25
III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan yaitu bulan Juni – Oktober 2010 di Kabupaten Donggala. Wilayah penelitian untuk pengambilan data meliputi dua kecamatan, yaitu Kecamatan Banawa dan Kecamatan Sindue. Penetapan kedua kecamatan tersebut atas dasar bahwa secara umum telah mewakili kondisi wilayah Kabupaten Donggala. Adapun yang menjadi alasan penetapan Kabupaten Donggala sebagai tempat penelitian adalah a) di daerah tersebut terdapat usaha pengembangan hutan rakyat, namun belum berkembang dengan baik, b) terdapat sejumlah IPHHK yang mengalami kesulitan dalam pemenuhan bahan baku industri, c) secara kelembagaan peran pemerintah belum optimal dalam upaya pengembangan hutan rakyat, dan d) belum terbentuknya lembaga di tingkat petani yang dapat berfungsi sebagai wadah untuk menampung dan menyerap informasi dari petani untuk kemudian disampaikan ke pihak lain (pemerintah dan pelaku usaha lainnya) dan sebaliknya menyampaikan informasi dari pihak lain ke petani. 3.2 Metode Pengambilan Contoh Penelitian ini menggunakan metode survai melalui pengamatan langsung di lapangan. Data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dan dikumpulkan langsung dari responden dan informan kunci di lapangan, melalui wawancara tertutup berdasarkan pertanyaan
daftar
(kuesioner) yang telah disiapkan sebelumnya baik berupa daftar
pertanyaan bagi petani hutan rakyat, pedagang kayu dan pihak industri kayu. Selanjutnya untuk wawancara terbuka dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan penuntun bagi informan kunci baik dari pihak pemerintah dan juga pihak petani. Selanjutnya adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari instansiinstansi terkait yang telah tersedia dalam bentuk dokumen dan studi literatur. Inventarisasi dan penelusuran data sekunder ini dilakukan terhadap instansiinstansi yang meliputi: Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Dinas Kehutanan dan
26
Perkebunan Kabupaten Donggala, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah, BP2HP XIV Palu dan BPDAS Palu-Poso. Pemilihan responden petani hutan rakyat dilakukan secara sengaja (Purposive Sampling), dengan memilih 35 responden. Pemilihan secara sengaja ini dilakukan dengan asumsi populasinya dianggap seragam. Pemilihan responden petani pada tingkat kecamatan dilakukan dengan pertimbangan bahwa kedua kecamatan tersebut menggambarkan keadaan keseluruhan kecamatan di wilayah Kabupaten Donggala yang memiliki hutan rakyat yang dipelihara dan terdapat kegiatan transaksi kayu rakyat. Selain karena luasannya, kecamatan yang dipilih dapat mewakili kondisi sosial budaya masyarakat di Kabupaten Donggala. Populasi petani responden adalah mereka yang menanam jenis-jenis kayu baik secara tumpangsari, tanaman pembatas maupun monokultur dan pernah melakukan transaksi kayu. Penarikan contoh pedagang ditelusuri berdasarkan pergerakan kayu mulai dari petani hingga industri kayu. Banyaknya pengambilan contoh pedagang berjumlah 8 orang yang diketahui sering melakukan transaksi kayu di daerah sampel dan 7 orang dari pihak industri kayu yang membeli kayu dari hutan rakyat baik langsung ataupun melalui pedagang perantara. Pemilihan key informant dalam mengkaji fenomena sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan pengembangan hutan rakyat dilakukan dengan cara Snowball sampling yaitu memilih informan kunci secara berantai. Jika pengumpulan data dari informan kesatu sudah selesai, informan tersebut diminta memberikan rekomendasi untuk informan kedua selanjutnya informan kedua juga memberikan rekomendasi untuk infoman ketiga, demikian seterusnya dilakukan secara bergulir. Proses bola salju bergulir ini berlangsung terus sampai peneliti memperoleh data yang cukup sesuai kebutuhan. Untuk mengetahui implementasi kebijakan pemerintah dan dampak dari kegiatan pengembangan hutan rakyat maka dilakukan wawancara dengan instansi teknis terkait antara lain Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Donggala, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah, BP2HP Palu, BPDAS Palu-Poso, ISWA, petani, dan tokoh masyarakat. Informan tersebut berjumlah 9 orang. Pemilihan responden terkait dengan pengambilan keputusan tiap rumah tangga
27
dalam pengembangan hutan rakyat, yaitu petani yang tinggal di lokasi penelitian. Responden tersebut dilihat mampu mengambil keputusan secara mandiri dan mampu berpikir positif dan logis, sehingga mampu menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya. 3.3 Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif maupun kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk menggambarkan kondisi pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Donggala yang meliputi aspek produksi, pemasaran, pengolahan, dan kelembagaan. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui
faktor-faktor
strategis
dan
pengaruhnya
terhadap
usaha
pengembangan hutan rakyat, selain itu untuk mengetahui peran pemerintah dalam usaha tersebut di atas yang meliputi keempat aspek tesebut di atas Melalui analisis ini dapat diserap informasi mengenai pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap pengembangan hutan rakyat, peran serta masyarakat, pemerintah dan lembaga lainnya dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan serta pengendalian usaha pengembangan hutan rakyat. Selanjutnya analisis kuantitatif digunakan untuk menggambarkan variabelvariabel yang meliputi aspek produksi dan pemasaran. Pada aspek produksi, analisis kuantitatif dilakukan untuk mengetahui struktur tegakan dan potensi tegakan. Analisis struktur tegakan dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang dikembangkan oleh Davis et al. (2001), yaitu:
Keterangan : N ∑ Selanjutnya
analisis
= Rata-rata pohon dalam kelas diameter ke- i : 1, 2, 3, 4 = Total pohon = Jumlah potensi
tegakan,
menggunakan
dikembangkan oleh Jariyah et al. (2001), yaitu:
Keterangan: Potensi Hutan Rakyat
pendekatan
yang
28
Pada aspek pemasaran, dilakukan analisis kuantitatif untuk mengetahui margin pemasaran dan
margin keuntungan.
