Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan Siauw Tiong Djin1 Perjalanan politik Siauw Giok Tjhan yang panjang dimulai ketika ia pada tahun 1932 menjadi seorang yatim piatu, di usia 18 tahun. Ketika itu ia duduk di tingkat terakhir sekolah elite HBS di Surabaya, yang hanya bisa dimasuki oleh siswa Belanda dan siswa non Belanda pilihan, artinya anak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan penjajah Belanda. Karena prestasi akademik-nya, ia beruntung. Walaupun sudah yatim piatu, guru-guru HBS yang menyayanginya berhasil mengumpulkan dana sebagai beasiswa untuk Siauw menyelesaikan pendidikan HBS pada tahun yang sama. Di sekolah itu, empat-belasan tahun sebelumnya, Sukarno juga belajar. Salah satu tokoh Indonesia lainnya, Ruslan Abdulgani sekelas dengan Siauw. Di zaman Demokrasi Terpimpin, Ruslan Abdulgani dan Siauw, walaupun tetap bersahabat karib, mendukung dua paham yang berbeda. Ruslan menjadi sponsor jalur asimilasi, yang ditentang keras oleh Siauw, yang mencanangkan paham integrasi. Akan tetapi ke-Indonesiaan Siauw tidak terbentuk karena pendidikan di HBS. Bukan karena ia bersahabat dengan seorang “pribumi” Ruslan Abdulgani, atau seorang teman peranakan Tionghoa sekelas lain, Tjoa Sie Hwie, yang kemudian menjadi anggota DPR mewakili PNI di zaman Demokrasi Parlementer. Ke-Indonesiaan itu terbentuk justru karena ia menjadi yatim piatu, karena posisi ekonomi-nya mendadak berubah setelah menjadi yatim piatu. Dari anak yang tadinya dikelilingi kemewahan, menjadi anak yang harus memikirkan bagaimana menyambung hidup tanpa orang tua, bagaimana menyekolahkan adik satu-satunya, Siauw Giok Bie, yang pada waktu itu baru berumur 14 tahun. Di saat susah itu-lah, ia bertemu dengan Liem Koen Hian, seorang tokoh peranakan Tionghoa, Pemimpin Redaksi harian Sin Tit Po. Liem Koen Hian memperkenalkannya ke dunia “Tionghoa memilih Indonesia sebagai tanah air” dan sekaligus mengajaknya berpartisipasi dalam gerakan mencapai kemerdekaan Indonesia. Siauw menjadi salah seorang pendiri termuda Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang didirikan oleh Liem Koen Hian pada tahun 1932. Begitu ia selesai HBS, Siauw segera bekerja sebagai wartawan, pertama di harian Sin Tit Po, kemudian pada tahun 1934, di harian Matahari yang dipimpin oleh Kwee Hing Tjiat, tokoh kawakan Tionghoa lain yang juga mendukung konsep Indonesia adalah tanah air Tionghoa Indonesia. Bekenalan-lah Siauw dengan tokoh-tokoh perintis kemerdekaan Indonesia termasuk Dr Tjipto Mangunkusumo, Sukarno, Hatta, Amir Syarifuddin dan Mohamad Yamin. Siauw Tiong Djin adalah putra bungsu Siauw Giok Tjhan. Ia menulis riwayat hidup ayahnya dan telah menyuntying beberapa buku yang berkaitan dengan Siauw Giok Tjhan, Baperki dan Ureca. 1
1
Perkenalan dengan Dr Tjipto Mangunkusumo, Sukarno dan Hatta dilakukan melalui korespondensi. Siauw memuat karangan-karangan mereka di harian Matahari atau menyalurkan inspirasi mereka melalui tulisan-tulisannya. Ternyata hubungan dengan Dr Tjipto Mangunkusumo yang pada tahun 1912, bersama Ki Hajar Dewantara dan Douwes Dekker mendirikan Indische Partij, lebih mengisi pengertian Siauw muda tentang Nasion Indonesia dan Kewarganegaraan Indonesia, sebuah pengertian yang ia pahami secara baik. Dari sini lahirlah visi politik, yang menjadi dasar perjuangan politiknya setelah kemerdekaan, yaitu sebanyak mungkin komunitas Tionghoa harus menjadi warga negara Indonesia. Siauw menganggap Dr Tjipto Mangunkusumo salah satu guru politik yang ia sangat hormati. Tentunya visi ini ia padukan dengan apa yang ia pelajari dari para teman senior-nya tentang pengertian bangsa/nasion, golongan minoritas keturunan asing dan diterimanya Indonesia sebagai tanah air: Liem Koen Hian, Kwee Hing Tjiat, Tan Ling Djie dan Tjoa Sik Ien. Para tokoh peranakan Tionghoa ini sadar bahwa sistem kolonialisme di mana masyarakat dikotak-kotakkan – pribumi, Tionghoa dan Eropa, telah mencetak rasisme. Sebuah sikap yang ternyata berkelanjutan setelah kemerdekaan diproklamasikan. Dimulailah perjalanan politik Siauw yang panjang, meliputi berbagai zaman. Perjalanan yang didasari atas keinginannya berpartisipasi dalam pembangunan nasion Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, mengajak sebanyak mungkin komunitas Tionghoa menjadi warga negara Indonesia dan berjuang gigih melawan rasisme. Di awal kemerdekaan visi dan keyakinan ini membuatnya berlawanan dengan pandangan main-stream Tionghoa yang ia wakili dan bela. Dan di berbagai zaman, karena aliran politiknya, ia meringkuk dalam tahanan sebagai tahanan politik, terakhir selama dua belas tahun di zaman pemerintahan Suharto. Akan tetapi ia tetap teguh dengan visi dan pendiriannya. Nasion Indonesia dan Kewarganegaraan Indonesia Sebelum kemerdekaan diproklamasikan, Liem Koen Hian, Tan Ling Djie, Tjoa Sik Ien dan Siauw Giok Tjhan berkali-kali bertemu untuk merumuskan aspirasi komunitas Tionghoa yang harus diikut sertakan dalam UU dan bentuk negara Indonesia merdeka yang sedang diperjuangkan. Liem Koen Hian kebetulan masuk dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dipimpin oleh Sukarno. Diskusi bersejarah ke-empat tokoh peranakan Tionghoa yang memainkan peran penting dalam sejarah Indonesia itu dituturkan secara panjang lebar oleh Siauw dalam memoar-nya 2.
2
Siauw Giok Tjhan, "Renungan Seorang patriot Indonesia", Siauw Tiong Djin (Ed), Lembaga kajian Sinergi Indonesia, pp114-118
2
Masalah nasion Indonesia dan kewarganegaraan Indonesia didiskusikan dalam pertemuan-pertemuan tersebut. Menurut mereka: "Rumusan keberadaan sebuah bangsa (nasion) yang bersatu tanpa mengindahkan latar belakang asal keturunan dan prinsip bahwa semua yang berada dalam kesatuan tersebut memiliki hak dan kewajiban yang sama, lahir pada tahun 1912 dengan berdirinya Indische partij pada tahu 1912 yang dipimpin oleh Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara". Selanjutnya diskusi itu juga mempertegas: "perlunya diciptakan Undang-Undang yang melarang praktekpraktek diskriminasi rasial dan adanya ketentuan hukum yang menjamin adanya persamaan hak dan kewajiban" 3. Diskusi panjang lebar itu akhirnya merumuskan beberapa hal yang menjadi dasar perjuangan Siauw Giok Tjhan di zaman-zaman mendatang: "1. nasionalisme tidak boleh meluncur menjadi chauvinisme; 2. hanya ada satu macam kewarganegaraan dengan hak dan kewajiban yang sama; 3. memperjuangkan sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat; 4. mewujudkan demokrasi materiil, bukannya demokrasi formil, sehingga kepentingan rakyat terbanyak selalu didahulukan; 5. UUD harus tegas dalam ketentuan yang menjamin didahulukannya kepentingan rakyat terbanyak daripada kepentingan golongan apa-pun" 4. Seruan dan harapan ke-empat orang ini terpenuhi. Tidak lama setelah kemerdekaan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, tepatnya pada tanggal 1 November 1945, dikeluarkanlah Maklumat Politik (Manifesto Politik) yang dengan tegas mengikutsertakan janji para pendiri Republik Indonesia, yaitu "menjadikan semua orang Indo-Asia dan Indo-Eropa, warga negara, patriot dan demokrat Indonesia, dalam waktu sesingkat mungkin". Pengertian Siauw tentang nasion dan kewarganegaraan Indonesia lebih terbentuk setelah kemerdekaan di mana ia sangat berperan dalam bidang itu. Sejak tahun 1946 hingga 1966, Siauw duduk sebagai wakil peranakan Tionghoa di dalam berbagai lembaga legislatif tertinggi, KNIP, BP KNIP, DPR, Konstituante, DPRGR dan MPR. Ia sempat pula menjadi menteri untuk urusan minoritas di kabinet Amir Sjarifuddin di zaman revolusi (1947-1948) dan menjadi anggota DPA di zaman Demokrasi terpimpin (1959-1965). Sesuai dengan keinginan yang dirumuskan oleh ke empat tokoh Tionghoa digambarkan di atas, Tan Ling Djie dan Siauw turut merumuskan UU Kewarganegaraan Indonesia yang disahkan pada tahun 1946 oleh BP KNIP. UU ini menjadikan semua penduduk yang lahir di Indonesia, pada waktu bersamaan, warga Negara Indonesia. Warga keturunan asing diberi waktu dua tahun untuk menolak kewarganegaraan Indonesia. UU ini, menurut Siauw memenuhi janji yang tercantum dalam Maklumat Politik 1 November 1945, yaitu menjadikan sebanyak mungkin warga keturunan asing di Indonesia, warga negara Indonesia. 3 4
Sama seperti di atas, pp 114-115 sama seperti di atas, p 118
3
Pergolakan politik di dalam dan luar negeri ternyata menimbulkan berbagai kompromi politik yang sempat merugikan pengukuhan Indonesia sebagai negara kesatuan. Pada tahun 1949 pemerintah RI dan Belanda bersepakat membentuk Republik Indonesia Serikat yang terdiri atas RI dan negara-negara boneka buatan Belanda. Perjanjian yang dinamakan perjanjian Konperensi Meja Bundar, walaupun berisi berbagai hal yang merugikan Indonesia, tetapi ternyata mempertahankan UU kewarganegaraan Indonesia 1946. Pada tahun 1949, waktu untuk menolak kewarganegaraan Indonesia ditunda hingga 1951. RIS berumur pendek dan pada tahun 1950 Republik Indonesia pulih berdiri sebagai sebuah negara kesatuan mencakup semua wilayah yang dijajah Belanda. Dimulai-lah masa yang dikenal sebagai zaman Demokrasi Parlementer (1950-1959) di mana pemerintah bersilih ganti dan sepenuhnya tergantung atas dukungan suara mayoritas DPR. Siauw Giok Tjhan meneruskan karier politiknya di DPR sebagai wakil golongan Tionghoa tidak berpartai. Ia berkembang sebagai seorang anggota parlemen yang ulung di masa ini. Walaupun ia berada di parlemen sebagai wakil golongan minoritas, ruang lingkup perdebatannya di parlemen bersifat nasional. Ia membentuk dan menjadi ketua Fraksi Nasional Progresif yang cukup berpengaruh. Di lembaga inilah Siauw dengan gigih melawan berbagai kebijakan rasis, yang pada saat itu dikenal sebagai kebijakan "asli-asli-an". Berbagai tokoh politik pribumi menginginkan peran Tionghoa dalam bidang ekonomi dibatasi bahkan dihilangkan, demi memberi peluang untuk pedagang-pedagang “pribumi”. Kebijakan-kebijakan ini memilah komunitas pedagang dalam dua kategori, "asli" dan "tidak asli". Komunitas Tionghoa masuk dalam kategori "tidak asli" sehingga harus disisihkan. Argumentasi Siauw dalam menentang berbagai RUU yang mengandung kebijakan rasis tersebut bersandar atas dua hal utama. Pertama nasion Indonesia tidak mengenal apa yang dinamakan "asli" atau "tidak asli". Nasion Indonesia bukan Indonesian race seperti bangsa Aria untuk wilayah Jerman. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari banyak suku dan golongan keturunan asing. Kedua, UUD yang berlaku di Indonesia menjamin adanya persamaan hak dan kewajiban untuk semua warga negara Indonesia, tanpa membedakan asal usul keturunan atau ras 5. Argumentasi Siauw selalu didukung oleh Fraksi Nasional Progresif dan beberapa partai politik lainnya, sehingga banyak kebijakan rasis tersebut batal disahkan sebagai Undang-Undang. Ada juga RUU yang tidak berhasil dibatalkan, akan tetapi Siauw dengan dukungan parlemen berhasil membatasi dampak negatif terhadap para pedagang Tionghoa 6.
