19
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum
1. Lokasi Daerah penelitian berada di ketinggian antara 730 - 1300 mdpl dan mempunyai curah hujan rata-rata 1904,8 mm/th. Secara administrasi, Desa Sidorejo dibatasi oleh: sebelah utara
: Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM)
sebelah barat
: Desa Balerante
sebelah selatan
: Desa Kendalsari dan desa Bumiharjo
sebelah timur
: Desa Tegalmulyo dan Desa Tlogowatu
Kondisi lahan di desa Sidorejo berbukit dan berlereng dengan kemiringan yang datar sampai curam dengan luas wilayah sebesar 750.000 ha. Sebagian besar penggunaan lahan di desa itu adalah untuk sengon, kebun cengkeh, hutan wartel, kopi, beberapa jenis palawija, tembakau dan pemukiman. Kondisi wilayah yang demikian ini membuat lahan-lahan berpotensi untuk mengalami erosi. Ditambah pada tahun 2010, wilayah utara desa Sidorejo mengalami kerusakan akibat terbakarnya lahan hutan karena terkena awan panas dari Gunung Merapi. 2. Iklim Iklim mempunyai pengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kejadian erosi. Pengaruh langsung dari erosi adalah pada tenaga kinetis air hujan terutama intensitas dan diameter butir air hujan (Arsyad 2010). Pengaruh iklim secara tidak langsung adalah melalui pertumbuhan vegetasi. Suatu vegetasi dapat tumbuh dengan baik bila curah hujan yang terjadi di suatu wilayah mendukung pertumbuhannya. Data curah hujan daerah penelitian diperoleh dari stasiun pengamatan curah hujan desa Surowono kecamatan Kemalang dari tahun 2004-2013. Data curah hujan rata-rata bulanan daerah penelitian disajikan dalam gambar2.
19
20
Curah hujan rata-rata (mm)
400,0
374,1
350,0 300,0
272,8
268,1 277,7
250,0
195,2
200,0
188,2 133,1
150,0
91,9
100,0 30,0 25,3
50,0
56,2 3,4
-
Bulan
Gambar 2. Curah Hujan Rata-rata Bulanan Desa Surowono, Kecamatan Kemalang, Klaten tahun 2004 - 2013 Penghitungan nilai rata-rata curah hujan bulanan selama 10 tahun (20042013) menunjukkan intensitas tertinggi terjadi pada bulan Januari sebesar 336,7 mm dan terendah terjadi pada bulan Agustus sebesar 3,1 mm. Hal ini berarti bahwa pada saaat terjadi intensitas hujan tertinggi maka dimungkinkan tingkat erosi yang terjadi juga tinggi.
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Erosi Proses kehilangan tanah atau erosi di alam akan selalu terjadi, karena erosi tidak dapat dihilangkan atau dikatakan nol. Berdasarkan besarnya, erosi digolongkan menjadi dua, yakni erosi yang masih dapat dibiarkan dengan laju kehilangan tanah lebih kecil dibanding dengan pembentukan tanah, dan erosi yang tidak dapat dibiarkan dengan laju kehilangan tanahnya lebih besar dibanding laju pembentukan tanahnya (Kartasapoetra 1985). Besar kecilnya tingkat erosi tanah dipengaruhi oleh faktor-faktor penyebab erosi. Faktor erosivitas, erodibilitas, kelerengan, pengelolaan tanaman dan tindakan konservasi tanah merupakan lima faktor yang dipertimbangkan dalam prediksi erosi menggunakan metode USLE. Adapun nilai-nilai dari faktor-faktor penyebab erosi tersebut adalah:
21
1. Faktor Erosivitas Hujan (R) Erosivitas hujan merupakan suatu tenaga pendorong yang menyebabkan terkelupasnya atau terangkutnya partikel-partikel tanah ke tempat yang lebih rendah. Erosivitas hujan sebagian terjadi karena pengaruh tetesan air hujan langsung di tanah, dan sebagian terjadi karena adanya aliran air di atas permukaan tanah. Untuk menghitung nilai erosivitas hujan, diperlukan data curah hujan dalam kurun waktu tertentu. Dalam penelitian ini, data curah hujan diperoleh dari Desa Wonorejo Kecamatan Kemalang Klaten selama kurun waktu 10 tahun dari tahun 2004 sampai 2013. Nilai erosivitas hujan (IR) lokasi penelitian disajikan dalam tabel 9. berikut ini: Tabel 9. Nilai Erosivitas Hujan (IR) selama 10 tahun (2004-2013) Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Rerata Bulanan (P) mm cm 374,10 37,41 268,10 26,81 278,00 27,80 194,20 19,42 125,60 12,56 40,20 4,02 15,70 1,57 3,10 0,31 56,20 5,62 91,90 9,19 188,00 18,80 272,80 27,28 Total
IR 304,56 193,60 203,37 124,88 74,70 9,85 8,48 0,52 23,13 45,13 119,75 198,19 1305,95
Sumber : Hasil Analisis Data Curah Hujan Desa Surowono Kecamatan Kemalang tahun 2004-2013 Hasil perhitungan Indeks Erosivitas (IR) daerah penelitian sebesar 1305,95. Nilai IR diperoleh dengan menggunakan rumus Lenvain (1989), IR = 2,21 P1,36 dengan p adalah rata-rata hujan bulanan dan 1,36 adalah konstanta. Berdasarkan data di atas, menunjukkan bahwa daerah Sidorejo memiliki potensi erosi yang besar dilihat dari nilai erosivitasnya. Faktor hujan merupakan faktor alami yang tidak bisa dihindari. Namun, dengan mengetahui nilai erosivitas, penanganan resiko erosi dapat dengan mudah dilakukan. Penanganan resiko curah hujan yang tinggi dapat dilakukan dengan penanaman vegetasi berupa tanaman keras yang pada bagian dasar tanaman ditanami dengan tanaman penutup seperti
