Volume 2.2 29 nov.indd 123
11/29/2011 5:09:56 PM
Kata Pengantar
Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih, atas perkenan-Nya sehingga kami dapat menerbitkan jurnal ilmiah hukum bisnis dan investasi “Dialogia Iuridica” volume kedua edisi kedua sesuai dengan harapan kita bersama pada bulan April 2011 ini. Jurnal ini adalah salah satu media ilmiah yang menginformasikan berbagai artikel yang terkait dengan bisnis dan investasi yang tetap berorientasi pada disiplin ilmu hukum. Pada kesempatan yang baik ini kami sampaikan terima kasih kepada para penulis dan para penyunting ahli yang telah membantu dalam rangka penyusunan artikel pada jurnal ilmiah ini. Dalam jurnal edisi ini akan ditampilkan beberapa rubrik dan artikel terpilih, terdiri atas Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Lembaga Keuangan Pasar Modal oleh Daniel Hendrawan, Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak oleh Yenny Yuniawati, Penegakan Sanksi Pidana dan Administratif dalam Regulasi Perbankan sebagai Upaya Meminimalisir Tindak Pidana Window Dressing oleh Hassanain Haykal, Penerapan Undang-Undang ITE Untuk Mencegah Praktek Bisnis Curang Dalam E Commerce oleh Ocktavianus Hartono, Tindak Pidana dalam Proses Penerbitan Sertipikat Tanah dan Dampaknya terhadap Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Sertifikat Tanah di Indonesia oleh Rahel Octora, Kedudukan Perjanjian Perkawinan/Pranikah (prenuptial Agreement) dalam Hukum Perkawinan serta Implikasinya terhadap Harta Benda Perkawinan dan Hukum Waris pada Dewasa Ini oleh Isis Ikhwansyah, Tradisi Hukum Barat : Pranata-pranata Hukum yang Menarik oleh Tresnawati. Kami berharap kiranya Jurnal “Dialogia Iuridica” ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan dalam rangka pemberdayaan dan pengembangan ilmu hukum, juga memberikan wawasan bagi insan kalangan hukum, baik praktisi maupun teoretisi. Kami mohon saran dan masukan untuk penyempurnaan jurnal berikutnya. Selamat membaca, semoga bermanfaat.
Bandung, April 2011 Redaksi
ii
Volume 2.2 29 nov.indd 124
11/29/2011 5:09:56 PM
Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Lembaga Keuangan Pasar Modal Daniel Hendrawan
ABSTRACT Capital market as the finance house that affect the economic growth of one nation. The economic development can be seen from the amount of the transaction in the capital market. The more and more transaction in the capital market then the capital or money passing through are ampler. The consequences of the increasingly amount of capital in the capital market yield to summon excessively amount of non-good faith people to make use of the capital market to perpetrate crime in order to procure advantage. The crime that can be executed was money laundering. Keywords : money laundering, procure advantage
1. Definisi dan unsur-unsur Money Laundering Dalam bahasa Indonesia, tindak pidana pencucian uang seringkali diterjemahkan menjadi “pemutihan uang” atau “pencucian uang”. Terminologi ini diterjemahkan dari kata asalnya yang berupa launder yang berati “mencuci”. Uang yang dicuci tersebut merupakan uang dari hasil kejahatan. Contoh dari kegiatan pencucian uang ini adalah uang dari hasil jual beli narkotika atau juga korupsi, lalu dibersihkan dengan cara diputihkan atau dicuci dengan tujuan utamanya adalah agar uang tersebut tidak lagi terdeteksi oleh aparat penegak hukum bahwa uang tersebut adalah uang dari hasil kejahatan sehingga uang tersebut menjadi sama seperti uang yang lainnya menjadi uang yang legal. Dalam pencucian uang,
hal yang utama adalah menghilangkan jejak bahwa uang tersebut merupakan hasil kejahatan. Dengan proses kegiatan money laundering, uang yang semula merupakan uang haram (dirty money) diproses sehingga menghasilkan uang bersih (clean money/legitimate money). Dalam proses ini uang disalurkan dalam proses “penyesatan” (imaze). Dengan demikian, kegiatan money laundering dapat diartikan sebagai : “The process of hiding or disguising assets which are the products or a result of a criminal activity for the purpose of reintroducing them to a legal economic system (IBA, 1998:9). Hal ini diartikan sebagai suatu proses penyembunyian atau penyamaran aset, aset mana merupakan hasil dari kegiatan kriminal dengan tujuan agar aset tersebut diperkenalkan kembali sebagai aset dalam suatu sistem ekonomi yang sah.”
Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Lembaga Keuangan Pasar Modal
Volume 2.2 29 nov.indd 123
123
11/29/2011 5:09:56 PM
Pengertian money laundering yang diberikan oleh M. Giovanoli dari Bank of International Settlement (BIS) adalah suatu proses dengan mana aset-aset si pelaku, terutama aset tunai yang diperoleh dari suatu tindak pidana, dimanipulasikan sedemikian rupa sehingga aset-aset tersebut seolah-olah berasal dari sumber yang sah. 1 Pengertian money laundering yang diberikan oleh J. Koers, seorang penuntut umum dari Belanda adalah sebagai suatu cara untuk mengedarkan uang hasil kejahatan ke dalam suatu peredaran uang yang sah dengan menutupi asal usul uang tersebut. 2 Dari segi hukum pidana, yang dimaksud dengan tindak pidana pencucian uang adalah usaha untuk menyimpan uang di bank, pasar modal atau tempat lain, mengalihkan uang atau menitipkannya, menghadiahkan, menginvestasikan, atau menarik keuntungan dari hasil yang sepatutnya harus diketahui atau patut diduga atau diperoleh dari tindak pidana narkotika atau tindak pidana lainnya. Kegiatan pencucian uang saat ini secara global telah digolongkan sebagai suatu tindak pidana dan bersifat lintas negara (cross border), sehingga tindak pidana pencucian ini juga dikategorikan sebagai tindak pidana internasional (international crime) dimana kegiatan ini dapat berlangsung di beberapa negara yang berbeda dengan pelaku yang sama. Oleh karenanya kegiatan ini dimasukkan juga ke dalam United Nations Convention Against Illict Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substance (konvensi PBB) pada Pasal 3 ayat (1) yang disahkan sejak 19 Desember 1988 dan mulai berlaku
sejak November 1990. Indonesia telah meratifikasi konvensi ini sejak 31 Januari 1997 dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996. 3 Dalam United Nations Convention Against Illict Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substance (konvensi PBB) pada Pasal 3 ayat (1), money laundering diartikan dengan : “Money Laundering berati setiap tindakan yang dilakukan dengan sengaja dalam hal-hal sebagai berikut: a. Konversi atau pengalihan barang, yang diketahui bahwa barang tersebut berasal dari kegiatan kriminal atau berpartisipasi terhadap kegiatan tersebut. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menyembunyikan sifat melawan hukum dari barang tersebut ataupun membantu seseorang yang terlibat sebagai perantara dalam kegiatan tersebut untuk menghilangkan konsekuensi hukum dari kegiatan tersebut. b. Menyembunyikan keadaan yang sebenarnya, sumbernya, lokasi, pengalihan, pergerakan, hak-hak yang berkenaan dengan kepemilikan atau barang-barang di mana yang bersangkutan mengetahui bahwa barang tersebut berasal dari kegiatan kriminal, atau ikut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. c. Perolehan, penguasaan atau pemanfaat dari barang-barang, di mana pada waktu menerimanya, yang bersangkutan mengetahui bahwa barang tersebut berasal dari tindakan kriminal atau ikut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. d. Segala tindakan partisipasi dalam kegiatan untuk melaksanakan, percobaan untuk melaksanakan,
1 YPHB. Journal Hukum Bisnis. Volume 3. 1998, Hlm. 5 2 Ibid 3 Munir Fuady.Hukum Perbankan Modern Buku Kedua.Bandung : Citra Aditya, 2004, Hlm. 147-148.
124
Volume 2.2 29 nov.indd 124
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:09:57 PM
membantu, bersekongkol, memfasilitasi, memberikan nasihat terhadap tindakan-tindakan tersebut di atas.” Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, yang tergolong ke dalam tindak pidana pencucian uang adalah setiap harta kekayaan hasil tindakan pidana yang disebutkan khusus dalam undang-undang tersebut, yakni tindakan sebagai berikut: a. “menempatkan kekayaan hasil tindakan pidana; b. mentransfer kekayaan hasil tindakan pidana; c. membayarkan atau membelanjakan uang hasil tindak pidana; d. menghibahkan atau menyumbangkan kekayaan hasil tindak pidana; e. menitipkan kekayaan hasil tindak pidana; f. membawa ke luar negeri kekayaan hasil tindak pidana; g. menukarkan atau perbuatan lainnya atas kekayaan hasil tindak pidana h. menerima, atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, penghibahan, sumbangan, penitpan, atau penukaran kekayaan hasil tindak pidana; dan i. melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang.” Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, harta kekayaan yang
termasuk dalam kategori harta kekayaan yang dimasukkan ke dalam money laundering adalah: a. “korupsi; b. penyuapan; c. penyelundupan barang; d. penyelundupan tenaga kerja; e. penyelundupan imigran; f. kejahatan di bidang perbankan; g. kejahatan di bidang pasar modal; h. kejahatan di bidang asuransi; i. narkotika; j. psikotropika; k. perdagangan manusia; l. perdagangan senjata gelap; m. penculikan; n. terorisme; o. pencurian; p. penggelapan; q. penipuan; r. pemalsuan uang; s. perjudian; t. prostitusi; u. kejahatan di bidang perpajakan; v. kejahatan di bidang kehutanan; w. kejahatan di bidang lingkungan hidup; x. kejahatan di bidang kelautan; y. tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4(empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah atau di luar wilayah Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.” Dengan begitu banyaknya tindakan yang dapat dijerat dengan tindak pidana pencucian uang, Munir Fuady mengelompokannya menjadi 3 (tiga) bagian yaitu : a. “Uang yang berasal dari kegiatan kriminal. Misalnya: pencurian, pe-
Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Lembaga Keuangan Pasar Modal
Volume 2.2 29 nov.indd 125
125
11/29/2011 5:09:57 PM
rampokan, penipuan, perdagangan narkotika, korupsi, atau penyogokan. b. Uang yang berasal dari kegiatan penghindaran pajak. Misalnya: uang penghindaran/penggelapan pajak yang dilakukan di Cayman Islands dan lain-lain Tax Heaven Countries. c. Uang yang berasal dari penyimpangan berbagai aturan lain. Misalnya: uang hasil dari kegiatan penyimpangan di bidang ekspor impor (seperti pemalsuan dokumen, pemalsuan volume barang, penyelundupan, dan penggelapan bea masuk atau pajak ekspor) atau uang dari kegiatan penyimpangan di bidang perdagangan umum, semisal pemalsuan perhitungan harga, mutu, jaminan, atau berat barang, dan sebagainya.” Dalam proses melakukan kegiatan money laundering, dilakukanlah 5 (lima) kegiatan pokok sebagai berikut: a. “Merahasiakan sumber uang kotor (dirty money) tersebut; b. Merahasiakan siapa pemilik uang tersebut; c. Mengubah bentuk dana sehingga dapat dibawa kemana-mana d. Kemana pun dalam wujud apapun uang tersebut beredar dapat terus terpantau dengan mudah oleh pemilik kekayaan; e. Merahasiakan proses pencucian uang sehingga sulit dilacak oleh pihak yang berwenang.”
2. Latar Belakang Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam praktik istilah money laundering sebenarnya telah ada di
126
Volume 2.2 29 nov.indd 126
Amerika Serikat sejak tahun 1830. Istilah money laundering dikenal sejak tahun 1930, erat kaitannya dengan perusahaan laundry, yakni perusahaan pencucian pakaian. Perusahan ini dibeli oleh para mafia Amerika Serikat atas hasil dana yang diperolehnya dari berbagai usaha ilegal, setelah itu para mafia tersebut memutihkan atau membuat legal uanguang hasil dari pelacuran, perjudian dan juga hasil dari berjualan minuman keras. Selanjutnya, istilah dari money laundering menjadi semakin popular setelah Interpol mengusut kasus Pizza connection. Kasus ini adalah kasus pemutihan uang dan bernilai US$ 600,000,000 di mana dana yang illegal dilarikan ke restoran-restoran pizza agar menjadi legal. Sifat kriminalitas pencucian uang berkaitan dengan latar belakang dari perolehan jumlah uang yang sifatnya tidak sah, kotor, dan haram, lalu uanguang yang haram tersebut dikelola sedemikian rupa dimasukkan ke dalam usaha-usaha yang legal sehingga uanguang tersebut menjadi legal dan halal. Usaha-usaha yang dimaksud biasanya dengan membuat usaha perdagangan, dimasukkan ke dalam lembaga keuangan seperti bank dan pasar modal. Pada awal mulanya, tindak pidana pencucian uang ini berkaitan erat dengan penjualan narkotika. Dalam perkembangan selanjutnya, banyak kejahatan-kejahatan besar yang kemudian diatur dalam undang-undang dan menjadi sorotan publik dan akhirnya menjadi bagian dari tindak pidana pencucian uang. Perkembangan berikutnya metode pencucian uang ini dilakukan dengan
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:09:57 PM
menggunakan institusi perbankan atau pihak perantara finansial lainnya seperti fund manager. Misalnya uang tersebut dimasukkan ke dalam pasar modal untuk dipergunakan dalam proses jual beli saham dan akhirnya uang haram tersebut menjadi tercampur baur dengan uang-uang lainnya di dalam pasar modal, sehingga menjadi semakin sulit untuk dilacak mengenai keberadaan uang yang tidak sah tersebut. Secara internasional terdapat konvensi United Nations Convention Against Illict Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substance atau Un Drug Convention dideklarasikan di Vienna 19 Desember 1998 yang telah diratifikasi oleh Indonesia menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1961. Di samping itu, council dari masyarakat Eropa (European Community) telah memberlakukan suatu directif terhadap pencegahan sistem finansial untuk kegiatan money laundering (1990) dan Financial Action Task Force (FATF) (1989), berpusat di Paris, telah dibentuk oleh Negara-negara industry G7 dan beranggotakan 26 negara. 4 Sebagaimana halnya dengan negaranegara lain, Indonesia juga memberi perhatian besar terhadap tindak pidana lintas negara yang terorganisir (transnational organized crime) seperti pencucian uang (money laundering) dan terorisme. Pada tataran internasional, upaya melawan kegiatan pencucian uang ini dilakukan dengan membentuk satuan tugas yang disebut The Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering oleh Kelompok 7 Negara (G-7) dalam G-7 Summit di Perancis pada bulan Juli 1989. FATF saat ini beranggotakan 29 Negara/teritorial, serta 2 organisasi
regional yaitu the European Commission dan the Gulf Cooperation Council yang mewakili pusat-pusat keuangan utama di Amerika, Eropa dan Asia. Untuk wilayah Asia Pasifik terdapat the Asia Pacific Group on Money Laundering (APG) yaitu badan kerjasama internasional dalam pengembangan anti money laundering regime yang didirikan pada tahun 1997, dan Indonesia telah menjadi anggota sejak tahun 2000. Saat ini, APG terdiri dari 26 anggota yang tersebar di Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Asia Timur serta Pasifik Selatan. 5 Menurut John C Keeney, Deputy Assistant Attorney General “Allowing illegally earned money to pass through society sustains criminal operations, for money is the ‘life blood’ of any criminal organization” 6 Terjemahan bebas dari penulis: Dengan mengijinkan uang yang diperoleh secara illegal atau melawan hukum untuk dapat dijangkau atau tiba dan digunakan di masyarakat adalah memiliki peranan dalam tindak kejahatan, karena uang adalah darah kehidupan bagi organisasi kejahatan. Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) menyatakan bahwa penjualan senjata illegal, penyelundupan dan kegiatan kejahatan terorganisasi (perdagangan obat terlarang dan prostitusi), penggelapan, perdagangan orang dalam (insider trading), penyuapan dan penyalahgunaan komputer juga merupakan tindak pidana awal yang selanjutnya dapat menimbulkan money laundering. 7
4 Munir Fuady. Ibid, Hlm 156. 5 http://www.Bapepam.go.id/pasar_modal/publikasi_pm/info_pm/pedoman_pencucian_uang.pdf 6 Pamela H. Bucy. White Collar Crime: Case and Materials. St. Paul Minn : West Publishing Co.,1992,
Hlm. 132.
7 The Financial Action Task Force oleh kelompok G7, dalam G7 Summit. Perancis 1989, dalam Arief Amirullah.
Tindak Pidana Pencucian Uang, Money Laundering. Jawa Timur: Bayu Media Publishing 2004. Hlm. 10. Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Lembaga Keuangan Pasar Modal
Volume 2.2 29 nov.indd 127
127
11/29/2011 5:09:57 PM
Salah satu peran dari FATF adalah menetapkan kebijakan dan langkahlangkah yang diperlukan dalam bentuk rekomendasi tindakan untuk mencegah dan memberantas pencucian uang. Sejauh FATF ini telah mengeluarkan 40 (empat puluh) rekomendasi pencegahan dan pemberantasan pencucian uang serta 8 (delapan) rekomendasi khusus untuk memberantas pendanaan terorisme. Negara-negara yang berdasarkan penilaian FATF tidak memenuhi rekomendasi tersebut, akan dimasukkan dalam daftar Non-Cooperative Countries and Teritories (NCCTs). Negara yang masuk dalam daftar NCCTs dapat dikenakan counter-measures, yang dapat berakibat buruk terhadap sistem keuangan misalnya meningkatnya biaya transaksi keuangan dalam melakukan perdagangan internasional khususnya terhadap negara maju atau penolakan oleh negara lain atas Letter of Credit (L/C) yang diterbitkan oleh perbankan di negara yang terkena counter-measures tersebut. 8 Akibat lain yang cukup serius dapat berupa pemutusan hubungan korespondesi antara bank luar negeri dengan bank domestik, pencabutan ijin usaha kantor cabang atau kantor perwakilan bank nasional di luar negeri, dan kemungkinan penghentian bantuan luar negeri kepada pemerintah. Sanksi tersebut di atas pada akhirnya akan dirasakan langsung oleh masyarakat luas. Pencucian uang memiliki akibat yang cukup besar. Menurut John Mcdowell dan Gary Novis dari Bureau International Narcotics and Law Enforcement Affairs United States Department: 8 9 10 11 12
(terjemahan bebas oleh penulis) “Tindak pidana cuci uang telah menghancurkan ekonomi, keamanan dan juga kehidupan sosial.” Akibat lain yang cukup serius dapat berupa pemutusan hubungan korespondesi antara bank luar negeri dengan bank domestik, pencabutan ijin usaha kantor cabang atau kantor perwakilan bank nasional di luar negeri, dan kemungkinan penghentian bantuan luar negeri kepada pemerintah. 10 Sanksi tersebut di atas pada akhirnya akan dirasakan langsung oleh masyarakat luas. Untuk meminimalisir dampak dari pasar modal tersebut, pemerintah Indonesia, melalui Bappepam (Badan Pengawas Pasar modal) berupaya keras untuk mengatasi dan mencegah tindak kejahatan di pasar modal Indonesia dengan berbagai cara antara lain dengan menertibkan dan membina pelaku pasar modal sebagai tindakan preventif dan menuntaskan kejahatan di bidang pasar modal sebagai tindakan represif. 11
3. Tahapan Pelaksanaan Money laundering Dalam pelaksanaan tindak pencucian uang, menurut Munir Fuady terdapat tiga tahapan yaitu: 12 a. Tahap penempatan (placement) Pada tahap penempatan dana ini (placement), uang hasil kejahatan ditempatkan pada bank tertentu yang dianggap aman. Penempatan uang tersebut dimasukkan hanya
http://www.bapepam.go.id/pasar_modal/publikasi_pm/info_pm/pedoman_pencucian_uang.pdf John Mcdowell and Gary Novis. The consequences of Money Laundering and Financial Crime. 2001 http://www.bapepam.go.id/pasar_modal/publikasi_pm/info_pm/pedoman_pencucian_uang.pdf op cit M. Irsan Nasarudin dan Indra Surya. Aspek Hukum Pasar Modal. Jakarta: Prenada Media.2004. Hlm. 260 Munir Fuady.Bisnis Kotor Anatomy Kejahatan Kerah Putih. Bandung: Citra Aditya Bakti,2005, hlm. 87.
128
Volume 2.2 29 nov.indd 128
“money laundering has potentially devastating economics, security, and social sequences” 9
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:09:57 PM
untuk sementara waktu saja. Dalam tahap penempatan dana ini juga dilakukan proses membenam uang (immersion). Proses membenam uang itu dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Dibenamkan uang tersebut dengan melalui proses pembayaran yang sah di berbagai lembaga keuangan. Misalnya, melalui rekening koran, surat berharga, traveller’s cheque, dan sebagainya. 2. Sebanyak mungkin melakukan transaksi tunai (cash and carry), sehingga asal usul uang tersebut menjadi semakin sulit dilacak. Karena itu, dalam hal uang tersebut digunakan dalam usaha perdagangan eceran, perdagangan batu permata, barang antik, uang atau perangko tua, restoran, bar, klub malam, serta perjudian dan pelacuran yang dilokalisasi. b. Tahap pelapisan (layering) Dalam tahap pelapisan ini, dilakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menghilangkan jejak atau indikasi asal usul uang tersebut. Dalam tahap membenamkan uang ini, uang tersebut benar-benar diputihkan/ dicuci untuk menghilangkan jejak uang tersebut. Ada banyak sekali cara yang dilakukan dalam tahap ini. Tindakan-tindakan yang dilakukan dalam tahap ini adalah : 1. pembelian saham di bursa efek; 2. transfer uang ke nagara lain dalam bentuk mata uang asing 3. Meminjam uang di bank lain dengan menggunakan deposito
4. 5. 6. 7.
yang ada di bank Membeli properti tertentu Membeli valuta asing Melakukan transaksi derivatif Dan lain-lain masih banyak lagi.
c. Tahap menggunakan harta kekayaan atau uang (intergration) Dalam tahap intergrasi dan repartasi ini uang hasil kejahatan yang telah dicuci pada tahap pembenaman tersebut dikumpulkan kembali ke dalam suatu proses keuangan yang sah. Karena itu, pada tahap ini uang tersebut sudah benar-benar bersih dan sulit dilacak asal muasalnya. Dengan demikian, jika dalam proses-proses sebelumnya uang tersebut dibenamkan dan dicuci, maka pada tahap intergrasi ini dapat dikatakan bahwa uang yang telah dicuci tersebut dikeringkan kembali sehingga menjadi uang yang kering dan bersih seperti halnya uang-uang yang lainnya.
4. Jenis Kegiatan Dalam Pelaksanaan Money Laundering Terdapat beberapa jenis kegiatan yang biasa dilakukan dalam kejahatan tindak pidana pencucian uang, yaitu: 13 a. Kerja Sama Penanaman Modal Dalam modus operandi seperti ini, uang hasil kejahatan tersebut dibawa ke luar negeri. Kemudian, uang tersebut dimasukkan kembali ke dalam negeri lewat proyek-proyek penanaman modal asing (joint venture). Selanjutnya, keuntungan dari perusahaan joint venture tersebut diinvestasi lagi ke dalam
13 Mahmoedin, As. Analisis Kejahatan Perbankan.Jakarta : Raflesia, 1997, hlm. 295
Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Lembaga Keuangan Pasar Modal
Volume 2.2 29 nov.indd 129
129
11/29/2011 5:09:57 PM
b.
c.
d.
e.
130
Volume 2.2 29 nov.indd 130
proyek-proyek yang lain, sehingga keuntungan dari proyek tersebut sudah merupakan uang yang bersih bahkan sudah terkena pemotongan pajak. Agunan Kredit Bank Swiss Dalam hal ini uang hasil kejahatan diselundupkan terlebih dahulu ke luar negeri, di mana di luar negeri uang tersebut disimpan di bank tertentu. Dari bank di luar negeri tersebut, uang itu ditransfer ke bank di Swiss dalam bentuk deposito. Kemudian, deposito tersebut dijadikan jaminan hutang atas pinjaman di bank lain di negara lain (misalnya salah satu bank di Eropa). Uang dari pinjaman tersebut kemudian ditanamkan kembali ke negara asal di mana kejahatan yang menghasilkan uang tersebut dilakukan dan uang yang demikian sudah menjadi uang bersih Transfer ke Luar Negeri Dalam hal ini uang hasil kejahatan tersebut ditransfer ke luar negeri lewat cabang bank di luar negeri di negara asal kejahatan. Selanjutnya, dari luar negeri uang tersebut dibawa kembali ke dalam negeri oleh orang tertentu, seolah-olah uang tersebut berasal dari luar negeri. Usaha Tersamar di Dalam Negeri Suatu perusahaan samaran di dalam negeri didirikan dengan uang hasil kejahatan tersebut. Perusahaan tersebut kemudian berbisnis dan tidak menjadi soal apakah perusahaan tersebut untung atau tidak. Akan tetapi, seolah-olah yang terjadi adalah perusahaan tersebut telah menghasilkan uang bersih. Tersamar Dalam Perjudian Dalam hal ini dengan uang hasil
kejahatan tersebut didirikanlah suatu usaha perjudian, sehingga seolaholah uang tersebut sebagai hasil dari usaha judi tersebut. Atau dibeli nomor undian berhadiah dengan nomor menang yang dipesan dengan harga yang tinggi, sehingga seolaholah uang tersebut adalah hasil dari menangnya undian tersebut. f. Penyamaran Dokumen Dalam metode ini uang tersebut tidak kemana-mana, tetapi tetap di dalam negeri. Namun demikian, keberadaan uang tersebut didukung oleh berbagai dokumen bisnis yang dipalsukan atau direkayasa sehingga ada kesan uang tersebut berasal dari bisnis yang berhubungan dengan dokumen yang bersangkutan. Rekayasa tersebut misalnya dengan melakukan double invoice dalam hal ekspor-impor, sehingga uang tersebut seolah-olah merupakan hasil dari bisnis ekspor impor tersebut. g. Pinjaman Luar Negeri Uang hasil kejahatan dalam hal ini dibawa ke luar negeri. Kemudian, uang tersebut dimasukkan kembali ke negara asalnya dalam bentuk pinjaman luar negeri. Jadi, seolaholah uang tersebut diperoleh karena pinjaman (bantuan kredit) dari luar negeri. h. Rekayasa Pinjaman Luar Negeri Dalam hal ini uang hasil kejahatan tersebut tidak dibawa kemana-mana, tetapi tetap di negeri asal kejahatan. Namun demikian, dibuat suatu rekayasa dokumen seakan-akan ada bantuan pinjaman dari luar negeri, padahal sama sekali tidak ada pihak yang memberikan pinjaman tersebut.
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:09:57 PM
Sedangkan instrumen yang digunakan untuk praktek money laundering adalah:14 a. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya Banyak jasa yang ditawarkan oleh bank atau oleh lembaga keuangan lainnya dapat digunakan untuk memutihkan uang hasil kejahatan. Berikut ini contoh-contoh penggunaan jasa-jasa tersebut: 1. Penukaran uang hasil kejahatan. Misalnya: menukar pecahan kecil dengan pecahan besar 2. Penukaran uang hasil kejahatan dengan simpanan dengan nama palsu 3. Penggunaan safe deposit box untuk menyembunyikan uang hasil kejahatan 4. Penggunaan fasilitas transfer, di mana uang hasil kejahatan ditransfer ke tempat yang diinginkan 5. Penggunaan fasilitas electronic fund transfer untuk membayar transaksi yang tidak sah (seperti transaksi narkotika), atau menyimpan/mendistribusikan hasil transaksi yang tidak legal tersebut. b. Perusahaan Swasta Untuk itu didirikan perusahaanperusahaan dari uang hasil kejahatan dengan maksud transaksi fiktif. Dengan demikian seolah-olah perusahaan tersebut memberikan keuntungan yang sah. c. Real Estate Pemutihan uang juga dapat dilakukan dengan jalan membeli dan menyewakan real estate. Untuk dapat memudahkan operasionalnya, pihak pelaku money laundering
dapat mendirikan perusahaan real estate, yang akan bertindak sebagai agen atau pemborong. d. Deposit Taking Institution dan Money Changer Keberadaan Deposit Taking Instiotution (DTI) juga merupakan sarana ampuh bagi pihak yang berkeinginan melakukan tindakan money laundering. Pihak Deposit Taking Institution (DTI) seperti chartered bank, trusted company, atau credit union memberikan banyak kemudahan yang cukup bermanfaat bagi pelaku money laundering. Misalnya, sistem kliring yang efisien, lokasinya yang berada dalam negara yang stabil secara politis dan ekonomis, prinsip kerahasiaan bank yang dipegang teguh, dan lainlain. Cara-cara melakukan kegiatan money laundering dengan memakai Deposit Taking Instiotution (DTI), antara lain dengan jalan: 1. Transfer uang melalui teleks dan surat berharga 2. Penukaran valuta asing 3. Pembelian obligasi pemerintah, dan treasury bills. Selain itu, perusahaan-perusahaan money changer juga sering digunakan sebagai tempat pencucian uang. e. Institusi Penanaman Uang Asing Pihak yang melakukan kegiatan money laundering ini kadangkala memanfaatkan pihak institusi penanaman modal asing, di mana pihak penanaman modal asing bertindak selaku perantara antar mafia kejahatan dengan pihak perbankan, dan dalam hal ini nantinya uang tersebut didepositokan pada bank tersebut.
14 Munir Fuady. Op. Cit., Hlm. 159.
Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Lembaga Keuangan Pasar Modal
Volume 2.2 29 nov.indd 131
131
11/29/2011 5:09:57 PM
f. Pasar Modal dan Pasar Uang Lembaga pasar modal juga merupakan tempat yang ampuh bagi pihak penjahat untuk memutihkan uang-uangnya. Misalnya, dilakukan dengan membeli efek-efek yang ditawarkan di pasar modal lewat pihak broker, dengan tetap menjaga kerahasiaan identitas pelaku, misalnya dengan menggunakan rekening orang lain. Atau dapat juga dilakukan dengan melakukan suatu private placement ke dalam suatu perusahaan di mana kemudian perusahaan tersebut go public di pasar modal. Selain pasar modal, pasar uang (nasional dan internasional) juga sering digunakan oleh pelaku pencucian uang tersebut. g. Emas dan Barang Antik Dapat juga uang hasil kejahatan diputihkan dengan jalan membeli emas dan barang antik, sehingga diharapkan dengan pembelian tersebut, uang hasil kejahatan tersebut sudah berubah bentuk. Kemudian, pada waktu yang tepat emas dan barang antik tersebut sudah menjadi bersih. h. Konsultan Keuangan Jasa Konsultan keuangan atau konsultan manajemen juga sering dipergunakan oleh mereka yang melakukan kegiatan money laundering. Dalam kasus Bank of Credit & Commerce International (BCCI) misalnya, jasa kantor konsultan keuangan/manajemen juga sering digunakan. Penggunaan jasa konsultan keuangan dalam kegiatan money laundering dilakukan dengan jalan dibukanya rekening di bank tertentu atas nama
kantor konsultan keuangan tersebut. Kemudian, mengalirlah ke rekening tersebut setoran cek kontan, money order atau cashier check’s. Selanjutnya dilakukan perintah transfer terhadap dana dalam rekening tersebut ke bank-bank misalnya bank di Cayman Islands.
5. Pihak-Pihak yang Terlibat Dalam Kegiatan Pasar Modal Pasar modal termasuk sebagai pasar yang bervariasi antara pihak dan juga barang yang diperdagangkan. Hal ini mudah dipahami berhubungan mobilitas perputaran uang di pasar modal besar jumlahnya. Dalam waktu beberapa detik saja, miliaran dolar dapat ditarik dari suatu negara lewat wahana pasar modal. Maka ibarat kata orang bijak, dimana ada gula di situ ada semut, maka berdatanganlah orang-orang ke tempat tersebut, dengan berbagai peranan yang dimainkannya, atau mereka datang untuk sekedar berspekulasi dengan nasibnya dengan melakukan investment di tempat itu. 15 Kegiatan berinvestasi di pasar modal telah menarik banyak pihak dan telah menjadi magnet pada lembaga keuangan. Orang-orang akan datang dengan jumlah yang besar untuk ikut menikmati hasil dari investasi yang sangat menguntungkan dan keuntungan yang didapat dengan sedikit mengandung unsur perjudian karena apa yang akan terjadi merupakan taruhan di mana modal yang kita tanamkan akan menghasilkan keuntungan atau akan habis seluruhnya. Pihak-Pihak yang dapat dikategorikan sebagai pelaku dalam pasar modal adalah: 16
15 Munir Fuady. Loc. Cit., hlm. 38. 16 Ibid
132
Volume 2.2 29 nov.indd 132
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:09:58 PM
a. b. c. d. e. f.
Emiten Perusahaan Publik Bappepam Bursa Efek Lembaga Kliring dan Penjaminan Lemabaga Penyimpanan dan Penyelesaian g. Reksa Dana h. Perusahaan Efek i. Wakil Perusahaan Efek j. Perantara Perdagangan Efek k. Penjamin emisi l. Penasehat investasi m. Manager Investasi n. Lembaga Penunjang 1. Kustodian 2. Biro Administrasi Efek 3. Wali Amanat o. Profesi Penunjang Pasar Modal 1. Akuntan 2. Konsultan Hukum 3. Penilai 4. Notaris 5. Profesi lain yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Menurut Asri Prabosinta Prabowo, para pihak atau pelaku pasar modal adalah: 17 a. Emiten Emiten yaitu pihak yang melakukan penawaran umum. Pengertian ini diatur dalam Pasal 1 Butir (6) Undang-Undang Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995. Perusahaan yang melakukan emisi, harus terlebih dahulu menyampaikan pertanyaan pendaftaran kepada Badan Pengawas Pasar Modal (BAPPEPAM) untuk menjual atau menawarkan efek kepada masyarakat, dan setelah pernyataan pendaftaran efektif,
emiten dapat melakukan penawaran umum. Perusahaan yang go public memanfaatkan pasar modal untuk menarik dana umumnya didorong oleh beberapa tujuan: 1. melakukan perluasan usaha (ekspansi) atau diversifikasi usaha; 2. memperbaiki struktur keuangan: pasar modal menyediakan sumber pendanaan yang bersifat permanen (equity) atau yang bersifat jangka panjang (obligasi). Pendanaan melalui equity akan mengurangi beban perusahaan untuk membayar kembali bunga dan pokok pinjaman. Adapun pendanaan melalui pokok obligasi pemakaiannya lebih leluasa dibandingkan pendanaan bank yang berjangka pendek khususnya pendanaan proyek yang menghasilkan return dalam jangka panjang; 3. Pengalihan kepemilikan (divestasi): dengan adanya go public kepemilikan saham perusahaan akan lebih tersebar dan tidak terkonsentrasi pada kelompok tertentu. Dengan demikian terdapat penyebaran pendapatan dan risiko usaha. 18 b. Penjaminan emisi efek Penjamin emisi efek, yaitu pihak yang membuat kontrak dengan emiten untuk melakukan penawaran umum bagi kepentingan emiten dengan atau tanpa kewajiban untuk membeli sisa efek yang tidak terjual. PerusahaanPerusahaan yang menjual saham atau obligasi menginginkan dana dari hasil penjualan itu dalam waktu yang
17 Asri Prabosinta Prabowo. Prospek Penjaminan Emisi Bagi Perusahaan Menengah atau Kecil. Tesis. STIH-IBLAM.
Jakarta, 1997, hlm. 32
18 Imam Sjahputra Tunggal. Tanya Jawab Aspek Hukum Pasar Modal di Indonesia. Jakarta: Harvarindo, 2000, hlm.
14-15.
Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Lembaga Keuangan Pasar Modal
Volume 2.2 29 nov.indd 133
133
11/29/2011 5:09:58 PM
telah ditentukan dan sesuai jumlah tertentu pula. Penjamin emisi inilah yang akan mengambil resiko untuk menjual saham atau obligasi emiten dengan mendapatkan imbalan. 19 Dalam persetujuan penjaminan emisi dengan emiten, penjamin emisi akan mengajukan salah satu di antara beberapa jenis perjanjian penjaminan emisi, yaitu: 1. Best effort commitment: penjamin emisi setuju untuk menjamin bahwa ia akan menggunakan best effort-nya untuk menjual efek yang ditawarkan, tetapi ia tidak berkewajiban untuk membeli sisa efek yang tidak habis terjual. 2. Best effort all or none: penawaran akan dibatalkan bila penjamin emisi tidak berhasil untuk menjual seluruh efek yang ditawarkan. 3. Full commitment: penjamin emisi setuju untuk membeli seluruh efek yang ditawarkan dan dengan demikian ia menanggung resiko akan tidak terjualnya keseluruhannya efek yang ditawarkan. 20 c. Investor/pemodal Investor atau pemodal adalah perorangan dan atau lembaga yang menanamkan modalnya dalam efek. Ada dua kesempatan masyarakat menjadi emiten yaitu: 21 1. Melalui pasar perdana (primary market), yakni antara saat izin go public diberikan sampai dengan waktu tertentu sesuai dengan perjanjian emiten dengan penjamin emisinya. Pada masa ini saham ditawarkan di luar bursa
dengan harga yang disepakati emiten dengan penjamin emisi. 2. Melalui pasar sekunder (secondary market) yakni kesempatan setelah saham perusahaan ditawarkan di bursa. Pasar sekunder dimulai setelah pasar perdana ditutup lalu perusahaan didaftarkan di bursa. Disebut pasar sekunder karena yang melakukan perdagangan adalah para pemegang saham dan calon pemegang saham. Uang yang berputar di pasar sekunder tidak lagi mengalir ke dalam perusahaan yang menerbitkan efek, tetapi berpindah dari pemegang saham yang satu ke pemegang saham yang lain. Dilihat dari tujuan orang atau lembaga yang menjadi investor di pasar modal, para investor tersebut dikelompokan menjadi empat 22 kelompok berikut: 1. Pemodal yang bertujuan memperoleh deviden: orang atau lembaga yang mengharapkan penghasilan tetap seperti pensiunan, pengelola dana pensiun, dan asuransi. Kelompok ini biasanya memilih perusahaan yang sudah sangat stabil, karena akan menjamin kepastian adanya keuntungan yang relatif stabil. 2. Pemodal yang bertujuan berdagang: mengharapkan keuntungan dari selisih positif harga beli dan harga jual (capital gain). Mereka membeli saham pada saat harga saham menurun dan akan menjual kembali pada saat harganya meningkat
19 Tavinayati dan Yulia Qamariyanti . Hukum Pasar Modal di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika 2009., hlm. 27 20 Asril Sitompul.Due Dilligence dan Tanggung Jawab Lembaga-Lembaga Penunjang pada Proses Penawaran
Umum. Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 15.
