i
Volume 1 Nomor 1 April 2011
ISSN : 2085-384X
Jurnal Sosial Ekonomi PEKERJAAN UMUM Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan merupakan publikasi ilmiah yang memuat hasil-hasil penelitian pengembangan, kajian atau sasaran dalam bidang sosial, ekonomi bidang infrastruktur pekerjaan umum. Jurnal ini terbit sejak tahun 2009 dengan frekuensi terbit tiga kali dalam setahun yaitu pada bulan April, Juli dan November. Penanggung Jawab Ir. Lolly Martina Martief, MT Dewan Editor Dr. Ir. R. Pamekas, M.Eng Drs. Suhardi A.M, M.Si Ir. Arief Sabaruddin, CES Ir. Joyce Martha Widjaja, Dipl. HE Drs. FX. Hermawan, K, M.Si Mitra Bestari Prof. Dr. Ir. Suprapto, M.Sc Prof. Dr. Ir. Efendi Pasandaran Ir. Hastu Prabatmadja, MS, Ph.D Dr. Dody Prayogo, MPSt Pemimpin Pengelola Redaksi Pelaksana Ir. Masruri Redaktur Dra. Retno Sinarwati, MT Rahaju Sutjipta, S.Sos Bangkit Aditya W, S.Sos Andi Suriadi, M.Si Aldina Rani Lestari, S.I.P Masmi’an Mahida, S.Kom
Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum diterbitkan oleh Puslitbang Sosial, Ekonomi dan Lingkungan, Badan Litbang, Kementerian Pekerjaan Umum. Alamat Redaksi/Penerbit: Puslitbang Sosial, Ekonomi dan Lingkungan, Badan Litbang, Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Sapta Taruna Raya No. 26 Komplek PU, Pasar Jumat, Lebak Bulus, Jakarta Selatan 12310 Telp. (021) 7511081, 7511844, Fax. (021) 7511843 email:
[email protected]
Volume 1 Nomor 1 April 2011
ISSN : 2085-384X
Jurnal Sosial Ekonomi PEKERJAAN UMUM DAFTAR ISI
Pemetaan Sosial Ekonomi Pengembangan Jaringan Jalan Pulau Madura Ahsan Asjhari Hambatan Sosial Pengelolaan Waduk Rawa Pening Bangkit Aditya Wiryawan
1-11 13-24
Pola dan Dampak Permukiman Kembali Pengungsi Pascakonflik Sosial di Ambon Eddy Sudaryono, Andi Suriadi
25-34
Rekayasa Sosial dalam Pembebasan Lahan Pembangunan Jalan Lintas Selatan di Bantul Elias Wijaya Panggabean
35-44
Peran Masyarakat dalam Perencanaan Pemanfaatan Ruang: Studi Kasus Kawasan Perbatasan Jalan Godean, Yogyakarta. Adji Krisbandono
45-54
Pemetaan Status Pelayanan Infrastruktur Kawasan Permukiman Kota Batam R. Pamekas
PENGANTAR REDAKSI Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum adalah jurnal yang diterbitkan dan didanai oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi dan Lingkungan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pekerjaan Umum, Kementerian Pekerjaan Umum . Jurnal ini merupakan publikasi ilmiah yang memuat hasil-hasil penelitian, pengembangan, kajian atau gagasan dalam bidang sosial, ekonomi dan lingkungan pekerjaan umum. Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum Volume 3 Nomor 1 April 2011 ini merupakan terbitan pertama tahun 2011. Dalam upaya peningkatan mutu jurnal, mulai edisi ini diadakan perubahan susunan pengelola jurnal, baik keanggotaan dewan editor, mitra bestari, maupun penanggung jawab dan redaksi pelaksana. Jurnal edisi April 2011 ini menampilkan 6 (enam) tulisan ilmiah, yaitu Pemetaan Sosial Ekonomi Pengembangan Jaringan Jalan Pulau Madura; Hambatan Sosial Pengelolaan Waduk Rawa Pening; Pola dan Dampak Permukiman Kembali Pengungsi Pasca konflik Sosial di Ambon; Rekayasa Sosial Dalam Pembebasan Lahan Pembangunan Jalan Lintas Selatan di Bantul; dan Peran Masyarakat Dalam Perencanaan Pemanfaatan Ruang: Studi Kasus Kawasan Perbatasan Jalan Godean, Yogyakarta; Pemetaan Status Pelayanan Infrastruktur Kawasan Permukiman Kota Batam. Diharapkan tulisan ilmiah ini dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan pengetahuan di bidang sosial, ekonomi dan lingkungan pekerjaan umum khususnya bagi para peneliti dan masyarakat ilmiah lainnya. Akhir kata, pengelola jurnal mengucapkan terima kasih atas partisipasi penulis dalam mengisi jurnal ini.
Pemetaan Sosial Ekonomi Pengembangan Jaringan Jalan Pulau Madura
ABSTRACT
Ahsan Asjhari Peneliti Balai Litbang Sosial Ekonomi Lingkungan Bidang Jalan dan Jembatan Jl. Gayung Kebonsari No.115 Surabaya Email:
[email protected]
The construction of Suramadu Bridge is expected to encourage the development of Madura Island. Currently, Suramadu Bridge is the main access for people to come and go towards Madura. More and more vehicles flow through the bridge leading to the existing of road network on the island of Madura require improvement of the road network itself. Road construction in the context of development of Madura Island needs to consider aspects of local social. The patriarchal social structure puts public figures such as kiai and his pesantren an important role in resolving potential social conflicts related to the development of the island. Development of road network in the island needs to address the agricultural sector as a potential area to be developed. However, there are plenty of obstacles in the development of road network on Madura Island, which requires a commitment among the relevant stakeholders related to the determination of priorities, both for the construction of national and provincial roads. Keywords: Social mapping, Road network, Suramadu Bridge, Area integration, Madura
ABSTRAK Pembangunan Jembatan Suramadu diharapkan dapat mendorong perkembangan Pulau Madura. Saat ini, jembatan Suramadu menjadi alternatif utama bagi masyarakat untuk pergi dari dan menuju ke Madura. Ramainya arus perlintasan kendaraan melalui jembatan Suramadu kemudian bermuara pada jaringan jalan yang ada di Pulau Madura, sehingga perlu pengembangan. Pengembangan jalan dalam konteks pembangunan di Pulau Madura, perlu memperhatikan aspek sosial setempat. Struktur sosial yang patriarkal menempatkan tokoh masyarakat seperti kiai dan pesantrennya memiliki peran penting dalam penyelesaian potensi konflik sosial terkait pembangunan di pulau tersebut. Pengembangan jaringan jalan di pulau ini juga perlu memperhatikan sektor pertanian sebagai potensi wilayah yang berpotensi untuk dikembangkan. Namun demikian, terdapat berbagai kendala dalam pengembangan jaringan jalan di Pulau Madura, sehingga perlu adanya komitmen antar stakeholder terkait penentuan skala prioritas, baik untuk pengembangan jalan nasional maupun jalan provinsi. Kata Kunci: Pemetaan sosial, Jaringan Jalan, Jembatan Suramadu, Integrasi wilayah, Madura
PENDAHULUAN Pembangunan Jembatan Suramadu, sebagai jembatan yang terpanjang di Indonesia, diharapkan dapat mendorong perkembangan Pulau Madura yang selama ini relatif mengalami ketertinggalan jika dibandingkan dengan daerah lain di Jawa Timur. Jika merujuk standar Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2005 yang dikeluarkan oleh Data Statistik Indonesia, menempatkan kabupatenkabupaten Madura di bawah rata-rata Provinsi Jawa Timur yang mencapai 68,4. Untuk lingkup Madura, Kabupeten Pamekasan memiliki nilai IPM tertinggi (61,8), kemudian diikuti oleh Kabupaten Sumenep (61,2), Kabupaten Bangkalan (60,2) dan Kabupaten
Sampang (55,1). Berdasarkan Sensus Ekonomi tahun 2006 menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin di Madura rata-rata mencapai lebih dari 31% dan termasuk merupakan persentase tertinggi di Jawa Timur.
Keberadaan jembatan Suramadu dinilai penting sebagai pembuka awal pergerakan manusia, barang dan juga jasa. Saat ini, jembatan Suramadu telah menjadi alternatif utama bagi masyarakat untuk pergi dari dan menuju ke Madura. Berdasarkan data dari Jasa Marga (Mei 2010), kendaraan yang melintas jembatan selama satu tahun beroperasinya jembatan Suramadu adalah serumlah 11.079.288
1
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011
unit kendaraan. Mayoritas pelintas jembatan adalah pengguna kendaraan roda dua atau sepeda motor sejumlah 675,348 unit. Sementara untuk kendaraan golongan I (berjenis sedan, jip, pick up, truk kecil dan bus) yang melintas adalah sejumlah 246.167 (25,55%) atau rata-rata 31.081 per hari. Sedangkan untuk kendaraan berat berkategori II hingga IV yang melintas di jembatan ini tercatat 42.344 kendaraan. Arus transportasi yang lebih cepat dan efektif tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan Madura untuk dapat bersaing dengan daerah lainnya. Ramainya arus perlintasan kendaraan melalui jembatan Suramadu kemudian bermuara pada jaringan jalan yang ada di Pulau Madura. Saat ini, Pulau Madura memiliki jalan nasional yang membentang dari Kamal di ujung barat hingga Kalianget di ujung timur, dengan panjang sekitar 170 kilometer. Disamping jaringan jalan nasional, kabupaten-kabupaten di pulau tersebut juga dihubungkan dengan jalan provinsi di sepanjang pantai utara Madura. Pasca keberadaan jembatan Suramadu, Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional V Surabaya, memprogramkan pembangunan jalan nasional yang telah eksisting tersebut dengan lebar 2-7-2. Dengan kondisi jaringan jalan yang memadai, pengembangan Madura dapat terintegrasi menjadi satu kawasan.
Persoalan pembangunan jaringan jalan di Pulau Madura tidak ada bedanya dengan persoalan pembangunan secara umum yang membutuhkan situasi dan kondisi stabil. Salah satu syarat keberhasilan pembangunan adanya kondisi kondusif dan terkendali. Pembangunan akan sulit dilaksanakan, jika kondisi masyarakat dalam situasi krisis dan anomali (ketidakpastian). Pembangunan itu sendiri membutuhkan infrastruktur yang kuat karena aktivitas yang dilaksanakan sangat kompleks dan memiliki pengaruh yang luas terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat. Semakin maju kebutuhan dan harapan masyarakat dalam memperbaiki kehidupannya, maka semakin cepat pula proses perubahan yang herus dilakukan. Pemahaman yang benar tentang situasi dan keadaan suatu masyarakat akan membantu dalam memetakan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi, terkait dengan proses pembangunan yang akan dilaksanakan itu sendiri (www.conflictanddevelopment.org, tanggal akses 19 Mei 2010). Tulisan ini berusaha menyajikan gambaran umum Madura dari aspek sosial ekonomi terkait dengan rencana pengembangan jaringan jalan di Pulau Madura berdasarkan konsep pengaturan ruang wilayah. Dengan demikian keberadaan jembatan Suramadu yang didukung oleh keberadaan
2
jaringan jalan yang memadai dapat mendorong pembangunan di Pulau Madura.
Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan masalah dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :
• Bagaimana kondisi sosial ekonomi terkait pengembangan jaringan jalan di kawasan Pulau Madura? • Bagaimana pengembangan jaringan jalan dalam rangka integrasi kawasan Pulau Madura?
Berdasarkan perumusan masalah diatas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi dan kendala sosial ekonomi terkait pengembangan jaringan jalan di Pulau Madura. Selain itu penelitian ini juga untuk mengetahui upaya pengembangan jaringan jalan dalam rangka integrasi kawasan Pulau Madura berdasarkan kondisi sosial ekonominya tersebut.
TINJAUAN PUSTAKA Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi, wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu dimana komponenkomponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis (www.docstoc.com, tanggal akses 19 Mei 2010). Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta bentuk-bentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Secara konseptual pengertian pengembangan wilayah dapat dirumuskan sebagai rangkaian upaya untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan berbagai sumberdaya, merekatkan dan menyeimbangkan pembangunan nasional dan kesatuan wilayah nasional, meningkatkan keserasian antar kawasan, keterpaduan antar sektor pembangunan melalui proses penataan ruang dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan dalam wadah NKRI. Pembangunan berkelanjutan dapat diwujudkan melalui keterkaitan yang tepat antara alam, aspek sosio-ekonomis dan kultur (budaya). Sustainable development bukanlah suatu harmoni yang tetap dan statis, namun
Pemetaan Sosial Ekonomi Pengembangan Jaringan Jalan Pulau Madura Ahsan Asjhari merupakan suatu proses perubahan dimana, eksploitasi sumber alam, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi, perubahan kelembagaan konsisten dengan kebutuhan pada saat ini dan masa datang. Demikian pula perkembangan penduduk perlu diperhatikan dalam mencapai keberlanjutan pembangunan, dan karenanya jumlah dan perkembangan penduduk haruslah dalam kesimbangan dengan perubahan produksi ekosistem (Tjokrowinoto, 2001). Dengan demikian, pengembangan wilayah ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjamin lingkungan hidup yang berkelanjutan dengan memperhatikan keunggulan komparatif di suatu wilayah, dan mengurangi kesenjangan pembangunan dengan mengurangi kawasan-kawasan yang miskin, kumuh dan tertinggal. Salah satu kegiatannya adalah peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap faktor-faktor produksi, pengolahan dan pemasaran, serta mendorong dan memfasilitasi masyarakat dengan sarananya. Pengembangan wilayah dilakukan menitikberatkan pada aspek ruang atau lokasi untuk mengoptimalisasi sumber daya alam yang ada dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakatnya (Direktur Jenderal Penataan Ruang, 2003).
Gambar 1. Konsep Integrasi Pengembangan Wilayah Berkelanjutan. Sumber : Luthfi Muta’ali, S.Si, MT, Dr. 2009 & WCED report, 1987
Implementasi dimensi pembangunan berkelanjutan mendukung optimalisasi Jembatan Suramadu dalam tulisan ini difokuskan kepada pemetaan aspek sosial dan ekonomi sehubungan rencana pengembangan wilayah dan kawasan, dalam hal ini pengembangan jaringan jalan di Madura. Aspek sosial merupakan dasar untuk mengetahui tentang dampak sosial yang ditimbulkan dalam pembangunan. Aspek sosial lebih menekankan pada uraian fakta yang meliputi peristiwa, subyek
(pelaku), obyek, interaksi, dan konflik sosial, serta dokumen, yang keseluruhannya sangat penting kedudukannya dalam setiap analisis. Analisis sosial sebenarnya adalah suatu usaha untuk memperoleh gambaran lengkap mengenai situasi sosial dan budaya dengan menelaah struktur sosial dalam masyarakat serta potensi konflik yang mungkin timbul sehubungan dengan rencana pembangunan di Madura pasca beroperasinya jembatan Suramadu. Hal yang mendasar pentingnya aspek ekonomi dalam pengembangan wilayah dan/atau kawasan yaitu perlunya mengenali potensi lokasi, potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan, sehingga akan terjadi efisiensi tindakan. Dengan usaha yang minimum akan diperoleh hasil yang optimum yang kesemuanya bertujuan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran bagi seluruh masyarakat, serta terjadinya investasi dan mobilisasi dana. Sementara tujuan untuk mengetahui aspek ekonomi adalah untuk menemukenali potensi dan sektor-sektor yang dapat dipacu, serta permasalahan perekonomian khususnya untuk penilaian kemungkinan aktivitas ekonomi yang dapat dikembangkan pada wilayah dan/atau kawasan tersebut.
Dalam pembangunan jembatan Suramadu hendaknya tidak hanya diarahkan untuk kepentingan negara dalam mengembangkan devisa dan pengembangan industri berbasis teknologi tinggi (hightech industries), namun juga perlu mencari keterkaitan dengan perekonomian rakyat lokal, untuk dapat melibatkan peran serta masyarakat lokal secara optimal. Oleh karena itu perlu dicari polapola keterkaitan antara faktor internal (domestic/ local entity) dan eksternal (national/macro entity) untuk mencegah terjadinya friksi kepentingan diantara kedua faktor tersebut. Agar kedua faktor tersebut dapat saling berkaitan, diperlukan juga faktor pendorong berupa manajemen regional sebagai fasilitasi keterkaitan tersebut. Menurut Luthfi Muta’ali, keterkaitan antar faktor tersebut bisa berjalan apabila memiliki prasyarat dasar, yaitu Kesamaan visi, misi dan tujuan antar stakeholder, dan komitmen politik antar seluruh elemen stakeholder (Muta’ali, 2009).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan pendekatan kualitatif yang menekankan pada makna dan pemahaman dari dalam (verstehen), penalaran, definisi suatu situasi tertentu (dalam konteks tertentu), dan lebih banyak meneliti hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari (www.jonathansarwono.info). Penelitian ini bersifat deskriptif untuk menggambarkan aspek sosial ekonomi di wilayah Madura sehubungan dengan
3
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011
optimalisasi pemanfaatan jembatan Suramadu sesuai kondisi dan potensi yang ada. Pengembangan wilayah serta kultur masyarakat yang spesifik menjadi faktor utama dalam penelitian. Dalam rangka mengetahui kondisi sosial ekonomi terkait pengembangan jaringan jalan di Pulau Madura, pengumpulan data antara lain melalui pengamatan langsung (observasi), wawancara, dan pengumpulan data sekunder.
Data yang dikumpulkan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode analisis data kualitatif. Merujuk pada Bungin (2008), metode analisis data kualitatif memiliki tahapan-tahapan sebagai berikut : 1) melakukan pengamatan terhadap fenomena sosial, melakukan identifikasi, revisirevisi dan pengecekan ulang terhadap data yang ada; 2) melakukan kategorisasi terhadap informasi yang diperoleh; 3) menelusuri dan menjelaskan kategorisasi; 4) menelusuri dan menjelaskan kategorisasi; 5) menjelaskan hubungan-hubungan kategorisasi; 6) menarik kesimpulan-kesimpulan umum; dan 7) membangun atau menjelaskan teori.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kondisi sosial ekonomi Pulau Madura a. Kepemimpinan lokal
Secara umum, struktur masyarakat Madura
bersifat patriarkal dan lembaga utama dari sistem ini adalah keluarga. Ungkapan buppa-babbu, ghuru, rato’ mencerminkan hierarki penghormatan di kalangan masyarakat Madura (Subaharianto, 2004). Ungkapan tersebut bermakna penghormatan yang paling utama harus diberikan kepada terhadap orang tua (bapak-ibu) sebagai suatu kewajiban atau hal etik yang diajarkan oleh agama Islam yang merupakan agama mayoritas penduduk Madura. Penghormatan kemudian ditujukan kepada ghuru’ atau dalam konteks ini merujuk pada peran para kiai. Penghormatan berikutnya baru ditujukan kepada pemerintah, atau rato’. Kiai dan pesantren merupakan struktur sosial yang penting bagi bagi masyarakat Madura. Mahfud (2009) menyatakan bahwa kiai dan pesantren merupakan pilar-pilar kokoh tradisi masyarakat Madura sehingga desain kreatif perubahan di Madura perlu melibatkan mereka. Dengan demikian, berbicara kepemimpinan lokal dan pengaruhnya di Madura sejatinya adalah membedah pondok pesantren dengan institusi kiainya. Sebagaimana diketahui bahwa pondok pesantren adalah wilayah yang khas, dimana komunitas santri dan kiai saling menjalin berkelindan dalam teritorial yang terbatas. Hubungan santri dan kiai yang sangat paternalistik, menjadikan kiai sebagai sosok sentral di pondok yang harus diikuti oleh semua penghuni yang lain. Kondisi ketokohan ulama di Bangkalan memiliki ciri khas tersendiri jika dibanding dengan wilayah
Gambar 2. Peta sebaran pesanten di Pulau Madura
4
Pemetaan Sosial Ekonomi Pengembangan Jaringan Jalan Pulau Madura Ahsan Asjhari lainnya di Madura, yaitu terkait dengan ketokohan KH. Moch. Kholil sebagai guru utama dari Bangkalan yang men¬cetak banyak ulama besar di Jawa Timur. Pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asy’ari merupakan salah seorang tokoh nasional yang pernah menimba ilmu kepada beliau. Besarnya pengaruh ulama tersebut telah membentuk pola sosiokultural ketokohan di Bangkalan. Secara umum, pola ketokohan ulama di Bangkalan terpolarisasi kepada sosok KH. Moch. Kholil yang kemudian diteruskan kepada keturunannya, yang menurut istilah KH. RA Fuad, Trah Syaikhona Kholil. Sementara di kabupaten lainnya, peta ketokohan ulama relatif lebih cair. Di kabupaten Sampang misalnya, hampir di setiap kecamatan memiliki kiai yang berpengaruh. Demikian juga di kabupaten Pamekasan dan Sumenep.
Jaringan kiai di Madura termasuk cukup kuat hingga sampai tingkat desa. Jaringan dibentuk melalui alumni-alumni yang mendirikan lembagalembaga pendidikan dan menjadi tokoh masyarakat untuk wilayah lokal masing-masing mulai tingkat kabupaten, kecamatan dan desa. Komunikasi yang terbangun antara pesantren dengan santri, alumni, dan wali santri terjalin secara intensif yang secara langsung berakibat pada “semakin kuatnya” jaringan yang terbangun. b. Potensi Konflik
Sikap dan perilaku yang akrab dengan kekerasan menjadi bagian dari persepsi melekat pada etnis Madura. Orang Madura cenderung dipersepsikan sebagai kelompok yang akrab dengan kekerasan. Hal ini tidak lepas dari karakteristik sosial budaya masyarakat Madura yang menonjolkan sikap spontan, responsif, terus terang, apa adanya, dan tidak suka basa-basi. Namun demikian, sebenarnya orang Madura justru memiliki perilaku sangat sopan dan menghargai orang lain apabila mereka mendapat perlakuan yang menjunjung rasa keadilan serta tak menyimpang dari etika sopan santun. Jati diri orang Madura terangkum dalam tiga kata kunci : hormat, sopan dan Islam (Adib, 2009). Karakteristik sosial budaya ini selayaknya diperhitungkan, agar tidak menyulut konflik. Perlu ditegaskan bahwa pada dasarnya orang Madura tidak menampik segala perubahan kecuali bila harga diri mereka telah dilecehkan oleh berbagai bentuk ulah termasuk menafikan kepentingan ekonomi mereka tak terkecuali terkait dengan pembangunan Suramadu. Berdasarkan data primer yang dikumpulkan melalui wawancara mendalam, observasi maupun FGD, berikut tabel potensi konflik kewilayahan di Madura pasca beroperasinya jembatan Suramadu seperti yang terlihat pada tabel .1.
c. Potensi ekonomi
Jaringan jalan nasional dalam strategi pembangunan jalan di Kementerian Pekerjaan Umum diarahkan guna mendukung pertumbuhan ekonomi (Majalah Aspal Beton Indonesia, Edisi 14, Juni 2009). Strategi pembangunan jalan nasional sebagai arteri primer di Pulau Madura bertujuan untuk mengembangkan potensi wilayah di setiap kabupaten yang cenderung dominan pada sektor primer, terutama pertanian. Sektor pertanian di Kabupaten Bangkalan didominasi oleh padi sawah, sementara di Sampang dan Pamekasan di dominasi oleh jagung. Kabupaten Sumenep memiliki unggulan tanaman tembakau. Berdasarkan data tahun 2008, sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB di masing-masing kabupaten cukup besar. Berturutturut, sektor ini menyumbang PDRB sebesar 32.96% di Kabupaten Bangkalan, 49.22 di Kabupaten Sampang, 53,85% di Kabupaten Pamekasan dan 51,23% di Kabupaten Sumenep. 2. Pengembangan Jaringan Jalan di Madura
Transportasi wilayah adalah pembentuk struktur tata ruang yang dominan dan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi wilayah secara langsung. Sebagai pembentuk struktur ruang, sistem transportasi wilayah seperti jaringan jalan arteri primer akan membentuk jaringan utama (path) yang menghubungkan simpul-simpul kota. Sebagai komponen pertumbuhan ekonomi wilayah, peran transportasi dapat memperlancar dapat memperlancar kegiatan arus perdagangan barang, orang dan jasa (Djakapermana, 2010). Dalam hal ini, transportasi berperan untuk memajukan aktivitas ekonomi.
Pasca beroperasinya Jembatan Suramadu dengan kemudahan akses transportasinya diharapkan dapat mendukung pengembangan wilayah di masingmasing kabupaten di Madura untuk mendorong keterkaitan antar berbagai sektor di Madura. Dari data sekunder menunjukkan bahwa pasca beroperasinya jembatan Suramadu, sektor usaha yang mengalami kenaikan kontribusi terhadap PDRB di Madura adalah sektor pengangkutan. Pada tahun 2009, sektor tersebut mengalami kenaikan sebesar 0,05% di Kabupaten Bangkalan, 0,59% di Kabupaten Sampang dan 0,14% di Kabupaten Pamekasan. Sumbangan sektor pengangkutan terhadap PDRB di kabupaten-kabupaten tersebut terhitung masih belum signifikan, namun perkembangan sektor pengangkutan ini diharapkan dapat menunjang kenaikan sektor lainnya, baik sektor primer yang selama ini menjadi komoditas unggulan kabupaten di Madura, maupun sektor sekunder maupun tersier lainnya.
5
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011
Tabel 1. Potensi konflik kewilayahan di Pulau Madura No 1
Potensi konflik Tanah
Bangkalan
Sampang
Pamekasan
Sumenep
- Spekulasi tanah di KKJS, Tanjung - Pembebasan lahan di Waduk - Sengketa tanah desa yang berujung - Sengketa Lahan Penggaraman Bumi,
Arosbaya
dan
Klampis
Nipah
carok - Kompensasi sewa lahan antara
terkait pembangunan pelabuh-an - Status tanah waris
pemilik lahan dengan SDN Tebel Timur II
2
Pergeseran nilai sosial budaya dan Pariwisata
- Berkurangnya minat pemuda
- Penolakan pem-bangunan
belajar kitab dan adanya indikasi
kawasan wi-sata Camplong oleh
degradasi moral (Klampis)
ulama
- Penolakan rencana pembangunan wisata Pantai Rongkang - Pengelolaan air ber-khasiat di Makam Aer Mata Ebu oleh perseorangan (Arosbaya) 3
Pertambangan, industri - Dampak pengeboran dan dan perdagangan
- Perseteruan antara petani
perusakan fasilitas industri
tembakau dengan juragan
(Sepulu, Geger, Arosbaya), - Munculnya batik tiruan (Tanjung Bumi) 4
Transportasi
- Konflik AKAP dan AKDP - Lampu lalu lintas di perempatan
- Kelancaran akses Jembatan
- Kelancaran akses Jembatan
- Kelancaran akses Jembatan
Suramadu belum dirasakan oleh
Suramadu belum dirasakan oleh
Suramadu belum dirasakan oleh
Desa Morkepek dan Baengas
penumpang AKDP tujuan
penumpang AKDP tujuan
penumpang AKDP tujuan
menimbulkan kecelakaan
Sampang.
Pamekasan.
- Pasar tumpah di Blega, Tanah Merah dan Galis mengganggu arus
- Pasar ikan di Tanjung, Camplong - Buju’ atau makam dipinggir jalan menghambat arus transportasi
transportasi - Potensi konflik penggusuran makam leluhur (Sunan Cendana)
Sumenep. - Buju’ atau makam dipinggir
berpotensi menimbulkan
jalan berpotensi menimbul-kan
permasalahan terkait rencana
permasalahan terkait dengan
peningkatan jalan nasional
rencana peningkatan jalan nasional
terkait pembangunan jalan lintas selatan Bangkalan – Sampang 5
Nelayan
- Konflik nelayan Kwanyar dengan Pasuruan
6
Koordinasi antar instansi
- Koordinasi dengan pengelola
- Kurangnya koordinasi antara
jembatan suramadu (sharing tol,
Bangkalan–Sampang terkait
penataan PKL, komunikasi
rencana pembangunan jalan
birokrasi)
lintas selatan Madura.
Sumber : data primer
Jaringan jalan di Pulau Madura memiliki berbagai kelas dan tingkatan. Tulisan ini berusaha memberi tinjauan berupa kondisi sosial ekonomi terhadap rencana pengembangan jaringan jalan yang diusulkan melalui RTRW maupun konsep RTRW oleh masing-masing pemerintah kabupaten di Madura. Lingkup pembahasan tulisan ini adalah, jaringan jalan nasional dan jaringan jalan provinsi di Pulau Madura. a. Jalan nasional di Pulau Madura
Menurut Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, jalan nasional merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi, jalan strategis nasional, serta jalan tol. Jalan nasional yang eksisting di Pulau Madura saat
6
ini memiliki panjang 170 kilometer dan terbentang dari Kecamatan Kamal di ujung barat Kabupaten Bangkalan, melintasi Kabupaten Sampang dan Pamekasan hingga berujung di Kecamatan Kalianget di timur Kabupaten Sumenep. Jalan akses Suramadu sepanjang 11,5 km turut melengkapi jaringan jalan nasional di Pulau Madura.
