Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
KAJIAN PENGELOLAAN BERKELANJUTAN SUMBERDAYA GENETIK TANAMAN PERKEBUNAN DWI ASMONO Pusat Penelitian Kelapa Sawit Jl. Salak No. 2 Bogor
ABSTRAK Ketersediaan sumberdaya genetik merupakan faktor yang sangat mendasar untuk perakitan varietas dan menjadi inti industri benih perkebunan. Dari ratusan spesies tanaman perkebunan, hanya sebagaian kecil yang sumberdaya genetiknya dikelola secara sistematis dan dimanfaatkan secara maksimal untuk tujuan ekonomi. Sebagian besar sumberdaya genetik yang bernilai ekonomi adalah spesies introduksi, diintroduksi dalam jumlah sedikit, dikelola dalam bentuk working collection, dan memiliki basis genetik sempit. Meskipun demikian, beberapa tanaman perkebunan seperti kopi, karet, kelapa sawit, tebu, kakao, teh, kina telah menjadi tanaman dominan dan dibudidayakan secara berkelanjutan. Pemanfaaatan sumberdaya genetik bukan hanya untuk menghasilkan produk antara berskala riset, tetapi telah menghasilkan produk jadi “benih” bernilai komersial tinggi. Beberapa tanaman perkebunan lainnya seperti lada, vanili, serai wangi, jarak pagar, tembakau, kapas, kelapa, dan aren juga potensial untuk memperkuat daya saing industri berbasis perkebunan. Basis genetik yang sempit pada tanaman perkebunan mengharuskan seluruh pemangku kepentingan memberikan perhatian ekstra baik dalam hal pengayaan sumberdaya genetik, konservasi, karakterisasi, maupun pemanfaatan yang berkelanjutan, agar competitiveness industri perkebunan dapat ditingkatkan. Sinergi pemangku kepentingan, peningkatan kapasitas SDM, serta kebijakan dan tata aturan yang jelas merupakan faktor penentu keberhasilan pemanfaatan sumberdaya genetik perkebunan secara berkelanjutan. Kata kunci: sumberdaya genetik, plasma nutfah, perkebunan
PENDAHULUAN Agribisnis berbasis perkebunan merupakan salah satu pilar penting dalam mendukung perekonomian Indonesia. Data DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN (2006) menunjukkan bahwa ekspor primer perkebunan Indonesia mencapai USD 10,9 milyar, 70% di antaranya disumbangkan oleh tiga komoditas utama perkebunan: Kelapa sawit, karet dan kakao. Peran strategis komoditas utama perkebunan juga tercermin dari indikator lain seperti luas areal, produktivitas, peran ekonomi dan peran sosial. Kelapa sawit, sebagai komoditas andalan perkebunan kini ditanam pada areal seluas 5,45 juta ha dengan total produksi minyak sawit mentah mencapai 12 juta ton dan memberikan devisa kepada negara pada 2005 sebesar USD 4.3 milyar. Lebih dari 35% luasan areal perkebunan kelapa sawit merupakan perkebunan rakyat dan merupakan tempat bergantung 2.7 juta keluarga pekebun. Komoditas ini mempunyai keunggulan kompetitif sebagai sumber utama oleo-food, oleochemical, maupun biofuel. Komoditas
18
perkebunan lain yang tak kalah penting adalah karet. Perkebunan karet saat ini mencapai 3,26 juta ha dengan total produksi 2 juta ton lateks, menduduki posisi kedua di dunia setelah Thailand. Kontribusi sosial sangat nyata karena sekitar 85% perkebunan karet adalah perkebunan rakyat tempat bergantung 1,4 juta keluarga pekebun. Karet pada 2005 memberikan sumbangan devisa sebesar USD 2,2 milyar. Selain lateks, karet juga bermanfaat untuk bahan baku industri kayu. Sementara itu, kakao sebagai bahan baku industri coklat telah ditanam di areal seluas 992 ribu ha, 89% di antaranya merupakan kakao rakyat, serta melibatkan 500 ribu KK. Hampir separoh dari total produksi 651 ribu ton kakao diekspor dan mendatangkan devisa USD 488 juta. Di luar komoditas kelapa sawit, karet dan kakao, sumbangan yang berarti juga diberikan oleh tebu, kopi dan teh, kapas, kelapa, jambu mete, jarak, jahe, vanili, dan lada. Kelapa merupakan komoditas perkebunan yang memiliki fungsi sosial sangat tinggi. Dari total luas areal 3.74 juta hektar, 98% dalam bentuk perkebunan
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
rakyat dan melibatkan sekitar 3,4 juta keluarga petani. Sukses perkebunan Indonesia tidak terlepas dari dukungan input produksi, khususnya benih, yang dirakit dari sumberdaya genetik terpilih. Kajian di beberapa tanaman menunjukkan bahwa meskipun porsi biaya untuk pemanfaatan material genetik tidak lebih dari 10%, namun kontribusi terhadap capaian produktivitas setara dengan akumulasi dari seluruh input yang terkait dengan teknik budidaya, seperti pupuk dan pestisida (DAVIDSON, 1991). Ini berarti sumberdaya genetik memegang peran tak terbantahkan dalam pembangunan sistem perkebunan Indonesia yang berkelanjutan. Paper ini mengulas secara singkat aspek pengelolaan sumberdaya genetik tanaman perkebunan, dengan tekanan ke arah kontribusi teknis dan ekonominya untuk pembangunan sub sistem perbenihan perkebunan dan sistem perkebunan secara umum. KEKAYAAN SUMBERDAYA GENETIK PERKEBUNAN INDONESIA Sumberdaya genetik (plasma nutfah) dalam pengertian ‘seluruh kisaran keanekaragaman sifat di dalam satu jenis tanaman budidaya’ (SASTRAPRAJA dan RIFAI, 1989) secara umum sempit. Fakta bahwa Indonesia, selain Australia, Malaysia dan Myanmar diakui oleh the Convention on Biological Diversity sebagai “megadiverse”, karena kekayaan spesies tumbuhan dan hewan, tidak secara otomatis berarti Indonesia tergolong kaya dalam hal keanekaragaman tanaman budidaya perkebunan, kecuali sebagian kecil tanaman seperti kelapa (Cocos nucifera). Dari total 145 tanaman yang diklasifikasikan sebagai “tanaman perkebunan” menurut Keputusan Menteri Pertanian No. 74/Kpts/TP.500/2/98, hanya sebagaian kecil yang plasma nutfahnya dikelola secara sistematis dan dimanfaatkan secara maksimal untuk tujuan ekonomi. Sebagian besar dari plasma nutfah yang dimanfaatkan secara optimal secara ekonomi adalah plasma nutfah bukan asli Indonesia, diintroduksi dalam jumlah sedikit, dikelola dalam bentuk “working collection”, dan memiliki basis genetik sempit. Beberapa paparan di bawah ini memberikan
gambaran singkat keterbatasan pengelolaan plasma nutfah perkebunan Indonesia. Kelapa sawit. Saat ini, plasma nutfah kelapa sawit tersebar pusat-pusat riset dan areal komersial (ASMONO, et al., 2005). Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) memiliki plasma nutfah pada berbagai level evaluasi antara lain berbagai plasma nutfah dura yang diturunkan dari 4 plasma nutfah dura yang berasal kebun raya Bogor tahun tanam 1848, turunan tenera/pisifera Zaire yang pada mulanya ditanam di Dolok Sinumbah dan Bah Jambi pada 1914 – 1915, turunan tenera Yangambi yang semula ditanam di Sei Pancur pada 1922, turunan tenera/pisifera dari Cameroon yang semula ditanam di Kebun Marihat dan Mayang pada 1930 – 193, beberapa generasi Elaeis oleifera dari Suriname dan Brazilia yang mulanya ditanam di Marihat Ulu dan Dolok Sinumbah pada 1951 – 1952, turunan reintroduksi plasma nutfah yang telah dimuliakan di beberapa lembaga luar negeri, seperti mutan Deli dura, yang dikenal sebagai Dura Dumpy (E 206). Dura dumpy dire-introduksi dari Elmina, Malaysia, dan ditanam di Sungai Pancur pada 1952 (Dumpy_Rispa) serta di Pabatu pada 1955 (Dumpy_Marihat). Introduksi terbatas dilakukan PPKS pada dekade 70-an melalui kerjasama dengan IRHO Perancis. Beberapa plasma nutfah introduksi tersebut antara lain Dura Dobou dari Lame, tenera/pisifera Pantai Gading, tenera/pisifera Yangambi dari Djonggo de Eala, Isangui, dan Yawenda, tenera/pisifera Nifor dari Calabar, Angola, dan Nigeria, tenera/pisifera Yacobeue, tenera/ pisifera Dami dari Papua Nugini dan pollen E. oleifera dari San Alberto (Colombia). Pada 1985-1990, Balai Penelitian Perkebunan Medan memperoleh tenera/pisifera Binga dari Zaire dan pollen dari Afrika Barat. Plasma nutfah PT Socfindo yang pertama kali dimanfaatkan adalah 17 Dura Deli dan 8 Tenera Kuala Krapuh pada 1920-an. Pada rentang 1973 – 1978 PT Socfindo melakukan introduksi dan beberapa percobaan progeny test dengan menggunakan dura dari Dabou dan La Me - Ivory Coast dan tenera/pisifera dari La Me, Yangambi, NIFOR dan Angola. Evaluasi juga dilakukan pada crossing antara Socfindo Deli dura dengan tenera/pisifera dari Angola, Yocobueu, Yangambi, dan Nigeria, serta membandingkan antara Socfindo dura x