22
rumput dan tanaman pangan maupun penggunaan mulsa/seresah, agar dapat mengurangi laju air yang jatuh ke permukaan tanah sekaligus mengurangi aliran permukaan. 2. Faktor Erodibilitas Tanah (K) Erodibilitas merupakan kepekaan tanah terhadap daya penghancuran dan penghanyutan tanah oleh air hujan. Erodibilitas tanah tinggi berarti suatu tanah itu peka atau mudah mengalami erosi, dan erodibilitas tanah rendah berarti bahwa resistensi atau daya tahan tanah itu kuat atau dapat dikatakan bahwa tanah itu tahan (resisten) terhadap erosi (Bermanakusumah 1978 cit. Kartasapoetra et al. 2005). Nilai erodibilitas disajikan dalam tabel 10, sedangkan klasifikasi nilai erodibilitas (K) disajikan dalam tabel 11. Tabel 10. Nilai Erodibilitas (K) pada Lahan Hutan Wartel dan Sengon 13,98
pasir (%) 39,46
debu (%) 49,46
klei (%) 11,08
permeabilitas
% bo
M
46,46
1,60
7.906,58
K (erodibilitas) 0,72
C1K2
26,25
43,47
39,71
16,82
11,95
3,07
6.918,35
0,62
C1K3
13,1
39,25
41,56
19,19
9,58
3,07
6.530,39
0,58
C1K4
21,45
15,41
C1K5
19,97
21,59
75,04
9,55
36,28
0,42
8.181,83
0,88
35,53
42,89
9,49
1,50
3.261,99
0,33
C1K6
20,89
39,84
51,01
9,15
40,23
0,80
8.253,56
0,86
C2K7
28,43
34,87
45,96
19,17
10,86
2,50
6.533,29
0,62
C2K8
25,83
45,44
45,44
9,12
5,04
1,59
8.258,31
0,86
lokasi
KL
C1K1
Sumber: Hasil Analisis Lab Ket: C : Crop (C1 : Sengon, C2 : Wartel) Tabel 11. Klasifikasi Nilai K Tanah Kelas Nilai K 1 0,00 – 0,10 2 0,11 – 0,20 3 0,21 – 0,32 4 0,33 – 0,43 5 0,44 – 0,55 6 0,56 – 0,64 Sumber : Harjadi 1997
K : Ketinggian Harkat Agak rendah Rendah Sedang Agak tinggi Tinggi Sangat tinggi
Berdasarkan hasil analisis yang disajikan dalam tabel 10, diketahui bahwa erodibilitas tertinggi berada pada lokasi C1K4 sebesar 0,88 dengan pengharkatan sangat tinggi. Lokasi C1K5 memiliki nilai erodibilitas terendah (0,33) dengan pengharkatan agak tinggi. Nilai erodibilitas yang rendah berarti tanah itu tahan
23
terhadap erosi atau kerusakan tanah sedang tanah dengan nilai erodibilitas yang tinggi adalah tanah yang rentan terhadap kerusakan tanah. Semakin rendah nilai K, maka tanah itu resisten atau tahan terhadap erosi dan faktor penyebabnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepekaan tanah adalah sifat tanah dan pengelolaan tanah. Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi erodibilitas adalah tekstur tanah, struktur tanah, permeabilitas tanah dan bahan organik tanah. Tekstur tanah berkaitan dengan adanya infiltrasi air ke tanah. Jenis tanah di Sidorejo merupakan Regosol. Tekstur tanahnya, berturut-turut yang terbanyak dari pasir, debu dan terakhir klei. Tekstur pasiran menyebabkan air mudah meresap ke dalam tanah dan mengurangi aliran permukaan atau run off, tetapi karena terdapat debu, maka dapat menghambat laju infiltrasi. Menurut Bermanakusumah (1978) cit. Kartasapoetra et al. (2005), erosi yang terjadi pada berbagai tanah, hasil yang paling stabil dan paling resisten terhadap erosi adalah tanah klei karena klei mempunyai kemantapan struktur yang lebih tinggi serta kapasitas penampungan air yang tinggi. Tanah yang mengandung banyak debu memiliki erodibilitas tanah yang tinggi, sehingga paling mudah tererosi. Debu sangat mudah dihanyutkan air, dan debu mudah jenuh air sehingga kapasitas infiltrasinya cepat menurun sedang kemantapan strukturnya sangat rendah karena daya kohesi antara partikelnya sangat lemah. Tanah-tanah pasir dibanding dengan tanah debu adalah lebih resisten terhadap erosi, karena tanah pasir mempunyai kapasitas infiltrasi yang tinggi. Pasir dengan ukuran yang lebih besar akan lebih sukar terhanyutkan, namun kemantapan strukturnya rendah dikarenakan antara partikel yang satu dengan partikel lain tidak memiliki daya ikat yang besar. Tanah dilokasi penelitian merupakan tanah pasir karena merupakan tanah bentukan baru yang berasal dari letusan gunung Merapi. Struktur tanah daerah penelitian adalah granuler. Tanah yang memiliki kemantapan struktur yang tinggi memiliki ketahanan terhadap erosi, sedang tanah yang kemantapan strukturnya rendah, maka akan mudah hancur akibat pukulan air hujan dan butiran tanah yang hancur dapat menutup pori tanah sehingga menghambat infiltrasi dan mempercepat run off.