Jaringan jalan nasional dalam strategi pembangunan jalan di Kementerian Pekerjaan Umum diarahkan guna mendukung pertumbuhan ekonomi (Aspal Beton Indonesia, Edisi 14, Juni 2009). Strategi pembangunan jalan nasional sebagai arteri primer di Pulau Madura bertujuan untuk mengembangkan potensi wilayah di setiap kabupaten. Jaringan jalan nasional ini juga menghubungkan antara pusat pemerintahan kabupaten-kabupaten di Pulau
Pemetaan Sosial Ekonomi Pengembangan Jaringan Jalan Pulau Madura Ahsan Asjhari
Gambar 3. Potensi wilayah di Madura (Sumber : Muta’ali, 2009) Madura. Dalam konteks pengembangan wilayah, pusat pemerintahan tersebut merupakan termasuk dalam sistem perkotaan yang berfungsi sebagai pusat pelayanan di tingkat kabupaten dan juga sebagai pusat pengembangan sistem perwilayahan. Jalan nasional ini juga menjadi jalur utama yang yang dilewati trayek angkutan AKDP yang menghubungkan kabupaten-kabupaten di Madura dengan daerah lain di Pulau Jawa. Kondisi jalan nasional eksisting pasca beroperasinya Jembatan Suramadu saat ini, sangat riskan apabila dilewati oleh kendaraan besar sejenis truk tronton berbobot 10 ton lebih, mengingat lebar jalan yang ada adalah 4,5-5 m. Kendaraan tersebut memakan badan jalan lebih lebar dibanding kendaraan lain dan ditengarai menjadi salah satu penyebab rusaknya jalan nasional di Pulau Madura. Untuk itu, pembangunan jalan nasional sangat diperlukan untuk mengintegrasikan Madura menjadi sebuah kawasan. Informasi dari sektor terkait menyebutkan bahwa alokasi dana pengembangan jalan nasional ini adalah sebesar 75 milyar rupiah.
Pengembangan jaringan jalan nasional juga diusulkan melalui peningkatan status dari jalan provinsi menjadi jalan nasional. Usulan tersebut terlihat dalam konsep RTRW di kabupaten Sampang dan Pamekasan yang mencantumkan rencana peningkatan jalan lintas utara Madura dari jalan provinsi menjadi jalan nasional (arteri primer). Peningkatan kualitas jalan lintas utara besar artinya
bagi pengembangan wilayah di kawasan pesisir utara Madura karena akan memperlancar arus transportasi di wilayah tersebut.
Khusus untuk kabupaten Bangkalan, menurut rencana juga akan dikembangkan ruas jalan nasional untuk mendukung kawasan strategis Pelabuhan Tanjung Bulu Pandan yang akan di bangun di Kecamatan Klampis. Pembangunan jalan tersebut antara lain meliputi ruas jalan interchange Burneh – Arosbaya – Pelabuhan Peti Kemas Tanjung Bulu Pandan (Kecamatan Klampis). seperti terlihat pada tabel 2. Kendala dan solusi sosial ekonomi dalam rangka peningkatan jalan nasional yang eksisting saat ini dapat dilihat pada tabel 3. b. Jalan provinsi di Pulau Madura
Selain jalan nasional, infrastruktur pendukung keterkaitan kawasan adalah jalan provinsi. Jalan provinsi adalah jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota, atau antar ibukota kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi. UU Nomor 38 Tahun 2004 menyebutkan bahwa, jalan kolektor primer adalah jalan yang dikembangkan untuk melayani dan menghubungkan kota-kota antar pusat kegiatan wilayah dan pusat kegiatan lokal dan atau kawasan-kawasan berskala kecil dan atau pelabuhan pengumpan regional dan pelabuhan pengumpan lokal. Peningkatan kualitas
7
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011
Tabel 2. Rencana Pengembangan Jaringan Jalan di Pulau Madura No 1
Kabupaten Bangkalan
2
Sampang
3.
Pamekasan
4.
Sumenep
Rencana Pengembangan Jaringan Jalan Nasional • Surabaya – Bangkalan – Sampang (melalui Jembatan dan jalan akses Suramadu), yaitu ruas jalan yang melalui Surabaya – Jembatan Suramadu – Labang – Tragah – Burneh – Tanah Merah –Galis – Blega – Sampang dan terhubung langsung dari Kota Bangkalan. • Jaringan jalan Interchange Burneh – Arosbaya – Pelabuhan Peti Kemas Tanjung Bulu Pandan (Kecamatan Klampis). Jalan Nasional • Jaringan jalan Bangkalan – Jrengik – Torjun – Sampang – Camplong – Pamekasan • Jaringan jalan lintas utara : Bangkalan – Banyuates – Ketapang – Sokobanah – Pamekasan • Jaringan jalan Sampang – Tlanakan – Pamekasan – Larangan – Sumenep • Rencana pengembangan lintas utara dari jalan provinsi menjadi jalan nasional, yaitu ruas Bangkalan – Ketapang – Sotabar – Pasongsongan – Sumenep – Pantai Lumbang. • Jaringan jalan Pamekasan – Pragaan – Bluto – Saronggi – Kalianget
Sumber : dirangkum dari Prospektus Bisnis Kabupaten Bangkalan, Penyusunan Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pamekasan, tahun 2010 – 2030, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sampang – Provinsi Jawa Timur 2010 -2029, Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumenep 2009 – 2029.
Tabel 3. Potensi dan Kendala rencana Pengembangan Jaringan Jalan Nasional di Madura 1
No
Jaringan Jalan Jalan Nasional (Eksisting)
2
Jalan Lintas Utara Madura
No 1
8
Jaringan Jalan Jalan Nasional (Eksisting)
Kendala dan Solusi Kendala : • Arus transportasi di jalan nasional akan terganggu akibat kepadatan lalu lintas saat melintasi pusat kota (Sampang& Pamekasan). • Terjadi kepadatan arus lalu lintas akibat pasar tumpah di Blega, Tanah Merah dan Galis serta pasar ikan di Tanjung, Camplong. Hal ini berpotensi menjadi kendala terkait rencana pengembangan jalan nasional yang ditujukan untuk menambah kelancaran lalu lintas. • Selain itu, keberadaan Buju’ atau permakaman umum yang berdekatan dengan badan jalan nasional antara jalur Sampang – Pamekasan – Sumenep berpotensi menimbulkan permasalahan terkait rencana peningkatan jalan nasional. • Potensi konflik : perkerasan bahu jalan/damija dengan timbunan tanah diambil oleh penduduk • Terdapat perubahan pola konsumsi sebagai dampak beroperasinya jembatan Suramadu yang terhubung dengan jaringan jalan nasional di Madura. Berdasarkan survei terbatas di Bangkalan, sebagian besar masyarakat (70%) melakukan belanja di luar daerah, terutama ke Surabaya. Sisanya melakukan belanja di dalam Bangkalan (30%). Interprestasi : alasan mereka belanja di luar kota (Surabaya) karena di daerahnya tidak ada atau kurang lengkap memenuhi keinginannya. Solusi : • Pengembangan jalan lingkar di KotaSampang & Pamekasan untukmenggantikan jalan nasional di tengah kota. • Perlu ada koordinasi dengan pemerintah setempat untuk menyelesaikan masalah pasar tumpah • Peningkatan jalan nasional diupayakan untuk menghindari penggusuran makam. Pendekatan lain : menyertakan keterlibatan tokoh masyarakat, formal maupun non formal yang memiliki pengaruh di masyarakat setempat. • Perkerasan bahu jalan/damija, sebaiknya diperkeras dengan sirtu atau timbunan bata • Perlu ada pengembangan ekonomi berbasis potensi lokal masyarakat Kendala : • Kondisi jalan sempit dan bergelombang • Trayekangkutan masih terbatas, sehingga perlu dikembangkan untuk menunjang kelancaran arus transportasi. • Potensi konflik : perkerasan bahu jalan/damija dengan timbunan tanah diambil oleh penduduk. Solusi : • Perlu ada prioritas peningkatan kualitas jalan • menambah trayekangkutan umumyang menghubungkan wilayah pantai utara lintas kabupaten • Perkerasan bahu jalan/damija, sebaiknya diperkeras dengan sirtu atau timbunan bata Kendala dan Solusi Kendala : • Arus transportasi di jalan nasional akan terganggu akibat kepadatan lalu lintas saat melintasi pusat kota (Sampang& Pamekasan). • Terjadi kepadatan arus lalu lintas akibat pasar tumpah di Blega, Tanah Merah dan Galis serta pasar ikan di Tanjung, Camplong. Hal ini berpotensi menjadi kendala terkait rencana pengembangan jalan nasional yang ditujukan untuk menambah kelancaran lalu lintas. • Selain itu, keberadaan Buju’ atau permakaman umum yang berdekatan dengan badan jalan nasional antara jalur Sampang – Pamekasan – Sumenep berpotensi menimbulkan permasalahan terkait rencana peningkatan jalan nasional. • Potensi konflik : perkerasan bahu jalan/damija dengan timbunan tanah diambil oleh penduduk • Terdapat perubahan pola konsumsi sebagai dampak beroperasinya jembatan Suramadu yang terhubung dengan jaringan jalan nasional di Madura. Berdasarkan survei terbatas di Bangkalan, sebagian besar masyarakat (70%) melakukan belanja di luar daerah, terutama ke Surabaya. Sisanya melakukan belanja di dalam Bangkalan (30%). Interprestasi : alasan mereka belanja di luar kota (Surabaya) karena di daerahnya tidak ada atau kurang lengkap memenuhi keinginannya. Solusi : • Pengembangan jalan lingkar di KotaSampang & Pamekasan untukmenggantikan jalan nasional di tengah kota. • Perlu ada koordinasi dengan pemerintah setempat untuk menyelesaikan masalah pasar tumpah • Peningkatan jalan nasional diupayakan untuk menghindari penggusuran makam. Pendekatan lain : menyertakan keterlibatan tokoh masyarakat, formal maupun non formal yang memiliki pengaruh di masyarakat setempat. • Perkerasan bahu jalan/damija, sebaiknya diperkeras dengan sirtu atau timbunan bata • Perlu ada pengembangan ekonomi berbasis potensi lokal masyarakat
Pemetaan Sosial Ekonomi Pengembangan Jaringan Jalan Pulau Madura Ahsan Asjhari jalan provinsi di Madura adalah dengan melakukan pelebaran jalan sehingga memenuhi persyaratan lebar sebagai jalan kolektor primer.
Peningkatan kualitas jalan provinsi dilakukan di ruas jalan lintas selatan Madura. Peningkatan jalan di ruas ini berpotensi untuk mengembangkan wilayah pesisir selatan Madura. Jalan ini menghubungkan pesisir selatan Bangkalan (Labang, Kwanyar, Modung) dan Kabupaten Sampang (Sreseh, Pengarengan, Torjun, Camplong). Peningkatan kualitas jalan ini akan berpotensi membuka dan mengembangkan wilayah pesisir selatan Madura. Untuk mendukung rencana peningkatan jalan lintas
selatan ini, Kabupaten Sampang berencana untuk membangun Jembatan Srepang sebagai penghubung ruas jalan lintas selatan antara Bangkalan dengan Sampang. Pengembangan jalan provinsi untuk memenuhi kualitas sebagai jalan provinsi juga dilakukan di ruas jalan lintas utara, yaitu di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep. Ruas jalan ini akan terhubung dengan jalan lintas utara di Kabupaten Sampang dan Pamekasan yang diusulkan untuk dikembangkan menjadi jalan nasional.
Tabel 5, berikut adalah kendala dan solusi yang dihadapi dalam rangka pengembangan jalan provinsi di Pulau Madura.
Tabel 4. Rencana Pengembangan Jaringan Jalan di Pulau Madura No 1
Kabupaten Bangkalan
2
Sampang
3. 4.
Pamekasan Sumenep
• • • • • • • • • • •
Rencana Pengembangan Jaringan Jalan Provinsi Sebagai Kolektor Jalan Lintas Selatan Kabupaten Bangkalan Jalan Lintas utara Kabupaten Bangkalan Jaringan jalan Modung s.d. Tanjung bumi yang menghubungkan pesisir selatan dengan pesisir utara Pengembangan Jaringan jalan Bangkalan – Burneh atau Bangkalan – Socah – Morkepek – Burneh sebagai jalan kolektor primer. Jaringan kolektor 3 : Sampang – Kedungdung – Robatal – Ketapang Jaringan kolektor 3 : Sampang – Omben – Karang penang – Sokobanah Jaringan kolektor 3 : Jrengik – Tambelangan – Banyuates Jaringan kolektor 3 : Sampang – Omben – Pamekasan Pembangunan Jembatan Sreseh – Pengarengan dan jalan akses menuju jembatan tersebut Jaringan jalan Pamekasan – Sotabar – Sampang – Omben – Proppo – Pamekasan Jaringan jalan Dungkek dan Pantai Lombang – Batang-batang –Gapura – Sumenep – Manding – Dasuk – Ambunten – Pasongsongan menuju ke arah barat (Kecamatan Sotabar – Kabupaten Pamekasan).
Sumber : dirangkum dari Prospektus Bisnis Kabupaten Bangkalan, Penyusunan Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pamekasan, tahun 2010 – 2030, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sampang – Provinsi Jawa Timur 2010 -2029, Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumenep 2009 – 2029.
Tabel 5. Potensi dan Kendala rencana Pengembangan No 1
Jaringan Jalan Jalan Lintas Selatan
2
Jalan Lintas Utara
Kendala dan Solusi Kendala : • Potensi konflik berupa kekhawatiran bahwa peningkatan jalan lintas selatan akan menggusur makam leluhur masyarakat Kwanyar, yaitu Sunan Cendana. • Lemahnya koordinasi dan komitmen antar kabupaten terkait, sehingga rencana pengembangan jalan lintas selatan belum terlaksana. Solusi : • Peningkatan jalan nasional diupayakan untuk menghindari penggusuran makam. Pendekatan lain : menyertakan keterlibatan tokoh masyarakat, formal maupun non formal yang memiliki pengaruh di masyarakat setempat. • Perlu fasilitasi koordinasi antar kabupaten terkait untuk membahas prioritas pengembangan jalan lintas selatan Kendala : • Perlu koordinasi antar kabupaten untuk membahasKondisi jalan sempit dan bergelombang • Trayek angkutan masih terbatas, sehingga perlu dikembangkan untuk menunjang kelancaran arus transportasi. • Potensi konflik : perkerasan bahu jalan/damija dengan timbunan tanah diambil oleh penduduk. • Lemahnya koordinasi dan komitmen antar kabupaten dalam rangka peningkatan jalan lintas utara. Solusi : • Perlu ada prioritas peningkatan kualitas jalan • menambah trayek angkutan umum yang menghubungkan wilayah pantai utara lintas kabupaten • Perkerasan bahu jalan/damija, sebaiknya diperkeras dengan sirtu atau timbunan bata • Perlu adanya koordinasi intensif untuk membahas prioritas peningkatan kualitas jalan lintas utara.
9
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011
3. Pengembangan jaringan jalan dan integrasi kawasan di Pulau Madura Pengembangan jaringan jalan di Pulau Madura dalam rangkaian transportasi wilayah penting dilakukan sebagai pembentuk struktur tata ruang. Sebagai pembentuk ruang, jaringan jalan nasional arteri primer maupun kolektor primer akan membentuk jaringan utama yang menghubungkan simpul-simpul kota atau wilayah.
Dalam pengembangan jaringan jalan di Madura, perlu memperhatikan manajemen regional, dalam hal ini dalam lingkup provinsi Jawa Timur. Pola pengembangan wilayah di Pulau Madura pasca beroperasinya jembatan Suramadu, dapat dilihat dari konsep RTRW Provinsi Jawa Timur. Dalam rencana tata ruang Provinsi Jawa Timur mengarahkan kepada pembagian Pulau Madura ke dalam dua wilayah pengembangan, yaitu Kabupaten Bangkalan yang termasuk ke dalam Wilayah Surabaya Metropolitan Area (SMA) yang tergabung ke dalam Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) GKS Plus dan Kabupaten lainnya di Madura tergabung ke dalam wilayah Madura dan Kepulauan. Berikut adalah rencana pengembangan wilayah Madura: a. Rencana pengembangan Kabupaten Bangkalan dalam SWP GKS Plus
Sebagaimana dijelaskan diatas, kabupaten Bangkalan termasuk ke dalam wilayah SMA yang meliputi: Kota Surabaya, Perkotaan Sidoarjo, Perkotaan Gresik dan Perkotaan Bangkalan. Wlayah SMA ini tidak hanya berperan sebagai pusat wilayah GERBANGKERTOSUSILA PLUS namun juga untuk wilayah Jawa Timur, sehingga baik fasilitas maupun sarana – prasarana yang menyangkut kegiatan ekonomi regional harus tersedia di wilayah ini.
Dalam konsep ini, prioritas pengembangan Bangkalan diarahkan menjadi daerah perkotaan, dimana sebagian wilayah Bangkalan mempunyai kecenderungan kegiatannya berkembang ke arah sektor perkotaan. Kecenderungan perkembangan ini diperkuat juga dengan adanya Jembatan Suramadu, sehingga pada wilayah ini perlu dibangun pusat pertumbuhan baru (pusat kota baru) untuk mendorong pertumbuhan di wilayah sekitarnya. Jenis kegiatan di kota baru yang harus disediakan antara lain meliputi perdagangan, perniagaan, serta perumahan dengan fasilitas rekreasinya. Sedangkan pada wilayah Bangkalan lainnya berfungsi sebagai daerah penyangga, kegiatan ikutan perlu dikembangkan seperti industri pengolahan, pertanian dan industri pertanian serta perumahan.
10
b. Rencana pengembangan Madura dan Kepulauan
Wilayah pengembangan Madura dan Kepulauan terdiri dari tiga kabupaten, yaitu Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Sesuai dengan kondisi dan potensi sumberdaya pengembangan wilayah Madura dan Kepulauan diprioritaskan pada sektor pertanian, perikanan, industri dan penggaraman. Pengembangan sektor pertanian terutama adalah pada kegiatan tanaman pangan, peternakan dan perkebunan di wilayah Kabupaten Sumenep, wilayah Kabupaten Pamekasan dan Kabupaten Sampang. Kegiatan pariwisata terutama wisata pantai di Kabupaten Sumenep dan dan Sampang. Kegiatan industri terutama agroindustri dikembangkan pada Kabupaten Pamekasan dan Sampang. Kegiatan perikanan dan penggaraman diarahkan pada Kabupaten Sampang dan Pamekasan. Perkotaan Sumenep diarahkan bagi pengembangan kegiatan transportasi seperti Pelabuhan Kargo dan Bandara Lokal. Untuk mendukung kegiatan pembangunan pada WP Madura dan Kepulauan ini, maka dikembangkan fasilitas umum dan jaringan infrastruktur, baik pada kota-kota kabupaten maupun kota-kota kecil lainnya. Sedangkan untuk wilayah kepulauan perlu dilakukan peningkatan sistem jaringan transportasi laut dan penerbangan/landasan udara lokal dan khusus serta pengembangan infrastruktur dimana kegiatan yang diarahkan adalah kegiatan perikanan, perdagangan dan minyak bumi. Pasca beroperasinya Jembatan Suramadu dengan kemudahan akses transportasinya tersebut diharapkan dapat mendukung pengembangan masing-masing wilayah pengembangan tersebut secara umum dan mendorong keterkaitan antar berbagai sektor di Madura.
Pasca beroperasinya jembatan Suramadu, muncul wacana integrasi willayah Madura menjadi satu kawasan strategis. Kawasan tersebut merupakan pengembangan dari konsep Gerbang Kertasusila Plus (GKS Plus) yang ada saat ini menjadi Germa Kertasusila (Gresik, Madura, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan) (Balai Litbang Sosial Ekonomi Jalan dan Jembatan. 2009). Wacana tersebut akan dapat terwujud apabila Pulau Madura memiliki jaringan jalan yang memadai. Untuk itu, pengembangan jaringan jalan di pulau ini mutlak dilakukan sehingga dapat menimbulkan keterkaitan yang lebih erat antar kabupaten di Madura. Hubungan keterkaitan antar kabupaten di Madura dalam rangka pengembangan jaringan jalan dapat dilihat melalui rencana penataan wilayah yang tertuang dalam RTRW dan konsep RTRW masing-
Pemetaan Sosial Ekonomi Pengembangan Jaringan Jalan Pulau Madura Ahsan Asjhari masing kabupaten. Terdapat beberapa poin yang menjadi perhatian dalam rencana penataan wilayah tersebut. Yang pertama adalah masih adanya belum keselarasan antar kabupaten dalam menentukan prioritas pengembangan jalan, yaitu dalam rencana pengembangan jalan lintas utara Madura. Poin yang kedua adalah rencana peningkatan jalan lintas selatan Madura. Pemerintah Kabupaten Sampang berencana membangun Jembatan Sreseh yang akan mengaitkan antara ruas jalan lintas selatan kabupaten ini dengan ruas jalan di Bangkalan. Yang menjadi kendala adalah belum adanya skala prioritas yang sama antar kabupaten dalam peningkatan kualitas jalan lintas selatan ini. Berdasarkan konsep Muta’ali mengenai integrasi wilayah, saat ini belum adanya komitmen antar stakeholder yang terkait dengan rencana pengembangan jaringan jalan di Madura. Untuk itu, koordinasi antar pemerintah kabupaten perlu diintesifkan sehingga pengembangan jaringan jalan tersebut dapat mengintegrasikan Pulau Madura menjadi satu kawasan. KESIMPULAN
Kesimpulan potensi dan kendala dalam bidang sosial ekonomi di Pulau Madura adalah sebagai berikut : a. Pilar kemasyarakatan yang berpengaruh terhadap perubahan sosial di pulau Madura adalah kiai dan pesantren. Kedua pilar ini memiliki peran penting dalam penyelesaian potensi konflik sosial terkait pembangunan di pulau tersebut, yaitu potensi konflik tanah, pergeseran nilai sosial budaya dan pariwisata, transportasi, nelayan dan koordinasi antar instansi.
b. Pengembangan jaringan jalan di Pulau Madura perlu memperhatikan sektor pertanian sebagai potensi ekonomi unggulan di Pulau Madura sebagai dasar pengembangan wilayah di masingmasing kabupaten di Pulau Madura. Upaya pengembangan jaringan jalan dalam rangka integrasi kawasan Pulau Madura akan lebih ekfektif apabila terdapat adanya komitmen antar stakeholder yang terkait penentuan skala prioritas, baik untuk jalan nasional maupun jalan provinsi di Pulau Madura
DAFTAR PUSTAKA
Adib, Mohammad, Drs., H., MA. 2009. Etnografi Madura. Pustaka Intelektual. Surabaya
Balai Litbang Sosial Ekonomi Jalan dan Jembatan. 2009. Laporan Akhir Penelitian Sosial Ekonomi Optimalisasi Manfaat Jembatan Suramadu TA 2009. Surabaya.
Bappeda Bangkalan. 2010. Prospektus Bisnis Kabupaten Bangkalan. Bappeda Pamekasan. 2010. Penyusunan Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pamekasan, tahun 2010 – 2030. Bappeda Sampang. 2010. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sampang – Provinsi Jawa Timur 2010 -2029. Bappeda Sumenep. 2010. Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumenep 2009 – 2029. Bungin, M. Burhan. Prof., Dr., H., S., Sos., M.Si. 2008. Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Kencana. Jakarta.. Djakapremana, Deni Ruchyat, 2010. Pengembangan Wilayah, Melalui Pendekatan Kesisteman. IPB Press. Bogor.
Direktur Jenderal Penataan Ruang, 2003. Makalah Pengembangan Wilayah dan Penataan Ruang di Indonesia : Tinjauan Teoritis dan Praktis, disampaikan dalam Studium General STTNAS Yogyakarta tanggal 1 September 2003.
Ditjen Tata Ruang Kementerian PU. 2010. Konsep Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Timur. Mahfud, Moh. MD. 2009. Menyongsong Percepatan Pembangunan Madura, Disampaikan dalam Seminar Nasional “Bersama Membangun Madura” yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Bangkalan di Bangkalan, tanggal 31 Oktober 2009. Muta’ali, Luthfi. S.Si, MT. 2009. Dr. Pendekatan Integrasi Ruang Sosial Ekonomi dalam Pengembangan Pulau Madura Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu, disampaikan dalam Workshop Penelitian Sosial Ekonomi Optimalisasi Pemanfaatan Jembatan Suramadu di Surabaya, tanggal 19 Oktober 2009.
Subaharianto, Andang, dkk. 2004. Tantangan Industrialisasi Madura (Membentur Kultur, Menjunjung Leluhur). Banyumedia Publishing. Malang.
Tjokrowinoto, Moelyarto. 2001. Pembangunan Dilema dan Tantangan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Majalah Aspal Beton Indonesia, Edisi 14, Juni 2009
www.conflictanddevelopment.org. Tanggal akses 19 Mei 2010 www.docstoc.com. Tanggal akses 19 Mei 2010
11
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011
www.jonathansarwono.info. Tanggal akses 19 Mei 2010
Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton, 2004. Kabupaten Buton dalam Angka tahun 2004. Buton. Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton, 2005. Kabupaten Buton dalam Angka tahun 2005. Buton. www.tempointeraktif.com. 2006. Aspal Buton Ditargetkan Mulai Dipakai Tahun Depan. Artikel.
12
HAMBATAN SOSIAL PENGELOLAAN WADUK RAWAPENING
Abstract:
Bangkit Aditya Wiryawan Puslitbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan, Balitbang-Kementerian PU Jl. Sapta Taruna Raya No. 26 Komplek PU Pasar Jumat 12310 Email:
[email protected]
The managemet of Rawapening Reservoir in Central Java District is one of many challenges currently faced by the government. The most prominent problem is the lack of society’s role. The problems of Rawapening Reservoir management (Operation and Maintenance) are partly caused by social constraints.. However, as a main stakeholder among others, the society should hold a significant role to maintain the functionality of the reservoir. This paper tries to found out the kinds of social constraints occured in Rawapening Reservoir management. The argumentations build in this paper are based on developmental theory and Durkheim’s view concerning the development of organic solidarity and collective consciousness in modern society. As method of research, the author used a quasi-qualitative or also known as descriptive qualitative approach. The main finding in this articles is the lack of modern norms in Rawapening community, the lack of capacity development in the society, and weak local institutions in Rawapening reservoir. It can be concluded from this paper that the cause of social constraints is the absent of developmental values in the Rawapening community, such values is supposed to emerge as soon as the post-construction stage begin. Keyword: Rawapening Reservoir, Social Constrain, Reservoir Management, Water Resource, Organic Solidarity
Abstrak: Permasalahan pengelolaan Waduk Rawapening di Kabupaten Semarang adalah salah satu tantangan yang saat ini sedang dihadapi oleh pemerintah. Salah satu permasalahan yang mengemuka adalah lemahnya peran masyarakat dalam pengelolaan waduk. Lemahnya peran masyarakat tersebut di antaranya disebabkan oleh hambatan-hambatan sosial dalam upaya pengelolaan (Operasi dan Pemeliharaan) Waduk Rawapening. Padahal, sebagai salah satu pemangku kepentingan dalam pengelolaan waduk Rawapening, masyarakat harus memainkan peran guna menjamin waduk berfungsi secara optimal. Tulisan ini mencoba menemukenali jenis-jenis hambatan sosial yang ada dalam pengelolaan Rawapening. Argumentasi yang dibangun didasarkan pada teori-teori pembangunan dan pandangan Durkheim mengenai perkembangan solidaritas organik dan kesadaran kolektif pada masyarakat modern. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian quasi-kualitatif atau dikenal juga sebagai kualitatif deskriptif. Temuan utama dalam artikel ini adalah kurangnya nilai-nilai yang mendukung proses modernisasi, kurangnya pengembangan kapasitas masyarakat, serta lemahnya kelembagaan masyarakat di waduk Rawapening. Berdasarkan tulisan ini dapat disimpulkan bahwa hambatan-hambatan tersebut muncul akibat absennya nilai-nilai pembangunan di tengah-tengah masyarakat Rawapening yang seharusnya muncul dengan segera pada masa pasca pembangunan waduk. Kata Kunci: Waduk Rawapening, Hambatan Sosial, Pengelolaan Waduk, Sumber Daya Air, Solidaritas Organik
PENDAHULUAN Tujuan umum pembangunan sebuah negara adalah untuk menciptakan kesejahteraan bagi warga negaranya. Untuk itu negara melakukan pengelolaan terhadap sumber-sumber daya yang dimilikinya sehingga dapat mendukung tujuan tersebut. Secara konstitusional, hal ini diatur pada pasal 33 UUD 1945. Untuk mendukung tujuan
tersebut dalam bidang Sumber Daya Air (SDA), pemerintah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan seperti UU No.7 Tahun 2004 mengenai SDA, serta melaksanakan pembangunan fisik berupa bangunan infrastruktur SDA. Pembangunan waduk merupakan contoh bagaimana negara memanfaatkan sumber daya berupa air yang dimilikinya untuk mendorong
13
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011
peningkatan kesejahteraan masyarakat. UU No. 7 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa masyarakat berhak untuk memperoleh manfaat dari pembangunan waduk yang dibangun oleh pemerintah.
pada masyarakat yang tinggal di sekitar waduk dan berinteraksi sehari-hari dengan waduk. Perhatian terhadap hal ini penting karena berdasarkan UU No.7 Tahun 2004, masyarakat merupakan salah satu stakeholder utama waduk, selain pemerintah dan dunia usaha.
