ISSN 1978-869X MAJALAH / JURNAL
GENERASI KAMPUS
VOLUME 3, NOMOR 1, APRIL 2010
DI TERBITKAN OLEH :
PEMBANTU REKTOR BIDANG KEMAHASISWAAN, UNIVERSITAS NEGERI MEDAN, TAHUN 2009
MAJALAH/JURNAL
GENERASI KAMPUS
ISSN 1978-869X
(CAMPUS GENERATION) VOLUME 3, NOMOR 1, APRIL 2010 Terbit Dua kali setahun pada bulan April dan September. Berisi ringkasan hasil penelitian, gagasan kopseptual, kajian teori, aplikasi teori yang dimuat dalam Majalah/jurnal Generasi Kampus . Pelindung
:
Prof. Dr. H. Syawal Gultom M.Pd. (Rektor Unimed)
Pengarah
:
*Prof. Dr. Slamat Triono, M.Sc (Pembantu Rektor I Unimed); *Drs. Chairul Azmi, M.Pd. (Pembantu Rektor II Unimed); *Dr. Berlin Sibarani, M.Pd. (Pembantu Rektor IV Unimed).
Penanggung jawab
: Drs. Biner Ambarita, M.Pd. (Pembantu Rektor III Unimed)
Ketua Penyunting
: Hariadi, S.Pd., M.Kes.
Sekretaris Penyunting
: Tappil Rambe, S.Pd.
Penyunting Pelaksana : * Dr. Biner Ambarita, M.Pd. *Prof.Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. *Lamhot Sihombing, S.Pd, M.Pd. *Miswaruddin Daulay, S.Pd. *Mangaratua Simanjorang, M.Pd.*Pardomuan NJM. Sinambela, M.Pd. *Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. *Drs. Swardi Rajaguguk. *Drs. Indra Maipita, M.Sc. *Ir. Haikal Rahman, M.Sc. *Syamsul Gutom S.Mas, M.Kes. * Pembantu Dekan III FIP (Drs. Nasrun M.S), *Pembantu Dekan III FBS (Dr. Daulat Saragi, M. Hum), * Pembantu Dekan III FT (Drs. Hezekiel Pasaribu, M.Pd), * Pembantu Dekan III FPMIPA (Drs. Asrin Lubis, M.Pd), * Pembantu Dekan III FIS (Drs. Liber Siagian, M.Si) * Pembantu Dekan III FIK (Dr. Agung Sunarno M.Pd), dan * Pembantu Dekan III FE (Drs. Bangun Napitupulu, M.Si) Penyunting Ahli : Prof. Selamat Triono, M.Sc, PhD (Universitas Negeri Medan); Prof. Dr. Hamka (Universitas Negeri Padang); Dr. Herminarta Sofyan (Universitas Negeri Yogyakarta); Prof. Yusuf Sudo Hadi (Institut Pertanian Bogor); Eddy Nur Ilyas, S.H, M.Hum (Universitas Syah Kuala Darussalam B. Aceh); Ir. H.RB. Ainurrasyid, NIS (Universitas Brawijaya); Syarif A. Barmawi, S.H, M.Si (Universitas Pajajaran Bandung); Prof. Dr. H.R. Boenyamin (Universitas Jendral Sudirman) Desain Cover
: Drs. Nelson Tarigan, M.Pd.
Kontributor
:
*Samrah, S.Pd. *Nurhaida, SH, M.Kn. *Surbita, SH. *Dra. Hayati Tamba. *Dra. Susiarni. *Nusawati BA. *Drs. Idrus. *Dra.Nismawarni Harahap. * Pelaksana Tata Usaha
:
Alamat Tata Usaha
:
Bani Ismail; Dewita Rita
Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Negeri Medan, Lantai 3. Jln. Williem Iskandar, Pasar V, Medan Estate. Kotak Pos 1589, Medan 20221. Telp : (061) 6613276, 6613365, 6618754. Fax : (061) 6613319. e-mail :
[email protected]
Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain. Naskah diketik dengan spasi 1,5 pada kertas A4 dengan jumlah halaman 10-15. (lebih jelas baca petunjuk bagi penulis pada sampul dalam belakang). Naskah yang masuk dievaluasi oleh penyunting ahli. Penyunting dapat melakukan perubahan pada tulisan yang dimuat untuk keseragaman format, tanpa mengubah maksud dan isi tulisan tersebut.
SURAT DARI REDAKSI
Kondisi lingkungan, baik lokal maupun global, yang dinamis mendorong dunia pendidikan untuk senantiasa meninjau kembali kesesuaian antara tujuan dan capaian. Berbagai fenomena dapat dijadikan indikator akan perubahan nilai dalam masyarakat yang semakin hari semakin kontras menyediakan tantangan yang patut diperhitungkan oleh dunia pendidikan. Edisi kali ini membahas peningkatan mutu dan daya saing perguruan tinggi, evaluasi kurikulum dalam pembelajaran, aplikasi logika kabur dalam pengendalian pembangunan pendidikan, tawaran alternatif dalam
membangun
softskill,
kualitas
sumber
daya
manusia,
perkembangan anak, manajemen mutu, serta penguatan eksistensi mahasiswa. Warna-warni pemikiran dalam edisi ini menunjukkan kepedulian para pemerhati akan kondisi pendidikan saat ini. Semoga ulasan pada edisi kali ini dapat menggugah hati para pembaca yang budiman dan memberi sumbangan pemikiran dalam upaya peningkatan mutu pendidikan kita. Salam…!
Medan, April 2010 Penanggungjawab Pembantu Rektor III UNIMED,
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. NIP: 19570515 198403 1 004
ISSN 1978-869X MAJALAH/JURNAL
GENERASI KAMPUS (CAMPUS GENERATION) V VOLUME 1, NOMOR 1, APRIL 2008 IL 2008
VOLUME 3, NOMOR 1, April 2010 Daftar Isi Biner Ambarita Pardomuan N.J.M. Sinambela Wanapri Pangaribuan Mangaratua M. Simanjorang Sukarman Purba Indra kasih Renova Marpaung Paningkat Siburian Tappil Rambe Lamhot Basani Sihombing
Peningkatan Mutu, Relevansi dan Daya Saing Perguruan Tinggi Menghadapi Era Globalisasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Kajian Teoritis Tentang Evaluasi Kurikulum dalam Pembelajaran) Sistem Pengendalian Pembangunan Pendidikan Berbasis Logika Kabur (Fuzzy Logic) PMRI Alternatif dalam Upaya Membangun Softskill Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia melalui Sektor Pendidikan Pertumbuhan Gerak dan Karakteristik Perkembangan Anak Implementasi Manajemen Mutu Pembangunan Pendidikan di Sumatera Utara Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi melalui Manajemen Yang Berorientasi Mutu Penguatan Eksistensi Mahasiswa Dampak Inovasi Pendidikan sebagai suatu Bidang Studi Pengantar Pendidikan di Perguruan Tinggi Indonesia
1-17 18-42 43-53 54-64 65-80 81-100 101-116 117-128 129-140
141-155
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
PENINGKATAN MUTU, RELEVANSI DAN DAYA SAING PERURUAN TINGGI MENGHADAPI ERA GLOBALISASI Biner Ambarita Abstrak Dalam Era Globalisasi peningkatan mutu, relevansi dan daya saing sudah merupakan keharusan. Hal ini disebabkan perubahan yang terjadi dalam setiap aspek kehidupan telah mengglobal. Untuk itu, Perguruan Tinggi sebagai suatu lembaga formal penghasil Sumber Daya Manusia haruslah dapat mengantisipasi hal tersebut dengan memprioritaskan peningkatan mutu dan daya saing agar dapat mengikuti perubahan. Peningkatan mutu ini tercermin dari penghayatan dan pengamalan nilai-nilai, keteguhan iman, berakhlak mulia, beretika, memiliki kepribadian yang tangguh dan mandiri. Untuk peningkatan Relevansi diperlukan keberanian para pengambil keputusan pimpinan perguruan tinggi untuk membuka penawaran berbagai program studi baru dan menutup bidang keilmuan tertentu yang sudah jenuh. Selain itu, Relevansi perguruan tinggi sangat tergantung pada akuntabilitas perguruan tinggi yang bersangkutan. Untuk itu, pengembangan kurikulum Perguruan Tinggi haruslah adaptif terhadap perubahan sehingga lulusannya dapat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di era globalisasi, Pengembangan Kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Perbaikan dan Pengembangan Sarana dan Prasarana, Perluasan Pendidikan Kecakapan Hidup, Pengembangan program-program unggulan baik di bidang pendidikan, penelitian maupun pengabdian pada masyarakat, Pengawasan dan Penjaminan Mutu secara Terprogram dan Teknologi informasi dan komunikasi dalam kegiatan tri darma perguruan tinggi. Untuk meningkatkan daya saingnya dengan melakukan reformasi dalam bidang kelembagaan, akademik, administrasi dan manajemen pendidikan agar para diperoleh perguruan tinggi yang memiliki daya saing yang tinggi. Kata kunci: Peningkatan Mutu, Relevansi, Daya Saing, Globalisasi A. Pendahuluan Untuk menyongsong kehidupan masa depan, pada umumnya orang sependapat bahwa tidak ada sesuatu yang pasti. Hal ini disebabkan karena perubahan yang sangat cepat dan kompleks dalam setiap lini
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
1
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
kehidupan. Perubahan terjadi secara terus-menerus dalam skala dan intensitas yang semakin meningkat. Khususnya dalam dua tiga dekade terakhir ini, perubahan tersebut telah terjadi dalam skala dan intensitas yang sangat tinggi. Pendorong utama dari perubahan ini adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbeda dengan masa sebelumnya, tingkat kecepatan yang membawa perubahan ini, menembus batas-batas nasional (footloose). Untuk itu, Perguruan Tinggi sebagai salah satu penghasil Sumber Daya Manusia haruslah dapat mengantisipasi hal tersebut dengan memprioritaskan peningkatan mutu dan daya saing agar dapat mengikuti perubahan. Peningkatan mutu harus dilakukan secara berkesinambungan. Peningkatan mutu ini terlihat dari penghayatan dan pengamalan nilai-nilai, keteguhan iman, berakhlak mulia, beretika, memiliki kepribadian yang tangguh dan mandiri. Peningkatan mutu terlihat pada prioritas pembangunan nasional yang terletak pada bidang ekonomi, peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), terutama dalam menghadapi era globalisasi, khususnya perdagangan bebas di kawasan ASEAN dan di kawasan Asia-Pasifik yang diwarnai dengan persaingan yang ketat dan menentukan jati diri suatu bangsa di antara bangsa-bangsa maju lainnya di dunia. Berbagai upaya perlu dilakukan untuk mewujudkan kualitas SDM tersebut. Berbicara tentang peningkatan mutu, maka tidak akan terlepas dengan upaya Pimpinan Perguruan Tinggi untuk membuat rencana strategis perguruan tinggi ke arah peningkatan kualitas dan daya saing. Sudah barang tentu keanekaragaman potensi dan sumber daya yang dimiliki perguruan tinggi di Indonesia diharapkan adanya sinergitas antara Perguruan Tinggi dengan partisipasi masyarakat terutama dunia usaha dan dunia industri dalam mempercepat peningkatan mutu output perguruan tinggi. Selain itu,
untuk menghadap perubahan tersebut,
Perguruan Tinggi harus terus dibina dan dikembangkan untuk menyiapkan para mahasiswanya menjadi anggota masyarakat yang
2
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
memiliki kemampuan pendidik dan atau profesional, serta kemampuan kepemimpinan
yang
handal
terhadap
kebutuhan-kebutuhan
pembangunan serta pengembangan pengetahuan dan teknologi, berjiwa penuh pengabdian dan memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap masa depan bangsa dan negara. Peningkatan mutu, relevansi dan daya saing PT merupakan suatu proses yang terintegrasi, sehingga diperlukan komitmen yang tinggi dari pengelola PT maupun civitas akademika untuk mewujudkannya. Pentingnya peningkatan mutu dan relevansi dilakukan agar para lulusan PT memiliki pengetahuan dan kemampuan yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesatnya sehingga dapat bekerja pada dunia usaha dan industri sesuai dengan bigang kerjanya. Namun kenyataannya, permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan saat ini adalah perbaikan mutu yang kurang atau tidak berhasil. Hal ini disebabkan karena : a) Strategi pembangunan pendidikan selama ini masih lebih bersifat Input oriented. b) Pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro pada PT mengingat jumlah dan perbedaan PT pada setiap daerah. Seperti yang dinyatakan Tilaar (2000) bahwa pendidikan tinggi di Indonesia masih belum bermakna dalam peningkatan kualitas manusia Indonesia, baik moral, etos kerja, kemampuan dan ketrampilan masih jauh dari harapan yang didambakan. B. Pembahasan 1. Tantangan yang dihadapi Perguruan Tinggi pada Era Globalisasi Perubahan dalam kehidupan masyarakat yang berkembang dengan sangat pesat, maka muncul pendapat bahwa era yang akan dihadapi dalam abad mendatang adalah era globalisasi. Intinya adalah
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
3
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
bahwa segala kegiatan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat berlangsung secara global. Dalam hubungan ini Robertson (1992:8) merumuskan globalization sebagai "... the compression of the world and the intensification of consciousness of the world as a whole". Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa globalisasi menyangkut munculnya sistem budaya global. Budaya global ini dibawa oleh berbagai perkembangan sosial, budaya dan teknologi (misalnya kehadiran sistem informasi melalui satelit dunia), kehadiran pola global mengenai konsumsi dan konsumerisme, pengembangan gaya hidup kosmopolitan. Globalisasi disebutkan pula sebagai "the concrete structuration of the world as a whole", yakni kesadaran yang berkembang pada tingkat global bahwa dunia adalah sebuah lingkungan yang dibangun secara berkelanjutan. Dengan demikian, globalisasi lebih dari sekedar sosiologi hubungan international. Juga berbeda dari teori sistem dunia (world system theory) yang menganalisis perkembangan dari saling ketergantungan ekonomi global dan yang mengklaim bahwa budaya globalisme adalah sekedar konsekuensi dari globalisasi ekonomi. Juga perlu dihindari pemahaman globalisasi dari thesis awalnya yang mengatakan bahwa globalisasi adalah "convergence of nation states towards a unified and coherent form of industrial society". Teori yang mutakhir mengatakan globalisasi terdiri dari dua proses yang bertentangan yakni homogenisasi dan diferensiasi dan bahwa terdapat interaksi yang kompleks diantara lokalisme dan globalisme, dan bahwa terdapat gerakan yang kuat melawan proses globalisme. Argumentasi tersebut di atas penting untuk sosiologi tradisional yang terus memfokuskan diri pada nation state dibandingkan dengan fokus terhadap dunia sebagai suatu sistem masyarakat. Ini menunjukkan
pengaruh
globalisasi akan semakin nyata pada dunia pendidikan dan ke adalam seluruh aspek kehidupan manusia.
4
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
Berbicara tentang relevansi pendidikan tinggi di Indonesia sangatlah kompleks. Dalam Era Globalisasi masalah relevansi sudah merupakan hal yang sangat penting diperhatikan agar kesesuaian lulusan perguruan tinggi dapat mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat. Relevansi dapat diaplikasikan apabila kita merubah pendekatan perguruan tinggi. Selama masih menganut pendekatan "Supply" maka selama itu pula relevansi tidak tercapai. Relevansi bisa diwujudkan apabila perguruan tinggi Indonesia telah bergeser pada pendekatan "Demand " artinya, program studi dibuka dan ditutup sesuai dengan permintaan pasar. Oleh karena itu, diperlukan keberanian para pengambil keputusan bidang pendidikan tinggi atau pimpinan perguruan tinggi tidak lagi berdasarkan penawaran berbagai program studi. Mungkin satu program studi atau bidang keilmuan tertentu sudah jenuh, pasar tidak lagi membutuhkan. Selain itu, Relevansi perguruan tinggi sangat tergantung pula pada akuntabilitas perguruan tinggi yang bersangkutan. Jika satu perguruan tinggi tidak ada komitmen pada pertanggungjawaban sosial, dan pertanggungjawaban keilmuan maka relevansi tidak pernah terwujud. Dengan demikian, relevansi perlu didorong terus menerus. Artinya, visi dan misi serta strategi perguruan tinggi harus diarahkan pada bagaimana mencapai tingkat relevansi lulusannya. Oleh karena itu, setiap perguruan tinggi harus merencanakan dan menerapkan berbagai program strategis yang sesuai dengan potensi daerah yang diorientasikan. Selain itu, masalah daya saing pada era globalisasi merupakan salah satu aspek yang menarik untuk diperhatikan, khususnya daya saing di perguruan tinggi. Untuk mencapai daya saing perguruan tinggi, seperti diungkap oleh Ham dan Hayduk (2003) dalam Alma dan Hurriyati (2008) terdapat tiga faktor yang menjadi global issues dan berpengaruh kepada semua organisasi baik besar maupun kecil, organisasi profit dan non
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
5
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
profit, maupun perusahaan lokal atau global, termasuk di dalamnya perguruan tinggi. Ketiga faktor tersebut adalah service quality, customer satisfaction and behavioral intentions. Meminjam istilah Porter (1993) tentang konsep persaingan Industri, maka dalam dunia pendidikan lima kekuatan dalam persaingan itu dapat diterjemahkan sebagai: (a) Munculnya perguruan tinggi baru, termasuk perguruan tinggi asing yang membuka cabangnya di Indonesia; (b) Dibukanya jurusan/program studi baru oleh perguruan tinggi lainnya lebih menarik; (c) Terjadi perubahan dan peningkatan kebutuhan dari masyarakat pengguna lulusan perguruan tinggi; (d) Terjadinya perubahan dan kebutuhan dari calon mahasiswa atas jenis dan layanan pendidikan yang dikehendaki; (e)Ancaman dari perguruan tinggi yang sudah ada. 2. Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi Berbicara tentang mutu, banyak para ahli mengemukakan pendapatnya antara lain: Juran mengatakan kualitas produk adalah kecocokan penggunaan produk untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Kecocokan itu berdasarkan pada lima prinsip (1) teknologi, yaitu kekuatan atau daya tahan; 2) psikologis, yaitu citra rasa atau status; (3) waktu, yaitu kehandalan; (4) kontraktual yaitu jaminan; (5) etika yaitu sopan santun, ramah tamah, atau jujur. Dengan demikian, mutu adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, manusia/tenaga kerja, proses dan tugas, serta lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan atau konsumen. Kemudian, walaupun definisi mutu tidak ada yang universal, namun paling tidak ada beberapa hal yang dapat disimpulkan bahwa mutu mencakup usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan. Dari sudut manajemen operasional mutu merupakan kebijakan penting dalam meningkatkan daya saing
6
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
produk yang harus memberi kepuasan kepada konsumen yang melebihi atau paling tidak sama dengan produk pesaing. Karakteristik
utama
globalisasi
yang
berkaitan
dengan
pendidikan, atau dengan perkataan lain yang merupakan peluang dan tantangan bagi pendidikan. Globalisasi menyangkut seluruh aspek kehidupan masyarakat dan individu anggota masyarakat. Globalisasi menyangkut kesadaran baru mengenai dunia sebagai satu kesatuan. Interaksi dan saling ketergantungan yang semakin besar dalam era baru perlu dijawab dengan tepat. Mengutip Kotter (1995) menyatakan "The globalization of markets and competition is creating enormous change. The new rule is: to succeed, one must capitalize on the opportunities available in the faster-moving and more competitive business environment while avoiding the many hazards inherent in such an environment". Dengan demikian, tamatan pendidikan tinggi seyogyanya dilengkapi agar mampu memanfaatkan peluang-peluang baru yang tersedia dalam era yang baru tersebut; peluang-peluang mana berubah dan bergerak sangat cepat, demikian pula dengan tantangantantangan yang ditimbulkannya. Jadi, produk perguruan tinggi harus mampu untuk berkompetisi yang salah satu syaratnya adalah memiliki keunggulan-keunggulan tertentu. Jadi kualitas pendidikan memegang peranan yang sangat sentral. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan tinggi Indonesia maka pelaksanaan Tri darma perguruan tinggi seyogyanya dilaksanakan dengan benar dalam suasana yang kondusif untuk pengembangannya. Darma yang pertama masih perlu terus dikembangkan pelaksanaannya, termasuk di dalamnya adalah pemanfaatan satuan acara perkuliahan yang rinci serta variasi metode belajar mengajar yang dipergunakan. Salah satu persyaratan utama untuk ini adalah para tenaga pengajar harus tekun dan memiliki
motivasi
yang
tinggi
untuk
secara
terus-menerus
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
7
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
menyempurnakan materi perkuliahannya. Darma yang kedua, penelitian, masih sangat perlu untuk ditingkatkan. Satu hal yang nampaknya sangat penting untuk dikembangkan adalah budaya penelitian. Melaksanakan penelitian dalam suatu budaya penelitian yang benar akan membawa kepada penerapan manajemen penelitian yang baik. Dan pada gilirannya hasil penelitian tersebut akan mampu menjadi rekomendasi yang potensial dimanfaatkan oleh penentu kebijakan. Dengan perkataan lain, perguruan tinggi dapat tumbuh dan berkembang di dalam era globalisasi dengan memanfaatkan peluang-peluang yang ada di dalam dunia bisnis. Untuk itu, Perguruan Tinggi haruslah dapat membangun citra atau kesan (image) dengan dimulai dari pengembangan kualitas atau reputasi program pendidikan yang ditawar dari program studi S1, S2 maupun S3, hubungan dengan industri dan dunia kerja, mendapatkan income generating baru kemudian mendapatkan image atau reputasi perguruan tinggi (Corporate Image), Shattock (2004:125-135). Hal ini diharapkan akan dapat meningkatkan mutu perguruan tinggi. Selain itu, berbagai kebijakan telah digulirkan untuk peningkatan mutu pendidikan. Salah satunya adalah kebijakan otonomi perguruan tinggi, yaitu perubahan perguruan tinggi berbadan hukum pendidikan (PT-BHP), walaupun kemudian mengundang polemik bagi para pelaksana dan praktisi pendidikan, namun perubahan yang dilakukan adalah upaya pemerintah untuk meningkatkan kemampuan Perguruan Tinggi yang bermutu yang mampu member kepuasan pelanggannya dan memiliki daya saing yang tinggi.
Perguruan Tinggi Bermutu ialah Perguruan
Tinggi yang mampu menghasilkan jasa-jasa yang sesuai dengan kebutuhan para pelanggannya, Tampubolon (2001:74). Perguruan tinggi bermutu dalam arti luas akan mampu mengatasi tantangan abad 21 dan memperbaiki kelemahan-kelemahan masa lalu, karena semua itu
8
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
merupakan kebutuhan para pelanggan. Jadi, perguruan tinggi bermutu adalah perguruan tinggi yang menghasilkan output (alumni) yang sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan, memuaskan pelanggan (mahasiswa, orang tua, dan dunia kerja) dan member kegunaan bagi pelanggan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa untuk mengembangkan perguruan tinggi bermutu dapat dilakukan dengan pendekatan Manajemen Mutu Terpadu (MMT). Lebih lanjut, Tampubolon (2001) menyebutkan ada tujuh pilar terpadu dalam paradigma baru manajemen Perguruan Tinggi Bermutu : (1) Mutu (kepuasan pelanggan) adalah fokus semua usaha pengelolaan Perguruan tinggi bermutu. Mutu dipahami sebagai kepuasan pelanggan atas semua jasa atau layanan Perguruan Tinggi; (2) Visi dan misi bahwa mutu harus dirumuskan dan ditetapkan, karena merupakan arah dan cita-cita yang akan dituju melalui semua usaha Perguruan tinggi bermutu. (3) Komitmen, merupakan komitmen semua unsur pengelola perguruan tinggi bermutu, terutama unsur-unsur pimpinan, harus ada untuk menganut pandangan atau filosofi baru yang sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan pelanggan;
(4)
Kepemimpinan; kepemimpinan yang bermutu perlu ada agar semua usaha terkoordinasi dan semua unsur pengelola Perguruan tinggi termotivasi dengan sebaik-baiknya. Setiap tingkatan pimpinan termasuk dosen harus memiliki lima ciri pokok yaitu visioner, pemersatu, pemberdaya, pengendali komunikasi dan edukasi serta integritas yang tinggi. (5) Sumber Daya Manusia; tanpa SDM bermutu jasa bermutu tidak akan tercapai, karena itu pemberdayaan SDM perguruan tinggi harus dilakukan secara bersistem dan berkelanjutan, meliputi sistem pendidikan dan latihan serta kesejahteraannya (6) Sistem/Proses; semua kegiatan perguruan tinggi baik dalam perencanaan dan pengendalian (pelaksanaan) maupun peningkatan mutu harus mendapat perhatian
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
9
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
sungguh-sungguh (7) Partisipasi Aktif, semua pihak yang ada dalam organisasi, eksternal organisasi harus berpartisipasi dan harus digerakkan serta dikoordinasikan seoptimal mungkin tanpa mengabaikan kaidahkaidah kerjasama, kemandirian dan persaingan.
Dengan demikian,
Melalui pendekatan MMT memusatkan perhatian pada: (1) proses dan sistem, artinya proses dinamika yang terus berkembang, dan kekuatan peraturan dan berbagai ketentuan tidak terjadi; (2) peningkatan mutu berkelanjutan, sesuai dengan kebutuhan pelanggan; (3) keterpaduan semua unsur yang berarti kerjasama dan kebersamaan adalah yang utama, bukan kepentingan individu atau interest kelompok tertentu. (4) pemberdayaan sumber daya manusia, tidak represif atau pengekangan kreativitas, inovasi dan kemandirian berkembang dengan baik; (5) kepemimpinan yang visioner, pemersatu, pemberdaya, terbuka dan delegatif. Peningkatan mutu terlihat pada pencapaian kecakapan akademik dan non akademik lebih tinggi yang memungkinkan lulusan dapat proaktif terhadap perubahan masyarakat dalam berbagai bidang baik pada tingkat lokal, nasional maupun internasional. Untuk mengukur keberhasilan sebuah Universitas Menurut Shattock adalah, Shattock (2004:5). Beberapa faktor yang harus dilihat pada pengukuran keberhasilan tersebut antara lain kualitas mahasiswa yang masuk di universitas, rasio antara dosen dengan mahasiswanya, tingkat waktu yang dihabiskan mahasiswa pada perpustakaan, fasilitas yang tersedia, tingkat klasifikasi dan tingkat kelulusan serta kualitas penelitian. Kemudian, antara kegiatan penelitian dan kegiatan pengajaran terjadi keseimbangan. Menurut Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 57, 58, 59, dan pasal 60, menyebutkan bahwa pengendalian mutu atau yang dikenal juga dengan Penjaminan mutu pendidikan dilaksanakan terhadap satuan pendidikan, termasuk
10 Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
perguruan tinggi. Aspek-aspek penjaminan mutu yang terpenting dilaksanakan adalah (1) evaluasi peserta didik dan institusi; (2) akreditasi untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan; (3) sertifikasi untuk menunjukkan kompetensi kepada peserta didik untuk melakukan sesuatu pekerjaan. Akreditasi yang diperoleh satuan pendidikan atau program studi menyatakan nilai harkat mutu institusi yang bersangkutan. Oleh karena itu, Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT, 2007) menetapkan kriteria perguruan tinggi bermutu adalah perguruan tinggi yang terakreditasi. Perguruan tinggi terakreditasi bila memenuhi berbagai standar, diantaranya adalah standar kepemimpinan, standar kemahasiswaan, standar sumberdaya manusia, standar kurikulum, standar prasarana dan sarana, standar Pendanaan, standar tata pamong, standar sistem pengelolaan, standar sistem pembelajaran, standar suasana akademik, standar sistem informasi, standar sistem jaminan mutu, standar lulusan, standar penelitian dan pengabdian pada masyarakat, dan standar program studi. Jika standarstandar yang telah ditetapkan memperoleh harkat penilaian tinggi, maka terakreditasi baik perguruan tinggi yang bersangkutan. Sehubungan dengan paradigma manajemen pendidikan tinggi yang menyangkut komponen kualitas, otonomi, akuntabilitas, akreditasi dan evaluasi, dikemukakan catatan sebagai berikut: Kualitas merupakan sasaran yang bergerak, maka dalam setiap periode tertentu perlu ditetapkan benchmark untuk masing-masing perguruan tinggi, yang pada akhirnya menuju pada standar kualitas yang tinggi, Sutjipto (2002 : 17). Tujuan Benchmarking untuk mengidentifikasi dan menguji berbagai inovasi, serta penerapan yang terbaik untuk mengarahkan kunci keberhasilan universitas dalam proses pengembangan manajemen.
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
11
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
3. Upaya Peningkatan Relevansi Perbedaan tempat satu Perguruan Tinggi dengan Perguruan Tinggi lainnya seharusnya merupakan kelebihan dan unggulan masingmasing. Perguruan Tinggi harus mengenali karakteristik daerah dimana Perguruan Tinggi tersebut
berada. Dengan mengenali karakteristik
daerahnya, maka Perguruan Tinggi dapat merencanakan kegiatan layanan yang tepat bagi pelanggan di sekitar Perguruan Tinggi, sehingga dapat merencanakan kesesuaian kebutuhan yang diinginkan daerah tersebut. Berbicara tentang relevansi pendidikan sangatlah kompleks. Relevansi dapat diaplikasikan apabila kita merubah pendekatan perguruan tinggi. Selama masih menganut pendekatan "Supply" maka selama itu pula relevansi tidak tercapai. Relevansi bisa diwujudkan apabila perguruan tinggi Indonesia telah bergeser pada pendekatan "demand" artinya, program studi dibuka dan ditutup sesuai dengan permintaan pasar, Tilaar, (1997: 194), menyatakan relevansi secara kurikuler menyangkut keserasian jenis, proses belajar yang dialami mahasiswa dengan suasana dan tuntutan masyarakat yang akan dimasuki mereka.
Relevansi
berkaitan pula dengan dunia kerja. Dunia kerja adalah tempat dimana semua manusia mampu berkiprah untuk menemukan jati dirinya, mengembangkan kemampuan berkarier, mengaktualisasikan dirinya dalam pergaulan hidup dan mencapai nilai kehidupannya secara optimal sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan, artinya relevansi yang dicapai adalah relevansi kualitatif. Selanjutnya relevansi akan tercapai apabila perguruan tinggi dapat mempertahankan akuntabilitas dan nama baiknya di mata masyarakat. Nama baik (Brand) Image dapat diraih apabila perguruan tinggi bermutu, dikelola dengan baik (Shattock, 2004:121). Cerminan nama baik universitas terletak pada kemampuan para tenaga pengajarnya pada program penelitian dan pengabdian pada
12 Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
masyarakat. Artinya, Universitas dikenal karena karyanya yang dapat digunakan oleh masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan keberanian para pengambil keputusan bidang pendidikan tinggi atau pimpinan perguruan tinggi tidak lagi berdasarkan penawaran berbagai program studi. Mungkin satu program studi atau bidang keilmuan tertentu sudah jenuh, pasar tidak lagi butuh. Kemudian, pimpinan perguruan tinggi harus berani bereksperimen dan menguji berbagai langkah perubahan yang mungkin untuk dilakukan, sehingga hasil riset dapat menjembatani relevansi perguruan tinggi. Peningkatan relevansi diharapkan dapat memberikan dampak bag! perwujudan eksistensi manusia dan interaksinya, sehingga dapat hidup bersama dalam keragaman sosial dan budaya. Selain itu, upaya peningkatan relevansi, daya saing dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat serta daya saing bangsa. Untuk meningkatkan relevansi perguruan tinggi dapat dilakukan dengan: (1) Pengembangan Kurikulum yang adaptif, (2) Pengembangan Kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan, (3) Perbaikan dan Pengembangan Sarana dan Prasarana, (4) Perluasan Pendidikan Kecakapan Hidup, (5) Pengembangan program-program unggulan baik di bidang pendidikan, penelitian maupun pengabdian pada masyarakat, (6) Pengawasan dan Penjaminan Mutu secara Terprogram dan (7) Teknologi informasi dan komunikasi dalam kegiatan tri darma perguruan tinggi. 4. Upaya Peningkatan Daya Saing Untuk meningkatkan daya saing perguruan tinggi, maka perguruan tinggi melakukan reformasi yang mencakup: a) Reformasi Kelembagaan, reformasi ini dimaksudkan untuk mengadakan identifikasi kebutuhan-kebutuhan apa yang diperlukan sehingga dapat ditentukan unsur prioritas dan menyelenggarakan pendidikan tinggi dengan
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
13
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
pemberian otonomi seluas-luasnya dan wewenang guna mengatur dirinya sendiri, b) Reformasi Bidang Akademik. Reformasi bidang akademik bertujuan untuk meningkatkan mutu dan relevansi dan daya saing pendidikan tinggi untuk menghadapi tantangan masa depan. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan akreditasi program studi, program studi yang belum terakreditasi/disamakan diusulkan untuk dibina dan teruji pada program studi yang terakreditasi/disamakan.
