III. METODOLOGI
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Teluk Tamiang, Kabupaten Kotabaru, Propinsi Kalimantan Selatan (Gambar 3).
Pemilihan lokasi didasarkan atas pertimbangan
antara lain telah berkembangnya kegiatan budidaya ikan kerapu di Teluk Tamiang yang memiliki luas 2.289,8 ha. Penelitian lapangan dan laboratorium dilaksanakan mulai dari bulan April – Nopember 2006.
Kalimantan Selatan
Teluk Tamiang
Gambar 3 Peta lokasi penelitian
3.2. Karakterisasi Sifat Perairan dan Kelayakan Bioteknis Perairan Teluk Tamiang Analisis karakteristik sifat perairan merupakan kajian tentang kondisi biofisik dan kimia perairan, mencakup aspek kualitas perairan (Biologi, fisika, dan kimia), serta oseanografi.
Pengamatan kualitas air dilakukan untuk menentukan kelayakan
perairan bagi kehidupan ikan kerapu. Contoh air diambil pada 10 titik lokasi sampling (Gambar 4) pada kedalaman 50% dari kedalaman laut (0,5 x kedalaman laut) dengan menggunakan water sampler Niskin Van Dorn (International Association of the Physical of the ocean (IAPSO, 1936 didalam Hulagalung et al., 1997).
Contoh air untuk
keperluan analisa laboratorium diambil setiap bulan satu kali selama 6 bulan.
Jenis
dan metode analisa parameter secara rinci disajikan pada Tabel 1. Penentuan lokasi dilakukan dengan alat bantu GPS (Global Positioning Systems).
10
8
9
7
6 5
4 2
3
1
Gambar 4 Titik sampling perairan Teluk Tamiang
3.2.1. Karakterisasi Biologi Perairan Kajian biologi perairan meliputi produktivitas primer, plankton dan bentos, yang ditujukan untuk mengetahui karakteristik perairan sebagai salah satu indikator tingkat pencemaran dan kesuburan perairan. -
Pengukuran
Produktivitas
Primer.
Produktivitas
primer
diukur
dengan
menggunakan botol gelap dan botol terang (Vollenweider, 1969 didalam Kaswadji et al., 1993). Pengukuran produktivitas primer bertujuan untuk mengetahui jumlah bahan organik yang dihasilkan oleh produsen primer (fitoplankton). Produktivitas primer dihitung dengan menentukan kandungan oksigen terlarut dalam botol terang dikurangi dengan kandungan oksigen dalam botol gelap setelah dilakukan masa inkubasi (pencahayaan) selama 3 jam. Nilai oksigen terlarut yang diperoleh dari hasil pengurangan tersebut, kemudian dikonversikan ke satuan mgC/m3/jam. Perhitungan produktivitas primer dilakukan menurut Umaly dan Cuvin (1988) sebagai berikut:
GP =
0,375 (O2 dalam BT) – (O2 dalam BG) (1000) ------------------------------------------------------- x --------- mgC/m3/jam Lama pencahayaan (jam) KF
Keterangan : GP = Produktifitas Primer BT = Botol Terang BG = Botol Gelap Lama inkubasi = selama 3 jam (dari jam 9.00 – 12.00) O2 = Oksigen terlarut (mg/l) KF = Kuosien Fotosintesa = 1,2 1000 = konversi liter menjadi m3 0,375 = Koefisien konversi oksigen menjadi karbon (12/32) (Ryther, 1965 didalam Kaswadji et al., 1993). Jika diasumsikan bahwa dalam satu hari terdapat 12 jam terang, maka dalam satu hari GP x 4 jam. -
Kelimpahan Plankton. Sampel diambil dengan menyaring air sebanyak 200 liter melalui plankton net no. 25 dan dimampatkan menjadi sekitar 25 ml dan diawetkan dengan menambahkan 5 – 10 tetes larutan formalin 10 ppm.
Identifikasi jenis
dilakukan dengan bantuan mikoskop dan buku identifikasi Davis (1955). Perhitungan kepadatan plankton dilakukan dengan menggunakan Sedgwick Rafter Counting Chamber dibawah mikroskop (APHA, 1992).
Kelimpahan plankton (K)
ditentukan dengan metode penyapuan (sensus) dengan menggunakan Sedwick Rafter Cell (SRC) (APHA 1992) sebagai berikut :
Vs 1 K = ----- x -----x N Va Vo Dimana : K Vs Va N Vo
-
= = = = =
Bentos.
Kelimpahan total plankton (sel/l) Volume air yang tersaring (ml) Volume air yang disaring (l) Jumlah plankton yang teramati Volume air yang diamati (ml)
Sampel sedimen diambil dengan alat bantu Ekman grab pada 10 titik
sampling. Selanjutnya contoh sedimen yang diperoleh disimpan kedalam kantong plastik, diawetkan dengan formalin 10 ppm.
