KATA PENGANTAR
Puji syukur, kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya sehingga Jurnal AgriSains ini dapat diterbitkan sesuai rencana.
Jurnal AgriSains merupakan jurnal hasil penelitian bidang agrikultur yang diterbitkan oleh LPPM Universitas Mercu Buana Yogyakarta yang bekerja sama dengan Fakultas Agroindustri Universitas Mercu Buana Yogyakarta, terbit dua kali dalam setahun.
Jurnal AgriSains perdana ini menyuguhkan 3 hasil penelitian dari 3 kelompok bidang ilmu, yaitu Peternakan, Agroteknologi dan Teknologi Hasil Pertanian. Pada kelompok bidang Peternakan disajikan 4 artikel dengan tema Pengembangan Ternak Sapi di Daerah Aliran Sungai Progo, Studi Kelayakan Usaha Ternak Kambing Peranakan Etawah, Pemanfaatan Tepung Pupa Ulat Sutra Sebagai Pakan Puyuh dan Pemanfaatan Limbah Sapi dan Babi sebagai bio gas, dan pada bidang Agroteknologi dilaporkan pengembangan teknologi pembenihan kacang hijau dan jagung. Sedangkan pada bidang Teknologi Hasil Pertanian disajikan pembuatan stick pisang, dan karak, serta evaluasi retensi vitamin C pada jus jeruk.
Redaksi
menyadari
penerbitan
jurnal
perdana
ini
masih
terdapat
kekurangannya, oleh karena itu saran yang membangun sangat kami harapkan. Akhir kata semoga jurnal ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Wassalam.
Redaksi
ISSN : DAFTAR ISI Hal Kata Pengantar Daftar Isi
iii iv-v
PEMANFAATAN TEPUNG PUPA ULAT SUTRA (Bombyx mori) UNTUK PAKAN PUYUH (Coturnix-coturnix japonica) JANTAN Sri Hartati Candra Dewi dan J. Setiohadi
1-6
DOSIS CAMPURAN LIMBAH SAPI DENGAN LIMBAH BABI TERHADAP PRODUKSI GASBIO (THE MIXTURE OF CATTLE AND PIGS WASTE DOSAGE TOWARDS BIOGAS PRODUCTION) Setyo Utomo dan Vita Wahyuningsih POTENSI PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) PROGO KULONPROGO, YOGYAKARTA Nur Rasminati dan Setyo Utomo ANALISIS PENDAPATAN DAN KELAYAKAN USAHA PETERNAK KAMBING PERANAKAN ETAWAH DI KECAMATAN GIRIMULYO KABUPATEN KULONPROGO Sundari dan Komarun Efendi OPTIMASI PERENDAMAN DALAM LARUTAN CaCl2 TERHADAP SIFAT FISIK DAN TINGKAT KESUKAAN STICK PISANG Agus Slamet PENAMBAHAN NATRIUM TRIPOLIFOSFAT DAN CMC (CARBOXY METHYL CELLULOSE) PADA PEMBUATAN KARAK Astuti Setyowati VITAMIN C RETENTION AND ACCEPTABILITY OF ORANGE (Citrus nobilis var. microcarpa) JUICE DURING STORAGE IN REFRIGERATOR Chatarina Wariyah
7 - 14
15 - 22
23 - 30
31 - 39
40 - 49
50 - 55
ISSN : PEMANFAATAN GULMA BABADOTAN DAN TEMBELEKAN DALAM PENGENDALIAN Sitophillus SPP. PADA BENIH JAGUNG Dian Astriani PENGARUH KADAR AIR DAN WADAH SIMPAN TERHADAP VIABILITAS BENIH KACANG HIJAU DAN POPULASI HAMA KUMBANG BUBUK KACANG HIJAU Callosobruchus Chinensis L. Wafit Dinarto PEDOMAN PENULISAN NASKAH
56 - 67
68 - 77
78
PEMANFAATAN TEPUNG PUPA ULAT SUTRERA (Bombyx mori) UNTUK PAKAN PUYUH (Coturnix-coturnix japonica) JANTAN Sri Hartati Candra Dewi1) dan J. Setiohadi2) Prodi Peternakan, Fak. Agroindustri, Univ. Mercu Buana Yogyakarta e-mail :
[email protected] 1)
Staf Pengajar Jurusan Peternakan, UMB Yogyakarta 2)
Alumni Peternakan, UMB Yogyakarta
ABSTRACT This research was conducted to investigate the effect of the usage of silk worms (Bombyx mori) pupa in rations on male quail performance. It used 120 male quails of 7 days old which were divided in to 5 treatments. Each treatment consisted of 3 replicationa, and 8 quails for eac replication. The level of silk worms (Bombyx mori) pupa meal in rations were respectively 0; 2,5; 5; 7,5; and 10%. The performances were feed consumption, ADG, feed conversion, mortality and carcass weight. This research was designed One Way Completely Randomized Design, and the data were analyzed by variance analysis and the significant results were tested by Duncan’s New Multiple Range Tesr (DMRT). The results showed that the performance of male quail were not affected by the treatment. Feed consumtion were respectively 10,77; 10,74; 10,76; 10,78 and 10,76 g/quail/day. ADG were 2,27; 2,18; 2,10; 2,16 and 2,10 g/quail/day. FFed conversions were 4,73; 4,92; 5,12; 4,97 and 5,12. Carcass weight were 69,16; 68,67; 69,15; 67,40 and 68,19 %. It was concluded that silk worms (Bombyx mori) pupa a meal may be substituting fish meal up to 10 % level of the total rations.
Key words : male quail (Coturnix-coturnix japonica), silk worms (Bombyx mori) pupa meal, performance. PENDAHULUAN Dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi masyarakat telah dilakukan usaha peningkatan produksi di bidang peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah menyusun program sebagai tindak lanjut Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) tentang prospek dan arah pengembangan agribisnis
komoditas unggulan peternakan yaitu sapi, kambing/domba dan unggas (Anonimus, 2005). Selain komoditas unggulan perlu juga didukung dengan pengembangan ternak lain yang mempunyai potensi cukup baik sebagai pemenuhan protein hewani. Salah satu jenis ternak yang cukup potensial adalah puyuh (Coturnixcoturnix japonica), yang dapat menghasilkan daging maupun telur. Puyuh betina digunakan
sebagai penghasil telur dan puyuh jantan dapat diarahkan sebagai penghasil daging. Dalam mendukung usaha peternakan, faktor ketersediaan pakan sangat penting untuk diperhatikan baik kuantitas maupun kualitasnya. Ketergantungan komponen impor bahan penyusun ransum unggas yang semakin mahal, menyebabkan keterpurukan industri perunggasan dewasa ini. Oleh karena itu, dalam upaya mempertahankan kehadiran dan meningkatkan produktifitas ternak perlu dilakukan upaya mencari sumber pakan baru sebagai alternatif bahan pakan yang dari segi harga terjangkau tetapi mempunyai kualitas yang baik.. Masalah pakan dapat diatasi dengan cara pengembangan peternakan secara integratif dengan usaha pertanian maupun industri, sehingga dapat menekan biaya produksi. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan limbah industri yang dapat digunakan sebagai bahan pakan antara lain adalah limbah industri pemintalan benang sutera. Pupa ulat sutera (Bombyx mori) merupakan limbah budidaya ulat sutera dan proses pemintalan benang sutera. Kandungan protein tepung pupa ulat sutera cukup tinggi yaitu 54,9 % (Murtidjo, 1991). Mathius dan Sinurat (2001) mnyatakan bahwa dalam memanfaatkan limbah pertanian maupun industri perlu diperhatikan faktor kontinuitas ketersediaan, kandungan gizi, kemungkinan adanya faktor pembatas seperti zat anti nutrisi serta perlu tidaknya bahan tersebut diolah sebelum dapat digunakan sebagai pakan.
Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) dalam ransum terhadap kinerja puyuh (Coturnix-coturnix japonica) jantan. MATERI DAN METODE Materi Penelitian ini menggunakan puyuh (Coturnix-coturnix japonica) jantan umur 7 hari sebanyak 120 ekor. Obat-obatan yang digunakan adalah vaksin New Castle Disease (NCD) strain lasota, vitamin, antibiotic dan desinfektan. Kandang yang digunakan untuk penelitian adalah kandang kelompok model bertingkat, terbuat dari kayu, bamboo dan kawat strimin, sebanyak 15 buah. Ukuran kandang 50 cm x 40 cm x 30 cm, dan dilengkapi dengan tempat pakan dan minum. Peralatan yang digunakan adalah timbangan Ohaus berkapasitas 2610 gram, dengan kepekaan 0,1 gram. Seperangkat alat untuk menyembelih puyuh. Ransum yang digunakan dalam penelitian ini tersusun dari jagung, bekatul, tepung ikan, kapur dan tepung pupa ulat sutera. Penyusunan ransum penelitian dibedakan atas aras tepung pupa ulat sutera pada masing-masing perlakuan yaitu 0 %; 2,5 %; 5 %; 7,5% dan 10 % untuk mensubtitusi tepung ikan. Metode Metode pembuatan tepung pupa ulat sutera yaitu kepompong
ulat sutera dicuci dengan air bersih kemudian dipisahkan antara kepompong dan pupa dengan menggunakan gunting. Setelah itu ditiriskan dan dikeringkan dengan sinar matahari, kemudian digiling menjadi tepung. Puyuh dikelompokkan dalam 15 kandang, sehingga tiap kandang berisi 8 ekor. Tiap kelompok perlakuan terdiri dari 3 ulangan. Data yang diamati meliputi pertambahan bobot badan, konsumsi pakan, konversi pakan, persentase karkas dan mortalitas. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola searah terdiri dari 5 perlakuan dengan 3 ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis variansi dan apabila ada beda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan’s
New Multiple Range Test (DMRT) (Astuti, 1980). HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Konsumsi pakan rata-rata per ekor selama penelitian untuk setiap perlakuan tertera pada tabel 1. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa konsumsi pakan dengan menggunakan tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) dalam ransum terdapat perbedaan yang tidak nyata. Konsumsi pakan dipengaruhi beberapa faktor, antara lain umur, ukuran tubuh, palatabilitas, dan kualitas pakan yang diberikan. Konsumsi pakan yang berbeda tidak nyata tersebut karena ransum tiap perlakuan
Tabel 1. Rata-rata konsumsi pakan setiap perlakuan (g/ekor/hari) Ulangan 1 2 R0(Tp.pupa 0 %) 10,96 10,65 R1 (Tp.pupa 2,5 %) 10,76 10,69 R2 (Tp.pupa 5 %) 10,75 10,76 R3 (Tp.pupa 7,5 %) 10,78 10,77 R4 (Tp.pupa 10 %) 10,74 10,77 Keterangan : ns = berbeda tidak nyata Perlakuan
disusun mendekati iso energi dan protein. Hal ini sesuai dengan pendapat Wahyudi (2003) dan Budi (2005) yang meyatakan bahwa pakan yang mempunyai nutrient yang relatif sama maka konsumsi pakannya juga relatif sama. Pertambahan Bobot Badan Rata-rata pertambahan bobot badan (g/ekor/hari) untuk
3 10,70 10,76 10,76 10,72 10,77
Rata-rata (ns) 10,77 10,74 10,76 10,76 10,76
setiap perlakuan tertera pada tabel 1. Pertambahan bobot badan hasil penelitian berkisar antara 2,02 – 2,33 g/ekor/hari. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa penggunaan tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) dalam ransum berbeda tidak nyata. Perbedaan pertambahan bobot badan yang tidak nyata disebabkan karena kandungan nutrient dalam ransum yang dikonsumsi
mempunyai kandungan protein dan energi yang relatif sama. Pertambahan bobot badan yang berbeda tidak sama ini disebabkan karena konsumsi pakan yang sama antar perlakuan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Soeparno (1994), yang menyatakan bahwa konsumsi pakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan selain jenis kelamin, hormon, kastrasi,
Tabel 2. Rata-rata pertambahan bobot badan setiap perlakuan (g/ekor/hari) Perlakuan
1 R0 (Tp.pupa 0 %) 2,26 R1 (Tp.pupa 2,5 %) 2,17 R2 (Tp.pupa 5 %) 2,02 R3 (Tp.pupa 7,5 %) 2,05 R4 (Tp.pupa 10 %) 2,04 Keterangan : ns = berbeda tidak nyata
Ulangan 2 2,23 2,10 2,16 2,30 2,05
genetik dan jenis pakan yang diberikan. Dengan demikian penggunaan tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) mempunyai pengaruh yang sama dengan tepung ikan, sehingga tepung tersebut dapat digunakan bahan pakan sebagai
Rata-rata (ns) 2,27 2,18 2,10 2,16 2,10
3 2,33 2,28 2,13 2,15 2,22
alternatif yang dapat menggantikan tepung ikan. Konversi Pakan Konversi pakan rata-rata untuk tiap perlakuan tertera pada tabel 3. Konversi pakan hasil penelitian berkisar antara 4,59 – 5,33.
Tabel 3. Rata-rata konversi pakan setiap perlakuan Ulangan 1 2 R0 (Tp.pupa 0 %) 4,84 4,77 R1 (Tp.pupa 2,5 %) 4,95 5,09 R2 (Tp.pupa 5 %) 5,33 4,98 R3 (Tp.pupa 7,5 %) 5,25 4,68 R4 (Tp.pupa 10 %) 5,26 5,25 Keterangan : ns = berbeda tidak nyata Perlakuan
Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa konversi pakan antar perlakuan terdapat perbedaan yang tidak nyata. Hal ini disebabkan karena konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan yang berbeda tidak nyata juga. Konversi pakan merupakan
3 4,59 4,71 5,05 4,98 4,85
Rata-rata (ns) 4,73 4,92 5,12 4,97 5,12
perbandingan antara konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan, sehingga apabila kedua peubah tersebut tidak beda nyata makan konversi pakannya juga akan berbeda tidak nyata. Penggunaan tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) dengan
hasil yang berbeda tidak nyata dengan tepung ikan, maka tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) dapat digunakan untuk menggantikan tepung ikan. Konversi pakan merupakan nilai yang menggambarkan kemampuan unggas untuk mengubah pakan menjadi daging. Hasil penelitian ini yang menghasilkan konversi pakan antara 4,59 – 5,33, hasil ini lebih rendah dibandingkan pakan yang menggunakan bahan pakan enceng gondok. Hasil penelitian Wahyudi (2003) yang menggunakan tepung enceng gondok dalam ransum puyuh jantan menghasilkan konversi pakan sebesar 5,68 – 7,82. Dengan demikian penggunaan tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) lebih baik dari pada tepung enceng gondok. Hal ini sesuai dengan pendapat Kamal (1999) yang menyatakan bahwa semakin kecil konversi pakan menunjukkan bahwa ramsum yang dikonsumsi dapat digunakan lebih efisien
dalam menghasilkan peningkatan bobot badan. Persentase Karkas Rata-rata persentase karkas yang dihasilkan untuk setiap perlakuan tertera dalam tabel 4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang tidak nyata pada persentase karkas puyuh jantan. Persentase karkas merupakan hasil yang diperoleh dari bobot karkas dibagi dengan bobot hidup dikalikan 100 %., oleh karena bobot badan berbeda tidak nyata maka persentase karkaspun juga berbeda tidak nyata. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (1994) dan hasil penelitian Dewi (2007), bahwa persentase karkas dipengaruhi oleh bobot hidup dan bobot karkas, apabila bobot hidup dan bobot karkas berbeda tidak nyata maka persentase karkasnya juga berbeda tidak nyata.
Tabel 4. Rata-rata persentase karkas setiap perlakuan (%) Perlakuan
1 R0(Tp.pupa 0 %) 69,51 R1(Tp.pupa 2,5 %) 68,72 R2(Tp.pupa 5 %) 68,48 R3(Tp.pupa 7,5 %) 64,93 R4(Tp.pupa 10 %) 68,01 Keterangan : ns = berbeda tidak nyata Hasil penelitian persentase karkas puyuh jantan dengan perlakuan ransum dengan pakan yang menggunakan tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) rata-rata berkisar antara 67,40 – 69,16 %. Hasil ini lebih baik dari persentase
Ulangan 2 68,90 68,95 69,50 67,13 68,60
3 69,06 68,34 69,46 70,16 67,97
Rata-rata (ns) 69,16 68,67 69,15 67,40 68,19
karkas yang menggunakan tepung gangsing yang berkisar antara 60,08 – 68,09 % (Budi, 2005). Mortalitas Selama penelitian tidak terjadi kematian puyuh, hal ini
menunjukkan bahwa pemberian tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) dalam ransum tidak menyebabkan kematian puyuh. Hal ini membuktikan bahwa kandungan nutrient ransum dari bahan yang disusun dengan tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) mampu memenuhi kebutuhan nitrisi puyuh jantan, dan juga tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) tidak mengandung bahan yang merugikan puyuh jantan. KESIMPULAN Tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) dapat digunakan dalam ransum puyuh jantan mensubtitusi tepung ikan sampai pada aras 10 % tanpa mengganggu kinerja pada puyuh (Coturnix-coturnix japonica) jantan. DAFTAR PUSTAKA Anonimus, 2005, RPPK : Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Unggas. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Astuti,
M., 1980, Rancangan Percobaan dan Analisis Statistik. Bagian I. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Budi, S. , 2005, Pengaruh Aras Tepung Gangsing (Sesarma reticulatum) dalam Ransum terhadap Kinerja Burung Puyuh (Coturnix-coturnix
japonica) Jantan. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Wangsa Manggala Yogyakarta. Dewi, S. H. C., 2007, Pengaruh Pemberian Gula dan Insulin sebelum Pemotongan terhadap Kualitas Fisik Daging Domba. Buletin Pertanian dan Peternakan Vol. 8 N0. 17. Kamal, M. 1999, Nutrisi Ternak Dasar. Laboratorium Makanan Ternak. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Mathius I.W dan A.P. Sinurat, 2001, Pemanfaatan Bahan Baku Pakan Inkonvensional Untuk Ternak. Wartazoa Vol. 11 No. 2 Tahun 2001. Balai Penelitian Ternak. Bogor. Murtidjo, B. A., 1991, Pedoman Beternak Ayam Broiler. Yayasan Kanisius, Yogyakarta. Soeparno, 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Wahyudi, A. 2003. Pengaruh Penggunaan Tepung Enceng Gondok (Eichornia crassites) dalam Ransum terhadap Kinerja Burung Puyuh (Coturnix-coturnix
japonica) Fakultas Universitas Manggala.
Jantan. pertanian, Wangsa Yogyakarta
DOSIS CAMPURAN LIMBAH SAPI DENGAN LIMBAH BABI TERHADAP PRODUKSI GASBIO (THE MIXTURE OF CATTLE AND PIGS WASTE DOSAGE TOWARDS BIOGAS PRODUCTION) Setyo Utomo1) dan Vita Wahyuningsih2) 1)Staf Pengajar Jurusan Peternakan, UMB Yogyakarta 2)Alumni Peternakan, UMB Yogyakarta
ABSTRACT This research was aimed to know biogas production consist of the mixture of cattle and pigs waste within three levels. The treatment consist of 75% pigs waste; 25 % cattle waste (P1), 50% pigs waste; 50% cattle waste (P2) and 25% pigs waste; 75% cattle waste (P3). The observed variable consist of dry matter waste (DM), substrat, pH, C/N ratio, environmental and digester temperature, the maximal biogas product and the total of biogas. The research showed that the DM waste of P1 = 29,35%; P2= 25,98% and P3 = 80,88%. The DM of substrat P1 = 7,94%, P2 = 7,84% and P3 = 7,76%. pH of P1 = 7,59; P2 and P3 = 7,44. CN ratio P1 = 11,82; P2 = 10,32 and P3 = 8,81. The avarage of digester temperature P1 = 26,160C; P2 = 26,380C and P3 = 26,280C with the environmental temperature was between 270C to 300C. The total of biogas production within 30 days retention was P1 = 2195,20 (l/1 atm/290C); P2 = 2098,77 0C (l/1 atm/290C) and P3 = 2224,83 (l/1 atm/290C) showed the different was not significant, while the biogas production tended to be higher rather than (P1) and (P2) and the maximum biogas production reached on the 21st to 25th day. Key words : Biogas production, Pig waste, Cattle waste, level PENDAHULUAN Limbah ternak merupakan sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan produksi ternak dan lain-lain. Limbah tersebut meliputi limbah padat dan limbah cair seperti feses, urine, sisa makanan, embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu, kuku, tulang, tanduk, isi rumen dan lain-lain (Sihombing, 2000). Semakin berkembang usaha peternakan, limbah yang dihasilkan semakin meningkat.
Salah satu alternatif untuk memecahkan masalah tersebut dengan menerapkan teknologi pembuatan gasbio (Basuki, 1985). Pembuatan dan penggunaan biogas mulai digalakkan pada awal tahun 1970-an, bertujuan memanfaatkan bahan limbah menjadi sumber energi lain di luar kayu bakar dan minyak tanah (Suriawirya, 2004). Teknologi pembuatan biogas dari kotoran ternak berpeluang menjadi solusi pilihan untuk keterbatasan ketersediaan bahan bakar minyak tanah dan kayu bakar serta peningkatan produksi ternak
menuju swasembada daging serta mendorong perbaikan lingkungan (Sembiring, 2005) Gasbio sebagai sumber bahan bakar dapat diperoleh melalui proses fermentasi anaerob dari limbah pertanian maupun limbah peternakan yang mengalami biokonversi menjadi bahan bakar yang lebih berguna. Komposisi gas bio terdiri dari gas methan (CH4), Karbondioksida (CO2), dan sedikit Hidrogen Sulfida (H2S), Nitrogen (N2), Karbonmonoksida (CO) serta Oksigen (O2) (Sihombing, 1980). Diantara komponen penyusun gas bio tersebut yang berfungsi sebagai bahan bakar adalah gas methan (CH4) (Soejono et al. 1989) Produksi gas methan untuk setiap proses produksi produksi berbeda-beda, termasuk antara feses ternak babi dan ternak sapi potong, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan jumlah mikrobia dan C/N rasio feses. Menurut Hadi (1982) rasio C/N feses babi adalah 25 lebih besar dari pada sapi 18. Terdapat perbedaan jumlah mikrobia antara feses babi dan feses sapi potong. Selain itu banyak sedikitnya jumlah mikrobia dipengaruhi oleh perbedaan jenis makanan, umur ternak, kondisi pengumpulan feses, cara memelihara dan juga faktor lingkungan (Anonimus, 1980). MATERI DAN METODA Penelitian ini di Desa Karangwuni, Kecamatan Wates, Kabupaten Kulonprogo, DIY dan di
Lab.Tanah Universitas Wangsa Manggala Yogyakarta. Materi Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah larutan feses sapi potong dan feses babi masing-masing sebanyak 123,09 kg. Alat yang digunakan adalah digester berupa drum plastik bekas dengan kapasitas 125 l,digunakan sebanyak 9 buah, Gas holder, terbuat dari plastik berukuran 60 kg, 9 buah, selang kecil, digunakan untuk mengukur tekanan gas berbentuk “U”, thermometer, diperlukan 10 buah thermometer air raksa, pH Meter, digunakan untuk mengukur derajat keasaman isian digester (substrat), drum bekas dan ember dan Kompor gas. Metode Penelitian Penelitian menggunakan tiga level perlakuan dan tiga ulangan yaitu campuran feses babi dengan feses sapi . Sebelum substrat dimasukkan kedalam digester dilakukan pengamatan berupa kadar bahan kering feses dan substrat serta pengukuran C/N rasio. Pengamatan setelah pengisisan substrat adalah pengukuran pH, , pengukuran suhu lingkungan dan digester serta pengukuran produksi gas bio. 1. Analisis kadar bahan kering feses dan substrat 2. Pembuatan substrat Substrat dibuat dengan perbandingan feses dengan air 1 : 3 dari drum berkapasitas 125 l diisi 7/8
bagian x 125 l = 109,38 kg/l (kotoran + air) a. P1 digunakan substrat yang terdiri dari feses babi sebanyak 20,51 kg, feses sapi 6,84 kg dan airnya sebanyak 82,04 l b. P2 digunakan substrat yang terdiri dari feses babi sebanyak 13,675 kg, feses sapi 13,675 kg dan airnya sebanyak 82,04 l. c. P3 digunakan substrat yang terdiri dari feses babi sebanyak 8,84 kg, feses sapi 20,51 kg dan airnya sebanyak 82,04 l.