Pidato-pidato Siauw yang menentang berbagai kebijakan rasis di dalam parlemen bisa diikuti di Risalahrisalah Parlemen 1950 - 1959. 6 Contohnya UU Pedoman dan UU Penggilingan Padi yang hendak membatasi keterlibatan Tionghoa dalam usaha bis dan penggilingan padi 5
4
Ironis-nya, keberhasilan Siauw untuk membendung kebijakan-kebijakan rasis ini membangkitkan keinginan para politikus senior "pribumi" untuk membatalkan UU Kewarganegaraan Indonesia 1946 yang sudah berlaku sejak tahun 1946. Argumentasi mereka, bilamana pedagang-pedagang Tionghoa yang ingin disingkirkan ini menjadi warga negara asing, UUD yang menjamin persamaan hak untuk semua warga negara tidak lagi bisa "melindungi" posisi para pedagang Tionghoa. Keluarlah Rancangan Undang-Undang (RUU) Kewarganegaraan pada tahun 1953 yang didesain untuk membatalkan UU kewarganegaraan 1946. Bilamana ini diresmikan, semua orang keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia yang karena UU tahun 1946 itu telah menjadi WNI akan kehilangan kewarganegaraan Indonesia-nya dan harus mengajukan permohonan untuk menjadi WNI dengan surat-surat bukti. Syarat untuk menjadi warga negara pun diperberat. Bukan saja si pemohon harus lahir di Indonesia, ayah-nya pun harus lahir di Indonesia. RUU ini segera ditentang oleh Siauw di dalam maupun di luar DPR. Siauw memobilisasi gerakan anti RUU tersebut. Di dalam DPR ia memperoleh dukungan Fraksi Nasional Progresif. Di luar DPR ia memimpin sebuah panitia Kewarganegaraan Indonesia yang terdiri dari para anggora DPR Tionghoa, beberapa akhli hukum Tionghoa dan para tokoh PDTI - Partai Demokrat Tionghoa Indonesia. Pidato-pidato dan tulisan-tulisan Siauw di berbagai surat kabar menekankan beberapa hal yang sulit untuk dibantah oleh pemerintah, antara lain: RUU ini bertentangan dengan janji para pendiri RI yang tertuang dalam Maklumat Politik 1 November 1945 tentang keinginan menjadikan sebanyak mungkin warga keturunan asing warga negara dan patriot sejati; Indonesia sebagai negara hukum yang menjadi anggota dunia internasional tidak bisa membatalkan kewarganegaraan jutaan penduduknya, apalagi mengingat ada di antaranya para anggota parlemen dan menteri; sebagian terbesar komunitas Tionghoa sebagai rakyat jelata tidak memiliki surat-surat bukti kelahiran dirinya dan orang tuanya; Catatan Sipil baru didirikan pada tahun 1918 di Jawa dan 1926 di luar Jawa, sehingga banyak surat bukti kelahiran orang tua pemohon tidak ada; seandainya mereka pernah memiliki surat-surat bukti tersebut, banyak yang hilang akibat pertempuran dan pengungsian. Didukung oleh Fraksi Nasional Progresif dan para menteri yang dekat dengan Siauw, ia berhasil meyakinkan pemerintah menarik kembali RUU tersebut. Keberhasilan ini mendorong para tokoh PDTI untuk meyakinkan Siauw masuk ke dalam dan memimpin organisasi massa baru yang ingin dibentuk PDTI untuk melawan rasisme dan memperjuangkan kewarganegaraan Indonesia komunitas Tionghoa. Pada tahun 1954, Siauw diangkat sebagai ketua umum Baperki - Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia. Walaupun Siauw berkeinginan menjadikan Baperki sebuah organisasi nasional di mana para anggota "pribumi" dan keturunan asing lainnya aktif berpartisipasi, Baperki tercatat dalam sejarah sebagai organisasi Tionghoa. Alasan utamanya adalah sebagian terbesar 5
anggota dan massa pendukung Baperki berasal dari komunitas Tionghoa; dan yang menjadi dasar banyak program politiknya berkaitan dengan tindakan melawan rasisme terhadap Tionghoa, termasuk dalam bidang pendidikan dan kewarganegaraan Indonesia untuk komunitas Tionghoa. Dengan adanya Baperki, Siauw dan para kawan seperjuangannya memiliki sarana efektif untuk menjangkau komunitas Tionghoa, meyakinkan mereka untuk menerima Indonesia sebagai tanah airnya dan untuk menjadi warga negara Indonesia. Para politikus yang menginginkan sebanyak mungkin WNI Tionghoa kehilangan kewarganegaraan Indonesia-nya ternyata tidak menerima kekalahan dalam kancah demokrasi. Pada waktu penyelesaian dwi kewarganegaraan RI-RRT dibicarakan dengan Chou En Lai ketika ia berkunjung ke Indonesia untuk Konperensi Asia Afrika pertama pada tahun 1955, Sunaryo, pada waktu itu menteri luar negeri, mendesak kebijakan yang terkandung dalam RUU Kewarganegaraan 1953 yang sudah dibatalkan untuk masuk di dalam Perjanjian Penyelesaian Dwi Kewarganegaraan. UU kewarganegaraan RRT pada waktu itu berdasarkan Jus Sanguinis, artinya setiap keturunan Tionghoa di luar Tiongkok diakui sebagai warganegara Tiongkok. Dengan demikian banyak orang Tionghoa di Indonesia, berdasarkan UU ini memiliki kewarganegaraan rangkap – Tiongkok dan Indonesia. Ini menimbulkan konflik, karena Indonesia hanya mengakui kewarganegaraan tunggal, artinya setiap WNI hanya bisa memiliki kewarganegaraan Indonesia. Akan tetapi menurut hukum Internasional, Indonesia tidak bisa secara sepihak membatalkan kewarganegaraan Tiongkok yang diakui oleh RRT. Siauw bergerak cepat dan berhasil me-negasi Perjanjian tersebut. Ia berhasil meyakinkan Chou En Lai dan Ali Sastroamidjojo untuk mengeluarkan Pertukaran Nota (Exchange of Notes), yang seluruh isinya disiapkan oleh Siauw, membatasi jumlah orang yang harus memilih ulang. Tionghoa yang berada dalam kategori petani, buruh dan mereka yang sudah ikut dalam pemilu 1955, yang menjadi pegawai negeri, militer dan anggota DPR tidak diharuskan memilih kewarganegaraan. Mereka dinyatakan sudah menjadi WNI. Sebagai seorang yang terlibat dalam perjuangan mencapai kemerdekaan; ikut merumuskan UU Kewarganegaraan; dan memimpin upaya melawan RUU Kewarganegaraan 1953; Dan memimpin Baperki dari tahun 1954 hingga ia dibubarkan, Siauw memiliki pengetahuan yang sangat mendalam tentang kewarganegaraan dan pembangunan nasion Indonesia. Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Liem Koen Seng dan Phoa Thoan Hian -- semua sarjana hukum kenamaan -mengakui keahlian dan penguasaan Siauw tentang hukum-hukum kewarganegaraan yang seharusnya diterapkan di Indonesia 7.
7
Kesemua tokoh hukum ini menyatakan hal ini kepada penulis ketika mereka diwawancarai tentang Siauw Giok Tjhan
6
Hampir semua dokumentasi Baperki tentang hal ini disiapkan oleh Siauw atau didasari tulisan-tulisan dan pidato-pidato Siauw. Ia-pun kerap memberi ceramah di berbagai acara Baperki tentang Kewarganegaraan dan Nasion Indonesia. Dalam ceramah untuk para kader Baperki pada tahun 1958, Siauw dengan panjang lebar menuturkan berbagai perumusan nasion, dimulai dari John Stuart Mill pada tahun 1861, Ernest Renan pada tahun 1882, Otto Bauer di awal abad ke 20, JV Stalin, pada tahun 1913, Charles Winnick yang menerbitkan Dictionary of Anthropology dan Sukarno. Ia menggambarkan pula pembentukan nasion-nasion Eropa Barat atas dasar peleburan berbagai nasion - contohnya Inggris, Perancis, Jerman dan Italia - dan bagaimana nasion-nasion Eropa Timur terbentuk sebagai multi-racial nations, sehingga terdapat golongan-golongan minoritas. Ia menekankan pula bahwa setelah Perang Dunia ke I, telah tercantum sebuah kesepakatan banyak negara tentang perlindungan kewarganegaraan golongan minoritas, yaitu mencegah tindakan semena-mena mayoritas untuk mencabut kewarganegaraan golongan minoritas, seperti yang dituturkan oleh Lucia P Muir dalam bukunya The Protection of Minorities 8. Siauw cenderung menerima teori bahwa nasion Indonesia sudah terbentuk pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 di waktu mana pengaruh feodalisme berkurang dan kapitalisme menanjak. Ia mengaitkannya dengan keberadaan sebuah kesatuan politik dan ekonomi yang diciptakan oleh Belanda. Dan ini, menurutnya, diperkokoh oleh Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Dengan demikian Ia dengan tegas menyatakan bahwa Nasion Indonesia lahir sebelum negara Republik Indonesia terbentuk pada tahun 1945. Menurutnya, keberadaan sebuah nasion tidak tergantung atas keberadaan sebuah negara, dan sangat berkaitan dengan perkembangan sejarah dan kurun zaman tertentu 9. Dalam konteks ini, Siauw membedakan proses pembentukan nasion Indonesia dengan nasion yang ingin diciptakan oleh Van Mook dalam rangka pembentukan Republik Indonesia Serikat di zaman revolusi. Di lain pihak, Siauw tegas menyatakan bahwa berbeda dengan nasion, kewarganegaraan berkaitan dengan kehadiran negara. Seseorang bisa saja kehilangan kewarganegaraan sebuah negara, tetapi ia tetap bisa menyatakan dirinya sebagai bagian dari sebuah nasion. Seperti dinyatakan di atas, Siauw berpendapat nasion Indonesia sudah terbentuk sebelum Negara Republik Indonesia lahir. Upaya membangun nasion yang ber-Bhinneka Tunggal Ika merupakan salah satu dasar perjuangan Siauw. Ajakan Siauw lebih berkaitan dengan penerimaan Indonesia sebagai tanah air. Dalam konteks ini Siauw menitik beratkan keberadaan komunitas Tionghoa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Nasion Indonesia. 8Ceramah