Kepadatan/kelimpahan bentos (K)
ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut : K
1000 x a = ------------b
Dimana : K a b 1000
= = = =
Kepadatan makrozobentos (individu/m2) jumlah makrozobentos Luas bukaan mulut Ekman Grab (cm2) konversi dari cm2 ke m2
Stabilitas Komunitas Stabilitas komunitas plankton dan bentos dinyatakan dengan indeks keanekaragaman (H1) oleh Shannon Wiener (Odum, 1971) dan indeks keseragaman (E) Evennes Index (Odum, 1971) serta indeks dominansi (C) Shannon Wienner (Odum, 1971),
yang
ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut : -
Indeks Keanekaragaman (H1) Keanekaragaman dihitung dengan rumus Index Shannon Wiener (Odum, 1971): H1 = ∑ (ni) ln (ni) N N Dimana : H1 = indeks Keanekaragaman ni = jumlah individu tiap spesies N = jumlah individu seluruh spesies Kisaran nilai indeks keanekaragaman Shannon Wienner diklasifikasikan sebagai berikut : = keanekaragaman populasi kecil dan komunitas rendah H1 < 1 H1 < 1 < 3 = keanekaragaman populasi sedang dan komunitas sedang = keanekaragaman populasi tinggi dan komunitas tinggi H1 < 3
-
Indeks Keseragaman (E) Indeks keseragaman dihitung dengan menggunakan rumus Evennes Index (Odum, 1971). E =
H1 LnS
Dimana : E = indeks keseragaman H1 = indeks keanekaragaman S = jumlah spesies Nilai keseragaman berkisar antara 0 – 1. Apabila nilai E mendekati 0, maka sebaran individu antar jenis tidak merata dan apabila nilai E mendekati 1, maka sebaran individu antar jenis merata. -
Indeks Dominansi (C) Indeks dominansi dihitung dengan menggunakan rumus Shannon Wienner (Odum, 1971) sebagai berikut : C Dimana : C ni N Pi
= = = =
= ∑ (Pi)2 Indeks Dominansi Jumlah individu taksa ke-i Jumlah total individu ni/N = Proporsi spesies ke-i
Nilai indeks dominansi (C) berkisar antara 0 – 1. Bila nilai indeks dominansi mendekati 1 maka terdapat organisme tertentu yang mendominasi suatu perairan, namun bila nilai indeks dominasi mendekati 0, maka tidak ada jenis yang dominan. Untuk memudahkan perhitungan dalam analisis statistik uji beda nyata digunakan alat bantu piranti lunak Excel Stat Pro 7.5 dan SPSS 11,5.
3.2.2. Karakterisasi Oseanografis. -
Pasang surut. Diukur dengan alat bantu papan pembaca yang dipasang di lokasi penelitian. Pembacaan tinggi permukaan air dilakukan selama 3x24 jam pada saat pasang purnama dan surut terendah yang bertujuan untuk mengetahui volume perairan baik pada saat pasang maupun surut serta polanya yang berkaitan dengan proses pengenceran (flushing time). Hasil pengamatan pasang surut diklarifikasi dengan data pasang surut yang dikeluarkan oleh Dinas Hidrooseanografi TNI-AL untuk stasiun pengamatan Kotabaru. Sementara kecepatan arus pasang surut di
dalam Teluk Tamiang diukur dengan floating roop, sedangkan arah dan pola arus diamati dengan menelusuri arah pergerakan arus secara langsung (insitu). -
Bathymetri.
Peta kontur bathymetri merupakan kontur dari kedalaman teluk,
diperoleh dengan menggunakan Lowrens Echosounder (model X16) dan diproses dengan bantuan piranti lunak Surfare 8.0.
Data dari pencatatan ini kemudian
dikoreksi ke chart datum dengan referensi tabel pasang surut dan dikuatkan dengan pengukuran lapangan pada waktu dan rentang pasang yang berbeda. -
Substrat dasar. Contoh substrat diambil pada lokasi dengan metode yang sama dengan sampel bentos.
Contoh substrat diambil dengan alat Ekman grab,
dimasukkan ke dalam kantong plastik dan disimpan sampai dianalisa tekstur substrat.
Pada setiap contoh sampel dianalisis di laboratorium secara fisik
substratnya antara lain jenis pasir, karang berpasir putih, pasir berkarang, pasir berlumpur, dan berlumpur.