24
Permeabilitas tanah merupakan kemampuan tanah dalam meloloskan air. Permeabilitas tanah berkaitan dengan daya infiltrasi. Air akan mudah meresap ke dalam tanah apabila daya infiltrasi tanah besar, dan daya infiltrasi dipengaruhi oleh porositas dan kemantapan struktur. Permeabilitas tanah di lahan-lahan penelitian di Sidorejo adalah cepat sampai sangat cepat. Permeabilitas cepat berarti kemampuan tanah untuk meloloskan air ke bawah (infiltrasi) juga cepat. Kandungan bahan organik pada tanah juga menentukan apakah tanah itu peka terhadap erosi atau tidak. Kandungan bahan organik di semua lokasi berkisar antara 0,42% sampai 3,07%. Kandungan bahan organik terendah berada pada lahan C1K4 sebesar 0,42% dan yang tertinggi adalah pada C1K2 sebesar 3,07%. Bahan organik tanah berperan dalam pembentukan struktur tanah. Tanah yang memiliki bahan organik yang cukup dapat membuat struktur tanah menjadi mantap yang pada akhirnya membuat tanah tahan terhadap erosi. Tanah dengan kandungan bahan organik yang kurang dari 2% umumnya peka terhadap erosi (Hardjowigeno 2007 cit. Fahmi 2012). Sedang menurut Hardiyatmo (2006), bahan organik yang terdiri dari daun-daunan, ranting dan sebagainya yang belum hancur dan menutup tanah merupakan pelindung tanah yang baik dari tetesan air hujan sehingga dapat mencegah erosi selain menghambat laju aliran permukaan. Sementara bahan organik yang telah mengalami pelapukan memiliki kemampuan menyerap dan menahan air yang tinggi. Pengaruh bahan organik yang telah melapuk diantaranya juga menghambat kecepatan aliran permukaan dan meningkatkan infiltrasi. 3. Faktor Panjang Lereng (L) dan Kemiringan Lereng (S) Faktor topografi yang mempengaruhi dalam terjadinya erosi adalah kemiringan dan panjang lereng. Kedua faktor ini juga punya pengaruh yang besar terhadap erosi karena mempengaruhi infiltrasi dan kecepatan aliran permukan. Semakin besar panjang lereng, maka kecepatan aliran permukaan akan semakin besar, sehingga partikel-partikel tanah di permukaan yang hanyut akan semakin besar. Pada tanah yang kemiringan lerengnya rendah atau tanah datar, kecepatan aliran permukaan tidak terlalu besar namun tetap dapat membuat tanah bergerak
25
kesamping. Sedang pada tanah yang kemiringan lerengnya curam, kecepatan aliran permukaannya apabila terjadi hujan akan semakin tinggi, sehingga kesempatan air untuk masuk ke dalam tanah atau yang disebut infiltrasi semakin rendah. Hal inilah yang menyebabkan erosi tanah semakin besar. Grafik panjang lereng, kemiringan lereng dan nilai LS disajikan dalam Gambar 3., Gambar 4., dan Gambar 5. berikut:
Panjang Lereng 30
Ket. C : Crop (C1 : Sengon, C2 : Wartel) K : Ketinggian
panjang lereng (m)
25 25 20
20
20
18
17
15
11
9
8
10 5 0 C1K1
C1K2 C1K3 C1K4 C1K5 C1K6 C2K7 penggunaan lahan di beberapa ketinggian
C2K8
Gambar 3. Grafik Panjang Lereng pada Lahan Hutan Wartel dan Sengon
kemiringan lereng 35
30
kemiringan (%)
30
25
25
20
20
5
Ket. C : Crop (C1 : Sengon, C2 : Wartel) K : Ketinggian
15
15 10
21
11 4
5
0 C1K1
C1K2 C1K3 C1K4 C1K5 C1K6 C2K7 penggunaaan lahan di beberapa ketinggian
C2K8
Gambar 4. Grafik Kemiringan Lereng pada Lahan hutan Wartel dan Sengon
26
Nilai LS 6,00 4,79
5,00
4,68
nilai LS
4,00 2,76
3,00 2,12 2,00 1,00
Ket. C : Crop (C1 : Sengon, C2 : Wartel) K : Ketinggian
2,17
1,19 0,34
0,49
C1K1
C1K2 C1K3 C1K4 C1K5 C1K6 C2K7 penggunaan lahan di beberapa ketinggian
C2K8
Gambar 5. Nilai LS pada Penggunaan Lahan Sengon dan Wartel Berdasar gambar 3. Panjang Lereng (L), terlihat bahwa panjang lereng tertinggi/terpanjang berada pada lokasi pengamatan C1K2 sepanjang 25 m dan yang terpendek adalah lokasi pengamatan C1K5 sepanjang 8 m. Pengaruh panjang lereng terhadap kejadian erosi adalah semakin panjang suatu lereng, maka tanah yang tererosi juga semakin besar. Berdasar gambar 4. grafik Kemiringan lereng, terlihat bahwa kemiringan lereng terbesar berada pada lokasi C2K8 sebesar 30% dan terendah pada lokasi C1K1 sebesar 4%. Panjang lereng dan kemiringan lereng merupakan gabungan yang erat dalam kejadian erosi karena keduanya saling berhubungan. Pengaruh kemiringan lereng terhadap kejadian erosi adalah semakin tinggi kemiringan suatu tempat, maka erosi yang terjadi juga akan semakin besar. Berdasar perhitungan nilai LS hasil tertinggi berada pada lokasi C2K7 dengan nilai 4,79 diikuti C2K8 sebesar 4,68. Nilai LS terendah berada pada lokasi C1K1 sebesar 0,34. Kemiringan lereng yang tinggi dengan panjang lereng yang rendah merupakan faktor yang perlu diperhitungkan mengingat faktor lain juga berpengaruh untuk menyebabkan erosi. Ketika terjadi hujan, air yang mengenai permukaan tanah yang kemiringannya tinggi dan panjang lerengnya rendah dapat menyebabkan tanah ikut terhanyut.