1 P= .g.h 13
P : Tekanan dalam gas holder g : Gaya grafitasi bumi h : Selisih permukaan air dalam manometer
Produksi gas bio dihitung berdasar tekanan suhu atmosfir 290C dengan menggunakan rumus Boyle-Gay Lussac
P1 . V1 P2 . V2 T1 T2
Analisis Data Penelitian ini menggunakan Complletely Randomized Design (CRD) pola searah, dengan analisis data adalah analisis variansi. (Astuti, 1980). Hipotesis Produksi dipengaruhi oleh
3. Pengukuran derajat keasaman, temperatur digester dan temperatur lingkungan 4. Pengukuran gas bio Setelah digester di isi dengan substrat (P1), (P2) dan (P3) dan pengisian dilakukan sampai hampir penuh yaitu 7/8 bagian drum berkapasitas 125 litter, pengukuran tekanan gas bio dalam slang yang diisi air indicator dimulai pada hari ke dua setelah substrat dimasukan kedalam digester. Untuk mengukur tekanan dalam gas holder digunakan rumus:
gas bio macam/level
P1 : Tekanan gas dalam 1 atm P2 : Tekanan gas dalam gas holder V1 : Volume gas pada tekanan 1 atm V2 : Volume gas dalam gas holder 0 T1 : Suhu lingkungan ( Kelvin) 0 T2: Suhu dalam gas holder ( Kelvin)
substrat / campuran (feses sapi dan feses babi). HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis bahan kering Feses dan substrat, pH serta C/N rasio Analisis bahan kering (BK) feses (P3) sebesar 33,80%, lebih besar dari (P1) 29,35% dan (P2) 25,98%. Perbedaan BK terjadi karena pengaruh pakan, umur
ternak, jenis ternak dan besar kecilnya ternak. Selengkapnya
data BK adalah sbb.:
Tabel 1. Kadar bahan kering feses, substrat, pH dan C/N rasio BK. Feses (%) P1 29,35 P2 25,98 P3 33,80 Sumber : Laboratorium Ilmu Tanah Universitas Wangsa Manggala Yogyakarta. Kadar BK substrat masih dalam kisaran normal yaitu (P3) sebesar 7,76 %, (P2) 7,84% dan (P1) 7,94%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh (Basuki, 1990) bahwa kadar bahan kering substrat berada pada kisaran 7 – 9 %. Derajat keasaman (pH) P3 sebesar 7,44%, P2 sebesar 7,52% dan P1 sebesar 7,59%. Wibowo et al (1985) menyatakan bahwa aktivitas mikroorganisme dibutuhkan kisaran pH 6 – 8, sedangkan yang paling ideal 7,4 (Blot, 1976). Suriawirya dan Sastramiharja (1980), menambahkan bahwa fermentasi anaerob dapat bekerja dengan baik untuk menghasilkan gas bio secara optimal pada kisaran pH 6,8 – 8. Pada pH dibawah 6,8, misalnya 6,2, aktivitas mikroorganisme metanogenik menurun sedang bakteri asetogenik yang menghasilkan asam asetat terus meningkat dan mengakibatkan produksi gas bio menurun (Sihombing, 1997). Hasil penelitian menunjukan kandungan C/N rasio (P3) adalah 8,81, (P2) adalah 10,32 Perlakuan
BK Substrat C/N pH (%) rasio 7,94 7,59 11,82 7,84 7,52 10,32 7,76 7,44 8,81 dan (P1) adalah 11,82. Imbangan karbon (C) dan nitrogen (N) yang terkandung dalam bahan organik sangat menentukan kehidupan dan aktifitas mikroorganisme. Imbangan C/N yang optimum bagi mikroorganisme adalah 25 – 30 % (Surajudin et al, 2006). Ratio C/N dalam bahan organik sangat mempengaruhi kegiatan mikroorganisme dalam memproduksi gas bio. Bila C/N terlalu tinggi populasi dan aktivitas mikroorganisme rendah akibatnya produksi gas bio menjadi rendah atau mungkin tidak terbentuk samasekali dan apabila C/N terlalu rendah akan mengurani nitrogen yang akan berubah menjadi ammonia dan meracuni bakteri (Hadi, 1982). B Proses gas bio Suhu lingkungan yang diperoleh dari hasil penelitian (Tabel 2) menunjukkan sebesar 28,16 0C dengan kisaran 18 – 32 0 C.
Tabel 2. Suhu lingkungan dan suhu digester Suhu digester (0C)
P1 P2 P3
26,16 26,38 26,28
Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu digester dari (P1) 26,16 0C, (P2) 26,38 0C dan (P3) 26,28 0C, suhu tersebut masih pada kisaran yang normal meskipun belum ideal untuk proses pembentukan gas bio. Fermentasi dapat berlangsung bila suhu lingkungan dan suhu digester berkisar antara 5 – 55 0C, sedangkan suhu digester yang ideal antara 32 – 35 0C (Sihombing, 1997). Suhu digester berada dibawah suhu lingkungan ideal dan suhu digester mengalami C
Suhu lingkungan (0C) 28,16 28,16 28,16 perubahan hampir sama dengan suhu lingkungan. Hal ini sesuai dengan pendapat Meynell (1976) bahwa temperatur kerja penghasil gas bio sangat tergantung pada temperatur lingkungan, semakin tinggi suhu lingkungan, temperatur didalam pencerna (digester) gas bio semakin tinggi. Produksi gas bio akan menurun akibat perubahan temperatur yang mendadak dalam digester. Perubahan temperatur yang tiba0 tiba melebihi 3 C akan mempengaruhi proses produksi gas bio (Hadi, 1980).
Perlakuan
Produksi gas bio Volume gas bio yang di produksi setiap perlakuan tidak selalu sama. Adanya keteraturan yang sama yaitu bahwa produksi gas bio bervariasi dari ke hari namun cenderung mengalami kenaikan sampai dengan hari ke 20, tetapi setelah mancapai
puncak produksi akan terjadi penurunan secara gradual. Hal ini di sebabkan oleh penurunan aktivitas bakteri anaerob, dengan adanya penurunan bahan organik yang telah mengalami degradasi menjadi komponen lain. 1. Pengukuran produksi gas bio
Tabel 3: Produksi gas bio dari campuran feses babi dengan feses sapi per 10 hari (l/1 atm/29 0C) Waktu Perlakuan Retensi P1 P2 P3 0 – 10 325.62 240.95 262.63 11 - 20 786.48 686.00 810.02 21 - 30 1083.10 1171.82 1152.18 Jumlah 2195.20 2098.77 2224.83 Reratans 731.73 699.59 741.61 ns. Rerata produksi gasbio ketiga perlakuan substrat berbeda nyata (non significant).
tidak beda
Hasil penelitian produksi gas bio selama 30 hari menunjukkan bahwa puncak produksi dari (P1) dicapai pada hari ke 20 sebesar 114,16 l, (P2) dicapai pada hari ke 25 sebesar 128,37 l dan (P3) dicapai pada hari ke 24 sebesar 113,17 l. Perbedaan tersebut dimungkinkan karena adanya faktor yang mempengaruhi produksi gas bio seperti C/N rasio substrat, apabila C/N rasio substrat mendekati C/N rasio yang ideal yaitu 25 – 30 maka proses fermentasi akan lebih cepat sehingga produksi gas bio yang diproduksi akan lebih cepat. Hasil analisa statistik untuk ketiga perlakuan macam substrat menunjukkan adanya perbedaan yang tidak nyata. Hal itu disebabkan semua perlakuan
substrat mempunyai pH, suhu lingkungan ,suhu digester dan bahan kering substrat yang hampir sama. Adanya kecenderungan perbedaan dikarenakan adanya faktor yang mempengaruhi produksi gas bio seperti C/N rasio. Selain itu (P3) masih banyak aktifitas mikrobia dan zat-zat lainnya seperti protein, lemak, lignin dan lainnya yang dapat diurai menjadi gas methan. Fakta menunjukan bahwa perlakuan dengan slah satu bahan (feses) yang banyak memiliki kecenderungan produksi gasbio yang relative lebih banyak, hal ini disebabkan karena tingginya C/N rasio pada babi dan didukung banyaknya mikroorganisme yang mampu merubah gas methan yang terdapat pada feses sapi.
Puncak produksi gasbio sesuai dengan Basuki et al (1990) yaitu bahwa puncak produksi gasbio dicapai pada hari ke 21 – 25 dan setelah mencapai puncak produksi gas bio akan menurun secara gradual. Pada hari ke 30 gas bio masih tetap berproduksi ini dimungkinkan karena masih adanya substrat yang dapat digunakan untuk proses pembentukan gas bio, sehingga prses fermentasi tetap berlangsung.
(P3) yaitu sebesar 2224,83 l dan terendah adalah (P2) sebesar 2098,77 l.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Biogas mulai terbentuk pada hari ke 2 dan puncak produksi dicapai pada hari ke 21 25 dengan bahan baku sebanyak 27,35 kg. Produksi gas bio yang paling baik dari ketiga level adalah
Saran Dalam pembuatan gasbio sebaiknya menggunakan substrat dengan campuran feses babi 25% dengan feses sapi sebanyak 75%, karena akan dihasilkan produksi gasbio terbanyak. DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 1980. Guide Book on Bio Gas Development. Energy Resources Development Series 21. United Nations Publ., Bangkok.
Astuti,
M., 1980. Rancangan Percobaan dan Analisis Statistik I. Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Meynell., J. P. 1976. Methane Planning a Digester. Prism Press, Stable Court, Calmington, Dorchester, Dosert.
Basuki, P., 1985. Pemanfaatan Kotoran Ternak Sebagai Sumber Energi Rumah Tangga. Seminar on Development of Tropical Resources and Efective Utilization of Energi in Agriculture. 21 – 22 Januari 1985, Yogyakarta.
Sihombing, D. T. H. 1980, Prospek Penggunaan Bio Gas untuk Energi Pedesaan di Indonesia, LPL, No II Tahun XIV, LEMIGAS, Jakarta.
Basuki, P., G. Murjito dan N. Ngadiono. 1990. Hubungan Antara Umur Isian Bahan Baku Dengan Produksi Gas Bio Pada Kotoran Sapi Potong. Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi. Fakultas Peternakan, UGM, Yogyakarta. Blot, P. de. S. J., (1976). Recycling Proses dalan Integrated Rural, Development system, Yayasan Realina, Yogyakarta. Hadi,
N., 1980. Sumber Gas sebagai Sumber Energi dan Pengembangan Desa. Seminar Nasional Lembaga Penelitian Ternak. 28-29 Januari 1979, Jakarta.
Hadi, Asmara, dan Ariono, 1982, Pra Rencana Pabrik Bio Gas dari Kotoran Sapi, Fakultas Teknik Kimia, ITS, Surabaya.
Sihombing, D. T. H. 1997, Ilmu Ternak Babi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Sihombing, D. T. H. 2000, Teknik Pengelolaan Limbah Kegiatan/Usaha Peternakan, Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian, Institut Pertanian Bogor. Soejono, M., E.S. Soetarto, R. Utomo, P. Basuki dan Harsoyo. 1989. Pengaruh Amoniasi Urea Jerami Padi Terhadap Kotoran Sapi Untuk Produksi Gas Methana. Laporan Penelitian No. 50/L. PAU/UGM/215/1989. PAU. Bioteknologi UGM, Yogyakarta. Suriawiria, U. dan I. Sastramihardja. 1979. Faktor Lingkungan Biotis dan Abiotis didalam Proses Pembentukan Gas Bio Serta Penggunaan Starter Efektif didalamnya. Lokakarya Pengembangan Energi Non Konvensional.
Direktorat Jenderal Ketenagaan Departemen Pertambangan dan Energi, Jakarta. Suriawirya, U, 2004, Menuai Biogas dari Limbah, Info Teknologi, Bandung.
Sembiring, I, 2005, Biogas, Alternatif Ketika BBM Menipis, Waspada Online, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara
POTENSI PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) PROGO KULONPROGO, YOGYAKARTA Nur Rasminati*) dan Setyo Utomo*) *)Staf Pengajar Program Studi Peternakan, Fakultas Agroindustri, Universitas Mercu Buana Yogyakarta E-mail :
[email protected] ABSTRACT The objectives of this research was to know the potency of DAS Progo for beef cattle development based on capability of forage production, carrying capacity and the level of animal productivity. The number of 60 respondents that live around DAS Progo, Lendah district, Kulon Progo regency were used in this research. The data were feed productivity, average daily gain (ADG) and calving interval were analyzed descriptively. The result showed that 96,66% respondents have areas DAS that is planted with forage. While the rest don’t have DAS area, but they undirectly used by buying from owner of DAS area. The productivity of elephant grass is 47,2 ton/Ha/defoliation, so it’s predicted the production in one year is 424,8 ton and can receive 33,25 UT of cattle. The ADG for PO and Simmental cross at 0 – 12 months are 0,476 g/head vs 0,509 g/head, 12 – 30 months are 0,379 g/head vs 0,445 g/head, more than 30 month are 0,253 g/head vs 0,278 g/head. The calving interval for PO dan Simmental are 15,33 and 13,67 months. It could be concluded that DAS Progo area in Kulonprogo regency has potency for the cattle development. The Simmental cross is appropriate to be developed in DAS Progo, it has growth rate and calving interval better than PO cattle. Key words : DAS Progo, Beef cattle, The potency of area
PENDAHULUAN DAS Progo menyimpan potensi dalam menghasilkan hijauan pakan ternak terutama rumput gajah dan rumput star grass yang berkembang pesat dengan produksi yang melimpah meskipun tanpa pembudidayaan yang intensif. Produksinya hampir 100 ton per ha per defoliasi. Hal ini didukung oleh kondisi media tumbuh yang sangat subur karena tersedianya unsur-unsur hara dalam tanah. Proses terbentuknya tanah di sepanjang DAS Progo
disebabkan adanya endapan sungai yang selalu terjadi pada saat air melimpah dan tanaman yang ada, sehingga endapan maupun seresah bahan organik yang terbawa air akan tertahan, akhirnya menjadi media tumbuh tanaman yang sangat subur. Areal yang berjarak sekitar 700 m dari batas pemukiman penduduk merupakan lahan yang dapat ditanami hijauan pakan dan merupakan tanah tidak bertuan. dapat
Melihat fakta yang ada dipastikan bahwa
pengembangan ternak sapi maupun ternak ruminansia lainnya dapat dilakukan secara intensif di wilayah tersebut. Kondisi yang ada sekarang menunjukkan bahwa ketersediaan hijauan belum dimanfaatkan sepenuhnya oleh masyarakat yang mempunyai ternak sapi dengan pola pemeliharaan yang masih tradisional. Mereka justru memberi pakan jerami padi dengan alasan jerami padi lebih efisien karena sekali mendatangkan dengan truk bisa dapat digunakan berhari-hari. Hal ini dapat dipahami karena pemeliharaan ternak hanya merupakan usaha sambilan dan hanya sekedar sebagai tabungan yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk mendapatkan uang kontan. Permasalahan yang dihadapi masyarakat adalah sapi yang berada di sepanjang DAS Progo belum berproduksi secara optimal sehingga keuntungan belum dapat dirasakan oleh petani peternak. Mereka belum memanfaatkan secara maksimal potensi DAS sebagai penyedia rumput atau hijauan pakan. Masyarakat perlu melihat secara langsung bahwa wilayahnya berpotensi sebagai pusat pengembangan ternak sapi karena keberadaan DAS dengan ketersediaan hijauan yang cukup tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kontribusi DAS Progo terhadap pengembangan ternak sapi di masyarakat sekitar terutama dalam penyediaan hijauan pakan, kemampuan produksi rumput, daya tampung
ternak, produktivitas ternak baik produksi maupun reproduksinya. METODA PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di desa Ngentakrejo, kecamatan Lendah yang berada di wilayah aliran sungai (DAS) Progo Kulonprogo Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Peternak sapi, peternak yang diambil sebagai responden sebanyak 60 orang yang memiliki minimal 1 ekor ternak sapi dalam berbagai fase. 2. Ternak sapi, dibutuhkan minimal 60 ekor sapi dalam berbagai fase. 3. Hijauan pakan, yang digunakan adalah hijauan pakan yang tumbuh di sepanjang DAS Progo yaitu rumput alam, rumput gajah dan star grass. Metoda Penelitian ini menggunakan metoda survey terhadap 60 petani peternak responden sebagai sampel yang berada di desa Ngentakrejo, kecamatan Lendah, Kulon Progo terutama yang berada di sepanjang DAS Progo. Data yang diamati meliputi kinerja produksi sapi yang meliputi bobot badan pada setiap fase (pedet, fase pertumbuhan sampai dengan pubertas) dan ADG pada
masa pertumbuhan dan kinerja reproduksi seperti Calving Interval dan S/C serta data produksi rumput, Carrying Capacity dan jenis rumput unggul yang ada di wilayah DAS Progo. Analisis Data Data yang diperoleh baik data produktivitas hijauan maupun ternak, yang ada di DAS Progo Kulonprogo dianalisis secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian Luas wilayah desa Ngentakrejo adalah 540,8865 Ha terdiri atas pemukiman, ladang, jalan, kuburan dan lahan DAS Progo. Kondisi DAS yang cukup luas sebagai lahan hijauan merupakan potensi yang baik untuk usaha pengembangan peternakan terutama ternak sapi potong. Diperkirakan desa ini memiliki lahan DAS sekitar 399 Ha.
Ketersediaan lahan hijauan pakan di sepanjang DAS Progo akan menentukan jumlah hijauan pakan ternak yang dapat disediakan sebagai pakan. Pada kenyataannya sebagian besar lahan DAS ditanami hijauan pakan berupa rumput unggul (rumput gajah maupun star grass). Sehingga secara langsung sumber daya DAS akan menentukan keberhasilan usaha ternak sapi potong di DAS Progo. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar masyarakat di desa Ngentakrejo (96,66%) memiliki lahan DAS yang ditanami dengan hijauan pakan. Sedangkan sisanya tidak memiliki lahan DAS namun secara tidak langsung memanfaatkannya dengan cara membeli rumput kepada pemilik lahan DAS. Kepemilikan lahan DAS berlangsung secara turun temurun dan tidak dibuktikan oleh tanda bukti apapun, hanya berdasarkan siapa yang terlebih dahulu memanfaatkannya. Selengkapnya data kepemilikan lahan DAS tertera pada Tabel 1.
Kepemilikan lahan DAS Tabel 1. Kepemilikan lahan daerah aliran sungai (DAS) Progo Luas DAS (m2) 0 100 – 500 600 – 1000 1100 – 1500 1600 – 2000 > 2000 Jumlah
Orang 2 33 8 4 6 7 60
Jumlah responden Persentase 3,33 55 13,33 6,67 10 11,67 100
Daya tampung DAS Progo Fungsi DAS Progo bagi masyarakat disekitarnya adalah sebagai lahan sawah / pertanian tadah hujan, lahan hijauan pakan ternak, tanaman pertanian seperti jagung, pisang, singkong, dan bahkan sebagai lahan penambangan pasir. Santosa (1992) menyatakan bahwa DAS merupakan bagian integral dari kesatuan wilayah teritorial yang mempunyai potensi untuk mendukung bidang pertanian termasuk bidang peternakan. Fungsi sinergis yang telah berlangsung selama ini adalah sebagai lahan penyedia hijauan pakan ternak khususnya ternak sapi. Kebanyakan tanaman rumput yang ditanam adalah rumput gajah, rumput raja dan rumput star grass serta rumput alam yang tumbuh secara liar. Pengelolaan hijauan pakan unggul belum dilakukan secara intensif, hanya dalam pemberian pupuk saja sedangkan pendangiran jarang dilakukan sehingga produktivitasnya belum optimal. Cara penanaman rumput gajah dan raja dilakukan dengan pols (akar) bukan menggunakan stek, sehingga diharapkan akan mempunyai titik tumbuh yang lebih banyak dan produksinya menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan stek. Luas lahan di sepanjang DAS yang diperkirakan sekitar 420 Ha di wilayah Ngentakrejo, hal ini dapat menjadi potensi untuk pengembangan usaha peternakan karena tersedianya lahan untuk sumber pakan yang cukup luas.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa produksi rumput gajah adalah sebesar 47,2 ton/Ha/defoliasi, sehingga diperkirakan produksi hijauan selama satu tahun adalah 424,8 ton dan menampung sapi dewasa sekitar 33,25 UT/th. Produksi rumput gajah di lokasi penelitian belum optimal (optimal sekitar 150 ton/ha/defoliasi), karena rumput gajah di sepanjang DAS walaupun diberi pupuk, tetapi belum sesuai standar kebutuhan. Hal ini disebabkan peternak kurang memiliki modal untuk membeli sarana produksi termasuk membeli pupuk. Para peternak lebih mengutamakan memupuk tanaman pertaniannya dibandingkan dengan tanaman rumput. Pemberian Pakan Ketersediaan pakan secara kontinyu, murah dan mudah didapat merupakan kunci sukses keberhasilan suatu usaha peternakan. Biaya pakan menduduki porsi sekitar 70 – 80 % dari total biaya produksi. Atas dasar itulah pemenuhan pakan secara cukup dan sempurna merupakan suatu keharusan dalam suatu usaha peternakan, khususnya pada ternak ruminansia kebutuhan akan hijauan pakan ternak juga menjadi sangat penting. Umumnya sapi di wilayah DAS mengkonsumsi pakan berasal dari hijauan pakan di lahan DAS (100%) meskipun harus menambah jerami dari daerah lain dengan alasan kepraktisan dalam teknis memotong hijauan terutama
dari aspek waktu. Sedangkan berdasarkan jenis rumputnya masyarakat DAS Progo sebagian besar memberikan jenis rumput gajah sebagai pakan ternak sapinya (86,67%) sedangkan sisanya (13,33%) memberikan campuran rumput gajah dengan rumput alam yang juga diambil dari lahan DAS. Defoliasi terhadap rumput gajah maupun rumut raja dilakukan pada umur 30 – 40 hari, dengan alasan penampilan rumput belum terlalu tua dan ternak lebih menyukainya. Sebagaimana pendapat Reksohadiprojo (1985) yang menyatakan bahwa sebaiknya pemotongan rumput gajah adalah umur 6 – 8 minggu atau dilakukan paling baik adalah pada umur 6 minggu (42 hari). Jumlah pemberian rumput gajah per hari per ekor sapi adalah sekitar 25 kg untuk sapi dewasa (sekitar 18 bulan) dengan taksiran berat sekitar 350 kg sehingga masih diperlukan lagi hingga mencapai 35 kg/ekor/hari. Meskipun ternak tersebut juga diberi pakan tambahan atau pakan penguat yang terdiri atas bekatul, ampas tahu, kulit kedelai dan ketela. Rata-rata responden memberikan pakan penguat berupa bekatul (83,34%), bahan campuran (ampas tahu, bekatul, kulit kedelai dan ketela) sebanyak 1,66% dan hanya 1,66 yang memberikan ampas tahu dan sebanyak 13,34% masyarakat DAS tidak memberikan bahan pakan penguat.