Hal
ini
bertujuan untuk menyederhanakan dan mengurangi biaya administrasi akademik, c) Reformasi Bidang Administrasi, yaitu bertujuan untuk mengadakan deregulasi dan desentralisasi guna meningkatkan efisiensi manajemen pendidikan tinggi, antara lain dengan memperpendek mata rantai birokrasi dan mengurangi biaya administrasi. Sistem pendidikan tinggi perlu dikelola secara lebih profesional. Jaringan telekomunikasi dan komputer on-line akan dapat membantu dalam koordinasi administrasi pendidikan tinggi, d). Reformasi Manajemen Perguruan Tinggi, yaitu Reformasi Manajemen Perguruan Tinggi perlu dilakukan untuk mengantisipasi kehidupan yang penuh ketidakpastian, paradoksial, dan penuh persaingan, dengan upaya memberdayakan seluruh potensi yang dimiliki Perguruan tinggi sebagai suatu
sistem produksi yang dapat
dinilai dengan tolok ukur, yaitu (a) mutu layanan, (b) mutu hasil didik (produk), dan (c) mutu pengelolaan proses pembelajaran. Mutu layanan jasa perguruan tinggi meliputi: tepat waktu pendidikan, jaminan keberhasilan pendidikan, iklim akademik yang mendukung, tidak adanya diskriminasi layanan jasa pendidikan, otonomi, kompetitif dalam kemudahan layanan dan kepercayaan penyelenggaraan. Mutu hasil didik (produk),
meliputi:
kompetensi
pengetahuan
dan
sikap
yang
bersertifikasi, dan kompetitif secara nasional dan global, fleksibel dalam proses long life education, akreditasi, kemampuan membentuk jaringan
14 Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
kerjasama, Mutu pengelolaan proses pembelajaran, yang meliputi: efisiensi, akuntabel disertai evaluasi diri, program terencana dengan baik, satuan biaya kompetitif, berbagai fasilitas kemudahan studi, otonomi penyelenggaraan, dan fleksibel. Menurut Tampubolon (2001) Perguruan Tinggi yang bermutu adalah lembaga pendidikan tinggi yang dikelola secara efektif dan efisien sehingga mampu menghasilkan jasa-jasa kependidikan yang sesuai dengan kebutuhan pada pelanggannya. Untuk itu, Perguruan Tinggi harus dapat melakukan manajemen modern yang berorientasi pada peningkatan mutu berkelanjutan. C. Penutup Dalam menghadapi Era globalisasi, Perguruan Tinggi harus melakukan perubahan karena pada Era Globalisasi menuntut persaingan yang berorientasi pada mutu, relevansi dan daya saing. Persaingan yang ketat merupakan tantangan yang makin berat. Untuk itu, tidak ada pilihan lain selain peningkatan mutu pendidikan berkelanjutan, peningkatan relevansi dan daya saing perguruan tinggi agar mampu menghadapi
persaingan
tersebut. Peningkatan
mutu
pendidikan
merupakan suatu kebutuhan mendesak yang perlu mendapat prioritas, karena pendidikan memegang peranan penting dalam menghasilkan sumber daya manusia yang dapat menentukan jati diri suatu bangsa. Peningkatan mutu dapat dilakukan dengan pendekatan MMT yang berfokus pada proses dan sistem, peningkatan mutu berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan pelanggan, keterpaduan semua unsur yang berarti kerjasama dan kebersamaan, pemberdayaan sumber daya manusia, kepemimpinan yang visioner, pemersatu, pemberdaya, terbuka dan delegatif. Untuk dapat mengisi lowongan pekerjaan, maka Perguruan Tinggi haruslah menyesuaikan dengan tuntutan masyarakat. Untuk itu,
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
15
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
pengembangan kurikulum Perguruan Tinggi haruslah adaptif terhadap perubahan sehingga lulusannya dapat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di era globalisasi, Pengembangan Kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Perbaikan dan Pengembangan Sarana dan Prasarana,
Perluasan Pendidikan Kecakapan Hidup, Pengembangan
program-program unggulan baik di bidang pendidikan, penelitian maupun pengabdian pada masyarakat, Pengawasan dan Penjaminan Mutu secara Terprogram. dan
Teknologi informasi dan komunikasi
dalam kegiatan tri darma perguruan tinggi. Mengingat pertumbuhan perguruan tinggi yang semakin meningkat, maka perguruan tinggi harus dapat meningkatkan daya saingnya dengan melakukan reformasi dalam bidang kelembagaan, akademik, administrasi dan manajemen pendidikan agar para diperoleh perguruan tinggi yang memiliki daya saing yang tinggi. D. Daftar Pustaka Alma, Buchari dan Ratih Hurriyati. 2008. Manajemen Coorporate dan Strategi Pemasaran Jasa Pendidikan: Fokus Pada Pelayanan Prima. Bandung: Alfabeta. Kotter, P. (1995). The New Rules How to Succeed in Today's Post-Corporate World. New York: The Free Press. Porter, E. Michael. 1980. Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industries and Competitors. New York: Macmillan. Robertson, R. (1992). Globalization Social Theory and Global Culture. London: Sage Publ. Shattock, Michael. Managing Succusful Universities, Open University Press, USA: McGraw Hill.
16 Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
Sutjipto. 2002. Tantangan, Kebijakan dan Manajemen Pendidikan Tinggi: Implikasi Terhadap Transformasi IKIP Menjadi Universitas. Pidato Guru Besar, Universitas Negeri Jakarta Tampubolon, Daulat P. 2001. Perguruan Tinggi Bermutu. Jakarta: PT. Gramedia. Tilaar, H.A.R. 1997. Pengembangan Sumberdaya Manusia Dalam Era Globalisasi: Visi, Misi, dan Program Aksi Pendidikan dan Pelatihan Menuju 2020. Jakarta: Grasindo. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) Beserta Penjelasannya. Bandung: Citra Umbara.
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
17
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (Kajian Teoritis Tentang Evaluasi Kurikulum Dalam Pembelajaran) Pardomuan N.J.M. Sinambela Abstrak Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan yang memasuki era globalisasi yang penuh tantangan dan ketidakpastian, diperlukan suatu rancangan pembelajaran beserta perangkatnya yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan nyata di lapangan. Untuk kepentingan tersebut pemerintah memprogramkan kurikulum tingkat satuan pendidikan sebagai acuan dan pedoman bagi pelaksanaan pendidikan untuk mengembangkan berbagai ranah pendidikan yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam seluruh jenjang dan jalur pendidikan, khususnya jalur pendidikan sekolah. Evaluasi terhadap sebuah kurikulum merupakan kegiatan yang mencakup berbagai aspek baik mengenai tujuan kurikulum, isi kurikulum, maupun segala sesuatu yang terlibat dalam pembelajaran dengan menggunakan kurikulum yang ada. beberapa syarat yang harus diperhatikan dalam evaluasi kurikulum antara lain (1) berorientasi kepada tujuan; (2) berkesinambungan; (3) komprehensif; (4) berfungsi ganda; (5) berorientasi pada kriteria. Beberapa model untuk evaluasi kurikulum, yakni (1) Model Educational System Evaluation yang terdiri dari model CIPP, model EPIC, model CEMREL, model Atkinson, dan model stake; (2) model evaluasi yang lain yakni, model measurement, model Congruence dan model Illuminatif. Kata Kunci: Kurikulum tingkat satuan pendidikan, evaluasi kurikulum A.
Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini semakin
pesat, akibatnya setiap individu harus mampu untuk menghadapi tantangan
dan
ketidakpastian
zaman
yang
semakin
kompleks.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan satu-satunya cara agar
bangsa
Indonesia
dapat
bersaing
dan
siap
menghadapi
permasalahan-permasalahan hidup yang semakin kompleks. Peningkatan kualitas tiap individu bangsa kita dapat dijamin apabila sekolah sebagai tempat berlatih, belajar, dan mengembangkan diri baik dalam intelektual,
18 Pardomuan N.J.M. Sinambela, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
moral, sosial, dan spiritual benar-benar menjamin semua peserta didik mampu menghadapi masa depannya. Perkembangan zaman pada abad Ilmu Pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung saat ini ditandai oleh adanya beberapa perubahan, diantaranya adalah lahirnya undang-undang tentang otonomi daerah dan undang-undang tentang kebijakan fiskal. Undang-undang tersebut membawa konsekuensi terhadap bidang-bidang kewenangan daerah sehingga lebih otonom, termasuk bidang pendidikan. Keinginan pemerintah yang digariskan dalam haluan negara agar pengelolaan pendidikan diarahkan pada desentralisasi dengan penerapan Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat, menuntut partisipasi masyarakat secara aktif untuk merealisasikan otonomi daerah. Karena itu pula perlu kesiapan sekolah sebagai ujung tombak pelaksanaan operasional pendidikan. Pembangunan daerah yang sudah otonomi dalam bidang pendidikan juga mempunyai tujuan untuk membangun dan menciptakan sumber daya manusia yang handal, cerdas, bertaqwa sesuai dengan tujuan pembangunan nasional dalam bidang pendidikan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, yang memungkinkan warganya mengembangkan diri sebagai manusia Indonesia seutuhnya. Untuk mewujudkan pembangunan nasional dalam bidang pendidikan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kesenian, perkembangan masyarakat, serta kebutuhan pembangunan maka dituntut adanya mutu pendidikan yang baik. Keberhasilan pembangunan pendidikan ditentukan oleh berbagai faktor,
Pardomuan N.J.M. Sinambela, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
19
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
antara lain kompetensi guru dan adanya kurikulum yang “up to date” dengan perkembangan zaman. Penguasaan peserta didik terhadap suatu mata pelajaran, diukur dari hasil belajar yang diperoleh. Hasil belajar yang diperoleh dari nilai Ujian Nasional semakin lama semakin menggembirakan, akan tetapi masih belum dapat unggul dalam tingkat internasional. Nilai ujian nasional terkadang tidak dapat mengukur keberhasilan seorang peserta didik tersebut menguasai suatu mata pelajaran. Hal ini terlihat dengan adanya peserta didik yang juara olimpiade fisika tetapi tidak lulus ujian nasional matematika. Terdapat peserta didik yang nilai ujian nasionalnya bagus, akan tetapi ketika ada tes untuk masuk perguruan tinggi dan tes yang lain, ternyata peserta didik tersebut tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan. Kurikulum merupakan salah satu hal yang paling pokok yang harus dibenahi untuk menanggulangi masalah-masalah dalam pendidikan. Seiring dengan perubahan zaman dan tujuan yang akan dicapai dalam pembelajaran, kurikulum yang berlaku di Indonesia sudah beberapa kali mengalami perubahan dan penyempurnaan. Di antaranya Kurikulum 1968, kurikulum 1975, kurikulum 1984, kurikulum 1994, kurikulum 2004 (kurikulum berbasis kompetensi) dan yang terakhir adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pengembangan kurikulum yang telah dilakukan, diharapkan dapat sepenuhnya membantu guru untuk membantu peserta didik agar lebih responsif dalam menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya
dalam
menghadapi
tantangan
hidup.
Penggunaan
pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki peserta didik dalam kehidupannya diharapkan juga membangkitkan motivasi peserta didik untuk belajar.
20 Pardomuan N.J.M. Sinambela, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
Dengan adanya hak otonomi luas kepada sekolah dan satuan pendidikan, disertai seperangkat tanggung jawab untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan kondisi yang ada. Sekolah dan satuan pendidikan juga diberi kewenangan dan kekuasaan yang luas untuk mengembangkan pembelajaran sesuai dengan kondisi dan kebutuhan peserta didik serta tuntutan masyarakat. Selain itu , sekolah dan satuan pendidikan juga diberikan kewenangan untuk menggali dan mengelola sumber dana sesuai dengan prioritas kebutuhan. Melalui otonomi yang luas sekolah dapat meningkatkan kinerja kependidikan dengan menawarkan partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan dan tanggung jawab. Dengan adanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, maka sekolah
sebagai
lembaga pendidikan
berhak
untuk
melakukan
pengambilan keputusan dalam pengembangan kurikulum. Dengan adanya wewenang sekolah untuk mengembangkan sebuah kurikulum, maka sekolah dituntut untuk dapat mandiri dan berdaya guna dalam mengembangkan kompetensi yang termuat di dalam sebuah kurikulum. Keterlaksanaan kurikulum tidak terlepas dari peran guru, karena hanya guru yang mengetahui apa yang terjadi di dalam pembelajaran. Guru merupakan ujung tombak terlaksananya kurikulum, oleh karena itu guru harus benar-benar diberdayakan di dalam pelaksanaan kurikulum di sekolah. Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan menuntut adanya kerjasama semua pihak. Kerjasama antar kepala sekolah, guru, peserta didik, dewan pendidikan, komite sekolah, dan masyarakat terlibat dalam suatu tindakan dan perilaku. Kerjasama yang tercipta hendaknya bersifat harmonis sesuai dengan posisinya masing-masing untuk mewujudkan suatu sekolah tempat para juara, yaitu sekolah yang dapat dibanggakan.
Kurikulum
Tingkat
Satuan
Pendidikan
Pardomuan N.J.M. Sinambela, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
yang
21
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
pengembangannya diserahkan kepada pihak sekolah diharapkan mampu untuk meningkatkan kualitas pendidikan, sehingga semua peserta didik mampu menghadapi persoalan-persoalan dan tantangan dalam hidupnya. B.
Pembahasan
1. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Kurikulum
adalah seperangkat rencana
dan
pengaturan
mengenai tujuan, isi/bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dalam sisdiknas (2003: pasal 1) tertulis bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan
pembelajaran
untuk
mencapai
tujuan
pendidikan tertentu. Sisdiknas (2003: pasal 36) menyatakan bahwa kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan (1) peningkatan iman dan taqwa; (2) peningkatan akhlak mulia; (3) peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; (4) keragaman potensi daerah dan lingkungan; (5) tuntutan pembangunan daerah dan nasional; (6) tuntutan dunia kerja; (7) perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (8) agama; (9) dinamika perkembangan global; dan (10) persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. Menurut Yatim (2006: 67) Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Kurikulum tingkat satuan pendidikan terdiri atas tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan
22 Pardomuan N.J.M. Sinambela, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Dalam penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan menggunakan panduan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang disusun oleh BSNP. Tujuan panduan kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk menjadi acuan bagi satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB, dan SMK/MAK dalam penyusunan dan pengembangan kurikulum yang akan dilaksanakan pada tingkat satuan pendidikan yang bersangkutan. Kurikulum tingkat satuan pendidikan diharapkan mampu memecahkan berbagai persoalan bangsa, khususnya dalam bidang pendidikan, dengan mempersiapkan peserta didik melalui perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap sistem pendidikan secara efektif, efisien, dan berhasil guna. Kurikulum tingkat satuan pendidikan merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi pada sekolah untuk menentukan kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, dan efisiensi pendidikan agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat serta menjalin kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat, industri, dan pemerintah dalam membentuk pribadi peserta didik. 2. Kompetensi Profesional Guru dalam Proses Pembelajaran Sebagai suatu profesi, terdapat sejumlah kompetensi yang harus dimiliki seorang guru, yaitu meliputi kompetensi pribadi, kompetensi profesional dan kompetensi sosial kemasyarakatan. a. Kompetensi Pribadi Seorang guru sering dianggap sebagai sosok yang memiliki kepribadian ideal. Oleh karena itu, pribadi guru dianggap sebagai suatu model yang harus dicontoh. Sebagai seorang model guru harus memiliki kompetensi yang berhubungan dengan pengembangan kepribadian (personal competencies), diantaranya kemampuan yang berhubungan dengan
Pardomuan N.J.M. Sinambela, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
23
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
pengalaman ajaran agama sesuai dengan keyakinan agama yang dianutnya, kemampuan untuk menghormati dan menghargai antar umat beragama, kemampuan untuk berperilaku sesuai dengan norma, aturan, dan sistem nilai berlaku di masyarakat, mengembangkan sifat-sifat terpuji sebagai seorang guru misalnya sopan santun dan tata krama, bersikap demokratis dan terbuka terhadap pembaharuan dan kritik. b. Kompetensi Profesional Kompetensi
profesional
guru
adalah
kompetensi
yang
berhubungan dengan penyelesaian tugas-tugas keguruan. Kompetensi ini merupakan
kompetensi
yang
sangat
penting,
karena
langsung
berhubungan dengan kinerja yang ditampilkan. Oleh sebab itu, tingkat keprofesionalan seorang guru dapat dilihat dari kompetensi ini. Beberapa kompetensi yang berhubungan dengannya, antara lain kemampuan untuk menguasai landasan pendidikan, pemahaman dalam bidang psikologi pendidikan, kemampuan dalam penguasaan materi pelajaran sesuai dengan bidang studi yang diajarnya, kemampuan dalam menerapkan berbagai metodologi dan strategi pembelajaran, kemampuan merancang dan memanfaatkan berbagai sumber media dan sumber belajar, kemampuan dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran, kemampuan dalam
menyusun
melaksanakan
program
unsur-unsur
pembelajaran, penunjang,
dan
kemampuan
dalam
kemampuan
dalam
melaksanakan penelitian dan berpikir ilmiah untuk meningkatkan kinerja. c. Kompetensi Sosial Kompetensi ini berhubungan dengan kemampuan guru sebagai anggota masyarakat dan sebagai makhluk sosial, meliputi kemampuan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman sejawat untuk meningkatkan kemampuan profesional. kemampuan untuk mengenal dan memahami fungsi-fungsi setiap lembaga kemasyarakatan, dan
24 Pardomuan N.J.M. Sinambela, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
kemampuan untuk menjalin kerja sama baik secara individual maupun secara berkelompok. 3. Peran Guru dalam Proses Pembelajaran Ketika ilmu pengetahuan masih terbatas; ketika penemuanpenemuan teknologi belum berkembang hebat seperti sekarang ini, maka peran utama guru di sekolah adalah menyampaikan ilmu pengetahuan sebagai warisan kebudayaan manusia yang dianggap berguna untuk diwariskan. Dalam kondisi yang demikian guru berperan sebagai sumber belajar (learning resources) bagi peserta didik. Walaupun demikian peserta didik tentu saja tidak harus belajar dari guru. Dalam abad teknologi dan informasi sekarang, peserta didik dapat belajar melalui berbagai sumber belajar yang ada. Namun demikian peran guru dalam proses pembelajaran masih memiliki peranan penting. Bagaimanapun hebatnya kemajuan teknologi, peran guru akan tetap diperlukan. Teknologi yang konon katanya dapat mempermudah manusia mencari dan mendapatkan informasi dan pengetahuan, tak mungkin bisa mengganti peran guru. Oleh karena itu guru dalam pembelajaran harus mampu menjadi fasilitator, sebagai pengelola (learning manager), sebagai demonstrator, dan sebagai evaluator sehingga pembelajaran dapat berlangsung sesuai dengan apa yang direncanakan. 4. Penilaian Pembelajaran Istilah penilaian, pengukuran, tes dan evaluasi seringkali membingungkan karena ketiganya dimungkinkan untuk terlibat dalam suatu proses. Ketiga istilah tersebut mengacu pada pengumpulan data dan informasi untuk maksud menggambarkan tingkat pengetahuan, performansi atau prestasi peserta didik atau grup. Penilaian sebagaimana dinyatakan di atas mencakup prosedur-prosedur yang digunakan untuk
Pardomuan N.J.M. Sinambela, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
25
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
memperoleh informasi mengenai pembelajaran peserta didik seperti pengamatan, tes, dan membuat keputusan berdasarkan kemajuan pembelajaran peserta didik. Tes adalah suatu bentuk penilaian yang meliputi sekumpulan pertanyaan yang disusun dalam suatu periode tertentu. Tujuan tes, membandingkan kondisi peserta didik dengan suatu kriteria tertentu atau membandingkan seorang peserta didik dengan peserta didik lainnya. Pengukuran adalah memberi skor untuk hasil-hasil tes atau bentuk penilaian lain, sesuai dengan aturan-aturan tertentu. Contoh untuk pengukuran ini seperti menghitung jawaban yang benar atau memberi skor pada aspek-aspek tertentu dari suatu penyelesaian soal. Evaluasi adalah proses menentukan suatu nilai atau manfaat dari, atau memberikan suatu penilaian pada sesuatu berdasarkan pengujian dan pertimbangan yang hati-hati. Jadi evaluasi berkenaan dengan, jika seseorang menggunakan informasi penilaian. Penilaian lebih luas dan mencakup pengukuran, evaluasi dan tes. Pengukuran
terbatas
pada
deskripsi
kuantitatif atau
hasil-hasil
pengukuran yang digambarkan dengan angka-angka. Pengukuran tidak meliputi baik deskripsi kuantitatif maupun kualitatif dan ada justifikasi. 5. Tujuan dan Prinsip Penilaian Pembelajaran Adapun tujuan penilaian beragam. Sebagaimana dikemukakan oleh Webb (1992: 663) sebagai berikut: Pertama adalah untuk dapat digunakan sebagai alat bagi guru untuk memberikan petunjuk dan umpan balik mengenai apa yang diketahui dan apa yang dapat dilakukan oleh peserta didik. Kedua, untuk menggambarkan apa yang bernilai berkenaan dengan yang diketahui dan yang dipercaya oleh peserta didik. Ketiga, memberikan informasi kepada pembuat keputusan dan lainnya. Keempat, memberikan informasi tentang keefektifan sistem pendidikan sebagai suatu keseluruhan.
26 Pardomuan N.J.M. Sinambela, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
Tujuan-tujuan di atas beserta kegiatan-kegiatan yang dihasilkan dari data penilaian dihubungkan dengan setiap tujuan, dapat digambarkan sebagai berikut. Mendorong Perkembangan Memonitor kemajuan siswa Memodifikasi Program
Mengevaluasi Program
Membuat Keputusan Pembelajaran
Memperbaiki Pembelajaran
Mengevaluasi Hasilhasil yang dicapai siswa Mengetahui Hasilhasil yang telah dicapai
Keterangan: Tujuan penilaian di dalam ellips sedangkan kegiatankegiatan yang dihasilkan dari data penilaian berada pada kotak persegi yang dihubungkan dengan setiap tujuan Gambar 2.1 Tujuan dan Hasil Penilaian (NCTM, 1995: 25) Penilaian dan tes sebagai bentuk penilaian, dapat diberikan pada awal suatu segmen pembelajaran. Salah satu tujuannya untuk menentukan kesiapan peserta didik yang diperlukan nanti dalam pembelajaran. Tes awal untuk menentukan kesiapan peserta didik tidak berbeda dengan tes yang digunakan untuk mengukur hasil pembelajaran. Suatu tes yang dirancang untuk mengukur hasil akhir dalam suatu pembelajaran, diberikan pada awal pembelajaran untuk mengukur seberapa jauh peserta didik telah mencapai kompetensi dasar. Dalam hal ini penilaian atau tes akhir tidak perlu sama, tetapi ekivalen dengan tes awal.
Pardomuan N.J.M. Sinambela, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
27
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
Penilaian dan tes yang diberikan selama pembelajaran adalah dasar untuk penilaian formatif. Tujuannya untuk memonitor kemajuan pembelajaran, mendeteksi kesalahan-kesalahan dalam pembelajaran dan memberikan umpan balik kepada guru dan peserta didik. Dari tujuannya dapat dilihat bahwa penilaian menjadi suatu bentuk komunikasi yang menyampaikan pesan dari guru kepada peserta didik mengenai apa yang perlu diketahui. Tes demikian biasanya disebut sebagai latihan, kuis, tes tiap pokok bahasan dan seterusnya. Gabungan tes dan bentuk penilaian lainnya perlu dipilih untuk memastikan bahwa keseluruhan tujuan khusus pembelajaran dinilai. Idealnya, penilaian dan tes disusun sedemikian hingga merupakan koreksi terhadap tujuan-tujuan khusus yang belum tercapai. Kesulitan tertentu pada pembelajaran yang berlangsung terus menerus, memungkinkan penggunaan tes diagnostik. Bentuk tes demikian memerlukan sejumlah item tes khusus. Dari satu item berikutnya perlu dibuat variasi atau perbedaan yang sekecil mungkin, sehingga letak kesulitan peserta didik dapat diketahui. Pada akhir suatu segmen pembelajaran, perhatian utama adalah mengukur hasil-hasil pembelajaran yang telah dicapai. Walaupun penilaian dan tes akhir khusus ditujukan untuk penilaian sumatif, misalnya menentukan nilai, tetapi dapat juga digunakan untuk fungsi yang lain. Tes akhir dapat digunakan untuk umpan balik bagi peserta didik, memberi remidi dan grading. Sebenarnya, juga dapat befungsi baik sebagai penilaian formatif maupun sumatif dan dalam beberapa hal sebagai suatu pretes untuk satuan bahasan berikutnya, jika satuan bahasan tersebut berkelanjutan. Penggunaan penilaian dan tes pada grading,
memberikan
informasi untuk mengevaluasi
pembelajaran. Bahkan hasil penilaian tersebut
dapat dijadikan dasar
28 Pardomuan N.J.M. Sinambela, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
keefektifan
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
untuk mengambil keputusan mengenai keefektifan program pendidikan secara umum. Agar tujuan penilaian di atas memenuhi sasaran yang diharapkan maka prinsip penilaian pembelajaran perlu diketahui, dikuasai dan diterapkan oleh guru. 6. Pengertian Evaluasi Kurikulum Evaluasi kurikulum merupakan tahap akhir dari suatu pengembangan kurikulum. Evaluasi kurikulum memegang peranan penting, baik dalam penentuan kebijaksanaan pendidikan pada umumnya maupun untuk pengambilan keputusan pada khususnya. Evaluasi dari sebuah kurikulum mempunyai hasil yang dapat digunakan oleh orangorang yang mengembangkan kurikulum dan bagi orang pemegang kebijaksanaan kurikulum dalam pengembangan sistem pendidikan. Demikian juga, hasil-hasil evaluasi tersebut dapat digunakan para guru, kepala sekolah, dan pelaksana pendidikan pada umumnya, untuk memahami dan membantu perkembangan siswa, memilih bahan ajar, memilih metode yang digunakan dalam pembelajaran, dan alalt-alat pembelajaran. Evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk meneliti kembali, apakah suatu proses atau kegiatan yang terdapat dalam kurikulum itu telah dan dapat dilaksanakan sesuai dengan perencanaan yang diharapkan. Dengan evaluasi kurikulum dimaksudkan sebagai suatu estimasi atau perkiraan tentang pertumbuhan dan kemajuan para peserta didik ke arah pencapaian tujuan-tujuan dan nilai-nilai kurikulum. Luas dan sempitnya program evaluasi kurikulum, sebenarnya ditentukan oleh tujuan yang akan dicapai. Apakah evaluasi tersebut ditujukan untuk mengevaluasi
keseluruhan
komponen-komponen
dalam
sistem
kurikulum atau hanya komponen-komponen tertentu dalam sistem
Pardomuan N.J.M. Sinambela, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
29
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
kurikulum atau hanya komponen-komponen tertentu dalam sistem kurikulum tersebut. Menurut Yatim (2006: 57) menyatakan, dalam konteks evaluasi kurikulum, kegiatan evaluasi dilakukan pada semua komponen, yang meliputi: (1) evaluasi penjajakan kebutuhan dan kelayakan kurikulum; (2) evaluasi pengembangan kurikulum; (3) evaluasi proses belajar-mengajar; (4) evaluasi bahan pembelajaran; (5) evaluasi keberhasilan (produk) kurikulum, dan (6) penelitian kurikulum atau riset evaluasi kurikulum. Selanjutnya, suatu evaluasi kurikulum minimal berkenaan dengan tiga hal, yakni evaluasi sebagai moral judgment, evaluasi dan penentuan keputusan, evaluasi dan konsensus nilai. Saylor dan Alexander (dalam Yatim 2006: 59) berpendapat bahwa evaluasi adalah proses pengumpulan dan penggunaan informasi sebagai dasar pembuatan keputusan tentang suatu program pendidikan. Dari pengertian evaluasi tadi, dapat disimpulkan bahwa dalam evaluasi terdapat kegiatan pengumpulan informasi, pembuatan pertimbangan, dan pembuatan keputusan. Hal tersebut saling terkait satu dengan yang lainnya. Kegiatan pengumpulan Informasi merupakan suatu langkah awal untuk dapat mengambil data dasar yang bermanfaat dalam pembuatan pertimbangan. Informasi dapat meliputi data kuantitatif dan kualitatif, umum dan khusus, dan berhubungan dengan manusia, materi, program atau proses. Kegiatan pembuatan pertimbangan merupakan suatu hasil penting dari kegiatan penilaian. Ketepatan pertimbangan bergantung atas ketepatan informasi yang diperoleh, sehingga dalam penyampaian informasi juga harus didasarkan terhadap rencana pertimbangan yang akan diambil. Kegiatan pengambilan keputusan merupakan tujuan akhir dari sebuah penilaian. Suatu keputusan menuntut diikutinya suatu tindakan. Jadi, misalnya, suatu tim
30 Pardomuan N.J.M. Sinambela, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
pengembangan kurikulum telah memutuskan suatu kurikulum tersebut baik dan harus dilaksanakan, maka kurikulum tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan keputusan tersebut. 7. Objek-objek Evaluasi Kurikulum Evaluasi terhadap sebuah kurikulum merupakan kegiatan yang mencakup berbagai aspek baik mengenai tujuan kurikulum, isi kurikulum, maupun segala sesuatu yang terlibat dalam pembelajaran dengan menggunakan kurikulum yang ada. Yatim (2006: 59) menyatakan bahwa evaluasi terhadap kurikulum mencakup keseluruhan komponen yang ada dalam kurikulum, yakni (1) komponen tujuan, dan komponen isi kurikulum; (2) komponen strategi pembelajaran; (3) komponen media; (4) komponen proses pembelajaran; dan (5) komponen hasil yang dicapai. Komponen tujuan yang dinilai berhubungan dengan tujuan jenjang di atasnya, yaitu tujuan institusional dan selanjutnya dikaitkan dengan tujuan nasional/ tujuan merupakan acuan dari seluruh komponen dalam kurikulum. Tujuan, sebagai acuan terlebih dahulu harus dirumuskan sehingga dengan jelas menggambarkan apa yang hendak dicapai. Komponen isi kurikulum mencakup keseluruhan materi yang diprogramkan
untuk
mencapai
tujuan
yang
telah
dirumuskan.
Komponen isi kurikulum yang menjadi objek evaluasi, bersumber dari garis-garis besar program pembelajaran, untuk setiap mata pelajaran, yang mencakup pokok-pokok bahasan satuan waktu tertentu. Luas dan dalamnya bahan disesuaikan dengan tujuan. Karena itu, tujuan dapat menentukan banyak tidaknya bahan yang akan disajikan. Evaluasi terhadap bahan tersebut dapat dilakukan dengan dua kemungkinan. Pertama, dengan mengevaluasi butir soal sebanyak-banyaknya sesuai
Pardomuan N.J.M. Sinambela, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
31
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
dengan banyaknya tujuan. Hal ini akan membutuhkan waktu lama. Kedua, mengevaluasi sampel yang mewakili bentuk-bentuk tertentu, sehingga tidak memerlukan waktu lama. Komponen strategi pembelajaran dalam evaluasi kurikulum meliputi berbagai upaya dan penunjang yang diperlukan untuk mencapai tujuan berdasarkan isi yang ditetapkan. Komponen ini melalui berbagai pendekatan dan metode pembelajaran, serta peralatan yang digunakan oleh setiap mata pelajaran. Termasuk dalam komponen ini adalah evaluasi proses dan hasil belajar dari setiap mata pelajaran. Kriteria yang dipergunakan dalam evaluasi ini adalah kesesuaian dan ketepatan, kejelasan rumusannya. Sasaran dari evaluasi pada komponen ini meliputi relevansi materi dengan tujuan yang ditetapkan, kebenaran materi menurut pandangan yang berlaku, keluaran dan kedalaman materi, kebutuhan dan pengalaman peserta didik, dan kesesuaian dengan waktu dan fasilitas yang tersedia. Komponen media merupakan perantara untuk menjabarkan isi kurikulum secara lebih terinci dapat dicerna dengan sebaik-baiknya oleh siswa. Media meliputi buku pelajaran, modul, pembelajaran berprogram, naskah radio pendidikan, kaset video, film. Hal yang akan dievaluasi dalam komponen media adalah dilihat dari segi ketetapannya, kesesuaian isi
dengan
tujuan,
kebutuhan
dan
pengalaman peserta
didik,
kesesuaiannya dengan kemampuan dan keterampilan pengajar, ketetapan dilihat dari waktu dan tempat. Komponen belajar mengajar merupakan komponen kurikulum yang nantinya akan menghasilkan perubahan perilaku (kognitif, afektif, dan psikomotorik) para peserta didik sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Keberhasilan dalam proses belajar mengajar merupakan salah satu petunjuk keberhasilan sebuah kurikulum. Yang menjadi sasaran
32 Pardomuan N.J.M. Sinambela, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
evaluasi adalah keseluruhan proses belajar mengajar untuk setiap mata pelajaran yang mencakup perumusan tujuan, pemilihan materi pelajaran, pendekatan dan metode mengajar, kegiatan belajar, alat-alat pelajaran, evaluasi dan tindak lanjutnya. Komponen hasil yang akan dicapai merupakan salah satu komponen penunjang yang harus dievaluasi. Alasan dari hal ini karena komponen ini berhubungan dengan sistem administrasi dan supervisi, sistem pelayanan bimbingan dan penyuluhan bagi siswa dan sistem evaluasi. Evaluasi terhadap komponen ini dapat dilihat dari segi ketepatan program, kesesuaian dengan tujuan, sumbangannya bagi kelancaran pelaksanaan kurikulum, ketepatan dilihat dari waktu dan tempat, kesesuaian dengan keadaan siswa. Berdasarkan uraian-uraian di atas, ternyata evaluasi kurikulum merupakan kegiatan yang sangat besar artinya dalam pengembangan kurikulum. Evaluasi itu dapat dijadikan feed back untuk pengembangan kurikulum selanjutnya. Karena itu, evaluasi harus benar-benar dapat memperlihatkan keadaan yang sebenarnya, sehingga diketahui segi-segi kekuatan dan kelemahan dari kurikulum yang dilaksanakan. 8. Syarat-syarat Evaluasi Kurikulum Kurikulum yang dikembangkan merupakan suatu program yang telah dirancang untuk mencapai tujuan yang akan dicapai. Agar kurikulum dapat mencapai tujuan yang diinginkan tentu ada syarat-syarat yang harus dipenuhi sehingga kurikulum itu dikatakan telah mencapai tujuan. Ada beberapa syarat yang harus diperhatikan dalam evaluasi kurikulum (Yatim, 2006: 62), antara lain (1) berorientasi kepada tujuan; (2) berkesinambungan; (3) komprehensif; (4) berfungsi ganda; (5) berorientasi pada kriteria.