19
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Socfindo pisifera dengan IRHO dura dan IRHO pisifera (SOEWAR et al., 2000). Antara tahun 1975 dan 1979 di Kebun Aek Kwasan, Kebun Aek Loba Kabupaten Asahan, Sumatera Utara dilakukan evaluasi lanjut La Me origin dengan menggunakan dura rekobinasi siklus pertama yang berasal dari Dabou dan Socfin Malaysia. Seleksi lanjutan dimulai sejak 1991 (JACQUEMARD et al., 2003). Sebagian Plasma nutfah dura yang digunakan di BLRS (PT London Sumatera Indonesia) adalah turunan Deli dura yang telah melalui seleksi lanjut di Harison Cross Field di Banting OPRS dan Dami OPRS. Pada tahun 1982 BLRS mengintroduksi 9 famili dura dan dilanjutkan dengan introduksi 18 famili pada tahun 1988. Pada tahun 1992 BLRS mengintorduksi 18 famili yang merupakan hasil selfing dura terbaik (elite family) dari populasi Deli dura yang ada di Dami OPRS. Materi genetik ini diseleksi terutama untuk mendapatkan hasil minyak dan palm produk yang tinggi. Selain materi hasil introduksi BLRS juga memiliki materi Deli dura Gunung Malayu dan Socfindo yang memiliki sifat pertambahan tinggi yang lambat. Selain itu BLRS juga mengintroduksi populasi dura dari Zaire dan Kamerun yang saat ini masih dalam tahap uji progeni. Material genetik pisifera BLRS terdiri atas populasi AVROS dari Dami yang merupakan turunan dari famili DM 742 x DM 743, material Binga, Ekona, Lobe, Bamenda, Yangambi dan La Me. Materi dari Ekona merupakan materi dengan kandungan kernel yang tinggi dan juga resistant terhadap penyakit wilt disease (PT. PP LONDON SUMATERA, 2000). PT Binasawit Makmur (BSM, Selapan Jaya Group) memiliki plasma nutfah turunan dura Deli yang ditanam di Kebun Raya Bogor pada 1848 dan telah melewati seleksi lanjut di beberapa lembaga riset kelapa sawit dunia (MARDI–Malaysia, Harrison & Crosfield– Malaysia, Dami OPRS–Papua Nugini, Socfin– Malaysia, Guthrie Chemara – Malaysia, San Alejo–Honduras, dan ASD–Costa Rica) Di antara 225 famili dura yang diintroduksi BSM, 117 famili merupakan turunan dari dura elit hasil seleksi Banting OPRS yang diseleksi lanjut oleh Dami Oil Palm Research Station, Papua Nugini. Selain di Dami OPRS, dura BSM juga sebelumnya diseleksi oleh Harrison & Crosfield dan dikenal sebagai HC-series.
20
Famili Chemara (86 famili) merupakan turunan populasi dura Ulu Remis yang diseleksi dengan penekanan seleksi kadar minyak per mesokarp tinggi. Dura Socfin BSM merupakan turunan dari famili elit SOC 307 yang diseleksi di Stasiun Johore Lubis–Malaysia. BSM juga memiliki dura hasil seleksi stasiun MARDI – Malaysia yang memiliki minyak per tandan tinggi. Untuk pisifera, BSM saat ini memiliki 50 famili pisifera origin Nigeria, Ekona, Ghana, Dami komposit, Yangambi, La Me dan Avros. Famili-famili pisifera Nigeria dan Ghana dikembangkan di NIFOR–Nigeria, Oil Palm Research Center Kade-Ghana, ASD Costa Rica, sebelum diintroduksi ke Indonesia. Famili Ghana merupakan turunan pisifera dari Calabar. Pisifera Nigeria berasal dari keturunan Ufama dan Aba. Pisifera Ekona merupakan famili terbaik dari turunan pisifera yang dimuliakan Unilever di Lobe, Kamerun. Pisifera Dami komposit berasal dari Dami OPRS di Papua Nugini. Pisifera Avros BSM merupakan turunan Avros yang diuji ekstensif di Asia Tenggara, BM119. Pisifera La Me berasal dari populasi BRT10T di Ivory Coast (BINA SAWIT MAKMUR, 2003). Plasma nutfah yang dimiliki oleh Asian Agri sangat erat terkait dengan plasma nutfah BSM. Hal ini rak terlepas dari sejarah introduksi yang dilakukan oleh konsorsium yang melibatkan kedua perusahaan. Saat ini Asian agri memiliki 228 famili dura origin yang sebelumnya telah diseleksi di lembaga– lembaga riset Chemara – Malaysia, Coto – Costa Rica, Dami–PNG, Harrisons & Crosfield – Malaysia, Mardi – Malaysia dan Socfin – Malaysia. Sementara itu, pisifera yang dimiliki Asian Agri terdiri atas 50 famili origin Avros H & C, Avros – Dami, Ekona Cameroon, Ghana, Nigeria, La Me, Yangambi (ASIAN AGRI OPSG, 2003). PT Dami Mas Sejahtera memiliki plasma nutfah dura Deli dan pisifera Avros (DAMI MAS SEED ESTATE, 2001). Dura Deli yang digunakan telah mengalami seleksi lanjut di Dami Oil Palm Research Station. Pisifera yang digunakan dalam program pemuliaan merupakan turunan dari DM 742 dan DM 743, hasil sib crosses keturunan BM 119. Populasi dura dan pisifera yang digunakan dalam program pemuliaan di PT Dami Mas Sejahtera tersebut merupakan hasil proses seleksi yang panjang dan telah mengalami perbaikan dari
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
generasi ke generasi sejak tahun 1920. Sebagai gambaran, kedua populasi tersebut secara intensif telah digunakan untuk kegiatan produksi benih di beberapa lembaga pemuliaan di Indonesia dan Malaysia. Karet. Plasma nutfah karet sebagian besar dikelola oleh riset pemerintah (Pusat Penelitian Karet, PPK) dan swasta (LASMININGSIH, 2003 dan WOELAN et al., 1998). Secara umum plasma nutfah yang dikelola oleh pusat-pusat operasional plasma nutfah karet di Indonesia dapat dibagi atas periode introduksi 1876–1974 atas inisiatif individual, lembaga pemerintah dan swasta, serta periode introduksi 1981 yang dilakukan dalam program International Rubber Research and Development Board (IRRDB). LASMININGSIH (2003) mencatat bahwa introduksi material genetik karet ke Jawa pertama kali dilakukan oleh WICKHAM dari pusat keragaman karet di Brazil dan ditanam di kebun penelitian “cultuurtuin” – LEMBAGA PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI–BOGOR pada 1877. Introduksi selanjutnya dilakukan pada 1882 dari koleksi WICKHAM di Malaysia via Konsulat Jendral Nederland di Penang, 1891 dari Kew Garden oleh Kebun Raya Bogor berupa plasma nuftah Hevea spruceana. Pada 1896 Perkebunan Tarik Ngaroem mengintroduksi plasma nutfah dari Brazil yang pada akhirnya diketahui berproduktivitas rendah. Introduksi yang cukup bermanfaat dilakukan Cultuurtuin Bogor pada tahun 1913–1915 berupa biji karet dari Amazon dan Manaos– Brasil. Pada tahun 1929–1940 Indonesia menerima impor bibit okulasi dari Perkebunan Prang Besar, Pilmor, Sabrang secara langsung, melalui RRIM, serta melalui Firma Horizon dan Crossfield. Introduksi juga dilakukan dari Srilanka via Fa Dias Peiris & Co dengan perantara RRSC (Rubber Research Scheme Ceylon). Pada 1954 dilakukan pertukaran klon dengan Malaysia, Srilanka, Vietnam dan Thailand. Klon asal Indonesia, antara lain lain GT1, Tjir 1, PR 107, PR 228, PR225, PR261, diketahui mampu beradaptasi dan berproduksi baik di negara-negara tersebut, sementara Indonesia menerima antara lain klon GYT577, TR3702, RRIM seri500, RRIM 600. Pada tahun 1955 Bogor menerima 25 klon tahan penyakit daun SALB Diothidella ulei yang terdiri atas klon primer dari spesies Benthamiana dan brasiliensis, serta klon sekunder hasil persilangan antara klon seri FX
