KATA PENGANTAR
Pembaca yang terhormat, Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya, Jurnal Ecolab telah memperoleh status akreditasi LIPI kategori B, dengan sertifikat No. 294/Akred-LIPI/P2MBI/08/2010. Harapan kami ke depan Jurnal Ecolab dapat terus meningkatkan kualitas penyajiannya. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Pusarpedal selalu berusaha meningkatkan mutu layanan dan produknya khususnya dalam penerbitan Jurnal Ecolab. Setelah mendapatkan status terakreditasi pada tahun 2010, mulai penerbitan Volume 4 Nomor 2 Tahun 2010, Jurnal Ecolab mengalami beberapa perubahan. Pertama, perubahan warna pada logo kalpataru disesuaikan dengan warna logo baru Kantor Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Kedua, substansi tulisan yang dimuat tidak hanya terbatas pada hasil pemantauan tetapi juga kajian ilmiah yang mencakup aspek lingkungan hidup. Dalam penerbitan edisi ini, Jurnal Ecolab memuat lima tulisan dengan judul sebagai berikut: • Kandungan Black Carbon pada Partikulat Udara Halus dan Kasar Dalam Udara Ambien di Daerah Serpong - Tangerang • Distribusi Unsur Makro dan Mikro Dalam Abu Gunung Merapi Yogyakarta • Evaluasi Perubahan Lingkungan Wilayah Pesisir Surabaya Timur Sidoarjo dengan Menggunakan Citra Satelit Multitemporal • Peran Rhizobakteri Dalam Fitoekstrasi Logam Berat Kromium pada Tanaman Jagung • Pengaruh Percampuran Air Terhadap Oksigen Terlarut di Sekitar Karamba Jaring Apung, Waduk Cirata, Purwakarta, Jawa Barat Untuk penerbitan volume mendatang kami mengharapkan partisipasi para pembaca dan praktisi di bidang lingkungan hidup untuk turut serta menyajikan tulisan mengenai kajian-kajian yang berkaitan dengan aspek lingkungan hidup. Terimakasih. Salam, Redaksi
i
ISSN 1978-5860 Akreditasi No. 294/Akred-LIPI/P2MBI/08/2010
Jurnal Kualitas Lingkungan Hidup Volume 6, Nomor 1, Januari 2012
DAFTAR ISI Kata Pengantar ..................................................................................................................... i Daftar Isi .............................................................................................................................. iii Kandungan Black Carbon pada Partikulat Udara Halus dan Kasar Dalam Udara Ambien di Daerah Serpong - Tangerang........................................................ 1 Rita Mukhtar, Esrom Hamonangan, Hari Wahyudi, Muhayatun Santoso, dan Diah Dwiana Lestiani
Distribusi Unsur Makro dan Mikro Dalam Abu Gunung Merapi Yogyakarta..................... 12 Theresia Rina Mulyaningsih, Iman Kuntoro dan Alfian
Evaluasi Perubahan Lingkungan Wilayah Pesisir Surabaya Timur Sidoarjo dengan Menggunakan Citra Satelit Multitemporal............................................................... 23 Grace Idolayanti Moko dan Wiweka
Peran Rhizobakteri Dalam Fitoekstrasi Logam Berat Kromium pada Tanaman Jagung........................................................................................................... 38 Ali Pramono, MMA Retno Rosariastuti, Ngadiman dan Irfan D. Prijambada
Pengaruh Percampuran Air Terhadap Oksigen Terlarut di Sekitar Karamba Jaring Apung, Waduk Cirata, Purwakarta, Jawa Barat......................... 51 Hefni Effendi, Enan M. Adiwilaga, dan Agustina Sinuhaji
iii
Rita Muktar, Esrom Hamonangan...: Kandungan Black Carbon Pada Partikulat Udara Halus dan Kasar...
KANDUNGAN BLACK CARBON PADA PARTIKULAT UDARA HALUS DAN KASAR DALAM UDARA AMBIEN DI DAERAH SERPONG - TANGERANG Rita Mukhtar1), Esrom Hamonangan1), Hari Wahyudi1), Muhayatun Santoso2), Diah Dwiana Lestiani2) (Diterima tanggal 15-11-2011; Disetujui tanggal 14-03-2012)
ABSTRAK KANDUNGAN BLACK CARBON PADA PARTIKULAT UDARA HALUS DAN KASAR DALAM UDARA AMBIEN DI DAERAH SERPONG – TANGERANG. Black carbon (BC) merupakan bentuk impuritas dari karbon hasil pembakaran tidak sempurna bahan bakar fosil atau pembakaran biomassa. Black carbon memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan iklim melalui sifatnya yang mampu menyerap sinar matahari karena merupakan gas rumah kaca. Sumber utama BC yaitu sumber antropogenik, termasuk pembakaran biomas pembakaran tidak sempurna, kendaraan bermotor khususnya diesel serta sumber industri seperti pembakaran batu bara. Konsentrasi BC pada partikulat halus yang berukuran kurang dari 2,5 μm (PM2,5) lebih dari 10% partikulat udara halus sehingga sangat penting dilakukan penentuan secara tepat. Pada penelitian ini, metode penentuan BC pada partikulat udara halus (PM2,5) dan partikulat udara kasar (PM2.5-10) berdasarkan metode reflektansi menggunakan alat EEL Smoke Stain Reflectometer. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan Gent Stacked Filter Unit sampler, lima kali seminggu di empat lokasi di daerah Serpong pada tahun 2008 yaitu di Batan Indah, BSD, Setu, dan Pusarpedal serta pada tahun 2009 di daerah Tangerang, yaitu di Curug, Jatiuwung, Islamic Village Lippo Karawaci, dan Cikupa. Hasil penentuan konsentrasi BC di daerah Serpong pada partikulat udara halus berkisar antara 2,31-3,76 µg/m3, sedangkan pada partikulat udara kasar berkisar antara 0,72-1,54 µg/m3. Rasio konsentrasi BC terhadap konsentrasi massa PM2.5 untuk daerah Serpong berkisar antara 13-20%, sedangkan rasio BC terhadap konsentrasi massa pada partikulat udara kasar sekitar 3-5%. Jika dibandingkan konsentrasi BC di partikulat udara halus dan kasar maka BC terkonsentrasi dominan pada partikulat udara halus, hal ini disebabkan karena BC umumnya berasal dari sumber antropogenik/aktivitas manusia yang partikel berukuran kurang dari 2,5 um. Konsentrasi BC di Serpong dan Tangerang masih dalam level yang sama dengan BC di Bandung dan Lembang. Perbandingan rasio BC di Serpong terhadap partikulat massa dengan beberapa negara lain di Asia yang menggunakan metoda dan formula yang sama, hal ini dilakukan untuk mengetahui distribusi tingkat pencemaran BC di Asia masih berada dibawah BC di negara-negara lain. Kata kunci: black carbon, PM2,5, PM 2.5-10, reflektansi
ABSTRACT BLACK CARBON CONCENTRATIONS IN FINE AND COARSE AMBIENT PARTICULATE MATTER COLLECTED IN SERPONG-TANGERANG. Black carbon (BC) is an impure form of carbon resulted from incomplete combustion of fossil fuel or biomass burning. Black carbon has significant impacts on climate change due to its light absorption capabilities which is green house gas. The main source of black carbon is anthropogenic source including biomass burning, incomplete combustion, motor vehicles especially diesel and industrial emissions such as coal combustion. Black carbon concentration in fine particulate matter which aerodinamic diameter less than 2.5 µm (PM2.5) usually more than 10% of the fine mass, therefore an accurate measurement of black carbon is important. In this study, BC of fine(PM2.5) and coarse particulate matter(PM2.5-10) was measured based on reflectance method using EEL Smoke Stain Reflectometer. Sampling of airborne particulate matters were carried out using Gent Stacked Filter Unit sampler, five times a week in four locations in Serpong area in 2008 covering Batan Indah, BSD, Setu and Pusarpedal, while in 2009 in Tangerang area covering Curug, Jatiuwung, Islamic Village Lippo Karawaci and Cikupa. BC concentrations in fine particulate matters collected in Serpong were ranged 2,31-3,76 µg/m3, while in coarse particulate matters were 0,72-1,54 µg/m3. The ratio of BC to fine particulate matter PM2.5 1 2
PUSARPEDAL – Kementerian Lingkungan Hidup PTNBR – Pusat Teknologi Nuklir Bahan dan Radiometri BATAN Badan Tenaga Nuklir Nasional 1
Ecolab Vol. 6 No. 1 Januari 2012 : 1 - 60
in Serpong was 13-20%, while the ratio of BC to coarse particulate matter PM2.5-10 was 3 -5%. BC concentrations were dominant in fine particulate matters compared to coarse particulate matters, because the BC is mainly from anthropogenic sources/human activities which the particles size is less than 2.5 µm. BC concentrations in Serpong and Tangerang is still the same level as in Bandung and Lembang area. Comparison of the ratio of BC to fine particulate mass in Serpong with other countries in Asia that used the same method and formula were also presented, to find the distribution level of BC pollution in Asia, which resulted that BC in Serpong and Tangerang were lower than other countries. Keyword: black carbon, PM2,5, PM2.5-10, reflectance
PENDAHULUAN Pencemaran udara yang disebabkan oleh partikulat halus (PM2,5) di udara menjadi permasalahan yang serius dibicarakan baik di tingkat nasional maupun internasional. US EPA pada bulan Juli 1997 telah menjadikan PM2,5 sebagai standar kualitas udara ambien. PM2,5 dapat memberikan efek negatif terhadap kesehatan, mempengaruhi jarak pandang, perubahan iklim, dan perpindahan pencemaran antar wilayah [1]. Salah satu parameter yang berpotensi mencemari lingkungan yang demikian adalah Black Carbon (BC) atau Element Carbon (EC) atau Karbon Hitam. Black Carbon di udara atmosfer sangat mendominasi penyerapan sinar matahari hingga 90%. BC memiliki efek cukup kompleks pada perubahan iklim [1]. Sumber utama keberadaan BC di udara berasal dari antropogenik dan pembakaran biomassa, pembakaran tidak sempurna bahan bakar kendaraan bermotor dan sumber dari industri misalnya pembakaran batu bara untuk pembangkit energi, pembakaran tidak sempurna dari bahan bakar fosil, knalpot diesel, kompor tidak efisien yang umumnya dipakai di negara berkembang dengan membakar biomassa, kayu, semak-semak, atau sisa panen sebagai bahan bakar dan pembersihan hutan dan padang rumput.
2
Partikel karbon hitam adalah partikel dengan ukuran sangat kecil antara 0,01–1 mikron di atmosfer. Partikel karbon hitam menetap di atmosfer hanya beberapa minggu, tetapi menyebar pada rentang yang lebih panjang. BC termasuk polutan berumur pendek dan merupakan penyumbang kedua paling penting pada pemanasan global. Faktanya, potensi karbon hitam diperkirakan memiliki 55% efek penggerak radiatif dari karbon dioksida. Beberapa hasil penelitian BC pada partikulat halus yang kurang dari 2,5 µm (PM 2,5) di beberapa daerah perkotaan di Australia berkisar antara 10-40%. Sedangkan BC pada PM2,5 di Indonesia khususnya di daerah Bandung dan Lembang memberikan kontribusi sekitar 18-25% [2,3]. Pada penelitian ini, akan ditentukan konsentrasi BC pada PM2,5 dan PM10. Lokasi pengambilan contoh uji di daerah Serpong –Tangerang dan sekitarnya, yang dilakukan dibeberapa titik pada tahun 2008 dan 2009. Hasil analisis data akan dibandingkan dengan nilai black carbon di Bandung dan Lembang dan beberapa daerah perkotaan di Australia yang menggunakan metode dan formula yang sama.
Rita Muktar, Esrom Hamonangan...: Kandungan Black Carbon Pada Partikulat Udara Halus dan Kasar...
Cahaya yang direfleksikan atau diserap pada filter sampel bergantung pada konsentrasi partikel, densitas, refraksi indeks dan ukuran [4,5] . Jika dilakukan sampling pada filter, maka areal densitas dari filter tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut: D = M *V/A
(1)
di mana A adalah luas area filter sampel (cm2), V adalah volume sampel (m3) yang didapatkan berdasarkan laju alir pompa (L/min) dan waktu sampling (jam). Transmisi cahaya yang memiliki panjang gelombang melalui filter yang mengandung partikel debu udara, dinyatakan dalam persamaan berikut [6]: I = Io exp [-εD/100]
(2)
dimana Io adalah transmisi cahaya melalui filter kosong, I adalah transmisi melalui filter sampel, ε adalah koefisien absorpsi untuk panjang gelombang tertentu (m2/g). Dengan asumsi bahwa absorpsi pada filter sampel yang diukur disebabkan oleh BC, maka densitas (D) merupakan densitas BC pada filter (BC) dimana dari persamaan 2 dapat dinyatakan sebagai berikut: BC (μg/cm2) = { 100/(ε)} ln [Io/I]
(3)
Untuk pengukuran BC menggunakan metode reflektansi cahaya, dimana cahaya yang berasal dari suatu sumber cahaya/lampu dihamburkan melalui annular photocel ke permukaan filter sampel, selanjutnya cahaya tersebut direfleksikan kembali ke photocell, maka panjang path cahaya tersebut adalah dua kali dari panjang path transmisi. Sehingga densitas BC dari pengukuran reflektans dari persamaan (3) dapat dinyatakan sebagai berikut:
BC (μg/cm2) = {100/(2ε)} ln [Ro/R] (4) 3 BC (μg/m ) = A/V *{100/(2ε)} ln [Ro/R] (5) di mana A adalah luas area sampel (cm2), V adalah volume sampling (m3), Ro adalah nilai reflektans dari filter kosong (=100%) dan R adalah nilai reflektans dari filter sampel (%). Nilai reflektans yang diperoleh dari filter sampel merupakan nilai yang sebanding dengan jumlah BC pada filter. Untuk ε, Maenhaut 1998 mendapatkan nilai sebesar 5,27 m 2/g dari eksperimen menggunakan pengukuran reflektansi cahaya putih pada filter Nuclepore diameter 47 mm. Di samping persamaan (5) digunakan juga formula BC pada filter Nuclepore polikarbonat sebagai berikut : BC = A/V x [1000 x LOG (Rblank/Rsampel)+ 2,39]/45,8 (6) di mana R blank adalah nilai reflektans filter kosong (100%), Rsampel adalah nilai reflektans filter sampel, A adalah luas area filter sampel (cm2) dan V adalah volume sampel (m 3), dengan nilai 2,39 dan 45,8 adalah konstanta yang digunakan untuk filter Nuclepore Polikarbonat yang berasal dari ekperimen perhitungan BC menggunakan pembakaran asetilen (Prof. Dr. M. O. Andreae, Max Planck Institute of Chemistry, Mainz, Germany)[7]. Persamaan (5) dan (6) memberikan nilai yang hampir sama (~99%) untuk perhitungan BC pada area filter sampel yang sama. METODOLOGI Pengambilan sampel partikulat udara dilakukan 5 kali dalam seminggu pada periode 25 Agustus - 3 November 2008 di Serpong, menggunakan alat Gent stacked filter unit
3
Ecolab Vol. 6 No. 1 Januari 2012 : 1 - 60
sampler di 4 lokasi yaitu 2 lokasi di perumahan Komplek perumahan Batan Indah Serpong, dan Komplek Perumahan BSD sektor VIII. 1 (satu) lokasi di sekolahan SDN Setu Muncul, dan 1 (satu) lokasi di perkantoran Pusarpedal di Kawasan Puspiptek Serpong pada Th. 2008. Pada tahun 2009 dilakukan pengambilan contoh uji udara ambien di empat (4) titik sampling di sekitar Kabupaten Tangerang, yaitu; (1) Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Swasta YUPPENTEK-2 di Jl. Raya Km.4 Curug Tangerang, (2) Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan PGRI (YPLP-PGRI) Daerah Banten yaitu SMP PGRI Jatiuwung di Jl. Gatot Subroto Km.5 No.4 Jatiuwung Kota Tangerang, (3) Islamic Village Lippo Karawaci di Tangerang, dan (4) RS.Selaras di Jl.Raya Cikupa Tangerang. Filter yang digunakan adalah filter jenis Nuclepore polikarbonat yang terdiri dari dua ukuran pori filter yaitu filter berukuran 0,4μm selanjutnya disebut filter halus/fine yang akan digunakan untuk penentuan BC dalam PM2,5 dan filter berukuran pori 8μm selanjutnya disebut filter kasar/coarse, yang akan digunakan untuk penentuan BC dalam PM2,5. Penentuan konsentrasi PM2,5 dilakukan 10 menggunakan metode gravimetri, yaitu konsentrasi ditentukan dari hasil pengurangan penimbangan berat sampel pada filter halus dengan berat filter halus kosong. Sebelum dilakukan penimbangan, filter dikondisikan pada ruang bersih dengan temperatur 1825oC dan kelembaban maksimum kurang dari 55%. Penentuan reflektans dari filter sampel dilakukan menggunakan alat EEL Smoke Stain Reflectometer, Diffusion Systems, Ltd, Model 43D.
4
Tata cara pengukuran reflektans BC menggunakan EEL smoke stain reflectometer adalah sebagai berikut [8]. • Sampel yang akan diukur harus disimpan (dikondisikan) minimal 12 jam pada kondisi yang sama dengan alat EEL Smoke Stain Reflectometer. Kondisi diusahakan berada pada rentang suhu 18-25oC dan kelembaban maksimum mencapai 55 %. • Sampel yang akan diukur harus ditangani menggunakan pinset yang bersih. • Alat dihubungkan dengan tegangan jalajala 220 – 240 V, tombol ON ditekan lalu dibiarkan minimal selama ½ jam agar kondisi alat stabil. • Angka pada display diatur hingga menunjukkan angka 00,0 dengan memutar tombol ZERO tanpa memasang Reflectometer Lead (RL) pada soket INPUT. • Kabel RL dipasang pada soket INPUT, kemudian Reflectometer Lead (RL) diletakkan di atas standar putih. Tombol COARSE atau tombol FINE diputar hingga angka pada display menunjukkan angka 100. • Untuk pengukuran filter halus sampel partikulat udara, Reflectometer Lead (RL) diletakkan di atas standar abuabu, kemudian tombol COARSE dan FINE diputar hingga angka pada display menunjukkan angka yang sesuai dengan nilai yang didapatkan dari pengukuran 5 filter halus kosong pada standar abu-abu. • Untuk pengukuran partikulat udara pada filter kasar, Reflectometer Lead (RL) diletakkan di atas standar abu-
Rita Muktar, Esrom Hamonangan...: Kandungan Black Carbon Pada Partikulat Udara Halus dan Kasar...
abu, kemudian tombol COARSE dan FINE diputar hingga angka pada display menunjukkan angka yang sesuai dengan nilai yang didapatkan dari nilai pengukuran 5 filter kasar kosong pada standar abu-abu. • Sampel partikulat udara diletakkan pada standar putih dengan posisi sampel (debu) di atas, kemudian Reflectometer Lead (RL) diletakkan di atas sampel tersebut. • Pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali untuk masing-masing sampel.
disebabkan karena BC umumnya berasal dari sumber antropogenik, yaitu dari kegiatan manusia yang mengakibatkan keberadaan partikulat berukuran kurang dari 2,5 µm di udara ambien. Kandungan BC yang terdapat pada partikulat udara halus dan kasar di beberapa titik sampling disajikan pada Grafik 1 s/d 8. Tabel 1. Nilai Konsentrasi Black Carbon Pada Partikulat Udara Halus dan Kasar dalam Udara Ambien di Serpong - Tangerang Lokasi
HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan rerata black carbon (BC ) di 8 (delapan) titik sampling didaerah SerpongTangerang yang terdapat pada partikulat udara halus adalah 2,93 µg/m3 dan pada partikulat udara kasar adalah 1,10 µg/m3, kisaran nilai di beberapa titik sampling konsentrasi BC disajikan pada Tabel 1. Kandungan rerata black carbon (BC) yang tertinggi terdapat pada partikulat udara halus atau PM2,5, hal ini
Rerata Konsentrasi Black Carbon Fine (µg/m3)
Coarse (µg/m3)
Pusarpedal
2,31
0,72
Setu
3.23
1.02
Batan Indah
2.64
0.86
BSD
2.43
0.94
Yuppentek
3,17
1,29
Jatiuwung
3,76
1,54
Islamic
2,93
1,10
Selaras
2,50
0,85
Rerata
2,93
1,10
Standar deviasi
0,57
0,33
(2,31 – 3,76)
(0,72 – 1,54)
Range
5
Ecolab Vol. 6 No. 1 Januari 2012 : 1 - 60
Grafik 1. Konsentrasi Black Carbon (BC) pada partikulat udara ambien halus dan kasar di Pusarpedal tahun. 2008 dan 2009
Konsentrasi BC di Pusarpedal hasil pemantauan th. 2008 tidak berbeda nyata dengan hasil th. 2009. Dengan rerata BC di partikulat halus 2,31 µg/m3 dan pada partikulat kasar 0,72 µg/m3.