Siauw Giok Tjhan, Dokumen Baperki nomor 53/Stn/58 (Stensilan Baperki nomor 53 tahun 1958). Bahan yang tertuang dalam dokumen ini didasari berbagai pidato Siauw di parlemen, lihat risalah-risalah parlemen, 1950 - 1958. Dokumen ini dicetak ulang pada tahun 1961, dengan berbagai tambahan - 065/Stn/61 (Stensilan Baperki no 65 tahun 1961) 9 Seperti di atas
7
Siauw percaya bahwa kesetiaan terhadap sebuah nasion sangat tergantung atas komitmen, lingkungan dan koneksi psikologis seseorang dengan nasion tersebut. Akan tetapi, untuk mengukuhkan hak dan kewajiban hukum, ia mendorong sebanyak mungkin Tionghoa untuk menjadi warganegara Indonesia. Dalam ceramah yang sama, Siauw menyatakan: "Nationality, Nationaliteit, Kebangsaan atau Kewarganegaraan adalah persoalan politik dan tidak dapat dicampur adukkan dengan persoalan etnis dan persoalan ras. Siapa yang tergolong dalam nationality ditentukan oleh syarat-syarat politik, tidak ditentukan oleh syarat-syarat biologis atau syarat-syarat kebudayaan". Sebagai contoh kongkrit, menurut Siauw adalah UU Kewarganegaraan 1946 yang menentukan semua orang yang lahir di Indonesia sebagai warga negara Indonesia dengan stelsel pasif, yang berarti mereka otomatis menjadi WNI kecuali menyatakan penolakan dalam waktu 2 tahun. UU ini dikeluarkan, menurutnya karena Indonesia sebagai negara muda terancam Belanda yang sering menggunakan alasan melindungi orang asing di Indonesia untuk melancarkan tindakan militer. Di samping itu, UU ini dikeluarkan untuk memenuhi janji yang tertuang di dalam Maklumat Politik 1 November 1945 10. Ia lalu menambahkan bahwa perwujudan UU Kewarganegaraan yang progresif merupakan sebuah proses perjuangan 11. Tentunya dalam hal ini yang disitir oleh Siauw adalah perjuangan melawan arus yang ingin membatalkan UU Kewarganegaraan 1946. Komitmen dalam bidang kewarganegaraan ini menyebabkan Baperki berkembang sebagai organisasi yang sangat berperan dalam bidang kewarganegaraan, terutama dalam zaman Demokrasi Terpimpin, membantu komunitas Tionghoa di seluruh Indonesia memenuhi persyaratan yang berkaitan dengan pelaksanaan penyelesaian dwi kewarganegaraan. Suku Tionghoa, Peranakan Tionghoa dan Integrasi Wajar Istilah Suku Tionghoa, mulai dipergunakan Siauw di berbagai acara Baperki pada tahun 1957-1958. Banyak pidato-pidato tidak tertulisnya menyinggung istilah suku 12 . Secara tertulis, ia mulai gunakan pada tahun 1958. Memang penggunaannya menimbulkan perdebatan pro dan kontra. Secara ilmiah sulit menyatakan komunitas Tionghoa yang tidak homogen sebagai salah satu suku bangsa Indonesia. Rupanya Siauw sendiri menghindari perdebatan ilmiah tentang istilah ini, sehingga tidak memberi penekanan khusus dalam berbagai tulisannya. Akan tetapi, ia gunakan istilah suku sebagai dasar argumentasi simbolik untuk melawan arus “asli” dan arus yang menuntut dihilangkannya ciri-ciri etnisitas Tionghoa dari nasion Indonesia. Siauw sangat dekat dengan ketua Parlemen, Sartono. Oleh Sartono, ia selalu diikutsertakan dalam delegasi parlemen keliling Indonesia dan luar negeri. Oleh karena itu Siauw berkesempatan mengunjungi berbagai pelosok Indonesia Seperti di atas Seperti di atas 12 Disampaikan kepada penulis oleh Oei Tjoe Tat, Phoa Thoan Hian dan Yap Thiam Hien 10 11
8
dan menemui beberapa komunitas Tionghoa yang bukan saja menjadi mayoritas penduduk tetapi juga sudah ber-ratus tahun menetap di daerah-daerah tersebut, di antaranya Bagan Siapi api, Singkawang, Bangka, Belitung, Binjai dan Tanggerang 13. Ia kerap menyatakan bahwa bilamana yang dijadikan ukuran dasar terbentuknya sebuah suku adalah beradanya sebuah kelompok etnis di sebuah lokasi di atas tiga atau empat generasi, komunitas-komunitas Tionghoa di berbagai lokasi tersebut bisa dinyatakan sebagai suku, karena memiliki corak hidup dan kebudayaan, termasuk bahasa, yang unik berkaitan dengan lokasi-lokasi yang dihuninya. Siauw menegaskan pula bahwa karena banyak orang Tionghoa di Indonesia sudah menetap di berbagai daerah Indonesia bergenerasi, bahkan tidak pernah meninggalkan kampung halamannya, dan kalau ke tempat lain di luar Indonesia akan merasa asing, mereka tidak berbeda dengan apa yang dinamakan penduduk "asli" 14. Pada tahun 1950-an, Siauw gigih melawan arus "asli-asli-an" yang menurutnya, dalam konteks Indonesia, tidak memiliki legitimasi Hukum dan sejarah pembentukan nasion Indonesia. Seperti yang digambarkan di atas, argumentasinya adalah: nasion Indonesia adalah a multi-race nation - nasion yang terdiri dari berbagai suku bangsa, nasion yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Untuk memperkuat argumentasi inilah Siauw menyamakan keberadaan komunitas peranakan Tionghoa sebagai suku. Ia menyatakan: "Wilayah Republik Indonesia terdiri dari 4,000 pulau besar dan kecil dan antara pulau ini tersebar hidup lebih dari 100 suku bangsa. Di antara 100 suku bangsa adalah suku bangsa Jawa, Sunda, Madura, Aceh, Minangkabau, Batak, Dayak, Bugis, Toraja, Bali, sasak, Melayu, Tionghoa, Arab dll. Jadi bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari banyak suku bangsa, banyak bahasa dan berbagai tingkat kebudayaan, tetapi mereka berasal dari satu rumpun bangsa, bahasa dan kebudayaan". Siauw mendukung argumentasi kesamaan rumpun ini dengan menyatakan bahwa terdapat penemuan tengkorak manusia yang berusia ratusan tahun di Trinil, Solo yang serupa dengan tengkorak manusia yang ditemui di Beijing. Demikian pula dengan tengkorak-tengkorak ratusan tahun yang ditemui di Jawa Timur serupa dengan yang ditemukan di Tiongkok Selatan dan daerah Asia lainnya 15. Akan tetapi Siauw sendiri tidak pernah mengklaim bahwa istilah suku itu datang darinya atau Baperki. Bahkan Ia cenderung menyatakannya sebagai istilah yang dipergunakan Sukarno, yang di hadapan massa Baperki pada bulan Maret 1963 dengan gamblang menyatakan bahwa peranakan Tionghoa adalah salah satu suku yang tidak terpisahkan dari nasion Indonesia 16. Siauw Giok Tjhan, Renungan pp 263-265 Seperti di atas 15 Renungan, pp. Siauw Giok Tjhan, Menuju Indonesia yang Baik, Ceramah untuk PPI Belanda, Amsterdam, 1981 16 Sambutan Sukarno di kongres nasional Baperki ke 8, Jakarta, 14 Maret 1963. 13 14
9
Tokoh-tokoh Baperki, Oei Tjoe Tat dan Phoa Thoan Hian menyatakan kepada penulis bahwa Siauw yang dekat dengan Sukarno menyampaikan kepadanya pokok-pokok sambutan yang ia harapkan Sukarno utarakan di acara Baperki tersebut. Ini tidak mengherankan. Beberapa isi pidato resmi Sukarno mengikutsertakan pula beberapa konsep Siauw tentang pembangunan ekonomi Indonesia yang berkaitan dengan pengembangan modal domestik. Bahkan rumusan Siauw masuk dalam GBHN MPRS 1964. Siauw berpendapat bahwa apa yang disabdakan oleh Sukarno pada zaman Demokrasi terpimpin tentu jauh lebih berpengaruh dari apa-pun yang dinyatakan atau dihimbau oleh Siauw atau Baperki. Pada tahun 1981, walaupun istilah suku sudah dipergunakannya sejak tahun 1958, ia menyatakan:" Saya gembira karena salah satu hasil perjuangan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia, yang lebih dikenal sebagai Baperki, ternyata diakui dan dikokohkan. Baik dikemukakan, bahwa istilah “suku” bagi peranakan Tionghoa untuk pertama kali digunakan oleh Presiden Sukarno, dalam pidato sambutannya pada pembukaan Kongres Baperki di Jakarta, tanggal 13 Maret 1963. Bung Karno sebagai Presiden RI pertama, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia dan diakui sebagai Penggali Pancasila, tentu adalah orang yang paling competent untuk memberi penjelasan kedudukan golongan peranakan Tionghoa di Indonesia sebagai salah satu suku dari banyak suku yang hidup di Indonesia. Golongan peranakan Tionghoa sebagai salah satu suku dari masyarakat Indonesia, merupakan satu kesatuan tubuh masyarakat Indonesia yang tidak bisa dipisahkan"17. Tulisan-tulisan dan pidato-pidato Siauw pada tahun 60-an, terutama setelah tahun 1963, di waktu mana kebijakan ‘asli-asllian’ sudah berkurang, tidak lagi menekankan istilah suku Tionghoa. Apalagi setelah paham asimilasi dicanangkan. Ketepatan paham integrasi; penyelesaian masalah kewarganegaraan dan dwikewarganegaraan; pengembangan modal domestik dalam mewujudkan sosialisme ala Indonesia; pengembangan program pendidikan Baperki lebih diutamakan. Siauw menganggap semua orang Tionghoa yang lahir di Indonesia sebagai peranakan Tionghoa. Ia kerap pula meng-kategorikan Tionghoa yang lahir di Indonesia sebagai "golongan keturunan Tionghoa". Dalam konteks ini, ia memang sengaja tidak membedakan golongan totok (mereka yang masih ber-orientasi ke Tiongkok, menggunakan dialek Tionghoa dalam pembicaraan sehari-hari dan masih mempertahankan kebudayaan Tionghoa) dengan mereka yang dikatakan "baba" atau peranakan (golongan yang sudah berakulturasi dengan Indonesia). Rupanya pertimbangan ini berdasarkan pengamatannya bahwa sebagian terbesar Tionghoa yang lahir di luar pulau Jawa adalah komunitas yang memiliki atribut totok. Ini tentunya sesuai dengan dasar perjuangannya yang bersandar atas janji para pendiri RI yang tertuang dalam Maklumat Politik 1 November 1945.