dengan klon dari Indonesia (seri Avros dan Tjirandji) dan Malaysia (PB). Pertukaran multilateral dilakukan lagi pada tahun 1974. Klon introduksi dari pertukaran ini antara lain RRIC100 dan RRIM712, sementara Indonesia mengirimkan klon BPM1 dan BPM24. Introduksi klon lain dilakukan oleh perkebunan swasta yang biasanya mempunyai konsultan asing. Klon–klon yang diintroduksi tersebut antara lain PB217, 260, dan 235. Klon-klon introduksi pra–1980–an, yang juga banyak dikembangkan di negara-negara penghasil karet alam, umumnya merupakan hasil eksplorasi Wickham. Klon–klon tersebut umumnya memiliki potensi produksi rendah, sehingga sulit untuk menciptakan kemajuan genetik. Berdasarkan kenyataan tersebut, lembaga–lembaga penelitian dari negara penghasil karet yang tergabung dalam IRRDB (International Rubber Research and Development Board) sepakat untuk melakukan eksplorasi materi genetik bersama. Berdasarkan kesepakatan tersebut, pada tahun 1981 dilakukan eksplorasi di Daerah Acre, Rondonia, dan Matto Crosso–Brazil. Klon-klon ini memberi ruang cukup bagi pemulia karet untuk melakukan perbaikan genetik (LASMININGSIH, 2003; WOELAN et al., 1998). Kopi dan kakao. Plasma nutfah kopi dan kakao sebagian besar dikelola oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (PPKKI) (SUSILO et al., 2006). Materi plasma nutfah sebagian besar dikoleksi di Kebun Percobaan (KP) KP Kaliwining (Jember), KP Sumber Asin (Malang), dan KP Andung Sari (Bondowoso). Selain di PPKKI, sebagian materi plasma nutfah dikelola oleh perkebunan swasta dan negara, seperti koleksi plasma nutfah kopi yang dikelola Kebun Belawan dan PTPN XII di Kebun Bangelan serta koleksi plasma nutfah kakao yang dikelola PT PP. London Sumatera Indonesia dan PTPN II di Kebun Tanjung Morawa. Saat ini PPKKI telah mengkoleksi sebanyak 1.144 aksesi plasma nutfah kopi robustoid dan 157 aksesi plasma nutfah arabikod, serta 529 aksesi kakao. Sementara itu, PTPN XII memiliki masing-masing 30 aksesi plasma nutfah robustoid (di Kebun Bangelen) dan arabikoid (di Kebun Kalisat). Plasma nutfah tersebut diperoleh melalui kegiatan introduksi, seleksi, dan eksplorasi dan dikoleksi dalam bentuk koleksi kerja (working
21
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
collection). Patut dicatat bahwa dari 2059 aksesi yang ada, baru 727 (36.18%) yang telah terdokumentasi dengan baik. Teh. Sumberdaya genetik teh Indonesia pada dasarnya mencakup dua spesies, Camelia sinensis var. sinensis dengan total 50 acession dan C. sinensis var assamica dengan total 760 acession (DR BAMBANG SRIADI, komunikasi pribadi). Saat ini pengelolaan plasma nutfah secara sistematis dilakukan di Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Gambung dengan fokus inventarisasi dan pendeskripsian plasma nutfah. Tebu. Dibandingkan dengan komoditas perkebunan lain, tebu termasuk yang cukup beruntung dengan ketersediaan plasma nutfah untuk pemuliaan yang dikelola oleh PUSAT PENELITIAN PERKEBUNAN GULA INDONESIA (P3GI). Sejak awal berdiri, 9 Juli 1887 dengan nama "HET PROEFSTATION OOST JAVA", P3GI menaruh perhatian pada aktivitas pengelolaan plasma nutfah, terutama karena problem serangan penyakit Sereh yang melanda hampir seluruh tanaman tebu di dunia dan pada akhirnya dapat diatasi dengan temuan varietas resistant POJ 2878. Saat ini P3GI memiliki lebih dari 5900 accession/klon, antara lain 270 accession species budidaya Saccharum officinarum, turunan-turunan klon POJ (494), klon PS (109) dan seri lain (4200). Kerabat liar tebu juga tersedia, seperti S. Barberi (24), S. Sinense (29), S. Spontaneum (126), Erianthus sp. (158), E. ravaneae (1), S. Rubustum (70), Mischantus sp. (2), S. Edule (3), beberapa (73) plasma nutfah yang belum diklasifikasi. Melalui kerjasama dengan pihak lain juga dikoleksi tebu introduksi (372). Tanaman rempah dan obat. Pengelolaan plasma nutfah perkebunan yang terkait dengan rempah dan obat dilakukan oleh Puslitbang Perkebunan – Balitro. Saat ini lebih dari 360 accesions tanaman rempah dan obat dikelola Balitro, seperti plasma nutfah vanili (berupa 16 tanaman budidaya dan 14 kerabat liar), lada (52 tanaman budidaya dan 5 kerabat liar), serai wangi, dan tanaman biofarmaka seperti meniran, temu putih, kumis kucing. Tembakau dan serat. Plasma nutfah tembakau dan serat dikelola oleh Balai Penelitian Tembakau dan Serat di Malang. Pusat operasional plasma nutfah tersebut mengelola lebih dari 5700 accession, seperti tembakau (1325), kapas (600–an), kapuk
22
(1800–an), kenaf, yute dan rossela (1527), hemp (101), abaca (54), agave (22) linum (28), castor (194), dan sesame (58). Kelapa. Sebagai pusat keragaman kelapa, plasma nutfah kelapa dikoleksi secara ex situ di Lembaga Penelitian – Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lainnya, serta dilakukan konservasi in situ. Konservasi in situ materi genetik kelapa dalam lokal oleh Loka Penelitian Tanaman Sela Perkebunan. Dari aktivitas ini, selain terkumpul materi genetik kelapa juga dapat dilakukan inventarisasi/kataloging varietas kelapa lokal petani, sekaligus sumber benih bagi rehabilitasi dan ekstensifikasi (LUNTUNGAN H.T., 2005). Dari paparan di atas jelas bahwa sebagian besar tanaman perkebunan adalah ‘spesies baru’ hasil introduksi. Walaupun basis genetiknya sangat sempit, harus diakui bahwa beberapa spesies telah memberikan kontribusi kemakmuran, bahkan sejak jaman Belanda. Tanaman perkebunan yang saat ini menjadi domain riset Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI) – kopi, karet, kelapa sawit, tebu, kakao, teh, kina–bahkan telah menjadi tanaman dominan dan dibudidayakan secara berkelanjutan. Sementara tanaman yang menjadi domain riset Puslitbang Perkebunan potensial untuk memperkuat daya saing industri berbasis perkebunan: Lada, vanili, biofarmaka penyakit degeneratif, serai wangi, jarak pagar, tembakau, kapas, kelapa dan aren. Pusat operasional pengelolaan plasma nutfah swasta memberi perhatian pada plasma nutfah yang memliki nilai ekonomi nyata. PEMANFAATAN SUMBERDAYA GENETIK PERKEBUNAN Komponen Good Agricultural Practices Pemanfaatan sumberdaya genetik perkebunan sejajar dengan nilai ekonomi tanaman. Tidak seluruh tanaman perkebunan (Keputusan Menteri Pertanian No. 74/Kpts/ TP.500/2/98) telah dimanfaatkan secara optimal. Rentang pemanfaatan sangat lebar, mulai dari tanaman yang relatif “tidak tersentuh”, tanaman yang dikaji intensif sebagai komoditas yang ‘menjanjikan’, seperti jarak pagar (Jathropa), hingga tanaman yang secara tradisional telah dikembangkan dalam skala komersial penuh,
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
seperti karet, kelapa sawit, tebu, kopi dan kakao. Untuk tanaman perkebunan yang telah berkembang secara luas, tidak diragukan lagi fungsi sumberdaya genetik sangat vital sebagai komponen Good Agricultural Practices (GAP). Pemanfaaatan sumberdaya genetik bukan hanya untuk menghasilkan ‘produk antara’ atau skala riset, tetapi berupa produk jadi “benih” bernilai komersial tinggi. Industri perkebunan yang mengikuti kaidah GAP telah memiliki kriteria yang memenuhi ketentuan regulasi, dan mempertimbangkan segala aspek ekonomi, lingkungan dan sosial. Kesalahan dalam pengelolaan sumberdaya genetik sama halnya dengan implementasi buruk GAP yang bermuara pada kehilangan daya saing. Tonggak dan catatan keberhasilan Pada tanaman perkebunan utama dapat dicatat beberapa capaian yang membawa revolusi, atau paling tidak mampu mendorong dan memantapkan industri perkebunan. Tebu. Pemanfaatan plasma nutfah tebu menempatkan P3GI sebagai kiblat industri gula tebu dunia dengan prestasi spektakuler pada tahun 1921 melalui penemuan varietas POJ 2878 tahan sereh. Temuan ini dapat menyelamatkan industri gula dunia dari serangan penyakit sereh. Pada tahun 1930 melalui pemanfaatan plasma nutfah yang sistematis dapat dirakit varietas POJ 3016 yang mampu menghasilkan 18 ton hablur gula per hektar. Saat ini, perakitan varietas tebu Indonesia termasuk produktif, khususnya untuk varietas spesifik lokasi, seperti varietas Bulu Lawang, PS–86–2, PS–86–10029, PS–88– 19432, dan PS–86–1 yang cocok untuk PG Djatiroto, atau varietas lain seperti PS 851, PS 862, PS 863, Ps 92–3092, PS 86–10029 dan PS 95–792. Secara keseluruhan beredar sekitar 20 klon dengan 7–8 klon dominan, antara lain PS851, PS864, Bulu Lawang. Pengaturan komposisi varietas tebu di pabrik gula dilakukan agar varietas yang ditanam sesuai dengan kondisi setempat dan berproduktivitas lebih tinggi. Skoring varietas dilakukan berdasarkan potensi hasil tebu, rendemen, sifat kemasakan dan ketahanan terhadap penyakit penting, sehingga diperoleh 6 – 7 varietas per pabrik gula.
