Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan
Jurnal Hukum dan Peradilan memuat naskah/artikel yang bersumber dari hasil penelitian/penelaahan tentang Hukum dan Peradilan yang belum pernah dipublikasikan. Jurnal Hukum dan Peradilan terbit tiga kali dalam setahun (Maret, Juli, Nopember)
Penasehat
:
Penasehat Penanggung Jawab Pemimpin Umum Wakil Pemimpim Umum Dewan Redaksi : Pemimpin Redaksi Sekretaris Anggota
: : : :
Mitra Bestari
:
Tata Usaha
:
: : :
Dr. H.M. Hatta Ali, SH. MH. Dr. H. Mohammad Saleh, SH. MH. H. Suwardi, SH. MH. Ny. Siti Nurdjanah, SH. MH. Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, SH., MS. H. Moch. Amirullah Sholeh, SH. MM. R. Wijaya Brata K, S.Kom. MM. Dr. Ismail Rumadan, MH. Budi Suhariyanto, SH., MH. Moch. Iqbal, SH. Johanes Brata Wijaya, SH. Rita Herlina, SH. LLM. Mila Kurnia Rahma, SH. Dr. Lilik Mulyadi, SH., MH. Dr. M. Fauzan Anshori, SH. MH. Dr. Eva Achjani Zulfa, SH. MH. Hudan Isnawan, SH. M.SI. Rofran Samera, SH. MH Magdalena, S. Kom.
Alamat Redaksi : Gedung Sekretariat Mahkamah Agung RI Jln. Jend. A. Yani (By Pass) Kav. 58 Lt.10 Cempaka Putih, Jakarta Pusat 13011 Email:
[email protected] [email protected]
Isi Jurnal dapat dikutip dengan menyebut nama sumbernya (Citation is permitted with acknowledgement of the source)
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014
ISSN : 2303-3274
Volume 3 Nomor 1 Maret 2014
Daftar Isi Pengantar Redaksi ……………………………………………………………………..………………….….……… Perlawanan Dalam Eksekusi Obyek Jaminan Hak Tanggungan Berdasarkan Titel Eksekutorial …………………………………………….……………………………………...……….………
1
H.RM Anton Suyatno Quo Vadis : Status Jabatan dan Sistem Karir Kepaniteraan Peradilan …..
11
Budi Suhariyanto Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia Suatu Pemikiran ke Arah Perluasan Kompetensi Pasca Amandemen Kedua Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara …………………………………..…………………..…………………………….…………
25
Maftuh Effendi Analisis Yuridis Upaya Hukum Luar Biasa Peninjauan Kembali (PK) Oleh Jaksa Dalam Sistem Hukum Acara Pidana Indonesia …………..……..…….…………
37
Ahmad Fauzi Eksistensi Lembaga Quasi Judisial Dalam Sistem Kekuasaan Kehakiman di Indonesia : kajian Terhadap Komisi Pengawas Persaingan Usaha …….………
49
Muh. Risnain Menuju Hukum Perkawinan Islam Progresif (Towards Progressive Islamic Marriage Law) .................................................................................................................
59
Muhamad Isna Wahyudi Asas Kepastian Hukum dan Asas kebebasan Berkontrak Sebagai Pertimbangan Utama Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah …..
69
Edi Hudiata Eksistensi dan Peran KY : Pengkajian Konteks Filosofi, Sejarah dan Tujuan Pembentukannya Dalam Dinamika Ketatanegaraan Indonesia …….… Tri Cahya Indra Permana Biodata Penulis Pedoman Penulisan Jurnal Hukum dan Peradilan Ucapan terima kasih kepada Mitra Bestari
85
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014
ISSN : 2303-3274
DARI REDAKSI Bisminllahirrahmannirrahim Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, Dzat Yang Maha Sempurna atas segala rahmat dan karunia-Nya, yang memberi kemampuan berfikir kepada hamba-Nya untuk selalu berbuat yang terbaik, senantiasa memberikan penghargaan yang tinggi kepada hamba-Nya yang selalu berfikir dan mengkaji berbagai problem kehidupan disekitarnya. Penerbitan Jurnal Hukum dan Peradilan sebagai salah satu program prioritas Pusat Penelitian Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI telah memasuki tahun ke 3 di tahun ini. Program penerbitan Jurnal Hukum dan Peradilan menjadi upaya positif Puslitbang MA-RI sebagai Supporting Unit Mahkamah Agung RI secara kelembagaan untuk mendukung terwujudnya visi dan misi Mahkamah Agung RI yaitu: “Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung”. Kehadiran Jurnal Hukum dan Peradilan diharapkan menjadi media bagi insan peradilan, akademisi, praktisi dan pemerhati hukum untuk mengaktuasikan ide pemikiran melalui penelitian, pengkajian dan pengembangan hukum dan peradilan secara ilmiah. Yang pada gilirannya nanti diharapkan dapat menjadi pencerah ditengah upaya besar bangsa untuk menata pembangunan hukum dan peradilan di masa mendatang. Beberapa tema yang menarik untuk dikaji dan diangkat dalam terbitan edisi ini adalah: Perlawanan Dalam Eksekusi Obyek Jaminan Hak Tanggungan Berdasarkan Titel Eksekutorial, Quo Vadis : Status Jabatan dan Sistem Karir Kepaniteraan Peradilan, Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia Suatu Pemikiran ke Arah Perluasan Kompetensi Pasca Amandemen Kedua Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Asas Kepastian Hukum dan Asas kebebasan Berkontrak Sebagai Pertimbangan Utama Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah, Eksistensi Lembaga Quasi Judisial Dalam Sistem Kekuasaan Kehakiman di Indonesia : kajian Terhadap Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Menuju Hukum Perkawinan Islam Progresif (Towards Progressive Islamic Marrige Law), Analisis Yuridis Upaya Hukum Luar Biasa Peninjauan Kembali (PK) Olek Jaksa Dalam Sistem Hukum Acara Pidana Indonesia, Eksistensi dan Peran KY : Pengkajian Konteks Filosofi, Sejarah dan Tujuan Pembentukannya Dalam Dinamika Ketatanegaraan Indonesia.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014
ISSN : 2303-3274
Ucapan terima kasih yang mendalam kami sampaikan kepada Yang Mulia Ketua Mahkamah Agung RI dan seluruh Unsur Pimpinan Mahkamah Agung RI yang telah memberikan dukungan terhadap terbitnya jurnal ini, Juga terima kasih kami sampaikan kepada Kepala Badan Litbang Diklat Kumdil MA-RI dan Kepala Puslitbang Kumdil MA-RI yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam proses penerbitan jurnal ini. Selanjutnya ucapan terima kasih dan penghargaan kami sampaikan kepada para penulis yang telah berkontribusi mengirimkan artikelnya kepada redaksi untuk diterbitkan pada Volume 3 Nomor1 ini, Demikian juga kepada Mitra Bestari yang telah meluangkan waktunya untuknya mereview artikel para penulis, Semoga amal kebaikannya mendapat pahala yang setimpal dari Allah SWT. Yuhan Yang Maha Kuasa. Amin.
Jakarta, Maret 2014.
Redaksi
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya H. RM Anton Suyatno PERLAWANAN DALAM EKSEKUSI OBYEK JAMINAN HAK TANGGUNGAN BERDASARKAN TITEL EKSEKUTORIAL Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 3 Nomor 1 hlm. 01 - 10 Penyelesaian kredit macet melalui eksekusi jaminan hak tanggungan berdasarkan titel eksekutorial dilaksanakan dengan melibatkan bantuan Pengadilan. Proses penyelesaiannya dilakukan oleh perbankan selaku kreditor tanpa perlu mengajukan gugatan terlebih dahulu. Perbankan langsung mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat. Dalam permohonan Eksekusi Hak Tanggungan, pemohon eksekusi (kreditor) harus melampirkan dokumen-dokumen sebagai syarat dalam pengajuan permohonan eksekusi. Eksekusi atas obyek jaminan Hak Tanggungan dalam praktiknya sering dilawan atas dasar ketidakjelasan status hukum kepemilikan obyek jaminan, atau jumlah utang yang belum pasti (fix). Dalam beberapa kasus ditemukan bahwa penyelesaian kredit macet melalui eksekusi obyek jaminan Hak Tanggungan berdasarkan titel eksekutorial mengalami hambatan dan membutuhkan waktu yang panjang. Pada Putusan No. 383/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Bar. ditemukan bahwa diperlukan waktu sekitar 4 (empat) tahun (1 Oktober 2007 sampai dengan 10 November 2011) bagi kreditor untuk mengeksekusi jaminan Hak Tanggungan. Kenyataan ini tentu belum sejalan dengan tujuan dari UUHT yang salah satunya menyatakan bahwa eksekusi Hak Tanggungan dilaksanakan secara mudah dan pasti. Kata kunci: Perlawanan, Eksekusi, Hak Tanggungan Loan resolution through the execution of a security interest by title guarantee executorial implemented by involving the courts. The process of settlement is done by banks as creditors without filing a lawsuit first. Banking immediately submit the petition to the Chairman of the local District Court. In the petition Execution Mortgage, the petitioner (creditors) must attach the documents as a condition of submission of application execution. The execution of the object Mortgage guarantee in practice often fought on the basis of unclear legal status object ownership guarantees, or the amount of debt that is uncertain (fix). In some cases it was found that the resolution of bad loans through the execution of the object of the guarantee Encumbrance by title executorial obstacles and takes a long time. In Decision No. 383 / Pdt.G / 2008 / PN.Jkt.Bar. found that it takes approximately four (4) years (October 1, 2007 to 10 November 2011) for the creditor to execute a guarantee Encumbrance. This fact is certainly not in line with the objectives of UUHT, one of which states that the execution Encumbrance implemented easily and surely. Keyword: Resistance, Execution, Encumbrance
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Budi Suhariyanto QUO VADIS : STATUS JABATAN DAN SISTEM KARIR KEPANITERAAN PERADILAN Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 3 Nomor 1 hlm. 11 - 24 Secara normatif status jabatan kepaniteraan peradilan diatur secara berbeda. Eksplisit ditetapkan sebagai jabatan fungsional, jabatan fungsional tanpa angka kredit dan pejabat peradilan. Kualifikasi fungsional yang dimiliki kepaniteraan peradilan keberadaannya disetarakan dengan jabatan struktural dan sistem kenaikan pangkatnya reguler. Pada Mahkamah Agung, jabatan kepaniteraan disyaratkan dari Hakim, sehingga Panitera karir mempunyai jenjang tertinggi hanya di kepaniteraan pengadilan tingkat banding. Sehubungan dengan adanya RUU MA 2012 yang memberikan sebagian porsi jabatan kepaniteraan Mahkamah Agung kepada Panitera karir dan diberlakukannya UU ASN yang berorientasi pada fungsionalisasi PNS maka perlu ada evaluasi terkait status jabatan dan sistem karir kepaniteraan peradilan. Kategorisasi kepaniteraan peradilan sebagai jabatan fungsional khusus perlu dipertimbangkan dalam ius constituendum. Kata Kunci: Jabatan, Karir, Kepaniteraan Normatively, judicial registrar status is set differently. While explicity defined as a functional, but without the credit and judicial office. Functional qualification held judicial registrar existence is synchronizedwith the structural position of the promotion system and regular. A clerk on the supreme of court must be a judges. So that the clerk have a career at the highest level only appellate court registry. The supreme of court regulation drafting that gaves the registrar portion to career clerk, then enactment of civilian state apparatus regulation get the civil servants functional oriented. It is necessary to evaluate the official status to career system. On the ius constituendum, registrar as the special functional need to be considered. Keyword: function, career, registrar
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Maftuh Effendi PERADILAN TATA USAHA NEGARA INDONESIA SUATU PEMIKIRAN KE ARAH PERLUASAN KOMPETENSI PASCA AMANDEMEN UNDANG-UNDANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 3 Nomor 1 hlm. 25 - 36 Kompetensi absolut PTUN sangat sempit, hanya KTUN. Dengan kompetensi absolut seperti itu menjadikan PTUN sebagai peradilan tata usaha negara khusus, bahkan “super khusus” karena ternyata definisi KTUN menurut UU PTUN lebih sempit daripada konsep beschikking menurut AWb Belanda. Pertimbangan mengenai kompetensi absolut peradilan dalam putusan hakim, dari beberapa kasus belum menunjukkan kesatuan penafsiran, sehingga putusan-putusannya sulit diprediksikan. Perbedaan penafsiran itu menimbulkan ketidakpastian hukum dan dapat menggoyahkan konsistensi putusan PTUN. Pada akhirnya membingungkan masyarakat pencari keadilan untuk memilih forum yang tepat dalam upaya perlindungan hukum atas perbuatan pemerintahan, dan mendatangkan keraguan-raguan pemerintah dalam pelaksanaan putusan. Konsep yang ditawarkan untuk memperluas kompetensi absolut didasarkan pada metode dan tolok ukur untuk menentukan sengketa TUN. Metode yang digunakan adalah metode umum (general), sedangkan tolok ukurnya adalah tolok ukur subjek dan tolok ukur objek. Tolok ukur subjek, meliputi sengketa ekstern dan intern. Sedangkan tolok ukur objek, meliputi semua perbuatan pemerintahan yang bersumber dari wewenang hukum publik, baik berupa perbuatan hukum maupun perbuatan faktual, yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil. Kata Kunci : PTUN, kompetensi absolut, perluasan. Indonesian administrative courts’ absolute jurisdiction are limited to the administrative decisions. It leads the courts as a special administrative court, even a “very special court”, because such definition of administrative decisions laid down on Law on Administrative Court is more narrow compared to the definition of administrative decision as laid down on the General Administrative Law Act of the Netherlands as it source. Most court decisions on the courts’ absolute jurisdiction vary in interpretations that make them unpredictable. They cause uncertainty and inconsistency in the application of administrative courts’ absolute jurisdiction. Furthermore, they create confusion to the society looking for appropriate forum dealing with administrative acts and bafflement to the administrations executing courts’ decisions. The concept offered to the expansion of Indonesian administrative courts’ absolute jurisdiction are based on the method and determination of administrative disputes. Method used is general method, while determination used is subjective and objective determinations. Subjective determination includes external and internal disputes, while objective determination includes all administrative acts in the field of public laws covered the legal and factual acts causing material or immaterial damages. Keywords : administrative courts, absolute jurisdiction, expansion
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Ahmad Fauzi ANALISIS YURIDIS TERHADAP UPAYA HUKUM LUAR BIASA PENINJAUAN KEMBALI (PK) OLEH JAKSA DALAM SISTEM HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 3 Nomor 1 hlm. 37 - 48 Peninjauan kembali oleh Jaksa dalam perkara pidana merupakan paradoks yang terjadi dalam sistem hukum pidana, dimana praktek hukum tersebut bertentangan dengan nilai dan norma hukum sebagaimana diatur dalam KUHAP. Tetapi dalam praktek peninjauan kembali seringkali dilakukan oleh jaksa dengan alasan ada yurisprudensi pengadilan yang memutus perkara tersebut, akibatnya hukum tidak mencerminkan keadilan dan kepastian bahkan cenderung menabrak kepentingan hukum terpidana dan ahli warisnya. Metode penelitian menggunakan metode yuridis normatif dengan menitik beratkan pada studi kepustakaan. Analisis dilakukan terhadap norma hukum, baik hukum dalam aturan perundang-undangan maupun hukum dalam putusan-putusan pengadilan. Adapun kesimpulan yang dihasilkan adalah bahwa pengajuan peninjauan kembali adalah sematamata demi kepentingan terpidana dan ahli warisnya, hukum dan undang-undang tidak memberikan wewenang kepada jaksa untuk melakukan peninjauan kembali, bahwa peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa bukan merupakan penemuan hukum melainkan hanya merupakan penafsiran hukum, pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa merupakan bentuk kekeliruan pengadilan yang mengindikasikan kepada adanya sesat logika dalam praktek hukum pidana di Indonesia. Saran bagi pengembangan tema tulisan ini adalah Mahkamah Agung harus mengeluarkan surat edaran yang berisikan larangan dan pembatasan bagi jaksa untuk mengajukan peninjauan kembali atau melakukan uji materiil dan pembatalan bagi perkara-perkara yang diajukan peninjauan kembali oleh jaksa. Kata Kunci : Peninjauan Kembali, Jaksa, Hukum Acara Pidana, Keadilan, kepastian Hukum Reconsideration by the prosecutor in a criminal case is a paradox that occurs in the criminal justice system, where the practice is contrary to the values of law and legal norms as stipulated in the Criminal Code. But in practice the review is held by the prosecution on the grounds that there is jurisprudence of the court deciding the case, the result does not reflect the law of justice and certainty even tend to hit a legal interest convict and his heirs. Research method used normative by focusing on the study of literature. analysis conducted on the rule of law, both in the law and the rules of statutory law in court decisions). The resulting conclusion is that the proposal review is solely for the benefit of the convict and his heirs, the law and the law does not authorize the prosecutor to conduct the review, that the review conducted by the prosecutor is not a discovery of the law but only an interpretation law, the filing of a review by the prosecutor is a form of error to the court which indicates the existence of perverse logic in the practice of criminal law in Indonesia. Suggestions for the development of the theme of this paper is the Supreme Court should issue a circular which contains prohibitions and restrictions for prosecutors to file a reconsideration or judicial conduct and cancellation of those cases for reconsideration filed by the prosecutor. Keywords: Reconsideration, Attorney, Criminal Procedure Law, Justice and Legal certainty
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Muh. Risnain EKSISTENSI LEMBAGA QUASI JUDISIAL DALAM SISTEM KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA : KAJIAN TERHADAP KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 3 Nomor 1 hlm. 49 - 58 Secara konstitusional kedudukan lembaga quasi-peradilan dalam sistem kekuasaan kehakiman adalah bagian dari sistem kekuasaan kehakiman. Pasal 24 ayat (3) Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 maupun Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengakui lembaga quasi-yudisial sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman.Untuk memaksimalkan pelaksanaan kekuasaan yudisial lembagalembaga tersebut maka diperlukan kebijakan hukum untuk membagun hubungan fungsional-konstitusional antara KPPU sebagai lembaga quasi-peradilan dengan MA sebagai puncak organisasi kekuasaan kehakiman. Disamping itu perlu juga dilakukan upaya pengawasan terhadap perilaku komisioner KPPU untuk menghindari mafia peradilan dan menghidari abuse of power dari komisioner KPPU.Pengawasan dimaksud dilakukan dengan memasukan pengawasan komisioner KPPU menjadi kewenangan Komisi Yudisial dan MA. Kata Kunci : Kekuasaan Kehakiman, Quasi-Yudisial, Fungsional-Konstitusional dan Pengawasan. Based on Indonesian Constitution 1945 the existence of quasi-judicial institution as a part of judicial power.Article 24 subsection (3 ) of the constitution of the republic of indonesia 1945 and the law number 48 / 2009 about judicial power admitting quasiyudicial institutionshas judicial powers. For maximalize exercising of the quasi-judicial institutions are needed legal policy for supporting functional-constitusional relations between Commison for Supervion of Bussiness Competition and Supreme Court as top judicial power organization. Besides that needs to be done an effort to control the behavior commissioner of Commison For Supervion of Business Competition in avoiding abuse of power and moral hazard. These controlling must as part of power of Judicial Commission and Supreme Court. Keywords : Judicial Power, quasi-Judicial, Functional-constitutional and supervision
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Muhamad Isna Wahyudi MENUJU HUKUM PERKAWINAN ISLAM PROGRESSIVE ISLAMIC MARRIAGE LAW)
PROGRESIF
(TOWARDS
Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 3 Nomor 1 hlm. 59 - 68 Ada beberapa ketentuan dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan yang perlu dirumuskan sesuai dengan kondisi saat ini. Dengan cara tersebut, hukum perkawinan Islam di Indonesia akan progresif dan tidak diskriminatif terhadap kaum perempuan. Ketentuan-ketentuan tersebut mencakup rukun perkawinan, usia perkawinan, wali nikah, dan status anak. Makalah ini mencoba untuk melakukan kontekstualisasi ketentuan-ketentuan tersebut sesuai dengan kondisi saat ini dengan menggunakan pendekatan hermeneutik. Sebagai hasilnya, pencatatan perkawinan seharusnya menjadi salah satu rukun perkawinan, usia perkawinan harus dirumuskan dengan mempertimbangkan kesehatan reproduksi kaum perempuan, wali nikah bagi calon pengantin perempuan bukan rukun perkawinan, dan anak dari perempuan yang menikah pada saat hamil termasuk sebagai anak sah yang memiliki nasab kepada kedua orang tuanya. Kata kunci: rukun perkawinan, usia perkawinan, wali nikah, dan status anak There are some provisions on the Bill of Religious Judicature Substantial Law on Marriage that need to be formulated in accordance with the present time. In this way, the Islamic Law of Marriage in Indonesia will be progressive and not discriminative against women. Those provisions include the pillar of marriage, the age of marriage, the guardian of marriage, and the status of child. This article tries to contextualize those provisions in accordance with the present time using hermeneutical approach. As the result, the registration of marriage should be one of the pillars of marriage, the age of marriage should be formulated by considering women’s reproduction health, the guardian of marriage for the bride is not pillar of marriage, and the child of pregnant woman marriage is counted as legal child whose lineage to both parents. Keywords: pillar of marriage, the age of marriage, the guardian of marriage, and the status of child
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Edi Hudiata ASAS KEPASTIAN HUKUM DAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK SEBAGAI PERTIMBANGAN UTAMA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH (Kajian Yuridis Putusan MKNomor 93/PUU-X/2012) Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 3 Nomor 1 hlm. 69 - 84 Sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 93/PUU-X/2012 yang perihal uji materil UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, maka tidak ada lagi dualisme penyelesaian sengketa.Putusan itu sekaligus juga menguatkan kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah.Dalam pertimbangannya, kesembilan hakim MKsepakat menyatakan bahwa pasal 55 ayat (2) dan (3) UU Nomor 21 Tahun 2008 yang merupakan norma induk (ideal norm) tidak mengandung permasalahan konstitusional. Permasalahan konstitusional itu justeru ada pada penjelasan pasal 55 ayat (2) UU tersebut.Munculnya putusan MK Nomor 93/PUUX/2012 yang menganulir penjelasan pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008, pada dasarnya tidak melanggar asas kebebasan berkontrak. Para pihak diperbolehkan membuat suatu perjanjian penyelesaian sengketa di luar Pengadilan Agama sebagaimana ketentuan dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Kata kunci: penyelesaian sengketa, kepastian hukum, dan asas kebebasan berkontrak Since the verdict of the Constitutional Court (MK) Number 93/PUU-X/2012 concerning the judicial review of Law No. 21 of 2008 on Islamic Banking, it is no longer dualism dispute resolution. The verdict as well as strengthen the jurisdiction of Religious Court to resolve Islamic banking disputes. Judges agreed stating that Article 55 paragraph (2) and (3) of Law No. 21 of 2008 contains no constitutional problems. The problem is the explanation of the constitutional article 55 paragraph (2) of the Act.The emergence of the Constitutional Court verdict No. 93/PUU-X/2012, basically does not violate the principle of freedom of contract which is common in contract law. The parties are allowed to make a dispute resolution agreement out of religious court based on provisions as Act No. 30 of 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution. Keywords: dispute resolution, legal certainty and the principle of freedom of contract
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Tri Cahya Indra Permana EKSISTENSI DAN PERAN KOMISI YUDISIAL : PENGKAJIAN KONTEKS FILOSOFI, SEJARAH DAN TUJUAN PEMBENTUKANNYA DALAM DINAMIKA KETATANEGARAAN INDONESIA Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 3 Nomor 1 hlm. 85 - 100 Desakan pembentukan lembaga pengawas eksternal terhadap perilaku hakim sangatlah kuat, disamping keraguan akan pengawas internal juga terpuruknya kondisi dunia peradilan telah membuat anggota MPR melembagakan Komisi Yudisial didalam Bab IX UUD 1945 agar kedudukannya lebih kuat. Pelembagaan KY didalam UUD 1945 oleh anggota MPR adalah tidak tepat. Sebagaimana lembaga pengawas eksternal pada cabang kekuasaan lainya, maka pelembagaan KY lebih tepat didalam Undang-Undang. Sejak dilembagakan didalam Bab IX UUD 1945 dengan 2 (dua) wewenangnya, KY telah mengalami pasang surut kewenangan dimana puncaknya KY memiliki 9 (sembilan) wewenang. Saat ini wewenang KY tersisa 6 (enam) dimana 3 (tiga) wewenang bersifat mandiri sedangkan 3 (tiga) wewenang lain bersifat bersama-sama Mahkamah Agung. Tambahan wewenang yang diberikan kepada KY diantaranya terbukti telah bertentangan dengan UUD 1945. Kata kunci: Eksistensi, Peran, Komisi Yudisial The urge formation of the external monitoring agency behavior of judges is very strong, in addition to the internal watchdog also doubts the collapsed state of the world has been made a member of the Assembly judiciary instituted Judicial Commission in Chapter IX of the 1945 Constitution in order to position stronger. Institutionalization KY in 1945 by members of the Assembly is not right. As the external monitoring agencies in other branches of power, the more precise KY institutionalization in law. Since instituted in Chapter IX of the 1945 Constitution with a two (2) authority, KY has experienced tidal peak KY authority which has 9 (nine) authority. Currently, KY authority remaining six (6) in which three (3) authority is independent, while three (3) other authorities are jointly Supreme Court. Additional authority granted to them proven KY contrary to the 1945 Constitution. Keywords: Existence, Roles, Judicial Commission
PERLAWANAN DALAM EKSEKUSI OBYEK JAMINAN HAK TANGGUNGAN BERDASARKAN TITEL EKSEKUTORIAL H. RM Anton Suyatno1, dkk. Direktorat Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan Umum Jl. Jenderal Ahmad Yani Kav.58, Jakarta Pusat
[email protected]
Abstrak Penyelesaian kredit macet melalui eksekusi jaminan hak tanggungan berdasarkan titel eksekutorial dilaksanakan dengan melibatkan bantuan Pengadilan. Proses penyelesaiannya dilakukan oleh perbankan selaku kreditor tanpa perlu mengajukan gugatan terlebih dahulu. Perbankan langsung mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat. Dalam permohonan Eksekusi Hak Tanggungan, pemohon eksekusi (kreditor) harus melampirkan dokumen-dokumen sebagai syarat dalam pengajuan permohonan eksekusi. Eksekusi atas obyek jaminan Hak Tanggungan dalam praktiknya sering dilawan atas dasar ketidakjelasan status hukum kepemilikan obyek jaminan, atau jumlah utang yang belum pasti (fix). Dalam beberapa kasus ditemukan bahwa penyelesaian kredit macet melalui eksekusi obyek jaminan Hak Tanggungan berdasarkan titel eksekutorial mengalami hambatan dan membutuhkan waktu yang panjang. Pada Putusan No. 383/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Bar. ditemukan bahwa diperlukan waktu sekitar 4 (empat) tahun (1 Oktober 2007 sampai dengan 10 November 2011) bagi kreditor untuk mengeksekusi jaminan Hak Tanggungan. Kenyataan ini tentu belum sejalan dengan tujuan dari UUHT yang salah satunya menyatakan bahwa eksekusi Hak Tanggungan dilaksanakan secara mudah dan pasti. Kata Kunci : Perlawanan, Obyek Jaminan, Hak Tanggungan, Titel Eksekutorial Abstract Loan resolution through the execution of a security interest by title guarantee executorial implemented by involving the courts. The process of settlement is done by banks as creditors without filing a lawsuit first. Banking immediately submit the petition to the Chairman of the local District Court. In the petition Execution Mortgage, the petitioner (creditors) must attach the documents as a condition of submission of application execution. The execution of the object Mortgage guarantee in practice often fought on the basis of unclear legal status object ownership guarantees, or the amount of debt that is uncertain (fix). In some cases it was found that the resolution of bad loans through the execution of the object of the guarantee Encumbrance by title executorial obstacles and takes a long time. In Decision No. 383/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Bar. found that it takes approximately four (4) years (October 1, 2007 to 10 November 2011) for the creditor to execute a guarantee Encumbrance. This fact is certainly not in line with the objectives of UUHT, one of which states that the execution Encumbrance implemented easily and surely. Key word: Resistance, Execution, Encumbrance
1
Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Bandung. Saat ini menjabat Direktur Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan Umum, Direktorat Jenderal Badilum, Mahkamah Agung RI. 1
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 1-10
A. Pendahuluan 1. Latarbelakang dan Permasalahan. Eksistensi bank memberikan peran penting dalam perekonomian masyarakat diantaranya melalui pemberian dana bagi masyarakat. Bank sebagai lembaga perbankan di Indonesia merupakan salah satu media sebagai upaya mewujudkan pembangunan yang berkesinambungan. Salah satu produk yang diberikan oleh bank dalam membantu kelancaran usaha debitornya, adalah dengan pemberian kredit, dimana hal ini merupakan salah satu fungsi bank yang sangat mendukung pertumbuhan ekonomi. Pemberian kredit yang dilakukan oleh bank sebagai suatu lembaga keuangan harus dapat memberikan perlindungan hukum bagi pemberi dan penerima kredit serta pihak yang terkait mendapat perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan dapat memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan. Dalam praktik perbankan untuk lebih mengamankan dana yang disalurkan kreditor kepada debitor diperlukan tambahan pengamanan berupa jaminan khusus yang sering digunakan adalah jaminan kebendaan berupa tanah. Penggunaan tanah sebagai jaminan kredit didasarkan pada pertimbangan bahwa tanah paling aman dan mempunyai nilai ekonomis yang relatif tinggi.2 Lembaga jaminan oleh lembaga perbankan dianggap paling efektif dan aman adalah tanah dengan jaminan Hak Tanggungan. Hal ini didasarkan pada kemudahan dalam identifikasi obyek Hak Tanggungan, jelas dan pasti eksekusinya serta mendahulukan pembayaran dari hasil pelelangan tanah kepada kreditornya.3 Fungsi dari pemberian jaminan adalah guna memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dengan barang-barang jaminan tersebut, bila debitor cidera janji tidak membayar kembali utangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Terhadap jaminan yang diserahkan oleh pihak debitor, pihak bank selaku kreditor mempunyai kewajiban untuk melindungi debitornya, karena hal ini berkaitan dengan kepentingan bank juga selaku penerima jaminan.4 Dalam Pasal 14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UUHT) disebutkan bahwa Sertifikat Hak Tanggungan berfungsi sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan yang memuat irah-irah dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”,5 dan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Ketentuan Pasal 20 Ayat (1) huruf a dan b serta Ayat (2) UUHT memberikan hak kepada Bank selaku kreditor pemegang Hak Tanggungan untuk melakukan eksekusi melalui 3 (tiga) cara, yaitu: (1) parate execcutie; (2) title executorial; dan (3) penjualan di bawah tangan. Dalam perspektif dunia perbankan, penyelesaian kredit macet melalui eksekusi jaminan Hak Tanggungan di pengadilan tanpa melalui proses gugatan yang berdasarkan titel eksekutorial sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT, merupakan bentuk penyelesaian yang sangat efektif dan efisien sehingga memberikan rasa keadilan bagi perbankan selaku kreditor. Proses eksekusi jaminan Hak Tanggungan berdasarkan titel eksekutorial sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b memberikan perlindungan bagi perbankan dalam upaya pengembalian dana yang telah disalurkan kepada debitor secara pasti meskipun dalam praktiknya membutuhkan waktu yang relatif lama dikarenakan adanya perlawanan dari debitor maupun pihak lainnya. 2
3
4
5
2
Agus Yudha Hernoko, “Lembaga Jaminan Hak Tanggungan Sebagai Penunjang Kegiatan Perkreditan Perbankan Nasional”, Karya Ilmiah, Pascasarjana UNAIR, Surabaya, 1998, hlm. 7. Retnowulan Sutantio, Penelitian Tentang Perlindungan Hukum Eksekusi Jaminan Kredit, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Departemen Kehakiman RI, Jakarta, 1999, hlm. 8. Thomas Suyatno, dkk, Kelembagaan Perbankan Edisi Kedua, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, hlm. 45. Pasal 14 Ayat (2) UUHT
Perlawanan Eksekusi Obyek Jaminan Hak Tanggungan Berdasarkan Titel Eksetorial, Anton Suyatno
B.
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis, yaitu mengambarkan berbagai permasalahan secara utuh-menyeluruh mengenai eksekusi Hak Tanggungan dalam penyelesaian kredit macet perbankan. Pendekatannya adalah yuridis normatif untuk meneliti dan mengkaji data sekunder yang berkaitan dengan eksekusi Hak Tanggungan dalam penyelesaian kredit macet perbankan. Selain itu digunakan juga metode perbandingan hukum melalui studi kepustakaan mengenai perjanjian jaminan dalam pemberian kredit di Belanda, Malaysia, dan Singapura. C. Hasil Dan Pembahasan Untuk lebih menghemat waktu, upaya hukum yang ditempuh oleh kreditor adalah upaya untuk mengajukan permohonan penetapan pengadilan. Upaya ini lebih banyak menghemat waktu dibandingkan melalui proses pengajuan gugatan. Dan dalam prakteknya, upaya hukum ini sangat didukung oleh lembaga peradilan, sepanjang pokok permasalahannya jelas merupakan utang piutang atau pinjam meminjam dengan jaminan. Praktek pelaksanaan eksekusi yang umumnya dikabulkan melalui penetapan pengadilan adalah eksekusi jaminan akibat adanya perjanjian kredit antara nasabah dengan pihak bank. Hal ini disebabkan karena pada umumnya utang dan penjaminan dalam suatu perjanjian kredit dapat dibuktikan dengan cepat dan sederhana. Dalam pengajuan permohonan eksekusi atas Sertifikat Hak Tanggungan yang berirah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” kepada KPN agar dikabulkan maka permohonan tersebut sebaiknya berisikan tuntuan sebagai berikut : 1. Melakukan peneguran kepada termohon (debitor) agar memenuhi isi Sertifikat Hak Tanggungan; 2. Apabila dalam waktu 8 (delapan) hari sejak peneguran, termohon (debitor) melalaikannya maka KPN akan melakukan Sita Eksekusi terhadap benda jaminan milik termohon (debitor); 3. Agar KPN menetapkan Lelang Eksekusi terhadap benda jaminan tersebut untuk pelunasan utang termohon (debitor). Pada permohonan Eksekusi Hak Tanggungan tersebut, pemohon eksekusi (kreditor) harus melampirkan dokumen-dokumen sebagai syarat dalam pengajuan permohonan eksekusi, antara lain: 1. Perjanjian Kredit; 2. Akta Pemberian Hak Tanggungan; 3. Sertifikat Hak Tanggungan; 4. Buku Sertifikat Tanah; dan 5. Surat keterangan yang menyatakan utang keseluruhan dari termohon secara pasti atau fix berisikan jumlah: (1) utang pokok; (2) bunga pinjaman; dan (3) provisi (sesuai perjanjian kredit); yang termuat dalam rincian utang debitor (outstanding). Pengadilan akan meneliti seluruh dokumen yang diajukan pemohon dalam sidang yang biasa dikenal sebagai “Pra-Eksekusi”. Dalam tahapan ini pengadilan akan meminta kepada pemohon untuk memberikan keterangan tertulis secara pasti dan terinci mengenai jumlah (1) utang pokok; (2) bunga pinjaman; dan (3) provisi (sesuai perjanjian kredit); yang termuat dalam rincian utang debitor. Dalam surat keterangan utang rinci ini tidak boleh dicantumkan biaya-biaya lainnya, seperti jasa pengacara maupun biaya eksekusi. Terdapat keterangan mengenai jumlah utang keseluruhan debitor serta jumlah pembayaran yang telah dipenuhi oleh debitor sehingga tergambar secara jelas selisih yang menjadi sisa utang debitor. Rincian dimaksud secara tegas menyatakan besarnya hak kreditor atas obyek jaminan Hak Tanggungan yang akan dieksekusi. Apabila seluruh dokumen yang dipersyaratkan dalam permohonan Eksekusi Hak Tanggungan tersebut telah dilengkapi, maka permohonan eksekusi Hak Tanggungan telah memenuhi syarat dan dapat dikabulkan melalui Penetapan KPN untuk aanmaning. Kemudian oleh karena yang mempunyai nilai eksekutorial adalah Sertifikat Hak Tanggungan yang berirah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, maka kewajiban pemohon eksekusi 3
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 1-10
(kreditor) harus dipenuhi sebagaimana termaktub di dalam Sertifikat Hak Tanggungan peringkat pertama. Ketentuan Pasal 195 HIR menyebutkan bahwa dalam menjalankan putusan hakim atau melaksanakan eksekusi oleh pengadilan dalam perkara yang mula-mula diperiksa oleh pengadilan negeri, dilakukan atas perintah dan dengan pimpinan ketua pengadilan negeri yang mula-mula memeriksa perkara atau permohonan eksekusi tersebut. Ketua Pengadilan Negeri (KPN) setelah menerima permohonan itu segera memanggil debitor yang ingkar janji dan mengingatkan debitor dalam jangka waktu 8 (delapan) hari untuk memenuhi kewajibannya yaitu membayar utangnya dengan sukarela dan sekaligus lunas. Tenggang waktu aanmaning ditentukan oleh undang-undang paling lama 8 (delapan) hari terhitung sejak teguran itu dijalankan. Batas waktu 8 (delapan) hari merupakan batas waktu maksimal. KPN dapat menentukan batas waktu yang lebih singkat sebelum 8 (delapan) hari jika dianggap waktu 8 (delapan) hari terlalu lama. Namun demikian KPN harus melihat sifat dan bentuk pemenuhan prestasi yang harus dilaksanakan. Jika bentuk pelaksanaan prestasinya dianggap sulit misalnya menyangkut pengosongan rumah yang dihuni oleh pihak tereksekusi, maka akan lebih bijaksana jika KPN dapat memberikan batas waktu yang maksimal, mengingat upaya pengosongan rumah memerlukan waktu yang cukup lama untuk memindahkan barang-barang milik termohon eksekusi. Namun jika bentuk pelaksanaan prestasinya bersifat mudah dan sederhana, maka demi memberikan efisiensi waktu, KPN dapat menetapkan waktu kurang dari 8 (delapan) hari. Dalam tahapan ini, menurut Sudikno Mertokusumo 6, Pengadilan berperan untuk mempertahankan atau menjamin ditaatinya hukum materiil, sebagaimana diatur dalam hukum acara perdata yang berlaku. Menurut Sunaryati Hartono7, hukum acara perdata pada asasnya adalah bersifat mengikat bagi hakim dalam menjalankan tugasnya. Apabila terhadap peringatan itu tidak diindahkan dan atau pihak yang kalah dipanggil tidak datang menghadap meskipun telah dipanggil secara patut maka KPN karena jabatannya akan mengeluarkan surat perintah untuk menyita benda jaminan milik termohon eksekusi (debitor) yang telah dibebani Hak Tanggungan sesuai dengan permohonan eksekusi yang diajukan oleh pemohon eksekusi (kreditor), sehingga kiranya cukup untuk membayar jumlah yang disebutkan dalam keputusan itu dan biaya-biaya eksekusi (menjalankan keputusan). KPN akan memerintahkan agar tanah objek Hak Tanggungan tersebut diletakkan sita eksekutorial. Sita eksekusi dijalankan berdasarkan surat perintah Ketua Pengadilan Negeri. Jika pihak yang memiliki kewajiban untuk berprestasi tidak mau melaksanakannya secara sukarela, maka pelaksanaannya akan dilakukan oleh pengadilan melalui proses eksekusi berdasarkan permohonan dari pihak yang bersangkutan. Perintah pelaksanaan sita eksekusi berbentuk penetapan yang isinya memerintahkan kepada panitera atau jurusita Pengadilan untuk meletakkan sita terhadap barang-barang milik pihak termohon eksekusi. Sita eksekusi dilaksanakan pada proses eksekusi pembayaran sejumlah uang (verkoop executie).8 Sita eksekusi memiliki peranan yang hampir sama dengan sita jaminan (conservatoir beslag) yaitu untuk menjamin suatu tuntutan dapat terpenuhi. Dalam kaitannya dengan akta perdamaian, sita eksekusi memiliki peranan yang cukup penting karena peletakan sita eksekusi terhadap kekayaan milik termohon eksekusi akan dapat menghindari kekeliruan terhadap objek eksekusi ketika menjalankan proses penjualan lelang. Prinsip sita eksekusi merupakan bentuk permulaan dari proses penjualan lelang. Dengan adanya Berita Acara Aanmaning maka KPN mengeluarkan Surat Penetapan yang berisi bahwa sebelum pelaksanaan eksekusi lelang dilaksanakan, terlebih dahulu harus diletakkan Sita 6
7
8
4
Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia Dan Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1983, hml. 179. Sunaryati Hartono, Peranan Peradilan Dalam Rangka Pembinaan dan Pembaharuan Hukum Nasional, Binacipta, Bandung, 1975, hlm. 9. M, Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Gramedia, Jakarta, 1991, hlm. 61.
Perlawanan Eksekusi Obyek Jaminan Hak Tanggungan Berdasarkan Titel Eksetorial, Anton Suyatno
Eksekusi terhadap barang-barang jaminan, dengan memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri atau jika ia berhalangan maka menunjuk penggantinya yang sah, dengan disertai oleh 2 (dua) orang saksi untuk melaksanakan Sita Eksekusi. Tata cara dan syarat-syarat sita eksekusi diatur dalam Pasal 197 HIR atau Pasal 209 RBG. Terbitnya surat perintah untuk Sita Eksekusi barang-barang jaminan tersebut, harus diawali dengan meneliti dan memeriksa adanya permohonan yang diajukan oleh pemohon eksekusi (kreditor), baik itu dilakukan sendiri maupun melalui kuasanya. Hal ini mengandung maksud bahwa Pengadilan dapat mengetahui apakah dalam batas waktu yang telah ditetapkan tersebut pihak yang kalah sudah memenuhi atau mematuhi isi putusan. Setelah adanya penetapan eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri, selanjutnya ketua panitera menentukan kapan eksekusi akan dilaksanakan. Panitera akan membuat surat pemberitahuan tentang kepastian hari diadakannya eksekusi yang ditujukan kepada pemohon eksekusi, termohon eksekusi, Kepala Desa setempat, Kecamatan dan Kepolisian. Tujuannya agar pihak Kelurahan setempat turut mengawasi terhadap barang-barang jaminan yang telah diletakkan Sita Eksekusi agar tidak dipindahtangankan, dijual, digadaikan kepada pihak lain sebelum termohon eksekusi (debitor) memenuhi kewajibannya untuk melunasi utangnya kepada pemohon eksekusi (kreditor). Kemudian Kepala Kelurahan setempat dimintakan bantuannya agar Berita Acara Sita Eksekusi tersebut diumumkan menurut cara yang lazim digunakan di Kelurahan setempat sehingga dapat diketahui dan dibaca oleh umum. Mengenai Sita Eksekusi ini juga telah dicatat/didaftarkan di Kantor Pertanahan dalam buku register. Namun demikian dalam hal termohon eksekusi memenuhi panggilan sidang aanmaning maka KPN memberikan kesempatan kepada termohon untuk melaksanakan eksekusi secara sukarela serta diberikan pula kesempatan bagi para pihak, yaitu pemohon dan termohon, untuk menyelesaikan perselisihan atas eksekusi penetapan KPN secara damai. Dalam praktiknya KPN memberikan waktu sekitar 10 hari bagi para pihak terkait eksekusi untuk menyelesaikannya secara damai. Apabila dalam tenggang waktu yang diberikan tersebut telah lewat dan eksekusi secara sukarela juga belum dilaksanakan maka KPN akan memerintahkan Jurusita untuk menyita obyek jaminan Hak Tanggungan. Apabila setelah disita, debitor tetap lalai, maka tanah tersebut akan dilelang. Pelaksanaan tersebut terlebih dahulu akan diumumkan selama 2 (dua) kali berturut-turut dalam surat kabar yang terbit di kota dimaksud dengan tenggang waktu 15 (lima belas) hari antara pengumuman yang pertama dengan pengumuman yang kedua. Uang hasil lelang akan dipergunakan untuk membayar tagihan dari bank tersebut, setelah terlebih dahulu dibayar biaya perkara, termasuk biaya lelang dan apabila masih terdapat kelebihannya, maka kelebihan tersebut akan dikembalikan kepada debitor. Penyelenggaraan lelang atas objek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan melalui bantuan balai lelang, namun demikian sesuai dengan Vendu Reglement (VR) lelangnya tetap harus dilaksanakan dihadapan pejabat lelang dari kantor lelang negara. Pasal 1 Peraturan Lelang (Vendu Reglement stb 1908-189) bahwa peraturan penjualan lelang dimuka umum di Indonesia (Reglement op de openbare verkoopengen in Indonesia) merumuskan bahwa penjualan dimuka umum termasuk dalam hal ini penjualan lelang dalam rangka eksekusi oleh Pengadilan Negeri harus dilakukan melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Penjualan secara lelang memiliki kelebihan yang salah satunya adalah kepastian hukum dengan pengertian bahwa pelaksanaan lelang yang dipimpin oleh pejabat lelang menghasilkan akta otentik yang disebut Risalah Lelang. Risalah Lelang ini dapat dipergunakan oleh pemenang lelang sebagai bukti perolehan hak dan sebagai dasar untuk membalik nama objek lelang menjadi atas nama pemenang lelang, sehingga Risalah Lelang ini digolongkan sebagai Acte Van Trancport. Adapun persyaratan-persyaratan umum sebagai kelengkapan lelang eksekusi dalam rangka eksekusi oleh Pengadilan Negeri yang diminta oleh KPKNL adalah sebagai berikut : 1. Surat Permohonan Lelang; 5
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 1-10
2. 3. 4. 5.