Kandungan rerata BC di Setu pada partikulat halus 3,23 µg/m3 dan pada partikulat kasar 1,02 µg/m3.
Grafik 2. Konsentrasi Black Carbon (BC) pada partikulat udara ambien halus dan kasar di Setu
6
Rita Muktar, Esrom Hamonangan...: Kandungan Black Carbon Pada Partikulat Udara Halus dan Kasar...
Grafik 3. Konsentrasi Black Carbon (BC) pada partikulat udara ambien halus dan kasar di Batan Indah
Kandungan rerata BC di Batan Indah pada partikulat halus 2,64 µg/m3 dan pada partikulat kasar 0,86 µg/m3.
Kandungan rerata BC di BSD pada partikulat halus 2,43 µg/m3 dan pada partikulat kasar 0,94 µg/m3.
Grafik 4. Konsentrasi Black Carbon (BC) pada partikulat udara ambien halus dan kasar di BSD
7
Ecolab Vol. 6 No. 1 Januari 2012 : 1 - 60
Grafik 5. Konsentrasi Black Carbon (BC) pada partikulat udara ambien halus dan kasar di Yuppentek
Kandungan rerata BC di Yuppentek pada partikulat halus 3,17 µg/m3 dan pada partikulat kasar 1,29 µg/m3.
Kandungan rerata BC di Jatiuwung pada partikulat halus 3,76 µg/m3 dan pada partikulat kasar 1,54µg/m3.
Grafik 6. Konsentrasi Black Carbon (BC) pada partikulat udara Ambien halus dan kasar di Jatiuwung
8
Rita Muktar, Esrom Hamonangan...: Kandungan Black Carbon Pada Partikulat Udara Halus dan Kasar...
Grafik 7. Konsentrasi Black Carbon (BC) pada partikulat udara ambien halus dan kasar di Islamic village
Kandungan rerata BC di islamic Village pada partikulat halus 2,93 µg/m3 dan pada partikulat kasar 1.10 µg/m3.
Kandungan rerata BC di Selaras pada partikulat halus 2,50 µg/m3 dan pada partikulat kasar 0,85 µg/m3.
Grafik 8. Konsentrasi Black Carbon (BC) pada partikulat udara ambien halus dan kasar di Selaras
9
Ecolab Vol. 6 No. 1 Januari 2012 : 1 - 60
Nilai presentase black carbon (BC ) terhadap massa PM2.5 dan terhadap massa PM10 pada partikulat udara ambien di Serpong pada beberapa lokasi sampling, disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai Persentase Black Carbon Pada Partikulat Udara Ambien Halus (Fine) dan Kasar (Coarse) di Sekitar Serpong - Tangerang % BC
Presentase BC pada partikulat halus secara signifikan lebih tinggi jika dibandingkan dengan BC pada partikulat kasar hal ini menunjukkan bahwa BC umumnya memberikan kontribusi sekitar 10-40% dari partikulat udara halus yang berukuran kurang dari 2,5 μm (PM2,5) [2]. Oleh karena itu penentuan BC menjadi parameter yang sangat penting dalam karakterisasi partikulat udara.
Lokasi
terhadap partikulat halus (PM2,5)
terhadap partikulat kasar (PM2,5-10)
Pusarpedal-08
16
5
KESIMPULAN
Pusarpedal-09
13
4
Yuppentek
17
4
Jatiuwung
18
3
Islamic
20
4
Selaras
18
5
Kandungan black carbon di daerah SerpongTangerang yang terdapat pada partikulat udara halus adalah 2,92 µg/m3 dan black carbon pada partikulat udara kasar adalah 1,16 µg/m3.
Setu
16
4
BSD
13
4
Batan Indah
14
4
Rerata
16
4
STD DEVIASI Range
2,42
0,6
13 - 20
3-5
Nilai rerata presentase BC didaerah SerpongTangerang yang terdapat pada partikulat halus (16%) lebih tinggi jika dibandingkan dengan presentase BC terhadap partikulat kasar (4%), hal ini disebabkan BC banyak terkonsentrasi pada partikulat yang lebih halus. Kisaran presentase Black Carbon pada partikulat udara ambien pada partikulat halus di sekitar Serpong antara 13-20%, hasil ini jika dibandingkan dengan BC pada partikulat halus di beberapa daerah perkotaan di Australia yaitu 10-40% menunjukkan nilai BC di Serpong-Tangerang berada dalam range nilai tersebut, sedangkan jika dibandingkan dengan BC pada partikulat halus di daerah Bandung dan Lembang yaitu 18-25%, nilai tersebut relatif sama. 10
Presentase black carbon pada partikulat halus dan partikulat kasar di daerah SerpongTangerang menunjukkan nilai yang berada didalam range BC yang terdapat di beberapa daerah perkotaan di Australia, dan relatif sama dengan nilai BC di daerah Bandung dan Lembang. Pemantauan tingkat konsentrasi BC dapat menjadi referensi dan sebagai peringatan dini apabila terjadi peningkatan konsentrasi, yang selanjutnya diharapkan dapat dimanfaatkan oleh pembuat kebijakan untuk menentukan langkah dan tindakan untuk mengurangi dan memperkecil sumber cemaran yang menjadi sumber utama cemaran BC. Penelitian ini terlaksana atas kerjasama PUSARPEDAL dengan PTNBR BATAN Bandung. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh personil bidang pemantauan Pusarpedal dan kelompok teknik analisis radiometri Batan yang terlibat dalam sampling dan analisis pada penelitian ini
Rita Muktar, Esrom Hamonangan...: Kandungan Black Carbon Pada Partikulat Udara Halus dan Kasar...
DAFTAR PUSTAKA 1. C O H E N , D . D . , TA H A , G . , STELCER,E.D., GARTON, D., BOX, G., 2000, The Measurement and Sources of Fine Particle Elemental Carbon at Several Key Sites in NSW over The Past Eight Years, Journal of Geophysical 102 2. LESTIANA D.D., SANTOSO, M., HIDAYAT, A., 2007, Karakteristik Black Carbon Partikulat Udara Halus PM2,5 di Bandung dan Lembang 20042005, Prosiding Seminar Nasional Sain dan Teknologi Nuklir PTNBR-Batan Bandung 3. MUHAYATUN, ACHMAD HIDAYAT, DIAH. Ambien Air Concentration of PM2,5 and PM10 in Bandung and Lembang in 2000-2006. Indonesian Journal of Science and Nuclear Technology 2008; X(1): 53-9
4. HOVARTH, H., Atmospheric light absorption – A review, Atmos. Environ., 27A (1993) 293-317 5. HOVARTH, H., Experimental calibration for aerosol light absorption measuremenst using the integrating plate method – Summary of data, Aerosol Science, 28 (1997) 1149-1161 6. EDWAR, J.D., OGREN, J.A., WEISS, R.A., and CHARLSON, R.J., Particle air pollutants, Atmos. Environ., 17 (1983) 2337-2341 7. T R O M P E T T E R . W . J . a n d MARKWITZ.A., Ion Bean Analysis Results of Air Particulate Filter from Indonesia, 2005 8. ANONYMOUS, Manual EEL Smoke Stain Reflectometer, 2006kk
11
Ecolab Vol. 6 No. 1 Januari 2012 : 1 - 60
DISTRIBUSI UNSUR MAKRO DAN MIKRO DALAM ABU GUNUNG MERAPI YOGYAKARTA Theresia Rina Mulyaningsih1, Iman Kuntoro dan Alfian (Diterima tanggal: 03-01-2011; Disetujui tanggal: 18-05-2011)
ABSTRAK DISTRIBUSI UNSUR MAKRO DAN MIKRO DALAM ABU GUNUNG MERAPI YOGYAKARTA. Telah dilakukan analisis kandungan unsur dalam abu Gunung Merapi pasca erupsi Oktober - Nopember 2010 dengan teknik analisis aktivasi neutron (AAN). Pengambilan sampling dilakukan oleh peneliti PTAPB-BATAN pada tanggal 9 dan 10 Nopember 2010 di 10 titik sampling. Lokasi sampling sebanyak 4 titik di Kabupaten Sleman, 1 titik di Kabupaten Magelang, 3 titik di Kabupaten Klaten dan 2 titik di Kabupaten Boyolali. Sampel abu vulkanik dikeringkan,diayak lolos saring 200 mesh dan ditimbang 30-50 mg dalam vial polietilen. Iradiasi dilakukan pada fluks neutron termal 1013 n.cm-2.det-1 di fasilitas iradiasi Reaktor Serba Guna GA. Siwabessy, Serpong. Pencacahan cuplikan pasca iradiasi dilakukan dengan detektor resolusi tinggi HPGe yang digabungkan dengan penganalisis puncak multi saluran. Analisis data dilakukan dengan perangkat lunak GENIE 2000 dan k0-IAEA. Hasil analisis menunjukkan bahwa unsur dalam abu vulkanik terdiri atas unsur makro (dalam persen) Al 10,45-13,37; Fe 4,44-8,79; Na 2,553,35; Ca 1,03-8,82; Mg 0,61-1,75; Ti 0,31-0,58; dan Mn 0,12-0,17, unsur mikro (<500 mg/kg) Ba, Zn, Sb, Eu, U, Hg, Hf, Ce, Yb, La, Sc, Co, Cs, Dy, Tb, Lu, Rb dan V. Distribusi unsur-unsur ini hampir merata di semua titik lokasi sampling kecuali untuk unsur As, Zn dan Cr hanya ditemukan di beberapa lokasi sampling. Adanya logam berat Hg, As, dan Cr, perlu mendapat perhatian khusus dalam kaitan pemanfaatan abu vulkanik dalam kehidupan masyarakat yang mempunyai dampak terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Abu vulkanik dapat digunakan sebagai bahan bangunan, bahan keramik dan lahan pertanian.
ABSTRACT DISTRIBUTION OF MACRO AND MICRO ELEMENTS IN THE ASH OF Mt. MERAPI YOGYAKARTA. The elements content in the ash of Mt. Merapi after eruption on October – November 2010 have been analyzed by neutron activation analysis technique. Sampling was taken by researcher of PTAPB BATAN Yogyakarta on the 9 and 10 of November 2010 in 10 location points. Four points in Sleman Regency, 1 point in Magelang Regency, 3 points in Klaten Regency and 2 points in Boyolali Regency. The samples of the volcanic ash were dried, filtered by 200 meshes and weighed 30-50 mg in the polyethylene vial. Irradiation have been done at thermal neutron flux of about 1013 n.cm-2.det-1 in the irradiation facility of Multi Porpuse Reactor GA. Siwabessy in Serpong. Counting of irradiated samples have been done by a high resolution HPGe detector couple to multi channal analyzer. Data have been analyzed by GENIE 2000 and k0-IAEA sofware. The results shows that elements content in the volcanic ash are macro elements (in percent) of Al 10,45-13,37; Fe 4,44-8,79; Na 2,55-3,35; Ca 1,03-8,82; Mg 0,61-1,75; Ti 0,31-0,58; and Mn 0,12-0,17 and micro elements (<500 mg/kg) of Ba, Zn, Sb, Eu, U, Hg, Hf, Ce, Yb, La, Sc, Co, Cs, Dy, Tb, Lu, Rb and V. Distribution of these elements are nearly similar at all of the sampling location points except for the elements of As, Zn and Cr that were found out only at the certain sampling locations. The existence of heavy elements of Hg, As and Cr shall be paid by high attention in relation to the utilization of the ash or sands by the publics due to its impact to the health and environment. Volcanic ash can be used as building material, material ceramics and agricultural land. Keywords: element, volcanic ash, Mt. Merapi, eruption, NAA.
PENDAHULUAN Gunung Merapi sudah dikenal sebagai gunung berapi yang sangat aktif dengan karakteristik khusus yaitu menyemburkan awan panas 1
dan menimbulkan lahar dingin di saat hujan. Gunung Merapi terletak di bagian tengah Pulau Jawa dan merupakan salah satu gunung
Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir BATAN Kawasan Puspiptek Gedung No. 43, Serpong, Tangerang, Banten 15310 e-mail : thrinam batan.go.id
12
Theresia R. M., Iman Kuntoro.. : Distribusi Unsur Makro dan Mikro Dalam Abu Gunung Merapi Yogyakarta
api teraktif di Indonesia. Lereng sisi selatan berada dalam daerah Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sisanya berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang di sisi barat, Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur serta Kabupaten Klaten di sisi tenggara [1]. Gunung ini pada bulan April 2006 telah mengeluarkan erupsi dan meletus pada 26 Oktober 2010. Letusan terjadi dengan semburan lava dalam jumlah besar diikuti oleh hujan abu vulkanik ke daerah sekitar gunung berapi. Hujan abu vulkanik ini tersebar ke daerah sekitar hingga mencapai luasan dalam radius lebih dari 20 km. Dampak langsung dari abu vulkanik ini adalah menimbulkan gangguan pernafasan dan merusak lahan pertanian dan hunian yang berada di areal tersebut. Penumpukan abu vulkanik berupa pasir dan batuan mencapai jumlah lebih dari 1.500.000 ton. Pada masa pasca letusan yaitu masa pemulihan, masyarakat membangun kembali tempat hunian dan lahan pertanian dengan menyingkirkan dan memanfaatkan pasir dan batuan tersebut sebagai bahan bangunan. Hasil Penelitia abu vulkanik Gunung Merapi yang diambil pada Juli 2008 mengandung Al, Mg, Si dan Fe dengan komposisi 1,8-15,9% Al, 0,1-2,4% Mg, 2,6-28,7% Si dan 1,4-9,3% Fe. [2] Sedangkan penelitian yang telah dilakukan terhadap abu vulkanik pasca erupsi 2010 menggunkan metode analisis aktivasi neutron cepat memberikan hasil bahwa abu vulkanik mengandung Al, Mg, Si dan Fe dengan komposisi 0,22-0,35% Al, 0,08-0,26% Mg, 0,65-1,90% Si dan 0,56-1,54% Fe. [3]
Letusan Merapi dapat mendatangkan bahaya karena semburan lahar panas dan banjir lahar dingin, tetapi sekaligus memberi manfaat bagi penduduk yang tinggal di sekitar lereng Merapi. Material vulkanik yang dikeluarkan dapat digunakan sebagai bahan bangunan dan dapat menyuburkan tanah pertanian yang ada di sekitarnya. Agar material vulkanik tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal maka diperlukan data unsur-unsur yang terkandung di dalam material tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui distribusi dan kadar unsur dalam abu vulkanik pasca erupsi November 2010 dengan memanfaatkan teknologi nuklir yaitu teknik analisis aktivasi neutron (AAN). Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan data unsur-unsur penting bagi kesehatan manusia, lingkungan dan memiliki nilai ekonomi, yang terkandung dalam pasir vulkanik Gunung Merapi. Data dapat digunakan sebagai masukan bagi masyarakat pengguna dan pengambil kebijakan dan sebagai tambahan data yang sudah terkumpul dengan metode atau teknik lain oleh peneliti lain. TATA KERJA Pengambilan Sampel Sampel berupa abu vulkanik diambil di lokasi pada teras gedung kelurahan, sekolahan, puskesmas, koramil atau tenda pengungsi yang kosong. Dilakukan pada tanggal 9 dan 10 Nopember 2010 pukul 10.00-18.00. Lokasi pengambilan sampel pada radius 15 – 20 km dari Gunung Merapi, sejumlah 10 titik sampling yang meliputi 4 titik di Kabupaten Sleman, 1 titik di Kabupaten Magelang, 3 titik di Kabupaten Klaten dan 2 titik di Kabupaten Boyolali (Gambar 1) dan Tabel 1. 13
Ecolab Vol. 6 No. 1 Januari 2012 : 1 - 60
Preparasi Sampel Sampel abu vulkanik dikeringkan, dihomogenkan dan diayak hingga lolos saring 200 mesh. Sampel abu ini kemudian ditimbang dengan neraca mikro dalam vial Low Density Poly Ethylene, LDPE. Berat sampel antara 2050 mg. Sampel ini kemudian disusun sebagai target yang membentuk layer yang terdiri atas sampel, bahan acuan standar sebagai kontrol dan pemantau fluks neutron Al-0,1% Au. Target ini disusun dalam kapsul iradiasi dan siap diiradiasi di sistem Rabbit reaktor nuklir
RSG GAS. Waktu iradiasi masing-masing 1 menit untuk analisis unsur Al, Ca, Mn, V, Ti dan Mg, 10 menit untuk analisis Na, As, K dan 60 menit untuk analisis La, Ba, Zn, Cs, Rb, Co, Cr, Sb, Hg, Hf, Ce, Sc, Dy, Eu, Lu, Yb, dan Tb. Sampel pasca iradiasi dicacah dengan spektrometri gamma dengan detektor germanium kemurnian tinggi HPGe yang dilengkapi dengan Genie 2000. Analisis kuantitatif dengan bantuan perangkat lunak k0-AAN IAEA.