21 Tavinayati dan Yulia Qomariyanti. Loc. Cit., hlm. 23-24 22 Ibid.
134
Volume 2.2 29 nov.indd 134
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:09:58 PM
kembali. Pendapatan mereka bersumber dari keuntungan jual beli saham. Kelompok ini aktif dalam kegiatan berdagang di bursa. 3. Kelompok yang berkepentingan dalam kepemilikan perusahaan: bagi kelompok ini yang penting adalah ikut sertanya mereka sebagai pemilik perusahaan. Mereka biasanya memilih saham-saham perusahaan yang sudah mempunyai nama baik. Kelompok ini berasal dari orangorang yang telah memiliki kehidupan mapan dan berniat melakukan investasi dalam suatu perusahaan. 4. Kelompok spekulator adalah mereka yang menyukai sahamsaham perusahaan yang baru berkembang diyakini akan berkembang baik di masa yang akan datang. 23 d. Lembaga penunjang pasar modal Lembaga penunjang pasar modal, terdiri atas: 1. Bursa efek yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli efek pihak lain dengan tujuan memperdagangkan efek diantara mereka (Pasal 1 Butir (4) Undang-Undang Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995). Bursa efek menetapkan kriteria jumlah pemegang saham, presentase saham yang dimiliki publik, minimum kapitalisasi pasar dan lain-lain. Di dalam Pasal 6 Undang-Undang Pasar
Modal Nomor 8 Tahun 1995, disebutkan bahwa yang dapat menyelenggarakan kegiatan usa-ha sebagai bursa efek adalah perseroan yang telah memperoleh ijin usaha dari Bappepam. Perlunya ijin usaha dari Bappepam ini dikarenakan dana kegiatan menyelenggarakan sarana perdagangan efek menggunakan dana masyarakat. Bursa efek merupakan self regulatory body, yaitu lembaga yang diberikan kewenangan untuk mengatur pelaksanaan kegiatannya yang mengikat para pihak yang berhubungan dengan efek, namun dalam Pasal 11 ditentukan bahwa peraturan tersebut setelah mendapat persetujuan dari Bappepam. Selain itu Pasal 12 UndangUndang Pasar Modal mewajibkan bursa efek untuk membentuk satuan pemeriksa yang bertugas menjalankan pemeriksaan berkala atau sewaktu-waktu terhadap anggota bursa dan terhadap kegiatan manajemen bursa efek. 2. Biro Administrasi Efek, yaitu pihak yang berdasarkan kontrak dengan emiten melaksanakan pencatatan pemilikan emiten dan pembagian hak yang berkaitan dengan efek. (Pasal 1 Butir (3) Undang-Undang Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995). Setelah perusahaan go public mutasi pemegang saham seringkali terjadi. Pemegang sahamnya tersebar di manamana, bahkan sampai ke luar negri. Dalam situasi demikian bila terjadi mutasi saham bisa
23 Marzuki Usman, et. al. ABC Pasar Modal Indonesia. Jakarta: IBI, 1994, hlm. 33-34.
Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Lembaga Keuangan Pasar Modal
Volume 2.2 29 nov.indd 135
135
11/29/2011 5:09:58 PM
saja direksi atau komisaris tidak lagi mengenal setiap pemegang saham. Demikian pula halnya dengan investor apabila ia memiliki banyak saham, baik dari segi jumlah maupun jenisnya, maka untuk mengadministrasinya memerlukan waktu dan perhatian khusus.24 Hal yang sangat bertolak belakang pada perusahaan yang belum terbuka di mana pemegang sahamnya terbatas sehingga lebih memudahkan untuk mengetahui pemegang sahamnya. 3. Kustodian, yaitu lembaga yang memberikan jasa penitipan efek dan harta lainnya berkaitan dengan efek serta memberikan jasa lainnya seperti menerima deviden, bunga dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya. 25 Diselenggarakan oleh: 1. lembaga penyimpanan dan penyelesaian; 2. perusahaan efek; 3. bank umum yang telah mendapat persetujuan dari pemerintah. 4. Wali amanat yaitu, bertindak sebagai wali dalam pemberian amanat. Obligasi yang diterbitkan perusahaan melalui pasar modal selama ini adalah obligasi dengan jaminan artinya pinjaman obligasi itu dijamin dengan harta kekayaan perusahaan sendiri. Oleh karena itu, dalam emisi obligasi harus juga ada hak investor untuk mengawasi
perusahaan. Untuk keperluan inilah maka emiten harus menunjuk wali amanat. 26 Tugas wali amanat adalah mewakili dan melindungi kepentingan investor. Ada beberapa tugas wali amanat: 1. menganalisis kemampuan dan kredibilitas emiten apakah secara operasional perusahaan (emiten) mempunyai kesanggupan menghasilkan dan membayar obligasi serta bunganya; 2. melakukan pengawasan terhadap kekayaan emiten. Apabila harta yang menjadi jaminan tadi dialihkan pemanfaatan atau pemiliknya haruslah sepengetahuan wali amanat; 3. memantau dan mengikuti perkembangan secara terus menerus terhadap perkembangan perusahaan emiten dan memberikan nasihat dan masukan kepada emiten; 4. melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap pembayaran bunga dan pinjaman pokok obligasi yang menjadi hak pemodal tepat pada waktunya. 27 e. Profesi Penunjang Pasar Modal Profesi penunjang pasar modal mempunyai peranan penting dalam penawaran umum. Setiap informasi yang ada dalam prospektus membutuhkan penanggung jawab secara profesional. Informasi yang
24 Tavinayati dan Yulia Qomariyanti. Loc. Cit. Hlm. 30. 25 Ibid, hlm. 29. 26 Ibid, Hlm. 30 27 M. Irsan Nasarudin dan Indra Surya. Op. Cit., hlm. 174.
136
Volume 2.2 29 nov.indd 136
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:09:58 PM
mengandung fakta dan informasi material mengenai emiten sangat membutuhkan jasa profesional. Informasi dalam prospektus merupakan tahap awal pada investor dalam memutuskan untuk membeli atau tidak membeli saham yang ditawarkan. Profesi penunjang pasar modal adalah: 1. Akuntan publik adalah akuntan yang telah memperoleh ijin dari menteri dan terdaftar di bidang pengawas pasar modal (Lihat pada Pasal 64 Ayat (1) Huruf (s) Undang-Undang Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995).Tugas akuntan adalah memeriksa dan melaporkan segala sesuatu yang berkenaan dengan masalah 28 keuangan dari emiten. Ada empat macam pendapat akuntan publik: 29 1. Unqualified opinion (wajar tanpa syarat). Pendapat ini diberikan apabila laporan keuangan telah disusun berdasarkan prinsip-prinsip akuntasi Indonesia (PAI) tanpa suatu catatan ataupun kekurangan. 2. Qualified opinion (pendapat kualifikasi). Atas laporan keuangan yang diperiksanya, akuntan publik memberikan pendapat yang wajar, dengan kualifikasi atas penyajian laporan keuangan tersebut karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Akuntasi Indonesia.
3. Adverse Opinion (pendapat tidak setuju). Dalam hal ini akuntan publik tidak setuju atas penyusunan laporan keuangan tersebut. 4. Disclimer Opinion. Dalam hal ini akuntan publik menolak memberi pendapat atas laporan keuangan perusahaan yang diperiksanya. Hal ini terjadi karena akuntan tidak mempunyai cukup bukti yang dapat dipergunakan untuk memberi pendapatnya secara profesional seperti yang diisyaratkan oleh Norma Pemerikasaan Akuntan (NPA) 2. Konsultan hukum, adalah ahli hukum yang memberikan pendapat hukum kepada pihak lain yang terdaftar di Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Pengertian demikian terdapat dalam Pasal 64 Ayat (1) Huruf (b) Undang-undang Pasar Modal Nomor 8 tahun 1995. Kualifikasinya adalah sarjana hukum yang mempunyai kemampuan dan kejujuran serta tidak memihak dalam memberikan pendapat atau pernyataan. Pernyataan yang dibuat sesuai dengan kebenaran material berdasarkan data, dokumen dan peristiwa hukum pada emiten. Konsultan hukum dalam membuat pendapat hukum harus memuat fakta, keterangan dan informasi mengenai aspek hukum emiten dan harus mempunyai integritas, objektifitas, dan kemandirian
28 Tavinayati dan Yulia Qomariyanti. Loc. Cit., hlm. 32. 29 Marzuki Usman. Loc. Cit., hlm 18.
Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Lembaga Keuangan Pasar Modal
Volume 2.2 29 nov.indd 137
137
11/29/2011 5:09:58 PM
(independensi) serta tunduk pada kode etik konsultan hukum sebagaimana ditetapkan dalam kode etik Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 1995. Hal-Hal yang perlu mendapat penelitian dan pernyataan konsultan hukum sekurangkurangnya meliputi hal berikut: 30
1. Akta pendirian/anggaran dasar perusahaan beserta perubahan-perubahan. Penelitian lebih ditekankan pada keabsahan akta baik material maupun formal. 2. Penyetoran modal oleh pemegang saham sebelum go public. Konsultan hukum akan meneliti kebenaran telah disetornya modal perusahaan seperti yang tertulis di dalam anggaran dasar. 3. Pemilikan izin usaha. Konsultan hukum akan meneliti apakah perusahaan telah memilki izin usaha yang sah dan perusahaan beroperasi sesuai dengan izin-izin yang diperolehnya. 4. Status kepemilikan atas aktiva perusahaan terutama harta tetap, perlu diketahui status kepemilikannya. Apakah milik perusahaan, disewa atau atas nama pihak lain. 5. Perjanjian-perjanjian yang dibuat perusahaan dengan pihak ketiga. Perjanjian-perjanjian tersebut
perlu dipastikan apakah pembuatannya sah dan mengikat secara hukum. 6. Gugatan atau tuntutan. Apakah perusahaan dan/ atau direksi perusahaan sedang dalam suatu perkara atau tidak. Apabila ada, dijelaskan pula perkara yang dihadapi itu. Hal-hal yang demikian merupakan informasi bagi calon pemodal dan menjadi salah satu yang dipertimbangkan dalam mengambil keputusan untuk menjadi pemodal bagi perusahaan yang menawarkan sahamnya. Menurut penulis perlu juga diperhatikan mengenai : 1. Bidang usaha pada ijinijin yang dimiliki dengan yang tersedia di akta perseroan baik pendirian ataupun bila terdapat perubahan atas anggaran dasar dari perseroan tersebut. 2. Data-data dari para pemegang saham termasuk paspor dan KTP. 3. Diperiksa juga mengenai sumber modal agar tidak termasuk ke dalam kegiatan money laundering. Hal-hal yang diperhatikan di atas dalam penelitian dilakukan dalam legal audit dan diberikan pendapat hukum (legal opinion) atas hasil dari penelitian tersebut
30 Ibid, hlm. 21-22.
138
Volume 2.2 29 nov.indd 138
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:09:58 PM
yang menghasilkan legal due diligence. Legal audit merupakan pemeriksaan terhadap kondisi perusahaan mengenai dokumendokumen perusahaan yang berhubungan dengan hukum, contohnya seperti akta pendirian dan perubahan perusahaan, izin-izin perusahaan, ketenagakerjaann perjanjianperjanjian dengan pihak lain, legal disputes, perpajakan, komposisi pemegang saham, aset-aset perusahaan, dan lain-lain. Setelah pemeriksaan tersebut maka dikeluarkanlah legal opinion mengenai dokumen-dokumen hukum perusahaan tersebut. 3. Penilai (appraiser) adalah pihak yang memberikan penilaian atas aset perusahaan dan terdaftar di Badan Pengawas Pasar Modal. Demikian penjelasan Pasal 64 Ayat (1) Huruf (a) Undang-Undang Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995. Mereka adalah perusahaan atau perorangan yang secara profesional mempunyai keahlian untuk membuat penilaian mengenai aktiva perusahaan yang dibutuhkan untuk kegiatan pasar modal. Penilaian dilakukan dengan kualisifikasi tertentu sehingga menghasilkan penilaian yang wajar dan objektif, dalam arti penilaian ini merupakan hasil penilaian yang terpercaya, jujur, dan tidak sepihak karena bebas dari kepentingan pribadi.
4. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta autentik dan terdaftar di Badan Pengawas Pasar Modal. Demikian penjelasan pasal 64 Ayat (1) Huruf (d) Undang-Undang Pasar Modal Nomor 8 tahun 1995. Notaris dalam kegiatan pasar modal mempunyai tugas kunci, karena notaris harus menyiapkan, membuat dan merumuskan dokumen mengenai berbagai hubungan hukum yang terjadi antara berbagai pihak, pada saat sebelum, ketika, dan sesudah penawaran umum. Akta yang dibuat oleh notaris antara lain meliputi: 1. Akta Rapat Umum Pemegang saham (RUPS) mengenai persetujuan dari pemegang saham pendiri atas tindakan perseroan untuk melakukan penawaran umum. 2. Perubahan anggaran dasar perseroan dengan persetujuan Departemen Kehakiman. 3. Perjanjian emiten dengan agen penjualan saham yang dibuat di depan notaris. 4. Perjanjian emiten dengan biro administrasi efek mengenai pencatatan pemegang saham 5. Perjanjian emiten dengan perusahaan percetakan (securities printing) untuk mencetak saham dan prospektus. 6. Perjanjian perubahan (addendum) penjaminan emisi efek mengenai harga saham dan bagian penjamin emisi.
Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Lembaga Keuangan Pasar Modal
Volume 2.2 29 nov.indd 139
139
11/29/2011 5:09:58 PM
f. Penanggung (guarantor) 31 Untuk memperkuat kepercayaan kepada emiten bahwa pinjaman pokok maupun bunga akan dibayar tepat waktu, maka dalam penerbitan obligasi diperlukan jasa penanggung. Jika emiten karena suatu hal menderita kerugian atau dibubarkan sehingga tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai investor maka yang bertanggung jawab melakukan pembayaran bunga maupun pinjaman obligasi beralih kepada penanggung. g. Perantara perdagangan efek (pialang/ broker) 32 Membeli/menjual efek atas amanat investor. Pemodal yang ingin membeli/menjual saham harus menyampaikan amanat jual atau beli kepada pialang yang ia percayai, untuk jasanya tersebut pialang mendapat fee. Pialang melaksanakan amanat yang diterimanya pada harga yang ditetapkan ataupun pada harga lain asal menguntungkan investor. Di samping melaksanakan amanat untuk membeli dan/atau menjual efek, pialang juga memberi saran tentang kecenderungan harga-harga saham tertentu. Meskipun demikian, keputusan tetap berada di tangan investor. Oleh karena itu resiko kenaikan ataupun penurunan harga tetap dipikul oleh si pemberi amanat (investor). Pialang tidak menanggung resiko atas perubahan nilai suratsurat berharga yang diperdagangkan. 33
h. Pedagang efek. (dealer) Membeli efek atas namanya sendiri. Dengan demikian, dealer
juga merupakan investor di pasar modal. Pedagang efek bisa juga berfungsi sebagai pialang. Dalam hal menjalankan fungsi tersebut, ia harus mengutamakan pemenuhan pemodal lain. Artinya, bila ada investor yang memberi amanat untuk membeli saham tertentu dengan harga tertentu pula, sementara dealer yang menerima amanat tersebut juga ingin membeli saham atas resiko dirinya, maka dealer berkewajiban untuk memenuhi amanat beli yang diterimanya sebelum membeli untuk dirinya sendiri. i. Perusahaan Efek (securities company) Perusahaan efek memiliki tiga aktifitas, yaitu : 1) sebagai penjamin emisi; 2) perantara perdagangan efek, dan 3) manajer investasi (investment company) Pihak yang kegiatan usahanya mengelola portofolio untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun, dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang dimaksud dengan portofolio adalah kumpulan efek yang dimiliki oleh orang perortangan, perusahaan, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi. Tiga kegiatan ini dapat dirangkum dalam suatu perusahaan efek dan setiap kegiatan memerlukan ijin masing-masing. Apabila perusahaan efek menginginkan satu atau dua
31 Tavinayati dan Yulia Qomariyanti. Loc. Cit., hlm. 28. 32 Ibid. 33 Jusuf Anwar. Pasar Modal Sebagai Sarana Pembiayaan dan Investasi. Seri pasar Modal I. Bandung: Alumni,
2005, hlm. 164.
140
Volume 2.2 29 nov.indd 140
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:09:59 PM
kegiatan diperbolehkan oleh peraturan di pasar modal. Sebagai pengecualian, perusahaan efek yang mendapat ijin emisi otomatis melakukan kegiatan sebagai perantara perdagangan efek. Pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan pasar modal adalah merupakan unsur penting sehingga pasar modal dapat melakukan transaksi. Dengan tujuan untuk meningkatkan hasil ekonomi dan juga keuntungan individu dari masing-masing pihak yang terlibat dalam proses transaksi di dalam pasar modal ini, akan muncul itikad tidak baik yang dapat menyebabkan tindak pidana pencucian uang dapat terjadi. Pihak-pihak yang terlibat di dalam pasar modal dapat menjadi perantara dan atau menjadi pelaku untuk melakukan tindak pidana pencucian uang. Tindak Pidana pencucian uang di dalam pasar modal meskipun tidak membahayakan individu secara pribadi tetapi dapat membahayakan perekonomian negara di mana tindak pidana pencucian uang ini adalah salah satu penyebab dari terjadinya krisis keuangan yang pernah terjadi di Indonesia akibat dari pencucian uang dari hasil kejahatan yang merugikan masyarakat lenyap akibat dibersihkan sehingga hilang jejaknya.
DAFTAR PUSTAKA
Menengah atau Kecil. Tesis. STIHIBLAM. Jakarta, 1997 Asril Sitompul.Due Dilligence dan TanggungJawab Lembaga-Lembaga Penunjang pada Proses Penawaran Umum. Bandung: Citra Aditya Bakti Imam Sjahputra Tunggal. Tanya Jawab Aspek Hukum Pasar Modal di Indonesia. Jakarta: Harvarindo, 2000 John Mcdowell and Gary Novis. The consequences of Money Laundering and Financial Crime. 2001 Jusuf Anwar. Pasar Modal Sebagai Sarana Pembiayaan dan Investasi. Seri pasar Modal I. Bandung: Alumni, 2005 M. Irsan Nasarudin dan Indra Surya. Aspek Hukum Pasar Modal. Jakarta: Prenada Media. 2004. Mahmoedin, As. Analisis Kejahatan Perbankan.Jakarta : Raflesia, 1997 Marzuki Usman, et. al. ABC Pasar Modal Indonesia. Jakarta: IBI, 1994 Munir Fuady.BIsnis Kotor Anatomy Kejahatan Kerah Putih. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005 Munir Fuady.Hukum Perbankan Modern Buku Kedua.Bandung : Citra Aditya, 2004 Pamela H. Bucy. White Collar Crime: Case and Materials. St. Paul Minn : West Publishing Co., 1992 Tavinayati dan Yulia Qamariyanti . Hukum Pasar Modal di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika 2009. YPHB. Journal Hukum Bisnis. Volume 3. 1998 http://www.Bapepam.go.id/pasar_modal/ publikasi_pm/info_pm/pedoman_ pencucian_uang.pdf
Arief Amirullah. Tindak Pidana Pencucian Uang, Money Laundering. Jawa Timur: Bayu Media Publishing 2004. Asri Prabosinta Prabowo. Prospek Penjaminan Emisi Bagi Perusahaan
Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Lembaga Keuangan Pasar Modal
Volume 2.2 29 nov.indd 141
141
11/29/2011 5:09:59 PM
Penyelesaian Sengketa Di Bidang Pajak Yenny Yuniawaty
ABSTRACT Tax disputes is a dispute between the government as collectors or fiscus, that also acts as a party who receives objections or defendant and the societies acts as tax payers who gives objections or legal claim. Tax disputes are examinated by Tax Courthouse. Objection that given by tax payers to Tax General Director is an unseparatable part in settlement of tax disputes because before proposing appeal to the court, tax payers have to pass through objection step, but in case of legal claim, Tax Court examines and makes decisions based on tax’s debt collection or based on judgement which can be allegationated. Tax Court is the first and the last level of court in examining and making decision about tax disputes. The decision is finish decision, and Parties who have dispute are able to propose legal review to The Supreme Court but the process doesn’t postpone the excecution of Tax Court’s verdict. Keywords: Tax disputes, Tax Court’s decision, Legal Review
A. Pendahuluan Penerimaan dari sektor pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang terbesar. Dari tahun ke tahun penerimaan dari sektor pajak terus meningkat dan memberi andil yang besar dalam penerimaan negara. Dengan demikian, penerimaan dari sektor pajak merupakan andalan dalam membiayai pembangunan nasional. Pelaksanaan penyelenggaraan negara melalui pembangunan nasional dalam segala aspek kehidupan bangsa merupakan perwujudan dari tujuan nasional negara Indonesia yang dinyatakan dalam alinea keempat Pembukaan UndangUndang Dasar 1945, yaitu melindungi
142
Volume 2.2 29 nov.indd 142
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Menurut pasal 1 angka 1 UndangUndang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:09:59 PM
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Penerimaan dari sektor pajak diperoleh dari rakyat melalui pemungutan pajak yang dilakukan berdasarkan pasal 23A amandemen ke-3 (ketiga) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada tanggal 1 Januari 1984, pemungutan pajak di Indonesia menganut sistem self assessment yang memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang. Menurut pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan: “Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.” Dalam pemungutan pajak dengan sistem self assessment, Wajib Pajak dituntut untuk berperan aktif dalam melaksanakan sendiri kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku secara benar dan lengkap. Pemberian kepercayaan kepada Wajib Pajak dalam sistem self assessment dimaksudkan agar dalam diri Wajib
Pajak terdapat: 1 1. Tax consciousness (kesadaran pajak Wajib Pajak), yaitu kesadaran pajak Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya; 2. Kejujuran Wajib Pajak dalam menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan besarnya pajak yang terutang; 3. Tax mindedness Wajib Pajak, yaitu hasrat untuk membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya; dan 4. Tax discipline, yaitu disiplin Wajib Pajak terhadap pelaksanaan peraturan perpajakan dalam arti memenuhi kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh undang-undang. Dengan diberlakukannya sistem self assessment dalam peraturan perundangundangan perpajakan Indonesia telah diatur adanya hak dan kewajiban Wajib Pajak yang seimbang dengan hak dan kewajiban pemerintah sebagai pemungut pajak (fiskus). Sesuai dengan tujuan hukum yaitu untuk mencapai keadilan maka salah satu hak Wajib Pajak untuk memperoleh keadilan di bidang pajak adalah mengajukan keberatan, banding dan gugatan. Upaya keberatan merupakan proses awal yang harus ditempuh oleh Wajib Pajak apabila terjadi sengketa di bidang pajak untuk pengajuan banding kepada Pengadilan Pajak. Sengketa pajak merupakan sengketa yang terjadi antara pemerintah sebagai pemungut pajak (fiskus) yang berkedudukan sebagai pihak yang menerima pengajuan keberatan atau terbanding atau tergugat dan rakyat sebagai Wajib Pajak yang mengajukan keberatan atau banding
1 Rochmat Soemitro. Asas dan Dasar Perpajakan 2. Bandung: PT Eresco, 1991, hlm.14.
Penyelesaian Sengketa Di Bidang Pajak
Volume 2.2 29 nov.indd 143
143
11/29/2011 5:09:59 PM
atau gugatan. Sengketa pajak diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Pajak. Dalam hal banding, Pengadilan Pajak memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak sedangkan dalam hal gugatan, Pengadilan Pajak memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan yang dapat diajukan gugatan. Para pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung.
B. Keberatan di Bidang Pajak Hukum Pajak mengatur hubungan hukum antara pemerintah sebagai pemungut pajak (fiskus) dan rakyat sebagai Wajib Pajak. Terdapat 2 (dua) macam Hukum Pajak, yaitu: 2 1. Hukum Pajak Materiil. Hukum Pajak Materiil memuat norma-norma yang menerangkan keadaan, perbuatan dan peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak (obyek pajak), siapa yang harus dikenakan pajak (subyek pajak), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak dan hubungan hukum antara pemerintah dan Wajib Pajak. 2. Hukum Pajak Formil. Hukum Pajak Formil memuat bentuk atau tata cara untuk mewujudkan Hukum Pajak Materiil menjadi kenyataan. Keberadaan Hukum Pajak Formil adalah menyesuaikan dengan kebutuhan yang dikehendaki untuk berlakunya Hukum Pajak Materiil.
Ketentuan Hukum Pajak Formil antara lain mengatur mengenai hak Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan dan banding sebagaimana yang dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Prosedur keberatan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam penyelesaian sengketa di bidang pajak. Sebelum mengajukan banding ke Pengadilan Pajak, Wajib Pajak terlebih dahulu harus menempuh upaya keberatan. Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak dan pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya maka Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak. Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas: 1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB). Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah pajak yang masih harus dibayar. 2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT). Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
2 Mardiasmo. Perpajakan Edisi Revisi 2009. Jakarta: CV Andi Offset, 2009, hlm. 5.
144
Volume 2.2 29 nov.indd 144
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:09:59 PM
3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB). Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang. 4. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN). Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. 5. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Keberatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat ketetapan pajak, tanggal pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. Batas waktu pengajuan surat keberatan ditentukan dalam waktu 3 (tiga) bulan tersebut di atas dimaksudkan agar Wajib Pajak memiliki waktu yang cukup memadai untuk mempersiapkan surat keberatan beserta alasan-alasannya. Apabila ternyata batas waktu 3 (tiga)
Penyelesaian Sengketa Di Bidang Pajak
Volume 2.2 29 nov.indd 145
bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak karena keadaan di luar kekuasaannya (force majeur) maka tenggang waktu selama 3 (tiga) bulan tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Direktur Jenderal Pajak. Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh Pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman surat keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan apabila surat tersebut memenuhi syarat sebagai surat keberatan. Dengan demikian, batas waktu penyelesaian keberatan dihitung sejak tanggal penerimaan surat dimaksud. Apabila surat yang dibuat oleh Wajib Pajak tidak memenuhi syarat sebagai surat keberatan dan Wajib Pajak memperbaikinya maka batas waktu penyelesaian keberatan dihitung sejak diterimanya surat berikutnya yang memenuhi syarat sebagai surat keberatan. Agar Wajib Pajak dapat menyusun keberatan dengan alasanalasan yang kuat, Wajib Pajak diberi hak untuk meminta dasar-dasar pengenaan, pemotongan atau pemungutan pajak yang telah ditetapkan, sebaliknya Direktur Jenderal Pajak berkewajiban untuk memenuhinya. Terhadap surat keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak, kewenangan penyelesaian dalam tingkat pertama diberikan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan ketentuan batasan waktu penyelesaian keputusan atas keberatan Wajib Pajak ditetapkan paling lama 12 (duabelas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima. Dengan ditentukannya batas waktu penyelesaian keputusan atas keberatan tersebut
145
11/29/2011 5:09:59 PM
berarti akan diperoleh suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak selain terlaksananya administrasi perpajakan. Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak atau mernambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar. Apabila jangka waktu 12 (duabelas) bulan tersebut telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan maka keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak dianggap dikabulkan. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah usaha penghindaran atau penundaan pembayaran pajak melalui pengajuan surat keberatan yang dapat mengganggu penerimaan negara.
C. Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak Pelaksanaan pemungutan pajak dapat menimbulkan ketidakadilan bagi Wajib Pajak sehingga menimbulkan sengketa pajak antara Wajib Pajak dan pejabat yang berwenang. Menurut pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak: “Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundangundangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan
146
Volume 2.2 29 nov.indd 146
Undang-undang Penagihan dengan Surat Paksa.”
Pajak
Sengketa pajak diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Pajak. Pasal 2 UndangUndang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan bahwa: “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak.” Pengadilan Pajak berkedudukan di ibukota negara. Susunan Pengadilan Pajak terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Sekretaris dan Panitera. Pimpinan Pengadilan Pajak terdiri dari seorang Ketua dan paling banyak 5 (lima) orang Wakil Ketua. Menurut pasal 12 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak: “(1). Hakim tidak boleh merangkap menjadi: a. pelaksana putusan Pengadilan Pajak; b. wali, pengampu, atau pejabat yang berkaitan dengan suatu Sengketa Pajak yang akan atau sedang diperiksa olehnya; c. penasehat hukum; d. konsultan pajak; e. akuntan publik; dan/atau f. pengusaha. (2). Selain jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jabatan lain yang tidak boleh dirangkap oleh Hakim diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.” Menurut pasal 34 ayat (1) UndangUndang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak:
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:09:59 PM
“Para pihak yang bersengketa masing-masing dapat didampingi atau diwakili oleh satu atau lebih kuasa hukum dengan Surat Kuasa Khusus.” Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak mengemukakan bahwa: “Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku.” Dalam hal banding, Pengadilan Pajak memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak dan diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya keputusan yang dibanding. Batas waktu pengajuan banding ditentukan dalam waktu 3 (tiga) bulan tersebut di atas dimaksudkan agar pemohon Banding memiliki waktu yang cukup memadai untuk mempersiapkan Banding beserta alasan-alasannya. Apabila ternyata batas waktu 3 (tiga) bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh pemohon Banding karena keadaan di luar kekuasaannya (force majeur) maka tenggang waktu selama 3 (tiga) bulan tersebut masih dapat dipertimbangkan oleh Majelis atau Hakim Tunggal. Terhadap 1 (satu) keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding. Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas dan mencantumkan tanggal diterimanya
Penyelesaian Sengketa Di Bidang Pajak
Volume 2.2 29 nov.indd 147
surat keputusan yang dibanding. Pada Surat Banding dilampirkan salinan Keputusan yang dibanding. Dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang telah dibayar sebesar 50% (limapuluh persen). Pasal 37 UndangUndang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak mengemukakan bahwa: “(1). Banding dapat diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya. (2). Apabila selama proses Banding, pemohon Banding meninggal dunia, Banding dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya, atau pengampunya dalam hal pemohon Banding pailit. (3). Apabila selama proses Banding, pemohon Banding melakukan penggabungan, peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggungjawaban ka-rena penggabungan, peleburan, pemecahan/ pemekaran usaha, atau likuidasi dimaksud.” Menurut pasal 39 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak: “(1). Terhadap Banding dapat diajukan surat pernyataan pencabutan kepada Pengadilan Pajak. (2). Banding yang dicabut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dihapus dari daftar sengketa dengan: a. penetapan Ketua dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan
147
11/29/2011 5:09:59 PM
sebelum sidang dilaksanakan; b. putusan Majelis/Hakim Tunggal melalui pemeriksaan dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan dalam sidang atas persetujuan terbanding. (3). Banding yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), tidak dapat diajukan kembali.” Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak mengemukakan bahwa: “Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan Gugatan berdasarkan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku.” Dalam hal gugatan, Pengadilan Pajak memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan yang dapat diajukan gugatan. Gugatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak. Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak adalah 14 (empatbelas) hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan. Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap keputusan selain Gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak adalah 30 (tigapuluh) hari sejak tanggal diterimanya keputusan yang digugat. Dalam hal batas waktu 14 (empatbelas) hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan dan 30 (tigapuluh) hari sejak tanggal diterimanya keputusan yang digugat tersebut
148
Volume 2.2 29 nov.indd 148
tidak dapat dipenuhi oleh penggugat karena keadaan di luar kekuasaannya (force majeur) maka jangka waktu dimaksud dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Majelis atau Hakim Tunggal. Perpanjangan jangka waktu dimaksud adalah selama 14 (empatbelas) hari terhitung sejak berakhirnya keadaan di luar kekuasaan penggugat. Terhadap 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) keputusan diajukan 1 (satu) Surat Gugatan. Dalam pasal 41 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dinyatakan bahwa: “(1). Gugatan dapat diajukan oleh penggugat, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya dengan disertai alasan-alasan yang jelas, mencantumkan tanggal diterima, pelaksanaan penagihan, atau keputusan yang digugat dan dilampiri salinan dokumen yang digugat. (2). Apabila selama proses Gugatan, penggugat meninggal dunia, Gugatan dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya, atau pengampunya dalam hal penggugat pailit. (3). Apabila selama proses Gugatan, penggugat melakukan penggabungan, peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggungjawaban karena penggabungan, peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi dimaksud.” Atas Gugatan yang disampaikan kepada Pengadilan Pajak dan belum dilakukan pemeriksaan atau sedang dilakukan pemeriksaan dapat diajukan
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:00 PM
permohonan pencabutan. Dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum sidang dilaksanakan gugatan yang dicabut tersebut dihapus dari daftar sengketa dengan penetapan Ketua sedangkan dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan setelah sidang atas persetujuan tergugat gugatan yang dicabut tersebut dihapus dari daftar sengketa dengan putusan Majelis/ Hakim Tunggal melalui pemeriksaan Gugatan yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan tersebut tidak dapat diajukan kembali. Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya penagihan pajak atau kewajiban perpajakan. Penggugat dapat mengajukan permohonan agar tindak lanjut pelaksanaan penagihan pajak ditunda selama pemeriksaan Sengketa Pajak sedang berjalan sampai ada putusan Pengadilan Pajak. Permohonan tersebut dapat diajukan sekaligus dalam Gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok sengketanya. Permohonan penundaan dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika pelaksanaan penagihan pajak yang digugat itu dilaksanakan. Pasal 33 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan bahwa: “Pengadilan Pajak merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak.” Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Sebagai putusan akhir
Penyelesaian Sengketa Di Bidang Pajak
Volume 2.2 29 nov.indd 149
dan mempunyai kekuatan hukum tetap maka terhadap putusan Pengadilan Pajak tidak dapat diajukan Gugatan ke Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara atau Badan Peradilan lain kecuali putusan berupa “tidak dapat diterima” yang berkaitan dengan kewenangan atau kompetensi. Dalam pasal 78 UndangUndang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dikemukakan bahwa: “Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundangundangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim.” Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundangundangan perpajakan Pasal 69 UndangUndang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan bahwa: “(1). Alat bukti dapat berupa: a. surat atau tulisan; b. keterangan ahli; c. keterangan para saksi; d. pengakuan para pihak; dan/ atau e. pengetahuan Hakim. (2). Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.” Menurut pasal 80 Undang-ndang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak: “(1). Putusan Pengadilan Pajak dapat berupa: a. menolak; b. mengabulkan sebagian atau seluruhnya; c. menambah pajak yang harus dibayar; d. tidak dapat menerima; e. membetulkan kesalahan tulis dan/
149
11/29/2011 5:10:00 PM
atau kesalahan hitung; dan/atau f. membatalkan. (2).Terhadap putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat lagi diajukan Gugatan, Banding, atau Kasasi.” Dalam pasal 77 ayat (3) UndangUndang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dikemukakan bahwa: “Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung.” Permohonan peninjauan kembali tersebut hanya dapat diajukan 1(satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak. Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut sebelum diputus dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali tersebut tidak dapat diajukan lagi. Pasal 91 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan bahwa: “Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut: a. Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu; b. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan di
150
Volume 2.2 29 nov.indd 150
Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda; c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan pasal 80 ayat (1) huruf b dan huruf c; d. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya; atau e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.” Menurut pasal 92 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak: “(1). Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 91 huruf a dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim pengadilan pidana memperoleh kekuatan hukum tetap. (2). Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 91 huruf b dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak ditemukan surat-surat bukti yang hari dan tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang. (3). Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 91 huruf c, huruf d, dan huruf e dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak putusan dikirim.”
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:00 PM
Pasal 93 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak mengatur bahwa: “(1). Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali dengan ketentuan: a. dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak permohonan peninjauan kembali diterima oleh Mahkamah Agung telah mengambil putusan, dalam hal Pengadilan Pajak mengambil putusan melalui pemeriksaan acara biasa; b. dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak permohonan peninjauan kembali diterima oleh Mahkamah Agung telah mengambil putusan dalam hal Pengadilan Pajak mengambil putusan melalui pemeriksaan acara cepat. (2). Putusan permohonan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.”
