Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan Jurnal Hukum dan Peradilan memuat naskah/artikel yang bersumber dari hasil penelitian/penelaahan tentang Hukum dan Peradilan yang belum pernah dipublikasikan. Jurnal Hukum dan Peradilan terbit tiga kali dalam setahun (Maret, Juli, November) Penasehat
Penasehat Penanggung Jawab Pemimpin Umum Wakil Pemimpim Umum Dewan Redaksi Pemimpin Redaksi Sekretaris Anggota
Dewan Pakar
Mitra Bestari
Tata Usaha
: 1. Dr. H.M. Hatta Ali, SH. MH. 2. Dr. H. Ahmad Kamil, SH. M.Hum. 3. Dr. H. Mohammad Saleh, SH. MH. : Ny. Siti Nurdjanah, SH. MH. : Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, SH., MS. : H. Amirullah Sholeh, SH. MM. : R. Wijaya Brata K, S.Kom. MM. : : Dr. Ismail Rumadan, MH. : Hudan Isnawan, SH., M.SI. : 1. Moch. Iqbal, SH. 2. Johanes Brata Wijaya, SH. 3. Budi Suhariyanto, SH., MH. 4. Mila Kurnia Rahma, SH. : 1. Dr. Andi Syamsu Alam, SH. MH. 2. Suwardi, SH. 3. Dr. Artidjo Alkostar, SH. LLM. 4 Timur Manurung, SH., MH. 5. Widayatno Sastro Hardjono, SH., M.Sc. 6. H.M. Imron Anwari, SH., Sp.N., MH. : 1. Prof. Dr. Abdul Latif, SH. MH. 2. Dr. Lilik Mulyadi, SH., MH. 3. Dr. Hasbi Hasan, SH. MH. 4. Dr. M. Fauzan Anshori, SH. MH. 5. Laksamana Muda A.R. Tampubolon, SH, MH. : Enny Yuniarti, S.Sos., Muchtar, SH, Sudaryanto, SH. MH., Auto, SH., Suhenda, SH.
Alamat Redaksi : Gedung Sekretariat Mahkamah Agung RI Jln. Jend. A. Yani (By Pass) Kav. 58 Lt.10 Cempaka Putih, Jakarta Pusat 13011 Email:
[email protected] [email protected]
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Volume 2 Nomor 2 November 2013
DAFTAR ISI Pengantar Redaksi Kriminalisasi Hakim dan Eksistensi Prinsip Judicial Independence Dalam Bingkai Negara Hukum …………………
325
Muh. Risnain Kewenangan Hak Uji Materil Pada Mahkamah Agung RI …..
337
Enrico Simanjuntak Kebijakan Hukum Pidana Perlindungan Anak Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia …….
357
Candra Hayatul Iman Penafsiran Hakim Terhadap Ketentuan Pidana Minimum Khusus Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi ……
379
Ismail Rumadan Masalah Hukum Dalam Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio di Indonesia …………………………………………….....
405
Asril Sitompul Tanggung Jawab Rektor Sebagai KPA Dalam Pengelolaan Keuangan Perguruan Tinggi Negeri Yang Menyelenggarakan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PTN PK-BLU)
427
Dewi Kania Sugiharti, Muhammad Ziaurahman, Sechabudin Penegakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika Hukum (Suatu Solusi Terhadap Problematika Penegakan Hukum di Indonesia) ………………
449
Agus Budi Susilo Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Minyak dan Gas Bumi Sebagai Aset Negara Melalui Instrumen Kontrak ………………………………………………………….. Faizal Kurniawan
471
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
Biodata Penulis Pedoman Penulisan Jurnal Hukum dan Peradilan Ucapan terima kasih kepada Mitra Bestari
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
DARI REDAKSI Bisminllahirrahmannirrahim Puji dan syukur kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, Dzat Yang Maha Segala atas segala, yang selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, menuntun gerak dan memotivasi, memberi kemampuan berfikir kepada hambaNya untuk berbuat kearah yang terbaik, memberikan penghargaan yang tinggi kepada hamba-Nya yang selalu mengkaji berbagai problem kehidupan disekitarnya. Sebagai salah satu program prioritas Puslitbang Kumdil Mahkamah Agung RI Penerbitan Jurnal Hukum dan Peradilan menjadi upaya positif yang dilakukan oleh Puslitbang MA-RI sebagai Supporting Unit Mahkamah Agung RI secara kelembagaan untuk mendukung terwujudnya visi dan misi Mahkamah Agung RI yaitu: ―Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung‖. Kehadiran Jurnal Hukum dan Peradilan ini diharapkan menjadi media bagi insan peradilan, akademisi, praktisi dan pemerhati hukum dan peradilan untuk mengaktuasikan ide, pemikiran melalui penelitian, pengkajian dan pengembangan hukum dan peradilan secara ilmiah. Kehadirannya patut diapresiasi, dan diharapkan menjadi pencerah ditengah upaya besar bangsa menata pembangunan hukum dan peradilan masa mendatang. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Yang Mulia Ketua Mahkamah Agung RI dan seluruh unsur Pimpinan Mahkamah Agung RI yang telah memberikan dukungan terbitnya jurnal ini, Juga Kepala Badan Litbang Diklat Kumdil MA-RI dan Kepala Puslitbang Kumdil MA-RI yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam proses penerbitan jurnal ini. Selanjutnya ucapan terima kasih dan penghargaan kami sampaikan kepada para penulis yang telah berkontribusi mengirimkan artikelnya,para Mitra Bestari yang telah meluangkan waktunya untuknya mereview artikel para penulis, Semoga mendapat pahala yang setimpal dari Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa. Amin. Jakarta, November 2013.
Redaksi
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa izin dan biaya Muh Risnain Kriminalisasi Hakim dan Eksistensi Prinsip Judicial Independence Dalam Bingkai Negara Hukum. Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 3, hlm. 325 - 336 Kebijakan Hukum dengan melakukan kriminalisasi hakim melalui undangundang merupakan kebijakan hukum yang bertentangan dengan prinsip judicial independence dan mengancam keberadaan negara hukum yang telah dijamin konstitusi. Disamping itu juga menunjukkan ketidakjelasan politik hukum kriminalisasi dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Untuk memecahkan masalah tersebut maka dua langkah yang dapat ditempuh : pertama, hendaknya pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) dalam penyusunan Undang-undang meletakkan prinsip judicial indepennce sebagai salah satu pilar negara hukum harus dipertimbangkan secara matang dalam mengambil kebijakan hukum. kedua, hendaknya ada kejelasan politik kriminalisasi dalam penyusunan peraturan perundang-undangan sehingga jelas perbuatan apa yang dapat dipidana atau tidak dapat dipidana. Kata Kunci : Kriminalisasi, Judicial Independence dan Negara Hukum. Legal policy throught criminalization of judge by the law are abuse of judicial indpence and threat of rule of law principle while regulate by the constitution. And it is shown that quo vadis of criminalization policy when drafting the law. To solve this problem, there are two step, firstly, House of representative and President as state organs who have authority to arrange the law must pay attention principle of judicial indepence and rule of law, second, reorientation of criminal policy. Key Words : Criminalization, Judicial Independence and Rule of Law.
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa izin dan biaya Enrico Simanjuntak Kewenangan Hak Uji Materil Pada Mahkamah Agung RI. Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 3, hlm. 337 - 356 Berdasarkan ketentuan pasal 24A (1) UUD 1945, Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Hal ini berarti pihak pencari keadilan dapat mengajukan permohonan hak uji materil di bawah undang-undang kepada MA dengan alasan antara lain ketentuan yang dimohonkan uji materi tersebut bertentangan dengan hirarki peraturan yang lebih tinggi dalam sistem hukum nasional. Dalam pengujian ini, Mahkamah Agung memiliki kesempatan untuk menilai legitimasi (keabsahan) dan menentukan apakah peraturan yang diuji telah melampui kewenangan atau tidak sesuai dengan kewenangan. Mahkamah Agung berwenang untuk membatalkan peraturan yang
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
bertentangan dengan hirarki peraturan yang lebih tinggi. Tulisan ini menganalisis kewenangan Mahkamah Agung dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dengan melacak sejarah pengujian hak uji materi sebelum diberlakukan PERMA No. 1/1993 sampai dengan diberlakukannya Perma No. 1/2011, termasuk mempelajari beberapa aspek hukum acara dalam Perma tersebut. Kata Kunci : Mahkamah Agung, Hak Uji Materi, Hukum Acara. Under art 24A(1) of the Constitution, the Supreme Court is granted the power to review legal instruments below laws (undang-undang). This means that an applicant could seek judicial review of regulations other than Acts of Parliament (Undang-Undang) with a request to strike it out because, for example, it contravenes national laws. This would provide the courts with an opportunity to review the legitimacy of the regulation and determine whether it is ultra vires, or beyond power. The Supreme Court has the power to cancel a regulation if it is found to be in conflict with a higher law. This article analyses the judicial review in the Supreme Court. It begins by highlighting the origins and formation of judicial review before the regulation promulgation of the Supreme Court (PERMA) No. 1/1993, and then examines several aspects of procedural law in the current Supreme Court Regulation in No. 1/2011. Keywords : Supreme Court, Judicial Review, Procedural Law.
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa izin dan biaya Candra Hayatul Iman Kebijakan Hukum Pidana Perlindungan Anak Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 3, hlm. 357 - 378 Kenakalan anak merupakan perbuatan anti sosial yang dapat meresahkan masyarakat, namun hal tersebut diakui sebagai suatu gejala umum yang harus diterima sebagai fakta sosial. Anak berdasarkan perkembangan fisik, mental maupun sosial mempunyai kedudukan yang lemah dibandingkan dengan orang dewasa, sehingga anak yang melakukan kenakalan perlu ditangani secara khusus. Oleh karena itu, perlakuan terhadap anak nakal seyogianya berbeda dengan perlakuan terhadap orang dewasa. Perlindungan Anak pada kenyataannya masih banyak yang belum mengakomodir prinsip-prinsip instrument internasional. Pada pengadilan anak masih ditemukan pelanggaran hak anak dalam pelaksanaan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. Hasil penelitian menunjukan bahwa Kebijakan formulasi terhadap perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia diatur dalam Undangundang No. 3 Tahun l997 tentang Pengadilan Anak belum mengakomodasi prinsip the best interest of the child dalam sistem peradilan pidana anak, sehingga secara normatif dalam tataran formulasi belum mencerminkan ide dasar
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
perlindungan terhadap anak. Dengan demikian, secara normatif dalam tataran formulasi belum mencerminkan ide dasar perlindungan hukum terhadap anak. Kajian formulasi terhadap perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum dalam sistem peradilan pidana anak menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 telah mengakomodasi prinsip the best interest of the child dengan adanya diversi. Namun belum ditemukan prinsip ketersediaan bantuan hukum dalam konteks diversi dan prinsip adanya kontrol terhadap kewenangan diversi. Kajian formulasi terhadap perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum dalam sistem peradilan pidana anak menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 telah mengakomodasi prinsip the best interest of the child antara lain dengan menitik beratkan penanganan anak yang bermasalah dengan hukum melalui tindakan diversi dengan mengedepankan pendekatan restorative justice. Kebijakan aplikasi terhadap perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum dalam sistem peradilan pidana anak menyangkut masalah substansial, struktural dan kultural. Paradigma sistem peradilan yang retributif masih menjadi ide dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1997. Kata Kunci:
Kebijakan Hukum Pidana; perlindungan anak, Pembaruan, sistem peradilan pidana anak.
Juvenile Delinquency is an anti-social behavior can be disturbing public society, but it is recognized as a common phenomenon that must be accepted as a social fact. Children based on their physical, mental and social have a weak position compared with adults, so that children who committed needs to be special treatment. Therefore, the treatment of juvenile delinquents should be different with the treatment of adults. Child Protection in fact there are still many who have not accommodate the principles of international instruments. In the juvenile court still found violations of children's rights in the implementation of the handling of children in conflict with the law. Research it can be concluded that the formulation of policies for the protection of children in conflict with the law in the juvenile justice system in Indonesia is regulated in Law No. 3 Year l997 on Juvenile Court has not accommodated the principle of the best interest of the child in the juvenile justice system, so it is normative in the formulation did not reflect the level of the basic idea of the protection of children. Thus, the level of normative formulation does not reflect the basic idea of the child protection law. Formulation studies to the protection of children in conflict with the law in the juvenile justice system in accordance with Law No. 11 Year 2012 has been to accommodate the principle of the best interest of the child with the diversion. Yet undiscovered principles of availability of legal aid in the context of the principle of diversion and diversion control authority. Formulation studies to the protection of children in conflict with the law in the juvenile justice system in accordance with Law No. 11 Year 2012 has been to accommodate the principle of the best interest of the child, among others, by focusing on the handling of children in conflict with the law through diversion measures to promote restorative justice approach. Application policy to the protection of children in conflict with the law in the juvenile justice system involves substantial problems, structural and cultural. Paradigm of retributive justice system is still an idea in Act No. 3 of 1997.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Keywords: Criminal Law Policy; child protection, juvenile justice system reform.
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa izin dan biaya Ismail Rumadan Penafsiran Hakim Terhadap Ketentuan Pidana Minimum Khusus Dalam UndangUndang Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 3, hlm. 379 - 404 Semangat penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang ditengarai sebagai kejahatan luar biasa yang berakibat pada terjadinya kesenjangan sosial, ekonomi, hilangnya kepercayaan kepada pemerintah dan berbagai permasalahan lainnya yang mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Hal yang menarik dari pembentukan UU Tipikor ini adalah adanya ketentuan pidana minimum khusus di dalam rumusan deliknya terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini tentu berbeda dengan ketentuan pidana pada umumnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang lebih mengenal ketentuan pidana maksimum. Hasil penelitian menunjukan bahwa ketentuan pinadana minimum khusus dalam undang-undang tindak pidana korupsi dapat saja diterobos asalkan hakim memiliki legal resening atau ratio residenti yang tepat terhadap suatu kasus korupsi dengan melihat skala besar kecilnya kasus korupsi tersebut dengan pertimbangan dan pola penafsiran dari perpektif, social-justice, moral-justice, dan keadilan masyarakat untuk menjatuhkan putusan di bawa batas minimum pemidanaan. Penjatuhan pidana di bawah ketentuan pidana minimum khusus dalam beberapa putusan pengadilan dapat dilakukan dengan beberapa kriteria yang menjadi pertimbangan hakim menyimpangi ketentuan pidana minimum tersebut, kriteria adanya unsur kerugian keuangan negara atau perekonomian negara sebagai akibat perbuatan tiundak pidana korupsi tersebut dan kriteria peran dan kedudukan terdakwa dalam perbuatan tindak pidana korupsi. Kata Kunci: Penafsiran hakim, pidana minimum khusus, tindak pidana korupsi. The spirit of the rule of law against corruption which is considered as an extraordinary crime that resulted in the occurrence of social inequality , the economy , the loss of faith in government and a variety of other problems that led to the birth of Law No. 31 of 1999 in conjunction with the Law No. 20 Year 2001 About Follow Corruption. The interesting thing about the formation of the AntiCorruption Act is a criminal provision in the formulation of minimum deliknya against perpetrators of corruption . It is certainly different from the general criminal provisions in the draft Criminal Law (Penal Code) which is more familiar maximum penal provision . The results showed that the minimum pinadana special provisions in the law of corruption can be breached so long as the judge has the legal resening or residenti proper ratio to a corruption case by
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
looking at the size scale of the corruption case with consideration and interpretation of the patterns perspective, social - justice, moral justice and community justice decision was taken to drop the minimum punishment. Criminal punishment under the criminal provisions of the special minimum in some court decisions can be made by several criteria into consideration the provisions of the criminal judges deviate minimum , the criteria of the element of state assets or state economy as a result of the acts of corruption tiundak and criteria of the role and position of the defendant in acts of corruption. Keywords : Interpretation of judges, a special minimum criminal , corruption.
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa izin dan biaya Asril Sitompul Masalah Hukum Dalam Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio di Indonesia. Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 3, hlm. 405 - 426 Saat ini di Indonesia penyelenggara telekomunikasi selular telah mencapai jumlah 9 operator pemilik izin penggunaan spektrum frekuensi radio (Mobile Network Operator – MNO) dan beberapa operator yang tidak memiliki izin penggunaan spektrum frekuensi radio. Dengan banyaknya perusahaan yang menjadi penyelenggara telepon selular dan telepon fixed wireless dan meningkatnya pemakai internet yang diselenggarakan oleh Internet Service Provider (―ISP‖) melalui jaringan nirkabel dengan menggunakan spektrum frekuensi radio, maka kebutuhan akan spektrum frekuensi radio semakin meningkat. Upaya untuk mengatasi kelangkaan spektrum frekuensi dilakukan dengan pengembangan teknologi penggunaan spektrum frekuensi, diantaranya dengan sistem multiple access (penggandaan akses). Penggandaan akses ini dapat dilakukan dengan pembagian waktu (time), frekuensi, ataupun kode. Selain itu telah ditemukan cara penggunaan spektrum frekuensi radio dengan konsep Mobile Virtual Network Operator (―MVNO‖) yaitu dengan menjalin hubungan dengan penyelenggara pemilik izin penggunaan spektrum frekuensi radio, antara lain dengan sistem penyewaan. Di Indonesia, belum ada regulasi yang menampung keberadaan MVNO ini, yaitu mengenai apakah MVNO termasuk dalam kategori pengguna spektrum frekuensi dan apakah wajib memiliki izin penggunaan frekuensi dan wajib untuk membayar BHP Frekuensi. Untuk itu perlu diadakan perubahan regulasi yang ada, untuk memperjelas kedudukan dan keberadaan operator yang tidak memiliki izin penggunaan spektrum frekuensi radio seperti MVNO. Kata Kunci: Spektrum, pengguna, penggunaan, MVNO, regulasi.
Meanwhile there are nine telecommunications operators in Indonesia have the license to use radio frequency spectrum (Mobile Network Operator – MNO) and some operators that did not have the license. With the increase of the cellular and
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
fixed wireless operators and the increase of users of the internet provided by Internet Service Provider (―ISP‖) through wireless networks using radio frequency spectrum, then the need of Radio frequency spectrum also increased. The effort to overcome the rare radio frequency spectrum conducted by development of radio frequency spectrum technology, among others by using multiple access system. This system may be conducted by division of time, frequency, or code. Other system is by using the concept of Mobile Virtual Network Operator (―MVNO‖) by relationship between the licensed and unlicensed operators, i.e. by leasing of the spectrum. In Indonesia, there was no regulation regarding MVNO, so there was a question about whether the MVNOs include in the category of radio frequency spectrum users and whether or not the MVNO required to have license and pay the BHP for the use of frequency. Therefore it is necessary to have a change in the existing regulations to make clear the status and the existence of the unlicensed users of radio frequency spectrum as the MVNOs. Keyword: Spectrum, users, utilization, MVNO, regulation.
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa izin dan biaya Dewi Kania Sugiharti, Muhammad Ziaurahman, Sechabudin Tanggung Jawab Rektor Sebagai KPA Dalam Pengelolaan Keuangan Perguruan Tinggi Negeri Yang Menyelenggarakan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PTN PK-BLU). Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 3, hlm. 427 - 448 Perguruan Tinggi yang menerapkan konsep Badan Layanan Umum (PTN PKBLU) dalam menjalankan fungsi sebagai organ yang bergerak dalam bidang pelayanan adalah dukungan sarana dan prasarana melalui barang atau jasa. Sebagai institusi yang berada dalam naungan pemerintah dan menerima anggaran negara maka PTN PK-BLU melaksanakan mekanisme untuk memperoleh barang atau jasa sesuai ketentuan hukum. Namun proses pengadaan dalam memperoleh barang atau jasa terkadang menimbulkan persoalan yang muncul sebagai konsekuensi berjalannya proses pengadaan barang atau jasa yang melibatkan organ-organ di dalamnya seperti PA/KPA, PPK, ULP, dan Panitia/Pejabat Penerima Pengadaan. Rektor sebagai KPA dalam PTN PK-BLU memiliki wewenang dalam melakukan kontrol terhadap organ-organ yang melaksanakan proses pengadaan barang/jasa pada lingkungannya. Kesalahan dalam proses pengadaan barang/jasa yang dilakukan oleh PPK dan ULP/Pejabat Pengadaan menyebabkan kerugian negara akibat kesalahan tersebut, baik akibat kelalaian atau tindakan melanggar hukum. Sebagai KPA dalam proses pengadaan barang/jasa Rektor dapat melakukan kontrol pada organ-organ tersebut sesuai dengan wewenang yang diberikan. Konsekuensi yang diterima jika pada akhirnya pejabat pelaksanaan pengadaan barang/jasa tidak mengindahkan teguran Rektor maka pejabat yang terkait proses pengadaan barang/jasa akan menerima sanksi.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci: Kuasa Pengguna Anggaran, Keuangan Negara. Universities that apply the concept of Public Service Agency (BLU - PK PTN ) in performing functions as an organ which is engaged in the service infrastructure support through goods or services . As an institution under the auspices of the government and the state budget receives PTN PK - BLU implement mechanisms to acquire goods or services in accordance with the law . However, the procurement process in obtaining goods or services sometimes poses problems that arise as a consequence of the passage of the procurement of goods or services involving the organs in it as PA / KPA , KDP , ULP , and Committee / Receiver Procurement Officer. Rector of the KPA in PK - BLU PTN has the authority to control the organs that carry out the process of procurement of goods / services in the environment . Errors in the procurement process of goods / services performed by the CO and the ULP / Procurement Officer causing state losses due to these errors, either due to negligence or unlawful acts. As the KPA in the process of procurement of goods / services Rector can control the organs in accordance with the authority given . The consequences are acceptable if the authorities ultimately the procurement of goods / services did not heed the warning Rector officials related procurement process of goods / services will receive sanctions. Keywords: Authorized Budget, Financial State.
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa izin dan biaya Agus Budi Susilo Penegakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika Hukum (Suatu Solusi Terhadap Problematika Penegakan Hukum di Indonesia). Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 3, hlm. 449 - 470 Esensi penegakan hukum adalah keadilan. Keadilan itu sendiri mempunyai berbagai macam makna, tergantung dari perspektifnya. Di negara manapun sering timbul berbagai masalah, terkait penegakan keadilan di ranah hukum. Konsep keadilan yang sudah mapan di suatu negara belum tentu baik apabila di terapkan untuk negara lain. Meskipun demikian, dimungkinkan adanya saling pengaruh mempengaruhi atau bersifat integrasi antara pemikiran satu dengan yang lainnya mengenai makna keadilan, terutama yang mempunyai sifat universal. Pada tataran filosofis, tentu masing-masing negara mempunyai akar pemikiran tersendiri, tergantung dari norma dasar negara dan kehidupan sosial-budaya bangsanya. Untuk mengurai lebih lanjut mengenai makna keadilan dari sudut pandang filsafat, sarana yang tepat digunakan adalah hermeneutik. Penelusuran keadilan dalam perspektif hermeneutik dalam rangka penegakan hukum seyogyanya dibingkai juga dengan perspektif ilmu hukum, agar diperoleh titik temu dan lebih mudah dalam pengimplementasiannya.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Kata kunci : Keadilan, Hermeneutik, Ilmu Hukum dan Penegakan Hukum. The essence of the rule of law is justice. Justice has many meanings, depending on the perspective. Every country often arise various problems, related to the administration of justice in the realm of law. The concept of justice that have been established in a country is not necessarily better when applied to other countries. However, it is possible to mutual influenced or be integrated between each other thinking about the meaning of justice, particularly those having a universal nature. At the philosophical level, each country has own thoughts of the roots, depending on the basic norms and socio-cultural life of the nation. Thus, about the meaning of justice from the view of philosophy, the proper tools are used is hermeneutic. Search justice in the perspective of hermeneutics in the context of law enforcement should also be framed by the perspective of jurisprudence, in order to obtain the intersection and its implementation easier. Keywords: Justice, Hermeneutics, Legal Studies and Law Enforcement.
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa izin dan biaya
Faizal Kurniawan Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Minyak dan Gas Bumi Sebagai Aset Negara Melalui Instrumen Kontrak. Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 3, hlm. 471 - 492 Negara mempunyai kekuasaan untuk mengelola sumber daya alam demi mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum dan untuk kemakmuran rakyat. Instrumen hukum kontrak menjadi payung hukum utama sebagai upaya perlindungan hukum terhadap asset negara yang berupa minyak dan gas bumi. Kontrak Bagi Hasil menjadi pilar dasar dalam upaya pengelolaan dan pemanfaatan kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Kontrak Bagi Hasil merupakan kontrak publik yang tidak sepenuhnya tunduk pada hukum privat. Dalam melakukan hubungan kontraktualnya, negara tidak boleh dirugikan (imunitas negara) dan harus memperhatikan klausula-klausula yang menitikberatkan pada perlindungan asset negara. Kata Kunci:
Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Publik, Imunitas Negara, Klausula Perlindungan Aset Negara.
State has the power to manage natural resources for the sake of social justice, the general welfare and are used as much as possible the greatest benefit for the greatest welfare of people. Contract law is the main instrument used to protect the state assets including oil and gas. Production Sharing Contract as a legal safeguard for oil and gas, is a fundamental pillar in the effort and utilization management activities of oil and gas. In the contracts involving the Government, called government contract, there is a unique characteristic which is not entirely
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
subject to private law. In principle, the state should not be harmed, called as state immunity. This principle also applies universally in the interest of protecting the state assets. Keywords:
Production Sharing Contract, Government Contract, State Immunity, Protection of State Assets Clause.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
KRIMINALISASI HAKIM DAN EKSISTENSI PRINSIP JUDICIAL INDEPENDENCE DALAM BINGKAI NEGARA HUKUM
Muh. Risnain Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram
[email protected] Abstrak Kebijakan Hukum dengan melakukan kriminalisasi hakim melalui undang-undang merupakan kebijakan hukum yang bertentangan dengan prinsip judicial independence dan mengancam keberadaan negara hukum yang telah dijamin konstitusi. Disamping itu juga menunjukkan ketidakjelasan politik hukum kriminalisasi dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Untuk memecahkan masalah tersebut maka dua langkah yang dapat ditempuh : pertama, hendaknya pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) dalam penyusunan Undang-undang meletakkan prinsip judicial indepennce sebagai salah satu pilar negara hukum harus dipertimbangkan secara matang dalam mengambil kebijakan hukum. kedua, hendaknya ada kejelasan politik kriminalisasi dalam penyusunan peraturan perundang-undangan sehingga jelas perbuatan apa yang dapat dipidana atau tidak dapat dipidana. Kata Kunci : Kriminalisasi, Judicial Independence dan Negara Hukum. Abstract Legal policy throught criminalization of judge by the law are abuse of judicial indpence and threat of rule of law principle while regulate by the constitution. And it is shown that quo vadis of criminalization policy when drafting the law. To solve this problem, there are two step, firstly, House of representative and President as state organs who have authority to arrange the law must pay attention principle of judicial indepence and rule of law, second, reorientation of criminal policy. Key Words : Criminalization, Judicial Independence and Rule of Law. A. Pendahuluan Kriminalisasi putusan hakim melalui undang-undang merupakan fenomena menarik dalam dunia peradilan Indonesia. Pasca diundangkannya Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan disahkanya RUU Mahkamah Agung menjadi RUU inisiatif DPR yang akan dibahas DPR bersama pemerintah hakim menjadi sasaran tembak para pembentuk undang-undang. Berbagai pihak menilai kehadiran dua produk hukum tersebut sebagai ancaman serius bagi kemerdekaan hakim. Pasal kriminalisasi hakim yang kontroversial dalam UU SPPA diatur dalam Pasal 96 dan Pasal 100. Ketentuan pasal 96 mengatur bahwa Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban melakukan mekanisme diversi dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
tahun atau denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Ketentuan Pasal 100 UU SPPA mengatur bahwa hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban untuk mengeluarkan tahanan anak yang telah ditahan selama 10 hari dan diperpanjang 15 hari yang diatur dalam Pasal 35 ayat (3), hakim banding yang dengan sengaja tidak mengeluarkan tahanan yang telah ditahan selama 10 hari dan diperpanjang 15 hari sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (3) dan hakim pada Mahkamah Agung yang tidak mengeluarkan tahanan yang telah ditahan selama 10 hari dan diperpanjang 15 hari yang diatur dalam Pasal 38 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun. Kehadiran Undang-undang SPPA merupakan usaha untuk mewujudkan sistem peradilan anak dengan mengdepankan pendekatan keadilan restoratif melalui mekanisme diversi. Namun kehadiran UU ini justru melahirkan problematika baru dalam sistem peradilan pidana anak. Mengkriminalisasi penegak hukum yang menjalankan sistem peradilan anak merupakan sebuah masalah serius dalam sistem peradilan pidana dan keberadaan negara hukum. Begitu juga dengan kehadiran RUU MA merupakan jawaban untuk merespon perkembangan dunia peradilan yang sudah tidak mampu lagi dijawab dengan Undang-undang yang lama. Serupa dengan UU SPPA, RUU ini lagi-lagi menjadikan hakim sebagai obyek kriminalisasi ketika hakim mengeluarkan putusan. Dalam RUU tersebut terdapat dua rancangan pasal kontroversial yaitu Pasal 95 dan Pasal 97. Rancangan Pasal 95 melarang hakim untuk menggunakan jabatan dan/atau kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan/atau pihak lain, atau keluarga, mempunyai hubungan pekerjaan.partai/finansial atau mempunyai nilai ekonomis secara langsung/tidak langsung; merekayasa fakta-fakta hukum dalam penanganan perkara; menggunakan kapasitas dan otoritasnya dalam penanganan perkara; menggunakan kapasitas dan otoritasnya untuk melakukan penekanan secara fisik dan/atau psikis; meminta dan/atau meminta hadiah dan/atau keuntungan serta melarang keluarganya meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan dengan jabatannya; dan bertindak diskriminatif. Rancangan Pasal 97 RUU MA mengatur tentang larangan bagi hakim ketika memutuskan perkara : 1) membuat putusan yang melanggar Undangundang, 2). Membuat keputusan yang mengakibatkan kerusuhan, huru-hara, 3). Dilarang membuat putusan yang tidak mungkin dilaksanakan karena bertentangan dengan realitas ditengah-tengah masyarakat, adat-istiadat, dan kebiasaan yang turun temurun sehingga akan mengakibatkan pertikaian dan keributan; dilarang merubah keputusan bersama ketua Mahkamah Agung dan keputusan ketua Komisi Yudisial secara sepihak dan/atau keputusan bersama kode etik dan pedoman perilaku hakim secara sepihak. Gagasan tersebut menuai kontrovesi. Mantan ketua MA, Harifin A Tumpa mengatakan gagasan kriminalisasi putusan hakim merupakan upaya untuk meruntuhkan independensi dan merendahkan martabat hakim. Pendapat senada datang dari Ketua Mahkamah Agung, M.Hatta Ali, menyatakan bahwa kriminalisasi putusan hakim berakibat pada kualitas putusan, hakim akan berusaha mencari safety dalam setiap putusan. Advokat Senior, O.C, Kaligis, menyatakan 326
Kriminalisasi Hakim dan Eksistensi Prinsip Judicial Independence
pasal kriminaslisasi dalam RUU MA berpotensi menghadirkan peradilan jalanan. Akademisi Hukum, Romli Atmasasmita menilai gagasan kriminalisasi putusan hakim merupakan pelecehan terhadap individu hakim dan lembaga pengadilan. Sementara di pihak lain salah anggota parlemen tetap kukuh untuk mempertahankan rancangan pasal yang mengkriminalisasi hakim.1 Isu kriminalisasi hakim merupakan masalah serius yang tengah dihadapi dunia peradilan kita yang harus ditemukan penyelesaiannya baik dalam tataran akademik maupun praktis. Kriminalisasi hakim sebenarnya telah mengubah pemahaman teoritis tentang negara hukum yang selama ini diyakini secara teoritis bahwa lembaga pengadilan merupakan institusi independen dimana didalamnya diisi oleh orang-orang independen dalam mengeluarkan putusannya. Bila persoalan ini terus berlanjut maka taruhannya adalah keberadaan paham negara hukum dimana salah unsur penonggaknya adalah pengadilan yang independen. Dalam konteks ini tulisan ini hendak menjawab persoalan ini dari kacamata teoritis guna mencari solusi bagaimana memecahkan masalah kriminalisasi hakim dalam konteks negara hukum dan sistem peradilan pidana. B.
Independensi Pengadilan dan Negara Hukum Konsepsi Negara Hukum dan Independensi Pengadilan memiliki hubungan yang sangat erat karena keduanya menjadi condition sine quo non bagi yang lain. Keberadaan negara hukum tidak dapat terwujud manakala tidak adanya jaminan adanya kemerdekaan pengadilan. Independensi Pengadilan menjadi pilar utama dari terbentuknya bangunan negara hukum. independensi dimaknai sebagai terlepasnya campur tangan lembaga-lembaga negara di luar pengadilan terutama eksekutif dan legislatif dalam melaksanakan fungsi-fungsi peradilan.2 Konsep negara hukum dalam perkembanganya mengalami berbagai varian berdasarkan pada praktek negara-negara. Setidaknya terdapat empat model negara hukum yang berkembang di dunia dengan cirri khas yang berbeda yaitu; konsep rule of law, konsep rechstaat, konsep negara hukum sosialis (socialist legality) dan konsep negara hukum Pancasila.3 Konsep rule of law lahir sebagai reaksi terhadap kuatnya praktek absolutism yang berlaku pada zaman abad pertengahan dalam pemerintahan di negara-negara Eropa. Di Prancis misalnya Raja Louis ke XIV menganggap bahwa negara adalah raja (le’etas c’ est moi). Belanda di bawah kekuasaan Raja Philip II menerapkan pemerintahan yang absolut. Inggris ketika diperintah oleh raja William sampai Henry II menerapkan pemerintahan yang absolut.4 Dapat dikatakan bahwa hadirnya konsep rule of law adalah bentuk perlawanan terhadap absolutisme raja. Konsep negara hukum kemudian melahirkan ciri khusus yaitu berperannya hukum sebagai satu-satunya instrumen 1 2 3 4
Komisi Hukum Nasional, Penjara untuk Hakim, Newsletter Komisi Hukum Nasional, Vol. 12.Nomor 06 tahun 2012. Ahmad Mujahidin,2006, Peradilan Satu Atap di Indonesia , Refika Aditama, Bandung, hlm.53 Marwan Effendy,2005, Kejaksaan : Posisi Dan Fungsinya Dari Perpektif Hukum, PT. Gramedia Pustaka utama, Jakarta hlm. 15-35 Ibid. 327
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
untuk mengatur kehidupan negara, adanya perlindungan HAM dan persamaan kedudukan di depan hukum. A.V Dicey5 memberikan tiga ciri dari sebuah negara sehingga dapat dikatakan sebagai negara hukum, yaitu : a) The absolute predominance of law (supremasi hukum) b) Equality before the law (persamaan kedudukan di depan hukum) dan c) The Concept according to which the constitution is the resul of the recognition of individual right by judges (perlindungan dan pengakuan terhadap HAM) Unsur supremasi hukum dalam konsep rule of law merupakan bentuk penentangan terhadap absolutisme raja dan pemerintah. Dalam rule of law yang paling berkuasa dan menjalankan kekuasaan adalah hukum bukan pada kekuasaan raja atau pemerintah semata. Bahkan ketika pemerintah menjalankan kekuasaanya harus tunduk pada hukum. Hukumlah yang memerintah pemerintah.Unsur persamaan di depan hukum (equality before the law) bermaksud menyatakan bahwa semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum bagi semua golongan dan di depan pengadilan. Dalam negara hukum tidak ada diskriminasi antara warga negara yang satu dengan yang lain, atau antara pejabat negara dengan warga negara semua kedudukannya sama. Penyelenggara negara tidak ada keistimewaan untuk tidak taat pada hukum.Unsur perlindungan dan pengakuan terhadap HAM hendak menghadirkan bahwa di dalam rule of law, HAM merupakan bagian penting dalam negara. Negara menjamin perlindungan dan pengakuan terhadap HAM semua warga negara. Konstitusi menjamin perlindungan HAM warga negaranya. Pemikiran AV Dicey tentang rule of law mengalami perluasan pengertian sebagaimana yang diuraikan H.W.R.Wade6 yang mengatakan bahwa terdapat lima aspek penting dalam konsep rule of law, yaitu : 1) Semua tindakan pemerintah harus menurut hukum; 2) Pemerintah harus berprilaku dalam suatu bingkai yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prinspi-prinsip yang membatasi kekuasaan diskresi; 3) Sengketa mengenai keabsahan (legality) tindakan pemerintah akan diputuskan oleh pengadilan yang murni independen dari eksekutif; 4) Harus seimbang antara pemerintah dan warga negara; dan; 5) Tidak seorang pun dapat dihukum kecuali atas kejahatan yang yang ditegaskan menurut undang-undang. Konsep Rechtstaat juga lahir dari perjuangan melawan absolutisme yang mengalami perkembangan revoluisioner dan tumbuh kembang dipraktekan di negara-negara dengan sistem eropa kontinetal atau civil law. Konsep negara hukum rechtstaat berkembang dengan konsep negara hukum liberal yang berpijak pada dua kebebasan (liberty) dan persamaan (equality). Imanual Kant sebagai pelopor
5 6
328
A.V Dicey, An Introduction to the study of law of the constitution, 10th end, (London : 1973), hlm.202 H.W.R. Wade, Administrative law, Oxford, UK, 1984 hlm.22-24 sebagaimana terkutip dalam Marwan Effendy, 0p.cit
Kriminalisasi Hakim dan Eksistensi Prinsip Judicial Independence
pandangan ini dianggap sebagai pendukung paham negara hukum liberal.7 Negara hukum ―versi‖ Kant ini dianggap sebagai negara hukum klasik dimana negara bersifat pasif dimana negara bertugas sebagai penjaga keamanan dan ketertiban semata (nachwakerstaat). Van der Pot-Donner mengemukakan ciri negara klasik adalah : 1) hubungan antara pemerintah dan rakyat dimuat dalam konstitusi; 2) adanya jaminan pemisahan kekuasaan dalam konstitusi; 3) konstitusi menjamin adanya hak-hak kebebasan rakyat. Pandangan negara hukum rechstaat versi Kant kemudian disempurnakan oleh F.J. Stahl melalui konsep negara hukum formal dengan unsure-unsur utama : 1) adanya pemisahan kekuasaan berdasarkan teori trias politica; 2) pemerintahan yang berdasarkan undang-undang; 3) adanya pengadilan administrasi negara.8 Pendapat F. J. Stahl di atas kemudian ditambahkan oleh Paul Scholten dengan mengatakan bahwa negara hukum juga harus memiliki asas yaitu adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak warga negara oleh hukum dan adanya pemisahan kekuasaan. Pendapat M Scheltema mengatakan bahwa negara hukum mempunyai empat asas utama : kepastian hukum, persamaan, demokrasi, dan pemerintahan dibentuk untuk melayani rakyat.9 Gagasan negara hukum kemudian secara eksplisit terlihat dalam konstitusi republic Indonesia. Ketika UUD 1945 belum dilakukan amandemen dekalarasi bahwa Indonesia terlihat secara jelas dalam penjelasan UUD 1945 yang mengatakan bahwa ―negara berdasarkan atas hukum (rechstaat). Pasca amandemen ketiga UUD 1945 gagasan negara hukum kemudian diatur dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa ― Negara Indonesia adalah negara hukum‖. Pengakuan tersebut merupakan sebuah kemajuan yang progresif dalam menempatkan konsep hukum dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Konsep negara hukum dalam konstitusi hendak menegaskan kembali prinsipprinsip negara hukum yang secara teoritis diuraikan di atas yaitu : supremasi hukum, equality before the law, kekuasaan pengadilan yang indenependen dan negara kesejahteraan, demokrasi, dan perlindungan HAM. Secara konsepsional judicial independence dalam konsepsi negara hukum menurut Alexis De Tocqueville10 dicirikan oleh tiga hal : pertama, judicial independence merupakan pelaksanaan fungsi peradilan yang bekerja jika ada pelanggaran hukum atau hak warga. Lembaga negara lain tidak memiliki hak untuk campur tangan. Kedua, lembaga judicial dapat berperan manakala ada kasus 7
8 9 10
Philipus M Hadjon,1997, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia : Sebuah Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penerapanya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum Dan Pemebntukan Peradilan Administrasi Negara, : Bina Ilmu, Surabaya, hlm.80. Padmo Wahjono,1986, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, cet ke-2,Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm.151 Ibid. Alexis De Tocqueville, 1994, Democracy in America, David Campbell Publisher, London, hlm. 99. 329
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
pelanggaran hukum yang secara khusus. Ketiga, kekuasaan pengadilan hanya dapat berfungsi jika adanya sengketa yang diatur dalam hukum. Lembaga pengadilan yang independen akan menjamin tidak adanya manipulasi penyalahgunaan kekuasaan judicial dimaksudkan untuk menghindari agar ketika pengadilan mengadili perbuatan pemerintah yang berwenangberwenang lembaga pengadilan tidak menyalahgunakan kewenangan itu untuk membenarkan tindakan yang melanggar hukum yang dilakukan oleh pemerintah.11 Dalam hubungannya dengan ide negara konstitusional maka judicial independence merupakan mekanisme yang tepat untuk mempertahankan konstitusi dan keadilan.12 Menurut Herbert Jacob13 independensi pengadilan dapat diuji dalam dua hal yaitu ketidakerberpihakan (impartiality) dan keterputusan relasi dengan actor politik (insurlarity). Ketidakberpihakan hakim dimaknai bahwa putusan hakim didasarka pada hukum dan fakta-fakata persidangan, bukan karena ada hubungan dengan salah satu pihak. Hakim berada di tengah-tengah untuk memutuskan perkara tanpa dipengaruhi oleh pihak lain. Tidak adanya relasi politik dengan salah satu menjamin bahwa putusan yang diambil pengadilan lepas dari pengaruh politik salah satu pihak. Bagir Manan14 menyatakan konsep judicial independence terkadung tiga pengertian. Pertama, adanya kebebasan lembaga pengadilan untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi judicial (memeriksa, mengadili dan memutus perkara). Kedua, larangan bagi kekuasaan ekstra judicial untuk mencampuri urusan pelanggaran peradilan. Ketiga, judicial independence merupakan pelaksanaan konsep negara hukum. Prinsip judicial indepence dalam negara hukum telah menjadi kesepakatan masyarakat internasional melalui berbagai instrumen hukum yang bersifat soft law.15 Pada tahun 1986 Kongres PBB di Milan Italia mengeluarkan sebuah instrumen hukum berupa Deklarasi PBB tentang basic principles on the independence of the judiciary dalam deklarasi tersebut disebutkan bahwa prinsip judicial indepence shall be guaranteed by the State and enshrined in the Constitution or the law of the country. It is the duty of all governmental and other institutions to respect and observe the independence of the judiciary. Prinsip kemerdekaan pengadilan harus dijamin semua negara dan didiakomodir dalam konstitusi ataupun peraturan peundang-undangan lainnya. Menjadi kewajiban bagi
11 12 13 14 15
330
Ahmad Mujahidin, Idem. Jimly Assidiqie,2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 80. Herbert Jacob, Cour, Law and Politics in comparative perpective, Bagir Manan,2005, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), FH UII Press, 2005, hlm. 122 Soft law dalam hukum internasional adalah instrument hukum internasional yang tidak dibuat dalam bentuk perjanjian internasional yang mengikat negara-negara tetapi merupakan hasil kesepakatan masyarakt, tetap memiliki nilai keberlakuan secara moral dan ditaati oleh negara-negara. D.J. Harris, Cases and Materials On International Law, fifth edition, Sweet and Maxwell, London, 1998, hlm. 768.
Kriminalisasi Hakim dan Eksistensi Prinsip Judicial Independence
pemerintah untuk dan istitusi lainnya dalam pemerintah untuk menghormati prinsip judicial indepence di negaranya. Pada tahun 1995 bertempat di Beijing Para petinggi Mahkamah Agung dari negara-negara Asia mengeluarkan pernyataan bersama tentang Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the LAWASIA yang kemudian dikenal dengan Beijing Statement mengemukakan kembali prinsip judicial independence bahwa ― the judiciary shall decide matters before it in accordance with its impartial assessment of the facts and its understanding of the law without improper influences, direct or indirect, from any source, dan The judiciary has jurisdiction, directly or by way of review, over all issues of a justiciable nature. Maksudnya, pengadilan dalam memutuskan perkara didasarkan pada prinsip ketidakberpihakan (impartial) yang didasarkan pada fakta-fakta dan hukum tanpa dipengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung dari siapapun. Pada tahun 2002 petinggi Mahkamah agung di dunia mengeluarkan sebuah Deklarasi tentang Perilaku Hakim yang kemudian dikenal dengan The Bangalore Principles Of Judicial Conduct 2002. Dalam Dekarasi tersebut disebutkan bahwa prinsip utama bagi eksistensi dari kemerdekaan pengadilan adalah‖...is a prerequisite to the rule of law and a fundamental guarantee of a fair trial. A judge shall therefore uphold and exemplify judicial independence in both its individual and institutional aspects.‖ Kemerdekaan kekuasaan pengadilan merupakan prasyarat bagi adanya negara hukum dan merupakan jaminan bagi adanya pengadilan yang fair. Oleh karena itu seorang hakim harus diberikana dua dimensi kemerdekaaan, yaitu kemerdekaan ketika mengeluarkan putusan dan kemerdekaan kelembagaan. Sejalan dengan prinsip-prinsip judicial indendence yang sudah universal tersebut maka UUD NRI tahun 1945 pada amandemen ketiga mengukuhkan kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam konstitusi Indonesia yang baru. Pasal 24 UUD NRI 1945 menyatakan bahwa ― kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan‖. Jaminan Kemerdekaan kekuasaan kehakiman diatur kembali dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 3 ayat (1) UU ini menyatakan bahwa‖ dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.‖ Bahkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) mengatur secara ekstrim dengan mengatakan larangan bagi setiap orang maupun institusi di luar pengadilan untuk mempengaruhi kemandirian kekuasaan kehakiman. Pasal 3 ayat (3) mengkriminalisasi perbuatan setiap orang yang dengan sengaja mengintervensi kemandirian kekuasaan kehakiman. Kemerdekaan hakim dalam menjalan kekuasaan kehakiman bukanlah kebebasan yang tanpa batas. Begitu besarnya kekuasaan yang diberikan undangundang kepada hakim maka potensi untuk menyalahgunakan kewenangan itu begitu besar. Maka kebebasan itu perlu ada rambu-rambu supaya tidak
331
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
disalahgunaka. Bagir Manan16 menyatakan pembatasan kebebasan hakim harus memperhatikan aspek kebebasan hakim juga menjaga agar tidak terjadi penyalahgunaan kebebasan itu. Untuk menjaga marwah kebabasan itu maka terdapat beberapa rambu yang perlu diperhatika. Pertama, setiap putusan hakim harus berdasarkan pada hukum. Kedua, Hakim memutuskan perkara berdasarkan pada upaya untuk mewujudkan keadilan. Ketiga, dalam melaksanakan penafsiran, konstruksi atau menemukan hukum17 hakim harus berpegang teguh pada asas-asas umum hukum (general principles of law) dan asas keadilan yang umum (the general principles of natural law), dan keempat, harus menciptakan suatu mekanisme yang memungkinkan untuk menindak hakim yang melakukan kesewenang-wenangan atau menyalahgunakan kebebasannya. C. Kriminalisasi Hakim dan Dampaknya Terhadap Eksistensi Prinsip Judicial Independence. Kriminalisasi profesi hakim melalui Undang-undang merupakan ancaman bagi keberadaan prinsip judicial independence, tetapi juga menganggu keberadaan prinsip negara hukum. Ketika Undang-undang SPPA melakukan kriminalisasi dan RUU MA berniat melakukan kriminalisasi profesi hakim maka sesungguhnya merupakan ancaman bagi profesi hakim juga indpendensi kelembagaan Mahkamah Agung. Hakim kemudian secara psikis tidak bebas untuk mengambil putusan karena selalu dibayangi oleh ancaman pidana. Terhadap kriminalisasi Hakim melalui Undang-undang SPPA menimbulkan reaksi dari para hakim. Sembilan hakim, baik yang berasal dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi maupun mahkamah agung,18 mengajukan permohonan judicia review terhadap Pasal 96, ketentuan Pasal 100, dan ketentuan Pasal 101 UU SPPA. Perjuangan para hakim untuk keluar dari jeratan UU SPPA akhirnya pada tanggal 23 maret 2013 mahkamah konstitusi mengabulkan semua permohonan para pemohon dan menyatakan Pasal 96, Pasal 100, dan 101 UU SPPA bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian Pasal 96, Pasal 100, dan 101 UU SPPA tidak lagi mempunyai kekuatan hukum berlaku.
16 17
18
332
Ibid. Bagir Manan, Hakim dan Prospek Hukum, dalam Sinta Dewi, et al, (ed), 2012, Perkembangan Hukum di Indonesia : Tinjauan Retrospeksi dan Prospektif, Kumpulan Tulisan Dalam Rangka 70 Tahun Prof.DR. Mieke Komar, SH.,MCL, Kerjasa PT.Remaja Risdakarya dengan Bagian Hukum Internasional FH UNPAD, Bandung, hlm. 146-147. Para pemohon judicial review terdiri dari : Dr. H. Mohammad Saleh, S.H., M.H (hakim agung) Dr. Drs. Habiburrahman, M.Hum ( Hakim Agung),Dr. Imam Subechi, S.H., M.H. (Hakim Agung), Imron Anwari, S.H., Spn., M.H. (Hakim Agung), Suhadi, S.H.,M.H ( Hakim Agung H. Kadar Slamet, S.H., M.Hum.(Hakim Tinggi Pengawas) I Gusti Agung Sumanatha, S.H., M.H. (Hakim Tinggi) Nama : Drs. Abdul Goni, S.H., M.H. (Hakim Pengadilan Agama) dan Mien Trisnawati, S.H., M.H. (Wakil Ketua Pengadilan Negeri Metro)
Kriminalisasi Hakim dan Eksistensi Prinsip Judicial Independence
Kriminalisasi Hakim melalui Undang-undang SPPA data dianalisis dalam dua perpesktif. Pertama, perspektif indendependensi pengadilan dalam bingkai negara hukum dan, Kedua, perspektif Politik Pemidanaan. Dalam perspektif judicial independence menarik untuk dikutip pendapat Prof. Bagir Manan ketika memberikan kesaksian dalam persidangan judicial review perkara Nomor 110/PUU-X/2012. Menurut Prof. Bagir Manan asas judicial independence merupakan asas fundamental bagi keberadaan negara hukum demokratis (democratische rechtsstaat). Didalam asas tersebut mengandung dua makna, Pertama, kekuasaan kehakiman yang lepas dari pengaruh pemerintah harus dimaknai sebagai pemerintah dalam arti luas yang tidak saja kekuasaan eksekutif, tetapi juga meliputi kekuasaan legislatif dan lembaga negara yang lain, Kedua, larangan bagi lembaga-lembga negara tadi untuk tidak intervensi dalam proses yudisial (judicial process) pada suatu perkara konkrit (case and controvercy). Bagir Manan menjelaskan lebih lanjut larangan bagi organ negara untuk mengambil setiap kebijakan, penetapan, tindakan yang akan atau dapat secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi judicial independence, termasuk didalamnya adalah pembentukan Undang-Undang yang memuat substansi yang dapat mempengaruhi judicial indpendence. Kata mempengaruhi termasuk beban psikologis yang dialami hakim ketika harus menerima akibat dari putusa yang dikeluarkannya. Menarik pula merujuk pendapat-pendapat Mahkamah Konstitusi dalam kasus-kasus terkait judicial independence yang diputuskan sebelum keluarnya putusan kasus ini, misalnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 bertanggal 23 Agustus 2006, Nomor 28/PUU-IX/2011 dan bertanggal 31 Juli 2012 dan Nomor 37/PUU-X/2012 bertanggal 31 Juli 2012.Dalam putusan-putusan tersebut MK memberikan prinsip dasar judicial independence dalam sistem ketatanegaraan Indonesia terwujud dalam kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi dari pelbagai pengaruh yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi secara langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa,kelompok atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya. Jalan pikiran ini sejalan dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa bahwa Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU 11/2012 yang memuat ancaman pidana kepada pejabat khusus dalam penyelenggaraan SPPA, yaitu hakim, pejabat pengadilan, penyidik, dan penuntut umum merupakan ketentuan-ketentuan yang tidak konstitusional karena bertentangan dengan prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan independensi pejabat khusus yang terkait yang memberikan jaminan hukum bagi penyelenggaraan peradilan yang merdeka. Berangkat dari pendapat pakar dan pertimbagan mahkamah di atas maka penulis berpendapat bahwa sesunngguhnya upaya kriminalisasi hakim melalui peraturan perundang-undangan dalam UU SPPA maupun Draft RUU MA merupakan suatu hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip judicial indepence yang telah diakui oleh masyarakat internasional. Kesepakatan internasional 333
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
tersebut tidak menghendaki adanya ancaman hukuman atau sanksi pidana terhadap pelaku kekuasaan kehakiman selain terhadap pelanggaran kode etik selama menjalankan tugas dan wewenangnya. Sanksi pidana hanya dijatuhkan terhadap para hakim yang telah terbukti meyakinkan melakukan suatu tindak pidana. Kesepakatan bersama di atas bahkan mewajibkan pelaku kekuasaan kehakiman tetap memelihara integritas dan dibebaskan dari intervensi dari balk eksekutif maupun legislatif. Hal ini menunjukkan pula lemahnya pemahaman tentang sistem ketatanegaraan di kalangan pembentukan undang-undang. Semestinya prinsip judicial independence yang tidak lagi menjadi norma hukum nasional tetapi menjadi norma hukum internasiona harus dipahami dengan baik oleh pembentuk undang-undang agar tidak menimbulkan dampak yang buruk bagi keberadaan negara hukum. Perspektif lain untuk melihat kriminalisasi hakim politik kriminalisasi. Kecenderungan menkriminalisasi hakim melalui peraturan perundang-undangan menunjukkan tidak jelasnya arah politik kriminalisasi. Kriminalisasi melalui Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU Nomor 11/ tahun 012 tentang SPPA dan Pasal 95 dan Pasal 97 RUU MA tidak sejalan dengan prinsip-prinsip kebijakan kriminalisasi yang secara teoritis dianut. Dalam Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional pada bulan Agustus 1980 di Semarang. Terdapat kesepakatan ilmiah bahwa politik kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik criminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.Kriteria politik kriminalisasi didasarkan pada criteria-keriteria: Pertama, Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan Korban atau dapat mendatangkan korban; Kedua, apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai, artinya biaya pembuatan Undang-Undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban, dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai, Ketiga, Apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya, dan d). keempat, Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa Indonesia sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.19 Menurut Barda Nawawi Arief20 politik kriminalisasi harus didasarkan pada orientasi kebijakan (policy oriented approach) yang bersifat pragmatis, rasional dan fungsional, dan juga pendekatan yang berorientasi pada nilai (value judgment approach). Pendekatan kebijakan, padahakikatnya merupakan bagian dari kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan sebagai bagian dari kebijakan penegakan 19 20
334
Terkutip dalam materi gugatan Pemohon perkara Nomor 110/PUU-X/2012. Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hal. 27-33
Kriminalisasi Hakim dan Eksistensi Prinsip Judicial Independence
hukum. Sedangkan pendekatan nilai, pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi dan reevaluasi) nilai-nilai sosiopolitik, sosio-filosofis, sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Menarik pula dikemukakan pendapat Romli Atmasasmita ketika menyampaikan kesaksian ahli dalam persidangan judicia review terhadap undangundang SPPA bahwa secara teknis pencantuman ancaman pidana dalam sebuah undang-undang harus didasarkan pada derajat perbuatan (grativity). Jika sebuah perbuatan pelanggaran terhadap suatu kewajiban maka itu merupakan pelanggaran ringan yang tidak perlu dihukum dengan hukum pidana, sebaliknya jika perbuatan pelanggaran terhadap hukum pidana maka perbuatan itulah yang dapat dihukum dengan ancaman pidana. Kriminalisasi terhadap putusan hakim atau kewajiban administrasi pidana merupakan kebijakan "overcriminalization" atau "kriminalisasi melampaui batas kepatutan" dan sekaligus juga merupakan kebijakan hukum yang bersifat "overpenalisasi".yang bertentangan dengan asas-asas fundamental hukum, asas proprosionalitas dan asas subsidiaritas serta prinsip "due process of law" dan asas "fair trial and impartial" yang diakui secara universal. Disamping itu kebijakan kriminalisasi terhadap pelanggaran admintrasi dan putusan hakim sebagai ―mahkota hakim‖ merupakan cerminan bentuk intervensi atau mempengaruhi integritas dan kredibilitas serta kapabiltas judicial indpendence yang merdeka. Romli Atmasamita memandang bahwa kriminalisasi hakim merupakan ancaman sanksi terhadap pelaku kekuasaan kehakiman cenderung merupakan proses stigmatisasi terhadap kedudukan dan martabat seorang Hakim yang bertentangan dengan prinsip judicial indepence yang dianut dalam UUD 1945. D. Kesimpulan dan Saran Uraian diatas memperlihatkan dua hal, terkait dengan kriminalisasi hakim dan keberadaan prinsip judicial independence. Pertama, kriminalisasi melalui peraturan perundang-undangan merupakan bentuk intervensi pihak eksekutif dan legislatif terhadap kekuasaan kehakiman yang telah dijamin oleh konstitusi dan prinsip-prinsip hukum yang telah diterima oleh masyarakat internasional. Intervensi ini jelas akan mengancam keberadaan negara hukum yang telah dijamin pula oleh konstitusi. Kedua, kriminalisasi hakim melalui Undang-undang menunjukkan tidak jelasnya politik hukum kriminalisasi dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Perbuatan yang seharusnya tidak dapat dipidana tetapi dipaksa untuk dipidana sehingga terjadi over-criminalization. Kecenderungan untuk melakukan upaya kriminalisasi hakim melalui undang-undang pada masa yang akan datang diperikrakan semakin terus dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Pembahasan RUU Mahkamah Agung, RUU KUHAP, RUU KUHP yang sedang dibahas di DPR jelas berhubungan dengan Kekuasaan Kehakiman dan sangat potensial untuk lahirnya ketentuan-ketenuan sebagaimana tercantum dalam UU SPPA yang berupaya untuk melakukan kriminalisasi hakim sebagai profesi mulia yang dijamin kemerdekaanya oleh 335
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
konstitusi. Oleh karena itu diperlukan langkah antisipatif agar tidak terulang kembali kesalahan dalam mengambil kebijakan hukum yang akan mengganggu independensi pengadilan dan prinsip negara hukum. Untuk itu diperlukan dua langkah penyelesaian sebagai rekomendasi dari tulisan ini : pertama, hendaknya pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) dalam penyusunan Undang-undang meletakkan prinsip judicial indepennce sebagai salah satu pilar negara hukum harus dipertimbangkan secara matang dalam mengambil kebijakan hukum. kedua, hendaknya ada kejelasan politik kriminalisasi dalam penyusunan peraturan perundang-undangan sehingga jelas perbuatan apa yang dapat dipidana atau tidak dapat dipidana.