17
Siauw Giok Tjhan, Menuju Indonesia yang Baik, ceramah untuk PPI Belanda, Amsterdam, September 1981
10
Semua yang lahir di Indonesia ingin diajaknya untuk menjadi WNI dan menerima Indonesia sebagai tanah air. Berdasarkan uraian di atas, penulis yakin bahwa rumusan Sukarno tentang peranakan Tionghoa, yang dituturkan dalam sambutannya di Kongres Baperki pada tahun 1963, pun sama dengan apa yang dikehendaki oleh Siauw. Berkaitan dengan argumentasi bahwa Nasion Indonesia adalah nasion yang berBhinneka Tunggal Ika; nasion yang terdiri dari banyak suku bangsa, termasuk suku Tionghoa; nasion yang mengenal dan menghargai adanya perbedaan etnisitas suku dan kebudayaan yang berkembang di Indonesia, Siauw dan Baperki mendasari perjuangan pembangunan nasion Indonesia atas paham integrasi wajar. Banyak orang menganggap istilah Integrasi baru dipergunakan setelah paham asimilasi lahir dan dikembangkan oleh LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa) yang resmi didirikan atas dukungan Angkatan Darat pada tahun 1961. Akan tetapi istilah ini sudah dipergunakan oleh Baperki dan Siauw pada tahun 1958-an. Pada tahun ini, Sukarno memberi sambutan tertulis pada kongres ke Baperki. Sambutan tertulis yang sebenarnya disiapkan oleh Siauw ini menyatakan: "bangsa Indonesia menurut kenyataan terdiri dari berbagai macam suku dan keturunan, di samping mengenal ratusan bahasa daerah. Usaha mempercepat proses integrasi bangsa untuk mencapai satu "nation" yang bebas dari prasangka keturunan (racial prejudice) dan bebas dari rasa takut akan dianak tirikan, memerlukan waktu dan keuletan berjuang.... Dalam hubungan ini patut sekali diperhatikan bahwa ditinjau dari sudut ekonomi, masalah golongan kecil (minority problem) bagi negara seperti Indonesia kita ini, sesungguhnya adalah satu masalah menghapuskan sifat-sifat "underdeveloped" dan mencapai "full employment". Dengan demikian penyelesaian bukanlah dengan jalan mengadakan diskriminasi rasial atau main asli-asli-an... Soalnya yalah: bagaimana meratakan kesejahteraan" 18. Istilah Integrasi secara tertulis kembali dipergunakan oleh Siauw pada tahun 1960, pada Kongres Baperki ke delapan di Semarang, Desember 1960, dalam membeberkan beberapa tugas pokok Baperki, diantaranya: "memperlancar proses integrasi nasional dengan membiasakan massa pendukung Baperki bekerja sama untuk berjuang bersama massa tani, massa buruh dan massa rakyat lainnya guna mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi untuk menyelamatkan dan memperkokoh kehidupan sebagai bangsa (nation) yang merdeka dan berdaulat penuh dengan mencerminkan perwujudan jiwa Bhinneka Tunggal Ika" 19. Beberapa tokoh Tionghoa yang pernah berada dalam barisan Baperki, Kwee Hwat Djien, Kwik Hay Gwan dan Auwyang Peng Koen dan juga beberapa Sambutan Tertulis Sukarno pada Kongres Baperki, Solo, Maret 1958. Penulis memiliki naskah asli yang diketik oleh Siauw dengan mesin tik-nya. Seluruh naskah tersebut, tanpa perubahan keluar sebagai sambutan tertulis Sukarno. 19 laporan Ketua Umum Baperki: Menyelesaikan Segala Persoalan Kewarganegaraan dalam rangka Membantu Pergerakan Funds and Forces Progresif untuk Melaksanakan Manipol, Semarang, 25-28 Desember 1960 18
11
peranakan Tionghoa lainnya, seperti Lauw Chuan To dan Ong Hok Ham mulai memformulasi konsepsi asimilasi pada tahun 1960. Konsepsi ini menganjurkan bahwa jalan keluar yang terbaik untuk memecahkan masalah minoritas Tionghoa adalah dengan meleburnya komunitas Tionghoa ini dengan komunitas mayoritas sehingga ciri-ciri ke-Tionghoaan komunitas itu hilang. Proses ini dimulai dengan mengganti nama-nama Tionghoa menjadi nama-nama non Tionghoa, melakukan kawin campuran untuk menghilangkan ciri-ciri ke-Tionghoa-an dan menanggalkan kebudayaan Tionghoa. Formulasi ini kemudian diresmikan sebagai program politik organisasi yang dinamakan LPKB - Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa, yang disponsori Angkatan Darat. Latar belakang perjuangan Siauw dan Baperki yang dituturkan di atas tentunya bertentangan dengan konsepsi asimilasi. Istilah integrasi kemudian dikembangkan oleh Siauw dan Baperki sebagai jalan keluar yang jauh lebih efektif dalam penyelesaian masalah minoritas Tionghoa. Sesuai dengan pengertian bahwa nasion Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang tidak harus dilebur atau dibaur sehingga ciri-ciri biologis maupun etnisitas para suku itu hilang, Siauw berargumentasi bahwa yang harus diupayakan adalah komunitas Tionghoa mengintegrasikan dirinya bersama suku bangsa lainnya membangun nasion Indonesia. Ia memberi contoh kegagalan Amerika Serikat yang melaksanakan konsep Melting Pot untuk menyelesaikan masalah komunitas African Americans dan menyitir keberhasilan integrasi di Soviet Uni dan RRT. Perbedaan hakiki di antara dua paham ini berdasar atas pengertian apakah Indonesia adalah sebuah nasion atau sebuah race dan apakah hilangnya ciri-ciri biologis Tionghoa memegang peranan dalam kesetiaan atau ke-patriotik-kan seseorang terhadap Indonesia. Keterlibatan Baperki dalam bidang Pendidikan Sebelum Perang Dunia II sebagian besar siswa Tionghoa belajar di sekolahsekolah berbahasa Tionghoa, yang pada umumnya dijalankan oleh Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK). Mereka yang berada mengirim anak-anaknya ke sekolahsekolah berbahasa Belanda (HCS, ELS, MULO, AMS atau HBS). Hanya sebagian kecil mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah berbahasa Indonesia. Di zaman pendudukan Jepang, sekolah-sekolah Belanda ditutup dan siswa-siswa Tionghoa tidak diizinkan untuk pergi ke sekolah-sekolah berbahasa Indonesia. Oleh karena itu, semua siswa Tionghoa tidak ada pilihan lain melainkan pergi ke sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa. Setelah kemerdekaan pada tahun 1945, penduduk peranakan di beberapa kota besar mulai mengorganisasi sekolah-sekolah yang menggunakan kurikulum Belanda. Sekolah-sekolah ini mengakomodasi ribuan siswa yang ingin meneruskan pelajaran dalam bahasa Belanda. Sebagian dari mereka ini ingin meneruskan studi-nya di negeri Belanda. Angkatan Muda Tionghoa (AMT) yang dibentuk oleh Siauw Giok Tjhan dan dipimpin oleh adiknya, Siauw Giok Bie, di Malang pada tahun 1945, juga 12
mendirikan sekolah yang menampung ratusan siswa Tionghoa yang ingin meneruskan pendidikan Belanda. Sekolah AMT berlangsung hingga tahun 1948. Setelah kemerdekaan, hingga akhir tahun 50-an, sebagian besar komunitas Tionghoa masih mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah Tionghoa. Bukan karena mereka tidak menginginkan anak-anaknya memperoleh pendidikan Indonesia, tetapi karena tempat di sekolah-sekolah negeri terbatas dan mereka merasa mutu pendidikan yang anak-anaknya peroleh di sekolah-sekolah Tionghoa memenuhi harapannya. Adanya kenyataan bahwa banyak siswa Tionghoa WNI belajar di sekolahsekolah Tionghoa pada tahun 50-an menimbulkan sebuah kontroversi. Pada awal tahun 1954, Sutan Takdir Alisjahbana, seorang penulis yang ternama dan anggota DPRD Jakarta mewakili PSI, mengajukan mosi di DPRD menuntut dikeluarkannya 200.000 siswa Tionghoa WNI dari sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa yang dijalankan oleh organisasi-organisasi Tionghoa asing. Mosi-nya juga menuntut diubahnya sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa ini menjadi sekolah-sekolah nasional, kalau jumlah WNI yang belajar di sana melebihi 25%. Walaupun Takdir mengakui bahwa jumlah sekolah nasional tidak cukup untuk menampung siswasiswa WNI yang pada waktu itu belajar di sekolah-sekolah Tionghoa, ia menyatakan bahwa masyarakat Tionghoa cukup kaya untuk bisa membangun sekolah-sekolah yang ber-kurikulum nasional untuk anak-anaknya. Siauw Giok Tjhan mengecam mosi ini. Dalam pernyataan yang dimuat dalam beberapa surat kabar pada bulan Juli 1954, Siauw mengatakan bahwa sampai pemerintah menyediakan sekolah-sekolah yang bisa menampung semua warga negaranya, siswa-siswa Tionghoa WNI harus diberi kebebasan memilih tempat di sekolah-sekolah yang bisa menampungnya. Banyaknya siswa Tionghoa WNI yang belajar di sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa tidak bisa diartikan mereka tidak bersedia mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah nasional. Mereka terpaksa berbuat demikian karena memang sekolah-sekolah nasional tidak bisa menampungnya. Untuk mencapai kesepakatan, Siauw mengundang Sutan Takdir Alisjahbana untuk bertemu dengan beberapa pemimpin Baperki lainnya. Pertemuan ini diadakan pada tanggal 4 Agustus 1954. Walaupun pertemuan itu tidak melahirkan sebuah kesimpulan kongkrit, ia berhasil mematahkan upaya sementara tokoh politik yang berkeinginan mengeluarkan peraturan melarang siswa-siswa Tionghoa WNI belajar di sekolah-sekolah Tionghoa. Pada bulan Maret 1955, pemerintah mendirikan beberapa Sekolah Rakyat Percobaan khusus untuk masyarakat Tionghoa WNI. Siauw menganggap konsep ini mendorong diulanginya sistim penjajahan Belanda yang meng kotak-kotakan masyarakat. Sesuai dengan langgam kerja Siauw untuk melahirkan jalan keluar dari masalah yang dihadapi, pada bulan Mei 1955, Baperki menyelenggarakan sebuah konperensi tentang pendidikan dan kebudayaan. Konperensi ini menentang program Sekolah Rakyat Percobaan. Konperensi ini menyepakati Baperki
13
mendirikan sekolah-sekolah yang memiliki kurikulum nasional, yang terbuka untuk semua WNI. Akan tetapi karena kesibukan Baperki dalam kampanye Pemilihan Umum 1955, dan fokus perjuangan yang berkaitan dengan masalah Kewarganegaraan Indonesia menangguhkan rencana pendirian sekolah-sekolah Baperki. Walaupun demikian beberapa cabang Baperki di daerah mendirikan sekolahsekolah dasar pada tahun 1956. Dimulai dari Jakarta, Garut, Tanggerang, Cilamaya, Kudus dan Kediri di pulau Jawa dan Bagan Siapi api di Sumatra. Berdirinya Sekolah-Sekolah Baperki Masalah kehadiran siswa-siswa Tionghoa WNI di sekolah-sekolah Tionghoa diangkat ke permukaan lagi pada tahun 1957. Setelah Keadaan darurat (SOB) diumumkan pada tahun 1957, penguasa militer di berbagai daerah, terdorong oleh perasaan anti-komunis, menutupi sekolah-sekolah Tionghoa asing dan melarang WNI belajar di sekolah-sekolah Tionghoa. Ini dimulai di Nusatenggara Barat pada bulan Mei 1957. Semua sekolah Tionghoa di kawasan itu ditutup. Dalam beberapa bulan, penguasa militer di kotakota lainnya melakukan hal yang sama. Pada bulan November 1957, kebijakan ini dilaksanakan di Jakarta. Walaupun tidak semua sekolah Tionghoa ditutup, jumlah yang diizinkan untuk berjalan jauh lebih sedikit. Peraturan dikeluarkan untuk mempertegas definisi sekolah nasional. Sekolah-sekolah nasional harus dipimpin oleh kepala sekolah yang WNI dan guru-guru yang mengajar-pun harus WNI. Pada tahun yang sama, peraturan ini diperkeras. Semua kepala sekolah dan guru dari sekolah-sekolah Tionghoa diwajibkan lulus ujian bahasa Indonesia (tertulis dan lisan). Jumlah guru yang berstatus asing harus dibatasi. Pada bulan Juli 1958, jumlah sekolah Tionghoa turun dari 2000 hingga 850 dan jumlah murid yang belajar di sekolah-sekolah Tionghoa turun dari 425.000 hingga 150.000. Sebagian besar dari 250.000 yang dikeluarkan dari sekolah-sekolah Tionghoa adalah siswa-siswa Tionghoa WNI. Situasi yang digambarkan ini mendorong Baperki untuk mendirikan lebih banyak sekolah yang bisa menampung para siswa yang kehilangan tempat sekolah. Pada 8 Pebruari 1958 Baperki mendirikan Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan, yang diketuai oleh Siauw Giok Tjhan. Yayasan ini ditugaskan untuk membangun, mengasuh dan mengkontrol jalannya sekolah-sekolah Baperki. Baperki bergerak cepat. Atas bantuan para kawan dekat Siauw yang menjadi pimpinan Chiao Chung, terutama Sito Chang, Go Gak Cho, Kho Nai Chong dan Kho Ie Sioe, Baperki bekerja sama dengan para pengelola sekolahsekolah Tionghoa. Dalam waktu singkat, Baperki bisa memiliki gedung-gedung sekolah menampung ribuan siswa yang kehilangan tempat sekolah. Pada tahun 1960, jumlah sekolah yang dijalankan oleh Baperki adalah 96, sebagian besar darinya adalah sekolah-sekolah dasar dan menengah.