Capaian Produksi Sapi Sebagian besar masyarakat di sepanjang DAS Progo memiliki ternak sapi potong rata-rata 2 ekor (41,66%) atau berada pada jumlah kepemilikan antara 1 – 5 ekor, dengan status kepemilikan adalah milik sendiri (61,6%), gaduhan (28,3%) dan lain-lain (10%). Dari jumlah tersebut bangsa sapi yang dipelihara adalah sapi PO (52,2%) dan sapi Simental (47,8%). Umur sapi yang dipelihara masyarakat di DAS Progo terbanyak adalah anakan sampai dengan umur 30 bulan (76,31%) dan sisanya di atas 30 bulan. Berdasarkan kenyataan tersebut menunjukkan bahwa sudah terdapat kesadaran masyarakat untuk beternak sapi dari bangsa unggul yang lebih menguntungkan. Meskipun dari status kepemilikan ternak sapi terbesar adalah milik sendiri namun untuk pengembangan usaha masih dibutuhkan permodalan karena rata-rata kepemilikan hanya 2 ekor.
Prospek pemeliharaan sapi masyarakat DAS cukup baik terutama ditinjau dari umur ternak sapinya disamping bangsa yang dipelihara. Dengan umur sapi anakan sampai dengan 30 bulan menunjukkan sapi dalam kisaran umur produktif baik untuk tujuan penggemukan maupun tujuan pembibitan. Peningkatan produktivitas sangat mungkin dilakukan dalam rangka meningkatkan kesadaran beternak sebagai
sapi (0 – 18 bulan) atau sebelum pubertas dicapai. Capaian ADG untuk sapi dengan bangsa yang berbeda yaitu PO dan Simmental dapat dilihat pada Tabel 2.
suatu kegiatan usaha. Indikator kinerja sapi dapat ditentukan berdasarkan capaian Avarage Daily Gain (ADG) dan dari kinerja reproduksinya sudah tergambarkan dalam ukuran CI (Calving Interval).
Berdasarkan rata-rata ADG sapi PO dan Simmental pada umur pertumbuhan anakan sampai dengan 12 bulan diketahui adalah 0,476 g/ekor/hari vs 0,509 g/ekor/hari. Perbedaan ADG antar ke dua bangsa disebabkan karena genetik yang berbeda, sapi PO merupakan keturunan sapi-sapi Bos Zebu yang memiliki kemampuan pertumbuhan lebih lambat jika dibandingkan dengan Simmental yang merupakan keturunan Bos taurus.
ADG sapi DAS Progo Angka ADG menunjukkan hasil capaian dari seekor ternak (sapi) yang merupakan gambaran prestasi dari berbagai pengaruh baik genetik maupun lingkungan yang ada dimana sapi tersebut berada dan dipelihara. Pengaruhnya akan sangat nyata terutama pada masa pertumbuhan
Tabel 2. Capaian ADG sapi DAS berdasarkan bangsa yang berbeda Avarage Daily Gain (ADG) g/ekor Umur (bulan )
Peranakan Ongole (PO)
Simmental
0 – 12
0,476
0,509
13 - 30
0,379
0,445
> 30
0,253
0,278
Williamson dan Payne (1993) menyatakan bahwa ratarata ADG dari mulai sapih sampai siap potong untuk sapisapi keturunan Bos taurus sebesar 0,84 kg sedangkan sapi-sapi keturunan Bos indicus sebesar 0,33 kg. Menurut Reksohadiprodjo (1985), kenaikan berat badan harian sapi keturunan Bos taurus lebih besar dibandingkan dengan Bos indicus karena secara genetis
kedua bangsa ini memiliki karakteristik dalam hal pertumbuhan, pertumbuhan Bos indicus lebih lambat dibandingkan dengan Bos taurus. Rata-rata pertumbuhan harian sapi Simmental yang dipelihara di wilayah DAS hanya mencapai angka pertumbuhan 0,509 g/ekor/hari. Perbedaan ini disebabkan karena sapi-sapi Simmental yang dipelihara
masyarakat DAS bukan merupakan keturunan Bos taurus murni namun sudah merupakan persilangan dengan sapi-sapi PO (keturunan Bos Zebu) (Williamson dan Payne, 1993). Selain itu, pakan yang diberikan oleh peternak belum sesuai dengan standar kebutuhan sehingga pertumbuhan yang dihasilkan juga masih rendah. Pada pertumbuhan 12 bulan sampai dengan 30 bulan baik sapi-sapi PO maupun Simmental mengalami penurunan ADG yaitu 0,379 g/ekor/hari vs 0,445 g/ekor/hari, namun sapi Simmental masih berada lebih tinggi jika dibandingkan dengan sapi PO. Hal ini disebabkan karena masa pertumbuhan optimal sudah terlewati dan juga sapi-sapi sudah mengalami masa pubertas maupun kelahiran pertama pada sapi betina. Kedua bangsa yang berbeda capaian ADG nya disebabkan karena sistem pemeliharaan dan kemampuan genetis. Untuk sapi PO memiliki kemampuan genetis lebih rendah dibandingkan dengan sapi Simmental terutama dalam hal pertumbuhan (Reksohadiprodjo, 1985). Hal yang sama ditunjukkan pada ADG umur sapi di atas 30 bulan yang hanya dicapai pada sapi PO 0,253 g/ekor/hari dan sapi Simmental 0,278 g/ekor/hari. Penurunan ADG ini diakibatkan karena kondisi fisiologis sapi yang sudah banyak mengalami penurunan dalam pertumbuhan jaringan otot namun sudah lebih dominan ke arah pembentukan timbunan lemak. Dalam kondisi
ideal berat tubuh akan bertambah (mengikuti kurva sigmoidal) yang menunjukkan laju pertumbuhan lebih besar pada saat menjelang pubertas dan selanjutnya akan berangsur-angsur menurun (lambat) pada saat dicapai dewasa kelamin (Williamson dan Payne, 1993; Black, 1983 dan Hammond, dkk, 1984). Interval kelahiran Untuk mengetahui kinerja reproduksi ternak sapi dapat dilakukan dengan pengukuran interval kelahiran (calving interval = CI). Atas dasar perhitungan CI maka performens dari pola pemeliharaan dan kemampuan ternak akan dapat tergambarkan dengan baik dan jelas. Calving interval akan menggambarkan jarak beranak yang normal jika batas-batas waktu ideal berdasarkan kondisi fisiologis ternak dapat tercapai. Kondisi paling ideal dari CI adalah 12 bulan (negara-negara maju) dan 13,5 bulan untuk Indonesia (Hardjosubroto, 1994). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ratarata CI untuk sapi PO dan Simmental masing-masing adalah 15,33 dan 13,67 bulan. Ternyata CI sapi Simmental mendekati kondisi CI yang digunakan di Indonesia yaitu 13, 5 bulan dan agak panjang untuk sapi PO. CI dipengaruhi oleh faktor genetik dan sistem pemeliharaan termasuk kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan. Berdasarkan capaian
nilai CI pemeliharaan sapi di wilayah DAS sudah tergolong baik terutama untuk sapi Simmental yang mampu merespon lingkungan secara baik dalam kinerja reproduksinya meskipun agak rendah pada sapi-sapi PO. Calving Interval menggambarkan estrus kembali setelah beranak (Estrus Post partum= EPP), S/C dan lama bunting. EPP dipengaruhi oleh penyapihan (weaning), kualitas dan kuantitas pakan dan kondisi kesehatan ternaknya. S/C dipengaruhi oleh kondisi ternak sapi, kualitas dan kuantitas pakan dan ketrampilan inseminator . Lama bunting sapi rata-rata pada kisaran 286 hari, maju dan mundurnya waktu bunting ditentukan oleh kondisi kesehatan induk, kondisi foetus dan jumlah anak yang dikandungnya. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa wilayah DAS Progo mampu menopang pakan ternak khususnya untuk ternak sapi. Kinerja produksi dan reproduksi sapi potong masih perlu ditingkatkan lagi. Sapi keturunan Simmental cocok untuk dikembangkan di wilayah DAS, memiliki angka pertumbuhan dan jarak beranak yang lebih baik jika dibandingkan dengan sapi PO.
DAFTAR PUSTAKA Black,
J.L., 1983. Sheep Production. Butterworth, London.
Hammond, J.Jr, Bowman, J. C dan Robinson T. R., 1984. Hammond’s Farm Animals. 5th ed. Butler dan Tanner Ltd. London. Hardjosubroto, W., 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT Grassindo. Jakarta. Reksohadiprodjo, S., 1985. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. BPFE, Yogyakarta. Santoso, H., 1992. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai : Konsepsi dan Kebijaksanaan. Makalah disampaikan pada kursus Evaluator AMDAL Pertanian, 22 Mei 1992. Departemen Pertanian, Jakarta. Wiiliamson, G dan W. J. A. Payne, 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
ANALISIS PENDAPATAN DAN KELAYAKAN USAHA PETERNAK KAMBING PERANAKAN ETAWAH DI KECAMATAN GIRIMULYO KABUPATEN KULONPROGO Sundari 1dan Komarun Efendi2 1
Dosen, Prodi Peternakan, Fak. Agroindustri, Universitas Mercu Buana Yogyakarta. 2
Alumni Prodi Produksi Ternak UMBY ABSTRACT*)
This research was conducted to investigate the income and feasibility of etawah cross farming in Girimulyo, Kulonprogo regency. Location was determined by purposive on 3 villages and such as a combination of the high of land and population of Etawah cross. Samples were taken by proportional random sampling 10% of farmers. There were 51 farmers of 3 villages : Jatimulyo 37 respondent, Giripurwo 10 respondents, and Pendoworejo 4 respondents. The characteristics of respondents were the everage 48,78 years old, 50,99% on elementary school, 78,51% farmer as main job, experienced 25,05 years, 8 mature goat owned or 1,18 AU. The data analysis showed that the average income was Rp. 4.486.443,31 per year. This farming was feasible to be raised with RCR value 1,28 and rentability value 28,03%. The rentability was higher than Bank BRI rate in Girimulyo sub district. Break Event Point (BEP) Rp. 787.822,60 or 0,17 AU, about 1 mature goats. It was concluded that Etawah cross farming was profitable and feasible to be raised. Key words : Etawah cross, income, feasibility, Girimulyo subdistrict. PENDAHULUAN Permintaan pasar daging kambing dalam negeri setiap tahun mencapai 4,3 juta ekor. Sekitar 15% dari jumlah tersebut masih diimpor. Peluang pasar ekspor bahkan jauh lebih besar. Menurut data Food and Agriculture Organization (FAO), peluang pasar daging kambing dunia saat ini mencapai 22,2 juta ekor per tahun. Sebagian besar permintaan itu datang dari Afrika, Amerika, Asia
dan Eropa. Dengan meningkatnya taraf hidup masyarakat, tingkat konsumsi daging per kapita dunia khususnya negara berkembang akan terus meningkat. Di sisi lain laju konsumsi daging kambing di Tanah Air juga mengalami peningkatan dengan laju 5,6% per tahun, bahkan pada tahun 2005 total konsumsi daging mencapai 18,531 ton atau 5,25 kg per kapita per tahun (Anonimus, 2005), sehingga ternak kambing masih sangat berpeluang untuk dikembangkan guna mencukupi kebutuhan gizi masayarakat dari protein hewani nasional.
Sampai saat ini peternakan di Indonesia masih didominasi oleh peternakan rakyat, dengan jumlah kepemilikan ternak kambing sedikit yaitu 1-2 ekor saja, serta kepemilikan lahan yang sempit. Usaha peternakan kambing merupakan usaha sampingan dari usaha tani tanaman pangan yang dilakukan petani di pedesaan (Murtidjo, 1995). Ternak kambing dapat beranak kembar dan mudah dalam pemeliharaannya. Ditinjau dari aspek pengembangan secara komersil sangat potensial bila diusahakan, karena umur dewasa kelamin dan dewasa tubuh serta lama bunting ternak kambing sangat pendek dibandingkan dengan ternak ruminansia lainnya. Kecamatan Girimulyo terletak pada ketinggian 500 m diatas permukaan air laut dengan suhu rata-rata harian 25-270 C dan curah hujan 1.192 mm/tahun. Pada umumnya masyarakat Girimulyo bermata pencaharian sebagai petani, sehingga pada tahun 2003 hasil pertanian mencapai 38 % dari total penghasilan daerah Kecamatan Girimulyo (Data Pokok Pembangunan, 2003). Akan tetapi penghasilan dari sektor pertanian sangat ditentukan oleh adanya musim penghujan, sehingga pada musim kemarau hasil pertanian menurun. Oleh karena itu banyak petani yang berusaha memenuhi kebutuhan keluarga dengan beternak, karena wilayah kecamatan Girimulyo yang berbukit sampai pegunungan cocok untuk pengembangan ternak kambing Peranakan Etawah. Ketersediaan pakan untuk ternak di daerah Girimulyo sangat
mencukupi, ini didukung adanya hutan lindung dan petani yang ratarata berkebun serta banyaknya lahan yang tidak bisa dimanfaatkan sebagai lahan pertanian maupun perkampungan maka daerah tersebut ditanami tanaman kaliandra/ramban. Ternak kambing lebih menyukai pakan rambanan daripada pakan berupa rumputrumputan (Sarwono, 2006). Ciri-ciri kambing Etawah adalah berat badan relatif besar 50-70 kg, tinggi gumba sekitar 7080 cm, kepala tegak, garis profil cembung dan produksi susu ratarata 2-3 liter/ekor/hari (Djanah, 1988). Ciri-ciri kambing Peranakan Etawah diantara kambing kacang (lokal) dengan kambing Etawah. Derajat kecembungan, garis profil, panjang maupun lebar daun telinga, berat badan, tinggi dan lain-lain hampir sama dengan kambing Etawah. Produksi daging kambing ini sangat baik dengan pertambahan berat badan 49 gram/hari, sedangkan produksi susu 1-1,5 liter/hari. Berat badan jantan dewasa rata-rata 45 kg dan 38 untuk betina dewasa, bobot lahir rata-rata 3,5 kg. Sentra kambing Peranakan Etawah terdapat di Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo dan Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulonprogo serta Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman (Sarwono, 2006). MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Girimulyo Kabupaten
Kulonprogo Yogyakarta.
Daerah
Istimewa
Materi yang digunakan penelitian ini adalah :
pada
1.
Peternak kambing Peranakan Etawah yang ada di desa Jatimulyo, Giripurwo dan Pendoworejo Kecamatan Girimulyo dengan jumlah sebanyak 51 responden.
2.
Peralatan yang digunakan adalah : kuisioner dan alat tulis.
Penentuan Sampel Lokasi Kecamatan Girimulyo terdiri dari 4 desa yaitu desa Purwosari, Jatimulyo, Giripurwo dan Pendoworejo. Pada letak
ketinggian yang berbeda terdapat perbedaan biaya produksi, terutama air guna memenuhi kebutuhan hidup ternak. Lokasi penelitian diambil secara Purposive pada tiga desa yang dianggap mewakili dan merupakan kombinasi antara tinggi tempat dan kepadatan peternak yaitu desa yang datarannya relatif tinggi, sedang dan rendah serta pada desa dimana populasinya relatif padat, sedang dan sedikit. Desa yang ada di dataran tinggi adalah Jatimulyo, sedang adalah Giripurwo dan dataran rendah adalah Pendoworejo. Jumlah peternak kambing Peranakan Etawah di Kecamatan Girimulyo sebanyak 876 peternak yang tersebar di empat desa (Tabel 1).
Tabel 1. Populasi peternak kambing Peranakan Etawah di Kecamatan Girimulyo. No
Desa
Jumlah Tinggi tempat Peternak (DPL) (orang) 1 Purwosari 360 750 m 2 Jatimulyo 370 750 m 3 Giripurwo 100 600 m 4 Pendoworejo 46 500 m Jumlah 876 Sumber : Monografi Kecamatan Girimulyo, 2006 Pengambilan Sampel Responden Pengambilan sampel responden menggunakan metode Purposive Random Sampling sebanyak 10% dari jumlah peternak. Pelaksanaan Penelitian Penelitian dilakukan dengan metode survey terhadap peternak kambing Peranakan
Suhu rata-rata 23-30 0C 23-30 0C 24-30 0C 24-30 0C
Etawah yang berada di lokasi terpilih secara acak. Data yang diambil meliputi data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan peternak seperti keterangan atau angkaangka yang diperoleh secara langsung dari peternak sebagai responden yang terdiri dari identitas peternak, biaya produksi (biaya tetap dan biaya tidak tetap)
dan penerimaan, dan data mengetahui besarnya bunga kredit sekunder yaitu data yang diperoleh Bank. dari Dinas Peternakan Kabupaten Macam Analisis Kulonprogo serta keterangan dari instansi-instansi terkait dan Bank BRI cabang Girimulyo untuk 1. Analisis Pendapatan, Soekartawi (1995) Y = P + Q + R – M – N – O (dalam rupiah) Dimana : Y : Pendapatan bersih dari ternak kambing Peranakan Etawah P : Nilai ternak pada akhir tahun Q : Nilai ternak yang dijual dalam satu tahun R : Nilai pupuk kandang selama satu tahun M : Nilai ternak pada awal tahun N : Nilai ternak yang dibeli dalam satu tahun O : Biaya perawatan ternak selama satu tahun 2. Analisis Return Cost Ratio (RCR), Kusumadewa dkk (1978) RCR =
Return Cost
Return Cost
= penerimaan = biaya total
3. Analisis Rentabilitas, Soetrisno (2000)
R
Keterangan : R = Nilai rentabilitas Y = Biaya total Z = Keuntungan
Z x100% Y
4. Analisis Break Event Point (BEP), (Riyanto, 1981) BEP (dalam rupiah) =
BEP(unit) =
FC VC 1P
FC = fixed cost ( biaya tetap) VC = variable cost ( biaya tidak tetap) P = harga jual
Biaya tetap Harga jual/unit - Biaya tidak tetap/unit
Batasan-batasan Operasional Beberapa batasan yang dijadikan pedoman dalam pengambilan data yaitu : 1. Seluruh perhitungan didasarkan atas nilai atau harga didaerah penelitian dan pada waktu penelitian. 2. Penghitungan unit ternak untuk kambing : (BPS, 1988) a. Kambing dewasa > 1 tahun = 0,14 UT
b. Kambing muda umur 0,5-1 tahun = 0,07 UT c. Cempe (anak) < 0,5 tahun = 0,035 UT 3. Data yang digunakan adalah data biaya produksi dan penerimaan yang berasal dari responden selama pemeliharaan satu tahun yaitu mulai bulan April 2005 sampai dengan Maret 2006. 4. Untuk mengetahui hasil penyusutan menggunakan rumus (Riyanto,1981): Dimana :
D
H o H1 W
D
: Depresiasi
Ho : Nilai awal barang Hi : Nilai akhir barang W : Waktu pemakaian
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan umum lokasi penelitian. Letak geografis Kecamatan Girimulyo berada di wilayah Kabupaten Kulonprogo, D.I.Yogyakarta. Batas-batas wilayah sebagai berikut : sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Samigaluh dan Kalibawang; sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Nanggulan; sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Nanggulan dan Pengasih; sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo. Sedangkan jarak menuju kota kabupaten adalah 14 Km yang dilalui dengan perhubungan darat (BPS Kulonprogo, 2005). Kecamatan Girimulyo mempunyai luas wilayah 5.490.424 Ha yang terdiri dari perkampungan, sawah, tegalan, hutan. Keadaan tanah yang sebagian besar tanah
kering/tegalan dan hutan yaitu 75 % mampu memberikan potensi yang baik untuk pengembangan ternak kambing Peranakan Etawah. Lahan hutan dan tegalan dapat menjadi potensi untuk penyediaan pakan ternak kambing Peranakan Etawah, karena banyaknya pakan berupa rambanan. Kecamatan Girimulyo merupakan daerah dataran tinggi dengan ketinggian 500-750 m diatas permukaan air laut dengan perincian wilayah datar sampai berombak 10 %; berombak sampai berbukit 15 %; berbukit sampai bergunung 75 %. Rata-rata suhu udara minimum-maksimum Kecamatan Girimulyo adalah 24300 C. Dari segi demografi, penduduk Kecamatan Girimulyo berjumlah 29.011 orang (laki-laki 14.527 orang dan perempuan 14.484 orang) dengan kepadatan penduduk 528 jiwa/Km2 (Data Registrasi Penduduk, 2005). Sub sektor peternakan merupakan usaha yang produktif,
usaha peternakan yang menjanjikan di Kecamatan Girimulyo adalah ternak kambing Peranakan Etawah, ini dikarenakan lahan yang berbukit dan bergunung banyak ditanami tanaman tahunan dan hutan rakyat, sehingga mampu menyediakan pakan ternak asal hijauan yang berlimpah. Luas kepemilikan lahan peternak dikecamatan Girimulyo berkisar antara 1.000-10.000 m2, dengan luas lahan yang cukup tinggi tersebut telah menghasilkan pakan ternak yang berlimpah, hal ini dikarenakan lahan pertanian tersebut ditanami tanaman kacangkacangan dan ditumpangi dengan tanaman kolonjono dipematangnya sehingga pakan yang dihasilkan dari limbah pertanian cukup berlimpah. Melihat dari uraian diatas, pakan yang dihasilkan di Kecamatan Girimulyo mampu memenuhi kebutuhan ternak, sehingga untuk perkembangan peternakan cukup baik (Arik, 2005). Dari hasil penelitian, karakteristik peternak menunjukkan bahwa umur rata-rata peternak kambing Peranakan Etawah berkisar 29-70 tahun dengan ratarata 48,78 tahun. Tingkat pendidikan peternak SD 50,99%, SLTP 37,25% SLTA 11,76%. Pekerjaan pokok peternak meliputi petani 74,51%, pedagang 19,61%, pamong desa 3,92%, dan buruh bangunan 1,96%. Pengalaman beternak rata-rata sebesar 25,02 tahun. Rerata jumlah kepemilikan ternak kambing Peranakan Etawah adalah 8 ekor atau 1,18 UT. Hasil analisis ekonomi menunjukkan bahwa rerata biaya
penyusutan kandang yang telah dikeluarkan oleh peternak responden adalah Rp. 157.306,84 atau sebesar 0,90% dari biaya produksi, rerata biaya sewa lahan yang dibayar peternak responden adalah sewa tanah untuk kandang sebesar Rp. 18.451,96 atau sebesar 0,11% dari biaya produksi. Besarnya rerata bunga modal adalah Rp. 598.118,82 atau sebesar 3,44% dari biaya produksi, bunga modal diperoleh dengan mengalikan nilai modal keseluruhan (nilai kandang dan alat) dengan suku bunga Bank yang berlaku di Kecamatan Girimulyo yaitu sebesar 18%. Rerata biaya penyusutan alat Rp. 14.005,96 atau sebesar 0,08% dari biaya produksi. Rerata biaya pakan pada peternakan kambing Peranakan Etawah per tahun sebesar Rp. 3.133.990,20 atau sebesar 18,03% dari biaya produksi. Rerata biaya pembelian bibit sebesar Rp. 9.944.725,49 atau sebesar 57,21%. Rata-rata biaya tenaga kerja Rp. 3.471.762,75 atau 19,97%. Rerata biaya obat-obatan sebesar Rp. 29.549,02 atau sebesar 0,18%. Biaya listrik sebesar Rp. 6.000,00 atau 0,03%. Rerata biaya alat habis pakai satu tahun sebesar Rp. 8.725,49 atau sebesar 0,05%. Besarnya biaya produksi rata-rata sebesar Rp. 17.382.576,29. Besarnya penerimaan peternak responden per tahun adalah Rp. 21.869.019,61. Rerata pendapatan setiap peternak per tahun sebesar Rp. 4.486.433,31. Rerata nilai RCR hasil penelitian ini adalah 1,28 yaitu menunjukkan bahwa usaha peternakan kambing Peranakan Etawah di Kecamatan Girimulyo
menguntungkan. Nilai Rentabilitas hasil penelitian ini sebesar 28,03 %, rerata nilai BEP Rp. 787.822,60
atau sebesar 0,17 Unit Ternak (UT) yang setara dengan 1 ekor kambing dewasa.