D. Penutup Pemungutan pajak di Indonesia menganut sistem self assessment yang memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang. Dengan diberlakukannya sistem self assessment dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Indonesia telah diatur adanya hak dan kewajiban Wajib Pajak yang seimbang dengan hak dan kewajiban pemerintah sebagai pemungut pajak (fiskus). Untuk memperoleh keadilan di bidang pajak, Wajib Pajak berhak untuk mengajukan
Penyelesaian Sengketa Di Bidang Pajak
Volume 2.2 29 nov.indd 151
keberatan, banding dan gugatan. Upaya keberatan merupakan proses awal yang harus ditempuh oleh Wajib Pajak apabila terjadi sengketa di bidang pajak untuk pengajuan banding kepada Pengadilan Pajak. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak. Sengketa pajak merupakan sengketa yang terjadi antara pemerintah sebagai pemungut pajak (fiskus) yang berkedudukan sebagai pihak yang menerima pengajuan keberatan atau terbanding atau tergugat dan rakyat sebagai Wajib Pajak yang mengajukan keberatan atau banding atau gugatan. Sengketa pajak diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Pajak. Pengadilan Pajak merupakan lembaga peradilan yang dapat digunakan sebagai sarana bagi Wajib Pajak untuk memperoleh keadilan di bidang pajak. Dalam hal banding, Pengadilan Pajak memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak sedangkan dalam hal gugatan, Pengadilan Pajak memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan yang dapat diajukan gugatan. Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya penagihan pajak atau kewajiban perpajakan. Pengadilan Pajak adalah pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak. Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Sebagai putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap maka terhadap putusan Pengadilan Pajak tidak
151
11/29/2011 5:10:00 PM
dapat diajukan Gugatan ke Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara atau Badan Peradilan lain kecuali putusan berupa “tidak dapat diterima” yang berkaitan dengan kewenangan atau kompetensi. Para pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung namun permohonan peninjauan kembali tersebut tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak.
DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku Mardiasmo. Perpajakan Edisi Revisi 2009. Jakarta: CV Andi Offset, 2009. Rochmat Soemitro. Asas dan Dasar Perpajakan 2. Bandung: PT Eresco, 1991. Peraturan Perundangan Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
152
Volume 2.2 29 nov.indd 152
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:00 PM
Penegakan Sanksi Pidana Dan Administratif Dalam Regulasi Perbankan Sebagai Upaya Meminimalisir Tindak Pidana Window Dressing Hassanain Haykal
ABSTRACT Good management system is very important for the business continuity of a bank, so that the bank will be still credible in the society’s opinion. Creating and increasing credibility from society can be done by applying prudential banking regulation principle , and not to do any acts that is classified into banking criminal act,such as window dressing. Contribution of legal sanction, especially criminal sanction is becoming a vital and a crucial thing in a regulation to be obeyed by every bank -as legal entity which is regulated, for minimizing criminal act like Window Dressing in banking business practices. Sanction is the most important part in law, which aim is to create consistencies in law implementation. Another aspect from sanction is to enforce legal rules to be obeyed by everybody, so that the law can work in agreement with the aim; to create order, legal certainty, and justice. Criminal sanction is an important sanction in relation with Window Dressing as a criminal act, in spite of there are any other sanction that can be applied such as administrative sanction. Administrative sanction in relation with Window Dressing, has not been regulated substantially in banking regulations, so it is necessary to formulate administrative sanction in banking regulation, in the context of Window Dressing, but, basically, both sanctions is intended for law enforcement, especially Law of Banking Keywords : Prudential Banking, Window Dressing
A. Pendahuluan Bank dalam menjalankan kegiatan operasionalnya tidak dapat dilepaskan dari prinsip tata kelola bisnis yang baik. Hal ini didasarkan pada keberadaan bank sebagai institusi yang berperan dalam meningkatkan roda perekonomian masyarakat Indonesia. Melekatnya status “intermediary institution” pada bank
sebagai pengelola dana masyarakat menjadikan bank memiliki kewajiban untuk selalu menjaga kredibilitasnya serta menjaga kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat. Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga bank akan berdampak buruk pada kelangsungan hidup bank itu sendiri, bahkan terhadap sistem perbankan yang ada, di mana bank
Penegakan Sanksi Pidana Dan Administratif Dalam Regulasi Perbankan Sebagai Upaya Meminimalisir Tindak Pidana Window Dressing
Volume 2.2 29 nov.indd 153
153
11/29/2011 5:10:00 PM
akan kesulitan dalam menyerap maupun menyalurkan kembali dana yang ada kepada masyarakat. Hilangnya kepercayaan masyarakat dapat ditimbulkan oleh berbagai macam faktor, salah satunya yaitu bank tidak mematuhi aturan atau norma regulasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai regulator, dengan melakukan salah satu aktivitas, kegiatan atau tindakan yang dikategorikan sebagai tindak pidana perbankan yaitu Window Dressing. Window Dressing merupakan tindak pidana perbankan yang sulit terdeteksi oleh masyarakat atau nasabah, mengingat tindak pidana ini hanya dapat diketahui pada saat adanya pemeriksaan yang dilakukan secara seksama oleh Bank Indonesia sebagai pengawas perbankan terhadap laporan yang diberikan oleh bank pemberi laporan. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa rahasia mengenai ada maupun tidak adanya tindakan Window Dressing hanya diketahui Bank Indonesia dan bank yang bersangkutan. Saat ini masih banyak masyarakat yang belum memahami tindak pidana Window Dressing, karena pada umumnya bank bersikap tertutup tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaporan, khususnya pelaporan eksternal kepada Bank Indonesia. Bank seolah-olah berlindung dibalik “prinsip kerahasiaan bank”, dan masyarakat akan menyadari ketika berada dalam posisi pihak yang dirugikan atau korban. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu adanya suatu penegakan sanksi yang tegas bagi bank yang melakukan tindak pidana Window Dressing yang
dianggap tidak transparan sekaligus mengelabui masyarakat. Hal tersebut hanya menguntungkan bank di satu pihak untuk berbagai kepentingan, baik kepentingan menghindari pajak maupun penilaian kesehatan bank oleh Bank Indonesia.
B. Window Dressing dalam Praktik Bisnis Perbankan Pemahaman secara sederhana, Window Dressing merupakan suatu perbuatan yang dilakukan untuk memanipulasi data, di mana dalam praktik perbankan tindakan ini dapat dikatakan sebagai penyampaian laporan kepada Bank Indonesia secara periodik dengan data yang kurang benar, sehingga bank pelapor terlihat keadaan keuangan/ assetnya baik. Hal ini merupakan usaha bank agar menjelang periode laporan jumlah asset/aktivanya meningkat, dengan maksud agar penampilan bank menjadi lebih baik dan lebih bonafit di mata masyarakat. 1 Tindak Pidana Window Dressing merupakan tindakan mengelabui masyarakat yang pada umumnya berupa kegiatan untuk menciptakan citra yang baik di mata masyarakat dengan cara menyajikan informasi yang tidak benar (fraudulent misrepresentation), misalnya dengan menyajikan angka-angka neraca yang kurang benar atau dibuat sedemikian rupa seolah-olah bank atau korporasi memiliki kemampuan yang baik dan tangguh. Dengan melakukan Window Dressing pada dasarnya secara materil belum terlihat merugikan siapapun atau pihak manapun kecuali penggelapan pajak atau tindakan lain
1 Marulak Pardede. Hukum Pidana Bank. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995, hlm 19
154
Volume 2.2 29 nov.indd 154
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:00 PM
berupa tidak dipenuhinya kewajiban membayar denda. 2 Window Dressing dalam lingkup bisnis perbankan Indonesia dikategorikan sebagai tindak pidana perbankan, yaitu setiap perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Di samping tindak pidana perbankan dikenal pula tindak pidana di Bidang Perbankan, yaitu setiap perbuatan yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan maupun di luar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, seperti KUHPidana, UndangUndang tentang Money Laundering dan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi. Masuknya Window Dressing sebagai Tindak Pidana Perbankan didasarkan pada argumentasi, bahwa Window Dressing diatur dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang dilihat dari tataran asas, ketentuan tersebut merupakan lex specialis yang mengatur Window Dressing dalam praktik perbankan secara khusus dibanding aturan lainnya. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, secara mendasar tidak menjelaskan secara definitif mengenai
pengertian Window Dressing dalam praktik perbankan, hal ini perlu menjadi bahan pembahasan yang komprehensif terutama bagi pembentuk undangundang, mengingat istilah Window Dressing dipergunakan pula pada lingkup bisnis lainnya seperti Pasar Modal. Penjelasan secara definitif sangat diperlukan dalam suatu substansi perundang-undangan agar tidak menimbulkan kekacauan makna. Namun demikian, tindakan manipulasi data yang dalam praktik perbankan disebut sebagai Window Dressing tersebut dapat dilihat dari penerapan Pasal 49 UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang pada intinya mengarah kepada tindakan yang dilakukan secara sengaja berupa pencatatan palsu, menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan dan mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan. (kursif penulis). Dilihat dari sisi jangka pendek, tindak pidana Window Dressing tidak merugikan materil secara langsung kepada nasabah maupun masyarakat. Namun demikian, dilihat dari sisi jangka panjang tindak pidana Window Dressing dapat menimbulkan dampak kerugian, baik secara materil maupun immateriil dalam hal ini aspek psikologis nasabah, seperti contoh: laporan bank yang dilakukan secara fiktif mengenai data nasabah yang tidak sesuai dengan fakta, di mana jumlah nasabah
2 Setiyono. Kejahatan Korporasi (Analisis Viktimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana
Indonesia). Jakarta: Bayu Media, 2009, hlm 67.
Penegakan Sanksi Pidana Dan Administratif Dalam Regulasi Perbankan Sebagai Upaya Meminimalisir Tindak Pidana Window Dressing
Volume 2.2 29 nov.indd 155
155
11/29/2011 5:10:00 PM
berikut simpanannya yang dilaporkan kepada Bank Indonesia lebih sedikit dibandingkan fakta sesungguhnya akan menimbulkan kerugian bagi nasabah. Pertama, Nasabah yang tidak dicantumkan dalam daftar laporan yang diajukan kepada Bank Indonesia, tidak dijamin simpanannya apabila bank pemberi laporan mengalami pailit. Kedua, nasabah berikut simpanannya yang tidak ikut dalam pelaporan kepada Bank Indonesia akan membuka celah kepada oknum pejabat bank untuk melakukan penggelapan dana nasabah. Untuk itu, penegakan sanksi khususnya pidana menjadi faktor penting, agar pejabat bank yang diduga akan melakukan tindak pidana Window Dressing akan memperhitungkan dampak terhadap dirinya sendiri maupun kelangsungan hidup bank yang dikelolanya.
C. Sanksi Pidana dan Kedudukannya dalam Sistem Hukum Indonesia Hukum pidana dalam perumusannya, pada tiap-tiap peraturan perundangundangan harus memuat dua bagian pokok yaitu norma dan sanksi. Istilah norma sudah lazim dipakai, meskipun ada juga penulisan yang mengganti istilah tersebut dengan kaidah dan ugeran. 3 Norma itu mempunyai inti nilai-nilai dalam satu rangkaian konsepsi abstrak yang hidup di antara kelompok manusia sebagai ketentuan yang harus ditaati oleh setiap orang dalam pergaulan dan perhubungan hidup bermasyarakat, dan mempunyai tugas untuk menjamin ketertiban. Sanksi hukum (dalam arti sempit)
adalah sanksi atau hukuman yang dijatuhkan pada seseorang yang melanggar hukum. Sanksi hukum berbeda dengan sanksi sosial, di mana sanksi hukum diatur oleh hukum, baik mengenai ruang lingkup, cara pelaksanaan, takaran berat ringannya hukuman maupun upaya yang tersedia bagi tersangka untuk membuktikan ketiadaan kesalahannya, atau tertuduh untuk menangkis atau menangkal tuduhan yang dijatuhkan padanya. 4 Sanksi hukum adalah bentuk perwujudan yang paling jelas dari kekuasaan negara dalam pelaksanaan kewajibannya untuk memaksakan ditaatinya hukum. Bentuk perwujudan yang paling jelas dari sanksi hukum tampak dalam hukum acara pidana. Dalam perkara pidana, perorangan (si tersangka atau tertuduh) menghadapi negara sebagai pengemban kepentingan umum, yang diwakili oleh penuntut umum (jaksa). 5 Pasal 49 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menerapkan sanksi pidana bagi Bank yang melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan Window Dressing, yaitu: Pasal 49: “ Anggota Dewan Komisaris, Direksi atau Pegawai bank yang dengan sengaja: a. Membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam proses laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank; b. Menghilangkan atau tidak
3 Bambang Poernomo. Asas-Asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1994, hlm 35-36 4 Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta. Pengantar Ilmu Hukum (Suatu Pengenalan Pertama Ruang Ling-
kup Berlakunya Ilmu Hukum). Bandung: Alumni, 2000, hlm 44.
5 Ibid.
156
Volume 2.2 29 nov.indd 156
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:00 PM
memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank; c. Mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurangkurangnya Rp. 10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000 (dua ratus miliar rupiah). Sanksi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan mencakup sanksi pidana penjara dan denda secara kumulatif. Sesuai dengan tujuannya, pencantuman sanksi pidana dalam undang-undang tersebut dimaksudkan pada kepentingan yang lebih utama yaitu kepentingan umum atau kepentingan masyarakat, mengingat bank pada prinsipnya adalah lembaga yang mengelola uang masyarakat. Menurut Pompe, yang diitikberatkan oleh hukum pidana dalam pertumbuhannya pada waktu sekarang adalah kepentingan
umum, kepentingan masyarakat. Hubungan hukum yang ditimbulkan oleh perbuatan orang dan menimbulkan pula dijatuhkannya pidana, di situ bukanlah suatu hubungan koordinasi antara yang bersalah dengan yang dirugikan, melainkan hubungan itu bersifat subordinasi dari yang bersalah kepada pemerintah, yang ditugaskan untuk memperhatikan kepentingan masyarakat.6 Jadi pada dasarnya, penerapan sanksi pidana penjara dan denda ditujukan agar kepentingan masyarakat dalam hal ini nasabah dapat terlindung dari upaya-upaya para oknum pejabat yang hendak melakukan tindak pidana Window Dressing.
D. Penegakan Sanksi Pidana Sebagai Upaya Meminimalisir Tindak Pidana Window Dressing Penerapan sanksi merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari perwujudan penegakan hukum dalam suatu sistem hukum. Sebagaimana dikemukakan oleh Talcott Parson, fungsi utama sistem hukum itu bersifat integratif, artinya untuk mengurangi unsur-unsur konflik yang potensial dalam masyarakat dan untuk melicinkan proses pergaulan sosial. Dengan menaati sistem hukum, sistem interaksi sosial akan berfungsi dengan baik, tanpa kemungkinan berubah menjadi konflik terbuka atau terselubung yang kronis. Lebih lanjut dikemukakan, agar sistem hukum dapat menjalankan fungsi integratifnya secara efektif, terdapat 4 masalah yang harus diselesaikan terlebih dahulu, yakni: 7 a. Legitimasi, yaitu faktor yang akan
6 Pompe dalam Bambang Poernomo. Asas-Asas Hukum Pidana . Ibid, hlm 37 7 Talcott Parson. The Social System. Newyork: The Free Press, 1951
Penegakan Sanksi Pidana Dan Administratif Dalam Regulasi Perbankan Sebagai Upaya Meminimalisir Tindak Pidana Window Dressing
Volume 2.2 29 nov.indd 157
157
11/29/2011 5:10:00 PM
menjadi landasan bagi pentaatan aturan-aturan. b. Interpretasi, yaitu faktor yang menyangkut masalah penetapan hak dan kewajiban subjek, melalui proses penetapan aturan tertentu. c. Sanksi, yaitu faktor yang menegaskan sanksi apakah yag akan timbul apabila ada pentaatan dan sanksi apa saja yang akan timbul apabila terjadi pengingkaran terhadap aturan, serta sekaligus menegaskan siapakah yang akan menerapkan sanksi. d. Yurisdiksi, yaitu faktor yang menetapkan garis-garis kewenangan yang berkuasa menegakan normanorma hukum Salah satu instrumen yang penting dalam penegakan hukum adalah sanksi yang dihasilkan oleh hukum itu sendiri. Yang dimaksud dengan sanksi adalah akibat tertentu yang timbul atau yang dapat ditimbulkan oleh perilaku manusia yang dapat dikenakan kepada pelaku atau perbuatan yang bersangkutan berkenaan dengan keharusan untuk mematuhi kaidah perilaku. Sanksi hukum secara langsung berkaitan dengan efektivitas hukum, yakni kemampuan kaidah hukum mempengaruhi perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari yang berakar dalam kemauan manusia yang bersangkutan. Cara memaksakan berlakunya kaidah-kaidah hukum itu terjadi melalui kemungkinan pengenaan akibat-akibat hukum tertentu yang disebut sanksi hukum kepada orang tertentu sebagai akibat dari perbuatan tertentu. Jadi, sanksi hukum adalah akibat hukum tertentu yang (dapat) dikenakan kepada
seseorang atau sekelompok orang berkenaan dengan perbuatan yang mematuhi atau tidak mematuhi kaidah hukum. Secara umum penegakan hukum dapat diartikan sebagai tindakan menerapkan perangkat sarana hukum yang dimaksudkan untuk menjamin ditaatinya ketentuan hukum yang berlaku. 8 Unsur yang terjalin dalam penegakan hukum itu dapat dibagi ke dalam dua bagian besar, yaitu unsur yang mempunyai tingkat keterjalinan yang agak jauh dan yang dekat. Unsur penegak hukum dapat dirangkum menjadi tiga unsur: pembuat undangundang, penegak hukum dan masyarakat dalam konsep yang sederhana (paham positivistik), penegakan hukum sudah dimulai pada saat peraturan hukumnya dibuat atau diciptakan (sebagai input). Tentang hal ini, hanya membutuhkan sedikit penjelasan, dan dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum adalah suatu proses mewujudkan apa yang tertuang di dalam undang-undang ke dalam kehidupan yang nyata. 9 Mengingat penerapan atau dijatuhkannya sanksi dapat mengakibatkan perampasan kebebasan (hukuman penjara), harta benda (penyitaan), kehormatan bahkan jiwa seseorang (hukuman mati), maka dalam suatu negara hukum penerapan sanksi hukum itu dilaksanakan menurut tata cara (proses) yang dituangkan dalam hukum acara pidana, yang dimaksudkan agar negara dalam melaksanakan haknya untuk memaksakan ditaatinya hukum tetap memperhatikan hak si tertuduh sebagai warga negara dan martabatnya
8 Asep Warlan Yusuf. Penegakan Hukum Administrasi (Artikel) : disampaikan pada September 2004. 9 William J Cambliss & Robert B. Seidman. Law; Order and Power. Addision-Wesley: Reading Mass, 1971, hal
12-14
158
Volume 2.2 29 nov.indd 158
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:01 PM
sebagai manusia. Ini merupakan penjelmaan dari Sila Prikemanusiaan. 10 Penerapan sanksi pidana merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem hukum pidana, di mana sanksi pidana sebagaimana dimaksud merupakan sarana penanggulangan tindak pidana perbankan. Namun demikian, berbeda dengan penanggulangan tindak pidana yang bersifat konvensional, penanggulangan tindak pidana perbankan bukanlah sarana yang bersifat absolut, sehingga sanksi pidana dijadikan sebagai sarana terakhir. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa tindak pidana perbankan bersifat kompleks dan ekonomis. Hal ini berarti, bahwa saranasarana non hukum pidana harus lebih diutamakan dalam penanggulangan tindak pidana perbankan. Di samping sanksi pidana terdapat sanksi-sanksi lain yang dianggap mampu meminimalisir penyimpangan terhadap norma yang diatur dalam perundangundangan, yaitu sanksi administratif. Dalam implementasinya, aturan itu memuat perintah, larangan, kewajiban. Aturan tersebut memiliki makna sebagai hukum manakala dapat dipaksakan kepada setiap orang, yaitu berupa tindakan yang disebut dengan sanksi. Sanksi demikian penting dalam hukum, termasuk dalam hukum administrasi. Sanksi-sanksi hukum administrasi yang khas antara lain adalah: 1. Bestuurdwang (paksaan pemerintah) 2. penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan (izin dan lain-lain) 3. Pengenaan denda. 4. Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom).
Wewenang menerapkan sanksi administrasi pada dasarnya merupakan “discretionary power” atau kewenangan bebas. Oleh karena itu, pemerintah diberi wewenang untuk mempertimbangkan dan menilai apakah menggunakan ataukah tidak menggunakan wewenang tersebut. Pemerintah dapat saja tidak menggunakan wewenang menerapkan sanksi (non enforcement) dengan berbagai pertimbangan, misalnya karena alasan: 1. dapat membahayakan sistem perbankan secara keseluruhan; 2. secara ekonomi tidak menguntungkan; 3. instrumen paksaan yang tidak memadai; 4. tidak ada kemampuan untuk menimbulkan daya paksa; 5. adanya keraguan pemerintah tentang apakah suatu pelanggaran hukum atau bukan; 6. adanya upaya-upaya lain yang lebih efektif, efisien, dan menimbulkan efek jera bagi pelaku; dan 7. lain-lain alasan yang secara obyektif rasional tidak dimungkinkannya penerapan sanksi adminstrasi. Namun demikian, sikap dan tindakan untuk “non enforcement” atau pun sikap untuk menerapkan sanksi bukanlah suatu sikap sesukanya dan semenamena tanpa ukuran yang obyektif dan rasional. Artinya boleh menetapkan sanksi dan boleh juga tidak menerapkan sanksi dilakukan secara subyektif dan tanpa dasar (alasan) yang kuat, logis dan bertanggung jawab. Sikap seperti itu adalah sikap yang keliru dalam menerapkan “discretionary power”. Penerapan kewenangan tersebut
10 Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta. Loc Cit.
Penegakan Sanksi Pidana Dan Administratif Dalam Regulasi Perbankan Sebagai Upaya Meminimalisir Tindak Pidana Window Dressing
Volume 2.2 29 nov.indd 159
159
11/29/2011 5:10:01 PM
seharusnya dilakukan dengan ekstra hatihati dan seksama, yang dalam praktik sering diartikan sebagai kebijakan yang arif dan bijaksana (discretion is the better part of valor), namun tanpa mengabaikan fungsi dan tujuan (penegakan) hukum itu sendiri. 11 Sanksi administratif yang dapat berbentuk penolakan pemberian perizinan setelah dikeluarkan izin sementara (preventif) atau mencabut izin yang telah diberikan (represif), jauh lebih efektif untuk memaksa orang mentaati ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur usaha dan industri dan perlindungan lingkungan dibandingkan dengan sanksi pidana. 12 Namun demikian, di dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, tidak dirumuskan secara tegas bentuk sanksi administratif bagi bank yang melakukan pelanggaran atau tindak pidana yang berkaitan dengan Window Dressing. Untuk itu, perlu adanya pembahasan lain yang merupakan tugas kedua dari pembentuk undang-undang agar merumuskan dan mengakomodir sanksi administratif dalam regulasi perbankan sebagai instrumen penegakan hukum. Adapun penerapan sanksi pidana maupun administratif dapat diterapkan secara bersama-sama kepada bank yang melakukan tindak pidana Window Dressing, di mana sanksi pidana diberlakukan kepada pejabat yang memiliki otoritas dalam pengelolaan bank, sedangkan sanksi administratif dikenakan kepada lembaga bank bersangkutan.
D. Kesimpulan Sanksi merupakan bagian terpenting dalam hukum, yaitu untuk terciptanya konsistensi pelaksanaan hukum. Aspek lain dari sanksi bertujuan untuk tegaknya peraturan hukum, ditaati oleh semua pihak, sehingga hukum dapat berjalan sesuai dengan yang dikehendaki, yaitu untuk menciptakan ketertiban, kepastian dan keadilan. Dalam implementasinya, aturan itu memuat perintah, larangan, kewajiban. Aturan tersebut memiliki makna sebagai hukum manakala dapat dipaksakan kepada setiap orang, yaitu berupa tindakan yang disebut dengan sanksi. Upaya peningkatan kualitas laporan bank sejatinya tidak hanya bergantung pada komitmen manajemen di setiap bank. Namun, memerlukan komitmen yang besar juga dari regulator yakni Bank Indonesia khususnya di sektor pengawasan. Di samping sanksi pidana, terdapat pula sanksi adminsitratif yang pada dasarnya dapat diterapkan terhadap bank yang melakukan tindak pidana Window Dressing, salah satunya dengan pencabutan izin usaha. Dengan adanya pencabutan izin usaha, maka bank tidak dapat beroperasi lagi. Sanksi ini cukup memberikan shock therapy sehingga bank beserta oknum pejabat yang hendak melakukan tindak pidana Window Dressing akan memperhitungkan dampak negatifnya secara luas. Namun demikian, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan belum mengakomodir secara tegas bentuk sanksi administratif, sehingga perlu dilakukan revisi terhadap regulasi perbankan tersebut.
11 Asep warlan Yusuf. Sanksi Administrasi (Artikel). : disampaikan pada Agustus 2004. 12 Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta. Op Cit, hlm 47
160
Volume 2.2 29 nov.indd 160
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:01 PM
DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku Bambang Poernomo. Asas-Asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1994. Jan Remmelink. Hukum Pidana Lilik, Mulyadi. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi Jakarta: Djambatan, 2007. Marulak Pardede. Hukum Pidana Bank. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995. Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta. Pengantar Ilmu Hukum (Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum). Bandung: Alumni, 2000. Setiyono.Kejahatan Korporasi (Analisis Viktimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia). Jakarta: Bayu Media, 2009. Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1983. Talcott Parson. The Social System. Newyork: The Free Press, 1951. William J Cambliss & Robert B. Seidman. Law; Order and Power. Addision-Wesley: Reading Mass, 1971. Artikel Asep Warlan Yusuf. Sanksi Administrasi (Artikel). : disampaikan pada Agustus 2004. Asep Warlan Yusuf. Penegakan Hukum Administrasi (Artikel) : disampaikan pada September 2004.
Penegakan Sanksi Pidana Dan Administratif Dalam Regulasi Perbankan Sebagai Upaya Meminimalisir Tindak Pidana Window Dressing
Volume 2.2 29 nov.indd 161
161
11/29/2011 5:10:01 PM
Penerapan Undang-Undang ITE Untuk Mencegah Praktik Bisnis Curang Dalam E Commerce Ocktavianus Hartono
ABSTRACT Science has been developing very rapidly, one of which is progress in the field of information technology. Developments in information technology have an impact positive for economic growth. One of the positive impact to business actors are in the expansion of market share without having to open new business branches. This is very beneficial for businesses since the businesses can expand its market share without requiring large capital, saving in time because by using this technology information media business do not need to meet directly with prospective customers to sell goods or services of their products, in addition to that minimize the various risks that can be experienced when opening a branch of business. But the convenience provided by the development of knowledge, especially information technology, shall be used in wisely and carefully, because the media e-Commerce is still often used by people who are not responsible for the gain advantages for themselves without regard to the interests of others. Keywords: Technology Development
A. Pendahuluan Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berpengaruh sangat besar dalam kehidupan suatu masyarakat. Salah satu contohnya adalah perkembangan dalam bidang informasi teknologi. Perkembangan dalam bidang informasi teknologi telah mendukung perkembangan perekonomian dalam suatu masyarakat. Perkembangan informasi teknologi telah menciptakan suatu fenomena dalam bidang ekonomi, fenomena itu adalah pergeseran pasar, dimana pasar yang sifatnya tradisional berubah menjadi pasar modern atau pasar elektronik.
162
Volume 2.2 29 nov.indd 162
Dalam pasar tradisional, pelaku usaha memasarkan barang atau jasa hasil produksinya dalam suatu tempat yang dapat dijangkau oleh pembeli. Tempat bertemunya pelaku usaha dan pembeli dinamakan pasar. Dalam pasar tradisional, jual-beli hanya terjadi dalam kondisi pembeli dan penjual bertemu muka, melakukan proses tawar-menawar dan setelah terjadi kesepakatan barulah jual-beli terjadi. Pasar tradisional memiliki beberapa kelemahan, salah satunya adalah jangkauan pasar terhadap pembeli terbatas pada lingkungan sekitar pasar saja. Perluasan pangsa pasar dalam pasar tradisional dapat dilakukan dengan membuka cabang
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:01 PM
usaha di tempat yang baru selain tempat usaha yang telah ada. Dalam membuka cabang usaha baru, maka pelaku usaha harus memikirkan manajemen usaha di tempat yang baru tersebut, yang tentunya akan menyita waktu dan pikiran Pelaku Usaha, selain itu pembukaan tempat usaha baru juga memerlukan modal yang tidak sedikit, modal yang perlu dipersiapkan antara lain modal untuk pembelian atau penyewaan tempat baru, modal belanja karyawan, modal untuk mendesain tempat baru agar tampak menarik, selain itu yang paling dikhawatirkan adalah resiko tidak laku yang mungkin dialami oleh pelaku usaha ketika membuka cabang usaha di tempat yang baru tersebut. Perkembangan teknologi khususnya bidang informasi teknologi, telah membuka celah bagi pelaku usaha untuk memperluas pangsa pasarnya tanpa harus membuka cabang usaha, selain itu dengan memanfaatkan kemajuan dalam bidang informasi teknologi, pelaku usaha dapat menghemat modal yang cukup banyak bila dibandingkan dengan membuka cabang usaha baru seperti pada pasar tradisional. Halhal yang dapat dihemat oleh pelaku usaha dengan memanfaatkan kemajuan informasi teknologi ini adalah: 1. Modal untuk membeli atau menyewa tempat usaha yang baru. 2. Modal untuk belanja tenaga kerja. 3. Menghindari resiko kerugian tidak lakunya usaha baru pelaku usaha tersebut. Perkembangan informasi teknologi memang mempermudah perluasan
pangsa pasar yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha, namun dalam menggunakan peluang ini, pelaku usaha harus memperhatikan aspek hukum yang ada agar terhindar dari segala resiko yang dapat merugikan pelaku usaha.
B. Bisnis Definisi bisnis menurut Munir Fuady adalah: 1 “Suatu urusan atau kegiatan dagang, industri atau keuangan yang dihubungkan dengan produksi atau pertukaran barang atau jasa, dengan menempatkan uang dari para entrepreneur dalam risiko tertentu dengan usaha tertentu dengan motif untuk mendapatkan keuntungan.” Jadi bisnis adalah kegiatan dagang dimana kegiatan dagang ini erat kaitannya dengan jual beli barang atau jasa hasil produksi pelaku usaha dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan. Dalam tujuannya mencari keuntungan, sesuai dengan prinsip ekonomi, pelaku usaha akan berusaha untuk mendapatkan hasil atau keuntungan yang sebanyakbanyaknya dengan usaha yang seminimal mungkin. Perkembangan Informasi Teknologi memungkinkan Pelaku Usaha untuk memperoleh keuntungan dengan usaha yang minimal. Perluasan pangsa pasar dengan menggunakan kemajuan informasi teknologi dinamakan e-Commerce.
B.1 e-Commerce Dalam bukunya mengenal e-Commerce, Onno W. Purbo mendefinisikan e-Commerce sebagai:
1 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Bandung, Citra Aditya Bakti,2005, hlm.2.
Penerapan Undang-Undang ITE Untuk Mencegah Praktek Bisnis Curang Dalam E Commerce
Volume 2.2 29 nov.indd 163
163
11/29/2011 5:10:01 PM
“satu set dinamis teknologi, aplikasi, dan proses bisnis yang menghubungan perusahaan, konsumen, dan komunitas tertentu melalui transaksi elektronik dan perdagangan barang, pelayanan, dan informasi yang dilakukan secara elektronik” 2 Sesuai definisi di atas, e-Commerce adalah pemanfaatan teknologi dan segala aplikasinya dalam proses bisnis yang menghubungkan antara perusahaan dengan konsumen melalui transaksi elektronik, ini berarti hampir segala proses bisnis dapat dilakukan melalui media e-Commerce seperti penawaran produk atau jasa hasil usaha, informasi mengenai barang atau jasa, harga barang dan jasa, negosiasi harga dan pembuatan perjanjian. Namun, dalam hal jual-beli barang, maka pengiriman barang akan dilakukan oleh jasa pengiriman barang, karena pengiriman barang tidak dapat dilakukan melalui media e-Commerce. Perkembangan e-Commerce dalam bisnis ternyata menguntungkan banyak pihak. Keuntungan-keuntungan e-Commerce bagi para pihak adalah: 1. Bagi perusahaan atau pembisnis perorangan Bagi perusahaan dan pembisnis perorangan perkembangan dalam e-Commerce dapat dirasakan dalam hal: a. Memperluas pangsa pasar Dengan adanya e-Commerce, pelaku usaha dapat memperluas pangsa pasarnya tanpa harus membuka cabang usaha di tempat baru. “jangkauan pasar dapat menjadi
luas dibandingkan dengan sistem bisnis tradisional yang “terbatas” oleh lokasi.” 3 b. Menghemat biaya operasional Biaya operasional yang harusnya dikeluarkan oleh pelaku usaha menjadi berkurang karena dengan memanfaatkan e-Commerce maka pelaku usaha tidak perlu membuka cabang usaha di tempat yang baru. c. Meningkatkan pelayanan konsumen Dengan memanfaatkan fasilitas e-Commerce, kredibilitas perusahaan akan meningkat karena pelayanan kepada konsumen menjadi lebih baik. d. M e m p e r p e n d e k j a r a k “perusahaan atau pebisnis perorangan dapat lebih mendekatkan diri dengan konsumen di mana jarak secara fisik dapat diatasi dengan hanya mengklik situs yang dibangun.” 4 2. Bagi konsumen a. “Efektif Konsumen dapat memperoleh informasi dan bertransaksi setiap saat dengan akurat, cepat dan murah. b. Biaya terkendali Biaya transport menuju lokasi untuk memilih barang dapat ditekan serendah mungkin. c. Aman secara fisik Para konsumen akan merasa aman dalam melakukan transaksi dengan jumlah uang yang sangat besar dibandingkan pada pasar tradisional. d. Harga yang lebih terjangkau
2 Onni W.Purbo, Aang Arif Wahyudi, Mengenal eCommerce, Jakarta, Elex Media Komputindo, 2001, hlm2. 3 Budi Sutedjo Dharma Oetomo, Perspektif eCommerce, Yogyakarta, Andi, 2001, hlm.102. 4 Ibid, hlm.102.
164
Volume 2.2 29 nov.indd 164
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:01 PM
Karena perusahaan dapat menekan biaya pemasaran dan meraih manfaat dari penerapan Ju st in Time , k onsum en kemun gkin an mendapatkan harga produk lebih murah. e. Fleksibel Konsumen dapat melakukan transaksi dari berbagai tempat.” 5 3. Bagi masyarakat pada umumnya Bagi masyarakat pada umumnya perkembangan e-Commerce akan membuka peluang usaha baru dan juga memberikan peluang konsumen untuk mendapatkan barang-barang berkualitas baik karena terdapat banyak variasi pilihan dari berbagai pelaku usaha. Produk-produk yang dijual melalui sarana e-Commerce bermacammacam. Namun produk-produk yang secara global menjadi kebutuhan dan diminati masyarakat serta memiliki standar kualitaslah yang dapat dipasarkan dan bersaing dengan para pelaku usaha lain. Produk-produk yang sering dipasarkan melalui e-Commerce antara lain: 6 1. “Produk berupa informasi misalnya koran, majalah, dan jurnal. 2. Produk entertainment, misalnya kalender, peta, poster dan film. 3. Produk simbol, misanya tiket pesawat, tiket kereta api dan reservasi hotel. 4. Produk jasa, misalnya pendidikan, telemedicine dan konsultasi jarak jauh, produk barang, misalnya buku, bunga, kosmetik dan computer.”
Transaksi dalam e-Commerce pada dasarnya dapat dibagi atau dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian besar yaitu: “transaksi Business to Costumer (B to C) dan business to business ( B to B).” 7 Business to Consumer adalah transaksi jual beli melalui internet antara penjual barang dengan konsumen terakhir. Dalam business to consumer tidak diperlukan persyaratan yang rumit, dan dalam business to consumer kedudukan konsumen cukup baik, karena konsumen dapat memperoleh informasi yang beragam dan mendetail dalam hal pemilihan produk. Hal ini terjadi karena dalam internet, konsumen tidak dibatasi oleh tempat dan waktu, sehingga konsumen dapat memanfaatkan fasilitas ini untuk mencari barang atau jasa yang sesuai dengan keinginannya dan harga yang sesuai dengan yang konsumen inginkan. Karakteristik transaksi e-Commerce Business to Consumer adalah sebagai berikut: 8 1. “Terbuka untuk umum, dimana informasi disebarkan secara umum pula; 2. Servis yang dilakukan juga bersifat umum sehingga mekanismenya dapat digunakan oleh banyak orang. Contohnya, karena sistem web sudah umum dikalangan masyarakat, maka sistem yang digunakan adalah sistem web pula; 3. Servis yang diberikan berdasarkan permintaan dimana konsumen berinisiatif sedangkan produsen
5 Ibid, hlm.103. 6 Ibid, hlm.93. 7 Dikdik M Arief Mansur, Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, Bandung, Refika Adita
ma, 2005, hlm.150.