Karet. Pemanfaatan plasma nutfah karet melalui serangkaian program pemuliaan dilakukan sejak tahun 1910, yaitu sejak dilakukan seleksi pohon induk oleh CRAMER di Bogor yang menghasilkan Ct2 dan Ct9. Selain di Bogor juga dilakukan seleksi pohon induk oleh beberapa perkebunan, antara lain tahun 1914 di Perkebunan Pasir Waringin oleh BOODE, tahun 1914 di Perkebunan Kiara Payung oleh HAMAKER, tahun 1918 di Rubber Proefstation West Java dan Besoeki Proefstation, tahun 1919 oleh AVROS dan 1927 oleh LCB (LASMININGSIH, 2003). Kegiatan pemuliaan karet lebih berkembang setelah terbentuknya lembaga–lembaga penelitian yang menangani budidaya karet secara umum, seperti Proefstation Malang dan Proefstation Salatiga (1910), Proefstation Jember (1912), Proefstation West Java (1915), Algemeen Proefstation AVROS (1916). Perkebunan swasta juga bekonribusi signifikan dalam pemanfaatan plasma nutfah karet, antara lain RCMA, DB, HVA. Penemuan teknik perbanyakan okulasi pada tahun 1914 membawa perubahan cepat perkebunan karet karena hasil persilangan berupa tanaman semaian terpilih dapat dikembangkan lebih lanjut secara massal dengan vegetatif. Klon unggul hasil penelitian mulai dianjurkan penggunaannya secara luas sejak tahun 1960–an. Kinerja pemanfaatan plasma nutfah dalam mendukung pengembangan bahan tanaman dan perkebunan karet sangat signifikan. Dalam tiga periode seleksi, produktivitas meningkat dari 500 kg/ha/tahun menjadi 2000–2500 kg/ha/ tahun (AZWAR dan SUHENDRI, 1998). Selain lateks, pemanfaatan plasma nutfah karet dalam dekade terakhir juga diarahkan pada sasaran lain, lateks–kayu. Sejak tahun 1983 anjuran penggunaan klon karet unggul diperbarui setiap 3 tahun sekali, rata-rata 10–20 klon per periode anjuran. Hasil Lokakarya Nasional Pemuliaan Tanaman Karet pada November 2005 yang diadakan oleh Pusat Penelitian Karet menganjurkan peggunaan klon untuk tujuan komersial periode 2006-2010: (1) klon penghasil lateks – BPM 24, BPM 107, BPM 109, IRR 104, PB 217, PB 260; (2) klon lateks–kayu – BPM 1, PB 330, PB 340, RRIC 100, AVROS 2037, IRR 5, IRR 32, IRR 39, IRR 42, IRR 112, IRR 118; (3) klon penghasil kayu – IRR 70, IRR 71, IRR 72 dan IRR 78. Selain itu juga terdapat 13 klon harapan, serta
23
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
klon lama yang tetap menunjukkan kinerja baik di wilayah tertentu seperti GT 1 (WOELAN et al., 2006). Kelapa sawit. Industri berbasis kelapa sawit juga merasakan manfaat positif dari pemanfaatan plasma nutfah untuk tujuan komersial. Kinerja pemanfaatan sumberdaya genetik kelapa sawit Indonesia tercermin dari beberapa aspek seperti peningkatan produktivitas tanaman dan ketersediaan varietas yang cukup dan diminati pengguna. Evaluasi terhadap plasma nutfah yang diintroduksi pada periode 1910 – 1960 telah menghasilkan beberapa materi genetik unggul, seperti tenera SP 540 T dan H5 Ex5. Materi unggul tersebut merupakan sumber tetua jantan bagi sebagian bahan tanaman hibrida DxP kelapa sawit komersial di dunia, terutama di Asia Tenggara. Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, produktivitas minyak sawit meningkat dua kali lipat, dari 4.3 ton minyak/ha/tahun pada 1970 menjadi 7–11.0 ton/ha/tahun pada 2006 (ASMONO, 2006; PAMIN, 1998; ASIAN AGRI OPSG, 2003; BSM, 2003; SOCFINDO, 2004). Peningkatan ini, selain berasal dari progres genetik yang terkait dengan program seleksi, juga dipengaruhi oleh perubahan strategi pemanfaatan plasma nutfah yang pada awal 1970–an menghasilkan produk persilangan intra–origin (Dura x Dura; Dura x Tenera) (PAMIN, 1998) menjadi hibrida inter–origin (Dura x Pisifera). Dari sisi ketersediaan varietas, saat ini tercatat 26 varietas DxP tersedia untuk pekebun. Ke–26 varietas merupakan kombinasi terbaik dari dura–dura elit dengan pisiferapisifera unggul yang dimiliki oleh Lembaga riset/produsen dan berdasarkan spesifikasi/ deskripsinya menawarkan pilihan yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan, seperti: produksi tandan tinggi, ekstraksi minyak tinggi, indeks tandan tinggi, pohon pendek dengan pertambahan meninggi lambat, toleransi kerebahan tinggi, adaptatif pada lingkungan spesifik – aluvial, gambut, lahan kering, insiden crown disease sangat rendah dan kontaminasi dura rendah. Up scalling varietas ke dalam sistem industri perbenihan juga menempatkan Indonesia sebagai produsen benih kelapa sawit terbesar di dunia dengan kapasitas produksi 135 juta kecambah DxP per tahun. Total produksi tersebut mampu
24
mendukung kebutuhan pengembangan dan peremajaan perkebunan kelapa sawit Indonesia. Kopi dan kakao. Pemanfaatan plasma nutfah untuk pemuliaan tanaman kakao dan kopi dilakukan secara berkesinambungan hingga dipenuhi tujuan pemuliaan. Tujuan pemuliaan kopi dan kakao kini adalah untuk mendapatkan bahan tanam berdaya hasil tinggi (>3 ton/ha/thn), serta tahan hama dan penyakit utama. Pada tanaman kopi fokus ketahanan adalah penyakit karat daun, nematoda parasit, dan penggerek buah kopi, sedangkan pada tanaman kakao fokus seleksi ketahanan mencakup penyakit busuk buah, penggerek buah kakao, penyakit vascular streak dieback (VSD), dan hama Helopeltis. Selain itu, seleksi juga ditekankan pada mutu hasil sesuai tuntutan pabrikan dan konsumen; untuk kopi mencakup cita rasa baik, sedangkan untuk kakao meliputi kadar lemak > 55%, berat per biji kering > 1 g, serta aroma pasta baik. Kegiatan pemanfaatan dilakukan melalui seleksi klon/varietas dan persilangan untuk menghasilkan hibrida (SUSILO et al., 2006). Saat ini terdapat 6 klon kakao mulia, 4 klon lindak dan 20 recommended hibrida, serta 8 varietas (self–pollinated) kopi Arabika, 1 OP BP42 x BP358; serta 15 klon robusta (DR. SURIP MAWARDI, komunikasi pribadi). Kontribusi signifikan bahan tanaman kakao turut menempatkan kakao Indonesia di posisi ketiga terluas di dunia dan bersaing ketat dengan Ghana, Pantai Gading dan Nigeria dalam perdagangan kakao. Teh. Pemanfaatan sumberdaya genetik teh telah menghasilkan klon–klon anjuran untuk digunakan oleh perkebunan teh Indonesia. Klon anjuran yang telah dirilis merupakan hasil pemuliaan Camellia sinensis var asamica, klon Gambung 1 hingga 13 dengan produktivitas 4000 kg teh kering/tahun untuk Gambung 1–5 dan 5000 kg/tahun untuk Gambung 6-13 (DR. BAMBANG SRIADI). Rempah dan Obat. Capaian signifikan perlu dicatat pada komoditas lada, vanili, dan biofarmaka. Pada komoditas lada, problem pengembangan antara lain disebabkan oleh keberadaan penyakit Busuk Pangkal Batang (BPB). Saat ini, tujuh varietas lada unggul dari segi produktivitas telah dilepas dan beredar di petani, sebagian diantaranya diketahui mempunyai derajat ketahanan tinggi terhadap
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
penyakit Busuk Pangkal Batang (BPB). Seperti pada lada, untuk tanaman vanili kendala utama dalam pengembangan tanaman adalah penyakit Busuk Batang Vanili (BBV). Mayoritas kultivar yang ada peka terhadap penyakit tersebut. Penggunaan sumberdaya genetik yang memiliki derajat ketahanan terhadap BBV merupakan faktor penentu untuk memperoleh bahan tanaman yang tahan terhadap penyakit Busuk Batang Vanili (BBV) sekaligus berproduktivitas tinggi. Beberapa tanaman obat juga mempunyai potensi pasar ke depan, seperti sambiloto sebagai biofarmaka penyakit degeneratif. Aksesi plasma nutfah berkadar sari di atas standar MMI dan uji praklinik menunjukkan sambiloto berkhasiat serta aman untuk obat degeneratif. Tembakau dan Serat. Industri tembakau Indonesia telah dikenal lama, sejak jaman Belanda. Selera konsumen turut menentukan pergeseran pemanfaatan plasma nutfah tembakau. Rokok kretek dengan kadar nikotin dan tar yang rendah saat ini menjadi tujuan utama pemuliaan tembakau. Hingga saat ini telah diriliskan beberapa varietas lokal dengan kadar nikotin rendah (1.7-2.0%), Tembakau Madura–Prancak N1 dan N2, serta tembakau virginia. Paling tidak terdapat 30 genotipe varietas lokal dengan kadar nikotin dan tar yang lebih rendah yang dapat dijadikan sebagai sumber genetik. Untuk bahan sandang, hingga saat ini telah dilepas 9 varietas kapas (Kanesia 1–9) yang produktivitasnya tinggi, mutu serat sedang, dan daya tahan sedang terhadap Amrasca biguttula. MASA DEPAN SUMBERDAYA GENETIK PERKEBUNAN Tantangan Keragaman genetik yang sempit. Sebagian besar tanaman perkebunan adalah tanaman introduksi dengan basis genetik yang sempit. Hal ini mempunyai beberapa implikasi: 1. Plasma nutfah yang ada sebagian besar merupakan plasma nutfah “kerja” (working collection) dan nyaris tidak tersedia plasma nutfah alamiah yang dikoleksi secara in situ. Hanya beberapa tanaman yang cukup beruntung memiliki cadangan plasma nutfah