Tabel 2. Rata-rata biaya produksi responden peternak kambing Peranakan Etawah per tahun. Macam biaya Biaya tetap a. Penyusutan kandang b. Sewa lahan c. Bunga modal d. Penyusutan alat Sub total Biaya tidak tetap a. Pakan b. Pembelian bibit c. Tenaga kerja d. Alat habis pakai I tahun e. Obat-obatan f. Listrik Sub total Jumlah
Rata-rata/peternak (Rp) Rp. 157.306,84 Rp.18.451,96 Rp. 598.118,82 Rp. 13.945,73 Rp. 787.823,35 Rp. 3.133.990,20 Rp. 9.944.725,49 Rp. 3.471.762,75 Rp. 8.725,49 Rp. 29.549,02 Rp. 6.000.00 Rp. 16.594.752,95 Rp. 17.382.576,29
% 0,90 0,11 3,44 0,08 4,53 18,03 57,21 19,97 0,05 0,18 0,03 95,47 100,00
Sumber : Data primer terolah, 2006. Penerimaan Penerimaan adalah nilai yang dihasilkan suatu cabang produksi usaha yang dinyatakan dengan uang. Penerimaan dari peternakan kambing Peranakan Etawah diperoleh dari keseluruhan penjualan ternak dan penjualan kotoran. Besarnya penerimaan yang diterima oleh peternak responden per tahun rata-rata sebesar Rp. 21.869.019,61.
Dari hasil penjualan ternak dan penjualan kotoran didapat rata-rata per peternak menjual kotoran per tahun sebesar Rp. 680.392,16; penjualan ternak dalam satu tahun sebesar Rp. 6.655.882,35; dan nilai penjualan ternak akhir tahun rata-rata sebesar Rp. 14.532.745,10. Selengkapnya dapat dilihat pada (Tabel. 3).
Tabel 3. Rata-rata penerimaan peternak responden kambing Peranakan Etawah. Macam penerimaan
Rata-rata/peternak
Penjualan ternak Rp. 6.655.882,35 dalam I tahun Nilai ternak akhir tahun Rp. 14.532.745,10 Penjualan kotoran Rp. 680.392,16 Jumlah Rp. 21.869.019,61 Sumber : Data primer terolah, 2006. KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini adalah peternakan kambing Peranakan Etawah di Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulonprogo menguntungkan dan layak untuk dijadikan usaha. DAFTAR PUSTAKA Anonimus, 2005. Buku Statistik Peternakan. Dinas Pertanian dan Kelautan, Kabupaten Sleman Yogyakarta. Arik,
F, 2005. Potensi Pengembangan Ternak Kambing di Kabupaten Kulon Progo. Skripsi, UNWAMA. Yogyakarta.
BPS. 1998. Konsep dan Definisi Operasional. Badan Statistik Pertanian. Jakarta Djanah, D, 1988. Beternak Kambing. Yasaguna. Jakarta. Kusumadewa, Widjeretno, S., Widyanto, 1998. Laporan Feasibility Study
% 30,44 66,45 3,11 100,00 Pengenbangan Sapi Perah Di Daerah Istimewa Yogyakarta, Dinas Peternakan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Murtidjo, BA. 1995. Memelihara Kambing Sebagai Ternak Potong dan Perah, Kanisius, Yogyakarta. Data Pokok Pembangunan , 2003. Pemerintah Kabupaten Kulon Progo dan Exindo. www. Kulon Progo.go.id. Yogyakarta. Riyanto, B. 1981. Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan. Edisi kedua. Yayasan Penerbit Gadjah Mada Yogyakarta. Sarwono, B. 2006. Beternak Kambing Unggul. Penebar Swadaya, Jakarta. Soetrisno, 1982, Pengantar Ekonomi Perusahaan. Edisi I. BPFE UII. Yogyakarta. Soekartawi, 1995. Analisa Usaha Tani. UI. Jakarta.
OPTIMASI PERENDAMAN DALAM LARUTAN CaCl2 TERHADAP SIFAT FISIK DAN TINGKAT KESUKAAN STICK PISANG Agus Slamet * Staf Pengajar Program Studi Teknologi hasil Pertanian Fakultas Agroindustri Universitas Mercu Buana Yogyakarta ABTRACT Banana contents high nutritional, chips and available in every where. Banana was an agriculture commodity which deterorited easily after maturity. The alternative of this problem solution was to utilize banana as raw material for stick production. The problem of banana stick product was soft texture. There fore the objective of this research was to increase the hardness of banana stick through soaking in CaCl2 solution was doe to acceptability and hard banana stick. In this research was done with four variation of CaCl2 concentration for soaking banana, that was 0, 0,5 1, 1,5%. This product of banana stick was analyzed water content, harness, Ca residue and acceptability (colour, taste, texture and all acceptability). The best product of banana stick was analyzed the proximate content. The result of this research showed that treatment of soaking in CaCl2 solution produced banana stick accepted by panelist. Soaking in 1% of CaCl2 solution produced banana stick the texture and Ca residue of banana stick were 3,42 kg/cm2, 174,80 ppm respectively. The chemical content of banana stick including water, fat, protein, ash, carbohydrate (by different) 3,73, 3,76, 5,34, 4,32 and79,05% respectively. Key word: banana stick, soaking and CaCl2 PENDAHULUAN Pisang (Musa paradisiaca) termasuk familia muscaceae, merupakan salah satu tanaman yang dapat tumbuh di setiap tempat baik dataran tinggi maupun dataran rendah. Pisang adalah salah satu buah yang banyak digemari karena selain harganya yang relatif murah, mempunyai rasa yang enak dan mudah diperoleh. Desa Tanjungharjo, Kecamatan Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo khususnya Dusun Tanjung Gunung merupakan
sentra produksi pisang. Desa tersebut merupakan desa binaan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Mercu Buana, Yogyakarta. Pisang yang dibudidayakan antara lain pisang kepok kuning, raja, ambon dan pisang raja bandung. Pisang raja bandung harganya murah jika dijual dalam bentuk pisang segar. Pisang raja bandung di daerah tersebut ada yang diolah menjadi pisang ulir. Cara pengolahan pisang ulir adalah pisang yang telah matang diiris bentuk memanjang, kemudian dipilin
dengan adonan gandum kemudian digoreng. Pengolahan pisang ulir tersebut belum optimal untuk memanfaatkan produksi pisang yang cukup melimpah di Desa Tanjungharjo. Di samping itu pengolahan pisang ulir menggunakan terigu yang dapat menambah biaya produksi apalagi terigu merupakan komoditas import. Untuk itu perlu mencari alternatif pengolahan pisang yang mudah, biaya produksi rendah, bermutu dan disukai konsumen. Stick pisang merupakan produk makanan ringan yang dibuat dengan cara penggorengan buah pisang setelah dilakukan pemotongan berbentuk persegi panjang. Pengolahan pisang menjadi stick pisang masih ada permasalahan yaitu stick yang dihasilkan teksturnya kurang renyah. Menurut Fennema (2000) pemberian garam CaCl2 pada produk pangan dapat memperkeras tektur karena ion kalsium bereaksi dengan asam pektat membentuk garam pektat yang mampu mendukung jaringan dan meningkatkan tekstur produk. Untuk mengatasi permasalahan stick pisang yang kurang renyah dengan cara perendaman dalam larutan CaCl2. Agar dihasilkan stick pisang yang teksturnya renyah diperlukan penelitian untuk menentukan konsentrasi larutan CaCl2 yang tepat Tujuan Umum : menghasilkan stick pisang dengan tekstur yang disukai panelis.Tujuan Khusus : 1. Mengetahui pengaruh perendaman dalam larutan CaCl2 terhadap tekstur dan
tingkat kesukaan stick pisang yang dihasilkan.
2. Menentukan konsentrasi larutan CaCl2 yang tepat, sehingga dihasilkan stick pisang yang disukai oleh panelis. METODE PENELITIAN Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : buah pisang raja bandung yang masak optimal tetapi belum matang, dengan ciri-ciri kulit berwarna hijau tua, tekstur keras, daging buahnya putih kekuningan. Buah pisang diperoleh dari pasar Godean, Sleman, Yogyakarta. Bahan pendukung yang digunakan adalah minyak goreng dan CaCl22H2O teknis. Alat Alat yang digunakan antara lain : pisau, alat penggorengan, alat –alat yang digunakan untuk analisis serta seperangakat alat untuk uji kesukaan. Cara Penelitian Tahap proses pembuatan stick pisang adalah : sortasi, pengupasan, pemotongan, perendaman dalam larutan CaCl2, pencucian, penirisan dan penggorengan. Adapun cara penelitian disajikan pada Gambar 1.
Pisang Raja Bandung
Sortasi Pengupasan Pemotongan Tebal 0,5 cm, panjang 5 cm Perendaman dalam larutan CaCl2 pada konsentrasi 0, 0,5, 1 dan 1,5% Pencucian & Penirisan Penggorengan Suhu 160 oC, 10 detik
Stick pisang
Analisa kadar air, tekstur, residu Ca dan uji kesukaan terhadap: warna, rasa, tekstur dan keseluruhan Gambar 1. Diagram alir penelitian dengan ukuran tebal 0, 5 cm dan Sortasi panjang 5 cm. Potongan pisang kemudian dicuci bersih. Buah pisang raja bandung Perendaman dalam larutan dipilih yang masak optimal, tetapi CaCl2. belum matang, tidak cacat dan berukuran panjang ± 25 cm diameter ± 5 cm. Potongan pisang direndam dalam larutan CaCl2 dengan Pengupasan dan variasi konsentrasi yang digunakan pemotongan 0, 0,5, 1 dan 1,5%. Buah pisang dikupas kulitnya kemudian dilakukan pemotongan
Pencucian dan penirisan Rancangan Percobaan Potongan pisang setelah direndam kemudian dilakukan pencucian. Potongan pisang setelah dicuci kemudian dilakukan penirisan dengan tujuan untuk mengurangi air yang menempel pada bahan. Penggorengan Potongan pisang digoreng pada suhu 160 oC, selama 10 detik. Tujuan penggorengan untuk mematangkan bahan. Analisis Analisa pada bahan dasar adalah : kadar air metode pemanasan (AOAC, 1970). Analisis pada stick pisang : kadar air metode pemanasan (AOAC, 1970), residu Ca metode Atomic Absorbsion Spectrofotometer, Uji tekstur menggunakan Hardness texture, uji tingkat kesukaan dengan metode hedonic test (Kartika, dkk, 1988). Parameter kesukaan meliputi : warna, rasa, tekstur dan keseluruhan dan analisis proksimat pada stick pisang yang disukai berdasarkan hasil uji kesukaan. Tempat Penelitian Penelitian akan dilaksanakan di laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Universitas Mercu Buana, Yogyakarta .
Rancangan percobaan yang digunakan rancangan acak lengkap dengan faktor tunggal yaituperendaman dalam larutan CaCl2 dengan konsentrasi 0 %, 0,5%, 1% dan 1,5% dengan dua kali ulangan sampel dan dua kali ulangan analisis. Data hasil analisis diuji secara statistik dengan sidik ragam pada tingkat signifikansi 5%. Jika ada perbedaan nyata antar perlakuan dilakukan uji Duncans Multiple Range Test (DMRT) pada tingkat signifikansi 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Air Bahan Dasar Kadar air pisang segar sebesar 65,54 % wb. Menurut Anonim (1981) kadar air pisang segar adalah sebesar 80,3 %. Kadar air pisang yang tinggi dapat mempengaruhi kadar air produk olahan yang dihasilkan. Apabila bahan dasar kadar airnya rendah, maka produk olahan yang digoreng kadar airnya akan lebih rendah dibandingkan dengan bahan yang kadar airnya lebih tinggi.
Kadar Air Stick Pisang Kadar air stick pisang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kadar air stick pisang * Konsentrasi CaCl2 (%) Kadar air (%) 0 4.63 a 0,5 4,21 b 1 3,73 c 1,5 3,23 d Keterangan : * rerata dari dua ulangan sampel dan 2 ulangan analisis ** Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada tingkat signifikansi 5% Berdasarkan hasil analisis kadar air stick pisang pada perendaman dalam larutan CaCl2 mempunyai kadar air yang paling rendah. Hal ini disebabkan karena
adanya pengikatan ion Ca dengan pektin akan mengurangi potensi pengikatan air oleh pektin, sehingga air bebas dalam bahan semakin banyak yang menguap.
Tingkat Kekerasan Stick Pisang Tingkat Kekerasan stick pisang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Tingkat kekerasan stick pisang * Konsentrasi CaCl2 (%) Kadar air (%) 0 2,32 d 0,5 2,77 c 1 3,42 b 1,5 3,95 a Keterangan : * rerata dari dua ulangan sampel dan 2 ulangan analisis ** Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada tingkat signifikansi 5% Hasil uji statistik diketahui bahwa perendaman dalam larutan CaCl2 dengan konsentrasi 0%. 0,5%, 1% dan 1,5% memberikan pengaruh terhadap tekstur yang berbeda nyata. Semakin besar konsentrasi CaCl2 maka semakin besar pula tingkat kekerasan stick pisang yang dihasilkan. Gaya yang diperlukan untuk menghancurkan stick pisang yang semakin besar
menunjukkan bahwa stick pisang semakin keras. Apabila gaya yang diperlukan kecil, maka stick pisang tersebut tekturnya kurang keras. Tabel 2 menunjukkan bahwa stick pisang yang direndam dalam larutan CaCl2 1,5% mempunyai tingkat kekerasan yang paling besar. Dengan demikian stick pisang tersebut mempunyai tekstur yang paling keras.
Hal tersebut didukung oleh kadar air stick pisang yang rendah yaitu sebesar 3,23%. Semakin rendah kadar air stick pisang, maka terturnya akan semakin keras (renyah). Ion CaCl2 yang berada dalam bahan akan mempertahankan tekstur bahan karena ion Ca akan berikatan dengan pektin membentuk Capektat yang tidak larut dalam air. Eskin (1979) menyatakan garam kalsium memperkuat jaringan tanaman. Pengaruh ini muncul karena pembentukkan kalsium pektat yang tidak larut dalam air. Terjadi ikatan silang antara ion Ca++ dengan rantai asam pektat melalui perpindahan ion dengan
karboksil bebas. Prasetyo (2003) melaporkan bahwa perendaman irisan salak pada larutan CaCl2 1,5 % juga menghasilkan coctail salak yang teksturnya kokoh.
Residu Ca Residu Ca stick pisang disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Residu Ca stick pisang * Konsentrasi CaCl2 (%) Kadar air (%) 0 - *** 0,5 126,96 c 1 174,80 b 1,5 247,02 a Keterangan : * rerata dari dua ulangan sampel dan 2 ulangan analisis ** residu Ca tidak terdeteksi *** Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada tingkat signifikansi 5% Tabel 3 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan CaCl2 yang digunakan untuk merendam irisan pisang, maka residu Ca pada stick pisang semakin besar. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi konsentrasi CaCl2 berarti semakin banyak ino Ca yang tersedia dalam larutan perendaman, sehingga semakin banyak kemungkinan untuk terserap masuk ke dalam stick pisang. Ion Ca berikatan dengan pektin membentuk garam kalsium pektat yang bersifat tidak larut dalam air akan mengikat jaringan
antar sel dan tidak ikut menguap dengan air pada saat proses penggorengan. Residu Ca pada stick pisang pada konsentrasi CaCl2 1,5% sebesar 247,02 ppm. Menurut Anonim (1992) batas penggunaan kalsium klorida pada bahan pangan sebesar 450 mg/kg bahan. Stick pisang yang dihasilkan memenuhi syarat tersebut. Menurut Susetyo (1994) batas maksimal konsentrasi larutan CaCl2 adalah 2%, karena apabila lebih dari konsentrasi tersebut memberikan rasa pahit pada irisan buah carica.
Menurut Anonim (1983) klorida termasuk zat yang tidak berbahaya kesehatan, akan tetapi tidak dikehendaki apabila melewati
batas. Buah yang dikalengkan batas maksimal penggunaan Ca adalah 350 mg/kg bahan.
Tingkat Kesukaan Tingkat kesukaan stick pisang disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Tingkat kesukaan stick pisang Konsentrasi Parameter CaCl2 (%) Warna Rasa Tekstur Keseluruhan 0 3,93 b 4,40 b 4,40 c 4,26 b 0,5 5,26 a 4,06 b 4,60 bc 4,33 b 1 5,93 a 5,96 a 5,53 ab 5,86 a 1,5 5,46 a 5,66 a 5,73 a 5,73 a Keterangan : * Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf signifikansi 5% ** Semakin besar angka menunjukkan semakin disukai. Warna perlakuan tersebut menghasilkan stick pisang yang tingkat Berdasarkan Tabel 4 kesukaannya tidak berbeda nyata. menunjukkan bahwa stick pisang Stick pisang yang dihasilkan tanpa dengan perlakuan perendaman perlakuan perendaman dalam dalam larutan CaCl2 warnanya larutan CaCl2 dan dengan lebih disukai daripada stick pisang perendaman pada konsentrasi tanpa perlakuan perendamam CaCl2 0,5% rasanya kurang dalam larutan CaCl2. hal ini disukai oleh panelis. Hal ini disebabkan karena stick pisang disebabkan karena rasa asin dari garam yang kurang, sehingga stick yang tanpa perlakuan perendaman dalam larutan CaCl2 mengalami pisang terasa hambar. pencoklatan, sehingga stick pisang Tekstur Berdasarkan Tabel warnanya kurang cerah. 4 menunjukkan bahwa kesukaan Penghambatan reaksi terhadap tekstur pada stick pisang pencoklatan terjadi karena reaksi yang dihasilkan dengan perlakuan antara ion Ca dengan asam amino, perendaman dalam larutan CaCl2 1 maka reaksi asam amino dengan % dan 1,5 %. Kedua perlakuan gula reduksi yang mengakibatkan tersebut menunjukkan tidak ada pencoklatan terhambat (Tranggono perbedaan yang nyata. Tekstur stick pisang yang dihasilkan tanpa dan Sutardi, 1990). perendaman dalam larutan CaCl2 Rasa dan dengan perendaman CaCl2 0,5 Tabel 4 menunjukkan % kurang disukai panelis. Hal ini bahwa rasa stick pisang yang disebabkan karena tekstur stick disukai dihasilkan dengan pisang kurang keras (renyah). perlakuan perendaman dalam larutan CaCl2 1% dan 1,5%. Pada
Keseluruhan Berdasarkan Tabel 4 menujukkan bahwa kesukaan keseluruhan stick pisang yang dihasilkan dengan perlakuan perendaman dalam larutan CaCl2 1% dan 1,5 % adalah yang paling disukai panelis. Perlakuan perendaman CaCl2 dengan konsentrasi 1 % dan 1,5 % menghasilkan tingkat kesukaan keseluruhan yang sama. Stick pisang yang dihasilkan tanpa perlakuan perendaman dalam larutan CaCl2 dan dengan perendaman CaCl2 0,5 % keduanya tidak berbeda nyata secara statistik yang menunjukkan kurang disukai panelis. Stick pisang yang terbaik adalah dengan perlakuan perendaman dalam
Berdasarkan Tabel 5 menunjukkan bahwa stick pisang yang paling disukai panelis yaitu dengan perlakuan perendaman dalam larutan CaCl2 1 % dengan komposisi kimia air 3,73 %, lemak 3,76 %, protein 5,34 %, abu 4,32% dan karbohidrat by different 79,05 %.
larutan CaCl2 dengan konsentrasi 1 %. Komposisi Kimia Stick Pisang yang Disukai Komposisi kimia stick pisang yang disukai panelis disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Komposisi kimia stick pisang Komponen Kadar (%) Air 3,73 Lemak 7,56 Protein 5,34 Abu 4,32 Karbohidrat by 79,05 different
residu Ca 174,80 ppm. Komposisi kimia stick pisang tersebut adalah kadar air 3,73%, lemak 3,76%, protein 5,34%, abu 4,32% dan karbohidrat by different 79,05%. Saran
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Perendaman dalam larutan CaCl2 menghasilkan stick pisang yang keras (renyah) dan disukai oleh panelis 2. Perendaman dalam larutan CaCl2 dengan konsentrasi 1% menghasilkan stick pisang yang paling disukai. Stick pisang tersebut teksturnya 3,42 kg/m2
Stick pisang tersebut perlu diteliti sifat kritis dan titik kritisnya untuk menentukan umur simpannya.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1981. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Anonim, 1983. Kumpulan Peraturan PerundangUndangan di Bidang Makanan dan Minuman. Departemen Kesehatan Republik Indonesai. Jakarta. Anonim, 1992. Kumpulan Perundang-undangan tentang Bahan Tambahan Makanan. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. AOAC, 1970. Official Method of Analysis Association Official Analytical Chemist. Washington. Bourne, M.C., 1982. Food Texture and Viscosity ; Concept and Measurement. Academic Press. New York. Eskin, N.A.M., Anderson, H.M., and Town, R.J., 1979. Biochemistry of Food. Academic Press. New York. Fennema, O.R., 2000. Principle of Food Chemistry. Marcel Dekker Inc. New York.