Salinan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri untuk melaksanakan lelang; Berita Acara Sita Jaminan atau Sita Eksekusi; Salinan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri untuk melaksanakan sita; Salinan Keputusan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung mengenai pokok perkara; 6. Sertipikat Hak Tanggungan dan Akta Hak Tanggungan; 7. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT); 8. Rincian Utang Debitor (fixed); 9. Pemberitahuan Lelang; 10. Bukti-bukti Kepemilikan, seperti buku tanah; 11. Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT), apabila yang dilelang adalah Hak Atas Tanah; dan 12. Bukti Pengumuman Lelang. Pelelangan barang jaminan saat ini dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 93/PMK.06/2010 tertanggal 23 April 2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Menurut Pasal 1 angka 4 dinyatakan bahwa Lelang Eksekusi adalah lelang untuk melaksanakan putusan/penetapan pengadilan, dokumen-dokumen lain yang dipersamakan dengan itu, dan/atau melaksanakan ketentuan dalam peraturan perundangundangan. KPKNL adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Keuangan di masing-masing propinsi. Dalam risalah lelang dapat diketahui siapa pemenang lelangnya serta harga jual obyek jaminan Hak Tanggungan. Pemenang lelang dalam waktu yang segera akan menguasai obyek lelang. Pada umumnya obyek lelang masing dikuasai oleh debitor dan/atau pihak lainnya. Dalam hal yang demikian maka pemenang lelang akan meminta bantuan pengadilan untuk mengosongkan obyek jaminan dengan mengajukan permohonan aanmaning untuk pengosongan. KPN berdasarkan permohonan dimaksud akan mengeluarkan Penetapan Aanmaning untuk pengosongan dan berkoordinasi dengan seluruh pihak yang terkait dengan pengosongan obyek jaminan, seperti aparat Polsek setempat, Babinsa, petugas Kelurahan, Ketua RW/RT setempat, dan pihak lainnya. Pengosongan ini akan dijalankan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan. Jurusita pada kesempatan pertama akan mengupayakan pengosongan secara persuasif dengan meminta kepada pihak yang menguasai obyek jaminan agar segera meninggalkannya dengan sukarela. Dalam hal upaya persuasif tersebut belum berhasil maka akan dilakukan upaya pengosongan secara paksa. Berdasarkan uraian dari seluruh tahapan dalam eksekusi jaminan Hak Tanggungan melalui titel eksekutorial sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 195 sampai dengan Pasal 200 HIR/Rbg tersebut di atas, maka dapat dijelaskan bahwa proses eksekusi ini dalam praktiknya membutuhkan waktu berkisar kurang lebih 3 (tiga) bulan, dengan rincian sebagai berikut: 1. Aanmaning 8 hari kerja 2. Kesempatan untuk berdamai 10 hari kerja 3. Sita jaminan 10 hari kerja 4. Lelang 30 hari kerja 5. Aanmaning untuk pengosongan 8 hari kerja 6. Persiapan pengosongan (koordinasi dengan seluruh pihak 30 hari kerja terkait) sampai dengan eksekusi pengosongan secara riil Total 96 hari kerja Eksekusi Penetapan Pengadilan terhadap obyek jaminan Hak Tanggungan dalam praktiknya sering menimbulkan keberatan atau perlawanan atas penyitaan yang diletakkan terhadap obyek jaminan. Salah satu penyebabnya adalah besarnya utang yang belum pasti, ketidakjelasan status 6
Perlawanan Eksekusi Obyek Jaminan Hak Tanggungan Berdasarkan Titel Eksetorial, Anton Suyatno
hukum kepemilikan obyek jaminan, bahkan ada pihak lain (pihak ketiga) yang masih berhak atas kepemilikan tanah tersebut. Dengan demikian dalam suatu proses penyelesaian perkara sengketa eksekusi jaminan Hak Tanggungan atas tanah tidak boleh menimbulkan kerugian pada pihak ketiga yang tidak ikut menjadi pihak dalam perkara. Dalam keadaan yang demikian maka Hakim wajib meneliti apakah obyek Hak Tanggungan yang diajukan oleh kreditor untuk meminta penetapan eksekusi benar-benar milik debitor dengan melakukan pemeriksaan insedentil, yakni memerintahkan Jurusita untuk mengecek ke Kantor Pertanahan (BPN) dimana obyek jaminan berada khususnya mengenai terdaftar atau tidaknya obyek jaminan dimaksud atas nama debitor. Dalam eksekusi hak tanggungan tidak sedikit nasabah debitor atau pihak ketiga yang melakukan upaya hukum untuk menghambat proses eksekusi yang hendak dijalankan oleh KPN. Debitor sengaja melakukannya untuk menghambat proses dan nasabah debitor merasa dirugikan oleh kecurangan kreditor dalam menghitung angsuran utang. Pihak bank kemudian membuat pengumuman lelang di surat kabar. Atas dasar pengumuman tersebut, pihak pelawan mengajukan perlawanan dengan alasan tanah yang akan dilelang tersebut adalah milik pelawan. Pengajuan permohonan eksekusi atas obyek jaminan berdasarkan hak tanggungan pada beberapa pengadilan negeri di kotakota besar, khususnya di Jakarta dan Surabaya, dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir dapat dilihat dalam tabel di bawah berikut. Data ini dihimpun dari Pusat Statistik Perkara pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum, Mahkamah Agung RI Tabel 1. Jumlah Permohonan Eksekusi Obyek Jaminan pada Pengadilan Negeri di Jakarta dan Surabaya Tahun 2011-2012 No. Pengadilan Negeri Jumlah Ket 1 Jakarta Barat 14 2 Jakarta Timur 71 3 Jakarta Selatan 34 4 Jakarta Pusat 28 5 Jakarta Utara 14 6 Surabaya 77 Total 238 Terhadap keseluruhan permohonan eksekusi yang diajukan tersebut terdapat perlawanan dari tereksekusi dan pihak ketiga lainnya yang disandarkan pada berbagai macam alasan, diantaranya adalah jumlah utang yang tidak fixed, merasa dirugikan oleh kreditor, dan objek jaminan milik pihak ketiga. Dari total permohonan eksekusi hak jaminan yang berjumlah 238, sebanyak 43 atau sekitar 20% dilawankan oleh termohon dan pihak ketiga lainnya. Khusus untuk Pengadilan Negeri Jakarta Barat, terhadap seluruh permohonan eksekusi atas objek jaminan, yakni sejumlah 14 kasus, dilakukan perlawanan melalui gugatan. Selengkapnya data mengenai jumlah permohonan eksekusi hak tanggungan yang diajukan perlawanan pada beberapa pengadilan negeri di kota-kota besar, khususnya di Jakarta dan Surabaya, dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir adalah sebagai berikut.
7
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 1-10
Tabel 2. Jumlah Gugatan Perlawanan Eksekusi Obyek Jaminan pada Pengadilan Negeri di Jakarta dan Surabaya Tahun 2011-2012 No. 1 2 3 4 5 6
Pengadilan Negeri Jakarta Barat Jakarta Timur Jakarta Selatan Jakarta Pusat Jakarta Utara Surabaya Total Rata-rata
Jumlah 14 5 7 9 3 2 43 (6)
(%) dari permohonan eksekusi 100 7 21 32 21 3 (184) 31
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa sekitar rata-rata 31 % dari total permohonan eksekusi yang diajukan kepada KPN dibantah oleh termohon eksekusi atau pun pihak lainnya melalui gugatan perlawanan. Sedangkan 69 % lainnya dilanjutkan ke tahap eksekusi. Dalam perkara perlawanan yang ditarik sebagai pihak terlawan adalah ketua pengadilan negeri, panitera pengadilan negeri, kepala kantor lelang, dan kreditor. Pada awalnya debitor melakukan upaya hukum bantahan yang dilakukan untuk mencegah pelaksanaan eksekusi lelang. Seharusnya bantahan ini hanya dapat didasarkan atas alasan utangnya telah dilunasi, yang dalam hal ini belum dilaksanakan oleh debitor. Mengenai jumlah utang debitor sebenarnya sudah diketahui pada saat sidang aanmaning dan debitor tidak menyatakan keberatan terhadap jumlah utangnya tersebut. Dengan demikian alasan mengenai besarnya atau jumlah utang yang belum pasti tidak dapat digunakan untuk meminta penangguhan melalui upaya hukum dalam bentuk bantahan tetapi harus ditempuh dengan mengajukan gugatan. Di beberapa negara asing, prosedur pemeriksaan gugatan perlawanan dilakukan secara cepat dan sederhana (hukum acara singkat). Biaya yang diperlukan dalam proses tersebut tergantung kepada besarnya jumlah utang. D. Kesimpulan Dan Saran 1. Kesimpulan. a. Perbankan dalam praktiknya memilih eksekusi berdasarkan titel eksekutorial sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT. Bentuk penyelesaian ini memberikan rasa keadilan bagi perbankan dalam upaya pengembalian dana yang telah disalurkan kepada debitor. Namun dari total permohonan eksekusi Hak Tanggungan yang diajukan ke Pengadilan Negeri, sebesar 31 % mendapatkan perlawanan, baik dari debitor maupun pihak lainnya. b. Dalam pemeriksaan gugatan perlawanan atas eksekusi HT di masa depan dapat diterapkan prosedur pemeriksaan sederhana dimana Hakim hanya memeriksa adanya pembayaran lunas dari debitor selaku termohon eksekusi, maupun adanya bukti kepemilikan yang sah dari pihak ketiga lainnya. 2. Saran. a. Disarankan kepada Pemerintah untuk menyusun peraturan perundang-undangan yang mengatur gugatan perlawanan atas eksekusi HT melalui pengadilan agar cukup diputuskan pada tingkat pengadilan negeri dan langsung berkekuatan hukum tetap sehingga dapat segera dieksekusi.
8
Perlawanan Eksekusi Obyek Jaminan Hak Tanggungan Berdasarkan Titel Eksetorial, Anton Suyatno
b. Sebagai solusi jangka pendek disarankan kepada Mahkamah Agung agar menerbitkan suatu pedoman dalam melaksanakan fiat eksekusi, serta pedoman acara persidangan yang sederhana dan cepat untuk menghadapi upaya hukum perlawanan, sehingga dapat dicapai suatu peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Daftar Pustaka Buku A. Mukti Arto, Mencari Keadilan (Kritik Dan Solusi Terhadap Praktik Paradilan Perdata di Indonesia), Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 2001 Agus Yudha Hernoko, “Lembaga Jaminan Hak Tanggungan Sebagai Penunjang Kegiatan Perkreditan Perbankan Nasional”, Karya Ilmiah, Pascasarjana UNAIR, Surabaya, 1998 M, Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Gramedia, Jakarta, 1991 _________, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Edisi Kedua,Sinar Grafika, 2005, Retnowulan Sutantio, Perjanjian Kredit dan Macam-Macam Jaminan Kredit Dalam Praktek Hukum di Indonesia, (Kapita Selekta Hukum Ekonomi dan Hukum Perbankan), Seri Varia Yusticia, 1996 _________, Penelitian Tentang Perlindungan Hukum Eksekusi Jaminan Kredit, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Departemen Kehakiman RI, Jakarta, 1999 Retnowulan Sutantio dan Oerip Kartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 1997 Sudarsono, Kamus Hukum, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1992 Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia Dan Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1983 _________, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Edisi Keempat, Liberty, Yogyakarta, Juni, 1999 _________, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet.I, Liberty, Yogyakarta, 2006, Sunaryati Hartono, Peranan Peradilan Dalam Rangka Pembinaan dan Pembaharuan Hukum Nasional, Binacipta, Bandung, 1975 _________, Politik Hukum Menuju satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991. _________, Hukum Ekonomi Pembagunan Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1988. Thomas Suyatno, dkk, Kelembagaan Perbankan Edisi Kedua, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994 Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 beserta perubahannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah (UUHT). Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria 9
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 1-10
Putusan Badan Peradilan Putusan No. 686/PDT.G/2011/PN.JKT.BAR tanggal 19 Maret 2012. Putusan No. 66/Pdt.G/2008/PN.JKT.SEL tanggal tanggal 16 Oktober 2008. Putusan No. 383/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Bar. tanggal 30 April 2009 Putusan PT Jakarta Nomor: 631/PDT/2009/PT.DKI tertanggal 29 Juni 2010 Putusan MA Nomor 1395 K/Pdt/2011 tertanggal 10 November 2011
10
QUO VADIS: STATUS JABATAN DAN SISTEM KARIR KEPANITERAAN PERADILAN Budi Suhariyanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan MA-RI Jl. Jenderal Ahmad Yani Kav.58 Jakarta Pusat
[email protected]
Abstrak Secara normatif status jabatan kepaniteraan peradilan diatur secara berbeda. Eksplisit ditetapkan sebagai jabatan fungsional, jabatan fungsional tanpa angka kredit dan pejabat peradilan. Kualifikasi fungsional yang dimiliki kepaniteraan peradilan keberadaannya disetarakan dengan jabatan struktural dan sistem kenaikan pangkatnya reguler. Pada Mahkamah Agung, jabatan kepaniteraan disyaratkan dari Hakim, sehingga Panitera karir mempunyai jenjang tertinggi hanya di kepaniteraan pengadilan tingkat banding. Sehubungan dengan adanya RUU MA 2012 yang memberikan sebagian porsi jabatan kepaniteraan Mahkamah Agung kepada Panitera karir dan diberlakukannya UU ASN yang berorientasi pada fungsionalisasi PNS maka perlu ada evaluasi terkait status jabatan dan sistem karir kepaniteraan peradilan. Kategorisasi kepaniteraan peradilan sebagai jabatan fungsional khusus perlu dipertimbangkan dalam ius constituendum. Kata Kunci: Jabatan, Karir, Kepaniteraan Abstract Normatively, judicial registrar status is set differently. While explicity defined as a functional, but without the credit and judicial office. Functional qualification held judicial registrar existence is synchronizedwith the structural position of the promotion system and regular. A clerk on the supreme of court must be a judges. So that the clerk have a career at the highest level only appellate court registry. The supreme of court regulation drafting that gaves the registrar portion to career clerk, then enactment of civilian state apparatus regulation get the civil servants functional oriented. It is necessary to evaluate the official status to career system. On the ius constituendum, registrar as the special functional need to be considered. Keyword: function, career, registrar
A. Pendahulaun Eksistensi kepaniteraan dalam pelaksanan fungsi organisasi peradilan cukup penting. Dalam konteks penyelenggaraan persidangan di pengadilan, keberadaannya berfungsi mendukung dan membantu Hakim dalam memeriksa dan menyelesaikan perkara. Secara teknis, pejabat kepaniteraan tidak hanya bertugas sebagai pendamping Hakim dalam mencatat jalannya persidangan semata, namun juga memikul tugas pokok untuk pelayanan administrasi perkara, administrasi keuangan perkara dan tugas administrasi lainnya yang ditetapkan berdasarkan ketentuan Undang-undang, serta melakukan penyusunan statistik, dokumentasi, laporan serta pengarsipan perkara. Pada dasarnya setiap lembaga pengadilan terdapat organ kepaniteraan di dalamnya, tak terkecuali di Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung maupun lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Sebagaimana sistem peradilan yang berjenjang mulai tingkat pertama, banding dan Mahkamah Agung, organ kepaniteraan pun melekat dalam setiap jenjang tersebut. Meskipun tugas pokok dan fungsi kepaniteraan pada umumnya sama, namun dalam beberapa hal pada setiap tingkat 11
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 11-24
pengadilan mempunyai peranan yang berbeda sesuai dengan fungsi peradilan yang terkait. Misalnya pada pengadilan tingkat pertama yang menjalankan fungsi sebagai judex factie, salah satu tugas dari Panitera Pengganti adalah recording jalannya persidangan. Sementara kepaniteraan di Mahkamah Agung yang notabene melaksanakan fungsi sebagai judex juris, tugas Panitera Penggantinya tidak lagi recording jalannya persidangan seperti kepaniteraan pengadilan tingkat pertama, tetapi lebih subtantif dalam hal membantu Hakim Agung memeriksa dan memutus perkara. Sedangkan di Mahkamah Konstitusi, seorang Panitera Pengganti dituntut untuk mampu membuat resume perkara, menganalisis perkara, mencari referensi isu hukum, menyiapkan naskah putusan, dan menuangkan atau memformulasikan pendapat Hakim Mahkamah Konstitusi ke dalam putusan. Sebagaimana kualifikasi tugas kepaniteraan pada jenjang peradilan yang berbeda, rekrutmen pejabat kepaniteraan peradilan juga tidak sama. Jika di Mahkamah Konstitusi dan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung (kescuali lingkungan peradilan militer) pejabat kepaniteraannya direkrut dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) sesuai yang disyaratkan Undang-undang. Sedangkan di Mahkamah Agung, pejabat kepaniteraannya direkrut dari Hakim yang memenuhi kualifikasi sesuai yang disyaratkan oleh Undang-undang. Selain itu terkait status jabatan kepaniteraan pun berbeda, jika di Mahkamah Konstitusi ditentukan sebagai jabatan fungsional tanpa angka kredit dan di Mahkamah Agung ditetapkan sebagai fungsional, namun pada lingkungan peradilan di Mahkamah Agung dikategorikan sebagai pejabat peradilan. Pada satu sisi dikualifikasikan sebagai jabatan fungsional, tetapi di sisi lain disetarakan dengan struktural sehingga kenaikan pangkatnya reguler (berbeda dengan kepangkatan jabatan fungsional). Dalam konteks inilah, kemudian timbul anggapan bahwa status jabatan kepaniteraan ini dinilai “kurang jelas” sehingga sistem karirnya dianggap juga kurang proporsional. Akibat lain yang mengemuka adalah terkait dengan jenjang karir yang tidak linear dan kurang proporsional. Sebagaimana sistem karir yang ideal adalah tersusun secara berjenjang dan vertikal dari bawah ke atas (puncak), misalnya dari kepaniteraan pengadilan tingkat pertama, banding dan Mahkamah Agung. Namun karena secara normatif Undang-undang telah menetapkan bahwa kepaniteraan di Mahkamah Agung diisi oleh Hakim (bukan oleh Panitera karir), maka sistem karir kepaniteraan (rekrutmen dari PNS) tertinggi ada pada kepaniteraan di pengadilan tingkat banding. Diidealkan bahwa setiap karir atau jabatan memiliki jenjang yang linier, maka tidak salah kiranya jika terdapat tuntutan dari kalangan kepaniteraan agar di Mahkamah Agung dibuka peluang Panitera karir menjadi pejabat kepaniteraan di Mahkamah Agung. Apalagi dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yang berorientasi menertibkan sistem karir dan kinerja dari PNS, maka konsistensi akan linieritas karir kepaniteraan yang tidak tembus ke Mahkamah Agung menjadi persoalan yang harus terklarifikasi. Dalam optik sistem kepegawaian, Hakim yang telah ditetapkan sebagai pejabat negara nampaknya kurang proporsional jika diposisikan sebagai pejabat fungsional kepaniteraan (di Mahkamah Agung) layaknya PNS sehingga menimbulkan kontraprodukstif. Namun demikian politik hukum dan pertimbangan sosiologis dari ditetapkannya Hakim menduduki jabatan kepaniteraan di Mahkamah Agung perlu dieksplorasi untuk menyeimbangkan antara realita dan idealitas sistem karir kepaniteraan. Oleh karenanya menarik untuk dipersoalkan quo vadis status jabatan dan sistem karir kepaniteraan peradilan. B.
Metode Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang didasarkan pada pengkajian hukum positif. Bahan penelitian ini menggunakan bahan hukum primer berupa undangundang, sebagai objek penelitian. Undang-undang yang menjadi objek penelitian adalah UndangUndang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, 12
Quo Vadis : Status Jabatan dan Sistem Karir Kepaniteraan Peradilan, Budi Suhariyanto
Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung 2012 dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kepaniteraan peradilan. Sehingga pendekatan pada penelitian ini dilakukan secara pendekatan yuridis normatif. Metode pendekatan yang dilakukan dengan mengkaji, menguji dan menelaah aspek hukum dari kepaniteraan peradilan, khususnya yang berkaitan dengan status jabatan dan sistem karirnya, dilakukan dengan cara mengadakan penelitian terhadap data sekunder di bidang hukum yaitu jenis data yang diperoleh dari riset kepustakaan (Library Reseach), serta dari data-data lain (misalnya: media cetak, hasil seminar, dsb) yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas. Adapun spesifikasi penelitian dalam penelitian ini, termasuk penelitian yang bersifat deskriptif analitis, yaitu; tidak hanya menggambarkan permasalahan saja, tetapi juga peraturan kepaniteraan peradilan, khususnya yang berkaitan dengan status jabatan dan sistem karirnya. Kemudian menjelaskan asas-asas yang terdapat dalam pembahasan persoalan yang ada. Dengan demikian penelitian ini dimaksudkan untuk mencari landasan teoritis atau yuridis mengenai status jabatan dan sistem karir kepaniteraan peradilan khususnya yang berada pada lingkungan peradilan dibawah Mahkamah Agung. C. Pembahasan 1. Sekilas tentang Kepaniteraan Tugas pokok dan fungsi pengadilan diantaranya adalah menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara. Pimpinan pengadilan memiliki tanggungjawab terhadap pelaksanaan tugas pokok pengadilan tersebut dengan dibantu oleh para Hakim, Kepaniteraan dan Kesekertariatan. Secara umum, kepaniteraan mempunyai tugas pokok dan fungsi membantu Pimpinan pengadilan dalam menyelenggarakan sebagian tugas pokok dan fungsinya. Secara struktural, kedudukan Panitera adalah sebagai pembantu Pimpinan, dengan demikian segala pertanggungjawaban tugasnya juga kepada Pimpinan Pengadilan. Sesuai garis struktur organisasi pengadilan, Panitera berada pada garis lurus (linear) dibawah Pimpinan pengadilan. Tugas pokok Kepaniteraan adalah memberikan pelayanan tehnis di bidang administrasi perkara dan administrasi peradilan lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.9 Panitera pada pengadilan tingkat Pertama dan Banding adalah pimpinan dari pelaksanaan fungsi kepaniteraan. Secara umum, tugas Kepaniteraan Pengadilan tingkat Pertama diantaranya menyelenggarakan fungsi: Pertama. Pelayanan administrasi perkara, koordinasi dan singkronisasi pelaksanaan persidangan; Kedua. Pelaksanaan urusan administrasi perkara, administrasi keuangan perkara dan tugas administrasi lainnya yang ditetapkan berdasarkan ketentuan Undang-undang; dan Ketiga. Penyusunan statistik, dokumentasi, laporan serta pengarsipan perkara.10 Sementara itu untuk fungsi Kepaniteraan pada Pengadilan tingkat Banding mencakup 4 (empat) hal, yaitu: Pertama. pelayanan administrasi perkara, melaksanakan koordinasi dan singkronisasi dalam pelaksanaan persidangan; Kedua. Pelaksanaan adminstrasi perkara, administrasi keuangan perkara dan tugas administrasi lainnya yang ditetapkan berdasarkan ketentuan Undang-undang; Ketiga. Penyusunan statistic perkara, dokumentasi perkara dan laporan perkara serta pengarsipan perkara.11 Sebagai pejabat kepaniteraan maka tugas Panitera secara umum adalah sebagai berikut: Pertama, membantu Pimpinan pengadilan dalam membuat program kerja jangka pendek dan jangka panjang, peladsanaannya dan pengorganisasiannya; Kedua, mengatur pembagian tugas pejabat kepaniteraan; Ketiga, dengan dibantu oleh Wakil Panitera dan Panitera Muda menyelenggarakan 9
10
11
Pasal 2 dan Pasal 8 Keputusan KMA-RI No.KMA/004/SK/II/1999 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Pasal 9 Keputusan KMA-RI No.KMA/004/SK/II/1999 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Pasal 3 Keputusan KMA-RI No.KMA/004/SK/II/1999 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi 13
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 11-24
administrasi secara cermat mengenai jalannya perkara perdata dan pidana maupun situasi keuangan perkara perdata; Keempat, bertanggungjawab atas pengurusan berkas perkara, putusan, dokumen, akta, buku daftar, biaya perkara uang titipan pihak ketiga, suart-suarat bukti dan surat-surat lainnya yang disimpan di kepaniteraan; Kelima, membuat akta dan salinan putusan; Keenam, menerima dan mengirimkan berkas perkara; dan Ketujuh. Melaksanakan eksekusi putusan perkara perdata (yang telah berkekuatan hukum tetap) yang diperintahkan oleh Ketua Pengadilan dalam jangka waktu yang ditentukan.12 Secara struktural seorang Panitera dibantu oleh seorang Wakil Panitera yang mempunyai tugas membantu Panitera dalam memberikan pelayanan teknis di bidang administrasi perkara dan administrasi lainnya yang ditentukan berdasarkan ketentuan Undang-undang. Sementara itu Wakil Panitera dibantu oleh jajaran Panitera Muda yang membidangi masing-masing urusan bidang Kepaniteraan, untuk peradilan umum dibagi dalam 3 sub/urusan yaitu: Pertama, Kepaniteraan Perdata, yang bertugas melakukan administrasi perkara, mempersiapkan persidangan perkara, menyimpan berkas perkara yang masih berjalan dan lain-lain yang berhubungan dengan perkara perdata; Kedua, Kepaniteraan Pidana, yang bertugas melaksanakan administrasi perkara, mempersiapkan persidangan perkara, menyimpan berkas perkara yang masih berjalan dan lain-lain yang berhubungan dengan perkara pidana dan barang bukti; dan Ketiga, Kepaniteraan Hukum, bertugas mengumpulkan, mengolah dan mengkaji data, menyajikan statistic perkara, menyusun laporan perkara, menyimpan arsip berkas perkara, melakukan administrasi pendaftaran Notaris, Penasehat Hukum dan badan hukum, administrasi kewarganegaraan, Balai Harta peninggalan dan administrasi yang berkaitan dengan catatan sipil dan tugas lain berdasarkan peraturan perundang-undangan.13 Sementara itu untuk Kepaniteraan pada Peradilan Agama dibagi dalam 3 (tiga) sub/urusan yaitu: Pertama, Kepaniteraan Permohonan, yang bertugas melakukan administrasi perkara, mempersiapkan persidangan perkara, menyimpan berkas perkara yang masih berjalan dan urusan lain yang berhubungan dengan perkara permohonan; Kedua, Kepaniteraan Gugatan, yang bertugas melakukan administrasi perkara, mempersiapkan persidangan perkara gugatan, menyimpan berkas perkara yang masih berjalan dan urusan lain yang berhubungan dengan masalah perkara gugatan; dan Ketiga, Kepaniteraan Hukum, yang bertugas mengumpulkan, mengelola dan mengkaji data, menyajikan statistik perkara, menyimpan arsip berkas perkara dan melakukan pengurusan administrasi pembinaan hukum Agama serta melaksanakan tugas lain yang berdasarkan peraturan perundang-undangan.14 Selain Panitera, Wakil Panitera dan para Panitera Muda, tugas kepaniteraan juga dibantu pelaksanaannya secara fungsional oleh Panitera Pengganti dan Juru Sita. Adapun tugas dari seorang Panitera Pengganti adalah membantu Panitera pengadilan dalam menjalankan tugasnya. Kedudukan Panitera Pengganti menjadi sangat vital dan sangat diperlukan untuk membantu Hakim dalam mengikuti dan mencatat jalannya persidangan. Terlebih lagi Panitera Pengadilan tidak mungkin harus selalu atau sesering mungkin mengikuti sidang pengadilan, mengingat seorang Panitera pengadilan sebagai pimpinan kepaniteraan sudah cukup banyak tugasnya.15 Sementara itu keberadaan Juru Sita juga cukup penting yaitu untuk melaksanakan tugas luar/lapangan seperti dalam hal menyampaikan relaas panggilan hari-hari sidang, melakukan penyitaan adalah sangat diperlukan karena Panitera
12
13
14
15
14
Wildan Suyuti Mustofa, Panitera Pengadilan: Tugas, Fungsi & Tanggungjawab, Jakarta, Tatanusa, 2002, Hlm.18 Pasal 5 Keputusan KMA-RI No.KMA/004/SK/II/1999 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Pasal 6 Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/004/SK/II/1992 Tentang Organisasi dan tata Kerja Kepaniteraan Pengadilan Agma dan Pengadilan Tinggi Agama Wildan Suyuti Mustofa, Op Cit, Hlm. 15
Quo Vadis : Status Jabatan dan Sistem Karir Kepaniteraan Peradilan, Budi Suhariyanto
pengadilan tidak mungkin keluar kantor sesering mungkin untuk melaksanakan tugas luar/lapangan tersebut.16 Berbeda halnya dengan Kepaniteraan di Pengadilan tingkat Pertama dan Banding, Kepaniteraan Mahkamah Agung memiliki tugas pokok dan fungsi serta struktur yang sedikit berbeda. Kepaniteraan Mahkamah Agung mempunyai tugas melaksanakan pemberian dukungan di bidang teknis dan administrasi justisial kepada Majelis Hakim Agung dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara, serta melaksanakan administrasi penyelesaian putusan Mahkamah Agung. Dalam melaksanakan tugas, Kepaniteraan Mahkamah Agung menyelenggarakan fungsi, diantaranya: Pertama, koordinasi pelaksanaan pemberian dukungan di bidang teknis dan administrasi yustisial; Kedua, koordinasi urusan administrasi keuangan perkara di lingkungan Mahkamah Agung; Ketiga, pelaksanaan pemberian dukungan di bidang teknis dan administrasi yustisial; Keempat, pelaksanaan minutasi perkara; Kelima, pembinaan lembaga teknis dan evaluasi; dan Keenam, pelaksanaan administrasi Kepaniteraan. Panitera Mahkamah Agung, secara teknis dibantu oleh seorang Wakil Panitera, Sekertaris Panitera dan para Panitera Muda (yang terdiri atas Panitera Muda perkara perdata, Panitera Muda perkara Perdata Khusus, Panitera Muda perkara Pidana, Panitera Muda perkara Pidana Khusus, Panitera Muda perkara Perdata Agama, dan Panitera Muda perkara Pidana Militer dan Tata Usaha Negara, serta Panitera Muda Tim) serta Panitera Pengganti.17 Berbeda halnya dengan Panitera Pengadilan tingkat Pertama dan Banding yang notabene Panitera Sekertaris, Panitera Mahkamah Agung secara struktural terpisah dengan Sekertaris Mahkamah Agung. Selain itu sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, Kepaniteraan di Mahkamah Agung direkrut dari Hakim dan Hakim Tinggi, jadi tidak berasal dari staff atau pejabat kepaniteraan sebagaimana pada Pengadilan tingkat Pertama maupun Banding. 2.
Masalah Status Jabatan Kepaniteraan Peradilan Terdapat opini bahwa status jabatan kepaniteraan adalah “kurang jelas”. Secara expilisit didalam Undang-undang tidak ada penegasan bahwa jabatan kepaniteraan pada lingkungan peradilan dibawah Mahkamah Agung adalah jabatan struktural ataupun fungsional, yang ada hanya penyebutan sebagai “pejabat peradilan”.18 Berbeda halnya dengan kepaniteraan di Mahkamah Konstitusi, secara tegas disebutkan sebagai jabatan fungsional non angka kredit.19 Pun juga berbeda dengan status jabatan kepaniteraan di Mahkamah Agung yang secara tegas dinyatakan sebagai jabatan fungsional.20 Sebagaimana dalam peraturan tentang jabatan PNS terdapat 2 (dua) bentuk yaitu fungsional dan struktural yang notabene tidak dapat dirangkap,21 hanya dikecualikan Jaksa, Peneliti dan Perancang Peraturan Perundang-undangan yang diperkenankan merangkap jabatan fungsional dan 16 17 18
19
20 21
Ibid, Hlm.16 http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id Sebagaimana yang diatur dalam penjelasan pasal 46 huruf e Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menyatakan“Yang dimaksud dengan “pejabat peradilan yang lain” adalah sekretaris, wakil sekretaris, wakil panitera, panitera pengganti, jurusita, jurusita pengganti, dan pejabat struktural lainnya. Demikian pula dalam Penjelasan Pasal 36 huruf d UU Nomor 49 Tahun 2009 : “Yang dimaksud dengan “pejabat peradilan yang lain” adalah sekretaris pengadilan, wakil sekretaris pengadilan, wakil panitera panitera muda, panitera pengganti, jurusita, jurusita pengganti, dan pejabat struktural lainnya”. Kemudian Penjelasan Pasal 35 huruf d UU Nomor 50 Tahun 2009 : “Yang dimaksud dengan “pejabat peradilan yang lain” adalah sekretaris, wakil sekretaris, wakil panitera, panitera muda, panitera pengganti, jurusita, jurusita pengganti dan pejabat struktural lainnya” Pasal 3 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2012 Tentang Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Pasal 4 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2005 tentang Kepaniteraan Mahkamah Agung Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1997 Tentang Pegawai Negeri Sipil yang Menduduki Jabatan Rangkap 15
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 11-24
struktural dalam satu waktu.22 Bilamana dikategorikan sebagai jabatan fungsional, status jabatan kepaniteraan pada lingkungan peradilan dibawah Mahkamah Agung tidak tercantum dalam salah satu deretan jabatan fungsional23 baik sebagai golongan fungsional umum maupun fungsional tertentu.24 Jika didalam peraturan perundang-undangan kepaniteraan pada lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung tidak termasuk dalam jabatan fungsional maka kemudian diasosiasikan sebagai jabatan struktural yang secara berjenjang memiliki tingkatan. Sebagaimana yang diatur dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor: 140/KMA/SK/VIII/2013 Tentang Penyempurnaan Pola Promosi dan Mutasi Kepaniteraan di Lingkungan Badan Peradilan Umum, kepangkatan dan jabatan kepaniteraan di”setara”kan eselonisasinya dengan jabatan struktural PNS. Berdasarkan penyetaraan yang tercantum dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor: 140/KMA/SK/VIII/2013 Tentang Penyempurnaan Pola Promosi dan Mutasi Kepaniteraan di Lingkungan Badan Peradilan Umum, ternyata jabatan Panitera Pengganti tidak dimasukkan didalam kesetaraan eselon, sehingga dapat diasumsikan bahwa Panitera Pengganti bukanlah suatu jabatan struktural. Demikian pula bukan termasuk jabatan fungsional sebagaimana dijelaskan dalam alinea sebelumnya. Namun pada realitasnya dianggap fungsional karena mendapatkan tunjangan jabatan fungsional. Implikasi dari status jabatan yang demikian maka secara kepangkatan pejabat kepaniteraan pada lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung pada asasnya sama dengan PNS yang reguler sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural (dipersamakan dengan jabatan struktural untuk menentukan pangkat dan golongan). Bilamana seorang Panitera Pengganti tidak mendapatkan promosi menduduki jabatan struktural kepaniteraan misalnya panitera muda maka batas atas atau maksimum kepangkatan adalah golongan III/d bagi yang mempunyai ijasah Sarjana dan bagi yang mempunyai ijasah magister maksimum adalah IV/a. Dengan demikian seorang Panitera Pengganti yang sudah memiliki masa kerja 30 (tiga puluh) tahun akan mempunyai kepangkatan dan tunjangan serta beban kerja yang sama dengan juniornya yang memiliki masa kerja sebagai Panitera Pengganti. Terdapat analisis menarik dari komunitas anggota IPASPI yang berpendapat bahwa jabatan kepaniteraan di pengadilan sangat dilematis serta dikepung oleh berbagai persoalan. Disatu sisi dikatakan sebagai jabatan fungsional, tetapi ternyata peraturan perundang undangan yang justru menjadi payung hukumnya tidak menegaskan hal tersebut. Demikian pula jabatan kepaniteraan tidak memiliki jenjang karir dan kepangkatan yang jelas layaknya jabatan fungsional pada umumnya, bahkan faktanya terjadi pembatasan – pembatasan dalam jenjang karir mengikuti pola jabatan struktural PNS sebagaimana telah diilustrasikan sebelumnya. Dimana Panitera Pengganti murni, Jurusita dan Jurusita Pengganti justru menjadi pihak yang paling dirugikan dalam hal ini. Disisi lain, jika dikatakan jabatan kepaniteraan pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding merupakan jabatan struktural, mengapa harus ada istilah “disetarakan dengan Eselon” ? Sebab frasa “disetarakan” bisa jadi memberikan pemahaman bahwa Panitera Pengganti yang diangkat sebagai Panitera Muda misalnya, hanya seolah-olah melakukan tugas tambahan sebagai Panitera Muda disamping tugas pokoknya sebagai Panitera Pengganti, dan bukan menunjukkan pada suatu posisi atau kedudukan tertentu dalam organisasi. Tidak dapat dipungkiri kenyataannya memang demikian, pada pengadilan – 22
23
24
16
Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1997 Tentang Pegawai Negeri Sipil yang Menduduki Jabatan Rangkap Jabatan fungsional PNS dibagi 2, jabatan fungsional umum yang berdasarkan pendidikan umum, tunjangan belum jelas (atau tidak ada) dan naik pangkatnya reguler, serta jabatan fungsional tertentu yang berdasarkan pendidikan tertentu serta naik pangkatnya dengan angka kredit. Pada jabatan fungsional tertentu, jabatannya menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seorang Pegawai Negeri Sipil dalam suatu satuan organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian/dan atau keterampilan tertentu serta bersifat mandiri. Tidak termasuk dalam 114 jabatan fungsional yang telah ditetapkan oleh Pemerintah
Quo Vadis : Status Jabatan dan Sistem Karir Kepaniteraan Peradilan, Budi Suhariyanto
pengadilan tingkat pertama, para Panitera Muda termasuk Wakil Panitera disamping melaksanakan tanggungjawab sebagai penanggungjawab kepaniteraan (pidana, perdata, hukum) juga masih tetap harus melaksanakan tugas sebagai Panitera Pengganti yang menghadiri sidang dan membuat Berita Acara Sidang (BAS). Sehingga dalam hal ini terjadi tumpang tindih, antara pelaksanaan tanggung jawab secara struktural dengan tanggungjawab secara fungsional. Lebih lanjut, jika jabatan kepaniteraan tersebut merupakan jabatan struktural, mengapa batas usia pensiun jabatan kepaniteraan ternyata disebutkan secara khusus dalam aturan tersendiri (dikecualikan usia pensiun jurusita)? Bukankah ini merupakan ciri dari jabatan fungsional? Dengan demikian jabatan kepaniteraan di pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding tidak memiliki status dan identitas yang jelas. Sebagai jabatan fungsional ataukah struktural.25 3. Masalah Sistem Karir Kepaniteraan Peradilan Jenjang karir pejabat kepaniteraan yang diatur secara normatif26 hanya sebatas di kepaniteraan Pengadilan Tinggi, sedangkan untuk kepaniteraan di Mahkamah Agung mulai dari Panitera Pengganti, Panitera Muda dan Panitera disyaratkan diisi oleh Hakim. Ditinjau dari perspektif historis, terdapat perbedaan pengaturan antara Undang-undang Mahkamah Agung 2009 dengan 2004. Dalam UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung mengatur bahwa Hakimlah yang dapat menduduki jabatan Panitera Pengganti, Panitera Muda dan Panitera.27 Sementara itu dalam Undang-undang No.5 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang No.14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung pernah memberikan “angin segar” kepada pejabat kepaniteraan bisa berkarir di Mahkamah Agung. 28 Atas perubahan kebijakan tersebut tentu terdapat dasar pertimbangan yang bersifat teknis misalnya terkait dengan tugas pokok dan fungsi Panitera Pengganti di Mahkamah Agung adalah tidak sama dengan Kepaniteraan di tingkat Banding maupun tingkat Pertama. Bilamana di tingkat Pertama diidentifikasi hanya sebatas recording jalannya persidangan semata, sedangkan Panitera Pengganti di Mahkamah Agung dituntut untuk dapat memberikan narasi pertimbangan untuk merumuskan hasil putusan majelis Hakim Agung. Sebagaimana diketahui bahwa demikian besar jumlah tumpukan perkara yang harus diselesaikan oleh Mahkamah Agung sehingga Hakim Agung dituntut bekerja secara efektif dan efisien dalam memutus suatu perkara, adalah hal yang logis bilamana para Hakim Agung tersebut didukung oleh Panitera Pengganti yang berasal dari Hakim sehingga bisa sinergis dan memiliki kompetensi serta berpengalaman membuat dan mengkonsep putusan. Hal ini sesuai dengan pernyataan mantan Ketua Mahkamah Agung Harifin A Tumpa ketika melantik dan mengambil sumpah jabatan tiga orang Hakim sebagai Panitera Pengganti dilingkungan Mahkamah Agung R.I: 29 “bahwa saudara sebagai panitera pengganti agar membantu para hakim agung didalam meningkatkan kualitas putusan, selama ini bila ada perkara yang ditolak hampir tidak pernah ada pertimbangan hukumnya selain dari pertimbangan hukum yang sudah baku sehingga orang menilai 25
Dalam http://ipaspi.wordpress.com/2014/05/23/dilematisasi-jabatan-fungsional-panitera-dan-jurusita/, diunduh pada tanggal 26 Mei 2014 Pkl. 16.06 WIB 26 Undang-undang peradilan yang terkait maupun Undang-undang Mahkamah Agung serta Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor: 140/KMA/SK/VIII/2013 Tentang Penyempurnaan Pola Promosi dan Mutasi Kepaniteraan di Lingkungan Badan Peradilan Umum ataupun Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama No. 2246/DJA/OT.01.3/SK/XI/2013 Tentang Pedoman Pola Karir Tenaga Teknis Peradilan Agama 27 Pasal 20 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung 28 Pasal 20 Undang-undang No.5 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang No.14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung 29 http://ipaspi.wordpress.com/2014/05/23/perlukah-uu-nomor-3-tahun-2009-tentang-mahkamah-agung-di-ujimateri yang diunduh pada tanggal 28 Mei 2014 Pkl. 10.40 WIB 17
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 11-24
putusan-putusan kita tidak pernah ada yang berkualitas oleh karena itu sebagai hakim yang ditugasi sebagai panitera pengganti agar dapat melengkapi putusan-putusan agar berkualitas dan pengalaman sebagai hakim selama 10 tahun dapat mengkaji mengapa memory kasasi itu tidak relevan atau tidak bertentangan dengan hukum.” Berdasarkan pernyataan yang demikian maka secara implisit ditegaskan bahwa para Hakim yang diperbantukan sebagai Panitera Pengganti sesungguhnya memiliki tugas dan fungsi yang cukup strategis dalam memperbaiki kualitas putusan Mahkamah Agung. Hal ini juga menyiratkan bahwa urgensi Hakim ditempatkan sebagai Panitera Pengganti adalah sudah tepat dan sudah selayaknya sehingga bilamana dibandingkan apabila yang ditempatkan adalah selain Hakim misalnya para pejabat kepaniteraan yang berasal dari tingkat Banding maupun tingkat Pertama. Terhadap perspektif yang demikian, muncul kritik dari Forum Komunikasi Warga Peradilan mencoba meluruskan perspektif yang berkembang tersebut dengan menyatakan bahwa: 30 Panitera Pengganti khususnya di Pengadilan Tingkat Pertama disamping harus membuat Berita Acara Sidang juga tidak jarang mereka juga harus membuat konsep putusan (bukan hanya sekedar mengetik putusan). Dengan demikian mereka punya tanggungjawab ganda membuat Berita Acara Sidang dan membuat konsep putusan. Argumentasi yang menyatakan bahwa hanya Hakim yang mampu membuat konsep putusan sementara panitera di tingkat pertama maupun tingkat banding tidak memiliki kemampuan yang serupa sepertinya perlu diteliti dan dikaji ulang. Lagipula jika ditinjau berdasarkan latar belakang pendidikan antara Hakim dan Panitera, maka tidak ada perbedaan antara Hakim dan Panitera karena sama-sama berlatar belakang pendidikan Sarjana Hukum, bahkan tidak sedikit Panitera Pengganti yang bergelar Magister Hukum. Lebih lanjut Forum Komunikasi Warga Peradilan ini juga berpendapat bahwa: 31 Selayaknya Panitera Pengganti pada Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding dapat berkarir di Mahkamah Agung. Apalagi secara normatif bila dibandingkan jabatan Kepaniteraan di Mahkamah Konstitusi bukan diisi oleh Hakim tetapi Pegawai Negeri Sipil dengan pangkat dan golongan tertentu yang berkompeten serta berpengalaman di bidang kepaniteraan. Bisa jadi banyak panitera tingkat pertama dan tingkat banding yang memenuhi kualifikasi untuk berkarir di Mahkamah Konstitusi. Jika dihubungkan juga dengan ketentuan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian negara yang menegaskan bahwa jabatan fungsional termasuk jabatan kepaniteraan Mahkamah Agung hanya dapat diduduki oleh PNS (tentunya dengan pangkat dan golongan tertentu) dan bukan oleh pejabat negara. Jika seandainya asumsi ini salah maka berarti jabatan kepaniteraan di Mahkamah Konstitusi juga tidak boleh di isi oleh PNS. Tetapi faktanya jabatan kepaniteraan di Mahkamah Konstitusi justru diduduki oleh PNS mulai dari pangkat terendah III/c. Dalam hal ini telah terjadi ketidaksinkronan secara horizontal antara Undang-undang Mahkamah Konstitusi, Undang-undang Mahkamah Agung dan Undang-undang Kepegawaian yang menimbulkan turbulensi jabatan fungsional dalam internal Mahkamah Agung. Perlu diadakan harmonisasi ulang melalui upaya uji materi (judicial review) terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 atau dituangkan langsung dalam RUU Mahkamah Agung yang baru melalui proses legislasi, agar tidak ada pihak yang diuntungkan dan dirugikan dengan berlakunya Undang-undang tersebut. Bahwa jabatan kepaniteraan di Mahkamah Agung yang merupakan jabatan fungsional seharusnya diisi oleh PNS yang memenuhi syarat dan bukan diisi oleh Hakim seperti yang terjadi saat ini. Ditinjau dari perspektif good governance, 32 penempatan seseorang di suatu jabatan atau dalam siklus jenjang karir diidealkan linier dan konsisten, sebagaimana seorang Hakim yang mulai dari 30
31 32
18
Lihat dalam http://ipaspi.wordpress.com/2014/05/23/perlukah-uu-nomor-3-tahun-2009-tentang-mahkamahagung-di-uji-materi yang diunduh pada tanggal 28 Mei 2014 Pkl. 10.40 WIB Ibid Terdapat beberapa asas atau prinsip penyelenggaraan kepemerintahan yang baik di antaranya:
Quo Vadis : Status Jabatan dan Sistem Karir Kepaniteraan Peradilan, Budi Suhariyanto
perekrutan, awal karir di tingkat pengadilan Pertama, Banding, hingga menjadi Hakim Agung. Namun kenyataannya menurut hukum positif, Hakim yang notabene pejabat negara diperkenankan menduduki jabatan kepaniteraan di Mahkamah Agung baik sebagai Panitera Pengganti, Panitera Muda dan Panitera. Sehingga muncul persoalan Seyogyanya karir suatu jabatan adalah konsisten dan linier serta tidak bercabang demi menjunjung tinggi asas profesionalisme dan good governance, jadi sangat diharapkan pejabat yang sejak awal memilih berkarir di kepaniteraan mendapatkan jenjang karir yang tertinggi yaitu Panitera Mahkamah Agung selayaknya Hakim. Dengan demikian perlu ada peninjauan ulang terkait jenjang karir kepaniteraan yang tidak hanya sebatas sampai di Pengadilan Tingkat Banding saja tetapi juga bisa dibuka kemungkinan menduduki jabatan kepaniteraan di Mahkamah Agung. Revisi regulasi Undang-undang Mahkamah Agung dan peraturan-peraturan turunannya menjadi sebuah keniscayaan untuk dilakukan. 4.