Tabel 1. Lokasi Sampling Abu Vulkanik Merapi 2010
14
Theresia R. M., Iman Kuntoro.. : Distribusi Unsur Makro dan Mikro Dalam Abu Gunung Merapi Yogyakarta
Gambar 1. Lokasi sampling abu vulkanik disekitar Gunung Merapi Yogyakarta
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis bahan acuan standar bersertifikat NIST SRM 2711a sebagai kontrol internal metode disajikan pada Tabel 1. Nilai hasil analisis bahan standar Montana soil di Laboratorium AAN dibandingkan dengan nilai dalam sertifikat untuk unsur-unsur yang dianalisis, memiliki nilai bias relatif lebih kecil dari 10% dan dari hasil pengujian akurasi dan presisi metode dengan tingkat kepercayaan
95%, memberikan hasil lolos pada kedua uji tersebut. Berdasarkan nilai u-test <1,64 berarti nilai hasil analisis dalam pengujian ini tidak berbeda secara signifikan dari nilai sertifikat, kecuali untuk pengujian Na, memiliki nilai u-test 1,95 > u >1,64 yang berarti bahwa hasil dilaporkan kemungkinan tidak berbeda secara signifikan dengan nilai sertifikat.[4] Hal ini menunjukkan bahwa metode analisis yang dilakukan pada penelitian ini valid.
15
Ecolab Vol. 6 No. 1 Januari 2012 : 1 - 60
Tabel 2. Hasil kontrol mutu internal metode dengan NIST SRM 2711a Montana Soil.
Untuk mengetahui komposisi unsur dalam sampel abu vulkanik, telah dilakukan analisis kualitatif dan kuantitatif dengan metode AAN. Hasil analisis ditampilkan pada Gambar 2 sampai dengan Gambar 5. Unsur terdeteksi dapat dikelompokkan atas unsur-unsur makro (konsentrasi >1000 mg/kg) meliputi Na, Al,
Ca, Fe, Mg, Ti dan Mn, unsur–unsur mikro (konsentrasi < 500 mg/kg) U, Hg, Hf, Sb, Co, Cs, Rb, V, As, Zn, Cr termasuk unsur logam tanah jarang Eu,Yb, Tb, Lu, Ce, Dy dan Sc seperti tercantum dalam Tabel 2. Konsentrasi unsur-unsur ini bervariasi pada tiap lokasi sampling.
Tabel 3. Kandungan unsur makro dan mikro dalam abu vulkanik
16
Theresia R. M., Iman Kuntoro.. : Distribusi Unsur Makro dan Mikro Dalam Abu Gunung Merapi Yogyakarta
Dari Gambar 2 dapat diketahui distribusi unsur-unsur makro Al, Fe, Na, Ca, Mg, Ti dan Mn dalam abu vulkanik dari ke-10 lokasi sampling. Konsentrasi Al berkisar antara 4,44-8,79% terrendah pada L-4 dan tertinggi pada L-8. Konsentrasi unsur Fe antara 4,44-8,79% terrendah pada L-6 dan tertinggi di L-8. Na dengan konsentrasi antara 2,553,35%, terrendah di L-10 dan tertinggi di L-4. Konsentrasi Ca 1,03-8,82%, terrendah di L-6 dan tertinggi di L-8. Konsentrasi Mg 1,038,82, terrendah di L-7 dan tertinggi di L-1. Konsentrasi Ti 0,31-0,58, terrendah di L-6 dan tertinggi di L8 dan konsentrasi Mn 0,120,17% dengan konsentrasi terrendah di L6 dan tertinggi di L-1. Di sini dapat diketahui bahwa distribusi unsur dalam abu vulkanik adalah acak untuk tiap lokasi. Untuk lokasi L-6 (Desa Ngemplak Seneng Kecamatan Manisrenggo Klaten) yang berjarak 15 km dari gunung merapi, memiliki kandungan unsur Fe, Ca, Ti dan Mn dalam abu vulkan relatif lebih rendah
bila dibandingkan dengan sampel abu vulkan yang diambil dari lokasi sampling lainnya. Dengan mengetahui distribusi unsur makro di dalam abu vulkanik dan merujuk hasil uji komposisi kimia tanah abu vulkanik Gunung Merapi Yogyakarta yang dilakukan oleh Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BKTL), 1994 Yogyakarta yang memberikan hasil sebagai berikut : SiO2 (54.56 %), Al2O3 (18.37 %), Fe2O3 (18.59 %), CaO (8.33 %), MgO (2.45 %), Na2O (3.62 %), K2O (2.32 %), MnO (0.17 %), TiO2 (0.92 %), P2O5 ¬¬¬¬¬¬(0.32 %), H2O (0.11 %), HD (0.2 %). Hal ini selaras dengan hasil analisis yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu abu vulkanik pasca erupsi 2010, memiliki kandungan Al cukup tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa vulkanik Gunung Merapi memiliki potensi untuk dapat dimanfaatkan sebagai material keramik berbasis allumino silikat, [6] sehingga abu vulkanik memiliki nilai ekonomi.
Gambar 2. Distribusi unsur makro Al, Ca, Fe, Mg, Mn, Na dan Ti dalam abu vulkanik Pada lokasi titik sampling berbeda
17
Ecolab Vol. 6 No. 1 Januari 2012 : 1 - 60
Pada Gambar 3 dan 4 ditunjukkan histogram distribusi unsur tanah jarang Yb, Eu, Tb, Lu Ce, Sc dan Dy. Unsur-unsur ini termasuk unsur mikro di dalam tanah. Logam tanah jarang tidak ditemukan berupa unsur bebas dalam lapisan kerak bumi tetapi berbentuk paduan membentuk senyawa kompleks. Pengetahuan yang kurang tentang logam tanah jarang menyebabkan logam ini belum banyak mendapat perhatian. Logam tanah
jarang memiliki nilai ekonomi dibutuhkan untuk industri seperti telepon selular, televisi flat, komputer, green industry dan mobil listrik. Saat ini China sebagai pemasok logam tanah jarang di dunia sudah mulai mengurangi jumlah pasokannya untuk industri global, kondisi ini merupakan peluang bagi Indonesia untuk mulai memanfaatkan logam tanah jarang yang banyak terkandung di sini.
Gambar 3. Distribusi unsur tanah jarang Yb, Eu, Tb dan Lu dalam abu vulkanik Pada lokasi titik sampling berbeda
Gambar 4. Distribusi unsur tanah jarang Ce, Sc dan Dy dalam abu vulkanik Pada lokasi titik sampling berbeda 18
Theresia R. M., Iman Kuntoro.. : Distribusi Unsur Makro dan Mikro Dalam Abu Gunung Merapi Yogyakarta
Gambar 5. Distribusi unsur mikro Ba, V, Rb, Zn, Sb dan La dalam abu vulkanik Pada lokasi titik sampling berbeda
Gambar 6. Distribusi unsur mikro Hf, Co, Cs, Hg, As dan U dalam abu vulkanik Pada lokasi titik sampling berbeda
Pada Gambar 5 dan 6 memperlihatkan histogram distribusi unsur mikro lainnya di dalam abu vulkanik. Unsur Zn tidak terdeteksi pada semua lokasi sampling, demikian juga unsur As. Pada L-1, L-2 dan L-9 tidak terdeteksi unsur Zn dan As, demikian juga dengan unsur Cr hanya terdeteksi di dua lokasi sampling, yaitu L-4 dan L-5 dan Cr ini tidak digambarkan dalam histogram.
Sedangkan untuk unsur lainnya seperti Ba, Sb, V, Co dan Hf hampir terdeteksi di semua lokasi sampling. Unsur-unsur ini memiliki konsentrasi dengan komposisi tidak jauh berbeda dengan komposisi unsur mikro dalam kerak bumi menurut Mason dalam Alloway BJ dan Ayres DC.[7] Hanya saja pada abu vulkanik terdeteksi adanya unsur As dan Hg yang merupakan logam berat toksik. 19
Ecolab Vol. 6 No. 1 Januari 2012 : 1 - 60
Tabel 4. Berbagai unsur yang terdapat dalam kerak bumi menurut Mason
Komposisi unsur dalam abu vulkanik apabila dibandingkan dengan komposisi unsur dalam kerak bumi menurut Mason dalam Alloway BJ dan Ayres DC, adalah sesuai yaitu apabila diurutkan dari komposisi tertinggi Al, Fe, Ca, Na, Mn dan seterusnya. Demikian juga apabila dilihat konsentrasinya tidak berbeda jauh seperti halnya kandungan alamiah unsur di dalam kerak bumi. Berarti penyebaran abu vulkanik di tanah permukaan mestinya tidak memberi dampak ekstrim terhadap perubahan komposisi unsur pada tanah tersebut, justru akan memperbaiki komposisi hara pada lahan pertanian yang karenA penanaman semakin berkurang dan dengan penambahan abu vulkanik ini akan membuat tanah semakin subur. Dari hasil análisis abu vulkanik Gunung Merapi, dapat diketahui bahwa abu ini kaya akan unsur hara yang sangat bermanfaat bagi pertanian, sehingga adanya abu vulkanik ini dapat meningkatkan kandungan cadangan nutrisi tanah yang berguna untuk meningkatkan produktivitas tanah untuk pertanian. Secara keseluruhan jenis unsur-unsur terdeteksi dalam abu vulkanik merupakan unsur logam
20
berat yaitu logam dengan massa jenis lima atau lebih, dengan nomor atom 22 sampai dengan 92. Dari sejumlah unsur logam berat yang perlu diperhatikan adalah Pb, Hg, Cd, As dan Cr. Hal ini berkaitan erat dengan sifat toksik dari logam tersebut yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Suriadikarta dkk [8] menunjukkan bahwa kandungan Pb dan Cd dalam abu vulkanik erupsi Gunung Merapi cukup rendah Cd 0,0-0,03 mg/kg dan Pb 0,0-0,5 mg/kg dan kondisi ini cukup aman untuk pengembangan pertanian. Dalam penelitian ini unsur Hg terdeteksi hampir pada semua lokasi sampling kecuali L-1 dan L-4. Konsentrasi Hg berkisar antara 0,78-2,79 mg/kg, terrendah L-10 dan tertinggi L-7, konsentrasi As 4,24-7,81 mg/kg terrendah L-7 dan tertinggi L-5. Untuk menentukan batasan unsur logam berat dalam tanah tidak bisa menggunakan peraturan pemerintah yang ada, karena dalam tanah sendiri sudah ada logam berat yang disebut harga cacah latar yang nilainya berbeda untuk setiap jenis tanah atau batuan.
Theresia R. M., Iman Kuntoro.. : Distribusi Unsur Makro dan Mikro Dalam Abu Gunung Merapi Yogyakarta
Abu vulkanik ini tersebar pada daerah yang cukup luas hingga pada radius lebih dari 20 km dari titik pusat Gunung Merapi berada dan menutup lahan yang ada di daerah tersebut. Kondisi ini akan mengganggu kualitas komponen lingkungan yang ada, terutama dengan adanya logam-logam berat yang bersifat toksik. Dengan diketahuinya jenis unsur dan distribusinya, tentunya data akan sangat berguna bagi pertimbangan pemanfaatan jangka panjang peruntukan abu vulkanik tersebut. Jumlah yang melimpah abu vulkanik dan pasir dari peletusan Gunung Merapi dan terdeteksinya beberapa logam berat di dalamnya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pemanfaatan material tersebut dengan tepat. Dari penelitian yang dilakukan Lasino dkk[9], menunjukkan bahwa campuran abu vulkanik 30% dan pasir, baik digunakan untuk mortar dan beton. Dengan adanya logam berat di dalam abu vulkanik, maka penggunaannya untuk bahan bangunan jauh lebih aman.
lebih aman. Kandungan unsur hara dalam abu vulkanik, membuat abu ini baik digunakan untuk pertanian. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Agus Taftazani yang telah membantu dalam melakukan dan menyediakan sampel sehingga penelitian ini dapat dilakukan. DAFTAR PUSTAKA 1.
Gunung Merapi, www.indovolcano. com/gunung-merapi-yogyakarta, diunduh 5 September 2011.
2.
S U D A RY O d a n S U T J I P T O (2009), Identifikasi Dan Penentuan Logam Pada Tanah Vulkanik Di Daerah Cangkringan Kabupaten Sleman Dengan Metode Analisis Aktivasi Neutron Cepat, Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir – Batan – Yogyakarta.
3.
NOFIA H, NITA H, SUNARDI dan YOHANNES SARDJONO, Aplikasi Teknologi Nuklir Untuk Penentuan Unsur Abu Vulkanik Gunung Merapi Pasca Erupsi 2010 dengan AANC, Proseding Seminar Nasional ke-17 Teknologi dan Keselamatan PLTN serta Fasilitas Nuklir Yogyakarta, 2011, ISSN 0845-2910.
4.
IAEA. Summary Report of the Proficiency Test for the IAEA Project RAS/2/010: Quality Assurance and Quality Control of Nuclear Analytical Techniques, Seiberdorf, 03 January, 2009.
KESIMPULAN Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa abu vulkanik dari Gunung Merapi mengandung unsur-unsur makro Na, Fe, Ca, Al dan Mn, unsur tanah jarang Eu,Yb, Tb, Lu, Ce, Dy dan Sc dan unsur mikro lainnya U, Hg, Hf, Sb, Co, Cs, Rb, V, As, Zn, Cr. Keberadaan logam berat bersifat toksik Hg, As, Cr perlu diperhatikan dalam pemaanfatan abu tersebut karena berkaitan dengan kesehatan manusia dan lingkungan. Pemanfaatan abu merapi untuk bahan bangunan dan material keramik jauh
21
Ecolab Vol. 6 No. 1 Januari 2012 : 1 - 60
5.
NIST Certificate of Analysis Standard Reference Material Montana Soil, Gaithersburg,MD 20899,USA, Certificate Issue date 22 May 2009.
6.
BPPT manfaatkan abu vulkanik Gunung merapi Bromo sebagai bahan Glasir, www. BPPT.go.id diunduh 19 April 2012.
7.
22
MASON dalam ALLOWAY B.J. dan AYRES D.C., Chemical principle of environmental pollution, Blakie Academic & Professional, Glasgow G64-2NZ, 1994, UK.
8.
SURIADIKARTA dkk, Identifikasi Sifat Kimia Abu Volkan, Tanah dan Air di Lokasi Dampak Letusan Gunung Merapi, www. Balittanah. litbang.deptan.go.id, diunduh 18 April 2012.
9.
LASINO, BAMBANG S dan DANI CAHYADI, Pemanfaatan Pasir dan Debu Merapi sebagai Bahan Konstruksi dalam Mendukung Pembangunan Infrastruktur dan Meningkatkan Nilai Guna ahar Vulkanik, Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman – Kementerian Pekerjaan Umum, www. bsn.go.id, diunduh 20 April 2012
Grace Idolayanti Moko, Wiweka : Evaluasi Perubahan Lingkungan Wilayah Pesisir Surabaya Timur...
EVALUASI PERUBAHAN LINGKUNGAN WILAYAH PESISIR SURABAYA TIMUR SIDOARJO DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTITEMPORAL Grace Idolayanti Moko1, Wiweka2,
(Diterima tanggal : 14 Agustus 2011; Disetujui tanggal : 14 Desember 2011)
ABSTRAK Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat – sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses – proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Surabaya Timur – Sidoarjo merupakan daerah yang relatif mengalami perubahan. Di kawasan pesisir ini juga mengalami peristiwa penting yaitu peristiwa lumpur Lapindo. Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk memantau perubahan pada wilayah pesisir. Salah satunya menggunakan teknologi penginderaan jauh. Hal ini dilakukan karena data penginderaan jauh memilki wilayah cakupan yang luas, cepat, serta efisien. Data yang digunakan adalah citra satelit ALOS/AVNIR-2 tahun 2006 dan 2008 serta SPOT-4 tahun 2009. Data tersebut digunakan untuk menganalisis perubahan tutupan lahan, garis pantai, serta tingkat kekeruhan air laut. Metode klasifikasi terbimbing digunakan untuk mengetahui tutupan lahan di wilayah pesisir Surabaya Timur – Sidoarjo, sedangkan kekeruhan air laut menggunakan algoritma Total Suspended Solid (TSS). Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan perubahan tutupan lahan yang signifikan pada kelas pemukiman, rumput/tanah kosong, dan empang. Dimana sejak tahun 2006 hingga 2009, luasan pemukiman selalu bertambah yaitu 184,7 ha , sedangkan empang dan rumput/tanah kosong mengalami penurunan luasan yaitu kelas empang sebesar 48,04 ha dan rumput/tanah kosong sebesar 199,31ha. Untuk tingkat kekeruhan air laut, nilai yang mendominasi wilayah perairan Surabaya – Sidoarjo adalah 0-200mg/l. Sejak tahun 2006 hingga 2009 terjadi perubahan garis pantai yang diikuti dengan terjadinya perubahan daratan. Pada tahun 2006 – 2008 perubahan daratan sebesar 51,01 ha sedangkan tahun 2008 – 2009 perubahannya sebesar 18,92 ha. Kata kunci : Pesisir, Tutupan Lahan, Garis Pantai, Kekeruhan Air Laut, SPOT-4, ALOS/AVNIR-2
ABSTRACT Coastal region is an area of encounter between land and sea; landward coastal areas include parts of the mainland, either dry or submerged with water, which is still influenced by the characteristic of ocean such as tides, ocean breezes, and salinity intrusion, while on the seaward coastal areas includes part of the sea that is still influenced by natural process that occurs on land such as sedimentation and freshwater streams, as well as those caused by human activities on land such as deforestation and pollution. East Surabaya - Sidoarjo is a coastal area that is relatively unchanged. Also in this coastal region experienced many important events, one of this event called Lapindo mud. There are several methods that can be used to monitor changes in coastal territory. One of them using a multitemporal remote sensing technology. This is done because the remote sensing data has an extensive coverage area, quickly and efficient. The data used is ALOS/AVNIR-2 satellite imagery in 2006 and 2008 and SPOT-4 in 2009. The data is used to analyze changes in land cover, shoreline, and the level of sea water turbidity. Supervised classification methods is used to determine land cover in coastal areas of Surabaya - Sidoarjo, while the turbidity of seawater using an algorithm Total Suspended Solid (TSS). Based on the results of the study, significant changes in land cover in the class settlement has been found, the grass / bare soil, and ponds. Where from 2006 to 2009, the residential area of 184.7 ha is always increasing, while the ponds and the grass / bare soil decreased the area of 48.04 ha of ponds class and grass / bare soil of 199.31 ha. For sea water turbidity levels, the class that dominated the territorial waters of Surabaya - Sidoarjo is 0-200mg / l. From 2006 to 2009 changes in the coastline which was followed by changes in the mainland. In the year 2006 - 2008 The land change alteration is 51,01ha while in 2008 to 2009 the alteration is 18.92. Keywords: Coastal Area, Land Cover, Shorelines, Sea Water Turbidity, SPOT-4, ALOS/AVNIR-2 Teknik Geomatika-ITS, Surabaya, 60111, Indonesia Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN, Jl. LAPAN 70 Pekayon-Pasar Rebo, Jakarta, Indonesia Email :
[email protected]
1
2
23
Ecolab Vol. 6 No. 1 Januari 2012 : 1 - 60
PENDAHULUAN Latar Belakang
Batasan Masalah
Surabaya dan Sidoarjo merupakan pusat kegiatan perindustrian di wilayah Indonesia bagian timur yang mengalami perkembangan yang cukup pesat, tidak terkecuali pesatnya pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk yang pesat menye-babkan kebutuhan akan lahan menjadi semakin besar.
Wilayah studi yang digunakan adalah wilayah pesisir dan perairan Surabaya Timur sampai pesisir Sidoarjo.