Namun demikian perlu dicermati bahwa keberhasilan pembangunan sarana dan prasarana waduk serta pelaksanaan pengelolaannya tidak serta merta akan mencapai tujuan pembangunan seperti yang telah disebut di atas. Banyak hal yang menentukan tercapainya sasaran pembangunan. Peningkatan kesejahteraan, meskipun menjadi patokan umum keberhasilan pembangunan, tidak selalu menunjukkan telah hilangnya kemiskinan. Pada bagian tertentu, seperti kawasan pinggiran waduk, masyarakat tidak serta merta dapat memanfaatkan keberadaan infrasrtuktur tersebut, yang memang dibangun untuk dimanfaatkan masyarakat di daerah hilir. Berdasarkan uraian di atas, aspek sosial pengelolaan waduk akan menjadi perhatian utama dalam tulisan ini. Fokus penelitian adalah
Waduk Rawapening memiliki elevasi tampungan awal setinggi 462,5 meter (luas genangan 2.770 Ha), dengan tinggi bendungan 100 meter, panjang bendungan adalah 19.000 meter, dan kapasitas limpahan sebanyak 14,9 meter kubik per detik. Kapasitas air maksimum yang mampu ditampung Waduk Rawapening adalah sebesar 65 juta m3, sementara kapasitas air minimum sebesar 25 juta m3.
Pengelolaan waduk adalah tahapan yang harus dilakukan pasca pembangunan waduk sebagai bagian dari lingkup penyelenggaraan infrastruktur. Dalam lingkup SIDLACOM yang diacu dalam Permen PU No. 603/PRT/M/2005 tentang Pedoman Umum Sistem Pengendalian Manajemen Penyelenggaraan Pembangunan Prasarana dan Sarana bidang Pekerjaan Umum, diterbitkan tanggal 28 Desember 2005, tahapan pengelolaan masuk ke dalam tahapan Operasi dan Pemeliharaan yang ruang lingkup kegiatannya adalah perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi.
Tulisan ini disusun menggunakan data penelitian yang mengambil lokasi studi di Waduk Rawapening, Kab. Semarang, Jawa Tengah. Waduk Rawapening adalah salah satu waduk di Jawa Tengah yang pengelolaannya berada di bawah BBWS Pemali – Juana. Waduk ini mulai dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1938. luas waduk ini melingkupi empat kecamatan yaitu Banyubiru, Tuntang, Bawen, dan Ambarawa, semuanya berada dalam wilayah administratif Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah.
Waduk dibangun dengan tujuan awal untuk mengairi lahan sawah seluas 28.227 hektar di tiga kabupaten (Semarang, Demak, dan Grobogan) di Daerah Irigasi Tuntang Jelok, Glapan Barat, Glapan Timur, dan Suplesi di Pelayaran Buaran. Dengan luas daerah irigasi sebesar itu, waduk ini merupakan
Gambar 1. Waduk Rawapening dari sisi Desa Asinan
14
Hambatan Sosial Pengelolaan Waduk Rawapening Bangkit Aditya Wiryawan salah satu penopang utama ketahanan pangan di Jawa Tengah.
Tujuan awal lainnya dari pembangunan waduk adalah untuk memenuhi kebutuhan listrik di Jawa Tengah, terutama pada awal 1940-an hingga tahun 1980-an. Terdapat dua pembangkit listrik di waduk ini, yaitu PLTA Jelok dengan kapasitas 15 MW (dibangun tahun 1938) dan PLTA Timo dengan kapasitas 10,5 MW (dibangun tahun1963). Jumlah energi listrik yang dihasilkan sangat tergantung pada debit air yang keluar di kedua PLTA tersebut.
Sebagai sebuah daerah tangkapan air, waduk ini meliputi 9 Sub DAS (Rengas, Panjang, Torong, Galeh, Legi, Sraten, Parat, Ringis, dan Kedung Ringin). Adapun ke arah hilir dari waduk ini adalah Sungai Tuntang,, sebelum kemudian berlanjut mengaliri daerah-daerah irigasi yang disebut di atas.
Total laju erosi dari 9 Sub DAS yang masuk ke tampungan waduk adalah sebesar 1.685,29 ton per tahun, sedangkan volume sedimentasi dari 9 Sub DAS tersebut adalah sebesar 1.189,84 ton per tahun. faktor utama penyumbang tingginya tingkat sedimentasi selain erosi adalah pertumbuhan gulma air yang tinggi. Hama alami waduk ini sangat banyak dan bertumbuh cepat sehingga menutupi bagian yang besar dari luas waduk. Setelah mati, tanaman-tanaman tersebut akan melapuk di dalam air dan membentuk lapisan gambut di bawah air. Sedimentasi tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar waduk sebagai pupuk kompos dengan rata-rata produksi 11.500 M3 / tahun. Kompos tersebut tidak dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat Rawapening, melainkan untuk dijual ke daerah-daerah lain yang membutuhkan pupuk dengan karakteristik yang cocok dengan kompos Rawapening. Selain pupuk kompos, budidaya eceng gondok juga menjadi salah satu hasil waduk yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Eceng gondok dikeringkan atau diproses menjadi tali untuk kemudian dijual. Di area waduk terdapat lahan sawah pasang surut seluas 1.031 hektar. Lahan ini terletak di dalam wilayah green belt area waduk,. Rata-rata area sawah dapat ditanami sebanyak dua kali dalam setahun, dan sekitar 200 Ha hanya dapat ditanami satu kali dalam setahun karena posisinya yang berada lebih ke tengah. Pemanfaatan green belt waduk untuk pertanian sawah dilakukan sejak akhir 1940-an. Selain untuk irigasi, pertanian sawah dan pengambilan kompos dan eceng gondok, waduk ini juga dimanfaatkan untuk perikanan, dengan jumlah nelayan lebih dari 1000 orang, dan dengan produksi
ikan sebanyak 700 ton per tahun pada awal tahun 2000.
Fungsi lain Waduk Rawapening lainnya, yang juga penting untuk disebutkan, adalah sebagai pengendali banjir pada daerah hilir di Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Demak. Tanpa keberadaan waduk, banjir akan menggenangi lahan sawah, permukiman, dan infrastruktur di kedua daerah tersebut. Namun fungsi waduk yang terakhir saat ini kurang optimum akibat berbagai permasalahan yang terjadi. Berdasarkan laporan mengenai penanganan Waduk Rawapening yang dilakukan oleh BBWS Pemali-Juana pada tahun 2009, dapat disebutkan di sini bahwa permasalahan utama adalah erosi, sedimentasi, banjir, dan penggunaan lahan yang tidak sesuai dan melampaui kapasitas.
Masalah erosi dan sedimentasi sudah disebutkan secara cukup detail sebelumnya, sedangkan permasalahan banjir adalah permasalahan yang baru mengemuka beberapa tahun terakhir. Pada gambar 2 di halaman berikut dapat dilihat bagaimana volume air yang masuk ke waduk melebihi kapasitas tampungannya dan menyebabkan jalan raya di sekitar Desa Banyubiru tergenang. Munculnya permasalahan ini disebabkan semakin kecilnya kapasitas tampungan waduk, yang salah satunya disebabkan oleh tingkat sedimentasi yang tinggi. Permasalahan dalam penggunaan lahan sudah terjadi sejak masa penyelesaian proyek pembangunan waduk. Masalah yang paling mengemuka adalah pemanfaatan lingkungan waduk untuk berbagai kegiatan masyarakat tanpa ada koordinasi dan pengawasan yang baik. pada perkembangannya bahkan masalah ini mencakup pula pada pengembangan permukiman yang mengambil wilayah waduk, seperti kasus pembangunan kompleks perumahan Star Regency tahun 2010.
Berbagai permasalahan tersebut terakumulasi hingga saat ini dan telah banyak menjadi kajian. Salah satu kajian mengenai pengelolaan Rawapening dilakukan oleh Sutarwi (2008) dalam Disertasinya berjudul Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air Danau dan Peran Kelembagaan Informal (Menggugat Peran Negara atas hilangnya nilai Ngepen dan Wening dalam pengelolaan Danau Rawapening di Jawa Tengah). Dalam disertasi tersebut terlihat bahwa upaya pelibatan masyarakat oleh pemerintah dalam pengelolaan waduk selama ini tidak efektif karena adanya gap pada tataran kebijakan yang dikeluarkan dengan realitas sosial masyarakat di sekitar waduk. Ketika kebijakan tersebut diterapkan, maka implikasinya terjadi pada hilangnya nilai Ngepen dan Wening.
15
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011
Gambar 1. Banjir akibat luapan air waduk di Desa Banyubiru Sebagai naskah akademis, tulisan mengenai aspek kemasyarakatan pada pengelolaan waduk Rawapening sangat jarang dilakukan. Penelitianpenelitian yang ada umumnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akademis universitas. Beberapa penelitian terbaru mengenai hal tersebut dilakukan oleh Agnes Yuliasri (2005) Intan Kusuma Jayanti (2009), dan Arif R. Hakim (2010) yang semuanya menyusun penelitian mengenai potensi pariwisata Danau Rawapening. Di waduk ini, interaksi antara masyarakat dengan waduk sangat tinggi. Kegiatan seharihari sebagian besar masyarakat berhubungan erat dengan waduk. Pada waduk-waduk lain, terutama waduk yang dibangun pada tahun 80-an hingga sekarang, pengelolaan waduk dilakukan secara terpadu. Biasanya ini terlihat dari adanya pemusatan otoritas pengelolaan waduk, dan adanya masterplan pengelolaan yang bersifat multiyears dan melibatkan multistakeholders. Selain itu, pengelola juga melarang pembangunan permukiman di lingkungan waduk. Pada Waduk Rawapening, upaya pembatasan permukiman sulit dilakukan karena masyarakat sudah ada di sekitar waduk sebelum berdirinya negara. Pada waktu waduk tersebut dibangun tidak ada program relokasi permukiman, melainkan hanya pembebasan sebagian lahan yang terkena dampak pembangunan waduk. Hal ini yang kemudian menjadi masalah sampai saat ini karena masalah ganti rugi pembebasan lahan belum selesai dilakukan, dan masih terdapat permukiman
16
penduduk di sekitar waduk.
Tujuan tulisan ini adalah untuk memperoleh deskripsi mengenai bentuk-bentuk hambatan sosial yang muncul dalam pengelolaan waduk Rawapening. Signifikansi pada tulisan ini lebih pada pembuktian teoritis atas suatu fenomena yang muncul di suatu wilayah. Namun tidak tertutup kemungkinan pula hasil penelitian ini digunakan sebagai input bagi pengambil kebijakan dan pengelola waduk dalam merancang program pengelolaan Waduk Rawapening. Dengan memperhatikan karakteristik Waduk Rawapening yang sangat erat dengan unsur sosialmasyarakat, maka permasalahan utama yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah menemu kenali bentuk-bentuk hambatan sosial yang ada dalam pengelolaan Waduk Rawapening.
Jawaban atas pertanyaan tersebut ditelusuri dengan terlebih dahulu memperhatikan bagaimana dampak waduk terhadap masyarakat, dan sebaliknya, bagaimana bentuk interaksi antara masyarakat dengan waduk yang terjadi. Hal tersebut akan menjadi landasan dari analisis yang akan dibangun oleh penulis.
KAJIAN PUSTAKA
Dalam menjelaskan mengenai hambatan sosial dalam pengelolaan waduk, penulis mengelaborasi teori-teori serta kajian mengenai pembangunan dan dampak yang ditimbulkannya. Kemudian penulis mencoba mengaitkan konsep pembangunan
Hambatan Sosial Pengelolaan Waduk Rawapening Bangkit Aditya Wiryawan tersebut dengan konsep masyarakat modern oleh Emile Durkheim. Rangkaian proposisi yang terbangun akan menjadi dasar untuk menganalisa bentuk-bentuk hambatan sosial yang muncul dalam pengelolaan waduk. Adapun definisi hambatan sosial yang dimaksud oleh penulis dalam tulisan ini adalah faktor-faktor sosial yang menyebabkan terganggunya atau tidak tercapainya suatu tujuan pembangunan. Teori Pembangunan
Penggagas teori modernisasi mencoba menjelaskan bahwa kemajuan akan dapat dicapai oleh negara-negara terbelakang dengan menggunakan cara dan metode yang sama dengan proses pembangunan yang dilaksanakan di negara maju. Lebih jauh, negara-negara terbelakang tersebut akan mengambil dan mencampurkan unsur-unsur yang baik (fusion effect) untuk mencapai kemajuan (M. Tjokrowinoto, 2007). Ini menjadi paradigma utama pembangunan di negara-negara berkembang pada masa-masa awal pasca Perang Dunia II.
Teori Modernisasi berasal dari dua teori dasar yaitu teori pendekatan psikologis dan teori pendekatan budaya. Teori pendekatan psikologis menekankan bahwa pembangunan ekonomi yang gagal pada negara berkembang disebabkan oleh mentalitas masyarakatnya. Menurut teori ini, keberhasilan pambangunan mensyaratkan adanya perubahan sikap mental penduduk negara berkembang. Sedangkan teori pendekatan kebudayaan lebih melihat kegagalan pembangunan pada negara berkembang disebabkan oleh ketidaksiapan tata nilai yang ada dalam masyarakatnya. Secara garis besar teori modernisasi merupakan perpaduan antara sosiologi, psikologi dan ekonomi. Teori dasar yang menjadi landasan teori modernisasi adalah ide Durkheim dan Weber mengenai masyarakat modern. Teori modernisasi lahir dari pengalaman AS dalam mendorong keberhasilan pembangunan di negara-negara Eropa pasca perang dunia II. Ketika itu AS memiliki skema bantuan pembangunan yang dikenal sebagai Marshall Plan yang ditujukan bagi negara-negara eropa yang menderita akibat perang.
Kegagalan pembangunan, dilihat dari kacamata teori modernisasi di atas, dapat dikatakan lebih disebabkan oleh faktor internal, yaitu ketidaksiapan mental dan tata nilai masyarakat penerima pembangunan. Sementara faktor eksternal cenderung diabaikan oleh teori modernisasi. Untuk mengaplikasikan konsep mentalitas tersebut agar sesuai dengan rumusan permasalahan yang ingin diteliti, maka perlu dibangun suatu indikator atas konsep tersebut. Mentalitas sebagai
hambatan pembangunan yang dimaksud dalam teori modernisasi tersebut menurut penulis lebih dekat dengan adanya ketidaksiapan secara kapasitas masyarakat yang terkena pembangunan. Indikatornya antara lain kurangnya keahlian (skill) masyarakat sehingga tidak mampu mengikuti perkembangan kebutuhan keahlian modern yang masuk seiring pelaksanaan pembangunan.
Suatu penjelasan teoritis mengenai faktor eksternal sebagai penyebab kegagalan pembangunan dilakukan oleh Andre Gunder Frank, yang menggagas teori dependensi. Teori ini menyoroti mengenai kegagalan pelaksanaan pembangunan dengan pola modernisasi yang terjadi di Amerika Latin pada dekade 60-an dan 70-an. Teori dependensi menjelaskan bahwa upaya pembangunan yang mengikuti pola pembangunan negara-negara barat (maju) justru menyebabkan semakin tertinggalnya suatu negara, karena adanya tatanan nilai-nilai sosial yang berbeda antara masyarakat di kedua negara tersebut. Karena itu, terjadi cultural gap dan akhirnya social gap, ketika modernisasi diterapkan di negara berkembang. Inti dari teori ini, sebagaimana ingin disampaikan oleh Frank, adalah bahwa negara berkembang akan selalu tergantung pada contoh-contoh sukses pembangunan di negara-negara barat, tanpa adanya upaya orisinil dari dalam mereka sendiri, dan itu menjadi permasalahan utama yang menyebabkan keterbelakangan di negara berkembang.
Dua teori di atas sama-sama berbicara mengenai adanya perbedaan tatanan nilai antara negara berkembang dan belum berkembang, namun pada pendekatan modernisasi perbedaan tatanan nilai itu merupakan faktor internal masyarakat di negara berkembang, sementara teori ketergantungan melihat bahwa perbedaan nilai tersebut disebabkan secara eksternal akibat duplikasi program pembangunan negara maju yang diterapkan pada negara berkembang. Social gap sebagai hambatan sosial pembangunan diakui pula oleh Munandar Sulaeman (2009) yang juga melihat bahwa permasalahan tersebut bermuara
pada tingkah laku masyarakat yang bertentangan dengan satu atau beberapa norma yang sudah disepakati. Namun dalam konteks modernisasi, mungkin perlu ditambahkan bahwa pertentangan terhadap suatu norma dapat disebabkan karena tidak adanya pemahaman terhadap suatu norma baru yang muncul pasca pelaksanaan pembangunan. Ketiadaan pemahaman ini bisa disebabkan karena tidak adanya norma-norma baru, atau tidak adanya internalisasi norma-norma kepada masyarakat penerima pembangunan.
17
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011
Berkaitan dengan cultural gap pembangunan, Poerwanto (2008) melihat bahwa permasalahan yang muncul dalam pembangunan tidak serta merta dipersepsikan sebagai masalah oleh masyarakat. Ini menunjukkan bahwa ambang batas lingkungan fisik tidak sama dengan ambang batas lingkungan sosial, dan ini sangat berhubungan dengan tatanan nilai budaya yang dianut masyarakat tersebut.
Kritik lain terhadap pendekatan modernisasi adalah bahwa paradigma tersebut membawa konsekuensi negatif. Tjokrowinoto (2007) menyebut ini sebagai delivered development. Konsekuensi utama adalah dorongan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang setinggitingginya seringkali mengakibatkan terabaikannya upaya pembinaan kelembagaan dan kapasitas. Konsep Organic Solidarity dan Kesadaran Kolektif Hambatan-hambatan sosial pembangunan yang diuraikan sebelumnya dapat dikombinasikan dengan konsepsi Durkheim mengenai masyarakat modern. Menurut durkheim pada masyarakat modern terjadi perubahan solidaritas dari yang sebelumnya bersifat mekanik menjadi organik. Solidaritas mekanik menurut Durkheim adalah bentuk solidaritas yang terdapat pada masyarakat tradisional, yang muncul karena belum adanya pembagian kerja (division of labour) dalam masyarakat. Masyarakat tradisional menurut Durkheim masih bersifat homogen dalam kegiatan sehari-hari dan nilai-nilai yang dianut. Pada satu sisi, ini mempermudah pembentukan kesadaran kolektif dan pengaplikasiannya dalam masyarakat. Namun pada sisi lain, solidaritas tipe mekanik ini tidak dapat lagi dipertahankan ketika masyarakat sudah menjadi lebih modern. Masyarakat modern adalah masyarakat yang sangat kompleks, dengan tatanan nilai yang relatif lebih bebas dibanding masyarakat tradisional, serta masyarakat modern juga relatif lebih heterogen akibat tingginya mobilitas dan mulai terbukanya stratifikasi sosial. Pada masyarakat dengan solidaritas organik, ikatan tradisional dapat dianggap mulai pudar, sehingga nilai-nilai yang sebelumnya berlaku sudah tidak mampu lagi mengikat masyarakat. Tetapi masyarakat organik menurut Durkheim tetap membutuhkan suatu bentuk solidaritas, sebagai ganti nilai tradisional yang hilang. Solidaritas inilah yang kemudian menyatukan masyarakat modern. Pada solidaritas organik terdapat pola kelembagaan yang terintegrasi dengan kuat, serta terciptanya suatu kesadaran kolektif baru yang menjadi acuan masyarakat dalam bertindak (Sunarto, 2005). Kegagalan dalam
18
upaya modernisasi tentu saja akan menyebabkan gagal terwujudnya integrasi kelembagaan, tidak munculnya solidaritas organik, serta tidak adanya kesadaran kolektif. Padahal unsur-unsur tersebut menjadi prasyarat masyarakat modern, terutama berkaitan dengan munculnya norma baru yang harus diintegrasikan ke dalam tatanan nilai masyarakat. Ini menjadi proposisi lain yang perlu ditekankan dalam melihat hambatan sosial dalam pelaksanaan pembangunan.
Berdasarkan Peraturan Menteri mengenai “Pedoman Pelaksanaan Rekayasa Sosial Pembangunan Bendungan”, terdapat 8 permasalahan sosial yang sering muncul pada tahap pasca konstruktsi waduk. Dari permasalahanpermasalahan tersebut, yang terkait dengan proposisi-proposisi teori yang dibangun di atas antara lain: a) Kurangnya kesadaran masyarakat akan arti penting bendungan.
b) Ketidaksiapan masyarakat akibat adanya perubahan-perubahan dalam lingkungan fisik masyarakat tersebut. c) Capacity gap akibat kurangnya skill dan modal untuk memanfaatkan peluang usaha baru.
Teori-teori dan konsep mengenai pembangunan yang diuraikan di atas menjelaskan berbagai hambatan pembangunan dari segi sosial. Tentu saja ini hanyalah satu aspek dari berbagai hambatan yang ada, namun teori-teori tersebut sejalan dengan permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini. Alur berfikir yang disusun oleh peneliti dalam mencari jawaban atas permasalahan ini dapat dilihat pada bagan 1 di bawah. Skema di atas dibangun berdasarkan asumsiasumsi sebagai berikut: 1. Pembangunan waduk dilaksanakan dalam kerangka modernisasi. 2. Permasalahan utama terletak pada upaya pengelolaan waduk, karena itu masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat yang tinggal di sekitar waduk 3. Sistem sosial dan tatanan sosial masyarakat sekitar waduk tergolong pada tahap berkembang. 4. Masyarakat di sekitar waduk tidak merasakan secara langsung dampak pembangunan
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif-deskriptif, atau disebut juga quasi-kualitatif. Alasan dipilihnya metode kualitatifdeskriptif berkaitan dengan tujuan penelitian yang
Hambatan Sosial Pengelolaan Waduk Rawapening Bangkit Aditya Wiryawan PEMBANGUNAN WADUK SEBAGAI UPAYA MODERNISASI
dengan dua orang pengurus Paguyuban Tani dan Nelayan Rawapening, wawancara singkat dengan Kepala Desa Asinan, serta Kepala Desa Banyubiru.
KONDISI PENGELOLAAN W ADUK S AAT INI
HAMBATAN SOSIAL PENGELOLAAN WADUK: 1.Capa city gap 2. Ketiadaan / perbedaan tatan an nilai 3. Lemahn ya Kelemb agaan 4. Ketiadaan Kesadaran Kolektif
2. Observasi langsung
KEGAGALAN TERCAPAINYA TUJUAN PEMBANGUNAN EVALUASI KEBIJAKAN bagan 1. Alur Alur Berfikir Penelitian Bagan berpikir penelitian
mencoba mengenali bentuk-bentuk hambatan sosial dalam pengelolaan waduk. Unit penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah individu, kelompok, masyarakat, dan kelembagaan atau pranata sosial.
Pemilihan lokasi studi di Waduk Rawapening didasarkan pada karakteristik waduk yang sangat berbeda dengan waduk lain pada umumnya, terutama ditinjau dari aspek sosial. Interaksi masyarakat dengan waduk sangat tinggi dan ini menjadikan masyarakat bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya pengelolaan waduk. Waduk Rawapening juga dipilih karena kondisinya yang sudah tergolong kritis dan perlu penanganan segera. Metode pengumpulan data yang dilaksanakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Metode wawancara mendalam, yaitu proses tanya jawab untuk memperoleh suatu jawaban atas suatu permasalahan, dilakukan dengan bertatap muka secara langsung dengan informan tanpa menggunakan pedoman wawancara, dan dilaksanakan secara terbuka (informan tahu adanya pelaksanaan penelitian). Proses wawancara dilakukan selama cukup lama demi tujuan memperoleh data rinci dan akurat mengenai permasalahan penelitian.
Orang-orang yang menjadi narasumber utama dalam penelitian ini meliputi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pengelolaan dan Konservasi Sumber Daya Air Ir. Budi Priyanto, Sp.1, Ketua Paguyuban Tani dan Nelayan Rawapening Bapak Kasiyan serta wakilnya bernama Bowo. Selain itu peneliti juga melakukan wawancara singkat, akibat keterbatasan waktu dan dana,
Observasi dilakukan terutama terhadap kondisi lingkungan fisik dan lingkungan sosial ekonomi budaya, mekanisme dan pola interaksi antar stakeholders. Lokasi penelitian yang dipilih adalah Desa Asinan serta Desa Banyubiru, kedua Desa tersebut terletak sangat dekat dengan waduk, dan intensitas masyarakat dengan waduk adalah yang paling tinggi. Pengamatan lingkungan fisik dilakukan dengan mengamati kondisi tampungan air Waduk Rawapening yang meliputi luas genangan, tingkat sedimentasi, pertumbuhan gulma air, kondisi bangunan bendung dan spillway, hingga kondisi vegetatif di area green belt waduk. Sementara itu, pengamatan lingkungan sosial, ekonomi dan budaya diarahkan pada pola interaksi sosial masyarakat di sekitar waduk, sistem sosial-budaya yang spesifik yang terbentuk akibat interaksi masyarakat dengan waduk (bila ada), serta upaya pemanfaatan waduk secara ekonomi oleh masyarakat Rawapening.
3. Pengumpulan data-data sekunder. Pengumpulan data dilaksanakan dengan melakukan studi literatur dari berbagai sumber seperti media cetak, media elektronik, perundang-undangan, dan lain sebagainya. Sumber-sumber sekunder ini akan dimanfaatkan untuk memperdalam pemahaman mengenai permasalahan sosial dalam pengelolaan waduk. Selain itu, kajian kepustakaan ini juga diperlukan dalam mendukung analisis hasil penelitian.
Teknik penelusuran data lain yang dapat menjadi pendukung penelitian adalah analisis sejarah. Penelusuran sejarah dilakukan untuk memperoleh pengetahuan mengenai hal-hal yang sudah lampau dan data-data yang tidak dapat diperoleh melalui observasi langsung. Analisis sejarah yang digunakan dalam tulisan ini diambil dari cerita-cerita rakyat yang menjadi legenda dan mitos. Dari cerita-cerita tersebut, penulis mencoba menangkap makna sosialnya terhadap kondisi masyarakat Rawapening saat ini.
Dalam penelitian ini, data dianalisis secara deduktif, atau dengan gaya penalaran umum-khusus. Analisis deduktif dilakukan dengan terlebih dahulu membangun teori dan menggunakannya sebagai alat analisis.