Menurut
Mubyarto
dalam
Setianingsih (2007) bahwa terdapat beberapa instrumen yang lazim digunakan untuk mengukur efisiensi suatu tata niaga, yaitu: margin pemasaran (marketing margin) dan margin keuntungan (profit margin). Analisis margin pemasaran dilakukan untuk mengetahui selisih harga produk di tingkat konsumen dengan harga produk di tingkat petani hutan rakyat atau penjumlahan biaya pada tiap lembaga pemasaran dengan keuntungan masing-masing dengan menggunakan pendekatan yang dikembangkan oleh Tomeck dan Robinson (1990), yaitu: MP = Pr – Pf atau MP = ∑ bi + ∑ ki Keterangan: MP Pr Pf bi ki
: Margin pemasarn : Harga di tingkat konsumen : Harga di tingkat produsen : Biaya pada tiap lembaga pemasaran : Keuntungan pada tiap lembaga pemasaran
Selanjutnya analisis margin keuntungan merupakan selisih harga yang dibayarkan konsumen (rata-rata) dengan biaya pemasaran. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan
pendekatan
yang
dikembangkan
oleh
(Sudiyono
2001;
Setyaningsih 2007), yaitu: MKi = Harga jual – (∑ harga beli + biaya) Keterangan: Mki : Margin keuntungan Pada aspek produksi variabel-variabel yang dianalisis terdiri dari struktur tegakan, potensi produksi, dan upaya pengembangan hutan rakyat jati di Kabupaten Donggala. Selanjutnya pada aspek pengolahan variabel-variabel yang dianalisis terdiri atas keadaan industri pengolahan kayu rakyat, tingkat persediaan bahan baku, produk dan konsumen kayu rakyat. Pada aspek Kelembagaan variabel-variabel yang dianalisis meliputi lembaga pengurusan sumberdaya, lembaga usaha dan peran pemerintah dalam pembangunan hutan rakyat. Variabel-variabel yang dianalisis terkait aspek produksi, pengolahan, dan kelembagaan dilakukan dengan
metode triangulasi,
yaitu suatu teknik
pengambilan data yang dilakukan dengan proses-proses sebagai berikut, yaitu 1)
29
wawancara: untuk mendapakan informasi dari para pihak yang terlibat dalam pengembangan hutan rakyat, 2) kajian pustaka atas aturan-aturan dan laporan yang tersedia, 3) selanjutnya melakukan observasi di lapangan. Jadi ke tiga cara tersebut di atas dilakukan secara iteratif untuk mendapatkan data dan informasi yang valid. Secara detail data dapat diperoleh dengan cara:
Membandingkan data hasil pengamatan dan data hasil wawancara.
Membandingkan apa yang dikatakan orang tentang usaha pengembangan hutan rakyat.
Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang.
Membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang berkaitan. Pada aspek pemasaran dilakukan analisis kualitatif untuk mengkaji
organisasi pasar yang ditunjang oleh informasi, data, dan pengamatan di lapang. Hal ini dimaksud untuk mengetahui sistem pemasaran yang terdiri dari sruktur pasar dan perilaku pasar dalam pemasaran kayu rakyat. Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor dalam keseluruan rantai pemasaran dari tingkat petani sampai pada industri untuk mengetahui peluang dan tantangan pemasaran kayu hutan rakyat ke depan. Pada penelitian ini, yang menjadi fokus kajian kelembagaan untuk aspek produksi, pemasaran, dan pengolahan, yaitu : 1. Lembaga Pengurusan Sumber daya. Pada aspek ini hal-hal yang dianalisis terkait dengan perlu dibentuknya lembaga tersebut, agar dapat membantu petani mengatasi kendala-kendala yang dihadapai di lapangan dalam usaha kayu rakyat. 2. Lembaga Usaha. Pada aspek ini hal-hal yang dinalisis terkait dengan ada tidaknya lembaga usaha yang telah dibentuk di tingkat petani. Lembaga tersebut dapat berfungsi sebagai media komunikasi antar petani dalam usaha hutan rakyat yang meliputi aspek produski, pemasaran, dan pengolahan. 3. Peran Pemerintah Daerah. Pada aspek ini hal-hal yang dianalisis terkait dengan peran Pemda dalam pengembangan hutan rakyat. Bagaimana dengan hubungan kemitraan yang sudah ada. Variabel yang akan dianalisis adalah ketidaksepadanan informasi (Asymmetric Information) yaitu:
30
Bagaimanakah
informasi
peraturan
perundang-undangan
tentang
pengembangan hutan rakyat pada Stakeholder
Dalam
perencanaan
program
hutan
rakyat:
Apakah
masyarakat
mengetahui informasi dan ikut terlibat.