Salah satu peristiwa yang terjadi d pesisir SurabayaTimur – Sidoarjo yaitu peristiwa Lumpur Lapindo yang terjadi pada 29 Mei 2006 di Desa Renokenongo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Mayasari (2010) menggunakan citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2003 dan 2006 serta SPOT-4 tahun 2009, didapatkan bahwa nilai Total Suspended Sediment (TSS) yang dominan untuk wilayah Surabaya – Sidoarjo adalah 25-125 mg/l. Untuk mengetahui besarnya perubahan – perubahan tersebut dapat digunakan teknologi penginderaan jauh yang berbasis citra satelit. Teknologi ini mampu memberikan informasi spasial dipermukaan bumi baik darat maupun laut secara signifikan. Perumusan Masalah Seberapa jauh citra satelit ALOS/AVNIR-2 dan SPOT-4 dapat digunakan untuk mengidentifikasi perubahan tutupan lahan, perubahan garis pantai, serta perubahan tingkat kekeruhan air laut wilayah pesisir dan perairan Surabaya Timur – Sidoarjo yang terjadi pada tahun 2006 sampai tahun 2009.
24
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit ALOS/AVNIR-2 tahun 2006 dan 2008 serta SPOT-4 tahun 2009. Hasil penelitian adalah analisis perubahan tutupan lahan, perubahan garis pantai, serta perubahan kekeruhan air laut di wilayah pesisir dan perairan Surabaya Timur dan Sidoarjo yang disajikan dalam bentuk peta. Tujuan dan Manfaat Tujuan dalam penelitian ini, yaitu menganalisis perubahan tutupan lahan, perubahan garis pantai, dan perubahan tingkat kekeruhan air laut wilayah pesisir dan perairan pesisir Surabaya Timur – Sidoarjo yang disebabkan oleh adanya peristiwa Lumpur Lapindo dengan menggunakan citra satelit multitemporal. Manfaat yang dapat diambil yaitu memberikan informasi berupa peta tutupan lahan, perubahan garis pantai, serta informasi hasil identifikasi perubahan tingkat kekeruhan air laut wilayah pesisir dan perairan yang diharapkan dapat digunakan sebagai landasan dalam rencana tata ruang wilayah pesisir. Informasi geospasial yang dihasilkan pada penelitian ini merupakan bagian dari target pemantauan, deteksi, identifikasi parameter fisis yang ada di daratan, lautan serta udara dalam rangka pembangunan database dan analisis spasial lingkungan Surabaya berbasiskan data penginderaan jauh.
Grace Idolayanti Moko, Wiweka : Evaluasi Perubahan Lingkungan Wilayah Pesisir Surabaya Timur...
METODOLOGI Lokasi Penelitian Kegiatan Penelitian ini dilakukan dilakukan di sekitar pesisir Surabaya Timur – Sidoarjo. Daerah penelitian secara administratif termasuk dalam wilayah Kotamadya Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo
Data dan Peralatan Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Citra satelit ALOS/AVNIR-2 6-10-2006 dan 11-7-2008 serta SPOT-4 21-7-2009. Citra satelit Landsat Ortho. Peta RBI area Surabaya dan Sidoarjo. Data pengukuran sampel air laut.
Gambar 1. Lokasi Penelitian
Gambar 2. (a) Citra ALOS/AVNIR-2 tahun 2006 kombinasi band 321, (b) Citra ALOS/AVNIR-2 tahun 2008 kombinasi band 321, (c) Citra SPOT-4 path/row 297/364 tahun 2009 kombinasi band 123, (d) Citra SPOT-4 path/row 297/365 tahun 2009 kombinasi band 123
25
Ecolab Vol. 6 No. 1 Januari 2012 : 1 - 60
Gambar 3. Citra Landsat Ortho ETM-7+ Kombinasi Band 321
Sedangkan peralatan yang digunakan adalah:
Water Quality Checker dan GPS navigasi
Perangkat Lunak (Software)
Pengolahan Data
ER Mapper 7.0, Matlab, ArcGis 9.3 Peralatan Lapangan
Gambar 4. Diagram Alir Pengolahan Data 26
Adapun untuk diagram alir tahapan pengolahan data adalah sebagai berikut :
Grace Idolayanti Moko, Wiweka : Evaluasi Perubahan Lingkungan Wilayah Pesisir Surabaya Timur...
HASIL DAN PEMBAHASAN Koreksi Geometrik
Tabel 1. Hasil Koreksi Geometrik Dan Perhitungan So
Desain jaring SoF untuk koreksi geomteri setiap citra pada Gambar 5. Berikut ini tabel hasil koreksi geometrik dan perhitungan strengh of figure (Sof). Konversi DN ke Reflektan Konversi DN ke Reflektan dilakukan pada citra satelit SPOT-4 mengunakan input nilai reflektan. Persamaan yang digunakan : Digital Number (DN) ke Spectral Radiance Lλ = DN/(Gλ*Aλ) + Bλ .…………… (1) Spectral Radiance ke Reflectance ρp =
π × Lλ × d ESUN λ × cosθ s
.……………(2)
Keterangan : L = DN = Gλ = Aλ = Bλ = ρ = π = d2 = JD = ESUN = Θ s =
Spectral Radiance At Sensor Aperture (mWcm-2.ster-1.μm-1). Digital Number Gain Absolute Correction Bias Unitless Planetary Reflectance At The Satellite ( Dalam Skala 0-1). 3.141593 Earth Sun Distance In Astronomical Units. Julian Day (Day Number In The Year Of Image Acquisition). Mean Solar Exoatmospheric Spectral Irradiance (mW.cm-2.μm-1 atau Wm-2.μm-1). Sun Zenith (degree) = 90°-Sun Elevation
Gambar 5. Desain Jaring SoF :(a) ALOS/AVNIR Tahun 2006, (b) ALOS/AVNIR-2 Tahun 2008, (c) SPOT-4 Multispektral Tahun 2009 Path/Row 297/364, (d) SPOT-4 Tahun 2009 Path/Row 297/365 27
Ecolab Vol. 6 No. 1 Januari 2012 : 1 - 60
Tabel 2. Hasil Konversi DN Ke Reflektan
Penggabungan Citra (Mosaiking)
Pemotongan Citra (Cropping)
Penggabungan citra dilakukan pada citra satelit SPOT-4, karena area penelitian berada dalam 2 scene yang bertampalan. Sedangkan pada citra ALOS/AVNIR-2 tidak dilakukan penggabungan citra karena area penelitian berada pada 1 scene saja. Proses ini dilakukan pada citra yang sudah terkoreksi.
Pemotongan citra dilakukan untuk membuat pengolahan citra menjadi lebih fokus pada wilayah yang akan diteliti. Ada 2 tahapan yang dilakukan, yaitu pemotongan citra berdasarkan hasil digitasi dari peta RBI untuk menentukan batasan area penelitian, setelah itu proses pemotongan citra yang dilakukan untuk mendapatkan wilayah daratan dan lautan, dimana vektor yang digunakan merupakan hasil digitasi dari proses masking pada setiap citra masing – masing tahun, sehingga didapatkan 6 batas area yang berbeda yaitu 3 vektor daratan dan 3 vektor lautan. Proses masking terbagi menjadi dua proses, yaitu masking daratan dan lautan. Hal tersebut dibedakan, karena dalam proses klasifikasi tutupan lahan menggunakan area daratan sedangkan klasifikasi kekeruhan air laut menggunakan area lautan. Berikut ini contoh hasil pemotongan citra:
Gambar 6. Hasil Penggabungan Citra Pada SPOT-4 Kombinasi Band 123 28
Grace Idolayanti Moko, Wiweka : Evaluasi Perubahan Lingkungan Wilayah Pesisir Surabaya Timur...
Gambar 7. Hasil Pemotongan Citra SPOT-4 Tahun 2009 Area Penelitian(a), SPOT-4 Tahun 2009 Area Daratan(b), ALOS/AVNIR Tahun 2008 Area Lautan(c)
Klasifikasi Citra ALOS AVNIR-2 dan SPOT-4 yang sudah terkoreksi dan dipotong sesuai area penelitian tersebut selanjutnya dilakukan proses klasifikasi. Proses klasifikasi dilakukan dengan menggunakaan metode terselia berdasarkan kemiripan maksimum (maximum likehood) karena hasil klasifikasi pada metode ini lebih peka terhadap pola tanggapan spektral dan lebih teliti dibandingkan metode klasifikasi tak terselia. Pada penelitian ini, citra yang digunakan dibagi menjadi 6 kelas, yaitu: (1) Pemukiman, (2) Empang, (3) Tegalan/ladang, (4) Rumput/ tanah kosong, (5) Badan air, (6) Hutan rawa, dimana pembagian kelas ini mengacu pada peta Rupa Bumi Indonesia (RBI). Berikut ini hasil luasan kelas tutupan lahan masing – masing citra, sebagai berikut : Tabel 3. Luasan Kelas Tutupan Lahan Tahun 2006Berikut ini peta hasil klasifikasi tutupan lahan tahun 2006 – 2009:
(a)
(b)
(c) Gambar 8. Hasil Klasifikasi Tutupan Lahan Tahun 2006 (a), 2008 (b), 2009 (c)
29
Ecolab Vol. 6 No. 1 Januari 2012 : 1 - 60
Penerapan Algoritma TSS Algoritma TSS digunakan untuk mendapatkan kandungan nilai TSS (mg/l) pada citra dengan cara memasukkan persamaan algoritma ke dalam tool formula editor pada software ER Mapper 7.0. Persamaan algoritma yang digunakan pada citra ALOS/AVNIR-2 dan SPOT-4 berbeda. Pada citra ALOS/AVNIR menggunakan nilai digital number (DN) sedangkan SPOT-4 menggunakan nilai reflektan
(a) Hasil klasifikasi dari masing – masing citra kemudian dikelaskan dengan nilai interval 50 mg/l. Namun hasil klasifikasi pada setiap tahunnya menghasilkan range nilai TSS yang berbeda – beda sehingga jumlah kelas setiap tahunnya berbeda. Adapun sebaran kekeruhan secara lebih detil dapat dilihat pada tabel berikut : Berikut ini peta sebaran kekeruhan air laut tahun 2006, 2008, dan 2009.
30
(b)
(c) Gambar 9. Hasil Peta Sebaran Kekeruhan Air Laut Tahun 2006 (A), 2008 (B), 2009 (C)
Digitasi Garis Pantai Penentuan garis pantai secara cepat dan praktis dapat dilakukan dengan cara interpretasi visual pada citra sekaligus melakukan on screen digitizing pada citra tersebut. Digitasi dilakukan setelah melakukan proses masking, yaitu pemisahan daratan dengan lautan. Digitasi dilakukan dengan menggunakan software ER Mapper 7.0. Berikut ini hasil digitasi garis pantai tahun 2006, 2008, dan 2009.
Grace Idolayanti Moko, Wiweka : Evaluasi Perubahan Lingkungan Wilayah Pesisir Surabaya Timur...
.
didapatkan sebesar 86%. maka klasifikasi dianggap benar karena nilainya lebih besar dari 80%. Tabel 9. Matriks Uji Ketelitian Klasifikasi Tutupan Lahan
(a)
(b)
T=total, O=omisi
(c) Gambar 10. Garis Pantai Tahun 2006 (a), 2008 (b), dan 2009 (c)
ANALISIS Uji Ketelitian Klasifikasi Adapun citra yang diujikan ke lapangan adalah citra tahun terakhir, yaitu citra SPOT-4 dengan akuisisi 21 Juli 2009. Uji ketelitian dilakukan dengan menggunakan perhitungan confusion matrix. Caranya yaitu dengan membandingkan sampel titik – titik koordinat pada tiap – tiap jenis kelas tutupan lahan hasil klasifikasi, dengan kondisi koordinat sebenarnya dilapangan untuk mengetahui kebenaran hasil dari klasifikasi. Jika hasil perhitungan confusion matrix ≥ 80% maka klasifikasi citra dianggap benar (Short, 1982 dalam Adry, 2009). Dari hasil perhitungan confusion matrix yang sudah dilakukan, didapatkan hasil ketelitian seluruh hasil klasifikasi (KH) untuk citra SPOT-4 bulan Juli 2009 sebesar 86%. Dengan hasil perhitungan ketelitian klasifikasi yang
ANALISIS PERUBAHAN LUASAN TUTUPAN LAHAN Berikut ini merupakan perubahan penutup lahan yang terjadi pada tahun 2006 – 2009. Tabel 10. Perubahan Luas Penutup Lahan Tahun 2006-2008
Tabel 11. Perubahan Luas Penutup Lahan Tahun 2008-2009
Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa terdapat beberapa perubahan luasan yang terjadi, ada yang mengalami penambahan dan ada juga yang berkurang. Terlihat bahwa dari tiga tahun terakhir kelas Rumput/tanah kosong 31
Ecolab Vol. 6 No. 1 Januari 2012 : 1 - 60
dan Empang, selalu mengalami penurunan luasan. Hal tersebut dapat disebabkan karena adanya perubahan fungsi lahan, menjadi Pemukiman, Hutan rawa, maupun Tegalan/ ladang, karena pada kelas-kelas tersebut mengalami penambahan luasan. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan Yuliati (2010) yang menjelaskan bahwa pada tahun 2006-2009 terjadi penambahan luas hutan mangrove, penambahan ini terjadi karena adanya proses sedimentasi yang berasal dari lumpur Sidoarjo yang terjadi pada kawasan pesisir Surabaya-Sidoarjo serta adanya rehabilitasi hutan mangrove. ANALISIS PERUBAHAN GARIS PANTAI
Gambar 11. Lokasi Perubahan Daratan
Garis pantai diperoleh dari hasil digitasi, dimana digitasi dilakukan per piksel pada citra. Sehingga dari hasil digitasi tersebut didapatkan panjang garis pantai.Perhitungan panjang garis pantai hasil digitasi dilakukan menggunakan software ER Mapper 7.0. Perubahan panjang garis pantai dipengaruhi oleh bentuk garis pantai yang tidak lurus. Secara lebih rinci, perubahan panjang garis pantai dan perubahan daratan tahun 2006 ke 2009 dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
32
Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat terjadi perubahan garis pantai yang diikuti dengan adanya perubahan daratan. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah: a.Sedimen yang dibawa oleh sungai – sungai yang bermuara di pantai Surabaya-Sidoarjo, misalnya Sungai Brantas dan Sungai Porong. b.Reklamasi yang dilakukan oleh penduduk di daerah pantai atau developer. c.Sedimen yang berasal dari pembuangan lumpur Lapindo melalui Kali Porong. Menurut Widjiharti (2008) di sepanjang Pantai Timur Sidoarjo, sejak tahun 1945 s.d. 1997 telah terjadi proses angkutan sedimen secara terus menerus yang menimbulkan penambahan daratan kearah laut sebesar ±144,615m2/th dan mengakibatkan lokasi muara – muara sungai bergeser dari lokasi muara semula. Untuk prediksi sampai tahun 2010 diperoleh hasil pengamatan bahwa di lokasi penelitian secara komulatif masih akan terjadi penambahan daratan pada setiap tahun namun dengan angka luas penambahan yang makin mengecil. Selain itu, menurut Mayasari (2010), terjadi perubahan daratan yang cukup signifikan antara 2 periode, 147,978 ha antara tahun 2003 sampai 2006 dan 213,888ha antara tahun 2006 sampai 2009. Dari hasil ini diindikasikan bahwa terjadi peningkatan laju sedimentasi.
Grace Idolayanti Moko, Wiweka : Evaluasi Perubahan Lingkungan Wilayah Pesisir Surabaya Timur...
Analisis Hasil Algoritma Nilai TSS hasil pengolahan citra bervariatif. Pada tahun 2006 berkisar antara 0 – 300 mg/l, tahun 2008 antara 0 – 200 mg/l, sedangkan tahun 2009 nilai TSS meningkat yaitu berkisar 0 – 350 mg/l. Angka kekeruhan yang paling tinggi terjadi pada tahun 2009, nilai kekeruhan yang didapat mencapai 350 mg/l. Kisaran nilai kekeruhan pada wilayah perairan Surabaya – Sidoarjo berkisar antara 0 - 200 mg/l. Sedangkan penelitian yang dilakukan Mayasari (2010), menjelaskan bahwa dari tahun 2003 ke 2009, persebaran kelas sedimentasi relatif tetap pada masing-masing kelas sedimentasi. Sebaran sedimentasi di sepanjang pantai Surabaya – Sidoarjo didominasi oleh nilai TSS 25-125 mg/l. Namun terdapat perbedaan hasil antar keduanya. Hal ini dapat disebabkan karena adanya perbedaan waktu pada uji lapangan/ ground truth. Penelitian yang dilakukan oleh Mayasari (2010), dilakukan pada Maret 2010, sedangkan dalam penelitian ini uji lapangan dilakukan pada bulan Mei 2011. Selain itu, area peneltiannya berbeda. Untuk penelitian yang dilakukan Mayasari (2010) area penelitiannya berada pada pesisir Surabaya – Sidoarjo secara keseluruhan, sedangkan pada penelitian ini dilakukan pada pesisir Surabaya Timur – Sidoarjo.