8 Ibid, hlm.152.
Penerapan Undang-Undang ITE Untuk Mencegah Praktek Bisnis Curang Dalam E Commerce
Volume 2.2 29 nov.indd 165
165
11/29/2011 5:10:01 PM
harus siap memberikan respon terhadap inisiatif konsumen; 4. Sering dilakukan pendekatan clientserver, yang mana konsumen di pihak klien menggunakan sistem yang minimal (berbasis web) dan pihak penyedia barang atau jasa (business procedur) berada pada pihak server.” Sedangkan business to business merupakan sistem komunikasi yang dilakukan secara online antar pelaku usaha. Karakteristik trasaksi e-Commerce Business to Business adalah sebagai berikut: 9 1. “Trading partners yang sudah saling mengetahui dan antara mereka sudah terjalin hubungan yang berlangsung cukup lama. Pertukaran informasi hanya berlangsung di antara mereka dan area sudah sangat mengenal. Maka pertukaran informasi tersebut dilakukan atas dasar kebutuhan dan kepercayaan; 2. Pertukaran data dilakukan secara berulang-ulang dan berskala dengan format data yang telah disepakati. Jadi, servis yang digunakan antara kedua sistem tersebut sama dan menggunakan standar yang sama; 3. Salah satu pelaku tidak harus menunggu partner mereka lainnya untuk mengirim data; 4. Model yang umum digunakan adalah pear to pear, dimana processing intelegence dapat didistribusikan di kedua pelaku bisnis.” Meskipun e-Commerce merupakan sistem yang menguntungkan karena d e n g a n men ggu n akan manfaat e-Commerce, pelaku usaha dapat menekan biaya transaksi bisnis, biaya
modal dan juga meningkatkan kredibilitas suatu perusahaan karena pelaku usaha dapat meningkatkan pelayanannya kepada pelanggan, namun hingga saat ini sistem e-Commerce beserta semua infrastruktur penunjangnya masih dapat dengan mudah disalahgunakan oleh pihak-pihak yang beritikad buruk dan tidak bertanggung jawab. Selain itu, sistem e-Commerce ini masih mungkin terkena kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi dikarenakan berbagai cara seperti kerusakan hebat yang berkaitan dengan sistem itu sendiri baik dalam sistem perdagangan komersial, institusi finansial, service provider bahan komponen sekalipun. Penyalahgunaan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dan kegagalan sistem dapat berakibat: 1. Kehilangan finansial secara langsung karena kecurangan yang dilakukan oleh pelaku yang tidak bertanggung jawab. 2. Pencurian informasi rahasia yang berharga seperti informasi yang berhubungan dengan konsumen dan informasi penting lainnya. Hilangnya informasi yang berhubungan dengan konsumen, apabila kemudian data tersebut disalahgunakan oleh pelaku yang tidak bertanggung jawab akan m engakibatkan hilangn y a kepercayaan dari para konsumen kepada pelaku usaha 3. Kehilangan kesempatan bisnis karena gangguan pelayanan, hal ini dapat terjadi akibat kesalahan yang bersifat non teknis seperti padamnya aliran listrik atau jenis-jenis gangguan yang tidak terduga lainnya. Kerugiankerugian yang tidak terduga ini
9 Ibid, hlm.151.
166
Volume 2.2 29 nov.indd 166
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:01 PM
bisa berupa gangguan dari luar yang dilakukan dengan sengaja, ketidakjujuran, praktik bisnis curang, kesalahan faktor manusia, atau kesalahan sistem elektronik Selain hal-hal diatas, ada beberapa alasan mengapa pemerintah perlu turut campur dalam memberikan perlindungan bagi pengguna e-Commerce, antara lain: 1. untuk memberikan rasa aman bagi pengguna sarana e-Commerce (konsumen maupun pelaku usaha). 2. pemerintah harus mencegah atau melakukan tindakan preventif untuk mencegah disalahgunakannya sarana eCommerce dari praktikpraktik bisnis curang atau tidak sehat (unfair trade practices). 3. pengaturan e-Commerce akan meningkatkan iklim pertumbuhan ekonomi. Untuk menanggulangi hal-hal di atas, maka pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur informasi dan transaksi elektronik termasuk e-Commerce oleh karena itu, pelaku usaha yang ingin menggunakan sarana e-Commerce harus memperhatikan aturan hukum yang ada agar terhindar dari masalah hukum. Para pihak yang terlibat dalam e-Commerce antara lain: 1. Pelaku usaha adalah produsen/ perusahaan yang menawarkan barang atau jasa hasil produksinya melalui media e-Commerce.
2. Pembeli atau kosumen adalah orangorang yang ingin memperoleh barang atau jasa yang dengan menggunakan media e-Commerce. Konsumen disini dapat berupa konsumen akhir atau konsumen perantara. 3. Bank adalah sarana yang digunakan apabila transaksi dilakukan melalui bank. 4. Perusahaan kartu kredit adalah perusahaan yang mengeluarkan kartu kredit. Kartu kredit seringkali digunakan dalam proses jual beli melalui e-Commerce. 5. Lembaga sertifikasi adalah pihak ketiga baik itu pihak swasta maupun pemerintah yang sifatnya netral. Lembaga sertifikasi ini bertugas untuk mengeluarkan sertifikasi kepada pelaku usaha yang menggunakan sarana e-Commerce sebagai sarana perluasan pangsa pasarnya. Pemanfaatan teknologi informasi khususnya yang digunakan untuk transaksi-transaksi elektronik harus dilaksanakan berdasarkan asas-asas hukum umum. Asas-asas tersebut antara lain: 10 1. “Asas kepastian hukum berarti landasan hukum bagi pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik serta segala sesuatu yang mendukung penyelenggaraannya yang mendapatkan pengakuan hukum di dalam dan di luar pengadilan. 2. Asas Manfaat berarti asas bagi pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik diupayakan untuk mendukung proses berinformasi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
10 Danrivanto Budhijanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran & Teknologi Informasi regulasi & Konvergensi,
Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 136-137.
Penerapan Undang-Undang ITE Untuk Mencegah Praktek Bisnis Curang Dalam E Commerce
Volume 2.2 29 nov.indd 167
167
11/29/2011 5:10:01 PM
3. Asas Kehati-hatian berarti landasan bagi pihak yang bersangkutan harus memperhatikan segenap aspek yang berpotensi mendatangkan kerugian, baik bagi dirinya maupun bagi pihak lain dalam pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik. 4. Asas Itikad Baik berarti asas yang digunakan para pihak dalam melakukan transaksi elektronik tidak bertujuan untuk secara sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakibatkan kerugian bagi pihak lain tanpa sepengetahuan pihak lain tersebut. 5. Asas Kebebasan Memilih Teknologi atau Netral Teknologi berarti asas pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik tidak terfokus pada penggunaan teknologi tertentu sehingga dapat mengikuti perkembangan pada masa yang akan datang.”
C. Hukum Hukum berasal dari bahasa Latin yaitu: “recht yang artinya bimbingan atau tuntutan atau pemerintahan dan ius yang artinya mengatur atau memerintah.” 11 Kesimpulan dari dua kata tersebut maka hukum adalah sesuatu yang memberikan bimbingan atau tuntutan yang tujuannya adalah untuk mengatur atau memerintah. Dengan kata lain kita dapat mengatakan bahwa hukum adalah segala aturan yang dibuat oleh orang yang diberi kuasa (pemerintah dalam hal ini adalah DPR) untuk membuat peraturan, dimana peraturan tersebut 11 12 13 14 15
Beberapa definisi hukum menurut para ahli hukum: 1. “Plato, hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat.” 12 2. “Aristoteles, hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim.” 13 3. “Van Kan, hukum ialah keseluruhan ketentuan-ketentuan penghidupan yang bersifat memaksa yang diadakan untuk melindungi kepentingan orang dalam masyarakat.” 14 4. “Utrecht, hukum adalah himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran terhadap petunjuk hidup itu dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu.” 15 Dari pendapat para ahli hukum diatas dapat disimpulkan bahwa hukum adalah sekelompok aturan yang tersusun dan mengikat bagi setiap orang yang bertujuan untuk mengatur masyarakat sehingga tercipta ketertiban dan keadilan dalam masyarakat tersebut, bagi yang akan mendapatkan sanksi dari pemerintah atau orang yang memang diberi kuasa untuk menjatuhkan hukuman. Dalam bidang e-Commerce, hukum ada untuk mengatur masyarakat pengguna eCommerce sehingga
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm.24. Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Frafika, Jakarta, 2008, hlm.2. Ibid, hlm.2. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm.37. Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonensia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm.6.
168
Volume 2.2 29 nov.indd 168
dibuat dengan tujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat.
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:02 PM
tercipta ketertiban dan keadilan bagi pengguna e-Commerce. Ketertiban dan keadilan akan tercapai apabila seluruh masyarakat pengguna fasilitas e-Commerce taat dan tunduk pada peraturan yang ada. Salah satu cara agar pengguna media e-Commerce tunduk adalah dengan memberi sanksi bagi pengguna yang menggunakan fasilitas ini namun tidak tunduk pada aturan yang ada. Sanksi bagi pengguna yang melanggar dalam transaksi e-Commerce ini terdiri dari yang paling ringan hingga yang paling berat. Yang teringan berupa teguran dan yang terberat dapat berupa pencabutan izin untuk menggunakan fasilitas e-Commerce bagi pelaku usaha bahkan sanksi pidana. Sanksi pidana ini dapat berlaku bagi pelaku usaha dan konsumen yang memang dengan sengaja (beritikad buruk) menggunakan fasilitas e-Commerce untuk mengambil keuntungan bagi diri mereka sendiri.
C.1 Aspek Hukum yang Perlu Diperhatikan dalam Mengembangkan Usaha Melalui E-Commerce Definisi e-Commerce menurut Munir Fuady adalah : 16 “Suatu proses berbisnis dengan memakai teknologi elektronik yang menghubungkan antara perusahaan, konsumen dan masyarakat dalam bentuk transaksi elektronik. Dan pertukaran/penjualan barang, servis dan informasi secara elektronik. Dengan demikian, pada prinsipnya bisnis dengan e-Commerce merupakan kegiatan bisnis tanpa warkat (paperless trading)”
Pada dasarnya, jual-beli barang dan jasa melalui media e-Commerce adalah sama dengan jual-beli yang terjadi dalam pasar tradisional. Oleh karena itu dalam melakukan penjualan produk atau jasa melalui media e-Commerce juga perlu memperhatikan hak-hak konsumen seperti halnya dalam pasar tradisional. Beberapa hak-hak konsumen antara lain: 1. Hak memperoleh informasi yang lengkap dan jelas mengenai produk yang akan konsumen beli. 2. Hak dimana barang atau jasa yang dibeli konsumen sesuai dengan apa yang diinginkannya baik dari segi kualitas, ukuran, harga dan sebagainya. Ini berarti pelaku usaha harus memberikan barang dan atau jasa sesuai dengan informasi yang diberikan melalui media e-Commerce. 3. Hak untuk mendapatkan informasi mengenai cara menggunakan barang tersebut. 4. Hak mendapatkan perlindungan dari barang yang dibelinya. Barang yang dibeli konsumen haruslah tidak berbahaya bagi konsumen, baik bagi kesehatan maupun keamanan jiwanya. 5. Hak mendapatkan jaminan bahwa barang atau jasa yang dibelinya dapat berguna dan berfungsi dengan baik. 6. Hak atas jaminan bahwa apabila barang atau jasa yang dibeli konsumen tidak sesuai dengan yang diinformasikan oleh pelaku usaha, maka konsumen akan memperoleh penggantian, baik itu berupa barang atau jasa pengganti atau uang.
16 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm.407.
Penerapan Undang-Undang ITE Untuk Mencegah Praktek Bisnis Curang Dalam E Commerce
Volume 2.2 29 nov.indd 169
169
11/29/2011 5:10:02 PM
Hak-hak konsumen di atas perlu diperhatikan oleh pelaku usaha, karena dalam perdagangan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 4, diatur hak-hak konsumen yang meliputi: 1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa; 2. hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; 3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa; 4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang digunakan; 5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; 6. hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; 7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; 9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Pelanggar terhadap hak-hak konsumen diatas dapat berakibat batalnya suatu perjanjian, dimana pelaku usaha
wajib mengganti kerugian konsumen. Pedoman yang perlu diperhatikan dalam penerapan perlindungan konsumen dalam transaksi perdagangan melalui e-Commerce dapat dibagi dalam 4 (empat) bagian yaitu: 17 1. “Dari sisi produsen/pelaku usaha; Kedudukan produsen dalam hubungannya dengan transaksi perdagangan relatif lebih kuat apabila dibandingkan dengan konsumen. Salah satu bukti kuatnya kedudukan itu adalah produsen berada pada pihak penyedia produk sedangkan konsumen berada pada pihak yang membutuhkan produk, sehingga apapun yang ditentukan oleh produsen sepanjang konsumen membutuhkan produk itu maka konsumen akan menyetujuinya, sehingga lahirlah bentuk-bentuk kontrak baku (standard contract) yang menjonjolkan prinsip take it or leaves it. Kuatnya kedudukan produsen sedapat mungkin harus diawasi karena tanpa pengawasan maka dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan perlindungan kosumen dalam transaksi melalui e-Commerce, maka perlindungan terhadap konsumen dapat diberikan dalam bentuk; a. Pemberitahuan identitas produsen /pelaku usaha secara jelas yang meliputi alamat tempat berusaha (termasuk e-mail), telpon, jenis usaha yang dikelola, apabila memiliki pabrik, perkebunan atau tempat pengolahan lainnya maka dicantumkan alamat pabrik, perkebunan, dsb;
17 Dikdik M Arief Mansur, Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, Refika Aditama,
Bandung, 2009, hlm. 159-163.
170
Volume 2.2 29 nov.indd 170
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:02 PM
b. Apabila produsen/pelaku merupakan kantor/perusahaan cabang harus dib eritahu kan alam at kantor/ perusahaan induknya; c. Memiliki ijin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang untuk menyelenggarakan bisnisnya. 2. Dari sisi konsumen; Konsumen sebagai pihak yang membutuhkan produk seringkali sebelum mulai melakukan transaksi diharuskan untuk memberikan informasi yang lengkap mengenai identitas diri atau perusahaan (apabila konsumennya adalah perusahaan). Hal ini wajar apabila produsen berkepentingan atas informasi tersebut karena melalui informasi inilah produsen dapat menilai kredibilitas konsumen, apakah konsumen adalah pembeli yang sungguh-sungguh atau tidak. Sebaliknya, apakah ada jaminan bahwa data diri/identitas konsumen (perorangan/perusahaan) tidak digunakan (dikomersialisasikan) oleh produsen seperti untuk pengiriman brosur pemasaran perusahaan. Padahal konsumen sangat memperhatikan aspek keamanan dan kerahasiaan dari informasi pribadinya dalam online transaction. Untuk melindungi konsumen dari penyalahgunaan informasi (berupa data diri) maka perlu adanya jaminan dari produsen bahwa data/identitas konsumen tidak akan dipergunakan secara menyimpang diluar peruntukannya tanpa seijin konsumen.
3. Dari sisi produk (barang dan jasa); Informasi produk sangat penting diketahui oleh konsumen, karena melalui informasi ini konsumen dapat mengambil keputusan untuk melakukan transaksi atau tidak. Tingkat pengenalan konsumen pada produk yang akan dibeli bermacam ragamnya, baik konsumen yang mengetahui produk maka informasi produk tidak begitu penting karena hanya akan dijadikan sebagai pelengkap saja, tetapi sebaliknya bagi konsumen yang tidak tahu (awam), maka pengenalan produk sangat penting karena kesalahan dalam memilih produk dapat merugikan konsumen. Di beberapa negara sudah ada pengaturan mengenai promosi yang ditujukan bagi konsumen anakanak, hal ini disebabkan anak-anak kadang kala mengalami kesukaran dalam memahami produk apa yang dimaksud dalam promise tersebut. Sehingga penjual (produsen) harus melakukan tindakan/ perlakuan khusus terhadap suatu produk atau penggunaannya yang ditawarkan pada anak-anak guna menghindari salah pengertian. Oleh karena itu, dalam menawarkan produknya (barang atau jasa) maka produsen diwajibkan untuk: a. Memberikan informasi yang jelas dan lengkap mengenai produk yang ditawarkan sehingga konsumen tidak disesatkan terutama informasi yang sifatnya mendasar (kualitas produk apakah asli atau imitasi,
Penerapan Undang-Undang ITE Untuk Mencegah Praktek Bisnis Curang Dalam E Commerce
Volume 2.2 29 nov.indd 171
171
11/29/2011 5:10:02 PM
baru atau bekas, jenis produk, ukuran) di samping informasiinformasi lain yang relevan seperti keunggulan-keunggulan dari produk, kekurangan dsb. Hal ini penting guna membantu konsumen dalam mengambil keputusan apakah akan membeli produk tersebut atau tidak; b. Informasi mengenai produk harus diberikan melalui bahasa yang mudah dimengerti dan tidak menimbulkan penafsiran secara berlainan; c. Memberikan jaminan bahwa produk yang ditawarkan aman atau nyaman untuk dikonsumsi atau dipergunakan; d. Memberikan jaminan bahwa produk yang diterima sesuai dengan apa yang ditawarkan oleh produsen pada saat diiklankan (dipromosikan) 4. Dari segi transaksi; Perlu diketahui bahwa tidak semua konsumen paham dalam melakukan transaksi melalui media internet, sehingga produsen perlu mencantumkan dalam melakukan transaksi melalui media internet, sehingga produsen perlu mencantumkan dalam websitenya informasi yang jelas dan lengkap mengenai mekanisme transaksi serta hal-hal lainnya berkenan dengan transaksi, seperti: a. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh konsumen dalam melakukan transaksi; b. Kesempatan bagi kosnumen untuk mengkaji ulang transaksi yang akan dia lakukan sebelum
mengambil keputusan, hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan adanya kesalahan yang dibuat oleh konsumen; c. Harga dari produk yang ditawarkan, apakah sudah termasuk pajak atau belum, termasuk ongkos kirim atau belum; d. Mata uang apa yang dipakai; e. Bagaimana mekanisme pengiriman barangnya f. Produsen harus menyediakan suatu rekaman transaksi yang setiap saat bisa diakses oleh konsumen yang dalamnya memuat segala sesuatu berkenaan dengan transaksi yang sedang/atau telah dilakukan. Hal ini penting untuk kepentingan pembuktian apabila dikemudian hari timbul sengketa; g. Informasi mengenai dapat tidaknya konsumen mengembalikan barang yang sudah dibeli, apabila diper kenankan, bagaim a n a mekanismenya; h. Apakah diberikan jaminan penggantian barang atau penggantian uang, apabila produk yang diterima tidak sesuai atau rusak; i. Mekanism e penyelesa i a n sengketa; j. Jangka waktu pengajuan klaim yang wajar.” Kegiatan-kegiatan usaha dalam e-Commerce dilakukan dengan orientasi sebagai berikut: 18 1. “Pembelian on line (on line transaction) 2. Komunikasi digital (digital
18 Ibid, hlm.408.
172
Volume 2.2 29 nov.indd 172
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:02 PM
communication). Yaitu suatu komunikasi elektronik 3. Penyediaan jasa (service), yang menyediakan informasi tentang kualitas produk dan informasi instan terkini. 4. Proses bisnis, yang merupakan sistem dengan sasaran untuk meningkatkan otomatisasi proses bisnis. 5. Market of one, yang memugkinkan proses customization produk dan jasa diadaptasikan pada kebutuhan bisnis.” Dari pedoman dan orientasi di atas, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa pada dasarnya proses jual-beli barang maupun jasa melalui sarana e-Commerce ini adalah sama dengan proses jual-beli barang maupun jasa dalam pasar tradisional. Namun yang membedakannya adalah pada pasar tradisional pembeli dan penjual bertemu langsung, sedangkan pada penjualan melalui e-Commerce pembeli dan penjual tidak bertemu langsung.
C.2 Hubungan eCommerce Dengan Hukum Kontrak Pada dasarnya jual-beli melalui e-Commerce adalah sama dengan jualbeli dalam pasar tradisional, karena itu jual-beli dalam e-Commerce harus tunduk pada Buku 3 KUH Perdata tentang perikatan. Perjanjian menurut pasal 1331 KUH Perdata adalah: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
Jadi suatu perjanjian adalah perbuatan antara satu orang atau lebih yang mengikatkan dirinya dengan satu orang lain atau lebih. Mengikatkan diri artinya mengikatkan untuk melakukan sesuatu kepada orang lain. Contohnya perjanjian jual beli mobil. Anton pemilik mobil dan Denny adalah yang ingin membeli mobil. Apabila telah terjadi kesepakatan antara Anton dan Denny untuk mengadakan jual-beli mobil, maka mereka akan mengadakan suatu perjanjian yang artinya mereka saling mengikatkan dirinya untuk melakukan suatu kewajiban untuk mendapatkan haknya. Anton mempunyai hak atas sejumlah uang atas penjualan mobilnya, tetapi dia juga berkewajiban untuk menyerahkan mobil beserta dokumendokumen pelengkapnya dan sebaliknya dengan Denny. Tidak semua perjanjian yang dibuat oleh para pihak adalah sah. Oleh karena itu agar perjanjian yang dibuat sah maka, perjanjian itu harus sesuai dengan pasal 1320 KUH Perdata yang mengatur mengenai syarat sahnya perjanjian adalah sebagai berikut: 1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; 3. suatu hal tertentu; 4. suatu sebab yang halal. Sepakat dalam suatu perjanjian ditandai dengan adanya kesamaan kehendak diantara para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Sedangkan cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah dewasa, atau sudah menikah dan tidak berada dalam
Penerapan Undang-Undang ITE Untuk Mencegah Praktek Bisnis Curang Dalam E Commerce
Volume 2.2 29 nov.indd 173
173
11/29/2011 5:10:02 PM
pengampuan. Hal tertentu, adalah syarat dimana suatu perjanjian harus ada dan harus jelas objeknya dan hal yang halal adalah perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Perjanjian yang telah memenuhi syaratsyarat yang telah ditentukan oleh KUH Perdata, sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata maka berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya. Jadi apabila perjanjian yang dibuat oleh Anton dan Denny telah memenuhi syarat sahnya perjanjian sesuai dengan pasal 1320 KUH Perdata, maka perjanjian antara Anton dan Denny berlaku sebagai undang-undang bagi mereka. Ini berarti apabila salah satu dari mereka melanggar ketentuan dari perjanjian, maka pihak tersebut akan dikenakan sanksi. Buku 3 KUH Perdata memiliki sifat terbuka, yang artinya adalah bahwa semua pihak asalkan sesuai dengan syarat sah nya suatu perjanjian (Pasal 1320 KUH Perdata) dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum bebas membuat perjanjian apapun, kapanpun, dimanapun, dengan bentuk apapun. Namun yang perlu diperhatikan dalam membuat perjanjian adalah bukti dari keberadaan perjanjian tersebut. Agar mempermudah dalam hal pembuktian, maka suatu perjanjian sebaiknya dibuat dalam suatu kontrak, dalam kontrak para pihak dapat menuangkan segala kehendaknya dan menandatanganinya sebagai bukti bahwa mereka telah sepakat dalam perjanjian tersebut. Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata mengenai sahnya suatu perjanjian, maka
174
Volume 2.2 29 nov.indd 174
perjanjian yang dibuat melalui sarana e-Commerce juga harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dalam KUH Perdata. Tidak dipenuhinya syaratsyarat sahnya suatu perjanjian akan berakibat perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau harus batal demi hukum. Namun dalam praktiknya, pemenuhan syarat-syarat yang ditetapkan oleh KUH Perdata agar perjanjian yang dibuat melalui media e-Commerce agak sulit dipenuhi, contohnya dalam hal tanda tangan sebagai bukti kesepakatan para pihak dalam membuat suatu perjanjian. Dalam e-Commerce, akan sulit membubuhkan tanda tangan seperti pada selembar kertas. Karena itulah dalam e-Commerce diatur segala ketentuan agar perjanjian yang dibuat melalui media e-Commerce ini memenuhi segala persyaratan yang ditetapkan oleh KUH Perdata. Pengaturan-pengaturan inilah yang harus diperhatikan oleh para pelaku usaha yang ingin memasarkan produknya melalu media e-Commerce.
C.3 Peraturan Hukum Mengenai Penggunaan, tandan tangan elektronik, Penyelenggaraan Informasi dan Transaksi Elektronik Ber dasar kan Undang- Unda n g Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, kontrak yang dibuat melalui media e-Commerce dinamakan Kontrak Elektronik. Definisi kontrak elektronik adalah perjanjian yang dibuat melalui Sistem Elektronik. Sedangkan Sistem Elektronik itu sendiri adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:02 PM
mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, m e n ampilkan , mengum um kan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik. Sedangkan informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto, elektronic data interchange (EDI), surat elektronik (elektronik mail), tetegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka kode akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Jadi kesimpulannya kontrak elektronik adalah kontrak yang dibuat melalui sistem elektronik dimana untuk membuat sebuah kontrak elektronik memerlukan serangkaian perangkat dan prosedur elektronik. Perusahaan atau pelaku usaha yang menggunakan sarana e-Commerce untuk memperluas pangsa pasarnya dinamakan Penyelenggara Sistem Elektronik. Dalam menyelenggarakan sistem elektronik, pelaku usaha harus mendaftarkan sistem elektroniknya kepada Penyelenggara Sertifikasi Elektronik. Sesuai dengan pasal 14 UndangUndang Nomor 11 tahun 2008, maka setiap pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar,akurat, jelas kepada setiap pengguna jasa, yang meliputi: 1. metode yang digunakan untuk mengidentifikasi penanda tangan; 2. hal yang dapat digunakan untuk mengetahui data diri pembuat tanda tangan elektronik; dan
3. hal yang dapat digunakan untuk m enunjukkan keber la k u a n dan keamanan tanda tangan elektronik.
Gambar 1: penyediaan informasi produk yang dijual SentralWeb.com Dalam hal terjadi kesepakatan mengenai produk dan harga yang ditawarkan pelaku usaha dan pembeli, maka pembeli dapat membuat perjanjian dengan pelaku usaha. Perjanjian yang dibuat melalui media elektronik dinamakan kontrak elektronik. Kontrak elektronik atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah. Namun untuk menyatakan sahnya suatu kontrak elektronik atau dokumen elektronik, kontrak atau dokumen elektronik itu haruslah kontrak atau dokumen yang dibuat dengan menggunakan Sistem Elektronik yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Menurut UndangUndang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, agar kontrak dan data elektronik sah dan dapat digunakan sebagai alat bukti maka penggunaan sistem elektronik ini
Penerapan Undang-Undang ITE Untuk Mencegah Praktek Bisnis Curang Dalam E Commerce
Volume 2.2 29 nov.indd 175
175
11/29/2011 5:10:02 PM
harus selalu dipastikan kelayakannya. Layak atau tidaknya sistem informasi yang ada dinilai dengan melakukan proses pemeriksaan dan pengujian, dimana pemeriksaan dan pengujian Sistem Elektronik dilakukan oleh institusi yang berwenang dan berkompeten untuk memastikan bahwa suatu Sistem Elektronik berfungsi sebagaimana mestinya. Apabila Sistem Elektronik yang digunakan oleh penyelenggara elektronik berfungsi sebagaimana mestinya, maka pelaku usaha sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik akan mendapatkan sertifikat keandalan yang dapat dicantumkan dalam sistem elektronik mereka. Lembaga sertifikasi keandalan yang melakukan pemerikasaan dan pengujian ini adalah lembaga independen yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan dan diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan Sertifikat Keadalan dalam transaksi. Transaksi yang terjadi dalam media e-Commerce ini adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer atau media lainnya. Pada dasarnya sama dengan pasar tradisional, transaksi e-Commerce ini juga diawali dengan penawaran dan penerimaan. Penawaran adalah tawaran yang dilakukan oleh pelaku usaha mengenai barang-barang maupun jasa yang mereka tawarkan sedangkan penerimaan adalah persetujuan untuk membeli barang atau jasa yang diberikan oleh calon pembeli yang ingin membeli barang dan atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha. Karena
176
Volume 2.2 29 nov.indd 176
pada dasarnya transaksi e-Commerce ini adalah perjanjian, maka transaksi elektronik ini harus tunduk pada KUH Perdata buku 3 Pasal 1320 tentang syarat sahnya suatu perjanjian. Namun hal yang sulit dipenuhi dalam transaksi elektronik ini adalah tanda tangan yang harus diberikan sebagai tanda kesepakatan yang telah terjadi diantara mereka. Karena ini diciptakanlah tanda tangan elektronik yaitu tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi. Jadi tanda tangan elektronik ini bukan tanda tangan seperti yang biasa ada dalam perjanjian tradisional yang dituangkan dalam kertas. Tanda tangan elektronik adalah sekumpulan data pribadi seperti nomor kartu kredit dan informasi lainnya yang dimasukkan kedalam format yang telah disediakan oleh pelaku usaha. Dan untuk mengesahkan tanda tangan elektronik kita, setelah kita memasukkan data pribadi kita, maka kita akan menekan tombol penerimaan yang disediakan oleh pelaku usaha. Agar tanda tangan elektronik ini dapat dinyatakan sah, sesuai dengan pasal 12 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2004, maka pelaku usaha harus memastikan bahwa Sistem Elektronik yang pelaku usaha buat itu: 1. tidak dapat diakses oleh orang lain yang tidak berhak 2. penanda tangan harus menerapkan prinsip kehati-hatian untuk menghindari penggunaan secara tidak sah terhadap data terkait pembuatan tanda tangan elektronik.
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:02 PM
3. Penanda tangan harus tanpa menunda-nunda menggunakan cara yang dianjurkan oleh penyelenggara tanda tangan elektronik ataupun cara lain yang layak dan sepatutnya harus segera memberitahukan kepada seseorang yang oleh Penanda Tangan dianggap mempercayai tanda tangan elektronik atau kepada pihak pendukung layanan tanda tangan elektronik jika: a. Penanda tangan mengetahui bahwa data pembuatan tanda tangan elektronik telah dibobol;atau b. Keadaan yang diketahui oleh penanda tangan dapat menimbulkan risiko yang berarti, kemungkinan akibat bobolnya data pembuatan tanda tangan elektonik; dan 4. Dalam hal sertifikat elektronik digunakan untuk mendukung tanda tangan elektronik, penanda tangan harus memastikan kebenaran dan keutuhan semua informasi yang terkait dengan sertifikat elektronik tersebut. Jadi dalam hal ini, prinsip kehatihatian harus diterapkan oleh kedua belah pihak. Apabila prinsip kehati-hatian ini dilanggar, maka pihak yang melanggar bertanggung jawab atas segala kerugian dan konsekuensi hukum yang timbul. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik harus menyelenggarakan Sistem Elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya Sistem Elektronik sebagaimana mestinya. Persyaratan
minimum yang harus dipenuhi oleh Penyelenggara Sistem Elektronik: 1. Dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan Peraturan Perundang-Undangan; 2. Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan dan keteraksesa Informasi Elektronik dalam Penyelenggaraan Sistem elektronik tersebut; 3. Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; 4. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; dan 5. Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebar uan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
D Penutup Perkembangan teknologi khususnya dalam bidang internet telah membuka peluang baru dalam bidang ekonomi. Dengan menggunakan fasilitas ini, pelaku usaha dapat memperluas pangsa pasarnya tanpa harus membuka cabang usaha di tempat lain. Selain pelaku usaha, konsumen juga mendapatkan keuntungan. Salah satu keuntungan yang diperoleh konsumen adalah kemudahan
Penerapan Undang-Undang ITE Untuk Mencegah Praktek Bisnis Curang Dalam E Commerce
Volume 2.2 29 nov.indd 177
177
11/29/2011 5:10:02 PM
untuk mendapatkan informasi atas barang dan jasa tanpa harus datang kepada pelaku usaha. Namun dalam menggunakan media e-Commerce, pengguna harus memperhatikan tata cara atau prosedur yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik karena sampai saat ini masih banyak orang-orang yang beritikad buruk yang menyalahgunakan media e-Commerce untuk memperoleh keuntungna bagi dirinya sendiri. Dengan menerapkan prosedur yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, diharapkan dapat meminimalkan penyalahgunaan terhadap media e-Commerce ini.
DAFTAR PUSTAKA Danrivanto Budhijanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran & Teknologi Informasi regulasi &Konvergensi, Refika Aditama, Bandung, 2010. Dikdik M Arief Mansur, Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, Refika Aditama, Bandung, 2009 Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Bandung, Citra Aditya Bakti,2005 Onni W.Purbo, Aang Arif Wahyudi, Mengenal eCommerce, Jakarta, Elex Media Komputindo, 2001, hlm2. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008 Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonensia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008
178
Volume 2.2 29 nov.indd 178
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:03 PM
Tindak Pidana dalam Proses Penerbitan Sertipikat Tanah dan Dampaknya terhadap Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Sertipikat Tanah di Indonesia*) Rahel Octora
ABSTRACT Legal protection for certificate’s owner which is given by the State, related with Publication System of Land Registration. It is related with how a State guarantee the validity of data contained in the certificate. How strong a certificate can become an evidence of rights, is depend on the publication system of land registration itself. To give and to guarantee legal protection for the owner of certificate, the government has enforced Article 32 (2) Government Regulation 24th/1997 about Land Registration, which gives time limit, for 5 (five) years, for those who are not registered as the owner of the land (but feel that his rights are being disturbed by person – who are with good faith, got the right of the land and become the holder of the land-) to claim his right before the court. Article 32 (2) does not actually give and guarantee legal protection for the owner of certificate, because there are still many certificates which have been given for more than 5 years can be declared void. This paper will analyze how strong legal protection is given to the owner of certificate, and also will be described, what are the factors that cause the land certificate (that has been given for more than five years), can be declared void, and whether there are any relations with criminal aspect in the process of publishing the certificate. Keywords : Land Registration, Publication System *) Karya Ilmiah ini diambil dari Skripsi karya penulis yang berjudul “Konsistensi Yuridik Sistem Publikasi dalam Pendaftaran Tanah di Indonesia”. **) Penulis adalah Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha Bandung
A. Pendahuluan Pasal 19 ayat (2) butir c UndangUndang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disingkat UUPA) menyatakan bahwa surat tanda bukti hak berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Meskipun telah mendapat
pengakuan dalam UUPA, dimilikinya sertipikat ternyata belum menjamin kepastian hukum pemilikannya, karena dalam peraturannya sendiri memberi peluang di mana sepanjang ada pihak lain yang merasa memiliki tanah dapat menggugat pihak yang namanya tercantum dalam sertipikat secara keperdataan ke Peradilan Umum, atau
Tindak Pidana dalam Proses Penerbitan Sertipikat Tanah dan Dampaknya terhadap Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Sertipikat Tanah di Indonesia
Volume 2.2 29 nov.indd 179
179
11/29/2011 5:10:03 PM
menggugat Kepala Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya disingkat BPN) /Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, atau gugatan yang menyangkut teknis administratif penerbitannya. 1 Sistem pendaftaran tanah di Indonesia menganut sistem publikasi negatif, sejalan dengan pengaturan dalam Pasal 19 ayat (2) butir c. Sistem publikasi negatif berarti bahwa negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan. 2 Artinya, negara tidak menjamin kebenaran data fisik serta data yuridis yang dicantumkan dalam sertipikat, sehingga pihak lain yang merasa memiliki hak atas tanah tersebut dapat menggugat, sehingga keberadaan sertipikat adalah sebagai alat bukti yang kuat, bukan sebagai alat bukti yang mutlak. Dalam sistem ini, negara hanya secara pasif menerima apa yang dinyatakan oleh pihak yang meminta pendaftaran. Oleh karena itu, sewaktu-waktu dapat digugat oleh orang merasa lebih berhak atas tanah itu. Pihak yang memperoleh tanah dari orang yang sudah terdaftar, tidak dijamin walaupun dia memperoleh hak itu dengan itikad baik. 3 Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah mengatur perihal pembatasan tenggang waktu bagi para pihak yang merasa dirugikan, untuk mengajukan gugatan. Dalam pasal tersebut tersirat bahwa sistem publikasi yang dianut di Indonesia adalah sistem negatif yang mengandung unsur positif, bukan sistem publikasi negatif murni. Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 menyatakan:
1) Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan; 2) Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut. Kedua pasal tersebut menyatakan bahwa sertipikat tanah merupakan alat bukti yang kuat, artinya bukan merupakan alat bukti yang mutlak. Kekuatan pembuktian sertipikat sebagai alat bukti yang kuat menunjuk pada berlakunya sistem publikasi negatif. Sedangkan menurut Pasal 32 ayat (2) PP 24/97, sertipikat yang telah diterbitkan selama 5 tahun memberikan perlindungan mutlak pada pemegangnya apabila : • Sertipikat diterbitkan secara sah • hak atas tanah diperoleh dengan itikad baik • tanah dikuasai secara nyata oleh pemegang sertipikat tersebut
1 Adrian Sutendi, Kekuatan Hukum Berlakunya Sertifikat Sebagai Tanda Bukti Hak Atas Tanah, (2006), Hlm.1-2 2 Ibid 3 Adrian Sutendi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, (2007) hlm. 113
180
Volume 2.2 29 nov.indd 180
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:03 PM
Hal yang perlu diteliti lebih lanjut adalah: “Apakah hukum tetap memberikan perlindungan bagi pemegang sertipikat yang telah diterbitkan selama lebih dari 5 tahun, apabila penerbitan sertipikat terjadi secara tidak sah akibat adanya suatu tindak pidana?”