DAFTAR PUSTAKA A.V Dicey, 1973, An Introduction to the study of law of the constitution, 10th end, 1973, London . Ahmad Mujahidin,2006, Peradilan Satu Atap di Indonesia , Refika Aditama, Bandung. Alexis De Tocqueville, 1994, Democracy in America, David Campbell Publisher, London. Bagir Manan,2005, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), FH UII Press, 2005. Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Prenada Media Group, Jakarta. D.J. Harris, 1998, Cases and Materials On International Law, fifth edition, Sweet and Maxwell, London. H.W.R. Wade, Administrative law, Oxford, UK, 1984 hlm.22-24 sebagaimana terkutip dalam Marwan Effendy, 0p.cit Jimly Assidiqie,2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Konstitusi Press, Jakarta. Komisi Hukum Nasional, Penjara untuk Hakim, Newsletter Komisi Hukum Nasional, Vol. 12.Nomor 06 tahun 2012. Marwan Effendy,2005, Kejaksaan : Posisi Dan Fungsinya Dari Perpektif Hukum, PT. Gramedia Pustaka utama, Jakarta. Padmo Wahjono,1986, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, cet ke2,Ghalia Indonesia, Jakarta. Philipus M Hadjon,1997, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia : Sebuah Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penerapanya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum Dan Pemebntukan Peradilan Administrasi Negara, : Bina Ilmu, Surabaya.. Sinta Dewi, et al, (ed), 2012, Perkembangan Hukum di Indonesia : Tinjauan Retrospeksi dan Prospektif, Kumpulan Tulisan Dalam Rangka 70 Tahun Prof.DR. Mieke Komar, SH.,MCL, Kerjasa PT.Remaja Risdakarya dengan Bagian Hukum Internasional FH UNPAD, Bandung. 336
KEWENANGAN HAK UJI MATERIL PADA MAHKAMAH AGUNG RI
Enrico Simanjuntak Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Serang-Banten
[email protected] Abstrak Berdasarkan ketentuan pasal 24A (1) UUD 1945, Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Hal ini berarti pihak pencari keadilan dapat mengajukan permohonan hak uji materil di bawah undang-undang kepada MA dengan alasan antara lain ketentuan yang dimohonkan uji materi tersebut bertentangan dengan hirarki peraturan yang lebih tinggi dalam sistem hukum nasional. Dalam pengujian ini, Mahkamah Agung memiliki kesempatan untuk menilai legitimasi (keabsahan) dan menentukan apakah peraturan yang diuji telah melampui kewenangan atau tidak sesuai dengan kewenangan. Mahkamah Agung berwenang untuk membatalkan peraturan yang bertentangan dengan hirarki peraturan yang lebih tinggi. Tulisan ini menganalisis kewenangan Mahkamah Agung dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dengan melacak sejarah pengujian hak uji materi sebelum diberlakukan PERMA No. 1/1993 sampai dengan diberlakukannya Perma No. 1/2011, termasuk mempelajari beberapa aspek hukum acara dalam Perma tersebut. Kata Kunci : Mahkamah Agung, Hak Uji Materi, Hukum Acara. Abstract Under art 24A(1) of the Constitution, the Supreme Court is granted the power to review legal instruments below laws (undang-undang). This means that an applicant could seek judicial review of regulations other than Acts of Parliament (Undang-Undang) with a request to strike it out because, for example, it contravenes national laws. This would provide the courts with an opportunity to review the legitimacy of the regulation and determine whether it is ultra vires, or beyond power. The Supreme Court has the power to cancel a regulation if it is found to be in conflict with a higher law. This article analyses the judicial review in the Supreme Court. It begins by highlighting the origins and formation of judicial review before the regulation promulgation of the Supreme Court (PERMA) No. 1/1993, and then examines several aspects of procedural law in the current Supreme Court Regulation in No. 1/2011. Keywords : Supreme Court, Judicial Review, Procedural Law. A. Sejarah Singkat Kewenangan Hak Uji Materil MA. Gagasan pemberian kekuasaan hak menguji undang-undang telah dimulai pada saat rapat-rapat persiapan kemerdekaan Indonesia. Namun, ketiadaan atau keterbatasan ahli hukum pada awal berdirinya negara Indonesia menjadi salah satu alasan pragmatis dari Soepomo untuk menolak diberikannya kewenangan menguji 337
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
undang-undang kepada kekuasaan kehakiman dalam konstitusi Indonesia. Alasan keterbatasan ahli hukum itu direkam oleh Wiryono Prodjodikoro21 dalam catatannya tentang urgensi peradilan administrasi sbb : ―Hak kekurangan keahlian inilah yang menimbulkan keragu-raguan dalam hati sanubari segenap pembicara dalam pertemuan para ahli hukum tersebut. Terutama Prof. Logemann adalah sangat tegas dalam kesimpulannya, bahwa menurut pendapatnya hal yang pertama-tama harus diperhatikan di Indonesia ialah suatu usaha memperbaiki berjalannya tata-usaha pemerintahan secara mengatur sebaik-baiknya pemisahan Pengadilan dan Pamongpraja, menyempurnakan hukum tata-usaha pemerintahan, memperbaiki hal pengawasan di dalam tata usaha pemerintahan, dan mengadakan pengawasan atas tindakan pemerintah oleh badan-badan perwakilan rakyat. Pada akhirnya Ketua Pertemuan tersebut Mr. van Dunne mengemukakan bahwa sebagai hasil dari pembicaraan diantara semua pembicara ialah, bahwa belum dirasakan keperluan untuk lekas-lekas mengadakan pengadilan dalam soal-soal tata usaha secara prinsipil dan luas‖. Pada tanggal 27 Desember 1949 berdiri negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS) yang hanya berumur 7 bulan 21 hari, karena kemudian pada tanggal 17 Agustus 1950, negara Indonesia kembali ke Negara Kesatuan. Dalam pemerintahan RIS, pembuatan undang-undang dilakukan oleh Presiden dan Menteri-Menteri bersama dengan DPR, kecuali kalau mengatur hal-hal khusus mengenai hal tertentu, beberapa atau semua daerah bagian, maka bersama-sama juga dengan Senat (Pasal 127 KRIS). Berdasarkan ketentuan pasal 130 ayat (2) KRIS disebutkan bahwa objek hak uji materi di MA adalah undang-undang negara bagian yang bertentangan atau tidak sesuai dengan konsitusi.22 Dalam UUD Sementara Tahun 1950, hak uji menguji secara materil tidak dapat dilakukan. Artinya tidak ada satu kekuasaan pun, termasuk MA, yang mempunyai wewenang untuk menguji, apakah isi suatu undang-undang bertentangan dengan UUD atau tidak.23 Sedangkan, menurut Henry P. Panggabean objek HUM dalam periode UUDS adalah peraturan pemerintah dan peraturan daerah (vide pasal 95 ayat (2) UUDS).24 Praktek pengujian peraturan oleh para hakim di pengadilan sebenarnya telah ada sejak zaman kolonial, terutama pada masa pendudukan Belanda-jauh sebelum M. Yamin mengemukakan pemikiran itu dalam sidang pleno BPUPKI.25 21 22 23 24
25
338
Prodjodikoro, Wirjono. Bunga Rampai Hukum, Karangan Tersebar, Ichtiar Baru, Jakarta, 1974. Hlm. 195. Soemantri M., Sri. Hak Uji Material di Indonesia, Edisi Kedua 1997, Alumni, Bandung, 1997. Hal.28 Ibid. Hal. 30. Panggabean, Henry Pandapotan. Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Seharihari, Upaya Penanggulangan tunggakan perkara dan pemberdayaan fungsi pengawasan Mahkamah Agung, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001. Hal. 127. Harman, Benny K. Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi, Sejarah Pemikiran Pengujian UU Terhadap UUD. Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2013. Hal. 146.
Kewenangan Hak Uji Materil Pada Mahkamah Agung RI
Pada masa kolonial, para hakim melaksanakan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan sebagai bentuk protes terhadap beberapa peraturan Gubernur Jenderal yang mereka nilai bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dalam hal ini peraturan yang lebih tinggi merujuk pada undang-undang yang berlaku di negeri Belanda dan merujuk pada rasa keadilan dan hukum masyarakat negara jajahan. S. Amin menyebutkan ada beberapa yurisprudensi atau arrest Hooggerechtshof di zaman Hindia Belanda yang menunjukan bahwa para hakim di pengadilan telah mempraktikan pengujian UU baik secara formal maupun materil. Diantaranya arrest Hooggerechtshof tanggal 21 April 1921 perihal apakah suatu pengadilan berwenang mengadakan pemeriksaan tentang hak atau kewenangan seorang Gubernur Jenderal untuk membuat peraturan. Yurisprudensi tersebut menyatakan, hakim tidak hanya berwenang tetapi berkewajiban menyelediki apakah Gubernur Jenderal membuat ketentuan seturut garis kewenangan yang ada padanya. Contoh lain adalah putusan Dewan Pengadilan (Raad van Justitie) Medan 15 Juni 1934 dan 6 Oktober 1933. Putusan tersebut menguatkan putusan PN (Landraad) Langsa dan PN Tebing Tinggi yang secara garis besar menyatakan bahwa suatu ketetapan Gubernur Jenderal tidak sah dan karena itu tidak memiliki kekuatan mengikat lantaran isinya bertentangan dengan ketetapan lain yang disahkan oleh pembuat aturan yang lebih tinggi. Praktik hakim di pengadilan menilai dan menguji UU terhadap UUD semacam ini terus berlanjut pada masa Indonesia baru merdeka, sekalipun secara tegas UUD dan peraturan perundangundangan yang berlaku tidak memberikan kewenangan tersebut. Bahkan, secara tegas melarang praktik tersebut lewat ketentuan pasal 20 AbvW dari masa HindiaBelanda yang dinyatakan masih tetap berlaku (carry over). Dalam catatan Henry P. Panggabean26 terdapat satu yurisprudensi yang sebenarnya telah menerapkan hak uji (toetsingsrecht) itu dalam sengketa yang berkaitan dengan kewenangan Kantor Urusan Perumahan (KUP). Maksudnya, meskipun terdapat PP. 49/1963 sebagaimana ditegaskan dengan SEMA No. 5/1964 yang isinya menyatakan Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili sengketa sewa-menyewa perumahan dan pengosongannya melainkan hanya Kepala Kantor Urusan Perumahan yang berwenang pada tingkat pertama dan kepala daerah pada tingkat banding namun dalam praktik tetap sengketa perumahan diadili oleh Pengadilan Negeri. Namun, istilah hak uji sebagaimana digunakan oleh Henry P. Panggabean dalam persoalan di atas perlu dicermati lebih seksama karena menurut Penulis yang terjadi sebenarnya adalah ketidakjelasan yuridiksi dalam sengketa perumahan, artinya kendati terdapat peraturan perundang-undangan yang memberi kewenangan kepada Kepala Daerah dalam menyelesaikan sengketa perumahan namun kewenangan tersebut tetap beririsan dengan kewenangan Pengadilan Negeri dalam menyelesaikan soal-soal keperdataan di bidang perumahan (vide SEMA No. 18/1964)27. 26 27
Panggabean, Henry Pandapotan. Fungsi Mahkamah Agung Bersifat Pengaturan (Rule Making Power) Tahun 1966-2003. Liberty, Yogjakarta, 2005. Hal. 90-91 Selengkapnya lihat Junus, Anwar. Penuntun Praktis Perkara Perumahan di Jakarta. Penerbit dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1979. Sehubungan dengan itu, Zainal Arifin 339
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Namun harus diakui praktik pengujian peraturan perundang-undangan senantiasa terjadi, meskipun sebelum tahun 1993 para hakim tidak memiliki kewenangan tersebut. Hanya saja pengujian yang dilakukan tidak mengakibatkan pembatalan karena yang dilakukan hanya mengesampingkan suatu ketentuan atau aturan hukum tertulis. Selain itu, penilaian yang dilakukan para hakim selalu berkaitan dengan kasus kongkret yang mereka tangani di pengadilan. Pengesampingan suatu ketentuan merupakan bagian dari proses penemuan hukum atau interpretasi. Kendati sebelum tahun 1993, melalui ketentuan pasal 26 UU. No. 14/1970 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan pasal 31 UU. No. 14/1985 Tentang MA secara formal MA sudah memiliki kewenangan melakukan HUM, namun kewenangan tersebut terhalang oleh TAP MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan atau Antar Lembaga Tinggi Negara28. Konfigurasi politik Orde Baru yang membatasi kekuasaan kehakiman merupakan catatan kelam dalam perjalanan cita negara hukum Indonesia. Pada era tersebut sangat banyak peraturan maupun keputusan pemerintah (penguasa) yang selain tidak sesuai harmonisasi aturan hukum juga tidak sesuai dengan prinsip hak asasi manusia. Kepala BPHN pada era tersebut, C.F.G. Sunaryati Hartono mengatakan bahwa di Indonesia banyak UU yang dikebiri oleh Peraturan (pelaksanaan) di bawahnya. Menurut Sunaryati : ―…cukup banyak UU yang justruu dikebiri oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya. Itu terjadi karena pembuat peraturan tidak memperhatikan hierarki dan tata cara penyusunan peraturan perundang-undangan‖29. Dewasa ini, peranan peraturan perundang-undangan pelaksana undang-undang atau biasa disebut subordinate legislations dianggap semakin penting dan bahkan cenderung terus berkembang dalam praktik di hampir semua Negara hukum modern. Sebabnya adalah parlemen dan presiden tidak mempunyai cukup waktu untu secara mendetail memberikan perhatian mengenai segala urusan teknis mengenai materi suatu undang-undang. Sehubungan dengan hal tersebut, Gary Slapper & David Kelly
28
29
340
Hoessein, dengan mengutip Sri Soemantri, juga mencacat bahwa putusan MA No. 1631/K/Sip/1974 tanggal 21 Oktober 1975 merupakan sebuah ―pengujian peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang‖ yakni sebagai pelaksanaan pasal 26 UU. No. 14 Tahun 1970. Duduk permasalahan dalam putusan tersebut adalah keputusan yang dikeluarkan oleh Gubernur DKI No. 229/Spb/T/T/1973 tanggal 29 Maret 1973 bertentangan dengan UU. No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan HakHak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di atasnya. Menurut undang-undang ini, prosedur pencabutan hak atas tanah tersebut seharusnya dilakukan melalui permohonan yang berkepentingan kepada Menteri Agraria (sekarang BPN) dan selanjutnya Menteri Agraria meminta keputusan Presiden. Jadi pencabutan hak-hak atas tanah tersebut harus melalui keputusan Presiden. Selengkapnya lihat, Hoessein, Zainal Arifin. Judicial Review di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2009. Hal. 210-211. Lotulung, Paulus Effendi dkk, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Wewenang Mahkamah Agung Dalam Melaksanakan Hak Uji Materil (Judicial Review), Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan Perundang-Undangan RI, 2001. Jakarta. Hal. 1 dan 2 ―Banyak Pengebirian UU oleh Peraturan dibawahnya‖, Kompas, 8 Juli 1992.
Kewenangan Hak Uji Materil Pada Mahkamah Agung RI
menyatakan : ―Delegated legislation is of particular importance. Generally speaking, delegated legislation is law made by some person or body to whom Parliament has delegated its general law-making power. A validly enacted piece of delegated legislation has the same legal force and effect as the Act of Parliament under which it is enacted but, equally, it only has effect to the extent that its enabling Act authorises it‖.30 Dalam konteks ini, kewenangan untuk membentuk subordinate legislations itu harus dipahami dari rakyat. Karena itu lembaga pemerintah dan lembaga pelaksana undang-undang lainya tidak dapat menetapkan sesuatu peraturan perundang-undangan apapun kecuali atas dasar perintah atau delegasi kewenangan mengatur yang diberikan oleh lembaga perwakilan rakyat melalui undang-undang. Beberapa contoh subordinate legislations dewasa ini : 1. Peraturan Pemerintah 2. Peraturan Presiden 3. Peraturan Daerah 4. Peratuan Menteri (Bahkan beberapa Peraturan Dirjen yang masih berlaku)31 5. Peraturan-peraturan oleh lembaga-lembaga yang bersifat independen: a) Peraturan MK b) Peraturan MA c) Peraturan BI d) Peraturan BPK e) Peraturan KPI f) Peraturan KPU g) Peraturan KPPU h) Peraturan BRTI dsb Fenomena delegated legislations sebagai peraturan pelaksana perundangundangan (subordinate legislations) sangat penting di semua Negara. Karena pentingnya menurut A.W. Bradley dan K.D. Ewing harus memenuhi syarat : (1) Consultation of interest (2) Control by parliament (3) Publication of statutory instruments (4) Challenge in the courts Perintah atau delegasi kewenangan tersebut oleh Maria Farida Indrati S. dibedakan lagi antara peraturan pelaksanaan (verordung) dengan peraturan otonom (autonome satzung). Peraturan pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi (delegatie van wetgevingbevoegdheid) sedangkan peraturan otonom bersumber dari kewenangan atribusi (attributie van wetgevingbevoegdheid).32 Sedangkan, Peter 30 31 32
Slapper, Gary & Kelly, David. The English Legal System, Sixth edition, Cavendish Publishing Limited, The Glass House, 2003. P.63. Contoh SK, SK Dirjen Bea Cukai, Keputusan Dirjen Pajak dsb Maria Farida sebagaimana mengutip Van Wijk/Koninjnenbelt, attributie van wetgevingbevoegdheid ialah pemberian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh Grondwet (Undang-Undang Dasar) atau Wet (Kepada Suatu Lembaga Negara/Pemerintahan. Sedangkan delegatie van 341
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Cumper, sebagaimana dikutip oleh Anna Erliyana, menyebutkan alasan-alasan mengapa parlemen mendelegasikan wewenang pengaturan kepada pemerintah yakni : 1) tekanan waktu di parlemen. Waktu yang dimiliki lebih baik digunakan untuk membahas hal-hal yang mendasar dalam peraturan perundang-undangan 2) Permasalahan dalam pembuatan peraturan modern lebih sering bersifat teknis, tidak efektif mendiskusikannya di Parlemen 3) Besar dan rumitnya skema pembaharuan dalam bentuk teknis, sulit untuk dimasukan ke Undang-undang yang menentukan prasayarat tertentu 4) lebih jauh adalah untuk pertimbangan praktis 5) pertimbangan praktis lagi, pemerintah lebih berpengalaman 6) Delegasi pengaturan lebih disukai dengan adanya kemungkinan pemulihan.33 Dari uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa dari segi kuantitas jumlah peraturan perundang-undangan akan senantiasa jauh lebih besar dari undangundang, mengikuti bentuk piramida hierarki norma Hans Kelsen, semakin ke bawah jenis peraturan semakin besar jumlah peraturan yang dikeluarkan untuk menindaklanjuti atau dibuat untuk mengatu atau menata tata kehidupan bersama dalam negara. Oleh karena itu, menjadi wajar hipotesis yang menyatakan bahwa kewenangan MA dalam menguji peraturan perundang-undangan di bawah undangundang semestinya dari segi kuantitas perkara akan jauh lebih besar jumlahnya daripada yang ditangani Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang. Kewenangan MA dalam bidang judicial review semestinya tidak dipandang minor atau memiliki signifikansi yang inferior dibandingkan kewenangan MK dalam melakukan constitutional review. Menurut Zainal Arifin Hoessein34 pengaturan pengujian peraturan memiliki korelasi yang positif dengan pelaksanaan pengujian peraturan. Hubungan ini dapat dijelaskan bahwa jika pengaturannya jelas dan memberikan kebebasan dan kemandirian terhadap lembaga yang diberikan wewenang untuk melakukannya maka pengujian peraturan perundang-undangan sebagai bagian dalam membangun pemerintahan yang demokratis, dapat dijalankan sebagaimana mestinya35. Tetapi
33 34 35
342
wetgevingbevoegdheid alah pemberian kewenangan membentuk peraturan perundangundangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan yang lebih rendah, baik pelimpahan dinyatakan dengan tegas maupun tindakan. Selengkapnya lihat Soeprapto, Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-Undangan I, Kanisius, Yogyakarta, 2007. hlm. 55-56. Erliyana, Anna. Keputusan Presiden : Analisis Keppres R.I. 1987—1998, Program Pascarsarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta 2005, hlm. 115-116. Hoessein, Zainal Arifin. Op. Cit. Hal. 239-240. Menurut Fajar Laksono Soeroso terkait dengan proses peradilan, terutama dalam perkara judicial review, ada anggapan bahwa proses peradilan di MK lebih fair dan terbuka. Hal ini dapat dimengerti mengingat seluruh proses persidangan di MK, terutama dalam perkara pengujian UU di MK ditentukan terbuka untuk umum, kecuali Rapat Permusyawaratan Hakim. Dalam praktiknya, MK sejak awal menerapkan asas audi et alteram partem. Di dalam hukum acara MK, asas ini tidak tegas dicantumkan. Namun pada dasarnya norma yang dirumuskan pasal-pasal undang-undang merupakan penjabaran asas ini. Begitu pula dalam Peraturan MK, seluruh ketentuannya mengarah pada pemberian kesempatan yang seimbang dalam memberikan keterangan mulai dari pemberitahuan permohonan, kesempatan mengajukan jawaban dan bukti-bukti, masuknya pihak-pihak berkepentingan dan lain sebagainya. Berbeda dengan di MK, proses peradilan di MA dalam perkara uji materi peraturan perundang-undangan di
Kewenangan Hak Uji Materil Pada Mahkamah Agung RI
sebaliknya, jika pengaturan justru membatasi ruang gerak lembaga yang diberikan wewenang untuk melaksanakannya, maka pelaksanaan pengujian peraturan tersebut sulit bahkan tidak dapat dilaksanakan. Hal ini dibuktikan oleh penelitian disertasi Zainal Arifin Hoessein dalam hal kewenangan judicial review di MA selama periode tahun 1970 s/d 1993 yang tidak ada atau tidak pernah diajukan oleh kelompok masyarakat yang dirugikan oleh peraturan yang dikeluarkan pemerintah. Setelah lebih dari dua dekade, kewenangan hak uji materil MA tidak terealisir, dalam sistem sistem politik hukum Orde Baru yang memiliki kecenderungan membatasi kekuasaan kehakiman, maka pada tahun 1993 merupakan babak bersejarah dalam aktualisasi kewenangan hak uji materil MA karena pada tahun tersebut untuk pertama kali diterbitkan Peraturan MA yang mengatur tata cara pengajuan hak uji materil ke MA. Munculnya PERMA tersebut merupakan reaksi terhadap adanya permohonan perkara hak uji materil oleh Surya Paloh sehubungan dengan pencabutan SIUP Harian Prioritas oleh Menteri Penerangan berdasarkan Peraturan Menteri Penerangan No. 01 Tahun 1984 yang dianggap bertentangan dengan UU Pokok Pers (UU. No. 11 Tahun 1966).36 Permohonan Surya Paloh tersebut langsung diajukan ke MA, akan tetapi kemudian ditolak, karena absennya aturan mengenai permohonan hak uji materi. Itulah sebabnya kemudian MA mengeluarkan PERMA No. 1/1993.37 B. Beberapa Catatan Tentang Kewenangan Hak Uji Materil MA. 1. Tata Cara Pengajuan PHUM PERMA No. 1 Tahun 2011 menguraikan bahwa pengajuan HUM ke MA tersebut dilakukan dengan cara 1) Langsung ke MA dan 2) Melalui PN yang
36 37
bawah UU lebih bersifat tertutup dan sepihak. Jika dicermati, PERMA No. 01 Tahun 2011 tidak menyebutkan mengenai pentingnya proses persidangan yang terbuka dan mengedepankan asas audi et alteram partem. Dalam Bab III Pemeriksaan dalam Persidangan Pasal 5 ayat (2) Perma tersebut hanya disebutkan bahwa Majelis Hakim Agung memeriksa dan memutus permohonan keberatan tentang Hak Uji Materiil tersebut dengan menerapkan hukum yang berlaku bagi perkara permohonan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya sesuai dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Dalam memutuskan sengketa kepemilikan Pulau Berhala, dengan berdasarkan PERMA No. 01 Tahun 2011, MA memutuskan secara sepihak dan tertutup oleh Majelis Hakim Agung tanpa melibatkan pihak-pihak yang terkait khususnya pihak-pihak yang bersengketa. Padahal, akan sangat baik apabila dalam proses persidangan uji materi tersebut, selain sifatnya terbuka untuk umum, MA seharusnya juga mengundang pihak-pihak yang bersengketa, pihak terkait, termasuk saksi atau ahli seperti halnya dalam persidangan di MK. Dengan demikian, salah paham dan salah implementasi hukum dapat dihindari. Karena itulah, terutama pihak yang dirugikan oleh putusan MA kemudian memandang perlu mengalihkan penyelesaiaan kasusnya ke MK mengingat proses peradilan di MK dirasakan lebih fair dan terbuka. Soeroso, Fajar Laksono. Memaknai Kecenderungan Penyelesaian Konflik Batas Wilayah Ke Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 3, September 2012. Hal. 30. Lotulung, Ibid. Hal. 3 Laoh, Arnold. The Availability of International Judicial Review of Government Breaches of Human Rights, Thesis : Thesis submitted for award of the degree of Doctor of Philosophy (PhD) at Murdoch University, Perth, Western Australia, July 2006. P. 72 343
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
membawahi tempat kedudukan pemohon38. Terhadap mekanisme PHUM di MA tersebut timbul pertanyaan jika Pendaftaran Hak Uji Materiil di MA dilakukan melalui Direktur Pranata dan Tata Laksana TUN, dan diregister melalui Panitera Muda TUN, apalagi penetapan Majelis yang mengadili PHUM dilakukan oleh Ketua Kamar Peradilan TUN atas nama Ketua MA yang menetapkan Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus PHUM (vide Pasal 3 ayat (6) Perma No. 1 Tahun 2011), maka dapat disimpulkan bahwa penanganan dan penyelesaian sengketa PHUM berada di kamar tata usaha negara. Atas dasar tersebut, Penulis berpendapat bahwa ke depan perlu dipertimbangkan alternatif perubahan mekanisme pengajuan PHUM dari PN sesuai domisili pemohon agar dapat langsung diajukan dari PTUN sesuai domisili Pemohon PHUM selain langsung diajukan ke MA.39 Sistem Pengujian Materiil Norma Hukum di Indonesia Pengujian UU Terhadap UUD Negara RI 1945
Lembaga Penguji MK
Peraturan Perundan-undangan di bawah UU terhadap UU
MA
Keputusan Tata Usaha Negara terhadap peraturan
PTUN
38
39
344
Landasan Yuridis MK Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk : a. Menguji UU terhadap UUD Negara RI tahun 1945 (Pasal 10 Ayat 1 UU No. 24 Tahun 2003) MA mempunyai wewenang menguji peraturan perundangundangan di bawah UU terhadap UU (Pasal 31 UU. No. 5 Tahun 2004) Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata
Bandingkan dengan ketentuan pasal 31 A Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 yang menyebutkan bahwa Permohonan Pengujian Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-undang diajukan lansung oleh Pemohon atau Kuasanya Kepada Mahkamah Agung. Bandingkan juga dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) huruf c dan ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi : ―Mahkamah Agung berwenang: a)…b)…c) menguji peraturan perundang-undangan di bawah undangundang terhadap undang-undang‖ dan ―Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagai hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung‖. Bandingkan dengan ketentuan berikut : ―Badan Peradilan tingkat pertama dan tingkat banding yang menerima gugatan mengenai Hak Uji Materiil dalam perkara perdata, pidana atau Tata Usaha Negara memeriksa dan memutus perkara tersebut sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku bagi perkara-perkara masingmasing‖. (Pasal 2 Ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun 1993 Tentang Hak Uji Materiil).
Kewenangan Hak Uji Materil Pada Mahkamah Agung RI
perundangundangan.
Usaha Negara (Pasal 47 jo. Pasal 53 UU. No. 5 Tahun 1986 jis UU. No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009)
Sumber : W. Riawan Tjandra, Teori dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara, Univ. Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2010, hal. 9
Dapat disimpulkan bahwa karakter persoalan PHUM menyangkut masalah hukum publik (dalam hal ini hukum tata negara dan hukum administrasi) sehingga memang penanganannya dilakukan oleh Kamar Tata Usaha Negara. Hal ini diperkuat dengan praktek peradilan administrasi di negara-negara lain yang pada umumnya memberikan kewenangan kepada peradilan administrasi untuk menguji keputusan/peraturan yang bersifat mengikat secara umum (general binding rules)—termasuk halnya peraturan kebijakan sepanjang menimbulkan akibat hukum, namun tidak termasuk pengujian undang-undang40, maka dalam konteks tersebut dapat dipahami pendapat Prof. Paulus Effendie Lotulung yang pernah menyatakan bahwa kewenangan Peradilan TUN di Indonesia meliputi kewenangan Pengadilan TUN mulai dari tingkat pertama, banding, kasasi termasuk dalam bidang pengujian hak uji materil : ―State Administration courts has the jurisdiction to resolve state administration disputes at first instances, state administration high courts for second instances and the supreme court for cassation and judicial reviews‖.41 40
41
Hon. Brian Tamberlin, Deputy President, Australian Administrative Appeals Tribunal, General Report 10th Congress of the IASAJ, Sydney and Canberra, 2010. The International Association of Supreme Administrative Jurisdiction (IASAJ) adalah asosiasi badan-badan peradilan administrasi tertinggi dari berbagai belahan dunia. Setiap tiga tahun sekali asosiasi ini melakukan pertemuan guna saling meningkatkan kerjasama di bidang peradilan administrasi. Beranggotakan 27 Negara, dengan perwakilan institusi dari Supreme administrative Court (Finland, Poland, Portugal, Austria, Sweden, Thailand), Mahkamah Agung ‗Supreme Court‘ (Hungary, Indonesia, Senegal, Slovenia, Spain, Mali, Cyprus, Israel, Ivory Coast), Council of State ‗Dewan Negara‘ (Belgium, Colombia, Egypt, Turkey, France, Greece, Netherlands, Italy, Lebanon), Administrative Court (Luxembourg), Federal Court Administrative Appeals Tribunal (Australia). Di luar negara-negara tersebut masih terdapat beberapa negara lain yang belum tergabung dalam organisasi tersebut seperti Denmark, Ireland dan terutama Amerika Serikat (Supreme Court), German (Federal Administrative Court), Great Britain (Royal Courts of Justice), Lithuania dan Czech Republic (Supreme administrative Court) dan lain sebagainya, namun sebagian besar dari negara-negara yang belum tergabung tersebut adakalanya menjadi peninjau atau utusan dalam pertemuan rutin asosiasi. (Diolah dari berbagai sumber). Lotulung, Paulus E. State Administration Courts In Indonesia’s Judiciary System, 10th Congress International Association of Supreme Administrative Jurisdictions, Sydney, Australia, Sunday 7-Thursday 11 March, 2010. P. 1. Dalam satu seminar, Imam Soebechi, Hakim Agung pernah menyampaikan kewenangan pengujian Perda oleh Mahkamah Agung akan diturunkan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), sehingga kelak pengujian Perda akan dilakukan di daerah-daerah yang memiliki (PTUN). Namun ide dari Mahkamah Agung ini berkonsekuensi terhadap peninjauan ulang konsep regeling dan beschikking, karena selama ini PTUN hanya menyelesaikan sengketa dalam rumpun keputusan tata usaha negara (beschikking), 345
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Pandangan Prof. Paulus Effendie Lotulung tersebut menjadi menarik untuk dibandingkan dengan pandangan akhir pemerintah menyangkut kompetensi Peradilan TUN dalam risalah pembahasan RUU Peradilan TUN tertanggal 20 Desember 1986, dimana Menteri Kehakiman, Ismail Saleh, menyampaikan pandangan pemerintah sbb : ―Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram dan tertib. Dalam usaha untuk mencapai tujuan tersebut, Pemerintah sebagai salah satu organ negara diberi tugas untuk mengurus berbagai segi kehidupan dalam masyarakat. Untuk itu, Pemerintah diberi wewenang untuk melakukan perbuatan tata usaha negara yang dapat dikelompokan dalam 3 macam perbuatan, yaitu : 1) Mengeluarkan keputusan (beschikking) 2) Mengeluarkan peraturan (regeling) 3) Mengeluarkan perbuatan materil (materiele daad) Dari ketiga macam perbuatan tersebut, yang menjadi kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara hanyalah terbatas mengenai perbuatan yang pertama, artinya keputusan yang dikeluarkan oleh Badan Tata Usaha Negara dapat dinilai Peradilan Tata Usaha Negara‖42. Selanjutnya, Ismail Saleh, sebagaimana halnya sosok Paulus Effendie Lotulung, yang merupakan tokoh penting dan sentral mewakili pemerintah dalam keseluruhan proses penyusunan dan pembahasan RUU Peratun selama dibahas di DPR sejak bulan Mei 1986 sampai disahkannya RUU tersebut pada penghujung bulan Desember 1986, menambahkan bahwa pada dasarnya semua perbuatan Badan TUN dapat dinilai oleh Pengadilan : perbuatan materil dinilai oleh Peradilan Umum sedangkan perbuatan pemerintah mengeluarkan peraturan dinilai oleh Mahkamah Agung (vide UU. No. 14 Tahun 1970 dan UU. No. 14 Tahun 1985).43 Pengawasan terhadap perbuatan pemerintah mengeluarkan peraturan oleh kekuasaan kehakiman tidak berjalan sebagaimana diharapkan pada zaman Orde Baru. Yahya Harahap44 menyatakan penerapan hak uji materil (sebelum era reformasi) hanya dapat dipergunakan pada saat menyelesaikan perkara dalam tingkat kasasi. Selama suatu peraturan perundang-undangan tidak tersangkut dalam suatu sengketa, MA tidak bisa berbuat apa-apa. Menurut Yahya Harahap kekuasaan hak uji materil MA pasif dan membisu meskipun suatu peraturan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Bahkan
42
43 44
346
bukan sengketa peraturan (regeling). Disamping dua gagasan itu, dalam rencana perubahan UU Mahakamah Konstitusi juga dicoba diraba-raba agar kelak Mahkamah Konstitusi tidak hanya menguji konstitusionalitas undangundang, tetapi juga dapat menguji semua peraturan perundang-undangan, termasuk Perda. Selengkapnya lihat Yance Arizona, Disparitas Pengujian Peraturan Daerah : Suatu Tinjauan Normatif www.legalitas.org, Diakses 12 Desember 2007. Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta, 1996. Hal. 1610-1611 Ibid. Harahap, M. Yahya. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1997. Hal. 62.
Kewenangan Hak Uji Materil Pada Mahkamah Agung RI
kekuasaan itu tidak berperan, meskipun telah timbul sengketa apabila proses perkaranya tidak sampai kasasi. Namun Purwoto S. Gandasubrata45 mengakui bahwa pelaksanaan hak uji materil oleh MA melalui prosedur kasasi adalah sangat sulit untuk dilaksanakan, kecuali apabila dalam prosedur pemeriksaan kasasi diadakan ketentuan tambahan agar MA dalam tingkat kasasi dapat masuk untuk memeriksa dan memutus tuntutan tentang hak uji materil. Hal mana menurut Mantan Ketua MA tersebut prosedur semacam itu agak menyimpang dan diluar kelaziman, mengingat pemeriksaan kasasi dimaksud hanya untuk meninjau putusan yang terhadapnya dimohonkan kasasi, perkara yang sudah dimulai sejak tingkat pertama dan banding. 2.
Nomenklatur Hak Uji Materil Baik dalam kepustakaan maupun dalam praktek dikenal ada dua macam hak menguji, yaitu : a) Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai suatu produk legislatif seperti undang-undang, dalam proses pembuatannya melalui cara-cara sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak.46 Pengujian formal terkait dengan masalah prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya. b) Hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan menilai isi apakah suatu peraturan perundang-undangan itu sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Pengujian material berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum.47 45
46
47
Gandasubrata, H.R. Purwoto S. Renungan Hukum, Diterbitkan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Cabang Mahkamah Agung RI, untuk kalangan sendiri, Jakarta, Maret 1998. Hal. 132-133. Pasal 31 UU No. 03/09 Tentang Perubahan Kedua Atas UU 04/85 Tentang Mahkamah Agung : (1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undangundang. (2) Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundangundangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. (3) Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung. Jadi selain bertentangan dengan peraturan per-UU-an yg berlaku juga pembentukannya tidak sesuai dengan ketentuan yg berlaku. Istilah ―pembentukan‖ ini bukankah mengacu kepada proses pembuatan per-UU-an itu sendiri? Dengan kata lain bagian ini bermakna formalitas sebuah per-UU-an yg seharusnya diuji secara formil, bukan materil Suripto, Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sekretariat Negara Republik 347
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Lebih lanjut Suripto menyatakan hak menguji secara materil terhadap undang-undang merupakan suatu kewenangan yang diberikan kepada badan peradilan untuk menguji apakah suatu peraturan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi48. Kewenangan ini diberikan kepada Mahkamah Agung agar peraturan yang dibuat oleh lembaga legislatif dan eksekutif dapat diuji apakah sesuai atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi. Kewenangan Mahkamah Agung dalam hak menguji materil terhadap peraturan perundang-undangan dibatasi hanya terhadap peraturan-peraturan di bawah undang-undang.49 Sedangkan menurut Harun Al Rasid, hak menguji formal ialah mengenai prosedur pembuatan UU dan hak menguji material ialah mengenai kewenangan pembuat UU dan apakah isinya tidak bertentangan dengan yang lebih tinggi.50 Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa konsekuensi dari pengujian secara formal adalah keseluruhan isi UU menjadi tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum, sedangkan uji materil hanya beberapa ketentuan sepeti pasal, ayat atau huruf51. Menurut Jimly Asshidiqqie pengertian yang dapat dikembangakan dalam rangka pemahaman terhadap konsepsi pengujian formil itu bersifat kompleks. Secara umum, kriteria yang dapat dipakai untuk menilai konstitusionalitas suatu UU dari segi formalnya (formele toetsing) adalah sejauh mana UU itu ditetapkan dalam bentuk yang tepat (appopriate form), oleh intitusi yang tepat (appropriate institution), dan menurut prosedur yang tepat (appropriate procedur)52. Jika dijabarkan dari ketiga kriteria ini, pengujian formil ini dapat mencakup : a) Pengujian atas pelaksanaan tata cara atau prosedur pembentukan UU, baik dalam pembahasan maupun dalam pengambilan keputusan atas rancangan suatu UU menjadi UU b) Pengujian atas bentuk, format, atau struktur UU c) Pengujian yang berkenaan dengan keberwenangaan lembaga yang mengambil keputusan dalam proses pembentukan UU; dan Pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materil Selanjutnya, dalam pasal 4 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi No.
48
49 50 51
52
348
Indonesia, Wewenang Mahkamah Konstitusi Menguji Undang-Undang (Judicial Review), Kamis, 21 Juni 2007, http://www.setneg.go.id/index.php. Bandingkan dengan ketentuan Pasal 9 ayat 2 UU Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi : ―Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah UndangUndang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung‖. Ibid. Fatmawati. Hak Menguji (Toetsingrecht) yang dimiliki Hakim dalam sistem Hukum Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005. Hal.94 Akan tetapi dalam kasus pengujian UU. No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, kendati hanya 3 pasal saja yang bertentangan dengan konstitusi, akan tetapi MK menyatakan keseluruhan isi UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. MK berpendapat bahwa norma-norma hukum yang terkandung dalam ketiga pasal tersebut bersifat norma inti yang mempengaruhi keseluruhan isi UU tersebut. Asshidiqqie, Jimly. Perihal Undang-Undang, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, Jakarta, 2006. Hal. 63-64.
Kewenangan Hak Uji Materil Pada Mahkamah Agung RI
06/PMK/2005 : ―pengujian formil adalah pengujian undang-undang yang berkenaan dengan proses pembentukan undang-undang dan hal-hal yang tidak termasuk pengujian materil‖. Dalam Perma No. 1/2011 disebutkan bahwa Hak Uji Materil adalah hak Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang terhadap Peraturan Perundang-undangan tingkat lebih tinggi53. Perma mengatur tersebut tidak menjelaskan apakah dalam pengujian hak uji materil di MA hanya mencakup pengujian secara materil atau meliputi pengujian secara materil dan formil dari suatu ketentuan peraturan perundangundangan. Kendati demikian dalam praktek, seperti dalam kasus pengujian perda sarang burung walet di Kab. Berau, Kalimantan Timur aspek pengujian peraturan tersebut meliputi formil dan materil54. Dalam kaitannya dengan pengujian formil (formele toestsing) atau procedural review dan pengujian materil atau substantive review (materiele toetsing), membawa konsekuensi terhadap jenis pembatalan suatu norma dan daya berlakunya suatu pembatalan. Dalam hal permohonan HUM beralasan karena peraturan perundang-undangan tersebut bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lebih tinggi, MA dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera pencabutannya (Pasal 6 ayat (2) Perma No. 1/2011)55. Bukankah istilah ―Tidak sah‖ mengacu kepada makna retroaktif, sedangkan batal mengacu konsep prospektif?, atau dengan kata lain jika ―tidak sah‖ berarti dianggap tidak pernah ada Peratuan perundang-undangan itu (ex tunc). Sehubungan dengan hal tersebut, Bagir Manan menggunakan istilah ―batal‖ dalam konteks putusan yang ―prospektif‖ atau bersifat ex nunc atau pro future yaitu putusan yang berlaku ke depan. Dijelaskan : ―peraturan perundang-undangan atau perbuatan administrasi Negara dipandang sebagai suatu yang sah sampai saat diinyatakan batal (dibatalkan). Istilah ―tidak sah‖ digunakan dalam konteks putusan ―retroaktif‖ atau bersifat ―ex tunc‖; dengan kata lain putusan semacam ini menganggap peraturan perundang-undangan atau perbuatan administasi tidak pernah ada. Putusan ini bersifat deklaratur, bukan konstitutif. 56
53 54 55
56
Pasal 1 ayat (1) Soebechi, Imam. Judicial Review Perda Pajak dan Retribusi Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, 2012. Padahal di ketentuan sebelumnya sudah tidak ditemukan lagi redaksi : ―Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundangundangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku‖ dan : ―Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung‖ (Ayat (1) dan (2) pasal 31 UU. No. 5/2004). Fachruddin, Irfan. Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap tindakan Pemerintah, Bandung, PT. Alumni, 2004. Hal. 242 349
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Sejalan dengan hal tersebut, menjadi penting juga untuk dicermati apakah dalam mengadili PHUM hanya menggunakan peraturan-perundang-undangan sebagai batu uji (toetsingronden) ? Atau dapat juga meliputi asas-asas hukum seperti AAUPB sebagaimana dalam pengujian suatu KTUN ?57 Dalam putusan PHUM No. 08P/HUM/2001 tertanggal 31 Juli 2001, MA menyatakan tidak sah dan tidak berlaku untuk umum Keppres No. 77 Tahun 2001 dengan alasan Keppres tersebut bertentangan dengan asas kepastian hukum karena Keppres tersebut ditetapkan dengan berlaku surut, disamping adanya pelanggaran terhadap asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam keppres lain yang terkait dalam objek permohonan hak uji materil tersebut. Putusan ini menjadi penting karena suatu keputusan yang didasarkan oleh diskresi dan kemudian dituangkan dalam bentuk keputusan yang bersifat mengatur (regelend) pada akhirnya dinyatakan tidak sah oleh MA, sebagaimana dikutip berikut ini : ―Bahwa kewenangan untuk menerbitkan dan menentukan perubahan atas suatu Keputusan Presiden yang telah dikeluarkan sebelumnya adalah memang merupakan kewenangan Presiden atas dasar diskresi yang dimilikinya selaku pucuk pimpinan pemerintahan. Bahwa akan tetapi pelaksanaan atau penggunaan diskresi ini oleh Presiden, tidaklah berarti sebebas-bebasnya tanpa batas, sebab pelaksanaan kewenangan ini tetap akan dapat dinilai dan diuji oleh Hakim manakala mengandung penyalahgunaan wewenang atau tindakan yang bersifat sewenang-wenang, atau melanggar asas-asas umum penyelenggaraan administrasi negara yang baik‖. Sebagai perbandingan, menurut A.W. Bradley dan K.D. Ewing terdapat beberapa alasan substantive yang biasa dipakai untuk melakukan pengujian atau judicial review atas norma umum peraturan (regeling) dan norma kongkrit (beschikking) yaitu: 1. The ulra vires rule (excess of power) 2. Abuse of discretionary power berupa: a. Irrelevant considerations b. Improper purposes c. Error of Law d. Unauthorised delegation e. Discretion may not be fettered f. Breach of a local authority’s financial duties g. Unreasonableness (irrationality) h. Proportionality 1. Failure to perform a statutory duty 3. The concept of jurisdictions 4. Mistake of fact 57
350
Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1) UU. No. 48/2009). Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 50 ayat (1) UU No. 48/2009).
Kewenangan Hak Uji Materil Pada Mahkamah Agung RI
5. Acting incompatibly with convention rights58 Ilegalitas, beberapa prinsip yang biasa digunakan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama sebagai dalil yaitu antara lain: a. An authority must not exceed its jurisdiction by pupporting to exercise powers which it does not process b. An authority must direct itself properly on the law c. An authority must not use its power for an improper purpose d. An authority must take into account all relevant considerations and disregard all irrelevant considerations e. An authority to which the exercise of a discretions has been entrusted cannot delegate to exercise of its discretions to another unless clearly authorized to do so f. An authority must not fetter its discretions g. An authority acts unlawfully if it fails to fulfill a statutory duty h. An authority must not excessively interfere with fundamental rights59 3. Penyelesaian PHUM Dalam pasal 53 Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi60 disebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada Mahkamah Agung adanya permohonan pengujian Undang-Undang dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Register Perkara Konstitusi, sedangkan dalam pasal 55 nya menyebutkan bahwa : Pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian perauran tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi. Terhadap hal ini timbul permasalahan yakni karena proses penyelesaian PHUM dipengaruhi proses penyelesaian pengujian konstitusionalitas suatu UU di MK, sepanjang terdapat keterkaitan antara norma yang diuji di MK dan di MA, sehingga dalam beberapa situasi akan sulit menentukan batas waktu pengujian peraturan perundangundangan. Dari keadaan ini dapat diajukan lain : bagaimana pengaruh suatu peraturan perundang-undangan yang sedang diujimaterikan di MA maupun di MK dengan keputusan TUN yang sedang digugat di PTUN dimana peraturan perundangundangan tersebut menjadi rujukan KTUN yang sedang digugat ? a. Eksekutabilitas Putusan Hak Uji Materil MA. Problematika dalam pelaksanaan putusan Peratun dalam hal kepatuhan Badan/Pejabat TUN untuk melaksanakan putusan Peratun, menurut hemat penulis sangat berpotensial terjadi dalam pelaksanaan putusan hak uji materil. Pembatalan 58 59 60
Ibid. Hal 149-150 Asshidiqqie, Jimly. Ibid. hal 156 dan Allen, Ibid hal 576. Ketentuan Pasal 53 ini tidak mengalami perubahan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. 351
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
norma hukum oleh badan peradilan di Indonesia menghadapi tantangan yang serius yakni berupa ancaman ketidakpatuhan lembaga yang terkait untuk melaksanakan putusan pengadilan. Beberapa kali putusan MK tidak dipatuhi terkait pembatalan suatu norma seperti dalam kasus kewajiban pemerintah dan DPR untuk mengalokasikan 20% Dana Pendidikan dalam APBN sebagaimana amanat konstitusi. Dalam konteks itu, terlihat ketidaktegasan politik hukum negara dalam hal mendorong kepatuhan lembaga negara/organ publik negara untuk melaksanakan putusan Peratun. Sebagai contoh pasal 54 UU. No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang secara khusus hanya mengatur tentang pelaksanaan putusan pengadilan hanya menegaskan pelaksanaan putusan dalam bidang pidana dan perdata, yang selengkapnya berbunyi sbb : 1) Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa. 2) Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan. 3) Putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan Ketidaktegasan tersebut juga diikuti perbedaan kedudukan pengaturan suatu norma yang dibentuk untuk menindaklanjuti isi putusan MK dan MA dalam sistem pengujian norma dikaitkan dengan proses pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 10 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 disebutkan : Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden. Sedangkan dalam pasal 28 UU. No. 12 Tahun 2011 (hanya) disebutkan : (1) Dalam keadaan tertentu, kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian dapat mengajukan Rancangan Peraturan Pemerintah di luar perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah. (2) Rancangan Peraturan Pemerintah dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat berdasarkan kebutuhan Undang-Undang atau putusan Mahkamah Agung. Frasa ―dalam keadaan tertentu‖, sebagaimana termuat dalam ketentuan di atas menyiratkan ketidaktegasan dan kepastian hukum, sehingga menimbulkan tafsir seakan-akan pembuatan peraturan pemerintah untuk menindaklanjuti putusan HUM MA dapat bersifat fakultatif, tidak imperatif. Seyogianya ketentuan tersebut dibuat secara tegas sebagaimana isi pasal 28 UU. No. 12 Tahun 2011 atau ketentuan Pasal 38 angka (1) huruf a UU. No. 28 Tahun 2011 yang berbunyi : ―Dalam Prolegda Provinsi dapat dimuat daftarkumulatif terbuka yang terdiri atas: a. akibat putusan Mahkamah Agung; dan b. Dst…‖ b. Pengujian Dua Kali Peraturan Perundang-Undangan Sangat dimungkinkan setelah judicial review kepala daerah terhadap pembatalan perda oleh pemerintah, terdapat kelompok lain yang mengajukan judicial review terhadap peraturan perundang-undangan yang sebelumnya diujikan oleh kepala daerah tersebut. Kendati peluang ini kecil tetapi bukan tidak pernah terjadi sebagaimana dalam kasus pengujian perda sarang burung Walet Kab. Berau, 352
Kewenangan Hak Uji Materil Pada Mahkamah Agung RI
Kalimantan Timur.61 Namun peluang terulangnya kasus serupa sangat kecil karena Perma Nomor 01 Tahun 2011 tidak berlaku surut. Oleh karenanya pengajuan HUM terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang diterbitkan dan pernah diajukan sebelum dikeluarkan Perma tersebut, berlaku ketentuan Perma sebelumnya yaitu Perma Nomor 1 Tahun 2004. Sedangkan peraturan perundangundangan dibawah undang-undang yang diterbitkan sebelum dikeluarkan Perma tersebut dan belum pernah diajukan HUM diberlakukan Perma Nomor 1 Tahun 201162. C. Penutup Kontrol normatif yang dilaksanakan oleh lembaga yang berwibawa akan berdampak selain konsistensi dan harmonisasi normatif secara vertikal, juga meningkatnya ketaatan penyelengara negara dan warga negara untuk tunduk dan taat kepada norma hukum, tetapi tetap menjamin kebebasan setiap individu dan kelompok untuk mengekspresikan berbagai keinginan dan kebutuhannya dalam wadah negara hukum yang demokratis. Pengujian peraturan perundang-undangan dalam ketatanegaran Indonesia diperkenalkan sejak tahun 1970 melalui UU. No. 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan selanjutnya secara tegas diatur dalam UUD Negara RI Tahun 1945 pada perubahan ketiga, merupakan suatu proses untuk menyelesaikan konflik normatif melalui mekanisme hukum. Pengujian peraturan perundang-undangan merupakan kontrol normatif secara vertikal terhadap produk hukum atau peraturan perundang-undangan yang dilahirkan agar tetap terjadi konsistensi dan harmonisasi normatif secara vertikal. Dari segi kuantitas jumlah peraturan perundang-undangan senantiasa jauh lebih besar dari undang-undang, mengikuti bentuk piramida hierarki norma Hans Kelsen, semakin ke bawah jenis peraturan semakin besar jumlah peraturan yang dikeluarkan untuk menindaklanjuti atau dibuat untuk mengatur atau menata tata kehidupan bernegara dan berbangsa. Dalam kondisi demikian, peranan MA untuk mengawal negara hukum yang demokratis dengan memastikan harmonisasi peraturan perundang-undangan secara vertikal menjadi sangat signifikan dan penting, melengkapi peran dan fungsi MK sebagai court of law yang mengawal konsistensi norma-norma hukum di tingkat undang-undang terhadap konstitusi.
DAFTAR PUSTAKA Asshidiqqie, Jimly. Perihal Undang-Undang, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006. Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid I, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, Jakarta, 2006.
61 62
Soebechi, Imam. Judicial Review Perda Pajak dan Retribusi Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, 2012. Jawaban Pokja TIM C. Dalam Pembahasan SEMA No. 7 Tahun 2012. 353
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Allen, Michael and Thompson, Brian. Cases And Materials On Constitutional And Administrative Law, 7th edition (London : Oxford University Press, 2003). Erliyana, Anna. Keputusan Presiden : Analisis Keppres R.I. 1987—1998, Program Pascarsarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta 2005 Fatmawati. Hak Menguji (Toetsingrecht) yang dimiliki Hakim dalam sistem Hukum Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005. Fachruddin, Irfan. Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap tindakan Pemerintah, Bandung, PT. Alumni, 2004. Hoessein, Zainal Arifin. Judicial Review di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2009 Harman, Benny K. Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi, Sejarah Pemikiran Pengujian UU Terhadap UUD. Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2013. Harahap, M. Yahya. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1997. Hal. 62. Gandasubrata, H.R. Purwoto S. Renungan Hukum, Diterbitkan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Cabang Mahkamah Agung RI, untuk kalangan sendiri, Jakarta, Maret 1998. Hon. Brian Tamberlin, Deputy President, Australian Administrative Appeals Tribunal, General Report 10th Congress of the IASAJ, Sydney and Canberra, 2010. Junus, Anwar. Penuntun Praktis Perkara Perumahan di Jakarta. Penerbit dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1979 Laoh, Arnold. The Availability of International Judicial Review of Government Breaches of Human Rights, Thesis : Thesis submitted for award of the degree of Doctor of Philosophy (PhD) at Murdoch University, Perth, Western Australia, July 2006. Lotulung, Paulus Effendi dkk, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Wewenang Mahkamah Agung Dalam Melaksanakan Hak Uji Materil (Judicial Review), Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan Perundang-Undangan RI, 2001. Jakarta Lotulung, Paulus E. State Administration Courts In Indonesia’s Judiciary System, 10th Congress International Association of Supreme Administrative Jurisdictions, Sydney, Australia, Sunday 7-Thursday 11 March, 2010. Prodjodikoro, Wirjono. Bunga Rampai Hukum, Karangan Tersebar, Ichtiar Baru, Jakarta, 1974. Hlm. 195. Panggabean, Henry Pandapotan. Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Seharihari, Upaya Penanggulangan tunggakan perkara dan pemberdayaan fungsi pengawasan Mahkamah Agung, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001. Panggabean, Henry Pandapotan. Fungsi Mahkamah Agung Bersifat Pengaturan (Rule Making Power) Tahun 1966-2003. Liberty, Yogjakarta, 2005. Hal. 90-91 354
Kewenangan Hak Uji Materil Pada Mahkamah Agung RI
Soemantri M., Sri. Hak Uji Material di Indonesia, Edisi Kedua 1997, Alumni, Bandung, 1997 Soeroso, Fajar Laksono. Memaknai Kecenderungan Penyelesaian Konflik Batas Wilayah Ke Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 3, September 2012 Soeprapto, Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-Undangan I, Kanisius, Yogyakarta, 2007. Slapper, Gary & Kelly, David. The English Legal System, Sixth edition, Cavendish Publishing Limited, The Glass House, 2003 Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta, 1996. Hal. 1610-1611 Suripto, Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sekretariat Negara Republik Indonesia, Wewenang Mahkamah Konstitusi Menguji Undang-Undang (Judicial Review), Kamis, 21 Juni 2007, http://www.setneg.go.id/ index.php. Soebechi, Imam. Judicial Review Perda Pajak dan Retribusi Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, 2012. Yance Arizona, Disparitas Pengujian Peraturan Daerah : Suatu Tinjauan Normatif www.legalitas.org, Diakses 12 Desember 2007. ―Banyak Pengebirian UU oleh Peraturan dibawahnya‖, Kompas, 8 Juli 1992.
355
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
356
ISSN : 2303-3274
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA PERLINDUNGAN ANAK DALAM PEMBARUAN SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA
Candra Hayatul Iman Dekan Fakults Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang Abstrak Kenakalan anak merupakan perbuatan anti sosial yang dapat meresahkan masyarakat, namun hal tersebut diakui sebagai suatu gejala umum yang harus diterima sebagai fakta sosial. Anak berdasarkan perkembangan fisik, mental maupun sosial mempunyai kedudukan yang lemah dibandingkan dengan orang dewasa, sehingga anak yang melakukan kenakalan perlu ditangani secara khusus. Oleh karena itu, perlakuan terhadap anak nakal seyogianya berbeda dengan perlakuan terhadap orang dewasa. Perlindungan Anak pada kenyataannya masih banyak yang belum mengakomodir prinsip-prinsip instrument internasional. Pada pengadilan anak masih ditemukan pelanggaran hak anak dalam pelaksanaan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. Hasil penelitian menunjukan bahwa Kebijakan formulasi terhadap perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia diatur dalam Undangundang No. 3 Tahun l997 tentang Pengadilan Anak belum mengakomodasi prinsip the best interest of the child dalam sistem peradilan pidana anak, sehingga secara normatif dalam tataran formulasi belum mencerminkan ide dasar perlindungan terhadap anak. Dengan demikian, secara normatif dalam tataran formulasi belum mencerminkan ide dasar perlindungan hukum terhadap anak. Kajian formulasi terhadap perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum dalam sistem peradilan pidana anak menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 telah mengakomodasi prinsip the best interest of the child dengan adanya diversi. Namun belum ditemukan prinsip ketersediaan bantuan hukum dalam konteks diversi dan prinsip adanya kontrol terhadap kewenangan diversi. Kajian formulasi terhadap perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum dalam sistem peradilan pidana anak menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 telah mengakomodasi prinsip the best interest of the child antara lain dengan menitik beratkan penanganan anak yang bermasalah dengan hukum melalui tindakan diversi dengan mengedepankan pendekatan restorative justice. Kebijakan aplikasi terhadap perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum dalam sistem peradilan pidana anak menyangkut masalah substansial, struktural dan kultural. Paradigma sistem peradilan yang retributif masih menjadi ide dalam Undangundang Nomor 3 tahun 1997. Kata Kunci: Kebijakan Hukum Pidana; perlindungan anak, Pembaruan, sistem peradilan pidana anak.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Abstract Juvenile Delinquency is an anti-social behavior can be disturbing public society, but it is recognized as a common phenomenon that must be accepted as a social fact. Children based on their physical, mental and social have a weak position compared with adults, so that children who committed needs to be special treatment. Therefore, the treatment of juvenile delinquents should be different with the treatment of adults. Child Protection in fact there are still many who have not accommodate the principles of international instruments. In the juvenile court still found violations of children's rights in the implementation of the handling of children in conflict with the law. Research it can be concluded that the formulation of policies for the protection of children in conflict with the law in the juvenile justice system in Indonesia is regulated in Law No. 3 Year l997 on Juvenile Court has not accommodated the principle of the best interest of the child in the juvenile justice system, so it is normative in the formulation did not reflect the level of the basic idea of the protection of children. Thus, the level of normative formulation does not reflect the basic idea of the child protection law. Formulation studies to the protection of children in conflict with the law in the juvenile justice system in accordance with Law No. 11 Year 2012 has been to accommodate the principle of the best interest of the child with the diversion. Yet undiscovered principles of availability of legal aid in the context of the principle of diversion and diversion control authority. Formulation studies to the protection of children in conflict with the law in the juvenile justice system in accordance with Law No. 11 Year 2012 has been to accommodate the principle of the best interest of the child, among others, by focusing on the handling of children in conflict with the law through diversion measures to promote restorative justice approach. Application policy to the protection of children in conflict with the law in the juvenile justice system involves substantial problems, structural and cultural. Paradigm of retributive justice system is still an idea in Act No. 3 of 1997. Keywords: Criminal Law Policy; child protection, juvenile justice system reform. A. Pendahuluan Anak merupakan subyek hukum dan aset bangsa, sebagai bagian dari generasi muda anak berperan sangat strategis sebagai generasi penerus suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita-cita perjuangan suatu bangsa. Peran strategis ini telah disadari oleh masyarakat Internasional untuk melahirkan sebuah konvensi yang intinya menekankan posisi anak sebagai makhluk manusia yang harus mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya.63 Oleh karena itu, setiap anak harus mendapatkan pembinaan dan perlindungan dari sejak dini, anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial. Terlebih lagi bahwa masa kanak-kanak merupakan periode penaburan 63
358
Ruben Achmad, Upaya Penyelesaian Masalah Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Kota Palembang, dalam Jurnal Simbur Cahaya Nomor 27 Tahun X, Januari, 2005, hlm. 24.
Kebijakan Hukum Pidana Perlindungan Anak Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak
benih, pendirian tiang pancang, pembuatan pondasi, yang dapat disebut juga sebagai periode pembentukan watak, kepribadian dan karakter diri seorang manusia, agar mereka kelak memiliki kekuatan dan kemampuan serta berdiri tegar dalam meniti kehidupan.64 Selain itu, karena anak baik secara rohani maupun sosial belum memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri, maka menjadi kewajiban generasi yang terdahulu untuk menjamin, memelihara dan mengamankan anak65, bahkan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The Right of The Child) Resolusi PBB Nomor 40/25 tanggal 20 November Tahun 1989 secara tegas menyatakan jaminan-jaminan hukum yang harus diberikan oleh negara-negara peserta terhadap anak pelaku tindak pidana. Salah satu upaya pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak (politik kriminal anak) saat ini melalui penyelenggaraan sistem peradilan anak (Juvenile Justice). Tujuan penyelenggaraan sistem peradilan anak (Juvenile Justice) tidak semata-mata bertujuan untuk menjatuhkan sanksi pidana bagi anak yang telah melakukan tindak pidana (kenakalan anak), tetapi lebih difokuskan pada dasar pemikiran bahwa penjatuhan sanksi tersebut sebagai sarana mendukung mewujudkan kesejahteraan anak pelaku tindak pidana. Kepastian hukum perlu diusahakan demi kegiatan kelangsungan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak.66 Untuk itu, kegiatan perlindungan anak setidaknya memiliki dua aspek. Aspek pertama berkaitan dengan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan anak. Aspek kedua, menyangkut pelaksanaan kebijakan dan peraturan-peraturan tersebut.67 Sehingga dapat di identifikasi masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kebijakan formulasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam pembaruan sistem peradilan pidana anak di Indonesia? 2. Bagaimanakah kebijakan aplikasi Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia? B.
Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum 1. Peradilan Pidana Anak Dalam Negara Hukum Peradilan adalah tiang teras dan landasan negara hukum. Peraturan hukum yang diciptakan memberikan faedah apabila ada peradilan yang berdiri kokoh/ kuat dan bebas dari pengaruh apapun, yang dapat memberikan isi dan kekuatan kepada kaidah-kaidah hukum yang diletakkan dalam undang-undang dan peraturan hukum lainnya. Peradilan juga merupakan instansi yang merupakan tempat setiap orang 64 65 66 67
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung, Refika Aditama,2008, hlm. 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademi Pressindo, Jakarta, 1993, hlm. 222. Zulmansyah Sekedang dan Arief Rahman, Selamatkan Anak-anak Riau, KPAID Riau, Pekanbaru, 2008, hlm. 121. 359
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
mencari keadilan dan menyelesaikan persoalan-persoalan tentang hakdan kewajibannya menurut hukum.68 Tempat dan kedudukan peradilan dalam negara hukum dan masyarakat demokrasi, masih tetap diandaikan: 1. Sebagai ―katup 2. penekan‖ atau ―pressure valve‖ atas segala pelanggaran hukum, ketertiban masyarakat dan pelanggaran ketertiban umum; 3. Peradilan masih tetap diharapkan berperan sebagai ―the last resort‖ yakni sebagai tempat terakhir mencapai kebenaran dan keadilan, sehingga pengadilan masih diandalkan sebagai badan yang berfungsi menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice).69 ―Landasan tindakan penegak hukum dalam Sistem Peradilan Pidana adalah : l. Pendekatan yang manusiawi, yaitu menegakkan hukum dengan cara yang manusiawi yang menjunjung tinggi human dignity. Hal ini mewajibkan para penegak hukum melakukan pemeriksaan dengan cara penditeksian yang ilmiah atau dengan metoda ―scientific crime detection‖, yakni cara pemeriksaan tindak pidana berlandaskan kematangan ilmiah. Menjauhkan diri dari cara pemeriksaan konpensional dalam bentuk tangkap dulu, dan peras pengakuan dengan jalan pemeriksaan fisik dan mental. Sudah saatnya para penegak hukum mengasah jiwa, perasaan dan penampilan serta gaya mereka dibekali dengan kehalusan budi nurani yang tanggap atas rasa keadilan atau―sense ofjustice‖. 2. Memahami rasa tanggungjawab, hal ini sangat penting disadari para penegak hukum, sebab yang mereka hadapi adalah manusia sebagaimana dirinya sendiri, yakni manusia yang memiliki jiwa dan perasaan. Sudah semestinya para penegak hukum merenungkan arti tanggungjawab dalam menangani setiap manusia yang dihadapkan kepadanya. Ketebalan rasa tanggungjawab atau sense of responsibility yang mesti dimiliki oleh setiap pribadi para penegak hukum harus mempunyai dimensi pertanggungjawaban terhadap diri sendiri, pertanggungjawaban kepada masyarakat serta pertanggungjawaban kepada TuhanYang Maha Esa.70 Undang-undang Hukum Acara Pidana termasuk UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak pada prinsipnya memiliki tujuan: a. perlindungan atas harkat dan martabat manusia (tersangka atau terdakrwa); b. perlindungan atas kepentingan hukum dan pemerintahan; c. kodifikasi dan unifikasi acara pidana; d. mencapai kesatuan sikap dan tindakan aparat penegak hukum; e. mewujudkan hukum acara pidana yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.71 68 69 70 71
360
SriWidoyati Wiratmo Soekito, Op. Cit., hlm. 143 M Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm.237. M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, PustakaKartini,Jakarta, 1993, hlm.5-6. Ibid., hlm. 77.
Kebijakan Hukum Pidana Perlindungan Anak Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak
2. Prinsip-prinsip Peradilan Pidana Anak Undang-Undang Pengadilan Anak dalam Pasal-Pasal nya menganut beberapa asas yang membedakannya dengan sidang perkara pidana untuk orang dewasa. Adapun asas-asas itu adalah sebagai berikut: 1. Pembatasan umur (Pasal 1 butir 1 jo Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Anak); Orang yang dapat disidangkan dalam acara pengadilan anak ditentukan secara liminatif, yaitu minimum berumur 8 (delapan) tahun dan maksimum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. 2. Ruang Lingkup masalah dibatasi; Masalah yang diperiksa di Sidang Pengadilan Anak, hanyalah menyangkut perkara Anak Nakal saja. Sidang anak hanya berwenang memeriksa perkara pidana, jadi masalah-masalah lain di luar pidana bukan wewenang Pengadilan Anak. Sidang pengadilan Anak hanya berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara Anak Nakal (Pasal 21 Undang-Undang Pengadilan Anak). 3. Ditangani pejabat khusus; Perkara Anak Nakal ditangani pejabat khusus yaitu Penyidik Anak, Penuntut Umum Anak, dan Hakim Anak. 4. Peran Pembimbing Kemasyarakatan; Undang-Undang Pengadilan Anak mengakui peranan Pembimbing Kemasyarakatan, pekerja Sosial, dan pekerja Sosial Relawan. 5. Suasana Pemeriksaan dan kekeluargaan; pemeriksaan perkara di pengadilan dilakukan dalam suasana kekeluargaan, karena itu Hakim, penuntut umum, Penyidik, dan Penasihat Hukum tidak memakai toga. 6. Keharusan splitsing; Anak tidak boleh bersama orang dewasa baik yang berstatus sipil maupun militer. Kalau terjadi anak melakukan pidana bersama dengan orang dewasa, maka anak diadili dalam sidang biasa, atau apabila ia berstatus militer di Peradilan Militer. 7. Acara pemeriksaan tertutup; Acara pemeriksan di Pengadilan Anak dilakukan secara tertutup. Ini demi kepentingan anak sendiri, akan tetapi putusan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 153 ayat (3) KUHAP dan Pasal 57 ayat (1) UU No. 3 tahun 1997 8. Diperiksa hakim tunggal; Hakim yang memeriksa perkara di pengadilan Anak, baik di tingkat pertama, banding atau kasasi dilakukan dengan hakim tunggal. Apabila tindak pidananya diancam dengan pidana penjara di atas 5 (lima) tahun dan pembuktiannya sulit, maka berdasarkan Pasal 11 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997 perkara diperiksa dengan hakim majelis. Pasal 11 ayat (2) tersebut selain dalam ―hal tertentu‖ yaitu tentang ancaman hukuman dan pembuktian tersebut, juga ―dipandang perlu‖. Undang-undang ini tidak menjelaskan yang dimaksud dengan ―dipandang perlu‖. Bila hal ini ditinjau dari segi perlindungan anak, dapat diketahui bahwa Pasal 11 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997 tidak memberikan perlindungan hukum terhadap anak, karena ketidaktegasan pengaturan tentang waktu diwajibkannya hakim majelis di dalam pemeriksaan perkara pidana Anak Nakal. Bisa saja Ketua Pengadilan memandang bahwa perkara tersebut perkara yang tidak sulit pembuktiannya, namun kenyataannya sulit, hal ini akan mempengaruhi kualitas perlindungan 361
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
anak yang tercermin dari keputusan hakim atas perkara pidana Anak Nakal. Dalam hal ini anak menjadi korban ketidaktegasan UU No. 3 Tahun 1997. 9. Masa penahanan lebih singkat; Masa penahanan terhadap Anak Nakal lebih singkat yang diatur dalam UU No. 3 Tahun 1997 dibandingkan dengan masa penahanan yang diatur dalam KUHAP. Hal ini tentu memberikan perlindungan terhadap anak, sebab dengan penahanan yang tidak begitu lama, tidak akan berpengaruh besar terhadap perkembangan fisik, mental dan sosial anak. 10. Hukum lebih ringan; Hukuman yang dijatuhkan terhadap Anak Nakal (Pasal 22-32 UU No. 3 Tahun 1997), lebih ringan dari ketentuan yang diatur dalam KUUHP. Hukuman maksimal terhadap Anak Nakal adalah 10 (sepuluh) tahun. Hal ini juga bila ditinjau dari aspek perlindungan anak, bila dibandingkan dengan ketentuan Pasal 10 KUHP, telah mencerminkan perlindungan terhadap anak. Hakim Pengadilan Anak harus dengan jeli mempertimbangkan dan memahami bahwa penjatuhan pidana terhadap anak merupakan upaya terakhir (ultimum remediun/ the last resort). 3.
Perkembangan Formulasi Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan Undang-undang Nomor 11 Tentang Sistem Peradilan Anak. Dalam perkembangannya untuk melindungi anak, terutama perlindungan khusus yaitu perlindungan hukum dalam sistem peradilan, telah terdapat 2 (dua) undang-undang yang mengatur khusus tentang peradilan anak. Yang pertama adalah Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang berganti menjadi Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Terdapat beberapa perubahan dan perkembangan, khususnya dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang baru disahkan oleh Presiden bersama DPR pada akhir bulan juli 2012 lalu dibanding dengan Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Tujuannya adalah untuk semakin efektifnya perlindungan anak dalam sistem peradilan demi terwujudnya Sistem Peradilan Pidana yang Terpadu (―integrated criminal justice sistem‖) atau juga bisa jadi pemunduran terhadap nilai-nilai yang telah ada sebelumnya. Sebuah upaya yang patut diapresiasi oleh bahwa Pemerintah telah mengadakan reformasi hukum di bidang pembaruan undangundang atau substansi hukum (legal substance reform), tetapi juga yang lebih diharapkan lagi adalah terciptanya pembaruan struktur hukum (legal structure reform) dan pembaruan budaya hukum (legal culture reform) yang termasuk di dalamnya juga pembaharuan etika hukum dan ilmu/pendidikan hukum (legal ethic and legal science/education reform).72 Dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terdapat perubahan-perubahan dibandingkan dengan Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, diantaranya : 72
362
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, 2010. Hlm.6
Kebijakan Hukum Pidana Perlindungan Anak Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak
a) b) c) d)
Definisi anak Lembaga-lembaga anak Asas-asas Sanksi pidana
C. Kebijakan Aplikasi Hukum Pidana Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum 1. Perlindungan Hukum Terhadap Anak pada Tahap Penyidikan a. Penangkapan dan Penahanan Mengenai tindakan penangkapan tidak diatur secara rinci dalam Undang-Undang Pengadilan Anak, sehingga berlaku ketentuan-ketentuan KUHAP (Pasal 43 UU No.3 Tahun 1997). Setelah tindakan penangkapan, dapat dilakukan tindakan penahanan. Penahanan ialah penempatan tersangka atau terdakwa ke tempat tertentu oleh Penyidik Anak atau Penuntut Umum Anak atau Hakim Anak dengan penetapan, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang. UU No. 3 Tahun1997 dan KUHAP, menentukan bahwa tersangka atau terdakwa dapat ditahan. Karena ada istilah ―dapat‖ ditahan berarti penahanan anak tidak selalu harus dilakukan, sehingga dalam hal ini penyidik diharapkan betul-betul mempertimbangkan apabila mau melaksakan penahanan anak. Menurut Pasal 21 ayat (1) KUHAP alasan penahanan adalah karena ada kekhwatiran melarikan diri, agar tidak merusak atau menghilangkan barang bukti, agar tidak mengulangi tindak pidana. Menurut Hukum Acara Pidana menghilangkan kemerdekaan seseorang tidak merupakan keharusan, tetapi untuk mencari kebenaran bahwa seseorang melanggar hukum, kemerdekaan seseorang itu dibatasi dengan melakukan penangkapan dan penahanan. Tempat penahanan anak harus dipisah dari tempat penahanan orang dewasa dan selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi (Pasal 45 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 3 Tahun 1997). Penahanan anak ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak, yang tempatnya terpisah dari Narapidana Anak. Hal ini dilatar belakangi oleh pertimbangan psikologis, untuk menghindari akibat negatif sebab anak yang ditahan belum tentu terbukti melakukan kenakalan, bergaul dengan dengan Narapidana Anak dikhawatirkan dapat menularkan pengalaman-pengalamannya kepada anak yang berstatus tahanan, dan mempengaruhi perkembangan mentalnya. Berdasarkan hasil penelitian, dalam pelaksanaannya masih banyak tahanan anak digabung dengan orang dewasa, dengan alasan bahwa tempat penahanan di lembaga Pemasyarakatan orang dewasa sudah penuh. Menurut peneliti hal ini sangat berbahaya dan tidak mencerminkan perlindungan anak. Narapidana Anak dan tahanan anak terpengaruh dengan sikap dan tindakan tahanan dewasa. Anak bisa saja mengetahui pengalamanpengalaman melakukan kejahatan yang belum pernah dia dengar dan dia 363
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
lakukan, atau bahkan anak dapat menjadi korban pelecehan seksual selama berada dalam tahanan tersebut. b. Proses Penyidikan Dalam melakukan penyidikan Anak Nakal diusahakan dilaksanakan oleh polisi wanita, dan dalam beberapa hal jika perlu dengan bantuan polisi pria. Penyidik Anak juga harus mempunyai pengetahuan seperti psikologi, psikiatri, sosiologi, pedagogi, antropologi, juga harus mencintai anak dan berdedikasi, dapat menyilami jiwa anak dan mengerti kemauan anak. c. Penghentian Penyidikan Dalam menghentikan penyidikan, ada beberapa alasan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP, yaitu: a. Tidak diperoleh bukti yang cukup; Seringkali penyidik tidak memperhatikan atau mengabaikan kekuatan bukti-bukti yang mendukung perkara yang ditangani dan diajukan ke penuntut umum tanpa bukti yang cukup. Mengajukan bukti perkara dengan sekedarnya akan menyulitkan menegakkan keadilan. b. Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana; Jika memang kasus hukum yang disangkakan bukan termasuk perkara pidana materiil (sebagaimana yang diatur oleh KUHP atau peraturan hukum pidana khusus lainnya) yang jelas normatifnya termasuk perkara hukum perdata, maka sudah seharusnya jika pemeriksaan perkara itu dihentikan; c. Penghentian penyidikan demi hukum; Kepentingan hukum harus memperoleh perhatian dalam praktik beracara pidana, artinya hakhak seseorang yang terkait dengan kasus hukum tidak boleh dimarginalkan. Penghentian atas dalih demi hukum pada pokoknya sesuai dengan alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana. Menegakkan asas nebis in idem (seseorang tidak boleh dituntut untuk kedua kalinya atas dasar perbuatan yang sama), terhadap suatu perkara seseorang sudah pernah diadili dan telah diputus perkaranya oleh hakim atau pengadilan yang berwenang, dan putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Apabila tersangka meninggal dunia, maka perkaranya harus dihentikan dan lain-lain alasan penghentian penyidikan. Penyidik yang memahami bahwa anak adalah yang berumur 18 (delapan belas) tahun ke bawah.Pasal angka 2 UU No. 3 Tahun 1997, menentukan bahwa Anak adalah orang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetap belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pemah kawin. Menurut peneliti apabila pemahaman UU No. 3 Tahun 1997 dan peraturan lain, yang berkaitan dengan Peradilan Pidana Anak tidak benar, maka penerapannya dalam 364
Kebijakan Hukum Pidana Perlindungan Anak Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak
melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan penyidikan juga tidak benar, dan hal ini sangat merugikan anak atau menjadikan anak sebagai korban ketidaktahuan penyidik. Sumber daya manusia penyidik perlu ditingkatkan melalui pendidikan/studi lanjut, melalui penataranpenataran/seminar atau lokakarya yang berkaitan dengan peradilan anak dan yang berkaitan dengan perlindungan anak. d. Hak-hak Tersangka Hak-hak anak yang menjadi sorotan utama dalam proses ini, sebagai berikut: sebagai tersangka: hak-hak yang diperoleh sebagai tindakan perlindungan terhadap tindakan yang merugikan (fisik, psikologis dan kekerasan); hak untuk didampingi pengacara; hak untuk mendapat fasilitas. Sebagai saksi korban: (viktim) hak untuk dilayani karena penderitaan fisik, mental, dan sosial ataupenyimpangan perilaku sosial; hak didahulukan dalam proses pemeriksaan, penerimaan laporanpengaduan dan tindakan lanjutan dan proses pemeriksaan;hak untuk dilindungi dari bentuk-bentuk ancaman kekerasan dari akibat laporandan pengaduan yang diberikan. 2. Perlindungan Hukum Terhadap Anak pada Tahap Penuntutan a. Penuntut Umum Anak Syarat-syarat Penuntut Umum Anak adalah: a. Berpendidikan Sarjana Hukum ditambah pengetahuan psikologi, psikiatri, sosiologi, pendidikan sosial, antropologi; b. Menyintai anak, berdedikasi; c. Dapat menyilami dan mengerti jiwa anak. Pasal 53 UU No. 3 Tahun 1997 menentukan bahwa Penuntut Umum Anak diangkat berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Penuntut Umum Anak adalah yang memenuhi syarat telah berpengalaman sebagai Penuntut Umum tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa; mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak. Pada prinsipnya UU No. 3 Tahun 1997 menghendaki agar setiap Kejaksaan Negeri memiliki Penuntut Umum Anak untuk menangani Anak Nakal. Tetapi apabila Kejaksaan Negeri tidak mempunyai penuntut Umum Anak, karena belum ada yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, atau karena pindah/mutasi, maka tugas penuntutan perkara Anak Nakal dibebankan kepada Penuntut Umum yang melakukan tugas penuntutan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Bila hal ini ditinjau dari aspek perlindungan anak, maka dapat dikatakan bahwa anak tidak mendapat perlindungan. Bila penuntutan terhadap Anak Nakal dilakukan oleh yang bukan Penuntut Umum Anak, dikhawatirkan sasaran-sasaran perlindungan anak diabaikan. Penuntut Umum yang bersangkutan tidak memahami masalah anak, dikhawatirkan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan dalam penuntutan tidak mencerminkan prinsip-prinsip perlindungan anak. Apabila Penuntut Umum Anak dimutasi/pindah, maka 365
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
sebelumnya dipersiapkan penggantinya dan apabila belum ada penggantinya maka penuntut Umum Anak yang bersangkutan diurungkan untuk dimutasi/dipindah Tingkat pendidikan Penuntut Umum. Pemahaman tentang jangka waktu penahanan yang singkat, para aparat Kejaksaan belum memahami tujuan penahanan singkat terhadap anak, yaitu atas pertimbangan kepentingan pertumbuhan fisik, mental dan sosial anak. Kemudian yang menjadi hambatan lain adalah kurangnya pemahaman aparat tentang pemeriksaan anak secara kekeluargaan dan secara rahasia, ada yang memahami bahwa pemeriksaan perkara pidana anak tidak perlu dirahasiakan sebab anak perlu diberi pelajaran dan menjadi contoh bagi masyarakat agar tidak ditiru. Kurangnya pengetahuan tentang perlindungan anak, kurangnya koordinasi antar instansi terkait seperti dengan Kepolisian, Bapas dan pengadilan, sehingga sulit menciptakan peradilan yang cepat, sederhana dan biaya murah. Hal ini disebabkan oleh kurangnya sumber daya manusia yang ahli di bidang peradilan anak maupun di bidang perlindungan anak. Banyak Penuntut Umum Anak yang tidak pernah menerima pendidikan khusus berupa penataran/lokakarya berkaitan perlindungan anak/ hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak anak. b. Penghentian Penuntutan Dalam sidang anak ada kemungkinan penyampingan perkara. Terdapat dua alasan penyampingan perkara, yaitu: penyampingan perkara berdasarkan asas opportunitas karena alasan demi kepentingan umum; dan penyampingan perkara karena alasan demi kepentingan hukum. Terhadap proses peyampingan perkara yang ditutup demi hukum tidak sama dengan perkara yang ditutup demi kepentingan umum, karena: a. ―demi hukum‖ tidak sama pengertiannya dengan ―Demi Kepentingan Umum‖ sebab hukum juga mengatur kepentingan individual selain kepentingan umum: b. Perkara yang ditutup ―demi hukum,‖ tidak dideponeer secara definitif, tetapi masih dapat dituntut bilamana ada alasan baru sedangkan perkara yang ditutup definitif demi kepentingan umum tidak boleh dituntut kembali walaupun cukup alat buktinya. Kejaksaan harus menunjuk Jaksa Khusus sebagai Penuntut Umum untuk perkara anak. Surat dakwaan harus dibuat sederhana mungkin, agar tidak menyulitkan anak untuk memahami dan mengikuti persidangan. c. Hak-hak Anak Dalam Proses Penuntutan Hak-hak anak dalam proses penuntutan meliputi hak-hak sebagai berikut: menetapkan masa tahanan anak cuma pada sudut urgensi pemeriksaan; membuat dakwaan yang dimengerti anak; secepatnya melimpahkan perkara ke pengadilan; melaksanakan ketetapan hakim dengan jiwa dan semangat pembinaan atau mengadakan rehabilitasi. Hakhak anak pada saat pemeriksaan di Kejaksaan sebagai berikut: hak untuk 366
Kebijakan Hukum Pidana Perlindungan Anak Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak
mendapat keringanan masa/ waktu penahanan; hak untuk mengganti status penahanan dari penahanan Rutan (Rumah Tahanan Negara) menjadi berada dalam tahanan rumah atau tahanan kota; hak untuk mendapat perlindungan dari ancaman, penganiayaan, pemerasan dari pihak yang beracara; hak untuk mendapat fasilitas dalam rangka pemeriksaan dan penuntutan; hak untuk didampingi oleh penasihat hukum. d. Pelimpahan Perkara ke Pengadilan Apabila Penuntut Umum sudah selesai mempelajari berkas perkara hasil penyidikan dan Penuntut Umun berpendapat bahwa tindak pidana yang disangkakan dapat dituntut, maka menurut ketentuan UndangUndang Pengadilan Anak (UU No. 3 Tahun 1997) sejalan dengan ketentuan Pasal 140 ayat (l) KUHAP, Penuntut Umum dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan. Surat dakwaan merupakan dasar adanya suatu perkara pidana yang juga merupakan dasar Hakim melakukan pemeriksaan. Setelah Penuntut Umum membuat surat dakwaan, dilimpahkan ke Pengadilan dengan membuat surat pelimpahan perkara. 3.
Perlindungan Hukum Terhadap Anak pada Tahap Persidangan a. Hakim Pengadilan Anak Hakim Anak diangkat berdasarkan Surat Keputusan Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadian Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi. Berdasarkan Pasal 10 UU No. 3 Tahun 1997, Hakim Anak harus mempunyai kualifikasi yang berpendidikan sarjana hukum ditambah dengan pengetahuan tentang psikologi, psikiatri, sosiologi, sosial pedagogi dan andragogi. Mencintai anak, dapat menyilami jiwa anak, ingin ikut membina dan membantu terutama anak yang dalam kesulitan. Menurut peneliti berkaitan dengan Pasal 10 UU No. 3 Tahun 1997 ini, perlu dibuat peraturan pelaksanaan yang mengatur tentang syarat-syarat menjadi Hakim Anak. Seperti tentang pengalaman menjadi hakim perlu ditegaskan di samping pendidikan-pendidikan khusus yang perlu ditempuh. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa Hakim Anak merupakan hakim khusus yang memiliki keahlian khusus dalam rangka perlindungan anak. Hasil penelitian dapat diketahui bahwa pemahaman para Hakim tentang peradilan anak sebagaimana diatur dalam UU No. 3 Tahun 1997, masih belum tepat. Seperti pemahaman tentang pengertian anak, banyak para Hakim masih memahami bahwa pengertian anak adalah pengertian anak menurut ketentuan Pasal 45 KUHP, padahal Pasal tersebut tidak berlaku lagi dengan berlakunya UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Pemahaman para hakim tentang perlindungan anak kurang tepat, dan mereka jarang bahkan tidak pernah mengikuti lokakarya atau penataran tentang perlindungan anak. Menurut peneliti hal ini 367
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
mempengaruhi penanganan perkara pidana anak. Hakim tidak mampu memprediksi dan menganalisis kemungkinan yang terjadi bila diambil suatu keputusan tertentu. b. Dasar Pertimbangan Keputusan Hakim Hakim yang menangani perkara pidana anak sedapat mungkin mengambil tindakan yang tidak memisahkan anak dari orang tuanya, atas pertimbangan bahwa rumah yang jelek lebih baik dari Lembaga pemasyarakatan Anak yang baik (a bad home is better than a good institution/ prison). Hakim seyogianya benar-benar teliti dan mengetahui segala latar belakang anak sebelum sidang dilakukan. Dalam mengambil putusan, hakim harus benar-benar memperhatikan kedewasaan emosional, mental dan intelektual anak. Dihindarkan putusan hakim yang mengakibatkan penderitaan bathin seumur hidup atau dendam pada anak, atas kesadaran bahwa putusan hakim bermotif perlindungan. Dalam mengambil keputusan, Hakim wajib mendengarkan dan mempertimbangkan hasil penelitian Petugas Penelitian Kemasyarakatan. Kegunaan Laporan Penelitian Kemasyarakatan bagi Hakim dalam menjatuhkan putusannya, harus bijaksana dan adil. Hakim menjatuhkan putusan yang bersifat memperbaiki para pelanggar hukum dan menegakkan kewibawaan hukum. Hakim yang memeriksa dan mengadili suatu perkara, sebagai manusia tidak luput dari kekhilafan, lupa dan aneka ragam kesalahan yang dapat menimbulkan kerugian pada orang lain. Umumnya bila Hakim telah mengetokkan palunya dalam suatu perkara selalu ada pihak yang dirugikan, hal ini dapat dikategorikan sebagai ―Onrechtmatige overheidsdaad‖. Apabila hal ini terjadi pada tingkat Pengadilan Negeri, maka akan dapat diperbaiki dalam pengadilan yang lebih tinggi yaitu Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung, namun yang sulit adalah apabila kesalahan itu ada pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Bila tidak ada pilihan lain kecuali menjatuhkan pidana terhadap anak, patut diperhatikan pidana yang tepat. Untuk memperhatikan hal tersebut patutdikemukakan sifat kejahatan yang dilakukan; perkembangan jiwa anak, tempat menjalankan hukuman. Berdasarkan penelitian normatif, diketahui bahwa yang menjadi dasar pertimbangan bagi Hakim dalam menjatuhkan putusan, antara lain: keadaan psikologis anak pada saat melakukan tindak pidana; keadaan psikologis anak setelah dipidana; keadaan psikologis hakim dalam menjatuhkan hukuman. Berdasarkan Pasal 23 dan Pasal 24 UU No. 3 Tahun 1997, sanksi yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal dapat berupa: pidana dan tindakan. Pidana dapat berupa: pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda; atau pidana pengawasan (pidana pokok), perampasan barangbarang tertentu dan atau pembayaran gantirugi (pidana tambahan). Tindakan dapat berupa pengembalian kepada orang tua, wali, atau orang 368
Kebijakan Hukum Pidana Perlindungan Anak Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak
tua asuh, menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. D. Model Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak di Indonesia 1. Peradilan Pidana Anak yang Ideal Steenhuis memberikan saran atau resep agar hukum pidana memiliki tingkat efisiensi tinggi dan mencerminkan sesuatu ―criminal policy‖ yang baik, yaitu: a. Peninjauan secara kritis perundang-undangan yang ada untuk menentukan bahwa ketentuan tersebut realistis sebagai suatu perangkat hukum pidana; b. Penegakan kembali seluruh asas yang telah diatur sebagai perlindungan masyarakat dari kejahatan, yaitu penuntutan yang efektif dan efisiensi hukum pidana hanya dapat dicapai jika arah yang dilaksanakan memperoleh dukungan masyarakat; c. Adanya keterkaitan dan kesinambungan antara tindakan penyidikan dan kelanjutan tindakan penuntutan; d. Diperlukan efisiensi dengan memperhatikan kemampuan peradilan dengan menggunakan sarana penuntutan (formal) dan sarana penyelesaian (informal); e. Mengembangkan altematif pemidanaan untuk kejahatan yang sering terjadi terutama dalam proses peneguran dan aturan pembuktiannya; f. Penegakan hukum yang lebih efisien dan efektif untuk semua tipe kejahatan.73 Dalam penegakan hukum dihubungkan dengan citra hak asasi manusia, masih banyak terjadi perkosaan dan pelanggaran, seperti: penangkapan dan penahanan yang tidak segera dibarengi dengan penyidikan, malah sering tidak diberitahu kepada pihak keluarga; masih terjadi kekerasan, pemaksaan dan penganiyaan pada penyidikan, sehingga ada yang meninggal atau mengalami cacat seumur hidup: masih sering terjadi penganiayaan di Rutan atau di Lembaga Pemasyarakatan Anak, sehingga ada yang mengalami cacat atau meningggal dunia. Perlakuan diskriminatif berdasar kekuasaan atau kekayaan, sehingga masih memantul perbedaan perlakuan (unequal treatment) baik secara fungsional atau instansional; masih sering terjadi penyelewengan memidanakan sengketa perdataatau memperdatakan tindak pidana; proses penyelesaian perkara yang bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan; hak untuk didampingi penasihat hukum pada tahap penyidikan; masih kurang mendapat pelayanan yang layak.74 Kebebasan peradilan (independence of judiciary) harus ditegakkan baik oleh Hakim maupun pejabat-pejabat lain di luar pengadilan. Pengadilan sebagai kekuasaan kehakiman, harus merdeka dari kekuasaan eksekutif. Tujuan utama kebebasan dari pengaruh kekuasaan eksekutif, mempunyai dua sasaran pokok: a. untuk menjamin terlaksana peradilan yang jujur dan adil (to 73 74
Romli Atmasasmita. Op.cit., hlm. l2-13. Ibid. Hlm. 241-242. 369
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
ensures afair ond justrial);b. agar peradilan mampu berperan mengawasi semua tindakan pemerintahan (to enable the judges to exercise control over government action). Hal ini dalam rangka penegakan spirit yang terkandung dalam kedudukan hukum sebagai bidang pembangunan tersendiri, lepas dari bidang politik, hukum tidak subordinated pada kekuasaan politik. Segala bentuk peradilan perlu dibentuk panel khusus yang mengadili kasus-kasus pelanggaran-pelanggaran HAM. Jaminan terhadap kebebasan hakim dalam memutus perkara biasanya diimbangi dengan ―kekebalan‖ terhadap tuntutan atas perbuatan yang dilakukannya atas dasar kebebasannya tersebut. 2.
Diversi Diversi adalah menghindarkan anak tersebut dari prosedur resmi beracara di pengadilan dan mengurangi kemungkinan terjadinya bentuk residivisme di masa mendatang.75 Misi ide diversi bagi anak-anak menyediakan sebuah alternatif dengan prosedur resmi beracara di pengadilan untuk memberikan kesempatan kedua bagi para pelaku tindak pidana ringan di bawah umur yang baru pertama kali melakukan, melalui kegiatan yang terprogram dan memberikan bentuk pengabdian sosial secara nyata pada masyarakat, adapun tujuan utama adalah guna mengarungi residivis bagi peserta program. Dengan adanya kesempatan ini, para anak muda diberikan kesempatan untuk menjadi sosok baru yang bersih dari catatan kejahatan. Di Indonesia tujuan diversi dapat dilihat dalam Manual Pelatihan untuk Polisi. Di dalam manual tersebut disebutkan tujuan dari diversi yaitu: untuk menghindari penahanan; untuk menghindari cap jahat/label sebagai penjahat; untuk meningkatkan keterampilan hidup bagi pelaku; agar pelaku bertanggungjawab atas perbuatannya; untuk mencegah pengulangan tindak pidana; untuk mengajukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan pelaku tanpa harus melalui proses formal; program diversi akan menghindari anak mengikuti proses-proses sistem pengadilan. Langkah lanjut akan program ini akan menjauhkan anak-anak dari pengaruhpengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan tersebut.76 Jenis-jenis diversi secara garis besar, terdiri dari tiga jenis atau tipe diversi yaitu: diversi dalam bentuk Peringatan; Diversi informal dan Diversi formal. a) Peringatan Diversi dalam bentuk peringatan, ini akan diberikan oleh Polisi untuk pelanggaran ringan. Sebagai bagian dari peringatan, si pelaku akan 75
76
370
The purpose of the Juvenile Diversion Program is to provide youthful offenders with a posistive alternative to the court sistem. Young offenders in structured activities and group interactions which are intended to improve their understanding and perception of the legal sistem and law enforcement, increase their self-esteem Apong Herlina dkk, Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum,Buku Saku untuk Polisi, UNICEF, Jakarta 2004, hlm. 21.
Kebijakan Hukum Pidana Perlindungan Anak Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak
meminta maaf pada korban. Polisi mencatat detil kejadian dan mencatatkan dalam arsip di kantor Polisi. Peringatan seperti ini telah sering dipraktekkan. b) Diversi informal Diversi informal diterapkan terhadap pelanggaran ringan di mana dirasakan kurang pantas jika hanya sekedar memberi peringatan kepada pelaku, dan kepada pelaku membutuhkan rencana intervensi yang komrehensif. Pihak korban harus diajak (dapat dilakukan melalui telepon) untuk memastikan pandangan mereka tentang diversi informal dan apa yang mereka inginkan di dalam rencana tersebut. Diversi informal harus berdampak positif kepada korban, anak dan keluarganya. Yaitu harus dipastikan bahwa anak akan cocok untuk diberi diversi informal. Rencana diversi informal ini anak bertanggungjawab, mengakui kebutuhan-kebutuhan korban dan anak, dan kalau mungkin orang tua diminta bertanggungjawab atas kejadian tersebut. c) Diversi formal Diversi formal dilakukan jika diversi informal tidak dapat dilakukan, tetapi tidak memerlukan intervensi pengadilan. Beberapa korban akan merasa perlu mengatakan pada anak betapa marah dan terlukanya mereka, atau mereka ingin mendengarkan langsung dari anak. Karena permasalahannya muncul dari dalam keluarga anak maka ada baiknya ada anggota keluarga lainnya yang hadir untuk mendiskusikan dan menyusun rencana diversi yang baik untuk semua pihak yang terkena dampak dari perbuatan itu. Proses Diversi formal dimana korban dan pelaku bertemu muka, secara internasional hal ini disebut sebagai ―Restorative Justice‖. Sebutan-sebutan lain Restorative Justice, misalnya Musyawarah Kelompok Keluarganya (Family Group Conference); Musyawarah Keadilan Restorative (Restorative Justice Conference); Musyawarah masyarakat (Community Conferencing).77 Saat ini pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Berdasar Pasal 108, UndangUndang Sistem Peradilan Pidana Anak ini baru akan mulai dinyatakan berlaku 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan (30 Juli 2012). Dengan demikian Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak baru berlaku tahun 2014.78 Untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengatuan secara tegas 77 78
Ibid.,hlm. 10. Setya Wahyudi, Model Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak dan Implikasi Bagi Politik Kriminal Anak di Indonesia, FH Unsoed, Makassar, 2013. Hlm. 9. 371
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
mengenai keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan wajar. Pengertian diversi ditentukan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 angka 7 yaitu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.79 Menurut Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, ditentukan bahwa dalam sistem peradilan pidana anak wajib diupayakan diversi. Dengan demikian dapat diketahui bahwa diversi wajib diupayakan dalam setiap tahap sistem peradilan pidana anak mulai dari penyidikan, penuntutan, persidangan dan pada tahap pelaksanaan putusan pengadilan. Selanjutnya ketentuan diversi secara lengkap ditentukan dalam Bab II yang dimulai Pasal 6 sampai dengan Pasal 15. Berdasar Pasal 6 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, maka tujuan penyelenggaraan diversi yaitu : 1) Mencapai perdamaian antara korban dan anak; 2) Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan; 3) Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; 4) Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan 5) Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. Penyelenggaraan diversi wajib diupayakan sejak tingkat penyidikan, penuntutan dan pada tahap pemeriksaan perkara anak di sidang pengadilan. Hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, diversi dilaksanakan dibatasi dalam tindak pidana yang dilakukan :80 1) Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan 2) Bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Di dalam Penjelasan Pasal 7, dijelaskan bahwa pengulangan tindak pidana dalam ketentuan ini merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh anak, baik tindak pidana sejenis maupun tidak sejenis, termasuk tindak pidana yang diselesaikan melalui diversi. Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya. Orang tua dan wali korban dilibatkan dalam proses diversi dalam hal korban adalah anak. Pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial professional berdasarkan pendekatan keadilan restorative. Dalam hal ini diperlukan musyawarah, maka dapat melibatkan tenaga kesejahteraan sosial dan/atau masyarakat. Yang dimaksud dengan ―masyarakat‖ antar lain tokoh agama, guru, dan tokoh masyarakat. Proses diversi wajib memperhatikan : 1) Kepentingan korban; 2) Kesejahteraan dan tanggung jawab anak; 3) Penghindaran stigma negatif; 4) Penghindaran pembalasan; 5) Keharmonisan masyarakat; dan 6) Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum. 79 80
372
Ibid. Ibid., hlm. 10.
Kebijakan Hukum Pidana Perlindungan Anak Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak
Pasal 9 menentukan bahwa Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan diversi harus mempertimbangkan : 1) Kategori tindak pidana; 2) Umur anak; 3) Hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan 4) Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat. Di dalam penjelasan Pasal 9 dijelaskan bahwa kategori tindak pidana merupakan indikator bahwa semakin rendah ancaman pidana semakin tinggi prioritas diversi. Diversi tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan terhadap pelaku tindak pidana yang serius, misalnya pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba, dan terorisme, yang diancam pidana di atas 7 (tujuh) tahun. Umur anak dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menentukan prioritas pemberian diversi dan semakin muda umur anak semakin tinggi prioritas diversi.81 Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali untuk: 1) Tindak pidana yang berupa pelanggaran; 2) Tindak pidana ringan; 3) Tindak pidana tanpa korban; dan 4) Nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat. Ketentuan mengenai ―Persetujuan keluarga Anak Korban‖ dimaksudkan dalam hal korban adalah anak di bawah umur. Yang dimaksud dengan ―tindak pidana ringan‖ adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara atau pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 10, ditentukan kesepakatan diversi untuk menyelesaikan tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dapat dilakukan oleh penyidik bersama pelaku dan/atau keluarganya, pembimbing kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh masyarakat. Kesepakatan diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penyidik atas rekomendasi pembimbing kemasyarakatan dapat berbentuk : 1) Pengembalian kerugian dalam hal ada korban; 2) Rehabilitasi medis dan psikososial; 3) Penyerahan kembali kepada orang tua/wali; 4) Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau 5) Pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan. Pasal 11 menentukan tentang hasil kesepakatan diversi. Hasil kesepakatan diversi dapat berbentuk, antara lain: 1) Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian; 2) Penyerahan kembali kepada orang tua/wali; 3) Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau 4) Pelayanan masyarakat. 81
Ibid., Hlm. 11. 373
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Pasal 12 menentukan, bahwa hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dituangkan dalam bentuk kesepakatan diversi. Hasil kesepakatan diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh atasan langsung pejabat yang bertanggungjawab di setiap tingkat pemeriksaan ke pengadilan negeri sesuai dengan daerah hukumnya dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak kesepakatan dicapai untuk memperoleh penetapan. Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak diterimanya kesepakatan diversi.82 Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada pembimbing kemasyarakatan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan. Setelah menerima penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penyidik menerbitkan penetapan penghentian penyidikan atau penuntut umum menerbitkan penetapan penghentian penuntutan. Pasal 13 menentukan, bahwa proses peradilan pidana anak dilanjutkan dalam hal: 1) Proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan; atau 2) Kesepakatan diversi tidak dilaksanakan. Pasal 14 menentukan, pengawasan atas proses diversi dan pelaksanaan kesepakatan yang dihasilkan berada pada atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan. Selama proses diversi berlangsung sampai dengan kesepakatan diversi dilaksanakan, pembimbing kemasyarakatan wajib melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan. Dalam hal kesepakatan diversi tidak dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan, pembimbing kemasyarakatan segera melaporkannya kepada pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menindaklanjuti laporan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari. Pasal 15 mengatur bahwa ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan proses diversi, tata cara, dan koordinasi pelaksanaan diversi diatur dengan peraturan pemerintah. Penerapan diversi dalam sistem peradilan pidana anak wajib diterapkan pada setiap tahapan sistem peradilan pidana. Penyidik anak, penuntut umum anak dan hakim anak pada setiap pemeriksaan anak wajib mengupayakan program diversi dalam proses pemeriksaan perkara anak. Kewajiban penegak hukum anak untuk mengupayakan diversi diperkuat dengan adanya sanksi ancaman pidana penjara bagi penegak hukum yang dengan sengaja tidak melakukan kewajibannya untuk mengupayakan diversi. Hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 96 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tersebut.83 Pasal 96 menentukan: Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban mengupayakan diversi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
82 83
374
Ibid., hlm. 12. Ibid., hlm. 13.
Kebijakan Hukum Pidana Perlindungan Anak Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak
3.
Restorative Justice Konsep restorative justice, proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku (tersangka) bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersama-sama berbicara. Dalam pertemuan tersebut mediator memberikan kesempatan kepada pihak pelaku untuk memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai tindakan yang telah dilakukannya. Pihak pelaku sangat mengharapkan pihak korban untuk dapat menerima dan memahami kondisi dan penyebab mengapa pihak pelaku melakukan tindak pidana yang menyebabkan kerugian pada korban. Selanjutnya pelaku juga memaparkan tentang sebagaimana dirinya bertaggungjawab terhadap korban dan masyarakat atas perbuatan yang telah dilakukannya. Selama pihak pelaku memaparkan tentang tindakan yang telah dilakukannya dan sebab-sebab mengapa sampai tindakan tersebut dilakukan pelaku, korban wajib mendengarkan dengan teliti penjelasan pelaku. Untuk selanjutnya pihak korban dapat memberikan tanggapan atas penjelasan pelaku. Di samping itu, juga hadir pihak masyarakat yang mewakili kepentingan masyarakat. Wakil masyarakat tersebut memberikan gambaran tentang kerugian yang diakibatkan oleh telah terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Dalam paparannya tersebut masyarakat mengharapkan agar pelaku melakukan sesuatu perbuatan atau tindakan untuk memulihkan kembali keguncangan/kerusakan yang telah terjadi karena perbuatannya. Di Indonesia praktik secara restorative justice ini juga telah dilakukan yang dikenal dengan penyelesaian secara kekeluargaan. Praktik yang ada merupakan sebagian dari tradisi dalam masyarakat atau hasil dari penelitian dan perjalanan panjang dari contoh atau pilot project yang diambil sebagai cara alternatif untuk menyelesaikan kasus pidana di luar peradilan. Praktik-praktik yang ada tetap mempunyai dasar prinsip restorative justice yang telah diakui di banyak negara yang mana dalam pelaksanaannya kini telah diimplementasikan dalam sejumlah aturan dan pola atau cara. Bentuk praktik restorative justice yang telah berkembang di negara Eropa, Amerika Serikat, Canada, Australia, dan New Zealand dapat dikelompokkan dalam empat jenis praktik yang menjadi pioneer penerapan restorative justice di beberapa negara yaitu, Victim Offender Mediation, Conferencing/Family Group Conferencing, Cirlcles dan Restorative Board/Youth Panels. Proses restorative justice terbaru yang bertama adalah VOM. Program VOM pertama kali dilaksanakan sejak tahun 1970 di Amerika bagian utara dan Eropa seperti Norwegia dan Finlandia.84 VOM di negara bagian Pennylvania Amerika Serikat menjalankan program tersebut dalam kantor pembelaan terhadap korban di bawah tanggung
84
Gordon Bazemore and Mark Umbreit (1999). Conferencing, Circles, Board, and Mediations: Restorative justice and Citizen Involvement in the Response to Youth Crime. Florida: University of Minnesota,hlm. 6. 375
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
jawab Departemen Penjara. Program tersebut berjalan dengan sebuah ruang lingkup kejahatan kekerasan termasuk pelaku yang diancam hukuman mati.85 Program tersebut dirancang dan diperbaiki selama lima tahun dengan kerangka pengertian dan pemahaman konsep restorative justice yang memusatkan perhatian pada penyelenggaraan dialog di mana korban dimungkinkan ikut serta bertukar pikiran sehubungan dengan akibat yang ditimbulkan berupa trauma dari kejahatan dan menerima jawaban dan informasi tambahan dari pelaku yang telah menyakitinya. Hal itu memberikan kesempatan bagi korban untuk mendengar dan memberikan kepada pelaku sebuah kesempatan untuk menerima tanggung jawab perbuatannya dan mengungkapkan perasaannya tentang kejahatan dan konsekuensi yang harus diterimanya.86 Permintaan untuk melakukan mediasi merupakan inisiatif dan usulan korban dan kehendak korban. Peserta dari pihak korban harus berumur 18 tahun atau lebih. Peserta pihak pelaku harus dijelaskan dengan bantuan lembaga psikolog. Mediator atau Fasilitator adalah kelompok sukarela yang telah menjalani training intensif. Kebanyakan mediasi melibatkan co-mediator terhadap kasus-kasus yang membutuhkan persiapan banyak dan luas sebelum menghadirkan kedua belah pihak bertemu dalam mediasi secara lengsung. Dialog secara tidak langsung juga dimungkinkan sebagai pilihan. Tujuannya memberikan kesempatan bagi korban kejahatan kekerasan bertemu secara langsung, aman, resmi dan teratur dengan pelaku, memberikan perlindungan terhadap lingkungan tempat tindak pidana. Selanjutnya upaya penyembuhan dan penghapusan kerusakan yang terjadi akibat perbuatannya. Upaya penyembuhan dan menghilangkan trauma yang terjadi dalam kurun waktu yang relatif agak lama yaitu menunggu pihak korban untuk bersedia melakukan perdamaian dan berniat ikut serta dalam program restorative justice yang akan dilaksanakan. Pelaku diundang untuk ikut berpartisipasi harus dengan sukarela.87 E.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa: 1. Kebijakan formulasi terhadap perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia diatur dalam Undang85
86 87
376
Mark S. Umbreit. William Bradshaw. And Robert B. Coates. (September 2001) Victim Sensitive Offender Dialogue in Crimes of Severe Violence Differing Needs, Approaches, and Implications. London: Office for Victims of Crime U.S. Department of Justice, hlm. 14. Ibid. Mark S. Umbreit and Robert B. Coates. (1992). Victim Offender Mediation an Analysis of Program in Four States of The US. U.S.: Center for restorative justice and Mediation. hlm. 3.
Kebijakan Hukum Pidana Perlindungan Anak Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak
undang No. 3 Tahun l997 tentang Pengadilan Anak belum mengakomodasi prinsip the best interest of the child dalam sistem peradilan pidana anak, sehingga secara normatif dalam tataran formulasi belum mencerminkan ide dasar perlindungan terhadap anak. Dengan demikian, secara normatif dalam tataran formulasi belum mencerminkan ide dasar perlindungan hukum terhadap anak. Atas dasar hal itu, tahun 2012 telah disahkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai pengganti UU no. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sebagai pembaruan sistem peradilan anak di Indonesia. Kajian formulasi terhadap perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum dalam sistem peradilan pidana anak menurut Undang-undang nomor 11 Tahun 2012 telah mengakomodasi prinsip the best interest of the child dengan adanya diversi. Namun belum ditemukan prinsip ketersediaan bantuan hukum dalam konteks diversi dan prinsip adanya kontrol terhadap kewenangan diversi. Kajian formulasi terhadap perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum dalam sistem peradilan pidana anak menurut Undang-undang nomor 11 Tahun 2012 telah mengakomodasi prinsip the best interest of the child antara lain dengan menitik beratkan penanganan anak yang bermasalah dengan hukum melalui tindakan diversi dengan mengedepankan pendekatan restorative justice. 2. Kebijakan aplikasi terhadap perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum dalam sistem peradilan pidana anak menyangkut masalah substansial, struktural dan kultural. Paradigma sistem peradilan yang retributif masih menjadi ide dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1997. Hal tersebut tampak dari mulai penanganan di tingkat penyidikan, penuntutan dan peradilan maupun dalam proses pembinaan di lembaga pemasyarakatan. Para penegak hukum masih memperlakukan anak yang bermasalah dengan hukum sama dengan pelaku dewasa.
DAFTAR PUSTAKA Apong Herlina dkk, Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum,Buku Saku untuk Polisi, UNICEF, Jakarta 2004. Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademi Pressindo, Jakarta, 1993. Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, 2010. Gordon Bazemore and Mark Umbreit (1999). Conferencing, Circles, Board, and Mediations: Restorative justice and Citizen Involvement in the Response to Youth Crime. Florida: University of Minnesota,. M Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997. M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, PustakaKartini,Jakarta, 1993.
377
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung, Refika Aditama. Mark S. Umbreit and Robert B. Coates. (1992). Victim Offender Mediation an Analysis of Program in Four States of The US. U.S.: Center for restorative justice and Mediation. Mark S. Umbreit. William Bradshaw. And Robert B. Coates. (September 2001) Victim Sensitive Offender Dialogue in Crimes of Severe Violence Differing Needs, Approaches, and Implications. London: Office for Victims of Crime U.S. Department of Justice. Ruben Achmad, Upaya Penyelesaian Masalah Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Kota Palembang, dalam Jurnal Simbur Cahaya Nomor 27 Tahun X, Januari, 2005 Setya Wahyudi, Model Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak dan Implikasi Bagi Politik Kriminal Anak di Indonesia, FH Unsoed, Makassar, 2013. SriWidoyati Wiratmo Soekito. Zulmansyah Sekedang dan Arief Rahman, Selamatkan Anak-anak Riau, KPAID Riau, Pekanbaru, 2008.
378
PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KETENTUAN PIDANA MINIMUM KHUSUS DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI
Ismail Rumadan Peneliti Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI
[email protected] Abstrak Semangat penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang ditengarai sebagai kejahatan luar biasa yang berakibat pada terjadinya kesenjangan sosial, ekonomi, hilangnya kepercayaan kepada pemerintah dan berbagai permasalahan lainnya yang mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Hal yang menarik dari pembentukan UU Tipikor ini adalah adanya ketentuan pidana minimum khusus di dalam rumusan deliknya terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini tentu berbeda dengan ketentuan pidana pada umumnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang lebih mengenal ketentuan pidana maksimum. Hasil penelitian menunjukan bahwa ketentuan pinadana minimum khusus dalam undang-undang tindak pidana korupsi dapat saja diterobos asalkan hakim memiliki legal resening atau ratio residenti yang tepat terhadap suatu kasus korupsi dengan melihat skala besar kecilnya kasus korupsi tersebut dengan pertimbangan dan pola penafsiran dari perpektif, social-justice, moraljustice, dan keadilan masyarakat untuk menjatuhkan putusan di bawa batas minimum pemidanaan. Penjatuhan pidana di bawah ketentuan pidana minimum khusus dalam beberapa putusan pengadilan dapat dilakukan dengan beberapa kriteria yang menjadi pertimbangan hakim menyimpangi ketentuan pidana minimum tersebut, kriteria adanya unsur kerugian keuangan negara atau perekonomian negara sebagai akibat perbuatan tiundak pidana korupsi tersebut dan kriteria peran dan kedudukan terdakwa dalam perbuatan tindak pidana korupsi. Kata Kunci: Penafsiran hakim, pidana minimum khusus, tindak pidana korupsi. Abstract The spirit of the rule of law against corruption which is considered as an extraordinary crime that resulted in the occurrence of social inequality , the economy , the loss of faith in government and a variety of other problems that led to the birth of Law No. 31 of 1999 in conjunction with the Law No. 20 Year 2001 About Follow Corruption. The interesting thing about the formation of the AntiCorruption Act is a criminal provision in the formulation of minimum deliknya against perpetrators of corruption . It is certainly different from the general criminal provisions in the draft Criminal Law (Penal Code) which is more familiar maximum penal provision . The results showed that the minimum pinadana special provisions in the law of corruption can be breached so long as the judge has the
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
legal resening or residenti proper ratio to a corruption case by looking at the size scale of the corruption case with consideration and interpretation of the patterns perspective, social - justice, moral justice and community justice decision was taken to drop the minimum punishment. Criminal punishment under the criminal provisions of the special minimum in some court decisions can be made by several criteria into consideration the provisions of the criminal judges deviate minimum , the criteria of the element of state assets or state economy as a result of the acts of corruption tiundak and criteria of the role and position of the defendant in acts of corruption. Keywords : Interpretation of judges , a special minimum criminal , corruption. Pendahuluan Semangat penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang ditengarai sebagai kejahatan luar biasa yang berakibat pada terjadinya kesenjangan sosial, ekonomi, hilangnya kepercayaan kepada pemerintah dan berbagai permasalahan lainnya yang mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Hal yang menarik dari pembentukan UU Tipikor ini adalah adanya ketentuan pidana minimum khusus di dalam rumusan deliknya terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini tentu berbeda dengan ketentuan pidana pada umumnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang lebih mengenal ketentuan pidana maksimum. Ketentuan tersebut sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Penentuan pidana minimum dalam UU Tipikor ini juga sebagai bentuk upaya serius dari perumus undang-undang untuk pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia, namun semangat pembentukan UU Tipikor ini seharusnya diimbangi dengan berbagai ketentuan dan kaidah hukum yang berlaku secara logis, khusnya dalam rumusan delik pidana minimum khusus dalam UU Tipikor yang pada dasarnya memberikan kesan adanya suatu pemaksaan untuk menunjukan bahwa keinginan untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang menghendaki adanya standar minimal objektif untuk delik-delik tertentu yang sangat dicela dan merugikan masyarakat dan/atau negara, serta delik-delik yang dikualifisir atau diperberat oleh akibatnya (erfolgsqualifizierte delikte) dan ketidak percayaan terhadap hakim dalam memutus suatu perkara pidana korupsi. Namun pencantuman pidana minimum dalam UU Tipokor ini tidak disertai dengan adanya formulasi tentang aturan atau pedoman pemidanaannya yang 380
Penafsiran Hakim Terhadap Ketentuan Pidana Minimum Khusus Dalam UU Tipikor
merupakan suatu aturan khusus di luar KUHP yang mencantumkan pidana minimum khusus dalam rumusan deliknya, pada gilirannya berpotensi menimbulkan masalah yuridis di tingkat aplikasi. Setidaknya ketika hakim yang mengadili perkara pidana yang bersangkutan dihadapkan pada fakta banyaknya faktor-faktor yang meringankan pidana. Artinya bahwa, meskipun di rumusan deliknya dalam UU Tipikor sudah secara eksplisit ditentukan pidana minimum khususnya, namun dengan argumentasi hukum tertentu, tetap saja batas limit pidana minimum khusus tersebut ―diterobs‖ oleh hakim. Dalam hal ini pada tataran pelaksanaanya, terdapat putusan hakim yang menjatuhkan pidana penjara di bawah batas minimum ancaman pidana minimum khusus, dengan legal reasoning-nya masing-masing.88 Sehingga problem yuridis yang muncul kemudian adalah adanya friksi antara kepastian hukum (rechtszekerheid) di satu pihak dengan keadilan hukum (gerechtigheid) di lain pihak. A. Alasan Teoritis Putusan Hakim Dibawah Batas Minimum Khusus Jaminan terhadap Kebebasan hakim yang didasarkan pada kemandirian kekuasaan kehakiman secara konstitusional diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang selanjutnya diimplementasikan ke dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tantang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, yag kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan selanjutnya diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Bahwa dalam memeriksa serta memutus perkara pidana yang ada dihadapnnya, hakim memiliki kebebasan untuk melakukan penilaian. Segalanya diserahkan pada pandangannya ataupun juga keyakinannya untuk menentukan salah tidaknya terdakwa. Hal tersebut tentunya didasarkan pertimbangan faktafakta di persidangan maupun peraturan perundang-undangan atau hukum yang berlaku. Namun kondisi semacam ini jarang dijumpai dalam tataran praktik, sebab sering terjadi peristiwa yang belum diatur dalam hukum atau perundang-undangan, atau meskipun sudah diatur tetapi undang-undang tidak mengaturnya secara jelas dan lengkap, bahkan undang-undang memiliki keterbatasan jangkauan dalam memahami situasi dan kondisi sosial masyarakat yang dinamis dan berkembang dari waktu-kewaktu secara terus menerus. Apabila hakim menghadapi situasi yang demikian maka hakim tidak diperbolehkan menolak sustu perkara dengan alasan ketiadaan undang-undang yang mengaturnya. Sebagaimana ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menyebutkan : ―Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya‖. Justru sebaliknya hakim harus memeriksa dan memutus perkara
88
Lihat Putusan MA No. 1660 K/Pid.Sus/2009. 381
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
tersebut dengan melakukan penemuan hukum, bahkan kalau perlu dengan jalan menggunakan kaidah-kaidah hukum yang tidak tertulis.89 Atas padangan tersebut, walaupun secara normatif undang-undang yang mengatur tentang ancaman pidana minimal baik pidana penjara maupun pidana denda, namun dalam praktek ada juga hakim yang menerobos batas minimal ancaman yang sudah diatur jelas tersebut dengan alasan atau pertimbangan rasa keadilan sosial (social justice) dan moral justice.. Lebih dari sekedar alasan secara filosofis bahwa menerobos batas ketentuan formal pidana minimum khusus sebagai bagian dari kinerja hakim yang bersifat independen atau bebas dalam menemukan suatu norma hukum. Hakim bukan lagi corong dari undang-undang, tetapi pembentukan hukum yang memberi bentuk pada isi undang-undang dan menyesuaikanya dengan kebutuhan-kebutuhan hukum.90 Hal inilah yang selanjutnya dinyatakan oleh Sudikno Mertokusumo dan A. Pilto sebagai ajaran tentang kebebasan hakim, ajaran bahwa hakim tidak hanya corong pembentuk undang-undang saja, tetapi secara otonom, mencipta, menyelami proses kemasyarakatan.91 Pada hakikatnya semua perkara membutuhkan metode penemuan hukum agar aturan hukumnya dapat diterapkan secara tepat terhadap peristiwanya, sehingga dapat diwujudkan putusan hukum yang diidam-idamkan, yaitu yang mengandung aspek keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.92 Adapun untuk hakim sendiri pada hakikatnya, dalam menjalankan tugas penemuan hukum, hakim harus bebas, baik dari pengaruh pihak-pihak yang berperkara, maupun pihak-pihak lain seperti : atasan, eksekutif, legislatif, dan sebagainya. Berkenaan dengan pengertian dari penemuan hukum (rechtsvinding) itu sendiri, ada pendapat dari Paul Scholten, sebagaimana dikutip oleh Bambang Sutiyoso, yang mengatakan: ―Penemuan hukum oleh hakim merupakan sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya, kadang-kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi ataupun rechtssvervijning (pengkonkretan hukum).‖93
89
90
91 92 93
382
Lihat Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi : ―Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan ,memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.‖ Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, 1993, hal. 7. Dalam, Tendik Wicaksono, Penjatuhan Pidana oleh Hakim dibawah Batas Minium Khusus dari Ketentuan Undang-Undang dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika, Fakultas Hukum, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011, hlm. 80 Ibid, hal. 89. Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press, Yogyakarta, 2006, hal. 28. Bambang Sutiyoso, Loc. Cit.
