Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
KAJIAN TEKNIS DAN SOSIO-EKONOMIS PENGELOLAAN BERKELANJUTAN SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN HORTIKULTURA DAN TANAMAN OBAT SRIANI SUJIPRIHATI1, NURLIANI BERMAWIE2 dan M. HADAD EA2 1
Departemen Agronomi dan Hortikultura, FP-IPB 2 Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Jl. Tentara Pelajar – Kanpus Penelitian Pertanian, Cimanggu Bogor
PENDAHULUAN Sebagai negara kepulauan yang sangat luas, yang mempunyai luas 1,3% luas permukaan bumi, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati dan Plasma Nutfah (PN)/Sumber Daya Genetik (SDG) sangat besar. Sekitar 17% keseluruhan makhluk hidup terdapat di Indonesia (MUCHTADI, 2006). Disamping itu, Indonesia juga merupakan salah satu dari dua belas Pusat Keanekaragaman Hayati Vavilov (1951) untuk tanaman pertanian karena merupakan kawasan terluas di Pusat Indomalaya (SUTRISNO dan SILITONGA, 2003). Menurut RIVAI, RUGAYAH, dan WIDJAJA (1992), di Indonesia terdapat ± 28.000 jenis tumbuh-tumbuhan dan diantaranya terdapat 400 jenis buah-buahan yang dapat dimakan dan sangat bermanfaat sebagai sumber keragaman genetik bagi program pemuliaan tanaman. Tanaman buah seperti pisang (Musa spp.), durian (Durio spp.), salak (Salacca edulis), dan rambutan (Nephelium spp.) merupakan tanaman asli Indonesia. Oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai megadiversity country. Di sisi lain, menurut DIWYANTO dan SETIADI (2003; 2006) kondisi yang sekarang ada di indonesia adalah sebaliknya. Indonesia justru sangat miskin koleksi PN yang dapat dimanfaatkan secara riil dalam proses perakitan varietas tanaman. Di samping itu, untuk mengelola kekayaan Indonesia tersebut ternyata menghadapi tantangan yang luar biasa. Keanekaragaman hayati dan plasma nutfah memegang peranan penting dalam pembangunan nasional baik sebagai sumber daya hayati (biological resources) sumber gen dalam program pemuliaan tanaman maupun sebagai sistem penyangga kehidupan (sandang, pangan, dan papan). Potensi SDG yang sangat penting sebagai bahan baku untuk merakit varietas unggul baru tanaman bagi pemulia,
10
merupakan modal utama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan ketahanan pangan suatu bangsa. Oleh karena itu, pengelolaan terhadap SDG perlu diprogramkan dengan baik dan berkelanjutan, sehingga dapat lestari dan tidak punah. PEMANFAATAN SUMBERDAYA GENETIK TANAMAN BUAH DAN OBAT Tanaman buah Sumberdaya genetik tanaman yang terdapat di Indonesia mempunyai karakter yang khas. Antara daerah yang satu dengan yang lainnya terdapat perbedaan. Hal ini merupakan suatu potensi yang bernilai tinggi bagi suatu daerah apabila SDG tersebut dikembangkan. Sayangnya belum semua SDG di setiap daerah telah dikembangkan. Mungkin baru sebagian kecil yang telah dimanfaatkan, dan mempunyai nilai ekonomi tinggi untuk digunakan dalam ketahanan pangan, meningkatkan nilai gizi dan kesejahteraan masyarakat. Penyediaan kultivar unggul yang sesuai dengan kebutuhan konsumen menjadi suatu keharusan untuk dilakukan agar dapat bersaing dalam era globalisasi. Untuk merakit kultivar unggul, dapat dilaksanakan jika tersedia keragaman SDG tanaman yang dapat dimanfaatkan. Untuk memberikan informasi terhadap pengguna, karakterisasi SDG perlu terus dilengkapi agar pengguna atau pemulia lebih mudah dalam mengakses SDG tersebut. Data karakter spesifik masing-masing aksesi, nomor atau genotipe perlu dibuat dan tersedia untuk dapat diakses oleh pemulia atau pengguna yang memerlukan karakter-karakter spesifik tersebut. Berikut ini buah-buahan yang telah dikembangkan di masing-masing daerah dan
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