Pada pelaksanaannya: Apakah masyarakat memahami bagaimana proses pengembangan hutan rakyat mulai dari persiapan lapangan, pembibitan, pemanenan, dan penjualan.
Proses
pengawasan
dan
pengendalian:
Siapa
yang
melalakukan
pengawasan dan pengendalian, dan sejauh mana keterlibatannya. Alat analisis yang digunakan selanjutnya dalam penelitian ini adalah analisis SWOT. Identifikasi peubah-peubah strategis internal dan eksternal serta pengaruhnya terhadap perkembangan hutan rakyat di Kabupaten Donggala dijelaskan melalui analisis SWOT. Analisis ini pada dasarnya dilakukan dengan cara penelusuran dan pengungkapan isu-isu strategis terkait pengembangan hutan rakyat, yang selanjutnya akan dipakai sebagai dasar dalam penyusunan strategi pengembangan hutan rakyat. Analisis SWOT dilakukan dengan mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi (Rangkuti 2006). Analisis strategi pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Donggala, meliputi 4 (empat) aspek utama, yaitu produksi, pemasaran, pengolahan, dan kelembagaan usaha kayu rakyat. Komponen-komponen yang telah diidentifikasi, dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan analisis yang menerapkan kriteria sesuai dengan data kuantitatif dan deskripsi keadaan. Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis SWOT adalah sebagai berikut: a. Analisis matriks internal factor evaluation (IFE) dan external factor evaluation (EFE) Penilaian internal factor evaluation (IFE) adalah untuk mengetahui sejauh mana pengaruh internal yang dimiliki oleh petani hutan rakyat dengan cara mendaftarkan semua kekuatan dan kelemahan. Penilaian external factor evaluation (EFE) adalah untuk mengetahui sejauh pengaruh eksternal yang
31
berasal dari luar petani dengan cara mendaftarkan semua ancaman dan peluang. Hasil dari kedua identifikasi faktor tersebut menjadi faktor penentu dalam pemberian bobot dan peringkat atau rating. b. Penentuan Bobot Setiap Variabel Penentuan bobot dilakukan dengan jalan mengajukan identifikasi faktor strategis internal dan eksternal. Penentuan bobot setiap variabel menggunakan skala 1, 2, 3,dan 4 (David 2002) yaitu: 1 : jika indikator horizontal kurang penting daripada indikator vertikal 2 : jika indikator horizontal sama penting dengan indikator vertikal 3 : jika indikator horizontal lebih penting daripada indikator vertikal 4 : jika indikator horizontal sangat penting dibandingkan indikator vertikal Bentuk pembobotan faktor strategis internal dapat dilihat pada Tabel 1 dan bentuk pembobotan faktor strategis eksternal dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1 Penilaian bobot internal factor evaluation (IFE) Faktor Strategi Internal
K1
K2
K3
...
N
Total
Bobot
A
.....
.....
.....
.....
.....
.....
.....
B
.....
.....
.....
.....
.....
.....
.....
C
.....
.....
.....
.....
.....
.....
.....
....
.....
.....
.....
.....
.....
.....
.....
N Total
.....
.....
.....
.....
.....
..... .....
..... .....
Sumber: David, 2002. Tabel 2 Penilaian bobot external factor evaluation (EFE) Faktor Strategi Eksternal
K1
K2
K3
...
N
Total
Bobot
A
.....
.....
.....
.....
.....
.....
.....
B
.....
.....
.....
.....
.....
.....
.....
C
.....
.....
.....
.....
.....
.....
.....
....
.....
.....
.....
.....
.....
.....
.....
N Total
.....
.....
.....
.....
.....
..... .....
..... .....
Sumber: David, 2002. Bobot setiap variabel diperoleh dengan menentukan nilai setiap variabel terhadap jumlah nilai keseluruhan variabel dengan menggunakan rumus:
32
Keterangan:
ai : bobot variabel ke-i xi : nilai variabel ke-i i : 1, 2, 3, ......... n (faktor internal) i : 1, 2, 3, ......... n (faktor eksternal) n : jumlah variabel c. Penentuan Peringkat atau Rangking Penentuan peringkat/rangking merupakan pengukuran terhadap pengaruh masing-masing variabel, yang menggunakan nilai peringkat dengan skala 1-4 terhadap faktor strategis yang dimiliki usahan kayu rakyat. Skala pemberian nilai peringkat matriks IFE untuk faktor kekuatan sebagai berikut: 1 = kekuatan yang kecil
3 = kekuatan yang besar
2 = kekuatan sedang
4 = kekuatan yang sangat besar
Selanjutnya untuk faktor kelemahan sebagai berikut: 1 = kelemahan yang sangat berarti
3 = kelemahan yang kurang berarti
2 = kelemahan yang cukup berarti
4 = kelemahan yang tidak berarti
Skala pemberian nilai peringkat matriks EFE untuk faktor peluang sebagai berikut: 1 = peluang rendah, respon kurang
3 = peluang tinggi, respon di atas rata-rata
2 = peluang sedang, respon rata-rata
4 = peluang sangat tinggi, respon superior
Selanjutnya untuk faktor ancaman sebagai berikut: 1 = ancaman sangat besar
3 = ancaman sedang
2 = ancaman besar
4 = ancaman kecil
Kemudian nilai dari pembobotan dikalikan dengan peringkat pada setiap faktor. Selanjutnya, semua hasil kali tersebut dijumlahkan secara vertikal untuk memperoleh total skor pembobotan yang berkisar antara 1-4. Jika total skor pembobotan IFE dibawah 2.5, maka hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi internal lemah. Sebaliknya, jika berada di atas 2.5 maka menunjukan kondisi internal adalah kuat. Matriks IFE dapat dilihat pada Tabel 29 dan 31.