Pardomuan N.J.M. Sinambela, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
33
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
Syarat evaluasi kurikulum harus berorientasi kepada tujuan mengartikan bahwa tujuan yang telah ditetapkan harus benar-benar diperhatikan dalam pelaksanaan evaluasi kurikulum. Tujuan-tujuan tersebut meliputi tujuan institusional (kelembagaan), tujuan kurikuler (tujuan bidang studi), dan tujuan instruksional (pembelajaran) semua tujuan tersebut merupakan arah, pedoman, dan patokan dalam kegiatan evaluasi yang akan dilaksanakan. Syarat evaluasi kurikulum harus berkesinambungan mengartikan bahwa evaluasi terhadap kurikulum merupakan suatu kegiatan yang saling berkaitan. Artinya merupakan rangkaian kegiatan yang saling berkaitan sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai tahap penyimpulan. Syarat evaluasi kurikulum harus komprehensif dimaksudkan hendaknya evaluasi terhadap kurikulum mencakup seluruh komponen secara terpadu. Evaluasi kurikulum yang dilaksanakan harus meliputi tujuan, isi, strategi pembelajaran, media, dan sebagainya. Selain itu evaluasi hendaknya menggunakan berbagai pendekatan dan atau teknik evaluasi agar diperoleh informasi secara menyeluruh. Hasil evaluasi kurikulum hendaknya dapat memiliki fungsi ganda untuk berbagai keperluan dalam pengambilan keputusan tentang langkah-langkah
berikutnya,
baik
untuk
keperluan
pengambilan
keputusan maupun untuk keperluan bagi sekolah di mana kurikulum dilaksanakan. Untuk memperoleh informasi dari hasil evaluasi, hendaknya didasarkan atas suatu kriteria yang telah ditetapkan secara seksama, yakni sesuai dengan sasaran, keserasian, keterampilan, kepercayaan, dan objektivitas. 9. Model Evaluasi Kurikulum Terdapat beberapa model untuk evaluasi kurikulum, yakni mulai dari yang sederhana sampai yang paling kompleks. Yatim (2006: 63)
34 Pardomuan N.J.M. Sinambela, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
memaparkan beberapa jenis evaluasi kurikulum , antara lain (1) Model Educational System Evaluation yang terdiri dari model CIPP, model EPIC, model CEMREL, model Atkinson, dan model stake; (2) model evaluasi yang lain yakni, model measurement, model Congruence dan model Illuminatif. a) Model CIPP (context, input, process, dan product) Model desain evaluasi kurikulum CIPP dikembangkan oleh Daniel Stufelbearn yang di dalamnya mengandung empat unsur cakupan antara lain: 1) Context adalah penilaian yang berkaitan dengan usaha-usaha penemuan kebutuhan-kebutuhan peserta didik dengan berbagai masalah yang bersifat deskriptif dan komparatif. Kesimpulan dari penelitian dipergunakan untuk menentukan tujuan-tujuan sebagai titik pangkal bagi program pendidikan. 2) Input (masukan) yakni penilaian yang diharapkan dapat memberikan informasi mengenai bagaimana menggunakan sumber-sumber untuk mencapai tujuan. Penilaian ini berfungsi untuk mencari informasi yang dipergunakan menilai adanya beberapa alternatif strategi yang dapat dipilih sehingga mampu memberikan bantuan kepada pengambil keputusan untuk memilih dan merancang prosedur yang kiranya sesuai dengan mencapai tujuan program 3) Proses yaitu penilaian yang dilakukan pada saat program berlangsung, sehingga mampu menggambarkan kejadian-kejadian dan kegiatankegiatan prosedur untuk mengetahui kekurangan-kekurangan dalam desain pembelajaran. Penilaian ini berfungsi untuk membantu dalam pengambilan keputusan dalam berbagai kesulitan-kesulitan 4) Product yakni penilaian yang berupaya untuk mengukur dan menafsirkan pencapaian suatu program. Hasilnya dipergunakan sebagai bahan perbandingan antara harapan dan hasil aktual.
Pardomuan N.J.M. Sinambela, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
35
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
Penilaian ini membantu pengambilan keputusan untuk menentukan program tersebut, apakah akan dilanjutkan, diakhiri, atau diadakan perombakan b) Model EPIC (evaluation program innovative curriculum) Model
EPIC
atau
evaluation program innovative curriculum
menggambarkan keseluruhan program evaluasi dalam sebuah kubus. Menurut Nana (2005: 189) jika dipandang bentuk evaluasi model ini dalam sebuah kubus, maka yang akan tampak adalah tiga bidang kubus. Bidang pertama adalah behavior atau perilaku yang menjadi sasaran pendidikan yang meliputi perilaku cognitive, affective, dan psychomotor. Bidang kedua adalah instruction atau pengajaran, yang meliputi organization, content, method, facilities and cost, dan bidang ketiga adalah kelembagaan yang meliputi student, teacher, administrator, educational specialist, family and community. Evaluasi dengan model EPIC dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.2 Evaluasi Model EPIC
36 Pardomuan N.J.M. Sinambela, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
c) Model CEMREL (Central Midwestern Regional Education) Model evaluasi ini dikembangkan oleh Edward Russeet dan Louis Smith yang menitikberatkan evaluasi pada tiga aspek, yakni: (1) fokus evaluasi yang menekankan penilaian terhadap peserta didik mediator dan material; (2) peranan evaluasi adalah evaluasi yang berkaitan dengan kegiatan yang sedang berjalan dan evaluasi pada akhir kegiatan; (3) data yakni penilaian yang bersumber pada skala respon kuesioner dan observasi. d) Model Atkinson Evaluasi kurikulum menurut Atkinson, adalah penilaian yang diarahkan pada tiga domain, yakni: (1) struktur adalah penilaian yang berhubungan dengan masalah perencanaan sekolah dan organisasi sekolah; (2) proses yakni penilaian yang berkaitan dengan proses pembelajaran yang sedang berlangsung; (3) produk yaitu penilaian yang mencakup perilaku sebagai hasil belajar peserta didik. e) Model Stake (the stake congruence contingency model) Menurut Robert E. Stake (dalam Brady, 1995: 269) bahwa pelaksanaan dalam evaluasi kurikulum mencakup deskripsi dan judgment (pertimbangan) mengenai program pendidikan. Dalam program pendidikan ada tiga fase yang perlu mendapat perhatian, yakni antecedents, transaction, dan outcomes. Antecedents (pendahuluan) merupakan kondisi yang mendahului proses pembelajaran yang mencakup karakter peserta didik dan guru, isi kurikulum, materi pembelajaran, organisasi sekolah, dan konteks masyarakat. Hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang harus ada sebelum dilakukannya kegiatan transaksi, juga akan mempengaruhi hasil atau pengeluaran. Transaction (transaksi) merupakan proses pembelajaran yang meliputi komunikasi, alokasi waktu, urutan kegiatan, dan suasana sosial.
Pardomuan N.J.M. Sinambela, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
37
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
Outcomes (hasil) adalah hasil yang akan dicapai oleh program, meliputi prestasi siswa, sikap, keterampilan, efek pada guru dan lembaga. Evaluasi kurikulum menurut model ini mencakup ketiga fase di atas, melalui dua operasi evaluasi, yaitu deskripsi dan judgment. f) Model Measurement Model evaluasi kurikulum ini dikembangkan Thorndike dan Ebel. Mereka menyatakan bahwa evaluasi pada dasarnya adalah sebagai pengukuran perilaku peserta didik untuk mengungkapkan perbedaanperbedaan individual maupun kelompok. Hasil evaluasi digunakan untuk kepentingan evaluasi/seleksi peserta didik untuk membandingkan efektivitas antara dua atau lebih program atau kurikulum. Objek evaluasi mencakup hasil belajar peserta didik, terutama yang dapat diukur melalui “paper and pencil test”. Dengan demikian, data yang dipergunakan dalam model ini hanya terbatas pada data objektif, khususnya skor hasil test. Pendekatan yang digunakan dalam evaluasi ini terdiri dari (1) penentuan kedudukan individu dalam kelompok; (2) perbandingan hasil belajar antara dua atau lebih dari kelompok yang menggunakan program kurikulum yang berbeda, dengan teknik penilaian yang digunakan dengan tes, khususnya tes objektif. g) Model Congruence Model Congruence dikemukakan Tyler, Carrol, dan Cronbach. Mereka menyatakan, evaluasi merupakan kegiatan untuk memeriksa kesesuaian antara tujuan dan hasil belajar yang dicapai. Hasil evaluasi ini dipergunakan untuk keperluan penyempurnaan program dan informasi kepada pihak-pihak di luar pendidikan. Objek evaluasi meliputi semua hasil belajar peserta didik yang mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dengan demikian,
38 Pardomuan N.J.M. Sinambela, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
data yang dipergunakan dalam model ini cenderung pada data objektif berupa skor tes dan teknik lainnya. Pendekatan yang dipakai dalam model ini adalah prosedur pre dan post assessment (tugas awal dan akhir). Hasil tes tersebut, kemudian dianalisis bagian demi bagian. Dalam pengumpulan data mempergunakan tes maupun teknik-teknik lainnya yang sesuai. h) Model Illuminatif (Parlet dan Hamilton) Menurut Robert E. Stake (dalam Brady, 1995: 269) bahwa model Illuminatif (Parlet dan Hamilton) menyoroti masalah tentang pelaksanaan program, pengaruh lingkungan, serta pengaruh program terhadap hasil belajar. Hasil evaluasi ini digunakan untuk keperluan penyempurnaan program. Objek evaluasinya mencakup latar belakang, proses pelaksanaan, hasil belajar dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Data yang digunakan dalam model ini lebih banyak merupakan data subjektif hasil keputusan dari berbagai pihak. Pendekatan evaluasi model ini melalui berbagai tahap, mulai dari tahap orientasi pengamatan sampai analisis. Untuk mengumpulkan data digunakan observasi atau pengamatan, wawancara, angket, dan dokumentasi. Dilihat dari kepentingan pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang ada di Indonesia, model evaluasi kurikulum model Educational System Evaluation dipandang sebagai model yang paling tepat di antara model lainnya yang telah dibahas di atas. Dalam model ini, terlihat beberapa ciri evaluasi yang memang diperlukan untuk menghasilkan
masukan
bagi
pengambilan
keputusan
tentang
penyempurnaan kurikulum, serta tindak lanjut kegiatan pengembangan di masa yang akan datang. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut: (1) evaluasi selalu didahului oleh adanya kriteria yang jelas; (2) proses evaluasi pada
Pardomuan N.J.M. Sinambela, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
39
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
dasarnya merupakan kegiatan membandingkan performance dan kriteria; (3) objek evaluasi mencakup berbagai dimensi program dan tidak hanya hasil belajar siswa, melainkan mencakup pula input dan proses pelaksanaan program; (4) data yang digunakan dalam evaluasi ini tidak hanya data objektif (skor hasil tes), melainkan juga data subjektif yang diperoleh melalui judgment kriteria intern (kriteria yang dibuat oleh pengembang kurikulum itu sendiri) maupun perbandingan dengan kriteria eksternal (melalui perbandingan dengan performance kurikulum yang lain); (5) dalam pengumpulan data untuk evaluasi, digunakan berbagai macam teknik seperti tes, observasi atau pengamatan, wawancara, angket, dan dokumentasi sehingga kesemuanya saling melengkapi dalam menghasilkan data yang diinginkan; (6) evaluasi terhadap berbagai dimensi program kurikulum dilakukan secara bertahap dan kontinu, sehingga perbaikan dapat dilaksanakan pada waktunya. C.
Penutup Penerapan kurikulum tingkat satuan pendidikan oleh sekolah
sebagai lembaga pendidikan yang otonom dalam mengembangkan kurikulum sangat tepat. Hal ini dikarenakan sekolah lebih mengetahui keadaan lembaganya baik dari segi kekuatan maupun kelemahan. Selain itu
sekolah
lebih
mengetahui
kebutuhan
lembaganya
sehingga
pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah sangat tepat karena pihak sekolah yang paling tahu apa yang terbaik bagi lembaganya. Keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum menciptakan suatu hubungan dan itikad yang baik dan dapat menciptakan demokrasi yang sehat dan efektif. Pertimbangan lain yang positif mengenai hak otonom yang diberikan kepada sekolah untuk mengembangkan kurikulum di sekolahnya adalah sekolah dapat
40 Pardomuan N.J.M. Sinambela, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
melakukan persaingan sehat dengan sekolah-sekolah lain untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya yang inovatif dengan dukungan orangtua, masyarakat, dan pemerintah. Dengan begitu sekolah dapat dengan cepat merespon aspirasi masyarakat dan lingkungan yang berubah dengan cepat, serta mengakomodasi dan mengasimilasikannya ke dalam kurikum tingkat satuan pendidikan yang dikembangkannya.
D. Daftar Pustaka Airisian, Peter W. 1994. Classroom Assessment. Reston Va: Mcgraw Hill, Inc Brady, Laurie. 1995. Curriculum Development. Australia: Prentice Hall Jarolimek, Jhn&Foster, Clifford D. 1993. Teaching&Learning the Elementary School. New York: Macmillan Publishing Company Kauchak, Donald P & Eggen Paul D. 1993. Learning and Teaching:ResearchBased Methods. Boston: Allyn and Bacon Linn, Robert, L & Grounlund, Norman E. 1995. Measurement and Assessment in Teaching. New Jersey: Prentice-Hall Inc Mulyasa, E. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya ---------------. 2006. Kurikulum Yang Disempurnakan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya NCTM. 1995. Assessment Standards for School Mathematics. Virginia: The NCTM Owens, Douglas T. 1993. Research Ideals for the Classroom High School Mathematics. New York: NCTM Macmillan Publishing Company Popham, W, James. 1995 Classroom Assessment: What Teacher Need to Know. Massuchusett: Allyn&Bacon Sanjaya, Wina. 2005. Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Prenada Media
Pardomuan N.J.M. Sinambela, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
41
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2005. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosda Karya Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003. Tentang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional). Bandung: Fermana Webb, Normans L. 1992. Assessment of Student Knowledge of Mathematics: Step Toward A Theory. Madison: University of Wisconsin Yatim Riyanto. 2006. Pengembangan Kurikulum dan Seputar Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Surabaya: Unesa University Press
42 Pardomuan N.J.M. Sinambela, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
SISTEM PENGENDALIAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN BERBASIS LOGIKA KABUR (FUZZY LOGIC) Wanapri Pangaribuan Abstrak Pengendalian pembangunan pendidikan berbasis logika kabur (fuzzy logic) adalah sistem pengendalian yang sangat baik untuk menangani objek yang sangat dinamis dan sulit dimodelkan secara kuantitatif (crisps) karena data kuantitatif sulit diperoleh dari hasil pengukuran kuantitatif. Objek yang sering disebut sebagai plant adalah organisasi pendidikan dan proses pembangunan yang direncanakan, diimplementasikan dan dikontrol yang banyak dipengaruhi factor internal eksternal sehingga terjadi penyimpangan-penyimpangan pada tahapan perencanaan dan implementasi. Tujuan pengendalian adalah meminimisasi penyimpangan yang diakibatkan variable tak termodelkan secara kuantitatif. Sistem pengendalian berbasis fuzzy logic yang dimplementasikan menangani pengendalian pembangunan pendidikan, memiliki komponen pengendali, komponen himpunan kecenderungan pola, komponen umpan balik, komponen input dan output, komponen pembanding. Komponen himpunan pola kecenderungan adalah komponen yang memodelkan pembangunan pendidikan dan penyimpangannya. Komponen pengendali adalah komponen yang mengendalikan penyimpangan pembangunan pendidikan, yang berbasiskan data dan aturan fuzzy logic. Kata Kunci: Pembangunan Pendidikan, penyimpangan, pengendali, fuzzy logic A.
Pendahuluan Sebagaimana
menyangkut
telah
perencanaan
pengarahan (leading), dan
diketahui (planning),
bahwa
fungsi
manajemen
pengorganisasian
(organizing),
pengendalian (controlling). Keempat fungsi
tersebut mempengaruhi keberhasilan organisasi dalam mewujudkan visi yang telah dirumuskan, bahkan kegagalan salah satu fungsi manajemen tersebut akan mengakibatkan kegagalan pencapaian visi secara optimal.
Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
43
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
Khususnya fungsi pengendalian, Lussier (1997) mendefenisikan “controlling is the process of establing and implementing mechanisms to ensure that objectives are achieved”. Penetapan dan pengimplementasian sejumlah mekanisme dan prosedur dalam meyakinkan pencapaian tujuan organisasi adalah proses pengendalian. Defenisi pengendalian tersebut memperlihatkan ketegasan mekanisme dan prosedur yang harus dijalankan, yang secara implisit adalah proses pengendalian itu sendiri. Defenisi yang dirumuskan oleh Lussier tersebut berbasiskan manajemen modern yang dipelopori oleh Frederick W. Taylor (Robbins, 2007), yang menyatakan bahwa ketidakefisienan pencapaian tujuan organisasi dapat dikurangi secara revolusioner dengan memperbaiki mentalitas kerja dengan cara penetapan prosedur kerja yang jelas dan tegas bagi manajer dan pekerja. Lebih lanjut dikemukakan empat prinsip manajemen, yaitu: (1) mengembangkan ilmu pengetahuan kerja untuk masing-masing elemen individu organisasi untuk menggantikan cara-cara untung-untungan; (2) Secara
ilmiah
dilaksanakan
seleksi,
pelatihan,
pengajaran,
dan
pengembangan para pekerja; (3) Para pekerja harus dengan sepenuh hati bekerja sama sesuai dengan prinsip-prinsip ilmiah yang telah dirumuskan; (4) Lakukan pembagian kerja dan respon-respon yang harus dilakukan oleh pekerja dan manejer sesuai dengan prinsip yang telah ditetapkan. Prinsip dan
prosedur kerja yang dirumuskan secara ilmiah tersebut
sangat jelas dan tegas (crisps), dirumuskan dengan asumsi bahwa pengaruh-pengaruh eksternal adalah minimum, dan sistem dapat dimodelkan dengan baik. Jika sistem yang berlaku dalam organisasi dapat dimodelkan maka upaya pelaksanaan pengendalian relatif mudah dibandingkan dengan jika sistem tidak dapat dimodelkan. Dalam banyak hal terjadi
44 Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
banyak pengaruh dari luar organisasi yang umumnya tidak dapat diprediksi
dan
dimodelkan,
sehingga
terjadi
kesulitan
dalam
pengendaliannya dengan prinsip-prinsip ilmiah. Manajemen ilmiah dapat berjalan dan efektif jika parameterparameter pengukuran untuk setiap elemen organisasi dapat terukur sehingga dapat dimodelkan. Keterukuran parameter adalah bahwa nilai parameter dapat diukur dengan presisi, valid, dan reliabel. Jika hasil pengukuran tidak demikian adanya maka pengendalian berdasarkan prosedur dan prinsip-prinsip ilmiah tidak dapat terlaksana dengan baik, sehingga harus dicari model lain yang dapat menangani kondisi tersebut. Kondisi tersebut diasumsikan sangat dinamis, sehingga dapat diatasi dengan pengendalian berbasis sistem pakar (expert system). Salah satu expert system adalah pengendalian berbasis logika kabur (Fuzzy Logic). B.
Sistem Pembangunan Pendidikan Yang Dinamis Secara logis, haruslah pembangunan pendidikan tersebut
berkembang secara dinamis, sesuai dengan visi yang dirumuskan. Kedinamisan dalam arti perubahan capaian dan perkembangan berada dalam dan sesuai dengan perencanaan yang dirumuskan dalam grand design (Pembangunan pendidikan jangka panjang). Pembangunan pendidikan jangka panjang diberi tahapan pembangunan pendidikan jangka menengah, dan pembangunan pendidikan jangka pendek. Tahapan-tahapan ini direncanakan dan dilaksanakan dengan tujuan penjaminan pencapaian secara efektif, efisien, dan bermutu. Visi pembangunan pendidikan dirumuskan berdasarkan filosofis pendidikan, kondisi internal dan eksternal organisasi pendidikan bahkan negara. Visi dapat dicapai dengan perumusan misi dan ditopang oleh (3)
Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
45
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
tiga pilar kebijakan strategis pembangunan pendidikan, yaitu: (1) Pemerataan dan perluasan akses pendidikan; (2) Peningkatan mutu, relevansi dan daya saing keluaran pendidikan; (3) Penguatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik, pengelolaan pendidikan (Suyanto, 2006). Dinamisasi pembangunan pendidikan akan sangat tinggi ketika harus berhadapan dengan dunia luar dan kebutuhan pemangku pengguna (stake holders), yang boleh jadi menjadi ancaman terhadap organisasi pendidikan. Pemangku pengguna akan mencari dan menerima keluaran pendidikan yang berkualitas dan relevan dengan kebutuhan. Di satu sisi industri selalu memperbaharui teknologi dan manajemen pengelolaannya untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan berdaya saing sesuai dengan standar-standar yang ditetapkan oleh konsumen. Sisi tersebut akan menuntut sumber daya manusia keluaran pendidikan yang selalu berubah dan dinamis, sehingga membutuhkan manajemen pengelolaan pendidikan yang dinamis pula. Di sisi lain nilai-nilai luhur bangsa, filosofis kehidupan bangsa, haruskah berubah mengikuti perubahan nilai-nilai kehidupan global?. Tantangan yang sangat besar dihadapi ketika pengaruh nilai-nilai global sangat besar dan kurang sesuai dengan nilai-nilai luhur kehidupan bangsa. Tentunya cita-cita bangsa adalah juga harus mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa di tengah pengaruh dan serangan nilai-nilai yang kurang sesuai dengan kehakikian bangsa. Dalam hal ini, peranan pengendalian adalah sangat tinggi, dan sistem kendali yang mengendalikan adalah harus kuat.
46 Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
C.
Peningkatan Dinamisasi Pembangunan Pendidikan Akibat Penyimpangan Perencanaan dan Implementasi Pentahapan
pembangunan
jangka
panjang
menjadi
pembangunan jangka menengah dan pendek dirumuskan dalam bentuk miles stones, yang menuntut ketepatan penahapan dalam asumsi-asumsi kondisi keuangan dan anggaran yang cukup. Namun adalah merupakan kecenderungan umum selalu terjadi penyimpangan perencanaan akibat dari berbagai kepentingan, kekurangan data, analisis yang lemah, kekurangan anggaran dan pergantian pejabat. Hal inilah yang dimaksudkan
pembangunan
pendidikan
yang
dinamis
akibat
penyimpangan, dan diperlihatkan dalam bentuk blok diagram pada gambar 1 berikut. Pembangunan Pendidikan Jangka Panjang (Grand design)
Pembangunan Pendidikan Jangka Menengah
Pembangunan Pendidikan Jangka Pendek
Penyimpangan akibat kepentingan, kekurangan data, lemahnya analisis, kekurangan anggaran, dan pergantian pejabat Pembagunan Pendidikan Jangka Panjang (Grand Design) tidak tercapai Gambar 1. Pembangunan Pendidikan Yang Dinamis Penyimpangan akibat berbagai kepentingan. Secara hipotetik banyak kepentingan mempengaruhi berbagai perencanaan, sehingga sering didengar istilah penggiringan anggaran. Rekomendasi rekanan oleh
Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
47
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
pihak-pihak tertentu dapat mengubah spesifikasi dan jenis barang yang harusnya diadakan sehingga menjadi tidak sesuai. Pengadaan barang bukan lagi sesuai dengan kebutuhan akan tetapi sesuai dengan spesifikasi barang yang dapat diadakan oleh rekanan. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang tepilih dari daerah-daerah pemilihan (dapim) juga sering mempengaruhi perencanaan pembangunan pendidikan yang diarahkan ke daerah pemilihannya dan objek tertentu. Kepentingan para anggota dewan akan mengkontaminasi perencanaan dan implementasi. Penyimpangan akibat kurangnya data, pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan pendidikan, baik pendidikan formal maupun non formal sangat dipengaruhi oleh tersedianya data yang lengkap, sahih (valid), dapat dipercaya (reliable), relevan dan tepat waktu. (Anonim, 2007). Lebih lanjut dikatakan bahwa data bermanfaat untuk: (1) dasar penyusunan rencana dan program; (2) alat kontrol atau monitor pelaksanaan program; (3) dasar penilaian atau evaluasi; (4) pengambilan keputusan atau kebijakan. Apabila data tidak lengkap, valid, relevan, tepat waktu, reliable maka akan terjadi penyimpangan pada empat fungsi data tersebut. Penggunaan alat analisis yang kurang tepat menghasilkan hasil yang kurang relevan dengan kebutuhan. Misalnya saja, data yang kurang lengkap dapat dilengkapi dengan metode ekstrapolasi. Akan tetapi jika pengolah data kurang menguasai metode, akan cenderung melengkapi data dengan data fiktif. Kesalahan analisis juga akan menyumbang penyimpangan perencanaan dan implementasi. Penyimpangan akibat kekurangan anggaran. Tantangan terbesar perencanaan adalah anggaran yang kurang memadai. Sering sekali perencanaan didasarkan jumlah anggaran yang tersedia, bahkan berdasarkan prediksi anggaran yang akan tersedia, sehingga pengambilan
48 Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
keputusan atas program yang akan dilaksanakan sangat lama sesuai dengan anggaran real yang tersedia. Keterbatasan anggaran sering sekali mengakibatkan spesifikasi barang dan jasa tidak sesuai. Keterbatasan anggaran
akan
menghasilkan
penyimpangan
perencanaan
dan
implementasi. Penyimpangan akibat pergantian pejabat. Pejabat baru dengan program baru serta kebijakan baru, yang kemungkinan besar program sebelumnya belum tuntas namun harus digantikan dengan kebijakan dan program baru. Ada program pembangunan yang harus dituntaskan agar efek pembangunan dari program tersebut bermakna, akan tetapi karena tidak tuntas maka program kurang bermakna. D.
Pemodelan Pembangunan Pendidikan yang Dinamis Sebagaimana telah dikaji sebelumnya, bahwa dinamisasi
pembangunan pendidikan diakibatkan banyak faktor internal maupun eksternal organisasi pendidikan bahkan eksternal negara. Tidak selalu faktor-faktor tersebut menghasilkan data kuantitatif (crisps), bahkan cenderung menghasilkan data kualitatif (fuzzy). Data-data kualitatif (fuzzy) tidak dapat dimodelkan dengan pemodelan kuantitatif (crisps) akan tetapi akan dimodelkan dengan pemodelan kualitatif (fuzzy). Pemodelan data kualitatif (fuzzy) adalah pemodelan berbasis pengetahuan (knowledge base), yaitu yang diperoleh dari hasil-hasil survey dan
pandangan-pandangan
mengaplikasikan metode
serta
kajian
kebijakan.
Dengan
pemodelan Driankov (1992), yaitu metode
pemodelan input-output, maka semua variabel dapat dikelompokkan berdasarkan
sumbernya
dan
bentuk
kecenderungan
polanya.
Kecenderungan pola ini dibentuk menjadi satu kelompok atau sejumlah
Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
49
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
himpunan-himpunan, dan hal inilah yang disebut model kualitatif (fuzzy), sebagaimana diperlihatkan pada gambar 2.
Nilai-nilai Global yang tidak sesuai dengan nilai bangsa
Pengaruh Eksternal Organisasi Pendidikan
Berbagai Kepentingan, Kekurangan Data, kelemahan analisis, dan Pergantian pejabat
Pengaruh Internal Organisasi Pendidikan
Pemodelan Fuzzy: Himpunan Pola kecenderungan yang dibentuk berdasarkan input-output (stimulusrespon).
Himpunan Pola Kecenderungan Gambar 2. Pola pemodelan Kuantitatif (Fuzzy) E.
Pengendalian Berbasis Fuzzy Logic Himpunan pola kecenderungan yang dihasilkan berdasarkan
pemodelan kuantitatif (fuzzy) yaitu berdasarkan input-output, dapat dikendalikan dengan pengendalian berbasis pengetahuan (knowledge base controlling) yaitu fuzzy Logic controlling. Alat pengendali (controller) dibangun berdasarkan logika kabur ”jika-maka” atau ”if-then”, yang disebut sebagai fuzzy implication function. Implikasinya adalah, jika himpunan pola kecenderungannya seperti ini, maka pengendaliannya seperti ini. Jika himpunan pola kecenderungannya seperti itu, maka pengendaliannya seperti itu. Yan (1994) mengumpulkan pola pengendalian dari berbagai ahli yang disebut sebagai Fuzzy Implication Function, seperti yang diperlihatkan pada tabel 1 berikut.
50 Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
Tabel 1. Fuzzy Implication Functions Type of Operation Mini Rule (Mamdani)
Implication Functions for ”IF X is A THEN Y is B”
Product Rule (Larsen)
Rp=A X B = uxv A(U ) B (U ) /(U , V )
Rc=A X B =
uxv A(U ) B(U ) /(U ,V )
Max – min Rule (Zadeh)
Rm= (A X B) U (not A X V) =
uxv ( A(U ) B(V )) (1 A(U ) B(V )) /(U ,V ) Ra= (not A X V) O (U X B) =
Arithmetic Rule
uxv 1 (1 A(U ) B (V )) /(U , V ) Rb=(not A X B) U (U X V) =
uxv 1 (1 A(U ) B (V )) /(U ,V )
Boolean
Implication function sebagai
proses pengendalian terhadap
himpunan pola kecenderungan, boleh memilih salah satu atau penggabungan beberapa type of operation pada tabel 1
sesuai dengan
karakteristik pola tersebut. Pada gambar 3 diperlihatkan pengendalian berbasis fuzzy logic yang mengendalikan himpunan pola kecenderungan.
X
∑
Fuzzy Logic Control
Himpunan Pola Kecenderungan
Y
Gambar 3 Sistem kendali berbasis Fuzzy Logic Struktur dasar Fuzzy logic control terdiri dari unit kualitatif (fuzzification unit), unit penegasan (defuzzification unit), unit mekanisme
Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
51
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
aturan (fuzzy reasoning mechanism), basis aturan (rule base) dan basis data (data base). Struktur tersebut diperlihatkan pada gambar 4.
Rule base
Data base
Fuzzy Reasoning Mechanism Fuzzification Unit Input
Defuzzification Unit Output
Gambar 4. Struktur dasar Fuzzy Logic Control Rule base berisikan logika ”jika-maka” atau logika ”if-then”, data base berisikan data-data kualitatif (fuzzy). Penggabungan proses “rule base” dan “data base” disebut Fuzzy Reasoning Mechanism”. Fuzzification unit adalah satuan pengenalan dan pembentukan himpunan pola kecenderungan sehingga terbentuk fuzzy. Defuzzification unit adalah satuan penegasan hasil yang akan diumpanbalikkan kembali sehingga terjadi proses pembandingan input sebagai target dengan output sebagai keluaran hasil proses pengendalian. Perbedaan antara target dengan keluaran disebut penyimpangan pembangunan, dan harus dikembalikan kepada unit
pengendali agar lebih diminimalkan bahkan jika
memungkinkan ditiadakan.
52 Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
F.
Penutup Pengendalian pembangunan pendidikan berbasis fuzzy logic
adalah biasanya dipergunakan untuk mengendalikan sistem pabrik yang sangat dinamis. Pada makalah ini diterapkan pada pembangunan pendidikan oleh organisasi pendidikan yang secara nyata sangat dinamis. Penerapan dilakukan dengan asumsi bahwa sistem pembangunan pendidikan oleh organisasi pendidikan dapat dianalogiskan dengan sistem pabrik. Pada makalah ini menguraikan pandangan umum implementasi pada sistem pembangunan pendidikan, sehingga masih membutuhkan kajian dan penelitian lebih rinci tentang pola kecenderungan penyimpangan pembangunan pendidikan dan juga model pengendali berbasis fuzzy logic yang lebih rinci dan dapat diterapkan. G.
Daftar Pustaka
Anonim. 2007. Pendataan Pendidikan untuk Perencanaan. Model 5B. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Dikdasmen-Bagian Perencanaan Setditjen Mandikdasmen Driankov D., H. Hellendoorn, M. Reinfrank. 1992. An Introduction to Fuzzy Control. USA: Springer Verlag Lussier Robert N. 1997. Manajement Concepts, Applications, Skill Development. Ohio: South-Western College Publishing. Robbins Stephen P. 2007. Manajement. New Jersey: Pearson Prentice Hall. Suyanto. 2006.Arah Pengembangan Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional-Direktorat Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Jenderal
Yan Jun, Michael Ryan, James Power. 1994. Using Fuzzy Logic-towards intelligent Systems. New York: Prentice Hall
Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
53
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
PMRI ALTERNATIF DALAM UPAYA MEMBANGUN SOFTSKILL Mangaratua M. Simanjorang Abstrak Fenomena menunjukkan bahwa ternyata lulusan pendidikan tinggi yang dipandang sebagai insan intelektual masih tetap terbentur oleh masalah pekerjaan. Ironi ini memunculkan pertanyaan yang cukup menggelitik apa sesungguhnya yang diharapkan dengan menempuh jalur pendidikan? Cukup relevankah program pendidikan yang ditawarkan dengan harapan yang ingin dicapai? Penelitian di Eropa menyebutkan, kesuksesan seseorang di dunia usaha 80% ditentukan oleh kemampuan soft skill dan 20% kemampuan hard skill. Akan tetapi, di dalam sistem pendidikan saat ini 10 % adalah soft skills sedangkan 90% adalah hard skills. Kondisi ini menjadi motivasi untuk memikirkan berbagai model, pendekatan metode maupun strategi yang dapat mengembangkan soft skill peserta didik. PMRI merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang menekankan penemuan kembali konsep matematika dalam pembelajaran. Dengan demikian konsep matematika yang dibangun menjadi lebih bermakna bagi siswa. Lebih dari itu karakteristik PMRI menjamin bahwa proses konstruksi dalam pembelajaran matematika dengan menerapkan PMRI memiliki dampak pengiring yang positif dalam menumbuhkan softskill dalam diri siswa. Kata kunci: pembelajaran matematika realistik. A. Pendahuluan Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2006 menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2006 sebanyak 39,05 juta atau 17,75 persen dari total 222 juta penduduk. Penduduk miskin bertambah empat juta orang dibanding yang tercatat pada Februari 2005. Angka pengangguran berada pada kisaran 10,8% sampai dengan 11% dari tenaga kerja yang masuk kategori sebagai pengangguran terbuka. Bahkan mereka yang lulus perguruan tinggi semakin sulit mendapatkan pekerjaan
54 Mangaratua M. Simanjorang, M.Pd. adalah Dosen Fakultas MIPA UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
karena tidak banyak terjadi ekspansi kegiatan usaha. Dalam keadaan seperti ini maka masalah pengangguran termasuk yang berpendidikan tinggi
akan
berdampak
negatif
terhadap
stabilitas
sosial
dan
kemasyarakatan. Bagaimana masalah ini jika ditinjau dari sudut pandang pendidikan. Muchlas
Samani
(2007:
30)
menuliskan
permasalahan
pendidikan di Indonesia saat ini adalah bahwa pendidikan kita tampaknya terlalu teoritik, seperti di awang-awang, tidak membumi, dan memisahkan siswa dari kehidupan sehari-hari. Pendidikan kita tidak membekali siswa
bagaimana
mengahadapi kehidupan
nyata
di
masyarakat, sehingga menyebabkan mereka tidak tahu apa yang harus di kerjakan, kecuali belajar buku, bersenang-senang ala kehidupan kota dan setelah lulus ingin meneruskan sekolah atau mencari pekerjaan dengan berbekal selembar ijazah. Orientasi yang berlebihan terhadap “kekuatan” ijazah inilah yang selanjutnya mengaburkan tujuan sesungguhnya dari pendidikan. Ironi muncul dalam hal pengangguran di atas ketika fakta menunjukkan bahwa ternyata lulusan pendidikan tinggi yang dipandang sebagai insan intelektual masih tetap terbentur oleh masalah pekerjaan. Kondisi ini memunculkan pertanyaan yang cukup menggelitik terkait dengan praktek pendidikan saat ini. Apa sesungguhnya yang diharapkan dengan menempuh jalur pendidikan? Cukup relevankah program pendidikan yang ditawarkan dengan harapan yang ingin dicapai? Peninjauan lebih lanjut mengenai masalah ini mengungkap tentang peranan hard skill dan soft skill dalam kesuksesan lulusan di dunia kerja. Helmi Wahidi, QIA, MSM (2007: ) dari Divisi CRM PT Telkomsel mengemukakan, bahwa penelitian di Eropa menyebutkan, kesuksesan seseorang di dunia usaha 80% ditentukan oleh kemampuan soft skill dan
Mangaratua M. Simanjorang, M.Pd. adalah Dosen Fakultas MIPA UNIMED
55
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
20% kemampuan hard skill. Akan tetapi, di dalam sistem pendidikan saat ini seperti dipaparkan dalam Rakerwil Pimpinan PTS tahun 2006 bahwa 10 % adalah soft skills sedangkan 90% adalah hard skills. Kondisi ini mendorong praktisi pendidikan di Indonesia untuk memikirkan berbagai model, pendekatan metode maupun strategi yang dapat mengembangkan soft skill peserta didik. B. Pembahasan 1. Sekilas Pandang tentang PMRI Pembelajaran
Matematika
Realistik
(PMR)
awalnya
dikembangkan dan diperkenalkan oleh Institut Freudhental di Belanda, dengan nama Realistic Mathematics Education (RME). Prinsip yang mendasari pendekatan ini sangat dipengaruhi oleh pandangan Hans Freudenthal terhadap matematika. Freudenthal (dalam Gravemeijer, 1994:12) memandang bahwa matematika merupakan aktivitas manusia. Dengan demikian matematika harus dihubungkan dengan dunia nyata. Jadi ada dua pandangan penting dari Freudenthal yaitu: matematika sebagai aktivitas manusia dan matematika harus dihubungkan dengan dunia nyata. Sebagai aktivitas manusia maka konsep matematika seyogyanya dapat ditemukan kembali dalam pembelajaran di kelas. Dengan demikian siswa dapat mengalami sendiri bagaimana matematika itu ditemukan. Matematika harus dihubungkan dengan dunia nyata berarti matematika harus dekat dengan siswa dan relevan dengan situasi hidupnya seharihari, sesuai dengan lingkungan tempat dia berada. Akan tetapi perlu ditekankan bahwa kata ‘realistik’ tidak hanya menyangkut hubungan dengan dunia nyata, tetapi juga menyangkut situasi-situasi, masalah yang nyata dalam pikiran/wawasan siswa atau dapat mereka bayangkan.