mempunyai nilai produksi yang sangat menguntungkan a.l.: salak Bali (Bali), salak Pondoh (Yogyakarta), mangga Gedong gincu (Cirebon), durian Petruk (Semarang), nenas Bogor (Bogor), nenas Madu (Subang), manggis Wanayasa (Purwakarta), pepaya Pontianak dan masih banyak lagi. Beberapa komoditas tersebut sudah mempunyai Standar Prosedur Operasional (SPO), yang dapat digunakan sebagai panduan budidaya hingga pasca panennya. Potensi buah-buahan Indonesia sangat memungkinkan untuk dikembangkan. Mengingat SDG tanaman buah yang beragam, daya dukung lahan (darat) masih tersedia, dan kebutuhan konsumsi buah terus meningkat (RUSNAS, 2006). Menurut MANUWOTO (2006), strategi pemanfaatan dan pengembangan SDG buah-buahan Indonesia diarahkan untuk dapat memenuhi pasar global, baik dalam memenuhi pasar dalam negeri maupun untuk ekspor. Tentu saja persyaratan untuk dapat bersaing di pasar global tersebut harus dipenuhi, yang antara lain adalah implementasi program keamanan dan mutu buah pada level dasar dengan identifikasi terhadap hazards (bahaya), dan merumuskan cara yang tepat untuk mencegah dan mengendalikannya dengan tetap mempertahankan kelestarian lingkungan dan kesehatan pekerja. Untuk itu perlu diterapkan Good Agriculture Practices (GAP) dan Good Manufacturing Practices (GMP), serta penanganan terpadu pada keseluruhan proses pasca panen sepanjang rantai perdagangan buah dari produsen sampai dengan konsumen (POERWANTO, 2004). Dilaporkan oleh JUMONO (2006) bahwa PT Agung Mustika Selaras (AMS) telah mulai mengekspor buah manggis sejak tahun 1970. Pada tahun 2005, PT AMS mengekspor 2.184 ton buah manggis, meningkat dari tahun 2001 sampai dengan 2004, berturut-turut 704, 776, 2075 dan 1540 ton buah manggis yang berasal dari Jawa, Sumatera, Bali dan NTB, ke Cina, Hongkong, Singapura, dan Taiwan. Sukses PT AMS ini menunjukkan bahwa potensi SDG asli Indonesia yang dimanfaatkan dapat menghasilkan devisa negara yang tinggi. Kesuksesan ini tidak dapat dipisahkan dari quality control yang diterapkan oleh PT AMS, dengan mengacu kepada SNI manggis. Selain itu, peran mitra kerja (dalam hal ini petani manggis dan Pusat Kajian Buah Tropika/PKBT) yang
bekerja sama, sehingga dapat meningkatkan daya saing buah. Penelitian buah tropika secara terpadu antar institusi dan melibatkan stakeholders telah dilakukan oleh PKBT dalam program RUSNAS Buah mulai tahun 2000 sampai dengan saat ini. Tanaman obat Sedikitnya 940 spesies tanaman digunakan sebagai bahan obat tradisional, dan lebih dari 6000 spesies tanaman bunga (baik liar maupun dipelihara) telah dimanfaatkan untuk keperluan bahan makanan, pakaian, dan obat-obatan. Sementara itu, tanaman obat unggulan yang ditetapkan oleh DITJEN POM (2001) adalah sambiloto, pegagan, jati Belanda, tempuyung, temulawak, daun ungu, cabai Jawa, sanrego, pasak bumi, pace, daun jinten, dan kencur. Teknologi budidaya untuk sebagian komoditas tersebut sudah tersedia. Keanekaragaman SDG tumbuhan obat Indonesia sebagai sumber bahan obat perlu diteliti secara lebih komprehensif dengan pemilihan strategi pendekatan bioprospecting yang tepat. Bioprospecting mencakup aktivitas berbagai disiplin ilmu terutama kimia bahan alam, farmakognosi, agrokimia, botani dan ekonomi. Penelitian bioprospecting laboratoris bertitik tolak dari etnofarmakologi dan etnobotani (SINAMBELA, 2002). Berdasarkan hasil penelitian MUJENAH, 1993 (disitasi NURHADI et al., 2000) di Kabupaten Jember dan Banyuwangi Propinsi Jawa Timur dimana Taman Nasional Meru Betiri berada yang luasannya sekitar 58.000 ha ditemukan tidak kurang dari 350 jenis tumbuhan yang memiliki khasiat obat. Sebagian diantaranya telah dimanfaatkan oleh masyarakat setempat secara turun-temurun. Terdapat 4 jenis tumbuhan obat yang dipungut masyarakat dalam jumlah besar yaitu kemukus (Piper cubeba) sebanyak 556 kg/musim, kedawung (Parkia roxburghii) sebanyak 2074 kg/musim, joho lawe (Terminalia balerica) sebanyak 1930 kg/musim dan Pakem (Pangium edule) sebanyak 3021 kg/musim. Jenis-jenis lain seperti padmosari (Rafflesia zolligeriane), doro putih (Strychnos lingustriana), krangean (Litsea cubeba), keningar (Cinnamomum cassia) dipanen sesuai permintaan pasar.
