8
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang berada dalam kondisi tidak mampu untuk melepaskan
diri
dari
kemiskinan
dan
keterbelakangan.
Upaya
dalam
pemberdayaan masyarakat haruslah dimulai dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi atau daya yang dapat di kembangkan. Dalam hal ini pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran
akan
potensi
yang
dimilikinya
serta
berupaya
untuk
mengembangkannya (Kartasasmita, 2005). Selanjutnya Hikmat (2004), menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan strategi pembangunan yang menitik beratkan pada kepentingan dan kebutuhan rakyat yang mengarah pada kemandirian masyarakat, partisipasi jaringan kerja dan keadilan. Dengan kata lain pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial dan mencerminkan paradigma baru pembangunan yang bersifat people-centred, participatory, empowering, dan sustainable. Pemberdayaan masyarakat menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat yang belum berkembang sebagai pihak yang harus diberdayakan, dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan (Sumodiningrat, 1997).
Pemberdayaan rakyat mengandung
makna mengembangkan, memandirikan, menswadayakan dan memperkuat posisi tawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan disegala bidang dan sektor kehidupan. Hal tersebut mengandung arti melindungi dan membela dengan berpihak pada yang lemah (Proyono, 1997). Menurut Suharto (2005), pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam :
9
1. Memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom), dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan. 2. Menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan. 3. Berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka. Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep kemandirian, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan (Adimihardja. 2004). Pada dasarnya, pemberdayaan diletakkan pada kekuatan tingkat individu dan sosial. Pemberdayaan juga diartikan sebagai pemahaman secara psikologis pengaruh kontrol individu terhadap keadaan sosial, kekuatan politik, dan hak-haknya menurut undang-undang (Rappopont,1987) dalam Suharto (2005). Ife (1995) mengemukakan bahwa pemberdayaan memuat dua pengertian kunci yaitu kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan diartikan bukan hanya menyangkut kekuatan politik melainkan kekuasaan atau penguasaan atas pilihanpilihan personil dan kesempatan-kesempatan hidup, pendevinisian gagasan kebutuhan, ide atau gagasan, lembaga-lembaga, sumber-sumber, dan reproduksi. Dengan demikian pemberdayaan adalah sebuah proses dari tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan merupakan serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat termasuk individu-individu dari komunitas tertentu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan. Pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang di inginkan oleh sebuah perubahan sosial yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan, dan mempunyai pengetahuan serta kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemberdayaan dapat pula dipandang sebagai bagian dari aliran postmodernisme yang menitik beratkan pada sikap dan pendapat yang berorientasi pada jorgan antisistem, anti struktur, dan anti determinisme yang diaplikasikan pada kekuasaan. Menurut Vidhyandika (1996) yang dikutip Suharto (2005),
10
konsep pemberdayaan ini muncul akibat dari reaksi terhadap alam pikiran, tatamasyarakat, dan tata-budaya sebelumnya yang berkembang di suatu negara. Pemberdayaan merupakan gerakan yang dirancang untuk meningkatkan kehidupan seluruh komunitas dengan partisipasi aktif dan atas dasar prakarsa komunitas. Sejalan dengan kerangka berpikir tersebut, strategi pemberdayaan masyarakat secara partisipatif (participatory community empowment) merupakan strategi yang menjadi pusat perhatian dalam pembangunan. Permasalahan sosial yang terjadi pada masyarakat bukan hanya akibat dari adanya penyimpangan perilaku maupun masalah kepribadian Namun merupakan akibat masalah struktural, kebijakan yang keliru, implementasi yang tidak konsisten, dan tidak adanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan (ESCAP, 1999). Dalam kondisi yang demikian itu maka strategi pemberdayaan sangat diperlukan agar dalam upaya peningkatan kemampuan dan kapasitas masyarakat menjadi terarah dan mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan. Selanjutnya, Person (1994) menyatakan bahwa proses pemberdayaan umumnya dilakukan secara kolektif. Namun demikian, dalam beberapa situasi tertentu strategi pemberdayaan dapat dilakukan secara individual meskipun pada gilirannya strategi ini tetap berkaitan dengan kolektifitas yaitu dengan mengaitkan antara klien dengan sumber atau sistem di luar dirinya. Secara umum strategi pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga aras pemberdayaan (empowerment setting), sebagai berikut: 1. Aras Mikro, bahwa pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konseling, stress management, crisis intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam menjalankan tugastugas kehidupannya. Model ini sering disebut sebagai pendekatan yang berpusat pada tugas (task centered approach). 2. Aras Mezzo, bahwa pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien. Pemberdayaan ini dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi.