Quo Vadis Status Jabatan dan Sistem Karir Kepaniteraan Peradilan Terhadap kenyataan status jabatan dan jenjang kepangkatan kepaniteraan yang dianggap “kurang jelas”, menurut Penulis secara ideal jabatan kepaniteraan digolongkan sebagai jabatan fungsional layaknya Jaksa atu Peneliti. Meskipun fungsional tapi bisa merangkap struktural. Jenjang karir fungsionalnya terpetakan secara bertingkat dengan kualifikasi misalnya pertama, muda, madya dan utama sesuai dengan angka kredit yang ditentukan. Antara panitera pengganti yang senior dan junior bisa dihargai secara proporsional baik dari segi kepangkatan maupun tunjangannya (tidak seperti yang sekarang ada, antara yang sudah lama puluhan tahun bekerja sebagai Panitera Pengganti dengan yang baru beberapa tahun). Dengan demikian jenjang kepangkatan kepaniteraan khususnya Panitera Pengganti yang kepangkatannya stagnan di III/d (karena tidak mendapat promosi jabatan Panitera Muda misalnya) yang notabene disetarakan dengan staff administrasi dapat terbuka peluang mendapatkan kepangkatan maksimal sesuai dengan hasil dan prestasi kerjanya yang terakomodir dalam angka kredit. Selain itu tunjangan jabatan maupun tunjangan kinerja dari pejabat kepaniteraan bilaman difungsionalkan juga akan mengalami perbaikan dan penyesuaian setara dengan out put kerjannya yang notabene telah diperifikasi dalam angka kredit. Kompensasi kepangkatan dan jenjang jabatan fungsional khusus yang diidealkan untuk kepaniteraan dengan angka kredit ini harus diperhitungkan dan dipertimbangkan secara matang sesuai dengan kriteria atau standart kompetensi serta kinerja yang sesuai dan proporsional. Misalnya antara Panitera Pratama dengan Muda, Madya serta Utama harus jelas klasifikasi kompetensinya. Perumusan item-item yang dapat dikualifikasikan hasil karya atau prestasi kerja sebagai angka kredit secara berjenjang harus dirasionalisasikan juga dengan beban kerja yang dihadapi oleh kepaniteraan, misalnya per-berkas perkaranya dapat menghasilkan angka kredit seberapa dan antara jenis perkara 1. Asas kepastian hukum, yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara. 2. Asas tertib penyelenggaraan negara, yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian negara. 3. Asas kepentingan umum, yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif. 4. Asas keterbukaan, yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi atau keterangan yang benar, jujur dan tidak pilih kasih dan tetap memperhatikan perlindungan hak asasi pribadi golongan dan rahasia negara. 5. Asas proporsionalitas, yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban. 6. Asas profesionalitas, yang mengutamakan kahlian berlandaskan kode etik dan peraturan perundangundangan yang berlaku. 7. Asas akuntabilitas, yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat/rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara. Lihat dalam Idup Suhady, Kepemerintahan Yang Baik, Lembaga Administrasi Negara RI, 2009, Hlm.33-34 19
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 11-24
Tipikor dangan perkara pidana biasa juga dibedakan jumlah angka kreditnya karena tingkat kesulitan dan kualitas kerjanya berbeda. Kualifikasi pekerjaan tersebut perlu didukung dengan rasionalisasi kuantitas beban perkara serta sistem promosi dan mutasi kepaniteraan yang adil dan proprosional. Jangan sampai menimbulkan masalah perebutan ditempatkan pada kelas pengadilan yang banyak perkaranya agar mendapatkan angka kredit yang banyak pula, misalnya antara pengadilan di pulau Jawa yang cukup banyak dan variatif perkaranya dengan di pelosok pulau Papua misalnya yang notabene tidak banyak perkaranya. Sistem promosi dan mutasi kepaniteraan harus juga adill dan berjalan secara proporsional (layaknya Hakim misalnya tingkat pratama harus ke pengadilan yang minim perkara dan di pelosok daerah terlebih dahulu dan selanjutnya secara bertahap dan berjenjang ke arah pengadilan yang banyak dan variatif perkaranya) sehingga dapat mendukung sistem karir fungsional khususnya kepaniteraan Usulan agar di masa yang akan datang kepaniteraan difungsionalkan secara khusus ini mempunyai argumentasi dasar bahwa sesuai dengan UU ASN direncanakan secara bertahap pemerintah akan menghapus jabatan struktural PNS eselon III sampai eselon V. Penghapusan ini bertujuan untuk efisiensi kinerja aparatur pemerintah serta perampingan struktur. Selama ini banyak tugas di lingkup K/L, atau pemerintah daerah yang seharusnya dikerjakan satu orang, namun kenyataan justru dilakukan bersama oleh banyak orang. Para pegawai di eselon itu akan diganti dengan pegawai fungsional, nantinya hanya ada pejabat eselon I dan II dan pejabat fungsional yang langsung melayani. Untuk mengganti pegawai di eselon tersebut akan dianalisis dan diisi pegawai fungsional sesuai kompetensi. Seperti diketahui jabatan fungsional ada 2 yaitu fungsional umum dan fungsional khusus. Arah pemerintah adalah memperbanyak jabatan fungsional khusus.33 Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 13 UU ASN yang menyatakan bahwa jabatan Aparatur Sipil Negara terdiri atas Jabatan Administrasi, Jabatan Fungsional dan Jabatan Pimpinan Tinggi. Berdasarkan mekanisme kerja dan jenis kompetensinya maka sangat layak jika kepaniteraan dimasukkan dalam jenis jabatan fungsional. Masih belum terlambat untuk menginisiasi kepaniteraan dalam status jabatan fungsional dengan instansi Mahkamah Agung sebagai instansi pembina jabatan fungsionalnya. Jika kepaniteraan tidak segera ditetapkan status jabatan fungsionalnya maka dikhawatirkan akan tertatih-tatih menghadapi perubahan yang sekarang sedang dirintis oleh pemerintah dan beberapa tahun akan diberlakukan UU ASN secara utuh dan komprehensif. Selain masalah satus jabatan kepaniteraan, yang dimasalahkan adalah terkait dengan jenjang karir kepaniteraan yang hanya maksimal di pengadilan tingkat banding dan tidak bisa menembus Mahkamah Agung. Menyikapi problematika sistem karir kepaniteraan yang tidak bisa tembus di Mahkamah Agung, sesungguhnya gagasan kepaniteraan Mahkamah Agung dapat dimungkinkan diisi oleh non Hakim juga diinisiasi oleh Blue Print Pembaruan Peradilan 2010-2035 yang menyatakan bahwa: Desain Kepaniteraan pada Pengadilan Tingkat Pertama dan Banding perlu dikaji kembali untuk menentukan desain organisasi yang paling efektif dan efisien dengan mempertimbangkan aspek efektivitas dan implementasi teknologi dan informasi. Untuk mendukung pelaksanaan fungsi kehakiman dalam rangka menjawab misi Mahkamah Agung, maka Hakim perlu dukungan teknis dalam bentuk substansi hukum secara lebih komprehensif pada masa yang akan datang. Bilamana dilihat sebagai jabatan berbasis fungsi, maka pada prinsipnya harus dipastikan bahwa ke depannya jabatan Panitera Pengganti di Mahkamah Agung perlu diisi oleh orang-orang yang memiliki kompetensi fungsional dan tersertifikasi sebagai Panitera. Konsekuensinya, tidak perlu ada halangan
33
20
Dalam http://setagu.net/114-jabatan-fungsional-pns/ diunduh tanggal 26 Mei 2014 Pkl.14.40 WIB
Quo Vadis : Status Jabatan dan Sistem Karir Kepaniteraan Peradilan, Budi Suhariyanto
bagi staf pengadilan Non-Hakim untuk dapat ditunjuk sebagai panitera, sepanjang ia memenuhi standar kompetensi yang dibutuhkan untuk menjadi panitera pengganti di Mahkamah Agung.34 Bilamana ditinjau dari perspektif good governance, sebagaimana yang dikehendaki oleh UU ASN diharuskan seorang calon dalam rekrutmen, pengangkatan, penempatan dan promosi sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik, maka penempatan seseorang di suatu jabatan atau dalam siklus jenjang karir diidealkan linier dan konsisten. Selayaknya seorang Hakim yang mulai dari perekrutan, awal karir di tingkat pengadilan Pertama, Banding, hingga menjadi Hakim Agung. Namun kenyataannya menurut hukum positif, Hakim yang notabene pejabat negara diperkenankan menduduki jabatan kepaniteraan di Mahkamah Agung baik sebagai Panitera Pengganti, Panitera Muda dan Panitera. Seyogyanya karir suatu jabatan adalah konsisten dan linier serta tidak bercabang demi menjunjung tinggi asas profesionalisme dan good governance, jadi sangat diharapkan pejabat yang sejak awal memilih berkarir di kepaniteraan mendapatkan jenjang karir yang tertinggi yaitu Panitera Mahkamah Agung selayaknya Hakim. Usulan kongkretnya adalah perlu ada peninjauan ulang terkait jenjang karir kepaniteraan yang tidak hanya sebatas sampai di Pengadilan Tingkat Banding saja tetapi juga bisa dibuka kemungkinan menduduki jabatan kepaniteraan di Mahkamah Agung. Revisi regulasi Undang-undang Mahkamah Agung dan peraturan-peraturan turunannya menjadi sebuah keniscayaan untuk dilakukan. Dalam konteks inilah political will Pimpinan Mahkamah Agung dan Dewan Perwakilan Rakyat memegang peran penting untuk mewujudkannya. Revisi regulasi tentang kemungkinan kepaniteraan Non-Hakim bisa mengisi jabatan di Kepaniteraan Mahkamah Agung senyatanya telah tertuang pada draft Rancangan Undang-undang Tentang Mahkamah Agung. Ditegaskan dalam Pasal 29 ayat (3) Rancangan Undang-undang Tentang Mahkamah Agung bahwa: “untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Kamar Mahkamah Agung, seorang calon harus memenuhi syarat: sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c; dan berpengalaman sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sebagai Panitera Pengganti di Mahkamah Agung” Selain itu Pasal 29 ayat (4) Rancangan Undang-undang Tentang Mahkamah Agung juga menegaskan bahwa “untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Mahkamah Agung, seorang Calon harus memenuhi syarat yaitu sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c; dan berpengalaman paling singkat 10 (sepuluh) tahun sebagai Panitera pada Pengadilan Tingkat Banding”. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, akan menjadi “angin segar” bagi kepaniteraan Non-Hakim dapat berkarir di Mahkamah Agung, meskipun tidak seluruh kuota jabatan kepaniteraan di Mahkamah Agung dapat diakomodir secara keseluruhan (misalnya jabatan Panitera dan Panitera Muda Perkara masih dipersyaratkan adalah Hakim Tinggi). Sebelum dilakukan revisi regulasi ini disahkan dan diberlakukan secara konsekuen, merupakan sebuah keniscayaan perlu dilakukan persiapan Sumber Daya Manusia kepaniteraan yang mumpuni dan kompeten mendampingi Hakim Agung (judex yuris). Pembaruan sistem pendidikan dan pelatihan kepaniteraan juga perlu direvisi khususnya terkait dengan kurikulumnya yang harus mulai diarahkan untuk bisa mengakomodir kompetensi sebagai kepaniteraan judex yuris bagi kepaniteraan yang ada pada judex factie. Semenjak masih menerima pendidikan dan pelatihan sebagai Calon Panitera Pengganti sudah berbasis kompetensi yang bersifat futuristis. 34
Mahkamah Agung, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, Jakarta, Mahkamah Agung RI, 2010, Hlm.38 21
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 11-24
Sebagaimana Hakim yang memulai karirnya sebagai Hakim judex yuris kemudian terbuka peluang untuk menjadi Hakim Agung yang berada pada fungsi judex yuris yang notabene terdapat lompatan kompetensi dari judex yuris ke judex factie, demikian pula kepaniteraan sebagaimana pada Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding yang cenderung atau dianggap hanya berfungsi recording secara bertahap harus menyesuaikan kualifikasi kompetensinya ke arah kepaniteraan pendukung fungsi judex yuris. Pada konteks inilah maka proses adaptasi dan persiapan Sumber Daya Manusia kepaniteraan harus dilakukan secara bertahap dan proporsional. Bilamana tidak dipersiapkan secara matang maka yang terjadi adalah kontraproduktif dengan usaha Mahkamah Agung dalam percepatan penyelesaian perkara. D. Kesimpulan Status jabatan kepaniteraan peradilan dianggap “kurang jelas” karena belum ada harmonisasi ketentuan yang mengaturnya. Kepaniteraan di Mahkamah Konstitusi menetapkan jabatan kepaniteraan sebagai fungsional non angka kredit, sementara di Mahkamah Agung dikategorikan sebagai fungsional, sedangkan jabatan kepaniteraan pada lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung secara eksplisit diidentifikasi sebagai pejabat peradilan (fungsional disetarakan struktural dengan sistem kepangkatan reguler). Upaya rekonstruksi status jabatan kepaniteraan dengan cara meninjau kembali dan mengukuhkannya sebagai jabatan fungsional khusus adalah cukup penting mengingat segera diberlakukannya UU ASN yang berorientasi pada fungsionalisasi PNS. Jabatan fungsional khusus yang dimaksudkan memiliki penjenjangan pertama, muda dan madya serta utama dengan angka kredit, pun juga dapat merangkap jabatan struktural. Adapun terkait dengan sistem karir kepaniteraan yang linier dan konsisten (sebagaimana prinsip UU ASN) mulai dari Pengadilan tingkat pertama hingga Mahkamah Agung perlu dipertimbangkan dengan beberapa persyaratan dan tahapan yang proporsional. Revisi regulasi Undang-undang Mahkamah Agung dan peraturanperaturan turunannya menjadi sebuah keniscayaan untuk dilakukan. Dalam konteks inilah political will Pimpinan Mahkamah Agung dan Dewan Perwakilan Rakyat memegang peran penting untuk mewujudkannya. Sebelum dilakukan revisi regulasi yang terkait, merupakan sebuah keniscayaan perlu dilakukan persiapan Sumber Daya Manusia kepaniteraan yang mumpuni dan kompeten untuk mampu mendampingi Hakim Agung (judex yuris) agar tidak menjadi kontraproduktif.
Daftar Pustaka Idup Suhady, Kepemerintahan Yang Baik, Lembaga Administrasi Negara RI, 2009 Mahkamah Agung, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, Jakarta, Mahkamah Agung RI, 2010 Wildan Suyuti Mustofa, Panitera Pengadilan: Tugas, Fungsi & Tanggungjawab, Jakarta, Tatanusa, 2002 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1997 Tentang Pegawai Negeri Sipil yang Menduduki Jabatan Rangkap Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2012 Tentang Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2005 tentang Kepaniteraan Mahkamah Agung Keputusan KMA-RI No.KMA/004/SK/II/1999 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi
22
Quo Vadis : Status Jabatan dan Sistem Karir Kepaniteraan Peradilan, Budi Suhariyanto
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor: 140/KMA/SK/VIII/2013 Tentang Penyempurnaan Pola Promosi dan Mutasi Kepaniteraan di Lingkungan Badan Peradilan Umum. Keputusan Dirjen Badan Peradilan Agama No. 2246/DJA/OT.01.3/SK/XI/2013 Tentang Pedoman Pola Karir Tenaga Teknis Peradilan Agama http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id http://ipaspi.wordpress.com/2014/05/23/dilematisasi-jabatan-fungsional-panitera-dan-jurusita/ http://setagu.net/114-jabatan-fungsional-pns/
23
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 11-24
24
PERADILAN TATA USAHA NEGARA INDONESIA SUATU PEMIKIRAN KE ARAH PERLUASAN KOMPETENSI PASCA AMANDEMEN KEDUA UNDANG-UNDANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA Maftuh Effendi Hakim Yustisial Kamar TUN Mahkamah Agung RI Jl. Medan Merdeka Utara No.9-13, Jakarta Pusat
[email protected]
Abstrak Kompetensi absolut PTUN sangat sempit, hanya KTUN. Dengan kompetensi absolut seperti itu menjadikan PTUN sebagai peradilan tata usaha negara khusus, bahkan “super khusus” karena ternyata definisi KTUN menurut UU PTUN lebih sempit daripada konsep beschikking menurut AWb Belanda. Pertimbangan mengenai kompetensi absolut peradilan dalam putusan hakim, dari beberapa kasus belum menunjukkan kesatuan penafsiran, sehingga putusan-putusannya sulit diprediksikan. Perbedaan penafsiran itu menimbulkan ketidakpastian hukum dan dapat menggoyahkan konsistensi putusan PTUN. Pada akhirnya membingungkan masyarakat pencari keadilan untuk memilih forum yang tepat dalam upaya perlindungan hukum atas perbuatan pemerintahan, dan mendatangkan keraguan-raguan pemerintah dalam pelaksanaan putusan. Konsep yang ditawarkan untuk memperluas kompetensi absolut didasarkan pada metode dan tolok ukur untuk menentukan sengketa TUN. Metode yang digunakan adalah metode umum (general), sedangkan tolok ukurnya adalah tolok ukur subjek dan tolok ukur objek. Tolok ukur subjek, meliputi sengketa ekstern dan intern. Sedangkan tolok ukur objek, meliputi semua perbuatan pemerintahan yang bersumber dari wewenang hukum publik, baik berupa perbuatan hukum maupun perbuatan faktual, yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil. Kata kunci : PTUN, kompetensi absolut, perluasan. Abstract Indonesian administrative courts’ absolute jurisdiction are limited to the administrative decisions. It leads the courts as a special administrative court, even a “very special court”, because such definition of administrative decisions laid down on Law on Administrative Court is more narrow compared to the definition of administrative decision as laid down on the General Administrative Law Act of the Netherlands as it source. Most court decisions on the courts’ absolute jurisdiction vary in interpretations that make them unpredictable. They cause uncertainty and inconsistency in the application of administrative courts’ absolute jurisdiction. Furthermore, they create confusion to the society looking for appropriate forum dealing with administrative acts and bafflement to the administrations executing courts’ decisions. The concept offered to the expansion of Indonesian administrative courts’ absolute jurisdiction are based on the method and determination of administrative disputes. Method used is general method, while determination used is subjective and objective determinations. Subjective determination includes external and internal disputes, while objective determination includes all administrative acts in the field of public laws covered the legal and factual acts causing material or immaterial damages. Key words : administrative courts, absolute jurisdiction, expansion.
Hakim Yustisial Kamar TUN MA RI 25
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 25-36
A. Pendahuluan Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) bekerja sama dengan Deutsche Dessellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH35 dan Hanns Seidel Foundation telah menyelenggarakan Seminar tentang Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (RUU AP) di Jakarta, 05-04-2005. Kegiatan yang serupa dalam bentuk Sosialisasi RUU AP juga diselenggarakan oleh Menpan pada 12-06-2006 dengan mengundang hakim tingkat pertama, hakim tinggi dan hakim agung lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) se-Indonesia, anggota DPR RI serta pihak-pihak eksekutif terkait, guna mendapatkan masukan dalam rangka penyusunan RUU AP yang pada saat itu sudah memasuki konsep perubahan ke-13. Sayangnya, sampai saat ini RUU tersebut tidak jelas tindak lanjutnya. Pada saat itu Paulus E. Lotulung sebagai salah satu narasumber dalam sosialisasi tersebut, menegaskan bahwa keberadaan UU AP ternyata sangat diperlukan dan mendesak untuk segera diundangkan, karena sejak Indonesia merdeka, negara kita belum memiliki UU payung (umbrella act) atau UU yang secara umum mengatur tentang sistem penyelenggaraan pemerintahan, sehingga mengakibatkan belum optimalnya fungsi kontrol yuridis (judicial control) yang dilaksanakan oleh PTUN, kurang menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi masyarakat pencari keadilan dan juga di lain pihak tidak dapat mengupayakan perlindungan kepentingan masyarakat secara maksimal.36 UU AP secara ideal sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan tata pemerintahan yang baik (good governance) dan mengurangi korupsi, kolusi dan nepotisme. Karena UU tersebut memuat asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) - yang dalam Bahasa Belanda digunakan istilah algemene beginselen van behoorlijk bestuur - yang menjadi dasar penyelenggaraan administrasi pemerintahan. Sehingga ia menjadi sumber hukum materiil PTUN. Sedangkan UU PTUN menjadi sumber hukum acara dalam praktek PTUN. Mencermati materi muatan RUU AP tersebut,37 dapat dikatakan bahwa akan ada revitalisasi bahkan reformasi yang signifikan terhadap UU PTUN. Reformasi yang signifikan tersebut antara lain meliputi kompetensi absolut atau yurisdiksi PTUN sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 Angka 1,38 Pasal 4 Ayat (1),39 dan Pasal 82 Ayat (1)40 RUU AP.
35
36
37
38
39
40
26
Support for Good Governance (SfGG) merupakan kerjasama antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Republik Federal Jerman (PFJ). Dalam pelaksanaannya Pemerintah RI diwakili oleh Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara yang bertanggung jawab mengkoordinasikan perbaikan dan meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan pelayanan publik serta mendorong partisipasi masyarakat madani yang berkaitan. Kontribusi Pemerintah Republik Federal Jerman (RFJ) disalurkan melalui Deutsche Gessellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, sebuah lembaga kerjasama internasional milik Pemerintah RFJ. Paulus E. Lotulung, “Revitalisasi Peradilan Tata Usaha Negara dalam Kaitan dengan RUU tentang Administrasi Pemerintahan”, Makalah disampaikan pada Acara Sosialisasi RUU AP yang diselenggarakan oleh Menpan, Jakarta, 12-06-2006. RUU AP Format Setneg RI yang disampaikan dalam Bimbingan Teknis Hakim Tingkat Pertama se-wilayah hukum PT.TUN Surabaya, Surabaya, 5-6 April 2010. Pasal 1 Angka 1 RUU AP menyatakan “Administrasi Pemerintahan adalah tatalaksana dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan”. [kursif dari penulis] Pasal 4 Ayat (1) RUU AP menyatakan “Ruang lingkup pengaturan administrasi pemerintahan dalam undangundang ini meliputi semua aktivitas Badan atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah yang berbentuk keputusan dan/atau tindakan berdasarkan wewenang pemerintahan dan akibat hukum yang ditimbulkan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan”. [kursif dari penulis] Pasal 82 Ayat (1) RUU AP menyatakan “Pengajuan gugatan sengketa administrasi pemerintahan yang sudah didaftarkan pada peradilan umum tetapi belum diperiksa, dengan berlakunya undang-undang ini dialihkan dan diselesaikan oleh peradilan tata usaha negara”. [kursif dari penulis]
PTUN Indonesia Suatu Pemikiran ke Arah Perluasan Kompetensi, Maftuh Effendi
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, kita dapat memahami akan adanya perluasan kompetensi absolut atau yurisdiksi PTUN. Kalau selama ini kompetensi absolut PTUN hanya terbatas pada KTUN, maka dengan RUU AP diperluas meliputi perbuatan pemerintahan baik berupa perbuatan hukum maupun perbuatan faktual, yang menimbulkan kerugian materiil maupun immateriil. Gugatan terhadap perbuatan melanggar hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad/OOD) yang selama ini menjadi kompetensi peradilan umum dengan menerapkan Pasal 1365 BW, akan dilimpahkan kepada PTUN.41 Dengan demikian, untuk menyongsong disahkannya RUU AP, harmonisasi kompetensi absolut pengadilan dalam UU PTUN, menjadi penting. Berdasarkan seluruh uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa reformasi PTUN di Indonesia sudah seharusnya dilakukan, terutama yang berkaitan dengan kompetensi absolut pengadilan, dengan alasan: (i) kompetensi absolut PTUN yang sangat sempit itu merupakan salah satu penyebab kegagalan penyelesaian sengketa TUN, karena banyak sengketa TUN lain yang tidak dapat dijangkau oleh PTUN, sehingga secara langsung telah mempersempit akses keadilan (access to justice) yang ditawarkan kepada masyarakat; dan (ii) harmonisasi UU PTUN dalam rangka menyongsong disahkannya RUU AP yang memungkinkan perluasan kompetensi absolut PTUN. Dengan demikian, penulisan tentang pengaturan kompetensi absolut PTUN dalam UU PTUN dan pencerminannya dalam putusan hakim, serta upaya-upaya yang dilakukan untuk memperluas kompetensi absolut PTUN, menarik untuk dikaji. B. Rumusan Masalah Bertitik tolak dari uraian di atas dapat ditarik 3 (tiga) permasalahan yaitu: 1. Bagaimana pengaturan kompetensi absolut menurut UU PTUN dan apa konsekuensi dari pengaturan yang demikian itu? 2. Bagaimana pencerminan kompetensi absolut dalam putusan hakim dan apa pengaruhnya bagi masyarakat pencari keadilan dalam memilih forum untuk mendapatkan perlindungan hukum dan pengaruhnya bagi pemerintah dalam pelaksanaan putusan? 3. Bagaimana pemikiran untuk memperluas kompetensi absolut PTUN, dan metode dan tolok ukur apa yang dapat digunakan untuk menentukan sengketa TUN? C. Pembahasan 1. Pengaturan Kompetensi Absolut dalam UU PTUN Menurut rumusan Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1986 jo. Pasal 1 Angka 10 UU No. 51 Tahun 2009, yang menjadi objek sengketa TUN adalah KTUN. Berarti sengketa TUN lahir dari adanya KTUN, sehingga KTUN merupakan conditio sine quanon bagi timbulnya sengketa TUN. Pengertian KTUN menurut Pasal 1 Angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 lebih sempit daripada beschikking, karena KTUN hanya membatasi pada perbuatan hukum TUN (hukum administrasi), sedangkan beschikking cakupannya lebih luas dari itu, yaitu meliputi perbuatan hukum publik. Perbuatan hukum publik didasarkan pada wewenang hukum adminitrasi dan hukum tata negara. Batas antara perbuatan hukum administrasi dan hukum tata negara pun tipis sekali dan sulit dipisahkan. Jadi, perbuatan hukum publik lebih luas dari sekedar hukum TUN.42 Dengan pembatasan ini tidaklah mengherankan apabila keputusan presiden yang sifatnya individual-konkret sebagian besar bukan
41
42
Ibid. Lihat juga Paulus E. Lotulung, “Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Pasca Pengesahan RUU Administrasi Pemerintahan”, Makalah disampaikan dalam Ceramah Pembekalan Lanjutan Teknis Peradilan, Surabaya, 14-03-2009. Philipus M. Hadjon, “Ide Negara Hukum dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”, Makalah disampaikan dalam Simposium tentang Politik, Hak Asasi dan Pembangunan dalam rangka Dies Natalis XL/Lustrum VIII Universitas Airlangga, Surabaya, 03-11-1994, 9. 27
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 25-36
merupakan KTUN, karena keputusan presiden tersebut merupakan tindakan hukum tata negara dan bukan tindakan hukum administrasi.43 Analisis KTUN menggunakan dalil “intensi-ekstensi” dari Bruggink,44 ternyata juga menghasilkan konklusi yang sama, bahwa KTUN sebagai objek sengketa menurut UU PTUN, mengandung lingkup pengertian lebih sempit daripada beschikking menurut AWb Belanda. Pengertian KTUN ternyata belum selesai hanya dengan elemen-elemen tersebut. KTUN masih dikurangi keputusan dalam Pasal 2 UU No. 9 Tahun 2004 dan ditambah keputusan fiktif negatif dalam Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 serta dibatasi keputusan dalam Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1986. Disamping itu, ada pembatasan lain yang secara tidak langsung berkaitan dengan kompetensi aboslut, yaitu pembatasan subjek dalam Pasal 53 Ayat (1) UU No. 9 Tahun 2004 dan pembatasan ganti rugi dalam Pasal 3 Ayat (1) PP No. 43 Tahun 1991. Apabila dikaji, sebagian isi dari Pasal 2 adalah terlalu berlebihan (overbodig). Misalnya rumusan huruf a, dengan sendirinya tidak memenuhi elemen “tindakan hukum TUN”. Huruf b, dengan sendirinya tidak memenuhi elemen “individual-konkret”. Huruf c, dengan sendirinya tidak memenuhi elemen “final”. Demikian pula huruf d dan e, sedangkan huruf f dan g sifatnya masih problematis.45 Ketentuan Pasal 3 kendatipun tidak memenuhi unsur KTUN, namun dikategorikan sebagai KTUN. Ini merupakan perluasan pengertian KTUN, karena tidak berbuat dan tidak ada keputusan tertulis pun diidentikan dengan KTUN. KTUN demikian yang oleh Indroharto disebut KTUN yang fiktif dan negatif sifatnya.46 Rumusan itu dimaksudkan agar badan atau pejabat TUN selalu bersikap tanggap dan tertib dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, mengingat tidak berbuat pun bisa diajukan ke badan PTUN. Pasal 49 Huruf a melahirkan “KTUN darurat” dan tidak begitu menimbulkan permasalahan. Sedangkan Pasal 49 Huruf b dapat menimbulkan permasalahan hukum, terutama menyangkut kriterium kepentingan umum.47 Pengertian kepentingan umum dalam hukum positif kita masih menyisakan persoalan yang esensial, karena belum menunjukkan suatu rumusan yang jelas dan tegas. Memang untuk merumuskan suatu pengertian kepentingan umum yang komprehensif dan dapat diterima secara umum, tidaklah mudah. Akan tetapi penulis sependapat apabila pemerintah melalui peraturan perundang-undangan menentukan kritera apa yang dimaksud dengan “kepentingan umum”. Hal ini penting dilakukan guna menjamin agar tidak terjadi penghalalan segala macam perbuatan pemerintah atas dalih kepentingan umum. Pembatasan lainnya berkaitan dengan hak gugat (ius standi) dan ganti rugi. Menurut Pasal 53 Ayat (1) UU No. 9 Tahun 2004, persyaratan agar mempunyai ius standi di PTUN, harus memenuhi dua kriteria sebagai berikut: (i) penggugat adalah orang atau badan hukum perdata; dan (ii) penggugat memiliki kepentingan yang dirugikan akibat keluarnya suatu KTUN. Perumusan itu tidak memberikan kejelasan tentang: (i) apa yang dimaksudkan sebagai kepentingan; (ii) organisasi mana saja yang dapat menggugat. 43 44
45
46
47
28
Ibid. Uraian mendalam mengenai dalil intensi-ekstensi lihat J.J.H. Bruggink, Refleksi tentang Hukum (Rechtsreflecties, Grondbegrippen uit de rechtstheorie), alih bahasa: Arief B. Shidarta (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), 54-55. Wicipto Setiadi, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara: Suatu Perbandingan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), 101-102. Dinamakan keputusan fiktif negatif karena badan atau pejabat pemerintahan yang menerima permohonan itu bersikap diam tidak berbuat apa-apa dan tidak mengeluarkan suatu keputusan apapun tetapi oleh undangundang dianggap telah mengeluarkan suatu penetapan tertulis yang berisi penolakan atas suatu permohonan yang telah diterimanya. Lihat Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004), 185. Wicipto Setiadi, Hukum Acara … Op.cit., 103.
PTUN Indonesia Suatu Pemikiran ke Arah Perluasan Kompetensi, Maftuh Effendi
Sebagai bahan perbandingan dikutip pengaturan kepentingan menurut AWb dan pandangan Van Wijk & Willem Konijnenbelt. Menurut Artikel 1:2 AWb, yang dimaksud mereka yang berkepentingan tidak hanya mereka yang kepentingannya secara langsung terkait dengan beschikking, akan tetapi juga organ-organ pemerintah dan badan-badan hukum.48 Demikian pula menurut Van Wijk & Willem Konijnenbelt, beliau berpendapat bahwa yang dimaksud mereka yang berkepentingan tidak hanya pihak yang dialamatkan oleh keputusan atau perbuatan pemerintahan, akan tetapi juga pihak ketiga yang berkepentingan, semua orang, dan lembaga pemerintah yang ditunjuk.49 Menurut PP No. 43 Tahun 1991 dapat ditarik tiga hal penting mengenai ganti rugi pada PTUN, yakni: (i) besarnya ganti rugi ditetapkan minimal Rp250.000,00 dan maksimal Rp5.000.000,00 (ii) ganti rugi bersifat tetap meskipun terdapat tenggang waktu antara ditetapkannya putusan pengadilan dengan pelaksanaan pembayaran ganti rugi; dan (iii) apabila ganti rugi tidak dapat dibayar dalam tahun anggaran yang sedang berjalan, maka dimasukkan dan dilaksanakan dalam tahun anggaran berikutnya, dan seterusnya. Timbul persoalan, bagaimana kalau tuntutan penggugat itu lebih dari lima juta rupiah. Juklak MA menyatakan bahwa dalam hal tuntutan ganti rugi melebihi batas maksimal dalam PP No. 43 Tahun 1991, maka dalam pertimbangan hukum dipertimbangkan mengenai dikabulkannya permohonan tuntutan ganti ruginya sebatas PP No. 43 Tahun 1991, sedangkan tuntutan ganti rugi selebihnya dapat diajukan ke peradilan umum.50 Namun, menurut Indroharto dalam banyak hal penggugat sudah merasa lelah untuk mengajukan gugatan kedua kalinya.51 Berdasarkan uraian di atas, secara ringkas dapat dikatakan bahwa lingkup kompetensi absolut PTUN hanya terbatas pada KTUN Pasal 1 Angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 (dulu Pasal 1 Angka 3 UU No. 5 Tahun 1986) dikurangi keputusan Pasal 2 UU No. 9 Tahun 2004 dan ditambah keputusan fiktif negatif Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 serta secara langsung dibatasi keputusan Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1986, secara tidak langsung dibatasi kualifikasi subjek Pasal 53 Ayat (1) UU No. 9 Tahun 2004 dan jumlah ganti rugi Pasal 3 Ayat (1) PP No. 43 Tahun 1991.
48
49 50
51
Undang-Undang Hukum Administrasi Umum (Algemeen Wet Bestuursrecht), Naskah 1992/1993, Disunting oleh Philipus M. Hadjon, Surabaya, 1994, 2. H.D. van Wijk, Hoofdstukken van Administratief recht (Utrecht: Uitgeveru Lemma BV, 1995), 714. Lihat Juklak Ketua Muda MA RI Urusan Lingkungan Peradilan TUN No. 223/Td.TUN/X/1993, 14-10-1993 (Angka V.2). Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku II (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), 144. 29
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 25-36
Melalui bagan di bawah ini digambarkan kompetensi absolut PTUN menurut UU PTUN. Bagan: Kompetensi Absolut PTUN menurut UU PTUN52
Sengketa TUN Ps. 47 UU 5/1986
Timbul dari KTUN Ps. 1.10 UU 51/2009
KTUN ialah
Ps. 1.9 UU 51/2009 dikurangi (-) Ps. 2 UU 9/2004 ditambah (+) Ps. 3 UU 5/1986
Dibatasi
Ps. 49 UU 5/1986, Ketentuan lainnya Ps. 53 (1) UU 9/2004, Ps. 3 PP 43/1991
Dengan rumusan kompetensi yang demikian itu menjadikan eksistensi PTUN menurut UU PTUN merupakan PTUN khusus seperti halnya Wet Algemene Rechtspraak Overheidsbeschikkingen (AROB) Belanda dan bukannya PTUN umum. Bahkan PTUN Indonesia merupakan PTUN khusus yang “super khusus”. Karena KTUN menurut UU PTUN lebih sempit daripada konsep beschikking menurut AWb Belanda. Dengan membatasi kompetensi PTUN pada KTUN, sengketa menyangkut perbuatan pemerintah lainnya masih problematis. Penjelasan Umum atas UU No. 5 Tahun 1986 menyatakan bahwa sengketa TUN lainnya menjadi kompetensi peradilan umum. Pernyataan tersebut menimbulkan permasalahan hukum dalam penanganannya. Penanganan perlindungan hukum bagi rakyat oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum melalui perkara-perkara OOD, tidak efektif.53 Disamping itu, penerapan hukum acara perdata dalam penanganan perkara-perkara OOD juga bertentangan dengan prinsip perlindungan hukum bagi rakyat berdasarkan Pancasila.54
52
53 54
30
Dimodifikasi dari Philipus M. Hadjon, et.al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001), 318. Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia (Surabaya: Peradaban, 2007), 211. Ibid., 212.
PTUN Indonesia Suatu Pemikiran ke Arah Perluasan Kompetensi, Maftuh Effendi
2. Pencerminan Ketentuan mengenai Kompetensi Absolut dalam Putusan Hakim Pertimbangan mengenai kompetensi absolut peradilan dalam putusan hakim, dari beberapa kasus belum menunjukkan kesatuan penafsiran, sehingga putusan-putusannya sulit diprediksikan. Sengketa keanggotaan legislatif misalnya, sebagian hakim menyatakan kompetensi PTUN dan sebagian yang lain menyatakan bukan kompetensi. Di sisi lain, peradilan umum juga memeriksa dan memutus perkara yang sama. Demikian pula sengketa tentang keputusan yang merupakan perbuatan hukum perdata (rechtshandeling naar burgelijk recht), secara tegas masih menunjukan perbedaan penafsiran. Meskipun MA melalui yurisprudensinya telah menganut teori melebur (oplossing theorie), namun putusan hakim di bawahnya belum merujuk pada yurisprudensi yang ada. Perbedaan penafsiran itu menimbulkan ketidak-pastian hukum dan menggoyahkan konsistensi putusan PTUN. Pada akhirnya membingungkan masyarakat pencari keadilan untuk memilih forum yang tepat dalam upaya perlindungan hukum atas perbuatan pemerintahan. Keadaan seperti ini juga mendatangkan keraguan-raguan pemerintah dalam pelaksanaan putusan. Hal lain yang ditemukan dari analisis putusan adalah masalah ius standi dan ganti rugi. Mengenai ius standi, ada kecenderungan hakim menafsirkan Pasal 53 Ayat (1) UU No. 9 Tahun 2004, secara longgar. Dalam kasus ius standi badan hukum publik, hakim dalam menerima standing menggunakan pendekatan penafsiran bahwa badan hukum publik mempunyai dual function, disamping ia sebagai badan hukum publik secara mutatis mutandis juga sebagai badan hukum perdata yang memiliki hak-hak kebendaan. Mengenai ganti rugi, sedikit sekali hakim mengabulkan tuntutan ganti rugi. Penulis mendapatkan satu contoh kasus menarik, di mana hakim menafsirkan Pasal 3 PP No. 43 Tahun 1991 secara longgar. Dalam hal penggugat berjumlah banyak, batas maksimal ganti rugi tidak ditetapkan secara kumulatif, akan tetapi dihitung per orang. Tampaknya dalam kasus tersebut majelis hakim lebih mengedepankan asas keadilan. Dari uraian di atas, dapat penulis katakan bahwa semakin kaku ketentuan kompetensi absolut diterapkan, maka semakin PTUN tidak dapat menjangkau sengketa TUN yang lain dan semakin tercapai asas kepastian hukum tapi semakin jauh dari asas keadilan. Sebaliknya, semakin longgar ketentuan kompetensi absolut diterapkan, maka semakin PTUN menjangkau sengketa TUN yang lain dan semakin tercapai asas keadilan tapi semakin jauh dari asas kepastian. Kepastian hukum dan keadilan selalu berada pada kutub yang berbeda, tidak dapat bertemu pada satu titik secara bersamaan. 3. Pemikiran untuk Memperluas Kompetensi Absolut PTUN Berkenaan dengan perluasan kompetensi absolut PTUN ada dua hal pokok yaitu: (i) metode untuk menentukan lapangan kegiatan administrasi negara/pemerintah yang dapat diajukan ke forum PTUN; dan (ii) tolok ukur untuk menentukan sengketa TUN. Metode untuk menentukan lapangan kegiatan administrasi negara yang dapat diajukan ke forum PTUN adalah metode umum (general). Pemilihan metode ini didasarkan pada argumentasi: (i) mempunyai lebih banyak kelebihan dibandingkan metode enumeratif, a.l. hakim dapat menyesuaikan wewenangnya secara cepat dan segera dengan laju perkembangan pesat hukum administrasi, yang memerlukan penanganan segera; dan (ii) konsekuensi jangkauan kewenangan PTUN yang begitu luas, sejalan dengan rumusan masalah dan tujuan tulisan ini. Tolok ukur untuk menentukan sengketa TUN adalah tolok ukur subjek dan tolok ukur objek. Tolok ukur subjek, sejalan dengan prinsip bahwa “semua penyelesaian haruslah dapat diselesaikan melalui sarana hukum untuk mendapatkan kepastian hukum, dan kekuasaan tidak boleh dijadikan satu-satunya sarana untuk menyelesaikan sengketa”, tidak hanya sengketa yang bersifat ekstern, akan tetapi sengketa intern antar administrasi negara juga dapat diajukan ke muka PTUN untuk mendapatkan penyelesaian secara hukum. 31
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 25-36
Tolok ukur objek, PTUN tidak hanya memeriksa dan memutus KTUN, akan tetapi juga meliputi semua perbuatan pemerintahan yang bersumber dari wewenang hukum publik, baik berupa perbuatan hukum (termasuk perjanjian yang diadakan dengan pemerintah) maupun perbuatan faktual, yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil, kecuali yang secara tegas ditentukan oleh UU dan yurisprudensi menjadi kompetensi peradilan lain. Perluasan kompetensi absolut PTUN akan membawa konsekuensi pada isu hukum dan alat uji (toetsingsgronden) untuk menilai objek sengketa. Isu hukum yang muncul tidak hanya berkaitan dengan legalitas keputusan pemerintahan akan tetapi juga legalitas perbuatan faktual dan kerugian yang ditimbulkan. Isu hukum itu melahirkan tuntutan hukum yang biasanya dimuat dalam sebuah gugatan. Dalam praktek PTUN di Perancis pada umumnya pengajuan gugatan dapat dibedakan dalam dua macam yaitu (i) gugatan pembatalan beschikking (recours en excés de pouvoir); dan (ii) gugatan pembatalan beschikking disertai tuntutan ganti rugi. Ataupun juga gugatan ganti rugi akibat perbuatan pemerintahan yang mengakibatkan kerugian (recours en plein contentieux).55 Alat uji (toetsingsgronden) untuk menilai legalitas objek sengketa didasarkan pada Pasal 53 Ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004, yaitu: (i) peraturan perundang-undangan; dan (ii) AUPB. Sedangkan, tolok ukur untuk menentukan dapat tidaknya kewajiban membayar ganti rugi oleh pemerintah digunakan kaidah-kaidah hukum yang mengatur pertanggung-jawaban negara untuk membayar ganti rugi (responsibilité de la puissance publique) dengan pendekatan komparasi sistem PTUN Perancis. Ada tiga unsur yang harus dipenuhi agar pemerintah dikenakan kewajiban membayar ganti rugi, yaitu: (i) ada kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh salah satu pihak; (ii) ada kerugian yang dialami oleh pihak lainnya, baik berupa kerugian materiil maupun immateriil; dan (iii) ada hubungan kausalitet (sebab akibat) yang terjalin antara kesalahan dan timbulnya kerugian tersebut.56 Pada pokoknya teori kesalahan itu dibedakan antara “kesalahan pribadi” (faute personelle) dan “kesalahan dinas” (faute de service).57 Dikatakan telah terjadi kesalahan pribadi (faute personelle), jika ada kesalahan pribadi seseorang yang merupakan bagian dari pemerintahan. Sedangkan kesalahan dinas (faute de service), jika terdapat adanya kesalahan dalam penggunaan wewenang, dan hanya berkaitan dengan pelayanan. Lebih lanjut, telah dikembangkan unsur kesalahan yang disebut “kesalahan berat” (faute lourde) dan “kesalahan ringan” (faute legére). Faute lourde merupakan unsur kesalahan yang besar dan kotor. Faute lourde dianggap perlu apabila tugas pelayanan publik luar biasa sulitnya atau sangat sensitif. Faute legére memiliki persyaratan khusus di bidang diskresi yang berkaitan dengan kasus kepolisian, kasus perpajakan, pengawasan peraturan perundang-undangan dan bahkan lebih dari itu adalah bidang di mana para pegawai disyaratkan untuk menguji secara khusus pertimbangan atau pendapat mereka.58 Unsur kesalahan juga diperluas, sekalipun tidak terdapat kesalahan atau kelalaian pada pihak pemerintah/negara tetapi ia dapat pula dibebani membayar ganti rugi kepada seseorang rakyat/warga negara yang menjadi korban pelaksanaan tugas administratif. Teori ini disebut “pertanggung-jawaban tanpa adanya kesalahan” (responsibilité sans faute). Berdasarkan uraian di atas, maka secara sederhana konsep perluasan kompetensi absolut PTUN dapat digambarkan dalam bagan di bawah ini.
55
56 57
58
32
Paulus E. Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah (Jakarta: PT. Buana Ilmu Populer, 1986), 4. Ibid., 14. Tatiek Sri Djatmiati, “O.O.D dan Tanggung Jawab Jabatan serta Tanggung Jawab Pribadi dalam Konteks (R)UU Administrasi Pemerintahan”, Makalah disampaikan pada Bimbingan Teknis Hakim Yunior Peratun se-wilayah hukum PT.TUN Surabaya, Surabaya, 17-20 November 2008, 6. L. Neville Brown & John S. Bell dalam Tatik Sri Djatmiko, Ibid., 7.
PTUN Indonesia Suatu Pemikiran ke Arah Perluasan Kompetensi, Maftuh Effendi
Bagan: Konsep Perluasan Kompetensi Absolut PTUN
Sengketa TUN
Perbuatan pemerintahan (bestuurshandeling)
Perbuatan hukum
Perbuatan faktual
Penggugat: - orang; - kelompok orang; - organisasi; - badan hukum; - badan/pejabat pemerintahan.
Tergugat : Objek sengketa
- badan/pejabat pemerintahan; - badan hukum publik.
Isu hukum: - legalitas perbuatan (perbuatan faktual/ perbuatan hukum); - kerugian yang timbul.
Tolok ukur legalitas: peraturan perundangundangan & AUPB.
