsepsi IPS yang kemudian perlu untuk dikembangkan. Pertama, IPS seyogyanya tidak lagi dimaknai sebagai bab per bab bidang-bidang materi pelajaran yang terpisah. Melainkan berisi tentang persoalan-persoalan sosial yang harus di pahami dan coba di pecahkan oleh peserta didik dengan mempergunakan pendekatan rumpun ilmu-ilmu sosial. Kesalah pahaman selama ini adalah guru IPS walaupun telah memahami kurikulum dan materi pelajaranya adalah IPS terpadu. Namun dalam penyampaian di kelas IPS masih sering kita melihat pendekatan-pendekatanya yang dipergunakan masih bersifat satu persatu disiplin ilmu (mono dicipliner). Misalnya, materi sejarah hanya didekati dengan pendekatan sejarah begitu juga dengan geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, PKn diajarkan belum mempergunakan pendekatan multi disiplin ilmu sosial. Artinya konsep-konsep keterpaduan dalam IPS belum sepenuhnya diterapkan dalam pembelajaran di kelas. Realitas di lapangan pembelajaran IPS di sekolah sebagaimana dijelaskan di atas perlu menjadi perhatian bagi para pembuat rumusan kurikulum IPS terutama di sekolah. Kurikulum IPS di sekolah yang selama ini konten isinya adalah berisi bab per bab materi IPS secara terpisah perlu dikembangkan lagi untuk tidak lagi di pisah-pisah walaupun judulnya adalah IPS terpadu. IPS terpadu tidaklah sekedar membelajarkan materi IPS dengan menjelaskan memakai pendekatan terpadu (sejarah, sosiologi, geografi, ekonomi, antropologi, PKn) namun IPS terpadu harus dikembangkan materi-materi yang diajarkan berbasis pada masalah-masalah sosial secara riil dan kongkrit. Materi IPS tidak berhenti pada pengertian-pengertian definitis dari beberapa bidang kajian ilmu-ilmu sosial sebagaimana yang diajarkan di Perguruan Tinggi (mono dipilin ilmu dan jurusan program studi). Namun konten isi pendidikan IPS harus berpijak pada pemecahan masalah-masalah sosial. Pembelajaran IPS di sekolah harus menjadikan peserta didik mencapai taraf tingkatan kesadaran sosial yang kritis sehingga kepekaan sosial mereka atas masalah-masalah sosial benar-benar masuk dalam jiwa peserta didik. Sadar sosial juga mempunyai makna bahwa peserta didik adalah bagian dari masyarakat yang
243
Jurnal Sosialita, Vol. 1, No. 2, November 2014
Birsyada, Sejarah Perkembangan IPS
di tengah-tengah masyarakat tersebut banyak persoalan-persoalan sosial yang komplek yang harus di urai bersama satu persatu. Mereka harus menyadari bahwasanya peserta didik tidak hidup sendiri terpisah dari lingkungan sosialnya (alieniasi) namun mereka hidup berdampingan dengan masyarakat sehingga mau tidak mau mereka harus mampu bersosialisasi dan beradaptasi pada setiap masalah-masalah sosial yang ada pada masyarakat tersebut. Mereka tidak lagi pada tahap kesadaran individual yang hanya bergelut pada kepentingan pribadinya. Namun perserta didik adalah bagian sosial dari struktur masyarakat yang perlu diajak bersama-sama untuk memahami tiap-tiap persoalan dalam masyarakat yang perlu dipecahkan bersama-sama secara kritis dan analitis. Inilah sebenarnya yang menjadi gagasan awal diberlakukanya kurikulum IPS (social study) baik di Amerika Serikat maupun di Inggris. Materi IPS diajarkan disekolah bertujuan untuk memahami dan memecahkan problemproblem sosial masyarakat dalam rangka tujuan pendidikan (Somantri, 2001; Abu Suud, 2008; Pramono, 2013). Konsepsi pandangan-pandangan yang seperti inilah yang seharusnya ditangkap oleh pemegang kebijakan kurikulum IPS pada tataran pusat. Jika hal ini mampu diurai dan dipecahkan, dapat dipastikan kegagalan IPS yang selama ini dirasakan akan dapat di atasi. Pendidikan IPS sebagai salah satu bidang studi mata pelajaran di sekolah hendaknya bertujuan menjadi sebuah pengetahuan yang dapat melahirkan remajaremaja yang mempunyai kecerdasan sosial ( social smart). Mereka tidak lagi buta sosial atau bahkan buta peta yang sama sekali tidak paham dengan lingkungan sosial sekitar tempat tinggalnya. Namun dengan belajar IPS peserta didik dapat memahami dan memposisikan dirinya secara kritis terhadap segala persoalan sosial yang ada pada masyarakat. Mereka tidak lagi diperkenalkan tentang pengetahuan IPS secara an-sich. Melainkan lebih lanjut mereka diajak untuk belajar mengamati fenomena sosial yang ada dilingkungan sekitarnya dengan pendekatan sebagaimana mekanisme kerja ilmuan-ilmuan sosial.
DAFTAR PUSTAKA Barth, J.L. 1990. Methods of Instruction in Social Studies Education. New York: University Press of America. Birsyada. 2014. Buku Ajar Pengantar Ilmu Pendidikan IPS. Yogyakarta: UPY. Tidak diterbitkan Creaven, Sean. 2001. Marxism and Realism: A Materialistic Application of Realism in The Social Sciences. USA and Canada: Routledge. Garaghan, S.J., Gilbert J.A. 1957. Guide to Historical Method. London: Macmillan Education LTD. Gottsschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press. Marx, Karl and Engels, Frederick. 1989. Karl Marx and Frederick Engels Selected Works in Theree Volumes Volume One. Moscow: Progress Publishers.p.20-21.
244
Jurnal Sosialita, Vol. 1, No. 2, November 2014
Birsyada, Sejarah Perkembangan IPS
Pramono, Suwito Eko. 2013. Hakikat Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Semarang: Widya Karya. Poerwito. 1992. Ilmu Pengetahuan Sosial. Malang. Dept. P&K Dikdasmen P3G IPS dan PMP. Pramono, Suwito Eko. 2013. Hakikat Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Semarang: Widya Karya. Saidihardjo & Sumadi HS.1996. Konsep dasar Ilmu pengetahuan Sosial. (Buku 1). Yogyakarta: FIP IKIP. Sanusi, Ahmad. 1972. Beberapa Pendekatan dan Alat dalam Studi Sosial. Bandung: Bagian Penerbitan FKIS IKIP Bandung. Somantri, Muhammad Numan. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Suud, Abu. 2008. Revitalisasi Pendidikan IPS. Semarang: Unnes Press. Wasino. 2007. Dari Riset Hingga Tulisan Sejarah. Semarang: Unnes Press. Weber, Max. 1978. Economy And Society: An Outline of Interpretive Sociology Edited by Weber, Max. 2005. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalis edition published in the Taylor & Francis e-Library. Routledge’s, p.ix. Wineburg, Sam. 2006. Historical Thinking and other Unnatural Acts Charting the Future of Teaching the Past. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Terjemahan Yayasan Obor Indonesia.
245