11
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Secara global, tanaman obat telah dimanfaatkan oleh masyarakat dalam bentuk beragam produk seperti obat tradisional (jamu), makanan kesehatan (nutraceutical), suplemen diet, penambah rasa, parfum, kosmetika, pewarna, deterjen, personal care, toileteries, pestisida dan lain lain. Di Taman Nasional Gunung Halimun terdapat sekitar 48 jenis tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai obat. Pemanfaatan tumbuhan obat tersebut masih terbatas untuk keperluan keluarga, belum dikomersilkan (SUKARMAN et al., 2002). Sumberdaya genetik tanaman obat merupakan aset nasional yang perlu dimanfaatkan secara optimal melalui pelestarian dan penggalian potensi sifat-sifat yang dimilikinya. Jumlah tanaman obat di Indonesia diperkirakan mencapai 7500 jenis (KOTRANAS, 2006), tanaman penghasil zat racun 1000 jenis dan tanaman penghasil minyak atsiri. Namun sampai saat ini pemanfaatannya belum optimal. Jumlah tanaman obat yang dimanfaatan oleh masyarakat sekitar 100-1200 jenis, namun yang digunakan secara rutin dalam industri obat tradisional baru sekitar 300 jenis. Sebagian besar dari tanaman tersebut masih dipanen langsung dari alam dan baru sekitar 50 jenis yang dibudidayakan. Bahan alam dari tanaman obat telah terbukti memiliki efek terapeutik terhadap penyakit onkologi (kanker), kardiovaskular, kelainan metabolisme, inflamasi, infeksi, dll. Tanaman obat juga menunjukkan hasil yang signifikan sebagai anti kolesterol, diabetes, artritis, depresi dll. Nilai perdagangan produk obat berasal dari tumbuhan (herbal) termasuk suplemen, pada tahun 2000 mencapai 43 milyar USD, meningkat menjadi 60 milyar USD tahun 2002. Pada tahun 2010 diprediksi menjadi lebih dari 200 milyar USD dan tahun 2020 menjadi 300 milyar USD. Menurut WHO, 80% penduduk dunia bergantung kepada obat herbal, bahkan 25% dari obat-obatan modern yang dipasarkan di dunia berasal dari tumbuhan. Sekitar 74% dari 121 jenis bahan aktif obat yang digunakan dalam pengembangan obat modern di dunia, seperti digitoksin, reserpin, tubocucorin, ephedrin, vincristin, vinblastin dsb berasal dari tumbuhan obat yang tumbuh di wilayah tropis. Volume perdagangan di pasar global terhadap bahan aktif yang diisolasi dari
12
tanaman dari golongan alkaloid dan derivatnya meningkat dari 1.9 menjadi 11.4 juta metrik ton selama periode 1966-1991, glikosida dan derivatnya mencapai 0.3 juta metrik ton meningkat menjadi 2.9 juta metrik ton pada periode yang sama (UNITED NATION STATISTICAL DIVISION, 1992). Peningkatan yang signifikan terhadap produk obat herbal dalam perdagangan obat modern terlihat dari nilai penjualannya. Terpenoid menempati urutan tertinggi untuk obat-obatan yang berasal dari tanaman dengan nilai 7.6 milyar USD tahun 1997 dan meningkat menjadi 12.4 milyar USD tahun 2002. Komponen kimia dari golongan terpenoid yang terkenal adalah xanthorrhixol, asiatikosida, dll. Glikosida (antara lain kurkumin, terdapat pada kunyit dan temulawak), menempati urutan kedua setelah terpenoid dengan nilai 7.3 milyar USD tahun 1997 meningkat menjadi 9.2 milya USD tahun 2002, selanjutnya diikuti oleh alkaloid dengan nilai 3.6 milyar USD tahun 1997 dan meningkat menjadi 4 milyar USD tahun 2002. Komponen bioaktif ini tidak hanya penting untuk kesehatan manusia tetapi juga untuk hewan dan tanaman. Dengan potensi pasar yang semakin meningkat, banyak negara di dunia mulai mengekploitasi tanaman obat. Industri herbal di Indonesia merupakan sumber kesejahteraan bagi 1% penduduk Indonesia. Menurut laporan Convention on Biological Diversit (CBD), pasar herbal dunia mencapai 43 miliar USD tahun 2000, kontribusi Indonesia hanya 100 juta USD. Konsumsi obat herbal meningkat dari 6.052 ton tahun 1995 menjadi 7.685 ton tahun 2000 dengan peningkatan per tahun 25–30% (PRAMONO, 2002). Dengan minat masyarakat untuk kembali ke alam (back to nature) termasuk di Indonesia, pada 10 tahun mendatang diperkirakan permintaan terhadap produk obat bahan alami meningkat sebesar 30%. Omzet penjualan produk herbal saat ini diperkirakan baru mencapai 3 trilyun rupiah. Kendala yang dihadapi dalam pengembangan industri herbal di Indonesia adalah lemahnya penyediaan bahan baku bermutu, produksi dan pengembangan produk yang sesuai dengan selera pasar, standarisasi bahan baku, kurangnya dukungan ilmiah terhadap produk, terbatasnya sumber dana untuk penelitian dan pengembangan dan lemahnya informasi pasar. Inkonsistensi suplai