alamiah, seperti kelapa (Cocos nucifera) (LUNTUNGAN, 2005). 2. Sebagai konsekuensi dari rendahnya cadangan plasma nutfah alami, peningkatan potensi genetik cenderung terbatas. Pada beberapa tanaman masalah ini belum terasa karena siklus pemuliaan yang panjang. Kelapa sawit misalnya, gap antara potential yield yang diperkirakan dapat mencapai 22.4 ton minyak/ha/tahun (CORLEY, 2006) masih di atas site yield potensial hasil pemuliaan terkini, pada kisaran 8.0-12 ton minyak/ha/tahun. Namun, cepat atau lambat gap tersebut akan semakin mengecil. 3. Selain peningkatan potensi genetik, keterbatasan sumberdaya genetik perkebunan juga menyebabkan breeder tanaman perkebunan kekurangan pilihan untuk merekombinasikan sifat– sifat unggul tertentu. Problem ini menjadi sangat kritikal ketika breeder dihadapkan pada kenyataan bahwa sumber sifat tertentu yang sangat dibutuhkan yang tersedia pada spesies liar, kerabat liar, varietas primitif tidak tersedia. Pada kelapa sawit, hal ini terasa dalam kasus eksplosi penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan oleh Ganoderma. Sebagian pemulia melaporkan bahwa spesies budidaya Elaeis guineensis, khususnya dura Deli yang menjadi tetua betina pada sebagian besar varietas kelapa sawit Indonesia rentan terhadap penyakit ini. Ketahanan pada derajat tertentu dijumpai pada dura–Afrika (DR. RAJANAIDU, komuni– kasi pribadi) yang tidak dimiliki oleh pusat operasional plasma nutfah kelapa sawit Indonesia. 4. Kerapuhan genetik. Tanaman per– kebunan yang diperoleh melalui proses breeding dari material introduksi potensial rapuh, terutama jika tidak tersedia musuh alami terhadap pathogen tertentu. Indonesia berpengalaman buruk dengan penyebaran cepat Phytopthora palmivora (busuk umbu basah) pada kelapa hasil introduksi dari Afrika Barat pada rentang 1985–1990– an. Perkebunan-perkebunan besar yang semula banyak menanam hibrida PB
25
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
121 (Genjah Kuning Malaysia x West African Tall) mengalami problem yang signifikan. 5. Daya adaptasi lingkungan yang tidak sebaik plasma nuttah alamiah. Beberapa plasma nutfah karet yang diintroduksi pada awal tahun 1900–an, misalnya, tidak sustain karena daya hasil dan daya adaptasi yang rendah. Kompetisi komoditas. Selain tantangan yang inherent pada tanaman, keberlanjutan pengelolaan plasma nutfah perkebunan juga dipengaruhi oleh kondisi makro perkebunan, khususnya kompetisi antar komoditas. Pasangsurut peran industri berbasis tanaman perkebunan tertentu mempengaruhi tingkat perhatian dalam pengelolaan tanaman perkebunan. Ketika perkebunan besar negara pada tahun 1980–1990 memberi perhatian pada komoditas kelapa, pusat operasional plasma nutfah kelapa saat itu bukan hanya ditangani oleh Badan Litbang Pertanian (Balai Penelitian Kelapa), tetapi juga unit riset perkebunan yang dibentuk oleh PT Perkebunan Negara dan swasta, sepeti Pusat Penelitian Kelapa (PPK) – Bandar Kuala dan Bah Lias Research Station (BLRS, PT PP London Sumatera Indonesia). Pergeseran keputusan pilihan komoditas menyebabkan PPK (sekarang bergabung ke PPKS) dan BLRS tidak aktif lagi menangani plasma nutfah kelapa. Prioritas komoditas juga menentukan konsentrasi pengelolaan plasma nutfah pada lembaga operasional pengelola plasma nutfah. Beberapa komoditas masih menekankan pada aspek produktivitas, sehingga pemanfaatan plasma nutfah juga diprioritaskan pada plasma nutfah yang mampu mendukung peningkatan produktivitas. Pada komoditas teh, capaian produktivitas lebih banyak bersumber dari Camellia sinensis var. assamica (DR. BAMBANG SRIADI, komunikasi pribadi), sementara Camellia sinensis var. sinensis yang dapat menjadi materi dasar specialty tea belum banyak dikelola. Pada kelapa sawit, penekanan pemuliaan lebih pada Elaeis guineensis, sementara E. oleifera yang potensial untuk perbaikan mutu minyak belum banyak disentuh. Sementara itu, pengelolaan operasional plasma nutfah karet dalam dekade terakhir mulai bergeser, bukan hanya pada produktivitas lateks tetapi juga kayu. Plasma nutfah penghasil kayu yang pada tahun–tahun
26
awal pengembangan pemuliaan karet di Indonesia belum mendapat perhatian, kini memperoleh perhatian yang setara. Penurunan daya saing. Berbeda dengan massa sebelum 1980-an, saat ini sistem industri perbenihan perkebunan, khususnya yang memiliki nilai komersial tinggi, cenderung tertutup. Di industri benih kelapa sawit, akses plasma nutfah sangat terbuka pada era sebelum tahun 1980–an. Industri benih kelapa sawit dunia menikmati penyebaran ‘tanpa batas’ plasma nutfah dura Deli hasil introduksi Kebun Raya Bogor pada 1848 dan penyebaran hasil seleksi terhadap sumber tetua jantan pisifera AVROS, turunan antara SP540 x Bangun. Pusat operasional plasma nutfah kelapa sawit Indonesia (PPKS, Socfindo) juga beruntung dengan kemudahan introduksi plasma nutfah dari Afrika Barat (Lame, Yangambi, Kamerun). Kini, informasi yang dimiliki oleh sebuah lembaga operasional plasma nutfah dan perbenihan tidak mudah diakses oleh lembaga sejenis. Masing-masing lembaga cenderung melakukan koleksi, introduksi, identifikasi, pembangunan database, dan pemanfaatan plasma nutfah secara mandiri. Ketertutupan menyebabkan beberapa plasma nutfah potensial yang ada di Indonesia harus di introduksi dari lembaga riset luar negeri dengan biaya tinggi. Dari sisi bisnis, kecenderungan ‘tertutup’ tersebut dapat dipahami karena plasma nutfah merupakan investasi primer dan mahal. Dalam sistem industri yang cakupan pasarnya tidak terlalu luas, keberadaan kompetitor baru dapat diartikan sebagai ancaman terhadap market share industri benih. Namun demikian, jika dilihat secara luas – dalam cakupan kepentingan Nasional dan dalam jangka panjang ketertutupan yang bersumber dari kompetisi indusri akan berdampak merugikan bagi daya saing nasional. Kekhawatiran penurunan daya saing ini akan terasa pada industri tertentu, misalnya kelapa sawit, jika tidak segera dilakukan langkah-langkah konstruktif dalam pengayaan plasma nutfah. Seperti dikemukakan di atas, Indonesia saat ini memiliki perkebunan kelapa sawit terluas di dunia, 5.45 juta ha. Varietas– varietas unggul yang menjadi penyokong industri kelapa sawit saat ini tidak kalah dibandingkan dengan bahan tanaman dari
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