56 Mangaratua M. Simanjorang, M.Pd. adalah Dosen Fakultas MIPA UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
Soedjadi (2001: 2) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realitas dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar proses pembelajaran matematika, sehingga mencapai tujuan pendidikan matematika secara lebih baik dari pada yang lalu. Realitas adalah hal-hal yang nyata atau konkrit yang dapat diamati atau dipahami peserta didik lewat membayangkan. Dengan kata lain masalahnya dapat berupa dunia nyata tetapi ini tidak selalu perlu, masalah yang dimaksud dapat pula berupa aplikasi/penerapan atau pemodelan bahkan masalah formal matematika sejauh itu nyata dalam pikiran siswa. Sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan adalah lingkungan tempat peserta didik berada baik lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat yang dapat dipahami peserta didik. Gravemeijer (1994:90), menyebutkan ada tiga prinsip kunci dalam mendesain pembelajaran matematika realistik, yaitu: Guided reinvention through progressive mathematizing, Didactical phenomenology, Self developed models. a. Guided reinvention through progressive mathematizing (penemuan kembali secara terbimbing melalui matematisasi progresif) Prinsip pertama adalah penemuan kembali secara terbimbing dan matematisasi secara progresif. Gravemeijer (1994:90), menyebutkan “According to the reinvention principle, the students should be given the opportunity to experience a process similar to the process by which mathematics was invented.” Jadi dalam pembelajaran siswa hendaknya diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama ketika konsep atau prinsip matematika itu ditemukan. Oleh karena itu maka dalam PMRI pembelajaran dimulai dengan masalah nyata, selanjutnya masalah tersebut diuraikan agar unsur-
Mangaratua M. Simanjorang, M.Pd. adalah Dosen Fakultas MIPA UNIMED
57
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
unsur matematika yang terkandung di dalamnya dapat dikenali. Dengan mengenali unsur-unsur matematikanya maka siswa akan dapat menerjemahkannya ke dalam model matematika yang mereka hasilkan sendiri, sehingga mereka dapat menggunakan matematika untuk memecahkan masalah tersebut. Dan selanjutnya penyelesaian matematis itu diterjemahkan kembali sehingga diperoleh solusi dari masalah sebenarnya. Proses penemuan kembali diawali dengan penyelesaian masalah. Untuk menyelesaikan masalah siswa harus dapat membuat model dari masalah, dengan cara menyusun skema dan mengidentifikasi hubunganhubungan yang ada dalam masalah. Model ini dikembangkan sendiri oleh siswa sesuai dengan pemahamannya, jadi tidak selalu dalam bentuk model matematika formal yang baku. Pada saat inilah terjadi matematisasi. Dengan demikian siswa dapat menemukan solusi dari model dengan strateginya sendiri. Dalam hal ini dimungkinkan siswa menggunakan strategi yang informal. Selanjutnya solusi yang diperoleh ini diterjemahkan kembali ke dalam masalah sebenarnya. Gravemeijer (1994:94) menggambarkan proses penemuan kembali ini dengan seperti pada gambar berikut. formal mathematical knowledge mathematical language
algorithm solving
describing contextual problems
Gambar 1: Reinvention
58 Mangaratua M. Simanjorang, M.Pd. adalah Dosen Fakultas MIPA UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
Namun dalam pemecahan masalah belum tentu terjadi reinvention. Reinvention akan terjadi jika dalam proses pengembangan model atau penemuan solusi dari model digunakan atau ditemukan bahasa matematika dan algoritma formal. Melalui bahasa matematika dan algoritma formal inilah pengetahuan matematika formal dapat dibangun kembali. Matematisasi terjadi ketika siswa menguraikan masalah nyata ke dalam model dan menggunakan strategi informal mereka untuk menyelesaikan masalah tersebut. Jika strategi informal ini mengarahkan mereka untuk memecahkan masalah nyata tersebut menggunakan bahasa matematika atau menggunakan suatu algoritma, maka dikatakanlah proses ini beralih kepada matematisasi vertikal. Selanjutnya jika dalam proses ini siswa dapat membangun suatu pengetahuan matematika yang formal maka dikatakanlah bahwa siswa telah masuk pada proses penemuan kembali. b. Didactical phenomenology (fenomenologi didaktik) Prinsip kedua adalah fenomena yang bersifat mendidik. Berdasarkan prinsip ini pembelajaran matematika harus dimulai dengan fenomena yang bermakna bagi siswa, yang perlu diorganisasi dan dapat merangsang berlangsungnya proses belajar. Berdasarkan prinsip ini situasi masalah yang digunakan dalam pembelajaran perlu dipertimbangkan berdasarkan dua hal yaitu: apakah situasi tersebut dapat mengungkapkan jenis penerapan yang diinginkan dalam pembelajaran, dan kesesuaian dari situasi yang dipilih dilihat dari seberapa besar pengaruh situasi itu terhadap terjadinya proses matematisasi progresif. Dengan demikian, konsep, prinsip, prosedur, atau aturan yang harus dipelajari siswa tidak disediakan dan diajarkan
Mangaratua M. Simanjorang, M.Pd. adalah Dosen Fakultas MIPA UNIMED
59
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
oleh guru, tetapi siswa harus berusaha menemukan dan membangunnya dari masalah nyata tersebut. c. Self developed models Prinsip yang ketiga adalah pengembangan model sendiri oleh siswa. Prinsip ini berfungsi untuk menjembatani jarak antara pengetahuan informal dengan pengetahuan formal. Berdasarkan prinsip ini siswa hendaknya diberi kesempatan untuk mengembangkan caranya sendiri saat memecahkan masalah yang diberikan. Gravemeijer (1994:100) menyebutkan, “In realistic mathematics education we can distinguish four levels: situations, model of, model for, and formal mathematics”. Pada awalnya siswa mengembangkan model atau cara yang sesuai dengan pemahamannya. Model ini masih bersifat kontekstual dan khusus dari (model of) situasi masalah yang diberikan. Model inilah yang menjadi dasar untuk mengembangkan pengetahuan matematika formal. Setelah proses generalisasi dan formalisasi model tersebut secara bertahap diarahkan untuk menuju model untuk (model for) pemikiran matematika pada tingkat yang formal. Selanjutnya berdasarkan ketiga prinsip ini Gravemeijer (1994:114-115) merumuskan lima karakteristik dasar dari pembelajaran matematika realistik, yaitu: “the use of context; the use of models, bridging by vertical instruments; student contribution; interactivity; intertwining”. 2. Nilai dalam Matematika Unsur afektif dalam pembelajaran merupakan hal yang tidak dapat diabaikan. Pembelajaran tanpa nilai akan kehilangan unsur pendidikan di dalamnya. Hal ini mengakibatkan pembelajaran itu menjadi kering,
tidak bermakna. Nilai
merupakan unsur wajib
dalam
pembelajaran, demikian juga halnya dengan pembelajaran matematika.
60 Mangaratua M. Simanjorang, M.Pd. adalah Dosen Fakultas MIPA UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
Sam and Ernest (1997) mengelompokkan nilai dalam matematika menjadi tiga yaitu: a.
Nilai Epistomologi (Epistemological Values), yaitu nilai yang berkenaan dengan sisi teoritis dari belajar mengajar matematika, seperti: keakuratan, sistematis, rasional dan juga karakteristik, penghargaan dan pemerolehan pengetahuan matematika.
b. Nilai Sosial dan Budaya (Social and Cultural Values), yaitu nilai yang mengindikasikan tanggung jawab manusia akan pendidikan matematika bagi masyarakat, seperti: kasih, integritas, kesederhanaan and rasa syukur. c. Nilai Personal (Personel Values), yaitu nilai yang mempengaruhi seseorang sebagai individu atau pebelajar, seperti: rasa ingin tahu, hemat, sabar, percaya dan kreativitas. 3. Softskill dalam PMRI Berdasarkan kategori yang diajukan oleh Sam dan Ernest serta merujuk pada prinsip-prinsip dan karakteristik PMRI dapat diidentifikasi nilai-nilai yang ada dalam PMRI. a.
Nilai Epistomologi dalam PMRI Prinsip guided reinvention through progressive mathematization menekankan penemuan kembali konsep matematika melalui proses matematisasi, sehingga siswa memiliki kesempatan merasakan situasi yang mirip bagaimana konsep itu ditemukan sebelumnya. Proses matematisasi ini
yang
menekankan
munculnya
nilai
matematika
dalam
pembelajaran yaitu: rasional siswa dalam memecahkan masalah, akurasi hasil kerja siswa terkait dengan penyelesaian masalah yang dilontarkan, pemahaman dan penghargaan terhadap konsep
Mangaratua M. Simanjorang, M.Pd. adalah Dosen Fakultas MIPA UNIMED
61
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
matematika
itu
sendiri
sebab
siswa
membangun
sendiri
pengetahuannya. b. Nilai Sosial dan Budaya dalam PMRI, Prinsip didactical phenomenology menekankan penggunaan masalah yang sesuai sehingga dengan masalah tersebut siswa dapat membangun pengetahuan yang diinginkan. Dalam hal ini PMRI menekankan penggunaan masalah real yaitu yang nyata dalam benak siswa (dapat dibayangkan oleh siswa). Dengan demikian sangat besar peluang penggunaan masalah yang berasal dari lingkungan sosial masyarakat. Sehingga sejak dini siswa diajak untuk peduli dengan kondisi lingkungan masyarakatnya. Selain itu PMRI juga menekankan interaksi dalam kelas baik antar guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa. Dengan demikian pengaturan kegiatan belajar dalam kelas melatih siswa bersosialisasi dengan lingkungannya. c. Nilai Personal dalam PMRI Prinsip self developed model menekankan kreativitas siswa dalam membangun model dari masalah yang akan diselesaikan. Disamping itu pemilihan masalah yang dekat dengan lingkungan siswa akan meningkatkan rasa ingin tahu siswa untuk mencari penyelesaiannya. Keberhasilan siswa menemukan kembali konsep matematika melalui proses pemecahan masalah yang diberikan selanjutnya akan berdampak positif bagi peningkatan rasa percaya diri siswa. Dengan demikian PMRI benar-benar memberi peluang yang besar bagi pengembangan nilai personal siswa. Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dilihat bahwa PMRI berhubungan dengan pengembangan beberapa unsur softskill, sebagaimana disajikan dalam tabel berikut.
62 Mangaratua M. Simanjorang, M.Pd. adalah Dosen Fakultas MIPA UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
Tabel 1. Softskill dan Prinsip/Karakteristik PMRI No PRINSIP / KARAKTER PMRI 1 Didactical phenomenology (mencakup penggunaan masalah real) 2 3
4
self developed model (penggunaan model yang dikembangkan siswa) Interactivity (termasuk tahap penyajian hasil kerja siswa)
Intertwining (keterkaitan antar konsep matematika yang dibangun)
UNSUR SOFTSKILL Problem-solving, Decisionmaking, Planning / Organizing, Goal orientation Creativity/ Innovation, Flexibility Interpersonal skills, Persuasion, Teamwork, Personal Effectiveness, Written communication, Presenting Management, Continuous learning
C. Penutup PMRI merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang menekankan
penemuan
kembali
konsep
matematika
dalam
pembelajaran. Dengan demikian konsep matematika yang dibangun menjadi lebih bermakna bagi siswa. Lebih dari itu karakteristik PMRI menjamin bahwa proses konstruksi dalam pembelajaran matematika dengan menerapkan PMRI memiliki dampak pengiring yang positif dalam menumbuhkan softskill dalam diri siswa. Dengan demikian PMRI dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pendekatan dalam pembelajaran untuk menumbuhkan softskill siswa. D. Daftar Pustaka Bishop, A., Fitz Simons,G., Seah, W.T. & Clarkson, P. (1999, December). Values in Mathematics Education: Making Values Teaching Explicit in the Mathematics Classroom. Makalah disajikan pada the Combined Annual Meeting of the Australian Association for
Mangaratua M. Simanjorang, M.Pd. adalah Dosen Fakultas MIPA UNIMED
63
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
Research in Education and the New Zealand Association for Research in Education. Melbourne, Australia, November 29, December 2. Gravemeijer, K. 1994. Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: Freudenthal Institute. Sam, L. & Ernest, P. (1997, March). Values in Mathematics Education: What is Planned and What is Espoused? In British Society for Research into Learning Mathematics. Proceedings of the Day Conference held at University of Nottingham, 37-44. Samani Muchlas, 2007, Menggagas Pendidikan Bermakna, (Integrasi Life Skill-KBK-CTL-MBS), Surabaya: SIC Wahidi Helmi, QIA, MSM, 2007, Pikiran Rakyat, tanggal 3/12/2007).
64 Mangaratua M. Simanjorang, M.Pd. adalah Dosen Fakultas MIPA UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA MELALUI SEKTOR PENDIDIKAN Sukarman Purba Abstrak Globalisasi mengakibatkan derasnya arus komunikasi yang mampu menerobos dan melintasi daerah, pulau, dan bahkan antar negara. Jarak yang membatasi posisi antar negara di belahan dunia tidak lagi menjadi kendala atau hambatan yang sulit untuk ditembus. Dunia tanpa batas yang begitu luas ini seakan-akan menjadi sebuah desa yang dapat dijangkau manusia dengan cepat dari segala arah, sehingga setiap peristiwa yang terjadi pada suatu daerah atau negara dapat dengan mudah didengar atau dilihat, dan dibaca oleh negara lain. Implikasi dari era globalisasi adalah terjadinya perdagangan bebas antar negara atau kawasan. Dalam menghadapi era globalisasi, peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) tidak dapat disepelekan dan ditundatunda. Peningkatan kualitas SDM sebagai subjek pembangunan dan pemerintahan melalui sektor pendidikan merupakan kebutuhan yang mendesak. Strategi yang pasa dalam peningkatan kualitas SDM adalah melalui kerja sama semua pihak. Tanpa adanya kerja sama, maka kualitas SDM yang diharapkan hanya sebuah impian belaka Model pembelajaran dalam peningkatan kualitas SDM adalah melalui empat pilar yaitu learning to know, learning to do, learning to be dan learning to live together. Kata Kunci: Kualitas Sumber Daya Manusia, Pendidikan, dan Globalisasi. A. Pendahuluan Pembangunan Nasional sesungguhnya telah meletakkan dasardasar pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM). Berbagai upaya untuk meningkat-kan kualitas SDM Indonesia telah dirancang maupun dilaksanakan
oleh
pemerintah
dari
tingkat
pusat
sampai
ke
desa/kelurahan. Akan tetapi dalam prakteknya masih saja indeks pembangunan manusia (Human Development Index) mengalami penurunan teruma sejak terjadinya krisis multidimensi.
Dr. Sukarman Purba, ST, M.Pd adalah Staf Pengajar Universitas 65 Negeri Medan
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
Salah satu sektor yang kerap menjadi sorotan publik sebagai akibat penurunan kualitas SDM adalah pendidikan. Persoalan tinggi rendahnya kualitas SDM antara lain ditandai dengan kreativitas dan produktivitas yang diwujudkan dengan hasil kerja yang nyata baik dilakukan secara perorangan maupun berkelompok. Kreativitas dan produktivitas manusia akan tercapai jika dilandasi dengan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang umumnya dapat diperoleh melalui pendidikan baik formal, informal maupun nonformal. Ini memerlukan waktu dan biaya yang cukup besar. Sektor pendidikan adalah ”human investment” yang hasilnya akan dirasakan setelah beberapa waktu kemudian. Baik tidaknya sektor pendidikan dikelola akan berdampak pada kualitas generasi bangsa. Sanusi (1998) menyatakan bahwa jika abad silam disebut abad kualitas produk/ jasa, maka masa yang akan datang merupakan abad kualitas SDM. SDM yang berkualitas maupun pengembangan kualitas SDM bukan lagi merupakan isu atau tema-tema retorik, melainkan merupakan taruhan atau andalan serta ujian setiap individu, kelompok, pemimpin, golongan masyarakat, dan bahkan setiap warga negara. Dengan demikian tidak dapat disangkal bahwa pendidikan merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan kualitas SDM. Pengembangan SDM adalah proses sepanjang hayat yang meliputi berbagai bidang kehidupan. Jika dilihat dari sudut pandang ekonomi, peningkatan kualitas SDM lebih ditekankan pada penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan teknologi yang dibutuhkan oleh dunia kerja dalam upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas proses produksi dan mempertahankan keseimbangan ekonomi. Sehubungan dengan itu, Kartadinata (1997) mengemukakan bahwa pengembang-an SDM yang berkualitas adalah merupakan proses kontekstual, sehingga
66 Dr. Sukarman Purba, ST, M.Pd adalah Staf Pengajar Universitas Negeri Medan
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
pengembangan SDM melalui upaya pendidikan bukanlah sebatas menyiapkan manusia yang menguasai pengetahuan dan keterampilan yang cocok dengan dunia kerja pada saat ini, melainkan manusia yang mampu, mau, dan siap belajar sepanjang hayat. Program peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan akan memberi manfaat pada organisasi berupa peningkatan produktivitas, moral, efisiensi, efektivitas, kinerja maupun stabilitas organisasi dalam mengantisipasi lingkungan, baik dari dalam maupun ke luar organisasi yang selalu berubah mengikuti perkembangan jaman. Oleh karena itu peningkatan kualitas sektor pendidikan yang meliputi peningkatan kualitas SDM pendidikan, sarana prasarana, keuangan, metode dan teknik pembelajaran, lingkungan pendidikan yang kondusif saat ini sangat mendambakan ”political will and commitment” dari penguasa dalam hal ini pemerintah dan para legislatif. B. Pembahasan 1. Hakekat Pendidikan Dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pada Pasal 1, tertulis bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dengan demikian, pendidikan merupakan suatu hal yang mutlak harus dipenuhi agar peningkatan taraf hidup bangsa Indonesia tercapai dan tidak sampai tertinggal dengan bangsa lain. Untuk itu, sistem
Dr. Sukarman Purba, ST, M.Pd adalah Staf Pengajar Universitas 67 Negeri Medan
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, global. Untuk itu diperlukan pembaharuan
pendidikan
secara
terencana,
terarah,
dan
berkesinambungan. Soedijarto (1998) menyatakan pendidikan adalah suatu subsistem dari sistem sosial suatu negara bangsa yang secara terorganisasi mengurus usaha mengembangkan kemampuan (intelektual, artistik dan etika), sikap dan nilai, ketrampilan, dan pengetahuan para warga negara menuju terbinanya warga negara yang dewasa, baik secara civics, ekonomi, kultural, religius, dan etis sehingga mampu berpartisipasi dalam proses pembangunan, baik pembangunan dirinya sendiri maupun pembangunan masyarakat negara bangsa. Dengan demikian, pendidikan merupakan suatu sistem, yang terdiri dari komponen-komponen pendidikan sebagai unsur-unsur yang saling berhubungan dan menyatu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Komponen-komponen pendidikan tersebut adalah: Tujuan Pendidikan, Tenaga Pendidik, Peserta didik, Sarana dan Prasarana Pendidikan, Evaluasi, Kurikulum, Metodologi
Pengajaran,
Media Pendidikan, Jenjang, Jenis dan Jalur Pendidikan. Adapun kegiatan yang dilakukan dalam pendidikan melalui perencanaan, pengorganisasian, penatalaksanaan, pengarahan, pengawasan dan fungsi-fungsi lainnya dalam sistem manajemen pendidikan. Urutan kegiatan suatu proses secara umum adalah: input, proses, dan hasil. Tujuan utama pendidikan adalah mengenali, merumuskan, melestarikan dan menyalurkan kebenaran pengetahuan tentang makna dan nilai-nilai yang penting bagi kehidupan masyarakat secara mendasar. Untuk mengimplementasikan hal tersebut, salah satu cara adalah melalui
68 Dr. Sukarman Purba, ST, M.Pd adalah Staf Pengajar Universitas Negeri Medan
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
pengajaran di sekolah. Sekolah muncul disebabkan dua alasan mendasar yaitu (1) Untuk mengajar siswa tentang bagaimana cara menalar, cara berpikir secara jernih dan tertata, dan (2) Untuk menyalurkan kebijaksanaan yang tahan lama dari masa silam. Pendidikan merupakan salah
satu
alat
untuk
menghasilkan
perubahan
pada
diri
manusia. Manusia dapat mengetahui segala sesuatu yang tidak atau belum diketahui sebelumnya dari pendidikan. Pendidikan merupakan hak asasi seluruh bangsa Indonesia. Hak untuk memperoleh pendidikan harus diikuti oleh kesempatan dan kemampuan serta kemauannya. Dari gambaran terdahulu, dapat dipastikan bahwa betapa pentingnya peranan pendidikan dalam meningkatkan kualitas SDM agar sejajar dengan manusia atau bangsa lain, baik secara regional (otonomi daerah), nasional, maupun internasional (global). 2.
Dampak Era Globalisasi pada dunia Pendidikan. Era Globalisasi ditandai dengan derasnya arus komunikasi
yang mampu menerobos dan melintasi dinding pemisah antar daerah, pulau, dan bahkan antar negara. Pada era ini, jarak yang membatasi posisi antar negara di belahan dunia bukan lagi merupakan kendala atau hambatan yang sulit untuk ditembus dalam proses komunikasi. Dunia yang begitu luas saat ini dapat ditransformasikan seolah-olah menjadi sebuah desa atau perkampungan kecil yang dapat dijangkau dengan cepat dari segala arah, sehingga setiap peristiwa yang terjadi pada suatu daerah atau negara dapat dengan mudah didengar atau dilihat oleh negara lain seketika itu juga. Implikasi dari era globalisasi ini adalah terjadinya era perdagangan bebas antar negara atau kawasan. Perdagangan bebas antar kawasan asia (Asian Free Trade Area) diberlakukan pada tahun 2003, sedangkan NAFTA (North Afrika Free Trade Area) akan diberlakukan
Dr. Sukarman Purba, ST, M.Pd adalah Staf Pengajar Universitas 69 Negeri Medan
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
sekitar tahun 2020. Pada sistem perdagangan bebas tersebut, suatu negara dapat menunjukkan dan sekaligus mempromosikan segala kehebatannya kepada negara lain secara leluasa. Produk-produk dari pengembangan ilmu, pengetahuan, teknologi, dan seni masing-masing negara akan saling berkompetisi demi merebut dan menguasai pangsa pasar lokal maupun global. Proses globalisasi bergerak sejalan dalam tiga arena kehidupan manusia, yaitu arena ekonomi, politik dan budaya. Di dalam arena ekonomi, proses tersebut mempengaruhi peraturan-peraturan sosial dalam produksi, pertukaran barang, distribusi, konsumsi baik barang maupun pelayanan (service). Dalam arena politik proses globalisasi meyatakan diri di dalam pengaturan sosial dalam kaitannya dengan konsentrasi serta aplikasi kekuasaan. Dalam arena budaya proses globalisasi menyatakan diri di dalam pengaturan sosial dalam kaitannya dengan pertukaran dan ekspresi simbol mengenai fakta, pengertian, kepercayaan, selera, dan nilai-nilai (Tilaar, 1997). Ketiga arena ini akan memberi dampak pada dunia pendidikan, karena perhatian akan dunia pendidikan akan terpinggirkan. Indonesia sebagai salah satu negara yang mempunyai jumlah penduduk terbesar, maka sesungguhnya hal utama yang perlu dipikirkan dalam menyusun dan menentukan strategi tersebut adalah memperkuat pembangunan sumberdaya manusia yang kuat, cerdas, mempunyai jati diri, cinta tanah air, integritas, bermartabat, bermoral, agamais dan berkualitas melalui sektor pendidikan dan selayaknya menjadi prioritas utama dalam pembangunan nasional. Hal ini beralasan bahwa dasar pembangunan nasional adalah manusia yang mampu membangun dan membawa
negara
ini
kearah
keadilan
dan
kemakmuran
penduduknya.
70 Dr. Sukarman Purba, ST, M.Pd adalah Staf Pengajar Universitas Negeri Medan
bagi
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
Kenyataan yang ada saat ini, negara kita penuh dengan ketakutan, kecemasan, penuh kecurigaan dan hal-hal negatif lainnya. Pembangunan tidak pernah tepat sasaran, hanya kemerdekaan yang tetap ada diperoleh yang selalu dirayakan setiap tahun sebagai pemberian yang ridho dari Tuhan setelah perjuangan demi perjuangan yang diperoleh oleh para pejuang dimasa lalu. Krisis dimensi ekonomi yang membawa dampak buruk kepada krisis lainnya (multi krisis): krisis kepercayaan, krisis moral, krisis integritas. Tindakan-tindakan negatif yang dilakukan para pemimpin penyelenggara negara sampai bawahan, seperti: korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tindakan-tindakan ini membawa pengaruh yang buruk kepada masyarakatnya. Kejahatan yang timbul pada masyarakat adalah ekses dari ketidakstabilan yang timbul oleh karena kelakuan penyelenggara negara yang buruk dalam manajemen. Harapan dan kenyataan yang tergambarkan di atas mempunyai kesenjangan dan merupakan secuil persoalan yang dihadapi republik ini yang bernama Indonesia. Sebagai negara yang memasuki era globalisasi akan bersaing dengan negara-negara lain. Oleh karena itu, kunci utama yang perlu diperhatikan adalah memusatkan perhatian kepada peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang dimiliki, yaitu melalui pendidikan. Pengalaman menunjukan bahwa pembangunan yang hanya menekankan pertumbuhan ekonomi tanpa disertai dengan pertumbuhan yang seimbang di bidang sosial, politik dan hukum ternyata tidak berhasil meningkatkan daya saing di dunia internasional. Untuk itu, diperlukan suatu pembaharuan yang menyeluruh sifatnya dan mencakup berbagai aspek kehidupan bangsa, yaitu:
a) Upaya mencerdaskan kehidupan
bangsa agar dapat menjadi bangsa yang memiliki percaya diri dan sekaligus mampu berkiprah di dunia internasional, maka
diperlukan
suatu transformasi sosio-kultural dari budaya feodal, paternalistik dan
Dr. Sukarman Purba, ST, M.Pd adalah Staf Pengajar Universitas 71 Negeri Medan
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
berorientasi kekuasaan menuju budaya yang lebih bersifat demokratis, partisipatif dan berorientasi ke depan, b) Untuk dapat berkiprah di dunia internasional diperlukan adanya kepercayaan dari dunia internasional. Untuk itu, kita perlu memiliki hukum yang mengacu pada nilai-nilai universal seperti penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia, demokrasi, dan lain sebagainya. Selain itu, salah satu hal pokok yang dapat membina kepercayaan dunia internasional ialah adanya sistem hukum yang berwibawa dan berlandaskan asas-asas hukum modern dengan dukungan sistem peradilan yang dapat diandalkan. 3.
Peranan Pendidikan dalam peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Pendidikan sebagai kebutuhan hidup, memainkan peranan
sosial atau dukungan terhadap pertumbuhan dan juga memandu perjalanan umat manusia, baik itu perorangan, masyarakat, bangsa dan negara. Lazim disebut education is the necessity of life as social function, as growth, as direction. Dengan demikian, posisi pendidikan menjadi sebuah kegiatan yang merangkum kepentingan jangka panjang atau masa depan. Bukan sekedar kebutuhan dalam pengertian yang umum, tetapi sebagai kebutuhan mendasar. Pendidikan juga sering disebut sebagai investasi sumber daya manusia, dan sebagai modal sosial seseorang sehingga tidak akan mungkin selesai, tetapi berkelanjutan. Jadi membicarakan pendidikan adalah membicarakan masa depan dan masa depan selalu mengalami perubahan yang luar biasa. Keberhasilan pendidikan sesungguhnya harus didukung paling tidak tiga komponen utama yaitu pemerintah, sekolah, dan masyarakat. Menurut hemat saya yang terutama adalah pemerintah, artinya bagaimana kebijakan pemerintah untuk meningkatkan pendidikan. Secara makro kebijakan tersebut dipengaruhi
72 Dr. Sukarman Purba, ST, M.Pd adalah Staf Pengajar Universitas Negeri Medan
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
keputusan politik. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana intelektual politik untuk memahami pendidikan secara menyeluruh. Di bidang pendidikan, secara teoritis pendidikan selalu diletakkan sebagai upaya pembangunan yang diprioritaskan, namun dalam praktek kebijaksanaan alokasi anggaran pendidikan belum pernah menduduki prioritas pertama. Akibatnya dampak pembangunan pemerataan pendidikan yang telah berhasil mencapai tingkatan yang membanggakan terhadap pembangunan kemampuan, watak, dan kesatuan bangsa sebagai yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa masih belum berarti. Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan, pendidikan.
perlu
untuk
Berkaitan
meningkatkan dengan
masalah
kualitas
manajemen
ini,
Engkoswara
(2001) menyebutkan bahwa Manajemen Pendidikan yang diharapkan menghasilkan pendidikan yang produktif, yaitu efektif dan efisien, memerlukan analisis kebudayaan atau nilai-nilai dan gagasan vital dalam berbagai dimensi kehidupan yang berlaku untuk kurun waktu yang cukup di mana manusia hidup. Kualitas pendidikan dapat dilihat dari nilai tambah yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan, baik produk dan jasa maupun pelayanan yang mampu bersaing di lapangan kerja yang ada dan yang diperlukan. Peningkatan kualitas SDM dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas pendidikan. Agar pendidikan dapat memainkan perannya maka harus terkait dengan dunia kerja, artinya lulusan pendidikan semestinya memiliki kemampuan dan keterampilan yang relevan dengan tuntutan dunia kerja. Hanya dengan cara ini, pendidikan mempunyai kontribusi terhadap ekonomi. Dengan demikian, relevansi pendidikan dalam arti adanya keterkaitan dan kesepadanan sebagaimana dikemukan Djoyonegoro (1995) dalam bentuk link and match, pada kenyataannya pendidikan telah sesuai dengan keperluan masyarakat yang
Dr. Sukarman Purba, ST, M.Pd adalah Staf Pengajar Universitas 73 Negeri Medan
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
sedang membangun. Pendidikan sampai saat ini dianggap sebagai unsur utama dalam pengembangan SDM. SDM lebih bernilai jika memiliki sikap, perilaku, wawasan, kemampuan, keahlian serta keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan ber-bagai bidang dan sektor. Sedangkan, Soedijarto (1998) menyatakan hakikat pembangunan nasional di bidang pendidikan adalah 1) untuk meningkatkan kualitas manusia dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur; dan 2) Memungkinkan para warga negara mampu mengembangkan dirinya. Untuk itu, peran guru atau dosen yang terlibat langsung dalam proses pendidikan harus memiliki kemampuan untuk mengembangkan kemampuan para siswanya atau mahasiswa melalui pemahaman, keaktifan, pembelajaran sesuai kemajuan zaman dengan mengembangkan keterampilan hidup agar mereka memiliki sikap kemandirian, perilaku adaptif, koperatif, kompetitif dalam menghadapi tantangan, tuntutan kehidupan sehari-hari. Secara efektif menunjukkan motivasi, percaya diri serta
mampu
mandiri dan dapat
bekerja
sama, berdisiplin,
bertanggung jawab, memiliki etika moral, dan memiliki sikap kepedulian yang tinggi, dan memupuk kemampuan otodidak anak didik. Selain itu, proses belajar yang dilakukan dalam setiap jenjang dan jenis pendidikan harus berkualitas. Seodijarto (1998) menyatakan proses belajar yang berkualitas adalah proses belajar yang memenuhi persyaratan berikut: a) mengandung nilai-nilai yang diinginkan, b) membuat siswa/ mahasiswa terlibat secara aktif dalam proses belajar, dan c) dapat menghasilkan berbagai proses belajar, seperti pengamatan, menyelidik untuk menemukan, menulis laporan, membaca buku, membuat kesimpulan apa yang dibaca dan memberikan pendapat. Selain itu, Delors menyatakan model pembelajaran yang dilakukan dalam proses pembelajaran pada setiap jenjang dan jenis pendidikan
mengacu pada empat pilar proses
74 Dr. Sukarman Purba, ST, M.Pd adalah Staf Pengajar Universitas Negeri Medan
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
pembelajaran, yaitu Learning to know, Learning to do, Learning to be dan Learning to live together. Model pembelajaran ini sangat relevan dilakukan dalam setiap jenis, jenjang dan jalur pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Dengan
pemberlakuan
otonomi
daerah,
maka
lembaga
pendidikan memiliki otonomi untuk mengelola pendidikannya secara otonom, sehingga peran aktif seluruh komponen masyarakat daerah dapat dilibatkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan, karena sumber daya manusia merupakan investasi jangka panjang (human investment). Suatu daerah yang memprioritaskan pendidikan sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya maupun perekonomian suatu daerah, maka daerah tersebut akan bertambah maju karena sumber daya manusia yang cerdas mampu memanfaatkan seluruh potensi daerah dan mampu menghadapi tantangan pada era global. Untuk itu, kebijakan yang diambil dalam pendidikan haruslah memprioritaskan pemerataan pendidikan, dan peningkatan mutu. Hal ini disebabkan karena fungsi pendidikan adalah untuk mengembangkan kemampuan, meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia. Untuk itu, dalam upaya peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan perlu diadakan beberapa pendekatan, yaitu: a.