Penafsiran Hakim Terhadap Ketentuan Pidana Minimum Khusus Dalam UU Tipikor
Menurut Sudikno Mertokusumo, mangatakan bahwa : ―Penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugaspetugas hukum lainnya yang diberi tugas menerapkan hukum terhadap peristiwaperistiwa hukum yang konkret. Dengan kata lain, merupakan proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkret (das sein) tertentu. Yang penting dalam penemuan hukum adalah sebagaimana mencarikan atau menemukan hukum untuk peristiwa kongkret.‖94 Ada beberapa peristilahan yang sering dikaitkan dengan penemuan hukum, 95
yaitu: a. Rechtsvorming (pembentukan hukum), yaitu merumuskan peraturan-peraturan yang berlaku secara umum bagi setiap orang. Lazimnya dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Hakim juga dimungkinkan sebagai pembentuk hukum (judge made law) kalau putusannya menjadi yurisprudensi tetap (vaste jurisprudence) yang diikuti oleh para hakim dan merupakan pedoman bagi kalangan hukum pada umumnya. b. Rechstoepassing (penerapan hukum), yaitu menerapkan peraturan hukum yang abstrak sifatnya pada peristiwanya. Untuk itu peristiwa konkret harus dijadikan peritiwa hukum terlebih dahulu agar peraturan hukumnya dapat diterapkan. c. Rechtshandhaving (pelaksaan hukum), dapat berarti menjalakan hukum, baik ada sengketa / pelanggaran maupun tanpa sengketa. d. Rechtschepping (penciptaan hukum), berarti bahwa hukumnya sama sekali tidak ada, kemudian diciptakan, yaitu dari tidak ada menjadi ada. Menurut pendapat Roeslan Saleh, hanya pembuat undang-undanglah yang mencipta hukum, tugas hakim adalah semata-mata menerapkan undang-undang.96 e. Rechtsvinding (penemuan hukum), dalam arti bahwa bukan hukumnya tidak ada, tetapi hukumnya sudah ada, namun masih perlu digali dan diketemukan. Istilah Rechtsvinding (penemuan hukum), Rechtsvorming (pembentukan hukum) dapat memunculkan polemik dalam penggunaanya. Menurut pendapat Algra, sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokususmo dan A. Pitlo, orang lebih suka menggunakan istilah ―pembentukan hukum‖ daripada ―penemuan hukum‖ oleh karena istilah penemuan hukum memberi sugesti seakan-akan hukumnya sudah ada.97 Mengenai macam-macam pembentukan hukum, dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu :98
94 95 96
97 98
Sudikno Mertokususmo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta : Liberty, 1996, hal. 49. Ibid, hal. 36-37. Roeslan Saleh, Mengadili Sebagai Pergulatan Kemanusiaan, Aksara Baru, Jakarta, 1979, hal. 16. Dalam, Tendik Wicaksono, Penjatuhan Pidana oleh Hakim … Op.cit., hlm. 82 Sudikno Mertokususmo dan A. Pitlo, Op. Cit., hal.4. Bambang Sutiyoso, Op. Cit., hal. 38-39. 383
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
1. Penemuan hukum heteronom (typisch logistisch); Penemuan hukum disini dianggap sebagai kejadian yang teknis dan kognitif, yang mengutamakan undang-undang. Sedangkan hakim tidak diberi kesempatan untuk berkreasi atau melakukan penilaian. Hakim dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar dirinya. Dalam hal ini hakim tidak bersikap mandiri, karena harus tunduk pada undang-undang (legisme/typis logicitis). Hakim hanyalah sebagai penyambung lidah atau corong dari undang-undang, tidak dapat menambah dan mengurangi apa yang sudah ditentukan dalam undang-undang. 2. Penemuan hukum otonom (materiel juridisch); Dalam penemuan hukum otonom, hakim tidak lagi dipandang sebagai corong atau terompetnya undangundang, tetapi sebagai pembentuk hukum yang secara mandiri member bentuk pada isi undang-undang dan menyesuaikannya dengan kebutuihan atau perkembangan masyarakat. Penemuan hukum otonom bersumber dari hati nurani sendiri, hakim tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor diluar dirinya. Dalam kontek penegakan hukum tindak pidana korupsi pada dasarnya Hakim di Indonesia menganut penemuan hukum heteronom, sepanjang hakim terikat pada undang-undang. Tetapi dalam penemuan hukum itu juga mempunyai unsur otonom yang kuat, karena hakim seringkali harus menjelaskan atau melengkapi undang-undang menurut pendangannya sendiri. Sebagai contoh kalau ada hakim Pengadilan Negeri yang mengacu kepada putusan hakim di atasnya (PT atau MA), tetapi asasnya tetap bahwa hakim tidak terikat pada putusan hakim lain. Hal ini merupakan sifat otonom. Mengacunya hakim pada putusan hakim lain, tidak berarti menganut asas the binding force of precedent, seperti dianut oleh Negara-negara Anglo Saxon, tetapi karena adanya keyakinan bahwa putusan yang dianutnya itu memang tepat (The persuacive force of precedent).99 Pada dasarnya melakukan penafsiran terhadap suatu ketentuan undang-undang, termasuk undang-undang tindak pidana korupsi pada tataran praktek atau terhadap peristiwa kongkrit, hakim dapat melakukan penafsiran/Interpretasi menurut bahasa. Metode interpretasi ini yang disebut interpretasi gramatikal yang merupakan cara penafsiran atas penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undangdengan menguraikan menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Interpretasi menurut bahasa ini selangkah lebih jauh sedikit dari hanya sekedar ―membaca undang-undnag‖. Kemudian hakim dapat melakukan interpretasi teleologis atau sosialogis, yaitu apabila makna undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Dengan interpretasi teleologis ini undang-undang yang masih berlaku tetapi sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak peduli apakah hal ini semuanya pada waktu diundangkannya undang-undang tersebut dikenal atau tidak. Interpretasi sistematis dapat juga dilakukan oleh hakim dalam menangani suatu perrkara hukum, yaitu menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkannya dengan undang-undang lain. Hal ini disebabkan terjadinya suatu undang-undang selalu 99
384
Ibid. hal. 40.
Penafsiran Hakim Terhadap Ketentuan Pidana Minimum Khusus Dalam UU Tipikor
berkaitan dengan peraturan perundang-undangan lain, dan tidak ada undangundang yang berdiri sendiri lepas sama sekali dari keseluruhan perundangundangan. Interpretasi historis dapat dilkukan oleh seorang hakim dengan meneliti sejarah terjadinya undang-undang tersebut. Penafsiran ini dikenal sebagai interpretasi historis. Jadi penafsiran historis merupakan penjelasan menurut terjadinya undang-undang. Ada dua macam interpretasi historis, yaitu penafsiran menurut sejarah undang-undang dan penafsiran menurut sejarah hukum. Kemudian hakim dapat juga melakukan interpretasi futuristis atau metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi adalah penjelasan ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai ketentuan hukum. Metode-metode penafsiran tersebut diatas dapat dijumpai dalam beberapa putusan yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini terhadap beberapa putusan hakim yang menerapkan metode tersebut dalam menjatuhkan vonis atau putusan yang melampui ketentuan formal pidana minimum khusus dalam Undang-undang tindak Pidana Korupsi. B. Dasar Penjatuhan Putusan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tugas dan tanggung jawab Hakim sebagai wakil Tuhan di muka bumi ini sangat berat, karena hakim dalam menjatuhkan suatu putusan atau vonis tidak hanya mempertimbangkan kepentingan hukum semata dalam putusan perkara yang dihadapi melainkan juga mempertimbangkan aspek keadilan agar tujuan penegakan hukum yaitu untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum bisa tercapai. Putusan hakim pada dasarnya menjadi harapan masyarakat agar putusan tersebut benar-benar mencerminkan rasa keadilan, namun sebagai manusia, hakim dalam putusannya juga tidak mungkin memuaskan semua pihak, tetapi walaupun begitu hakim tetap diharapkan menghasilkan putusan yang seadil-adilnya sesuai faktafakta hukum di dalam persidangan yang didasari pada aturan dasar hukum yang jelas (azas legalitas) dan disertai dengan hati nurani hakim. Putusan hakim adalah merupakan hasil (output) dari kewenangan mengadili setiap perkara yang ditangani dan didasari pada Surat Dakwaan dan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dan dihubungkan dengan penerapan dasar hukum yang jelas, termasuk didalamnya berat ringannya penerapan pidana penjara (pidana perampasan kemerdekaan), hal ini sesuai asas hukum pidana yaitu asas legalitas yang diatur pada pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu Hukum Pidana harus bersumber pada undang-undang. Artinya pemidanaan haruslah berdasarkan Undang-undang. Penerapan berat ringannya pidana yang dijatuhkan tentu bagi seorang hakim disesuaikan dengan apa yang menjadi motivasi dan akibat perbuatan si pelaku, khususnya dalam penerapan jenis pidana penjara, namun dalam hal Undang-Undang tertentu telah mengatur secara normatif tentang pasal-pasal tertentu tentang pemidanaan dengan ancaman minimal seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hakim dihadapkan dalam praktek peradilan dimana ada yang betul-betul 385
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
menerapkan aturan hukum sebagaimana adanya dengan alasan kepentingan Undang-Undang dan ada juga sebagian hakim yang menerapkan / menafsirkan undang-undang yang tertulis dengan cara memberikan putusan pidana (Straft Macht) lebih rendah dari batas ancaman minimal dengan alasan demi keadilan masyarakat. Secara formiil terdapat 2 (dua) hal yang harus dipertimbangkan oleh hakim sebelum menjatuhkan putusannya, ketentuan mengenai dua hal tersebut sebagaimana diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dimana struktur pengambilan keputusan adalah, Pertama, pertimbangan tentang fakta-fakta (apakah terdakwa benar-benar melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Kemudian yang kedua adalah pertimbangan tentang hukumnya (apakah perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana dan terdakwa bersalah, sehingga bisa dijatuhi putusan pidana.100 Pada dasarnya hakim dalam menjatuhkan putusan, termasuk pula putusan terhadap pelaku tindak pidana korupsi, hakim dapat menggunakan beberapa hal yang menjadi dasar pertimbanganya, dan kemudian dasar pertimbangan tersebut dimasuk ke dalam putusan yang meliputi, pertimbangan yang bersifat yuridis dan pertimbangan yang bersifat non yuridis dan hal-hal yang memberatkan serta hal-hal yang meringankan. a. Pertimbangan yang bersifat yuridis dan pertimbangan yang bersifat non yuridis. Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Pertimbangan yang bersifat yuridis diantaranya: 1) Surat dakwaan dan surat tuntutan/tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum (JPU) Surat dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan pada surat dakwaan itulah pemeriksaan atas suatu perkara dipersidangan dilakukan (Pasal 143 ayat (1) KUHAP). Surat Dakwaan berisi mengenai identitas terdakwa, uraian tindak pidana yang didakwakan, serta waktu dan tempat dilakukannya tindak pidana (Pasal 143 ayat (2) KUHAP). Selain itu di dalam Surat Dakwaan juga memuat pasal yang dilanggar. Perumusan dakwaan didasarkan dari hasil pemeriksaan pendahuluan yang dapat disusun tunggal, kumulatif, alternatif maupun subsidiair.101 Sedangkan surat tuntutan berisi antara lain mengenai hasil pemeriksaan di persidangan, yang meliputi pemeriksaan alat bukti dan juga barang bukti, serta pembuktian atas surat 100
101
386
Sudarto, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan, Loka Karya Masalah Pembaharuan Kodifikasi Hukum Pidana Nasional (Buku I). Badan Pembinaan Hukum Nasional, Depertemen Kehakiman, 1984. Dalam, Tendik Wicaksono, Penjatuhan Pidana oleh Hakim, … Op.cit., hlm. 102. Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.125.
Penafsiran Hakim Terhadap Ketentuan Pidana Minimum Khusus Dalam UU Tipikor
dakwaan yang memuat pasal yang dilanggar dan terkahir tuntutan pidana yang dijatuhkan oleh jaksa penuntut umum terhadap terdakwa. Dalam beberapa kasus korupsi, dakwaan Jaksa ini sangat penting dan menjadi dasar utama dalam penjatuhan putusan pidana oleh hakim. Pada dasarnya bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan putusan keluar dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Namun dalam beberapa kasus tertentu peutsan hakim bisa menyampingkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Penyampingan atau putusan hakim yang keluar dari dakwaan Jaksa ini sering terjadi dan masing-masing putusan hakim memiliki alasan atau pertimbangan hukum yang berbeda-beda. Dalam kasus atas nama terdakwa Kardono T, dalam perkara Nomor 2399 K/Pid.Sus/2010, dapat dikatakan bahwa hakim pada pengadilan tingkat banding maupun pengadilan tingkat kasasi melakukan terobosan hukum. Sebab Terdakwa didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan tunggal (Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 ayat (1) huruf a,b, ayat (2) dan (3) Undang-undang No 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP). Walaupun pilihan bentuk dakwaan adalah wewenang Jaksa Penuntut Umum, akan tetapi dakwaan tunggal terhadap perkara a quo (atau perkara korupsi pada umumnya) menyebabkan Majelis Hakim pada posisi dilematis, karena tidak ada pilihan untuk menerapkan hukum yang tepat atau adil bagi Terdakwa, dan bagi penegakkan hukum itu sendiri. Terobosan hukum ini dengan suatu pertimbangan bahwa, walaupun perbuatan Terdakwa terbukti memenuhi segenap unsur dakwaan Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 ayat (1) huruf a,b, ayat (2) dan (3) Undang-undang No 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP a quo, namun Majelis Hakim menilai penerapan pidana minimal khusus sebagaimana diatur dalam pasal dakwaan yang dimaksud, dapat mencederai rasa keadilan karena ketidakseimbangan antara perbuatan yang dilakukan Terdakwa dihubungkan dengan jumlah kerugian Negara yang timbul akibat perbuatan Terdakwa dan dihubungkan pula dengan besaran nilai yang diperoleh Terdakwa oleh sebab perbuatannya tersebut yakni sebesar Rp. 2.900.000,- (dua juta sembilan ratus ribu rupiah). Lain halnya dengan kasus korupsi dengan terdakwa mantan Bupati Lampung Timur, Hi. SATONO. Dakwaan Jaksa cukup lengkap berupa dakwaan primer, dakwaan subsidair, serta dakwaan lebih subsidair. Surat Dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) sudah cukup jelas, cermat, dan lengkap, sehingga telah memenuhi unsur formil dan unsur materiil, baik mengenai tempus maupun locus delicti-nya sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP. Surat Dakwaan juga telah menyebutkan secara rinci pasal yang didakwakan dan fakta hukum yang menunjukkan bahwa seluruh unsur tindak pidana korupsi yang didakwakan terpenuhi. Namun hakim menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa dari segala dakwaan JPU, karna menurut pertimbangan majelis hakim tingkat pertama bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Perbuatan terdakwa lebih 387
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
pada perbutan administrasi, sehingga terdakwa harus bebas dari segala dakwaan dan tuntutan JPU. 2) Pertimbangan yang bersifat yuridis lainya adalah, alat bukti yang sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, meliputi : a) Keterangan saksi b) Keterangan ahli c) Surat d) Petunjuk e) Keterangan terdakwa 3) Barang bukti Walaupun barang bukti bukan sebagai alat bukti namun penuntut umum menyebutkan barang bukti itu di dalam surat dakwaannya yang kemudian mengajukannya kepada hakim dalam pemeriksaan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi.102 Adanya barang bukti yang diperlihatkan pada persidangan akan menambah keyakinan hakim dalam menilai benar tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dan sudah barang tentu hakim akan lebih yakin apabila barang bukti itu dikenal dan diakui oleh terdakwa maupun para saksi. Sedangkan mengenai berat ringannya barang bukti yang dimiliki terdakwa, seperti yang terjadi dalam tindak pidana korupsi, hal ini juga mempengaruhi pertimbangan yang diambil oleh hakim dalam menjatuhkan putusannya. 4) Pasal-pasal pidana korupsi dalam Undang-undang tindak pidana korupsi Hal yang sering terungkap di persidangan adalah pasal-pasal yang dikenakan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Pasal-pasal ini bermula dan terlihat dalam surat dakwaan yang diformulasikan oleh penuntut umum sebagai ketentuan hukum tindak pidana korupsi yang dilanggar oleh terdakwa. Dalam persidangan, pasal-pasal dalam Undang-undang tindak pidana korupsi itu selalu dihubungkan dengan perbuatan terdakwa. Penuntut umum dan hakim berusaha untuk membuktikan dan memeriksa melalui alat-alat bukti tentang apakah perbuatan terdakwa telah atau tidak memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam pasal Undang-undang Korupsi tersebut. Unsur-unsur yang sering muncul dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap pelaku tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut: 1) Unsur memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi 2) Unsur merugikan keuangan Negara atau perekonomian nasional Apabila ternyata perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur dari setiap pasal yang dilanggar, berarti terbuktilah menurut hukum kesalahan terdakwa melakukan perbuatan seperti dalam pasal yang didakwakan kepadanya. Dari beberapa kasus yang menjadi kajian dalam tulisan ini pada umumnya pasal-pasal yang didakwakan dalam suatu tindak pidana korupsi adalah Pasal 2 ayat (1) maupun Pasal 2 ayat (3) Jo Pasal 18 ayat (1), (2), (3). Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi sebagaiamana yang diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan 102
388
Lihat ketentuan Pasal 181 ayat (1) dan (2) KUHAP.
Penafsiran Hakim Terhadap Ketentuan Pidana Minimum Khusus Dalam UU Tipikor
Tidak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sebagaimana dalam putusan Nomor 2399 K/Pid.Sus/2010. Dalam kasus yang lain dakwaan juga didasarkan pada Pasal 12 huruf b UU No. 20 tahun 2001 Perubahan atas undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi. Pasal-pasal yang didakwakan oleh penuntut umum, sebagaimana yang dituangkan di dalam tuntutan pidannya menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Menurut Pasal 197 huruf f KUHAP, salah satu yang harus dimuat dalam surat putusan pemidanaan adalah pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar pemidanaan. Sedangkan menurut Pasal 50 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, disebutkan bahwa : ―Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undnagan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.‖ Selanjutnya pertimbangan hakim yang bersifat non yuridis. Di dalam menjatuhkan putusannya, selain mempertimbangkan hal-hal yang sifatnya yuridis, hakim juga membuat pertimbangan yang bersifat non yuridis. Sebagaimana pula pertimbangan yang bersifat yuridis, pertimbangan yang bersifat non yuridis juga didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan, yang antara lain mencakup terdakwa:103 a) Akibat yang muncul dari perbuatan terdakwa Perbuatan terdakwa dalam melakukan tindak pidana korupsi tentu berakibat terhadap kerigian keuangan Negara dan kerugian ekonomi nasional. Akibat adanya potensi kerugian Negara maupun potensi kerugian ekonomi nasional ini menjadi dasar pertimbangan secara materil bagi hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Akibat yang timbul dari suatu perbuatan pidana korupsi dalam hal ini adalah adanya unsur kerugian keuangan Negara menjadi salah satu point penting bagi hakim untuk menentukan berat ringannya penjatuhan putusan pidana terhadap terdakwa. Dalam beberapa contoh kasus putusan yang menjadi bahan kajian dalam tulisan ini misalnya, pada putusan Nomor: 2399 K/Pid.Sus/2010 dengan terdakwa Kardono T, pertimbangan Majelis Hakim tingkat kasasi dengan menjatuhkan putusan 1 (satu) tahun di bawah minimum khusus dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum 4 (empat) tahun karena salah satu dasar pertimbangannya adalah unsur kerugian Negara sebagai akibat dari perbuatan terdakwa tidak terlalu signifikan. Berbeda halnya dengan putusan Nomor: 253 K/PID.SUS/ 2012 dengan terdakwa, mantan Bupati Lampung Timur Hi. SATONO, walaupun pada pengadilan tingkat pertama terdakwa divonis bebas oleh majelis hakim dari segala dakwaan dan tuntutan Jaksa penuntut Umum, dengan alasan bahwa terdakwa tidak terbukti secara formal melakukan tindak pidana korupsi, dan tidak adanya unsur kerugian Negara yang timbuk akibat perbuatan terdakwa sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Namun putusan tingkat pertama ini dianulir dan dibatalkan oleh Majelis Hakim tingkat Kasasi, dengan menjatuhkan vonis penjara selama 15 103
Tendik Wicaksono, Penjatuhan Pidana oleh Hakim di Bawah Batas Minimum Khusus dari Ketentuan Undang-Undang dalam Perkara Tindak …., Op.cit., hlm. 103. 389
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
(lima belas) tahun dan denda sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), serta Menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp.10.586.575.000,- (sepuluh milyar lima ratus delapan puluh enam juta lima ratus tujuh puluh lima ribu rupiah). Penjatuhan pidana terhadap terdakwa ini tentu dengan suatu pertimbangan bahwa akibat perbuatan terdakwa dapat menimbulkan kerugian keuangan Negara sebesar Rp. 119.448.199.800,-. Dapat dipahami bahwa ketika Majelis Hakim tingkat kasasi menjatuhkan vonis 15 (lima belas) tahun penjara terhadap terdakwa Hi. SATONO yang dalam putusan tingkat pertama terdakwa divonis bebas dari segala dakwaan, apabila apabila dicerna ketentuan tentang tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1), akan ditemui beberapa unsur tindak pidana korupsi yaitu, Secara melawan hukum; Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; dan Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ―secara melawan hukum‖ mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil ―maupun‖ dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak teratur dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana pertimbangan Majelis Hakim tingkat pertama, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela, karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Sehingga walaupun pada pengadilan tingkat pertama terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan karena menurut pendapat majelis hakim perbuatan terdakwa tidak menyalahi ketentuan hukum formiil, perbuatan Terdakwa lebih pada tindakan administrasi yang menjadi kewenangan (diskresi) Terdakwa selaku pejabat administrasi, namun secara materiil perbuatan terdakwa dianggap tercela dan menciderai rasa keadilan masyarakat. Dengan adanya kata ―maupun‖ dalam penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengikuti 2 (dua) ajaran sifat melawan hukum secara alternatif, yaitu : a. Ajaran sifat melawan hukum formil, atau b. Ajaran sifat melawan hukum materiil. Roeslah Saleh104 mengemukakan: Menurut ajaran melawan hukum, yang disebut melawan hukum materiil tidaklah sekadar bertentangan dengan hukum tertulis, tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis. Sebaliknya, ajaran melawan hukum formil berpendapat bahwa melawan hukum adalah bertentangan dengan hukum tertulis saja. Jadi menurut ajaran materiil, disamping memenuhi syarat-syarat formil, yaitu memenuhi semua unsur yang disebut dalam rumusan delik, perbuatan harus benar-benar dirasakan mayarakat sebagai tidak boleh atau tidak patut.‖ Dalam kepustakaan hukum pidana, terdapat 2 (dua) fungsi dari ajaran sifat melawan hukum materiil,105 yaitu : 104
390
Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Hukum Pidana,: Aksara Baru, Jakarta, 1987, hlm. 7.
Penafsiran Hakim Terhadap Ketentuan Pidana Minimum Khusus Dalam UU Tipikor
a. Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif, yaitu suatu perbuatan, meskipun oleh peraturan perundang-undangan tidak ditentukan sebagai melawan hukum, tetapi jika menurut penilaian masyarakat perbuatan tersebut besifat melawan hukum, perbuatan yang dimaksud tetap merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum; b. Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif, yaitu suatu perbuatan, meskipun menurut peraturan perundang-undangan merupakan perbuatan yang melawan hukum, tetapi jika menurut penilaian masyarakat perbuatan tersebut tidak bersifat melawan hukum, perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum. Oleh karena penjelasan Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ―secara melawan hukum‖ dalam Pasal 2 ayat (1) mencakup perbuatan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka dapat diketahui bahwa ajaran sifat melawan hukum materiil yang diikuti oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengikuti ajaran melawan hukum materiil? Oleh penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara dan perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit. Sehingga menurut penulis putusan 15 (lima belas) tahun penjara yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim tingkat kasasi dalam kasus korupsi Dana Kas Daerah oleh mantan Bupati Lampung Timur adalah sudah tepat, dan putusan ini menganulir putusan pengadilan tingkat pertama yang membebaskan terdakwa dari segala dakwaan dan tuntutan JPU. b) Peran atau kedudukan terdakwa Maksud peran atau kedudukan terdakwa disini yaitu pada saat melakukan tindak pidana, apakah terdakwa hanya seorang diri ataukah ada orang lain yang juga turut melakukannya. Peran atau kedudukan terdakwa di dalam terjadinya tindak pidana ini pastinya akan menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusannya, terutama dalam hal penentuan berat ringannya pidana yang dijatuhkan. Penjatuhan putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi dibawah batas minimum khusus, yang menganulir putusan Majelis Hakim PN Singkawan 4 tahun penjara dengan pertimbangan bahwa Pengadilan Tinggi sependapat dengan pertimbangan Hakim Tingkat Pertama dalam putusannya, bahwa terdakwa terbukti dengan sah dan menyakinkan bersalah melakukan tidak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya dan pertimbangan Hakim Tingkat pertama tersebut dan diambil alih dan dijadikan pertimbangan Pengadilan Tinggi sendiri dalam memutus perkara ini dalam tingkat banding, kecuali mengenai pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa, menurut pendapat Pengadilan Tinggi terlalu berat, karena saksi Erwin Irawadi-terdakwa dalam perkara lain sebagai aktor intelektual kasus tersebut
105
Lihat misalnya pada Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Hal. 133, Roeslan Saleh, Sifat-sifat mealwan hukum dari Perbuatan Pidana, hal, 18-19, Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Hukum Pidana, hlm. 131-193. 391
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
sampai kasus ini diputus Pengadilan Tinggi belum diputus oleh Pengadilan Negeri Singkawang. Dalam kasus aquo seharusnya Jaksa Penuntun Umum tidak mengajukan perkara terdakwa ini dengan dakwaan tunggal sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 ayat (1) (2) (3) dan seterusnya akan tetapi surat dakwaan tersebut harus bersifat subsidairitas – primer melanggar Pasal 2 ayat (1) dan subsidair melanggar Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi, sehingga Majelis Hakim Tingkat Pertama diberi kebebasan memutus apakah yang terbukti dakwaan primair atau subsidair. Kemudian pertimbagan pertimbangan majelis hakim banding selanjutnya dengan mengacu pada Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI dengan jajaran tingkat banding pada Tanggal 09 Oktober 2009 di Palembang, bahwa Hakim dapat menjatuhkan pidana dibawah pidana minimal asalkan didukung pada bukti dan pertimbangan hukum yang melandasi, jelas dan logis dan sesuai dengan rasa keadilan yang bersifat kasuistis. Bahwa dalam perkara aquo terdakwa hanya mendapat fee sebesar 5% dari nilai proyek pakaian, sedangkan Kodary Pardy – Direktur Gita Tailor dan Lusiana MS – Direktur C.Y.C Tailor selaku yang mendapat proyek pekerjaan menjahit pakaian tersebut tidak diproses hukum, karena DPO, demikian juga saksi Hanida, Ibrahim Ali, BA, Samino, Drs Herman dan saksi Erwin Irawadi – terdakwa dalam perkara terpisah seharusnya juga dijadikan sebagai tersangka, karena mereka lah secara aktif turut merekayasa proyek pengadaan pakaian dinas dilingkungan Sekretariat DPRD Singkawang sejumlah 130 potong pakaian dengan pagu anggaran Rp.64.948.000,- (enam puluh empat juta sembilan ratus empat puluh delapan ribu rupiah). Ditinjau dari segi uang berupa fee sebesar Rp.2.900.000,- (dua juta sembilan ratus ribu rupiah) yang diperoleh terdakwa, dikarenakan ia telah meminjamkan nama perusahaannya PD.GITA TAILOR dan PD C.Y.C TAILOR kepada saksi Erwin Erawadi, adalah tidak pantas dan tidak adil jika terdakwa dijatuhi hukuman sebagaimana yang telah dijatuhkan oleh Majelis hakim Tingkat Pertama, kendatipun lamanya hukuman yang diajtuhkan tersebut sudah mencapai batas minimal dari pasal yang didakwakan kepadanya (vide Pasal 2 Jo Pasal 18 ayat (1) (2) dan (3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi sebagaiamana yang diubah dan ditambah dengan Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas undang-undang No.31 tahun 1999, tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP). Sehingga dapat disimpulkan bahwa pejatuhan pidana dibawah batas minimum khusus sebagaimana tuntutan Jaksa Penuntut Umum dapat diterapkan jika faktor peran terdakwa dalam kasus korupsi yang didakwakan sangat kecil. Bahkan terdakwa dalam hal ini tidak berperan signifikan, terdakwa hanya mendapat fee dari penggunaan nama perusaan yang dipinjam untuk memenuhi syarat formalitas pengajuan tender proyek pengadaan pakaian dinas tersebut.
392
Penafsiran Hakim Terhadap Ketentuan Pidana Minimum Khusus Dalam UU Tipikor
b. Hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan pidana. Berkenaan dengan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa, pada dasarnya kedua hal ini haruslah termuat di dalam setiap putusan pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim. Hal ini sebagaimana yang telah diatur dalam Psal 197 ayat (1) huruf f KUHAP, yang menyebutkan putusan pemidanaan memuat keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa. 1) Hal-hal yang memberatkan perbuatan pidana KUHPidana mengenal 3 macam alasan-alasan umum yang menambah beratnya pidana, yaitu : a) Kedudukan sebagai pejabat (ambtelijke hoedanigheid) (Pasal 52 KUHP) b) Recedive (perulangan) / pernah dijatuhi pidana c) Gabungan (samenloop) (title VI Buku I KUHP) Seringkali di dalam putusannya, selain mempertimbangkan hal-hal sebagaimana yang telah diatur di dalam KUHP, hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan lainnya yang tidak diatur dalam KUHP, seperti misalnya perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat dan juga barang bukti yang dimiliki terdakwa sangat besar. Salah satu contoh pertimbangan hakim terhadap hal-hal yang memberatkan pada kasus korupsi Dana Kas Daerah Nomor: 253 K/PID.SUS/ 2012 dengan terdakwa mantan Bupati Lampung Timur dalam putusan Majelis Kasasi yang memvonis 15 tahun penjaran dari putusan bebas yang dijatuhkan oleh Majelis hakim tingkat pertama, dalam hal pertimbangan hal-hal yang memberatkan adalah: a. Terdakwa selaku Bupati tidak mendukung Program Pemerintah dalam upaya memberantas korupsi; b. Kerugian keuangan Negara yang timbul akibat perbuatan Terdakwa jumlahnya fantastis untuk satu Kabupaten i.c. Kabupaten Lampung Timur; c. Perbuatan Terdakwa melukai rasa keadilan masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan yang mendambakan tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan sosial ; 2) Hal-hal yang meringankan perbuatan pidana Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) alasan-alasam yang meringankan pidana adalah : a. Percobaan (Pasal 53 ayat (2) dan (3) b. Membantu (medepliplichtighied) (Pasal 57 ayat (1) dan (2)) c. Belum dewasa (minderjarigheid) (Pasal 47) Adapun di dalam proses persidangan, seringkali muncul hal-hal yang meringankan bagi terdakwa, yang mana hal ini juga menjadi pertimbangan bagi terdakwa, yang mana hal ini juga menjadi pertimbangan hakim di dalam menjatuhkan putusannya, diantaranya adalah : terdakwa belum pernah dipidana, terdakwa mangakui dan menyesali perbuatannya, dan juga terdakwa masih berusia anak. Selain pertimbangan yang bersifat yuridis dan pertimbangan yang bersifat non yuridis, serta hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan pidana, 393
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
terdapat pula hal-hal lain yang juga menjadi dasar pertimbangan hakim di dalam menjatuhkan putusannya, terutama terkait dengan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, yakni sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 55 pada Bab III Buku I Rancangan KUHP Baru yang khusus menagtur mengenai pedoman pemidanaan, yang bunyinya sebagai berikut : Ayat (1) Dalam Pemidanaan wajib mempertimbangkan : a. Kesalahan pembuat tindak pidana; b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana; c. Sikap batin pembuat tindak pidana; d. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana; e. Cara melakukan tindak pidana; f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana; g. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana; h. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana; i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban / keluarga korban; j. Pemaafan dari korban dan / atau keluarganya; dan / atau k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan; Ayat (2) Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan pertimbangan segi keadilan dan kemanusiaan. Menurut pendapat dari Sudarto, apa yang tercantum di dalam Pasal 55, terutama ayat (1), sebenarnya merupakan suatu daftar yang harus diteliti (check list) sebelum hakim menjatuhkan putusan.106 Dalam daftar tersebut memuat hal-hal yang diluar pembuat, sehingga dengan memperhatikan butir-butir tersebut diharapkan penjatuhan pidana lebih proposional dan lebih dipahami mengapa pidananya seperti yang dijatuhkan.107 Selain yang terdapat di dalam Pasal 55 pada Bab III Buku I Rancangan KUHP Baru, mengenai hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan juga telah diatur di dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, khususnya Pasal 8 ayat (2).108 Terkait dengan beratnya ringannya suatu pidana yang dijatuhkan oleh hakim, J.E. Sahetapy mengatakan : ―Patutlah diingat bahwa masalah berat atau takaran pidana sangat erat bertautan dengan konsep penilaian yang hendak diberikan terhadap kejahatan atau jenis kejahatan yang tertentu. In concrete lazimnya takaran atau berat ringannya pidana dikaitkan dengan sikap penjahat selama ia diadili. Selain dari itu takran tersebut dipengaruhi juga oleh hal-hal lain, seperti apakah ia mempersulit jalannya sidang dan sebagainya. Ada pula beberapa hal lain yang tampaknya 106 107 108
394
Sudarto, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan, dalam Tendik Wicaksono, Op.cit., hlm. 104 Ibid Lihat Pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi :‖Dalam mempertimbangkan berat tingannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.‖
Penafsiran Hakim Terhadap Ketentuan Pidana Minimum Khusus Dalam UU Tipikor
dilupakan, seperti realitas kehidupan sosial, sepak terjang hidupnya, sifat, bentuk dan cara kejahatan yang dilaksanakannya serta juga bagaimana skala nilai-nilai sosial masyarakat yang bersangkutan.‖109 Berdasarkan pendapat J. E. Sahetapy di atas, dapat diketahui bahwasanya untuk menentukan berat ringannya pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap seorang pelaku kejahatan maka hal itu sangat berkaitan dengan sikap dari pelaku kejahatan tersebut selama manjalani proses persidangan. Seperti misalnya apabila selama persidangan si pelaku mempersulit persidangan dengan cara memberikan keterangan yang berbelit belit dan kadang tidak mengakui perbuatannya, maka hakim bisa saja menjatuhkan pidana yang berat kepada pelaku kejahatan tersebut. D. Penafsiran Hakim Terhadap ketentuan Pidana Minimum dan Penjatuhan Pidana di Bawah Batas Minimum Khusus 1. Perkara Nomor: 1573 K /Pid.Sus/2011 Menarik untuk dikaji putusan Hakim Pengadilan Negeri Payakumbuh dalam kasus korupsi dengan Nomor Perkara Putusan Mahkamah Agung No: 1573 K /Pid.Sus/2011. Majelis Hakim pada Pengadilan Tingkat Pertama dalam perkara ini menjatuhkan vonis penjara selama 5 (lima) bulan terhadap terdakwa atas nama Edi Ahmad yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi terhadap dana bantuan becana alam di Sumatera Barat. Vonis majelis hakim tingkat pertama dalam kasus ini lebih rendah dari dakwaan JPU yang menuntut agar terdakwa dihukum karena terbukti bersalah dan meyakinkan melakukan tindak pidana ―Korupsi Pemalsuan Surat‖, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 9 UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 84 ayat (2) KUHAP sebagaimana dalam dakwaan Lebih Subsidiair. Oleh karena JPU menuntut agar Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 3 (tiga) bulan dan pidana denda sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) subsidiair 2 (dua) bulan kurungan. Pertimbangan majelis hakim tingkat pertama yang menjatuhkan vonis di bawah batas minimum khusus dari ketentuan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi dengan suatu pertimbangan bahwa, pada dasarnya hukum mempunyai tiga nilai dasar, yaitu (i) hukum sebagai nilai keadilan; (ii) hukum sebagai nilai kemanfaatan dan (iii) hukum sebagai nilai kepastian hukum. Dari sisi kepastian hukum, perbuatan Terdakwa diancam pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah). Jadi dalam hal ini terdapat pidana minimum yang harus dijatuhkan sebagaimana dimaksud dalam ancaman pidana Pasal 9 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
109
J.E. Sahetapy, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Malang: Setara Press, 2009, hal. 180. 395
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Sedangkan Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya menuntut Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 3 (tiga) bulan dan pidana denda sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) Subsidair 2 (dua) bulan kurungan. Majelis Hakim berpendapat penerapan sistem atau asas minimum khusus mempunyai dua sisi, yaitu sisi menjamin adanya kepastian hukum dan untuk menghindari adanya disparitas penjatuhan pidana, serta di sisi lain dapat menimbulkan kesenjangan vonis masa hukuman yang berbeda dalam berat tindak pidana yang dilakukan, tetapi mendapat hukuman yang sama, yaitu sama-sama mendapat hukuman minimum khusus. Seharusnya pada kasus yang lebih ringan dapat memperoleh hukuman yang lebih ringan pula. Justru penerapan asas hukum cenderung mencerminkan ketidakadilan. Untuk menghilangkan rasa ketidakadilan itu dari ancaman tindak pidana korupsi, yang dikategorikan relatif kecil, maka dicantumkan oleh Pembuat Undang-Undang, yaitu Pasal 12 A UU Tindak Pidana Korupsi, yaitu ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah). Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah), sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Pasal 12 A ini merupakan pengecualian penjatuhan pidana terhadap Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001; Di bagian lain dalam putusannya, Majelis Hakim tingkat pertama itu mengatakan dalam pertimbangannya, bahwa Saksi Ahli Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang diajukan JPU, dalam keterangan kesaksiannya di persidangan, tidak dapat menyimpulkan adanya kerugian Negara dalam perkara Terdakwa. Sedangkan berdasarkan fakta persidangan, bahwa Terdakwa tidak mendapatkan keuntungan materil dari perbuatan yang didakwakan kepadanya. Dengan demikian Majelis Hakim berpendapat kurang adil untuk menerapkan sistem minimal khusus terhadap diri Terdakwa sebagaimana dimaksud oleh Pasal 9 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu Majelis Hakim berpendapat Pasal 12 A Undang-Undang Nomor Tindak Pidana Korupsi dapat diterapkan kepada Terdakwa dalam hal penjatuhan pidana penjaranya. Bahwa, ancaman pidana sebagaimana dalam Pasal 12 A maupun Pasal 9 UndangUndang tersebut bersifat kumulatif, yaitu di samping pidana penjara, juga dijatuhkan pidana. Terhadap hal ini Majelis itu berpendapat penjatuhan pidana denda kepada Terdakwa terlalu berat karena tidak setimpal dengan perbuatan yang dilakukan, di mana tidak ada bukti selama persidangan berlangsung, bahwa Terdakwa telah mengambil keuntungan secara materil. Dengan demikian Terdakwa tidak perlu dijatuhi pidana denda. Adapun yang mendasari pemikiran Majelis Hakim, bahwa dalam menjatuhkan pidana kepada Terdakwa, seharusnya tidak semata-mata bertumpu, pada pertimbangan aspek yuridis (legal formal) saja, melainkan juga 396
Penafsiran Hakim Terhadap Ketentuan Pidana Minimum Khusus Dalam UU Tipikor
mencerminkan nilai-nilai keadilan yang seharusnya diwujudkan oleh peradilan pidana. Selain itu penjatuhan pidana kepada Terdakwa harus memperhatikan segala aspek pemidanaan yang integral berorientasi kepada moral justice, social justice dan legal justice, sebagai wujud pertanggungjawaban Majelis Hakim kepada masyarakat, Negara dan Bangsa serta terutama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada kasus ini dpat ditemukan bahwa hakim lebih menggunakan penafsiran secara teleologis – sosiologis, sebab majelis hakim mendasarkan pada fakta hukum dan kenyataan sehari-hari, perbuatan yang dilakukan Terdakwa memang sudah biasa dilakukan, sebagaimana keterangan saksi mantan Kepala Dinas Tanaman Pangan Kabupaten Lima puluh Kota, Ir. Sulaiman, begitu juga keterangan saksi dari Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) Dinas Tanaman Pangan Kabupaten Lima Puluh Kota, dan keterangan para saksi dari Kelompok Tani yang menerangkan bahwa sudah ada kebiasaan yang berlaku, Berita Acara biasanya ditandatangani terlebih dahulu, ketimbang sebelum barangnya datang. Keadaan ini dimungkinkan karena sistem keuangan pemerintah yang baru akan mencairkan dana, setelah adanya laporan perkembangan pekerjaan atau penyelesaian pekerjaan. Namun, Majelis berpendapat, sesuatu yang biasa itu, bukan suatu kebenaran mutlak, karena secara prinsipnya apa yang dilakukan Terdakwa merupakan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan, maka Majelis Hakim berpendirian bahwa tindak pidana yang dilakukan Terdakwa, haruslah dihukum dengan tujuan pemidanaan tersebut, dan pemidanaan itu bukanlah pembalasan hukuman, melainkan sebagai usaha premisif, preventif dan represif serta lebih jauh dari itu adalah sebagai edukasi, konstruktif dan motivatif, agar Terdakwa tidak melakukan perbuatan pidana lagi ataupun melakukan perbuatan pidana pengulangan; Oleh karena itu Majelis Hakim tingkat pertama, berpendapat tuntutan pidana JPU kepada Terdakwa sangatlah berat, mengingat pemidanaan, ialah upaya untuk menyadarkan Terdakwa agar menyadari perbuatannya yang telah melanggar hukum dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai. Majelis Hakim berpendapat masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dalam perkara ini cukup membuat Terdakwa jera dan memikirkan untuk mengubah hidupnya sehingga Terdakwa patutlah diberi kesempatan untuk berubah menjadi manusia yang lebih berguna; Oleh karena lamanya pidana penjara yang akan dijatuhkan atas diri Terdakwa, menurut Majelis Hakim telah cukup adil, memadai, argumentatif, manusiawi, proporsional dan sesuai dengan kadar kesalahannya; Oleh karena itu berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, majelis hakim pengadilan tingkat pertama berpandangan bahwa ketentuan pidana minimum dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi tidak dapat diterapkan dalam kasus ini, sehingga majelis Hakim hanya menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan.
397
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Berbagai argumentasi dan pertimbangan Pengadilan Negeri Payakumbuh tersebut diatas dimentahkan oleh Pengadilan Tinggi Padang. Dalam putusannya, Pengadilan Tinggi Padang sependapat dengan pertimbangan Hakim tingkat Pertama dalam putusannya yang menyatakan perbuatan Terdakwa terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan Lebih Subsidair dan pertimbangan Hakim tingkat pertama tersebut diambilalih dan dijadikan sebagai pertimbangan Pengadilan Tinggi dalam memutus perkara ini dalam tingkat banding, kecuali mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa perlu diperbaiki. Adapun alasan Pengadilan Tinggi tersebut memperbaiki putusan Majelis Hakim tingkat pertama pada Pengadilan Negeri Payakumbuh, bahwa Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jouncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, menentukan bahwa batas minimum pidana paling sedikit 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah). Menurut Hakim Banding ketentuan pidana dengan batas minimum tersebut tidak boleh diterobos dengan alasan apapun, atau dengan alasan tiga nilai dasar keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum yang dikemukakan oleh Hakim tingkat pertama dalam putusannya. Jika Hakim menjatuhkan pidana di bawah batas minimum berarti Hakim telah melanggar Undang-Undang dan pada akhirnya akan terjadi ketidakpastian hukum yang dilakukan oleh Hakim itu sendiri. Selanjutnya Hakim Majelis Banding mengatakan, penentuan batas pidana minimum dalam tindak pidana korupsi bertujuan untuk membuat Terdakwa khususnya menjadi jera dan masyarakat lain umumnya menjadi tidak berbuat lagi atau takut untuk melakukan perbuatan yang serupa. Berdasarkan pertimbangan tersebut putusan Pengadilan Negeri Payakumbuh No. 65/Pid.B/2010/ PN.PYK. tanggal 06 September 2010 harus diperbaiki dan dipandang cukup adil sebagaimana amar putusan, yang menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi; dengan demikian Terdakwa dijatuhi vonis dengan hukuman penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan. Vonis majelis hakim tingkat banding tersebut sesui dengan ketentuan formal minimum pemidanaan sebagaimana ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Putusan Majkeis Hakim tingkat banding tersebut kemudian diperkuat oleh Majelis Hakim pada tingkat Kasasi, meskipun salah satu anggota majelis hakim pada tingkat kasasi melakukan dissenting oponion dengan pertimbangan bahwa putusan yang dijatuhkan terhadap terdakwa tidak sesuai dengan keadilan dan hati nurani, sebab berdasarkan pemeriksaan di persidangan ternyata tidak terbukti adanya kerugian Negara dan tidak terbukti Terdakwa mendapatkan keuntungan materiil dari perbuatan yang didakwakan kepadanya; dalam keadaan demikian, kasus Terdakwa ini lebih dikenal dengan asas hukum ―in dubio pro reo‖, yakni dalam hal terjadi keadaan yang ragu-ragu, maka harus diperlakukan keadaan yang 398
Penafsiran Hakim Terhadap Ketentuan Pidana Minimum Khusus Dalam UU Tipikor
menguntungkan kepada Terdakwa. Untuk itu berdasarkan pertimbangan rasa keadilan dan dengan merujuk ke Pasal 9 jo Pasal 12A UU Tindak Pidana Korupsi, mengusulkan agar pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa adalah sebagaimana pidana yang dijatuhkan oleh Judex Facti (Pengadilan Negeri); oleh karena itu, permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Jaksa / Penuntut Umum harus ditolak dengan alasan bahwa berdasarkan Pasal 12A UU Tindak Pidana Korupsi di mana dalam Pasal 12A tersebut tidak mengenal batas pidana minimal melainkan hanya menetapkan batas hukuman maksimal, yaitu 3 tahun penjara, sedangkan mengenai denda juga hanya ditetapkan ancaman maksimal Rp 50.000.000,00. Berdasarkan penjelasan terhadap kasus tersebut di atas tergambar dengan jelas bahwa terdapat perbedaan penafsiran oleh Hakim baik Majelis Hakim pada pengadilan tingkat pertama, Majelis hakim pada pengadilan tingkat banding maupun Majelis Hakim pada pengadilan tingkat kasasi terkait dengan ketentuan pidana minimum khusus dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi dalam menjatuhkan vonis terhadap terdakwa Edi Ahmad, dalam kasus korupsi dana bantuan bencana alam di Sumatera Barat. Perbedaan penafsiran tersebut terjadi karena adanya cara pandang yang berbeda dari majelis hakim dalam memahami ketentuan pidana minimum khusus dalam UU Tipikor terhadap kasus tersebut. Majelis Hakim pada pengeadilan tingkat pertama lebih cenderung menggunakan pedekatan penafsiran sosiologis dalam memahami kasus tersebut, ketimbang Majelis Hakim pengadilan tingkat banding dan kasasi lebih cenderung menggunakan pendekatan penafsiran secara gramatikal, walaupun salah satu anggota majelis yang melakukan dissenting opinion yang cenderung melakukan penafsiran sosiologis searah dengan pemahaman dan penafsiran Majelis Hakim Tingkat Pertama. Vonis pengadilan tingkat pertama lebih mengedepankan konsep pimidanaan retributive, yang prinsipnya menurut majelis hakim tingkat pertama bahwa apa yang dilakukan Terdakwa merupakan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan, maka Majelis Hakim berpendirian bahwa tindak pidana yang dilakukan Terdakwa, Edi Ahmad, haruslah dihukum dengan tujuan pemidanaan tersebut, dan pemidanaan itu bukanlah pembalasan hukuman, melainkan sebagai usaha premisif, preventif dan represif serta lebih jauh dari itu adalah sebagai edukasi, konstruktif dan motivatif, agar Terdakwa tidak melakukan perbuatan pidana lagi ataupun melakukan perbuatan pidana pengulangan. Oleh karena itu, Majelis Hakim tingkat pertama tersebut berpendapat bahwa tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum kepada Terdakwa, Edi Ahmad sangatlah berat, mengingat pemidanaan, ialah upaya untuk menyadarkan Terdakwa agar menyadari perbuatannya yang telah melanggar hukum dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai. Menurut pendapat penulis bahwa pertimbangan majelis hakim tingkat pertama yang menjatuhkan vonis 4 (emapat) bulan penjara terhadap terdakwa dalam kasus ini searah dengan konsep filsafat pemidanaan yang bersifat integratif, 399
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
dimana putusan tersebut mengandung dimensi keadilan yang dapat dirasakan oleh semua pihak yaitu terhadap terdakwa itu sendiri, masyarakat, dan kepentingan negara. Tegasnya, vonis yang dijatuhkan oleh hakim merupakan keseimbangan kepentingan antara kepentingan pelaku di satu pihak serta kepentingan akibat dan dampak kesalahan yang telah diperbuat pelaku di lain pihak. Konkretnya bahwa, penjatuhan pidana yang berlandaskan kepada asas monodualistik antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu. Dengan demikian pemidanaan yang dijatuhkan hakim tersebut berlandaskan kepada eksistensi 2 (dua) asas fundamental yang dikenal dalam hukum pidana modern yaitu “asas legalitas” (yang merupakan asas kemasyarakatan) dan “asas culpabilitas” atau asas kesalahan yang merupakan asas kemanusiaan/individual. Putusan majelis hakim tingkat pertama tersebut tidak semata-mata bertumpu, bertitik tolak pada aspek yuridis (formal legalistik) semata, melainkan putusan hakim tersebut juga mempertimbangkan aspek, sosiologis dan filosofis sehingga keadilan yang ingin dicapai, diwujudkan dan dipertanggungjawabkan adalah keadilan dengan orientasi pada moral justice, sosial justice dan legal justice. 2. Perkara Nomor: 2399 K/Pidsus/2010 Terdakwa dalam perkara ini atas nama Kardono T yang didakwa dengan dakwaan tunggal Pasal 2 ayat (1) UU 31 Tahun 1999 bersama-sama dengan Ketua PPK namun dalam berkas yang terpisah. Di tingkat pertama terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan dan dijatuhi pidana penjara selama 4 tahun penjara dan denda Rp.200 juta subsidiair 1 bulan kurungan dan uang pengganti sebesar 2,9 juta Di tingkat banding hukuman tersebut dikurangi menjadi 1 tahun penjara dan denda sebesar 200 juta subsidiair 1 bulan kurungan. Atas putusan Pengadilan Tinggi tersebut JPU mengajukan Kasasi dengan alasan bahwa putusan yang dijatuhkan PT melanggar sanksi minimum yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU 31 Tahun 1999 dimana dalam pasal tersebut diatur ancaman minimum 4 tahun penjara dan denda minimum 200 juta. Dalam putusan Kasasi ini MA pada intinya selaras dengan putusan Pengadilan Tinggi namun dengan pertimbangan sendiri. Majelis Hakim kasasi berpendapat bahwa walaupun pilihan bentuk dakwaan adalah kewenangan Jaksa Penuntut Umum akan tetapi dakwaan tunggal terhadap perkara a quo menyebabkan Majelis Hakim berada pada posisi dilematis, karena tidak ada pilihan untuk menerapkan hukum yang tepat dan adil bagi terdakwa dan bagi penegakkan hukum itu sendiri. Oleh karena itu Majelis Hakim dalam perkara ini mengesampingkan ketentuan ancaman pidana minimum yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1), hukuman yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi tersebut kembali dikurangi hanya menjadi penjara 1 tahun tanpa pidana denda dan pidana tambahan uang pengganti dengan pertimbangan bahwa, pada intinya adalah bahwa penerapan minimal khusus dalam perkara ini dapat mencederai rasa keadilan karena tidak seimbang dengan perbuatan terdakwa yang hanya sebesar 2,9 juta.
400
Penafsiran Hakim Terhadap Ketentuan Pidana Minimum Khusus Dalam UU Tipikor
Oleh karena itu Majelis Hakim pada tingkat kasasi menjatuhkan putusan menyatakan Terdakwa tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ―korupsi secara bersama-sama‖. Dan menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dengan beberapa pertimbangan antara lain: Bahwa walaupun terdakwa terbukti memenuhi segenap unsur dakwaan Pasal 2 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi namun Majelis Hakim menilai penerapan pidana minimal khusus sebagaimana yang diatur dalam pasal dakwaan yang dimaksud dapat mencederai rasa keadilan karena ketidakseimbangan antara perbuatan yang dilakukan Terdakwa dihubungkan dengan jumlah kerugian Negara yang timbul akibat perbuatan Terdakwa dan dihubungkan pula dengan besaran nilai yang diperoleh Terdakwa oleh sebab perbuatannya tersebut yakni sebesar Rp.2.900.000 (dua juta sembilan ratus ribu rupiah). Menurut pendapat Majelis Hakim lebih lanjut bahwa, tindak pidana korupsi tidak boleh disikapi secara permisif berapapun nilai kerugian Negara yang timbul karenanya, akan tetapi sebaliknya penjatuhan pidana yang mencederai rasa keadilan juga harus dihindarkan. Oleh karena itu dalam hal-hal yang sangat khusus Mahkamah Agung dalam fungsi mengadili dapat melakukan penerapan hukum terhadap kasus konkrit yang dihadapi yang aktualisasinya tidak seutuhnya searah dengan semangat dan kehendak pembuat undang-undang, akan tetapi diselaraskan dengan tuntutan keadilan masyarakat. Berdasarkan penjelasan tersebut dari berbagai pertimbangan majelis hakim yang melakukan penafsiran terhadap ketentuan pidana minimum khusus dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi dalam hal ini baik majelis hakim tingkat pertama, majelis hakim tingkat banding, maupun majelis hakim tingkat kasasi, masih terdapat perbedaan pendekatan penafsiran yang berbeda-benada. Dalam perkara Nomor: 1573 K /Pid.Sus/2011, majelis hakim tingkat perta cenderung menggunakan penafsiran sosiologis, sementara majelis hakim tingkat banding dan kasasi cenderung untuk menggunakan pendekatan legal formal dengan penafsirat secara gramatikal. Berbeda halnya dengan perkara Nomor: 2399 K/Pidsus/2010 majelis hakim pada tingkat pertama melakukan penafsiran secara gramatikal terhadap ketentuan pidana minimum khusus dalam undang-undang tindak pidana korupsi, berbeda dengan penafsiran yang dilakukan oleh Majelis Hakim Kasasi yang melakukan pendekatan dengan metode penafsiran sosiologis Berdasarkan penjelasan tersebut di atas yang didasari pada beberapa contoh kasus dalam pelaksanaan putusan hakim dalam memutus perkara tindak pidana korupsi, menunjukan bahwa belum adanya keseragaman dalam menafsirkan dan menerapkan ketentuan tentang pidana minimum khusus dalam undang-undang tindak pidana korupsi terhadap pelaku tindak pidana. E.
Kesimpulan Masih terdapat perbedaan penafsiran di kalangan para hakim dalam menerapkan ketentuan pidana minimum khusus terhadap pelaku tindak pidana 401
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
korupsi. Perbedaan penafsiran masih sekitar perbuatan melawan hukum secara formil, maupun perbuatan melawan hukum secara materil. Padanga majelis hakim yang menjatuhkan fonis sesuai tuntutan dan ketentuan pidana minimum khusus dalam UU Tindak Pidana Korupsi, lebih menafsirkan undang undang secara formil (legal formal). Artinya bahwa jika perbuatan terdakwa terbukti secara formil melakukan tindak pidana korupsi maka vonis yang dijatuhkan harus sesuai dengan ketentuan undang-undang tersebut terlepas dari berapa besar atau ada tidaknya unsur kerugian negara dan ada tidaknya unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain. Padangan semacam ini sebagaimana terlihat dalam pertimbangan majelis hakim tingkat bandingh dan kasasi dalam perkara Nomor: 1573 K /Pid.Sus/2011. Sementara itu, dalam kasus ini majelis hakim tingkat pertama dan majelis hakim kasasi yang melakukan dissenting oponion lebih pada pertimbangan perbuatan melawan hukum secara materiil, dengan pendekatan penafsiran secara teleologis atau sosialogis. Pada umumnya beberapa putusan pengadilan yang menerobos ketentuan pinadana minimum khusus dalam undang-undang tindak pidana korupsi dilakukan dengan beberapa kriterian yang menjadi pertimbangan hakim yang paling mendasar adalah, adanya unsur kerugian keuangan negara atau perekonomian negara sebagai akibat perbuatan tiundak pidana korupsi tersebut dan kriteria peran dan kedudukan terdakwa dalam perbuatan tindak pidana korupsi. Kriteria ini digunakan untuk mengukur sejauh mana putusan pengadilan tersebut memenuhi unsur rasa keadilan yang menjadi salah satu tujuan penegakan hukum pidana korupsi, walaupun secara formal unsur tindak pidana korupsinya terpenuhi berdasarkan ketentuan undang-undang namun secara materil nilai kerugian keuangan negara yang didakwakan sangat kecil dan peran serta keterlibatan terdakwa dalam tindak pidana korupsi tidak terlalu aktif maka, ketentuan formal pidana minimum khusus ini dapat dikesampingkan.
DAFTAR PUSTAKA Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press, Yogyakarta, 2006. Barda Nawawi Arief, Sistem Pemidanaan Menurut Konsep KUHP Baru dan Latar Belakang Pemikirannya, Kupang : Universitas Cendana Kupang, 1989. Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan; Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Cet. 2, Kencana Prenada Kencana, Jakarta, 2006. J.E. Sahetapy, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana , Malang: Setara Press, 2009. Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, 1993
402
Penafsiran Hakim Terhadap Ketentuan Pidana Minimum Khusus Dalam UU Tipikor
Tendik Wicaksono, Penjatuhan Pidana oleh Hakim dibawah Batas Minium Khusus dari Ketentuan Undang-Undang dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika, Fakultas Hukum, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011. Sudikno Mertokususmo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta : Liberty, 1996. Roeslan Saleh, Mengadili Sebagai Pergulatan Kemanusiaan, Aksara Baru, Jakarta, 1979. Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Hukum Pidana,: Aksara Baru, Jakarta, 1987. Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi Putusan Mahkamah Agung Nomor 1660 K/Pid.Sus/2009. Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2399 K/Pidsus/2010 Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1573 K /Pid.Sus/2011
403
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
404
ISSN : 2303-3274
MASALAH HUKUM DALAM PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DI INDONESIA
Asril Sitompul Dosen Program Magister Ilmu Hukum, STHG – Tasikmalaya
[email protected] Abstrak Saat ini di Indonesia penyelenggara telekomunikasi selular telah mencapai jumlah 9 operator pemilik izin penggunaan spektrum frekuensi radio (Mobile Network Operator – MNO) dan beberapa operator yang tidak memiliki izin penggunaan spektrum frekuensi radio. Dengan banyaknya perusahaan yang menjadi penyelenggara telepon selular dan telepon fixed wireless dan meningkatnya pemakai internet yang diselenggarakan oleh Internet Service Provider (―ISP‖) melalui jaringan nirkabel dengan menggunakan spektrum frekuensi radio, maka kebutuhan akan spektrum frekuensi radio semakin meningkat. Upaya untuk mengatasi kelangkaan spektrum frekuensi dilakukan dengan pengembangan teknologi penggunaan spektrum frekuensi, diantaranya dengan sistem multiple access (penggandaan akses). Penggandaan akses ini dapat dilakukan dengan pembagian waktu (time), frekuensi, ataupun kode. Selain itu telah ditemukan cara penggunaan spektrum frekuensi radio dengan konsep Mobile Virtual Network Operator (―MVNO‖) yaitu dengan menjalin hubungan dengan penyelenggara pemilik izin penggunaan spektrum frekuensi radio, antara lain dengan sistem penyewaan. Di Indonesia, belum ada regulasi yang menampung keberadaan MVNO ini, yaitu mengenai apakah MVNO termasuk dalam kategori pengguna spektrum frekuensi dan apakah wajib memiliki izin penggunaan frekuensi dan wajib untuk membayar BHP Frekuensi. Untuk itu perlu diadakan perubahan regulasi yang ada, untuk memperjelas kedudukan dan keberadaan operator yang tidak memiliki izin penggunaan spektrum frekuensi radio seperti MVNO. Kata Kunci: Spektrum, pengguna, penggunaan, MVNO, regulasi. Abstract Meanwhile there are nine telecommunications operators in Indonesia have the license to use radio frequency spectrum (Mobile Network Operator – MNO) and some operators that did not have the license. With the increase of the cellular and fixed wireless operators and the increase of users of the internet provided by Internet Service Provider (―ISP‖) through wireless networks using radio frequency spectrum, then the need of Radio frequency spectrum also increased. The effort to overcome the rare radio frequency spectrum conducted by development of radio frequency spectrum technology, among others by using multiple access system. This system may be conducted by division of time,
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
frequency, or code. Other system is by using the concept of Mobile Virtual Network Operator (―MVNO‖) by relationship between the licensed and unlicensed operators, i.e. by leasing of the spectrum. In Indonesia, there was no regulation regarding MVNO, so there was a question about whether the MVNOs include in the category of radio frequency spectrum users and whether or not the MVNO required to have license and pay the BHP for the use of frequency. Therefore it is necessary to have a change in the existing regulations to make clear the status and the existence of the unlicensed users of radio frequency spectrum as the MVNOs. Keyword: Spectrum, users, utilization, MVNO, regulation. A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Latar belakang pembahasan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio adalah disebabkan di dalam praktik telah terjadi perbedaan pendapat antara pihak pemerintah dalam hal ini Departemen komunikasi dan informasi (Depkominfo) dengan pihak penegak hukum yaitu kejaksaan dan pengadilan, perbedaan pendapat tersebut mengakibatkan dijatuhkannya putusan pengadilan terhadap salah satu perusahaan layanan multimedia yang disebabkan penggunaan spektrum frekuensi radio yang dipandang sebagai merugikan negara dan dimasukkan ke dalam tindak pidana korupsi, karena tidak mempunyai izin penggunaan frekuensi dari pemerintah dan oleh karena itu tidak membayar biaya hak penggunaan (―BHP‖) spektrum frekuensi radio. Dalam praktik terjadi perkembangan konsep pemanfaatan spektrum frekuensi radio oleh operator-operator yang tidak memiliki izin penggunaan pita spektrum frekuensi radio untuk menyelenggaraan layanan telekomunikasi dan internet, namun di Indonesia keberadaan operator-operator ini tidak jelas berdasarkan regulasi yang ada saat ini. 2. Spektrum Frekuensi Radio Spektrum frekuensi radio suatu bagian dari spektrum elektromagnetik yang berupa frekuensi radio.110 Spektrum frekuensi radio adalah kumpulan pita frekuensi radio. Pita frekuensi radio adalah bagian dari spektrum frekuensi radio yang mempunyai lebar tertentu. Di bawah ini disampaikan tabel spektrum frekuensi radio berdasarkan pembagian frekuensi.