27
4. Faktor Vegetasi (nilai C) Vegetasi merupakan lapisan pelindung atau penyangga antara atmosfer dan tanah. Vegetasi memiliki peran yang besar dalam menghambat dan mengurangi terjadinya erosi. Selain melindungi permukaan tanah dari tumbukan air hujan, vegetasi dapat menurunkan kecepatan dan volume air larian, menahan partikel-partikel tanah pada tempatnya melalui sistem perakaran dan seresah yang dihasilkan, serta mempertahankan kemantapan kapasitas tanah dalam menyerap air (Asdak 2010). Air hujan yang jatuh ke suatu daerah yang bervegetasi, dapat terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian yang jatuh mengenai dan ditahan dan batang vegetasi yang disebut air intersepsi, dan yang kedua air itu langsung jatuh sampai ke permukaan tanah yang disebut sebagai lolosan tajuk (troughfall) (Arsyad 2010). Lokasi penelitian memiliki vegetasi berupa hutan wartel (A. decurrens Wild.) dan sengon (Paraserianthes falcataria). Vegetasi hutan wartel terbentuk setelah terjadinya erupsi Gunung Merapi, awan panas yang keluar pada saat itu membakar areal di sebelah selatan dan tenggara dari Gunung ini. Pertumbuhan tanaman wartel begitu cepat dan seragam, sehingga tanaman ini segera menutupi areal yang kosong. Sedang tanaman sengon merupakan tanaman industri yang sengaja ditanam oleh masyarakat setempat di areal kebun atau tegal. Tanaman sengon merupakan jenis tanaman yang mampu hidup dalam berbagai kondisi tanah dan ketinggian, sedang tanaman wartel adalah tanaman ekspansif dari Australia yang mampu beradaptasi di lingkungan kering dan berbatu. Nilai faktor C untuk lokasi pengamatan, disajikan dalam tabel berikut.
28
Tabel 12. Faktor Vegetasi (nilai C) Lokasi Vegetasi pengamatan C1K1 Sengon, Rumput-rumputan C1K2 Sengon, Rumput-rumputan C1K3 Sengon, alang-alang C1K4 Sengon sedikit seresah, Rumput-rumputan C1K5 Sengon, Kopi, mindi, nangka, rumput C1K6 Sengon sedikit seresah, Rumput-rumputan C2K7 Wartel C2K8 Wartel, Alang-alang Sumber: Hasil Pengamatan di lapangan *Nilai C berdasar pada Lampiran 13. Nilai Faktor C
Kerapatan (/200m2) 15 14 4 77 18 16 80 61
Nilai C* 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,005 0,005
Faktor penutupan vegetasi dan pengelolaan tanaman (C) untuk pertanaman tunggal dan berbagai pola tanam tanaman pangan disajikan pada Lampiran 13. (Arsyad 2010; Abdurachman et al. 1984). Faktor C untuk sengon yang disertai alang-alang bernilai 0,2. Kerapatan tanaman sengon pada lokasi C1K3 adalah yang paling rendah untuk tanaman sengonnya, namun pertumbuhan alangalangnya sangat rapat. Menurut Arsyad (2010), peran tanaman penutup tanah diantaranya (1) menahan atau mengurangi daya perusak butir-butir hujan yang jatuh dan aliran air di atas permukaa tanah, (2) menambah bahan organik tanah melalui batang, ranting, dan daun mati yang jatuh, dan (3) melakukan transpirasi, yang mengurangi kandungan air tanah. Peranan tanaman penutup tanah itu menyebabkan berkurangnya kekuatan dispersi air hujan dan mengurangi jumlah serta kecepatan aliran permukaan, dan memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah, sehingga mengurangi erosi. Hal itu sesuai dengan kondisi lahan C1K3 dengan alang-alang yang tumbuh secara liar dan sulit dikendalikan justru memiliki fungsi konservasi karena menghalangi tumbukan air hujan sehingga erosinya kecil. Stratifikasi tajuk tanaman mempunyai peran sebagai pengendali butir hujan yang jatuh ke tanah. Semakin beragam populasi tanaman/vegetasi dalam suatu unit lahan, maka butir hujan yang jatuh tidak akan langsung mengenai tanah karena terhalang oleh tajuk tamanam. Pada lahan C2K7 tidak terdapat tanaman dari jenis lain. Tinggi tanaman dan umur tanaman yang seragam membuat kondisi tajuknya seragam. Pada lahan ini, tidak ada stratiikasi tajuk, namun pada lahan ini populasi tanaman sangat rapat dengan tajuk yang juga saling rapat antar tanaman
29