negara–negara kompetitor Indonesia, karena status working collection plasma nutfah kelapa Indonesia yang bersumber dari material introduksi sebelum 1970–an diketahui berkualitas. Introduksi terbaru dilakukan oleh pusat operasional plasma nutfah swasta pada era 1990–1995 dari plasma nutfah pilihan di ASD–Costa rica dan Dami OPRS–Papua Nugini juga menambah daya saing Indonesia. Persoalannya, dari segi pengayaan plasma nutfah, Indonesia tidak seagresif kompetitor terdekat, Malaysia. Selain melakukan evaluasi plasma nutfah yang setara dengan plasma nutfah Indonesia, Malaysia dengan dukungan perkebunan kelapa sawit swasta pada 1981– 1990 melakukan introduksi langsung plasma nutfah yang relatif beragam dari center of origin kelapa sawit di Africa. Populasi African dura dan African pisifera merupakan hak ekslusif perkebunan Malaysia yang tampaknya akan sulit untuk di akses pekebun Indonesia. Di Amerika Selatan, negara penghasil kelapa sawit seperti Colombia juga mulai intensif melakukan eksploitasi interspecific hybrid seeds dan klon. Merupakan tantangan bagi industri kelapa sawit Indonesia untuk menyelaraskan langkah dan inovasi agar tidak tertinggal dan kehilangan daya saing. Ketimpangan paradigma pengelolaan sumberdaya genetik. Pengelolaan plasma nutfah perkebunan tidak terlepas dari sistem pengelolaan plasma nutfah tanaman nasional. Segala kelemahan pengelolaan plasma nutfah nasional juga dirasakan dalam pengeloaan plasma nutfah perkebunan. Problem pengelolaan plasma nutfah seperti kejelasan aturan dan kebijakan, penanggung jawab pengelolaan, penentuan prioritas pengelolaan, tata cara pengaksesan plasma nutfah, sistem pengawasan dan pembinaan, dukungan R&D, kompetensi sumberdaya manusia dan jaminan infrastruktur/fasilitas pengelolaan plasma nutfah merupakan tantangan klasik yang juga dirasakan sub sistem perkebunan. Agak ironis jika dikatakan bahwa di bagian hilir badan legislatif (DPR) dan Pemerintah RI telah mengeluarkan tata aturan yang dapat digunakan sebagai pijakan untuk mengelola sub–sistem terkait dengan ‘produk turunan’ plasma nutfah, sementara di hulu, tentang plasma nutfah, Undang–undang plasma nutfah agak tertinggal. DPR telah mengundangkan Undang–undang No. 29/2000 tentang
Perlindungan Varietas Tanaman yang mengatur perlindungan HAKI terhadap pemulia atau penyelenggara pemuliaan yang menghasilkan varietas, UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah yang di didalamnya juga mengatur pemberian wewenang kepada daerah untuk pengawasan perbenihan, dan UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan yang memberi kepastian usaha perkebunan. UU tersebut telah diterjemahkan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, maupun Peraturan Direktorat Jenderal, yang pada batas tertentu memberikan kepastian hukum dalam pengelolaan sistem perkebunan. Merupakan tantangan bersama untuk mewujudkan Rancangan Undang–undang RI tentang Pemanfaatan dan Pelestarian Sumberdaya Genetik segera dapat difinalkan, sehingga plasma nutfah sebagai sumber gen yang memiliki nilai guna aktual maupun potensial untuk kehidupan termasuk perkebunan dapat terpayungi. Peluang pengembangan Untuk penguatan daya saing perkebunan, riset maupun pemanfaatan sumberdaya genetik perkebunan tidak boleh berhenti. Peluang yang ada patut diterjemahkan ke dalam tindakan pengelolaan sumberdaya genetik yang efektif. Pengayaan sumberdaya genetik Pengayaan sumberdaya genetik merupakan keharusan karena hampir seluruh tanaman perkebunan modern secara genetik rapuh sebagai akibat keterbatasan basis sumberdaya genetik. Di negara–negara maju, Kesadaran tentang perlunya pengayaan genetik telah diwujudkan dalam aksi nyata baik berupa eksplorasi, introduksi, pertukaran, rekombinasi, maupun re–evaluasi terhadap sumberdaya genetik yang mereka miliki. Kesadaran akan basis genetik yang sempit, misalnya, memacu USDA–ARS–SRRC Sugarcane Research Laboratory di Louisiana berupaya memperluas melalui hibridisasi inter spesifik antara spesies budidaya dengan S. spontaneum serta kerabat liar lainnya. Kesadaran ini disertai upaya sistematis penggunaan sains dan teknologi, termasuk teknologi berbasis DNA (ARRO et al, 2006).
27
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Kemajuan seleksi yang hampir mencapai 5 kali pada tiga periode seleksi karet Indonesia membuktikan bahwa kekayaan sumberdaya genetik yang sebagian diperoleh dari program pertukaran plasma nutfah dalam kerangka IRRDB (1981) memberikan efek spektakuler dalam perakitan bahan tanaman dan lebih lanjut meningkatkan competitiveness industri karet. Pada komoditas kelapa sawit, sudah selayaknya pemangku kepentingan industri kelapa sawit memberi perhatian pada pengayaan sumberdaya genetik, jika kelapa sawit tetap diharapkan sebagai pilar pendukung agribisnis minyak nabati. Lembaga riset swasta dan pemerintah, pelaku industri, pemerintah perlu segera mengambil inisiatif pengayaan material genetik sawit, baik spesies budidaya Elaeis guineensis maupun kerabat dekatnya, Elaeis oleifera. Inisiatif ini harus mencakup keadilan akses antar stakeholder, kepastian pembiayaan dan pembagian keuntungan. Trend introduksi plasma nutfah kelapa sawit yang akhir–akhir ini cenderung mengintroduksi kembali material yang pada mulanya berasal dari Indonesia, dengan biaya tinggi, tidak menguntungkan dari segi peluasan basis genetik, karena hanya re-inventing sumberdaya yang sebenarnya telah kita miliki. Konservasi dan karakterisasi sumberdaya genetik Konservasi sangat vital bukan hanya pada sumberdaya genetik asli Indonesia, seperti kelapa, tetapi juga material introduksi yang pada proses pemuliaan terdahulu ‘tidak dipentingkan’, tetapi sesungguhnya memiliki potensi. Pengalaman kehilangan sumberdaya genetik kelapa sawit E. oleifera di perkebunan swasta yang karena dari segi produktivitas rendah, banyak ditumbangkan dan tidak diperbaharui semestinya tidak terulang. Sementara riset di Amerika Selatan menunjukkan trend peningkatan penggunaan E. oleifera sebagai sumber ketahanan terhadap penyakit. Karakterisasi menyeluruh terhadap plasma nutfah yang ada patut diperhatikan, baik karakterisasi secara morfologi dan agronomi maupun karakterisasi berbasis DNA. Informasi berdasarkan marka dan non–marka molekuker akan memudahkan pembentukan koleksi inti
28
masing–masing tanaman. Tanpa bermaksud menggantikan konservasi fisik tanaman di lapangan, nilai guna beberapa teknik seperti biak sel dan jaringan, cryopreservation dan DNA storage untuk konservasi plasma nutfah perkebunan merupakan pilihan riil ke depan. Apabila penggunaan bioteknologi dipertimbangkan, maka harus ada kemauan dan kemampuan untuk menyangga pendanaan, peningkatan infrastruktur, maupun peningkatan kapasitas sumberdaya manusia pengelola plasma nutfah perkebunan di bidang tersebut. Pemanfaatan sumberdaya genetik Untuk melanjutkan tradisi sukses pada tanaman perkebunan utama dalam pemanfaatan plasma nutfah, fokus perhatian perlu diberikan pada karakter–karakter yang menjadi kriteria utama seleksi dan karakter yang memberikan nilai tambah: 1. Perbaikan produktivitas. Hampir seluruh komoditas perkebunan men– syaratkan produktivitas yang tinggi untuk membuat komoditas tersebut kompetitif. Karet alam, misalnya, tetap memegang peran penting karena potensi hasil yang tinggi. Pilihan negara–negara tropis untuk memanfaatkan kelapa sawit sebagai sumber minyak nabati, untuk keperluan pangan dan industri, merupakan pilihan realistis karena dibandingkan dengan sumber minyak nabati lain kelapa sawit jauh lebih produktif. Demikian pula, di sektor sandang, ketersediaan material genetik kapas yang memiliki produktivitas tinggi selain tahan terhadap penyakit A. Biguttula, Helicoverpa armigera dan mutu serat yang tinggi merupakan pilihan untuk meningkatkan daya saing bahan industri sandang. Pilihan peningkatan produktivitas dapat dilakukan melalui penajaman seleksi klasik yang ‘proven’ seperti recurrent selection untuk peningkatan produksi minyak pada kelapa sawit dan kandungan sukrosa tebu (BRESSIANI et al., 2006). Pendekatan bioteknologi yang juga merupakan pilihan untuk menghasilkan varietas tanaman perkebunan transgenik, seperti varietas kapas tahan hama