Kartika, B., Hastuti, P., dan Supartono W., 1987. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. Pusat Antar Univesitas. Pangan dan Gizi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Prasetyo, Y., 2003. Pengaruh Konsentrasi Larutan NaCl dan perendaman dalam Larutan CaCl2 Terhadap Kadar Tannin, Tekstur dan Tingkat Kesukaan Coctail Salak Varietas Salacca. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Wangsa Manggala. Yogyakarta. Susetyo, D. 1994. Studi Tekstur Buah Carica (Carica candamarcensis) dengan Penambahan Larutan CaCl2. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tranggono dan Sutardi, 1990. Biokimia dan Teknologi Pasca Panen. Pusat Antar Univesitas. Pangan dan Gizi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
PENAMBAHAN NATRIUM TRIPOLIFOSFAT DAN CMC (CARBOXY METHYL CELLULOSE) PADA PEMBUATAN KARAK Astuti Setyowati Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Agroindustri, Universitas Mercu Buana Yogyakarta ABSTRACT Karak is a local crispy snack made of cooked rice as the main component and traditionally bleng as an additive that function as thickening agent. However, bleng contains borax, an element which is harmful for human health. This research was important to substitute the role of bleng as a thickening agent. The objectives of this research were to evaluate the effect of carboxy methyl cellulose (CMC) and sodium tripolyphosphate (STTP) addition on physical and organoleptic characteristics of fried karak and to determine concentration and type of thickening agent that resulted acceptable product. The results showed that fried karak with 0.75 and 1 % CMC or 0.7 and 0.9 % STTP had volume expansion and relative hygroscopicity similar to the traditional one. However, if CMC or STTP was added at 0.5 %, less expansion was obtained due to higher relative higroscopicity. Organoleptic test to color, taste, and crispiness of karak was not significanly. The fried karak that processed using STTP 0.7 or 0.9% produced acceptable product. ______________________________________________________________ ____ Key-words : Sodium Tripolyphosphate, Carboxy Methyl Cellulose, Karak and Bleng
PENDAHULUAN Karak merupakan produk kering dari proses penggorengan, berbentuk lempengan tipis, bulat atau persegi panjang, yang terbuat dari bahan dasar beras dengan berbagai cita rasa tergantung bumbu-bumbu yang ditambahkan. Pada umumnya harganya murah, mudah diperoleh dan disukai masyarakat khususnya di Pulau Jawa. Biasanya karak diproduksi secara tradisional sebagai industri rumah tangga. Dewasa ini sekitar 55 persen bahan pangan yang dikonsumsi masyarakat merupakan
bahan olahan. Dalam usaha mempertahankan mutu dan nilai gizi bahan olahan, masyarakat banyak melibatkan penggunaan bahan tambahan pangan. Bahan tambahan pangan yang digunakan oleh industri pangan dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu bahan tambahan alami dan bahan tambahan sintetis (Aggrahini, 1994). Menurut Keputusan Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia No : HK.00/05.1.2569 bahan tambahan pangan dapat didefinisikan sebagai zat yang tidak bergizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam
pangan dalam jumlah sedikit dengan tujuan untuk memperbaiki penampilan, rasa dan aroma, tekstur atau sebagai bahan pengawet (Anonim, 2004). Penggunaan bahan tambahan pangan dalam industri pangan semakin luas dan meningkat. Banyak industri kecil, karena pendidikan dan pengetahuannya yang kurang, menggunakan bahan tambahan pangan yang tidak diijinkan oleh Departemen Kesehatan RI atau yang dapat mengganggu kesehatan. Misalnya dalam proses pembuatan karak, masyarakat menggunakan bahan tambahan pangan yang berupa bleng padatan. Bahan tambahan tersebut digunakan untuk memperbaiki tekstur (kenyal) adonan karak (gendar), sehingga mudah pengirisannya, awet, setelah digoreng mengembang, empuk, teksturnya bagus dan renyah (Syukur, 2006). Menurut Renawati dalam Mahdar (1990) bleng padatan mengandung boraks 12 %, garam dapur 60 %, natrium karbonat 28 % dan mineral 0,4 % sebagai besi dan kalsium. Oleh karena bleng padatan mengandung boraks, maka dapat mengganggu kesehatan apabila dikonsumsi. Menurut Megawati dalam Anonim (2006) boraks disebut juga natrium biborat, natrium piroborat, natrium tetraborat. Sifat boraks berwarna putih dan sedikit larut dalam air. Jika sering mengkonsumsi pangan berboraks akan menyebabkan gangguan otak, hati, lemak dan ginjal. Dalam jumlah banyak boraks menyebabkan demam, anuria (tidak terbentuknya urin),
koma, merangsang sistem saraf pusat, menimbulkan depresi, apatis, sianosis, tekanan darah turun, kerusakan ginjal, pingsan, bahkan kematian. Melalui Peraturan Permenkes No. 722/Menkes/Per/IX/88 penggunaan boraks sebagai bahan tambahan pangan dilarang, namun penggunaan bleng padatan masih banyak digunakan antara lain untuk mendapatkan tekstur adonan karak yang kenyal. Oleh karena itu dilakukan penelitian penggunaan bahan tambahan pangan yang lain sebagai pengganti bleng padatan pada pembuatan karak, yaitu CMC (Carboxy Methyl Cellulose) atau karboksi metil selulosa dan STTP (Sodium Tripolyphosphate) atau natrium tripolifosfat yang tidak mengganggu kesehatan. CMC dan STTP merupakan bahan tambahan pangan yang dapat meningkatkan pengikatan air oleh pati. CMC dapat meningkatkan daya serap air dan memperbaiki tekstur adonan yang kadar glutennya rendah, sedangkan fungsi umum bentuk fosfat dalam makanan antara lain meningkatkan daya ikat air dan hidrasi, pencegahan pengerasan dan sebagai pengawet makanan. Selain itu orthofosfat yang merupakan hasil hidrolisis polifosfat pada suhu tinggi dapat meningkatkan viskositas pasta dan ketahanan terhadap kerusakan akibat kejutan panas, pemotongan atau keasaman (Bell, 1947 dalam Krigsman, 1985). CMC dapat berfungsi untuk merubah viskositas dan menahan air (Anonim, 2010), demikian pula STPP dapat menyerap, mengikat dan menahan air, meningkatkan water holding
capacity dan keempukan (Thomas, 1997 dalam Anonim, 2009) ; (Anonim, 2010). Diharapkan penggunaan CMC atau STTP dapat menghasilkan karak goreng dengan sifat fisik dan sensoris yang disukai panelis. Selain itu dapat diketahui konsentrasi CMC dan STTP yang dapat menghasilkan karak yang sifatsifatnya tidak berbeda dengan karak yang dibuat dengan bahan tambahan bleng. METODOLOGI Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah beras IR 64 yang dibeli di toko beras Delanggu Condong Catur Yogyakarta, sedangkan bahan tambahan pangan yang digunakan adalah bleng padatan merk Djago, garam beriodium merk Ndang-dut dan vetsin merk Ajinomoto dibeli ditoko Murni Condong Catur Yogyakarta. CMC dan STTP dibeli di toko Tekun Jaya Yogyakarta. Bahan-bahan kimia untuk analisis dengan kualifikasi pro analysis dari Merck diperoleh dari Laboratorium Kimia Biokimia FTP UGM Yogyakarta. Alat yang digunakan dandang, kompor, baskom, pengering buatan, gilingan daging, desikator, neraca analitik sartorius BL 2105, botol timbang, oven Memmert typ : ULM 500, higrometer haar-synth hygro, loyang, slicer, almari es, pH meter Schott dan alat-alat gelas pyrex untuk analisis.
Jalannya Penelitian Beras sebanyak 0,5 kg (satu perlakuan) dicuci dengan air masing-masing 500 ml sebanyak 3 kali, kemudian dicampur dengan bahan tambahan pangan sebagai perlakuan dengan variasi : air (sebagai kontrol) ; larutan bleng 1 % ; CMC 0,5 % ; 0,75 % ; 1,00 % atau STTP 0,5 % ; 0,7 % ; 0,9 %) sebanyak 750 ml. Selanjutnya dimasak selama 10 menit dan dikukus selama 1 jam, kemudian digiling dengan gilingan daging 1 kali. Hasil gilingan ditampung pada loyang, dibiarkan dingin selama 7 jam. Setelah itu dimasukkan dalam almari es suhu 15 0C selama 24 jam. Selanjutnya diiris dengan slicer setebal 1,5 mm, dikeringkan dalam pengering buatan suhu 50 0 C selama 5 jam sehingga didapatkan karak mentah kemudian digoreng suhu 210 0C selama 10 detik. Beras IR 64 yang digunakan dianalisis kadar air (AOAC, 1970 dalam Sudarmadji dkk. 1984), protein total dan protein terlarut dengan cara mikro Kjeldahl (AOAC, 1979), pati metode Nelson-Somogyi (Sudarmadji dkk., 1984), amilosa (Juliano, 1971). Karak goreng dianalisis kadar air (AOAC, 1970 dalam Sudarmadji dkk., 1984), volume pengembangan (Haryadi, 1990), higroskopisitas (Haryadi, 1990) dan tingkat kesukaan panelis (hedonic scale test) meliputi warna, rasa, kerenyahan dan kesukaan keseluruhan (Kartika dkk., 1988) Rancangan percobaan yang digunakan dalam percobaan ini adalah Rancangan Acak blok
Lengkap. Percobaan dilaksanakan dua kali ulangan dengan satu faktor yang terdiri dari delapan variabel yaitu jenis bahan tambahan pangan meliputi: air (kontrol), larutan bleng 1 %, CMC dengan konsentrasi 0,5 ; 0,75 ; 1 % dan STPP dengan konsentrasi 0,5 ; 0,7 ; 0,9 %. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis varian dan dilanjutkan dengan uji Duncan,s Multiple Range Test
untuk mengetahui perlakuan yang saling berbeda. HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Kimia Beras IR 64 Hasil analisis kadar air, pati, amilosa, protein total dan protein terlarut beras IR 64 disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kadar air, pati, amilosa, protein total dan protein terlarut beras IR 64 Komponen Persentase % bb % bk Air 12,87 Pati 77,82 89,32 Amilosa 30,93 35,50 Protein total 8,79 10,09 Protein terlarut 0,21 0,24 Keterangan : Rerata dari 2 ulangan analisis
Menurut Inglett (1979) kadar pati beras giling adalah 90 % bk, hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian (Tabel 1). Juliano (1979) melaporkan bahwa beras giling golongan amilosa tinggi mempunyai kadar amilosa sebesar 25 – 33 %, sedangkan Gardjito dan Hastuti (1987/1988) melaporkan bahwa beras non waxy rice biasanya mengandung amilosa 8 – 37 %. Dengan demikian beras IR 64 yang digunakan dalam penelitian ini termasuk beras golongan amilosa tinggi (30,93 % bb) dan non waxy rice.
Sifat Fisik Karak Goreng Sifat fisik karak goreng yang meliputi kadar air, volume pengembangan dan higroskopisitas (kecepatan penyerapan air) dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 1.
Tabel 2. Kadar air (% bb) dan volume pengembangan(%) karak goreng Bahan baku Bahan tambahan Air Volume pangan pengembangan Beras Air 4,37 b 83,5 a Bleng 1,0 % 5,65 c 86,6 c CMC 0,50 % 3,68 ab 83,4 a 0,75 % 4,22 b 86,5 c 1,00 % 3,68 ab 86,7 c STPP 0,5 % 3,78 ab 84,3 ab 0,7 % 3,32 a 85,9 c 0,9 % 3,34 a 85,5 bc Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada tingkat signifikansi 5 %.
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa kadar air karak goreng pada masing-masing perlakuan berbeda sangat nyata. Hal ini kemungkinan adanya perbedaan jumlah air yang dapat diuapkan pada saat penggorengan. Sifat CMC salah satunya adalah dapat meningkatkan daya serap air oleh pati (Furia, 1968) dan menahan air (Anonim, 2010), demikian juga STPP dapat mengikat air (Ellinger, 1972) dan menahan air (Anonim, 2010) sehingga pada saat proses gelatinisasi diperkirakan jumlah air yang dapat terperangkap lebih besar dibanding pada adonan karak yang mengandung bahan tambahan bleng. Dengan lebih besarnya jumlah air yang terperangkap memungkinkan struktur tiga dimensi penyusun gel lebih besar, sehingga luas permukaannya juga lebih besar. Pada saat penggorengan, dengan keadaan luas permukaan lebih besar kemungkinan jumlah air yang menguap juga lebih besar,
sehingga kadar air karak goreng menjadi lebih kecil. Volume pengembangan karak goreng sangat dipengaruhi jenis bahan tambahan pangan yang digunakan (Tabel 2). Volume pengembangan dipengaruhi oleh struktur gel yang terbentuk pada saat pemasakan sehingga sejumlah air terperangkap dalam struktur tiga dimensi penyusunan gel (Fennema, 1976 dalam Haryadi, 1989). Pada saat penggorengan karena suhu yang tinggi air menguap dan uap mengembang menekan kerangka yang menyelubunginya. Pada gel pati ikatannya bersifat lemah (ikatan hidrogen) sehingga tidak mampu menahan pengembangan uap akibatnya ikatan mengembang dan terputus. Volume pengembangan perlakuan dengan bleng, CMC 0,75 dan 1,00 %, STPP 0,7 dan 0,9 % lebih besar dibanding perlakuan dengan air, CMC 0,5 % dan STPP 0,5 %. Hal tersebut kemungkinan disebabkan perbedaan jumlah air yang terserap dalam adonan karak
akibat perbedaan bahan tambahan pangan yang digunakan. Menurut Jumini (1989), pada saat bahan digoreng, air dalam bahan akan mendesak kerangka yang menyelubunginya sehingga bahan mengembang dan membentuk rongga udara di dalamnya. Berdasarkan hasil pengamatan, karak goreng yang disimpan selama 20 jam, pada jam ke 4 sudah menunjukkan penambahan berat hampir 6 % terutama untuk karak goreng dari penambahan bahan tambahan pangan CMC 1 %. Menurut Haryadi (1990) penambahan berat kerupuk hingga 6 %, sudah terasa kerenyahannya berkurang menjadi
agak liat. Haryadi (1990) juga menyatakan bahwa penambahan berat sampai 9 % kerupuk sudah benar-benar melempem. Pada penelitian ini karak goreng yang mencapai penambahan berat 9 % adalah yang dibuat dengan penambahan CMC 0,5 % dan STPP 0,5 % pada penyimpanan sampai jam ke 18. Yang lainnya penyimpanan sampai jam ke 20 belum mencapai penambahan berat 9 5. Kecepatan terjadinya keseimbangan penyerapan air tergantung temperatur, luas permukaan dan komposisi kimia bahan (Labuza, 1984).
Gambar 1. Kecepatan penyerapan air selama penyimpanan
Luas permukaan berkaitan dengan volume pngembangan, semakin tinggi volume pengembangan, permukaan menjadi luas sehingga rongga udara semakin banyak, akibatnya jumlah air yang diserap juga lebih banyak. Dengan demikian higroskopisitasnya tinggi (Murdawati, 1995). Namun hasil penelitian ini adalah sebaliknya, karak goreng yang volume pengembangannya lebih tinggi higroskopisitasnya lebih tinggi. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena makin besar volume pengembangannya kemungkinan minyak yang terserap juga lebih besar. Menurut Jumini (1989), makin besar dan makin banyak rongga yang terbentuk, maka makin besar pula jumlah minyak yang menempatinya. Jumlah minyak yang lebih banyak dapat membentuk lapisan di luar permukaan kerupuk yang bersifat hidrofobik, sehingga menghambat penyerapan air dari lingkungannya. Pada Gambar 1, nampak bahwa kecepatan penyerapan air pada semua perlakuan penambahan bahan tambahan pangan relatif cepat pada jam ke 2 dan ke 4, kemudian pada jam berikutnya relatif lambat sampai jam ke 20. Hal tersebut disebabkan sesudah jam ke 4 kadar air karak goreng sudah mendekati keseimbangan dengan kelembaban udara di sekelilingnya, sehingga penyerapannya relatif lebih lambat.
Tingkat kesukaan karak goreng Hasil uji kesukaan karak goreng dengan variasi jenis bahan tambahan pangan disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3, jenis bahan tambahan pangan tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap warna, rasa dan kerenyahan karak goreng. Hal ini disebabkan jenis bahan tambahan pangan tidak merubah kadar protein karak sehingga saat penggorengan tidak menyebabkan perbedaan warna coklat akibat reaksi Maillard. Demikian juga jenis bahan tambahan pangan juga tidak merubah rasa sehingga rasa karak goreng hampir sama dan pada tingkat agak disukai karena kurang garam atau bumbu-bumbu yang lain.
Tabel 3. Tingkat kesukaan karak goreng dengan variasi jenis bahan tambahan pangan Bahan Baku
Bahan Warna Rasa Kerenyahan Kesukaan tambahan keseluruhan pangan Beras Air 4,5 ab 4,6 5,1 4,7 ab Bleng 1,0 5,2 b 4,9 5,3 5,1 b % 4,4 ab 4,1 4,9 4,4 ab CMC 0,50 4,2 a 4,6 4,6 4,5 ab % 4,5 ab 4,4 4,5 4,1 a 0,75 4,7 ab 4,4 4,7 4,3 ab % 4,6 ab 4,9 5,4 5,2 b 1,00 5,1 ab 4,9 4,9 5,1 b % STPP 0,5 % 0,7 % 0,9 % Keterangan : - Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada tingkat signifikansi 5 %. - Makin besar angka makin disukai Volume pengembangan karak goreng yang dipengaruhi jenis bahan tambahan pangan (Tabel 2) belum dapat memberikan perbedaan kerenyahannya, namun mempengaruhi tingkat kesukaan secara keseluruhan. Hal tersebut nampak bahwa yang mempunyai tingkat keseluruhan agak suka volume pengembangannya tinggi yaitu dari perlakuan bleng 1 %, STPP 0,7 % dan 0,9 %. KESIMPULAN Karak goreng yang dihasilkan dari adonan yang ditambah bahan tambahan pangan CMC 0,75 % ; 1,00 % dan STPP 0,7 % ; 0,9 % mempunyai volume pengembangan dan higroskopisitas relatif sama dengan
yang ditambah bleng. Penyerapan air relatif cepat pada penyimpanan jam ke 2 dan ke 4 pada semua perlakuan penambahan bahan tambahan pangan. Selanjutnya pada jam berikutnya sampai jam ke 20, kecepatan penyerapan airnya relatif lambat. Tingkat kesukaan warna, rasa dan kerenyahan karak goreng pada semua perlakuan jenis bahan tambahan pangan tidak menunjukkan perbedaan. Tingkat kesukaan secara keseluruhan karak goreng dengan penambahan STPP 0,7 % dan 0,9 % tidak berbeda dengan yang ditambah bleng.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2004. Kriteria dan Tata Laksana Penilaian Produk Pangan. Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia. Anonim, 2006. Bahaya Formalin dan Boraks. http://kompas.com/keseha tan/news/0601/12/173411 htm. Diakses 2 Februari 2010. Anonim, 2009. STPP Pengganti Bleng atau Boraks. http://terminalcurhat.blogs pot.com/2009/03sttppengg anti-boraks-bleng-padakrupuk.html. Diakses 10 Maret 2010. Anonim,
Anonim,
2010. Carboxymethyl Cellulose. http:en.wikipedia.org/wiki/ Carboxymethylcellulose. Diakses 10 Maret 2010. 2010. Sodium triphosphate. http://en.wikipedia.org/wiki /Sodiumtriphosphate. diakses 10 Maret 2010.
Anggrahini,S., 1994. Hati-hati Boraks dan Arsen dalam Makanan Kita. Kedaulatan Rakyat 6 September 1994. AOAC, 1979. Official Analysis Assosiation Analytical Assosiation
Methods of of The of Official Chemist. of Official
Analytical Chemist. Washington D.C. Ellinger, R.H., 1972. Phosphate in Food Processing. In CRC Handbook of Food Science. Vol II. The Macmillan Company Collier-Macmillan Limited. London. Furia, T.E., 1968. Handbook of Food Additives. The Chemical Rubber Co. Ohio. Gardjito,
M. dan Hastuti P., 1987/1988. Teknologi Pengolahan Serealia. PAU Pangan dan Gizi. UGM Yogyakarta.
Haryadi,
1989. Usaha pengembangan Pembuatan Emping Melinjo Giling. Lembaga Penelitian UGM. Yogyakarta.
Haryadi, 1990. Pengaruh Kadar Amilosa Beberapa Jenis Pati terhadap Pengembangan, Higroskopisitas dan Sifat Inderawi Kerupuk. Lembaga Penelitian UGM. Yogyakarta. Inglett, G.E., 1979. Maize. Recent Progress in Chemistry and Technology. Academic Press. New York. Juliano, B.O., 1971. A Simplified Assay for Milled Rice Amylose. Cereal Science. Inc. Westport. Connecticut. Vol. 16.
Juliano, B.O., 1979. The Chemical Basis of Rice Grain Quality. In Proceedings of Workshop Chemical Aspects of Rice Grain Quality. IRRI. Los Banos. Philippines. Jumini,
Kartika,
1989. Pengaruh Penggunaan Berbagai Jenis Pati sebagai Bahan Dasar dan Lama Pengeringan terhadap Sifat-sifat Kerupuk dan Penambahan Kandungan Minyaknya. FTP UGM Yogyakarta. B., Hastuti, P. dan Supartono, W., 1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi. UGM Yogyakarta.
Krigsman, J.G., 1985. Phosphates in Food Processing. Food Technol. In Australia. Vol. 37. No. 9. Labuza,
T.P., 1984. Moisture Sorption : Practical Aspects of Isotherm Measurement and Use.
American Association of Cereal Chemists. St. Paul Minnesota. Mahdar,
D., 1990. Pembuatan Bleng Cair. Laporan Kunjungan ke Kabupaten Purwodadi dan Kodya Solo. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Hasil Pertanian.
Murdawati, C.J., 1995. Pengaruh Lama Perebusan dan Penambahan Natrium Bikarbonat pada Pembuatan Emping Melinjo. Skripsi. FTP Universitas Wangsa Manggala Yogyakarta. Sudarmadji, S., Haryono, B. dan Suhardi, 1984. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Edisi 3. Liberty. Yogyakarta. Syukur, D.A., 2006. Bahaya Formalin dan Boraks. http://disnakkeswanlampun g.go.id. Diakses 2 Februari 2010.