D. Kesimpulan Dan Saran Bertitik tolak dari uraian di atas, dapatlah ditarik 3 (tiga) simpulan sebagai berikut: (i) Lingkup kompetensi absolut menurut UU PTUN sangat sempit, hanya terbatas pada penetapan tertulis atau KTUN. Dengan kompetensi absolut yang demikian itu PTUN tidak dapat menjangkau sengketa TUN lain; (ii) Pertimbangan mengenai kompetensi absolut peradilan dalam putusan hakim, dari beberapa kasus belum menunjukkan kesatuan penafsiran, sehingga putusan-putusannya sulit diprediksikan. Perbedaan penafsiran itu menimbulkan ketidakpastian hukum dan menggoyahkan konsistensi putusan PTUN. Pada akhirnya membingungkan masyarakat pencari keadilan untuk memilih forum yang tepat dalam upaya perlindungan hukum atas perbuatan pemerintahan; (iii) Konsep perluasan kompetensi absolut didasarkan pada metode dan tolok ukur untuk menentukan sengketa TUN. Metode yang 33
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 25-36
digunakan adalah metode umum (general), sedangkan tolok ukurnya adalah tolok ukur subjek dan tolok ukur objek. Tolok ukur subjek, meliputi sengketa ekstern dan intern. Sedangkan tolok ukur objek, meliputi semua perbuatan pemerintahan yang bersumber dari wewenang hukum publik. Dari kesimpulan tersebut, dapat dikemukakan 3 (tiga) saran sebagai berikut: (i) Perlu segera disahkan RUU AP, karena UU AP mempunyai arti penting tidak hanya bagi pemerintah, tetapi juga bagi rakyat dan PTUN. Bagi pemerintah, UU AP bermanfaat sebagai payung hukum (umbrella act) dalam penyelenggaraan pemerintahan, dan sekaligus sebagai instrumen peningkatan kualitas pelayanan publik, serta sebagai upaya penataan kembali (reformasi) perbuatan pemerintahan (bestuurshandelingen) berdasarkan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Bagi rakyat, sebagai pedoman dalam setiap urusan dengan pemerintah dan sarana peningkatan perlindungan hukum. Sedangkan bagi PTUN, sebagai dasar untuk menilai atau menguji perbuatan pemerintahan; (ii) Agar yurisprudensi bidang administrasi negara semakin dikembangkan untuk menghasilkan pemikiran-pemikiran yang konsepsional, sehingga dapat menjadi sumber hukum yang potensial dalam penyelesaian sengketa TUN, dan dapat menjadi penyeimbang hubungan antara pemerintah dan rakyat dalam rangka mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum. Untuk itu perkembangan yurisprudensi harus dimulai dari pengadilan tingkat pertama sampai pada hierarki yang paling atas. Selanjutnya yurisprudensi tersebut perlu dipublikasikan melalui majalah-majalah hukum, buku-buku hukum, website ataupun media lainnya, agar dapat menjadi bahan bacaan bagi hakim, dasar pengambilan kebijaksanaan bagi administrasi negara dan petunjuk bagi masyarakat untuk melakukan upaya perlindungan terhadap perbuatan pemerintahan. Disamping itu, mempelajari yurisprudensi dari negara-negara maju juga penting sebagai bahan perbandingan; (iii) Agar terdapat suatu sistem peradilan yang bersifat uniform, maka pengadilan-pengadilan khusus yang memeriksa dan memutus sengketa-sengketa TUN perlu ditempatkan sebagai diferensiasi atau spesialisasi dari PTUN sejalan dengan ketentuan Pasal 27 Ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 jo. Pasal 1 Angka 5 dan Pasal 9A Ayat (1) UU No. 51 Tahun 2009.
Daftar Pustaka Bruggink, J.J.H., Refleksi tentang Hukum (Rechtsreflecties, Grondbegrippen uit de rechtstheorie), alih bahasa: Arief B. Shidarta, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996. Djatmiati, Tatiek Sri, “O.O.D dan Tanggung Jawab Jabatan serta Tanggung Jawab Pribadi dalam Konteks (R)UU Administrasi Pemerintahan”, Makalah disampaikan pada Bimbingan Teknis Hakim Yunior Peratun se-wilayah hukum PT.TUN Surabaya, Surabaya, 17-20 November 2008. Hadjon, Philipus M., et.al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001. Hadjon, Philipus M., “Ide Negara Hukum dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”, Makalah disampaikan dalam Simposium tentang Politik, Hak Asasi dan Pembangunan dalam rangka Dies Natalis XL/Lustrum VIII Universitas Airlangga, Surabaya, 03-11-1994. _______, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya: Peradaban, 2007. Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004. _______, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku II, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005. Lotulung, Paulus E., Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah, Jakarta: PT. Buana Ilmu Populer, 1986.
34
PTUN Indonesia Suatu Pemikiran ke Arah Perluasan Kompetensi, Maftuh Effendi
_______, “Revitalisasi Peradilan Tata Usaha Negara dalam Kaitan dengan RUU tentang Administrasi Pemerintahan”, Makalah disampaikan pada Acara Sosialisasi RUU AP yang diselenggarakan oleh Menpan, Jakarta, 12-06-2006. _______, “Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Pasca Pengesahan RUU Administrasi Pemerintahan”, Makalah disampaikan dalam Ceramah Pembekalan Lanjutan Teknis Peradilan, Surabaya, 14-03-2009. Setiadi, Wicipto, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara: Suatu Perbandingan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995. Van Wijk, H.D., Hoofdstukken van Administratief recht, Utrecht: Uitgeveru Lemma BV, 1995. Undang-Undang Hukum Administrasi Umum (Algemeen Wet Bestuursrecht), Naskah 1992/1993, Disunting oleh Philipus M. Hadjon, Surabaya, 1994. RUU AP Format Setneg RI yang disampaikan dalam Bimbingan Teknis Hakim Tingkat Pertama sewilayah hukum PT.TUN Surabaya, Surabaya, 5-6 April 2010. Juklak Ketua Muda MA RI Urusan Lingkungan Peradilan TUN No. 223/Td.TUN/X/1993, 14-101993.
35
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 25-36
36
ANALISIS YURIDIS TERHADAP UPAYA HUKUM LUAR BIASA PENINJAUAN KEMBALI (PK) OLEH JAKSA DALAM SISTEM HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA Ahmad Fauzi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
[email protected]
Abstrak Peninjauan kembali oleh Jaksa dalam perkara pidana merupakan paradoks yang terjadi dalam sistem hukum pidana, dimana praktek hukum tersebut bertentangan dengan nilai dan norma hukum sebagaimana diatur dalam KUHAP. Tetapi dalam praktek peninjauan kembali seringkali dilakukan oleh jaksa dengan alasan ada yurisprudensi pengadilan yang memutus perkara tersebut, akibatnya hukum tidak mencerminkan keadilan dan kepastian bahkan cenderung menabrak kepentingan hukum terpidana dan ahli warisnya. Metode penelitian menggunakan metode yuridis normatif dengan menitik beratkan pada studi kepustakaan. analisis dilakukan terhadap norma hukum, baik hukum dalam aturan perundang-undangan maupun hukum dalam putusan-putusan pengadilan). Adapun kesimpulan yang dihasilkan adalah bahwa pengajuan peninjauan kembali adalah sematamata demi kepentingan terpidana dan ahli warisnya, hukum dan undang-undang tidak memberikan wewenang kepada jaksa untuk melakukan peninjauan kembali, bahwa peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa bukan merupakan penemuan hukum melainkan hanya merupakan penafsiran hukum, pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa merupakan bentuk kekeliruan pengadilan yang mengindikasikan kepada adanya sesat logika dalam praktek hukum pidana di Indonesia. Saran bagi pengembangan tema tulisan ini adalah Mahkamah Agung harus mengeluarkan surat edaran yang berisikan larangan dan pembatasan bagi jaksa untuk mengajukan peninjauan kembali atau melakukan uji materiil dan pembatalan bagi perkara-perkara yang diajukan peninjauan kembali oleh jaksa. Kata Kunci : Peninjauan Kembali, Jaksa, Hukum Acara Pidana, Keadilan, kepastian Hukum
A.
Pendahuluan Istilah sistem peradilan pidana dalam berbagai referensi digunakan sebagai padanan dari criminal justice system. Definisi criminal justice system dalam Black’s Law Dictionary disebutkan sebagai “The system typically has three components: law enforcement (police, sheriffs, marshals), the judicial process (judges, prosecutors, defense lawyers), and corrections (prison officials, probation officers, paroleofficers)” 59. Pengertian tersebut lebih menekankan pada “komponen” dalam sistem penegakan hukum, yang terdiri dari polisi, jaksa penuntut umum, hakim, advokat dan lembaga pemasyarakatan. Di samping itu pengertian di atas juga menekankan kepada fungsi komponen untuk ”menegakkan hukum pidana”, yaitu fungsi penyidikan, proses peradilan dan pelaksanaan pidananya. Sedangkan menurut Muladi sistem peradilan pidana adalah merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Pengertian yang dikemukakan Muladi tersebut, di samping memberi penekanan pada suatu ”jaringan” peradilan, juga menekankan adanya
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
59
Bryan A. Garner, 1999, Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, (West Group, St. Paul, Minn, hlm. 381 37
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 37-48
penggunaan hukum pidana oleh jaringan dalam melaksanakan tugasnya secara menyeluruh, baik hukum pidana substantif, hukum acara pidana maupun hukum penitensier untuk mencapai tujuan jaringan tersebut60. Berkaitan dengan pengertian sistem peradilan pidana tersebut, maka tujuan dari sistem pidana itu sendiri harus melibatkan empat komponen dalam sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk suatu ”integrated criminal justice system”. Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, maka menurut Mardjono Reksodipoetro diperkirakan akan terdapat tiga kerugian, yaitu : 1. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing masing instansi, 2. Sehubungan dengan tugas mereka bersama kesulitan dalam memecahkan sendiri masalahmasalah pokok masing-masing instansi (sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana). 3. Karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana. Dalam suatu sistem peradilan pidana seseorang terpidana dijamin haknya untuk mendapatkan pembelaan dan melakukan pembelaan sejak tahap penyidikan hingga tahap pengajuan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, bahkan upaya hukum guna membela hak-hak terpidana merupakan hak yang vital dan dijamin dalam Hak Asasi Manusia. Upaya hukum tersebut dalam proses hukum pidana mendapat tempat yang istimewa karena hal ini merupakan suatu proses yang menyatu yang tidak terpisahkan dalam suatu pemeriksaan perkara pidana. Mengapa hal ini menjadi penting? karena hal ini menunjukan adanya sebab akibat dari suatu proses peradilan pidana. Upaya hukum dalam hal membela hak-hak terpidana dilakukan guna menjamin adanya perhargaan terhadap hak asasi manusia dan penegakan supremasi hukum (rule of law) dengan sebaikbaiknya, karena upaya hukum bagi seorang dilakukan guna kepentingan pembelaan. Hal ini diungkapkan M. Trapman yang menyatakan bahwa ; “Terdakwa mempunyai pertimbangan yang subjektif dalam posisi yang subjektif, Penuntut umum mempunyai pertimbangan yang subjektif dalam posisi yang objektif, sedangkan hakim memiliki pertimbangan objektif dalam posisi yang objektif”61. Kondisi sebagaimana tersebut diatas sekiranya patut menjadi catatan kita bersama, karena dewasa ini penerapan asas-asas hukum dalam dunia peradilan pidana saat ini sangat jauh sekali terhadap makna dan esensi dari keadilan itu sendiri, kritik kerap kali muncul dari berbagai kalangan karena hukum dan sistem peradilan pidana yang sejatinya muncul sebagai gerbong keadilan seeakan kehilangan makna karena hukum dan sistem peradilan gagal membendung kemajuan sosial, dalam hal ini dapatlah dikatakan bahwa sistem peradilan pidana-lah justru yang menjadi tembok besar dalam menciptakan keadilan dalam hukum pidana itu sendiri, sehingga hukum jauh dari nilai eksistensinya yaitu keadilan itu sendiri62. Keadilan sebagai eksistensi hukum dalam peradilan pidana merupakan elemen penting dalam kaitannya dengan HAM, karena bicara keadilan dalam sudut pandang HAM maka nilai HAM merupakan norma moral dan sarana bagi hukum untuk menciptakan cita-citanya melindungi semua umat manusia dari penyalahgunaan dan pemberlakuan kekuatan tirani di bidang hukum, ekonomi, sosial dan politik yang berlaku di tingkat nasional maupun internasional63. Hal ini dikarenakan 60
61 62
63
38
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995), hlm. 4 Van Bemmelen, Lerboek van Het Nederland Strafprocesrecht,(Herziene Druk), hlm 132. Albert W Alschuler, Law Without Value, The Life, Works and Legacy Of Justice Home, (University of chicago press, 2000), hlm 8. Karakteristik inilah yang kemudian yang menjadi pembeda antara Hak asasi manusia sebagai hak yang diberikan oleh tuhan kepada manusia dengan yang yang di berikan secara hukum (legal right), sehingganya Hak asasi manusia itu bersifat universal dimana manusia sama kedudukannya. Hal tersebut secara tegas di ungkapkan dalam Universal Declaration of Human Right ditekankan tidak adanya perbedaan manusia berdasarkan pada race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin
Analisis Yuridis Upaya Hukum Luar Biasa PK Oleh Jaksa, Ahmad Fauzi
pelanggaran atas hak-hak terdakwa merupakan issu yang umum kita dengar belakangan ini, hal ini terjadi mana kala seorang pejabat di bidang hukum menggunakan kewenangannnya terlalu berlebihan untuk menciptakan keadilan dengan cara memberikan ketidakadilan, dan di Indonesia kondisi ini umum terjadi sehingga penyelenggaraan sistem peradilan pidana sangat jauh sekali dari cita-cita KUHAP itu sendiri yaitu untuk menjamin kebenaran sesuai dengan kemanusiaan. Suatu putusan pengadilan dapat dikatakan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), dalam hukum acara pidana yang sekarang berlaku (KUHAP) maupun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, sama sekali tidak mengaturnya. Namun dalam Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.14PW.07.03Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP, disebutkan bahwa putusan pengadilan baru dinyatakan telah mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tenggang waktu untuk berfikir telah dilampaui 7 (tujuh) hari setelah putusan pengadilan tingkat pertama dan 14 (empat belas) hari setelah putusan pengadilan tingkat banding. Berkaitan dengan pengertian peninjauan kembali memang tidak ada definisi khusus yang memberikan pengertian tersebut, Andi Hamzah memberikan pengertian peninjauan kembali adalah sebagai hak terpidana untuk meminta memperbaiki keputusan pengadilan yang telah menjadi tetap, sebagai akibat kekeliruan atau kelalaian hakim dalam menjatuhkan putusannya 64. Sedangkan Adami Chazawi menyatakan peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa untuk melawan putusan pemidanaan yang telah tetap dan hanya boleh diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya65. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, jika diurai ketentuan pasal tersebut memiliki unsur yang sangat limitatif yaitu : 1. putusan pengadilan yang dimintakan peninjauan kembali telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 2. bukan merupakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan 3. diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 263 (2) diatur mengenai syarat pengajuan peninjauan kembali yaitu: 1. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. 2. apabila dalam pelbagai putusan, terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain 3. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata Dari penjelasan berkaitan dengan definisi peninjauan kembali tersebut, dapatlah di tarik kesimpulan bahwa Peninjauan Kembali adalah hak terpidana dan ahli warisnya untuk melakukan upaya hukum luar biasa. Tetapi kini dalam praktek hukum acara pidana kita bisa temukan adanya, praktek hukum pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa merupakan kekeliruan hukum yang nyata, dimana pengajuan peninjuan kembali tersebut bertentangan dengan nilai dan norma hukum terutama yang termaktub dalam KUHAP. Praktek dan penerapan peninjauan kembali oleh jaksa ini menunjukan adanya
64 65
property, birth, or other status. Lihat Universal Declaration of Human Right, Dalam Human Right : A Compilation of International Instrument, bagian Introducing A. Hamzah dan Irdan Dahlan, , Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana, (Bina Aksara, Jakarta, 1987), hlm. 4 Adami Chazawi, Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat, (Sinar Grafika, Jakarta, 2010), hlm. 1. 39
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 37-48
“kesenjangan hukum yang amat antara aspek norma dan aspek perilaku dalam hukum formil yakni hukum acara pidana,” kesenjangan tersebut manakala terjadi ketika aturan-aturan hukum dalam hukum formil menjadi landasan hukum dalam melakukan praktek hukum itu sendiri, sehingga terbuka kemungkinan praktek hukum itu bertentangan dengan hukum dan nilai keadilan. Dalam prakteknya peninjauan kembali oleh jaksa tentu saja sangat tidak menguntungkan bagi terpidana dan ahli warisnya, dan hal tersebut tentu saja berpotensi melanggar hak asasi terpidana dan ahli warisnya. Dalam posisi ini jelaslah bahwa hukum yang dilakukan oleh penguasa (jaksa sebagai alat negara) hanya melindungi kepentingan negara saja, tetapi mengabaikan kepentingan masyarakat sehingga tujuan pelaksanaan hukum pidana yang adil tidak akan tercapai. Kondisi ini merupakan “paradoks” tersendiri dalam penerapan hukum pidana di Indonesia, dimana harusnya posisi negara dan rakyatnya harus sama dan sejajar serta berimbang sesuai dengan doktrin equality before the law. Sehingga keadilan akan bisa tercipta bagi kedua belah pihak. Aristoteles mengemukakan bahwa“suatu keadilan akan tercapai, apabila terdapat keseimbangan perlindungan terhadap para pihak yang melakukan hubungan hukum.” Berpijak pada pendapat Aristoteles tersebut harusnya hukum pidana bisa memberikan perlindungan yang seimbang bagi negara dan rakyatnya sehingga kepentingan kedua belah pihak bisa dilindungi. Atas realitas praktek hukum perburuhan yang tidak adil tersebut menunjukan adanya suatu gejala hukum yang dalam pandangan Yehezkel Dror disebut sebagai “ketertinggalan” atau (concept of lag), dalam penjelasannya bahwa “ketertinggalan“ (lag) hukum itu akan terjadi, apabila hukum itu secara nyata telah tidak memenuhi kebutuhan yang timbul sebagai akibat perubahan sosial yang telah terjadi, artinya bahwa hukum tidak memperhatikan perkembangan dan dinamika sosial yang dalam hal ini keadilan dalam perlindungan dalam hukum pidana antara negara dan rakyatnya. Kenyataan mengenai tertinggalnya hukum dibelakang masalah yang diaturnya, sering dikatakan sebagai ciri hukum yang khas. Tetapi ketertinggalan ini akan betul-betul menimbulkan suatu persoalan hukum apabila ada jarak yang saling memisahkan antara peraturan formil sebagaimana diatur dalam KUHAP dan praktek hukum peninjauan kembali oleh Jaksa saling memiliki pertentangan yang amat nyata yaitu berupa pertentangan hukum dalam praktek hukum yang tidak adil. B. Permasalahan Adapun yang menjadi pokok permasalahan adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana kedudukan hukum peninjauan kembali oleh Jaksa dalam hukum acara pidana? 2. Bagaimana penerapan dan akibat hukum terhadap peninjauan kembali oleh Jaksa dalam hukum acara pidana? 3. Bagaimana jalan keluar terhadap pembatasan terhadap peninjauan kembali oleh Jaksa dalam hukum acara pidana? C.
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini bersifat deskriptif analisis yaitu dengan menggambarkan dan menganalisis data yang diperoleh berupa data sekunder dan didukung oleh data primer mengenai berbagai masalah yang berkaitan dengan aspek hukum penerapan hukum pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa dalam hukum acara pidana Indonesia Sesuai dengan bidang kajian ilmu hukum maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif66 dengan menitik beratkan pada studi kepustakaan. Sebagai penelitian yuridis berbasis normatif, maka penelitian ini berbasis pada analisis terhadap norma hukum, baik hukum dalam arti law as it is written in the books (dalam aturan perundang-undangan) maupun hukum 66
40
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali, 1985), hlm. 34-35 dan 41.
Analisis Yuridis Upaya Hukum Luar Biasa PK Oleh Jaksa, Ahmad Fauzi
dalam arti decided by judge thought judicial process (putusan-putusan pengadilan)67. Dengan demikian, obyek yang dianalisis adalah norma hukum, baik dalam peraturan perundang-undangan maupun yang sudah kongkrit ditetapkan oleh hakim dalam kasus yang diputus di pengadilan. Penelitian ini mempergunakan bahan-bahan hukum68 baik bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Bahan hukum primer yaitu bahan yang mengikat dalam bentuk norma atau kaidah dasar sebagaimana dimuat dalam UUD 45, UU Putusan Pengadilan/Arbritase dan Perjanjian-Perjanjian Internasional berbentuk Konvensi. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa hasil-hasil penelitian, tulisan para ahli hukum dan jurnal yang didapat melalui kepustakaan yang berkaitan dengan penerapan peninjauan kembali. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum memberikan petunjuk dan informasi terhadap bahan hukum primer dan sekunder yaitu kamus hukum, ensiklopedia, dan sebagainya. Teknik pengumpulan data mempergunakan tahapan penelitian berupa penelitian kepustakaan (library research), penelitian virtual (virtual research), Penelitian kepustakaan yaitu studi dokumen dan observasi, penelitian ini diarahkan terutama pada bahan-bahan dan peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang berkaitan dengan penerapan pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa dalam hukum acara pidana. Penelitian virtual (virtual research)69 dilakukan melalui media teknologi informasi khususnya untuk memperoleh data sekunder yang hanya dapat diperoleh melalui situs di internet seperti westlaw. Penelitian ini dilakukan untuk melengkapi dan sekaligus menunjang penelitian kepustakaan khususnya berkaitan dengan aktualitas bahan kepustakaan. Setelah dilakukan pengumpulan data selanjutnya data akan dianalisa secara kualitatif, artinya data kepustakaan dan hasil wawancara dianalisis secara mendalam, holistic dan komprehensif. Penggunaan metode analisis secara kualitatif didasarkan pada pertimbangan, yaitu pertama, data yang dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, serta tidak mudah untuk dikuantitatifkan. Kedua, sifat dasar data yang dianalisis adalah menyeluruh (comprehensive) dan merupakan satu kesatuan yang bulat (holistic). Hal ini ditandai dengan keanekaragaman datanya serta memerlukan informasi yang mendalam (indepth information). D. 1.
Pembahasan Kedudukan hukum peninjauan kembali oleh Jaksa dalam hukum acara pidana Sebagaimana diketahui bersama fungsi hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara tindak pidana sehingga penerapan hukum pidana dapat dengan tepat dan jujur kepada seorang atau kelompok yang melakukan perbuatan pidana itu70, lebih tegas lagi Van Bemellen menyatakan fungsi hukum acara pidana adalah untuk mencari kebenaran, pemberian kepastian oleh hakim, dan pelaksanaan putusan71. Secara garis besar pemberian kepastian hukum menjadi tumpuan utama dalam pelaksanaan hukum acara pidana itu sendiri, sehingga keputusan hakim yang akan diambil merupakan keputusan yang tepat yang kemudian akan dilakukan pelaksanaan (eksekusi) oleh jaksa sehingga tercipta suatu ketertiban, ketenteraman, kedamaian, keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat72. Dalam penerapannya prosedur hukum acara pidana seringkali tidak sesuai dengan rasa kepastian dan keadilan dari masyarakat itu sendiri, khususnya dari tersangka/terpidana. atas rasa 67 68 69
70 71 72
Ronald Dworkin, Legal Research, Spring: (Daedalus, 1973), hlm.250. Lihat Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 52 Cnossen C. dan Sith Veronica M. “Developing Legal Research Methodology to Meet the Challenge of New Technologies”, sebagaimana yang dimuat dalam The Journal of Information, Law and Technology (JILT), Volume 2, 1997. Daliyo, Pengantar hukum Indonesia, (Prehallindo, Jakarta, 2001), hlm 221 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Sinar Grafika, 2006, Jakarta), Hlm 8-9 ibid 41
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 37-48
kurang puas terhadap rasa keadilan dan kepastian hukum bagi tersangka/terpidana hukum acara telah pidana telah memberikan mekanisme sejak dari masa penyidikan hingga upaya hukum luar biasa. Jika tidak puas terhadap tindakan penyidik pada masa penyidikan dipersilahkan untuk melakukan upaya hukum pra peradilan, jika tidak puas dengan putusan hakim tingkat pertama dipersilahkan melakukan upaya banding dan kasasi, dan jika hal tersebut juga dirasa kurang memberikan rasa keadilan dan kepastikan dapat melakukan upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali (PK). Sebagaimana diketahui berkaitan dengan pengaturan Peninjuan Kembali (PK) sudah diatur secara limitatif dalam ketentuan pasal 263, 264, 265, 266, 267, 268 KUHAP dan dengan syarat harus memenuhi ketentuan dan syarat-syarat dalam Pasal 263 KUHAP. Dari semua ketentuan pasal-pasal ini dapatlah ditarik kesimpulan bahwa PK merupakan upaya hukum luar biasa yang diberikan undangundang kepada terpidana atau ahli warisnya yang menjadi korban ketidakadilan dari pelaksanaan hukuman pidana itu sendiri, dengan sendirinya pengajuan peninjauan kembali ini tidak dapat diberikan kepada negara yang dipresentasikan oleh jaksa, karena secara prinsip negara tidak menjadi korban dalam pelaksanaan hukum pidana, tetapi terpidana atau ahli warisnya. Merujuk pada mekanisme hukum acara pidana dimana dalam ketentuan pasal 1 angka 12 KUHAP yang menyatakan “upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undangundang ini. Dalam ketentuan lain yaitu dalam ketentuan Pasal 263 yang dinyatakan “terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh putusan tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala macam tuntutan, Terpidana dan ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Serta Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.01. PW.07.03 tahun 1982 tentang pedoman pelaksanaan hukum acara pidana dengan jelas dinyatakan bahwa pelaksanaan atas hak Peninjauan Kembali hanya ditujukan kepada terpidana atau ahli warisnya dalam ketentuan-ketentuan itu disebut sebagai “pemohon” (merujuk sebagaimana ketentuan Pasal 264 (1), 264 (4), 265 (2), 263 (3), 265 (4), 266 (2) huruf a, 266 (2) huruf b, dan 268 (2)). Dari kesemua ketentuan pasal sebagaimana tersebut jika ditafsirkan maka akan sangat jelas makna dari peninjuan kembali itu adalah merupakan hak terpidana atau ahli warisnya bukan hak dari jaksa sebagai penuntut umum. Dalam prakteknya peninjauan kembali seringkali dilakukan oleh jaksa bukan oleh terdakwa atau ahli warisnya, praktik hukum ini merupakan gejala kekeliruan peradilan (rechtelijke dwaling) yang dalam implementasinya merupakan suatu cara yang melanggar atau menerobos aturan-aturan hukum itu sendiri dalam hal ini adalah aturan dalam hukum acara pidana. Tindakan hukum ini merupakan kesewenang-wenangan hukum dengan cara melakukan penafsiran hukum terhadap ketentuan pasal 263 KUHAP, sehingga ketika pasal ini dilakukan penafsiran maka analogi hukumnya adalah hak terpidana dan ahli warisnya sebagai korban ketidakadilan dari pelaksanaan hukum pidana itu sendiri dirampas oleh negara, sehingga dalam proses acara pemeriksaan Peninjauan Kembali nantinya negara akan berhadapan dengan negara yang diwakili oleh jaksa. Penafsiran hukum yang seperti ini bukan saja menimbulkan kekeliruan peradilan (rechtelijke dwaling) karena bertentangan dengan aturan KUHAP itu sendiri, serta menyimpang dari prinsipprinsip hukum yang berlaku secara universal yaitu interpretatio cessat in clarris. Prinsip ini menegaskan bahwa suatu tekstual atau kata-kata dari aturan atau undang-undang telah terang dan jelas maka tidaklah perlukan lagi penafsiran. Akibatnya jika dilakukan penafsiran terhadap suatu tekstual atau kata-kata dari aturan hukum yang sudah terang dan jelas tersebut akan terjadi penafsiran yang menghancurkan atau interpretatio est perversio dari suatu tekstual atau kata-kata tersebut. Seharusnya makna dari teksual atau kata-kata dari undang-undang itu harus ditafsirkan berdasarkan undangundang itu sendiri atau dengan kata lain harus dilakukan penafsiran strictissima interpretatio.
42
Analisis Yuridis Upaya Hukum Luar Biasa PK Oleh Jaksa, Ahmad Fauzi
Dalam prakteknya selain penafsiran hukum yang keliru terhadap ketentuan pasal 263 KUHAP juga seringkali jaksa melakukan penafsiran terhadap ketentuan pasal 24 (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009, terhadap ketentuan pasal ini jika ditelaah secara yuridis penafsiran dari ketentuan ini pun dengan jelas menyatakan pihak yang menyatakan untuk mengajukan Peninjauan Kembali adalah bukan Jaksa tetapi terpidana atau ahli warisnya. Hal tersebut dinyatakan dalam pasal 24 (2) yang menyebutkan pihak-pihak adalah merupakan norma lex generalis (perkara pada umumnya) sementara PK perkara pidana diatur khusus (lex specialis) dalam pasal 263 (1) KUHAP sehingga berlaku (lex specialis derogat legi generalis). Patutlah menjadi perhatian bahwa apa yang dilakukan oleh jaksa berkaitan dengan pengajuan peninjauan kembali bukanlah merupakan suatu terobosan hukum atau bahkan bukanlah penemuan hukum yang dilakukan oleh jaksa itu sendiri, bahwa suatu keadaan atau suatu syarat-syarat tertentu hakim bisa saja menggali dan melakukan penafsiran, demikian juga dengan jaksa dan advokat dan juga para ahli hukum diperkenankan untuk melakukan penafsiran hukum. Dalam konteks penafsiran hukum ini, penggalian bisa dilakukan terhadap norma yang sudah ada atau menggali dari kasus atau peristiwa yang sedang ditangani. Tentu saja penafsiran tersebut harus berkaitan dengan keadaan khusus, yakni apabila suatu perkara tidak ada dasar hukumnya atau dasar hukumnya ada tetapi kurang jelas dalam rangka penerapannya. Penafsiran hukum sebagaimana tersebut diatas juga dalam penerapannya, khususnya dalam perkara tindak pidana harus menggunakan cara-cara dan syarat yang sangat ketat dan tidak boleh menyimpang dari KUHAP, hal ini dikarenakan dalam setiap perkara tindak pidana selalu dibatasi oleh asas legalitas sebagai pijakan hukum dari adanya suatu perbuatan melawan hukum. Beranjak dari pemikiran ini dapatlah disimpulkan bahwa pengajuan peninjaun kembali oleh jaksa bukanlah merupakan penafsiran atau terobosan hukum karena rumusan ketentuan pasal 263 (1) sudah jelas dan terang sehingga sifatnya tertutup tidak boleh ditafsirkan lagi. Selain itu juga tidak ada alasan yuridis berkaitan dengan pengajuan peninjauan kembali oleh Jaksa sehingga dengan sendirinya Jaksa telah keluar dari cara-cara yang lazim dalam melakukan penafsiran sehingga dengan sendirinya jaksa melakukan hal yang memang bukan wewenang hukumnya. Jelaslah apa yang dilakukan oleh Jaksa berkaitan dengan pengajuan Peninjauan kembali merupakan pelanggaran terhadap ajaran legisme hukum, Jhon Austin dalam pemikirannya tentang teori perintah (Command Theory) menyatakan dengan tegas bahwa perintah undang-undang haruslah dilakukan dan karenanya tidak dapat dilakukan penyimpangan (deviation) tanpa mengabaikan prinsipprinsip keadilan. Oleh karena itu pelaksanaan isi undang-undang ini merupakan bentuk keamanan dan kepastian hukum sebagaimana sebagaimana dikemukakan dalam positivisme hukum73. 2.
Penerapan dan akibat hukum terhadap peninjauan kembali oleh Jaksa dalam hukum acara pidana. Dalam beberapa kasus peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa dapat ditemui bahwa pengajuan peninjauan kembali berlandaskan pada adanya putusan Mahkamah Agung mengenai pengajuan peninjauan kembali oleh Jaksa, walaupun hal tersebut secara serta tidak memiliki dasar hukum yang pasti karena hukum acara pidana Indonesia khususnya KUHAP tidak mengadopsi asas stare decisis atau asas preseden yang umum diadopsi di negara common law yang menyatakan putusan pengadilan yang terdahulu menjadi sumber hukum untuk memutus perkara berikutnya. Tetapi hal ini dilakukan guna kepraktisan beracara, keseragaman putusan dan konsistesi putusan peradilan. Patutlah di pahami bahwa Indonesia mempunyai tradisi hukum kontinental yang mendasarkan hakim dalam memutus berdasarkan perundang-undangan, namun dengan perkembangan pergaulan 73
Friedmann, W, Legal Theory, (Penerbit Universal Law Publishing Co. Pvt.Ltd, FifthEdition, Second Indian Reprint, New Delhi, 2002), Hlm 193 43
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 37-48
internasional (globalisasi) terjadi interaksi sistem hukum kontinental dengan Anglo Saxon, karenanya peranan putusan hakim juga memegang peran penting dalam pembaharuan hukum nasional74. Dalam pandangan Mochtar Kusumaatmadja sekalipun sistem hukum Indonesia menitikberatkan pada perundang-undangan, namun juga mempunyai pemikiran bahwa peran putusan pengadilan juga memegang peran penting dalam pembaharuan hukum. Karena pembaharuan yang teratur demikian dapat dibantu oleh perundang-undangan atau keputusan pengadilan atau kombinasi dari keduaduanya75, oleh karena itu pentingnya peran putusan pengadilan karena ada dua kemungkinan putusan hakim yaitu putusan pengadilan sebagai hukum in concreto atau putusan pengadilan menjadi hukum yang in abstracto, Dalam pelaksanaannya ada beberapa kriteria-kriteria suatu putusan pengadilan dapat menjadi yurisprudensi yakni :76 (1). Putusan pengadilan dapat diambil alih untuk pembentuk undang-undang. Aturan hukum yang lahir dari putusan hakim menjadi materi muatan undang-undang. Apakah dengan demikian sifat hukum dari putusan hakim akan hilang? Sama sekali tidak. Namun di sini akan berlaku prinsip preferensi yang wajib dipatuhi hakim, yaitu ketentuan bahwa undang-undang “prevail” terhadap hukum tidak tertulis, termasuk putusan hakim (diatur dalam undang-undang). Prinsip preferensi ini juga berlaku apabila ternyata undang-undang baru bertentangan atau mengatur secara berbeda dengan putusan hakim. Perbedaan tersebut mengandung hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diterima secara umum dalam masyarakat; bertentangan dengan ketertiban umum atau berisi alasan atau pertimbangan yang tidak atau kurang masuk akal atau kurang layak (unreasonable). (2). Putusan hakim diikuti dalam praktek hukum. Hal ini sangat dipengaruhi oleh tradisi hukum yang berbeda: (a) Tradisi hukum common law/Anglo Saxon yang diikuti sistem ”precedent”. Putusan hakim adalah hukum yang mengikat/binding law untuk kasus-kasus serupa di kemudian hari. Dengan demikian, putusan tersebut akan berlaku umum terhadap setiap orang yang menghadapi persoalan hukum yang serupa dengan putusan hakim yang bersangkutan. Kalau sudah berlaku pada setiap orang, berarti putusan itu telah berubah atau diterima sebagai kaidah umum, yang menjadi salah satu ciri hukum dalam arti abstrak. Lebih jauh, seperti di Inggris, putusan-putusan tersebut berkembang menjadi “common law”, semacam Hukum Adat di Indonesia77. Di Indonesia, meskipun ada teori keputusan (beslissingen leer) Ter Haar, tidak pernah ada kepastian, benarkah Hukum Adat berasal dari putusan fungsionaris adat (hakim adat), atau hukum yang semata-mata tumbuh dari pergaulan masyarakat yang kemudian diterima sebagai hukum, seperti hukum kebiasaan pada tradisi hukum continental (common law acts). (b) Tradisi Sistem Hukum Kontinental. Pada asasnya, sistem hukum Kontinental tidak menjalankan sistem precedent. Saat ini sistem precedent hanya berlaku untuk putusan Mahkamah Uni Eropa. Pengadilan anggota Uni Eropa wajib mengikuti putusan-putusan Mahkamah Uni Eropa. Untuk hal-hal lain, kekuatan mengikat putusan hakim hanya menggikat secara persuasive (non binding) terhadap kasus serupa yang datang kemudian. 74
75
76
77
44
Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan, (Jakarta: LP3ES, 1990). hlm 78-117). Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan: Kumpulan Karya Tulis, (2006), hlm 19. Bagir Manan, Menegakkan Hukum: Suatu Pencarian, (Jakarta: Asosiasi Advokat Indonesia, 2009), hlm. 174175. Baca Otje Salman, Rekonstruksi Hukum Adat Kontemporer: Telaah Kritis Terhadap Hukum Adat Sebagai Hukum yang Hidup Dalam Masyarakat, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Mochtar Kusumaatmadja, (Bandung, Alumni, 1999), hlm. 176-177.
Analisis Yuridis Upaya Hukum Luar Biasa PK Oleh Jaksa, Ahmad Fauzi
Namun dalam praktek, telah menjadi kelaziman bahwa hakim, terutama hakim tingkat lebih rendah, mengikuti putusan terdahulu dari badan peradilan tingkat lebih tinggi, terutama Mahkamah Agung. 78 Terhadap penjelasan dan pengertian yurisprudensi diatas harusnya dipahami secara terbatas, hal ini berkaitan dengan adanya batasan dari asas stare deceis et non quieta movere tersebut bukan hanya berpijak untuk guna kepraktisan beracara, keseragaman putusan dan konsistesi putusan peradilan saja, tetapi apakah kemudian putusan-putusan tersebut benar-benar berdasarkan asas-asas hukum dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Atau kondisi sebaliknya putusan tersebut justru mengabaikan asas dan prinsip hukum yang berlaku sehingga putusan tersebut tidak mencerminkan aspek keadilan yang tidak tumbuh bersama dalam realitas kesadaran hukum itu sendiri79. Putusan pengadilan sebagaimana digambarkan di atas, hanya didasarkan pada kebenaran yang bersifat mekanis legalistis saja dan tidak didasarkan atas fakta sesungguhnya atau kesetiaan terhadap realitas objektif (fidelity to objective reality), yakni : adanya kesesuaian antara pernyataan tentang fakta atau pertimbangan (judgement) dengan situasi yang dilukiskan oleh pertimbangan itu. Kondisi ini menjadi perhatian seorang pakar hukum yakni Oliver Wendell Holmes mengemukakan perlunya pertimbangan kebenaran faktual (korespondensi) dari suatu putusan hakim80. Fakta ini tentu saja menarik untuk dianalisa, apakah kemudian putusan yang dijadikan dasar untuk pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa merupakan yurisprudensi pengadilan yang memang sesuai dengan kaidan dan prinsip hukum? apakah kemudian putusan tersebut telah memenuhi unsur rule of law? Hal tersebut tentunya bertolak belakang dengan kondisi yang sebenarnya, bahwa dalam penerapannya justru pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa tersebut bertentangan dengan prinsipprinsip dan kaidah KUHAP maka dengan sendirinya putusan pengadilan yang memeriksa dan mejatuhkan hukuman atas perkara tersebut merupakan bukan putusan yang adil dan tidak sesuai dengan rule of law. pertanyaan besarnya kemudian apakah putusan yang bertentangan dengan prinsip dan kaidah hukum bisa menjadi yurisprudensi? tentu saja tidak, karena putusan yang tidak adil adalah hukum yang buruk dan bukan hukum. Realitas hukum ini merupakan ciri khas dari penerapan hukum itu sendiri, gejala ini umum dikenal sebagai logical fallacy atau kesesatan logika/sesat pikir dalam penerapan hukum, Sumaryono memberikan pengertian sesat berfikir sebagai proses penalaran atau argumentasi yang sebenarnya tidak logis, salah arah dan menyesatkan, suatu gejala berfikir yang salah yang disebabkan oleh pemaksaan prinsip-prinsip logika tanpa relevansinya81, Surajiyo lebih tepat lagi memberikan pengertian sebagai kesesatan penalaran dapat terjadi pada siapa saja, bukan karena kesesatan terhdap fakta-fakta saja tetapi dari bentuk penarikan kesimpulan yang sesat karena tidak dari premis-premis yang menjadi acuannya82. Jelaslah bahwa penerapan peninjauan kembali oleh jaksa merupakan langkah yang keliru dan mengarah pada sesat logika dalam penerapan hukum acara pidana di Indonesia. 3.
Jalan keluar terhadap pembatasan terhadap peninjauan kembali oleh Jaksa dalam hukum acara pidana Pembahasan mengenai penegakan hukum pidana pada prinsipnya hanya berbicara pada dua aspek saja yaitu faktor efektifitas dan keadilan dari berjalannya sistem peradilan pidana, sistem 78
79 80
81 82
Baca Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan I, 1993,) hlm. 9. Opcit dalam Friedmann, W, Hlm 292. Titus, Smith dan Nolan, Dalam PERSOALAN-PERSOALAN FILSAFAT, (Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1984), Hlm 238 Sumaryono, Dasar-dasar logika, (kanisius, Jakarta, 1999), hlm 9 Surajiyo et all, Dasar-dasar logika, (bumi aksara, jakarta, 2009), hlm 105 45
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 37-48
peradilan pidana berjalan efektif jika sistem yang berjalan mulai dari tahap penyidikan hingga putusan berjalan dengan baik. Dalam proses berjalannya sistem hukum pidana, aspek keadilan bisa dinilai dari ketelitian, kecermatan dan upaya negara (Polisi, Jaksa, Hakim dan Lapas) untuk taat dan tertib hukum serta menjunjung tinggi supremasi hukum (rule of law). Hal tersebut dilakukan demi tercapainya tujuan hukum itu sendiri yaitu keadilan, keadilan dalam suatu proses sistem peradilan pidana hanya berpijak pada enam unsur sebagaimana dinyatakan oleh Konovsky dan Folger yaitu83 : 1. Konsistensi penerapan standat-standar (aturan hukum) kepada siapapun dan sepanjang waktu 2. Proses penegakan hukum tidak bias oleh kepentingan pribadi 3. Akurasi keputusan hukum yang diputuskan berdasarkan informasi dan fakta (alat bukti) yang mencukupi. 4. Dapat dikoreksi, artinya dapat diperdebatkan dan dibanding (mekanisme perlawanan hukum berupa Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali) 5. Representasi semua hal yang terlibat di dalamnya (tangggung jawab hukum dan moral bagi aparat yang terlibat di dalamnya) 6. Terpenuhinya standar etika dari semua elemen yang terlibat di dalamnya Oleh karenanya apabila keenam unsur diatas terpenuhi maka akan menciptakan keadilan prosedural, yang akan berakibat pada terciptanya sistem peradilan pidana yang legitisasi dan berwibawa84. Berkaitan dengan hal ini, justru faktor inilah yang menjadi “catatan kritis” bagi penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana itu sendiri, banyak fakta yang menunjukan bahwa keputusankeputusan hukum yang sifatnya negatif dari penegak hukum yang terlibat dalam sistem peradilan pidana diterima oleh persepsi masyarakat dan persepsi masyarakat mengganggap keputusan hukum tersebut adalah keputusan hukum yang proseduran dan bersifat adil.85 Seperti halnya pengajuan peninjaun kembali oleh jaksa, secara prinsip hal tersebut bertentangan dengan asas dan norma hukum terutama KUHAP, tetapi ketika hal tersebut sudah diajukan dan menjadi keputusan yang tetap (menjadi yurisprudensi) masyarakat secara umum menerima hal tersebut sebagai keadilan. Padahal jika diteliti secara yuridis, kondisi sebaliknya justru mencerminkan tercorengnya rasa keadilan dari masyarakat itu sendiri. Menurut Archibal Kaiser kondisi yang biasanya terjadi dan menjadi pelanggaran dari keadilan prosedural adalah86 : 1. Keputusan hakim yang salah 2. Investigasi polisi yang salah 3. Advokat yang tidak berkompeten 4. Persepsi yang salah dari jaksa penuntut umum 5. Kesalahan dari asumsi faktual dari terdakwa 6. Bukti yang tidak mencukupi 7. Tekanan dari masyarakat terhadap terdakwa 8. Pengakuan yang salah 9. Salah interpretasi terhadap alat bukti 10. Bias yudisial 83
84
85
86
46
Konovsky, M.A and Folger, R, The Effect Of Proseddural, Social Accounts and Bennefits Level Of Victims Lay Off Reaction, (Jurnal of Applied Psychology, 1991), hlm 630 Bias, R.J and Moag, J.S, Interactional Justice : Comunication Criteria of Fairnes, Research On Negotiation in Organization, (Murdoc University, 1986), hlm 43. Fondascararo, M, Toward A Synthesis of Law And Sosial Science : Due Process and Procedural Justice In The Context Of National Health Care Reform, Online Lexix-Nexis Law Reform Library, November 12, 2001. H. Archibal Kaiser, When Justice Is Mirage : A Premier on Wrongful Conviction , (University of Cape Breton, 1991), hlm 34
Analisis Yuridis Upaya Hukum Luar Biasa PK Oleh Jaksa, Ahmad Fauzi
11. 12.
Prestasi yang buruk penegakan hukum di tingkat bading Kesulitan menemukan bukti-bukti yang baru (novum) Akibat dari munculnya ketentuan-ketentuan di atas kemudian memunculkan “perkosaan terhadap keadilan” yang merampas hak-hak individu dan masyarakat oleh negara yang direpresentasikan oleh aparat penegak hukum yang terlibat dalam sistem peradilan pidana. Kondisi ini menunjukan adanya kelemahan negara ketika tanggung jawab hukumnya terhadap individu berkaitan dengan hak-haknya di hadapan hukum, oleh karenanya kondisi ini harus dihentikan dengan mekanisme hukum yang ada. Sebagai solusi hukum untuk menghentikan praktek peninjauan kembali oleh Jaksa dalam hukum acara pidana, seharusnya Mahkamah Agung mengeluarkan suatu surat edaran yang menyatakan bahwa Jaksa tidak diperkenankan melakukan peninjauan kembali, hal ini menjadi penting sebagai batasan bagi jaksa untuk mengajukan peninjauan kembali dalam perkara pidana. Meskipun surat edaran sifatnya tidak mengikat dan tidak memiliki dasar legalitas formil, tapi mampu menjadi pijakan hukum dalam mengatur dan membatasi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa. Surat edaran mahkamah Agung yang membatasi dan melarang peninjauan kembali oleh jaksa menjadi suatu aturan yang sifatnya untuk membatasi adanya perilaku penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dari Jaksa berkaitan dengan peninjauan kembali suatu perkara, karenanya surat Edaran Mahkamah Agung ini akan menjadi kondifikasi tertulis yang dalam penjabarannya panduan bagi suatu Jaksa, Hakim dan Advokat dalam menjalankan etos moral sehingga tercipta perilaku yang rasional dalam pengajuan kembali oleh Jaksa. E. Penutup Kesimpulan : 1. Pengajuan peninjauan kembali adalah semata-mata demi kepentingan terpidana dan ahli warisnya 2. Hukum dan undang-undang tidak memberikan wewenang kepada jaksa untuk melakukan peninjauan kembali 3. Peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa bukan merupakan penemuan hukum melainkan hanya merupakan penafsiran hukum. 4. Pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa merupakan bentuk kekeliruan pengadilan yang mengindikasikan kepada adanya sesat logika dalam praktek hukum pidana di Indonesia Saran : 1. Mahkamah Agung harus mengeluarkan surat edaran yang berisikan larangan dan pembatasan bagi jaksa untuk mengajukan peninjauan kembali. 2. Melakukan uji materiil dan pembatalan bagi perkara-perkara yang diajukan peninjauan kembali oleh jaksa. 3. Melakukan revisi KUHAP berkaitan dengan pengajuan peninjauan kembali oleh Jaksa.