19
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011
Jonathan Sarwono (2006) menjelaskan bahwa dalam melaksanakan analisis data kualitatif terdapat lima langkah yang harus dilaksanakan, yaitu (1) organisasi data, (2) membuat kategori, menentukan tema dan pola, (3) menguji hipotesis menggunakan data yang ada, (4) mencari eksplanasi alternatif data, dan (5) penulisan laporan. Data-data yang digunakan dalam tulisan ini, terutama yang berasal dari sumber primer, diambil pada tahun 2010. Namun demikian, untuk data-data lain yang bersifat sekunder penulis menggunakan data dengan tahun berbeda, seringkali tahunnya lebih tua, disebabkan keterbatasan kemampuan pengumpulan data penulis, serta keterbatasan ketersediaan data paling mutakhir. HASIL DAN PEMBAHASAN Waduk Rawapening adalah realitas fisik seharihari yang dijumpai masyarakat yang tinggal di sekitar waduk tersebut. Oleh karena itu, interaksi antara masyarakat dengan waduk akan tidak terhindarkan. Gambaran Umum
Masyarakat yang tinggal di sekitar Waduk Rawapening umumnya tergolong dalam strata ekonomi menengah dan menengah bawah, dengan kelompok menengah bawah cenderung lebih dominan. Hal ini terlihat misalnya dari bangunan-bangunan rumah yang semi permanen menggunakan genteng dari tanah liat, sebagian
masih memasak menggunakan minyak tanah / kayu bakar, serta sumber air masih diambil secara manual dari dalam sumur. Indikator lain terlihat dari moda transportasi yang digunakan yaitu angkutan umum dan untuk beberapa Rumah Tangga (RT) sudah memiliki sepeda motor, umumnya satu buah per RT. Namun demikian, di antara masyarakat tersebut sudah ada juga yang tergolong dalam kelas menengah, terlihat dari bentuk rumah yang sudah permanen dan bergaya modern serta kepemilikan mobil. Masih banyak terdapat indikator-indikator lain yang menggambarkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat sekitar Rawapening, namun deskripsi di atas sudah cukup untuk digunakan sebagai acuan dalam tulisan ini.
Mata pencaharian utama masyarakat di sekitar Rawapening utamanya adalah sebagai petani sawah, nelayan tambak dan tangkap, petani eceng gondok, pengambilan gambut (pupuk), usaha perdagangan dan jasa (biasanya terkait wisata danau), serta dapat dikategorikan secara tersendiri adalah pekerjaan sebagai pekerja perantau di luar Kabupaten Semarang. Di luar itu, masih terdapat pengangguran terselubung (disguised unemployment) yang sulit terdeteksi karena pada umumnya mereka menggunakan status pekerjaan berdasarkan uraian di atas. Pada rumah tangga masyarakat Rawapening, berlaku norma adat Jawa. Konsep ini mendrong tiap-tiap rumah tangga memiliki kegiatan produksi sendiri-sendiri. Budaya ini terutama diarahkan pada ibu rumah tangga, yang porsi aktivitas di sawah
Gambar 3. Proses pengeringan eceng gondok sebelum diolah menjadi kerajinan tangan
20
Hambatan Sosial Pengelolaan Waduk Rawapening Bangkit Aditya Wiryawan relatif lebih sedikit. Di Rawapening hal tersebut terlihat dari upaya pengelolaan eceng gondok dan pembuatan kerupuk singkong. Di tingkat rumah tangga, berdasarkan informasi dari narasumber, eceng gondok dikeringkan hingga siap dijual kering dengan harga jual Rp. 2.500-2.700 per kg, sementara kerupuk singkong dijual mentah kepada pengepul dengan harga Rp. 2000 per kantong (tergantung ukuran). Berdasarkan pengambatan, hampir setiap rumah tangga di Desa Asianan, Banyubiru, serta desa-desa lain melakukan dua kegiatan di atas sebagai mata pencaharian tambahan. Struktur sosial masyarakat Rawapening tergolong sebagai struktur sosial desa. Menurut pendekatan Geertz struktur ini berasosiasi dengan kegiatan pertanian, pengrajin, dan lain sebagainya yang berkecenderungan tradisional. Namun dalam masyarakat Rawapening sulit untuk menggolongkan struktur masyarakat ini sebagai sepenuhnya tradisional. Program-program pembangunan sudah banyak dilakukan di desa-desa sekitar waduk, misalnya pembangunan jalan, bangunan sekolah dan sarana pendidikan lain, sarana kesehatan, olahraga, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut sangat mempengaruhi kondisi sosial masyarakat misalnya perubahan pola mobilisasi, standar kesejahteraan, serta mulai adanya peningkatan pendidikan.
Tingkat pendidikan secara umum pada masyarakat Rawapening dapat digolongkan kedalam tiga kategori. Pada kategori pertama adalah warga masyarakat usia tua yang rata-rata kurang berpendidikan. Batasannya adalah mereka yang berumur di atas 60 tahun. Berdasarkan hasil wawancara dengan 2 orang masyarakat pada usia tersebut, didapat informasi bahwa hanya satu di antara mereka yang mengenyam pendidikan menengah pertama, sedangkan satunya hanya pendidikan dasar. Mereka mengakui bahwa rendahnya tingkat pendidikan tersebut disebabkan tidak adanya tuntutan dari orang tua mereka. Jenis pekerjaan yang umum terdapat di daerah tersebut pada waktu itu menjadi latar belakang. Pada kategori kedua adalah masyarakat yang berada pada usia 30 hingga 50 tahun. Mereka adalah generasi yang telah menerima program pembangunan yang lebih intensif, termasuk di bidang pendidikan. Banyak masyarakat di kategori ini sudah mengenyam pendidikan hingga menengah atas, dan sebagian yang tergolong pada usia lebih muda sudah ada yang menempuh pendidikan tinggi. Beberapa orang dari golongan ini yang bekerja di birokrasi lokal, sebagai pekerja migran, serta serta usaha di sektor privat. Kategori terakhir adalah mereka yang berusia di bawah 30 tahun. Pada umumnya pendidikan hingga
level menengah atas, dan bahkan pendidikan tinggi sudah terjangkau oleh masyarakat ini. Selain itu, harapan orang tua terhadap mereka sudah tinggi. Harapan tersebut sangat berkaitan dengan keinginan untuk mencapai taraf kesejahteraan yang lebih tinggi.
Terdapat bermacam kelembagaan masyarakat yang ada di Desa Asinan dan Desa Banyubiru mulai dari Koperasi Simpan Pinjam, Paguyuban Tani dan Nelayan, hingga lembaga PKK (Posyandu), Kepengurusan Masjid, serta Karang Taruna. Namun lembaga yang memiliki fungsi erat dengan pengelolaan waduk hanya Paguyuban Tani dan Nelayan bernama Sedyo Rukun.
Kondisi lingkungan di sekitar Waduk Rawapening berdasarkan pengamatan penulis, terlihat kurang tertata dengan baik, indikatornya adalah jalan yang di beberapa tempat sangat sempit sehingga kendaraan roda empat sulit melewati, banyak jalan buntu (beberapa tertutup oleh bangunan), serta ada beberapa bangunan (rumah dan masjid) yang menjorok ke jalan. Limbah cair rumah tangga mengalir langsung ke dalam waduk, sementara sampah meskipun ada tempat pembuangan sementara, namun masih banyak juga terlihat di tepi-tepi waduk. Selain itu tempat pembuangan sampah juga ada yang terletak di tepi waduk, yaitu yang berada di Desa Asinan, dekat Jalan Raya Tuntang. Ada kemungkinan sampah yang ada di tengah-tengah waduk berasal dari sungai yang mengalir masuk, namun sampah tersebut juga disebabkan oleh keberadaan warungwarung dan rumah makan yang berada di tepian waduk di daerah Banyubiru. Bentuk-bentuk Hambatan Sosial
Dari segi kapasitas masyarakat, penulis menemukan beberapa fakta lapangan yang menarik. Kapasitas masyarakat terutama ditentukan oleh tingkat pendidikan dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena institusi pendidikanlah yang berperan dominan dalam mengembangkan keahlian seseorang. Institusi pendidikan tersebut dapat berupa formal maupun informal.
Masyarakat yang melakukan pekerjaan di sekitar waduk pada umumnya termasuk dalam kategori pertama dan kedua, yaitu mereka yang berusia di atas 30 tahun. Masyarakat yang termasuk dalam kategori ketiga, yang secara relatif umumnya telah banyak yang mencapai pendidikan menengah atas dan tinggi, lebih banyak bekerja sebagai pegawai. Pada masyarakat golongan ini yang hanya mengenyam pendidikan rendah umumnya mereka menjadi tenaga kerja kasar atau pedagang. Masyarakat di golongan ketiga ini relatif jarang
21
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011
melakukan aktivitas yang berhubungan secara langsung dengan waduk.
Hingga saat ini, sudah ada upaya-upaya peningkatan kapasitas masyarakat yang berhubungan dengan waduk, misalnya pembinaan petani eceng gondok dan pembinaan petambak ikan. Namun dapat dilihat hasilnya tidak signifikan terhadap pengelolaan waduk. Kesalahan pada upaya peningkatan kapasitas terebut lebih banyak terletak pada pembuat kebijakan. Kebijakan yang dihasilkan seringkali tidak tepat sasaran dan hasilnya tidak memuaskan. Pembinaan eceng gondok misalnya, tidak disertai pelatihan teknik-teknik pengambilan eceng gondok yang dapat membantu pemeliharaan waduk. Akibat pengambilan yang tidak efektif, pertumbuhan gulma tersebut tidak berkurang secara signifikan.
Secara normatif, ada keharusan pembuat kebijakan untuk mengembangkan kapasitas masyarakat. Pendekatan community based development sudah banyak menjadi persyaratan bagi pengelolaan suatu sumber daya (misalnya UU No. 7 Tahun 2004, PP No. 37 Tahun 2010, Pedoman Umum Pengelolaan Waduk dan Surat Bupati Semarang no. 660.1/01991). Namun dalam pengelolaan Waduk Rawapening, upaya pemberdayaan masyarakat masih sangat kurang. Bahkan pada tahun 2010 ini, berdasarkan wawancara dengan narasumber, tidak ada program pemberdayaan masyarakat di waduk. Pendekatan pembangunan yang dilakukan oleh pengelola waduk sangat bersifat kontraktual, dan pengelola terlihat belum mampu membangun konsep pemberdayaan masyarakat. Jadi berdasarkan uraian di atas, penduduk yang sehari-hari terlibat dalam kegiatan di sekitar waduk relatif memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Ini juga diikuti dengan tingkat pendapatan yang dominan kelas menengah bawah. Pekerjaanpekerjaan yang ada di sekitar waduk, seperti pertanian dan perikanan relatif tidak membutuhkan skill tinggi. Pengecualian terdapat pada masyarakat yang memiliki status sebagai petani pemilik tanah, pengepul eceng gondok, serta pengusaha gambut, mereka memiliki tingkat pendapatan yang lebih tinggi, terutama pada pemilik lahan sawah, karena lahan pertanian sawah di Rawapening terkenal sangat subur. Menurut kepala Desa Banyubiru, padi jenis IR yang ditanam dapat menghasilkan panen hingga 10 ton per Ha. Ini jauh di atas rata-rata umum panen yang berkisar 3 ton hingga 4 ton per hektar. Rendahnya tingkat pendidikan sangat dekat dengan rendahnya skill dan kapasitas yang dimiliki. Hal ini menjadi penjelasan dari tingkat bawah mengapa upaya pemberdayaan yang dilakukan pemerintah menemui kegagalan.
22
Pada tataran yang lebih luas, rendahnya skill dan kapasitas disebabkan juga ketidakmampuan masyarakat mengakses pendidikan yang lebih tinggi. Ini umumnya disebabkan oleh dua faktor, yang pertama adalah ketidakmampuan finansial, serta tidak adanya ekspektasi tertentu dari orang tua. Berdasarkan pandangan Durkheim, keadaan ini merupakan salah satu indikasi bahwa kesadaran kolektif yang terbentuk adalah berdasarkan solidaritas mekanik, yang bersifat tradisional, tanpa kebutuhan akan pembagian kerja yang terspesialisasi.
Hambatan sosial dalam pengelolaan waduk, berdasarkan teori yang digunakan juga nampak karena adanya perbedaan tatanan nilai. Namun penulis dalam hal ini lebih melihat perbedaan tersebut diakibatkan kekosongan norma atau nilai yang seharusnya menjadi suatu fakta sosial yang mengatur masyarakat dalam pengelolaan waduk.
Nilai atau norma yang dimaksud seharusnya tumbuh bersamaan dengan terbangunnya waduk. Namun, sebagaimana menjadi kritik terhadap teori modernisasi, pembangunan waduk dilaksanakan dengan menitikberatkan pada aspek teknis dan dengan kecenderungan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi seperti peningkatan produksi pertanian, serta pemanfaatan untuk pembangkit tenaga listrik. Akibatnya pelaksana pembangunan mengabaikan aspek pengembangan kelembagaan dan pengembangan kapasitas bagi masyarakat di sekitar waduk. Nilai-nilai keagamaan dan budaya secara normatif, memang telah mengamanatkan mengenai keharusan untuk hidup selaras dengan alam. Namun akibat adanya perubahan sosial masyarakat Rawapening, yang mulai mengarah pada masyarakat modern, nilai-nilai yang sebelumnya berlaku tersebut sudah tidak mampu berperan sebagai fakta sosial yang bersifat memaksa. Ini yang menjelaskan mengapa kondisi lingkungan waduk tercemar oleh aktivitas masyarakat seperti pembuangan limbah cair ke waduk, pembuangan sampah dan adanya timbunan sampah di pinggiran waduk, serta pembuangan limbah dan sampah oleh pengusaha warung dan rumah makan.
Masyarakat membutuhkan suatu nilai alternatif yang seharusnya terbentuk secara otomatis dari solidaritas yang organik. Namun demikian terbentuknya solidaritas organik yang terkait pengelolaan waduk juga sulit, karena masyarakat Rawapening belum sepenuhnya menjadi masyarakat industri, yang pembagian kerjanya sudah sangat kompleks, dan masyarakatnya bersifat sangat heterogen. Pembentukan nilai-nilai alternatif untuk pengelolaan waduk menurut penulis perlu dipicu
Hambatan Sosial Pengelolaan Waduk Rawapening Bangkit Aditya Wiryawan oleh faktor dari atas, dalam hal ini adalah oleh pengelola waduk. Namun sampai saat ini upaya tersebut masih belum dilaksanakan secara efektif. Kegagalan pembentukan nilai, ataupun norma dan kepercayaan inilah yang menurut penulis menjelaskan mengapa belum terbentuk suatu kesadaran kolektif di masyarakat yang mengatur mengenai pengelolaan Waduk Rawapening.
Berkaitan dengan konsep solidaritas, yang dapat diterjemahkan sebagai Rasa kebersamaan, di dalam masyarakat Rawapening sebenarnya sudah ada, terutama terlihat dalam kegiatan-kegiatan sosial seperti pengajian, pemakaman, perayaan kemerdekaan, dan bahkan dalam bentuk yang lebih signifikan dengan waduk berupa kegiatan gotong royong dalam upaya pemeliharaan irigasi waduk.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara terlihat bahwa tingkat kebersamaan itu masih terbatas pada isu-isu yang lingkupnya lebih kecil misalnya solidaritas anggota PKK dalam melaksanakan posyandu, solidaritas pengurus dan anggota Masjid dalam penyelenggaraan Pengajian dan kegiatan keagamaan, serta lain sebagainya. Penting untuk diuraikan, pengecualian terdapat pada solidaritas yang terbentuk pada masyarakat nelayan dan petani. Pada masyarakat tersebut, solidaritas sudah terinstitusionalisasi dalam bentuk sebuah paguyuban, yaitu Paguyuban Tani dan Nelayan Sedyo Rukun, yang lingkupnya meliputi seluruh masyarakat tani dan nelayan yang beraktivitas di sekitar waduk. Paguyuban inipun secara kelembagaan masih diperkuat dengan dikeluarkannya SK Gubernur Jawa Tengah No. 610/6/2004 yang menempatkan paguyuban ini dalam susunan keanggotaan Forum Rembug Rawapening. Forum ini juga menempatkan lembaga-lembaga pemerintahan baik pusat maupun daerah, serta lembaga akademis (Universitas Satya Wacana) dalam keanggotaannya. Perlu diperdalam di sini bahwa solidaritas yang terwujud dalam kelembagaan Paguyuban Sedyo Rukun tersebut juga belum dapat mewakili apa yang disebut Durkheim sebagai solidaritas organik karena secara internal paguyuban tersebut terfragmentasi menjadi setidaknya 2 faksi, yaitu antara pengurus dengan anggota. Pengurus paguyuban, berdasarkan wawancara dengan salah seorang anggota paguyuban, kerap kali bergerak untuk kepentingan sendiri dengan mengatas-namakan seluruh anggota. Pengurus paguyuban selalu berupaya terlibat dalam berbagai proyek pengelolaan waduk, namun dengan tujuan untuk mendapatkan share “keuntungan” proyek.
KESIMPULAN Pengelolaan Waduk Rawapening menemui hambatan-hambatan sosial berupa kurangnya skill dan kapasitas masyarakat, absennya nilai dan norma modern yang mampu mengakomodasi kebutuhan pengelolaan waduk, kelembagaan yang masih lemah, serta tidak terbentuknya kesadaran kolektif. Berbagai permasalahan tersebut muncul karena pelaksanaan pembangunan yang kurang memperhatikan aspek kemasyarakatan. Seluruh deskripsi permasalahan yang ditemu-kenali dalam tulisan ini sejalan dengan penjelasan teoritis yang menggunakan pendekatan teori ketergantungan serta konsep solidaritas organik dan kesadaran kolektif. Melalui tulisan ini diharapkan dapat disusun sebuah upaya tindak lanjut untuk mencari model peran masyarakat yang paling sesuai dalam pengelolaan Waduk Rawapening, dengan memanfaatkan indikator-indikator yang terbangun dalam tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Agnes Yuliasari, 2005. Prioritas Pengembangan Objek-Objek Wisata Air di Kawasan Rawapening Kabupaten Semarang. Semarang: UNDIP. Makalah tugas akhir, tidak diterbitkan. Arif R. Hakim, 2010. “Measuring the Economic Value of Natural Attractions in Rawapening, Semarang Districts, Indonesia”. Journal of American Science. Volume 6, Issue 10, Cummulated no. 31, October 1. Hari Poerwanto. 2008. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Intan Kusuma Jayanti, 2009. Kajian Sumberdaya Danau Rawapening, untuk Pengembangan Wisata Bukit Cinta, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Bogor: IPB. Skripsi, tidak diterbitkan.
Jonathan Sarwono, 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu. Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2010 mengenai Bendungan
Burhan Bungin, 2008. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana.
Kamanto Sunarto, 2005. Pengantar Sosiologi. Jakarta: LP FEUI. Moeljarto Tjokrowinoto, 2007. Pembangunan: Dilema dan Tantangan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rencana Tata Ruang Kawasan Rawapening Tahun Anggaran 2006. Dinas Permukiman dan Tata Ruang Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
23
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011
Undang-Undang no. 7 tahun 2004 mengenai Sumber Daya Air
Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 610/6/2004 tentang Pembentukan Forum Rembug Rawapening Permen PU No. 603/PRT/M/2005 tentang Pedoman Umum Sistem Pengendalian Manajemen Penyelenggaraan Pembangunan Prasarana dan Sarana bidang Pekerjaan Umum, diterbitkan tanggal 28 Desember 2005.
24
POLA DAN DAMPAK PERMUKIMAN KEMBALI PENGUNGSI PASCAKONFLIK SOSIAL DI AMBON Eddy Sudaryono1 dan Andi Suriadi2 1 Balai Litbang Sosekling Bidang SDA Jl. Sapta Taruna Raya no. 26 Komplek PU Pasar Jumat Jaksel Email:
[email protected]
2 Puslitbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan Jl. Sapta Taruna Raya no. 26 Komplek PU Pasar Jumat Jaksel Email:
[email protected]
ABSTRACT The event of social conflict in Ambon had caused massive migration waves. Refugees occupied various locations, both within the city of Ambon and surrounding areas, as well as in other provinces. After the conflict subsided and situation is more conducive (social security and order), resettlement program is restarted. Therefore, the aims of study are to identify how patterns of resettlement refugees in Ambon and its’ effects. Through qualitative method, we found that there are four patterns of resettlement of refugees: (a) the pattern of improvement, (b) the pattern of relocation from one source, (c) the pattern of relocation of from various sources, and (d) the pattern of insertion. The impact that accepted by refugees is receive a permanent home in a settlement. However, potential side effects are experienced segregation of society into religious-based settelement pattern. Thefore, it is recommended that facilities can be made into a means of integrators such as schools, sports facilities, arts facilities, and market that allow the two social group can be more merging of one another. Keywords: Resettlement, settlement patterns, refugees, social conflict, social integration ABSTRAK Peristiwa konflik sosial di Ambon telah menyebabkan terjadinya gelombang pengungsian. Para pengungsi tersebut menempati berbagai lokasi, baik di dalam wilayah Kota Ambon dan sekitarnya maupun di provinsi lainnya. Setelah konflik reda dan situasi keamanan dan ketertiban semakin kondusif, program permukiman kembali mulai dilaksanakan. Untuk itu, penelitian ini berusaha mengidentifikasi bagaimana pola permukiman kembali pengungsi pasca konflik di Ambon dan dampak-dampak yang ditimbulkannya. Melalui metode kualitatif, ditemukan ada empat pola permukiman kembali pengungsi, yakni (a) pola penataan kembali, (b) pola relokasi dari satu sumber, (c) pola relokasi dari berbagai sumber, dan (d) pola sisipan. Dengan adanya kebijakan permukiman kembali pengungsi, dampak yang dirasakan adalah warga dapat memperoleh rumah tempat tinggal yang tetap. Namun demikian, dampak yang potensial terjadi adalah tersegregasinya masyarakat ke dalam pola permukiman yang berbasis agama. Untuk itu, direkomendasikan agar dapat dibuat berbagai fasilitas yang menjadi sarana integrator seperti sekolah, sarana olah raga, sarana kesenian, dan pasar yang memungkinkan kedua kelompok sosial tersebut dapat lebih melebur satu satu sama lain. Kata Kunci: Permukiman kembali, pola permukiman, pengungsi, konflik social, integrasi sosial
PENDAHULUAN Setelah beberapa tahun berlalu, peristiwa konflik sosial yang meletus pertama kali pada 19 Januari 1999, kini dinamika kehidupan sosial ekonomi di Provinsi Maluku berangsur-angsur pulih kembali. Hal ini ditandai oleh semakin kondusifnya situasi keamanan dan ketertiban yang menyebabkan roda kehidupan dapat berputar seperti sediakala. Para
pengungsi yang sebelumnya berkumpul di barakbarak dan hunian sementara, baik di sekitar lokasi konflik maupun yang berada di pulau lain dalam beberapa tahun terakhir juga perlahan-lahan telah kembali. Hingga tahun 2005, secara keseluruhan, berdasarkan data yang ada jumlah penduduk Provinsi Maluku yang menjadi pengungsi masih
25
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011
mencapai 329.553 jiwa atau 65.910 KK. Jumlah tersebut berasal dari lima kabupaten/kota yakni Ambon, Maluku Tengah, Buru, Maluku Tenggara, dan Maluku Tenggara Barat. Di antara lima kabupaten/ kota tersebut, penduduk Kota Ambon yang menjadi pengungsi termasuk yang cukup besar yakni mencapai 89.781 jiwa atau19.832 KK (Nurhasim dan Tri Ratnawati, 2005: 150). Selain merupakan lokasi pertama kali meletusnya konflik, Kota Ambon juga merupakan ibukota Provinsi Maluku yang jumlah penduduk yang cukup besar, yakni 322.200 jiwa tahun 1999.
Jika dicermati lebih jauh, khusus di Kota Ambon, konflik sosial yang terjadi telah menyebabkan 27,86% penduduknya mengungsi. Artinya, lebih dari seperempat penduduk Kota Ambon meninggalkan rumah-rumah mereka menuju ke lokasi pengungsian, baik di dalam wilayah Kota Ambon maupun di wilayah lainnya, termasuk beberapa provinsi seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Irian Jaya. Besarnya jumlah penduduk Kota Ambon yang menjadi pengungsi menjadi masalah tersendiri, baik oleh pemerintah Kota Ambon maupun Provinsi Maluku, terutama untuk permukiman kembali. Seiring dengan semakin membaiknya situasi di Kota Ambon, program permukiman kembali pengungsi menjadi salah satu program yang mendapat perhatian utama. Namun demikian, penanganan pulangnya para pengungsi tersebut melalui program permukiman kembali ternyata tidaklah sesederhana seperti yang dibayangkan. Pada kenyataannya, ada berbagai masalah yang dihadapi seperti hancurnya tempat tinggal semula, adanya kekhawatiran terjadinya konflik lagi, dan pembangunan kembali rumah tempat tinggal. Berbagai kebijakan dan program pun telah dijalankan oleh pemerintah sehingga para pengungsi dapat melanjutkan kembali kehidupannya dengan menggunakan berbagai fasilitas yang dibangun. Hingga saat ini, sebagian besar fasilitas rumah yang dibangun oleh pemerintah telah ditempati oleh para pengungsi. Bantuan baik berupa rumah utuh (terima kunci) maupun bantuan bangunan rumah (BBR) sudah diterima oleh para pengungsi. Hanya saja, tidak dapat diingkari bahwa masih ada sejumlah pengungsi yang belum menerima bantuan sehingga masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, terutama pemerintah Kota Ambon. Upaya-upaya penanganan dan permukiman kembali pengungsi sampai saat ini masih terus dilakukan. Bahkan, jumlah pengungsi yang masih membutuhkan perhatian masih sangat tinggi. Oleh karena itu, pemerintah Kota Ambon membuat serangkaian kebijakan dan program dalam menangani masalah pengungsi, terlebih-lebih setelah pulangnya para
26
pengungsi dari luar pulau Ambon dalam jumlah yang tidak sedikit seiring dengan semakin membaiknya situasi di Ambon.
Persoalannya adalah bagaimana tatanan pola permukiman kembali pengungsi tersebut di tempat yang tetap. Hal ini sangat penting karena tidak semua rumah dalam suatu lingkungan permukiman tertata dengan baik sebelum adanya konflik. Oleh karena itu, menarik dikaji lebih jauh mengenai pola permukiman pengungsi. Kajian ini sangat menarik karena kendatipun sejumlah kajian mengenai konflik di Ambon sudah dilakukan belum ada yang melihat bagaimana implementasi pola permukiman setelah program permukiman kembali dilaksanakan pascakonflik. Pertama, sebenarnya kajian mengenai konflik Ambon (Maluku) sudah banyak dikaji, seperti Taufiq A (2000) dan Pieris (2004), tetapi masih terfokus pada peristiwa anatomi konflik sosial tersebut. Kedua, kajian oleh Rozi dkk (2005) kendatipun menyinggung sedikit mengenai pola permukiman di Desa Wayame sebagai pola yang dapat diacu, namun belum mengkaji bagaimana sesungguhnya pola permukiman yang eksis pascakonflik. Kajian mereka lebih banyak melihat keterlibatan serta peran negara dan masyarakat dalam proses resolusi konflik. Ketiga, kajian yang dilakukan Pusat Pengkajian Sosekbudwil, Kimpraswil (2001) serta buku yang diterbitkan Pardino, Eddy, dan Totok (2008) kendatipun melihat permukiman kembali pengungsi, lebih banyak memberikan rekomendasi karena program permukiman kembali pengungsi belum berjalan ketika kajian tersebut dilaksanakan tahun 2000-2001 (konflik masih terjadi). Sehubungan dengan itu, untuk melengkapi kajian-kajian tersebut, tulisan ini berusaha memfokuskan diri dengan melihat permasalahan permukiman kembali pengungsi pascakonflik (setelah situasi kondusif) dengan merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: (a) Bagaimana pola pemukiman kembali pengungsi pascakonflik di Ambon? (b) Bagaimana dampak yang timbul akibat terbentuknya pola permukiman tersebut?
Dalam kaitan itu, tujuan tulisan ini adalah untuk mempelajari pola-pola pemukiman kembali pengungsi pascakonflik sosial di Ambon beserta dampaknya. Dengan mengetahui dan mempelajari pola-pola permukiman dan dampaknya diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pengambilan kebijakan selanjutnya, termasuk penyusunan program penanganan permukiman yang dapat mengeliminasi potensi konflik muncul kembali dan mereduksi dampak dari pola permukiman yang telah terbentuk.
Pola dan Dampak Permukiman Kembali Pengungsi Pascakonflik Sosial di Ambon Eddy Sudaryono dan Andi Suriadi
Gambar 1. Suasana Kondusivitas Kehidupan Sosial Ekonomi di Kota Ambon, 2009
KAJIAN PUSTAKA Esensi permukiman pada dasarnya merupakan hubungan antara manusia dan wadahnya yang saling memengaruhi satu sama lain. Menurut Sastra dan Endy (2006: 38--70), terbentuknya suatu permukiman melalui proses, yakni ada alam sebagai wadah, ada manusia yang kemudian membentuk kelompok sosial, kelompok tersebut membutuhkan bangunan rumah, kemudian melalui jaringan membentuk lingkungan yang lebih besar, dan akhirnya terbentuk permukiman (human settlement). Tuntutan akan adanya permukiman pada awalnya merupakan tuntutan biologis, yakni sebagai sarana perlindungan diri (cuaca dan ancaman pihak lain). Akan tetapi, pada tingkat yang lebih tinggi, permukiman (kumpulan rumah) juga merupakan identitas kelompok.