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
dan kebutuhan, bahan baku, kurangnya infrastruktur ilmiah untuk mendukung uji keamanan dan khasiat, serta kurang baiknya dalam packaging. Penelitian terfragmentasi dan tidak berorientasi pasar. Kurangnya dokumentasi mengenai pengetahuan tradisional dan penelitian untuk pengembangan produk dan komersialisasinya (ZUHUD et al., 2001). PENGELOLAAN SDG TANAMAN HORTIKULTURA DAN TANAMAN OBAT Indonesia memiliki 7500 spesies merupakan tanaman obat (HEYNE, 1987); 1000 tanaman penghasil zat racun. Meskipun Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati, namun Indonesia miskin dalam keragaman genetik plasma nutfah tanaman obat. Pengelolaan SDG tanaman obat di Indonesia dilakukan secara in situ dan ex situ. Secara in situ dilakukan oleh Departemen Kehutanan, yaitu di 31 taman nasional yang meliputi luas 7.915.331 ha, 174 suaka alam seluas 6.111.458 ha, 40 lokasi hutan lindung seluas 2.918.924 ha. Lebih dari 1800 jenis telah diindentifikasi dari beberapa formasi hutan. Konservasi ex situ dilakukan oleh Lembaga Penelitian pemerintah seperti Balittro, BPTO, BPTP, perguruan tinggi, swasta, LSM, masyarakat dll dengan fokus pengelolaan yang beragam. Di Balittro, pengelolaan meliputi eksplorasi (pengumpulan dan studi etnobotani dalam pemanfaatan tanaman obat) dari berbagai daerah di Indonesia, konservasi, karakterisasi dan evaluasi serta dokumentasi. Sampai tahun 2006 Balittro telah mengumpulan tanaman obat dari Jawa Barat (Taman Nasional Sagedepaha (Gunung Salak, Gede, Pangrango dan Halimun), Taman Nasional Meru Betiri di Jawa Timur, dari lokasi konservasi dekat lahan milik petani di Jawa Barat, Jawa Tengah, tanaman obat di HPH di Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan di Papua (Kabupaten Manokwari). Jumlah koleksi SDG tanaman Obat di Balittro saat ini baru sekitar 700 spesies (kurang dari 10%) dari jumlah total tanaman obat yang terinventarisir di Indonesia, dengan jumlah aksesi kurang dari 3600 aksesi dan sebagian besar spesies hanya memiliki 1 aksesi. Jumlah aksesi yang cukup banyak baru
dimiliki untuk kelompok seperti jahe 23 aksesi, kunyit 70, kencur 45 dan temulawak 22. Rendahnya keragaman genetik selain karena minimnya kegiatan eksplorasi juga sebagian besar merupakan tanaman berbiak vegetatif sehingga perpindahan gen di alam untuk meningkatkan keragaman genetik sangat jarang. Untuk meningkatkan keragaman genetik dan mengurangi erosi genetik plasma nutfah TO, eksplorasi ke daerah-daerah sentra keragaman sangat penting. Sebagian besar koleksi plasma nutah TO merupakan tanaman berbiji rekalsitran atau berbiak vegetatif, seperti spesies temu-temuan yang tidak dapat disimpan dalam jangka waktu lama dan harus direjuvinasi setiap tahun sehingga pelestarian tanaman koleksi dilakukan dalam bentuk koleksi hidup di lapang dan secara in vitro. Konservasi dilakukan di 6 kebun percobaan yang mencapai luas areal 40.1 ha dengan jumlah total koleksi sampai akhir tahun 2006 mencapai 708 spesies, meliputi 3600 aksesi. Plasma nutfah TO dikoleksikan di kebun percobaan di KP. Cikampek (52 spesies), KP. Cimanggu (168 spesies), KP. Cicurug (23 spesies), KP. Sukamulya (124 spesies), KP. Manoko (206 spesies), KP. Gunung Putri (47 spesies), laboratorium yang disimpan secara in vitro sampai dengan tahun 2006 berjumlah 53 spesies dan di rumah kaca lebih dari 300 spesies sebagai hasil eksplorasi tahun 2004, 2005 dan 2006. Konservasi di lapangan, selain memerlukan biaya pemeliharaan yang cukup besar dan lahan yang luas, juga rawan terhadap kehilangan akibat serangan hama penyakit dan perubahan kondisi lingkungan. Untuk meningkatkan pemanfaatan plasma nutfah dalam mendukung program pemuliaan (merakit varietas unggul baru) dan maupun digunakan langsung oleh pengguna dalam menghasilkan produk baru seperti obat-obatan, kosmetika, dan parfum, perlu dilakukan karakterisasi dan evaluasi. Menurut HASANAH (2003), dari 708 spesies yang dimiliki baru beberapa jenis yang sudah dikarakterisasi, misalnya sambiloto, nilam, akar wangi, serai wangi, mentha, jahe, kunyit, kencur, temulawak, pegagan, meniran, mengkudu, dan cabe Jawa. Akibatnya tingkat pemanfaatan plasma nutfah TO dalam program pemuliaan sampai saat ini masih sangat rendah. Sampai