3.2.3. Karakterisasi Kimiawi Perairan Kajian kimia perairan meliputi parameter kimia perairan yang berpengaruh kehidupan ikan kerapu antara lain parameter pH, Salinitas, Oksigen Terlarut (DO), Nitrit, Nitrat, Orthophosphat, dan BOD5. Parameter-parameter tersebut diukur satu kali setiap bulan selama 6 bulan. Secara rinci jenis parameter dan metode analisanya disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Parameter kualitas lingkungan perairan dan metode peneraannya Parameter Biologi 1. Produktivitas primer 2. Plankton 3. Bentos
Fisika 1. Suhu (oC) 2. Kecerahan/pembacaan secchi disk (m) 3. TSS (ppm) 4. Kecepatan Arus (m/dt) 5. Substrat Dasar 6. Kedalaman (m) 7. Pasang surut (m) 8. Keterlindungan (ketinggian gelombang (m) Kimia 1. pH 2. Salinitas (ppt) 3. Oksigen terlarut (ppm) 4. Ammonia (ppm) 5. Nitrit (ppm) 6. Nitrat (ppm) 7. Orthophosphat (ppm) 8. BOD5 (ppm)
Alat/Cara Analisis
Keterangan
Botol Gelap dan Botol Terang, DO meter Plankton net No.25, Mikroskop dan buku identifikasi Ekman Grab, Mikroskop dan buku identifikasi
Insitu Laboratorium
Thermometer Hg Piring Sechi
Insitu Insitu
Gravimaterik Floating roop Ekman Grab Lowrens Echosounder Papan berskala Tongkat berskala
Laboratorium Insitu Laboratorium Insitu Insitu Insitu
pH meter Refraktometer DO meter Botol sampel, Spektrofotometer Botol sampel, Spektrofotometer Botol sampel, Spektrofotometer Botol sampel, Spektrofotometer Botol BOD, DO meter
Insitu Insitu Insitu Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium
Laboratorium
3.2.4. Kelayakan Bioteknis dan Penentuan Kesesuaian Perairan Penentuan kelayakan/kesesuaian
bioteknis untuk pengembangan budidaya
KJA dilakukan dengan metode pembobotan dan penilaian (skoring) untuk setiap parameter yang berpengaruh pada kelayakannya untuk ikan kerapu yang diberikan oleh Tiensongrusmee et al., (1986) didalam Sunyoto (1993) (Tabel 2). Dalam metode ini pertama-tama ditentukan parameter-parameter utama yang berpengaruh pada kegiatan budidaya KJA ikan kerapu, kemudian sesuai dengan perannya parameterparameter tersebut diberi bobot dan skor.
Bobot menunjukan kepentingan parameter
pada keberhasilan budidaya. Nilai yang diberikan adalah rentang 1 s/d 5. Semakin tinggi nilai, semakin penting peranannya.
Skor (s) dibagi dalam empat kategori yaitu
skor 4 (sangat layak) di mana nilai parameter tersebut sangat layak (optimum), skor 3
(sedang) di mana nilai parameter pada rentang yang masih dapat ditoleransi untuk hidup layak, skor 2 (rendah) dimana nilai parameter terletak pada rentang yang masih dapat ditolerasi (direkomendasikan) namun sudah mengganggu proses metabolisme, dan skor 1 (tidak layak) di mana nilai parameter berada diluar rentang yang direkomendasikan dan sudah mengganggu proses metabolisme.
Penentuan skor
didasarkan pada rentang nilai hasil pengukuran lapangan terhadap 8 (delapan) parameter utama seperti yang disajikan pada Tabel 2. kelayakan/kesesuaian setiap parameter
Untuk memperoleh nilai
maka nilai ”bobot” dikalikan dengan ”skor”
untuk masing-masing parameter pada setiap stasiun yang diperoleh dari pengukuran dan pengamatan lapang. Tabel 2
Kriteria dan sistem penilaian kelayakan/kesesuaian perairan untuk budidaya KJA Ikan Kerapu Nilai skor dan Tingkat Kesesuaian dan Rentang nilai Parameter Hasil Pengukuran 4 3 2 1 (Tinggi) (Sedang) (Rendah) (Tidak Sesuai) (4) (5) (6) (7)
No
Parameter
Bobot
(1)
(2)
(3)
1
Kedalaman (meter) Keterlindungan terhadap gelombang/ angin besar) Suhu (oC) Salinitas (promil) Substrat Dasar
5
>10
7-9
4-6
<4
4
Sangat terlindung (<0,5 m)*
Terlindung (<0,5 m)*
Agak terbuka (>0,5 m)*
Terbuka (>0,5 m)*
-----
3 3
28 - 30 31 - 34
26 - 27 29 - 30
> 30/<24 < 25/>35
---------
3
Pasir berkarang
Berlumpur
-----
3
Pasir, karang berpasir 6 - 10
24 - 25 25 – 27/ 34 - 35 Pasir berlumpur
3-5
0-2
0
-----
3
7-8
6 – 7/>8
5-6
<5
-----
3
21 - 40
16 - 20
13 - 15
<12
-----
2
3 4 5 6 7 8
Kecerahan (meter) Oksigen terlarut Kecepatan Arus (cm/dt) Total Nilai
Nilai Kelayakan Parameter (8) (Bobot x Skor) -----
∑ Bobot x Skor
Keterangan : *) ketinggian gelombang
Hasil perkalian antara bobot dan skor dari setiap parameter
pada masing-
masing stasiun pengamatan kemudian dijumlahkan. Dari hasil penjumlahan tersebut tentukan jumlah nilai maksimal (∑ nilai maksimal ) dan jumlah nilai minimal (∑ nilai minimal ).