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
penggerek buah H. armigera dan P. Gossypiella. 2. Diversifikasi produk. Beberapa komoditas perkebunan memiliki nilai tambah dari segi kemampuan untuk menghasilkan produk–produk alternatif, misalnya produk samping kayu, bahan baku biofuels, produk oleo–chemicals. Pada karet misalnya, arah seleksi yang hingga 1980–an lebih terfokus pada produktivitas lateks, dalam dekade terakhir diarahkan pula untuk menghasilkan lateks–kayu. Demikian pula, perkembangan pasar yang cenderung meningkat untuk penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati sebagai bahan bakar alternatif membutuhkan dukungan kuat ketersediaan sumberdaya genetik. Kelapa sawit dan jarak pagar (Jatropha curcas L.) merupakan alternatif untuk memenuhi kebutuhan industri biofuel. Produktivitas jarak pagar sangat bervariasi 0.5–10 ton per ha merupakan masalah kritikal yang harus ditangani oleh para pemulia. Eksplorasi jenis–jenis jarak pagar di sentra produksi merupakan salah satu pilihan untuk peningkatan sumber plasma nutfah dan merakit bibit unggul. Untuk kelapa sawit sebagai bahan baku biofuel muncul wacana perakitan bahan tanaman yang selain merupakan berpotensi dengan produksi tinggi, juga memiliki mesocarp tebal dengan kernel kecil yang memudahkan prosesing tandan di pabrik. 3. Perbaikan kualitas. Kualitas merupakan tuntutan produk–produk berkebunan, seperti produk hasil tanaman biofarmaka. Temulawak, misalnya, bukan hanya mementingkan produktivitas tetapi juga kadar kurkominoid yang tinggi, sedangkan bahan tanaman sambiloto perlu kadar andrographolide tinggi. Peningkatan variabilitas genetik dapat dilakukan melalui eksplorasi, rekombinasi, dan mutasi untuk memperbaiki mutu hasil. 4. Specialty product. Konsumen di negara yang telah berkembang saat ini mulai menggemari specialty product. Pada komoditas kopi misalnya, diprediksi akan terjadi peningkatan permintaan
pasar global hingga 10% untuk produk khusus dengan kualitas biji prima atau diproses secara khusus (NAIDU, –). Hal serupa juga terjadi pada teh. Specialty tea semakin populer di negara maju seperti USA dan Jepang. Komponen polifenol pada teh merupakan unsur penting, sekitar 12–24%, yang terdiri atas cathecin (flavanoid), flavones, anthocyanin dan phenolic acid. Cathecin merupakan senyawa kunci untuk value added tea karena kapasitas anti-osidannya yang tinggi. Keberadaan dan pemanfaatan plasma nutfah yang memenuhi standar akan meningkatkan nilai tambah produk. Rekayasa genetika untuk peningkatan biosintesis chatecin merupakan pilihan rasional dalam pemanfaatan sumberdaya genetik teh ke depan; langkah yang saat ini sedang dilakukan oleh India sebagai kompetitor Indonesia di industri tersebut. 5. Ketahanan hama dan penyakit. Pengelolaan hama dan penyakit merupakan kunci penting untuk mempertahankan potensi hasil perkebunan. Salah satu pendekatannya adalah melalui penggunaan bahan tanaman yang resisten terhadap organisme pengganggu. Komoditas kopi dan kakao termasuk yang sarat dengan problem penyakit, misalnya karat pada kopi Arabica, nematoda pada kopi robusta, dan jamur akar coklat pada kakao. Problem karat daun bukan hanya menjadi masalah kopi Indonesia, tetapi juga di Amerika Tengah dan Selatan, India, Brazil, Kenya dan Ethiopia. Melalui pemuliaan, potensi hasil dan ketahanan kopi Arabica terhadap karat dapat ditingkatkan. Serangan nematoda parasit (Pratylencus coffeae) dapat dikendalikan dengan penggunaan batang bawah tahan planting material baru, misalnya klon kopi robusta BP 308. Pada kakao, hingga kini belum tersedia material genetik yang tahan jamur akar cokelat. Vascular streak dieback (VSD) yang disebabkan Oncobasidium theobromae merupakan penyakit penting kakao di Indonesia, Malaysia, Papua New Guinea, Filipina, dan Thailand (KEANE dan PRIOR, 1991).
29
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Upaya untuk menghasilkan varietas resisten merupakan subyek pemuliaan di bidang ini. Demikian juga, hama menjadi persoalan serius pada kakao, seperti hama penggerek buah kakao (PBK). Pengembangan klon toleran PBK merupakan keharusan. Introduksi plasma nutfah yang toleran PBK merupakan pilihan, selain pendekatan bioteknologi/rekayasa genetika. 6. Reduksi biaya. Biaya produksi perkebunan cenderung meningkat dari tahun ke tahun, khususnya akibat peningkatan biaya tenaga kerja, inefisiensi, produksi yang stagnan dan peningkatan biaya untuk pengendaliaan hama dan penyakit. Penurunan biaya produksi dapat dikompensasi dari peningkatan produktivitas, antara lain seperti yang dikemukakan di atas melalui perakitan varietas unggul dan tahan hama-penyakit. Dalam banyak hal, seleksi klasik memerlukan waktu lama dan tidak mudah menggabungkan gen pembawa ketahanan dari kerabat liar pada spesies budidaya. Ini terasa pada kopi Arabica atau kasus ganoderma pada kelapa sawit. Pendekatan komplementer dengan marker-assisted selection merupakan salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk memenuhi sasaran perbaikan varietas, yang pada muaranya dapat menekan biaya produksi. Reduksi biaya juga diperlukan pada komoditas yang secara alamiah memiliki fungsi sosial tinggi. Pada kelapa, misalnya, introduksi hibrida beberapa dekade yang lalu bukan satusatunya solusi karena kebutuhan input produksi yang tinggi untuk meningkatkan produksi per satuan luas. Perbaikan intrapopulasi dapat dilakukan melalui pembentukan kelapa lokal. Peningkatan sinergi pemangku kepentingan Pengelolaan plasma nutfah bukan domain sempit dari satu atau beberapa institusi. Kolaborasi skala luas perlu terus dibangkitkan dengan melibatkan peneliti dan praktisi perkebunan di dalam negeri untuk mengatasi sempitnya keragaman genetik dan tingginya
30
biaya investasi dalam pemanfaatan plasma nutfah. Kerjasama multi–lateral bila perlu dibangun untuk pengayaan material genetik. Hal ini tidak mudah karena sumberdaya genetik perkebunan khususnya tanaman perkebunan utama memiliki nilai komersial yang tinggi, sehingga restriksi dalam tukar menukar bukan hanya menjadi perhatian pemerintah tetapi juga pemilik langsung plasma nutfah. Sebagai contoh, pengelola plasma nutfah kopi, kakao dan kelapa sawit di Indonesia terfragmentasi di beberapa pusat operasional plasma nutfah yang mandiri. Akses bersama tidak mudah karena belum ada networking formal untuk kerjasama pemanfaatan materi plasma nutfah antara pusat-pusat operasional pengelola plasma nutfah. Inisiasi networking yang telah dirintis oleh Komisi Nasional Plasma Nutfah dengan pembentukan jejaring kerja yang saat ini memiliki 16 anggota (www.indoplasma.or.id) patut dihargai. Peningkatan kapasitas SDM Dukungan sumber daya manusia penting untuk dapat mengelola plasma nutfah, memanfaatkannya untuk program pemuliaan, dan scaling up dalam sistem produksi benih. Adanya tenaga profesional merupakan prasyarat utama agar dapat memberikan jaminan bagi keberlangsungan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya genetik. Sejarah mencatat bahwa SDM Indonesia yang kompeten dalam pengelolaan sumberdaya genetik perkebunan telah menghasilkan material genetik yang saat ini digunakan oleh para breeder tebu, karet, dan kelapa sawit di dunia. Namun, peningkatan kapasitas SDM cenderung tidak selaras dengan kecepatan industri. Di industri kelapa sawit, misalnya, jumlah pemulia yang terlibat dalam industri perbenihan amat sedikit dan kaderisasi lambat. Industri benih hanya didukung rata-rata 2–5 pemulia aktif, sebagian di antaranya adalah tenaga asing. Hampir sebagian besar lembaga riset/produsen benih juga masih bergantung pada opini ilmiah dan teknis dari konsultan asing di bidang pemuliaan dan perbenihan.