Jenis Light IR EHF SHF 110
406
Tabel 1: Spektrum Frekuensi Radio Frekuensi Penggunaan 400-900 THz Optical communications 300 GHz – 400 THz LAN infrared, consumer electronics 30-300 GHz Experimental, WLL 3-30 GHz Satellite, radar, terrestrial wireless
www.fcc.gov diakses pada tanggal 9 Agustus 2013.
Masalah Hukum Dalam Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio
links, WLL UHF 300 MHz - 3 GHz Cellular, TV UHF, radar TV VHF, FM radio, AM x aircraft VHF 30-300 MHZ commun. Amateur radio, military, longHF 3-30 MHz distance aircraft/ships MF 300 KHz –3 MHz AM radio, marine radio LF 30-300 KHz Long-range, marine beacon VLF 3-30 KHz Submarine, long-range ELF <3 KHz Remote control, Voice, analog phone Sumber: Giuseppe Bianchi. Propagation Characteristics of Wireless Channels. Lecture 1.1Basic concepts and terminology. Spektrum frekuensi radio ini sangat diperlukan pada hubungan telekomunikasi nirkabel (wireless telecommunications) baik dengan menggunakan teknologi Global System for Mobile communications (―GSM‖) maupun dengan menggunakan teknologi Code Division Multiple Access (―CDMA‖). GSM semula dikembangkan untuk beroperasi pada band frekuensi 900MHz dan selanjutnya dimodifikasi menjadi 850, 1800 dan 1900MHz. Pada awalnya GSM adalah singkatan dari Groupe Speciale Mobile. Sedangkan teknologi CDMA yang dikenal juga sebagai spektrum pita lebar merupakan sistem selular yang menggunakan band frekuensi tunggal untuk semua trafiknya, sistem CDMA ini membedakan masing-masing transmisi secara individual dengan memberi kode tersendiri sebelum melakukan transmisi. Beberapa varian dari CDMA adalah WCDMA, B-CDMA, TD-SCDMA dan lainnya. Saat ini penggunaan sistem nirkabel sudah berada pada generasi ketiga (3G) dan telah diambang generasi keempat (4G), bahkan di beberapa negara telah dimulai layanan pelanggan yang berbasis 4G, di bawah ini disampaikan tabel perkembangan sistem nirkabel, sampai dengan generasi ketiga (3G). Di Indonesia penyelenggara telekomunikasi selular telah mencapai jumlah 9 operator pemilik izin penggunaan spektrum frekuensi radio (Mobile Network Operator – MNO) dan beberapa operator yang tidak memiliki izin penggunaan spektrum frekuensi radio. Dengan banyaknya perusahaan-perusahaan yang menjadi penyelenggara telepon selular dan telepon fixed wireless (telepon tetap tanpa kabel) dan meningkatnya pemakai internet yang diselenggarakan oleh Internet Service Provider (―ISP‖) melalui jaringan nirkabel dengan menggunakan spektrum frekuensi radio, maka kebutuhan akan spektrum frekuensi radio semakin meningkat pula. Saat ini pemisahan antara penyelenggara telekomunikasi dengan penyelenggara jasa internet sudah sulit untuk dilakukan, karena terjadi trend penyatuan atau konvergensi (convergence) di antara penyelenggaraan layananlayanan tersebut. Konvergensi yang terjadi bukan hanya antara penyelenggaraan telekomunikasi dengan penyelenggaraan internet, tetapi juga dengan penyelenggaraan penyiaran. Konvergensi penyelenggaraan layanan 407
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
telekomunikasi, internet dan televisi yang terjadi sekarang ini sering disebut dengan istilah ―tripleplay‖. Spektrum frekuensi radio adalah sumber daya yang terbatas, karena hanya spektrum frekuensi tertentu saja yang dapat digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan telekomunikasi, penyiaran dan juga internet. Keterbatasan tersebut mengharuskan pemerintah untuk melakukan pengaturan yang cukup ketat dalam pemanfaatan sumber daya ini. Meskipun tidak tertutup kemungkinan terjadinya perkembangan teknologi di masa yang akan datang yang menyebabkan spektrum frekuensi radio dapat dimanfaatkan secara lebih luas sehingga tidak lagi merupakan sumber daya yang terbatas, namun sampai ‗saat ini‘ sumber daya tersebut masih terbatas. B. Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio 1. Pengguna Spektrum Frekuensi Radio Dalam penyelenggaraan telekomunikasi terdapat beberapa jenis pengguna spektrum frekuensi radio, yaitu: (1) Pengguna pemilik izin alokasi pita spektrum frekuensi (MNO) (2) Pengguna bukan pemilik izin alokasi pita spektrum frekuensi (MVNO) (3) Pengguna frekuensi bebas. Dalam praktik, spektrum frekuensi radio dialokasikan untuk penggunaan sebagai berikut: Tabel 2: Alokasi Spektrum Cellular systems 400-2200 MHz range (VHF-UHF) Simple, small antenna (few cm) With less than 1W transmit power, can cover several floors within a building or several miles outside SHF and higher for directed radio links, satellite communication Large bandwidth available Wireless data systems 2.4, 5 GHz zones (ISN band) Main interference from microwave ovens Limitations due to absorption by water and oxygen - weather dependent fading, signal loss due to by heavy rainfall etc. Sumber: Giuseppe Bianchi. Propagation Characteristics of Wireless Channels. Lecture 1.1Basic concepts and terminology. 2. Definisi Pengguna dan Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio Di dalam undang-undang dan peraturan di bidang telekomunikasi terdapat dua istilah yang berhubungan dengan penggunaan, yaitu: pengguna dan pemakai. Sebagaimana tercantum dalam UU Telekomunikasi: Pasal 1 : 1) Pemancar radio adalah alat telekomunikasi yang menggunakan dan memancarkan gelombang radio;
408
Masalah Hukum Dalam Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio
2) Jaringan telekomunikasi adalah rangkaian perangkat telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi; 3) Jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan telekomunikasi; 4) Pelanggan adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi berdasarkan kontrak; 5) Pemakai adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang tidak berdasarkan kontrak; 6) Pengguna adalah pelanggan dan pemakai; Dari ketentuan dalam pasal-pasal di atas tampak bahwa yang disebut pengguna adalah semua pihak yang menggunakan jaringan telekomunikasi baik berdasarkan kontrak maupun tidak berdasarkan kontrak. Sedangkan jaringan telekomunikasi adalah seluruh perangkat telekomunikasi, baik yang menggunakan kabel maupun tanpa kabel atau menggunakan spektrum frekuensi radio, selanjutnya dalam UU Telekomunikasi ditentukan pula: Pasal 8 : 1) Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dirnaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu : a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN); b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); c. Badan Usaha Swasta; atau d. koperasi. Pasal 9 : 1) Penyelenggara jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi. 2) Penyelenggara jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan dan atau menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi. Dari pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa penyelenggara atau operator jasa telekomunikasi yang tidak memiliki jaringan dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi dengan menyewa jaringan milik penyelenggara jaringan. Penyelenggara jaringan mempunyai izin dari pemerintah, termasuk izin penggunaan spektrum frekuensi radio bagi penyelenggara jaringan yang menggunakan spektrum frekuensi radio, sedangkan penyelenggara yang menyewa jaringan milik penyelenggara jaringan telekomunikasi radio termasuk spektrum frekuensi radio tidak mempunyai izin penggunaan jaringan dari pemerintah atau otoritas telekomunikasi. 409
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Secara teknis, semua penyelenggaraan hubungan telekomunikasi, baik suara maupun data yang dilaksanakan lewat jaringan tanpa kabel (kabel tembaga atau kabel serat optik) adalah menggunakan frekuensi radio. Dengan demikian, jika diartikan secara harfiah pasal-pasal mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana yang disebutkan di atas, maka operator yang tidak memiliki izin penggunaan frekuensi adalah pengguna spektrum frekuensi radio. Namun demikian, timbul pertanyaan apakah hal ini yang dijadikan tujuan awal pengaturan penggunaan spektrum frekuensi radio dalam Undang-Undang Telekomunikasi dan PP 53/2000? Untuk itu, ada baiknya jika kita melihat perbandingan dengan pengaturan penggunaan spektrum frekuensi radio di negara lain, terutama mengenai definisi ―penggunaan‖ yang dicantumkan dalam UndangUndang Telekomunikasi dan PP 53/2000. 3. Konsep Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio Dalam praktik, pada penggunaan spektrum frekuensi radio, terdapat banyak pengguna yang secara bersamaan mencoba untuk berhubungan satu dengan lainnya. Untuk mendukung agar hubungan para pengguna secara bersamaan dapat terlaksana telah diupayakan pengembangan secara teknologi yang berhubungan dengan penggunaan spektrum frekuensi, yaitu diantaranya dengan cara penggunaan kanal komunikasi secara bersama (sharing). Untuk mencapainya digunakan skim multiple access yaitu penggandaan akses untuk menampung komunikasi pengguna secara bersamaan. Penggandaan akses ini dapat dilakukan dengan pembagian waktu (time), frekuensi, ataupun kode.111 Penggandaan akses dengan pembagian waktu dinamakan time-division multiple access (TDMA), dalam hal ini pengguna digandakan dalam penggunaan waktu, masing-masing diberi alokasi window yang ditentukan untuk berkomunikasi. Waktu pada umumnya dibagi dalam segmentasi ke dalam window berjangka pendek, dan masing-masing perangkat di jaringan digunakan menurut slot waktu ketika masing-masing perangkat itu dijadwalkan untuk mengirim sinyal. Penjadwalan ini pada umumnya memerlukan kontral terpusat di jaringan dengan kesesuaian dengan kapasitas yang diperlukan masing-masing perangkat.112 Di sistem pembagian frekuensi, terdapat sistem Frequency-Division Multiple Access (FDMA). Dengan sistem ini, masing-masing perangkat diberi satu frekuensi tertentu untuk berkomunikasi, hampir sama sengan sistem Frequency Modulation (FM) pada radio. Namun, FDMA juga mempunyai kelemahan di masalah efisiensi, karena pengguna pada umumnya tidak dapat mengganti frekuensi ketika sedang berhubungan untuk dapat menggunakan kanal frekuensi yang tidak digunakan ketika diperlukan untuk mengirim data yang besar.113
111
112 113
410
Thomas Charles Clancy (2006). Dynamic Spectrum Access In Cognitive Radio Networks. Dissertation submitted to the Faculty of the Graduate School of the University of Maryland, College Park in partial fulfillment of the requirements for the degree of Doctor of Philosophy. hlm. 15. Ibid. Ibid.
Masalah Hukum Dalam Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio
Teknologi penggandaan yang terakhir adalah yang dinamakan Code Division Multiple Access (CDMA). Teknologi ini lebih sulit untuk dijelaskan terutama bagi para ahli hukum yang tidak mempunyai dasar pengetahuan tentang teknologi frekuensi, penggandaan yang dilakukan bukan pada waktu dan bukan pula pada frekuensi, akan tetapi pada penggandaan dengan sistem CDMA dilakukan dengan pemberian kode untuk masing-masing kanal yang digandakan.114 Saat ini konsep penggunaan jaringan nirkabel yang diterapkan secara umum adalah konsep yang dikenal dengan konsep alokasi frekuensi statis, dalam hal ini badan otoritas pemerintahan yang berwenang mengatur memberikan alokasi spektrum frekuensi kepada pemegang izin untuk jangka panjang di wilayah tertentu yang cukup luas. Akibat kebijakan tersebut, disebabkan meningkatnya permintaan untuk spektrum frekuensi ini maka terjadi kelangkaan spektrum frekuensi pada pita frekuensi tertentu.115 Dalam kenyataannya, sebagian besar dari spektrum frekuensi yang dialokasikan hanya digunakan secara sporadis, hal mana menjadikan sebagian [besar] spektrum frekuensi radio tidak effektif penggunaannya (underutilization). Untuk mengatasi masalah penggunaan frekuensi yang tidak efesien tersebut para peneliti berupaya mencari jalan keluar dari problem tersebut, diantaranya dengan mengembangkan konsep teknologi akses spektrum dinamis.116 Teknologi yang digunakan untuk akses spektrum dinamis adalah teknologi cognitive radio (CR), yang mempunyai kemampuan untuk berbagi kanal nirkabel dengan pengguna spektrum pemilik izin dari pemerintah (MNO).117 Hal ini dapat dilihat pada laporan dari Radio Spectrum Policy Group (RSPG) yang menyimpulkan bahwa sebagian besar dari spektrum telah dibagi antara beberapa aplikasi, dan dengan demikian tidak diperlukan lagi adanya spektrum yang diberi secara khusus kepada operator tertentu. Namun demikian, terdapat kebutuhan akan kemajuan lebih lanjut dalam hal mekanisme pengaturan yang tepat mengenai pemakaian bersama spektrum dan untuk mendorong penggunaan yang labih efisien, baik untuk keperluan komersial maupun untuk sektor pelayanan umum. Disamping itu, terdapat pula konsep baru yang dinamakan ―Licensed Shared Access‖ (LSA), yaitu izin penggunaan akses secara bersama antara beberapa operator. Konsep LSA memberi kemungkinan tatacara penggunaan bersama yang baru di seluruh Eropa dalam satu skim regulasi, dan konsep itu diharapkan juga dapat mengendalikan penggunaan spektrum yang memang tidak dapat dibebaskan begitu saja.118 Dalam praktek, penggunaan akses spektrum bersama telah terjadi di sejumlah pita frekuensi di hampir semua negara-negara Uni Eropa, dan hal ini 114 115
116 117 118
Ibid, hlm 16. Ian F. Akyildiz, et al. Georgia Institute of Technology. Cognitive Radio Communications and Networks. A Survey on Spectrum Management in Cognitive Radio Networks., IEEE Communications Magazine. April 2008. Ibid. Ibid. Radio Spectrum Policy Group – Report on Collective Use of Spectrum and other spectrum sharing approaches – RSPG11-392, 2011. Hlm. 411
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
diizinkan berdasarkan regulasi spektrum Eropa yang berlaku. RSPG memprediksi bahwa penggunaan bersama spektrum frekuensi radio di tingkat Eropa dapat mendorong efisiensi penggunaan spektrum dan mendorong economies of scale, dan dapat pula mengundang investasi yang lebih besar.119 Laporan RSPG juga menunjukkan adanya konsep yang dinamakan authorised shared access (ASA) yang diperkenalkan oleh konsorsium industri, yang bertujuan untuk menyediakan akses bersama ke spektrum tertentu berdasarkan perizinan yang berlaku untuk menyediakan layanan dengan kualitas yang baik. RSPG telah mempertimbangkan aspek regulasi dari konsep ASA tersebut, dan telah menggunakannya sebagai dasar untuk mendorong kemungkinan penggunaan spektrum bersama, yang tidak terbatas pada pita frekuensi tersebut, dengan cara yang harmonis dalam tatanan perizinan yang ada.120 Keuntungan dari konsep LSA adalah bahwa konsep ini membuat penggunaan spektrum frekuensi radio menjadi lebih efisien dan juga menyediakan kesempatan untuk memberi alternatif bagi pemilahan yang permanen atau pembagian pita frekuensi jika terdapat kebutuhan akan spektrum yang baru. Konsep LSA ini juga mengizinkan penggunaan spektrum frekuensi yang berlanjut oleh operator incumbent, dan juga menyediakan spektrum yang sama bagi pengguna potensial. Pengguna tersebut secara potensial menyediakan aplikasi lain ataupun layanan radio sesuai dengan Chapter 5, Radio Regulations (ITU-R).121 Keuntungan lainnya dari konsep LSA ini adalah bahwa konsep ini juga menyediakan bagi operator dan industri kesempatan yang baru di tingkat Eropa, dengan mempertimbangkan kebutuhan pengguna yang sudah ada.122 Keunggulan umum konsep LSA adalah bahwa konsep ini memberi beberapa hak kepada pengguna baru, jadi memberi kesempatan bagi mereka untuk menyelenggarakan layanan dimana kualitas layanan dapat diprediksi dan dijamin. Dalam hal ini persyaratan untuk penggunaan frekuensi bersama harus dibuat cukup menarik dan dapat dijamin untuk memberi insentif bagi penyelenggara yang baru untuk berinvestasi di peralatan dan jaringan.123 4. Mobile Virtual Network Operator (MVNO) Sehubungan dengan kelangkaan spektrum frekuensi radio, para operator terus mencari jalan keluar untuk pemenuhan kebutuhan spektrum frekuensi radio yang demikian mahal bagi penyelenggara ISP dan penyelenggara layanan selular. Dari hasil penelitian dan percobaan yang dilakukan ditemukan cara penggunaan spektrum frekuensi radio bagi penyelenggara yang tidak memiliki izin alokasi pita spektrum frekuensi yang disebut dengan Mobile Virtual Network Operator (―MVNO‖), yaitu dengan menjalin hubungan dengan penyelenggara besar yang mendapatkan izin penggunaan spektrum frekuensi radio, yang dapat dilakukan antara lain dengan sistem penyewaan. Konsep penyelenggaraan layanan 119 120 121 122 123
412
Ibid. hlm. 18 Ibid. Ibid. hlm 19. Ibid. Ibid.
Masalah Hukum Dalam Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio
dengan model Mobile Virtual Network Operator (MVNO) sudah sangat populer di dunia, pada tahun 2008 sudah ada lebih dari 300 operator MVNO yang terdaftar di seluruh dunia.124 Sampai saat ini belum terdapat kesepakatan tentang definisi MVNO. Pada umumnya, di berbagai negara MVNO dikenal sebagai suatu operator yang menyenggarakan layanan telekomunikasi bergerak kepada para pemakai, namun operator tersebut tidak memiliki izin dari pemerintah untuk penggunaan spektrum frekuensi radio, tetapi operator tersebut mempunyai akses ke jaringan frekuensi radio milik operator lain. Berikut ini disampaikan beberapa definisi MVNO menurut bentuk organisasinya:125 1) MVNO Directory: Operator jaringan bergerak yang tidak memiliki infrastruktur fisik (land based), seperti base station, di negara dimana MVNO beroperasi.126 2) Oftel: MVNO adalah suatu organisasi yang menawarkan langganan dan penggunaan kepada pelanggannya akan tetapi tidak memiliki alokasi spektrum.127 3) ITU: Mobile Virtual Network Operators (VNO) adalah operator yang menawarkan layanan mobile tetapi tidak memiliki radio frekuensi sendiri. Biasanya, operator ini memiliki kode jaringan dan banyak pula yang mengeluarkan SIM card sendiri. Mobile VNO dapat berupa penyelenggara mobile service atau penyelenggara value-added service.128 4) Pyramid Research: MVNO menyelenggarakan layanan bergerak untuk voice dan data kepada end user melalui perjanjian berlangganan, tetapi tidak mempunyai akses ke spektrum.129 5) Malaysian Communications & Multimedia Commission (MCMC): suatu organisasi yang tidak mempunyai alokasi spektrum 3G tetapi mampu menyelenggarakan layanan selular untuk umum kepada end user dengan mengakses jaringan radio milik satu atau lebih pemegang spektrum 3G.130 6) OVUM: Organisasi yang menawarkan layanan mobile services kepada pelanggan, memiliki kode jaringan sendiri, mengeluarkan SIM card, mengoperasikan MSC, tetapi tidak memiliki alokasi frekuensi radio sendiri.131
124 125 126 127 128 129 130 131
Telecom Regulatory Authority of India (2008). Consultation Paper On Mobile Virtual Network Operator (MVNO), New Delhi 5 May 2008. Hlm.1. Telecom Regulatory Authority of India (2008). Hlm.5 MVNO Directory, MVNO Defined, available at http://www.mvnodirectory.com/ mvnodefined. html Oftel, Statement on Mobile Virtual Network Operators, October 1999 ITU, Regulatory treatment of mobile VNOs, dapat diakses di http://www.itu.int/osg/ spu/ni/ 3G/ resources/MVNO/index.html InfoDev, Definition of a Mobile Virtual Network Operator, dapat diakses di http:// www.ictregulation toolkit.org/content/practicenotes/detail/1985 Malaysian Communications and Multimedia Commission, Guideline on regulatory framework for 3G mobile virtual network operators, February 16, 2005 OVUM, MVNOs – competition policy and market development, ITU Workshop on 3G mobile, 2001 413
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
7) Office of the Telecommunications Authority of Hong Kong (OFTA): Pada tingkatan yang paing tinggi MVNO dapat dianggap sebagai organisasi yang menawarkan langganan mobile dan telepon kepada pelanggan tetapi tidak memiliki alokasi spektrum, akan tetapi mengantungkan layanannya pada Mobile Network Operator yang mempunyai izin.132 8) US Federal Communications Commission (FCC): Rancangan MVNO adalah suatu yang berupa ―operator jaringan yang bertindak sebagai wholesaler dari airtime dari perusahaan lain, yang kemudian memasarkannya sendiri kepada pengguna seperti operator independen yang mempunyai infrastruktur jaringan sendiri.‖133 Di Inggris, The Office of Telecommunications (Oftel), yaitu regulator bidang telekomunikasi di United Kingdom, menyebutkan bahwa MVNO adalah operator yang melakukan kegiatan penyelenggaraan layanan mobile, akan tetapi tidak menerbitkan Subscriber Identity Module (SIM) card nya sendiri.134 Hubungan antara pemegang izin penggunaan (MNO) dan MVNO antara lain adalah merupakan pembelian bulk access yaitu akses secara borongan (wholesale) dalam ukuran besar dari MNO oleh MVNO, dan dengan demikian MVNO dapat menjalankan penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana layaknya penyelenggara yang mempunyai spektrum frekuensi radio. Adakalanya MVNO menggunakan spektrum frekuensi radio milik operator lain berdasarkan perjanjian sewa-menyewa. Sebagai contoh, Virgin Mobile, yang telah menyelenggarakan layanan mobile di berbagai negara di dunia, sejak diluncurkan di United Kingdom pada bulan November 1999, tidak mempunyai sentral telepon bergerak miliknya sendiri dan tidak mempunyai jaringan telepon bergerak sendiri akan secara umum dikenal sebagai operator yang sebenarnya oleh para pelanggannya dan mampu bersaing dengan operator-operator yang mempunyai infrastruktur sendiri (infrastructurebased operators).135 Di Indonesia, timbul masalah mengenai apakah penggunaan spektrum frekuensi radio berdasarkan konsep kerjasama seperti di atas termasuk dalam pengertian penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana yang diatur dalam undang-undang dan peraturan pemerintah yang berlaku. Sampai saat ini belum ada regulasi yang secara khusus mengatur tentang MNVO di Indonesia. Meskipun pada Pasal 9 UU Telekomunikasi dinyatakan: 2) Penyelenggara jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan dan
132
133
134 135
414
OFTA ‗Open Network‘ Regulatory Framework for Third Generation Public Mobile Radio Services in Hong Kong, Discussion Paper for Industry Workshop, 2001, p.14, dapat diakses di http:// www.ofta.gov.hk/en/3g-licensing/discuss-mvno.pdf FCC, Report & Order: 2000 Biennial Regulatory Review Spectrum Aggregation Limits For Commercial Mobile Radio Services, WT Docket No. 01-14, December 18, 2001, foot note 145 Telecom Regulatory Authority of India (2008). Opcit. Ibid.
Masalah Hukum Dalam Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio
atau menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi. Jadi sebenarnya berdasarkan UU Telekomunikasi, penyelenggara jasa yang tidak memiliki alokasi pita spektrum frekuensi, dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi dengan cara menyewa dari operator pemilik izin spektrum frekuensi radio. Namun, tidak terdapat peraturan lebih lanjut mengenai apakah sebagai penyewa, operator yang tidak memiliki alokasi pita spektrum tersebut harus memiliki iizin sebagai pengguna pita spektrum frekuensi radio atau tidak. 5. Pengaturan MVNO di Berbagai Negara Di bidang regulasi terdapat dua pendapat yang saling bertentangan mengenai perlu atau tidaknya dilakukan pengaturan terhadap MVNO. Kajian mengenai masalah untung-rugi tentang pengaturan MVNO ini untuk pertama kali dibicarakan di tingkat internasional adalah dalam lingkup International Telecommunication Union (ITU) Strategic Planning Workshop on licensing 3G mobile yang diselenggarakan di Jenewa tanggal 19 sampai 21 September 2001.136 ITU telah menerima berbagai permintaan untuk segera melakukan studi dan membahas masalah MVNO, khususnya untuk memberi masukan mengenai apakah intervensi pemerintah berupa regulasi diperlukan untuk mengizinkan MVNO menawarkan layanan dan aplikasi dengan tarif yang rendah kepada para pelanggan. Hal tersebut dapat menjamin bahwa penggunaan spektrum frekuensi radio akan lebih efisien, akan tetapi bagi operator incumbent pemegang izin, pasar telekomunikasi sudah sangat kompetitif oleh karena itu tidak diperlukan intervensi regulasi di sektor ini. Pandangan regulator diberbagai negara mengenai MVNO ini juga sangat bervariasi. Regulator di berbagai negara sampai saat ini masih mempertimbangkan apakah diperlukan intervensi secara regulasi terhadap MVNO ini, termasuk regulasi tentang harga pembayaran untuk akses dan persyaratan yang diperlukan dalam penggunaan akses ke spektrum frekuensi milik operator pemegang izin pemerintah Terdapat pula argumentasi pro dan kontra mengenai perlu atau tidaknya peraturan tentang kewajiban pemberian akses kepada MVNO. Di Uni Eropa (EU), berdasarkan ‗directives on telecommunications regulation‘ EU tidak mewajibkan pemberian akses kepada MVNO ke jaringan milik operator 3G yang mempunyai izin pemerintah. Para pendukung perlunya regulasi beralasan bahwa operator jaringan mobile menguasai spektrum frekuensi radio yang ada, yang mengakibatkan terjadinya hambatan (bottleneck) terhadap fasilitas jaringan 3G dan menjadi hambatan akses (entry barrier) bagi operator jaringan bergerak yang baru. Sedangkan pihak yang menentang intervensi regulasi beralasan bahwa dalam 136
Dikutip dari artikel yang berjudul "Licensing of third generation (3G) mobile: Briefing Paper" disiapkan oleh Patrick Xavier dari the School of Business, Swinburne University of Technology, Melbourne, Australia (
[email protected]) dalam rangka ITU Strategic Planning Workshop (Jenewa, 19-21 September 2001). 415
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
kenyataannya, keuntungan bagi MVNO belum terbukti dan bahwa tidak cukup bukti tentang adanya kegagalan pasar. Mereka menyatakan bahwa pasar layanan telekomunikasi mobile secara alamiah adalah memang kompetitif dan oleh karena itu tidak perlu adanya regulasi. Uni Eropa telah mewajibkan perusahaan yang mempunyai pangsa pasar diatas 50 persen untuk membuka jaringannya kepada pengguna lain berdasarkan skim harga berdasarkan biaya plus marjin (cost-plus-margin-based price) dan pada saat penelitian ini dilakukan, dalam praktik hanya KPN Mobile yang ada dalam posisi tersebut. Operator pemegang izin lainnya yang mempunyai pangsa pasar lebih dari 35 persen tidak diharuskan mengenakan biaya berdasarkan skim costplus-margin, dengan demikian menyewa dari operator ini menjadi lebih mahal. Regulator Inggris, Oftel, mempunyai pandangan bahwa jika layanan MVNO ditawarkan, maka secara prinsip logis bahwa biaya yang dikenakan adalah retail-minus. Retail-minus merupakan konsep biaya interkoneksi dengan memperhitungkan biaya yang ada dan menguranginya dari harga ritel. Biaya yang telah ada diantaranya adalah biaya-biaya yang terkait dengan customer care, billing, menyediakan jasa nilai tambah (value-added services) dan tranportasi. C. Penguasaan Spektrum Frekuensi Radio Oleh Pemerintah 1. Peran dan Fungsi Pemerintah Pemerintah sebagai pelaksana amanah dari rakyat untuk menjalankan tugas-tugas negara melaksanakan fungsi pengelolaan sumber daya alam, termasuk spektrum frekuensi radio. Amanah adalah sesuatu yang dipercayakan atau dititipkan oleh suatu pihak kepada pihak lain137, dalam hal ini amanah yang diberikan oleh masyarakat kepada pemerintah yang berupa ruang udara yang di dalamnya terdapat spektrum frekuensi radio. Dalam melaksanakan fungsinya pemerintah berpedoman pada tujuan pendirian negara sesuai dengan yang dicantumkan di dalam Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (―Pembukaan UUD 45‖). Dari Pembukaan UUD 45 tersebut tampak bahwa tujuan pembentukan negara Indonesia yaitu diantaranya untuk memajukan kesejahteraan umum. Selanjutnya di dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 (―UUD 45‖) dinyatakan bahwa negara memiliki hak penguasaan terhadap bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Di dalam Pasal 33 UUD 45 ini terkandung pengertian bahwa negara juga mempunyai hak penguasaan terhadap udara dan spektrum frekuensi radio yang terkandung di dalamnya. Pembukaan UUD 45 mengemukakan tujuan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia. Dengan terlindunginya kepentingan rakyat maka tujuan pembangunan negara akan dapat tercapai. Perlindungan kepentingan rakyat dapat terlaksana dengan adanya hukum yang mengatur kehidupan masyarakat. Hukum diperlukan dalam pembangunan untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi
137
416
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. (Jakarta: Balai Pustaka, 2002). Hlm. 35.
Masalah Hukum Dalam Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio
dengan cara yang teratur,138 bukan hanya sebagai alat social engineering, karena terdapat masalah yang dihadapi dalam memperkembangkan hukum sebagai suatu alat pembaharuan masyarakat (social engineering), antara lain karena hukum itu tidak dapat dipisahkan dari sistem nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat.139 Secara teoretis, sesuai dengan teori pembentukan negara yang menyatakan bahwa masyarakat menyerahkan sebagian haknya untuk membentuk suatu negara, maka penguasaan spektrum frekuensi radio oleh negara adalah dalam rangka mengemban amanah dari rakyat. Spektrum frekuensi radio yang dikuasai negara, pada dasarnya adalah milik masyarakat yang diamanahkan kepada negara. Oleh karena itu, dalam menjalankan kedudukannya sebagai penguasa spektrum frekuensi radio, sudah seharusnya pemerintah mendahulukan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utamanya. Pemerintah melalui regulator bidang telekomunikasi menjalankan sistem pengawasan dan pengaturan dalam mengelola spektrum frekuensi radio. Hal ini berarti bahwa pemerintah mengatur spektrum secara terpusat, dan tidak ada pihak yang berhak menggunakan spektrum tanpa izin regulator. Izin tersebut dikeluarkan dalam bentuk lisensi dan harus selalu diminta kembali setiap pengguna melakukan perubahan. Sistem regulasi seperti ini dikenal dengan istilah regulasi paternalistis, yang disebut dengan hubungan ―mother may I‖, yaitu suatu hubungan dimana regulator bertindak seakan-akan orangtua yang menguasai anaknya, sehingga segala tindakan yang akan dilakukan harus mendapat izin terlebih dahulu dari regulator. UU Telekomunikasi sebagai undang-undang yang mengatur tentang telekomunikasi yang ada saat ini menjadikan kepentingan rakyat sebagai tujuan utamanya, sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 yang berbunyi: ―Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antarbangsa.‖ Namun, selanjutnya dalam peraturan-peraturan pelaksanaannya konsep kesejahteraan rakyat itu tidak lagi menjadi tujuan utama. Hal tersebut tampak secara nyata dalam peraturan-peraturan yang mengatur pengalokasian spektrum frekuensi radio. Hal ini dapat terlihat antara lain dalam PP 53 Tahun 2000 sebagaimana telah disebutkan di atas. Demikian pula dalam Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Nomor 04/PER/M.KOMINFO/01/2006 Tentang Tatacara Lelang Pita Spektrum Frekuensi Radio 2,1 Ghz Untuk Penyelenggaraan Jaringan Bergerak Selular IMT2000 (―Permenkominfo 04/2006‖), yaitu: Pasal 1
138 139
Mochtar Kusumaatmadja. Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan. Kumpulan Karya Tulis. (Bandung: Alumni, 2002). Hlm 19. Opcit. Hlm. 23 417
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
1) Seleksi adalah penyaringan untuk penentuan pemenang penyelenggara jaringan bergerak seluler IMT-2000 melalui proses pelelangan. 2) Pelelangan adalah penentuan pemenang penyelenggara jaringan bergerak seluler IMT-2000 yang berdasarkan persaingan nilai kesanggupan membayar Biaya Hak Penggunaan (BHP) pita frekuensi radio oleh masing-masing peserta lelang. Selanjutnya ditentukan pula pada Pasal 23: 1) Pemenang lelang ditentukan berdasarkan peringkat nilai penawaran tarif izin penggunaan pita spektrum frekuensi radio yang tertinggi dan berdasarkan ketersediaan blok pita frekuensi. Dari pasal-pasal yang disebutkan di atas tampak bahwa pertimbangan untuk memberikan izin penggunaan spektrum frekuensi radio hanyalah didasarkan atas penawaran harga yang tertinggi, dengan perkataan lain yang dituju oleh pemerintah dalam hal ini adalah pemasukan dana sebesar-besarnya. Demikian pula pada Peraturan Menteri Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Nomor: 17 /Per/M.Kominfo/9/2005 Tentang Tata Cara Perizinan Dan Ketentuan Operasional Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio (―Permenkominfo 17/2005‖). Pasal 20 Setiap pengguna spektrum frekuensi radio wajib membayar BHP Spektrum Frekuensi Radio yang disetor ke kas negara sesuai ketentuan yang berlaku. Pasal 21 BHP Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, meliputi : 1) BHP untuk izin Pita Frekuensi Radio; dan 2) BHP untuk izin ISR. Pasal 22 1) BHP untuk izin pita Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud pada pasal 20 ayat (1) huruf a terdiri dari: a. biaya izin awal (up front fee); dan atau a. Kewajiban membayar BHP Spektrum Frekuensi Radio pada tahun berikutnya. 2) Besaran BHP Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditentukan berdasarkan hasil seleksi. Apabila dibandingkan antara UU Telekomunikasi dengan kedua Peraturan Menteri sebagai peraturan pelaksanaannya, maka tampak kesenjangan dari sisi tujuannya. Sementara di dalam UU Telekomunikasi dinyatakan bahwa tujuannya adalah kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, sedangkan dalam peraturan pelaksanaannya sangat jelas tercermin tujuan meraih keuntungan yang sebesar-besarnya dari penyelenggaran telekomunikasi yang tentunya pada pelaksanaannya akan membebani penyelenggara dan tidak dapat dielakkan bahwa sebagai pengusaha, beban tersebut akan dialihkan oleh penyelenggara telekomunikasi kepada masyarakat sebagai pemakai layanan telekomunikasi.
418
Masalah Hukum Dalam Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio
Hal tersebut merupakan suatu yang jelas akan terjadi, karena sistem pengalokasian spektrum frekuensi radio melalui pelelangan tersebut didapat dari sistem yang dijalankan di negara-negara kapitalis. Namun demikian, di Amerika Serikat dan di Eropa mulai muncul pandangan yang menyatakan bahwa dengan pelelangan ini pemerintah telah meninggalkan kewajiban fiducia (fiduciary duty) nya untuk menjadi ―pengawas‖ sumber daya langka yang dipercayakan kepadanya.140 2. Pengaturan Spektrum Frekuensi Radio Pengaturan yang dilakukan oleh pemerintah didasarkan pada prinsip penguasaan terhadap spektrum frekuensi radio, yang diberikan kepada pemerintah sebagaimana dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi (―UU Telekomunikasi‖): Pasal 4 1) Telekomunikasi dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah. 2) Pembinaan telekomunikasi diarahkan untuk meningkatkan penyelenggaraan telekomunikasi yang meliputi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan pengendalian. D. Dalam penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan pengendalian di bidang telekomunikasi, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat serta perkembangan global. Regulasi penggunaan frekuensi di Indonesia tidak lepas dari kaitannya dengan kewajiban pembayaran oleh pengguna frekuensi sebagaimana diatur dalam Permenkominfo 17/2005. Jika dihubungkan dengan penggunaan frekuensi secara bersama (sharing) baik dengan konsep LSA, ataupun penggunaan oleh MVNO, dan dihubungkan dengan kasus yang menimpa IM2 Indosat, maka timbul keraguan mengenai apakah pengguna dengan konsep LSA dan MVNO dikenakan kewajiban mempunyai izin penggunaan frekuensi dari pemerintah dan apakah dikenakan kewajiban membayar BHP frekuensi dan juga kewajiban kontribusi pelayanan universal (KKPU). Jika dibandingkan dengan pelaksanaan di negara lain, misalnya di Uni Eropa sebagaimana diuraikan di atas, justru regulator ikut berupaya mendorong agar penggunaan bersama dan MVNO semakin digiatkan, karena menurut regulator, konsep tersebut dapat mengurangi inefisiensi pada penggunaan spektrum frekuensi radio. 3. Pengalihan Alokasi Frekuensi Masalah lainnya yang timbul dengan adanya konsep MVNO adalah mengenai apakah penyewaan spektrum frekuensi radio milik MNO oleh MVNO 140
Patrick S. Ryan. Application of the Public Trust Doctrine and Principles of Natural Resources Management to Magnetic Spectrum. 10 Mich. Telecomm. Tech L. Rev. 285. (2004), hlm. 308. 419
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
atau oleh operator ISP yang tidak mempunyai izin penggunaan pita spektrum frekuensi termasuk dalam pengertian pengalihan alokasi frekuensi radio? Hal ini dikaitkan dengan adanya peraturan yang melarang operator pemilik izin penggunaan frekuensi untuk mengalihkan alokasi frekuensi yang diberikan kepada mereka. Larangan tersebut terdapat pada PP 53/2000. Pasal 25 1) Pemegang alokasi frekuensi radio tidak dapat mengalihkan alokasi frekuensi radio yang telah diperolehnya kepada pihak lain. Sedangkan penggunaan pita spektrum dengan konsep LSA memang menimbulkan pertanyaan dari segi regulasi, karena sesuai dengan istilahnya, LSA yaitu Licensed Shared Access, yaitu akses frekuensi yang telah diberi izin digunakan secara bersama oleh lebih dari satu operator. Di samping itu, di Indonesia, penggunaan spektrum frekuensi radio dengan cara penyewaan juga menimbulkan masalah hukum, karena adanya peraturan yang menyatakan bahwa penggunaan spektrum frekuensi radio harus mendapatkan izin pemerintah, sebagaimana dicantumkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 Tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio Dan Orbit Satelit (―PP 53/2000‖): Pasal 17: 1) Penggunaan spektrum frekuensi radio untuk penyelenggaraan telekomunikasi wajib mendapatkan izin Menteri. 2) Pemegang izin penggunaan spektrum frekuensi radio wajib melaporkan rencana penempatan stasiun radionya kepada Menteri. Hal tersebut di atas berkaitan dengan kewajiban membayar Biaya Hak Penggunaan atas spektrum frekuensi radio sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2000 Tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio Dan Orbit Satelit (―PP 53 Tahun 2000‖): 1) Setiap pengguna spektrum frekuensi radio untuk tujuan penyelenggaraan telekomunikasi wajib membayar biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio. 2) Dalam menetapkan besarnya biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio digunakan formula dengan memperhatikan komponen: a. jenis frekuensi radio; b. lebar pita dan atau kanal frekuensi radio; c. luas cakupan; lokasi; d. minat pasar. 3) Biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio mulai dikenakan pada saat izin stasiun radio diterbitkan. 4) Biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio dibayar dimuka setiap tahun. Jika dihubungkan dengan Pasal 20 Peraturan Menteri Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Nomor: 17/Per/M.Kominfo/9/2005 Tentang Tata Cara Perizinan Dan Ketentuan Operasional Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio, timbul pertanyaan yaitu: apakah operator ISP yang tidak mempunyai izin penggunaan frekuensi dan/ atau MVNO yang memanfaatkan spektrum frekuensi 420
Masalah Hukum Dalam Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio
radio milik MNO juga dibebani kewajiban pembayaran BHP Spektrum Frekuensi Radio? Suatu hal yang hendaknya diperhatikan oleh pihak regulator adalah bahwa peraturan tentang penggunaan spektrum frekuensi radio yang diterapkan di Indonesia adalah dengan konsep alokasi statis. Regulasi seperti yang berlaku saat ini dapat mengakibatkan penggunaan spektrum menjadi tidak efisien. Sebaliknya, yang terjadi adalah kelangkaan spektrum semu sebagai hasil yang ditimbulkan oleh karena adanya peraturan yang relatif kaku. Di Indonesia terdapat ketentuan tentang penggunaan spektrum hanya untuk tujuan sesuai dengan lisensi yang diberikan, hal mana dapat menimbulkan ketidakefisienan, namun terdapat pula dilema, karena jika diberi kebebasan dalam penggunaan spektrum frekuensi dengan konsep sharing ataupun dengan sistem penyewaan, maka akan dapat menimbulkan kesempatan bagi pemegang lisensi bertindak hanya sebagai broker. Untuk itu, diperlukan kehati-hatian bagi pemerintah dan regulator jika berencana untuk menerapkan regulasi untuk konsep LSA ataupun MVNO, meskipun diberbagai negara terjadi kecenderungan deregulasi di sektor telekomunikasi. 4. Pendapatan Pemerintah Dari Sektor Telekomunikasi Seperti regulasi yang diterapkan dalam bidang frekuensi ini erat kaitaannya dengan pendapatan yang akan diterima oleh pemerintah dari pengalokasian frekuensi. Jumlah uang yang diraih dari pelelangan spekvtrum frekuensi radio oleh pemerintah memang sangat besar dan biaya tersebut harus dibayar oleh perusahaan yang mendapat pengalokasian spektrum frekuensi radio. Dengan tingginya biaya yang dibayar oleh perusahaan, tidak tertutup kemungkinan bahwa pelelangan ini juga mengakibatkan perusahaan telekomunikasi yang kecil tidak mampu mendapatkan izin penggunaan spektrum frekuensi, dan apabila mereka memaksakan diri dapat saja mengalami kebangkrutan atau kesulitan keuangan. Dengan pembebanan tersebut tentunya akan memberatkan penyelenggara telekomunikasi, yang selanjutnya akan membebani pemakai jasa telekomunikasi yaitu masyarakat. 5. Perbedaan Pandangan Dalam Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio 1. Kewajiban Membayar BHP Frekuensi oleh MVNO Di dalam PP 53 Tahun 2000 secara jelas dinyatakan bahwa setiap pengguna spektrum frekuensi radio untuk tujuan penyelenggaraan telekomunikasi wajib membayar biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio, dan dalam menetapkan besarnya biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio pemerintah harus menggunakan formula dengan memperhatikan komponen-komponen jenis frekuensi radio, lebar pita dan atau kanal frekuensi radio, luas cakupan, lokasi dan minat pasar. Di dalam Peraturan Menteri Kominfo Nomor: 17/Per/ M.Kominfo/9/2005 Tentang Tata Cara Perizinan Dan Ketentuan Operasional Penggunaan Spektrum 421
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Frekuensi Radio (―Permenkominfo 17/2005‖) sebagai peraturan pelaksanaan PP 53 Tahun 2000, dinyatakan pula bahwa Biaya Hak Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio (BHP Frekuensi Radio) adalah kewajiban yang harus dibayar oleh setiap pengguna frekuensi radio. Pengaturan formula untuk menetapkan besaran biaya hak penggunaan frekuensi diserahkan kepada Depkominfo, dan telah ditetapkan bahwa biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio mulai dikenakan pada saat izin stasiun radio diterbitkan, dan harus dibayar dimuka setiap tahun. Jika dikaitkan dengan pemberian izin kepada operator yang diberi alokasi frekuensi, maka timbul pertanyaan, karena pada penggunaan dengan konsep LSA, izin yang diberikan kepada operator yang mendapat alokasi frekuensi digunakan bersama atau di sharing dengan operator lain, dalam hal ini terjadi perbedaan pandangan mengenai apakah definisi pengguna sebagaimana ditetapkan dalam PP 53/2000, Pasal 17 yang menyatakan bahwa penggunaan spektrum frekuensi radio untuk penyelenggaraan telekomunikasi wajib mendapatkan izin Menteri. Mengenai perizinan ini selanjutnya diatur dalam Permenkominfo 17/2005 dan diubah dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 23 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 17/Per/M.Kominfo/10/2005 Tentang Tatacara Perizinan dan Ketentuan Operasional Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio (―Permenkominfo 23/2010‖) Pada UU Telekomunikasi pasal 1 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan pengguna adalah pelanggan dan pemakai, sedangkan pelanggan adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi berdasarkan kontrak dan pemakai adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang tidak berdasarkan kontrak. Dengan demikian jika berpegang pada ketentuan yang terdapat pada Pasal 1 UU Telekomunikasi ini, maka semua pengguna jaringan baik jaringan yang berbasis kabel maupun nirkabel, dalam hal ini menggunakan spektrum frekuensi radio adalah pengguna, dan dengan demikian diwajibkan mendapat izin dari pemerintah dan diwajibkan membayar BHP frekuensi sesuai dengan PP 53 Tahun 2000, yang menyatakan bahwa setiap pengguna spektrum frekuensi radio untuk tujuan penyelenggaraan telekomunikasi wajib membayar biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio. Namun demikian, hal ini tentunya tidak sesuai dengan tujuan untuk mendorong penggunaan spektrum frekuensi radio yang efisien, karena dalam praktek beberapa operator pemilik izin penggunaan frekuensi tidak mampu untuk menggunakan pita yang dialokasikan padanya untuk menyelenggarakan telekomunikasi dan menyebabkan penggunaan yang tidak efisien. Sebagai akibatnya terjadi kecenderungan akusisi ataupun merger di antara operator hanya untuk mendapatkan pita spektrum frekuensi dari operator yang tidak mampu menggunakan secara efisien, karena tidak berhasil menarik banyak pelanggan.
422
Masalah Hukum Dalam Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio
Perbedaan pandangan terjadi pula jika dikaitkan dengan UU Telekomunikasi Pasal 9 (2) dimana dinyatakan bahwa penyelenggara jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), yaitu BUMN, BUMD, Badan Usaha Swasta dan koperasi, dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan dan atau menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi. Jadi, menurut pasal 9 (2) UU Telekomunikasi ini operator yang tidak memiliki izin penggunaan pita spektrum frekuensi (dalam hal ini termasuk penggunaan dengan konsep LSA ataupun MVNO) dapat menggunakan atau menyewa pita spektrum frekuensi milik MNO. Namun, di dalam UU telekomunikasi tersebut tidak dijelaskan apakah bagi pengguna dengan konsep penyewaan atau lainnya dibebani kewajiban pembayaran BHP frekuensi dan Kewajiban Kontribusi Pelayanan Universal (KKPU). Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan skim regulasi yang baru yang berkaitan dengan penggunaan pita spektrum frekuensi dengan konsep LSA ataupun dengan konsep MVNO, agar lebih jelas keberadaan operator yang menggunakan konsep LSA dan MVNO tersebut, apakah harus mendapatkan izin penggunaan frekuensi dan apakah harus membayar BHP frekuensi sebagaimana operator pemilik izin penggunaan frekuensi. Regulasi tersebut diperlukan pula untuk menghilangkan perbedaan pandangan antara pemerintah dan pihak penegak hukum (hakim, jaksa dan pengacara), mengenai masalah pengguna dan penggunaan pita spektrum frekuensi radio. 2. Perbandingan dengan di Negara Lain Sebagai perbandingan berikut ini disampaikan mengenai perizinan MVNO di negara lain. Dalam praktek di Malaysia terdapat beberapa jenis operator yang masuk dalam kategori MVNO yaitu: Full MVNO, Enhanced Service Provider, dan Reseller. Di bidang perizinan terdapat perbedaan yaitu:141 a. Full MVNO dikenakan tiga macam perizinan (licence) yaitu: (i) Lisensi Network Facilities Providers Individual - NFP (I) (izin Penyelenggara Jaringan) untuk network facilities; (ii) Lisensi Network Service Provider Individual - NSP (I) (Izin Penyelenggara jasa) untuk network services; dan (iii) Lisensi Application Service Provider - ASP (Izin Penyelenggara Aplikasi) untuk penyelenggaraan layanan selular untuk umum kepada end user. b. Enhanced Service Provider dikenakan dua macam perizinan yaitu: (i) Lisensi NSP (I) untuk penyelenggaraan layanan bandwith, cellular mobile services atau mobile application services; (ii) lisensi ASP untuk penyelenggaraan layanan selular untuk umum kepada end user. c. Reseller dikenakan satu macam lisensi yaitu: Lisensi ASP untuk penyelenggaraan layanan selular untuk umum.
141
Suruhanjaya Komunikasi dan Multimedia Malaysia (SKMM) (2008). Mobile Virtual Network Operators (MVNO). The Redefining Game. Hlm. 7. 423
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Dari ketiga kategori yang disebutkan di atas tidak tampak bahwa MVNO di Malaysia dikenakan kewajiban untuk memiliki izin penggunaan frekuensi sebagaimana yang diwajibkan kepada MNO, akan tetapi untuk kategori Full MVNO dikenakan kewajiban memiliki izin sebagai penyelenggara jaringan. SKMM mendefinisikan MVNO dengan sangat luas, hal mana bukan hanya mengurangi hambatan untuk masuk pasar (barriers to market entry) tetapi juga memberi fleksibilitas untuk calon MVNO dalam menyusun model bisnisnya sesuai dengan kemampuan keuangannya. Berbeda dengan di berbagai negara lain, kerangka perizinan berdasarkan Communications and Multimedia Act 1998 (CMA) telah dikembangkan untuk menampung model bisnis MVNO di Malaysia.142 Persyaratan perizinan yang dikeluarkan SKMM untuk masing-masing model bisnis hanya sebagai panduan sedangkan persyaratan perizinan yang sebenarnya diberikan oleh SKMM berdasarkan penilaian atas permohonan vis-à-vis berdasarkan CMA dan berdasarkan peraturan pelaksanaan yang relevan berdasarkan case by case.143 Di India, berdasarkan Section 4 Indian Telegraph Act, setiap badan yang menyelenggarakan layanan telekomunikasi diwajibkan mempunyai izin/ lisensi dari pemerintah. Oleh karena MVNO melaksanakan penyelenggaraan layanan telekomunikasi kepada pelanggan dengan merek atau namanya sendiri yang berbeda dengan MNO, maka perlu adanya lisensi atau izin dari pemerintah kepada MVNO berdasarkan Section 4 Indian Telegraph Act.144 Izin yang dimaksudkan disini adalah izin penyelenggaraan jasa telekomunikasi, namun tidak keterangan lebih lanjut apakah MVNO di India diwajibkan memiliki izin penggunaan frekuensi karena dalam penyelenggaraan jasa MVNO menggunakan spektrum frekuensi radio milik MNO.145 Di Cina pada tanggal 26 Maret 2013, pemerintah mengumumkan rencana untuk mengeluarkan izin/ lisensi untuk MVNO pada bulan Mei 2013, untuk memberi kesempatan bagi MVNO untuk beroperasi di Cina. Berdasarkan rencana tersebut perusahaan swasta diberi kesempatan untuk menyelenggarakan layanan mobile langsung kepada pelanggan melalui pembelian bandwidth dari tiga penyelenggara jaringan incumbent, yang diwajibkan pula menyediakan bandwidth dengan memberi harga yang wajar. Kementerian Industri dan Teknologi Informasi memberi masa percobaan selama dua tahun bagi penyelenggara dengan konsep MVNO. Setiap calon penyelenggara MVNO diharuskan mempunyai pengalaman di bidang telekomunikasi, yang merupakan pembatasan bagi calon MVNO yang akan memasuki pasar.146 Izin yang akan diberikan pemerintah Cina adalah izin penyelenggaraan jasa telekomunikasi, tidak diketahui apakah MVNO tersebut dikenakan pula kewajiban mempunyai izin penggunaan spektrum frekuensi radio.
142 143 144 145 146
424
Ibid. hlm 37 Ibid. Telecom Regulatory Authority of India (2008), Opcit, hlm. 14. Ibid. http://www.cellular-news.com diakses 12 Agustus 2013.
Masalah Hukum Dalam Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio
6. Penutup Dari pembahasan di atas tampak bahwa di dalam peraturan-peraturan pelaksanaan pengelolaan spektrum frekuensi radio belum tampak ide untuk kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang dicantumkan dalam tujuan telekomunikasi untuk kesejahteraan masyarakat. Disamping itu, mahalnya biaya untuk mendapatkan alokasi spektrum frekuensi radio mengakibatkan terjadi kecenderungan penguasaan oleh segelintir pengusaha yang mempunyai modal besar, dan terjadi pula inefisiensi dalam penggunaan spektrum frekuensi radio, yang sebenarnya dapat diatasi dengan konsep MVNO, namun di Indonesia belum ada peraturan yang menampung kegiatan operator dengan konsep MVNO tersebut. Dilema yang terjadi adalah karena kerumitan secara teknologi tentang spektrum frekuensi radio mengakibatkan para penegak hukum kurang menguasai permasalahan teknik di bidang spektrum frekuensi radio, sebaliknya para ahli teknik di bidang spektrum frekuensi kurang menguasai hukum. Untuk itu, perlu dilakukan perubahan terhadap peraturan-peraturan pelaksanaan UU Telekomunikasi agar dalam peraturan-peraturan pelaksanaan yang ada terutama tentang pengelolaan spektrum frekuensi radio lebih mengutamakan ide untuk kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang dicantumkan dalam tujuan telekomunikasi dan untuk mencegah agar dalam pengelolaan spektrum frekuensi radio tidak terjadi penguasaan oleh segelintir pengusaha yang mempunyai modal besar, dan untuk mendorong efesiensi dalam penggunaan spektrum frekuensi radio diperlukan perubahan dalam konsep pengaturan sektor telekomunikasi khususnya yang berkaitan dengan pengalokasian spektrum frekuensi radio dan penggunaan spektrum frekuensi radio baik dengan konsep LSA atau MVNO. Mengingat bentuk khusus dari spektrum frekuensi radio dan permasalahannya yang sarat dengan masalah teknikal, maka sebaiknya jika penegak hukum yang kurang menguasai permasalahan teknikal di bidang spektrum frekuensi radio dan para ahli teknik di bidang spektrum yang kurang menguasai hukum yang terkait, dapat bekerjasama untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di bidang spektrum frekuensi radio.
DAFTAR PUSTAKA Agrawal, Dharma Prakash and Zeng, Qing-An (2006). Introduction to Wireless and Mobile System. Second Edition. Canada: Thomson Canada Limited. Akyildiz, Ian F, et al. Georgia Institute of Technology (2008). Cognitive Radio Communications and Networks. A Survey on Spectrum Management in Cognitive Radio Networks., IEEE Communications Magazine. April 2008. Departemen Pendidikan Nasional (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
425
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Mochtar Kusumaatmadja (2002). Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan. Kumpulan Karya Tulis. Bandung: Alumni. Roddy, Dennis (2006). Satellite Communications. Fourth Edition. Singapore, McGraw Hill. Ryan, Patrick S (2004). Application of the Public Trust Doctrine and Principles of Natural Resources Management to Magnetic Spectrum. 10 Mich. Telecomm. Tech L. Rev. 285. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji (1995). Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT RajaGrafindoPersada. Kim, Jihwan, et.al (2010). Access Regulation, Competition, and the Investment of Network Operators in the Mobile Telecommunications Industry. Bond University Globalisation and Development Centre, No. 34 January 2010. International Telecommunication Union (2002). Document: Cpt/04 18 November 2002. Workshop On Competition Policy In Telecommunications. Geneva, 20 – 22 November 2002. Radio Spectrum Policy Group (2011) – Report on Collective Use of Spectrum and other spectrum sharing approaches – RSPG11-392. Suruhanjaya Komunikasi dan Multimedia Malaysia (SKMM) (2008). Mobile Virtual Network Operators (MVNO). The Redefining Game. Bianchi, Giuseppe. Propagation Characteristics of Wireless Channels. Lecture 1.1 Basic concepts and terminology. Clancy, Thomas Charles (2006). Dynamic Spectrum Access In Cognitive Radio Networks. Dissertation submitted to the Faculty of the Graduate School of the University of Maryland, College Park in partial fulfillment of the requirements for the degree of Doctor of Philosophy. Telecom Regulatory Authority of India (2008). Consultation Paper On Mobile Virtual Network Operator (MVNO), New Delhi 5 May 2008.
426
TANGGUNGJAWAB REKTOR SEBAGAI KPA DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN TINGGI NEGERI YANG MENYELENGGARAKAN PENGELOLAAN KEUANGAN BADAN LAYANAN UMUM (PTN PK-BLU)
Dewi Kania Sugiharti Muhammad Ziaurahman Sechabudin Abstrak Perguruan Tinggi yang menerapkan konsep Badan Layanan Umum (PTN PKBLU) dalam menjalankan fungsi sebagai organ yang bergerak dalam bidang pelayanan adalah dukungan sarana dan prasarana melalui barang atau jasa. Sebagai institusi yang berada dalam naungan pemerintah dan menerima anggaran negara maka PTN PK-BLU melaksanakan mekanisme untuk memperoleh barang atau jasa sesuai ketentuan hukum. Namun proses pengadaan dalam memperoleh barang atau jasa terkadang menimbulkan persoalan yang muncul sebagai konsekuensi berjalannya proses pengadaan barang atau jasa yang melibatkan organ-organ di dalamnya seperti PA/KPA, PPK, ULP, dan Panitia/Pejabat Penerima Pengadaan. Rektor sebagai KPA dalam PTN PK-BLU memiliki wewenang dalam melakukan kontrol terhadap organ-organ yang melaksanakan proses pengadaan barang/jasa pada lingkungannya. Kesalahan dalam proses pengadaan barang/jasa yang dilakukan oleh PPK dan ULP/Pejabat Pengadaan menyebabkan kerugian negara akibat kesalahan tersebut, baik akibat kelalaian atau tindakan melanggar hukum. Sebagai KPA dalam proses pengadaan barang/jasa Rektor dapat melakukan kontrol pada organ-organ tersebut sesuai dengan wewenang yang diberikan. Konsekuensi yang diterima jika pada akhirnya pejabat pelaksanaan pengadaan barang/jasa tidak mengindahkan teguran Rektor maka pejabat yang terkait proses pengadaan barang/jasa akan menerima sanksi. Kata Kunci: Kuasa Pengguna Anggaran, Keuangan Negara. Abstract Universities that apply the concept of Public Service Agency (BLU - PK PTN ) in performing functions as an organ which is engaged in the service infrastructure support through goods or services . As an institution under the auspices of the government and the state budget receives PTN PK - BLU implement mechanisms to acquire goods or services in accordance with the law . However, the procurement process in obtaining goods or services sometimes poses problems that arise as a consequence of the passage of the procurement of goods or services involving the organs in it as PA / KPA , KDP , ULP , and Committee / Receiver Procurement Officer. Rector of the KPA in PK - BLU PTN has the authority to control the organs that carry out the process of procurement of goods / services in the
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
environment . Errors in the procurement process of goods / services performed by the CO and the ULP / Procurement Officer causing state losses due to these errors, either due to negligence or unlawful acts. As the KPA in the process of procurement of goods / services Rector can control the organs in accordance with the authority given . The consequences are acceptable if the authorities ultimately the procurement of goods / services did not heed the warning Rector officials related procurement process of goods / services will receive sanctions. Keywords: Authorized Budget, Financial State.