Pendidikan dan pelatihan,
dinamika
kelompok biasanya
digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan, dan sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
11
3. Aras Makro, pendekatan ini disebut juga sebagai strategi sistem besar (largesystem strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini. Strategi sistem besar memandang klien sebagai orang yang memiliki kompetisi untuk memahami situasi-situasi mereka sendiri, dan untuk memilih serta menentukan strategi yang cepat untuk bertindak. (Suharto, 2004). Dalam proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan di atas dicapai melalui penerapan pendekatan pembangunan untuk menciptakan suasana yang memungkinkan potensi dan sumber yang ada dalam masyarakat dapat berkembang secara optimal. Pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat diperkuat dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhankebutuhannya. Kelompok-kelompok lemah dilindungi agar tidak tertindas oleh kelompok-kelompok yang lebih kuat, serta menghindari persaingan yang tidak seimbang antar yang kuat dan yang lemah. Mencegah sedini mungkin terjadinya eksploitasi antara kelompok kuat terhadap kelompok lemah. Oleh karena itu pemberdayaan diarahkan pada penghapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan rakyat kecil. Bimbingan dan dukungan diberikan kepada masyarakat agar mampu menjalankan peranan dan tugas-tugas kehidupannya. Dalam konteks ini pemberdayaan harus mampu menyokong masyarakat agar tidak terjatuh dalam keadaan yang semakin melemahkan. Situasi dan kondisi yang kondusip tetap dipelihara agar terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Oleh karenanya pemberdayaan harus mampu menjamin keselarasan dan keseimbangan yang memungkinkan setiap anggota masyarakat dapat memperoleh kesempatan yang sama dalam berusaha memperbaiki kesejahteraan sosialnya. Prinsip pemberdayaan masyarakat yang berpusat pada rakyat dengan dukungan teknologi tepat guna, menegaskan bahwa masyarakat harus menjadi pelaku
utama
dalam
perencanaan,
pelaksanaan,
dan
evaluasi
program
pembangunan. Hal ini berdampak pada perlu adanya restrukturisasi dalam strategi
12
pembangunan baik pada tingkat mikro, mezzo, maupun makro, sehingga masyarakat dapat mengembangkan potensi diri tanpa mengalami hambatan yang bersumber dari faktor-faktor eksternal maupun internal. 2.2.
Konsep Kemiskinan Kemiskinan pada hakekatnya merupakan masalah klasik yang telah ada
sejak adanya umat manusia. Persoalan kemiskinan senantiasa menjadi perhatian berbagai kalangan, baik para akademisi maupun para praktisi. Beberapa konsep dan pendekatan pun terus menerus dikembangkan untuk mengentaskan kemiskinan. Pada umumnya, kemiskinan didefinisikan dari faktor lemahnya ekonomi, khususnya pendapatan dalam bentuk uang, ditambah dengan keuntungan-keuntungan non material yang diterima oleh seseorang. Namun secara luas kemiskinan juga sering didefinisikan sebagai kondisi yang ditandai oleh serba kekurangan serta keterbatasan dalam memperoleh akses bagi perkembangan kegiatan kehidupan seperti tidak ada akses modal, pendidikan yang rendah, keadaan kesehatan yang buruk, lemahnya sistem kelembagaan dan sosial serta sarana transportasi yang tidak baik yang menyebabkan keterpencilan komunitas. Yustika (2003) mendefenisikan kemiskinan dengan memahaminya sebagai akibat dari kebijakan yang timpang terhadap 1) kepemilikkan modal, 2) kepemilikkan tanah dan akses, serta 3) ketidakserasian aktifitas yang dikerjakan. Kemiskinan merupakan ketidakmampuan individu untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, kemampuan yang dimaksudkan di sini bukan hanya kemampuan individu itu sendiri, tetapi juga dalam konteks keluarga, artinya meskipun kemiskinan itu merupakan atribut bagi individu yang bersangkutan, tetapi pada kenyataannya keadaan tersebut terkait erat dengan keluarga. Selanjutnya Friedmann (1979) dalam Suharto, dkk (2005) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial tersebut meliputi : modal yang produktif atau aset, sumber-sumber keuangan, organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan, jejaring sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang, dari lain-lain, pengetahuan dan keterampilan yang
13
memadai, dan informasi yang berguna untuk memajukan kehidupan masyarakat. Atas dasar definisi-definisi kemiskinan di atas maka konsep kemiskinan dapat digambarkan sebagai kondisi yang serba kekurangan dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti kebutuhan akan sandang, pangan, papan (tempat tinggal), kesehatan, dari pendidikan. Penyebab kemiskinan diungkapkan oleh Gunawan Sumodiningrat (2004) sebagai berikut; (1) Kemiskinan alami, yaitu kemiskinan yang disebabkan keterbatasan kualitas sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia. Sebagai akibatnya, sistem produksi beroperasi tidak optimal dengan efisiensi rendah; (2) Kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang langsung atau tidak langsung diakibatkan
oleh
berbagai
kebijakan,
peraturan,
pembangunan; (3) Kemiskinan kultural adalah
dan
keputusan
dalam
kemiskinan yang lebih banyak