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Faktor regulasi Kepastian hukum adalah prasyarat pengembangan industri berbasis perkebunan, termasuk dalam hal pengelolaan sumberdaya genetik. Rencana strategis internal setiap pusat pemuliaan dalam negeri tidak akan pernah mencapai sasaran tanpa dukungan aktif dari para pihak yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya genetik. Selain implementasi tata aturan yang sudah diundangkan, legislasi yang mengatur introduksi, konservasi, pemanfaatan berkelanjutan, pemanfaatan material genetik transnasional perlu memperoleh perhatian. KESIMPULAN Good agricultural practices perkebunan tidak terlepas dari keberadaan faktor yang sangat fundamental berupa ketersediaan sumberdaya genetik yang menjadi materi dasar perakitan varietas dan menjadi inti industri benih perkebunan. Basis genetik yang sempit pada tanaman perkebunan mengharuskan seluruh pemangku kepentingan memberikan perhatian ekstra, baik dalam hal pengayaan sumberdaya genetik, konservasi, karakterisasi, maupun pemanfaatan yang berkelanjutan, agar competitiveness industri perkebunan dapat ditingkatkan. Sinergi pemangku kepentingan, peningkatan kapasitas SDM, serta kebijakan dan tata aturan yang jelas merupakan faktor penentu keberhasilan pemanfaatan sumberdaya genetik perkebunan secara berkelanjutan. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada rekan pemulia di lingkup Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI) khususnya DR. SURIP MAWARDI, IR. AGUNG W. SUSILO MP, DR BAMBANG SRIADI, IR. MUDJI LASMININGSIH MS dan rekan pemulia FKPBKS atas sumbang saran dan informasi plasma nutfah di masing-masing Lembaga. DAFTAR PUSTAKA ARRO, J. A., J.C. VEREMIS, C. A. KIMBENG, and C. BOTANGA. 2006. Genetic Diversity and Relationships Revealed by AFLP Markers
Among Saccharum spontaneum and Related Species and Genera. Journal American Society Sugar Cane Technologists, Vol. 26:101-115. ASIAN AGRI OPSG. 2003. Pelepasan Varietas Tanaman Kelapa Sawit Asian Agri Topaz. PT Tunggal Yunus Estate. ASMONO, D., A. R. PURBA, Y. YENNI, M. KOHAR, H. ZAELANIE, T. LIWANG dan ANG BONG BENG. 2005. Peta dan Prospek Pemuliaan dan Industri Perbenihan Kelapa Sawit Indonesia. Simposium Nasional dan Kongres V PERIPI, Purwokerto, 25-27 Agustus 2005. AZWAR, R. dan I. SUHENDRY. 1998. Kemajuan Pmuliaan Karet dan Dampaknya terhadap Peningkatan Produktivitas. Pros. Lok. Nas. Pemuliaan 1998 dan Diskusi Prospek Karet Alam Abad 21, 51-64. PT. BINA SAWIT MAKMUR. 2003. Pelepasan Varietas Tanaman Kelapa Sawit Bina Sawit Makmur. BSM-Sumatera Selatan. BRESSIANI, J.A., J.A. DA SILVA, R. VENCOVSKY, R.A. SORDI and W.L. BURNQUIST. 2006. Combining High Yields of Cane and Sucrose in Sugarcane Through Recurrent Selection. Journal American Society Sugar Cane Technologists 26: 26-37. CORLEY, R.H.V. 2006. Potential Yield of Oil Palman Update. International Seminar on Yield Potential in Oil Palm II. ISOPB, PhuketThailand, 27-28 November 2006. DAMI MAS SEED ESTATE. 2001. Pelepasan Varietas Tanaman Kelapa Sawit Dami Mas. PT. Dami Mas Sejahtera, Riau. 82p. DAVIDSON, L. 1991. Management for Efficient Cost Effective and Productive Oil Palm Plantations. Proc. PIPOC 1991. Kuala Lumpur. Pp 153167. DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN. 2006. Program Revitalisasi Perkebunan Tahun 20062010. Sosialisasi Program Revitalisasi Perkebunan, Direktorat Jenderal Perkebunan, Bandung 11 Desember 2006. FAO. 2005. The Role of Biotechnology for the Characterisation and Conservation of Crop, Forest, Animal and Fishery Genetic Resources in Developing Countries. Summary Document to Conference 13 of the FAO Biotechnology Forum (6 June to 4 July 2005): http: //www.fao.org/biotech/logs/C13/summary.htm HARLAN, J.R. 1971. Agricultural Origins, Centers and Non–Centers. Science 174:468-474.
31
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
HASANAH, M.,I.H. SOMANTRI, M. THOHARI, S. ADISOEMARTO, A. NURHADI, dan I. N. ORBANI. 2005. Seri Mengenal Plasma Nutfah: Tanaman Perkebunan, Komisi Nasional Plasma Nutfah, Bogor, 16p. JACQUEMARD, J.CH., H.Z. HAYUN, H. EDYANA SURYANA, S. INDRA, H. ASMADY and T. DURAND–GASSELIN. 2003. Breeding for Sustainable High Yielding Oil Palm (Elaeis Guineensis Jacq.) at P.T. Socfindo. KUSHAIRI, A., N. RAJANAIDU, and A. MOHD DIN. 2003. Mining The Germplasm. ISOPB/IOPRI International Seminar on the Progress of Oil Palm Breeding and Selection, 6 – 9 October 2003, Medan, Indonesia. LASMININGSIH, M. 2003. Pemuliaan Tanaman Karet di Indonesia. Kuliah Terbuka Universitas Sriwijaya, Palembang 16 April 2003. LONDON SUMATRA, PT. PP., 2000. Pengalaman PT. PP. London Sumatra sebagai Konsumen dan Produsen Benih Kelapa Sawit. Pertemuan Koordinasi Produsen dan Konsumen Benih Kelapa Sawit. 22-23 Maret 2000. 9p. LUNTUNGAN, H.T. 2005. Konservasi in situ Materi Genetik Kelapa dalam Lokal. 2005. Varietas Unggul Kelapa dan Strategi Penyediaan Benih Dasar. Simposium Nasional dan Kongres V PERIPI, Purwokerto, 25-27 Agustus 2005. NAIDU, R. Research Priorities for Coffee in the New Millenium. Coffee Board of India Bangalore, India. NOVARIANTO, H. 2005. Varietas Unggul Kelapa dan Strategi Penyediaan Benih Dasar. Simposium Nasional dan Kongres V PERIPI, Purwokerto, 25-27 Agustus 2005. PAMIN, K. 1998. A Hundred and Fifty Years of Oil Palm Development in Indonesia: From the Bogor Botanical Garden to the Industry. Proc
32
1998 Int. Oil Palm Conf., Nusa Dua Bali, Pp. 3-23. PURBA, A.R., AKIYAT, and D. ASMONO. 2002. New High Yielding Varieties from the Second Cylcle IOPRI’s Oil Palm Breeding Programme. IOPC, Bali 8–12 July 2002. pp. 135-141. SASTRAPRAJA, S.D., dan M.. RIFAI. 1989. Mengenal Sumber Pangan Nabati dan Plasma Nutfahnya. Komisi Pelestarian Plasma Nutfah Nasional, Puslitbang Bioteknologi LIPI, Bogor. SUSILO, A.W., D. SUHENDI, S. MAWARDI, dan R. HULUPI. 2006. Program Pengelolaan Plasma Nutfah Kopi (Coffea sp.), Kakao (Theobroma sp.), dan Lamtoro (Leucaena sp.) di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. 8p. SOCFINDO, P.T. 2004. Pelepasan Varietas Tanaman Kelapa Sawit PT Socfindo – Medan. 49p. SOEWAR, H.A., H. ASMADY, H. ZAELANIE, dan D. KURNIA. 2000. Perkembangan Kinerja, Rencana Strategis Penelitian dan Pengembangan Pemuliaan Tanaman dan Produksi Kecambah di PT. Socfindo. Pertemuaan Koord. Produsen dan Konsumen Benih Kelapa Sawit. Jakarta 22-23 Maret 2000. VAVILOV, N.I. (ed.). 1935. Theoretical Bases of Plant Breeding, Vol. 2. Special Part: Grain and Forage Crops. WOELAN, S., R. AZWAR, dan I. SUHENDRY. 1998. Pemanfaatan Plasma Nutfah IRRDB 1981 dalam Penyediaan Bahan Seleksi Genotipe Unggul. Pros. Lok. Nas. Pemuliaan 1998 dan Diskusi Prospek Karet Alam Abad 21. 93-103. WOELAN, S., I. SUHENDRY, A. DASLIN. 2006. Pengenalan Klon Karet Penghasil Lateks dan Lateks Kayu. Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet. 68p.