33
Matriks EFE digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan eksternal dengan melakukan klasifikasi terhadap peluang dan ancaman. Total skor pembobotan EFE berkisar antara 1-4 dengan rata-rata 2.5. Apabila total skor pembobotan EFE dibawah 2.5, maka hal tersebut menyatakan bahwa kondisi eksternal lemah. Sebaliknya jika berada diatas 2.5, menunjukan bahwa kondisi eksternal adalah kuat. Matriks EFE dapat dilihat pada Tabel 32 dan 34. Tabel 3 Contoh matriks SWOT IFE EFE OPPOTUNITIES (O) O1 O2 Dst THREATHS (T) T1 T2 Dst
STRENGHTS (S) S1 S2 Dst STRATEGI S-0 (Strategi menggunakan Kekuatan untuk memanfaatkan peluang) STRATEGI S-T (Strategi menggunakan Kekuatan untuk mengatasi ancaman)
WEAKNESS (W) W1 W2 Dst STRATEGI W-O (Strategi meminimalkan Kelemahan untuk memanfaatkan peluang) STRATEGI W-T (Strategi meminimalkan Kelemahan untuk menghindari ancaman)
Sumber : David, 2002 Strategi-strategi tersebut diatas selanjutnya diurutkan menurut rangking berdasarkan jumlah skor unsur-unsur penyusunnya, sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Contoh penyusunan rangking strategi analisis SWOT Unsur
Kekuatan/Stenght (S)
Kelemahan/Weaknesses (W)
Peluang/Opportunities (O)
.........
.........
Ancaman/Threath (T)
.........
.........
Sumber: David, 2002 d. Pembuatan Tabel Rangking Alternatif Strategi Jumlah dari skor pembobotan menentukan rangking prioritas strategi dalam pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Donggala. Jumlah skor adalah penjumlahan semua skor dari setiap faktor-faktor strategis yang terkait. Rangking ditentukan berdasarkan urutan jumlah skor terbesar sampai dengan terkecil yang menjadi alternatif rencana strategi.
34
Strategi yang dihasilkan merupakan suatu keputusan teknis yang didesain untuk mencapai tujuan yang realistis dalam jangka panjang. Keputusan yang dihasilkan pada tingkat tertinggi atau pemerintah diharapkan didukung oleh tingkat terbawah atau masyarakat, sehingga pelaksanaannya tidak merugikan salah satu pihak yang terlibat didalamnya. Strategi-strategi yang dibangun diharapkan tidak menimbulkan dampak negatif bagi petani sebagai mitra pemerintah, melainkan sebaliknya dapat membawa peluang bagi pengembangan hutan rakyat yang dapat menjamin kontiunitas pengembangan hutan rakyat, yang secara ekonomis dapat meningkatkan pendapatan petani dan secara ekologis dapat mencegah kerusakan lingkungan. Pada Tabel 5 dapat dilihat contah tabel penentuan rangking. Tabel 5 Contoh tabel penentuan rangking alternatif rencana strategi No STRATEGI S-O 1
Unsur SWOT SO1
2
SO2
STRATEGI S-T 3
ST1
4
ST2
STRATEGI S-O 5
WO1
6
WO2
STRATEGI S-O 7
WT1
8
WT2
Keterkaitan
Jumlah skor
Rangking
S1, S2, ......., Sn O1, O2, ......, On S1, S2, ......., Sn O1, O2, ......, On
........... ........... ........... ...........
........... ........... ........... ...........
S1, S2, ......., Sn T1, T2, ......, Tn S1, S2, ......., Sn T1, T2, ......, Tn
........... ........... ........... ...........
........... ........... ........... ...........
W1, W2, ......., Wn O1, O2, ......, On W1, W2, ......., Wn O1, O2, ......, On
...........
...........
........... ...........
........... ...........
...........
...........
W1, W2, ......., Wn T1, T2, ......, Tn W1, W2, ......., Wn T1, T2, ......, Tn
...........
...........
........... ...........
........... ...........
...........
...........