disebabkan sikap individu dalam masyarakat yang mencerminkan gaya hidup, perilaku, atau budaya yang menjebak dirinya dalam kemiskinan. Elis (1984) dalam suharto (2005), menyatakan bahwa "dimensi kemiskinan menyangkut aspek ekonomi, politik, dan sosial-psikologis". Secara ekonomis, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Sumberdaya dalam konteks ini menyangkut aspek finansial dan jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Berdasarkan konsepsi ini maka kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persediaan sumber daya yang dimiliki melalui penggunaan standar baku yang disebut garis kemiskinan. Garis kemiskinan yang digunakan BPS sebesar 2.100 kalori per orang per hari yang disetarakan dengan pendapatan tertentu. Definisi kemiskinan yang menggunakan pendekatan kebutuhan dasar seperti ini diterapkan oleh depsos terutama dalam mendefinisikan fakir miskin. Bahwa yang disebut fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan. Secara politik, kemiskinan dapat dilihat dan tingkat akses terhadap
14
kekuatan (power). Kekuatan dalam pengertian ini mencakup tatanan sistem politik yang dapat menentukan kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan menggunakan sumber daya. Dalam konteks ini Friedman dalam suharto (2004) mendefinisikan kemiskinan dalam kaitannya dengan ketidaksamaan kesempatan dalam mengakumulasi basis kekuasaan sosial yang meliputi: 1. Modal produksi atau aset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan) 2. Sumber keuangan (pekerjaan , kredit) 3. Organisasi sosial dan politik yang
dapat digunakan untuk mencapai
kepentingan bersama 4. Jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa 5. Pengetahuan dan keterampilan 6. Informasi yang berguna untuk kemajuan hidup. Sedangkan kemiskinan secara sosial - psikologis menunjuk pada kekurangan jaringan struktur yang mendukung dalam mendapatkan kesempatankesempatan peningkatan produktifitas. Dimensi kemiskinan ini juga dapat diartikan faktor
sebagai
penghambat
kemiskinan yang
yang
mencegah
disebabkan atau
oleh
merintangi
adanya seseorang
faktor dalam
memanfaatkan kesempatan - kesempatan yang ada dalam masyarakat. Faktor penghambat tersebut dapat datang dari dalam diri maupun dari luar dirinya. Faktor dari dalam seperti rendahnya tingkat pendidikan atau hambatan karena budaya. Sedangkan faktor dari luar seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang dapat menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya. Kemiskinan seperti ini sering disebut dengan kemiskinan struktural. Mengingat kemiskinan bersifat multidimensi, maka penyebabnya juga bersifat multidimensi yang diungkapkan oleh Djoharis Lubis (2004) diantaranya disebabkan oleh faktor bencana alam, kegagalan panen, etos kerja yang rendah, pendidikan dan kwalitas kesehatan rendah, serta sebab struktur dan proses transaksi politik, ekonomi dan sosial budaya yang tidak adil dan memiskinkan. Selanjutnya Sulistiati dkk, (2005) lebih jelas lagi menguraikan tentang faktorfaktor penyebab terjadinya kemiskinan yang dapat dikategorikan dalam dua hal sebagai berikut:
15
1. Faktor Internal Faktor - faktor internal (dari dalam individu atau keluarga fakir miskin) yang menyebabkan terjadinya kemiskinan antara lain berupa kurang Kemampuan dalam hal: a. Fisik (misalnya cacat, kurang gizi, sakit-sakitan) b. Intelektual (misalnya kurangnya pengetahuan, kebodohan, kekurang tahuan informasi). c. Mental emosional (misalnya malas,
mudah menyerah,
putus asa,
temperamental). d. Spiritual (misalnya tidak jujur, penipu, serakah, tidak disiplin). e. Sosial psikologis
(misalnya
kurang motivasi,
kurang percaya
diri,
depresi atau stres, kurang relasi, kurang mampu mencari dukungan). f. Keterampilan (misalnya tidak mempunyai keahlian yang sesuai dengan permintaan lapangan kerja). g. Asset (misalnya tidak memiliki stok kekayaan dalam bentuk tanah, rumah, tabungan, kendaraan, dan modal kerja). 2. Faktor Eksternal Faktor-faktor
eksternal
(berada di
luar individu atau
keluarga)
yang menyebabkan terjadinya kemiskinan, antara lain : a. Terbatasnya pelayanan sosial dasar. b. Tidak dilindungi hak atas kepemilikkan tanah. c. Terbatasnya lapangan pekerjaan formal dan kurang terlindunginya usahausaha sektor informal. d. Kebijakan perbankan terhadap layanan kredit mikro dan tingkat bunga yang tidak mendukung sektor usaha mikro. e. Belum terciptanya sistem ekonomi kerakyatan dengan prioritas sektor ril masyarakat banyak. f. Sistem mobilisasi dan pendayagunaan dana sosial masyarakat yang belum optimal (seperti zakat). g. Dampak sosial negatif dari program penyesuaian struktural (Stuctural
16