Analisis Hasil Ground Truth Ground Truth dilakukan pada tanggal 4 Mei 2011 - 7 Mei 2011 di perairan Surabaya Timur-Sidoarjo. Berikut ini adalah tabel di perairan Surabaya Timur dan perbandingan hasil pengolahan citra SPOT-4 dengan hasil uji lapangan yang dilakukan dengan menggunakan alat Water Quality Checker. Tabel 15. Perbandingan Hasil Uji Lapangan Dengan Pengolahan Citra SPOT-4 No
Koordinat
Hasil
Hasil
Citra
Lapangan
(mg/l)
(mg/l)
9199429
260,5
103,7
156,81
9199084
245,7
97,7
147,95
699259 699597 699947
9199085 9199090 9199085
212,1 183,1 200
90,5 121,3 124,4
121,59 61,83 75,59
6
700404
9199083
158,1
111,5
46,61
7
700744
9198987
172,7
131,7
40,97
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
701263 701684 701944 702893 703439 703845 704177 704599 705093 705418 705816 706310
9198896 9199028 9199052 9198985 9199134 9199195 9199155 9199130 9199096 9199062 9199025 9199042
162,8 140,6 128,7 121,4 122,68 114,5 107,9 107,9 98,92 93,18 93,18 98,82
95,6 77 35,6 29,2 32,9 17,7 12,1 11,8 14,4 14,8 15,9 17,2
67,23 63,58 93,12 92,18 89,78 96,75 95,82 96,12 84,52 78,38 77,28 81,62
20
706548
9199060
98,82
26
72,82
21
707143
9199082
90,48
13,2
77,28
22
707524
9199095
82,85
13,8
69,05
23
707800
9198643
87,87
16,4
71,47
24
707955
9197933
85,32
9,9
75,42
25
708011
9196882
90,48
22,6
67,88
26
705445
9195013
136,5
72,2
64,32
27
704093
9191940
162,8
58,7
104,12
28
704380
9193448
188,6
45,2
143,38
29
704285
9194252
172,7
51,3
121,37
30
704472
9194920
158,1
115,2
42,91
31
703773
9195066
172,7
82,2
90,47
32
703673
9195581
162,8
84,5
78,32
33
703477
9196105
200
94,8
105,19
34
703075
9196475
253
63,5
189,46
35
702792
9196982
212,1
80,2
131,89
36
702246
9197297
276,3
97,4
178,87
37
701455
9197852
310,7
67,8
242,91
38
700992
9198435
224,9
57,6
167,32
39
700306
9198883
188,6
77,3
111,28
40
699631
9198516
238,5
66
172,53
41
706807
9163216
104,8
56,2
48,6
42
707451
9162789
95,96
42,7
53,26
43
708561
9162450
158,1
13,6
144,51
44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64
709687 710562 711002 710255 709572 709368 708635 708411 707971 707548 707444 707408 707393 706915 706439 705959 706375 706877 707187 707636 708283
9162165 9161670 9161113 9160906 9160582 9160133 9160132 9160171 9160119 9160101 9160610 9160942 9161464 9161548 9161688 9161816 9162412 9161750 9161650 9161543 9161768
144,8 158,1 125 149,1 153,5 144,8 158,1 167,7 194,2 208,2 172,7 140,6 172,7 121,4 162,8 153,5 132,6 149,1 167,7 183,1 162,8
4,4 4,1 12,7 2,6 5,6 14,8 15,3 18,6 22,3 24,2 40,9 76,6 39,2 74,5 34,9 42,1 59,3 41,9 41,1 46,5 50,4
140,37 154,01 112,3 146,49 147,93 129,97 142,81 149,07 171,9 183,99 131,77 63,98 133,47 46,88 127,92 111,43 73,26 107,19 126,57 136,63 112,4
X (m)
Y (m)
1
698647
2
699003
3 4 5
Δ (mg/l)
Nilai TSS hasil yang diperoleh dari 33
Ecolab Vol. 6 No. 1 Januari 2012 : 1 - 60
pengambilan sampel lapangan mempunyai nilai yang berbeda dengan kelas TSS dari hasil pengolahan citra. Adapun perbedaan tersebut antara lain dapat disebabkan beberapa hal berikut: Perbedaan musim pengambilan data lapangan dan tanggal akuisisi citra, dimana citra memiliki akuisisi pada musim kemarau, dan pengambilan data data lapangan dilakukan pada bulan Mei, dimana sedang terjadi musim pancaroba, peralihan musim kemarau ke musim penghujan. Kondisi pada saat pengambilan data lapangan, pengambilan data dilakukan setelah turun hujan sehingga akan berbeda dengan pengambilan data yang dilakukan pada saat tidak turun hujan. Uji korelasi dilakukan dengan membandingkan hasil TSS citra dengan hasil ground truth. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana korelasi atau kedekatan hasil TSS pengolahan citra dengan hasil lapangan. Untuk mengetahui kekuatan hubungan antara dua peubah yaitu hasil pengolahan citra dan data pengukuran lapangan, perlu dilakukan perhitungan korelasi. Berikut ini grafik yang menunjukan korelasi antara data lapangan dan hasil pengolahan citra. Uji korelasi ini dilakukan dengan membandingkan hasil TSS citra dengan hasil ground truth. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana korelasi atau kedekatan hasil TSS pengolahan citra dengan hasil lapangan. Pada uji korelasi ini didapatkan nilai r2=0,299, seperti pada gambar 4.19.
Dengan persamaan sebagai berikut :
Gambar 12. Grafik hasil TSS citra dan data lapangan
Pada uji korelasi ini didapatkan nilai r2=0,299. Dengan persamaan sebagai berikut : y = 0,385x – 11,48 Nilai r2=0,299 bermakna bahwa 0,299 atau 29,9% diantara keragaman total nilai lapangan (y) tidak dapat dijelaskan oleh hubungan liniernya dengan nilai citra (x). Sehingga dapat disimpulkan antara hasil citra dan data lapangan mempunyai hubungan linier yang sangat lemah. Berikut ini distribusi nilai TSS hasil pengukuran lapangan dan hasil pengolahan citra. Hubungan linier sempurna bila r = +1 atau -1. Bila r mendekati +1 atau -1, hubungan antara dua peubah itu kuat dan dapat dikatakan terdapat korelasi yang tinggi antara keduanya. Akan tetapi, bila r mendekati nol, hubungan linier antara X dan Y sangat lemah atau mungkin tidak ada sama sekali. (Walpole, 1995)
Gambar 13. Pola Distribusi Nilai TSS Lapangan Dan Hasil Pengolahan Citra SPOT-4 34
Grace Idolayanti Moko, Wiweka : Evaluasi Perubahan Lingkungan Wilayah Pesisir Surabaya Timur...
Grafik di atas menunjukan pola distibusi nilai TSS hasil pengolahan citra pada SPOT-4 tahun 2009 dengan hasil pengukuran lapangan. Dari grafik tersebut dapat disimpulkan bahwa antara hasil pengolahan citra dan data lapangan mempunyai kecenderungan pola yang sama. Namun, masih terdapat perbedaan pola pada titik – titik tertentu.
Tabel 16. Kondisi Pasang Surut Citra Yang Digunakan
Analisis Berdasarkan Musim
Sedangkan pada saat pengambilan data lapangan dilakukan pada bulan Mei sekitar pukul 09.00 – 13.00, dimana pada saat itu, kondisi di wilayah perairan Surabaya – Sidoarjo dalam kondisi menuju pasang.
Sesuai data curah hujan dan pencatatan angin yang diperoleh dari BMKG statiun Tanjung Perak, Surabaya, diketahui bahwa citra satelit yang digunakan berada pada satu musim yang sama dimana musim pada saat musim kemarau pengaruh angin timur lebih dominan. Hal ini terjadi pada bulan Mei-Oktober. Sedangkan pada saat pengambilan data lapangan, yaitu pada bulan Mei tahun 2011, tercatat bahwa terjadi peralihan musim antara musim penghujan ke musim kemarau yaitu musim pancaroba sehingga menyebabkan terjadi perbedaan hasil lapangan dengan hasil pengolahan citra. Analisis Berdasarkan Pasang Surut Pasang surut mempengaruhi tingkat kekeruhan air laut. Jika pada kondisi pasang, maka distribusi air akan terjadi dari laut menuju sungai sehingga distribusi partikel - partikel tersuspensi juga mengalir dari laut menuju sungai, sedangkan jika saat kondisi surut maka akan terjadi aliran air dari sungai ke laut, sehingga material dan partikel tersuspensi juga akan mengalir dari sungai menuju laut. Berikut ini tabel pasang surut berdasarkan data pasang surut yang dikeluarkan oleh Dinas Hidrografi dan Oceanografi TNI AL (Dishidros).
Tabel 17. Kondisi Pasut Saat Pengukuran Sampel Air Laut
KESIMPULAN Hasil koreksi geometrik pada semua citra dalam penelitian ini menghasilkan nilai RMSe ≤ 1 piksel, sehingga koreksi geometrik dianggap benar. Dan kekuatan jaring yang diperoleh memenuhi syarat ketelitian, yaitu mendekati (0). Berdasarkan hasil klasifikasi tutupan lahan tahun 2006 hingga 2009 didapatkan kelas Rumput/tanah kosong dan Empang setiap tahunnya berkurang, sehingga terjadi alih fungsi lahan menjadi Pemukiman, yang ditandai dengan penambahan luasan Pemukiman setiap tahunnya.
35
Ecolab Vol. 6 No. 1 Januari 2012 : 1 - 60
Hasil uji ketelitian untuk klasifikasi citra SPOT4 bulan Juli 2009 menunjukkan tingkat kebenaran sebesar 86%, sehingga hasil klasifikasi dianggap benar. Berdasarkan hasil algoritma TSS, nilai kekeruhan yang dominan untuk area SurabayaSidoarjo adalah 0 – 200 mg/l, hal itu berarti perairan Surabaya – Sidoarjo memiliki tingkat kekeruhan yang tinggi. Diperoleh r2 sebesar 0,299 bermakna bahwa 0,29 atau 29,9% diantara keragaman total nilai lapangan (y) tidak dapat dijelaskan oleh hubungan liniernya dengan nilai citra (x). Sehingga hasil citra dan data lapangan mempunyai hubungan linier yang sangat lemah. Sejak tahun 2006 hingga 2009 terjadi perubahan garis pantai yang diikuti dengan terjadinya perubahan daratan. Pada tahun 2006 – 2008 perubahan daratan sebesar 51,01 ha sedangkan tahun 2009 – 2009 perubahannya sebesar 18,92 ha. Peristiwa Lumpur Lapindo mempengaruhi wilayah pesisir Surabaya Timur – Sidoarjo, terlihat dengan adanya penambahan daratan dan meningkatkan-nya kekeruhan air laut pada area tersebut, yang disebabkan karena adanya pembuangan lumpur lapindo ke kali porong. DAFTAR PUSTAKA 1. Adry, R. 2009. Evaluasi Perubahan Garis Pantai dan Tutupan Lahan Wilayah Pesisir Surabaya dan Sidoarjo. Surabay : Teknik Geomatika FTSPITS. 2. Arifin, I. 2009. Studi Perubahan Muatan Padatan Tersuspensi (TSM) di Selat Madura Akibat Pembuangan 36
Lumpur Lapindo. Surabaya : Teknik Geomatika FTSP ITS. 3. Budiman, S. 2004. Mapping TSM Concentrations from Multisensor Satellite Image in Turbid Tropical Coastal Waters of Mahakam Delta Indonesia. ITC The Netherlands. 4. Dahuri, R. Dkk. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: P.T. Pradnya Paramita. 5. Lillesand T.M., and Kiefer R.W., 1994. Remote Sensing and Image Interpretation. Second Edition, John Wiley & Sons, New York. 6. L u k i t a s a r i , F. 2 0 0 9 . E v a l u a s i Perubahan Tutupan Lahan Wilayah Pesisir Surabaya Timur Menggunakan Citra SPOT-4 Mutispektral dan Peta LPI (Lingkungan Pantai Indonesia) Tahun 1983. Surabaya : Teknik Geodesi FTSP-ITS. 7. Ladys, M. 2011. Teknik Penentuan Perubahan Garis Pantai Utara Di Pesisir Jawa Tengah Dengan Teknologi Penginderaan Jauh Di LAPAN. Palembang : Program Studi Ilmu Kelautan-UNSRI. 8. Mayasari, R. 2010. Analisis Sedimentasi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu Dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra Satelit Spot-4 . Surabaya : Teknik Geomatika FTSP-ITS. 9. Pahlevi, A. M. 2009. Analisis Sedimentasi Di Muara Kali Porong Akibat Pembuangan Lumpur Lapindo Menggunakan Data Citra Satelit Aster. Surabaya : Teknik Geomatika FTSPITS. 10. Purwadhi, S. H. 2001. Interpretasi Citra Digital. Grasindo. Jakarta.
Grace Idolayanti Moko, Wiweka : Evaluasi Perubahan Lingkungan Wilayah Pesisir Surabaya Timur...
11. Rais, J. 2003. Pedoman Penentuan Batas Wilayah Laut Kewenangan Daerah Menurut UU No. 22 Tahun 1999. Jakarta.
14. Sutikno. 1999. Karakteristik Bentuk Pantai Materi Perkuliahan Geografi Pesisir Dan Kelautan. Yogyakarta : UGM
12. Sukojo, B.M. 2006. Modul Ajar Hitung Kerangka Geodesi. Surabaya : Teknik Geomatika, Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
15. Thoha, A.S. 2008. Karakteristik Citra Satelit. Medan: Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
13. Susiati, H., Kusratmoko, E., dan Poniman, A., 2010. Pola Sebaran S e d i m e n Te r s u s p e n s i M e l a l u i Pendekatan Penginderaan Jauh Di Perairan Pesisir Semenanjung Muria - Jepara. Jurnal Teknologi Pengolahan Limbah Volume 13, ISSN 1410-9565
16. Walpole, R. E. Pengantar Statistika. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. 17. Yuliati, E, A. 2010. Analisis Perubahan Ekosistem Di Pantai SurabayaSidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu Dan Peristiwa Lapindo Dengan Citra Multitemporal. Surabaya : Teknik Geomatika FTSP ITS
37
Ecolab Vol. 6 No. 1 Januari 2012 : 1 - 60
PERAN RHIZOBAKTERI DALAM FITOEKSTRAKSI LOGAM BERAT KROMIUM PADA TANAMAN JAGUNG Ali Pramono1, MMA Retno Rosariastuti2, Ngadiman3 dan Irfan D. Prijambada3 (Diterima tanggal: 14 Juli 2011; Disetujui tanggal: 2 November 2011)
ABSTRACT Heavy metals are highly persistent in the environment and are known to alter soil ecosystem diversity, structure and function. Remediation of soil contaminated of heavy metals is important caused soil as medium for food production. Conventional methods for Cr(VI) remediation include physical and chemical. However, these methods were not widely explored due to high technology and costly. Due to this, the cost-effective, safe and friendly technology for in situ remediation is needed. The research was aimed to know the capability of rhizobacteria for phytoextraction of chromium on maize plant. The stages of this research include 1) tolerance test of rhizobacteria to Cr(VI), 2) reduction test of rhizobacteria to Cr(VI), and 3) Absorption test of Cr(VI) on maize plant. The results of this research showed that Isolate 27 tolerated to 15 ppm of Cr(VI). Isolate 27 reduced 15 ppm of Cr(VI) within 18 hours completely. Isolate 27 helped the phytoextraction of chromium on maize plant up to 241 times. The continuous research is needed to know what type of organic acids that role in mechanism of phytoextraction on maize plant. Isolate 27 can be used as an inoculant in both phytoremediation protocols and in plant growth promotion. Keywords: Cr(VI), maize plant, phytoextraction, rhizobacteria
ABSTRAK Logam berat bersifat persisten dalam lingkungan dan diketahui mengubah biodiversitas, struktur dan fungsi ekosistem tanah. Remediasi tanah terkontaminasi logam menjadi penting, karena tanah sebagai media penghasil bahan pangan. Pendekatan konvensional untuk remediasi tempat yang terkontaminasi logam meliputi fisika dan kimia, namun aplikasi proses-proses ini terbatas karena kendala teknologi dan ekonomi. Oleh karena itu diperlukan metode remediasi yang murah, aman dan ramah lingkungan seperti bioremediasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan rhizobakteri dalam membantu fitoekstraksi logam berat kromium pada tanaman jagung. Tahapan penelitian meliputi 1) uji toleransi bakteri terhadap Cr(VI), 2) uji reduksi Cr(VI), dan 3) uji serapan Cr(VI) pada tanaman jagung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Isolat 27 toleran terhadap toksisitas Cr(VI) pada konsentrasi 15 ppm. Isolat 27 mereduksi Cr(VI) secara sempurna dalam waktu 18 jam. Isolat 27 membantu fitoekstraksi logam kromium pada tanaman jagung sebesar 241 kali dibandingkan kontrol. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui jenis asam yang berperan dalam mekanisme fitoekstraksi pada tanaman jagung. Isolat 27 dapat digunakan sebagai inokulan dalam fitoremediasi dan pemacu pertumbuhan tanaman. Kata Kunci: Cr(VI), fitoekstraksi, rhizobakteri, tanaman jagung
PENDAHULUAN Logam berat bersifat persisten dalam lingkungan dan diketahui mengubah biodiversitas, struktur dan fungsi ekosistem tanah(1). Remediasi tanah terkontaminasi logam menjadi penting, karena tanah sebagai media penghasil bahan pangan. Remediasi
tanah terkontaminasi logam meliputi fisika dan kimia, namun aplikasi proses-proses ini terbatas karena kendala teknologi dan ekonomi. Oleh karena itu diperlukan metode remediasi yang murah, aman dan ramah lingkungan yaitu bioremediasi (penggunaan
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jakenan-Pati, Jl. Raya Jakenan-Jaken Km.5 Jakenan Pati, Telp/Fax. 0295 381592, email:
[email protected] Universitas Sebelas Maret Surakarta 3 Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 1 2
38
Ali Pramono, MMA Retno... : Peran Rhizobakteri Dalam Fitoekstrasi Logam Berat Kromium Pada Tanaman...
mikrobia atau sistem biologi lainnya untuk mendegradasi atau mentransformasi polutan di bawah kondisi terkendali), dan fitoremediasi (penggunaan tanaman untuk membersihkan polutan dari lingkungan tanah tercemar)(2). Kromium adalah salah satu logam toksik yang secara luas digunakan untuk elektroplating, penyamakan kulit, pewarnaan tekstil, dan industri pemrosesan logam. Di alam, kromium dapat ditemukan sebagai Cr(VI) dan Cr(III). Kromium (III) mempunyai tingkat racun yang lebih rendah dan mudah diserap dalam tanah dan air, sedangkan chromium (VI) bersifat sangat toksik, tidak mudah diserap dalam tanah dan air dan garamnya bersifat larut(3).
lingkungan. Beberapa rhizobakteri tersebut mampu meningkatkan serapan kromium di dalam jaringan tanamannya (fitoekstraksi), beberapa yang lain justru menurunkan serapan (fitostabilisasi). Penggalian potensi spesiesspesies rhizobakteri dari tempat tercemar kromium yang diduga berperan dalam fitoekstraksi merupakan hal yang menarik untuk diteliti. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kemampuan rhizobakteri dalam membantu fitoekstraksi logam berat kromium pada tanaman jagung. METODOLOGI Uji toleransi Isolat 27 terhadap Cr(VI)
Bakteri rhizosfer (rhizobakteri) memiliki mekanisme yang dapat menyebabkan perubahan ketersediaan unsur logam dalam tanah sehingga logam menjadi lebih mudah atau sukar diserap oleh tanaman. Secara alami tanaman memiliki sifat menyerap logam melalui mekanisme yang disebut fitoekstraksi. Logam diserap tanaman dari larutan tanah melalui akar tanaman dan penyerapannya dipengaruhi oleh ketersediaannya di dalam tanah. Sejumlah species tanaman mempunyai kemampuan hiperakumulasi logam berat, namun teknologi ini tidak cukup untuk meremediasi tempat dengan kontaminan yang beragam. Solusinya adalah kombinasi manfaat simbiosis mikrobia-tanaman dalam rhizosfer tanaman sehingga menjadi teknologi pembersihan yang efektif(4).
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta pada tahun 2010. Pada penelitian sebelumnya telah didapatkan beberapa isolat bakteri asal tanah sawah tercemar logam kromium. Isolat 27 diuji toleransinya terhadap Cr(VI) dengan konsentrasi 6, 10, 15, 20, 25, 50, 100, 150, 200, 250, 300, 350, 400, 450, 500 dan 600 ppm pada medium Luria Bertani (LB) agar (komposisi: pepton 10 g, ekstrak khamir 5 g, NaCl 5 g dan agar 15 g per liter akuades)(5, 6).
Rhizobakteri dapat dimanfaatkan untuk menangani lahan tercemar logam, khususnya kromium sehingga lahan tetap dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian yang aman bagi kesehatan manusia dan
Reduksi Cr(VI) dengan growing cells
Uji Reduksi Cr(VI) oleh Isolat 27 Untuk mengetahui aktivitas reduksi Cr(VI), Isolat 27 diuji dengan perlakuan kultur bakteri (growing cells), sel (resting cells) dan supernatan secara terpisah yang diinteraksikan dengan Cr(VI).