Untuk mendapatkan nilai kesesuaian pada setiap lokasi pengamatan,
selisih nilai maksimal dan minimal dibagi kedalam 4 kategori (klas) yaitu a) sesuai tinggi (S1), b) sesuai sedang (S2), c) sesuai rendah (S3), dan d), tidak sesuai (N), yang penentuannya terlebih dulu dilakukan perhitungan nilai selang klas kesesuaian dengan persamaan sebagai berikut : Selang Kelas Kesesuaian (X) = ∑ nilai maksimal - ∑ nilai minimal Banyak Klas Selanjutnya untuk menentukan tingkatan kesesuaian/kelayakan perairan bagi pengembangan budidaya KJA Ikan Kerapu yang terbagi 4 kategori (klas) dari kisaran total nilai (bobot x skor) pada setiap stasiun pengamatan dengan klas kesesuaian, dihitung dengan persamaan sebagai berikut : Klas kesesuaian Kesesuaian tinggi (S1) nilainya berkisar antara = (∑ maks - X) s/d (∑ maks) Kesesuaian sedang (S2)nilai berkisar antara = (∑ maks -1-2X) s/d (∑ maks -1-X) Kesesuaian rendah (S3) nilai berkisar antara = (∑ maks -2-3X) s/d (∑ maks -2-2X) Tidak sesuai (N) nilai berkisar antara = < (∑ maks -3-3X) Untuk menganalisis secara spasial, titik-titik stasiun pengamatan terlebih dulu dilakukan interpolasi yang merupakan suatu metode pengelolaan data titik menjadi area (polygon). Dari hasil interpolasi masing-masing parameter kualitas perairan yang diperoleh, disusun dalam bentuk peta tematik. Luasan perairan yang layak/sesuai bagi pengembangan budidaya ikan kerapu dalam keramba jaring apung yang dihasilkan setelah seluruh data parameter utama pembobotan dalam bentuk peta tematik di overlay (tumpang susun). Kemudian
penentuan
luas
areal
perairan
yang
layak/sesuai
bagi
pengembangan budidaya KJA Ikan kerapu dilakukan dengan bantuan perangkat Sistem Informasi Geografis (SIG) piranti lunak
ArcView versi 3.3 dan Surfer 8.0.
Diagram alir penyusunan tingkat kelayakan/kesesuaian perairan untuk budidaya ikan kerapu dalam keramba jaring apung disajikan pada Gambar 5.
Potensi Sumberdaya Perairan untuk Pengembangan Budidaya Ikan di Teluk Tamiang
Data Primer (Biofisik Perairan)
Geografi Information System (GIS)
Data Sekunder (Peta rupa bumi)
Penyusunan Data Base • Atribut (data tabular) • Data Grafis Peta Tematik
Kriteria Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Laut Peta Tingkat Kesesuaian Perairan Untuk Budidaya KJA Ikan Kerapu Gambar 5
Diagram alir penyusunan tingkat kesesuaian perairan untuk budidaya KJA Ikan Kerapu
3.3. Budidaya Ikan Kerapu dalam Keramba Jaring Apung
Keramba jaring apung yang digunakan terbuat dari kayu ulin dan jaring nilon (D24) dengan mesh size 3,175 cm. Ukuran keramba yang digunakan adalah 3 x 3 x 2,5 m3 sebanyak 1 jaring diletakan dalam satu unit rakit (Gambar 6). Ikan kerapu bebek (Cromileptis altivelis) yang digunakan sebagai hewan uji memiliki berat awal rata-rata 360 gr/ekor. Ikan uji tersebut diambil dari bibit alam sekitar perairan Teluk Tamiang dengan tingkat kepadatan 20 ekor/m3. Masa pemeliharaan + selama 6 bulan dan selama pemeliharaan diberi pakan berupa ikan rucah (segar). Jumlah pakan yang diberikan adalah 4% dari biomass ikan setiap hari yang terbagi dalam 3 kali pemberian pakan yaitu pada jam 07.00, 13.00 dan 18.00.
Jumlah pakan
disesuaikan setiap bulan sekali selama 6 bulan (180 hari). Untuk mengetahui total biomass dilakukan sampling menggunakan jaring serok.
Untuk mengetahui perubahan kualitas air akibat kegiatan budidaya ikan di sekitar lokasi budidaya dilakukan pengamatan kualitas air antara lain suhu, kecerahan, TSS, DO, salinitas, BOD. COD, Nitrit, Nitrat, dan Orthoposphat dengan frekuensi
pengamatan sebanyak 1 kali 1 bulan selama 6 bulan didalam kurungan karamba maupun lingkungan sekitarnya. Untuk parameter DO dan salinitas diukur secara ”insitu” yaitu di setiap stasiun pada kedalaman 50% dari kedalaman laut (0,5 x kedalaman laut) (International Association of the Physical of the ocean (IAPSO, 1936 didalam Hulagalung et al 1997). Sedangkan untuk parameter lainnya contoh air dimasukan kedalam botol sampel kemudian diawetkan dalam suhu dingin (es) pada kotak pendingin (cool box) dan dibawa ke laboratorium untuk dianalisa.
Untuk mengetahui pertumbuhan ikan diukur setiap bulan sekali dengan cara menimbang sebanyak 25 ekor per keramba jaring apung dengan alat bantu timbangan OHAUS berketelitian 0,1 gr.