14
Baperki mengambil alih gedung-gedung sekolah-sekolah Tionghoa yang ditutup. Terdapat juga sekolah-sekolah besar yang dibagi dua. Murid-murid WNI ditampung oleh sekolah Baperki. Kalau jumlah yang WNI lebih besar, maka bagian Baperki lebih besar pula. Penyerah-terimaan sekolah-sekolah ke tangan Baperki dilaksanakan secara cuma-cuma. Baperki berhasil meyakinkan pimpinan Chiao Chung dan para pengelola sekolah Tionghoa bahwa mereka-pun harus turut berpartisipasi membantu komunitas Tionghoa WNI. Baperki berhasil pula mendorong sumbangan besar para pedagang Tionghoa, sehingga dalam waktu singkat, sekolah-sekolah Baperki ini berjalan lancar dan dapat menjamin kualitas pendidikannya. Keterlibatan Baperki dalam bidang pendidikan dan pemilikan sekolahsekolah sempat menjadi topik perdebatan dalam sebuah rapat pimpinan Baperki. Yap Thiam Hien khawatir kegiatan Baperki dalam bidang pendidikan akan memperlemah upayanya mengatasi masalah kewarganegaraan dan arus rasisme. Yap juga khawatir bahwa Baperki tidak akan mampu menjalankan sekolahsekolah dengan baik karena masalah dana. Akan tetapi Siauw berhasil meyakinkan Yap bahwa keterlibatan Baperki dalam bidang pendidikan secara langsung menanggulangi masalah kongkrit yang dihadapi komunitas Tionghoa dan ini memperbesar dukungan komunitas Tionghoa. Siauw yakin bahwa dana untuk pengelolaan institusi pendidikan akan terus mengalir. Ternyata dugaan Siauw tidak meleset. Semasa hidupnya, Baperki tidak pernah mengalami kesulitan dana untuk kegiatan dalam bidang pendidikan. Sebagian besar kebutuhan dana tertutup oleh uang sekolah. Orang tua yang mampu diimbau untuk memberi sumbangan besar sedangkan yang tidak mampu diberi tarif murah, bahkan cuma-cuma. Untuk pembangunan gedung dan fasilitas baru, Baperki berpaling ke para pedagang Tionghoa yang pada umumnya selalu bersedia menyumbang. Jumlah sekolah Baperki meningkat pesat sejak pendirian Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki pada tahun 1958. Pada tahun 1961, jumlah sekolah yang terdaftar adalah 107. 27 di Jakarta, 17 di Jawa Barat, 12 di Jawa Tengah, 33 di Jawa Timur, 4 di Sumatra Selatan, 10 di Sumatra Utara, 1 di Bali dan 2 di Sulawesi. Pada tahun 1965, jumlah ini meningkat melebihi 170. Di kota-kota besar, mutu pendidikan sekolah Baperki dianggap tinggi dan tidak kalah dengan sekolah-sekolah swasta yang terkenal. Banyak guru-guru yang mengajar di sekolah-sekolah swasta mahal ini juga mengajar di sekolah-sekolah Baperki. Lahirya Universitas Baperki Setelah mendirikan beberapa Sekolah Menengah Atas (SMA), Baperki menghadapi dilema baru. Lulusan sekolah-sekolah ini tetap mengalami kesulitan untuk mendapatkan tempat di universitas-universitas negara, yang pada 15
umumnya memberi pembatasan untuk siswa Tionghoa. Jumlah siswa Tionghoa tidak bisa lebih dari 10% dari jumlah total siswa yang diterima. Pada tahun 1958, beberapa siswa Tionghoa yang lulus SMA dengan angka gemilang ternyata tidak bisa masuk Universitas Indonesia. Walaupun tidak ada penjelasan dari pihak universitas, para siswa ini mengetahui bahwa kegagalannya untuk masuk Universitas Indonesia disebabkan oleh ke-Tionghoa-annya. Situasi ini mendorong pimpinan Baperki untuk mendirikan universitas Baperki. Yang pertama didirikan adalah Akademi Fisika dan Matematika dengan tujuan mendidik guru-guru sekolah menengah. Setelah Baperki mendapatkan dana yang lebih besar, Baperki mulai mewujudkan pendirian Universitas Baperki yang disingkat UBA. Pada bulan September 1959, Fakultas kedokteran Gigi didirikan. Pada bulan November di tahun yang sama, Fakultas Teknik yang mencakup teknik mesin, elektro dan sipil, dimulai. Pada tahun 1962, Fakultas Kedokteran dan Sastra diresmikan. Dalam mengembangkan universitas Baperki, Siauw banyak menengok pada keberhasilan RRT mencapai kemajuan pesat dalam waktu yang singkat. Menurutnya, kemajuan pesat itu dicapai karena adanya pengembangan bidang teknologi. Oleh karenanya, dalam berbagai rapat Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki, ia menitik beratkan pendidikan teknologi dengan penekanan teknologi praktis. Dalam konteks ini, Siauw menganjurkan para dekan Universitas Baperki untuk mengembangkan program pendidikan yang mengawinkan teori dan praktek, sehingga lulusan-lulusan universitas Baperki bisa dengan cekatan mengetrapkan pengetahuannya dalam masyarakat. Siauw gagal menarik banyak tokoh politik "asli" untuk aktif dalam Baperki. Akan tetapi ia cukup berhasil menarik banyak akademikus non-Tionghoa untuk membantu pengembangan universitas Baperki, diantaranya Pudjono Hardjo Prakoso sebagai Dekan Fakultas Teknik, dan Ernst Utrecht sebagai Dekan Fakultas Ekonomi dan Hukum. Yang menjadi Rektor pertama adalah kawan Siauw di parlemen, Ferdinand Lumban Tobing. Ia adalah seorang dokter Batak yang pernah menjadi menteri di dalam beberapa kabinet di zaman Demokrasi Parlementer. Pada waktu Tobing dikukuhkan sebagai rektor, Siauw menyatakan bahwa dipilihnya Tobing sebagai Rektor mencerminkan semangat Bhinneka Tunggal Ika, dasar perjuangan Baperki. Beberapa bulan setelah Universitas Baperki didirikan, Tan Kah Kee, pemimpin Tionghoa yang menetap di Singapura yang mengenal Siauw sejak zaman pendudukan Jepang ketika ia bersembunyi di Batu, menawarkan Siauw untuk mengambil tanah miliknya yang terletak dekat Ancol, Jakarta untuk digunakan sebagai lahan universitas Baperki, cuma-cuma. Setelah ditinjau, tanah ini memerlukan ongkos pengurukan yang besar. Oleh karenanya diputuskan untuk membangun gedung-gedung universitas di tanah yang disediakan untuk Baperki oleh Gubernur Jakarta, Sumarno, di Grogol.
16
Pada tahun 1962 Baperki mendirikan kampus di Surabaya dengan fakultasfakultas Teknik, Hukum dan Farmasi. Cabang Surabaya ini dipimpin Profesor Gondowardojo, rektor Universitas Airlangga. Jumlah mahasiswa pada tahun ini meningkat tinggi. Jumlah mahasiswa yang tercatat melebihi 3000 orang, 2,490 di Jakarta dan 592 di Surabaya. Ketika Rektor Tobing meninggal pada tahun 1963, Siauw menunjuk Nyonya Utami Suryadarma, isteri Kepala Staf Angkatan Udara, Komodor Suryadarma, untuk menggantikannya. Ia menjadi Rektor perempuan pertama di Indonesia. Pada tahun yang sama, Siauw menganjurkan pengubahan nama universitas Baperki menjadi Universitas Respublica, diambil dari pidato Sukarno, yang diucapkan di Konstituante pada tahun 1959 berjudul: “Res Publica, sekali lagi Res Publica". Siauw menganggap nama Res Publica mencerminkan semangat dan jiwa Baperki dalam dunia pendidikan. Res Publica berarti untuk kepentingan umum. Universitas Baperki didirikan sebagai respons positif terhadap adanya diskriminasi rasial. Universitas Baperki menentang diskriminasi yang merusak pembangunan bangsa. Sejak saat itu universitas ini lebih dikenal sebagai Ureca. Demikianlah Ureca berkembang maju. Daftar dosen yang mengajar di Ureca sangat mengesankan. Banyak dosen ternama yang mengajar di UI dan ITB, mengajar pula di Ureca. Banyak pula tokoh teknorat yang ternama memperkuat tim pengajar Ureca. Pada tahun 1964, departemen PTIP (Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan) menyamakan lulusan sarjana muda dalam bidang teknik, kedokteran gigi, ekonomi dan hukum dari Ureca dengan lulusan sarjana muda para universitas negara. Pada tahun 1965, lulusan fakultas teknik dan kedokteran gigi Ureca juga diakui sebagai sarjana penuh. Pada tahun 1964, jumlah mahasiswa Ureca tercatat 4000, 300 darinya adalah sarjana muda yang diakui sah oleh negara. Pada tahun 1965, sebelum pergantian politik pada bulan Oktober, jumlah mahasiswa yang terdaftar melebihi 6000. Ureca menjalankan program orientasi yang unik. Perpeloncoan untuk mahasiswa baru dilarang. Para mahasiswa baru ditugaskan untuk membersihkan jalan-jalan di daerah kota sebagai tanda terima kasih atas bantuan yang diberikan oleh para pedagang Tionghoa. Para mahasiswa Ureca diimbau untuk membantu usaha pembangunan gedung-gedung universitas. Para mahasiswa teknik-nya bekerja sama dengan para dosen untuk mendesain gedung-gedung serta fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan. Dengan jalan gotong royong ini, banyak gedung bisa diselesaikan pada waktunya dengan ongkos pembangunan yang relatif rendah. Ureca adalah satu-satunya universitas di Indonesia yang dibangun oleh para mahasiswanya. Sesuai dengan prinsip Res Publica yang digambarkan di atas, Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki mengeluarkan kebijakan untuk tidak melaksanakan diskriminasi atas dasar ras, agama, aliran politik maupun status kewarganegaraan.