Isolat 27 pada kultur stok diambil dengan menggunakan ose dan diinokulasikan ke dalam 10 ml medium LB cair. Kultur diinkubasi selama 10 jam pada suhu kamar dan dikocok 39
Ecolab Vol. 6 No. 1 Januari 2012 : 1 - 60
dengan menggunakan shaker pada kecepatan 125 rpm, kemudian diambil 0,5 ml (OD600 = 1) dan diinokulasikan ke dalam 20 ml medium minimal (glukosa 10 g; KH2PO4 6,8 g; K2HPO2 8,7 g; (NH4)2SO2 3,3 g; MgSO4 1,23 g per liter akuades)(7), diinkubasi pada suhu suhu kamar selama 20 jam dan dikocok pada kecepatan 125 rpm. Sebanyak 2,5 ml dari masing-masing kultur (OD600 = 1) diinokulasikan ke dalam 250 ml medium minimal steril, diinkubasi selama 48 jam pada suhu kamar dan dikocok pada kecepatan 125 rpm. Pada jam ke-48 dihentikan kemudian ditambahkan Cr(VI) dalam bentuk K2Cr2O7 dengan konsentrasi 15 ppm. Kemudian diinkubasi selama 24 jam dengan kondisi yang sama. Pengambilan sampel dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan bakteri dan kadar sisa Cr(VI) pada setiap interval enam jam. Pertumbuhan bakteri diukur kerapatan optiknya dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm. Perubahan kadar Cr(VI) dalam medium selama pertumbuhan bakteri diukur dengan metode difenil karbazid (DPC) menurut Thacker & Madamdawar (2005)(8). Reduksi Cr(VI) dengan resting cells Isolat 27 ditumbuhkan secara bertingkat dengan menginokulasikan ke dalam 250 ml medium minimal steril, diinkubasi pada suhu kamar selama 48 jam dan dikocok pada kecepatan 125 rpm. Setelah diinkubasi 48 jam, sel dipanen melalui sentrifugasi (10.000 rpm selama lima menit PADA SUHU 4OC). Supernatan yang diperoleh digunakan untuk perlakuan berikutnya. Sel kemudian dicuci dua kali dalam 10 mM buffer Tris HCl (pH 7,2) dan diresuspensi dalam buffer Tris HCl 40
250 ml(6). Suspensi sel dan supernatan secara terpisah dimasukkan masing-MASING KE DALAM tabung Erlenmeyer steril dan ditambahkan Cr(VI) dalam bentuk K2Cr2O7 dengan konsentrasi yang sama pada perlakuan growing cells. Sebagai kontrol adalah buffer Tris HCl tanpa suspensi bakteri. Perlakuan dan kontrol kemudian diinkubasikan dengan pengocokan pada suhu kamar dengan kecepatan 125 rpm selama 24 jam. Pada interval enam jam diambil sampel untuk ditentukan kadar Cr(VI). Reduksi Cr(VI) dengan supernatan Supernatan yang diperoleh dari perlakuan sebelumnya dimasukkan dalam Erlenmeyer steril, kemudian ke dalamnya ditambahkan Cr(VI) dalam bentuk K2Cr2O7 dengan konsentrasi yang sama pada perlakuan growing cells dan diinkubasi dengan pengocokan pada suhu kamar dengan kecepatan 125 rpm selama 24 jam. Pada interval enam jam diambil sampel untuk ditentukan kadar Cr(VI). Penentuan kadar Cr(VI) Satu ml medium cair yang mengandung kromium dimasukkan ke dalam tabung ependorf dan disentrifugasi 10.000 rpm selama lima menit. Sebanyak 200 µl atau 400 µl sampel atau standard K2Cr2O7 diambil dan volume dibuat satu ml dengan penambahan akuades. Dalam larutan tersebut ditambahkan 330 µl 6 M H2SO4 dan 400 µl DPC (0,25% w/v). DPC 0,25% (w/v) disiapkan dengan melarutkan 0,25 g difenil karbazid ke dalam 100 ml aseton. Volume akhir dibuat 10 ml dengan penambahan akuades, dan campuran dibiarkan bereaksi selama 10 menit, kemudian diukur dengan spektrofotometer UV-VIS pada panjang gelombang 540 nm(8).
Ali Pramono, MMA Retno... : Peran Rhizobakteri Dalam Fitoekstrasi Logam Berat Kromium Pada Tanaman...
Uji Serapan Cr oleh Tanaman Penelitian ini merupakan percobaan di rumah kaca untuk mengetahui pengaruh hasil interaksi Isolat 27 terhadap Cr(VI) dan serapan Cr oleh tanaman. Jenis tanaman yang digunakan adalah jagung (Zea mays). Media tanam berupa tanah pasir steril sebanyak 5 kg berat kering mutlak/pot. Media tanam dimasukkan dalam pot, kemudian diberi pupuk dasar NPK sebanyak satu tablet per pot. Benih jagung ditanam dan dipelihara hingga tumbuh baik sekitar satu minggu, kemudian diberi perlakuan pemberian cairan hasil interaksi Isolat 27 dengan kromium (perlakuan growing cells, resting cells dan supernatan). Masingmasing perlakuan terdiri dari tiga ulangan. Tanaman dipelihara selama satu bulan untuk dipanen biomasanya, dipisahkan antara akar dan trubusnya. Parameter yang diukur adalah berat kering brangkasan, kadar Cr total dalam akar dan trubus tanaman. Pengukuran Cr total dilakukan dengan menggunakan AAS (atomic absorption spectrophotometry). Metode preparasi dan ekstraksi sampel akar dan trubus untuk penentuan kadar Cr total(9). Sampel tanaman tersebut dikeringkan dan dioven pada suhu 90oC selama 48 jam. Sampel tanaman kering diblender dan diayak dengan saringan dua mm. Sampel akar dan trubus diekstraksi menggunakan metode digesti asam nitrat/perklorat. Sebanyak 0,5 g sampel kering oven dimasukkan Erlenmeyer 125 ml, ditambahkan empat ml 1:1 HNO3/ HClO4, dan dibiarkan semalam. Sampel ditempatkan di atas kompor dan dipanaskan sampai asap putih mulai hilang dan cairan tampak jernih. Cairan tersebut kemudian diencerkan dengan akuades hingga 10 ml dan
disaring dengan kertas Whatman. Filtrat siap diukur kadar Cr totalnya dengan AAS. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian sebelumnya, telah diisolasi bakteri-bakteri rhizosfer (rhizobakteri) sebanyak 39 macam isolat dari tanah sawah tercemar limbah industri di Desa Sambirembe Kec. Kalasan Kab. Sleman Yogyakarta. Seleksi terhadap isolat rhizobakteri untuk mengetahui kemampuan fitoekstraksi logam kromium pada tanaman jagung juga telah dilakukan. Isolat 27 mempunyai kemampuan meningkatkan fitoekstraksi(10). Isolat 27 selanjutnya juga telah diidentifikasi, yaitu Agrobacterium tumefaciens. Isolat 27 mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai rhizobakteri yang mampu meningkatkan fitoekstraksi logam kromium, namun mekanisme tersebut belum diketahui. Rhizobakteri memiliki suatu mekanisme yang menyebabkan terjadinya perubahan mobilitas unsur logam, sehingga menjadi lebih mudah diserap tanaman atau sebaliknya. Uji toleransi rhizobakteri terhadap Cr(VI) Isolat 27 diuji toleransinya terhadap Cr(VI). Kemampuan tumbuh pada medium LB agar yang diberi kromium dapat dilihat pada Tabel 1. Isolat 27 mempunyai konsentrasi penghambatan minimum (Minimum Inhibiton Concentration / MIC) sebesar 300 mg Cr(VI)/l. Pada kondisi in vitro, toleransi terhadap Cr tergantung pada tipe medium yang digunakan. MIC yang dicapai pada medium kaya nutrisi lebih tinggi 2-5 kali daripada dengan menggunakan medium minimal karena logam berat dapat terikat 41
Ecolab Vol. 6 No. 1 Januari 2012 : 1 - 60
oleh komponen medium khususnya senyawa organik dan fosfat(11). Untuk mengurangi kemungkinan kompleksasi Cr(VI) dengan komponen medium dan memungkinkan pengujian toksisitas Cr(VI) terhadap bakteri lebih akurat maka dalam penelitian ini digunakan medium minimal yang disuplementasi dengan glukosa pada kadar rendah (1%). Hasil pengujian toleransi Isolat 27 terhadap Cr(VI) disajikan pada Gambar 1. Kadar Cr(VI) 6, 10 dan 15 ppm diujikan pada isolat tersebut. Kadar Cr(VI) yang lebih tinggi dari 15 ppm dalam medium pertumbuhan ini menyebabkan isolat tersebut tidak mampu tumbuh. Pemberian Cr(VI) sebesar 6 ppm atau lebih pada awal pertumbuhan mengakibatkan isolat bakteri tidak mampu tumbuh. Untuk itu,
Isolat 27 ditumbuhkan terlebih dahulu selama 48 jam agar mencapai akhir fase logaritma, kemudian baru diberikan Cr(VI) untuk melihat pengaruhnya terhadap pertumbuhan sel (Gambar 1). Medium tanpa kromium (kontrol) menunjukkan tidak terjadi perubahan warna kekuningan, medium kultur yang diberi kromium berwarna kekuningan yang intensitasnya makin kuat dengan besarnya kadar kromium. Meskipun tidak dilakukan pengukuran kadar Cr(VI), terjadinya perubahan warna kultur dan kenaikan jumlah sel setelah diinkubasi tiga hari menandakan bahwa Cr(VI) telah berkurang/direduksi. Reduksi Cr(VI) menjadi Cr(III) yang kurang toksik merupakan mekanisme dasar resistensi terhadap kromat pada bakteri(12).
Gambar 1 Pertumbuhan Isolat 27 pada medium minimal dengan berbagai konsentrasi Cr(VI)
42
Ali Pramono, MMA Retno... : Peran Rhizobakteri Dalam Fitoekstrasi Logam Berat Kromium Pada Tanaman...
Uji Reduksi Cr(VI) oleh Isolat 27 Reduksi Cr(VI) dengan growing cells Pertumbuhan sel Isolat 27 terhambat dengan keberadaan Cr(VI) di dalam medium minimal dan reduksi Cr(VI) berkaitan dengan pertumbuhan sel (Gambar 2). Isolat 27 ditumbuhkan terlebih dahulu agar mencapai akhir fase eksponensial (kira-kira 48 jam) dan kemudian diberi Cr(VI). Isolat tersebut aktif mereduksi Cr(VI) menjadi Cr(III) ketika ditumbuhkan pada kondisi aerobik. Isolat tersebut dapat mentoleransi toksisitas dan tumbuh pada kadar 15 ppm Cr(VI), dan analisis terhadap jumlah Cr(VI) yang tersisa dalam fraksi supernatan menunjukkan bahwa jumlah Cr(VI) telah berkurang karena direduksi (Tabel 2). Hal ini karena bakteri tersebut telah beradaptasi di lingkungan tercemar logam kromium sehingga mampu berkembang biak pada aras toksik. Penghambatan pertumbuhan sel terjadi karena senyawa Cr(VI) dapat menginduksi mutasi frame-shift, substitusi pasangan basa pada G-C dan A-T pada sel bakteri. Diduga bahwa fungsi SOS bakteri dapat memperbaiki kerusakan DNA yang disebabkan oleh Cr(VI)(13, 14). Penurunan jumlah sel dan peningkatan periode lag oleh karena penambahan Cr(VI)
disebabkan meningkatnya waktu adaptasi untuk perbaikan DNA selama pemaparan Cr(VI) di dalam medium. Namun pada akhir inkubasi, pertumbuhan sel kembali meningkat. Isolat 27 mampu mereduksi Cr(VI) setelah ditumbuhkan hingga mencapai fase akhir logaritma, baik dengan induksi Cr(VI) pada awal pertumbuhan maupun tanpa induksi. Isolat 27 mereduksi Cr(VI) hingga jam ke-12 setelah pemaparan Cr(VI) dan menunjukkan kemampuan mereduksi Cr(VI) secara sempurna setelah 18 jam. Proses reduksi membutuhkan ketersediaan energi yang cukup, baik dalam bentuk senyawa organik maupun anorganik. Sel mereduksi kromat baik dengan maupun tanpa diinduksi kromat terlebih dahulu(15). Konsentrasi kromat yang lebih tinggi mencegah multiplikasi bakteri tetapi tidak mencegah bakteri untuk mereduksi kromat. Resistensi kromat pada Isolat 27 tidak terkait dengan kemampuan reduksi kromat yang menunjukkan bahwa penentuan resistensi kromat terletak pada plasmid, sedangkan reduksi kromat terletak dalam kromosom pada Pseudomonas fluorescens. Reduksi pada Pseudomonas fluorescens dan Bacillus sp ini terjadi secara enzimatik, karena dikatalis oleh ekstrak sel(15).
43
Ecolab Vol. 6 No. 1 Januari 2012 : 1 - 60
Reduksi Cr(VI) dengan resting cells Isolat 27 ditumbuhkan dalam medium minimal, setelah mencapai fase akhir eksponensial, sel dipanen lalu dicuci dua kali dengan buffer Tris HCl. Dengan buffer yang sama, sel disuspensikan kemudian dipapar Cr(VI) dengan kadar 15 ppm. Pada Tabel 3 terlihat penurunan secara drastis kadar Cr(VI) pada enam jam pertama inkubasi, meskipun hingga akhir inkubasi Cr(VI) yang tereduksi hampir 50%. Penurunan kadar Cr(VI) pada perlakuan tersebut kemungkinan dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu biosorpsi oleh dinding sel bakteri, aktivitas enzim kromat reduktase di dalam sel, dan metabolit berupa asam-asam organik. Biosorpsi, yaitu proses pengambilan logam oleh sel mikroorganisme secara pasif (tidak membutuhkan energi). Pengikatan ion logam secara biosorpsi pada organisme menggunakan kapsul, polimer, ekstraseluler dan gugus fungsional yang terdapat pada dinding sel mikroorganisme. Organisme yang dapat melakukan biosorpsi adalah
44
bakteri, kapang, khamir, dan algae. Agen pengkhelat siderofor yang dimiliki oleh Enterobacter memiliki gugus reaktif yaitu asam dikarboksilat, asam polihidroksi, dan asam fenolik. Gugus reaktif berfungsi untuk mengikat kromium, uranium yang terdapat di lingkungan(16, 17, 18). Bakteri dapat mereduksi kromat di bawah kondisi aerobik dan anaerobik dimana enzim yang berperan adalah chromate reductase secara konstitutif. Reduksi kromat menjadi Cr(III) secara cepat dilakukan oleh enzim chromate reductase yang diisolasi dari P. putida MK1, P. putida PRS2000, Pseudomonas ambigua, Arthrobacter spp., dan Bacillus spp. Beberapa enzim reduktase memerlukan NADH atau NADPH untuk aktivitas maksimum, termasuk pseudomonad tanah. Reductase berasal dari sitoplasma, lisis sel atau sekresi dan mereduksi Cr(VI) secara ekstraseluler, menghasilkan deposit Cr pada permukaan sel dan terikat oleh EPS (extracellular polymeric substances) dalam larutan(19).
Ali Pramono, MMA Retno... : Peran Rhizobakteri Dalam Fitoekstrasi Logam Berat Kromium Pada Tanaman...
Reduksi Cr(VI) dengan supernatan Supernatan yang diperoleh dari pemisahan sel bakteri dipapar Cr(VI) dengan kadar 15 ppm, kemudian diinkubasi dengan pengocokan selama 24 jam. Penurunan kadar Cr(VI) secara drastic sebenarnya terjadi sesaat setelah Cr(VI) dengan supernatan. Penurunan kadar Cr(VI) terbesar yaitu dari 15 ppm menjadi 2,2 ppm pada 6 jam pertama inkubasi (Tabel 4). Untuk mengklarifikasi mekanisme penurunan Cr(VI) melalui reduksi, diuji apakah sel mampu menurunkan kadar Cr(VI). Tabel 5 menunjukkan kemampuan reduksi kromat oleh Isolat 27 dalam kondisi growing. Aktivitas penurunan Cr(VI) nampaknya berasal dari fraksi terlarut dalam supernatan. Supernatan diperoleh dari cairan kultur yang disentrifugasi Cr(VI) dan diduga terdapat metabolit (asam organik atau enzim) yang dilepaskan oleh sel ke dalam medium kultur. Hal ini terjadi melalui sekresi atau lisis sel. Reduksi Cr(VI)
oleh enzim chromate reductase terjadi karena asam-asam organik bertindak sebagai sumber donor elektronnya. Bakteri pereduksi Cr(VI) dapat menggunakan bermacam-macam senyawa organik sebagai donor elektron dalam proses reduksi Cr(VI). Donor elektron dapat berupa karbohidrat dengan berat molekul rendah, asam-asam amino, dan asam-asam lemak. Glukosa digunakan sebagai donor elektron pada sebagian besar bakteri pereduksi Cr(VI)(14),21) dan trypton diketahui efektif sebagai donor elektron pada Enterobacter cloaca (21). Reduksi melalui perlakuan resting cell pada penelitian ini lebih kecil dibandingkan growing cell maupun supernatan. Reduksi Cr(VI) yang toksik menjadi Cr(III) yang kurang toksik adalah proses yang mengkonsumsi elektron. Sel menunjukkan aktivitas reduksi Cr(VI) ketika ada atau tidaknya donor elektron yang ditambahkan.