Untuk mengetahui sintasan, laju pertumbuhan harian (LPH), rasio konversi pakan (RKP), dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut : Sintasan (%)= (jumlah ikan yang hidup pada akhir penelitian/jumlah ikan saat tebar) x 100% LPH (gr/hari)= (Wt-Wo)1/t, dimana Wt: bobot ikan pada akhir penelitian (gr); Wo: bobot ikan pada awal penelitian (gr); t (hari) dan RKP
= jumlah pakan yang diberikan/berat biomass ikan yang dihasilkan
3.4. Pendugaan Kuantitatif Limbah yang berasal dari Kegiatan Budidaya (Internal Loading) Untuk menduga jumlah limbah budidaya ikan kerapu (berupa feses maupu sisa pakan) yang terbuang dari keramba ke lingkungan perairan di bagian luar jaring dipasang jaring halus mesh size 20 mikron. Jaring halus tersebut dipasang di luar jaring apung (tempat pemeliharaan ikan). Perangkap tersebut diikatkan pada sebuah bingkai yang terbuat dari kayu ulin berbentuk segi empat yang berukuran 3,5 x 3,5 meter, dan bagian bawah perangkap dipasangi pemberat (Gambar 6).
Pengumpulan
limbah sisa pakan dan feses dilakukan setiap bulan sekali sebanyak 6 kali sampling ulangan (selama kegiatan budidaya). Untuk pengumpulan sisa pakan dilakukan 2 jam setelah pemberian pakan,
sedangkan untuk pengumpulan feses,
dipasang selama 24 jam sebelum koleksi feses.
jaring halus
Limbah yang terkumpul kemudian
dipisahkan antara feses dan sisa pakan. Baik feses maupun sisa pakan kemudian ditimbang dan selanjutnya dianalisa kadar proximat yang terdiri dari yaitu lemak kasar
(Ekstraksi Soxhlet), karbohidrat (Spektrofotometer), serat kasar (Fibretex), kadar abu (Muffle), kadar air (pengeringan oven), serta N dan P (Semi Micro Kjeldahl dan Olsen). Sebagai pembanding analisa proximat juga dilakukan terhadap ikan rucah (sebagai pakan segar) dan ikan kerapu pada akhir pemeliharaan.
Rakit Pelampung Bingkai Jaring Perangkap (3,5x3,5) Jaring Keramba (3x3x2,5) Perangkap feses & sisa Pakan (3,5x3,5x2,7) Pemberat (2-3 kg)
Gambar 6 Keramba jaring apung dengan alat perangkap feses dan sisa pakan
Pendugaan
total
bahan
organik
dihitung
berdasarkan
metode
yang
dikemukakan oleh Iwama (1991 didalam Barg, 1992) dengan mengacu pada total pakan yang tidak dikonsumsi dan jumlah feses, dengan persamaan sebagai berikut : O
= TU + TFW
O TU
= total output partikel bahan organik = total pakan yang tidak dimakan, yang diperoleh dengan persamaan : TU = TF x UW TF = total pakan yang diberikan UW = presentase pakan yang tidak dimakan (rasio total pakan yang dimakan terhadap total pakan yang diberikan). = total limbah feses, dihitung dengan persamaan : TFW = F x TE F = persentase feses (rasio total feses terhadap total pakan yang dimakan) TE = total pakan yang dimakan, diperoleh dengan persamaan :
TFW
TE TF TU
= TF – TU = total pakan yang diberikan = total pakan yang tidak dimakan
Pendugaan kuantifikasi limbah total N dan P (TN dan TP) didasarkan atas data kandungan N dan P dalam pakan ikan rucah, dan dalam karkas ikan kerapu (Baveridge, 1987, Barg, 1992).
Pendugaan total N dan P mengacu pada metode
Ackefors dan Enell (1990 didalam Barg, 1992), dihitung dengan persamaan sebagai berikut : Persamaan untuk Loading N dan P adalah : Kg P = (A x Cdp) – (B x Cfp) Kg N = (A x Cdn) – (B x Cfn) Dimana : A B Cd Cf
= bobot basah pakan rucah yang digunakan (kg) = bobot basah kerapu yang diproduksi (kg) = kandungan phosphor (Cdp) dan nitrogen (Cdn) di pakan diekspresikan sebagai % bobot basah) = kandungan phosphor (Cfp) dan nitrogen (Cfn) dari karkas ikan, diekspresikan sebagai % bobot basah.
3.5. Pendugaan Kuantitatif Limbah yang Bersumber dari Daratan (Antropogenik) (Eksternal Loading) Pendugaan beban limbah dari kegiatan masyarakat yang berada di daratan mengacu pada metode Interactionin
the
yang
Coastal
Zone
dikembangkan (LOICZ)
oleh
Project
Land
(Malou
San
Ocean Diego-
McGlone,www.nest..su.se/MNODE/Methode/powerpoint/wasteload4/ppt.htm). Pendugaan kuantitatif limbah yang bersumber dari daratan (upland) berasal dari aktivitas (1) pemukiman, dan (2) peternakan, bertujuan untuk mengetahui besaran potensi kontribusi beban limbah organik (nitrogen dan phosphor) ke perairan teluk antara lain : (1) Aktivitas Pemukiman. Besaran limbah organik (Total N dan P) yang berasal dari pemukiman, dihitung dengan cara sensus
yaitu menghitung secara langsung
jumlah penduduk yang bermukim disekitar teluk.