Daftar Pustaka A. Hamzah dan Irdan Dahlan, , Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana, (Bina Aksara, Jakarta, 1987). Adami Chazawi, Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat, (Sinar Grafika, Jakarta, 2010). Albert W Alschuler, Law Without Value, The Life, Works and Legacy Of Justice Home, (University of chicago press, 2000). Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Sinar Grafika, 2006, Jakarta). 47
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 37-48
Bagir Manan, Menegakkan Hukum: Suatu Pencarian, (Jakarta: Asosiasi Advokat Indonesia, 2009). Bias, R.J and Moag, J.S, Interactional Justice : Comunication Criteria of Fairnes, Research On Negotiation in Organization, (Murdoc University, 1986). Bryan A. Garner, 1999, Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, (West Group, St. Paul, Minn,. Cnossen C. dan Sith Veronica M. “Developing Legal Research Methodology to Meet the Challenge of New Technologies”, The Journal of Information, Law and Technology (JILT), Volume 2, 1997. Daliyo, Pengantar hukum Indonesia, (Prehallindo, Jakarta, 2001). Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan, (Jakarta: LP3ES, 1990). Fondascararo, M, Toward A Synthesis of Law And Sosial Science : Due Process and Procedural Justice In The Context Of National Health Care Reform, Online Lexix-Nexis Law Reform Library, November 12, 2001. Friedmann, W, Legal Theory, (Penerbit Universal Law Publishing Co. Pvt.Ltd, FifthEdition, Second Indian Reprint, New Delhi, 2002). H. Archibal Kaiser, When Justice Is Mirage : A Premier on Wrongful Conviction , (University of Cape Breton, 1991). Konovsky, M.A and Folger, R, The Effect Of Proseddural, Social Accounts and Bennefits Level Of Victims Lay Off Reaction, (Jurnal of Applied Psychology, 1991). Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan: Kumpulan Karya Tulis, (2006). Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995. Otje Salman, Rekonstruksi Hukum Adat Kontemporer: Telaah Kritis Terhadap Hukum Adat Sebagai Hukum yang Hidup Dalam Masyarakat, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Mochtar Kusumaatmadja, (Bandung, Alumni, 1999). Ronald Dworkin, Legal Research, Spring: (Daedalus, 1973). Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali, 1985). Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986). Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan I, 1993,). Sumaryono, Dasar-dasar logika, (Kanisius, Jakarta, 1999). Surajiyo et all, Dasar-dasar logika, (bumi aksara, jakarta, 2009). Titus, Smith dan Nolan, Dalam PERSOALAN-PERSOALAN FILSAFAT, (Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1984). Universal Declaration of Human Right, Dalam Human Right : A Compilation of International Instrument, bagian Introducing. Van Bemmelen, Lerboek van Het Nederland Strafprocesrecht,(Herziene Druk).
48
EKSISTENSI LEMBAGA QUASI JUDISIAL DALAM SISTEM KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA : KAJIAN TERHADAP KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Muh. Risnain Fakultas Hukum UNPAD Bandung
[email protected]
Abstrak Secara konstitusional kedudukan lembaga quasi-peradilan dalam sistem kekuasaan kehakiman adalah bagian dari sistem kekuasaan kehakiman. Pasal 24 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 maupun Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengakui lembaga quasi-yudisial sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman.Untuk memaksimalkan pelaksanaan kekuasaan yudisial lembaga-lembaga tersebut maka diperlukan kebijakan hukum untuk membagun hubungan fungsional-konstitusional antara KPPU sebagai lembaga quasi-peradilan dengan MA sebagai puncak organisasi kekuasaan kehakiman. Disamping itu perlu juga dilakukan upaya pengawasan terhadap perilaku komisioner KPPU untuk menghindari mafia peradilan dan menghidari abuse of power dari komisioner KPPU.Pengawasan dimaksud dilakukan dengan memasukan pengawasan komisioner KPPU menjadi kewenangan Komisi Yudisial dan MA. Kata Kunci : Kekuasaan Kehakiman, Quasi-Yudisial, Fungsional-Konstitusional dan Pengawasan. Abstract Based on Indonesian Constitution 1945 the existence of quasi-judicial institution as a part of judicial power.Article 24 subsection (3 ) of the constitution of the republic of indonesia 1945 and the law number 48 / 2009 about judicial power admitting quasi-yudicial institutionshas judicial powers. For maximalize exercising of the quasi-judicial institutions are needed legal policy for supporting functional-constitusional relations between Commison for Supervion of Bussiness Competition and Supreme Court as top judicial power organization. Besides that needs to be done an effort to control the behavior commissioner of Commison For Supervion of Business Competition in avoiding abuse of power and moral hazard. These controlling must as part of power of Judicial Commission and Supreme Court. Key words : Judicial Power, quasi-Judicial, Functional-constitutional and supervision
A. Pendahuluan Perubahan Undang-undang Dasar 1945 tidak saja melahirkan berbagai lembaga negara utama, tetapi juga melahirkan berbagai negara pendukung penyelanggaraan pemerintahan.Di bidang yudisial misalnya telah lahir Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara penyelenggara kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung. Disamping itu lahir pula Komisi Yudisial sebagai supporting organ yang akan mendukung urusan yudisial dengan tugas utama mengusulkan calon hakim agung dan menjaga harkat dan martabat hakim. Disamping dua lembaga tersebut muncul pula lembaga-lembaga yang menjalankan fungsifungsi semi-judisial yang kelahirnaanya tidak disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, tetapi dibentuk melalui Undang-undang.Sebut saja misalnya, Komisi Pengawas persaingan usaha, Komisi Informasi, Ombudsman Republik Indonesia, dll.Ketiga lembaga tadi memiliki fungsi dan kewenangan
49
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 49-58
seperti halnya pengadilan karena memiliki kewenangan untuk memutus perkara dan putusannya memiliki kekuatan sebagaimana putusan pengadilan. Keberadaan lembaga-lembaga tersebut menimbulkan berbagai perdebatan konseptual yang serius. Sebagai negara hukum dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagai unsur utamanya, maka kekuasaan kehakiman secara teoritis hanya dapat dimiliki oleh lembaga-lembaga Negara yang secara konstitusional diakui dalam UUD 1945 yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Namun di sisi lain perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sedemikian kompleks akibat pengaruh globalisasi dan demokratisasi menyebabkan sebagian urusan kehidupan tidak lagi dapat diselesaikan oleh sebuah lembaga yang bersifat general tetapi dibutuhkan keahlian khusus untuk menyelesaikan masalah hukum yang dihadapi. Itulah kemudian menyebabkan lahirnya lembagalembaga yang disebutkan di atas yang sebenarnya tidak masuk dalam lingkup kekuasaan kehakiman, tetapi menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan kehakiman seperti kekuasaan untuk memutus perkara yang memiliki kekuatannya sama dengan putusan pengadilan. Pertentangan ini merupakan persoalan serius menurut penulis karena berkaitan dengan eksistensi lembaga kekuasaan kehakiman yang telah dibangun dengan baik dalam konstitusi dimana hanya ada dua lembaga kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Agung dengan empat pengadilan di bawahnya dan Mahkamah Konstitusi. Disamping itu keberadaan lembaga-lembaga semi judisial sebenarnya dalam posisi yang rentan untuk dilakukan judicial review oleh para pencari keadilan di Mahkamah Konstitusi.Para pihak yang terlibat sengketa yang kebetulan sedang ditangani oleh lembaga tersebut dapat saja melakukan permohonan judicial review ke MK dengan dalih keberadaan lembaga tersebut inkonstitusional.Prosedur demikian sangat mungkin terjadi jika para pihak enggan untuk mengakui keberadaan lembaga-lembaga tadi karena kepentingannya terusik.Jikalau MK mengabulkan permohonanl judicial review tersebut maka dipastikan legitimasi lembaga tersebut menjadi hilang kemudian bubar.Hal seperti ini pernah terjadi ketika permohonan judicial review atas pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibubarkan oleh MK dengan alasan tidak sesuai dengan system kekuasaan kehakiman Indonesia.pengadilan Tipikor saja yang masih dalam rumpun kekuasaan kehakiman dibubarkan oleh MK apatah lagi lembaga yang jelas-jelas di luar system kekuasaan kehakiman. Sehingga kekkhatiran penulis sangat berdasar. Salah satu lembaga quasi yudisial yang menarik untuk dikaji keberadaanya dalam system kekusaan kehakiman di Indonesia adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Lembaga yang dilahirkan melalui Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan usaha Tidak sehat adalah lembaga quasi pengadilan anak kandung reformasi karena dilahirkan pada awal-awal orde reformasi dan merupakan lembaga quasi judisial pertama di Indonesia. Di bawah undang-undang Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan usaha Tidak sehat KPUU memiliki kewenangan yang super power karena memiliki 3 kewenangan sekaligus yaitu sebagai penyelidik, penuntut dan pemutus. Disamping itu dalam tataran praktek selama 13 tahun berdiri terdapat banyak putusan KPPU yang sangat fenomenal dan mempengaruhi kehidupan ekonomi nasionalnya, seperti putusan tentang monopoli,kartel, persaingan tender, dll. Namun saying putusan KPPU tidak sekuat kewenangannya.Putusan KPPU tidak dapat dilaksanakan (non executable) karena harus mendapatkan penguatan dari Mahkamah Agung untuk mengeksekusi putusan tersebut. Tulisan ini hendak mengupas bagaimana mengsinkronkan keberadaan lembaga quasi-yudisial dalam kekuasaan sistem kehakiman di Indonesia juga mengupas pula bagaimana hubungan Mahkamah Agung dalam menilai putusan KPPU sehingga terwujud keadilan dan kepastian hukum. B.
Lembaga Quasi-Yudisial dalam Sistem Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Pembahasan mengenai eksistensi lembaga quasi-yudisial dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia akan lebih komprehensif jika dimulai dengan pembahasan teoritis tentang eksistensi 50
Eksistensi Lembaga Quasi Judisial Dalam Sistem Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Muh Risnain
kekuasaan kehakiman dalam sistem pembagian kekuasaan dan keberadaan pengadilan dalam sistem kekuasaan kehakiman. Menurut Bagir Manan dan Kuntana Magnar87 adanya kekuasaan kehakiman tidak terlepas dari konsep pemisahan kekuasaan yang dikemukakan oleh Montesqieu yaitu adanya cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.Pemisahan kekuasaan dimaksudkan agar tidak terjadi penumpukan kekuasaan pada satu organ kekuasaan.Penumpukan demikian dapat menimbulkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) karena tidak ada mekanisme saling mengkontrol dan keseimbangan antara lembaga negara.Oleh karena itu pada negara yang mengklaim diri dalam konstitusinya sebagai negara hukum88 seperti Indonesia maka keberadaan kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan prasyarat bagi lahirnya negara hukum demokratis. Kemerdekaan yang dilekatkan pada kekuasaan kehakiman menurut Bagir Manan dan Kuntana Magnar tidak saja untuk menjamin independensi kelembagaan dan hakim dalam menjalankan tugasnya, tetapi yang lebih besar lagi adalah dengan kemerdekaannya demikian kekuasaan kehakiman dapat sebagai perisasi bagi serangan intervensi dari eksekutif dan legislatif. Di antara tiga kekuasaan kehakiman yang paling rentan diintervensi oleh cabang kekuasaan yang lain adalah kekuasaan yudikatif, karena yudikatif tidak memiliki kekuasaan lain yang dapat menekan lembaga Negara lainnya, misalnya untuk menekan eksekutif, kekuasaan legislatif dapat menggunakan hak budget, pengawasan dan legislasi agar eksekutif mau tunduk pada kehendak legislatif. Sementara kekuasaan yudikatif tidak memiliki kekuasaan seperti itu.89Satu-satunya kekuasaan yudikatif adalah ada putusan sebagai mahkota kelembagaan dan mahkota hakim.Namun jika kedua lembaga ini bersengketa maka kedua lembaga tersebut wajib mentaati putusan pengadilan. Begitu pentingnya kemerdekaan kekuasaan dalam Negara hukum dalam rumusan konstitusi pasal 24 UUD NRI 1945 menyatakan “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.Rumusan ini melegitimasi sifat kekuasaan kehakiman yang independen dan imparsial sebagai prasyarat bagi lahirnya negara hukum modern. Sifat demikian tidak lain dimaksudkan untuk terwujudnya tujuan hukum yaitu menegakan hukum dan keadilan. Rumusan serupa juga dapat kita temukan dalam definisi kekuasaan kehakiman dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yaitu kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.90Dapat dikatakan bahwa relasi Negara hukum dan kekuasaan kehakiman yang merdeka ibarat dua wajah mata uang yang tidak terpisahkan atau independensi pengadilan merupakan condition sine quaonon bagi eksistensi Negara hukum. Dalam Negara hukum modern kekuasaan kehakiman yang merdeka dilaksanakan oleh peradilan sebagai lembaga negara yang ditunjuk konstitusi.Pasal 24 ayat (2) mengatur bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Penting juga dikemukakan apa sebenarnya lembaga peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut dan pengadilan. Untuk membahas itu maka penulis menyitir beberapa pendapat pakar tentang definisi peradilan.Menurut R Subekti dan R Tjitrosudibjo91 terdapat perbedaan makna antara istilah peradilan dan pengadilan. Istilah peradilan menunjuk kepada fungsi untuk mewujudkan keadilan, sedangkan 87
88
89 90 91
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Ke-2, Alumni, Bandung, hlm. 39. Padmo Wahjono,1986, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, cet ke-2,Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm.151 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Op.cit, hlm. 40. Baca Pasal 1 angka (1) UU No.4 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. R Subekti dan R Tjitrosoedibio, 1971, Kamus Hukum, Pradya Paramita, Jakarta, hlm. 82-83. 51
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 49-58
pengadilan menunjuk kepada lembaga badan yang akan menyelenggarakan proses peradilan untuk mewujudkan keadilan. Pendapat Sudikno Mertokusumo92 menyatakan bahwa istilah peradilan tidak dapat dipisahkan dengan pengadilan.Pengadilan bukan saja persoalan institusi, tetapi secara abstraksi pengadilan itu memberikan keadilan.Rahmat Soemitro93 mengemukakan tiga istilah untuk menguraikan kekuasaan kehakiman yaitu, peradilan, pengadilan dan badan pengadilan. Peradilan merujuk pada proses, pengadilan merupakan cara, sedangkan badan pengadilan merujuk pada institusi pengadilan. Menurut Sjahran Basah94, istilah pengadilan merujuk kepada institusi yang memberikan keadilan sedangkan peradilan merujuk pada proses untuk memberikan keadilan dalam rangka menegakan hukum.95. Merujuk istilah yang digunakan dalam pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945 istilah yang digunakan adalah peradilan. Peradilan yang dimaksud disamping sebagai proses juga sebagai lembaga. Pasal 24 ayat (1) menyatakan” Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.Istilah peradilan dalam ayat (1) tersebut merujuk pada proses untuk menegakan hukum dan keadilan. Sedangkan pada ayat (2) “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Peradilan pada ayat (2) tersebut merujuk kepada lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan proses peradilan yaitu Mahkamah Agung dengan empat pengadilan di bawahnya dan Mahkamah Konstitusi. Untuk mendapatkan kejelasan teoritis keberadaan lembaga quasi peradilan dalam kekuasaan kehakiman maka penulis menyitir beberapa pendapat pakar tentang batasan peradilan. Menurut Sudikno Mertokusumo peradilan adalah segala seuatu yang bertalian dengan tugas hakim dalam memutus perkara,baik perkara perdata maupun perkara pidana untuk mempertahankan atau menjamin ditaatinya hukum96.Menurut Rohmat Soemitro sebuah lembaga dikatakan sebagai peradilan jika memiliki unsur-unsur sebagai berikut : 1. Adanya suatu aturan yang abstrak yang mengikat umum yang dapat diterapkan pada suatu persoalan; 2. Adanya perselihan hukum yang konkrit; 3. Adanya sekurang-kurangnya dua pihak; 4. Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan.97 Menurut Sjahran Basah unsur-unsur peradilan yang disampaikan Rohmat Soemitro di atas perlu ditambah dengan unsur lagi yaitu adanya hukum formal dalam rangka menerapkan hukum (rechstoepassing) dan menemukan hukum (rechvinding) in concreto untuk menjamin ditaatinya hukum materiil. Berdasarkan pada uraian unsur tambahan peradilan terhadap pendapat Rohmat Soemitro di atas Sjahran Basah memberikan definisi peradilan adalah “segala sesuatu yang bertalian dengan tugas memutus perkara dengan menerapkan hukum, menemukan hukum “in conreto” dalam mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal.98 Aspek lain yang dipandang relevan untuk memahami keberadaan lembaga quasi-judisial dalam kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah pemahaman lembaga quasi yudisial itu sendiri. 92
93 94
95 96 97 98
52
Sudkno Mertokusumo, 1971, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia sejak 1942 dan apakah kemanfaatnya bagi kita bangsa Indonesia, Kilat Maju, Bandung, hlm. 2. Rochmat Sumitro, 1978, Rancangan Undang-Undang Peradilan Administrasi, BPHN, Jakarta, hlm. 9-10. Sjahran Basah,1997, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, hlm.23-24. Sudkno Mertokusumo, Op.cit. hlm.2. Soedikno Mertokusumo, Op.cit, hlm. hlm.4. Rohmat Sumitro, Op.cit, hlm.4 Sjahran Basah, Op.cit, hlm.29.
Eksistensi Lembaga Quasi Judisial Dalam Sistem Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Muh Risnain
Istilah lembaga quasi-judisial di Indonesia diperkenalkan Jimly Asshidiqie dalam Makalah beliau yang berjudul Pengadilan Khusus yang dimuat dalam website pribadi beliau.99Menurut beliau perkembagan kekuasaan kehakiman di Indonesia di era reformasi disamping tumbuh dan berkembangnya pengadilan khusus juga berkembang lembaga-lembaga quasi-pengadilan atau semi-pengadilan.Istilah quasi-pengadilan menunjuk pada lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan mengadili dan memutus sebuah perkara tetapi sebenarnya bukanlah pengadilan100. Kekuatan putusan lembagalembaga quasi-pengadilan sama dengan putusan pengadilan bahkan terdapat putusan lembaga-lembaga tersebut yang putusannya bersifat final and binding sama dengan putusan pengadilan yang bersifat “inkracht”.Dengan kewenangan yang begitu luas keberadaaan lembaga quasi-judisial menimbulkan kekhawatiran terjadinya tumpang tindih kewenangan dengan pengadilan yang memiliki kekuasaan di bidang kehakiman (judicial power). Fenomena menjamurnya lembaga quasi-judisial dalam khasanah sistem kekuasaan kehakiman Indonesia merupakan hal yang baru, sehingga bangunan teoritis tentang hal ini masih sangat minim. Dengan mengutip pertimbangan pertimbangan putusan Pengadilan Texas dalam kasus Perdue, Brackett, Flores, Utt & Burns versus Linebarger, Goggan, Blair sebagaimana yang disitir oleh Jimly Assidiqie dalam makalahnya penulis mengambil beberapa kriteria sebuah lembaga yang dikategorikan sebagai quasi-judicial yaitu : 1) Kekuasaan untuk memberikan penilaian dan pertimbangan. (The power to exercise judgement and discretion); 2) Kekuasaan untuk mendengar dan menentukan atau memastikan fakta-fakta dan untuk membuat putusan. (The power to hear and determine or to ascertain facts and decide); 3) Kekuasaan untuk membuat amar putusan dan pertimbangan-pertimbangan yang mengikat sesuatu subjek hukum dengan amar putusan dan dengan pertimbangan-pertimbangan yang dibuatnya. (The power to make binding orders and judgements); 4) Kekuasaan untuk mempengaruhi hak orang atau hak milik orang per orang. (The power to affect the personal or property rights of private persons); 5) Kekuasaan untuk menguji saksi-saksi, untuk memaksa saksi untuk hadir, dan untuk mendengar keterangan para pihak dalam persidangan. (The power to examine witnesses, to compel the attendance of witnesses, and to hear the litigation of issues on a hearing); dan 6) Kekuasaan untuk menegakkan keputusan atau menjatuhkan sanksi hukuman. (The power to enforce decisions or impose penalties). Penting juga untuk diperhatikan landasan konstitusional eksistensi lembaga quasi-judisial ini. Pada perubahan konstitusi ya ke-empat pengakuan terhadap keberadaan lembaga quasi-judisial diatur dalam pasal 24 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menentukan bahwa “badan badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakimandiatur dalam undangundang”.Ketentuan tersebut menurut hemat penulis mengandung makna, pertama,pengakuan konstitusional terhadap keberadaan lembaga quasi-judisial yang telah ada sebelum perubahan konstitusi maupun yang akan dibentuk pada waktu yang akan datang. Penyebutan frase badan-badan pada Pasal 24 ayat (3) UUD NRI 1945 menandakan bahwa telah ada lembaga-lembaga negara yang memiliki kewenangan semi-judisial sebelum perubahan konstitusi, seperti KPPU yang dibentuk pada tahun 1999 dan BPSK yang dibentuk pada tahun 1998. Konstitusi hanya memberikan landasan konstitusional bagi keberadaan lembaga-lembaga ini dalam sistem kekuasaan kehakiman Kedua, syarat legalitas pendirian lembaga quasi-judisialdiatur dalam Undang-undang. Maknanya, lembaga quasi-judisial baik yang telah dibentuk maupun yang 99 100
www.jimly.com Lembaga-lembaga Quasi-Judisial dimaksud antara lain : Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),Komisi Penyiaran Indonesia (KPI),Komisi Informasi Pusat (KIP) dan Komisi Informasi Daerah (KID), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu),5) Ombudsman Republik Indonesia 53
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 49-58
akan dibentuk harus diatur pada level Undang-undang sebagai bentuk legitimasi konstitusional karena undang-undang merupakan cerminan aspirasi rakyat yang diwakili oleh Presiden dan DPR. Dalam undang-undang Nomor 48 tahun 2009 pengaturan tentang keberadaan lembaga quasijudisial diatur dalam bab tersendiri dengan judul bab “Badan-Badan Lain Yang Fungsinya Berkaitan DenganKekuasaan Kehakiman”. Pengaturan khusus tentang lemba quasi-judisial menunjukan adanya politik legislasi terkait dengan pengakuan hukum terhadap keberadaan lembaga-lembaga semi-judicial yang semakin banyak dalam ranah kekuasaan kehakiman di Indonesia juga merupakan pengatuan lebih lanjutnorma konstitusi yang ada dalam Pasal 24 ayat (3) UUD NRI yang masih sangat sumir. Pasal 38 ayat (1) menentukan bahwa “selain Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya serta Mahkamah Konstitusi, terdapat badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasan kehakiman”. Pada ketentuan Pasal 38 ayat(2) mengatur lebih lanjut batasan fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, meliputi:a). penyelidikan dan penyidikan,b). penuntutanc). pelaksanaan putusan, d). pemberian jasa hukum, dane). penyelesaian sengketa di luar pengadilan.Selanjutnya Pasal 38 ayat (3) mengatur bahwa ketentuan mengenai badan-badan lain yang fungsinyaberkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalamundang-undang101. Bila dianalisis secara mendalam ketentuan tentang lembaga quasi peradilan dalam Undangundang Nomr 48 tahun 2009 di atas menunjukkan bahwa pengaturan tersebut merupakan pengulangan (repetisi) terhadap ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD NRI yang sebelumnya memang masih sangat sumir. Perkembagan yang berarti terkait pengaturan lembaga quasi-judisial tercantum dalam Pasal 38 ayat (2) yang mengatur kriteria sebuah lembaga sebagai lembaga quasi-judisial yaitu jika memiliki kewenangan penyelidikan dan penyidikan, penuntutan.pelaksanaan putusan, pemberian jasa hukum dan penyelesaian jasa hukum di luar pengadilan. Uraian di atas menunjukkan bahwa keberadaan lembaga quasi-yudisial diakui kedudukannya dalam sistem kekuasaan kehakiman sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Walaupun pengaturannya yang masih summir dalam konstitusi dan Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 secara konstitusional keberadaan lembaga quasi-yudisial merupakan sebuah kenyataan dan memiliki legalitas dalam kekuasaan kehakiman Indonesia. C. KPPU Sebagai Lembaga Quasi-Yudisial. Diundangkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak saja membawa angin baru bagi regulasi persaingan usaha di Indonesia yang selama ini tersebar dalam berbagai peraturan perundangundangan, namun juga melahirkan lembaga baru yaitu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)102. Pasal 30 Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 menentukan “untuk mengawasi pelaksanaan Undang-undang ini dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha”. Untuk menjalankan fungsi pengawasan undang-undang ini memberikan tugas kepada KPPU, yaitu : a) melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16; b) melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24; c) melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28;
101
102
54
Jimly Asshidiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, BIP, Jakarta, hlm. 511. Arie Siswanto,2004, Hukum Persaingan Usaha, Ceatakan ke-2, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 93-94.
Eksistensi Lembaga Quasi Judisial Dalam Sistem Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Muh Risnain
d) e)
mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 36; memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; f) menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-undang ini; g) memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk menjalankan tugas-tugas di atas, Pasal 36 UU No.5 tahun 1999 memberikan kewenangan kepada KPPU untuk : a) menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; b) melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; c) melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil penelitiannya; d) menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; e) memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undangundang ini; f) memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini; g) meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi; h) meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini; i) mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan; j) memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat; k) memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; l) menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini. Ketentuan di atas sesungguhnya membagi kewenangan KPPU dalam 3 kategori.Pertama, kewengan penyelidikan.Pasal 36 huruf (a), (b), (c) dan (d) memberikan kewenangan KPPU untuk : 1). menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, 2). melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, 3).melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil penelitiannya, 4).menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Kedua, kewenangan menuntuntut pelaku usaha. Pasal 36 huruf (e),(f),(g),(h),(i), : (e) memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undangundang ini, (f) memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini; (g) meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan 55
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 49-58
huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi, (h). meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini, (i) mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan. Ketiga,kewenangan judisial.Kewenangan untuk menjatuhkan sanksi kepada pelaku usaha. Kewenangan KPPU tersebut merupakan kewenangan yang super dan istimewa diberikan undangundang kepada KPPU karena KPPU diberikan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang persaingan usaha103. Hal yang menarik adalah kewenangan KPPU untuk memutus dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku usaha. Kewenangan mengadili dan menjatuhkan sanksi kepada KPPU merupakan yang dimiliki yang secara khusus diberikan kepada KPPU yang tidak dimiliki oleh lembaga independen lain. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah KPPU merupakan lembaga peradilan atau lembaga administratif. Terkait status kelembagaan KPPU dalam sistem peradilan di Indonesia menarik untuk dikutip pendapat Jimly Assidiqie104 “….jelas bahwa pada hakikatnya KPPU adalah lembaga peradilan dalam arti yang luas, atau setidaknya dapat disebut sebagai lembaga semi-peradilan. Sebagai lembaga peradilan yang bersifat administratif, fungsi KPPU dapat digolongkan ke dalam lingkungan peradilan tata usaha negara, tetapi apabila dilihat dari bidang sengketa hak yang diselesaikannya, komisi ini dapat juga dikategorikan berada dalam lingkungan peradilan umum”. Pasal 30 ayat (2) UU No.5 tahun 1999 menentukan status kelembagaan KPPU sebagai lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain.Berdasarkan Pasal 31 ayat (2) UU No.5 Tahun 1999 mekanisme pengisian jabatan komisioner KPPU dilakukan melalui mekanisme pengangkatan oleh Presiden atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.Mekanisme demikian memungkinkan terjadinyacheck and balances105 antara pemerintah dan DPR dalam mengangkat komisioner KPPU. Pasal 30 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 menentukan bahwa KPPU bertanggung jawab kepada Presiden.Penunjukkan Presiden sebagai lembaga tempat KPPU bertanggung jawab tidak berarti bahwa KPPU merupakan lembaga pemerintah atau subordinasi Presiden.Secara institusional KPPU tetap menjadi lembaga independen dan imparsial dalam menjalankan tugas dan wewenanganya.Pertanggungjawaban kepada Presiden dimaksudkan untuk tertib administratif semata karena KPPU menggunakan APBN dan menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan106. D. Hubungan Fungsional KPPU dan Mahkamah Agung. Dengan status KPPU sebagai lembaga quasi-peradilan sesungguhnya lembaga ini seolah-olah sebagai lembaga “super body” dalam memutuskan sengketa persaingan usaha tidak sehat di Indonesia.Padahal undang-undang ini membatasi kewenangan KPUU hanya sekedar memutus tetapi tidak ada kewenangan untuk menegakan putusan KPPU itu sendiri.Terkesan KPPU hanya sebagai lembaga yang “macan ompong” karena tidak memiliki kewenangan untuk melaksanakan dan menegakan putusannya sendiri. Pertama, Menurut Pasal 46 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 eksekusi putusan KPPU harus melalui penetapan Pengadilan Negeri. Dalam hal upaya hukum KPPU tidak memiliki kewenangan untuk menerima upaya hukum, pihak yang dikalahkan merasa keberatan atas putusan
103
104 105 106
56
Ridwan, 2009, Tiga Dimensi Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi Negara, FH UII Press, Yogyakarta, hlm.146. Jimly Assidiqie, Fungsi Campuran KPPU Sebagai Lembaga Quasi-Peradilan, Jimly Assidiqie, Konstitusi dan Konstitusinalisme, Konstitusi Press, 2005, hml. Bagir Manan, 2004, Hukum Positif Indonesia : Suatu Kajian Teoritik,FH UII Press, Yogyakarta,hlm.50.
Eksistensi Lembaga Quasi Judisial Dalam Sistem Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Muh Risnain
KPPU, menurut Pasal 44 ayat (2) dapat mengajukan ke Pengadilan Negeri, upaya hukum lanjutannya dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (Pasal 45 ayat 3).107 Kedua, Status Komisioner KPPU. Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 tidak mendudukkan komisioner KPPU sebagai hakim.Menurut Jimly Assidiqie, kedudukan mereka mengikuti status kelembagaan KPPU sebagai semi-yudisial. Dalam hal demikian maka status Komisioner KPPU adalah semi hakim. Secara organisasi Kepegawaian KPPU tidak dibawah Mahkamah Agung. KPPU juga tidak masuk dalam pengawasan Komisi Yudisial. Dua persoalan di atas setidaknya menjadi batu ganjalan pelaksanaan tugas dan wewenang bagi KPPU yang demikian besar dengan misi menyelamatkan sistem perekonomian nasional dan persaingan usaha.Oleh karena itu perlu kebijakan hukum untuk mensinkronkan kedudukan KPPU sebagai lembaga quasi-judisial yang diakui statusnya sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman dalam konstitusi Indonesia. Menurut hemat penulis terdapat dua kebijakan yang dapat ditempuh untuk menyikronkan keberadaan lembaga quasi-yudisial dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia sehingga terjalin hubungan sinergis dan fungsional yang baik dalam rangka mewujudkan keadilan dan kepastian hukum. Pertama, perlu membangun sistem hubungan institusional yang baik antar kedua lembaga ini dalam rangka meningkatkan kualitas putsan. Dalam Undang-undang Nomro 5 tahun 1999 terdapat hubungan fungsional antara KPPU dengan lembaga peradilan ketika adanya upaya hukum banding atas putusan KPPU kepada pengadilan Negeri dan Kasasi ke Mahkamah Agung. Mengingat persoalan persaingan usaha tidak sehat bukan hanya persoalan yuridis tetapi lebih kental persoalan ekonomi maka antara KPPU dan MA perlu membangun kesepahaman substansi hukum persaingan usaha yang begitu spesifik terutama persoalan pembuktian yang rumit seperti penggunaan indirect evidence (bukti tidak langsung) yang belum dikenal dalam sistem pembuktian dan alat bukti dalam hukum acara Indonesia yang selama ini digunakan KPPU sementara di Pengadilan Negeri tidak dapat menerima sistem pembuktian demikian. KPPU dan MA perlu duduk bersama untuk membuat semacam guidance bersama dalam proses pembuktian sehingga terjadi sinkronisasi dalam proses pembuktian108. Kedua, pengawasan komisioner KPPU. Berdasarkan pengaturan dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 komisioner KPPU memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi dalam bentuk putusan KPPU. Untuk menjamin agar dalam pengambilan putusan komisioner KPPU tidak melakukan praktek-praktek mafia hukum dan tindakan penyalahgunaan kewenangan maka diperlukan prosedur pengawasan untuk menjaga keluhuran martabat komisioner dalam menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan kehakiman.Oleh karena itu menurut penulis mengingat KPPU ini telah diakui sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia maka sebaiknya pengawasan perilaku komisioner KPPU masuk dalam rezim pengawasan hakim sebagaimana halnya hakim.Oleh karena itu Komisi Yudisial dan MA berhak melakukan pengawasan terhadap perilaku komisioner KPPU. E.
Kesimpulan dan Saran Kedudukan lembaga quasi-peradilan dalam sistem kekuasaan kehakiman secara konstitusional merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman di Indonesia. Pasal 24 ayat (3) UUD NRI 1945 maupun Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah mengakui bahwa lembaga quasi yudisial sebagai lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman. Walaupun menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman tetapi quasi-yudisial tidak memiliki hubungan hierarki institusional dengan MA, yang ada hanya hubungan fungsional.Begitu juga KPPU saat ini memiliki kedudukan institusional yang diakui sebagai lembaga yang menjalankan kekuasaan kehakiman di bidang persaingan usaha.
107 108
Rahmadi Usman,Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta, 2004, hlm.119 A. Mukti Arto,2001, Konsep Ideal Mahkamah Agung : Redifinsi Peran dan Fungsi Mahkamah Agung untuk Membangun Indonesia Baru, Pusataka pelajar,Yogyakarta, hlm.196. 57
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 49-58
Namun dalam pelaksanaan tugas dan wewenang di bidang kekuasaan kehakiman tersebut KPPU masih menghadapi kendala yuridis terkait pelaksanaan putusannya.Untuk itu perlu kebijakan hukum untuk membagun hubungan fungsional-konstitusional antara KPPU dan MA dalam kaitannya dengan hukum acara pembuktian.Perlu juga dilakukan upaya pengawasan terhadap perilaku komisioner KPPU untuk menghindari mafia peradilan dan menghidari abuse of power dari komisioner KPPU.Memasukan pengawasan dalam rezim pengawan hakim melalui KY dan MA merupakan solusi alternatif untuk menjaga keluhuran martabat komisioner KPPU.
Daftar Pustaka A Mukti Arto, 2001, Konsep Ideal Mahkamah Agung : Redifinsi Peran dan Fungsi Mahkamah Agung untuk Membangun Indonesia Baru, Pusataka pelajar, Yogyakarta. Arie Siswanto, 2004, Hukum Persaingan Usaha, Ceatakan ke-2, Ghalia Indonesia, Bogor. Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Ke-2, Alumni, Bandung. Bagir manan, 2004, Hukum Positif Indonesia : Suatu Kajian Teoritik, FH UII Press, Yogyakarta. Jimly Asshidiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, BIP, Jakarta. Jimly Assidiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusioalisme, Konstitusi Press, Jakarta. Padmo Wahjono, 1986, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, cet ke-2, Ghalia Indonesia, Jakarta. R Subekti dan R Tjitrosoedibio, 1971, Kamus Hukum, Pradya Paramita, Jakarta. Rahmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004. Ridwan, 2009, Tiga Dimensi Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi Negara, FH UII Press, Yogyakarta. Rochmat Sumitro, 1978, Rancangan Undang-Undang Peradilan Administrasi, BPHN, Jakarta. Sjahran Basah,1997, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung. Sudikno Mertokusumo, 1971, Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangannya di Indonesia sejak 1942 dan Apakah kemanfaatnya bagi kita Bangsa Indonesia, Kilat Maju, Bandung. Biodata Singkat Penulis : Penulis Lahir di Bima 30 Desember 1980. Ia menyelesaikan Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Mataram tahun 2003. Tahun 2006 ia menyelesaikan studi Magister Hukum di Program Pascasrjana UNPAD dengan Konsentrasi Hukum Internasional. Setelah tamat S2 ia mengajar di sebagai Dosen Luar Biasa pada Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten (20062007). Pada tahun yang sama ia juga mengajar sebagai Dosen Luar Biasa pada FH Unram (2007). Sejak Tahun 2008 sampai awal 2011 menjadi Tenaga Ahli DPR RI yang membidangi Hubungan Internasional, Pertahanan dan Komunikasi/Komisi I DPR RI (2008-2009), kemudian ditugaskan mendampingi anggota DPR RI yang duduk di Komisi IX (Komisi Kesehatan dan Ketenagakerjaan). Awal 2011 diangkat menjadi Dosen Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Mataram. Pada bulan Juli 2014 menyelesaikan pendidikan Doktor Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum UNPAD Bandung. Penulis dapat dihubungi di Nomor : 081321386015, email :
[email protected]
58
MENUJU HUKUM PERKAWINAN ISLAM PROGRESIF TOWARDS PROGRESSIVE ISLAMIC MARRIAGE LAW Muhamad Isna Wahyudi Pengadilan Agama Badung Jl. Peti Lenget No.5, Kerobokan, Kuta
[email protected]
Abstrak Ada beberapa ketentuan dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan yang perlu dirumuskan sesuai dengan kondisi saat ini. Dengan cara tersebut, hukum perkawinan Islam di Indonesia akan progresif dan tidak diskriminatif terhadap kaum perempuan. Ketentuan-ketentuan tersebut mencakup rukun perkawinan, usia perkawinan, wali nikah, dan status anak. Makalah ini mencoba untuk melakukan kontekstualisasi ketentuan-ketentuan tersebut sesuai dengan kondisi saat ini dengan menggunakan pendekatan hermeneutik. Sebagai hasilnya, pencatatan perkawinan seharusnya menjadi salah satu rukun perkawinan, usia perkawinan harus dirumuskan dengan mempertimbangkan kesehatan reproduksi kaum perempuan, wali nikah bagi calon pengantin perempuan bukan rukun perkawinan, dan anak dari perempuan yang menikah pada saat hamil termasuk sebagai anak sah yang memiliki nasab kepada kedua orang tuanya. Kata kunci: rukun perkawinan, usia perkawinan, wali nikah, dan status anak. Abstract There are some provisions on the Bill of Religious Judicature Substantial Law on Marriage that need to be formulated in accordance with the present time. In this way, the Islamic Law of Marriage in Indonesia will be progressive and not discriminative against women. Those provisions include the pillar of marriage, the age of marriage, the guardian of marriage, and the status of child. This article tries to contextualize those provisions in accordance with the present time using hermeneutical approach. As the result, the registration of marriage should be one of the pillars of marriage, the age of marriage should be formulated by considering women’s reproduction health, the guardian of marriage for the bride is not pillar of marriage, and the child of pregnant woman marriage is counted as legal child whose lineage to both parents. Key words: pillar of marriage, the age of marriage, the guardian of marriage, and the status of child.
A. Pendahuluan Sejak tahun 2003, Departemen Agama RI telah mengajukan Rancangan Undang-Undang Hukum Terapan Peradilan Agama (RUU HTPA) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). RUU HTPA ini bertujuan untuk menyempurnakan materi Kompilasi Hukum Islam dan untuk meningkatkan statusnya dari Inpres menjadi Undang-Undang sehingga memiliki kekuatan hukum mengikat (imperatif).109 Latar belakang yang mendorong Departemen Agama untuk menyusun RUU HTPA Bidang Perkawinan adalah karena aturan hukum yang terdapat di dalam UU No. 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dipandang kurang memadai sebagai hukum materiil bagi
109
Hakim di lingkungan Peradilan Agama, saat ini bertugas di PA Badung, Bali, alumni Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prodi Hukum Islam, Konsentrasi Hukum Keluarga. Marzuki Wahid, Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) Dalam Perspektif Politik Hukum di Indonesia, http://ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/ern-vi-03.pdf. 59
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 59-68
Peradilan Agama, karena aturan UU ini bersifat lintas agama, yang harus ditaati oleh semua umat beragama, yang bukan khusus diperuntukkan untuk umat Islam, maka diupayakanlah untuk menyusun Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berlaku khusus untuk umat Islam, yang dijadikan dasar bagi para hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara. Selain itu, meskipun peraturan di bidang perkawinan dalam sistem hukum nasional dirasa sudah cukup memadai, namun masalah-masalah yang muncul, khususnya selama sidang berlangsung, mengharuskan adanya suatu pengaturan yang lebih kongkrit dan rinci dalam bentuk undang-undang, karena dalam menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi itu Pengadilan Agama memandang perlu adanya intervensi Undang-Undang sebagai instrumen hukum publik.110 Dalam perkembangannya RUU HTPA berubah menjadi Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama (RUU HMPA). Saat ini RUU HMPA Bidang Perkawinan masih dalam proses pembahasan di DPR. Sebelum RUU HMPA Bidang Perkawinan disyahkan menjadi undangundang oleh DPR, ada beberapa ketentuan dalam RUU HMPA Bidang Perkawinan yang perlu dikaji dan dipertimbangkan kembali sehingga ketentuan-ketentuan tersebut mampu menjadikan hukum keluarga Islam di Indonesia sebagai hukum yang progresif dan tidak bertentangan dengan beberapa Undang-Undang yang telah ada, yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Di antara ketentuan-ketentuan dalam RUU HMPA Bidang Perkawinan tersebut adalah ketentuan yang mengatur tentang rukun perkawinan, usia perkawinan, wali nikah, kedudukan anak dan waktu tunggu. Tulisan ini akan berusaha memberikan sebuah telaah kritis terhadap beberapa ketentuan tersebut. B. Isu-Isu Problematis dalam RUU HMPA Bidang Perkawinan 1. Rukun perkawinan Pasal 3 RUU HMPA Bidang Perkawinan berbunyi: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam.” Sementara dalam hukum Islam (baca: fikih), setiap perbuatan hukum adalah sah apabila dilakukan dengan memenuhi rukun dan syarat. Sementara dalam Pasal 13 dijelaskan bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada (rukun perkawinan): calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi, ijab kabul, dan mahar. Meskipun dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa setiap perkawinan wajib dicatat oleh Pejabat Pencatat Nikah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan wajib dilangsungkan di hadapan Pejabat Pencatat Nikah (Pasal 5 ayat 1) dan disebutkan pula dalam Pasal 5 ayat 2 bahwa perkawinan yang tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat 1 tidak mempunyai kekuatan hukum, pencatatan perkawinan bukanlah termasuk rukun perkawinan menurut RUU HMPA Bidang Perkawinan. Ketentuan ini tentu perlu dikaji kembali sehingga lebih kontekstual dengan kondisi masyarakat saat ini. Kedudukan perkawinan dalam Al-Qur’an adalah sebagai mitsaqan ghalidzan atau ikatan yang kokoh (Q.S. An-Nisa [4]: 21). Meskipun perkawinan memiliki kedudukan sebagai ikatan yang kokoh, tetapi Al-Qur’an tidak memerintahkan pencatatan akad nikah, berbeda dengan masalah akad hutangpiutang yang diperintahkan untuk dicatat (Al-Baqarah [2]: 282). Mengapa demikian? Di sinilah perlunya kita memahami ketentuan tersebut dengan mengkaji konteks sosial budaya masyarakat Arabia pada saat pewahyuan Al-Qur’an. Sebagaimana kita ketahui bahwa masyarakat Arabia pada saat pewahyuan Al-Qur’an merupakan masyarakat kesukuan. Sebuah suku terdiri dari beberapa klan yang terikat berdasarkan hubungan darah, dan sebuah klan terdiri dari beberapa keluarga yang masing-masing keluarga tinggal di tenda-tenda. Nah, dalam kondisi yang demikian itu, maka masyarakat masih bersifat komunal 110
60
Isnawati Rais, Perjalanan Perumusan Kebijakan Hukum Keluarga Di Indonesia Perspektif Teologi (Studi Tentang Hukum Keluarga Dalam Islam), hlm. 3. Makalah disampaikan dalam acara Konsultasi Nasional Hukum Keluarga Islam di Indonesia, diselenggarakan oleh Komnas Perempuan Indonesia pada tgtl 3-4 Februari 2009 di Hotel Harris Jln Saharjo 191 Jakarta.