45
Ecolab Vol. 6 No. 1 Januari 2012 : 1 - 60
Pada penelitian ini diduga bahwa reduksi Cr(VI) terkait membran sel dalam resting cell dan glukosa merupakan donor elektron pada proses reduksi Cr(VI) dalam growing cell. Berdasarkan pengukuran pH, Isolat 27 mereduksi Cr(VI) dengan mekanisme penghasilan asam. Perlakuan growing cell dan supernatan menyebabkan penurunan pH selama inkubasi dan perlakuan hingga 4,6. Reduksi Cr(VI) dapat terjadi melalui reaksi kimia yang berkaitan dengan senyawa seperti asam-asam amino, nukleotida, gula, vitamin, asam organik atau glutathione. Reduksi Cr(VI) secara enzimatik berkaitan membran sel atau fraksi terlarut, dan dapat terjadi pada kondisi aerobik atau anaerobik(22). Lebih dari 50% enzim chromate reductase aktif pada pH antara 5,5 hingga 7,5. pH optimum enzim chromate reductase berkaitan erat dengan pH pertumbuhan optimum mikroorganisme yang mendekati netral(23). Uji Serapan Spesies Cr oleh Tanaman Kromium masuk ke dalam tanaman tidak melalui jalur mekanisme spesifik. Jalur logam Cr(VI) dapat masuk melalui beberapa mekanisme unsur-unsur penting, seperti sulfat(33). Masuknya Cr(VI) dalam jalur sulfat dimungkinkan karena stuktur kromium yang mirip dengan SO42- membuat Cr(VI) mudah diserap melalui mekanisme sistem transpor sulfat. Selain sulfat, Cr(VI) juga dapat bergabung dengan mekanisme sistem unsur besi (Fe), belerang (S), dan fosfor (P) (24). Sementara untuk Cr(III), pengambilan oleh tanaman terjadi secara pasif melalui pertukaran kation pada dinding sel. Hal ini menyebabkan konsentrasi Cr(VI) lebih tinggi terserap dalam tanaman daripada Cr(III). 46
Toksisitas logam berat terhadap terhadap tanaman bervariasi tergantung jenis logam dan konsentrasinya. Gejala visual toksisitas Cr pada tanaman jagung dalam penelitian ini adalah pertumbuhan yang kerdil, sistem perakaran yang kurang berkembang, daun sempit, mengggulung dan tidak berwarna (klorosis), serta reduksi biomasa. Pelayuan dan kematian tanaman yang cepat juga dilaporkan sebagai hasil pemaparan kadar Cr yang tinggi(25). Melalui mekanisme reduksi Cr(VI) menjadi Cr(III) oleh rhizobakteri dan kemudian terjadi khelating Cr(III) dengan asam-asam organik membentuk kompleks maka kromium meningkat kelarutan dan mobilitasnya sehingga dapat terserap tanaman. Pada penelitian ini, setelah perlakuan growing, resting dan supernatan diinteraksikan dengan Cr(VI) sebesar enam ppm kemudian diujikan pada tanaman jagung. Tanaman dipelihara selama satu bulan, diamati pertumbuhannya dan setelah panen diukur kadar Cr total dalam akar dan trubusnya. Hasil pengamatan pertumbuhan menunjukkan bahwa perlakuan Isolat 27 menyebabkan pertumbuhan lebih baik (Gambar 3) dan meningkatkan berat kering tanaman (Tabel 6). Berat kering tanaman pada perlakuan pemberian cairan kultur Isolat 27 sebesar 4,7 gram, meningkat hampir tujuh kali lipat dibandingkan kontrol. Kemampuan membantu fitoekstraksi dinyatakan oleh perkalian antara serapan Cr tanaman, berat kering tanaman dan serapan Cr oleh akar dibanding serapan Cr trubus. Tabel 6 menunjukkan kemampuan Isolat 27 dalam membantu fitoekstraksi pada tanaman jagung dengan perlakuan growing, resting dan supernatan. Pada perlakuan growing cell, Isolat 27 membantu fitoekstraksi tanaman
Ali Pramono, MMA Retno... : Peran Rhizobakteri Dalam Fitoekstrasi Logam Berat Kromium Pada Tanaman...
Gambar 2 Pertumbuhan tanaman jagung pada perlakuan pemberian kultur Isolat 27 (kiri) dan kontrol (kanan)
jagung sebesar 241 kali dibandingkan kontrol. Diduga bahwa ada keterkaitan antara asam yang dihasilkan isolat bakteri dengan hasil reduksi Cr(III) sehingga mudah terserap ke dalam jaringan tanaman. Selain dapat mereduksi ion kromium, rhizobakteri juga dapat mendukung pertumbuhan tanaman dengan mensintesis prekursor fitohormon, vitamin, enzim, siderofor, dan antibiotik(4). Bakteri rhizosfer, misalnya Pseudomonas spp., Azospirillum spp., dan Agrobacterium spp., meningkatkan pertumbuhan tanaman dan penyerapan nutrien pada tanaman jagung, gandum dan legum(26). Asam-asam organik merupakan khelator
dan berperan penting dalam akumulasi dan detoksifikasi logam dalam tanaman. Sekitar 28% Ni ditranslokasikan oleh sitrat di dalam daun T. goesingense terutama dalam vakuola(27). Ada korelasi positif antara konsentrasi Zn terlarut di dalam trubus T. careulescens dan konsentrasi asam malat dan oksalat(28). Oksalat adalah asam dikarboksilat kuat dan bertindak sebagai khelator logam. Oksalat dapat berintegrasi dengan kadar Cr di dalam daun dan mungkin berhubungan dengan resistensi Cr pada rumput L. hexandra(29). Asam-asam organik (sitrat dan oksalat) telah dilaporkan berperan penting dalam fitoremediasi pada tanah terkontaminasi Cr
47
Ecolab Vol. 6 No. 1 Januari 2012 : 1 - 60
dengan meningkatkan pengambilan Cr dan translokasi Cr dalam akar. Selain itu, senyawa pengkhelat ini juga dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap tingkat racun logam(30,31). Asam-asam organik ini juga dapat mengasamkan tanah dan menciptakan Cr(VI) lebih banyak sehingga dapat dengan cepat terserap oleh tanaman(32). KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini disimpulkan, Isolat 27 toleran terhadap toksisitas Cr(VI) pada konsentrasi 15 ppm. Isolat 27 mereduksi Cr(VI) secara sempurna dalam waktu 18 jam. Isolat 27 membantu fitoekstraksi logam kromium pada tanaman jagung sebesar 241 kali dibandingkan kontrol. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui jenis asam yang berperan dalam mekanisme fitoekstraksi pada tanaman jagung. Isolat 27 dapat digunakan sebagai inokulan dalam fitoremediasi dan pemacu pertumbuhan tanaman.
3. Kotas J and Stasicka Z. 2000 Chromium occurrence in the environment and methods of its speciation. Environ Pollut 107:263–283. 4. Khan MS, A Zaidi, PA Wani and M Oves. 2009. Role of plant growth promoting rhizobacteria in the remediation of metal contaminated soils. Environ Chem Lett 7:1–19. 5. Kannan SK, KJ Lee, Krishnamoorthy, A Purusothaman, K Shanthi and NR Rao. 2007. Aerobic Chromate Reducing Bacillus cereus Isolated from the Heavy Metal Contaminated Ennore Creek Sediment, North of Chennai, Tamil Nadu, South East India. Research Journal of Microbiology 2 (2): 133-140. 6. RehmanA, A Zahoor, B Muneer and S Hasnain. 2008. Chromium Tolerance and Reduction Potential of a Bacillus sp.ev3 Isolated from Metal Contaminated Wastewater. Bull Environ Contam Toxicol 81:25–29
1. Baath E. 1989. Effects of Heavy Metals in Soil on Microbial Processes and Population, Water Air Soil Pollut. Vol. 47, pp. 335–379.
7. Rajkumar M, R Nagendran, KJ Lee, WH Lee. 2005. Characterization of a Novel Cr6+ Reducing Pseudomonas sp. with Plant Growth–Promoting Potential. Current Microbiology Vol. 50:266–271
2. M u l l e r JG, Cerniglia CE, and Pritchard PH, 1996. Bioremediation of environments contaminated by polycyclic aromatic hydrocarbons. In: Ronald LC, Crawford DL (eds) Bioremediation: principles and
8. Thacker U and D Madamwar 2005. Reduction of toxic chromium and partial localization of chromium reductase activity in bacterial isolate DM1. World Journal of Microbiology & Biotechnology 21: 891–899.
DAFTAR PUSTAKA
48
applications. Cambridge University Press, Cambridge, pp 125–194
Ali Pramono, MMA Retno... : Peran Rhizobakteri Dalam Fitoekstrasi Logam Berat Kromium Pada Tanaman...
9. Banks MK, Schwab AP, & Henderson C. 2006. Leaching and reduction of chromium in soil as affected by soil organic content and plants. Chemosphere 62:255–264. 10. Putri ARN, 2010. Karakterisasi dan Identifikasi Rhizobakteri yang Meningatkan Serapan Krom pada Tanaman. Skripsi. Program Studi Mikrobiologi Pertanian Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta. 11. Upreti RK, R Shrivastava and UC Chaturvedi. 2004. Gut microflora & toxic metals: Chromium as a model. Indian J Med Res 119, February, pp 49-59. 12. Cervantes C, Campos-Garc J, Devars S, Gutierrez-Corona F, Loza-Tavera H, Torres-Guzman JC, and MorenoSanchez R, 2001. Interactions of chromium with microorganisms and plants. FEMS Microbiol. Rev. 25: 335–347. 13. De Flora S, BAgnasco M, Serra D, and Zanacchi P. 1990. Denotoxicity of chromium compounds: A review. Muta Res 238:99-172 14. Bae WC, TG Kang, IK Kang, YJ Won, and BC Jeong. 2000. Reduction of Hexavalent Chromium by Escherichia coli ATCC 33456 in Batch and Continuous Cultures. The Journal of Microbiology. Vol. 38 No. 1, p.36-39 15. Bopp LH and HL Ehrlich. 1988. Chromate resistance and reduction in Pseudomonas fluorescens strain LB300. Arch. Microbiol., 150: 426.
16. Alexander, M. 1991. Introduction to Soil Microbiology. John Wiley and Sons. New York. 17. Atlas RM and Bartha R. 1993. Microbial ecology: Fundamental and application. California. Benjamin Cummings Publishing Company. 18. Gadd GM and White C. 1993. Microbial treatment of metal pollution: a working biotechnology 11: 353-392. 19. Priester JH, SG Olson, SM Webb, MP Neu, LE Hersman, and PA Holden. 2006. Enhanced Exopolymer Production and Chromium Stabilization in Pseudomonas putida Unsaturated Biofilms. Applied and Environmental Microbiology, 72:1988–1996 20. Wang YT and H Shen. 1995. Bacterial reduction of hexavalent chromium. J. Ind. Microbiol. 14, 159-164. 21. Ohtake H, E Fujii, and K Toda. 1990. A survey of effective electron donors for reduction of toxic hexavalent chromium by Enterobacter cloacae (strain HO1). J. Gen. Appl. Microbiol. 36, 203-208. 22. Ramirez-Diaz MI, C Diaz-Perez, E Vargas, H Riveros-Rosas, J CamposGarcia, C Cervantes. 2008. Mechanisms of bacterial resistance to chromium compounds. Biometals 21:321–332 23. Kieft TL, Fredrickson JK, Onstott TC, Gorby YA, Kostandarithes HM, Bailey TJ, Kennedy DW, Li SW, Plymale AE, Spadoni CM and Gray MS. 1999. Dissimilatory reduction of Fe(III) and other electron acceptors by a Thermus 49
Ecolab Vol. 6 No. 1 Januari 2012 : 1 - 60
isolate. Applied and Environmental Microbiology 65:1214−1221. 24. Shanker, A. K., C. Cervantes, H. LozaTavera, dan S. Avudainayagam. 2005. Chromium toxicity in plants. Environ. Int. 31: 739-753. 25. Hara T and Sonoda Y. 1979 Comparison of the toxicity of heavy metals to cabbage growth. Plant Soil 51, 127– 133.
30. Davies Jr., F. T., J. D. Puryear, R. J. Newton, J. N. Egilla, dan J. A. S. Grossi. 2001. Mycorrhizal fungi enhance accumulation and tolerance of chromium in sunflower (Helianthus annuus). J. Plant. Physiol. 158: 777786.
26. Hoflich G and Metz R. 1997. Interaction of plant microorganismassociation in heavy metal containing soils from sewage farms. Bodenkultur 48:238– 247
31. Srivastava, S., S. Prakash, dan M. M. Srivastava. 1999. Chromium mobilization and plant availability the impact of organic complexing ligands. Plant Soil 212: 203-208.
27. Kramer U, Pickering IJ, Prince RC, Raskin I, and Salt DE. 2000. Subcellular localization and speciation of nickel in hyperaccumulator and non-accumulator Thlaspi species. Plant Physiol 122:1343–1353.
32. Yoon, J., X. Cao, Q. Zhou, dan L. Q. Ma. 2006. Accumulation of Pb, Cu, dan Zn in native plants growing on a contaminated Florida site. Sci. Total. Environ. 368:456-464.
28. Tolra RP, Poschenrieder C, and Barcelo M. 1996. Zinc hyperaccumulation in Thlaspi caerulescens, II. Influence on organic acids. J Plant Nutr 19:1541– 1550
50
29. Ma JF, Zheng SJ, and Matsumoto H. 1997. Defoxifying aluminum with buckwheat. Nature 390:569–570.
33. Cervantes C, and Campos-Garcia J. 2007. Reduction and efflux of chromate by bacteria. Mol Microb Heavy Metals Springer-Verlag, Berlin.
Helni Effendi, Enan M, Agustina : Pengaruh Percampuran Air Terhadap Oksigen Terlatur di Sekitar..
PENGARUH PERCAMPURAN AIR TERHADAP OKSIGEN TERLARUT DI SEKITAR KARAMBA JARING APUNG, WADUK CIRATA, PURWAKARTA, JAWA BARAT Hefni Effendi1, Enan M. Adiwilaga2, Agustina Sinuhaji2 (Diterima tanggal: 2 Juni 2011; Disetujui tangal: 2 November 2011)
ABSTRACT Research was performed at waters nearby floating cage culture, Cirata Reservoir, Purwakarta, West Java. Research aims is to determine the variation of dissolved oxygen availability through the mixing of water masses taken from several depths. The range of average DO decreased with increasing depth, namely 0.3 – 0.5 mg/l (bottom) and 8.0 – 8.4 mg/l (surface). Type of vertical oxygen distribution of Cirata waters was clinograde. Euphotic zone reached the depth of 3.81 m. The average range of DO at treatment 1 (meromictic, depth 12 m) was 7.00 – 7.41 mg/l. The average range of DO at treatment 2 (meromictic, depth 24 m) was 5.28 - 5.48 mg/l. The average range of DO at treatment 3 (holomictic, depth m) was 2.44 – 2.54 mg/l. If water column mixing (meromictic depth 12 m and 24 m) occurs, fish culture will still be survive, since DO is >5 mg/l. However, whole water column mixing (holomictic depth 42 m) will result in almost anoxic DO, consequently jeopardize fish culture at floating cage. Keywords: dissolved oxygen, reservoir, floating cage, Cirata Resevoir, Purwakarta
ABSTRAK Penelitian dilakukan di sekitar keramba apung Waduk Cirata (KJA), Purwakarta, Jawa Barat. Penelitian bertujuan untuk mengetahui fluktuasi ketersediaan oksigen terlarut dalam perairan, melalui percampuran massa air yang diambil dari beberapa kedalaman. Konsentrasi DO di lokasi KJA di Waduk Cirata menurun seiring bertambahnya kedalaman dengan kisaran rata-rata adalah 0,3 - 0,5 mg/l (lapisan dasar) hingga 8,0 - 8,4 mg/l (permukaan). Distribusi vertikal oksigen terlarut menggambarkan tipe perairan clinograde. Kedalaman zona eufotik mencapai 3,81 m. Terdapat variasi ketersediaan oksigen terlarut dari pencampuran massa air meromictic dan holomictic. Pada perlakuan 1 (meromictic hingga 12 m) nilai rata-rata DO yaitu 7,00 - 7,41 mg/l. Perlakuan 2 (meromictic hingga 24 m) nilai rata-rata DO 5,28 - 5,48 mg/l. Perlakuan 3 (holomictic hingga 42 m) memiliki nilai rata-rata DO sebesar 2,44 - 2,84 mg/l. Jika terjadi percampuran meromictic hingga kedalaman 12 m dan 24 m maka kegiatan budidaya ikan masih dianggap layak, karena nilai DO >5 mg/l. Akan tetapi, pencampuran holomictic mengakibatkan DO melewati ambang batas, sehingga tidak dapat menopang budidaya perikanan. Kata Kunci: oksigen terlarut, waduk, jaring apung, Waduk Cirata, Purwakarta
PENDAHULUAN Ekosistem waduk merupakan perpaduan antara ekosistem lacustrine (lentik) dan riverine (lotik), karena waduk merupakan badan perairan yang dibuat dengan membendung aliran sungai, sehingga menenggelamkan daerah aliran sungai di sekitarnya. Karakteristik fisik, kimia, dan biologis waduk berbeda dari
sungai asalnya yang dibendung, Waduk dapat berfungsi sebagai pembangkit tenaga listrik, irigasi pertanian, sarana transportasi, tempat rekreasi, sumber air minum, dan pusat budidaya ikan keramba jaring apung (1,2,3,4). Salah satu waduk di DAS Citarum adalah
1
Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH), IPB, Darmaga, Bogor. Telp. 0251-8621262, Fax. 0251-8622134 Email:
[email protected]
2
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Darmaga, Bogor. Telp/Fax 0251-8622932 51
Ecolab Vol. 6 No. 1 Januari 2012 : 1 - 60
Waduk Cirata. Selain sebagai pembakit tenaga listrik, waduk ini juga dimanfaatkan untuk budidaya ikan konsumsi dengan mengunakan keramba apung. Konsekuensinya, saat ini Waduk Cirata mengalami masalah serius terkait dengan penurunan kualitas air yang disebabkan oleh bahan organik dari sisa pakan ikan, limbah dosmestik, dan limbah industri. Banyaknya jumlah KJA (Keramba Jaring Apung) yang berada di Waduk Cirata sangat berpengaruh terhadap kualitas air. Daya dukung Waduk Cirata untuk KJA adalah 2700 petak. Jumlah KJA pada Waduk Cirata mengalami peningkatan pesat. Pada tahun 1988 berjumlah 74 petak, lalu menjadi 17.477 petak pada tahun 1999, pada tahun 2000 jumlahnya mencapai 28.738, dan pada tahun 2008 jumlah unit KJA pada Waduk Cirata mencapai 53.100 unit (5), sehingga telah jauh melampui batas daya dukung (6). Perubahan kualitas air di waduk bukan disebabkan terutama oleh kegiatan hidroelektrik tapi akibat kegiatan lainnya (7). Kualitas air permukaan lebih dipengaruhi oleh karakteristik geologi, kegiatan pertanian, dan domestik di sekitarnya (8). Pertambahan KJA dari tahun ke tahun dapat menimbulkan masalah yang berasal dari pakan. Pakan merupakan bahan organik. Pakan yang tidak termakan oleh ikan, akan mengalami perombakan menjadi bahan anorganik. Produk dari perombakan bahan organik ini tidak hanya berupa nutrien yang menyebabkan terjadinya eutrofikasi perairan. Tetapi juga berupa gas-gas beracun seperti NH3 dan H2S yang terakumulasi di dasar waduk. Gas beracun tersebut merupakan hasil
52
proses dekomposisi dalam kondisi anaerob (9,10) . Apabila terjadi pembalikan massa air ke permukaan (umbalan/overturn) akan membahayakan, bahkan dapat mengakibatkan kematian massal ikan yang dibudidayakan. Untuk memahami ini fluktuasi karakteristik kualitas air baik secara spatial maupun temporal, perlu dipantau secara kontinyu (11,12). Defisit oksigen di lapisan hipolimnion diduga menjadi penyebab kematian massal ikan saat terjadi umbalan. Oleh karena itu, untuk mengetahui fluktuasi ketersediaan oksigen terlarut dalam perairan, perlu dilakukan penelitian terhadap pola distribusi keberadaan oksigen terlarut di lokasi KJA Waduk Cirata melalui percampuran massa air yang dianggap sebagai kejadian umbalan.
METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan pada kawasan perikanan keramba jaring apung (KJA) di Waduk Cirata Purwakarta, Jawa Barat (Gambar 1). Kegiatan penelitian berlangsung pada bulan Juli dan September 2009. Sampel air dianalisis di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan (Proling) yang telah terakreditasi Komite Akreditasi Nasional (KAN), Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Stasiun pengamatan berupa daerah KJA paling padat dengan KJA sedang beroperasi dan yang paling lama memelihara ikan. Pengamatan kualitas air dilakukan pada dua lokasi.