VITAMIN C RETENTION AND ACCEPTABILITY OF ORANGE (Citrus nobilis var. microcarpa) JUICE DURING STORAGE IN REFRIGERATOR Chatarina Wariyah Department of Food Technology, Agroindustry Faculty Mercu Buana University, Yogyakarta Abstract The objectives of this research were to evaluate vitamin C retention and acceptability of orange juice of Siam variety during storage in refrigerator. This research used two variation of oranges i.e. small size orange with diameter 4.3-4.7 cm and big size with diameter 5.5 – 6.3 cm. Each sample was extracted with juice extractor, and the extract was stored in refrigerator at temperature 5oC during 6 days. Moisture content was analyzed gravimetrically and vitamin C was with titration method. The sensory properties (appearence, odor, taste and flavor) were determined with hedonic test. The research showed that vitamin C retention and acceptability of orange juice could be hold out during storage in refrigerator. Vitamin C content of orange juice of small and big size were decrease significantly at two days storage, while the acceptability could be maintain until three days storage, especially in juice of small size orange. ______________________________________________________________ ____ Key words : orange juice, vitamin C retention, acceptability. Pendahuluan Jeruk Siam (Citrus nobilis var. microcarpa) merupakan sumber vitamin C yang sangat potensial. Kandungan vitamin C buah jeruk Siam berkisar antara 20-60 mg/100 ml sari buah (Anonim, 2009). Buah jeruk sebagai sumber vitamin C, manfaatnya sangat besar terhadap kesehatan. Vitamin C berperan sebagai zat antioksidan yang dapat menetralkan radikal bebas hasil oksidasi lemak, sehingga dapat mencegah beberapa penyakit seperti kanker, jantung dan penuaan dini. Namun vitamin sangat mudah mengalami oksidasi, sehingga dapat hilang atau berkurang selama proses pengolahan maupun penyimpanan.
Kecepatan degradasi vitamin C sangat tergantung kondisi penyimpanannya. Menurut Faramade (2007), degradasi vitamin pada sari buah jeruk sangat dipengaruhi oleh suhu penyimpanan, pada suhu 7oC kecepatan degradasi lebih kecil dibandingkan pada suhu 28oC. Sedangkan menurut Helmiyesi et al. (2008), penyimpanan buah jeruk selama 15 hari akan menurunkan kadar vitamin C dari 18,90 mg/110 g menjadi 17,18 mg/100 g. Selain kandungan vitamin C, jeruk juga mengandung komponen gula sebesar 4,93 – 7,57 g, yang terdiri dari glukosa 1,02 -1,24 g; fruktosa 1,49 – 1,58 g; sukrosa 2,19 – 4,90 g serta asam malat 0,18 – 0,21 g dan
asam sitrat 0,80 – 1,22 g per 100 ml sari buah. Senyawa-senyawa tersebut sangat menentukan citarasa sari buah jeruk berdasarkan nilai imbangan gula asamnya. Apabila terjadi perubahan imbangan gula–asam, maka citarasa sari buah jeruk akan mengalami perubahan juga. Selama penyimpanan kadar gula sari buah jeruk akan mengalami penurunan yang dapat meningkatkan keasaman sari buah jeruk, sehingga menurunkan citarasa sari buah jeruk (Helmiyesi et al., 2008). Namun Sauza et al. (2004) menyatakan bahwa penyimpanan sari buah jeruk pada suhu refrigerator dapat menekan perubahan citarasa maupun degradasi vitamin C serta komponen lain dalam sari buah jeruk. Pada penyimpanan selama 72 jam pada suhu antara 4 -12 oC kehilangan vitamin C sekitar 20% dan sedikit penurunan akseptabilitas. Dalam penggunaannya, jeruk Siam dikelompokkan menjadi dua yaitu jeruk Siam dengan ukuran besar yang umumnya digunakan sebagai buah segar atau dibuat jus dan jeruk ukuran kecil atau jeruk peras digunakan sebagai minuman. Menurut Ros-Chumillas et al. (2010), konsumsi jeruk dalam bentuk jus (sari buah) segar, kualitas gizinya lebih baik dibandingkan sari buah yang telah mengalami pengolahan. Selain kandungan vitamin C nya masih tinggi, citarasa buah jeruk masih tajam dan disukai. Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi retensi vitamin C pada sari buah segar dari jeruk Siam ukuran besar (buah segar)
dan ukuran kecil (jeruk peras) dan perubahan akseptabilitasnya selama penyimpanan dalam refrigerator. Metodologi Bahan Buah jeruk yang digunakan untuk penelitian ini adalah jeruk Siam ukuran kecil (jeruk peras) dengan diameter penampang melintang antara 4,3 - 4,7 cm dan ukuran besar dengan diameter antara 5,5 - 6,3 cm diperoleh dari pasar induk buah di Gamping Yogyakarta. Bahan kimia untuk analisis vitamin C yaitu asam askorbat sebagai standar, HPO3asam asetat, 2,6-dikloro-indofenol dengan kualifikasi pro analysis dari Merck. Alat yang digunakan terdiri dari: Juice Extractor (Philips HR 2826), timbangan analitik (Sartorius BL 210 S), seperangkat alat untuk pengujian inderawi dan alat-alat gelas untuk analisis (Pyrex) serta almari pendingin (National NR-B20JFN) dan pH meter (Metrohm 620). Untuk menentukan retensi vitamin C dan perubahan sifat inderawi (akseptabilitas) sari buah jeruk selama penyimpanan, maka dilakukan tahap-tahap penelitian untuk masing-masing sampel (buah jeruk Siam ukuran kecil dan besar) yang meliputi : sortasi buah jeruk untuk memilih buah jeruk yang tidak cacat dan warna homogen, ekstraksi, dan penyaringan, sehingga didapatkan sari buah jeruk. Selanjutnya retensi vitamin C dan sifat inderawi (akseptabilitas) selama penyimpanan ditentukan dengan
cara menyusun sampel (untuk masing-masing sari buah jeruk) sebagai berikut : disiapkan 6 tabung reaksi dengan volume 100 ml, diisi dengan 80 ml sari buah jeruk, selanjutnya disimpan dalam refrigerator pada suhu 5oC selama 6 hari (hasil percobaan pendahuluan). Setiap hari diambil satu tabung untuk dianalisis kadar vitamin C dengan metode titrasi menggunakan larutan 2,6 D dan kadar air dengan metode gravimetri (AOAC, 1990) serta uji akseptabilitas berdasarkan kesukaan terhadap bau, kenampakan, rasa dan kesukaan keseluruhan menggunakan metode Hedonic Test (Kramer dan Twigg, 1970). Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 1 faktor yaitu lama penyimpanan (Gacula dan Singh, 1984) untuk tiap ukuran jeruk. Penelitian dilakukan dengan tiga ulangan sampel (batch). Data yang diperoleh diolah secara statistik menggunakan anova, dan apabila terdapat perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple s Range Test pada tingkat signifikansi 95%.
Hasil dan Pembahasan Hasil ekstraksi sari buah jeruk Siam ukuran kecil maupun besar menghasilkan rendemen masing-masing 45,05 dan 47,23%. Berdasarkan komposisinya, jeruk manis mengandung air sekitar 87,20 % (Anonim, 1981), sehingga dari rendemen tersebut diperkirakan sudah lebih dari 50% cairan terekstrak keluar. Retensi vitamin C selama penyimpanan Retensi vitamin C merupakan ketahanan vitamin C dalam sari buah jeruk untuk terdegradasi apabila disimpan pada kondisi tertentu. Retensi vitamin C dapat ditunjukkan dengan perubahan (penurunan) kadar vitamin C selama penyimpanan. Hasil penelitian terhadap stabilitas vitamin C sari buah jeruk selama penyimpanan disajikan pada Gambar 1. Hasil analisis statistik terhadap kadar vitamin C selama penyimpanan pada suhu 5oC selama 1 - 6 hari menunjukkan perbedaan yang nyata (data tidak ditampilkan). Artinya semakin lama penyimpanan, kadar vitamin C sari buah jeruk semakin berkurang atau retensinya semakin kecil. Penurunan kadar vitamin
Gambar 1. Perubahan kadar vitamin C selama penyimpanan.
secara nyata terjadi pada buah jeruk Siam ukuran besar maupun ukuran kecil. Pada penyimpanan hari ke 2, kadar vitamin C sudah turun secara nyata, selanjutnya semakin rendah pada hari ke 3 sampai ke 6. Menurut Faramade (2007), kecepatan degradasi vitamin C dalam sari buah jeruk berlangsung menurut reaksi orde nol atau reaksi berlangsung dengan kecepatan tetap, sehingga semakin lama penyimpanan jumlah vitamin C yang mengalami degradasi semakin besar. Degradasi vitamin C terjadi akibat reaksi oksidasi menghasilkan dihidroksi asam askorbat, selanjutnya terpecah menjadi asam diketogulonat dan terakhir menghasilkan asam threonat dan oksalat (Fennema, 1985). Terbentuknya asam tersebut ditunjukkan dengan kenaikan pH sari buah jeruk dari 2,50 pada hari 1 menjadi pH 2,35 pada hari keenam. Pada buah jeruk ukuran besar kadar vitamin C mula-mula lebih rendah dibandingkan sari buah jeruk ukuran kecil. Menurut Anonim (1981), kadar total solid dalam buah jeruk untuk minuman lebih besar dibandingkan jeruk buah. Oleh karena itu kadar vitamin C lebih besar pada jeruk ukuran kecil. Akseptabilitas sari buah jeruk selama penyimpanan Hasil pengujian inderawi terhadap kenampakan, bau, rasa dan citarasa sari buah jeruk Siam disajikan pada Tabel 1. Hasil analisis statistik menunjukkan perbedaan yang nyata pada semua
sifat inderawi (bau, kenampakan, rasa dan citarasa keseluruhan) yang diuji. Kenampakan sari buah jeruk Siam yang berasal dari jeruk ukuran besar maupun kecil mengalami penurunan pada hari ke 2 dan seterusnya sampai dengan hari ke 6. Penurunan tingkat kesukaan terhadap kenampakan disebabkan karena terjadinya pengendapan dari suspensi dan kolloid dalam sari buah jeruk, sehingga kenampakannya tidak homogen lagi. Menurut Nelson dan Tressler (1980), sari buah jeruk termasuk dalam cloudy beverage yang disebabkan adanya kolloid dari senyawa pektin dan suspensi yang berasal dari serat yang tidak larut. Komponen tersebut selain menyebabkan keruh pada sari buah jeruk, juga mengakibatkan terbentuknya endapan apabila disimpan terlalu lama. Hasil pengamatan pada penelitian ini menunjukkan bahwa penyimpanan pada hari ke tiga pengendapan sudah nampak secara signifikan. Perubahan pada kenampakan ternyata juga dibarengi perubahan pada bau maupun rasa sari buah jeruk. Semakin lama penyimpanan bau dan rasa sari buah jeruk semakin kurang disukai. Hal ini terkait dengan perubahan asam maupun gula pada sari buah jeruk. Penurunan pH sari buah mengindikasikan terbentuknya
Tabel 1. Perubahan Akseptabilitas Sari Buah Jeruk Siam Selama Penyimpanan* Lama penyimpanan (hari) 1 2 3 4 5 6
Kenampakan
Bau Rasa Keseluruhan Jeruk ukuran kecil** 3,53a 2,84a 3,58a 3,53a 3,09b 3,09b 4,01b 3,53a 3,41c 3,92c 4,22c 3,50a 3,33d 4,08d 4,31d 3,95b 3,38e 4,33e 4,23c 4,10c 3,45f 4,36e 5,70e 4,10c Jeruk ukuran besar** 1 2,95a 2,71a 3,11b 2,71a 2 3,21d 2,75b 3,04a 2,75b 3 3,25e 3,01d 3,17c 3,06c 4 3,13c 2,97c 3,75d 3,97d 5 3,01b 3,25e 4,02e 4,36e 6 3,64f 3,95f 4,50f 4,52f * Huruf yang sama pada kolom yang sama untuk tiap jenis jeruk, menunjukkan perbedaan yang nyata (p< 0,05). ** Nilai 1 : sangat disukai dan nilai 7 : sangat tidak disukai.
asam selama penyimpanan. Perubahan tersebut akan menurunkan imbangan gulaasam, sehingga rasa jeruk mengalami perubahan yang mengakibatkan tingkat kesukaan terhadap rasa sari buah jeruk berkurang. Secara keseluruhan citarasa sari buah jeruk masih dapat diterima selama penyimpanan dalam refrigerator sampai 3 hari untuk jeruk ukuran kecil, sedangkan pada sari buah jeruk dari buah jeruk ukuran besar tingkat kesukaan turun secara signifikan sampai penyimpanan pada hari kedua. Penurunan tersebut senada dengan tingkat penurunan terhadap kenampakan, bau dan rasa sari buah jeruk yang secara bertahap berkurang tingkat
kesukaannya penyimpanan.
selama
Kesimpulan Secara umum dapat disimpulkan bahwa penyimpanan sari buah jeruk dalam refrigerator dapat mempertahankan kadar vitamin C dan akseptabilitas sari buah jeruk. Secara khusus kesimpulannya adalah : 1. Retensi vitamin C sari buah jeruk baik dari buah jeruk ukuran besar maupun ukuran kecil mengalami penurunan secara nyata pada penyimpanan hari ke 2. 2. Akseptabilitas sari buah jeruk Siam yang disimpan dalam refrigerator masih dapat dipertahankan
sampai penyimpanan hari ke 3 terutama untuk sari buah jeruk Siam ukuran kecil. Daftar Pustaka Anonim, 1981. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bhratara Karya Aksara. Jakarta.
Helmiyesi, Hastuti,R.B. dan Prihastanti, E., 2008. Pengaruh Lama Penyimpanan Terhadap Kadar Gula dan Vitamin C Pada Buah Jeruk Siam (Citrus nobilis var. microcarpa). Buletin Anatomi dan Fisiologi. Vol. XVI. 2 : 33-37.
Anonim, 2009. Jus Jeruk Siam : Dibalik Rasa Pahit Temukan Manfaat yang Menakjudkan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Volume 31. 2 : 8 -9.
Krammer, A.A. and B.A. Twigg. 1970. Fundamental of Quality Control for the Food Industry. The AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut.
AOAC, 1990, Officials Methods of Analysis of AOAC th International, 16 Edition, Agricultural Chemicals, Comtaminant, Drug, Washington D.C.
Nelson, E.P. dan Tressler, D.K., 1980. Fruit and Vegetable Juice Procesing Technology. AVI Publishing Company Inc. Wesport. Connecticut.
Faramade, O. O., 2007. Kinetics of Ascorbic Acid Degradation in Commercial Orange Juice Produced Locally in Nigeria. African Crop Science Conference Proceedings. 8 : 1813 – 1816.
Ros-Chumillas, M., Belissario, Y., Iguaz, A., dan Lopez, A. 2010. Quality and Shelf Life of Orange Juice Aseptically Package in PET bottles. Technical University of Cartagena., Agricultural Equipment and Food Engineering Department.
Fennema, O.R. 1985. Food Chemistry. Marcell Dekker Inc. New York. Gacula, M.C. and Singh, J., 1984, Statistical Methods in Food and Consumer Research, Academic Press, Inc. Orlando, San Diego, New York, London.
Sauza,
M.C.C., Benassi, M.T., Meneghel, R.F.A. and Silva, R.S.S.F. 2004. Stability of Unpasteurized and Refrigerated Orange Juice. Brazilian Archives of Biology and Technology an International Journal. Volume 47. 3 : 391-397.
PEMANFAATAN GULMA BABADOTAN DAN TEMBELEKAN DALAM PENGENDALIAN Sitophillus SPP. PADA BENIH JAGUNG Dian Astriani Program Studi Agroteknologi Fakultas Agroindustri Universitas Mercu Buana Yogyakarta Abstract Bioactivity of botanical pesticide from weed was studied to find the most effective botanical pesticide for controlling Sitophilus spp. and maintaining the corn seed viability in storage. The research was a single factor experiment arranged in Completely Randomized Design. The experiment factor was kind and dose of botanical pesticide. The treatments of the experiment consisted of Ageratum conyzoides (goatweed) and Lantana camara (common lantana) in the doses of 2% ; 4% and 6 % respectively, and application without pesticide as a control. Botanical pesticide was in powder formulation. The reasearch consisted of two steps, the first was toxicity test of botanical pesticide in the storage for 70 days, and the second was seed viability test after storag for 70 days. The results showed that goatweed botanical pesticide 6% was the most effective botanical pesticide to control Sitophilus spp. and maintain the corn seed for 70 days in storage, compared with goatweed botanical pesticide at the doses of 2% and 4%, and also common lantana botanical pesticide in the doses of 2%, 4% or 6%. Key words : goatweed, common lantana, Sitophillus spp., corn seed hanya mengandalkan produksi PENDAHULUAN padi, mengingat terbatasnya sumber daya terutama lahan dan Ketersediaan makanan irigasi. Jagung (Zea mays) pokok bagi seluruh masyarakat dalam sebuah negara sangat merupakan salah satu serealia berpengaruh terhadap kualitas yang strategis dan bernilai sumber daya manusia negara ekonomis serta mempunyai tersebut, sehingga pemenuhan peluang untuk dikembangkan kebutuhan akan makanan pokok karena kedudukannya sebagai menjadi penting. Bahan pertanian sumber utama karbohidrat dan yang dapat digunakan sebagai protein setelah beras. Jagung makanan pokok adalah yang dapat dengan kandungan karbohidrat 74,26 g per 100 g porsi edible dan menghasilkan energi tinggi dan kaya akan karbohidrat. Padi secara menghasilkan total energi 365 Kcal (USDA, 2008 cit. Hersynanda, umum memang masih merupakan pangan pokok rakyat Indonesia, 2009) sangat berpotensi sebagai namun kebutuhan akan pangan alternatif makanan pokok. karbohidrat yang semakin Senada dengan hal tersebut Zubachtirodin et al. (2006) meningkat akibat pertumbuhan cit. Hersynanda (2009) juga penduduk sulit dipenuhi dengan
menambahkan bahwa dalam perekonomian nasional, jagung penyumbang terbesar kedua setelah padi dalam subsektor tanaman pangan. Berdasarkan Angka Sementara (ASEM) produksi jagung tahun 2009 sebesar 17,59 juta ton pipilan kering, meningkat 1,28 juta ton (7,81 %) dibandingkan produksi tahun 2008. Sedangkan berdasarkan Angka Ramalan I (ARAM I Badan Pusat Statistik) produksi jagung tahun 2010 diperkirakan sebesar 18,12 juta ton pipilan kering. Dibandingkan produksi tahun 2009 (ASEM), terjadi kenaikan sebesar 522,86 ribu ton (2,97 %). Kenaikan produksi tahun 2010 diperkirakan terjadi karena naiknya luas panen seluas 67,83 ribu hektar (1,63 %) dan produktivitas sebesar 0,56 ku/ha (1,32 %) (Badan Pusat Statistik, 2010). Kondisi ini mengindikasikan besarnya peranan jagung dalam memacu pertumbuhan subsektor tanaman pangan dan perekonomian nasional pada umumnya. Selain itu komoditas ini mempunyai fungsi multiguna, baik untuk pangan maupun pakan, bahkan akhir-akhir ini dikembangkan sebagai bahan baku industri biofuel/bioetanol. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2004) melaporkan bahwa sekitar 60% jagung digunakan untuk bahan baku industri, 57% diantaranya untuk pakan. Keberhasilan upaya peningkatan produktivitas/produksi dan perluasan areal tanam jagung sangat bergantung pada kemampuan penyediaan dan
penerapan teknologi produksi, salah satunya adalah benih bermutu. Benih bermutu varietas unggul merupakan salah satu faktor yang menentukan produktivitas jagung. Menurut Suryana et al (2005), untuk menjamin keberhasilan pengembangan jagung perlu adanya sistem pengadaan yang lebih baik untuk benih berkualitas dari varietas unggul, pupuk, herbisida/pestisida, dan alsintan. Apriyantono (2008) mengatakan akselerasi pembangunan pertanian memerlukan dukungan sistem perbenihan yang baik. Keberhasilan pengembangan pangan sangat ditentukan oleh ketersediaan benih dalam jumlah, kualitas, waktu, dan harga yang tepat. Untuk itu ketersediaan benih bermutu dalam jumlah yang cukup sangat dibutuhkan untuk mendukung keberlangsungan atau peningkatan produksi suatu tanaman. Ketersediaan benih dari waktu ke waktu dapat dijaga dengan usaha penyimpanan benih. Penyimpanan benih merupakan bagian penting dari usaha memproduksi benih bermutu. Penyimpanan benih atau kelompok benih (lot benih) diharapkan dapat mempertahankan mutu benih dalam kurun waktu tertentu sesuai dengan lama penyimpanan. Di daerah tropis, benih jagung minimal disimpan selama tiga bulan hingga musim tanam berikutnya. Benih jagung seperti halnya benih-benih lain dalam kelompok benih ortodoks mudah rusak atau menurun mutunya. Daya simpan dan mutu benih jagung selama dalam
penyimpanan dipengaruhi kondisi awal biji sebelum disimpan dan lingkungan tempat penyimpanan, faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik yang berperan besar menyebabkan kerusakan dan penurunan mutu benih jagung selama dalam penyimpanan adalah hama gudang. Surtikanti (2004) mengatakan bahwa biji jagung tidak tahan disimpan lama baik dalam gudang maupun tempat penyimpanan lainnya, karena mudah terserang kumbang bubuk Sitophilus zeamais. Hama ini merupakan hama gudang utama di Indonesia yang menyerang biji jagung sejak di pertanaman sebelum panen sampai biji jagung di tempat penyimpanan. Akibatnya sejumlah besar benih jagung tidak berguna setiap tahunnya. Kerusakan biji jagung akibat serangan S. zeamais dapat mencapai 45,91% (Surtikanti dan Suherman, 2003). Selain mengakibatkan kerusakan biji dan susut bobot, serangan S. zeamais juga menyebabkan penurunan mutu benih jagung sehingga daya berkecambah benih jagung tinggal 43% pada penyimpanan benih jagung selama tiga bulan (Dinarto dan Astriani, 2008). Serangan hama ini menyebabkan biji berlubang, cepat pecah dan hancur menjadi tepung atau bubuk. Hal ini ditandai dengan adanya tepung pada butiran yang terserang. Biji dan tepung dipersatukan oleh air liur larva sehingga kualitas biji menurun atau rusak sama sekali. Selain itu serangan S. zeamais Motsch menyebabkan peningkatan kadar air biji dan suhu sebagai akibat peningkatan respirasi. Kondisi ini