Sumber: David, 2002. Setelah dilakukan analisis SWOT, maka diharapkan akan adanya suatu strategi pengembangan usaha kayu rakyat di Kabupaten Donggala. Hal ini perlu
35
disesuaikan dengan keinginan masyarakat dan kebijakan pemerintah setempat, misalnya melalui peraturan dan keputusan kepala pemerintahan setempat. 3.4 Definisi Operasional Pada suatu proses penelitian di lapangan, umumnya konsep-konsep yang sudah diterjemahkan menjadi satuan yang lebih operasional berupa variabel, biasanya belum sepenuhnya dapat diukur. Karena itu diperlukan suatu definisi operasional yang merupakan suatu unsur penelitian untuk memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel (Efendi 1989). Dengan demikian definisi operasional merupakan petunjuk operasional dalam melakukan penelitian di lapangan, yang memberitahu bagaimana cara mengukur variabel-variabel yang telah ditentukan. Definisi operasional merupakan suatu informasi ilmiah yang amat membantu peneliti lain yang ingin menggunakan variabel yang sama. Karena itu pada Tabel 6 diuraikan tentang variabel, definisi operasional, parameter pengukuran dan keterangan yang menjadi fokus perhatian pada penelitian ini. Tabel 6 Variabel, definisi operasional, parameter pengukuran, dan keterangan penilaian pada aspek produksi, aspek pemasaran, aspek pengolahan, dan aspek kelembagaan Variabel
Definisi Operasional
Parameter Pengukuran
1. Sub Sistem Produksi Struktur tegakan Jumlah dan jenis pohon < 400 pohon yang tumbuh di atas lahan 400-800 pohon responden > 800 pohon
Keterangan Penilaian 1) Rendah 2) Sedang 3) Tinggi
Potensi tegakan
Perkiraan potensi pohon < 0.10 m³/ha. berdiri yang dinyatakan 0.10-0.20 m³/ha. dalam satuan meter kubik > 0.20 m³/ha. (m³/ha)
1) Rendah 2) Sedang 3) Tinggi
Upaya pengemb. Hutan rakyat
Pemanfaatan lahan yang < 51000 ha ada untuk penanaman jenis 51000-10200 ha tertentu yang sesuai >10200 ha dengan agroklimat wilayah setempat
1) Rendah 2) Sedang 3) Tinggi
2. Sub Sistem Pemasaran Pola pemasaran Bentuk saluran pemasaran kayu rakyat dari petani
1 pola 2 pola
1)Efisien 2)Kurang
36
sampai konsumen akhir
3 pola
efisien 3)Tidak efisien
Struktur pasar
Kekuatan penawar dan pembeli dalam pasar kayu hutan rakyat yang mempengaruhi harga pasar
< 2 orang 2-5 orang > 5 orang
1)Monopsoni atau 2)Oligopsoni
Perilaku pasar
Perilaku yang dianut petani dalam adaptasi atau penyesuaian terhadap harga pasar
< 12 orang 10-24 orang > 24 orang
1)Kurang efisien 2)Cukup efisien 3)Efisien
< 2 buah 2-4 buah > 4 buah
1) Kurang 2) Sedang 3) Banyak
3. Sub Sistem Pengolahan Industri kayu Jumlah industri yang menerima bahan baku kayu bulat dari hutan rakyat untuk diolah menjadi barang jadi atau setengah jadi Tingkat persediaan bahan kaku
Jumlah volume bahan baku kayu rakyat yang dapat dibeli oleh industri kayu per bulan
< 580 m³ 580-1160 m³ > 1160 m³
1) Kurang 2) Sedang 3) Banyak
Produk dan Konsumen
Jenis dan jumlah produk yang dihasilkan untuk dijual (m³/bulan)
< 3000 m³ 3000-6000 m³ > 6000 m³
1) Kurang 2) Sedang 3) Banyak
Ada Belum
1) Efektif 2) Tidak efektif
Ada Belum
1) Efektif 2) Tidak efektif
4. Sub Sistem Kelembagaan Lembaga pengurusan Ada/tidaknya lembaga sumberdaya pengurusan hutan rakyat dan bagaimana perannya dalam memajukan hutan rakyat Lembaga Usaha
Ada/tidaknya lembaga usaha yang dapat memberikan bantuan modal kepada petani
Peran pemerintah
Peran pemerintah Aktif khususnya dalam Pasif pengembangan hutan rakyat
1) Efektif 2) Tidak efektif
37
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Donggala memiliki wilayah seluas 10.471.71 km² dan secara administratif memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut: a. Sebelah Utara
: Kabupaten Toli-Toli dan Kabupaten Sigi;
b. Sebelah Selatan
: Provinsi Sulawesi Barat;
c. Sebeleah Timur
: Kabupaten Parigi Moutong;
d. Sebelah Barat
: Selat Makassar;
Kabupaten Donggala memiliki iklim tropis, dengan ketinggian wilayah berkisar 0 m dpl sampai dengan 750 m dpl. Kelembaban udara rata-rata sekitar 78%, curah hujan bulanan berkisar antara 29 mm sampai dengan 456 mm dengan temperatur minimum 22.3˚c dan maksimum 35.1˚c (BPS Kabupaten Donggala 2009). Topografi wilayah Kabupaten Donggala di bagian barat tanahnya terdiri dari rawa-rawa dan payau yang dipengaruhi oleh pasang surut. Vegetasinya berupa tumbuhan palmae, jenis api-apian dan bakau. Makin ke bagian utara merupakan daerah dataran rendah. Lebih ke dalam wilayah daerahnya semakin bergunung-gunung. 4.2 Keadaan Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2009, jumlah penduduk pada Kabupaten Donggala sekitar 483.066 jiwa yang terdiri atas lakilaki sebanyak 241.280 jiwa dan perempuan sebanyak 241.786 jiwa. Tingkat kepadatan penduduk sebesar 46 jiwa/km². Pada umumnya masyarakat di Kabupaten Donggala telah mengenyam pendidikan di bangku sekolah mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi (PT) dengan tingkat pendidikan tertinggi pada level Strata 2 (S2). Sesuai dengan data dari BPS Kabupaten Donggala (2009), tingkat pendidikan masyarakat dengan persentase tertinggi, yaitu SD (31.40%) dan terendah S1 dan S2 (4.7%). Selanjutnya komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di Kabupaten Donggala seperti pada Tabel 7.