Oleh karena itu, tidak jarang terdapat permukiman yang menunjukkan identitas kelompok sosial tertentu, misalnya berdasarkan suku, agama, atau tingkat sosial ekonomi. Jika pola permukiman tersebut terbentuk di daerah perdesaan, umumnya tidak ada masalah karena pada dasarnya masyarakat perdesaan membangun pola permukiman berdasarkan ikatan hubungan kekerabatan dan kesamaan suku (homogen). Akan tetapi, hal tersebut akan menjadi masalah jika terjadi di perkotaan karena kota merupakan melting pot (tempat peleburan) dengan masyarakat yang heterogen. Namun demikian, pada negara-negara koloni (jajahan), pola segregasi sosial tersebut sengaja dibangun oleh penjajah. Menurut Wee serta Evers (dalam Gilber dan Josef, 1996: 132), di Singapura, terdapat permukiman yang berbasis etnis (rasial) seperti permukiman Cina, Melayu, dan Bugis. Hal yang sama juga terjadi di Batavia, ibukota Hindia Belanda, setidaknya 15 distrik untuk suku dan ras yang berbeda-beda.
Dalam lingkungan yang rentan terhadap konflik, membangun suatu lokasi permukiman, seharusnya yang memiliki kelenturan dari terjadinya konflik. Hasil penelitian Nurhasim dan Tri Ratnawati (2005: 155--156), menunjukkan salah lokasi permukiman yang dapat dijadikan contoh yang baik adalah permukiman di Ambon, yakni Desa Wayame. Pola permukiman di desa ini mirip konsep “perumahan” di perkotaan di mana masyarakatnya memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Konsep pembauran sosial di desa ini terjadi melalui interaksi-interaksi sosial yang tidak bersifat simbolik dan eksklusif, tetapi lebih pada interaksi sosial yang terbuka (inklusif) serta menghargai kemajemukan. Ketika konflik terjadi, kesadaran mereka tumbuh untuk saling menjaga dan melindungi di antara kedua komunitas: Islam dan Kristen. Interaksi antara komunitas Islam dan Kristen di Desa Wayame tersebut ternyata dapat mengalahkan atau melampaui perbedaan-perbedaan simbolik sehingga mereka tidak terpancing terhadap konflik yang terjadi. Kesadaran mereka terbangun melalui penciptaan masyarakat yang membaur dengan pendidikan sebagai instrumen katalisator untuk saling menghormati. Oleh karena itu, mereka merekomendasikan pola Wayame dijadikan sebagai model permukiman di Ambon (Maluku) yang diperkuat oleh local wisdom. Hal yang sama juga ditemukan oleh Soebroto (1992: 60) yang melakukan penelitian di Jakarta Selatan. Hasil penelitian Soebroto menunjukkan bahwa perbedaan agama ternyata dapat menyebabkan terjadinya pertikaian antara dua lokasi permukiman. Penduduk asli yang menempati lokasi permukiman lama seringkali belum dapat menerima kegiatan keagamaan yang mencolok dari penduduk pendatang yang menempati permukiman baru. Soebroto mencontohkan, sebagian besar
27
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011
warga Pondok Pinang Jakarta Selatan (dominan Islam) belum dapat menerima kegiatan keagamaan warga Pondok Indah yang cenderung mencolok. Pernah ada seorang warga Pondok Indah dilempati batu oleh warga karena mengadakan perayaan keagamaan yang besar-besaran (penghuni ini beragama Kristen).
Pardino, Eddy, dan Totok (2008: 124) juga menyimpulkan bahwa pola permukiman yang cenderung mengelompok mendorong terjadinya eskalasi konflik. Berdasarkan hasil penelitiannya pada tahun 2000-2001 (ketika konflik masih terjadi) di empat lokasi konflik (Pontianak, Ambon, Poso, dan Sampit) menemukan bahwa eskalasi konflik terjadi karena pola permukiman para pendatang atau pihak yang berkonflik cenderung mengelompok. Pada saat yang bersamaan, segregasi pola permukiman tersebut ternyata diwarnai oleh dominasi yang berbasis etnis dan agama. Oleh karena itu, khusus untuk Ambon, mereka merekomendasikan adanya pola permukiman yang sesuai dengan tahapan situasi keamanan, seperti pola permukiman (a) pola permukiman sesuai dengan pola pascakerusuhan, (b) pola permukiman dengan dukungan prasarana dan sarana dasar, (c) pola permukiman sesuai tata ruang sebelum kerusuhan, dan (d) pola permukiman campuran antaragama dan antaretnik.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah termasuk ke dalam kategori penelitian evaluatif. Dipilihnya metode ini karena penelitian serupa pernah dilakukan dan mengajukan rekomendasi beberapa pola permukiman pengungsi yang dapat meminimalisasi konfik. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha melakukan evaluasi apakah rekomendasi yang diusulkan sebelumnya telah dilaksanakan secara utuh, parsial, atau tidak sama sekali.
Pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara: (a) melakukan observasi lapangan dengan mengunjungi secara langsung lokasi-lokasi permukiman pengungsi; (b) melakukan wawancara mendalam kepada pengungsi, tokoh masyarakat, dan aparat pemerintah; dan (c) melakukan kajian
literatur dengan cara mengumpulkan data sekunder yang diperoleh dari laporan pemerintah daerah (provinsi/kota) dan Badan Pusat Statistik Daerah. Data dianalisis dengan empat tahap: (a) tahap identifikasi yakni melakukan memilah data yang terkait dan tidak terkait dengan tujuan penelitian yang sempat terambil dalam proses pengumpulan data; (b) tahap klasifikasi yakni melakukan pengelompokan data berdasarkan kesamaannya ke dalam kategori-kategori yang berbeda; (c) tahap interpretasi yang melakukan pengaitan antara satu data dengan data lainnya dan selanjutnya dikaitkan dengan teori yang digunakan; dan (d) tahap penarikan kesimpulan yakni melakukan kristalisasi dari hasil analisis sekaligus menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan sebelumnya (Neuman, 1997: 427). Penelitian mengenai pola permukiman kembali pengungsi ini dilakukan di beberapa lokasi di Kota Ambon. Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2009. Gambaran Umum: Kondisi Terkini Pengungsi
Ketika pertama kali terjadi konflik, pengungsi ditangani oleh Pemerintah Provinsi Maluku (beserta dukungan pemerintah pusat). Namun, setelah sekitar tujuh tahun pengungsi ditangani oleh Pemprov, sejak tahun 2007 penanganan masalah pengungsi Ambon diserahkan Pemerintah Kota Ambon. Penyerahan tersebut berdasarkan pada Nota Kesepakatan tentang Penyerahan Penanganan Penyelesaian Pengungsi dari Pemerintah Provinsi Maluku kepada Pemerintah Kota Ambon.
Hingga tahun 2009, berdasarkan Keputusan Walikota Ambon Nomor 151 Tahun 2009 tentang Penetapan Sisa Pengungsi Kota Ambon Tahun 2009 jumlah sisa pengungsi Kota Ambon sebesar 3.824 Kepala Keluarga (KK) atau 19.120 jiwa. Jumlah tersebut tersebar pada kecamatan-kecamatan di Kota Ambon sebagaimana dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini. Dari empat kecamatan yang ada di Kota Ambon, pada kenyataan belum ada kecamatan yang terbebas dari permasalahan pengungsi. Hal ini menunjukkan
Tabel 1. Jumlah Sisa Pengungsi Kota Ambon Tahun 2009
No.
Kecamatan
Jumlah
Persentase (%)
1.
Teluk Ambon Baguala
2.907
15,20
2.
Teluk Ambon
3.232
16,90
3.
Nusaniwe
3.894
20,36
4.
Sirimau
9.087
47,52
19.120
100
Total
(Sumber: Diolah dari Keputusan Walikota Ambon Nomor 151 Tahun 2009)
28
Pola dan Dampak Permukiman Kembali Pengungsi Pascakonflik Sosial di Ambon Eddy Sudaryono dan Andi Suriadi bahwa permasalahan pengungsi masih merata pada seluruh kecamatan di Kota Ambon. Demikian pula, besarnya jumlah pengungsi yang belum tertangani masih memerlukan perhatian bagi Pemerintah Kota Ambon. Kondisi ini sekaligus menunjukkan bahwa masalah permukiman pengungsi masih akan terus menjadi fokus perhatian Pemerintah Kota Ambon. Akan tetapi, jika dilihat persebaran pengungsi, ternyata Kecamatan Sirimau merupakan lokasi yang paling banyak jumlah pengungsinya, yakni 47,52 %. Kondisi ini menunjukkan bahwa para pengungi ummnya masih terkonsentrasi di pusat Kota Ambon.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pola dan Dampak Permukiman Kembali Berdasarkan observasi dan wawancara mendalam yang dilakukan, ditemukan setidaknya ada empat pola permukiman kembali yang saat ini eksis di Ambon. Terbentuknya pola permukiman kembali pengungsi tersebut di satu sisi memang dapat menyelesaikan salah satu masalah yakni menyediakan tempat tinggal yang tetap dibanding dengan sebelumnya di lokasi pengungsian yang hanya bersifat sementara. Akan tetapi, di sisi lain adanya berbagai program pemerintah yang memfasilitasi para pengungsi tersebut menyebabkan munculnya berbagai dampak yang sulit dihindari. Pertama, permukiman pola kembali ke tempat semula dengan penataan/konsolidasi lahan. Pola ini terjadi di Waringin di mana pada saat sebelum konflik, permukiman di lokasi ini termasuk kategori tidak tertata dengan baik (kumuh). Oleh karena itu, ketika permukiman hancur karena konflik dan warganya mengungsi ke berbagai lokasi (terutama di Wai Haong dan sebagian pulang ke Buton serta beberapa daerah di Sulawesi Selatan), batas-batas rumah menjadi tidak jelas. Ketidakjelasan batasbatas rumah tidak terlepas dari kondisi pada saat konflik yakni dapat dikatakan semua bangunan rumah rata dengan tanah. Apalagi, ada sebagian rumah yang bahan bangunannya berasal dari kayu (rumah kayu) sehingga ketika terbakar praktis tidak meninggalkan bekas. Dengan adanya program bantuan pembangunan baru dari pemerintah, dilakukanlah pembangunan yang bentuk dan ukuran rumahnya relatif sama yakni tipe 21, padahal tipe rumah sebelumnya berbeda-beda. Oleh karena itu, ada yang sebelumnya satu rumah menjadi dua rumah, sebaliknya ada yang sebelumnya dua rumah kecil/petakan menjadi satu. Penyesuaian bentuk dan ukuran rumah dilakukan dengan alasan karena pada saat itu para pemilik rumah belum kembali, bahkan ada yang di pulau di luar Ambon sehingga sulit dilakukan klarifikasi dan
konfirmasi, sedangkan pemenuhan kebutuhan akan rumah juga sudah sangat mendesak.
Dampak dari pola permukiman ini adalah adanya keluhan warga yang sebelumnya merasa memiliki lahan yang luas, kini tidak bisa lagi mendapatkannya karena sudah terbangun rumah di atasnya dan ditempati orang lain. Bahkan, pengungsi yang pulang belakangan (karena lama di pengungsian terutama di pulau Ambon) terpaksa harus kehilangan lokasi rumah yang dahulu menjadi miliknya akibat sudah ditempati orang lain yang sebenarnya juga memiliki tanah di sekitar tempat tersebut. Menurut tokoh masyarakat di perkampungan Waringin ini, konflik klaim lahan merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari lagi. Namun, apa boleh buat pada saat semuanya hancur dan ketika ada program permukiman kembali, sekaligus penataan permukiman kumuh, seperti inilah jadinya. Pola permukiman di Waringin ini terbentuk dengan penduduk yang berasal dari komunitas Islam. Sebagai ilustrasi, berikut adalah sketsa pola permukiman sebelum terjadinya konflik dan setelah adanya penataan pascakonflik pada gambar 3.
Kedua, pola relokasi dari satu sumber. Pola ini terbentuk karena lokasi sebelumnya diapit oleh komunitas yang berbeda dengan dirinya sehingga mereka tidak tenang. Dengan kata lain, mereka merasa terancam bila sewaktu-waktu konflik terjadi kembali karena posisinya terjepit. Oleh karena itu, warga meminta untuk direlokasi ke suatu tempat di mana mereka bisa merasa aman dan jauh dari potensi serangan tiba-tiba. Pola ini terjadi di Desa Kayu Tiga yang pengungsinya berasal dari Desa Batu Merah Dalam.
Pada pola relokasi ini, selain rumah, juga dibangun berbagai fasilitas sosial dan fasilitas umum lainnya oleh pemerintah untuk mendukung berjalannya roda kehidupan warga di lokasi yang baru. Hanya saja, dalam observasi dan wawancara yang dilakukan, ada permasalahan utama yakni belum berfungsinya sekolah yang sudah lama terbangun. Menurut para pengungsi, tidak berfungsinya sekolah (aktivitas belajar- mengajar) karena mungkin belum adanya koordinasi yang baik antara pemerintah Provinsi Maluku dan pemerintah Kota Ambon. Pola ini terbangun pada komunitas Kristen.
Dampak dari keadaan ini adalah para pengungsi tidak dapat memperoleh fasilitas pendidikan yang pada dasarnya sudah tersedia. Anak-anak sekolah masih harus menempuh perjalanan yang jauh untuk memperoleh pendidikan. Para orang tua mengeluhkan belum adanya upaya mengakselarasi pemanfataan dan peroperasian sekolah tersebut sehingga anak-anak mereka dapat mendapatkan
29
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011
Gambar 3. Pola Permukiman Sebelum dan Setelah Konflik dengan Penataan
Gambar 4. Pola Permukiman dengan Relokasi Satu Sumber pendidikan tanpa harus menempuh perjalanan yang jauh.
Sebagai ilustrasi, berikut ini adalah ilustrasi pola permukiman relokasi dari satu sumber antara sebelum adanya konflik dan setelah adanya program permukiman sebagaimana pada gambar 4.
Ketiga, pola relokasi dari berbagai sumber (warga berasal dari berbagai tempat/daerah). Pola ini terbentuk untuk mengakomodasi harapan beberapa warga yang sebelumnya mengungsi di Ambon dari berbagai tempat, baik dari Ambon maupun dari luar Kota Ambon (terutama Maluku Tengah). Oleh karena itu, pemerintah memfasilitasi permukiman warga dari berbagai daerah ini untuk menetap pada satu lokasi. Pola permukiman ini terjadi di Kate Kate. Warga yang menghuni lokasi ini adalah komunitas Islam.
Seperti halnya pada pola permukiman relokasi dari satu sumber di atas, pemerintah juga memfasilitasi permukiman ini dengan berbagai fasilitas umum dan fasilitas sosial. Permasalahan yang sama adalah belum berfungsinya sekolah yang sudah lama terbangun (sudah tiga tahun selesai). Kurangnya koordinasi pemerintah Provinsi
30
Maluku dan pemerintah Kota Ambon dianggap oleh masyarakat pengungsi sebagai salah satu akar permasalahan dari belum berfungsinya sekolah tersebut. Dampak dari kondisi ini adalah anak-anak dari para pengungsi belum dapat merasakan manfaat dari fasilitas sekolah tersebut. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena lokasi Kate Kate relatif merupakan lokasi yang sebelumnya baru sehingga fasilitas sekolah juga jauh dari permukiman pengungsi. Bahkan, ketika dilakukan observasi karena tidak dimanfaatkan, ada beberapa bagian bangunan sekolah yang rentan terhadap kerusakan.
Sebagai ilustrasi, berikut adalah sketsa pola permukiman relokasi dari berbagai sumber antara sebelum terjadinya konflik dan setelah konflik sebagaimana pada gambar 5.
Keempat, pola sisipan. Pola ini terjadi di Desa Batu Merah. Umumnya warga yang mengikuti pola ini sudah memiliki lahan dan pemerintah memfasilitasi pembangunan rumah. Pola ini terjadi karena adanya keinginan warga yang ingin menetap di suatu lokasi (jauh sebelum konflik terjadi dan sudah tersedia lahan/tanah). Dengan demikian, pemerintah
Pola dan Dampak Permukiman Kembali Pengungsi Pascakonflik Sosial di Ambon Eddy Sudaryono dan Andi Suriadi
Gambar 5. Pola Pembangunan Lokasi Baru dengan Pengungsi dari Berbagai Daerah
Gambar 6. Permukiman Kembali dengan Pola Sisipan tidak perlu lagi mengusahakan lahan/tanah untuk permukiman, tetapi wargalah yang menyiapkan. Pola ini agak berbeda dengan pola permukiman lainnya di mana pemerintah memfasilitasi rumah dan lahan/tanah. Warga yang mengikuti pola ini umumnya sudah menetap di lokasi tertentu, tetapi merasa tidak aman dan lebih memilih tinggal yang di lokasi yang baru. Dampak dari pola permukiman kembali ini adalah terpenuhinya keinginan warga yang sebelumnya belum memiliki kemampuan membangun rumah, tetapi dengan adanya bantuan dari pemerintah, mereka dapat memperoleh rumah layak huni. Selain itu, warga yang sebelumnya agak terpisah dengan keluarga, kini dapat lebih dekat karena sebagian tanah yang tersedia tersebut berada di sekitar rumah kerabatnya.
Sebagai ilustrasi, berikut adalah sketsa pola permukiman sisipan antara sebelum terjadinya konflik dan setelah konflik sebagaimana pada gambar 6. Secara ringkas, keempat pola permukiman kembali dan dampaknya dapat dilihat pada tabel 2
di halaman berikut.
2. Pembahasan Berdasarkan pola-pola permukiman di atas, dapat dikatakan bahwa kebijakan pemerintah untuk membantu dan memfasilitasi para pengungsi mendapatkan rumah telah dirasakan manfaatnya. Warga mantan pengungsi merasa lebih tenang dapat menempati rumah secara tersendiri sehingga mereka bisa membangun kehidupan rumah tangganya seperti sediakala. Para mantan pengungsi dapat merasakan perbedaan bagaimana ketika hidup dalam pengungsi dengan kondisi yang tidak menentu, saat ini hidup mereka dapat tenang apalagi mereka hidup dalam lingkungan komunitas yang sama. Namun demikian, jika ditelaah lebih jauh dari keempat pola permukiman tersebut, sebenarnya ada kecenderungan bahwa pola permukiman kembali pengungsi semakin mempertegas batasbatas identitas keagamaan suatu kelompok. Hal ini dapat dilihat pada beberapa bentukan pola permukiman pengungsi yang justru dibangun secara
31
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011
Tabel 2. Pola Permukiman dan Dampaknya no. 1.
Pola Permukiman Penataan kembali (lokasi di Waringin)
• • • •
2.
• •
Relokasi dari satu sumber
• 3.
Relokasi dari berbagai sumber
• •
4.
Pola sisipan
• •
dampak Warga mendapatkan bentuk dan luas rumah yang sama (tipe 21) Batas-batas kepemilikan tanah menjadi tidak jelas Ada warga yang tanah luas menjadi sempit, dan sebaliknya ada warga tanahnya yang sebelumnya sempit menjadi agak luas Warga yang datang belakangan tidak mendapatkan rumah dan tanah mereka sudah tidak ada lagi (digunakan orang lain) Saling klaim kepemilikan tanah sering terjadi Warga dari satu permukiman yang terjepit oleh komunitas keagamaan yang berbeda dapat berada di komunitas yang sama Belum berfungsinya fasilitas pendidikan (sekolah) sehingga anak-anak belum dapat memfungsikannya Warga yang berasal dari Kota Ambon dan luar Ambon (terutama Maluku Tengah) dapat mendapatkan rumah di Kota Ambon Belum berfungsinya fasilitas pendidikan (sekolah) sehingga anak-anak harus berjalan jauh Terpenuhinya keinginan warga mendapatkan rumah yang layak huni Terpenuhinya harapan warga dapat membangun rumah di sekitar rumah kerabatnya
(Sumber: Diolah dari data lapangan, 2009)
lebih mengelompok berdasarkan keyakinan agama yang dianut. Kebijakan ini dapat dipahami ketika yang dijadikan alasan adalah faktor keamanan dan kedaruratan. Dengan berkumpulnya dalam komunitas keagamaan yang sama, menjadikan mereka dapat hidup tenang karena di sekelingnya berasal dari komunitas yang sama.
Akan tetapi, di balik itu perlu tetap diwaspadai bahwa pola permukiman yang demikian sesungguhnya tersimpan potensi konflik yang luar biasa dampaknya di masa yang datang. Jika dicermati lebih jauh, pola permukiman pengungsi tersebut memang saat ini memberikan rasa aman bagi anggota komunitasnya karena adanya kesamaan agama yang dianut. Di antara mereka bertetangga tidak ada saling curiga karena dari sisi agama sifatnya homogen, bahkan dalam hal koordinasi perayaan hari-hari besar keagamaan relatif lebih mudah. Namun demikian, sisi negatifnya adalah semakin jelasnya batas-batas pihak yang berbeda agama sehingga lebih mudah pihak lain melakukan identifikasi diri yakni antara “kami” dan “mereka”. Jika kondisi ini terus dipelihara oleh anggota komunitas masing-masing, maka jika terjadi konflik, walaupun skalanya kecil dapat memicu terjadinya konflik yang masif. Kejelasan batas-batas sosial berdasarkan identitas keagamaan sesungguhnya sangat memudahkan orang untuk mengidentifikasi suatu kelompok masyarakat berada di pihak kawan atau lawan.
Oleh karena itu, seperti yang dikatakan Nurhasim
32
dan Tri Ratnawati (2005: 155—156) bahwa konsep permukiman di Desa Wayame Ambon dapat menjadi contoh yang baik di mana masyarakatnya berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Di desa ini komunitas Islam dan Kristen berbaur dan saling berinteraksi satu sama lain. Ketika terjadi konflik di wilayah sekitarnya, warga Desa Wayame tidak terprovokasi untuk melakukan hal yang sama. Bahkan, yang terjadi justru sebaliknya, yakni saling menjaga dan melindungi. Jika ke depan upaya-upaya seperti ini dilakukan, maka konflik serupa yang potensial terjadi di masa mendatang mungkin dapat dihindari, yang tentu saja perlu diperkuat dengan local wisdom. Pola permukiman yang demikian, paling tidak untuk sementara, belum mempertimbangkan implikasi lebih lanjut jika terjadi konflik kelak. Bantuan rumah (permukiman) yang diberikan tampaknya menjadikan masyarakat tersegrasi dalam kelompok-kelompok berdasarkan agama. Oleh karena itu, dibutuhkan kearifan untuk kembali mempertimbangkan pola permukiman yang secara laten menyimpan bara api keberbedaan dan bukan kebersamaan. Pola permukiman yang tersegregasi tersebut, menurut Soebroto (1992: 60) potensial menimbulkan pertikaian. Contoh yang dikemukakan oleh Soebroto berdasarkan hasil penelitiannya di Pondok Pinang, Jakarta Selatan, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam merancang pola permukiman pengungsi. Apalagi, kehadiran para pendatang dari luar Pulau Ambon dengan kehadiran yang secara
Pola dan Dampak Permukiman Kembali Pengungsi Pascakonflik Sosial di Ambon Eddy Sudaryono dan Andi Suriadi mengelompok dan berbeda keagamaan dengan komunitas di sekitarnya, bukan tidak mungkin dapat menyimpan potensi masalah di masa mendatang.
Pola permukiman yang dibangun oleh pemerintah Belanda yang membentuk enclave-enclave berdasarkan komunitas keagamaan tampaknya cenderung kembali dilanjutkan dalam program permukiman kembali pengungsi. Strategi yang dibuat oleh penjajah melalui pola permukiman yang tersegregasi juga ditemukan oleh Wee serta Ever (dalam Gilber dan Josef, 1996: 132) perlu dipelajari kembali. Para penjajah berusaha membuat wilayah masyarakat secara berkelas-kelas berdasarkan etnis dan ras seperti halnya di Singapura dan Batavia. Jika ini terus dilanjutkan, maka rasa berbeda berdasarkan agama yang diyakini semakin mengkristal di benak segenap anak bangsa di Ambon. Oleh karena itu, apa yang disampaikan Pardino, Eddy, dan Totok (2008: 124) berdasarkan hasil penelitiannya di empat lokasi konflik juga dapat menjadi pertimbangan. Berdasarkan temuannya, disimpulkan bahwa eskalasi konflik terjadi karena pola permukiman para pendatang atau pihak yang berkonflik cenderung mengelompok. Pendatang di sini secara kebetulan ada yang berbeda dengan agama yang dianut oleh penduduk asli sehingga keberbedaaan tersebut yang didukung oleh pola permukiman yang mengelompok ternyata mendorong terjadinya eskalasi konflik yang lebih tinggi dan luas. Dengan demikian, pola permukiman pengungsi di Ambon setidaknya dapat mempertimbangkan pola yang tidak tersegregasi yang berbasis pada identitas agama dan etnis.
KESIMPULAN dan rekomendasi
Berdasarkan data dan analisis yang diuraikan di atas, dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut:
(a) Dalam proses permukiman kembali pengungsi di Ambon, terdapat empat pola: (1) pola kembali ke tempat semula dengan penataan, (2) pola relokasi dari satu sumber, (3) pola relokasi dari berbagai sumber (warga berasal dari berbagai tempat/ daerah), dan (4) pola sisipan. Dari keempat pola ini, semuanya cenderung menjadi permukiman eksklusif berbasis agama. Ekslusivitas pola permukiman tersebut di satu sisi dapat memberi rasa aman bagi warganya dalam jangka pendek, namun dalam jangka panjang justru sangat rentan terhadap timbulnya konflik yang lebih masif lagi karena batas-batas sosial yang diwadahi oleh permukiman sangat jelas “demarkasinya”. (b) Dampak yang ditimbulkan oleh terbentuknya pola permukiman adalah di satu sisi dapat
menyediakan tempat tinggal yang sifat permanen dibanding dengan di lokasi pengungsi yang sifatnya sementara, warga merasa lebih tenang hidup bertetangga dengan sesama komunitas keagamaan, dan warga dapat hidup berdampingan dengan sesama kerabat; namun di sisi lain pola tersebut ternyata menimbulkan ekses seperti berkurangnya luas lahan warga, bahkan ada warga yang kehilangan tanah akibat program penataan kembali. Selain itu, pola permukiman pengungsi tersebut tampaknya cenderung menimbulkan segregasi sosial berbasis komunitas keagamaan. Untuk jangka panjang, hal agak berbahaya karena ketika konflik terjadi pihak lain dapat dengan mudah mengidentifikasi siapa “kawan” dan “lawan”.
Berdasarkan data, pembahasan, dan kesimpulan di atas, dapat diajukan beberapa rekomendasi sebagai berikut:
(a) Jika melihat kondisi eksisting saat ini, perlu adanya mekanisme mengaburkan garis batas permukiman yang berbasis pada agama karena apabila garis pemisah tersebut dipertegas, maka ancaman konflik yang lebih besar masih berpotensi terjadi di kemudian hari jika ada pemicunya. Salah satu upayanya adalah dengan membangun sarana integrator seperti sekolah, sarana olah raga, gedung kesenian, pasar-pasar kecil tempat di mana kedua kelompok yang bermukim secara mengelompok tersebut dapat bersosialisasi (zona transaksi/arena sosial). Contoh skema pola permukiman dapat dilihat pada gambar 7. (b) Perlu adanya pemikiran ulang (rethinking) mengenai program permukiman kembali yang telah dilaksanakan selama ini yang cenderung membentuk pola permukiman yang berbasis pada kesamaan agama. Di masa yang akan datang, perlu dipikirkan adanya pola permukiman yang tidak eksklusif, melainkan lebih inklusif, misalnya membangun pola permukiman yang
Gambar 7. Pola Permukiman dengan Sarana Integrator
33
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011
berbasis kesamaan pekerjaan (perumahan pegawai yang di dalamnya bercampur Islam dan Kristen) atau perumahan yang berorientasi pada kemampuan sosial ekonomi.