B. Perlindungan Hukum Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Hukum harus dilaksanakan agar kepentingan manusia dapat terlindungi. Hukum merupakan sekumpulan aturan yang dalam pelaksanaannya akan senantiasa dihadapkan pada dua kemungkinan yaitu apakah hukum tersebut akan ditaati atau akan dilanggar. Pihak yang mentaati hukum harus mendapatkan perlindungan dari kemungkinan terjadinya penyimpangan yang dilakukan oleh pihak yang melanggar. Dalam situasi seperti inilah hukum ditegakkan sehingga melalui penegakan hukum inilah, hukum itu menjadi kenyataan. Dalam menegakan hukum, ada tiga unsur yang selalu diperhatikan yaitu: 4 kepastian hukum 5 (rechstsicherheit), kemanfaatan (zweckmassigheit) dan keadilan (gerechtigheit). Dalam teori keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles, keadilan akan terjadi apabila kepada seseorang diberikan apa yang menjadi miliknya. Dalam bagian ini, penulis akan mencoba menguraikan pengertian dari terminologi “perlindungan hukum”. Perlindungan hukum dapat dijelaskan sebagai proteksi dari hukum negara, yang termasuk di dalamnya Peraturan
Perundang-undangan,Peraturan Daerah, kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah, yang mana dapat memberikan jaminan kepastian hukum, bagi pihak maupun sesuatu yang diatur di dalamnya. Perlindungan hukum dapat terwujud apabila substansi dari hukum negara yang bersangkutan mengatur dan menjaga kepentingan pihak maupun sesuatu yang diatur di dalamnya, serta mengatasi segala kemungkinan yang akan menimbulkan kerugian, gangguan maupun penderitaan bagi pihak ataupun sesuatu hal tersebut. Bertalian dengan masalah perlindungan hukum, Philiphus Hadjon 6, mengemukakan perlunya prinsip-prinsip perlindungan hukum, di samping sarana perlindungan hukum. Berbicara tentang prinsip-prinsip perlindungan hukum, landasannya adalah Pancasila sebagai ideologi dan dasar falsafah negara 7. Selanjutnya, berkenaan dengan sarana perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yakni perlindungan hukum yang preventif dan perlindungan hukum yang represif. Kata “preventif” berasal dari kata to prevent yang artinya mencegah. Perlindungan hukum preventif, berkaitan dengan tindakan yang bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. Pada perlindungan yang preventif, kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan kepada kebebasan bertindak, karena dengan adanya perlindungan hukum yang
4 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar) , (1985) hlm. 130 5 Kepastian Hukum , menurut pendapat Jan Michiel Otto, harus memenuhi syarat:
1. ada aturan hukum yang jelas dan konsisten 2. Instansi Pemerintah menerapkan aturan hukum secara konsisten, tunduk dan taat terhadapnya 3. Masyarakat menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan hukum tersebut 4. Hakim-hakim yang mandiri, tidak berpihak dan harus menerapkan aturan hukum secara konsisten serta jeli sewaktu menyelesaikan sengketa hukum. 5. Putusan Pengadilan secara konkrit dilaksanakan
181
Volume 2.2 29 nov.indd 181
11/29/2011 5:10:03 PM
preventif, Pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan kepada diskresi. Bentuk lain dari sarana perlindungan hukum adalah perlindungan hukum yang represif. Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui mekanisme litigasi dan non litigasi. Lembaga yang bertugas untuk memberikan perlindungan hukum yang represif melalui mekanisme litigasi adalah 4 macam lembaga peradilan dengan wewenang dan kompetensinya masing-masing yaitu Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer. Dasar hukum pembagian badan peradilan tersebut adalah UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Penyelesaian sengketa secara non litigasi atau di luar pengadilan menurut UU No 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dapat dilakukan dengan cara arbitrase, konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli.
Perlindungan Hukum Bagi 8 Pemegang Hak Atas Tanah
dimaksud dalam Pasal 9 PP 24/97 sebagai objek pendaftaran tanah yaitu: a. bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai; b. tanah hak pengelolaan c. tanah wakaf d. hak milik atas satuan rumah susun e. hak tanggungan f. tanah Negara. Untuk hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai, pendaftaran dilakukan baik dalam hal terjadinya hak baru, maupun dalam hal terjadi peralihan hak, penghapusan hak atau pembebanan hak. Sertipikat tanah merupakan hasil dari pendaftaran tanah untuk bidang-bidang tanah dengan status/jenis hak: a. hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai; b. tanah hak pengelolaan c. tanah wakaf d. hak milik atas satuan rumah susun e. hak tanggungan Selain hak-hak di atas, tanah negara juga merupakan objek pendaftaran tanah, namun bagi tanah negara tidak diterbitkan sertipikat. 9
Pada intinya, hak atas tanah dilindungi apabila pemegang hak atas tanah tersebut telah memenuhi kewajiban sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan. Salah satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemegang hak atas tanah adalah kewajiban mendaftarkan hak atas tanahnya.
Sertipikat Tanah Sebagai Tanda Bukti Hak Atas Tanah
Hak atas tanah yang didaftar adalah hak-hak atas tanah sebagaimana
“ Sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal
Secara etimologi, sertipikat berasal dari bahasa Belanda “Certificat” yang artinya surat bukti atau surat keterangan yang membuktikan tentang sesuatu. 10 Menurut Pasal 1 butir 20 PP 24/97:
6 Philipus M Hadjon , Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, 1987, hlm 20 7 Mochtar Kusumaatmadja, Pemantapan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional di Masa Kini dan Masa
Yang akan datang, makalah dalam seminar tentang Temu Kenal Cita Hukum dan Penerapan Asas-asas hukum nasional, (1995) 8 Pembahasan dalam bagian ini, tidak termasuk pembahasan terhadap perlindungan hukum bagi tanah negara 9 Lihat Pasal 9 PP 24/97
182
Volume 2.2 29 nov.indd 182
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:03 PM
19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing- masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.” Sertipikat tanah berisi keterangan mengenai data fisik dan data yuridis suatu bidang tanah tertentu. Adapun yang dimaksud dengan data fisik adalah data mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya. Sedangkan data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan pihak lain serta bebanbeban lain yang membebaninya. Sosok Sertipikat Tanah memiliki sisi ganda. Pada satu sisi sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dan pada sisi lain sebagai Tanda Bukti Hak Keperdataan (kepemilikan) seseorang atau badan hukum atas tanah. 11 Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: • Dari segi substansi, data yuridis yang tercantum dalam sertipikat tanah diantaranya membuktikan siapa pihak yang berkedudukan sebagai pemegang hak. Hal ini menunjukkan bahwa sertipikat tanah adalah tanda bukti hak kepemilikan atas tanah yang bersifat keperdataan. • Dari segi teknis administrasi penerbitan, setipikat tanah diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional, yang merupakan lembaga tata usaha negara. Hal ini menunjukkan bahwa sertipikat tanah merupakan Keputusan Tata Usaha Negara.
Keabsahan Sertipikat Tanah Sebagai Keputusan Tata Usaha Negara Dalam Pasal 1 angka 3, UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka ketentuan itu memberikan batasan tentang keputusan Tata Usaha Negara, yang berbunyi sebagai berikut: “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.” Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu keputusan berlaku sebagai keputusan yang sah adalah: 12 1. Syarat materiil a) keputusan harus dibuat oleh alat negara (orgaan) yang berwenang (bevoegd). 13 b) karena keputusan itu suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring), maka pembentukan kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis (geen juridische gebreken in de wilsvorming) Kekurangan yuridis dapat disebutkan antara lain: 1. penipuan (bedrog) 14 2. paksaan (dwang, Pasal 1324 B.W) 15 3. kesesatan/kekeliruan/khilaf (dwaling): - dwaling in persoon
10 M.Yamin Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (2008) , hlm. 204 11 Z.A Sangadji, Kompetensi Badan Peradilan Umum dan Badan Peradilan Tata Usaha Negara dalam Gugatan
Pembatalan Sertifikat Tanah, hlm 36
12 Martiman Prodjohamidjojo,S.H.,M.M. Hukum Pembuktian dalam Sengketa Tata Usaha Negara (UU No.5
Tahun 1986,LN No.77), (1997) Hlm.17-18
13 Ada tiga macam bentuk ketidakwenangan:
1. onbevoegdheid ratione materiale ( organ lain yang berwenang) 2. onbevoegdheid ratione loci ( di luar wilayah kewenangan) 3.onbevoegdheid ratione temporis (lewatnya waktu yang ditentukan dalam undang-undang).
Volume 2.2 29 nov.indd 183
183
11/29/2011 5:10:03 PM
- dwaling in subjectiefrecht - dwaling in objectiefrecht - d w a l i n g i n e i g e n bevoegdheid - dwaling in zelfstandigheid der zaak c) keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatnya harus juga memperhatikan cara (prosedur) membuat keputusan itu, bila mana cara itu ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut. 16 d) isi dan tujuan keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar. 17 2. Syarat formil: a) syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi. b) keputusan harus diberi bentuk yang ditentukan. c) syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan dilakukannya keputusan harus dipenuhi. d) jangka waktu yang ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya keputusan dan diumumkannya keputusan itu, tidak boleh dilewati.
Tindak Pidana Dalam Penerbitan Sertipikat Tanah Sebuah contoh kasus yang dapat menggambarkan indikasi terjadinya
tindak pidana dalam penerbitan sertipikat tanah adalah Kasus Sengketa Tanah Meruya. 18 Kasus Posisi: • Pada tahun 1972, PT Portanigra melakukan pembebasan tanah di wilayah Meruya, disertai segala persyaratan dan dokumen hukum yang ditentukan, sehingga proses pembebasan tanah tersebut dinyatakan sah secara hukum. • Pada tahun 1972, belum diterbitkan aturan perihal kewajiban pendaftaran peralihan hak dalam jangka waktu tertentu seperti yang diatur dalam PP 24/97 • Kemudian pada tahun 1974, terdapat pihak yang secara melawan hukum, dengan menggunakan surat-surat palsu, mengalihkan tanah tersebut kepada pihak lain, termasuk di dalamnya pihak masyarakat. • Pihak pembeli yang beritikad baik tersebut kemudian mendaftarkan tanahnya, dan bagi mereka diterbitkan sertipikat. • Sejak tahun 1974 sampai sekarang, tanah-tanah bersertipikat tersebut telah berkali-kali dialihkan kepada pembelipembeli selanjutnya. • Pada tahun 1996, PT Portanigra mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri, tahun 1997 mengajukan banding , dan pada tahun 2001, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan kasasi yang memenangkan PT Portanigra. Sampai saat ini, kasus tersebut masih dalam tingkat pemeriksaan Peninjauan Kembali.
14 Pengertian “penipuan” menurut Pasal 1328 BW: “Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan per
setujuan, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah salah satu pihak , adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu, jika tidak dilakukan tipu-muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.” 15 Pengertian “paksaan” menurut Pasal 1328 BW: “Paksaan telah terjadi, apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ke takutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Dalam mempertimbangkan hal itu, harus diperhatikan usia, kelamin dan kedudukan orang-orang yang bersangkutan
Volume 2.2 29 nov.indd 184
11/29/2011 5:10:03 PM
• Permasalahannya, pada tahun 2001, PP 24/97 (yang di dalamnya telah terdapat aturan tentang “rechtsverwerking”) telah berlaku. • Apakah pemberlakuannya dapat menjamin perlindungan hukum bagi para pemegang sertipikat yang sudah memiliki sertipikat yang telah berusia lebih dari 5 tahun? Contoh kasus di atas merupakan satu dari sekian banyak kasus tindak pidana dalam bidang pertanahan. Penyimpangan dalam proses penerbitan sertipikat sangat berpotensi mengarah pada adanya suatu tindak pidana. Apabila kemudian terbit sertipikat tanah, artinya sertipikat tersebut merupakan KTUN yang mengandung kekurangan yuridis (cacat hukum). Kesalahan dalam pembuatan sertifikat bisa saja karena adanya unsur penipuan (bedrog), kesesatan (dwaling) dan atau paksaan (dwang), dalam pembuatan data fisik maupun data yuridis yang dibukukan dalam buku tanah. Dengan demikian sertifikat yang dihasilkan dapat berakibat batal demi hukum. Sedangkan bagi subjek yang melakukan hal tersebut dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Apabila perbuatan dilakukan oleh alatalat perlengkapan negara/BPN maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai onrechtmatige overheidsdaad atau penyalahgunaan kewenangan dari pejabat Tata Usaha Negara. 19 Tindak pidana dalam penerbitan sertipikat tanah diatur dalam Pasal 52
ayat (2) UUPA. Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 19 UUPA tentang pendaftaran tanah, dikenakan pidana kurungan selama-lamanya 3 bulan dan atau denda setinggi-tingginya Rp.10.000,-. Ancaman hukuman tersebut menurut hemat penulis, sudah tidak dapat diaplikasikan dalam kejahatan bidang pertanahan di masa sekarang, karena ancaman hukuman tersebut dirasakan tidak sebanding dengan besarnya kerugian yang timbul. Ketentuan yang sama terdapat dalam Pasal 42 sampai Pasal 44 PP No 10 tahun 1961 , namun PP tersebut sudah tidak berlaku sejak berlakunya PP No24 tahun 1997. Kebijakan kriminalisasi dalam PP No. 10 Tahun 1961 ini ternyata tidak lagi dijumpai dalam PP No. 24 Tahun 1997. Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 KUHP, “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.” Hal ini berarti, pemidanaan terhadap tindak pidana di bidang pertanahan harus didasarkan pada hukum tertulis yang berlaku dan masih berlaku. Kejahatan ataupun pelanggaran pidana dalam hukum pertanahan dapat berupa kejahatan dan pelanggaran dalam pembuatan data fisik dan data yuridis, misalnya perusakan patok tanda batas tanah dan mengubahnya pada tempat yang lain, memberikan data palsu yang berkaitan dengan keberadaan tanah, dan
16 Prof. Mr. A. Pitlo,: Het verbintenissenrecht, (1952):, hal. 159 dalam buku Martiman Prodjohamidjojo, Hukum
Pembuktian dalam Sengketa Tata Usaha Negara (UU No.5 Tahun 1986, LN No.77, (1997), hlm. 18
17 Ibid 18 Sumber kronologis kasus dari: http://www.maspurba.wordpress.com 19 Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum , Aspek dan Implikasi Hukum dalam Pendaftaran Tanah dan Penertiban
Sertifikat Hak-Hak atas Tanah,2008,hlm.1
185
Volume 2.2 29 nov.indd 185
11/29/2011 5:10:03 PM
dilakukan oleh beberapa orang yang terkait, seperti kepala desa, lurah, camat dan orang yang memohon hak. 20 Beberapa pasal dalam KUHP yang masih dapat digunakan untuk menjerat perbuatan pidana dalam bidang pertanahan antara lain: Pasal 263 KUHP: (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, dipidana jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat dengan pidana penjara paling lama 6 tahun; (2) Dipidana dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah asli, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian. Pemalsuan surat yang diperberat: Hukuman maksimum dinaikan menjadi 8 (delapan) tahun penjara apabila menurut Pasal 264, pemalsuan dilakukan salah satunya, terhadap akta-akta otentik. Pasal 389 KUHP tentang perusakan batas-batas tanah. Perbuatan ini mengakibatkan ketidakjelasan batasbatas tanah yang dapat berimplikasi pada kesalahan data fisik dan data yuridis dalam pembuatan sertipikat tanah.
Pasal 385 KUHP, yang diberi kualifikasi sebagai stelionat atau dapat disebut penipuan yang berhubungan hak atas tanah ketentuan pidana pada pasal ini bertujuan untuk melindungi hak atas tanah yang dimiliki oleh penduduk asli berdasarkan hukum adat, ataupun atas bangunan-bangunan atau tanamantanaman yang terdapat di atas tanah seperti itu. Secara sederhana, pasal ini berisi larangan bagi seseorang untuk melakukan perbuatan hukum atas tanah milik orang lain. Pasal 266 KUHP tentang seseorang yang menyuruh menempatkan keterangan palsu pada suatu akta otentik. Pasal 274 KUHP yang mengatur masalah delik pemalsuan atas surat keterangan pegawai negeri dengan maksud akan memudahkan penjualan atau penggadaian barang itu atau dengan maksud akan memperdaya pegawai kehakiman atau polisi tentang asalnya barang tersebut dan pada ayat (2) diatur tentang barangsiapa dengan maksud serupa, menggunakan surat keterangan palsu atau yang dipalsukan itu seolaholah asli dan tidak dipalsukan. Menurut R. Soesilo yang dimaksud surat keterangan Pegawai Negeri Sipil dalam hubungannya dengan kejahatan terhadap pertanahan adalah surat-surat yang diberikan oleh kepala-kepala desa yang menerangkan siapa orang yang berhak atas sebidang tanah, yang mana sesuai dengan register yang dipegangnya tentang hak milik individual dan milik komunal. Pemalsuan keterangan tersebut biasanya digunakan untuk penjualan tanah.
20 Ibid
186
Volume 2.2 29 nov.indd 186
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:03 PM
C. Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah Perbuatan yang dimaksudkan untuk memutuskan, menghentikan, atau menghapuskan sesuatu hubungan hukum, menurut doktrin hukum terdapat asas-asas hukum mengenai kebatalan, yakni “nietigheid, nulliteit” yang dibedakan menjadi kebatalan mutlak dan nisbi. Kebatalan mutlak dari suatu perbuatan atau juga disebut kebatalan demi hukum, yaitu suatu perbuatan harus dianggap batal meskipun tidak diminta oleh suatu pihak, atau tidak perlu dituntut secara tegas (disebut absolute nietigheid). Sedangkan kebatalan nisbi, yakni suatu kebatalan perbuatan yang terjadi apabila diminta oleh orang tertentu. Di sini terdapat syarat bagi orang tersebut untuk memohon / menuntut secara tegas (disebut relatief nietigheid). Istilah yuridis “batal” dan “dapat dibatalkan” perbedaan dalam arti adalah sebagai berikut: 1. Batal (nietig), sering disebut juga “batal karena hukum” (nietig van rechtswege). Berarti, bagi hukum perbuatan yang demikian tidak ada, demikian juga akibat hukumnya tidak ada, tanpa diperlukan suatu keputusan hakim atau keputusan pemerintah lain yang berkompeten untuk menyatakan batalnya sebagian atau seluruh akibatnya. Perbedaan arti antara “batal” dan “dapat dibatalkan” (vernietigbaar) ialah bahwa akibat dari penetapan yang “batal” berlaku surut mulai dari saat membuat ketetapan yang
dibatalkan, sehingga keadaan dikembalikan semula seperti sebelum dibuat penetapan. Menurut Utrecht, dapat dibatalkan (vernietigbaar) berarti, bagi hukum, perbuatan yang dilakukan dan akibatnya dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh hakim atau oleh suatu badan pemerintah lain yang berwenang membatalkan diadakan, karena perbuatan tersebut mengandung kekurangan. Setelah pembatalan, maka perbuatan itu tidak ada dan segala akibatnya menjadi hapus baik seluruhnya maupun sebagian. 2. Batal mutlak (absolut nietig), dipakai apabila pembatalan itu dapat dituntut oleh setiap orang. 3. Batal nisbi, dipakai apabila pembatalan hanya dapat dituntut oleh orang tertentu. Pembatalan sertipikat tanah yang dikonkritkan dengan membatalkan keputusan Kepala Kantor Pertanahan dilakukan dalam hal: 21 1. Adanya cacat hukum dalam penerbitan sertipikat, sebagaimana ditemukan sendiri oleh Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan. 2. Adanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang harus dilaksanakan. Amar putusan pengadilan tersebut harus secara tegas memerintahkan pembatalan keputusan pemberian hak yang bersangkutan.
21 Adrian Sutendi, Kekuatan Hukum Berlakunya Sertifikat Sebagai Tanda Bukti Hak Atas Tanah, (2006), hlm. 1
Tindak Pidana dalam Proses Penerbitan Sertipikat Tanah dan Dampaknya terhadap Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Sertipikat Tanah di Indonesia
Volume 2.2 29 nov.indd 187
187
11/29/2011 5:10:03 PM
Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah oleh Badan Pertanahan Nasional Dalam Pasal 12 butir a Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara dinyatakan: “Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi memberi keputusan mengenai pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang telah dikeluarkan oleh Kepala K a n t or Pertanah an K abupaten/ Kotamadya yang terdapat cacat hukum dalam penerbitannya” Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua keputusan pemberian hak atas tanah yang mengandung cacat hukum dalam penerbitannya harus dibatalkan melalui putusan pengadilan. Dalam hal ini, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi dapat berinisiatif untuk membatalkan keputusan tersebut. Hal ini merupakan bentuk perlindungan hukum yang bersifat preventif.
Pembatalan Sertipikat oleh Lembaga Peradilan
Tanah
Lembaga Peradilan Umum: Dalam penyelesaian sengketa kepemilikan, maka Pengadilan Umum memiliki kompetensi dalam penyelesaian sengketa yang bersifat keperdataan.
Sengketa Perdata merupakan sengketa hak milik, atau hak yang timbul karena milik, hutang piutang atau hak-hak perdata, adalah semata-mata termasuk wewenang atau kekuasaan hakim atau pengadilan untuk memutuskannya, dalam hal ini hakim atau pengadilan negeri (bagian Perdata). Berikut dikemukakan beberapa pendapat mengenai perkara Perdata: 22 Menurut Sudikno Mertokusumo: “Kekuasaan pengadilan dalam perkara perdata meliputi semua sengketa tentang hak milik atau hak-hak yang timbul karenanya, hutang piutang atau hak-hak keperdataan lainnya.” Menurut Subekti: “Semua perselisihan mengenai hak milik, hutang piutang atau warisan seperti tersebut di atas, atau juga dinamakan perselisihan mengenai hak-hak perdata (artinya hak-hak yang berdasarkan hukum perdata atau hukum sipil) adalah semata-mata termasuk kekuasaan atau wewenang Hakim atau Pengadilan untuk memutuskannya, dalam hal ini Hakim atau Pengadilan Perdata” Subekti R., Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta 1980 cet ke-5 hal 5) Apabila dihubungkan dengan pembatalan sertipikat tanah, maka dasar pengajuan gugatan ke Pengadilan Umum adalah berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum. Hal ini dikarenakan sertipikat tanah merupakan perikatan yang dilahirkan dari Undang-Undang sebagai akibat perbuatan manusia. Unsur “dilahirkan dari Undang-Undang” dapat dilihat dari adanya peraturan perundang-
22 Sudikno Metrokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia , (1998) hlm 19
188
Volume 2.2 29 nov.indd 188
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:04 PM
undangan (antara lain PP No.24 tahun 1997). Sedangkan unsur perbuatan orang dapat dilihat dari adanya peranan dari pejabat pendaftaran tanah maupun dari pihak yang merasa memiliki hak atas tanah tersebut, mulai dari kegiatan pendaftaran tanah sampai penerbitan sertipikat tanah.
berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. (Pasal 1 angka 4 UU No.5 tahun 1986). Objek sengketa pada PTUN adalah beschikking. 24
Pembatalan sertipikat tanah adalah wewenang administrasi. Karena itu, esensi putusan perdata mengenai pembatalan Sertipikat Tanah, lebih pada aspek kepemilikan hak atas tanah dengan tidak mengambil alih wewenang administrasi tersebut. Hal ini dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 716/ K/ Sip/ 1973 tanggal 5 September 1973:
Pejabat atau badan tata usaha negara dalam gugatan dengan objek sengketa Sertipikat Tanah adalah Pejabat atau Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kantor Wilayah BPN, Kantor Pertanahan Kota/ Kabupaten atau pejabat dan badan tata usaha negara lain yang secara historis dan teknis memiliki kedudukan dan kewenangan berkaitan dengan penerbitan sertipikat tanah (Gubernur, Menteri Dalam Negeri, Departemen Dalam Negeri dan lain-lain).
“Pengeluaran/pencabutan dan pembatalan surat sertipikat adalah sematamata wewenang dari Kantor Pendaftaran tanah dan Pengawasan Pendaftaran Tanah, bukan termasuk wewenang Pengadilan Negeri.” 23
Peranan PTUN dalam penyelesaian sengketa (dengan objek sertipikat tanah sebagai KTUN) adalah bahwa PTUN hanya bisa memutus perkara yang berhubungan dengan soal administratif ketatausahaan negara: 25
Amar putusan yang tepat dalam Putusan Perdata adalah amar declaratoir yang berarti putusan tersebut hanya bersifat menerangkan, menegaskan keadaan hukum semata-mata.
Apabila terbukti dalam proses penerbitan sertipikat tersebut terdapat cacat hukum administratif, maka Keputusan Kepala Kantor Pertanahan mengenai penerbitan sertipikat tersebut dibatalkan.
Pengadilan Tata Usaha Negara:
Pada intinya dalam sengketa kepemilikan hak atas tanah, putusan perdata menyatakan siapa pemilik yang berhak atas tanah tersebut, dan apabila ternyata pemilik yang sah atas tanah tersebut adalah pihak pemegang hak sebenarnya (penggugat), maka kemudian dalam amar putusan tersebut disebutkan bahwa sertipikat tanah tidak sah dan tidak memiliki kekuatan
Sengketa tata usaha negara, adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian
23 Ibid , hlm. 55 24 Dalam penelitian ini, kata beschikking diterjemahkan menjadi Keputusan Tata Usaha Negara (atau disingkat
KTUN), sesuai dengan maksud UU No.5 tahun 1986. Hal ini disebabkan karena Para sarjana Indonesia masih belum memperoleh kesepakatan mengenai salinan atau pengganti kata beschikking. Misalnya Prof.Dr. E.Utrecht dan Prof.Dr.Sjachran Basah S.H. CN, menggunakan istilah “ketetapan”. Sedangkan Prof.Dr. Rochmat Soemitro,S.H, menggunakan istilah “Surat Ketetapan”. Selain itu, T Boestomi S.H. menggunakan istilah “Pene tapan”. Tindak Pidana dalam Proses Penerbitan Sertipikat Tanah dan Dampaknya terhadap Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Sertipikat Tanah di Indonesia
Volume 2.2 29 nov.indd 189
189
11/29/2011 5:10:04 PM
hukum. Kemudian berdasarkan putusan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap, barulah dapat diajukan gugatan ke PTUN untuk memperoleh putusan bahwa penerbitan sertipikat tanah tersebut tidak sah dan sertipikat tanah yang bersangkutan dinyatakan batal. Dalam kenyataannya, yang terjadi adalah dari berbagai peraturan perundang-undangan pertanahan, tidak satupun terdapat ketentuan yang memberikan penegasan adanya kewenangan lembaga peradilan sehubungan dengan pembatalan sertipikat tanah, apakah melalui lembaga peradilan umum (dalam perkara perdata), ataukah peradilan tata usaha negara. 26
aturan dari Pasal 32 ayat (2) PP 24/97 yang terkait langsung dengan sistem publikasi adalah berlakunya lembaga rechtsverwerking yang mengakibatkan kekuatan pembuktian sertipikat berubah, yang pada awalnya berkekuatan sebagai alat bukti yang kuat, setelah dilaluinya jangka waktu lima tahun sejak setipikat diterbitkan, menjadi berkekuatan sebagai alat bukti yang bersifat mutlak.
Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Sertipikat Tanah Berdasarkan Pasal 32 ayat (2) PP No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah:
Pertimbangan hakim peradilan umum dalam memutus perkara, menitik beratkan pada keabsahan peralihan hak atas tanah yang menjadi dasar penerbitan sertipikat tanah. Dalam hal peralihan hak terbukti tidak sah, maka penerbitan sertipikat juga kemudian dinyatakan tidak sah, sertipikat dibatalkan, tanpa mempertimbangkan sudah berapa lama penerima peralihan hak yang beritikad baik telah memiliki sertipikat. Demikian pula hakim PTUN, menitikberatkan pertimbangannya pada keabsahan penerbitan sertipikat tanah, sehingga dalam hal sertipikat diterbitkan secara tidak sah, maka bagi pemegang sertipikat tersebut, tidak diberikan perlindungan hukum, walaupun sertipikat tersebut telah melampaui waktu 5 tahun terhitung sejak penerbitannya. Dari pertimbangan tersebut nampak bahwa negara tidak bertanggung jawab atas penerbitan sertipikat yang dilakukan secara tidak sah, yang pada akhirnya merugikan pihak pemegang sertipikat tanah.
Pada dasarnya, sistem publikasi yang hendak digunakan oleh PP 24/97 adalah sistem negatif, di mana disebutkan bahwa sertipikat merupakan alat pembuktian yang kuat. Pasal 32 ayat (1) PP 24/97 menambahkan bahwa sertipikat berlaku sebagai alat bukti yang kuat dengan syarat data fisik dan data yuridis dalam sertipikat, sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah. Dalam hal syarat tersebut tidak dipenuhi, maka sertipikat tersebut akan dibatalkan. Hal ini memperjelas bahwa sistem publikasi yang dianut adalah sistem negatif karena data yang terdapat dalam sertipikat tanah sifatnya tidak mutlak. Kemudian, perlu dicermati ketentuan dalam Pasal 32 ayat (2) PP 24 / 97, serta penjelasannya. Inti
Dalam kenyataannya, perlindungan hukum bagi pemegang sertipikat tanah yang telah diterbitkan lebih dari 5 tahun, masih belum sepenuhnya diterapkan bilamana terdapat cacat hukum dalam proses penerbitan sertipikat. 27
25 Adrian Sutendi, Kekuatan Hukum Berlakunya Sertifikat Sebagai Tanda Bukti Hak Atas Tanah, (2006), hlm.67 26 Ibid, hlm. 129 27 Penelitian dilakukan terhadap Putusan Pengadilan Negeri Tasikmalaya Nomor 04/Pdt.G/2005/PN.Tsm dan
Putusan Mahkamah Agung RI No.98/K/TUN/1998 yang amar putusannya membatalkan sertipikat tanah yang telah melalui batas waktu 5 tahun sejak penerbitannya/
190
Volume 2.2 29 nov.indd 190
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:04 PM
D. Kesimpulan Penyelesaian sengketa tanah dapat mengandung unsur perkara pidana, perkara perdata berupa perselisihan perihal siapa yang sebenarnya berhak atas tanah yang disengketakan, serta perkara administratif perihal keabsahan penerbitan sertipikat tanah. Tindak pidana yang terjadi dalam kasus-kasus pertanahan diselesaikan menurut aturan hukum pidana yang berlaku (dalam hal ini KUHP), sesuai dengan asas legalitas. Perkara perdata diselesaikan di lembaga Peradilan Umum, dan sertipikat tanah yang terbit secara tidak sah, dibatalkan oleh Badan Pertanahan Nasional atau oleh PTUN. Sertipikat tanah yang telah melampaui waktu 5 tahun sejak penerbitannya, dalam kenyataannya masih banyak yang dinyatakan batal, karena penerbitannya yang mengandung cacat hukum. Hal ini berarti sistem publikasi yang berlaku di Indonesia masih bertendensi negatif dan Pasal 32 ayat (2) PP 24/1997 belum dapat menjamin perlindungan hukum bagi pemegang sertipikat tanah.
DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku Adrian Sutendi, Kekuatan Hukum Berlakunya Sertifikat Sebagai Tanda Bukti Hak Atas Tanah, BP. Cipta Jaya, Jakarta, 2006. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA, Isi Dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2003. Martiman Prodjohamidjojo,. Hukum
Pembuktian dalam Sengketa Tata Usaha Negara (UU No.5 Tahun 1986,LN No.77), PT Pradnya Paramita, Jakarta 1997. M.Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung, 2008 Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987 R.Subekti, Hukum Adat Indonesia dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Bandung, Alumni, 1978 Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 1989 Sudikno Metrokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988 Z.A. Sangadji, Kompetensi Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Gugatan Pembatalan Sertifikat Tanah, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung , 2003. PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN A. UNDANG-UNDANG 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara 3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman 4. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 5. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata B. PERATURAN PEMERINTAH Peraturan Pemerintah No 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Tindak Pidana dalam Proses Penerbitan Sertipikat Tanah dan Dampaknya terhadap Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Sertipikat Tanah di Indonesia
Volume 2.2 29 nov.indd 191
191
11/29/2011 5:10:04 PM
C. PERATURAN PRESIDEN Peraturan Presiden RI Nomor 10 tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional D. PERATURAN MENTERI 1. Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP 24 /97 tentang Pendaftaran Tanah 2. Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara 3. Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
192
Volume 2.2 29 nov.indd 192
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:04 PM
Kedudukan Perjanjian Perkawinan Pranikah (Prenuptial Agreement) Dalam Hukum Perkawinan Serta Implikasinya Terhadap Harta Benda Perkawinan Dan Hukum Waris Pada Dewasa Ini Isis Ikhwansyah*)
ABSTRACT Law of Marriage in Indonesia has been unified since 1974. Before Act 1/ 1974 prevailed, marriage could be declared valid based on various legal system such as Adat Law, some Ordonancies,and also religion law. It brings consecuencies to regulations about marriage properties. Rights of husband and wife will depend on the regulation which is in force, when the marriage happened. Related to the change of marriage regulation, some questions appears, such as how the changes impact in application to overcome some marriage property’s problems. Different regulation system of marriage property , will bring effects to distribution of inheritance property. As being known, Hereditary law in Indonesia is still in its heterogenity, so that in its application, prenuptial agreement has to be made according to Act 1 / 1974. Since Act 1 / 1974 has been obtained, prenuptial agreement which is made based on Burgerlijk Wetboek, can no longer be created. Keywords : Hereditary Law, Prenuptial Agreement *) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unpad
A. Pendahuluan Perjanjian perkawinan atau p e r janjian pranikah (pr enuptial agreement) belakangan ini mulai banyak diperbincangkan kembali dalam masyarakat. Persolannya terkait dengan apakah pembuatan perjanjian perkawinan tersebut berdasarkan ketentuan eks Burgelijk Wetboek (BW) ataukah berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
(UUP)? Sampai saat ini satu-satunya bagian dari hukum keluarga yang dapat dilakukan unifikasi baru dilakukan terhadap hukum perkawinan, karena bagian lain dari hukum kekeluargaan masih dipandang sensitif sehingga masih bersifat heterogen, seperti halnya hukum waris. Keadaan demikian cukup beralasan sesuai dengan pemikiran Mochtar Kusumaatmadja, bahwa bidang-bidang hukum yang sangat erat hubungannya dengan kehidupan
Kedudukan Perjanjian Perkawinan/Pranikah (Prenuptial Agreement) Dalam Hukum Perkawinan Serta Implikasinya Terhadap Harta Benda Perkawinan Dan Hukum Waris Pada Dewasa Ini
Volume 2.2 29 nov.indd 193
193
11/29/2011 5:10:04 PM
budaya dan spiritual masyarakat untuk sementara harus dibiarkan atau hanya dapat digarap setelah segala aspek dari suatu perubahan serta akibat daripadanya diperhitungkan dan dipertimbangkan secara masak-masak. 1 Sebelum UUP berlaku sebagai undang-undang yang terunifikasi, maka suatu perkawinan yang sah dapat dipandang berdasarkan : Hukum Adat, Hukum Islam, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgelijk Wetboek (BW), Huwelijk Ordonantie Christian Indonesiers (HOCI). Sah tidaknya suatu perkawinan akan berdampak pada keberadaan dari harta benda perkawinan dari pasangan yang melangsungkan perkawinan tersebut. Terhadap suatu perkawinan yang dilangsungkan secara sah, maka berakibat terhadap harta benda perkawinan akan berbeda-beda. Sebagai contoh, sebelum berlaku UUP menurut hukum adat perkawinan adalah sah, apabila dilangsungkan sesuai dengan adat yang berlaku bagi kedua mempelai di daerah tersebut. Dalam hal ini adat daerah yang satu berbeda dengan daerah lainnya (Hukum adat Pratrilineal, Matrilineal dan Parental). Namun demikian dengan berlakunya UUP sejak 1 Oktober 1975 dan peraturan pelaksananya, maka timbul pertanyaan bagaimana dengan kedudukan dari suatu perkawinan yang dilangsungkan saat itu (misalkan sesuai hukum adat, dan tidak dicatat) pada saat ini? apakah perkawinan tersebut sah? Hal ini harus dicari jawabannya dari UUP. Menurut ketentuan Pasal 64 UUP, perkawinan tersebut adalah sah. Demikian halnya bagi perkawinan yang dilangsungkan di gereja oleh mereka yang berlaku HOCI
sebelum UUP berlaku. Maksudnya semula perkawinan yang saat itu dipandang sebagai suatu perkawinan yang sah, maka setelah UUP berlaku, perkawinan tersebut tetap sah. Sah tidaknya per kawina n sebagaimana telah dikemukakan di atas akan mempengaruhi ada atau tidaknya harta benda perkawinan. Dengan demikian apabila perkawinan mereka adalah tidak sah atau hidup bersama tanpa ikatan pernikahan, maka harta yang diperoleh mereka dalam hidup bersama itu memang adalah harta mereka berdua, tetapi dalam pengertian bukan harta benda perkawinan sebagaimana diberlakukan terhadap suatu harta benda yang terbentuk dari suatu ikatan perkawinan yang sah dalam UUP. Demikian pula hak suami-isteri atas harta benda perkawinan akan tergantung pada hukum yang mengatur saat perkawinan dilangsungkan. Dewasa ini sering dipertanyakan bisa atau tidaknya dibuat perjanjian perkawinan eks BW setelah berlakunya UUP atau dengan kata lain bagaimana eksistensi perjanjian perkawinan eks. BW setelah berlakunya UUP. Perlu dicermati bahwa Perjanjian perkawinan dalam UUP berbeda dengan yang diatur di dalam BW. Dalam BW apabila mereka tidak membuat perjanjian perkawinan, maka akan terjadi persatuan harta. Untuk mencegah terjadinya persatuan harta, maka dapat dibuat perjanjian perkawinan. Pengaturan perjanjian perkawinan menurut BW (Perjanjian Tidak Ada Persatuan Harta Sama Sekali Atau Pisah Harta, Persatuan Untung
1 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002, hlm.24
194
Volume 2.2 29 nov.indd 194
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:04 PM
Dan Rugi Serta Persatuan Hasil Dan Pendapatan). Menurut Retnowulan Sutantio, bahwa perjanjian tersebut (perjanjian perkawinan Eks BW) harus dibuat dengan akta notaris, serta akan mulai berlaku pada saat perkawinan dilangsungkan. Akibatnya bagi perkawinan tersebut sejak itu pula perjanjian perkawinan tidak dapat diubah dengan cara apapun, bahkan bila suami isteri tersebut bercerai kemudian rujuk kembali perjanjian tetap berlaku seolah-olah tak pernah bercerai (Pasal 147 jo. 232a BW). 2
harta benda yang diperoleh masingmasing sebagai hadiah kepada yang bersangkutan secara pribadi atau warisan yang diperoleh masing-masing. 3 Dengan demikian dasar perjanjian perkawinan menurut UUP dibuat atas persetujuan bersama suami-isteri secara tertulis, disahkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil (KCS), tidak perlu dibuat secara otentik, bahkan dapat diubah bila mereka sepakat tetapi tidak merugikan pihak ketiga, serta tidak perlu disimpan dan didaftar di kantor panitera pengadilan negeri.