lainnya. Pada lahan sengon, terutama pada C1K4 populasi tanaman per m2 tergolong tinggi dikarenakan pada lahan tersebut terdapat bekas galian yang ditanami kembali. Sementara pada C1K3 populasinya sangat jarang namun pertumbuhan alang-alang sangat rapat. 5. Faktor Peran Tindakan Pengelolaan Tanah (P) Suatu tindakan pengelolaan memang tidak bisa membuat nilai erosi menjadi nol, tetapi dengan adanya tindakan itu, maka nilai erosi dapat ditekan atau diminimalisir. Berbagai macam tindakan pengelolaan tanah yang dilakukan memiliki pengaruh berbeda terhadap nilai akhir usaha konservasi suatu tanah. Berbagai tindakan pengelolaan tanah pada lokasi penelitian ditunjukkan pada tabel berikut. Tabel 13.Faktor Tindakan Pengelolaan Tanah (P) Penggunaan lahan P** C1K1 Tanpa tindakan konservasi C1K2 Teras tradisional C1K3 Teras bangku (kurang baik) C1K4 Teras tradisional C1K5 Teras bangku (sedang) C1K6 Teras bangku (sedang) C2K7 Tanpa tindakan konservasi C2K8 Tanpa tindakan konservasi Sumber: Hasil Pengamatan di Lapangan **Nilai P berdasarkan Lampiran 12. Nilai Faktor P
Nilai 1,00 0,40 0,35 0,40 0,15 0,15 1.00 1.00
Berdasar tabel di atas, tampak bahwa tindakan pengelolaan dengan teras tradisional lebih baik daripada tidak dilakukan tindakan sama sekali, walaupun teras tradisional tidak lebih baik dalam perlindungan tanah dari erosi. Teras bangku dengan konstruksi sedang memiliki nilai pengendalian yang lebih baik daripada teras bangku dengan konstruksi buruk atau kurang baik. Tindakan pengelolaan tanah yang dilakukan pada suatu penggunaan lahan berpengaruh terhadap seberapa besar tanah ikut terhanyut oleh aliran permukaan. Tanah-tanah yang tidak dilakukan suatu tindakan pengelolaan tanah, maka potensi tanah yang terangkut oleh aliran air akan semakin besar. Lahan C1K1, C2K7 dan C2K8 merupakan lahan-lahan yang tidak dilakukan tindakan pengelolaan tanah. Sementara pada lahan C1K2, C1K3, C1K4, C1K5 dan C1K6 telah dilakukan usaha pengelolaan tanah dengan pembuatan teras.
30
Keberadaan teras, baik itu teras tradisional maupun teras bangku dengan konstruksi kurang baik maupun sedang sebenarnya merupakan usaha dalam pengelolaan tanah. Pembuatan teras memiliki fungsi untuk mengurangi panjang lereng dan menahan air sehingga dapat menghambat kecepatan dan jumlah aliran permukaan serta meningkatkan penyerapan air oleh tanah. C. Prediksi Erosi (A) Secara umum, erosi disebut sebagai pengikisan atau kelongsoran yang merupakan suatu proses penghanyutan tanah oleh desakan-desakan atau kekuatan air dan angin, baik yang berlangsung secara almiah maupun akibat tindakan manusia. Proses erosi tanah yang disebabkan air meliputi tiga tahap yang terjadi dalam keadaan normal di lapangan, yakni (1) Pemecahan bongkah-bongkah atau agregat tanah ke dalam bentuk partikel tanah, (2) Pemindahan partikel-partikel tanah melalui penghanyutan, (3) Pengendapan partikel-partikel tanah ke tempat yang lebih rendah atau di dasar-dasar sungai atau waduk (Suripin 2002). Tabel 14. Prediksi Erosi Pada Unit Lahan Penggunaan R K LS lahan 1305,95 0,72 0,34 C1K1 1305,95 0,62 0,49 C1K2 1305,95 0,58 1,19 C1K3 1305,95 0,88 2,12 C1K4 1305,95 0,33 2,17 C1K5 1305,95 0,86 2,76 C1K6 1305,95 0,62 4,79 C2K7 1305,95 0,86 4,68 C2K8 Sumber: Hasil Analisis
C
P
A (t/ha/th)
0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 0.005 0.005
1,00 0,40 0,35 0,40 0,15 0,15 1,00 1,00
63,94 31,74 63,10 194,91 28,06 92,99 19,39 26,28
Hasil analisis data dengan menggunakan metode USLE pada penggunaan lahan Hutan Wartel dan Sengon, terlihat bahwa nilai prediksi erosi (A) di semua lokasi pengamatan dengan hasil sangat berat. Besarnya kehilangan tanah dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti curah hujan, erodibilitas, panjang dan kemiringan lereng, vegetasi penutup, dan juga pengelolaan tanah. Nilai faktor curah hujan diberbagai lokasi pengamatan adalah sama dengan intensitas yang tinggi sehingga daya rusak dan kemampuan mengangkut partikel tanah juga menjadi semakin besar. Akibat lebih jauh adalah potensi erosi yang terjadi juga bertambah besar.