17
Oleh karena itu yang diterima benar-benar mewakili aneka ragam latar belakang. Ada yang berhaluan kiri, ada yang berhaluan kanan, banyak yang beragama Buddha dan Kong Hu Cu, cukup banyak yang beragama Katolik dan Kristen. Ada pula pribumi, walaupun merupakan minoritas. Sebagian besar yang masuk adalah Tionghoa. Dan cukup banyak adalah Tionghoa totok yang berstatus asing. Banyak pula yang masuk dari sekolah-sekolah Tionghoa. Ketika hal ini dimasalahkan, Siauw menegaskan bahwa walaupun mereka berstatus asing, mereka tetap penduduk Indonesia yang bisa menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk membangun Indonesia. Di samping itu, Siauw menegaskan bahwa salah satu tugas Baperki adalah mengajak sebanyak mungkin komunitas Tionghoa untuk menjadi WNI. Kebijakan ini mendorong lebih banyak lagi orang Tionghoa totok memberikan sumbangan-sumbangan dalam jumlah besar. Karena reputasi Ureca baik dan kualitas pendidikannya dianggap tinggi, cukup banyak mahasiswa "asli" yang tertarik untuk masuk. Beberapa rekan Siauw di DPRGR meminta bantuannya supaya anak-anak mereka bisa diterima di Ureca. Untuk mendorong masuknya mahasiswa-mahasiswa "asli", Baperki mengadakan persetujuan dengan Taman Siswa. Baperki memberi beasiswa pada beberapa mahasiswa Taman Siswa yang berprestasi untuk belajar di Ureca. Menjelang Mei 1965, Ureca mempunyai cabang-cabang di beberapa kota besar lainnya termasuk Medan (Fakultas Ekonomi dan Pendidikan), Semarang (Fakultas Kedokteran), Jogjakarta (Fakultas Ekonomi). Sebelum peristiwa G30S, pembangunan gedung-gedung Ureca di Malang, Solo, Cirebon, Bandung juga sudah dimulai. Upaya yang berkembang dengan pesat ini buyar dalam sekejap mata, karena pergantian politik pada bulan Oktober 1965. Bisa dibayangkan bagaimana besar dan positif dampak kehadiran cabang-cabang Ureca di berbagai pelosok Indonesia. Institusi-institusi pendidikan yang akan menghasilkan banyak akhli membangun Indonesia. Kegiatan Politik di Sekolah-Sekolah Baperki dan Ureca Siauw menggunakan institusi pendidikan Baperki memperdalam pengertian kewarganegaraan dan pembangunan nasion Indonesia. Ia berkeyakinan bahwa pendidikan dari SD hingga tingkat universitas adalah sarana efektif mendidik komunitas Tionghoa untuk menerima Indonesia sebagai tanah air dan mengajaknya untuk berpartisipasi membangun nasion Indonesia. Siauw menyenangi penggunaan definisi-definisi yang sederhana untuk memperbesar animo orang berpartisipasi dalam berbagai kegiatan politik dan sosial. Sekolah-sekolah dan universitas Baperki didorong untuk memahami PancaCinta: a. Cinta tanah air dan bangsa Indonesia b. Cinta kemanusiaan dan perdamaian 18
c. Cinta pengetahuan dan kebudayaan d. Cinta bekerja e. Cinta orang tua Mata pelajaran wajib Civic di Ureca dibina dan dikelola oleh Siauw sendiri. Siauw menguraikan perkembangan sejarah dan partisipasi golongan Tionghoa dalam mencapai kemerdekaan. Masalah Nation Building dan pengintegrasian suku Tionghoa ke dalam tubuh bangsa Indonesia menjadi inti pendidikan politik di Ureca. Diktat-diktat kuliah Siauw dijadikan bahan bacaan untuk semua mahasiswa. Bahan-bahan inilah juga dipergunakan oleh banyak guru-guru civic di sekolahsekolah Baperki sebagai pedoman bahan pengajarannya. Penekanan untuk menjadi orang Indonesia yang baik dan menerima manipol sebagai pedoman politik, menyebabkan institusi pendidikan Baperki unik. Di situlah pemuda pemudi Indonesia melalui sebuah prose peng-Indonesia-an yang efektif, proses pembangunan nasion Indonesia yang bernuansa politik. Bahan pendidikan yang digunakan sekolah-sekolah Tionghoa yang berhaluan kiri diperoleh dari Tiongkok. Kurikulum pendidikannya didasari atas kebutuhan untuk mempersiapkan para siswa supaya bisa meneruskan studi-nya di universitas-universitas Tiongkok. Bahan pendidikan yang berkaitan dengan sejarah dan politik memiliki penekanan nasionalisme Tiongkok dan penuturan sejarah perjuangan Mao Ze Dong dalam memenangkan revolusi Tiongkok. Oleh karena itu bahan-bahan yang mendekatkan para siswa dengan kebudayaan Indonesia dan politik Indonesia sangat terbatas. Di sekolah-sekolah Baperki dan Ureca, yang digunakan adalah kurikulum nasional. Hubungan pelajar dengan sejarah, kebudayaan dan politik Indonesia dipererat. Para siswa Baperki didorong untuk mengenal dan mencintai kebudayaan Indonesia. Pendidikan menanamkan pengertian bahwa Tiongkok bukan tanah air para siswa Baperki. Indonesia-lah tanah air mereka. Dengan demikian, melalui program pendidikan semacam ini, Baperki secara sistimatik meng-Indonesia-kan para siswa-nya, baik yang peranakan maupun yang totok. Yang menarik adalah kenyataan bahwa sebagian besar pimpinan organisasi pelajar dan mahasiswa di sekolah-sekolah Baperki dan Ureca berasal dari kelompok totok. Mereka lebih militan dan mempunyai kesungguhan dalam keaktifan di bidang politik. Ini disebabkan latar belakangnya. Pendidikan sekolahsekolah Tionghoa memperkenalkan mereka tentang kisah-kisah militan revolusi Tiongkok. Mereka lebih siap terjun dalam kegiatan politik dibandingkan para siswa yang berasal dari kelompok peranakan. Pada tahun 1959, Siauw mendorong dibentuknya PPI (Permusyawaratan Pemuda Indonesia) di Jakarta. Keanggotaannya mencakup pelajar dan pemuda. Banyak pelajar sekolah-sekolah Baperki dan mahasiswa-mahasiswa Ureca menjadi anggotanya. Organisasi ini diberi tugas untuk menyebar-luaskan program-program Baperki dan mempromosikan kebudayaan Indonesia. Dalam bidang kebudayaan, para anggota PPI didorong untuk menguasai tarian-tarian Indonesia. Para anggota PPI inilah yang mendorong terbentuknya Tim 19
Kesenian Ureca. Acara-acara kesenian yang diselenggarakan di kampus URECA senantiasa menonjolkan kebudayaan Indonesia. Baperki sering menyatakan bahwa ke-Indonesiaan para pemuda Baperki tercermin dari kemampuannya mementaskan kebudayaan Indonesia dengan baik. Kualitas tarian dan kemampuan para penari pemuda pemudi Baperki menyebabkan Sukarno beberapa kali memintanya melakukan pertunjukan di acara-acara resmi pemerintah. Kegiatan PPI didukung oleh organisasi-organisasi pelajar yang didirikan di setiap sekolah Baperki, dinamakan Ikatan Pelajar Anggota-anggota Ikatan Pelajar ini dilatih untuk berorganisasi, melakukan diskusi-diskusi politik dan mengeluarkan majalah-majalah berkala. Kegiatan agrikultur dianjurkan di sekolah-sekolah Baperki. Pada waktu Sukarno mencanangkan konsep Berdikari pada tahun 63, tanah-tanah kosong di setiap sekolah Baperki diubah menjadi perkebunan jagung. Para mahasiswa teknik Ureca didorong untuk belajar membuat alat-alat pertanian. Pada tahun 1965, program kerja sama antara Ureca dan BTI (Barisan Tani Indonesia) disetujui. Ini dijadikan landasan usaha penelitian Ureca untuk menghasilkan produk yang bisa digunakan oleh para petani. Kegiatan politik di sekolah-sekolah Baperki dan Ureca lebih menonjol setelah tahun 1964. Kongres Baperki pada tahun 1964 menyetujui usul agar para pelajar sekolah-sekolah Baperki masuk ke IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia). Tidak lama setelah itu, Siauw mengumumkan bahwa 6000 pelajar Baperki menjadi anggota-anggota IPPI. Cukup banyak pelajar-pelajar sekolah Baperki menjadi pimpinan IPPI. Menjelang akhir 1965, Siauw dan Goei Hok Gie, ketua umum Perhimi mempersiapkan persetujuan di mana Perhimi dijadikan afiliasi organisasi mahasiwa Baperki. Persetujuan belum sampai diresmikan ketika peristiwa G30S meletus. Mahasiswa Ureca, seperti para siswa di sekolah-sekolah Baperki dianjurkan untuk belajar berorganisasi. Setiap Fakultas memiliki Senat Mahasiswa yang mengkoordinasi berbagai kegiatan organisasi ke-mahasiswaan di fakultas tersebut. Ketua dan wakil ketua setiap Senat bergabung di dalam sebuah wadah yang dinamakan Dewan Mahasiswa. Melalui pimpinan Dewan Mahasiswa inilah berbagai kebijakan Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki, terutama garis perjuangan Baperki disebar luaskan ke para mahasiswa. Mulanya kegiatan politik di kampus-kampus Ureca terbatas pada inisiatif yang diambil oleh PPI. Akan tetapi setelah tahun 1962, kegiatan politik di kampuskampus didominasi oleh Perhimi (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia yang di pada tahun 50-an bernama Ta Hshue Hsue Seng Hui). Disamping Perhimi, aktif juga PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik Indonesia) dan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia). Siauw sendiri kurang menyetujui arus ke kiri yang berkembang di Ureca. Ia memang cenderung meletakkan posisi Baperki dan semua institusi pendidikannya di posisi netral. Polarisasi politik yang mengarah ke kiri setelah tahun 1963 ternyata
20
sulit dibendung. Pengaruh PKI di berbagai lapisan menanjak. Siauw mengkhawatirkan para mahasiswa Ureca akan disalah gunakan. Kegiatan politik di kampus Ureca-pun mencerminkan polarisasi politik. CGMI yang kiri cukup sering bertentangan dengan PMKRI yang kanan. Akan tetapi pertentangan ini tidak mencapai sifat destruktif. Semangat bekerja sama dan kesetiakawanan masih terpupuk baik. Menjelang akhir 1965, banyak pimpinan dewan mahasiswa Ureca masuk Pemuda Rakyat dan CGMI, kedua-duanya berafiliasi dengan PKI. Pada acaraacara perayaan organisasi-organisasi ini, sumbangan tenaga dan materi para mahasiswa Baperki sangat diharapkan. Inilah yang menyebabkan banyak yang menjadi korban keganasan rezim Orde Baru. Cukup banyak pimpinan Dewan Mahasiswa yang ditahan, bahkan ada yang dibuang ke pulau Buru. Berakhirnya Ureca Peristiwa G30S sekejap mengubah politik Indonesia secara dramatik. Kekuatan kiri yang tampak berada di atas angin sebelum 1 Oktober 1965, dalam sekejap berubah menjadi buronan dan kekuatan yang dipersekusi. Dalam waktu singkat setelah 1 Oktober 1965, Jendral Suharto berhasil memobilisasi Angkatan Darat dan sebagian besar kekuatan politik kanan yang sebelum 1 Oktober berada di posisi yang terpojok, melakukan pembantaian yang luar biasa kejamnya. Sekitar dua juta orang yang dianggap berkaitan dengan PKI dan para ormasnya dibantai. 500 ribu orang lainnya dimasukkan ke dalam penjara. 100 ribu diantaranya, termasuk Siauw Giok Tjhan dan banyak pimpinan Baperki lainnya, harus meringkuk dalam penjara tanpa proses pengadilan apa-pun selama belasan tahun. Teror kejam ini dilakukan oleh negara dan aparat militer yang seharusnya melindungi rakyat dan menegakkan hukum. Tuduhannya adalah G30S didalangi oleh PKI. Padahal jelas PKI dan para ormasnya tidak siap dan tidak tahu menahu tentang G30S. PKI dan seluruh ormas yang berafiliasi dengannya dibubarkan. Gedunggedung milik mereka diserang dan dibakar. Semua terjadi tanpa perlawanan apapun. Semua organisasi dan partai yang berada dalam kamp kiri menjadi sasaran. Dengan demikian Baperki-pun turut menjadi sasaran. Pada tanggal 15 Oktober 1965 kampus Ureca diserbu massa yang jelas didukung dan dikoordinasi oleh kekuatan militer. Kampus A atau Kampus Timur Ureca yang menjadi tempat perkuliahan Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi, Hukum, Ekonomi dan Sastra diserang ribuan orang. Berbeda dengan gedunggedung PKI dan ormas-ormas-nya, Gedung-gedung Ureca dijaga dan dikawal oleh ratusan mahasiswa Ureca dengan jiwa militansi yang besar. Seminggu sebelum serangan tersebut, ratusan mahasiswa ini sudah ber-jagajaga dan menginap di gedung-gedung Ureca. Ancaman bahwa tindakan demikian akan membahayakan keselamatan mereka sendiri tidak dihirau. Mereka
21