13
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
saat ini tercatat 5 jenis tanaman yang memiliki varietas unggul yaitu serai wangi, jahe, kencur, kunyit, dan nilam. Manajemen pengelolaan data merupakan salah satu komponen penting dalam mendukung pemanfatan plasma nutfah secara cepat, efektif, dan efisien (WILLIAMS, 1989). Oleh sebab itu dokumentasi dan database yang lengkap dan terkomputerisasi sangat diperlukan untuk memperoleh informasi secara cepat sehingga dapat mengoptimalkan pemanfaatannya. Kegiatan dokumentasi yang dilakukan meliputi penambahan data terhadap data baru, sedangkan pembaruan (update) dan perbaikan (validasi) data dilakukan terhadap data-data yang telah ada. Sampai dengan bulan Desember 2005, database plasma nutfah tanaman obat telah menampung sebanyak 3312 records/aksesi dari 655 spesies. Jumlah koleksi plasma nutfah KP. Cikampek yang sudah didokumentasikan terdiri dari 52 spesies dan 275 aksesi, KP. Cimanggu (161 spesies, 328 aksesi), KP. Cicurug (123 spesies, 764 aksesi), KP Sukamulya (124 spesies, 1189 aksesi), KP Manoko (206 spesies, 341 aksesi), dan KP Gunung Putri (47 spesies, 153 aksesi), in vitro (52 spesies, 81 aksesi), dan eksplorasi (88 spesies, 336 aksesi). Data paspor dan hasil karakterisasi telah dilakukan pada 10 tanaman obat (temulawak, kunyit, jahe merah, salam, jati Belanda, pegagan, mengkudu, sambiloto, jambu biji, dan cabe Jawa). Disamping itu, di setiap kebun telah dibuat sistem pengelolaan database untuk data paspor yang berbasis Microsoft Access 2000. Data paspor meliputi famili, genus, jenis, nama lokal, sifat morfologi serta foto, dll. Diharapkan dengan pengelolaan plasma nutfah dan manajemen data yang baik akan memudahkan mendapatkan material genetik yang memiliki kontribusi yang penting dalam menghasilkan varietas unggul maupun produk produk baru. Selain Balittro, Balai Penelitian Tanaman Obat (BPTO), Departemen Kesehatan, di Tawangmangu juga melalukan konservasi dan pemanfatan tanaman obat. Saat ini jumlah koleksi mencapai 1000 jenis, yang difokuskan pada keragaman jenis tanaman. Di samping itu, perguruan tinggi, juga aktif melakukan eksplorasi dan konservasi tanaman obat, diantaranya IPB, Universitas Andalas,
14
Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Mulawarman, Universitas Hassanuddin, Universitas Cenderawasih. Eksplorasi dan konservasi tanaman obat yang dilakukan, umumnya dilakukan di daerah dimana perguruan tinggi tersebut berada. Salah satu bentuk konservasi tanaman obat oleh masyarakat adalah Taman Obat Keluarga (TOGA), yaitu konservasi tanaman obat di lahan pekarangan rumah mereka yang dikaitkan dengan pemanfaatan oleh masyarakat untuk menyediakan obat yang murah, dapat dimanfaatkan sebagai tambahan income dengan menjual hasil panen ke industri, mengurangi biaya pengeluaran keluarga untuk pemeliharaan kesehatan. Kebijakan mengenai TOGA dimulai oleh Departemen Kesehatan sejak tahun 1985. Ada 108 jenis tanaman yang dikategorikan sebagai TOGA. Program ini terus berlanjut dengan dibentuknya desa SIAGA, dimana masyarakat terutama di desa terpencil yang tidak terjangkau oleh tenaga kesehatan dapat menyediakan obat dan pengobatan sendiri. Dengan semakin maraknya masyarakat untuk memanfaatkan tanaman obat, saat ini banyak pihak yang melakukan koleksi dan konservasi tanaman obat dalam bentuk taman yang ditata menurut segi estetik. Hal ini merupakan suatu bentuk pembelajaran kepada masyarakat untuk pengenalan tanaman, dan menambah pengetahuan tradisional dalam memanfaatkan tanaman obat untuk pemelihara kesehatan. Beberapa lembaga di Indonesia yang mengelola koleksi SDG tanaman hortikultura (SUTRISNO dan SILITONGA, 2003) al.: 1. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang (bayam, kangkung, cabai, terung, tomat, kubis-kubisan, bawang daun, bawang merah, kacang buncis, kecipir). Koleksinya adalah koleksi aktif berupa biji dan tanaman di kebun. 2. Balai Penelitian Tanaman Hias, Cipanas (alpinia, amarilis, anggrek, anthurium, anyelir, asparagus, bromelia, bougenville, cemara, cana, datura, dracaena, gladiol, geranium, heliconia, hibiscus, kacapiring, krisan, lili, marantha, mawar, melati, puring, sedap malam, tumbakraja, oleander, phyllodendron, sphatyphillum, dll).