Menuju Hukum Perkawinan Islam Progresif, Muhamad Isna Wahyudi
dalam mana nilai-nilai kebersamaan masih begitu kuat dan kepala suku memiliki tanggung jawab untuk melindungi setiap anggota sukunya. Selain itu, ada kecenderungan bahwa pasca perkawinan, anggota suku cenderung untuk hidup menetap di daerahnya, baik karena keterbatasan sarana transportasi maupun mata pencaharian yang tidak menuntut mobilitas bahkan untuk menetap di daerah lain. Dalam situasi yang seperti ini, maka masyarakat masih memiliki fungsi kontrol terhadap status perkawinan setiap anggotanya. Masyarakat masih dapat menjadi saksi atas ikatan perkawinan setiap anggotanya. Inilah mengapa Rasulullah menganjurkan agar setiap akad nikah diselenggarakan pesta perkawinan meski dengan seekor kambing. Tujuannya tidak lain adalah agar dipersaksikan oleh masyarakat. Dalam konteks seperti ini tentu pencatatan perkawinan belum menjadi sebuah tuntutan bagi masyarakat pada saat itu, yang mungkin mempengaruhi para ulama fikih klasik dalam merumuskan rukun dan syarat perkawinan. Namun saat ini kondisi masyarakat telah berubah. Terdapat pergeseran bentuk keluarga dalam masyarakat, dari keluarga besar (extended family) menjadi keluarga kecil (nuclear family) yang hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Selain itu, tingkat mobilitas manusia semakin tinggi seiring dengan adanya revolusi industri dan perkembangan sarana transportasi dan komunikasi. Dalam konteks seperti ini, maka masyarakat tanpa disadari sebenarnya telah kehilangan perannya untuk melakukan fungsi kontrol atas ikatan perkawinan anggota-anggotanya. Selain itu, konsep negara-bangsa yang menggejala hampir di semua negara muslim pasca era kolonialisme juga telah memberikan otoritas bagi negara untuk melindungi hak-hak setiap warga negara dengan melakukan penertiban administrasi kependudukan termasuk dalam hal perkawinan. Di sinilah pencatatan perkawinan menjadi tuntutan yang tidak dapat dihindari dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi pasangan yang menikah maupun anak-anak yang lahir dari pekawinan itu (hifz}un nasl). Oleh karena itu, sudah sepatutnya pencatatan nikah menjadi salah satu rukun perkawinan. 2. Usia perkawinan Dalam Pasal 14 RUU HMPA disebutkan bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya dapat dilakukan apabila calon mempelai laki-laki telah mencapai umur 19 tahun dan calon mempelai perempuan mencapai umur 16 tahun. Ketentuan ini perlu dikaji kembali khususnya terkait dengan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan yaitu 16 tahun. Dalam realitasnya, banyak perempuan yang menderita kanker mulut rahim disebabkan karena menikah pada usia muda dan organ seksualnya belum matang. Bahkan kanker mulut rahim ini telah menjadi penyebab kematian yang cukup signifikan bagi kaum ibu di Indonesia. Tentu saja dalam merumuskan ketentuan batas minimal usia perkawinan perlu dilakukan penelitian medis dengan melibatkan para ahli dalam bidang kedokteran. Selain itu, juga perlu dilakukan penelitian tentang dampak perkawinan usia muda kaum perempuan terhadap tingkat pendidikan kaum perempuan. Hal ini karena tingkat pendidikan tentu akan sangat berpengaruh terhadap kemandirian kaum perempuan, kedudukan, serta peran kaum perempuan di masyarakat. Tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi juga perlu diperhatikan sebagai akibat dari perkawinan usia muda. Karena tingginya jumlah penduduk yang tidak diimbangi dengan kualitas penduduk hanya akan meninggalkan generasi yang lemah dan menjadi beban masyarakat. Terkait dengan perkawinan usia muda, memang terdapat hadis yang diriwayatkan oleh Hisyam ibn “Urwah, yang sering kali dijadikan dasar/dalil atas kebolehan perkawinan usia muda, yang menceritakan bahwa Aisyah menikah dengan Rasulullah saw pada usia 7 tahun, dan mulai berhubungan badan dengan Rasulullah saw pada usia 9 tahun. Namun demikian, riwayat Hisyam ibn ‘Urwah tidak dapat dijadikan hujjah karena ternyata bertentangan dengan banyak riwayat lainnya. Bahkan, tidak ada alasan untuk menerima riwayat Hisyam ibn ‘Urwah sebagai sahih ketika ulama lain, termasuk Malik bin Anas, memandang riwayat Hisyam ibn ‘Urwah ketika di Iraq, sebagai tidak dapat dipercaya. Riwayat-riwayat dari Tabari, 61
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 59-68
Bukhari, dan Muslim menunjukkan adanya saling kontradiksi antara satu dengan yang lain mengenai umur Aisyah. Lebih dari itu, banyak dari ulama ini yang bertentangan dengan diri mereka dalam riwayat mereka sendiri. Dengan demikian, riwayat tentang umur Aisyah pada saat perkawinan tidak dapat dipercaya karena kontradiksi-kontradiksi yang jelas terlihat dalam karya-karya ulama Islam klasik. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk meyakini bahwa informasi tentang umur Aisyah diterima sebagai benar ketika terdapat cukup alasan untuk menolaknya sebagai mitos. Bahkan, alQuran menolak perkawinan anak-anak perempuan dan laki-laki yang belum matang (dewasa) begitu juga mempercayakan kepada mereka dengan berbagai tanggung jawab.111 3. Wali Nikah Pasal 13 ayat 1 RUU HMPA Bidang Perkawinan menyatakan bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada wali nikah sebagai rukun perkawinan. Dengan demikian, bagi calon mempelai perempuan yang akan melangsungkan perkawinan wajib menggunakan wali nikah. Masalah ketentuan wali nikah ini tentu perlu dikaji kembali, apakah bersifat universal atau temporal, sehingga lebih kontekstual dengan kondisi jaman sekarang. Sebagian besar ulama fikih berpendapat bahwa seorang perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri atau orang lain. Jika dia menikah tanpa wali, maka pernikahannya batal atau tidak sah. Adapun argumentasi yang dikemukakan oleh ulama fikih tersebut, menurut Sayyid Sabiq,112 adalah: 1. Q.S. An-Nur (24): 32113; dan Q.S. Al-Baqarah (2): 221114. Menurut mereka khitab dalam dua ayat tersebut ditujukan kepada laki-laki, bukan perempuan. 2. Hadis Nabi riwayat Abu Musa yang berbunyi “La nikaha illa bi Waliyyin” dan hadis Nabi riwayat ‘Aisyah yang berbunyi ”Ayyuma imraatin nakahat bighairi izdni waliyyiha fanikahuha batil...”. 3. Latar belakang turunnya Q.S. Al-Baqarah (2): 232115. Berdasarkan riwayat Bukhari dari Hasan diceritakan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan kasus Ma’qil Ibn Yasar yang menikahkan saudara perempuannya dengan seorang laki-laki, tetapi kemudian laki-laki tersebut menceraiakannya. Setelah masa ‘iddahnya habis, laki-laki itu datang kembali untuk meminangnya. Namun Ma’qil melarang laki-laki tersebut untuk bersama kembali dengan saudara perempuannya untuk selamanya. Kemudian Allah menurunkan ayat tersebut. 4. Perkawinan itu mempunyai beberapa tujuan, sedangkan perempuan biasanya tunduk kepada perasaannya, karena itu ia tidak pandai memilih, sehingga tidak dapat mencapai tujuan perkawinan. Oleh sebab itu ia tidak boleh melakukan akad nikah secara langsung. Akad nikah harus dilakukan oleh walinya supaya tujuan perkawinan dapat tercapai secara sempurna. Berbeda dengan pendapat mayoritas ulama fikih tersebut, Imam Abu Hanifah dan muridnya Abu Yusuf berpendapat bahwa perempuan dewasa yang berakal sehat memiliki hak melaksanakan
111
112 113
114
115
62
T.O. Shanavas, Was Ayesha A Six-Year-Old Bride? The Ancient Myth Exposed, http://www.iiie.net/index.php?q=node/58. Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah (Beirut : Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1977), II: 125-127. “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak menikah dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberiannya) lagi Maha Mengetahui.” “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan perempuan-perempuan mu’min)sebelum mereka beriman…” “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf….”.
Menuju Hukum Perkawinan Islam Progresif, Muhamad Isna Wahyudi
akad nikah langsung tanpa wali, baik gadis maupun janda, baik menikah dengan laki-laki yang sekufu atau tidak.116 Adapun argumentasi yang diajukan oleh Abu Hanifah dan Abu Yusuf adalah: 1. Q.S. Al- Baqarah (2): 230117; 232; dan 234.118 Dalam ketiga ayat tersebut, akad dinisbahkan kepada perempuan, hal ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki hak melakukan pernikahan secara langsung (tanpa wali). 2. Perempuan bebas melakukan akad jual-beli dan akad-akad lainnya, karena itu ia bebas melakukan akad nikahnya. Karena tidak ada perbedaan hukum antara akad nikah dengan akad-akad lainnya. 3. Hadis-hadis yang mengaitkan sahnya perkawinan dengan ijin wali bersifat khusus, yaitu ketika sang perempuan yang akan menikahkan dirinya itu tidak memenuhi syarat untuk bertindak sendiri, misalnya karena masih belum dewasa atau tidak memiliki akal sehat.119 Meskipun terdapat pendapat yang membolehkan perempuan dewasa dan memiliki akal sehat untuk melakukan pernikahan sendiri, namun pendapat ini bukanlah pendapat yang diterima dan berlaku secara umum di dunia muslim. Di Indonesia, misalnya, dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa wali merupakan salah satu rukun perkawinan, dan tanpa wali perkawinan tidak syah.120 Untuk mengkaji ulang masalah perwalian dalam perkawinan dengan pendekatan hermeneutik, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengkaji praktek perkawinan yang berlaku di Arabia pra-Islam maupun pada awal Islam. Tinjauan sejarah ini penting untuk melakukan pembongkaran (dekonstruksi) terhadap konsep perwalian dalam perkawinan yang berlaku selama ini, yaitu untuk mengetahui epsiteme yang dominan pada saat itu, yang mempengaruhi pembentukan pemikiran hukum Islam tentang wali bagi perempuan dalam perkawinan. Menurut Smith, sebelum pada akhirnya perkawinan ba'al, dengan ayah individual dan anakanak laki-laki megikuti garis keturunan ayah, merupakan satu-satunya jenis hubungan antar jenis kelamin yang dianggap sah pada masa Nabi Muhammad saw., di dalam masyarakat Arabia terdapat dua jenis kekerabatan dan perkawinan, yaitu matrilineal dengan perkawinan sadiqah, dan patrilineal dengan perkawinan ba'al. Kedua jenis perkawinan tersebut tidak hanya mengantarkan kepada hukum kekerabatan yang berbeda tetapi juga mengakibatkan perbedaan-perbedaan yang mendasar dalam posisi perempuan, dan juga dalam keseluruhan struktur hubungan sosial.121 Smith menyebut sebagai jenis perkawinan sadiqah karena di dalam perkawinan tersebut tidak ada subjection (penundukkan satu pihak oleh pihak yang lain), dan sang isteri adalah patner suami dan sang suami adalah patner isteri.122 Secara lebih rinci, perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan jenis perkawinan sadiqah oleh Smith, mencakup dua jenis perkawinan. Pertama adalah jenis 116
117
118
119 120 121
122
As-Sarkhasi, al-Mabsuth (Beirut: Dar al-Ma’rufah, 1409/1989), V: 10. Pendapat Abu Hanifah yang membolehkan perempuan dewasa untuk melakukan akad perkawinannya sendiri sangat di pengaruhi oleh kondisi sosial budaya yang belaku di Kufah pada saat itu. Ketika itu Kufah, sebuah kota di Iraq, menjadi tempat perkemahan militer, sehingga percampuran berbagai kelompok etnis yang berbeda dalam suatu pergaulan yang didominasi oleh orang-orang Persia telah menciptakan sebuah suasana yang kosmopolitan. Akibatnya, adat-istiadat dari suatu masyarakat suku yang bersatu secara dekat menjadi pudar, termasuk dalam hal pengaturan perkawinan yang dianggap dalam masyarakat tradisional suku Arab sebagai hak istimewa anggota keluarga laki-laki. Noel J. Coulson, A History of Islamic Law (Edinburgh: Edinburgh Universty Press, 1964), hlm. 30. “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain….” “…Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut...” As-Sarkhasi, al-Mabsuth, V: 11-12. Sabiq, Fiqh, II: 128-129. KHI pasal 14; 19. W. Robertson Smith, Kinship and Marriage in Early Arabia, new edition, Stanley A. Cook (ed.) (Oosterhout N. B, Netherlands: Anthropological Publications, 1966), hlm. 172. Ibid., hlm. 94. 63
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 59-68
perkawinan dalam mana perempuan tetap bersama sukunya dan memilih serta menolak pasangannya ketika mau, anak-anaknya menjadi milik suku ibunya dan tumbuh di bawah perlindungan mereka. Perkawinan jenis ini disebut oleh Smith dengan perkawinan beena,123 meminjam istilah dari Ceylon, yang digunakan untuk menyebut perkawinan-perkawinan dalam mana sang suami bertempat tinggal di desa istri.124 Kedua, perkawinan mut’ah, dalam mana perkawinan di dasarkan atas persetujuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, tanpa intervensi dari pihak kerabat isteri, yang berlangsung selama suatu batas waktu tertentu, dan perempuan mendapatkan suatu pemberian (hulwan) dari lakilaki. Dalam perkawinan mut’ah perempuan tidak meninggalkan rumahnya, kerabat-kerabatnya tidak memberikan hak-hak yang mereka miliki atasnya, dan anak-anak dari perkawinan itu tidak menjadi milik sang suami.125 Adapun dalam perkawinan ba’al, yang datang kemudian di bawah sistem kekerabatan lakilaki, isteri mengikuti suaminya dan melahirkan anak-anak yang menjadi keturunan suaminya, isteri kehilangan hak untuk secara bebas menceraikan suaminya, suaminya memiliki kewenangan atasnya, dan hanya suaminya yang memiliki hak talak. Dalam perkawinan ini suami disebut, tidak hanya di Arabia, tetapi juga di kalangan orang-orang Yahudi dan Aramaean, tuan atau pemilik perempuan. Smith juga menyebut jenis perkawinan ini dengan perkawinan dominion.126 Perkawinan ba’al pada awalnya dibentuk melalui penangkapan tawanan perempuan dan masih berlaku sampai masa Nabi saw. Kemudian perkawinan melalui penangkapan ini diikuti dengan perkawinan melalui pembelian (dengan pemberian mahar kepada orang tua perempuan oleh peminang), tetapi tipe hubungan perkawinan secara mendasar tidak berubah, dalam mana perempuan tetap di bawah kekuasaan suami.127 Berkaitan dengan praktek perkawinan melalui pembelian/peminangan, perlu diketahui bahwa sebenarnya terdapat perbedaan antara mahar dan sadaq. Yang pertama dibayarkan kepada wali, sedangkan yang kedua kepada pengantin perempuan. Mahar pada masa Arabia pra-Islam dianggap sebagai harga pembelian perempuan. Biasanya wali membelanjakan mahar untuk barang-barang yang diperlukan pengantin perempuan ketika ikut ke rumah suaminya, tetapi kadang-kadang mengambil seluruhnya untuk dirinya sendiri. Selain itu, ayah biasanya mengambil uang mas kawin sebagai tambahan kekayaan baginya.128 Pada masa sebelum Islam, terdapat ungkapan haniyan laka an-nafija, yang biasa digunakan untuk mengucapkan selamat kepada seorang ayah pada saat kelahiran seorang anak perempuan, yang berarti bahwa anak perempuan tersebut diterima dengan senang hati sebagai suatu tambahan bagi kekayaan ayah, karena ketika ayahnya memberikannya di dalam perkawinan, ayahnya dapat menambahkan unta -yang dibayarkan kepadanya sebagai mahar- kepada kelompoknya. Mahar dianggap sebagai kompensasi atas hilangnya pelayanan anak perempuan di rumah ayahnya.129
123
124 125 126 127 128
129
64
Apa yang dimaksudkan oleh Smith dengan perkawinan beena ini menurut penulis adalah perkawinan matrilokal, di mana pasca perkawinan suami tinggal bersama isteri di tempat keluarga isteri. Smith memberikan beberapa bukti yang menunjukkan bahwa jenis perkawinan beena ini pernah berlaku di Arabia. Di antaranya dengan mengutip kitab Agani, yang menyatakan bahwa bahwa kaum perempuan di zaman Jahiliyyah, atau sebagian dari mereka, menceraikan pria, dengan cara jika mereka tinggal di sebuah tenda, mereka memutarnya, sehingga bila pintu tadinya menghadap ke timur menjadi menghadap ke barat, dan ketika laki-laki melihat hal ini, dia tahu bahwa dia dicerai dan tidak masuk. Lihat Ibid., hlm. 80. Ibid., hlm. 86-7. Ibid., hlm. 81-5. Ibid., hlm. 92. Ibid., hlm. 99. Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi & Cici Farha, cet. II (Yogyakarta: LSPPA, 1994), hlm. 52-4. Smith, Kinship, hlm. 96.
Menuju Hukum Perkawinan Islam Progresif, Muhamad Isna Wahyudi
Para kepala dan orang-orang yang memiliki status sosial tinggi di dalam masyarakat Arabia pra-Islam biasa menjual anak-anak perempuan mereka dalam perkawinan.130 Harga yang diminta untuk perempuan (mahar) pada saat itu sering sangat tinggi, sehingga di kalangan orang-orang Badui banyak laki-laki yang tidak mampu menikah dan akhirnya mereka berzina dengan para pelacur.131 Pada masa Nabi Muhammad saw., budaya mahar yang cukup tinggi tersebut diperbaiki dengan mengajarkan kesederhanaan mahar, bahkan walau berupa cincin dari besi. Mahar yang sebelumnya dianggap sebagai harga pembelian bagi seorang perempuan yang dinikahi, kemudian diperbaiki maknanya oleh Islam dengan menyebut kata an-nihlah dalam Q.S. An-Nisa’ (4): 4, yang berarti pemberian yang tidak disertai dengan harapan menerima imbalan apa pun. Pemberian tersebut merupakan bukti rasa cinta dan ikatan kekerabatan serta kasih sayang.132 Pada masa awal Islam, pembayaran dari pihak laki-laki masih tetap berlaku, tetapi hanya kepada calon mempelai saja, tidak lagi kepada ayah atau saudaranya, sehingga mahar dan sadaq menjadi istilah yang dipakai bersama. Namun posisi dan kondisi kehidupan perempuan masih dianggap harta milik suami, yang karena telah merasa membayar, menganggap dirinya mempunyai hak penuh untuk dilayani.133 Jika dicermati secara teliti, konsep perkawinan ba’al dengan pembayaran mahar oleh peminang kepada wali perempuan sebenarnya mengikuti logika jual-beli. Dalam hal ini, wali perempuan sebagai penjual, sang peminang sebagai pembeli, dan sang perempuan sebagai barang yang dijual. Hal ini sangat mungkin dipengaruhi oleh kondisi kehidupan perdagangan yang cukup pesat di Mekkah pada saat itu.134 Konsep perkawinan yang mengikuti logika jual-beli tersebut, kemudian diperbarui oleh Islam dengan memperbaiki makna mahar - yang sebelumnya dianggap sebagai harga pembelian bagi seorang perempuan yang dinikahi, menjadi pemberian yang tidak disertai dengan harapan menerima imbalan apa pun, sebagai bukti rasa cinta dan ikatan kekerabatan serta kasih sayang - dan mengatur pemberian mahar kepada perempuan. Tujuan al-Qur’an dalam hal yang terakhir ini adalah untuk mentransfer istri dari posisi sebagai objek penjualan menjadi seorang pelaku kontrak yang, sebagai ganti karena dia telah memberikan hak untuk berhubungan seksual dengan dirinya, berhak mendapatkan mahar.135 Akan tetapi, spirit al-Qur’an tersebut tampaknya masih sulit untuk ditangkap dengan baik oleh episteme yang berlaku pada saat itu. Akibatnya, konsep perkawinan pada masa awal Islam masih menyesuaikan dengan kultur patriarkal dan norma-norma androsentris yang mendominasi pada saat itu. Dalam pengertian bahwa wali yang menikahkan perempuan tetap ada di dalam konsep perkawinan dan perempuan tidak dapat menikahkan dirinya sendiri, kecuali janda. Meskipun demikian, perlu dipahami, bahwa Islam tentu saja tidak dapat melakukan pembaruan konsep perkawinan secara radikal, melainkan secara bertahap seiring dengan perkembangan episteme yang berlaku pada suatu masa. Karena jika tidak demikian, tentu saja pembaruan Islam akan sulit untuk dapat diterima masyarakat Arabia pada saat itu. Dalam kondisi ketika kaum perempuan belum memiliki hak-hak yang sama dengan kaum laki-laki, perempuan pada saat itu banyak mengalami pembatasan, termasuk untuk memperoleh 130
131 132
133 134
135
Mustafa as-Siba’i, Al-Mar’ah Bayna al-Fiqh wa al-Qanun: Dirasah Syar’iyyah wa Qanuniyyah wa Ijtima’iyyah (t.tp: Maktabah al’Arabiyyah, t.t), hlm. 22. Smith, Kinship, hlm. 151. Muhammad Rasyid Ridha, Panggilan Islam Terhadap Wanita, terj. Afif Mohammad, cet. I (Bandung: Pustaka, 1986), hlm. 16. Reuben Levy, Susunan Masyarakat Islam, terj. H.A. Ludjito, cet. I (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), I: 105. Dalam kondisi kehidupan perdagangan di Mekkah tersebut, muncul kecenderungan individualisme di kalangan penduduk Mekkah dan menjauh dari solidaritas kesukuan. Pada saat yang sama, di Mekkah juga muncul fenomena baru berupa rasa kesatuan berdasarkan kepentingan-kepentingan materiil, yang membuka kesempatan bagi kesatuan yang lebih luas dan menggeser rasa kesatuan berdasarkan ikatan kekerabatan melalui pertalian darah.W. Montgomery Watt, Muhammad at Mecca (Oxford: The Clarendon Press, 1953), hlm. 19. Coulson, A History, hlm. 14. 65
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 59-68
pendidikan maupun berperan di wilayah publik. Situasi yang demikian ini tentu saja mengakibatkan sebagian besar perempuan pada saat itu kurang berpengalaman dan berpendidikan, sehingga kurang cakap apabila melakukan tindakan hukum sendiri. Dalam konteks inilah, perempuan masih membutuhkan perwalian dalam perkawinan, untuk memberikan perlindungan kepada perempuan agar tidak menjadi korban penipuan. Namun, sangat disayangkan, bahwa peran wali yang berlaku temporal ini kemudian cenderung digeneralisir sebagai berlaku universal bagi semua perempuan oleh ulama fikih yang datang kemudian. Akibatnya, dalam membahas konsep perkawinan, ulama fikih masih cenderung menggunakan analogi akad penjualan, dan menggunakan logika hukum penjualan, dalam mana perempuan masih menjadi objek dan bukan subjek dalam akad perkawinan. Bahkan, melalui hak ijbar, seorang wali dapat memaksa anak perempuannya atau perempuan di bawah perwaliannya ke dalam suatu perkawinan tanpa ijinnya. Oleh karena itu, dalam konteks saat ini, ketika sudah terdapat pengakuan akan kedudukan kaum perempuan yang sama dengan kaum laki-laki di masyarakat, selain juga kaum perempuan sudah tidak mendapatkan pembatasan untuk mendapatkan pendidikan maupun berperan di wilayah publik, maka adalah bertentangan dengan jaman (anachronic) dan episteme egalitarianisme saat ini untuk tetap menempatkan perempuan sebagai pihak yang tidak cakap hukum di dalam melakukan akad perkawinan. Spirit al-Qur’an untuk untuk mentransfer perempuan dari posisi sebagai objek dalam perkawinan menjadi seorang pelaku akad perkawinan perlu diangkat kembali, setelah sebelumnya tertimbun oleh tumpukan masa dan episteme yang cenderung patriarkis dan seksis, kemudian diimplementasikan dalam tatanan kehidupan msyarakat saat ini. Oleh karena itu, konsep perwalian dalam perkawinan harus dirubah, sehingga hanya menempatkan wali bagi perempuan ketika calon pengantin perempuan tersebut memang tidak cakap hukum, dan hal ini tentu saja juga berlaku bagi calon pengantin laki-laki ketika memang tidak cakap hukum. 4. Kedudukan anak Pasal 94 ayat 1 RUU HMPA Bidang Perkawinan berbunyi: “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang sah.” Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan tentang anak sah di dalam UU No. 1 Tahun 1974 maupun KHI. Dalam Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Ketentuan ini sama dengan bunyi Pasal 99 huruf (a) KHI, hanya dalam KHI tidak ada kata “sebagai”. Namun demikian, RUU HMPA memberikan ketentuan tambahan yang bersifat restriktif terkait status anak yang lahir dari perkawinan perempuan hamil. Dalam Pasal 96 RUU HMPA disebutkan bahwa dalam hal perkawinan perempuan hamil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dan Pasal 48, maka anak yang lahir dalam waktu kurang dari 180 (seratus delapan puluh hari) hari terhitung sejak akad nikah, hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Pasal 96 RUU HMPA ini tentu saja bertentangan dengan ketentuan Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 99 huruf (a) KHI yang mencakup anak yang lahir dari perkawinan perempuan hamil sebagai anak sah, yang memiliki hubungan nasab dengan bapak dan ibunya, selama anak itu dilahirkan dalam atau (sebagai) akibat perkawinan yang sah, tanpa ada batas waktu minimal kelahiran anak tersebut terhitung sejak akad nikah. Selain itu, Pasal 96 RUU HMPA justru menghilangkan tujuan perlindungan terhadap status anak yang masih dalam kandungan dengan dibolehkannya kawin hamil. Secara sosiologis, perkawinan perempuan hamil memiliki dua manfaat, yaitu, pertama untuk menutupi aib perempuan hamil di luar nikah dan keluarganya di masyarakat, dan kedua untuk melindungi status hukum anak yang masih dalam kandungan. Apalah artinya kawin hamil dibolehkan jika tidak serta merta dalam rangka memberikan perlindungan terhadap status anak yang masih dalam kandungan sehingga memiliki hubungan nasab dengan bapak dan ibunya. Hal ini tentu saja bertentangan dengan 66
Menuju Hukum Perkawinan Islam Progresif, Muhamad Isna Wahyudi
Pasal 3 UU No. 23 Tahun 2002, yang berbunyi: “Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.” Dalam fikih, ada cara untuk menghubungkan garis keturunan seseorang. Dalam hal, terdapat anak yang tidak memiliki orangtua yang pasti, sebagai laqith atau anak temuan, seseorang - yang menemukan dan mengakuinya sebagai anak – dapat meminta kepada hakim untuk menghubungkan nasab anak temuan tersebut kepadanya, atau biasa dikenal dengan istilhaq. Tentu saja, hal itu bisa dilakukan jika tidak ada keberatan dan sangkalan dari pihak lain. Berdasarkan argumentum a fortiori atau al-mafhum al-muwafaqah, jika anak yang tidak memiliki nasab yang jelas saja dapat dinasabkan kepada orang yang mengakuinya melalui istilhaq, maka anak yang jelas bapak biologisnya juga dapat dinasabkan kepada bapak biologisnya. Terlebih jika anak itu dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah. Hal ini tidak lain adalah dalam rangka perlindungan terhadap anak. Selain itu, terdapat sebuah hadis dari Aisyah yang menyatakan bahwa anak dihubungkan nasabnya kepada suami ibu yang melahirkan (al-waladu lil-firasy), terlepas dari siapa bapak biologis anak yang dilahirkan itu. Hadis tersebut dilatarbelakangi oleh perselisihan yang terjadi antara Sa’ad bin Abi Waqas dengan Abdullah bin Zam’ah mengenai status seorang anak kecil. Sa’ad berkata: “Ya Rasulullah ini anak saudara saya ‘Utbah bin Abi Waqas, ia menetapkan kepada saya bahwa anak ini adalah anaknya.” Abdullah bin Zam’ah berkata: “Ini saudara saya Ya Rasulullah, dilahirkan di atas ranjang milik ayah saya dari ibunya, kemudian Rasulullah saw mengamati dan melihat kemiripan yang nyata dengan ‘Utbah, kemudian Rasulullah berkata: “Anak itu saudaramu Abdullah, anak itu milik suami dari ibu yang melahirkan, dan bagi pezina ada halangan atas anak yang diklaimnya.”136 Jika demikian, maka ketentuan Pasal 96 RUU HMPA justru bertentangan hadis tersebut dalam hal status anak akibat perkawinan perempuan hamil. C. Kesimpulan Demikianlah telaah kritis terhadap beberapa ketentuan RUU HMPA Bidang Perkawinan. Ketentuan mengenai rukun perkawinan seharusnya memasukkan pencatatan perkawinan sebagai salah satu rukun sehingga lebih mampu memberikan perlindungan hukum yang pasti terhadap hubungan perkawinan dan berbagai akibat hukum yang timbul dari perkawinan. Ketentuan usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan harus dirumuskan ulang dengan mempertimbangkan kesehatan reproduksi perempuan, tingkat pendidikan perempuan, dan tingkat pertumbuhan penduduk. Ketentuan mengenai wali nikah sudah sepatutnya untuk tidak dijadikan sebagai salah satu rukun perkawinan. Ketentuan mengenai kedudukan anak harus mengutamakan perlindungan anak, sehingga tidak perlu ada batasan minimal enam bulan kelahiran sejak akad dalam hal perkawinan perempuan hamil.
Daftar Pustaka As-Sarkhasi, al-Mabsuth, Beirut: Dar al-Ma’rufah, 1409/1989. As-Siba’i, Mustafa, Al-Mar’ah Bayna al-Fiqh wa al-Qanun: Dirasah Syar’iyyah wa Qanuniyyah wa Ijtima’iyyah, t.tp: Maktabah al’Arabiyyah, t.t. Bukhari, Shahih Bukhari, jilid VIII. Coulson, Noel J., A History of Islamic Law, Edinburgh: Edinburgh Universty Press, 1964.
136
Bukhari, Shahih Bukhari, Kitab Fara’id, Bab Man Idda’a Akhan Au Ibn Akhin, Hadis nomor: 6765, VIII: 15. 67
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 59-68
Engineer, Asghar Ali, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi & Cici Farha, cet. II, Yogyakarta: LSPPA, 1994. Levy, Ruben, Susunan Masyarakat Islam, terj. H.A. Ludjito, cet. I, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986, 2 Jilid. Rais, Isnawati, Perjalanan Perumusan Kebijakan Hukum Keluarga Di Indonesia Perspektif Teologi (Studi Tentang Hukum Keluarga Dalam Islam). Makalah disampaikan dalam acara Konsultasi Nasional Hukum Keluarga Islam di Indonesia, diselenggarakan oleh Komnas Perempuan Indonesia pada tgtl 3-4 Februari 2009 di Hotel Harris Jln Saharjo 191 Jakarta. Ridha, Muhammad Rasyid, Panggilan Islam Terhadap Wanita, terj. Afif Mohammad, cet. I, Bandung: Pustaka, 1986. Sabiq, Sayyid, Fiqh as-Sunnah, Beirut : Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1977, 3 Juz. Shanavas, T.O., Was Ayesha A Six-Year-Old Bride? The Ancient Myth Exposed, http://www.iiie.net/index.php?q=node/58. Smith, W. Robertson, Kinship and Marriage in Early Arabia, new edition, Stanley A. Cook (ed.), Oosterhout N. B, Netherlands: Anthropological Publications, 1966. Wahid, Marzuki, Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) Dalam Perspektif Politik Hukum di Indonesia, http://ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/ern-vi-03.pdf. UU No. 1 Tahun 1974 UU No. 23 Tahun 2002 Kompilasi Hukum Islam. RUU HMPA Bidang Perkawinan
68
ASAS KEPASTIAN HUKUM DAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK SEBAGAI PERTIMBANGAN UTAMA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH
(Kajian Yuridis Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012) Edi Hudiata* Pengadilan Agama Marabahan Jl. Jend. Sudirman Komplek Perkantoran Marabahan, Kab. Barito Kuala, Kalimantan Selatan
[email protected]
Abstrak Sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 93/PUU-X/2012 yang diucapkan pada hari Kamis tanggal 29 Agustus 2013, perihal uji materil Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, maka tidak ada lagi dualisme penyelesaian sengketa. Putusan itu sekaligus juga menguatkan kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Dalam pertimbangan majelis hakim MKtersebut, kesembilan hakim MK sepakat menyatakan bahwa pasal 55 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 yang merupakan norma induk (ideal norm) tidak mengandung permasalahan konstitusional. Permasalahan konstitusional itu justeru ada pada penjelasan pasal 55 ayat (2) Undang-Undang tersebut. Munculnya putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 yang substansinya menyatakan bahwa penjelasan pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, pada dasarnya tidak melanggar asas kebebasan berkontrak yang lazim dilakukan dalam hukum perjanjian. Para pihak diperbolehkan membuat suatu perjanjian penyelesaian sengketa di luar pengadilan agama sebagaimana ketentuan dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Kata kunci: penyelesaian sengketa, kepastian hukum, dan asas kebebasan berkontrak Abstract Since the verdict of the Constitutional Court (MK) Number 93/PUU-X/2012 pronounced on Thursday, August 29, 2013, concerning the judicial review of Law No. 21 of 2008 on Islamic Banking, it is no longer dualism dispute resolution. The verdict as well as strengthen the jurisdiction of Religious Court to resolve Islamic banking disputes. In consideration of the judges, judges agreed stating that Article 55 paragraph (2) and (3) of Law No. 21 of 2008 which is an ideal norm, contains no constitutional problems. The problem is the explanation of the constitutional article 55 paragraph (2) of the Act. The emergence of the Constitutional Court verdict No. 93/PUU-X/2012 which substantially states that the explanation of Article 55 paragraph (2) of Law No. 21 of 2008 does not have binding force, basically does not violate the principle of freedom of contract which is common in contract law. The parties are allowed to make a dispute resolution agreement out of religious court based on provisions as Act No. 30 of 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution. Key words: dispute resolution, legal certainty and the principle of freedom of contract
69
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 69-84
A. I.
Pendahuluan Latar Belakang Lima tahun pasca pengesahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UUPS) tanggal 6 Juli 2008, perbankan syariah di Indonesia mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan, bahkan melebihi pertumbuhan perbankan syariah di negara Malaysia. Sampai kuartal I 2013, total aset perbankan syariah mencapai Rp200 triliun137. Jika diprosentasekan maka aset bank syariah tumbuh sampai 47,21 persen, sementara untuk pembiayaan (finance) tumbuh sampai 48,81 persen dan dana pihak ketiga (DPK) sampai 50 persen138. Pertumbuhan perbankan syariah ini menjadi titik tolok Presiden Republik Indonesia untuk melaunching Gerakan Ekonomi Syariah (Gres!) di Monas, Jakarta, pada Minggu (17/11/2013). Yang perlu digaris bawahi dengan adanya Gres! ini adalah: bahwa perbankan syariah tumbuh dan berkembang dari gerakan bawah kemudian sampai para pucuk pimpinan (bottom up), bukan dari pimpinan kemudian menjadi pergerakan di bawah (top down). Gres! ini diharapkan Presiden dapat memperkuat ekonomi Indonesia. Hal ini disampaikan oleh pakar ekonomi syariah, Adiwarman A Karim, saat menyampaikan materi dalam diskusi hukum bertemakan “Perkembangan Ekonomi Syariah dan Kemungkinan Penyelesaian Sengketa” di Direktorat Badan Peradilan Agama (Badilag), Jakarta (3/12/2013)139. Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo, mengklaim pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia lebih cepat dibandingkan negara lain, khususnya Malaysia. Perbankan syariah Indonesia bertumbuh hingga 40% dalam kurun waktu 5 tahun terakhir140. Dengan angka sedemikian itu, perbankan syariah dinilai unggul dalam hal pembiayaan dibanding perbankan konvensional, karena Financing to Deposit Ratio (FDR) bank syariah sering di atas 100 persen. FDR adalah rasio antara dana yang disalurkan kepada masyarakat dibanding dana yang dihimpun dari masyarakat dalam bentuk deposito dan tabungan. Oleh karena pertumbuhannya yang pesat tersebut, tidak menutup kemungkinan akan adanya sengketa perbankan syariah, meskipun sejak dini sudah diantisipasi bahkan tidak diinginkan oleh setiap pelaku bisnis perbankan syariah. Ketentuan tentang penyelesaian sengketa perbankan syariah telah ditetapkan dalam Bab IX tentang Penyelesaian Sengketa Pasal 55 ayat (1), (2) dan (3) UU Perbankan Syariah sebagai berikut: (1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. (2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad. (3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah. Dalam penjelasan Pasal 55 ayat (2) disebutkan bahwa: Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut: Hakim Pengadilan Agama Marabahan Wilayah PTA Banjarmasin. Tim Redaktur Majalah Peradilan Agama Badilag. Menulis di beberapa media seperti : The Jakarta Post, Jurnal Nasional, Republika, Banjarmasin Pos, Radar Banten, Fajar Banten, Varia Peradilan, dll. 137 http://www.investor.co.id/home/bi-aset-perbankan-syariah-rp200-triliun/61869 138 http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-ekonomi/13/01/30/mhfcf0-wow-bank-syariah-salip-bankkonvensional 139 Lebih lengkap lihat Majalah Peradilan Agama Edisi III Desember 2013 – Februari 2014 dapat diunduh secara gratis di www.badilag.net, Penulis menjadi salah satu redaktur Majalah Peradilan Agama dan peserta dalam Diskusi Hukum yang diselenggarakan oleh Direktorat Badan Peradilan Agama (Badilag) pada tanggal 3 Desember 2013 di Jakarta. 140 http://bisnis.liputan6.com/read/748263/pertumbuhan-bank-syariah-ri-salip-malaysia 70
Kepastian Hukum dan Kebebasan Berkontrak Dalam Sengketa Perbankan Syariah, Edi Hudiata
a. b. c. d.
musyawarah; mediasi perbankan; melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Penjelasan pasal 55 ayat (2) ini menjadi polemik baik bagi para akademisi maupun bagi praktisi perbankan syariah seputar kewenangan menyelesaikan sengketa perbankan syariah, karena di dalamnya ada dualisme lembaga litigasi yang ditunjuk yaitu Pengadilan Agama (Pasal 55 ayat (1)) dan Pengadilan Negeri (Penjelasan Pasal 55 ayat (2)). Namun, sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 93/PUU-X/2012 yang diucapkan pada hari Kamis tanggal 29 Agustus 2013, perihal uji materil Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, maka tidak ada lagi dualisme penyelesaian sengketa, putusan itu sekaligus juga menguatkan kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Dalam pertimbangan majelis hakim MKtersebut, dapat ditemukan adanya kesepakatan bahwa pasal 55 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008, tidak mengandung permasalahan konstitusional. Yang menjadi masalah konstitusional adalah penjelasan pasal 55 ayat (2) UndangUndang tersebut. Ada hal menarik dari pertimbangan hukum yang ditulis dalam putusan tersebut yaitu adanya perbedaan pendapat (concurring opinion) oleh Hamdan Zulva dan Ahmad Fadlil Sumadi. Selain itu, juga ada perbedaan alasan (dissenting oppinion) oleh Muhammad Alim. Makalah ini akan membahas tentang pertimbangan hukum yang diimplementasikan dalam putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 sehingga menyatakan bahwa penjelasan pasal 55 ayat (2) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Selain itu, juga akan membahas adanya kesesuaian putusan MK dengan asas kebebasan berkontrak. II.
Rumusan Masalah Dari latar belakang tersebut, rumusan masalah yang akan dikaji adalah: Pertimbangan hukum apa yang diimplementasikan dalam putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 sehingga menyatakan bahwa penjelasan pasal 55 ayat (2) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat? Apakah Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang lazim diterapkan dalam hukum perikatan?
1.
2.
III.
141
142
Metode Penelitian 1. Jenis dan Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif yaitu suatu jenis penelitian yang lazim dilakukan dalam kegiatan pengembanan ilmu hukum yang di Barat biasa juga dinamakan Dogmatika Hukum (Rechsdogmatiek).141 Fokus kajian hukum normatif adalah inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum dalam perkaran in concreto, sistematik hukum, taraf sinkronisasi hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum. 142 Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
Bernard Arief Sidharta, “Penelitian Hukum Normatif”. Artikel dalam Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi. Ed. Sulistyowati Irianto dan Shidarta. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), Hal. 142. Bambang Sunggono. 1997. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Hal. 83-102. Sebagaimana dikutip oleh Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Hal. 52. 71
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 69-84
2.
Bahan Hukum Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif yang terdiri dari peraturan perundang-undangan dan putusan hakim. Sedangkan bahan hukum sekunder adalah semua publikasi yang bukan merupakan dokumen resmi seperti buku teks, jurnal ilmiah dan lain-lain.143 Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan adalah: a. Undang-Undang RI Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah b. Undang-Undang RI Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama c. Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 d. Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Sedangkan bahan hukum sekundernya adalah berupa buku-buku teks yang merupakan tulisan para pakar di bidang hukum perbankan, hukum perjanjian, hukum acara konstitusi. B. i. 1.
Pembahasan Pertimbangan Hukum Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 Latar Belakang Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 Salah satu substansi penting dalam perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada tanggal 9 November 2001 adalah munculnya klausul bahwa puncak kekuasaan kehakiman di Indonesia berpucuk pada 2 (dua) lembaga, yaitu: Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Dalam ketentuan Pasal 24C ayat (1), Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan Pasal 29 ayat (1) huruf a UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Penelitian ini akan mengulas seputar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 93/PUUX/2012 tanggal 9 Oktober 2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Permohonan pengujian ini diajukan oleh Ir. H. Dadang Achmad selaku Direktur CV Benua Enginering Consultant melalui Kuasa Hukumnya Rudi Hernawan SH dan E. Sophan Irawan SMHK, para advokat pada Kantor Advokat Rudi Irawan & Rekan yang beralamat di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Permasalahan yang diajukan berawal dari status Pemohon sebagai nasabah Bank Muamalat Indonesia Cabang Bogor dan merasa dirugikan oleh berlakunya UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yaitu Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) yang mengatur tentang penyelesaian sengketa yang bertentangan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (1). Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah berbunyi sebagai berikut: (2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.
143
72
Peter Mahmud Marzuki. 2009. Penelitian Hukum. Cet 5. Jakarta: Kencana. Hal.141.
Kepastian Hukum dan Kebebasan Berkontrak Dalam Sengketa Perbankan Syariah, Edi Hudiata
(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah. Sementara bunyi Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 adalah: “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Pemohon melihat adanya kontradiktif dalam Pasal 55 UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yaitu antara Pasal 55 ayat (1) dengan Pasal 55 ayat (2) dan ayat (2). Lahirnya kontradiktif tersebut terlihat jelas karena di satu sisi (Pasal 55 ayat (1)) secara tegas menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan di Pengadilan Agama, sementara di sisi lain (Pasal 55 ayat (2)) membebaskan para pihak untuk memilih akan dilaksanakan di lingkungan peradilan mana jika terjadi sengketa. Pasal 55 ayat (2) tersebut bisa diasumsikan para pihak boleh memilih apakah mau di lingkungan Peradilan Agama, atau di Peradilan Umum, bahkan di lingkungan peradilan lain pun diberi keleluasaan oleh Pasal 55 ayat (2) tersebut selama tercantum dalam akad. Oleh sebab itu, terhadap adanya kontradiktif tersebut lahirlah penafsiran sendiri-sendiri sehingga makna kepastian hukum menjadi tidak ada. Atas permohonannya tersebut, Pemohon meminta amar putusan sebagai berikut: 1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon 2. Menyatakan bahwa materi muatan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 3. Menyatakan bahwa materi muatan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 55 Undang-UndangNomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat 4. Memerintahkan putusan ini diumumkan melalui lembaran negara 5. Menyerahkan keputusan ini kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi sesuai ketentuan yang berlaku 2.
Kepastian Hukum dalam Pertimbangan Mahkamah Konstitusi Sepanjang persidangan pengujian UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah terhadap Undang-Undang Dasar 1945, majelis hakim menghimpun beberapa pemahaman seputar polemik kepastian hukum. Tidak adanya kepastian hukum dalam Pasal 55 ayat (2) menjadi isu hukum utama yang didalami oleh majelis hakim. Pihak Pemohon menghadirkan dua orang ahli yaitu DR. Ija Suntana dan Prof. DR. H. Dedi Ismetullah, SH., dan satu orang saksi Muhammad Ikbal. Menurut Dr. Ija Suntana144: “Pasal yang diajukan pengujian itu dalam istilah hukum Islam akan menimbulkan ta’arudh al-adillah (pertentangan dua aturan), hal itu akan terjadi jika Pasal 55 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Perbankan Syariah masih tetap ada. Kedua pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945”. Selain masalah ketidakpastian hukum, ahli juga menyebutkan ada kemungkinan timbul chaos disebabkan adanya pilihan forum penyelesaian sengketa dan diberikannya kebebasan untuk memilih dan tidak ditunjuk langsung oleh Undang-Undang. Perihal choice of forum yang diberikan dalam pasal tersebut, Dr. Ija Suntana menyatakan bahwa: “Menurut teori hukum, ketika non muslim masuk kepada perbankan syariah, maka dengan sendirinya telah melakukan choice of law (pilihan hukum) dalam hal ini adalah hukum syariah yang diterapkan dalam perbankan syariah”145. 144 145
Lihat putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 Lihat putusan Nomor 93/PUU-X/2012 73
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 69-84
Konsekuensi atas pilihan hukum tersebut, maka secara langsung menundukkan diri pada aturan dan asas yang ada di lembaga yang dimasuki, yaitu yang terkait dengan syariah yang meliputi asas, aturan, dan penyelesaian sengketa. Sementara ahli kedua Pemohon bernama Prof. Dr. H. Dedi Ismatullah146, SH., menyampaikan pandangannya sebagai berikut: “Pasal 55 ayat (2) dan (3) tidak rasional karena bertentangan dengan ayat (1). Merujuk pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Negara Indonesia adalah negara hukum yang di dalamnya ada dua pengertian yaitu supreme of law dan equality before the law. Penafsiran terhadap supreme of law itu sendiri adalah kepastian hukum.” Selanjutnya keterangan saksi Muhammad Ikbal147, menyatakan Bank Muamalat tidak melaksanakan ketentuan penyelesaian sengketa yang terdapat dalam UU Perbankan Syariah. Menurutnya: “Adanya penyelesaian sengketa perbankan melalui pengadilan dalam lingkungan pengadilan umum, dikategorikan sebagai choice of forum dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah di luar pengadilan. Hal ini menunjukkan terjadian kerancuan logika hukum dari pembentuk Undang-Undang Perbankan Syariah”.148 Dari beberapa istilah yang disampaikan oleh pemohon beserta ahli dan saksi seperti “ta’arud al-adillah”, “tidak rasional” dan “kerancuan logika hukum”, semuanya merupakan suatu perisitilahan yang berarti tidak adanya kepastian hukum dalam UU Perbankan Syariah. Pendapat berbeda disampaikan perwakilan pemerintah149 yang menyebutkan ketentuan mengenai penyelesaian sengketa perbankan syariah merupakan bagian dari asas kebebasan berkontrak. Pemerintah berdalih ketentuan ini sesuai dengan syariah Islam yang memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk melakukan akad sesuai keinginan para pihak sepanjang sesuai dengan prinsip syariah. Dengan demikian, pemerintah menyimpulkan bahwa: “UU Perbankan Syariah sangat menghargai perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam pemilihan forum penyelesaian sengketa. Selain itu, ketentuan tersebut juga dapat lebih mendorong masyarakat umum untuk menggunakan jasa perbankan syariah. oleh karena itu, UU Perbankan Syariahtelah memberikan kepastian hukum dan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.” Pendapat senada dengan Pemerintah juga disampaikan oleh perwakilan DPR150. Menurutnya: “Ketentuan pasal yang diajukan pengujian tersebut telah memberikan kepastian hukum, karena pada dasarnya yang berwenang menyelesaikan sengketa secara litigasi adalah lembaga perdilan di bawah Mahkamah Agung”. Untuk mendapatkan keyakinan, Mahkamah mengundang ahli untuk menjelaskan terkait penyelesaian sengketa perbankan syariah yaitu Dr. Muhammad Syafii Antonio, M.Ec151. Dalam keterangannya tanggal 23 Januari 2013, ahli menyebutkan permasalahan yang terjadi pada Pemohon harus diambil dua langkah untuk menghilangkannya: Pertama: ketika terjadi perjanjian harus dijelaskan betul lembaga apa yang menjadi opsi dispute settlement. Kedua: jika yang disepakati adalah pengadilan agama, maka jika masih dibuka peluang untuk pergi ke pengadilan umum, akan membuat konflik antara peradilan agama dan peradilan 146 147 148
149
150 151
74
Lihat putusan Nomor 93/PUU-X/2012 Ibid. Rahmadi Usman, Prinsip Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah, dalam Jurnal Legitimasi Vol. 1, Nomor 1, November 2012, hal.5. Sebagaimana hukum acara yang berlaku di MK, bahwa para pihak dalam Uji Materil UU terhadap UUD 1945 adalah: pemohon, termohon dari pemerintah dan DPR. Lihat Putusan Nomor 93/PUU-X/2013 Lebih lengkap lihat putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012, ahli yang didatangkan oleh MK pada dasarnya menyatakan Pasal 55 ayat 2 merupakan pasal yang mengundang kerancuan sehingga berpotensi menimbulkan polemik antara pengadilan agama dan pengadilan umum.