Adjusment Program / SAP). h. Budaya yang kurang mendukung kemajuan dan kesejahteraan. i. Kondisi geografis yang sulit, tandus, terpencil, atau daerah bencana. j. Pembangunan yang lebih berorientasi fisik material, k. Pembangunan ekonomi antar daerah yang belum merata. l. Kebijakan publik yang belum berpihak kepada penduduk miskin. Faktor internal dan eksternal tersebut mengakibatkan kondisi kemiskinan tidak mampu dalam hal memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, menampilkan peranan sosial, mengatasi masalah-masalah sosial psikologis yang dihadapinya, mengembangkan potensi diri dan lingkungan, serta mengembangkan faktor-faktor produksi sendiri. Namun demikian, masyarakat yang dikategorikan miskin tersebut pada dasarnya memiliki kemampuan atau potensi diri sebagai modal dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya walaupun dalam keadaan sangat minim atau terbatas. Keluarga miskin secara faktual dapat dilihat bahwa mereka mampu merespon dan mengatasi permasalahan sosial ekonomi yang terkait dengan situasi kemiskinannya. 2.2.1. Ukuran Kemiskinan Sebagaimana telah diuraikan terdahulu bahwa kemiskinan disebabkan oleh faktor internal dan eksternal, namun belum menunjukkan indikator atau ukuran-ukuran kemiskinan tersebut. Untuk mengukur tingkat kemiskinan terdapat dua pendekatan yaitu pendekatan absolut dan relatif. Disebutkan oleh Iwan Nugroho (2004) bahwa yang dimaksud Ukuran Kemiskinan absolut adalah pendekatan yang memandang kemiskinan dalam suatu ukuran yang bersifat mutlak yang bermuara atau berwujud sebagai garis, titik, atau batas kemiskinan. Sedangkan Ukuran Kemiskinan Relatif adalah pendekatan yang memandang kemiskinan dalam suatu ukuran yang dipengaruhi oleh ukuran-ukuran lainnya yang berhubungan dengan proporsi atau distribusi. Atas dasar pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa seseorang atau masyarakat yang tidak dapat keluar dari ukuran-ukuran tersebut dikelompokkan
17
sebagai masyarakat miskin. Ukuran tersebut antara lain berupa tingkat pendapatan, pengeluaran atau konsumsi, atau kalori seseorang atau keluarga dalam satuan waktu tertentu. Mengukur tingkat kemiskinan sangat diperlukan dalam menetapkan keluarga miskin yang menjadi sasaran dan ingin diberdayakan. Menurut World Bank (1993) yang dikutib oleh Iwan Nugroho (2004), mengukur kemiskinan bertujuan antara lain: 1. Melihat sejauh mana kemiskinan terjadi : lokasi, jumlah, sebaran, kondisi masyarakat, dan ketampakan lainnya; 2. Memberikan data statistik yang berguna bagi analisis dan perencanaan pembangunan serta penghapusan kemiskinan; 3. Mempengaruhi pola
kebijakan dan pengambilan keputusan yang kelak
diterapkan. Pengukuran kemiskinan dilakukan dengan cara menetapkan standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan yang harus dipenuhi seseorang untuk dapat hidup secara layak. Penetapan nilai ini standar ini digunakan untuk membedakan antara penduduk miskin dan tidak miskin. Terdapat beberapa pendapat tentang penetapan mengenai nilai standar ini yang antara lain menurut Sajogyo (1975), bahwa garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat pendapatan untuk pedesaan dengan 360 kilogram beras per orang per tahun. Kriteria ini didasarkan atas jumlah kalori setara dengan 1.900 kalori per hari. BKKBN tahun 2008 menyebutkan bahwa, indiktor kemiskinan adalah : 1. Tidak mampu makan dua kali sehari 2. Tidak mampu mengkonsumsi daging/ikan/telor minimal sekali seminggu 3. Tidak mampu ke sarana kesehatan modern untuk ber KB atau berobat 4. Tidak mampu menyekolahkan anak usia SD dan SLTP 5. Tidak ada anggota keluarga yang memiliki penghasilan tetap
18
BPS tahun 2008 menyebutkan bahwa, indikator kemiskinan adalah : 1. Luas lantai rumah <8 meter persegi 2. Jenis lantai terluas (tanah/bambu/kayu murahan) 3. Jenis dinding bangunan (bambu/rumbia/ tembok tanpa pelster 4. Fasilitas buang air besar (tidak ada) 5. Sumber air minum 6. Sumber penerangan utama 7. Bahan bakar untuk masak (kayu/arang/minyak) 8. Tidak mampu beli daging/ikan/telur/susu minimal sekali seminggu 9. Makan kurang dari dua kali sehari 10. Tidak mampu membeli pakaian baru minimal satu stel setahun 11. Tidak mampu bayar untuk berobat ke sarana kesehatan modern 12. Luas sawah < 0,5 ha atau pendapatan
19
beras untuk orang miskin/santunan sosial). 3. Keterbatasan kepemilikkan pakaian untuk setiap anggota keluarga per tahun (hanya mampu memiliki 1 stel pakaian lengkap per orang per bulan); 4. Tidak mampu membiayai pengobatan jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit. 5. Tidak mampu membiayai pendidikan dasar 9 tahun bagi anak-anaknya; 6. Tidak memiliki asset yang dapat dimanfaatkan hasilnya atau dijual untuk membiayai kebutuhan hidup selama tiga bulan atau dua kali batas garis sangat miskin; 7. Tinggal di rumah yang tidak layak huni; 8. Sulit memperoleh air bersih. Indikator tersebut sifatnya multidimensi, artinya setiap keluarga miskin dapat berbeda tingkat kedalaman kemiskinannya. Secara umum jika terdapat tiga kriteria tersebut di atas terpenuhi, maka sudah dapat dikategorikan sebagai keluarga miskin yang layak untuk memperoleh pelayanan sosial. Semakin banyak kriteria yang terpenuhi maka kategori keluarga tersebut semakin miskin. 2.2.2. Komunitas dan Pemberdayaan Keluarga Miskin Di dalam proses pembangunan sosial ekonomi di berbagai bidang perekonomian, pertanian, kesehatan dan sebagainya selalu menggunakan komunitas sebagai titik masuk sebuah kebijakan. Oleh karena itu konsep komunitas menjadi penting artinya dalam proses pembangunan masyarakat. Koentjoroningrat (1996), mendefenisikan bahwa komunitas merupakan suatu kesatuan hidup manusia yang menempati suatu wilayah yang nyata, dan berinteraksi secara kontiniu sesuai dengan suatu sistem adat istiadat dan terikat oleh suatu rasa identitas komunitas. Secara umum, gambaran sebuah struktur komunitas akan ditandai oleh serangkaian fenomena sebagai berikut:
1.