Untuk mendapatkan besar
kontribusi limbah yang terdiri dari limbah padat (kg/hari) dan limbah cair (liter/hari), maka jumlah penduduk tersebut dikalikan dengan koefisien limbah dari berbagai acuan antara lain dari 1) Sogreah (1974); 2) Padilla et al (1997), dan 3) World Bank didalam Diego-McGlone (2006) (Tabel 3).
Tabel 3 Jenis aktifitas dan koefisien limbah pemukiman No. 1.
Jenis Aktivitas Aktivitas Pemukiman Limbah padat
2.
Sampah
3.
Deterjen
Koefisien Limbah 1,86 kg N/org/th 0,37 kg P/org/th 4 kg N/org/th 1 kg P/org/th 1 kg P/org/th
Sumber Acuan Sogreah (1974) Padilla et al (1997) World Bank (1993)
Catatan : 1) Sogreah (1974); 2) Padilla et al (1997); 3)World Bank (1993) di dalam Diego- McGlone (2006).
(2)
Aktivitas Peternakan. Besaran volume limbah (Total N dan P) tersebut dihitung dengan menghitung secara langsung jumlah ternak yang berada atau dipelihara disekitar teluk.
Untuk mendapatkan besar kontribusi limbah yang terdiri dari
limbah padat (kg/hari), maka jumlah ternak tersebut dikalikan dengan koefisien limbah dari berbagai acuan antara lain 1) WHO (1993); 2) Valiela et al (1997) didalam Diego-McGlone (2006) (Tabel 4). Tabel 4 Jenis aktifitas dan koefisien limbah peternakan No. 1.
Jenis Aktivitas Komoditas Peternakan Ternak Sapi
2.
Ternak Kambing
3.
Ternak Ayam
Koefisien Limbah 43,8 kg N/ekr/th 11,3 kg P/ekr/th 4 kg N/ekor/th 21,5 kP/ekor/th 0,3 kg N/ekor/th 0,7 kg P/ekor/th
Sumber Acuan WHO (1993) WHO (1993) Valiela et al (1997)
Catatan : 1) WHO (1993); 2) Valiela et al (1997) didalam Diego-McGlone (2006)
Beban limbah yang berasal dari pemukiman dan peternakan diperoleh dari data perhitungan langsung dilapangan yang mengacu pada data sekunder statistik Desa/Kecamatan.. Pendugaan total nitrogen (TN) dan total fosfat (TP) dari limbah antropogenik dihitung dengan mengalikan antara tingkatn aktivitas dengan koefisien limbah (N dan P) (Tabel 5) dengan persamaan sebagai berikut : TN
= tingkatan aktivitas x koefisien limbah
TP
= tingkatan aktivitas x koefisien limbah
Tabel 5 Pendugaan beban limbah antropogenik sekitar Teluk Tamiang Jenis Aktivitas Pemukiman 1. Limbah padat 2. Sampah 3. Deterjen Jumlah Peternakan 1. Sapi 2. Kambing 3. Ayam
Koefisien Limbah
1,86 kg N/org/th 0,37 kg P/org/th 4 kg N/org/th 1 kg P/org/th 1 kg P/org/th
43,8 kg N/ekr/th 11,3 kg P/ekr/th 4 kg N/ekor/th 21,5 kP/ekor/th 0,3 kg N/ekor/th 0,7 kg P/ekor/th
Tingkatan Aktivitas Jumlah Penduduk (orang)
Jumlah Ternak (ekor) yang dipelihara
Jumlah Jumlah Total
Total N (kg/th)
Total P (kg/th)
Ket.
…….. ……..
…….. ……..
……..
……..
-
-
…….. ……..
…….. ……..
……..
……..
-
-
1 2 3 3 3
4 4 4 4 5 5
Sumber Pustaka : 1) Sogreah (1974); 2) Padilla et al (1997); 3)World Bank (1993); 4) WHO (1993); 5) Valiela et al (1997) didalam Diego-McGlone (2006)
3.6. Pendugaan Daya Dukung Lingkungan Perairan Pesisir bagi Pengembangan Budidaya Kerapu dalam Karamba Jaring Apung Dalam melakukan pendugaan daya dukung lingkungan dilakukan dalam 2 bentuk pendekatan antara lain (1) pendekatan yang mengacu pada loading total nitrogen (TN) dari sistem budidaya dan antropogenik yang terbuang ke lingkungan perairan dan (2) pendekatan yang mengacu pada kapasitas ketersediaan oksigen terlarut dalam badan air dan bahan organik. Pendekatan (1) Mengacu kepada Loading Total Nitrogen (TN) Limbah buangan dari aktifitas budidaya mengakibatkan terjadinya pengkayaan nutrien (Hipernutrifikasi) di perairan teluk. Level hipernutrifikasi ditentukan oleh volume badan air, laju pembilasan (flushing rate) dan fluktuasi pasang surut (Gowen et al, (1989 didalam Barg, 1992), memberikan persamaan estimasi sebagai berikut : Ec
= N x F/V
dimana : Ec N F V
= Konsentrasi limbah/level hipernutrifikasi (mg/l) = output harian dari limbah nitrogen terlarut (limbah internal dan eksternal) = flushing time dari badan air (hari) = volume badan air (L)
Flushing time (F) yaitu waktu (jumlah hari) yang diperlukan limbah berdiam (tinggal) dalam badan air sehingga lingkungan perairan menjadi bersih. Penentuan Flushing time ditentukan dengan menggunakan formula : F = 1/D Laju pengeceran (dilution) D, dapat dihitung dengan metode
pergantian pasang
yaitu : D
= (Vh – Vl) / T x Vh
Dimana : (Vh – VI) adalah volume pergantian pasang Vh = volume air dalam badan air saat pasang tertinggi (m3) VI = volume air dalam badan air saat surut (m3) T = periode pasang dalam satuan hari Perhitungan Volume Badan Air Teluk diukur pada saat pasang tertinggi (MHWS (Mean High Water Spring), dan pada saat surut terendah MLWS (Mean Low Water Spring) dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : Vh
= A.h1 dan Vl
Dimana : A h1 dan h0 Vh V1 Vh – Vl
= = = = =
= A.h0
luas perairan teluk (m2) kedalaman perairan saat pasang tertinggi dan surut terendah Volume air pada saat pasang tertinggi Volume air pada saat surut terendah perubahan volume karena efek pasut.