Pendekatan Ekonomi. Krisis ekonomi yang berkepanjangan dan seakan-akan tak kunjung reda di negara sehingga memberi berdampak sangat buruk bagi peningkatan kualitas SDM. Banyak anggota masyarakat yang merupakan aset suatu negara tidak dapat melanjutkan studi (pendidikan) ke jenjang lebih tinggi karena ketidakmampuan ekonominya. Hal ini akan dapat diatasi apabila pengambil kebijakan dalam mengelola pembiayaan pendidikan lebih
Dr. Sukarman Purba, ST, M.Pd adalah Staf Pengajar Universitas 75 Negeri Medan
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
arif dan bijaksana dalam mengelola biaya pendidikan yang tersedia. Pemerintah hendaknya membantu SDM yang betul-betul membutuhkan, sehingga bantuan itu sangat bermanfaat. b. Pendekatan Politik. Secara umum diketahui bahwa terlepas dari sistem politik yang dianut oleh suatu negara, salah satu tujuan negara adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Dalam konteks kehidupan bernegara, kesejahteraan masyarakat tidak lagi dibatasi pada kesejahteraan fisik yang terwujud pada kemakmuran ekonomi yang
semakin
merata,
tetapi
juga
kesejahteraan
mental
spiritual. Kesejahteraan yang dimaksud dewasa ini sering dikaitkan dengan kualitas hidup umat manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya yang tidak hanya diikuti, akan tetapi juga dijunjung tinggi. c. Pendekatan Sosio-Kultural. Nilai-nilai budaya dapat menentukan baik atau tidak baik dan benar atau salah terhadap sesuatu. Dalam peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan, nilai sosio-kultural perlu ditekankan karena merupakan suatu faktor yang sangat penting untuk diterapkan dalam kehidupan. Seseorang akan malu berbuat tidak baik karena masyarakat akan menilainya dan bahkan mengucilkannya jika seseorang terbukti berbuat hal-hal yang berbenturan dengan adat istiadat (budaya) suatu kelompok. Oleh sebab itu, budaya malu itu perlu ditanamkan agar dapat mengontrol perilaku seseorang dalam berbuat atau bertindak. d. Pendekatan Administratif/Manajerial. Pendekatan ini dilakukan agar system kerja dan pengelolaan pekerjaan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana. Bila Pelaksanaan suatu pekerjaan dilaksanakan secara administratif/manajerial, maka efektivitas, efisiensi, dan produktivitas akan dapat dicapai dengan mudah. Dengan demikian,
76 Dr. Sukarman Purba, ST, M.Pd adalah Staf Pengajar Universitas Negeri Medan
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
kualitaspun akan meningkat.
Di dalam proses manajemen
diperlukan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Apabila ketiga proses tersebut diikuti dengan benar, maka peningkatan kualitas akan dapat dicapai. Salah satu filsafat manajemen adalah mengurangi ketidakpastian. Jika memang hal itu benar, maka kualitas akan dapat ditingkatkan. Manajemen pendidikan adalah suatu ilmu yang mempelajari bagaimana menata sumber daya, baik SDM
maupun sumber
daya lain
untuk
mencapai tujuan
pendidikan. Untuk itu, penataan manajemen pendidikan sangat diperlukan dalam men-capai kualitas pendidikan
yang akan
berdampak positif pada peningkatan kualitas SDM. Sejumlah penelitian telah mengungkapkan bahwa antara pendidikan berkualitas dengan produktivitas mempunyai korelasi yang positif. Hal ini bermuara pada kualitas SDM yang akhirnya akan dapat memungkinkan produktivitas organisasi. Sarah Tang, sebagaimana dikutip
Fattah (2000) mengemukakan
pertumbuhan ekonomi yang
cepat di negara-negara Asia dan perubahan progresif dalam produksi menuju
industri
dan
jasa
berteknologi
tinggi
mengakibatkan
meningkatnya tuntutan dari dunia usaha terhadap perlunya tenaga (SDM) yang terampil dan terdidik (berkualitas). Berdasarkan temuan tersebut, jelaslah bahwa SDM yang berkualitas sebagai tenaga kerja sangat diperlukan yang memiliki keterampilan dalam melaksanakan tugas guna peningkatan kualitas organisasi dan menunjang pertumbuhan ekonomi. Peningkatan kualitas SDM adalah proses sepanjang hayat yang meliputi berbagai bidang kehidupan, terutama dilakukan melalui pendidikan. Jika dilihat dari sudut pandang ekonomi, peningkatan kualitas SDM lebih ditekankan pada penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan teknologi yang dibutuhkan oleh dunia kerja
Dr. Sukarman Purba, ST, M.Pd adalah Staf Pengajar Universitas 77 Negeri Medan
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
dalam upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas proses produksi dalam mempertahankan keseimbangan ekonomi. Menurut Sutermeister (1976) bahwa perubahan dan peningkatan kualitas SDM dipengaruhi oleh pendidikan.
Pendidikan
diperhitungkan
sebagai
faktor
penentu
keberhasilan seseorang, baik secara sosial maupun ekonomi. Nilai pendidikan merupakan aset moral, yaitu dalam bentuk pengetahuan dan keterampilan
yang
diperoleh
dalam
pendidikan
merupakan
investasi. Pandangan ini ditinjau dari sudut human capital. Sebagai suatu investasi produktif, pembangunan pendidikan harus memperhitungkan dua konsep penting, yaitu biaya (cost) dan manfaat (benefit) pendidikan. Berkaitan dengan biaya pendidikan itu sendiri terdapat empat agenda kebijaksanaan yang perlu mendapat perhatian secara serius, yaitu (1) besarnya anggaran pendidikan yang dialokasikan (revenue), (2) aspek keadilan dalam alokasi anggaran, (3) aspek efisiensi dalam pendayagunaan anggaran, serta (4) anggaran pendidikan dan desentralisasi pengelolaan. Efisiensi Pendayagunaan Anggaran Pendidikan, walaupun biaya pendidikan bukan satu-satunya faktor yang menentukan berhasilnya pengembangan kualitas SDM, besarnya anggaran pendidikan pasti bermanfaat untuk mempercepat upaya peningkatan mutu pendidikan jika didayagunakan secara efisien. C. Penutup SDM memegang peranan penting dalam menentukan jati diri suatu
bangsa. Oleh sebab itu, peningkatan kualitas SDM melalui
pendidikan pada setiap jenis, jenjang dan jalur pendidikan merupakan suatu kebutuhan mendesak yang perlu mendapat prioritas, karena SDM merupakan suatu investasi jangka panjang yang akan menghasilkan SDM
78 Dr. Sukarman Purba, ST, M.Pd adalah Staf Pengajar Universitas Negeri Medan
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
yang bermutu sehingga
SDM yang dihasilkan mempu menghadapi
tantangan era globalisasi. Walaupun krisis ekonomi belum berlalu, ditambah dengan gejolak politik yang seakan-akan tak kunjung reda, kehidupan ini berjalan terus tanpa hentinya Kebutuhan demi kebutuhan terus diperlukan, tidak terkecuali kebutuhan akan pendidikan. Dalam menghadapi masalah ini perlu adanya kerja sama semua pihak, baik pemerintah, orangtua, praktisi pendidikan, elit politik dan seluruh stakeholders pendidikan untuk terlibat dalam peningkatan kualitas SDM. Tanpa adanya kerja sama dua arah, maka suatu impian sulit untuk diwujudkan menjadi kenyataan. Era globalisasi menuntut persaingan yang berorientasi pada mutu. Persaingan yang ketat merupakan tantangan yang makin berat. Untuk itu, tidak ada pilihan lain selain peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan berkelanjutan yang akan mampu menghadapi persaingan tersebut. Untuk ini, perlu diberi bantuan kepada SDM yang ingin meningkatkan kualitas dirinya, baik bantuan material, moral mapun spiritual. Dalam upaya peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan, dapat dilakukan melalui pendekatan politik, ekonomi, sosio kulutural, dan administratif/manajerial, sehingga para pengambil kebijakan pendidikan diharapkan dapat melakukan upaya peningkatan kualitas SDM secara optimal. D. Daftar Pustaka Djojonegoro, Wardiman. 1995. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia untuk Pembangunan. Jakarta: Depdikbud. Engkoswara. 2001. Paradigma Manajemen Pendidikan Menyongsong Otonomi Daerah. Bandung:Yayasan Amal Keluarga. Fattah, Nanang. 2000. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Dr. Sukarman Purba, ST, M.Pd adalah Staf Pengajar Universitas 79 Negeri Medan
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
Jacques Delors. et al. 1996. Learning the Treasure Within. Paris. UNESCO. Kartadinata, Sunaryo. 1997. Pendidikan dan Pengembangan SDM Bermutu Memasuki Abad XXI. Purwokerto: Makalah Konvensi. Sanusi, Achmad. 1998. Pendidikan Alternatif. Bandung : PT Grafindo Media Pratama. Soedijarto. 1998. Pendidikan sebagai Sarana Reformasi Mental dalam Upaya Pembangunan Bangsa. Jakarta : Balai Pustaka. Sutermeister, Robert A. 1976. People and Productivity. Tokyo:Mc GrawHill Books Company. Tilaar, H.A.R. 1997. Pengembangan Sumberdaya Manusia Dalam Era Globalisasi: Visi, Misi, dan Program Aksi Pendidikan dan Pelatihan Menuju 2020. Jakarta: Grasindo. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) Beserta Penjelasannya. Bandung: Citra Umbara.
80 Dr. Sukarman Purba, ST, M.Pd adalah Staf Pengajar Universitas Negeri Medan
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
PERTUMBUHAN GERAK DAN KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN ANAK Indra kasih Abstrak Sebagai mahluk hidup manusia terus mengalami perubahan sepanjang hidupnya. Mulai berada dalam kandungan, lahir, kemudian menjadi dewasa dan terus terjadi perubahan dalam aspek-aspek fisik, gerak, pikiran, emosi dan sosial. Pola perubahan mula-mula bersifat meningkat, kemudian menurun. Peningkatan terjadi akibat proses pertumbuhan, perkembangan dan kematangan; penurunan terjadi dalam proses penuaan. Studi tentang perkembangan gerak mencakup deskripsi dan penjelasan mengenai perilaku perak manusia sepanjang hidup dengan pertumbuhan perkembangan psikososial, kognitif, afektif dan psikomotorik. Perkembangan hidup manusia secara umum terjadi dalam 5 fase perkembangan, yaitu fase-fase sebelum lahir, bayi, anak-anak, adolesensi, dan dewasa. Setiap fase perkembangan terjadi pada batasan usia tertentu. Pembatasan setiap fase didasarkan pada kecendrungan karakteristik perkembangan yang terjadi pada kurun waktu tertentu dalam usianya. Kata Kunci: Gerak, Fase Perkembangan A. Pendahuluan Manusia adalah mahluk hidup yang selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Bermula dari proses perubahan yang terjadi dalam bentuk menyatu sperma sang ayah dengan sel telur ibu, terbentuklah serangkaian organisme yang kemudian tumbuh menjadi janin. Selama kurang dari Sembilan bulan 10 hari, janin tumbuh dan berkembang melengkapi diri dengan organ-organ dan bagian-bagian sampai menjadi wujud bentuk manusia kecil yang akan lahir ke dunia fana dengan sebutan bayi. Setelah lahir, semua bagian, organ dan fungsi yang ada pada diri individu terus mengalami perubahan. Bayi yang lahir dengan ukuranukuran tubuh yang panjang lebih dari 50 cm dan beratnya kurang dari 3
Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
81
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
kg, akan bertambah panjang dan bertambah berat sedikit demi sedikit sampai mencapai ukuran panjang atau tinggi orang dewasa yaitu lebih kurang 175 cm untuk laki-laki dan lebih kurang 160 untuk perempuan; dan berat lebih kurang 65 kg untuk laki-laki dan lebih kurang 50 kg untuk perempuan. Pengkajian secara mendalam aspek demi aspek yang tampak dalam perkembangan individu terus dilakukan. Perkembangan gerak merupakan salah satu aspek pengkajian perkembangan individu yang dewasa ini menjadi semakin berkembangan. Perkembangan psikiologis sudah lebih awal dikaji secara mendalam dibanding pengkajian tentang gerak. Perkembangan psikologis dikaji dalam bidang studi yang disebut “Psikologis Gerak”. Gerakan manusia selalu berkaitan dengan aspekaspek yang lain. Gerakan dipengaruhi oleh fisik dan proses psikologis yang ada di dalamnya. Misalnya orang yang ukuran fisiknya pendek-kecil cenderung lebih lincah dibandingkan orang yang tinggi dan gemuk. Juga misalnya orang yang giji makanannya terpenuhi cenderung lebih besar kapasitas geraknya dibanding dengan orang yang gizi makannya kurang. B. Pembahasan 1. Periodisasi Perkembangan Sepanjang hidup manusia, mulai masih dalam kandungan dilahirkan, kemudian sampai tua memperoleh sebutan berganti-ganti. Pergantian sebutan berdasarkan pada usianya dan merupakan fase-fase dalam perkembangan yang dilewati. Secara garis besar ada 5 paseperkembangan dalam hidup manusia, yaitu: a.
Fase sebelum lahir (prenatal)
b. Fase bayi (infant) c. Fase anak-anak (childhood)
82 Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
d. Fase adolesensi (adolescence) e. Fase dewasa (adulthood) Fase sebelum lahir adalah fase perkembangan selama masih berada didalam kandungan. Lama kandungan yang normal adalah 9 bulan 10 hari. Dua minggu pertama sejak terjadi pembuahan disebut fase awal (germinal). Antara 2 sampai 8 minggu berada di dalam kandungan disebut embrio; dan antara 8 minggu sampai sahat kelahiran disebut janin. (fetus)Fase bayi adalah fase perkembangan mulai dilahirkan sampai berumur 1 atau 2 tahun. Mulai saat lahir sampai umur 4 minggu merupakan fase kelahiran (neonatal).Fase anak-anak adalah fase perkembangan mulai umur 1 atau 2 tahun sampai 10 atau 12 tahun. Fase anak-anak di klasifikasikan menjadi 2 fase ; a.
Fase anak kecil (early childhood)
b. Fase anak besar ( later childhood) Fase anak kecil adalah antara 1 dan 2 sampai 6 tahun. Fase anak besar adalah antara 6 sampai 10 atau 12 tahun.
Fase adolesensi antara
perempuan dan laki-laki dimulai dan diakhiri pada umur yang berbeda. Pada perempuan mulai pada umur 10 tahun dan berakhir pada umur 18 tahun. Sedangkan pada laki-laki mulai umur 12 tahun dan berakhir 20 tahun. Berarti perempuan mencapai fase adolesensi 2 tahun lebih awal dibandingkan laki-laki, dan berakhir 2 tahun lebih awal. Fase dewasa terbagi menjadi 3 fase, yaitu: a.
Fase dewasa muda (young adulthood)
b. Fase dewasa madya ( middle adulhood) c. Fase dewasa tua (older adulhood) Fase dewasa muda adalah antara 18 tahun (perempuan) atau 20 tahun(laki-laki) sampai 40 tahun. Fase dewasa madya adalah antara 40 sampai 60 tahun. Fase dewasa tua adalah mulai umur 60 dan
Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
83
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
seterusnya.Pembagian
fase-fase
perkembangan
tersebut
dibuat
berdasarkan identifikasi kecendruangan karakteristik perkembangan pada masa-masa usia tertentu. Usia tertentu itu yang menjadi dasar setiap fase perkembangan.Untuk lebih menjelaskan mengenai batas setiap fase perkembangan dapat digambarkan dalam tabel berikut. Tabel 1. Periodisasi Perkembangan Berdasarkan Umur No Fase Perkembangan Umur 1 Sebelum lahir Selama 9 bulan 10 hari Saat pembuahan sampai 2 minggu - Awal 2 sampai 8 minggu - Embrio 8 mingu sampai lahir - Janin 2 Bayi Sejak lahir sampai 1 tau 2 tahun Sejak lahir sampai 4 minggu - Neonatal 3 Anak-anak 1 atau 2 sampai 10 atau 12 tahun 1 atau 2 sampai 6 tahun - Anak kecil 6 sampai 10 atau 12 tahun - Anak besar 4 Adolesensi 10 sampai 18 tahun - Perempuan 12 sampai 20 tahun - Laki-laki 5 Dewasa 18 atau 20 tahun sampai 40 tahun - Muda 40 sampai 60 tahun - Madya 60 tahun lebih - Tua 2. Karakteristik Perkembangan Anak Pendapat Piaget dan Vigotsky ini perlu diakomodasi untuk saling melengkapi. Rancangan kegiatan perlu dibagi dimana ada saat anak diberi kesempatan menemukan dan membangun pemahamannya (discovery learning),
tetapi
guru
tetap
harus
berperan
memperluas
dan
meningkatkan efektifitas belajarnya dengan bantuan arahan yang tepat (scaffolding) sehingga anak dapat meningkatkan ZPD untuk menjadi daerah kemampuan aktualnya. Selain itu perlunya menunggu kesiapan anak dan pemberian bantuan dari orang dewasa untuk meningkatkan
84 Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
kemampuan anak jangan dipandang sebagai sesuatu yang kontradiktif, tetapi dipahami sebagai batasan dalam menetapkan kriteria Developmentally Appropriate Practice. Pendidik perlu meneliti sejauh mana kompetensi dasar usia tertentu, sekaligus mencoba meningkatkan kemampuannya dengan tetap memperhatikan kondisi psikologi anak dan tanpa mematikan anak untuk mencintai belajar. Piget dalam bukunya The moral judgement of the Child (1923) Piaget menyatakan bahwa kesadaran moral anak mengalami perkembangan dari satu tahap yang lebih tinggi. Pertanyaan yang melatar belakangi pengamatan Piaget adalah bagaimana pikiran manusia menjadi semakin hormat pada peraturan. Ia mendekati pertanyaan itu dari dua sudut. Pertama kesadaran akan peraturan (sejauh mana peraturan dianggap sebagai pembatasan) dan kedua, pelaksanaan dari peraturan itu. Anak-anak
pada
usia
paling
muda
hingga
umur
2
tahun melakukan aktivitas bermain dengan apa adanya, tanpa aturan dan tanpa ada hal yang patut untuk mereka patuhi. Mereka adalah motor activity tanpa dipimpin oleh pikiran. Pada tahap ini mereka belum menyadari adanya peraturan yang koersif, atau bersifat memaksa dan harus di taati. Anak-anak pada umur antara 2 sampai 6 tahun mereka telah mulai memperhatikan dan bahkan meniru cara bermain anak-anak yang lebih besar dari mereka. Pada tahap ini anak-anak cenderung bersikap egosentris, mereka akan memandang ”sangat salah” apabila aturan yang telah ada di ubah dan dilanggar. 3. Perkembangan Psycho-Sosial Menurut Erick Erickson perkembangan Psycho-sosial atau perkembangan jiwa manusia yang dipengaruhi oleh masyarakat dibagi menjadi 8 tahap:
Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
85
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
1. Trust >< Mistrust (usia 0-1 tahun) Tahap pertama adalah tahap pengembangan rasa percaya diri.Fokus terletak pada Panca Indera, sehingga mereka sangat memerlukan sentuhan dan pelukan. 2. Otonomi/Mandiri >< Malu/Ragu-ragu (usia 2 - 3 tahun) Tahap ini bisa dikatakan sebagai masa pemberontakan anak atau masa 'nakal'-nya. sebagai contoh langsung yang terlihat adalah mereka akan sering berlari-lari dalam sekolah. Namun kenakalannya itu tidak bisa dicegah begitu saja, karena ini adalah tahap dimana anak sedang mengembangkan kemampuan motorik (fisik) dan mental (kognitif), sehingga yang diperlukan justru mendorong dan memberikan tempat untuk mengembangkan motorik dan mentalnya. Pada saat ini anak sangat terpengaruh oleh orang-orang penting disekitarnya(Orangtua-Gurudi sekolah). 3. Inisiatif >< Rasa Bersalah (usia 4 – 5 tahun) Dalam tahap ini anak akan banyak bertanya dalam segala hal, sehingga berkesan cerewet. Pada usia ini juga mereka mengalami pengembangan inisiatif/ide, sampai pada hal-hal yang berbau fantasi. 4. Industri/Rajin >< Inferioriti (usia 6- 11 tahun) Anak usia ini sudah mengerjakan tugas-tugas sekolah - termotivasi untuk belajar. Namun masih memiliki kecenderungan untuk kurang hati-hati dan menuntut perhatian.Sesuai dengan batasan usia sekolah pada umumnya, maka empat tahap berikutnya (Usia diatas 11 tahun) tidak dibahas dalam kolom ini. 4. Perkembangan Kognitif Kognitif adalah proses yang terjadi secara internal di dalam pusat susunan saraf pada waktu manusia sedang berpikir (Gagne dalam
86 Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
Jamaris, 2006).Piaget membagi tahapan perkembangan kognitif ke dalam empat periode, yaitu: 1. 0-2 tahun disebut sebagai periode kepandaian sensori-motorik (sesorimotorik) Periode ini terbagi atas 6 tahapan, antara lain: Tahap 1. (lahir-1 bulan) penggunaan refleks-refleks Anak membangun (mengkonstruk) skema-skema (skema adalah struktur tindakan bayi) lewat aktivitas anak sendiri. Skema pertama dipengaruhi oleh refleks bawaan. Adapun contoh refleks bawaan yang sangat jelas pada bayi yaitu refleks untuk menghisap, bayi otomatis akan menghisap kapan pun bibir mereka disentuh. Anisiasi, bayi mencari puting susu ibu sendiri ketika baru lahir. Meskipun demikian gerak refleks tersebut memiliki kepasifan tertentu sehingga perlu distimulasi. Namun sekali skema terbentuk maka kita juga memiliki kebutuhan untuk membuatnya aktif.Contohnya, bayi belajar menyesuaikan gerakan kepala dan bibir untuk menemukan putting susu. Ciri ini disebut dengan permulaan akomodasi (membuat perubahan dalam struktur kita). Ciri lain adalah bayi tidak memiliki konsepsi objek apapun di luar dirinya. Misalnya, jika seseorang/objek meninggalkan wilayah pandangnya, maka bayi tidak berusaha mencari, bayi akan mengamati yang lain yang ada dalam wilayah pandangnya. Tahap 2. (1-4 bulan) reaksi-reaksi sirkuler primer Ciri tahap ini sama dengan tahap pertama yaitu bayi tidak memiliki konsepsi objek apapun diluar dirinya. Namun pada tahap ini pula bayi menghadapi suatu pengalaman baru dan berusaha untuk mengulanginya. Misalnya, tangan bayi yang secara tidak sengaja menyentuh mulutnya, ketika tangan itu jatuh, bayi berusaha untuk
Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
87
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
menangkap tangannya agar dapat melakukan kegiatan yang sama sebelumnya. Walaupun kadang anak merasa kesulitan, tangan memukul wajah, tangan berputar agar menyentuh mulut, bayi mengejar tangannya namun tidak dapat karena seluruh tubuhnya bergerak termasuk kaki dan tangan kearah yang sama. Tahap 3. (4-10 bulan) reaksi-reaksi sirkuler sekunder Tahap ini terjadi ketika bayi menemukan dan menghasilkan kembali peristiwa menarik di luar dirinya. Contoh, bayi yang berusaha untuk menggapai mainan gantung yang ada diatasnya. Bayi akan berusaha untuk menggerakkan mainan tersebut sampai bergoyang secara berulang-ulang.
Jika
telah
berhasil
maka
bayi
akan
terus
mengulanginya kegiatan tersebut dan sering tertawa kecil jika mainan tersebut bergoyang. Pada masa ini bayi tengah menikmati kekuatannya sendiri yaitu kemampuan untuk membuat suatu peristiwa terjadi berulang-ulang, membuat pemandangan yang menarik bertahan selamanya. Tahap 4. (10-12 bulan) koordinasi skema-skema sekunder Pada tahap ini anak belajar untuk mengkordinasikan dua skema terpisah demi mendapatkan hasil. Pencapaian baru ini terlihat ketika bayi berhadapan dengan rintangan-rintangan. Misalnya, bayi yang ingin memeluk mainan, namun ada penghalang diantara mainan tersebut sehingga tidak dapat dipeluk. Bayi akan berusaha untuk mendapatkan mainan dengan berbagai cara. Pada akhirnya bayi dapat memeluk mainan ketika bayi mengibaskan rintangan tersebut. mengibaskan rintangan adalah satu skema, memeluk mainan adalah bentuk skema kedua. Tahapan ini juga ditandai dengan pengertian sejati permanensi objek. Pada tahapan ini bayi dapat menemukan objek-objek yang tersembunyi seluruhnya, namun belum bisa
88 Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
mengikuti pengacakan (pergerakan dari satu tempat persembunyian ke tempat persembunyian lain). Tahap 5. (12-18 bulan) reaksi-reaksi sirkuler tersier Pada tahap ini anak bereksperimen dengan tindakan-tindakan yang berbeda-beda
untuk
mengamati
hasil
yang
berbeda-beda.
Contohnya, seorang anak tertarik dengan meja baru yang dibeli ayahnya. Anak tersebut memukul meja dengan telapak tangannya beberapa kali, kadang keras, kadang lembut. Ini terus dilakukan karena anak mendengarkan perbedaan bunyi yang dihasilkan oleh tindakannya itu. Anak-anak sesungguhnya belajar dari diri mereka sendiri, tanpa perlu diajari orang dewasa. Tahap 6. (18 bulan-2 tahun) permulaan berpikir Pada tahap ini anak mulai memikirkan situasi secara lebih internal, sebelum bertindak.Jika pada tahap 5 anak mencoba memecahkan masalah dengan coba-coba (trial and error) maka pada tahap ini anak dapat memikirkan sejenak cara untuk menyelesaikan masalah. Contoh, anak yang ingin mengeluarkan bola pada kotak mainan. Pada awalnya anak mencoba untuk membuka dengan berbagai cara, karena tidak berhasil, maka anak diam sejenak untuk mengamati kotak tersebut. Anak melihat ada sedikit celah pada kotak, kemudian tangannya masuk melalui celah tersebut dan ia memperoleh bola yang diinginkan. 2. 2-7 tahun disebut sebagai periode pikiran operasional (praoperasional konkret) Ciri periode ini yaitu: a.
Pikiran anak berkembang cepat ke sebuah tatanan baru, yaitu simbol-simbol.
b. Pikiran anak pada dasarnya tidak sistematis dan tidak logis.
Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
89
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
c. Anak-anak
mulai
menggunakan
menggunakan
sebuah
objek
simbol-simbol atau
tindakan
ketika untuk
merepresentasikan sesuatu yang tidak hadir. Simbol-simbol pertama bersifat motorik, bukan linguistik. d. Bahasa mulai berkembang pada tahapan ini. e. Penalaran anak transduktif (berpindah dari hal-hal khusus ke hal khusus lainnya) terlihat dari ketidak mampuan anak untuk mengkategorikan secara umum. Misalnya, aku belum minum susu, berarti ini belum siang, dan belum waktunya untuk tidur siang. f.
Anak-anak gagal untuk mengkonversi. anak hanya memusatkan pada satu dimensi. Misalnya, anak diminta untuk memilih gelas yang paling banyak berisi air pada dua tabung yang berbeda namun memiliki jumlah volume yang sama.
g. Anak sebenarnya telah memahami adanya dua dimensi perceptual (regulasi intuitif), namun belum bisa memikirkan keberadaan keduanya secara serempak sehingga baginya perubahan pada satu dimensi membatalkan perubahan pada dimensi lainnya. h. Anak belum mampu mengklasifikasi. Misalnya ada 10 kancing dari kayu. 8 kancing berwarna coklat dan 2 kancing berwarna putih. Ketika anak ditanya “lebih banyak mana, kancing berwarna coklat atau seluruh kancing kayu yang ada?” Anak menjawab kancing coklat, tanpa menyadari bahwa kancing coklat dan kancing putih adalah bagian dalam kancing kayu. i.
Anak berpikir egosentrisme, menganggap segala sesuatu berasal dari satu titik pandang saja. Anak tidak mampu membedakan perspektifnya sendiri dari perspektif orang lain.
90 Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
j.
Anak belum memahami arti kemenangan. Anak menganggap kalau aku menang, kamu menang juga.
k. Anak beranggapan bahwa benda tidak hidup, adalah benda hidup juga (keberjiwaan dunia = world animistic). Misalnya, ketika anak ditanya “apakah matahari hidup?” anak akan menjawab ya karena ia memberikan cahaya. Dia hidup karena memberikan cahaya, dan tidak hidup ketika tidak mampu memberikan cahaya”. l.
Anak beranggapan bahwa mimpi itu nyata dan dapat dilihat oleh orang lain. Mimpi itu dianggap sebagai sesuatu yang berasal dari luar (dari malam atau langit, lewat jendela dari cahaya-cahaya di luar).
m. Anak memiliki kepatuhan yang membuta pada aturan-aturan yang dipaksakan orang dewasa (heteronomy moral). 3. 7-11 tahun disebut sebagai periode operasi-operasi berpikir konkret (operasional konkret) Ciri periode ini, yaitu: a.
Anak sudah memahami pengkonversian zat cair. Anak mengkonversi menggunakan tiga argument yaitu argument identitas, kompensatif, dan inversi. Misalnya, ketika anak mampu menjawab dengan benar cairan yang lebih banyak. Anak menjawab “kita tidak menambahkan atau mengurangi apapun, jadi mestinya jumlah cairan ini tetap sama” ini disebut sebagai argument identitas. Jika jawaban anak “gelas ini memang lebih tinggi dan yang lain lebih lebar, meskipun begitu jumlah cairannya tetap sama” ini disebut sebagai argument kompensatif. Anak menyadari perbedaan perspektif masing-masing orang. Anak sudah mampu bekerja sama. Anak berusaha mengikuti
Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
91
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
peraturan-peraturan permainan dan berusaha menang mengikuti peraturan tersebut. b. Berangsur-angsur anak meninggalkan label hidup pada objekobjek yang bergerak, dan melabelkannya pada tumbuhan dan hewan. c. Anak menyadari kalau mimpi bukan hanya tidak nyata, namun juga tidak terlihat dari luar, berasal dari dalam. d. Anak mampu memahami dua aspek suatu persoalan secara serempak membentuk landasan bagi pemikiran sosial sekaligus pemikiran ilmiah. Anak mampu berpikir sistematis berdasarkan tindakan mentalnya (mengacu pada objek-objek yang bisa diindera dan aktivitas riil). e. Dalam interaksi sosial anak memahami bukan hanya apa yang mereka katakana tetapi juga kebutuhan pendengarnya. 4. 11 tahun sampai dewasa disebut sebagai periode operasi berpikir formal (operasional formal) Pada tahapan ini remaja mulai menata pikiran hanya di dalam pikiran mereka sendiri. Kemampuan untuk menalar terkait dengan kemungkinan-kemungkinan hipotesis. Bekerja dengan sistematis untuk mencoba semua kemungkinan. Beberapa orang ada yang mencoba beragam kombinasi/percobaan namun kemudian mencoba untuk menulis dahulu kemungkinan-kemunginan yang ada sebelum bertindak lebih jauh. Esensi dari penalaran ini adalah pemikiran sistematis tentang hipotesis-hipotesis. Pikiran mencapai derajat kesetimbangan tertinggi. Mulai memikirkan masalah-masalah yang lebih jauh jangkauannya. Kekuatan baru kognitif bisa mengarah pada idealisme, memegang prinsip-prinsip dan ideal-ideal yang abstrak. Egosentrisme pada tahap ini muncul kembali ketika melekatkan kekuatan tak terbatas pada pikiran
92 Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
mereka sendiri. Mimpi tentang masa depan tanpa mengetesnya pada pikiran yang realistis. Namun kemudian belajar batasan-batasan dan resistensi bagi pikiran-pikiran mereka sendiri. Mereka belajar bahwa konstruksi teoritis dan mimpi (visi utopian = tujuan tertentu yang sulit untuk diwujudkan) akan bernilai jika terkait dengan bagaimana keduanya beroperasi dalam realitas. 5. Perkembangan Afektif Afektif menurut kamus besar bahasa indoensia adalah berkenaan dengan rasa takut atau cinta; mempengaruhi keadaan perasaan dan emosi; mempunyai gaya atau makna yang menunjukkan perasaan (tentang tata bahasa atau makna). 1. Tahap oral (0-1 tahun) Pada tahap ini zona utamanya adalah mulut dan aktivitas inderawi. Tahapan ini secara umum disebut sebagai tahap kepercayaan versus ketidak percayaan mendasar. Bayi berusaha untuk menemukan sejumlah
konsistensi,
prediksi
dan
realibilitas
dalam
tindakan
pengasuhan. Jika orang tua cukup konsisten dan dapat diandalkan maka bayi mulai mengembangkan kepercayaan mendasar kepada orang tua. Sebaliknya, jika orang tua tidak bisa diprediksi dan tidak bisa dipercaya sehingga tidak akan pernah hadir jika dibutuhkan maka yang berkembang adalah rasa tidak percaya. Bayi yang bisa menyeimbangkan rasa percaya dan tidak percaya ini dengan berhasil maka akan muncul harapan. 2. Tahap anal (1-3 tahun) Pada tahap ini anak memperoleh kontrol atas otot-otot perutnya sehingga dapat menahan atau menghilangkan dorongan untuk buang hajat sesuai kehendak mereka. Bentuk dasar tahapan ini adalah menahan atau melepaskan. Tahapan umum pada tahapan ini adalah otonomi
Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
93
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
versus rasa malu dan ragu-ragu. Anak berusaha melatih kemampuan memilih, melatih kehendak mereka (otonomi). Penekanan yang kuat terhadap kata “tidak”, anak menolak semua kontrol eksternal atas dirinya. Bagi orang tua anak tidak boleh mengatakan tidak, karena mereka hidup dalam masyarakat dan harus menghargai keinginan orang lain. Otonomi muncul dari dalam sebagai sebuah pendewasaan biologis yang mengembangkan kemampuan anak untuk melakukan segala hal dengan caranya sendiri. Sedangkan rasa malu dan ragu-ragu muncul dari kesadaran akan ekspektasi dan tekanan sosial, kesadaran bahwa dirinya tidak begitu berkuasa sehingga orang tua dapat mengontrol dan bertindak lebih baik dari dia. 3. Tahap falik (3-6 tahun) Pada tahap ini anak memfokuskan ketertarikannya pada alat kelaminnya dan menjadi sangat ingin tahu organ kelaminnya. Anak juga sudah mulai membayangkan dirinya dalam peran orang dewasa, bahkan berani bersaing dengan salah satu orang tuanya untuk memperoleh kasih sayang. Bentuk utama tahap ini adalah intrusi yaitu keberanian, keingintahuan dan persaingan dalam diri anak. Tahapan umum dalam tahap ini yaitu inisiatif versus rasa bersalah. Inisiatif yang berarti sama dengan intrusi, berarti pergerakan kedepan. Lewat inisiatif anak membuat rencana, menetapkan tujuan, dan mempunyai semangat untuk mencapainya, yang pada akhirnya membentuk ambisi tertentu. Namun dalam perjalannya anak mendapati bahwa ambisi tersebut melanggar aturan sosial yang ada dalam masyarakat sehingga rasa bersalah itu muncul pengendalian diri yang baru dimana anak berusaha untuk mencari cara menghubungkan ambisi dengan tujuan sosial.