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
3. Balai Penelitian Tanaman Hias Pasarminggu (anggrek, anthurium, adenium, agave, aglaonema, Bromeliaceae, Canna Sp. Calathea Sp. Caladium Sp. Costus Sp., Codiaeum variegatum, Dracaena Sp., Ficus elastica, Nephentes Sp., Kaempferia Sp., Rosa Sp., Singonium Sp., Sphatyphyllum Sp., Jasminum Sp. 4. Balai Penelitian Tanaman Buah Solok, (durian 15 aksesi, duku 3 aksesi, rambutan 15 aksesi, pisang 190 aksesi, salak 13 aksesi, nangka 3 aksesi, nenas 82 aksesi, namnam, manggis 33 aksesi dan pepaya 151 nomor) (EDISON, 2003). 5. Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika, Tlekung, Malang (jeruk 172 var, apel 61 var, anggur 34 var, lengkeng 9 var dan buah subtropika lainnya, serta mangga 208 var yang berada di KP Cukurgondang) (SUPRIYANTO, 2006). 6. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) antara lain: a. BPTP Karangploso (bawang putih, cabai, apel, anggur, leci, jeruk, alpukat, pisang, mangga, jambu) b. BPTP Jawa Barat (Subang): 52 jenis buah-buahan c. BPTP Sukarami (32 varietas durian, jeruk, mangga dan alpukat) 7. Kebun Raya yang merupakan salah satu lembaga di bawah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang melakukan konservasi secara ex-situ tumbuh-tumbuhan. Misalnya spesies Anggrek (wild orchid), anggrek yang berasal dari hutan-hutan di Indonesia di koleksi disetiap Kebun Raya. Di Indonesia terdapat 4 Kebun Raya (SUHENDAR, 2003) yaitu: a. Kebun Raya Bogor, terletak di Bogor (250 m dpl). Koleksi tanaman obat non pohon, terdiri atas 55 suku, 144 marga, 175 jenis di blok XXIV.A. dan 65 suku, 172 marga dan 228 jenis di blok XXIV.B. Selain itu juga terdapat koleksi Palem-paleman (Arecaceae) yang terdiri sebanyak 98 genera, 380 jenis, 978 aksesi, 1416 spesimen. Berpotensi untuk tanaman hias.
b. Kebun Raya Cibodas, terletak di Sindanglaya Pacet, Cianjur pada ketinggian 1252-1461 m dpl. c. Kebun Raya Purwodadi, Pasuruan Jawa Timur (250 dpl), mempunyai koleksi mangga sebanyak 42 kultivar, pisang (Musa balbisiana dan M. acuminata) sebanyak 105 kultivar. d. Kebun Raya Eka Karya Bali, terletak di Candikuning Bedugul, Tabanan, Bali pada ketinggian 1285-1410 m dpl. Koleksi kebun raya semua tercatat dalam database baik dalam bentuk hard material (kartu, buku kebun, dan lain-lain) atau dalam softmaterial dalam bentuk database berupa Sistem Inventarisasi Kebun Raya dan BG Recorder. Data tercatat mulai material diterima sampai material tanaman ditanam di kebun dan dicatat pertumbuhannya 8. Koleksi Plasma Nutfah Tanaman Hortikultura yang dapat diperoleh datanya di Perguruan Tinggi, adalah sebagai berikut: a. Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (PKBT, IPB), mempunyai koleksi tanaman buah manggis, nenas, pisang, pepaya, dan rambutan. Sampai dengan tahun 2006 jumlah koleksi plasma nutfah nenas yang dimiliki PKBT mencapai 74 aksesi. Aksesi tersebut berasal dari eksplorasi dan dari hasil persilangan. Koleksi plasma nutfah pepaya yang dimiliki PKBT lebih dari 75 genotipe, baik yang berasal dari eksplorasi, introduksi dan hibridisasi. Sementara itu, plasma nutfah pisang sebanyak 135 aksesi, yang terdiri atas 116 aksesi dari hasil eksplorasi terutama dari Jawa, dan Sumatera, serta 19 aksesi introduksi (INIBAP) (RUSNAS, 2006). Deskripsi plasma nutfah PKBT ini dicatat dalam buku deskripsi, dan juga disimpan dalam bentuk database. Selain itu, akses terhadap data PKBT dapat melalui website: www.rusnasbuah.go.id b. Fakultas Pertanian (FP) UGM memiliki koleksi plasma nutfah
15
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