Kepastian Hukum dan Kebebasan Berkontrak Dalam Sengketa Perbankan Syariah, Edi Hudiata
umum. Dan menurut ahli, lebih baik huruf (d) tersebut dicabut, agar clear dan tidak terulang masalah ini di kemudian hari.”152 Berbagai pandangan seputar polemik tidak adanya kepastian hukum dalam Pasal 55 ayat (2) dan (3) UU Perbankan Syariah di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat dua pendapat berbeda yang masing-masing bersikeras mempertahankan pendapatnya dengan alasannya masing-masing. Pendapat pertama, yang disampaikan oleh Pemohon, ahli Pemohon, saksi Pemohon dan bahkan ahli yang dihadirkan oleh Mahkamah Konstitusi, bahwa ketentuan Pasal 55 ayat (2) bertentangan dengan Pasal 55 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga mengakibatkan tidak ada adanya kepastian hukum dalam UU Perbankan Syariah tersebut. Pendapat kedua, sebagaimana disampaikan oleh perwakilan Pemerintah dan perwakilan DPR, bahwa ketentuan ketentuan Pasal 55 ayat (2) diadakan dengan merujuk kepada asas kebebasan berkontrak, dengan demikian berarti menghormati kedua pihak untuk menentukan pilihan forum. Oleh karenanya, ketentuan pasal tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan dengan demikian memiliki kepastian hukum. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 93/PUU-X/2012 menyampaikan pertimbangan hukum melalui pendapatnya dalam 4 halaman (35-38). MK menilai ada beberapa poin yang menjadi perhatian Mahkamah Konstitusi, yaitu: pertama: timbulnya sengketa dalam perbankan syariah disebabkan adanya salah satu pihak yang merasa tidak puas atau merasa dirugikan. Jika terjadi permasalahan, maka sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Perbankan Syariah telah memberikan tugas dan kewenangan kepada pengadilan di lingkungan peradilan agama, hal ini juga diatur dalam Pasal 49 huruf (i) UU Peradilan Agama. Kedua, Secara sistematis, penyelesaian sengketa perbankan syariah menurut Mahkamah Konstitusi yang menjadi pilihan pertama adalah pengadilan agama, dan pilihan keduanya adalah sesuai akad. Ketiga, adanya ketentuan sesuai akad harus tertera secara jelas dalam akad perjanjian. Para pihak bersepakat untuk memilih salah satu forum hukum dalam menyelesaikan sengketa bilamana para pihak tidak ingin menyelesaikannya melalui pengadilan agama. Namun, persoalannya muncul jika dalam akad tersebut tidak tertera secara jelas forum hukum apa yang dipilih. Perihal penyelesaian sesuai akad, Majelis hakim berpendapat: “Sebagaimana ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, akad (perjanjian) merupakan Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya, namun suatu akad tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, terlebih lagi Undang-Undang yang telah menetapkan adanya kekuasaan mutlak bagi suatu badan peradilan yang mengikat para pihak yang melakukan perjanjian. Oleh sebab itu, kejelasan dalam penyusunan perjanjian merupakan suatu keharusan. Para pihak seharusnya secara jelas menyebutkan salah satu forum hukum yang dipilih bilamana terjadi sengketa.”153 Asas kebebasan berkontrak dalam suatu perjanjian perbankan syariah, boleh saja diterapkan. Akan tetapi, kebebasan berkontrak tersebut harus patuh dan tidak boleh melanggar ketentuan UndangUndang, di antaranya ketentuan berkaitan dengan penyelesaian sengketa. Keempat, pilihan forum hukum sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah, dalam beberapa kasus konkret telah membuka ruang adanya pilihan forum penyelesaian dan menimbulkan adanya persoalan konstitusionalitas. Pada akhirnya dapat memunculkan ketidakpastian hukum yang dapat menyebabkan kerugian bukan hanya bagi nasabah tetapi juga pihak Unit Usaha Syariah.
152 153
Lihat putusan Nomor 93/PUU-X/2012 Lihat putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 75
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 69-84
Terhadap poin keempat ini, Mahkamah menilai bahwa: “ketentuan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang a quo tidak memberi kepastian hukum.”154 Selanjutnya, Mahkamah memberikan pandangan sebagai berikut: “Berdasarkan kenyataan yang demikian, walaupun Mahkamah tidak mengadili perkara konkrit, telah cukup bukti bahwa ketentuan Penjelasan pasal a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan hilangnya hak konstitusional nasabah untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah.” Atas kesimpulan tersebut, Mahkamah Konstitusi memberikan putusan dalam Nomor 93/PUUX/2012 yang amar sebagai berikut: MENGADILI Menyatakan: 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; 1.1 Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 1.2 Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; 3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya. Ada hal menarik dari putusan MK ini, yaitu adanya perbedaan pendapat (concurring opinion) yang diajukan oleh Hamdan Zulva dan Ahmad Falil Sumadi. Selain itu, juga ada perbedaan alasan (dissenting oppinion) yang diajukan oleh Muhammad Alim. 3.
Concurring Opinion dan Dissenting Oppinion dalam Putusan MK Adanya ketentuan mengenai concurring opinion dan dissenting opinion bersumber dari Pasal 14 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni: (1) Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia; (2) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan; (3) Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakatbulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan; (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung. Berdasarkan ketentuan dalam pasal 14 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU Kekuasaan Kehakiman tersebut, menunjukkan bahwa hakim di Indonesia dapat memungkinkan untuk menyampaikan pendapatnya yang berbeda dan dimuat dalam putusan. Perbedaan pendapat dapat disebut concurring opinion jika terjadi mufakat bulat dalam permusyawaratan hakim untuk amar putusan tetapi ada hakim yang mempunyai pendapat berbeda dengan pendapat mayoritas pada mufakat bulat tersebut. Jadi, intinya adalah amar putusannya disepakati, namun alasannya berbeda.
154
76
Lihat putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012
Kepastian Hukum dan Kebebasan Berkontrak Dalam Sengketa Perbankan Syariah, Edi Hudiata
Terkait dengan putusan MK yang sedang dibahas ini, Hamdan Zoelva dan Ahmad Fadhil Sumadi memiliki alasan berbeda (concurring opinion) dalam putusan ini. Menurut Hamdan Zoelva, persoalan konstitusional utama yang dipermasalahkan oleh Pemohon adalah adanya ketidakpastian hukum mengenai forum penyelesaian sengketa perbankan syariah berdasarkan ketentuan Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU Perbankan Syariah. Di satu sisi, UU Perbankan Syariah menetapkan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama sebagai forum penyelesaian sengketa perbankan syariah. Namun di sisi lain, UU tersebut juga memungkinkan penyelesaian sengketa di luar Pengadilan Agama sesuai isi akad yang diperjanjikan para pihak, yaitu antara lain penyelesaian melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Hamdan Zoelva menginventarisir dua aspek yang harus dipertimbangkan. Pertama, kewenangan absolut pengadilan agama. Kedua, penyelesaian sengketa perbankan syariah di luar pengadilan agama sesuai dengan isi akad yang diperjanjikan para pihak. Terkait pertimbangan mengenai kewenangan absolut pengadilan agama, Hamdan Zoelva menyebutkan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung dibagi dan dipisahkan berdasarkan kompetensi atau yurisdiksi (separation court system based on jurisdiction) masing-masing badan peradilan yaitu lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara. Peradilan Agama berdasarkan Pasal 49 huruf i Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ekonomi syariah. Selanjutnya, pengaturan tentang kewenangan absolut pengadilan agama untuk menangani perkara ekonomi syariah khususnya bidang perbankan syariah juga dinyatakan secara tegas dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Perbankan Syariah. Dengan demikian, kewenangan untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa perbankan syariah merupakan kewenangan absolut dari pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama yang tidak dapat diselesaikan oleh peradilan lain karena akan melanggar prinsip yurisdiksi absolut. Pertimbangan kedua mengenai penyelesaian di luar pengadilan negara, baik melalui arbitrase maupun melalui alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana ketentuan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Hal itu dapat dilakukan melalui perjanjian atau kesepakatan/akad tertulis yang disepakati para pihak, baik sebelum terjadinya sengketa (pactum de compromittendo) maupun setelah terjadinya sengketa dimaksud (akta kompromi) sesuai dengan prinsip pacta sunt servanda. Pilihan penyelesaian sengketa perbankan syariah sesuai isi perjanjian atau akad oleh para pihak di luar Pengadilan Agama hanya dapat dilakukan melalui penyelesaian arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Dengan demikian menurut Hamdan Zoelva: “Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Perbankan Syariah yang memungkinkan penyelesaian sengketa melalui peradilan umum menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan prinsip konstitusi yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.” SementaraAhmad Fadhil Sumadi dalam concurring opinion-nya, berpendapat bahwa ketika seseorang telah menentukan suatu pilihan, terutama yang terkait dengan pilihan sistem seperti perbankan, maka pilihan tersebut mengandung pula suatu pilihan terhadap subsistem yang terdapat di dalamnya. Manakala telah dipilih penggunaan jasa perbankan syariah maka konsekuensi pilihan substansi hukum yang mengaturnya adalah hukum berdasarkan prinsip syariah dan forum untuk menyelesaikannya secara litigasi adalah pengadilan dalam lingkungan peradilan agama dan untuk 77
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 69-84
menyelesaikannya secara non-litigasi adalah forum penyelesaian sengketa alternatif berdasarkan hukum syariah. Untuk menyelesaikan berdasarkan litigasi dalam sengketa perbankan syariah Pasal 55 ayat (1) menentukan menjadi kewenangan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Sesuai ketentuan Pasal 49 dan Penjelasannya dari UU Peradilan Agama sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan di atas. Sementara untuk penyelesaian berdasarkan non-litigasi Pasal 55 ayat (2) menentukan dilakukan berdasarkan akad. Apa yang dimaksud dengan “sesuai akad” dalam Pasal 1 UU Perbankan Syariah adalah suatu kesepakatan tertulis antara Bank Syariah (BS) atau Unit Usaha Syariah (UUS) dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah. Mengenai permasalahan bentuk penyelesaian non-litigasi, Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal 55 ayat (2), telah menentukan norma yang membatasi bentuk-bentuk penyelesaian non-litigasi dalam sengketa perbankan syariah dengan menentukan bentuk-bentuknya secara limitatif. Padahal bentuk penyelesaian non-litigasi tidak hanya meliputi empat bentuk tersebut. Sampai sejauh ini, menurut Ahmad Fadhil Sumadi, ketentuan yang terdapat pada ayat (2) tersebut tidak menjadi permasalahan konstitusional. Permasalahan konstitusional terjadi ketika Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal 55 ayat (2), yang selain membatasi bentuk-bentuk penyelesaian non-litigasi yang dapat dipilih sebagaimana dipertimbangkan di atas, juga telah membentuk norma baru yang bertentangan dengan pasal dan ayat yang dijelaskan. Dengan demikian, permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah tidak beralasan menurut hukum, sedangkan Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah menimbulkan permasalahan konstitusional yaitu bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Meskipun penjelasan dimaksud tidak dimohonkan dalam petitum permohonan, melainkan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah dijadikan dasar posita permohonannya, namun karena substansi Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah merupakan sumber permasalahan konstitusional terhadap Pasal 55 UU Perbankan Syariah maka Mahkamah harus memberikan putusan terhadap penjelasan dimaksud dalam rangka memberikan solusi konstitusional dalam penyelesaian sengketa hukum perbankan syariah; Selain concurring opinion dari dua hakim tersebut di atas, ada pula dissenting opinion atau pendapat berbeda dari hakim Muhammad Alim. Dissenting opinion merupakan tidak adanya kata mufakat bulat dalam permusyawaratan hakim, dan putusan ditempuh dengan suara terbanyak dari hakim, serta hakim yang berbeda pendapat terhadap suara terbanyak dalam permusyawaratan hakim wajib memuat pendapatnya dalam putusan. Damang dalam artikel berjudul “Dissenting Opinion” menjelaskan melalui berbagai kutipan mengenai makna dissenting opinion. Kata dissenting berasal dari kata bahasa Latin, dissentiente, dissentaneus, dissentio, kesemuanya bermakna tidak setuju, tidak sependapat atau berbeda dalam pendapat. Black’s Law Dictionary mengartikan Dissenting Opinion sebagaiberikut: “Contrariety of opinion; disagreement with the majority; refusal to agree with something already stated or adjudged or to an act previously performed. The term is most commonly used to denote the explicit disagreement of one or more judge of a court with the decision passed by the majority upon a case before them. In such even, non occuring judge is reported as “dissenting”. Adissent may or may not be occonpanied by Dissenting Opinion155.
155
78
Ibid.
Kepastian Hukum dan Kebebasan Berkontrak Dalam Sengketa Perbankan Syariah, Edi Hudiata
Doktrin dissenting opinion lahir dan berkembang dalam negara-negara yang menggunakan sistem hukum Common Law atau peradilan Anglo-Saxon, seperti Amerika Serikat dan Inggris. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bahwa putusan-putusan badan peradilan di negara-negara yang menganut sistem Anglo-Saxon, sudah amat biasa ditemukan putusan-putusan badan peradilan yang mencantumkan dissenting opinion156. Di sisi lain dalam praktik peradilan di negara-negara yang menganut sistem Eropa Kontinental, seperti Belanda, Perancis, Jerman dan lain-lain, putusan hakim tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat untuk diikuti oleh hakim-hakim lainnya. Namun sesuai perkembangan zaman yang menuntut adanya asas keterbukaan untuk menjelaskan alasan (motivering) dari putusan hakim, termasuk yang kalah suara, makadoktrin dissenting opinion kemudian diadopsi oleh negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa-Kontinental. Menurut Muhammad Alim, kewenangan peradilan agama sudah tegas diatur dalam ketentuan perundang-undangan, namun masih saja ada orang tertentu, paling tidak pembentuk Undang-Undang yang bermaksud mengebiri kewenangan peradilan agama, seperti Penjelasan Pasal 55 ayat (2) huruf d UU Perbankan Syariah. Berhubung dengan itu, Muhammad Alim menyatakan bahwa: “Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang dalam huruf d-nya menentukan, “Melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum“ harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”157 Adapun Penjelasan Pasal 55 ayat (2) huruf a, huruf b dan huruf c Undang-Undang a quo, yang menentukan bahwa yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa sesuai dengan akad merupakan upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dapat dibenarkan sepanjang tidak melanggar ketentuan Undang-Undang dan sejalan dengan ketentuan syariah. ii. 1.
Harmonisasi Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 dengan Asas Kebebasan Berkontrak Syarat Sahnya Perjanjian Syarat sahnya suatu perjanjian dapat kita temukan dalam ketentuan pasal 1320 KUH Perdata yang berbunyi: “Untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat: 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu pokok persoalan tertentu; 4. Suatu sebab yang tidak terlarang”. Di dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, keempat unsur tersebut digolongkan ke dalam dua macam unsur, yaitu158: 1. Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakannya (unsur subyektif). Unsur subyektif ini mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. 2. Dua unsur pokok yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif). Unsur obyektif ini meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan causa dari obyek yang berupa perstasi yang disepakati untuk dilaksanakan tesebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum.
156
Damang, Dissenting Opinion, artikel dalam website www.negarahukum.com diakses pada tanggal 9/1/2014. Lebih lengkap lihat putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja. 2008. Seri Hukum Perikatan: Peerikatan yang Lahir dari Perjanjian. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal. 93-94.
157 158
79
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 69-84
Jika persyaratan di atas tidak dapat dipenuhi maka akan mengakibatkan perjanjian menjadi cacat hukum. Konsekuensi dari tidak terpenuhinya unsur subyektif adalah perjanjian dapat dibatalkan, sedangkan jika yang tidak terpenuhi adalah unsur obyektif maka perjanjian itu batal demi hukum. 2.
Asas-Asas dalam Hukum Perjanjian Terdapat beberapa asas dalam hukum perjanjian, yaitu: 1. Asas konsensualisme Asas ini terdapat dalam pasal 1320 KUH Perdata yang menyatakan bahwa salah satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah adanya kesepakatan di antara para pihak. Asas ini sering diartikan bahwa dibutuhkan kesepakatan untuk lahirnya kontrak. Pengertian ini tidak tepat karena maksud asas konsensualisme adalah bahwa lahirnya kontrak ialah pada saat terjadinya kesepakatan. Oleh karena itu, jika telah tercapai kesepakatan antara para pihak, maka lahirlah perjanjian/kontrak walaupun perjanjian itu belum dilaksanakan pada saat itu. Menurut Ahmadi Miru, asas ini tidak berlaku bagi semua jenis kontrak karena asas ini hanya berlaku terhadap kontrak konsensual sedangkan terhadap kontrak formal dan kontrak riel tidak berlaku.159 Asas konsensualisme ini memiliki hubungan erat dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapatdalam Pasal 1338 (1) KUH Perdata. Seorang pakar bernama Rutten menggarisbawahi bahwa perjanjian yang dibuat itu pada umumnya bukan secara formal, tetapi konsensual, artinya perjanjian itu selesai karena persesuaian kehendak atau konsensus saja.160 2. Asas Kebebasan Berkontrak Asas ini terdapat dalam ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak ini memberikan kebebasan bagi para pihak untuk: a. Membuat atau tidak membuat perjanjian; b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun; c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya; dan d. Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.161 Asas kebebasan berkontrak pada saat lahirnya di abad 17 dan 18 mempunyai daya kerja yang sangat kuat, dalam arti kebebasan itu bekerja tanpa dapat dibatasi oleh rasa keadilan masyarakat ataupun oleh campur tangan negara. Hal ini menimbulkan ketidakadilan bagi para pihak yang tidak memiliki kedudukan yang seimbang.162 Pada perkembangan selanjutnya asas kebebasan berkontrak ini mendapat pembatasan baik oleh undang-undang, putusan pengadilan, dan extra legal standard yang kesemuanya bermuara kepada keharusan isi dan pelaksanaan kontrak lebih mengacu kepada norma-norma kepatutan.163 3. Asas Mengikatnya Kontrak (Pacta Sunt Servanda)
159
Ahmadi Miru. 2010. Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak. Cet 3. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal.3. Agus Yudha Hernoko. 2010. Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial. Cet 1. Jakarta: Kencana. Hal. 121. Salim HS. 2005. Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Cet 5. Jakarta:Sinar Grafika. Hal. 9. Bandingkan Ahmadi Miru. Op. Cit. Hal. 4. Sutan Remi Sjahdeini. 1993. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para PIhak Dalam Perjanjian Kredit. Jakarta: Institut Bankir Indonesia. Hal. 296. Ridwan Khairandy. 2004. Iktikad baik Dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Hal. 347.
160
161
162
163
80
Kepastian Hukum dan Kebebasan Berkontrak Dalam Sengketa Perbankan Syariah, Edi Hudiata
Setiap orang yang membuat perjanjian, maka dia terikat untuk memenuhi perjanjian tersebut karena perjanjian tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang sebagaimana disebutkan dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.164 Dapat pula dikatakan bahwa dengan asas ini baik hakim maupun pihak ketiga harus menghormati substansi perjanjian yang dibuaat oleh para pihak seperti undang-undang dan mereka tidak dapat melakukan campur tangan terhadap substansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak.165 4. Asas itikad baik Asas ini terdapat dalam pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang berbunyi “perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik”. Rumusan pasal ini memberikan pemahaman bahwa karena suatu perjanjian itu sudah disepakati oleh para pihak, maka pelaksanaan prestasinya harus dihormati sepenuhnya sesuai dengan kehendak para pihak ketika perjanjian ditutup.166 Hal kedua yang mendasari kehadiran pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata adalah bahwa suatu perjanjian yang dibuat hendaknya bukan dimaksudkan untuk merugikan para pihak, baik kreditor maupun debitur, serta pihak ketiga di luar perjanjian tersebut.167 3.
Putusan MK Memenuhi Asas Kebebasan Berkontrak Munculnya putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 juga memunculkan permasalahan baru bagi sebagian orang, di antaranya: apakah putusan MK tersebut yang substansinya menyatakan bahwa penjelasan pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008 terebut tidak melanggar asas kebebasan berkontrak yang lazim dilakukan dalam hukum perjanjian? Hakim Hamdan Zoelva secara tersendiri dalam concurring opinion-nya menyebutkan bahwa mengenai sengketa hak keperdataan dimungkinkan untuk diselesaikan di luar pengadilan negara, baik melalui arbitrase maupun melalui alternatif penyelesaian sengketa. Hal itu dapat dilakukan melalui perjanjian atau kesepakatan/akad tertulis yang disepakati para pihak, baik sebelum terjadinya sengketa (pactum de compromittendo) maupun setelah terjadinya sengketa dimaksud (akta kompromi) sesuai dengan prinsip pacta sunt servanda. Akad atau perjanjian tersebut merupakan hukum yang mengikat bagi para pihak yang melakukan akad atau perjanjian tersebut (vide Pasal 1338 KUH Perdata). Namun demikian, perjanjian atau akad tersebut harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang (vide Pasal 1320 KUH Perdata). Agar suatu perjanjian memenuhi syarat “suatu sebab yang halal”, maka sebab dibuatnya akad atau perjanjian tersebut harus sesuai dengan ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Perjanjian atau akad yang tidak memenuhi syarat tersebut menjadi batal demi hukum. Oleh karena itu menurut Hamdan Zoelva: “Perjanjian atau akad yang mencantumkan penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) huruf d Undang-Undang Perbankan Syariah bertentangan dengan konstitusi.” Pertimbangannya adalah karena bertentangan dengan prinsip pemisahan kewenangan absolut yang ditentukan oleh konstitusi (Pasal 24 ayat (2) UUD 1945) yang ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 164 165 166 167
Ahmadi Miru. Op. Cit. Hal. 4-5. Salim HS.Op. Cit. hal. 10. Kartini Mujadi & Gunawan Widjaja. Op. Cit. Hal. 79-80. Ibid. Hal. 80. 81
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 69-84
tentang Kekuasaan Kehakiman juga dalam Pasal 49 huruf i Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Senada dengan pendapat Hamdan Zoelva, Abdurrahman juga menyatakan yang sama, bahwa pasca putusan MK, kompetensi absolut kewenangan menyesaikan sengketa perbankan syariah adalah pada Pengadilan Agama. Tetapi tidak menutup kemungkinan bagi para pihak untuk melakukan penyelesaian secara non litigasi. Bentuk penyelesaian alternatif yang diakui dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, sehingga Pengadilan Agama perlu untuk mensikapinya dengan sebaikbaiknya168. C. Penutup A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dalam bagian pembahasan di atas dan sesuai dengan rumusan masalah maka dapat ditarik dua kesimpulan, yaitu: 1. Pertimbangan hukum yang diimplementasikan dalam putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 lebih mengutamakan persoalan tidak adanya asas kepastian hukum dalam UU Perbankan Syariah terutama dalam penjelasan Pasal 55 ayat (2) tentang penyelesaian sengketa perbankan syariah. 2. Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 tidak melanggar asas kebebasan berkontrak yang lazim diterapkan dalam hukum perjanjian. Jika para pihak dalam suatu perjanjian menyatakan sepakat untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah di luar pengadilan agama, maka harus dinyatakan secara tertulis dalam perjanjian tersebut. Ketentuan penyelesaian sesuai akad tersebut tidak boleh melanggar ketentuan berdasarkan syariah dan Undang-Undang (vide Pasal 1320 KUH Perdata). B. Saran 1. Untuk mencapai kepastian hukum dan kejelasan dalam UU Perbankan Syariah, maka bagi pembentuk Undang-undang perlu mencermati konsiderans yang dibuat, bahwa konsiderans suatu UU harus melihat kepada UU yang berkaitan dengan UU yang akan dibuat, dalam hal ini pembuat UU harusnya melihat dan memasukkan UU Peradilan Agama yang di dalamnya terdapat kewenangan Pengadilan Agama, sebagai salah satu konsiderans dalam UU Perbankan Syariah. Dengan demikian UU menjadi harmonis terhadap UU lainnya. 2. Bagi para pihak, baik bank maupun nasabah sudah saatnya menjadikan UU Perbankan Syariah sebagai landasan operasionalnya, termasuk dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Apalagi setelah adanya putusan MK ini, maka kesadaran para pihak untuk menyerahkan sengketa perbankan syariah kepada Pengadilan Agama menjadi suatu keniscayaan.
Daftar Pustaka Buku Badrulzaman, Mariam Darus, Perjanjian Baku (Standar) Perkembangannya di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1981) -----, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001). H.S Salim, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cet 5. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) 168
82
Abdurrahman, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah(Pasca Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012), dalam Majalah Peradilan Agama edisi 3 Desember 2013 – Februari 2014, hal. 43.
Kepastian Hukum dan Kebebasan Berkontrak Dalam Sengketa Perbankan Syariah, Edi Hudiata
-----, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006). Hasan, Djuhaendah, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisonta,. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996). Harahap, M. Yahya, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung: PT Alumni, 1986) Hay, Marhais Abdul, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: Pradnya Paramita, 1975) Hernoko, Agus Yudha, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Cet 1, (Jakarta: Kencana, 2010) Ibrahim, Johannes, Bank Sebagai Lembaga Intermediasi Dalam Hukum Positif (Bandung: CV Utomo, 2004) Kasmir. Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004) Khairandy, Ridwan, Iktikad baik Dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004) Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Cet. 5, (Jakarta: Kencana, 2009) Miru, Ahmadi, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, Cet. 3, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010). Muhammad, Abdulkadir, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004). Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan: Peerikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008) Prodjodikoro, Wirjono, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Cet 8, (Bandung: Mandar Maju, 2000) Sidharta, Bernard Arief, “Penelitian Hukum Normatif”, artikel dalam Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, ed. Sulistyowati Irianto dan Shidarta, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, tt) Sjahdeini, Sutan Remi, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para PIhak Dalam Perjanjian Kredit, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993) -----, Kredit Sindikasi, Proses Pembenrtukan dan Aspek Hukum, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997) Subekti, Jaminan-jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1982) -----, Hukum Perjanjian, Cet 21, (Jakarta: PT Intermasa, 2005) Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997) Usman, Rachmadi,Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003) Abd. Ghani, Solusi Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah, (Yogyakarta: UII press,tt) Muhammad, Undang-Undang Perbankan Syariah Sebagai Pemberi Kepastian Hukum dalam Bisnis Perbankan Syariah, (Jakarta: Tesis UI, 2010). Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia. 2012. Laporan Perkembangan Perbankan Syariah Tahun 2011. Jakarta. April. Artikel Jurnal Abdurrahman, “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah (Pasca Putusan MK Nomor 93/PUUX/2012)”, Majalah Peradilan Agama edisi 3 (Desember 2013 – Februari 2014). Usman, Rachmadi, “Prinsip Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah”, Jurnal Legitimasi Vol. 1, Nomor 1, (November 2012). Dhani Gunawan Idhat, “Analisis Yuridis Pembentukan Undang-Undang Perbankan Syariah”. Bulletin Hukum dan Perbankan dan Kebanksentralan Volume 3. (Jakarta: BI, 2005)
83
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 69-84
Internet Damang, “Dissenting Opinion”, dalam website negarahukum.com diakses tanggal 9/1/2014. http://www.investor.co.id/home/bi-aset-perbankan-syariah-rp200-triliun/61869 http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-ekonomi/13/01/30/mhfcf0-wow-bank-syariahsalip-bank-konvensional http://bisnis.liputan6.com/read/748263/pertumbuhan-bank-syariah-ri-salip-malaysia Soetand Soepiadhy, “Kepastian dan Keadilan”, dalam website http://www.surabayapagi.com/ diakses tanggal 2 Januari 2014 pukul 09.40 WITA. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar RI 1945 Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Undang-Undang RI Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama
84
EKSISTENSI DAN PERAN KOMISI YUDISIAL : PENGKAJIAN KONTEKS FILOSOFI, SEJARAH DAN TUJUAN PEMBENTUKANNYA DALAM DINAMIKA KETATANEGARAAN INDONESIA Tri Cahya Indra Permana Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta JL. Sentra Primer Baru Timur, Pulo Gebang, Jakarta Timur, DKI Jakarta
[email protected]
Abstrak Desakan pembentukan lembaga pengawas eksternal terhadap perilaku hakim sangatlah kuat, disamping keraguan akan pengawas internal juga terpuruknya kondisi dunia peradilan telah membuat anggota MPR melembagakan Komisi Yudisial didalam Bab IX UUD 1945 agar kedudukannya lebih kuat. Pelembagaan KY didalam UUD 1945 oleh anggota MPR adalah tidak tepat. Sebagaimana lembaga pengawas eksternal pada cabang kekuasaan lainya, maka pelembagaan KY lebih tepat didalam Undang-Undang. Sejak dilembagakan didalam Bab IX UUD 1945 dengan 2 (dua) wewenangnya, KY telah mengalami pasang surut kewenangan dimana puncaknya KY memiliki 9 (sembilan) wewenang. Saat ini wewenang KY tersisa 6 (enam) dimana 3 (tiga) wewenang bersifat mandiri sedangkan 3 (tiga) wewenang lain bersifat bersama-sama Mahkamah Agung. Tambahan wewenang yang diberikan kepada KY diantaranya terbukti telah bertentangan dengan UUD 1945. Kata kunci: Eksistensi, Peran, Komisi Yudisial Abstract The urge formation of the external monitoring agency behavior of judges is very strong, in addition to the internal watchdog also doubts the collapsed state of the world has been made a member of the Assembly judiciary instituted Judicial Commission in Chapter IX of the 1945 Constitution in order to position stronger. Institutionalization KY in 1945 by members of the Assembly is not right. As the external monitoring agencies in other branches of power, the more precise KY institutionalization in law. Since instituted in Chapter IX of the 1945 Constitution with a two (2) authority, KY has experienced tidal peak KY authority which has 9 (nine) authority. Currently, KY authority remaining six (6) in which three (3) authority is independent, while three (3) other authorities are jointly Supreme Court. Additional authority granted to them proven KY contrary to the 1945 Constitution. Keywords: Existence, Roles, Judicial Commission
A. Pendahuluan Eksistensi Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan kita diawali dari adanya amandemen UUDN RI Tahun 1945 khususnya hasil amandemen UUDN RI Tahun 1945 yang ketiga dan ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tanggal 9 November 2001169. Fakta bahwa Komisi Yudisial ditempatkan di dalam UUDN RI Tahun 1945 khususnya pada Pasal 24 B, satu bab (didalam bab IX) dengan pelaku Kekuasaan Kehakiman sudah tidak terbantahkan lagi. Meskipun pengamandemen Undang-Undang Dasar menyadari bahwa Komisi Yudisial bukanlah pelaku Kekuasaan Kehakiman, namun menurut pembentuk Undang-Undang, fungsi Komisi Yudisial
169
www.bappenas.go.id diunduh tanggal 27 Februari 2014 85
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 85-100
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Hal itu tercermin dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial menyebutkan bahwa Pasal 24 B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan landasan yang kuat bagi reformasi bidang hukum yakni dengan memberikan kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk mewujudkan Check and Balances. Walaupun Komisi Yudisial bukan pelaku kekuasaan kehakiman namun fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Sebagai tindak lanjut dari Pasal 24 B ayat (4) UUDN RI 1945, maka dibentuklah Komisi Yudisial berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang diundangkan pada tanggal 13 Agustus 2004 dengan 2 (dua) wewenang utama yaitu : mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku Hakim. Sebagai sebuah Komisi Negara yang memiliki dua wewenangan utama, maka penempatan Komisi Yudisial ke dalam Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 membuatnya “sejajar” dengan lembaga negara lainnya yang juga dimuat didalam UUDN RI Tahun 1945. Persoalan muncul ketika Lembaga Negara yang kelahirannya dimuat didalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 adalah sebuah Komisi Negara bernama Komisi Yudisial. Sebagai sebuah Komisi Negara bukankah Komisi Yudisial memiliki kedudukan yang juga sejajar dengan Komisi Negara yang lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham), Komisi Kejaksaan (Komjak), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Informasi (KI), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Komisi-Komisi lain yang pelembagaannya tidak dimuat didalam UUD 1945. B. Perumusan Masalah Dari latar belakang permasalahan tersebut diatas, maka terdapat beberapa persoalan yang akan diteliti yaitu sebagai berikut : a. Apa aspek filosofis dalam sejarah pembentukan Komisi Yudisial? b. Bagaimana dinamika wewenang Komisi Yudisial berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, peraturan perundang-undangan lainnya serta berdasarkan Putusan Lembaga Peradilan? c. Bagaimana eksistensi dan peran Komisi Yudisial dalam melaksanakan kewenangannya? C. Metode Penelitian Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan sejarah, pendekatan cita Negara (staatsidee) dan pendekatan kualitatif serta pendekatan studi perbandingan. Dani Elpah170 mengatakan Pendekatan sejarah dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu : 1. Sejarah hukum peraturan perundang-undangan, dalam hal ini yang diselidiki adalah sejarah hukumnya suatu peraturan perundang-undangan, misalnya memori penjelasan, laporan-laporan perdebatan di Lembaga Legislatif, surat menyurat antara pemerintah dengan komisi yang ada di Lembaga Legislatif. 2. Sejarah peraturan perundang-undangan, yang diselidiki dalam hal ini adalah maksud pembentuk peraturan perundang-undangan pada waktu membuatnya (suasana kebatinan). Pendekatan cita Negara (staatsidee) merupakan pendekatan untuk memahami UUD 1945 dalam konteks keseluruhan jiwa yang terkandung didalamnya guna membangun ketatanegaraan yang lebih tepat. Pendekatan ini untuk menghindari penerimaan mentah-mentah terhadap pendekatan original intens para pembentuk Undang-Undang yang sangat mungkin tidak tepat. Sedangkan 170
86
Dani Elpah, Penormaan Konsep Kepentingan Umum Dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi, Mataram, 2013, hlm 34
Eksistensi dan Peran KY : Filosofi, Sejarah, dan Tujuan Pembentukannya, Tri Cahya Indra Permana
pendekatan kualitatif yaitu suatu pendekatan analisis non-statistik atau non-matematis. Metode ini bertujuan untuk memahami atau mengerti gejala hukum yang akan diteliti dengan menekankan pada permasalahan-permasalahan secara mendalam. Adapun pendekatan studi perbandingan digunakan untuk membandingkan Komisi Yudisial RI dengan Komisi Yudisial di beberapa negara guna membangun Komisi Yudisial yang lebih ideal bagi Indonesia. D. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Aspek Filosofis dan sejarah pembentukan Komisi Yudisial Mengingat arti pentingnya sebuah pengawasan baik internal maupun eksternal, maka jauh sebelum dibentuknya Komisi Yudisial, Mahkamah Agung pernah membentuk suatu lembaga yang bernama Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) Pada tahun 1968 yang tugasnya dirancang tidak hanya berperan dalam pengangkatan Hakim, tetapi turut serta juga dalam proses pemilihan Ketua MA. Peran MPPH disini sebatas mengajukan dua nama bakal calon Ketua MA kepada DPR-GR. Setelah dipilih DPR-GR, calon Ketua MA diangkat oleh Presiden, sedangkan wakil Ketua MA dipilih oleh dan dari para Hakim Agung, tanpa keterlibatan MPPH. Sementara untuk Hakim Agung, peran MPPH langsung mengusulkan ke Presiden yang berwenang melakukan pengangkatan171. MPPH akhirnya secara resmi diasosiasikan dengan ide pembentukan KY dalam buku “Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 : Latar belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002”. Buku terbitan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi ini adalah dokumen otentik yang merekam proses pembahasan amandemen UUD 1945 di MPR dalam kurun waktu 1999-2002172. Jika mengacu pada kenyataan sejarah tersebut, tidak banyak yang mengetahui bahwa sesungguhnya dibentuknya Komisi Yudisial adalah atas inisiasi dari Mahkamah Agung yang menginginkan ada suatu lembaga yang membantu pimpinan Mahkamah Agung dalam mengawasi perilaku para Hakim untuk diberikan pembinaan, tindakan hukuman atau pemberhentian bagi para Hakim. Namun demikian, Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim dirasakan masih belum cukup untuk menjamin independensi lembaga peradilan karena sifatnya masihlah pengawasan internal yang cenderung mengedepankan esprit de corp. oleh karenanya setelah dibentuknya MPPH pada tahun 1968 tidak diketahui lagi jejak kiprahnya, terlebih secara formal MPPH tidak termuat didalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Sejalan dengan terjadinya Kejatuhan Rezim Soeharto pada Tahun 1998 yang menuntut adanya Reformasi termasuk didalamnya Reformasi dibidang Peradilan, maka telah memunculkan kembali pentingnya pengawasan bagi Hakim baik dengan ide membentuk Dewan Kehormatan bagi Hakim atau ide pelembagaan Komisi Yudisial sebagai bagian dari reformasi peradilan. Maria S.W Sumarjono berpendapat “Didalam perubahan kedua, disitu ada disebut dewan kehormatan, tetapi Bapak-Bapak mungkin melihat malah justru dihilangkan oleh tim ahli, apakah ini tidak perlu. Kami berfikir memang perlu, tapi kalau didalam Undang-Undang Dasar, kasian Hakim saja yang ada dewan kehormatan, yang lembaga-lembaga lain bagaimana ? padahal yang kami tahu DPR itu ada kode etiknya, didalam Tatib dan sebagainya. Jadi dewan kehormatan tidak perlu dicantumkan didalam Undang-Undang Dasar173. Rumusan ketentuan tentang Komisi Yudisial diajukan oleh beberapa pihak, sehingga rumusan didalam amandemen UUD 1945 bukanlah rumusan ahistoris yang tiba-tiba muncul. Rumusan tersebut lahir melalui proses dan perdebatan yang cukup panjang dalam pembahasan perubahan UUD 1945. Bahkan diluar persidangan, para anggota MPR RI, berbagai kelompok masyarakat juga menyusun 171
Elza Fais dkk, Risalah Komisi Yudisial Republik Indonesia, Cikal Bakal, Pelembagaan dan Dinamika Wewenang, diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia, Tahun 2013, halaman 15 172 Ibid, halaman 13 173 Ibid, halaman 265 87
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 85-100
kajian dan rumusan perubahan-perubahan untuk diusulkan kepada PAH I MPR RI seperti yang dilakukan oleh Aliansi strategis (LIPI-LSM-Universitas) kerjasama Hans Seidel Foundation pada Agustus 2000. Forum Aliansi Strategis ini menyepakati bahwa dalam rangka penegakkan hukum dan pengembangan kekuasaan peradilan ini perlu ditegaskan secara konstitusional. Komisi Yudisial, menurut Aliansi Strategis ini dipandang perlu untuk dikembangkan dan dikonstitusikan keberadaannya, dan merupakan komisi yang bersifat independen, yang dibentuk oleh DPR dan DPD yang disahkan oleh Presiden174. Upaya pelembagaan Komisi Yudisial dapat dilihat dalam perdebatan-perdebatan atas kehendak dari anggota MPR yang lainnya pada saat amandemen terhadap lembaga yang dibentuknya tersebut. Beberapa anggota MPR menghendaki Komisi Yudisial sebagai Lembaga Negara yang independen dan permanen, yang merupakan rumpun dari kekuasaan Yudikatif. Dalam rapat paripurna MPR RI ke-6 tanggal 8 November 2001 yang dipimpin oleh M. Amien Rais. Pada kesempatan tersebut, Ketua Komisi A, Jakob Tobing menyampaikan hasil kerja Komisi A yang diantaranya adalah hasil pembahasan Rancangan Perubahan Ketiga UUD 1945. Adapun rumusan yang disampaikan oleh Ketua Komisi A, Jakob Tobing adalah sebagai berikut : Pasal 24 B 1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. 2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. 3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. 4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang. Hasil rumusan tersebut yang kemudian disepakati sebagai naskah Pasal 24B perubahan ketiga UUD 1945175. Menjadi pertanyaan sesungguhnya apa alasan yang paling utama (raison d’etre) bagi anggota MPR melembagakan KY didalam UUD 1945? apakah pelembagaan KY didalam UUD 1945 merupakan variasi, ciri khas atau bahkan anomali ? Dari perdebatan-perdebatan yang tampak dari para anggota MPR tersebut diatas, tampak bahwa alasan utama selain dari menjadikan kedudukan KY lebih kuat dan independen adalah keinginan adanya suatu lembaga didalam Bab IX yang menangani seleksi rekruitmen hakim agung sehingga penempatannya lebih bersifat ciri khas. 2.