(c) Untuk menciptakan lokasi permukiman yang ramah konflik, perlu dipikirkan dan dicontoh mekanisme yang dibangun oleh warga di perkampungan Wayame di mana pada saat terjadi konflik, masyarakatnya tidak terprovokasi dengan daerah-daerah sekitarnya sehingga tetap aman kendatipun warganya juga berasal dari komunitas agama yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA Gilbert, Alan dan Josef Gugler. Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1996. Neuman, W. Laurence. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Boston: Ally & Bacon, 1997. Nurhasim, Moch. dan Tri Ratnawati. “Kapasitas Negara dan Masyarakat dalam Resolusi Konflik di Ambon”. Dalam Rozi, Syafuan dkk. Hubungan Negara dan Masyarakat dalam Resolusi Konflik di Indonesia: Kasus Sulawesi Tengah, Maluku, dan Maluku Utara. Jakarta: LIPI Press, 2005. Pardino, Eddy Sudaryono, dan Totok Pratowo. Permukiman Kembali Pengungsi Akibat Konflik Sosial: Studi Kasus Pontianak, Ambon, Poso, dan Sampit. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Budaya dan Peran Masyarakat, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pekerjaan Umum, 2008. Pemerintah Kota Ambon. Keputusan Walikota Ambon Nomor: 151 Tahun 2009 Tentang Penetapan Sisa Pengungsi Kota Ambon, 2009. Pieris, John. Tragedi Maluku: Sebuah Krisis Peradaban. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004. Pusat Pengkajian Sosial Budaya dan Ekonomi Wilayah (Sosbudekwil), Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Pengkajian Aspek Sosial Budaya Antar Etnik dan Agama dalam Rangka Permukiman Kembali Pengungsi di Ambon, 2001. Rozi, Syafuan dkk. Hubungan Negara dan Masyarakat dalam Resolusi Konflik di Indonesia: Kasus Sulawesi Tengah, Maluku, dan Maluku Utara. Ja-
34
karta: LIPI Press, 2005.
REKAYASA SOSIAL DALAM PEMBEBASAN LAHAN PEMBANGUNAN JALAN LINTAS SELATAN DI BANTUL Elias Wijaya Panggabean Puslitbang Sosekling, Balitbang-Kementerian PU Jl. Sapta Taruna Raya No. 26 Komplek PU Pasar Jumat 12310 Email:
[email protected] Abstract In principle, development is expected to bring a positive impact to the society. But often the impact of development can cause harm to the society, because of lack of handling of socio-economic aspects. The approach taken by the government in a free land on the Southern Java Free Way development in Bantul was considered to be quite successful because it applies the rules of social-engineering. This research attempts to identify the main components of social-engineering in the implementation of land acquisition by using a qualitative approach through in-depth observation and interviews. The components of social engineering which are preparation of social change, capacity building and make changes were identified to be well implemented on the road alignment determining phase, socialization phase, and land acquisition phases based on the values of transparency, participation, eligibility, fairness, and democratic. Key words: social-engineering, social change, road alignment, socialization, land acquisition Abstrak Pada prinsipnya, pembangunan diharapkan dapat membawa dampak positif kepada masyarakat. Namun seringkali dampak pembangunan yang terjadi malah merugikan bagi masyarakat, karena kurangnya penanganan terhadap aspek sosial-ekonomi. Pendekatan yang dilakukan pemerintah dalam membebaskan lahan dalam pembangunan Jalan Lintas Selatan di Bantul dinilai cukup berhasil karena menerapkan kaidahkaidah rekayasa sosial. Penelitian ini mencoba mengidentifikasi komponen-komponen penting diterapkannya rekayasa sosial dalam pembebasan lahan dengan menggunakan pendekatan kualitatif melalui observasi dan wawancara mendalam. Komponen-komponen rekayasa sosial yang meliputi penyiapan perubahan sosial, peningkatan kapasitas dan melakukan perubahan teridentifikasi telah diterapkan dengan baik pada tahap penetapan trase jalan, sosialisasi, dan pengadaan lahan yang dilandasi nilai-nilai transparansi, partisipasi, kelayakan, keadilan, dan demokratis. Kata kunci: rekayasa sosial, perubahan sosial, trase jalan, sosialisasi, pembebasan lahan
PENDAHULUAN Dari segi pertumbuhan ekonomi terdapat kesenjangan (disparity) antara wilayah utara dengan wilayah selatan Jawa. Hal ini ditunjukkan oleh persentase PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Kawasan Jawa bagian utara yang mencapai 88,63 % dari total PDRB Jawa. Sedangkan kontribusi Kawasan Jawa bagian selatan hanya 11,37 % (Dinas Kimpraswil DIY, 2005). PDRB yang sangat rendah ini merefleksikan tingginya tingkat kemiskinan di kawasan selatan. Faktor penyebabnya banyak dipengaruhi kondisi keterisolasian wilayah atau terbatasnya akses dari, dan ke wilayah selatan Jawa yang mengakibatkan aliran distribusi barang – jasa, aliran komunikasi, dan informasi menjadi sangat terbatas. Keterbatasan akses juga dipengaruhi dengan kondisi topografi di kawasan Pantai Selatan Jawa yang relatif curam dan tandus (Dinas Kimpraswil DIY, 2005). Salah satu upaya memacu pertumbuhan
ekonomi masyarakat di wilayah selatan Jawa yang dilakukan pemerintah adalah pembangunan dan peningkatan infrastruktur khususnya infrastruktur jalan. Program pembangunan jalan lintas selatan adalah salah satu upaya pemerintah untuk membuka dan mengembangkan wilayah selatan Jawa.
Pembangunan jalan lintas selatan di Kabupaten Bantul adalah bagian dari program nasional yang tertuang dalam kesepakatan bersama antara Gubernur Banten, Gubernur Jawa Barat, Gubernur Jawa Tengah, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dan Gubernur Jawa Timur, No. 611.51/ 2-HUK2004, No. 620/2004, No. 1/2004, No. 119/0450, dan No. 120.1/522/012/2004 tanggal 18 Pebruari 2004 tentang Pembangunan Jaringan Jalan Lintas Selatan Pulau Jawa. Selanjutnya berdasarkan kesepakatan Komisi IV DPR RI dengan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah tanggal 5 Mei 2004, program pembangunan jaringan jalan lintas selatan Jawa
35
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011
ditetapkan sebagai Program Jalan Arteri Primer Jalan Lintas Selatan Jawa. Pada prinsipnya pembangunan jalan diharapkan membawa dampak positif bagi masyarakat seperti kemudahan akses transportasi dan distribusi, perkembangan wilayah dan terbukanya lapangan pekerjaan baru. Namun seringkali fakta di lapangan berbicara lain. Pembangunan infrastruktur jalan sudah sangat sering menimbulkan permasalahan sosial yang tidak diprediksi sebelumnya, mulai dari konflik pembebasan tanah, konflik masyarakat dengan pemerintah, konflik karena tidak dilibatkan dalam proyek atau kendala adaptasi terhadap lingkungan sosial yang baru. Hal ini tentunya akan sangat mengganggu dan menghambat program dan target pembangunan itu sendiri.
Pada pembangunan Jalan Lintas Selatan Jawa di Kabupaten Bantul, khususnya pada fase pembebasan lahan, ternyata kekhawatiran di atas relatif tidak menggangu proses pembangunan. Memang masih ada terdapat satu-dua masalah dengan kepentingan individu warga, namun secara umum proses sosialisasi sampai pembebasan lahan relatif berhasil. Artinya proses pembebasan lahan yang selama ini merupakan tahap paling sulit dilewati, dapat dicapai relatif tidak terjadi konflik atau gesekan sosial. Hal ini tentunya adalah suatu kondisi yang diharapkan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Namun bagaimana hal ini bisa terjadi adalah pertanyaan yang menarik dan penting untuk digali sehingga menjadi rekomendasi dalam pembebasan lahan di wilayah lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengindentifikasi pola pendekatan pemerintah selaku inisiator pembangunan, upaya-upaya apa yang dilakukan dalam mengantisipasi dan mengatasi masalah sosial yang terjadi dan bagaimana respon masyarakat menanggapi pola pendekatan dan kebijakan yang dilakukan pemerintah.
TINJAUAN PUSTAKA 1. Rekayasa Sosial
Rekayasa sosial dilakukan karena munculnya masalah-masalah sosial yaitu timbulnya perbedaan antara keadaan yang seharusnya (das sollen) dengan keadaan sebenarnya (das sein). Untuk meminimalkan dampak negatif dari suatu perubahan/ masalah sosial dilakukan dengan pendekatan rekayasa sosial. Rekayasa sosial merupakan kiat-kiat atau strategi yang terencana untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah sosial yang ada sesuai dengan yang diharapkan (Rahmat, 2000).
Untuk menangani permasalahan sosial dalam pembangunan harus melalui perubahan sosial
36
yang meliputi: 1) perubahan perilaku pada tingkat individu, kelompok sosial dan lembaga sosial; 2) perubahan sikap individu dan masyarakat terhadap pembangunan sesuai yang diinginkan oleh pembuat rekayasa; 3) perubahan nilai-nilai, nilainilai tradisional yang merupakan kearifan lokal (traditional knowledge, indigenous technology) digunakan sebagai potensi sedangkan nilai-nilai tradisional yang menghambat pembangunan dirubah dengan nilai-nilai yang membangun. Menurut Jalaludin Rahmat (2000) dan Puslitbang SEBRANMAS (2010), terdapat tiga komponen utama tahapan rekayasa sosial yaitu:
a) Menyiapkan perubahan • Identifikasi isu-isu, dimensi masalah, aktoraktor, dan dinamika permasalahan • Melakukan pendekatan sosio-kultural • Merumuskan kebutuhan untuk pencapaian tujuan • Merumuskan kebutuhan untuk membangun kerjasama dan kemitraan • Merumuskan kebutuhan sumberdaya pembangunan/ kegiatan b) Meningkatkan kapasitas • Menggali potensi masyarakat • Meningkatkan pemahaman, persepsi, dan motivasi masyarakat • Meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan masyarakat • Menghubungkan masyarakat dengan sistem yang menyediakan sumber daya, pelayanan dan kesempatan • Menawarkan operasional dari sistem tersebut secara efektif dan efisien • Memberikan masukan bagi pembangunan dan peningkatan kebijakan sosial • Memperkuat dan membangun social capital c) Melakukan perubahan • Merubah pandangan individu dan masyarakat (ide/gagasan) • Merubah sistem sosial, perubahan sikap dan tingkah laku, perubahan tindakantindakan manusia dalam masyarakat • Membangun kepribadian inovatif (kreativitas) • Membangun harapan dan peran dalam masyarakat dan pembangunan • Membangun keinginan untuk berprestasi dan memecahkan masalah • Melaksanakan pemecahan, penanganan dan pengelolaan permasalahan lingkungan sosial • Melaksanakan pengelolaan berkelanjutan
2. Jalan
Rekayasa Sosial Dalam Pembebasan Lahan Pembangunan Jalan Lintas Selatan Di Bantul Elias Wijaya Panggabean
Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu-lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel. Jalan sebagai bagian prasarana transportasi mempunyai peran penting dalam bidang ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, politik, pertahanan dan keamanan, serta dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat (UU Jalan No. 38 Tahun 2004). Pembangunan jalan lintas selatan di Kab. Bantul difungsikan sebagai jalan arteri primer dengan memanfaatkan sebagian besar jalan eksisting dan sebagian kecil membuka jalan baru. Konsekuensinya adalah akan terjadi pembebasan lahan yang harus dilakukan pemerintah. Jalan arteri primer merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna (UU Jalan No. 38 Tahun 2004).
Gambar 1. Rencana Penampang Melintang JJLS (Sumber: Dinas Kimpraswil DIY, 2005)
Dalam pembangunan jalan, menurut PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan, masyarakat mempunyai peranan dalam pengaturan, pembinaan, pembangunan dan pengawasan jalan yang mencakup: 1) berperan dalam penyusunan kebijakan perencanaan; 2) berperan dalam pemberdayaan, penelitian dan pengembangan; 3) penyusunan program, penganggaran, perencanaan, konstruksi, pengoperasian dan pemeliharaan jalan; 4) pengendalian dan pengawasan fungsi dan manfaat jalan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Mei-Juni 2006 oleh tim peneliti dari Puslitbang SEBRANMAS – Dep. PU dengan mengambil lokasi studi pada rencana pembangunan Jalan Lintas Selatan Jawa di Kab. Bantul, khususnya pada fase pengadaan lahan yang sangat erat hubungannya dengan aspek sosial-ekonomi masyarakat. Penelusuran trase jalan meliputi ruas Congot-Srandakan, ruas SrandakanParangtritis, ruas Parangtritis-Baron dan ruas Baron-Duwet. Pengumpulan data primer dilakukan dengan melakukan wawancara secara mendalam (in-depth interview) dengan aktor-aktor kunci, yaitu inisiator program (Dinas Bina Marga Provinsi DIY, Dinas Bina Marga Kab. Bantul), Petugas Pendata dan Pengukur, aparat desa), dan warga masyarakat yang terkena dampak pembebasan lahan serta dengan melakukan penelurusan dan pengamatan (observation) langsung pada lokasi studi. Sementara itu data-data sekunder diperoleh melalui kajian literatur dari berbagai sumber seperti laporan penelitian, dan buku-buku literatur.
Penetapan aktor-aktor kunci dilakukan dengan pendekatan pusposive-sampling, dengan pengertian bahwa aktor-aktor yang dituju adalah yang dianggap sudah memahami isu-isu dan pokok permasalahan di lapangan baik dari inisiator maupun penerima (beneficiary).
Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan kualitatif untuk menggali fenomena sosial interaksi yang dibangun oleh pemerintah selaku insiator program dengan masyarakat selaku penerima program secara alamiah. Analisis data menggunakan metode eksploratif dan dipaparkan secara deskriptif, untuk mengungkapkan fakta-fakta atau fenomena sebagaimana adanya, dan memberikan interpretasi terhadap fakta-fakta tersebut. HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Gambaran Lokasi Studi
Luas Kabupaten Bantul adalah 506,85 km2 (15,91% dari luas Provinsi Yogyakarta). Jumlah penyebaran penduduk adalah 781.059 jiwa (25% dari jumlah penduduk Provinsi Yogyakarta dengan rincian laki-laki 382.007 jiwa dan perempuan 398.170 jiwa). Kondisi topografi di sepanjang trase jalan adalah relatif datar dan dekat dengan pantai dengan iklim tropis dengan musim hujan dan musim panas silih berganti tiap setengah tahun dengan curah hujan 0,01-100 mm (Yogyakarta Dalam Angka, BPS 2001). Dari aspek budaya, sistem nilai budaya termasuk
37
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011
Gambar 2. Kerangka Pikir Penelitian seni, gaya hidup Jawa Yogyakarta yang berkembang di Kabupaten Bantul sangat dipengaruhi oleh keberadaan Kraton. Aset budaya di Kabupaten Bantul meliputi kawasan, kelompok bangunan, komponen bangunan dan bangunan tunggal, antara lain meliputi kawasan Parangtritis, sebagian Kotagede, Ambarbinangun dan Imogiri.
Program pembangunan Jalan Lintas Selatan di Provinsi Yogyakarta meliputi tiga kabupaten, yaitu: Bantul, Kulonprogro dan Gunung Kidul dengan panjang total 130,305 km (untuk program jangka pendek) dan 117,60 km (untuk program jangka panjang). Di Kabupaten Bantul, terdapat tiga kecamatan yang dilalui trase Jalan Lintas Selatan yaitu : Kec. Srandakan terdiri dari 2 desa yaitu Desa Trimurti dan Desa Poncosari, Kec. Sanden terdiri
dari 3 desa yaitu Desa Gadingsari, Desa Srigading dan Desa Gadingharjo dan Kec. Kretek terdiri dari 3 desa yaitu Desa Tirtihargo, Desa Donotirto dan Desa Parangtritis. Luas lahan yang dilalui oleh Jaringan Jalan Lintas Selatan di Kab. Bantul adalah: Kec. Sanden 2.316 Ha; Kec. Srandakan 1.832 Ha dan Kec. Kretek 2.677 Ha dengan persentase pemanfaatan sebagai berikut. Total keseluruhan luas lahan yang dibebaskan untuk Kabupaten Bantul sebanyak 412.256 m2 atau 41,226 ha dengan perincian: sawah (17,19%), lahan pekarangan (7,59%), bangunan (0,22%), dan Gambar 3. Pemanfaatan Luas Lahan untuk JJLS (Sumber: Dinas Kimpraswil DIY, 2005)
Gambar 4. Peta Jaringan Jalan Lintas Selatan di Kab. Bantul (Sumber: Dinas Kimpraswil DIY, 2005)
38
Rekayasa Sosial Dalam Pembebasan Lahan Pembangunan Jalan Lintas Selatan Di Bantul Elias Wijaya Panggabean
lain-lain (25%) (Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah Provinsi DI Yogyakarta, 2005). Pemanfaatan lahan yang sebagian besar dimanfaatkan untuk persawahan, mengindikasikan sebagian besar penduduk yang akan dibebaskan lahannya adalah petani. Pembebasan lahan akan berdampak pada perubahan mata pencaharian penduduk dan berpengaruh pada penurunan atau peningkatan perekonomian masyarakat. 2. Identifikasi Komponen Pembebasan Lahan
Penting
dalam
Pembebasan lahan adalah fase yang sangat krusial terkait dengan berlanjut atau tidaknya pembangunan infrastruktur jalan. Pada fase ini paling tidak terdapat tiga komponen penting yang harus dilalui dan harus ditangani secara bijaksana agar tidak terjadi konflik sosial yang akan menghambat pembangunan jalan, yaitu: 1) penetapan trase jalan; 2) sosialisasi; dan 3) pengadaan lahan (Tabel 1). Pengukuran dampak sosial penting dilakukan dengan melakukan analisis melalui telaah secara holistik atas berbagai keberagaman dampak serta telaah kausatif yang dikaitkan dengan isu penting lingkungan lainnya, serta mengidentifikasi dampak positif dan negatifnya. Dari rumusan komponen penting yang mungkin terjadi dapat dirumuskan
suatu matriks dampak sosial penting pada Tabel 2.
Sesuai dengan kebijakan pemerintah, jalan lintas selatan kedepannya akan difungsikan sebagai jalan arteri primer yang berarti akan membutuhkan pelebaran/ pembukaan jalan. Untuk menekan anggaran pembebasan lahan, dan mengurangi konflik pembebasan, maka pemerintah mengambil kebijakan penetapan trase menggunakan sebagian besar jalan eksisting dan dilakukan secara bertahap (program jangka pendek dan jangka panjang). Perencanaan awal penetapan trase jalan sebagian besar digodok pada tataran level inisiator program (pemerintah) dengan mempertimbangkan pola penyebaran penduduk, pemerataan pembangunan dan pengembangan potensi masing-masing wilayah. Setelah ditetapkan, selanjutnya disosialisasikan kepada masyarakat untuk memperoleh masukan dan penyempurnaan dari masyrakat. Kebijakan ini disatu sisi diambil untuk menghindari potensi gejolak sosial (tarik-menarik kepentingan) dan menekan spekulan-spekulan tanah yang akan merugikan masyarakat. Namun di sisi lain, juga mengakibatkan munculnya ketidakpastian dan kebingungan pada masyarakat. Hal ini teridentifikasi pada jenis dampak negatif (Tabel 2) yaitu munculnya konflik dan keresahan di masyarakat akibat ketidakjelasan
Tabel 1. Komponen Penting Pembebasan Lahan
NO I
II
III
Komponen
URAIAN
DAMPAK Jenis Dampak
Tolok Ukur
Penentuan Trase Jalan Dinamika Sosial
Munc ulnya konflik apabila masyarakat tidak dilibatkan dalam men en tukan trase jalan
Banyaknya warga yang tidak tahu tentang Jalan Lintas Selatan yang sebenarnya Keingintahuan warga tentang jalur yang akan dilalui Jalur Lintas Selatan
Sikap dan Persepsi Masyarakat
Persepsi n egatif masyarakat terhadap kegiatan penentuan trase jalan bila tidak melibatkan warga
Sikap dan Persepsi Masyarakat
Munc ulnya keingintahuan masyarakat tentang informasi yang jelas mengenai renc ana kegiatan proyek
Banyaknya warga yang bertanya-tanya dan menc ari informasi melalui sosialisasi
Ko nflik Sosial
Munc ulnya konflik kepentingan atau pro tes warga pada saat sosialisasi
Keresah an dan protes masyarakat apabila rumah atau lahanya tergusur karena tidak mendapatkan info rmasi yang jelas
Dinamika Sosial
Protes dari masyarakat yang terkena penggusuran akibat ketidaksesuaian nilai ganti ru gi
Sikap dan Persepsi Masyarakat
Munc ulnya konflik dari masyarakat yang keberatan apabila lahannya dibebaskan dan sulitn ya beradaptasi d en gan lingkungan yang baru
Persepsi negatif masyarakat mengen ai ganti rugi akibat pengalaman bahwa proyek pemerintah yang menggu nakan lahan mayarakat tidak mendapat ganti rugi Protes warga terhadap rencana proyek yang akan menggusur lahannya dan sulitnya kesepakatan yang terjadi antara warga dan pemrakarsa
Sosialisasi
Pengadaan Lahan
(Sumber: Puslitbang SEBRANMAS, 2006, diolah)
39
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011
dalam rangka mendorong perubahan sikap dan perilaku masyarakat khususnya warga yang resisten. Disamping mensosialisasikan pentingnya dan manfaat yang akan diterima masyarakat dengan hadirnya jalan lintas selatan, konsep pendekatan sosio-kultural juga diterapkan pemerintah. Hal ini teridentifikasi dari mitos yang diangkat oleh inisiator program:
trase jalan.
Pada tahap sosialisasi dan pengadaan lahan, tarik-menarik kepentingan sebagian besar terkait dengan besaran nilai ganti rugi lahan, perubahan mata pencaharian warga, atau adanya potensi pertambahan income dengan kehadiran proyek. Beragam masalah atau potensi masalah ini dicoba tanggulangi oleh pemerintah melalui pendekatan sosial (non-struktural). Tabel 2. Matriks Ukuran Dampak Sosial Kegiatan
Kegiatan Penyebab Dampak
a. Penentuan Trase Jalan
n a h La n as a b e b m e P
a. Sosialisasi
Parameter Dampak
Derajat Dampak
Jenis Dampak
Sifat Dampak Positif
Dinamika Sosial
Munculnya konflik, kejelasan trase
mengenai
Penting
Sementara
Sikap dan Persepsi Masyarakat
Munculnya keresahan di kalangan masyarakat akibat ketidak jelasan trase
Penting
Semenatara
Dinamika Sosial
Timbulnya konflik di masyarakat dalam memperjuangkan hak dan kepentingannya pada saat sosialisasi.
Penting
Sementara
Sikap dan Persepsi Masyarakat
Munculnya harapan masyarakat bahwa kegiatan proyek akan mampu meningkatkan pendapatan daerah serta dapat membuka peluang usaha bagi masyarakat sekitar
a. Pengadaan Lahan Dinamika Sosial
Sikap dan Persepsi Masyarakat
di masyarakat
Negatif
Penting
Sementara
Terjadinya konflik akibat kehilangan sumber mata pencaharian penduduk petani penggarap dan pemilik lahan garapan, pekarangan dan bahkan ada yang harus berpindah tempat
Penting
Sementara
Ketidakpuasan masyarakat mengenai nilai jual lahan yang terkena pembebasan
Penting
Sementara
(Sumber: Puslitbang SEBRANMAS, 2006, diolah)
3.
Mengukur Dampak Sosial
4. Pola Pendekatan Sosial Seperti yang sudah diulas sebelumnya bahwa apabila terjadi kondisi yang berbeda dengan perencanaan di awal, maka inisiator program dapat mengambil langkah-langkah terencana untuk mencapai kondisi yang diharapkan. Walaupun dalam pelaksanaan pembebasan lahan, inisiator program tidak secara eksplisit menyebutkan konsep rekayasa sosial, namun tindakan-tindakan yang dilakukan di lapangan dapat dipandang penulis sebagai bagian komponen-komponen penting dari rekayasa sosial yang akan diulas dalam paper ini. a) Menyiapkan Perubahan Sosial
Penyiapan perubahan sosial dilakukan insiator program dalam rangka memahami permasalahan sosial yang terjadi, menggali isu-isu, memahami aktor-aktor kunci yang terlibat dan mengukur sejauh mana kemampuan sumber daya inisiator,
40
“Yen Ono Joko Soko Pacitan, Iso Mboyong Putri Purworejo Setugel Dino, Bakale Pawonsari Bakulrejo Makmur” (Puslitbang SEBRANMAS, 2006) Maknanya adalah apabila ada laki-laki dari Pacitan dapat memboyong putri dari Purworejo maka wilayah Yogyakarta akan makmur. Artinya kehadiran JJLS akan mampu memperlancar akses dari wilayah Pacitan (timur) ke Purworejo (barat) melalui wilayah Yogyakarta. Pendekatan kepada aktor-aktor kunci khususnya dari Kesultanan Yogyakarta juga intens dilakukan, karena latar belakang kepemilikan tanah di wilayah Bantul cukup banyak yang dimiliki oleh pihak kesultanan. Disamping itu wilayah pantai selatan Bantul juga digunakan sebagai tempat menyelenggarakan upacara-upacara Kraton Yogyakarta. Sistem budaya masyarakat yang relatif masih kuat dan ‘patuh’ pada Sultan semakin mempermudah proses dan keterbukaan masyarakat dalam negosiasi pembebasan lahan.
“Untuk jangka panjang, hampir menggunakan
Rekayasa Sosial Dalam Pembebasan Lahan Pembangunan Jalan Lintas Selatan Di Bantul Elias Wijaya Panggabean
tanah kesultanan, akan berdampak pada masyarakat petani yang menggunakan tanah tersebut. Sebelum pembangunan ini dilaksanakan, mohon dicarikan solusi untuk sarana dan prasarana usaha tani. Pemanfaatan tanah kesultanan sebesar 250 Ha” (Matoni – Camat Sanden, 2006)
“Di Desa Trimurti, banyak permukiman dan tempat usaha yang terkena tetapi sejauh ini belum ada masalah dalam pembebasan lahan” (Januri Desa Trimurti, 2006) Dari temuan lapangan dan kutipan wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa upaya pemerintah dalam menyiapkan perubahan sosial, lebih ditekankan pada pendekatan dan pemahaman isuisu sosio-kultural dan pola pendekatan kepada tokoh-tokoh berpengaruh, seperti pihak kesultanan, sampai tokoh-tokoh masyarakat pada level paling rendah yang sudah dipercaya masyarakat.
Aspek sumber daya adalah salah satu komponen penting dalam rekayasa sosial khususnya di fase penyiapan perubahan sosial. Dalam hal ini dapat diidentifikasi kesiapan sumber daya yang dimiliki oleh inisiator program. Dari aspek sumber daya manusia (mulai dari level provinsi, kabupaten sampai pada aparat lapangan (petugas pengukur dan pembayar) yang dipercaya oleh masyarakat dengan menggandeng tokoh-tokoh masyarakat dan pihak kesultanan. Dari aspek sumber daya keuangan, role sharing yang sudah disepakati bersama adalah: pembebasan lahan 90% Pemprov DIY, 10% Pemkab. Bantul serta konstruksi dari pemerintah pusat. Role sharing ini dinilai sudah sangat ideal dan tidak memberatkan masing-masing pihak.
Rencana pembebasan lahan yang akan memanfaatkan cukup besar lahan pertanian (sawah) milik petani juga menjadi konsern bagi inisiator program. Karena dengan membebaskan lahan pertanian, berarti akan merubah pola hidup dan mata pencaharian warga. Untuk itu dalam studi AMDAL pembangunan jalan Lintas Selatan sudah mengakomodasi tentang potensi produktivitas tanaman khususnya tanaman padi. Artinya isuisu sensitif terkait dengan keberlanjutan hidup masyarakat, sedikit banyak sudah diantisipasi oleh inisiator program. b) Meningkatkan Kapasitas
Peningkatan kapasitas sosial meliputi perubahan persepsi, pemahaman dan menggali potensi, keterampilan dan modal sosial yang ada di masyarakat. Proses negosiasi antara pemerintah dengan masyarakat terkait dengan penetapan trase jalan berlangsung cukup dinamis dan konstruktif. Walaupun pada awal program terjadi konflik dan keresahan di masyarakat terkait dengan penetapan
trase, pematokan lahan dan rencana pembebasan lahan namun intensnya sosialisasi yang dilakukan inisiator cukup membuat kekhawatiran masyarakat semakin berkurang.
Program sosialisasi dan perkuatan kapasitas masyarakat yang dilakukan insiator program meliputi sosialisasi potensi peningkatan perekonomian dan pendapatan warga yang merupakan aspek strategis dalam merubah sikap dan persepsi masyarakat. Keterlibatan warga dalam pembangunan konstruksi jalan (sebagai tenaga kerja), potensi kelancaran distribusi produk pertanian dan perikanan ke wilayah lain dan potensi perkembangan wisata lokal dengan tidak meninggalkan sisi-sisi sosio-kultural adalah pokok-pokok penting yang disosialisasikan insiator program kepada masyarakat. Upaya ini ternyata mendapat respon positif dari masyarakat yang teridentifikasi dari peran aktif masyarakat dalam memberikan masukan penyempurnaan konsep trase jalan dan pembangunan fisik.