31
Nilai erosi (A) terendah sebesar 19,39 t/ha/th berada pada lahan hutan C2K7 dan tertinggi sebesar 194,91 t/ha/th berada pada lahan C1K4. Mengesampingkan faktor nilai erosivitas yang sama di semua lokasi pengamatan, faktor yang paling berpengaruh rata-rata di hampir semua lokasi pengamatan adalah nilai K dan nilai C. nilai K dan C rendah berarti nilai hasil prediksi erosi juga rendah, yang artinya pada lahan itu erosi yang terjadi juga rendah. Sebaliknya nilai K dan nilai C tinggi, berarti nilai hasil prediksi erosi juga tinggi, sehingga tanah di lahan itu mengalami erosi yang tinggi juga. D. Erosi yang Diperbolehkan (T) dan Tingkat Bahaya Erosi (TBE) 1. Erosi yang Diperbolehkan (T) Laju erosi yang dinyatakan dalam mm/th atau t/ha/th yang terbesar yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan agar terpelihara suatu kedalaman tanah yang cukup bagi pertumbuhan tanaman yang memungkinkan tercapainya produktivitas yang tinggi secara lestari disebut erosi yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan, disebut nilai T (Arsyad 2010). Sedangkan menurut Asdak (2010), erosi yang diperbolehkan (T) merupakan erosi yang diperkenankan terjadi namun tidak boleh melebihi laju pembentukan tanah sebesar 2,5 mm per tahun dengan kategori tanah pada lapisan bawah (sub soil) yang permeabel dengan substratum yang tidak terkonsolidasi (telah mengalami pelapukan). Secara umum erosi yang diperbolehkan pada lokasi tanaman Sengon dan Wartel, disajikan dalam tabel 15. berikut: Tabel 15. Erosi yang Diperbolehkan (T) Penggunaan lahan Erosi (A) Erosi yang Diperbolehkan (T) (ton/ha/tahun) (ton/ha/tahun) C1K1 9 63,94 C1K2 6 31,74 C1K3 3,6 63,10 C1K4 7,2 194,91 C1K5 12 28,06 C1K6 7,5 92,99 C2K7 9,3 19,39 C2K8 13,5 26,28 Sumber: Hasil Analisis Lab. Fisika dan Konservasi Tanah
32
Berdasar tabel di atas, terlihat pada semua lokasi pengamatan memiliki nilai prediksi erosi yang lebih besar dari nilai T. Penyebab nilai prediksi erosi lebih besar dari nilai T kemungkinan adalah lereng yang bergelombang, penutupan lahan yang kurang sempurna dan pengelolaan tanah yang kurang baik. Hal ini senada dengan penelitian Fitri (2011), tentang prediksi erosi pada lahan pertanian di Sub DAS Krueng Simpo Propinsi Aceh, menurut penelitiannya semakin bergelombang suatu lereng, maka kecepatan aliran permukaan meningkat yang diikuti dengan peningkatan kekuatan untuk mengangkut
partikel-partikel
tanah.
Selain
dari
pengeruh
lereng,
penyebab/faktor lain yang menyebabkan nilai prediksi erosi lebih besar dari nilai T adalah penggunaan lahan yang tidak disertai dengan teknik konservasi yang memadai seperti pergiliran tanaman, pemakaian tanaman penutup tanah, pengolahan tanah minimum, penggunaan mulsa ata kombinasi dari teknikteknik konservasi. 2. Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Tingkat bahaya erosi adalah perkiraan kehilangan tanah maksimum dibandingkan dengan tebal solum tanahnya pada setiap unit lahan bila teknik pengelolaan tanaman dan konservasi tanah tidak mengalami perubahan. Penentuan tingkat bahaya erosi menggunakan perbandingan tebal solum tanah dengan prediksi erosibila teknik pengolahan tanaman dan konservasi tanah tidak mengalami perubahan (Hardjowigeno dan Sukmana 1995). Semakin dangkal solum tanahnya berarti semakin sedikit tanah yang boleh tererosi, sehingga tingkat bahaya erosinya sudah cukup besar meskipun tanah yang hilang belum terlalu besar. Informasi tentang Tingkat Bahaya Erosi pada penggunaan lahan Sengon dan Hutan Wartel di desa Sidorejo ditunjukkan pada tabel 16. berikut:
33
Tabel 16. Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Penggunaan lahan Erosi (t/ha/th) Solum tanah (cm) C1K1 30 63,94 C1K2 20 31,74 C1K3 12 63,10 C1K4 24 194,91 C1K5 40 28,06 C1K6 25 92,99 C2K7 31 19,39 C2K8 45 26,28 Sumber : Hasil Analisis Lab. Fisika dan Konservasi Tanah Ket. S: Sedang B: Berat SB: Sangat Berat
Kriteria SB SB SB SB SB SB SB SB
Berdasarkan tingkat bahaya erosi yang terjadi, semua lokasi penelitian dikategorikan memiliki tingkat bahaya sangat berat (SB). Tanah-tanah dengan erosi yang sangat berat pada daerah penelitian, mengindikasikan bahwa kelestarian produktivitas tanah terancam. Erosi yang besar sangatlah memprihatinkan, apalagi sebagian besar lahan-lahan di daerah penelitian memiliki solum yang dangkal sampai sedang. Hal ini mengakibatkan produktivitas tanah dan lahan akan semakin menurun, apabila dibiarkanterlalu lama
tanpa
dilakukan
pengelolaan
dapat
menyebabkan
penurunan
produktivitas tanaman. E. Tindakan KonservasiTanah Kerusakan lahan dan perubahan vegetasi akibat erupsi Gunung Merapi tahun 2010 memang tidak bisa dihindari.Apalagi, tanah-tanah di Indonesia tergolong peka terhadap erosi karena terbentuk dari bahan-bahan yang relatif mudah lapuk. Erosi yang terjadi akan memperburuk kondisi tanah tersebut, dan menurunkan produktivitasnya. Oleh karena itu, penerapan teknik konservasi tanah tidak hanya ditujukan untuk mengendalikan erosi, melainkan juga untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas tanah yang telah terdegradasi. Menurut Agus et al. (1999), teknik konservasi tanah yang ada di Indonesia diarahkan pada tiga prinsip utama yaitu perlindungan permukaan tanah terhadap pukulan butirbutir hujan, meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah seperti pemberian bahan organik atau dengan cara meningkatkan penyimpanan air, dan mengurangi laju aliran permukaan sehingga menghambat material tanah dan hara terhanyut.