Sejak UUP efektif diberlakukan Tanggal 1 Oktober 1975 keadaannya menjadi lain untuk membuat perjanjian perkawinan. Mulai saat itu, perjanjian perkawinan dalam UUP diatur yang berbeda pengaturannya dengan yang diatur dalam BW, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 29 UUP. Letak perbedaan diantara kedua Perjanjian perkawinan tersebut, bahwa perjanjian perkawinan menurut BW bila dibandingkan dengan yang diatur dalam UUP terdapat perberbedaan baik dari segi arti, cara pembuatan, pendaftaran maupun dari kemungkinan perubahan atas perjanjian perkawinan tersebut.
Sementara itu, berkaitan dengan masalah sah /tidaknya perkawinan yang dilangsungkan sebelum 1 Oktober 1975 dengan menggunakan dasar hukum Pasal 64 UUP, maka saat ini akan tergantung pada sah/tidaknya perkawinan menurut ketentuan yang berlaku saat itu. Akan dipersoalkan mereka yang membuat perjanjian perkawinan, misalkan mereka membuat perjanjian perkawian bentuk perjanjian pisah harta sebelum UUP berlaku (eks. BW), kedudukan perjanjian perkawinan tersebut saat ini akan tetap berlaku. Dengan perjanjian semacam ini, maka suami/isteri tidak bertanggung jawab atas hutang isteri/suami. Namun setelah berlaku UUP, atas keberadaan harta benda dalam perkawinan dikenal: harta bawaan (harta asal), harta bersama dan harta/hadiah perkawinan sebagaimana diatur Pasal 35 dan 36 UUP. Sesuai dengan kedudukan UUP sebagai undangundang unifikasi, maka berlakunya ketentuan ini ditujukan untuk semua warganegara Indonesia.
Untuk dapat memahami perjanjian perkawinan kaitannya dengan harta benda perkawinan menurut UUP, maka kedudukan Pasal 29 UUP harus dihubungkan dengan keberadaan dari Pasal 35 UUP. Berdasarkan kedua pasal tersebut,maka harus dipahami bahwa yang dibuat perjanjian perkawinan menurut UUP hanya ditujukan terhadap penguasaan (beheer) atas harta bawaan atau harta asal suami/isteri serta termasuk (apabila terdapat) harta berupa
Dewasa ini dengan berlakunya UUP, maka beberapa hal telah diatur
2 Retnowulan Sutantio, Wanita Dan Hukum, Alumni, Bandung, 1979, Hlm.69 3 Ibid, hlm.29
Kedudukan Perjanjian Perkawinan/Pranikah (Prenuptial Agreement) Dalam Hukum Perkawinan Serta Implikasinya Terhadap Harta Benda Perkawinan Dan Hukum Waris Pada Dewasa Ini
Volume 2.2 29 nov.indd 195
195
11/29/2011 5:10:04 PM
sebelumnya telah diatur lagi dalam UUP, namun beberapa hal lain belum diatur dalam UUP.Dalam UUP dikenal perjanjian perkawinan, demikian juga dalam BW. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, perjanjian perkawinan dalam UUP berbeda dengan perjanjian perkawinan eks BW. Memang sebelum UUP berlaku efektif 1 Oktober 1975 masalah perkawinan diatur secara heterogen. Artinya suatu perkawinan akan diatur oleh hukum yang bermacammacam tergantung siapa (subyek hukum) yang melangsungkan perkawinan dapat hukum adat yang dipengaruhi agama seperti Islam, Kristen(dengan HOCI), Hindu atau BW bagi golongan Eropah dan Timur Asing Cina. Dengan berlakunya UUP sebagai undangundang unifikasi,maka perkawinan saat ini diatur sesuai UUP. Sementara itu, meskipun UUP telah menyinggung harta benda perkawinan, namun pengaturan lebih lanjut masalah ini belum tuntas pengaturannya, sehingga muncul permasalahan dalam praktik dewasa ini. Tujuan dibuat perjanjian perkawinan dalam BW adalah untuk menghindari terjadinya percampuran harta benda perkawinan. Mungkin dengan terjadinya percampuran harta, maka akan menjadi beban bagi salah satu pasangan suami isteri tersebut. Beban tersebut, sebagai akibat perbuatan hukum yang dilakukan sebelum dan selama perkawinan tersebut berlangsung. Akan menjadi lain masalahnya, apabila pasangan tersebut, sebelum melangsungkan perkawinan telah membuat perjanjian perkawinan menurut ketentuan dalam BW (Pasal 139 BW menyebut 3 macam perjanjian perkawinan dengan akibatnya masingmasing).
196
Volume 2.2 29 nov.indd 196
Dalam UUP perjanjian perkawinan diatur lagi. Akibatnya, perjanjian perkawinan yang semula diatur dalam BW, dengan berlakunya UUP hanya dikenal perjanjian perkawinan dalam UUP saja (Pasal 66 UUP). Perjanjian perkawinan menurut UUP diatur dalam Pasal 29 jo. Pasal 35(2) UUP. Menurut UUP, dengan terjadinya perkawinan dimana terdapat harta bersama (gonogini), maka isteri bertanggung jawab membayar hutang-hutang suami yang terjadi dalam/selama perkawinan dengan seluruh harta bersamanya. Hutanghutang suami yang dibuat sebelum perkawinan merupakan tanggung jawab sendiri. Kalaupun dimungkinkan dipertanggungjawabkan oleh setengah bagian dari harta bersama yang menjadi hak suami. Berdasarkan gambaran tersebut tampak perbedaan tanggung jawab isteri terhadap hutang suami menurut BW dan hukum adat/UUP. Hukum yang berlaku untuk menentukan harta benda perkawinan, sepenuhnya tergantung pada hukum yang berlaku sewaktu perkawinan tersebut dilangsungkan. Dengan berlakunya perjanjian perkawinan eks UUP (Pasal 29 jo.35 dan 36 UUP) akan menguntungkan bagi wanita.
Akibat Perkawinan Warisan
Terhadap
Pada saat ini, artinya dengan berlakunya UUP, berbagai pertanyaan mengemuka terkait heterogenitas dalam hukum waris. Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan berikut ini: Apabila dalam suatu perkawinan seorang suami memiliki isteri lebih dari satu
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:04 PM
orang, dan suami meninggal dunia dengan meninggalkan isteri-isterinya, akan menjadi pertanyaan : Apa yang menjadi warisan almarhum ? untuk penyelesaian kasus satu akan berbeda dengan penyelesaian kasus lainnya. Dalam penyelesaiannya pembagiannya akan berbeda apabila semasa hidupnya mempunyai beberapa orang isteri yang hidup berdampingan dalam satu rumah, dengan bila isteri-isteri tersebut hidup dalam masing-masing umpi dengan anaknya masing-masing, apabila peristiwa perkawinan pertama dilakukan tahun 1970, perkawinan kedua dilakukan tahun 1972. Dalam perkawinan pertama diperoleh harta gono-gini(harta bersama), tahun 1975 mereka membeli tanah lagi sebagai gono-gini (harta bersama), almarhum wafat 1987 dengan meninggalkan 2 anak dari perkawinan pertama dan 3 anak dari perkawinan kedua.
maka semua anak meskipun beda umpi akan berhak atas bagian yang sama. Masalahnya akan menjadi lain bila janda/duda tersebut tidak punya anak. Apakah janda atau duda tersebut mewaris seperti anak sah atau hanya mempunyai hak pakai saja atas harta bagian suami (warisan yang terdiri dari bagian gono-gininya dan harta bawaan). Namun demikian apabila janda diberi hak berhak atas warisan suami dengan hak waris sebagai anak sah adalah kurang tepat. Artinya janda di samping berhak atas harta gono-gininya, juga janda berhak atas harta bawaan almarhum dan bagian gono gini almarhum dengan hak pakai selama menjanda dan belum wafat. Dalam suatu yurisprudensi ada putusan Mahkamah Agung (MA) yang memberikan hak gono-gini almarhum jatuh sebagai warisan dari janda, sedang harta asal kembali pada asal ( ahli waris sedarah).
Langkah pertama dalam menentukan hukumnya atas bagian isteri-isteri dalam hal mereka hidup satu rumah dan dalam hal dengan umpi masing-masing, yaitu apabila terdapat harta gono gini. Harus dipastikan apa yang menjadi warisan almarhum dalam hal mereka hidup satu rumah (dengan 2 atau lebih isteri) dan dalam hal mereka hidup dalam masing-masing umpi. Berikutnya, dalam hal anak tinggal serumah, maka anakanak masing-masing (dari perkawinan pertama dan kedua) berhak mendapat bagian yang sama dari warisan almarhum. Namun apabila dalam umpi masing-masing, anak mewaris dari gono-gini hak almarhum yang menjadi warisan alamarhum. Apabila ada warisan yang berasal dari harta asal atau bawaan almarhum,
Harus dipahami UUP tidak mengatur masalah anak yang diakui, sebagaimana diatur dalam BW dan hukum adat. Sementara itu, pengakuan anak dalam diatur dalam Pasal 280 BW. Bagi anak yang diakui hak warisnya tidak sama dengan anak sah (Pasal 863 BW. dst). Berbeda halnya dengan pengaturan yang terdapat dalam hukum adat, pengakuan dilakukan secara terbuka kepada masyarakat atau secara diam-diam. Masalah lainnya terkait dengan hak waris anak angkat apakah sama dengan hak waris anak sah? Pada asasnya anak angkat mewaris dari dua sumber (dari orang tua biologisnya dan dari orang tua angkatnya). Perlu kiranya dikemukakan di sini bahwa dalam BW tak dikenal anak angkat, tetapi dalam
Kedudukan Perjanjian Perkawinan/Pranikah (Prenuptial Agreement) Dalam Hukum Perkawinan Serta Implikasinya Terhadap Harta Benda Perkawinan Dan Hukum Waris Pada Dewasa Ini
Volume 2.2 29 nov.indd 197
197
11/29/2011 5:10:04 PM
Privaatrecht Chinezen (S.1917:129 jis S.1919:81,S.1925:92), adopsi dikenal, dan dalam Pasal 5 menyatakan bahwa adopsi hanya dapat dilakukan terhadap anak laki-laki.4 Namun kemudian dengan yurisprudensi Tahun 1963 diperluas adopsi juga dapat dilakukan terhadap anak perempuan. Sementara menurut Pasal 12 anak tersebut kedudukannya sama dengan anak sah (termasuk berhak atas legitieme portie).Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa di dalam praktik peradilan BW tetap diberlakukan bagi mereka yang tunduk kepadanya. 5
Masalah Harta Benda Dalam Perkawinan Pada Dewasa Ini Dalam suatu perkawinan dimana bagi mereka berlaku hukum adat parental serta tak dilahirkan seorang anakpun, maka dapat terjadi: suami-isteri telah menentukan sikap sebelum meninggal, menentukan bahwa apabila salah seorang meninggal suami atau isteri yang ditinggal menjadi ahli warisnya. Kasus di atas dimungkinkan sepanjang tidak dimiliki anak dari perkawinan tersebut. Apabila terdapat anak (misal dari perkawinan terdahulu), maka hal tersebut tidak dapat dilakukan. Dalam hukum adat apabila suamiisteri bercerai, maka suami atau isteri akan mendapat hak yang sama terhadap harta gono-gini. Demikian juga apabila suami atau isteri ditinggal mati. Menurut ketentuan hukum adat parental, harta yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan termasuk harta gono-gini, meskipun harta tersebut hasil dari usaha suami atau isteri saja.Artinya harta yang ada tersebut bukanlah milik sendiri suami atau isteri yang bekerja saja.
Demikian pula harta yang diperoleh dari harta asal dalam perkawinan menjadi harta gono-gini.
Masalah Harta Asal Harta asal adalah harta yang dibawa oleh suami atau isteri ke dalam perkawinan. Harta asal akan tetap menjadi milik dari orang yang membawa atau memiliki barang tersebut, sehingga apabila suami-isteri bercerai, maka harta asal akan kembali keasalnya. Harta asal dapat diperoleh: dalam perkawinan melalui hibah, warisan atau tukar menukar. Bagi mereka yang berlaku hukum adat parental apabila suami/ isteri meninggal maka harta asal kembali pada asalnya (bila tidak ada anak), tidak jatuh pada janda atau duda tetapi jatuh kepada orang tuanya bila masih hidup atau kepada saudara-saudaranya bila orang tuanya sudah meninggal. Apabila janda tak kawin, selanjutnya ada gugatan dari pihak lain (keluarga suami/ isteri), maka gugatan akan ditolak, bila gugatan tersebut dilakukan oleh saudara almarhum terhadap harta kekayaan yang ada dan hanya cukup untuk menjamin hidup janda saja. Apabila almarhum meninggalkan harta asal dan bersama (gono-gini), dan isteri menikah lagi maka saudara-saudara almarhum berhak atas harta asal suami dan setengah harta gono-gini. Apabila gugatan dilakukan oleh anak angkat, maka harta akan dibagi menjadi: 1/2 harta gono-gini menjadi hak isteri, 1/2 gono-gini bagian suami untuk anak angkat, dan harta asal diwarisi saudara-saudara almarhum.
Penutup Dalam praktik saat ini perjanjian
4 C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991, Hlm.166 5 Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1984, Hlm.10
198
Volume 2.2 29 nov.indd 198
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:04 PM
perkawinan atau prenuptial agreement harus dibuat sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam UUP atau harus sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 29 UUP. Adapun berdasarkan UUP obyek yang dapat dibuat perjanjian perkawinan ditujukan terhadap harta asal (barang bawaan) atau harta berupa hadiah perkawinan yang diberikan kepada salah satu pasangan pengantin sebagaimana ditentukan dalam Pasal 35 jo. 36 UUP atau harta yang merupakan warisan dari salah satu pasangan yang terikat dalam satu perkawinan tersebut dan tidak terhadap harta bersama. Perjanjian perkawinan ditujukan terhadap pengurusan (beheer) atas harta asal (barang bawaan). Hal ini terjadi sebagai konsekwensi UUP sebagai undang-undang unifikasi, maka sejak UUP berlaku efektif tanggal 1 Oktober 1975, perjanjian perkawinan yang digunakan adalah perjanjian perkawinan berdasarkan UUP.
perkawinan menurut UUP dibuat atas persetujuan bersama suami-isteri secara tertulis, disahkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil (KCS), tidak perlu dibuat secara otentik, bahkan dapat diubah bila mereka sepakat sepanjang tidak merugikan pihak ketiga, serta tidak perlu disimpan dan didaftar di kantor panitera pengadilan negeri.
Daftar Pustaka Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002. Retnowulan Sutantio, Wanita Dan Hukum, Alumni, Bandung C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991. Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1984.
Saat ini mungkin ada perjanjian perkawinan eks BW, namun perjanjian tersebut yang telah dibuat sebelum UUP berlaku efektif. Artinya pada saat ini tidak dapat dibuat perjanjian perkawinan eks BW. Bentuk perjanjian perkawinan yang diatur dalam UUP berbeda dengan yang diatur eks. BW. Pengaturan perjanjian perkawinan menurut BW memiliki 3 bentuk (Perjanjian Tidak Ada Persatuan Harta Sama Sekali Atau Pisah Harta, Persatuan Untung Dan Rugi Serta Persatuan Hasil Dan Pendapatan), harus dibuat dengan akta notaris, serta akan mulai berlaku pada saat perkawinan dilangsungkan. Akibatnya bagi perkawinan tersebut sejak itu pula perjanjian perkawinan tidak dapat diubah dengan cara apapun. Perjanjian
Kedudukan Perjanjian Perkawinan/Pranikah (Prenuptial Agreement) Dalam Hukum Perkawinan Serta Implikasinya Terhadap Harta Benda Perkawinan Dan Hukum Waris Pada Dewasa Ini
Volume 2.2 29 nov.indd 199
199
11/29/2011 5:10:04 PM
Tradisi Hukum Barat : Pranata-Pranata Hukum yang Menarik 1 Tresnawati
ABSTRACT The law in Indonesia is a mixture of European law legal system, law Religion and Customary law. Most of the adopted system, both civil and criminal, based on continental European law, particularly from the Netherlands because of aspects of past history of Indonesia which is a colony known as the Dutch East Indies (Nederlandsch-Indie), it implies in addition to the culture but also the rule of law to date in Indonesia. For that the author feels this topic is quite interesting to discuss further. Keywords: European Legal System, Customary Law
A. Pendahuluan Sistem hukum Civil Law dan Common Law, diterima oleh hampir seluruh sarjana hukum di dunia, sebagai dua sistem hukum tertua dan sistem hukum yang memberikan pengaruh yang paling meluas di dunia. Kedua sistem hukum tersebut oleh Harold J. Bermann, dikelompokkan dalam klasifikasi tradisi Hukum Barat 2. Pengelompokan kedua sistem tersebut dalam tradisi hukum barat bukannya tanpa alasan 3. Harold J. Bermann melihat adanya kesamaan karakteristik-karakteristik tersendiri, sehingga perlu dibedakannya tradisi hukum barat dari tradisi hukum non barat, yakni : 4 1. Tradisi hukum barat mengenal pembedaan yang tajam antara institusi-institusi hukum (legal
instution) dan jenis institusi sosial lainnya. Yang termasuk dalam pengertian institusi hukum di sini adalah kelengkapan diri dari sebuah sistem hukum, seperti legislasi, ajudikasi, kaidah atau norma hukum dan teori-teori hukum dalam proses hukum itu sendiri. Contoh konkrit yang paling mudah adalah kebiasaan atau adat, berbeda dengan hukum ada dalam arti yang terakhir ini mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, termasuk adanya sanksi bagi pelanggarnya. 2. Sebagai kelanjutan dari pembedaan yang tajam antara hukum sebagai institusi dengan institusi lainnya, maka dalam tradisi hukum barat, penyelenggaraan dan/atau penegakan berbagai pranata hukum dipercayakan pada sekelompok professional yang sehari-harinya
1 Artikel ini terinspirasi dari tulisan Caslav Pejovic, yang berjudul “Civil Law and Common Law: Two Different
Paths Leading To The Same Goal”, http://www.austlii.edu.au/nz/journals/VUWLRev/2001/42.html, diakses tanggal 21 Desember 2008. Artikel ini dikomentari juga oleh Luke Nottage, dalam tulisan “Comment on Civil Law and Common Law: Two Different Paths Leading To The Same Goal” yang dapat diakses di http://www.austlii.edu.au/nz/journals/VUWLRev/2001/43.html (diakses pada tanggal yang sama). 2 Harold J. Bermann, “ Law and Revolution : The Formation of the Western Legal Tradition ”, (Cambridge, Massachusetts and London : Harvard University Press, 1983 ) , hal 7
Volume 2.2 29 nov.indd 200
11/29/2011 5:10:05 PM
menjalankan aktivitas di bidang hukum (pengemban profesi hukum atau legal professionals). 3. Dalam tradisi hukum barat, para pengemban profesi hukum (atau lawyers sebagaimana dikenal di Inggris dan Amerika atau jurists seperti dikenal di Negara Eropa lainnya) tersebut harus mengikuti proram pendidikan khusus pada jenjang pendidikan tinggi yang kemudian dikenal dengan sebutan pendidikan tinggi hukum (legal learning), yang memiliki metode pembelajaran sendiri, literatir dan bahan ajar sendiri, bahkan juga sekolah-sekolah atau tempat latihan khusus untuk calon pengemban profesi hukum. 4. Materi atau bahan ajar bagi para calon pengemban profesi hukum pada sekolah-sekolah hukum, berkembang secara dialektis, sehingga ilmu hukum dan institusiinstitusi saling mempengaruhi dan berkembang secara dialektis. 5. Dalam tradisi hukum barat, hukum dipandang sebagai sebuah sistem yang koheren, sebuah sistem yang terintegrasi. Karakteristik ini jelas terlihat dalam fase kebangkitan kembali hukum Romawi yang diinisiasi oleh para glossators dan commentators di abad 12-13, di mana mereka berhasil mengkoordinasi, menata, mengintegrasikan, dan seolah menciptakan kembali/ merekonstruksi Hukum Romawi semasa kekaisaran Justinianus.
6. Hukum sebagai sebuah sistem, menurut tradisi hukum Barat, diyakini akan selalu berevolusi atau berubah dari waktu ke waktu, dari abad ke abad berikutnya tanpa henti. Perubahan atau evolusi iu dimungkinkan terjadi karena di dalam sistem hukum terdapat mekanisme yang inheren/melekat yang memugkinkan terjadinya perubahan tersebut. 7. Menurut tradisi hukum barat, pertumbuhan/perkembangan hukum sebagai sebuah sistem, diyakini berlangsung menurut logika hukum itu sendiri. 8. Kesejarahan hukum menurut tradisi hukum barat terkait dengan konsep supremasi hukum atas politik. Hukum tetap berlaku bagi negara maupun penyelenggara negara. Prinsip supremasi hukum ini sudah berlaku di negara-negara Eropa sejak abad 12, bahkan juga di negara-negara yang menganut sistem pemerintahan kerajaan yang absolut sekalipun. 9. Di dalam tradisi hukum Barat, dikenal adanya pluralisme sistem hukum yang berlangsung secara damai. Dalam satu komunitas yang sama, dimungkinkan adanya beberapa sistem hukum berlaku secara bersamaan. Pluralitas hukum ini berakar pada dikotomi antara kebijakan-kebijakan/urusan-urusan gereja (eclessiatical polity) dengan kebijakan-kebijakan/urusanurusan sekuler (secular polities). Keberlangsungan pluralitas sistem hukum inipun bukannya tanpa
3 Pengelompokan tradisi hukum non barat, yakni tradisi hukum di luar Civil Law dan Common Law ini mencakup
banyak tradisi hukum dengan karakteristik berbeda-beda. Misalnya tradisi hukum yang berbasis agama atau tradisi hukum yang berbasis adat. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa pengelompokan tradisi hukum yang mempunyai karakteristik berbeda di dalam tradisi hukum barat dan tradisi hukum non barat hanya untuk tujuan penyederhanaan saja. Meskipun demikian, adanya persamaan karakteristik antara sistem hukum Civil Law dan Common Law tidak dapat dinafikan begitu saja. 4 Harold J Bermann, “Law and Revolution, The Formation of the Western Legal Tradition” sebagaimana disarikan oleh Elly Erawati, “Karakteristik Tradisi Hukum Barat” dalam “Pengantar Perbandingan Hukum”, ditujukan untuk proses perkuliahan internal di Universitas Katolik Parahyangan Bandung, 2004.
Volume 2.2 29 nov.indd 201
11/29/2011 5:10:05 PM
hambatan, namun ketegangan tersebut menimbulkan hukum Barat berkembang menurut logika hukumnya sendiri dan menjadi sebuah institusi yang mampu untuk memecahkan konflik kewenangan di antara berbagai peradilan tersebut yang dilembagakan dalam teori atau bidang hukum yang dikenal dengan istilah Conflict of Laws 5 10. Tradisi hukum Barat juga ditandai dan bahkan dipengaruhi perkembangannya oleh berbagai pergolakan atau revolusi sosial yang kerap kali membuat sistem-sistem hukum yang membentuk tradisi hukum Barat tersebut terdepak atau hilang. Namun berbagai revolusi tersebut tidak sampai mematikan tradisi hukum Barat, bahkan tradisi hukum Barat justru diperkaya dan dibaharui oleh nilai-nilai sosial baru yang lahir sebagai akibat dari berbagai revolusi sosial itu. Revolusi yang paling dikenal dan berpengaruh dalam tradisi hukum Barat adalah Revolusi Perancis dengan semangat liberte, egalite, fraternite-nya. Mengapa tradisi hukum Barat yang dibahas di dalam artikel ini? Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, sistem Civil Law dan Common Law yang termasuk dalam tradisi hukum Barat ini adalah sistem-sistem hukum yang paling mempengaruhi dunia saat ini. Penelitian yang dilakukan University of Ottawa6 membuktikan bahwa, jika diadakan perhitungan mengenai populasi dunia yang dipengaruhi kedua sistem ini, maka 99.58% dari populasi dunia, dipengaruhi secara langsung maupun
tidak langsung oleh kedua sistem ini. Sekitar 59.03% dari populasi dunia secara langsung dipengaruhi oleh sistem Civil Law, dan 34.81% dipengaruhi oleh sistem Common Law, dan masih ada pula 5.74% populasi dunia yang secara bersama-sama dipengaruhi oleh kedua sistem tersebut. Oleh karena itu, pembahasan kedua sistem hukum besar ini kiranya tidak perlu menjadi soal lebih lanjut. Artikel ini dimaksudkan untuk menjelaskan beberapa pranata-pranata hukum berbeda dalam tradisi Civil Law dan Common Law yang penulis anggap menarik, karena walaupun masingmasing mempunyai sejarah yang berdiri sendiri, terkadang ada pranata-pranata hukum dalam kedua sistem tersebut yang justru mempunyai kesamaan tujuan. Perlu dikemukakan, bahwa ada dua pendapat berbeda dari para ahli perbandingan hukum mengenai konvergensi atas perbedaan dalam tradisi Civil Law dan Common Law. Kelompok pertama, adalah kelompok yang mendukung konvergensi dari tradisi Civil Law dan Common Law ini. Dalam kelompok pertama ini, terdapat nama-nama seperti Ole Lando, Basil Markesinis, Christian von Bar, Reinhard Zimmermann, Konrad Zweigert dan Hein Kötz. Sedangkan kelompok kedua ialah kelompok yang mendukung divergensi atas perbedaan dalam tradisi Civil Law dan Common Law. Beberapa nama ahli perbandingan hukum yang termasuk pendukung kelompok kedua ini adalah Hugh Collin, Gunther Teubner, dan Christian Joerges. Saat ini pendapat kelompok pertama cenderung dianut mayoritas ahli hukum,
5 Tiga pertanyaan yang dikenal dalam Conflict of Laws (atau dalam istilah bahasa Indonesia : hukum perselisihan
yang kemudian berkembang menjadi hukum perdata internasional) adalah pertama : yurisdiksi manakah yang berwenang untuk memeriksa suatu kasus yang melibatkan titik taut-titik taut dari sistem hukum yang berbeda?, kedua : hukum manakah yang berlaku dalam kasus yang melibatkan titik taut-titik taut yang berbeda tersebut?, ketiga : apakah pengakuan dan eksekusi putusan pengadilan asing dapat dilaksanakan pada suatu negera tertentu? 6 http://www.droitcivil.uottawa.ca/world-legal-systems/eng-tab2.php, diakses tanggal 3 Desember 2008.
202
Volume 2.2 29 nov.indd 202
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:05 PM
sehubungan dengan perkembangan globalisasi untuk memfokuskan diri pada konvergensi dan kesamaan dari kedua sistem tersebut, serta menemukan inti persamaan (common core) dari perbandingan antara kedua sistem tersebut, dan mensintesakan perkembangan doktrin-doktrin utama dari kedua sistem hukum. Ekses dari pendapat ini yang dianut secara mayoritas adalah lahirnya CISG, Unidroit Principles dan PECL7. Sedangkan argumen dari kelompok kedua terhadap pendapat kelompok pertama yaitu adanya penyederhanaan yang berlebihan (over simplification) terhadap perbedaan dari sistem Civil Law dan Common Law dalam pandangan kelompok pertama. Kelompok kedua ini juga menegaskan bahwa divergensi atau perbedaaan tersebut tetap harus diperhatikan. Menanggapi perbedaan pendapat tersebut, menurut Nottage, setiap yuris/ahli perbandingan hukum perlu memperhatikan hal-hal berikut, yakni: 1. pemahaman yang jelas mengenai peraturan perundang-undangan (statute), yurisprudensi (case law), dan doktrin 2. pola dasar cara berpikir hukum (legal reasoning), serta institusi dan infrastruktur pendukungnya 3. dan bagaimana interaksinya dengan konteks sosio-ekonomi. Diakui pula oleh Nottage, bahwa dalam tataran praktis, dengan memperhatikan hal-hal tersebut, justru berpotensi terhadap timbulnya interpretasi yang berbeda-beda atas konvergensi dan divergensi dari kedua sistem tersebut 8. Berkenaan dengan pendapat tersebut, penulis tidak bermaksud untuk
menunjukkan keberpihakan kepada salah satu kelompok tersebut. Harus diakui, secara mayoritas, perkembangan dunia memang mengakomodir pandangan dari kelompok pertama akan konvergensi hukum. Namun demikian, bagaimanapun perbedaan antara kedua sistem ini memang tidak dapat disederhanakan begitu saja, karena justru menyebabkan kekurangpahaman mengenai masing-masing sistem secara menyeluruh. Bagaimanapun, menurut hemat penulis, pluralitas harus dihargai sebagaimana kita menghargai unifikasi. George Schultz mengatakan : “Ia yang memilih jalan tengah, akan mendapat pukulan dari kedua belah pihak”. Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa jalan terbaik adalah memahami perbedaan masing-masing sistem secara menyeluruh, lalu bermuara di unifikasi secara terbatas di bidang tertentu, apabila memang memungkinkan9. Unifikasi secara terbatas ini maksudnya adalah unifikasi dalam bidang hukum perdata/privat, khususnya hukum perjanjian, sebagaimana kecenderungan yang timbul saat ini. Mengapa hukum perdata, atau lebih jelasnya, hukum perjanjian? Tidak dapat disangkal bahwa hukum perjanjian dibutuhkan secara praktis dalam transaksi bisnis transnasional, sehingga dalam hal ini kebutuhan akan kesamaan pengertian terhadap istilah-istilah yang digunakan serta pengaturan yang diberlakukan di antara para pihak, di mana di dalam transaksi tersebut terdapat unsur hukum asing. Secara logis, tentu lebih mudah untuk menyatukan pendapat dalam hal-hal di mana terdapat kesamaan kepentingan10. Selain itu, dalam hukum
7 United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods (“CISG” atau “Vienna Convention”),
Unidroit Principles of International Commercial Contracts (“Unidroit Principles” atau “PICC”) dan Principles of European Contract Law (“PECL”) adalah contoh-contoh yang jelas dari upaya unifikasi dan harmonisasi hukum sebagai ekses dari dukungan terhadap konvergensi hukum antara tradisi Civil Law dan common law. 8 Luke Nottage, “Comment on Civil Law and Common Law: Two Different Paths Leading To The Same Goal” , http://www.austlii.edu.au/nz/journals/VUWLRev/2001/43.html, diakses pada tanggal 20 November 2008. 9 Salah satu kedaulatan yang dimiliki setiap negara adalah kedaulatan untuk membuat hukum yang berlaku di wilayahnya. Setiap unifikasi atau harmonisasi hukum adalah penyerahan sebagian kedaulatan negara, yang bisa diterima ataupun ditolak oleh suatu negara. Dalam konteks ini, penulis menganggap bahwa ide unifikasi dan harmonisasi hukum dalam segala bidang untuk semua negara tidaklah mungkin dilaksanakan, setidaknya dalam waktu dekat.
Volume 2.2 29 nov.indd 203
11/29/2011 5:10:05 PM
perjanjian dimungkinkan adanya perbedaan yang disepakati oleh para pihak dalam perjanjian dari undangundang yang berlaku dalam suatu negara, karena adanya sifat prinsip keterbukaan (aanvullend recht) yang berasal dari penghargaan terhadap perjanjian sebagai undang-undang yang dibentuk oleh para pihak (sanctity of contract), sehingga juga memungkinkan adanya pemilihan hukum (choice of law) terhadap hukum lain dan pemilihan yurisdiksi (choice of jurisdiction) pada yurisdiksi negara lain, tanpa mengurangi kedaulatan salah satu negara 11, sepanjang disepakati oleh para pihak. Namun demikian, pembahasan di atas tidak dimaksudkan untuk menafikan kemungkinan unifikasi dan harmonisasi dalam sektor hukum yang lain 12. Pada dasarnya, adanya kepentingan yang sama (common interest), dapat menimbulkan timbulnya semangat untuk unifikasi atau harmonisasi hukum hingga batas tertentu, sebagaimana yang terjadi pada Uni Eropa 13 . Pengerucutan kepada hukum perdata dimaksudkan untuk menempatkan fokus kepada salah satu bidang yang akan diperbandingkan (tertium comparationis). Berdasarkan rationale di atas, dalam rangka menyeimbangkan antara konvergensi dan divergensi dari perbedaan Civil Law dan Common Law, maka artikel ini akan membahas mengenai introduksi sistem tradisi Civil Law, serta tradisi Common Law, juga sedikit pengenalan terhadap sistem equity dan Common Law, diakhiri dengan perbandingan antara tradisi Civil Law dan Common Law. Introduksi ditujukan sebagai pelengkap dari tradisi Civil Law dan Common Law yang telah
dibahas sebelumnya di dalam Diktat Pengantar Perbandingan Hukum 14, karena itu pembahasannya hanya bersifat pelengkap yang singkat. Kemudian pembahasan akan bergulir kepada beberapa pranata hukum yang berbeda dari Civil Law dan Common Law yang menarik untuk dibahas, pertama-tama pranata-pranata hukum dalam hukum material, lalu pranata-pranata hukum acara/prosedural.
1. Tradisi Civil Law dan Common Law Tradisi Civil Law Sejarah sistem hukum Civil Law terbentang demikian panjang, sejak terbentuknya The Twelve Tables (sekitar 450 SM) sebagai tonggak pertama sejarah hukum Romawi kuno, dan perkembangan hukum Romawi yang sangat penting dalam bentuk Corpus Juris Civilis 15 (sekitar abad 6 M). Singkatnya, Corpus Juris Civilis yang dibentuk atas perintah kaisar Justinianus ini sempat mengalami masa mati suri, namun kemudian dibangkitkan kembali oleh para Glossators dan Commentators pada abad 11-13. Penafsiran kembali dan rekonstruksi atas Corpus Juris Civilis inilah yang kemudian menjadi jus commune di Eropa, dan kemudian mempengaruhi pembentukan dari dua kodifikasi besar, yakni Code Civil Perancis (selesai pada tahun 1804) yang diperintahkan dibuat oleh Napoleon, dan Burgerliches Gesetzbuch yang dibuat di Jerman satu abad kemudian. Dua kodifikasi besar inilah yang paling mempengaruhi persebaran dan pengaruh sistem hukum Civil Law melalui fenomena transplantasi
10 Contoh dari perlu adanya kepentingan yang sama, misalnya dalam ratifikasi dan pemberlakuan New York
Convention 1958 tentang Pengakuan dan Eksekusi terhadap Putusan Arbitrase Asing. Pada prinsipnya, yurisdiksi dari arbitrase ini berasal dari perjanjian para pihak yang sama-sama memiliki kepentingan mengatur ketentuan dalam hal terjadi perkara dalam transaksi bisnis mereka. 11 Lihat penjelasan catatan kaki no. 6 12 Contoh dari upaya harmonisasi hukum dalam bidang lain adalah : Den Haag Convention on The Law Applicable to Trusts and on their Recognition, dan The Buenos Aires Declaration on Money Laundering
204
Volume 2.2 29 nov.indd 204
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:05 PM
hukum. Salah satu contoh konkrit peristiwa transplantasi hukum adalah diterimanya Burgerlijk Wetboek yang sangat dipengaruhi Code Civil Perancis, menjadi Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia, yang tentunya dilatarbelakangi oleh kolonialisme Belanda di Indonesia. Istilah Civil Law ini biasanya digunakan untuk dua arti, yakni : (1) Civil Law dalam arti sistem hukum (vis-à-vis Civil Law, Socialist Law dan sebagainya) (2) Civil Law dalam arti Hukum Perdata (vis-à-vis Hukum Pidana, Hukum Administrasi). Arti kedua ini dapat dikatakan ada hubungannya dengan sejarah perkembangan dari tradisi Civil Law, di mana dari periode Romawi hingga periode Revolusi Perancis, hanya ada hukum perdata dan pidana saja 16. Hukum publik saat itu belum ada, mengingat di Perancis, sebagai pelopor tradisi Civil Law, belum ada pemerintahan yang berpengaruh dan memerintah cukup luas saat itu, sehingga belum ada perkembangan sistem hukum negara, politik, maupun militer yang kuat, sehingga pembentukan hukum publik, dianggap belum memiliki urgensi. Hukum negara, hukum administrasi negara, dan hak asasi baru berkembang tahap demi tahap setelah adanya Revolusi Perancis, yang juga saling mempengaruhi dengan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat dan pendapat para pemikir politik Inggris pada masa itu, yang menyebabkan berkembangnya doktrin-doktrin hukum sebagai berikut 17 :
1. Perkembangan hukum alam yang sekuler, yang mengakui hak-hak kodrat manusia yang perlu dilindungi oleh negara dan hukum, dan pengakuan bahwa semua manusia diciptakan sama dan mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum. Sehingga, prinsip-prinsip hukum yang berdasarkan kepada feodalisme harus ditinggalkan. 2. Sebagai akibat dari perkembangan doktrin hukum alam sekuler, maka berkembanglah doktrin perlindungan hak asasi manusia, termasuk pelaksanaan prinsip lintas gender, ras, agama, kepercayaan dan lain-lain. 3. Perkembangan doktrin trias politika, yang memisahkan kekuasaan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. 4. Perkembangan check and balances antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. 5. Perkembangan prinsip nasionalisme yang melahirkan negaranegar a m er deka, de n g a n kebebasan menentukan nasibnya sendiri, termasuk menentukan hukum nya sendir i, y a n g dilaksanakan sesuai de n g a n prinsip-prinsip yang berlaku secara universal. Code Civil Perancis yang dibuat atas perintah Napoleon, yang biasa disebut Code Napoleon 18 , memang dibuat dengan semangat Revolusi Perancis tersebut, namun Code Napoleon ini belum banyak dimasuki ide-ide revolusi, berhubung singkatnya waktu pembuatan Code Napoleon tersebut
13 Untuk mengakses hukum Eropa, silahkan mengakses website resminya, yakni http://europa.eu/ 14 Elly Erawati, “Pengantar Perbandingan Hukum”, ditujukan untuk proses perkuliahan internal di Universitas
Katolik Parahyangan Bandung, 2004.