A. Latar Belakang Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.147 Pengelolaan keuangan negara harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Salah satu instansi yang mengelola serta menggunakan keuangan Negara untuk menjalankan fungsi operasionalnya adalah perguruan tinggi negeri. Dewasa ini perguruan tinggi negeri didorong untuk melaksanakan pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (PK BLU). BLU merupakan instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.148 Instansi atau badan yang menyelenggarakan BLU ditentukan melalui Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan sebagai pengguna anggaran negara. Instansi atau badan yang telah mendapat Surat Keputusan sebagai instansi PK BLU menjalankan ketentuan-ketentuan pengelolaan keuangan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU), yang pada dasarnya merupakan pengecualian dari ketentuan Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Ketentuan yang diatur dalam PP No. 23 Tahun 2005 tentang PKBLU adalah mengenai sistem pengelolaan keuangan yang dijalankan oleh instansi pemerintah PK BLU yang sudah ditetapkan oleh Menteri Keuangan melalui Surat Keputusan. Instansi tersebut akan mengelola dan menggunakan anggaran negara yang diatur sebagaimana mestinya. Instansi 147 148
428
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pasal 1 ayat (10) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
Tanggung Jawab Rektor Sebagai KPA Dalam Pengelolaan Keuangan PTN PK-BLU
atau badan yang dimaksud dapat merupakan instansi atau badan yang bergerak di bidang kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya. Pengelolaan keuangan badan layanan umum merupakan bagian integral dari pengelolaan keuangan Negara, sehingga pengelolaannya tidak boleh terlepas dari hukum keuangan Negara.149 Salah satu layanan yang dilaksanakan PK-BLU adalah penyelenggaraan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Penyelenggaraan pendidikan tinggi PK-BLU dilakukan organ-organ pendidikan tinggi. Dalam sebuah negara demokrasi, tidak ada suatu jabatan pun yang tidak dapat diminta pertanggungjawaban. Selain itu negara Indonesia adalah negara hukum.150 Dengan demikian maka setiap tindakan yang dilakukan oleh organ-organ pendidikan tinggi harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Organ perguruan tinggi paling sedikit terdiri dari organ yang menjalankan fungsi pelaksanaan, fungsi pengawasan dan pertimbangan, fungsi pengawasan bidang non-akademik, dan fungsi pertimbangan non akademik.151 Fungsi pelaksanaan pada suatu universitas dilaksanakan oleh Rektor sebagai pemimpin satuan pendidikan tinggi. Untuk memerikan layanan terbaik kepada masyarakat sekaligus menciptakan efisiensi,PKBLU memerlukan barang/jasa yang berkualitas sebagai komponen in put. Untuk memperoleh barang/jasa berkualitas maka diatur mekanisme pengadaan barang/jasa. Rektor berfungsi sebagai KPA dalam pengadaan barang/jasa PTN PK-BLU. Rektor memiliki kewenangan untuk menetapkan organ-organ lain diantaranya Unit Layanan Pengadaan ULP dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Dalam pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh ULP dan/atau Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) tersebut mungkin terjadi suatu kesalahan sehingga harus dipertanggungjawabkan sesuai aturan hukum yang berlaku. Kejelasan tanggung jawab antara KPA, ULP, dan PPK merupakan salah satu kunci efektivitas dan efisiensi dalam pengadaan barang/jasa. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah tanggung jawab Rektor apabila terjadi kesalahan yang dilakukan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU)? 149 150 151
Muhammad Djafar Saidi, Hukum Keuangan Negara, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2008. hlm. 165 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 58D ayat (1)Peraturan Pemerintah Nomor 66 tahun 2010 Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. 429
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
2. Bagaimanakah tanggung jawab Rektor apabila terjadi kesalahan dalam pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh Unit Layanan Pengadaan (ULP) pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU)? C. Tanggung Jawab Rektor atas Kesalahan yang Dilakukan oleh PPK dalam Pengadaan Barang dan Jasa PTN dengan PK-BLU Terdapat perbedaan istilah pada posisi pejabat yang memimpin sebuah perguruan tinggi. Perbedaan sebutan posisi tersebut memiliki konsekuensi pada wewenang dan tanggungjawab. Sebutan rektor diberikan kepada seseorang yang menduduki posisi pemimpin sebuah perguruan tinggi berbentuk universitas/institut, hal ini berkaitan dengan fungsi penyelenggaraan pendidikan tinggi untuk menjalankan tri dharma perguruan tinggi. Dalam menjalankan fungsi perguruan tinggi tersebut, bagaimanapun berkorelasi dengan masalah keuangan. Perguruan tinggi negeri mendapatkan dana untuk menyelenggarakan fungsi tersebut dari negara melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau sumber lain yang sah. Dalam pengelolaan keuangan dan perbendaharaan dikenal istilah Pengguna Anggaran dan Kuasa Pengguna Anggaran, sementara dalam pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU) dikenal istilah Pemimpin BLU. Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PTN-PK BLU), memperoleh pendapatan dari : a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) b. Jasa layanan yang diberikan kepada masyarakat dan hibah tidak terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan lain merupakan pendapatan operasional BLU. c. Hibah terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan lain merupakan pendapatan yang harus diperlakukan sesuai dengan peruntukan. d. Hasil kerjasama BLU dengan pihak lain dan/atau hasil usaha lainnya merupakan pendapatan bagi BLU. PTN PK BLU di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan beroperasi sebagai unit kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk tujuan pemberian layanan umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai instansi induk. PTN PK BLU tersebut merupakan bagian perangkat pencapaian tujuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, oleh karenanya status hukum PTN PK BLU BLU tidak terpisah dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai instansi induk. Sehubungan dengan itu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pelayanan 430
Tanggung Jawab Rektor Sebagai KPA Dalam Pengelolaan Keuangan PTN PK-BLU
umum yang didelegasikannya kepada PTN PK BLU dari segi manfaat layanan yang dihasilkan, sedangkan pemimpin PTN PK BLU sebagai Pejabat yang ditunjuk mengelola PTN PK BLU bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan pemberian layanan umum yang didelegasikan kepadanya oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.152 Pendapatan PTN PK BLU dari jasa layanan, hibah dan kerjasama dilaporkan sebagai pendapatan negara bukan pajak Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.153 Ditijnau dari segi Undang-undang Keuangan Negara, maka pendapatan tersebut termasuk ruang lingkup keuangan negara, hanya saja karena berdasarkan Undang-undang Perbendaharaan Negara diberikan keleluasaan dalam pengelolaannya, pendapatan tersebut digunakan untuk membiayai urusan PTN PK BLU secara langsung, karenanya pendapatan tersebut tidak disetor ke Kas Negara dengan pola kelola APBN, tetapi tetap wajib dilaporkan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dilihat dari struktur pengelola keuangan negara berdasar Pasal 6 Undang-undang No. 17 Tahun 2003 berkedudukan sebagai kuasa dari Presiden selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Salah satu wewenang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan selaku Pengguna Anggaran berdasarkan Undang-undang Perbendaharaan Negara adalah menunjuk Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang; Berdasarkan Pasal 18 Undang-undang Perbendaharaan Negara, Kuasa pengguna Anggaran memiliki wewenang untuk : a. menguji kebenaran material surat-surat bukti mengenai hak pihak penagih; b. meneliti kebenaran dokumen yang menjadi persyaratan/kelengkapan sehubungan dengan ikatan/ perjanjian pengadaan barang/jasa; c. meneliti tersedianya dana yang bersangkutan; d. membebankan pengeluaran sesuai dengan mata anggaran pengeluaran yang bersangkutan; e. memerintahkan pembayaran atas beban APBN/APBD. Rektor sebagai pemimpin PTN PK BLU berfungsi sebagai penanggung jawab umum operasional dan keuangan BLU yang berkewajiban: a. menyiapkan rencana strategis bisnis PTN PK BLU; b. menyiapkan RBA tahunan;
152 153
Pasal 3 ayat (1) sampai (4) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. 431
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
c.
mengusulkan calon pejabat keuangan dan pejabat teknis sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan d. menyampaikan pertanggungjawaban kinerja operasional dan keuangan PTN PK BLU. Pejabat keuangan PTN PK BLU berfungsi sebagai penanggung jawab keuangan berkewajiban : a. mengkoordinasikan penyusunan RBA; b. menyiapkan dokumen pelaksanaan anggaran PTN PK BLU; c. melakukan pengelolaan pendapatan dan belanja; d. menyelenggarakan pengelolaan kas; e. melakukan pengelolaan utang-piutang; f. menyusun kebijakan pengelolaan barang, aset tetap, dan investasi PTN PK BLU; g. menyelenggarakan sistem informasi manajemen keuangan; h. menyelenggarakan akuntansi dan penyusunan laporan keuangan. Pejabat teknis PTN PK BLU berfungsi sebagai penanggung jawab teknis di bidang masing-masing berkewajiban: a. menyusun perencanaan kegiatan teknis di bidangnya; b. melaksanakan kegiatan teknis sesuai menurut RBA; dan c. mempertanggungjawabkan kinerja operasional di bidangnya. Rektor sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) memiliki peranan penting dalam pengadaan barang dan jasa pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dengan PK-BLU. Pengadaan barang dan jasa harus dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip pengadaan barang dan jasa pemerintah sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Kualitas pengadaan barang dan jasa yang dilakukan akan menentukan kualitas layanan yang akan dihasilkan oleh PTN PK-BLU. 1. Organ-Organ dalam Proses Pengadaan Barang/Jasa PTN PK-BLU merupakan bagian integral dari pengelolaan keuangan negara sehingga pengelolaannya tidak boleh terlepas dari hukum keuangan negara. PTN PK-BLU berkedudukan sebagai lembaga pemerintah yang tidak dipisahkan dari kekayaan negara. selain itu, PTN PK-BLU merupakan instansi pemerintah yang pengelolaan keuangannya menerapkan PK-BLU. Dengan demikian, pengadaan barang dan jasa PTN PK-BLU sama dengan pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah lainnya. Selain itu, karena merupakan perguruan tinggi, maka PTN PK-BLU juga tunduk pada
432
Tanggung Jawab Rektor Sebagai KPA Dalam Pengelolaan Keuangan PTN PK-BLU
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, dan peraturan perundang-undangan lainnya.154 Pengadaan barang/jasa dilakukan melalui dua cara, yaitu melalui swakelola atau pemilihan penyedia barang/jasa. Pengadaan melalui swakelola, pelaksanaan pengadaan direncanakan, dikerjakan, dan/atau diawasi sendiri oleh PTN PK BLU yang bersangkutan dan pihak yang berperan penanggung jawab anggaran, sedangkan dalam pemilihan penyedia barang/jasa, pemilihan tersebut dapat dilakukan dengan pelelangan/seleksi, atau penunjukkan langsung atau pengadaan langsung. Terdapat empat organ yang memiliki peran dalam pengadaan barang dan jasa di PTN PK BLU. Organ tersebut yaitu Pengguna Anggran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), PPK, Unit Layanan Pengadaan (ULP)/Pejabat Pengadaan, dan Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pengadaan.155 Mengacu kepada UU Perbendaharaan Negara, maka yang dimaksud PA tersebut adalah Menteri/Pimpinan Lembaga, Gubernur/Bupati/Walikota selaku Kepala Pemerintahan Daerah, dan Kepala satuan kerja perangkat daerah.156 Ketentuan tersebut diperjelas dalam Pasal 1 angka 5 Perpres 70/2012. PA menetapkan pejabat KPA untuk menggunakan APBN/APBD. Dengan perkataan lain KPA merupakan pejabat yang ditunjuk oleh PA untuk menggunakan APBN/APBD. Berdasarkan dari ketentuan di atas, maka dalam PTN PK-BLU, KPA tersebut adalah Rektor,157 sedangkan PA adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). Rektor merupakan organ yang memperoleh kewenangan sebagai KPA melalui penunjukkan oleh Mendikbud. Rektor berfungsi organ perguruan tinggi yang menjalankan fungsi pengelolaan. Rektor diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.158 Pasal 58H ayat (5) PP 66/2010 menyatakan, dana untuk biaya investasi, biaya operasional, beasiswa, dan/atau biaya bantuan pendidikan disalurkan kepada Rektor. Berdasarkan ketentuan tersebut secara, 154
155
156 157 158
Peraturan Perundang-undangan lain tersebut misalnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 08/PMK.02/2006 tentang Kewenangan Pengadaan Barang/Jasa Pada Badan Layanan Umum.. Peraturan ini memberikan keleluasaan bagi BLU yang memperoleh status secara penuh dalam Pengadaan barang/jasa. Pasal 7 Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 70/2012). Pasal 4-6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara). Rektor merupakan pemimpin dari perguruan tinggi berbentuk universitas dan institut. Pasal 58E ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan (PP 66/2010). 433
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
pengadaan barang dan jasa yang didanai dari APBN, termasuk di dalam dana yang disalurkan kepada Rektor yang berasal dari Pemerintah yang dalam hal ini adalah Mendikbud. PPK adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan dalam pengadaan barang dan jasa. PPK merupakan pihak yang membuat perjanjian dengan Penyedia Barang/Jasa atau Pelaksana Swakelola. Perjanjian yang dibuat oleh PPK dengan Penyedia Barang/Jasa dituangkan dalam Kontrak Pengadaan Barang/Jasa. Kontrak berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak (pihak PTN PK-BLU yang diwakili oleh PPK) dan Penyedia Barang/Jasa. ULP merupakan unit organisasi yang berfungsi melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa. Setiap organisasi pemerintah wajib memiliki ULP yang dapat memberikan pelayanan di bidang pengadaan barang/jasa. Keberadaan ULP dalam PTN PK BLU bersifat permanen. ULP dapat berdiri sendiri ataupun melekat pada organisasi yang sudah ada. Dalam PTN PK BLU, ULP dibentuk oleh pemimpin PTN yaitu Rektor. Panitia/Penerima hasil pengadaan merupakan panita yang yang ditetapkan oleh KPA (Rektor) untuk memeriksa dan menerima hasil pekerjaan. Tugas pokok Panitia/penerima hasil pengadaan barang/jasa adalah: a. Memeriksa hasil pekerjaan pengadaan barang/jasa sesuai dengan ketentuan kontrak yang dibuat dengan pihak penyedia barang jasa dan PPK; b. Menerima hasil pengadaan barang/jasa setelah melalui proses pemeriksaan; dan c. Membuat dan menandatangani Berita Acara Serah Terima Hasil Pekerjaan. 2.
Kewenangan dan Sumber Kewenangan Rektor dan PPK dalam Pengadaan Barang/Jasa PTN PK-BLU Untuk menentukan batasan tanggung jawab Rektor sebagai KPA atas kesalahan yang dilakukan oleh PPK dalam pengadaan barang/ jasa harus diketahui terlebih dahulu kewenangan dan sumber kewenangan dari kedua organ tersebut. Kewenangan dan sumber kewenangan inilah yang menjadi parameter tanggung jawab masing-masing organ dalam pengadaan barang/jasa. Kewenangan Rektor dalam pengadaan barang/jasa sebagaimana ditetapkan dalam Perpres 70/2012 yaitu KPA yang ditunjuk oleh PA yang dalam hal ini adalah Mendikbud sebagai pengguna APBN. Sumber kewenangan yang diperoleh Rektor sebagai KPA diperoleh melalui atribusi dengan jenis delegated legislator. Dalam hal ini, Presiden dengan berdasar 434
Tanggung Jawab Rektor Sebagai KPA Dalam Pengelolaan Keuangan PTN PK-BLU
UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menetapkan Perpres 70/2012. Pembentukan Perpres 70/2012 menciptakan wewenang-wewenang pemerintahan pada badan atau jabatan tata usaha negara tertentu yang dalam hal ini adalah Rektor sebagai KPA. Kedudukan Rektor sebagai KPA memiliki makna bahwa Rektor sebagai pemimpin PTN PK-BLU telah menerima kewenangan sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundangundangan untuk melakukan pengadaan barang/jasa. Rektor sebagai KPA memiliki peran yang sangat penting dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa di PTN PK-BLU. Dilihat dari segi kewenangan, maka Rektor memiliki kewenangan yang sangat besar dalam pengadaan barang/jasa. Salah satu dari kewenangan tersebut adalah menetapkan orang-orang untuk mengisi jabatan pada organ-organ lain dalam pengadaan barang/jasa. Organ-organ yang pengisian jabatannya ditunjuk ditetapkan oleh Rektor tersebut adalah PPK, ULP, dan Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan. Dengan demikian maka semua organ pengadaan barang/jasa yang ada di PTN PK-BLU ditetapkan oleh Rektor. Sebagai pejabat yang ditetapkan oleh Rektor, PPK memiliki kewenangan untuk membuat perjanjian dengan pihak ketiga yang dituangkan dalam kontrak. Secara yuridis kewenangan PPK yaitu, kewenangan pokok dan kewenangan lain. adapun kewenangan pokok PPK yaitu:159 a. Menetapkan rencana pelaksanaan pengadaan yang meliputi: spesifikasi barang/jasa, Harga Perkiraan Sendiri (HPS), dan rancangan kontrak. b. Menerbitkan surat penunjukkan Penyedia Barang/Jasa. c. Menyetujui bukti pembelian atau menandatangani kuitansi/Surat Perintah Kerja (SPK)/surat perjanjian. d. Melaksanakan kontrak dengan Penyedia Barang/Jasa. e. Mengendalikan pelaksanaan kontrak. f. Melaporkan pelaksanaan/penuelesaian Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA (Rektor). g. Menyerahkan hasil pengadaan barang/jasa kepada PA/KPA (Rektor) dengan Berita Acara Penyerahan. h. Melaporkan kemajuan penyerapan anggaran dan hambatan pelaksanaan pekerjaan kepada PA/KPA (Rektor) setiap triwulan. i. Menyimpan dan menjaga seluruh dokumen dokumen pelaksanaan pengadaan barang/jasa. 159
Pasal 11 ayat (1) Perpres 70/2012. 435
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Selain kewenangan pokok tersebut, PPK juga memiliki kewenangan lain, yaitu: a. Mengusulkan kepada PA/KPA (Rektor) perubahan paket kegiatan dan/atau perubahan jadwal kegiatan pengadaan. b. Menetapkan tim pendukung. c. Menetapkan tim atau tenaga ahli pemberi penjelasan teknis untuk membantu pelaksanaan tugas ULP. d. Menetapkan besaran uang muka yang akan dibayarkan kepada Penyedia Barang/Jasa. Dilihat dari sumber kewenangan maka kewenangan yang dimiliki oleh PPK sama dengan sumber kewenangan yang dimiliki oleh Rektor, yaitu atribusi jenis delegated legislator. Melihat sumber kewenangan kedua organ tersebut, maka Rektor dan PPK memperoleh kewenangan secara atribusi dengan jenis delegated legislastor. Kewenangan atribusi mengandung arti bahwa kedua organ tersbut mempeoleh kewenangan secara langsung dari Perpres 70/2012. Konsekuensinya baik Rektor maupun PPK bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan Perpres 70/2012. 3.
Hubungan Pertanggungjawaban antara Rektor dan PPK Prinsip pertanggungjawaban muncul karena adanya suatu tindakan yang mengakibatkan sesuatu yang harus diselesaikan. Dalam hal ini, suatu pejabat yang melakukan suatu tindakan atau suatu perbuatan yang sesuai dengan kewenangannya tentu harus dapat mempertanggungjawabkannya. Kewenangan yang dimiliki oleh Rektor dan PPK dalam pengadaan barang/jasa pada PTN dengan PK-BLU diperoleh secara atribusi dengan delegated legislator yaitu melalui Perpres 70/2012. Namun dalam Perpres 70/2012 tidak ditemukan ketentuan mengenai pertanggungjawaban Rektor bilamana terjadi kesalahan atas tindakan hukum yang dilakukan oleh PPK. Secara normatif, dalam Perpres 70/2012, PPK diwajibkan memberikan laporan pertanggungjawaban pengadaan barang/jasa kepada Rektor. Selain hak dan kewajiban sebagaimana ditetapkan Perpres 70/2012, dalam UU No. 1/2004 juga ditetapkan hak dan kewajiban bagi KPA, yang dalam hal ini dapat ditafisirkan Rektor dan Pejabat yang menandatangani dokumen yang menjadi dasar pengeluaran keuangan negara. Rektor sebagai KPA memiliki kewenangan:160 a. Menguji kebenaran material mengenai surat-surat bukti pihak penagih;
160
436
Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Tanggung Jawab Rektor Sebagai KPA Dalam Pengelolaan Keuangan PTN PK-BLU
b. Meneliti kebenaran dokumen yang menjadi persyaratan/ kelengkapan sehubungan dengan ikatan/perjanjian pengadaan barang/jasa; c. Meneliti tersedianya dana yang bersangkutan; d. Membebankan pengeluaran sesuai dengan mata anggaran pengeluaran yang bersangkutan; e. Memintakan pembayaran atas beban APBN/APBD. Sedangkan untuk PPK, jika dihubungkan dengan Pasal 18 ayat (3) UU No. 1/2004 maka pejabat PPK bertanggung jawab atas kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud. Dengan kata lain, apabila terdapat ketidakbenaran dalam surat bukti tersebut maka pejabat PPK wajib bertanggungjawab. Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan (3) UU 1/2004 , terdapat hubungan pertanggungjawaban antara Rektor sebagai KPA dan PPK. Pertama, PPK diwajibkan untuk memberikan laporan pertanggungjawaban kepada Rektor. Laporan pertanggungjawaban tersebut mengenai kewenangan PPK yaitu membuat Kontrak dengan Penyedia barang/jasa. Pejabat PPK bertanggung jawab atas kebenaran material Kontrak yang dibuat dengan Penyedia barang/jasa. Laporan pertanggungjawaban oleh PPK kepada Rektor tentu berisi/terkait dengan Kontrak. Rektor memiliki kewenangan untuk menguji kebenaran material atas laporan pertanggungjawaban yang dibuat oleh PPK sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 18 ayat (2) UU 1/2004. Jika terjadi kesalahan yang dilakukan oleh Pejabat PPK, Rektor dapat mengambil tindakan-tindakan administratif terhadap Pejabat PPK yang melakukan kesalahan sebagai wujud pengendalian internal yang dilakukan oleh Rektor. Tindakan administratif tersebut misalnya pemberhentian Pejabat PPK. Pertanggungjawaban yang terdapat pada Pejabat PPK bukan pertanggungjawaban yang bersifat organ, tetapi tanggung jawab yang bersifat personal yaitu per-pejabat. Melihat wewenang yang dimiliki oleh PPK maka surat bukti yang dimaksud Pasal 18 ayat (3) UU No. 1/2004 adalah Kontrak yang dibuat oleh PPK dengan Penyedia barang/jasa. Ketidakbenaran material atas surat bukti berupa Kontrak yang dibuat oleh pejabat PPK dengan Penyedia Barang/Jasa dapat diakibatkan karena tindakan melanggar hukum (onrechtmatige overheiddaad) atau kelalaian. Jika tindakan melanggar hukum atau kelalalian tersebut mengakibatkan kerugian negara mengakibatkan 437
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
konsekuensi hukum bagi pejabat PPK tersebut adalah sebagai berikut: a. Tuntutan ganti rugi Tuntutan ganti rugi terhadap tindakan melanggar hukum atau kelalaian yang dilakukan oleh pejabat PPK dalam pengadaan barang/jasa yang mengakibatkan kerugian keuangan negara dilakukan oleh Pimpinan lembaga yang dalam hal PTN dengan PK BLU Pimpinan tersebut adalah Rektor. Kerugian negara tersebut wajib dilaporkan kepada Menteri dan diberitahukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah kerugian negara tersebut diketahui. Pejabat PPK yang melakukan tindakan melanggar hukum atau kelalaian tersebut dimintakan surat pernyataan kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa Pejabat PPK tesebut bertanggung jawab dan bersedia mengganti kerugian negara tersebut. Jika surat keterangan tanggung jawab tersebut tidak mungkin diperoleh (pejabat PPK tidak bersedia membuatu surat pernyataan kesanggupan dan/atau pengakuan), maka Rektor segera mengeluarkan surat keputusan pembebanan penggantian kerugian sementara terhadap pejabat PPK tersebut. Jumlah kerugian negara tersebut ditetapkan oleh BPK. Kewajiban mengganti kerugian oleh pejabat PPK yang melakukan tindakan melanggar hukum atau lalai tersebut menjadi kedaluarsa jika dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diketahuinya kerugian tersebut atau dalam jangka watu 8 (delapan) tahun sejak terjadinya kerugian tersebut tidak dilakukan penuntutan ganti rugi. b. Sanksi administratif Selain tuntutan ganti rugi, pejabat PPK yang melakukan tindakan melanggar hukum atau kelalaian yang mengakibatkan kerugian negara juga dapat dikenakan sanksi administratif. Penjatuhan sanksi administratif tidak membebaskan pejabat PPK tersebut dari tuntutan ganti rugi. c. Sanksi pidana Selain tuntutan ganti rugi dan sanksi administratif, pejabat PPK yang melakukan tindakan melanggar hukum dan kelalaian dapat dijatuhi sanksi pidana. Ketentuan sanksi pidana pun tidak membebaskan pejabat PPK tersebut dari tuntutan ganti rugi.
438
Tanggung Jawab Rektor Sebagai KPA Dalam Pengelolaan Keuangan PTN PK-BLU
D. Analisis Terhadap Tanggung Jawab Rektor atas Kesalahan yang Dilakukan oleh Unit Layanan Pengadaan (ULP) dalam Pengadaan Barang dan Jasa PTN PK-BLU Berlakunya Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang juga menggantikan Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahannya mengubah sistem dalam proses penyelenggaraan pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah. Salah satu bentuk perubahan yang terjadi dari sebelumnya diatur oleh Keppres No. 80 Tahun 2003 ke Perpres No. 70 Tahun 2012 adalah salah satu organ yang juga berperan dalam proses pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah, yaitu Panitia Pengadaan yang kemudian berubah menjadi Unit Layanan Pengadaan (ULP). Berdasarkan ketentuan sebelumnya yaitu pada Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah bahwa istilah Panitia Pengadaan sebetulnya sudah disebutkan dalam Keppres No. 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah. Secara umum bahwa Panitia Pengadaan adalah kelompok yang memiliki tugas sebagai pelaksana proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Pengertian dalam Keppres No. 18 Tahun 2000 dan Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Panitia Pengadaan memiliki perbedaan walau pada dasarnya fungsi Panitia Pengadaan adalah sama. Munculnya Keppres No. 80 Tahun 2003 yang ditetapkan oleh Presiden pada tanggal 3 November 2003 secara otomatis menggantikan hal mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah yang sebelumnya diatur oleh Keppres No. 18 Tahun 2000 dan pada saat itu peran tugas Panitia Pengadaan diatur lebih rinci. Sebagai contoh pada Pasal 10 ayat (1) ditentukan bahwa panitia pengadaan wajib dibentuk jika pengadaan dalam hal nominal berjumlah di atas Rp. 50.000.000,- sedangkan pada Keppres No. 18 Tahun 2000 hanya menyebutkan tugas dan wewenang secara umum, tidak dirinci seperti halnya ketentuan pada Keppres No. 80 Tahun 2003. Peran Panitia Pengadaan yang diatur semenjak terbitnya Keppres No. 18 Tahun 2000 hingga ditetapkannya Keppres No. 80 Tahun 2003 untuk melaksanakan proses pengadaan diganti oleh organ yang bersifat permanen pada satu institusi yang khusus untuk melaksanakan proses pengadaan barang/jasa pemerintah, yaitu Unit Layanan Pengadaan (ULP). Pembentukan ULP didasarkan pada perubahan terhadap Keppres No. 80 Tahun 2003 yaitu melalui Perpres No. 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat atas Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman 439
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pada saat itu tugas dalam melaksanakan pengadaan barang/jasa masih belum sepenuhnya dilakukan oleh ULP, melainkan pada beberapa hal masih dapat dilakukan oleh Panitia Pengadaan barang/jasa. Tugas dan wewenang ULP dalam proses pengadaan barang/jasa baru dapat dilakukan secara penuh ketika berlakunya Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang menggantikan Keppres No. 80 Tahun 2003 beserta perubahannya. Dalam hal ini ULP merupakan salah satu organ yang bersifat permanen yang khusus untuk melaksanakan proses pengadaan barang/jasa pemerintah di setiap institusi yang berada dalam lingkungan pemerintah dan menerima anggaran negara. Perubahan yang dilakukan dengen menetapkan Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sedikit mengubah ketentuan yang mengatur tentang ULP. Pembentukan ULP sendiri pada institusi di bawah naungan pemerintah dibentuk selambat-lambatnya pada tahun 2014.161 Organ ULP merupakan organ yang dibentuk pertama kali pada Perpres No. 8 Tahun 2006 hingga kemudian disempurnakan pada Perpres No. 70 Tahun 2012. ULP adalah salah satu organ di lingkungan insitusi pemerintah yang menurut ketentuannya merupakan organ yang memiliki tugas untuk melakukan proses pengadaan terutama dalam pemilihan penyedia barang/jasa. Pejabat yang duduk untuk melaksanakan proses pengadaan di ULP dalam PTN-BLU ditunjuk oleh Rektor sebagai KPA. Secara yuridis, ULP memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut:162 a. menyusun rencana pemilihan Penyedia Barang/Jasa; b. menetapkan Dokumen Pengadaan; c. menetapkan besaran nominal Jaminan Penawaran; d. mengumumkan pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa di website Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi masing-masing dan papan pengumuman resmi untuk masyarakat serta menyampaikan ke LPSE untuk diumumkan dalam Portal Pengadaan Nasional; e. menilai kualifikasi Penyedia Barang/Jasa melalui prakualifikasi atau pascakualifikasi; f. melakukan evaluasi administrasi, teknis dan harga terhadap penawaran yang masuk; g. khusus untuk Kelompok Kerja ULP: 1) menjawab sanggahan; 2) menetapkan Penyedia Barang/Jasa untuk: 161 162
440
Pasal 130 ayat (1) Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012. Pasal 17 ayat (2) Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012.
Tanggung Jawab Rektor Sebagai KPA Dalam Pengelolaan Keuangan PTN PK-BLU
h.
i.
a) Pelelangan atau Penunjukan Langsung untuk paket Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); atau b) Seleksi atau Penunjukan Langsung untuk paket Pengadaan Jasa Konsultansi yang bernilai paling tinggi Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah); 3) menyampaikan hasil Pemilihan dan salinan Dokumen Pemilihan Penyedia Barang/Jasa kepada PPK; 4) menyimpan dokumen asli pemilihan Penyedia Barang/Jasa; 5) membuat laporan mengenai proses Pengadaan kepada Kepala ULP. khusus Pejabat Pengadaan: 1) menetapkan Penyedia Barang/Jasa untuk: a) Pengadaan Langsung untuk paket Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); dan/atau b) Pengadaan Langsung untuk paket Pengadaan Jasa Konsultansi yang bernilai paling tinggi Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); 2) menyampaikan hasil Pemilihan dan salinan Dokumen Pemilihan Penyedia Barang/Jasa kepada PPK; 3) menyerahkan dokumen asli pemilihan Penyedia Barang/Jasa kepada PA/KPA; dan 4) membuat laporan mengenai proses Pengadaan Pengadaan kepada PA/KPA. memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kegiatan Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA.
Selain tugas dan wewenang ULP, sebagai organ permanen maka ULP memiliki pimpinan yang disebut sebagai kepala. Dalam hal ini tugas dan wewenang kepala ULP adalah sebagai berikut:163 a. memimpin dan mengoordinasikan seluruh kegiatan ULP; b. menyusun program kerja dan anggaran ULP; c. mengawasi seluruh kegiatan pengadaan barang/jasa di ULP dan melaporkan apabila ada penyimpangan dan/atau indikasi penyimpangan;
163
Pasal 17 ayat (2a) Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012. 441
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
d.
ISSN : 2303-3274
membuat laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kegiatan Pengadaan Barang/Jasa kepada Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan Institusi; e. melaksanakan pengembangan dan pembinaan Sumber Daya Manusia ULP; f. menugaskan/menempatkan/memindahkan anggota Kelompok Kerja sesuai dengan beban kerja masing-masing Kelompok Kerja ULP; dan g. mengusulkan pemberhentian anggota Kelompok Kerja yang ditugaskan di ULP kepada PA/KPA/Kepala Daerah, apabila terbukti melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan dan/atau KKN. Selain tugas pokok dan kewewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam hal diperlukan Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan dapat mengusulkan kepada PPK:164 a. perubahan HPS; dan/atau b. perubahan spesifikasi teknis pekerjaan. Sama seperti kewenangan yang dimiliki oleh PPK dan Rektor, bahwa kewenangan yang dimiliki oleh ULP dilihat dari sumber kewenangan maka kewenangan tersebut disebut atribusi jenis delegated legislator. Oleh karena itu sebagai konsekuensi, ULP sama halnya seperti PPK dan Rektor bertanggung jawab berdasakan Perpres No. 70 Tahun 2012. Rektor yang bertindak sebagai KPA memiliki kewenangan yang ditetapkan oleh Perpres No. 70 Tahun 2012 dan begitupun dengan ULP sebagai organ yang melaksanakan proses pengadaan barang/jasa juga diatur oleh Perpres No. 70 Tahun 2012. Pada persoalan mengenai pertanggungjawaban Rektor sebagai KPA jika terjadi keasalahan yang dilakukan oleh ULP, pada Perpres No. 70 Tahun 2012 ternyata tidak ditemukan mekanisme pertanggungjawaban tersebut atau bahkan menyinggung perihal tentang pertanggungjawaban, sehingga hal ini menimbulkan permasalahan bagaimana sebetulnya batas tanggung jawab Rektor tersebut. Satu ketentuan yang mengarah pada persoalan pertanggungjawaban diatur pada Pasal 17 ayat (2) huruf i yang berbunyi ―memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kegiatan Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA‖ sedangkan untuk pembuatan laporan pertanggungjawaban dilakukan oleh kepala ULP yang diatur pada Pasal 17 ayat (2a) huruf d, akan tetapi setelah itu tidak ada pengaturan lebih lanjut mengenai tanggung jawab pihak yang membuat kesalahan, baik dari Rektor sebagai KPA maupun ULP sebagai organ yang melaksanakan pengadaan barang/jasa.
164
442
Pasal 17 ayat (3) Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012.
Tanggung Jawab Rektor Sebagai KPA Dalam Pengelolaan Keuangan PTN PK-BLU
Jika dalam ketentuan pada Perpres No. 70 Tahun 2012 tidak mengatur mengenai hubungan pertanggungjawaban antara ULP dan Rektor maka harus dilakukan pengkajian pada ketentuan peraturan perundangundangan lain yang menyangkut masalah pertanggungjawaban baik secara institusional maupun secara personal, dilihat dari bentuk kesalahannya. ULP sebagai organ yang di dalamnya terdapat orang-orang yang terlibat dalam proses pengadaan barang dan jasa dengan kata lain sebetulnya memiliki tanggung jawab dalam kegiatan pengadaan tersebut. Dalam hal ini tentu ada suatu hal yang kemungkinan terjadi pada proses pengadaan barang/jasa untuk keperluan institusi tersebut, bisa merupakan kelalaian atau bahkan tindakan melanggar hukum. Kedua sebab tersebut tentu dapat mengakibatkan suatu hal yaitu kerugian negara dikarenakan penggunaan keuangan negara yang tidak sesuai dengan peruntukannya atau penyelewengan anggaran untuk kepentingan pribadi. Ketentuan yang terdapat pada Pasal 18 ayat (2) UU 1/2004 memberikan KPA wewenang untuk menandakan adanya kontrol yang dilakukan oleh KPA terhadap organ-organ yang terlibat dalam pengadaan barang/jasa, hal itu dapat dilihat dari ketentuan pada ayat-ayat yang teradapat dalam pasal tersebut. Ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan (3) pada Undang-Undang ini juga menunjukkan adanya hubungan pertanggungjawaban antara KPA dan organ-organ yang terlibat dalam pengadaan barang/jasa, salah satunya ULP sebagai organ pelaksana pengadaan barang/jasa. Sesuai ketentuan pada Pasal 17 ayat (2) Perpres 70/2012, pada proses pelaksanaan pengadaan barang/jasa oleh ULP dilakukan oleh Kelompok Kerja dan juga dilakukan oleh Pejabat Pengadaan. Kelompok Kerja memiliki tugas untuk menetapkan Pelelangan atau Penunjukan Langsung untuk paket Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi, Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dan Seleksi atau Penunjukan Langsung untuk paket Pengadaan Jasa Konsultansi yang bernilai paling tinggi Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), serta membuat laporan mengenai proses Pengadaan kepada Kepala ULP, sedangkan Pejabat Pengadaan memiliki tugas untuk menetapkan Pengadaan Langsung untuk paket Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan Pengadaan Langsung untuk paket Pengadaan Jasa Konsultansi yang bernilai paling tinggi Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), serta membuat laporan mengenai proses Pengadaan Pengadaan kepada PA/KPA. Untuk pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang dilakukan oleh Kelompok Kerja ULP, pembuatan laporan mengenai proses pengadaan seperti yang tercantum pada ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf g angka 5, 443
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
laporan tersebut diserahkan kepada Kepala ULP. Berbeda dengan Pejabat Pengadaan yang ketentuannya tercantum pada Pasal 17 ayat (2) huruf h angka 4 bahwa laporan proses pengadaan langsung kepada PA/KPA. Dalam hal pembuatan laporan pertanggungjawaban atas seluruh kegiatan pada proses pengadaan barang/jasa yang dilakukan oleh ULP, pembuatan tersebut dilakukan oleh Kepala ULP dan kemudian diserahkan kepada PA/KPA atas nama ULP sebagai organ yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pengadaan. Jika bentuknya adalah kesalahan pada proses pengadaan barang/jasa oleh pejabat ULP maka pejabat tersebut harus bertanggung jawab atas kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud.165 Hal ini mempertegas bahwa jika terjadi ketidakbenaran pada surat bukti tersebut apapun bentuknya maka pejabat ULP harus mempertanggungjawabkan tindakannya karena akibat yang timbul dari tindakannya tersebut membuat kerugian negara, sehingga dalam tersebut pejabat ULP bertanggung jawab secara personal dan bukan secara institusional atau bersifat organ. Melihat konteks pasal 18 ayat (3) UU No. 1 Tahun 2004 maka surat bukti atau dokumen yang dimaksud adalah: 1. Ketidakbenaran isi penilaian kualifikasi penyedia barang/jasa melalui prakualifikasi dan pascakualifikasi sehingga hal tersebut mengakibatkan kerugian negara; 2. Adanya mark up yang dilakukan oleh pejabat ULP saat proses pengadaan barang/jasa. Sebagai KPA pada proses Pengadaan Barang/Jasa di PTN PK-BLU, Rektor memiliki kewenangan untuk meneliti dan menguji kebenaran isi atau material terhadap laporan pertanggungjawaban yang dibuat oleh ULP sesuai dengan ketentuan yang tercantum pada Pasal 18 ayat (2) UU 1/2004. Jika Rektor menemukan adanya kesalahan pada proses pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang dilakukan oleh ULP maka Rektor sebagai KPA dapat melakukan tindakan administratif terhadap pejabat di ULP. Hal tersebut sebagai bentuk pengawasan dan pengendalian internal. Ketidakbenaran secara material karena kedua hal tersebut yang dapat disebabkan karena tindakan melanggar hukum atau kelalaian, jika merugikan keuangan negara, maka konsekuensi secara hukum bagi pejabat ULP akan ditindak sesuai dengan ketentuan yang berlaku yaitu: 1. Tuntutan Ganti Rugi sesuai dengan ketentuan Pasal 59 – 60 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
165
444
Pasal 18 ayat (3) UU No. 1 Tahun 2004
Tanggung Jawab Rektor Sebagai KPA Dalam Pengelolaan Keuangan PTN PK-BLU
2.
3.
Sanksi Secara Administratif sesuai dengan prosedur yang berlaku dan sanksi tersebut tidak membebaskan pejabat tersebut dari tuntutan ganti rugi; dan Penjatuhan Sanksi Pidana terhadap pejabat ULP yang melakukan tindakan melanggar hukum atau kelalaian yang juga tidak melepaskannya dari tuntutan ganti rugi;
D. Kesimpulan Dan Saran Kesimpulan 1. Secara normatif, berkaitan dengan pengelolaan keuangan dan perbendaharaan negara, Rektor berkedudukan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran, salah satu wewenangnya adalah menguji kebenaran material surat-surat bukti mengenai hak pihak penagih, sedangkan dalam PTN PK BLU Rektor sebagai pemimpin PTN PK-BLU berfungsi sebagai penanggung jawab umum operasional dan keuangan PTN PK-BLU. Dengan demikian, sebagai KPA bertanggungjawab untuk melaksanakan pengendalian intern atas pelaksanaan kewajiban yang dilakukan oleh PPK. Jika terjadi pelanggaran hukum atau kelalaian yang dilakukan oleh pejabat PPK yan mengakibatkan kerugian negara, seharusnya KPA yang pertama mengetahuinya dan harus memberikan sanksi kepada pejabat PPK tersebut, misalnya dengan melakukan teguran atau peringatan. Secara normatif, PPK sebagai pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran bertanggung jawab atas kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud, karena itu pejabat PPK yang melanggar hukum atau lalai, sehingga menimbulkan kerugian pada keuangan negara, memang bertanggungjawab secara pribada atas perbuatannya tersebut. 2. Rektor sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa memiliki wewenang untuk meneliti kebenaran dokumen yang menjadi persyaratan/kelengkapan sehubungan dengan ikatan/perjanjian pengadaan barang/jasa, sehingga jika terjadi kelalaian atau tindakan melanggar hukum yang dilakukan oleh pejabat ULP, KPA berwenang untuk memberikan sanksi administratif, berupa teguran atau peringatan kepada pejabat ULP. Jika pihak pejabat ULP tidak mengindahkan teguran atau peringatan tersebut, atas kerugian negara yang disebabkan oleh kelalaian atau tindakan melanggar hukum pihak pejabat ULP adalah menjadi tanggung jawab pihak tersebut.
445
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Saran Rektor sebagai KPA memiliki kewenangan untuk menunjuk Pejabat PPK. Oleh karena itu, penunjukkan pejabat PPK harus senantiasa berdasarkan atas profesionalisme, sehingga pengadaan barang dan jasa dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. KPA harus membuat sistem pengendalian internal dalam pengadaan barang/jasa sebagai wujud tanggung jawab KPA dalam pengadaan barang/jasa. 2. Terjadinya kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh kesalahan yang dilakukan pada proses pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dapat diakibatkan karena adanya kelalaian atau tindakan melanggar hukum yang dilakukan oleh ULP/Pejabat Pengadaan. Dalam hal ini sebagai KPA pada PTN PK-BLU, Rektor wajib serta harus melakukan pengawasan atau kontrol sebagai wujud pengendalian internal pada proses pengadaan barang dan jasa. Peran aktif KPA dalam mengawasi kinerja ULP/Pejabat Pengadaan sebagai organ yang melaksanakan kegiatan pengadaan barang dan jasa sangat diperlukan untuk mencegah dan meminimalisasi terjadinya kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh kesalahan yang dilakukan oleh ULP/Pejabat Pengadaan. Bentuk kontrol atau pengawasan secara preventif hingga pemberian sanksi terhadap pejabat yang menyebabkan kerugian negara akibat karena kesalahan adalah sebagai wujud pengendalian internal dapat dilakukan oleh KPA. 1.
DAFTAR PUSTAKA Muhammad Djafar Saidi, Hukum Keuangan Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008. Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Rajawaali Pers, Jakarta, 2010. Philipus M. Hadjon (et.al), Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cetakan Kesembilan (Introduction to the Indonesian Administrative Law), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2005. Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Cetakan Kesepuluh, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994. E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cetakan Keempat, Alumni, Bandung, 1965. Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Sinar Harapan, Jakarta, 1993. F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, Inleiding in het Staats-en Administratief Recht, Samsom H.D. Tjeen Willink, Alphen aan den Raijn, 1985.
446
Tanggung Jawab Rektor Sebagai KPA Dalam Pengelolaan Keuangan PTN PK-BLU
Adrian Sutedi, Hukum Keuangan Negara, Jakarta, Sinar Grafika, 2010. Adrian Sutedi, S.H., M.H., Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa: Dan Berbagai Permasalahannya, Sinar Grafika, 2008. Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 66 tahun 2010 Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Barang/Jasa Pemerintah dan Perubahannya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah jo Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kantor Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara, Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, diunduh melalui http://www.kanwildjpbnsultra.org, 10 Agustus 2012.
447
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
448
ISSN : 2303-3274
PENEGAKAN HUKUM YANG BERKEADILAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HERMENEUTIKA HUKUM (Suatu Solusi Terhadap Problematika Penegakan Hukum Di Indonesia)
Agus Budi Susilo Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung
[email protected] Abstrak Esensi penegakan hukum adalah keadilan. Keadilan itu sendiri mempunyai berbagai macam makna, tergantung dari perspektifnya. Di negara manapun sering timbul berbagai masalah, terkait penegakan keadilan di ranah hukum. Konsep keadilan yang sudah mapan di suatu negara belum tentu baik apabila di terapkan untuk negara lain. Meskipun demikian, dimungkinkan adanya saling pengaruh mempengaruhi atau bersifat integrasi antara pemikiran satu dengan yang lainnya mengenai makna keadilan, terutama yang mempunyai sifat universal. Pada tataran filosofis, tentu masing-masing negara mempunyai akar pemikiran tersendiri, tergantung dari norma dasar negara dan kehidupan sosial-budaya bangsanya. Untuk mengurai lebih lanjut mengenai makna keadilan dari sudut pandang filsafat, sarana yang tepat digunakan adalah hermeneutik. Penelusuran keadilan dalam perspektif hermeneutik dalam rangka penegakan hukum seyogyanya dibingkai juga dengan perspektif ilmu hukum, agar diperoleh titik temu dan lebih mudah dalam pengimplementasiannya. Kata kunci : Keadilan, Hermeneutik, Ilmu Hukum dan Penegakan Hukum. Abstract The essence of the rule of law is justice. Justice has many meanings, depending on the perspective. Every country often arise various problems, related to the administration of justice in the realm of law. The concept of justice that have been established in a country is not necessarily better when applied to other countries. However, it is possible to mutual influenced or be integrated between each other thinking about the meaning of justice, particularly those having a universal nature. At the philosophical level, each country has own thoughts of the roots, depending on the basic norms and socio-cultural life of the nation. Thus, about the meaning of justice from the view of philosophy, the proper tools are used is hermeneutic. Search justice in the perspective of hermeneutics in the context of law enforcement should also be framed by the perspective of jurisprudence, in order to obtain the intersection and its implementation easier. Keywords: Justice, Hermeneutics, Legal Studies and Law Enforcement.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
A. Pendahuluan Sebagaimana sudah diketahui secara umum bahwa negara Indonesia sedang dilanda berbagai masalah hukum, ekonomi, sosial, dan politik. Bukan hanya ilmuwan berbagai perguruan tinggi saja yang sedang gelisah menghadapi multiproblem yang sedang menimpa negara ini, bahkan sebagian aparatur pemerintahan baik yang berada di lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan rakyat Indonesia pun turut gelisah dengan keadaan tersebut. Sudah sering diadakan diskusi, penelitian, dan penelaahan mengenai masalah-masalah tersebut, dari sudut pandang keilmuan yang berbeda, akan tetapi tidak menghasilkan solusi apapun. Setelah di selidiki secara seksama dalam perspektif global ternyata permasalahan itu tidak hanya terjadi di Indonesia saja, bahkan di negara maju pun seperti Amerika Serikat sedang menghadapi masalah multidimensi yang di tandai dengan adanya tsunami ekonomi yang menghancurkan pondasi-pondasi sistem moneter di negara adi daya itu pada tahun 2008 hingga saat ini (termasuk juga beberapa negara di Eropa). Fenomena ini, ada kesamaan dengan apa yang dinyatakan oleh Fritjof Capra yaitu di awal dua dasawarsa terakhir abad kedua puluh, akan ada krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks dan multidimensional yang segiseginya menyentuh setiap aspek kehidupan. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spiritual; suatu krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia (Fritjof Capra, 1982 : 1). Berbagai krisis multidimensi diberbagai negara, dari kaca mata ilmu hukum, tentu ada suatu sistem yang salah, salah satunya masalah sistem hukum yang ada, yaitu tidak terimplementasikannya nilai-nilai keadilan yang di dalamnya terdapat unsur moralitas dan ini berlaku secara universal. Misalnya terjadinya krisis di Amerika Serikat, salah satunya terkait akibat dari tidak diterapkannya pelaksanaan nilai keadilan dan moralitas terhadap penyelesaian masalah di Timur Tengah dan beberapa negara Afrika (dana pemerintah habis hanya untuk berperang, bahkan konsep berperangya pun jauh dari prinsip equity, humanity dan ethics). Begitupun permasalahan hukum yang terjadi di Indonesia, sudah mencapai titik nadir. Hal ini ditandai dengan sudah tidak percayanya rakyat terhadap realisasi hukum positif di Indonesia, terutama dalam penegakan hukum positif itu sendiri. Khusus untuk Indonesia, penegakan hukum positif dapat berwibawa dihadapan rakyat dan kalangan internasional apabila keadilan dapat berfungsi dan selalu ―hidup‖ di dalam ―raga‖ hukum. Tanpa menegakan keadilan dalam hukum, akan menimbulkan penyimpangan dan penyalahgunaan siapapun yang memegang kekuasaan atau kewenangan, yang nantinya berdampak buruk bagi tatanan sosial di masyarakat, sehingga muncul krisis sosial secara regional bahkan dapat berimplikasi secara internasional. Dalam peta pemikiran mengenai keadilan dan hukum, seyogyanya kita belajar dari para filusuf (mengambil yang baik dan meninggalkan yang buruk), dengan menelusuri sejarah perkembangannya yang dimulai dari zaman peradaban yunani, dilanjutkan pada zaman romawi, pada abad pertengahan aüfklarung dan zaman modern yang di juluki era informasi - teknologi, hingga saat ini yang mulai 450
Penegakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika Hukum
muncul paham postmodern. Postmodern disini, merupakan kritik filosofis atas gambaran dunia (world view), epistemologi dan ideologi-ideologi modern (I. Bambang Sugiharto, 1996 : 24). Dalam memaknai keadilan dan hukum atau hubungan keduanya, tentu satu sama lain ada perbedaan pendekatan dan metodiknya serta karakteristiknya. Berangkat dari pemikiran-pemikiran para filusuf tersebut, akan diperoleh kesimpulan yang melandasi arti keadilan dan hukum itu sendiri, terlepas ada sisi positif dan negatifnya. Hasil pemikiran mengenai keadilan dan hukum, dari masing-masing filusuf dalam penggunaannya bisa ada yang sesuai diterapkan di suatu negara atau juga tidak sesuai di lain negara, karena itu tergantung dengan strata atau tatanan sosial, budaya, dan kelangsungan hidup suatu masyarakat yang mempunyai nilai kearifan regional / lokal yang berbeda satu dengan lainnya. Oleh karenanya, ketika akan mengadopsi hasil pemikiran dunia barat tersebut harus benar-benar disaring apakah akan terjadi kontradiksi atau tidak dengan filosofi dasar negara maupun hukum asli bangsa kita. Intisari yang dapat diambil dalam sejarah pemikiran dunia barat, pada dasarnya berkisar pada tataran individualisme, kolektivisme, liberalisme dan hanya sedikit yang mengagungkan humanisme maupun nilai-nilai religius. Teori-teori yang dimunculkan itu dari sudut pandang asas tentu berbeda dengan pemikiran yang berada di dunia timur, seperti Indonesia. Sehingga menjadi suatu hal yang menarik apabila dikaji lebih lanjut, mengenai filsafat yang tepat untuk Indonesia dalam memberi ―makna‖ atau ―ruh‖ mengenai konsep keadilan dan hukum. Celakanya, penerapan pemikiran barat yang ada dan digunakan mayoritas kaum yuris di Indonesia adalah yang tidak pas untuk diterapkan negara Indonesia sehingga menimbulkan ―chaos‖ di bidang hukum, ini semua akibat ulah beberapa pemikir (ilmuwan hukum) dan pengguna hukum (praktisi hukum) di Indonesia. Chaos disini ditandai dengan ketidakstabilan serta keteracakan (randomness) proses hukum dalam berbagai dimensinya. Chaos yang penulis maksud disini adalah chaos yang bersifat negatif, karena chaos ada juga yang bersifat positif. Bahkan dimungkinkannya merubah negative chaos menjadi positive chaos (Sudjito, 2006 : 168 dan 172). Ada beberapa yang beranggapan, ini semua merupakan produk gagal pendidikan hukum beberapa akademisi terdahulu yang mencetak beberapa pemikir sebagai generasi penerus (kader-kadernya) dan para penegak hukum (advokat, polisi, jaksa, dan hakim) yang dari hari ke hari tidak sadar telah berprinsip ―mengkerdilkan‖ hukum, dengan dalih-dalih positivistiknya tentang hukum, sehingga hukum pun menjadi kehilangan eksistensinya (Satjipto Rahadjo, 2009 : 32-33, dan 37). Muncul aliran baru (non-doktrinal) yang selalu gelisah terhadap rusaknya hukum di Indonesia, yaitu menawarkan suatu pemahaman hukum secara holistik dan komprehensif keilmuan. Hukum tidak bisa ―kesepian‖ karena menyendiri, hukum harus juga ―bersosialisasi‖ dan ―bergandeng tangan‖ dengan ilmu-ilmu lainnya. Akan tetapi paham ini, selalu mendapat tentangan dari paham konservatif 451
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
yang menyatakan hukum itu harus tetap murni sebagaimana mestinya supaya tidak kehilangan jati dirinya (doktrinal). Benturan antara kedua paham (doktrinal atau positivisme dengan nondoktrinal atau empirisme) itu tetap terjadi hingga saat ini, dengan konsepnya masing-masing terus berjalan tetapi belum ada titik temu. Perlu ada suatu konsep tertentu yang agar mudah di pahami dan di terima para kaum legisme, supaya menerima paham yang jauh lebih baik dan bisa memberikan solusi terhadap kekacauan hukum saat ini. Konsep yang bisa diterima oleh kedua paham tersebut, tentu konsep yang memberikan ―makna‖ yang gamblang mengenai ―keadilan‖ yang cocok untuk penegakan hukum di Indonesia. Dalam khasanah filsafat, untuk menelusuri mengenai makna keadilan yang kompatibel bagi hukum indonsia, alur pikir yang digunakan adalah filsafat hermeneutik. Filsafat hermeneutik ini, merupakan aliran filsafat kontemporer yang berpola penafsiran. Pentingnya filsafat ini digunakan dalam membedah makna keadilan sebagai sebuah solusi dalam penegakan hukum di Indonesia dikarenakan hermeneutik konsekuen terikat pada dua hal kajian, yakni memastikan isi dan makna sebuah kata, kalimat, teks, dsb, dan menemukan instruksi-instruksi yang terdapat di dalam bentuk-bentuk simbolis (Josef Bleicher, 2007 : 5). Uraian singkat diatas, menjadikan penulis ―prihatin‖ dengan benturan dua konsep (doktrinal dan non-doktrinal) tersebut, bahkan ada pihak yang sengaja membentur-benturkan sehingga terjadi kegoncangan sangat dahsyat yang implikasinya berdampak negatif terhadap penegakan hukum di Indonesia (misalnya: kriminalisasi maupun politisasi terhadap pimpinan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) oleh para politisi dan penegak hukum lainnya, sehingga terjadi benturan pandangan dalam memahami dua paham tadi). Ironi yang terjadi dan menjadi pihak dalam ―benturan‖ tersebut, adalah stake holder bidang hukum di Indonesia (selain politisi di bidang hukum dan para penegak hukum, juga melibatkan para ilmuwan hukum). Dengan keprihatinan tersebut, penulis mencoba untuk berkontribusi meskipun hanya barupa sedikit pemikiran, semoga nantinya bisa bermanfaat, yaitu untuk menganalisa secara filosofis-yuridis permasalahan sebagai berikut : dari perspektif filsafat hermeneutik, faktor-faktor apakah yang menyebabkan keadilan sulit untuk di tegakkan di negara Indonesia ? Bagaimana filsafat hermeneutik memberi solusi yang terbaik untuk menjawab permasalahan tersebut terutama bagi para penegak hukum di Indonesia ?. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis tidak melakukan secara deep research (penelitian yang mendalam), sehingga dalam mengeksplorasi dan mengeksploitasi bahan penulisan hanya berupa menggunakan pendekatan pemikiran-pemikiran para ahli filsafat dan hukum, khususnya ditinjau dari aspek hermeneutik. Pendekatan yang digunakan pun menggunakan deskriptif-analitis secara sederhana dengan menelusuri bahan-bahan tertulis yang ada (literature).
452
Penegakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika Hukum
B.
Pengertian Keadilan dalam perspektif Filsafat Hermeneutik dan Filsafat Ilmu Hukum Arti secara terminologi dari filsafat adalah suka pada kebijaksanaan atau teman kebijaksanaan, yang asal katanya dari bahasa arab ―filsafah‖ yang berasal dari bahasa yunani ―philosophia‖. Philos berarti suka atau cinta, dan sophia berarti kebijaksanaan. Sedangkan arti secara praktisnya filsafat berarti alam-berfikir atau alam-fikiran, jadi berfilsafat ialah berfikir secara mendalam dan dengan sungguhsungguh (H.Hasbullah Bakry, 1981 : 7). Dalam filsafat, ada cabang filsafat yang membahas mendalam mengenai makna, yakni hermeneutika. Pengertian hermeneutika secara etimologis adalah menafsirkan, ini merupakan kata yang berasal dari bahasa yunani yaitu hermeneuein. Jadi, kata bendanya adalah hermeneia yang secara harfiah artinya ―penafsiran‖ atau ―interpretasi‖. Sedangkan dalam batasan umum, hermeneutika adalah suatu proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti (E. Sumaryono, 1999 : 23-24). Hermeneutika mempunyai dasar lingkaran berupa kesatuan titik-titik acu (roh) yang menyebabkan sesuatu menjadi bermakna. Disini, hermeneutika bertugas (meminjam istilah Ast) yang dirumuskan dalam tiga bentuk pemahaman, yaitu pemahaman materi yang diperbincangkan di dalam keadilan hukum, pemahaman bahasa keadilan hukum, dan pemahaman roh keadilan hukum, yaitu berupa pemahaman roh zaman dan pandangan semesta dari para pembuat dan pelaksana hukum yang saling berinteraksi serta saling menerangi satu sama lain (W. Poespoprodjo, 2004 : 21). Dengan demikian filsafat hermeneutik, merupakan filsafat yang menelusuri tentang suatu ―makna‖ dengan menggunakan metode penafsiran apa yang ada di dalam suatu ―kata‖ atau ―teks‖ itu, yaitu menyingkap tabir di dalamnya. Misalnya penelusuran makna keadilan dalam konteks keIndonesiaan, apabila menggunakan filsafat hermeneutik, tentu akan menyingkap baik dari segi linguistiknya maupun kontekstualitasnya. Salah satu pemikiran filsafat hermeneutik yang sering menjadi rujukan dalam bidang penegakan hukum adalah pemikiran dari Francis Lieber. Lieber menafsirkan ―hermeneutik‖ secara umum, yaitu menganggap cabang ilmu pengetahuan ini membahas prinsip-prinsip dan aturan interpretasi dan konstruksi. Menurutnya secara etimologis pengertian hermeneutik yang berarti menjalankan interpretasi ini berbeda dengan ―eksegesis‖ yang berarti penjelasan. Jadi hermeneutika dibandingkan eksegesis ibarat teori dibandingkan dengan praktik, karena penafsiran pada umumnya meliputi segala cabang (ilmu pengetahuan) dimana kita terhubung secara cermat dengan makna kata-kata dan mengatur tindakan sesuai dengan semangat dan kandungannya yang sebenarnya (Gregory Leyh, 2008 : 127). Prinsip-prinsip interpretasi dalam hermeneutika, menurut Lieber sebagai berikut : 1. Suatu kalimat, atau bentuk kata-kata, hanya bisa memiliki satu makna yang benar.