34
Beberapa tindakan konservasi yang disarankan untuk dilakukan di desa Sidorejo yang kondisi wilayahnya berlereng adalah: 1. Teknik Konservasi Tanah secara Vegetatif Metode vegetatif merupakan suatu usaha penggunaan tanaman dan tumbuhan, atau bagian-bagian tumbuhan atau sisa-sisanya untuk mengurangi daya tumbuk butir hujan yang jatug, mengurangi jumlah dan kecepatan aliran permukaan sehingga erosi tanah dapat dikurangi. Metode ini selain dapat menurunkan erosi dan pengendapan di sungai, juga memiliki nilai ekonomi tinggi, serta dapat memulihkan tata air suatu DAS. Menurut Wibowo et al. (2007), pengelolaan tanah secara vegetatif dapat menjamin keberlangsungan keberadaan tanah dan air karena memiliki sifat : 1) memelihara kestabilan struktur tanah melalui sistem perakaran dengan memperbesar granulasi tanah, 2) penutupan lahan oleh seresah dan tajuk mengurangi evaporasi, 3) dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang mengakibatkan peningkatan porositas tanah sehingga memperbesar jumlah infiltrasi dan mencegah terjadinya erosi. Beberapa praktek metode vegetatif dalam konservasi tanah diantaranya: a. Reboisasi dan Wanatani Reboisasi merupakan suatu usaha penanaman tanaman pada lahan hutan yang mengalami kerusakan akibat penebangan maupun bencana alam seperti kebakaran lahan. Pasca erupsi Gunung Merapi tahun 2010, lahan-lahan yang kosong dan ditumbuhi semak maupun Acacia decurrens perlu juga untuk dilakukan reboisasi atau penghutanan kembali. Penghutanan kembali dilakukan dengan menanam tanamanyang jenisnya beragam. Menurut Rosmaeni et al. (?) cit. Arsyad (2010) menyatakan bahwa hutan tanaman yang heterogen akan menguntungkan dari segi ekosistem. Jika tercipta stratifikasi tajuk, maka akan terjadi stratifikasi perakaran yang akan memperbaiki sifat fisik tanah. Pasca kebakaran akibat rupsi Gunung Merapi tahun 2010, vegetasi hutan didominasi oleh Acacia decurrens, dan beberapa tanaman yang tersisa seperti pinus. Dengan menanami kembali lahan yang sebelumnya terbakar, maka aliran permukaan dapat dikurangi. Tanaman-tanaman yang ditanam di lokasi Hutan Wartel sebaiknya disesuaikan dengan kondisi lahan yang berada di lereng Gunung
35
Merapi. Selain itu, perlu diperhatikan juga jenis tanaman yang ditanam mengingat Acacia decurrens, merupakan tanaman ekspansif yang pertumbuhannya cepat sekali sehingga mengganggu pertumbuhan tanaman lain. Rekomendasi jenis tanaman yang dapat digunakan untuk reboisasi di lahan Hutan Wartel ini diantaranya Sengon gunung, Suren, Rasamala, Dadap dsb. Sementara wanatani (agroforestry) merupakan salah satu bentuk usaha onservasi tanah yang menggabungkan tanmaan pohon-pohonan, atau tanaman tahunan dengan tanaman komotas lain yang ditanam secara bersama-sama atau bergantian (Subagyono et al. 2003). Tanaman tahunan memiliki luas penutupan daun yang lebih besar dalam menahan energi kinetik air hujan, dan tanaman semusim mampu memberikan efek penutupan dan perlindungan tanah yang baik dari energi tumbukan air hujan. Penggabungan keduanya diharapkan dapat memberi keuntungan ganda baik dari tanaman tahunan maupun dari tanaman semusim. Bentuk bentuk usaha wanatani di Indonesia diantaranya pertanaman lorong (alley cropping), talun hutan rakyat, kebun campuran, pekarangan, tanaman pelindung/multistrata, dan silvipastura. Lahan di desa Sidorejo merupakan daerah yang berbukit dan bergelombang. Sistem usaha wanatani yang banyak dikembangkan adalah talun hutan rakyat dimana kebanyakan komoditas tanaman yang diusahakan adalah sengon. Umumnya, masyarakat Sidorejo menanam tanaman tahunan sebagai tanaman di tampingan teras untuk mencegah tanah longsor sekaligus sebagai tanaman pagar.Permasalahan yang terjadi adalah terkadang pada terasnya sendiri tidak ditanami dengan tanaman dan dibiarkan kosong. Hal ini menyebabkan air hujan yang jatuh akan langsung menumbuk permukaan tanah. Rekomendasi yang mungkin bisa dilakukan adalah menanam tanaman semusim seperti tembakau, singkong, cabai, kol, kacang panjang, tomat, sawi, buncis, dsb. b. Penanaman Rumput pada Tampingan Teras Penanaman rumput pada tampingan teras memiliki fungsi sebagai penguat teras, memperkecil aliran permukaan dan menurunkan erosi, memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah dan untuk memacu regenerasi tanah (BP2TPDAS IBB 2002). Penanaman rumput di tampingan teras sangat sesuai dilakukan di daerah
36