Helni Effendi, Enan M, Agustina : Pengaruh Percampuran Air Terhadap Oksigen Terlatur di Sekitar..
Gambar 1. Lokasi penelitian di sekitar keramba jaring apung, Waduk Cirata, Purwakarta, Jawa Barat.
Pada penelitian pendahuluan dilakukan pengukuran oksigen terlarut (DO) dengan interval 2 sampai 6 m dari permukaan, bertujuan untuk mendapatkan pola sebaran vertikal oksigen terlarut (Tabel 1). Dari sebaran vertikal oksigen terlarut diperoleh
keterwakilan area dan titik–titik kedalaman pengambilan contoh air. Selanjutnya ditentukan 3 perlakuan melalui pencampuran massa air dari keterwakilan area pada beberapa kedalaman.
53
Ecolab Vol. 6 No. 1 Januari 2012 : 1 - 60
Table 1. Konsentrasi oksigen terlarut rata-rata pada penelitian pendahuluan.
Perlakuan 1 merupakan pencampuran air sebagian (meromictic) dari kedalaman 2 dan 12 m. Perlakuan 2 adalah pencampuran massa air sebagian (meromictic) dari kedalaman 2, 12, dan 24 m. Perlakuan 3
54
adalah pencampuran massa air sempurna (holomictic) dari kedalaman 2, 12, 24, dan 42 m. Komposisi contoh air (Tabel 2) yang dicampurkan menggunakan rumus berikut.
Helni Effendi, Enan M, Agustina : Pengaruh Percampuran Air Terhadap Oksigen Terlatur di Sekitar..
Table2. Komposisi air dari setiap kedalaman yang mewakili.
HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi vertikal DO, suhu, dan pH Nilai rata-rata oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/DO) dari permukaan hingga dasar perairan berkisar 0,5 - 8,4 mg/l pada stasiun 1, dan 0,3 – 8,0 mg/l pada stasiun 2. Konsentrasi rata-rata DO terbesar pada stasiun 1 dan 2 terdapat di permukaan yakni 8,4 dan 8,0 mg/l. Konsentrasi rata-rata DO terendah pada kedua stasiun terdapat pada sekitar dasar (51 m) yaitu 0,5 mg/l (stasiun 1) dan 0,3 mg/l (stasiun 2). DO pada lapisan hipolimnion bisa sangat rendah atau terkadang anoxic (tak ada oksigen) (7) . Kondisi oksigen mencapai titik jenuh pada lapisan permukaan dengan nilai saturasi pada stasiun 1 adalah 112,38% dan 107,67% pada stasiun 2 Rendahnya DO di sekitar dasar karena adanya dekomposisi bahan organik, terutama sisa pakan, yang memanfaatkan oksigen di dasar perairan. Proses fotosintesis yang
menghasilkan oksigen di lapisan permukaan mengakibatkan tingginya kadar oksigen di permukaan (13). Berdasarkan nilai kecerahan diperoleh kedalaman zona eufotik hingga 3,81 m pada stasiun 1, dan 3,75 m pada stasiun 2. Tipe distribusi DO di waduk ini termasuk dalam tipe clinograde yang biasanya terjadi pada danau yang produktif (eutrofik) dengan kandungan unsur hara dan bahan organik yang tinggi (10). Apabila dibandingkan dengan baku mutu DO (≥ 3 mg/l) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 kelas III, kedalaman 0 - 16 m pada kedua stasiun memenuhi baku mutu bagi kegiatan perikanan, sedangkan dari kedalaman 18 m hingga dasar konsentrasi oksigen terlarut sudah tidak memenuhi baku mutu (Tabel 3). DO menjadi indikator bagi kualitas air, status ekologi, produktivitas, dan kesehatan dari suatu waduk (3). 55
Ecolab Vol. 6 No. 1 Januari 2012 : 1 - 60
Table3. Distribusi vertikal DO, suhu, dan pH.
Keterangan : *kedalaman maksimum di lokasi pengamatan adalah 51 meter
Rendahnya kadar oksigen terlarut berkaitan erat dengan tingginya beban pencemaran BOD yang masuk ke waduk yakni sekitar 148.782 ton organik/tahun atau 425 ton organik/hari (14) . Kisaran suhu pada kedua stasiun berturutturut adalah 26,0 – 30,7 0C dan 26,0 - 30,5 0C (Tabel 3). Suhu tertinggi rata-rata terdapat di permukaan yaitu 30,7 0C pada stasiun 1 dan 30,5 0C pada stasiun 2. Ketika pengamatan tidak diperoleh lapisan termoklin yaitu lapisan air yang mengalami penurunan suhu 56
cukup besar yakni lebih dari 1 ºC/m (15), sehingga kemungkinan adanya stratifikasi sangatlah kecil. Pola sebaran vertikal suhu yang diperoleh di lokasi pengamatan relatif sama dengan pengamatan yang dilakukan oleh Prihadi (2005) yaitu tidak ditemukannya lapisan termoklin (16). Nilai pH rata-rata tertinggi terdapat di permukaan yaitu 6,98 (stasiun 1) dan 7,19 (stasiun 2). pH terendah terdapat di dasar yaitu 6,52 (stasiun 1) dan 6,50 (stasiun 2). Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82
Helni Effendi, Enan M, Agustina : Pengaruh Percampuran Air Terhadap Oksigen Terlatur di Sekitar..
tahun 2001 kelas III, nilai pH dan suhu yang diperoleh dari kedua stasiun masih memenuhi baku mutu yang dianjurkan bagi kegiatan perikanan. Kisaran pH yang dianjurkan adalah 6 – 9, sedangkan suhu 28±3 0C. Kualitas air dari hasil pencampuran massa air Nilai DO rata-rata tertinggi terdapat pada perlakuan 1 yaitu 7,41 (stasiun 1) dan 7,00 mg/l (stasiun 2). Pada perlakuan 2 konsentrasi DO rata-rata pada kedua stasiun adalah 5,48 dan 5,28 mg/l. Nilai DO rata-rata pada perlakuan 3 di kedua stasiun berturut-turut adalah 2,84 dan 2,44 mg/l. Perlakuan 1 dan 2 di kedua stasiun memiliki nilai DO yang dianggap masih baik bagi kegiatan perikanan, karena nilai DO tidak kurang dari 5 mg/l (17). Pada perlakuan 3 nilai DO yang rendah tidak bagus bagi kepentingan perikanan, karena dapat mengganggu proses metabolisme dan pertumbuhan ikan (Tabel 4). Nilai suhu rata-rata tertinggi pada stasiun 1 dan 2 terdapat pada perlakuan 1 (percampuran kedalaman 2 m dan 12 m). Selanjutnya nilai suhu rata-rata dari pencampuran kedalaman 2, 12, dan 24 meter (perlakuan 2) adalah 28,1 0 C pada stasiun 1 dan 28,3 0C. Suhu rata-rata
dari pencampuran air di kedalaman 2, 12, 24, dan 42 meter (perlakuan 3) adalah 26,8 dan 26,6 0C pada stasiun 1 dan 2. Hal tersebut menunjukkan bahwa dari perlakuan 1 sampai 3 nilai suhu cenderung menurun karena perlakuan 3 merupakan hasil pencampuran dari 4 kedalaman yang berbeda termasuk kedalaman di dasar dengan suhu yang rendah. Nilai pH rata-rata tertinggi pada perlakuan 1 adalah 6,93 (stasiun 1) dan 7,10 (stasiun 2). Nilai pH rata-rata perlakuan 2 adalah 6,79 (stasiun 1) dan 6,90 (stasiun 2). Nilai pH ratarata pada perlakuan 3 di kedua stasiun adalah 6,62 dan 6,60. Hal tersebut menunjukkan bahwa dari perlakuan 1 sampai 3 nilai pH cenderung menurun karena perlakuan 3 merupakan hasil pencampuran dari 4 kedalaman yang berbeda termasuk kedalaman di dasar dengan pH yang cenderung rendah (asam) sehingga pada perlakuan 3 nilai pH yang diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan nilai pH pada perlakuan 1 dan 2. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa jika terjadi pencampuran air sempurna, maka perairan akan cenderung bersifat lebih asam. Namun demikian, seluruh perlakuan
Tabel 4. Karakteristik kualitas air dari pencampuran massa air.
Keterangan: Perlakuan 1 = Pencampuran kedalaman 2 dan 12 meter Perlakuan 2 = Pencampuran kedalaman 2, 12, dan 24 meter Perlakuan 3 = Pencampuran kedalaman 2, 12, 24 dan 42 meter 57
Ecolab Vol. 6 No. 1 Januari 2012 : 1 - 60
menunjukkan bahwa nilai pH yang diperoleh masih layak bagi kegiatan perikanan. Kisaran pH yang sesuai untuk kepentingan biota air adalah 6,5 – 8,5 (17). Nilai amonia rata-rata tertinggi di kedua stasiun terdapat pada perlakuan 3 yakni 0,0067 mg/l (stasiun 1) dan 0,0273 mg/l (stasiun 2). Nilai amonia rata-rata perlakuan 2 di kedua stasiun adalah 0,0083 mg/l dan 0,0278 mg/l. Amonia rata-rata pada perlakuan 3 adalah 0,0144 mg/l (stasiun 1) dan 0,0300 mg/l (stasiun 2). Dari perlakuan 1 sampai 3, nilai amonia bebas yang diperoleh cenderung meningkat. Secara umum kadar ammonia ini relatif rendah, karena baku mutu membolehkan hingga 0,5 mg/l (PP No. 82 tahun 2001 kelas I). Kadar ammonia di Pipestem Reservoir sebesar 0,272 mg/l (18). kadar ammona di Ibitite Reservoir, Brasil, sekitar 0,288 mg/l (19). Konsentrasi sulfida rata-rata tertinggi terdapat pada perlakuan 3 yakni 1,8036 mg/l (stasiun 1) dan 1,5876 mg/l (stasiun 2). Sulfida rata-rata kedua stasiun dari perlakuan 2 adalah 0,3506 mg/l dan 0,2871 mg/l. Sulfida rata-rata pada perlakuan 1 di kedua stasiun adalah 0,0556 mg/l dan 0,0673 mg/l. Dari perlakuan 1 sampai 3, nilai sulfida dan amonia cenderung meningkat. Hal ini berhubungan dengan proses dekomposisi bahan organik sisa pakan, yang banyak mengkonsumsi oksigen, dan konsekuensinya dapat menghabiskan oksigen (anoksik). Pada kondisi anoksik, proses dekomposisi akan menghaslkan gas amonia (NH3) dan sulfida (H2S) (9). Peningkatan bahan organik di waduk berkaitan dengan tataguna lahan di sekitarnya dan aktivitas dalam waduk (20). 58
Berdasarkan PP No. 82 tahun 2001 kelas III, nilai sulfida dari ketiga perlakuan tidak memenuhi baku mutu untuk kegiatan budidaya perikanan tawar (baku mutu sulfida 0,002 mg/l). Namun mengingat adanya parameter lain seperti DO, suhu, dan pH yang mampu menyokong kelangsungan hidup ikan budidaya di keramba jaring apung, maka relatif tingginya konsentrasi sulfida tersebut masih dapat ditolerir oleh ikan. Jika kondisi seperti ini diiringi dengan miskin oksigen maka ikan budidaya pada keramba jaring apung cenderung akan mati, karena tidak mampu meloloskan diri dari kondisi kualitas air yang buruk. Fenomena demikianlah yang biasanya terjadi ketika terjadi umbalan dan berakibat fatal berupa kematian massal ikan di lokasi keramba jaring apung. Salah satu cara yang mungkin bisa ditempuh, ketika diketahui perairan mengalami umbalan, dan ikan terlihat seperti kekurangan oksigen dan cenderung berada di permukaan air, adalah dengan menambah aerasi atau menarik keramba apung menjauhi lokasi umbalan. KESIMPULAN Konsentrasi DO di lokasi KJA di Waduk Cirata cenderung menurun seiring bertambahnya kedalaman dengan kisaran rata-rata pada stasiun 1 adalah 0,5 mg/l (lapisan dasar) hingga 8,4 mg/l (permukaan). Pada stasiun 2 adalah 0,3 mg/l (lapisan dasar) hingga 8,0 mg/l (permukaan). Distribusi vertikal oksigen terlarut menggambarkan tipe perairan clinograde. Tidak ditemukan lapisan termoklin pada lokasi pengamatan. Kedalaman zona eufotik mencapai 3,81 m. Terdapat variasi ketersediaan oksigen terlarut
Helni Effendi, Enan M, Agustina : Pengaruh Percampuran Air Terhadap Oksigen Terlatur di Sekitar..
dari pencampuran massa air meromictic dan holomictic. Pada perlakuan 1 yang dianggap sebagai meromictic hingga kedalaman 12 m, diperoleh nilai rata-rata DO yaitu 7,41 mg/l (stasiun 1) dan 7,00 mg/l (stasiun 2). Perlakuan 2 sebagai meromictic hingga kedalaman 24 m memiliki nilai DO rata-rata 5,48 mg/l (stasiun 1) dan 5,28 mg/l (stasiun 2). Perlakuan 3 yang dianggap sebagai pencampuran air sempurna (holomictic) hingga kedalaman 42 m memiliki nilai DO rata-rata 2,84 mg/l (stasiun 1) dan 2,44 mg/l (stasiun 2). Berdasarkan konsentrasi oksigen terlarut disimpulkan bahwa jika terjadi percampuran meromictic hingga kedalaman 12 m dan 24 m maka kegiatan budidaya ikan masih dianggap layak, karena DO masih lebih dari 5 mg/l. Namun demikian, pencampuran holomictic mengakibatkan DO mendekati anoksik, sehingga tidak dapat menopang budidaya perikanan. Konsentrasi sulfida, semua jenis pencampuran massa air baik meromictic maupun holomictic dapat membahayakan kehidupan ikan budidaya. Percampuran massa air holomictic memiliki potensi paling buruk bagi kegiatan perikanan, karena air dengan DO yang mencapai anoksik di sekitar dasar perairan dapat terangkat ke permukaan. Percampuran holomictic berlangsung manakala terjadi pembalikan massa air (umbalan) di sekitar KJA Waduk Cirata. DAFTAR PUSTAKA 1. Fielding, M., Schwanenberg, D., Twight, D.J., Eikaas, H.S., Pinho, J.L.S. and Viera, J.M.P. 2010. DSS for Water Quality Management of Marna Reservoir System in Singapore.
9 th International Conference on Hydroinformatcs, Tianjin, China. 8 p. 2. Garno, Y. S. 2002. Dinamika dan Status Kualitas Air Waduk Multi Guna Cirata. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia. 4 (4) : 1 – 8. 3. Mustapha, M.K. 2008. Assessment of the Water Quality of Oyum Reservoir, Offa, Nigeria, Using Selected PhysicoChemical Parameters. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Siences 8 : 309-319 4. Thomas, C.L., Powell, J.D., and Johnson, D.M. 2008. Is Reservoir Water Quality Important in Hydroelectric Power Generaton. Ferrum College, USA. 28 p. 5. Effendi, Y. M. 2008. KJA Waduk Jatiluhur Membutuhkan 4 Juta Ekor Ikan Bandeng. http:// www. Madina. com [22 November 2009]. 6. Husen, M. 2000. Kelestarian Danau dan Waduk di DAS Citarum Potensi dan Ancaman. Prosiding Semiloka Nasional Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk. Bandung, 7 November 2000. Halaman 61-73. 7. Hoybya, J., Iritz, L., Zheleznyak, M., Maderich, V., Demchenko, R., Dziuba, N., Donchitz, G., and Koshebutsky, V. 2002. Water Quality Modelling to Support the Operation of the Kakhovka Reservoir, Dnieper River, Ukraine. Proceedings of the Fifth International Conference on Hydroinformatics, Cardiff, UK. 946 – 951 p. 8. Tiri, A. and Boudoukha, A. 2010. Hydrochemical Analysis and Assessment of Surface Water Quality in Koudiat Medouar Reservoir, Algeria. European Journal of Scientific Research. Vol 41 No 2 : 273-285 p.
59
Ecolab Vol. 6 No. 1 Januari 2012 : 1 - 60
9. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya Dan Lingkungan 10. Perairan. Kanisius. Jogjakarta. 258 hal. 11. Mullins, M.L. and Whisenant, A.S. 2004. Sommerville Reservoir Water Quality Study. Texas Parks and Wildlfe. 20 p.
12. Jain, S., Baumberger, L., Adams, S., Jackson, T. and Fuller, B. 2007. Offstream Reservoir: A Tool for Improving Yeld and water Quality Reliability. Florda Water Resources Journal. February 2007. p 22-25 13. Papadmitrakis, Y. and Fidikakis, A. 2005. An Integrated Approach to Water Quality Monitoring in Reservoirs, Aqueducts, and Distrbution Networks of Water Supply Systems. European Water 11/12: 27-34. 14. Graham, J.L., Loftin, K.A., Ziegler, A.C., and Meyer, M.T. 2008. Cyanobacteria n Lakes and Reservoirs: Toxin and Taste and Odor Sampling Guidelines. U.S. Geological Survey TWRI Book 9. 65 p. 15. G a r n o , Y. S . 2 0 0 1 . S t a t u s d a n Karakteristik Pencemaran di Waduk Kaskade Citarum. Jurnal Teknologi Lingkungan, 2 (2) : 207-213 16. Goldman, G. R. and Horne, A. J. 1983. Limnology. McGraw Hill Book Company. International Student Edition, Japan. 17. Prihadi, T. H. 2005. Pengelolaan Budidaya Ikan Secara Lestari di Waduk: Studi Kasus di Perairan Waduk Cirata Jawa Barat. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. 226 hal.
60
18. Asante, K.A. Quarcopome, T. and Amevenku, F.Y.K. 2007. Water Quality of the Weija Reservoir after 28 Years of Impoundment. West African Journal of Applied Ecology. Vol 13. 19. Wax, P. 2006. Lake Water Quality Assessment for Pipestem Reservoir Stutsman County, North Dakota. North Dakota Depertment of Health. Divison of Water Quality. 15 p. 20. Garcia, F.C., Barbosa, F.A.R., Braz, S., Petrucio, M.M. and Faria, B. 2009. Water Quality of an Urban Reservoir Subjected to Periodic Applications of Copper Sulphate: the Case of Ibirite Reservoir, Southeast Brazil. Acta Limnol. Bras. Vol 21 No 2 p. 235 – 243. 21. Akintola, F.O. and Gbadegesin, A. 1997. Land-use Changes and Water Quality in Impounded WaterSupply Dams in Southwest Nigeria. Freshwater Contamination Proceeding of Rabat Symposium S4, IAHS.
Ecolab Vol. 5 No. 2 Juli 2011: 45 - 96
UCAPAN TERIMA KASIH Dewan Redaksi mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. RTM. Sutamihardja 2. Dr. Ir. Ning Purnomohadi, MS 3. Ir. Isa Karmisa Ardiputera 4. Dr. Yanni Sudiyani Sebagai Mitra Bestari atas kesediaannya melakukan review pada Jurnal Ecolab Volume 6, Nomor 1, Januari 2012. Januari 2012 Dewan Redaksi Ecolab Jurnal Kualitas Lingkungan Hidup
61