akan memacu pertumbuhan Aspergillus sp. dan terjadinya kontaminasi aflatoksin (Kalshoven, 1981). Strategi pengendalian hama yang paling bijaksana adalah dengan penerapan PHT (Pengendalian Hama Terpadu). Hal itu didukung pula dengan dikeluarkannya PP No. 6 tahun 1995 yang antara lain menetapkan bahwa perlindungan tanaman dilaksanakan melalui sistem PHT. Selanjutnya dalam Pasal 19 dinyatakan bahwa penggunaan pestisida sintetik dalam rangka pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) merupakan alternatif terakhir dan dampak yang ditimbulkan harus ditekan seminimal mungkin (Martono et al., 2004). Oleh karena itu perlu dicari cara pengendalian yang efektif terhadap hama sasaran namun aman terhadap jasad bukan sasaran dan lingkungan. Salah satu alternatif yang memenuhi persyaratan tersebut adalah pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan (pestisida nabati/pestisida botani) . Pemanfaatan bahan nabati sebagai bahan pestisida telah banyak mendapat perhatian untuk dikembangkan sebab relatif mudah didapat, aman terhadap hewan bukan sasaran, mudah terurai di alam sehingga tidak menyebabkan pencemaran lingkungan, residunya relatif pendek, dan hama tidak berkembang menjadi tahan terhadap pestisida nabati (Oka, 1993). Beberapa jenis bahan nabati telah terbukti mampu mengendalikan S. zeamais. Daun
serai (Andropogon nardus), daun bawang merah (Allium ascalonicum), daun cengkeh (Syzygium aromaticum), dan daun dringo (A. calamus) efektif menekan serangan S. zeamais. (Surtikanti, 2004). Biji lada (Piper nigrum L.) mampu mengendalikan dan menekan perkembangan S. zeamais serta mempertahankan viabilitas benih jagung tetap baik (Dinarto dan Astriani, 2005). Akan tetapi bahan-bahan nabati tersebut diketahui memiliki nilai ekonomi tinggi sehingga kalau dikembangkan lebih lanjut untuk pembuatan pestisida nabati dalam skala besar akan terjadi konflik kepentingan. Untuk itu perlu dikaji bahan-bahan nabati lain yang nilai ekonominya rendah atau tidak ada sama sekali, seperti tumbuhan dari golongan gulma, namun memiliki kemampuan bioaktivitas terhadap S. zeamais. Beberapa jenis tumbuhan yang sering berstatus sebagai gulma ternyata berpotensi sebagai sumber bahan pestisida nabati. Tumbuhan tersebut mempunyai kandungan bahan aktif yang efikatif terhadap jasad sasaran, keberadaannya melimpah dan mudah berkembang biak pada kondisi lingkungan yang marginal, dan pemanfaatannya sebagai sumber bahan pestisida tidak akan bertentangan dengan kepentingan lain. Dengan demikian pemanfaatan gulma ini akan menggeser statusnya menjadi tumbuhan bermanfaat. Dalam penelitian ini akan dilakukan pengujian bioaktivitas gulma tembelekan dan babadotan. Lantana camara dikenal dengan nama umum tembelekan,
tembelek ayam, tahi ayam, temblean atau cente manis (common lantana), merupakan tanaman tahunan, tanaman berbunga dari familia Verbenaceae. (Grainge dan Ahmed, 1988). Tembelekan merupakan gulma potensial pada budidaya tanaman, namun ternyata tumbuhan ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan pestisida nabati karena mengandung bahanbahan aktif seperti senyawa alkaloids (lantanine), flavanoids dan juga triterpenoids. Bagian tanaman yang bisa dipakai sebagai bahan pestisida nabati adalah daun, batang, bunga, minyak dan bahkan getahnya (Grainge dan Ahmed, 1988). Tipe pengendaliannya cukup luas bisa sebagai antiinsect, insektisidal dengan cara kerja sebagai racun kontak, penghambat pertumbuhan, antifeedant, repelen, antimite dan antibakteri (Grainge dan Ahmed, 1988). Ageratum conyzoides dikenal dengan nama umum babadotan, bandotan, jukut bau atau wedusan (goatweed). Dalam klasifikasi, tumbuhan ini termasuk tanaman berbunga, anggota dari familia Asteraceae. Babadotan berasal dari Amerika tropis, tumbuh di daerah tropis. Di Indonesia babadotan merupakan salah satu tumbuhan pengganggu/gulma yang potensial. Dapat hidup di ladang, halaman, kebun, tepi jalan maupun tepi air (Grainge dan Ahmed, 1988). Diketahui kandungan bahan aktif dalam A. conyzoides terutama bagian daun adalah alkaloid, saponin, flavanoid, polifenol, sulfur
dan tannin. Bagian daun mempunyai sifat bioaktifitas sebagai insektisidal, antinematoda, antibakterial dan alelopati (Grainge dan Ahmed, 1988). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis pestisida nabati dari gulma babadotan dan tembelekan dengan dosis 2%, 4% dan 6% yang paling efektif mengendalikan Sitophillus spp. dan mempertahankan viabilitas benih jagung dalam penyimpanan. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanankan di Laboratorium Agronomi, Fakultas Agroindustri, Universitas Mercu Buana Yogyakarta. Bahan penelitian terdiri dari benih jagung varietas Bisma, gulma sebagai sumber bahan pestisida yaitu terdiri dari daun tembelekan, daun babandotan dan imago Sitophillus spp. Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi cawan petri diameter 15 cm, counter, toples, mikroskup, seed moisture tester, blender tepung, ayakan, oven, bak pengecambah, kuas, jarum preparat, timbangan, bak perkecambahan 30 x 50 cm dan hand sprayer. Penelitian merupakan percobaan faktor tunggal yang disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (Completely Randomized Design). Perlakuan yang diujikan adalah jenis gulma dan dosisnya. Perlakuannya terdiri dari babadotan 2%, babadotan 4%, babadotan 6%, tembelekan 2%, tembelekan 4%, tembelekan 6% dan tanpa pestisida nabati sebagai kontrol, jadi terdapat 7
perlakuan dengan 4 ulangan sehingga terdapat 28 unit percobaan. Pada persiapan penelitian dilakukan pembiakan masal serangga hama sampai diperoleh imago hama yang homogen dalam jumlah yang cukup. Pestisida nabati disiapkan dalam formulasi bubuk. Penelitian ini terdiri dari 2 seri percobaan. Pertama merupakan uji toksisitas insektisida nabati sampai penyimpanan selama 70 hari, dan tahap kedua dilakukan uji viabilitas benih yang telah disimpan selama 70 hari. Pada uji toksisitas setiap unit percobaan terdapat 20 g benih jagung dan 5 pasang imago Sitophillus spp. Kemudian diaplikasikan bubuk babadotan dan tembelekan masing-masing dengan dosis 2%, 4%, 6%, dan dilakukan penyimpanan selam 70 hari. Variabel yang diamati adalah mortalitas hama dan perkembangan populasi hama. Pada uji viabilitas dilakukan penanaman benih jagung yang telah mendapat perlakukan dengan pestisida nabati gulma dan disimpan selama 70 hari. Pada uji ini diamati penyusutan bobot benih, daya berkecambah benih, laju perkecambahan dan bobot kering kecambah. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini, aplikasi pestisida nabati babadotan dan tembelekan pada benih jagung dalam penyiimpanan, sampai hari ke-7 tidak menyebabkan perbedaan secara signifikan pada
mortalitas imago Sitophillus spp., namun jumlahnya menunjukkan kecenderungan yang lebih tinggi
daripada kontrol (tanpa pestisida nabati). Prosentase mortalitasnya dapat dilihat pada Tabel I.
Tabel I. Mortalitas Sitophillus spp. (%) dengan perlakuan beberapa dosis pestisida nabati babadotan dan tembelekan pada benih jagung hari ke1 sampai ke-7 Jenis & Hari kedosis 1 2 3 4 5 6 7 pestisida nabati Babadotan 2,5 a 5,0 a 25,0 a 30,0 a 37,5 a 37,5 a 40,0 a 2% Babadotan 2,5 a 10,0 a 17,5 a 22,5 a 25,0 a 32,5 a 32,5 a 4% Babadotan 2,5 a 5,0 a 20,0 a 25,0 a 52,5 a 60,0 a 60,0 a 6% Tembelekan 5,0 a 5,0 a 17,5 a 32,5 a 40,0 a 40,0 a 40,0 a 2% Tembelekan 2,5 a 5,0 a 17,5 a 40,0 a 55,0 a 55,0 a 57,5 a 4% Tembelekan 5,0 a 15,0 a 25,0 a 52,5 a 57,5 a 57,5 a 57,5 a 6% Kontrol 0,0 a 0,0 a 6,67 a 6,67 a 13,33 13,33 13,33 a a a Keterangan : Nilai purata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang Sama menunjukkan tidak ada beda nyata menurut uji F 5%.
Terjadinya mortalitas pada hama karena aplikasi tersebut menunjukkan adanya toksisitas kontak dari pestisida nabati, karena meskipun tidak signifikan, terlihat peningkatan mortalitas dari hari ke1 sampai ke-7 sedangkan pada kontrol nilainya tetap. Dalam Grainge dan Ahmed (1988) juga dinyatakan bahwa bahan aktif dalam tanaman babadotan dan tembelekan bersifat insektisidal dan bisa mempunyai tipe pengendalian sebagai racun kontak. Aplikasi pestisida nabati pada benih jagung terlihat
menyebabkan perbedaan mortalitas Sitophillus spp. pada hari ke-14 dan ke-21. Pada hari ke14 pemberian pestisida nabati babadotan dan tembelekan masing-masing pada dosis 4% dan 6% menyebabkan mortalitas Sitophillus spp. lebih tinggi dari kontrol, sedangkan pada dosis 2% mortalitas yang terjadi masih tidak signifikan dengan kontrol. Namun pada hari ke-21 semua perlakuan pestisida nabati menimbulkan mortalitas yang lebih tinggi daripada kontrol (Tabel II).
Tabel II. Mortalitas Sitophillus spp. (%) dengan perlakuan beberapa dosis pestisida nabati babadotan & tembelekan pada benih jagung hari ke14 dan ke-21 Jenis & dosis pestisida Hari ke-14 Hari ke-21 nabati Babadotan 2% 42,5 ab 50,0 b Babadotan 4% 45,0 a 50,0 b Babadotan 6% 62,5 a 67,5 ab Tembelekan 2% 40,0 ab 57,5 ab Tembelekan 4% 67,5 a 80,0 a Tembelekan 6% 67,5 a 82,5 a Kontrol 13,3 b 13,3 c Keterangan : Nilai purata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata menurut uji F 5%. Mortalitas hama yang terjadi disebabkan karena kandungan bahan-bahan aktif pada babadotan dan tembelekan. Dalam Grainge dan Ahmed (1988) dinyatakan bahwa babadotan mengandung beberapa senyawa pestisidal seperti alkaloid, saponin, flavanoid, polifenol, sulfur dan tannin. Sedangkan pada tembelekan mengadung senyawa
alkaloids (lantanine), flavanoids dan juga triterpenoids. Pestisida nabati dapat membunuh atau mengganggu serangga hama melalui cara kerja yang unik, yaitu dapat melalui perpaduan berbagai mekanisme atau secara tunggal (Anonim, 2010). Diduga mortalitas yang terjadi disebabkan perpaduan berbagai mekanisme menyerang tersebut.
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Babadotan 2% Babadotan 4% Babadotan 6%
hari hari hari hari hari hari hari hari hari ke-1 ke-2 ke-3 ke-4 ke-5 ke-6 ke-7 ke- ke14 21
Tembelekan 2% Tembelekan 4% Tembelekan 6%
Gambar 1. Mortalitas Sitophillus spp. dengan perlakuan beberapa dosis pestisida nabati babadotan dan tembelekan pada penyimpanan benih jagung (%)
Laju mortalitas Sitophillus spp. pada benih jagung dalam penyimpanan karena aplikasi pestisida nabati babadotan dan tembelekan, menunjukkan peningkatan dengan semakin lamanya waktu penyimpanan (Gambar 1.). Diduga bahan aktif pestisida nabati mampu menyebabkan gangguan aktivitas makan dengan mengurangi nafsu makan, memblokir kemampuan makan serangga sehingga hama menolak makan (Anonim, 2010). Sebenarnya Sitophilus spp. mampu bertahan hidup tanpa makan sampai 36 hari (Haines, 1991 cit. Babarinde et al., 2008), namun diduga pestisida nabati babadotan dan tembelekan memberikan efek lain seperti mempengaruhi aktivitas hormonal
serangga, hingga mampu mengganggu komunikasi serangga, pergantian kulit serangga sehingga menimbulkan tekanan sampai menyebabkan kematian (Anonim, 2010). Pada penelitian ini aplikasi pestisida nabati babadotan 6% pada benih jagung yang disimpan selama 70 hari, dapat menekan perkembangan populasi hama Sitophilus spp. baik pada stadium larva, pupa atau imago. Sedangkan pestisida nabati yang lain mampu menekan populasi hama tersebut hanya pada stadium imago (Tabel III). Pengaruh pestisida nabati dalam menekan perkembangan populasi Sitophilus spp. terlihat jelas pada Gambar 2., terutama pada aplikasi dengan babadotan 6%.
Tabel III. Populasi Sitophillus spp. dengan perlakuan beberapa dosis pestisida nabati babadotan dan tembelekan pada penyimpanan benih jagung selama 70 hari Jenis & dosis pestisida Larva Pupa Imago nabati Babadotan 2% 49,75 a 12,75 a 102,50 b Babadotan 4% 33,25 a 17,00 a 82,75 b Babadotan 6% 11,50 b 2,25 b 26,75 c Tembelekan 2% 40,50 a 17,25 a 105,00 b Tembelekan 4% 36,75 a 10,25 a 87,75 b Tembelekan 6% 40,25 a 10,50 a 75,50 b Kontrol 45,00 a 21,00 a 151,00 a Keterangan : Nilai purata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata menurut uji F 5%.
Pestisida nabati babadotan dan tembelekan dapat menekan perkembangan populasi serangga hama, diduga karena kandungan bahan aktifnya mampu
mengganggu peletakan telur, merusak perkembangan telur, serta mampu menghambat reproduksi serangga betina.
Babadotan 6% memberikan pengaruh paling baik dalam menekan perkembangan populasi hama Sitophilus spp. Kandungan bahan aktifnya terutama saponin mampu memberikan daya repelensi lebih besar dan mampu menghambat pertumbuhan larva menjadi pupa (Samsudin, 2008 ; Grainge & Ahmed, 1988). Pestisida
nabati babadotan lebih baik dalam menekan perkembangan populasi hama dan semakin tinggi konsentrasi semakin besar kandungan bahan aktif tersebut, sehingga babadotan 6% menjadi pestisida nabati yang paling efektif dibandingkan dengan pestisida nabati yang lain.
250 200 150 100 50
Imago Pupa Larva
0
Gambar 2. Populasi Sitophillus spp. dengan perlakuan beberapa dosis pestisida nabati babadotan dan tembelekan pada penyimpanan benih jagung. Dari uji viabilitas benih jagung, dapat diketahui bahwa aplikasi pestisida nabati babadotan 6% menghasilkan bobot kering kecambah paling tinggi dan cenderung dapat mempertahankan daya berkecambah lebih besar serta menyebabkan laju perkecambahan juga cenderung lebih cepat dari perlakuan lain. Sedangkan pada variabel penyusutan bobot benih, semua jenis dan dosis pestisida nabati mampu menekan penyusutan
bobot benih setelah penyimpanan selama 70 hari (Tabel IV). Perlakuan dengan babadotan 6% mampu menyebabkan kematian dan menekan perkembangan populasi Sitophilus spp. sehingga dapat menurunkan serangan hama dan penyusutan bobot benih, mempertahankan daya berkecambah, membuat laju perkecambahan lebih cepat dan menghasilkan bobot kering kecambah yang tertinggi.
Tabel IV. Variabel uji viabilitas benih jagung yang dperlakukan dengan beberapa dosis pestisida nabati babadotan dan tembelekan Jenis & dosis Penyusuta Daya Laju Bobot kering pestisida n bobot berkecamba perkecambaha kecambah nabati benih (%) h (%) n (g) Babadotan 2% 11,43 b 5,5 bc 1,10 b 0,11 b Babadotan 4% 8,89 b 33,5 ab 3,89 ab 1,75 b Babadotan 6% 8,79 b 54,5 a 6,55 a 4,25 a Tembelekan 9,53 b 6,0 bc 1,03 b 0,11 b 2% Tembelekan 9,11 b 24,5 abc 3,20 ab 1,27 b 4% Tembelekan 7,21 b 12,5 bc 1,40 ab 0,25 b 6% Kontrol 19,25 a 1,5 c 0,19 b 0,04 b Keterangan : Nilai purata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata menurut uji F 5%.
Rendahnya populasi hama karena perlakuan pestisida nabati 6%, akan menyebabkan berkurangnya serangan hama. Akibatnya terjadi penurunan kerusakan benih dan mempengaruhi ketersediaan cadangan makanan yang terdapat pada benih untuk proses perkecambahan sehinga persentase daya berkecambah relatif lebih besar daripadai perlakuan pestisida nabati yang lain. KESIMPULAN 1.
Pestisida nabati babadotan (Ageratum conyzoides) dosis 6% paling efektif untuk mengendalikan hama Sitophillus spp. pada benih jagung yang disimpan selama 70 hari, bila dibandingkan dengan dosis 2% dan 4% serta pestisida nabati tembelekan (Lantana camara) dosis 2%, 4% atau 6%.
2.
Pestisida nabati babadotan dosis 6% dapat mempertahankan viabilitas benih jagung yang disimpan selama 70 hari, lebih baik daripada dosis 2% dan 4% serta pestisida nabati tembelekan dosis 2%, 4% atau 6%.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis sampaikan pada saudara Tri Andi Budi Santoso, S.P. dan Ir. Wafit Dinarto, M.Si. atas semua bantuan dan dukungannya sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2010. Tanaman untuk Pestisida Nabati (Online). SmallCrab.Com Informasi Kesehatan dan Lain-lain.
(http://www.smallcrab.com, diakses 7 Maret 2010). Apriyantono, A. 2008. Peran Perbenihan dan Kelembagaan dalam Memperkokoh Ketahanan Pangan. Proseeding Seminar Nasional dan Workshop Perbenihan dan Kelembagaan. 11 Nopember 2008. Fakultas Pertanian UPN ”Veteran” Yogyakarta. Hal I-1 – 4. Babarinde, S.A., Adebola Sosina, Ezekiel Iyiola Oyeyiola. 2008. Susceptibility of the Selected Crops in Storage to Sitophilus zeamais Motschulsky in Southwestern Nigeri.(Online). Journal of Plant Protection Research. Vol. 48, N0.4 : 541-550 (http://versita.metapress.co m, diakses 7 Maret 2010). Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2004. Laporan Tahunan 2003. Inovasi Pertanian untuk Kesejahteraan Petani. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Hal. 15.
Badan Pusat Statistik. 2010. Berita Resmi Statistik : Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai (Angka Sementara Tahun 2009 dan Angka Ramalan I Tahun 2010). (Online). Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (Statistics Indonesia) (http://www.bps.go.id/, diakses 7 Maret 2010).
Dinarto, W. dan D. Astriani. 2005. Pengendalian Sitophilus spp. dengan lada dan cabai rawit dalam usaha mempertahankan viabilitas benih jagung dalam penyimpanan. Proseeding Seminar Nasional dan Workshop Perbenihan dan Kelembagaan. 11 Nopember 2008. Fakultas Pertanian UPN ”Veteran” Yogyakarta. Hal III-74 – 80. Grainge, M. & S. Ahmed. 1988. Handbook of Plants with Pest-Control Properties. John Wiley & Sons. Inc. Canada. 470 p. Hersynanda. 19 April 2009. Diversifikasi-makananpokok-beras-jagung. Hersynanda-Improve and Increase. (Online). (http://hersynanda.blog.uns. ac.id., diakses 7 Maret 2010). Kalshoven, I.G.E. 1981. Pest of Crops in Indonesia. Revised and translate by D.A van der Laan. PT. Ichtiar Baru van Hoeve. Jakarta. 701 p. Martono, B.; E. Hadipoentiyanti; dan U. Darno. 2004. Plasma nutfah insektisida nabati. Perkembangan Teknologi TRO. 16(1): 4357. Oka,
I.N. 1993. Penggunaan, permasalahan serta prospek pestisida nabati dalam pengendalian hama terpadu. Dalam Sitepu, D;
P. Wahid; M. Suhardjan; S. Rusli; Ellyda A.W.; I. Mustika; dan D. Sutopo (Penyunting). Hal. 1-10. Proseeding Seminar Hasil Penelitian dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian TanamanRempah dan Obat. Bogor. Samsudin. 28 Februari 200. Pengendalian Hama Dengan Insektisida Botani. Lembaga Pertanian Sehat | Develop Useful Innovation for Farmers, Rubrik : Teknologi. (Online). (http://www.pertaniansehat. or.id, diakses 7 Maret 2010).
Surtikanti dan O. Suherman. 2003. Reaksi 52 galur/varietas jagung terhadap serangan kumbang bubuk. Berita Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Tanaman Pangan. 26: 3-4 Surtikanti. 2004. Kumbang Bubuk Sitophilus zeamays Motsch. Jurnal Litbang Pertanian. 23 (4): 123 – 128. Suryana, A., D.S. Damardjati; Subandi, K. Kariyono, Zubachtirodin, S. Saenong. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Jagung. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta. 51 hal.
PENGARUH KADAR AIR DAN WADAH SIMPAN TERHADAP VIABILITAS BENIH KACANG HIJAU DAN POPULASI HAMA KUMBANG BUBUK KACANG HIJAU CALLOSOBRUCHUS Chinensis L. Wafit Dinarto Program Studi Agroteknologi – Universitas Mercu Buana Yogyakarta e-mail :
[email protected] ABSTRACT The store ability and seeds quality during storage was influenced by initial condition of seeds before the storage (water content) and method of seed storage. This research was aimed to study the effect of water content and storage containers on the seed viability of mungbean and population of Callosobruchus chinensis and to know the best water content and storage container to maintain seed viability of mungbean. A single factor which was arranged in Completely Randomized Design was used in the experiment, with nine treatments and four replications. The treatments consisted of seed storage with water content < 10 % in plastic sack; 10-12 % in plastic sack; >12% in plastic sack; < 10 % in wheat sack; 10-12 % in wheat sack, >12% in wheat sack; < 10 % in coarse sack; 10-12% in coarse sack and >12% in coarse sack. The results of the research showed that plastic sack in various seed water contents wers more capable of maintaining the mungbean seed viability better than the wheat and coarse sack. The wheat sack was able to keep seed viability of mungbean only in <10 % water content. The population of Callosobruchus chinensis was more heavily influenced by the water content than the storage container. Key words: water content, storage container, mungbean, Callosobuchus chinensis PENDAHULUAN Benih merupakan sarana produksi tanaman yang penting dalam proses produksi tanaman dan kualitas benih yang dipakai dalam usaha produksi tanaman akan menentukan produktivitas dan kualitas hasil tanaman. Sejalan dengan hal tersebut, maka proses produksi dan penanganan benih perlu ditangani secara serius agar diperoleh benih yang memenuhi kriteria mutu yang telah ditetapkan.