Prinsip saling berbagi (shared norms and expectation) di antara para anggota suatu komunitas.
20
2.
Pertukaran materi - informasi yang adil di antara individu-individu anggota sebuah komunitas.
3.
Kesatuan komunitas yang dibangun oleh to face communication yang akrab. (Tonny, 2005) Pemberdayaan merupakan salah satu pendekatan dalam meningkatkan
kualitas kehidupan dan mengangkat harkat dan martabat masyarakat bawah. Konsep ini menjadi sangat penting karena dapat memberikan perspektif positif terhadap masyarakat Pemberdayaan masyarakat dari partisipasi merupakan strategi dalam paradigma pembangunan yang tertumpu pada rakyat (people centered development) (Adimihardja, 2004). Strategi ini menyadari pentingnya peningkatan kapasitas masyarakat untuk kemandirian dengan kekuatan internal yang ada pada masyarakat. Dalam rangka pemberdayaan keluarga miskin, hal utama harus dilakukan adalah pengembangan kapasitas komunitas serta membangun jaringan kerja komunitas. Mengacu pada Unicef (1999) dalam Sumarti T. dkk (2005) , terdapat tujuh komponen kapasitas di tingkat komunitas yang dapat dikembangkan untuk dapat mendorong aktivitas-aktivitas ekonomi anggotanya melalui pembentukan kelompok-kelompok usaha ekonomi produktif seperti KUBE, yaitu :
1. Community leader ;
siapa
saja
orang-orang yang berpengaruh
dalam
masyarakat yang dapat mendorong penguatan kelompok usaha ekonomi produktif ? 2. Community technology ; teknologi apa yang digunakan oleh masyarakat untuk memproduksi sesuatu, apa konsekuensi dari suatu intervensi ? 3. Community fund ; apakah ada mekanisme penghimpunan dana dalam masyarakat ? 4. Community material: sarana apa saja yang ada di masyarakat yang berguna untuk pengembangan kelompok, apa modal usaha keluarga/'komunitas ? 5. Community knowledge ; apa persepsi masyarakat berkaitan dengan usaha mereka, apa harapan terhadap pelayanan ekonomi produktif, sejauh mana kepercayaan pada pelaku pelayanan ekonomi produktif ?
21
6. Community decision making; apakah masyarakat disertakan dalam program secara keseluruhan ? 7. Community organizations ; usaha ekonomi mana yang dapat berkembang menjadi organisasi ekonomi produktif ? Kelompok tani,
koperasi tani,
KUD/LSM, kelembagaan bagi hasil, kelembagaan pedagang, mitra kerja. Dalam pemberdayaan masyarakat, kelompok menempati posisi yang penting karena akan berperan dalam masyarakat dalam mengontrol suatu keputusan
program maupun kebijakan yang berpengaruh langsung
kepada
kehidupan komunitas. Di dalam pembahasan tentang pemberdayaan masyarakat dikenal suatu konsep modal sosial, yang secara umum dipahami sebagai bentuk institusi, relasi, dan norma-norma yang membentuk kualitas dari kuantitas dari interaksi sosial dalam masyarakat. Menurut pendapat saya dalam rangka pemberdayaan keluarga miskin maka pertama dan utama yang harus dilaksanakan adalah pengembangan kapasitas komunitas serta membangun jejaring mengacu pada Unicef (1999) dalam Sumarti T. Dkk (2005). 2.3. Penguatan Kelembagaan Apabila melihat peluang perubahan kelembagaan, maka ada baiknya menyiapkan perubahan tersebut. Hal ini menunjukkan paling tidak untuk pengembangan kelembagaan dalam konteks pembangunan yang berbasis pada pengembangan komunitas memerlukan roh yang jelas. Satu hal yang pokok dalam hal ini adalah mengingatkan akan pembangunan yang berkelanjutan (Lala Kolopaking dan Fredian Toni, 2007). Ada tiga pilar utama dari Pembangunan berkelanjutan, yaitu: (1) Pengentasan kemiskinan (poverty eradication). (2) Perubahan konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan (changing unsustainable pattern of coinsumption and production). (3) Perlindungan dan pengelolaan basis sumber daya alam bagi pembangun ekonomi dan sosial (protecting and managing the natural resouces basis of economic and social development). Ketiga pilar ini perlu diintergrasikan dan terkait dan tergantung satu sama lainnya (interdepedency). Pengembangan kelembagaan dan penguatan kapasitas masyarakat untuk mendukung pembangunan berkelanjutan dapat dilakukan melalui teknik - teknik
22