94 Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
4. Tahap latensi (6-11 tahun) Pada tahap ini anak belajar untuk menguasai kemampuan kognitif dan sosial yang penting. Tahap umum dalam tahapan ini adalah industry versus inferioritas. Anak melupakan harapan dan keingian masa lalu, yang seringkali merupakan harapan dan keinginan keluarganya, dan sangat ingin mempelajari kemampuan budaya masyarakat (industri). Anak belajar untuk bekerja sama dan bermain bersama teman sebayanya. 5. Tahap genital (11 tahun – dewasa) Pada tahap ini remaja membangun pemahaman baru mengenai dirinya, perasaan tentang dirinya dan apa tempatnya di tatanan sosial yang lebih besar. Tahap utama dalam pentahapan ini adalah identitas versus kebingungan peran. Remaja mencari identitas dirinya, merasa bahwa implus-implus tidak dapat menyatu dengan dirinya, dan pertumbuhan fisik yang sangat cepat telah menciptakan rasa kebingungan identitas. Untuk alasan inilah maka banyak remaja yang menghabiskan banyak waktunya didepan kaca dan memperhatikan penampilannya. Upaya ini dilakukan untuk menghilangkan ketakutannya tidak terlihat baik atau tidak memenuhi harapan orang lain. 6. Perkembangan Psikomotor Psikomotor secara harfiah berarti sesuatu yang berkenaan dengan gerak fisik yang berkaitan dengan proses mental (kamus besar bahasa Indonesia).Adapun tahapan perkembangan motorik adalah sebagai berikut; 1. Tahap gerakan refleks (0- 1 tahun) Bentuk gerakan pada tahapan ini tidak direncanakan, merupakan dasar dari perkembangan motorik. Melalui gerak refleks bayi memperoleh informasi tentang lingkungannya, seperti reaksi terhadap
Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
95
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
sentuhan, cahaya, suara. Gerakan ini berkaitan dengan meningkatnya pengalaman anak untuk mengenal dunia pada bulan-bulan pertama mengenal kehidupan setelah kelahiran. Oleh karena itu kegiatan bermain sangat penting untuk menolong anak belajar teng dirinya dan dunia luar. Tahapan gerak refleks terbagi atas dua bentuk yaitu; 1. Refleks sederhana (0-4 bulan)Gerak ini dikelompokkan sebagai kumpulan informasi, mencari makanan, dan respon melindungi. Mengumpulkan
informasi
membutuhkan
rangsangan
untuk
berkembang. Kemampuan mencari makanan dan respon melindungi merupakan bentuk alami yang dimiliki manusia. contoh geak refleks sederhana seperti, bertumbuh dan menghisap. 2. Refleks tubuh (4 bulan – 1 tahun)Refleks ini berkaitan dengan saraf motorik untuk keseimbangan, gerakan berpindah (lokomotor) dan manipulative (menjalankan) yang kemudian akan terkontrol. Refleks langkah dasar dan merangkak terkait dengan gerakan dasar untuk berjalan.Perkembangan motorik pada tahap refleks terdiri pula dalam dua tingkatan yang saling bertindihan, yaitu tingkat encoding (mengumpulkan) informasi dan decoding (memproses) informasi. 2. Tahap gerakan permulaan (lahir-2 tahun) Gerak permulaan ini merupakan bentuk gerak sukarela yang pertama. Dimulai dari lahir sampai usia 2 tahun. Gerakan permulaan membutuhkan kematangan dan berkembang berurutan. Urutan ini terbentuk alami. Rata-rata kemampuan ini didapat dari anak ke anak, meskipun secara biologis, dan lingkungan sangat berperan. Gerakan ini ada sebagai kemampuan untuk bertahan hidup dan merupakan gerakan yang mempersiapkan anak untuk memasuki tahap gerakan dasar. Beberapa gerakan keseimbangan seperti mengontrol kepala, leher, dan
96 Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
otot badan. Gerakan manipulative seperti menggapai, menggenggam, dan melepaskan; dan gerakan lokomotor seperti, merayap, merangkak, dan berjalan. Gerakan ini terbagi atas dua tahapan, yaitu; 1. Tahap refleks tertahan (lahir-1 tahun)Tahap ini dimulai dari lahir. Peningkatan gerakan bayi ini dipengaruhi oleh perkembangan cortex. Pada tahap ini gerakan sederhana dan gerakan tubuh digantikan dengan gerakan sukarela, namun berbeda dan terpadu karena saraf motorik bayi masih dalam taraf gerakan permulaan. Jika bayi ingin menggapai benda, mereka akan melakukan gerakan menyeluruh yang dilakukan tangan, lengan, bahu, dan ketika menggenggam. Proses bergeraknya tangan dengan penglihatan terhadap objek, meskipun sukarela, namun terkontrol. 2. Tahap prekontrol (1 – 2 tahun)Usia 1 tahun, anak mulai lebih baik mengontrol gerakannya. Proses ini menggabungkan antara sensori dan sistem motorik dan memadukan persepsi dan informasi motorik kedalam kegiatan yang lebih bermakna. Pada tahap ini, anak belajar untuk dapat menyokong equilibriumnya, untuk memanipulasi objek, dan untuk melakukan gerakan lokomotor melalui lingkungan untuk mengontrol perkembangannya. 3. Tahap gerakan dasar (2-7 tahun) Gerakan ini muncul ketika anak aktif bereksplorasi dan bereksperimen dengan potensi gerak yang dimilikinya. Tahap ini merupakan tahap menemukan bagaimana menunjukkan berbagai gerak keseimbangan, lokomotor dan manipulative, maupun penggabungan ketiga gerakan tersebut.Beberapa kegiatan lokomotor seperti melempar dan menangkap, dan kegiatan keseimbangan seperti berjalan lurus dan keseimbangan berdiri dengan satu kaki merupakan gerakan yang dapat
Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
97
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
dikembangkan semasa kanak-kanak. Tahap ini terbagi atas 3 tingkat, yaitu; 1. Tingkat permulaan (2-3 tahun) Tingkatan ini menunjukkan orientasi tujuan pertama anak pada kemampuan permulaan. Gerakan ini dicirikan dengan kesalahan dan kegagalan bagian gerakan secara berurutan, kelihatan membatasi atau berlebihan menggunakan anggota tubuh, tidak mampu mengikuti ritmk dan koordinasi.
Gerakan
keseimbangan,
lokomotor,
dan
manipulative benar-benar pada tingkat permulaan. 2. Tingkat elementary (4-5 tahun)Tingkatan ini menunjukkan kontrol yang lebih baik dan gerakan permulaan koordinasi ritmik yang lebih baik pula. Gerak spasial dan temporal lebih meningkat, namun secara umum masih kelihatan membatasi atau berlebihan, meskipun koordinasi lebih baik. Intelegensi dan fungsi fisik anak semakin meningkat melalui proses kematangan. 3. Tingkat mature (6-7 tahun)Tingkatan ini dicirikan oleh efisiensi secara mekanik, koordinasi dan penampilan yang terkontrol. Keahlian
manipulative
semakin
berkembang
dalam
mengkoordinasi secara visual dan motorik, seperti menangkap, menendang, bermain voli, dsb). 4. Tahap gerakan keahlian (7-14 tahun) Tahapan ini merupakan tahap gerakan yang semakin bervariasi dan kompleks, seperti gerakan sehari-hari, rekreaasi dan olahraga baru. Periode ini merupakan tahap dimana keahlian keseimbangan dasar, gerak lokomotor dan manipulative meningkat, berkombinasi, dan terelaborasi dalam berbagai situasi. Misalnya gerakan dasar melompat dan meloncat,
98 Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
dikombinasikan kedalam kegiatan menari atau lompat-jongkok-berjalan dalam mngikuti jejak. Tahapan ini terbagi atas 3 tahap, yaitu; 1. Tahap
transisi
(7-10
tahun)Tahap
ini
indivdu
mulai
mengkombinasi dan mengunakan kemampuan dasarnya dalam kegiatan olahraga. Misalnya, berjalan mengikuti garis lurus, lompat tali, bermain bola, dll. Keahlian pada tahap ini lebih kompleks dan spesifik. 2. Tahap aplikasi (11-13 tahun)Pada tahap ini anak memiliki keterbatasn dalam kemampuan kognitif, afektif dan pengalaman, dikombinasikan
dengan
keaktifan
anak
secara
alami
mempengaruhi semua aktivitasnya. Peningkatan kognitif dan pengalaman anak dipengaruhi oleh kemampuan individu untuk belajar dan peran anak dalam berbagai jenis aktifitas, indivudu dan lingkungan. Keahlian kompleks dibentuk dan digunakan dalam pertandingan, kegiatan memimpin dan memilih olahraga. 3. Tahap lifelong utilisasi (14 tahun sampai dewasa)Tahapan ini merupakan puncak proses perkembangan motorik dan dicirikan dengan gerakan yang sering dilakukan sehari-hari. Minat, kompetensi, dan pilihan mempengaruhi, selain faktor uang dan waktu, peralatan dan fasilitas, fisik dan mental, bakat, kesempatan, kondisi fisik dan motivasi pribadi. C. Penutup Studi tentang perkembangan gerak mencakup deskripsi dan penjelasan mengenai perilaku perak manusia sepanjang hidup dengan pertumbuhan
perkembangan
psikososial,
kognitif,
afektif
dan
psikomotorik. Perkembangan hidup manusia secara umum terjadi dalam 5 fase perkembangan, yaitu fase-fase sebelum lahir, bayi, anak-anak,
Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
99
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
adolesensi, dan dewasa. Setiap fase perkembangan terjadi pada batasan usia tertentu. Pembatasan setiap fase didasarkan pada kecendrungan karakteristik perkembangan yang terjadi pada kurun waktu tertentu dalam usianya. D. Daftar Pustaka Carbin, Charles B., A Textbook of Motor Development, lowa: Wm. C.Brown Company Publishers, 1980 Cratty, Briyant J., Perceptual and motor Development in Childern, New Jersey: Prentice-Hal 1988 Deutsch, J.Anthony dan Deutsch, Diana. Psykological Psykologi, lllinois: The Donsey Press, 1973. Espenschale, S. Anna dan Eckent, M. Melen, Motor Development, Totonto: Charles E. Merril Publishing Company, 1980 Haywood, Katleen M, Life Span Motor Depelopment. Lllinois: Human Kinetices Publishers Inc, 1986. http://martacgristianti.wordpress.com/2009/05/karakteristik koknitif,afektif dan psikomotorik http://pembelajaranguru.wordpress.com/2008/05/25/teoriperkembangan-anak-%e2%80%93- erickson-dan-gardner/ Munn, Noman L.,The Growth of human Behavior. Boston: Houghton Mifflin Company, 1974 Papalia, Dlane E. dan Olds, Sally Wendkos, A Child,s Worid: Infancy Througk Adollescence, New York: Mc. Graw Hill Book Company, 1975. Piaget , moral judgement of the Child (1923) Sage, George H, Introduction to Motor Behavior: A Nueropsycological Approach, Massachusets : Addison Wesley Publishing Company, 1977
100 Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
IMPLEMENTASI MANAJEMEN MUTU PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI SUMATERA UTARA Renova Marpaung Abstrak Implementasi manajemen mutu dalam pembangunan pendidikan di Provinsi Sumatera Utara menyangkut perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian dalam tujuh program, yaitu: program PAUD, program Pendidikan WAJAR 9 tahun, program Pendidikan Menengah, Program Pendidikan Tinggi, program Pendidikan Non Formal, Program Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, dan program manajemen pelayanan mutu. Kata Kunci : Manajemen Mutu, Pembangunan, Pendidikan A. Pendahuluan Mengacu pada tujuan Pendidikan Nasional sebagaimana diamanatkan UUD 1945 dan UU No. 20 tahun 2003, tujuan pendidikan di Provinsi Sumatera Utara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan bagi setiap anak bangsa agar terbentuk masyarakat seutuhnya. Untuk mewujudkan tujuan dimaksud, Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara menyusun sebuah rencana strategis. Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara berada dalam perspektif nasional dan daerah sekaligus dalam perspektif internasional. Dalam Perspektif nasional, Dinas Pendidikan provinsi Sumatera Utara adalah pelaksana kebijakan-kebijakan nasional di daerah. Dalam perspektif daerah, Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara adalah pelaksana kebijakan-kebijakan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Sedangkan dalam perspektif internasional, Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara mengacu pada perkembangan arus globalisasi yang bersifat tanpa tapal batas (borderless). Oleh karena itu, Rencana strategis
Dra. Renova Marpaung, M.Hum adalah Dosen Universitas Setia Budi Mandiri, Medan.
101
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara tidak terlepas dari rencana strategis Departemen Pendidikan Nasional dan arah kebijakan umum Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, dan kecenderungan globalisasi yang terjadi. Implementasi program peningkatan mutu pendidikan di Provinsi Sumatera Utara harus mengacu pada rencana strategis yang juga memuat visi, misi, tujuan, kebijakan strategis, kegiatan pokok, rencana pendidikan jangka menengah, pembiayaan, dan indikator keberhasilan. Oleh karena itu, implementasi program peningkatan mutu pendidikan harus dilakukan melalui pembahasan mulai dari pemahaman tentang hakikat pendidikan, pemahaman tentang UUD 1945 dan UU No. 20 tahun 2003 agar dapat diprediksi keadaan kehidupan di masa yang akan datang baik di Provinsi Sumatera Utara, di Indonesia, maupun di Dunia internasional. Dalam upaya pencapaian mutu pendidikan yang diharapkan, Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara harus menerapkan manajemen
mutu.
Manajemen
mutu
adalah
perencanaan,
pengorganisasian, implementasi rencana, dan pengendalian program berbasiskan mutu.
Pembangunan pendidikan yang bermutu adalah
proses dan hasil pembangunan tersebut memiliki ketercapaian standar mutu yang telah ditetapkan dan dapat dipertanggungjawabkan secara administratif dan kebutuhan stakeholder. B. Visi dan misi Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara memiliki visi sebagai berikut: “terwujudnya pendidikan Masyarakat Provinsi Sumatera Utara yang bermutu, mandiri dan berdaya saing”. Untuk mewujudkan visi ini, Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara Memiliki misi sebagai berikut: (Pasaribu, 2008)
102 Dra. Renova Marpaung, M.Hum adalah Dosen Universitas Setia Budi Mandiri, Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
1. Menuntaskan wajib belajar pendidikan 9 tahun dengan standar mutu yang ditetapkan. 2. Menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan akademik dan profesional secara berimbang. 3. Menghasilkan lulusan kejuruan yang memiliki daya saing dan mampu menciptakan lapangan kerja sendiri. 4. Meningkatkan kualifikasi dan profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan. 5. Menghasilkan lulusan yang memiliki daya saing dan relevan dengan dunia pembangunan lainnya. 6. Meningkatkan mutu menejemen dan perencanaan pembangunan pendidikan. 7. Memutahirkan kurikulum sesuai kebutuhan global, nasional, dan regional. 8. Meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana pendidikan. 9. Meningkatkan
penataan dan
pembinaan
penyelenggaraan
pendidikan luar sekolah. 10. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pendidikan. C. Kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara Kebijakan strategis Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara adalah: 1. Pemerataan dan perluasan akses pendidikan, yaitu:
Dra. Renova Marpaung, M.Hum adalah Dosen Universitas Setia Budi Mandiri, Medan.
103
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
a.
Menyediakan sekolah dan ruang sekolah yang cukup agar seluruh anak bangsa, khususnya wajar 9 tahun dapat memperoleh pendidikan yang layak.
b. Memberi perhatian yang lebih kepada daerah yang kurang mampu untuk memberikan motivasi guna pemerataan. c. Memberi perhatian yang lebih kepada pendidik dan tenaga kependidikan di daerah terpencil dan pendidikan luar biasa. d. Mengupayakan percepatan sekolah kejuruan. 2. Peningkatan Mutu Relevansi dan Daya Saing a.
Meningkatkan kemampuan dan modernisasi agar peserta didik mencapai setidak-tidaknya standar minimal nasional, melalui peningkatan mutu lulusan pendidikan di Provinsi Sumatera Utara, dukungan terhadap implementasi standar nasional pendidikan, serta pengembangan dan penerapan strategi untuk membangun infrastruktur yang mendukung implementasi dan penguatan kurikulum yang berbasis standar nasional pendidikan.
b. Peningkatan dukungan terhadap sistem pembelajaran, yaitu terhadap penciptaan suatu master plan pendidikan anakanak, serta membantu dan mencari sumber daya untuk program seperti itu, menyediakan sumber daya dan pedoman untuk menjamin bahwa semua peserta didik menghadiri ruang belajar dan sekolah yang aman, bebas narkoba dan sehat, membantu satuan pembelajaran dalam menemukan
dan
mengimplementasikan
strategi
pembelajaran yang efektif, kurikulum mutakhir, kegiatan ekstrakurikuler,
dan
kegiatan
mengembangkan
dan
mendukung
setelah rencana
104 Dra. Renova Marpaung, M.Hum adalah Dosen Universitas Setia Budi Mandiri, Medan.
sekolah, untuk
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
mengimplementasikan
program-program
pendukung
pembelajaran komprehensif , mempromosikan penggunaan satuan pendidikan untuk mendukung pencapaian prestasi akademik,
sosial
dan
emosional,
mengembangkan
perpustakaan, dan lain-lain. c. Peningkatan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan melalui pengembangan dan perbaikan sistem pengembangan pendidik/guru dan tenaga kependidikan formal dan nonformal agar cemerlang dalam pembelajaran. d. Peningkatan dana pendidikan. 3. Penguatan Tata Kelola, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik a.
Peningkatan dan penguatan tatakelola, yaitu dengan membangun tata kelola untuk meningkatkan produktivitas, efektivitas, efisiensi, dan pencitraan Publik (image building) Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara dan satuan pendidikan yang berada di bawahnya.
b. Peningkatan akuntabilitas Publik dan pencitraan Publik dengan
membangun
sistem
untuk
meningkatkan
akuntabilitas Publik terhadap capaian peserta didik c. Peningkatan
penggunaan
teknologi
informasi
dan
komunikasi pada manajemen dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan. D. Program Peningkatan Mutu Pendidikan di Sumatera Utara Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003, Pasal 56 menjelaskan bahwa masyarakat berperan dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan
Dra. Renova Marpaung, M.Hum adalah Dosen Universitas Setia Budi Mandiri, Medan.
105
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
evaluasi program pendidikan melalui Dewan Pendidikan yang berperan memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan (UU No. 20 tahun 2003). Lebih lanjut Pardede (2007) mengatakan bahwa Dewan Pendidikan diharapkan dapat menciptakan pola pembangunan mutu sumber daya manusia melalui penyelenggaraan pendidikan yang bermutu yang mampu memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang sangat dinamis. Dengan demikian peranan masyarakat dalam pengendalian mutu penyelenggaraan pembangunan pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat. Terkait dengan implementasi manajemen mutu pendidikan, Dinas pendidikan Provinsi Sumatera Utara memiliki tujuh program; yaitu: 1. Program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) 2. Program Wajib Belajar Pendidikan 9 tahun 3. Program Pendidikan Menengah 4. Program Pendidikan Tinggi 5. Program Pendidikan Non Formal 6. Program Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, dan 7. Program Manajemen Pelayanan Pendidikan. Implementasi program pendidikan anak usia dini bertujuan agar semua anak usia dini (di bawah umur 7 tahun) baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan tumbuh dan berkembang optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya serta sesuai tahap-tahap perkembangan atau usia mereka. PAUD juga merupakan pendidikan persiapan untuk mengikuti jenjang pendidikan sekolah dasar. Secara lebih spesifik, program ini bertujuan untuk meningkatkan akses dan mutu
106 Dra. Renova Marpaung, M.Hum adalah Dosen Universitas Setia Budi Mandiri, Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
pelayanan pendidikan melalui jalur formal, seperti TK, Raudhatul Athfal (RA) dan bentuk lain yang sederajat, serta jalur pendidikan non formal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA) atau bentuk lain yang sederajat, dam jalur informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan. Implementasi peningkatan mutu dalam program anak usia dini ini dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut: 1. Penyediaan sarana/prasarana PAUD dengan melengkapi: a.
Ruang bermain
b. Alat bermain c. Buku-buku dan bahan ajar lainnya 2. Pengembangan kurikulum, bahan ajar dan model pembelajaran yang sesuai dengan: a.
Tahap-tahap perkembangan anak didik
b. Perkembangan ilmu pengetahuan c. Perkembangan budaya dan seni. 3. Subsidi block grant dan imbal swadaya untuk peningkatan kapasitas institusi dan sumber daya penyelenggara dan satuan PAUD, agar dapat meningkatkan kemampuan manajemen secara efektif dan efisien,
sehingga
mampu
memfasilitasi
pertumbuhan
dan
perkembangan anak secara optimal. Implementasi program wajib belajar pendidikan 9 tahun bertujuan untuk meningkatkan pemerataan dan perluasan pelayanan dikdas yang bermutu dan terjangkau, baik melalui jalur formal, maupun yang mencakup sekolah dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) PNF kesetaraan sekolah dasar atau bentuk lain yang sederajat, serta SM dan MT/SMP terbuka, dan pendidikan non formal kesetaraan SMP atau bentuk lain yang sederajat, sehingga seluruh anak usia 7-12 tahun baik
Dra. Renova Marpaung, M.Hum adalah Dosen Universitas Setia Budi Mandiri, Medan.
107
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
anak laki-laki maupun perempuan, dan anak yang memerlukan perhatian khusus dalam memperoleh pendidikan setidak-tidaknya sampai SMP sederajat. Implementasi program peningkatan mutu pendidikan dalam program wajib belajar pendidikan 9 tahun dilaksanakan melalui: 1. Peningkatan mutu SD/MI, SDLB, SMP/MTS dengan: a.
Pengembangan kurikulum sesuai kompetensi siswa, karakteristik daerah, perkembangan iptek, dinamika perkembangan global, dan budaya
b. Penerapan metode pembelajaran sesuai kondisi yang ada c. Menggunakan sistem penilaian yang tepat dan transparan. 2. Pemberian bantuan dalam berbagai bentuk; seperti: a.
Bantuan beasiswa
b. Block grant c. Imbal swadaya d. Dan bantuan dalam bentuk lainnya. 3. Penyediaan sarana dan bahan ajar seperti: a.
Perpustakaan dan buku-buku pelajaran
b. Media pembelajaran dan alat peraga sesuai kebutuhan, dan c. Laboratorium bahasa, IPA, dan matematika 4. Pendirian sekolah bertaraf internasional. 5. Pembinaan minat, bakat dan kreatifitas pada jenjang dikdas yang memuat kecakapan dasar (basic learning contents) yang mencakup: a.
Kecakapan berkomunikasi (membaca, menulis, mendengarkan, dan mengemukakan pendapat)
b. Kecakapan intrapersonal (pemahaman diri, penguasaan diri, evaluasi diri, dan tanggung jawab)
108 Dra. Renova Marpaung, M.Hum adalah Dosen Universitas Setia Budi Mandiri, Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
c. Kecakapan
interpersonal
(bersosialisasi,
bekerja
sama,
mempengaruhi/mengarahkan orang lain, dan bernegosiasi), dan d. Kecakapan
mengambil
keputusan
(memahami
masalah,
merencanakan, menganalisis, dan memecahkan masalah). Implementasi program pendidikan menengah bertujuan untuk meningkatkan akses dan pemerataan pelayanan pendidikan yang bermutu dan terjangkau bagi semua penduduk usia sekolah menengah, baik lakilaki maupun perempuan melalui pendidikan formal: SMA, SMK, MA, Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), dan bentuk lain yang sederajat. Implementasi program peningkatan mutu pendidikan dalam program pendidikan menengah dilaksanakan melalui. 1. Penyediaan berbagai bentuk beasiswa; seperti: a.
Beasiswa bagi siswa yang kurang mampu
b. Beasiswa
berprestasi
melalui
kompetisi-kompetisi
seperti
Olimpiade sains dan matematika untuk SMA c. Untuk SMK promosi keterampilan siswa (PKS) tingkat nasional, Asian Skill Competition (ASC) tingkat regional, dan World Skill Competition (WSC) tingkat internasional 2. Penyediaan sarana dan prasarana baik untuk SMA/MA dan SMK; seperti: a.
Perpustakaan dan buku-buku pelajaran sesuai kebutuhan
b. Laboratorium dan sarana komputer c. Ruang multi media dan media pembelajaran. 3. Pembinaan minat, Bakau, dan kreativitas melalui pembelajaran yang efektif dan efisien yang menekankan pada kecakapan akademik dan kecakapan hidup. 4. Pendirian sekolah bertaraf internasional, dalam hal ini:
Dra. Renova Marpaung, M.Hum adalah Dosen Universitas Setia Budi Mandiri, Medan.
109
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
a.
Pemerintah Provinsi bekerja sama dengan daerah untuk pengembangan keunggulan local
b. Bekerja sama dengan luar negeri dalam pengembangan kurikulum agar lulusan dapat berkompetisi secara global c. Mendorong sekolah untuk memperoleh sertifikat ISO. Implementasi program pendidikan tinggi bertujuan untuk meningkatkan pemerataan dan perluasan akses yang diharapkan dapat meningkatkan mutu lulusan pendidikan tinggi sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing. Implementasi program peningkatan mutu pendidikan melalui program pendidikan tinggi dilaksanakan dengan kegiatan-kegiatan sebagai berikut. 1. Pengembangan politeknik berdasarkan keunggulan lokal dan internasional 2. Mengadakan pelatihan bagi dosen-dosen; seperti: a.
Tentang
pengembangan
dan
pemilihan
metode/strategi
pembelajaran b. Metodologi penelitian. 3. Penyediaan sarana dan prasarana; seperti: a.
Penyediaan buku-buku pelajaran
b. Laboratorium dan sarana praktek keterampilan hidup dan akademik sesuai kebutuhan. 4. Akselerasi jumlah program studi ilmu pengetahuan dan teknologi untuk: a.
Meningkatkan kompetensi pengembangan dan pemanfaatan iptek
b. Penataan proposisi bidang ilmu IPA:IPS/Humaniora agar sebanding.
110 Dra. Renova Marpaung, M.Hum adalah Dosen Universitas Setia Budi Mandiri, Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
5. Peningkatan jumlah mutu publikasi ilmiah; seperti: a.
Penelitian
dan
HAKI yang
hasilnya
diharapkan dapat
dipublikasikan dalam jurnal nasional dan internasional b. Penulisan buku yang diharapkan memiliki ISBN. Implementasi program pendidikan non-formal bertujuan untuk memberikan pelayanan pendidikan kepada warga masyarakat yang belum sekolah, yang tidak pernah sekolah atau buta aksara, putus sekolah dan warga masyarakat lainnya yang kebutuhan pendidikannya tidak dapat terpenuhi melalui pendidikan formal. Implementasi program peningkatan mutu pendidikan dalam program pendidikan non formal dilaksanakan dengan: 1. Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan non formal seperti: a.
Lembaga kursus dan pelatihan
b. Pendidikan keterampilan/kecakapan hidup. 2. Peningkatan kualitas pendidikan kesetaraan melalui: a.
Pengembangan media dan teknologi pendidikan, serta alat peraga
b. Penyediaan buku pelajaran dan buku bacaan, serta materi pelajaran yang memanfaatkan ICT (seperti: radio, televisi, komputer dan internet) 3. Penyediaan bantuan beasiswa Magang kelompok belajar usaha (KBU), pemberian biaya operasional dapat dilakukan melalui: a.
Kegiatan magang
b. Penyelenggaraan kursus sesuai kebutuhan c. Pemberian beasiswa. 4. Pengadaan diklat fungsional pamong belajar dan tenaga penilik tentang: a.
Pengembangan bahan ajar sesuai kebutuhan
Dra. Renova Marpaung, M.Hum adalah Dosen Universitas Setia Budi Mandiri, Medan.
111
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
b. Pengembangan model-model pembelajaran sesuai kondisi yang ada. 5. Peningkatan kompetensi tenaga teknis pendidikan non formal agar dapat menciptakan model-model unggulan dan model kompetitif PNF dalam PAUD, kesetaraan, keaksaraan, dan kecakapan hidup. Implementasi program peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan bertujuan untuk meningkatkan kecukupan jumlah pendidik dan tenaga kependidikan, meningkatkan kemampuannya, meningkatkan kompetensi melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan dan pembelajaran pada setiap satuan pendidikan berdasarkan kurikulum yang berlaku. Implementasi program peningkatan mutu dalam program peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan dilaksanakan dengan: 1. Penyiapan guru untuk pemenuhan kualifikasi, uji kompetensi, sertifikasi, registrasi, dan renumerasi. Oleh karena itu perlu dilakukan: a.
Pemetaan kompetensi secara periodik
b. Pendidikan berkelanjutan untuk mencapai standar kompetensi yang ditunjukkan oleh uji kompetensi c. Penghitungan angka kredit sebagai tenaga fungsional, dan d. Pengembangan sistem insentif dan disinsentif profesi guru dan pamong belajar untuk menunjang mutu pembelajaran. 2. Penggalangan
kerja
sama
dengan
lembaga
terkait
melaksanakan sertifikasi. 3. Pelatihan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan
112 Dra. Renova Marpaung, M.Hum adalah Dosen Universitas Setia Budi Mandiri, Medan.
dalam
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
4. Peningkatan pemerolehan penghargaan dan perlindungan hasil kekayaan intelektual, yaitu dengan adanya upaya: a.
Penyusunan sistem dan mekanisme perlindungan dalam menjalankan profesi dan kesejahteraan profesi pendidik dan tenaga kependidikan
b. Pemberian penghargaan kepada guru dan pamong belajar yang berprestasi dan berdedikasi luar biasa. 5. Pengembangan model-model pembelajaran, bahan ajar, multimedia, dan pengembangan sistem pendidikan jarak jauh. Implementasi program manajemen pelayanan pendidikan bertujuan meningkatkan tatakelola pendidikan melalui penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (ICT), dan peningkatan kualitas dan efisiensi manajemen melalui penggunaan ICT, pengembangan sistem manajemen operasional menuju standarisasi dan jaminan mutu, peningkatan sistem assessment, monitoring dan evaluasi program pembangunan pendidikan, Penyusunan rencana program pembangunan secara terpadu dalam bidang pendidikan, serta mendorong peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan. E. Penutup Berdasarkan implementasi manajemen mutu dalam peningkatan mutu pendidikan yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa implementasi manajemen mutu dalam peningkatan mutu pendidikan di Sumatera Utara mengacu pada tujuh program pendidikan Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara sebagai berikut. 1. Implementasi manajemen mutu dalam program anak usia dini; yaitu: a.
Penyediaan sarana dan prasarana PAUD
Dra. Renova Marpaung, M.Hum adalah Dosen Universitas Setia Budi Mandiri, Medan.
113
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
b. Pengembangan kurikulum, bahan ajar dan model-model pembelajaran c. Subsidi block grant dan imbal swadaya untuk peningkatan kapasitas institusi dan sumber daya penyelenggara dan satuan PUD 2. Implementasi manajemen mutu dalam peningkatan mutu pendidikan dalam program pendidikan wajar pendidikan 9 tahun dilakukan melalui kegiatan-kegiatan: a.
Peningkatan
mutu
SD/MI,
SDLB,
SMP/MTS
dengan
pengembangan kurikulum, metode pembelajaran, dan sistem evaluasi b. Pemberian bantuan beasiswa, block grant, dan imbal swadaya c. Penyediaan sarana dan bahan ajar d. Pendirian sekolah bertaraf internasional, dan e. Pembinaan minat, bakat, dan kreativitas. 3. Implementasi manajemen mutu dalam peningkatan mutu pendidikan dalam program pendidikan menengah; yaitu melalui: a.
Penyediaan beasiswa
b. Penyediaan saran dan prasarana c. Pendirian sekolah bertaraf internasional. 4. Implementasi manajemen mutu dalam peningkatan mutu pendidikan dalam program pendidikan tinggi; yaitu melalui: a.
Pengembangan politeknik berdasarkan keunggulan lokal dan internasional
b. Mengadakan pelatihan bagi dosen-dosen c. Menyediakan sarana dan prasarana pendidikan tinggi d. Akselerasi jumlah program studi.
114 Dra. Renova Marpaung, M.Hum adalah Dosen Universitas Setia Budi Mandiri, Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
e. Peningkatan jumlah mutu publikasi ilmiah, buku ajar, dan penelitian. 5. Implementasi manajemen mutu dalam peningkatan mutu pendidikan dalam program pendidikan non formal; yaitu melalui: a.
Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan non formal
b. Peningkatan kualitas pendidikan kesetaraan c. Pemberian beasiswa Magang kelompok belajar usaha (KBU) d. Mengadakan diklat fungsional pamong belajar dan tenaga pendidik, dan e. Peningkatan kualitas tenaga teknis. 6. Implementasi manajemen mutu dalam peningkatan mutu pendidikan dalam
program
peningkatan
mutu
pendidikan
dan
tenaga
kependidikan; yaitu melalui: a.
Penyiapan guru untuk pemenuhan kualifikasi, uji kompetensi, sertifikasi, registrasi, dan renumerasi
b. Penggalangan kerja sama dengan lembaga terkait dalam melaksanakan sertifikasi c. Mengadakan pelatihan bagi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan d. Peningkatan pemerolehan penghargaan dan perlindungan hasil kekayaan intelektual e. Pengembangan model-model pembelajaran, bahan ajar, multi media dan pengembangan sistem pendidikan jarak jauh. 7. Implementasi manajemen mutu dalam peningkatan mutu pendidikan dalam program manajemen pelayanan pendidikan; yaitu melalui: a.
Peningkatan tatakelola pendidikan melalui penggunaan ICT
b. Peningkatan kualitas dan efisiensi manajemen data melalui penggunaan ICT
Dra. Renova Marpaung, M.Hum adalah Dosen Universitas Setia Budi Mandiri, Medan.
115
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
c. Pengembangan
sistem
manajemen
operasional
menuju
standarisasi dan jaminan mutu d. Peningkatan sistem assessment, monitoring, dan evaluasi program pembangunan pendidikan. e. Penyusunan rencana program pembangunan secara terpadu dalam bidang pendidikan, dan f.
Mendorong peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan.