38
Tabel 7 Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan No 1 2 3 4 5 6 7
Tingkat pendidikan Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Diploma S1 dan S2 Jumlah
Jumlah (orang) 47.340 23.477 151.683 130.911 82.314 24.636 22.704 483.066
Persentase (%) 9.80 4.86 31.40 27.10 17.04 5.10 4.70 100
Sumber: BPS Kabupaten Donggala, 2009. Mata pencaharian masyarakat Kabupaten Donggala sebagian besar sebagai petani dan lainnya adalah pengusaha jasa, pedagang, PNS, POLRI, TNI, nelayan dan sebagainya. Laju pertumbuhan ekonomi berdasarkan pertumbuhan PDRB riil pada tahun 2009 mencapai 7.20%. Selengkapnya seperti pada Tabel 8 di bawah ini. Tabel 8 Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Donggala tahun 2009 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sektor Keuangan, persewaan dan jasa persewaan Listrik dan air bersih Perdagangan, hotel dan restoran Angkutan dan komunikasi Bangunan Jasa Industri Pengolahan Pertanian dan bahan galian Bahan galian
Persentase pertumbuhan (%) 11.47 8.20 8.09 7.97 7.93 7.75 7.57 6.40 5.85
Sumber: BPS Kabupaten Donggala, 2009. Tabel 8 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang positif terjadi pada sembilan sektor tersebut dengan pertumbuhan ekonomi yang terbesar pada sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan yang mencapai mencapai 11.47%, sedangkan terendah pada sektor bahan galian dengan angka pertumbuhan sebesar 5.85%. Peranan sektoral yang paling besar dalam PDRB Kabupaten Donggala adalah sektor pertanian yang mencapai hampir separuh dari keseluruan PDRB, yaitu sebesar 49.27% (BPS Kabupaten Donggala 2009).
39
Masyarakat yang mendiami Kabupaten Donggala terdiri dari beberapa etnis. Suku Kaili merupakan penduduk asli dan juga sebagai etnis mayoritas. Di samping itu, etnis pendatang yang sudah lama berdomisili di Kabupaten Donggala berasal dari Suku Bugis, Makassar, Toraja, Mandar, Jawa dan Minahasa. Mayoritas penduduk beragama Islam 90.2%, Kristen Protestan 4.1%, Katholik 3.2%, Hindu 0.4% dan Budha 0.1% (BPS Kabupaten Donggala 2009). 4.3 Aksesibilitas Hubungan transportasi antar wilayah di Kabupaten Donggala umumnya dilakukan melalui darat. Hal ini tidak menjadi kendala yang berarti dalam penyaluran/pemasaran hasil hutan ke daerah lain, karena kondisi jalur transportasi darat saat ini dapat dijangkau dengan mudah dan baik, sebagai akibat dari pengembangan wilayah. Jarak antara ibu kota Kabupaten Donggala dengan ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah sekitar 36 km. Sedangkan jarak antara ibu kota Kabupaten Donggala dengan ibu kota kecamatan dalam wilayah Kabupaten Donggala disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Jarak antara ibu kota kabupaten dengan ibu kota kecamatan Dari Ibu Kota Kabupaten Banawa
Ke Kecamatan/Ibu Kota Kecamatan Rio Pakawa/Lalundu Banawa/Gunung Bale Banawa Tengah/Limboro Banawa Selatan/Watatu Labuan/Labuan Sindue/Toaya Sirenja/Tompe Balaesang/Tambu Damsol/Sabang Sojol/Balukang Tanantovea/Wani Pinembani Sindue Tambosabora/Tibo Sindue Tabolata/Alindao Balaesang Tanjung/Malei Sojol Utara/Ogomas 2
Sumber: BPS Kabupaten Donggala, 2009.