sosial yang diturunkan dari penerapan teknologi partisiptif, oleh karena itu bentuk kegiatannya beragam mulai dari pendampingan, melakukan pelatihan berbasis kompetensi, pemagangan, studi banding utuk melihat pola percontohan. Keberhasilan (best practice), penyusunan dan perencanaan aksi, bahkan sampai melakukan advokasi untuk melakukan memperjuangkan kepentingan masyarakat. Hal yang utama dalam hal ini dilakukan dalam bentuk proses belajar sosial partisipatif yang diarahkan untuk menghasilkan aksi bersama yang produktif. Satu hal yang menjadi hasil (autcome) dari kegiatan-kegiatan ini adalah lahirnya kaderkader untuk ikut mengembangkan proses pemberdayaan masyarakat. Menurut Bertrand 1974, seperti dikutip Tonny dan Utomo 2004, kelembagaan adalah tata abstraksi yang lebih tinggi dari grup, asosiasi, organisasi dan sistem sosial lainnya. Artinya wujud konkrit dari pemahaman tentang kelembagaan dapat berupa grup, asosiasi, organisasi dan sistem sosial lainnya. Istilah ”lembaga” (institution) dan ”pengembangan kelembagaan” (institutional building), mempunyai arti yang berbeda - beda untuk orang yang berbeda pula. Disini pengembangan kelembagaan sinonim dengan pembinaan kelembagaan dan didefinisikan sebagai proses utntuk memperbaiki kemampuan lembaga guna mengefektifkan sumber daya manusia dengan keuangan yang tersedia. Proses ini
secara internal dapat digerakkan oleh manager sebuah
lembaga atau dicampur tangani dan dipromosikan oleh pemerintah atau badanbadan pembangunan (Israel, A 1992). Pembangunan kelembagaan
(atau analisa kelembagaan) menyangkut
sistem manajemen termasuk pemantauan dan evaluasi; struktur dan perubahan organisasi; perencanaan, termasuk perencanaan untuk suatu proses investasi yang efisien ; kebijakan pengaturan staf dan personalia ; pelatihan staf, prestasi keuangan, termasuk manajemen keuangan dan perencanaan, penyusunan anggaran dan akunting; perawatan dan pengadaan (Israel, A 1992). Menurut Sugiyanto (2002) hasil akhir dari pembangunan lembaga menetapkan sederetan pengujian. Prinsip-prinsip dasarnya (1) harus diadakan norma-norma dan pola-pola yang baru di dalam organisasi yang relevan dengan lingkungan, baik organisasi maupun inovasi yang diwakilinya harus melembaga dan semua ini harus dinilai; (2) nilai intrisik yang diperoleh dapat dipandang
23
sebagai sumber daya yang memungkinkan para penghantar perubahan untuk mencapai tujuannya dengan biaya yang berkurang karena komitmen staf dan citra yang menguntungkan dan diproyeksi dalam lingkungan. Menurut Eade 1997 seperti dikutip Tonny dan Utomo 2004, pengembangan kapasitas sering digunakan secara sederhana untuk menjadikan suatu lembaga lebih efektif mengimplementasikan proyek-proyek pembangunan. 2.4. Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Kelompok Usaha Bersama (KUBE) adalah kelompok binaan sosial (KBS) yang atas bimbingan dan kesadaran bersama, diberi tanggung jawab untuk mengelola bantuan stimulan Usaha Ekonomi Produktif (UEP). Maksud pembentukan KUBE ini adalah meningkatkan motivasi, interaksi dan kerjasama dalam kelompok, mendayagunakan potensi dan sumber daya ekonomi lokal, memperkuat budaya kewirausahaan, mengembangkan akses pasar dan menjalin kemitraan dengan pihak terkait (Departemen sosial, 2005) Jumlah KUBE didasarkan atas kebutuhan nyata di lapangan, bisa menjadi kelompok kecil (antara tiga sampai lima orang) atau kelompok besar (lebih dari lima orang). Banyak anggota KUBE dalam perkembangannya dapat berjumlah menjadi sangat banyak, namun untuk efektivitas pendekatan kelompok yang dilakukan pendamping sosial, jumlah anggota KUBE disarankan tidak terlalu banyak (lima sampai sepuluh orang), sehingga jumlah anggota KUBE yang banyak dapat dibagi – bagi dalam kelompok – kelompok yang lebih kecil. Proses pembentukan KUBE dilakukan berdasarkan; (1) kedekatan domisili dengan tujuan untuk memudahkan berkomunikasi dalam melaksanakan kegiatan maupun dalam mekanisme pembinaan; (2) mempunyai tujuan yang sama untuk merubah nasib; (3) jenis usaha dapat bervariatif atau satu jenis usaha dapat dikelola per individu asalkan terkait dalam satu kelompok; (4) saling mengenal dan saling percaya; (5) pemberian nama KUBE berdasarkan musyawarah anggota; (6) terdapat susunan pengurus yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan anggota. Departemen sosial, 2005 menggolongkan KUBE berdasarkan tiga tahap perkembangannya, yaitu :