“Untuk tahap menengah Pertigaan BabakanPandansimo di Dusun Krajan) harapan warga agar jalannya diluruskan, untuk menghindari permukiman warga” (Bapak Sugian- Desa Gondosari, 2006) “Patok yang sudah ada apakah menjadi rencana as jalan atau apa? Hal ini berhubungan dengan rencana masyarakat dalam pembangunan rumah mengikuti rencana JJLS” (Yunardiono – Desa Tirtohardo) “Apakah sisi kanan-kiri jalan, dapat dimanfaatkan masyarakat untuk kegiatan usaha?” (Worsidi, 2006)
Beberapa kutipan wawancara di atas menunjukkan partisipasi masyarakat sudah cukup baik dan mengindikasikan telah terjadi peningkatan kapasitas di dalam warga masyarakat menyikapi kebijakan pemerintah. Persepsi dan pemahaman masyarakat yang sebelumnya negatif perlahanlahan dirubah ke arah positif mendukung dan berperan akltif dalam program pembangunan Jalan Lintas Selatan Jawa.
Sumber daya berupa pasar perdagangan di Sanden, Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pandasimo yang menjadi daya tarik wisata dan Kawasan wisata Samas akan dipertahankan dan dikembangkan dengan kehadiran JJLS (Laporan KA Andal JJLS Jawa, Dinas Kimpraswil DIY, 2005). Hal ini adalah salah satu bukti bahwa kehadiran Jalan Lintas Selatan di Bantul diharapkan dan sudah direncanakan untuk mengakomodasi terhubungkannya masyarakat dengan sistem yang menyediakan sumber daya, pelayanan dan kesempatan (mengacu pada
41
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011
komponen rekayasa sosial).
Disamping itu juga salah satu modal sosial yang dapat diidentifikasi adalah harapan besar masyarakat agar proyek pembangunan ini akan mampu meningkatkan pendapatan daerah serta dapat membuka peluang usaha bagi masyarakat sekitar (tabel 2). Hal ini mengindikasikan tingkat pemahaman dan pendidikan masyarakat di Bantul sudah relatif maju. Persepsi seperti di atas akan menjadi motor penggerak terwujudnya program pembangunan JJLS. c) Melakukan perubahan
Perubahan yang diharapkan pada konsep rekayasa sosial adalah perubahan pandangan individu dan masyarakat baik melalui ide atau gagasan, perubahan sistem sosial, sikap dan tingkah laku, perubahan tindakan-tindakan masyarakat, munculnya kepribadian inovatif, terwujudnya peran masyarakat dalam pembangunan, memecahkan masalah secara mandiri serta pengelolaan yang berkelanjutan.
Dari hasil observasi dan analisis, telah terjadi perubahan sikap dan pandangan di tengahtengah masyarakat dalam menyikapi program pembangunan JJLS ini. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pernyataan warga dan tindakan yang mereka lakukan sendiri. “Warga masyarakat berharap wilayahnya berkembang dengan adanya JJLS ini, termasuk di bidang perekonomian warga” (Budimulyo – Gunungtirto, 2006)
“Besarnya keinginan dari stakeholders diharapkan dapat mempercepat dan mempermudah pelaksanaan pembanghunan JJLS” (Bambang Sugalip – Dinas Bina Marga DIY, 2006) Tindakan kreatif juga hadir dari salah seorang warga yang memperbaharui posisi bangunan rumahnya (memundurkan) beberapa meter dari pinggir jalan sampai batas pembebasan lahan sesuai trase jalan secara sukarela. Hal ini dapat dilihat pada kutipan pendapat warga berikut: “Apabila jalan ini sudah terbangun, wilayah ini pasti akan lebih maju, jadi ngapain kita harus nolaknolak” (anonim, 2006) Masalah yang dihadapi juga dirembugkan antara pemerintah selaku insiator program dengan masyarakat untuk menemukan solusi yang terbaik. Hal ini teridentifikasi dari pernyataan salah seorang aktor dari pemerintah setempat. “Dari baros ada dua alternatif, yang pertama langung ke timur (Depok), masuk ke Gunung kidul.
42
Yang kedua dari baros ke utara langsung ke BPS. Dari Depok laternatif I setiap tanggal satu suro macet, sehingga tidk direkomendasikan” (Bapak Jawun Dinas Bina Marga Kab. Bantul, 2006)
Pengelolaan yang berkelanjutan adalah rangkaian terakhir dari suatu program yang akan mencapai target yang optimal. Apabila pembangunan fisik tidak diikuti dengan pengelolaan yang berkelanjutan, maka hasil yang akan diperoleh tidak akan optimal dan hanya sementara saja. Pematokan lahan yang sudah mulai dilakukan pemerintah dalam kenyataannya memang cenderung tidak langung diikuti dengan pembangunan fisik. Akibatnya masyarakat menjadi bingung dan bertanya-tanya kapan proyek pembangunan akan dimulai. Hal ini juga akan mengundang orang-orang untuk mengokupasi lahan yang sudah dibebaskan.
“Patok yang sudah ada apakah menjadi rencana as jalan atau apa? Hal ini berhubungan dengan rencana masyarakat dalam pembangunan rumah mengikuti rencana JJLS” (Yunardiono - Desa Tirtohardo, 2006)
Mengenai hal ini pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten) sudah memikirkan strategi percepatan pembebasan lahan dan pembangunan fisik jalan. Konsep pembangunan jalan yang dibagi dalam dua tahap (jangka pendek 2005-2007 dan jangka panjang 2008-2025) adalah strategi mengurangi masalah sosial dalam pembebasan lahan dan juga mengantisipasi keterbatasan anggaran pemerintah.
Dalam jangka pendek pembebasan lahan dan pembangunan fisik sudah mulai dilakukan di beberapa titik seperti perbaikan tikungan dan jembatan di Srandakan, pelebaran jalan eksisting di ruas Poncosari-Kretek, ruas Parangtritis-GirijatiLegundi-Plajan-Baron serta ruas Baron-TepusJurukwudel-Duwet (Dinas Kimpraswil DIY, 2005). Percepatan pembebasan dan pembayaran ganti rugi juga dilakukan oleh pemerintah setempat, walaupun memang karena keterbatasan anggaran dan proses administrasi yang lama membuat progress pembebasan lahan cukup memakan waktu yang relatif lama.
5. Nilai-Nilai Rekayasa Sosial
Dari pembahasan mengenai penerapan rekayasa sosial dalam pembebasan lahan, dapat disimpulkan beberapa nilai-nilai yang dicoba diimplementasikan oleh pemerintah selaku inisiator program yaitu: a) Transparansi
Dalam penetapan trase jalan, pada umumnya prinsip transparansi relatif dapat diimplementasikan oleh pemerintah. Hal ini dapat terlihat dengan
Rekayasa Sosial Dalam Pembebasan Lahan Pembangunan Jalan Lintas Selatan Di Bantul Elias Wijaya Panggabean
pelibatan masyarakat dalam pemberian saran dan kritik proses penetapan trase jalan dan transparansi besaran ganti rugi lahan.
Pada tahap sosialisasi, ditemukan terjadinya konflik sosial, yaitu konflik kepentingan di antara masyarakat dan timbulnya keresahan terhadap rencana pembebasan lahan. Namun setidaknya intensnya sosialisasi dan pendekatan yang dilakukan pemerintah kepada masyarakat dengan menggandeng tokokh-tokoh kunci telah memberikan dampak signifikan dalam merubah sikap, persepsi dan perilaku masyarakat dalam menanggapai program pemerintah. Pada tahapan pengadaan lahan, ke-transparansi-an sangat dibutuhkan masyarakat, karena menyangkut nilai ganti rugi atas lahan dan bangunan masyarakat. Upaya transparansi relatif sudah dilakukan oleh pemerintah, hal in terlihat dari kemauan dari warga asal dengan nilai ganti rugi yang adil. Keinginan masyarakat untuk memperoleh ganti rugi senilai dengan harga pasar (di atas NJOP) memperlihatkan adanya komunikasi dan keterbukaan yang terjalin antara pemerintah dengan masyarakat. b) Partisipatif
Upaya pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam setiap tahapan pembangunan khususnya pada fase pembebasan lahan sudah relatif baik. Hal ini terindentifikasi dari upaya pemerintah dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menyampaikan saran dan kritik dalam penetapan trase dan sosialisasi serta mengajak masyarakat untuk berdikusi dalam menentukan harga ganti rugi yang layak. Partisipasi masyarakat juga terlihat dari konstruktifnya usulan dan perbaikan trase untuk mengakomodasi potensi-potensi pengembangan wilayah. c) Kelayakan dan Keadilan
Sisi kalayakan dan keadilan dapat dilihat dari upaya pemerintah dalam menetapkan trase jalan menggunakan sebagian besar jalan eksisting agar tidak banyak melakukan pembebasan lahan. Pembebasan lahan di sisi kiri dan kanan jalan senantiasa dirancang seadil mungkin, agar di antara masyarakat tidak terjadi kecemburuan mengenai besar kecilnya lahan yang dibebaskan.
Upaya pemerintah dalam menegakkan keadilan pada pengadaan lahan terlihat dari penetapan harga yang tidak menggunakan patokan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) tetapi dirumuskan bersama dengan masyarakat seadil-adilnya. d) Demokratis Setiap
upaya
yang
dilakukan
pemerintah
seharusnya diusahakan agar senantiasa mengikuti kaidah-kaidah demokratis. Hal ini teridentifikiasi dari upaya pemerintah untuk senantiasa melibatkan masyarakat dalam setiap tahapan dan senantiasa membuat kebijakan yang pro terhadap masyarakat.
PENUTUP
Kesimpulan Rencana pembangunan Jalan Lintas Selatan di Provinsi DI. Yogyakarta khususnya di Kab. Bantul adalah bagian dari Program Nasional Pembangunan Jalan Lintas Selatan Jawa yang bertujuan untuk membuka keterisolasian dan pengembangan potensi wilayah selatan Jawa sekaligus untuk mengangkat perekonomian dan sosial masyarakat di wilayah selatan.
Proses pembebasan lahan yang berlangsung di Kabupaten Bantul secara umum berjalan dengan baik. Pola pendekatan yang dilakukan oleh inisiator program (pemerintah) tidak hanya mengutamakan pendekatan teknis tetapi sangat kental dengan muatan sosio-kultural yang relatif diterima dengan baik oleh masyarakat Bantul. Pola pendekatan sosial yang dilakukan pemerintah adalah komponenkomponen penting dari konsep rekayasa sosial yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah sosial yang ada sesuai dengan yang diharapkan. Tahapan penting yang teridentifikasi dalam pembebasan lahan pembangunan Jalan Lintas Selatan Bantul adalah: 1) penetapan trase jalan; 2) sosialisasi; dan 3) pengadaan lahan. Pada tahap penetapan trase dan sosialisasi terjadi konflik sosial terkait dengan kekurangpastian letak trase serta konflik kepentingan. Sedangkan pada tahap pengadaan lahan, konflik terjadi terkait dengan besar nilai ganti rugi lahan. Namun sisi positif yang dapat diidentifikasi adalah besarnya harapan warga bahwa dengan terbangunnya jalan ini akan membuka peluang usaha dan peningkatan pendapatan masyarakat.
Pola pendekatan sosial yang dilakukan pemerintah meliputi tiga komponen penting yaitu: 1) menyiapkan perubahan sosial; 2) meningkatkan kapasitas sosial dan 3) melakukan perubahan sosial. Dari semua komponen ini pendekatan berbasis sosio-kultural, tidak menghapus/ meninggalkan potensi lokal yang sudah terbangun dan berakar di masyarakat serta upaya perkuatan modal sosial mendukung program pembangunan adalah inti sari dari pola pendekatan non-struktural yang diimplementasikan pemerintah selaku inisiator program. Respon yang positif dari warga masyarakat yang teridentifikasi dari peran aktif dan
43
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011
konstruktif dalam penetapan trase jalan, sosialisasi sampai negosiasi harga lahan memperlihatkan pola pendekatan yang dilakukan pemerintah relatif berhasil. Nilai-nilai yang diimplementasikan oleh inisiator program adalah: transparansi, partisipatif, kelayakan dan keadilan serta demokratis, yang secara umum diterapkan dengan baik oleh pemerintah sebagai pemrakarsa pembangunan jalan lintas selatan. Rekomendasi
Pembangunan infrastruktur sudah saatnya memperhatikan aspek-aspek sosio-kultural yang sudah berkembang dan menyatu dengan masyarakat sebagai modal sosial dalam mendukung terwujudnya program pembangunan. Ke-transparansi-an pemerintah juga sangat menentukan berhasil atau tidaknya proses pembebasan lahan. Apabila anggaran pemerintah belum tersedia, hal yang paling pertama dilakukan adalah mensosialisasikannya kepada masyarakat. Karena masyarakat membutuhkan kepastian waktu dan besaran nilai ganti rugi.
Pemerintah juga sudah saatnya memikirkan kompensasi yang paling tepat bagi dampak sosial jangka panjang akibat pembangunan jalan seperti perubahan mata pencaharian, perubahan sistem sosial, atau perlunya upaya untuk adaptasi pada lingkungan sosial yang baru.
DAFTAR PUSTAKA
BPS, 2001, Yogyakarta dalam Angka
Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah Provinsi DI Yogyakarta, 2005, Rencana Penanganan Jaringan Jalan Lintas Selatan Yogyakarta Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah Provinsi DI Yogyakarta, 2005, Studi AMDAL Jalan Jembatan Lintas Selatan Jawa DI Yogyakarta Rakhmat, Jalaluddin, 2000, Rekayasa Reformasi, Revolusi atau Manusia Bandung, PT. Remaja Rosdakarya
Sosial Besar,
¬¬ Kepmen LH No. 299/11/1996 tentang Dampak Sosial AMDAL Moleong, L, 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya
PP. No. 34 tahun 2006 tentang Jalan
Puslitbang SEBRANMAS, 2006, Laporan Akhir Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Pembangunan Jalan Lintas Selatan Jawa Puslitbang SEBRANMAS, 2005, Laporan Akhir Rekayasa Sosial Pembangunan Jalan Tol Puslitbang SEBRANMAS, 2010, Draft Pedoman
44
RekayasaSosial Dampak Pembangunan Jalan Tol
Tim Penyusun, 2006, Metode Penelitian Sosial, Berbagai Alternatif Pendekatan, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya
UU No.38 tahun 2004 tentang Jalan
PERAN MASYARAKAT DALAM PERENCANAAN PEMANFAATAN RUANG: STUDI KASUS KAWASAN PERBATASAN JALAN GODEAN, YOGYAKARTA
Abstract
Adji Krisbandono Peneliti Studi Perkotaan dan Regional Puslitbang Sosekling, Balitbang-Kementerian PU Jl. Sapta Taruna Raya No. 26 Komplek PU Pasar Jumat 12310 Email:
[email protected]
Conflicts over spatial plan implementation have often been occurred in Indonesia. Some examples are agricultural areas conversion into residential and industrial estates, shopping malls development which re-moves settlement areas, utilization of conservation areas for business reasons, etc. They are not only po-tential for social conflict due to the neglected community participation –as stated in the Indonesian Spa-tial Planning Law No. 26/2007 Article VIII, but they can also be harmful for environment. This paper aims at exploring community participation during spatial plan formulation which is expected to obtain rec-ommendations for municipal government upon the implementation of the plan. Five sub-districts in the border of Yogyakarta, Bantul and Sleman were selected to be the location for this research due to the fact that agglomeration has been a major problem in these areas. Activities and settlement spill-over from Yogyakarta to Bantul and Sleman have crossed their administrative jurisdictions. By using qualitative approach and descriptive-qualitative technique, primary and secondary data were collected through field observation, interview, and exploration of project documents. Some notes obtained during this research are: public hearing and its respective mechanisms can be utilized as media to explore voices at the grass root level. Joint Secretariat of Kartamantul has also guided advocacy planning and community awareness building. Therefore, these efforts must be sustainably-conducted in order to criticize governments’ poli-cies, especially those of spatial planning products. Keywords: Community participation, spatial plan implementation, public hearing, advocacy, joint secre-tariat, Godean road. Abstrak Konflik dalam implementasi rencana tata ruang kerap terjadi di Indonesia. Beberapa contoh diantaranya adalah konversi lahan pertanian menjadi kawasan permukiman dan industri, pembangunan pusat perbelanjaan yang menggusur perumahan warga, konversi areal konservasi untuk fungsi komersial, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut tidak hanya berpotensi menimbukan konflik sosial karena tidak dilibatkannya masyarakat dalam perencanaan tata ruang sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 26/2007 Pasal VIII, tetapi juga akan berdampak pada lingkungan. Tulisan ini hendak mengeksplorasi bentuk peran masyarakat dalam perencanaan pemanfaatan ruang yang diharapkan dapat memberi masukan kepada pemda dalam implementasi rencana tersebut. Lima kelurahan di kawasan perbatasan antara kota Yogyakarta, kabupaten Bantul, dan kabupaten Sleman dipilih menjadi lokasi penelitian karena adanya fakta bahwa aglomerasi telah menimbulkan persoalan besar di wilayah ini. Bahkan limpahan kegiatan dan permukiman dari Yogyakarta ke Bantul dan Sleman telah melampaui batas-batas administratif. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan teknik deskriptif, data primer dan data sekunder diperoleh melalui observasi lapangan, wawancara, dan eksplorasi dokumentasi kegiatan. Beberapa catatan penting yang diperoleh dalam penelitian ini antara lain: public hearing dan mekanisme sejenisnya dapat dioptimalkan sebagai media untuk mengeksplorasi keinginan warga masyarakat. Advokasi perencanaan dan penyadaran masyarakat juga telah dilakukan oleh Sekretariat Bersama Kartamantul. Untuk itu, upaya-upaya seperti ini harus dilakukan secara berkesinambungan agar mampu mengkritisi kebijakan pemerintah, khususnya yang terkait produk-produk tata ruang. Kata kunci: peran masyarakat, implementasi rencana tata ruang, dengar pendapat, advokasi, sekretariat bersama, jalan Godean.
45
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011
PENDAHULUAN Akhir-akhir ini konflik penataan ruang tengah menjadi sorotan, baik pada tahap perencanaan, pemanfaatan, maupun pengendalian pemanfaatan ruang. Banyak kasus yang terjadi hampir di seluruh kota/kabupaten di Indonesia. Sebagaimana disampaikan oleh Erna Witoelar dalam Forum Nasional Tata Ruang di Jakarta (2001), bahwa beberapa konflik dalam pemanfaatan ruang yang sering terjadi antara lain konversi lahan pertanian beririgasi menjadi kawasan industri, kawasan perkebunan skala besar yang menggunakan lahan adat tanpa kompromi, kawasan pertokoan/mall yang menggusur paksa kawasan permukiman, kawasan lindung yang dibudidayakan oleh masyarakat atau pengusaha, dan sebagainya. Hal ini menyebabkan sering terjadinya gejolak sosial dan kerusakan lingkungan yang pada akhirnya tidak menjamin pembangunan yang berkelanjutan.
Indikasi munculnya konflik sosial tersebut disebabkan karena meskipun UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang Pasal VIII telah mengamanatkan bahwa setiap orang berhak untuk mengetahui rencana tata ruang, menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang, tapi tetap saja masyarakat –yang dalam hal ini sering “dipromosikan” sebagai aktor/pelaku utama pembangunan, jarang sekali diberikan kesempatan untuk turut berpartisipasi aktif dalam proses penataan ruang. Seandainya masyarakat dilibatkan dalam setiap tahap penataan ruang, maka kontrol sosial akan terbangun. Hal inilah yang dapat menjadi salah satu instrumen untuk mengajukan keberatan (complaint) jika terjadi penyalahgunaan ruang. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi bentuk-bentuk peran masyarakat dalam penataan ruang, khususnya dalam tahap perencanaan pemanfaatan ruang. Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan rekomendasi baik kepada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam mengembangkan peran masyarakat dalam setiap tahapan penataan ruang.
Sebagai contoh kasus dalam penelitian ini, akan dikaji kegiatan perencanaan pemanfaatan ruang partisipatif yang diinisiasi oleh Pemkot Yogyakarta, Pemkab Sleman, dan Pemkab Bantul yang tergabung dalam Sekber Kartamantul (Sekretariat Bersama Yogyakarta, Sleman, dan Bantul). Guna mencapai tujuan penelitian, maka permasalahan yang perlu mendapat penekanan dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1) Apa yang melatarbelakangi pelibatan masyarakat
46
dalam penataan ruang?
2) Bagaimana bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam penataan ruang? 3) Bagaimana bentuk dukungan dan fasilitasi pemerintah kepada masyarakat dalam perencanaan pemanfaatan ruang? 4) Aspek apa yang harus diperhatikan guna mengoptimalkan peran masyarakat dalam penataan ruang?
Beranjak dari permasalahan tersebut, maka diharapkan dari penelitian ini dapat diambil lessons learned yang mampu mengoptimalkan peran masyarakat dalam setiap proses penataan ruang; khususnya pada tahap perencanaan pemanfaatan ruang.
KERANGKA KONSEPTUAL
Konsepsi dan Hakekat Partisipasi Masyarakat Menurut Andi Oetomo (1997), isu partisipasi publik sebenarnya bukan paradigma baru dalam disiplin ilmu perencanaan tata ruang. Proses ini telah diperkenalkan, diadopsi, dan dipraktikkan di beberapa negara sejak tahun 1950an. Namun, hingga kini masih belum ditemukan format partisipasi publik yang sesuai untuk diterapkan Indonesia, meskipun UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang (saat itu), dan PP No. 69/1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang telah mengatur hal ini. Lebih jauh lagi, ternyata istilah “aktor/pelaku pembangunan”, dan sejenisnya sudah mulai ditinggalkan. Banyak praktisi dan pakar lebih memilih penggunaan istilah “stakeholders” yang tidak bermakna dikotomis, tetapi lebih berarti menyatu bersamasama menentukan kebijaksanaan, melaksanakan, dan menanggung implikasi hasil pembangunan, baik ataupun buruk. Paradigma “peranserta”, “partisipasi”, dan “stakeholders” tersebut kemudian bersamasama dengan paradigma lainnya berkembang semakin populer di negara-negara berkembang. “Pemberdayaan masyarakat” juga memegang peran sebagai salah satu pemicu upaya formalisasi peranserta masyarakat dalam segala aspek pembangunan, baik aspek teknis maupun prosedur administratif pembangunan yang konstitusional, termasuk “penataan ruang” di dalamnya. Pada tataran teoritis, perkembangan dan perdebatan teori partisipasi-pun mendapat perhatian yang cukup intensif di kalangan para scholars. Beberapa diantaranya adalah Jane Jacobs (1961) yang mengkritik pembangunan kota kala itu selain mempertimbangkan aspek fisik juga harus
Peran Masyarakat Dalam Perencanaan Pemanfaatan Ruang: Studi Kasus Kawasan Perbatasan Jalan Godean, Yogyakarta Adji Krisbandono mengakomodasi keragaman sosial masyarakat; Shirley Arnstein (1969: 217) yang mengemukakan penggolongan peranserta masyarakat ke dalam 8 (delapan) anak tangga/tingkatan berdasarkan “tingkat kekuasaaan” yang diberikan kepada masyarakat, yaitu dari yang terendah hingga tertinggi, sampai teori perencanaan kolaboratif dan perencanaan komunikatif yang diperkenalkan oleh Patsy Healey (1996; 1997), yang sangat menekankan peran perencana dalam memediasi interest berbagai elemen stakeholders.
para praktisi dan perencana sosial lebih banyak bekerja langsung di tengah-tengah masyarakat (pada kelompok pertama), dengan alasan untuk menumbuhkan kembali interaksi mutualistis antar individu yang sudah sulit dijumpai di masyarakat maju (civilized people) saat ini. Dalam konteks penelitian ini, peran fasilitasi yang dilakukan oleh Sekber Kartamantul beserta tiga pemda (Yogyakarta, Bantul, dan Sleman) termasuk ke dalam kelompok yang pertama. Mereka terjun
Tabel 1. Tingkatan Partisipasi Masyarakat
Tingkatan partisipasi 1 Manipulasi 2 Terapi 3 Pemberitahuan 4 Konsultasi 5
Penentraman
6 7
Kemitraan Pendelegasian kekuasaaan Kontrol masyarakat
8
Hakekat kesertaan Permainan oleh pemerintah Sekedar agar masyarakat tidak marah Sekedar pemberitahuan searah/sosialisasi Masyarakat dengan tapi tidak selalu dipakai sarannya Saran masyarakat diterima tapi tidak selalu dilaksanakan Timbal balik dinegosiasikan Masyarakat diberi kekuasaan (sebagian atau seluruh program) Sepenuhnya dikuasai masyarakat
(Sumber: Arnstein: 1969: 217)
Tiga klasifikasi puncak (kontrol masyarakat, pelimpahan kekuasaan, dan kemitraan) adalah apa yang sebenarnya menurut Arnstein tentang hakekat “peranserta masyarakat” itu sendiri, yaitu pada derajat kekuasaan dimana telah terwujud hak, tanggungjawab dan wewenang antara masyarakat, dan pemerintah dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks penataan ruang, Lauffer (1978, dalam Oetomo, 1997) menunjukkan bahwa terdapat 2 (dua) kelompok besar jika melihat tujuan pemanfaatan peranserta masyarakat, yaitu pertama, kelompok yang melihat peranserta sebagai tujuan proses perencanaan. Dan kedua, kelompok yang melihat peranserta sebagai cara yang baik dan adil untuk mencapai produk rencana. Lauffer menilai bahwa kecenderungan yang ada saat ini adalah
Tingkatan pembagian kekuasaan Tidak ada partisipasi Tokenism/sekedar justifikasi agar masyarakat mengiyakan
Tingkatan kekuasaan masyarakat
ada
di
ke lapangan untuk bersama-sama masyarakat merumuskan permasalahan dan mencari solusi bersama. Untuk mendapatkan gambaran lebih detail mengenai prosesnya, akan diuraikan lebih lanjut pada bagian Hasil dan Pembahasan.
Bentuk dan Mekanisme Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang Terdapat beragam cara agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam proses penataan ruang. Setiawan (2005: 20) memberikan beberapa bentuk peranserta dan mekanisme seperti pada tabel 2 di bawah ini yang memberikan berbagai kemungkinan bentuk peranserta masyarakat dalam setiap tahapan penataan ruang.
Deskripsi lebih lanjut mengenai bentuk peranserta masyarakat, serta sejauh mana dukungan Tabel 2. Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang
Tahapan Penataan Ruang Perencanaan
Bentuk Kegiatan/ Keterlibatan Terlibat dalam proses penyusunan dan pengesahan satu rencana kota (misal: RUTRK, RDRTK, dan RTRK)
Pemanfaatan
Sosialisasi; penyusunan program; peraturan; pembangunan langsung
Pengendalian
Pengawasan perijinan; penertiban; pelaporan akan penyimpangan; komplain/pengaduan; penolakan
Mekanisme Seminar/lokakarya; diskusi ahli; pertemuan publik; pameran; pooling; pengajuan alternatif rencana; pengiriman pendapat tertulis di media massa Lokakarya; Musbang; Rakorbang; Partisipasi langsung; gotong-royong; stimulan Pengaduan/pelaporan; Pengawasan langsung; Protes/petisi; Demonstrasi;
Tahapan Penataan Ruang Perencanaan
Pemanfaatan Pengendalian
(Sumber: Setiawan, 2005)
47
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011
dan fasilitasi fasilitasi yang diberikan oleh pemda dan Sekber Kartamantul, akan diuraikan setelah proses identifikasi permasalahan di lokasi penelitian.
Gambar 1. Kerangka Pikir
METODE PENELITIAN Berdasarkan jenisnya, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan staf Sekretariat Bersama Kartamantul, serta eksplorasi data sekunder (berupa rencana tata ruang, laporan kegiatan Sekber, dll.) untuk memperoleh data dan informasi di lokasi penelitian. Analisis data dilakukan dengan teknik deskriptif melalui tahapan: identifikasi permasalahan, dan interpretasi data, untuk kemudian dianalisis berdasarkan literatur terkait partisipasi masyarakat dalam penataan ruang yang telah diulas pada bab Kerangka Konseptual. Pada tahap analisis juga akan menyandingkan
hasil dari proses perencanaan pemanfaatan ruang partisipatif dengan arahan pengembangan kawasan sebagaimana tercantum dalam RTRW Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul. Hal ini dirasa penting terutama untuk melihat kesesuaian antara produk dari proses bottom-up dengan arahan kebijakan di skala kabupaten/kota. Penelitian dilakukan selama 2 (dua) bulan, mulai 18 Maret hingga 18 Mei 2009. Fokus penelitian pada bentuk-bentuk peran masyarakat dalam perencanaan pemanfaatan ruang yang meliputi 5 (lima) desa/kelurahan di kawasan perbatasan Jalan Godean.