salak (DR. DJOKO PRAJITNO, komunikasi pribadi), sedangkan FP UNEJ mempunyai koleksi tembakau, pisang dan kedelai sayur (edamame); FP UNPAD mengkoleksi cabe merah; FP UNIBRAW mempunyai koleksi pisang, FP UDAYANA mengkoleksi jeruk, dan FP UNS mengkoleksi mangga. Nilai penting sumber daya genetik tanaman Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa SDG mempunyai nilai yang sangat berharga, sehingga harus dilestarikan dan dilindungi untuk dimanfaatkan. Menurut SUTRISNO dan SILITONGA (2003), nilai penting SDG dapat diuraikan sebagai berikut: Nilai warisan: Nilai warisan berkaitan dengan hasrat untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati agar dapat dimanfaatkan oleh generasi mendatang, kadang terkait dengan nilai sosio-kultural dan nilai pilihan. Nilai jasa lingkungan: Nilai jasa lingkungan dapat dimanfaatkan apabila keanekaragaman hayati dipandang sebagai satu kesatuan, dimana ada saling ketergantungan antara komponen di dalamnya. Contoh: perlindungan keseimbangan siklus hidrologi dan tata air. Nilai eksistensi: Nilai eksistensi merupakan nilai keberadaan, tidak berkaitan dengan potensi tertentu, namun berkaitan dengan nilai etika, nilai estetika dan manfaat psikologis. Contoh: Taman bunga, taman buah, ekowisata, penelitian dalam Taman Nasional. Nilai global: Nilai global merupakan manfaat langsung seperti oksigen (O2) yang dilepas ke udara. Contoh: Kelestarian hutan memberikan udara segar, bukan sebaliknya, seperti kebakaran hutan merusak ekosistem bahkan mengekspor asap. Nilai pilihan: Nilai ini terkait dengan potensi SDG dalam memberikan keuntungan bagi masyarakat di masa depan. Sumber daya genetik menyimpan manfaat yang sekarang mungkin belum disadari atau belum dimanfaatkan, namun seiring dengan perubahan permintaan, pola konsumsi dan kemajuan teknologi, nilai ini menjadi penting di masa depan. Potensi tumbuhan liar sebagai
16
sumber obat-obatan merupakan salah satu bentuk nilai pilihan ini. Di masa mendatang koleksi plasma nuftah tanaman budidaya maupun tumbuhan liar akan menjadi SDG yang berharga bagi sumber bahan obat/jamu. Nilai konsumsi: Nilai ini berupa manfaat langsung dari SDG, misalnya sebagai bahan sandang, pangan, dan papan. Contoh, masyarakat Indonesia mengkonsumsi tidak kurang dari 100 spesies tumbuhan biji-bijian dan ubi-ubian sebagai sumber karbohidrat. Tidak kurang dari 100 spesies kacangkacangan, 450 spesies buah-buahan serta 250 spesies sayur-sayuran, jamur, serta 70 spesies bumbu dan rempah juga digunakan dalam menu makanan sehari-hari. Sementara itu 940 spesies tanaman menghasilkan bahan untuk obat tradisional. Nilai produksi: Nilai produksi adalah nilai pasar yang didapat dari perdagangan SDG di pasar lokal, nasional maupun internasional. Sebagai contoh, nilai pasar global untuk obatobatan yang diperoleh dari SDG tanaman obat diperkirakan US$ 75.000 – 150.000 juta per tahun. Industri berbasis SDG merupakan penggerak perekonomian domestik yang penting. Sebagai contoh, pada tahun 2000, nilai perdagangan produk obat berasal dari tumbuhan (herbal) termasuk suplemen, mencapai 43 milyar USD. Terjadi peningkatan pada tahun 2002, menjadi 60 milyar USD. Selain yang tersebut di atas, SDG digunakan terutama sebagai sumber dari senyawa kimia yang bernilai tinggi, gen, atau plasma nutfah untuk industri farmasi, agrokimia, produk yang dikonsumsi, enzim, bioteknologi dan benih. Gabungan pasar dunia untuk produk yang diproduksi oleh industri tersebut setiap tahunnya mencapai lebih dari 300 milyar USD (MOELYOPRAWIRO, 2003). KESIMPULAN Potensi SDG yang sangat penting sebagai bahan baku untuk merakit varietas unggul baru tanaman bagi pemulia, merupakan modal utama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan ketahanan pangan suatu bangsa. Oleh karena itu, pengelolaan terhadap SDG perlu diprogramkan dengan baik dan berkelanjutan, sehingga dapat lestari dan tidak punah. Mengingat kecenderungan saat ini