15 Corpus Juris Civilis ini terdiri atas 4 bagian, yakni Institutes, Digest/Pandects, Codex, dan Novels. Bagian yang
menjadi penting dalam perkembangan berikutnya adalah Digest/Pandects, di mana para Pandectist Jerman dipengaruhi dalam pembentukan Burgerliches Gesetzbuch. 16 Di samping Code Civil Perancis, sebenarnya masih ada Code Penal, juga Code of Commerce dan Code of Civil Procedure. Hukum publik dalam arti modern saat itu belum ada, yang ada hanyalah hukum pidana. 17 Munir Fuady, “ Perbandingan Ilmu Hukum”, (Refika Aditama : 2007) , hal 63-64
Volume 2.2 29 nov.indd 205
11/29/2011 5:10:05 PM
dan tentunya karena konteks dari ideide revolusi, seperti prinsip persamaan, kemerdekaan, hak asasi manusia, trias politica, kebanyakan berada dalam kerangka hukum publik, yang memang tidak dicakup oleh Code Napoleon. Kodifikasi Code Napoleon tersebut mencakup semangat Revolusi Perancis sebagai berikut 19 : 1. Pemisahannya dari sistem feodal saat itu, dengan memperkenalkan perlindungan kepada hak milik individual dengan meninggalkan prinsip-prinsip aristokrasi dalam penguasaan tanah. 2. Pengakuan terhadap prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract). 3. Perlindungan dan pengakuan terhadap otonomi dari sistem keluarga patriarkat. Pada tahun 1900, Jerman memulai proyek panjang pembuatan kodifikasi selama kurang lebih 25 tahun, yang kemudian melahirkan Burgerliches Gesetzbuch (BGB) dan beberapa kodifikasi lainnya. Berbeda dengan Code Civil Perancis yang dibuat oleh praktisi hukum, BGB ini dibuat oleh para akademisi hukum. Sebagai konsekuensi, dalam hal penggunaan bahasa, BGB bersifat lebih rumit, sehingga pembacanya harus mempunyai latar belakang pendidikan hukum terlebih dahulu. Nilai-nilai yang dianut oleh BGB juga dianggap lebih modern oleh banyak ahli, yang semata-mata disebabkan oleh pembentukannya yang lebih muda satu abad dibandingkan dengan Code Civil sebagai pendahulunya, terutama dalam hal hak-hak wanita yang diperhadapkan
dengan budaya patriarkat yang dianut oleh Code Civil. Perlu dicatat bahwa dalam pembentukannya, BGB sempat diusulkan untuk mengikuti kodifikasi Prussia yang meliputi kurang lebih 16000 pasal. Namun BGB pada akhirnya mengikuti dan menafsirkan kembali Corpus Juris Civilis serta melakukan riset sejarah dan dipengaruhi oleh hukum lokal, sehingga mewujudkan volkgeist sebagaimana pendapat Von Savigny. Code Civil sendiri mendasarkan pembentukanya bukan pada Corpus Juris Civilis yang klasik, namun lebih kepada jus commune sebagaimana ditafsirkan dan dikomentari kemudian oleh pada glossators dan commentators.
Tradisi Common Law Penggunaan istilah Common Law setidak-tidaknya memiliki tiga arti yang berbeda, yakni : (1) Common Law dalam arti hukum yang dibentuk dari preseden putusan hakim (vis-à-vis Statute Law), (2) Common Law sebagai salah satu sistem atau tradisi hukum (vis-àvis Civil Law, Socialist Law, dan sebagainya), dan (3) Common Law sebagai salah satu dari dua sistem peradilan yang berlaku sebelum 1873 (vis-à-vis equity system sebagai sistem peradilan lain yang berlaku saat itu). Oleh karena itu, untuk memahami arti sesungguhnya dari penggunaan istilah “Common Law”, kita perlu mencermati konteksnya. Sejarah dari tradisi Common Law dimulai sejak penaklukan Norman the Conqueror tahun 1066 yang menyatukan
18 Istilah Code Civil dan Code Napoleon sebenarnya tidak sama persis, mengingat sebenarnya Code Napoleon
tidak hanya mencakup Code Civil saja, melainkan juga Code of Civil Code Procedure, Code of Commerce, Code of Criminal Procedure, dan Code of Penal. 19 Munir Fuady, “ Perbandingan Ilmu Hukum”, (Refika Aditama : 2007) , hal 73
206
Volume 2.2 29 nov.indd 206
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:05 PM
Inggris Raya. Awalnya yang berlaku adalah Common Law, yang sangat kental dengan pengaruh dari hukum kebiasaan yang dibakukan lewat putusan-putusan hakim. Sistem Common Law dengan kewajiban pengajuan perkara yang harus disertai writ, dianggap kaku dan tidak dapat mengakomodasi tuntutan rasa keadilan masyarakat pada saat itu. Muncul banyak kritik terhadap sistem Common Law dan meminta raja/ratu untuk memutus perkara sesuai prinsip bahwa raja/ratu adalah the ultimate fountain of justice. Peristiwa inilah yang menginisiasi pembentukan Court of Chancery, diketuai oleh Lord Chancellor sebagai penasihat spiritual raja, yang kemudian berlaku seterusnya. Pada mulanya, equity adalah suatu sistem yang berada di luar sistem Common Law, yang berasal dari prinsip-prinsip etikal yang dikembangkan oleh Court of Chancery sebelum tahun 1873 20. Court of Chancery ini adalah suatu yuridiksi yang memeriksa dan memutuskan berbagai macam perkara atau gugatan tertentu, yang dalam beberapa hal tidak memperoleh hasil yang memuaskan dalam Common Law. Chancellor yang melaksanakan kewenangan Court of Chancery bukanlah suatu badan yudikatif, melainkan badan eksekutif, dengan Head of Chancery, sebagai sekretariat Raja, yang bertanggungjawab untuk menerbitkan titah atau peraturan Kerajaan 21. Undang-undang tentang Yudikatif (Judicature Act) tahun 1873 yang diperbaharui tahun 1875 menyatakan, Court of Chancery dan Common Law dilebur dalam Supreme Act of Judicature. Oleh karena itu, sejak tahun 1873, tidak ada lagi dua jenis
peradilan, semua disatukan di bawah Supreme Court yakni badan yudikatif 22. Beberapa contoh kontribusi besar Equity System terhadap hukum Inggris (tradisi Common Law) menurut Evans adalah 23: a. Trusts 24. Melalui equity, seseorang memiliki suatu benda untuk kepentingan pihak lain, yang dalam Common Law, disebut dengan absolute owner, dalam equity diwajibkan untuk memenuhi kewajibannya berdasarkan trust (yang menjadikan orang yang memiliki benda tersebut dalam hukum sebagai legal owner) kepada pihak untuk siapa manfaat atas benda tersebut harus diberikan (beneficial owner). b. Restrictive Covenants. Dalam hal ini, equity memungkinkan suatu perjanjian berlaku untuk pihak ketiga, tetapi hanya dapat dipergunakan secara terbatas, misalnya dalam hal jual beli tanah. Dalam suatu jual beli tanah dimungkinkan pemilik tanah dalam perjanjian jual belinya untuk membuat suatu ketentuan yang berlaku secara terus menerus bagi pemilik tanah selanjutnya. c. Mortgagor’s Equity of Redemption. Ketentuan ini bermaksud untuk melindungi pihak pemberi jaminan dari kesewenang-wenangan penerima jaminan, meskipun terdapat berbagai ketentuan yang lain dalam perjanjian pemberian jaminan.
20 Michael Evans, “Outline of Equity and Trust”, (Sydney : Butterworths, 1995), hal 1, sebagaimana dikutip dalam
“Teori tentang Trust” oleh Gunawan Widjaja (tidak dipublikasikan).
21 Ibid, hal 1-2 22 Angela Sydenham, “Nutshells : Equity &Trusts, (London : Sweet & Maxwell, 2000) hal 1, sebagaimana dikutip
dalam “Teori tentang Trusts” oleh Gunawan Widjaja (tidak dipublikasikan).
23 Evans, op cit., hal 1-2, sebagaimana dikutip dalam “Teori tentang Trusts” oleh Gunawan Widjaja (tidak dipu-
blikasikan). Tradisi Hukum Barat : Pranata-pranata Hukum yang Menarik
Volume 2.2 29 nov.indd 207
207
11/29/2011 5:10:05 PM
d. Equitable Remedies. Remedies dalam Common Law terbatas hanya pada pengembalian benda yang rusak atau hancur. Equitable remedies memungkinkan dilaksanakannya suatu perbuatan hukum tertentu termasuk untuk melakukan tindakantindakan sementara. Secara umum, equitable remedies ini didasarkan pada hubungan hukum perorangan (act in personam) dan bukan hubungan hukum kebendaan (in rem), dan karenanya dapat berbeda antara satu perkara dengan perkara lainnya. Di antara Equity dan Common Law, terdapat benang merah yang menjadi batasan hubungan dan sekaligus merupakan dasar bekerjanya Equity dan Common Law secara bersama-sama. Prinsip-prinsip dasar yang menjadi dasar batasan hubungan antara keduanya dapat digambarkan sebagai berikut 25 a. (Untuk membantu pemahaman benang merah yurisdiksi Common Law dan Court of Equity, trust sebagai lembaga yang lahir dari equity system akan disinggung.) Yurisdiksi Common Law tidak pernah mengakui equitable rights, titles and interest. Dalam pandangan Common Law, hanya Trustee yang diakui oleh Common Law sebagai pemilik suatu benda, bukan Beneficiary. Oleh karena itu, gugatan yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap equitable obligations tidak dapat dimajukan ke pengadilan Common Law. b. Court of Equity tidak berwenang untuk memutuskan perkara yang berkaitan dengan legal rights and
titles. Dengan demikian, setiap pihak yang bermaksud menegakkan haknya dalam hukum (Common Law) harus memajukannya di hadapan Common Law Court. c. Equity tidak berwenang untuk memberikan hukuman ganti rugi. Court of Chancery hanya berwenang untuk memberikan hukuman ganti rugi dalam bentuk restitusi dan bukan jenis-jenis kerugian lainnya yang dikenal dalam Common Law. Jadi, dalam hal ini, Court of Chancery tidak mencampuri kewenangan pemberian ganti rugi dalam Common Law, hanya dalam hal Common Law tidak memberikan restitusi bagi pemegang hak, maka Court of Chancery akan memutuskan yang selayaknya. d. Common Law Court tidak mempunyai kewenangan untuk m elakukan tindakan- tindak a n sementara (interluctory relief, specific performance, atau injunction26). Hanya Court of Chancery yang memiliki kewenangan yang demikian. Court of Chancery memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan sementara seperti untuk menghentikan suatu perbuatan yang merugikan, mengangkat seseorang pengurus sementara, yang diperlukan agar penuntut dalam Court of Chancery tidak dirugikan lebih jauh. e. Perkara yang tengah diperiksa di Common Law tidak dapat dialihkan begitu saja proses pemeriksaannya ke Court of Chancery, demikian pula sebaliknya. Masing-masing peradilan mempunyai batas kewenangan pemeriksaan dan yurisdiksinya masingmasing.
25 Evans, op cit., hal 5-8, sebagaimana dikutip dalam “Teori tentang Trusts” oleh Gunawan Widjaja (tidak
dipublikasikan).
26 Injunction adalah suatu istilah yang menunjuk pada kewenangan Pengadilan, melalui Penetapannya untuk
melarang seseorang melakukan suatu tindakan atau perbuatan tertentu, atau perintah untuk tidak melakukan tindakan yang merugikan harta benda atau fisik orang lain. Larangan yang dikeluarkan pengadilan atas permintaan penggugat dalam suatu perkara, yang ditujukan kepada pihak tergugat atau yang selanjutnya
208
Volume 2.2 29 nov.indd 208
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:06 PM
Prinsip-prinsip di atas memang memberikan banyak kesulitan, mengingat pihak yang berperkara dalam Common Law tidak dapat sekonyongkonyong pindah ke Court of Chancery, padahal ada beberapa perlindungan hukum yang memang hanya dapat diberikan oleh Court of Chancery, vice versa. Dalam Judicature Act 1873, selain terdapat pengaturan yang menyatukan kedua peradilan tersebut di dalam satu atap Supreme Court, terdapat juga ketentuan bahwa dalam hal ada benturan pemberlakuan aturan-aturan hukum Equity dan aturan-aturan hukum Common Law, maka yang berlaku adalah aturan-aturan Equity. Adapun penggabungan dua badan peradilan menjadi satu atap ini merupakan proses penggabungan administrasi gugatan. Jadi, prinsip-prinsip Common Law dan equity kedua-duanya tetap berlaku 27. Equity yang pada awalnya 28 merupakan konstruksi etikal , lambat laun memperoleh bentuk hukumnya dan kemudian menerapkan prinsipprinsipnya di dalam peradilan. Prinsipprinsip tersebut beserta dengan 29 penjelasannya , yang menyangkut trust sebagai institusi yang dilahirkan oleh equity untuk memperjelas penjelasan prinsip-prinsip tersebut, antara lain adalah 30 : 1. Equity will not suffer a wrong to be without a remedy Prinsip ini merupakan dasar atau fondasi dari equity. Pada dasarnya setiap pihak yang melakukan perbuatan yang melawan hukum atau yang bersalahan dengan hukum (termasuk perikatan yang lahir dari
perjanjian) dapat digugat di hadapan Pengadilan untuk memberikan ganti rugi atau untuk mengembalikan kerugian pada keadaan seperti semula, maupun untuk memenuhi kewajibannya. Dalam hal ketentuan hukum yang berlaku tidak cukup memberikan penggantian yang layak atau pelaksanaan kewajiban yang sepadan, maka Equity mencoba untuk menyeimbangkan kekurangan tersebut dengan memberikan penggantian yang seimbang. Dalam konteks trust, equity memberikan hak kepada beneficiary untuk menuntut pelaksanaan trust oleh trustee, suatu hak yang tidak diperoleh beneficiary di dalam Common Law. 2. Equity follows the law Court of Chancery tidak mengeluarkan putusan yang berbeda atau mengabaikan putusan yang dikeluarkan oleh Court of Common Law, kecuali dalam hal terjadinya ketidakadilan. Court of Chancery juga tidak dapat menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Jika suami istri membeli harta kekayaan atas nama mereka berdua, tetapi rumah yang dibeli hanya tercatat atas nama suami, equity memperlakukan mereka sebagai tenants in common, bukan joint tenancy 31. Tenants in common adalah suatu bentuk kepemilikan di mana setiap pemilik (tenant) mempunyai kepentingan yang tidak terbagi atas suatu benda. Sedangkan joint tenancy adalah salah satu bentuk kepemilikan benda oleh dua atau lebih pihak, yang masingmasing memiliki kepentingan yang
dijadikan tergugat selama proses perkara berlangsung, dengan tujuan melarang pihak tergugat tersebut untuk melakukan suatu tindakan yang semula akan dilakukan olehnya, atau menghentikan tindakan yang sudah dilakukan olehnya tersebut, yang tidak adil atau merugikan kepentingan penggugat. Yang dinamakan dengan interluctory injunction adalah injuction yang dikeluarkan oleh Pengadilan selama proses peradilan, untuk kepentingan jangka pendek untuk menghentikan tindakan yang dapat menyebabkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki, sebelum pada akhirnya Pengadilan memutuskan untuk menerima atau menolak gugatan yang dimajukan tersebut – dikutip dari : “Teori tentang Trusts” oleh Gunawan Widjaja (tidak dipublikasikan). Tradisi Hukum Barat : Pranata-pranata Hukum yang Menarik
Volume 2.2 29 nov.indd 209
209
11/29/2011 5:10:06 PM
tidak terbagi secara keseluruhan dan berlaku terhadapnya the rights of survivorship. 3. Where there is equal equity, the law shall prevail Prinsip ketiga ini menunjukkan bahwa dalam hal dua orang secara bersamasama memiliki hak dalam equity (equitable right) yang sama menuntut kepemilikan atas suatu benda, dan salah satu dari orang tersebut memiliki title hak dalam hukum (legal rights), maka dalam equity-pun orang ini, yang memiliki hak dalam hukum akan menjadi pemilik dari benda tersebut, meskipun hak dalam equity dari orang yang lainnya sudah diperolehnya lebih dahulu sebelum orang yang memiliki titel hak dalam hukum ini memperoleh hak dalam equity-nya. Sebagai contoh dapat diilustrasikan sebagai berikut. Katakanlah seseorang menyerahkan suatu benda kepada X, yang bertindak sebagai trust untuk kepentingan Y. X kemudian menjual benda tersebut kepada Z. Z membeli benda tersebut dari X sebagai seorang pembeli yang bona fide dengan harga yang sepantasnya yang tidak mengetahui bahwa X adalah trustee dari benda tersebut (bona fide purchaser with value, without notice). Dalam konteks demikian, sebagai pembeli bona fide dengan harga yang pantas, Z juga dilindungi oleh hukum, Z dianggap pada saat yang bersamaan memiliki title hak dalam hukum dan hak dalam equity. Dengan demikian, maka Court of Equity akan menyatakan Z sebagai
pemilik benda tersebut, dan Y dapat menuntut X atas pelanggaran kewajiban X sebagai trustee dari benda yang dijual oleh X tersebut. 4. Where the equities are equal, the first in time shall prevail. Prinsip ini mengemukakan jika ada dua orang yang memiliki hak dalam equity yang sama, dan tidak ada salah satupun dari mereka yang memiliki titel hak dalam hukum , maka orang yang pertama kali memperoleh hak dalam equity adalah pemilik benda tersebut. Prinsip ini dapat dicontohkan sebagai berikut. A adalah pemilik dari suatu bidang tanah dan bermaksud untuk menjual bidang tanah tersebut. A membuat perjanjian dengan B dengan tujuan untuk menjual bidang tanah tersebut kepada B (estate contract). Pada lain kesempatan A membuat perjanjian serupa dengan C. Masing-masing B dan C memiliki hak dalam equity atas bidang tanah tersebut, namun oleh karena jual beli yang sebenarnya belum dilangsungkan, baik B maupun C tidak memiliki titel hak dalam hukum atas bidang tanah tersebut. Court of Equity akan mensahkan perjanjian antara A dengan B, sehingga dapat ditindaklanjuti dengan jual beli yang sebenarnya. C yang mengalami kerugian, dapat menuntut ganti rugi dari A di Common Law berdasarkan estate contract tersebut. 5. He who seeks equity must do equity Prinsip ini melihat ke depan. Dalam konteks ini, seorang yang menyatakan dan menuntut haknya
27 Evans, op.cit, hal 8 , sebagaimana dikutip dalam “Teori tentang Trusts” oleh Gunawan Widjaja (tidak
dipublikasikan).
28 Alastair Hudson, “Equity and Trusts”, (London : Cavendish Publishing, 2002), hal 13-14. 29 Dalam perkembangannya, ada beberapa tambahan prinsip equity berdasarkan pendapat para ahli hukum
Ingris seperti Alastair Hudson yang mengemukakan 4 prinsip equity tambahan serta Todd dan Lowrie yang mengemukakan 5 prinsip equity tambahan.
210
Volume 2.2 29 nov.indd 210
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:06 PM
dalam equity harus melaksanakan juga kewajiban-kewajibannya dalam equity. Misalnya seorang beneficiary yang menuntut agar seorang trustee melaksanakan kewajiban dalam trust bagi beneficiary, harus mau mengganti seluruh pengeluaranpengeluaran yang telah dilakukan oleh trustee untuk memelihara dan atau menyelamatkan benda yang berada dalam trust tersebut. 6. He who comes to the equity must come with clean hands Jika prinsip kelima melihat ke depan, prinsip keenam melihat ke belakang. Menurut prinsip ini, setiap orang yang menuntut haknya dalam equity, harus dapat membuktikan bahwa ia telah memperoleh hak dalam equity-nya tersebut tanpa melakukan pelanggaran hak orang lain. Jika terbukti bahwa dalam memperolehnya, ada hak pihak lain yang telah dilanggar, maka equity menolak untuk mengabulkan permohonan untuk pemenuhan hak dalam equity-nya tersebut. 7. Delay defeats equity Prinsip ini, sering juga disebut sebagai “Equity assists the dilligent and not the tardy”. Dalam prinsip ini, waktu untuk mempertahankan hak dalam equity menjadi perhatian yang penting. Seseorang yang menuntut haknya dalam equity tidak boleh mengabaikannya, begitu ia mengetahui adanya keadaan atau fakta hukum yang menunjukkan telah terjadi pelanggaran terhadap haknya dalam equity. Prinsip ini selanjutnya berkembang menjadi suatu doktrin
yang dikenal dengan “doctrine of laches” yaitu suatu doktrin yang tidak akan mengabulkan tuntutan hak dalam equity jika tuntutan itu dimajukan dengan lewatnya suatu jangka tertentu. 8. Equality is equity Jika ada lebih dari satu orang yang menikmati kepentingan yang sama atas suatu benda tertentu, tetapi tanpa adanya suatu ketentuan, kesepakatan atau perjanjian bagaimana cara membagi benda tersebut di antara mereka, equity menyatakan bahwa benda tersebut harus dibagi di antara mereka secara adil dan sama besarnya. 9. Equity looks to intent rather than the dorm Dalam Common Law, sesuatu perbuatan hukum dilaksanakan dengan memenuhi dua hal yaitu formalitas dan substansi. Dalam Parkin v. Thorold dinyatakan “ Courts of Equity make a distinction between that which is a matter of substance and that which is a matter of form: and if it finds that by insisting on the form, the substance will be defeated, it holds it to be inadequate to allow a person to insist on such form, and thereby defeat by substance”. 10. Equity looks on that as done which ought to be done Prinsip ini menyatakan bahwa dalam hal suatu perjanjian adalah suatu perjanjian yang dapat dipaksakan pelaksanaannya, equity menganggap pihak yang menjanjikan untuk melakukan prestasi telah melakukan
30 Gunawan Widjaja, “Teori tentang Trusts”, hal 4-8, tidak dipublikasikan. 31 Dalam tradisi Common Law, dikenal dua macam pemilikan bersama (co ownership) sebagai berikuu bersama
dengan contohnya : a. Joint Tenancy Apabila A,B, dan C secara bersama-sama merupakan pemilik atas sebidang tanah dan kemudian salah satu dari mereka meninggal (misalkan si A), maka kepemilikannya tidak dapat digantikan orang lain, sehingga pemilik Tradisi Hukum Barat : Pranata-pranata Hukum yang Menarik
Volume 2.2 29 nov.indd 211
211
11/29/2011 5:10:06 PM
prestasi yang dijanjikan olehnya tersebut, karena ia dapat dipaksa untuk melakukannya dalam Common Law. Dalam Walsh v. Lonsdale, suatu perjanjian untuk menyewakan dianggap telah menciptakan hak dalam equity untuk menyewa bagi penyewa, meskipun persyaratan sewa menyewa dalam Common Law belum dipenuhi seluruhnya. Ini berarti juga suatu perjanjian untuk melangsungkan jual beli dapat dianggap telah memberikan hak dalam equity kepada pembeli atas benda yang dijanjikan untuk dijual oleh calon penjual dalam perjanjian untuk melangsungkan jual beli tersebut. 11. Equity imputes an intention to fulfill and obligation Equity menempatkan tindakan manusia dalam konstruksi yang paling menguntungkan. Bilamana ada seseorang melakukan suatu tindakan yang dapat dikonstruksikan untuk memenuhi kewajibannya yang harus dipenuhi, maka equity akan memperlakukan tindakan tersebut sebagai tindakan pemenuhan kewajibannya tersebut. Misalnya ada seseorang, katakanlah A, yang mempunyai utang kepada B meninggal dunia, dan meninggalkan sejumlah uang kepada B. Equity akan memperlakukan uang yang ditinggalkan A kepada B tersebut sebagai pemenuhan kewajiban pembayaran utang A kepada B, kecuali ada bukti lain yang menyatakan sebaliknya.
12. Equity acts in personam Prinsip yang keduabelas ini merupakan prinsip yang diturunkan dari teori bahwa equity tidak memberikan tuntuan hak kebendaan (in rem) atau harta kekayaan tertentu, melainkan hanya memberikan hak untuk memajukan gugatan secara pribadi yang bersifat perorangan (in personam).
Perbandingan tradisi Civil Law dan Common Law Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dalam Pendahuluan, sebagai bagian dari tradisi hukum barat, tradisi Civil Law dan Common Law ini mempunyai kesamaan karakteristik, yakni benang merah yang dapat ditarik dari kedua tradisi hukum ini. Namun demikian, artikel ini tidak akan membahas lebih lanjut mengenai hal ini, mengingat persamaan karakteristik hukum barat yang dikemukakan oleh Harold J. Berman ini telah dibahas di dalam artikel Karakteristik Tradisi Hukum Barat 32. Lebih lanjut, penulis akan mencoba menggambarkan perbandingan kedua tradisi ini dalam bentuk tabel berikut ini, dengan tujuan supaya lebih mudah dipahami 33 :
tanah tersebut sekarang adalah B dan C. Dalam trust, apabila ada beberapa trustee, maka joint tenancy inilah yang berlaku, maka dalam hal terjadi salah satu trustee meninggal dunia, posisinya sebagai trustee tidak dapat digantikan, sehingga jumlah trustee berkurang. Jadi, tidak ada kemungkinan jumlah trustee bertambah. b. Tenancy in Common Apabila sebidang tanah dimiliki secara bersama-sama oleh A,B, dan C dan salah satu dari mereka meninggal dunia (misalkan si C), yang berhak menjadi pemilik secara bersama-sama adalah A, B, serta ahli waris dari C. Dalam hal ahli waris C berjumlah lebih dari satu orang, maka pemilik tanah tersebut jumlahnya bertambah.
212
Volume 2.2 29 nov.indd 212
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:06 PM
No 1
Tertium Comparationis Sejarah
2
Peran Utama
3
4
5 6
Civil Law 1. Berasal dari hukum Romawi 2. Sejarah pembentukan diwarnai semangat revolusi Perancis
Common Law 1. Berawal dari penundukan suku bangsa Inggris oleh Norman 2. Tidak diwarnai revolusi politik
Ahli hukum (legal scholar) Praktisi hukum (hakim dan pengacara) Pengemban Profesi 1. Hakim (karier) 1. Hakim (non karier Hukum 2. Jaksa : diangkat dari 3. Notaris publik barrister) 4. Advokat (dulu 2. Jaksa penasehat hukum) 3. Barrister : beracara di pengadilan 4. Solicitor : konsultasi hukum di luar pengadilan (fungsi penasehat hukum dan notaris publik) Periode penyebaran
Berlangsung selama 3 abad (abad XX-XIV) ke seluruh Eropa kecuali Inggris Pengajaran Hukum Dimulai abad XII oleh Irnerius di Bologna Klasifikasi Hukum 1. Pengelompokan hukum dilakukan secara sistematis, karena hukum dibuat oleh pembuat UU, sehingga dapat direncanakan 2. Mengenal pembedaan mendasar antara hukum publik dan hukum perdata/ privat. 3. Mengenal pembedaan antara hukum dagang
Berkembang mulai abad XIII di Inggris.
Dimulai abad XVIII 1. Hukum terbuat dari putusan hakim untuk setiap kasus, sehingga tidak dapat direncanakan dan pengelompokan hukum tidak dapat dilakukan secara sistematis 2. Tidak mengenal pembedaan mendasar antara hukum publik dan perdata/privat.
32 Elly Erawati, “Karakteristik Tradisi Hukum Barat”, hal 2-6, tidak dipublikasikan. 33 Disarikan dari berbagai sumber
Tradisi Hukum Barat : Pranata-pranata Hukum yang Menarik
Volume 2.2 29 nov.indd 213
213
11/29/2011 5:10:06 PM
dan hukum perdata. 4. Membagi benda menjadi bergerak dan tidak bergerak
7
8
9
10
11
3. Tidak mengenal pembedaan antara hukum dagang dan hukum perdata. 4. Membagi benda menjadi real property (tanah) dan personal property (di luar tanah). Peradilan Tidak pernah mengenal Pernah mengenal pembedaan badan pembedaan badan peradilan equity dan peradilan equity dan common law. common law sebelum tahun 1873. Tujuan Peradilan Untuk menegakkan Untuk menyelesaikan hukum, keadilan, perselisihan dan hasil kebenaran dan kepastian peradilan yang telah hukum. memenuhi prosedur yang benar 34 . Jadi, prosedur benar-benar penting. Pembentuk hukum Hukum dibentuk atas Hukum dibentuk dan dan pelaksana hasil karya akademik ditegakkan/dilaksanakan hukum (perguruan tinggi) dan oleh hakim (badan legislator (badan legislatif), yudikatif) dalam putusansedangkan hukum putusannya dilaksanakan / ditegakkan oleh badan yudikatif (hakim) Sifat kaedah Bersifat normatif (karena Bersifat praktis dan hukum dibuat di muka), bersifat kasuistis logis/rasional dan sistematis Sumber hukum Hukum tertulis, yakni Putusan hakim utama legislasi atau undangundang. Yurisprudensi atau putusan hakim sebelumnya tidak mengikat
34 Doktrin mengenai fair trial dan due process of law berasal dari tradisi Common Law yang menjunjung tinggi
masalah prosedural
214
Volume 2.2 29 nov.indd 214
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:06 PM
12
Kodifikasi sebagai sumber hukum
13
Proses beracara
14
Peranan Hakim
15
Sistem Jury serta putusan bersalah/ tidak bersalah dan hukumannya
16
Bagaimana hakim menemukan hukum
Kodifikasi hukum sebagai sumber hukum primer
Umumnya tidak ada kodifikasi hukum. Biasanya kodifikasi dianggap sama dengan kompilasi. 1. Inquisitorial : mencari 1. Adversarial / jawaban / menggali Accusatorial : dalam informasi. Sehingga, sistem ini peran dalam tradisi ini, peran hakim bersifat hakim aktif menggali pasif, yang aktif informasi. adalah pengacara 2. Berdasarkan prinsip kedua belah pihak. bahwa pengadilan Pengacara kedua dianggap mengetahui belah pihak dapat hukum (jura novit melakukan cross curia). examination. 2. Para pihak harus mengemukakan dasar hukum dari tuntutan/ gugatan Mencari kebenaran materiil (khususnya dalam pidana) dan membuat putusan yang adil
Bertugas mengontrol acara /prosedur jalannya peradilan, dan memutus berdasarkan presentasi yang lebih meyakinkan dari para pengacara. 1. Sistem jury dikenal 1. Sistem jury masih tetapi tidak populer. diterapkan hingga 2. Putusan bersalah/ sekarang, terutama tidak bersalah dalam hal peradilan dan hukumannya Kriminal. diputuskan oleh hakim 2. Putusan bersalah/ tidak bersalah diputuskan oleh jury, dan hukumannya akan diputuskan oleh hakim Hakim adalah penafsir/ pelaksana undang-undang. Bahkan di masa lalu, ada pemahaman bahwa hakim hanyalah corong UU (la bouche de la loi)
Tradisi Hukum Barat : Pranata-pranata Hukum yang Menarik
Volume 2.2 29 nov.indd 215
Hakim adalah pembuat UU, sehingga kemudian timbul istilah judge made law.
215
11/29/2011 5:10:06 PM
17
18
19
Proses argumentasi Bertumpu pada hal-hal dalam proses yang tertulis, tidak perlu peradilan banyak berargumen secara lisan (terutama dalam peradilan perdata). Proses sidang Antara satu sidang ke pengadilan sidang berikutnya, terdapat jeda cukup lama, untuk keperluan pembacaan dokumen tertulis. Pola Pikir Deduktif
Sedangkan informasi mengenai negara-negara mana saja yang menganut sistem Civil Law atau Common Law dapat dilihat di dalam beberapa alamat website sebagai berikut (catatan : akses terakhir dilakukan pada 14 Maret 2011): • http://en.wikipedia.org/wiki/Legal_ systems_of_the_world • http://www.juriglobe.ca/ • http://www.loc.gov/law/help/guide/ nations.html
2. Hukum Material/ Substansial 35 Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, dalam tulisan ini akan dipaparkan mengenai beberapa pranata hukum yang menarik, baik dari sisi hukum material/substansial maupun hukum acara/procedural, dalam tradisi hukum barat ini, atau dengan kata lain dari sistem hukum Civil Law dan Common Law yang tampak berbeda satu sama lain, namun terdapat kesamaan tujuan. Kesamaan tujuan ini, mengingatkan kita akan adanya kesamaan karakteristik kedua sistem hukum ini yang telah disinggung di awal tulisan. Tampaknya, kedua sistem hukum ini walau tidak
Bertumpu pada oral pleading yang direkam dan disusun risalahnya (minute). Biasanya dilaksanakan secara marathon.
Induktif
dapat saling menggantikan, namun juga tidak dapat dipisahkan.
Consideration Consideration, yang dikenal dalam sistem Common Law, didefinisikan dalam Dictionary of Law oleh L.B. Curzon (Kuala Lumpur :1998) sebagai : “some right, interests, profit, or benefit accruing to one party, or some forbearance, detriment, loss, or responsibility given suffered or undertaken by the other that which is actually given or accepted in return for a promise…. Consideration is executed when the act constituting the consideration is performed; it is said to be executory when it is in the form of promises to be performed at a future date. Consideration is required for all simple contracts. It must be legal, it must not be past, it must move from the promisee”. Secara simpel, biasanya consideration ini digambarkan bahwa kontrak harus mengandung prestasi dan kontra prestasi (reciprocity) 36 yang bernilai, seperti misalnya janji salah satu pihak untuk
35 Selain dari artikel karya Caslav Pejovic, “Civil Law and Common Law: Two Different Paths Leading To The
Same Goal”, http://www.austlii.edu.au/nz/journals/VUWLRev/2001/42.html, diakses tanggal 21 Desember 2008, juga menyertakan olahan dari berbagai sumber. 36 GH Treitel, “The Law of Contract” (London: Sweet&Maxwell,1995) hal. 8-9 37 Definisi ini belum cukup mencakup pengertian sebenarnya dari consideration. Contohnya untuk hibah (grant). Di dalam tradisi Civil Law, hibah ini dianggap sebagai perbuatan hukum sepihak, karena tidak adanya
216
Volume 2.2 29 nov.indd 216
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:06 PM
menyediakan barang atau jasa, atau janji untuk membayar barang atau jasa tersebut 37. Tanpa adanya consideration ini, kontrak dalam sistem Common Law tidak mempunyai daya mengikat, selain juga harus dipenuhinya syarat-syarat yang lain, yakni offer and acceptance (agreement), legal capacity, intention to create legal relation 38, formalities, (dan estoppel) 39 . Kondisi tersebut berbeda dengan sistem Civil Law yang mensyaratkan sahnya kontrak atas terpenuhinya unsurunsur sebagai berikut: kesepakatan (consent) para pihak, kecakapan para pihak (legal capacity) , mengenai obyek tertentu (a particular object) , dan kausa yang halal (lawful cause) 40. Dari keempat unsur ini, tidak ada yang dapat dipersamakan dengan consideration, sehingga bisa dikatakan bahwa tidak ada pranata yang dapat dianalogikan atau dipersamakan dalam sistem Civil Law dengan pranata tersebut.
Doktrin privity of contract ini memang berawal dari unsur prosedural yang dijunjung oleh tradisi hukum ini, di mana dengan adanya doktrin ini, sehingga dalam hal ada sengketa, maka jelas siapa yang harus digugat. Namun demikian, seperti dapat diperkirakan, doktrin ini juga menyebabkan masalah dalam pelaksanaannya, sehingga kemudian keluar undang-undang (the Contracts Act 1999 tentang Rights of Third Parties) yang sedikit banyak mengurangi pemberlakuan dari doktrin ini dalam sistem Common Law.
Penarikan Penawaran
Janji untuk kepentingan Pihak Ketiga dan Doktrin Hubungan Langsung dalam Perjanjian (Privity of Contract)
Dalam tradisi Common Law, penarikan penawaran atau perubahan penawaran hanya dapat dilakukan sebelum penawaran tersebut dinyatakan diterima (accepted) kecuali apabila penawaran tersebut dinyatakan tidak akan ditarik/dirubah (irrevocable). Sedangkan dalam tradisi Civil Law, penawaran tidak dapat ditarik setelah dikirimkannya penawaran. Penawaran dianggap ditarik hanya apabila penawaran tersebut tidak dinyatakan diterima.
Dalam sistem Civil Law, dimungkinkan adanya peralihan hak dalam kontrak kepada pihak ketiga atau yang biasa dikenal sebagai perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga 41. Peralihan hak seperti ini tidak dimungkinkan dalam sistem Common Law, jadi hanya pihak yang mempunyai hubungan secara langsung dalam perjanjianlah yang mempunyai dan melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan isi kontrak (privity of contract).