Perhitungan selanjutnya adalah menghitung konsentrasi [Nlp] hasil pengkayaan nutrien ini dihubungkan dengan nilai nitrogen (Ammonia (NH3N) baku mutu perairan untuk budidaya (Kep-51/MENLH/2004) untuk mendapatkan nilai kapasitas optimal produksi budidaya (Prodopt) dengan pengertian bahwa nilai konsentrasi [Nlp] berasal dari limbah produksi ikan (per unit rakit KJA) dan antropogenik tidak melebihi baku mutu, maka produksi optimal dapat diduga dengan persamaan sebagai berikut : (Prodopt) (ton) = [Nbm] dimana : [Nbm] = [N] baku mutu perairan untuk budidaya [Nlp] (0,3 – 1 ppm) selang konsentrasi Ammonia (NH3N) yang dipersyaratkan [Nlp] = Konsentrasi [N] limbah produksi ikan dan antropogenik hasil pengkayaan nutrien . Produksi optimal (Prodopt) adalah jumlah produksi ikan yang dapat dihasilkan oleh unit budidaya (unit rakit KJA) tanpa melampaui baku mutu perairan yang dipersyaratkan. Nilai pendugaan produksi optimal adalah perbandingan antara konsentrasi [N] baku
mutu dengan konsentrasi [N] limbah produksi. Bila diketahui output limbah N hasil produksi dalam 1unit KJA, maka akan dapat diketahui jumlah produksi ikan secara optimal. Pendekatan 2. Mengacu Kepada Ketersediaan Oksigen Terlarut dan Bahan Organik Penentuan daya dukung lingkungan berdasarkan kapasitas ketersediaan kandungan oksigen terlarut dari badan air dan bahan organik, dengan mengacu pada formula yang dikemukakan oleh Willoughby (1968 didalam Meade, 1989), dan Boyd (1990). Pergantian air akibat pasang surut akan menyediakan atau memasok oksigen terlarut sehingga konsumsi oksigen oleh organisme non budidaya tidak signifikan. Hal ini berarti bahwa perairan pesisir dapat dibebani dengan sejumlah
ikan yang
menggunakan oksigen terlarut, di mana O2 dipasok baik yang berasal dari aliran air pasang surut maupun difusi dari udara. Tahap 1.
Menentukan ketersediaan oksigen terlarut dalam badan air adalah perbedaan antara konsentrasi
O2 terlarut didalam inflow (Oin) dan
konsentrasi O2 terlarut minimal yang dikehendaki dari sistem budidaya (Oout) yaitu 4 ppm (Boyd, 1990). Jika volume air teluk (Qo m3) diketahui, maka total oksigen yang tersedia dalam perairan (O2) selama 24 jam (1.440 menit/hari) adalah : = Qo m3 /min x 1.440 min/hari x (Oin – Oout)g O2 / m3 = A g m3/hari/1000 = B kg O2 Dimana : Qo = volume ar teluk (m3 ) Qin = kandungan oksigen terlarut didalam badan air (mg/l) Oout = kadar oksigen minimal yang dibutuhkan oleh ikan (mg/l) 1.440= jumlah menit dalam satu hari Jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengurai bahan organik diketahui berdasarkan Willoughby (1968 didalam Meade, 1989) bahwa setiap 1 kg limbah organik memerlukan 0,2 kg O2 / limbah organik. Tahap 2.