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
beberapa SDG asli Indonesia telah mengalami ancaman kepunahan dan berbagai permasalahan muncul dalam pelestarian dan pemanfaatannya. Maka, dirasakan perlu adanya suatu kebijakan atau perundang-undangan yang mengatur SDG untuk kesejahteraan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA DITJEN POM. 2001. Kebijakan Nasional Pengembangan Obat Tradisional. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. 20 hlm. DIWYANTO K. dan B. SETIADI. 2003. Peran Komisi Nasional Plasma Nutfah dalam Pengelolaan Pemanfaatan Pelestarian Sumber Daya Genetik Pertanian. Apresiasi Pengelolaan Plasma Nutfah. Bogor, 23-27 Juni 2003. DIWYANTO K. 2006. Dukungan IPTEK dan SDM Pemuliaan dalam Pengelolaan KEHATI. 2006. Lokakarya Nasional “Keanekaragaman Hayati di Ujung Tanduk”. Organisasi Profesi Ilmiah dan LIPI. Jakarta, 18-19 Desember 2006. HASANAH, M. 2003. Penelaahan Terhadap Plasma Nutfah Khusus: Tanaman Obat. Apresiasi Pengelolaan Plasma Nutfah. Bogor, 23-27 Juni 2003. JUMONO J. 2006. Peran Riset dan Perkembangan Bisnis Buah-buahan. Seminar Riset Unggulan Nasional Buah-buahan Puspiptek, Serpong. MANUWOTO, S. 2006. Imrpoving Fruits Industry in Indonesia. Mini Workshop of SEAG Indonesia. 7-8 November 2006. MUCHTADI, T. R. 2006. Kebijakan RISTEK dalam Meningkatkan Kegiatan Penelitian Keanekaragaman Hayati. Lokakarya Nasional “Keanekaragaman Hayati di Ujung Tanduk”. Organisasi Profesi Ilmiah dan LIPI. Jakarta, 18-19 Desember 2006. MUHARSO. 2000. Kebijakan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Indonesia. Makalah seminar “Tumbuhan Obat di Indonesia”, Kerjasama Indonesian Resource Centre for Indigenous Knowledge (INRIK), Universitas Pajajaran
dan Yayasan Ciungwanara dengan Yayasan KEHATI. 26-27 April 2000. MOELJOPAWIRO, S. 2003. Perlindungan Varietas Tanaman: Kaitannya dengan Pengelolaan Plasma Nutfah dalam Pengembangan Varietas. Apresiasi Pengelolaan Plasma Nutfah. Bogor, 23-27 Juni 2003. PRAMONO, E. 2001. Pengembangan Agromedisin Indonesia: Pemanfaatan Sumberdaya Alam Indonesia menjadi Komoditas Farmasi Unggulan. POERWANTO, R. 2004. Pengembangan Sistem Mutu Buah-buahan. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. RIFAI, M. A., RUGAYAH, dan E.A. WIDJAJA. 1992. Floribunda. Tiga Puluh Tumbuhan Obat Langka Indonesia. Penggalang Taksonomi Tumbuhan Indonesia. Sisipan Floribunda 2: 128. RISET UNGGULAN STRATEGIS NASIONAL (RUSNAS). 2006. Laporan Akhir Riset Unggulan Strategis Nasional, Pengembangan Buah-buahan Unggulan Indonesia Tahun 2006. SUKARMAN, M. RAHARDJO, O. ROSTIANA, S.M.D. ROSITA dan SUDIARTO. 2002. Inventarisasi Tumbuhan Obat di Taman Nasional Gunung Halimun. Bull. Plasma Nutfah. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. 8(1): 16-21. SUTRISNO dan T.S. SILITONGA. 2003. Pengelolaan Plasma Nutfah Nabati (Tumbuhan dan Tanaman) sebagai Aset dalam Pemenuhan Kebutuhan Manusia. Apresiasi Pengelolaan Plasma Nutfah. Bogor, 23-27 Juni 2003. VAVILOV, N.I. 1951. The Origin, Variation, Immunity and Breeding of Cultivated Plants. (Trans. By. K. STARR CHESTER, Chronica Bot. 13 (1/6). 364 pp. ZUHUD, E. A.M, AZIS, S., M. GHULAMAHDI, N. ANDARWULAN, dan L.K. DARUSMAN. 2001. Dukungan Teknologi Pengembangan Obat Asli Indonesia dari Segi Budidaya, Pelestarian dan Pasca Panen. Lokakarya Pengembangan Agribisnis berbasis Biofarmaka. Pemanfaatan dan Pelestarian Sumber Hayati mendukung Agribisnis Tanaman Obat.
17