Dalam praktek, sebenarnya perbedaan antara kedua sistem ini tidak begitu kentara. Misalnya dalam sistem Civil Law, penawaran tetap bisa ditarik asalkan belum mencapai si calon penerima (offeree). Tak jauh berbeda dengan itu, dalam sistem Common Law, penawaran tidak dapat ditarik dalam hal penawaran tersebut telah dinyatakan diterima (accepted). Jadi, pada dasarnya persamaan antara kedua sistem ini, ialah bahwa kedua sistem ini tidak
persyaratan mengenai consideration untuk sahnya suatu kontrak yang mendasari perbuatan hukum tersebut. Sedangkan dalam tradisi Common Law, karena adanya syarat consideration tersebut, maka dalam transaksi hibah harus dilakukan dengan akta, yang dianggap sebagai pemenuhan syarat consideration tersebut. 38 Dalam hukum kontrak Common Law, Memorandum of Undertanding (MoU) tidak mengikat sebagai kontrak bagi para pihak, karena tidak adanya unsur intention to create legal relation ini. 39 Informasi detail mengenai syarat-syarat ini dapat diakses dalam banyak buku kontrak Common Law. Tradisi Hukum Barat : Pranata-pranata Hukum yang Menarik
Volume 2.2 29 nov.indd 217
217
11/29/2011 5:10:06 PM
mengizinkan penarikan atau perubahan dari penawaran dalam hal penawaran tersebut telah diterima (accepted) oleh si calon penerima. Hanya saja, dalam sistem Civil Law, tidak disyaratkan bahwa penawaran tersebut dinyatakan diterima (accepted) , cukup dengan keadaan bahwa penawaran tersebut diterima (received), maka penawaran sudah tidak dapat ditarik ataupun dirubah lagi. Beberapa upaya harmonisasi hukum mencoba untuk mengkombinasikan perbedaan ini, Misalnya, pasal 16 CISG dan pasal 2.4 Unidroit Principles. Keduanya menyatakan bahwa sebuah penawaran dapat ditarik kembali sebelum kontrak terbentuk (contract is concluded) atau dengan kata lain, sebuah penawaran dapat ditarik kembali dengan syarat bahwa penarikan penawaran (revocation) tersebut telah mencapai si calon penerima (offeree), sebelum calon penerima tersebut mengirimkan pernyataan penerimaannya (acceptance). Namun demikian, ada perkecualiannya, yaitu : 1. dalam hal penawaran tersebut sebelumnya dinyatakan tidak akan ditarik (irrevocable) atau apabila 2. cukup alasan (reasonable) bahwa calon penerima memahami (rely) bahwa penawaran tersebut tidak akan ditarik kembali dan calon penerima telah bertindak berdasarkan pemahaman tersebut. Perkecualian yang pertama ini berasal dari sistem Civil Law, sedangkan perkecualian yang kedua berasal dari sistem Common Law, yakni estoppel 42 .
Force Majeure dan Doktrin Frustasi Perjanjian (Frustration of Contract) Force Majeure dinyatakan dalam Dictionary of Law, oleh L.B. Curzon (Kuala Lumpur : 1998) sebagai : “an event that can generally be neither anticipated nor controlled. ”Dalam berbagai literatur, force majeure ini disebut juga sebagai “act of God”. Konsekuensi dari ketentuan force majeure adalah dalam hal terjadinya force majeure, maka pihak yang melakukan wan prestasi dibebaskan dari tanggung jawab. Awalnya, konsep force majeure ini tidak dikenal dalam sistem Common Law, bahkan sistem ini menerapkan tanggung jawab mutlak yang biasa dikenal sebagai strict liability. Dalam hal disepakati lain dari peraturan yang berlaku umum tadi, maka para pihak harus membuat klausul perjanjian yang mengesampingkan aturan tadi. Namun, di lain pihak, pada abad 19, berkembang doktrin ketidakmungkinan dilaksanakannya prestasi (impossibility of performance) dan penghentian perjanjian (frustration of contract). Dalam doktrin ketidakmungkinan dilaksanakannya suatu prestasi, pihak yang tidak dapat melaksanakan prestasi dibebaskan dari pelaksanaan prestasi tersebut dalam hal pelaksanaannya menjadi tidak mungkin (impossible) atau tidak dapat dilakukan (impracticable), sepanjang kesalahan (fault) tidak terletak pada pihak tersebut. Sedangkan akibat
40 Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“ KUHPerdata”) 41 Dalam hukum Indonesia, janji untuk kepentingan pihak ketiga ini diatur dalam Pasal 1317 KUHPerdata yang
berbunyi demikian : 1. Lagipula diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga , apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seseorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukan kepada seorang lain, memuat janji yang seperti itu. 2. Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan kehendaknya untuk menggunakannya.
Volume 2.2 29 nov.indd 218
11/29/2011 5:10:07 PM
dari frustrasi kontrak adalah penghentian perjanjian seketika, dalam hal tidak ada pihak yang bertanggung jawab atas kerugian. Kedua doktrin ini, dapat dikatakan serupa dengan konsep force majeure di sistem Civil Law. Perbedaan dari kedua sistem ini adalah tidak adanya pengaturan definisi dari force majeure dalam ketentuan hukumnya, berbeda dengan pengaturan yang sudah ada dalam sistem Civil Law, sehingga menyebabkan para pihak yang membuat kontrak dalam sistem Common Law ini mendefinisikan hal-hal yang termasuk definisi force majeure ini sebanyak mungkin di dalam klausulnya, sehingga biasanya klausul ini bunyinya cukup panjang 43.
Wan Prestasi (Breach of contract) dan fault (kesalahan) Konsep dari wan prestasi (breach of contract) dalam sistem Civil Law dan sistem Common Law, pada dasarnya hampir sama. Perbedaaannya terletak pada disyaratkannya unsur kesalahan (fault) dalam sistem Civil Law. Sedangkan dalam sistem Common Law, dalam hal terjadi gugatan ganti rugi atas dasar wan prestasi, tidak disyaratkan adanya unsur kesalahan ini. Sebagaimana telah disebut dalam bagian sebelumnya, bahwa pertanggungjawaban di dalam kontrak, dianggap oleh sistem Common Law ini sebagai pertanggungjawaban mutlak (strict liability). Walau kemudian pertanggungjawaban mutlak ini dilunakkan dengan doktrin ketidakmungkinan dilaksanakannya perjanjian 44.
Sedangkan dalam sistem Civil Law, harus adanya unsur kesalahan (fault) atau kelalaian (negligence) dalam wan prestasi. Syarat harus adanya unsure kesalahan atau kelalaian ini berlaku dalam perjanjian usaha terbaik/optimal (inspaning verbintenis). Sedangkan untuk perjanjian berdasarkan hasil (resultaat verbintenis), cukup dengan tidak terpenuhinya hasil, maka tanggung jawab mutlak berlaku, sehingga tidak diperlukan adanya unsur kesalahan atau kelalaian tersebut. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa struktur tanggung jawab dari sistem Civil Law agak bertolak belakang dengan sistem Common Law di mana dalam sistem Civil Law, di mana secara umum berlaku bahwa konsep tanggung jawab harus mengandung unsur kesalahan terlebih dahulu, barulah ada perkecualian di mana berlaku tanggung jawab mutlak.
Somasi (Notice of default) Dalam hal adanya keterlambatan pelaksanaan suatu prestasi, dalam sistem Civil Law, kreditur harus memberikan somasi 45 (notice of default) terlebih dahulu sebagai suatu peringatan mengenai keterlambatan tersebut dan memberikan batas waktu (grace period) untuk pemenuhan prestasi yang terlambat dilaksanakan itu. Bila batas waktu tersebut terlewati dan si debitur tetap tidak memenuhi prestasinya tersebut, maka unsur kesalahan terpenuhi dan kreditur dapat meminta ganti rugi. Pengajuan gugatan sebelum batas waktu tersebut terlewati akan menyebabkan gugatan dieksepsi untuk dinyatakan sebagai gugatan yang prematur.
42 Estoppel dalam Dictionary of Law, dari L.B. Curzon (Kuala Lumpur :1998) dinyatakan sebagai : “a rule of
evidence (and not a causeof action) preventing a person from denyin truth of a statement he has made previously, or the existence of facts in which he has led another to believe 43 Sebenarnya, hal inipun tergantung dari kepentingan dari masing-masing pihak dan kondisi perjanjian tersebut. Misalnya, apabila pihak tersebut berkepentingan prestasi untuk dilaksanakan (misalnya untuk kelangsungan usahanya), maka dia akan berupaya supaya klausul force majeure cukup singkat sehingga kemungkinan terpenuhinya prestasi lebih besar. Sedangkan bila pihak tersebut berkepentingan sebaliknya, vice versa, sehingga klausul force majeure pun akan lebih panjang untuk melindungi kepentingannya dalam hal tidak dapat melakukan prestasi
Volume 2.2 29 nov.indd 219
11/29/2011 5:10:07 PM
Berbeda dengan ketentuan tersebut, dalam sistem Common Law, tidak ada kewajiban untuk kreditur untuk melakukan somasi (notice of default) tersebut, karena dianggap jatuh tempo tanpa perlu adanya pemberitahuan (due without notice).
Trust Trust, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, adalah produk dari equity. Tidak ada equity, maka tidak ada trust. Sehingga, dalam memenuhi konsep dari trust, tentunya harus mengerti prinsipprinsip yang berlaku dalam equity, yang tentunya berlaku juga untuk trust 46. D.J. Hayton dalam “The Law of Trusts” menulis mengenai definisi trust, antara lain : “ A trust is not a legal person, like an individual or a company, capable of owning property. For there to be a trust, property must be subject to a trust, so the property will be vested in a trustee or trustees (who may be individuals or companies) or in a nominee on behalf of trust (though here the trustee’s rights against the nominee may be regarded as property held by trustee). Trustees hold property as joint tenants, so on a trustee’s death the property passes automatically by the right of survivorship (ius accrescendi) to the surviving trustees: if the last surviving trustee does not appoint more trustees then on his death the property will be held by his personal representative who should appoint new trustees. 47” Selain itu, menurut pasal 2 The Hague Convention on The Law Applicable to
Trusts and on Their Recognition 48 , trust mempunyai karakteristik sebagai berikut : a. The assets constitute a separate fund and are not a part of Trustee’s own estate; b. Title to the Trusts assets stands in the name of the Trustee or in the name of another person on behalf of the Trustee; c. The Trustee has the power and the duty, in respect of which he is accountable, to manage, employ, or dispose of the assets in accordance with the terms of the Trust and the special duties imposed upon him by law. Maurizio Lupoi mengemukakan bahwa ada 5 unsur dalam trusts 49 : 1. Adanya penyerahan suatu benda kepada trustee, atau suatu pernyataan trusts; 2. Adanya pemisahan kepemilikan benda tersebut dengan harta kekayaan milik trustee yang lain; 3. Pihak yang menyerahkan benda tersebut (settlor), kehilangan kewenangannya atas benda tersebut; 4. Adanya pihak yang memperoleh kenikmatan (beneficiary) atau suatu tujuan penggunaan benda tersebut, yang dikaitkan dengan kewajiban trustee untuk melaksanakannya; 5. Adanya unsur kepercayaan (fiduciary component) dalam penyelenggaraan kewajiban trustee tersebut, khususnya yang berkaitan dengan benturan kepentingan. Dalam konteks 5 unsur trusts menurut Lupoi tersebut, perlu dipahami bahwa pada prinsipnya suatu benda diurus,
44 Lihat penjelasan di artikel bagian 2.3. 45 Dalam hukum Indonesia,ketentuan ini terdapat dalam Pasal 1243 KUHPerdata yang berbunyi demikian
“Penggantian biaya, kerugian dan bunga, karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika suatu yang harus diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui tenggang waktu yang telah ditentukan”. Umumnya, somasi ini diberikan sebanyak 3 kali. 46 Lihat bagian 1.2 tentang Tradisi Common Law 47 Definisi trust yang hampir serupa, juga dikemukakan oleh D.J. Hayton dalam “Vertrouwd met De Trust - Trust and trust-like arrangement” (Deventer : W.E.J.Tjeenk Willink, 1996), hal 3.
Volume 2.2 29 nov.indd 220
11/29/2011 5:10:07 PM
dikelola, dinikmati dan dimanfaatkan oleh pemiliknya, namun dalam suatu trusts, kenikmatan benda yang berada dalam trusts berada pada orang (beneficiary) yang berbeda dari orang yang melakukan pengurusan dan atau pengelolaan benda tersebut (trustee). Setiap tindakan atas benda yang berada dalam trusts harus dilakukan oleh trustee 50 . Trust tidak termasuk dalam lapangan hukum perjanjian atau kontrak 51, oleh karena trusts merupakan produk dari equity, sedangkan perjanjian atau kontrak merupakan produk dari Common Law 52. Trust termasuk dalam lapangan hukum kebendaan 53, oleh karena trust sebagai produk equity melahirkan hak perseorangan (rights in personam) dan tidak melahirkan hak kebendaan (rights in rem) seutuhnya 54. Konsep trust ini digunakan juga untuk tujuan privacy, charity dalam hukum perusahaan, hukum waris, hukum keluarga dan lain-lain. Contoh konkrit produk trust antara lain : wasiat, kepemilikan bersama, unit trust, dana pensiun, dan lain-lain. Dalam sistem Civil Law, sulit untuk menempatkan trustee sebagai pemilik dari properti sebagaimana dikenal dalam Common Law. Oleh karena itu, kontruksi ‘trusts’ dalam sistem Civil Law, khususnya Indonesia, tidak mungkin dikenal sebagai produk equity yang notabene tidak dikenal dalam sistem Civil Law. Sehingga, untuk memahami trusts dalam sistem Civil Law, juga perlu memahami terlebih dahulu, tidak hanya makna pemilikan dan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, melainkan juga makna pengurusan, pengelolaan dan perwakilan dalam tradisi hukum
Civil Law maupun Common Law 55. Mengingat artikel ini dimaksudkan sebagai pemaparan singkat per topik, dalam artikel ini trust tidak akan dibahas lebih lanjut 56.
Mortgage dan hipotik/ hak tanggungan (hypotheque) Istilah mortgage dalam konteks terminologi hukum di Indonesia biasanya digunakan sebagai istilah penerjemahan dari pranata hipotik dan hak tanggungan yang ada di Indonesia. Namun sebenarnya penerjemahan ini kurang tepat mengingat ada perbedaan mendasar dari mortgage dan hipotik atau hak tanggungan. Untuk kepentingan penyederhanaan pembahasan, maka pengertian hipotik dalam bagian ini mencakup hak tanggungan, walaupun sebenarnya tidak demikian 57. Mortgage dalam sistem Common Law, berbeda dengan hipotik dalam sistem Civil Law, karena hipotik tidak memberikan hak secara langsung untuk memiliki properti yang dijaminkan tersebut, sedangkan dalam mortgage berlaku sebaliknya. Bahkan dalam mortgage, tidak perlu ada gugatan terlebih dahulu. Jadi, dalam hal terjadi gagal bayar, debitur seketika itu kehilangan kepemilikannya dan kreditur berkuasa penuh atas properti tersebut. Sedangkan dalam Civil Law, debitur yang gagal bayar tetap merupakan pemilik properti yang sah sampai properti tersebut terjual, dan kreditur dibayar hanya sebatas utang dan bunganya saja.
3. Hukum Acara/Prosedural Perdata 58 Perbedaan
sistem
Civil
Law
48 http://www.hcch.net/index_en.php?act=conventions.text&cid=59, kunjungan terakhir pada 1 Desember 2008. 49 Maurizio Lupoi, “The Civil Law Trust” Vanderbilt Journal of Transnational Law (Vol 32:1999), hal 4 sebagaimana
dikutip dalam “Teori tentang Trusts” oleh Gunawan Widjaja (tidak dipublikasikan).
50 Gunawan Widjaja, op cit. hal 15, tidak dipublikasikan. 51 Trust tidak memiliki consideration sebagai salah satu syarat kontrak dalam sistem Common Law. Selain itu,
perjanjian dalam konteks Common Law menganut prinsip asas privity of contract, di mana perjanjian/kontrak tidak dapat dibuat untuk kepentingan pihak ketiga, sehingga tentunya trust bukan berada dalam lapangan hukum perjanjian/kontrak ini.
Volume 2.2 29 nov.indd 221
11/29/2011 5:10:07 PM
dan Common Law ini bahkan lebih kentara dalam masalah hukum acara/ prosedural daripada dalam masalah hukum substantifnya. Perbandingan yang akan dikemukakan di bawah ini adalah sebagai pembahasan pelengkap dari sebagian yang telah dibahas sebelumnya, yakni dalam bagian 1.3 mengenai perbandingan tradisi Civil Law dan Common Law.
Penentuan fakta (Determination of Facts) Dalam proses peradilan di sistem Common Law, para pihak dan pengadilan mencari fakta untuk mencari kebenaran, sedangkan dalam Civil Law, pengadilan hanya mengadili hal yang diminta, serta berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak saja. Adanya gugatan/ tuntutan dalam sistem Common Law menginisiasi sebuah prosedur investigasi untuk sebuah pencarian kebenaran. Dalam Civil Law, banyak hearing dan komunikasi tertulis antara para pihak dan pengacaranya dengan hakim. Karena itu, argumen lisan cenderung lebih sedikit, bahkan dalam hal ada isu baru, pengacara dan para pihak dapat meminta waktu untuk mempersiapkan tanggapan/jawaban secara tertulis.
Penyediaan Dokumen (service of documents) dan discovery Perbedaan lain yang cukup penting antara kedua sistem hukum adalah mengenai pengumpulan bukti dalam masa pra sidang. Dalam sistem Common Law, pengumpulan bukti pada masa pra sidang didominasi oleh proses discovery. Para pihak wajib saling memberikan
seluruh dokumen atau informasi yang dimilikinya sehubungan dengan kasus tersebut, baik yang mendukung posisi mereka sebagai penggugat atau tergugat. Proses discovery ini berguna bagi para pihak mendapatkan fakta dan informasi yang dapat diandalkan untuk mempersiapkan proses persidangan. Dalam sistem Civil Law, tidak ada proses discovery pada masa pra sidang, juga tidak ada kewajiban bagi salah satu pihak untuk menyampaikan bukti-bukti yang ia punyai kepada pihak lawan. Jika salah satu pihak menginginkan akses terhadap bukti pengadilan, maka dia harus memintanya kepada hakim. Dari uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa dalam sistem Common Law, proses discovery bersifat privat, berbeda dengan permintaan bukti di sistem Civil Law, yang bersifat publik.
Aturan penerimaan dan nilai pembuktian alat bukti (Rules on admission and weight of evidence) Sistem Common Law mempunyai beberapa aturan penerimaan dan nilai pembuktian alat bukti, yakni otentisitas (authenticity) yang berarti perlunya keaslian dari bukti, aturan mengenai kesaksian de auditu (the hearsay rule 59) yang artinya saksi tidak boleh memberi kesaksian terhadap suatu informasi yang tidak langsung dia lihat, dengar dan alami sendiri, dan the best evidence rule yang artinya bukti yang diberikan harus yang terbaik, bukti asli adalah bukti yang terbaik.
52 Ibid, tidak dipublikasikan. 53 Ibid hal 15, tidak dipublikasikan. Bandingkan dengan Sri Sunarni Sunarto yang menyatakan trusts berada dalam
lapangan hukum kebendaan.
54 Lihat prinsip equity ke-12 dalam bagian tradisi Common Law 55 Gunawan Widjaja, op cit., hal 13, tidak dipublikasikan 56 Sekiranya dibutuhkan informasi lebih lanjut, silahkan bandingkan antara karya Sri Sunarni Sunarto, “ Mengenal
222
Volume 2.2 29 nov.indd 222
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:07 PM
Sedangkan dalam Civil Law, yang menentukan nilai pembuktian suatu alat bukti adalah hakim. Pada umumnya, tidak ada aturan khusus mengenai penerimaan dan nilai pembuktian alat bukti khususnya mengenai the hearsay rule dan the best evidence rule sebagaimana dikenal dalam sistem Common Law. Namun demikian, dalam hukum Indonesia sebagaimana dalam hukum Belanda 60 , ada aturan mengenai the hearsay rule yang disebut sebagai aturan mengenai kesaksian/testimonium de auditu, bahwa kesaksian semacam ini dapat diterima dalam keadaan tertentu, dengan nilai pembuktian berdasarkan hakim 61.
Pernyataan Saksi (Witness Statement) Dalam sistem Common Law terdapat prinsip dasar pemeriksaan saksi melalui cross examination secara menyeluruh, yang tidak dikenal dalam sistem Civil Law. Cross examination, oleh L.B. Curzon digambarkan sebagai : “A stage in the examination of a witness designed to elicit information concerning facts in issue favourable to the party on whose behalf is conducted, and throw doubt on the accuracy of evidence given against that party. Known also as “cross examination to the issue”.Counsel may ask in cross examination leadin questions and questions desined to test knowledge, memory or to elicit existence of bias or previous contradictory statements.” Dalam sistem Common Law, bukti dianggap mempunyai nilai pembuktian yang lebih tinggi apabila bukti tersebut dalam bentuk lisan (bukti saksi) daripada
tertulis (dokumen). Semua bukti yang dihadirkan di depan hakim dan jury. Sedangkan di dalam sistem Civil Law, yang terjadi adalah sebaliknya, di mana bukti tertulis dianggap mempunyai nilai pembuktian yang lebih tinggi daripada pembuktian secara lisan. Dan, dalam hal ada pertentangan antara kedua jenis bukti mengenai suatu hal, maka bukti tertulislah yang akan berlaku. Dalam kasus-kasus menyangkut perdagangan, bukti saksi bahkan jarang digunakan. Cross examination pada prinsipnya memang tidak dikenal dalam negaranegara yang menganut sistem Civil Law, walaupun memang ada beberapa negara di antaranya yang mengizinkan para pengacaranya untuk bertanya kepada saksi secara langsung (tidak perlu melalui hakim).
Keterangan Ahli 62 (Court Experts) dan Saksi Ahli (Expert Witnesses) Dalam kasus tertentu, terkadang ada kebutuhan dalam kasus akan adanya ahli yang berkompeten untuk memberikan informasi sehubungan dengan suatu area spesialisasi tertentu sehubungan dengan pokok perkara (misalnya: konstruksi, perbankan, ilmuwan). Ahli tersebut dalam sistem Common Law, yang disebut sebagai saksi ahli (expert witness), ditunjuk dan dibayar oleh pihak yang berperkara. Oleh karena itu, biasanya kesaksiannya parsial dan mendukung salah satu pihak saja. Sedangkan dalam Civil Law, informasi ahli tersebut disebut sebagai keterangan ahli (court experts), kadang juga dikenal dengan sebutan saksi ahli, yang dipandang
Lembaga Hukum Trust Inggris dan Perbandingannya di Indonesia” (Bandung : Pusat Penerbitan Universitas (Unisba) , LPPM, 1994) dengan karya Gunawan Widjaja, “Transplantasi Trusts dalam KUHPerdata, KUHD dan Undang-undang Pasar Modal Indonesia (Jakarta:Rajawali Pers, 2008). 57 Dalam kenyataannya, jaminan hipotik khusus untuk tanah, yang tadinya diatur dalam KUHPerdata telah digantikan oleh UU 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, berdasarkan asas lex posteriori derogat legi priori. 58 Selain dari artikel karya Caslav Pejovic, “Civil Law and Common Law: Two Different Paths Leading To The Tradisi Hukum Barat : Pranata-pranata Hukum yang Menarik
Volume 2.2 29 nov.indd 223
223
11/29/2011 5:10:07 PM
sebagai ahli pengadilan ditunjuk oleh hakim, dan diharapkan tidak parsial, apalagi mengingat keterangannya akan mempengaruhi putusan hakim.
peradilan pidana. Dan lagi, standar pembuktian dari dua yurisdiksi ini pada dasarnya sama, hal mana berbeda dengan sistem Common Law.
Efek dari Putusan Pengadilan Pidana terhadap Putusan Pengadilan Perdata selanjutnya (Effect of a Criminal Judgment on Subsequent Civil Proceedings)
Attachment dan Sita Jaminan (Saisie Conservatoire)
Putusan dari peradilan pidana menyebabkan efek yang berbeda di negara-negara yang menganut sistem Civil Law dan Common Law. Dalam sistem Common Law, peradilan perdata tidak perlu mengikuti preseden putusan peradilan pidana atas kasus yang mengatur pokok perkara yang sama sebelumnya. Oleh karena itu, putusan peradilan pidana tidak diperhitungkan sebagai bukti dalam peradilan perdata, dan peradilan perdata dapat memutus kasus tersebut berbeda dengan putusan pidananya, kendatipun kedua kasus tersebut mengenai pokok perkara yang sama sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Hal ini juga dipengaruhi antara lain karena adanya standar pembuktian yang berbeda antara peradilan pidana dan peradilan perdata dalam sistem Common Law ini. Hal ini berbeda dengan banyak negara-negara yang menganut sistem Civil Law, putusan pidana menjadi bukti yang penting dan mengikat. Atau dengan kata lain, yurisdiksi peradilan pidana lebih superior daripada yurisdiksi peradilan perdata (le criminal emporte sur le civil), sehingga dengan sendirinya peradilan perdata terikat pada putusan
Dalam hukum Amerika Serikat, orang dapat mengandalkan attachment untuk mengamankan klaimnya. Attachment adalah proses hukum mengambil penguasaan properti dari tergugat berdasarkan perintah pengadilan dengan maksud untuk mengamankan eksekusi putusan. Attachment ini tidak dikenal dalam hukum Inggris, namun sejak 1975, dikenal Minerva Injunction yang pada dasarnya mempunyai akibat serupa dengan attachment, yakni antara lain membekukan asset/properti dengan tujuan putusan dapat dilaksanakan dan agar properti tidak dialihkan/ ditransaksikkan/dipindahtangankan hingga ada kepastian eksekusi (juga dilarang memindahkan property dari yurisdiksi tersebut. Sebenarnya attachment dan Minerva injunction dalam kedua negara yang menganut sistem Common Law ini tidak jauh berbeda dengan sita jaminan (saise conservatoire) di negara Perancis, negara pelopor Civil Law. Dalam hukum Perancis, pranata sita jaminan ini mengizinkan properti mana saja milik debitur/ tergugat untuk dibekukan atas perintah pengadilan. Dalam hal perkara dimenangkan oleh penggugat/kreditur, maka properti yang berada dalam sita jaminan tersebut akan dieksekusi sehingga statusnya berubah menjadi sita eksekutorial. Jadi, dalam hal perkara
Same Goal”, http://www.austlii.edu.au/nz/journals/VUWLRev/2001/42.html, diakses tanggal 21 Desember 2008, juga menyertakan olahan dari berbagai sumber. 59 Dalam sistem Common Law, terdapat kriteria-kriteria yang jelas (dan banyak) kekecualian sehingga sebuah kesaksian de auditu dapat diterima. Dalam bukunya Perbandingan Ilmu Hukum (Bandung : Refika Aditama, 2007) hal 118 , seharusnya rumusan hukum “ Keterangan saksi de auditu si pengadilan dapat diterima, kecuali ada alasan untuk itu” seharusya dirubah menjadi “ Keterangan saksi de auditu di pengadilan dapat diterima
224
Volume 2.2 29 nov.indd 224
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:07 PM
dimenangkan, properti tersebut akan dijual untuk membayar si pemenang perkara.
4. Penutup Dari pembahasan di atas, dapat dilihat bahwa latar belakang sejarah, perkembangan serta pola pikir yang berbeda, telah menghasilkan dua sistem hukum yang sangat berbeda, yakni sistem Civil Law dan Common Law. Jika dicoba untuk menarik benang merah antara keduanya, maka kita akan menemukan persaman-persamaan tujuan, sehingga akhirnya dapat ditarik suatu pola yang mengarah ke unifikasi dan harmonisasi hukum sebagaimana diusahakan CISG dan Unidroit Principle. Namun, perbedaan cara berpikir antara kedua sistem pun tidak dapat diremehkan begitu saja, sebagaimana dapat ditemukan dalam perbedaanperbedaan yang diuraikan di atas. Penjabaran penambahan mengenai sejarah tradisi Civil Law dan Common Law beserta dengan pranata-pranata hukum yang menarik di atas, tidak dimaksudkan menjadi ulasan yang komprehensif, melainkan sebagai pengantar belaka, yang dimaksudkan sebagai percik api yang dapat membakar semangat pembaca untuk mempelajari topik ini beserta dengan topik-topik relevan lainnya lebih lagi. – Cogito Ergo Sum -
DAFTAR PUSTAKA Pustaka Alastair Hudson, “Equity and Trusts”,
(London : Cavendish Publishing, 2002) D.J. Hayton, “The Law of Trusts”, (London:Sweet&Maxwell, 1998) D.J. Hayton, “Vertrouwd met De Trust - Trust and trust-like arrangement” (Deventer : W.E.J.Tjeenk Willink, 1996) Ewan McKendrick, “Contract Law”, (New York: Palgrave, 2000) GH Treitel, “The Law of Contract” (London : Sweet&Maxwell,1995) Harold J. Bermann, “ Law and Revolution : The Formation of Western Legal Tradition”, (Cambridge, Massachusetts and London : Harvard University Press, 1983 ) L.B. Curzon, “Dictionary of Law”, (Kuala Lumpur : International Law Book Services, 1998). “Merriam-Webster’s Dictionary of Law” (Massachussets : 1996) Munir Fuady, “ Perbandingan Ilmu Hukum”, (Refika Aditama : 2007) M. Yahya Harahap , “Hukum Acara Perdata tentang gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian dan putusan pengadilan”, (Jakarta:Sinar Grafika, 2007) Peter de Cruz, “Comparative Law in a Changing World”, (London-Sidney : Cavendish Publishing Limited, 1999) Sri Sunarni Sunarto, “ Mengenal Lembaga Hukum Trust Inggris dan Perbandingannya di Indonesia” (Bandung : Pusat Penerbitan Universitas (Unisba) , LPPM, 1994) Artikel dan Diktat 1 Elly Erawati, “Karakteristik Tradisi Hukum Barat”. 2 Elly Erawati, “Pengantar Perbandingan Hukum”, ditujukan untuk proses perkuliahan internal di Universitas Katolik Parahyangan Bandung, 2004.
kecuali tidak ada alasan utuk itu”. 60 The Dutch Code of Criminal Procedure, www.wodc.nl/images/ob205_Chapter 3_tcm44-57891.pdf, kunjungan terakhir 28 November 2008 61 Mengenai testimonium de auditu ini, dapat dibaca lebih lanjut di “Hukum Acara Perdata tentang gugatan,
Tradisi Hukum Barat : Pranata-pranata Hukum yang Menarik
Volume 2.2 29 nov.indd 225
225
11/29/2011 5:10:07 PM
3 Gunawan Widjaja, “Teori tentang Trusts”. Peraturan Perundang-undangan Nasional dan Traktat Internasional 1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 2. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981. 3. Principles of European Contract Law . 4. Unidroit Principles of International Commercial Contracts . 5. United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods . Internet : Caslav Pejovic, yang berjudul “Civil Law and Common Law: Two Different Paths Leading To The Same Goal”, http://www.austlii.edu.au/nz/journals/ VUWLRev/2001/42.html Luke Nottage, “Comment on Civil Law and Common Law: Two Different Paths Leading To The Same Goal” , http://www.austlii. edu.au/nz/journals/VUWLRev/2001/43. html https://www.cia.gov/library/publications/ the-world-factbook/fields/2100.html http://www.droitcivil.uottawa.ca/worldlegal-systems/eng-tab2.php http://www.droitcivil.uottawa.ca/worldlegal-systems/eng-population.php h t t p : / / w w w. h c c h . n e t / i n d e x _ en.php?act=conventions.text&cid=59 http://en.wikipedia.org/wiki/Legal_ systems_of_the_world http://www.legallanguage.com/hague/ haguetx30e.html http://www.loc.gov/law/help/guide/ nations.html www.wodc.nl/images/ob205_Chapter 3_ tcm44-57891.pdf
persidangan, penyitaan, pembuktian dan putusan pengadilan”, dari M. Yahya Harahap (Jakarta:Sinar Grafika, 2007), hal 661-666. 62 Istilah ini adalah istilah yang digunakan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-undang No. 8 Tahun 1981)
226
Volume 2.2 29 nov.indd 226
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:07 PM
BIODATA PENULIS
Yenny Yuniawaty, SH., SE., Ak., Notaris.
Yenny Yuniawaty, lahir di Bandung pada tanggal 25 Juni 1966. Meraih gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Jurusan Hukum Keperdataan Universitas Padjadjaran Bandung (1993) kemudian melanjutkan ke Pendidikan Program Spesialis I Notariat pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung (1998) dan saat ini sedang menyelesaikan Program Studi Doktor Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Selain itu juga meraih gelar Sarjana Ekonomi dari Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Kristen Maranatha Bandung (1994) dan Sarjana Ekonomi, Akuntan dari Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran Bandung (1997). Saat ini selain sebagai dosen di Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Maranatha Bandung juga berprofesi sebagai Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) di Kota Bandung.
Rahel Octora SH.
Lahir di Bandung, tahun 1988. Menempuh pendidikan Program S-1 di Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan pada tahun 2006 dan lulus pada tahun 2010. Sejak tahun 2010 sampai saat ini masih menempuh pendidikan pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Katolik
Biodata Penulis
Volume 2.2 29 nov.indd 227
Parahyangan. Tahun 2011 bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha, Bandung
Ocktavianus Hartono, SH.
Lahir di Bandung pada tanggal 24 Oktober 1983. Meraih gelah Sarjana Hukum dari Sekolah Tinggi Hukum Bandung pada tahun 2007. Pada saat ini sedang melanjutkan Master Hukum di Universitas Katolik Parahyangan. Saat ini berkarier sebagai Dosen Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Maranatha Bandung.
Daniel Hendrawan, S.H., M.Hum.
Daniel Hendrawan lahir di Bandung pada tanggal 15 Januari 1985. Meraih gelar Sarjana Hukum (SH) dari Universitas Katolik Parahyangan di tahun 2008. Melanjutkan program Magister Hukum (M.Hum) pada tahun 2009 di Universitas Katolik Parahyangan. Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha (2010-sekarang)
Dr. Hassanain Haykal, SH, M.Hum.
Lahir di Cianjur, tanggal 1 Juli 1979, Lulus Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung bidang keperdataan 2001, Magister Humaniora Universitas Katolik Parahyangan, Doktor Bidang Ilmu Hukum (2007)
227
11/29/2011 5:10:07 PM
Dr. Isis Ikhwansyah , SH., MH.
Lahir di Bandung, tanggal 21 Mei 1960, Sarjana Hukum (SH) , Magister Hukum, dan menyelesaikan program Doktor pada tahun 2009 di Universitas Padjadjaran Bandung. Pengajar di berbagai Fakultas Hukum dan PPAK seperti Universitas Padjadjaran, Universitas Kristen Maranatha dan dan kepala Biro Administrasi Akademik di Universitas Padjadjaran.
Tresnawati, SH., L.LM.
Lahir di Bandung, tanggal 26 Oktober 1981, Sarjana Hukum (SH) di Universitas Katolik Parahyangan (2002), dan Master Degree LL.M di Rijksuniversiteit Groningen (University of Groningen) (2004).
228
Volume 2.2 29 nov.indd 228
Dialogia Iuridica [April 2011, Vol. 2 N o . 2 ]
11/29/2011 5:10:08 PM
PETUNJUK BAGI PENULIS 1. Naskah belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain, diketik dengan spasi rangkap pada kertas kuarto (A4), panjang 15-20 halaman dan diserahkan dalam bentuk naskah (hard copy) dan CD (soft copy). 2. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau asing dengan standar penggunaan bahasa Indonesia atau asing yang baik dan benar. 3. Artikel yang dimuat dalam jurnal ini meliputi tulisan tentang hukum atau disiplin lain yang terkait baik sebagai hasil penelitian atau artikel ilmiah konseptual. 4. Artikel hasil penelitian/tesis/disertasi disajikan dengan sistematika sebagai berikut: a. Judul b. Nama Pengarang c. Abstrak, berisi pemadatan dan tujuan tulisan, metode penelitian dan hasil pembahasan (50100 kata) d. Kata-Kata Kunci e. Pendahuluan, berisi latar belakang dan rumusan masalah, tujuan penelitian f. Metode Penelitian g. Pembahasan h. Kesimpulan yang didalamnya termasuk saran i. Daftar Pustaka 5. Artikel Ilmiah konseptual disajikan dengan sistematika sebagai berikut: a. Judul b. Nama Pengarang c. Abstrak, berisi pemadatan dan tujuan tulisan, metode penelitian dan hasil pembahasan (50100 kata) d. Kata-Kata Kunci e. Pendahuluan, berisi latar belakang dan rumusan masalah f. Pembahasan g. Kesimpulan yang didalamnya termasuk saran h. Daftar Pustaka 6. Setiap Kutipan harus menyebutkan sumbernya secara lengkap dan ditulis dengan sistem foot note dengan pedoman sebagai berikut: a. Lindawaty Suherman Sewu. Franchise Pola Bisnis Spektakuler dalam Perspektif Hukum dan Ekonomi. Bandung: 2004, hlm 29. b. Johannes Ibrahim. “Konsep Pemikiran Komprehensif Bagi Pemeriksaan Secara Hukum Aset Kredit Bank Beku Operasi (BBO) dan Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU)”. Artikel dalam Era Hukum No. 4 Tahun V/1999, hlm.228. c. Johannes Ibrahim. “Prinsip Kehati-hatian (Prudential Banking) dan Pranata Hukum Jaminan Dalam Upaya Pembiayaan Apartemen” Makalah pada Seminar Nasional 2009. Bandung: Universitas Kristen Maranatha, Jurusan Teknik Sipil, 2009, hlm.184. 7. Daftar Pustaka disajikan mengikuti tata cara seperti contoh di bawah ini (diurut secara alfabetis dan kronologis) 8. Melampirkan biodata penulis secukupnya dan foto copy bukti diri. a. Lindawaty Suherman Sewu. Franchise Pola Bisnis Spektakuler dalam Perspektif Hukum dan Ekonomi. Bandung: 2004 b. Johannes Ibrahim. “Prinsip Kehati-hatian (Prudential Banking) dan Pranata Hukum Jaminan Dalam Upaya Pembiayaan Apartemen” Makalah pada Seminar Nasional 2009. Bandung: Universitas Kristen Maranatha, Jurusan Teknik Sipil, 2009 9. Artikel yang tidak dimuat dikirimkan kembali kepada pengirimnya apabila disertai dengan perangko balasan yang cukup dan alamat yang jelas. 10. Artikel yang dimuat tidak dipungut biaya dan tidak mendapatkan honor penulisan, hanya memperoleh 3 (tiga) eksemplar jurnal “Dialogia luridica”.
Volume 2.2 29 nov.indd 229
11/29/2011 5:10:08 PM
Volume 2.2 29 nov.indd 230
11/29/2011 5:10:09 PM