Dinamika Wewenang Komisi Yudisial Berdasarkan UUD 1945, Peraturan PerundangUndangan lainnya serta Putusan Lembaga Peradilan Setelah disahkannya perubahan ketiga terhadap UUD Negara RI Tahun 1945, justru kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan terhadap pelembagaan Komisi Yudisial yang ditempatkan didalam Undang-Undang Dasar 1945. Pertanyaan tersebut sangatlah wajar mengingat lembaga negara yang dibentuk MPR tersebut bernama Komisi Yudisial yang seolah-oleh bersifat ad hoc/sementara sebagaimana Komisi Negara pada umumnya (tidak seluruhnya) yang telah ditetapkan bersifat ad hoc. Untuk dapat menilai tepat atau tidak tepatnya penempatan Komisi Yudisial didalam UndangUndang Dasar, pertanyaan pertama yang harus dijawab terlebih dahulu adalah apakah KY lembaga negara ad hoc atau bukan. Pertanyaan tersebut seringkali diajukan karena terpengaruh nama lembaga yang menggunakan kata Komisi. Sebagaimana diuraikan diatas, meskipun bernama Komisi bukanlah berarti suatu Komisi Negara bersifat ad hoc. Adapun penamaan Lembaga baru ini sebagai Komisi 174 175
88
Ibid, halaman 48 Ibid, halaman 128
Eksistensi dan Peran KY : Filosofi, Sejarah, dan Tujuan Pembentukannya, Tri Cahya Indra Permana
Yudisial terpengaruh dengan nama mayoritas Komisi Yudisial di Luar Negeri yang memang dimaksudkan untuk bersifat ad hoc. Sebagai contoh di New South Wales Negara Bagian Australia, para anggota Komisi Yudisial didalam satu tahun hanya bersidang sekitar 5 (lima) kali dan anggota Komisi Yudisial tidak melepaskan jabatannya sebagai Hakim Agung. Oleh karenanya betul-betul bersifat ad hoc dengan demikian tepat kiranya jika diberi nama judicial commission (Komisi Yudisial)176. Meskipun ada 2 (dua) Komisi Negara yang disebutkan didalam UUDN RI Tahun 1945 yaitu komisi pemilihan umum dan Komisi Yudisial, namun Pasal 22E ayat (5) UUDN RI Tahun 1945 menyebutkan :” (5). Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”. Penyebutan kata komisi pemilihan umum didalam Pasal 22E ayat (5) tersebut menggunakan awalan huruf kecil, sedangkan penulisan kata Komisi Yudisial didalam UUDN 1945 menggunakan awalan huruf besar, sama dengan Lembaga Negara lainnya yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden, Dewan Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, serta Badan Pemeriksa Keuangan. Penggunaan huruf besar dan huruf kecil pada penulisan awalan lembaga negara didalam Konstitusi bukan tanpa maksud. Penggunaan huruf besar menunjukan bahwa nama dari lembaga negara tersebut sudah pasti sesuai dengan nama yang tercantum didalam UUDN RI Tahun 1945. Sedangkan penggunaan huruf kecil dalam kata komisi pemilihan umum (Pasal 23E UUDN RI Tahun 1945) menunjukan bahwa nama lembaga yang akan dibentuk belum tentu bernama Komisi Pemilihan Umum177. Demikian halnya dengan dewan pertimbangan yang dibentuk oleh Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UUD 1945 juga menggunakan awalan huruf kecil yang berarti nama lembaganya belum tentu bernama Dewan Pertimbangan. Perbedaan lainnya antara KY dengan Komisi Negara lainnya adalah KY berada pada rumpun Yudikatif dengan fungsi sesuai dengan original intensnya adalah check and balances terhadap Mahkamah Agung, sedangkan Komisi Negara lainnya berada pada rumpun Eksekutif dengan tugas melaksanakan urusan pemerintahan. Sebagai contoh Komisi Kejaksaan yang diatur didalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2011 dengan tegas didalam Pasal 2 ayat (2) disebutkan bahwa Komisi Kejaksaan berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden serta Komisi Kepolisian Nasional berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2011 disebutkan didalam Pasal 2 ayat (2) bahwa Kompolnas berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Atas dasar hal tersebut, maka tidaklah tepat kiranya jika kita menilai suatu lembaga negara hanya berdasarkan namanya saja, melainkan juga harus melihat pada 2 (dua) hal yaitu : Pertama, bagaimana rumusan pengaturannya didalam Undang-Undang sebagaimana diuraikan diatas dan Kedua, melihat pada original intent (maksud asli) dari pembentuk Komisi Yudisial, apakah ingin menjadikan Komisi Yudisial sebagai lembaga negara ad hoc/sementara atau lembaga negara permanen. Dari rumusan pengaturan tentang Komisi Yudisial didalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak tampak apakah KY Lembaga Negara Permanen ataukah Lembaga Negara ad hoc. Bandingkan dengan rumusan tentang komisi pemilihan umum yang termuat didalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang menyebutkan :”Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”. Dari rumusan tersebut sudah sangat gamblang disebutkan bahwa komisi pemilihan umum bersifat tetap yang berarti tidak bersifat ad hoc atau sementara. Namun demikian, dari risalah perubahan UUDN RI Tahun 1945 sejak perubahan pertama sampai dengan perubahan
176
Hasil wawancara dengan Dr. Jaja Ahmad Jayus, SH.MH tanggal 7 Mei 2014 yang telah melakukan studi banding ke Komisi Yudisial NSW, Australia 177 Peneliti mengutip pendapat Dr. Jaja Ahmad Jayus, SH.MH dalam wawancara tanggal 7 Mei 2014 di Gedung Komisi Yudisial 89
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 85-100
ketiga, beberapa pendapat yang muncul menginginkan Komisi Yudisial sebagai lembaga yang bersifat tetap atau permanen. Ad hoc itu sendiri diartikan sebagai sejak semula dimaksudkan sementara sampai terjadi situasi normal178. Dengan demikian Lembaga Negara ad hoc dapat dipahami sebagai lembaga negara yang pembentukannya memang dimaksudkan untuk bersifat sementara, pada umumnya dikarenakan adanya keadaan yang tidak normal sampai keadaan menjadi normal kembali. Dengan demikian, oleh karena KYRI bukanlah lembaga negara ad hoc, maka meskipun kelak seluruh hakim telah berperilaku baik, KYRI harus tetap ada akan tetap dibutuhkan. Mahkamah Konstitusi didalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006 telah mempertimbangkan mengenai kedudukan lembaga negara yang pelembagaannya ditempatkan didalam UUD 1945, sebagai berikut : Menimbang, bahwa disamping itu Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa hal diatur atau tidaknya suatu lembaga Negara dalam Undang-Undang Dasar juga tidak boleh ditafsirkan sebagai satu-satunya faktor yang menentukan derajat konstitusional lembaga Negara yang bersangkutan. Sebagai contoh, diaturnya lembaga kepolisian Negara dan kewenangan konstitusionalnya dalam Pasal 30 UUD 1945 dibandingkan dengan tidak diaturnya sama sekali ketentuan mengenai Kejaksaan Agung dalam UUD 1945, tidak dapat diartikan bahwa UUD 1945 memandang Kepolisian Negara itu lebih penting ataupun lebih tinggi kedudukan konstitusionalnya daripada Kejaksaan Agung. Demikian halnya dengan komisi-komisi Negara seperti Komisi Yudisial yang diatur secara rinci, komisi pemilihan umum yang diatur secara umum dalam UUD 1945, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan lain-lain yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang belaka, untuk menentukan status hukum kelembagaannya maupun para anggota dan pimpinannya di bidang protokoler dan lain-lain sebagainya, tergantung kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya dalam Undang-Undang. Oleh karena itu, agar tidak menimbulkan kekisruhan dalam hubungan antar lembaga Negara, pembentuk undang-undang harus berusaha dengan tepat merumuskan kebijakan hukum yang rinci dan jelas dalam undang-undang yang mengatur lembaga-lembaga Negara dimaksud. Jika mengacu pada alasan-alasan tersebut diatas, maka tidak menjadi persoalan kiranya jika Komisi Yudisial pelembagaannya ditempatkan didalam UUD 1945 karena memang tidak ada larangan, namun pertanyaan didalam penelitian ini adalah bukan soal boleh atau tidak boleh akan tetapi soal tepat ataukah tidak tepat jika pelembagaan KY dimuat didalam UUD 1945. Berdasarkan pada besar atau kecilnya wewenang konstitusional KY, sesungguhnya kewenangan konstitusional KY tidaklah besar yaitu hanya mengusulkan pengangkatan calon Hakim Agung untuk mendapat persetujuan DPR dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku Hakim. Komisi Negara lain yang tidak dilembagakan didalam Undang-Undang Dasar bahkan bersifat ad hoc seperti KPK bahkan memiliki wewenang yang jauh lebih besar dari KY. Fungsi Check and balances yang diinginkan para anggota MPR sebagaimana tampak dalam original intens para pembentuk KY juga telah dinyatakan tidak tepat oleh MK melalui pertimbangan hukum didalam perkara 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006 sebagai berikut : Menimbang, bahwa menurut Mahkamah Konstitusi, UUD 1945 dengan jelas membedakan cabangcabang kekuasaan Negara dalam bidang legislative, eksekutif dan yudikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR dan DPD, Presiden Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga-lembaga Negara yang utama (main state organs, principal state organs). Lembaga-lembaga Negara dimaksud itulah yang secara instrumental mencerminkan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan Negara yang utama (main state function, principal state function), sehingga oleh karenanya lembaga Negara itu pula yang dapat 178
90
www.mahfudmd.com diunduh tanggal 17 Juni 2014
Eksistensi dan Peran KY : Filosofi, Sejarah, dan Tujuan Pembentukannya, Tri Cahya Indra Permana
disebut sebagai lembaga Negara utama (main state organs, principal state organs atau main state institutions) yang hubungannya satu dengan yang lain diikat oleh prinsip “check and balances”. Dengan demikian prinsip check and balances itu terkait erat dengan prinsip pemisahan kekuasaan Negara (separation of powers), dan tidak dapat dikaitkan dengan persoalan pola hubungan antar semua jenis lembaga Negara, seperti misalnya dalam konteks hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Oleh karena itu memahami hubungan antara lembaga Negara dalam perspektif “check and balances” diluar konteks pemisahan fungsi-fungsi kekuasaan Negara (separation of powers), seperti dalam hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial adalah tidak tepat. Walaupun benar bahwa Komisi Yudisial dapat diberi peran pengawasan, maka pengawasan itu bukanlah dalam rangka check and balances dan juga bukan pengawasan terhadap fungsi kekuasaan peradilan, melainkan hanya pengawasan terhadap perilaku individu-individu hakim; Menimbang, bahwa prinsip check and balances itu sendiri dalam praktek memang sering dipahami secara tidak tepat. Sebagaimana ternyata dari keterangan dalam persidangan bahwa salah satu perspektif yang digunakan dalam merumuskan ketentuan Pasal 24B dalam hubungannya dengan Pasal 24A UUD 1945 adalah prinsip check and balances, yaitu dalam rangka mengimbangi dan mengendalikan kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Kenyataan ini menggambarkan bahwa “original intent” perumusan suatu norma dalam Undang-Undang Dasar pun dapat didasarkan atas pengertian yang keliru tentang suatu pengertian tertentu. Kekeliruan serupa terulang kembali dalam penjelasan umum UUKY yang berbunyi, “Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan landasan hukum yang kuat bagi reformasi bidang hukum yakni dengan memberikan kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk mewujudkan check and balances. Walaupun Komisi Yudisial bukan pelaku kekuasaan Kehakiman namun fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman”. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penafsir Undang-Undang Dasar (the sole judicial interpreter of the constitution) tidak boleh hanya semata-mata terpaku kepada metode penafsiran “originalisme” dengan mendasarkan diri hanya kepada “original intent” perumusan Pasal UUD 1945, terutama apabila penafsiran demikian justru menyebabkan tidak bekerjanya ketentuan-ketentuan UUD 1945 sebagai suatu system dan/atau bertentangan dengan gagasan utama yang melandasi Undang-Undang dasar itu sendiri secara keseluruhan berkait dengan tujuan yang hendak diwujudkan. Mahkamah Konstitusi harus memahami UUD 1945 dalam konteks keseluruhan jiwa (spirit) yang terkandung didalamnya guna membangun kehidupan ketatanegaraan yang lebih tepat dalam upaya mencapai cita Negara (staatsidee), yaitu mewujudkan Negara hukum yang demokratis dan Negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum, yang merupakan penjabaran pokok pikiran yang terkandung didalam pembukaan UUD 1945; Dari pertimbangan hukum MK tersebut diatas, tampak bahwa MK telah menilai original intent dari anggota MPR keliru memahami makna check and balances dalam hubungan antara MA dan KY, namun demikian MK tidak mempersoalkan lagi rumusan UUD 1945 karena bukan pada porsinya MK menilai UUD 1945, melainkan MK hanya mempersoalkan original intent dari para anggota MPR yang dinilainya kurang tepat sehingga menghasilkan rumusan UUD 1945 yang sejatinya juga kurang tepat. Disamping itu, KY sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap individu Hakim bukan MA179, adalah satu-satunya lembaga negara yang dimuat didalam UUD 1945, padahal pada setiap cabang kekuasaan juga ada pengawas eksternalnya. Bagaimana dengan lembaga pengawas eksternal pada cabang kekuasaan lainnya? mengapa tidak dimuat juga didalam UUD 1945 ? Jika mengacu pada asas persamaan perlakuan, maka lembaga pengawas eksternal DPR dan lembaga pengawas eksternal eksekutif juga harus dimuat didalam UUD 1945. Hal tersebut sudah pernah disampaikan oleh Prof. Dr. 179
Faktanya KY memang tidak berwenang memeriksa administrasi peradilan baik administrasi perkara maupun administrasi umum, termasuk pelanggaran yang dilakukan oleh pegawai pada badan peradilan dibawah MA. Hal tersebut juga meruntuhkan statement fungsi KY sebagai lembaga check and balances dari MA yang terdapat didalam peraturan perundang-undangan organik 91
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 85-100
Maria SW Sumarjono, SH kepada para anggota MPR namun nampaknya pendapat ahli tersebut tidak ikuti. Mengacu pada doktrin, secara garis besar, materi atau kaidah konstitusi menurut J.G. Steenbeek sebagaimana dikutip oleh Bunyamin Alamsyah berisi 3 (tiga) hal pokok yaitu : 1. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara. 2. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental. dan 3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat fundamental180. Terkait dengan materi atau kaidah konstitusi yang kedua menurut J.G. Steenbeek tersebut diatas, dapat difahami bahwa sedemikian banyaknya lembaga negara di Indonesia, hanyalah yang bersifat fundamental yang tepat dilembagakan didalam UUD 1945. Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006, KY bukanlah lembaga negara yang bersifat fundamental (main state organs, principal state organs atau main state institution) melainkan supporting element atau state auxiliary organ. Disamping itu, jika seluruh lembaga negara, termasuk didalamnya lembaga negara yang berfungsi sebagai supporting element atau state auxiliary organ dilembagakan didalam Undang-Undang Dasar 1945, maka UUD 1945 akan menjadi UUD yang paling obesitas di dunia. Selain alasan-alasan tersebut diatas, suasana kebatinan yang melingkupi pada saat amandemen UUD 1945 yang ketiga menunjukkan penegakkan hukum dan keadilan oleh lembaga peradilan berada pada titik nadir. Umar Sholehudin mengutip hasil jajak pendapat harian Kompas awal Oktober 2001 menyebutkan bahwa sebanyak 72,7% responden menilai WNI belum mendapat perlakuan yang adil. 71% responden menilai tidak ada satupun institusi hukum yang adil. Mengenai putusan pengadilan, sebanyak 45,3% responden menilai putusan pengadilan didasarkan pada pertimbangan uang, 30,5% menilai karena pertimbangan politik dan hanya 9,3% responden yang masih percaya bahwa putusan pengadilan di Indonesia didasarkan pada pertimbangan hukum181. Tingkat kepercayaan masyarakat yang sangat rendah terhadap pengadilan tersebut yang menimbulkan euphoria reformasi peradilan sehingga menuntut pelembagaan KY sebagai lembaga pengawas eksternal hakim didalam UUD 1945 agar posisinya dirasakan lebih kuat. Jika mengacu pada alasan-alasan dan doktrin serta suasana kebatinan yang melingkupi pada saat amandemen UUD 1945 tersebut diatas, maka sesungguhnya disamping wewenang KY yang relatif kecil, juga karena bukan lembaga negara yang bersifat fundamental, (dalam kekuasaan kehakiman, lembaga negara yang fundamental adalah pelaku kekuasaan kehakiman). Oleh karenanya tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada pimpinan dan para anggota Komisi Yudisial, maka menurut peneliti, kurang tepat kiranya jika pelembagaan Komisi Yudisial ditempatkan didalam Bab IX UUD 1945, satu bab dengan pelaku kekuasaan kehakiman. Taufik Sri Sumantri sebagaimana dikutip oleh Imam Anshori Saleh bahkan mengatakan bahwa penempatan KY didalam Bab IX UUD 1945 oleh MPR dianggap sebagai sebuah kecelakaan182. Jika pelembagaan KY didalam Bab IX UUD 1945 adalah sebuah kecelakaan, maka kemungkinan selanjutnya adalah apakah sebaiknya pelembagaan KY tetap didalam UUD 1945 namun diluar bab IX (bab tersendiri) ataukah dikeluarkan dari UUD 1945 dan cukup didalam Undang-Undang saja ? Imam Anshori Saleh mengatakan konsep yang tepat untuk memperkuat kewenangan konstitusional Komisi Yudisial dalam pengawasan hakim adalah dengan mengajukan amandemen atau usulan perubahan UUD 1945, untuk menata ulang penempatan Komisi Yudisial, tidak lagi berada di 180
181
182
92
Bunyamin Alamsyah, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, YPI Al-Musdariyah, Bandung, 2010, halaman 41 Umar Sholehudin, Hukum dan Keadilan Masyarakat, Perspektif Kajian Sosiologi Hukum, Setara Press, Malang, 2011, halaman 2 Imam Anshori Saleh, Konsep Pengawasan Kehakiman, “Upaya Memperkuat Kewenangan Konstitusional Komisi Yudisial dalam Pengawasan Peradilan, Setara Press, Malang, 2014, halaman 228
Eksistensi dan Peran KY : Filosofi, Sejarah, dan Tujuan Pembentukannya, Tri Cahya Indra Permana
satu bab dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, yakni bab tentang Kekuasaan Kehakiman. Perlu penegasan penormaan tentang pengawasan KY terhadap hakim-hakim juga termasuk terhadap Hakim Konstitusi183. Meskipun Imam Anshori Saleh berpendapat seperti tersebut diatas, namun beliau tidak menyebutkan usulan secara eksplisit KY akan dimasukkan didalam bab apa didalam UUD 1945 jika dikeluarkan dari kekuasaan kehakiman serta seberapa urgennya peran KY sehingga harus mendapat tempat di bab tersendiri didalam UUD 1945 diluar bab IX UUD 1945. Membandingkan Komisi Yudisial dengan Badan Pemeriksa Keuangan yang mendapatkan bab tersendiri didalam UUD 1945 memerlukan pengkajian yang mendalam khususnya mengenai besar kecilnya kewenangan yang dimiliki oleh BPK. Yang pasti jangan sampai pelembagaan KY didalam UUD 1945 secara tersendiri diluar bab IX terpisah dari MA dan MK merupakan “kecelakaan beruntun” dari tidak tepatnya pelembagaan KY didalam UUD 1945. Akibat dari pelembagaan KY didalam UUD 1945 yang tidak seimbang dengan wewenang konstitusionalnya, maka kecenderungan KY akan selalu meminta untuk diperkuat kewenangannya dengan wewenang-wewenang baru diluar apa yang sudah ditentukan oleh UUD 1945 semisal rekruitmen terhadap hakim MK, pengawasan terhadap Hakim MK dan wewenang polisional berupa penjatuhan sanksi terhadap Hakim. Beberapa diantara tambahan wewenang KY didalam UndangUndang organik telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena terbukti telah bertentangan dengan UUD 1945. Mengacu pada asas Res Judicata Pro Veritate Habetur, maka putusan MK yang telah membatalkan beberapa wewenang tambahan KY tidak boleh dipandang sebagai upaya untuk melemahkan atau bahkan “mengamputasi” kewenangan KY, melainkan sebuah upaya dari MK berdasarkan wewenangnya untuk menempatkan wewenang KY sesuai dengan porsinya sesuai dengan kedudukan konstitusional KY didalam UUD 1945. Dengan menggunakan ukuran-ukuran untuk menempatkan sebuah lembaga negara didalam UUD 1945 antara lain seberapa fundamental lembaga negara tersebut serta seberapa besar wewenang lembaga negara tersebut, maka oleh karena KY bukanlah lembaga negara yang bersifat fundamental, serta wewenang konstitusional KY juga relatif kecil, maka pelembagaan KY didalam UUD 1945 bukan hanya tidak tepat didalam Bab IX UUD 1945 namun juga didalam UUD 1945 secara keseluruhan, melainkan lebih tepat kiranya jika pelembagaannya cukup didalam Undang-Undang saja. Hal mana sesungguhnya juga sudah ditegaskan didalam Pasal 24 ayat (3) UUDN RI Tahun 1945 yang berbunyi :”Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Ketika Undang-Undang Dasar sudah menyatakan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang, namun tetap melembagakan KY sebagai lembaga negara yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman didalam Undang-Undang Dasar 1945, maka dipastikan UUD 1945 mengandung konflik norma. Dari alasan-alasan yang dikemukakan anggota MPR didalam menempatkan KY didalam UUD 1945 memang tergambar adanya keinginan menjadikan KYRI sebagai lembaga yang merupakan ciri khas keIndonesiaan, namun demikian jika berbicara mengenai pelembagaannya, maka lebih nampak sebagai anomali sehingga terhadap Undang-Undang Dasar 1945 harus diadakan kembali amandemen untuk yang kelima kalinya dengan mengeluarkan pelembagaan Komisi Yudisial dari Undang-Undang Dasar 1945. Didalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Bab V mengatur mengenai badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, Pasal 38 mengatur sebagai berikut : (1) Selain Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya serta Mahkamah Konstitusi, terdapat badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman. 183
Ibid, halaman 246 93
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 85-100
(2) Fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. Penyelidikan dan penyidikan. b. Penuntutan. c. Pelaksanaan putusan. d. Pemberian jasa hukum. e. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan. (3) Ketentuan mengenai badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Dari ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut terdapat suatu keanehan dimana fungsi pengawasan dan rekruitmen hakim yang menjadi wewenang utama KY tidak dimasukkan sebagai fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, padahal Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial menyebutkan fungsi KY berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Oleh karenanya KY lebih tepat dilembagakan didalam Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman didalam Bab V yang mengatur mengenai badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman; Jika diringkas, maka setidaknya terdapat 4 (empat) alasan mengapa pelembagaan Komisi Yudisial harus dikeluarkan dari UUD 1945 : 1. Komisi Yudisial bukanlah lembaga negara yang bersifat fundamental ataupun berfungsi sebagai check and balances dari pelaku kekuasaan kehakiman melainkan pengawasan eksternal terhadap perilaku hakim sehingga KY bersifat supporting organ dari MA. Terhadap hal tersebut, MK telah menilai original intent dari anggota MPR telah keliru memahami makna check and balances. 2. Wewenang konstitusional KY relatif kecil dan produknya hanyalah berupa rekomendasi. 3. Lembaga pengawas eksternal dari cabang kekuasaan yang lain (eksekutif dan legislatif) tidak dilembagakan didalam Undang-Undang Dasar 1945. 4. Pasal 24 ayat (3) UUDN RI Tahun 1945 menyebutkan :”Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang” Namun demikian, meskipun wewenang konstitusional KY relatif kecil, bukan berarti dampaknya tidak besar. Telah peneliti ungkapkan diatas, bahwa dengan hadirnya KY telah membuat Badan Pengawasan Mahkamah Agung lebih “garang” sehingga ada kasus laporan dugaan pelanggaran kode etik hakim yang oleh KY hakim terlapor dinyatakan tidak bersalah tapi justru oleh Badan Pengawas Mahkamah Agung dinyatakan bersalah dengan sanksi yang cukup berat. Disamping itu meskipun wewenang KY relatif kecil, tugas dan peranan KY sangat penting, sebab telah diuraikan didalam konsideran menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung serta pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Mahfud MD mengatakan bahwa hukum merupakan produk politik. Sebagai fakta sebenarnya bukan hanya hukum dalam arti Undang-Undang yang merupakan produk politik, tetapi juga bisa mencakup hukum dalam arti-arti yang lain, termasuk konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Mahfud juga mengutip pendapat KC Wheare bahwa konstitusi merupakan resultante (produk kesepakatan politik) sesuai dengan situasi politik, ekonomi, dan sosial pada saat dibuat. Jadi konfigurasi politik, ekonomi, sosial dan budaya sangatlah berpengaruh atau menentukan produk konstitusi dan peraturan perundang-undangan184.
184
94
Moh Mahfud MD, op cit halaman 7
Eksistensi dan Peran KY : Filosofi, Sejarah, dan Tujuan Pembentukannya, Tri Cahya Indra Permana
Dengan demikian, jika pun anggota MPR kelak memahami ketidaktepatan pelembagaan KY didalam UUD 1945 sebagaimana 4 (empat) alasan yang peneliti kemukakan diatas, namun apabila pada saat amandemen kelima UUD 1945, kondisi dunia peradilan dan Mahkamah Agung pada khususnya masih dianggap belum menunjukan perbaikan, bukan tidak mungkin KY akan tetap dilembagakan didalam UUD 1945 bahkan didalam bab tersendiri. 3.
Eksistensi dan Peran Komisi Yudisial dalam Melaksanakan Kewenangannya Kedudukan KY yang bersifat mandiri tidak bisa dilepaskan dari sejarah perekrutan Hakim Agung yang dahulu sangat kental nuansa politisnya. Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Hakim Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara dari daftar nama calon yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat setelah mendengar pendapat Mahkamah Agung dan Pemerintah. Oleh karena lembaga pengusulnya adalah DPR tentu saja kepentingan politis tidak bisa dilepaskan dari usulan DPR kepada Presiden. Kedudukan KY yang mandiri bebas dari pengaruh Mahkamah Agung maupun kekuasan negara lainnya merupakan solusi sekaligus syarat mutlak untuk mendapatkan calon Hakim Agung yang berintegritas dan berkualitas, begitu pula dalam hal pengawasan terhadap Hakim, KY bersifat mandiri tidak berada dalam pengaruh Mahkamah Agung maupun Hakim Agung. Namun demikian, perlu dibedakan antara menjalankan wewenang dan memastikan hasil kerja KY. Wewenang KY mengusulkan calon Hakim Agung dengan “wewenang lain” dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim tidak selalu sama dengan hasil kerja KY. Meskipun KY, lembaganya bersifat mandiri, namun wewenangnya tidak sepenuhnya bersifat mandiri melainkan bersifat supporting system yaitu bersinergi dengan DPR untuk mendapatkan Hakim Agung yang berkualitas dan berintegritas serta membantu MA dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim sebagaimana ide awal pembentukan MPPH yang telah diasosiasikan sebagai cikal bakal pembentukan KY. Bersinergi dengan DPR untuk memperoleh Hakim Agung yang terbaik karena wewenang KY hanyalah sampai pada tahap mengusulkan calon Hakim Agung untuk mendapatkan persetujuan DPR. Jika dikaitkan dengan Putusan MK Nomor 27/PUU-XI/2013 tanggal 9 Januari 2014 dimana KY cukup mengajukan satu orang calon Hakim Agung untuk setiap lowongan kepada DPR, maka sinergi antara KY dan DPR akan semakin terasa, meskipun tetap saja KY tidak dapat memastikan bahwa usulannya pasti disetujui oleh DPR. Logika hukum yang normal akan mengatakan jika seleksi Calon Hakim Agung yang dilakukan oleh KY sudah baik dan benar, maka DPR tinggal menyetujuinya, namun sebaliknya jika seleksi Calon Hakim Agung yang dilakukan oleh KY tidak cukup baik dan benar, maka wewenang DPR pula untuk menolaknya. Selanjutnya mengenai frasa “wewenang lain” dan “dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim” dalam pasal ini haruslah dibaca satu nafas sehingga tidak menyebabkan bias dalam mengartikan wewenang lain tersebut. Meskipun KY memiliki kewenangan menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim, namun KY tidak diberi wewenang untuk menjatuhkan sanksi kepada Hakim, melainkan sebatas merekomendasikan penjatuhan sanksi terhadap Hakim kepada Ketua Mahkamah Agung. Untuk itulah diperlukan pula sinergitas antara KY dan Mahkamah Agung sebagaimana sinergitas KY dan DPR. Menjadi persoalan hingga saat ini ketika apa yang sudah direkomendasikan oleh KY tidak dilaksanakan oleh Mahkamah Agung khususnya karena adanya perbedaan persepsi mengenai masalah teknis yudisial. Dr. Jaja Ahmad Jayus, SH.MH didalam wawancara mencontohkan didalam putusan Peninjauan Kembali, Hakim Agung telah membuat pertimbangan yang menyatakan pengajuan PK telah melebihi tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak ditemukannya novum oleh karenanya Peninjauan Kembali dinyatakan tidak diterima. Menurut beliau hal tersebut meskipun persoalan teknis yudisial namun beririsan dengan kode etik, karena Hakim Agung seharusnya mengetahui bahwa 95
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 85-100
tenggang waktu pengajuan PK bukanlah 14 (empat belas) hari sejak ditemukannya novum melainkan 180 (seratus delapan puluh) hari sejak ditemukannya novum. Hal “teknis yudisial” tersebut, jika tidak disamakan persepsinya antara pemahaman Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung, maka selalu akan menjadi pengganjal sinergitas hubungan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Pasang surut hubungan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung sudah tampak dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006 yang pada pokoknya membatalkan wewenang pengawasan eksternal Komisi Yudisial terhadap Hakim Agung. Meskipun Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung didalam Pasal 32 A ayat (2) menyebutkan ‘Pengawasan eksternal atas perilaku hakim agung dilakukan oleh Komisi Yudisial”, namun para hakim agung hingga saat ini tidak lagi mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi, justru Mahkamah Agung mendukung dengan ditandatanganinya Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim tanggal 8 April 2009 dimana didalam terminologi Hakim diartikan “Hakim adalah Hakim Agung dan Hakim di semua lingkungan Badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung termasuk Hakim Ad Hoc. Dengan terminologi hakim tersebut, maka Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim bukan hanya berlaku bagi Hakim tingkat pertama dan Hakim pada tingkat banding, melainkan juga bagi Hakim Agung dan hakim ad hoc pada Mahkamah Agung dan semua badan peradilan dibawah Mahkamah Agung. Dengan demikian, keputusan bersama Ketua MA dan Ketua KY memiliki dampak terhadap hubungan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Pasang surut hubungan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung kembali terjadi pada saat Mahkamah Agung menjatuhkan putusan Nomor : 36 P/HUM/2011 tanggal 9 Februari 2012 karena Komisi Yudisial pada pokoknya menganggap bahwa Mahkamah Agung telah melanggar asas nemo judex in rex sua yang bermakna tidak seorangpun dapat menjadi Hakim atau mengadili hal yang menyangkut dirinya sendiri. Sebagai lembaga negara yang baru yang ingin segera menunjukkan peran dan eksistensinya, pada periode awal lahirnya KY antara tahun 2004 sampai dengan tahun 2006, banyak sekali terjadi ketidakharmonisan hubungan antara KY dan MA hingga pada puncaknya 31 (tiga puluh satu) orang Hakim Agung mengajukan judicial review kepada MK mengenai kewenangan KY. Teguh Satya Bhakti mengatakan pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial, dengan mempergunakan pendekataan "kekuasaan" semata-mata sebagaimana yang diatur di dalam UUKY, tanpa mau melihat Peraturan Perundang-undangan yang lain, yang seharusnya juga menjadi acuan dan pedoman kerja bagi jajaran Komisi Yudisial, telah mengakibatkan sepak terjang KY telah melampaui batas wewenangnya, sehingga sangat meresahkan serta mengganggu, kinerja para Hakim185. Hal itu tercermin dari pendapat Fajrul Falaakh yang mengatakan bahwa semangat komisioner KY periode pertama memandang Hakim berengsek semua186. Setelah permohonan judicial review 31 (tiga puluh satu) orang hakim agung dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka wewenang KY untuk mengawasi Hakim Agung, termasuk Hakim Konstitusi (meskipun tidak dimintakan) kembali “gugur”. Dalam perkembangannya KY mendapatkan wewenang tambahan dari Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 yaitu melakukan proses seleksi pengangkatan hakim bersama Mahkamah Agung dan selanjutnya KY kembali mendapat tambahan wewenang sebagaimana 185
Teguh Satya Bhakti, Pola Hubungan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial menurut Amandemen UUD 1945 (Studi Tentang Peranan Komisi Yudisial dalam Menjaga Kekuasaan Kehakiman Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006), http://teguhalexander.blogspot.com/2008/12/polahubungan-mahkamah-agung-dan-komisi.html diunduh tanggal 9 Juni 2014 186 Iman Anshori Saleh, op cit halaman vi 96
Eksistensi dan Peran KY : Filosofi, Sejarah, dan Tujuan Pembentukannya, Tri Cahya Indra Permana
termuat didalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial sebagai berikut : a. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan. b. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. c. Menetapkan Kode etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung. dan d. Menjaga dan menegakkan pelaksanaan kode etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim. Di tahun 2009, KY mendapat tambahan wewenang berdasarkan undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu melakukan proses seleksi pengangkatan hakim bersama Mahkamah Agung. Ditahun yang sama pula KY mendapat kembali wewenang tambahan berupa pengusulan pembentukan MKH berdasarkan Pasal 11A angka 13 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung juncto Peraturan Bersama MARI dan KYRI Nomor : 04/PB/MA/IX/2012 dan 04/PB/P.KY/09/2012 tentang Tata Cara Pembentukan, Tata Kerja dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim. Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi Undang-Undang diberikan kembali tambahan 3 (tiga) wewenang baru bagi Komisi Yudisial sebagai berikut : - Pasal 18B menyebutkan : “Panel Ahli menyelesaikan tugasnya dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah dibentuk oleh Komisi Yudisial”. Dengan demikian Komisi Yudisial berwenang untuk membentuk Panel Ahli yang berwenang melakukan uji kelayakan dan kepatutan bagi Calon Hakim Konstitusi sebelum ditetapkan oleh Presiden. - Pasal 27A ayat (1) menyebutkan : “Mahkamah Konstitusi bersama-sama dengan Komisi Yudisial menyusun dan menetapkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi …”. - Pasal 27A ayat (4) : Untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi bersama-sama dengan Komisi Yudisial membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang bersifat tetap”. Tambahan wewenang tersebut tidak lepas dari tertangkapnya AM Mantan Ketua MK oleh KPK yang kemudian direspon oleh Presiden dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam fase ini, wewenang KY mencapai puncaknya, bahkan KY telah membentuk panel ahli untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan bagi Calon Hakim Konstitusi sebelum ditetapkan oleh Presiden demi menantisipasi kekosongan 2 (dua) orang hakim MK yaitu AM yang tertangkap KPK dan Harjono yang akan memasuki masa pensiun padahal menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum 2014 sudah semakin dekat sehingga komposisi 9 (sembilan) orang Hakim MK harus segera dilengkapi. Akan tetapi kerja KY membentuk panel ahli kembali menjadi sia-sia karena MK melalui putusan Nomor : 1-2/PUU-XII/2014 tanggal 11 Februari 2014 telah membatalkan bukan hanya terhadap Pasal-pasal yang menjadi dasar wewenang KY melaksanakan wewenang tambahannya tersebut diatas melainkan seluruh ketentuan didalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
97
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 85-100
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi Undang-Undang. Alasan dibatalkannya tambahan 3 (tiga) wewenang KY tersebut pada pokoknya adalah menurut Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang yang mengatur pengajuan calon Hakim Konstitusi melalui Panel Ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial - walaupun 3 (tiga) dari 7 (tujuh) orang anggotanya masing-masing ditunjuk oleh Mahkamah Agung, DPR dan Presiden – telah nyata-nyata mereduksi kewenangan konstitusional Mahkamah Agung, DPR dan Presiden. Lain halnya apabila lembaga negara yang bersangkutan membentuk panitia yang akan menyeleksi secara intern untuk melaksanakan kewenangan konstitusionalnya dalam mengajukan calon Hakim Konstitusi. Hal demikian tidaklah bertentangan dengan konstitusi karena tidak ada kewenangan konstitusional lembaga negara yang direduksi187. Setelah dijatuhkannya putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tanggal 11 Februari 2014 tersebut diatas, maka wewenang KY yang tersisa secara keseluruhan adalah sebagai berikut : a. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan. b. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. c. Menetapkan Kode etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung. dan d. Menjaga dan menegakkan pelaksanaan kode etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim. e. Melakukan proses seleksi pengangkatan hakim bersama Mahkamah Agung f. Mengusulkan pembentukan Majelis Kehormatan Hakim E. Penutup Desakan pembentukan lembaga pengawas eksternal terhadap perilaku hakim sangatlah kuat, disamping keraguan akan pengawas internal juga terpuruknya kondisi dunia peradilan telah membuat anggota MPR melembagakan Komisi Yudisial didalam Bab IX UUD 1945 agar kedudukannya lebih kuat. Pelembagaan KY didalam UUD 1945 oleh anggota MPR adalah tidak tepat. Sebagaimana lembaga pengawas eksternal pada cabang kekuasaan lainya, maka pelembagaan KY lebih tepat didalam Undang-Undang. Untuk itu peneliti menyarankan dilakukannya amandemen kelima terhadap UUD 1945 yang salah satunya untuk mengeluarkan KY dari UUD 1945. Sejak dilembagakan didalam Bab IX UUD 1945 dengan 2 (dua) wewenangnya, KY telah mengalami pasang surut kewenangan dimana puncaknya KY memiliki 9 (sembilan) wewenang. Saat ini wewenang KY tersisa 6 (enam) dimana 3 (tiga) wewenang bersifat mandiri sedangkan 3 (tiga) wewenang lain bersifat bersama-sama Mahkamah Agung. Tambahan wewenang yang diberikan kepada KY diantaranya terbukti telah bertentangan dengan UUD 1945. Didalam menjalankan perannya, KY beberapa kali meminta untuk diperkokoh kewenangannya yang terkadang bertabrakan dengan wewenang lembaga negara lain. Untuk itu peneliti menyarankan kepada KY agar lebih fokus terhadap wewenang yang telah dimilikinya dan menjalankannya dengan sebaik-baiknya.
Daftar Pustaka Bunyamin Alamsyah, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, YPI Al-Musdariyah, Bandung, 2010 Dani Elpah, Penormaan Konsep Kepentingan Umum Dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi, Mataram, 2013 187
98
Putusan MK Nomor : 1-2/PUU-XII/2014 tanggal 11 Februari 2014 halaman 108-109
Eksistensi dan Peran KY : Filosofi, Sejarah, dan Tujuan Pembentukannya, Tri Cahya Indra Permana
Elza Fais dkk, Risalah Komisi Yudisial Republik Indonesia, Cikal Bakal, Pelembagaan dan Dinamika Wewenang, diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2013 Imam Anshori Saleh, Konsep Pengawasan Kehakiman, “Upaya Memperkuat Kewenangan Konstitusional Komisi Yudisial dalam Pengawasan Peradilan, Setara Press, Malang, 2014 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009 Umar Sholehudin, Hukum dan Keadilan Masyarakat, Perspektif Kajian Sosiologi Hukum, Setara Press, Malang, 2011 Internet www.bappenas.go.id diunduh tanggal 27 Februari 2014 www.mahfudmd.com diunduh tanggal 17 Juni 2014 http://teguhalexander.blogspot.com/2008/12/pola-hubungan-mahkamah-agung-dan-komisi.html diunduh tanggal 9 Juni 2014
99
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014 : 85-100
100
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014
ISSN : 2303-3274
BIOGRAFI PENULIS H. R.M. Anton Suyatno, lahir di Yogyakarta, 12 Juni 1955. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum di Fakultas Hukum UNTAG Jakarta tahun 1984, dan Magister Humaniora di Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang tahun 2002, serta Doktor Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung. Bekerja sebagai Direktur Pembinaan Tenaga Teknis Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung RI. Penulis dapat dihubungi ke alamat Kantor Puslitbang Kumdil lantai 10 Gedung Sekertariat Mahkamah Agung Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 Cempaka Putih Timur Jakarta Pusat. Budi Suhariyanto, lahir di Jember, Jawa Timur, 2 Mei 1983. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Jember tahun 2006, dan Magister Hukum di Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran Bandung tahun 2009. Bekerja sebagai Peneliti bidang Hukum dan Peradilan pada Pusat Penalitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI. Penulis dapat dihubungi melalui email
[email protected] atau surat ke alamat Kantor Puslitbang Kumdil lantai 10 Gedung Sekertariat Mahkamah Agung Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 Cempaka Putih Timur Jakarta Pusat. MAFTUH EFFENDI lahir di Pemalang, 20 April 1970. Menyelesaikan sarjana di Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih Jayapura Papua dan Magister Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro Semarang. Karier sebagai Hakim dimulai dari PTUN Jayapura. Kemudian pindah ke PTUN Makassar, PTUN Semarang, dan PTUN Jakarta. Saat ini menjadi Hakim Yustisial pada Kamar TUN Mahkamah Agung RI. Ahmad Fauzi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa MUH. RISNAIN Penulis Lahir di Bima 30 Desember 1980. Ia menyelesaikan Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Mataram tahun 2003. Tahun 2006 ia menyelesaikan studi Magister Hukum di Program Pascasrjana UNPAD dengan Konsentrasi Hukum Internasional. Setelah tamat S2 ia mengajar di sebagai Dosen Luar Biasa pada Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten (2006-2007). Pada tahun yang sama ia juga mengajar sebagai Dosen Luar Biasa pada FH Unram (2007). Sejak Tahun 2008 sampai awal 2011 menjadi Tenaga Ahli DPR RI yang membidangi Hubungan Internasional, Pertahanan dan Komunikasi/Komisi I DPR RI (2008-2009), kemudian ditugaskan mendampingi anggota DPR RI yang duduk di Komisi IX (Komisi Kesehatan dan Ketenagakerjaan). Awal 2011 diangkat menjadi Dosen Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Mataram. Pada bulan Juli 2014 menyelesaikan pendidikan Doktor Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum UNPAD Bandung. Penulis dapat dihubungi di Nomor : 081321386015, email :
[email protected] Muhamad Isna Wahyudi, lahir: Semarang, 2 Mei 1981Alamat tempat tinggal : Jl. Bandeng Raya I/7, Minomartani, Ngaglik, Sleman Yogyakarta, 55581 Alamat e-mail:
[email protected];
[email protected] Nomor Telepon/Hp: (0274) 882464/ 081575096119 Pendidikan Formal : 1. SD Negeri Ngempon I, Semarang, lulus 1993. 2. SMP Negeri Karangjati, Semarang, lulus 1996. 3. Takhasus Pondok Pesantren Modern Islam (PPMI) Assalaam Sukoharjo, lulus 1997. 4. MA Pondok Pesantren Modern Islam (PPMI) Assalaam Sukoharjo, lulus 2000. 5. Fakultas Syari’ah, Jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhshiyyah, IAIN Sunan Kalijaga
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014
ISSN : 2303-3274
Yogyakarta, lulus 2004. 6. Program Studi Hukum Islam, Konsentrasi Hukum Keluarga, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, lulus 2006. Riwayat Pekerjaan Hakim di lingkungan Peradilan Agama, bertugas di Pengadilan Agama Kotabumi Lampung Utara sejak Juli 2010-2013, dan sejak Februari 2014 bertugas di Pengadilan Agama Badung sampai sekarang. Karya Tulis/Publikasi 1. -------------, Buku Fikih Praktis Salat, editor: M. Zaid Su’di, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2007. 2. -------------, “Membaca Ulang Konsep Perwalian Dalam Perspektif Mohammed Arkoun,” dalam Musawa: Jurnal Studi Gender dan Islam, Vol. 5, No. 2, April 2007, 259-279. 3. -------------, “Nilai Pembuktian Saksi Perempuan dalam Hukum Islam,” dalam Musawa: Jurnal Studi Gender dan Islam, Vol. 8, No. 1, Januari 2009, 113-124. 4. -------------, Fiqh ‘Iddah: Klasik dan Kontemporer, Cet.I, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009. 5. -------------, Review artikel Wael B. Hallaq “Was al-Shafi’i the Master Architect of Islamic Jurisprudence?” in Qanun: Journal of Islamic Law, Volume 1, Number 1, Februari 2010, Doctorate Programme of Islamic Law, UII, Yogyakarta. 6. --------------, “Catatan Kritis atas Artikel Rifyal Ka’bah “ Penegakan Syariat/Hukum Islam di Indonesia,” dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XXV No. 289, Desember 2009, hlm. 39-45. 7. -------------, Studi Kasus tentang Pengakuan Anak, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XXV No. 296, Juli 2010, hlm. 92-95. 8. -------------, “Menjadi Hakim Sensitif Gender,” dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XXVII No. 317, April 2012, hlm. 51-52. 9. ---------------, “Kerancuan Putusan Perceraian di Lingkungan Peradilan Agama,” dalam Jurnal Mimbar Hukum dan Peradilan, Pusat Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM), Edisi No. 76, 2013, hlm. 116-123. 10. ---------------, Pembaruan Hukum Perdata Islam: Pendekatan dan Penerapan, Bandung: CV. Mandar Maju, 2014. EDI HUDIATA, Hakim PA Marabahan Wilayah Hukum PTA Banjarmasin. Menyelesaikan S1 di Fakultas Syariah Islamiyah, Universitas Al-Azhar, Cairo (2006). Kini sedang merampungkan Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin. Aktif sebagai Sekretaris IKAHI Cabang PA Marabahan, juga aktif di komunitas literasi seperti: Tim Penerjemah Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Arab (2011), Penulis Buku Biografi Dirjen Badilag “Wahyu Widiana Bekerja Tiada Henti Membangun Peradilan Agama; Biografi dan Langkah dalam mengembangkan Peradilan Agama di Indonesia” (bersama Drs. Muslim SH.,MA., 2012), Tim Redaktur Majalah Peradilan Agama (terbit oleh Ditjen Badilag), Pemred Buletin ”Ahsanta” Cairo (2004-2006), buletin “Prasasti” Cairo (2004-2006), Ambassador Rumah Dunia (2002-sekarang). Beberapa tulisannya telah dimuat di media, antara lain: Varia Peradilan, The Jakarta Post, Jurnal Nasional, Republika, Banjarmasin Pos, Radar Banten, Fajar Banten, dll. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected] atau HP 085280007441
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014
ISSN : 2303-3274
Tri Cahya Indra Permana, lahir di Jakarta, 13 Mei 1978, tinggal di Graha Harmoni 4 Blok A No. 7 Desa Bulakrejo, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo, Jawa-Tengah, Pendidikan Fakultas Hukum Unsoed Purwokerto, Lulus Tahun 2000, Magister Hukum Undip Semarang, Lulus Tahun 2009 pernah bekerja di Junior Associate, SR Legal Consultant Jakarta Tahun 20002001, Hakim PTUN Pekanbaru Tahun 2004-2008, Hakim PTUN Semarang Tahun 2008-2011, Hakim PTUN Surabaya Tahun 2011-2013, Hakim PTUN Jakarta Tahun 2013-Sekarang
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014
ISSN : 2303-3274
PEDOMAN PENULISAN JURNAL Jurnal Hukum dan Peradilan adalah media yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, terbit setahun 3 (tiga) kali (Maret, Juli dan Nopember). Jurnal Hukum dan Peradilan menerima sumbangan naskah di bidang Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan yang belum pernah dipublikasikan di media lain dengan ketentuan: 1. Naskah dikirim dalam bentuk karya tulis ilmiah seperti hasil penelitian lapangan, analisis/tinjauan putusan lembaga peradilan, kajian teori, studi kepustakaan serta gagasan kritis konseptual yang bersifat obyektif, sistematis, analitis, dan deskriptis. 2. Penulisan hendaknya menggunakan bahasa Indonesia yang baku, lugas, sederhana dan mudah difahami dan tidak mengandung makna ganda. 3. Naskah harus orisinil dibuktikan dengan pernyataan akan keorisinilan naskah tersebut oleh penulis. 4. Naskah dapat dalam bahasa Indonesia sepanjang 15-25 halaman. Naskah diketik diatas kertas A4 menggunakan huruf Time New Roman ukuran 12, spasi 1,5. Naskah harus disertai abstrak dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, antara 100-150 kata. 5. Sistematika penulisan hasil penelitian harus mencakup: Judul, Nama Penulis, Nama Instansi Penulis, Abstrak (berhasa Indonesia dan bahasa Inggris), Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Metode Penelitian, Hasil penelitian dan Pembahasan, Kesimpulan, daftar Pustaka. 6. Sistematika penulisan analisis putusan, kajian teori, wacana hukum harus mencakup: Judul, Nama Penulis, Nama Instansi Penulis, Abstrak (berhasa Indonesia dan bahasa Inggris), Pendahuluan, Pembahasan (dibuat sub judul sesuai dengan permasalahan yang dibahas), Kesimpulan, Daftar Pustaka. 7. Penulisan daftar pustaka secara alfabetis mengikuti Turabian Style dengan tata cara penulisan sebagai berikut: Buku. Weiss, Daniel A. Oedipus in Nottingham: D.H. Lawrence, Seattle: University of Washington Press, 1962. Makalah. Knight, Robin. “Poland’s Feud in the Family.”, New York, 10 September 1990, 52-53, 56. Artikel Jurnal. Sommer, Robert. “The Personality of Vegetables: Bonatical Metaphors for Human Characteristics.” Journal of Personality 56, no. 4 (December 1988): 665-683. Karangan Esai dalam Buku Kumpulan Karangan. Tillich, Paul. “Being and Love” In Moral Principles of Action, ed. Ruth N. Anshen, 661-72. New York: Harper & Bros., 1952. Internet Rost, Nicolas, Gerald Schneider, and Johannes Kleibl. “A Global risk assessment model for civil wars.” Social Science research 38, no. 4 (December 2009): 921-933. http//www.sciencedirect.com/science/article/ B6WX84 WMM7CY1/2/aa8571448b4774e8831a (accessed October 15, 2009) 8. Daftar pustaka hendaknya dirujuk dari edisi paling mutakhir. 9. Penulisan kutipan menggunakan model catatan kaki (footnotes) mengikuti turabian Style dengan tata cara penulisan sebagai berikut: Buku. Daniel A. Weiss, Oedipus in Nottingham: D.H. Lawrence (Seattle: University of Washington Press, 1962), 62.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 1 Maret 2014
ISSN : 2303-3274
Makalah. Robin Knight, “Poland’s Feud in the Family.”,U.S. New and Work Report, 10 September 1990, 52. Artikel Jurnal. Robert Sommer, “The Personality of Vegetables: Bonatical Metaphors for Human Characteristics.” Journal of Personality 56, no. 4 (December 1988): 670. Karangan Esai dalam Buku Kumpulan Karangan Paul Tillich, “Being and Love,” in Moral Principles of Action, ed. Ruth N. Anshen (New York): Harper & Bros., 1952), 663. Internet Nicolas Rost, Gerald Schneider, and Johannes Kleibl, “A global risk assessment model for civil wars,” Social Science Research 38, no.4 (December 2009): 922, http://www.sciencedirect.com/science/ B6WX84WMM7CY1/2/aa85435453ae88c432a 10. Naskah kiriman dalam bentuk softcopy atau hardcopy yang dilampiri dengan biodata singkat (CV) penulis, copy NPWP penulis, alamat email, No. telp/hp, naskah dapat dikirim via email ke e-mail redaksi jurnal atau puslitbang kumdil Mahkamah Agung RI 11. Naskah dikirim atau diserahkan secara langsung, paling lambat 1 (satu) bulan sebelum penerbitan kepada: Redaksi Jurnal Mahkamah Agung Gedung Skretariat Mahkamah Agung RI Jl. Jend. A. Yani Kav. 58 Lt. 10 Cempaka Putih Jakarta Pusat 13011 email:
[email protected] atau
[email protected] 12. Naskah yang tidak memenuhi format ketentuan diatas tidak akan diseleksi. Dewan editor berhak menyeleksi dan mengedit naskah yang masuk tanpa merubah substansi. Kepastian atau penolakan naskah akan diberitahukan kepada penulis. Prioritas pemuatan artikel didasarkan pada penilaian substansi dan urutan naskah yang masuk ke Redaksi Jurnal Mahkamah Agung. Artikel yang tidak dimuat tidak dikembalikan kepada penulis.
Jurnal Hukum dan Peradilan Menyampaikan terima kasih Kepada para Mitra Bestari (referee) dan semua pihak Yang telah membantu penerbitan jurnal ini Volume 3 Nomor 1 Maret 2014