rela berkorban demi mempertahankan gedung-gedung nya. Mereka benar-benar merasa bahwa gedung-gedung beserta isinya adalah milik pribadi mereka. Ketika serangan yang mengikutsertakan ribuan orang itu tiba, dengan gagah berani para mahasiswa Ureca melawannya. Jumlah penyerang jauh lebih banyak dan satu jam kemudian para mahasiswa Ureca terpaksa mundur dan menyaksikan kampus yang dicintainya itu dihancurkan dan dibakar. Pada waktu bersamaan kelompok penyerang lain menyerang kampus Timur atau Kampus B, di mana perkuliahan Fakultas Teknik diadakan. Terjadi pula pembakaran beberapa gedung. Siauw memperoleh peringatan akan adanya penyerangan ketika ia berada di gedung DPR. Ia segera menuju ke istana menghadap Sukarno meminta bantuan. Bantuan yang diharapkan tidak bisa dipenuhi. Sukarno hanya bisa mengajak Siauw untuk menyaksikan penyerangan dan pembakaran itu dari helicopter. Siangnya ia bergegas ke kampus Ureca. Dengan air mata berlinang, di hadapan ratusan Mahasiswa Ureca yang berkumpul untuk mempertahankan gedung-gedung Ureca, ia berjanji untuk membangun kembali Ureca. Janji yang tidak pernah bisa ia penuhi karena ia sendiri ditahan selama 12 tahun oleh rezim yang mengkoordinasi pengrusakan dan pembakaran Ureca. Dan sikon politik tidak memungkinkan berdiri kembalinya Ureca. Akan tetapi Siauw tetap berupaya. Bersama dengan Rektor Ureca, nyonya Utami Suryadarma, ia pergi menemui Sukarno pada minggu terakhir Oktober 1965. Sukarno berjanji akan memerintahkan pembukaan dan pembangunan Ureca. Pertemuan itu kemudian dilanjuti oleh Siauw dan Go Gien Tjwan dengan menteri pendidikan Syarif Thayeb. Sadar akan kelemahan posisi politik mereka, Siauw dan Go berkeinginan untuk menyerahkan manajemen Ureca ke tangan pemerintah, dengan harapan perkuliahan bisa segera dimulai untuk semua mahasiswa Ureca. Bukan Ureca yang dibuka dan dibangun kembali, melainkan Universitas Trisakti dibawah asuhan musuh politik Baperki, LPKB. Sebelum pengambil alihan tersebut dan sebelum Siauw masuk penjara, ia masih sempat bertemu dengan Ferry Sonneville yang ditugaskan LPKB untuk menangani pembangunan Universitas Trisakti. Permintaan Siauw kepada Ferry Sonneville pada awal bulan November 1965 adalah: lanjutkanlah upaya Baperki memberi peluang sebaik mungkin untuk para mahasiswa Ureca dan mereka yang tidak bisa diterima di perguruan tinggi. Akan tetapi yang berkembang berbeda dengan harapan Baperki dan para mahasiswa Ureca. Sebagian besar mahasiswa Ureca di awal hidup Universitas Trisakti tidak diizinkan masuk sebagai mahasiswa. Diadakan screening. Mereka yang menjadi anggota CGMI dan Perhimi tidak diizinkan masuk. Ini yang menyebabkan ribuan mahasiswa putus sekolah. Siauw dan banyak pimpinan Baperki lainnya hanya bisa menerima kenyataan ini dengan sedih di penjara. Mereka tidak mampu berbuat apa-apa. Dosen-dosen yang dianggap berhaluan kiri pun kena persekusi. Mereka ditangkap atau tidak diizinkan mengajar di Universitas Trisakti. 22
Program pendidikan Ureca yang besandar atas prinsip “Pendidikan Bukan Barang Dagangan” tidak dilanjutkan. Universitas Trisakti berkembang sebagai universitas swasta untuk mereka yang mampu membayar. Yang tidak mampu walaupun memiliki prestasi pendidikan baik harus menggigit jari, tidak bisa masuk. Akan tetapi Upaya meng-Indonesiakan komunitas Tionghoa di dalam tubuh Baperki dan institusi pendidikannya jelas nampak. Sejarah tidak akan bisa menyangkal peran yang dimainkan URECA dalam pembangunan nasion Indonesia. 50 tahun setelah Ureca dibakar, para mahasiswa yang sempat melalui pendidikan politik di Ureca menunjukkan bahwa kecintaan mereka terhadap Indonesia tidak luntur. Walaupun dalam bidang akademik upaya Baperki melahirkan ribuan sarjana gagal, tetapi pendidikan politik-nya berhasil meng-Indonesia-kan ribuan mahasiswa Tionghoa, berhasil mengubah mind-set mereka untuk mencintai kebudayaan Indonesia, menerima Indonesia sebagai tanah airnya. Hal yang serupa bisa dikatakan untuk puluhan ribu pelajar yang sempat menikmati pendidikan di sekolah-sekolah Baperki dan mereka yang masuk dalam PPI. Dalam hal ini, upaya Baperki dan impian Siauw yang terbentuk sejak berdirinya Partai Tionghoa Indonesia sejak tahun 1932, bisa dikatakan sebagian terwujud. Ketergantungan atas Sukarno dan Politik Kiri Dengan berkembangnya polarisasi politik, kiri dan kanan dalam zaman Demokrasi Terpimpin, Siauw tidak bisa tidak harus memilih aliran politik. Para partai politik dan organisasi kiri, terutama PKI di zaman ini mendukung kebijakan Siauw dan Baperki. Sedangkan Angkatan Darat dan partai-partai politik kanan pada umumnya menentangnya. Ironisnya, integrasi yang dijadikan program politik Baperki dan asimilasi yang dijadikan program LPKB dikaitkan dengan aliran politik. Integrasi dianggap jalan keluar kiri, sedangkan asimilasi jalur kanan. Sukarno sebagai pengimbang kekuatan politik di awalnya sempat menunjukkan dukungan ke dua pihak ini. Di hadapan Baperki ia mendukung integrasi. Di lain pihak, ia-pun menerima konsepsi asimilasi. Akan tetapi setelah tahun 1963, Sukarno cenderung mendukung Baperki. Sampai akhir zaman Demokrasi Terpimpin pada akhir 1965, Baperki berada di atas angin dan LPKB tampak terpojok. Perlindungan Sukarno yang diperoleh Baperki menyebabkan ia mampu berkembang pesat, terutama di dalam bidang pendidikan. Setelah tahun 1958, Baperki lebih dikenal sebagai lembaga yang memberi kesempatan pendidikan untuk komunitas Tionghoa, peranakan maupun totok, warganegara Indonesia maupun warganegara asing (Tiongkok). Ratusan sekolah dan beberapa kampus universitas Baperki yang dinamakan Universitas Respublica menampung puluhan ribu siswa Tionghoa di banyak kota besar. Melalui program pendidikan inilah,
23
Baperki mengajak sebanyak mungkin komunitas Tionghoa untuk menerima Indonesia sebagai tanah airnya. Pengembangan lembaga pendidikan Baperki beribarat “membunuh dua burung dengan satu batu”. Ia dikembangkan untuk menyambut rasisme dalam bidang pendidikan dan sekaligus menjadi sarana efektif untuk meng-Indonesia – kan komunitas Tionghoa, terutama yang totok. Siauw berkeyakinan bahwa Nation Building dengan jalur integrasi adalah proses yang membangun, yang memerlukan metode membangun, yaitu mengajak komunitas Tionghoa untuk mencintai Indonesia, mencintai kebudayaan Indonesia dan turut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan aktif membangun Indonesia. Kesetiaan dan kecintaan terhadap Indonesia, menurutnya, tidak bisa dikaitkan dengan nama, latar belakang ras, agama, bahkan kewarganegaraan seseorang. Dalam konteks ini, seperti yang diutarakan di atas, Siauw memandang nasion sebagai sesuatu yang lebih besar dari kewarganegaraan. Kebijakan untuk sepenuhnya bersandar atas perlindungan Sukarno memang memungkinkan Baperki berkembang pesat dan secara politis berada di atas angin. Akan tetapi tumbangnya Sukarno dan kekuatan kiri secara langsung menyebabkan Baperki hancur dan peran Siauw dalam percaturan politik Indonesia segera terhenti pada akhir tahun 1965. Banyak anggota Baperki menjadi korban keganasan militer yang bergerak menghancurkan kekuatan kiri setelah peristiwa G30S 1965 dengan pembantaian manusia tidak bersalah dalam skala besar. Siauw dan banyak pendukungnya harus meringkuk dalam penjara selama 12 tahun tanpa proses pengadilan apapun. Setelah bebas dari tahanan pada tahun 1978, Siauw pergi berobat di Belanda. Begitu tiba di Belanda, ia segera melakukan berbagai kegiatan mengecam kebijakan pemerintah Suharto yang digambarkannya sebagai pemerintah yang telah mengkhianati jiwa proklamasi 45, melanggar UUD 45 dan menginjak-injak HAM. Ia pun kerap berbicara mengenai masalah Tionghoa dan tetap teguh dengan pendiriannya yaitu: dengan integrasi membangun nasion Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Pada tanggal 20 November 1981 ia meninggal karena serangan jantung, beberapa menit sebelum memberi ceramah di hadapan para Indonesianis Belanda di Universitas Leiden, tentang kegagalan Demokrasi Indonesia dengan kesimpulan optimistik bahwa rakyat Indonesia akan mewujudkan demokrasi yang didambakan. Kesimpulan Perjalanan politik Siauw didasari beberapa visi politik yang berkembang sejak ia terlibat dalam pendirian partai Tionghoa Indonesia pada tahun 1932. Pertama keyakinannya bahwa untuk sebagian besar Tionghoa yang lahir di Indonesia, Indonesia adalah tanah airnya. Oleh karena itu ia berjuang untuk memungkinkan sebanyak mungkin Tionghoa menjadi warga negara Indonesia. Ini
24
dilakukan baik dalam segi hukum dengan memperjuangkan dihukumkan UU kewarganegaraan yang sesuai dengan visi ini. Kedua, bersandar atas keinginan membangun nasion yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, Siauw mendorong pengertian bahwa nasion Indonesia adalah nasion yang terdiri dari berbagai suku, termasuk suku Tionghoa. Komunitas Tionghoa, peranakan maupun totok, diajaknya berintegrasi dalam tubuh nasion Indonesia, bersama para suku lainnya, tanpa menghilangkan ciri-ciri etnisitas yang seyogyanya memperkaya kebudayaan Indonesia. Ketiga, sejak tahun 50-an, walaupun berpaham sosialisme, Siauw berpendapat bahwa untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, modal yang dimiliki oleh para pedagang Tionghoa harus dilindungi secara hukum dan praktis untuk terus berkembang, sehingga bisa menjadi bagian penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Perpaduan antara kapitalisme nasional dan sosialisme inilah yang ia inginkan. Langgam perjuangan Siauw yang bersifat membangun di dalam perjalanan politik panjang Siauw jelas tampak. Rasisme dalam bidang kewarganegaraan disambutnya dengan berbagai rumusan kewarganegaraan dan pelaksanaan UU di lapangan oleh aparat Baperki; rasisme dalam bidang ekonomi ditentangnya dengan rumusan ekonomi yang menjamin modal domestik yang banyak dimiliki oleh pedagang Tionghoa secara hukum dilindungi dan didorong untuk berkembang; rasisme dalam bidang pendidikan disambutnya dengan pendirian institusi pendidikan yang mampu menampung mereka yang karena kebijakan rasis tidak bisa meneruskan sekolah; Sarana pendidikan dijadikan landasan efektif untuk meng-Indonesia-kan sebanyak mungkin komunitas Tionghoa, terutama generasi mudanya. Dan untuk menyelesaikan masalah minoritas Tionghoa yang rumit, dikembangkan konsepsi integrasi yang kini lebih dikenal sebagai multikulturalisme. Akan tetapi di zaman Demokrasi Terpimpin, Siauw dan Baperki terlalu tergantung atas perlindungan politik Sukarno, sehingga ketika Sukarno tumbang dan kekuatan kanan yang didukung oleh blok Barat mengambil alih kekuasaan politik, Baperki dan Siauw-pun kandas. Dengan demikian, program pendidikan dan kebijakan untuk membawa komunitas Tionghoa menjadi Indonesia harus terhenti. Keputusan Siauw Giok Tjhan untuk mengajak Baperki dan massa-nya mendukung kebijakan Sukarno pada tahun 1959 dan mendukung Demokrasi Terpimpin yang bersandar atas kekuatan Angkatan Darat memang bisa dikatakan kontroversial bilamana diteropong dengan kaca mata sekarang. Demokrasi Terpimpin dan Dwi Fungsi ABRI yang lahir karena Sukarno memerlukan Jendral Nasution mendukungnya sebagai sebuah kekuatan kongkrit sebenarnya merupakan “racun” politik yang membunuh demokrasi dan akhirnya kekuatan kiri. Ironis-nya justru inilah yang sepenuhnya didukung oleh kekuatan kiri, termasuk Siauw Giok Tjhan dan Baperki. Apa ada jalan lain? Bagi Siauw, saat itu, rupanya tidak ada. Tidak mendukung Sukarno, berarti membawa Baperki ke kelompok di mana tokohtokohnya getol mengeluarkan kebijakan rasis anti Tionghoa.