24
1. Tumbuh KUBE dikatakan dalam keadaan tumbuh mempunyai ciri – ciri; (1) sudah memiliki pendamping KUBE; (2) pernah mengikuti pelatihan; (3) pengurus dan organisasi telah dibentuk sebanyak sepuluh orang; (4) telah menerima bantuan UEP; (5) mempunyai papan nama KUBE;
dan (5) kegiatan kelompok baru
berjalan. 2. Berkembang KUBE dikatakan dalam keadaan berkembang mempunyai ciri – ciri; (1) Kegiatan kelompok telah berjalan sesuai dengan kepengurusannya; (2) keuntungan usaha ekonomi produktif (UEP) sudah ada untuk modal, kesejahteraan anggotadan iuran kesetiakawanan sosial (IKS); (3) kepercayaan dan harga diri dari anggota KUBE dan keluarga meningkat; (4) pergaulan antara anggota KUBE dengan masyarakat semakin meningkat; (5) hasil usaha sudah dapat dirasakan. 3. Maju atau Mandiri KUBE dikatakan dalam tahap maju atau mandiri memiliki ciri – ciri; (1) keuntungan usaha ekonomi produktif (UEP) meningkat dan modal semakin besar; (2) mampu menyisihkan dana iuran kesetiakawanan sosial (IKS) untuk anggota kelompok, keluarga miskin lainnya dan berpartisipasi dalam pembangunan lingkungannya; (3)Manajemen usaha prodiktif (UEP) telah dikelola dengan baik; (4) mempunyai hubungan baik dan saling menguntungkan dengan lembaga ekonomi dan pengusaha; (5) hubungan sosial dengan masyarakat dan lembaga – lembaga sosial semakin baik dan melembaga; (6) kegiatan usaha ekonomi produktif (UEP) semakin maju dan berkembang. Sebagai media pemberdayaan keluarga miskin KUBE dikatakan dapat berhasil apabila anggotanya telah berhasil mencapai tingkat kesejahteran, dengan beberapa indikator yaitu; (1) meningkatnya kemampuan memenuhi kebutuhan dasar manusia (pangan, sandang, papan) serta kesehatan dan pendidikan yang layak; (2) meningkatnya dinamika sosial baik dalam KUBE maupun dengan masyarakat
sekitarnya;
(3)meningkatnya
kemampuan
dan
pemecahan masalah; (4) berkembangnya kerjasama diantara
keterampilan
sesama anggota
KUBE dan dengan masyarakat sekitarnya; (5) mantapnya usaha KUBE; (6)
25
berkembangnya jenis usaha KUBE; (7)meningkatnya pendapatan anggota KUBE; (8) tumbuh kembangnya kesadaran dan rasa tanggung jawab sosial dalam bentuk pengumpulan iuran kesetiakawanan sosial (IKS). 2.5. Partisipasi Secara sederhana partisipasi mengadung makna peran serta seseorang atau kelompok orang atas suatu pihak dalam suatu kegiatan atau upaya mencapai sesuatu yang (secara sadar) diinginkan oleh pihak yang berperan serta tersebut. Partisipasi merupakan bentuk perilaku sadar. Partisipasi telah dianggap oleh para politisi sebagai dasar dari hak-hak demokrasi. Tetapi faktanya sering dihindari pertanyaan mengenai apakah masyarakat sendiri benar-benar ingin melibatkan diri atau tidak? Pertanyaan seperti itu tidak mudah dijawab (Conyers, 1984). Didunia ketiga sifat penduduk yang dianggap apatis dan kurang tertarik pada upaya-upaya pembangunan ternyata telah menjadi sumber frustasi bagi para perencana, politisi dan pemimpin komunitas serta agen-agen pembangunan lainnya. Berdasarkan hasil studi tentang keberhasilan dan
kegagalan dalam
partisipasi masyarakat menyimpulkan ada dua hal yang mendukung terjadinya partisipasi (oppenheim) 1973, yaitu (1) ada unsur yang mendukung untuk berprilaku tertentu pada diri seseorang (person inner determinant), (2) Terdapat iklim atau lingkungan (Enviruenveronmental factors) yang memungkinkan terjadinya perilaku tertentu itu. Oleh karena itu dalam mengembangkan partisipasi perlu memperhatikan kedua hal itu. Fakta menunjukkan adanya kecendrungan yang sangat nyata bahwa masyarakat (pihak-pihak yang diharapkan berpartisipasi) tidak akan berpartisipasi (dalam arti sebenarnya) atas kemauan sendiri atau dengan antusias yang tinggi dalam kegiatan perencanaan, kalau mereka merasa bahwa partisipasi mereka dalam perencanaan tersebut tidak mempunyai pengaruh pada perencanaan akhir (adanya
manfaat
dalam
penilaian
mereka.