Sidorejo dimana daerahnya merupakan daerah berlereng dan banyak teras yang dibiarkan tanpa adanya sistem penguat. Selain itu, penanaman rumput juga dapat digunakan sebagai pakan ternak, maupun penggunaan lainnyasehingga perlu diperhatikan pemilihan jenis rumput. Jenis rumput yang dapat direkomendasikan untuk ditanaman di tampingan diantaranya rumput raja, vetiver, dsb. c. Penggunaan Tanaman Penutup Tanah Tanaman penutup tanah (cover crop) adalah tanaman yang bisa ditanam pada lahan kering dan dapat menutup seluruh permukaan tanah (Subagyono et al. 2003). Sedang menurut Arsyad (2010), tanaman penutup tanah merupakan tumbuhan atau tanaman yang khusus ditanam untuk melindungi tanah dari ancaman kerusakan oleh erosi dan dapat memperbaiki sifat fisika dan kimia tanah. Tanaman penutup tanah yang ditanam memiliki peran dalam menahan atau mengurangi daya perusak butir hujan yang jatuh dan dari aliran permukaan, menambah bahan organik tanah melalui batang, ranting dan daun mati yang jatuh, dan melakukan transpirasi, yang mengurangi kandungan air tanah. Masih menurut Subagyono et al. (2003), tanaman yang dipilih sebagai tanaman penutup tanah umumnya merupakan tanaman semusim/tahunan dari jenis legum yang mampu tumbuh dengan cepat, tahan kekeringan, dapat memperbaiki sifat tanah (fisik, kimia, biologi), serta dapat menghasilkan umbi, buah dan daun. Menurut Agus et al. (1999), tanaman penutup tanah dibedakan menjadi empat, yakni:
(1)
tanaman
penutup
tanah
rendah
seperti
centrosema
(Centrosemapubescens), pruerarea dan benguk; (2) tanaman penutup tanah sedang seperti lamtoro dan gamal; (3) tanaman penutup tanah tinggi seperti sengon; (4) belukar lokal. Tanamn penutup tanaman rendah dapat ditanam bersama dengan tanaman pokok maupun menjelang tanaman pook ditanam. Tanaman penutup tanah sedang dan tinggi pada dasarnya mirp dengan tanaman sela. 2. Teknik Konservasi Tanah dan Air Secara Mekanik a. Pembuatan Teras Bangku Konstruksi Baik Kondisi lahan dengan kemiringan yang beragam dari yang rendah sampai besar menjadi faktor penyebab percepatan erosi (acceleration erotion), sehingga diperlukan adanya konservasi tanah dan air secara mekanik di daerah penelitian
37
yang memang peka terhadap erosi. Pembuatan teras dan guludan adalah upaya konservasi tanah agar erosi oleh air hujan dapat diminimalisir, sehingga kesuburan tanah dan produktivitas tanaman tetap terjaga. Upaya konservasi tanah di areal yang mempunyai tingkat bahaya erosi berat (sengon 3) sampai sangat berat (sengon 1, sengon 2,sengon 4, sengon 5, sengon 6, wartel 1, dan wartel 2) merupakan prioritas untuk menjaga sustainabilitas produktivitaslahan dalam jangka pendek dan mencegah penurunan kualitas tanah dalam jangka panjang. b. Pembuatan Guludan Guludan merupakan tumpukan tanah (galengan) yang dibuat memanjang memotong kemiringan lereng. Fungsi guludan adalah untuk menghambat aliran permukaan, menyimpan air di atasnya, dan untuk memotong panjang lereng. Penggunaan/pembuatan guludan dapat dilakukan pada lokasi yang diusahakan untuk budidaya teruama pada lahan C1K1, C1K2, C1K3, C1K4, C1K5, dan C1K6. c. Pengolahan Tanah Konservasi Olah tanah konservasi (OTK) merupakan cara penyiapan lahan yang menyisakan sisa tanaman di atas permukaan tanah sebagai mulsa dengan tujuan untuk mengurangi erosi dari aliran permukaan (Rachman et al. 2004). Utomo (1995) mendefinisikan OTK sebagai suatu cara pengolahan tanah yang bertujuan menyiapkan lahan agar tanaman dapat tumbuh dan berproduksi optimal namaun tetap memperhatikanaspek konsevasi tanah dan air. Olah tanah konservasi dicirikan oleh berkurangnya pembongkaran/pembalikan tanah, penggunaan sisa tanaman sebagai mulsa, yang terkadang menggunakan herbisida untuk menekan gulma. Setiap kegiatan memanipulasi mekanik pada tanah yang ditujukan untuk menciptakan kondisi tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman disebut dengan pengolahan tanah. Sedangkan tujuan dari pengolahan tanah menurut Suripin (2002) dan Arsyad (2010) adalah menyiapkan tempat tumbuh bagi benih, menggemburkan tanah di daerah perakaran, membalikkan tanah agar sisa-sisa tanaman terbenam dalam tanah, dan untuk memberantas gulma.Pengolahan tanah dengan memperhatikan kaidah konservasi tanah dapat mengurangi resiko
38
kerusakan tanah termasuk erosi tanah. Tanah yang mempunyai kedalaman dangkal maupun kemiringan yang tinggi sebaiknya diolah atau digarap dengan petunjuk pengolahan tanah yang ada maupun dengan tanpa olah tanah agar resiko terjadinya erosi dapat diminimalkan. Tanah di lokasi penelitian di Sidorejo merupakan tanah jenis Regosol yang bertekstur pasiran dan kedalaman yang dangkal. Pengolahan tanah yang berlebih dapat menjadi pemicu erosi yang semakin lama akan semakin besar. Pengolahan tanah sistem OTK baik berupa pengolahan tanah minimum (OTM) atau tanpa olah tanah (TOT) merupakan solusi yang tepat untuk diterapkan di lokasi penelitian. Menurut Sumarno et al. (2011), selain memiliki manfaat konservasi karena dapat memperbaiki struktur tanah, pengolahan sistem OTK juga tidak memerlukan biaya yang tinggi dalam pelaksanaannya.