25
Sejarah memang menunjukkan bahwa di bawah pimpinan Siauw, Baperki berkembang sebagai sebuah organisasi massa Tionghoa terbesar dalam sejarah Tionghoa di Indonesia. Ia-pun berhasil memobilisasi massa Tionghoa untuk aktif berpolitik dan aktif menyebarluaskan paham integrasi – menjadi patriot Indonesia tanpa menanggalkan etnisitas ke-Tionghoa-an. Tanpa gerakan politik, tanpa dorongan yang mengandung idealisme politik, kemungkinan besar institusi pendidikan Baperki, terutama Ureca tidak akan berkembang seperti yang disaksikan. Kiranya sulit membangun animo para dosen dan para mahasiswanya untuk bekerja bakti sedemikian rupa, untuk mengawinkan teori dan praktek sedemikian rupa dan memperoleh dana bantuan komunitas Tionghoa sedemikian rupa. Di masa kini, tidak terbayangkan pengalaman Ureca bisa terulang lagi. Perbedaan utama antara yayasan pendidikan Tionghoa lainnya seperti Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) atau Sin Ming Hui (Candranaya) dan Baperki justru terletak pada adanya pendidikan politik. Institusi pendidikan THHK dan Candranaya tidak mengandung penekanan politik. Apa yang dilakukan oleh Sin Ming Hui atau Candranaya yang mendirikan Universitas Tarumanagara ternyata tidak membuahkan prestasi segemilang Ureca di zaman Demokrasi Terpimpin. Universitras Tarumanagara tidak mampu menampung mahasiswa sebanyak Ureca dan tidak bisa berkembang di kota-kota lain. Akan tetapi Candranaya yang tidak menitik beratkan kegiatan politik tidak menjadi sasaran ganas kekuatan kanan pada tahun 1965-1968. Universitas Tarumanagara tidak diserbu dan dibakar. Sulit untuk dipastikan jalur mana yang lebih tepat. Baperki tidak menentukan cuaca politik Indonesia yang merupakan bagian percaturan dunia di mana ada dua kekuatan raksasa yang ber-perang dingin. Baperki dan Ureca ikut tergulir menjadi korban. Dengan jatuhnya kekuasaan Sukarno pada tahun 1966, berdirilah sebuah rezim militer yang diktatorial. Indonesia berubah menjadi sebuah lahan pembunuhan masal dan persekusi terhadap orang-orang yang dianggap kiri. Kebijakan musuh politik Baperki, asimilasi dijadikan kebijakan resmi pemerintah Suharto. Hubungan diplomatik dengan RRT diputuskan pada tahun 1967 (baru dipulihkan kembali pada tahun 1995). Identitas Tionghoa selama 32 tahun ingin dipaksakan hilang. Istilah Tiongkok dan Tionghoa diubah dengan “Cina’, yang mengandung konotasi penghinaan. Penggunaan huruf Tionghoa dilarang. Demikian juga perayaan tahun baru Imlek. Nama-nama Tionghoa didorong untuk dihilangkan. Berbagai peraturan pemerintah mendiskriminasikan komunitas Tionghoa di banyak bidang. Lengsernya Suharto pada bulan Mei 1998 membuka lembaran baru dalam dunia politik di Indonesia. Komunitas Tionghoa yang menjadi sasaran keganasan ledakan rasis pada bulan yang sama se-olah-olah bisa bernapas wajar kembali. Selama 32 tahun sebelumnya, komunitas Tionghoa, karena penindasan terhadap kaum kiri ganas yang merembet ke sikap anti Tiongkok dan anti Tionghoa di awal 26
berdirinya rezim Orde Baru pada tahun 1965-1968, menjadi komunitas yang tidak berani berpolitik, tidak berani berorganisasi dan bahkan tidak berani berurusan dengan apapun yang berhubungan dengan aparat negara. Lengsernya Suharto menyadarkan komunitas Tionghoa bahwa kebijakan asimilasi total yang dilaksanakan selama 32 tahun tidak berhasil. Banyak Tionghoa yang sudah ganti nama, sudah menanggalkan ke Tionghoaan-nya, bahkan yang masuk Islam-pun, turut menjadi korban keganasan anti Tionghoa pada bulan Mei 1998. Zaman pasca Suharto dinyatakan sebagai masa reformasi. Banyak Tionghoa yang kemudian terdorong untuk aktif dalam kegiatan LSM atau mendirikan organisasi-organisasi yang menonjolkan ke Tionghoa-an dengan tujuan membela kepentingan komunitas Tionghoa yang selama 32 tahun sebelumnya tidak ada yang membela. Berdirilah berbagai organisasi yang dipimpin oleh orang-orang Tionghoa, seperti SIMPATIK (Solidaritas Pemuda-Pemudi Tionghoa untuk Keadilan), Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), Solidaritas Nusa dan Bangsa (SNB), Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI) dll. Ada pula yang memulai majalah untuk membahas masalah Tionghoa yang dikaitkan dengan pembangunan bangsa, antara lain majalah Sinergi. Diskusidiskusi terbuka tentang pemecahan masalah Tionghoa-pun diadakan diberbagai forum. Pendidikan politik dan berorganisasi yang dilakukan oleh Baperki di institusi pendidikannya – sekolah-sekolah Baperki dan Ureca serta gerakan pemudanya – PPI (Permusyawaratan Pemuda Indonesia) ternyata melahirkan ketrampilan dan animo ber-organisasi di awal zaman reformasi ini. Banyak pengambil inisiatif pendirian organisasi-organisasi dan mengisi pengaturan organisasi berdasarkan pengalaman yang dibina sebelum Baperki dan institusi pendidikannya bubar pada tahu 1965, adalah alumni Ureca dan alumni sekolah-sekolah Baperki atau para mantan anggota PPI. Beberapa di antaranya menjadi tokoh masyarakat yang membanggakan, Benny Setiono, Tan Swie Ling, Nancy Wijaya dan Dr. Lie Dharmawan. Tuntutan zaman tentunya sudah berubah. Alasan hidup dan berkembangnya Baperki pada tahun 50-an dan 60-an bisa dikatakan tidak ada lagi. Masalah kewarganegaraan bisa dikatakan selesai. Sebagian besar komunitas Tionghoa sudah menjadi warga negara Indonesia. Yang membutuhkan kewarganegaraan Indonesia, bilamana membutuhkannya, memenuhi persyaratan hukum yang berlaku dan modal cukup, bisa memperolehnya. Apa yang diperjuangkan oleh Siauw dan Baperki dalam hal hukum bisa dikatakan telah tercapai. Rasisme diundangkan sebagai tindakan yang melanggar hukum. Semua warga negara secara hukum memiliki hak dan kewajiban yang sama. Ketentuan presiden harus seorang asli sudah ditiadakan. Imlek dijadikan hari raya nasional. Dalam pemilihan umum tahun 2014, terdapat calon wakil presiden Tionghoa. Di dalam kabinet SBY ada menteri Mari Pangestu, seorang Tionghoa. Dan seorang Tionghoa menjadi gubernur Jakarta Raya, Ahok. 27
Ramalan Siauw yang ia ingin sampaikan dikuliahnya di Universitas Leiden pada tahun 1981 pun bisa dikatakan terwujud, yaitu rakyat Indonesia akan memenangkan perjuangan mencapai demokrasi. Demokrasi setelah Gusdur menjadi presiden jauh lebih baik ketimbang di zaman-zaman sebelumnya. Kini, Indonesia memiliki seorang presiden, Joko Widodo -- seorang tokoh yang lahir dari keluarga miskin dan tidak pernah berada dalam jajaran pimpinan yang berkaitan dengan rezim-rezim yang bangkit setelah Sukarno tergulir pada tahun 1966 -dipilih oleh rakyat, mengalahkan Prabowo Subianto, mantan menantu Suharto, yang didukung oleh money politics dan kekuatan politik yang mendominasi Indonesia. Jumlah perguruan tinggi juga sudah bertambah secara drastik. Walaupun masih banyak pelajar tidak mampu meneruskan studi di perguruan tinggi, baik non Tionghoa maupun Tionghoa, penampungan mahasiswa bisa dikatakan tertanggulangi. Cukup tempat untuk mereka, Tionghoa maupun non Tionghoa yang ingin dan mampu masuk ke universitas. Para universitas malah berlomba memperoleh jumlah mahasiswa yang diinginkan. Di samping kesemuanya ini, tumbuhnya Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi membangkitkan pula keinginan di kalangan komunitas Tionghoa di kota-kota besar untuk menjadi bagian dari kesuksesan Tiongkok. Berkembanglah berbagai keganjilan di mana kemampuan berbahasa Mandarin dianggap sebagai hal yang membanggakan, seperti kemampuan berbahasa Belanda di zaman penjajahan belanda, dan berbahasa Inggris di zaman pasca Demokrasi Terpimpin. Para “the Haves” komunitas Tionghoa berlomba memamerkan kekayaannya baik dalam berbagai kemewahan termasuk kemampuan pesta besar-besaran di tempat-tempat mahal, di tengah kemiskinan rakyat. Ini berlangsung tanpa gangguan berarti. Apakah keadaan yang digambarkan ini berarti rasisme lenyap dari permukaan bumi Indonesia dan perjuangan melawannya patut dihentikan? Kiranya tidak. Keberadaan hukum yang favourable tentunya merupakan langkah pertama. Akan tetapi itu saja tidak menjamin adanya dan berkembangnya keharmonisan masyarakat yang menjamin keamanan dan ketentraman hidup komunitas Tionghoa di Indonesia. Benih-benih rasisme masih tetap ada. Bilamana kesenjangan ekonomi terjadi di Indonesia, jurang antara kaya dan miskin membesar dan pimpinan politik yang berpengaruh menjadikan komunitas kambing hitam, ledakan-ledakan rasisme yang ganas dan brutal bisa terulang lagi. Dalam konteks ini, apa yang dicanangkan Siauw dan Baperki – paham integrasi, di mana komunitas Indonesia terjun ke dalam berbagai kegiatan masyarakat dan turut mendidik masyarakat untuk menghilangkan benih-benih rasisme dengan tindakan-tindakan membangun, tanpa menanggalkan latar belakang etnisitas ke Tionghoa-an, masih sangat relevan. Paham Integrasi kini lebih dikenal sebagai multikulturalisme di negara-negara maju. Bahkan di Australia dan Canada, sebagai negara di mana jumlah 28
penduduknya terdiri dari berbagai komunitas etnis non Anglo Saxon, paham multikulturalisme diundangkan. Organisasi semacam Baperki dan kini INTI (Perhimpunan Indonesia Tionghoa) yang mampu dengan efektif menyuarakan aspirasi dan membela kepentingan komunitas yang diwakilinya masih diperlukan. Yang penting kiranya belajar dari pengalaman Baperki, untuk tidak terlalu menggantungkan diri pada sebuah kekuatan politik penguasa. Organisasi-organisasi yang dimaksud hendaknya merakyat – bekerja untuk wong cilik dan mendapat dukungan rakyat terbanyak. Ini merupakan jalan selamat jangka panjang, walaupun hasil yang diperoleh memakan waktu.
29