Jarak Tempuh Melalui Darat (km) 205 0 21 47 53 70 120 141 182 228 50 121 85 101 165 243
40
4.4 Pola Penggunaan Lahan Pola penggunaan lahan di Kabupaten Donggala bervariasi menurut peruntukannya masing-masing. Sesuai dengan data dari BPS (2009) penggunaan lahan tersebut meliputi kawasan hutan negara, hutan rakyat, pekarangan, lahan kering, sawah, lahan perkebunan, tambak dan kolam, penggunaan lainnya dan lahan tidur. Pola penggunaan lahan di Kabupatn Donggala seperti pada tabel 10. Tabel 10 Luas wilayah berdasarkan pola penggunaan lahan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis Penggunaa Lahan Hutan Negara Hutan Rakyat Pekarangan Lahan kering Sawah Perkebunan Tambak dan kolam Penggunaan lain Lahan tidur Jumlah
Luas (ha) 1.026.332.00 103.254.20 6.385.00 150.582.00 144.113.45 70.942.89 3.125.50 280.409.00 7.111.00 1.792.255.04
Persentase (%) 57.26 5.76 0.36 8.40 8.04 3.96 0.17 15.65 0.40 100.00
Sumber: BPS Kabupaten Donggala, 2009 Tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat luas lahan potensial yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan hutan rakyat, yaitu lahan kering seluas 150.582.00 ha (8.40%) dan lahan tidur sebesar 7.111.00 ha (0.40%). Apabila lahan-lahan tersebut dapat dimanfatkan secara maksimal untuk pengembangan hutan rakyat, maka akan dapat membantu dalam pemenuhan bahan baku industri kayu di Kabupaten Donggala di masa depan. 4.5 Kondisi Hutan Rakyat Secara Umum di Kabupaten Donggala Kawasan hutan di Donggala berdasarkan peruntukannya dibagi menjadi 2 bagian, yaitu: 1) kawasan lindung yang terbagi atas Kawasan Pelestarian Alam (KPA), dan Hutan Lindung (HL); 2) kawasan budidaya yang terdiri atas Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Produksi (HP), Hutan Produksi Konversi (HPK), dan Areal Penggunaan Lain (APL). Peruntukan kawasan hutan dan non kawasan hutan berdasarkan fungsi dan luasannya masing-masing seperti ditunjukkan pada Tabel 11.
41
Tabel 11 Luas kawasan hutan dan peruntukannya di Kabupaten Donggala No
Fungsi hutan
A 1
Kawasan Lindung Kawasan Suaka Alam/ Kawasan Pelestarian Alam Hutan Lindung Kawasan Budidaya Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Hutan Produksi Konversi Non Kawasan Hutan/APL Total
2 B 3 4 5 6
Luas Hektar (ha)
Persen (%)
133.104.15
12.97
215.807.18
21.03
277.844.87 13.150.27 24.794.48 361.631.05 1.026.332.00
27.07 1.27 2.42 35.24 100
Sumber: Dinas Provinsi Sulawesi Tengah, 2010. Pemanafaatan lahan masyarakat di Kabupaten Donggala didominasi oleh kebun (tegal), pekarangan dan sawah. Luas hutan hak/rakyat yang terdapat di Donggala sekitar 103.281 ha (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Donggala 2010). Hutan rakyat/hak di Donggala dibedakan dalam 2 (dua) bentuk, yaitu: 1) hutan rakyat/hak yang tumbuh secara alami di atas lahan milik, dan 2) hutan rakyat/hak yang ditanam oleh masyarakat di lahan milik. Hutan rakyat yang ditanam di lahan milik pengembangannya dilakukan secara swadaya dan melalui kegiatan gerhan. Asal-usul hutan rakyat/hak dan luasannya masing-masing seperti ditunjukkan pada Tabel 12. Tabel 12 Luas hutan rakyat/hak berdasarkan asal-asulnya No
Asal-usul hutan rakyat
Luasan Hektar (Ha)
Persentase(%)
1
Tumbuh secara alami
100.000
96.82
2
Hutan rakyat swadaya
56
0.05
3
Hutan rakyat gerhan
3.225
3.12
103.281
100
Total
Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Donggala (diolah), 2010. Tabel 12 menunjukkan bahwa luas hutan rakyat/hak yang tumbuh secara alami di atas lahan masyarakat lebih luas, bila dibanding dengan luas hutan rakyat hasil budidaya secara swadaya oleh masyarakat, dan luas hutan rakyat hasil program Gerhan oleh pemerintah. Hutan rakyat yang tumbuh secara alami pada
42
lahan milik masyarakat terdapat pada Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK) atau APL (Areal Penggunaan Lain) yang telah dibebani alas titel berupa Surat Keterangan Pemilikan Tanah (SKPT) yang dikeluarkan oleh Camat setempat. Berdasarkan asal-usul terbentuknya hutan rakyat sebagaimana yang terdapat pada Tabel 12 di atas maka vegetasi berkayu yang tumbuh di atas lahan milik masyarakatpun berbeda-beda. Pada areal hutan rakyat yang struktur tegakannya tumbuh secara alami umumnya dapat dikelompokan menjadi 2 kelompok besar, yaitu kelompok jenis meranti dan kelompok rimba campuran. Pengelompokan kayu yang tumbuh secara alami di atas lahan milik masyarakat didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 163/MenhutII/2005, tanggal 26 Mei 2003. Maksud pengelompokan jenis tersebut untuk mempermudah dalam pengenaan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) yang tujuannya adalah untuk mengamankan hak-hak negara atas hasil hutan. Hutan rakyat yang tumbuh secara alami di lahan masyarakat seperti pada Gambar 3.