F. Daftar Pustaka Pasaribu Delta. 2008. Rencana Strategi Pembangunan Pendidikan Provinsi Sumatera Utara. Medan: Disdiksu Undang-undang No. 20 Tahun 2003, tentang Sisdiknas Pardede Rudolf. 2007. Sambutan Gubernur Sumatera Utara dalam Rangka Pembukaan cara Rapat Kerja Dewan Pendidikan Provinsi Sumatera Utara, Minggu tanggal 04 November 2007 di Sumatera Village Medan.
116 Dra. Renova Marpaung, M.Hum adalah Dosen Universitas Setia Budi Mandiri, Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
PENINGKATAN MUTU PERGURUAN TINGGI MELALUI MANAJEMEN YANG BERORIENTASI MUTU Paningkat Siburian Abstrak Perguruan tinggi dinyatakan bermutu, apabila lembaga tersebut mampu menetapkan dan mewujudkan visinya melalui pelaksanaan misinya, dan mampu memenuhi kebutuhan pelanggannya berupa (1) kebutuhan kemasyarakatan; (2) kebutuhan dunia kerja; dan (3) kebutuhan professional. Untuk itu, diperlukan manajemen pendidikan yang berorientasi mutu, yaitu manajemen mutu total pendidikan tinggi. Manajemen mutu total pendidikan tinggi adalah cara mengelola lembaga berdasarkan filosofi bahwa peningkatan mutu harus diadakan dan dilakukan oleh semua unsur lembaga sejak dini secara terpadu dan berkesinambungan, sehingga pendidikan sebagai jasa yang berupa proses pembudayaan sesuai dengan dan bahkan melebihi kebutuhan para pelanggan. Dengan manajemen mutu total, perguruan tinggi akan dapat menghasilkan lulusan dan hasil penelitian yang bermutu, menjaga mutu serta selalu meningkatkan mutu secara berkesinambungan. Kata Kunci: Mutu, Perguruan Tinggi, Manajemen A. Pendahuluan Perguruan
tinggi
diharapkan
mampu
berperan
sebagai
pendorong pertumbuhan daya saing bangsa melalui kewajiban dan tanggung jawabnya dalam menghasilkan sumber daya manusia yang bertakwa, cerdas, kreatif, profesional, dan produktif; menghasilkan temuan
dan
mengkapitalisasi meningkatkan
inovasi ilmu
baru
melalui
pengetahuan,
kemandirian
dan
penelitian-penelitian; teknologi
kesejahteraan
dan
seni
bangsa
serta untuk melalui
pengabdiannya kepada masyarakat (Paningkat Siburian, 2009: 1).
Paningkat Siburian, Dosen Pendidikan Teknik Elektro UNIMED
117
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
Untuk itu, selama beberapa tahun terakhir ini telah dilakukan berbagai upaya guna meningkatkan mutu pendidikan tinggi, antara lain melalui pengembangan dan penyempurnaan kurikulum dan system evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, dan peningkatan kualitas dosen. Namun kenyataanya, upaya tersebut belumlah cukup signifikan dalam meningkatkan mutu pendidikan tinggi secara komprehensif. Saat ini sebagian besar perguruan tinggi Indonesia masih mengalami berbagai permasalahan internal seperti efisiensi dan efektivitas yang rendah, dan permasalahan eksternal seperti kualitas dan relevansi yang belum sesuai dengan kebutuhan pasar kerja (Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, 2004:12). Sehubungan dengan mutu, Joseph M. Juran dalam Tim Dosen mengemukakan Kaidah 85/15 yang menjelaskan bahwa 85% masalah mutu yang dihadapi oleh organisasi disebabkan manajemen (Tim Dosen,2009: 294). Secara rinci dijelaskan bahwa 80% masalah mutu pendidikan di Indonesia disebabkan oleh manajemennya (Husaini Usman, 2008: 10). Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan daya saing bangsa diperlukan suatu kajian yang dapat menjawab hal berikut: Bagaimana meningkatkan mutu perguruan tinggi melalui manajemen yang berorientasi mutu? B. Pembahasan Perguruan tinggi adalah lembaga yang menyelenggarakan pendidikan tinggi, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi disebutkan bahwa tujuan pendidikan tinggi adalah: a.
Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan atau profesional yang dapat menerapkan,
118 Paningkat Siburian, Dosen Pendidikan Teknik Elektro UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
mengembangkan, dan atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi, dan atau kesenian; dan b. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan tarap kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional (R. Eko Indrajit dan R. Djokopranoto, 2006: 3). Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi, persaingan sumber daya manusia di pasar kerja nasional maupun internasional semakin
meningkat.
Hal
tersebut
menuntut
dilakukannya
peningkatan mutu perguruan tinggi yang dapat memuaskan pelanggannya dalam memenangkan persaingan untuk memasuki lapangan kerja yang semakin kompetitif. Pada masa mendatang, eksistensi suatu perguruan tinggi tidak semata-mata tergantung pada penyelenggara, tetapi terutama justru pada penilaian
Stakeholders
tentang
mutu
pendidikan
tinggi
yang
diselenggarakannya (Paningkat Siburian, 2009: 1). Sikap responsif terhadap kebutuhan stakeholders yang selama ini kurang mendapat perhatian, diharapkan melandasi semua perencanaan dan pelaksanaan program perguruan tinggi. Perguruan tinggi harus melakukan majemen mutu yang didasarkan pada filosofi bahwa memenuhi kebutuhan pelanggan dengan sebaik-baiknya adalah yang utama dalam setiap usaha. Bertolak dari filosofi manajemen yang berorientasi mutu, pendidikan tinggi dapat dipandang sebagai proses sirkuler seperti pada Gambar 1 di bawah ini.
Paningkat Siburian, Dosen Pendidikan Teknik Elektro UNIMED
119
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
1 5
Pelanggan Tersier
4
Perguruan Tinggi Pengelola (Pelanggan Internal)
6
7
Pelanggan Sekunder
2
Jasa Pendidikan Tinggi
8
9
Pelanggan Primer
3
Gambar 1. Proses Sirkuler Pelanggan Perguruan Tinggi Pada proses sirkuler, perguruan tinggi dengan para pengelolanya (Pelanggan Internal) menerima berbagai masukan dari masyarakat pengguna lulusan atau produk perguruan tinggi (Pelanggan Tersier) dalam rangka meningkatkan kualitas dan relevansi program yang dikelola sebagaimana dilambangkan oleh panah 1. Masukan tersebut digunakan sebagai bahan dalam perencanaan program untuk dijadikan jasa pendidikan tinggi sebagaimana dilambangkan oleh panah 2. Jasa tersebut diberikan kepada mahasiswa atau pihak penerima jasa pendidikan secara langsung (Pelanggan Primer) sebagaimana dilambangkan oleh panah 3. Selanjutnya, Pelanggan Primer yang telah menerima, menguasai, dan menghayati jasa tersebut diharapkan telah memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan Pelanggan Tersier, sehingga diserahkan kepada masyarakat pengguna sebagaimana dilambangkan oleh panah 4. Jasa yang berupa hasil penelitian terpakai, secara langsung diserahkan kepada Pelanggan Tersier sebagaimana dilambangkan oleh panah 9. Untuk dapat meningkatkan kualitas secara berkelanjutan, perguruan tinggi harus selalu
120 Paningkat Siburian, Dosen Pendidikan Teknik Elektro UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
membina hubungan yang baik dengan Pelanggan Tersier guna memahami kebutuhannya sebagaimana dilambangkan oleh panah 5. Perguruan tinggi dan Pelanggan Sekunder (orang tua, instansi/sponsor peserta didik, dan pemerintah) juga mempunyai hubungan timbal-balik yang konstruktif sebagaimana dilambangkan oleh panah 6 dan 7. Selain itu, juga terdapat hubungan antara Pelanggan Sekunder selaku pihak yang menanggung biaya pendidikan dengan Pelanggan Primer yang menerima dukungan biaya sebagaimana dilambangkan oleh panah 8. Demikian hubungan pelanggan-pelanggan pendidikan sebagai proses sirkuler berdasarkan filosofi manajemen mutu. Sehubungan dengan itu dijelaskan bahwa prinsip proses sirkuler merupakan salah satu prinsip filosofi pendidikan yang sangat mendasar dalam manajemen mutu total pendidikan tinggi, sehingga mutu perguruan tinggi yang diharapkan diyakini dapat tercapai (D. P. Tampubolon, 1995: 4). Perguruan tinggi dinyatakan bermutu, apabila lembaga tersebut mampu menetapkan dan mewujudkan visinya melalui pelaksanaan misinya (aspek deduktif); dan mampu memenuhi kebutuhan stakehorlder (aspek induktif) berupa (1) kebutuhan kemasyarakatan, (2) kebutuhan dunia kerja, dan (3) kebutuhan professional (Paningkat Siburian, 2009: 3). Berkaitan dengan itu dikemukakan bahwa mutu meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan (Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana, 1995: 3). Mutu merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan (D. L. Goetseh dan S. Davis, 1994: 4). Jadi, mutu pendidikan tinggi adalah paduan sifat-sifat jasa pendidikan tinggi yang menunjukkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan pelanggan.
Paningkat Siburian, Dosen Pendidikan Teknik Elektro UNIMED
121
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
Untuk meningkatkan mutu pendidikan diperlukan manajemen pendidikan yang berorientasi mutu. Manajemen dibutuhkan oleh semua organisasi, karena tanpa manajemen, pencapaian tujuan akan lebih sulit. Ada tiga alasan utama diperlukannya manajemen, yaitu :(1)untuk mencapai tujuan ; (2)untuk mencapai keseimbangan di antara tujuantujuan yang saling bertentangan ; dan (3) untuk mencapai efisiensi dan efektivitas (T.Hani Handoko, 2003 : 6-7). Pada hakikatnya, manajemen adalah proses Perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan usaha-usaha para anggota dan penggunaan sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan yang telah ditetapkan (James A. F.Stoner, 1982 : 8). Manajemen pendidikan adalah proses perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan,
dan
pengendalian
sumber
daya
pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif, efisien, dan akuntabel (Husaini Usman, 2008: 10). Selanjutnya, manajemen mutu total pendidikan tinggi adalah cara mengelola lembaga pendidikan tinggi berdasarkan filosofi bahwa peningkatan mutu harus diadakan dan dilakukan oleh semua unsur lembaga sejak dini secara terpadu dan berkesinambungan, sehingga pendidikan sebagai jasa yang berupa proses pembudayaan sesuai dengan dan bahkan melebihi kebutuhan para pelanggan, baik masa kini maupun masa yang akan datang (M. Jusuf Hanafiah, dkk., 1994: 7). Sesuai dengan eksistensi pendidikan tinggi yang
dipandang
sebagai proses sirkuler sebagaimana diuraikan di atas, maka penerapan manajemen mutu total pendidikan tinggi merupakan suatu pendekatan yang sistematis, praktis, dan strategis dalam menyelenggarakan organisasi yang mengutamakan kepentingan pelanggan. Manajemen mutu total bertujuan untuk meningkatkan dan mengendalikan mutu. Pengendalian
122 Paningkat Siburian, Dosen Pendidikan Teknik Elektro UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
mutu dalam rangka penjaminan mutu pendidikan di tingkat satuan pendidikan didasarkan pada prinsip berikut : (1). Quality first, yaitu seluruh pikiran dan tindakan pengelola pendidikan harus mengutamakan mutu ; (2). Stakeholder-in, yaitu seluruh pikiran dan tindakan pengelola pendidikan harus ditujukan pada kepuasan stakeholders (3). The next process is our stakeholders, yaitu setiap orang yang melakukan tugas dalam penyelenggaraan proses pendidikan harus menganggap pihak lain yang menggunakan hasil pelaksanaan tugasnya sebagai stakeholders yang harus dipuaskan ; (4). Speak with data, yaitu setiap orang yang menyelenggarakan proses pendidikan dalam melakukan tindakan dan pengambilan keputusan harus didasarkan pada hasil analisis data yang akurat dan relevan ; (5). Upstream management, yaitu seluruh pengambilan keputusan dalam menyelenggarakan proses pendidikan dilakukan secara partisipatif (Rusman, 2009 : 560-561). Selanjutnya, proses pengendalian mutu dalam rangka penjaminan mutu pendidikan di perguruan tinggi mengarah pada pengendalian mutu berbasis Plan, Do, Check, Action (PDCA) yang akan menghasilkan perbaikan berkelanjutan atas mutu pendidikan. Dalam melaksanakan manajemen mutu pendidikan tinggi, perlu diambil langkah-langkah strategis agar didapatkan hasil yang maksimal. Adapun langkah-langkah strategis yang pokok berdasarkan manajemen mutu total, yaitu: (1) Bulatkan tekad meningkatkan mutu jasa pendidikan tinggi secara terus-menerus. Kebulatan tekad ini pertama-tama harus ada pada pimpinan puncak (Rektor), kemudian pada unsur pimpinan lainnya, dan seterusnya pada semua dosen dan pegawai perguruan tinggi ;
Paningkat Siburian, Dosen Pendidikan Teknik Elektro UNIMED
123
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
(2) Pahami prinsip-prinsip Manajemen Mutu Total (MMT); (3) Bentuk Tim Pembudayaan Mutu (TPM), yang tugas pokoknya ialah membudayakan mutu di perguruan tinggi; (4) Masyarakatkan
prinsip-prinsip
MMT
dan
cara
mengimplementasikannya kepada seluruh fungsionaris, dosen, dan pegawai. (5) Susun rencana strategis untuk meningkatkan mutu, yang memuat visi, misi, prinsip, tujuan umum, dan program kerja. (6) Kembangkan standarisasi mutu jasa pada setiap satuan manajemen; dan (7) Laksanakan
perbaikan
mutu
secara
bertahap
bergilir
dan
berkesinambungan, mulai dari perbaikan kecil, dan laksanakan secara tepat sejak permulaan. Di samping ketujuh langkah di atas, prinsip-prinsip strategis di bawah ini perlu dipedomani, yaitu : (1) Pusatkan perhatian pada pelanggan dan kebutuhannya, proses pengadaan dan penyajian jasa untuk memenuhi kebutuhan pelanggan, dan partisispasi aktif semua orang yang terkait dalam pengadaan dan penyajian jasa; (2) Kembangkan kepemimpinan yang visioner, pemersatu, pemberdaya, terbuka, dan delegatif pada semua satuan manajemen; dan (3) Pergunakan kekuatan kerjasama (synergy) dengan membentuk tim kerjasama pada setiap satuan manajemen sesuai dengan keperluan (D.P.Tampubolon 1995 : 25). Sesuai dengan fungsi manajemen, diperlukan perencanaan strategis untuk peningkatan mutu perguruan tinggi. Rencana strategis adalah langkah-langkah kegiatan yang tersusun secara rasional, berkait,
124 Paningkat Siburian, Dosen Pendidikan Teknik Elektro UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
dan berjangka panjang berdasarkan visi, misi, dan prinsip-prinsip tertentu untuk memenuhi kebutuhan para pelanggan masa kini dan masa depan. Adapun pikiran-pikiran pokok dan langkah- langkah yang perlu diperhatikan dalam perencanaan strategis untuk mutu adalah sebagai berikut: (a) Pikiran dan langkah dasar yang meliputi (1) penentuan dan perumusan visi, (2) penentuan dan perumusan misi berdasarkan visi, (3) penentuan dan perumusan prinsip-prinsip berdasarkan visi dan misi, dan (4) penentuan dan perumusan tujuan berdasarkan visi, misi, dan prinsip; dan (b) Pikiran dan langkah operasional yang meliputi (1) pengadaan studi tentang para pelanggan untuk mengetahui secara objektif kebutuhan mereka masa kini dan masa mendatang, (2) pengadaan studi tentang keberadaan perguruan tinggi untuk mengetahui secara objektif kekuatan, kelemahan, kesempatan,
ancaman, dan faktor penting
lainnya yang berkaitan dengan perguruan tinggi bersangkutan dalam usaha mencapai keberhasilan peningkatan mutu, (3) penyusunan rencana perguruan tinggi berdasrkan visi, misi, prinsip, tujuan, dan hasil studi di atas. Rencana yang dimaksud berisi kebijakan dan rencana mutu yang sesuai dengan atau melebihi kebutuhan para pelanggan, (4) perkiraan dan penentuan anggaran yang diperlukan untuk mencapai mutu yang direncanakan, dan (5) penyusunan dan penentuan
rencana
dan
instrumen-instrumen
evaluasi
dan
pemantauan untuk mengetahui apakah perguruan tinggi berhasil atau tidak,
dan
menentukan
sebab-sebab
keberhasilan
atau
ketidakberhasilan. Jadi, perguruan tinggi harus mempunyai rencana strategis untuk mutu, dan berdasarkan rencana strategis itu disusun rencana kerja
Paningkat Siburian, Dosen Pendidikan Teknik Elektro UNIMED
125
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
tahunan yang sifatnya operasional. Dalam proses penyusunan rencana strategis dan rencana kerja tahunan, setiap unit organisasi perguruan tinggi perlu diaktifkan untuk menyiapkan berbagai informasi dan menyusun kegiatan-kegiatan peningkatan mutu pada unit bersangkutan. Informasi dimaksud dapat meliputi kebutuhan pelanggan, hasil analisis Kekuatan, Kelemahan,
Peluang, dan Ancaman (K2PA), identifikasi
Faktor Penentu Keberhasilan (FPK), dan data-data statistik yang relevan. Informasi, data, dan kegiatan-kegiatan disampaikan oleh unit bawahan ke unit atasan, dan seterusnya disampaikan ke Biro Perencanaan melalui Rektor. Selanjutnya, Biro Perencanaan menyusun rencana strategis untuk jangka waktu 8 hingga 10 tahun. Berdasarkan rencan strategis itu disusun lah rencana kerja tahunan. Di tingkat Jurusan, Kelompok Dosen Bidang Keahlian perlu membicarakan dan memufakati rencana Jurusan yang akan disampaikan ke Fakultas. Dengan demikian, Dosen-dosen ikut memberikan masukan di tingkat Fakultas, dan Senat Fakultas juga membicarakan dan memufakati rencana Fakultas sebelum diteruskan ke Biro Perencanaan. Akhirnya rencana perguruan tinggi yang telah disusun oleh Biro Perencanaan harus dibahas oleh Senat perguruan tinggi untuk dimufakati sebelum ditetapkan oleh Rektor. Rencana strategis dan rencana kerja tahunan perguruan tinggi yang telah disahkan harus didokumentasikan dan disampaikan ke setiap unit terkait untuk dipahami dan dilaksanakan secara konsisten. Dengan cara tersebut, keterbukaan pimpinan akan kelihatan, termasuk dalam anggaran yang sesuai dengan rencana kerja. Dengan keterbukaan itu, semua pihak pelanggan perguruan tinggi, termasuk Dosen Jurusan, Pegawai, Senat Fakultas, Senat Perguruan Tinggi (Universitas), dan pimpinan Jurusan, Fakultas,
126 Paningkat Siburian, Dosen Pendidikan Teknik Elektro UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
dan Universitas akan termotivasi untuk ikut bertanggungjawab atas pelaksanaan rencana peningkatan mutu perguruan tinggi. C. Penutup Peningkatan mutu perguruan tinggi melalui manajemen mutu total pendidikan tinggi merupakan cara mengelola lembaga berdasarkan filosofi bahwa peningkatan mutu harus dilakukan oleh semua unsur lembaga sejak dini secara terpadu dan berkesinambungan, sehingga pendidikan sebagai jasa sesuai dengan dan bahkan melebihi kebutuhan para pelanggan, baik masa kini maupun masa yang akan datang. Dengan manajemen mutu total, perguruan tinggi akan dapat menghasilkan lulusan dan hasil penelitian yang bermutu, menjaga mutu serta selalu meningkatkan mutu secara berkesinambungan. Sehubungan dengan itu, perguruan tinggi harus mempunyai rencana strategis untuk mutu, dan berdasarkan rencana strategis itu disusun rencana kerja tahunan yang sifatnya operasional. Dalam penyusunan rencana strategis dan rencana kerja tahunan beserta anggaran yang diperlukan, perlu dilibatkan pihak terkait agar semua termotivasi untuk ikut bertanggungjawab sesuai dengan filosofi manajemen mutu total pendidikan tinggi. D. Daftar Pustaka Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2004, Strategi Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 2003-2010 Mewujudkan Perguruan Tinggi Berkualitas, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Goetsch, D. L dan S. Davis, 1994, Introduction to Total Quality, Englewood: Prentice Hall International, Inc. Hanafiah, M. Jusuf, dkk., 1994, Pengelolaan Mutu Total Pendidikan Tinggi, Jakarta: BKS PTN Barat.
Paningkat Siburian, Dosen Pendidikan Teknik Elektro UNIMED
127
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
Handoko, T.Hani, 2003, Management, Yogyakarta : BPFE Yogyakarta. Indrajit, R. Eko dan R Djokopranoto, 2006, Manajemen Perguruan Tinggi Modern, Yogyakarta: ANDI. Rusman, 2009, Manajemen Kurikulum, Jakarta : Raja Grafindo Persada. Siburian, Paningkat, 2009, Strategi Penerapan Kelembagaan Perguruan Tinggi Mandiri Melalui Badan Hukum Pendidikan, Medan : Program Pascasarjana UNIMED. Siburian, Paningkat, 2009, Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, Medan : Program Pascasarjana UNIMED. Stoner, James A.F, 1982, Management, New York : Prentice Hall International, Inc. Tampubolon, D.P, 1995, Mutu Perguruan Tinggi, Medan: IKIP Medan. Tim Dosen, 2009, Manajemen Pendidikan, Bandung: Alfabeta. Tjiptono, Fandy dan Anastiana Diana, 1995, Total Quality Management. Yogyakarta: Andi. Usman, Husaini, 2008, Manajemen Teori Praktik & Riset Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara.
128 Paningkat Siburian, Dosen Pendidikan Teknik Elektro UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
PENGUATAN EKSISTENSI MAHASISWA Tappil Rambe Abstrak Peningkatan kualitas akademis, inovasi berpikir yang kreatifis, adalah tuntutan dalam menjaga eksistensi mahasiswa. Sebuah langkah yang sangat strategis yang perlu ditempuh dalam membina dan meningkatkan kualitas akademik mahasiswa adalah membentuk komunitas belajar. Dalam era sekarang ini sudah tidak saatnya lagi mahasiswa hanya berpikir instan dan praktis. Pembentukan komunitas belajar oleh mahasiswa merupakan solusi alternatif dalam menjaga eksistensi mahasiswa. Eksistensi mahasiswa di dunia kampus secara alamiah terus mengalami pasang surut sesuai dengan dinamika yang dihadapinya. Semakin maju pemikiran manusia semakin tinggi pulalah tanggung jawab mahasiswa sebagai kaum muda yang terdidik. Kata Kunci :
Eksistensi Mahasiswa
A. Pendahuluan Gelombang perubahan yang terjadi di Indonesia baik yang bersifat politik, ekonomi, sosial dan budaya membawa dampak yang begitu besar bagi semua komponen bangsa ini. Tentu saja perubahan ini mendatangkan konsekuensi, terutama dalam hal pembangunan karakter dan keterampilan anak bangsa agar memiliki daya saing baik regional maupun internasional. Think globally act locally mestinya segera diadopsi untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa ini. Dalam sejarah peradaban bangsa manapun, mahasiswa (kelompok terdidik) yang bersumber pada pendidikan merupakan salah satu kunci keberhasilan untuk
memacu pertumbuhan
dan
pemerataan
berbagai
sektor
pembangunan. Pergeseran basis pembangunan negara maju dari sumber daya alam ke berbasis sumber daya manusia, dari berbasis modal ke berbasis ilmu pengetahuan, merupakan bukti yang sangat kuat untuk mempertajam peran mahasiswa (kelompok terdidik) dalam pemulihan
Tappil Rambe, S.Pd., Dosen Fakultas Ilmu Sosial UNIMED
129
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
ekonomi nasional. Kata bijak ‘assets make things possible, people make things happen’ sudah cukup bagi kita untuk menempatkan kaum-kaum muda yang terdidik atau sektor pendidikan menjadi bagian utama dari pembangunan republik ini. Tujuan pendidikan nasional (UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas) mengamanatkan, bahwa pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang: beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; berahlak mulia; Sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri; menjadi warga negara yang demokratis; dan bertanggung jawab. Selanjutnya, PP No. 60 Tahun 1999 mengamanatkan bahwa tujuan pendidikan tinggi adalah: (a) Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi
dan/atau
kesenian;
dan
(b)
Mengembangkan
dan
menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional. Berdasar pada dua kebijakan di atas, maka program pembinaan kegiatan mahasiswa di Unimed diselenggarakan melalui: (1) kegiatan intrakurikuler (akademik), yakni kegiatan akademik yang terstruktur seperti kuliah, praktikum dan sebagainya, (2) kegiatan ko-kurikuler, yakni kegiatan non-akademik yang langsung menunjang kegiatan akademik; dan (3) kegiatan ekstrakurikuler, yakni kegiatan yang tidak langsung menunjang kegiatan akademik. Selanjutnya
pembinaan
program
pembinaan
130 Tappil Rambe, S.Pd., Dosen Fakultas Ilmu Sosial UNIMED
mahasiswa
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
dilakukan melalui penyelenggaraan program-program: (1) penalaran dan keilmuan, (2) minat dan kegemaran, dan (3) peningkatan kesejahteraan. Program Penalaran dan keilmuan ditujukan untuk melayani kegiatan-kegiatan mahasiswa dalam upaya meningkatkan kapasitas dirinya sebagai mahasiswa bernalar, terutama ditujukan untuk menunjang Tri Darma Perguruan Tinggi yang sesuai dengan pola pengembangan kemahasiswaan dan disusun secara melembaga. Pembinaan mahasiswa pada program ini ditempuh melalui berbagai kegiatan akademik seperti: (1) penelitian mahasiswa, (2) penulisan karya ilmiah, (3) seminar ilmiah, (4) pengabdian kepada masyarakat, (5) latihan keterampilan manajemen bagi mahasiswa, (6) lokakarya, (7) forum komunikasi, (8) penerbitan koran kampus, (9) kunjungan antar kampus, (10) pertemuan-pertemuan ikatan organisasi mahasiswa sejenis, (11) pameran ilmiah, (12) kegiatankegiatan yang terkait dengan retorika, dan (13) kepenulisan. Juga dilakukan melalui berbagai kegiatan ilmiah yang bersifat kompetitif seperti, (1) lomba karya tulis mahasiswa, (2) lomba karya inovatif mahasiswa, (3) pemilihan mahasiswa berprestasi, (4) program kreativitas mahasiswa, dan berbagai lomba yang bernuansa ilmiah keilmuan lainnya. Program Minat dan Kegemaran ditujukan untuk melayani kegiatan-kegiatan mahasiswa yang berkaitan dengan minat dan kegemaran di luar kegiatan akademik seperti olahraga, kesenian, pramuka mahasiswa, resimen mahasiswa, mahasiswa pencinta alam, pers mahasiswa, dan sebagainya. Program Peningkatan Kesejahteraan ditujukan untuk melayani berbagai kebutuhan material dan spiritual mahasiswa, seperti bea siswa bagi mahasiswa kurang mampu dan berprestasi, koperasi mahasiswa, asrama mahasiswa, bursa buku, MTQ, masjid kampus, dan bimbingankonseling. Pada program peningkatan kesejahteraan juga termasuk
Tappil Rambe, S.Pd., Dosen Fakultas Ilmu Sosial UNIMED
131
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
program sosial kemasyarakatan dan organisasi mahasiswa. Program Sosial Kemasyarakatan ditujukan untuk meningkatkan kepedulian mahasiswa terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan memberikan solusi alternatifnya. Program pembinaan ini ditempuh melalui kegiatan PMI, kemah bhakti mahasiswa, kemah kerja mahasiswa, Mapala, dan sebagainya. Program Organisasi Kemahasiswaan Unimed ditujukan untuk meningkatkan kompetensi mahasiswa sebagai seorang pemimpin maupun sebagai anggota organisasi. Pembinaan organisasi terutama ditempuh melalui pemberdayaan Senat Mahasiswa Universitas, Senat Mahasiswa Fakultas, Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas, dan Himpunan Mahasiswa Jurusan. Di samping itu juga dilakukan pembinaan terhadap organisasi-organisasi intra universiter lainnya, antara lain UKM Menwa, Pramuka, Mapala, Teater LKK, Pers Kreatif, Marching Band, KSR-PMI, Olah raga, Tarung Derajat, UKMI, UKM-KP, dan UKM-K. B. Pembahasan 1. Kondisi Objektif Peran serta dan kontribusi mahasiswa selalu menjadi bingkai dari perjalanan republik yang kita cintai ini. Sedikit kita buka lembaran lama disana mahasiswa (kaum muda) telah berhasil menuliskan torehan cerita manis bertinta emas, tahun 1908 mahasiswa telah mencoba menyatukan persepsi dan visi untuk segera keluar dari cengkeraman kaum penjajah, melalui pergerakan berbasis nasional bukan pergerakan berbasis lokal. Kemudian dilanjutkan pada tahun 1928, dengan tercetusnya satu ikrar yang membahana sampai kepelosok nusantara Indonesia yaitu Sumpah Pemuda, eksistensi mahasiswa semakin tidak terbendung bak sebuah meteor yang melaju cepat menuntut sebuah pembaharuan gerakan nasional pada jamannya. tokoh-tokoh mahasiswalah yang dengan segala
132 Tappil Rambe, S.Pd., Dosen Fakultas Ilmu Sosial UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
kekuatan
dibalut
dengan
idealisme
perjuangannya
mampu
menghantarkan kemerdekaan republik yang kita cintai ini pada tahun 1945. dalam catatan sejarah peran serta dan kontribusi bangsa secara spektakuler tercatat dalam berbagai momentum besar, seperti pada tahun 1966 (melengserkan kediktatoran penguasa orde lama), tahun 1978 (protes atas kebijakan penguasa orde baru dengan gerakan Malapeta Lima Januari (Malari), tahun 1998 (gerakan menumbangkan kezaliman rezim orde baru) dan memprakarsai lahirnya orde Reformasi. Kondisi diatas adalah merupakan cermin dari gerakan besar mahasiswa yang mengedepankan nilai-nilai idealisme dalam membawa gerbong kepentingan rakyat Indonesia. Kondisi mahasiswa hari ini, tentu tidak sama dengan kondisi di masa itu. Pacuan prestasi gemilang mahasiswalah yang diharapakan mampu membawa ide-ide cemerlang dalam menjawab persoalan bangsa. Peningkatan kualitas akademis, inovasi berpikir yang kreatifis, adalah tuntutan dalam menjaga eksistensi mahasiswa. Universitas Negeri Medan, sebagai sebuah lembaga pendidikan telah menyiapkan berbagai perangkat dalam memberi kesempatan kepada mahasiswa yang berprestasi untuk terus berkarya dengan segala aktivitasnya, penyediaan beasiswa, promosi mahasiswa dalam bidang olahraga, karya tulis ilmiah, kerohanian (MTQ dan Pesparawi), seni dan budaya, ke tingkat nasional dan internasional mutlak menjadi tanggungjawab perguruan tinggi. Kesempatan ini sangat terbuka lebar kepada seluruh mahasiswa. Pembentukan komunitas belajar oleh mahasiswa merupakan solusi alternatif dalam menjaga eksistensi mahasiswa. Apa yang dilakukan oleh English Of Unimed merupakan sebuah langkah yang sangat strategis dalam membina dan meningkatkan kualitas akademik mahasiswa Unimed. Sudah tidak saatnya lagi mahasiswa hanya berpikir
Tappil Rambe, S.Pd., Dosen Fakultas Ilmu Sosial UNIMED
133
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
instan dan praktis, dengan membuat keributan dan keonaran, bahkan sampai menimbulkan fitnah dan hujatan yang tidak beralasan dengan membuat selebaran-selebaran yang tidak bertanggung jawab. Bahkan dengan menggelar aksi dengan mengusung isu yang tidak populer dikalangan mahasiswa. Mahasiswa harus tampil kedepan dengan segala prestasinya, bukan dengan kesombongannya bak tong kosong nyaring bunyinya. Tapi jadilah mahasiswa yang berfilosofi seperti padi. 2. Strategi Pengembangan Pengembangan
UNIMED
untuk
peningkatan
kualitas
mahasiswa tetap berpedoman kepada kebijaksanaan suprasistem yaitu kerangka pengembangan pendidikan tinggi (KPPT-JP) tahun 1996-2005. kampus sebagai pusat pembentukan kepribadian mahasiswa secara utuh harus memungkinkan perkembangan maksimal potensi mahasiswa makhluk Allah, sebagai makhluk sosial, sebagai warga negara dan masyarakat serta sebagai individu. Perlu diciptakan iklim kampus sedemikian rupa, sehingga menjadi kampus yang religius, akademis, dan berorientasi kepada keteladanan. Program akademik harus dirancang sedemikian rupa sehingga fleksibel dan memungkinkan lulusan untuk bertahan hidup (survival) di masyarakat. Mengingat bahwa peluang kerja pada pemerintah baik sektor jasa dan manufacturing masih terbatas, kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga mampu menjadikan mahasiswa akan tetap mampu survive ditengah-tengah kehidupannya di masyarakat. untuk mencapai kinerja yang tinggi diperlukan iklim kompetisi sekaligus kolaborasi di lingkungan internal maupun eksternal. Kompetisi untuk melakukan sesuatu dengan predikat yang terbaik harus dipacu antara lain dengan melakukan restrukturisasi sistem reward dan award. Di dalam proses pengembangan yang amat memerlukan kerja
134 Tappil Rambe, S.Pd., Dosen Fakultas Ilmu Sosial UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
bersama, perlu dikembangkan solidaritas, kebersamaan, dan iklim kompetisi dan kolaborasi yang sehat. Untuk ini perlu diciptakan saluran proses komunikasi yang terbuka dan lancar pada semua arah, sehingga partisipasi semua pihak dapat didorong. Kendali mutu perlu dilakukan pada setiap fase perbaikan dan pengembangan di semua hal yang berhubungan dengan peningkatan kualitas mahasiswa melalui control point (menggunakan data dalam sistem informasi manajemen) dan check point (melalui hirarki dan struktur organisasi). Otonomi dan akuntabilitas merupakan acuan dalam penentuan kebijaksanaan. Kedua konsep ini perlu dikembangkan secara bersamaan. Kemitraan dengan lembaga di dalam maupun di luar perlu dikembangkan. Kemitraan seperti pisau bermata dua. Mata yang satu meningkatkan mutu civitas akademika, sedang mata yang lainnya adalah dalam usaha mendapatkan sumber daya untuk pengembangan lembaga serta kebermaknaan bagi perguruan tinggi dan mahasiswa. Seluruh civitas mahasiswa harus mendukung tercapainya visi, misi dan tujuan Universitas yang memberikan daya pembeda UNIMED dengan Universitas yang lain. Kemudahan pengaksesan informasi bagi mahasiswa untuk meningkatkan kualitas pengetahuannya harus dilakukan melalui peningkatan sarana dan prasarana. Peningkatan kualitas dan kuantitas penelitian mahasiswa dilakukan baik melalui kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. 3. Proyeksi ke Depan Salah satu pilar dari sebuah perguruan tinggi adalah mahasiswa, karena tanpa mahasiswa tentu tidak akan ada dosen dan pegawai. Oleh karenanya ke depan mahasiswa Universitas Negeri Medan akan mendapat perhatian, pembinaan, dan keberlanjutan yang sistematis, dengan demikian mahasiswa yang mempunyai kemampuan dalam bidang
Tappil Rambe, S.Pd., Dosen Fakultas Ilmu Sosial UNIMED
135
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
tertentu akan tersalurkan dalam ranah minat dan bakat serta kegemaran, penalaran
dan
keilmuan,
peningkatan
kesejahteraan,
sosial
kemasyarakatan, dan organisasi kemahasiswaan. Hal ini menjadi isu strategis rektorat bidang kemahasiswaan Unimed dalam rangka memacu prestasi mahasiswa yang diorientasikan kepada peningkatan citra, reputasi dan daya saing lulusan Unimed. Hal ini sangat perlu untuk dikedepankan karena
Kenyataan
menunjukkan
bahwa
perkembangan
Human
Development Index (HDI) Indonesia sejak tahun 2001 terus menurun hingga ke peringkat 108 dari 177 negara pada tahun 2006 (Tabel 1), dan hingga kini angka pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 11.104.693 orang dengan tingkat sebaran terbesar di Jawa dan Sumatera (Tabel 2). Dan (gambar 1) Tabel 1. Peringkat Human Development Index Indonesia Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Pering- Jumlah Pembanding kat Negara 102 162 Sin=26,Brun=32,M’sia=56,Pilip=70, Thai=66, Viet=101 110 173 Sin=25,M’Sia=58,Brun=31,Thai=74, Pilip=85 Sin=28,M’Sia=58,Brun=31,Thai=74, 112 175 Pilip=85, Kamboja=130, Laos=135 111 175 Sin=25,M’Sia=58,Brun=33,Thai=76,Pilip=83 Sin=25,Brun=33,M’Sia=61,Thai=73,Pilip=84, 110 177 Srilanka=93 108 177 Sin=25, M’Sia=61,Thai=74, Pilip=84, Brun=34 viet=109
(sumber: UNDP) Tabel 2. Pengangguran Menurut Pendidikan & Jenis Kelamin Tahun 2006. Pendidikan > SD SMPN SMAN Akademi/Diploma Universitas Jumlah
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
1.693.677 1.549.673 2.241.638 133.671 189.572 5.808.231
1.831.207 1.310.334 1.805.378 163.514 186.029 5.296.462
3.524.884 2.860.007 4.047.016 297.185 375.601 11.104.693
(Sumber: BPS, 2006)
136 Tappil Rambe, S.Pd., Dosen Fakultas Ilmu Sosial UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010 4,32%
1,72%
6,51%
22,61%
3,52%
61,32%
Sumatera
Jawa
Bali & NT
Kalimantan
Sulawesi
Maluku & Papua
Gambar 1. Penyebaran Penganggur Terbuka Menurut Pulau Menghadapi keadaan ini, kita menyadari bahwa satu-satunya cara untuk hidup lebih layak adalah melalui peningkatan mutu dan daya saing mahasiswa. Oleh karenanya ke depan mahasiswa tidak hanya sekedar belajar ilmu dan keterampilan, tetapi memiliki keuletan dan daya juang (soft skill). Dengan soft skill di dalam diri mahasiswa akan tertanam nilainilai kehidupan seperti: kedamaian, kehormatan, kerjasama, kebebasan, kebahagiaan, kejujuran, kerendahan hati, kecintaan, tanggung jawab, kesederhanaan, toleransi, dan kesatuan. Sebab, untuk mampu bersaing dan bersanding, faktor-faktor tersebut di atas justru yang terpenting. Perbedaan sikap bagi dua orang mahasiswa akan memperlihatkan perbedaan yang sangat tajam meski keduanya memiliki ilmu dan keterampilan yang sama. Seseorang sering dilecehkan bukan karena tidak ’pintar’, tetapi lebih diakibatkan ’kurang beradab’. Inilah sebenarnya tugas terpenting mahasiswa, yaitu membangun karakter (character building) bukan sekedar transfer of knowledge. Data di atas menunjukkan bahwa mahasiswa Universitas Negeri Medan dalam keadaan apapun setelah menyelesaikan studinya harus mampu hidup survival ditengah-tengah masyarakat. tantangan diatas apabila kita bandingkan dengan data mahasiswa Universitas Negeri
Tappil Rambe, S.Pd., Dosen Fakultas Ilmu Sosial UNIMED
137
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
Medan yang berjumlah lebih kurang 19.000 (sembilan belas ribu) orang, yang tersebar di 7 Fakultas dan 41 Jurusan dan Prodi merupakan sebuah kekuatan awal dalam memetakan tingkat kemampuan mahasiswa, sehingga kemampuan mahasiswa ini kalau dikelola dengan pendekatan soff skill tentu akan melahirkan multy effec yang positif baik untuk sekarang maupun yang akan datang. Kekuatan tersebut ditambah lagi dengan keanekaragaman corak mahasiswa Unimed, mulai dari agama, suku, latar belakang ekonomi, tempat tinggal, dan asal sekolah, semakin memperkaya khasanah dalam mendesain terobosan-terobosan baru untuk meningkatkan kualitas aktivitas mahasiswa Unimed ke depan dalam rangka membangun karakter mahasiswa (character building). Kerjasama yang baik dengan saluran komunikasi yang terbangun, antara mahasiswa dengan rektorat kemahasiswaan akan mampu mewujudkan proyeksi mahasiswa Unimed ke depan. Karena sebesar apapun program, sebagus apapun desain kegiatan yang dirancang tanpa dukungan serta peran aktif mahasiswa, tentu hanya akan menjadi bingkai tanpa gambar. C. Penutup Eksistensi mahasiswa di dunia kampus secara alamiah terus mengalami pasang surut sesuai dengan dinamika yang dihadapinya. Semakin maju pemikiran manusia semakin tinggi pulalah tanggung jawab mahasiswa sebagai kaum muda yang terdidik. Penilaian positif masyarakat terhadap eksistensi mahasiswa selama ini seharusnya bisa dipertahankan dan ditingkatkan dengan segala prestasi yang dimiliki oleh mahasiswa. Tantangan mahasiswa ke depan akan lebih kompleks lagi, karena mau tidak mau mahasiswa harus dihadapkan kepada pasar setelah ia menjadi sarjana. Oleh karena itu, ketika menyandang gelar mahasiswa berikanlah warna yang positif terhadap gelar mahasiswa tersebut.