453
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
2. Tidak ada intepretasi yang sehat kecuali dengan adanya keyakinan yang baik dan akal sehat. 3. Dengan demikian, kata-kata harus dipahami sebagaimana yang mungkin dimaksudkan oleh penutur. 4. Apa yang bersifat khusus dan lebih rendah tidak bisa mengalahkan apa yang bersifat umum dan lebih tinggi. 5. Perkecualian (terhadap nomor 4) didasarkan pada apa yang lebih tinggi. 6. Apa yang bersifat mungkin, sedang, dan lazim, lebih diutamakan daripada apa yang tidak mungkin, tidak sedang, dan tidak lazim. 7. Kita mengikuti aturan-aturan khusus yang diberikan oleh otoritas yang tepat. 8. Kita berupaya mendapatkan bantuan dari apa yang lebih dekat, sebelum mengarah pada apa yang kurang dekat. 9. Interpretasi bukan tujuan melainkan merupakan sarana, dengan demikian kondisi-kondisi yang lebih tinggi dimungkinkan keberadaannya (Gregory Leyh, 2008 : 142). Selain merinci prinsip-prinsip interpretasi sebagai unsur hermeneutik, Lieber pun memerinci prinsip-prinsip konstruksi dalam hermeneutik sebagai berikut : 1. Semua prinsip interpretasi, jika memang bisa diterapkan pada konstruksi adalah hal yang sah pula bagi yang tersebut kedua. 2. Petunjuk utama bagi konstruksi adalah analogi, atau lebih tepatnya penalaran melalui paralelisme. 3. Tujuan dan maksud suatu instrumen, hukum, dst., bersifat esensial jika memang diketahui secara tersendiri, dalam upaya penafsirannya. 4. Begitu juga hal itu bisa terjadi pada kausalitas hukum. 5. Tidak ada teks mengenai pembebanan kewajiban yang menuntut hal-hal yang mustahil dilakukan. 6. Hak-hak istimewa atau pengutamaan harus ditafsirkan sedemikian rupa sehingga tidak merugikan bagi mereka yang tidak memiliki hak istimewa atau yang tidak diutamakan itu. 7. Semakin besar peran serta teks dalam suatu kesepakatan yang tertata dan resmi, maka semakin cermat pula seharusnya konstruksinya. 8. Suatu teks yang menekankan pelaksanaan mengekspresikan segi-segi yang bersifat minimum, jika pelaksanaan tersebut membebani si pelaksana, dan maksimum jika hal itu melibatkan pembebanan atau penderitaan di pihak lain. 9. Konstruksi harus sesuai dengan substansi dan semangat umum teks. 10. Efek-efek yang berasal dari konstruksi tertentu bisa menuntun kita untuk memutuskan konstruksi mana yang perlu kita ambil. 11. Semakin tua sebuah hukum atau teks yang memuat peraturan mengenai tindakan kita, meskipun digariskan pada waktu yang telah silam, akan semakin luas pula cakupan konstruksinya dalam kasus-kasus tertentu. 12. Tidak ada hal yang bisa memberikan perlindungan substansial bagi kebebasan individu selain kebiasaan menjalankan konstruksi dan interpretasi secara seksama. 454
Penegakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika Hukum
13. Penting untuk kita pastikan apakah kata-kata yang digunakan memiliki karakter terbatas, mutlak, dan bermakna khusus, atau memiliki karakter umum, relatif atau ekspansif. 14. Upayakan agar pihak yang lemah bisa mendapatkan manfaat dari ketentuan yang mengandung hal-hal yang meragukan, tana mengalahkan tujuan umum hukum. Upayakan agar belas kasih berlaku jika memang ada keraguan yang nyata. 15. Diperlukan adanya pertimbangan atas keseluruhan teks atau wacana agar kita bisa melakukan konstruksi secara tepat dan benar. 16. Di atas segalanya, upayakan untuk bersikap tepat dalam semua konstruksi. Konstruksi terwujud sebagai upaya membangun unsur-unsur dasar, dan bukan berupa pemaksaan suatu materi luar ke dalam teks (Gregory Leyh, 2008 : 142143). Dari kedua prinsip-prinsip (interpretasi dan konstruksi) yang dikemukakan Lieber ini, terlihat bahwa menerapkan hermeneutik dalam berhukum selain bagaimana kita berupaya menemukan dan menyajikan makna yang sebenarnya dari tanda-tanda apa pun yang digunakan menyampaikan ide-ide termasuk makna keadilan, juga menarik suatu kesimpulan mengenai pokok bahasan yang ada dibalik ekspresi langsung teks, dari unsur-unsur tersebut yang diserap adalah semangatnya bukan pada huruf yang tertera pada teks, jadi dalam memahami keadilan pun yang diambil dan diterapkan dalam berhukum adalah semangat dari penegakan keadilan itu sendiri. Selanjutnya mengenai filsafat ilmu hukum, terlebih dahulu akan di urai mengenai filsafat ilmu itu sendiri. Berbeda dengan filsafat, filsafat ilmu sulit untuk diberikan suatu batasan yang positif, karena banyak pendapat yang memiliki makna serta penekanan (emphasis) yang berbeda tentang filsafat ilmu. Tetapi, pada dasarnya filsafat ilmu adalah ilmu yang berbicara tentang ilmu pengetahuan (science of science) yang kedudukannya berada diatas ilmu lainnya (Conny R. Semiawan, dkk, 1988 : 43 dan 45), Ada yang mengartikan filsafat ilmu dengan world-views yang konsisten dengan dan pada beberapa pengertian didasarkan atas teori-teori ilmiah yang penting, lalu diartikan suatu eksposisi dari presuppositions dan predispositions dari para ilmuwan, dan memberi arti suatu disiplin yang di dalamnya konsep-konsep dan teori-teori tentang ilmu dianalisis dan diklasifikasikan). Sedangkan pengertian ilmu hukum secara teoritis harus dibedakan dengan hukum. Ilmu hukum oleh beberapa pakar, seperti Roscoe Pound, G.W.Paton, Robert L.Hayman, Jan Gijseels, Mark van Hoecke, dll menyebutnya dengan istilah ―Jurisprudence‖, sedangkan hukum turunan arti kata dari ―Law‖. Meskipun samasama mempunyai banyak arti dan arti yang mutlak benar tidak ada, tetapi setidaknya ada beberapan yang dapat dijadikan sebagai dasar pemahaman untuk itu. Apabila pendapat para ahli hukum tersebut dirangkum, maka akan diperoleh definisi Ilmu hukum lebih luas dari hukum, karena hukum diartikan hanya bersifat teoritis tentang pedoman atau seperangkat aturan tingkah laku untuk mengatur ketertiban masyarakat, sedangkan ilmu hukum disamping sebagai pengetahuan 455
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
yang sistematis dan terorganisir mengenai gejala hukum, struktur kekuasaan, norma-norma, hak-hak dan kewajiban-kewajiban, juga berarti metode studi hukum dalam arti umum, yakni mempelajar konsep hukum, gagasan yang ada dibelakang hukum, struktur, fungsi hukum, dan faktor-faktor eksternal non-hukum yang mempengaruhi hukum seperti masalah-masalah sosial, situasi politik, budaya, kondisi ekonomi, dan sistem nilai. Dengan demikian, ilmu hukum melihat kondisi intrinsik aturna hukum, dengan mempelajari gagasan-gagasan hukum yang bersifat mendasar, universal, umum, dan teoritis serta landasan pemikiran yang mendasarinya, misalnya : macam konsep mengenai kebenaran, pemahaman dan makna, serta nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral (Peter Mahmud Marzuki, 2008, hlm.11-15). Ilmu hukum terlalu luas jangkauannya untuk didefinisikan, dikarenakan meliputi ruang gerak manusia, makhluk hidup lainnya, dan alam semesta (dari mikro kosmos sampai makro kosmos). Hukum dapat ditinjau dari segala aspek ilmu pengetahuan sesuai dengan keragaman ilmu yang dimiliki oleh manusia itu, seperti ilmu filsafat, ilmu fisika, ilmu sosiologi, ilmu politik, dll. Hal ini merupakan bukti sederhana mengenai betapa luas dan dalamnya ilmu hukum, bahkan apabila dikaitkan dengan eksistensi manusia. Rumusan-rumusan konsep hukum dalam ilmu hukum selalu disandingkan dengan konsep keadilan yaitu dari zaman ke zaman dan dari timur ke barat atau sebaliknya, selalu mengalami perubahan. Masa modern merupakan refleksi dari berbagai lapangan penyelidikan ilmiah, seperti Rationalisme, Empirisme, masa Aüfklarung, Idealisme Jerman, Positivisme, Materialisme, Existensialisme dan Pragmatisme (Thoga H. Hutagalung, 1993 : 18). Pada hakekatnya keadilan adalah kata sifat yang mempuyai arti adil atau tidak berat sebelah/ tidak pilih kasih. Sifat ini merupakan salah satu sifat manusia. Keadilan merupakan suatu konsep yang mengindikasikan adanya rasa keadilan dalam perlakuan (justice or fair treatment) (Nani Nurrachman, 2004 : 13). Menurut sejarah hubungan keadilan dan hukum, dimulai dari daratan Eropa, pemikiran hukum pertama-tama menuju suatu aturan yang dicita-citakan yang memang telah dirancangkan dalam bentuk undang-undang, akan tetapi belum terwujud dan tidak pernah akan terwujud seutuhnya. Sesuai dengan adanya dikotomi, sehingga muncul dua istilah untuk menandakan hukum, yaitu : 1. Hukum dalam arti keadilan (keadilan = iustitia) atau ius / Recht (dari regere = memimpin). Maka di sini hukum menandakan peraturan yang adil tentang kehidupan masyarakat, sebagaimana di cita-citakan. 2. Hukum dalam arti undang-undang atau lex / wet. Kaidah-kaidah yang mewajibkan itu dipandang sebagai sarana untuk mewujudkan aturan yang adil tersebut (Theo Huijbers, 1995 : 49). Lebih lanjut Theo Huijbers, menjelaskan perbedaan kedua istilah yang memang jelas dan nyata, yaitu : istilah ―hukum‖ mengandung tuntutan ―keadilan‖, istilah ―undang-undang‖ menandakan norma-norma yang de facto digunakan untuk memenuhi tuntutan tersebut, entah tertulis atau tidak tertulis.
456
Penegakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika Hukum
Keadilan dalam konsep inilah yang sering digunakan dalam khasanah ilmu hukum. Secara falsafati, ilmu hukum memandang keadilan sebagai suatu konsepsi falsafati yang menjadi tujuan hukum itu sendiri, dan itu tergantung dengan ideologi negara yang bersangkutan. Ada yang menjadikannya sebagai tujuan utama dalam berhukum, dan ada juga yang menomorduakannya, karena dengan alasan demi kepastian dan ketertiban hukum. Bicara tentang keadilan menurut Plato, keadilan dalam suatu negara dapat dipelajari dari aturan yang baik dan jiwa. Jiwa manusia terdiri dari tiga bagian, bagian pikiran (logistikon), bagian perasaan dan nafsu, baik psikis maupun jasmani (ephithumetikon), dan bagian rasa baik dan jahat (thumoeides). Jiwa itu teratur secara baik, sepanjang dihasilkan suatu kesatuan harmonis antara ketiga bagian itu. Hal ini terjadi bila perasaan dan nafsu-nafsu dikendalikan dan ditundukkan pada akal budi melalui rasa baik dan jahat. Maka keadilan (dikaiosune) terletak dalam batas yang seimbang antara ketiga bagian jiwa, sesuai dengan wujudnya masingmasing (Theo Huijbers, 1982 : 23). Sedangkan menurut Aristoteles, hukum yang harus ditaati demi keadilan, di bagi menjadi hukum alam dan hukum positif. Hukum alam dianggap sebagai suatu hukum yang berlaku selalu dan dimana-mana karena hubungannya dengan aturan alam. Hukum itu tidak pernah berubah, tidak pernah lenyap dan berlaku dengan sendirinya. Lain halnya dengan hukum positif, yang sebagian besar berwujud undang-undang negara yang berlaku sesudah ditetapkan dan diresmikan isinya oleh instansi yang berwibawa. Tetapi, selain keadilan dianggap sebagai keutamaan umum (yaitu ketaatan hukum alam dan hukum positif), terdapat juga keadilan sebagai keutamaan moral khusus, yaitu yang menentukan hubungan baik antara satu orang dengan yang lainnya, lalu keadilan berada di tengah dua ekstrem (keseimbangan), dan untuk mengukur keseimbangan maka perlu ukuran kesamaan (dihitung dengan cara aritmetis atau geometris) (Theo Huijbers, 1982 : 29). Keadilan yang dimaksud oleh Aristoteles beranjak dari filsafat politik, yang dikemukakan ditengah-tengah berkecamuknya krisis politik di Yunani saat itu. Untuk itu, Aristoteles mambagi keadilan dalam beberapa hal, yakni : 1. Keadilan dalam segi-segi tertentu dalam kehidupan manusia, yaitu : a. Keadilan menentukan bagaimana seharusnya hubungan baik di antara manusia. b. Keadilan itu terletak di antara dua kutub yang ekstrim; orang harus menemukan keseimbangan dalam memperjuangkan kepentingannya sendiri; orang tidak boleh hanya memikirkan kepentingannya sendiri dan melupakan kepentingan orang lain. 2. Pembagian Keadilan secara garis besar, yaitu : a. Keadilan distributif : mengatur hubungan antara masyarakat dan para anggota masyarakat, mewajibkan pemerintah untuk memberi apa yang menjadi hak para anggota. b. Keadilan komutatif : mengatur hubungan antara para anggoata masyarakat yang satu dan yang lain, dan mewajibkan setiap orang untuk bertindak
457
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
sesuai dengan hukum alam dan atau perjanjian. Ini mengenai milik priadi dan kepentingan pribadi. 3. Keadilan yang menyangkut ketertiban umum, yaitu : a. Keadilan legal : mewajibkan di satu pihak lembaga legislatif untuk membuat undang-undang guna mencapai kesejahteraan umum dan mewajibkan di lain pihak para warga supaya patuh kepada undang-undang negara. b. Keadilan sosial mengatur hubungan antara majikan dan buruh (A. Gunawan Setiardja, 1990 : 21-22). Konsep menurut Aristoteles inilah yang menurut banyak kalangan merupakan awal mula di formulasikannya keadilan, sehingga menjadi titik-tolak pengembangan konsep keadilan dikemudian hari. Meskipun Plato membuat konsep keadilan tapi tidak segamblang apa yang disampaikan oleh Aristoteles. Bahkan di dunia barat masih menggunakan konsep yang dikemukakan oleh Aristoteles, karena masih dianggap relevan dijadikan dasar untuk kehidupan berbangsa dan bernegara menurut kultur barat, sehingga melahirkan konsep-konsep arti keadilan dikemudian hari, yaitu dari Era Yunani tersebut sampai dengan era yang memasuki Era Postmodern. Dari sudut pandang hermeneutika, konsep-konsep keadilan tersebut mengikuti perkembangan zaman. Tidak melihat keadilan sebatas dari sudut pandang subjektivitas pencetus konsep, melainkan juga melihat dari sudut pandang masalah, linguistik, dan metode untuk memahaminya, sehingga pemaknaannya bisa keluar dari konsep yang terdahulu, karena ada unsur dialektika dan spekulatifnya (adanya kemungkinan-kemungkinan pergeseran dari hal yang terbatas dari kata yang diorientasikan pada arah makna yang dimaksud, menjadi pada hal yang tidak terbatas), mengikuti konteks ruang dan waktu. C. Pengertian Hukum dalam perspektif Filsafat Hermeneutik dan Ilmu Hukum Disini penulis membatasi pembahasan hukum dalam perspektif filsafat hermeneutik dan filsafat ilmu hukum, hanya sebatas konsep yang membahas kaitannya hubungan hukum dengan moral. Penulis tidak menguraikan secara panjang lebar aliran dalam filsafat hukum, seperti: aliran hukum alam, positivisme hukum, utilitarianisme, mazhab sejarah, sociological jurisprudence, realisme hukum, dll, karena efektivitasnya sudah terangkum dalam tiga tipe hukum. Untuk itu, penulis secara ringkas mengurai pendapat dari Philippe Nonet dan Philip Selznick, yang secara garis besar membagi tiga tipe hukum, yaitu : Hukum Represif, Hukum Otonom, dan Hukum Responsif (Philippe Nonet dan Philip Selznick, 2003 : 13). Menurut Howard Zein, gagasan hukum represif menganggap bahwa tatanan hukum tertentu dapat berupa ―ketidak adilan yang tegas‖. Keberadaan hukum tidak menjamin keadilan, apalagi keadilan substantif. Sebaliknya, setiap tatanan hukum memiliki potensi represif sebab hingga tingkat tertentu ia akan selalu terikat pada status quo, dan dengan memberikan ―baju‖ otoritas kepada 458
Penegakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika Hukum
penguasa, sehingga hukum membuat kekuasaan makin efektif. Paham ini menyatakan moralitas bersifat komunal atau disebut juga dengan moralitas pembatasan (Philippe Nonet dan Philip Selznick, 2003 : 23). Paham lainnya, yaitu paham positivisme secara radikal dan tegas menyatakan bahwa antara hukum dan moral itu berbeda, tidak dapat disatukan. Pandangan ini beredar luas, bahkan mayoritas ilmuwan hukum dan praktisi hukum terjebak terhadap dikotomi tersebut. Kalangan ini berpendapat, bahwa hukum adalah sebuah muatan sistem walaupun kita tidak membutuhkan atau tidak seharusnya menggunakan hukum untuk menjustifikasi hukum. Guru ideologi kalangan ini adalah Hans Kelsen yang sangat mempertahankan otonomi dari hukum (hukum otonom), dan penolakannya pada hukum yang berdasarkan pada etika. Hans Kelsen pun berargumen ―hukum alam itu tidak ada‖, di sana tidak ada prinsip keadilan di mana legislator dan hakim dapat merasa tertarik. Menurutnya, validitas pada aturan khusus dalam hukum didasarkan pada aturan yang lebih kuat atau lebih luas dan lebih akhir, dari sebuah grundnorm atau sebuah norma awal atau yang kuat. Kelsen beranggapan, hukum secara khusus mungkin diperlihatkan kevalidannya jika mereka konsisten dengan norma awal. Pada awalnya berbeda secara moral, tapi lama kelamaan akan diterima (Morris Ginsberg, 2003 : 203-204). Hukum ini kemudian dijadikan ―keyakinan hukum‖ di negara eropa kontinental, dan imbasnya sampai ke Indonesia. Lebih bijak lagi aliran atau paham hukum responsif, yang pada dasarnya menyatakan keabsahan hukum didasarkan pada keadilan substantif dan aturanaturan tunduk pada prinsip dan kebijaksanaan. Artinya, moralitas yang nampak adalah ―moralitas kerja sama‖, sementara aspirasi hukum dan politik berada dalam keadaan terpadu. Disini ketidaktaatan dinilai dalam ukuran kerugian substantif dan dipandang sebagai tumbuhnya masalah legitimasi. Kesempatan untuk berpartisipasi di perluas melalui integrasi bantuan hukum dan bantuan sosial (Mulyana W. Kusumah, 1986 : 13.). Aliran ini, mulai membuka lebar ―mata hati‖ beberapa ahli hukum, untuk mengembangkan atau memodifikasinya untuk disesuaikan keadaan bangsa dan negara masing-masing, meskipun tidak sedikit ahli hukum yang mencemoohnya. Pengertian Hukum di zaman modern tersebut tekanannya (aksentuasinya) bersifat ―empiris-rationalistis‖, sehingga mempunyai makna yang luas dan dalam, jadi dapat disebut pandangan secara holistik, diartikan bahwa hukum itu tekanannya pada kemauan manusia atau kehendak terdalam dari manusia yang diwujudkan pada suatu organisasi teratur, apakah itu penguasa atau Negara (Thoga H. Hutagalung, 1993 : 18). Beranjak dari konsep-konsep tersebut, dari sudut pandang filsafat hermeneutik untuk konsep hukum represif dan hukum otonom tentu sesuatu hal yang tidak bisa dijadikan sebagai pijakan berhukum untuk era ke-kinian, terutama di Indonesia. Demikian halnya, karena hukum bukan merupakan monopoli dari para penguasa, melainkan hukum merupakan suatu tatanan diluar dari apa yang dinamakan peraturan tertulis. Hukum memiliki berbagai dimensi lain, seperti budaya dan humanisme. Ada unsur transendensi disini, yakni hukum tidak boleh 459
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
dipahami secara sempit (sebatas positivistik semata). Positivistik memandang hukum sebagai alat yang mengatur layaknya mesin terhadap makhluk hidup, terutama manusia. Padahal manusia sebagai makhluk hidup tentu punya dimensi budaya dan humanisme. Manusia tidak hanya dipandang sebagai kenyataan biologis naluriah sebagaimana halnya binatang, melainkan ada kenyataan psikologis, rohani, dan jasmani. Sedangkan terhadap hukum represif, filsafat hermeneutik tentu akan bisa menerima untuk pengembangan makna lebih lanjut menuju hukum yang lebih ideal untuk era saat ini di Indonesia, karena tetap membuka dan menerima dimensi atau norma lain selain apa yang ada di dalam hukum itu sendiri, sehingga unsur budaya dan humanisme masih bisa diterima konsep ini. Pengertian lebih lanjut dari ahli filsafat sekaligus ahli hukum di Indonesia, seperti apa yang dikemukakan oleh O. Notohamidjojo, yang menyatakan secara keilmuan, pada umumnya ilmu hukum dalam teori dan praktek merupakan ilmu praktis yang menyangkut perbuatan manusia. Beliau berargumentasi, bahwa ilmu hukum menuntut pada pemangku/ pelaksananya untuk menilai dalam dua segi. Dua segi yang dimaksud adalah pertama, menilai isi peraturan hukum dan kedua menilai dalam pelaksanaan hukum. Akan tetapi kedua segi pekerjaan yuris tersebut terikat oleh norma-norma moral, keadilan, aequitas, kebenaran, dan kebaikan. Makin besar ia merasa terikat oleh norma-norma moral itu, makin baik mutunya sebagai yuris, sebagai otoritas hukum, dan semakin besar sumbangannya bagi pembangunan hukum dan masyarakat dari negara (O. Notohamidjojo, 1975 : 39). Selain itu, kaitannya hukum dan perlindungan hukum, menurut Sudikno Mertokusumo pada hakekatnya hukum tidak lain adalah perlindungan kepentingan manusia, yang berbentuk kaidah atau norma. Oleh karena berbagai macam ancaman dan bahaya yang sering menerpa manusia, maka manusia perlu akan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingannya agar manusia dapat hidup lebih tenteram. Perlindungan kepentingan itu tercapai dengan membentuk suatu peraturan hidup atau kaidah disertai dengan sanksi yang bersifat mengikat dan memaksa (Sudikno Mertokusumo, 1984 : 1). Di era reformasi ini pun di Indonesia terbentuk suatu aliran hukum baru, yaitu hukum progresif yang menawarkan sebuah konsep baru untuk mengatasi permasalahan keadilan dan hukum di negeri ini. Progresif disini berasal dari kata progress yang berarti kemajuan. Jadi hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, bahkan mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri (Satjipto Rahardjo, 2007 : ix). Proses pengembangan prinsip-prinsip penegakan hukum dan keadilan ini mencakup apa yang disebut sebagai ―tematisasi‖ dalam apa yang dikatakan, terutama dalam dunia yang terdiri atas sistem-sistem representasional yang mapan. Filsafat postmodern memandang ―tematisasi‖ sebagai suatu istilah yang mengandung arti singkronisasi antara yang baik dengan yang ada dengan cara tertentu untuk menolak kekuatan waktu diakronis. Akan tetapi lebih lazim bisa juga 460
Penegakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika Hukum
tematisasi dijelaskan sebagai kebutuhan untuk menyuarakan tema-tema umum dalam nomos, sehingga memungkinkan adanya seruan menuju prinsip-prinsip kontekstual (Gregory Leyh, 2008 : 227). Dalam pengertian seperti ini, hukum melekat dalam ontologi, dalam suatu realitas sosial bersama. Sebagai nomos hukum juga menjadi suatu titik ―kritis‖ dalam ontologi. Titik kritis ini memungkinkan para penegak hukum terlibat dalam pergulatan dalam nomos penegak hukum dalam rangka memenuhi tujuan hukum yaitu berbuat adil. Jadi tematisasi tidak hanya bersifat deskriptif, justru dimensi normatif kritis dalam hukum menuntut adanya penilaian yang rasional terhadap prinsip-prinsip hukum yang bertentangan : ―akal pikiran memastikan bahwa istilahistilah ini bisa tinggal berdampingan, sejalan antara yang satu dengan yang lainnya di dalam perbedaan, dalam satu tema; akal pikiran pun memastikan kesepakatan antara tema-tema yang berbeda tanpa membuyarkan masa sekarang dimana tematema tersebut berlangsung‖ (Gregory Leyh, 2008 : 227-228). Dari uraian singkat beberapa konsep mengenai keadilan dan hukum dari sudut pandang falsafati, untuk mengimplementasikannya dikembalikan kepada masing-masing pihak (ilmuwan hukum dan praktisi hukum) untuk berkontemplasi kira-kira mana yang lebih pas untuk dijadikan model agar keluar dari kekacau balauan sistem hukum yang ada di Indonesia saat ini. Dengan catatan, jangan sampai salah memilih konsep yang nantinya bisa membuat keadaan hukum semakin semrawut dalam realisasinya. D. Problematika Penegakan Hukum yang Berkeadilan di Indonesia Sejak awal peradaban manusia, masalah keadilan merupakan masalah yang selalu dituntutkan. Sehingga seluruh umat manusia umumnya mendambakan keadilan selalu hadir dalam kehidupannya. Masalah keadilan mulai muncul bersamaan dengan munculnya konsep-konsep keadilan yang sangat banyak (sebagaimana telah di urai oleh penulis sebelumnya). Karena masing-masing konsep memiliki plus-minusnya, bahkan ada beberapa konsep yang banyak minus-nya, maka dalam penerapan keadilan ini pun ditanggapi banyak pihak dengan ―nada‖ skeptis, terutama dalam hal penegakan hukum, sebab beranggapan keadilan hanya milik orang tertentu saja (seperti : pemegang kekuasaan politik, sanak family hartawan, keturunan bangsawan, dll). Meskipun benar apa yang dikatakan Ign. Ridwan Widyadharma, bahwa perilaku yang terjadi dalam dunia peradilan (the behavior of court) di Indonesia sedang mengalami something wrong. Menurut penulis, hanya orang pesimislah yang tidak akan mendapatkan suatu keadilan, karena tidak ada perjuangan untuk memperoleh keadilan itu sendiri. Keadilan tidak semuanya di dapat dengan bersifat pasif (berdiam diri) dalam kehidupan, akan tetapi keadilan itu ada apabila kita berfikir dan berjuang untuk ke eksistensiannya, disinilah filsafat hermeneutik difungsikan (Ign. Ridwan Widyadharma, 1999 : 19). Berbicara mengenai sistem peradilan, tentu tidak lepas dengan teorinya kekuasaan kehakiman menurut John Locke dan Monstesquieu, yang menyatakan harus terpisah dengan kekuasaan lain. Pemisahan kekuasaan dimaksudkan untuk 461
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
mencegah kesewenang-wenangan dan menjamin kekuasaan kehakiman yang independen (baik secara politis, administratif, struktural, maupun personal) sesuai prinsip negara hukum. Rasio lainnya adalah dengan adanya pemisahan kekuasaan, di harapkan akan terwujud kebebasan para penegak hukum untuk menegakkan keadilan, karena suatu persengketaan atau permasalahan harus diselesaikan dengan nilai-nilai filosofis-humanis-relijius. Untuk negara Indonesia, nilai-nilai tersebut sudah ada cerminnya yaitu Pancasila (terutama dalam Sila Pertama dan Sila Kedua). Dari cermin itulah seharusnya para penegak hukum atau aparat di lembaga kekuasaan kehakiman bercermin ketika akan menegakkan keadilan, plus dengan menerapkan filsafat hermeneutik. Akan tetapi yang terjadi, para aparatur penegak hukum dalam menjalankan fungsi sistem peradilan justru tidak mau berkaca pada Pancasila tersebut, bahkan ―memalingkan diri‖ dari nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila. Berdasarkan penelitian Indonesian Corruption Watch (ICW) pada tahun 2001 dan penelitian Jonaedi Efendi di tahun 2009 diperoleh temuan mengenai pola-pola korupsi di lembaga peradilan (judicial corruption) dari mulai penyelidikan (kepolisian), penyidikan (kejaksaan), sampai pada putusan (pengadilan). Modus judicial corruption ini dilakukan oleh segelintir orang, kelompok, bahkan berjamaa‘h ketika melakukan perbuatan ―tercela‖ yaitu memanipulasi keadilan (Wasingatu Zakiah, dkk, 2004 : 9-15 dan Jonaedi Efendi, 2010 : 25-43). Fakta empiris terbukti, ketidakadilan dalam masyarakat dan perbedaan penanganan suatu perkara yang mencolok antara si kaya dan si miskin atau di penguasa dan si rakyat jelata, sudah menjadi gambaran yang dianggap biasa terjadi. Tentu ditinjau dari segi asas, hal ini bertentangan dengan prinsip equality before the law, bahkan bertentangan dengan harkat dan martabat manusia itu sendiri. Padahal kodratnya semenjak lahir masing-masing manusia merupakan pribadi yang berpotensi untuk berkembang, sehingga mempunyai hak dan kewajiban sebagai makhluk sosial dan warga negara. Untuk memenuhi hak dan kewajiban itulah secara universal mengakui akan adanya hak asas manusia (HAM), bahkan secara tekstual oleh PBB pada tahun 1948 di tuangkan dalam suatu norma yang dinamakan Universal Declaration of Human Right. HAM inilah yang kurang disensitifkan oleh para penegak hukum. Padahal penegak hukum selalu mendengungkan dalam penegakkan hukum harus berdasarkan irah-irah ―Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa‖. Bahkan dalam memaknai keadilan, ada kewajiban untuk menghormati HAM masing-masing individu atau masyarakat. Irah-irah ini sebenarnya secara normatif sudah tercantum dalam ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, bahkan dalam undang-undang sebelumnya (dari awal kemerdekaan sampai dengan era reformasi pencantumannya selalu ada). Sudah menjadi kewajiban bagi para penegak hukum untuk merefleksikan irah-irah tersebut. Terutama para hakim yang dihadapannya selalu ada, bahkan dibuat dengan tangannya sendiri irah-irah tersebut dalam suatu Putusan, karena kalau tidak dipenuhi maka Putusan itu dianggap batal 462
Penegakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika Hukum
demi hukum. Selain diatur dalam undang-undang, irah-irah ini pun sudah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 29 UUD 1945 (konstitusi bangsa Indonesia). Adanya kesenjangan dalam perlakukan di bidang penegakan hukum, jelas bertentangan dengan arti dari keadilan itu sendiri, seperti yang dijelaskan Aristoteles, pantas adalah suatu bentuk ―sama‖; yaitu melibatkan prinsip bahwa kasus sama seharusnya diperlakukan dalam cara yang sama dan kasus yang berbeda diperlakukan dengan cara yang berbeda. Oleh karenanya menurut Morris Ginsberg, keadilan berlawanan kata dengan : (a) pelanggaran hukum, penyimpangan, ketidaktetapan, ketidakpastian, keputusan yang tidak terduga, tidak dibatasi oleh peraturan; (b) sikap memihak dalam penerapan suatu peraturan, dan (c) aturan yang memihak atau sewenang-wenang, melibatkan diskriminasi yang tidak mendasar/ diskriminasi berdasarkan perbedaan yang tidak relevan (Morris Ginsberg, 2003 : 41). Dari semua permasalahan yang ada dalam penegakkan hukum ini, menurut penulis inti yang menjadi akar terjadinya ―penyakit kronis‖ hukum ini, ada pada konsep hukum yang sejak lama ada, yaitu paham positivisme. Paham ini hanya mengagungkan akal pikiran, semua permasalahan hukum diselesaikan dengan logika silogisme dan mekanis (salah satu cabang dalam filsafat), sehingga yang dijadikan rujukan selalu peraturan tertulis (yang menurut Satjipto Rahardjo dalam suatu seminar menyatakan undang-undang hanya merupakan teks yang ―mati‖ atau tidak bisa hidup apabila tidak ada ―ruh‖nya, ruh itulah yang dinamakan ―keadilan dalam masyarakat‖). Singkatnya, konsep hukum yang diajarkan fakultas hukum sejak dulu, sehingga saat ini sudah mendarah daging ke sendi-sendi kehidupan hukum (terutama bagi para pelaku hukum) di Indonesia, adalah konsep yang lebih dari 80% bermakna positivistik, jadi dari akar inilah menjadi salah satu penyebab para penegak hukum saat ini berperilaku seperti mekanik hukum. Masalah relatif lainnya adalah kurangnya pendidikan dan pelaksanaan moral yang berkarakter, sehingga sudah seperti siklus dalam penegakkan hukum, dari senior ke junior selalu silih berganti secara terus menerus dengan menyerahkan tongkat estafet yang kurang bermoral. Disinilah sebenarnya penegak hukum khususnya para hakim berperan untuk memaknai hukum dengan nilai-nilai moralitas dan keadilan. Dikarenakan, makna teks dalam hukum tertulis tidak sebagaimana adanya, melainkan terlepas dari keyakinan para penyusunnya dulu atau keyakinan baru para hakim. Dari situlah, menurut Ronald Dworkin, seorang hakim yang mempunyai data atau informasi yang lebih banyak dibandingkan para penyusunnya bisa berkesimpulan bahwa ada klausa yang memberikan perlindungan hukum yang setara. Bahkan hakim bisa dibenarkan bila memahami hukum mencakup misalnya larangan diskriminasi berdasarkan basis gender atau kecenderungan seksual, yakni kriteria yang tidak pernah dipikirkan oleh para penyusun teks hukum tersebut (Gregory Leyh, 2008 : 270). Dengan kata lain, Dworkin mengakui bahwa pandangan interpretasi sebagai upaya untuk mencari tahu apa yang dimaksud oleh para penyusun hukum sehingga memiliki kecocokan yang sempurna dengan pandangan bahwa para 463
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
penyusun hukum bisa saja keliru dalam mengaplikasikan hukum mereka secara tertulis. Alasan ini pun didapat secara fakta, bahwa para legislator (pembentuk hukum tertulis) itu bisa keliru mengenai apa yang diperbolehkan atau dilarang oleh hukum mereka sendiri, sehingga menandakan ada kesewenangan pemikiran intensionalis dalam interpretasi hukum (Gregory Leyh, 2008 : 271). Dapatlah disimpulkan kondisi yang demikian, dikarenakan kurang adanya pemahaman akan makna keadilan dan hukum dari sudut pandang yang falsafati, terutama hermeneutika. E.
Prospek Filsafat Hermeneutik dan Filsafat Ilmu Hukum dalam membenahi Penegakan Hukum yang Berlandaskan Keadilan sesuai Pancasila Konsep keadilan di Indonesia adalah yang berasaskan keadilan sosial sebagaimana tertuang dalam sila ketiga dari Pancasila. Dipertegas lagi dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan ―.. terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia‖. Selanjutnya, dikatakan bahwa Pemerintah Indonesia, ―ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abdi dan keadilan sosial‖. Konsep tersebut dari sudut pandang hermeneutik menyiratkan bahwa adanya kesadaran penuh, agar keadilan sosial harus dilaksanakan dalam masyarakat sepenuhnya. Akan tetapi dalam kenyataannya hakekat keadilan sosial kurang dipahami arti serta isinya, sehingga cita-cita masyarakat yang adil dan makmur itu masih jauh dari harapan semua orang di Indonesia, khususnya para pencari keadilan. Dengan demikian, hermeneutika memandang bahwa pemahaman terhadap keadilan sosial selalu diinterpretasikan dengan sebuah isyarat bahwa pemahaman itu dikondisikan dengan konteks dimana pemahaman terhadap penerapan keadilan sosial itu terjadi. Pemahaman tersebut merupakan aplikasi dalam pengertian bahwa keadilan sosial tidak hanya muncul dari latar belakang kontekstual namun juga memperhatikan ciri-ciri spesifik dari konteks tersebut, dengan memfokuskan diri pada beberapa bagian dan mengkonfigurasikan kembali konteksnya melalui upaya pencapaian terhadap pemahaman keadilan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pancasila. Mohammad Hatta senantiasa mengemukakan : ―Pancasila terdiri dari dua lapis fundamen, yaitu (1) fundamen politik ; (2) fundamen moral (etik agama). Negara dan pemerintahannya akan memperoleh dasar yang kokoh dan memerintahkan berbuat benar apabila meletakkan dasar moral diatas. Dengan politik pemerintahan yang berpegang kepada moral yang tinggi diciptakan tercapainya ―suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia‖ (Roeslan Saleh, 1991 : 46). Selanjutnya dikatakan bahwa : ―Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa 464
Penegakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika Hukum
menjadi dasar yang memimpin cita-cita negara kita, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik. Sedangkan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kelanjutan dalam perbuatan dan praktek hidup dari pada dasar yang memimpin tadi. Dasar kemanusiaan yang adil dan beradab harus menyusul, berangkaian dengan dasar yang pertama. Letaknya tidak dapat dipisah dari itu, sebab dia harus dipandang sebagai kelanjutan ke dalam praktek hidup dari pada cita-cita dan amal Ketuhanan Yang Maha Esa‖. Kaitannya Pancasila dengan penegakan hukum yang berkeadilan, penulis sependapat dengan Sudjito yang menyatakan bahwa sebenarnya konsep negara hukum Indonesia merupakan perpaduan 3 (tiga) unsur yaitu Pancasila, hukum nasional dan tujuan negara. Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan utuh. Pancasila merupakan dasar pembentukan hukum nasional. Hukum nasional disusun sebagai sarana untuk mencapai tujuan negara. Tidak ada artinya hukum nasional disusun apabila tidak mampu mengantarkan bangsa Indonesia mencapai kehidupan yang sejahtera dan bahagia dalam naungan ridha Illahi (Sudjito, 2009 : 5). Dengan demikian secara falsafati hermeneutika dan ilmu hukum, konsep penegakan hukum yang berdasarkan ―Keadilan‖ dan ―Ketuhanan Yang Maha Esa‖ pun wajib hukumnya mengacu pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pancasila selain sebagai komponen pokok sistem nilai hukum nasional dan staatsfundamentalnorms, termasuk dalam lingkup kefilsafatan bangsa dan negara Indonesia. Kedudukan Pancasila sebagai filsafat dapat ditinjau paling tidak menurut Abubakar Busro dengan tiga kenyataan, yakni kenyataan materiil (dari jangkauan dan isinya bersifat nilai-nilai fundamental, universal, komprehensif, dan metafisis, bahkan pokok-pokok pengajarannya meliputi nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan), kenyataan fungsional praktis (merupakan jalinan tata nilai dalam sosio-budaya bangsa Indonesia, sehingga wujudnya dapat dilihat berupa adanya prinsip kepercayaan kepada Tuhan, tepa selira, setia kawan, kekeluargaan, gotongroyong, musyawarah-mufakat, dll), dan kenyataan formal (para pendiri Negara mengangkat dan merumuskan Pancasila sebagai ideologi yang wujudnya tampak dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai dasar Negara Kesatuan RI) (Abubakar Busro,1989 : 26-27). Istilah ―adil dan beradab‖ dalam Sila Kedua Pancasila, oleh Notonagoro dimaknai dengan rasa kemanusiaan yang adil terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia, terhadap Tuhan atau causa prima. Disini terkandung prinsip perikemanusiaan atau internasionalisme dan terlaksananya penjelmaan dari pada unsur-unsur hakekat manusia, jiwaraga, akal-rasa-kehendak serta sifat kodrat perseorangan dan makhluk sosial. Semua ini dikarenakan kedudukan kodrat pribadi berdiri sendiri dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa sebagai causa prima dalam kesatuan majemuk-tunggal (monopluralis), itu adalah dalam bentuk dan penyelenggaraan hidup yang bermartabat setinggi-tingginya (Notonagoro, 1987 : 99-100). Mengenai hubungan hukum dengan sosial kemasyarakatan, ada ungkapan yang menyatakan disamping masalah tertinggalnya hukum oleh perubahanperubahan sosial, maka mungkin akan muncul problem lain yaitu tertinggalnya 465
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
perkembangan masyarakat oleh perubahan yang terjadi dalam hukum atau perubahan yang ingin dicapai melalui hukum tidak diikuti oleh masyarakat. Menurut penulis, hal ini kurang pas karena hukum harus seiring sejalan dengan masyarakat, dan senantiasa bergandengan dengan apa yang namanya ―keadilan‖. Jadi tidak ada yang saling mendahului, ibarat kepingan mata uang hukum tidak bisa lepas dari masyarakat, meskipun dua hal yang berbeda, yang menjadi pengikat (ditengah-tengah) kepingan tersebut adalah keadilan. Dalam kaitannya hubungan keadilan, hukum dan masyarakat, penulis sepakat dengan pendapat Satjipto Rahardjo, bahwa Ilmu hukum harus mengawal hukum terus mengalami perkembangan dan perubahan sampai dengan hari ini, Sehingga akan di pahami ternyata hukum itu tidak otonom, seperti halnya bebatuan dan pohon dalam alam. Yang alami adalah hasrat manusia untuk hidup dalam dunia yang penuh ketertiban. Hukum itulah merupakan bagian dari pranata untuk hidup secara tertib. Jadi, hukum adalah untuk manusia. Dengan demikian hukum tunduk pada kehidupan sosial manusia yang jauh lebih luas (Satjipto Rahardjo, 2009 : 74). Oleh karena hukum itu tidak otonom, menurut penulis maka perlu adanya suatu elaborasi mengenai hukum progresif yang di gagas oleh Satjipto Rahardjo untuk menyelesaiakan masalah koheren hubungan keadilan, hukum, dan masyarakat. Dalam hukum progresif selalu disemaikan bagi pengembangan kekuatan yang tersimpan di dalam hukum, sehingga menolak cara berhukum yang menyebabkan dinamika hukum hilang karena hukum menjadi statis dan stagnan. Terhambatnya kekuatan yang sebenarnya, ada secara in heren dalam hukum, sebagai akibat dari ulah para penegak hukum sendiri yang menyebabkannya, yaitu dengan menerapkan cara-cara berhukum yang hanya dengan mengeja teks undangundang. Padahal hukum tidak berdiri sendiri, adakalanya memasuki wilayah keilmuan yang lain. Misalnya memasuki wilayah psikologi, dengan itu dapat diperoleh suatu konsep bahwa hukum tidak hanya berurusan dengan peraturan melainkan juga perilaku manusia. Perilaku ini dibutuhkan untuk memunculkan kekuatan hukum baru yang dalam bahasa jawa disebut sebagai ―mesu budi‖, yaitu mengerahkan kekuatan spiritual kita. Dengan demikian pekerjaan hukum adalah lebih dari pada hanya berpikir secara logis-rasional, melainkan juga sesuatu yang menuntut kreatifitas dari para pelakunya. Disinilah pekerjaan memunculkan kekuatan hukum itu memperoleh tempatnya (Satjipto Rahardjo, 2009 : 57-58). Ada tiga solusi yang coba ditawarkan oleh Satjipto Rahardjo melalui gagasan atau ide hukum progresifnya, kaitannya dengan keterpurukan hukum di Indonesia, yaitu : Pertama, penggunaan kecerdasan spiritual untuk bangun dari keterpurukan hukum, memberi pesan penting kepada kita (terutama akademisi dan praktisi hukum) untuk berani mencari jalan baru (rule-breaking) dan tidak membiarkan diri terkekang cara menjalankan hukum yang ―lama dan tradisional‖ yang jelasjelas lebih banyak melukai rasa keadilan.
466
Penegakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika Hukum
Kedua, pencarian makna lebih dalam hendaknya menjadi ukuran baru dalam menjalankan hukum dan bernegara hukum. Para stake holder hukum di Indonesia (akademisi dan praktisi hukum) di dorong untuk selalu bertanya kepada nurani tentang makna hukum lebih dalam. Ketiga, hukum hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika saja, tetapi dengan perasaan, kepedulian, dan semangat keterlibatan (compassion) kepada bangsa kita yang sedang menderita. Segala daya dan upaya hendaknya dilakukan untuk bangun dari keterpurukan dan sekali lagi perlu menggugat diri yang selama ini mempunyai cara berpikir yang lebih banyak mendatangkan kesusahan. Sudah semestinya hukum merupakan institusi yang berfungsi untuk menjadikan bangsa kita, merasa sejahtera dan bahagia (Satjipto Rahardjo, 2007 : 21-22). Dari tiga solusi yang ditawarkan oleh Satjipto Rahardjo tersebut, penulis menilai keadilan yang dicapai hanya sebagai keadilan dari sudut pandang spiritual justice, moral justice dan social justice, tetapi belum secara tegas menyentuh pada philosophy and legal justice yang sekiranya dapat menjembatani penganut paham hukum doktrinal dan non-doktrinal, sehingga penulis menambahkan satu solusi lagi agar terwujud keadilan secara hermeneutik dan legal filosofis, yaitu penerapan hukum secara filosofis tetap berpedoman kepada Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 yang berisi mengenai visi dan misi bangsa dan negara Indonesia, karena keadilan yang di cita-citakan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 disamping bersifat relijius-sosialis, juga bersifat luhur, universal, dan jauh dari sifat sekuler-individualistis-materialistis. Keduanya ini pun bisa sebagai perekat bangsa dan negara Indonesia, yang saat ini sedang bercerai berai terutama kalangan atau penganut dua paham tersebut (doktrinal dan non doktrinal). Karena Pancasila oleh kalangan ahli hukum doktrinal di Indonesia diakui sebagai staatsfundamentalnorms, begitupun dan Pembukaan UUD 1945 dianggap sebagai sesuatu yang ―sakral‖ keberadaannya, sehingga harus mereka ikuti. Sedangkan dari pemikiran-pemikiran ahli hukum non-doktrinal di Indonesia, Pancasila maupun dan Pembukaan UUD 1945 sudah sesuai dengan alur pikirnya atau konsep yang selama ini dibangun. F. 1.
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Faktor-faktor yang menyebabkan keadilan sulit untuk di tegakkan di negara Indonesia ditinjau dari filsafat hermeneutik dan filsafat ilmu hukum adalah faktor yang bersifat fundamental, yakni : salahnya sistem pendidikan hukum yang melulu mengajarkan pola pikir yuridis-normatif (bahkan presentase pengajarannya lebih dari 80 % berkisar sistem dan filsafat hukum yang positivistik). Faktor lainnya adalah kurangnya pendidikan karakter bangsa Indonesia dan masih lemahnya pelaksanaan moral dalam penegakan hukum. Dan yang terakhir kurang di dukungnya konsep hukum non-doktrinal oleh banyak akademisi (ilmuwan) dan praktisi hukum di Indonesia, karena pandangan positivistiknya sudah mendarah daging bersemayam dalam pikirannya. 467
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Sedangkan, solusi yang terbaik untuk menjawab permasalahan tersebut terutama bagi para penegak hukum di Indonesia adalah mengembalikan semua permasalahan kepada nilai jati diri bangsa sesungguhnya yakni Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, serta menerima konsep hukum baru yaitu hukum progresif (bagian dari hukum non-doktrinal) yang lebih menekankan pada nilai-nilai moralsosial-relijius dan memandang suatu permasalahan ditinjau dari berbagai disiplin keilmuan yang bisa sinkron terhadap ilmu hukum itu sendiri. 2. Saran Perlu adanya reformasi kurikulum pengajaran bidang hukum di perguruan tinggi (S1, S2, dan S3). Ketika sedang mengajar, sebaiknya tiap-tiap mata kuliah selalu disisipi nilai-nilai moral dan humanisme sesuai karakter dan budaya bangsa Indonesia secara komprehensif. Bahkan untuk seluruh mata kuliah lebih di utamakan pada ―penyemaian‖ landasan teori-teori atau filsafat hukumnya melalui metode hermeneutik yang pro keadilan dan terbuka dengan ilmu-ilmu lainnya. Terlebih penting ada peran pemerintah pusat untuk mendukung berkembangnya hukum non-doktrinal, karena konfigurasi politik hukum non-doktrinal sangat besar pengaruhnya apabila ada political will dari pemerintah pusat.
DAFTAR PUSTAKA Bakry, H.Hasbullah, 1981, Sistematik Filsafat, Jakarta, Penerbit Widjaya Jayakarta. Busro, Abubakar, 1989, Nilai Dan Berbagai Aspeknya Dalam Hukum, Jakarta Penerbit Bhrata. Capra, Fritjof, 1982, The Turning Point : Science, Society, and the Rising Culture, London, Flamingo An Imprint of HarperCollins Publishers. Efendi, Jonaedi, 2010, Mafia Hukum : menguak praktik tersembunyi jual-beli hukum dan alternative pemberantasannya dalam perspektif hukum progresif, , Jakarta Prestasi Pustaka Publisher. Ginsberg, Morris, 2003, Keadilan Dalam Masyarakat, terjemahan dari ―On Justice in Society‖ , Yogyakarta, Pondok Edukasi. Huijbers, Theo, 1995, Filsafat Hukum, Yogyakarta, Penerbit Kanisius. ----------------, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta, Penerbit Kanisius. Hutagalung, Thoga H., 1993, Beberapa Pemikiran Tentang Hukum yang dikemukakan oleh beberapa aliran, Bandung, CV. Armico. Kusumah, Mulyana W., 1986, Perspektif, Teori, dan Kebijaksanaan Hukum, Jakarta, CV. Rajawali. Leyh, Gregory, 2008, Hermeneutika Hukum : Sejarah, Teori, dan Praktik (terjemahan oleh M. Khazim), Bandung, Nusa Media. Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana.
468
Penegakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika Hukum
Mertokusumo, Sudikno, 1984, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Yogyakarta, Penerbit Liberty. Nurrachman, Nani, 2004, dari tulisannya yang berjudul Keadilan dalam perspektif psiko-sosial dalam buku Keadilan Sosial : upaya mencari makna kesejahteraan bersama di Indonesia, Jakarta, Penerbit Kompas. Notonagoro, 1987, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Jakarta, Bina Aksara. Notohamidjojo, O., 1975, Demi Keadilan dan Kemanusiaan : Beberapa Bab dari Filsafat hukum, Jakarta, BPK Gunung Mulia. Nonet, Philippe dan Selznick, Philip, 2003, Hukum Responsif : Pilihan di Masa Transisi (terjemahan dari ―Law & Society in Transition : Toward Responsive Law‖ dengan penerjemah : Rafael Edy Bosco, Jakarta, Penerbit HuMa. Rahardjo, Satjipto, 2007, Membedah Hukum Progresif, Jakarta, Penerbit Buku Kompas. ---------------------, 2009, Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum, Malang, Bayu Media Publishing. ---------------------, 2009, Pendidikan Hukum Sebagai Pendidikan Manusia : Kaitannya Dengan Profesi Hukum dan Pembangunan Hukum Nasional, Yogyakarta, Genta Publishing. Saleh, Roeslan, 1991, Penjabaran Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 Dalam Perundang-undangan, Jakarta, Sinar Grafika. Semiawan, Conny R., dkk, 1988, Dimensi Kreatif Dalam Filsafat llmu, Bandung, Penerbit Remadja Karya CV. Setiardja, A. Gunawan, 1990., Dialektika Hukum dan Moral : dalam pembangunan masyarakat Indonesia, Yogyakarta, Penerbit Kanisius. Sudjito (ahli filsafat ilmu hukum dari UGM Yogakarta), 2006, Chaos theory of law : penjelasan atas keteraturan dan ketidakteraturan, dalam Media Hukum Volume 18, Nomor 2. ---------------, 2009, Negara Hukum Dalam Perspektif Pancasila, Yogyakarta, Makalah yang disampaikan dalam Kongres Pancasila, Kerjasama Mahkamah Konstitusi RI dan Universitas Gadjah Mada. Sugiharto, I. Bambang, 1996, Postmodernisme : Tantangan Bagi Filsafat, Yogyakarta, Penerbit Kanisius. Widyadharma, Ign. Ridwan, 1999, Menata Peradilan Indonesia, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Zakiah, Wasingatu, dkk, 2004, Panduan Eksaminasi Publik dan Hasil Eksaminasi Publik Perkara Akbar Tanjung, Jakarta, Penerbit Indonesian Corruption Watch.
469
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
470
ISSN : 2303-3274
BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEKAYAAN MINYAK DAN GAS BUMI SEBAGAI ASET NEGARA MELALUI INSTRUMEN KONTRAK
Faizal Kurniawan Dosen Fakultas Hukum Univeritas Airlangga
[email protected] Abstrak Negara mempunyai kekuasaan untuk mengelola sumber daya alam demi mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum dan untuk kemakmuran rakyat. Instrumen hukum kontrak menjadi payung hukum utama sebagai upaya perlindungan hukum terhadap asset negara yang berupa minyak dan gas bumi. Kontrak Bagi Hasil menjadi pilar dasar dalam upaya pengelolaan dan pemanfaatan kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Kontrak Bagi Hasil merupakan kontrak publik yang tidak sepenuhnya tunduk pada hukum privat. Dalam melakukan hubungan kontraktualnya, negara tidak boleh dirugikan (imunitas negara) dan harus memperhatikan klausula-klausula yang menitikberatkan pada perlindungan asset negara. Kata Kunci: Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Publik, Imunitas Negara, Klausula Perlindungan Asset Negara. Abstract State has the power to manage natural resources for the sake of social justice, the general welfare and are used as much as possible the greatest benefit for the greatest welfare of people. Contract law is the main instrument used to protect the state assets including oil and gas. Production Sharing Contract as a legal safeguard for oil and gas, is a fundamental pillar in the effort and utilization management activities of oil and gas. In the contracts involving the Government, called government contract, there is a unique characteristic which is not entirely subject to private law. In principle, the state should not be harmed, called as state immunity. This principle also applies universally in the interest of protecting the state assets. Keywords: Production Sharing Contract, Government Contract, State Immunity, Protection of State Assets Clause. A. Pendahuluan Sumber kekayaan alam Indonesia yang sangat strategis dan memiliki peranan penting terhadap perekonomian nasional antara lain adalah sumber daya alam berupa minyak dan gas bumi yang harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Hal ini ditegaskan pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam hal ini pemerintah yang diberikan kewenangan oleh Negara dalam bentuk Kuasa Pertambangan untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi Minyak dan Gas Bumi. Menurut Undang-undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, eksplorasi adalah kegiatan yang dilakukan dalam rangka memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan Minyak dan Gas Bumi. Ditegaskan pula dalam Undang-undang ini bahwa eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan menghasilkan minyak dan gas bumi yang terdiri atas kegiatan pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan Gas Bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya. Pengelolaan sumber daya alam ini hendaknya secara maksimal memberikan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, sehingga kegiatan pengelolaannya sangatlah penting untuk dilaksanakan dengan baik. Salah satu instrumen hukum atau sarana terpenting yang dapat digunakan adalah kontrak, khususnya Kontrak Bagi Hasil atau disebut juga Production Sharing Contract. Production Sharing Contract (Kontrak Bagi Hasil) ini merupakan sarana yang spesifik ditujukan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan dalam eksplorasi dan eksploitasi pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Permasalahan tersebut antara lain dalam hal terdapat keterbatasan modal, teknologi, dan sumber daya manusia. Kontrak ini dilakukan sebagai salah satu kontrak kerjasama yang dilaksanakan dalam rangka untuk memberikan perlindungan terhadap asset Negara serta memberikan keuntungan bagi Negara. Kontrak Kerja Sama dilakukan antara pemerintah dengan kontraktor yang merupakan Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap, dalam perkembangannya Kontrak Kerja Sama ini menjadi hal krusial karena disebabkan banyaknya pihak yang memiliki kepentingan terhadap minyak dan gas bumi sehingga hal ini kemudian memunculkan urgensi perlindungan asset Negara dalam pengelolaan migas. Berdasar latar belakang tersebut diatas, maka masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut: a. Bentuk perlindungan hukum terhadap aset negara terkait dengan pengelolaan minyak dan gas bumi; b. Klausula-klausula sebagai upaya preventif perlindungan aset negara dalam Kontrak Bagi Hasil (Production sharing contract). B.
Pembahasan Kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract) merupakan kontrak kerjasama dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract) ini melibatkan pemerintah selaku kontraktan. Kontrak yang melibatkan penguasa ini sebagai pihak lazim
472
Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Minyak dan Gas Bumi Melalui Kontrak
disebut sebagai government contract. Y. Sogar Simamora menterjemahkan istilah tersebut dengan kontrak pemerintah.166 Ketika pemerintah memasuki hubungan kontraktual dalam skala privat, pemerintah mempunyai peran ganda (double role). Di satu sisi pemerintah kedudukannya seperti subjek privat lain, tetapi di sisi lain kedudukannya sebagai badan publik tidak terlepaskan. Ketika pemerintah menjalin perikatan dalam skala privat maka sejak itu harus dinilai pemerintah menyatakan tunduk pada aturan privat. Dalam situasi ini berlakulah segala konsekuensi hukum yang timbul akibat hubungan yang dibentuk itu yaitu konsekuensi berlakunya prinsip dan aturan hukum dalam lapangan Hukum Perdata baik yang bersifat materiil maupun formil.167 Sehingga pada dasarnya pemerintah tidak kebal dan dapat digugat. 1. Prinsip, fungsi dan kewenangan Negara dalam pengelolaan Minyak dan Gas Bumi sebagai Kekayaan Alam yang dikuasai Negara a. Prinsip, hak penguasaan dan kewenangan Negara Kekuasaan Negara atas sumber daya alam melahirkan penguasaan Negara dimana hak penguasaan tersebut diantaranya kewenangan untuk mengatur, mengawasi, dan mengurus segala bentuk pengusahaan dan pengelolaan kekayaan alam, serta mempunyai tanggung jawab untuk dipergunakan dan ditujukan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, sebagaimana mandat UUD 1945 Pasal 33. Kewenangan yang melekat pada Negara, dalam hal ini dilakukan oleh pemerintah merupakan suatu kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 melalui UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disingkat UU Migas) sebagai derivasinya dengan tujuan mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat168. Atas dasar hubungan Hak Penguasaan Negara dengan objek kepemilikan atau juga merupakan objek Hak Penguasaan Negara, maka Hak Penguasaan Negara harus dilihat dalam konteks hak dan kewajiban Negara sebagai pemilik (domein) yang bersifat publiekrechtelijk, bukan sebagai eignaar yang bersifat privaaterechttelijk169. Status kepemilikan yang diperoleh pemerintah atas Migas dinyatakan dalam ketentuan Pasal 6 UU Migas ayat 2 huruf a (wewenang atributif) yakni kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan pemerintah sampai pada titik penyerahan. Namun, Hak Penguasaan Negara itu sendiri juga mempunyai sifat dari segi privat, yakni pada saat terjadinya suatu hubungan hukum antara Negara sebagai badan hukum publik dengan pihak badan hukum perdata/ swasta (BUMN, BUMD, Koperasi, Perusahaan/ Badan Usaha Asing, dan PMA) dalam hal pengusahaan migas dari mulai kegiatan hulu sampai kegiatan hilir. Hal ini terjadi tatkala Negara, 166 167 168 169
Y. Sogar Simamora, 2009, Prinsip Hukum Kontrak Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Oleh Pemerintah, Laksbang PRESSindo, Yogyakarta, h. 55 Ibid., h. 93 Ibid, h. 18-19. Ibid, h. 33. 473
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
yang dikuasakan kepada pemerintah menjalankan fungsi mengurus objek kekayaan alam, yang dilandaskan dalam bentuk perjanjian kerja sama. Dalam keadaan yang demikian, penguasa Negara atau pemerintah menurut Kranenburg dan Vegting bertindak sebagai organ dari badan publik yang berupa private rechtpersoonlijkeheid170. Negara sebagai subjek hukum memiliki kekayaan yang dimilikinya dalam posisi sebagai majikan dan badan hukum perdata sebagai pemborong atau pembeli171. Hal ini dilakukan karena peranan Negara sebagai pemegang kekuasaan, maka Negara berwenang untuk memberikan kuasa kepada badan usaha atau perorangan untuk melakukan pengusahaan/ pengelolaan atas bahan galian yang ada dalam wilayah hukum pertambangan indonesia172. Hal ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 4 UU Migas, yang menyatakan : 1) Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh Negara 2) Penguasaan oleh Negara sebagaimana dimkasud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan 3) Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan membentuk Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 23. b. Tugas dan Wewenang Pemerintah 1. Kewenangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dalam konstitusi UUD 1945 Pasal 4, menyatakan bahwa Presiden memegang Kekuasaan pemerintahan dan dalam Pasal 17 menyatakan bahwa presiden dalam menjalankan roda pemerintahan dibantu oleh menteri-menteri Negara yang membidangi urusan-urusan tertentu pemerintahan, yang salah satunya ialah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (selanjutnya disebut, ESDM). Fungsi dan kewenangan yang melekat pada Menteri ESDM dalam Pasal 12 UU Migas yang menyatakan, 1) Wilayah kerja yang akan ditawarkan kepada badan uaha atau bentuk usaha tetap ditetapkan oleh menteri setelah berkonsulasi dengan pemerintah daerah. 2) Penawaran wilayah kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh menteri. 3) Menteri menetapkan badan usaha atau bentuk usaha tetap yang diberi wewenang melakukan kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi pada wilayah kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). Namun, pada tahun 2003 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan suatu keputusan yang menyatakan Pasal 12, khususnya ayat 3 dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 002/ PUU-I/ 2003 tentang Uji Materi UU Migas terhadap UUD 1945. Putusan Mahkamah 170 171 172
474
Ibid, h. 58. Ibid. Ibid.
Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Minyak dan Gas Bumi Melalui Kontrak
Konstitusi dapat diterjemahkan bahwa kata-kata “diberi wewenang” mengandung arti bahwa menteri berdasarkan Undang-undang dapat memberikan kewenangan publik yang ada padanya kepada Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap173. Secara lebih khusus wewenang menteri dalam hal-hal tertentu yang lebih bersifat teknis dalam bidang pembinaan dan pengawasan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas yang dimandatkan kepada Direktur Jenderal Migas yang memimpin Ditjen Migas174. Dalam melaksanakan fungsi, Menteri ESDM atau Direktorat Jenderal Migas berwenang mengeluarkan berbagai perijinan terkait kegiaan eksplorasi dan eksploitasi, dengan demikian fungsi yang dijalankan sebagai Administrasi Negara sangat menonjol karena kewenangan tersebut175. Dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disingkat PP No.35/2004) jo Peratuan Pemerintah No. 34 tahun 2005 tentang Perubahan Atas PP No. 35 tahun 2004 (selanjutnya disingkat PP No. 34/2005), bahwa Menteri dalam menetapkan kebijakan penawaran Wilayah Kerja harus berdasarkan pada pertimbangan tekhnis, ekonomis, tingkat resiko, efisiensi, dan berazaskan keterbukaan, keadilan, akuntabilitas, dan persaingan. 2.
Kewenangan Menteri ESDM Dalam Pelaksanaan Kegiatan Hulu Migas Kewenangan Menteri ESDM dalam pelaksanaan kegiatan hulu migas pada dasarnya ditujukan untuk terciptanya Kontrak Kerja Sama sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 24 PP No. 35/ 2004 jo PP No. 34/ 2005, bahwa kegiatan usaha hulu dilaksanakan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Satuan Kerja Khusus Migas (selanjutnya disingkat SKK Migas). Meskipun KKS tersebut dilakukan antara kontraktor dengan SKK Migas bukan berarti menteri tidak mempunyai kewenangan dalam proses kegiatan tersebut, justru kewenangan menteri disini sangat vital dalam menetapkan bentukbentuk dan ketentuan pokok Kontrak Kerjasama setelah mendapatkan pertimbangan dari Kepala SKK Migas. Disamping itu menteri juga berwenang dalam hal memberikan persetujuan terhadap permohonan yang dimohonkan oleh kontraktor migas mengenai perpanjangan jangka waktu yang dimiliki KKS, pengalihan, pemindahtanganan, dan penyerahan sebagian atau seluruh hak dan kewajiban yang melekat padanya (participating interest). 3.
Kedudukan dan kewenangan SKK Migas sebagai pengganti BP Migas Keberadaan SKK Migas dalam percaturan dunia migas di Indonesia merupakan hal yang baru. Kedudukan hukum SKK Migas berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 Tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas Dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi (selanjutnya disingkat Perpres 173 174 175
Didik S Setyadi, 2007, Aspek Hukum Administrasi Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi di Indonesia, Nusantara Makmur, Surabaya , h. 36. Ibid, h. 33. Ibid. 475
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
95/2012) dan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disingkat Perpres 9/2013) adalah untuk menggantikan peran Badan Pelaksana Migas (BP Migas) dalam melaksanakan fungsi pengendalian dan pengawasan kegiatan usaha hulu di bidang migas. Secara keseluruhan MK membatalkan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, Pasal 63 UU Migas. MK juga membatalkan frasa ―dengan Badan Pelaksana‖ dalam Pasal 11 ayat (1), frasa ―melalui Badan Pelaksana‖ dalam Pasal 20 ayat (3), frasa ―berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan‖ dalam Pasal 21 ayat (1), frasa ―Badan Pelaksana dan‖ dalam Pasal 49 UU Migas. Seluruh Pasal tersebut oleh MK dinilai bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Sesuai dengan putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012, BP Migas dibubarkan oleh MK karena menurut pertimbangan MK, BP Migas hanya memiliki fungsi pengendalian dan pengawasan atas pengelolaan migas dan tidak melakukan pengelolaan secara langsung.176 Konsekuensinya model hubungan antara BP Migas sebagai representasi negara dengan Badan Usaha dan Badan Usaha Tetap dalam pengelolaan migas mendegradasi makna penguasaan negara atas sumber daya alam migas dan dengan demikian bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.177 Artinya, konstruksi penguasaan migas melalui BP Migas, negara kehilangan kewenangannya untuk melakukan pengelolaan atau menunjuk secara langsung BUMN untuk mengelola migas sesuai dengan maksud Pasal 33 UUD 1945. Menindaklanjuti putusan MK tersebut, maka dibuatlah Perpres 95/2012 dan Perpres 9/2013 untuk mengisi kekosongan hukum dan mengeliminir ketidakpastian hukum yang berpotensi muncul dalam pelaksanaan industri hulu migas yang tertuang dalam KKS paska dibubarkannya BP Migas. Hanya saja kedudukan SKK Migas bukanlah sebagai badan hukum milik negara (BHMN) seperti BP Migas akan tetapi menjadi unit satuan kerja di bawah menteri (cq. Menteri ESDM). Salah satu isi dari putusan MK berbunyi “Segala hak serta kewenangan BP Migas dalam KKS setelah putusan ini, dilaksanakan oleh Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara yang ditetapkan oleh Pemerintah.” Salah satu isi putusan tersebut kemudian ditindaklanjuti dalam Pasal 1 Perpres 95/2012 bahwa pelaksanaan tugas, fungsi, dan organisasi Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dialihkan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang minyak dan gas bumi, sampai dengan diterbitkannya peraturan yang baru dan Pasal 1 Perpres 9/2013 bahwa menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, yang untuk selanjutnya disebut Menteri, membina, mengoordinasikan dan mengawasi penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Dari kedua peraturan tersebut, telah jelas bahwa Pemerintah lebih memilih 176 177
476
Diunggah dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50a2367d37e5c/mk--bpmigas-inkonstitusional Ibid.
Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Minyak dan Gas Bumi Melalui Kontrak
opsi yang diberikan oleh putusan MK terkait pembubaran BP Migas untuk melimpahkan tugas dan wewenang BP Migas kepada menteri yang membawahi langsung bidang migas daripada Badan Usaha Milik Negara. Kemudian Pasal 3 Perpres 95/2012 juga menegaskan bahwa seluruh proses pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang sedang ditangani oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, dilanjutkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang minyak dan gas bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan uraian tersebut, maka segala hak dan kewajiban yang melekat pada BP Migas baik karena undang-undang maupun KKS beralih ke dan diemban oleh SKK Migas sebagai unit satuan di bawah Menteri ESDM sebagai subjek kontrak (konraktan) pengganti dalam KKS. Meski BP Migas adalah pihak yang sebelumnya menandatangani setiap KKS, akan tetapi dengan bubarnya BP Migas yang berarti syarat sahnya perjanjian pada Pasal 1320 BW tidak terpenuhi dengan tidak adanya salah satu pihak, tidak secara otomatis setiap KKS menjadi tidak sah atau batal demi hukum. Mengingat ada terdapat sekian banyaknya KKS-KKS yang ada adalah tidak mungkin bagi Pemerintah untuk tidak melindungi kepentingan para investor migas dan triliunan modal yang telah ditanam tersebut. Mengenai problematika tersebut pada Pasal 2 Perpres 95/2012 telah menegaskan bahwa segala Kontrak Kerja Sama yang ditandatangani antara Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, KKS merupakan suatu jenis kontrak yang unik dimana pada satu sisi bermuatan hukum privat dan disisi lain bermuatan hukum publik. Apa yang terkandung dalam kontrak pemerintah pada dasarnya adalah kemauan sepihak dari pemerintah. Syarat-syarat dalam kontrak telah disiapkan secara sepihak oleh pemerintah. Pihak kontraktor migas hanya mempunyai dua pilihan, setuju atau tidak. Sama sekali tertutup kemungkinan melakukan penawaran balik. Eksistensi KKS bersumber dari UU Migas, termasuk di dalamnya pihak BP Migas sebagai rekan kontrak kontraktor migas. Oleh putusan MK yang membatalkan beberapa pasal dalam UU Migas mengenai eksistensi dan kedudukan BP Migas sebagai konsekuensi logisnya adalah dibubarkannya BP Migas. Apabila diperhatikan mengenai alur logika hukum dari eksistensi KKS tersebut, maka dapat dipastikan perubahan entitas kelembagaan dari pihak Pemerintah tidak berpengaruh terhadap jalannya KKS dan juga otomatis tidak memerlukan adanya kesepakatan dengan para kontraktor migas berhubungan dengan kedudukan Pemerintah disamping memposisikan sebagai entitas privat juga sebagai entitas publik yang tentunya ada sifat-sifat publik beserta segala proses perubahan yuridispublik beserta konsekuensi hukum yang muncul yang melekat pada keudukan Pemerintah tersebut. Seperti halnya BP Migas sebelumnya, keberadaan SKK Migas sebagai penerus BP Migas dalam skema KKS kegiatan hulu migas tetap tidak menganut skema perjanjian ―B to B‖ (Business to Business) tetapi ―B to G― (Business to 477
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Government). Hal ini dikarenakan setiap hak dan kewajiban yang melekat pada BP Migas beralih kepada SKK Migas dan dengan demikian konsekuensi hukumnya pun sama meskipun secara kelembagaan telah berbeda. Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya, maka dengan tegas dapat dikatakan bahwa tugas dan kewenangan pada BP Migas juga sekaligus merupakan tugas dan kewenangan SKK Migas. Dan berikut ini kewenangan BP Migas yang saat ini dilaksanakan oleh SKK Migas. Dalam Pasal 12 PP No. 42/ 2002 jo. Pasal 1 Perpres 95/2012 jo. Pasal 1 dan Pasal 2 ayat (1) Perpres 9/2013, SKK Migas memiliki kewenangan, antara lain meliputi: a) Membina kerja sama dalam rangka terwujudnya integrasi dan sikronisasi kegiatan operasional kontraktor KKS; b) Merumuskan kebijakan atau anggaran dan program kerja konraktor KKS; c) Mengawasi kegiatan utama operasional kontraktor KKS; d) Membina seluruh asset kontraktor KKS ang menjadi milik Negara; e) Melakukan koordinasi dengan pihak dan atau instansi terkait yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan usaha hulu migas. Tujuan terpenting dalam fungsi pengawasan dan pengendalian yang dilakukan oleh SKK Migas adalah pengawasan dan pengendalian untuk:178 a) Optimalisasi penerimaan Negara b) Pengendalian pembelanjaan untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang dikemudian hari setelah kegiatan tersebut berproduksi harus diganti/ dikembalikan oleh pemerintah dari bagi hasil produksi migas yang lazim disebut dengan istilah Cost Recovery. Salah satu tugas utama dalam hal pengendalian dan pengawasan yang dilakukan SKK Migas adalah memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran (WP&B dan AFE) semua kegiatan usaha hulu migas yang dilakukan oleh setiap badan usaha dan bentuk usaha tetap yang menjadi kontraktor KKS di setiap wilayah kerja.179 Salah satu bentuk pengawasan dan pengendalian yang dilakukan oleh SKK Migas melalui KKS lainnya ialah SKK Migas mempunyai kewenangan dalam penandatanganan perjanjian lainnya yang masih memiliki keterkaitan dalam KKS tersebut, hal itu dinyatakan dalam ketentuan Pasal 86 ayat 5 dan 6 PP No. 35/ 2004 jo PP No. 34/ 2005 jo. Pasal 1 Perpres 95/2012 jo. Pasal 1 dan Pasal 2 ayat (1) Perpres 9/2013. Disamping itu SKK Migas juga mempunyai beberapa tugas yang diatur dalam ketentuan Pasal 90 PP No. 35/ 2004 jo PP. 34/ 2005 jo. Pasal 1 Perpres 95/2012 jo. Pasal 1 dan Pasal 2 ayat (1) Perpres 9/2013, antara lain: a) Memberikan pertimbangan kepada menteri atas kebijakannya dalam hal penyiapan dan penawaran wilayah kerja serta KKS; b) Melaksanakan penandatanganan KKS;
178 179
478
Ibid, h. 39. Ibid.
Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Minyak dan Gas Bumi Melalui Kontrak
c)
Mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu wilayah kerja kepada menteri untuk mendapatkan persetujuan; d) Memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf c; e) Memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran; f) Melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada menteri mengenai pelaksanaan KKS; g) Menunjuk penjual migas bagian Negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi Negara. Apabila diperhatikan, salah satu tugas yang diemban sebelumnya oleh BP Migas dan yang kini dilanjutkan oleh SKK Migas adalah melaksanakan penandatanganan KKS. Dengan pemahaman bahwa segala bentuk fungsi, tugas, dan tanggung jawab pengawasan dan pengelolaan migas yang sebelumnya melekat pada BP Migas kini melekat pada SKK Migas berdasarkan Perpres 95/2012 dan Perpres 9/2013 maka SKK Migas berwenang menandatangani KKS dengan kontraktor migas. Itulah sebabnya mengapa pemahaman ini linier dengan konsekuensi yuridis formal bahwa dengan bubarnya BP Migas tidak menyebabkan batalnya KKS sebab peran BP Migas dengan seluruh fungsi, tugas, wewenang, hak dan kewajiban yang timbul dari KKS, termasuk pula akibat hukum yang dihasilkan dari peristiwa penandatanganan oleh BP Migas terhadap KKS, dialihkan secara serentak dan menyeluruh kepada SKK Migas tanpa ada satupun reduksi wewenang, hak, dan kewajiban. 2. Hak Imunitas Pemerintah Sebagai pemenuhan akan kebutuhan pelayanan publik, Pemerintah dituntut untuk memenuhi kebutuhan tersebut secara permanen dan rutin demi kesejahteraan rakyat. Adapun cara yang dilakukan oleh Pemerintah dalam memenuhi kebutuhan yang dimaksud adalah seperti halnya dengan individu, yakni dengan melakukan hubungan kontraktual dengan pihak lain. Instumen hukum kontrak menjadi koridor hukum yang sangat penting sebagai upaya perlindungan hukum terhadap asset negara. Urgensi Kontrak Kerjasama (KKS) sebagai upaya perlindungan hukum terhadap asset negara akan dibahas lebih lanjut pada Bab selanjutnya. Kontrak tersebut merupakan aturan main (rule of the game) bagi para pihak yang bertindak sebagai kontraktan. Di dalam kontrak-kontrak yang melibatkan Pemerintah sebagai salah satu kontraktannya, maka karakteristik kontrak tersebut tidak sepenuhnya tunduk pada hukum privat. Salah satu aspek terpenting dalam kontrak yang melibatkan Pemerintah adalah menyangkut imunitas (kekebalan) Pemerintah manakala digugat di muka pengadilan. Demi melindungi keuangan Negara terdapat peraturan yang juga berfungsi sebagai upaya untuk melindungi kekayaan Negara. Pengaturan ini
479
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
terdapat dalam Pasal 50 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara yang menyebutkan: ―Pihak mana pun dilarang melakukan penyitaan terhadap: 1 uang atau surat berharga milik negara/daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga; 2 uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada negara/daerah; 3 barang bergerak milik negara/daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga; 4 barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik negara/daerah; 5 barang milik pihak ketiga yang dikuasai oleh negara/daerah yang diperlukan untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan‖. Urgensi dikeluarkannya aturan tersebut tidak lain adalah sebagai landasan hukum bagi pengelolaan keuangan negara. Prinsip larangan sita yang terkandung dalam Pasal 50 tersebut merupakan penyimpangan dari prinsip sita sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1131 jo. 1132 BW. 180 Implikasi larangan sita atas aset negara dalam kaitan dengan kontrak pemerintah yang dibuat dan tunduk pada hukum Indonesia membawa konsekuensi bahwa pemerintah kebal atas tuntutan di muka hakim. Konsekuensi kekebalan dimaksud juga tetap mengikat meskipun terdapat klausula yang menyatakan pelepasan terhadap aset negara dan sepenuhnya tunduk pada hukum privat.181Pada prinsipnya apabila negara ingin melakukan hubungan kontraktual dengan pihak lain yakni negara tidak boleh dirugikan. Prinsip ini juga berlaku secara universal demi kepentingan melindungi asset negara. 3. PSC Sebagai Instrumen Perlindungan Terhadap Kekayaan Negara Berupa Minyak dan Gas Bumi Sebagaimana yang telah disinggung pada bab sebelumnya, bahwa kontrak pemerintah mempunyai karakteristik yang berbeda dengan kontrak yang dibuat secara umum antara subjek hukum privat dikarenakan terdapat unsur publik. Seringkali peran pemerintah sebagai double role yakni sebagai subjek hukum publik dan subjek hukum privat, banyak menimbulkan permasalahan khususnya manakala pemerintah melakukan kontraktualisasi. Kontrak yang dibuat oleh pemerintah tersebut pada dasarnya merupakan kategori perbuatan hukum privat. Hubungan hukum yang lahir merupakan hubungan hukum yang lahir dalam lapangan hukum perdata meskipun di dalam kontrak pemerintah ini beraku juga syarat-syarat khusus hukum publik dalam pembentukannya.182 Prinsip hukum yang penting untuk diperhatikan dalam kontrak yang melibatkan pemerintah sebagai 180
181 182
480
Bahwa atas Pasal 50 UU No 1/ 2004 ini diajukan judicial review oleh Tedjo Bawono dalam kasus sengketa sungai Brantas Surabaya, dimana Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor 46/PUU-VI/ 2008 menyatakan permohonan dimaksud TIDAK DAPAT DITERIMA dengan pertimbangan bahwa pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional dan Hakim memandang permasalahan tersebut hanya pada penerapan hukumnya. Y. Sogar Simamora, Op.Cit., h. 103. Ibid., h. 91.
Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Minyak dan Gas Bumi Melalui Kontrak
kontraktan adalah; pertama kewenangan pejabat dalam membuat dan menandatangani kontrak baik pemenuhan terhadap prosedur dan tanggng gugatnya. Kedua, hubungan hukum yang lahir merupakan hubungan hukum perdata dan oleh karenanya jenis kontrak ini sepenuhnya tunduk pada prinsip dan norma hukum kontrak dalam BW. Ketiga, kedudukan pemerintah sebagai kontraktan membawa kosekuensi adanya larangan sita.183 4.
Karakteristik PSC a. Pengertian dan Ruang Lingkup Production Sharing Contract Kegiatan usaha minyak dan gas bumi terdiri atas kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir.184 Cakupan kegiatan usaha hulu adalah kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, sedangkan cakupan kegiatan usaha hilir meliputi pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga.185 Berdasarkan ketentuan Pasal 6 UU Migas bahwa kegiatan usaha hulu dilaksanakan melalui Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 19 UU Migas. Adapun pengertian Kontrak Kerja Sama berdasar Pasal 1 angka 19 UU Migas adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. Dalam UU Migas tidak disebutkan pengertian mengenai Kontrak Bagi Hasil/Production Sharing Contract, dus hanya menyebutkan bahwa PSC merupakan salah satu bentuk dari Kontrak Kerja Sama dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Namun ketentuan Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi memuat pengertian mengenai Kontrak Bagi Hasil yaitu, suatu bentuk kontrak kerja sama dalam kegiatan usaha hulu berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi. Dengan demikian, Kontrak Bagi Hasil/Production Sharing Contract merupakan instrumen yang digunakan oleh pemerintah dalam penyelenggaraan kegiatan usaha minyak dan gas bumi, khususnya kegiatan usaha hulu. Kontrak Bagi Hasil merupakan sebuah government contract yang artinya bahwa pemerintah merupakan subjek dalam kontrak186, dan merupakan sebuah regulated contract, yaitu bahwa telah ditentukan mengenai klausula-klausula yang harus ada dalam Kontrak Bagi Hasil. Pengaturan mengenai klausul yang harus ada dalam Kontrak Bagi Hasil terdapat dalam UU Migas, Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (PP BP Migas) jo. Perpes 95/2012 jo. Perpres 9/2013, dan Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (PP Kegiatan Usaha Hulu Migas) jo. Peraturan Pemerintah No.
183
Ibid., 105. Undang-Undang No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, LN tahun 2001 No. 136, TLN No. 4152, ps. 5. Ibid. Y. Sogar Simamora, op. cit., h. 55.
184 185 186
481
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
34 tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2004. Dalam Kontrak Bagi Hasil, pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan membentuk SKK Migas untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang minyak dan gas bumi.187 SKK Migas adalah suatu unit satuan kerja di bawah naungan Menteri ESDM yang menggantikan fungsi BP Migas yang diberi wewenang untuk melaksanakan pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan kontrak kerja sama.188 Dalam hal ini SKK Migas mempunyai tugas utama untuk menandatangani dan melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan Kontrak Bagi Hasil dengan Badan Usaha dan Badan Usaha Tetap dalam satu wilayah kerja.189 Sebagai sebuah perjanjian untuk mengambil dan mengelola kekayaan negara, UU Migas mengharuskan setiap Kontrak Kerja Sama yang telah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Repulik Indonesia (DPR-RI).190 Pemberitahuan ini merupakan sebuah wujud partisipasi rakyat dalam pengendalian kegiatan eksplorasi dan eksplorasi migas oleh pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan. Namun partisipasi rakyat secara langsung tersebut relatif kecil karena DPR hanya dapat melakukan fungsi pengawasan pasca Kontrak Kerja Sama ditandatangani namun tidak terlibat dalam proses awal sampai tahap penandatanganan. Lawan kontrak dari SKK Migas dalam Kontrak Bagi Hasil disebut Badan Usaha dan Badan Usaha Tetap. Pengertian Badan Usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus dan didirikan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Badan Usaha dalam hal ini bisa berwujud badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi/usaha kecil, ataupun badan usaha swasta. Sedangkan pengertian Badan Usaha Tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan Indonesia dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia. Dalam Production Sharing Contract ini, setiap Badan Usaha atau Badan Usaha Tetap hanya diberikan satu wilayah kerja. Namun jika Badan Usaha atau Badan Usaha Tetap mengusahakan beberapa wilayah kerja, maka UU Migas mensyaratkan agar dibentuk badan hukum yang terpisah untuk setiap wilayah kerja. 187 188 189 190
482
Undang-Undang No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, op. cit., ps. 4. Didik S. Setiyadi, op. cit., h. 38. Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, LN tahun 2002 No. 81, TLN No. 4216, ps. 15. Undang-Undang No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, op. cit., ps. 11 ayat (2).
Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Minyak dan Gas Bumi Melalui Kontrak
Kontrak Bagi Hasil memiliki jangka waktu selama 30 tahun (terdiri atas jangka waktu eksplorasi dan jangka waktu eksploitasi) dan dapat diperpanjang dengan jangka waktu perpanjangan paling lama 20 tahun untuk setiap perpanjangan (jangka waktu untuk kegiatan eksplorasi adalah selama 6 tahun, dan dapat diperpanjang hanya satu kali paling lama 4 tahun berdasarkan permintaan dari kontraktor selama kontraktor telah memenuhi kewajiban minimun menurut Kontrak Kerja Sama yang persetujuannya dilakukan oleh SKK Migas).191 Permohonan perpanjangan kontrak tersebut diajukan oleh kontraktor terhadap Menteri ESDM melalui SKK Migas. SKK Migas berperan dalam mengevaluasi permohonan perpanjangan kontrak sebagai bahan pertimbangan Menteri ESDM dalam memberikan persetujuan atau penolakan, hal mana pertimbanganpertimbangan tersebut antara lain mengenai potensi cadangan minyak dan/atau gas bumi dari wilayah kerja yang bersangkutan, potensi atau kepastian pasar/kebutuhan, dan kelayakan teknis/ekonomis. Permohonan perpanjangan kontrak dapat disampaikan paling cepat 10 tahun dan paling lambat 2 tahun sebelum kontrak berakhir, namun dalam hal kontraktor telah terikat dengan kesepakatan jual beli gas bumi, kontraktor dapat mengajukan perpanjangan kontrak lebih cepat dari batas waktu. b. Hak dan Kewajiban Para Pihak Sebagai sebuah perjanjian timbal balik, Production Sharing Contract melekatkan hak dan kewajiban kepada para pihak. Apa yang menjadi hak bagi kontraktor adalah kewajiban dari dari SKK Migas, begitupun sebaliknya, apa yang menjadi hak dari SKK Migas merupakan sebuah kewajiban bagi kontraktor. UU Migas mengatur mengenai klausul hak dan kewajiban para pihak yang wajib ada dalam sebuah Kontrak Kerja Sama, yaitu: a. Penerimaan negara; b. Wilayah kerja dan pengembaliannya; c. Kewajiban pengeluaran dana; d. Perpindahan kepemilikan hasil produksi atas minyak dan gas bumi; e. Jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak; f. Penyelesaian perselisihan; g. Kewajiban pemasokan minyak dan/atau gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri; h. Berakhirnya kontrak; i. Kewajiban pascaoperasi pertambangan; j. Keselamatan dan kesehatan kerja; k. Pengelolaan lingkungan hidup; l. Pengalihan hak dan kewajiban; m. Pelaporan yang diperlukan; 191
Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, LN tahun 2004 No. 123, TLN No. 4435, ps. 27. 483
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
n. o. p.
ISSN : 2303-3274
Rencana pengembangan lapangan; Pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri; Pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat; q. Pengutamaan penggunaan tenaga kerja indonesia. Salim H. S. menyajikan kewajiban kontraktor menurut ketentuan section V Production Sharing Contract antara lain:192 1. Menyediakan semua biaya yang diperlukan untuk membeli atau menyewa peralatan dan material; 2. Menyediakan segala bantuan teknis, termasuk tenaga kerja asing; 3. Menyediakan biaya lain untuk pelaksanaan program kerja termasuk pembayaran kepada pihak ketiga (asing) yang memberikan jasa kepada kontraktor; 4. Bertanggung jawab atas persiapan dan pelaksanaan program kerja yang akan dilakukan dengan cepat dan dengan menggunakan metode ilmiah; 5. Melakukan peninjauan tentang kondisi lingkungan pada awal kegiatan; 6. Mengambil tindakan-tindakan pencegahan untuk melindungi sistem ekologi, pelayaran, penangkapan ikan dan mencegah meluasnya pencemaran laut, sungai-sungai, dan lain-lain, sebagai akibat langsung dari pelaksanaan operasi; 7. Mengeluarkan semua peralatan yang digunakan dari wilayah kontrak sesuai ketentuan SKK Migas dan Pemerintah Indonesia. Alat ini baru dikeluarkan setelah masa kontrak berakhir; 8. Melakukan pemulihan semua lokasi pengeboran sesuai dengan Peraturan Pemerintah, yang bertujuan untuk mencegah risiko terhadap kehidupan manusia dan harta benda atau lingkungan; 9. Memasukkan anggaran tahunan biaya operasional, taksiran biaya pemulihan dan pembebasan lokasi untuk setiap sumur eksplorasi dalam program kerja. Semua biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor dalam proses pembebasan sumur-sumur tersebut dan pemulihan lokasi pengeboran akan dibayar sebagai biaya operasional; 10. Memasukkan rencana konstruksi untuk setiap penemuan secara komersial, program pemulihan dan pembebasan lokasi bersama sesuai dengan prosedur pendanaan setiap program; 11. Menyerahkan semua salinan data geologi, geofisika, pengeboran, sumur minyak dan produksi dan data lainnya kepada Pemerintah Indonesia melalui SKK Migas. Kontraktor dapat memegang salinan data asli yang harus disetujui oleh Pemerintah Indonesia; 12. Menyiapkan dan melaksanakan rencana-rencana dan programprogram untuk pelatihan di bidang industri dan pendidikan di Indonesia bagi semua kelompok kerja; 192
484
Salim H. S., op. cit., h. 346.
Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Minyak dan Gas Bumi Melalui Kontrak
13. Menyetujui penjualan dan pengiriman sejumlah minyak kepada Pemerintah Indonesia sebanyak 25% dari total bagi hasil yang diterima kontraktor, penjualan ini baru dilakukan setelah produksi secara komersial; 14. Menggunakan barang-barang dan jasa yang diproduksi di Indonesia atau yang dibuat oleh orang Indonesia; 15. Membayar pajak pendapatan kepada Pemerintah Indonesia, termasuk pajak akhir dari keuntungan yang diperoleh kontraktor; 16. Menaati semua peraturan yang berlaku di Indonesia; 17. Tidak dibenarkan untuk mengungkapkan kepada pihak ketiga tentang data geologi, geofisika, petrofisika, teknis, sumur minyak, dan data lainnya tanpa izin tertulis dari Pemerintah Indonesia. 18. Kontraktor akan memberikan dana minimum sebesar 75.000 ribu dolar Amerika sebelum program kerja tahunan dimulai kepada SKK Migas. Sedangkan hak kontraktor dalam model kontrak Production Sharing Contract yang disajikan oleh Salim H. S. adalah:193 1. Menjual, memberikan, atau memindahkan semua atau sebagian hakhak dan wewenang-wewenangnya menurut kontrak kepada perusahaan cabang dengan syarat harus ada izin tertulis dari SKK Migas; 2. Menjual, memberikan, atau memindahkan semua atau sebagian hakhak dan wewenang-wewenangnya menurut kontrak ini kepada pihakpihak ketiga selain perusahaan cabang dengan izin tertulis dari SKK Migas dan Pemerintah Indonesia; 3. Melakukan pengawasan terhadap semua alat-alat yang disewa; 4. Memasukkan dan mengeluarkan fasilitas-fasilitas dari wilayah kontrak; 5. Menggunakan dan megakses semua data dan informasigeologi, geofisika, pengeboran, sumur minyak dan produksi pada wilayah kontrak yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Semua biaya untuk mendapatkan data dan informasi tersebut akan disediakan oleh kontraktor, dan termasuk biaya operasional; 6. Menjual dan mengekspor minyak mentahnya ke luar negeri; 7. Menunjuk perwakilannya di Jakarta. Kewajiban SKK Migas sesuai ketentuan Section V dari model kontrak Production Sharing Contract adalah:194 1. Bertanggung jawab terhadap manajemen operasional; 2. Membantu dan memperlancar pelaksanaan program kerja kontraktor dengan menyediakan fasilitas, pegawai, dan persediaan, tidak terbatas pada penyediaan atau pembuatan visa, izin kerja, transportasi, perlindungan keamanan, dan hiburan yang mungkin diminta oleh 193 194
Ibid., h. 348. Ibid., h. 349. 485
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
kontraktor, dimana biaya untuk menyediakan hal itu akan ditanggung oleh kontraktor sebagai biaya operasional; 3. Membebaskan kontraktor dari pajak-pajak lain, seperti PPN, Pajak Pemindahan, Pajak Ekspor Impor bahan baku, dan peralatan yang dibawa ke Indonesia; 4. Tidak diperkenankan untuk menyampaikan kepada pihak ketiga semua data asli dari operasi pengeboran minyak, seperti data geologi, geofisika, petrofisika, teknis, sumur minyak, dan data lainnya tanpa izin tertulis dari kontraktor; 5. Menyetujui penggunaan aset oleh pihak ketiga dengan syarat harus ada izin tertulis dari kontraktor. Sedangkan hak dari SKK Migas adalah:195 1. Menerima hasil produksi minyak dan gas bumi, sesuai yang telah ditetapkan antara SKK Migas dengan kontraktor; 2. Menerima pajak pendapatan dan pajak akhir tahun dari kontraktor. Adapun secara umum hak pembayaran yang diterima oleh negara (melalui SKK Migas) dari KKS adalah sebagai berikut:196 1. Pembayaran pajak yang merupakan penerimaan negara; dan 2. Pembayaran bukan pajak yang merupakan penerimaan negara. Penerimaan negara yang berupa pajak, terdiri atas: 1. pajak-pajak; 2. bea masuk, dan pungutan lain atas impor dan cukai; 3. pajak daerah dan distribusi daerah. Penerimaan negara bukan pajak, terdiri atas: 1. bagian negara, yaitu bagian produksi yang diserahkan oleh badan usaha atau usaha tetap kepada negara sebagai pemilik sumber daya minyak dan gas bumi; 2. iuran tetap, yaitu iuran yang dibayar oleh badan usaha atau badan usaha tetap kepada negara sebagai pemilik sumber daya minyak dan gas bumi sesuai luas wilayah kerja sebagai imbalan atas kesempatan untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi; 3. iuran eksplorasi dan eksploitasi, yaitu iuran yang dibayarkan oleh badan usaha atau badan usaha tetap kepada negara sebagai kompensasi atas pengambilan kekayaan alam minyak dan gas bumi yang tak terbarukan; 4. bonus-bonus, yaitu penerimaan dari bonus-bonus penandatanganan. Bonus kompensasi data, bonus produksi dan bonus-bonus dalam bentuk apa pun yang diperoleh SKK Migas dalam rangka kontrak Production Sharing.
195 196
486
Ibid., h. 350. H. Salim H.S., 2004, Hukum Pertambangan Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, h. 293.
Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Minyak dan Gas Bumi Melalui Kontrak
5. Klausula-Klausula yang Bersifat Melindungi Kekayaan Negara Isi Kontrak merupakan apa yang disepakati oleh para pihak yang dituangkan dalam klausula. Klausula kontrak pada prinsipnya terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu Klausula Pokok dan Klausula Penunjang. Klausula Pokok merupakan klausula yang mengatur unsur yang esensial dalam suatu kontrak. Klausula pokok ini mencerminkan jenis kontraknya. Klausula pokok lebih lanjut dapat dikembangkan lebih detail tergantung kesepakatan para pihak.197 Klausula Penunjang yang lazim disebut dengan technical housekeeping clause, merupakan klausula yang menunjang atau melengkapi klausula pokoknya. Jika klausula pokok antara satu jenis kontrak dengan jenis kontrak yang lain berbeda, maka klausula penunjang pada umumnya dijumpai dalam kebanyakan kontrak.198 Klausula ini pada umumnya ada pada setiap jenis kontrak. Dalam menyusun outline kontrak diperlukan pedoman, yaitu: 1. Sistematis, lengkap dan jelas; 2. One clause, one concept; 3. Setiap klausula ( Pasal ) harus diberi judul; 4. Terapkan Prinsip ―3P‘s‖ ( Predict, Provide, dan Protect ); 5. Klausula penunjang ditempatkan di bagian akhir. Mengenai Prinsip 3P‘s, dapat diterapkan pada saat proses perancangan kontrak. Seorang Contract Drafter harus memegang Prinsip 3 P diatas agar kontrak yang dibuat meminimalisir risiko terhindar dari perselisihan. This process requires the drafter to articulate and reflect on the principles, a process which may prevent future disputes. The book constantly emphasisez what i call the three P’s of drafting : Predict what may happen; Provide for that contingency;, and Protect your client with a remedy 199 Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan klausula yang akan dituangkan di dalam kontrak harus dapat mengakomodasi prinsip antara lain : 1. Memprediksi atau memikirkan persesilisihan apa saja yang akan terjadi 2. Menyediakan atau mengatur 3. Melindungi klien atau para pihak a. Prinsip 3 P “Predict” Klasula-klausula ini merupakan contoh dari Prinsip Predict. Relinquishment of areas Klausula ini memuat mengenai syarat dan ketentuan pengembalian wilayah kerja yang dieksploitasi oleh kontraktor. Hal ini juga sejalan dengan ketentuan Pasal 16 UU Migas bahwa badan usaha atau bentuk usaha tetap
197 198 199
Y. Sogar Simamora, op.cit., h.289. Ibid., h.290. Scott J. Burnham, Drafting Contracts second edition, Michie Company, Virginia, 1993, p. 2. 487
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
wajib mengembalikan sebagian wilayah kerjanya secara bertahap atau seluruhnya kepada Menteri. Valuation of crude oil and natural gas Hasil dari eksploitasi yang berupa minyak dan/atau gas bumi akan dinilai dengan Net Realized Price FOB Indonesia. Hal ini untuk menjaga harga minyak dan/atau gas bumi milik negara yang telah dihasilkan oleh kontraktor. Termination Dalam klausula termination, sebuah Kontrak Bagi Hasil tidak bisa diakhiri selama 3 tahun pertama sejak effective date. Namun setelah 3 tahun, jika wilayah tersebut ternyata tidak berpotensi maka kontraktor berhak untuk meminta pengakhiran kontrak. Selain itu jika dalam jangka waktu kontrak, kontraktor tidak bisa melakukan apa yang menjadi kewajibannya, maka BP Migas berhak untuk memutus kontrak agar kemudian wilayah kerja tersbut bisa dikelola oleh kontraktor lainnya. Hal ini guna mengoptimalkan hasil minyak dan gas bumi dalam sebuah wilayah kerja. Consultation and Arbitration Melihat para pihak yang berkontrak, kontrak internasional dapat digolongkan ke dalam empat bentuk sebagai berikut : 1. antara perusahaan dengan Perusahaan asing; 2. antara negara dengan perusahaan asing; 3. antara negara dengan Negara; 4. antara organisasi internasional dengan perusahaan. Dalam hal kontrak internasional antara negara dengan perusahaan asing sebagai Kontraktor, dalam Kontrak Production Sharing, terdapat dua subjek hukum dengan kapasitas yang berbeda. Negara adalah subjek hukum yang sempurna dan mempunyai kekuasaan untuk membuat dan melaksanakan hukum serta mengubah hukum. Kedudukan yang tidak seimbang ini akan berdampak pada kedudukan hukum para pihak, masalah hukum yang berlaku, dan masalah penyelesaian sengketa. Dalam Kontrak Production Sharing yang dijadikan penelitian ini menggunakan Klausula Penyelesaian Sengketanya dengan menggunakan Penyelesaian Sengketa Alternatif yaitu Arbitrase. Para Pihak di dalam Pasal 11 menyebutkan bahwa segala perselisihan yang mungkin terjadi diselesaikan terlebih dahulu dengan jalan musyawarah, baru kemudian jika masih terjadi perbedaan interpretasi dan pelaksanaan yang kurang tepat dalam melaksanakan klausula yang ada di dalam kontrak, serta tidak dapat diselesaikan maka diselesaikan menggunakan Proses Arbitrase. Sifat Putusan dari Arbitrase adalah final dan tidak dapat dilakukan lagi upaya hukumnya dalam hal keberatan dalam Sidang Arbitrase pertama kali Klausula mengenai penyelesaian sengketa ini merupakan implementasi dari Klausula yang harus diprediksi. Prinsip 3P yang ketiga yaitu Prinsip Predict. Penyelesaian sengketa diselesaikan melalui forum arbitrase dengan tiga arbiter 488
Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Minyak dan Gas Bumi Melalui Kontrak
dengan menggunakan International Chamber of Commerce (ICC), setelah para pihak gagal mencapai kesepakatan dengan musyawarah.Tercantum dalam section 11 butir 5. b. Prinsip 3 P “Provide” Klausula dalam section 6 ini merupakan salah satu implementasi Prinsip 3P yang Provide, artinya dapat dilihat bahwa di dalam Kontrak Production Sharing diatur mengenai batasan- batasan mengenai biaya dalam kegiatan dan penanganan kegiatan Eksplorasi dan kegiatan Eksploitasi yang dilakukan oleh Kontraktor. Terms and commerciality of contract area Sebagai sebuah kontrak untuk mengelola sebuah wilayah yang memiliki potensi minyak dan gas bumi, klausula terms merupakan sebuah klausula preventif. Karena pada hakikatnya, wilayah tersebut adalah milik negara, dan pemerintah adalah sebagai pemegang kuasa untuk mengelola bersama kontraktor. Section 6 Recovery of Operating Cost and Handling of Production Adanya imbalan atas kewajiban-kewajiban, yaitu hak-hak yang diberikan kepada kontraktor termasuk hak mendapatkan kembali (cost recovery) dan pembagian keuntungan serta hak untuk menjual, memindahkan dan melepaskan semua atau sebagian dari kewajiban dan haknya kepada afiliasinya atau pihak ketiga. Bersamaan dengan klausul manajemen, pengembalian biaya dan pembagian hasil keuntungan berupa produksi merupakan kijawa dari Kontrak Production Sharing. Tata cara klaim pengembalian dijabarkan cukup rinci dalam naskah kontrak, termasuk tata pembukuan dan klasifikasi biaya dan jumlah yang dapat diklaim setiap tahun. Kontraktor mendapatkan penggantian atas biaya kapital dan operasional yang telah dibelanjakan dalam bentuk produksi. Mengenai klausul cost recovery ini, sejak tahun 2005 muncul wacana bahwa sejalan dengan menurunnya produksi minyak dan meningkatnya harga minyak, adanya penggelembungan biaya pemulihan (cost recovery). Berdasarkan data menunjukkan bahwa meskipun produksi minyak cenderung menurun namun kenaikan harga minyak telah meningkatkan produk sekitar hampir dua kali.200 Klausula lain di Kontrak PSC ini diatur juga mengenai jangka waktu, wilayah kerja dan terminasi, persyaratan komersial meliputi kewajiban kontraktor membayar bonus, menyiapkan dan melaksanakan rencana kerja dan anggaran dengan kaidah-kaidah teknik yang baik dan kelestarian lingkungan dan mengutamakan produk lokal. Jangka waktu kontrak dibagi dalam dua tahapan, yakni tahapan eksplorasi yang berjalan antara 6 sampai dengan 10 tahun dan tahapan produksi yang dimulai pada
200
Madjedi Hasan,Kontrak Minyak dan Gas Bumi berazas Keadilan dan Kepastian Hukum, Fikahati Aneska, Jakarta, 2009, h. 223 489
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
saat Wilayah Kerja memperoleh status komersial dan berakhir sampai dengan masa kontrak. Books and account and audits Pembukuan, neraca, dan pemeriksaan keuangan resmi diperlukan sebagai acuan dalam operating cost dan juga dalam cost recovery. c.
Prinsip 3 P “Protect” Dalam Kontrak Production Sharing, terdapat klausula : Section 5 Rights and obligations of the parties Pelaksanaan kewajiban kontraktual para pihak dalam Kontrak Production Sharing dituangkan dalam satu klausula yakni terdapat dalam section 5 mengenai Hak dan Kewajiban Para Pihak. Kontraktor berkewajiban dalam hal pertanggungjawaban terkait dengan persiapan dan pelaksanaan Eksplorasi dan kegiatan eksploitasi yang dapat mempengaruhi ekosistem hayati di tempat diadakan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi. Adanya kewajiban Kontraktor yang harus dipenuhi yaitu segera setelah dimulainya produksi komersial kontraktor wajib menyerahkan sebagian keuntungan yang diterimanya berupa produksi minyak yang jumlahnya dihitung dengan memperhatikan produksi minyak dan Konsumsi BBM. Seperti yang terscantum dalam Pasal 22 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Pasal 22 (1) BadanUsaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Wilayah kerja dapat merupakan pilihan kontraktor, yang ditawarkan dalam lelang atau bagian dari wilayah yang telah dilepaskan. Luas wilayah kerja umumnya dihubungkan dengan potensi geologi ( geological prospectivity ) yakni makin tinggi potensi wilayah kerja makin kecil. Terkait dengan wilayah kerja ini ialah kewajiban kontraktor melakukan kegiatan usaha eksplorasi. Jangka waktu untuk melaksanakan kegiatan usaha eksplorasi beragam dari 3 sampai dengan 6 tahun, yang dapat diperpanjang. Usaha eksplorasi merupakan kegiatan yang berisiko dan mahal yang terdiri dari dua atau lebih fase dan dihubungkan dengan komitmen finansial.201 Pelepasan wilayah pada akhir setiap fase eksplorasi dimaksudkan untuk memacu kontraktor mempercepat pelaksanaan kegiatan usaha eksplorasi. Jika berhasil menemukan cadangan yang dapat dikembangkan, maka kontrak dilanjutkan dengan masa eksploitasi yang dapat berjalan sampai dengan 30 tahun. Work program and budget
201
490
Madjedi Hasan,op.cit., h. 67.
Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Minyak dan Gas Bumi Melalui Kontrak
Klausula ini memuat anggaran yang akan dikeluarkan oleh kontraktor. Dalam klausula ini juga disebutkan mengenai sebuah performance bond yang wajib dikeluarkan oleh pihak kontraktor. C. Penutup 1. Bentuk perlindungan hukum terhadap aset negara terkait dengan pengelolaan minyak dan gas bumi antara lain: 1) Pemerintah memiliki hak imunitas (kekebalan) manakala digugat di muka pengadilan dalam hal mana terjadi penyitaan terhadap asset negara. Hal ini merupakan upaya perlindungan hukum terhadap asset Negara demi terwujudnya pemenuhan kebutuhan publik yang digunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Hak imunitas dimaksud juga dapat befungsi sebagai bargaining position bagi negara sebelum menandatangani Production Sharing Contract. 2) Adanya ketentuan mengenai penerimaan negara, pungutan negara, dan bonus yang diimplementasikan dalam ketentuan bagi hasil dalam model kontrak Production Sharing Contract. 3) Adanya ketentuan bagi kontraktor untuk medistribusikan sebagian dari bagi hasil produksi guna pemenuhan kebutuhan minyak dan gas bumi dalam negeri. 2. Production Sharing Contract merupakan instrumen Pemerintah dalam mengadakan perjanjian pengelolaan Minyak dan Gas Bumi dengan kontraktor, khususnya kegiatan usaha hulu. Dalam UU Migas tidak disebutkan pengertian mengenai Kontrak Bagi Hasil/Production Sharing Contract, dimana hanya menyebutkan bahwa PSC merupakan salah satu bentuk dari Kontrak Kerja Sama dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Sebagai suatu proteksi terhadap pemerintah, di dalam UU Migas telah mengatur mengenai klausula minimal yang harus ada dalam sebuah model kontrak Production Sharing Contract. Klausula-klausula yang terpenting adalah klausula Valuation of crude oil and natural gas, klausula Relinquishment of areas, dan klausula Recovery of Operating Cost and Handling of Production.
DAFTAR PUSTAKA Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2007. Abrar Saleng, 2004, Hukum Pertambangan, UII Press Yogyakarta, Yogyakarta. Didik S Setyadi, 2007, Aspek Hukum Administrasi Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi di Indonesia, Nusantara Makmur, Surabaya.
491
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
H. R. Daeng Naja, 2006, Contract Drafting, Edisi Revisi-Cetakan Keuda, Citra Aditya Bakti, Bandung. Madjedi Hasan, 2009, Kontrak Minyak dan Gas Bumi berazas Keadilan dan Kepastian Hukum, Fikahati Aneska, Jakarta. P.S. Atiyah, 1996, An Introduction to the Law of Contract, Oxford University Press, New York. R. Subekti, 1979, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung. Scott J. Burnham, 1993, Drafting Contracts second edition, Michie Company, Virginia. Y. Sogar Simamora, 2009, Prinsip Hukum Kontrak Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Oleh Pemerintah, Laksbang PRESSindo, Yogyakarta. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50a2367d37e5c/mk--bp-migasinkonstitusional Undang-Undang No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, LN tahun 2001 No. 136, TLN No. 4152. Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, LN tahun 2004 No. 123, TLN No. 4435. Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, LN tahun 2002 No. 81, TLN No. 4216. Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 Tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas Dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 002/ PUU-I/ 2003 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VI/ 2008 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012
492
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
BIOGRAFI PENULIS Moh. Risnain, SH., MH. Kandidat Doktor Ilmu Hukum Unversitas Padjadjaran Bandung ini lahir di Bima 30 Desember 1980, menyelesaikan Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Mataram tahun 2003. Tahun 2006 menyelesaikan studi Magister Hukum di Program Pascasrjana UNPAD dengan Konsentrasi Hukum Internasional. Setelah tamat S2 ia mengajar di sebagai Dosen Luar Biasa pada Fakultas Hukum Universitas Sultan ageng Tirtayasa Banten (2006-2007). Pada tahun yang sama ia juga mengajar sebagai Dosen Luar Biasa pada FH Unram (2007). Sejak Tahun 2008 sampai awal 2011 menjadi Tenaga Ahli DPR RI yang membidangi Hubungan Internasional, Pertahanan dan Komunikasi/Komisi I DPR RI (2008-2009), kemudian ditugaskan mendampingi anggota DPR RI yang duduk di Komisi IX (Komisi Kesehatan dan Ketenagakerjaan). Awal 2011 diangkat menjadi tenaga pengajar Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Mataram. Penulis dapat dihubungi di Nomor : 081321386105, email :
[email protected] Enrico Simanjuntak, S.H. : Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Serang, lahir di Dolok Sanggul, 27 Januari 1981, Strata Satu dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), Medan. Sedang menempuh pendidikan Strata Dua di Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, konsentrasi Hukum Tata Negara, saat ini sedang merampungkan tesis berjudul : ―Perluasan Kewenangan Peradilan Administrasi Dalam Dimensi Sejarah dan Politik Hukum‖. Beberapa tulisan Penulis pernah dimuat di Jurnal Varia Peradilan, Komisi Yudisial, Hukumonline dan beberapa media lain. Dr. Candra Hayatul Iman, SH.,MH. lahir di Karawang, 24 Agustus 1972, alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta 1991-1995, menempuh pendidikan Strata dua pada Sekolah Tonggi Ilmu Hukum IBLAM Jakarta 2001-2003, dan Program doktoral pada Universitas Islam Bandung. Saat ini menjabat sebagai Dekan Fakults Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang. Alamat rumah, Perum Graha Karawang A8 No. 2 Kabupaten Karawang. Dr. Ismail Rumadan, M.H, Alumni program doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung 2009, lahir di Maluku tepatnya di Desa Kwaos, 7 Agustus 1976. Bekerja pada Pusat Peneliti Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat (BALITBANGDIKLAT) Mahkamah Agung RI, tercatat sebagai Dosen Program Pascasarjana Universitas Jayabaya dan Universitas Nasional Jakarta. Alamat: Puslitbang Hukum dan Peradilan MA RI, Lt. 10 Kantor Sekretarian Mahkamah Agung RI, Jalan. A. Yani Kav. 58 Cempaka Putih Timur - Jakarta Pusat. Tlp/HP : 021-29079286 / 081221951976 e-mail :
[email protected]. DR. Asril Sitompul, S.H., LL.M, Lahir di Natal, Sumatera Utara 7 Desember 1952 , Sarjana Hukum (S.H), Universitas Islam Sumatera Utara, Medan. Menyelesaikan Master of Law (LL.M), Southern Methodist University, Dallas, Texas – USA dan Program Doktor Ilmu Hukum pada Universitas Padjadjaran, Bandung. Tercatat sebagai Dosen pada Program Magister Hukum, STHG – Tasikmalaya, Dosen pada Fakultas Hukum, Universitas Maranatha – Bandung
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
dan Dosen pada Institute Manajemen Telkom, International Class. Karya Ilmiah yang diterbitkan: Pasar Modal, Penawaran Umum dan Permasalahannya, Citra Aditya Bakti, Bandung (1996). Due diligence dan Tanggungjawab Lembaga Penunjang pada Proses Penawaran Umum, Citra Aditya Bakti, Bandung (1999). Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Citra Aditya Bakti, Bandung (1999). Reksadana, Pengantar dan Pengenalan Umum, Citra Aditya Bakti, Bandung (2000). Hukum Internet, Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace, Citra Aditya Bakti, Bandung (2001). Voltaire : Candide (Terjemahan), BooksTerrace & Library, Bandung (2005). Hukum Telekomunikasi Indonesia, BooksTerrace & Library, Bandung (2005). Insider Trading, Kejahatan di Pasar Modal, BooksTerrace & Library, Bandung (2007). Agus Budi Susilo, SH., MH, Pekerjaan : saat ini sebagai Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung. Pendidikan : S-1 (ilmu hukum) lulus dari FH Universitas Islam Indonesia Yogyakarta tahun 1999, S-2 (Magister Hukum) lulus dari FH Universitas Padjadjaran Bandung tahun 2004, dan sejak tahun 2010 sampai saat ini sebagai mahasiswa S-3 (Doktor Ilmu Hukum) di FH Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Dr. Dewi Kania Sugiharti, S.H.MH, Lahir di Bandung 13 Oktober 1962. Alumni Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, 1986 menyelesaikan pendidikan S2 dan S3 pada Program Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung. Tercatat sebagai dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung dengan Mata Kuliah yang diampu adalah Hukum Pajak, Hukum Keuangan Negara, Kapita Selekta Hukum Pajak dan Hukum Administrasi Negara. Beberapa penelitian yang telah dilakukan antara lain, Kedudukan & Kewenangan Pejabat Publik Dalam Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan Bidang Keuangan (Juni 2013), Kajian terhadap Penetapan Tandan Buah Segar (TBS) Sawit Menjadi Barang Kena Pajak dan Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai terhadap Tandan Buah Segar (TBS) Sawit (Okt 2012), Tanggung Jawab Rektor sebagai Kuasa pengguna Anggaran dalam Pengelolaaan Keuangan pada PTN yang menyelenggarakan Pengelolaan Keuangan BLU (Agustus-Desember 2012), Penyusunan Kajian Akademik dan Raperwal PBB Kota Bandung (2012) dan lain-lain. Bebrapa publikasi yang telah diterbitkan antara lain adalah, Kontribusi Fungsi Pajak terhadap Pencegahan Pencemaran Lingkungan (Unpad Press 2009) serta pengalaman menjadi narasumber/pemakalah pada beberapa seminar Naisonal. Alamat Jl.Terusan Pasir Koja Gg. Pasantren 87/197C Bandung. Contack person 0818206722/085317283255, e-mail:
[email protected] Faizal Kurniawan,SH.,LL.M, Dosen Tetap Fakultas Hukum Univeritas Airlangga Departemen Hukum Perdata, menyelesaikan Master of Laws (LL.M) pada Program International Business Law and Globalization, Utrecht University, The Netherlands. Email.
[email protected]. Tulisan ini merupakan bagian dari penelitian yang dilakukan di Fakultas Hukum Universitas Airlangga dengan menggunakan sumber dana DIPA tahun 2009 yang dilakukan oleh Penulis bersama Sujayadi, S.H., LL.M. dibantu oleh Asisten Peneliti Rangga Fitriono, S.H., Diaz Wiriardi, S.H., M.H., dan Gilbert Trenggana, S.H.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
PEDOMAN PENULISAN JURNAL Jurnal Hukum dan Peradilan adalah media yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, terbit 3 (tiga) kali dalam setahun (Maret, Juli dan November). Jurnal Hukum dan Peradilan menerima sumbangan naskah di bidang Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan yang belum pernah dipublikasikan di media lain dengan ketentuan: 1. Naskah dikirim dalam bentuk karya tulis ilmiah seperti hasil penelitian lapangan, analisis/tinjauan putusan lembaga peradilan, kajian teori, studi kepustakaan serta gagasan kritis konseptual yang bersifat obyektif, sistematis, analitis, dan deskriptis. 2. Penulisan hendaknya menggunakan bahasa Indonesia yang baku, lugas, sederhana dan mudah difahami dan tidak mengandung makna ganda. 3. Naskah harus orisinil dengan dibuktikan pernyataan akan keorisinilan naskah tersebut oleh penulis. 4. Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sepanjang 15-25 halaman. Naskah diketik diatas kertas A4 menggunakan huruf Time New Roman ukuran 12, spasi 1,5. Naskah harus disertai abstrak dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, antara 100-150 kata. 5. Sistematika penulisan hasil penelitian harus mencakup: Judul, Nama Penulis, Nama Instansi Penulis, Abstrak (berhasa Indonesia dan bahasa Inggris), Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Metode Penelitian, Hasil penelitian dan Pembahasan, Kesimpulan, daftar Pustaka. 6. Sistematika penulisan analisis putusan, kajian teori, wacana hukum harus mencakup: Judul, Nama Penulis, Nama Instansi Penulis, Abstrak (berhasa Indonesia dan bahasa Inggris), Pendahuluan, Pembahasan (langsung dibuat sub-sub judul sesuai dengan permasalahan yang dibahas), Kesimpulan, Daftar Pustaka. 7. Penulisan daftar pustaka secara alfabetis mengikuti Turabian Style dengan tata cara penulisan sebagai berikut: Buku. Weiss, Daniel A. Oedipus in Nottingham: D.H. Lawrence, Seattle: University of Washington Press, 1962. Makalah. Knight, Robin. ―Poland‘s Feud in the Family.‖, New York, 10 September 1990, 52-53, 56. Artikel Jurnal. Sommer, Robert. ―The Personality of Vegetables: Bonatical Metaphors for Human Characteristics.‖ Journal of Personality 56, no. 4 (December 1988): 665-683. Karangan Esai dalam Buku Kumpulan Karangan. Tillich, Paul. ―Being and Love‖ In Moral Principles of Action, ed. Ruth N. Anshen, 661-72. New York: Harper & Bros., 1952.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Internet Rost, Nicolas, Gerald Schneider, and Johannes Kleibl. ―A Global risk assessment model for civil wars.‖ Social Science research 38, no. 4 (December 2009): 921-933. http//www.sciencedirect.com/science/ article/ B6WX84WMM7CY1/2/aa8571448b4774e8831a (accessed October 15, 2009) 8. Daftar pustaka hendaknya dirujuk dari edisi paling mutakhir. 9. Penulisan kutipan menggunakan model catatan kaki (footnotes) mengikuti turabian Style dengan tata cara penulisan sebagai berikut: Buku. Daniel A. Weiss, Oedipus in Nottingham: D.H. Lawrence (Seattle: University of Washington Press, 1962), 62. Makalah. Robin Knight, ―Poland‘s Feud in the Family.‖,U.S. New and Work Report, 10 September 1990, 52. Artikel Jurnal. Robert Sommer, ―The Personality of Vegetables: Bonatical Metaphors for Human Characteristics.‖ Journal of Personality 56, no. 4 (December 1988): 670. Karangan Esai dalam Buku Kumpulan Karangan Paul Tillich, ―Being and Love,‖ in Moral Principles of Action, ed. Ruth N. Anshen (New York): Harper & Bros., 1952), 663. Internet Nicolas Rost, Gerald Schneider, and Johannes Kleibl, ―A global risk assessment model for civil wars,‖ Social Science Research 38, no.4 (December 2009): 922, http://www.sciencedirect.com/science/ B6WX84WMM7CY1/2/aa85435453ae88c432a 10. Naskah kiriman dalam bentuk softcopy atau hardcopy yang dilampiri dengan biodata singkat (CV) penulis, copy NPWP penulis, alamat email, No. telp/hp, naskah dapat dikirim via email ke e-mail redaksi jurnal atau puslitbang kumdil Mahkamah Agung RI 11. Naskah dapat dikirim atau diserahkan secara langsung, paling lambat 1 (satu) bulan sebelum penerbitan kepada: Redaksi Jurnal Mahkamah Agung Gedung Skretariat Mahkamah Agung RI Jl. Jend. A. Yani Kav. 58 Lt. 10 Cempaka Putih Jakarta Pusat 13011 email:
[email protected] atau
[email protected] 12. Naskah yang belum memenuhi format dan ketentuan diatas tidak akan diseleksi. Dewan editor berhak menyeleksi dan mengedit artikel yang masuk tanpa merubah substansi. Kepastian atau penolakan naskah akan diberitahukan kepada penulis. Prioritas pemuatan artikel didasarkan pada penilaian substansi dan urutan naskah yang masuk ke Redaksi Jurnal Mahkamah Agung. artikel yang tidak dimuat tidak dikembalikan kepada penulis.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan Menyampaikan terima kasih Kepada para Mitra Bestari (referee) dan semua pihak Yang telah membantu penerbitan jurnal ini Volume 2 Nomor 3 November 2013
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
VISI: Terwujudnya Sumber Daya Manusia yang Profesional di bidang teknis peradilan dan manajemen kepemimpinan serta hasil penelitian dan pengembangan yang berkualitas dalam membentuk terselenggaranya tugas pokok dan fungsi Mahkamah Agung RI untuk mewujudkan peradilan yang agung
MISI: 1. 2. 3. 4.
Meningkatkan kualitas profesionalisme Sumber Daya Manusia teknis peradilan Meningkatkan kualitas profesionalisme manajemen dan kepemimpinan Meningkatkan kualitas hasil penelitian dan pengembangan di bidang hukum dan peradilan Meningkatkan pelayanan dan dukungan operasional diklat teknis peradilan dan diklat manajemen dan kepemimpinan dan penelitian dan pengembangan di bidang hukum dan peradilan yang memadai
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274