Masyarakat
merasa
enggan
berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang tidak menarik minat mereka atau aktifitas yang dapat mereka rasakan. Dari uraian tersebut jelaslah bahwa seseorang akan berpartisipasi apabila terpenuhi persyaratan untuk berpartisipasi, yaitu :
26
1. Kesempatan, yaitu adanya suasana atau kondisi lingkungan yang disadari oleh orang tersebut bahwa ia berpeluang untuk berpartisipasi. 2. Kemauan adanya sesuatu yang mendorong / menumbuhkan minat dan sikap mereka untuk termotifasi, berpartisipasi, misalnya berupa manfaat yang dapat dirasakanatas partisipasinya tersebut, dan 3. Kemampuan adanya kesadaran atau keyakinan pada dirinya bahwa ia mempunyai kemampun untuk berpartisipasi bisa berubah pikiran, tenggang / waktu atau sarana dan material lainnya. Apabila salah satu saja dan ketiga syarat itu ada, maka hampir dapat dipastikan bahwa partisipasi dalam arti sebenarnya itu tidak akan pernah terjadi. Penggerak pembangunan biasanya berhasil mengembangkan partisipasi dengan cara mengembangkan kondisi terwujudnya prasyarat partisipasi. Apabila suatu pembangunan tidak mendapat partisipasi masyarakat secara meluas kecendrungan yang terjadi adalah pembangun tersebut tidak bermafaat bagi rakyat, melainkan hanya bermanfaat pada segolongan pihak yang punya kepentingan dalam pembangunan. 2.6. Modal Sosial Dalam Pemberdayaan masyarakat, tujuan-tujuan organisasi akan tercapai secara efektif apabila didukung oleh sumberdaya yang memadai ( Suswanto, 2005). Sumberdaya dapat berupa human capital, social and instituonal assets, natural resaurces dan man mad assets (Syeaukat dan Hendrakusumaatmadja, 2005). Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa kelembagaan sebagai organisasi akan efektif dalam mencapai tujuannya apabila didukung oleh sumber daya. Salah satu sumber daya tersebut adalah modal sosial. Modal sosial menunjuk pada hubungan sosial, institusi dan struktur sosial serta hubungan dengan trust, resiprositas, hak dan kewajiban dan jejaringan sosial. Secara umum modal sosial didefenisikan sebagai ”informasi, kepercayaan, dan norma-norma timbal balik yang melekat dalam suatu sistem jejaring sosial” (Woolcock dalam Nasdian dan Utomo, 2005). Modal sosial merupakan suatu sistem yang mengacu kepada hasil dari organisasi sosial dan ekonomi, seperti
27
pandangan umum (wolrd view), kepercayaan (trust), pertukaran (reciprocity), pertukaran ekomoni dan informasi (informational and ecomonic exchange), kelompok-kelompok formal dan informal groups, serta asosiasi-asosiasi yang melengkapi memudahkan
modal-modal
lainnya
terjadinya
tindakan
(fisik, kolektif,
manusiawi,
budaya)
pertumbuhan
sehingga
ekomoni
dan
pembangunan (Colleta dan Cullen dalam Nasdian dan Utomo, 2005). Berbeda dengan modal fisik dan modal manusia yang sifatnya lebih kongkrit, dapat diukur dan dapat diperhitungkan secara eksak untuk proses produksi, wujud modal sosial tidak sejelas kedua jenis modal tersebut. Pemahaman tentang modal sosial menekankan pada hubungan timbal balik antara modal dan sifat sosial yang menjelaskan modal tersebut. Sifat sosial dalam modal sosial tidak bersifat
netral,
ditandai dengan
adanya hubungan
saling
menguntungkan antara dua orang, kelompok, kolektivitas atau kategori sosial atau manusia pada umumnya. Modal sosial menurut Grootaert yang dikutip Marliyantoro (2002) adalah kemampuan seseorang untuk memanfaatkan berbagai keunggulan jaringan sosial atau struktur sosial dimana ia menjadi anggotanya. Selanjutnya Hanifan dalam Marliyantoro (2002), menyatakan bahwa modal sosial sebagai kenyataan yang dimiliki warga berupa kehendak baik, simpati, persahabatan, hubungan antar individu dan antar keluarga yang dapat mengatasi persoalan warga masyarakat. Menurut Woolcock yang dikutip Colleta dan Cullen dalam Nasdian dan Utomo (2005), modal sosial memiliki empat dimensi, yaitu: 1.
Integrasi (integration), yaitu ikatan-ikatan berdasarkan kekerabatan, etnik dan agama.
2.
Pertalian (linkage), yaitu ikatan dengan komunitas lain diluar komunitas asal berupa jejaring (network) dan asosiasi-asosiasi bersifat kewargaan (civic association) yang menembus perbedaan kekerabatan, etnik dan agama.
3.
Integritas organisasional (organizational integrity), yaitu keefektifan dan kemampuan institusi negara untuk menjalankan fungsinya, termasuk menciptakan kepastian hukum dan menegakkan peraturan.
4.
Sinergi (synergy), yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan dengan komunitas (state-community relations).