Gambar 2. Wilayah Aglomerasi Yogyakarta, Sleman, Bantul (Kartamantul) (Sumber: Google Map, 2011)
48
Peran Masyarakat Dalam Perencanaan Pemanfaatan Ruang: Studi Kasus Kawasan Perbatasan Jalan Godean, Yogyakarta Adji Krisbandono
Gambar 3. Lokasi lima kelurahan di kawasan perbatasan Jalan Godean, Yogyakarta
(Sumber: Google Map, 2011)
HASIL DAN PEMBAHASAN Latar Belakang Inisiasi Pelibatan Masyarakat Dari hasil wawancara dan telaah dokumen kegiatan, inisiasi pelibatan masyarakat dalam perencanaan pemanfaatan ruang yang dilakukan para stakeholders (Sekber Kartamantul, Pemkot Yogyakarta, Pemkab Sleman, dan Pemkab Bantul) ini dilatarbelakangi oleh adanya permasalahan sosio-spasial, ekonomi, dan lingkungan di wilayah aglomerasi perkotaan Yogyakarta (Greater Yogyakarta) akibat pesatnya laju urbanisasi (lihat tabel 3). Jalan Godean sebagai salah satu kawasan yang secara administratif terletak di Kabupaten Sleman namun berbatasan dengan Kota Yogyakarta
dan Kabupaten Bantul juga telah menunjukkan fenomena yang sama, yaitu melimpahnya aktivitas sosial, ekonomi, dan permukiman dari kota Yogyakarta ke Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul. Hal ini selain menyebabkan tidak nampak lagi batas antara wilayah perkotaan dengan kabupaten pada kawasan ini juga menimbulkan berbagai permasalahan lintas batas administratif. Permasalahan yang paling nampak secara visual adalah maraknya “gated community” atau perumahan yang membentuk kantung cluster di tengah-tengah perkampungan (pasar perumahan menengah ke atas sangat tinggi di kawasan ini), hingga pembangunan saluran drainase yang masih parsial karena adanya perbedaan kebijakan pengelolaan saluran drainase dari ketiga pemerintah daerah di kawasan tersebut.
Tabel 3. Hasil Kompilasi Permasalahan di Kawasan Perbatasan Jalan Godean
No A.
Issue/Aspek Sarana dan prasarana
Permasalahan yang ada Terbatasnya sarana dan prasarana sanitasi lingkungan (MCK, TPS, air bersih, dan sumur resapan komunal). Hal ini berisiko mewabahnya penyakit DBD, malaria, dan diare. Terbatasnya sarana dan prasarana drainase lingkungan. Pembangunan saluran drainase masih parsial dan sebagian besar masih menggunakan saluran irigasi sehingga sering menyebabkan genangan lokal.
B.
Penataan ruang
Kurangnya kapasitas sarana dan prasarana (jalan, drainase, irigasi, TPS, dll) yang ada karena besarnya demand dari lingkungan perumahan baru tapi kebanyakan tidak membangun fasilitas sendiri. Bahkan lingkungan perumahan baru tersebut juga menyebabkan terputusnya jaringan prasarana yang ada. Minimnya ketersediaan informasi dan kebijakan tentang penataan ruang pada skala lingkungan yang bisa diacu oleh perangkat desa/lembaga lokal dalam melakukan pengawasan implementasi rencana tata ruang. Belum sesuainya format, kewenangan, dan instrumen yang dibutuhkan oleh lembaga lokal dalam rangka pengawasan partisipatif. Banyaknya lahan yang terbengkalai (lahan kosong dan tidak terurus). Hal ini berpotensi menyebabkan kekumuhan dan wabah penyakit. Banyaknya penyimpangan dalam pemanfaatan ruang, khususnya pelanggaran sempadan dan lahan-lahan yang tidak jelas pemilikan serta peruntukannya. Jika hal ini tidak disikapi dan ditertibkan, maka akan mengganggu keserasian tata ruang dan lingkungan. Ketidaksesuaian pemanfaatan ruang antar wilayah sehingga mengakibatkan wilayah di lower level mengalami banjir, kemacetan, dan pencemaran air.
C.
Ekonomi
Terpinggirnya petani pemilik lahan karena proses urbanisasi. Pergeseran kepemilikan tanah yang berimplikasi pada pergeseran mata pencaharian. Beberapa petani merasa bahwa beban Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) cukup berat sehingga mendorong petani mudah melepas lahan pertaniannya untuk dikonversi menjadi perumahan/pertokoan.
D.
Sosial institusional
Maraknya spekulasi tanah, karena tingginya permintaan akan perumahan. Kecenderungan munculnya konflik sosial, karena maraknya “gated community” atau perumahan yang membentuk kantung/enclave. Peluang munculnya konflik sosial, karena perumahan tersebut cenderung mendominasi sumberdaya dan fasilitas yang ada. Minimnya kontribusi lembaga lokal dalam penataan ruang.
(Sumber: Sekber Kartamantul, 2008)
49
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011
Merespon permasalahan tersebut, maka para pihak yang terdiri dari Pemkot Yogyakarta, Pemkab Sleman, Pemkab Bantul, dan Sekber Kartamantul bersepakat untuk melakukan penataan lingkungan melalui proses perencanaan pemanfaatan ruang partisipatif pada kawasan Jalan Godean. Kawasan yang menjadi lokasi penelitian ini secara administratif berbatasan dengan 5 (lima) kelurahan, yaitu: • Kelurahan Tegalrejo dan Kelurahan Bener (di kota Yogyakarta), • Desa Ngestiharjo (di Kabupaten Bantul), serta
• Desa Banyuraden dan Desa Nogotirto (di Kabupaten Sleman). Bentuk Peran Masyarakat dan Dukungan Pemerintah dalam Proses Perencanaan Pemanfaatan Ruang Kawasan Jalan Godean, Yogyakarta
Proses ini diawali dengan upaya penjaringan aspirasi masyarakat (public hearing). Melalui public hearing ini diharapkan mampu memberikan masukan guna penyusunan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Kab/Kota yang berkualitas. Selain itu juga agar RUTR yang disusun nantinya dapat disepakati oleh semua pihak sebagai arahan pelaksanaan pembangunan. Tahapan detail yang dilakukan oleh masyarakat dengan fasilitasi Sekber Kartamantul dan pemda adalah:
• Pengumpulan data pendukung, baik sekunder maupun primer yang kemudian di-digitasi dengan kedalaman analisa/mapping unit setara skala 1:5000.
• Kompilasi data spasial dan dokumen pendukung kawasan jalan Godean dan sekitarnya yang meliputi: aspek sosial demografi, aspek ekonomi, aspek fisik lingkungan, dan aspek sarana prasarana perkotaan. • Penjaringan aspirasi masyarakat dan FGD (Focus Group Discussions).
• Analisis data keruangan dan dokumen berdasarkan trend perkembangan (sosial, ekonomi, dan fisik) dan permasalahan yang ada serta dari aspek georisk. • Perumusan rencana arahan/arahan pengembangan kawasan jalan Godean dan sekitarnya yang berisi arah kebijaksanaan dan strategi pengembangan, arahan pengembangan, pemanfaatan dan intensitas pemanfaatan ruang, sistem jaringan prasarana, serta tahapan pelaksanaan. • Lokakarya untuk merumuskan strategi pengembangan dengan melibatkan masyarakat
50
setempat.
Dari hasil brainstorming dan lokakarya ini kemudian masyarakat diminta untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan dan penataan ruang di kawasan Jalan Godean. Salah satu usulan proposal masyarakat berasal dari Desa Ngestiharjo, dimana diusulkan pembuatan jembatan yang menghubungkan dua wilayah, yaitu Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman. Tujuan dibangunnya jembatan ini adalah untuk mengurangi beban kendaraan/kemacetan di kawasan Jalan Godean. Inisiatif warga ini sebenarnya sudah muncul sejak bulan Februari 2006. Dana swadaya yang berhasil dikumpulkan pun sudah cukup banyak, yaitu Rp. 28.292.000. Melalui proposal ini, masyarakat berharap pemda setempat dapat membantu dari aspek pembiayaan, teknis konstruksi jembatan, hingga ke level yang lebih tinggi, yaitu sinkronisasi rencana detail pemanfaatan ruang yang telah digagas masyarakat dengan RUTR Kabupaten/Kota. Sebagai kelanjutan dari inisiasi tersebut, pada tanggal 10 Juni 2008 diadakan rapat koordinasi guna menindaklanjutkan proposal Desa Ngestiharjo di kantor Sekber Kartamantul yang dihadiri Bappeda dan Dinas Kimpraswil Provinsi DI Yogyakarta, Bappeda dan Dinas Kimpraswilhub Kabupaten Sleman, Bappeda, dan Dinas PU Kabupaten Bantul, serta perwakilan dari masing-masing kelurahan/ desa. Poin penting kesepakatan rapat ini adalah pemda setempat bersedia membantu pembiayaan dan teknis konstruksi jembatan. Proposal yang telah disusun warga agar diteruskan ke Pemkab Sleman c.q Dinas Kimpraswilhub dan Pemkab Bantul c.q Bidang Administrasi Pembangunan, dimana sumber pembiayaan bisa berasal dari APBD Provinsi, maupun APBD Kab/Kota.
Kemudian dalam rangka sinkronisasi rencana detail yang telah disusun oleh masyarakat (fasilitasi dari Sekber Kartamantul) dengan produk-produk tata ruang di tingkat yang lebih tinggi (RTRW Kab/ Kota dan RTRW Provinsi DIY), maka upaya ini masih terus dikaji dan ditindaklanjuti. Untuk mengkaji kemungkinan tersebut, maka akan dilakukan analisis kebijakan pengembangan kawasan berdasarkan produk-produk tata ruang ketiga wilayah. Untuk selanjutnya, bentuk-bentuk peran masyarakat selama pelaksanaan perencanaan pemanfaatan ruang kawasan Jalan Godean ditabulasikan dalam tabel 4.
Tabel 4. Bentuk Peran Masyarakat dalam Perencanaan Pemanfaatan Ruang Kawasan Perbatasan Jalan Godean No 1.
Kegiatan Public hearing guna memberikan masukan dalam penyusunan RTRW Kab/Kota.
2.
Pengumpulan data di kawasan perbatasan jalan Godean dan sekitarnya
Masyarakat berpartisipasi dalam FGD dengan Sekber Kartamantul dan pemda terkait. Pemahaman masyarakat terhadap permasalahan dan kondisi lingkungannya memegang faktor utama dari proses ini.
3.
Perumusan rencana/arahan pengembangan kawasan perbatasan Jalan Godean dan lokakarya untuk merumuskan strategi pengembangannya
Masyarakat Desa Ngestiharjo bersama-sama perwakilan keempat Desa lainnya mengusulkan proposal pembuatan jembatan yang menghubungkan dua wilayah, yaitu Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman. Jembatan ini bertujuan untuk mengurangi kemacetan di kawasan Jalan Godean.
Pengumpulan dana swadaya masyarakat sebanyak Rp. 28.292.000. Pemda setempat juga membantu pembiayaan dan advis teknis.
Analisis Arahan Kawasan
Bentuk Peran Masyarakat Masyarakat mensyaratkan bahwa penjaringan aspirasi ini harus mampu menghasilkan RTRW yang berkualitas. Selain itu dengan penjaringan aspirasi masyarakat ini diharapkan RTRW yang disusun nantinya dapat disepakati oleh semua pihak sebagai arahan pelaksanaan pembangunan. Untuk itu, masyarakat turut menghadiri serangkaian FGD yang dilakukan dan memberikan masukan.
Kebijakan
Pengembangan
Sangatlah penting dalam upaya inisiasi perencanaan detail pemanfaatan ruang skala lingkungan di kawasan perbatasan, seperti halnya di lokasi penelitian ini, untuk mengacu dan mensinkronkan rencana pemanfaatan ruang dengan arahan kebijakan penataan ruang di tingkat yang lebih tinggi. Dalam hal ini, rencana pengembangan kawasan disinkronkan dengan RTRW ketiga kabupaten/kota. Berdasarkan skenario pengembangan kawasan (Laporan Rencana Tata Ruang Kawasan Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta, 2007), maka diuraikan sebagai berikut: a) Kota Yogyakarta 1) Arahan Struktur Ruang
Rencana struktur ruang pada akhir tahun perencanaan adalah membagi kawasan Desa Banyuraden dan Nogotirto menjadi 8 (delapan) blok peruntukan, antara lain: kegiatan komersil, pemerintahan dan layanan publik, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan olahraga, perumahan, serta peribadatan. 2) Arahan Pemanfaatan Ruang
Wilayah perkotaan Yogyakarta yang mencakup Kota Yogyakarta dan kecamatan-kecamatan Kasihan, Sewon, Banguntapan, Depok, Ngemplak, Ngaglik, Mlati, dan Gamping yang merupakan wilayah pengembangan sistem pelayanan Kota Yogyakarta yang melayani kota-kota Berbah, Kalasan, Prambanan, Pakem, Cangkringan, Sedayu, dan Sentolo.
b) Kabupaten Bantul 1) Arahan Struktur Ruang
Desa Ngestiharjo termasuk dalam Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) II yang juga merupakan kawasan aglomerasi perkotaan Yogyakarta dengan arah pengembangan sebagai kawasan perumahan, perdagangan, dan jasa. Wilayah pengembangan di Kecamatan Kasihan dibagi menjadi 2 (dua) BWK (Bagian Wilayah Kota). • BWK I: Desa Tirtonirmolo dan Ngestiharjo dengan pusat perkembangan kota diarahkan ke Desa Tirtonirmolo. Fungsi BWK khusus Desa Ngestiharjo adalah perumahan dan permukiman, pendidikan, dan komersial.
• BWK II: Desa Tamantirto dan Bangunjiwo dengan pusat pelayanan di Tamantirto. Fungsi BWK II ini adalah perumahan, pendidikan, dan sentra industri. 2) Arahan Pemanfaatan Ruang dan Program • Secara garis besar arah pengembangan dan pembangunan daerah mengacu pada RTRW Kabupaten Bantul yang terbagi menjadi enam Satuan Wilayah Pengembangan (lihat Peta Satuan Wilayah Pengembangan), yaitu: • SWP I : Kecamatan Sedayu, Pajangan, dan sebagian Kecamatan Kasihan (Desa Bangunjiwo). Pembangunan diarahkan untuk pengembangan kawasan pertanian lahan basah, industri, dan permukiman (kota baru). • SWP II : Kecamatan Kasihan, Sewon, dan Banguntapan. Pembangunan diarahkan untuk pengembangan kawasan permukiman dan pelayanan yang berorientasi perkotaan. • SWP III : Kecamatan Piyungan. Pembangunan
51
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011
diarahkan untuk pengembangan industri dan pertanian lahan basah.
kawasan
• SWP IV : Kecamatan Srandakan, Sanden, dan Kretek. Pembangunan diarahkan untuk pengembangan kawasan pertanian lahan basah, permukiman, peternakan, perikanan, dan wisata.
• SWP V : Kecamatan Bantul, Pajangan, Pandak, Bambanglipuro, Pundong, dan Pleret. Satuan Wilayah Pengembangan ini dipusatkan di Kota Bantul. Pembangunan diarahkan untuk pengembangan kawasan industri, permukiman, pertanian lahan basah, dan wisata alam. • SWP VI : Kecamatan Imogiri dan Dlingo. Pembangunan diarahkan untuk pengembangan budi daya pertanian dan hutan lindung bawahan. c) Kabupaten Sleman 1) Arahan Struktur Ruang
Rencana struktur ruang pada akhir tahun perencanaan adalah membagi kawasan Desa Banyuraden dan Nogotirto menjadi 8 (delapan) blok peruntukan, antara lain: kegiatan komersil, pemerintahan dan layanan publik, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan olahraga, perumahan, serta peribadatan. 2) Arahan Pemanfaatan Ruang dan Program
Sistem kota-kota/pusat-pusat kegiatan di wilayah Kabupaten Sleman dikembangkan sebagai sub sistem dari sistem kota-kota wilayah Propinsi DIY yang berpusat di Kotamadya Yogyakarta, sekaligus juga diarahkan untuk memantapkan fungsi distribusi hasil-hasil produksi dari masyarakat dan sebaran simpul-simpul pelayanan permukiman yang sebenarnya telah terbentuk (secara alami). Arah kegiatan pengelolaan kawasan perdesaan dilaksanakan pada wilayah yang berada di luar kawasan perkotaan pada suatu kecamatan, meliputi sebagian Kecamatan Tempel, Turi, Pakem, Cangkringan, Sleman, Ngemplak, Minggir, Seyegan, Mlati, Ngaglik, Moyudan, Godean, Gamping, Berbah, Kalasan, dan Prambanan. Sedangkan kawasan perkotaan meliputi kota Prambanan, Cangkringan, Pakem, Kalasan, Ngemplak, Turi, Tempel, Ngaglik, Seyegan, Moyudan, Minggir, Godean, Mlati, dan sekitar Kampus Universitas Islam Indonesia di Padukuhan Lodadi, Desa Umbulmartani, Kecamatan Ngemplak. Untuk kawasan Jalan Godean, rencana sistem pergerakan yang diprioritaskan dalam bentuk pelebaran jalan, dan buka tutup arus kendaraan pada jam puncak (peak hour). Dari hasil analisis tersebut, maka dapat dipastikan bahwa inisiatif masyarakat Desa Ngestiharjo untuk mengurangi beban kendaraan/kemacetan di kawasan tersebut sudah sesuai dengan arahan
52
pemanfaatan ruang kawasan Jalan Godean. Hal ini sangat penting agar tidak terjadi benturan atau konflik selama pemanfaatan ruang.
Aspek-aspek Guna Mengoptimalkan Peran Masyarakat: Antara Teori dan Fakta Empiris Pengalaman Sekber Kartamantul dalam memfasilitasi dan mendampingi proses perencanaan pemanfaatan ruang di kawasan perbatasan Jalan Godean telah memberikan nuansa baru dalam praktik-praktik pelibatan masyarakat dalam penataan ruang. Dalam penyusunan Draft Peraturan Pemerintah Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang yang terbaru-pun demikian. Proses penjaringan aspirasi telah dilakukan oleh pemerintah pusat kepada seluruh user, baik dari masyarakat, kalangan akademisi, hingga swasta. Jika menelaah pengalaman Bahreldin & Ariga (2010) yang telah meneliti peran masyarakat dalam perencanaan pengembangan kota, maka setidaknya ada 3 (tiga) aspek yang harus diperhatikan:
1) Stakeholders yang terlibat; antara lain: planner, birokrat, masyarakat, lembaga masyarakat, NGO, dan tokoh masyarakat/adat. Pada kasus perencanaan pemanfaatan ruang kawasan perbatasan Jalan Godean hampir melibatkan seluruh elemen stakeholders yang ada, namun tentu saja dengan komposisi dan porsi yang tidak seragam. Tapi setidaknya representasi dari ketiga pemda dalam inisiatif ini telah menunjukkan political will yang positif.
2) Tahapan kegiatan yang perlu melibatkan masyarakat; inisiasi proyek/kegiatan, perumusan tujuan, penyusunan rencana, implementasi kegiatan, dan monitoring. Dalam rangka penyusunan RTRW Kabupaten Sleman, Bappeda Sleman telah bekerja sama dengan Dinas Kimpraswil Propinsi DIY melakukan penjaringan aspirasi masyarakat. Kegiatan ini berlangsung selama tiga hari, yakni tanggal 19 Juni di Kecamatan Ngaglik, 20 Juni di Kecamatan Godean, dan 21 Juni 2008 di Kecamatan Kalasan. Kegiatan ini dihadiri oleh Camat, Sekcam, Kasi Ekobang Se-kabupaten Sleman, SKPD terkait di lingkungan Pemda Sleman dan Dinas Kimpraswil Propinsi DIY. Fakta ini sesuai dengan apa yang telah dijelaskan oleh Setiawan (2005) bahwa pertemuan publik merupakan salah satu mekanisme pelibatan masyarakat dalam tahap perencanaan tata ruang. 3) Bentuk peran masyarakat; bervariasi mulai dari tidak berperan sama sekali hingga mampu mengendalikan keputusan strategis, sharing pembiayaan/asset, sharing tenaga dan pemikiran, mengambil keputusan, atau hanya
Peran Masyarakat Dalam Perencanaan Pemanfaatan Ruang: Studi Kasus Kawasan Perbatasan Jalan Godean, Yogyakarta Adji Krisbandono diinformasikan saja. Kesanggupan warga Desa Ngestiharjo bersama-sama perwakilan keempat desa lainnya untuk mengumpulkan dana swadaya masyarakat sebanyak Rp. 28.292.000, turut berpartisipasi dalam proses perumusan rencana, ditambah dengan kesanggupan pemda setempat dalam membantu pembiayaan dan advis teknis merupakan bentuk-bentuk peran masyarakat dan dukungan pemerintah yang cukup strategis dan patut direplikasi untuk lokasi-lokasi lain.
KESIMPULAN
Guna menjawab pertanyaan penelitian, maka berikut disimpulkan beberapa poin dari hasil analisis dan pembahasan. Pertama, inisiasi pelibatan masyarakat dalam penataan ruang ini dilatarbelakangi karena pesatnya aglomerasi perkotaan berupa perluasan (spillover) aktivitas dan permukiman dari Kota Yogyakarta menuju wilayah Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul sehingga melampaui batas administrasi masing-masing.
Kedua, lingkup peran masyarakat dalam perencanaan pemanfaatan ruang masih berada pada skala mikro, yaitu skala kelurahan/desa. Bentuk-bentuk peranserta masyarakat juga masih terbatas pada bagaimana pemda menjaring aspirasi melalui public hearing. Namun dalam kasus di kawasan perbatasan Jalan Godean ini, masyarakat Desa Ngestiharjo bekerjasama dengan keempat kelurahan/desa lainnya telah memulai inisiatif untuk menata ruang di wilayahnya dengan cara mengurangi beban kendaraan/kemacetan (seperti tercantum pada tabel 3 Hasil Kompilasi Permasalahan, kemacetan merupakan salah satu permasalahan yang dialami kelima kelurahan/desa di kawasan ini). Jika disandingkan dengan teori Tangga Partisipasi oleh Arnstein (1969), maka bentuk peran masyarakat di lokasi penelitian termasuk dalam tangga ke-enam, yakni “kemitraan” karena usulan/ inisiatif masyarakat untuk membangun jembatan diterima dan dinegosiasikan. Ketiga, inisiatif yang dimulai oleh masyarakat ini harus terus difasilitasi oleh pemda terkait agar upaya perencanaan dan pengendalian pemanfaatan ruang pada skala mikro dapat lebih efektif. Bentuk dukungan dan fasilitasi pemerintah (termasuk di dalamnya Sekber Kartamantul) berupa pendampingan dalam pengumpulan data pendukung, kompilasi data/informasi (yang meliputi aspek spasial, sosial demografi, ekonomi, fisik lingkungan, dan sarana prasarana perkotaan), penjaringan aspirasi masyarakat dan FGD, hingga perumusan rencana arahan/arahan pengembangan kawasan jalan Godean dan sekitarnya.
Dan keempat, beberapa aspek yang perlu diperhatikan guna mengoptimalkan peran masyarakat dalam penataan ruang antara lain penentuan stakeholders mana saja yang akan dilibatkan, pada tahap apa, bagaimana bentuk peran dari tiap stakeholders yang diinginkan, serta perlu hadirnya sebuah planning agency yang dapat memberikan arahan dalam perkembangan sosial suatu komunitas. Agency ini bisa berupa salah satu unit (dedicated unit) dalam Bappeda, bisa juga berupa kelompok masyarakat yang bertugas menjadi mediator antara masyarakat dengan pemda. Mengingat perencanaan tata ruang memerlukan kesepakatan publik, maka supaya dapat berjalan efektif harus ada kerjasama yang baik dengan seluruh anggota masyarakat. Upaya pendampingan (advocacy) sebagaimana telah dilakukan oleh Sekber Kartamantul dalam memberikan pemahaman, membangun kesadaran, dan kepedulian masyarakat untuk terus bersikap kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemda terkait penataan ruang juga harus terus dilakukan.
Sebagai penutup tulisan ini, adalah suatu hal yang sangat sulit untuk mewujudkan peran masyarakat yang sesungguhnya –sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 26/2007 dalam setiap tahapan penataan ruang. Namun setidaknya inisiatif yang digagas oleh Sekber Kartamantul untuk memulai merangkul masyarakat patut didukung oleh semua pihak, terutama pemda dan organisasi kemasyarakatan lokal setempat. Beberapa kendala seperti: faktor politis, masih menjadi kendala utama dalam perwujudan upaya pelibatan masyarakat dalam penataan ruang. Hal ini senada dengan pernyataan Friedmann (1987: 105), bahwa meskipun masih berperan dalam perumusan tujuan dan pengesahan produk-produk perencanaan menjadi produk hukum, banyak perencana masih menganggap proses politis sebagai kendala utama dalam mewujudkan materi-materi perencanaan ke dunia nyata/kehidupan sosial. Bahkan dalam praktiknya pun, PP No. 69/1996 hanya berani mengangkat peranserta masyarakat sampai ke tingkat “konsultasi”, karena memang bentuk partisipasinya hanya sebatas dimintai konsultasi saja.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Isbandi R. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas (Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2003. Arnstein, Shirley. “A Ladder of Citizen Participation”, Journal of The American Institute of Planners Vol. 35 No. 4 (1969).
53
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011
Bappeda Kabupaten Sleman. “Penjaringan Aspirasi dalam Rangka Penyusunan RTRW Kabupaten Sleman 2009-2029”, http://bappeda.slemankab. go.id/index.php?option=com_content&task=vie w&id=143&Itemid=2&lang=.
Bappeda Kabupaten Sleman. “Rencana Tata Ruang Wilayah”, http://bappeda.slemankab.go.id/ index.php?option=com_content&task=view&id =78&Itemid=169&lang=
Friedmann, John. Planning in the Public Domain: From Knowledge to Action. New Jersey: Princeton University Press, 1987. Healey, Patsy. Collaborative Planning. Houndmills, Basingstoke, Hampshire, UK: Macmillan, 1997.
Healey, Patsy. Planning through debate: the communicative turn in planning theory. Pp. 23457 in Scott Campbell and Susan S. Fainstein, eds. Readings in Planning Theory. Oxford: Blackwell, 1996.
Jacobs, Jane. The Death and Life of Great American Cities. New York: Vintage, 1961. Kartamantul, Sekber. Workshop Gagasan Kerjasama Penataan Ruang di Wilayah Perkotaan Yogyakarta. Yogyakarta: Sekber Kartamantul, 2006. Kartamantul, Sekber. Laporan Rencana: Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2007. Kartamantul, Sekber. Model Kerjasama Penataan Ruang Kawasan Perbatasan, Kasus: Kawasan Mirota Jl. Godean, Yogyakarta. Yogyakarta: Sekber Kartamantul, 2008.
Kartamantul, Sekber. Risalah Rapat Koordinasi Tindak Lanjut Proposal Desa Ngestiharjo. Yogyakarta: Sekber Kartamantul, 2008. Miles, Matthew B. & Michael A. Huberman. Qualitative Data Analysis, California: SAGE Publication, Inc, 1984.
Oetomo, Andi. “Mencari Bentuk Peran Serta Masyarakat dalam Perencanaan Kota di Indonesia”. Jurnal Perencanaan Wilayah dan
54
Kota No. 14 Agustus (1994).
Oetomo, Andi. “Konsepsi dan Implikasi Penerapan Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang di Indonesia”. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 8 No. 2 April (1997).
Setiawan, Bakti. Hak Masyarakat dalam Proses Penyusunan dan Implementasi Kebijakan Tata Ruang, Forum Perencanaan Pembangunan Edisi Khusus Januari 2005, Yogyakarta: Pusat Studi Perencanaan Pembangunan Regional UGM, 2005.
Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Witoelar, Erna. Tata Ruang dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah (Perbedaan Paradigma Tata Ruang dalam Era Sentralistik dan dalam Era Otonomi Daerah). Keynote Address pada Forum Nasional Tata Ruang, Jakarta, 18 April 2001.
Zakaria, Bahreldin I. & Takashi Ariga. Community Participation and Urban Development: Evaluation of Community Participation practice in the Sudanese Capital region, 46th ISOCARP Congress 2010.
55