138 Tappil Rambe, S.Pd., Dosen Fakultas Ilmu Sosial UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
Mahasiswa yang selalu berbuat dan berfikir kreatif tentu tidak akan gamang dan linglung ketika lepas ke dunia pasar. Kesempatan terbuka lebar, kejarlah dan manfaatkanlah kesempatan itu menjadi sebuah asa dalam meraih cita dimasa depan. D. Daftar Pustaka Departemen Pendidikan Nasional. 2004. Strategi Jangka Panjang Pendidikan Tinggi 2004-2010 (HELTS): Meningkatkan Peran Serta Masyarakat. Jakarta: Depdiknas. Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional tahun 2005-2009. Jakarta: Depdiknas. Harbison, Frederick H. 1973. Human Resources as the Wealth of Nations. New York: Oxford University Press Syarif, H. Hidayat. 2002. Demokratisasi dan Desentralisasi Pendidikan, dalam H.A.R Tilaar (Ed.), Pendidikan untuk Masyarakat Indonesia Baru. Jakarta: PT. Grasindo. The World Bank. 2007. Investing In Indonesia’s Education: Allocation, Equity, andEfficiency of Public Expenditure. Poverty Reduction and Economic Management Unit East Asia and Pacific Region. The World Bank. 2007. Spending For Development: Makin The Most of Indonesia’s New Opportunities. Indonesia Public Expenditure Review 2007. The World Bank Office Jakarta. UNESCO. 2005. Laporan Review Kebijakan: Pendidikan dan Perawatan Anak Usia Dini di Indonesia. Seksi PAUD dan Pendidikan Inklusif, Sektor Pendidikan Dasar, UNESCO. United Nations. 1997. Report on the World Social Situation 1997. New York: United Nation.
Tappil Rambe, S.Pd., Dosen Fakultas Ilmu Sosial UNIMED
139
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
DAMPAK INOVASI PENDIDIKAN SEBAGAI SUATU BIDANG STUDI PENGANTAR PENDIDIKAN DI PERGURUAN TINGGI INDONESIA Lamhot Basani Sihombing Abstrak Sistem pendidikan di Indonesia belum membebaskan. Peserta didik menjalani proses belajar bagaikan dalam penjara. Mereka harus mengikuti pelajaran di dalam ruang kelas dengan aturan-aturannya sendiri, belum lagi siswa harus menguasai sejumlah ilmu pada sekolah dasar dan menengah dalam waktu yang sempit. Serta banyaknya tugastugas dari sekolah maupun guru yang harus mereka kerjakan untuk keesokan harinya. Hal inilah yang membuat hasil pendidikan di Indonesia belum optimal. Pendidikan di Indonesia masih sangat bersifat konvensional dimana guru selalu memberi pelajaran dan murid hanya mendengarkan. Hal-hal seperti ini yang menghambat kemajuan pendidikan di Indonesia. Untuk itu, saat ini dikembangkan sekolahsekolah inovatif baik di sekolah formal maupun informal. Usaha ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Kata kunci :
Inovasi Pendidikan, (Resistance)
Model
Pembelajaran,
Penolakan
A. Pendahuluan Tidak bisa diragukan lagi bahwa manusia tak akan terlepas dengan mengeksplorasi segala sumber daya yang dimilikinya. Dengan cara mencurahkan segala daya dan kemampuannya untuk selalu berinovasi menemukan sesuatu yang baru yang dapat membantu hidupnya menjadi lebih baik. Jika manusia tidak menggali segala kemampuannya maka ia akan tertinggal bahkan tergerus oleh zaman yang selalu berkembang. Dalam dunia pendidikan Inovasi adalah hal yang mutlak dilakukan karena tanpa inovasi akan terjadi kemandekan pada
140 Lamhot Basani Sihombing Adalah Dosen Seni Musik - Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
dunia pendidikan yang kemudian berimbas pada pada elemen-elemen kehidupan yang lain seperti politik, ekonomi, sosial dan lain-lain. 1. Pengertian Inovasi Pendidikan Berbicara mengenai inovasi (pembaharuan) mengingatkan kita pada istilah invention dan discovery. Invention adalah penemuan sesuatu yang benar-benar baru artinya hasil karya manuasia. Discovery adalah penemuan sesuatu (benda yang sebenarnya telah ada sebelumnya. Dengan demikian, inovasi dapat diartikan usaha menemukan benda yang baru dengan jalan melakukan kegiatan (usaha) invention dan discovery. Dalam kaitan ini Ibrahim (1989) mengatakan bahwa inovasi adalah penemuan yang dapat berupa sesuatu ide, barang, kejadian, metode yang diamati sebagai sesuatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat). Maka dapat ditarik kesimpulan Ibahwa Inovasi pendidikan adalah penemuan yang dapat berupa sesuatu ide, barang, kejadian, metode yang diamati sebagai sesuatu hal yang baru bagi dunia pendidkan. Contoh bidangnya adalah Managerial, Teknologi, dan Kurikulum. Inovasi yang berbentuk metode dapat berdampak pada perbaikan, meningkatkan kualitas pendidikan serta sebagai alat atau cara baru dalam memecahkan masalah yang dihadapi dalam kegiatan pendidikan. Dengan demikian metode baru atau cara baru dalam melaksanakan metode yang ada seperti dalam proses pembelajaran dapat menjadi suatu upaya meningkatkan efektivitas pembelajaran. Sementara itu inovasi dalam teknologi juga perlu diperhatikan mengingat banyak hasil-hasil teknologi yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, seperti penggunaannya untuk
Lamhot Basani Sihombing Adalah Dosen Seni Musik - Sendratasik 141 di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
teknologi pembelajaran, prosedur supervise serta pengelolaan informasi pendidikan yang dapat meningkatkan efisiensi pelaksanaan pendidikan. 2. Inovasi Pendidikan dan Model Pembelajaran di Indonesia a. Top Down Inovation Inovasi model Top Down ini sengaja diciptakan oleh atasan (pemerintah) sebagai usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan atau pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, ataupun sebagai usaha untuk meningkatkan efisiensi dan sebagainya. Inovasi seperti ini dilakukan dan diterapkan kepada bawahan dengan cara mengajak, menganjurkan dan bahkan memaksakan apa yang menurut pencipta itu baik untuk kepentingan bawahannya. Dan bawahan tidak punya otoritas untuk menolak pelaksanaannya. Contoh adalah yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional selama ini. Seperti penerapan kurikulum, kebijakan desentralisasi pendidikan dan lain-lain. b. Bottom Up Inovation Yaitu model inovasi yang bersumber dan hasil ciptaan dari bawah
dan
dilaksanakan
sebagai
upaya
untuk
meningkatkan
penyelenggaraan dan mutu pendidikan. Biasanya dilakukan oleh para guru. c. Desentralisasi dan Demokratisasi Pendidikan. Perjalanan pendidikan nasional yang panjang mencapai suatu masa yang demokratis kalau tidak dapat disebut liberal-ketika pada saat ini otonomisasi pendidikan melalui berbagai instrument kebijakan, mulai UU No. 2 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, privatisasi perguruan tinggi negeri-dengan status baru yaitu Badan Hukum Milik Negara (BHMN) melalui PP No. 60 tahun 2000, sampai UU No. 32
142 Lamhot Basani Sihombing Adalah Dosen Seni Musik - Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang
Perimbangan
Keuangan
antara
Pemerintah Pusat
dan
Pemerintahan Daerah yang mengatur konsep, sistem dan pola pendidikan, pembiayaan pendidikan, juga kewenangan di sektor pendidikan yang digariskan bagi pusat maupun daerah. Dalam konteks ini pula, pendidikan berusaha dikembalikan untuk melahirkan insan-insan akademis dan intelektual yang diharapkan dapat membangun bangsa secara demokratis, bukan menghancurkan bangsa dengan budaya-budaya korupsi kolusi dan nepotisme, dimana peran pendidikan (agama, moral dan kenegaraan) yang didapat di bangku sekolah dengan tidak semestinya. Jika kita merujuk pada undang-undang Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang otonomi pemerintahan daerah maka Desentralisasi pendidikan bisa diartikan sebagai pemberian kewenangan untuk mengatur pendidikan di daerah.
Ada dua konsep desentralisasi
pendidikan. Pertama, desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan. Desentralisasi
lebih
kepada
kebijakan
pendidikan
dan
aspek
pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Kedua, desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah. Konsep pertama berkaitan dengan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah sebagai bagian demokratisasi. Konsep kedua lebih fokus mengenai pemberian kewenangan yang lebih besar kepada manajemen di tingkat sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikan. d. KTSP KTSP yang dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan merupakan kurikulum yang bersifat operasional dan
Lamhot Basani Sihombing Adalah Dosen Seni Musik - Sendratasik 143 di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
dilaksanakan dimasing-masing tingkat satuan pendidikan. Landasan hukum kurikulum ini yaitu Undang-undang Sikdiknas No. 20 Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan disusun oleh masing-masing sekolah dengan mengacu pada Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan Standar Isi (SI) untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. Penyerahan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan pada tiap sekolah dengan mengacu pada Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan bertujuan agar kurikulum tersebut dapat disesuaikan dengan karakter dan tingkat kemampuan sekolah masingmasing. Pedoman penilaian dan penentuan kelulusan peserta didik mengacu pada SKL yang meliputi kompetensi untuk kelompok mata pelajaran atau kompetensi untuk seluruh mata pelajaran yang dinilai berdasarkan kualifikasi kemampuan mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan. Standar isi merupakan ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam persyaratan kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan
tertentu.
Standar
isi
merupakan
pedoman
untuk
pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan. e. Quantum learning Quantum learning ialah kiat, petunjuk, strategi, dan seluruh proses belajar yang dapat mempertajam pemahaman dan daya ingat, serta membuat belajar sebagai suatu proses yang menyenangkan dan bermanfaat. Beberapa teknik yang dikemukakan merupakan teknik
144 Lamhot Basani Sihombing Adalah Dosen Seni Musik - Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
meningkatkan kemampuan diri yang sudah populer dan umum digunakan. Namun, Bobbi DePorter mengembangkan teknik-teknik yang sasaran akhirnya ditujukan untuk membantu para siswa menjadi responsif dan bergairah dalam menghadapi tantangan dan perubahan realitas (yang terkait dengan sifat jurnalisme). Quantum learning berakar dari upaya Georgi Lozanov, pendidik berkebangsaan Bulgaria. Ia melakukan eksperimen yang disebutnya suggestology (suggestopedia). Prinsipnya adalah bahwa sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap detil apa pun memberikan sugesti positif atau negatif. Untuk mendapatkan sugesti positif, beberapa teknik digunakan. Para murid di dalam kelas dibuat menjadi nyaman. Musik dipasang, partisipasi mereka didorong lebih jauh. Poster-poster besar, yang menonjolkan informasi, ditempel. Guru-guru yang terampil dalam seni pengajaran sugestif bermunculan. Selanjutnya Porter dkk mendefinisikan quantum learning sebagai “interaksi-interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya”. Mereka mengasumsikan kekuatan energi sebagai bagian penting dari tiap interaksi manusia. Dengan mengutip rumus klasik E = mc2, mereka alihkan ihwal energi itu ke dalam analogi tubuh manusia yang “secara fisik adalah materi”. “Sebagai pelajar, tujuan kita adalah meraih sebanyak mungkin cahaya: interaksi, hubungan, inspirasi agar menghasilkan energi cahaya”. Pada kaitan inilah, quantum learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar. f.
Contextual Teaching and Learning /CTL Pendekatan kontektual (Contextual Teaching and Learning/
CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong
Lamhot Basani Sihombing Adalah Dosen Seni Musik - Sendratasik 145 di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual. g. Cooperative Learning Model pembelajaran Cooperative Learning merupakan salah satu model pembelajaran yang mendukung pembelajaran kontekstual. Sistem pengajaran Cooperative Learning dapat didefinisikan sebagai sistem kerja/belajar kelompok yang terstruktur. Yang termasuk di dalam struktur ini adalah lima unsur pokok (Johnson & Johnson, 1993), yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab individual, interaksi personal, keahlian bekerja sama, dan proses kelompok. Falsafah yang mendasari pembelajaran Cooperative Learning (pembelajaran gotong royong) dalam pendidikan adalah “homo homini socius” yang menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Cooperative Learning adalah suatu strategi belajar mengajar yang menekankan pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau
146 Lamhot Basani Sihombing Adalah Dosen Seni Musik - Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
membantu di antara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih. Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan paham konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok
kecil
yang
tingkat
kemampuannya
berbeda.
Dalam
menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran. h. Active learning Pembelajaran aktif (active learning) dimaksudkan untuk mengoptimalkan penggunaan semua potensi yang dimiliki oleh anak didik, sehingga semua anak didik dapat mencapai hasil belajar yang memuaskan sesuai dengan karakteristik pribadi yang mereka miliki. Di samping itu pembelajaran aktif (active learning) juga dimaksudkan untuk menjaga perhatian siswa/anak didik agar tetap tertuju pada proses pembelajaran. i.
PAKEM PAKEM adalah singkatan dari Pembelajaran Aktif, Kreatif,
Efektif, dan Menyenangkan. Aktif dimaksudkan bahwa dalam proses pembelajaran guru harus menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga siswa aktif bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan. Belajar memang merupakan suatu proses aktif dari si pembelajar dalam membangun pengetahuannya, bukan proses pasif yang hanya menerima kucuran ceramah guru tentang pengetahuan. Sehingga, jika pembelajaran
Lamhot Basani Sihombing Adalah Dosen Seni Musik - Sendratasik 147 di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif, maka pembelajaran tersebut bertentangan dengan hakikat belajar. Peran aktif dari siswa sangat penting dalam rangka pembentukan generasi yang kreatif, yang mampu menghasilkan sesuatu untuk kepentingan dirinya dan orang lain. Kreatif juga dimaksudkan agar guru menciptakan kegiatan belajar yang beragam sehingga memenuhi berbagai tingkat kemampuan siswa. Menyenangkan adalah suasana belajar-mengajar yang menyenangkan sehingga siswa memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajar sehingga waktu curah perhatiannya tinggi. Menurut hasil penelitian, tingginya waktu curah terbukti meningkatkan hasil belajar. Keadaan aktif dan menyenangkan tidaklah cukup jika proses pembelajaran tidak efektif, yaitu tidak menghasilkan apa yang harus dikuasai siswa setelah proses pembelajaran berlangsung, sebab pembelajaran memiliki sejumlah tujuan pembelajaran yang harus dicapai. Jika pembelajaran hanya aktif dan menyenangkan tetapi tidak efektif, maka pembelajaran tersebut tak ubahnya seperti bermain biasa. B. Pembahasan 1. Kendala-kendala Dalam Inovasi Pendidikan Kendala-kendala yang mempengaruhi keberhasilan usaha inovasi pendidikan: (a) konflik dan motivasi yang kurang sehat, (b) lemahnya berbagai faktor penunjang sehingga mengakibatkan tidak berkembangnya inovasi yang dihasilkan, (c) keuangan (finacial) yang tidak terpenuhi, (d) penolakan dari sekelompok tertentu atas hasil inovasi, (e) kurang adanya hubungan sosial dan publikasi (Subandiyah 1992:81).
148 Lamhot Basani Sihombing Adalah Dosen Seni Musik - Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
2. Penolakan (Resistance) Ada beberapa hal mengapa inovasi sering ditolak atau tidak dapat diterima oleh para pelaksanaan inovasi di lapangan atau di sekolah sebagai berikut: (a) Sekolah atau guru tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, penciptaan dan bahkan pelaksanaan inovasi tersebut, sehingga ide baru atau inovasi tersebut dianggap oleh guru atau sekolah bukan miliknya, dan merupakan kepunyaan orang lain yang tidak perlu dilaksanakan, karena tidak sesuai dengan keinginan atau kondisi sekolah mereka, (b) Guru ingin mempertahankan sistem atau metode yang mereka lakukan saat sekarang, karena sistem atau metode tersebut sudah mereka laksanakan bertahun-tahun dan tidak ingin diubah. Disamping itu sistem yang mereka miliki dianggap oleh mereka memberikan rasa aman atau kepuasan serta sudah baik sesuai dengan pikiran mereka. Hal senada diungkapkan pula Day dkk (1987) dimana guru tetap mempertahankan sistem yang ada, (c) Inovasi yang baru yang dibuat oleh orang lain terutama dari pusat
(khususnya Depdiknas) belum
sepenuhnya melihat kebutuhan dan kondisi yang dialami oleh guru dan siswa. Hal ini juga diungkapkan oleh Munro (1987 : 36) yang mengatakan bahwa "mismatch between teacher's intention and practice is important barrier to the success of the innovatory program", (d) Inovasi yang diperkenalkan dan dilaksanakan yang berasal dari pusat merupakan kecenderungan sebuah proyek dimana segala sesuatunya ditentukan oleh pencipta inovasi dari pusat. Inovasi ini bisa terhenti kalau proyek itu selesai atau kalau finasial
Lamhot Basani Sihombing Adalah Dosen Seni Musik - Sendratasik 149 di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
dan keuangannya sudah tidak ada lagi. Dengan demikian pihak sekolah atau guru hanya terpaksa melakukan perubahan sesuai dengan kehendak para inovator di pusat dan tidak punya wewenang untuk merubahnya, (e) Kekuatan dan kekuasaan pusat yang sangat besar sehingga dapat menekan sekolah atau guru melaksanakan keinginan pusat, yang belum tentu sesuai dengan kemauan mereka dan situasi sekolah mereka. 3. Faktor-Faktor yang Perlu Diperhatikan Dalam Inovasi pendidikan Untuk menghindari penolakan seperti yang disebutkan di atas, faktor-faktor utama yang perlu diperhatikan dalam inovasi pendidikan adalah guru, siswa, kurikulum dan fasilitas, dan program/tujuan. a. Guru Guru sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan merupakan pihak yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian dan kewibawaan guru sangat menentukan kelangsungan proses belajar mengajar di kelas maupun efeknya di luar kelas. Guru harus pandai membawa siswanya kepada tujuan yang hendak dicapai. Ada beberapa hal yang dapat membentuk kewibawaan guru antara lain adalah penguasaan materi yang diajarkan, metode mengajar yang sesuai dengan situasi dan kondisi siswa, hubungan antar individu, baik dengan siswa maupun antar sesama guru dan unsur lain yang terlibat dalam proses pendidikan seperti adminstrator, misalnya kepala sekolah dan tata usaha serta masyarakat sekitarnya, pengalaman dan keterampilan guru itu sendiri. Dengan demikian, maka dalam pembaharuan pendidikan, keterlibatan guru mulai dari perencanaan inovasi pendidikan sampai dengan pelaksanaan dan evaluasinya memainkan peran yang
150 Lamhot Basani Sihombing Adalah Dosen Seni Musik - Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
sangat besar bagi keberhasilan suatu inovasi pendidikan. Tanpa melibatkan mereka, maka sangat mungkin mereka akan menolak inovasi yang diperkenalkan kepada mereka. Hal
ini
seperti
diuraikan
sebelumnya,
karena
mereka
menganggap inovasi yang tidak melibatkan mereka adalah bukan miliknya yang harus dilaksanakan, tetapi sebaliknya mereka menganggap akan mengganggu ketenangan dan kelancaran tugas mereka. Oleh karena itu, dalam suatu inovasi pendidikan, gurulah yang utama dan pertama terlibat karena guru mempunyai peran yang luas sebagai pendidik, sebagai orang tua, sebagai teman, sebagai dokter, sebagai motivator dan lain sebagainya (Wright 1987). b. Siswa Sebagai obyek utama dalam pendidikan terutama dalam proses belajar mengajar, siswa memegang peran yang sangat dominan. Dalam proses belajar mengajar, siswa dapat menentukan keberhasilan belajar melalui penggunaan intelegensia, daya motorik, pengalaman, kemauan dan
komitmen yang timbul dalam diri mereka tanpa ada paksaan. Hal
ini bisa terjadi apabila siswa juga dilibatkan dalam proses inovasi pendidikan, walaupun hanya dengan mengenalkan kepada mereka tujuan dari pada perubahan itu mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan, sehingga apa yang mereka lakukan merupakan tanggung jawab bersama yang harus dilaksanakan dengan konsekuen. Peran siswa dalam inovasi pendidikan tidak kalah pentingnya dengan peran unsurunsur lainnya, karena siswa bisa sebagai penerima pelajaran, pemberi materi pelajaran pada sesama temannya, petunjuk, dan bahkan sebagai guru. Oleh karena itu, dalam memperkenalkan inovasi pendidikan sampai dengan penerapannya, siswa perlu diajak atau dilibatkan sehingga mereka
Lamhot Basani Sihombing Adalah Dosen Seni Musik - Sendratasik 151 di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
tidak saja menerima dan melaksanakan inovasi tersebut, tetapi juga mengurangi resistensi seperti yang diuraikan sebelumnya. c. Kurikulum Kurikulum pendidikan, lebih sempit lagi kurikulum sekolah meliputi program pengajaran dan perangkatnya merupakan pedoman dalam pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di sekolah. Oleh karena itu kurikulum sekolah dianggap sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam proses belajar mengajar di sekolah, sehingga dalam pelaksanaan inovasi pendidikan, kurikulum memegang peranan yang sama dengan unsur-unsur lain dalam pendidikan. Tanpa adanya kurikulum dan tanpa mengikuti program-program yang ada di dalamya, maka inovasi pendidikan tidak akan berjalan sesuai dengan tujuan inovasi itu sendiri. Oleh karena itu, dalam pembaharuan pendidikan, perubahan itu hendaknya sesuai dengan perubahan kurikulum atau perubahan kurikulum diikuti dengan pembaharuan pendidikan dan tidak mustahil perubahan dari kedua-duanya akan berjalan searah. d. Fasilitas Fasilitas, termasuk sarana dan prasarana pendidikan, tidak bisa diabaikan dalam proses pendidikan khususnya dalam proses belajar mengajar. Dalam pembaharuan pendidikan, tentu saja fasilitas merupakan hal yang ikut mempengaruhi kelangsungan inovasi yang akan diterapkan. Tanpa adanya fasilitas, maka pelaksanaan inovasi pendidikan akan bisa dipastikan tidak akan berjalan dengan baik. Fasilitas, terutama fasilitas belajar mengajar merupakan hal yang esensial dalam mengadakan perubahan dan pembaruan pendidikan. Oleh karena itu, jika dalam menerapkan suatu inovasi pendidikan, fasilitas perlu diperhatikan. Misalnya ketersediaan gedung sekolah, bangku, meja dan sebagainya.
152 Lamhot Basani Sihombing Adalah Dosen Seni Musik - Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
e. Lingkup Sosial Masyarakat Dalam menerapkan inovasi pendidikan, ada hal yang tidak secara langsung terlibat dalam perubahan tersebut tapi bisa membawa dampak, baik positif maupun negatif, dalam pelaksanaan pembaruan pendidikan. Masyarakat secara tidak langsung atau tidak langsung, sengaja maupun tidak, terlibat dalam pendidikan. Sebab, apa yang ingin dilakukan dalam pendidikan sebenarnya mengubah masyarakat menjadi lebih baik terutama masyarakat di mana peserta didik itu berasal. Tanpa melibatkan masyarakat sekitarnya, inovasi pendidikan tentu akan terganggu, bahkan bisa merusak apabila mereka tidak diberitahu atau dilibatkan. Keterlibatan masyarakat dalam inovasi pendidikan sebaliknya akan membantu inovator dan pelaksana inovasi dalam melaksanakan inovasi pendidikan. C. Penutup Inovasi pendidikan sebagai usaha perubahan pendidikan tidak bisa berdiri sendiri, tapi harus melibatkan semua unsur yang terkait di dalamnya, seperti inovator, penyelenggara inovasi seperti guru dan siswa. Di samping itu, keberhasilan inovasi pendidikan tidak saja ditentukan oleh satu atau dua faktor saja, tapi juga oleh masyarakat serta kelengkapan fasilitas. D. Daftar Pustaka Cece Wijaya, Djaja jajuri, A. Tabrani Rusyam. 1991. Upaya pembaharuan dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya. Deporter, Bobbi. et.al. 2003. Quantum teaching. Bandung: Kaifa. Inovasi pendidikan. Dalam situs http://uharsputra.wordpress.com/ pendidikan/inovasi-pendidikan; http://uharsputra.wordpress.
Lamhot Basani Sihombing Adalah Dosen Seni Musik - Sendratasik 153 di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed
GENERASI KAMPUS, Volume 3, Nomor 1, April 2010
com/pendidikan/inovasi-pendidikan.htm. Desember 2009
dikunjungi
1
Inovation. Dalam situs http://WWW. Shafe.Tripod.com// Inov.htm. Dikunjungi 23 Desember 2008. Mahsunah. 2006. Implementasi pakem (pembelajaran Aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan) pada mata pelajaran PAI di SDN BABAK SARI DUKUN GRESIK. Surabaya: IAIN Sunan Ampel (skripsi). Noor, Idris H.M. Sebuah tinjauan teoritis tentang inovasi pendidikan di Indonesia. Dalam situs http://www.pdk.go.id/balitbang/ publikasi/Jurnal/no_026/sebuah_Tinjauan_teoritis_Idris.htm. dikunjungi 23 Desember 2008. Segena, Unggul. Desentralisasi dan Demokratisasi pendidikan di era otonomi daerah. Dalam situs http://www.Sinarharapan.co.id/ berita/0503/26/opi02.htm. Dikunjungi 25Desember 2008. Soedibyo, moryati BRA. Komitmen bagi desentralisasi pendidikan. Dalam situshttp://WWW.Sinarharapan.co.id/berita/0503/26/opi 02.htm. Dikunjungi 25 Desember 2008. Sudjana, nana dan Ahmad Rivai. 2003. teknologi pengajaran. Bandung: sinar baru Algensido. Silberman, L. Melvin. 2006. Active learning. Bandung: Nusamedia.
154 Lamhot Basani Sihombing Adalah Dosen Seni Musik - Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed
PETUNJUK BAGI PENULIS 1. Artikel belum pernah dimuat dalam media cetak/elektronik lain, diketik 1,5 spasi pada kertas A4 sepanjang 10 – 15 halaman, dalam betuk soft copy (MS Work) dan hasil ceak (print out) sebanyak satu eksemplar. Diserahkan paling lambat satu bulan sebelum bulan penerbitan. 2. Artikel merupakan hasil penelitian atau non penelitian ( gagasan konseptual, kajian teori, aplikasi teori) yang dimuat dalam Majalah/Jurnal Generasi Kampus. 3. Artikel ditulis dalam bentuk esai, disertai judul subbab (heading). Peringkat judul subbab dinyatakan dengan karakter huruf yang berbeda : 1) peringkat 1 (huruf besar semua rata dengan tepi kiri). 2) Peringkat 2 (huruf besar-kecil dan cetak tebal), 3) Peringkat 3 (huruf besar pada awal subbab, dicetak miring dan tebal) 4. Artikel hasil penelitian memuat : a. Judul b. Nama Penulis c. Abstrak, dalam bahasa Ingris/Indonesia (memuat tujuan, metode, dan hasil penelitian : 50 – 80 kata) d. Kata-kata kunci) e. Pendahuluan ( tanpa subjudul, memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, dan rangkuman kajian teoritik) f. Metode penelitian g. Hasil penelitian h. Pembahasan i. Kesimpulan dan saran j. Daftar pustaka 5. Artikel Non Penelitian memuat : a. Judul b. Nama Penulis c. Abstrak, dalam bahasa Ingris/Indonesia ( 50 – 80 kata) d. Kata-kata kunci) e. Pendahuluan ( tanpa subjudul, pengantar topic utama diakhiri dengan rumusan tentang hal-hal pokok yang akan dibahas). f. Sub Judul (sesuai dengan kebutuhan) g. Sub Judul (sesuai dengan kebutuhan) h. Sub Judul ( sesuai dengan kebutuhan) i. Penutup ( atau kesimpulan dan saran) j. Daftar pustaka 6. Daftar pustaka hanya mencantumkan sumber yang dirujuk dalam uraian tulisan saja, diurutkan secara alfabetis, disajikan seperti contoh beikut : Dryden G dan Dr. Vos Jeannette. (2001). Revolusi Cara Belajar. Bandung : Kaifa. Heninic, Molenda. Russel dan Smadino (1996). Intructional Media and Technology for Learning. New Jersey :Prentice Hall Inc
ISSN 1978-869X