Gambar 3 Hutan rakyat/hak yang tumbuh secara alami di lahan masyarakat Lahan masyarakat yang ditanami pohon-pohon umumnya letaknya terpisah-pisah dengan luasan yang bervariasi. Jenis-jenis pohon yang ditanam oleh masyarakat baik secara swadaya maupun melalui kegiatan gerhan, yaitu jati, sengon, gmelina, durian dan ebony. Jenis-jenis tersebut ada yang ditanam pada suatu lokasi bersamaan dengan jenis-jenis tanaman pertanian (agroforestry) dan
43
ada juga yang ditanam secara monokultur, yaitu jenis jati. Di samping itu, pada lahan masyarakat yang ditumbuhi jenis-jenis pohon secara alami umumnya berupa lahan perkebuanan coklat. Jenis-jenis pohon yang tumbuh secara alami di atas lahan milik masyarakat seperti ditunjukkan pada Tabel 13. Tabel 13 Jenis pohon yang tumbuh secara alami di lahan milik petani No
Jenis Pohon Nama Perdagangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Meranti Nyatoh Palapi Mangga Hutan Tabang Kedondong Hutan Durian Bayur Dara-dara Lita-Lita Tapi-tapi Andolia Kume Lengaru Ketapang Hutan Unga-unga Binuang Siuri
Nama Ilmiah Shorea spp Palaquium spp Heritiera spp Mangifera sp Litsea sibayanensis Spondias sp Durio carinatus Pterospermum sp Eugenia sp Koordersiodenron pinnatum Melia Koetjape Cananga odorata Planconela mollucana Alstonia scholaris Terminalia spp Podocarpus sp Octomeles sp Solenocarpus philipinensis
Sumber: BP2HP XIV Palu (diolah), 2010. Tabel 16 menunjukkan bahwa pada lahan milik masyarakat terdapat 18 jenis kayu yang tumbuh secara alami. Tegakan yang tumbuh pada lahan masyarakat meliputi 4 jenis dari kelompok meranti (18.8%) dan 14 jenis lainnya dari kelompok rimba campuran (81.82%). Hal ini berarti tegakan yang tumbuh secara alami pada lahan milik masyarakat umumnya didominasi oleh jenis-jenis rimba campuran. 4.7 Kondisi Industri Pengolahan Kayu Industri Pengolahan Hasil Hutan Kayu (IPHHK) yang saat ini terdaftar di Kabupaten Donggala berjumlah 15 unit. Berdasakan kapasitas terpasang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu industri dengan kapasitas >2000 m3 s/d 6000 m3 (industri menengah ke atas) sebanyak 2 unit dan industri dengan kapasitas <2000 m3 (industri menengah ke bawah) sebanyak 13 unit. Jumlah, jenis, dan kapasitas terpasang dari masing – masing industri kayu seperti ditunjukkan pada Tabel 14.
44
Tabel 14 Nama industri, jenis, dan kapasitas terpasang No Nama Perusahaan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
PT. Laju Lancar Lestari UD. Mandiri CV. Sojol Jaya CV. Al-Munawarah CV. Indosul Harmoni CV. Celindo Cemerlang CV. Kaili Tovea Indah CV. Cahaya Taviora CV. Bahtera Abadi UD. Pratama Lestari CV. Cahaya Arti CV. Sabar Jaya Sentosa CV. Bakti Jaya Utama PT. Tatehe Nusa Jaya UD. Mardiana Jumlah Total
Jenis dan Kapasitas Izin (m³) Kayu Gergajian 2.200 6.000 1.000 1.500 1.500 1.500 1.000 500 1.000 900 1.000 1.000 1.000 1.300 1.500 21.600.00
Sumber: BP2HP XIV Palu, 2010. Tabel 14 menunjukkan bahwa IPHHK dengan kapasitas terpasang > 2000 m3 s/d 6000 m3 sebesar 13.3% dan kapasitas < 2000 m3 sebesar 86.7%. Hal ini menunjukkan bahwa di Kabupaten Donggala jumlah industri kecil lebih banyak dibandingkan dengan industri menengah ke atas. Berdasarkan total kapasitas terpasang yang ada, maka setiap tahun IPHHK membutuhkan pasokan bahan baku kayu sebesar 43.200.00 m3/tahun, dengan asumsi rendemen kayu sebesar 50%. Berdasarkan Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI), pasokan bahan baku industri pengolahan kayu di Kabupaten Donggala pada tahun 2009 dari Hutan Alam sebanyak 920 m3/tahun. Selanjutnya pasokan kayu dari hutan rakyat/hak sebanyak 10.725.26 m3/tahun (Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah 2010). Jadi Total pasokan bahan baku sebesar 11.645.26 m3/tahun. Sementara total kebutuhan bahan baku mencapai 43.200.00 m3/tahun. Dengan demikian masih terdapat kesenjangan bahan baku kayu sebesar 31.554.74 m3/tahun. Karena itu untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya industri kayu yang masih beroperasi melakukan pengurangan pemenuhan bahan baku sesuai target produksi yang direncanakan dalam RPBBI. Di samping itu, untuk tetap beroperasi
45
maka umumnya industri juga membeli kayu dari luar kabupaten. Selanjutnya, antar industri kayu yang ada harus bersaing dalam pemenuhan bahan bakunya. Ke depan kekurangan bahan baku kayu bulat bagi industri kayu yang tersebar di Kabupaten Donggala dan Kota Palu dapat dipenuhi, apabila lahan-lahan potensial yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal untuk pengembangan hutan rakyat. Skenario pemanfaatan lahan tidur yang ada di Kabupaten Donggala selanjutnya dijelaskan pada bab hasil dan pembahasan dengan tema: “upaya pengembangan hutan rakyat”.