Untuk pendugaan daya dukung yang diijinkan dengan mengacu bahwa untuk setiap kilogram limbah bahan organik membutuhkan 0,2 kg O2 sehingga dapat diduga kemampuan perairan untuk menampung limbah bahan organik maksimal yang diijinkan. Dengan demikian, beban limbah
bahan
organik
yang dapat ditampung tanpa melampaui daya dukung
dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut : B kg O2 0,2 kg O2 /kg limbah organik
= Ckg limbah bahan organik
Jika diketahui dalam 1 unit rakit KJA mengahasilkan limbah bahan organik = D kg limbah bahan organik, maka kapasitas daya dukung lingkungan perairan untuk budidaya kerapu adalah : = Unit rakit KJA
C kg limbah bahan organik D kg limbah bahan organik/1 unit KJA
3.7. Pendekatan Analisis Prospektif dan Model Dinamik dalam Pengelolaan Kualitas Lingkungan bagi Pengembangan Budidaya KJA Ikan Kerapu di Laut Dalam membangun sistem pengelolaan kualitas lingkungan berbasis daya dukung (carrying capacity) bagi pengembangan keramba jaring apung ikan kerapu di Teluk Tamiang, dilakukan pengembangan model guna mempresentasikan peubah komponen-komponen utama penyusun struktur pengelolaan kualitas lingkungan serta interaksi diantaranya.
Berdasarkan karakteristik perairan teluk yang kompleks dan
dinamis serta multidimensi, ditetapkan penggunaan model simbolik yang digunakan sebagai alat bantu dalam pemodelan sistem ini adalah Stella versi 7.02.
Blok
bangunan dasar (basic building block) dalam bahasa Stella versi 7.02 yang digunakan adalah meliputi stocks, flows, converter, connector, dan sink source. Permodelan dan simulasi pendugaan beban limbah N dan P dari sistem budidaya kerapu dalam keramba jaring apung dibangun dan dikembangkan berdasarkan pada data empiris sistem produksi budidaya yang ada, level aktivitas antropogenik dan karakteristik biofisik lingkungan perairan, serta hasil uji laboratorium. Pemodelan dan simulasi digunakan untuk pendekatan sistem dalam menentukan beban limbah, daya dukung, dan optimalisasi alokasi sumberdaya perikanan budidaya. Pemodelan sistem dibangun berdasarkan integrasi dari faktor-faktor dominan yang diperoleh dari analisis prospektif.
Dalam hal ini faktor-faktor dominan yang
diperoleh menjadi komponen utama sub-sub model dari model yang dibangun. Demikian pula skenario yang disusun berdasarkan pendekatan Analisis Prospektif akan disimulasikan secara kuantitatif berdasarkan model simbolik perangkat lunak Stella @
7.02. dengan demikian pemodelan sistem disini dilakukan dengan tahapan-tahapan antara lain penyusunan skenario, pembangunan model dan simulasi skenario. Penentuan faktor kunci dan tujuan strategis tersebut sepenuhnya harus merupakan pendapat pihak yang berkompeten sebagai pelaku dan ahli (expert) mengenai pengelolaan lingkungan Teluk, khususnya Teluk Tamiang. kebutuhan pelaku dilakukan dengan menggunakan kuisioner. dengan menggunakan cara matriks.
Inventarisasi
Analisis dilakukan
Hasil analisis matriks ini ditunjukkan
dan
dipresentasikan dalam bentuk grafik dalam salib sumbu Kartesien (Bourgeois, 2002., Hartrisari, 2002). Berdasarkan hasil grafik dalam salib sumbu akan terpilih yang dikelompokan kedalam 4 kuadran, yaitu kuadran kiri atas sebagai kuadran I merupakan kelompok faktor yang memberikan pengaruh besar pada kinerja sistem dengan ketergantungan rendah terhadap keterkaitan faktor, sehingga akan digunakan sebagai input didalam sistem.
Kuadran kanan atas sebagai kuadran II merupakan kelompok faktor yang
memberikan pengaruh besar pada kinerja sistem namun ketergantungan juga besar terhadap keterkaitan faktor, sehingga digunakan sebagai penghubung (stake) didalam sistem.
Keadaan sebaliknya ditunjukan oleh faktor pada kuadran kanan bawah
sebagai kuadran IV, yaitu kuadran yang memiliki pengaruh yang rendah pada kinerja sistem dan memiliki ketergantungan besar terhadap keterkaitan faktor, sehingga dikatakan sebagai output dari sistem. Pada kuadran kiri bawah sebagai kuadran III merupakan kelompok yang memberi pengaruh kecil terhadap kinerja sistem dan mempunyai tingkat ketergantungan kecil terhadap keterkaitan faktor, sehingga dikatakan sebagai variable authonomus unused. Evaluasi model dilakukan untuk mengetahui kelayakan model yang telah dibangun, sehingga model dapat dianggap layak untuk digunakan. Proses evaluasi yang dilakukan melibatkan dua kategori (tahap) pengujian, yaitu pengujian struktur model dan pengujian perilaku model. Evaluasi struktur model merupakan pengujian apakah model tidak bertentangan dengan mekanisme yang terjadi didalam sistem nyata. Oleh karena itu evaluasi struktur berhubungan dengan informasi dan literatur mengenai mekanisme sistem nyata. Proses evaluasi struktur, meliputi uji kesesuaian struktur dan konsistensi dimensi (Sushil, 1993). Evaluasi perilaku model merupakan pengujian apakah model mampu membangkitkan perilaku yang mendekati sistem nyata. Proses pengujian ini dilakukan dengan membandingkan data hasil pemodelan dengan dunia nyata.