Proses produksi benih berkualitas merupakan proses yang panjang, sejak pemilihan bahan tanam sebagai benih sumber sampai dengan benih disimpan. Sejak mencapai fase masak fisiologis sampai ditanam kembali, benih berada pada periode penyimpanan. Selama periode penyimpanan ini benih akan mengalami kemunduran (deterioration) yang menyebabkan penurunan kualitas benih. Proses kemunduran benih tidak dapat dihentikan. Usaha yang
dapat dilakukan adalah menekan atau mengurangi laju kemunduran benih dengan mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi laju kemunduran. Laju kemunduran benih selama periode penyimpanan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor dalam (internal) dan faktor luar (eksternal). Kelembaban relatif yang tinggi merupakan faktor luar sebagai penyebab utama menurunnya bahkan hilangnya viabilitas benih selama dalam penyimpanan. Kadar air benih merupakan suatu fungsi dari kelembaban relatif udara sekitarnya dan kadar air suatu benih bergantung pada kelembaban relatif udara sekitarnya. Pada saat kelembaban relatif udara sekitar benih meningkat (tinggi), maka kadar air benih akan meningkat pula sampai terjadi nilai keseimbangan antara kadar air benih dengan kelembaban relatif udara sekitarnya. Benih kacang hijau seperti halnya benih-benih lain dalam kelompok benih ortodoks tidak tahan disimpan lama dan mudah rusak atau menurun mutunya apabila disimpan pada kadar air tinggi atau disimpan pada ruang dengan kelembaban tinggi dan suhu ruang simpan tinggi. Kerusakan tersebut mengakibatkan penurunan mutu baik secara kuantitatif maupun kualitatif yang berupa susut berat karena rusak, memar, cacat, penurunan daya berkecambah, dan lain-lain. Untuk melindungi benih kacang hijau dari pengaruh kondisi lingkungan simpan yang tidak baik yaitu kelembaban relatif dan suhu
tinggi dapat dilakukan dengan cara mengeringkan benih sampai kadar air tertentu yang aman untuk penyimpanan dan menyimpan benih dalam wadah yang tepat. Pengeringan adalah upaya untuk menurunkan kadar air benih agar benih tahan disimpan lama, tidak mudah terserang hama dan terkontaminasi cendawan, mempertahankan volume dan bobot benih sehingga memudahkan penyimpanan. Kadar air yang aman untuk penyimpanan benih tergantung pada jenis benih, lama penyimpanan (semakin lama disimpan harus semakin kering), dan metode penyimpanan benih (penyimpanan terbuka atau penyimpanan dalam kemasan). Pengemasan benih bertujuan untuk melindungi benih dari faktor-faktor biotik dan abiotik, mempertahankan kemurnian benih baik secara fisik maupun genetik, serta memudahkan dalam penyimpanan dan pengangkutan. Robi’in (2007) mengatakan bahwa penggunaan bahan kemasan yang tepat dapat melindungi benih dari perubahan kondisi lingkungan simpan yaitu kelembaban relatif dan suhu. Kemasan yang baik dan tepat dapat menciptakan ekosistem ruang simpan yang baik bagi benih sehingga benih dapat disimpan lebih lama. Prinsip dasar pengemasan benih adalah untuk mempertahankan viabilitas dan vigor benih. Oleh karena itu, benih yang disimpan dalam ruang terbuka perlu dikemas dengan bahan kemasan yang tepat agar viabilitas dan vigor benih dapat dipertahankan.
Bahan untuk kemasan banyak macamnya dan masingmasing memiliki sifat yang berbeda. Bahan kemasan yang baik adalah yang memiliki kekuatan tekanan, tahan terhadap kerusakan serta tidak mudah sobek (Redaksi Rineka Cipta 1986). Menurut Robi’in (2007) bahan kemasan benih di daerah tropika basah harus memiliki sifat impermeabilitas terhadap uap air, mempunyai daya rekat (sealibility), kuat, elastis, mudah diperoleh, murah, dan tahan lama. Dalam menentukan jenis bahan kemasan untuk penyimpanan benih, penting mempertimbangkan kesesuaian jenis bahan tersebut dengan : (1) tipe benih, (2) kadar air pada waktu benih dibungkus, (3) kondisi ruang penyimpanan, (4) lama penyimpanan, dan (5) nilai jual benih. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui kadar air dan jenis wadah terbaik untuk menjaga viabilitas benih kacang hijau selama dalam penyimpanan, dan (2) mengetahui kadar air dan jenis wadah terbaik untuk melindungi benih kacang hijau dari serangan hama kumbang bubuk kacang hijau Callosobruchus chinensis L. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan di Laboratorium Agronomi Universitas Wangsa Manggala, pada bulan Januari – April 2007. Bahan dan alat yang digunakan adalah benih kacang hijau varietas Lugut, pasir, bak plastik, kantung plastik, kantung terigu, kantung bagor, oven, dan timbangan Ohaus.
Penelitian ini merupakan percobaan faktor tunggal yang disusun dalam Rancangan Acak Lengkap dengan empat ulangan. Faktor yang diujikan adalah kadar air benih dan jenis wadah penyimpanan. Kadar air benih terdiri atas kadar air <10%, 10 – 12%, >12% dan jenis wadah terdiri atas kantung plastik dengan ketebalan 0,2 mm, kantung terigu, dan kantung bagor, sehingga keseluruhan ada 36 satuan percobaan. Perlakuan-perlakuan tersebut adalah : benih disimpan di dalam kantung plastik pada kadar air <10% (A), benih disimpan di dalam kantung plastik pada kadar air 10 – 12% (B), benih disimpan di dalam kantung plastik pada kadar air >12% (C), benih disimpan di dalam kantung terigu pada kadar air <10% (D), benih disimpan di dalam kantung terigu pada kadar air 10 – 12% (E), benih disimpan di dalam kantung terigu pada kadar air >12% (F), benih disimpan di dalam kantung bagor pada kadar air <10% (G), benih disimpan di dalam kantung bagor pada kadar air 10 – 12% (H), dan benih disimpan di dalam kantung bagor pada kadar air >12% (I). Percobaan dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut : benih kacang hijau yang akan digunakan untuk penelitian diturunkan kadar airnya terlebih dahulu sehingga diperoleh tiga aras kadar air sesuai perlakuan, yaitu benih dengan kadar air 9 – 10% (9,4%), 10 – 12% (10,6%), dan 12 – 13% (12,9%). Selanjutnya benih kacang hijau dimasukkan ke dalam wadah kantung plastik, kantung terigu, dan kantung bagor
masing-masing sebanyak 250 g. Benih yang sudah dikemas disimpan di ruang terbuka pada suhu 29oC dan kelembaban relatif 75% selama tiga bulan. Benih setelah disimpan selama tiga bulan, diukur kadar airnya dengan metode oven yaitu benih dioven pada suhu 103ºC selama 17 jam. Perhitungan kadar air benih dilakukan berdasarkan Daya
berkecambah
dihitung
basis basah, yaitu benih bobot benih setelah dioven dibagi bobot benih sebelum dioven dikalikan 100 %. Viabilitas benih diukur dengan menghitung daya berkecambah benih dan indeks vigor benih (AOSA, 1993). Benih sebanyak 100 butir per unit percobaan dikecambahkan dalam bak plastik dengan media pasir selama 1 minggu. dengan
rumus
=
kecambah normal x 100 % benih dikecambah kan dan indeks vigor dihitung dengan rumus =
KN1 KN 2 KN ... H1 H2 Hn
(KN = jumlah kecambah normal pada hari 1,2,3 sampai hari ke n dan H = hari yang bersesuaian dengan KN). Selain itu diamati populasi hama gudang kumbang bubuk kacang hijau Callosobruchus chinensis L. stadia imago, pupa, dan larva. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam taraf 5%, dan apabila hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut dengan uji Duncan taraf 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengukuran kadar awal benih kacang hijau sebelum disimpan untuk masing-masing perlakuan adalah 9,4% untuk perlakuan kadar air <10%; 10,6% untuk perlakuan kadar air 10 – 12%; dan 12,9% untuk perlakuan kadar air >12%. Tiga bulan setelah penyimpanan, semua benih kacang hijau mengalami kenaikan kadar air yang bervariasi antar
jenis wadah yaitu antara 0,07 – 3,02%.
Hasil analisis menunjukkan bahwa kenaikan kadar air benih kacang hijau yang disimpan dalam wadah kantung plastik lebih rendah dibandingkan dengan benih yang disimpan dalam wadah kantung terigu dan kantung bagor (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa wadah kantung plastik mampu melindungi benih dari pengaruh kelembaban udara sekitarnya lebih baik dibandingkan kantung terigu dan kantung bagor. Baco dkk. (2000) mengatakan bahwa kadar air benih yang sama pada awal penyimpanan dapat bervariasi selama penyimpanan, bergantung pada kelembaban ruang simpan dan kekedapan
bahan pengemas (wadah) yang digunakan dalam penyimpanan Tabel 1. Kadar air dan peningkatan kadar air benih kacang hijau setelah disimpan selama tiga bulan pada berbagai kadar air dan wadah penyimpanan Perlakuan Kadar air Peningkatan kadar air dan wadah (%) kadar air (%) Kadar air <10% (9,4%), kantung plastik 10,50 g 1,10 c Kadar air 10-12% (10,6%), kantung 11,37 f 0,77 d plastik Kadar air >12% (12,9), kantung plastik 12,97 cd 0,07 e Kadar air <10% (9,4%), kantung terigu 12,42 e 3,02 a Kadar air 10-12% (10,6%), kantung terigu 13,25 bc 2,65 a Kadar air >12% (12,9%), kantung terigu 13,65 ab 0,75 a Kadar air <10% (9,4%), kantung bagor 12,13 e 2,73 a Kadar air 10-12% (10,6%), kantung bagor 12,62 de 2,02 b Kadar air >12% (12,9%), kantung bagor 13,82 a 0,92 cd Keterangan : Nilai purata yang diikuti huruf yang sama pada variabel yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan taraf 5% Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa kantung plastik mampu mempertahankan atau menekan peningkatan kadar air benih lebih baik dibandingkan wadah kantung terigu pada benih kedelai (Astriani dan Dinarto, 2008) dan benih jagung (Dinarto dan Astriani, 2008). Pada penyimpanan benih secara terbuka, udara lingkungan sekitarnya dapat berhubungan langsung dengan ruang penyimpanan sehingga akan mempengaruhi kadar air benih, dan karena benih bersifat higroskopis maka kelembaban udara relatif yang tinggi akan menyebabkan kadar air benih meningkat sampai terjadi keseimbangan. Kartono (2004) mengatakan kadar awal benih dan bahan kemasan (pembungkus) sangat berpengaruh dalam
mempertahankan kadar air benih selama dalam penyimpanan. Menurut Robi’in (2007) penggunaan bahan kemasan yang tepat dapat melindungi benih dari perubahan kondisi lingkungan simpan yaitu kelembaban relatif dan suhu. Hasil pengujian viabilitas benih kacang hijau dengan teknik penyimpanan pada kadar air dan wadah yang berbeda disajikan pada Tabel 2. Penyimpanan benih kacang hijau dengan kadar air semakin tinggi menyebabkan viabilitas benih kacang hijau semakin menurun, baik benih yang disimpan dalam kantung plastik, kantung terigu maupun kantung bagor. Bahkan penyimpanan benih kacang hijau pada kadar air > 10% selama tiga bulan dengan wadah kantung terigu dan kantung bagor menyebabkan daya berkecambah
benih sudah di bawah 80% atau di bawah standar minimal benih kacang hijau dikatakan masih berkualitas baik. Harrington (1973 cit. Saenong dkk., 1997)
mengatakan bahwa kadar air benih merupakan faktor dominan dalam proses kemunduran benih, menyusul suhu ruang simpan.
Tabel 2. Viabilitas benih kacang hijau setelah disimpan selama tiga bulan pada berbagai kadar air dan wadah penyimpanan Perlakuan Daya berkecambah Indeks vigor kadar air dan wadah (%) Kadar air <10%, kantung plastik 98,50 a 23,46 a Kadar air 10-12%, kantung plastik 98,00 a 21,55 a Kadar air >12%, kantung plastik 91,75 a 20,35 ab Kadar air <10%, kantung terigu 84,50 ab 19,80 ab Kadar air 10-12%, kantung terigu 8,75 c 1,91 c Kadar air >12%, kantung terigu 3,50 c 0,65 c Kadar air <10%, kantung bagor 73,75 ab 16,31 ab Kadar air 10-12%, kantung bagor 53,75 b 11,44 b Kadar air >12%, kantung bagor 9,00 c 1,72 c Keterangan : Nilai purata yang diikuti huruf yang sama pada variabel yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan taraf 5% Pada penyimpanan terbuka, kondisi udara lingkungan penyimpanan berhubungan langsung dengan ruang penyimpanan, sehingga akan mempengaruhi kadar air benih dan selanjutnya berpengaruh terhadap viabilitas benih. Kartono (2004) mengatakan meskipun kadar air awal penyimpanan rendah, penyimpanan benih secara terbuka menyebabkan kerusakan benih tinggi, menurunkan daya berkecambah, dan daya simpan benih menjadi tidak lama. Untuk itu, penyimpanan benih dengan udara bebas hanya dapat dilakukan untuk benih yang akan segera ditanam kembali. Peningkatan kadar air benih selama dalam penyimpanan menyebabkan penurunan daya
berkecambah benih kacang hijau (Gambar 1). Menurut Barton cit. Justice dan Bass (2002) kadar air merupakan faktor yang paling mempengaruhi kemunduran benih. Lebih lanjut dikatakan bahwa kemunduran benih meningkat sejalan dengan meningkatnya kadar air benih.
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10
Kadar air Daya berkecambah
0 A
B
C
D
E
F
G
H
I
Perlakuan kadar air dan wadah simpan
Gambar 1. Hubungan kadar air dengan daya berkecambah benih kacang hijau setelah penyimpanan selama tiga bulan Tabel 2 juga menunjukkan penggunaan kantung plastik sebagai wadah penyimpanan benih kacang hijau mampu mempertahankan daya berkecambah benih tetap tinggi (91,75%), walaupun kadar air awal tinggi yaitu > 12%. Hasil yang sama ditunjukkan pada penyimpanan benih jagung bahwa pemakaian wadah kantung plastik lebih baik dibandingkan wadah penyimpanan dari bahan kertas dan kain (Robi’in, 2007). Prinsip dasar pengemasan benih adalah untuk mempertahankan viabilitas dan vigor benih. Kemasan yang baik dan tepat dapat menciptakan ekosistem ruang simpan yang baik bagi benih sehingga benih dapat disimpan lebih lama (Robi’in, 2007). Penyimpanan benih dengan wadah yang kedap udara seperti kantung plastik mampu melindungi benih dari pengaruh lingkungan sekitarnya seperti kelembaban udara relatif dan suhu. Selain itu wadah penyimpanan yang kedap
udara mengurangi tersedianya oksigen sehingga menghambat aktivitas respirasi benih. Pada semua wadah penyimpanan menunjukkan semakin tinggi kadar air semakin meningkat populasi hama gudang kumbang bubuk kacang hijau Callosobruchus chinensis (Tabel 3).
Tabel 3. Populasi larva, pupa, dan imago C. chinensis pada penyimpanan benih kacang hijau dalam berbagai kadar air dan wadah selama tiga bulan Perlakuan kadar air dan Populasi C. chinensis wadah Larva Pupa Imago Kadar air <10%, kantung plastik 1,88 de 1,86 d 4,50 f Kadar air 10-12%, kantung 6,19 bcde 2,32 d 10,33 f plastik Kadar air >12%, kantung plastik 6,90 bcd 6,79 cd 21,59 e Kadar air <10%, kantung terigu 0,83 e 5,85 cd 7,37 f Kadar air 10-12%, kantung 7,72 bc 34,60 a 76,02 b terigu Kadar air >12% , kantung terigu 18,71 a 38,22 a 98,06 a Kadar air <10%, kantung bagor 5,57 cde 9,49 cd 25,04 d Kadar air 10-12%, kantung 9,62 bc 17,28 bc 40,21 c bagor Kadar air >12%, kantung bagor 12,16 ab 31,06 ab 82,79 b Keterangan : Nilai purata yang diikuti huruf yang sama pada variabel yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan taraf 5% Marzuki dan Sutopo (2001) mengatakan bahwa C. chinensis biasanya menyerang benih kacang hijau yang berkadar air tinggi dan hama kurang mampu berkembang pada benih yang disimpan pada kadar air rendah. Imago akan mati pada kelembaban relatif yang rendah. Hasil penelitian menunjukkan populasi C. chinensis pada berbagai wadah penyimpanan meningkat seiring dengan meningkatnya kadar air benih. Populasi larva C. chinensis tertinggi terdapat pada wadah kantung terigu dengan kadar air >12% (Gambar 2).
Populasi hama kumbang bubuk kacang hijau
20 18 16 14 12
Kantung plastik
10 8 6 4 2 0
Kantung terigu Kantung bagor
< 10%
10-12%
> 12%
Kadar air benih saat penyimpanan
Gambar 2. Pengaruh kadar air benih terhadap populasi larva kumbang bubuk kacang hijau pada berbagai wadah simpan Menurut Kartono (2004) serangga dan mikroba mudah berkembang biak bila benih yang disimpan mempunyai kadar air >12% dan kelembaban relatif ruang penyimpanan >80%. Salah satu cara untuk melindungi benih dalam penyimpanan dari serangan hama gudang dapat dilakukan dengan menyimpan benih yang sehat dan kering, dengan kadar air di bawah 10%. KESIMPULAN 1. Kantung plastik merupakan wadah paling baik untuk menyimpan benih kacang hijau pada berbagai kadar air. 2. Kantung terigu mampu mempertahankan viabilitas benih kacang hijau tetap baik (daya berkecambah 84,50%) hanya pada kadar air kurang dari 10%. 3. Kantung bagor kurang sesuai untuk penyimpanan benih
kacang hijau karena tidak mampu mempertahankan viabilitas benih. 4. Populasi hama kumbang bubuk kacang hijau (Callosobruchus chinensis L.) lebih banyak dipengaruhi kadar air benih bukan wadah simpan. DAFTAR PUSTAKA AOSA. 1983. Seed Vigor Testing Handbook. Prepared by The Association of Official Seed Analysts. Contribution No. 12. Astriani, D. dan Dinarto, W. 2008. Kualitas Benih Kedelai pada Penyimpanan Selama Tiga Bulan dalam Berbagai Kadar Air dan Wadah. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional dan Workshop Perbenihan dan Kelembagaan : Peran
Perbenihan dan Kelembagaan dalam Memperkokoh Ketahanan Pangan, UPN “Veteran” Yogyakarta, 10-11 November. Baco, D., Yasin, M., Tandiabang, J., Saenong, S. dan Lando, T. 2000. Penanggulangan Kerusakan Benih Jagung oleh Hama Gudang Sitophilus zeamais dengan berbagai alat dan cara penyimpanan. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 19 (1) : 1-5. Dinarto, W. dan Astriani, D. 2008. Pengaruh Wadah Penyimpanan dan Kadar Air terhadap Kualitas Benih Jagung dan Populasi Hama Kumbang Bubuk (Sitophilus zeamais Motsch). Makalah disajikan dalam Seminar Nasional dan Workshop Perbenihan dan Kelembagaan : Peran Perbenihan dan Kelembagaan dalam Memperkokoh Ketahanan Pangan, UPN “Veteran” Yogyakarta, 10-11 November. Justice, O.L. dan Bass, L. Prinsip dan Penyimpanan Terjemahan oleh Roesli, PT. Raja Persada. Jakarta.
N. 2002. Praktek Benih. Rennie Grafindo
Kartono. 2004. Teknik Penyimpanan Benih Kedelai Varietas Wilis pada Kadar Air dan Suhu Penyimpanan yang
Berbeda. Buletin Teknik Pertanian. 9(2): 79-82. Marzuki, R. dan Sutopo. 2001. Budidaya Kacang Hijau. Penebar Swadaya. Jakarta. Redaksi Rineka Cipta. 1986. Teknologi Benih. PT Rineka Cipta. Jakarta. Robi’in. 2007. Perbedaan Bahan Kemasan dan Periode Simpan dan Pengaruhnya terhadap Kadar Air Benih Jagung dalam Ruang Simpan Terbuka. Buletin Teknik Pertanian. 12 (1) : 79. Saenong, S., Azrai, M., Arief, R., dan Rahmawati. 1997. Pengelolaan Benih Jagung (Online). 145-174 (http://balitsereal.litbangdep tan.go.id/ind/bjagung/ sebelas.pdf, diakses 07 Maret 201
PEDOMAN PENULISAN NASKAH Naskah yang diterima merupakan hasil penelitian, naskah ditulis dalam bahasa Indonesia, diketik dengan computer program MS. Word, front Arial size 11. Jarak antar baris 2 spasi maksimal 15 halaman termasuk garfik, gambar dan tabel. Naskah diserahkan dalam bentuk print-out dan CD; dibuat dengan jarak tepi cukup untuk koreksi. Gambar (gambar garis maupun foto) dan tabel diberi nomor urut sesuai dengan letaknya. Masingmasing diberi keterangan singkat dengan nomor urut dan dituliskan diluar bidang gambar yang akan dicetak. Nama ilmiah dicetak miring atau diberi garis bawah. Rumus persamaan ilmu pasti, simbol dan lambang semiotik ditulis dengan jelas. Susunan urutan naskah ditulis sebagai berikut : 1. Judul dalam bahasa Indonesia. 2. Nama penulis tanpa gelar diikuti alamat instansi. 3. Abstract dalam bahasa Inggris, tidak lebih 250 kata. 4. Materi dan Metode. 5. Hasil dan Pembahasan. 6. Kesimpulan. 7. Ucapan terima kasih kalau ada. 8. Daftar pustaka ditulis menggunakan sistem nama, tahun dan disusun secara abjad Beberapa contoh : Buku : Mayer, A.M. and A.P. Mayber. 1989. The Germation of Seeds. Pergamon Press. 270 p.
Artikel dalam buku : Abdulbaki, A.A. And J.D. Anderson. 1972. Physiological and Biochemical Deteration of Seeds. P. 283-309. In. T.T.Kozlowski (Ed) Seed Biology Vol. 3. Acad. Press. New York. Artikel dalam majalah atau jurnal : Harrison, S.K., C.S. Wiliams, and L.M. Wax. 1985. Interference and Control of Giant Foxtail (Setaria faberi, Herrm) in Soybean (Glicine max). Weed Science 33: 203-208. Prosiding : Kobayasshi,J. Genetic engineering of Insect Viruses: Recobinant baculoviruses. P. 37-39. in: Triharso, S. Somowiyarjo, K.H. Nitimulyo, and B. Sarjono (eds.), Biotechnology for Agricultural Viruses. Mada University Press. Yogyakarta. Redaksi berhak menyusun naskah agar sesuai dengan peraturan pemuatan naskah atau mengembalikanya untuk diperbaiki, atau menolak naskah yang bersangkutan.
Naskah yang dimuat dikenakan biaya percetakan sebesar Rp 100.000,- dan penulis menerima 1 eks hasil cetakan.